proposalq mochammad rezha qheoubard fahlevie

50
FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR Bahan Seminar : Proposal Penelitian Judul : Pembawa seminar : Muhammad Reza Fahlevie No. Pokok : M 121 06 048 Pembimbing : 1. Dr. Ir. Andi Sadapotto, MP. 2. Ir. Sitti Nuraeni, MP. 3. Hari/Tanggal : Waktu : Tempat : Ruang Seminar Fakultas Kehutanan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ulat sutera (Bombyx mori L.) merupakan penghasil serat berkualitas tinggi yang belum dapat tertandingi oleh serat sintetis maupun serat alam lainnya, sehingga dinobatkan menjadi ratu segala serat. Serat tersebut digunakan antara lain sebagai bahan baku tekstil, benang operasi, parasut, dan kulit buatan (IPB, 2001). Kegiatan membudidayakan ulatsutera pertama kali dilakukan oleh orang China. Pada masa pemrintahan Dinasti 1

Upload: nhelymccartn5362

Post on 04-Jul-2015

189 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

FAKULTAS KEHUTANANUNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR

Bahan Seminar : Proposal PenelitianJudul : Pembawa seminar : Muhammad Reza FahlevieNo. Pokok : M 121 06 048Pembimbing : 1. Dr. Ir. Andi Sadapotto, MP.

2. Ir. Sitti Nuraeni, MP. 3.

Hari/Tanggal : Waktu : Tempat : Ruang Seminar Fakultas Kehutanan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ulat sutera (Bombyx mori L.) merupakan penghasil serat berkualitas tinggi

yang belum dapat tertandingi oleh serat sintetis maupun serat alam lainnya, sehingga

dinobatkan menjadi ratu segala serat. Serat tersebut digunakan antara lain sebagai

bahan baku tekstil, benang operasi, parasut, dan kulit buatan (IPB, 2001).

Kegiatan membudidayakan ulatsutera pertama kali dilakukan oleh orang

China. Pada masa pemrintahan Dinasti Han (206 SM – 25 SM) sudah ada pabrik

pemintalan benang sutera. Lewat jalur perdagangan yang termasyhur yaitu jalur

sutera atau silk road, sutera dibawa keluar daratan China disebarkan keseluruh

penjuru dunia. Indonesia sendiri diperkirakan mengenal pensuteraan setelah terljalin

hubungan dagang dengan China dan India (Nazaruddin dan Nurcahyo, 1992).

1

Page 2: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

Kokon merupakan hasil pemeliharaan ulat sutera (Bombyx mori L.), dibentuk

dari serat sutera yang dikeluarkan oleh ulat instar 5 akhir (ulat matang), terdiri dari

fibrion dan serisin. Kokon ini merupakan bahan baku benang sutera melalui proses

pementalan (Dentiar, 2009).

Benang sutera dihasilkan dari pemintalan serat kokon. Kokon dapat

mempengaruhi kualitas serat sutera yang dihasilkan. Mutu serat sutera pada akhirnya

akan mempengaruhi harga benang dipasaran. Serat sutera yang baik adalah serat

sutera yang dapat menghasilkan kain sutera yang baik pula, bebas dari cacat kain

yang disebabkan oleh benang dan dengan jumlah limbah yang minim. Menurut

kondisinya kokon dibedakan jadi dua yaitu: kokon yang baik (kokon yang dapat

dipintal) dan kokon tidak baik (tidak dapat dipintal). Kokon yang tidak baik seperti

kokon ganda, kokon berlubang, kokon bernoda dalam, kokon bernoda luar, kokon

berujung tipis, kokon berlapis ganda, kokon yang tipis bagian tengahnya, dan bentuk

kokon yang abnormal (Atmosoedarjo, dkk., 2000).

Mutu kokon dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti mutu bibit, jenis ulat

sutera, teknik pemeliharaan, kualitas dan kuantitas pakan, sarana, pencegahan

penyakit dan keterampilan petani sutera. Sampai saat ini mutu bibit menduduki

peringkat paling atas dari tuntutan perbaikan yang diinginkan petani sutera. Bibit atau

telur yang beredar saat ini adalah hasil persilangan dari induk yang berasal dari

daerah sub tropis/Jepang dan China (Budisantoso, 2001).

Balai Persuteraan Alam Bili-Bili merupakan salah satu produsen ulat sutera di

Sulawesi Selatan telah mempunyai beberapa ras bibit induk yang dapat menghasilkan

bibit yang baik antara lain bibit jenis univoltine asal Rusia. Bibit ini didatangkan ke

Sulawesi Selatan pada tahun 1990. Sampe dkk (1985;1991) mengemukakan bahwa

walaupun jenis bivoltine dan univoltine memiliki kuantitas dan kualitas yang lebih

baik, tetapi ulatnya belum mampu beradaptasi dengan baik terhadap kondisi

lingkungan setempat.

Dengan adanya permasalahan sebagaimana yang telah diuraikan terdahulu,

maka perlu dilakukan percobaan-percobaan dalam rangka meningkatkan mutu bibit

2

Page 3: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

tersebut, diantaranya adalah dengan jalan melakukan persilangan. Melalui percobaan

ini dilakukan persilangan antara induk ulatsutera Ras Thailand dengan Ras China

yang bertujuan untuk mendapatkan bibit yang terbaik.

B. Hipotesis

Di Sulawesi Selatan alat yang dugunakan dalam proses pemintalan benang sutera

dikelompokkan menjadi 3 tipe alat pintal yaitu alat pintal tangan, alat pintal kaki, dan

alat pintal mesin (semi otomatis

C. Tujuan dan Kegunaan

3

Page 4: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistematika dan Jenis Ulatsutera

Wikipedia (2010) menjelaskan bahwa ulat sutera termasuk dalam :

Kingdom : Animalia

Klas : Insecta

Ordo : Lepidotera

Subordo : Ditrysia

Superfamili : bombycoidae

Famili : Bombycidae

Genus : Bombyx

Spesies : mori

Nama Ilmiah : Bombyx mori L.

Omura (1980) dan Anonim (1972) membagi jenis ulat sutera berdasarkan

jumlah generasinya setiap tahun aau voltinismenya, bedasarkan berapakali perganitan

kulit atau moltinismenya, berdasarkan daerah asalnya dan berdasarkan bentuk

persilangannya, yang akan dijelaskan sebagai berikut.

Pembagian jenis ulat sutera berdasarkan voltinismenya adalah sebagai berikut:

1. Univoltine, atau monovoltine, yaitu ulat sutera yang menghasilkan satu

generasi dalam satu tahun. Ulatnya berukuran besar, serat kokonnya

bermutu tinggi tetapi ulatnya hanya tahan dipelihara pada musim tertentu.

2. Bivoltine yaitu ulat sutera yang menghasilkan dua generasi dalam satu

tahun. Masa ulatnya singkat dan kualitas kokonnya lebih baik daripada

univoltine serta dapat tahan bila dipelihara pada berbagai musim.

3. Multivoltine atau polivoltine, yaitu ulatsutera yang menghasilkan tiga

generasi dalam satu tahun. Kokonnya lebih kecil, kualitas dan presentasi

kulit kokonnya rendah, serat kokonnya halus tetapi ulatnya tahan

dipelihara pada iklim yang ekstrim, seperti iklim tropis.

Pembagian jenis ulatsutera berdasarkan moltinismenya adalah sebagai berikut:

4

Page 5: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

1. Three molters, yaitu ulatsutera yang mengalami tiga kali pergantian kulit.

Masa ulatnya singkat, tubuh ulat dan kokonnya kecil serta serat kokonnya

halus.

2. Four molters, yaitu ulatsutera yang mengalami empat kali pergantian kulit.

Masa ulatnya sedang, ukuran tubuh dan ulat dan kokonnya juga sedang.

Jenis ulatsutera ini banyak dipelihara.

3. Five molters, yaitu ulatsutera yang mengalami lima kali pergantian kulit.

Masa ulatnya panjang, ukuran tubuh ulat dan kokonnya juga panjang.

Pembagian jenis ulatsutera berdasarkan daerah asalnya adalah sebagai berikut:

1. Jenis Jepang (berasal dari Jepang).

Jenis ini ulatnya mempunyai cirri atau tanda yang khas pada permukaan

kulitnya. Jenis ini pula menghasilkan jumlah telur yang banyak, bentuk

kokonnya lonjong dan berlekuk ditengahnya menyerupai bentuk kacang

tanah dan warna kokonnya umumnya putih tetapi ada pula yang hijau atau

kuning. Masa ulatnya lama dan ukurannya kecil serta kualitas kokonnya

tinggi, ada yang univoltine dan ada pula yang bivoltine.

2. Jenis China (berasal dari China)

Pertumbuhan ulatnya cepat dan agak tahan terhadap suhu yang tinggi

tetapi lemah terhadap keadaan lembab. Bentuk kokonnya bulat atau

lonjong, berwarna putih, kuning atau hijau, seratnya panjang dan halus,

serta daya gulungnya baik. Ada yang univoltine, bivoltine dan ada pula

yang polivoltine dan beberapa yang three molters (mengalami tiga kali

pergantian kulit).

3. Jenis Eropa (berasal dari Eropa, Asia Tengah dan Rusia)

Ukuran telurnya agak besar, masa ulatnya lama terutama pada instar lima.

Tubuh ulatnya besar tetapi lemah terhadap suhu dan kelembaban yang

tinggi. Ukuran kokonnya besar dan sedikit berlekuk, berwarna putih, hijau

atau merah, serta kokonnya halus dan panjang. Semua jenis ini termasuk

univoltine.

5

Page 6: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

4. Jenis India (berasal dari India dan Asia Tenggara)

Ulatnya tahan terhadap suhu dan kelembaban yang tinggi. Ukuran ulat dan

kokonnya kecil. Bentuk kokonnya lonjong atau bukat telur berwarna

hijau, kuning atau putih bersih dan berbulu. Serat kokonnya halus dan

presentase kulit kokonnya kecil. Umumnya jenis ini polivoltine.

Pembagian jenis ulatsutera berdasarkan bentuk persilangannya dibedakan atas:

1. A x B : F1 atau hybrid tunggal (kedua induknya ras asli)

2. A x (B x C) : triple hybrid (ras asli x F1 hibrid)

3. (A x B) x (C x D) : doubel hybrid (kedua induknya dari F1 hibrid yang

berbeda)

4. (A x B) x (A x B) : F2 hibrid (ke dua induknya berasal dari F1 hibrid yang

sama).

B. Biologi Ulat Sutera

Ulatsutera (Bombix mori L.) dalam siklus hidupnya mengalami

metamorphosis sempurna (holometabola) yang perkembangannya dimulai dari telur,

larva, pupa dan akhirnya menjadi kupu-kupu (Omura, 1967).

1. Telur

Telur ulatsutera berbentuk pipih dan bulat lonjong yang diselubungi oleh korion

yang keras, lebarnya 1 m, panjangnya 1,3 mm dan tebalnya 0,5 mm serta beratnya o,5

mg. Ukuran beratnya sesuai dengan ras dan lingkungannya. Telur yang baru saja

diletakkan induknya berwarna putih kekuningan atau putih susu mengkilat. Telur

yang mengalami hibernasi, dua atau tiga hari kemudian akan berubah menjadi merah

kecoklatan dan baru menetas pada musim semi berikutnya, sedangkan pada telur non

hibernasi tidak mengalami perubahan warna dan menetas 10 hari masa inkubasi pada

suhu 250C dan kelembabannya 80% (Omura, 1980).

6

Page 7: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

2. Larva

Larva ulatsutera terdiri dari lima instar. Instar I sampai III dikategorikan ulat kecil

dan instar IV sampai V dikategorikan ulat besar. Larva yang baru saja keluar dari

telur basah, berwarna coklat kehitaman, berambut kelihatan seperti semut di Jepang

disebut gisan dank ego. Larva instar pertama pada hari kedua setelah pemberian

makan pertama (hakitate), berubah warnanya menjadi putih dan menggugurkan

rambutnya (Omura, 1980), stadium larva lebih kurang 23 hari dengan perincian yang

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Stadium larva F1 hasil persilangan (hybrid) ulatsutera (Bombyx mori L) di

Jepang.

Instar Masa makan Masa tidur Stadium Ulat

(hari) (hari) (hari)

I 3,0 0,5 3,5

II 2,0 1,0 3,0

III 3,0 1,0 4,0

IV 4,0 1,5 5,5

V 7,0 0,0 7,0

sumber : Omura (1980)

Pada akhir perkembangan larva ulatsutera, yakni pada akhir instar V yang disebut

juga ulat matang, bobotnya dapat mencapai 10.000 kali dari larva instar I (kego). Ulat

matang ini akan segera mencari tempat untuk mengokon dengan ,memperlihatkan

perubahan antara lain: tubuhnya tembus cahaya (transparan), berwarna kekuning-

kuningan dan berhenti makan (Omura, 1967).

7

Page 8: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

3. Pupa

Ulat yang memintal kokonnya selama tiga hari kemudian setelah meminta

kokonnya ulat berubah menjadi pupa, selanjutnya 10 sampai 12 hari sejak mengokon,

pupa telah berubah menjadi ngengat (Omura, 1967).

Pupa betina mempunyai tanda-tanda yaitu tubuhnya besar sebab sudah berisi telur,

bagian ekornya agak bulat dan lebih berat daripada pupa jantan. Sedangkan pupa

jantan mempunyai tanda-tanda, yaitu tubuhnya relatif kecil dan bagian ekornya agak

lancip (Narasimhanna, 1988; Syamsijah dan kusumaputra, 1978). Narasimhanna

(1988) menjelaskan bahwa pada pupa jantan terdapat tanda “titik” pada ruas

kedelapan dari abdomen bagian ventralnya, sedangkan pupa betina pada bagian yang

sama terdapat tanda “silang”.

4. Ngengat

Ngengat keluar dari kokon setelah 10 sampai 12 hari mengokon, dengan cara

merusak jaringan kokon dengan cairan ludahnya (alkaline saliva) yang dikeluarkan

dari mulutnya (Omura, 1967).

Ngengat jantan dan kupu-kupu betina dapat dibedakan melalui ciri antara lain :

abdomen ngengat jantan lebih sempit/ramping dan memiliki satu titik yang

mengalami pengerasan (chitinous) yang terlihat pada abdomen bagian belakang

apabila ditekan, ngengat ini lebih aktif. Ngengat berukuran lebih besar, abdomennya

lebih berat dan terdapat dua ovipositor pada ujungnya dan kurang aktif bergerak.

Penelusuran ngengat dalam keadaan gelap akan dapat merangsang betina

mengeluarkan telurnya secara maksimal. Lama peneluran 8 jam dan lama berkopulasi

3 sampai 4 jam yang dapat mencegah adanya telur yang tidak dibuahi dan ngengat

betina dapat mengeluarkan telurnya secara maksimal (samsijah dan Kusumaputra,

1978). Menurut Narasimhanna (1988) lamanya ngengat berkopulasi supaya telurnya

fertile sebaiknya 4 sampai 5 jam. Pada keadaan yang demikian, ngengat betina dapat

meletakkan telurna sebanyak 400 sampai 500 butir.

8

Page 9: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

C. Ekologi Ulat Sutera

Pemeliharaan ulatsutera sangat erat hubungannya dengan factor lingkungan

seperti suhu dan kelembaban. Menurut Nazaruddin dan Nurcahyo (1992), suhu yang

ideal untuk npemeliharaan ulatsutera berkisar antara 200C sampai 300C dan suhu

seperti ini biasanya terdapat ditempat yang ketinggiannya 400 sampai 800 meter di

atas permukaan laut. Kelembaban udara yang ideal adalah 70 sampai 90 % dan dapat

dijumpai di daerah yang bercurah hujan berkisar 3000 sampai 4000 mm per tahun.

Curah hujan seperti itu berhubungan dengan kelangsungan hidup dan produktifitas

tanaman murbei.

Menurut Omura (1967), pemeliharaan ulatsutera yang terbaik adalah pada

suhu atmosfir sepanjang hari antara 200C sampai 26 0C apabila daun murbei yang

diberikan sebagai makanannya dan tidak tua. Suhu lebih dari 300C atau hujan, tidak

baik untuk pemeliharaan ulatsutera.

Pemberian makanan (pakan) ulatsutera berbeda untuk setiap instar, baik

banyaknya maupun cara pemberiannya. Pada Tabel 2 terlihat posisi daun, ukuran

rajangan dan banyaknya daun yang diberikan serta luas wadah tempat pemeliharaan

pada instar-instar ulatsutera.

9

Page 10: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

Tabel 2. Posisi daun, ukuran rajangan dan banyaknya daun murbei untuk pakan serta

luas wadah tempat pemeliharaan ulatsutera (Bombyx mori L.).

Posisi daun Ukuran rajangan Banyaknya Luas wadah tempatInstar dari pucuk daun (cm) daun pemeliharaan

(kg/boks) (m2/boks)

I daun IV – V 0,5 – 1 2 1II daun VI – VII 1,5 – 2 5 2III daun VIII – IX 3 – 5 30 5IV semua daun, utuh

dengan rantingnya – 100 9V semua daun, utuh

dengan rantingnya – 700 16 – 18

Keterangan : Banyaknya ulat atau telur per boks = 20.000Sumber : Nazaruddin dan Nurcahyo, 1992.

D. Pakan Ulat Sutera

Makanan utama ulatsutera adalah daun Murbei (Morus spp). Daun murbei

yang cocok dengan pertumbuhan ulatsutera terdiri dari zat-zat kimia yang diperlukan

oleh tubuh ulatsutera, mengandung zat lemak dalam jumlah cukup dan untuk

pertumbuhan ulatsutera yang baik diperlukan daun murbei yang sesuai dengan

kebutuhan pada setiap stadium atau instar (Krishnawami, 1973).

Untuk mendapatkan ulat yang sehat sehingga menghasilkan kokon yang

banyak, pada saat stadia ulat kecil perlu diberika makanan yang baik mutunya. Ulat

kecil membutuhkan daun yang lunak yaitu daun yang tumbuh dibagian pucuk cabang.

Jadi daun yang dibutuhkan hanya sebagian kecil saja yaitu ± 10 – 15 % dari luas

kebun yang disediakan untuk ulat besar. Maka untuk efisiensi waktu serta kemudahan

dalam pemeliharaankebun sebaiknya dibuat kebun khusus untuk ulat kecil

(NAsaruddin dan Nurcahyo, 1992).

10

Page 11: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

Pada stadia ulat besar membutukan daun yang lebih banyak dibandingkan saat

ulat kecil. Ulat besar membutuhkan makanan yang banyak untuk pembentukan serat

sutera dalam tubuhnya. Jumlah daun yang cukup serta mutu yang baik menjamin

hasil kokon yang tinggi. Pada dasarnya kebun untuk ulat besar bertujuan untuk

meningkatkan produksi kokon dan memperbaiki kualitas filamen kokon (Anonim,

1983 dalam Arif, 1994).

Samsijah dan Kusumaputra (1979) menyatakan bahwa, M. alba mempunyai

kadar protein tinggi pada daun muda 18,66 %, dan daun tua (17,59 %) dibanding

dengan jenis lain, sedangkan kandungan karbohidrat tertinggi terdapat pada M.

cathayana yaitu 56,18 % pada daun muda dan 63,14 % pada daun tua. Pemberian

pakan M. alba kepada ulat kecil dan M. multicaulis terhadap ulat besar memberikan

rendemen pemeliharaan tertinggi dan mutu kokon yang cukup baik.

Pengamatan Nurdin (1980), terhadap rendemen dan mutu kokon bibit F1

(Kinshu x Showa), yang diimpor di Soppeng, Sulawesi Selatan, ternyata bahwa

pemberian makan empat kali sehari, menghasilkan berat kokon 1,89 gram, berat kulit

kokon 0,48 gram dan rendemen 96,58 %. Sedangkan dengan pemberian pakan dua

kali sehari juga menghasilkan rendemen pemeliharaan yang cukup rendah, yaitu

86,58 % karena daun yang tersisa layu, menjadi sampah sehingga penyakit mudah

timbul.

Pemberian pakan M. multicaulis, M. alba, M. chatayana dan M. nigra pada

(F1) dari ras Bili-bili Jepang (BN) dan ras Bili-bili China (BC) tidak berpengaruh

nyata terhadap mortalitas larva, bobot kokon, maupun presentase kulit kokon, namun

ternyata M. multicaulis dan M. alba mempengaruhi mutu serat, yaitu menghasilkan

serat kokon yang panjang masing-masing 1.172,33 m dan 1.125,30 m (Atmosoedarjo,

dkk., 2000).

11

Page 12: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

E. Persilangan Ulatsutera

Hibrid ulatsutera merupakan hasil persilangan dari induk-induk yang baik,

kuat dan petumbuhan cepat serta produksi kokonnya tinggi. Jenis yang paling populer

untuk pemeliharaan komersil adalah jenis bivoltine (Anonim, 1983).

Secara turun temurun yang terdapat di dalam genetik ialah pemindahan sifat

atau karakter suatu generasi ke generasi berikutnya, dan karakter tersebut meliputi

karakter morfologis, karakter fisiologis dan karakter psikologis (Yatim, 1986). Pada

ulatsutera ada dua karakter yang dapat diperhatikan, yaitu karakter morfologis dan

karakter ekologis. Yang dimaksud karakter morfologis ulatsutera adalah : warna telur

dan ukurannya, corak tubuh ulat, warna dan ukurannya, bentuk kokon, warna kokon,

ukuran dan bobot kokon. Karakter ekologis ulatsutera antara lain : diapauses telur,

umur ulat, banyaknya pergantian kulit, kualitas kokon dan kualitas serat suteranya

(Anonim, 1972).

Persilangan ulatsutera dimaksudkan untuk memanipulasi gen-gen pada

populasi dalam upaya memperbaiki kandungan dan kuantitas sutera yang mengisolasi

starin-strain yang mempunyai kemampuan komersil (Omura, 1980).

Dewasa ini ada tiga ras yang menjadi ras utama sebagai bahan persilangan

untuk menghasilkan generasi F1 yang lebih unggul, yaitu Ras Jepang, Ras China dan

Ras Eropa atau Ras Rusia. Geneasi F1 dari ras-ras tersebut lebih baik dari pada

generasi F2nya (Omura, 1980).

Hibrid ulatsutera dari generasi F1 umumnya mempunyai sifat yang lebih tahan

pada lingkungan yang buruk, lebih seragam penetasannya, lebih aktif bertumbuh,

ukuran seratnya lebih besar dan kualitas serta bentuk kokonnya lebih seragam dari

pada induknya. Gejala ini disebut hybrid vigor atau heterosis (Anonim, 1972).

Beberapa metode yang umum digunakan untuk persilangan ulatsutera

(Anonim, 1972), yaitu:

a. Metode pemisahan galur murni

b. Metode ekstraksi galur yang unggul.

12

Page 13: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

c. Metode untuk pengujian daya gulung sebutir kokon dari pupa yang tetap

bertahan hidup (Survival).

d. Metode mutasi.

F. Penanganan Pasca Panen

1. Pemanenan Kokon

Kaomini dan Sampe (1988), menyatakan bahwa pemanenan kokon

merupakan kegiatana pasca panen pertama dalam persuteraan alam, yaitu mengambil

kokon dari bingkai tempat kokon. Waktu pemanenan kokon ini adalah hari ke-7 atau

hari ke-8 setelah ulat mulai mengokon. Keterlambatan pemanenan kokon akan

menyebabkan penurunan mutu dan kemungkinan timbulnya kerusakan pada kokon

makin tinggi.

Pemanenan kokon dapat dilakukan dengan mengambil kokon dari tempat

pengokonan. Kokon diperiksa dengan melihat dari arah melawan cahaya, kokon

dengan ulat sutera yang mati dan kotor dibuang. Bila digunakan tempat pengokonan

berombak , alat ini diratakan dengan cara dibentangkan. Kokon yangmati dan berkulit

tipis dibuang. Juga bisa dipanen dengan alat pemanenan kokon yang dijalankan

dengan kaki atau motor listrik (Atmosoedarjo, dkk., 2000).

Penggunaan tempat yang kedap udara seperti halnya plastik akan menyebabkan

kokon lembab dan hal ini memudahkan bakteri dan cendawan hidup dan merusak

kokon. Cara pemanenan dan pengumpulan kokon, juga memberikan kemudahan bagi

pelaksanaan kegiatan selanjutnya, terutama bila kokon pemeliharaan ulat sutera

hendak diolah menjadi benang sutera atau akan dipasarkan (Guntoro, 1994).

2. Membersihkan Kokon

Kokon yang telah dipanen masih diselimuti serabut serat sutera (floss) yang

apabila dibiarkan akan mengabsorbsi air dari udara dan menurunkan mutu kokon.

Kokon juga dapat menyangkut satu sama lain, sehingga menyulitkan penanganannya.

Untuk keperluan tersebut dipergunakan alat pembersih serabut kokon dapat

13

Page 14: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

digerakkan dengan tangan, kaki, atau dengan motor listrik (Atmosoedarjo, dkk.,

2000).

Kaomini dan Sampe (1988), menyatakan bahwa untuk mendapatkan hasil

kokon yang benar-benar siap olah atau dipasarkan, maka perlu dilakukan

pembersihan kokon. Cara sederhana dalam pmbersihan kokon adalah dengan

membuang serabut-serabut sutera yang membungkus kokon dengan menggunakan

tangan. Dikatakan juga bahwa cara membersihkan kokon dengan tangan akan

menghasilkan kokon yang benar-benar bersih. Kelemahan cara ini adalah kapasitas

pembersihan yang rendah yakni hanya 8 – 10 kg/jam untuk seorang pekerja yang

terlatih.

3. Pengeringan Kokon

Pengeringan kokon bertujuan untuk mematikan pupa yang ada di dalam agar

tidak berubah menjadi ngengat (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Mengurangi berat kokon menjadi sekitar 40 % dari berat kokon basah (fresh cocoon)

dengan demikian kokon tidak mudah rusak dalam penyimpanan sebelum dipintal

(Sunanto, 1997).

Pengeringan kokon dapat dilakukan secara convensional dan inconvensional.

Secara convensional yaitu dijemur di bawah terik matahari secara bertingakt selama 3

hari dan setiap hari pengeringan dilakukan sekitar 1,5 jam, sedangkan pengeringan

secara inconvensional ada beberapa cara antara lain: a) dengan uap air yaitu kokon

ditempatkan kukusan yang berisi air yang dididihkan dan dibiarkan selama beberapa

jamterpanas oleh uap air sehingga pupa dalam kokon mati atau kokon ditempatkan

dalam ruangan yang uap airnya diperoleh dari sebuah ketel uap yang dialirkan dari

bawah ruangan penguapan, suhu di dalam ruangan sekitar 750C sehingga pupa mati,

setelah pupa-pupanya mati kokon dikeringkan dalam ruangan pengeringan; b) dengan

udara panas yaitu dengan menggunakan alat sederhana atau menggunakan mesin

iseisha cocoon dryer (Sunanto, 1997).

14

Page 15: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

4. Seleksi Kokon

Seleksi kokon dimaksudkan untuk memisahkan antara kokon yang baik untuk

dipintal dan kokon yang jelek yang tidak dapat dipintal, seleksi kokon sangat

menentukan benang. Kokon baik adalah kokon tunggal dan bersih, tidak cacat dan

dapat dipintal, sdangkan kokon yang jelek adalah kokon yang belubang, kokon

ganda, kokon tergencet, kokon bernoda dalam, kokon bernoda luar, kokon berujung

tipis, kokon berkulit tipis, kokon berserabut, kokon berlapis ganda (kokon isi dua

pupa), kokon yang tipis bagian tengahnya, kokon yang abnormal dan keseluruhan

kumpulan kokon akan dinilai rendah. Untuk mencegah kerugian ini, kokon harus

diseleksi dengan seksama. Kokon yang rusak atau afkir sebaiknya dibuat serabut

sutera (Atmosoedarjo, dkk, 2000). Menurut Pannengpent (1972), cara pemisahan

kokon yang lain ialah berdasarkan ukuran kokon. Cara ini digunakan kokon yang

berukuran tidak rata. Pemilihan kokon umumnya menggunakan alat pemilihan kokon

(cocoon selector).

G. Pemasakan Kokon dan Proses Reeling

1. Pemasakan Kokon

Kokon dimasak (direbus) dengan tujuan untuk melepaskan filament kokon

yang direkatkan oleh serisin, dengan jalan memasak kokon dengan air panas, atau uap

air panas sehingga kulit kokon mengembang, menjadi lunak dan memungkinkan

filament sutera diurai dan digulung pada reel tanpa menjadi kusut atau putus.

Pemasakan kokon terdiri dari pemasakan awal, pemasakan utama, dan

pemasakan akhir (perendaman, penguapan, dan penyerapan akhir). Pemasakan

pendahuluan bertujuan untuk meresapkan air secara merata kepada kulit kokon.

Proses pemasakan utama bertujuan untuk pengembangan kokonnya dan serisin pada

kulit kokon, dengan pemanasan dan bersamaan dengan itu, menggantikan udara

dengan kokon dengan uap. Tujuan dari pemasakan akhir adalah untuk mengatur

15

Page 16: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

pengembangan serisin dan mengganti uap dalam ruangan kokon dengan air panas,

sehingga bentuk kokon tidak ringset (Atmosoedarjo, dkk., 2000).

2. Mesin Pemasak Kokon

Mesin pemasak kokon terdiri dari empat bagian pemosresan

yaitu:perendaman, pemasakan uap, penyesuaian, dan penyempurnaan. Proses

penguapan dilaksanakan di dalam tiga tahap yaitu: sirkulasi uap fase pertama,

sirkulasi uap fase ke dua dan pengeluaran udara. Dengan cara seperti ini dapat

dihindari pemasakan yang kuarng merata dan dapat mengurangi pada pekerjaan

pembetulan filament yang putus pada waktu diproses dari mesin reeling otomatis.

Kapasitas mesin pemasak kokon berkisar antara 20 – 600 kg kokon per 8 jam,

dilengkapi dengan 43 keranjang kokon, berukuran 600 x 200 x 50 cm, terbuat dari

stainless stell (Atmosoedarjo, dkk., 2000).

Mesin pemasak kokon melintang otomatis memiliki kemampuan untuk

menyerap air panas yang tinggi. Hal ini disebabkan adanya bagian alat pemasak yang

dapat digerakkan secara otomatis dengan arah melintang, dengan bantuan rantai yang

terdapat di atas dan di bawah tangkai pemasak kokon. Mesin ini memiliki kapasitas

pemasakan yang besar, disamping kemudahan dalam penanganan perlakuan

perebusan kokon (Sugiarto, 1980).

3. Pemintalan Benang Sutera

Pemintalan adalah suatu proses melepas satu atau lebih filament sutera dari

kokon dan menyatukannya menjadi sehelai benang (sutera mentah atau dupion) dari

panjang yang diinginkan dan ukuran tertentu (Sugiarto, 1980). Jumlah filament kokon

yang disatukan tergantung dari denier sutera yang dimaksud dan denier filament

kokon segar yang dipergunakan. Sebuah kokon yang dpintal dapat menghasilkan

panjang filamen diatas 1000 m tergantung pada jenisnya (Tazima, 1978).

16

Page 17: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

Pemintalan bertujuan menghasilkan benang sutera setengah jadi. Pemintalan

dapat menggunakan alat pintal tradisional (alat pintal kaki dan alat pintal tangan),

semi otomatis dan otomatis. Kualitas benang sutera yang dihasilkan berbanding lurus

dengan kualitas alat pintal yang dipakai, operator mesin pintal dan kesadahan air yang

digunakan. Biasanya ditingkan petani atau pengrajin kecil dipakai alat pintal

tradisional dengan atau tanpa modifikasi sedang ditingkan pengusaha benang dipakai

alat semiotomatis dan atau otomatis tergantung skala usahanya (Departemen

Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Alat pintal semiotomatis adalah alat pintal dimana pada alat ini sudah terdapat

denier detector (alat pengontrol ketebalan benang) sehingga ketebalan benang sangat

terjaga selama pemintalan benang berlangsung. Alat ini dalam pengoperasiannya

sebagian besar digerakkan oleh mesin (Byong-Ho, 1989). Pemintalan multi-ends

memiliki kecepatan pemintalan berkisar 50 – 100 m/detik dan suhu air pemintalan 300

– 500C (Sugiarto, 1980). Sedang Omura (1980) dalam Nuraeni (1993) menyebutkan

bahwa, dalam penentuan-penentuan kecepatan pintal optimum selain kapasitas

produksi per jam, harus pula diperhatikan tingkat keteruraian serat sutera.

H. Penggulungan Kembali (Re-reeling)

Proses re-reeling adalah proses pemindahan benang sutera yang sudah dipintal

dari reel dengan keliling yang lebih kecil ke reel yang lebih besar (keliling = 1,5

meter), untuk membuat untaian benang sutera dengan panjang, lebar dan berat sesuai

standar. Juga untuk menuruk menurunkan tegangan yang ada pada reel kecil

(Atmosoedarjo, dkk., 2000).

Prinsip re-reeling adalah mengatur panjang benang yang akan dibuat ukel, dan

mengeringkan benang. Benang sutera yang telah dipintal kembali siap untuk

disimpan atau dipasarkan. Pada umumnya setiap ukel berbobot 40 g benang sutera

mentah (Pannengpet, 1972).

17

Page 18: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

I. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Kokon

Banyak faktor yang mempengaruhi penurunan produksi kokon belakangan

ini, antara lain menurunnya mutu bibit. Kualitas bibit itu sendiri tergantung beberapa

hal diantaranya teknik pemeliharaan, kualitas dan kuantitas pakan dan pencegahan

penyakit. Sampai saat ini masalah mutu bibit menduduki peringkat paling atas dari

tuntutan perbaikan yang diinginkan petani sutera (Budisantoso, 2001).

Nasaruddin dan Nurcahyo (1992) menyatakan bahwa, pemindahan ulat ke

tempat pengokonan sebaiknya dilakukan tepat pada saat ulat akan mengokon. Ulat

yang dipindahkan terlalu awal ke tempat pengokonan akan mengganggu ulat lain

yang sudah mengokon, karena ulat yang belum siap mengokon ini hanya akan

berjalan kesana kemari. Sedangkan pemindahan yang terlalu lambat akan

menghasilkan kokon yang tidak sempurna atau kecil-kecil karena sutera dalam

tubuhnya tinggal sedikit. Menurut Atmoseodarjo, dkk., (2000), bila pengokonan

dilakukan pada saat belum matang atau saat lewat matang maka daya pintal

(mudahnya filament kokon terurai pada saat pemintalan) menjadi kurang dan panjang

filament yang didapat akan berkurang juga. Selain itu ulat sutera yang kelewat

matang cenderung membuat kokon rangkap (kokon yang dibuat oleh dua ulat).

Pada waktu di tempat pengokonan ulat sutera mula-mula mulai berputar

mencari tempat pengokon yang baik, kemudian menetap pada tempat yang telah

dipilihnya, beberapa waktu kemudian ulat akan membuat lapisan kokon tipis-tipis.

Meskipun gerakan berputar-putar berlanjut tanpa berhenti, akan tetapi bila ulat sutera

bergantung atau terkena perubahan-perubahan lingkungan yang mendadak kadang-

kadang akan berhenti berputar, yang dapat menyebabkan daya pintal kokon menjadi

rendah. Materi dan struktur tempat pengokonan juga sangat berpengaruh terhadap

kualitas kokon dan filament, persyaratan utama tempat pengokonan adalah sebagai

berikut: kekuatan struktur cocok untuk mengokong, mampu mengontrol kelembaban,

18

Page 19: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

member kemudahan untuk memperlakukan ulat pada waktu mengokong dan

kemudahan dalam panen kokon (Atmosoedarjo, dkk., 2000).

Budisantoso (1997), memberikan contoh alat pengokonan mukade (daun

kelapa kering) dan rotary dari karton member hasil yang baik untuk semua parameter

mutu sutera yang diamati, yaitu panjang serat, daya gulug dan rendamen serat. Untuk

alat pengokonan rotary masing-masing diperoleh 940,96 m, 77,69 % dan 19,36 %

sedangkan alat untuk pengokonan mukade 902,75 m, 75,73 % dan 19,36 %.

Kondisi iklim seperti suhu, kelembaban, arus udara dan sebagainya selama

pengokonan berpengauh pada kualitas filament kokon terutama pada kulitas

pemintalan. Sebaiknya ulat sutera yang sedang mengokon mendapat perlakuan

sebagai berikut: suhu 23 – 25 oC, kelembaban 60 – 75 %, sirkulasi udara 0,2 – 1

m/detik dan cahaya remang-remang dengan intensitas 10 – 20 lux. Akan tetapi di

daerah tropic kadang-kadang sukar untuk mempertahankan kisaran suhu ini.

(Atmosoedarjo, dkk., 2000).

Pengendalian lngkungan selama pengokonan merupakan hal yang penting

untuk mendapatkan filament kokon selama ulat berputar-putar. Masa ini mencakup

waktu paling lama 70 jam pada suhu 23oC, 60 jam pada suhu 23oC dan 50 jam pada

suhu 28oC sesudah memulai pengokonan. Selanjutnya yaitu bagian kedua dari masa

ini, mempunyai pengaruh khusus terhadap kualitas filament, karena itu sesudah

sampah dibuang sampai berakhir waktu berputar-putar suhu ruangan perlu

dipetahankan pada suhu 23 – 25oC dan ruangannya perlu tetap dalam keadaan kering,

dengan mengusahakan ventilasi yag baik. (Atmosoedarjo, dkk., 2000).

Kokon yang reelabilitasnya baik dan kesehatan ulat terpelihara dapat diproleh

jika kondisi agroklimat yang sesuai, aeresi yang baik, teknik pemeliharaan yaitu

pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan ulat kelembaban udara antara 60 –

70 % tidak akan mengurangi kualitas kokon, tetapi bila mencapai hingga 90 % maka

19

Page 20: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

reelabilitas kokon menjadi kurang baik dan kualitas serat sutera dari kokon tersebut

juga rendah. (Katsumata, 1964).

Kesehatan ulat besar juga harus dijaga dengan baik agar dapat diperoleh

kokon yang baik. Kesehatan ulat dapat dijaga dengan dengan perlakuan desinfeksi

dengan menggunakn kaporit 10 yaitu campuran 10 % bagian kaporit dengan 90 %

bagian kapur. Juga jika suhu dan kelembaban memenuhi kebutuhan maka, nafsu

makan ulat besar akan menurun sehingga rentan terhadap penyakit, ukuran kokon

yang dihsilkan kecil dan kadar suteranya rendah.

Kokon yang berkualitas rendah akan berpengaruh sangat besar terhadap daya

gulung, rendamen serat dan panjang serat, di bawah ini akan diuraikan faktor-faktor

penyebabnya:

1. Daya gulung, faktor penyebab rendah tidaknya daya gulung adalah:

a. Ras ulat sutera; daya gulung dari ras yang baik daya gulung berkisar 90 %.

(Choe, 1965).

b. Lingkungan pemeliharaan; daya gulung lebih banyak dipengaruhi oleh

lingkungan pemeliharaan terutama iklim; temperature dan kelembaban.

(Khishnaswami, 1973):

1. Penyebab rendahnya daya gulung adalah perubahan temperature dan

kelembaban yang mendadak terutama pada saat ulat bergati kulit dan pada

saat perubahan ulat menjadi pupa. (Tanaka, 1964).

2. Tingkat kekeringan kokon. (Pennengpet, 1972).

3. Temperature dan kelembaban dalam ruang pengeringan. (Khishnaswami,

1973).

4. Lama penyimpanan kokon, penyimpanan kokon yang terlalu lama akan

menyebabkan kokon berjamur sehingga menyebabkan turunya daya

gulung.

2. Rendemen serat, faktor yang mempengaruhi rendemen serat adalah:

20

Page 21: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

a. Ras ulatsutera; ras ulatsutera yang sudah beradaptasi mempunyai rendemen

serat yang lebih baik dibandingkan hasil pesilangan yang baru (KOvalev

dalam Fauzie, 1993).

b. Temperature dan kelembaban, utamannya tingkat kekeringan kokon,

temperature dan kelembaban dalam ruangan pengeringan.

c. Lama pengeringan dan penyimpan kokon.

d. Iklim; di Korea, rendemen berkisar antara 15 – 18 % pada waktu musim semi

dan musim gugur (Choe, 1969). Musim pemeliharaan dan kondisi waktu

panen mempengaruhi rendemen serat (Omura, 1980).

3. Panjang serat, faktor yang mempengaruhi panjang serat adalah:

a. Iklim; iklim di suatu wilayah mempengaruhi panjang serat yang dihasilkan

ulasutera, di Korea panjang serat umumnya berkisar antara 800 – 1000 m pada

musim semi dan 600 – 900 pada musim panas dan musim gugur (Choe,

1969).

b. Ras ulatsutera; ras juga mempengaruhi panjang serat yang dhasilkan (kaomini

dan Sampe, 1988).

J. Mutu Kelas Kokon

Mutu suatu hasil produksi adalah tolak ukur dari hasil itu sendiri dimana

mampu membantu mempertahankan, mengangkat atau bahkan menjatuhkan produksi

dalam persaingan di pasar bebas (Sunanto, 1997). Mutu tidak saja penting bagi para

konsumen, tetapi juga untuk pedagang perantara dan terutama untuk produsen

(Mizuno, 1994).

Mutu kokon sangat beragam dalam transaksi perdagangan kadang-kadang

menyebabkan harga yang dibayarkan oleh konsumen atau yang diterima oleh

produsen tidak seperti yang diharapkan. Bagi konsumen mutu kokon yang diharapkan

adalah kokon yang baik secara visual maupun laboratorium yaitu kokon besar, keras,

daya gulung baik dan rendemen tinggi (Budisantoso, 1997).

21

Page 22: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

Omura (1981) dan Byung Ho (1980) menyatakan bahwa, klasifikasi mutu

kokon dibagi ke dalam lima kelas yaitu excellent, 1, 2, 3 dan 4, parameter yang diuji

untuk menentukan kelas kokon meliputi persentase kokon cacat, panjang serat, daya

gulung, ketebalan serat dan rendemen serat, dari beberapa parameter tersebut hanya

panjang serat dan daya gulung yang menentukan kokon tersebut masuk dalam kelas 1

atau 2 dan seterusnya. Menurut Budisantoso (1997), untuk menilai mutu kokon baik

atau tidak maka perlu dibuat suatu standar dengan parameter yang dapat diuji dan

mencerminkan kualitas kokon baik secara visual maupun uji laboratorium.

Penentuan mutu kokon ke dalam kelas mutu adalah dengan mengkombinasikan

hasil pengujian visual dan laboratorium. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

Tabel 1 – 5 berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Kelas Kokon (Budisantoso, 1997).

Kelas

(Grade)

Excellent

(amat baik)

First

(1)

Second

(2)

Third

(3)

Fourth

(4)

Nilai Total 91.5 90.50 – 91.0 89.0 – 90.0 87.0 – 88.5 87.5

Tabel 2. Klasifikasi Kokon Berdasarkan Berat Kokon (Budisantoso, 1997)

No. Berat Kokon (gram)

(cocoon weight)

Kelas

(Class)

1

2

3

4

≥ 2

1.5 – 1.9

1 – 1.4

≤ 0.9

A

B

C

D

Tabel 2 terlihat bahwa, klasifikasi berat kokon berada di antara 0.9 – 2 gram.

Apabila berat kokon mencapai 2 gram atau lebih maka kokon yang diuji termasuk

kelas A.

22

Page 23: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

23

Page 24: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

Tabel 3. Klasifikasi Kokon Berdasarkan Persentase Kulit Kokon (Budisantoso, 1997).

No. Kulit Kokon (%)

(cocoon shell)

Kelas

(Class)

1

2

3

4

≥ 25

20 – 24.9

15 – 19.9

≤ 14.9

A

B

C

D

Tabel 3 terlihat bahwa kokon dengan kulit kokon ≤ 14.9 % masuk ke dalam

kelas D.

Tabel 4. Klasifikasi Nilai Panjang Serat (Budisantoso, 1997).

Panjang

Serat

<

890

891 –

960

961 –

1030

1031 –

1100

1101 –

1170

1171 –

1240

1241 –

1370

1271 –

1380

1381 –

14501451

Nilai 38.0 38.5 39.0 39.5 40.0 40.5 41.0 41.5 42.0 42.5

Tabel 4 diuraikan bahwa, apabila panjang serat kokon yang diuji < 850 m

maka kokon tersebut mmpunyai nilai 38.0 begitu pula apabila panjang seratnya antara

891 – 960 m maka nilainya 38.5 dan seterusnya.

Tabel 5. Klasifikasi Nilai Daya Gulung (Budisantoso, 1997).

Daya

Gulung< 43 44 -50 51 - 57 58 - 63 64 - 68 69 - 73 74 - 78 79 - 82 83 – 86 < 87

Nilai 38.0 38.5 39.0 39.5 40.0 40.5 41.0 41.5 42.0 42.5

Tabel 5 diklasifikasikan daya gulung kokon ke dalam nilai – nilai. Apabila

kokon yang diuji mempunyai daya gulung 43 % atau kurang, maka kokon tersebut

mempunyai nilai 47,0 dan seterusnya. Untuk menentukan termasuk dalam kelas

beberapa kokon yang diuji maka nilai pada Tabel 4 dan 5 dijumlahkan sehingga akan

didapat total nilai dan kemudian dibandingkan dengan table kelas mutu kokon yang

tersaji pada Tabel 1.

24

Page 25: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan bulan Februari

2011 dengan lokasi pengambilan sampel di Desa Sering Kecamatan Donri-donri,

Kabupaten Soppeng dan pengujian kualitas serat dilaksanakan di Balai Persuteraan

Alam di Desa Bili-bili, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Propinsi

Sulawesi Selatan.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain:

1. Mesin Pemintal semi otomatis yang dilengkapi dengan alat Kounter dan Haspel

2. Panic perebusan kokon

3. Timbangan digital

4. Label

5. Gunting

6. Cutter

7. Kompor minyak tanah

8. Kamera digital

9. Sikat

10. Sendok berlubang

11. Kalkulator

12. Alat tulis menulis

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah:

1. Kokon jenis Polivoltine

2. Kantong kokon yang terbuat dari kasa

3. Air

25

Page 26: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

C. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu:

1. Kokon yang telah dipanen dari petani, diseleksi dengan memisahkan antara

kokon yang baik dan kokon yang jelek. Dari hasil seleksi diambil kokon yang

baik, selanjutnya ditimbang.

2. Kokon yang telah diseleksi dimasukkan ke dalam oven samapi pupanya mati.

3. Kokon yang telah dioven di masukkan ke dalam kantong sampel yang telah

diberi label, satu kantong sampel berisi 100 butir kokon.

4. Memanaskan air hingga mendidih dalam panic perebusan dengan temperature

95 – 980C. selanjutnya kokon di masukkan ke dalam air mendidih tersebut,

agar perebusan dapat merata, kokon diaduk dengan menggunakan sendok

berlubang sampai masaknya merata (± 15 menit).

5. Aduk dengan sikat halus agar lapisan sutera bagian luar terkelupas dan ujung-

ujung serat setiap kokon melekat pada sikat.

6. Gumpalan serat akibat penyikatan dipisahkan dan digunting dan ujung-ujung

dari serat untuk dipintal.

7. Kokon yang telah diperoleh ujung seratnya (siap dipintal) dipindahkan ke

dalam baskom yang berisi air panas dengan suhu 40 – 500C.

8. Ujung-ujung serat kokon sebanyak 10 butir ditarik dan disatukan membentuk

satu untaian filament kemudian dimasukkan ke dalam lubang mangkok

porselin.

9. Dari mangkok porselin, ditarik melalui rol penghantar kemudian dililitkan

sebanyak 8 – 20 lilitan sepanjang 1 inchi.

10. Selanjutnya, serat ditarik melalui rol prluncur berikunya dan langsung

dililitkan pada kincir penggulung (haspel) yang sebelumnya melewati

pengatur benang kemudian dipintal.

11. Setelah semua kokon terpintal lalu dicatat angka yang terdapat pada counter.

26

Page 27: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

12. Benang sutera hasil pintalan (reeling) selanjutnya direeling lagi membentuk

untaian lebih besar agar kadar airnya berkurang.

13. Tiap untaian benang diukel, didikat lalu ditimbang.

D. Variabel yang Diamati

1. Mutu Kokon

Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah:

1. Berat kokon segar (gram)

2. Berat kokon tanpa pupa (gram)

3. Persentase kulit kokon (%).

¿ Berat kokontanpa pupaBerat kokon segar

x 100 %

2. Mutu serat

1. Panjang serat (meter)

Panjang serat= Panjangbenang x jumlahrata−rata per benangJumlah kokon yangdipintal

- Panjang benang = panjang benang yang tergulung pada haspel.

- Jumlah kokon yang dipintal = jumlah kokon yang diuji – jumlah nilai

konversi I dari kokon sisa.

2. Daya gulung (%)

Daya gulung= Jumlahkokon yang dipintalJumlah kokon yang tercantumdi kounter

x100 %

3. Berat serat (gram)

Berat serat= Berat benang sebenarnyaJumlah kokon yang dipintal

- Jumlah kokon yang dipintal = jumlah kokon yang diuji – jumlah nilai

konversi II dari kokon sisa.

4. Persentasi Serat dan Rendemen Serat (%)

27

Page 28: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

Rendemen serat= Berat benang+berat benang kokonsisaBerat benangkokon yang diuji

x100 %

- Berat benan kokon sisa = berat serat x jumlah nilai konversi II dari kokon

sisa.

5. Berat serat (denier)

Berat serat=

Berat benangPanjang benang

x 9000

Jumlah rata−rata perbenang

Untuk nilai konversi dari kokon sisa dapat dilihat pada table 6.

Tabel 6. Nilai Konversi Kokon Sisa (Budisantoso. 1997)

No. Jenis Kokon SisaNilai Konversi

I II1 Utuh 1,00 1,002 Tebal 0,85 0,803 Sedang 0,37 0,284 Tipis 0,11 0,06

E. Analisis Data

Untuk mengetahui perbedaan rata-rata berat kokon segar, berat kokon tanpa

pupa, persentase kulit kokon, panjang serat, daya gulung, berat serat, rendamen serat,

berat serat dari dua ras tersebut digunakan uji beda sebagai berikut:

H0 : μ1 = μ2

H1 : μ ≠ μ2

Dengan statistik uji yang digunakan adalah satistik t:

t h=X1−X2

√(S¿¿12/n1)+(S22/n2)¿

1) Jika ragam kedua populasi sama digunakan statistik:

28

Page 29: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

t h=X1−X2

Sp√ 1n1

+ 1n2

;db=n1+n2−2

Sp=√ (n1−1 ) S12+(n2−1 ) S2

2

n1+n2−2

2) Jika ragam kedua populasi tidak sama digunakan statistik:

t h=X1−X2

( S12

n1

+S2

2

n2)

db=( S1

2

n1

+S2

2

n2)

2

( S1

n1)

2

n1−1+

( S2

n2)

2

n2−1

Keterangan:

X1 = rata-rata pengamatan ras China

X2 = rata-rata pengamatan bibit hybrid

S1 = simpangan baku dari hasil pengamatan ras China

S2 = simpangan baku dari hasil pangamatan bibit hybrid

n1 = jumlah pangamatan ras china

n2 = jumlah pengamatan bibit hybrid

Kaidah keputusan yang digunakan untuk taraf nyata α adalah sebagai berikut:

Jika –tl - ½ά < th < tl - ½ά, dimana tl - ½ά diperoleh dari distribusi t dengan db = (n1

+ n2 – 2) dan peluang (1 - ½ά) diputuskan terima H0 untuk harga t lainnya tolak H0.

Penolakan H0 berarti terdapat suatu perbedaan yang nyata dari rata-rata variable yang

diamati antara kedua ras.

29

Page 30: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

Budidaya murbai dapat ditinjau dari beberapa jenis tanaman murbei,

pemeliharaan areal tanam, Pengolahan Tanah, Pengadaan Stek Tanaman, Persiapan

Bedengan Atau Media Dalam Polybag, Persiapan Lahan, dan Penanaman Tanaman

Murbei. Dimana budidaya murbei dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Jenis Tanaman Murbei

Terdapat berbagai jenis tanaman murbei (Morus sp) di dunia, namun yang

dianggap unggul di Indonesia adalah sebagai berikut : untuk iklim/daerah panas yaitu

Morus cathayana, Morus khunpai, dan Morus lembang,untuk iklim/daerah sedang

yaitu Morus kanva, Morus kathayana dan Morusmulticaulis; sedangkan untuk

iklim/daerah dingin adalah Morus mufticaulis dan Morus kanva.

2) Pemilihan Areal Tanam

Pemilihan areal untuk penanaman murbei harus memperhatikan faktor iklim

suhu 21 - 300C, kelembaban rata-rata 60%, Transpirasi murbei sangat tinggi maka

dibutuhkan curah hujan rata-rata minimal 1500 mm per tahun. Ketinggian

tempat/tanah 700 m dpl, Jenis tanah adalah Latosol vulkanis/lnseptsol struktur

lempung berpasir pH sekitar 6,5. Lokasi pemeliharaan ulat dekat dengan kebun

murbei kemiringan 15 - 30% dan faktor lingkungan artinya tanaman murbei jauh dari

populasi dan bau racun obat-obatan pertanian.

3) Pengolahan Tanah

Sistem Cemplongan yaitu lubang tanaman di mana tanah hanya diolah pada

bagian yang akan ditanami saja. Kedalaman lubang antara 30 - 40 cm dengan lebar 30

cm. Sistem larikan yaitu pembuatan lubang dengan membuat guludan-guludan sesuai

baris tanaman.

30

Page 31: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

4) Pengadaan Stek Tanaman

Pemilihan stek sebaiknya diambil dari tanaman yang berumur di atas 1 tahun

dari cabang yang sehat, lurus dari cabang berumur 4 - 6 butan setelah dipangkas.

Diameter cabang kurang lebih 1 cm. Pengangkutan stek yang diambil dari lokasi yang

jauh perlu mendapat perhatian, yang harus dijaga adalah agar stek tadi tidak kering

selama perjalanan. Salah satu cara dengan jalan ditutup dengan karung basah.

Pengangkutan stek sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari agar tidak kering

dalam perjalanan.

Penyimpanan stek yang tidak langsung ditanam di lapangan sebaiknya di

tempat yang dingin dan lembab serta tidak terkena cahaya matahari langsung.

Pemotongan stek. Bahan stek dipotong sepanjang 20 - 2 cm dengan alat yang tajam

agar tidak pecah.

5) Persiapan Bedengan Atau Media Dalam Polybag

Bedengan dibuat dengan ukuran 100 - 125 cm, dicangkul dengan kedalaman

30 cm. Tanah yang telah gembur diberi pupuk kandang sekitar 2 kg dan 1 ons kapur

untuk setiap M2, selanjutnya diberi Furadan 25 gram dan diberi Hustatian 200 cc

dalam 10 liter air. Polybag yang digunakan berukuran lebar 15 cm dan panjang 25 - 3

cm, diisi dengan tanah yang gembur dicampur dengan pupuk kandang dan sedikit

kapur.

6) Persiapan Lahan

Setelah selama 3 bulan dalam persemaian atau polybag, maka bibit tanaman

sudah slap tanam di lapangan. Penanaman di lapangan dapat dilakukan dengan tiga

sistem yaitu : a. sistem lubang, b. sistem rorak dan c. sistem pengolahan tanah

keseluruhan

31

Page 32: PropoSaLQ MochaMMaD ReZHa QheouBarD FahLevie

7) Penanaman Tanaman Murbei

Waktu tanam yang tepat adalah awal atau pertengahan musim hujan kecuali pada

daerah yang terdapat fasilitas irigasi. Penanaman stek murbei seperti halnya tanaman

lain, stek ditancapkan miring 30 pada tempat yang sudah ditentukan sesuai dengan

jarak tanam. Bagian yang ditancapkan adalah 2/3 dari panjang stek. Jarak tanam

secara monokultur adalah 1,5 x 0,75 m ; 1,2 x 0,4m. Jika secara tumpangsari, jarak

tanamnya 1 x 0,75 m ; 2 x 0,6 m ; 3 x 0,5 m (tergantung jenis tanaman tumpang sari).

sekitar 40 – 60c. Temperatu kurang dari itu harus segera diganti dengan air yang

baru (Dephut, 1995).

32