proposal skripsi - unsuri · web view2018/02/03  · prinsip bagi hasil, di dalam perbankan syariah...

24
http://unsuri.ac.id/jurnal-fakultas-hukum- dan-sosial/ 109 Jurnal Legisia Vol.5, No.2 Juli 2015 AKAD PEMBIAYAAN DI BANK RAKYAT INDONESIA. CABANG SYARIAH SURABAYA (DITINJAU DARI HUKUM ISLAM) Oleh Rusmiyah dan Haniyah Prodi Hukum FH-UNSURI Surabaya Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis eksistensi hukum Islam terhadap akad pembiayaan di BRI Cabang Syariah Surabaya. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, pemecahan masalah menggunakan metode statute approach dan conseptual approach. Statute approach, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang dibahas. Sedangkan pendekatan secara conseptual approach, yaitu suatu pendekatan yang didasarkan pada pendapat para sarjana sebagai pendukung. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, berupa peraturan perundang-undangan dan Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yaitu literatur maupun karya ilmiah para pakar dan praktisi hukum. Analisa data menggunakan metode deduktif dimana analisa data ditekankan pada suatu hal yang sifatnya umum yaitu menganalisa data-data yang sifatnya masih umum (pasal-pasal yang ada dalam peraturan perundang-undangan) yang berlaku, untuk diterapkan pada suatu hal yang lebih khusus. Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Akad pembiayaan Bank Syariah pada umumnya merupakan penyediaan pembiayaan untuk jual-beli barang dengan menerbitkan surat utang dagang atau surat berharga lain berdasarkan harga yang telah disepakati terlebih dahulu. Hal ini berarti bahwa akad pembiayaan di BRI Cabang Syariah Surabaya kurang menerapkan prinsip-prinsip syariat Islam. PENDAHULUAN 109

Upload: others

Post on 10-Feb-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PROPOSAL SKRIPSI

PAGE

109 Jurnal Legisia Vol.5, No.2 Juli 2015

AKAD PEMBIAYAAN DI BANK RAKYAT INDONESIA.

CABANG SYARIAH SURABAYA (DITINJAU DARI HUKUM ISLAM)Oleh

Rusmiyah dan HaniyahProdi Hukum FH-UNSURI Surabaya

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis eksistensi hukum Islam terhadap akad pembiayaan di BRI Cabang Syariah Surabaya. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, pemecahan masalah menggunakan metode statute approach dan conseptual approach. Statute approach, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang dibahas. Sedangkan pendekatan secara conseptual approach, yaitu suatu pendekatan yang didasarkan pada pendapat para sarjana sebagai pendukung.

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, berupa peraturan perundang-undangan dan Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yaitu literatur maupun karya ilmiah para pakar dan praktisi hukum.

Analisa data menggunakan metode deduktif dimana analisa data ditekankan pada suatu hal yang sifatnya umum yaitu menganalisa data-data yang sifatnya masih umum (pasal-pasal yang ada dalam peraturan perundang-undangan) yang berlaku, untuk diterapkan pada suatu hal yang lebih khusus.

Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Akad pembiayaan Bank Syariah pada umumnya merupakan penyediaan pembiayaan untuk jual-beli barang dengan menerbitkan surat utang dagang atau surat berharga lain berdasarkan harga yang telah disepakati terlebih dahulu. Hal ini berarti bahwa akad pembiayaan di BRI Cabang Syariah Surabaya kurang menerapkan prinsip-prinsip syariat Islam.

PENDAHULUAN

Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru-baru ini mengeluarkan fatwa, yang isinya menyatakan bunga bank adalah riba dan hukumnya adalah haram, maka khususnya para nasabah yang beragama Islam mencari alternatif bank lain yang dalam menjalankan usahanya tidak menerapkan bunga. Bank yang dimaksud adalah Bank Syariah, yang memberikan modal tidak didasarkan pada perjanjian pemberian kredit, melainkan didasarkan pada akad pembiayaan.

Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah menurut Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disingkat UU No. 10 Tahun 1998), adalah: Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

Berdasarkan pengertian pembiayaan, maka hubungan antara bank dengan penerima modal pembiayaan/nasabah didasarkan atas kesepakatan, dengan mewajibkan pihak penerima modal pembiayaan/nasabah mengembalikan modal pembiayaan atau tagihan disertai dengan imbalan atau bagi hasil atas usaha yang dibiayai oleh bank tersebut.

Dibentuknya bank yang menjalankan Syariat Islam sebenarnya telah dimulai sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disingkat UU No. 7 Tahun 1992) kemudian diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998. Pada Pasal 6 huruf m dan Pasal 13 huruf c UU No. 7 Tahun 1992 tersurat adanya dasar dibentuknya bank berdasarkan Syariat Islam, yang menentukan bahwa: “Usaha Bank Umum meliputi: “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”. Pasal 13 huruf c UU No. 7 Tahun 1992 menentukan: “Usaha Bank Syariah meliputi: “Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.

UU No. 10 Tahun 1998 mengatur mengenai Bank syariah sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 13 UU No. 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Prinsip Syariah adalah: Aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan modal/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal ber-dasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disera dari pihak bank atau pihak lain (ijarah wa iqtina).

Hubungan antara Bank Syariah dengan nasabah pengguna modal pembiayaan tidak bedanya dengan hubungan antara bank konvensional dengan para nasabahnya. Mengenai hubungan antara Bank Syariah dengan penerima modal pembiayaan didasarkan atas perjanjian, sebagaimana dikemukakan oleh Munir Fuady sebagai berikut: Kebanyakan transaksi antara nasabah dengan bank sebelumnya didahului oleh adanya suatu perjanjian/kontrak antara bank dengan nasabah yang bersangkutan. Seringkali kontrak tersebut merupakan kontrak baku yang telah disediakan oleh bank yang bersangkutan. Konsekuensinya, ketentuan hukum perjanjian yang bersumber dari Buku ke-III KUH Perdata Indonesia berlaku juga terhadap transaksi-transaksi perbankan tersebut. (Munir Fuady ,1999)

Transaksi yang menandai adanya hubungan antara Bank Syariah dengan penerima modal pembiayaan dibuat dalam kontrak baku yang klausulanya yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh bank. Perjanjian yang dibuat secara baku bagi masing-masing pihak ada dampak positif dan negatifnya. Dampak positifnya yaitu memudahkan dalam bertransaksi, karena penerima modal pembiayaan tinggal membubuhi tanda tangan jika menyetujui klausula yang dibuat oleh bank. Di sisi lain dampak negatifnya perjanjian baku menjadikan penerima modal pembiayaan tidak bebas dalam menyetujui isi kontrak tersebut, sehingga memungkinkan penerima modal pembiayaan menderita kerugian akibat pelaksanaan perjanjian tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa Bank Syariah mengembangkan usahanya dengan memberikan Kredit Pemilikan Rumah, hal ini tentunya terjadi hubungan pinjam meminjam. Padahal dalam usaha Bank Syariah tidak mengenal adanya hubungan pemberian kredit.

Dari uraian latar belakang tersebut di atas dapat ditarik suatu permasalahan sebagai pembatasan dalam penelitian ini adalah berikut:

a. Bagaimana akad pembiayaan Bank Syariah pada umumnya ?

b. Bagaimana akad pembiayaan di BRI Cabang Syariah Surabaya ?

Tinjauan Tentang Bank Syariah

Dasar Hukum Bank Syariah

Eksistensi atau keberadaan bank syariah tidak terdapat ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tersendiri, melainkan masih diatur dalam UU Perbankan. Pasal 1 angka 12 UU Perbankan menyebut pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah sebagai berikut: Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

Ketentuan Pasal 1 angka 12 UU Perbankan mengatur mengenai pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yaitu penyediaan uang atau tagihan yang diselenggarakan oleh Bank Syariah pada penerima pembiayaan dengan mewajibkan untuk mengembalikan modal pembiayaan disertai dengan imbalan atau bagi hasil.

Kaitannya Bank dengan Prinsip Syariah, dijelaskan dalam Penjelasan UU Perbankan, bahwa “Undang-undang ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah”.

Mengenai Bank Syariah, dikemukakan oleh Muhammad Syafi`I, (2001) sebagai berikut: Sejak awal kelahiran, perbankan syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam modern: neorevivalis dan modern. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berdasarkan Al Qur`an dan As-Sunnah.

Oleh karena kelahiran Bank Syariah didasarkan atas Al Qur`an dan As-Sunnah, berarti dasar operasional dari Bank Syariah adalah berbeda dengan bank konvensional. Mengenai perbedaan pokoknya adalah terletak pada sistem operasionalnya, dijelaskan oleh Suhrawardi sebagai berikut: Bank konvensional sistem operasinya didasarkan kepada bunga. Orang yang menanamkan uangnya pada bank motifnya antara lain untuk mendapatkan bunga, sedangkan pada Bank Syariah pemilik modal menanamkan uangnya pada bank tidak untuk mendapatkan bunga, akan tetapi dalam rangka mendapatkan keuntungan dengan jalan bagi hasil. Modal yang ditanamkan oleh nasabah pada bank tersebut kemudian oleh bank disalurkan kepada mereka-mereka yang membutuhkan (sebagai modal dalam usaha). Penyaluran tersebut diadakan dengan perjanjian bahwa keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut akan dibagi sesuai kesepakatan (Suhrawardi, 2000).

Dengan demikian Bank Syariah yang memberikan modal tersebut bukan didasarkan atas pinjam meminjam melainkan didasarkan atas perjanjian pembiayaan dengan bagi keuntungan atau bagi hasil. Menurut Warkum Sumitro (2002) Pemberian modal pembiayaan yang berdasarkan atas Syariat Islam dengan tujuan:

1) mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermu`amalah secara Islam, khususnya mu`amalah yang berhubungan dengan perbankan, agar terhindar dari praktik-praktik riba atau jenis-jenis usaha/ perdagangan lain yang mengandung unsur gharar (tipuan), di mana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam juga telah menimbulkan dampak negatif terhadap ekonomi umat;

2) untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi, dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal (orang kaya) dengan pihak yang membutuhkan modal (orang miskin);

3) untuk meningkatkan kualitas hidup umat, dengan jalan membuka peluang berusaha yang lebih besar terutama kepada kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif, menuju terciptanya kemandirian berusaha (berwira usaha);

4) untuk membantu menanggulangi (mengentaskan) masalah kemiskinan, yang pada umumnya merupakan program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank Islam dalam mengentaskan kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara, program pengembangan modal kerja dan program pengembangan usaha bersama;

5) untuk menjaga kestabilan ekonomi/moneter pemerintah. Dengan aktivitas-aktivitas bank Islam yang diharapkan mampu menghindarkan inflasi akibat penerapan sistem bunga, menghindarkan persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan, khususnya bank dan menanggulangi kemandirian lembaga keuangan, khususnya bank dari pengaruh gejolak moneter baik dari dalam maupun luar negeri;

6) untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank non Islam (konvensional) yang menyebabkan umat Islam berada di bawah kekuasaan bank, sehingga umat Islam tidak bisa melaksanakan ajaran agamanya secara penuh, terutama di bidang kegiatan bisnis dan perekonomian.

Usaha Bank yaitu memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran secara umum, sebagaimana Pasal 1 angka 3 dan angka 4 UU Perbankan, menerbitkan surat pengakuan hutang, membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan atas perintah nasabahnya. Usaha-usaha yang lain di antaranya memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah, menempatkan dana pada bank, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya, menerima pembayaran atas tagihan surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga, menyediakan tempat untuk menyimpan barang, dan surat berharga, melakukan kegiatan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak, melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek, membeli melalui pelelangan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya, melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat, menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah, melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 6 UU Perbankan).

Sebagaimana disebutkan pada Pasal 3 UU Perbankan, fungsi utama perbankan adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana masyarakat dalam bentuk pemberian kredit. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan maksudnya adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (Pasal 1 angka 6 UU Perbankan).

Prinsip-prinsip Usaha Bank Syariah

Bank Syariah dalam menjalankan usahanya menggunakan beberapa prinsip, menurut Muh. Syafi`i Antonio,(1999) ada 5 (lima) yaitu: 1).prinsip titipan atau simpanan, 2).prinsip bagi hasil, 3).prinsip jual beli, 4). prinsip sewa, dan 5). jasa.

Prinsip titipan atau simpanan, diartikan sebagai “titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya. Pada prinsip titipan ini “bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan titipan atau simpanan atau al wadiah untuk tujuan: giro dan tabungan berjangka” (Muh.Syafi`i Antonio,1999) Semua keuntungan yang diperoleh dari titipan ini menjadi milik bank. Sebagai imbalan, penitip mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, termasuk fasilitas-fasilitas giro lainnya. Hal ini berarti bahwa pihak penitip tidak mengharapkan adanya suatu perkembangan hasil dari yang dititipkannya. Namun demikian bank sebagai penerima titipan sekaligus pihak yang telah memanfaatkan modal tersebut, diperkenankan memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau prosentase, melainkan hanya semacam kebijakan dari manajemen Bank Syariah (Muh.Syafi`i Antonio,1999)

Prinsip bagi hasil, di dalam perbankan Syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu: 1).musyarakah, 2).mudharabah, 3).muzaraah dan 4).musaqah.

Akad penyediaan pembiayaan untuk jual-beli barang dengan menerbitkan surat utang dagang atau surat berharga lain berdasarkan harga yang telah disepakati terlebih dahulu. Pembiayaan ini bersifat jangka pendek (kurang dari satu tahun) dan hanya mencakup surat-surat berharga yang memiliki nilai rating investasi yang baik.

Rukun Bai' al Dayn: 1). Penjual (Bai’), b). Pembeli (Musytari), c).Obyek/barang (Mabi`), d).Harga (Tsaman), e). Ijab qabul (Sighat)

Landasan syariah Bai 'al Dayn: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. AlBaqarah:275)

Akad pemindahan piutang nasabah (muhil) kepada bank (muhal ‘alaih) dari nasabah lain (muhal). Muhil meminta muhal ‘alaih untuk membayarkan terlebih dahulu piutang yang timbul dari jual-beli. Pada saat piutang tersebut jatuh tempo muhal akan membayar kepada muhal ‘alaih. Muhal ‘alaih memperoleh imbalan sebagai jasa pemindahan.

Rukun Hiwalah: 1). Pihak yang memindahkan piutang (Muhil), 2).Pihak yang berhutang (Muhal), 3).Pihak yang menerima pindahan piutang (Muhal ‘Alaih), 4).Piutang (Muhal Bih), 5). Ijab qabul (Sighat)

Landasan Syariah Hawalah: Ijarah, Akad sewa menyewa barang antara bank (muaajir) dengan penyewa (mustajir). Setelah masa sewa berakhir barang sewaan dikembalikan kepada muaajir. Ijarah wa iqtina, Akad sewa menyewa barang antara bank (muaajir) dengan penyewa (mustajir) yang diikuti janji bahwa pada saat yang ditentukan kepemilikan barang sewaan akan berpindah kepada mustajir.

Di antara keempat prinsip tersebut yang paling banyak dipakai adalah musyarakah dan mudharabah. Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk satu usaha tertentu masing-masing pihak memberikan kontribusi modal (atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Jadi pada prinsip musyarakah ini antara kedua belah pihak hubungan hukumnya didasarkan atas kesepakatan, baik mengenai keuntungan maupun risiko yang terjadi atas kerjasama bagi hasil tersebut.

Keuntungan Bank Syariah yaitu melalui bagi hasil usaha yang dibiayai oleh modal Bank Syariah. Kepercayaan Bank Syariah kepada para nasabah yang membutuhkan biaya diperoleh melalui asas-asas yang selama ini digunakan oleh Bank Syariah di antaranya transaksi ekonomi dalam bentuk apapun yang dilakukan perbankan dengan pihak lain terutama nasabah harus didasarkan atas prinsip rela sama rela, bukan suka sama suka yang bersifat hakiki. Atas dasar asas `an-taradhin/al-taradhi, maka semua bentuk transaksi yang mengandung unsur paksaan (ikrah) harus ditolak dan dinyatakan batal demi hukum. Itulah sebabnya mengapa Islam mengharamkan bentuk transaksi ekonomi apapun yang mengandung unsur kebathilan semisal jual beli yang mengandung unsur pemaksaan.

Akad yang dilakukan oleh bank dengan nasabah berkenaan dengan hal-hal yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Itulah sebabnya mengapa Islam mengharamkan akad berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mudharat/seperti jual beli benda benda yang diharamkan dan/atau benda-benda yang tidak bermanfaat apalagi membahayakan.

Kedua pihak yang melakukan transaksi ekonomi (bank dan nasabah) harus berlaku dan diperlakukan secara adil dalam konteks pengertian yang luas dan konkrit. Setiap yang dilakukan oleh Bank Syariah dan nasabah harus bersifat menguntungkan semua pihak yang berakad, tidak boleh menguntungkan satu pihak dengan merugikan pihak lain. Itulah sebabnya mengapa Islam mengharamkan jual beli atau perdagangan yang mengandung unsur penipuan, karena hanya menguntungkan satu pihak dengan merugikan pihak lain. Selain itu akad yang dilakukan para pihak (bank dan nasabah) bersifat mengikat, para pihak yang melakukan akad harus memiliki itikad baik.

Penerapan Prinsip 5 C Dalam Pembiayaan Syariah

Meskipun Bank Syariah menerapkan sistem hukum Islam dengan asas-asasnya sebagaimana di atas, bukan berarti bahwa Bank Syariah dalam menjalankan usahanya lepas dari segala risiko.

Bank Syariah dalam menjalankan usahanya juga menganut prinsip kehati-hatian sebagaimana yang dikenal dalam bank konvensional yaitu kewajiban untuk menganalisa 5 (lima) faktor, yaitu: 1). karakter atau watak, 2).kemampuan menjalankan usaha, 3). modal usaha, 4). agunan, dan 5). prospek usaha nasabah penerima modal pembiayaan.

Watak atau karakter dikaitkan dengan kegiatan yang selama ini senang dilakukan oleh nasabah penerima modal pembiayaan, jika kebiasaan yang selama ini dilakukan adalah berjudi atau kegiatan lain yang sifatnya menghambur-hamburkan uang, maka tidak memenuhi syarat untuk memperoleh modal pembiayaan.

Kemampuan untuk menjalankan usahanya juga mendapat perhatian, jika calon penerima modal tidak mampu mengendalikan usahanya, maka tidak memenuhi syarat menerima modal pembiayaan dan seterusnya.

Modal usaha yang ada juga digunakan sebagai pertimbangan, dalam arti bahwa usaha telah dijalankan hanya saja perlu tambahan modal, maka tambahan inilah yang dibiayai oleh Bank Syariah.

Collateral, yaitu barang baik bergerak maupun tidak bergerak milik nasabah yang diserahkan kepada kreditur digunakan sebagai jaminan. Prospek usaha yaitu ketertarikan usaha yang dilaksanakan untuk masa yang akan datang.

Hubungan Hukum Bank Syariah dengan Nasabah Penerima Pembiayaan

Pada bab sebelumnya telah diuraikan bahwa Bank Syariah memberikan fasilitas kepada nasabah , jadi menyediakan modal pembiayaan bukan mengadakan hubungan hukum dengan pengembang, melainkan dengan nasabah yang membutuhkan obyek yang dibiayai, tetapi tidak mempunyai modal untuk membeli obyek yang dibiayai tersebut.

Hubungan hukum antara Bank Syariah dengan nasabah melalui program, jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 12 UU Perbankan, bahwa pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan antara bank dengan nasabah yang mewajibkan nasabah yang memperoleh pembiayaan mengembalikan tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Dengan demikian dalam pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, terkandung unsur:

1) adanya pihak yang menyediakan uang atau tagihan,

2) didasarkan atas perjanjian,

3) adanya imbalan atau bagi hasil.

Unsur pertama, adanya pihak yang menyediakan uang atau tagihan. Bank Syariah sebagai pihak yang menyediakan uang, baik modal usaha sendiri maupun diperoleh dari menghimpun modal dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi, giro berdasarkan prinsip wadi`ah, tabungan berdasarkan prinsip wadi`ah atau mudharabah, deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, atau bentuk lain berdasarkan prinsip wadi`ah atau mu-dharabah, sesuai dengan ketentuan Pasal 28 SK Dir.BI No. 32/34/KEP/DIR/1999. Hal ini berarti bahwa Bank Syariah yang menyediakan modal untuk kepentingan nasabahnya adalah dibenarkan karena merupakan salah satu bentuk usahanya yaitu menghimpun modal dari masyarakat dan menyalurkan kembali modal tersebut kepada nasabah yang membutuhkannya.

Bank Syariah menyediakan modal untuk kepentingan nasabahnya dalam rangka usahanya untuk menyalurkan modal melalui berbagai bentuk, di antaranya melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan bank sepanjang disetujui oleh Dewan Syariah Nasional, sesuai dengan ketentuan Pasal 28 huruf m SK Dir.BI No. 32/34/KEP/DIR/1999.

Unsur kedua yaitu didasarkan atas perjanjian. Mengenai hubungan hukum didasarkan pada perjanjian di dalam tata hukum Indonesia, yaitu negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam), hukum Islam bukanlah merupakan hukum positif yang dapat dipaksakan atas pelanggarannya oleh pengadilan. Dengan kata lain sengketa yang timbul di antara Bank Syariah dan nasabahnya tidak akan diberlakukan hukum Islam. Yang diberlakukan adalah hukum perjanjian sebagaimana diatur dalam B.W., karena B.W. itulah yang merupakan hukum positif. Oleh karena keberadaan Bank Syariah adalah lebih menekankan kepada hukum agama Islam, maka selama perjanjian yang dibuat tersebut telah sesuai dengan syarat-syarat umum sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 B.W. dan tidak dilarang oleh syariah agama Islam, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 UU Perbankan, bahwa “aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan modal/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.”, maka perjanjian pemberian kredit tersebut adalah diperkenankan dalam arti dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk menuntut atau dituntut di depan sidang pengadilan jika salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian pembiayaan tersebut.

Unsur ketiga yaitu adanya imbalan atau bagi hasil. Pada intinya produk-produk Bank Syariah tidak sama dengan produk bank konvensional atau pada umumnya. Produk Bank Syariah pada prinsipnya adalah tidak boleh menikmati bunga bank, melainkan jika ada hasil, maka hasil tersebutlah yang dibagi di antara bank dengan nasabah. Perkataan jika ada hasil, maka hasil tersebut yang dibagi antara bank dengan nasabah, yang berarti bahwa usaha yang dibiayai oleh Bank Syariah tidak selalu memperoleh hasil keuntungan, jika demikian, maka tidak ada pembagian hasil keuntungan. Dalam penentuan uang bagi hasil pada Bank Syariah telah dengan tegas menetapkan dalam perjanjian pembiayaan, yaitu bank mendapatkan keuntungan pihak bank (10-15 % pertahun) bunga tetap. Hal ini berarti bahwa Bank Syariah dalam mengembangkan program telah dengan tegas menetapkan keuntungan yang besarnya telah ditentukan yaitu sebesar 10 – 15 % setiap tahun dalam bentuk bunga tetap. Apabila didasarkan atas kesepakatan mengenai besarnya keuntungan yang diterima oleh Bank Syariah didasarkan atas kesepakatan, maka tidak ada alasan bagi nasabah untuk tidak membayar keuntungan tersebut. Namun jika dikaitkan dengan prinsip Bank Syariah, yaitu tidak boleh menikmati bunga bank, melainkan jika ada hasil, maka hasil tersebutlah yang dibagi di antara bank dengan nasabah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penyelesaian dan pendekatan berbagai permasalahan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan maupun literatur yang berkaitan dengan materi yang dibahas.

Pemecahan masalah menggunakan metode statute approach dan conseptual approach. Statute approach, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi serta membahas peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan materi yang dibahas. Sedangkan pendekatan secara conseptual approach, yaitu suatu pendekatan yang didasarkan pada pendapat para sarjana sebagai pendukung.

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

· Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, berupa peraturan perundang-undangan dalam hal ini Kitab Undang-undang Hukum Perdata, UU No. 10 Tahun 1998 dan SK Dir.BI No. 32/34/ KEP/DIR/ 1999 dan peraturan lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas.

· Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, yaitu literatur maupun karya ilmiah para sarjana yang berkaitan dengan materi yang dibahas.

Pengumpulan bahan hukum melalui studi kepustakaan, yaitu diawali dengan inventarisasi semua bahan hukum yang terkait dengan pokok permasalahan, kemudian diadakan klasifikasi bahan hukum yang terkait dan selanjutnya bahan hukum tersebut disusun dengan sistematisasi untuk lebih mudah membaca dan mempelajarinya.

Analisa data menggunakan metode deduktif dimana analisa data ditekankan pada suatu hal yang sifatnya umum untuk diterapkan pada suatu hal yang sifatnya lebih khusus. Di dalam penelitian ini menganalisa data-data yang sifatnya masih umum (pasal-pasal yang ada dalam peraturan perundang-undangan) yang berlaku, untuk diterapkan pada suatu hal yang lebih khusus.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Akad Pembiayaan Di Bank Rakyat Indonesia,Cabang syariah surabaya

Akad Pembiayaan Dalam Praktik Di BRI, Cabang Syariah Surabaya

Ekstistensi Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Cabang Syariah Surabaya didasarkan atas Surat Keputusan NOKEP: S.41-DIR/OPR/OPS/08/2002 tentang Pembukaan Kantor Cabang BRI Syariah Surabaya. Dengan dibukanya BRI Cabang Syariah Surabaya, maka dalam menjalankan usahanya mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Sehubungan dengan bentuk akad pembiayaan BRI Cabang Syariah Surabaya, diberikan contoh sebagai berikut:

Akad dibuat di hadapan notaris Haji Mohammad Soetjipto, Sarjana Hukum, Notaris di Surabaya. Di dalam akad tersebut BRI Cabang Syariah Surabaya diwakili oleh Tuan Ir. H. Hadi Susianto, Pemimpin Cabang Bank Syariah PT. BRI Surabaya, sebagai pihak pertama, sehingga perwakilan tersebut sah menurut hukum. sedangkan yang berhubungan dengan Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Cabang Syariah Surabaya adalah Sunardi, selaku Direktur Perseroan Komanditer C.V. “HSS Electronic”, berkedudukan di Surabaya, Nyonya Sri Anik, bertempat tinggal di Surabaya, Jalan Ngagel Dadi 1 nomor 10, Kelurahan Ngagelrejo, Kec Wonokromo, selaku istri sah Pihak Kedua/Nasabah, mengajukan permohonan fasilitas pembiayaan untuk membeli barang-barang sebagaimana didefinisikan dalam akad ini, dimana selanjutnya Bank menyetujui dan dengan akad pembiayaan sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagaimana dinyatakan dalam akad ini, demikian berdasarkan: Surat Pihak Kedua kepada Pihak Pertama tertanggal 12-3-2008 (duabelas Maret tahun dua ribu delapan) perihal : Pengajuan permohonan pembiayaan untuk pembelian material bahan bangunan dan biaya sewa tempat usaha;

· Surat Pihak Pertama kepada Pihak Kedua tertanggal 28-3-2008 (duapuluh delapan Maret tahun duaribu delapan) Nomor : B.63-KCPS/J743/PEM/03/2008, Perihal : Surat Penawaran Putusan Pembiayaan (SPPP).

Berkenaan dengan hal-hal yang telah diterangkan tersebut di atas, maka selanjutnya para pihak dalam kedudukannya masing-masing tersebut menerangkan, dengan ini telah bersepakat untuk mengadakan Akad Pembiayaan Murabahah atas pembelian barang-barang tersebut, yang memuat syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

Di dalam Pasal 2 mengenai jumlah pembiayaan dan penggunaan barang

1. Pihak Pertama untuk dan atas nama Pihak kedua telah membeli barang-barang yang identitas dan kualitasnya jelas, yakni berupa material bahan bangunan, dimana selanjutnya Pihak Pertama menyatakan dengan ini menjual lagi barang-barang tersebut kepada Pihak Kedua, dan Pihak Kedua menyatakan dengan ini membeli barang-barang tersebut dari Pihak Pertama, jual-beli mana dilakukan oleh para pihak melalui Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur lebih lanjut dalam akad ini.

2. Para pihak sepakat dan setuju untuk menetapkan besarnya pembiayaan guna pembelian barang-barang sebagaimana dimaksud ayat 1 diatas, yakni sebagai berikut :

· Harga pembelian barang : Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah)

· Margin/keuntungan Bank : Rp. 135.000.000,- (seratus tiga puluh lima juta rupiah)

· Total Pembiayaan : Rp. 385.000.000,- (tiga ratus delapan puluh lima juta rupiah)

3. Barang-barang tersebut pada ayat 1 di atas oleh Pihak kedua akan digunakan untuk renovasi bangunan tempat usaha milik Pihak Kedua/Nasabah.

Pasal 4 mengenai penyerahan barang

1. Para pihak sepakat dan setuju, bahwa penyerahan barang-barang tersebut akan dilaksanakan dalam 1 (satu) tahap.

2. Penyerahan barang-barang adalah franco/gudang tempat usaha Pihak Kedua, yakni di Plaza City of Tomorrow (Cito) Jalan Ahmad Yani nomor 288, Surabaya.

Pasal 6 mengenai jangka waktu pembiayaan, bahwa fasilitas pembiayaan ini wajib dilunasi oleh Pihak Kedua dalam jangka waktu 60 (enam puluh) bulan terhitung mulai tanggal ditanda-tanganinya akad ini, sampai dengan selambat-lambatnya tanggal 31-3-2013.

Pasal 7 mengenai pembayaran angsuran dan denda:

1. Pihak Kedua wajib melunasi total pembiayaan sebesar Rp. 385.000.000,- (tigaratus delapanpuluh lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 diatas, secara angsuran sebanyak 60 (enampuluh) kali dan harus dibayar setiap bulan.

2. Para pihak sepakat dan setuju untuk menentukan jumlah setiap angsuran sebagaimana tersebut ayat 1 diatas, yakni :

· Untuk angsuran ke-1 sampai dengan angsuran ke-59 (lima puluh sembilan) adalah sama, yakni masing-masing sebesar Rp. 6.416.500,- (enam juta empat ratus enam belas ribu lima ratus rupiah), sedangkan untuk angsuran ke-60 (enam puluh) atau uang terakhir adalah sebesar Rp. 6.426.500,- (enam juta empatratus duapuluh enam ribu lima ratus rupiah);

· Angsuran-angsuran mana sudah termasuk angsuran pokok dan margin.

3. Pembayaran Angsuran sebagaimana tersebut ayat 2 di atas, dapat dilakukan dengan pendebetan dari rekening Pihak Kedua di PT. BRI Cabang Pembantu Syariah Surabaya Kaliasin, atau dibayarkan secara tunai (cash), atau melalui pemindah-bukuan (overbooking/transfer), atau dengan cara lain yang disetujui oleh Pihak Pertama.

4. Pembayaran angsuran tersebut wajib dibayarkan selambat-lambatnya pada tanggal 31 (tiga puluh satu) setiap bulan yang bersangkutan, kecuali apabila tanggal pembayaran tersebut jatuh pada hari libur maka pembayaran angsuran harus dibayar pada hari kerja sebelumnya.

5. Apabila Pihak Kedua karena kelalaiannya terlambat melakukan pembayaran angsuran, maka akan dikenakan denda sebesar Rp. 1.125.000,- (seratus juta seratus dua puluh lima ribu rupiah) setiap terjadi keterlambatan.

6. Para pihak sepakat dan setuju untuk tidak mengenakan denda keterlambatan pembayaran angsuran dan akan menyesuaikan jangka waktu pembayaran angsuran apabila ketidakmampuan Pihak Kedua untuk membayar angsuran tersebut dikarenakan keadaan diluar kekuasaan dan kemampuannya (force majeure).

Pasal 9 mengenai pengakuan hutang / kewajiban, bahwa Pihak Kedua dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya dan secara sah mengaku telah berhutang kepada Pihak Pertama dan oleh karenanya berkewajiban untuk membayar dan/atau mengembalikan dana pembiayaan kepada Pihak Pertama atas pembelian barang dan segala biaya yang timbul dari akad pembiayaan ini.

Pasal 10 mengenai jaminan, bahwa Guna menjamin pembayaran kembali pembiayaan ini dan segala biaya lainnya yang dibebankan oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua berdasarkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari akad ini;

Maka Pihak Kedua yang dalam hal ini juga bertindak sebagai Penjamin menyatakan, dengan ini memberikan jaminan kepada Pihak Pertama dan bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap seluruh pembayaran-pembayaran kepada Pihak Pertama/Bank tersebut, seterusnya Penjamin menyatakan, dengan ini menyerahkan sebagai jaminan atas barang miliknya kepada Pihak Pertama, berupa dan dalam bentuk jaminan sebagai berikut :

1. Dengan akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, yang dibuat dihadapan saya, notaris, tertanggal hari ini dengan nomor berikutnya setelah akta ini, dengan nilai tanggungan untuk Peringkat I (Pertama) sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), maka Penjamin telah menyerahkan sebagai jaminan kepada Pihak Pertama, dan Pihak Pertama telah menerima penyerahan jaminan tersebut dari Penjamin, atas:

· sebidang tanah Hak Milik nomor : 1222/Desa Masangan Kulon, seluas 120 M2 (seratus duapuluh meter persegi), terletak di Propinsi Jawa Timur, Kabupaen Sidoarjo, Kecamatan Sukodono, Desa Madangan Kulon .

· setempat lebih dikenal dengan persil dan bangunan Griya Bayangkara Blok G-2, Sidoarjo;

· demikian sebagaimana diuraikan dalam Sertipikat Hak Milik atas tanah yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di Surabaya terakhir tertulis atas nama pemegang hak : Sunardi, dengan batas-batas yang jelas tertera dalam Surat Ukur yang merupakan lampiran dari Sertipikat tersebut tertanggal 30-10-2001 (tigapuluh Oktober tahun dua ribu atu) Nomor : 286/147/2001;

· Sertipikat tersebut diperlihatkan saya, notaris

2. Dengan akta Jaminan Fidusia, yang dibuat dihadapan saya tertanggal hari ini dengan nilai penjaminan sebesar 200.000.000,- (duaratus juta rupiah);

· Maka Pihak Kedua yang dalam hal ini juga bertindak sebagai Penjamin menyatakan, dengan ini memberikan jaminan kepada Pihak Pertama dan bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap seluruh pembayaran pembiayaan kepada Pihak Pertama/Bank tersebut, seterusnya Penjamin menyatakan,

· Dengan ini menyerahkan hak miliknya secara fidusia kepada Bank, dan Bank menyatakan telah menerima penyerahan secara fidusia tersebut dari Penjamin, atas

· Sebuah bangunan rumah tempat tinggal, dengan total luas bangunan kurang lebih 126 M2 (seratus duapuluh enam meter persegi), terbuat dari tembok batu/bata, rangka kap kayu, atap genting, lantai tegel/keramik, plafond tripleks/eternit, berikut turutan-turutan/bagian-bagiannya, dengan failitas penerangan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), saluran air minum dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), saluran air minum dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dan sambungan pesawat telepon;

· Bangunan mana berdiri diatas sebidang tanah Negara yang dikelola oleh Pemerintah Kota Surabaya (hak pemakaian), seluas 132,65 M2 (seratus tigapuluh dua koma enam puluh lima meer persegi), terletak di kota Surabaya, Kecamatan Wonokromo, Kelurahan Ngagelrejo;

· Setempat lebih dikenal dengan persil dan bangunan Jalan Ngagel Dadi 1 nomor 10, Surabaya; demikian sebagaimana ternyata dari :

· Surat Ijin Pemakaian Tanah, yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Pengelolaan Tanah dan Rumah Pemerintah Kota Surabaya atas nama Walikota Surabaya, tertanggal 10-4-2003 (sepuluh April tahun duaribu tiga) Nomor : 188.45/0979p/402.4.22/2003;

· Persetujuan pengalihan Izin Pemakaian Tanah, yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengelolaan Tanah Dan Bangunan Kota Surabaya atas nama Pemerintah Kota Surabaya tertanggal 27-4-2006 (duapuluh tujuh April tahun duaribu enam) Nomor : 593/271/436.4.22/2006;

· Akta Perjanjian Jual Beli Bangunan yang dibuat dihadapan saya, notaris, tertanggal 29-4-2006 (duapuluh delapan April tahun duaribu enam) nomor 76Tertulis atas nama Pihak Pembeli; Sunardi.

· Bangunan-bangunan tersebut telah diketahui benar oleh Bank tentang keadaannya, sehingga tidak diperlukan keterangan lebih rinci dalam akta ini;

· Demikian berikut segala ssuatu yang berdiri/tertanam diatasnya, yang menurut hukum dianggap sebagai benda tetap, termasuk bangunan rumah tinggal.

Pasal 11 mengenai asuransi terhadap barang dan jaminan lainnya, bahwa Pihak Kedua wajib mengasuransikan (kebakaran) atas beban sendiri, dengan Banker’s Clause untuk dan atas nama Pihak Pertama, kepada Perusahaan Asuransi Syariah yang ditunjuk oleh atau menjadi rekan Pihak pertama, atas seluruh maupun sebagian dari barang yang dipergunakan sebagai jaminan dalam akad pembayaran ini, dengan nilai pertanggungan minimal:

a. Untuk bangunan dengan Surat Ijin Pemakaian Tanah, sebesar Rp. 225.000.000,- (dua ratus dua puluh lima juta rupiah);

b. Untuk bangunan dengan Sertipikat Hak Milik, sebesar Rp. 550.000.000,- (lima ratus lima puluh juta rupiah);

Dengan syarat-syarat yang dianggap cukup/baik oleh Pihak Pertama, dalam jangka waktu minimal selama jangka waktu pembiayaan dengan kemungkinan sewaktu-waktu dapat diperpanjang oleh Pihak Kedua sebagaimana yang disebutkan dalam polis, polis mana harus diserahkan kepada dan untuk disimpan oleh Pihak Pertama.

Pasal 13 kewajiban lain pihak kedua bahwa, Akad Pembiayaan Marabahah ini dapat dilaksanakan apabila akta akad pembiayaan dan dokumen-dokumen lainnya yang terkait dengan pembiayaan ini telah dibuat, ditanda-tangani, dan/atau dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Pihak Pertama serta perundang-undangan yang berlaku dan telah dilaksanakan dengan sepenuhnya serta benar.

Pasal 16 mengenai penyelesaian perselisihan dan domisili, bahwa Terhadap segala perselisihan dan perbedaan pendapat yang timbul dalam memahami/menafsirkan bagian-bagian dari isi atau dalam melaksanakan akad ini, para pihak akan berusaha untuk menyelesaikannya secara musyawarah dan mufakat. Apabila usaha menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan melalui musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud ayat 1 diatas tidak menghasilkan keputusan yang disepakati oleh para pihak, maka dengan ini para pihak sepakat dan setuju untuk menunjuk dan menetapkan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) guna menyelesaikan serta memutuskan perselisihan para pihak tersebut. Apabila ternyata didaerah/wilayah hukum dimana para pihak yang mengadakan akad tidak terdapat Basyarnas ataupun Badan Arbitrase Syariah lainnya atau berdasarkan kesepakatan para pihak, maka para pihak sepakat dan setuju untuk memilih dan menetapkan tempat kedudukan hukum (domisili) yang tetap dan umum di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Agama Surabaya dan/atau Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surabaya, dengan tidak mengurangi hak dan wewenang Bank untuk menuntut pelaksanaan/eksekusi atau mengajukan tuntutan hukum terhadap nasabah/Penjamin berdasarkan akad ini melalui atau dihadapan Pengadilan-Pengadilan lainnya dimanapun juga di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

Apabila memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa akad pembiayaan Murabahah di BRI Cabang Syariah Surabaya terdapat klausula yang menarik untuk dikupas dalam rangka penerapan prinsip syariah yang didasarkan atas Syariat Islam. Klausula tersebut di antaranya menyangkut masalah jumlah pembiayaan dan penggunaan barang, penyerahan barang, jangka waktu pembiayaan, pembayaran angsuran dan denda, pengakuan hutang/kewajiban, jaminan, asuransi terhadap barang dan jaminan lainnya, kewajiban lain pihak kedua, penyelesaian perselisihan dan domisili, ternyata kurang mencerminkan suatu bank yang bergerak dalam bidang Syariat Islam.

Pembahasan Mengenai Akad Pembiayaan di BRI Cabang Syariah Surabaya

Hal yang perlu dipahami dalam pelaksanaan usaha bank dengan prinsip syariah berlainan dengan bank konvensional. Bank konvensional sistem operasinya didasarkan kepada bunga. Orang yang menanamkan uangnya pada bank motifnya antara lain untuk mendapatkan bunga, sedangkan pada Bank Syariah pemilik modal menanamkan uangnya pada bank tidak untuk mendapatkan bunga, akan tetapi dalam rangka mendapatkan keuntungan dengan jalan bagi hasil. Modal yang ditanamkan oleh nasabah pada bank tersebut kemudian oleh bank disalurkan kepada mereka-mereka yang membutuhkan (sebagai modal dalam usaha). Penyaluran tersebut diadakan dengan perjanjian bahwa keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut akan dibagi sesuai kesepakatan (Suhrawardi , 2000)

Bank Syariah yang memberikan modal tersebut bukan didasarkan atas pinjam meminjam melainkan didasarkan atas perjanjian pembiayaan dengan bagi keuntungan atau bagi hasil. Pemberian modal pembiayaan yang berdasarkan atas Syariat Islam dengan tujuan mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermu`amalah secara Islam, khususnya mu`amalah yang berhubungan dengan perbankan, agar terhindar dari praktik-praktik riba atau jenis-jenis usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur gharar (tipuan), di mana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam juga telah menimbulkan dampak negatif terhadap ekonomi umat; untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi, dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal (orang kaya) dengan pihak yang membutuhkan modal (orang miskin); untuk meningkatkan kualitas hidup umat, dengan jalan membuka peluang berusaha yang lebih besar terutama kepada kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif, menuju terciptanya kemandirian berusaha (berwira usaha); untuk membantu menanggulangi (mengentaskan) masalah kemiskinan, yang pada umumnya merupakan program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank Islam dalam mengentaskan kemiskinan ini berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara, program pengembangan modal kerja dan program pengembangan usaha bersama; untuk menjaga kestabilan ekonomi/moneter pemerintah. Dengan aktivitas-aktivitas bank Islam yang diharapkan mampu menghindarkan inflasi akibat penerapan sistem bunga, menghindarkan persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan, khususnya bank dan menanggulangi kemandirian lembaga keuangan, khususnya bank dari pengaruh gejolak moneter baik dari dalam maupun luar negeri; untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank non Islam (konvensional) yang menyebabkan umat Islam berada di bawah kekuasaan bank, sehingga umat Islam tidak bisa melaksanakan ajaran agamanya secara penuh, terutama di bidang kegiatan bisnis dan perekonomian.

Operasional Kantor Cabang BRI Syariah di dalam akadnya terdapat hal yang perlu dicermati, di antaranya jumlah pembiayaan dan penggunaan barang, penyerahan barang, jangka waktu pembiayaan, mengenai hal ini tidak terlalu dipermasalahkan karena dalam prinsip pembiayaan prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), hanya saja menyangkut masalah penentuan besarnya keuntungan dari modal pembiayaan yang diberikan sebesar Rp 250.000.000,00 dengan keuntungan yang diambil oleh bank sebesar Rp 135.000.000,00 untuk waktu selama 60 (enam puluh) bulan. Pengambilan keuntungan tersebut tidak bedanya dengan penerapan bunga pinjaman sebagaimana bank konvensional. Padahal openerapan bunga pinjaman bagi bank dengan prinsip Syariah adalah riba. Selain itu prinsip bank Syariah adalah pemberian modal pembiayaan dengan pembagian hasil keuntungan bukan hal yang tidak membawa keuntungan oleh bank langsung dikenakan bunga atau keuntungan yang besarnya bahkan bunganya hampir sama dengan bank konvensional.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 Akad, bahwa dalam pemberian modal pembiayaan murabahah ini, pihak BRI Cabang Syariah Surabaya dibuatkan perjanjian mengenai pengakuan hutang atau kewajiban. Perjanjian pengakuan hutang hanya dikenal dalam usaha bank konvensional. Hal ini berarti bahwa yang terjadi pada Bank Syariah juga dikenal adanya hutang, sehingga jika menerapkan bunga pinjaman yang lebih dikenal dengsn margin atau keuntungan bank adalah sejalan dengan bank konvensional.

Di dalam Pasal 16 Akad tercantum klausula mengenai penyelesaian perselisihan. Mengenai penyelesaian perselisihan ini kedua belah pihak sepakat setiap perselisihan dilakukan secara musyawarah untuk mencapai mufakat, jika tidak membawa hasil penyelesaian dilakukan melalui lembaga arbitrase, yang berarti penyelesaian di luar lembaga peradilan atau non litigasi. Penyelesaian dengan cara-cara yang demikian ini memang dirasa tepat, karena tidak banyak mengeluarkan biaya, waktu dan tenaga. Apabila penyelesaian secara non litigasi atau di luar sidang peradilan tidak membawa hasil, maka penyelesaian berikutnya disepakati melalui mengajukan gugatan pada Pengadilan Agama.

Memperhatikan pembahasan sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa keberadaan hukum Islam terhadap akad pembiayaan di Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Cabang Syariah Surabaya kurang diterapkan. Karena berdasarkan klausula akad masih banyak dijumpai pasal-pasal yang tidak jauh berbeda dengan yang terdapat pada bank konvensional. Karenanya tepat jika ada suatu anggapan bahwa bank dengan prinsip syariah tidak bedanya dengan usaha bank konvensional. Padahal menurut agama Islam bank konvensional diharamkan karena mengandung riba yang menurut agama Islam adalah dilarang dan hukumnya adalah haram. Klausula terutama yang berhubungan dengan pengakuan hutang yang berarti timbul hutang piutang. Di dalam perjanjian hutang piutang atau pinjam meminjam tidak lepas dari keuntungan yang didapat oleh kreditur yang berupa bunga pinjaman dan demikian juga dengan penerapan denda keterlambatan pembayaran modal pembiayaan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

a. Akad pembiayaan Bank Syariah pada umumnya merupakan penyediaan pembiayaan untuk jual-beli barang dengan menerbitkan surat utang dagang atau surat berharga lain berdasarkan harga yang telah disepakati terlebih dahulu. Akad pembiayaan ini bersifat jangka pendek (kurang dari satu tahun) dan hanya mencakup surat-surat berharga yang memiliki nilai rating investasi yang baik. sebagai suatu akad, maka Rukun Bai' al Dayn: Penjual (Bai’), Pembeli (Musytari), Obyek/barang (Mabi`), Harga (Tsaman), Ijab qabul (Sighat).

b. Akad pembiayaan di BRI Cabang Syariah Surabaya tidak bedanya dengan perjanjian pinjam meminjam pada bank konvensional, dimulai dibuatkan akta pengakuan hutang, penentuan margin/keuntungan tidak bedanya dengan bunga pinjaman, penentuan barang yang dibebani sebagai jaminan pembiayaan, dan disertai dengan denda keterlambatan jika terlambat membayar modal pembiayaan. Hal ini berarti bahwa akad pembiayaan di BRI Cabang Syariah Surabaya kurang menerapkan prinsip-prinsip syariat Islam.

Saran

a. Mengenai akad pembiayaan ini telah mencerminkan adanya suatu bank yang bergerak dalam bidang syariah, untuk itu tetap dipertahankan dan mengarah pada kepastian hukum dalam membuatnya.

b. Agar bank dengan prinsip syariah ini tidak bedanya dengan bank secara konvensional, maka hendaknya dikembalikan kepada prinsip Islam yaitu saling tolong menolong dan menghapuskan margin atau keuntungan karena riba yang oleh hukum Islam dilarang.

DAFTAR BACAAN

Muhammad Syafi`i Antonio, Bank Syariah dari Teori dan Praktek, Gema Insani, Jakarta, 2001.

Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Suhrawardi, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.

Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga Terkait BMI & Takaful Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

PAGE

109