proposal skripsi hana kedua

59
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ameloblastoma merupakan tumor jinak yang berasal dari lamina dentalis dan sering berhubungan dengan gigi yang impaksi pada penderita usia muda (Schwartz, 2002). Tumor ini tumbuh lambat, lokal dan invasif. Ameloblastoma tumbuh lambat dan berpotensi agresif terlihat dari mekanisme ekspansi ke dalam tulang rahang, kemudian melewati lapisan terkeras dari struktur tulang atau korteks sampai menginfiltrasi jaringan lunak sekitarnya (Gillijamse dkk. 2007). Ameloblastoma terbagi menjadi tiga macam yaitu multikistik, unikistik dan peripheral. Tipe solid memiliki prevalensi sekitar 86 persen kasus, unikistik memiliki prevalensi sekitar 13 persen kasus, periferal yang merupakan ameloblastoma yang tumbuh diluar rahang memiliki prevalensi sekitar 1 persen dari seluruh kasus. Tingkat rekurensi yang sering terjadi pada tipe multikistik (Neville, 2002). Studi epidemiologis menunjukkan insidensi ameloblatoma adalah 0,6 – 5,6 kasus baru per 1 juta penduduk per tahun di 1

Upload: derrida-pariputra

Post on 03-Oct-2015

83 views

Category:

Documents


28 download

DESCRIPTION

fvdsvsfdssdf

TRANSCRIPT

13

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang Ameloblastoma merupakan tumor jinak yang berasal dari lamina dentalis dan sering berhubungan dengan gigi yang impaksi pada penderita usia muda (Schwartz, 2002). Tumor ini tumbuh lambat, lokal dan invasif. Ameloblastoma tumbuh lambat dan berpotensi agresif terlihat dari mekanisme ekspansi ke dalam tulang rahang, kemudian melewati lapisan terkeras dari struktur tulang atau korteks sampai menginfiltrasi jaringan lunak sekitarnya (Gillijamse dkk. 2007). Ameloblastoma terbagi menjadi tiga macam yaitu multikistik, unikistik dan peripheral. Tipe solid memiliki prevalensi sekitar 86 persen kasus, unikistik memiliki prevalensi sekitar 13 persen kasus, periferal yang merupakan ameloblastoma yang tumbuh diluar rahang memiliki prevalensi sekitar 1 persen dari seluruh kasus. Tingkat rekurensi yang sering terjadi pada tipe multikistik (Neville, 2002).Studi epidemiologis menunjukkan insidensi ameloblatoma adalah 0,6 5,6 kasus baru per 1 juta penduduk per tahun di Swedia, Afrika Selatan, dan Nigeria. Insidensi ameloblastoma lebih dominan pada populasi ras Mongol di Asia (China,Jepang, Melayu dan Thailand) sebesar 38,4 persen dibandingkan dengan populasi ras Kaukasia sebesar 24,8 persen. Demikian pula, insidensi ameloblastoma lebih tinggi pada penduduk di negara ekonomi berkembang sebesar 39,1 persen (n = 542) dibandingkan dengan penduduk di negara ekonomi maju (industri) sebesar 27,7 persen (n = 1102). Pada umumnya ameloblastoma muncul pada kelompok usia dewasa, terutama usia 20 - 50 tahun (Reichart, 1995). Penderita laki-laki lebih dominan sebesar 52 persen dibandingkan wanita 48 persen (Gorlin, 1970). Berdasarkan tipe ameloblastoma, maka tipe folikuler sebesar 33,9 persen dan tipe pleksiform sebesar 30,2 persen. Tipe folikuler merupakan tipe paling sering mengalami rekurensi (Reichart dkk, 1995). Penelitian mengenai kasus ameloblastoma di Indonesia masih jarang dilakukan. Berdasarkan pengelompokan gambaran histologi hasil penelitian terdahulu menunjukkan tipe ameloblastoma multikistik adalah ameloblastoma tipe pleksiform (31,43 persen), ameloblastoma tipe folikuler (30,00 persen), dan ameloblastoma tipe campuran antara folikuler dengan tipe pleksiform (25,70 persen) (Yulvie dan Latief, 2011). Faktor yang menyebabkan ameloblastoma terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal munculnya ameloblatoma adalah onkogen tumor (tumor oncogenes) (gen c-myc dan gen ras) dan gen penekan tumor (tumor suppressor gene) (Fearon&Bommer, 2007). Faktor eksternal penyebab ameloblastoma adalah trauma kronis, iritasi termal kronis, kebiasan buruk yang kronis dan obat-obatan (Sudiono, 2008). Ekspresi gen pada tiap-tiap jenis ameloblastoma dapat digunakan sebagai petanda diagnosis, seperti ekspresi p53, pRb, Ki-67, MMP, dan syndecan-1. Protein syndecan 1 (CD138) adalah sydecan utama yang paling banyak dipelajari dalam sel epitel. Pada manusia, gen syndecan-1 terletak pada kromosom 2p23. Syndecan1 berperan penting dalam perkembangan embrio, menurunkan regulasi pertumbuhan tumor, maupun penyembuhan dan perbaikan luka (Carey, 1997). Pemeriksaan ameloblastoma terdiri dari pemeriksaan klinis, radiologi dan patologi anatomi. Pemeriksaan klinis menunjukan penonjolan dan terasa lunak dengan penekanan, ektraoral terlihat adanya pembengkakan wajah dan asimetri wajah dan tidak menimbulkan rasa sakit kecuali terjadi penekanan pada saraf dan terjadi komplikasi infeksi sekunder. Pemeriksaan radiologi menunjukan radiolusensi berbentuk unilokuler atau multilokuler dengan tepi berbatas tegas. Pemeriksaan patologi anatomi dapat dilakukan dengan menggunakan pewarnaan imunohistokimia (Pederson, 2002). Pemeriksaan imunohistokima bertujuan mendeteksi antigen pada sel/jaringan yang bereaksi dengan antibodi. Pada umumnya antibodi yang digunakan pada pemeriksaan ameloblastoma adalah antibodi monoklonal (Rantam, 2003). Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan penelitian mengenai ekspresi syndecan-1 namun hanya sebatas pada tumor tulang (Amberly et al., 2012). Selain itu juga, telah diteliti juga mengenai ekspresi syndecan-1 pada tumor non-hodgkin lymphoma (Anna et al., 1999). B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang tersebut dapat rumusan masalah penelitian ini adalah :1. Bagaimana ekspresi syndecan 1 pada ameloblastoma jenis plexiform2. Bagaimana ekspresi syndecan 1 pada ameloblastoma jenis folikuler3. Bagaimana ekspresi syndecan 1 pada ameloblastoma jenis plexiform dan folikuler.C. Tujuan :1. Tujuan Umum : mengetahui perbedaan ekpresi syndecan pada ameloblastoma tipe folikuler dan plexiform2. Tujuan Khusus :a. Mengetahui karakteristik ekspresi syndecan 1 pada ameloblastoma jenis plexiformb. Mengetahui karakteristik ekspresi syndecan 1 pada ameloblastoma jenis folikulerc. Mengetahui karakteristik ekspresi syndecan 1 pada ameloblastoma jenis plexiform dan folikuler.

D. Manfaat1. Manfaat Teoritisa. Memberikan kontribusi dalam bentuk informasi ilmiah tentang korelasi ekspresi syndecan-1 dengan pertumbuhan ameloblastoma.b. Menjadi landasan ilmiah untuk pelaksanaan dan pengembangan penelitian selanjutnya mengenai syndecan 1 dalam mempelajari pertumbuhan lokal ameloblastoma.c. Menjadii dasar penelitian selanjutnya dalam memahami aspek biologis ameloblastoma.2. Manfaat Praktisia. Menjadi dasar pertimbangan dalam tindakan penatalaksanaan ameloblastoma, terutama dalam diagnosis ameloblastoma dengan teknik imunohistokimia untuk menganalisis ekspresi syndecan 1 pada ameloblastoma.b. Penelitian ini diharapkan untuk lebih memahami sifat dari ameloblastoma sehingga penderita ameloblastoma dapat di tatalaksana secara adekuat dan mencegah terjadinya rekurensi.E. Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian sejenis yang sudah dilakukan dan berhubungan dengan penelitian yang akan peniliti lakukan adalah sebagai berikut (Tabel 1.1).

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian NoJudulPenelitiPerbedaan

1. Ekspresi p53 pada ameloblastoma (penelitian imunohistokimia)Cahya yustisia hasan, Prihartiningsih, RahardjoPenelitian ini mengkaji ekspresi protein p53 serta melihat korelasi antara ekspresi protein p53 dengan berbagai tipe ameloblastoma

2. CD138 ( syndecan-1)expression in bone forming tumorsAmberly L. Nunes, MD, Gene P. Siegal, PhD, Vishnu V.B, Reddy, MD, and Shi Wei, MD, PhDPenelitian ini mengkaji ekspresi syndecan 1 pada tumor tulang

3.Syndecan 1 expression in human non-Hodgkin lymphomasAnna sebestyen, Lajos Berczi, Rudolf Mihalik, Sandor Paku, Andras Matolcsy and Laszio Kopper.Peneliatian ini mengkaji ekspresi syndecan 1 pada non-Hodgkin lymphomas

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori1. AmeloblastomaAmeloblastoma merupakan tumor epitelial odontogenik yang memperlihatkan induksi minimal pada jaringan ikat mesodermal, yang berasal dari derivat perkembangan gigi. Tumor jinak tersebut berasal dari lamina dentalis dan sering berhubungan dengan gigi yang impaksi. Sifat dari ameloblastoma adalah agresif lokal, invasive, destruktif, dan ekstensif dengan kecenderungan yang kuat untuk kambuh (Pedersen, 2002). Perkembangan dari ameloblastoma dapat tumbuh menuju kesegala arah, menginvasif jaringan lunak dan menghancurkan tulang, baik dengan tekanan langsung maupun dengan memicu resorpsi tulang oleh osteoklas. Kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh ameloblastoma berupa lokal dan persisten serta berkemampuan untuk menghasilkan deformitas (Regezi,2003). Neoplasma merupakan penyakit pertumbuhan sel karena dalam tubuh timbul dan berkembang biak sel-sel baru yang bentuk, sifat, dan kinetikanya. Berbeda dari sel normal apabila dilihat dengan mikroskop cahaya tampak sel tumor mempunyai inti yang lebih besar. Anak inti lebih besar jika dibandingkan dengan inti, sedangkan mitokondria ukurannya berkurang dan mitosis yang abnormal. Tumor terbagi menjadi dua yaitu tumor ganas dan tumor jinak (Sudiono, 2008). Tumor ganas (Maligna) memiliki karakteristik anaplasia, invasif dan metastasis. Macam tumor ganas yaitu ada yang berasal dari epitel seperti squamous sel carcinoma, adenocarcinoma, malignant ameloblastoma dan ada juga yang berasal dari jaringan ikat mesenkim yaitu fibrosarcoma, neurosarcoma, liposarcoma, osteogenic sarcoma. Tumor jinak (Benigna) merupakan suatu tumor atau benjolan didalam rongga mulut yang tidak mengalami metastasis. Tumor ini biasanya dikelilingi oleh selubung fibrosa (kapsul) yang menghambat kemampuan mereka untuk menjadi ganas. Tumor jinak odontogenik terbagi menjadi 3 macam, antara lain: 1) tumor yang berasal dari jaringan epitel tanpa melibatkan ektomesenkim odontogen. Tumor tersebut adalah ameloblastoma, calcifiying epitelial odontogenik, squamous odontogenik, clear cell odontogenik. 2) Tumor yang berasal dari jaringan epitel odontogen dan melibatkan ekstomesenkim odontogen dengan atau tanpa pembentukan jaringan keras gigi. contohnya ameloblastic fibroma, ameloblastic fibroodontoma, compund odontoma. 3) Tumor yang berasal dari ektomesenkim odontogen dengan atau tanpa melibatkan epitel odontogen. contohnya myxoma, cementoblastoma dan odontogenik fibroma (Sudiono, 2008).Orang pertama yang mempelajari mengenai ameloblastoma adalah Malassez (1885). Malassez menduga bahwa tumor ini berasal dari sisa epitel selubung akar dan menamakannya adamantin epitelioma. Sedangkan, tumor ini dengan sebutan adamantinoma dan nama ini banyak digunakan dalam literatur Jerman. Nama ameloblastoma sendiri berasal dari Ivy dan Churchill dan merupakan nama yang banyak digunakan dalam literatur Inggris-Amerika (Derjinsky, 1890)Ameloblastoma lebih sering muncul pada rahang bawah dibandingkan dengan rahang atas. Tumor ini jarang bersifat ganas atau bermetastasis dan progresnya bersifat perlahan. Lesi yang dihasilkan dapat menyebabkan kelainan pada wajah dan rahang. Selain itu, karena pertumbuhan sel yang abnormal menyebabkan tumor ini mudah infiltrat dan menghancurkan jaringan sekitar tulang sehingga dibutuhkan bedah eksisi yang luas dalam pengobatannya. Ameloblastoma adalah suatu tumor berasal dari sel sel embrional dan terbentuk dari sel sel berpontesial bagi pembentukan enamel. Tumor ini biasanya tumbuh dengan lambat. Secara histologis jinak tetapi secara klinis merupakan neoplasma malignan. Terjadi lebih sering pada badan atau ramus mandibula dibanding pada maksila dan dapat berkapsul atau tidak berkapsul (Neville, 2002).a. Klasifikasi ameloblastoma Klasifikasi ameloblatoma terbagi menjadi 4 macam, antara lain ameloblastoma solid/multikistik, ameloblastoma ekstraosseus, ameloblastoma desmoplastik dan ameloblastoma unikistik (WHO, 2005). Secara mikroskopik, setiap subtipe ameloblastoma berbeda beda sesuai dengan klasifikasinya. Sejumlah pola histologis digambarkan dalam ameloblastoma. Beberapa diantaranya memperlihatkan tipe histologis tunggal yang lainnya menunjukan beberapa pola histologis didalam lesi yang sama. Ameloblas terdiri dari jaringan kaku yang berwarna keabu-abuan yang memperlihatkan daerah yang mengandung cairan kuning yang bening. Ameloblastoma menyerupai organ enamel, walaupun kasus-kasus yang berbeda dapat dibedakan dari kemiripan mereka untuk tahap-tahap odontogenesis yang berbeda (Neville, 2002). Gambaran histopatologis menunjukkan secara mikroskopis ameloblastoma terdiri dari pulau-pulau atau untaian epitel di dalam stroma jaringan ikat kolagen dan biasanya berbentuk pola folikuler dan pleksiform, tetapi ada juga pola acanthomatous, sel granuler, demoplastik dan basaloid. Tumor yang besar sering memperlihatkan kombinasi pada pola mikroskopik (Cawson,1993). Berikut ini pola-pola gambaran histopatologis :1) Ameloblastoma konvensional padat/ MultikistikAmeloblastoma terjadi pada 86% kasus. Tumor ini biasanya asimptomatik dan lesi yang kecil ditemukan pada saat pemeriksaan radiografis. Walaupun terdapat bermacam tipe histologis hal ini tidak mempengaruhi perawatan maupun prognosisnya (Neville, 2002). Tipe ini memiliki gambaran histopatologi yang berbeda-beda, yaitu follicular pattern, plexiform pattern, acantthomatous pattern, granular cell pattern, desmoplatic pattern dan basaloid pattern.a) Pola folikuler Pola folikuler merupakan pola yang paling umum dan mudah dikenali. Pulau-pulau epitelium menggambarkan epitel organ enamel didalam stroma jaringan ikat fibrosa dewasa. Sarang-sarang epitel terdiri dari inti yang berisi sel anguler menggambarkan retikulum stelata dari organ email. Intinya dikelilingi oleh lapisan tunggal sel kolumnar seperti ameloblastoma. Inti sel-sel terletak di kutub yang berlawanan dengan membran dasar disebut juga reversed polarity. Pada area lain sel perifernya lebih berbentuk kuboid dan menggambarkan sel basal. Pembentukan kista umumnya terjadi mulai dari kista mikro hingga makro (Neville, 2002). Gambar 2.1. Ameloblastoma tipe folikular (Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouqout JE. Oral maxillofacial pathology. 2nd ed. Philadelphia : WB Saunders Co; 2002)

b) Pola pleksiform Pola pleksiform terdiri dari benang epitel panjang yang beranastomosis atau lembaran epitel odontogenik yang lebih besar. Benang-benang atau lembaran-lembaran epitel tersebut diikat oleh sel mirip ameloblast berbentuk kolumnar dan kuboid yang mengelilingi sel epitel yang diatur secara longgar. Masing masing massa atau untaian dibatasi oleh sel-sel kolumnar dan diantara lapisan ini kemungkinan dijumpai sel-sel yang menyerupai stalate retikulum. Namun, bentukan stalete retikulum ini lebih jarang ditemukan pada pola pleksiform dibandingkan dengan pola folikuler. Stroma memiliki struktur yang longgar dan memiliki vaskularisasi. Pembentukan kista tidak umum terjadi pada ameloblastoma dengan pola histopatologi ini. Walaupun ada kista, maka terbentuk dari degenerasi stroma bukan karena perubahan epitelium (Neville, 2002). Gambar 2.2. Ameloblastoma tipe pleksiform (Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouqout JE. Oral maxillofacial pathology. 2nd ed. Philadelphia : WB Saunders Co; 2002)c) Pola acanthomatous Pola acanthomatous terjadi pada saat metaplasia sel skuamosa yang luas muncul dibagian tengah pulau epitel ameloblastoma folikuler yang disebut sebagai acanthomatous ameloblastoma. Sel sel yang menepati posisi stalate retikulum mengalami metaplasia squamous terkadang disertai dengan pembentukan keratin pada bagian sentral dari pulau-pulau tumor. Epitel pearls atau keratin pearls juga sering dijumpai. Secara histopatologi biasanya lesi ini mungkin disangka sebagai karsinoma sel skuamosa (Neville, 2002). Gambar 2.3. Ameloblastoma tipe acanthomatous (Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouqout JE. Oral maxillofacial pathology. 2nd ed. Philadelphia : WB Saunders Co; 2002)d) Pola sel granular Pola sel granular terjadi dimana sel-sel epitel ameloblastoma terkadang berubah menjadi sel-sel granular. Apabila perubahan yang terjadi cukup luas maka disebut amelobastoma sel granular. Pada pola ini terdapat ciri-ciri transformasi sitoplasma, biasanya sel-sel yang menyerupai stelate retikulum sehingga mengalami bentuk eosinofil, granular yang sangat kasar (Sapp, 1997). Sel-sel ini sering meluas hingga melibatkan sel-sel kolumnar atau kuboidal periperal. Penelitian ultrastruktural, seperti yang dilakukan Tandler dan Rossi, menunjukkan bahwa granul-granul sitoplasmik ini menunjukkan lisosomal dengan komponen-komponen sel yang tidak dapat dikenali. Hartman telah melaporkan serangkaian kasus ameloblastoma sel granular dan memperkirakan bahwa tipe sel granular ini terlihat menjadi lesi yang agresif dan cenderung untuk kambuh kecuali dilakukan bedah yang sesuai pada operasi pertama dan dilaporkan pernah terjadi metastasis (Sapp, 1997). Sel-sel ameloblastoma terkadang berubah menjadi sel-sel granuler, ketika perubahan yang terjadi cukup luas maka disebut ameloblastoma. Sel-sel ini memiliki sitoplasma yang berlimpah yang terisi oleh granul-granul eosinofil (Neville, 2002). Gambar 2.4. Ameloblastoma tipe sel granular (Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouqout JE. Oral maxillofacial pathology. 2nd ed. Philadelphia : WB Saunders Co; 2002)e) Pola desmoplastic Pola desmoplastic terdiri dari pulau-pulau kecil dan benang-benang epitel odontogenik didalam stroma yang terkolagenisasi penuh. Studi imunohistokimia menunjukkan produksi sitokin yang mungkin menjadi penyebab desmoplasia. Secara radiografis lesi ini menggambarkan lesi fibro-osseus (Neville, 2002). Gambar 2.5. Ameloblastoma tipe desmoplastic (Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouqout JE. Oral maxillofacial pathology. 2nd ed. Philadelphia : WB Saunders Co; 2002)

f) Pola basaloid Pola basaloid merupakan tipe yang paling jarang terjadi. Lesi ini tersusun dari sarang-sarang sel basaloid yang seragam. Tidak ada retikulum stelata tampak ditengah-tengah sarang. Pada pola ini sel perifernya cenderung kuboid daripada kolumnar dan biasanya tersusun dalam lembaran-lembaran, lebih banyak dari tumor jenis lainnya (Neville, 2002). Gambar 2.6. Ameloblastoma tipe basaloid (Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouqout JE. Oral maxillofacial pathology. 2nd ed. Philadelphia : WB Saunders Co; 2002)2) Ameloblastoma UnikistikAmeloblastoma unikistik terjadi 13% dari seluruh kasus ameloblastoma. Ameloblastoma unikistik sering terjadi pada pasien muda, lebih dari 90% ameloblastoma unikistik ditemukan pada mandibula pada region posterior (Sapp, 1997). Tipe unikistik sulit didiagnosa karena kebanyakan ameloblastoma memiliki komponen kista. Tipe ini umumnya menyerang bagian posterior mandibula diikuti dengan region parasimfisis dan anterior maksila (Sapp, 1997). Ameloblastoma tipe unikistik membentuk kista dentigerous baik secara klinis maupun secara radiografis. Walaupun beberapa diantaranya tidak berhubungan dengan ggi yang tidak erupsi. Secara histopatologi terbagi menjadi tiga yaitu: ameloblastoma luminal, ameloblastoma intraluminal dan ameloblastoma mural.a) Ameloblastoma LuminalTumor ini terikat ke permukaan luminal dari kista. Lesi terdiri dari dinding kista fibrosa dengan lapisan yang berisi epitelium ameloblastik baik parsial maupun total. Tampak lapisan basal sel kolumnar atau kuboid dengan inti hiperkromatik yang menunjukan adanya reverse polarity dan vakuolisasi sitoplasmik basilar. Gambar 2.7. Ameloblastoma tipe luminal (Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouqout JE. Oral maxillofacial pathology. 2nd ed. Philadelphia : WB Saunders Co; 2002)b) Ameloblastoma IntraluminalAmeloblastoma memiliki nodul-nodul yang terdiri dari lapisan kista hingga lumen kista. Nodul bisa secara relatif kecil atau besar hingga memenuhi lumen kista. Pada beberapa kasus nodul yang berada didalam lumen memperlihatkan pola plekiform dan edematous seperti pada ameloblastoma konvensional. Lesi yang seperti ini disebut plexiform unicystic ameloblastoma (Neville, 2002). Gambar 2.8. Ameloblastoma tipe intraluminal (Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouqout JE. Oral maxillofacial pathology. 2nd ed. Philadelphia : WB Saunders Co; 2002)c) Ameloblastoma MuralAmeloblastoma mural memiliki dinding fibrosa kista. Diinfiltrasi oleh ameloblastoma plexiform dan folikullar. Perluasan dan kedalaman infiltrasi ameloblastoma bervariasi. Gambar 2.9. Ameloblastoma tipe mural (Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouqout JE. Oral maxillofacial pathology. 2nd ed. Philadelphia : WB Saunders Co; 2002)3) Ameloblastoma periperalPeripheral ameloblastoma juga dikenal dengan nama ekstraosseus ameloblastoma. Biasanya, terjadi pada gingiva atau mukosa alveolar. Hanya 1% kejadian yang ditemukan dari keseluruhan kasus ameloblastoma. Tipe ini menginfiltrasi jaringan di sekelilingnya. Tumor ini kemungkinan terbentuk dari sisa-sisa epitel odontogenik dibawah mukosa oral atau dari sel basal epithelial dan permukaan epitel atau dari sisa epitel serres pada gingival. Secara histopatologi memiliki gambaran yang sama dengan bentuk intraosseus dari ameloblastoma (Neville, 2002). Gambar 2.9. Ameloblastoma tipe periperal (Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouqout JE. Oral maxillofacial pathology. 2nd ed. Philadelphia : WB Saunders Co; 2002)b. Etiologi Ameloblastoma belum memliki etiologi secara jelas. Tetapi, beberapa ahli mengatakan bahwa ameloblastoma dapat terjadi karena : 1) Sisa sel sel dari organ enamel, baik itu sisa lamina dental, epitel malaizes atau sisa pembungkus hertwig yang terkandung dalam ligamen periodontal gigi yang akan erupsi.2) Organ enamel yang sedang berkembang3) Epitelium dari kista odontogenik terutama kista dentigerous4) Gangguan dari perkembangan organ enamel5) Sel-sel basal dari epithelium permukaan rahang 6) Epitelium heterotropik pada bagian-bagian lain dari tubuh, khususnya kelenjar pituitary. Dapat juga disebabkan karena gigi yang impaksi dan suatu kista folikular. 7) Sisa epitel serres pada gingival8) Sel basal oral mukosa, hasil dari invaginasi sel basal epitel ke tulang rahang yang sedang berkembang (Neville, 2002). c. Patogenesis Patogenesis dari ameloblastoma digunakan untuk melihat adanya hubungan antara ameloblastoma dengan jaringan pembentuk gigi atau sel-sel yang berkemampuan untuk membentuk gigi. Tetapi, terdapat suatu rangsangan yang memulai terjadinya proliferasi selsel tumor. Ameloblastoma dapat menyebar secara lambat terutama melalui tulang kanselus. Tetapi, dapat meluas ke rahang dan menembus jaringan lunak (Cawson, 1993). Ameloblastoma sering menyerang akar gigi yang bersangkutan. Mekanisme ameloblastoma tumbuh membesar dan menginvasi terlihat pada ekspresi TNF-, protein anti apoptotik (Bcl-2, Bcl-xl), dan protein intefase (faktor pertumbuhan fibroblas (FGF), matriks metaloprotein (MMP). Ameloblastoma mengalami proliferasi terlihat dalam siklus sel yang berhubungan dalam Ki-67, mutasi gen p53 tidak terlihat pada perkembangan atau pertumbuhan ameloblastoma (Sciuba JJ, 2008). d. Gambaran Klinis Ameloblastoma merupakan tumor yang jinak, tetapi merupakan lesi invasi secara lokal, dimana pertumbuhannya lambat dan dapat dijumpai setelah beberapa tahun sebelum gejala gejalanya berkembang (LC Gupta, 2002). Secara klinis, mayoritas pasien penderita ameloblastoma dengan keluhan utama adalah pembengkakan dengan nyeri yang berkembang lambat. Tanda-tanda dan gejalanya yaitu kerusakan wajah, pembengkakan, nyeri, tanggalnya gigi, sakit pada pemasangan protesa, ulserasi dan penyakit periodontal (Anonymous, 2002).Pada tahap yang sangat awal, riwayat pasien asimtomatis (tanpa gejala). Ameloblastoma tumbuh secara perlahan selama beberapa tahun, dan tidak ditemui sampai dilakukan pemeriksaan radiografi oral secara rutin. Pada tahap awal, tulang keras dan mukosa diatasnya bewarna normal. Pada tahap berikutnya, tulang menipis dan ketika teresobsi seluruhnya tumor yang menonjol terasa lunak pada penekanan dan dapat memiliki gambaran berlobus pada radiografi (Anonymous, 2009). Dengan pembesarannya, maka tumor tersebut dapat mengekspansi tulang kortikal yang luas dan memutuskan batasan tulang serta menginvasi jaringan lunak. Pasien jadi menyadari adanya pembengkakan yang progresif, biasanya pada bagian bukal mandibula, juga dapat mengalami perluasan kepermukaan lingual, suatu gambaran yang tidak umum pada kista odontogenik. Ketika menembus mukosa, permukaan tumor dapat menjadi memar dan mengalami ulserasi akibat penguyahan. Pada tahap lebih lanjut,kemungkinan ada rasa sakit didalam atau sekitar gigi dan gigi tetangga dapat goyang bahkan tanggal.Gejala umum pada ameloblastoma yaitu pembengkakan dengan presentase kejadian 75% diikuti oleh rasa sakit terjadi pada 33% pasien, lalu infeksi sinus 28% dan ulserasi 10%. Pembengkakan wajah dan asimetris wajah merupakan penemuan ekstra oral yang penting. Sisi asimetris tergantung pada tulang utama atau tulang-tulang yang terlibat. Perkembangan tumor tidak menimbulkan rasa sakit kecuali ada penekanan saraf atau terjadi komplikasi infeksi sekunder. Terkadang pasien membiarkan ameloblastoma bertahan selama beberapa tahun tanpa perawatan. Pada kasus-kasus tersebut terjadi ekspansi yang dapat menimbulkan ulkus. Namun, tipe ulseratif dari pertumbuhan karsinoma tidak terjadiPada tahap lanjutn dari ameloblastoma, dapat menyebabkan pertambahan ukuran yang dapat menyebabkan gangguan pengunyahan dan penelanan. Tumor ini pertama kali adalah padat, tetapi kemudian menjadi kista pada pengeluaran sel-sel stelatenya. Gejala yang didapat pada tingkat ini yaitu rasa sakit, pembengkakan, serta kelainan bentuk wajah.Ameloblastoma merupakan tumor jinak tapi karena sifat invasi dan sering kambuh, maka tumor ini dapat menjadi lebih serius dan ditakutkan akan terjadi komplikasi bila tidak di singkirkan secara lengkap (Neville, 2002).e. Gambaran Radiografik Gambaran radiografi ameloblastoma secara klasik dapat digambarkan sebagai suatu lesi yang menyerupai kistamultilokular pada rahang. Tulang yang terlibat digantikan oleh berbagai daerah radiolusen yang berbatas jelas yang member lesi suatu bentuk seperti sarang lebah atau gelembung sabun. Terdapat juga gambaran radiolusen berbatas jelas yang menunjukkan suatu ruang tunggal. Suatu ameloblastoma menghasilkan lebih luas resobsi akar gigi yang berkontak dengan lesi. Ada dua tipe ameloblastom yang menunjukan tanda yang khas secara rontgenografi yaitu : 1) Ameloblastoma monokistik terlihat sebagai suatu rongga yang menyerupai kista radikular atau folikular yang garis luarnya tidak halus, bulat tetapi irreguler dan berlobul serta bagian perifernya seringkali bergerigi. Tipe ini jarang dijumpai.2) Ameloblastoma multikistik menghasilkan suatu gambaran yang khas secara rontgenografi. Ada pembentukan kista multipel yang biasanya berbentuk silinder dan terpisah satu sama lain oleh trabekula. Kista bulat ini bervariasi ukuran serta jumlahnya. Secara radiografi ameloblatoma memiliki gambaran radiografi yang khas. Jika ameloblastoma menempati suatu rongga tunggal atau monokistik. Maka, diagnosa radiografi menjadi bertambah sulit karena kemiripannya terhadap kista dentigerous dan terhadap kista residual berbatas epitel pada rahang. Kista yang berbatas epitel menunjukan jaringan tersebut lebih radiopak dibandingkan cairan. Ameloblastoma secara radiografi menyerupai kista dentigerous telah dilaporkan oleh Chan(1933), Bailey(1951) .Rongga kista pada mandibula yang terletak pada mahkota molar kedua yang tidak erupsi. Rongga berbentuk bulat dengan batas yang teratur dan posisinya yang berhubungan dengan gigi yang tidak erupsi diduga sebagai suatu kista dentigerous. Tetapi, pada pemeriksaan mikroskopis kandungan rongga tersebut terbukti sebagai ameloblastoma. Ameloblastoma secara radiografi menyerupai kista residual berbatas epitel, berbentuk bulat dan memiliki batas yang jelas dan teratur. Kerusakan kecil pada tulang didekat daerah puncak alveolus memberikan suatu gambaran radiolusen yang dapat diinterpretasikan dengan baik sebagai kerusakan setelah operasi. Ameloblastoma dapat terbentuk dari folikel-folikel yang tidak sepenuhnya disingkirkan pada saat penyingkiran gigi yang tidak erupsi. Meningkatnya ukuran lesi, menyebabkan korteks rusak dan invasi ke jaringan lunak. Dalam hal ini, ameloblastoma berbeda dari lesi fibrous dan fibroosseus yang mengekspansi tetapi cenderung mempertahankan korteks. Walaupun pemeriksaan rontgen bernilai penting untuk menentukan perluasan keterlibatannya, namun ini tidak selalu bernilai diagnostic yang pasti. Lesi-lesi yang kecil sulit untuk diinterpretasikan, dan pada beberapa kasus harus bergantung pada pemeriksaan patologis yang seharusnya dibuat pada semua kasus dicurigai (Chan, 1933). Terdapat berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi munculnya ameloblastoma. Faktor tersebut dapat berupa faktor internal maupun eksternal. Faktor internal itu sendiri yaitu tumor oncogenes seperti gen c-myc dan gen ras yang dimiliki penderita. Kebanyakan dari tumor oncogenes adalah mutasi dari gen normal yang disebut proto-oncogenes. Proto-oncogeneses adalah gen yang biasanya mengontrol apa jenis sel itu dan seberapa sering sel tersebut membelah. Proto-oncogenes bermutasi menjadi oncogenes hal itu mempengaruhi gen tersebut menjadi gen yang buruk dan tetap aktif saat seharusnya gen tersebut mati, hal ini menyebabkan sel tumbuh tidak terkendali dan memicu pertumbuhan sel kanker (Fearon & Bommer, 2007). Faktor internal lainnya yaitu tumor suppressor gene. Tumor suppressor gene adalah gen normal yang memperlambat pembelahan sel, memperbaiki kesalahan DNA, dan berperan pada saat apoptosis, seperti gen p53 dan gen pRb. Ketika tumor suppressor gene tidak bekerja sel akan terus bertumbuh tanpa terkendali, sehingga dapat memicu pertumbuhan sel kanker (Fearon & Bommer, 2007). Hingga saat ini banyak peneliti yang menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya tumor/kanker adalah karena adanya mutasi pada gen-gen tersebut (Putsztai dkk., 1996; Cotrans dkk.,1999).2. Syndecan 1Syndecan merupkan protein transmembrane type 1 yang memiliki fungsi atau karakteristik yang spesifik. Mengandung sulfate heparan dan sebagian chondrotine sulfate. Terbagi menjadi 4 macam yaitu syndecan 1, syndecan 2, syndecan 3, syndecan 4 (David et al.,, 1992). Protein inti dari syndecan terdiri dari 3 domain yaitu extraceluller domain (ectodomain), transmembrane domain, dan sitoplasma domain. GAGs (Glycosaminoglikan) yang dapat berikatan pada domain extraceluller pada protein inti dapat memberikan kemampuan yang berbeda dari setiap jenis syndecan. Bentuk dan jenis dari stuktur GAGs pada sydecan dapat berbeda pada berbagai jenis sel dan memiliki kemampuan mengikat yang berbeda pula (Inki & Jalkanen,1996). Pada ectodomain memiliki bagian pada GAG yang dapat berikatan dengan beberapa molekul matriks extraceluller yang dapat ditemukan didekat membran sel, dimana sydecan 1 dapat dibuat dengan pembentukan proteolitik. Pembentukan ini memiliki peran yang sangat penting dan dapat dilalui melalui beberapa proses patofisiologis dan dapat dirangsang pembentukannya dengan mediator fisiologis yang berbeda-beda (Fitzgerald et al.,,2000). Domain transmembran memiliki karakteristik yang homolog dan mengandung 24-25 asam amino. Pada domain sitoplasmik memiliki rantai asam amino yang pendek yaitu 28-34 asam amino yang mengikat berbagai molekul efektor yang berbeda-beda. Syndecan memiliki dua daerah yang sama, dipisahkan oleh daerah variabel sentral yang spesifik. Domain sitoplasma mengikat unsur-unsur cytoskeleton dan memiliki peran dalam kompleks sinyal sitoplasma (Rapraeger & Ott,1998).Syndecan memiliki berbagai macam fungsi yang ditugaskan untuk protein inti dan rantai sulfate heparan. Oleh karena itu, fungsi syndecan bervariasi diantaranya mengatur matriks extraceluller, mediasi adhesi sel dan migrasi untuk proliferasi dan differensiasi rantai sulfat heparan dengan mengikat berbagai macam ligan. Yang paling penting yaitu faktor pertumbuhan yang mengatur perilaku sel selama masa sel berkembang (Rapraeger & Ott, 1998).Syndecan 1 atau biasa disebut CD138 adalah sydecan utama dan paling banyak dipelajari dalam sel epitel. Nama syndecan berasal dari bahasa yunani yang berarti mengikat secara bersama. Karena dianggap menghubungkan sitoskeleton ke matriks intestinal. Pada manusia syndecan 1 terletak pada kromosom 2p23. Syndecan 1 terdiri dari protein inti panjang yaitu 311 asam amino yang melekat dengan heparan sulfate itu sendiri atau dalam beberapa sel yang bersama-sama dengan chondrotin sulfate (Ala-Kapee et al.,, 1990).Syndecan 1 paling banyak ditemukan di sel-sel epitel dimana ekspresi syndecan paling banyak ditemukan pada epitelial squamous dan transisi epitel sebagai kontak antar sel. Pada keratosit, sydecan 1 terlokalisasi pada membran sel terutama pada lapisan sel suprabasal. Syndecan 1 juga terdapat pada limfosit B yang telah matang, sel plasma, sel myeloma dan sel leydig. Syndecan 1 menunjukan kemampuan untuk mengikat berbagai protein matriks ekstraseluller seperti kolagen tipe I,III,V, fibronectin, dan tenascin. Dengan cara berikatan dengan ECM dan memodulasi faktor pertumbuhan. Pada suatu penelitian syndecan 1 diperlukan untuk mempertahankan fenotip epitelial dengan mempengaruhi organisasiactin skeleton dan ekspresi E-Cadherin (Elenius & Jalkanen, 1994).Syndecan 1 memiliki peran berpartisipasi dalam regulasi proliferasi sel seperti yang telah dijelaskan. Ekspresi sel tersebut diaktifkan selama pertumbuhan sel normal ketika sedang ditekan dalam proliferasi sel abnormal. Terdapat hubungan yang erat antara basic fibroblas growth factor (bFgF) dengan ekspresi syndecan 1. Syndecan 1 berfungsi menenganahi pengikatan antara bFgF dan aktivitasnya. Syndecan 1 mengalami perubahan dalam mengontrol faktor pertumbuhan dan perkembangan sel normal. Peran syndecan -1 :a. Selama perkembangan embrio Tahap perkembangan dan pembentukan embrio pada sel normal interaksi antara sel dengan lingkungan sangat penting terutama pada tahap perkembangan. Syndecan-1 sebagai molekul penting yang membantu dalam interaksi timbal balik selama perkembangan embrio. Syndecan-1 ditemukan berkembang dibeberapa epitel seperti epidermis, odontogenik, epitel pada payudara. Hal ini dianggap sebagai syndecan awal untuk diekspresikan selama perkembangan. Muncul pada tahap sel ke 4 memperlihatkan hubungan dari kontak antar sel pada tahap sel 16-32 dan menunjukan bahwa semua sel-sel dalam embryoblast dalam blastocyt. Setelah tahap gastrulasi, ekpresi tinggi syndecan-1 tersebut ditemukan di ectoderm dan di endoderm. Syndecan- 1 terdapat dalam jaringan mesencyme selama perkembangan terutama interaksi antar epitel dan mesencymalpada tahap perkembangan gigi. Ekspresi juga terlihat dalam epitel enamel dan mesenchyme gigi di tahap kuncup (bud stage), dan muncul lagi pada stratum intermedium dan pada stellated reticulum pada tahap bell stage (Vaino et al.,, 1991).b. Selama penyembuhan dan perbaikan lukaSyndecan 1 memiliki peran penting dalam penyembuhan luka. Karena menyediakan stabilitasi matrix dan membantu mengatur mediator yang mengatur fungsi sel selama penyembuhan luka. Syndecan 1 sementara menurun dalam migrasi pada keratinocytes. Hal ini diperkuat pada proliferasi keratinocytes dan pada sel endhotelial pada perkembangan pembuluh darah dalam jaringan granulasi. Syndecan 1 ditemukan memiliki fungsi yang khusus selama penyembuhan luka dari periodontium. Syndecan 1 mungkin memiliki fungsi sebagai sebuah molekul adhesi sel selama penyembuhan luka pada periodontal. Tahap ini penting sebagai regenerasi jaringan lunak dan jaringan keras pada periodontium (Worapamorn et al.,, 2002)c. Menurunkan regulasi pertumbuhan tumorPengurangan adhesi intraseluler untuk ECM merupakan cara penting dari perkembangan dan invasi dari suatu tumor (Stelter-stevenson et al.,, 1993). Sel dengan penurunan ekspresi syndecan-1 telah kehilangan permukaan sel yang mengikat antara sel satu sama lain pada molekul permukaan dan dengan matrix seluller. Perubahan morphologi ada menyebabkan sel tersebut menjadi bebas untuk berikatan dan membagi dengan yang lainnya serta bertumbuh (leppa et al.,1992).Dikatakan bahwa syndecan 1 dihilangkan dari permukaan sel melalui suatu mekanisme yang disebut ectodomain shedding yang meliputi pembelahan proteolytic (Kim et al.,,1994; Fitzgerald et al.,,2000). Syndecan 1 dilepaskan dan mulai berakumulasi dengan matriks extraseluller dan berdifusi pada aliran darah dan mencapai tingkat tinggi pada beberapa pasien kanker (seidel et al.,,2000). Meskipun syndecan 1 memiliki kemampuan untuk mempertahankan kemampuannya untuk mengikat ligand lain seperti bfgf. Dilaporkan bahwa pengikatan bfgf untuk reseptor lain yang memerlukan untuk melakukan pengikatan dengan ligan lain sebelumnya seperti heparan sulfat dan heparan sulfate proteoglycan termasuk syndecan-1 (Elenius et al.,1992).Syndecan 1 seperti heparan sulfate berperan sebagai resevor dari FGF di permukan sel yang akan melepaskan matriks ekstaseluller pada ectodomain. Pengikatan ini dimungkinkan dapat meningkatkan setengah hidup dari FGF dengan melindungi faktor pertu,nuha dari degradasi dan menyediakan tempat penyimpanan dalam jangka [anjang. Degradasi enzimatik syndecan 1 akan mengubah solube sndecan 1 ectodomain dari penghambatan kemampuan aktivasi FGF. Dengan penambahan pada rantai protein inti heparan sulfate dari syndecan 1 dapat terdegradasi oleh aktivitas enzym heparanase (Bame, 2001).Dalam keadaan normal tidak terdapat sydecan 1 di sel stromal namun peningkatan ekspresi di stormal (fibroblas dan myofibroblas) pada jaringan neoplastik Ekpresi stromal ini dianggap menunjukan prognosis yang buruk di lambung, ovarium dan payudara dan kanker pada kepala dan leher (Wiktsten et al., 2001; Davies et al., 2004; Leivonen et al., 2004; miklos et al., 2006). Syndecan 1 dapat memicu peningkatan faktor pertumbuhan tumor dengan memfasilitasi proses angigenesis. Pewarnaan pada stromal syndecan 1 berasal dari syndecan 1 dari tumor sel stromal atau dari sel stromal itu sendiri.Eksprsi syndecan 1 dapat berkurang dan hilang pada sel karsinoma dibandingkan dengan keadaan normal. pada keadaan normal kemampuan sel lebih berkurang.Pada lesi yang jinak seperti pada oral epithelial dysplasia, ekspresi syndecan-1 menurun dibandingkan pada oral stratified squamous epithelium. Karen itu syndecan 1 dapat digunakan sebagai penanda terjadinya perubahan dysplasia sel.Ekpresi syndecan 1 berkurang pada pertumbuhan carcinogenik di bibir. Pada keadaan bibir yang normal pada actinic cheilitis yang akan berkebang menjadi squamous sel karsinoma syndecan 1 dapat digunakan sebagai penanda adanya pertumbuhan tumor jinak pada bibir (Martinez et al.,, 2009).Syndecan 1 juga telah diteliti pada penelitian invitro dan ekperimental. Liebersbach dan sanderson (1994) menemukan ekspresi syndecan 1 dapat menghambat invasi hingga ke kolagen. Disimpulkan bahwa kehilangan ekpresi syndecan 1 berhubungan dengan migrasi sel normal atau metastasis sel. Beberapa penelitian pada tumor yang terjadi di kepala dan leher mengatakan bahwa berkurangnya ekspresi epitel dari syndecan 1 berhubungan dengan suatu prognosis tumor tersebut (Chen & Ou, 2006).Pada kasus tumor mulut, terjadi penurunan regulasi syndecan 1 dan terjadi peningkatan invasi. Ekspresi syndecan -1 berkurang hal ini berkaitan dengan ukuran dan invasi pada tumor (Ro et al., 2006). Ekpresi syndecan-1 pada sel kanker mulut dan berkurang sesuai dengan level proliferasi dari rendah hingga tinggi. Selanjutnya terlihat bahwa adanya peningkatan invasi ketika syndecan 1 berfungsi memblok jalur sel kanker tersebut (Muramatsu et al., 2008). Ekspresi syndecan 1 pada kista odontogenik dan tumor tidak dapat terinvestigasi secara adekuat. Ekspresi dari syndecan -1 pada ameloblastoma menurun dibandingkan dengan sel normal pada gigi (Leocata et al., 2007). Ekpresi syndecan 1 mengalami penurunan pada ameloblastoma tipe solid atau mutikistik dibandingkan dengan ameloblastoma unicistic. Ekspresi syndecan 1 pada tipe peripheral, desmoplastic dan tumor ameloblastoma. Hasilnya ekspresi syndecan 1 mengalami penurunan pada tumor ameloblastoma dibandingkan dengan tumor lainnya. Sesuai dengan peningkatan progres dan keagresivan lesi tersebut (Bologna Molina et al., 2008).3. Imunohistokimia Imunihistokimia merupakan proses dalam mendeteksi antigen pada sel jaringan dengan prinsip reaksi antibodi yang berikatan terhadap antigen pada jaringan. Imunohistokimia seringkali digunakan untuk mengukur dan mengidentifikasi karakteristik dari proses proliferasi sel, apoptosis sel. Imunohistokimia juga sering digunakan untuk penelitian dasar dalam rangka mengetahui distribusi dan lokasi biomarker ataupun protein terekspresi pada berbagai macam jaringan pada tubuh. Untuk memvisualisasikan hasil interaksi antara antigen dan antibodi dapat dilakukan dengan berbagai cara, dimana cara yang paling sering digunakan dengan konjungasi antibodi dengan enzim seperti perokside (Rantam, 2003). Terdapat dua macam antibodi yang digunakan yakni antibodi Poliklonal dan monoklonal. Antibodi poliklonal diproduksi dengan imunisasi hewan yang cocok, biasanya mamalia (Buchwalow, 2010). Antibodi monoklonal berasal dari garis sel tunggal (juga disebut sebagai klon). Dalam teknologi antibodi monoklonal, sel tumor yang dapat mereplikasi tanpa henti menyatu dengan sel mamalia yang menghasilkan antibodi. Hasil fusi sel disebut hibridoma, yang akan terus memproduksi antibodi. Antibodi monoklonal adalah identik karena diproduksi oleh sel imun yang memerlukan imunisasi hewan, biasanya tikus, mendapatkan sel-sel imun dari limpa (Buchwalow, 2010).Metode pengujian imunohitokimia ada dua yakni menggunakan metode direct dan metode indirect. Metode direct merupakan metode imunohistokimia yang menggunakan antibodi primer yang sudah terlabel dan berkaitan langsung dengan antigen target secara langsung. Metode langsung atau direct merupakan metode pengecatan satu langkah karena hanya melibatkan 1 jenis antibody (Buchalow IB, 2010). Metode Indirect merupakan metode imunohistokimia yang menggunakan antibodi primer yang tidak ada labelnya, namun digunakan juga antibodi sekunder yang sudah memiliki label dan akan bereaksi dengan IgG dari abtibodi primer (Buchalow IB, 2010). Antibodi primer berusaha mengenali antigen yang diidentifikasi pada jaringan (first layer) sedangkan antibodi sekunder akan berikatan dengan antibodi primer (second layer). Antibodi kedua merupakan anti-antibodi primer. Pelabelan antibodi sekunder diikuti dengan penambahan subtrat berupa kromogen. Kromogen merupakan suatu gugus fungsi senyawa kimia yang dapat membentuk senyawa tertentu. Penggunaan kromogen flourescent dye seperti FITC, rodhamin, dan texas-red diebut metode imunofloyrence, sedangkan penggunaan kromogen enzim seperti perokside, alkali fosfatase atau glukosa oksidase disebut metode imunoenzyme. Pada metode antibodi spesifik yang mengenali antigen jaringan disebut sebagai antibodi primer dan tidak dilakukan modifikasi pada antibodi ini. Namun diperlukan antibodi lain yang dapat berikatan dengan antibodi primer yang disebut atibodi sekunder. Antibodi sekunder ini dimodifikasi sehingga memiliki molekul indikator pada antibodi tersebut. Setiap antibodi primer dapat dikenali oleh lebih dari 1 antibodi sekunder, oleh karena itu, setelah diberikan substrat akan terbentuk warna yang lebih jelas pada jaringan tersebut (Buchalow IB, 2010)Metode lainnya yang dilakukan untuk melakukan pengujian imunohistokimia yakni metode peroxidase-anti-peroksidase (PAP) dan metode vidin-biodin-complex (ABC). Penggunaan imunohistokimia menurut Rantam (2003) dapat digunakan sebagai berikut:a. Mendeteksi berbagai macam penyakit seperti kanker dan tumor dan dapat digunakan untuk identifikasi sel atau jaringan. Contoh penyakit yang dapat dideteksi dengan imunohistokimia adalah adenocarcinoma yaitu dengan carcinoembyonic antigen (CEA), carcinoma dan sarcoma dengan menggunakan (cytokeratins), hodgkins disease dengan menggunakan (CD15 dan CD 30), tumor yolk sac, karsinoma hepatoseluller, gastrointestinal stromal tumors (GIST) dengan menggunakan CD117(kit), renal cell carcinoma dengan menggunakan CD10 (CALLA), acute lymphoblastic leukimia, ameloblastoma.b. Mengidentifikasi sel B dengan menggunakan CD20 dan sel T limfa dengan menggunakan CD3.c. Memeriksa ekspresi protein dalam struktur tertentu.d. Namun memiliki kekurangan yaitu kurang spesifik terhadap protein tertentu.B. Kerangka Teori

Ganas Neoplasma

MesenkimTulang Jinak

Epitel

HitsopatologiImunohistokimia

Ameloblastoma

Oncogen Syndecan 1Supresor gen pRbGen Ras Tipe folikulerTipe plexiformTipe acanthomatousTipe granularTipe desmoplasticTipe Basal Multikistik Periperal IntraluminarLuminarMural Unikistik

Keterangan = Tidak diteliti = Diteliti

BAB IIIMETODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Variabel TerkendaliPemotongan Blok ParafinPemulasan ImmunohistokimiaWaktu pengambilan jaringan

Variabel TerikatEkspresi Syndecan-1 Variabel BebasAmeloblastoma tipe folikuler dan pleksiform

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

B. Jenis PenelitianJenis penelitian ini merupakan penelitian deskripsi analitik yaitu dengan mendeskripsikan mengenai sesuatu dan menganalisisnya. Menurut Sugiyono (2009) metode deskriptif analitik merupakan metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran suatu obyek penelitian yang di teliti melalui sampel atau data yang telah terkumpul dan membuat kesimpulannya.C. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian studi seran lintang (cross sectional study), karena sampel berupa blok parafin pasien ameloblastoma yang diperoleh dari hasil biopsi tanpa dilakukan perlakuan (treatment) tertentu (Sastroasmoro, 2002).

D. Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di Laboratorium Patologi dan Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. E. Variabel Penelitian :1. Variabel terikata. Preparat ameloblastoma tipe folikuler dan pleksiform 2. Variabel bebas a. Ekspresi syndecan 1 (CD138)3. Variable Terkendali a. Pemotongan blok parafinb. Pemulasan imunohstokimiaF. Definisi Operasional VariabelDefinisiCara pengukuranSkala data

Ekspresi syndecan 1 (CD138)protein transmembrane type 1 yang memiliki fungsi atau karakteristik yang spesifik. Mengandung sulfate heparan dan sebagian chondrotine sulfate.Uji Immunohistokimia dengan penilaian, diantaranya :1. Grading sel-sel yang tercat positif dari grade 0 sampai 4, dengan keterangan :(0) tidak ada sel tercat.(1) bila ada >0-10%(2) bila ada >10-50%(3) bila ada >50-80% (4) bila ada >80%-100% 2. Skoring lemah kuatnya reaksi intensitas warna dengan grade 0 sampai 3, dengan keterangan : (0) bila negative(1) intensitas lemah(2)instensitas sedang(3) intensitas kuat3. Penghitungan nilai skor ekspresi dengan dari 0 sampai 12, dengan keterangan : (+) lemah (++) kuat(+++) sangat kuatRasio

Ameloblastoma tipe folikularAmeloblastoma tipe ini memiliki ciri terdapat pulau-pulau epithelium yang menggambarkan epitel organ-organ enamel di dalam stroma jaringan ikat fibrosa dewasa (Neville, 2002)--

Ameloblastoma tipe pleksiformAmeloblastoma tipe ini memiliki ciri sel-sel tumor yang berbentuk seperti pita yang tidak teratur dan berhubungan satu sama lain serta stroma yang memiliki struktur yang longgar dan memiliki vaskularisasi (Neville, 2002)--

G. Sampel Penelitian Perhitungan sampel menggunakan rumus proporsi tunggal (Sastroasmoro, 2002). Berdasarkan atas proporsi jumlah pasien ameloblastoma (38,4 persen), maka besar sampel minimal yang diperlukan dalam penelitian ini sebagai berikut : No = (Z)2.p. (1-p) d2No = (1,96)2. (0,384).(0,616) (0,20)2 No = 22

Keterangan : No adalah besar sampel penelitian. adalah kesalahan tipe I (nilai = 5 persen, maka nilai Z = 1,96). p dan q proporsi variabel yang diteliti (nilai p = 0,07; nilai q = 1 - p = 0,94). d adalah presisi (10-20 persen) (Sastroasmoro S dan Ismael S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-2. Jakarta : CV Sagung Seto; 2002)

H. Sumber Data Sumber data yang digunakan adalah data primer yang diambil pada saat selesai melakukan kegiatan penelitian. I. Cara Pengumpulan Data Teknis Penelitian di Laboratorium Patologi dan Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, sebagai berikut:1. Cara mendapatkan sampelPopulasi dan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah blok parafin pasien ameloblastoma yang diperoleh dari hasil biopsi di beberapa Instansi Rumah Sakit Yogyakarta yang bekerja sama dengan Laboratorium Patologi dan Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.Kriteria inklusi sampel :a. Tipe ameloblastoma multikistik, yaitu tipe folikular dan pleksiformb. Lapisan terluar kapsul ameloblastomac. Pasien dengan usia 0 - 60 tahun. d. Umur sediaan blok paraffin : 1 minggu - 5 tahun.Kriteria eksklusi sampel :a. Tipe ameloblatoma non multisistikb. Lapisan dalam kapsul ameloblatomac. Pasien usia lebih dari 60 tahunc. Umur sediaan blok paraffin lebih dari 5 tahun2. Perlakuan sampela. Pembuatan preparat secara histologis dan imunohistokimia1) Pembuatan preparat histologi:a) Pengambilan jaringan dari hasil kultur ameloblastomab) Jaringan difiksasi yaitu c) Jaringan didehidrasi dengan menggunakan alkohol secara bertahap dimulai dengan menggunakan alkohol presentase rendah sampai dengan alkohol absolut. Dimulai dengan alkohol 30%, 50%, 70%, 80%, 95% dan alkohol absolute dilakukam perdaman 30-45 menit. Dilakukan pengulang sebanyak 3 kali pada setiap konsentratd) Jaringan dicleancering atau dijernihkan dengan menggunakan xylol dengan perbandingan 3:1,1:1,1:3 masing-masing selama 3 detik. Kemudian didehidrasi dengan elkohol secara bertingkat dan dilanjutkan dengan pencucian dengan aquades untuk mengihdari rehidrasi (Linury, 2000). e) Jaringan diinfiltrasi jaringan dimasukkan ke dalam filtran yaitu parafin dan xylol dengan perbandingan 9:1 selama 24 jamf) Jaringan diembedding jaringan ditanam di kertas kotak sebelumnya parafin dicairkan didalam inkubator pada temperatur 600C. Lakukan pengisian pada kertas kotak dengan parafin cair, bagian bawah cetakan didinginkan diatas blok es sehingga parafin pada bagian dasar cetakan agak memadat. Sampel diletakan di atas paraffin yang agak memadat sesuai dengan keinginan. Setelah dingin dilakukan pemotongan dengan menggunakan alat mikrotom (Botanika, 2008). g) Jaringan disection jaringan disayat diawali dengan pengirisan blok parafin dengan scalpel sehingga permukaan blok parafin yang akan diris dengan mikrotom berbentuk segi empat. Hasil sayatan berupa pita-pita sayatan diambil dengan menggunakan kuas. Lalu ditempelkan pada kaca objek dengan menggunakan meyer albumin (Botanika, 2008). 2) Pembuatan preparat imunohistokimia a) Preparat diambil dengan ketebalan 4m b) Preparat dari blok parafin direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama 5 menitc) Preparat dimasukan ke dalam larutan alkohol absolut I dan alkohol absolut II masing masing selama 5 menit, lalu kedalam alkohol 90% dan alkohol 70% masing-masing selama 5 menit.d) Preparat dimasukan kedalam aquades I dan aquadest II masing-masing selama 5 menit.e) Preparat dimasukan ke dalam quenching endogenous prexide yaitu dengan merendam preparat dalam metanol ditambah hidrogen peroxide (H2O2 0,3% selama 30 menit.f) Preparat Unmasking antigen yaitu dengan cara : Membuka kembali epitop antigen yang tertutup selama proses parafinisasi dengan buffer sitrat dengan pH 6,4 dalam microwave oven dengan temperatur medium selama 2 menit. Kemudian dalam temperatur yang low selama 2 menit g) Preparat dilakukan pewarnaan imunohistokimia Bloking serum albumin diteteskan diatas potongan jaringan pada preparat selama 30 menit Antibodi primer diberikan dengan pengenceran 1;50 dampai dengan 1:200 lalu inkubasi selama 1 jam dama temperatur 25oC. Kemudian cuci dua kali dengan menggunakan aquadest antibodi sekunder biotinilated diberikan lalu, di inkubasi selama 30 menit dan dicuci dua kali dengan aquades Lalu enzim SA-HRP (streptavidin horse raddish peroxide) diberikan. Kemudian, cuci dengan aquadest Substrat DAB (diaminoben sidin) dan pewarnaan tandingan hematoxidin meyer diberikan. Lalu, beri canada balsem. b. Pengamatan dan penilaian preparat immunohistokimian dilakukan dengan cara:3) Grading sel-sel yang tercat positif, yaitu:a) Grade 0 : bila tidak ada sel yang tercatb) Grade 1: bila > 0 10% sel yang tercatc) Grade 2 : bila > 10-50% sel yang tercatd) Grade 3: bila >50-80% sel yang tercate) Grade 4: bila >80% sel yang tercat4) Reaksi intensitasnya diskor sebagai berikut: a) 0: bila negatifb) 1: bila intensitas warna lemahc) 2: bila intensitas warna sedang, d) 3: bila intensitas warna kuat Kemudian dibuat skor ekspresi imunohistokimia syndecan 1 dengan mengalikan grading dan skor intensitas. Nilai skor ekspresi dari 0 sampai 12 (Ravazi, 2013).P(%) x I (sel positif) = Skor imunosupresi (% sel positif)1-4= skor positif (+) lemah5-8= skor positif (++) sedang8-12= skor positif (+++) kuatJ. Instrumen Penelitian 1. Alat :a. Mikroskop b. Objek glassc. Microtom ovend. Microtom blades e. Wadah cetakan (kayu segi empat)f. Label g. Freezer h. Timeri. Tabung plastik dan pipetj. Inkubator 56oC

2. Bahan :a. Jaringan yang akan dibuat preparatb. Formalin 10%c. Alkohol 70%, 80%, 90%, 100%d. Xylole. Parafinf. Waterbath (suhu diatur 45-50oC)g. Albumin (putih telur dan griselin)h. Larutan hematoxylini. Larutan eosinj. Canada balsemk. Antibodi primer : Monoclonal antibody (MoAb) syndecan 1 (CD138) (clone MI15 Dako corporation, Carpinteria, CA, USA, Dilution 1:100)l. Kit universal streptavin-biotinm. Pensil PAPn. Micropipet 100l;40-200l;200-100l. White tip, blue tipo. Kertas saringK. Metode Analisis Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah uji bivariat independent t-test untuk mengetahui perbedaan yang bermakna ekspresi syndecan 1 pada ameloblastoma tipe folikular dan pleksiform. Setelah didapatkan hasil perbedaan dilakukan uji korelasi Spearman untuk menunjukan adanya korelasi antara ekspresi syndecan 1 dan tipe histopatologis ameloblastoma.

L. Jadwal PenelitianTabel 3.2 Jadwal Penelitian JadwalBulan ke:

12345

1.Pembuatan Laporan Proposal

2.Seminar Proposal

3.Pelaksanaan Penelitian

4.Pembuatan Skripsi Hasil

5.Seminar Hasil

Berdasarkan jadwal kegiatan yang sudah ditentukan, diharapkan penelitian dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan.

1