proposal hamdani
TRANSCRIPT
A. Identitas Mahasiswa
Nama : HAMDANI
NIM : 06.20717.038
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Seni
Program Studi : Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
Alamat : Dusun Pepebulaeng Kec. Bontoa, Kab. Maros
B. Judul Penelitian
Peningkatan Kemampuan Belajar Bahasa Indonesia Melalui Pendekatan
Contextual Teaching Learning (CTL) terhadap Peserta Didik Kelas V di SD No 27
Inpress Pepebulaeng Kabupaten Maros”
C. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial, tindakannya yang pertama dan yang paling
penting adalah tindakan sosial. Suatu tindakan tempat saling mempertukarkan
pengalaman, saling mengemukakan dan menerima pikiran, saling mengutarakan
perasaan dan saling mengekpresikan serta menyetujui sesuatu pendirian atau
keyakinan. Oleh karena itu, di dalam tindakan sosial haruslah terdapat elemen-elemen
yang umum, yang sama-sama disetujui dan dipahami oleh sejumlah orang merupakan
suatu masyarakat untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan komunikasi. Di sini
perlu disadari bahwa “Bahasa berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat,
1
karena tanpa bahasa maka segala jenis kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh”
(Keraf, 1993:1).
Berbahasa pada dasarnya tidak lain adalah mencetuskan pikiran, gagasan
dan maksud dengan perkataan lain, manfaat yang paling besar dari bahasa adalah
dapat dipergunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, atau maksud kepada
orang lain. Bahasa merupakan kegiatan keterampilan yang meliputi beberapa aspek,
yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan
keterampilan menulis. “Terampil berbahasa berarti terampil menyimak, terampil
berbicara, terampil membaca, dan terampil menulis (Tarigan, 1986:22).
Setiap keterampilan tersebut saling berhubungan dengan proses-proses
berpikir yang mendasari bahasa. Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya.
Semakin terampil seseorang berbahasa semakin cerah dan jelas pula jalan pikirannya.
Semua itu dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan berlatih. “Melatih keterampilan
berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir.” (Tarigan, 1986:1).
Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan formal, secara sistematis
merencanakan bermacam-macam lingkungan, yakni lingkungan pendidikan yang
menyediakan berbagai kesempatan bagi peserta didik untuk melakukan berbagai
kegiatan belajar. Dengan berbagai kesempatan belajat itu, pertumbuhan dan
perkembangan peserta didik diarahkan dan didorong ke pencapaian tujuan yang
dicita-citakan. Lingkungan tersebut disusun dan ditata dalam suatu kurikulum, yang
pada gilirannya dilaksanakan dalam bentuk proses pembelajaran (Oemar Hamalik,
2008: 3).
2
Pembelajaran ada yang bersifat universal atau semua mempelajarinya,
seperti berbicara, berjalan, atau makan. Ada pula pembelajaran yang tidak universal,
karena seseorang mempelajari sesuatu yag berbeda dari orang lain. Inilah yang
menunjukkan bahwa pembelajaran adalah kontekstual. Sesorang belajar apa dan
kapan waktunya tergantung pada lingkungan mereka dianggap penting dan relevan
dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang mempelajari sesuatu karena mereka memiliki
kesempatan untuk menerapkan pembelajaran ini dalam kehidupan sehari-harinya.
Dengan demikian pembelajaran dapat dilakukan oleh seseorang pada waktu yang
berbeda dengan orang lain dengan tempat yang berbeda pula, seperti di rumah, di
sekolah, atau dimasyarakat.
Orang dewasa akan mempelajari sesuatu karena yang dipelajarinya itu
berguna dan mendapatkan kesempatan untuk mengaplikaskan pembelajaran ini dalam
kehidupan sehari-hari. Sedangkan peserta didik memiliki kesempatan terbatas untuk
menerapkan pembelajarannya dalam konteks kehidupan nyata. Mereka masih
mengembangkannya, sehingga seringkali tidak melihat relevansi dari isi pelajaran di
kelas dengan kehidupan nyata sehari-hari. Upaya guru untuk membantu peserta didik
memahami relevansi materi pembelajaran yang dipelajarinya itu adalah dengan
melakukan suatu pendekatan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk mengaplikasikan apa yang dipelajarinya di kelas.
Berdasarkan uraian di atas, penulis terdorong ingin mengetahui
peningkatan kemampuan belajar Bahasa Indonesia melalui pendekatan contextual
teaching learning (CTL) terhadap peserta didik kelas V di SD Negeri No 27
3
Pepebulaeng Kabupaten Maros dan selain itu pertimbangan biaya dan kemudahan
akomodasi. Selain itu pula, di tempat tersebut belum ada yang mengangkat masalah
tersebut.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan
masalah yang diajukan adalah apakah dengan menerapkan pendekatan contextual
teaching learning (CTL) dapat meningkatkan kemampuan belajar bahasa indonesia di
SD Negeri No 27 Pepeulaeng Kabupaten Maros?.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan
belajar Bahasa Indonesia melalui pendekatan kontekstual di SD Negeri No 27
Pepebulaeng Kabupaten Maros.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :
a. Dapat memberikan suatu masukan pada pengajaran bahasa dan sastra
Indonesia, khususnya kemampuan belajar Bahasa Indonesia di SD Negeri No
27 Pepebulaeng kabupaten Maros;
b. Memberikan sumbangan pikiran terhadap guru-guru mata pelajaran bahasa
Indonesia di SD tentang cara penyusunan materi bagi pembelajaran/
pengajaran Bahasa Indonesia.
4
c. Memberikan masukan dalam rangka peningkatan kemampuan kreativitas
guru-guru bahasa Indonesia di SDN No 27 Pepebulaeng Kabupaten Maros
dalam mengajarkan keterampilan berbahasa.
F. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Pikir
1. Tinjauan Pustaka
a. Pengertian Belajar
Hampir semua ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsirannya
tentang ”belajar”. Seringkali pula perumusan dan tafsiran itu berbeda satu sama lain.
Dalam uraian ini kita akan berkenalan dengan beberapa perumusan saja, guna
melengkapi dan memperluas pandangan kita tentang mengajar.
Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalaui pengalaman. (learning is definied as the modification or strengthening of behavior through experience)(Oemar Hamalik, 2008: 36).
Menurut pengertian ini, belajara adalah merupakan suatu proses, suatu
kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan
tetapi lebih luas daripada itu, yakni mengalami. Hasil belajar ukan suatu penguasaan
hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan.(Oemar Hamalik, 2008: 36)
Pengertian ini sangat berbeda dengan pengertian lain tentang belajar, yang
menyatakan bahwa belajar adalah memperoleh pengetahuan ; belajar adalah latihan-
latian pembentukan kebiasaan secara otomatis, an seterusnya.
5
Sejalan dengan perumusan di atas, ada pula tafsiran lain tentang belajar, yang
menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu
melalui interaksi dengan lingkungan. (Oemar Hamalik, 2008: 36)
Dibandingkan dengan pengertian pertama, maka jelas, tujuan belajar itu
prinsipnya sama, yakni perubahan tingkah laku, hanya berbeda cara atau usaha
pencapainnya. Pengertian ini menitikberatkan pada interaksi antara individu dengan
lingkungan. Di dalam interaksi inilah terjadi serangkaian pengalaman belajar.
William Burton (dalam Oemar Hamalik, 2008: 36) mengemukakan bahwa a god
learning situation consist of a rich and varied series of learning expereriences unified
around a vigorous purpose, and carried on in interaction with a rich, varied and
provocative environment.
Pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan sebagainya yang
dimiliki seseorang tidak dapat diidentifikasi, karena ini merupakan kecenderungan
perilaku saja. Hal ini dapat diidentifikasi bahkan dapat diukur dari penampilan
(behavior performance). Penampilan ini dapat berupa kemampuan menjelaskan,
menyebutkan sesuatu, atau melakukan suatu perbuatan. Jadi, kita dapat
mengidentifikasi hasil belajar melalui penampilan. Namun demikian, individu dapat
dikatakan telah menjalani proses belajar, meskipun pada dirinya hanya ada perubahan
dalam kecenderungan perilaku. (De Cocco & Crawford, 1977: 178).
Menurut Kimble & Garmezy, sifat perubahan perilaku dalam belajar
relatif permanen. Dengan demikian hasil belajar dapat diidentifikasi dari adanya
kemampuan melakukan sesuatu secara permanen, dapat berulang-ulang dengan hasil
6
yang sama. Kita membedakan antara perubahan perilaku hasil belajar dengan terjadi
secara kebetulan. Orang yang secara kebetulan dapat melakukan seasuatu, tentu tidak
dapat menghalangi perbuatan itu dengan hasil yang sama. Sedangkan orang dapat
melakukan sesuatu karena hasil belajar dapat melakukannya secara berulang-ulang
dengan hasil yang sama.
b. Pengertian Pembelajaran dan Pengajaran
Jika kita mengamati berbagai praktik pembelajaran yang dilaksanakan oleh
para guru, akan dapat dijumpai gejala beraneka ragam. Keanekaragaman itu terjadi,
baik pada tingkah laku guru, peserta didik, maupun situasi kelas. Secara umum gejala
yang dapat diamati dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok utama (Sumiati &
Asra, 2008: 1), yaitu :
1. Ada guru yang mengajar dengan cara menyampaikan materi pelajaran
semata-mata.
2. Ada guru yang sengaja menciptakan kondisi sedemikian rupa, sehingga
peserta didik dapat melakukan berbagai kegiatan yang beraneka ragam
dalam mempelajari materi pembelajaran.
3. Ada guru yang mengajar dengan memberi kebebasan kepada peserta didik
memilih materi pembelajaran apa akan dipelajari sesuai dengan minat dan
pilihannya, juga memberi kebebasan kepada setiap peserta didik untuk
melakukan proses mempelajari materi pembelajaran tersebut.
Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur
manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi
7
mencapai tujuan pembelajaran. Manusia terlibat dalam sistem pengajaran teridiri dari
peserta didik, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Meterial
meliputi buku-buku, papan tulis, dan kapur, fotografi, sliem dan film, audio, dan
video tape. Fasilitas dan perlengkapan, terdiri dari ruangan kelas, perlengkapan audio
vidual, juga komputer. Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi,
praktik, elajar, ujian dan sebagaianya. (Oemar Hamalik, 2008: 57).
c. Peran Guru dalam Proses Pembelajaran
Jika ditelusuri secara mendalam, proses pembelajaran yang merupakan inti
dari proses pendidikan formal di sekolah di dalamnya terjadi interaksi antara berbagai
kompoen pembelajaran. Komponen-komponen ini dapat dikelompokkan ke dalam
tiga kategori utama, yaitu guru, isi atau materi pembelajaran, dan peserta didik.
Interaksi antara ketiga komponen utama melibatkan sarana dan prasarana,
seperti metoe pemelajaran, media pembelajaran, dan penataan lingkungan tempat
belajar, sehingga tercipta situasi pembelajaran yang memungkinkan tercapainya
tujuan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Dengan demikian, guru memegang
peranan sentral dalam proses pembelajaran.
Pada awal proses pembelajaran peran guru bisa lebih aktif. Guru memberikan
pengetahuan yang dibutuhkan peserta didik dengan mengemukakan pendapat,
bertanya, menjelaskan, memberikan contoh yang akan dipelajari peserta didik.
Selanjutnya, guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk aktif dan
berpartisipasi secara nyata menerapkan apa yang telah pelajarinya dari guru dengan
bertanya, berpendapat, mengerjakan tugas, berlatih, atau mencoba. Ketika peserta
8
didik aktif peran guru mulai berubah menjadi lebih pasif, misalnya dengan cara
mengawasi atau membimbing peserta didik dan memberikan feedback. Sebaliknya
dari guru, pada awal pelajaran peserta didik cenderung pasif. Mereka mendengarkan
dan mengamati penjelasan guru. Selanjutnya, peserta didik menjadi lebih aktif
dengan menerapkan pengetahuan yang mereka terima di awal pembelajaran tadi.
Misalnya dengan melakukan praktik, latihan, atau percobaan. Seluruh proses belajar
seharusnya memungkinkan peserta didik aktif hingga berhasil.
Peran guru dalam proses pembelajaran yang dapat membangkitkan aktivitas
peserta didik setidak-tidaknya menjalankan tugas utama (Sumiati & Asra, 2008: 3-4),
berikut ini:
1. Merencanakan Pembelajaran
2. Melaksanakan Pembelajaran
3. Mengevaluasi Pembelajaran
4. Memberikan Umpan Balik
d. Pendekatan Sistem dalam Pembelajaran
Peserta didik adalah peserta yang aktif. Titik tolak pemikiran peserta didik
diajar dan guru mengajar beralih ke pandangan bahwa peserta didik belajar, peserta
didik mempelajari berbagai hal terus menerus dalam perjalanan hidupnya. Sekolah
merupakan tempat dan kesempatan belajar untuk belajar. Kegiatan belajar adalah
kegiatan sepanjang hayati, kegiatan yang tidak berhenti pada saat peserta didik tamat
sekolah. Oleh karena itu, kegiatan di sekolah adalah lebih daripada sekedar belajar.
Kegiatan di sekolah adalah kegiatan pembelajaran. Peserta didik belajar, saling
9
belajar, bukan hanya dari guru melainkan juga dari teman-teman sekelas, dari sumer
belajar yang lain (media cetak, media elektronik).
Guru dapat menggunakan berbagai metode pembelajaran, teknik dan
pendekatan pembelajaran untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal. Teknik dan
metode pembelajaran yang dipilih harus pembelajaran dalam bentuk pemberian tugas
proyek demonstrasi, pemecahan masalah untuk menghasilkannya yang meliatkan
partisipasi aktif peserta didik. Guru perlu mempertimbangkan model pembelajaran
yang sesuai dengan kompetensi yang dikembangkan. Guru juga garus membuat
perencanaan pembelajaran, penilaian, alokasi waktu, jenis penugasan, dan batas akhir
suatu tugas.
Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran berorientasi peserta didik
adalah peran guru bergeser dari menentukan ”apa yang akan dipelajari?” ke
”bagaimana menyediakan dan memperkaya pengalaman belajar peserta didik”.
Pengalaman belajar diperoleh melalui serangkaian kegiatan untuk mengeksplorasi
interaksi aktif dengan teman, lingkungan, dan narasumber lain.
e. Pembelajaran Kontekstual (CTL; Contextual Teaching and Learning)
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran
yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar
dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks
pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang
dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
10
CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu
guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Dalam Contextual Teaching and Learning (CTL) diperlukan sebuah
pendekatan yang lebih memberdayakan siswa dengan harapan siswa mampu
mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka, bukan menghafalkan fakta.
Disamping itu siswa belajar melalui mengalami bukan menghafal, mengingat
pengetahuan bukan sebuah perangkat fakta dan konsep yang siap diterima akan tetapi
sesuatu yang harus dikonstruksi oleh siswa. Dengan rasional tersebut pengetahuan
selalu berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Proses belajar anak dalam belajar dari mengalami sendiri, mengkonstruksi
pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Transfer belajar; anak
harus tahu makna belajar dan menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang
diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Peserta didik sebagai
pembelajar; tugas guru mengatur strategi belajar dan membantu menghubungkan
pengetahuan lama dengan pengetahuan baru, kemudian memfasilitasi kegiatan
belajar. Pentingnya lingkungan belajar; siswa bekerja dan belajar secara di panggung
guru mengarahkan dari dekat. Komponen pembelajaran yang efektif meliputi:
1) Konstruktivisme, konsep ini yang menuntut siswa untuk menyusun dan
membangun makna atas pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan
tertentu. Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, hasilnya
11
diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Strategi
pemerolehan pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa
banyak siswa mendapatkan dari atau mengingat pengetahuan.
2) Tanya jawab, dalam konsep ini kegiatan tanya jawab yang dilakukan baik oleh
guru maupun oleh siswa. Pertanyaan guru digunakan untuk memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara kritis dan mengevaluasi cara
berpikir siswa, seangkan pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan.
Tanya jawab dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa,
siswa dengan guru, atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.
3) Inkuiri, merupakan siklus proses dalam membangun pengetahuan/ konsep yang
bermula dari melakukan observasi, bertanya, investigasi, analisis, kemudian
membangun teori atau konsep. Siklus inkuiri meliputi; observasi, tanya jawab,
hipoteis, pengumpulan data, analisis data, kemudian disimpulkan.
4) Komunitas belajar, adalah kelompok belajar atau komunitas yang berfungsi
sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. Prakteknya
dapat berwujud dalam; pembentukan kelompok kecil atau kelompok besar serta
mendatangkan ahli ke kelas, bekerja dengan kelas sederajat, bekerja dengan kelas
di atasnya, beekrja dengan masyarakat.
5) Pemodelan, dalam konsep ini kegiatan mendemontrasikan suatu kinerja agar
siswa dapat mencontoh, belajr atau melakukan sesuatu sesuai dengan model yang
diberikan. Guru memberi model tentang how to learn (cara belajar) dan guru
12
bukan satu-satunya model dapat diambil dari siswa berprestasi atau melalui media
cetak dan elektroniksi
6) Refleksi, yaitu melihat kembali atau merespon suatu kejadian, kegiatan dan
pengalaman yang bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui, dan
hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan.
Adapun realisasinya adalah; pertanyaan langsung tentang apa-apa yang
diperolehnya hari itu, catatan dan jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa
mengenai pembelajaran pada hari itu, diskusi dan hasil karya.
7) Penilaian otentik, prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan
(pengetahuan, ketrampilan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik
adalah pada; pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari
sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhr periode, kemajuan belajar
dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai
pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa.
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara
bekerja sendiri, menemukan sendiri dan engkonstruksi sendiri pengetahuan dan
ketrampilan baru. Lakukan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua toipik.
Kembangkan sifat keingin tahuan siswa dengan cara bertanya. Ciptakan masyarakat
belajar (belajar dalam kelompok-kelompok). Hadirkan model sebagai contoh dalam
pembelajaran. Lakukan refleksi pada akhir pertemuan. Lakukan penilaian otentik
yang betul-betul menunjukkan kemampuan siswa.
13
f. Hasil Belajar
1) Pengertian hasil belajar
Belajar merupakan proses perubahan yang terjadi pada diri seseorang melalui
penguatan (reinfarcemen), sehingga terjadi perubahan ynag bersifat permanen dan
persistem pada dirinya sebagai hasil pengalaman (Learning is a change of behavior of
experience),demikian pendapat John Dewey, salah seorang ahli pendidikan Amerika
Serikat dari aliran bahavioural approach (Dwitaqma, 2008:1).
Perubahan yang dihasilkan oleh proses belajar bersifat progresif dan
akumulatif, mengarah pada kesempatan, misalnya dari tidak mampu menjadi mampu,
dan tidak mengerti menjadi mengerti, baik mencakup aspek pengetahuan (coqnitive
domain), aspek afektif (afektive domain). Hal tersebut sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Winkel (1996:244) bahwa “dalam taksonomi Bloom, aspek belajar
yang harus diukur keberhasilannya adalah aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik
sehingga dapat menggambarkan tingkah laku menyeluruh sebagai hasil belajar
siswa?”.
Pencapaian hasil belajar dapat diukur dengan melihat prestasi belajar yang
diperoleh pada proses pembelajaran. Tingkah laku sebagai hasil belajar juga tidak
terlepas dari proses pembelajaran di kelas dan berbagai bentuk interaksi belajar
lainnya.Menurut Sudjana (1984 : 3) bahwa hasil belajar adalah “tingkah laku yang
dicapai oleh pelajar dalam mengikuti program belajar mengajar sesuai dengan tujuan
pendidikan yang diharapkan. Hasil belajar dalam hal ini, meliputi wawasan kognitif,
afektif, dan psikomotorik.
14
Adapun menurut Mappasoro (2006: 1-2) bahwa “hasil belajar adalah sejumlah
perubahan yang terjadi pada diri seseorang yang disebabkan oleh faktor lain di luar
seperti perubahan karena kematangan, perubahan karena kelelahan fisik dan
sebagainya”.
Hasil belajar dan prestasi belajar ibarat dari sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan. Oleh Karena itu, berbicara hasil belajar maka orientasinya adalah
berbicara prestasi belajar yang diukur dengan nilai tertentu.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah perubahan yang dicapai seorang pelajar setelah mengikuti program
belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan yang meliputi
aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Berdasarkan hal tersebut, maka hasil yang dimaksudkan adalah prestasi
belajar yang diperoleh dari kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian, tujuan
pembelajaran dipandang sebagai suatu harapan yang akan diperoleh siswa setelah
mengikuti kegiatan belajar mengajar. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh
Nasution (2000 : 61) bahwa “hasil belajar siswa dirumuskan sebagai standar
kompetensi yang dinyatakan dalam bentuk yang lebih spesifik dan merupakan
komponen dari tujuan umum bidang studi”.
2) Fungsi hasil belajar
Hasil belajar yang dicapai siswa dapat dijadikan indikator untuk mengikuti
tingkat kemampuan, kesanggupan, penguasaan tentang materi belajar. Sehingga hasil
belajar dalam pendidikan tidak dapat dilepaskan dari tujuan evaluasi itu sendiri. Di
15
dalam pengertian tentang evaluasi pendidikan ialah untuk mendapatkan data
pembuktian yang akan menunjukkan sampai di mana kemampuan dan keberhasilan
siswa dalam pencapaian tujuan kurikuler.
Di samping hasil belajar yang digunakan oleh guru-guru dan para pengawas
pendidik untuk mengukur dan menilai sampai di mana keefektifan pengalaman-
pengalaman mengajar, kegiatan-kegiatan belajar dan metode-metode mengajar yang
digunakan. Dengan demikian, dapat dikatakan betapa penting peranan dan fungsi
hasil belajar dalam pendidikan dan pengajaran dikelompokkan menjadi empat fungsi
(Purnama, 1996 : 2) yaitu :
a) Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan serta keberhasilan peserta
didik setelah mengalami atau melakukan kegiatan belajar selama jangka
waktu tertentu. Hasil belajar dapat diperoleh itu selanjutnya dapat
digunakan untuk memperbaiki cara belajar peserta didik (fungsi formatif)
dan atau untuk mengisi rapor atau Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional,
yang berbarti pula untuk menentukan kenaikan kelas atau lulus tidak
hanya seorang peserta didik dari suatu lembaga pendidikan tertentu
(fungsi sumatif).
b) Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program pengajaran. Pengajaran
sebagai suatu sistem terdiri atas beberapa komponen yang saling berkaitan
satu sama lainnya.
16
c) Untuk keperluan bimbingan dan konseling (BK). Hasil-hasil yang telah
dilaksanakan terhadapa peserta didiknya dapat dijadikan informasi atau
data bagi pelayanan BK oleh para konselor sekolah.
d) Untuk keperluan pengembangan dan perbaikan kurikulum sekolah yang
bersangkutan.
Adapun menurut Winkel (1996: 483-484) bahwa hasil elajar dapat digunakan
untuk :
a) Mendapatkan informasi tentang masing-masing peserta didik, sampai
sejauh mana mereka telah mencapai tujuan-tujuan intruksional. Hasil
belajar pada tahap evaluasi formatif merupakan bahan untuk memonitor
kemajuan peserta didik menyangkut pencapaian tujuan intruksional untuk
unit pelajaran tertentu, pada tahap evaluasi sumatif dapat digunakan
sebagai bahan informasi untuk menentukan tingkat keberhasilan peserta
didik dalam beberapa tujuan instruksional yang diuji bersama-sama.
b) Mendapatkan informasi tentang suatu kelompok peserta didik sampai
berapa jauh kelompok peserta didik mengenai tujuan-tujuan instruksional,
misalnya satu satuan kelas di bidang studi Bahasa Indonesia. Informasi ini
diperoleh dengan menerapkan evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.
Hasil evaluasi tersebut juga bersifat diganostik yaitu membantu
menentukan faktor kesulitan dan kesukaran yang masih dialami peserta
didik dalam mencapai tujuan instruksional tertentu, dimana faktor tersebut
17
mungkin terdapat pada pribadi peserta didik dan mungkin juga terletak
dalam model proses belajar mengajar itu sendiri.
3) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar
Belajar merupakan proses kegiatan untuk mengubah tingkah laku subyek
belajar ternyata banyak faktor yang mempengaruhi dari sekian banyak yang
berpengaruh terhadap pencapaian hasil belajar, menurur Sardiman (2003 : 49) bahwa
secara garis besar dapat dibagi dalam klasifikasi faktor interen (dari dalam) dan faktor
eksteren (dari luar) diri subyek belajar. Hal ini, sama dikemukakan oleh Abdurahman
(1993 : 114) bahwa “hasil belajar secara pokok dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:
a) Faktor internal dan
b) Faktor eksternal
Faktor internal terdapat pada diri siswa itu sendiri, yang meliputi faktor
fisiologis dan faktor psikologi. Sedangkan faktor eksternal merupakan kondisi yang
berada di luar siswa yang terdiri atas faktor keluarga atau rumah tangga, faktor
sekolah dan faktor lingkungan masyarakat.
Menurut Abdurrahman (1993: 114) bahwa
Faktor fisiologis-biologis yang berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik, antara lain: (1) bentuk atau postur tubuh, (2) kesegaran dan kebugaran, (3) kesehatan atau keutuhan tubuh, (4) instink, refleks dan driff (dorongan), (5) komposisi zat cair tubuh, dan (6) rentang dan susunan saraf. Adapun faktor psikologis, antara lain : (1) kemampuan kognitif (pengenalan) berupa pengamatan, tanggapan, ingatan, assosiasi/ reproduksi, fantasi dan intelegensi, (2) kematangan emosi (perasaan berupa kematangan emosi biologis dan emosi rohani, (3) kekuatan konasi (kemauan), dan dorongan kombinasi berupa minat, perhatian, dan sugesti.
18
Lebih lanjut Abdurrahman (1993: 115)
Faktor-faktor yang berkaitan dengan keluarga dan lingkungan, antara lain: (1) suasana kehidupan dalam keluarga, (2) kondisi sosial ekonomi, (3) perhatian orang tua terhadap pelajaran anaknya, (4) pemberian motivasi dan dorongan untuk belajar, (5) fasilitas belajar. Faktor sekolah berkaitan dengan (1) pengelolaan kelas dan sekolah, (2) hubungan antara guru dan peserta didik, antara peserta didik dan antara peserta didik dengan guru, (3) pelaksanaan bimbingan konseling, (4) fasilitas dan sumber belajar, (5) penetapan dan penggunaan metode dan media pembelajaran oleh guru, (6) kondisi ruangan dan tempat belajar, dan (7) kerjasama orang tua dengan guru dan sekolah dengan masyarakat. Sedangkan faktor ligkungan masyarakat berkaitan dengan (8) perhatian dan kepedulian lembaga-lembaga masyarakat akan pendidikan, (9) keteladanan para pemimpin formal dan informal, (10) peranan media massa, dan (11) bentuk kehidupan masyarakat.
2. Prinsip-prinsip pengembangan hasil belajar
Pengembangan hasil belajar siswa dapat dilakukan dengan cara mengemas
pelajaran dan suasana menantang, merangsang dan menggugah daya cipta siswa
untuk menemukan dan mengesankan. Gagne dalam Mulyasa (2007 : 111)
menambahkan bahwa jika seorang peserta didik dihadapkan pada suatu masalah pada
akhirnya mereka bukan hanya sekedar memecahkan masalah memegang peranan
penting dalam pemgembangan siswa.
Menurut Abdurrahman (1993 : 189-110) bahwa “beberapa prinsip yang dapat
digunakan dalam mengembangkan hasil belajar antara lain:
a) Prinsip motivasi
Prinsip motivasi dimaksudkan untuk merangsan daya dorong pribadi peserta
didik melakukan sesuatu (motivasi intrinsil dan motivasi ekstrinsik). Untuk motivasi
19
instrinsik, gairahkanlah perasaan ingin tahu anak, keinginan mencoba dan hasrta
untuk lebih memajukan hasil belajar.
b) Prinsip latar atau konteks;
Peserta didik akan terangsang mempelajari sesuatu jika mengetahui adanya
hubungan langsung pada hal-hal yang sudah diketahui sebelumnya. Guru hendaknya
mengetahui apa kira-kira pengetahuan, keterampilan, sikap, dan pengalaman yang
sudah dimiliki peserta didi. Dengan pengetahuan latar ini, guru dapat
mengembangkan kemampuan dan hasil belajar peserta didik.
c) Prinsip sosialisasi;
Kegiatan belajar bersama dala kelompok perlu dikembangkan di kalangan
peserta didik, karena hasil belajar akan lebih baik. Pengelompokan peserta idik dapat
dilakukan dengan pendekatan kemampuan, tempat tinggal, jenis kelamin, dan minat.
Setiap kelompok diberi tugas yang berbeda dari sumber yang sama.
d) Prinsip belajar sambil bermain.
Bekerja merupakan tuntutan menyatakan diri utuk berprestasi pada diri
anak, karena itu berilah kesempatan mengembangkan kemampuan dan hasil
belajarnya melalui kegiatan bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain.
3. Kerangka Pikir
20
Pembelajaran bahasa adalah proses member rangsangan belajar berbahasa
kepada siswa dalam upaya siswa mencapai kemampuan belajar.
Untuk meningkatkan hasil belajar, harus menarik peserta didik sehingga
peserta peserta didik termotivasi untuk belajar. Diperlukan model pembelajaran
interaktif dimana guru lebih banyak memberikan peran kepada peserta didik sebagai
subyek belajar. Guru merancang proses belajar mengajar yang melibatkan peserta
didik secara integrative dan komprehensif pada aspek kognitif, efaketif, dan
psikomotorik sehingga terapai hasil belajar. Agar hasil belajar membaca meningkat
diperlukan situasi, cara dan strategi pembelajaran yang tepat untuk melibatkan peserta
didik secara aktif baik pikiran, pendengaran, penglihatan, dan psikomotorik dalam
proses belajar mengajar. Adapun pembelajaran yang tepat utuk melibatkan peserta
didik secara totalitas adalaha pembelajaran degan pendekatan keterampilan proses.
Pendekatan Kontekstual menekankan pada upaya mengajarkan kepada
peserta didik terlibat secara optimal dalam proses belajar mengajar.
Dari uraian di atas dapat diduga bahwa pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik. Secara sistematika
kerangkat pikir dapat dilihat pada gambar berikut.
21
Gambar 1 skema kerangka pikir
A. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Jenis
penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research).
Menurut Umar dan Kaco (2008: 9) bahwa “PTK bertujuan untuk peraikan
dan peningkatan layanan professional guru dalam menangani kegiatan belajar
mengajar”. Terdapat beberapa macam model PTK. Namun yang akan dipilih dala
penelitian ini adalah model Kemmis dan Mc Taggart (Tiro, 2007), model ini terdiri
dari empat komponen dalam satu siklus, yaitu (1) Perencanaan, (2) Tindakan, (3)
Obervasi, (4) Refleksi. Empat komponen tersebut dilaksanakan secara berurutan
22
Pembelajaran Bahasa
Medel Pembelajaran
Contextual Taechig Learning(CTL)
Hasil Belajar
dalam dua siklus. Daur penelitian tindakan kelas ditujukan sebagai perbaikan atau
hasil refleksi terhadap tindakan sebelumnya yang dianggap belum berhasil. Secara
skematik desain PTK dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2 Skema Penelitian tindakan kelas dalam satu siklus
2. Variabel Penelitian
Variebel dalam penelitian ini adalah:
a. Pendekatan keterampilan proses sebagai variabel bebas.
b. Hasil belajar membaca sebagai variabbel terikat.
3. Objek Penelitian
Adapun subjek dalam penelitian tindakan kelas adalah kelas V SD No. 27
Inpres Pepebulang terletak di dusun Pepebulaeng, Desa Balosi, Kec. Bontoa
Kabupaten Maros tahun ajaran 2009/2010 dibina oleh 15 (lima belas) guru dan
seorang bujang yang berjumlah sebanyak 27 orang. Siswa dengan rincian 14 siswa
perempuan dan 13 siswa laki-laki.
23
Perencanaan
Refleksi Tindakan
Observasi
4. Tekhnik Pengumpulan Data
Tekhnik Pengumpulan Data yang dilakukan melalui beberapa teknik sebagai
berikut:
a. Tes, dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan
butir soal sehingga dapat diseleksi atau revisi.
b. Observasi, tentang hasil belajar peserta didik dan keaktifan peserta didik
selama mengikuti kegiatan belajar mengajar. Observasi terhadap aktivitas
kelas yang berhubungan dengan perilaku peserta didik maupun guru.
Kegiatan dimulai dari awal pembelajaran yang berkaitan dengan membaca.
5. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Siklus I
a. Tahap Perencanaan (planning)
1. Guru membuat Rencana Pelakasanaan Pembelajaran (RPP) sesuai
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
2. Membuat bahan evaluasi berdasarkan materi yang diajarkan.
3. Selain perangkat pembelajaran juga disiapkan instrumen penelitian
berupa lembar observasi dan tes hasil belajar.
b. Tahap Tindakan (acting)
Guru melaksanakan langkah-langkah kegiatan belajar mengajar sesuai
dengan rancana pelaksanaan pembelajaran yang sudah disiapkan.
Adapun hal yang dilakukan pada saat pelaksanaan tindakan adalah
implementasi rencana yang telah dirumuskan sebelumnya. Dalam penelitian ini yang
24
dimaksud adalah pelaksanaan langkah-langkah proses pembelajaran yang telah
disusun pada rencana perbaikan pembelajaran.
c. Tahap Observasi (observation)
Untuk melihat penampilan guru dan pengaruhnya terhadap aktivitas peserta
didik selama proses belajar mengajar, maka peneliti mengamati lembar observasi
yang suda disiapkan.
Pelaksanaan tindakan, dilakukan pencatatan dengan menggunakan daftar
observasi untuk memudahkan pelaksanaannya. Observator mengamati kegiatan yang
berlangsung sambil mengisi daftar observasi yang telah disiapkan.
Adapun hal-hal yang dicatat selama berlangsungnya kegiatan observasi
adalah keaktifan peserta didik meliputi kerjasama, partisipasi, kejujuran. Sedangkan
observasi untuk guru adala segala perubahan tindakan/ perilaku guru saat terjadi
proses belajar mengajar yang meliputi memotivasi peserta didik, menyampaikan
tujuan, peguasaan materi, dan pemberian umpan balik.
d. Tahap Refleksi (reflection)
Guru dan peneliti berdiskusi untuk melihat keberhasilan dan kegagalan yang
telah terjadi setelah proses belajar mengajar dalam selang waktu tertentu. Hasil
sebagai masukan guru dan observatory untuk membuat perencanaan siklus erikutnya.
Untuk memperaiki kelemahan-kelemahan siklus I, maka disepakati bersama
observatory untuk merevisi rencana perbaikan pemelajaran siklus II. Revisi dilakukan
metode pendekatan proses dan mengoptimalkan motivasi peserta didik serta peraikan
umpan balik.
25
Siklus II
a. Perencanaan (planning)
Rencana tindakan untuk siklus II masih menggunakan tahap kegiatan seperti
pada siklus I, namun diberikan penekanan untuk perbaikan terhadap kekurangan
berdasarkan hasil refleksi dan penemuan penelitian siklus I, rencana tindakan
perbaikan dilaksanakan pada siklus II.
b. Pelaksaaan Tindakan (actioan)
Fokus utama dalam siklus II dibandingkan siklus sebelumnya adalah
mengupayakan semaksimal mungkin bagaimana peserta didik menjawab soal-soal
pertanyaan yang berkaitan dengan materi.
c. Tahap Observasi (observation)
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan ternyata paa siklus kedua ini
menunjukkan kreativitas belajar dengan kegiatan sangat baik pada seluruh aktivitas
yang diamati. Selanjutnya tindakan/ perilaku guru memperlihatkan perubahan yang
signifikan setelah rencana perbaikan pembelajaran direvisi. Seluruh aspek yang
diamati dalam proses belajar mengajar dengan kualitas yang baik.
d. Refleksi (reflection)
Pada akhir siklus dilakukan refleksi hal-hal yang diperoleh baik dari hasil
observasi maupun hasil te. Kekurangan-kekurangan yang terjadi pada siklus I akan
diperbaiki pada siklus selanjutnya.
Siklus II dilakukan dengan mangacu pada prosedur kegiatan yang sama
pada siklus I yang meliputi perencanaan, tindakan, osbservasi, dan refleksi. Hanya
26
saja, pada siklus II seluruh perencanaan dan pengambilan tindakan mengacu pada
upaya peraikan terhadap kekurangan-kekurangan yang diperoleh pada siklus I guna
mencapai hasil yang diharapkan.
Alur Pelaksanaan Penelitian sebagai berikut.
Gambar 2 alur pelaksanaan penelitian
27
Perencanaan
Perencanaan tindakan I
Pelaksanaan Tindakan I
Observasi
Refleksi
Perencanaan Tindakan II
HasilPelaksanaan Tindakan II
Observasi Refleksi Observasi
Hasil
6. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif,
yang terdiri dari rata-rata nilai maksimal dan minimum yang diperoleh siswa pada
setiap siklus untuk analisis kuantitatif, yang digunakan tekhnik ketegorisasi yang
dikemukakan oleh Suherman (1990 : 272) sebagai berikut:
a. Tingkat penguasaan 85 % ≤A≤ 100% atau 85 % - 100% sangat tinggi
b. Tingkat penguasaan 75% ≤B≤ 84% atau 75% - 84% tinggi
c. Tingkat penguasaan 55 % ≤C≤ 74% atau 55 % - 74% sedang, cukup
d. Tingkat penguasaan 40 % ≤D≤ 55% atau 40 % - 74% rendah
e. Tingkat penguasaan 0 % ≤A≤ 40 % atau 0 % - 40 % jelek, sangat rendah
Untuk analisis deskriptif, rumus yang digunakan sebagai berikut :
Keterangan :
Me = Mean
f = Frekuensi
x = Nilai perolehan siswa
N = Jumlah siswa
28
B. Jadwal Penelitian
No. Jenis KegiatanMaret April Mei Juni Juli Agustus
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 41. Persiapan
a. Pengajuan Judul
b. Penyusunan Proposal
c. Konsultasi Dosen
d. Perbaikan Proposal
2 Pelaksanaan
a. Pengumpulan data
b. Analisis data
3 Penyelesaian
a. Seminar ujian skripsi
b. Perbaikan hasil seminar
c. Pemasukan skripsi
29
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, 1993. Pengelolahan Pengajaran. Ujung Pandang : PT. Bintang Selatan.
Ali, Muhammad. 1985. Penelitian Pendidikan Prosedur dan Strategi. Bandung : Angkasa
Arikunto, Suharsimi, 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta
Badudu, J.S, 1999. Membina Bahasa Indonesia Baku. Bandung : Pustaka Prima.
Burns, P.C., Betty, D. dan Ross, E.P. 1996. Teaching Reading in Today’s elemtary Schools. Chicago: Rand Mc. Anlly College Publishing Company.
Depdikbud, 1996. Kurikulum SD : Pedoman Proses Belajar Mengajar. Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Depdikbud.
Dimyanti, Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Depdikbud.
Dwitaqama, D, 2008. Laporan Penelitian Tindakan Kelas (online).
Fitriani. 2001. ”Problematika Pembelajaran Keterampilan Berbicara Bahasa Indonesia Siswa Kelas III SMA Negeri 3 Makassar”. Skripsi Makassar : FBS UNM.
Funk, James H, 1985. Learning scence paeses skill Lowa : Kendall/Hunt Publishing Company
Gruber, B. 1993. 100% Practical: Strategies for Teacher. Torrance: Frank Schaffer Pulications, Inc.
Hanafie, Sitti Hawang, 1998. Baca Cepat dan Efektif. (Orasi Ilmiah). Ujung Pandang. IKIP.
Hargaove, Peteet. 1984. Assesment In Spesial Education Now Jersey : Paentice Hall.
Mappasaro, S, 2006. Belajar dan Pengajaran. Makassar : FIP UNM
30
Masruppah, 2000. Hubungan antara Kecepatan Membaca dan Kemampuan Memahami Isi Bacaan Bahasa Indonesia Siswa Kelas I SDN Percobaan Surabaya di Gedangan Sidoarjo Tahun Ajaran 1999/2000. skripsi. Tidak diterbitkan. Surabaya: Universitas PGRI Adi Buana.
Mulyasa. 2007. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Moedjiono, Moh. Dimiyanti, 1992, Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud.
Nasution. 2000. Metode Research. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Nurhadi, 2005. Membaca Cepat dan Efektif. Bandung: Algasindo.
Puji Santoso, dkk. 2007. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Rahim, Farida. 2007. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Rubin, D. 1993. A Practical Approach to Teaching Reading. Boston: Allyn and Bacon.
Rusyan, Tabrani, Kuseliner, Atang, dkk. 1989. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Saifullah, Aceng Ruhaidi. 1989. Membaca dalam Kehidupan. Bandung: Aksara.
Sardiman, 2003. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grasindo.
Soedarso. 2002. Speed Reading Sistem Membaca Cepat dan Efektif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suherman. E. 1990. Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Wijaya Kusuma: Bandung.
Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Sudjana, Nana. 1984. Pedoman Praktis Mengajar. Jakarta: PPPP. Agama Islam.
Tarigan, Henri Guntur, 1979. Membaca Ekspresif. Bandung: Angkasa.
Teew. 1982. Membaca dan Menulis Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wingkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Grasindo.
31