program magister ilmu religi dan budaya universitas … · seperti siti nurbaya, novel-novel yang...

151
JAKARTA PERIODE 1950-AN DI MATA PRAMOEDYA ANANTA TOER: Sebuah Analisis Tekstual Atas Cerita dari Jakarta Thesis Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Oleh: Iwan Hendarmawan 096322009 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Upload: others

Post on 05-Jan-2020

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

JAKARTA PERIODE 1950-AN DI MATA

PRAMOEDYA ANANTA TOER: Sebuah Analisis Tekstual Atas Cerita dari Jakarta

Thesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh:

Iwan Hendarmawan

096322009

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2015

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

THESIS

JAKARTA PERIODE 1950-AN DI MATA PRAMOEDYA ANANTA TOER:

Sebuah Analisis Tekstual Atas Cerita dari Jakarta

Dr. Budi Susanto, S.J.

Pembimbing

"-?tTanggal: 6 FebruariZ0l'5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

f

JAKARTA PERIODE 1950-AN DI MATA PRAMOEDYA ANANTA TOER:

Sebuah Analisis Tekstual Atas Cerita dari lakarta

0leh.Iwan Hendarmawan

096322009

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguj i Thesisdan dinyatakan telah memenuhi syarat

Tim Penguj i

Ketua

Sekretaris

Anggota

Dr. F.X. Baskara T. Wardaya,

Dr. Gregorius Budi Subanar,

1. Dr. Alb. Budi Susanto, S.f.

st

2. Prof. Dr. Augustinus Supratiknya

3. Dr. F.X. Baskara T. Wardaya S.f .

Yogyakarta, 6 Februari 2015

Direktur Program Pascasarjana

versi tas Sanata Dharma

nus Supratiknya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa thesis berjudul: "Jakarta Periode 1950-

an Di Mata Pramoedya Ananta Toer: Sebuah Analisis Tekstual Atas Cerita dari

Jakarta"merupakan hasil karya dan penelitian saya pribadi. Di dalam thesis

ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi. Peminjaman karya sarjana lain

adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara

tertulis di dalam catatan kaki dan daftar oustaka.

ogyakarta, Februari 2015o

\rnz''-'A(U

Iwan Hendarmawan

l

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata

Dharma,

Nama : Iwan Hendarmawan

NIM :096322009

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada

perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul:

"Jakarta Periode L950-an Di Mata Pramoedya Ananta Toer: Sebuah Analisis

Tekstual Atas Cerita dari Jakarta"

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya

memberikan pada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk

perangkat data, mendistribusikannya secara terbatas dan

mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan

akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti

kepada saya selama tetap mencantumkan saya sebagai penulis.

Demikian pernyataaan ini saya buat dengan sebenarnya

Yogyakarta, Februari 2015l' '^--.'--|,'/-fl

AUI IU

Iwan Hendarmawan

I

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

v

ABSTRAK

Jakarta adalah kota simbol. Sejak awal peresmiannya sebagai ibukota,

secara bertahap Jakarta dibangun dan didandani untuk menampilkan

perwajahan yang pas bagi sebuah negara yang baru saja merdeka: Indonesia.

Simbol-simbol kolonial dihancurkan. Ruang-ruang publik di kota dinamai

ulang dengan nama-nama yang ‘Indonesia’, nama-nama yang heroik.

Lapangan Ikada diganti menjadi Lapangan Merdeka. Begitupun istana yang

berdiri di dekatnya.

Sementara Soekarno dan pemerintah kota mendesain ulang Jakarta

dengan teliti, bangunan-bangunan lain secara perlahan menjamur di ibukota.

Bangunan-bangunan ini tidak direncanakan datangnya. Pemerintah

menyebutnya ‘bangunan liar’, dan penduduknya dinamai ‘penduduk liar’.

Simbol-simbol non resmi Jakarta tersebut kemudian diangkat oleh

Pramoedya dalam Cerita dari Jakarta. Dari karyanya ini diharapkan kita

dapat melihat sebuah cara pandang lain dalam melihat Jakarta, dan lanjut

Indonesia.

Dari 12 cerpen yang dimuat dalam buku tersebut, dipilihlah 5 di

antaranya: 1) Ikan-Ikan yang Terdampar; 2) Berita dari Kebayoran; 3)

Makhluk di Belakang Rumah; 4) Kecapi; 5) Gambir. Cerpen-cerpen tersebut

dipilih dengan berdasar pada keberagaman tema dan ruang yang dihadirkan

dalam simbolisasi kota Jakarta. Di antara kelima cerpen tersebut, tiga cerpen

(Ikan-Ikan yang Terdampar, Berita dari Kebayoran, dan Gambir) merujuk

pada daerah yang spesifik: daerah Lapangan Merdeka (sekarang Lapangan

Monas) dan sekitarnya. Sedangkan dua sisanya mengambil latar di kawasan

rumah petak liar di ibukota.

Dari analisis yang dilakukan, tersingkaplah wajah Jakarta yang lebih

‘membumi’. Dari hasil analisis yang dilakukan tersingkaplah sebuah wajah

kota yang lebih membumi. Membumi bukan hanya karena ia banyak ditemui,

tapi karena kedekatannya dengan mereka yang berdiam di ibukota. Akan

tetapi, simbol-simbol ini cenderung dielak-elakkan dari pandangan.

Dielakkan terutama karena tampilannya tidak sesuai dengan proyek

imajinasi yang ingin diperlihatkan dari ibukota dan bangsa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

vi

ABSTRACT

Jakarta is a city full of symbols. After Indonesian Independence, as the

new capital, Jakarta was gradually re-designed to become a proper

representation of the new nation: Indonesia. The symbols of colonialism were

demolished. The city space was renamed with names that connote Indonesian-

ness, something heroic. For instance, Ikada Square was renamed as Merdeka

Square (Freedom Square), as well as the palace nearby.

While Soekarno and the city government made a grandiose plan to re-

design Jakarta, ‘other monument’ has been established sporadically. Differ to

the National Monument, this monument is completely out of planned. The

government named it “illegal housing”, and the one who resides in it is called

“illegal dweller”.

This so-called unofficial symbol of Jakarta is brought to light through

Pramoedya Ananta Toer’s short stories. From his work, hopefully, we will get an

alternate view of city space, and nation.

From 12 short stories which is collected in a book titled Cerita dari

Jakarta, we will only analyze 5 short stories, namely: 1) Stranded Fish; 2) News

from Kebayoran; 3) Creatures Behind Houses; 4) Kecapi; and 5) Gambir. Those

short stories were selected because of its degree of variability to represent the

symbolic space of Jakarta. Among those five collection, three short stories

(Stranded Fish, News from Kebayoran and Gambir) refer to a specific location,

which is around the Merdeka Square (National Monument). Meanwhile, the

other two left, talked specifically about illegal housing in the city.

The result of this research revealed a more mundane view of Jakarta.

Mundane in the sense that its proximity to the inhabitant who reside in Jakarta.

The symbols being used was completely different from the officials discourse. In

fact, it was used to be denied from an official city look. It is kept behind the sight

mainly because its inappropriateness to build an ideal imagination of a city and

a nation look.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN................................................................................ ii

LEMBAR PERNYATAAN............................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI............................... iv

ABSTRAK........................................................................................................ v

ABSTRACT..................................................................................................... vi

DAFTAR ISI.................................................................................................... vii

DAFTAR ILUSTRASI.................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1

A. Latar Belakang............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah....................................................................... 10

C. Tujuan Penelitian........................................................................ 10

D. Manfaat Penelitian..................................................................... 11

E. Tinjauan Pustaka........................................................................ 13

F. Kerangka Penelitian.................................................................. 16

G. Metodologi Penelitian.............................................................. 22

H. Skema Penulisan........................................................................ 23

BAB II JAKARTA DAN KARYA SASTRA PERIODE 1950-AN............ 25

A. Historiografi Indonesia Periode 1950-an........................ 26

B. Membangun Indonesia, Membangun Jakarta................ 28

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

viii

C. Jakarta dalam ‘Realita............................................................... 43

D. Jakarta dalam Karya Sastra 1950-an.................................. 50

BAB III PRAMOEDYA DAN CERITA DARI JAKARTA........................... 57

A. Pramoedya: Masa-Masa di Blora.......................................... 58

B. Pramoedya, Jakarta, dan Revolusi Indonesia............... 61

C. Pramoedya dan Realisme Sosial........................................... 74

D. Sekilas tentang Cerita dari Jakarta...................................... 82

BAB IV MEMBAYANGKAN JAKARTA PERIODE 1950-AN DI

MATA PRAMOEDYA.................................................................

103

A. Ikan-Ikan yang Terdampar..................................................... 104

B. Berita dari Kebayoran.............................................................. 115

C. Makhluk di Belakang Rumah................................................ 121

D. Kecapi.............................................................................................. 127

E. Gambir................................................................................................ 129

F. Merekonstruksi Jakarta dan Indonesia Periode

1950-an...........................................................................................

133

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..................................................... 136

A. Kesimpulan.................................................................................... 136

B. Saran................................................................................................ 137

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

ix

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 139

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

x

DAFTAR ILUSTRASI

2.1. Istana Merdeka tahun 1950-an........................................................... 30

2.2. Peta Jakarta Tahun 1965........................................................................ 34

2.3. Peta Lapangan Merdeka awal tahun 1950-an sebelum

pembangunan Monumen Nasional, dan sesudahnya................

42

3.1. Pramoedya Ananta Toer ketika di Belanda.................................... 73

3.2. Setting tempat Ikan Yang Terdampar............................................... 85

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

1

BAB I

PENDAHULUAN

“Orang tjeritai aku tentang Djakarta gedung2, monumen dan tugu bertachta megah di hatiku: alangkah kaja tanah air Indonesia”1

(Mansur Samin – Sketsa Djakarta)

A. Latar Belakang

Bila Jogjakarta dikenal sebagai kota candi-candi, Jakarta populer

sebagai kota dengan gedung-gedung dan monumen-monumen yang tinggi.

Itulah yang menjadi pusat atraksi bagi mereka yang pertama kali melancong

ke Jakarta. Teuku Adi Fitrian, misalnya. Ketika pertama kali menginjakkan

kaki di Jakarta tahun 1997, penyanyi yang lebih dikenal dengan nama Tompi

itu, bertepuk tangan setiap kali melewati gedung-gedung tinggi.2

Keberadaan monumen dan gedung-gedung di Jakarta sudah

selayaknya candi-candi dan rumah-rumah adat di daerah. Statusnya sudah

seperti obyek wisata sekaligus simbol kota. Bila seseorang berkunjung ke

Sumatera Barat, besar kemungkinan ia akan berfoto dengan latar belakang

rumah gadang. Sementara bila seseorang singgah ke Jakarta, ia akan banyak

berfoto dengan latar belakang Monumen Nasional.

Dulu, Pramoedya pernah menulis, bagi orang daerah, mereka belum

merasa 100% Indonesia kalau belum sempat menyambangi Jakarta.

1 Dikutip sesuai ejaan aslinya dari: Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. 2011. “Jakarta through poverty” dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam, hal: 239 2 Dalam wawancara oleh Najwa Sihab dalam program talskhow Mata Najwa episode “Dari Aceh: Pesan Untuk Negeri”, 24 Desember 2014 tayang di MetroTV (Dapat diakses di: http://matanajwa.com/read/videodetails/2014/12/24/336457/4, 7 Januari 2015)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

2

Begitupun, rasa-rasanya bisa pula dikatakan, orang belum 100% telah

mengunjungi Jakarta bila belum mendatangi Monumen Nasional, atau juga

pusat-pusat perbelanjaannya yang mewah.

Ketakjuban orang luar Jakarta terhadap kemegahan bangunan-

bangunan di Jakarta diceritakan berulang-ulang dari generasi ke generasi,

sehingga seakan-akan menjadi tradisi. Jauh sebelum Jakarta didaulat menjadi

ibukota Republik Indonesia, Siti Nurbaya, karakter yang hidup dalam novel

Marah Rusli tahun 1922, sudah mengungkapkan kekagumannya terhadap

Jakarta, yang kala itu masih bernama Batavia. Setelah diajak berpelesiran

keliling Jakarta, Siti Nurbaya berkomentar: "The city of Betawi is truly big and

truly lively, full of very large and beautiful houses as well as shops. It rightly

deserves to be the capital city [iboe negeri] of East Indies."3

Begitulah, Jakarta mempunyai sejarah yang panjang tidak hanya

sebagai pusat pemerintahan, namun juga pusat modernitas dan kemajuan.

Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda)

awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang modernitas dan kemajuan

Jakarta. Hal ini disorot secara khusus dalam kajian Tsuyoshi Kato, bahwa

novel-novel tahun 1900-an cenderung menampilkan Jakarta dalam kerangka

yang ‘positif’. Jakarta diidentikkan dengan modernitas yang penuh dengan

kesenangan dan kebebasan. Berbeda dengan kampung yang kolot dan

mengekang.4

3 Marah Rusli dalam Kato, Tsuyoshi. 2003. "Images of colonial cities in early Indonesian novels" dalam buku Southeast Asia Over Three Generations : Essays Presented To Benedict R. O'G. Anderson. Siegel, James T. & Kahin, Audrey R. Eds. Studies on Southeast Asia 36. Ithaca: Cornell University, hal: 93 4 Lihat: Kato, Tsuyoshi. Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

3

Dengan pencitraan yang ‘wah’ seperti itu, tidak mengherankan apabila

Jakarta menjadi primadona, setidaknya bagi perantau. Arus urbanisasi ke

Jakarta sangat tinggi. Saking tingginya, sampai-sampai penduduk Jakarta

didominasi oleh ‘penduduk dari luar’ ketimbang ‘penduduk asli’. Dari

beberapa wilayah di Jakarta yang disurvei tahun 1953, diketahui bahwa 75%

penduduk di sana bukanlah kelahiran Jakarta. Artinya, sebagian besar dari

mereka adalah pendatang.5

Studi Lance Castles yang menghitung komposisi penduduk Jakarta

tahun 1961 menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda. Ia

memperkirakan ‘penduduk asli’ Jakarta di masa itu tinggal sekitar 22,9% dari

total populasi. Kalah banyak dari etnis Sunda yang menempati urutan

pertama dengan persentase 32,8%, dan etnis Jawa dan Madura di urutan

berikutnya dengan persentase 25,4%.6

Tingginya tingkat migrasi tersebut tentu berdampak signifikan

terhadap membludaknya jumlah penduduk di Jakarta. Di tahun 1931

populasi di Jakarta mencapai 533.000 jiwa, selisih sekitar 200 ribu dari

Surabaya yang dihuni 341.700 jiwa. Di tahun 1971, atau 40 tahun kemudian,

populasi di Jakarta melonjak drastis hingga hampir 9 kali lipat menjadi

4.576.000 jiwa, sedangkan Surabaya ‘hanya’ bertambah kurang dari 5 kali

lipat menjadi 1.556.300 jiwa.7

5 Lihat: Blackburn, Susan. 2012. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Pen. Gatot Triwira. Masup Jakarta: Jakarta, hal: 233 6 Castles, Lance. 1967. The ethnic profile of Jakarta. Indonesia, Vol. 1, hal: 185 7 Silver, Christopher. 2008. Planning The Megacity: Jakarta In The Twentieth Century. Routledge

Oxfordshire, hal: 91

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

4

Sejak awalnya, Jakarta telah dicita-citakan menjadi kota yang modern

dan megah. Tidak hanya megah untuk ukuran kota-kota di Indonesia, tetapi

juga dibandingkan dengan kota-kota lain di dunia. Kurang dari setahun

setelah kedaulatan RIS diakui Belanda, Soekarno telah merencanakan

membuat tugu peringatan setinggi 70 meter di tengah-tengah Lapangan

Gambir (diganti namanya menjadi Lapangan Merdeka). Tugu ini dibayangkan

serupa dengan Menara Eiffel di Paris.8 Pembangunan tugu yang kemudian

dikenal dengan sebutan Monumen Nasional tersebut memakan waktu 14

tahun, mulai 1961 sampai 1975, selesai saat Soekarno tidak lagi berkuasa.9

Pemerintah kota di kala itu juga memiliki visi yang sejalan dengan visi

Soekarno. Seperti yang diutarakan oleh Walikota Jakarta periode 1951 –

1953, Sjamsuridjal, yang dalam pidato sambutan pelantikannya sebagai

walikota sudah berencana membangun Jakarta menjadi kota yang indah dan

ternama.10 Dan, salah satu langkah yang ditempuh untuk memperindah kota

itu yakni:

“... membersihkan kota dari para gelandangan... Tidak seperti sekarang, dulu mereka tidur di beranda toko, di bawah jembatan, di gubuk kecil sepanjang jalur kereta, sehingga orang asing dapat melihat mereka dan hal ini menurunkan status bangsa ...”11 Sejak dimulainya periode Demokrasi Terpimpin, peran pemerintah

kota hanyalah sebagai perpanjangan tangan Soekarno. Soediro, Walikota

Jakarta yang menjabat periode 1953 – 1960 dapat dikatakan sekadar sebagai

8 Lihat: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/10/jakarta-pada-periode-demokrasi-parlementer#.VKjp6ldedGo, diakses tanggal: 4 Januari 2015 9 Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibukota Jakarta di Bawah Soekarno. Penerbit Ombak: Yogyakarta, hal: 133 10 Lihat: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/03/jakarta-sebagai-ibukota-ri#.VKi731dedGo, diakses tanggal 4 Januari 2015 11 Dalam Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 267 – 268

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

5

pengamin kebijakan-kebijakan Soekarno, terutama ketika statusnya

dinaikkan menjadi Gubernur di tahun 1958. Rencana-rencana Soediro untuk

Jakarta, seperti gagasan mempertahankan keberadaan trem listrik untuk

mendukung mobilitas pedagang kecil, gugur di tangan Soekarno yang

menghendaki hal sebaliknya.12

Jelas, Jakarta adalah kota yang istimewa, karena perannya yang

merangkap sebagai ibukota. Upaya Soekarno untuk mendandani Jakarta

merupakan usahanya untuk membangun negara (nation). Soekarno sebagai

arsitek utama kota Jakarta pada masa itu, berkeyakinan bahwa arsitektur

memegang peranan penting dalam menciptakan sebuah masyarakat yang

ideal. Baginya, “bangunan merupakan esensi dari kepercayaan dan

kebanggaan sebuah bangsa”.13 Dengan kata lain, Soekarno “menggunakan

arsitektur untuk mencapai tujuan Revolusi Indonesia”.14

Dalam sebuah pidato pada tahun 1962, Soekarno dengan intonasi

suara yang bergelora, membentangkan cita-cita dan rencana besarnya

terhadap Jakarta:

“[...] hai Saudara-saudara dari Djakarta, kita bangun kota Djakarta ini dengan cara semegah-megahnya. Megah bukan saja materiil; megah, bukan saja karena gedung-gedungnya pencakar langit; megah, bukan saja ia punya boulevard-boulevard, lorong-lorongnya indah; megah, bukan saja ia punya monumen-monumen indah; megah, di dalam segala arti, sampai di dalam rumah-rumah kecil daripada marhaen di kota Djakarta harus ada rasa kemegahan...”15

12 Ibid., hal: 94 – 95 13 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 51 14

Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 228 15 Ibid., hal: 229

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

6

Ya, retorika dan simbol merupakan dua kata kunci yang menjadi

pondasi dalam membangun negara, dan karenanya kota Jakarta, versi

Soekarno.16 Kekurangannya, walau di Jakarta tegak bangunan-bangunan

yang tinggi menjulang, namun kemegahannya itu seakan-akan menjadi ironi.

Sebab, kemegahan itu tidak berbanding lurus dengan kehidupan

masyarakatnya. Seperti komentar Susan Blackburn, pemerintah berupaya

"menciptakan wajah kota yang tidak sesuai dengan Jakarta, sebuah topeng

yang tidak mampu menutupi kesemrawutan kota yang meluas.”17

Oleh karena itu Jakarta, dikritik Farabi Fakih, menjadi kota yang

keindahannya hanya dapat dipersaksikan dari jauh, kota yang diperuntukkan

bagi kenikmatan mata pendatangnya. Namun, bila ditilik dari dekat,

tersibaklah cacatnya. Kesempurnaan Jakarta, lanjut Fakih, “[...] terletak pada

ketersembunyiannya. Ketersembunyian dari kerusakan-kerusakan kecil dan

juga dari orang-orang kecil yang hidup di bawah bayangan gedung-

gedungnya.”18

Sayangnya, kajian tentang Jakarta kemudian juga lebih banyak

menaruh perhatian pada monumen dan gedung-gedung bertingkat itu,

simbol-simbol yang oleh Bakker dan Saentaweesook disebut sebagai ‘top-

down symbolism’.19 Studi Fakih juga memiliki kecenderungan tersebut.

Kelemahannya jelas, seperti yang diakuinya pula, kajiannya tak dapat

16 Ibid., hal: 227 17 Ibid., hal: xxiii 18

Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 149 19 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. Op.cit., hal: 217

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

7

berbicara banyak tentang pengalaman atau ekspresi orang-orang yang hidup

di Jakarta, orang-orang yang sehari-harinya tinggal dan merasai Jakarta.20

Hadir sebagai alternatif dari top-down symbolism, sebut Bakker dan

Saentaweesook, yakni penyimbolan yang hadir melalui karya sastra, yang

lanjut diistilahkan dengan counter-symbolism. Maksudnya bukan dalam

artian karya sastra tersebut menyangkal atau menolak mentah-mentah

penyimbolan yang telah ada, melainkan memberikan perspektif yang

berbeda, perspektif yang berasal dari bawah, atau katakanlah dari rakyat

jelata. Dalam hal ini, diistilahkan bottom-up symbolism.21

Segera setelah Proklamasi diproklamirkan, dan Indonesia

memperoleh pengakuan atas kedaulatannya di tahun 1949, sebenarnya

pandangan beberapa pengarang terhadap ibukota dan negara bergeser ke

arah pesimis. Bahkan, Pramoedya Ananta Toer yang sempat turun ke medan

perang dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR), ikut menyuarakan pesimisme

yang sama.22

Misalnya, dalam tulisan tahun 1955 bertajuk Jakarta, Pramoedya

mengkritik habis-habisan rencana-rencana besar Soekarno. Bagi Pramoedya,

rencana-rencana besar itu terlalu mengawang-awang, tidak berpijak pada

realita yang dialami sehari-harinya di Jakarta.

“Permuntjulan yang grandiues tapi tak punya kontour-kontour kenyataan ini adalah gambaran kedjiwaan jakarta: rentjana-rentjana besar, galangan-galangan terbesar di Asia Tenggara, tugu terbesar di Asia, kemerosotan moral terbesar! segala terbesar. Tapi tak ada

20 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 19 – 20 21 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook, Op.cit., hal: 220 22

Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press: Cambridge, hal: 113

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

8

sekrup, tak mur, tak ada ada drat, tak ada nipple, tak ada naaf, tak ada inden dan ring pada permesinan semua ini.”23 Selanjutnya, pesimisme dan kritik tersebut juga dapat ditemukan di

dalam kumpulan cerita pendek yang ditulis Pramoedya dalam rentang 1948

– 1956. Kumpulan cerita pendek yang dibukukan dalam judul Cerita dari

Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya itu diterbitkan di

tahun 1957, sebuah periode di mana Soekarno sedang getol-getolnya

mengkampanyekan pembangunan kota.

Cerpen-cerpen Pramoedya dalam buku tersebut sebagian besar

berkisah tentang kaum yang terpinggirkan di ibukota. Seperti yang diulas A.

Teeuw, kebanyakan tokoh-tokohnya berasal dari “orang melarat yang hidup

di pinggiran masyarakat Jakarta, yang bergulat bersusah-payah mencari

sesuap nasi dan sedikit lindungan atau keselamatan dalam kota metropolitan

yang mengancam dan memusuhinya”.24

Bagaimanakah persisnya karya Pramoedya dapat memberikan sebuah

pandangan alternatif dalam penyimbolan Jakarta? Untuk itu, marilah kita

tengok satu contoh. Dalam cerpen Berita dari Kebayoran (1950), Pramoedya

menulis bagaimana Aminah, seorang pekerja seks, merasa terancam dengan

kehadiran lampu-lampu taman Istana:

“Mula-mula ia dan golongannya punya daerah di depan istana presis. Tapi lampu-lampu terang dipasang orang di sepanjang jalan yang meretas-retas kegelapan taman depan istana itu. Dan lampu-lampu itulah yang mengusirnya dengan golongannya ke sebelah kanan lagi:

23 Toer, Pramoedya Ananta. Jakarta (Dikutip sesuai ejaan aslinya dari situs: http://revolusipartij.blogspot.com/2009/12/karya-pramoedya-ananta-toer.html, tanggal 27 Desember 2014) 24

Teeuw, A. 1995. Revolusi Indonesia dalam imajinasi Pramoedya Ananta Toer. Jurnal Kalam Edisi 6 (4 – 47), hal: 22

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

9

tak lebih dari dua ratus lima puluh meter. Tak lebih dua ratus lima meter dari pagar istana.”25

Sepenggalan tulisan tersebut menggambarkan dengan baik

bagaimana sebuah bangunan yang dijadikan simbol kemegahan bangsa oleh

Soekarno ‘dialami’ secara personal oleh seorang warganya. Sebagaimana

diketahui, Istana Merdeka dulunya merupakan bekas kediaman Gubernur

Jenderal Belanda. Oleh Soekarno, gedung itu dijadikan pusat pemerintahan

dan diganti namanya menjadi Istana Merdeka.26 Jelas dari namanya Soekarno

hendak menjadikan istana tersebut sebagai simbol dari kemerdekaan dan

revolusi bangsa.

Akan tetapi, Istana Merdeka yang megah tersebut dipahami secara

berbeda oleh Aminah. Baginya, istana dan benderang lampunya adalah

sesuatu yang mengancam. Ia tertolak dari tempat yang menandakan

perjuangan dan kemerdekaan bangsanya. Oleh karena itu, kemerdekaan

bangsa itu tak berarti apa-apa baginya. Alih-alih ikut merasakan atmosfer

kebebasan itu, ia malah tersingkirkan.

Gambaran Pramoedya tentang kota Jakarta dan orang-orang yang

terpinggirkan serupa Aminah tersebut sangat menarik untuk ditelaah lebih

lanjut. Terlebih apabila dikaitkan dengan simbolisasi dan sejarah kota

Jakarta. Sejauh ini, narasi penulisan sejarah Jakarta tahun 1950-an yang

menjadi latar cerpen tersebut terkesan elit-sentris. Artinya bukan sejarah

yang berpihak pada penguasa, melainkan versi sejarah yang cenderung

25 Toer, Pramoedya Ananta. 2002 [1957]. Cerita dari Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya. Hasta Mitra: Jakarta, hal: 26 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 229

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

10

berbicara tentang siapa yang berkuasa, dan bagaimana situasi ekonomi,

sosial, dan politik di masa ia berkuasa. Dengan kata lain, sejarah versi makro.

Dari perspektif tersebut, sedikit sekali yang bisa diketahui tentang

orang-orang yang hidup di dalamnya, tentang bagaimana penduduknya

bersinggungan dengan kota Jakarta setiap harinya. Kalaupun selama ini

sejarah berbicara tentang rakyat, tak lebih dari sekadar hitungan matematis.

Rakyat dikelompokkan dalam karung-karung, berlabelkan jenis kelamin,

usia, status ekonomi, dan hal-hal semacamnya.

B. Rumusan Masalah

1. Simbol-simbol apa sajakah yang dipakai Pramoedya dalam

menggambarkan Jakarta periode 1950-an?

2. Seberapa jauh simbol-simbol tersebut menjadi simbol tandingan bagi

simbol-simbol yang dominan dari periode 1950-an?

3. Bagaimana simbol-simbol tersebut membuat kita melihat dan

memaknai Jakarta, dan Indonesia, tahun 1950-an secara berbeda?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk memetakan simbol-simbol apa saja yang digunakan oleh

Pramoedya Ananta Toer dalam buku kumpulan cerita pendek Cerita

dari Jakarta dalam rangka menggambarkan kota Jakarta periode

1950-an?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

11

2. Untuk mengetahui sejauh mana simbol-simbol yang digunakan

Pramoedya dalam Cerita dari Jakarta bersikap resisten terhadap

simbol-simbol kota yang banyak dipakai dari periode 1950-an;

3. Untuk mendapatkan gambaran bagaimana simbol-simbol yang

dipakai dalam Cerita dari Jakarta membuat kita dapat melihat Jakarta,

sekaligus Indonesia, periode 1950-an secara berbeda.

D. Manfaat Penelitian

Pada umumnya sejarah disusun dengan berpatokan kepada penguasa.

Sejarah suatu kota atau negara sama dengan sejarah orang-orang yang

berkuasa. Begitupun, membicarakan Jakarta, lanjut Indonesia, pada periode

1950-an sama artinya dengan membicarakan Soekarno. Pada tahun 1945,

Soekarno adalah orang yang tampil di mimbar membacakan teks Proklamasi.

Empat tahun kemudian, yakni tahun 1949, segera setelah pengakuan

kedaulatan, Soekarno menjadi orang nomor satu di Indonesia. Pada era-era

awal setelah kemerdekaan, Soekarno-lah bintangnya: ia tidak hanya

memancangkan tonggak awal kemerdekaan Indonesia, tetapi juga

menentukan arah pembangunan ibukota, dan karenanya negara.27

Sudut pandang yang elitis seperti itu memiliki kelemahan. Karena

terlalu fokus pada mereka yang berkuasa, maka sedikit sekali yang dapat

diketahui dari orang-orang yang berada di luar itu. Katakanlah, orang-orang

biasa: orang-orang yang tidak mendapat kesempatan berbicara di podium.

Pertanyaan yang tersisa, misalnya: bagaimana orang-orang yang berdiri di

27 Lihat Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook, Op.cit.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

12

luar panggung itu melihat kemerdekaan Indonesia? Apakah mereka mencita-

citakan Jakarta sebagai “mercusuar dunia” sama seperti yang didambakan

oleh Soekarno?

Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut

dengan mengetengahkan perspektif ‘orang biasa’. Lebih spesifik, penelitian

ini membicarakan Jakarta periode 1950-an dari kaca mata Pramoedya. Di

masa sekarang, boleh jadi Pramoedya dikenal sebagai seorang sastrawan

besar. Karya-karyanya terpancang sebagai bacaan wajib dalam studi sastra

Indonesia. Namun, Pramoedya di tahun-tahun 1950-an baru menjadi seorang

‘kroco’. Pramoedya sendiri menganggap dirinya sebagai seorang

broodschrijver, alias seseorang yang menulis sekadar untuk makan.28

Adapun cerita Pramoedya tentang Jakarta dapat diperoleh dari buku

kumpulan cerpennya yang terbit tahun 1957, Cerita dari Jakarta. Di dalam

cerpen-cerpennya itu, alih-alih mengedepankan Soekarno sebagai penanda

jaman, Pramoedya malah mengangkat tokoh-tokoh dari orang-orang yang

terpinggirkan, mereka-mereka yang diberi cap sebagai ‘penghuni liar’ atau

‘penghuni gelap’.

Oleh karena itu, harapannya, ketika berbicara tentang periode 1950-

kita akan lebih menandainya sebagai era-nya Aminah berpraktek sebagai

pekerja seks di Frombergpark, era-nya Hasan menjadi ‘kuli gelap’ di Stasiun

Gambir, dan era-nya Idulfitri yang mantan pejuang menjadi maling mobil di

jalan-jalan sekitar Istana Merdeka. Dengan kata lain, era 1950-an bukan lagi

era di mana Indonesia mulai melangkah sebagai negara baru yang merdeka 28

Lihat: Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan-Catatan Dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra: Jakarta, hal: 202 – 205

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

13

dan berdaulat, tapi era di mana ‘orang-orang biasa’ seperti Aminah, Idulfitri,

dan Hasan kehilangan kebebasannya.

E. Tinjauan Pustaka

Ada beberapa penelitian yang menelaah karya sastra untuk menggali

bagaimana kota dihidupi di dalam teks itu. Salah satunya yakni studi yang

dilakukan Manneke Budiman. Budiman melihat kecenderungan karya-karya

penulis perempuan selepas Reformasi yang mengeksplorasi Jakarta lebih

dari sekadar latar belakang. Jakarta tidak hanya digunakan sebagai lokus

tempat cerita berpijak, tapi juga dapat mempengaruhi jalinan cerita dan

karakter tokoh-tokoh di dalamnya.29

Secara khusus, Budiman mengkaji dua karya penulis perempuan: Cala

Ibi (2009) Nukila Amal dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2004)

Djenar Maesa Ayu. Budiman ingin menggali lebih dalam lagi bagaimana

Jakarta dialami oleh para penulis perempuan tersebut; lanjut menelisik

bagaimana bangsa (nasion) tergambar di dalamnya. Asumsi Budiman, kedua

penulis tersebut menghadirkan sudut pandang yang feminin, yang

diharapkan dapat menjadi alternatif dalam cara melihat kota.30

Berdasarkan hasil analisis Budiman, baik Amal maupun Ayu sama-

sama menunjukkan sikap yang kritis terhadap kehidupan di Jakarta, namun

dengan penekanan yang berbeda. Ayu banyak memperlihatkan wajah Jakarta

yang serba glamor dan hedon. Tokoh-tokoh perempuan dalam cerpen Ayu

29 Budiman, Manneke. Viewing the nation from the city in contemporary Indonesian women’s writing, hal: 15 (Available at: www.iar.ubc.ca/centres/csear/webpage/2-budiman.pdf, diakses tanggal 14 Maret 2014) 30 Ibid., hal: 16

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

14

turut ambil bagian dalam gemerlapnya Jakarta itu. Akan tetapi, mereka tidak

serta merta hilang dalam kesenangan mereka. Justru mereka dapat berolok-

olok di dalamnya.31

Tidak seperti Ayu, Amal lebih perhatian pada permasalahan-

permasalahan sosial di Jakarta. Akan tetapi, Amal memperlihatkan sikap

yang ambivalen. Walau tokoh dalam novel Amal mengkritisi berbagai

permasalahan-permasalahan di ibukota, tapi ia juga menyadari bahwa

dirinya merupakan bagian dari permasalahan tersebut. Oleh sebab itu,

Budiman menyebut tokoh Amal sebagai sosok ‘a problematic hero’.32

Penelitian ini mirip dengan yang dilakukan Budiman. Yang berbeda

adalah obyek analisis dan kerangka waktunya. Budiman menyasar Jakarta

era pasca Reformasi, sedangkan penelitian ini lebih berkonsentrasi pada era

1950-an, atau pasca Revolusi. Kontras lainnya, kajian Budiman

menampakkan representasi Jakarta dari mata perempuan kelas menengah,

sedangkan penelitian ini menelaah representasi Jakarta dari kelas bawah.

Lalu, ada lagi penelitian Esrih Bakker dan Katie Saentaweesook yang

juga mengkaji representasi Jakarta melalui puisi. Obyek analisisnya yakni

puisi mulai dari jaman Orde Lama hingga Orde Baru. Ada 7 puisi yang

dianalisis, yakni karya Ajip Rosidi (Lagu Jakarta, 1954 dan Kepada Djakarta,

1955); Mansur Samin (Sketsa Jakarta, 1965 – 1966); Nana Erwati (Jakarta 1

dan Jakarta 2, 1986); Cunong Nunuk Suraja (Ciliwung, 1997); dan W.S.

Rendra (Tjiliwung jang Manis, 1955).

31

Ibid. 32 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

15

Dari studinya Bakker & Saentaweesook menyimpulkan bahwa pada

umumnya Jakarta direpresentasikan sebagai kota yang penuh kontradiksi. “It

is a city of wealth and poverty, the provider of hope and the bringing of despair,

it is modern and traditional.”33 Imej Jakarta yang ditampilkan oleh para

penyair tersebut berlawanan dengan apa yang didiskursuskan oleh

pemerintah. Dengan demikian, simpulan ini cocok dengan thesis awal Bakker

& Saentaweesook bahwa karya sastra dapat dianggap sebagai usaha untuk

menandingi simbolisme yang telah ada, atau counter-symbolism.

Berikut ada pula penelitian Tsuyoshi Kato yang ingin melihat

bagaimana kota direpresentasikan melalui novel-novel yang terbit di

Indonesia awal abad 20. Kato memang tidak secara spesifik menyebutkan

Jakarta, akan tetapi novel-novel yang dipilihnya tersebut berlatar Jakarta.

Berdasarkan pembacaan Kato, kota direpresentasikan sebagai satu

tempat dimana individu bisa melakukan eksperimentasi diri. Di kota paksaan

dan kekangan tradisional tidak berlaku. Seseorang menjadi apa yang dia

inginkan, termasuk cinta. Gagasan cinta yang modern hanya ada di kota. Di

kota, seseorang kehilangan “tempat asal”, tetapi menjadi seorang pribadi

yang penuh. Bahkan harus dikatakan: seorang pribadi yang penuh harus

dibayar dengan kehilangan tempat asal.

Khusus mengenai cerita pendek Indonesia, sudah diteliti secara

khusus oleh Julia Shackford-Bradley. Persisnya, Shackford-Bradley mengkaji

tentang hubungan antara cerita pendek dengan perkembangan kota dan

persebaran wacana publik. Baginya, cerpen di Indonesia memiliki bentuk dan

33 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. Op.cit., hal: 235 – 236

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

16

gaya yang spesifik yang berbeda ketimbang cerpen di Afrika, Eropa, atau di

negara-negara Asia lain misalnya. Perubahan kondisi sosial ekonomi diyakini

membawa perubahan pada gaya penulisan cerpen. Sebagai contoh, pada

tahun 1950-an Pramoedya menerapkan gaya realisme sosial sebagai bentuk

reaksi terhadap perubahan sosial di masa itu.34

Cerita pendek Pramoedya yang dinilai Shackford-Bradley mewakili

gaya realisme sosial itu merupakan cerita pendek yang sama yang dikaji

dalam penelitian ini. Akan tetapi, penelitian ini jauh berbeda dengan yang

dilakukan Shackford-Bradley. Ia lebih perhatian pada bentuk cerpen,

sedangkan dalam penelitian ini yang diperhatikan adalah isinya, alias muatan

pesannya. Akan tetapi, tidak dalam kerangka mencari pesan moral seperti

yang pernah diwajibkan dalam mata pelajaran sastra.

F. Kerangka Penelitian

Pada umumnya, ketika kita berbicara tentang kota maka informasi

yang pertama keluar itu adalah deskripsi geografisnya. Soal letak, batas-batas

wilayah, luas wilayah, dan semacamnya. Informasi tersebut kadang kala

ditambah dengan aspek demografi, seperti komposisi penduduk, tingkat

pendidikan, dan sejenisnya.

Apa yang terabaikan dari deskripsi kota dengan cara tersebut adalah

dimensi pengalaman manusianya. Kota tidak hanya terdiri dari benda-benda

mati, tempat bangunan dan perumahan berdiri. Tapi, yang tak kalah penting,

34 Shackford-Bradley, Julia. 2006. Cerpen: How Indonesian short stories re-present urban space and public discourse. Crossroads: An interdisciplinary journal of Southeast Asian studies. Vol. 17, No. 2, hal: 93 – 94

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

17

kota adalah tempat manusia hidup, menjalani suka duka sehari-hari. Oleh

karena itu, kota juga adalah akumulasi dari pengalaman hidup manusia,

entah itu secara pribadi maupun bersama-sama. Dalam pengertian ini, kota

adalah “an experience to be lived, suffered, and undergone.”35

Lalu, bagaimanakah caranya menggali dimensi pengalaman dan

pemaknaan yang sifatnya personal terhadap kota? Salah satu jalannya itu

yakni melalui karya sastra. Teks-teks karya sastra sering kali menawarkan

gambaran kehidupan kota yang lebih kaya dan rinci. Maka, karya sastra

kerap dipertimbangkan sebagai sumber sejarah yang tak kalah aktualnya.36

Pertalian sastra dengan geografi menimbulkan sebuah aliran yang dikenal

sebagai geografi sastra (literary geography).37

Beberapa pengarang, seperti Charles Dickens- dipercayai dapat

mengilustrasikan kehidupan kota dengan sangat jelas dan aktual.38

Pramoedya mungkin dapat dikatakan sebagai Charles Dickens-nya Indonesia.

Karya-karya Pramoedya sering dirujuk sebagai sumber sejarah yang cukup

memadai. Salah satu peneliti yang setuju dengan ide ini yakni Hilmar Farid. Ia

bahkan secara khusus mengkaji sumbangsih karya-karya Pramoedya

terhadap penulisan historiografi Indonesia. Walau diakuinya pula bahwa

35 Preston, Peter & Paul Simpson-Housley. Eds. 1994. Writing the City: Eden, Babylon and the New Jerusalem. Routledge: London & New York, hal: 2 36 Hubbard, Phil. 2006. City: Key Ideas in Geography. Routledge: London, hal: 68 37 Tavares, David & Marc Brosseau. 2013. The spatial politics of informal urban citizenship: Reading the literary geographies of Toronto in Dionne Brand’s What We All Long For. Zeitschrift fur Kanada-Studien. Vol. 33, hal: 12 38 Hubbard, Phil. Op.cit, hal: 68

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

18

masih sedikit sekali yang menghargai Pramoedya sebagai seorang

sejarawan.39

Persoalannya kemudian, sejauh mana sebuah karya sastra dapat

diandalkan dalam menggambarkan karakteristik sebuah kota dan kehidupan

di dalamnya? Mengingat, di dalam sebuah karya terlibat pula unsur imajinasi

si pengarang. Seperti satu kritik dari Tavares & Brosseau, “it fails to

problematize the process of representation and indeed textual interpretation

by treating literature as a rather unproblematic, mimetic transcription of place

experience and distinctiveness.”40

Pocock sebagaimana dikutip Phil Hubbard, berpandangan bahwa

kebenaran dalam karya sastra itu bisa melampaui fakta. Alasannya, “[...]

literature evokes the experience of being in place eloquently, with the intensely

personal and deeply descriptive language used by the writer able to convey the

elusive genius loci inherent in a place.”41 Bisa jadi, pengalaman berada di kota

akan lebih dapat dirasakan ketika digambarkan karya sastra karena

kemampuan deksriptif pengarang yang mumpuni, dibanding mengalami

secara langsung.

Sementara itu, Preston & Simpson/Housley yang menjadi sasaran

kritik Tavares & Brosseau menyatakan bahwa sastra geografi merupakan

sebuah pelengkap untuk dapat memahami kota dengan lebih mendalam.

Pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk menolak mentah-mentah hasil

39 Farid, Hilmar. “Pramoedya dan historiografi Indonesia” dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Eds. Nordholdt, Henk Schulte. et. al. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, hal: 79 40

Tavares, David & Marc Brosseau, Op.cit., hal: 12 – 13 41 Hubbard, Phil. Op.cit., hal: 69

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

19

kerja kajian geografi, melainkan untuk menawarkan perspektif yang lebih

personal dalam melihat kota.42

Simbol-Simbol Kota

Jakarta sebagai kota memiliki sebuah karakteristik yang disebut Peter

M. Nas sebagai kota yang kaya akan simbol. Simbol-simbol kekotaan itu

banyak dihasilkan, dan didominasi, oleh hal-hal yang bersifat material,

serupa patung dan monumen. Walau, penghasil simbol kota tidak terbatas

pada benda-benda material itu saja, tapi juga hal-hal yang sifatnya diskursif

seperti yang diproduksi dalam karya sastra.43

Setidaknya ada empat unsur penghasil simbol: material, diskursif,

ikonik, dan behavioral. Seperti yang telah dicontohkan dalam kasus Jakarta,

patung-patung dan monumen merupakan pembentuk simbol kota yang

sifatnya material. Sementara, apabila penyimbolan tersebut diproduksi

melalui karya sastra cenderung bersifat diskursif. Untuk penyimbolan yang

bersifat ikonik dihasilkan dari rujukan terhadap orang, atau benda, atau hal-

hal tertentu yang membuat kota tersebut identik dengan hal tersebut. Ambil

contohnya, Banyuwangi yang identik dengan gandrung, dan Mekah dengan

agama Islam. Terakhir, simbolisme yang bersifat behavioral mengambil

bentuk dalam hal ritual-ritual, perayaan-perayaan massal, dan perilaku

tertentu yang diulang-ulang.44

42 Preston, Peter & Paul Simpson-Housley. Op.cit., hal: 2 43 Nas, Peter J.M., et.al. 2011. Introduction: variety of symbols dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam, hal: 9; 11 44 Ibid., hal: 9 – 17

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

20

Sastra sebagai Counter-Symbolic

Istilah counter-discourse, atau wacana tandingan, pada awalnya

digunakan oleh Richard Terdiman untuk merujuk pada teori dan praktik

resistensi simbolik yang ditemukan dalam karya sastra Perancis abad ke-19.

Konsep ini kemudian dipakai dalam kritik poskolonial untuk menjelaskan

usaha-usaha tandingan untuk menyerang sebuah wacana yang sudah mapan,

dan dalam konteks poskolonial wacana yang sudah mapan itu yakni yang

berkenaan dengan wacana kolonial.45 Salah satu bentuk upaya itu yakni

dengan memparodikan karya sastra kanonik, semisal karya-karya William

Shakespeare.

Dengan prinsip dasar serupa bahwa sastra sebagai resisten, Bakker &

Saentaweesook menggunakan istilah counter-symbolism, yang dipinjam dari

Peter M. Nas, untuk menunjukkan bahwa puisi-puisi tentang Jakarta di masa

Orde Lama dan Orde Baru menggunakan simbol-simbol tandingan terhadap

‘simbol-simbol resmi’ pemerintah, atau top-down symbolism.46

Dalam penelitian ini, konsep yang dipakai adalah yang kedua, yaitu

counter-symbolism. Merujuk pada penjelasan di atas, pengertian simbol di

sini tidak terbatas pada simbol-simbol material, tapi juga yang bersifat

diskursif.47 Dalam konteks cerpen-cerpen Pramoedya, penting untuk digali

bagaimana simbol-simbol yang digunakannya memberi sudut pandang yang

berlawanan dengan simbol-simbol Jakarta yang dominan; dan bagaimana

45 Ashcroft, Bill. Et.al. [1998] 2001. Key Concepts in Post-Colonial Studies. Routledge: London & New York, hal: 56 – 57 46

Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. Op.cit., hal: 220 47 Nas, Peter J.M., et.al. dalam Ibid., hal: 9; 11

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

21

simbol-simbol yang dipakainya itu dapat menghadirkan Jakarta, berikut

Indonesia, dengan sudut pandang yang berbeda.

Sastra sebagai National Allegory

Pada tahun 1984, dan tulisan berjudul Third World Literature in the

Era of Multinational Capitalism, Fredric Jameson mengajukan sebuah asumsi

yang menarik bahwa seluruh sastra di dunia ketiga merupakan alegori dari

nasional.48 Diperjelas oleh Mary E. Donnely, yang dimaksud Jameson dengan

dunia ketiga di sini mencakup semua negara yang pernah mengalami

penjajahan. Bagi Jameson, karya sastra yang dihasilkan dari negara-negara

yang pernah melalui penjajahan atau imperialisme tersebut selalu politis,

bahkan ini juga terjadi pada cerita-cerita yang kelihatannya paling

personal.49

“Third world texts, even those which are seemingly private and invested with a properly libidinal dynamic necessarily project a political dimension in the form of national allegory: the story of a private individual destiny is always an allegory of the embattled situation of the public third world culture and society.”50

Sementara asumsi ini banyak memancing perdebatan, untuk kasus

cerpen Pramoedya dalam Cerita dari Jakarta sedikit banyak ada benarnya.

Pramoedya juga berpandangan bahwa antara pribadi dengan politik tidak

dapat dipisahkan. Ia pernah menulis dalam pengantar untuk bukunya, Nyanyi

Sunyi Seorang Bisu, “apa dan bagaimana pengalaman indrawi dan batin

48 Ashcroft, Bill. et.al. Op.cit., hal: 9 49 Donnely, Mary E. 2003. Teaching Pramoedya Ananta Toer’s Tales from Djakarta in the literature classroom. A Curriculum Unit for Cornell University, hal: 26 50 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

22

seorang pribadi, apalagi dituliskan, ia jadi bagian dari pengalaman suatu

bangsa dan umat manusia pada umumnya.”51

G. Metodologi Penelitian

1. Sumber Data

Sumber data utama yang dipakai dalam penelitian ini yakni

buku kumpulan cerita pendek Cerita dari Jakarta: Sekumpulan

Karikatur Keadaan dan Manusianya karangan Pramoedya Ananta Toer

terbitan tahun 1957 yang dicetak ulang oleh Hasta Mitra tahun 2002.

Secara lebih spesifik, ada 5 cerita pendek yang dikaji yakni: 1)

Ikan-ikan yang Terdampar (1950), 2) Berita dari Kebayoran (1950), 3)

Makhluk di Belakang Rumah (1955), 4) Kecapi (1956), dan 5) Gambir

(1953). Cerita pendek tersebut dipilih berdasarkan pada

keberagaman tema dan tokoh, serta yang terpenting karena cerpen

tersebut lebih banyak merepresentasikan ruang-ruang di Jakarta.

Selain data primer di atas, untuk melengkapi keperluan bahan

penelitian ini, penulis juga menggunakan sumber data sekunder,

antara lain sejumlah literatur tentang sastra Indonesia, sejarah

Indonesia, Pramoedya, dan ruang-ruang di kota Jakarta.

2. Teknik Pengolahan Data

51

Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000a. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra, hal: xi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

23

Pengolahan data akan dilakukan dengan menggunakan teknik

deskriptif. Data-data akan dinarasikan sedemikian rupa berdasarkan

konsep-konsep yang digunakan penulis dalam penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan

Skema penulisan penelitian ini akan disusun secara sistematik ke

dalam 5 bab terpisah dengan rincian sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memaparkan fondasi atau rancangan penelitian, berisikan latar

belakang, rumusan dan pembatasan masalah, kerangka teoretis, metode

penelitian, dan skema penulisan.

BAB II : JAKARTA DAN KARYA SASTRA INDONESIA PERIODE 1950-AN

Bab ini memetakan bagaimana kondisi Jakarta di tahun 1950-an baik itu

secara sosial, politik, maupun ekonomi. Ikut dibahas pula bagaimana karya

sastra pada periode tersebut menampilkan wajah Jakarta.

BAB III : PRAMOEDYA DAN CERITA DARI JAKARTA

Bab ini memaparkan perjalanan karir Pramoedya sebagai pengarang dengan

fokus pada periode 1950-an, karya-karya apa saja yang dihasilkan dan

pandangan politisnya di masa itu. Selain itu, akan ditelaah pula latar belakang

buku kumpulan cerita pendek Pramoedya yang dianalisis dalam penelitian

ini, yaitu Cerita dari Jakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

24

BAB IV : MEMBAYANGKAN JAKARTA PERIODE 1950-AN DARI

MATA PRAMOEDYA

Bab ini berisikan interpretasi dan analisis atas lima cerita pendek Pramoedya

dalam buku Cerita dari Jakarta.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

25

BAB II

JAKARTA DAN KARYA SASTRA PERIODE 1950-AN

Di mata para wisatawan asing, Indonesia boleh jadi sama dengan Bali.

Akan tetapi, di mata orang Indonesia sendiri, Indonesia adalah Jakarta.

Jakarta merupakan pusat tidak hanya secara administratif (pemerintahan)

tapi juga secara kultural (sosial budaya). Jakarta menjadi kiblat bagi orang

Indonesia. Hal itu tercermin, misalnya dari pernyataan Pramoedya Ananta

Toer di tahun 1955, “People aren’t 100 percent citizens before they’ve seen

Jakarta with their own eyes”.52

Membicarakan Jakarta dan Indonesia pada periode 1950-an akan

sangat tergantung pada siapa yang berbicara, dan apa kepentingannya.

Jakarta bisa jadi kota proklamasi, sekaligus kota revolusi: tempat di mana

sebuah negara lahir dan diperjuangkan. Jakarta juga, bisa jadi kota modern:

tempat di mana bangunan-bangunan yang megah didirikan. Atau, Jakarta

hanyalah sekumpulan kampung, seperti yang dikatakan Pramoedya.53

Di antara pandangan-pandangan tersebut tidak ada yang dapat

dianggap lebih asli, atau otentik. Meskipun, dalam beberapa bacaan terlihat

kecenderungan untuk memilah Jakarta dalam dua bagian: yang riil dan yang

palsu; yang realita, dan yang retorika (yang muluk, yang bombastis). Bagian

retorika tentu saja adalah rangkaian proyek pembangunan Jakarta yang

52 Pramoedya Ananta Toer dalam Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press: New York, hal: 129 53 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

26

digagas Soekarno, contoh: Monumen Nasional yang tingginya mencapai 70

meter. Lalu, bagian realita yakni bagian Jakarta yang dikesampingkan dari

pembangunan kota versi Soekarno, contoh: bangunan-bangunan liar.

A. Historiografi Indonesia Periode 1950-an

Dalam historiografi sejarah Indonesia, periode 1950-an kerap dinilai

sebagai periode yang problematik sekaligus jarang dibicarakan. Periode ini

sulit untuk dimasukkan ke mana-mana. Bahkan tidak ada kesepakatan dalam

menentukan batasan kapan tepatnya periode 1950-an itu berlangsung.

Apabila dianggap persoalan negara tahun 1950-an merupakan peninggalan

Revolusi, maka periode 1950-an dapat dimulai dari saat proklamasi tahun

1945, atau pengakuan kedaulatan tahun 1949. Apabila sistem pemerintahan

Demokrasi Konstitusi yang dijadikan patokan, maka periode 1950-an

berlangsung lebih singkat, hanya sampai tahun 1957 ketika pergantian

sistem pemerintahan ke Demokrasi Terpimpin.54

Meski problematik, bagi Adrian Vickers, periode 1950-an merupakan

periode yang paling menentukan dalam sejarah indonesia modern. Menurut

Vickers, pilar-pilar negara Indonesia modern digodok pada periode ini. Di

periode 1950-an Indonesia menyatu secara politik maupun administratif. Di

masa ini pula masyarakat menikmati akses pendidikan modern secara luas—

54 Vickers, Adrian. 2008. Mengapa Tahun 1950-an Penting bagi Kajian Indonesia dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Eds. Henk Schulte Nordholdt, et.al. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, hal: 67 – 68

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

27

melalui mana orang-orang bisa mencicipi konsep kewarganegaraan dan

ditransformasi menjadi “warga negara”.55

Senada dengan Vickers, Henk Schulte Nordholdt menyorot bahwa

selama ini periode 1950-an telah dinarasikan secara tidak adil dalam

penulisan sejarah nasional. Pada masa Orde Baru, periode 1950-an

dijelaskan dengan membandingkan pada periode-periode tertentu di masa

lain. Periode 1950-an diidentikkan dengan masa-masa yang penuh

kekacauan, yang bertolak belakang dengan masa-masa yang penuh

keteraturan dan pembangunan di Orde Baru. Oleh karena itu yang banyak

mendapat sorotan yakni keburukannya (gonta-ganti kabinet, dll.) ketimbang

sumbangsih esensialnya.56

Nordholdt menolak pendekatan itu dan mencoba untuk mengkaji

periode 1950-an secara terpisah. Hasilnya, ia mendapati bahwa pada tahun

1950, nasionalisme sedang berada di puncak kejayaanya. Inilah yang

merekatkan pulau-pulau di nusantara dalam satu kesatuan bernama

Indonesia. Selanjutnya, awal-awal periode 1950-an dapat dilihat sebagai

sebuah proyek budaya dengan pesan utama: “menjadi Indonesia berarti

menjadi modern”. Di masa itu, modernitas menjadi bersinonim dengan

nasionalisme.57

Namun, walau awal periode 1950-an dipenuhi dengan semangat

optimisme terhadap masa depan, ada beberapa hal yang melemahkannya.

Diantaranya yakni ketidakstabilan politik dan meningkatnya gerakan-

55 Ibid. 56 Nordholdt, Henk Schulte. 2011. Indonesia in the 1950s: Nation, modernity and post-colonial state. Bijdragen tot de Taal – Land-en Volkendunde. Vol. 167 No. 4, hal: 386 57 Ibid., hal: 388; 393

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

28

gerakan perlawanan di tingkat regional. Krisis ini semakin menajam pada

paruh ke dua periode 1950-an. Di masa itu, korupsi mulai merajalela,

sehingga karya-karya sastra yang dihasilkan banyak yang berkenaan dengan

tema ini, di antaranya Korupsi karya Pramoedya dan Sendja di Jakarta karya

Mochtar Lubis.58

B. Membangun Indonesia, Membangun Jakarta

Terbentuknya Jakarta sebagai pusat tidak terjadi dengan sendirinya.

Jakarta memiliki sejarah yang panjang sebagai pusat pemerintahan. Dengan

mengikut pada asumsi sejarah yang kontinu, Jakarta dapat dilihat sebagai

warisan dari kolonial Belanda. Secara simbolik memang pemerintah

Indonesia menempati istana bekas kedudukan gubernur jenderal Belanda.

Oleh karenanya, deklarasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 dapat dibaca

juga sebagai deklarasi perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial

Belanda, kepada pihak ‘kolonial baru’ bernama Indonesia.

Akan tetapi, walau berpijak di tanah yang sama, diskursus Jakarta dan

Batavia sebenarnya berbeda. Satu perbedaan mendasar, Jakarta dibangun

untuk dijadikan simbol bagi sebuah negara-bangsa: simbol kejayaan dan

simbol kesatuan. Ibaratnya, Jakarta merupakan kanvas tempat peta

Indonesia digambar. Sedangkan, Jakarta di masa Belanda tidak memiliki

pretensi ini. Batavia dibangun sebagai tempat permukiman orang Belanda,

sebagai upaya mereka untuk mempertahankan ke-Belanda-an mereka meski

berada jauh dari negeri asal.

58 Ibid., hal: 394 – 395

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

29

Pembangunan bangsa (nation-building) merupakan tema utama

dalam periode 1950-an, atau bahkan bisa ditarik mundur sejak Proklamasi

dideklarasikan. Pembangunan itu di antaranya dilangsungkan dengan

mendekonstruksi simbol-simbol kolonial. Imaji-imaji kolonial dihancurkan,

dihapuskan dari ingatan, untuk kemudian dibangun imaji-imaji baru yang

bersifat ‘nasional’. Monumen Van Heutz, Patung Jan Pieterszoon Coen, Patung

Dewi Kebenaran di Taman Wilhelmina adalah di antara monumen

peninggalan kolonial yang dirubuhkan.59

Sebagai gantinya, diperkenalkanlah simbol-simbol ‘nasional’ yang

bersifat heroik, yang patriotik. Di penghujung bulan Agustus 1945,

pemerintah mengeluarkan maklumat yang menetapkan “merdeka” sebagai

salam nasional.60 Menyusul kemudian beberapa nama tempat yang masih

berbau kolonial, diganti pula dengan nama Merdeka. Contohnya, istana bekas

gubernur jenderal Belanda yang ditempati pemerintah RI dirubah namanya

menjadi Istana Merdeka. Begitupun, Lapangan Gambir (yang di jaman Jepang

bernama Lapangan Ikada) diganti jadi Lapangan Merdeka, berikut nama

jalan-jalan di sekelilingnya dinamai Jalan Merdeka.61

Demikian pula halnya dengan nama jalan-jalan lain di Jakarta juga

mendapat giliran di-Indonesia-kan. Jalan-jalan yang masih dinamai dengan

59 Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibukota Jakarta di Bawah Soekarno. Penerbit Ombak: Yogyakarta, hal: 124 60 Tersedia dalam situs: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/09/jakarta-pada-periode-revolusi-kemerdekaan#.VKjp6VdedGo, 4 Januari 2015 61

Tersedia dalam situs: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/10/jakarta-pada-periode-demokrasi-parlementer#.VKjp6ldedGo, 4 Januari 2015

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

30

nama-nama Belanda diganti menjadi nama-nama pejuang Indonesia.

Misalnya, Jalan Van Heutsz dirubah menjadi Jalan Teuku Umar.62

Gambar 2.1. Istana Merdeka tahun 1950-an63

Sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 sampai era Demokrasi

Terpimpin, Jakarta telah dipimpin oleh tiga orang walikota dan dua orang

gubernur. Secara struktural, jabatan walikota memang lebih rendah

ketimbang gubernur. Akan tetapi, Gubernur Jakarta di waktu itu memiliki

kekuasaan yang lebih terbatas seiring dengan semakin kuatnya pengaruh

Soekarno terhadap Jakarta sejak dimulainya periode Demokrasi Terpimpin.64

Walikota pertama Jakarta adalah Soewirjo. Ia diangkat oleh Presiden

Soekarno pada tanggal 29 September 1945, bersamaan dengan pendaratan

tentara sekutu, plus Belanda, di Jakarta.65 Antara ‘generasi tua’ dengan

62 Blackburn, Susan. 2012. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Pen. Gatot Triwira. Masup Jakarta: Jakarta., hal: 141 63 Tersedia di situs: http://indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com/2014/07/beberapa-gedung-bersejarah-di-awal.html, 27 Januari 2015 64 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 67 65

Tersedia di situs: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/09/jakarta-pada-periode-revolusi-kemerdekaan#.VKjp6VdedGo, 4 Januari 2015

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

31

‘generasi muda’ berbeda sikap dalam menanggapi kembalinya Belanda ini.

Para pemuda bersemangat untuk mengadakan revolusi fisik, sedangkan

generasi tuanya, seperti Soekarno-Hatta, setia di jalur diplomasi.66

Kedatangan tentara Inggris ke Jakarta disambut dengan tulisan-

tulisan ‘selamat datang’ dari para pemuda, seperti: “Hands off Indonesia” dan

“We want freedom”. Selain menyerang lewat kata-kata, para pemuda ini juga

menyerang tentara Inggris dengan senjata hasil rampasan dari tentara

Jepang. Diperkirakan ratusan laki-laki maupun perempuan di masa itu

tergabung dalam barisan yang disebut Badan Perjuangan. Pada tahun 1945

itu di Jakarta sering terjadi kontak senjata.67

Pada awal tahun 1946, karena situasi Jakarta yang tidak lagi aman

akibat maraknya penculikan, pembunuhan dan perampokan, maka pusat

pemerintahan dipindahkan ke Jogjakarta. Sementara itu, Soewirjo dan

pengikutnya bertahan di Jakarta dengan menduduki Balai Kota. Belanda

mengakui hak Soewirjo namun hanya sebatas wilayah kota. Untuk wilayah

Eropa seperti kawasan Menteng, tetap dikuasai Belanda.68

Persaingan antara kubu Indonesia yang diwakili Soewirjo dengan

kubu Belanda tidak hanya terjadi dalam hal penguasaan wilayah, namun juga

merambah ke bidang ekonomi. Di tahun 1946, baik pemerintah RI maupun

pemerintah Belanda mengeluarkan mata uang untuk menggantikan mata

uang Jepang yang beredar dari tahun 1942.69 Walau akhirnya RI kalah dalam

perang mata uang ini, akan tetapi dengan diterbitkannya mata uang tersebut,

66 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 205 67 Ibid. 68

Ibid., hal: 208; 211 – 212 69 Ibid., hal: 211 – 213

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

32

RI dapat mempertahankan imaji negara Indonesia sementara pemimpinnya,

Soekarno, hijrah ke Jogjakarta.

Demikianlah, meski kekuasaan RI melemah, ide tentang kemerdekaan

tetap hidup di benak warga Jakarta. Usaha para pemuda yang terus-terusan

menghantam tentara Belanda di berbagai tempat telah turut memberi roh

pada gagasan tersebut. Begitupun, peringatan 17 Agustus tetap rutin

diselenggarakan, meskipun di bawah ancaman tentara sekutu. Seperti yang

dilakukan oleh barisan perempuan muda Indonesia yang pada tanggal 17

Agustus 1946 menerobos barisan pasukan tentara Inggris untuk

mengadakan upacara peringatan kemerdekaan di Pegangsaan Timur 56,

tempat bersejarah di mana proklamasi pertama kali dikumandangkan.70

Pada tahun 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer I. Dalam aksi

tersebut, Soewirjo ditangkap dan dikirim ke Jogjakarta. Sekolah-sekolah

negeri di Jakarta ditutup. Pertemuan-pertemuan dan surat kabar republik

disensor. Kantor Urusan Perkotaan Belanda dipindahkan ke Balai Kota.

Dengan demikian, Balai Kota sudah berada di bawah kekuasaan Belanda.

Singkat cerita, Belanda melakukan segala upaya agar Jakarta kembali

menjadi Batavia, ibukota Hindia Belanda.71

Malang, usaha Belanda tersebut tidak terlalu berhasil. Peristiwa

dramatis pada tahun 1945 yang terus dikobarkan semangatnya dalam

berbagai bentuk, baik itu dalam puisi, prosa, lukisan, foto, pidato (retorika)

sampai dengan konfrontasi langsung dengan mengangkat senjata, telah

70

Ibid., hal: 214 71 Ibid., hal: 216

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

33

mengubah wajah Jakarta selamanya.72 Jakarta sepeninggal Jepang adalah

Jakarta dengan semangat yang menggebu-gebu untuk merdeka.

Pada akhirnya, di penghujung Desember 1949, sesuai dengan hasil

kesepakatan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda sepakat untuk

mengakui kedaulatan Indonesia. Penandatanganan naskah pengakuan

kedaulatan dilangsungkan di istana Kerajaan Belanda, Den Haag dan bekas

istana gubernur jenderal, Jakarta. Bersamaan dengan itu, di Jakarta dilakukan

pula upacara penurunan bendera Belanda, untuk digantikan dengan bendera

Indonesia. Lagu kebangsaan Indonesia Raya dilantunkan untuk mengiringi

upacara tersebut.73

Sehari setelahnya, yakni tanggal 28 Desember 1949, Soekarno yang

mengungsi ke Jogjakarta sejak tahun 1946, kembali lagi ke Jakarta. Soekarno

disambut layaknya raja yang pulang dari medan perang. Di sepanjang jalan,

ia dielu-elukan dengan yel-yel macam “Hidup Bung Karno!”. Sementara Hatta,

wakil Soekarno, yang kembali dari Den Haag setelah menandatangani

pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Ratu Belanda, tidak mendapat

selebrasi sedemikian rupa. Jelaslah, sosok Soekarno di kala itu dianggap

sebagai simbol hidup dari kejayaan, kemenangan, dan persatuan Indonesia.74

Di Jakarta, Soekarno menempati istana bekas gubernur jenderal

Belanda, yang kemudian berganti nama menjadi Istana Merdeka. Kepindahan

72 Ibid., hal 218 – 219; Ricklefs, M.C. [1981] 2001. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. 3rd editions. Palgrave: Hampshire, hal: 264; dan lihat juga situs http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/10/jakarta-pada-periode-demokrasi parlementer#.VKjp6ldedGo, 4 Januari 2015 73 Blackburn, Susan. Ibid., hal: 221 74

Abdullah, Taufik. 2009. Indonesia: Towards Democracy. Institute of South East Asian Studies: Singapore, hal: 183 – 184

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

34

Soekarno ke istana ini lebih dari sekadar pindah dalam arti spasial (ruang).

Secara simbolis, kepindahan tersebut menandakan peralihan kekuasaan dari

kolonial kepada pemerintahan yang baru, Indonesia. Bahwa kolonial telah

takluk, dan Indonesia kini berjaya.

Gambar 2.2. Peta Jakarta tahun 1965. Wilayah berbayang menunjukkan wilayah ‘luar kota’ yang dimasukkan tahun 1950.75

75 Castles, Lance. 1967. The ethnic profile of Djakarta. Indonesia. Vol. 1, hal: 160

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

35

Dengan kembalinya kekuasaan ke tangan pemerintah RI, pimpinan

walikota Jakarta dikembalikan ke tangan Soewirjo. Serah terima jabatan

Soewirjo sebagai walikota Jakarta dilakukan pada tanggal 30 Maret 1950.

Waktu itu Jakarta, berdasarkan SK Presiden No. 125 tahun 1950, sudah

diperluas hingga mencakup wilayah-wilayah ‘luar’, seperti: Pulau Seribu dan

Kebayoran. Masa jabatan Soewirjo sebagai walikota untuk kali kedua ini,

hanya berlangsung sekitar setahun. Pada tanggal 2 Mei 1951, Soewirjo

ditunjuk sebagai wakil Perdana Menteri. Bulan berikutnya, tepatnya tanggal

27 Juni, Sjamsuridjal diangkat sebagai pengganti.76

Sjamsuridjal menjadi walikota Jakarta selama 2 tahun (1951–1953).

Pengaturan atas tanah (lahan) menjadi perhatian utama pemerintahan

Sjamsuridjal. Di masanya, dilakukan pembelian tanah-tanah partikulir hingga

mencapai 1887 hektar. Hak erfpacht (keturunan) atas tanah untuk pertanian

kecil dihapuskan. ‘Pemukiman-pemukiman liar’, khususnya di tempat-tempat

yang masuk dalam rencana pembangunan ibukota, ‘dibersihkan’, sementara

penghuninya direlokasikan ke tempat lain. 77

Di tahun 1952 saja, dibangun 10 proyek perumahan, yang

diperkirakan dapat menampung 35.000 orang. Jumlah tersebut masih jauh

dari cukup. Jakarta memiliki tingkat kebutuhan hunian yang paling tinggi

dibanding kota-kota lain, 70.000 rumah di tahun 1949. Jumlah tersebut terus

berlipat seiring bertambah derasnya arus migrasi ke ibukota. Maka,

76 Tersedia di situs: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/10/jakarta-pada-periode-demokrasi-parlementer#.VKjp6ldedGo, 4 Januari 2015; http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/03/jakarta-sebagai-ibukota-ri#.VKi731dedGo, 4 Januari 2015 77

Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 71 – 72; Silver, Christopher. 2008. Planning The Megacity: Jakarta In The Twentieth Century. Routledge: Oxfordshire, hal: 93

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

36

walaupun pemerintah sudah bersikap agresif dalam membasmi ‘rumah-

rumah liar’, akan tetapi kalah cepat dibanding tingginya tingkat

pertumbuhan ‘rumah-rumah liar’ tersebut.78

Sudiro, walikota ketiga yang menggantikan Sjamsuridjal di tahun

1953, mengakui bahwa krisis perumahan adalah masalah paling serius yang

dihadapinya. Perlu digarisbawahi bahwa perhatian pemerintah di sini tidak

semata-mata menyediakan rumah yang layak untuk ditinggali, tetapi juga

rumah yang layak untuk menjadi ‘kebanggaan nasional’. Seperti pernyataan

Hatta di tahun 1952, rumah-rumah yang telah ada kebanyakan lebih seperti

kandang sapi, sehingga tidak layak untuk merepresentasikan sebuah bangsa

yang baru saja merdeka.79

Kategori rumah yang layak, atau rumah sehat, telah dirumuskan

dalam Kongres Perumahan Rakjat Sehat yang diselenggarakan tahun 1950 di

Bandung. Di kala itu, Soeandi dan Soekander merumuskan kriteria rumah

sehat dengan rincian: bangunan utama yang terdiri dari ruang tamu, ruang

makan, dan 2 kamar, berukuran setidaknya 36 m2, ditambah bangunan

tambahan seluas 17,5 m2 untuk dapur dan kamar mandi. Selain itu, rumah

juga harus mendapat pencahayaan cukup dan berlantai ubin.80

Dalam kesempatan yang sama, Soeandi dan Soekander mengkritik

rumah rancangan Karsten di Semarang. Rumah yang dibangun semasa

kolonial tersebut hanya seluas 15 m2. Menurut Soeandi dan Soekander,

78 Silver, Christopher. Ibid.; dan Columbijn, Frederick. 2011. Public housing in post-colonial Indonesia: the revolution of rising expectation. Bijdragen tot de Taal-,Land- en Volkenkunde. Vol. 167 No. 4, hal: 448 79

Columbijn, Freek. Ibid., hal: 438, 448 80 Ibid., hal: 444 – 445

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

37

rumah sesempit itu hanya akan menimbulkan perasaan rendah diri bagi

penghuninya. Karena sekarang Indonesia telah merdeka, maka perasaan

tersebut harus dibuang jauh-jauh.81 Dengan kata lain, di Indonesia perlu

dibangun rumah-rumah yang lebih besar untuk menandakan kejayaan dan

kedaulatannya.

Kebanggaan nasional, nampaknya hal satu ini memang menjadi tema

utama dalam rencana pembangunan nasional, apalagi Jakarta. Jakarta sebagai

pintu gerbang Indonesia hendak dipoles sedemikian rupa agar bisa berdiri

sejajar dengan ibukota negara-negara lain di dunia. Soekarno, sebagai orang

nomor satu di Indonesia, telah menyusun rencana-rencana besarnya, seperti:

membangun tugu 70 meter sebagai saingan Menara Eiffel, galangan kapal

terbesar di Asia Tenggara, masjid terbesar di dunia, dan hotel termodern se-

Indonesia.82

Sudiro yang memimpin Jakarta sampai tahun 1960, mengalami masa-

masa sulit ketika berhadapan dengan rencana-rencana besar Soekarno itu.

Apalagi, sejak pengangkatannya menjadi gubernur di tahun 1958, di masa

berlakunya Demokrasi Terpimpin, peran Sudiro lebih sebagai perpanjangan

tangan proyek-proyek Soekarno. Intervensi Soekarno dalam pembangunan

Jakarta tidak hanya secara langsung, tetapi juga diperantarai departemen-

departemen lain. Misalnya, daerah Tanjung Priuk dan Kemayoran berada di

bawah departemen transportasi.83

81 Ibid., hal: 445 82

Lihat: Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 132 – 136 83 Silver, Christopher. Op.cit., hal: 93

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

38

Dengan demikian, di masa Demokrasi Terpimpin, walau Jakarta

memiliki kepala daerah sendiri, akan tetapi Soekarno lah yang dianggap

paling berperan dalam menentukan wajah kota Jakarta.84 Apalagi di tahun

1961 dikeluarkan pula Penpres No.2/1961 yang menyebutkan bahwa Jakarta

berada langsung di bawah Presiden Republik Indonesia (pemerintah pusat)

melalui menteri pertama.85 Dengan dikeluarkannya Penpres ini, secara resmi

Soekarno menjadi apa yang disebut oleh Bakker & Saentaweesook director of

urban change.86

Untuk selanjutnya, pemilihan gubernur Jakarta harus berdasarkan

persetujuan dari Soekarno. Gubernur tersebut dapat dipastikan sejalan

dengan visi Soekarno terhadap ibukota. Visi utama Soekarno jelas, yaitu

“membangun ibukota nasional yang mengesankan”.87 Makanya tidak heran

apabila Soekarno menawarkan jabatan Gubernur Jakarta kepada Henk

Ngantung yang seorang seniman.

Dalam kesaksian Henk Ngantung, antara tahun 1958 atau 1959

Soekarno berkata padanya: “Bapak ingin Henk mewakili Bapak. Bapak ingin

kota ini menjadi cantik.”88 Keberadaan Henk Ngantung di pemerintahan

daerah dapat dilihat sebagai perpanjangan tangan dari Soekarno. Ini

didukung pula oleh pernyataan Henk Ngantung ketika menjadi gubernur

84 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 228 85 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 75 86 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. 2011. “Jakarta through poverty” dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam, hal: 220 87

Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 228 88 Ibid., hal: 231

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

39

Jakarta periode 1964 – 1965, diantaranya disebutkan “menyelamatkan idea

dan imagination Pemimpin Besar Revolusi Indonesia tentang ibukota”.89

Bagi Soekarno, Jakarta sebagai ibukota memainkan peranan penting

untuk mengkonstruksi identitas nasional yang baru. Pembangunan

monumen-monumen dan simbol-simbol nasional di kota Jakarta harus

dipahami sebagai bagian dari upaya untuk memperlihatkan identitas

nasional yang baru sekaligus menyatukan bangsa Indonesia. Keyakinan ini

juga dipegang teguh oleh Henk Ngantung. Ia membuat pernyataan,

“Membangun kota, apalagi membangun ibukota, berarti membangun

sedjarah dan memberi wudjud dan expressi jang bertahan lama pada nasion

dan karakter suatu bangsa.”90

Seperti Le Corbusier, Soekarno percaya akan kekuatan arsitektur dan

tata kota dalam menciptakan sebuah masyarakat ideal.91 Menariknya,

rancang bangunan yang dipakai Soekarno justru bergaya modern, bukan

etnik/tradisional. Dengan cara ini Soekarno mencoba menyejajarkan Jakarta

dengan kota-kota modern lainnya di dunia, ambil contoh Perancis. Pada

periode 1950-an, modernitas berjalan beriring-iringan dengan nasionalisme.

Di waktu itu, menjadi Indonesia sama artinya dengan menjadi modern.92

Walau menjadikan modern sebagai bagian dari identitas nasionalnya,

Indonesia tidak mengambil inspirasi pada negara-negara di Eropa Barat,

89 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 79 90 Ibid., hal: 79 91

Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 228 92 Nordholdt, Henk Schulte. Op.cit., hal: 388

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

40

tidak pula pada Belanda. Modernitas yang dipakai cenderung berkiblat pada

Amerika Serikat, Cina, dan Mesir.93

Soekarno membangun Indonesia dengan menindas ingatan akan

kebesaran kolonialnya. Simbol-simbol yang berkaitan dengan kolonial

dihancurkan. Soekarno ingin mendirikan Jakarta yang sama sekali baru. Cara

yang ditempuh oleh Soekarno antara lain, 1) mengubah poros kota; 2)

membangun titik-titik kota baru; dan 3) mereorganisasi pemaknaan dari

titik-titik kota yang baru dibuat tersebut.94

Jakarta yang dibangun Belanda berpusat di Gambir, atau Weltevreden

sebagaimana mereka menyebutnya. Oleh Soekarno, poros kota digeser

dengan fokus di Jalan Thamrin yang memanjang dari sudut barat daya

Lapangan Merdeka menuju Jalan Soedirman dan Kebayoran Baru. Daerah

tersebut bersih dari konotasi kolonial hingga pas untuk dijadikan etalase bagi

karya arsitektur dan kontraktor Indonesia.95

Beberapa monumen yang dibangun Soekarno untuk menyemarakkan

Jalan Thamrin itu antara lain: Hotel Indonesia (hotel termewah dan

termodern saat itu), Gedung Wisma Nusantara (gedung tertinggi di Asia

dengan 29 lantai), dan pusat perbelanjaan modern Sarinah. Soekarno

membayangkan Jalan Thamrin akan dijejeri oleh bangunan-bangunan tingkat

paling rendahnya 5 lantai.96

Selain gedung-gedung tersebut, di masa Soekarno juga dibangun

serangkaian monumen, diantaranya: Monumen Nasional (1961 – 1975)

93 Ibid., hal: 390 94 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 122; 129 95

Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 73; 230 96 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 133

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

41

karya Ir. Soedarsono, Monumen Selamat Datang (1962) karya Henk

Ngantung, Monumen Pembebasan Irian Barat (1962) karya Ir. Silaban,

Patung Gajah Mada (1962) karya Mikail Wowor, dll. Itu belum termasuk

beberapa proyek lain seperti Masjid Istiqlal, Gedung Pola, Teater Nasional,

Ancol, dsb.97

Khusus untuk Monumen Nasional (Monas) perlu diberi perhatian

lebih. Monas, seperti proyek pembangunan yang lain, “tidak memiliki fungsi

dalam artian yang lebih spesifik, melainkan menjadi bagian dari kolase ide

akan nasionalisme”.98 Dengan membangun Monas, Soekarno mencoba

memberi stempel baru bagi Indonesia, lanjut berusaha menyejajarkan

Indonesia dengan negara-negara merdeka lain di dunia.

“Tidak, saudara-saudaraku, kita tidak membangun sebuah Monumen Nasional yang berharga setengah juta dolar hanya untuk membuang uang. Tidak! Kita sedang membuat ini karena kita menyadari bahwa sebuah bangsa yang hebat, jiwanya dan hasratnya adalah kebutuhan yang absolut untuk kehebatannya, harus disimbolkan dengan sebuah benda materiil, sebuah benda yang hebat bahkan, yang kadang akan membuka mata dari bangsa-bangsa lain dengan penuh kekaguman.”99

Yang istimewa, proyek Monumen Nasional yang sudah direncanakan

sejak tahun 1950 ini, dapat dilihat sebagai pusat dalam artian denotatif

maupun konotatifnya. Monas terletak di tengah-tengah Lapangan Merdeka.

Secara spasial jelas, Monas dirancang untuk menjadi pusat, menjadi inti.

Dengan berpatokan pada keberadaan Monas pula, wilayah Jakarta kemudian

dibagi-bagi: Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan.

97 Ibid., hal: 132 – 133 98

Ibid., hal: 52 99 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

42

Sementara, khusus untuk wilayah Monas dan sekitarnya dinamai Jakarta

Pusat.

Gambar 2.3. Peta Lapangan Merdeka awal tahun 1950-an sebelum pembangunan Monumen Nasional, dan sesudahnya. Pola diagonal dalam penataan Lapangan Merdeka ini mirip dengan yang sempat diajukan oleh Dr. M. Treub di tahun 1892. Di tengah-tengah lapangan dalam rancangan milik Treub rencananya akan didirikan patung sebagai simbol pusat Batavia.100

Pembagian tersebut jelas menandakan usaha untuk menciptakan

Jakarta sebagai pusat Indonesia. Sebab, di wilayah-wilayah lain di Indonesia

tidak ditemui adanya ‘pusat’ lain selain di Jakarta. Lihat saja cara Pulau

Kalimantan dibagi: ada Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan

Kalimantan Selatan, tetapi tidak Kalimantan Pusat. Begitupun di Jogjakarta,

tidak ditemukan istilah Jogjakarta Pusat, meski ada keraton yang secara

kultural dipercayai sebagai ‘pusat dunia’.

100

Dapat diakses di situs: https://srimpet.wordpress.com/2011/09/24/tugu-monumen-nasional-sejarah-perkembangannya/, 27 Januari 2015

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

43

C. Jakarta dalam ‘Realita’

Pembangunan Jakarta di masa Soekarno memang pesat. Akan tetapi,

hal itu sama sekali tidak merefleksikan kenyataan hidup masyarakatnya.

Jakarta menjadi kota yang hanya dapat dinikmati dari kejauhan. Sedangkan,

apabila disaksikan dari dekat, Jakarta “penuh dengan korupsi, dengan

ketidakefisienan, penuh dengan banjir, kebakaran, dan jalanan berlubang,

penuh dengan nyamuk dan sampah-sampah menggunung [...].”101

Soekarno melupakan bahwa Jakarta bukan ruang kosong yang tak

berpenghuni. Pencitraan Jakarta yang megah berbanding terbalik dengan

kehidupan masyarakat yang morat-marit. Di sinilah letak ironinya,

sementara Soekarno membangun Jakarta dengan megah, “kenyataannya

tugas utama Pemerintah Kotapraja adalah mengatasi pertambahan

penduduk yang sangat besar dan kemiskinan warga.”102

Apabila mendongak ke atas, boleh jadi Jakarta tampil mempesona

dengan bangunan-bangunannya yang tinggi menjulang. Namun, begitu

menekurkan kepala, tampak wajah Jakarta yang jauh berbeda. Kita melihat

“sebuah identitas yang lebih nyata dari kota imajinernya Soekarno.”103

Jakarta sering digambarkan sebagai kota yang bermuka dua, kota

yang senang berpura-pura. Blackburn menyebut Jakarta sebagai kota

bertopeng di mana “pemerintahannya selalu berupaya menciptakan wajah

kota yang tidak sesuai dengan Jakarta”.104 Senada dengan Hans-Dieter Evers

yang menulis Jakarta sebagai kota panggung, a theatre state. Jakarta dipenuhi

101 Ibid., hal: 174 – 175 102 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 141 103

Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 176 104 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: xxiii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

44

dengan simbol-simbol urban seperti gedung dan monumen yang tinggi, akan

tetapi kebudayaan urbannya belum tercipta. 105

Di dalam karya sastra, ironi tersebut juga kerap muncul. Salah satunya

terlihat dalam novel Cala Ibi, di mana Nukila Amal mengibaratkan Jakarta

sebagai “seorang pelacur tua, yang operasi plastik berkali-kali, gemar

berdandan penuh polesan penuh utang, menggali lubang menutup dan

menggali lagi, tak usai.”106 Walaupun komentar Amal itu merujuk pada

Jakarta periode sehabis Reformasi, tapi kritik yang sama juga bisa ditujukan

pada Jakarta periode 1950-an.

Meski penampilan Jakarta terlihat mentereng, tetapi situasi dan

kondisi sosial dan ekonomi warganya kusut masai. Pemukiman kumuh

merajalela, menjadi semacam ‘monumen’ tidak resmi ibukota. Salah satu

faktor penyebab yaitu arus urbanisasi besar-besaran yang melanda Jakarta

sejak masa pendudukan Jepang.107

Pada tahun 1948, penduduk Jakarta tercatat berjumlah 823.000 jiwa.

Empat tahun setelahnya, tahun 1952, meningkat dua kali lipat lebih, menjadi

1.782.000 jiwa. Tahun 1965, angka ini semakin melesat tajam menjadi

3.813.000 jiwa. Sensus tahun 1961 menunjukkan bahwa hanya sekitar 51%

penduduk yang lahir di Jakarta, selebihnya pendatang. Selain faktor

urbanisasi, pertambahan penduduk yang pesat merupakan konsekuensi

105 Evers, Hans Dieter. 2011. “Urban symbolism and the New Urbanism of Indonesia” dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam, hal: 189 106

Amal, Nukila. 2004. Cala Ibi. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, hal: 36 107 Vickers, Adrian. 2005. Op.cit., hal: 117

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

45

langsung dari perluasan batas kota.108 Sejak 1950, wilayah Jakarta diperlebar

ke daerah-daerah terluar, sehingga luasnya menjadi 530 km2. Luas ini tiga

kali luas Batavia dulunya.109

Berdasarkan komposisi penduduk Jakarta pada 1961, kelompok etnis

yang paling banyak berdiam di Jakarta adalah etnis Sunda dengan persentase

32,8%, diikuti oleh etnis Jawa dan Madura dengan persentase 25,4%. Etnis

Betawi, yang dianggap sebagai ‘penduduk asli’ Jakarta hanya berada di

urutan ketiga dengan persentase 22,9%. Etnis Minangkabau belum

mendominasi, hanya sekitar 2,1%, sementara etnis Batak sekitar 1%.110

Banyaknya pendatang di Jakarta menjadikan Jakarta sebagai sebuah

kota dengan kebudayaan gado-gado. Tjalie Robinson menggambarkan

keberagaman penduduk Jakarta dengan memberikan gambaran pada

kegandrungan mereka terhadap segala jenis makanan. “[...] orang Jakarta

adalah petualang makanan yang andal, mampu mengetahui penjual sate

terbaik, lotek terenak, bakso ternikmat [...].”111

Pandangan yang lebih sinis dikeluarkan oleh Pramoedya Ananta Toer.

Mirip dengan pendapat Evers, Jakarta dalam pandangannya belum memiliki

kebudayaan. Jakarta hanyalah sekumpulan kampung, bukan sebuah kota

(besar). Tak ada yang namanya kebudayaan Jakarta. Kebudayaan yang ada di

Jakarta adalah yang diimpor dari luar (barat).112

108 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 233 – 234 109 Sedyawati, Edi. Et.al. 1987/1987. Sejarah Kota Jakarta 1950 – 1980. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional: Jakarta, hal: 97 110 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 259 111

Ibid., hal: 262 112 Vickers, Adrian. 2005. Op.cit., hal: 129

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

46

Selain soal keberagaman kebudayaan itu, masuknya pendatang ke

Jakarta menimbulkan masalah sosial yang berkepanjangan. Pemerintah

daerah tidak cukup sigap untuk menampung dan memfasilitasi para

pendatang tersebut. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, masalah yang

dihadapi itu di antaranya permukiman. Para pendatang yang tidak mampu

mengusahakan rumah, mendirikan gubuk-gubuk di sepanjang jalur kereta

dan bantaran kali. Dengan segera mereka menjadi ‘penghuni liar’ karena

menempati lahan-lahan yang sedianya menjadi lahan proyek pembangunan

ibukota.113

Tahun 1952 dilaporkan ada sekitar 30.000 permukiman ilegal yang

terdapat di Jakarta. Lima tahun berikutnya, tahun 1957, meningkat menjadi

70.000. Diperkirakan setidaknya 275.000 orang tinggal di rumah-rumah

yang tidak sehat dan 80.000 orang tinggal di daerah berpenduduk padat.

Beberapa daerah yang tergolong padat penduduk itu antara lain: Sawah

Besar, Menteng, Salemba, Tanah Abang, dan Kota.114 Kalau diperhatikan di

peta, daerah-daerah padat penduduk tersebut terkonsentrasi di wilayah

pusat.

Istilah ‘penghuni liar’ sebenarnya sangat diskursif. Pada masa

perjuangan, penduduk malah didorong untuk menduduki lahan-lahan di

Jakarta sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda.115 Dengan demikian, di

waktu itu peran mereka adalah sebagai ‘pejuang’. Begitupun dengan masa

pendudukan Jepang. Penduduk dianjurkan untuk menanami tanah kosong

113 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 266 114

Ibid., hal: 237 – 238 115 Ibid., hal: 266

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

47

dengan sayur-sayuran dan pohon jarak. Pemakaian tanah ini tanpa dipungut

biaya sewa sehingga tidak jelas lagi batas tanah, luas, atau pun pemiliknya.116

Akan tetapi, sesudah kemerdekaan, pendudukan atas lahan harus

disertai dengan bukti kepemilikan. Dari tahun 1945 – 1947, pemerintah kota

mengharuskan penduduk untuk mendaftarkan tanah garapannya.117 Dengan

demikian, tanah sudah bukan lagi arena pertarungan. Tanah adalah properti

yang bisa dimiliki sendiri, sederajat dengan rumah, kendaraan, dll. Oleh

sebab itu, apa yang menjadikan seorang penghuni liar, sesungguhnya adalah

soal pendaftaran dan pendataan.

Masalah klaim atas kepemilikan tanah ini menjadi hambatan utama

dalam melaksanakan pembangunan di ibukota. Menyadari belum tertatanya

sistem pendataan kepemilikan tanah membuat pemerintah kota merasa

berkewajiban untuk memberi kompensasi dan mengatur relokasi bagi para

‘penghuni liar’ tersebut. Ini tentunya memakan biaya dan waktu yang tidak

sedikit. Contohnya, untuk menyelesaikan beberapa ratus meter terakhir Jalan

Thamrin saja, pemerintah kota memberikan kompensasi pada sekitar 500

orang pemilik rumah.118

Selain ‘pemukim liar’, masalah sosial lain yang marak di ibukota yakni

keberadaan gelandangan. Perhatian pemerintah terhadap isu ini lebih untuk

menyelamatkan muka di depan tamu asing. Bagi pemerintah, gelandangan

adalah aib. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Syamsurijal, walikota kedua

yang menangani ibukota, sebagai berikut: “Dalam upaya untuk memperindah

116 Sedyawati, Edi. Et.al. Op.cit., hal: 99 117

Ibid. 118 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 266 – 267

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

48

Jakarta, [walikota] mengambil langkah membersihkan kota dari para

gelandangan [...] orang asing dapat melihat mereka dan al ini menurunkan

status bangsa [...]”119

Oleh karena itu, ketika mereka kedatangan tamu asing akan dilakukan

‘pembersihan’ jalan dari para gelandangan. Para gelandangan itu dicokok,

dibawa ke kamp sementara untuk berdiam sekitar satu atau dua hari. Di hari

berikutnya, para gelandangan itu biasanya kembali ‘mangkal’ di jalanan.

Usaha lain yang dilakukan pemerintah yaitu mendirikan rumah

penampungan bagi gelandangan anak-anak dan ada pula yang dipindahkan

ke lahan baru di Sumatera Selatan.120

Setelah gelandangan, para pedagang kaki lima dan pengamen juga

dipandang sebagai masalah di ibukota. Pemerintah khawatir keberadaan

mereka akan menurunkan harkat martabat kota. Akan tetapi, pemerintah

tidak menerapkan sanksi tegas terhadap mereka. Kurangnya lahan pasar

menjadi salah satu pertimbangan pemerintah.121

Tentu, tidak semua pendatang yang hijrah ke Jakarta berakhir sebagai

gelandangan atau pengamen. Berdasarkan survei tahun 1953 diperlihatkan

bahwa sebagian besar imigran tersebut berhasil memperbaiki nasib mereka

di Jakarta. Imigran laki-laki biasanya bekerja di bidang industri dan

transportasi. Selebihnya menjadi pedagang kaki lima atau pegawai negeri.

119 Ibid., hal: 267 – 269 120

Ibid., hal: 268 121 Ibid., hal: 268

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

49

Sedangkan imigran perempuan rata-rata bekerja sebagai buruh atau

pembantu rumah tangga.122

Berdasarkan survei yang digelar tahun 1953 disebutkan bahwa

sebagian besar pendatang di Jakarta berhasil memperbaiki nasibnya. Walau

jenis pekerjaan yang tersedia itu di luar standar, yang jelas hampir seluruh

pendatang itu dapat beroleh pekerjaan. Oleh sebab itu, kalau dibanding-

banding dengan penghidupan di luar Jakarta, Jakarta terbukti menjanjikan

karena menawarkan perolehan pendapatan yang lebih besar.123

Namun, bila membandingkan anggaran keluarga berpendapatan

rendah di tahun 1937 dengan tahun 1953 – 1954 terlihat bahwa sebenarnya

pekerja di Jakarta mengalami penurunan kemakmuran. Bila di tahun 1937

rata-rata rumah tangga tersebut menganggarkan 57% pendapatan untuk

makanan, di tahun 1953 – 1954 jumlah tersebut naik menjadi 74%. Kondisi

ini tambah memburuk di tahun 1957 di mana dilaporkan bahwa jumlah

keluarga yang sanggup makan tiga kali sehari hanya 30%.124

Inflasi disebut sebagai salah satu penyebab dari kemerosotan

ekonomi ini. Dalam kurun waktu 1953 – 1955 tercatat harga beras

mengalami kenaikan lebih dari separuhnya. Lalu, dari Januari 1958 sampai

Juli 1965 indeks biaya hidup meningkat sampai 10 kali lipat. Bagi mereka

yang memiliki penghasilan tetap, tentu keadaan ini akan menyiksa. Beda

dengan pedagang yang akan lebih banyak menuai untung.125

122 Ibid., hal: 252 123 Ibid., hal: 252 124

Ibid., hal: 252 – 253 125 Ibid., hal: 253

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

50

D. Jakarta dalam Karya Sastra Indonesia Periode 1950-an

Pada periode 1950-an, tidak banyak karya sastra yang diproduksi di

Indonesia. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kondisi ekonomi yang tidak

memungkinkan untuk memproduksi karya secara massal. Begitupun, baik

pengarang maupun penerbit tidak mau mengambil resiko apabila karangan

yang diproduksi tidak laku di pasar dikarenakan daya beli konsumen yang

rendah.126

Di sisi lain, krisis ekonomi membawa perubahan pada bentuk/ragam

karya sastra yang diterbitkan. Kebanyakan tulisan bermunculan dalam

format cerita pendek, alih-alih novel-novel tebal beratus-ratus halaman. Bagi

penerbit, setiap helai yang terpakai berarti ongkos produksi yang bertambah.

Bagi pengarang, setiap helai yang bertambah berarti waktunya untuk duduk

diam tanpa penghasilan juga akan bertambah lama. Begitupun dari segi

konsumen, lembar yang banyak akan membuat sebuah buku semakin mahal,

dan karenanya tidak terjangkau.127

Oleh karena itu, cerpen menjadi sangat booming pada periode 1950-

an. Seperti yang disebut Maman Mahayana, hampir setiap majalah yang terbit

di masa itu menyertakan cerpen. Meski, jika dihitung dari segi kuantitas,

jumlah cerpen masih berada di bawah puisi. Dari penelitian E.U. Kratz, dari

55 majalah yang terbit pada periode 1950-an, terdapat 5043 cerpen yang

diterbitkan, sedangkan puisi berjumlah 6291 buah.128

126 Teeuw, A. 1997. Citra Manusia Dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Cetakan I. Pustaka Jaya: Jakarta, hal: 195 127 Ibid. 128

Mahayana, Maman S. 2006. Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, hal: 20

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

51

Pada periode 1950-an tersebut, cerpen sudah mulai dianggap sebagai

bagian dari ragam kesusatraan Indonesia yang penting. Pada periode ini pula

mulai diterbitkan buku antologi cerpen, seperti buku Cerita dari Jakarta

karangan Pramoedya. Akan tetapi, masih ada anggapan bahwa penulis

cerpen tingkatannya berada di bawah novelis. Bahwa, seperti kata H.B. Jassin,

cerpen adalah “latihan bagi penulisan roman yang lebih besar”.129 Singkat

kata, walau secara kuantitas cerpen mengalami peningkatan tajam, akan

tetapi secara kualitas masih dipertanyakan.

Sebenarnya persoalan kualitas, atau mutu sastra tidak hanya menjadi

polemik dalam cerpen saja, tetapi juga dalam sastra Indonesia periode 1950-

an secara keseluruhan. Isu ini awalnya mengemuka dalam Simposium Sastra

Modern Indonesia yang diselenggarakan Sticusa di Amsterdam, Juli 1953.

Dalam kesempatan tersebut, beberapa kritikus sastra Belanda melihat sastra

Indonesia mengalami penurunan baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

Sementara itu, di dalam negeri, Soedjatmoko dalam tulisannya tahun 1954,

juga melontarkan pendapat serupa. Baginya, kelangkaan novel yang baik

sejak proklamasi kemerdekaan membuktikan bahwa benar telah terjadi

krisis dalam sastra Indonesia.130

Pendapat tersebut didebat oleh Boeyoeng Saleh dan AS Dharta, yang

sama-sama bernaung dalam Lekra. Boeyoeng Saleh menyorot faktor-faktor

eksternal serupa politik, ekonomi, dan sosiallah yang membuat adanya kesan

akan krisis sastra tersebut. Lain halnya dengan AS Dharta yang balik

menggugat kriteria yang digunakan dalam menilai mutu sastra. Menurutnya, 129

Dalam ibid., hal: 20; 23 130 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 48 – 49

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

52

standar estetika yang digunakan selama ini merupakan kriteria kaum borjuis

yang menekan ekspresi kreatif dari rakyat kecil.131 Serangan Dharta jelas

ditujukan bagi kelompok Gelanggang yang menekankan pentingnya struktur

formal dalam sastra.

Walaupun perdebatan tentang krisis sastra ini dilatarbelakangi oleh

politik sastra, antara Gelanggang yang ingin memperluas pengaruhnya dan

Lekra yang ingin mempertegas keberadaan mereka, di pihak Gelanggang

sendiri tidak satu suara mengenai krisis sastra ini. H.B. Jassin yang disebut-

sebut sebagai juru kunci sastra Indonesia modern, menolak terhadap

pendapat adanya penurunan dalam kualitas dan kuantitas sastra

Indonesia.132

Terlepas dari perdebatan-perdebatan itu, terlepas pula dari soal mutu

dan jumlah, beberapa karya sastra yang dihasilkan pada periode 1950-an

tampak mengambil sikap kritis terhadap keadaan sosial, politik, dan ekonomi

yang terjadi di masa itu, tidak terkecuali karya-karya sastra yang mengambil

latar di Jakarta. Jakarta tidak lagi dipandang dengan penuh ketakjuban

seperti dalam novel-novel awal abad 20. Dalam karya-karya periode 1950-an

mulai terlihat sisi bobrok dari Jakarta.

Misalnya, di tahun 1954, Ajip Rosidi menulis puisi berjudul Lagu

Djakarta. Dalam puisi tersebut, modernitas Jakarta bukannya diselebrasi,

melainkan dikritisi. Rosidi lebih banyak menampilkan sisi negatif dari

modernitas Jakarta. Jakarta digambarkan secara suram. Malaria merajalela.

Banjir mengancam di mana-mana. Bau pesing menguar di udara. Jakarta juga 131

Ibid., hal: 49 – 50 132 Ibid., hal: 50

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

53

adalah kota yang keras. Orang-orang harus bekerja membanting tulang untuk

bertahan hidup.133

Dalam puisi selanjutnya di tahun 1955 berjudul Kepada Jakarta,

kehidupan Jakarta yang keras masih disorot. Jakarta diidentikkan dengan

keringat dan debu. Malaria, sekali lagi, dimasukkan dalam salah satu bait.

Puisi ini dengan cerdik menampilkan kontras antara dua wajah Jakarta

dengan membandingkan Jakarta di waktu siang dengan Jakarta di waktu

malam. Jakarta di waktu siang tampil sebagaimana adanya, dengan cacat dan

keburukannya. Begitu malam, segala kejelekan tersebut hilang digantikan

oleh angan-angan dan harapan.134

Malaria, yang masuk dua kali dalam puisi Rosidi, merupakan salah

satu topik yang kerap disorot dan digunakan oleh penyair-penyair Angkatan

45.135 Seperti halnya yang terjadi di abad 19, di periode 1950-an kasus

malaria sangat umum terjadi di Jakarta. Buruknya kesehatan warga kota

antara lain disebabkan oleh gizi yang buruk, kebersihan yang tidak terjaga

dan pasokan air yang tidak mencukupi.136

Ringkasnya dapat dikatakan modernitas menjadi bumerang bagi kota

Jakarta. Biasanya modernitas didefinisikan lewat keteraturan dan

kebersihan, akan tetapi untuk kasus Jakarta yang terjadi malah sebaliknya.

Modernitas Jakarta adalah modernitas yang setengah-setengah, modernitas

yang selalu menyisakan sampah.

133 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook, Op.cit., hal: 238 134 Ibid. 135

Ibid., hal: 224 136 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 245

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

54

Namun, betapapun jeleknya ibukota, ia tetap disukai oleh

penduduknya. Mereka enggan berpaling dari Jakarta. Barangkali bukan

karena tidak ada jalan lain untuk berkelit, hingga mereka harus pasrah dan

‘menerima apa adanya’. Tapi lebih karena mereka adalah produk dari Jakarta

itu sendiri, mereka bukanlah bagian yang tak terpisahkan dari Jakarta.

Seperti yang ditulis Rosidi dalam dua baris terakhir puisinya: “Kutjinta

Djakarta. Karena kau kotakelahiran kedua.”137

Selanjutnya, karya sastra yang sering dirujuk untuk menggambarkan

kemelut tahun 1950-an di Jakarta adalah novel Mochtar Lubis, Senja di

Jakarta. Dalam novel tersebut Lubis menampilkan dua sisi Jakarta yang

kontradiktif. Jakarta ditampilkan sebagai sebuah kota yang secara spasial

terbagi-bagi, bukan dalam artian fisik tapi dalam hal simbolik. Apa yang

membedakan satu kelompok dengan kelompok lain adalah terbuka atau

tidaknya akses pada modernitas, uang, dan juga terhadap kekuasaan.

Sisi Jakarta yang satu direpresentasikan oleh elit-elit masyarakat yang

korup. Tokoh-tokoh ini diwakili oleh Suryono, Husin Limbara, Raden Kaslan,

dan Sugeng. Kalau Jakarta diumpamakan sebagai sebuah kue atau daging

ayam, mereka mendapatkan bagian yang paling baik dari Jakarta sebagai

kota yang direpresentasikan sebagai pusat uang dan pusat kekuasaan.

Sementara itu, di sisi lainnya, ada lapisan masyarakat lain yang hanya

menikmati remah-remah dari kota Jakarta. Dan untuk mendapatkan remah-

remah itu mereka harus berjuang dengan keras (mempertahankan hidup

137 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook, Op.cit., hal: 238

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

55

dengan keras). Kelompok ini diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Pak Ijo,

Saimun, Itam dan Neneng.

Untuk mempertajam kritik sosialnya, Lubis menggambarkan

kemiskinan mereka bukan sebagai hasil. Tapi sebagai konsekuensi dari

jauhnya mereka terhadap akses-akses, ketidakmampuan mereka dalam

mengakses pusat kekuasaan dan uang. Mereka hidup secara terpisah seolah-

olah berada di dunia yang berbeda, yang jauh jaraknya. Mereka terpisah

dalam jarak sosial yang sangat jauh dan tak terjembatani.

Secara karikatural Lubis beberapa kali menggambarkan

persinggungan mereka di jalan secara insidental. Misal ketika mobil baru

Raden Kaslan ditabrak oleh seorang kusir. Walau mereka berbagi jalan yang

sama, pada akhirnya akses terhadap kekuasaanlah yang berbicara dan

membedakan keduanya.

Yang menarik juga adalah cara Lubis memrepresentasikan

persinggungan mereka. Di jalan orang kecil selalu digambarkan mengganggu

kesenangan para elit yang sedang menikmati atau mencicipi pengalaman

sebagai orang modern (naik mobil atau makan di restoran). Lubis bahkan

menuliskan setidaknya tiga peristiwa kecelakaan di jalan raya dengan rakyat

kecil sebagai korbannya.

Dalam persinggungan baik buruknya nasib mereka ditentukan oleh

kebaikan atau kemurahan hati para elit tersebut. Lewat kontras semacam

itulah Lubis menggambarkan demoralisasi yang melanda kota Jakarta.

Membandingkan karya kedua sastrawan tersebut, tampak bahwa

Rosidi lebih perhatian pada aspek sosial, sedangkan Lubis lebih politis. Kalau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

56

Rosidi menyorot malaria sebagai penyakit utama yang mengancam warga

ibukota, Lubis lebih memilih korupsi sebagai penyakit akut yang menjangkiti

pegawai dan kalangan elit Jakarta. Di samping perbedaan keduanya, benang

merah yang dapat ditarik bahwa ada yang salah dengan modernitas di

Jakarta. Kalau Soekarno menunjukkan Jakarta lewat bangunan-bangunan

yang megah dan mewah, para pengarang tersebut menunjukkan bahwa

bangunan-bangunan yang terlihat indah tersebut sesungguhnya keropos dan

lemah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

57

BAB III

PRAMOEDYA DAN CERITA DARI JAKARTA

Bab berikut ini menyorot secara lebih terperinci mengenai latar

belakang dari dua hal: Pramoedya Ananta Toer selaku pengarang, dan buku

antologi cerpen yang ditulisnya, Cerita dari Jakarta. Karena Cerita dari

Jakarta ditulis sebagian besar dalam periode awal 1950-an, masa-masa di

mana ia dikelompokkan sebagai unattached individual, maka riwayat hidup

Pramoedya juga akan dititikberatkan pada masa-masa itu. Oleh karena itu,

bisa dimaklumi apabila aktivitas Pramoedya di Lekra hanya sedikit

disinggung di sini.

Spesifiknya, bab ini dimulai dengan gambaran tentang masa kecil

Pramoedya di Blora. Dari masa kanaknya ini sudah terlihat perhatian

Pramoedya terhadap ketidakadilan dan penindasan. Selanjutnya, Pramoedya

pindah ke Jakarta di usia 17 tahun, yang tidak hanya berarti pindah secara

ragawi, tetapi juga secara kultural. Pramoedya tidak hanya menanggalkan

dialek Jawa Blora-nya, tetapi juga meninggalkan cara berpikir dan ‘adat

kebiasaan’ di kampungnya. Misal, Pramoedya memilih pasangannya sendiri,

sebuah cara yang berbeda dari yang dipraktikkan kedua orang tuanya.

Pergulatan hidup Pramoedya di Jakarta, masa-masa susahnya menjadi

bawahan, menjadi penulis upahan, yang berujung pada perceraian dengan

isterinya; ditambah situasi politik, ekonomi dan sosial Indonesia pasca

merdeka yang masih jauh dari cita-cita revolusi, diyakini telah menjadi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

58

inspirasi Pramoedya dalam menuliskan cerpen-cerpen yang termuat dalam

Cerita dari Jakarta.

A. Pramoedya: Masa-Masa di Blora

Pramoedya adalah sastrawan lintas jaman. Ia merasakan hidup di

masa Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, dan terakhir, Reformasi.

Pramoedya lahir 6 Februari 1925. Sedari kecil, ia sudah familiar dengan ide

nasionalisme, terutama karena ayahnya adalah “seorang nasionalis yang

revolusioner”.138

Sebelum menikah, Mastoer,139 ayah Pramoedya, bekerja sebagai guru

di sekolah dasar pemerintah Belanda Holandse Indische School (HIS) di

Rembang. Setelah menikah, yaitunya di tahun 1923, ia melepaskan pekerjaan

itu. Ia lebih memilih untuk mengabdikan diri sebagai direktur merangkap

kepala sekolah di Lembaga Budi Utomo cabang Blora. Kendati kedudukannya

lebih tinggi, pendapatannya jauh lebih sedikit. Apabila di HIS ia digaji 200

gulden, di Budi Utomo ia hanya mendapat kurang dari sepersepuluhnya,

yakni 18 gulden. 140

Atas sikap dan pendirian ayahnya itu, Pramoedya menyimpan

kekaguman dan kebanggaan yang mendalam. Kekaguman itu jelas tampak

dari cara Pramoedya menggambarkan ayahnya:

138 Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra: Jakarta, hal: 7 139 Berdasarkan keterangan Pramoedya, tadinya ayahnya bernama Mastoer. Akan tetapi, karena kebenciannya pada feodalisme, ia membuang Mas di depan namanya itu. (Ibid., hal: 6) 140 Lihat Scherer, Savitri. [1981] 2012. Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam ideologi. Komunitas Bambu: Depok, hal: 11 dan Teeuw, A. 1995. Revolusi Indonesia dalam imajinasi Pramoedya Ananta Toer. Jurnal Kalam Edisi 6, hal: 4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

59

“Ayahku bertubuh tegap, seorang kukuh pendirian dan sikapnya. Dan yang selalu aku hormati: tabah dalam mengambil keputusan dan merumuskan sesuatu. Ia seorang liberalis dan javanis sekaligus, tidak melakukan ibadah, pecinta kebudayaan Jawa, pembenci feodalisme [...] Ia mempunyai pengetahuan yang luas tentang literatur Jawa, seorang penggerak, juga seorang pengarang dan penggubah lagu-lagu [....] Sampai sekarang pun kegiatannya masih aku nilai sebagai dahsyat.”141

Akan tetapi, di balik kekaguman itu, hubungan antara Pramoedya

dengan ayahnya secara pribadi tidak terlalu rapat. Ayahnya jarang berada di

rumah. Ketika di rumah pun, ia tidak terlalu banyak bicara. Sementara, seisi

rumah itu tidak ada pula yang berani berbicara padanya.142

Lain halnya hubungan Pramoedya dengan ibunya, keduanya sangatlah

dekat. Sementara ayahnya sibuk di luar, ibunya sibuk pula bekerja demi

mencukupi kebutuhan keluarga dan saudara-saudara lain yang ikut tinggal

bersama mereka. Ibunya melakukan segala macam usaha, mulai dari

membatik, membuat kue, minyak kelapa, sabun, sampai berternak ayam,

kambing, dll. Perjuangan ibunya inilah yang membuat Pramoedya sangat

menghormatinya. Bahkan, membuat Pramoedya lebih memihak kepada ibu

ketimbang bapaknya. 143 Berikut diantara pujian Pramoedya untuk ibunya:

“Dialah guruku, pembentuk dan pembimbingku, yang mengalasdasari hidupku sampai sekarang ini. [...] Bagiku dia adalah nilai tanpa sampah, api tanpa debu. Sekiranya ia hidup barang 7 abad lalu, dan sekiranya aku raja seperti Sri Kertanegara, ia pun akan aku candikan, dan aku persembahkan gelar Prajnya Paramita, Dewi Kebijaksanaan.”144

141 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 4 142 Ibid., hal: 16 143

Ibid., hal: 23; 58 144 Ibid., hal: 23; 58; 160

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

60

Ibu Pramoedya, bernama Oemi Saidah, berasal dari kalangan santri

yang terdidik. Ibunya menjadi anak didik ayah Pramoedya sewaktu di HIS.145

Bila tidak segera dipersunting, ibunya sudah melanjutkan pendidikan ke Van

Deventer School, sebuah sekolah kerajinan untuk gadis di Semarang.146

Ibunya menikah di usia 15 tahun, terpaut 11 tahun dengan ayah Pramoedya

yang sudah berusia 26 tahun.147

Pramoedya belajar di sekolah yang dipimpin ayahnya sejak usia 4

tahun. Prestasi akademiknya ketika itu amatlah minim. Ayah Pramoedya pun

mengkhususkan waktu di sore hari untuk memberinya pelajaran tambahan.

Nasionalisme dan penindasan termasuk di antara yang diajarkan ayahnya.

Sementara itu, bimbingan lewat cerita-cerita tokoh nasionalis sering pula

dikisahkan ibunya. Pramoedya tiga kali tinggal kelas, hingga baru

menamatkan sekolah dasar di usia 15 tahun.148 Itupun, setelah dinyatakan

lulus, Pramoedya masih disuruh ayahnya mengulang kelas 7. Pramoedya

menurut, walau cuma sehari.149

Selepas sekolah dasar, Pramoedya mulai hidup merantau. Ia

melanjutkan pendidikan ke Surabaya di sekolah kejuruan radio, Radio

Vakschool. Sekolah itu dipilihnya bukan karena ia tertarik pada radio, tetapi

karena sekolah itu masih ada hubungannya dengan listrik. Awalnya,

145

Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 11 146 Dapat dilihat pada situs http://www.jendelasastra.com/wawasan/pokok-dan-tokoh/biografi-singkat-pramoedya-ananta-toer, diakses tanggal 15 November 2014 147 Lihat Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 4. Keterangan yang berbeda diberikan Scherer, di mana ia menulis ibu Pramoedya berusia 18 tahun ketika menikah dengan ayahnya yang waktu itu 32 tahun. (Dalam Scherer, Savitri. Op.cit.) 148

Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 55; dan Teeuw, A. Op.cit. 149 Toer, Pramoedya Ananta. Ibid., hal: 78 – 80

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

61

Pramoedya bercita-cita menjadi insinyur listrik. Namun, sebagai lulusan

sekolah nasional ia tidak mungkin menyambung ke sekolah tinggi teknik.150

Biaya pendidikan Pramoedya di Radio Vakschool diusahakan oleh

ibunya. Sebelum berangkat ke Surabaya, Pramoedya mengenang, ibunya

membelikan sebuah arloji dan dua buah cincin emas sebagai bekal.

Pramoedya lulus Desember 1941.151

Tidak lama berselang, Jepang mengambil-alih Hindia Belanda, bahkan

sampai pula ke Blora. Ketika itu Pramoedya sudah pulang ke rumahnya. Di

tengah konflik itu, Pramoedya harus menghadapi keadaan finansial keluarga

yang kian terpuruk. Ibunya yang terkena TBC sudah teramat lemah. Ia tidak

mampu lagi bekerja. Maka Pramoedya, 17 tahun, dan adiknya, 15 tahun,

mengambil alih tanggung jawab menafkahi keluarga dengan berdagang

rombengan, rokok, cengkeh, dll. Pada bulan Mei 1942, ibunya meninggal

dalam usia yang masih teramat muda, 34 tahun.152

B. Pramoedya, Jakarta, dan Revolusi Indonesia

Pramoedya berangkat ke Jakarta sebulan berselang kematian ibunya.

Ayahnya merasa tidak ada masa depan untuk Pramoedya bila ia tetap tinggal

di Blora.153 Pramoedya pergi berdua dengan adiknya. Inilah kali pertama

Pramoedya menginjakkan kaki di Jakarta. Selama ini, Pramoedya baru

150 Toer, Pramoedya Ananta. Ibid., hal: 77; 81 151 Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, hal: 285 152 Scherer, Savitri, Op.cit., hal: 12; Teeuw, A. Op.cit., hal: 4; Toer, dan Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 105 – 107 153

Dalam sebuah wawancara, Pramoedya mengingat kejadian di masa itu: “Ia berkata kepada saya: ‘Pergilah saja ke barat, ke Jakarta’.” (Lihat catatan akhir nomor 69 dalam Mrazek, hal: 397)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

62

mengenal Jakarta dari buku-buku bacaan. 154 Walau tidak langsung menetap

lama di kota ini, Jakarta tidak hanya sekadar menjadi tempat persinggahan

bagi Pramoedya. Nantinya, ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di kota

ini. Jakarta juga menjadi tempat peristirahatan terakhirnya setelah

meninggal dunia pada tahun 2006.155

Blora ketika itu digambarkan Pramoedya sebagai kota yang nyaris

tidak berpenghidupan. Tanahnya gersang. Tidak mengherankan apabila

anak-anak mudanya banyak yang pergi ke daerah lain demi mencari

pekerjaan, termasuk di antaranya kawan-kawan Pramoedya. Dua orang

teman yang telah setia menemani Pramoedya di kala-kala gundah sehabis

kematian ibunya, telah hijrah ke Sumatera. Pramoedya menyadari,

kepergiannya ke Jakarta tidak hanya akan menjadi perpisahan dengan sanak

keluarga semata, tetapi juga dengan cara pikir dan budayanya, karena begitu

masuk ke kota “ia memasuki alam modern yang tidak memungkinkannya

kembali ke desanya lagi”.156

Sesampainya di Jakarta, Pramoedya dan adiknya ditampung di rumah

adik ayahnya yang paling bontot, R. Moedigdo. Pamannya itu masih lajang,

tinggal seorang diri saja. Pramoedya menggambarkan rumah itu sebagai

“bagus dan bersih, modern dan nampaknya sehat.”157

154 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 118 – 119 155 Berita-berita tentang kematian Pramoedya dapat dilihat pada situs-situs berikut: http://en.tempo.co/read/news/2006/04/30/05576836/Pramoedya-Dimakamkan-di-TPU-Karet, 30 April 2006 dan http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2006/04/30/11524/Diiringi-Gema-Petir,-Pramoedya-Dimakamkan-di-Karet, 30 April 2006. 156

Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 113 – 120 157 Ibid., hal: 126

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

63

Pramoedya termasuk ‘beruntung’ dari segi ini, karena ia tidak

langsung berhadapan dengan rumah-rumah kumuh khas ibukota. Contohnya

pengalaman Ajip Rosidi yang baru pindah ke Jakarta tahun 1951. Mengikut

pamannya, ia tinggal di gubuk beratapkan rumbia yang menyatu dengan

gubuk-gubuk lain seluas sekitar 10 x 7 meter. Kawasan itu dihuni 57

orang!158

Jakarta tahun 1942 berarti Jakarta yang ‘bertuankan’ kepada Jepang.

Pekerjaan pertama yang diperoleh Pramoedya di Jakarta adalah sebagai juru

ketik di kantor berita Jepang, Domei. Di kemudian hari, hal ini membuatnya

dituding sebagai antek Jepang.159 Di samping bekerja, Pramoedya masih

melanjutkan sekolah di Taman Siswa untuk dewasa. Taman siswa

dibubarkan atas perintah Jepang tahun 1943, yang berarti akhir dari

pendidikan Pramoedya di sekolah itu.160

Dibandingkan Pramoedya, lingkungan barunya di Jakarta berbeda

sama sekali dengan di Blora. Sedikit demi sedikit ia belajar menyesuaikan

diri. Satu-persatu, Pramoedya mencoba melepaskan diri dari pengaruh-

pengaruh kebudayaan Jawa yang dikenalinya sedari kecil. Ia bahkan

mengkoreksi logatnya yang medok Jawa menjadi ‘lebih kota’, ‘lebih

Indonesia’. Pramoedya bukan lagi ‘anak kampung’ yang ke ‘kota’, tetapi

sudah menjadi ‘anak kota’ seutuhnya. Dalam kesaksian Pramoedya:

“Tanpa aku rasai aku mulai meninggalkan pengaruh kebudayaan Jawa. Memang mula-mula orang menertawakan d-ku yang berat kejawa-jawaan. Dalam seminggu aku telah dapat menghilangkan d

158 Dalam Blackburn, Susan. 2012. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Pen. Gatot Triwira. Masup Jakarta: Jakarta, hal: 237 159

Ibid., hal: 121 160 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 12 – 13; Teeuw, A. Op.cit., hal: 4

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

64

Jawa, juga membuang tekanan-tekanan berat yang emosional pada makna yang dimaksud. Aku mulai merasa sebagai orang Indonesia sepenuhnya, bukan lagi orang Jawa dengan etiket Indonesia.”161 Walau sekolah formalnya terhenti di tahun 1943, tidak berarti

Pramoedya berhenti belajar. Ia banyak membaca buku dan mengikuti

diskusi-diskusi sastra. Buku yang dibacanya sangat beragam subyeknya,

mulai dari buku-buku filsafat alam dan Helenisme karangan Moh. Hatta,

sampai Encyclopedy Winkler Prims dan Encyclopedy Brittannica. Buku-buku

tersebut memperluas cakrawala pengetahuannya hingga ke daratan Eropa.

162

Pada bulan Februari 1944, Domei mengirim dua orang stafnya untuk

kursus stenografi pada Karundeng, bapak stenografi Indonesia. Salah seorang

yang ditunjuk adalah Pramoedya. Di masa kursus itu, di samping diajari

menulis cepat, Pramoedya juga mendapat pelajaran politik dari Soekarno,

pelajaran ekonomi dari Moh. Hatta, dan tata negara dari Soekardjo

Wirjopranoto. Semasa kursusnya, Pramoedya ditugasi mencatat dalam steno

sejumlah ceramah Muhammad Yamin, yang kemudian diterbitkan dalam

judul Diponegoro. Kursus stenografi ini selesai di tahun 1945.163

Setamatnya kursus, Pramoedya dihadapkan pada kekecewaan

terhadap Domei. Hasnah St. Diatas yang ikut kursus bersamanya langsung

duduk di meja redaksi, sedangkan Pramoedya tetap jadi juru ketik dengan

gaji yang juga tetap. Ia mengira jenjang pendidikan yang rendah yang

menjadi pangkal bala. Maka, sewaktu Sekolah Tinggi Islam baru dibuka,

161 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 128 162

Ibid., hal: 131 – 142 163 Ibid., hal: 143; 148; Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 13; dan Teeuw, A. Op.cit., hal: 5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

65

Pramoedya mendaftar sebagai mahasiswa pendengar untuk mata kuliah

filsafat dan sosiologi.164

Selanjutnya, masa-masa di Domei tidak menyenangkan hati

Pramoedya. Apalagi sudah tumbuh kesadaran di dirinya, menjadi stenograf

berarti menjadi budak. Ia berkehendak menjadi orang bebas, bebas

melakukan apa-apa yang diingininya tanpa diperintah-perintah orang. “Aku

tahu, aku mulai tumbuh jadi seorang individualis. Jakarta sudah cocok untuk

diriku, dan diriku tidak cocok untuk Jakarta.”165

Pramoedya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Domei. Akan

tetapi, surat permohonannya yang berulang-ulang kali dikirim, tidak pernah

ditanggapi. Sementara, ia sudah sangat muak tinggal di Jakarta. Pramoedya

akhirnya kabur ke Blora, berpindah-pindah ke beberapa tempat, sampai

akhirnya menetap di sebuah desa terpencil bernama Tunjung.166

Tanggal 23 Agustus 1945, di Tunjung tersiar kabar kemerdekaan

Indonesia. Pramoedya meninggalkan Tunjung, dan kembali lagi ke Jakarta

pada bulan September 1945.167 Padahal, di masa-masa itu sering terjadi

kekacauan. Mereka yang tadinya bermukim di Jakarta, banyak yang

berbondong-bondong meninggalkan kota.168

Tinggalnya Pramoedya di Jakarta pada masa-masa Revolusi

memberinya sebuah pandangan yang berbeda dalam melihat proklamasi

164 Toer, Pramoedya Ananta. Ibid., hal: 149 – 151 165 Ibid., hal: 152 – 153 166 Ibid., hal: 153 167 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 14 168 Cribb, Robert. 1985. The nationalist world of occupied Jakarta (1946 – 1949) dalam buku From Batavia to Jakarta. Ed. Susan Abeyasekere. Monash University: Clayton, hal: 94. (Dapat diakses di situs: http://works.bepress.com/robert_cribb/15, tanggal 11 November 2014)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

66

kemerdekaan Indonesia. Proklamasi bukanlah sebuah garis finish yang

menandakan berakhirnya masa penjajahan Belanda atau pun pendudukan

Jepang. Proklamasi bukanlah tujuan Revolusi. Proklamasi baru sampai

membawa bangsa Indonesia pada garis start. Bagi Pramoedya, Revolusi baru

akan dimulai.169

Menariknya, Pramoedya meletakkan awal revolusi Indonesia bukan di

tangan para proklamatornya, ataupun tokoh-tokoh pergerakan nasional lain.

Dengan lantang Pramoedya mengumumkan: “Revolusi Indonesia dimulai

oleh para paria Medan Senen.”170 Nama-nama mereka yang dikelompokkan

Pramoedya sebagai “paria” ini tentu tidak akan dicetak tebal dalam buku

sejarah nasional, tidak pula dalam narasi penulisan sejarah pada

umumnya.171

Pramoedya mempunyai alasan kuat mengapa ia mengajukan kaum

paria Medan Senen ini sebagai perintis revolusi nasional. Dalam

pengamatannya, kaum paria Medan Senen termasuk yang pertama-tama ke

luar dari lingkungannya, dan melakukan perlawanan. Mereka sudah tidak

lagi sekadar berjaga-jaga di wilayahnya masing-masing.172

Kesadaran akan pentingnya melakukan perlawanan ini didapat

Pramoedya ketika menghadiri rapat raksasa di Lapangan Ikada (di bagian

169 Lihat: Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 174 – 187 170 Paria dalam KKBI diartikan sebagai “golongan masyarakat yg terendah atau hina-dina (dl masyarakat Hindu) yang tidak mempunyai kelas (kasta)”. Pramoedya menggunakan istilah paria untuk merujuk pada kaum gelandangan, pengemis, pelacur, atau pun pencopet. Sementara yang dimaksud Pramoedya dengan Medan Senen yakni “lapangan Pasar Senen dengan sekitar satu kilometer radius daerah pengaruhnya.” (Lihat: Ibid., hal: 177; 187) 171 Diantara segelintir peneliti yang mengkaji secara khusus sumbangsih ‘kaum paria’ (geng dan bandit kampung) dalam gerakan revolusi nasional yakni Robert Cribb. Penelitian tersebut dilakukannya dalam rentang tahun 1979 – 1984, dan hasilnya dibukukan dalam judul Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1945 – 1949. 172 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 177

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

67

tenggara Lapangan Merdeka), 19 September 1945. Saat itu ia terkesan

dengan semangat dan keberanian yang meluap-luap dari rakyat Indonesia.

“[...] itulah untuk pertama kali aku saksikan, bagaimana orang Indonesia

sama sekali tidak takut pada Dai Nippon dengan militernya yang mashur

akan kekejaman dan kekejiannya”.173

Maka dengan bekal semangat dan keberanian melawan itulah,

Pramoedya kemudian memutuskan untuk bergabung dalam Badan

Keamanan Rakyat (BKR) pada bulan Oktober 1945. Pusatnya terletak di

Cikampek. Pramoedya mendaftar sebagai tentara kelas dua di unit Banteng

Teruna yang dalam perkembangan lebih lanjut menjadi inti divisi Siliwangi,

kesatuan elit angkatan bersenjata.174

Pada pertengahan tahun 1946, Pramoedya menjabat sebagai perwira

pers dengan pangkat letnan kelas dua. Ia ditugasi memimpin satu unit yang

terdiri dari 60 tentara untuk melaporkan keadaan-keadaan di beberapa

tempat, di antaranya: Klender, Bekasi, Cakung, Kranji, Lemah Abang,

Krawang dan markas-markas di Cikampek.175 Karir militer Pramoedya tidak

berlangsung lama, hanya hingga akhir tahun 1946. Konflik internal di dalam

BKR dan merajalelanya praktik korupsi diduga sebagai penyebab

pengunduran dirinya.176

Ketidakcocokan Pramoedya dengan BKR terutama karena melihat

BKR tidak lagi sejalan dengan cita-cita revolusi yang dipercayainya.

Pramoedya tidak setuju dengan tindakan BKR yang melucuti senjata dari

173 Ibid., hal: 177; Teeuw, A. Op.cit., hal: 5 174 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 14; dan Teeuw, A. Op.cit., hal: 5 175

Scherer, Savitri. Ibid., hal: 14 – 15 176 Teeuw, A. Op.cit., hal: 5

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

68

tangan rakyat, dan bahkan sampai pada melakukan pembunuhan. “Tentu saja

kurban bergelimpangan, bukan demi mempertahankan kemerdekaan. Demi

kemapanan kasta satria.”177

Maka pada awal tahun 1947, Pramoedya kembali lagi ke Jakarta. Ia

diterima bekerja di The Voice of Free Indonesia sebagai redaktur bagian

penerbitan. Di masa itu, Pramoedya sudah mulai rajin mempublikasikan

tulisannya yang dinilai tidak terlalu berhasil. Cerita pendek Pramoedya

diterbitkan di berbagai majalah terbitan Jakarta seperti Sadar, Pantja Raja,

dan Minggoe Merdeka. Sementara roman pertamanya, Krandji Bekasi Djatuh,

diterbitkan oleh tempat kerjanya, The Voice of Free Indonesia.178

Malang bagi Pramoedya, 21 Juli 1947 berlangsung Agresi Militer

Belanda I. Pramoedya ditangkap oleh sekelompok angkatan laut Belanda

karena dikira terlibat dalam gerakan perlawanan. Pramoedya dijebloskan ke

Penjara Bukit Duri tanpa melalui proses hukum apapun.179 Inilah

pengalaman pertama Pramoedya dipenjara. Penahanan selanjutnya terjadi di

masa Orde Lama (1 tahun), dan yang terlama, masa Orde Baru (14 tahun) di

mana Pramoedya ditangkap sebagai tahanan politik tanpa proses

pengadilan.180

Selama berada di tahanan, Pramoedya tetap aktif menulis. Beruntung,

penjara itu mempertemukan Pramoedya dengan Prof. G. J. Resink yang

177 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 179 178 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 15; Teeuw, A. Op.cit., hal: 5; Farid, Hilmar. 2008. “Pramoedya dan historiografi Indonesia” dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Eds. Nordholdt, Henk Schulte. et. al. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, hal: 83 179 Scherer, Savitri. Ibid., hal: 15 – 16; Teeuw, A. Ibid., hal: 5 180

Dapat diakses pada situs http://profil.merdeka.com/indonesia/p/pramoedya-ananta-toer/, tanggal 15 November 2014

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

69

kemudian menolong membawa tulisan-tulisannya ke luar penjara untuk

diterbitkan. Roman Perburuan yang menang dalam sayembara roman Balai

Pustaka tahun 1950, ditulis di masa-masa ini. Selain Perburuan, roman

lainnya, Keluarga Gerilya juga diselesaikan di Penjara Bukit Duri.181

Pada bulan Desember 1949, Pramoedya dikeluarkan dari penjara.

Sementara Belanda dipulangkan ke tanah air mereka. Dalam upacara

penurunan bendera Belanda, dan pengibaran bendera Indonesia di depan

istana Gambir (kemudian diberi nama Istana Merdeka), Pramoedya termasuk

di antara yang hadir. Pengalaman itu sangat mengharukan baginya. Bagi

Pramoedya, naiknya bendera merah putih merupakan tanda revolusi telah

kalah. Sebab, bendera itu bisa berkibar merupakan hadiah dari Konferensi

Meja Bundar, bukan yang diperjuangkan secara mati-matian.182

Walau kedaulatan Indonesia sebagai bangsa sudah diakui, bagi

Pramoedya, apa yang menjadi cita-cita kemerdekaan tidak sepenuhnya

tercapai. Sebab, ia melihat pemenang sesungguhnya adalah para priyayi,

mereka yang berasal dari kasta satria.

“Para satria, Et, pada berebutan mencoba menggantikan kedudukan kolonialis, rumahnya, jabatannya, kalau bisa juga bininya, dan juga berebut memeriahi dirinya dengan dekorasi yang jadi haknya kasta waisya, hanya untuk mendapatkan dua piring dari kue nasional yang tersedia.”183

Dengan kata lain, bagi Pramoedya, kemerdekaan atau pun revolusi

tidak membawa perubahan apapun. Yang lemah tetap di bawah, makin

tertindas oleh mereka yang berada di lapisan teratas. Yang berubah hanyalah

181 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 16 182

Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 196 183 Ibid., hal: 182

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

70

penguasanya, dari Belanda diganti dengan kaum satria (priyayi), sementara

strukturnya masih tetap sama.

Menariknya, Pramoedya dengan sengaja menggunakan konsep kasta

ketimbang kelas untuk menjelaskan struktur masyarakat Indonesia pasca

revolusi. Di satu sisi, Pramoedya ingin menunjukkan keterkaitannya secara

historis dengan struktur masyarakat Indonesia di masa lampau, struktur

masyarakat yang feodal.

Di sisi lain, Pramoedya juga ingin menggarisbawahi bagaimana

mobilitas sosial nyaris tidak terjadi dalam masyarakat yang baru merdeka

ini. Walaupun Indonesia telah merdeka, namun seorang sudra tetaplah sudra,

dan seorang satria tetap berjaya di singgasananya. Seseorang menjadi sudra

bukan hanya karena keturunan atau takdir, tetapi juga karena ‘dipaksa’

keadaan. Singkat kata, bagi Pramoedya, revolusi Indonesia telah gagal karena

tidak mampu merevolusi struktur sosial masyarakatnya.

Pada tanggal 13 Januari 1950, Pramoedya melangsungkan pernikahan

dengan Arfah Ilyas. Ia sudah berkenalan dengan Arfah sejak di Cikampek,

semasa Pramoedya bergabung dengan BKR. Arfah di kala itu bekerja di

Palang Merah. Selanjutnya, Arfah rajin menyambangi Pramoedya semasa

penahanannya di Penjara Bukit Duri.184

Pramoedya dan istrinya merupakan model pasangan modern yang

menikah melalui pilihan (chosen marriage), bukan dijodohkan seperti orang

tuanya, atau juga pasangan suami-isteri di lingkungan tempat tinggalnya.

Dengan terus-terang Pramoedya mengakui bahwa gagasannya tentang cinta

184 Teeuw, A. Op.cit., hal: 6; Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 16

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

71

didapat dari buku-buku bacaan populer. Apakah Pramoedya mencintai

istrinya seperti dalam buku-buku tersebut, ia kurang begitu yakin.

“Memang aku tidak tahu makna cinta lelaki pada perempuan. hal itu tak pernah kudapatkan dalam kehidupan suami-istri antara ayah dan ibuku, juga tidak di antara tetanggaku. Cinta yang kuketahui adalah dari bacaan.”185 Setelah menikah, Pramoedya tinggal di rumah orang tua isterinya di

Kebon Djahe Kober. Rumah mertuanya ini keadaannya jauh bertolak

belakang dengan ruman paman yang ditempatinya dulu. Lingkungannya

begitu kotor. Gotnya berbau busuk sampai Pramoedya menutup hidung

sambil berjalan cepat-cepat ketika pertama kali menginjakkan kaki di

sana.186 Pramoedya pernah mengangkat soal kampung yang bau ini di dalam

salah satu cerpennya, Kampungku, yang dimasukkan dalam Cerita dari

Jakarta terbitan tahun 1963.

Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tahun 1950-an terbawa juga

ke rumah tangga Pramoedya. Gaji Pramoedya yang ketika itu menjabat

sebagai redaktur sastra modern Indonesia di Balai Pustaka sangat tidak

memadai. Untuk menutupi kekurangan itu, Pramoedya makin giat menulis.

Apa yang ada di kepalanya hanya bagaimana cara menghasilkan tulisan

dalam jumlah yang mencukupi, cukup agar ia dan keluarga bisa hidup layak.

Pramoedya mengistilahkan dirinya sebagai broodschrijver, “seorang yang

menulis untuk sesuap nasi”. Akan tetapi, honor yang didapatnya juga

185

Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 191 186 Ibid., hal: 193

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

72

mengalami penurunan dibanding ketika masih di penjara, bahkan tidak

sampai sepertiganya.187

Pada tahun 1953, Pramoedya mendapat undangan dari Sticusa,

Yayasan Kerjasama Kebudayaan Belanda. Ia berangkat pada bulan Juni

dengan membawa serta isteri dan dua orang anak. Pramoedya yang kurang

fasih berbicara Bahasa Belanda itu membayangkan kedatangannya ke

Nederland itu bagaikan orang udik masuk kota.

“Kami datang sebagai orang dusun ke kota, kurang punya pesangon tentang pengetahuan yang serba Eropa, terutama tentang kebiasaan hidupnya. Sejak tahun-tahun pendudukan Jepang sampai 1953 itu aku hidup dalam keadaan yang nisbiah miskin dan kekurangan. Sekarang berada di tengah-tengah kehidupan dalam mana orang tidak perlu memikirkan bagaimana mencari makan.”188 Pramoedya lanjut membandingkan Amsterdam dengan Jakarta. Di

matanya Amsterdam terlihat “indah, bersih, dan tidak begitu bising dan kotor

seperti Jakarta.”189 Di Amsterdam juga, semuanya serba teratur, sedangkan di

Jakarta serba acak-acakan. Namun justru keteraturan ini tidak membuat

Pramoedya kerasan, ia gagal menemukan tempat bagi dirinya sendiri di

antara ruang-ruang yang tertata itu. Amsterdam baginya seperti setengah

mati, karena sudah jadi. Berbeda dengan Jakarta yang masih menjadi,

sehingga begitu hidup dan menggairahkan.190

Selain masalah ke-serba-teratur-an yang membingungkan itu,

Pramoedya juga harus berhadapan masalah internal, terkait dengan sifat

187 Ibid., hal: 202 –205 188 Ibid., hal: 210 – 211 189 Ibid., hal: 212 190 Shackford-Bradley, Julia. 2006. Cerpen: How Indonesian short stories re-present urban space and public discourse. Crossroads: An interdisciplinary journal of Southeast Asian studies. Vol. 17, No. 2, hal: 96

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

73

rendah dirinya yang dinamainya ‘inco’ (inferior complex). Ia merasa kesulitan

untuk berkomunikasi dengan orang yang berpendidikan lebih tinggi, dari

negara yang menjajahnya pula. Kendati negerinya sudah merdeka, namun

perasaan inferior itu masih melekat dalam dirinya.191

Masalah berikut yang dihadapinya adalah soal lidah. Waktu awal

berada di Jakarta, Pramoedya dapat melatih lidahnya untuk dapat berbicara

‘seperti orang Jakarta’, ‘seperti orang Indonesia’. Ketika di Amsterdam, ia

tidak dapat membiasakan lidahnya memakan makanan Eropa. Hal ini

melengkapi rangkaian cultural shock yang dialami Pramoedya di negeri

Belanda. Buntutnya, Pramoedya memutuskan pulang ke Indonesia 6 bulan

lebih awal dari yang dijadwalkan Sticusa.192

Gambar 3.1. Pramoedya ketika di Belanda (sekitar tahun 1953 – 1954)193

191 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 212 192

Ibid.; Teeuw, A. Op.cit., hal: 6; Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 17 193 Scherer, Savitri. Ibid., hal: 18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

74

Begitu pulang ke Jakarta, bau got yang busuk dengan setia

menyambutnya. Sementara itu, keadaan finansial Pramoedya makin

memburuk. Ia tertimbun hutang. Honor yang didapatnya dari menulis jauh

dari cukup. Ini membuat konflik rumah tangganya kian meruncing. Akhirnya,

Pramoedya dan isterinya bercerai. Anaknya yang tiga orang, semua ikut

isterinya.194

Pada tahun 1955, Pramoedya menikah lagi dengan Maimunah

Thamrin, keponakan dari M. H. Hoesni Thamrin. Sama seperti pernikahan

pertamanya, pernikahan ini juga dilalui masa-masa perkenalan. Bagi

Pramoedya, pergaulannya dengan Maimunah telah “mencabut aku

[Pramoedya] dari suasana hidup yang tidak menentu”.195 Pernikahan

keduanya ini bertahan sampai Pramoedya meninggal tahun 2006.196

Pada bulan Oktober 1956, Pramoedya diundang oleh Badan Sastra

Cina dalam rangka peringatan 20 tahun meninggalnya Lu Hsun, yang dikenal

juga sebagai Gorky-nya Tiongkok. Kunjungan ini disebut-sebut membawa

pengaruh besar dalam arah perkembangan tulisan-tulisan Pramoedya

selanjutnya. Dari kunjungan ini Pramoedya mendapat pencerahan ideologi

atas peran dan fungsinya sebagai sastrawan. Esai Pramoedya Djembatan

Gantung dan Konsepsi Presiden yang ditulis Februari 1957, dianggap sebagai

tonggak awal berbeloknya Pramoedya ke kiri, ke arah yang lebih ‘politis’.197

C. Pramoedya dan Realisme Sosial

194 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 221 – 231 195 Ibid., hal: 229 196

Scherer, Savitri. Op.cit., hal: xi, 17 197 Ibid., hal: 17; Teeuw, A. Op.cit., hal: 6; Farid, Hilmar. Op.cit., hal: 85

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

75

Seakan-akan sudah menjadi sebuah standar baku untuk menulis

Pramoedya dalam satu paket dengan Lekra. Bahkan, ada kalanya Lekra

dijadikan sebagai patokan dalam menyusun periode kepengarangan

Pramoedya, hingga karya-karya Pramoedya dibagi dalam tiga masa: pra-

Lekra, Lekra, dan pasca-Lekra.198 Periode afiliasi Pramoedya dengan Lekra

dianggap sebagai pembalikan: dari humanis menjadi realis sosialis, dari a-

politis (sebagai unattached intellectual) menjadi politis. Atau juga, dari aliran

‘kanan’ membelok ke ‘kiri’ (?)199

Dalam periodisasi sastra Indonesia, awalnya Pramoedya

dikelompokkan dalam angkatan 1945 gelombang kedua. Angkatan ini segera

memudar setelah pengakuan kedaulatan pada akhir tahun 1949,200 yang

bertepatan pula dengan berakhirnya masa penahanan Pramoedya di Penjara

Bukit Duri. Istilah angkatan 1945 ini dipakai untuk membedakannya dengan

sastra Indonesia sebelum perang, atau angkatan Pujangga Baru. Perbedaan

keduanya tidak hanya dalam hal jaman, tetapi juga dalam hal pengalaman:

“Angkatan Pujangga Baru lebih banyak merupakan hasil zaman penjajahan. Anak buatan kolonial dahulu, yakni orang-orang yang sejak lahirnya telah dibuat kecil oleh penjajah almarhum. Angkatan itu lebih banyak mempunyai pengetahuan daripada kehidupan. Berbeda dengan angkatan 1945 tak berapa pengetahuannya: peperangan membuat angkatan ini terampas dari bangku sekolahnya – tetapi sadar akan kehidupannya.”201 Selama di Penjara Bukit Duri, Pramoedya mengaku terpengaruh oleh

beberapa orang hingga sampai berpandangan bahwa “politik adalah kotor”.

198 Lihat: Kurniawan, Eka. 2006. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, hal: 128 – 129 199 Lihat kata pengantar yang ditulis Ajip Rosidi dalam Scherer, Savitri. Op.cit., hal: xvi 200 Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Dunia Pustaka Jaya: Jakarta, hal: 1, 3 201

Teeuw, A. 1959. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru. Cetakan ke-5. PT. Pembangunan: Jakarta, hal: 20

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

76

Maka misinya sebagai pengarang yakni untuk memperjuangkan

kemanusiaan. “Kemanusiaan adalah indah dan suci, bersih dan jernih. Aku

memilih ini daripada kekotoran”202 Pernyataan ini menjadi petunjuk

kedekatan Pramoedya dengan kelompok Gelanggang.

Kelompok Surat Kepercayaan Gelanggang Seniman Muda, atau biasa

disebut kelompok Gelanggang, bermula dari deklarasi pernyataan melalui

Majalah Siasat, 23 Oktober 1950. Di antara mereka yang menyusun surat

tertanggal 18 Februari 1950 tersebut adalah H.B. Jassin, Asrul Sani, Aoh K.

Hadimaja, Rivai Apin, dan Sitor Situmorang. Pramoedya ditunjuk secara

sepihak sebagai sekretaris. Inilah yang membuatnya dikira berafiliasi dengan

Gelanggang pada periode awal 1950-an.203

Sastrawan yang tergabung dalam Gelanggang mempromosikan apa

yang disebut sebagai “humanisme universiil”, yakni sifat universal

kemanusiaan tanpa kecenderungan budaya tertentu. Sebuah karya sastra

dinilai berhasil apabila dapat menghadirkan sebuah pengalaman estetis yang

melampaui batas-batas kultural dan geo-politik. Sebagaimana tertulis dalam

surat pernyataan mereka, sastrawan Gelanggang menyebut diri mereka

sebagai “pewaris sah kebudayaan dunia”.204

Dua bulan sebelum Surat Kepercayaan Gelanggang dipublikasikan,

Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) telah berdiri lebih dulu, tepatnya

tanggal 17 Agustus 1950. Pendirinya yakni D.N. Aidit, M.S. Ahar, A.S. Dharta,

202 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 198 203 Lihat: Ibid., hal: 208; Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 35; Kata pengantar Frans M. Parera dalam Simatupang, Iwan. 2004. Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air: Esai-Esai Iwan Simatupang. Cetakan I. Penerbit Buku Kompas: Jakarta, hal: xl; 204 Scherer, Savitri. Ibid., hal: 35 – 36; Perera, Frans M dalam Iwan Simatupang. Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

77

dan Nyoto. Berbeda dengan Gelanggang yang menerbitkan seni untuk seni,

Lekra merumuskan seni untuk rakyat. Oleh sebab itu, penilaian karya sastra

didasarkan pada apakah karya itu memiliki keberpihakan dengan rakyat

kecil. Jika tidak, karya itu dicap sebagai sampah.205

Berbeda dari kelompok Gelanggang yang didominasi oleh kalangan

terdidik (masuk sekolah Belanda) dengan kemampuan argumentatif yang

mumpuni, tidak demikian halnya dengan kelompok Lekra. Banyak penulis

Lekra (terutama yang baru-baru) yang berpendidikan kurang dengan

kemampuan argumentasi yang juga minim. Ini membuat meraka kerap

dirugikan dalam perdebatan-perdebatan sastra. Kelompok Gelanggang

menjadi sangat otoritatif, terutama pada paruh pertama tahun 1950-an.206

Walaupun Pramoedya sempat berafiliasi dengan Gelanggang, sulit

untuk mengatakan bahwa tulisan-tulisan awal Pramoedya sama sekali

apolitis. Nuansa politis itu dapat diketemukan di hampir semua karya

Pramoedya, bahkan sejak roman pertamanya Di Tepi Kali Bekasi (1951). “Tak

pernah ia [Pramoedya] menghasilkan suatu karya yang hanya dapat dinilai

secara estetis tanpa menyertakan aspek-aspek politik sebagai pandangan

hidupnya”.207 Di sisi lain, Pramoedya juga mengaku: “[...] politik masih

bergema di dalam hatiku. Tapi aku anggap itu bukan politik, hanya perasaan

kemanusiaan yang tersinggung.”208

Dalam wawancara semasa ditahan di Pulau Buru, Pramoedya

akhirnya menyimpulkan bahwa politik sama sekali tidak dapat dipisahkan

205 Scherer, Savitri. Ibid., hal: 40, 44; Perera, Frans M dalam Iwan Simatupang. Ibid. 206 Scherer, Savitri. Ibid., hal: 37 – 46 207

Kurniawan, Eka. Op.cit., hal: 128 208 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

78

dari kehidupan. Politik tidak harus didefinisikan secara sempit, seperti

bergabung dalam partai politik tertentu. Politik harus dilihat secara lebih

menyeluruh. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan dapat disebut

sebagai politik.

“Mereka yang menganggap dirinya tak berpolitik tidak lain karena telah berpadu dengan politik yang berlaku, maka tidak merasa lagi, dianggap sudah sewajarnya. [...] Tentu saja orang perlu membukakan pengertiannya dan menerima kenyataan, bahwa politik bukan kepartaian, tetapi segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan. Selama orang hidup di dalam masyarakat, selama itu dia ikut serta dalam politik.”209 Perhatian Pramoedya pada ketimpangan, ketidakadilan, dan

perjuangan manusia dapat dilihat dalam esainya “Kesusastraan dan

Perdjuangan” yang ditulis bulan April 1952. Ketika itu, ia masih dikait-

kaitkan dengan Gelanggang. Di dalam esai tersebut, Pramoedya berpendapat

bahwa karya-karya besar sastra muncul dari penderitaan dan perjuangan

manusia untuk bertahan hidup.”210

Dalam esai selanjutnya Juli 1952 berjudul “Kesusastraan Sebagai

Alat”, Pramoedya berpendapat bahwa sastra hanyalah sarana yang dapat

dipakai untuk mencapai tujuan tertentu.211 Bagi Pramoedya, tujuan dari

karya sastra yang ditulisnya sudah jelas. Pramoedya menulis untuk

mengungkapkan dan melawan ketidakadilan yang terjadi di sekelilingnya.212

Sastra bagi Pramoedya adalah alat untuk melawan. Balpoin di tangan

Pramoedya tidak ubahnya serupa senapan di tangan seorang serdadu.

209 Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra: Jakarta, hal: 241 210 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 46 211

Ibid., hal: 47 212 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

79

Dalam tulisan selanjutnya, “Definisi dan Keindahan dalam

Kesusastraan” Pramoedya dengan tegas menyatakan “menolak nilai sastra

yang diciptakan demi keindahan semata,” baginya, “keadilan, kemanusiaan,

dan kebudayaan dan idealisme lebih penting”.213 Hal ini jelas bertentangan

dengan prinsip humanisme universiil yang digembor-gemborkan

Gelanggang.

Karya sastra Pramoedya cenderung abai terhadap estetika dan

struktur formal penulisan. Dalam tulisan berjudul “Lahirnya Sebuah Tjerita

Pendek”, tahun 1956 Pramoedya mengaku sebagai penulis “primitif” yang

“langsung menulis begitu inspirasi masuk ke kepalanya. Ia memindahkan

gambar-gambar yang ada dalam pikirannya ke dalam tulisan, tanpa

sebelumnya menganalisis subjek-subjeknya secara intelektual atau

menyusun plot yang rapi. Baginya, menulis dan kreativitas sastra adalah

pengalaman mistis.”214

Sikap Pramoedya yang menolak pendekatan formalis terhadap sastra

kemudian menyebabkan ia berseteru dengan para penulis dan kritikus dari

Gelanggang. Balfas adalah salah satu yang cukup vokal mengkritik

Pramoedya.215 Tulisan Pramoedya pada bulan Maret 1953 berjudul “Ofensif

Kesusastraan 1953” di antaranya berisikan penyangkalan dan pembelaan

terhadap kritik-kritik Balfas. Tulisan ini menjadi tanda makin memburuknya

hubungan Pramoedya dengan Gelanggang.216

213 Ibid. 214 Ibid., hal: 60 215

Ibid., hal: 47 – 48 216 Ibid., hal: 48

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

80

Resminya, Pramoedya baru bergabung dengan Lekra pada Januari

1959. 217 Sejak dekat dengan Lekra, Pramoedya lebih banyak menulis esai

dan kritik sastra. Esai-esainya ini banyak yang diterbitkan di Lentera.

Diantaranya ada yang dibukukan dalam judul Realisme Sosialis dan Sastra

Indonesia. Inti dari gagasannya yaitu menegaskan realisme sosialis sebagai

sebuah pendekatan sastra.218

Pendekatan realisme sosialis ini umum dipakai di Uni Soviet. Salah

satu penganjurnya yang terkenal tentu saja Gorky. Kecuali Gorky, jenis

pendekatan ini kebanyakan bersifat propaganda semata. Tujuannya sebatas

untuk mengangkat kisah rakyat kecil (kaum marjinal). Namun, apakah kisah

yang diangkat itu realistik atau tidak, itu tidak menjadi soal utama.219

Munculnya realisme sosialis di Indonesia sangat erat kaitannya

dengan keberadaan Lekra. Lekra menganjurkan ‘realisme sosialis’ sebagai

metodologi kreatif dalam sastra. Pendekatan ini sekaligus membedakan

mereka dari Gelanggang yang mempromosikan sastra formalis. Seperti

‘nenek moyangnya’ di Uni Soviet, realisme sosialis yang disarankan Lekra ini

juga memberi porsi yang besar pada slogan sebagai alat propaganda.220

Walau dikenal sebagai salah satu penganjur realisme sosialis, namun

karya-karya Pramoedya, terutama yang terhimpun dalam buku Cerita dari

Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya lebih bercirikan

realisme sosial ketimbang realisme sosialis. Karya-karya yang berlandaskan

217 Farid, Hilmar. Op.cit, hal: 86 218 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 19 219 Donnely, Mary E. 2003. Teaching Pramoedya Ananta Toer’s Tales from Djakarta in the literature classroom. A Curriculum Unit for Cornell University, hal: 20 220 Kurniawan, Eka. Op.cit., hal: 138

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

81

realisme sosial menelaah individu berikut kondisi lingkungannya, karena

keyakinan bahwa individu tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya.

Gagasan ini secara tersurat terdapat dalam subjudul Cerita dari Jakarta, di

mana dicantumkan: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya.221

Pendapat Donnely sejalan dengan Shackford-Bradley. Disebutkan

bahwa dalam Cerita dari Jakarta Pramoedya berusaha untuk

menggambarkan politik hidup sehari-hari dari penduduk di Jakarta, mulai

dari yang punya kuasa sampai pada orang yang papa. Pramoedya sendiri

sebenarnya masuk dalam golongan yang terdidik, namun ia tidak berusaha

untuk menghakimi karakter-karakter malang yang ada di dalam lakonnya.

Dengan kata lain, Pramoedya mencoba untuk menjadikan rakyat sebagai

subyek.222

Lebih lanjut, karya-karya Pramoedya banyak yang bersumber dari

realitas ketimbang daya khayal semata. Baginya, teks sastra tak lain dari

‘kenyataan’ yang sudah diolah sedemikian rupa berdasarkan daya imajinasi

pengarang. Pramoedya menggunakan istilah kebenaran hulu untuk merujuk

pada kenyataan, dan kebenaran hilir untuk merujuk pada hasil kreasi

pengarang itu.223

Pramoedya sendiri serius untuk mencari sumber kebenaran, atau

kebenaran hulu sebagai dasar pijakan bagi sastra yang ditulisnya. Sebelum

menulis cerpen Gambir misalnya, Pramoedya waktu itu turun langsung ke

Gambir selama 3 hari 3 malam. Pramoedya ikut nongkrong, ngopi-ngopi,

221 Ibid., hal: 20 222

Shackford-Bradley, Julia. Op.cit., hal: 100 – 101 223 Teeuw, A. 1995. Op.cit., hal: 7

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

82

minum-minum, merasakan tinggal bersama dengan mereka yang tidur di

gerbong kereta api.224

Pramoedya termasuk dalam kelompok penulis yang percaya bahwa

seorang pengarang harus membaur dengan masyarakat. Ia mendorong

pengarang untuk menuliskan kisah-kisah orang awam, kaum-kaum yang

terpinggirkan, dan mereka yang dibisukan. Akan tetapi, pengarang tersebut

tidak boleh memaksakan nilai-nilainya, karena dengan begitu ia hanya jadi

pengamat, bukan orang dalam.225

Bukti pembauran Pramoedya dengan Jakarta (warga dan

lingkungannya) salah satunya menjelma menjadi buku Cerita dari Jakarta,

dengan subjudul yang menerangkan semuanya: Sekumpulan Karikatur

Keadaan dan Manusianya. Di dalam masing-masing kisah tersebut terlihat

betul kepiawaian Pramoedya dalam menyelami pengalaman dan perjuangan

tokoh-tokohnya, mereka yang berasal dari lapisan sosial yang ‘kurang

beruntung’.

D. Sekilas tentang Cerita dari Jakarta

Kisah-kisah yang ditulis Pramoedya dalam Cerita dari Jakarta:

Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya ditulis dalam kurun waktu

delapan tahun, antara 1948 – 1956. Buku ini diterbitkan untuk pertama kali

pada tahun 1957 oleh penerbit Grafica. Pada tahun 2000, diterbitkan pula

versi Bahasa Inggrisnya oleh Penerbit Equinox. Dalam penelitian ini, buku

224

Shackford-Bradley. Op.cit., hal: 101 225 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 53 – 54

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

83

yang dipakai adalah terbitan Hasta Mitra tahun 2002 dengan ejaan yang

sudah diperbaharui (EYD).

Cerita dari Jakarta terdiri dari 12 cerita pendek yang, sesuai judulnya,

keseluruhannya mengambil setting di Jakarta. Cerpen-cerpen tersebut tidak

disusun secara kronologis ataupun alfabetis: 1) Jongos dan Babu; 2) Ikan-Ikan

yang Terdampar; 3) Berita dari Kebayoran; 4) Rumah; 5) Keguguran Calon

Dramawan; 6) Nyonya Dokter Hewan Soeharko; 7) Tanpa Kemudian; 8)

Makhluk di Belakang Rumah; 9) Maman dan Dunianya; 10) Kecapi; 11) Biang

Keladi; dan, 12) Gambir.

Dari 12 cerpen tersebut, tidak semua ditulis Pramoedya selagi berada

di Jakarta. Tiga cerpen di antaranya ditulis semasa menjadi tamu Sticusa di

Amsterdam, yaitu: Maman dan Dunianya, Keguguran Calon Dramawan, dan

Gambir.226 Akan tetapi, tidak berarti cerita-cerita tersebut dibangun dari

dasar imajinasi Pramoedya semata. Ambillah Gambir sebagai contoh. Dalam

wawancara dengan Shackford-Bradley, Pramoedya mengaku tinggal 3 hari 3

malam di Stasiun Gambir sebelum menuliskan cerpen tersebut.227

Di samping membahas persoalan-persoalan sosial di Jakarta,

kumpulan cerpen ini juga mengetengahkan isu kegagalan revolusi, kegagalan

sebuah bangsa untuk menjadi penyelamat dan pengayom hidup rakyatnya.

Seperti dicatat Benedict Anderson, sejak tahun 1954, mulai timbul rasa

kecewa di tengah masyarakat demi melihat cita-cita revolusi yang tidak

kunjung tercapai. Sementara rakyat kecil berjuang demi menyambung hidup,

226 Anderson, Benedict R O’G. Introduction dalam Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Tales from Djakarta: Caricature of Circumstances and Their Human Beings. PT. Equinox Publishing Indonesia: Jakarta, hal: xiv 227 Shackford, Bradley. Op.cit., hal: 101

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

84

para birokrat dan pejabatnya juga sibuk meraup untung untuk kesenangan

pribadi.228

Kebanyakan tokoh yang dipentaskan dalam Cerita dari Jakarta berasal

dari kelompok yang pertama, terdiri dari orang-orang miskin yang hidup di

pinggiran kota Jakarta. Mereka yang berjuang dan bersusah payah demi

sesuap nasi di sebuah kota metropolitan yang gemerlap. Tema serupa ini

banyak sekali digarap sesudah kemerdekaan, malah menjadi tema yang

paling populer di masa itu. Hal ini bisa dimengerti karena kebanyakan

pengarang tidak hanya berdiri dalam posisi pengamat dari segala

kesengsaraan itu, tetapi mereka juga turut merasakannya sendiri.229

Lebih lanjut, buku kumpulan cerita Pramoedya memberikan

gambaran yang terang tentang situasi dan kondisi yang terjadi di beberapa

tempat di Jakarta pasca Revolusi. Dari kumpulan cerita pendeknya ada yang

mengambil tempat di Tanah Abang, Gambir, pemukiman kumuh (liar), dll.230

Seperti yang ditegaskan di dalam subjudul, Cerita dari Jakarta tidak

hanya bercerita tentang orang-orangnya saja, namun juga, yang terpenting

adalah situasi atau keadaan yang membentuk orang-orang tersebut. Dengan

kata lain, Cerita dari Jakarta hendak memperlihatkan manusia sebagai

produk keadaannya.231

228

Kata Pengantar dari Penerbit Hasta Mitra dalam buku “Cerita dari Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya.” Pramoedya Ananta Toer. [1957] 2002. Penerbit Hasta Mitra: Jakarta, hal: vi – vii; dan kata pengantar Benedict Anderson untuk terjemahan Inggrisnya dalam Toer, Pramoedya Ananta. 2000 [2005]. Tales from Jakarta. Equinox: Jakarta, hal: xiv 229 Teeuw, A. 1995. Op.cit., hal 22 230 Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press: Cambridge, hal: 117 231 Teeuw, A. 1995. Op.cit., hal: 23

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

85

1. Ikan-Ikan yang Terdampar

Cerpen ini ditulis Pramoedya di Jakarta, Juli 1950. Tempat yang

menjadi latar cerpen ini terdiri dari sepetak area yang sempit, seputar

kawasan Lapangan Gambir/Lapangan Merdeka. Cerita dimulai dari Jalan

Sekretari (Jalan Veteran 3), lanjut ke perempatan Deca Park, sampai ke Jalan

Gambir Utara (Jalan Medan Merdeka Utara), berbelok ke Jalan Gambir Barat

(Jalan Medan Merdeka Barat) tempat di mana Gedung Radio Nasional dan

Kementerian Pertahanan berada, dari situ menerobos masuk ke Lapangan

Gambir, dan keluar ke Jalan Gambir Selatan (Jalan Medan Merdeka Selatan).

Gambar 3.2. Setting tempat Ikan Yang Terdampar di Lapangan Merdeka/Lapangan Gambir. Panah merah menandakan rute yang ditempuh tokoh utamanya, dan tanda bintang hijau menandakan bangunan-bangunan yang sempat disebut dalam Ikan Yang Terdampar.232

232

Diakses dari situs: https://srimpet.files.wordpress.com/2011/09/peta-situasi-lapangan-merdeka-di-awal-tahun-1950-an.jpg, 27 Januari 2015 (Peta telah diedit sesuai keperluan)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

86

Di samping tempat yang terbatas itu, setting waktu yang dipakai

dalam Ikan Yang Terdampar terbatas pula. Cerita bermula dari pagi dan

ditutup pada senja hari; mulai dari orang-orang bekerja sampai pulang ke

rumah. Tokoh utama dalam cerita, Idulfitri, tidak tergolong dalam orang-

orang yang bekerja tersebut. Bila dalam seharian orang-orang sibuk

beraktivitas di kantor, Idulfitri sibuk pula dengan usahanya untuk

mengganjal perut. Persis, perut Idulfitri yang keroncongan adalah tema

utama yang membungkus keseluruhan jalinan cerita Ikan Yang Terdampar.

Ikan Yang Terdampar diceritakan dari sudut pandang Idulfitri. Nama

Idulfitri itu diperolehnya lantaran lahir bertepatan dengan lebaran, hari raya

umat Islam. Idulfitri adalah seorang mantan pejuang, yang setelah

kemerdekaan malah menjadi seorang bajingan. Jika dulu ia membunuh orang

untuk membela tanah air, sekarang ia membunuh untuk memenuhi hak

perutnya: untuk diisi dan dikenyangkan.233

Idulfitri adalah apa yang dikenal sekarang sebagai seorang kriminalis.

Lebih khususnya, ia adalah spesialis maling kendaraan dengan daerah

operasi di sekitaran Lapangan Gambir (Lapangan Monas). Kendaraan yang

dimalingnya tidak harus yang bermesin, sepeda boleh juga. Pada periode

1950-an, nilai sepeda mungkin dapat disetarakan dengan sepeda motor

jaman sekarang. Sepeda merupakan alat transportasi yang umum digunakan

pegawai kantoran di masa itu. Di jalan, termasuk di jalan-jalan di kawasan

Lapangan Gambir, juga tersedia jalur khusus untuk pengendara sepeda.234

233

Toer, Pramoedya. [1957] 2002. Op.cit., hal: 22 234 Ibid., hal: 29

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

87

Kendati bernyali tinggi untuk merampok, bahkan hingga menghabisi

nyawa orang lain, Idulfitri tidak memiliki kebanggaan atas pencapaiannya

itu. Ia malah melihat dirinya sebagai makhluk daif, makhluk hina. Seperti

yang disuratkan di judul, Idulfitri merasa seperti ikan yang terdampar. Ia

tercerai dari rumah, sanak keluarga, dan kampung halaman. Untuk kembali

pulang, ia tak berani. Ia malu. Ia malu pada orang tua, pada orang kampung.

Ia sebagai pribadi telah gagal memenuhi ‘standar’ sebagai seorang anak,

sebagai seorang pemuda. Jalan hidupnya berbeda dari apa yang diinginkan

orang tuanya. Ibunya berharap ia menjadi komis, bapaknya mencita-citakan

ia menjadi wedana. Kenyataannya: ia maling kendaraan.235

Sehari-harinya Idulfitri tinggal di paviliun di Jalan Sekretari (Jalan

Veteran 3 sekarang). Dari jalan ini, Istana Merdeka terlihat jelas, tanpa

penghalang.236 Kendati istilah paviliun terdengar maju (modern), paviliun

tidak dapat dibayangkan seperti apartemen masa kini. Paviliun yang muncul

di Gambir sejak abad ke-19 itu tidak lain adalah bangunan kecil yang

menyempil di samping rumah induk.237 Dalam paviliun yang kecil itu,

Idulfitri masih harus berbagi ruangan dengan empat orang penghuni lain.

Pukul enam pagi, cerita bermula. Idulfitri bangun dengan perasaan

lapar. Ia tidak memiliki uang yang menjadi syarat mutlak untuk membeli

sarapan. Dengan perut lapar itu, Idulfitri keluar dan berjalan-jalan menuju

kawasan Lapangan Gambir (Lapangan Merdeka). Seiring langkah kakinya, ia

sibuk berpikir dan membuat refleksi diri. Sementara matanya sibuk

235 Ibid., hal: 33; 39 – 40 236 Kusumawijaya, Marco. 2001. Metropolis Jakarta: menurut Pramoedya Ananta Toer dalam 'Tales from Djakarta'. Edisi 9. Kunci: Yogyakarta, hal: 8 237 Ibid., hal: 9

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

88

menemukan sasaran baru untuk menjadi tumpuan kekesalan dan

kemarahannya.

Perut keroncongan itu telah menguasai otaknya, bahkan cara

berpikirnya. Apa yang ditemuinya lantas dinilai berdasarkan nilai guna.

Pertanyaan besarnya adalah: apakah benda itu dapat mengisi perutnya atau

tidak? Jika tidak, maka percuma. Dengan dasar itu, ia menyenggaki semua

yang tampak sia-sia. Ia kesal pada taluan beduk di masjid, pada kelening

genta gereja, pada gambar paha telanjang dan cium-cium di gedung bioskop,

dan bahkan pada istana dan penjaganya. “Sudah tak kuasa ia mengagumi

kehebatan dan apa gunanya bagi negara dan perutnya sendiri”.238

Mulut Idulfitri sudah tidak kenal dengan kalimat puja-puji. Semua

perbendaharaan kata-katanya tidak jauh-jauh dari gerutuan dan sumpah

serapah. Kata-kata makian, yang kebanyakan berasal dari nama-nama

binatang, berbusa-busa keluar dari mulutnya. “Katak”, “kepiting”, “lintah”,

dan “bajingan” adalah beberapa di antara deretan kata-kata kutukan yang

dilafalnya.

Sepanjang perjalanan, Idulfitri diiringi Namun, kawan sekaligus

lawannya. Hubungan Namun dengan Idulfitri dapat dibayangkan seperti otak

dengan anggota gerak. Namun punya gagasan, tetapi tidak kekuatan.

Tubuhnya kurus kerempeng. Selain itu, Namun penghasut sekaligus

pembenar bagi setiap tindakan Idulfitri. Idulfitri juga membutuhkan

kehadiran Namun karena untuk dapat bertahan hidup di Jakarta, “orang

238 Toer, Pramoedya. [1957] 2002. Op.cit., hal: 18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

89

harus menghinakan diri dengan segala macam kekejian walaupun hati

nuraninya tahu yang lebih baik.”239

Namun berorientasi pada masa sekarang. Oleh karena itu, ia tidak

terlalu memikirkan tentang susila. Berbeda dengan Idulfitri yang masih

dihantui bayang-bayang akan masa belakang (kampung), ia masih berpikir

tentang yang baik dan yang benar. Meski keduanya memiliki sifat yang

bertolak belakang, antara Idulfitri dan Namun disatukan oleh nasib: sesama

“kaum lapar”. Dan kisah ini, seperti yang telah disinggung di muka, berpusat

pada cerita kelaparan yang diderita keduanya.

Dalam kelaparan itu, Idulfitri dan Namun membuat bermacam-macam

perandaian: masing-masing membayangkan berada dalam situasi di mana

mereka tidak harus memikirkan soal uang dan soal makan. Idulfitri mengisi

khayalan itu dengan membayangkan ia akan mendapat uang dari hasil

memamerkan paha seperti bintang-bintang film asing, atau menjadi polisi

militer, atau menjadi politisi, jadi ketua parlemen, bahkan jadi menteri.

Namun, berbeda lagi. Ia berharap penuh pada kabar gembira yang

terjadi di negeri Tiongkok. Dari koran yang dibacanya, Namun mengetahui

bahwa: “Kaum komunis menang gelanggang. Juga di Eropa Timur.”240 Dengan

kemenangan kaum komunis itu, mereka berdua juga harus membawa

kemenangan bagi “kaum lapar”, yaitu dengan balik memeras “kaum

penggendut perut”.241

239 Teeuw, A. 1995. Op.cit., hal: 22 240

Ibid., hal: 25 241 Ibid., hal: 26

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

90

Sayangnya, khayalan-khayalan tersebut tidak mampu meredam

gejolak di perut mereka berdua. Hingga matahari sudah menyusut sinarnya,

sekitar jam 5 sore, Idulfitri dan Namun belum berhasil menyorongkan

sesuatu apapun ke dalam mulut mereka. Artinya, dari sejak jam 6 pagi tadi,

sudah 11 jam ia menanggung lapar. Bila kemarin disertakan pula, mereka

sudah 25 jam kelaparan.242

Pada akhirnya, Idulfitri mendapat ilham. Ilham yang dengan segera

dapat menyelesaikan masalah perut mereka berdua. Idulfitri menjual dompet

Namun ke tukang loak. Dan, dengan hasil penjualan dompet itu Namun dan

Idulfitri makan bersama: makan pagi, makan siang yang disatukan dengan

makan malam. Seiring dengan tuntasnya masalah perut mereka, cerita ini

selesai pula.

2. Berita Dari Kebayoran

Berita Dari Kebayoran ditulis di Jakarta, Januari 1950, jarak 5 bulan

dengan Ikan Yang Terdampar. Setting tempat yang digunakan untuk Berita

Dari Kebayoran masih dalam kawasan yang sama dengan Ikan Yang

Terdampar: yaitu di sekitaran Lapangan Gambir/Lapangan Merdeka.

Aminah, tokoh utama, tinggal dan mencari nafkah di Taman Fromberg yang

terletak di Jalan Medan Merdeka Utara, berhadap-hadapan langsung dengan

Istana Merdeka. (Perhatikan gambar 3.2., Istana Merdeka ada di kiri atas,

Frombergpark terletak persis di seberangnya.)

242 Toer, Pramoedya. [1957] 2002. Op.cit., hal: 41

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

91

Dilihat dari setting tempat, cerpen Ikan Yang Terdampar dan Berita

dari Kebayoran dapat dilihat sebagai satu kesatuan, saling melengkapi, meski

keduanya ditulis dalam waktu yang berbeda. Dari kedua cerpen itu kita bisa

mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang kawasan Lapangan

Gambir: aktivitas-aktivitas apa yang terjadi di sana, berikut suasana

sekelilingnya, seperti jalan raya, alat transportasi (sepeda, jeep, trem listrik,

becak, dll.). Cerita Ikan Yang Terdampar terpotong sampai senja. Cerita Berita

Dari Kebayoran menyambung dengan langsung memunculkan suasana

malam di awal. Barangkali dengan alasan itu pula cerpen Berita dari

Kebayoran ditempatkan tepat setelah Ikan Yang Terdampar dalam buku

antologi Cerita Dari Jakarta.

Kendati ada kesamaan itu, Berita Dari Kebayoran tidak dimaksudkan

sebagai sekuel dari Ikan Yang Terdampar. Berita Dari Kebayoran tidak

terpaku pada Lapangan Gambir saja. Selain itu, ada Kali Besar tempat Aminah

membasuh badan. Setting waktu yang dipakai juga lebih panjang, tidak

tuntas dalam hitungan jam. Sejak Aminah masih sanggup menghasilkan dua

belas setengah rupiah semalam, sampai ke saat sakratulmaut. Sejak bekas

suami Aminah berencana menikahi adiknya, sampai saat hamilnya.

Seperti Idulfitri dalam Ikan Yang Terdampar, Aminah juga tercerai

dari sanak keluarga. Aminah terdampar di Frombergpark setelah lari dari

kampungnya, Kebayoran. Januari 1950, daerah Kebayoran Baru sedang

‘dibebaskan’ pemerintah untuk dijadikan kota satelit.243 Hal itu berdampak

pada kehidupan Aminah. Tadinya, Aminah hidup adem ayem dengan

243 Kusumawijaya, Marco. Op.cit.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

92

suaminya, Saleh. Sejak rumah dan pekarangan mereka dibeli pemerintah

untuk proyek sekolah, mereka sering cekcok. Hidup di kampung, tidak

bertanah, tidak berumah, tidak berpenghasilan, dengan suami yang lebih asik

berjudi ketimbang mencari nafkah: sudah berada di luar kesanggupan

Aminah. Maka Aminah lari ke kota bersama Damin, mencari hidup baru.

Di kota, untuk menyambung hidup, Aminah tidak menyolong seperti

Idulfitri. Aminah juga tidak merenggut hak atau hidup orang lain. Aminah

memberikan haknya, tubuh satu-satunya, untuk dikorbankan kepada laki-

laki yang menginginkan. Aminah butuh uang seperti halnya lelaki butuh

badan. Begitu tubuh Aminah makin kisut dan peyot, pendapatannya merosot.

Laki-laki mencari badan, dan yang punya badan bukan Aminah seorang.

Seperti dalam simpulan Idulfitri, Aminah dan golongannya “[...]

memungkinkan hidup hari ini dengan menghancurkan kemungkinan hidup

lusa hari [...] Kita [Idulfitri dan Namun] lain, kita memungkinkan hidup hari

ini dengan merampas kemungkinan hidup orang lain di lusa hari.”244

Aminah menyebut dirinya sebagai “bayang-bayang malam”.

Kantornya baru buka ketika orang-orang pada umumnya pulang. Ketika di

istana dipasang lampu yang terangnya menjangkau taman tempat Aminah

berada, ia terpaksa menyingkir. Total sudah dua kali Aminah tergusur, dari

rumah Kebayoran, dan dari taman depan istana. Kali ini Aminah bergeser ke

kanan sehingga antara Aminah dan istana berjarak 250 meter. “Dan kalau

244 Toer, Pramoedya. [1957] 2002. Op.cit., hal: 38

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

93

Paris menyanyikan chansonnya: Cintaku takut cahaya sang surya, Jakarta

merintihkan kisah malamnya: rejekiku terancam sinar sang listrik”.245

Sebegitu pentingnya taman depan istana bagi Aminah sudah

selayaknya Arab bagi umat Islam. Ia tidur di situ, dan mencari penghidupan

di situ pula. Namun, tidak ada yang mengakui keberadaannya. Tidak ada yang

membelanya. Pun, ia tidak dapat memprotes. Di dalam buku catatan sipil,

tidak tercantum nama Aminah. “Menurut catatan resmi dia belum dilahirkan

– belum pernah ada di atas tanah Jakarta.”246

Suatu pagi, selesainya mandi di Kali Besar, Aminah bertemu Khatijah,

adik yang selalu dikenang-kenangnya kala malam. Antara ia dan adiknya kini

sudah jauh berbeda. Dua kakak beradik itu bukan hanya terpisah badan,

tetapi juga keadaan. Badan Khatijah telah ranum. Badan Aminah makin kisut.

Khatijah hendak menikah dengan Saleh, bekas suami Aminah. Sementara

Aminah ditinggalkan Diman, yang setelah mendapat pekerjaan yang lebih

baik, berkehendak “perempuan baik-baik” pula. “Dia [Khatijah] masih boleh

memilih. Aku [Aminah] telah memilih – dan pilihanku salah.”247

Dengan segera Aminah sadar betapa besar jarak antara ia kini dengan

kampungnya di Kebayoran. Seperti Aminah, Kebayoran juga berubah, begitu

juga dengan orang-orangnya. Kebayoran sudah berbeda dari yang diingatnya.

Dan, di Kebayoran itu kini tidak ada tempat lowong untuk Aminah. Saleh

sudah mendapatkan isteri baru, yang tak lain adalah adiknya. Emaknya

mengancam memukul Aminah dengan alu kalau pulang. Alu yang sama yang

245 Ibid., hal: 45 246

Ibid., hal: 46 247 Ibid., hal: 49

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

94

dulu dipakainya menumbuk jagung, semasa menjadi isteri Saleh, semasa

(masih) menjadi anak Emak.248

Aminah ingin lurus, tetapi keadaan memaksanya untuk tetap

membengkok. Salah satunya karena ia perempuan. “Kalau perempuan

melacurkan dirinya, dia jahat dan tak diberi kesempatan untuk jadi baik

kembali.” Sementara, laki-laki dapat berbuat semaunya. Kalau laki-laki

melacur, tidak ada larangan, tidak ada pantangan. Bahkan, “dia [laki-laki]

boleh berbangga dengan kelacurannya, juga di depan umum.”249

Demikianlah, Aminah meneruskan melacur sampai saat terakhir

hidupnya. Ia melacur mulai dari badannya masih kenyal sampai melonggar.

Ia melacur sampai habis sisa-sisa kecantikannya, tandas kualitas

keperempuanannya; sehingga orang tidak bisa membedakan lagi mana

Aminah mana monyet. Di taman tempatnya tinggal, Aminah yang sudah tak

dapat lagi duduk, terbaring sendirian. Ia membayangkan suaminya, rumah

dan pekarangan mereka, emaknya, adiknya: Kebayoran yang dulu komplit

dengan seisinya. Tetapi, Kebayoran itu telah pindah ke sorga, seiring dengan

berpisahnya jiwa Aminah dari raganya.

3. Makhluk di Belakang Rumah (1955)

Cerpen ini ditulis Desember 1955. Makhluk Di Belakang Rumah

menyoroti kehidupan para babu yang tinggal di Jakarta. Lebih tepatnya,

kemalangan para babu. Babu-babu itu tinggal di sebuah lingkungan

248

Ibid, hal: 52 – 53 249 Ibid., hal: 56

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

95

pemukiman yang padat bersama para majikannya—yang diledek Pram

sebagai “priyayi-priyayi baru”.

Alih-alih sebuah cerita, cerpen ini sebetulnya lebih menyerupai

sebuah skesta tentang karakter-karakter yang menjalani hidupnya sebagai

babu. Dalam cerpen ini kehidupan harian para babu dideskripsikan secara

detail. Dari pola dan ritme hidup harian para babu ini kita bisa mendapatkan

potret jelas mengenai kehidupan para babu sekaligus kehidupan domestik

para priyayi baru.

Babu-babu ini memiliki karakteristik serupa, yakni dibawa dari

kampung oleh majikannya (bisa jadi berasal dan kenalan dari kampung yang

sama), masih belia, perempuan, dan diperlakukan secara tidak layak oleh

majikannya. Terutama pada aspek terakhir fokus cerpen ini menonjol dan

Pramoedya memperlihatkan keberpihakan dan simpatinya pada para babu.

Cerpen ini mengambil latar di kawasan rumah petak di Jakarta.

Rumah petak tersebut memiliki 23 pintu, yang berarti 23 keluarga tinggal di

situ. Berbeda dengan kedua cerpen di atas, cerita ini tidak berpijak di suatu

wilayah Jakarta tertentu. Tidak ada keterangan tempat selain Jakarta (kota).

Barangkali karena kejadian ini bisa terjadi di bagian kota mana saja. “Ini

adalah suatu fakta yang bertebaran dengan nyatanya di depan rumahku, di

lingkunganku, dan barangkali juga di lingkunganmu sendiri [...]”250

Di dalam cerpen ini ditekankan pertentangan antara rakyat jembel

dengan kelas penguasa baru, priyayi baru alias pribumi yang menjadi

kolonial baru bagi kelompok pribumi lain. Pramoedya masuk dalam cerpen

250 Ibid., hal: 123

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

96

ini, berperan sebagai ‘aku’ yang memperhatikan semua aktivitas dan

kehidupan para pembantu tersebut dari jendela rumahnya.251

Ben Anderson secara khusus memberikan perhatian pada cerpen ini.

Anderson menunjukkan ironi-ironi yang berlimpah di dalam cerpen tersebut.

Makhluk di Belakang Rumah menggambarkan eksploitasi yang dilakukan oleh

para priyayi baru, atau disebut Pramoedya sebagai ‘priyayi udik’. Ironinya,

nyonya rumah yang kini jadi priyayi itu, dulunya bekerja sebagai babu juga.

Tapi bukannya bersimpati akan nasib para babu, ia malah memperlakukan

mereka sebagaimana mereka diperlakukan dulu.252

Ada beberapa orang tokoh pembantu yang diperhatikan si aku, tapi

tak satu pun yang diketahui namanya. Hal ini menyarankan bahwa nama

menjadi kurang penting ketimbang ceritanya. Misalnya, seorang pembantu

yang disebut “aku” sebagai “Dua”. Ia dijuluki demikian karena bilangan yang

dikenalnya adalah dua. Dua bekerja setidaknya 12 jam sehari. Ia tidak digaji,

cuma diberi makan satu kali sehari.

Di rumah petak lain, ada seorang pembantu, atau “babu priyayi”

sebagaimana Pramoedya menulisnya – yang memiliki nasib lebih baik

ketimbang Dua. Babu ini disekolahkan di Sekolah Rakyat dengan uang jalan

yang hanya setalen sehari. Lama-kelamaan ia tumbuh menjadi gadis yang

pintar, dan dianggap sebagai saingan sang majikan. Kelanjutannya, ia diusir.

Babu berikut lain lagi ceritanya. Demi keselamatan dunia akhirat,

juragannya diminta dukun untuk tidak memasak nasi lebih dari 2 liter. Maka

babu ini pun terpaksa memasak 3 kali sehari untuk memenuhi makan 251

Teeuw, A. 1995. Op.cit., hal: 23 252 Ibid., hal: 23

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

97

anggota keluarga juragannya yang banyak. Pekerjaan babu ini terlalu banyak

hingga ia kadang terlampau letih untuk sekadar makan. Maka ia tidur

sebelum makan, dan bekerja lagi sebelum makan esok pagi. Badan babu ini

akhirnya membengkak, yang jelas bukan karena kebanyakan makan. Dengan

segera ia dipulangkan, ke udik.

Tidak semua cerita babu yang berakhir sedih. Ada pula babu yang

mampu keluar dari perbabuan dan menjadi orang, bukan semata-mata

‘makhluk’ seperti babu-babu lain. Babu ini pintar berdandan, sekaligus

akting. Ia memiliki satu baju sutra yang akan dipakainya di momen-momen

penting. Di tangan, ia mengapit majalah-majalah film atau hiburan. Sekurang-

kurangnya, ia tentu dianggap bisa membaca, kepandaian yang langka dimiliki

kelas babu. Lalu, ia masuk melamar menjadi buruh pabrik, dan diterima.

Suatu saat, ia terlihat berjalan-jalan dengan seorang pemuda yang memakai

sepeda Raleigh baru.

Akan halnya kisah si Dua yang membuka cerita, berakhir seperti kisah

babu-babu lainnya. Selesai kena murka (derajat marah yang paling tinggi),

lagi kena pukul, ia tiba-tiba lenyap. Dua yang sehari-hari hanya mengenal

satu bagian saja di rumah majikannya, daerah belakang (sekitaran sumur dan

dapur), tiba-tiba minggat. Ia ditemukan di pojok jembatan, dan ia pun

menemui akhir yang bisa ditebak: dipulangkan ke udik.

4. Kecapi (1956)

Seperti Makhluk di Belakang Rumah, cerita Kecapi yang ditulis tahun

1956 ini juga tidak mengambil setting di salah satu tempat yang spesifik di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

98

Jakarta. Begitupun nama tokoh-tokohnya tidak disebutkan semua. Hanya ada

Cicih, isteri pertama lelaki pemain kecapi, dan Raden Marbaut, pemilik

rumah petak yang ditempati si lelaki. Di sini, tokoh “aku” kembali muncul

sebagai pencerita.

Tokoh utama dalam cerpen Kecapi, hanyalah salah satu dari sekian

ribu orang dari “daerah” yang bermigrasi ke Jakarta pada pasca perang. Sama

seperti ribuan orang lainnya yang bermigrasi ke Jakarta pada tahun 1950, ia

memimpikan Jakarta sebagai “tanah terjanji” yang bisa memberikan

penghidupan dan kebahagiaan. Dia meninggalkan kampungnya seperti

meninggalkan sebuah masa lalu yang pahit, dengan meninggalkan isteri,

anak-anak, dan kehidupannya di kampung demi isteri yang lebih muda dan

menyegarkan, si jangkung koneng.

Ternyata harapannya kepada Jakarta bertepuk sebelah tangan. Jakarta

tidak begitu ramah kepada orang-orang kelas bawah dan tidak

berpendidikan. Seperti orang-orang segolongannya, dia harus berjibaku

untuk upah yang tidak seberapa, dan terpaksa tinggal di dalam lingkungan

domisili yang jauh dari standard layak.

Di Jakarta, keluarga itu menempati sebuah rumah petak yang

disewakan Raden Marbaut. Rumah itu agaknya hanya terdiri dari satu

ruangan. Ruang tengah merangkap ruang tamu, ruang tidur, dan ruang

makan. Di kala hujan, rumah itu terendam banjir. Dinding rumah tersebut

merupakan punggung bukit yang sekaligus menjadi tempat berdiam tikus-

tikus tanah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

99

Keadaan tersebut membuat isterinya yang baru tidak betah. Ia mulai

rajin mengomel. Ia juga sempat-sempatkan mengutuk suaminya di sela-sela

mengaji. Secara terang-terangan, ia memaki-maki si suami di muka umum.

Ini membuat suami tidak betah, dan memilih pergi dari rumah. Hingga setiap

hari, masa-masanya di rumah tidak lebih dari dua jam lamanya.

Di luar, ia mencari peruntungan dengan menjadi tukang catut. Saat

beruntungnya, ia dapat membeli sepeda Perancis dan ranjang berkasur.

Menimbang upahnya yang kecil, ia pindah bekerja sebagai tukang tagih.

Setelah itu, hidupnya secara berangsur-angsur makmur. Tapi, hatinya malah

makin miskin. Ia anehnya merindu kampung Lembah-Gunung.

Dengan merenggangnya hubungan dengan istri barunya, perasaan

terasing mulai menganiaya batinnya. Hidupnya kian terasa hampa—terlebih

lagi ketika dia membandingkan bahwa hidupnya di kampung tidak sekosong

seperti di kota. Sesusah-susahnya hidup di kampung, sekurang-kurangnya

dia merasa bahagia. Dengan lagu-lagu dan alat kecapinya, ia memanggil

kembali kampung halaman, mengingat kembali isteri dan anak-anaknya yang

dulu ia tinggalkan.

Hidupnya telah kehilangan dasar. Dan cara dia mengatasi kekosongan

batin dan makna hidupnya, coba diringankan dengan nostalgia. Dengan lagu-

lagu dan alat kecapinya, ia mencoba menghadirkan kenangan akan kampung

halaman, akan isteri dan anak-anaknya yang dulu ia tinggalkan. Lagu-lagu

Sunda yang ia nyanyikan menghadirkan keterikatan pada simbol-simbol

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

100

kultural tempat ia berasal. Melalui lagu-lagu tersebut ia mendefinisikan

identitasnya sebagai seorang Sunda di Jakarta.253

5. Gambir

Seperti judulnya, cerita ini berpusat di Stasiun Gambir. Stasiun ini

terletak di timur Lapangan Gambir/Lapangan Monas, masih sekawasan

dengan cerita Ikan Yang Terdampar dan Berita Dari Kebayoran. Walau cerpen

ini dituliskan di Amsterdam tahun 1953, tetapi latar yang dipakai adalah

Jakarta tahun 1952. Cerpen ini memotret secara detail kehidupan sehari-hari

para kuli pengangkut di Stasiun Gambir, kait-mengaitnya dengan perjudian,

pelacuran, dan kriminalitas. Seperti Ikan Yang Terdampar dan Berita Dari

Kebayoran, Gambir juga diceritakan dari sudut pandang orang ketiga tunggal.

Tokoh utama Gambir yakni seorang tukang angkut bernama Hasan.

Hasan digambarkan sebagai seorang yang alim dan baik. Bahkan disebutkan

pula ia sembahyang dan rutin mengaji tiap malam.

Kisah Hasan bermula dari sebuah kampung bernama Pal Merah. Suatu

ketika, rumahnya didatangi sekawanan jago kampung yang dikepalai Djuned.

Harta bendanya dirampas dan isterinya, Bebe, dibawa kabur. Dari peristiwa

tersebut, Hasan mendapat luka di wajah. Tapi luka yang lebih mendalam

terletak di rongga hatinya. Selamanya ia dendam pada Djuned.

Sejak kejadian di Pal Merah itu, Hasan tinggal di Gambir. Rumahnya

kini adalah gerbong-gerbong kosong yang tak terpakai lagi. Di sana, Hasan

bergaul rapat dengan Otong. Otong adalah rekannya sesama kuli. Sama

253 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 52 – 53

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

101

seperti Hasan, tadinya Otong juga memiliki rumah, mempunyai seorang bini.

Ia pergi karena tidak sanggup lagi membiayai keluarga.

Otong doyan judi, dan doyan pula perempuan. Uangnya setiap hari

berputar-putar antara judi – perempuan, dan tentu saja: makan. Berlawanan

dengan Hasan yang tidak judi tidak pula main perempuan. Maka orang-orang

mengira Hasan banyak uang. Dalam perhitungan mereka, Hasan menyimpan

setidaknya dua ribu rupiah. Jumlah yang sanggup membikin Sidik, sesama

kuli angkut- ngiler.

Walau Hasan dan Otong banyak berlawanan dengan Sidik, ada juga

yang menyatukan mereka, yaitu kebiasaan mereka ngopi-ngopi di tempat

penjual kue pancung. Penjual kue pancung ini bisa dikatakan sebagai pusat

tempat keluar masuk segala informasi ‘tidak resmi’ tentang orang-orang yang

menghuni stasiun.

Suatu hari, Hasan menggunakan uang simpanannya yang ternyata

kurang dari dua ribu, tepatnya 1.645 rupiah, untuk meminjam pistol seorang

polisi. Ia hendak menggunakan pistol tersebut untuk membunuh Djuned dan

kawanannya. Rupanya inilah rencana Hasan terhadap uangnya. Membunuh

Djuned dan kawanannya bagi Hasan adalah kewajiban. Setidaknya, ia

mengurangi jumlah penjahat di bumi.254

Akan tetapi, di hari yang sama, Hasan dihajar Sidik. Sidik bermaksud

merampas uang Hasan. Keduanya berkelahi hingga Sidik terbunuh dan mati.

Sementara, Hasan sudah keburu lari. Otong yang kebetulan melihat dan

254 Pramoedya, Ananta Toer. [1957] 2002. Op.cit., hal: 192

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 113: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

102

menyaksikan duel Hasan – Sidik memilih bungkam. Padahal, ia sempat

dicurigai sebagai pembunuh Sidik. Tetap saja Otong tidak membela diri.

Sejak kejadian tersebut, baik Hasan maupun Otong tidak terlihat lagi

berkeliaran di Gambir. Di stasiun itu masih dijumpai ‘Otong’ dan ‘Hasan’ yang

lain, yang di baju mereka terpasang pelat kuningan. Pelat tersebut sebagai

ganti kartu nama yang menjadi penanda bahwa mereka adalah kuli angkut

terdaftar, dan bukan ‘kuli angkut gelap’.

Hasan sempat terlihat menyambangi stasiun, sekali. Ia berniat

mengembalikan pistol yang dulu dipinjamnya. Tidak lupa ia menyempatkan

singgah minum di warung kue pancung. Penjual kue pancung ini malah

memihak kepada Hasan. Ia meminta Hasan untuk lari karena polisi kini

sedang mencari-carinya. Hasan telah menjadi seorang buron. Hasan yang

dulu alim sekarang menjadi ‘makluk malam’ yang hidup dengan mengembara

sudut-sudut gelap Jakarta. Ia “dipaksa mengikuti jejak penjahat-penjahat

yang pernah membuat sejarah di atas bumi dengan akhirnya yang juga telah

tersedia”.255

255 Ibid., hal: 206

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 114: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

103

BAB IV

MEMBAYANGKAN JAKARTA PERIODE 1950-AN

DARI MATA PRAMOEDYA

Pada penghujung Bab III sudah dideskripsikan tema, latar, beserta

ikhtisar masing-masing cerpen yang akan dianalisis. Bab berikut akan lebih

konsentrasi pada deskripsi dan telaah simbol-simbol tertentu di dalam

cerpen, yang dianggap dapat menolong kita dalam membayangkan Jakarta,

plus Indonesia, periode 1950-an. Atau sebaliknya, simbol-simbol tersebut

bisa jadi menawarkan imaji baru yang sama sekali bertolak belakang dari

imaji yang umum tentang Jakarta.

Sebelum lebih jauh masuk ke bagian analisis, ada beberapa hal yang

perlu dipertimbangkan. Cerita Dari Jakarta adalah kumpulan cerpen yang

diterbitkan di tahun 1957. Di tahun-tahun itu, seperti yang telah diurai pada

Bab II, kritik dan pesimisme terhadap Revolusi dan pemerintah pada

umumnya banyak disuarakan melalui karya sastra. Pramoedya termasuk

yang paling awal dalam menuliskan kritik ini. Cerpen-cerpen dalam Cerita

dari Jakarta sudah ditulisnya sejak 1948, setahun sebelum Indonesia diakui

sebagai negara yang berdaulat. Ketika Cerita Dari Jakarta diterbitkan ulang di

tahun 2002, dan dibaca di tahun 2014, yang berarti lebih dari setengah abad

kemudian, urgensi kritik Pramoedya ini jadi kurang terasa. Hal ini disorot

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 115: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

104

pula oleh Goenawan Mohamad yang memberi kata pengantar untuk

terjemahan Cerita Dari Jakarta di tahun 2000.256

Sementara itu dapat dicatat sebagai sebuah kelemahan, di sisi lain,

ada juga keuntungan yang bisa dipetik dari situ. Buku Cerita dari Jakarta

yang dipergunakan di sini adalah edisi cetak ulang tahun 2002. Ejaan lama

yang dipakai di edisi pertama pada tahun 1957 sudah disesuaikan dengan

Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Dengan kondisi pembaca yang jauh

berbeda dari saat pertama kali diterbitkan, dengan gampang kita bisa

mengenali kontras-kontras besar antara apa yang kita bayangkan tentang

Jakarta dan tentang masa-masa di tahun 1950-an, dengan apa yang dituliskan

oleh Pramoedya. Hal ini akan sangat membantu dalam mencari counter-

symbolism dalam Cerita dari Jakarta.

A. Ikan-Ikan yang Terdampar

Seperti yang telah dibahas dalam Bab II, sejak masa pendudukan

Jepang, terjadi gelombang migrasi besar-besaran ke Jakarta. Ikan-Ikan Yang

Terdampar di antaranya mengangkat isu migrasi ini, yang dibicarakan dari

perspektif seorang migran, Idulfitri.

Idulfitri menggunakan istilah “terdampar” untuk menyebut peristiwa

kepindahannya dari kampung ke ibukota. Seperti yang tertera dalam judul,

Idulfitri menganalogikan dirinya seperti ikan yang tercampak ke darat

selepas banjir reda. Teks cerpen juga tampak konsisten memakai awalan

256

Mohamad, Goenawan. Foreword dalam Toer, Pramoedya Ananta. 2000. Tales From Jakarta: A Caricature of Circumstances and Their Human Beings. Equinox: Jakarta, hal: vii - viii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 116: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

105

“ter-”, seperti penggunaan kata “terdampar” dan “tercerai”. Seperti dalam

paragraf berikut:

“Kalau banjir telah surut, [...] hitunglah, berapa banyak ikan terdampar di beting-beting. Dan binatang-binatang itu tidak berdaya karena mereka tercerai dari air. Dan aku – aku ini salah seekor di antara binatang-binatang itu.”257 [penekanan dari penulis] Pernyataan tersebut mengundang pertanyaan, seperti: Mengapa

Idulfitri menggunakan kata “terdampar”, yang sekaligus menempatkan

Idulfitri dalam posisi obyek dalam peristiwa kepindahannya? Bukankah tidak

ada yang memaksa Idulfitri untuk hijrah dari kampungnya? Tidakkah ia

dengan sukarela datang ke Jakarta, atau dengan membalik istilah Idulfitri,

bukankah ia yang mendamparkan diri sendiri?

Dengan memakai analogi “ikan yang terdampar”, Idulfitri terlihat

hendak menekankan pada adanya faktor lain di luar dirinya yang membuat ia

terseret ke ibukota. Bahwa ada keadaan-keadaan tertentu yang

menghempaskannya ke Jakarta, yang berada di luar kehendak pribadinya.

Dan, keadaan inilah yang lebih berkuasa atas jalan hidupnya.

Jelas, pilihan bukan sesuatu yang hendak diperdebatkan di sini; bukan

soal apakah Idulfitri suka atau tidak suka, ingin atau tidak ingin. Kalau punya

pilihan, ia akan menawar menjadi komis atau asisten wedana, seperti yang

dicita-citakan kedua orang tuanya. Ia tidak berkehendak menjadi maling. Ia

tidak pernah melamar untuk posisi itu.

Setiap cita-cita Idulfitri selalu kandas, dikandaskan oleh ‘faktor x’. Ia

ingin menjadi polisi militer, tetapi ditolak karena dikira komunis. Inginnya

257

Toer, Pramoedya Ananta. [1957] 2002. Cerita dari Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya. Hasta Mitra: Jakarta, hal: 18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 117: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

106

bekerja tetap, yang berkantor dan bergaji tetap, namun pengeluarannya

untuk hidup layak sebagai karyawan bakal jauh lebih besar ketimbang yang

didapat. Demikian besarnya pengaruh ‘keadaan’ pada hidup Idulfitri hingga

dapatlah dikatakan Idulfitri tidak menjadi kriminal dengan sendirinya. Lebih

tepatnya, ia di-kriminal-kan.

Selain itu, ada pula sosok Namun, yang berperan sebagai ‘tim sorak’

yang menyokong setiap tindakan-tindakan kriminal Idulfitri. Seperti yang

tersirat dari namanya, Namun adalah penghubung yang memungkinkan

Idulfitri (seorang suci) melakukan kejahatan. Namun termasuk dalam ‘faktor

x’ yang mendorong Idulfitri untuk mementingkan hak perutnya di atas

segala-galanya. Namun adalah prasyarat bagi Idulfitri untuk hidup

berlawanan arah dari jalur yang dikehendaki atas dirinya.

Selain soal pekerjaan, Idulfitri juga tidak memiliki pilihan dalam hal

tempat tinggal. Ia tidak punya pilihan untuk bertahan di kampung atau di

kota. Toh, antara kampung dan kota bukan sebuah pilihan yang sejajar, tidak

seperti ketika harus memilih antara Facebook dan Twitter, atau Blackberry

dan iPhone. Orang kampung hidup dengan aspirasi pergi ke kota, tidak

berlaku sebaliknya.

Apabila orang sudah sampai di kota, orang seakan-akan tidak punya

jalan untuk pulang; serupa bertemu jalan buntu yang tidak menyediakan

jalan untuk berbalik. Ini terjadi dalam kasus Idulfitri. Antara mau dan malu,

ingin dan tidak bisa, harapan dan kenyataan; kontras-kontras ini

memperlebar jarak antara Idulfitri dan kampungnya, seperti yang tergambar

dalam paragraf berikut:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 118: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

107

“Anak yang diharapkannya jadi manusia yang kelak menjadi kebanggaannya adalah aku yang keparat ini. Mereka tidak membutuhkan aku. Aku malu pulang ke kampungku. Aku malu pada pertanyaan mereka yang paling pertama. [...] Bagaimana pekerjaanmu? Engkau bekerja apa sekarang, anakku? Dan mereka menunggu jawaban dengan hati yang berdebar-debar. Dan jangan pula engkau lupa, jawabanmu itu sebentar lagi akan tersiar di antara para tetangga dan kawan sahabat orang tuamu itu. [...] Aku akan tetap bertahan di sini, hingga setidak-tidaknya sepuluh prosen dari cita-cita mereka terkabul.”258 Hijrahnya Idulfitri ke ibukota telah merubahnya menjadi ‘makhluk

baru’. Ia berubah menjadi Idulfitri versi Jakarta yang akan janggal bila

ditempatkan dalam situasi dan kondisi di kampung. Perubahan yang

mencolok itu yakni dari cara pandangnya. Ia berpikir tidak lagi berdasarkan

pertimbangan norma atau susila, tetapi lebih didorong oleh kebutuhan

jasmaninya yang paling mendesak: kebutuhan untuk makan. Ia menimbang

segala sesuatu sesuai dengan logika perutnya. Ia hanya dapat berbicara

dengan asas guna, tidak selain itu.

Dengan kegunaan sebagai prinsip, segala sesuatu di luar itu menjadi

sia-sia. Mulai dari talu-taluan beduk masjid, serdadu gagah yang menjaga

pintu istana, gambar paha telanjang dan cium-ciuman di bioskop, semua

tidak berguna di mata Idulfitri. Seluruh pancainderanya tidak kenal jenis-

jenis keindahan: itu di luar kosakata hariannya. Ia lebih tergiur bila mencium

bau sate yang dibakar ketimbang gambar cium-ciuman pemain film.

“Setelah memasuki hari-hari yang beribu-ribu jumlahnya, Idulfitri tak tahu lagi di mana pentingnya embun yang bergantungan di dedaunan atau rerumputan pagi hari. Juga tak tahu lagi ia di mana manisnya awan merah yang melembayang di atas kepala. Dan ia pun tak mengerti lagi apa kehebatan yang tersimpul dalam taluan beduk-beduk langgar mesjid dan kelening genta gereja-gereja.”

258 Ibid., hal: 39 – 40

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 119: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

108

“Waktu mau menyeberangi jalan raya ia menengok ke kanan, dan ia melihat pagar istana. Serdadu yang gagah menjaga lobang pintu. Tapi pada itu pun ia sudah tak peduli lagi. Sudah bosan. Sudah tak kuasa ia mengagumi kehebatan dan apa gunanya bagi negara dan perutnya sendiri.” “Gambar-gambar paha telanjang dan cium-cium ini tidak ada gunanya bagi orang lapar.”259 Celotehan-celotehan Idulfitri di atas menyarankan bahwa keindahan

dan hal-hal yang abstrak itu bukannya bebas nilai, melainkan terkotak-kotak

dalam kelasnya masing-masing. Estetika tidak berlaku universal dan

memiliki kecenderungan untuk menjadi elitis. Estetika adalah istilah khusus

untuk kalangan kelas menengah atas, yang berada di luar jangkauan

kemampuan Idulfitri untuk mencernanya.

Apabila ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, ocehan Idulfitri

juga bisa jadi adalah gugatan Pramoedya terhadap sastra, agama (khususnya

Islam), serta negara. Pramoedya, melalui moncong Idulfitri, mengkritik sastra

yang hanya peduli pada keindahan, atau struktur estetika formal seperti yang

dikoar-koarkan sastrawan Gelanggang yang mendominasi pada periode

1950-an. Ini menarik sebab periode 1950-an awal justru merupakan masa di

mana Pramoedya sering dikait-kaitkan dengan kelompok Gelanggang. Kritik

itu bahkan dituliskan secara eksplisit di dalam cerpen:

“Mengapa tak ada yang menggambarkan bagaimana lapar membelit-belit dalam ususku?” “Kaum seniman dan artis itu, ia terlampau banyak mengurus dirinya sendiri, mereka barangkali tak sadar betapa jiwa melayang ke hadirat Tuhan yang diapit makaikat-malaikatnya bilamana seorang yang kelaparan ada mencium sate sedang dibakar.”260

259

Ibid., hal: 16; 18 – 19 260 Ibid., hal: 21; 23

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 120: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

109

Di dalam cerpen ini, alih-alih menuliskan kata-kata yang indah dan

puitis, Pramoedya malah mencantumkan banyak kata makian. Dengan

penggunaan umpatan-umpatan ini Pramoedya mencoba mereposisi

kedudukan sastra: merubahnya dari alat untuk mengekspresikan keindahan,

serupa paha-paha telanjang dan adegan-adegan ciuman, menjadi sarana

untuk mengungkapkan kegetiran dan kepahitan hidup, seperti cerita Idulfitri

yang sehari-harinya menanggung kelaparan.

Kritik selanjutnya dialamatkan pada agama, tepatnya pada

ketidakmampuan agama untuk berbicara dalam bahasa yang dimengerti oleh

orang-orang serupa Idulfitri. Agama lebih banyak berbicara dalam kerangka

waktu nanti: soal hitungan dosa dan pahala; lalu surga dan neraka. Agama

mempersiapkan orang-orang untuk hidup di akhirat, yang tidak pasti

hitungan hari dan tahunnya. Sementara Idulfitri berhadapan dengan waktu

kini. Hidupnya berputar dalam hitungan jam. Bahkan, hitungan jam ini

membingkai keseluruhan cerita, lanjut dieksplisitkan pula di dalam teks:

“Jam enam pagi teng ia tergagap-gagap bangun. Ia lapar. Selamanya begitu. Tetapi sekali ini lebih-lebih lagi: ia tak punya uang, tak punya makanan, tak punya kopi dan juga tak punya perempuan.” “Sudah sebelas jam kita kelaparan sejak pagi. Belum terhitung semalam. Dua puluh lima jam.”261 (penekanan dari penulis)

Hidup Idulfitri layaknya patahan-patahan yang tidak terulur panjang

sampai ke depan, ke masa-masa yang akan mendatang. Hidupnya terhenti di

hari ini, saat ini, jam ini. Apa yang didapatnya hari ini, diperuntukkan dan

dihabiskan untuk hari ini juga. Dalam hal ini dapat dibilang Idulfitri adalah

sebuah antitesis dari ide kemajuan yang ditawarkan ibukota. Ia tidak hidup

261 Ibid., hal: 17; 41

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 121: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

110

dengan visi yang jauh ke depan. Ia tidak dilingkupi oleh kepercayaan atau

optimisme terhadap masa-masa yang akan mendatang. Hidupnya adalah

sekarang, di hari ini, di jam ini. Misalnya dalam cerpen ini dikisahkan, setelah

11 jam menanggung lapar, Idulfitri menjual dompet Namun, temannya.

Dengan hasil penjualan dompet itulah keduanya dapat makan. Makan untuk

satu hari, dirangkum di satu waktu, dan hanya cukup untuk sekali itu. Makan

untuk besok diikhtiarkan lagi saat matahari esok menjelang. Begitulah

seterusnya.

Dalam setiap perputaran jam, Idulfitri dihadapkan pada permasalahan

bagaimana supaya mengisi perut dengan segera. Dan, permasalahan ini tidak

dapat diselesaikan secara instan melalui beribadah atau beragama. Nilai-nilai

yang diajarkan agama tidak dapat dikonsumsi, dikonsumsi dalam artian

denotatifnya. Mungkin dapat menenangkan hati, tetapi tidak dapat meredam

gejolak di lambung Idulfitri. Seperti sindiran Namun pada Idulfitri: “Dan

engkau, haji gagal, apakah tidak bisa berdoa agar dalam dua jam ini paling

lambat kita bisa memperoleh makan?”262 (Perhatikan juga bahwa hitungan

jam kembali dipergunakan.)

Sementara itu, dalam hal nama Idulfitri sendiri menyimpan ironi.

Dalam cerita disebutkan, nama Idulfitri didapat karena lahir bertepatan

dengan lebaran. Idul Fitri umum diartikan sebagai momen untuk “kembali

suci, kembali ke fitrah”. Akan tetapi, makna dari nama Idulfitri ini berbanding

terbalik dari ‘nasibnya’. Alih-alih menjadi suci, atau menjadi haji seperti

harapan orang tua, Idulfitri berakhir menjadi maling, menjadi ‘bajingan’.

262 Ibid., hal: 41

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 122: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

111

Selain agama, negara juga menjadi sasaran kritik dalam Ikan-Ikan

Yang Terdampar. Bahkan Istana Merdeka, yang menjadi simbol penting dari

negara, terutama sejak ditempati Soekarno pada tahun 1949 yakni setelah

pengakuan kedaulatan Indonesia- dirujuk secara tertulis di dalam teks.

Selama berjalan mengitari Lapangan Gambir, Idulfitri dua kali lewat depan

istana. Akan tetapi, istana yang gagah itu tidak menimbulkan perasaan

megah di hati Idulfitri. Malah, ia berusaha mengelak-elakkan pandangannya

dari istana tersebut.

“Waktu mau menyeberangi jalan raya, ia menengok ke kanan, dan ia melihat pagar istana. Serdadu yang gagah menjaga lubang pintu. Tapi pada itu pun ia sudah tak peduli lagi. Sudah bosan. Sudah tak kuasa mengagumi kehebatan dan apa gunanya bagi negara dan perutnya sendiri.” “Sampai di depan istana mereka tak menengok ke kanan, ke istana, tapi jalan terus.”263 Padahal, pertautan antara negara dengan Idulfitri tidak hanya sekadar

menumpang tinggal di daerah kekuasaan republik, tetapi ia terlibat dalam

memperjuangkan kemerdekaan. Ia adalah salah seorang pejuang yang

karenanya Soekarno bisa menamai istana itu dengan embel-embel kata

“Merdeka”. Idulfitri bukan hanya penonton yang berdiri di pinggir lapangan,

ia turut serta sebagai pemain. Akan tetapi, tidak seperti mereka yang

memperoleh tempat di istana, Idulfitri adalah pemain yang terbuang. Idulfitri

adalah “pahlawan sesat” yang “tidak mendapat tempat di masyarakat

merdeka yang dahulu diperjuangkan.”264

Idulfitri adalah pahlawan yang tragis. Ia dilupakan oleh negara yang

dulu dibelanya. Ia disingkirkan dari kemiliteran, dari kantoran, dari hasil- 263

Ibid., hal: 18; 30 264 Ibid., hal: 18

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 123: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

112

hasil perjuangannya. Bahkan, Idulfitri terusir pula dari ingatan sejarah.

Namanya tidak tercantum di mana-mana, tidak sebagai nama taman, tidak

juga nama jalan. Negaranya lebih memilih untuk mengingat-ingat Teuku

Umar, misal, yang bahkan tidak memiliki ide tentang negara Indonesia.

Idulfitri cuma pahlawan lokal yang tidak menggambarkan ciri nasional.

Oleh karena itu, di mata Idulfitri Istana Merdeka tidak

merepresentasikan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, seperti yang

diimplisitkan dari namanya. Merdeka hanyalah milik dari segelintir orang.

Orang-orang yang berkuasa di gelanggang, “kaum penggendut perut”, istilah

Idulfitri. Sedangkan Idulfitri tersingkir dari gelanggang, membuatnya hidup

menggelandang dengan Namun sebagai sesama “kaum lapar”.

Munculnya kategori “kaum lapar” dan “kaum penggendut perut” ini

menawarkan kepada kita sebuah cara lain dalam melihat Jakarta, serta

Indonesia. Jakarta tidak hanya bisa dibagi-bagi berdasar tingkat penghasilan,

tetapi juga berdasar pada pengalaman dan perasaan hidup sehari-hari

penghuninya, yang dalam hal ini dikaitkan dengan rasa lapar. Padahal, di

masa-masa sebelum merdeka, hanya ada satu bangsa: bangsa yang terjajah.

Akan tetapi, setelah merdeka, bangsa yang terjajah itu terbelah dua: satu

kaum ganti menjajah kaum lainnya.

Karena “kaum lapar” ini tersisih dari kota berikut bangsanya, lebih

mudah bagi mereka untuk mengindentifikasikan diri dengan “kaum lapar” di

luar sana dengan tanpa mengindahkan batas-batas negara. Dalam cerita Ikan-

Ikan yang Terdampar ini, Namun dan Idulfitri menemukan kawan senasib

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 124: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

113

sepenanggungan itu di negeri Tiongkok dan Eropa Timur, tempat

bersarangnya kaum komunis.

Lebih jauh, teks tulisan ini memperlakukan “kaum lapar” dan “kaum

komunis” selayaknya sinonim. Di halaman 25, disebutkan: “Kaum komunis

menang gelanggang”. Di halaman berikut, masih dengan komposisi kata yang

sama, diulang: “Kaum lapar mulai menang gelanggang”.265 [penekanan dari

penulis]

Selebihnya, hadirnya daerah Tiongkok dan Eropa Timur dalam teks

ini menunjukkan bahwa pengalaman orang akan kota tidak sebatas sekat-

sekat yang membatasi daerahnya. Berkat adanya media massa, ruang itu

meluas, mengatasi jarak fisik yang tersedia. Bila Pramoedya sempat

membuat pernyataan Jakarta adalah sekumpulan kampung,266 sepertinya

bisa pula dikatakan Jakarta adalah kumpulan dari negara dunia. Sebelum

Jakarta dapat menjadi kiblat dunia, dunia tersebut telah lebih dulu

menginfiltrasi ruang-ruang di Jakarta, di antaranya melalui perantaraan surat

kabar atau film-film asing yang diputar di bioskop.

Dulu, Belanda merancang Jakarta (Batavia) secara spasial sebagai kota

yang dibagi berdasarkan kelompok ras dan etnis yang ada. Space kota Jakarta

bersifat rasial. Maka kemudian ditemukan adanya Kampung Melayu,

Kampung Betawi, Kampung Cina, dll. Oleh Soekarno, pengkotakkan wilayah

kota yang sifatnya rasial tersebut dihilangkan.267 Akan tetapi, itu tidak berarti

265Ibid., hal: 25; 26 266 Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press: Cambridge, hal: 129 267

Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibukota Jakarta di Bawah Soekarno. Penerbit Ombak: Yogyakarta, hal: 120 – 122

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 125: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

114

semua orang yang berdiam di Jakarta menjadi sama rata, sama rasa. Tetap

ada jarak sosial yang memisahkan mereka. Kelompok yang lebih berkuasa

dan lebih berpunya mendominasi ruang-ruang yang ada. Dalam istilah

Idulfitri, mereka adalah “penguasa gelanggang”.

Idulfitri terasingkan dari ruang-ruang ekonomi di Jakarta. Selagi

Idulfitri berjalan mengitari ibukota bersama Namun, di sekelilingnya

berserakan gedung-gedung perkantoran. Diantaranya terdapat: gedung

kantor telepon, gedung Radio Nasional Indonesia, dan kementerian

pertahanan. Akan tetapi, dari kantor-kantor tersebut, tidak satu pun yang

menyediakan satu bangku kosong untuk diduduki Idulfitri. Selamanya ia

menggelandang di jalan.

Di jalan, Idulfitri masih tergolong anomali. Idulfitri tidak memiliki

rutinitas layaknya orang kota pada umumnya. Bila orang-orang kota pagi-

pagi berangkat kerja, Idulfitri malah menghabiskan hari dengan berjalan-

jalan. Sehari-hari ia hidup di jalan, dan mencari nafkah di jalan. Bila orang

menjadikan jalan sebagai lintasan yang akan mengantarkan mereka mencari

nafkah, Idulfitri memperlakukan jalanan sebagai sumber nafkah. Jalanan

adalah etalase gratis tempat ia dapat mematut kendaraan mana yang bisa

mendatangkan uang bagi pengganjal perutnya.

Maka, bagi Idulfitri, istana bukan sebuah potret yang tepat untuk

ibukota. Istana dikonstruksi sebagai lambang kemegahan dan kejayaan.

Inilah yang membuatnya berjarak dari orang-orang serupa Idulfitri.

Kedudukan istana di dalam teks cerpen ini tak ubahnya seperti dompet

Namun yang dijual ke tukang loak: di luar gagah, tetapi tak berisi, kosong

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 126: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

115

melompong. Bagi Idulfitri, jalananlah yang dapat merefleksikan

kehidupannya dengan lebih patut. Di jalan masih tersedia ruang untuknya

menyambung hidup. Jalanan adalah ‘monumen perjuangan’ yang

sesungguhnya.

B. Berita dari Kebayoran

Apa yang menarik dari cerpen ini yaitu ditampilkannya Kebayoran

sebagai representasi dari wilayah ‘kampung’ yang berlawanan dengan

wilayah ‘kota’ (Jakarta). Keunikan ini tidak akan dirasakan bila cerpen ini

dibaca pada periode 1950-an, masa ketika cerpen ini pertama kali

diterbitkan, masa-masa di mana Kebayoran masih berupa ‘kampung’ dan

sedang dalam tahap pengembangan menjadi kota satelit Jakarta.268 Lebih

jauh, cerpen ini mengolah isu pembangunan Kebayoran menjadi wilayah

satelit kota ini lebih sebagai sekadar latar cerita, karena ikut mempengaruhi

jalan hidup tokoh utama, Aminah.

Tadinya, Kebayoran merupakan wilayah berpenduduk jarang yang

dihuni kalangan Betawi ‘miskin’.269 Kategori ‘miskin’ di sini tidak dalam arti

bahwa mereka hidup sengsara seperti kaum ‘miskin’ kota yang hidup

menggelandang di jalan atau tidur bertumpuk-tumpukan di bawah jalan

layang. Miskin di sini lebih dekat artinya pada ‘non-modern’, daerah yang

tidak tersentuh ‘peradaban’ kota, daerah yang minim fasilitas dan minim

pendidikan. Tidak seperti di kota yang lekat dengan kawasan industri,

268 Blackburn, Susan. 2012. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Pen. Gatot Triwira. Masup Jakarta: Jakarta, hal: 216 269 Ibid., hal: 217

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 127: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

116

kampung identik dengan kawasan agraris. Seperti keluarga Aminah dalam

cerpen Berita dari Kebayoran, mayoritas warganya mencari nafkah dengan

menjadi petani buah.270

Orang di kampung hidup dengan memberdayakan tanah. Tanah

ibaratnya ‘esensi’ kehidupan. Orang tidak dapat hidup bila tak bertanah.

Tanah bukan hanya tempat berdiam, tetapi juga sumber mata pencarian.

Singkat kata, tanah adalah kekayaan. Maka, dengan hilangnya tanah, hidup

Aminah di kampung juga musnah. Seperti curahan hati Aminah:

“Kak Saleh sudah kubilangi, jangan jual rumah dan ladang itu. Itu sumber penghidupan kita. Tapi dia bilang, kekayaan kita itu harus kita serahkan pada pemerintah, Minah, kalau kita tak mau mendapat kesusahan dari padanya. Dan rumah serta pekarangan itu dijuallah. Tiga ribu! Tapi sejak itu kita tak dapat membuat tuak dan gula lagi. Aku tak dapat jual rujak buah atap. Tak punya panen singkong dan cabe. Dan kita tak dapat beli ladang orang lain karena tak ada yang jual...”271 [penekanan dari penulis]

Tanah di kampung yang tadinya berstatus sebagai ladang diruntuhkan

untuk dibangun simbol-simbol kemajuan, simbol-simbol urban. Sebab, untuk

merubah status Kebayoran menjadi daerah satelit dibutuhkan lebih dari

sekadar urusan administratif, tetapi juga soal representatif. Maka wajah

‘kampungan’ Kebayoran perlu dipermak menjadi ‘kekota-kotaan’. Caranya

yaitu dengan mengimpor fasilitas dan bangunan modern yang ada di kota,

masuk ke kampung. Contohnya, jalan aspal, listrik, sekolah, dan rumah-

rumah permanen. Dengan keberadaan simbol-simbol urban tersebut

meredefinisikan hubungan antara penduduk di Kebayoran dengan tanah dan

dengan kampung mereka. 270

Ibid., hal: 217 271 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 51

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 128: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

117

Bagi Aminah, kehilangan tanah di kampung hanya memiliki satu arti:

mati. Maka, Aminah pun memilih untuk hijrah ke kota. Kepindahan Aminah

ke kota ditanggapi secara berbeda oleh orang-orang di kampungnya. Dalam

pikiran mereka, Aminah “lari”. Aminah melarikan diri dari suami, sanak

keluarga, dan segenap handai taulan. Aminah lari dari kemelaratannya, dari

kemalangannya, dan dari kehancuran hidupnya.

Sementara, dalam sudut pandang Aminah, ia bukannya “lari”, tetapi

“mencari”. Perbedaan keduanya terletak pada ada atau tidaknya harapan.

Mencari berarti menyimpan harapan untuk menemukan sesuatu. Sedangkan

lari tidak memiliki relevansi dengan harapan, lari juga tidak memiliki

orientasi terhadap masa depan.

Sebagai tujuan dan sebagai tumpuan harapan, maka wilayah kota

selalu digambarkan dalam bentuk kini. Pun, wilayah kota diasosiakan dengan

kebaruan. Nasib baru, dan hidup yang baru. Untuk Aminah kebaruan itu

disimbolkan lebih jauh dengan pergantian laki, dari Saleh ke Diman.

Akan tetapi, nasib baru di sini tidak selalu berarti nasib baik. Untuk

kasus Aminah, yang terjadi adalah kebalikannya. Hidup barunya di kota jauh

lebih mengenaskan ketimbang hidup di kampung. Antara cita-cita dan realita

tidak sejalan. Sayangnya, di kota tidak tersedia jalan untuk kembali pulang.

Satu-satunya jalan yang tersedia adalah jalan untuk terus.

Oleh sebab itu, wilayah kampung menjadi identik dengan masa lalu.

Apalagi cerpen ini tidak disusun secara kronologis, tetapi dengan teknik kilas

balik. Maka wilayah kampung hanya hadir dalam bentuk serpihan kenangan.

Oleh sebab itu, wilayah kampung selamanya identik dengan masa lalu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 129: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

118

Wilayah kampung menjadi sesuatu yang usang, yang lampau. Ini jelas terlihat

di dalam kalimat di mana terus disisipkan kata “dahulu” sebagai penanda

waktu. Oleh sebab itu, kampung menjadi identik dengan kenangan. Tetapi

bukan lagi kenangan akan kenestapaan dan kesengsaraan, melainkan

kenangan akan sebuah kehidupan yang lebih ramah, lebih indah.

Namun, kesenangan hidup di kampung yang telah dirasai itu bukan

untuk dikejar. Statusnya tetap sebagai kenangan, bukan harapan. Keindahan

kampung hanya untuk diingat-ingat, tetapi tidak untuk diperjuangkan.

Aminah lanjut mengkultuskan kampungnya sebagai surga, sesuatu yang elok

untuk diangankan, tetapi membuatnya semakin berjarak dari kehidupan

nyata. Kampung menjadi kian tak terjangkau. Seperti kata Aminah, “antara

dia dan Kebayoran dan orang-orang yang dikasihinya itu tak lagi ada

jembatan yang tersedia”.272

Seterusnya, sebagaimana telah disinggung di bagian terdahulu, cerpen

ini dalam arti tertentu dapat dilihat sebagai kelanjutan dari cerpen Ikan-Ikan

yang Terdampar. Kedua cerpen tersebut masih berputar-putar di wilayah

yang sama: daerah Lapangan Gambir/Monas dan sekitarnya. Bedanya, bila

dalam Ikan-Ikan yang Terdampar kita mendapatkan gambaran tentang wajah

kota di waktu siang, melalui Berita dari Kebayoran kita dapat membayangkan

wajah kota di waktu malam.

Berbeda dengan di kala siang, gambaran kota di kala malam

didefinisikan melalui ada atau tidaknya penerangan. Secara garis besar,

wilayah kota dapat dibagi atas dua: wilayah gelap dan wilayah terang. Apa

272 Ibid., hal: 45

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 130: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

119

yang membedakan keduanya yakni keberadaan lampu listrik. Lampu listrik

memang menjadi penanda yang cukup signifikan di dalam teks ini. Di tahun

1950-an, lampu listrik termasuk fasilitas mewah. Seperti yang dikemukakan

Blackburn, sekitar tahun 1950-an tidak semua rumah terhubung dengan

aliran listrik.273 Jadi tidak mengherankan bila di dalam teks cerpen

disebutkan hanya beberapa bangunan tertentu yang dialiri arus listrik,

seperti Restoran Yen Pin, balai pertemuan kota praja, dan pagar taman

istana.

Selain menandakan kemewahan dan kemegahan, lampu listrik di

suatu waktu juga bisa mendatangkan ancaman. Misalnya seperti cahaya

lampu listrik yang menghiasi pagar istana. Sinarnya merupakan ancaman

bagi Aminah yang berprofesi sebagai pekerja malam. Sinar tersebut

memaksa Aminah dan golongannya untuk berpindah ke sisi taman kota yang

lebih dalam, lebih kelam, dan tentunya lebih aman.

“Mula-mula ia [Aminah] dan golongannya punya daerah di depan istana presis. Tapi lampu-lampu terang dipasang orang di sepanjang jalan yang meretas-retas kegelapan taman di depan istana itu. Dan lampu-lampu itulah yang mengusirnya dengan golongannya ke sebelah kanan lagi: tak lebih dari dua ratus lima puluh meter. Tak lebih dari dua ratus lima meter dari pagar istana.”274

Bagi Aminah, berada di bawah penerangan lampu listrik sama

berbahayanya dengan berhadap-hadapan dengan polisi. Status Aminah yang

sebagai pekerja malam, sekaligus penghuni gelap ibukota, membuatnya

harus selalu menghindar dari cahaya terang. Kehadiran lampu listrik menjadi

sebuah ancaman karena lampu tersebut membuat sosok Aminah akan 273

Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 239 274 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 45

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 131: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

120

“tampak” di permukaan. Dan tampak di permukaan akan membuat sosoknya

“dikenali”, dikenali sebagai penduduk tidak sah di ibukota.

Oleh sebab itu, bagi Aminah wilayah taman kota yang gelap bukan

hanya sebagai sekadar tempat bermalam, atau tempatnya melayani

pelanggan, tetapi juga sebagai tempat perlindungan. Wilayah taman yang

gelap itu adalah rumahnya, mewakili seluruh hidupnya. Begitu pentingnya

wilayah taman yang gelap itu, sudah setara dengan “Arabia untuk orang

Islam atau Palestina untuk orang Kristen”.275

Akan tetapi, sebagai penghuni wilayah gelap ibukota, yang juga

berstatus sebagai penghuni gelap, keberadaan Aminah di taman kota itu

tidak dianggap. Seperti dikatakan: “namanya [Aminah] tak terdaftar di buku

besar, dan menurut catatan resmi dia belum dilahirkan- belum pernah ada di

atas tanah Jakarta.”276 Seperti mentimun bongkok, Aminah ada, tetapi tak

dihitung sebagai satu kepala.

Sementara bagi “pihak yang berwajib”, persoalan ada atau tidaknya

Aminah sebenarnya tidak terlalu penting. Permasalahan mendasarnya adalah

apakah Aminah tampak atau tidak. Ketika kepergok berkeliaran di taman

kota, Aminah diteriaki: “Monyet lepas! Mau ke mana, kau? Engkau cuma

mengotori keindahan taman ini.” [penekanan dari penulis]277

Muka Aminah yang kian peyot bukanlah sesuatu yang bisa

merepresentasikan wajah ibukota yang dicita-citakan. Wajah Aminah adalah

kontras dari taman yang ia tinggali. Bahkan secara sarkastik, dituliskan

275 Ibid., hal: 46 276

Ibid., hal: 46 277 Ibid., hal: 59

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 132: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

121

saking mengeriputnya muka Aminah “orang tak bisa membedakan mana

Aminah dan mana monyet”.278 Padahal, wajah Aminah sesungguhnya adalah

metafora dari wajah kota Jakarta. Wajah Aminah adalah ‘realita’ yang

disembunyikan dari kerlap-kerlip lampu ibukota.

C. Makhluk di Belakang Rumah

Berbeda dengan dua cerpen sebelumnya, cerpen Makhluk di Belakang

Rumah ini dituliskan melalui sudut pandang orang pertama, “aku”. Namun,

keberadaan “aku” bukan yang kelewat berjarak dari kisah yang diceritakan.

“Aku” sehari-hari tinggal di lingkungan tempat cerita ini berpijak. Walau,

“aku” selalu mempertahankan posisinya sebagai pengamat. Secara spasial

dijelaskan, “aku” yang bercerita ini hanya sejarak sekira 5 meter dari

kehidupan para babu yang disaksikannya. Dalam jarak yang begitu dekat,

antara “aku” dan para babu itu tetap dipisahkan oleh pagar kawat.

Berikutnya, “aku” secara terperinci menggambarkan lingkungan

tempat ia dan para babu itu tinggal. Cerpen ini memang memberi perhatian

lebih dalam mendeskripsikan setting tempat dibanding dua cerpen

sebelumnya, meski tidak disebutkan secara persis daerah mana yang dirujuk.

Akan tetapi untuk daerah kampung, alias udik- di dalam cerpen ini

tidak terlalu dijelaskan secara rinci. Daerah udik dipakai sebagai istilah

umum untuk merujuk pada daerah luar kota, daerah tempat para babu dan

para majikan pribumi tersebut berasal. Satu kontras yang bisa ditarik antara

278 Ibid., hal: 58

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 133: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

122

wilayah udik dengan kota hanyalah bahwa udik adalah wilayah asal,

sedangkan kota adalah wilayah tempat tinggal.

Tokoh aku dan para babu tersebut berdiam di daerah hunian yang

disebut “rumah petak”. Lebih jelasnya, “rumah petak liar”. Implikasi dari

rumah petak liar itu tidak dijelaskan secara eksplisit. Apa yang terbaca

bahwa keberadaan rumah petak tersebut mewakilkan kepadatan penduduk

ibukota. Saking rapatnya rumah-rumah di kawasan tersebut, sampai-sampai

“sumur berada di depan rumah”.279

Dengan jarak yang dekat antar satu rumah dengan rumah lain juga

mempersingkat jarak sosial yang berlangsung di dalamnya. Di kawasan

tersebut dapat disaksikan bagaimana peristiwa keluarga dapat menjadi

peristiwa masyarakat. Rahasia pribadi bisa menjadi rahasia umum. Dan,

uniknya, walau kawasan petak tersebut ada 23 jumlah pintunya, namun

perlakuan mereka terhadap para babu di rumah mereka masing-masing,

menunjukkan sebuah pola yang serupa.

Seperti yang tertera di judul, para babu tersebut disebut juga

“makhluk di belakang rumah”. Sebenarnya tidak ada kesan merendahkan

dari sebutan ini. Kalau disandingkan dengan kata “babu”, untuk konteks

sekarang, istilah yang pertama tersebut terdengar lebih degradatif. Sebab,

saat ini istilah babu, bahkan pembantu, sudah dihaluskan lagi bunyinya

menjadi “asisten rumah tangga”.

Namun, kalau menilik dari pemakaian kata “makhluk” untuk merujuk

pada babu, terdengar janggal. Tidak lazim. Makhluk tidak merujuk secara

279 Ibid., hal: 122

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 134: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

123

spesifik pada manusia. Bahkan, hewan dan tumbuhan pun termasuk dalam

kategori makhluk. Kalau diambil dari terjemahan versi bahasa Inggrisnya,

Creatures Behind Houses, kata “creatures” di sini pun bisa dipakai untuk

merujuk pada makhluk non-human serupa alien.

Kalau lanjut ditimbang dari bagaimana para babu ini diperlakukan di

kawasan rumah petak tersebut, pantaslah istilah makhluk ini dipakai.

Walaupun berwujud manusia, tetapi hidup mereka sehari-harinya sama

sekali tidak ‘manusia’. Hidup mereka terpaku pada pekerjaan. Makan hanya

sekali, itu pun kalau sempat. Mandi pun seringkali absen. Seperti ayam yang

memiliki kandang, para babu ini juga berkandang di belakang rumah.

Lambat laun, raga babu ini pun semakin kehilangan ciri manusianya.

Dalam diri babu tersebut “suatu keretakan telah terjadi antara badan dan

jiwanya”.280 Dalam pengertian ini, pas lah para babu tersebut menyandang

gelar makhluk. Sebab, satu-satunya fakta bagi kedirian mereka hanyalah

karena mereka masih hidup.

Selanjutnya, babu dalam cerpen ini didefinisikan melalui pekerjaan

yang dilakoninya, sekaligus kekasaran yang diterimanya. Walau dalam

cerpen ini ditambahkan embel-embel “di belakang rumah”, keterangan ini

merujuk lebih dari sekadar tempat. Keterangan ini terkait erat dengan tugas

perbabuan yang diembannya, yang sebagian besar dilakukan di bagian

rumah paling belakang itu: mulai dari memasak, mencuci, hingga

memandikan dan menceboki anak majikannya.

280 Ibid., hal: 128

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 135: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

124

Bila babu didefinisikan melalui pekerjaannya, lain lagi dengan para

majikan. Para majikan ini baru memiliki arti dalam relasinya dengan si babu.

Ia tidak dapat berdiri sendiri. Toh, majikan tidak merujuk pada jenis

pekerjaan tertentu. Satu-satunya pekerjaan yang mereka lakukan adalah

memarahi hingga mengasari para babu. Dalam logika mereka, semakin

mereka mengasari para babu, semakin terlihat kualitas kemajikannya.

Walaupun tidak tersurat, perlakuan yang memperbabu para babu ini

sangatlah penting, terutama bagi majikan pribumi. Sebab, tidak ada sesuatu

yang substantif yang dapat membedakan antara para majikan ini dengan

babu-babunya. Derajat kemiripan yang dimiliki keduanya sangatlah besar.

Antara para babu dan para majikan bisa saling dipertukarkan posisinya. Ini

tidak hanya soal kemiripan fisik. Seperti yang diceritakan tokoh “aku”, baik

para babu maupun para majikan berasal dari daerah yang sama: sama-sama

udik juga. Maka mereka pun berbagi tanda kultural yang sama pula. Tidak

ada yang hierarkis di antara keduanya.

Sementara salah satu ketakutan terbesar dari para majikan pribumi

tersebut adalah apabila mereka salah dikenali sebagai babu. Begitupun

sebaliknya, mereka takut bila para babu tersebut salah dikenali sebagai

priyayi- sama seperti mereka. Dalam salah satu cerita misal disebutkan, salah

seorang babu diusir pergi karena “dianggap oleh nyonya sebagai calon

saingannya sendiri”.

Gejala ini sepertinya tidak dijumpai dalam diri majikan Eropa atau

Tionghoa yang dijadikan perbandingan. Sebab, di dalam struktur tatanan

masyarakat yang lebih luas, para majikan Eropa dan Tionghoa tersebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 136: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

125

sudah dianggap berderajat lebih tinggi. Secara fisik mereka juga jauh berbeda

dari pribumi. Jadi memiliki babu hanyalah salah satu cara untuk menguatkan

kesan akan ketinggian harkat dan derajat mereka itu. Sedangkan bagi para

majikan pribumi, memiliki babu adalah salah satu strategi untuk ‘naik kelas’.

Dengan demikian, bagi para majikan pribumi kehadiran para babu ini

dibutuhkan lebih dari sekadar menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah

tangga. Mereka dibutuhkan dalam rangka membangun imej sebagai seorang

“priyayi tulen”. Priyayi yang menjadi priyayi karena mereka memiliki

bawahan, dan bukan karena legitimasi keturunan (genealogis).

Barangkali, itulah salah satu keuntungan dari revolusi. Harkat dan

derajat orang tidak lagi ditentukan berdasarkan turunan, tidak lagi

memperhitungkan silsilah. Pertanyaannya bukan lagi siapa turunan siapa.

Yang lebih penting adalah apa yang dipunya. Kapital ekonomi menjadi

penentu utama atas kedudukan seseorang. Mau itu golongan petani atau pun

pedagang sama-sama berpeluang menjadi “raja”.

Yang bernasib malang, tentu saja para babu. Dengan kapital ekonomi

menjadi patokan, kedudukannya kian tersingkir. Maka tidaklah salah apabila

tokoh “aku” bertanya: “Apakah artinya Revolusi yang telah banyak meminta

kurban beribu-ribu anggota keluarga babu ini, bagi kepentingan hidup

mereka sendiri?”.281 Walaupun secara tertulis revolusi mengatasnamakan

bangsa, seluruh rakyat Indonesia, tetapi secara tersirat bangsa itu merujuk

hanya pada segolongan kaum saja. Dalam hal ini, Makhluk-Makhluk Di

Belakang Rumah memiliki persinggungan tidak langsung dengan cerpen

281 Ibid., hal: 127

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 137: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

126

Ikan-Ikan Yang Terdampar yang juga mengkritik hasil revolusi Indonesia

yang memenangkan satu golongan di atas golongan lainnya.

Selain soal pergeseran pandangan mengenai kekuasaan ini, hal lain

yang juga dibawakan revolusi adalah modernitas. Seperti kata Jennifer

Lindsay yang dikutip Nordholt, identitas nasional Indonesia pada periode

1950-an identik dengan modernitas, “to be an Indonesian was to be

modern”.282

Namun, agaknya modernitas yang berkembang di masa itu tidak

dalam bentuk perubahan dalam pola pikir. Sebagaimana yang terjadi dalam

cerpen ini, modernitas yang berlangsung adalah modernitas tempelan. Dalam

arti, modernitas yang lebih mementingkan tampilan. Hal ini diperagakan

dengan baik melalui cerita seorang babu yang rajin menenteng majalah film

ketika pergi berjalan-jalan. Sebabnya, ia ingin “memberi kesan seorang

terpelajar”.283

Kalau kata Nordholdt, apa yang dilakukan si babu tersebut khas

kalangan menengah bawah. Bagi mereka, modernitas adalah tentang “an

attractive lifestyle”.284 Akan tetapi sepertinya, modernitas tampilan ini tidak

spesifik menunjukkan kelas bawah saja, karena begitulah cara modernitas

umum dipahami di masa itu. Bukankah Soekarno membangun ibukota, dan

Indonesia, awalnya melalui monumen-monumen yang megah dari luarnya

saja?

282 Nordholdt, Henk Schulte. 2011. Indonesia in the 1950s: Nation, modernity and post-colonial state. Bijdragen tot de Taal – Land-en Volkendunde. Vol. 167 No. 4, hal: 388 283

Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 129 284 Ibid., hal: 400

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 138: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

127

D. Kecapi

Dalam cerpen “Kecapi” Jakarta disebut sebagai daerah pelarian. Ke

sanalah haluan tokoh kita, si pemetik kecapi, setelah meninggalkan anak-istri

dan kampung halamannya, “memulai penghidupan dan kehidupan baru—

memulai sejarah pelariannya”.285 Dan bukan hanya si pemetik kecapi

seorang, tetapi juga banyak orang lain, sebab Jakarta juga tempat bagi

pelarian-pelarian lain.286

Jakarta adalah kota bagi para pelarian. Kesamaan di antara mereka

sebagai pelarian adalah lari dan menjauh dari kampung. Kampung disini

lebih dari sekadar pengertian yang merujuk pada lokasi atau tempat tertentu.

Tetapi juga merujuk pada suatu lebenswelt,287 sebuah habitat kultural dan

lingkungan akrab di mana mereka merasa “di rumah sendiri” (home sweet

home).

Maka, lari dari kampung tidak hanya menyangkut sebatas mobilitas

fisik atau pindah tempat tinggal tetapi juga pergeseran kultural. Sebutan

“pelarian” jadi tepat sasaran karena merujuk pada mereka yang telah

memilih keluar dari jalur dan jalan hidup, serta aspirasi-aspirasi kulturalnya,

yang dihayati oleh orang-orang sekampungnya. Dengan lari dari kampung si

pemetik kecapi resmi telah tercabut dari dunia lamanya, dan

konsekuensinya, harus memulai sejarah penghidupan dan kehidupan baru.

285

Toer, Pramoedya Ananta. Op. cit., hal: 145 286 Ibid. 287 Edgar, Andrew and Sedgwick, Peter (Eds). 1999. Cultural Theory: The Key Concepts. London and New York: Routlege. Frase lebenswelt pertama kali digagas dalam tradisi filsafat fenomenologi yang dirintis oleh Edmund Husserl. Pengertian lebenswelt yang digunakan di sini merujuk pada rumusan Alfred Schultz, yakni sebagai “stocks of knowledge, or skills and expectations that allow us to give meaning to (indeed to construct) the social world within which we live.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 139: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

128

Di Jakarta dia datang dengan kondisi baru yang lain dari di kampung:

“tanpa tanah dan tanpa pancing”. Di kampung, sesempit-sempitnya, tanah

adalah sumber penghidupan dan kehidupannya. Sebagai petani dia terikat

dan bergantung kepada tanah sebagai alat produksi—walau pun tanahnya

yang tak seberapa tak bisa mencegahnya dari kemelaratan dan lari dari

kampung.

Di Jakarta dia datang sebagai manusia tanpa tanah. Untuk pertama

kalinya dia harus mencari penghidupannya tidak dari tanah. Tanpa tanah

kehidupannya akan jauh berbeda. Dengan kata lain, dia harus menjalani

hidup yang baru, yakni mencari jenis pekerjaan baru (yang mungkin sukar

dibayangkan di kampung), cara berkomunitas yang baru, juga cara

menghabiskan waktu senggang yang baru.

Hidup di Jakarta menuntut persyaratan-persyaratan baru. Syarat-

syarat hidup di Jakarta berbeda dengan di kampung halamannya. Di

kampung halamannya, sebagai petani dia tahu betul bahwa luas-sempitnya

tanah akan berdampak pada kemakmuran. Strata sosial terbentuk dari luas-

sempitnya kepemilikan tanah. Kian luas kepemilikan tanahnya, kian tinggi

pula tempatnya dalam stratifikasi sosial. Kemiskinannya merupakan

konsekuensi langsung dari kepemilikan tanahnya yang sempit.

Di Jakarta lain lagi ceritanya. Tanah memiliki arti yang sama sekali

berbeda. Tanah yang menjadi dinding rumahnya bahkan menjadi penanda

dari kemelaratan hidupnya. Tanah berarti kotor, tidak higienis. Sebuah

pengetahuan yang berbeda sekali dari yang didapatnya di kampung. Di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 140: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

129

kampung, tanah dinilai dari gembur dan suburnya, dari apa-apa yang bisa

ditanamnya di sana.

Tidak lama setelah tiba di Jakarta, dia langsung mendapat pekerjaan

sebagai setter di sebuah penerbitan. Fakta bahwa profesi pekerjaan barunya

dirujuk dengan menggunakan sebuah istilah asing, kosakata dari bahasa

Inggris, memperlihatkan bahwa pekerjaan barunya berada di luar horison

kampungnya, di luar kosakata dan “stok pengetahuan” yang dia kenal di

kampungnya. Dengan kata lain, di luar dunianya selama ini.

Pekerjaannya sebagai setter mendesakkan sebuah pengertian baru. Di

Jakarta dia harus menerima kenyataan bahwa kemampuan baca tulis

menjadi sebuah kualifikasi penting dalam pekerjaannya dan menentukan

nasibnya. Kualifikasi itu tidak dimilikinya, dan, “karena itulah biang keladi

kekerdilan gajinya”.

Dengan kata lain, Jakarta tidak terlalu ramah untuk para pelarian

sepertinya. Sebagai ibu kota Jakarta punya logika dan hukum hidupnya

sendiri; setidaknya, Jakarta “tebang pilih” layaknya tangan seorang ibu yang

memilih-milih siapa saja yang boleh jadi anak kesayangannya. Si pemetik

kecapi jelas bukan salah seorang anak kesayangannya.

Dia tidak “paham baca tulis”, sebuah kompetensi dasar yang harus

dimiliki untuk mencari dan memperbaiki penghidupan barunya di kota.

Kemampuan baca tulis menjadi bagian dari cara dan mekanisme Jakarta

dalam menyaring dan menempatkan orang dalam tangga hierarki sosial.

Kedudukan seseorang dalam hierarki sosial ditentukan oleh tingkat

literasinya, baik dalam arti sempit (sebagai kemampuan baca tulis) maupun

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 141: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

130

dalam arti luas (pengetahuan dan kompetensi dalam bidang pekerjaan

tertentu).

E. Gambir

Satu kontras yang segera terlihat ketika membaca cerpen Gambir

yakni ragam bahasa yang digunakan. Dibandingkan dengan cerpen-cerpen

lain dalam kumpulan Cerita dari Jakarta, cerpen ini lain sendiri. Cerpen ini

menggunakan bahasa Betawi pasaran yang lazim dijumpai di jalanan. Kata-

kata makian banyak bertebaran, mulai dari yang familiar semisal “babi”

hingga yang langka seperti “pejajaran”. Maraknya penggunaan kata makian

ini bisa menandakan lingkungan pergaulan mereka yang jauh dari kata sopan

santun, dan bisa juga mewakili kerasnya kehidupan yang mereka jalani.

Sama halnya dengan si pemetik kecapi, Hasan dalam cerpen ini juga

berstatus sebagai pelarian. Status pelariannya ini berbeda-beda sesuai

dengan perubahan fase hidupnya. Awalnya, ia melarikan diri kawanan

garong di kampungnya. Di kampungnya yang bernama Pal Merah, Hasan

dikejar-kejar oleh para garong yang telah merampas habis barang-

barangnya, sekaligus membawa kabur isterinya.

Sesampainya di kota, Hasan tidak serta merta dapat lepas dari

bayangan masa lalu tersebut. Kenangan masa lalu tersebut selalu hadir dalam

masa kininya. Hasan baru dapat melarikan diri secara fisik, tetapi tidak

dalam ingatan. Pikirannya masih terpancang pada salah satu momen di masa

lampau. Bekas sayatan pedang yang menggores dan membekas di pipinya

dapat dilihat sebagai simbol keterkungkungannya dalam wilayah masa lalu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 142: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

131

Hari-hari boleh berganti, tetapi perjalanan hidup Hasan tidak melaju

ke depan. Hidupnya bagai undur-undur yang kalau berjalan selalu mundur.

Oleh sebab itu, tindakan balas dendam dianggap sebagai tindakan yang

paling rasional bagi Hasan. Utamanya tidak untuk sekadar melampiaskan

sakit hati, tetapi untuk memperbarui ingatannya. Dengan balas dendam itu,

ia berharap dapat menulis ulang sejarahnya di masa lalu.

Maka, hari kini Hasan disibukkan dengan mengumpulkan sejumput

demi sejumput modal untuk acara membalas dendam. Hari demi hari, Hasan

dengan telaten menabung uang untuk dipakai membeli senjata. Bagi Hasan,

senjata adalah ganti dari rasa aman yang biasa diberikan dinding-dinding

kokoh sebuah rumah.

Akhirnya bisa ditebak, Hasan berhasil membunuh para garong yang

terus-menerus merongrong hidupnya. Namun, Hasan masih berstatus

sebagai pelarian. Kali ini sebagai pelarian polisi alias buron. Status pelarian

ini memang tidak baru bagi Hasan. Tetapi bedanya, ia tidak dapat lagi

menampakkan diri di ruang-ruang publik di ibukota. Sebab, sekarang ia

menjadi ‘pelarian resmi’: resmi dicari polisi.

Dengan status barunya ini, Hasan menyandang gelar sebagai

“penjahat”. Kategori ini terutamanya tidak merujuk pada keburukan laku dan

perbuatannya, tetapi karena apa yang diperbuatnya dianggap menyalahi

hukum. Membunuh orang secara normatif dapat dianggap sebagai perbuatan

tidak beradab. Akan tetapi, bila yang membunuh itu adalah polisi, atau

berseragam tentara, ia akan dielu-elukan sebagai pahlawan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 143: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

132

Pengkriminalan terhadap Hasan bukan soal peristiwa terbunuhnya

Sidik. Tetapi karena ia mengambil tindakan yang di luar batas

kewenangannya. Untuk menjadi penduduk saja dibutuhkan legalisasi resmi

yang membuktikan kesahannya. Begitupun untuk membunuh, seseorang pun

membutuhkan legalitas resmi untuk dapat bertindak demikian. Dengan

demikian, persoalan utamanya bukan apakah Hasan salah atau benar.

Menjadi kriminalnya Hasan merupakan konsekuensi logis dari pelanggaran

hukum yang dilakukanya.

Dengan demikian, penjahat tidak ada sangkut pautnya dengan genetik,

bakat bawaan, atau juga sifat dan kepribadian. Penjahat adalah sebuah

kategori yang dibentuk berdasarkan sistem pengetahuan yang dibentuk

melalui hukum negara. Jelasnya, peristiwa terbunuhnya seseorang dapat

dimaknai macam-macam. Di masa revolusi misalnya, membunuh adalah

sebuah tindakan perlawanan, bermakna patriotik. Alih-alih disebut penjahat,

orang yang melakukannya dielu-elukan sebagai pahlawan.

Teks cerpen ini secara menggelitik mencoba memisahkan antara

definisi kejahatan yang dibuat negara dengan apa yang dipahami oleh orang

awam. Ini terangkum dalam komentar si tukang pancong. “Dia [Hasan] jadi

buron sekarang. Beli pestol! Mbunuh Sidik! Padahal dia kagak jahat.”288

Dalam pandangan si tukang pancong Hasan adalah orang baik. Hasan

“[...] begitu alim, begitu jujur, rajin dan bisa nyimpan duit. Dia kagak banyak

tingkah dan semua orang ditolongnya. Hutangnya selalu dibayar dan tidak

288 Ibid., hal: 205

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 144: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

133

pernah dia nipu gua.”289 Untuk menekankan sisi kesalehan Hasan ini, teks

cerpen secara eksplisit menyebutkan Hasan rutin beribadah. Hasan rajin

sembahyang, dan kadangkala disertai membaca kitab suci.

Salah satu hal yang dibawakan revolusi ke dalam hidup Hasan dan

kawan-kawan adalah hadirnya negara sebagai tolok ukur dalam

mengkategorisasikan penduduknya. Seseorang didefinisikan berdasarkan

sistem pengetahuan yang diterapkan oleh negara. Oleh sebab itu, timbullah

kategori-kategori semacam “penduduk sah dan penduduk tidak sah”. Begitu

pula halnya dengan kategori seperti “kuli gelap” dengan kuli resmi yang

memakai plat.

F. Merekonstruksi Jakarta dan Indonesia Periode 1950-an

Berikut kita akan melihat bagaimana cerpen-cerpen yang telah

dianalisis satu per satu di bagian sebelumnya, menolong kita melihat Jakarta

dan Indonesia periode 1950-an secara berbeda dari narasi yang ditawarkan

pemerintah di kala itu. Setidaknya kita melihat ada dua simbol material yang

didefinisikan ulang, atau dimaknai secara berbeda dalam Cerita dari Jakarta

ini, yaitunya: Lapangan Gambir/Merdeka dan Istana Merdeka.

Usaha Pramoedya dalam merekonstruksi simbol-simbol material ini

dapat dilihat sebagai usaha Pramoedya dalam mengkritik pemerintah

(memakai bahasa Pramoedya, “kaum penggendut perut”) sebab kehadiran

Lapangan dan Istana Merdeka dalam cerpen ini dapat dilihat sebagai

perwujudan atau alegori dari wewenang dan kekuasaan negara.

289 Ibid.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 145: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

134

Di masa pendudukan Jepang, Lapangan Gambir/Lapangan Merdeka

dinamakan Lapangan Ikada. Lapangan ini pernah menjadi ‘saksi bisu’ dari

sebuah peristiwa bersejarah yang dihadiri sendiri oleh Pramoedya.

Sebagaimana ditulis oleh Pramoedya, tanggal 19 September 1945,

sekembalinya ke Jakarta Pramoedya menyaksikan rapat raksasa di lapangan

tersebut. Rapat tersebut dihadiri juga oleh tokoh proklamator Soekarno-

Hatta. Pramoedya di kala itu takjub sekali menyaksikan bagaimana

keberanian massa yang tidak ada takutnya terhadap serdadu Jepang yang

terkenal bengis dan garang.290

Pengambilan Lapangan Merdeka ini dapat dilihat sebagai usaha

Pramoedya untuk merekonstruksi ingatan, sekaligus memberikan

simbolisasi tandingan bagi ruang tersebut. Karena di ruang yang sama

dengan aksi patriotik orang-orang mengklaim kemerdekaan, orang-orang

Indonesia seperti Aminah, Idulfitri, dan Hasan malah kehilangan kebebasan

pribadinya.

Sasaran kritik Pramoedya selanjutnya adalah Istana Merdeka. Taufik

Abdullah dalam tulisannya mengenang bahwa kepindahan Soekarno ke

bekas istana gubernur jenderal itu mungkin merupakan peristiwa terbesar

dalam hidupnya sebagai tokoh nasional.291 Akan halnya, penamaan ulang

dari Lapangan Merdeka, penamaan ulang istana ini juga dapat dilihat sebagai

sebagai bentuk pernyataan bahwa Indonesia telah benar-benar merdeka.

290 Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000b. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra, hal: 175 – 177 291 Taufik Abdullah dalam Nordholdt, Henk Schulte. Op.cit., hal: 387

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 146: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

135

Lewat kisah yang dituturkan Pramoedya, terlihat bahwa istana

tersebut ibaratnya wadah tanpa isi karena kata “merdeka” baru sekadar

polesan yang belum berbukti kebenarannya. Merdeka, kemudian, bukanlah

sebuah tujuan, tidak pula sebuah hasil. Merdeka adalah sebuah titik

berangkat, sebuah janji alias hutang yang menuntut untuk ditepati. Lewat

cerpennya Pramoedya mengajak kita bertanya: apakah kita telah Merdeka,

dan bila dibaca dari tahun 2014 ini, tepatnya mempertanyakan: apakah kita

pernah merdeka?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 147: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

136

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pada umumnya, isu-isu yang dibicarakan dalam Cerita dari Jakarta

adalah juga isu terbesar yang dihadapi oleh pemerintah kota Jakarta dalam

masa 1950-an. Masalah-masalah seperti urbanisasi besar-besaran,

kekurangan rumah, penduduk gelap, pekerja seks sudah seperti masalah

harian di ibukota, bahkan hingga memasuki abad 22 ini.

Namun, yang berbeda adalah Cerita dari Jakarta memiliki

keberpihakan yang jelas terhadap mereka-mereka yang dianggap sebagai

pembawa masalah itu. Apabila pemerintah kota berupaya untuk menutup-

nutupi keberadaan mereka lewat operasi penjaringan, dalam Cerita dari

Jakarta, kisah-kisah mereka malah diekspos secara terang-terangan.

Bagi Pramoedya, wajah Jakarta tergambar melalui wajah Idulfitri,

Aminah, Hasan, si pemain kecapi, dan para babu. Wajah-wajah yang dielak-

elakkan oleh kota versi Soekarno. Wajah-wajah yang digelandang keluar dari

diskursus resmi pemerintah.

Dalam sistem pengetahuan pemerintah, mereka termasuk dalam

golongan orang-orang tidak resmi. Bahkan, dalam beberapa cerpen di sini,

ada yang memiliki dua status yang sama-sama tidak resminya, katakanlah

tidak resmi pangkat dua. Aminah misalnya. Sudahlah tidak terdaftar sebagai

penghuni ibukota, pekerjaan yang dilakoninya termasuk di luar daftar pula.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 148: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

137

Berbeda dengan golongan-golongan resmi yang hidup di bawah sinar terang

lampu ibukota, golongan orang-orang tidak resmi ini malah tersembunyikan

di pojok-pojok tergelap ibukota.

Jelasnya, lewat Cerita dari Jakarta Pramoedya mengkritisi bahwa

masalah di ibukota tidak terletak pada orang-orang seperti Aminah, Idulfitri,

Hasan, dkk, karena mereka semata-mata ‘korban’ dari keadaan, atau bisa juga

‘korban’ dari kebijakan keliru pemerintah.

Pada akhirnya, buku Cerita dari Jakarta ini mengajak kita untuk

berpikir ulang, apakah pada peringatan Proklamasi 17 Agustus tahun depan

kita masih butuh mengadakan pawai besar-besaran, larut dalam riuh-rendah

orang-orang memanjat pinang, atau kita bisa memilih untuk merenung,

berdiskusi, dan nyinyir mempertanyakan: sejauh mana cita-cita Revolusi

Indonesia itu telah di-‘kerja’-kan?

B. Saran

Satu keterbatasan dalam penelitian ini yaitu dalam hal menjembatani

sistem nilai dan pengetahuan yang ada di tahun 1950-an dengan apa yang

ada sekarang. Ada begitu banyak perubahan Jakarta di masa cerpen ini ditulis

dengan saat penelitian ini dirancang. Perubahan ini tidak hanya menyangkut

hal-hal yang bersifat administratif, seperti perubahan batas kota.

Contoh yang sederhana saja, sedikit susah membayangkan seberapa

benar berharganya uang senilai 2000 rupiah di tahun 1950-an. Bukan soal

konversi mata uangnya saja yang harus dipahami, tetapi juga soal nilainya

secara sosial di masyarakat. Ini lah yang sulit terjembatani. Oleh sebab itu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 149: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

138

penulis mengharapkan agar penelitian mendatang lebih waspada dan hati-

hati ketika berhadapan dengan teks-teks yang lampau, seperti halnya cerpen-

cerpen yang dikaji dalam penelitian ini.

Selanjutnya, penelitian ini bisa dikembangkan dengan mengkaitkan

muatan cerpen dengan sudut pandang politis Pramoedya. Karya-karya

Pramoedya umumnya diidentikkan dengan aktivitasnya di Lekra. Hingga

terkadang timbul kesan Pramoedya mendadak berhaluan kiri setelah

berkenalan dengan Lekra.

Padahal, seperti yang ditunjukkan dalam cerpen-cerpen ini, terlihat

bahwa keprihatinan Pramoedya terhadap kaum-kaum yang terpinggirkan

tidak tiba-tiba saja datangnya. Pramoedya tidak sekonyong-konyong saja

kirinya. Keprihatinan dan keberpihakannya terhadap orang-orang kecil

sudah disuarakannya bahkan dalam karya-karyanya sebelum 1965.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 150: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

139

DAFTAR PUSTAKA Amal, Nukila. 2004. Cala Ibi. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Anderson, Benedict R O’G. Introduction dalam Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Tales from Djakarta: Caricature of Circumstances and Their Human Beings. PT. Equinox Publishing Indonesia: Jakarta Ashcroft, Bill. Et.al. [1998] 2001. Key Concepts in Post-Colonial Studies. Routledge: London & New York Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. 2011. “Jakarta through poverty” dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam (hal: 217 – 240) Blackburn, Susan. 2012. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Pen. Gatot Triwira. Masup Jakarta: Jakarta Evers, Hans Dieter. 2011. “Urban symbolism and the New Urbanism of Indonesia” dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibukota Jakarta di Bawah Soekarno. Penerbit Ombak: Yogyakarta Farid, Hilmar. 2008. “Pramoedya dan historiografi Indonesia” dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Eds. Nordholdt, Henk Schulte. et. al. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta (hal: 79 – 110) Kato, Tsuyoshi. 2003. "Images of colonial cities in early Indonesian novels" dalam buku Southeast Asia Over Three Generations : Essays Presented To Benedict R. O'G. Anderson. Siegel, James T. & Kahin, Audrey R. Eds. Studies on Southeast Asia 36. Ithaca: Cornell University Kurniawan, Eka. 2006. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Kusumawijaya, Marco. 2001. Metropolis Jakarta: menurut Pramoedya Ananta Toer dalam 'Tales from Djakarta'. Edisi 9. Kunci: Yogyakarta Lubis, Mochtar. 1996. Senja di Jakarta. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 151: PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS … · Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda) awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang

140

Nas, Peter J.M., et.al. 2011. Introduction: variety of symbols dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam Nordholdt, Henk Schulte. 2011. Indonesia in the 1950s: Nation, modernity and post-colonial state. Bijdragen tot de Taal – Land-en Volkendunde. Vol. 167 No. 4 Preston, Peter & Paul Simpson-Housley. Eds. 1994. Writing the City: Eden, Babylon and the New Jerusalem. Routledge: London & New York Scherer, Savitri. [1981] 2012. Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam ideologi. Komunitas Bambu: Depok, hal: 11 Shackford-Bradley, Julia. 2006. Cerpen: How Indonesian short stories re-present urban space and public discourse. Crossroads: An interdisciplinary journal of Southeast Asian studies. Vol. 17, No. 2 (hal: 93 – 127) Simatupang, Iwan. 2004. Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air: Esai-Esai Iwan Simatupang. Cetakan I. Penerbit Buku Kompas: Jakarta Teeuw, A. 1959. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru. Cetakan ke-5. PT. Pembangunan: Jakarta Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Dunia Pustaka Jaya: Jakarta Teeuw, A. 1995. Revolusi Indonesia dalam imajinasi Pramoedya Ananta Toer. Jurnal Kalam Edisi 6 (hal: 4 – 47) Teeuw, A. 1997. Citra Manusia Dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Cetakan I. Pustaka Jaya: Jakarta Toer, Pramoedya Ananta. [1957] 2002. Cerita dari Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya. Hasta Mitra: Jakarta Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000a. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000b. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press: Cambridge

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI