program magister ilmu religi dan budaya universitas … · seperti siti nurbaya, novel-novel yang...
TRANSCRIPT
JAKARTA PERIODE 1950-AN DI MATA
PRAMOEDYA ANANTA TOER: Sebuah Analisis Tekstual Atas Cerita dari Jakarta
Thesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Oleh:
Iwan Hendarmawan
096322009
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
THESIS
JAKARTA PERIODE 1950-AN DI MATA PRAMOEDYA ANANTA TOER:
Sebuah Analisis Tekstual Atas Cerita dari Jakarta
Dr. Budi Susanto, S.J.
Pembimbing
"-?tTanggal: 6 FebruariZ0l'5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
f
JAKARTA PERIODE 1950-AN DI MATA PRAMOEDYA ANANTA TOER:
Sebuah Analisis Tekstual Atas Cerita dari lakarta
0leh.Iwan Hendarmawan
096322009
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguj i Thesisdan dinyatakan telah memenuhi syarat
Tim Penguj i
Ketua
Sekretaris
Anggota
Dr. F.X. Baskara T. Wardaya,
Dr. Gregorius Budi Subanar,
1. Dr. Alb. Budi Susanto, S.f.
st
2. Prof. Dr. Augustinus Supratiknya
3. Dr. F.X. Baskara T. Wardaya S.f .
Yogyakarta, 6 Februari 2015
Direktur Program Pascasarjana
versi tas Sanata Dharma
nus Supratiknya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa thesis berjudul: "Jakarta Periode 1950-
an Di Mata Pramoedya Ananta Toer: Sebuah Analisis Tekstual Atas Cerita dari
Jakarta"merupakan hasil karya dan penelitian saya pribadi. Di dalam thesis
ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi. Peminjaman karya sarjana lain
adalah semata-mata untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara
tertulis di dalam catatan kaki dan daftar oustaka.
ogyakarta, Februari 2015o
\rnz''-'A(U
Iwan Hendarmawan
l
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata
Dharma,
Nama : Iwan Hendarmawan
NIM :096322009
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada
perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul:
"Jakarta Periode L950-an Di Mata Pramoedya Ananta Toer: Sebuah Analisis
Tekstual Atas Cerita dari Jakarta"
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya
memberikan pada Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk
perangkat data, mendistribusikannya secara terbatas dan
mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan
akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti
kepada saya selama tetap mencantumkan saya sebagai penulis.
Demikian pernyataaan ini saya buat dengan sebenarnya
Yogyakarta, Februari 2015l' '^--.'--|,'/-fl
AUI IU
Iwan Hendarmawan
I
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
ABSTRAK
Jakarta adalah kota simbol. Sejak awal peresmiannya sebagai ibukota,
secara bertahap Jakarta dibangun dan didandani untuk menampilkan
perwajahan yang pas bagi sebuah negara yang baru saja merdeka: Indonesia.
Simbol-simbol kolonial dihancurkan. Ruang-ruang publik di kota dinamai
ulang dengan nama-nama yang ‘Indonesia’, nama-nama yang heroik.
Lapangan Ikada diganti menjadi Lapangan Merdeka. Begitupun istana yang
berdiri di dekatnya.
Sementara Soekarno dan pemerintah kota mendesain ulang Jakarta
dengan teliti, bangunan-bangunan lain secara perlahan menjamur di ibukota.
Bangunan-bangunan ini tidak direncanakan datangnya. Pemerintah
menyebutnya ‘bangunan liar’, dan penduduknya dinamai ‘penduduk liar’.
Simbol-simbol non resmi Jakarta tersebut kemudian diangkat oleh
Pramoedya dalam Cerita dari Jakarta. Dari karyanya ini diharapkan kita
dapat melihat sebuah cara pandang lain dalam melihat Jakarta, dan lanjut
Indonesia.
Dari 12 cerpen yang dimuat dalam buku tersebut, dipilihlah 5 di
antaranya: 1) Ikan-Ikan yang Terdampar; 2) Berita dari Kebayoran; 3)
Makhluk di Belakang Rumah; 4) Kecapi; 5) Gambir. Cerpen-cerpen tersebut
dipilih dengan berdasar pada keberagaman tema dan ruang yang dihadirkan
dalam simbolisasi kota Jakarta. Di antara kelima cerpen tersebut, tiga cerpen
(Ikan-Ikan yang Terdampar, Berita dari Kebayoran, dan Gambir) merujuk
pada daerah yang spesifik: daerah Lapangan Merdeka (sekarang Lapangan
Monas) dan sekitarnya. Sedangkan dua sisanya mengambil latar di kawasan
rumah petak liar di ibukota.
Dari analisis yang dilakukan, tersingkaplah wajah Jakarta yang lebih
‘membumi’. Dari hasil analisis yang dilakukan tersingkaplah sebuah wajah
kota yang lebih membumi. Membumi bukan hanya karena ia banyak ditemui,
tapi karena kedekatannya dengan mereka yang berdiam di ibukota. Akan
tetapi, simbol-simbol ini cenderung dielak-elakkan dari pandangan.
Dielakkan terutama karena tampilannya tidak sesuai dengan proyek
imajinasi yang ingin diperlihatkan dari ibukota dan bangsa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
ABSTRACT
Jakarta is a city full of symbols. After Indonesian Independence, as the
new capital, Jakarta was gradually re-designed to become a proper
representation of the new nation: Indonesia. The symbols of colonialism were
demolished. The city space was renamed with names that connote Indonesian-
ness, something heroic. For instance, Ikada Square was renamed as Merdeka
Square (Freedom Square), as well as the palace nearby.
While Soekarno and the city government made a grandiose plan to re-
design Jakarta, ‘other monument’ has been established sporadically. Differ to
the National Monument, this monument is completely out of planned. The
government named it “illegal housing”, and the one who resides in it is called
“illegal dweller”.
This so-called unofficial symbol of Jakarta is brought to light through
Pramoedya Ananta Toer’s short stories. From his work, hopefully, we will get an
alternate view of city space, and nation.
From 12 short stories which is collected in a book titled Cerita dari
Jakarta, we will only analyze 5 short stories, namely: 1) Stranded Fish; 2) News
from Kebayoran; 3) Creatures Behind Houses; 4) Kecapi; and 5) Gambir. Those
short stories were selected because of its degree of variability to represent the
symbolic space of Jakarta. Among those five collection, three short stories
(Stranded Fish, News from Kebayoran and Gambir) refer to a specific location,
which is around the Merdeka Square (National Monument). Meanwhile, the
other two left, talked specifically about illegal housing in the city.
The result of this research revealed a more mundane view of Jakarta.
Mundane in the sense that its proximity to the inhabitant who reside in Jakarta.
The symbols being used was completely different from the officials discourse. In
fact, it was used to be denied from an official city look. It is kept behind the sight
mainly because its inappropriateness to build an ideal imagination of a city and
a nation look.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN............................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI............................... iv
ABSTRAK........................................................................................................ v
ABSTRACT..................................................................................................... vi
DAFTAR ISI.................................................................................................... vii
DAFTAR ILUSTRASI.................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
A. Latar Belakang............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian........................................................................ 10
D. Manfaat Penelitian..................................................................... 11
E. Tinjauan Pustaka........................................................................ 13
F. Kerangka Penelitian.................................................................. 16
G. Metodologi Penelitian.............................................................. 22
H. Skema Penulisan........................................................................ 23
BAB II JAKARTA DAN KARYA SASTRA PERIODE 1950-AN............ 25
A. Historiografi Indonesia Periode 1950-an........................ 26
B. Membangun Indonesia, Membangun Jakarta................ 28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
C. Jakarta dalam ‘Realita............................................................... 43
D. Jakarta dalam Karya Sastra 1950-an.................................. 50
BAB III PRAMOEDYA DAN CERITA DARI JAKARTA........................... 57
A. Pramoedya: Masa-Masa di Blora.......................................... 58
B. Pramoedya, Jakarta, dan Revolusi Indonesia............... 61
C. Pramoedya dan Realisme Sosial........................................... 74
D. Sekilas tentang Cerita dari Jakarta...................................... 82
BAB IV MEMBAYANGKAN JAKARTA PERIODE 1950-AN DI
MATA PRAMOEDYA.................................................................
103
A. Ikan-Ikan yang Terdampar..................................................... 104
B. Berita dari Kebayoran.............................................................. 115
C. Makhluk di Belakang Rumah................................................ 121
D. Kecapi.............................................................................................. 127
E. Gambir................................................................................................ 129
F. Merekonstruksi Jakarta dan Indonesia Periode
1950-an...........................................................................................
133
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..................................................... 136
A. Kesimpulan.................................................................................... 136
B. Saran................................................................................................ 137
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 139
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
DAFTAR ILUSTRASI
2.1. Istana Merdeka tahun 1950-an........................................................... 30
2.2. Peta Jakarta Tahun 1965........................................................................ 34
2.3. Peta Lapangan Merdeka awal tahun 1950-an sebelum
pembangunan Monumen Nasional, dan sesudahnya................
42
3.1. Pramoedya Ananta Toer ketika di Belanda.................................... 73
3.2. Setting tempat Ikan Yang Terdampar............................................... 85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
“Orang tjeritai aku tentang Djakarta gedung2, monumen dan tugu bertachta megah di hatiku: alangkah kaja tanah air Indonesia”1
(Mansur Samin – Sketsa Djakarta)
A. Latar Belakang
Bila Jogjakarta dikenal sebagai kota candi-candi, Jakarta populer
sebagai kota dengan gedung-gedung dan monumen-monumen yang tinggi.
Itulah yang menjadi pusat atraksi bagi mereka yang pertama kali melancong
ke Jakarta. Teuku Adi Fitrian, misalnya. Ketika pertama kali menginjakkan
kaki di Jakarta tahun 1997, penyanyi yang lebih dikenal dengan nama Tompi
itu, bertepuk tangan setiap kali melewati gedung-gedung tinggi.2
Keberadaan monumen dan gedung-gedung di Jakarta sudah
selayaknya candi-candi dan rumah-rumah adat di daerah. Statusnya sudah
seperti obyek wisata sekaligus simbol kota. Bila seseorang berkunjung ke
Sumatera Barat, besar kemungkinan ia akan berfoto dengan latar belakang
rumah gadang. Sementara bila seseorang singgah ke Jakarta, ia akan banyak
berfoto dengan latar belakang Monumen Nasional.
Dulu, Pramoedya pernah menulis, bagi orang daerah, mereka belum
merasa 100% Indonesia kalau belum sempat menyambangi Jakarta.
1 Dikutip sesuai ejaan aslinya dari: Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. 2011. “Jakarta through poverty” dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam, hal: 239 2 Dalam wawancara oleh Najwa Sihab dalam program talskhow Mata Najwa episode “Dari Aceh: Pesan Untuk Negeri”, 24 Desember 2014 tayang di MetroTV (Dapat diakses di: http://matanajwa.com/read/videodetails/2014/12/24/336457/4, 7 Januari 2015)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Begitupun, rasa-rasanya bisa pula dikatakan, orang belum 100% telah
mengunjungi Jakarta bila belum mendatangi Monumen Nasional, atau juga
pusat-pusat perbelanjaannya yang mewah.
Ketakjuban orang luar Jakarta terhadap kemegahan bangunan-
bangunan di Jakarta diceritakan berulang-ulang dari generasi ke generasi,
sehingga seakan-akan menjadi tradisi. Jauh sebelum Jakarta didaulat menjadi
ibukota Republik Indonesia, Siti Nurbaya, karakter yang hidup dalam novel
Marah Rusli tahun 1922, sudah mengungkapkan kekagumannya terhadap
Jakarta, yang kala itu masih bernama Batavia. Setelah diajak berpelesiran
keliling Jakarta, Siti Nurbaya berkomentar: "The city of Betawi is truly big and
truly lively, full of very large and beautiful houses as well as shops. It rightly
deserves to be the capital city [iboe negeri] of East Indies."3
Begitulah, Jakarta mempunyai sejarah yang panjang tidak hanya
sebagai pusat pemerintahan, namun juga pusat modernitas dan kemajuan.
Seperti Siti Nurbaya, novel-novel yang terbit di Indonesia (Hindia Belanda)
awal abad 20 banyak mengangkat tema tentang modernitas dan kemajuan
Jakarta. Hal ini disorot secara khusus dalam kajian Tsuyoshi Kato, bahwa
novel-novel tahun 1900-an cenderung menampilkan Jakarta dalam kerangka
yang ‘positif’. Jakarta diidentikkan dengan modernitas yang penuh dengan
kesenangan dan kebebasan. Berbeda dengan kampung yang kolot dan
mengekang.4
3 Marah Rusli dalam Kato, Tsuyoshi. 2003. "Images of colonial cities in early Indonesian novels" dalam buku Southeast Asia Over Three Generations : Essays Presented To Benedict R. O'G. Anderson. Siegel, James T. & Kahin, Audrey R. Eds. Studies on Southeast Asia 36. Ithaca: Cornell University, hal: 93 4 Lihat: Kato, Tsuyoshi. Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Dengan pencitraan yang ‘wah’ seperti itu, tidak mengherankan apabila
Jakarta menjadi primadona, setidaknya bagi perantau. Arus urbanisasi ke
Jakarta sangat tinggi. Saking tingginya, sampai-sampai penduduk Jakarta
didominasi oleh ‘penduduk dari luar’ ketimbang ‘penduduk asli’. Dari
beberapa wilayah di Jakarta yang disurvei tahun 1953, diketahui bahwa 75%
penduduk di sana bukanlah kelahiran Jakarta. Artinya, sebagian besar dari
mereka adalah pendatang.5
Studi Lance Castles yang menghitung komposisi penduduk Jakarta
tahun 1961 menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda. Ia
memperkirakan ‘penduduk asli’ Jakarta di masa itu tinggal sekitar 22,9% dari
total populasi. Kalah banyak dari etnis Sunda yang menempati urutan
pertama dengan persentase 32,8%, dan etnis Jawa dan Madura di urutan
berikutnya dengan persentase 25,4%.6
Tingginya tingkat migrasi tersebut tentu berdampak signifikan
terhadap membludaknya jumlah penduduk di Jakarta. Di tahun 1931
populasi di Jakarta mencapai 533.000 jiwa, selisih sekitar 200 ribu dari
Surabaya yang dihuni 341.700 jiwa. Di tahun 1971, atau 40 tahun kemudian,
populasi di Jakarta melonjak drastis hingga hampir 9 kali lipat menjadi
4.576.000 jiwa, sedangkan Surabaya ‘hanya’ bertambah kurang dari 5 kali
lipat menjadi 1.556.300 jiwa.7
5 Lihat: Blackburn, Susan. 2012. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Pen. Gatot Triwira. Masup Jakarta: Jakarta, hal: 233 6 Castles, Lance. 1967. The ethnic profile of Jakarta. Indonesia, Vol. 1, hal: 185 7 Silver, Christopher. 2008. Planning The Megacity: Jakarta In The Twentieth Century. Routledge
Oxfordshire, hal: 91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Sejak awalnya, Jakarta telah dicita-citakan menjadi kota yang modern
dan megah. Tidak hanya megah untuk ukuran kota-kota di Indonesia, tetapi
juga dibandingkan dengan kota-kota lain di dunia. Kurang dari setahun
setelah kedaulatan RIS diakui Belanda, Soekarno telah merencanakan
membuat tugu peringatan setinggi 70 meter di tengah-tengah Lapangan
Gambir (diganti namanya menjadi Lapangan Merdeka). Tugu ini dibayangkan
serupa dengan Menara Eiffel di Paris.8 Pembangunan tugu yang kemudian
dikenal dengan sebutan Monumen Nasional tersebut memakan waktu 14
tahun, mulai 1961 sampai 1975, selesai saat Soekarno tidak lagi berkuasa.9
Pemerintah kota di kala itu juga memiliki visi yang sejalan dengan visi
Soekarno. Seperti yang diutarakan oleh Walikota Jakarta periode 1951 –
1953, Sjamsuridjal, yang dalam pidato sambutan pelantikannya sebagai
walikota sudah berencana membangun Jakarta menjadi kota yang indah dan
ternama.10 Dan, salah satu langkah yang ditempuh untuk memperindah kota
itu yakni:
“... membersihkan kota dari para gelandangan... Tidak seperti sekarang, dulu mereka tidur di beranda toko, di bawah jembatan, di gubuk kecil sepanjang jalur kereta, sehingga orang asing dapat melihat mereka dan hal ini menurunkan status bangsa ...”11 Sejak dimulainya periode Demokrasi Terpimpin, peran pemerintah
kota hanyalah sebagai perpanjangan tangan Soekarno. Soediro, Walikota
Jakarta yang menjabat periode 1953 – 1960 dapat dikatakan sekadar sebagai
8 Lihat: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/10/jakarta-pada-periode-demokrasi-parlementer#.VKjp6ldedGo, diakses tanggal: 4 Januari 2015 9 Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibukota Jakarta di Bawah Soekarno. Penerbit Ombak: Yogyakarta, hal: 133 10 Lihat: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/03/jakarta-sebagai-ibukota-ri#.VKi731dedGo, diakses tanggal 4 Januari 2015 11 Dalam Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 267 – 268
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
pengamin kebijakan-kebijakan Soekarno, terutama ketika statusnya
dinaikkan menjadi Gubernur di tahun 1958. Rencana-rencana Soediro untuk
Jakarta, seperti gagasan mempertahankan keberadaan trem listrik untuk
mendukung mobilitas pedagang kecil, gugur di tangan Soekarno yang
menghendaki hal sebaliknya.12
Jelas, Jakarta adalah kota yang istimewa, karena perannya yang
merangkap sebagai ibukota. Upaya Soekarno untuk mendandani Jakarta
merupakan usahanya untuk membangun negara (nation). Soekarno sebagai
arsitek utama kota Jakarta pada masa itu, berkeyakinan bahwa arsitektur
memegang peranan penting dalam menciptakan sebuah masyarakat yang
ideal. Baginya, “bangunan merupakan esensi dari kepercayaan dan
kebanggaan sebuah bangsa”.13 Dengan kata lain, Soekarno “menggunakan
arsitektur untuk mencapai tujuan Revolusi Indonesia”.14
Dalam sebuah pidato pada tahun 1962, Soekarno dengan intonasi
suara yang bergelora, membentangkan cita-cita dan rencana besarnya
terhadap Jakarta:
“[...] hai Saudara-saudara dari Djakarta, kita bangun kota Djakarta ini dengan cara semegah-megahnya. Megah bukan saja materiil; megah, bukan saja karena gedung-gedungnya pencakar langit; megah, bukan saja ia punya boulevard-boulevard, lorong-lorongnya indah; megah, bukan saja ia punya monumen-monumen indah; megah, di dalam segala arti, sampai di dalam rumah-rumah kecil daripada marhaen di kota Djakarta harus ada rasa kemegahan...”15
12 Ibid., hal: 94 – 95 13 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 51 14
Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 228 15 Ibid., hal: 229
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Ya, retorika dan simbol merupakan dua kata kunci yang menjadi
pondasi dalam membangun negara, dan karenanya kota Jakarta, versi
Soekarno.16 Kekurangannya, walau di Jakarta tegak bangunan-bangunan
yang tinggi menjulang, namun kemegahannya itu seakan-akan menjadi ironi.
Sebab, kemegahan itu tidak berbanding lurus dengan kehidupan
masyarakatnya. Seperti komentar Susan Blackburn, pemerintah berupaya
"menciptakan wajah kota yang tidak sesuai dengan Jakarta, sebuah topeng
yang tidak mampu menutupi kesemrawutan kota yang meluas.”17
Oleh karena itu Jakarta, dikritik Farabi Fakih, menjadi kota yang
keindahannya hanya dapat dipersaksikan dari jauh, kota yang diperuntukkan
bagi kenikmatan mata pendatangnya. Namun, bila ditilik dari dekat,
tersibaklah cacatnya. Kesempurnaan Jakarta, lanjut Fakih, “[...] terletak pada
ketersembunyiannya. Ketersembunyian dari kerusakan-kerusakan kecil dan
juga dari orang-orang kecil yang hidup di bawah bayangan gedung-
gedungnya.”18
Sayangnya, kajian tentang Jakarta kemudian juga lebih banyak
menaruh perhatian pada monumen dan gedung-gedung bertingkat itu,
simbol-simbol yang oleh Bakker dan Saentaweesook disebut sebagai ‘top-
down symbolism’.19 Studi Fakih juga memiliki kecenderungan tersebut.
Kelemahannya jelas, seperti yang diakuinya pula, kajiannya tak dapat
16 Ibid., hal: 227 17 Ibid., hal: xxiii 18
Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 149 19 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. Op.cit., hal: 217
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
berbicara banyak tentang pengalaman atau ekspresi orang-orang yang hidup
di Jakarta, orang-orang yang sehari-harinya tinggal dan merasai Jakarta.20
Hadir sebagai alternatif dari top-down symbolism, sebut Bakker dan
Saentaweesook, yakni penyimbolan yang hadir melalui karya sastra, yang
lanjut diistilahkan dengan counter-symbolism. Maksudnya bukan dalam
artian karya sastra tersebut menyangkal atau menolak mentah-mentah
penyimbolan yang telah ada, melainkan memberikan perspektif yang
berbeda, perspektif yang berasal dari bawah, atau katakanlah dari rakyat
jelata. Dalam hal ini, diistilahkan bottom-up symbolism.21
Segera setelah Proklamasi diproklamirkan, dan Indonesia
memperoleh pengakuan atas kedaulatannya di tahun 1949, sebenarnya
pandangan beberapa pengarang terhadap ibukota dan negara bergeser ke
arah pesimis. Bahkan, Pramoedya Ananta Toer yang sempat turun ke medan
perang dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR), ikut menyuarakan pesimisme
yang sama.22
Misalnya, dalam tulisan tahun 1955 bertajuk Jakarta, Pramoedya
mengkritik habis-habisan rencana-rencana besar Soekarno. Bagi Pramoedya,
rencana-rencana besar itu terlalu mengawang-awang, tidak berpijak pada
realita yang dialami sehari-harinya di Jakarta.
“Permuntjulan yang grandiues tapi tak punya kontour-kontour kenyataan ini adalah gambaran kedjiwaan jakarta: rentjana-rentjana besar, galangan-galangan terbesar di Asia Tenggara, tugu terbesar di Asia, kemerosotan moral terbesar! segala terbesar. Tapi tak ada
20 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 19 – 20 21 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook, Op.cit., hal: 220 22
Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press: Cambridge, hal: 113
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
sekrup, tak mur, tak ada ada drat, tak ada nipple, tak ada naaf, tak ada inden dan ring pada permesinan semua ini.”23 Selanjutnya, pesimisme dan kritik tersebut juga dapat ditemukan di
dalam kumpulan cerita pendek yang ditulis Pramoedya dalam rentang 1948
– 1956. Kumpulan cerita pendek yang dibukukan dalam judul Cerita dari
Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya itu diterbitkan di
tahun 1957, sebuah periode di mana Soekarno sedang getol-getolnya
mengkampanyekan pembangunan kota.
Cerpen-cerpen Pramoedya dalam buku tersebut sebagian besar
berkisah tentang kaum yang terpinggirkan di ibukota. Seperti yang diulas A.
Teeuw, kebanyakan tokoh-tokohnya berasal dari “orang melarat yang hidup
di pinggiran masyarakat Jakarta, yang bergulat bersusah-payah mencari
sesuap nasi dan sedikit lindungan atau keselamatan dalam kota metropolitan
yang mengancam dan memusuhinya”.24
Bagaimanakah persisnya karya Pramoedya dapat memberikan sebuah
pandangan alternatif dalam penyimbolan Jakarta? Untuk itu, marilah kita
tengok satu contoh. Dalam cerpen Berita dari Kebayoran (1950), Pramoedya
menulis bagaimana Aminah, seorang pekerja seks, merasa terancam dengan
kehadiran lampu-lampu taman Istana:
“Mula-mula ia dan golongannya punya daerah di depan istana presis. Tapi lampu-lampu terang dipasang orang di sepanjang jalan yang meretas-retas kegelapan taman depan istana itu. Dan lampu-lampu itulah yang mengusirnya dengan golongannya ke sebelah kanan lagi:
23 Toer, Pramoedya Ananta. Jakarta (Dikutip sesuai ejaan aslinya dari situs: http://revolusipartij.blogspot.com/2009/12/karya-pramoedya-ananta-toer.html, tanggal 27 Desember 2014) 24
Teeuw, A. 1995. Revolusi Indonesia dalam imajinasi Pramoedya Ananta Toer. Jurnal Kalam Edisi 6 (4 – 47), hal: 22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
tak lebih dari dua ratus lima puluh meter. Tak lebih dua ratus lima meter dari pagar istana.”25
Sepenggalan tulisan tersebut menggambarkan dengan baik
bagaimana sebuah bangunan yang dijadikan simbol kemegahan bangsa oleh
Soekarno ‘dialami’ secara personal oleh seorang warganya. Sebagaimana
diketahui, Istana Merdeka dulunya merupakan bekas kediaman Gubernur
Jenderal Belanda. Oleh Soekarno, gedung itu dijadikan pusat pemerintahan
dan diganti namanya menjadi Istana Merdeka.26 Jelas dari namanya Soekarno
hendak menjadikan istana tersebut sebagai simbol dari kemerdekaan dan
revolusi bangsa.
Akan tetapi, Istana Merdeka yang megah tersebut dipahami secara
berbeda oleh Aminah. Baginya, istana dan benderang lampunya adalah
sesuatu yang mengancam. Ia tertolak dari tempat yang menandakan
perjuangan dan kemerdekaan bangsanya. Oleh karena itu, kemerdekaan
bangsa itu tak berarti apa-apa baginya. Alih-alih ikut merasakan atmosfer
kebebasan itu, ia malah tersingkirkan.
Gambaran Pramoedya tentang kota Jakarta dan orang-orang yang
terpinggirkan serupa Aminah tersebut sangat menarik untuk ditelaah lebih
lanjut. Terlebih apabila dikaitkan dengan simbolisasi dan sejarah kota
Jakarta. Sejauh ini, narasi penulisan sejarah Jakarta tahun 1950-an yang
menjadi latar cerpen tersebut terkesan elit-sentris. Artinya bukan sejarah
yang berpihak pada penguasa, melainkan versi sejarah yang cenderung
25 Toer, Pramoedya Ananta. 2002 [1957]. Cerita dari Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya. Hasta Mitra: Jakarta, hal: 26 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 229
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
berbicara tentang siapa yang berkuasa, dan bagaimana situasi ekonomi,
sosial, dan politik di masa ia berkuasa. Dengan kata lain, sejarah versi makro.
Dari perspektif tersebut, sedikit sekali yang bisa diketahui tentang
orang-orang yang hidup di dalamnya, tentang bagaimana penduduknya
bersinggungan dengan kota Jakarta setiap harinya. Kalaupun selama ini
sejarah berbicara tentang rakyat, tak lebih dari sekadar hitungan matematis.
Rakyat dikelompokkan dalam karung-karung, berlabelkan jenis kelamin,
usia, status ekonomi, dan hal-hal semacamnya.
B. Rumusan Masalah
1. Simbol-simbol apa sajakah yang dipakai Pramoedya dalam
menggambarkan Jakarta periode 1950-an?
2. Seberapa jauh simbol-simbol tersebut menjadi simbol tandingan bagi
simbol-simbol yang dominan dari periode 1950-an?
3. Bagaimana simbol-simbol tersebut membuat kita melihat dan
memaknai Jakarta, dan Indonesia, tahun 1950-an secara berbeda?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk memetakan simbol-simbol apa saja yang digunakan oleh
Pramoedya Ananta Toer dalam buku kumpulan cerita pendek Cerita
dari Jakarta dalam rangka menggambarkan kota Jakarta periode
1950-an?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
2. Untuk mengetahui sejauh mana simbol-simbol yang digunakan
Pramoedya dalam Cerita dari Jakarta bersikap resisten terhadap
simbol-simbol kota yang banyak dipakai dari periode 1950-an;
3. Untuk mendapatkan gambaran bagaimana simbol-simbol yang
dipakai dalam Cerita dari Jakarta membuat kita dapat melihat Jakarta,
sekaligus Indonesia, periode 1950-an secara berbeda.
D. Manfaat Penelitian
Pada umumnya sejarah disusun dengan berpatokan kepada penguasa.
Sejarah suatu kota atau negara sama dengan sejarah orang-orang yang
berkuasa. Begitupun, membicarakan Jakarta, lanjut Indonesia, pada periode
1950-an sama artinya dengan membicarakan Soekarno. Pada tahun 1945,
Soekarno adalah orang yang tampil di mimbar membacakan teks Proklamasi.
Empat tahun kemudian, yakni tahun 1949, segera setelah pengakuan
kedaulatan, Soekarno menjadi orang nomor satu di Indonesia. Pada era-era
awal setelah kemerdekaan, Soekarno-lah bintangnya: ia tidak hanya
memancangkan tonggak awal kemerdekaan Indonesia, tetapi juga
menentukan arah pembangunan ibukota, dan karenanya negara.27
Sudut pandang yang elitis seperti itu memiliki kelemahan. Karena
terlalu fokus pada mereka yang berkuasa, maka sedikit sekali yang dapat
diketahui dari orang-orang yang berada di luar itu. Katakanlah, orang-orang
biasa: orang-orang yang tidak mendapat kesempatan berbicara di podium.
Pertanyaan yang tersisa, misalnya: bagaimana orang-orang yang berdiri di
27 Lihat Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook, Op.cit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
luar panggung itu melihat kemerdekaan Indonesia? Apakah mereka mencita-
citakan Jakarta sebagai “mercusuar dunia” sama seperti yang didambakan
oleh Soekarno?
Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
dengan mengetengahkan perspektif ‘orang biasa’. Lebih spesifik, penelitian
ini membicarakan Jakarta periode 1950-an dari kaca mata Pramoedya. Di
masa sekarang, boleh jadi Pramoedya dikenal sebagai seorang sastrawan
besar. Karya-karyanya terpancang sebagai bacaan wajib dalam studi sastra
Indonesia. Namun, Pramoedya di tahun-tahun 1950-an baru menjadi seorang
‘kroco’. Pramoedya sendiri menganggap dirinya sebagai seorang
broodschrijver, alias seseorang yang menulis sekadar untuk makan.28
Adapun cerita Pramoedya tentang Jakarta dapat diperoleh dari buku
kumpulan cerpennya yang terbit tahun 1957, Cerita dari Jakarta. Di dalam
cerpen-cerpennya itu, alih-alih mengedepankan Soekarno sebagai penanda
jaman, Pramoedya malah mengangkat tokoh-tokoh dari orang-orang yang
terpinggirkan, mereka-mereka yang diberi cap sebagai ‘penghuni liar’ atau
‘penghuni gelap’.
Oleh karena itu, harapannya, ketika berbicara tentang periode 1950-
kita akan lebih menandainya sebagai era-nya Aminah berpraktek sebagai
pekerja seks di Frombergpark, era-nya Hasan menjadi ‘kuli gelap’ di Stasiun
Gambir, dan era-nya Idulfitri yang mantan pejuang menjadi maling mobil di
jalan-jalan sekitar Istana Merdeka. Dengan kata lain, era 1950-an bukan lagi
era di mana Indonesia mulai melangkah sebagai negara baru yang merdeka 28
Lihat: Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan-Catatan Dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra: Jakarta, hal: 202 – 205
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
dan berdaulat, tapi era di mana ‘orang-orang biasa’ seperti Aminah, Idulfitri,
dan Hasan kehilangan kebebasannya.
E. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa penelitian yang menelaah karya sastra untuk menggali
bagaimana kota dihidupi di dalam teks itu. Salah satunya yakni studi yang
dilakukan Manneke Budiman. Budiman melihat kecenderungan karya-karya
penulis perempuan selepas Reformasi yang mengeksplorasi Jakarta lebih
dari sekadar latar belakang. Jakarta tidak hanya digunakan sebagai lokus
tempat cerita berpijak, tapi juga dapat mempengaruhi jalinan cerita dan
karakter tokoh-tokoh di dalamnya.29
Secara khusus, Budiman mengkaji dua karya penulis perempuan: Cala
Ibi (2009) Nukila Amal dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2004)
Djenar Maesa Ayu. Budiman ingin menggali lebih dalam lagi bagaimana
Jakarta dialami oleh para penulis perempuan tersebut; lanjut menelisik
bagaimana bangsa (nasion) tergambar di dalamnya. Asumsi Budiman, kedua
penulis tersebut menghadirkan sudut pandang yang feminin, yang
diharapkan dapat menjadi alternatif dalam cara melihat kota.30
Berdasarkan hasil analisis Budiman, baik Amal maupun Ayu sama-
sama menunjukkan sikap yang kritis terhadap kehidupan di Jakarta, namun
dengan penekanan yang berbeda. Ayu banyak memperlihatkan wajah Jakarta
yang serba glamor dan hedon. Tokoh-tokoh perempuan dalam cerpen Ayu
29 Budiman, Manneke. Viewing the nation from the city in contemporary Indonesian women’s writing, hal: 15 (Available at: www.iar.ubc.ca/centres/csear/webpage/2-budiman.pdf, diakses tanggal 14 Maret 2014) 30 Ibid., hal: 16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
turut ambil bagian dalam gemerlapnya Jakarta itu. Akan tetapi, mereka tidak
serta merta hilang dalam kesenangan mereka. Justru mereka dapat berolok-
olok di dalamnya.31
Tidak seperti Ayu, Amal lebih perhatian pada permasalahan-
permasalahan sosial di Jakarta. Akan tetapi, Amal memperlihatkan sikap
yang ambivalen. Walau tokoh dalam novel Amal mengkritisi berbagai
permasalahan-permasalahan di ibukota, tapi ia juga menyadari bahwa
dirinya merupakan bagian dari permasalahan tersebut. Oleh sebab itu,
Budiman menyebut tokoh Amal sebagai sosok ‘a problematic hero’.32
Penelitian ini mirip dengan yang dilakukan Budiman. Yang berbeda
adalah obyek analisis dan kerangka waktunya. Budiman menyasar Jakarta
era pasca Reformasi, sedangkan penelitian ini lebih berkonsentrasi pada era
1950-an, atau pasca Revolusi. Kontras lainnya, kajian Budiman
menampakkan representasi Jakarta dari mata perempuan kelas menengah,
sedangkan penelitian ini menelaah representasi Jakarta dari kelas bawah.
Lalu, ada lagi penelitian Esrih Bakker dan Katie Saentaweesook yang
juga mengkaji representasi Jakarta melalui puisi. Obyek analisisnya yakni
puisi mulai dari jaman Orde Lama hingga Orde Baru. Ada 7 puisi yang
dianalisis, yakni karya Ajip Rosidi (Lagu Jakarta, 1954 dan Kepada Djakarta,
1955); Mansur Samin (Sketsa Jakarta, 1965 – 1966); Nana Erwati (Jakarta 1
dan Jakarta 2, 1986); Cunong Nunuk Suraja (Ciliwung, 1997); dan W.S.
Rendra (Tjiliwung jang Manis, 1955).
31
Ibid. 32 Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Dari studinya Bakker & Saentaweesook menyimpulkan bahwa pada
umumnya Jakarta direpresentasikan sebagai kota yang penuh kontradiksi. “It
is a city of wealth and poverty, the provider of hope and the bringing of despair,
it is modern and traditional.”33 Imej Jakarta yang ditampilkan oleh para
penyair tersebut berlawanan dengan apa yang didiskursuskan oleh
pemerintah. Dengan demikian, simpulan ini cocok dengan thesis awal Bakker
& Saentaweesook bahwa karya sastra dapat dianggap sebagai usaha untuk
menandingi simbolisme yang telah ada, atau counter-symbolism.
Berikut ada pula penelitian Tsuyoshi Kato yang ingin melihat
bagaimana kota direpresentasikan melalui novel-novel yang terbit di
Indonesia awal abad 20. Kato memang tidak secara spesifik menyebutkan
Jakarta, akan tetapi novel-novel yang dipilihnya tersebut berlatar Jakarta.
Berdasarkan pembacaan Kato, kota direpresentasikan sebagai satu
tempat dimana individu bisa melakukan eksperimentasi diri. Di kota paksaan
dan kekangan tradisional tidak berlaku. Seseorang menjadi apa yang dia
inginkan, termasuk cinta. Gagasan cinta yang modern hanya ada di kota. Di
kota, seseorang kehilangan “tempat asal”, tetapi menjadi seorang pribadi
yang penuh. Bahkan harus dikatakan: seorang pribadi yang penuh harus
dibayar dengan kehilangan tempat asal.
Khusus mengenai cerita pendek Indonesia, sudah diteliti secara
khusus oleh Julia Shackford-Bradley. Persisnya, Shackford-Bradley mengkaji
tentang hubungan antara cerita pendek dengan perkembangan kota dan
persebaran wacana publik. Baginya, cerpen di Indonesia memiliki bentuk dan
33 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. Op.cit., hal: 235 – 236
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
gaya yang spesifik yang berbeda ketimbang cerpen di Afrika, Eropa, atau di
negara-negara Asia lain misalnya. Perubahan kondisi sosial ekonomi diyakini
membawa perubahan pada gaya penulisan cerpen. Sebagai contoh, pada
tahun 1950-an Pramoedya menerapkan gaya realisme sosial sebagai bentuk
reaksi terhadap perubahan sosial di masa itu.34
Cerita pendek Pramoedya yang dinilai Shackford-Bradley mewakili
gaya realisme sosial itu merupakan cerita pendek yang sama yang dikaji
dalam penelitian ini. Akan tetapi, penelitian ini jauh berbeda dengan yang
dilakukan Shackford-Bradley. Ia lebih perhatian pada bentuk cerpen,
sedangkan dalam penelitian ini yang diperhatikan adalah isinya, alias muatan
pesannya. Akan tetapi, tidak dalam kerangka mencari pesan moral seperti
yang pernah diwajibkan dalam mata pelajaran sastra.
F. Kerangka Penelitian
Pada umumnya, ketika kita berbicara tentang kota maka informasi
yang pertama keluar itu adalah deskripsi geografisnya. Soal letak, batas-batas
wilayah, luas wilayah, dan semacamnya. Informasi tersebut kadang kala
ditambah dengan aspek demografi, seperti komposisi penduduk, tingkat
pendidikan, dan sejenisnya.
Apa yang terabaikan dari deskripsi kota dengan cara tersebut adalah
dimensi pengalaman manusianya. Kota tidak hanya terdiri dari benda-benda
mati, tempat bangunan dan perumahan berdiri. Tapi, yang tak kalah penting,
34 Shackford-Bradley, Julia. 2006. Cerpen: How Indonesian short stories re-present urban space and public discourse. Crossroads: An interdisciplinary journal of Southeast Asian studies. Vol. 17, No. 2, hal: 93 – 94
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
kota adalah tempat manusia hidup, menjalani suka duka sehari-hari. Oleh
karena itu, kota juga adalah akumulasi dari pengalaman hidup manusia,
entah itu secara pribadi maupun bersama-sama. Dalam pengertian ini, kota
adalah “an experience to be lived, suffered, and undergone.”35
Lalu, bagaimanakah caranya menggali dimensi pengalaman dan
pemaknaan yang sifatnya personal terhadap kota? Salah satu jalannya itu
yakni melalui karya sastra. Teks-teks karya sastra sering kali menawarkan
gambaran kehidupan kota yang lebih kaya dan rinci. Maka, karya sastra
kerap dipertimbangkan sebagai sumber sejarah yang tak kalah aktualnya.36
Pertalian sastra dengan geografi menimbulkan sebuah aliran yang dikenal
sebagai geografi sastra (literary geography).37
Beberapa pengarang, seperti Charles Dickens- dipercayai dapat
mengilustrasikan kehidupan kota dengan sangat jelas dan aktual.38
Pramoedya mungkin dapat dikatakan sebagai Charles Dickens-nya Indonesia.
Karya-karya Pramoedya sering dirujuk sebagai sumber sejarah yang cukup
memadai. Salah satu peneliti yang setuju dengan ide ini yakni Hilmar Farid. Ia
bahkan secara khusus mengkaji sumbangsih karya-karya Pramoedya
terhadap penulisan historiografi Indonesia. Walau diakuinya pula bahwa
35 Preston, Peter & Paul Simpson-Housley. Eds. 1994. Writing the City: Eden, Babylon and the New Jerusalem. Routledge: London & New York, hal: 2 36 Hubbard, Phil. 2006. City: Key Ideas in Geography. Routledge: London, hal: 68 37 Tavares, David & Marc Brosseau. 2013. The spatial politics of informal urban citizenship: Reading the literary geographies of Toronto in Dionne Brand’s What We All Long For. Zeitschrift fur Kanada-Studien. Vol. 33, hal: 12 38 Hubbard, Phil. Op.cit, hal: 68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
masih sedikit sekali yang menghargai Pramoedya sebagai seorang
sejarawan.39
Persoalannya kemudian, sejauh mana sebuah karya sastra dapat
diandalkan dalam menggambarkan karakteristik sebuah kota dan kehidupan
di dalamnya? Mengingat, di dalam sebuah karya terlibat pula unsur imajinasi
si pengarang. Seperti satu kritik dari Tavares & Brosseau, “it fails to
problematize the process of representation and indeed textual interpretation
by treating literature as a rather unproblematic, mimetic transcription of place
experience and distinctiveness.”40
Pocock sebagaimana dikutip Phil Hubbard, berpandangan bahwa
kebenaran dalam karya sastra itu bisa melampaui fakta. Alasannya, “[...]
literature evokes the experience of being in place eloquently, with the intensely
personal and deeply descriptive language used by the writer able to convey the
elusive genius loci inherent in a place.”41 Bisa jadi, pengalaman berada di kota
akan lebih dapat dirasakan ketika digambarkan karya sastra karena
kemampuan deksriptif pengarang yang mumpuni, dibanding mengalami
secara langsung.
Sementara itu, Preston & Simpson/Housley yang menjadi sasaran
kritik Tavares & Brosseau menyatakan bahwa sastra geografi merupakan
sebuah pelengkap untuk dapat memahami kota dengan lebih mendalam.
Pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk menolak mentah-mentah hasil
39 Farid, Hilmar. “Pramoedya dan historiografi Indonesia” dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Eds. Nordholdt, Henk Schulte. et. al. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, hal: 79 40
Tavares, David & Marc Brosseau, Op.cit., hal: 12 – 13 41 Hubbard, Phil. Op.cit., hal: 69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
kerja kajian geografi, melainkan untuk menawarkan perspektif yang lebih
personal dalam melihat kota.42
Simbol-Simbol Kota
Jakarta sebagai kota memiliki sebuah karakteristik yang disebut Peter
M. Nas sebagai kota yang kaya akan simbol. Simbol-simbol kekotaan itu
banyak dihasilkan, dan didominasi, oleh hal-hal yang bersifat material,
serupa patung dan monumen. Walau, penghasil simbol kota tidak terbatas
pada benda-benda material itu saja, tapi juga hal-hal yang sifatnya diskursif
seperti yang diproduksi dalam karya sastra.43
Setidaknya ada empat unsur penghasil simbol: material, diskursif,
ikonik, dan behavioral. Seperti yang telah dicontohkan dalam kasus Jakarta,
patung-patung dan monumen merupakan pembentuk simbol kota yang
sifatnya material. Sementara, apabila penyimbolan tersebut diproduksi
melalui karya sastra cenderung bersifat diskursif. Untuk penyimbolan yang
bersifat ikonik dihasilkan dari rujukan terhadap orang, atau benda, atau hal-
hal tertentu yang membuat kota tersebut identik dengan hal tersebut. Ambil
contohnya, Banyuwangi yang identik dengan gandrung, dan Mekah dengan
agama Islam. Terakhir, simbolisme yang bersifat behavioral mengambil
bentuk dalam hal ritual-ritual, perayaan-perayaan massal, dan perilaku
tertentu yang diulang-ulang.44
42 Preston, Peter & Paul Simpson-Housley. Op.cit., hal: 2 43 Nas, Peter J.M., et.al. 2011. Introduction: variety of symbols dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam, hal: 9; 11 44 Ibid., hal: 9 – 17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Sastra sebagai Counter-Symbolic
Istilah counter-discourse, atau wacana tandingan, pada awalnya
digunakan oleh Richard Terdiman untuk merujuk pada teori dan praktik
resistensi simbolik yang ditemukan dalam karya sastra Perancis abad ke-19.
Konsep ini kemudian dipakai dalam kritik poskolonial untuk menjelaskan
usaha-usaha tandingan untuk menyerang sebuah wacana yang sudah mapan,
dan dalam konteks poskolonial wacana yang sudah mapan itu yakni yang
berkenaan dengan wacana kolonial.45 Salah satu bentuk upaya itu yakni
dengan memparodikan karya sastra kanonik, semisal karya-karya William
Shakespeare.
Dengan prinsip dasar serupa bahwa sastra sebagai resisten, Bakker &
Saentaweesook menggunakan istilah counter-symbolism, yang dipinjam dari
Peter M. Nas, untuk menunjukkan bahwa puisi-puisi tentang Jakarta di masa
Orde Lama dan Orde Baru menggunakan simbol-simbol tandingan terhadap
‘simbol-simbol resmi’ pemerintah, atau top-down symbolism.46
Dalam penelitian ini, konsep yang dipakai adalah yang kedua, yaitu
counter-symbolism. Merujuk pada penjelasan di atas, pengertian simbol di
sini tidak terbatas pada simbol-simbol material, tapi juga yang bersifat
diskursif.47 Dalam konteks cerpen-cerpen Pramoedya, penting untuk digali
bagaimana simbol-simbol yang digunakannya memberi sudut pandang yang
berlawanan dengan simbol-simbol Jakarta yang dominan; dan bagaimana
45 Ashcroft, Bill. Et.al. [1998] 2001. Key Concepts in Post-Colonial Studies. Routledge: London & New York, hal: 56 – 57 46
Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. Op.cit., hal: 220 47 Nas, Peter J.M., et.al. dalam Ibid., hal: 9; 11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
simbol-simbol yang dipakainya itu dapat menghadirkan Jakarta, berikut
Indonesia, dengan sudut pandang yang berbeda.
Sastra sebagai National Allegory
Pada tahun 1984, dan tulisan berjudul Third World Literature in the
Era of Multinational Capitalism, Fredric Jameson mengajukan sebuah asumsi
yang menarik bahwa seluruh sastra di dunia ketiga merupakan alegori dari
nasional.48 Diperjelas oleh Mary E. Donnely, yang dimaksud Jameson dengan
dunia ketiga di sini mencakup semua negara yang pernah mengalami
penjajahan. Bagi Jameson, karya sastra yang dihasilkan dari negara-negara
yang pernah melalui penjajahan atau imperialisme tersebut selalu politis,
bahkan ini juga terjadi pada cerita-cerita yang kelihatannya paling
personal.49
“Third world texts, even those which are seemingly private and invested with a properly libidinal dynamic necessarily project a political dimension in the form of national allegory: the story of a private individual destiny is always an allegory of the embattled situation of the public third world culture and society.”50
Sementara asumsi ini banyak memancing perdebatan, untuk kasus
cerpen Pramoedya dalam Cerita dari Jakarta sedikit banyak ada benarnya.
Pramoedya juga berpandangan bahwa antara pribadi dengan politik tidak
dapat dipisahkan. Ia pernah menulis dalam pengantar untuk bukunya, Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu, “apa dan bagaimana pengalaman indrawi dan batin
48 Ashcroft, Bill. et.al. Op.cit., hal: 9 49 Donnely, Mary E. 2003. Teaching Pramoedya Ananta Toer’s Tales from Djakarta in the literature classroom. A Curriculum Unit for Cornell University, hal: 26 50 Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
seorang pribadi, apalagi dituliskan, ia jadi bagian dari pengalaman suatu
bangsa dan umat manusia pada umumnya.”51
G. Metodologi Penelitian
1. Sumber Data
Sumber data utama yang dipakai dalam penelitian ini yakni
buku kumpulan cerita pendek Cerita dari Jakarta: Sekumpulan
Karikatur Keadaan dan Manusianya karangan Pramoedya Ananta Toer
terbitan tahun 1957 yang dicetak ulang oleh Hasta Mitra tahun 2002.
Secara lebih spesifik, ada 5 cerita pendek yang dikaji yakni: 1)
Ikan-ikan yang Terdampar (1950), 2) Berita dari Kebayoran (1950), 3)
Makhluk di Belakang Rumah (1955), 4) Kecapi (1956), dan 5) Gambir
(1953). Cerita pendek tersebut dipilih berdasarkan pada
keberagaman tema dan tokoh, serta yang terpenting karena cerpen
tersebut lebih banyak merepresentasikan ruang-ruang di Jakarta.
Selain data primer di atas, untuk melengkapi keperluan bahan
penelitian ini, penulis juga menggunakan sumber data sekunder,
antara lain sejumlah literatur tentang sastra Indonesia, sejarah
Indonesia, Pramoedya, dan ruang-ruang di kota Jakarta.
2. Teknik Pengolahan Data
51
Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000a. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra, hal: xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Pengolahan data akan dilakukan dengan menggunakan teknik
deskriptif. Data-data akan dinarasikan sedemikian rupa berdasarkan
konsep-konsep yang digunakan penulis dalam penelitian ini.
H. Sistematika Penulisan
Skema penulisan penelitian ini akan disusun secara sistematik ke
dalam 5 bab terpisah dengan rincian sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan fondasi atau rancangan penelitian, berisikan latar
belakang, rumusan dan pembatasan masalah, kerangka teoretis, metode
penelitian, dan skema penulisan.
BAB II : JAKARTA DAN KARYA SASTRA INDONESIA PERIODE 1950-AN
Bab ini memetakan bagaimana kondisi Jakarta di tahun 1950-an baik itu
secara sosial, politik, maupun ekonomi. Ikut dibahas pula bagaimana karya
sastra pada periode tersebut menampilkan wajah Jakarta.
BAB III : PRAMOEDYA DAN CERITA DARI JAKARTA
Bab ini memaparkan perjalanan karir Pramoedya sebagai pengarang dengan
fokus pada periode 1950-an, karya-karya apa saja yang dihasilkan dan
pandangan politisnya di masa itu. Selain itu, akan ditelaah pula latar belakang
buku kumpulan cerita pendek Pramoedya yang dianalisis dalam penelitian
ini, yaitu Cerita dari Jakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
BAB IV : MEMBAYANGKAN JAKARTA PERIODE 1950-AN DARI
MATA PRAMOEDYA
Bab ini berisikan interpretasi dan analisis atas lima cerita pendek Pramoedya
dalam buku Cerita dari Jakarta.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
BAB II
JAKARTA DAN KARYA SASTRA PERIODE 1950-AN
Di mata para wisatawan asing, Indonesia boleh jadi sama dengan Bali.
Akan tetapi, di mata orang Indonesia sendiri, Indonesia adalah Jakarta.
Jakarta merupakan pusat tidak hanya secara administratif (pemerintahan)
tapi juga secara kultural (sosial budaya). Jakarta menjadi kiblat bagi orang
Indonesia. Hal itu tercermin, misalnya dari pernyataan Pramoedya Ananta
Toer di tahun 1955, “People aren’t 100 percent citizens before they’ve seen
Jakarta with their own eyes”.52
Membicarakan Jakarta dan Indonesia pada periode 1950-an akan
sangat tergantung pada siapa yang berbicara, dan apa kepentingannya.
Jakarta bisa jadi kota proklamasi, sekaligus kota revolusi: tempat di mana
sebuah negara lahir dan diperjuangkan. Jakarta juga, bisa jadi kota modern:
tempat di mana bangunan-bangunan yang megah didirikan. Atau, Jakarta
hanyalah sekumpulan kampung, seperti yang dikatakan Pramoedya.53
Di antara pandangan-pandangan tersebut tidak ada yang dapat
dianggap lebih asli, atau otentik. Meskipun, dalam beberapa bacaan terlihat
kecenderungan untuk memilah Jakarta dalam dua bagian: yang riil dan yang
palsu; yang realita, dan yang retorika (yang muluk, yang bombastis). Bagian
retorika tentu saja adalah rangkaian proyek pembangunan Jakarta yang
52 Pramoedya Ananta Toer dalam Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press: New York, hal: 129 53 Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
digagas Soekarno, contoh: Monumen Nasional yang tingginya mencapai 70
meter. Lalu, bagian realita yakni bagian Jakarta yang dikesampingkan dari
pembangunan kota versi Soekarno, contoh: bangunan-bangunan liar.
A. Historiografi Indonesia Periode 1950-an
Dalam historiografi sejarah Indonesia, periode 1950-an kerap dinilai
sebagai periode yang problematik sekaligus jarang dibicarakan. Periode ini
sulit untuk dimasukkan ke mana-mana. Bahkan tidak ada kesepakatan dalam
menentukan batasan kapan tepatnya periode 1950-an itu berlangsung.
Apabila dianggap persoalan negara tahun 1950-an merupakan peninggalan
Revolusi, maka periode 1950-an dapat dimulai dari saat proklamasi tahun
1945, atau pengakuan kedaulatan tahun 1949. Apabila sistem pemerintahan
Demokrasi Konstitusi yang dijadikan patokan, maka periode 1950-an
berlangsung lebih singkat, hanya sampai tahun 1957 ketika pergantian
sistem pemerintahan ke Demokrasi Terpimpin.54
Meski problematik, bagi Adrian Vickers, periode 1950-an merupakan
periode yang paling menentukan dalam sejarah indonesia modern. Menurut
Vickers, pilar-pilar negara Indonesia modern digodok pada periode ini. Di
periode 1950-an Indonesia menyatu secara politik maupun administratif. Di
masa ini pula masyarakat menikmati akses pendidikan modern secara luas—
54 Vickers, Adrian. 2008. Mengapa Tahun 1950-an Penting bagi Kajian Indonesia dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Eds. Henk Schulte Nordholdt, et.al. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, hal: 67 – 68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
melalui mana orang-orang bisa mencicipi konsep kewarganegaraan dan
ditransformasi menjadi “warga negara”.55
Senada dengan Vickers, Henk Schulte Nordholdt menyorot bahwa
selama ini periode 1950-an telah dinarasikan secara tidak adil dalam
penulisan sejarah nasional. Pada masa Orde Baru, periode 1950-an
dijelaskan dengan membandingkan pada periode-periode tertentu di masa
lain. Periode 1950-an diidentikkan dengan masa-masa yang penuh
kekacauan, yang bertolak belakang dengan masa-masa yang penuh
keteraturan dan pembangunan di Orde Baru. Oleh karena itu yang banyak
mendapat sorotan yakni keburukannya (gonta-ganti kabinet, dll.) ketimbang
sumbangsih esensialnya.56
Nordholdt menolak pendekatan itu dan mencoba untuk mengkaji
periode 1950-an secara terpisah. Hasilnya, ia mendapati bahwa pada tahun
1950, nasionalisme sedang berada di puncak kejayaanya. Inilah yang
merekatkan pulau-pulau di nusantara dalam satu kesatuan bernama
Indonesia. Selanjutnya, awal-awal periode 1950-an dapat dilihat sebagai
sebuah proyek budaya dengan pesan utama: “menjadi Indonesia berarti
menjadi modern”. Di masa itu, modernitas menjadi bersinonim dengan
nasionalisme.57
Namun, walau awal periode 1950-an dipenuhi dengan semangat
optimisme terhadap masa depan, ada beberapa hal yang melemahkannya.
Diantaranya yakni ketidakstabilan politik dan meningkatnya gerakan-
55 Ibid. 56 Nordholdt, Henk Schulte. 2011. Indonesia in the 1950s: Nation, modernity and post-colonial state. Bijdragen tot de Taal – Land-en Volkendunde. Vol. 167 No. 4, hal: 386 57 Ibid., hal: 388; 393
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
gerakan perlawanan di tingkat regional. Krisis ini semakin menajam pada
paruh ke dua periode 1950-an. Di masa itu, korupsi mulai merajalela,
sehingga karya-karya sastra yang dihasilkan banyak yang berkenaan dengan
tema ini, di antaranya Korupsi karya Pramoedya dan Sendja di Jakarta karya
Mochtar Lubis.58
B. Membangun Indonesia, Membangun Jakarta
Terbentuknya Jakarta sebagai pusat tidak terjadi dengan sendirinya.
Jakarta memiliki sejarah yang panjang sebagai pusat pemerintahan. Dengan
mengikut pada asumsi sejarah yang kontinu, Jakarta dapat dilihat sebagai
warisan dari kolonial Belanda. Secara simbolik memang pemerintah
Indonesia menempati istana bekas kedudukan gubernur jenderal Belanda.
Oleh karenanya, deklarasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 dapat dibaca
juga sebagai deklarasi perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial
Belanda, kepada pihak ‘kolonial baru’ bernama Indonesia.
Akan tetapi, walau berpijak di tanah yang sama, diskursus Jakarta dan
Batavia sebenarnya berbeda. Satu perbedaan mendasar, Jakarta dibangun
untuk dijadikan simbol bagi sebuah negara-bangsa: simbol kejayaan dan
simbol kesatuan. Ibaratnya, Jakarta merupakan kanvas tempat peta
Indonesia digambar. Sedangkan, Jakarta di masa Belanda tidak memiliki
pretensi ini. Batavia dibangun sebagai tempat permukiman orang Belanda,
sebagai upaya mereka untuk mempertahankan ke-Belanda-an mereka meski
berada jauh dari negeri asal.
58 Ibid., hal: 394 – 395
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Pembangunan bangsa (nation-building) merupakan tema utama
dalam periode 1950-an, atau bahkan bisa ditarik mundur sejak Proklamasi
dideklarasikan. Pembangunan itu di antaranya dilangsungkan dengan
mendekonstruksi simbol-simbol kolonial. Imaji-imaji kolonial dihancurkan,
dihapuskan dari ingatan, untuk kemudian dibangun imaji-imaji baru yang
bersifat ‘nasional’. Monumen Van Heutz, Patung Jan Pieterszoon Coen, Patung
Dewi Kebenaran di Taman Wilhelmina adalah di antara monumen
peninggalan kolonial yang dirubuhkan.59
Sebagai gantinya, diperkenalkanlah simbol-simbol ‘nasional’ yang
bersifat heroik, yang patriotik. Di penghujung bulan Agustus 1945,
pemerintah mengeluarkan maklumat yang menetapkan “merdeka” sebagai
salam nasional.60 Menyusul kemudian beberapa nama tempat yang masih
berbau kolonial, diganti pula dengan nama Merdeka. Contohnya, istana bekas
gubernur jenderal Belanda yang ditempati pemerintah RI dirubah namanya
menjadi Istana Merdeka. Begitupun, Lapangan Gambir (yang di jaman Jepang
bernama Lapangan Ikada) diganti jadi Lapangan Merdeka, berikut nama
jalan-jalan di sekelilingnya dinamai Jalan Merdeka.61
Demikian pula halnya dengan nama jalan-jalan lain di Jakarta juga
mendapat giliran di-Indonesia-kan. Jalan-jalan yang masih dinamai dengan
59 Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibukota Jakarta di Bawah Soekarno. Penerbit Ombak: Yogyakarta, hal: 124 60 Tersedia dalam situs: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/09/jakarta-pada-periode-revolusi-kemerdekaan#.VKjp6VdedGo, 4 Januari 2015 61
Tersedia dalam situs: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/10/jakarta-pada-periode-demokrasi-parlementer#.VKjp6ldedGo, 4 Januari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
nama-nama Belanda diganti menjadi nama-nama pejuang Indonesia.
Misalnya, Jalan Van Heutsz dirubah menjadi Jalan Teuku Umar.62
Gambar 2.1. Istana Merdeka tahun 1950-an63
Sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 sampai era Demokrasi
Terpimpin, Jakarta telah dipimpin oleh tiga orang walikota dan dua orang
gubernur. Secara struktural, jabatan walikota memang lebih rendah
ketimbang gubernur. Akan tetapi, Gubernur Jakarta di waktu itu memiliki
kekuasaan yang lebih terbatas seiring dengan semakin kuatnya pengaruh
Soekarno terhadap Jakarta sejak dimulainya periode Demokrasi Terpimpin.64
Walikota pertama Jakarta adalah Soewirjo. Ia diangkat oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 29 September 1945, bersamaan dengan pendaratan
tentara sekutu, plus Belanda, di Jakarta.65 Antara ‘generasi tua’ dengan
62 Blackburn, Susan. 2012. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Pen. Gatot Triwira. Masup Jakarta: Jakarta., hal: 141 63 Tersedia di situs: http://indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com/2014/07/beberapa-gedung-bersejarah-di-awal.html, 27 Januari 2015 64 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 67 65
Tersedia di situs: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/09/jakarta-pada-periode-revolusi-kemerdekaan#.VKjp6VdedGo, 4 Januari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
‘generasi muda’ berbeda sikap dalam menanggapi kembalinya Belanda ini.
Para pemuda bersemangat untuk mengadakan revolusi fisik, sedangkan
generasi tuanya, seperti Soekarno-Hatta, setia di jalur diplomasi.66
Kedatangan tentara Inggris ke Jakarta disambut dengan tulisan-
tulisan ‘selamat datang’ dari para pemuda, seperti: “Hands off Indonesia” dan
“We want freedom”. Selain menyerang lewat kata-kata, para pemuda ini juga
menyerang tentara Inggris dengan senjata hasil rampasan dari tentara
Jepang. Diperkirakan ratusan laki-laki maupun perempuan di masa itu
tergabung dalam barisan yang disebut Badan Perjuangan. Pada tahun 1945
itu di Jakarta sering terjadi kontak senjata.67
Pada awal tahun 1946, karena situasi Jakarta yang tidak lagi aman
akibat maraknya penculikan, pembunuhan dan perampokan, maka pusat
pemerintahan dipindahkan ke Jogjakarta. Sementara itu, Soewirjo dan
pengikutnya bertahan di Jakarta dengan menduduki Balai Kota. Belanda
mengakui hak Soewirjo namun hanya sebatas wilayah kota. Untuk wilayah
Eropa seperti kawasan Menteng, tetap dikuasai Belanda.68
Persaingan antara kubu Indonesia yang diwakili Soewirjo dengan
kubu Belanda tidak hanya terjadi dalam hal penguasaan wilayah, namun juga
merambah ke bidang ekonomi. Di tahun 1946, baik pemerintah RI maupun
pemerintah Belanda mengeluarkan mata uang untuk menggantikan mata
uang Jepang yang beredar dari tahun 1942.69 Walau akhirnya RI kalah dalam
perang mata uang ini, akan tetapi dengan diterbitkannya mata uang tersebut,
66 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 205 67 Ibid. 68
Ibid., hal: 208; 211 – 212 69 Ibid., hal: 211 – 213
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
RI dapat mempertahankan imaji negara Indonesia sementara pemimpinnya,
Soekarno, hijrah ke Jogjakarta.
Demikianlah, meski kekuasaan RI melemah, ide tentang kemerdekaan
tetap hidup di benak warga Jakarta. Usaha para pemuda yang terus-terusan
menghantam tentara Belanda di berbagai tempat telah turut memberi roh
pada gagasan tersebut. Begitupun, peringatan 17 Agustus tetap rutin
diselenggarakan, meskipun di bawah ancaman tentara sekutu. Seperti yang
dilakukan oleh barisan perempuan muda Indonesia yang pada tanggal 17
Agustus 1946 menerobos barisan pasukan tentara Inggris untuk
mengadakan upacara peringatan kemerdekaan di Pegangsaan Timur 56,
tempat bersejarah di mana proklamasi pertama kali dikumandangkan.70
Pada tahun 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer I. Dalam aksi
tersebut, Soewirjo ditangkap dan dikirim ke Jogjakarta. Sekolah-sekolah
negeri di Jakarta ditutup. Pertemuan-pertemuan dan surat kabar republik
disensor. Kantor Urusan Perkotaan Belanda dipindahkan ke Balai Kota.
Dengan demikian, Balai Kota sudah berada di bawah kekuasaan Belanda.
Singkat cerita, Belanda melakukan segala upaya agar Jakarta kembali
menjadi Batavia, ibukota Hindia Belanda.71
Malang, usaha Belanda tersebut tidak terlalu berhasil. Peristiwa
dramatis pada tahun 1945 yang terus dikobarkan semangatnya dalam
berbagai bentuk, baik itu dalam puisi, prosa, lukisan, foto, pidato (retorika)
sampai dengan konfrontasi langsung dengan mengangkat senjata, telah
70
Ibid., hal: 214 71 Ibid., hal: 216
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
mengubah wajah Jakarta selamanya.72 Jakarta sepeninggal Jepang adalah
Jakarta dengan semangat yang menggebu-gebu untuk merdeka.
Pada akhirnya, di penghujung Desember 1949, sesuai dengan hasil
kesepakatan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda sepakat untuk
mengakui kedaulatan Indonesia. Penandatanganan naskah pengakuan
kedaulatan dilangsungkan di istana Kerajaan Belanda, Den Haag dan bekas
istana gubernur jenderal, Jakarta. Bersamaan dengan itu, di Jakarta dilakukan
pula upacara penurunan bendera Belanda, untuk digantikan dengan bendera
Indonesia. Lagu kebangsaan Indonesia Raya dilantunkan untuk mengiringi
upacara tersebut.73
Sehari setelahnya, yakni tanggal 28 Desember 1949, Soekarno yang
mengungsi ke Jogjakarta sejak tahun 1946, kembali lagi ke Jakarta. Soekarno
disambut layaknya raja yang pulang dari medan perang. Di sepanjang jalan,
ia dielu-elukan dengan yel-yel macam “Hidup Bung Karno!”. Sementara Hatta,
wakil Soekarno, yang kembali dari Den Haag setelah menandatangani
pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Ratu Belanda, tidak mendapat
selebrasi sedemikian rupa. Jelaslah, sosok Soekarno di kala itu dianggap
sebagai simbol hidup dari kejayaan, kemenangan, dan persatuan Indonesia.74
Di Jakarta, Soekarno menempati istana bekas gubernur jenderal
Belanda, yang kemudian berganti nama menjadi Istana Merdeka. Kepindahan
72 Ibid., hal 218 – 219; Ricklefs, M.C. [1981] 2001. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. 3rd editions. Palgrave: Hampshire, hal: 264; dan lihat juga situs http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/10/jakarta-pada-periode-demokrasi parlementer#.VKjp6ldedGo, 4 Januari 2015 73 Blackburn, Susan. Ibid., hal: 221 74
Abdullah, Taufik. 2009. Indonesia: Towards Democracy. Institute of South East Asian Studies: Singapore, hal: 183 – 184
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Soekarno ke istana ini lebih dari sekadar pindah dalam arti spasial (ruang).
Secara simbolis, kepindahan tersebut menandakan peralihan kekuasaan dari
kolonial kepada pemerintahan yang baru, Indonesia. Bahwa kolonial telah
takluk, dan Indonesia kini berjaya.
Gambar 2.2. Peta Jakarta tahun 1965. Wilayah berbayang menunjukkan wilayah ‘luar kota’ yang dimasukkan tahun 1950.75
75 Castles, Lance. 1967. The ethnic profile of Djakarta. Indonesia. Vol. 1, hal: 160
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Dengan kembalinya kekuasaan ke tangan pemerintah RI, pimpinan
walikota Jakarta dikembalikan ke tangan Soewirjo. Serah terima jabatan
Soewirjo sebagai walikota Jakarta dilakukan pada tanggal 30 Maret 1950.
Waktu itu Jakarta, berdasarkan SK Presiden No. 125 tahun 1950, sudah
diperluas hingga mencakup wilayah-wilayah ‘luar’, seperti: Pulau Seribu dan
Kebayoran. Masa jabatan Soewirjo sebagai walikota untuk kali kedua ini,
hanya berlangsung sekitar setahun. Pada tanggal 2 Mei 1951, Soewirjo
ditunjuk sebagai wakil Perdana Menteri. Bulan berikutnya, tepatnya tanggal
27 Juni, Sjamsuridjal diangkat sebagai pengganti.76
Sjamsuridjal menjadi walikota Jakarta selama 2 tahun (1951–1953).
Pengaturan atas tanah (lahan) menjadi perhatian utama pemerintahan
Sjamsuridjal. Di masanya, dilakukan pembelian tanah-tanah partikulir hingga
mencapai 1887 hektar. Hak erfpacht (keturunan) atas tanah untuk pertanian
kecil dihapuskan. ‘Pemukiman-pemukiman liar’, khususnya di tempat-tempat
yang masuk dalam rencana pembangunan ibukota, ‘dibersihkan’, sementara
penghuninya direlokasikan ke tempat lain. 77
Di tahun 1952 saja, dibangun 10 proyek perumahan, yang
diperkirakan dapat menampung 35.000 orang. Jumlah tersebut masih jauh
dari cukup. Jakarta memiliki tingkat kebutuhan hunian yang paling tinggi
dibanding kota-kota lain, 70.000 rumah di tahun 1949. Jumlah tersebut terus
berlipat seiring bertambah derasnya arus migrasi ke ibukota. Maka,
76 Tersedia di situs: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/10/jakarta-pada-periode-demokrasi-parlementer#.VKjp6ldedGo, 4 Januari 2015; http://www.jakarta.go.id/v2/news/2014/03/jakarta-sebagai-ibukota-ri#.VKi731dedGo, 4 Januari 2015 77
Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 71 – 72; Silver, Christopher. 2008. Planning The Megacity: Jakarta In The Twentieth Century. Routledge: Oxfordshire, hal: 93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
walaupun pemerintah sudah bersikap agresif dalam membasmi ‘rumah-
rumah liar’, akan tetapi kalah cepat dibanding tingginya tingkat
pertumbuhan ‘rumah-rumah liar’ tersebut.78
Sudiro, walikota ketiga yang menggantikan Sjamsuridjal di tahun
1953, mengakui bahwa krisis perumahan adalah masalah paling serius yang
dihadapinya. Perlu digarisbawahi bahwa perhatian pemerintah di sini tidak
semata-mata menyediakan rumah yang layak untuk ditinggali, tetapi juga
rumah yang layak untuk menjadi ‘kebanggaan nasional’. Seperti pernyataan
Hatta di tahun 1952, rumah-rumah yang telah ada kebanyakan lebih seperti
kandang sapi, sehingga tidak layak untuk merepresentasikan sebuah bangsa
yang baru saja merdeka.79
Kategori rumah yang layak, atau rumah sehat, telah dirumuskan
dalam Kongres Perumahan Rakjat Sehat yang diselenggarakan tahun 1950 di
Bandung. Di kala itu, Soeandi dan Soekander merumuskan kriteria rumah
sehat dengan rincian: bangunan utama yang terdiri dari ruang tamu, ruang
makan, dan 2 kamar, berukuran setidaknya 36 m2, ditambah bangunan
tambahan seluas 17,5 m2 untuk dapur dan kamar mandi. Selain itu, rumah
juga harus mendapat pencahayaan cukup dan berlantai ubin.80
Dalam kesempatan yang sama, Soeandi dan Soekander mengkritik
rumah rancangan Karsten di Semarang. Rumah yang dibangun semasa
kolonial tersebut hanya seluas 15 m2. Menurut Soeandi dan Soekander,
78 Silver, Christopher. Ibid.; dan Columbijn, Frederick. 2011. Public housing in post-colonial Indonesia: the revolution of rising expectation. Bijdragen tot de Taal-,Land- en Volkenkunde. Vol. 167 No. 4, hal: 448 79
Columbijn, Freek. Ibid., hal: 438, 448 80 Ibid., hal: 444 – 445
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
rumah sesempit itu hanya akan menimbulkan perasaan rendah diri bagi
penghuninya. Karena sekarang Indonesia telah merdeka, maka perasaan
tersebut harus dibuang jauh-jauh.81 Dengan kata lain, di Indonesia perlu
dibangun rumah-rumah yang lebih besar untuk menandakan kejayaan dan
kedaulatannya.
Kebanggaan nasional, nampaknya hal satu ini memang menjadi tema
utama dalam rencana pembangunan nasional, apalagi Jakarta. Jakarta sebagai
pintu gerbang Indonesia hendak dipoles sedemikian rupa agar bisa berdiri
sejajar dengan ibukota negara-negara lain di dunia. Soekarno, sebagai orang
nomor satu di Indonesia, telah menyusun rencana-rencana besarnya, seperti:
membangun tugu 70 meter sebagai saingan Menara Eiffel, galangan kapal
terbesar di Asia Tenggara, masjid terbesar di dunia, dan hotel termodern se-
Indonesia.82
Sudiro yang memimpin Jakarta sampai tahun 1960, mengalami masa-
masa sulit ketika berhadapan dengan rencana-rencana besar Soekarno itu.
Apalagi, sejak pengangkatannya menjadi gubernur di tahun 1958, di masa
berlakunya Demokrasi Terpimpin, peran Sudiro lebih sebagai perpanjangan
tangan proyek-proyek Soekarno. Intervensi Soekarno dalam pembangunan
Jakarta tidak hanya secara langsung, tetapi juga diperantarai departemen-
departemen lain. Misalnya, daerah Tanjung Priuk dan Kemayoran berada di
bawah departemen transportasi.83
81 Ibid., hal: 445 82
Lihat: Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 132 – 136 83 Silver, Christopher. Op.cit., hal: 93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Dengan demikian, di masa Demokrasi Terpimpin, walau Jakarta
memiliki kepala daerah sendiri, akan tetapi Soekarno lah yang dianggap
paling berperan dalam menentukan wajah kota Jakarta.84 Apalagi di tahun
1961 dikeluarkan pula Penpres No.2/1961 yang menyebutkan bahwa Jakarta
berada langsung di bawah Presiden Republik Indonesia (pemerintah pusat)
melalui menteri pertama.85 Dengan dikeluarkannya Penpres ini, secara resmi
Soekarno menjadi apa yang disebut oleh Bakker & Saentaweesook director of
urban change.86
Untuk selanjutnya, pemilihan gubernur Jakarta harus berdasarkan
persetujuan dari Soekarno. Gubernur tersebut dapat dipastikan sejalan
dengan visi Soekarno terhadap ibukota. Visi utama Soekarno jelas, yaitu
“membangun ibukota nasional yang mengesankan”.87 Makanya tidak heran
apabila Soekarno menawarkan jabatan Gubernur Jakarta kepada Henk
Ngantung yang seorang seniman.
Dalam kesaksian Henk Ngantung, antara tahun 1958 atau 1959
Soekarno berkata padanya: “Bapak ingin Henk mewakili Bapak. Bapak ingin
kota ini menjadi cantik.”88 Keberadaan Henk Ngantung di pemerintahan
daerah dapat dilihat sebagai perpanjangan tangan dari Soekarno. Ini
didukung pula oleh pernyataan Henk Ngantung ketika menjadi gubernur
84 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 228 85 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 75 86 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. 2011. “Jakarta through poverty” dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam, hal: 220 87
Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 228 88 Ibid., hal: 231
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Jakarta periode 1964 – 1965, diantaranya disebutkan “menyelamatkan idea
dan imagination Pemimpin Besar Revolusi Indonesia tentang ibukota”.89
Bagi Soekarno, Jakarta sebagai ibukota memainkan peranan penting
untuk mengkonstruksi identitas nasional yang baru. Pembangunan
monumen-monumen dan simbol-simbol nasional di kota Jakarta harus
dipahami sebagai bagian dari upaya untuk memperlihatkan identitas
nasional yang baru sekaligus menyatukan bangsa Indonesia. Keyakinan ini
juga dipegang teguh oleh Henk Ngantung. Ia membuat pernyataan,
“Membangun kota, apalagi membangun ibukota, berarti membangun
sedjarah dan memberi wudjud dan expressi jang bertahan lama pada nasion
dan karakter suatu bangsa.”90
Seperti Le Corbusier, Soekarno percaya akan kekuatan arsitektur dan
tata kota dalam menciptakan sebuah masyarakat ideal.91 Menariknya,
rancang bangunan yang dipakai Soekarno justru bergaya modern, bukan
etnik/tradisional. Dengan cara ini Soekarno mencoba menyejajarkan Jakarta
dengan kota-kota modern lainnya di dunia, ambil contoh Perancis. Pada
periode 1950-an, modernitas berjalan beriring-iringan dengan nasionalisme.
Di waktu itu, menjadi Indonesia sama artinya dengan menjadi modern.92
Walau menjadikan modern sebagai bagian dari identitas nasionalnya,
Indonesia tidak mengambil inspirasi pada negara-negara di Eropa Barat,
89 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 79 90 Ibid., hal: 79 91
Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 228 92 Nordholdt, Henk Schulte. Op.cit., hal: 388
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
tidak pula pada Belanda. Modernitas yang dipakai cenderung berkiblat pada
Amerika Serikat, Cina, dan Mesir.93
Soekarno membangun Indonesia dengan menindas ingatan akan
kebesaran kolonialnya. Simbol-simbol yang berkaitan dengan kolonial
dihancurkan. Soekarno ingin mendirikan Jakarta yang sama sekali baru. Cara
yang ditempuh oleh Soekarno antara lain, 1) mengubah poros kota; 2)
membangun titik-titik kota baru; dan 3) mereorganisasi pemaknaan dari
titik-titik kota yang baru dibuat tersebut.94
Jakarta yang dibangun Belanda berpusat di Gambir, atau Weltevreden
sebagaimana mereka menyebutnya. Oleh Soekarno, poros kota digeser
dengan fokus di Jalan Thamrin yang memanjang dari sudut barat daya
Lapangan Merdeka menuju Jalan Soedirman dan Kebayoran Baru. Daerah
tersebut bersih dari konotasi kolonial hingga pas untuk dijadikan etalase bagi
karya arsitektur dan kontraktor Indonesia.95
Beberapa monumen yang dibangun Soekarno untuk menyemarakkan
Jalan Thamrin itu antara lain: Hotel Indonesia (hotel termewah dan
termodern saat itu), Gedung Wisma Nusantara (gedung tertinggi di Asia
dengan 29 lantai), dan pusat perbelanjaan modern Sarinah. Soekarno
membayangkan Jalan Thamrin akan dijejeri oleh bangunan-bangunan tingkat
paling rendahnya 5 lantai.96
Selain gedung-gedung tersebut, di masa Soekarno juga dibangun
serangkaian monumen, diantaranya: Monumen Nasional (1961 – 1975)
93 Ibid., hal: 390 94 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 122; 129 95
Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 73; 230 96 Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 133
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
karya Ir. Soedarsono, Monumen Selamat Datang (1962) karya Henk
Ngantung, Monumen Pembebasan Irian Barat (1962) karya Ir. Silaban,
Patung Gajah Mada (1962) karya Mikail Wowor, dll. Itu belum termasuk
beberapa proyek lain seperti Masjid Istiqlal, Gedung Pola, Teater Nasional,
Ancol, dsb.97
Khusus untuk Monumen Nasional (Monas) perlu diberi perhatian
lebih. Monas, seperti proyek pembangunan yang lain, “tidak memiliki fungsi
dalam artian yang lebih spesifik, melainkan menjadi bagian dari kolase ide
akan nasionalisme”.98 Dengan membangun Monas, Soekarno mencoba
memberi stempel baru bagi Indonesia, lanjut berusaha menyejajarkan
Indonesia dengan negara-negara merdeka lain di dunia.
“Tidak, saudara-saudaraku, kita tidak membangun sebuah Monumen Nasional yang berharga setengah juta dolar hanya untuk membuang uang. Tidak! Kita sedang membuat ini karena kita menyadari bahwa sebuah bangsa yang hebat, jiwanya dan hasratnya adalah kebutuhan yang absolut untuk kehebatannya, harus disimbolkan dengan sebuah benda materiil, sebuah benda yang hebat bahkan, yang kadang akan membuka mata dari bangsa-bangsa lain dengan penuh kekaguman.”99
Yang istimewa, proyek Monumen Nasional yang sudah direncanakan
sejak tahun 1950 ini, dapat dilihat sebagai pusat dalam artian denotatif
maupun konotatifnya. Monas terletak di tengah-tengah Lapangan Merdeka.
Secara spasial jelas, Monas dirancang untuk menjadi pusat, menjadi inti.
Dengan berpatokan pada keberadaan Monas pula, wilayah Jakarta kemudian
dibagi-bagi: Jakarta Barat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan.
97 Ibid., hal: 132 – 133 98
Ibid., hal: 52 99 Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Sementara, khusus untuk wilayah Monas dan sekitarnya dinamai Jakarta
Pusat.
Gambar 2.3. Peta Lapangan Merdeka awal tahun 1950-an sebelum pembangunan Monumen Nasional, dan sesudahnya. Pola diagonal dalam penataan Lapangan Merdeka ini mirip dengan yang sempat diajukan oleh Dr. M. Treub di tahun 1892. Di tengah-tengah lapangan dalam rancangan milik Treub rencananya akan didirikan patung sebagai simbol pusat Batavia.100
Pembagian tersebut jelas menandakan usaha untuk menciptakan
Jakarta sebagai pusat Indonesia. Sebab, di wilayah-wilayah lain di Indonesia
tidak ditemui adanya ‘pusat’ lain selain di Jakarta. Lihat saja cara Pulau
Kalimantan dibagi: ada Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Selatan, tetapi tidak Kalimantan Pusat. Begitupun di Jogjakarta,
tidak ditemukan istilah Jogjakarta Pusat, meski ada keraton yang secara
kultural dipercayai sebagai ‘pusat dunia’.
100
Dapat diakses di situs: https://srimpet.wordpress.com/2011/09/24/tugu-monumen-nasional-sejarah-perkembangannya/, 27 Januari 2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
C. Jakarta dalam ‘Realita’
Pembangunan Jakarta di masa Soekarno memang pesat. Akan tetapi,
hal itu sama sekali tidak merefleksikan kenyataan hidup masyarakatnya.
Jakarta menjadi kota yang hanya dapat dinikmati dari kejauhan. Sedangkan,
apabila disaksikan dari dekat, Jakarta “penuh dengan korupsi, dengan
ketidakefisienan, penuh dengan banjir, kebakaran, dan jalanan berlubang,
penuh dengan nyamuk dan sampah-sampah menggunung [...].”101
Soekarno melupakan bahwa Jakarta bukan ruang kosong yang tak
berpenghuni. Pencitraan Jakarta yang megah berbanding terbalik dengan
kehidupan masyarakat yang morat-marit. Di sinilah letak ironinya,
sementara Soekarno membangun Jakarta dengan megah, “kenyataannya
tugas utama Pemerintah Kotapraja adalah mengatasi pertambahan
penduduk yang sangat besar dan kemiskinan warga.”102
Apabila mendongak ke atas, boleh jadi Jakarta tampil mempesona
dengan bangunan-bangunannya yang tinggi menjulang. Namun, begitu
menekurkan kepala, tampak wajah Jakarta yang jauh berbeda. Kita melihat
“sebuah identitas yang lebih nyata dari kota imajinernya Soekarno.”103
Jakarta sering digambarkan sebagai kota yang bermuka dua, kota
yang senang berpura-pura. Blackburn menyebut Jakarta sebagai kota
bertopeng di mana “pemerintahannya selalu berupaya menciptakan wajah
kota yang tidak sesuai dengan Jakarta”.104 Senada dengan Hans-Dieter Evers
yang menulis Jakarta sebagai kota panggung, a theatre state. Jakarta dipenuhi
101 Ibid., hal: 174 – 175 102 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 141 103
Fakih, Farabi. Op.cit., hal: 176 104 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: xxiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
dengan simbol-simbol urban seperti gedung dan monumen yang tinggi, akan
tetapi kebudayaan urbannya belum tercipta. 105
Di dalam karya sastra, ironi tersebut juga kerap muncul. Salah satunya
terlihat dalam novel Cala Ibi, di mana Nukila Amal mengibaratkan Jakarta
sebagai “seorang pelacur tua, yang operasi plastik berkali-kali, gemar
berdandan penuh polesan penuh utang, menggali lubang menutup dan
menggali lagi, tak usai.”106 Walaupun komentar Amal itu merujuk pada
Jakarta periode sehabis Reformasi, tapi kritik yang sama juga bisa ditujukan
pada Jakarta periode 1950-an.
Meski penampilan Jakarta terlihat mentereng, tetapi situasi dan
kondisi sosial dan ekonomi warganya kusut masai. Pemukiman kumuh
merajalela, menjadi semacam ‘monumen’ tidak resmi ibukota. Salah satu
faktor penyebab yaitu arus urbanisasi besar-besaran yang melanda Jakarta
sejak masa pendudukan Jepang.107
Pada tahun 1948, penduduk Jakarta tercatat berjumlah 823.000 jiwa.
Empat tahun setelahnya, tahun 1952, meningkat dua kali lipat lebih, menjadi
1.782.000 jiwa. Tahun 1965, angka ini semakin melesat tajam menjadi
3.813.000 jiwa. Sensus tahun 1961 menunjukkan bahwa hanya sekitar 51%
penduduk yang lahir di Jakarta, selebihnya pendatang. Selain faktor
urbanisasi, pertambahan penduduk yang pesat merupakan konsekuensi
105 Evers, Hans Dieter. 2011. “Urban symbolism and the New Urbanism of Indonesia” dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam, hal: 189 106
Amal, Nukila. 2004. Cala Ibi. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, hal: 36 107 Vickers, Adrian. 2005. Op.cit., hal: 117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
langsung dari perluasan batas kota.108 Sejak 1950, wilayah Jakarta diperlebar
ke daerah-daerah terluar, sehingga luasnya menjadi 530 km2. Luas ini tiga
kali luas Batavia dulunya.109
Berdasarkan komposisi penduduk Jakarta pada 1961, kelompok etnis
yang paling banyak berdiam di Jakarta adalah etnis Sunda dengan persentase
32,8%, diikuti oleh etnis Jawa dan Madura dengan persentase 25,4%. Etnis
Betawi, yang dianggap sebagai ‘penduduk asli’ Jakarta hanya berada di
urutan ketiga dengan persentase 22,9%. Etnis Minangkabau belum
mendominasi, hanya sekitar 2,1%, sementara etnis Batak sekitar 1%.110
Banyaknya pendatang di Jakarta menjadikan Jakarta sebagai sebuah
kota dengan kebudayaan gado-gado. Tjalie Robinson menggambarkan
keberagaman penduduk Jakarta dengan memberikan gambaran pada
kegandrungan mereka terhadap segala jenis makanan. “[...] orang Jakarta
adalah petualang makanan yang andal, mampu mengetahui penjual sate
terbaik, lotek terenak, bakso ternikmat [...].”111
Pandangan yang lebih sinis dikeluarkan oleh Pramoedya Ananta Toer.
Mirip dengan pendapat Evers, Jakarta dalam pandangannya belum memiliki
kebudayaan. Jakarta hanyalah sekumpulan kampung, bukan sebuah kota
(besar). Tak ada yang namanya kebudayaan Jakarta. Kebudayaan yang ada di
Jakarta adalah yang diimpor dari luar (barat).112
108 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 233 – 234 109 Sedyawati, Edi. Et.al. 1987/1987. Sejarah Kota Jakarta 1950 – 1980. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional: Jakarta, hal: 97 110 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 259 111
Ibid., hal: 262 112 Vickers, Adrian. 2005. Op.cit., hal: 129
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Selain soal keberagaman kebudayaan itu, masuknya pendatang ke
Jakarta menimbulkan masalah sosial yang berkepanjangan. Pemerintah
daerah tidak cukup sigap untuk menampung dan memfasilitasi para
pendatang tersebut. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, masalah yang
dihadapi itu di antaranya permukiman. Para pendatang yang tidak mampu
mengusahakan rumah, mendirikan gubuk-gubuk di sepanjang jalur kereta
dan bantaran kali. Dengan segera mereka menjadi ‘penghuni liar’ karena
menempati lahan-lahan yang sedianya menjadi lahan proyek pembangunan
ibukota.113
Tahun 1952 dilaporkan ada sekitar 30.000 permukiman ilegal yang
terdapat di Jakarta. Lima tahun berikutnya, tahun 1957, meningkat menjadi
70.000. Diperkirakan setidaknya 275.000 orang tinggal di rumah-rumah
yang tidak sehat dan 80.000 orang tinggal di daerah berpenduduk padat.
Beberapa daerah yang tergolong padat penduduk itu antara lain: Sawah
Besar, Menteng, Salemba, Tanah Abang, dan Kota.114 Kalau diperhatikan di
peta, daerah-daerah padat penduduk tersebut terkonsentrasi di wilayah
pusat.
Istilah ‘penghuni liar’ sebenarnya sangat diskursif. Pada masa
perjuangan, penduduk malah didorong untuk menduduki lahan-lahan di
Jakarta sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda.115 Dengan demikian, di
waktu itu peran mereka adalah sebagai ‘pejuang’. Begitupun dengan masa
pendudukan Jepang. Penduduk dianjurkan untuk menanami tanah kosong
113 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 266 114
Ibid., hal: 237 – 238 115 Ibid., hal: 266
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
dengan sayur-sayuran dan pohon jarak. Pemakaian tanah ini tanpa dipungut
biaya sewa sehingga tidak jelas lagi batas tanah, luas, atau pun pemiliknya.116
Akan tetapi, sesudah kemerdekaan, pendudukan atas lahan harus
disertai dengan bukti kepemilikan. Dari tahun 1945 – 1947, pemerintah kota
mengharuskan penduduk untuk mendaftarkan tanah garapannya.117 Dengan
demikian, tanah sudah bukan lagi arena pertarungan. Tanah adalah properti
yang bisa dimiliki sendiri, sederajat dengan rumah, kendaraan, dll. Oleh
sebab itu, apa yang menjadikan seorang penghuni liar, sesungguhnya adalah
soal pendaftaran dan pendataan.
Masalah klaim atas kepemilikan tanah ini menjadi hambatan utama
dalam melaksanakan pembangunan di ibukota. Menyadari belum tertatanya
sistem pendataan kepemilikan tanah membuat pemerintah kota merasa
berkewajiban untuk memberi kompensasi dan mengatur relokasi bagi para
‘penghuni liar’ tersebut. Ini tentunya memakan biaya dan waktu yang tidak
sedikit. Contohnya, untuk menyelesaikan beberapa ratus meter terakhir Jalan
Thamrin saja, pemerintah kota memberikan kompensasi pada sekitar 500
orang pemilik rumah.118
Selain ‘pemukim liar’, masalah sosial lain yang marak di ibukota yakni
keberadaan gelandangan. Perhatian pemerintah terhadap isu ini lebih untuk
menyelamatkan muka di depan tamu asing. Bagi pemerintah, gelandangan
adalah aib. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Syamsurijal, walikota kedua
yang menangani ibukota, sebagai berikut: “Dalam upaya untuk memperindah
116 Sedyawati, Edi. Et.al. Op.cit., hal: 99 117
Ibid. 118 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 266 – 267
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Jakarta, [walikota] mengambil langkah membersihkan kota dari para
gelandangan [...] orang asing dapat melihat mereka dan al ini menurunkan
status bangsa [...]”119
Oleh karena itu, ketika mereka kedatangan tamu asing akan dilakukan
‘pembersihan’ jalan dari para gelandangan. Para gelandangan itu dicokok,
dibawa ke kamp sementara untuk berdiam sekitar satu atau dua hari. Di hari
berikutnya, para gelandangan itu biasanya kembali ‘mangkal’ di jalanan.
Usaha lain yang dilakukan pemerintah yaitu mendirikan rumah
penampungan bagi gelandangan anak-anak dan ada pula yang dipindahkan
ke lahan baru di Sumatera Selatan.120
Setelah gelandangan, para pedagang kaki lima dan pengamen juga
dipandang sebagai masalah di ibukota. Pemerintah khawatir keberadaan
mereka akan menurunkan harkat martabat kota. Akan tetapi, pemerintah
tidak menerapkan sanksi tegas terhadap mereka. Kurangnya lahan pasar
menjadi salah satu pertimbangan pemerintah.121
Tentu, tidak semua pendatang yang hijrah ke Jakarta berakhir sebagai
gelandangan atau pengamen. Berdasarkan survei tahun 1953 diperlihatkan
bahwa sebagian besar imigran tersebut berhasil memperbaiki nasib mereka
di Jakarta. Imigran laki-laki biasanya bekerja di bidang industri dan
transportasi. Selebihnya menjadi pedagang kaki lima atau pegawai negeri.
119 Ibid., hal: 267 – 269 120
Ibid., hal: 268 121 Ibid., hal: 268
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Sedangkan imigran perempuan rata-rata bekerja sebagai buruh atau
pembantu rumah tangga.122
Berdasarkan survei yang digelar tahun 1953 disebutkan bahwa
sebagian besar pendatang di Jakarta berhasil memperbaiki nasibnya. Walau
jenis pekerjaan yang tersedia itu di luar standar, yang jelas hampir seluruh
pendatang itu dapat beroleh pekerjaan. Oleh sebab itu, kalau dibanding-
banding dengan penghidupan di luar Jakarta, Jakarta terbukti menjanjikan
karena menawarkan perolehan pendapatan yang lebih besar.123
Namun, bila membandingkan anggaran keluarga berpendapatan
rendah di tahun 1937 dengan tahun 1953 – 1954 terlihat bahwa sebenarnya
pekerja di Jakarta mengalami penurunan kemakmuran. Bila di tahun 1937
rata-rata rumah tangga tersebut menganggarkan 57% pendapatan untuk
makanan, di tahun 1953 – 1954 jumlah tersebut naik menjadi 74%. Kondisi
ini tambah memburuk di tahun 1957 di mana dilaporkan bahwa jumlah
keluarga yang sanggup makan tiga kali sehari hanya 30%.124
Inflasi disebut sebagai salah satu penyebab dari kemerosotan
ekonomi ini. Dalam kurun waktu 1953 – 1955 tercatat harga beras
mengalami kenaikan lebih dari separuhnya. Lalu, dari Januari 1958 sampai
Juli 1965 indeks biaya hidup meningkat sampai 10 kali lipat. Bagi mereka
yang memiliki penghasilan tetap, tentu keadaan ini akan menyiksa. Beda
dengan pedagang yang akan lebih banyak menuai untung.125
122 Ibid., hal: 252 123 Ibid., hal: 252 124
Ibid., hal: 252 – 253 125 Ibid., hal: 253
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
D. Jakarta dalam Karya Sastra Indonesia Periode 1950-an
Pada periode 1950-an, tidak banyak karya sastra yang diproduksi di
Indonesia. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kondisi ekonomi yang tidak
memungkinkan untuk memproduksi karya secara massal. Begitupun, baik
pengarang maupun penerbit tidak mau mengambil resiko apabila karangan
yang diproduksi tidak laku di pasar dikarenakan daya beli konsumen yang
rendah.126
Di sisi lain, krisis ekonomi membawa perubahan pada bentuk/ragam
karya sastra yang diterbitkan. Kebanyakan tulisan bermunculan dalam
format cerita pendek, alih-alih novel-novel tebal beratus-ratus halaman. Bagi
penerbit, setiap helai yang terpakai berarti ongkos produksi yang bertambah.
Bagi pengarang, setiap helai yang bertambah berarti waktunya untuk duduk
diam tanpa penghasilan juga akan bertambah lama. Begitupun dari segi
konsumen, lembar yang banyak akan membuat sebuah buku semakin mahal,
dan karenanya tidak terjangkau.127
Oleh karena itu, cerpen menjadi sangat booming pada periode 1950-
an. Seperti yang disebut Maman Mahayana, hampir setiap majalah yang terbit
di masa itu menyertakan cerpen. Meski, jika dihitung dari segi kuantitas,
jumlah cerpen masih berada di bawah puisi. Dari penelitian E.U. Kratz, dari
55 majalah yang terbit pada periode 1950-an, terdapat 5043 cerpen yang
diterbitkan, sedangkan puisi berjumlah 6291 buah.128
126 Teeuw, A. 1997. Citra Manusia Dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Cetakan I. Pustaka Jaya: Jakarta, hal: 195 127 Ibid. 128
Mahayana, Maman S. 2006. Bermain dengan Cerpen: Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, hal: 20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Pada periode 1950-an tersebut, cerpen sudah mulai dianggap sebagai
bagian dari ragam kesusatraan Indonesia yang penting. Pada periode ini pula
mulai diterbitkan buku antologi cerpen, seperti buku Cerita dari Jakarta
karangan Pramoedya. Akan tetapi, masih ada anggapan bahwa penulis
cerpen tingkatannya berada di bawah novelis. Bahwa, seperti kata H.B. Jassin,
cerpen adalah “latihan bagi penulisan roman yang lebih besar”.129 Singkat
kata, walau secara kuantitas cerpen mengalami peningkatan tajam, akan
tetapi secara kualitas masih dipertanyakan.
Sebenarnya persoalan kualitas, atau mutu sastra tidak hanya menjadi
polemik dalam cerpen saja, tetapi juga dalam sastra Indonesia periode 1950-
an secara keseluruhan. Isu ini awalnya mengemuka dalam Simposium Sastra
Modern Indonesia yang diselenggarakan Sticusa di Amsterdam, Juli 1953.
Dalam kesempatan tersebut, beberapa kritikus sastra Belanda melihat sastra
Indonesia mengalami penurunan baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Sementara itu, di dalam negeri, Soedjatmoko dalam tulisannya tahun 1954,
juga melontarkan pendapat serupa. Baginya, kelangkaan novel yang baik
sejak proklamasi kemerdekaan membuktikan bahwa benar telah terjadi
krisis dalam sastra Indonesia.130
Pendapat tersebut didebat oleh Boeyoeng Saleh dan AS Dharta, yang
sama-sama bernaung dalam Lekra. Boeyoeng Saleh menyorot faktor-faktor
eksternal serupa politik, ekonomi, dan sosiallah yang membuat adanya kesan
akan krisis sastra tersebut. Lain halnya dengan AS Dharta yang balik
menggugat kriteria yang digunakan dalam menilai mutu sastra. Menurutnya, 129
Dalam ibid., hal: 20; 23 130 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 48 – 49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
standar estetika yang digunakan selama ini merupakan kriteria kaum borjuis
yang menekan ekspresi kreatif dari rakyat kecil.131 Serangan Dharta jelas
ditujukan bagi kelompok Gelanggang yang menekankan pentingnya struktur
formal dalam sastra.
Walaupun perdebatan tentang krisis sastra ini dilatarbelakangi oleh
politik sastra, antara Gelanggang yang ingin memperluas pengaruhnya dan
Lekra yang ingin mempertegas keberadaan mereka, di pihak Gelanggang
sendiri tidak satu suara mengenai krisis sastra ini. H.B. Jassin yang disebut-
sebut sebagai juru kunci sastra Indonesia modern, menolak terhadap
pendapat adanya penurunan dalam kualitas dan kuantitas sastra
Indonesia.132
Terlepas dari perdebatan-perdebatan itu, terlepas pula dari soal mutu
dan jumlah, beberapa karya sastra yang dihasilkan pada periode 1950-an
tampak mengambil sikap kritis terhadap keadaan sosial, politik, dan ekonomi
yang terjadi di masa itu, tidak terkecuali karya-karya sastra yang mengambil
latar di Jakarta. Jakarta tidak lagi dipandang dengan penuh ketakjuban
seperti dalam novel-novel awal abad 20. Dalam karya-karya periode 1950-an
mulai terlihat sisi bobrok dari Jakarta.
Misalnya, di tahun 1954, Ajip Rosidi menulis puisi berjudul Lagu
Djakarta. Dalam puisi tersebut, modernitas Jakarta bukannya diselebrasi,
melainkan dikritisi. Rosidi lebih banyak menampilkan sisi negatif dari
modernitas Jakarta. Jakarta digambarkan secara suram. Malaria merajalela.
Banjir mengancam di mana-mana. Bau pesing menguar di udara. Jakarta juga 131
Ibid., hal: 49 – 50 132 Ibid., hal: 50
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
adalah kota yang keras. Orang-orang harus bekerja membanting tulang untuk
bertahan hidup.133
Dalam puisi selanjutnya di tahun 1955 berjudul Kepada Jakarta,
kehidupan Jakarta yang keras masih disorot. Jakarta diidentikkan dengan
keringat dan debu. Malaria, sekali lagi, dimasukkan dalam salah satu bait.
Puisi ini dengan cerdik menampilkan kontras antara dua wajah Jakarta
dengan membandingkan Jakarta di waktu siang dengan Jakarta di waktu
malam. Jakarta di waktu siang tampil sebagaimana adanya, dengan cacat dan
keburukannya. Begitu malam, segala kejelekan tersebut hilang digantikan
oleh angan-angan dan harapan.134
Malaria, yang masuk dua kali dalam puisi Rosidi, merupakan salah
satu topik yang kerap disorot dan digunakan oleh penyair-penyair Angkatan
45.135 Seperti halnya yang terjadi di abad 19, di periode 1950-an kasus
malaria sangat umum terjadi di Jakarta. Buruknya kesehatan warga kota
antara lain disebabkan oleh gizi yang buruk, kebersihan yang tidak terjaga
dan pasokan air yang tidak mencukupi.136
Ringkasnya dapat dikatakan modernitas menjadi bumerang bagi kota
Jakarta. Biasanya modernitas didefinisikan lewat keteraturan dan
kebersihan, akan tetapi untuk kasus Jakarta yang terjadi malah sebaliknya.
Modernitas Jakarta adalah modernitas yang setengah-setengah, modernitas
yang selalu menyisakan sampah.
133 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook, Op.cit., hal: 238 134 Ibid. 135
Ibid., hal: 224 136 Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 245
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Namun, betapapun jeleknya ibukota, ia tetap disukai oleh
penduduknya. Mereka enggan berpaling dari Jakarta. Barangkali bukan
karena tidak ada jalan lain untuk berkelit, hingga mereka harus pasrah dan
‘menerima apa adanya’. Tapi lebih karena mereka adalah produk dari Jakarta
itu sendiri, mereka bukanlah bagian yang tak terpisahkan dari Jakarta.
Seperti yang ditulis Rosidi dalam dua baris terakhir puisinya: “Kutjinta
Djakarta. Karena kau kotakelahiran kedua.”137
Selanjutnya, karya sastra yang sering dirujuk untuk menggambarkan
kemelut tahun 1950-an di Jakarta adalah novel Mochtar Lubis, Senja di
Jakarta. Dalam novel tersebut Lubis menampilkan dua sisi Jakarta yang
kontradiktif. Jakarta ditampilkan sebagai sebuah kota yang secara spasial
terbagi-bagi, bukan dalam artian fisik tapi dalam hal simbolik. Apa yang
membedakan satu kelompok dengan kelompok lain adalah terbuka atau
tidaknya akses pada modernitas, uang, dan juga terhadap kekuasaan.
Sisi Jakarta yang satu direpresentasikan oleh elit-elit masyarakat yang
korup. Tokoh-tokoh ini diwakili oleh Suryono, Husin Limbara, Raden Kaslan,
dan Sugeng. Kalau Jakarta diumpamakan sebagai sebuah kue atau daging
ayam, mereka mendapatkan bagian yang paling baik dari Jakarta sebagai
kota yang direpresentasikan sebagai pusat uang dan pusat kekuasaan.
Sementara itu, di sisi lainnya, ada lapisan masyarakat lain yang hanya
menikmati remah-remah dari kota Jakarta. Dan untuk mendapatkan remah-
remah itu mereka harus berjuang dengan keras (mempertahankan hidup
137 Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook, Op.cit., hal: 238
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
dengan keras). Kelompok ini diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Pak Ijo,
Saimun, Itam dan Neneng.
Untuk mempertajam kritik sosialnya, Lubis menggambarkan
kemiskinan mereka bukan sebagai hasil. Tapi sebagai konsekuensi dari
jauhnya mereka terhadap akses-akses, ketidakmampuan mereka dalam
mengakses pusat kekuasaan dan uang. Mereka hidup secara terpisah seolah-
olah berada di dunia yang berbeda, yang jauh jaraknya. Mereka terpisah
dalam jarak sosial yang sangat jauh dan tak terjembatani.
Secara karikatural Lubis beberapa kali menggambarkan
persinggungan mereka di jalan secara insidental. Misal ketika mobil baru
Raden Kaslan ditabrak oleh seorang kusir. Walau mereka berbagi jalan yang
sama, pada akhirnya akses terhadap kekuasaanlah yang berbicara dan
membedakan keduanya.
Yang menarik juga adalah cara Lubis memrepresentasikan
persinggungan mereka. Di jalan orang kecil selalu digambarkan mengganggu
kesenangan para elit yang sedang menikmati atau mencicipi pengalaman
sebagai orang modern (naik mobil atau makan di restoran). Lubis bahkan
menuliskan setidaknya tiga peristiwa kecelakaan di jalan raya dengan rakyat
kecil sebagai korbannya.
Dalam persinggungan baik buruknya nasib mereka ditentukan oleh
kebaikan atau kemurahan hati para elit tersebut. Lewat kontras semacam
itulah Lubis menggambarkan demoralisasi yang melanda kota Jakarta.
Membandingkan karya kedua sastrawan tersebut, tampak bahwa
Rosidi lebih perhatian pada aspek sosial, sedangkan Lubis lebih politis. Kalau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Rosidi menyorot malaria sebagai penyakit utama yang mengancam warga
ibukota, Lubis lebih memilih korupsi sebagai penyakit akut yang menjangkiti
pegawai dan kalangan elit Jakarta. Di samping perbedaan keduanya, benang
merah yang dapat ditarik bahwa ada yang salah dengan modernitas di
Jakarta. Kalau Soekarno menunjukkan Jakarta lewat bangunan-bangunan
yang megah dan mewah, para pengarang tersebut menunjukkan bahwa
bangunan-bangunan yang terlihat indah tersebut sesungguhnya keropos dan
lemah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
BAB III
PRAMOEDYA DAN CERITA DARI JAKARTA
Bab berikut ini menyorot secara lebih terperinci mengenai latar
belakang dari dua hal: Pramoedya Ananta Toer selaku pengarang, dan buku
antologi cerpen yang ditulisnya, Cerita dari Jakarta. Karena Cerita dari
Jakarta ditulis sebagian besar dalam periode awal 1950-an, masa-masa di
mana ia dikelompokkan sebagai unattached individual, maka riwayat hidup
Pramoedya juga akan dititikberatkan pada masa-masa itu. Oleh karena itu,
bisa dimaklumi apabila aktivitas Pramoedya di Lekra hanya sedikit
disinggung di sini.
Spesifiknya, bab ini dimulai dengan gambaran tentang masa kecil
Pramoedya di Blora. Dari masa kanaknya ini sudah terlihat perhatian
Pramoedya terhadap ketidakadilan dan penindasan. Selanjutnya, Pramoedya
pindah ke Jakarta di usia 17 tahun, yang tidak hanya berarti pindah secara
ragawi, tetapi juga secara kultural. Pramoedya tidak hanya menanggalkan
dialek Jawa Blora-nya, tetapi juga meninggalkan cara berpikir dan ‘adat
kebiasaan’ di kampungnya. Misal, Pramoedya memilih pasangannya sendiri,
sebuah cara yang berbeda dari yang dipraktikkan kedua orang tuanya.
Pergulatan hidup Pramoedya di Jakarta, masa-masa susahnya menjadi
bawahan, menjadi penulis upahan, yang berujung pada perceraian dengan
isterinya; ditambah situasi politik, ekonomi dan sosial Indonesia pasca
merdeka yang masih jauh dari cita-cita revolusi, diyakini telah menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
inspirasi Pramoedya dalam menuliskan cerpen-cerpen yang termuat dalam
Cerita dari Jakarta.
A. Pramoedya: Masa-Masa di Blora
Pramoedya adalah sastrawan lintas jaman. Ia merasakan hidup di
masa Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, dan terakhir, Reformasi.
Pramoedya lahir 6 Februari 1925. Sedari kecil, ia sudah familiar dengan ide
nasionalisme, terutama karena ayahnya adalah “seorang nasionalis yang
revolusioner”.138
Sebelum menikah, Mastoer,139 ayah Pramoedya, bekerja sebagai guru
di sekolah dasar pemerintah Belanda Holandse Indische School (HIS) di
Rembang. Setelah menikah, yaitunya di tahun 1923, ia melepaskan pekerjaan
itu. Ia lebih memilih untuk mengabdikan diri sebagai direktur merangkap
kepala sekolah di Lembaga Budi Utomo cabang Blora. Kendati kedudukannya
lebih tinggi, pendapatannya jauh lebih sedikit. Apabila di HIS ia digaji 200
gulden, di Budi Utomo ia hanya mendapat kurang dari sepersepuluhnya,
yakni 18 gulden. 140
Atas sikap dan pendirian ayahnya itu, Pramoedya menyimpan
kekaguman dan kebanggaan yang mendalam. Kekaguman itu jelas tampak
dari cara Pramoedya menggambarkan ayahnya:
138 Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra: Jakarta, hal: 7 139 Berdasarkan keterangan Pramoedya, tadinya ayahnya bernama Mastoer. Akan tetapi, karena kebenciannya pada feodalisme, ia membuang Mas di depan namanya itu. (Ibid., hal: 6) 140 Lihat Scherer, Savitri. [1981] 2012. Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam ideologi. Komunitas Bambu: Depok, hal: 11 dan Teeuw, A. 1995. Revolusi Indonesia dalam imajinasi Pramoedya Ananta Toer. Jurnal Kalam Edisi 6, hal: 4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
“Ayahku bertubuh tegap, seorang kukuh pendirian dan sikapnya. Dan yang selalu aku hormati: tabah dalam mengambil keputusan dan merumuskan sesuatu. Ia seorang liberalis dan javanis sekaligus, tidak melakukan ibadah, pecinta kebudayaan Jawa, pembenci feodalisme [...] Ia mempunyai pengetahuan yang luas tentang literatur Jawa, seorang penggerak, juga seorang pengarang dan penggubah lagu-lagu [....] Sampai sekarang pun kegiatannya masih aku nilai sebagai dahsyat.”141
Akan tetapi, di balik kekaguman itu, hubungan antara Pramoedya
dengan ayahnya secara pribadi tidak terlalu rapat. Ayahnya jarang berada di
rumah. Ketika di rumah pun, ia tidak terlalu banyak bicara. Sementara, seisi
rumah itu tidak ada pula yang berani berbicara padanya.142
Lain halnya hubungan Pramoedya dengan ibunya, keduanya sangatlah
dekat. Sementara ayahnya sibuk di luar, ibunya sibuk pula bekerja demi
mencukupi kebutuhan keluarga dan saudara-saudara lain yang ikut tinggal
bersama mereka. Ibunya melakukan segala macam usaha, mulai dari
membatik, membuat kue, minyak kelapa, sabun, sampai berternak ayam,
kambing, dll. Perjuangan ibunya inilah yang membuat Pramoedya sangat
menghormatinya. Bahkan, membuat Pramoedya lebih memihak kepada ibu
ketimbang bapaknya. 143 Berikut diantara pujian Pramoedya untuk ibunya:
“Dialah guruku, pembentuk dan pembimbingku, yang mengalasdasari hidupku sampai sekarang ini. [...] Bagiku dia adalah nilai tanpa sampah, api tanpa debu. Sekiranya ia hidup barang 7 abad lalu, dan sekiranya aku raja seperti Sri Kertanegara, ia pun akan aku candikan, dan aku persembahkan gelar Prajnya Paramita, Dewi Kebijaksanaan.”144
141 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 4 142 Ibid., hal: 16 143
Ibid., hal: 23; 58 144 Ibid., hal: 23; 58; 160
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Ibu Pramoedya, bernama Oemi Saidah, berasal dari kalangan santri
yang terdidik. Ibunya menjadi anak didik ayah Pramoedya sewaktu di HIS.145
Bila tidak segera dipersunting, ibunya sudah melanjutkan pendidikan ke Van
Deventer School, sebuah sekolah kerajinan untuk gadis di Semarang.146
Ibunya menikah di usia 15 tahun, terpaut 11 tahun dengan ayah Pramoedya
yang sudah berusia 26 tahun.147
Pramoedya belajar di sekolah yang dipimpin ayahnya sejak usia 4
tahun. Prestasi akademiknya ketika itu amatlah minim. Ayah Pramoedya pun
mengkhususkan waktu di sore hari untuk memberinya pelajaran tambahan.
Nasionalisme dan penindasan termasuk di antara yang diajarkan ayahnya.
Sementara itu, bimbingan lewat cerita-cerita tokoh nasionalis sering pula
dikisahkan ibunya. Pramoedya tiga kali tinggal kelas, hingga baru
menamatkan sekolah dasar di usia 15 tahun.148 Itupun, setelah dinyatakan
lulus, Pramoedya masih disuruh ayahnya mengulang kelas 7. Pramoedya
menurut, walau cuma sehari.149
Selepas sekolah dasar, Pramoedya mulai hidup merantau. Ia
melanjutkan pendidikan ke Surabaya di sekolah kejuruan radio, Radio
Vakschool. Sekolah itu dipilihnya bukan karena ia tertarik pada radio, tetapi
karena sekolah itu masih ada hubungannya dengan listrik. Awalnya,
145
Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 11 146 Dapat dilihat pada situs http://www.jendelasastra.com/wawasan/pokok-dan-tokoh/biografi-singkat-pramoedya-ananta-toer, diakses tanggal 15 November 2014 147 Lihat Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 4. Keterangan yang berbeda diberikan Scherer, di mana ia menulis ibu Pramoedya berusia 18 tahun ketika menikah dengan ayahnya yang waktu itu 32 tahun. (Dalam Scherer, Savitri. Op.cit.) 148
Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 55; dan Teeuw, A. Op.cit. 149 Toer, Pramoedya Ananta. Ibid., hal: 78 – 80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Pramoedya bercita-cita menjadi insinyur listrik. Namun, sebagai lulusan
sekolah nasional ia tidak mungkin menyambung ke sekolah tinggi teknik.150
Biaya pendidikan Pramoedya di Radio Vakschool diusahakan oleh
ibunya. Sebelum berangkat ke Surabaya, Pramoedya mengenang, ibunya
membelikan sebuah arloji dan dua buah cincin emas sebagai bekal.
Pramoedya lulus Desember 1941.151
Tidak lama berselang, Jepang mengambil-alih Hindia Belanda, bahkan
sampai pula ke Blora. Ketika itu Pramoedya sudah pulang ke rumahnya. Di
tengah konflik itu, Pramoedya harus menghadapi keadaan finansial keluarga
yang kian terpuruk. Ibunya yang terkena TBC sudah teramat lemah. Ia tidak
mampu lagi bekerja. Maka Pramoedya, 17 tahun, dan adiknya, 15 tahun,
mengambil alih tanggung jawab menafkahi keluarga dengan berdagang
rombengan, rokok, cengkeh, dll. Pada bulan Mei 1942, ibunya meninggal
dalam usia yang masih teramat muda, 34 tahun.152
B. Pramoedya, Jakarta, dan Revolusi Indonesia
Pramoedya berangkat ke Jakarta sebulan berselang kematian ibunya.
Ayahnya merasa tidak ada masa depan untuk Pramoedya bila ia tetap tinggal
di Blora.153 Pramoedya pergi berdua dengan adiknya. Inilah kali pertama
Pramoedya menginjakkan kaki di Jakarta. Selama ini, Pramoedya baru
150 Toer, Pramoedya Ananta. Ibid., hal: 77; 81 151 Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, hal: 285 152 Scherer, Savitri, Op.cit., hal: 12; Teeuw, A. Op.cit., hal: 4; Toer, dan Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 105 – 107 153
Dalam sebuah wawancara, Pramoedya mengingat kejadian di masa itu: “Ia berkata kepada saya: ‘Pergilah saja ke barat, ke Jakarta’.” (Lihat catatan akhir nomor 69 dalam Mrazek, hal: 397)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
mengenal Jakarta dari buku-buku bacaan. 154 Walau tidak langsung menetap
lama di kota ini, Jakarta tidak hanya sekadar menjadi tempat persinggahan
bagi Pramoedya. Nantinya, ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di kota
ini. Jakarta juga menjadi tempat peristirahatan terakhirnya setelah
meninggal dunia pada tahun 2006.155
Blora ketika itu digambarkan Pramoedya sebagai kota yang nyaris
tidak berpenghidupan. Tanahnya gersang. Tidak mengherankan apabila
anak-anak mudanya banyak yang pergi ke daerah lain demi mencari
pekerjaan, termasuk di antaranya kawan-kawan Pramoedya. Dua orang
teman yang telah setia menemani Pramoedya di kala-kala gundah sehabis
kematian ibunya, telah hijrah ke Sumatera. Pramoedya menyadari,
kepergiannya ke Jakarta tidak hanya akan menjadi perpisahan dengan sanak
keluarga semata, tetapi juga dengan cara pikir dan budayanya, karena begitu
masuk ke kota “ia memasuki alam modern yang tidak memungkinkannya
kembali ke desanya lagi”.156
Sesampainya di Jakarta, Pramoedya dan adiknya ditampung di rumah
adik ayahnya yang paling bontot, R. Moedigdo. Pamannya itu masih lajang,
tinggal seorang diri saja. Pramoedya menggambarkan rumah itu sebagai
“bagus dan bersih, modern dan nampaknya sehat.”157
154 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 118 – 119 155 Berita-berita tentang kematian Pramoedya dapat dilihat pada situs-situs berikut: http://en.tempo.co/read/news/2006/04/30/05576836/Pramoedya-Dimakamkan-di-TPU-Karet, 30 April 2006 dan http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2006/04/30/11524/Diiringi-Gema-Petir,-Pramoedya-Dimakamkan-di-Karet, 30 April 2006. 156
Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 113 – 120 157 Ibid., hal: 126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Pramoedya termasuk ‘beruntung’ dari segi ini, karena ia tidak
langsung berhadapan dengan rumah-rumah kumuh khas ibukota. Contohnya
pengalaman Ajip Rosidi yang baru pindah ke Jakarta tahun 1951. Mengikut
pamannya, ia tinggal di gubuk beratapkan rumbia yang menyatu dengan
gubuk-gubuk lain seluas sekitar 10 x 7 meter. Kawasan itu dihuni 57
orang!158
Jakarta tahun 1942 berarti Jakarta yang ‘bertuankan’ kepada Jepang.
Pekerjaan pertama yang diperoleh Pramoedya di Jakarta adalah sebagai juru
ketik di kantor berita Jepang, Domei. Di kemudian hari, hal ini membuatnya
dituding sebagai antek Jepang.159 Di samping bekerja, Pramoedya masih
melanjutkan sekolah di Taman Siswa untuk dewasa. Taman siswa
dibubarkan atas perintah Jepang tahun 1943, yang berarti akhir dari
pendidikan Pramoedya di sekolah itu.160
Dibandingkan Pramoedya, lingkungan barunya di Jakarta berbeda
sama sekali dengan di Blora. Sedikit demi sedikit ia belajar menyesuaikan
diri. Satu-persatu, Pramoedya mencoba melepaskan diri dari pengaruh-
pengaruh kebudayaan Jawa yang dikenalinya sedari kecil. Ia bahkan
mengkoreksi logatnya yang medok Jawa menjadi ‘lebih kota’, ‘lebih
Indonesia’. Pramoedya bukan lagi ‘anak kampung’ yang ke ‘kota’, tetapi
sudah menjadi ‘anak kota’ seutuhnya. Dalam kesaksian Pramoedya:
“Tanpa aku rasai aku mulai meninggalkan pengaruh kebudayaan Jawa. Memang mula-mula orang menertawakan d-ku yang berat kejawa-jawaan. Dalam seminggu aku telah dapat menghilangkan d
158 Dalam Blackburn, Susan. 2012. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Pen. Gatot Triwira. Masup Jakarta: Jakarta, hal: 237 159
Ibid., hal: 121 160 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 12 – 13; Teeuw, A. Op.cit., hal: 4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Jawa, juga membuang tekanan-tekanan berat yang emosional pada makna yang dimaksud. Aku mulai merasa sebagai orang Indonesia sepenuhnya, bukan lagi orang Jawa dengan etiket Indonesia.”161 Walau sekolah formalnya terhenti di tahun 1943, tidak berarti
Pramoedya berhenti belajar. Ia banyak membaca buku dan mengikuti
diskusi-diskusi sastra. Buku yang dibacanya sangat beragam subyeknya,
mulai dari buku-buku filsafat alam dan Helenisme karangan Moh. Hatta,
sampai Encyclopedy Winkler Prims dan Encyclopedy Brittannica. Buku-buku
tersebut memperluas cakrawala pengetahuannya hingga ke daratan Eropa.
162
Pada bulan Februari 1944, Domei mengirim dua orang stafnya untuk
kursus stenografi pada Karundeng, bapak stenografi Indonesia. Salah seorang
yang ditunjuk adalah Pramoedya. Di masa kursus itu, di samping diajari
menulis cepat, Pramoedya juga mendapat pelajaran politik dari Soekarno,
pelajaran ekonomi dari Moh. Hatta, dan tata negara dari Soekardjo
Wirjopranoto. Semasa kursusnya, Pramoedya ditugasi mencatat dalam steno
sejumlah ceramah Muhammad Yamin, yang kemudian diterbitkan dalam
judul Diponegoro. Kursus stenografi ini selesai di tahun 1945.163
Setamatnya kursus, Pramoedya dihadapkan pada kekecewaan
terhadap Domei. Hasnah St. Diatas yang ikut kursus bersamanya langsung
duduk di meja redaksi, sedangkan Pramoedya tetap jadi juru ketik dengan
gaji yang juga tetap. Ia mengira jenjang pendidikan yang rendah yang
menjadi pangkal bala. Maka, sewaktu Sekolah Tinggi Islam baru dibuka,
161 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 128 162
Ibid., hal: 131 – 142 163 Ibid., hal: 143; 148; Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 13; dan Teeuw, A. Op.cit., hal: 5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Pramoedya mendaftar sebagai mahasiswa pendengar untuk mata kuliah
filsafat dan sosiologi.164
Selanjutnya, masa-masa di Domei tidak menyenangkan hati
Pramoedya. Apalagi sudah tumbuh kesadaran di dirinya, menjadi stenograf
berarti menjadi budak. Ia berkehendak menjadi orang bebas, bebas
melakukan apa-apa yang diingininya tanpa diperintah-perintah orang. “Aku
tahu, aku mulai tumbuh jadi seorang individualis. Jakarta sudah cocok untuk
diriku, dan diriku tidak cocok untuk Jakarta.”165
Pramoedya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Domei. Akan
tetapi, surat permohonannya yang berulang-ulang kali dikirim, tidak pernah
ditanggapi. Sementara, ia sudah sangat muak tinggal di Jakarta. Pramoedya
akhirnya kabur ke Blora, berpindah-pindah ke beberapa tempat, sampai
akhirnya menetap di sebuah desa terpencil bernama Tunjung.166
Tanggal 23 Agustus 1945, di Tunjung tersiar kabar kemerdekaan
Indonesia. Pramoedya meninggalkan Tunjung, dan kembali lagi ke Jakarta
pada bulan September 1945.167 Padahal, di masa-masa itu sering terjadi
kekacauan. Mereka yang tadinya bermukim di Jakarta, banyak yang
berbondong-bondong meninggalkan kota.168
Tinggalnya Pramoedya di Jakarta pada masa-masa Revolusi
memberinya sebuah pandangan yang berbeda dalam melihat proklamasi
164 Toer, Pramoedya Ananta. Ibid., hal: 149 – 151 165 Ibid., hal: 152 – 153 166 Ibid., hal: 153 167 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 14 168 Cribb, Robert. 1985. The nationalist world of occupied Jakarta (1946 – 1949) dalam buku From Batavia to Jakarta. Ed. Susan Abeyasekere. Monash University: Clayton, hal: 94. (Dapat diakses di situs: http://works.bepress.com/robert_cribb/15, tanggal 11 November 2014)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
kemerdekaan Indonesia. Proklamasi bukanlah sebuah garis finish yang
menandakan berakhirnya masa penjajahan Belanda atau pun pendudukan
Jepang. Proklamasi bukanlah tujuan Revolusi. Proklamasi baru sampai
membawa bangsa Indonesia pada garis start. Bagi Pramoedya, Revolusi baru
akan dimulai.169
Menariknya, Pramoedya meletakkan awal revolusi Indonesia bukan di
tangan para proklamatornya, ataupun tokoh-tokoh pergerakan nasional lain.
Dengan lantang Pramoedya mengumumkan: “Revolusi Indonesia dimulai
oleh para paria Medan Senen.”170 Nama-nama mereka yang dikelompokkan
Pramoedya sebagai “paria” ini tentu tidak akan dicetak tebal dalam buku
sejarah nasional, tidak pula dalam narasi penulisan sejarah pada
umumnya.171
Pramoedya mempunyai alasan kuat mengapa ia mengajukan kaum
paria Medan Senen ini sebagai perintis revolusi nasional. Dalam
pengamatannya, kaum paria Medan Senen termasuk yang pertama-tama ke
luar dari lingkungannya, dan melakukan perlawanan. Mereka sudah tidak
lagi sekadar berjaga-jaga di wilayahnya masing-masing.172
Kesadaran akan pentingnya melakukan perlawanan ini didapat
Pramoedya ketika menghadiri rapat raksasa di Lapangan Ikada (di bagian
169 Lihat: Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 174 – 187 170 Paria dalam KKBI diartikan sebagai “golongan masyarakat yg terendah atau hina-dina (dl masyarakat Hindu) yang tidak mempunyai kelas (kasta)”. Pramoedya menggunakan istilah paria untuk merujuk pada kaum gelandangan, pengemis, pelacur, atau pun pencopet. Sementara yang dimaksud Pramoedya dengan Medan Senen yakni “lapangan Pasar Senen dengan sekitar satu kilometer radius daerah pengaruhnya.” (Lihat: Ibid., hal: 177; 187) 171 Diantara segelintir peneliti yang mengkaji secara khusus sumbangsih ‘kaum paria’ (geng dan bandit kampung) dalam gerakan revolusi nasional yakni Robert Cribb. Penelitian tersebut dilakukannya dalam rentang tahun 1979 – 1984, dan hasilnya dibukukan dalam judul Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1945 – 1949. 172 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 177
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
tenggara Lapangan Merdeka), 19 September 1945. Saat itu ia terkesan
dengan semangat dan keberanian yang meluap-luap dari rakyat Indonesia.
“[...] itulah untuk pertama kali aku saksikan, bagaimana orang Indonesia
sama sekali tidak takut pada Dai Nippon dengan militernya yang mashur
akan kekejaman dan kekejiannya”.173
Maka dengan bekal semangat dan keberanian melawan itulah,
Pramoedya kemudian memutuskan untuk bergabung dalam Badan
Keamanan Rakyat (BKR) pada bulan Oktober 1945. Pusatnya terletak di
Cikampek. Pramoedya mendaftar sebagai tentara kelas dua di unit Banteng
Teruna yang dalam perkembangan lebih lanjut menjadi inti divisi Siliwangi,
kesatuan elit angkatan bersenjata.174
Pada pertengahan tahun 1946, Pramoedya menjabat sebagai perwira
pers dengan pangkat letnan kelas dua. Ia ditugasi memimpin satu unit yang
terdiri dari 60 tentara untuk melaporkan keadaan-keadaan di beberapa
tempat, di antaranya: Klender, Bekasi, Cakung, Kranji, Lemah Abang,
Krawang dan markas-markas di Cikampek.175 Karir militer Pramoedya tidak
berlangsung lama, hanya hingga akhir tahun 1946. Konflik internal di dalam
BKR dan merajalelanya praktik korupsi diduga sebagai penyebab
pengunduran dirinya.176
Ketidakcocokan Pramoedya dengan BKR terutama karena melihat
BKR tidak lagi sejalan dengan cita-cita revolusi yang dipercayainya.
Pramoedya tidak setuju dengan tindakan BKR yang melucuti senjata dari
173 Ibid., hal: 177; Teeuw, A. Op.cit., hal: 5 174 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 14; dan Teeuw, A. Op.cit., hal: 5 175
Scherer, Savitri. Ibid., hal: 14 – 15 176 Teeuw, A. Op.cit., hal: 5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
tangan rakyat, dan bahkan sampai pada melakukan pembunuhan. “Tentu saja
kurban bergelimpangan, bukan demi mempertahankan kemerdekaan. Demi
kemapanan kasta satria.”177
Maka pada awal tahun 1947, Pramoedya kembali lagi ke Jakarta. Ia
diterima bekerja di The Voice of Free Indonesia sebagai redaktur bagian
penerbitan. Di masa itu, Pramoedya sudah mulai rajin mempublikasikan
tulisannya yang dinilai tidak terlalu berhasil. Cerita pendek Pramoedya
diterbitkan di berbagai majalah terbitan Jakarta seperti Sadar, Pantja Raja,
dan Minggoe Merdeka. Sementara roman pertamanya, Krandji Bekasi Djatuh,
diterbitkan oleh tempat kerjanya, The Voice of Free Indonesia.178
Malang bagi Pramoedya, 21 Juli 1947 berlangsung Agresi Militer
Belanda I. Pramoedya ditangkap oleh sekelompok angkatan laut Belanda
karena dikira terlibat dalam gerakan perlawanan. Pramoedya dijebloskan ke
Penjara Bukit Duri tanpa melalui proses hukum apapun.179 Inilah
pengalaman pertama Pramoedya dipenjara. Penahanan selanjutnya terjadi di
masa Orde Lama (1 tahun), dan yang terlama, masa Orde Baru (14 tahun) di
mana Pramoedya ditangkap sebagai tahanan politik tanpa proses
pengadilan.180
Selama berada di tahanan, Pramoedya tetap aktif menulis. Beruntung,
penjara itu mempertemukan Pramoedya dengan Prof. G. J. Resink yang
177 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 179 178 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 15; Teeuw, A. Op.cit., hal: 5; Farid, Hilmar. 2008. “Pramoedya dan historiografi Indonesia” dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Eds. Nordholdt, Henk Schulte. et. al. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, hal: 83 179 Scherer, Savitri. Ibid., hal: 15 – 16; Teeuw, A. Ibid., hal: 5 180
Dapat diakses pada situs http://profil.merdeka.com/indonesia/p/pramoedya-ananta-toer/, tanggal 15 November 2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
kemudian menolong membawa tulisan-tulisannya ke luar penjara untuk
diterbitkan. Roman Perburuan yang menang dalam sayembara roman Balai
Pustaka tahun 1950, ditulis di masa-masa ini. Selain Perburuan, roman
lainnya, Keluarga Gerilya juga diselesaikan di Penjara Bukit Duri.181
Pada bulan Desember 1949, Pramoedya dikeluarkan dari penjara.
Sementara Belanda dipulangkan ke tanah air mereka. Dalam upacara
penurunan bendera Belanda, dan pengibaran bendera Indonesia di depan
istana Gambir (kemudian diberi nama Istana Merdeka), Pramoedya termasuk
di antara yang hadir. Pengalaman itu sangat mengharukan baginya. Bagi
Pramoedya, naiknya bendera merah putih merupakan tanda revolusi telah
kalah. Sebab, bendera itu bisa berkibar merupakan hadiah dari Konferensi
Meja Bundar, bukan yang diperjuangkan secara mati-matian.182
Walau kedaulatan Indonesia sebagai bangsa sudah diakui, bagi
Pramoedya, apa yang menjadi cita-cita kemerdekaan tidak sepenuhnya
tercapai. Sebab, ia melihat pemenang sesungguhnya adalah para priyayi,
mereka yang berasal dari kasta satria.
“Para satria, Et, pada berebutan mencoba menggantikan kedudukan kolonialis, rumahnya, jabatannya, kalau bisa juga bininya, dan juga berebut memeriahi dirinya dengan dekorasi yang jadi haknya kasta waisya, hanya untuk mendapatkan dua piring dari kue nasional yang tersedia.”183
Dengan kata lain, bagi Pramoedya, kemerdekaan atau pun revolusi
tidak membawa perubahan apapun. Yang lemah tetap di bawah, makin
tertindas oleh mereka yang berada di lapisan teratas. Yang berubah hanyalah
181 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 16 182
Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 196 183 Ibid., hal: 182
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
penguasanya, dari Belanda diganti dengan kaum satria (priyayi), sementara
strukturnya masih tetap sama.
Menariknya, Pramoedya dengan sengaja menggunakan konsep kasta
ketimbang kelas untuk menjelaskan struktur masyarakat Indonesia pasca
revolusi. Di satu sisi, Pramoedya ingin menunjukkan keterkaitannya secara
historis dengan struktur masyarakat Indonesia di masa lampau, struktur
masyarakat yang feodal.
Di sisi lain, Pramoedya juga ingin menggarisbawahi bagaimana
mobilitas sosial nyaris tidak terjadi dalam masyarakat yang baru merdeka
ini. Walaupun Indonesia telah merdeka, namun seorang sudra tetaplah sudra,
dan seorang satria tetap berjaya di singgasananya. Seseorang menjadi sudra
bukan hanya karena keturunan atau takdir, tetapi juga karena ‘dipaksa’
keadaan. Singkat kata, bagi Pramoedya, revolusi Indonesia telah gagal karena
tidak mampu merevolusi struktur sosial masyarakatnya.
Pada tanggal 13 Januari 1950, Pramoedya melangsungkan pernikahan
dengan Arfah Ilyas. Ia sudah berkenalan dengan Arfah sejak di Cikampek,
semasa Pramoedya bergabung dengan BKR. Arfah di kala itu bekerja di
Palang Merah. Selanjutnya, Arfah rajin menyambangi Pramoedya semasa
penahanannya di Penjara Bukit Duri.184
Pramoedya dan istrinya merupakan model pasangan modern yang
menikah melalui pilihan (chosen marriage), bukan dijodohkan seperti orang
tuanya, atau juga pasangan suami-isteri di lingkungan tempat tinggalnya.
Dengan terus-terang Pramoedya mengakui bahwa gagasannya tentang cinta
184 Teeuw, A. Op.cit., hal: 6; Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
didapat dari buku-buku bacaan populer. Apakah Pramoedya mencintai
istrinya seperti dalam buku-buku tersebut, ia kurang begitu yakin.
“Memang aku tidak tahu makna cinta lelaki pada perempuan. hal itu tak pernah kudapatkan dalam kehidupan suami-istri antara ayah dan ibuku, juga tidak di antara tetanggaku. Cinta yang kuketahui adalah dari bacaan.”185 Setelah menikah, Pramoedya tinggal di rumah orang tua isterinya di
Kebon Djahe Kober. Rumah mertuanya ini keadaannya jauh bertolak
belakang dengan ruman paman yang ditempatinya dulu. Lingkungannya
begitu kotor. Gotnya berbau busuk sampai Pramoedya menutup hidung
sambil berjalan cepat-cepat ketika pertama kali menginjakkan kaki di
sana.186 Pramoedya pernah mengangkat soal kampung yang bau ini di dalam
salah satu cerpennya, Kampungku, yang dimasukkan dalam Cerita dari
Jakarta terbitan tahun 1963.
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tahun 1950-an terbawa juga
ke rumah tangga Pramoedya. Gaji Pramoedya yang ketika itu menjabat
sebagai redaktur sastra modern Indonesia di Balai Pustaka sangat tidak
memadai. Untuk menutupi kekurangan itu, Pramoedya makin giat menulis.
Apa yang ada di kepalanya hanya bagaimana cara menghasilkan tulisan
dalam jumlah yang mencukupi, cukup agar ia dan keluarga bisa hidup layak.
Pramoedya mengistilahkan dirinya sebagai broodschrijver, “seorang yang
menulis untuk sesuap nasi”. Akan tetapi, honor yang didapatnya juga
185
Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 191 186 Ibid., hal: 193
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
mengalami penurunan dibanding ketika masih di penjara, bahkan tidak
sampai sepertiganya.187
Pada tahun 1953, Pramoedya mendapat undangan dari Sticusa,
Yayasan Kerjasama Kebudayaan Belanda. Ia berangkat pada bulan Juni
dengan membawa serta isteri dan dua orang anak. Pramoedya yang kurang
fasih berbicara Bahasa Belanda itu membayangkan kedatangannya ke
Nederland itu bagaikan orang udik masuk kota.
“Kami datang sebagai orang dusun ke kota, kurang punya pesangon tentang pengetahuan yang serba Eropa, terutama tentang kebiasaan hidupnya. Sejak tahun-tahun pendudukan Jepang sampai 1953 itu aku hidup dalam keadaan yang nisbiah miskin dan kekurangan. Sekarang berada di tengah-tengah kehidupan dalam mana orang tidak perlu memikirkan bagaimana mencari makan.”188 Pramoedya lanjut membandingkan Amsterdam dengan Jakarta. Di
matanya Amsterdam terlihat “indah, bersih, dan tidak begitu bising dan kotor
seperti Jakarta.”189 Di Amsterdam juga, semuanya serba teratur, sedangkan di
Jakarta serba acak-acakan. Namun justru keteraturan ini tidak membuat
Pramoedya kerasan, ia gagal menemukan tempat bagi dirinya sendiri di
antara ruang-ruang yang tertata itu. Amsterdam baginya seperti setengah
mati, karena sudah jadi. Berbeda dengan Jakarta yang masih menjadi,
sehingga begitu hidup dan menggairahkan.190
Selain masalah ke-serba-teratur-an yang membingungkan itu,
Pramoedya juga harus berhadapan masalah internal, terkait dengan sifat
187 Ibid., hal: 202 –205 188 Ibid., hal: 210 – 211 189 Ibid., hal: 212 190 Shackford-Bradley, Julia. 2006. Cerpen: How Indonesian short stories re-present urban space and public discourse. Crossroads: An interdisciplinary journal of Southeast Asian studies. Vol. 17, No. 2, hal: 96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
rendah dirinya yang dinamainya ‘inco’ (inferior complex). Ia merasa kesulitan
untuk berkomunikasi dengan orang yang berpendidikan lebih tinggi, dari
negara yang menjajahnya pula. Kendati negerinya sudah merdeka, namun
perasaan inferior itu masih melekat dalam dirinya.191
Masalah berikut yang dihadapinya adalah soal lidah. Waktu awal
berada di Jakarta, Pramoedya dapat melatih lidahnya untuk dapat berbicara
‘seperti orang Jakarta’, ‘seperti orang Indonesia’. Ketika di Amsterdam, ia
tidak dapat membiasakan lidahnya memakan makanan Eropa. Hal ini
melengkapi rangkaian cultural shock yang dialami Pramoedya di negeri
Belanda. Buntutnya, Pramoedya memutuskan pulang ke Indonesia 6 bulan
lebih awal dari yang dijadwalkan Sticusa.192
Gambar 3.1. Pramoedya ketika di Belanda (sekitar tahun 1953 – 1954)193
191 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 212 192
Ibid.; Teeuw, A. Op.cit., hal: 6; Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 17 193 Scherer, Savitri. Ibid., hal: 18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Begitu pulang ke Jakarta, bau got yang busuk dengan setia
menyambutnya. Sementara itu, keadaan finansial Pramoedya makin
memburuk. Ia tertimbun hutang. Honor yang didapatnya dari menulis jauh
dari cukup. Ini membuat konflik rumah tangganya kian meruncing. Akhirnya,
Pramoedya dan isterinya bercerai. Anaknya yang tiga orang, semua ikut
isterinya.194
Pada tahun 1955, Pramoedya menikah lagi dengan Maimunah
Thamrin, keponakan dari M. H. Hoesni Thamrin. Sama seperti pernikahan
pertamanya, pernikahan ini juga dilalui masa-masa perkenalan. Bagi
Pramoedya, pergaulannya dengan Maimunah telah “mencabut aku
[Pramoedya] dari suasana hidup yang tidak menentu”.195 Pernikahan
keduanya ini bertahan sampai Pramoedya meninggal tahun 2006.196
Pada bulan Oktober 1956, Pramoedya diundang oleh Badan Sastra
Cina dalam rangka peringatan 20 tahun meninggalnya Lu Hsun, yang dikenal
juga sebagai Gorky-nya Tiongkok. Kunjungan ini disebut-sebut membawa
pengaruh besar dalam arah perkembangan tulisan-tulisan Pramoedya
selanjutnya. Dari kunjungan ini Pramoedya mendapat pencerahan ideologi
atas peran dan fungsinya sebagai sastrawan. Esai Pramoedya Djembatan
Gantung dan Konsepsi Presiden yang ditulis Februari 1957, dianggap sebagai
tonggak awal berbeloknya Pramoedya ke kiri, ke arah yang lebih ‘politis’.197
C. Pramoedya dan Realisme Sosial
194 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 221 – 231 195 Ibid., hal: 229 196
Scherer, Savitri. Op.cit., hal: xi, 17 197 Ibid., hal: 17; Teeuw, A. Op.cit., hal: 6; Farid, Hilmar. Op.cit., hal: 85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Seakan-akan sudah menjadi sebuah standar baku untuk menulis
Pramoedya dalam satu paket dengan Lekra. Bahkan, ada kalanya Lekra
dijadikan sebagai patokan dalam menyusun periode kepengarangan
Pramoedya, hingga karya-karya Pramoedya dibagi dalam tiga masa: pra-
Lekra, Lekra, dan pasca-Lekra.198 Periode afiliasi Pramoedya dengan Lekra
dianggap sebagai pembalikan: dari humanis menjadi realis sosialis, dari a-
politis (sebagai unattached intellectual) menjadi politis. Atau juga, dari aliran
‘kanan’ membelok ke ‘kiri’ (?)199
Dalam periodisasi sastra Indonesia, awalnya Pramoedya
dikelompokkan dalam angkatan 1945 gelombang kedua. Angkatan ini segera
memudar setelah pengakuan kedaulatan pada akhir tahun 1949,200 yang
bertepatan pula dengan berakhirnya masa penahanan Pramoedya di Penjara
Bukit Duri. Istilah angkatan 1945 ini dipakai untuk membedakannya dengan
sastra Indonesia sebelum perang, atau angkatan Pujangga Baru. Perbedaan
keduanya tidak hanya dalam hal jaman, tetapi juga dalam hal pengalaman:
“Angkatan Pujangga Baru lebih banyak merupakan hasil zaman penjajahan. Anak buatan kolonial dahulu, yakni orang-orang yang sejak lahirnya telah dibuat kecil oleh penjajah almarhum. Angkatan itu lebih banyak mempunyai pengetahuan daripada kehidupan. Berbeda dengan angkatan 1945 tak berapa pengetahuannya: peperangan membuat angkatan ini terampas dari bangku sekolahnya – tetapi sadar akan kehidupannya.”201 Selama di Penjara Bukit Duri, Pramoedya mengaku terpengaruh oleh
beberapa orang hingga sampai berpandangan bahwa “politik adalah kotor”.
198 Lihat: Kurniawan, Eka. 2006. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, hal: 128 – 129 199 Lihat kata pengantar yang ditulis Ajip Rosidi dalam Scherer, Savitri. Op.cit., hal: xvi 200 Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Dunia Pustaka Jaya: Jakarta, hal: 1, 3 201
Teeuw, A. 1959. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru. Cetakan ke-5. PT. Pembangunan: Jakarta, hal: 20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
Maka misinya sebagai pengarang yakni untuk memperjuangkan
kemanusiaan. “Kemanusiaan adalah indah dan suci, bersih dan jernih. Aku
memilih ini daripada kekotoran”202 Pernyataan ini menjadi petunjuk
kedekatan Pramoedya dengan kelompok Gelanggang.
Kelompok Surat Kepercayaan Gelanggang Seniman Muda, atau biasa
disebut kelompok Gelanggang, bermula dari deklarasi pernyataan melalui
Majalah Siasat, 23 Oktober 1950. Di antara mereka yang menyusun surat
tertanggal 18 Februari 1950 tersebut adalah H.B. Jassin, Asrul Sani, Aoh K.
Hadimaja, Rivai Apin, dan Sitor Situmorang. Pramoedya ditunjuk secara
sepihak sebagai sekretaris. Inilah yang membuatnya dikira berafiliasi dengan
Gelanggang pada periode awal 1950-an.203
Sastrawan yang tergabung dalam Gelanggang mempromosikan apa
yang disebut sebagai “humanisme universiil”, yakni sifat universal
kemanusiaan tanpa kecenderungan budaya tertentu. Sebuah karya sastra
dinilai berhasil apabila dapat menghadirkan sebuah pengalaman estetis yang
melampaui batas-batas kultural dan geo-politik. Sebagaimana tertulis dalam
surat pernyataan mereka, sastrawan Gelanggang menyebut diri mereka
sebagai “pewaris sah kebudayaan dunia”.204
Dua bulan sebelum Surat Kepercayaan Gelanggang dipublikasikan,
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) telah berdiri lebih dulu, tepatnya
tanggal 17 Agustus 1950. Pendirinya yakni D.N. Aidit, M.S. Ahar, A.S. Dharta,
202 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 198 203 Lihat: Ibid., hal: 208; Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 35; Kata pengantar Frans M. Parera dalam Simatupang, Iwan. 2004. Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air: Esai-Esai Iwan Simatupang. Cetakan I. Penerbit Buku Kompas: Jakarta, hal: xl; 204 Scherer, Savitri. Ibid., hal: 35 – 36; Perera, Frans M dalam Iwan Simatupang. Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
dan Nyoto. Berbeda dengan Gelanggang yang menerbitkan seni untuk seni,
Lekra merumuskan seni untuk rakyat. Oleh sebab itu, penilaian karya sastra
didasarkan pada apakah karya itu memiliki keberpihakan dengan rakyat
kecil. Jika tidak, karya itu dicap sebagai sampah.205
Berbeda dari kelompok Gelanggang yang didominasi oleh kalangan
terdidik (masuk sekolah Belanda) dengan kemampuan argumentatif yang
mumpuni, tidak demikian halnya dengan kelompok Lekra. Banyak penulis
Lekra (terutama yang baru-baru) yang berpendidikan kurang dengan
kemampuan argumentasi yang juga minim. Ini membuat meraka kerap
dirugikan dalam perdebatan-perdebatan sastra. Kelompok Gelanggang
menjadi sangat otoritatif, terutama pada paruh pertama tahun 1950-an.206
Walaupun Pramoedya sempat berafiliasi dengan Gelanggang, sulit
untuk mengatakan bahwa tulisan-tulisan awal Pramoedya sama sekali
apolitis. Nuansa politis itu dapat diketemukan di hampir semua karya
Pramoedya, bahkan sejak roman pertamanya Di Tepi Kali Bekasi (1951). “Tak
pernah ia [Pramoedya] menghasilkan suatu karya yang hanya dapat dinilai
secara estetis tanpa menyertakan aspek-aspek politik sebagai pandangan
hidupnya”.207 Di sisi lain, Pramoedya juga mengaku: “[...] politik masih
bergema di dalam hatiku. Tapi aku anggap itu bukan politik, hanya perasaan
kemanusiaan yang tersinggung.”208
Dalam wawancara semasa ditahan di Pulau Buru, Pramoedya
akhirnya menyimpulkan bahwa politik sama sekali tidak dapat dipisahkan
205 Scherer, Savitri. Ibid., hal: 40, 44; Perera, Frans M dalam Iwan Simatupang. Ibid. 206 Scherer, Savitri. Ibid., hal: 37 – 46 207
Kurniawan, Eka. Op.cit., hal: 128 208 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
dari kehidupan. Politik tidak harus didefinisikan secara sempit, seperti
bergabung dalam partai politik tertentu. Politik harus dilihat secara lebih
menyeluruh. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan dapat disebut
sebagai politik.
“Mereka yang menganggap dirinya tak berpolitik tidak lain karena telah berpadu dengan politik yang berlaku, maka tidak merasa lagi, dianggap sudah sewajarnya. [...] Tentu saja orang perlu membukakan pengertiannya dan menerima kenyataan, bahwa politik bukan kepartaian, tetapi segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan. Selama orang hidup di dalam masyarakat, selama itu dia ikut serta dalam politik.”209 Perhatian Pramoedya pada ketimpangan, ketidakadilan, dan
perjuangan manusia dapat dilihat dalam esainya “Kesusastraan dan
Perdjuangan” yang ditulis bulan April 1952. Ketika itu, ia masih dikait-
kaitkan dengan Gelanggang. Di dalam esai tersebut, Pramoedya berpendapat
bahwa karya-karya besar sastra muncul dari penderitaan dan perjuangan
manusia untuk bertahan hidup.”210
Dalam esai selanjutnya Juli 1952 berjudul “Kesusastraan Sebagai
Alat”, Pramoedya berpendapat bahwa sastra hanyalah sarana yang dapat
dipakai untuk mencapai tujuan tertentu.211 Bagi Pramoedya, tujuan dari
karya sastra yang ditulisnya sudah jelas. Pramoedya menulis untuk
mengungkapkan dan melawan ketidakadilan yang terjadi di sekelilingnya.212
Sastra bagi Pramoedya adalah alat untuk melawan. Balpoin di tangan
Pramoedya tidak ubahnya serupa senapan di tangan seorang serdadu.
209 Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra: Jakarta, hal: 241 210 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 46 211
Ibid., hal: 47 212 Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Dalam tulisan selanjutnya, “Definisi dan Keindahan dalam
Kesusastraan” Pramoedya dengan tegas menyatakan “menolak nilai sastra
yang diciptakan demi keindahan semata,” baginya, “keadilan, kemanusiaan,
dan kebudayaan dan idealisme lebih penting”.213 Hal ini jelas bertentangan
dengan prinsip humanisme universiil yang digembor-gemborkan
Gelanggang.
Karya sastra Pramoedya cenderung abai terhadap estetika dan
struktur formal penulisan. Dalam tulisan berjudul “Lahirnya Sebuah Tjerita
Pendek”, tahun 1956 Pramoedya mengaku sebagai penulis “primitif” yang
“langsung menulis begitu inspirasi masuk ke kepalanya. Ia memindahkan
gambar-gambar yang ada dalam pikirannya ke dalam tulisan, tanpa
sebelumnya menganalisis subjek-subjeknya secara intelektual atau
menyusun plot yang rapi. Baginya, menulis dan kreativitas sastra adalah
pengalaman mistis.”214
Sikap Pramoedya yang menolak pendekatan formalis terhadap sastra
kemudian menyebabkan ia berseteru dengan para penulis dan kritikus dari
Gelanggang. Balfas adalah salah satu yang cukup vokal mengkritik
Pramoedya.215 Tulisan Pramoedya pada bulan Maret 1953 berjudul “Ofensif
Kesusastraan 1953” di antaranya berisikan penyangkalan dan pembelaan
terhadap kritik-kritik Balfas. Tulisan ini menjadi tanda makin memburuknya
hubungan Pramoedya dengan Gelanggang.216
213 Ibid. 214 Ibid., hal: 60 215
Ibid., hal: 47 – 48 216 Ibid., hal: 48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Resminya, Pramoedya baru bergabung dengan Lekra pada Januari
1959. 217 Sejak dekat dengan Lekra, Pramoedya lebih banyak menulis esai
dan kritik sastra. Esai-esainya ini banyak yang diterbitkan di Lentera.
Diantaranya ada yang dibukukan dalam judul Realisme Sosialis dan Sastra
Indonesia. Inti dari gagasannya yaitu menegaskan realisme sosialis sebagai
sebuah pendekatan sastra.218
Pendekatan realisme sosialis ini umum dipakai di Uni Soviet. Salah
satu penganjurnya yang terkenal tentu saja Gorky. Kecuali Gorky, jenis
pendekatan ini kebanyakan bersifat propaganda semata. Tujuannya sebatas
untuk mengangkat kisah rakyat kecil (kaum marjinal). Namun, apakah kisah
yang diangkat itu realistik atau tidak, itu tidak menjadi soal utama.219
Munculnya realisme sosialis di Indonesia sangat erat kaitannya
dengan keberadaan Lekra. Lekra menganjurkan ‘realisme sosialis’ sebagai
metodologi kreatif dalam sastra. Pendekatan ini sekaligus membedakan
mereka dari Gelanggang yang mempromosikan sastra formalis. Seperti
‘nenek moyangnya’ di Uni Soviet, realisme sosialis yang disarankan Lekra ini
juga memberi porsi yang besar pada slogan sebagai alat propaganda.220
Walau dikenal sebagai salah satu penganjur realisme sosialis, namun
karya-karya Pramoedya, terutama yang terhimpun dalam buku Cerita dari
Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya lebih bercirikan
realisme sosial ketimbang realisme sosialis. Karya-karya yang berlandaskan
217 Farid, Hilmar. Op.cit, hal: 86 218 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 19 219 Donnely, Mary E. 2003. Teaching Pramoedya Ananta Toer’s Tales from Djakarta in the literature classroom. A Curriculum Unit for Cornell University, hal: 20 220 Kurniawan, Eka. Op.cit., hal: 138
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
realisme sosial menelaah individu berikut kondisi lingkungannya, karena
keyakinan bahwa individu tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya.
Gagasan ini secara tersurat terdapat dalam subjudul Cerita dari Jakarta, di
mana dicantumkan: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya.221
Pendapat Donnely sejalan dengan Shackford-Bradley. Disebutkan
bahwa dalam Cerita dari Jakarta Pramoedya berusaha untuk
menggambarkan politik hidup sehari-hari dari penduduk di Jakarta, mulai
dari yang punya kuasa sampai pada orang yang papa. Pramoedya sendiri
sebenarnya masuk dalam golongan yang terdidik, namun ia tidak berusaha
untuk menghakimi karakter-karakter malang yang ada di dalam lakonnya.
Dengan kata lain, Pramoedya mencoba untuk menjadikan rakyat sebagai
subyek.222
Lebih lanjut, karya-karya Pramoedya banyak yang bersumber dari
realitas ketimbang daya khayal semata. Baginya, teks sastra tak lain dari
‘kenyataan’ yang sudah diolah sedemikian rupa berdasarkan daya imajinasi
pengarang. Pramoedya menggunakan istilah kebenaran hulu untuk merujuk
pada kenyataan, dan kebenaran hilir untuk merujuk pada hasil kreasi
pengarang itu.223
Pramoedya sendiri serius untuk mencari sumber kebenaran, atau
kebenaran hulu sebagai dasar pijakan bagi sastra yang ditulisnya. Sebelum
menulis cerpen Gambir misalnya, Pramoedya waktu itu turun langsung ke
Gambir selama 3 hari 3 malam. Pramoedya ikut nongkrong, ngopi-ngopi,
221 Ibid., hal: 20 222
Shackford-Bradley, Julia. Op.cit., hal: 100 – 101 223 Teeuw, A. 1995. Op.cit., hal: 7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
minum-minum, merasakan tinggal bersama dengan mereka yang tidur di
gerbong kereta api.224
Pramoedya termasuk dalam kelompok penulis yang percaya bahwa
seorang pengarang harus membaur dengan masyarakat. Ia mendorong
pengarang untuk menuliskan kisah-kisah orang awam, kaum-kaum yang
terpinggirkan, dan mereka yang dibisukan. Akan tetapi, pengarang tersebut
tidak boleh memaksakan nilai-nilainya, karena dengan begitu ia hanya jadi
pengamat, bukan orang dalam.225
Bukti pembauran Pramoedya dengan Jakarta (warga dan
lingkungannya) salah satunya menjelma menjadi buku Cerita dari Jakarta,
dengan subjudul yang menerangkan semuanya: Sekumpulan Karikatur
Keadaan dan Manusianya. Di dalam masing-masing kisah tersebut terlihat
betul kepiawaian Pramoedya dalam menyelami pengalaman dan perjuangan
tokoh-tokohnya, mereka yang berasal dari lapisan sosial yang ‘kurang
beruntung’.
D. Sekilas tentang Cerita dari Jakarta
Kisah-kisah yang ditulis Pramoedya dalam Cerita dari Jakarta:
Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya ditulis dalam kurun waktu
delapan tahun, antara 1948 – 1956. Buku ini diterbitkan untuk pertama kali
pada tahun 1957 oleh penerbit Grafica. Pada tahun 2000, diterbitkan pula
versi Bahasa Inggrisnya oleh Penerbit Equinox. Dalam penelitian ini, buku
224
Shackford-Bradley. Op.cit., hal: 101 225 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 53 – 54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
yang dipakai adalah terbitan Hasta Mitra tahun 2002 dengan ejaan yang
sudah diperbaharui (EYD).
Cerita dari Jakarta terdiri dari 12 cerita pendek yang, sesuai judulnya,
keseluruhannya mengambil setting di Jakarta. Cerpen-cerpen tersebut tidak
disusun secara kronologis ataupun alfabetis: 1) Jongos dan Babu; 2) Ikan-Ikan
yang Terdampar; 3) Berita dari Kebayoran; 4) Rumah; 5) Keguguran Calon
Dramawan; 6) Nyonya Dokter Hewan Soeharko; 7) Tanpa Kemudian; 8)
Makhluk di Belakang Rumah; 9) Maman dan Dunianya; 10) Kecapi; 11) Biang
Keladi; dan, 12) Gambir.
Dari 12 cerpen tersebut, tidak semua ditulis Pramoedya selagi berada
di Jakarta. Tiga cerpen di antaranya ditulis semasa menjadi tamu Sticusa di
Amsterdam, yaitu: Maman dan Dunianya, Keguguran Calon Dramawan, dan
Gambir.226 Akan tetapi, tidak berarti cerita-cerita tersebut dibangun dari
dasar imajinasi Pramoedya semata. Ambillah Gambir sebagai contoh. Dalam
wawancara dengan Shackford-Bradley, Pramoedya mengaku tinggal 3 hari 3
malam di Stasiun Gambir sebelum menuliskan cerpen tersebut.227
Di samping membahas persoalan-persoalan sosial di Jakarta,
kumpulan cerpen ini juga mengetengahkan isu kegagalan revolusi, kegagalan
sebuah bangsa untuk menjadi penyelamat dan pengayom hidup rakyatnya.
Seperti dicatat Benedict Anderson, sejak tahun 1954, mulai timbul rasa
kecewa di tengah masyarakat demi melihat cita-cita revolusi yang tidak
kunjung tercapai. Sementara rakyat kecil berjuang demi menyambung hidup,
226 Anderson, Benedict R O’G. Introduction dalam Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Tales from Djakarta: Caricature of Circumstances and Their Human Beings. PT. Equinox Publishing Indonesia: Jakarta, hal: xiv 227 Shackford, Bradley. Op.cit., hal: 101
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
para birokrat dan pejabatnya juga sibuk meraup untung untuk kesenangan
pribadi.228
Kebanyakan tokoh yang dipentaskan dalam Cerita dari Jakarta berasal
dari kelompok yang pertama, terdiri dari orang-orang miskin yang hidup di
pinggiran kota Jakarta. Mereka yang berjuang dan bersusah payah demi
sesuap nasi di sebuah kota metropolitan yang gemerlap. Tema serupa ini
banyak sekali digarap sesudah kemerdekaan, malah menjadi tema yang
paling populer di masa itu. Hal ini bisa dimengerti karena kebanyakan
pengarang tidak hanya berdiri dalam posisi pengamat dari segala
kesengsaraan itu, tetapi mereka juga turut merasakannya sendiri.229
Lebih lanjut, buku kumpulan cerita Pramoedya memberikan
gambaran yang terang tentang situasi dan kondisi yang terjadi di beberapa
tempat di Jakarta pasca Revolusi. Dari kumpulan cerita pendeknya ada yang
mengambil tempat di Tanah Abang, Gambir, pemukiman kumuh (liar), dll.230
Seperti yang ditegaskan di dalam subjudul, Cerita dari Jakarta tidak
hanya bercerita tentang orang-orangnya saja, namun juga, yang terpenting
adalah situasi atau keadaan yang membentuk orang-orang tersebut. Dengan
kata lain, Cerita dari Jakarta hendak memperlihatkan manusia sebagai
produk keadaannya.231
228
Kata Pengantar dari Penerbit Hasta Mitra dalam buku “Cerita dari Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya.” Pramoedya Ananta Toer. [1957] 2002. Penerbit Hasta Mitra: Jakarta, hal: vi – vii; dan kata pengantar Benedict Anderson untuk terjemahan Inggrisnya dalam Toer, Pramoedya Ananta. 2000 [2005]. Tales from Jakarta. Equinox: Jakarta, hal: xiv 229 Teeuw, A. 1995. Op.cit., hal 22 230 Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press: Cambridge, hal: 117 231 Teeuw, A. 1995. Op.cit., hal: 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
1. Ikan-Ikan yang Terdampar
Cerpen ini ditulis Pramoedya di Jakarta, Juli 1950. Tempat yang
menjadi latar cerpen ini terdiri dari sepetak area yang sempit, seputar
kawasan Lapangan Gambir/Lapangan Merdeka. Cerita dimulai dari Jalan
Sekretari (Jalan Veteran 3), lanjut ke perempatan Deca Park, sampai ke Jalan
Gambir Utara (Jalan Medan Merdeka Utara), berbelok ke Jalan Gambir Barat
(Jalan Medan Merdeka Barat) tempat di mana Gedung Radio Nasional dan
Kementerian Pertahanan berada, dari situ menerobos masuk ke Lapangan
Gambir, dan keluar ke Jalan Gambir Selatan (Jalan Medan Merdeka Selatan).
Gambar 3.2. Setting tempat Ikan Yang Terdampar di Lapangan Merdeka/Lapangan Gambir. Panah merah menandakan rute yang ditempuh tokoh utamanya, dan tanda bintang hijau menandakan bangunan-bangunan yang sempat disebut dalam Ikan Yang Terdampar.232
232
Diakses dari situs: https://srimpet.files.wordpress.com/2011/09/peta-situasi-lapangan-merdeka-di-awal-tahun-1950-an.jpg, 27 Januari 2015 (Peta telah diedit sesuai keperluan)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Di samping tempat yang terbatas itu, setting waktu yang dipakai
dalam Ikan Yang Terdampar terbatas pula. Cerita bermula dari pagi dan
ditutup pada senja hari; mulai dari orang-orang bekerja sampai pulang ke
rumah. Tokoh utama dalam cerita, Idulfitri, tidak tergolong dalam orang-
orang yang bekerja tersebut. Bila dalam seharian orang-orang sibuk
beraktivitas di kantor, Idulfitri sibuk pula dengan usahanya untuk
mengganjal perut. Persis, perut Idulfitri yang keroncongan adalah tema
utama yang membungkus keseluruhan jalinan cerita Ikan Yang Terdampar.
Ikan Yang Terdampar diceritakan dari sudut pandang Idulfitri. Nama
Idulfitri itu diperolehnya lantaran lahir bertepatan dengan lebaran, hari raya
umat Islam. Idulfitri adalah seorang mantan pejuang, yang setelah
kemerdekaan malah menjadi seorang bajingan. Jika dulu ia membunuh orang
untuk membela tanah air, sekarang ia membunuh untuk memenuhi hak
perutnya: untuk diisi dan dikenyangkan.233
Idulfitri adalah apa yang dikenal sekarang sebagai seorang kriminalis.
Lebih khususnya, ia adalah spesialis maling kendaraan dengan daerah
operasi di sekitaran Lapangan Gambir (Lapangan Monas). Kendaraan yang
dimalingnya tidak harus yang bermesin, sepeda boleh juga. Pada periode
1950-an, nilai sepeda mungkin dapat disetarakan dengan sepeda motor
jaman sekarang. Sepeda merupakan alat transportasi yang umum digunakan
pegawai kantoran di masa itu. Di jalan, termasuk di jalan-jalan di kawasan
Lapangan Gambir, juga tersedia jalur khusus untuk pengendara sepeda.234
233
Toer, Pramoedya. [1957] 2002. Op.cit., hal: 22 234 Ibid., hal: 29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Kendati bernyali tinggi untuk merampok, bahkan hingga menghabisi
nyawa orang lain, Idulfitri tidak memiliki kebanggaan atas pencapaiannya
itu. Ia malah melihat dirinya sebagai makhluk daif, makhluk hina. Seperti
yang disuratkan di judul, Idulfitri merasa seperti ikan yang terdampar. Ia
tercerai dari rumah, sanak keluarga, dan kampung halaman. Untuk kembali
pulang, ia tak berani. Ia malu. Ia malu pada orang tua, pada orang kampung.
Ia sebagai pribadi telah gagal memenuhi ‘standar’ sebagai seorang anak,
sebagai seorang pemuda. Jalan hidupnya berbeda dari apa yang diinginkan
orang tuanya. Ibunya berharap ia menjadi komis, bapaknya mencita-citakan
ia menjadi wedana. Kenyataannya: ia maling kendaraan.235
Sehari-harinya Idulfitri tinggal di paviliun di Jalan Sekretari (Jalan
Veteran 3 sekarang). Dari jalan ini, Istana Merdeka terlihat jelas, tanpa
penghalang.236 Kendati istilah paviliun terdengar maju (modern), paviliun
tidak dapat dibayangkan seperti apartemen masa kini. Paviliun yang muncul
di Gambir sejak abad ke-19 itu tidak lain adalah bangunan kecil yang
menyempil di samping rumah induk.237 Dalam paviliun yang kecil itu,
Idulfitri masih harus berbagi ruangan dengan empat orang penghuni lain.
Pukul enam pagi, cerita bermula. Idulfitri bangun dengan perasaan
lapar. Ia tidak memiliki uang yang menjadi syarat mutlak untuk membeli
sarapan. Dengan perut lapar itu, Idulfitri keluar dan berjalan-jalan menuju
kawasan Lapangan Gambir (Lapangan Merdeka). Seiring langkah kakinya, ia
sibuk berpikir dan membuat refleksi diri. Sementara matanya sibuk
235 Ibid., hal: 33; 39 – 40 236 Kusumawijaya, Marco. 2001. Metropolis Jakarta: menurut Pramoedya Ananta Toer dalam 'Tales from Djakarta'. Edisi 9. Kunci: Yogyakarta, hal: 8 237 Ibid., hal: 9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
menemukan sasaran baru untuk menjadi tumpuan kekesalan dan
kemarahannya.
Perut keroncongan itu telah menguasai otaknya, bahkan cara
berpikirnya. Apa yang ditemuinya lantas dinilai berdasarkan nilai guna.
Pertanyaan besarnya adalah: apakah benda itu dapat mengisi perutnya atau
tidak? Jika tidak, maka percuma. Dengan dasar itu, ia menyenggaki semua
yang tampak sia-sia. Ia kesal pada taluan beduk di masjid, pada kelening
genta gereja, pada gambar paha telanjang dan cium-cium di gedung bioskop,
dan bahkan pada istana dan penjaganya. “Sudah tak kuasa ia mengagumi
kehebatan dan apa gunanya bagi negara dan perutnya sendiri”.238
Mulut Idulfitri sudah tidak kenal dengan kalimat puja-puji. Semua
perbendaharaan kata-katanya tidak jauh-jauh dari gerutuan dan sumpah
serapah. Kata-kata makian, yang kebanyakan berasal dari nama-nama
binatang, berbusa-busa keluar dari mulutnya. “Katak”, “kepiting”, “lintah”,
dan “bajingan” adalah beberapa di antara deretan kata-kata kutukan yang
dilafalnya.
Sepanjang perjalanan, Idulfitri diiringi Namun, kawan sekaligus
lawannya. Hubungan Namun dengan Idulfitri dapat dibayangkan seperti otak
dengan anggota gerak. Namun punya gagasan, tetapi tidak kekuatan.
Tubuhnya kurus kerempeng. Selain itu, Namun penghasut sekaligus
pembenar bagi setiap tindakan Idulfitri. Idulfitri juga membutuhkan
kehadiran Namun karena untuk dapat bertahan hidup di Jakarta, “orang
238 Toer, Pramoedya. [1957] 2002. Op.cit., hal: 18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
harus menghinakan diri dengan segala macam kekejian walaupun hati
nuraninya tahu yang lebih baik.”239
Namun berorientasi pada masa sekarang. Oleh karena itu, ia tidak
terlalu memikirkan tentang susila. Berbeda dengan Idulfitri yang masih
dihantui bayang-bayang akan masa belakang (kampung), ia masih berpikir
tentang yang baik dan yang benar. Meski keduanya memiliki sifat yang
bertolak belakang, antara Idulfitri dan Namun disatukan oleh nasib: sesama
“kaum lapar”. Dan kisah ini, seperti yang telah disinggung di muka, berpusat
pada cerita kelaparan yang diderita keduanya.
Dalam kelaparan itu, Idulfitri dan Namun membuat bermacam-macam
perandaian: masing-masing membayangkan berada dalam situasi di mana
mereka tidak harus memikirkan soal uang dan soal makan. Idulfitri mengisi
khayalan itu dengan membayangkan ia akan mendapat uang dari hasil
memamerkan paha seperti bintang-bintang film asing, atau menjadi polisi
militer, atau menjadi politisi, jadi ketua parlemen, bahkan jadi menteri.
Namun, berbeda lagi. Ia berharap penuh pada kabar gembira yang
terjadi di negeri Tiongkok. Dari koran yang dibacanya, Namun mengetahui
bahwa: “Kaum komunis menang gelanggang. Juga di Eropa Timur.”240 Dengan
kemenangan kaum komunis itu, mereka berdua juga harus membawa
kemenangan bagi “kaum lapar”, yaitu dengan balik memeras “kaum
penggendut perut”.241
239 Teeuw, A. 1995. Op.cit., hal: 22 240
Ibid., hal: 25 241 Ibid., hal: 26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Sayangnya, khayalan-khayalan tersebut tidak mampu meredam
gejolak di perut mereka berdua. Hingga matahari sudah menyusut sinarnya,
sekitar jam 5 sore, Idulfitri dan Namun belum berhasil menyorongkan
sesuatu apapun ke dalam mulut mereka. Artinya, dari sejak jam 6 pagi tadi,
sudah 11 jam ia menanggung lapar. Bila kemarin disertakan pula, mereka
sudah 25 jam kelaparan.242
Pada akhirnya, Idulfitri mendapat ilham. Ilham yang dengan segera
dapat menyelesaikan masalah perut mereka berdua. Idulfitri menjual dompet
Namun ke tukang loak. Dan, dengan hasil penjualan dompet itu Namun dan
Idulfitri makan bersama: makan pagi, makan siang yang disatukan dengan
makan malam. Seiring dengan tuntasnya masalah perut mereka, cerita ini
selesai pula.
2. Berita Dari Kebayoran
Berita Dari Kebayoran ditulis di Jakarta, Januari 1950, jarak 5 bulan
dengan Ikan Yang Terdampar. Setting tempat yang digunakan untuk Berita
Dari Kebayoran masih dalam kawasan yang sama dengan Ikan Yang
Terdampar: yaitu di sekitaran Lapangan Gambir/Lapangan Merdeka.
Aminah, tokoh utama, tinggal dan mencari nafkah di Taman Fromberg yang
terletak di Jalan Medan Merdeka Utara, berhadap-hadapan langsung dengan
Istana Merdeka. (Perhatikan gambar 3.2., Istana Merdeka ada di kiri atas,
Frombergpark terletak persis di seberangnya.)
242 Toer, Pramoedya. [1957] 2002. Op.cit., hal: 41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Dilihat dari setting tempat, cerpen Ikan Yang Terdampar dan Berita
dari Kebayoran dapat dilihat sebagai satu kesatuan, saling melengkapi, meski
keduanya ditulis dalam waktu yang berbeda. Dari kedua cerpen itu kita bisa
mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang kawasan Lapangan
Gambir: aktivitas-aktivitas apa yang terjadi di sana, berikut suasana
sekelilingnya, seperti jalan raya, alat transportasi (sepeda, jeep, trem listrik,
becak, dll.). Cerita Ikan Yang Terdampar terpotong sampai senja. Cerita Berita
Dari Kebayoran menyambung dengan langsung memunculkan suasana
malam di awal. Barangkali dengan alasan itu pula cerpen Berita dari
Kebayoran ditempatkan tepat setelah Ikan Yang Terdampar dalam buku
antologi Cerita Dari Jakarta.
Kendati ada kesamaan itu, Berita Dari Kebayoran tidak dimaksudkan
sebagai sekuel dari Ikan Yang Terdampar. Berita Dari Kebayoran tidak
terpaku pada Lapangan Gambir saja. Selain itu, ada Kali Besar tempat Aminah
membasuh badan. Setting waktu yang dipakai juga lebih panjang, tidak
tuntas dalam hitungan jam. Sejak Aminah masih sanggup menghasilkan dua
belas setengah rupiah semalam, sampai ke saat sakratulmaut. Sejak bekas
suami Aminah berencana menikahi adiknya, sampai saat hamilnya.
Seperti Idulfitri dalam Ikan Yang Terdampar, Aminah juga tercerai
dari sanak keluarga. Aminah terdampar di Frombergpark setelah lari dari
kampungnya, Kebayoran. Januari 1950, daerah Kebayoran Baru sedang
‘dibebaskan’ pemerintah untuk dijadikan kota satelit.243 Hal itu berdampak
pada kehidupan Aminah. Tadinya, Aminah hidup adem ayem dengan
243 Kusumawijaya, Marco. Op.cit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
suaminya, Saleh. Sejak rumah dan pekarangan mereka dibeli pemerintah
untuk proyek sekolah, mereka sering cekcok. Hidup di kampung, tidak
bertanah, tidak berumah, tidak berpenghasilan, dengan suami yang lebih asik
berjudi ketimbang mencari nafkah: sudah berada di luar kesanggupan
Aminah. Maka Aminah lari ke kota bersama Damin, mencari hidup baru.
Di kota, untuk menyambung hidup, Aminah tidak menyolong seperti
Idulfitri. Aminah juga tidak merenggut hak atau hidup orang lain. Aminah
memberikan haknya, tubuh satu-satunya, untuk dikorbankan kepada laki-
laki yang menginginkan. Aminah butuh uang seperti halnya lelaki butuh
badan. Begitu tubuh Aminah makin kisut dan peyot, pendapatannya merosot.
Laki-laki mencari badan, dan yang punya badan bukan Aminah seorang.
Seperti dalam simpulan Idulfitri, Aminah dan golongannya “[...]
memungkinkan hidup hari ini dengan menghancurkan kemungkinan hidup
lusa hari [...] Kita [Idulfitri dan Namun] lain, kita memungkinkan hidup hari
ini dengan merampas kemungkinan hidup orang lain di lusa hari.”244
Aminah menyebut dirinya sebagai “bayang-bayang malam”.
Kantornya baru buka ketika orang-orang pada umumnya pulang. Ketika di
istana dipasang lampu yang terangnya menjangkau taman tempat Aminah
berada, ia terpaksa menyingkir. Total sudah dua kali Aminah tergusur, dari
rumah Kebayoran, dan dari taman depan istana. Kali ini Aminah bergeser ke
kanan sehingga antara Aminah dan istana berjarak 250 meter. “Dan kalau
244 Toer, Pramoedya. [1957] 2002. Op.cit., hal: 38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Paris menyanyikan chansonnya: Cintaku takut cahaya sang surya, Jakarta
merintihkan kisah malamnya: rejekiku terancam sinar sang listrik”.245
Sebegitu pentingnya taman depan istana bagi Aminah sudah
selayaknya Arab bagi umat Islam. Ia tidur di situ, dan mencari penghidupan
di situ pula. Namun, tidak ada yang mengakui keberadaannya. Tidak ada yang
membelanya. Pun, ia tidak dapat memprotes. Di dalam buku catatan sipil,
tidak tercantum nama Aminah. “Menurut catatan resmi dia belum dilahirkan
– belum pernah ada di atas tanah Jakarta.”246
Suatu pagi, selesainya mandi di Kali Besar, Aminah bertemu Khatijah,
adik yang selalu dikenang-kenangnya kala malam. Antara ia dan adiknya kini
sudah jauh berbeda. Dua kakak beradik itu bukan hanya terpisah badan,
tetapi juga keadaan. Badan Khatijah telah ranum. Badan Aminah makin kisut.
Khatijah hendak menikah dengan Saleh, bekas suami Aminah. Sementara
Aminah ditinggalkan Diman, yang setelah mendapat pekerjaan yang lebih
baik, berkehendak “perempuan baik-baik” pula. “Dia [Khatijah] masih boleh
memilih. Aku [Aminah] telah memilih – dan pilihanku salah.”247
Dengan segera Aminah sadar betapa besar jarak antara ia kini dengan
kampungnya di Kebayoran. Seperti Aminah, Kebayoran juga berubah, begitu
juga dengan orang-orangnya. Kebayoran sudah berbeda dari yang diingatnya.
Dan, di Kebayoran itu kini tidak ada tempat lowong untuk Aminah. Saleh
sudah mendapatkan isteri baru, yang tak lain adalah adiknya. Emaknya
mengancam memukul Aminah dengan alu kalau pulang. Alu yang sama yang
245 Ibid., hal: 45 246
Ibid., hal: 46 247 Ibid., hal: 49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
dulu dipakainya menumbuk jagung, semasa menjadi isteri Saleh, semasa
(masih) menjadi anak Emak.248
Aminah ingin lurus, tetapi keadaan memaksanya untuk tetap
membengkok. Salah satunya karena ia perempuan. “Kalau perempuan
melacurkan dirinya, dia jahat dan tak diberi kesempatan untuk jadi baik
kembali.” Sementara, laki-laki dapat berbuat semaunya. Kalau laki-laki
melacur, tidak ada larangan, tidak ada pantangan. Bahkan, “dia [laki-laki]
boleh berbangga dengan kelacurannya, juga di depan umum.”249
Demikianlah, Aminah meneruskan melacur sampai saat terakhir
hidupnya. Ia melacur mulai dari badannya masih kenyal sampai melonggar.
Ia melacur sampai habis sisa-sisa kecantikannya, tandas kualitas
keperempuanannya; sehingga orang tidak bisa membedakan lagi mana
Aminah mana monyet. Di taman tempatnya tinggal, Aminah yang sudah tak
dapat lagi duduk, terbaring sendirian. Ia membayangkan suaminya, rumah
dan pekarangan mereka, emaknya, adiknya: Kebayoran yang dulu komplit
dengan seisinya. Tetapi, Kebayoran itu telah pindah ke sorga, seiring dengan
berpisahnya jiwa Aminah dari raganya.
3. Makhluk di Belakang Rumah (1955)
Cerpen ini ditulis Desember 1955. Makhluk Di Belakang Rumah
menyoroti kehidupan para babu yang tinggal di Jakarta. Lebih tepatnya,
kemalangan para babu. Babu-babu itu tinggal di sebuah lingkungan
248
Ibid, hal: 52 – 53 249 Ibid., hal: 56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
pemukiman yang padat bersama para majikannya—yang diledek Pram
sebagai “priyayi-priyayi baru”.
Alih-alih sebuah cerita, cerpen ini sebetulnya lebih menyerupai
sebuah skesta tentang karakter-karakter yang menjalani hidupnya sebagai
babu. Dalam cerpen ini kehidupan harian para babu dideskripsikan secara
detail. Dari pola dan ritme hidup harian para babu ini kita bisa mendapatkan
potret jelas mengenai kehidupan para babu sekaligus kehidupan domestik
para priyayi baru.
Babu-babu ini memiliki karakteristik serupa, yakni dibawa dari
kampung oleh majikannya (bisa jadi berasal dan kenalan dari kampung yang
sama), masih belia, perempuan, dan diperlakukan secara tidak layak oleh
majikannya. Terutama pada aspek terakhir fokus cerpen ini menonjol dan
Pramoedya memperlihatkan keberpihakan dan simpatinya pada para babu.
Cerpen ini mengambil latar di kawasan rumah petak di Jakarta.
Rumah petak tersebut memiliki 23 pintu, yang berarti 23 keluarga tinggal di
situ. Berbeda dengan kedua cerpen di atas, cerita ini tidak berpijak di suatu
wilayah Jakarta tertentu. Tidak ada keterangan tempat selain Jakarta (kota).
Barangkali karena kejadian ini bisa terjadi di bagian kota mana saja. “Ini
adalah suatu fakta yang bertebaran dengan nyatanya di depan rumahku, di
lingkunganku, dan barangkali juga di lingkunganmu sendiri [...]”250
Di dalam cerpen ini ditekankan pertentangan antara rakyat jembel
dengan kelas penguasa baru, priyayi baru alias pribumi yang menjadi
kolonial baru bagi kelompok pribumi lain. Pramoedya masuk dalam cerpen
250 Ibid., hal: 123
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
ini, berperan sebagai ‘aku’ yang memperhatikan semua aktivitas dan
kehidupan para pembantu tersebut dari jendela rumahnya.251
Ben Anderson secara khusus memberikan perhatian pada cerpen ini.
Anderson menunjukkan ironi-ironi yang berlimpah di dalam cerpen tersebut.
Makhluk di Belakang Rumah menggambarkan eksploitasi yang dilakukan oleh
para priyayi baru, atau disebut Pramoedya sebagai ‘priyayi udik’. Ironinya,
nyonya rumah yang kini jadi priyayi itu, dulunya bekerja sebagai babu juga.
Tapi bukannya bersimpati akan nasib para babu, ia malah memperlakukan
mereka sebagaimana mereka diperlakukan dulu.252
Ada beberapa orang tokoh pembantu yang diperhatikan si aku, tapi
tak satu pun yang diketahui namanya. Hal ini menyarankan bahwa nama
menjadi kurang penting ketimbang ceritanya. Misalnya, seorang pembantu
yang disebut “aku” sebagai “Dua”. Ia dijuluki demikian karena bilangan yang
dikenalnya adalah dua. Dua bekerja setidaknya 12 jam sehari. Ia tidak digaji,
cuma diberi makan satu kali sehari.
Di rumah petak lain, ada seorang pembantu, atau “babu priyayi”
sebagaimana Pramoedya menulisnya – yang memiliki nasib lebih baik
ketimbang Dua. Babu ini disekolahkan di Sekolah Rakyat dengan uang jalan
yang hanya setalen sehari. Lama-kelamaan ia tumbuh menjadi gadis yang
pintar, dan dianggap sebagai saingan sang majikan. Kelanjutannya, ia diusir.
Babu berikut lain lagi ceritanya. Demi keselamatan dunia akhirat,
juragannya diminta dukun untuk tidak memasak nasi lebih dari 2 liter. Maka
babu ini pun terpaksa memasak 3 kali sehari untuk memenuhi makan 251
Teeuw, A. 1995. Op.cit., hal: 23 252 Ibid., hal: 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
anggota keluarga juragannya yang banyak. Pekerjaan babu ini terlalu banyak
hingga ia kadang terlampau letih untuk sekadar makan. Maka ia tidur
sebelum makan, dan bekerja lagi sebelum makan esok pagi. Badan babu ini
akhirnya membengkak, yang jelas bukan karena kebanyakan makan. Dengan
segera ia dipulangkan, ke udik.
Tidak semua cerita babu yang berakhir sedih. Ada pula babu yang
mampu keluar dari perbabuan dan menjadi orang, bukan semata-mata
‘makhluk’ seperti babu-babu lain. Babu ini pintar berdandan, sekaligus
akting. Ia memiliki satu baju sutra yang akan dipakainya di momen-momen
penting. Di tangan, ia mengapit majalah-majalah film atau hiburan. Sekurang-
kurangnya, ia tentu dianggap bisa membaca, kepandaian yang langka dimiliki
kelas babu. Lalu, ia masuk melamar menjadi buruh pabrik, dan diterima.
Suatu saat, ia terlihat berjalan-jalan dengan seorang pemuda yang memakai
sepeda Raleigh baru.
Akan halnya kisah si Dua yang membuka cerita, berakhir seperti kisah
babu-babu lainnya. Selesai kena murka (derajat marah yang paling tinggi),
lagi kena pukul, ia tiba-tiba lenyap. Dua yang sehari-hari hanya mengenal
satu bagian saja di rumah majikannya, daerah belakang (sekitaran sumur dan
dapur), tiba-tiba minggat. Ia ditemukan di pojok jembatan, dan ia pun
menemui akhir yang bisa ditebak: dipulangkan ke udik.
4. Kecapi (1956)
Seperti Makhluk di Belakang Rumah, cerita Kecapi yang ditulis tahun
1956 ini juga tidak mengambil setting di salah satu tempat yang spesifik di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Jakarta. Begitupun nama tokoh-tokohnya tidak disebutkan semua. Hanya ada
Cicih, isteri pertama lelaki pemain kecapi, dan Raden Marbaut, pemilik
rumah petak yang ditempati si lelaki. Di sini, tokoh “aku” kembali muncul
sebagai pencerita.
Tokoh utama dalam cerpen Kecapi, hanyalah salah satu dari sekian
ribu orang dari “daerah” yang bermigrasi ke Jakarta pada pasca perang. Sama
seperti ribuan orang lainnya yang bermigrasi ke Jakarta pada tahun 1950, ia
memimpikan Jakarta sebagai “tanah terjanji” yang bisa memberikan
penghidupan dan kebahagiaan. Dia meninggalkan kampungnya seperti
meninggalkan sebuah masa lalu yang pahit, dengan meninggalkan isteri,
anak-anak, dan kehidupannya di kampung demi isteri yang lebih muda dan
menyegarkan, si jangkung koneng.
Ternyata harapannya kepada Jakarta bertepuk sebelah tangan. Jakarta
tidak begitu ramah kepada orang-orang kelas bawah dan tidak
berpendidikan. Seperti orang-orang segolongannya, dia harus berjibaku
untuk upah yang tidak seberapa, dan terpaksa tinggal di dalam lingkungan
domisili yang jauh dari standard layak.
Di Jakarta, keluarga itu menempati sebuah rumah petak yang
disewakan Raden Marbaut. Rumah itu agaknya hanya terdiri dari satu
ruangan. Ruang tengah merangkap ruang tamu, ruang tidur, dan ruang
makan. Di kala hujan, rumah itu terendam banjir. Dinding rumah tersebut
merupakan punggung bukit yang sekaligus menjadi tempat berdiam tikus-
tikus tanah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Keadaan tersebut membuat isterinya yang baru tidak betah. Ia mulai
rajin mengomel. Ia juga sempat-sempatkan mengutuk suaminya di sela-sela
mengaji. Secara terang-terangan, ia memaki-maki si suami di muka umum.
Ini membuat suami tidak betah, dan memilih pergi dari rumah. Hingga setiap
hari, masa-masanya di rumah tidak lebih dari dua jam lamanya.
Di luar, ia mencari peruntungan dengan menjadi tukang catut. Saat
beruntungnya, ia dapat membeli sepeda Perancis dan ranjang berkasur.
Menimbang upahnya yang kecil, ia pindah bekerja sebagai tukang tagih.
Setelah itu, hidupnya secara berangsur-angsur makmur. Tapi, hatinya malah
makin miskin. Ia anehnya merindu kampung Lembah-Gunung.
Dengan merenggangnya hubungan dengan istri barunya, perasaan
terasing mulai menganiaya batinnya. Hidupnya kian terasa hampa—terlebih
lagi ketika dia membandingkan bahwa hidupnya di kampung tidak sekosong
seperti di kota. Sesusah-susahnya hidup di kampung, sekurang-kurangnya
dia merasa bahagia. Dengan lagu-lagu dan alat kecapinya, ia memanggil
kembali kampung halaman, mengingat kembali isteri dan anak-anaknya yang
dulu ia tinggalkan.
Hidupnya telah kehilangan dasar. Dan cara dia mengatasi kekosongan
batin dan makna hidupnya, coba diringankan dengan nostalgia. Dengan lagu-
lagu dan alat kecapinya, ia mencoba menghadirkan kenangan akan kampung
halaman, akan isteri dan anak-anaknya yang dulu ia tinggalkan. Lagu-lagu
Sunda yang ia nyanyikan menghadirkan keterikatan pada simbol-simbol
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
kultural tempat ia berasal. Melalui lagu-lagu tersebut ia mendefinisikan
identitasnya sebagai seorang Sunda di Jakarta.253
5. Gambir
Seperti judulnya, cerita ini berpusat di Stasiun Gambir. Stasiun ini
terletak di timur Lapangan Gambir/Lapangan Monas, masih sekawasan
dengan cerita Ikan Yang Terdampar dan Berita Dari Kebayoran. Walau cerpen
ini dituliskan di Amsterdam tahun 1953, tetapi latar yang dipakai adalah
Jakarta tahun 1952. Cerpen ini memotret secara detail kehidupan sehari-hari
para kuli pengangkut di Stasiun Gambir, kait-mengaitnya dengan perjudian,
pelacuran, dan kriminalitas. Seperti Ikan Yang Terdampar dan Berita Dari
Kebayoran, Gambir juga diceritakan dari sudut pandang orang ketiga tunggal.
Tokoh utama Gambir yakni seorang tukang angkut bernama Hasan.
Hasan digambarkan sebagai seorang yang alim dan baik. Bahkan disebutkan
pula ia sembahyang dan rutin mengaji tiap malam.
Kisah Hasan bermula dari sebuah kampung bernama Pal Merah. Suatu
ketika, rumahnya didatangi sekawanan jago kampung yang dikepalai Djuned.
Harta bendanya dirampas dan isterinya, Bebe, dibawa kabur. Dari peristiwa
tersebut, Hasan mendapat luka di wajah. Tapi luka yang lebih mendalam
terletak di rongga hatinya. Selamanya ia dendam pada Djuned.
Sejak kejadian di Pal Merah itu, Hasan tinggal di Gambir. Rumahnya
kini adalah gerbong-gerbong kosong yang tak terpakai lagi. Di sana, Hasan
bergaul rapat dengan Otong. Otong adalah rekannya sesama kuli. Sama
253 Scherer, Savitri. Op.cit., hal: 52 – 53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
seperti Hasan, tadinya Otong juga memiliki rumah, mempunyai seorang bini.
Ia pergi karena tidak sanggup lagi membiayai keluarga.
Otong doyan judi, dan doyan pula perempuan. Uangnya setiap hari
berputar-putar antara judi – perempuan, dan tentu saja: makan. Berlawanan
dengan Hasan yang tidak judi tidak pula main perempuan. Maka orang-orang
mengira Hasan banyak uang. Dalam perhitungan mereka, Hasan menyimpan
setidaknya dua ribu rupiah. Jumlah yang sanggup membikin Sidik, sesama
kuli angkut- ngiler.
Walau Hasan dan Otong banyak berlawanan dengan Sidik, ada juga
yang menyatukan mereka, yaitu kebiasaan mereka ngopi-ngopi di tempat
penjual kue pancung. Penjual kue pancung ini bisa dikatakan sebagai pusat
tempat keluar masuk segala informasi ‘tidak resmi’ tentang orang-orang yang
menghuni stasiun.
Suatu hari, Hasan menggunakan uang simpanannya yang ternyata
kurang dari dua ribu, tepatnya 1.645 rupiah, untuk meminjam pistol seorang
polisi. Ia hendak menggunakan pistol tersebut untuk membunuh Djuned dan
kawanannya. Rupanya inilah rencana Hasan terhadap uangnya. Membunuh
Djuned dan kawanannya bagi Hasan adalah kewajiban. Setidaknya, ia
mengurangi jumlah penjahat di bumi.254
Akan tetapi, di hari yang sama, Hasan dihajar Sidik. Sidik bermaksud
merampas uang Hasan. Keduanya berkelahi hingga Sidik terbunuh dan mati.
Sementara, Hasan sudah keburu lari. Otong yang kebetulan melihat dan
254 Pramoedya, Ananta Toer. [1957] 2002. Op.cit., hal: 192
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
menyaksikan duel Hasan – Sidik memilih bungkam. Padahal, ia sempat
dicurigai sebagai pembunuh Sidik. Tetap saja Otong tidak membela diri.
Sejak kejadian tersebut, baik Hasan maupun Otong tidak terlihat lagi
berkeliaran di Gambir. Di stasiun itu masih dijumpai ‘Otong’ dan ‘Hasan’ yang
lain, yang di baju mereka terpasang pelat kuningan. Pelat tersebut sebagai
ganti kartu nama yang menjadi penanda bahwa mereka adalah kuli angkut
terdaftar, dan bukan ‘kuli angkut gelap’.
Hasan sempat terlihat menyambangi stasiun, sekali. Ia berniat
mengembalikan pistol yang dulu dipinjamnya. Tidak lupa ia menyempatkan
singgah minum di warung kue pancung. Penjual kue pancung ini malah
memihak kepada Hasan. Ia meminta Hasan untuk lari karena polisi kini
sedang mencari-carinya. Hasan telah menjadi seorang buron. Hasan yang
dulu alim sekarang menjadi ‘makluk malam’ yang hidup dengan mengembara
sudut-sudut gelap Jakarta. Ia “dipaksa mengikuti jejak penjahat-penjahat
yang pernah membuat sejarah di atas bumi dengan akhirnya yang juga telah
tersedia”.255
255 Ibid., hal: 206
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
BAB IV
MEMBAYANGKAN JAKARTA PERIODE 1950-AN
DARI MATA PRAMOEDYA
Pada penghujung Bab III sudah dideskripsikan tema, latar, beserta
ikhtisar masing-masing cerpen yang akan dianalisis. Bab berikut akan lebih
konsentrasi pada deskripsi dan telaah simbol-simbol tertentu di dalam
cerpen, yang dianggap dapat menolong kita dalam membayangkan Jakarta,
plus Indonesia, periode 1950-an. Atau sebaliknya, simbol-simbol tersebut
bisa jadi menawarkan imaji baru yang sama sekali bertolak belakang dari
imaji yang umum tentang Jakarta.
Sebelum lebih jauh masuk ke bagian analisis, ada beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan. Cerita Dari Jakarta adalah kumpulan cerpen yang
diterbitkan di tahun 1957. Di tahun-tahun itu, seperti yang telah diurai pada
Bab II, kritik dan pesimisme terhadap Revolusi dan pemerintah pada
umumnya banyak disuarakan melalui karya sastra. Pramoedya termasuk
yang paling awal dalam menuliskan kritik ini. Cerpen-cerpen dalam Cerita
dari Jakarta sudah ditulisnya sejak 1948, setahun sebelum Indonesia diakui
sebagai negara yang berdaulat. Ketika Cerita Dari Jakarta diterbitkan ulang di
tahun 2002, dan dibaca di tahun 2014, yang berarti lebih dari setengah abad
kemudian, urgensi kritik Pramoedya ini jadi kurang terasa. Hal ini disorot
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
pula oleh Goenawan Mohamad yang memberi kata pengantar untuk
terjemahan Cerita Dari Jakarta di tahun 2000.256
Sementara itu dapat dicatat sebagai sebuah kelemahan, di sisi lain,
ada juga keuntungan yang bisa dipetik dari situ. Buku Cerita dari Jakarta
yang dipergunakan di sini adalah edisi cetak ulang tahun 2002. Ejaan lama
yang dipakai di edisi pertama pada tahun 1957 sudah disesuaikan dengan
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Dengan kondisi pembaca yang jauh
berbeda dari saat pertama kali diterbitkan, dengan gampang kita bisa
mengenali kontras-kontras besar antara apa yang kita bayangkan tentang
Jakarta dan tentang masa-masa di tahun 1950-an, dengan apa yang dituliskan
oleh Pramoedya. Hal ini akan sangat membantu dalam mencari counter-
symbolism dalam Cerita dari Jakarta.
A. Ikan-Ikan yang Terdampar
Seperti yang telah dibahas dalam Bab II, sejak masa pendudukan
Jepang, terjadi gelombang migrasi besar-besaran ke Jakarta. Ikan-Ikan Yang
Terdampar di antaranya mengangkat isu migrasi ini, yang dibicarakan dari
perspektif seorang migran, Idulfitri.
Idulfitri menggunakan istilah “terdampar” untuk menyebut peristiwa
kepindahannya dari kampung ke ibukota. Seperti yang tertera dalam judul,
Idulfitri menganalogikan dirinya seperti ikan yang tercampak ke darat
selepas banjir reda. Teks cerpen juga tampak konsisten memakai awalan
256
Mohamad, Goenawan. Foreword dalam Toer, Pramoedya Ananta. 2000. Tales From Jakarta: A Caricature of Circumstances and Their Human Beings. Equinox: Jakarta, hal: vii - viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
“ter-”, seperti penggunaan kata “terdampar” dan “tercerai”. Seperti dalam
paragraf berikut:
“Kalau banjir telah surut, [...] hitunglah, berapa banyak ikan terdampar di beting-beting. Dan binatang-binatang itu tidak berdaya karena mereka tercerai dari air. Dan aku – aku ini salah seekor di antara binatang-binatang itu.”257 [penekanan dari penulis] Pernyataan tersebut mengundang pertanyaan, seperti: Mengapa
Idulfitri menggunakan kata “terdampar”, yang sekaligus menempatkan
Idulfitri dalam posisi obyek dalam peristiwa kepindahannya? Bukankah tidak
ada yang memaksa Idulfitri untuk hijrah dari kampungnya? Tidakkah ia
dengan sukarela datang ke Jakarta, atau dengan membalik istilah Idulfitri,
bukankah ia yang mendamparkan diri sendiri?
Dengan memakai analogi “ikan yang terdampar”, Idulfitri terlihat
hendak menekankan pada adanya faktor lain di luar dirinya yang membuat ia
terseret ke ibukota. Bahwa ada keadaan-keadaan tertentu yang
menghempaskannya ke Jakarta, yang berada di luar kehendak pribadinya.
Dan, keadaan inilah yang lebih berkuasa atas jalan hidupnya.
Jelas, pilihan bukan sesuatu yang hendak diperdebatkan di sini; bukan
soal apakah Idulfitri suka atau tidak suka, ingin atau tidak ingin. Kalau punya
pilihan, ia akan menawar menjadi komis atau asisten wedana, seperti yang
dicita-citakan kedua orang tuanya. Ia tidak berkehendak menjadi maling. Ia
tidak pernah melamar untuk posisi itu.
Setiap cita-cita Idulfitri selalu kandas, dikandaskan oleh ‘faktor x’. Ia
ingin menjadi polisi militer, tetapi ditolak karena dikira komunis. Inginnya
257
Toer, Pramoedya Ananta. [1957] 2002. Cerita dari Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya. Hasta Mitra: Jakarta, hal: 18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
bekerja tetap, yang berkantor dan bergaji tetap, namun pengeluarannya
untuk hidup layak sebagai karyawan bakal jauh lebih besar ketimbang yang
didapat. Demikian besarnya pengaruh ‘keadaan’ pada hidup Idulfitri hingga
dapatlah dikatakan Idulfitri tidak menjadi kriminal dengan sendirinya. Lebih
tepatnya, ia di-kriminal-kan.
Selain itu, ada pula sosok Namun, yang berperan sebagai ‘tim sorak’
yang menyokong setiap tindakan-tindakan kriminal Idulfitri. Seperti yang
tersirat dari namanya, Namun adalah penghubung yang memungkinkan
Idulfitri (seorang suci) melakukan kejahatan. Namun termasuk dalam ‘faktor
x’ yang mendorong Idulfitri untuk mementingkan hak perutnya di atas
segala-galanya. Namun adalah prasyarat bagi Idulfitri untuk hidup
berlawanan arah dari jalur yang dikehendaki atas dirinya.
Selain soal pekerjaan, Idulfitri juga tidak memiliki pilihan dalam hal
tempat tinggal. Ia tidak punya pilihan untuk bertahan di kampung atau di
kota. Toh, antara kampung dan kota bukan sebuah pilihan yang sejajar, tidak
seperti ketika harus memilih antara Facebook dan Twitter, atau Blackberry
dan iPhone. Orang kampung hidup dengan aspirasi pergi ke kota, tidak
berlaku sebaliknya.
Apabila orang sudah sampai di kota, orang seakan-akan tidak punya
jalan untuk pulang; serupa bertemu jalan buntu yang tidak menyediakan
jalan untuk berbalik. Ini terjadi dalam kasus Idulfitri. Antara mau dan malu,
ingin dan tidak bisa, harapan dan kenyataan; kontras-kontras ini
memperlebar jarak antara Idulfitri dan kampungnya, seperti yang tergambar
dalam paragraf berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
“Anak yang diharapkannya jadi manusia yang kelak menjadi kebanggaannya adalah aku yang keparat ini. Mereka tidak membutuhkan aku. Aku malu pulang ke kampungku. Aku malu pada pertanyaan mereka yang paling pertama. [...] Bagaimana pekerjaanmu? Engkau bekerja apa sekarang, anakku? Dan mereka menunggu jawaban dengan hati yang berdebar-debar. Dan jangan pula engkau lupa, jawabanmu itu sebentar lagi akan tersiar di antara para tetangga dan kawan sahabat orang tuamu itu. [...] Aku akan tetap bertahan di sini, hingga setidak-tidaknya sepuluh prosen dari cita-cita mereka terkabul.”258 Hijrahnya Idulfitri ke ibukota telah merubahnya menjadi ‘makhluk
baru’. Ia berubah menjadi Idulfitri versi Jakarta yang akan janggal bila
ditempatkan dalam situasi dan kondisi di kampung. Perubahan yang
mencolok itu yakni dari cara pandangnya. Ia berpikir tidak lagi berdasarkan
pertimbangan norma atau susila, tetapi lebih didorong oleh kebutuhan
jasmaninya yang paling mendesak: kebutuhan untuk makan. Ia menimbang
segala sesuatu sesuai dengan logika perutnya. Ia hanya dapat berbicara
dengan asas guna, tidak selain itu.
Dengan kegunaan sebagai prinsip, segala sesuatu di luar itu menjadi
sia-sia. Mulai dari talu-taluan beduk masjid, serdadu gagah yang menjaga
pintu istana, gambar paha telanjang dan cium-ciuman di bioskop, semua
tidak berguna di mata Idulfitri. Seluruh pancainderanya tidak kenal jenis-
jenis keindahan: itu di luar kosakata hariannya. Ia lebih tergiur bila mencium
bau sate yang dibakar ketimbang gambar cium-ciuman pemain film.
“Setelah memasuki hari-hari yang beribu-ribu jumlahnya, Idulfitri tak tahu lagi di mana pentingnya embun yang bergantungan di dedaunan atau rerumputan pagi hari. Juga tak tahu lagi ia di mana manisnya awan merah yang melembayang di atas kepala. Dan ia pun tak mengerti lagi apa kehebatan yang tersimpul dalam taluan beduk-beduk langgar mesjid dan kelening genta gereja-gereja.”
258 Ibid., hal: 39 – 40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
“Waktu mau menyeberangi jalan raya ia menengok ke kanan, dan ia melihat pagar istana. Serdadu yang gagah menjaga lobang pintu. Tapi pada itu pun ia sudah tak peduli lagi. Sudah bosan. Sudah tak kuasa ia mengagumi kehebatan dan apa gunanya bagi negara dan perutnya sendiri.” “Gambar-gambar paha telanjang dan cium-cium ini tidak ada gunanya bagi orang lapar.”259 Celotehan-celotehan Idulfitri di atas menyarankan bahwa keindahan
dan hal-hal yang abstrak itu bukannya bebas nilai, melainkan terkotak-kotak
dalam kelasnya masing-masing. Estetika tidak berlaku universal dan
memiliki kecenderungan untuk menjadi elitis. Estetika adalah istilah khusus
untuk kalangan kelas menengah atas, yang berada di luar jangkauan
kemampuan Idulfitri untuk mencernanya.
Apabila ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, ocehan Idulfitri
juga bisa jadi adalah gugatan Pramoedya terhadap sastra, agama (khususnya
Islam), serta negara. Pramoedya, melalui moncong Idulfitri, mengkritik sastra
yang hanya peduli pada keindahan, atau struktur estetika formal seperti yang
dikoar-koarkan sastrawan Gelanggang yang mendominasi pada periode
1950-an. Ini menarik sebab periode 1950-an awal justru merupakan masa di
mana Pramoedya sering dikait-kaitkan dengan kelompok Gelanggang. Kritik
itu bahkan dituliskan secara eksplisit di dalam cerpen:
“Mengapa tak ada yang menggambarkan bagaimana lapar membelit-belit dalam ususku?” “Kaum seniman dan artis itu, ia terlampau banyak mengurus dirinya sendiri, mereka barangkali tak sadar betapa jiwa melayang ke hadirat Tuhan yang diapit makaikat-malaikatnya bilamana seorang yang kelaparan ada mencium sate sedang dibakar.”260
259
Ibid., hal: 16; 18 – 19 260 Ibid., hal: 21; 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Di dalam cerpen ini, alih-alih menuliskan kata-kata yang indah dan
puitis, Pramoedya malah mencantumkan banyak kata makian. Dengan
penggunaan umpatan-umpatan ini Pramoedya mencoba mereposisi
kedudukan sastra: merubahnya dari alat untuk mengekspresikan keindahan,
serupa paha-paha telanjang dan adegan-adegan ciuman, menjadi sarana
untuk mengungkapkan kegetiran dan kepahitan hidup, seperti cerita Idulfitri
yang sehari-harinya menanggung kelaparan.
Kritik selanjutnya dialamatkan pada agama, tepatnya pada
ketidakmampuan agama untuk berbicara dalam bahasa yang dimengerti oleh
orang-orang serupa Idulfitri. Agama lebih banyak berbicara dalam kerangka
waktu nanti: soal hitungan dosa dan pahala; lalu surga dan neraka. Agama
mempersiapkan orang-orang untuk hidup di akhirat, yang tidak pasti
hitungan hari dan tahunnya. Sementara Idulfitri berhadapan dengan waktu
kini. Hidupnya berputar dalam hitungan jam. Bahkan, hitungan jam ini
membingkai keseluruhan cerita, lanjut dieksplisitkan pula di dalam teks:
“Jam enam pagi teng ia tergagap-gagap bangun. Ia lapar. Selamanya begitu. Tetapi sekali ini lebih-lebih lagi: ia tak punya uang, tak punya makanan, tak punya kopi dan juga tak punya perempuan.” “Sudah sebelas jam kita kelaparan sejak pagi. Belum terhitung semalam. Dua puluh lima jam.”261 (penekanan dari penulis)
Hidup Idulfitri layaknya patahan-patahan yang tidak terulur panjang
sampai ke depan, ke masa-masa yang akan mendatang. Hidupnya terhenti di
hari ini, saat ini, jam ini. Apa yang didapatnya hari ini, diperuntukkan dan
dihabiskan untuk hari ini juga. Dalam hal ini dapat dibilang Idulfitri adalah
sebuah antitesis dari ide kemajuan yang ditawarkan ibukota. Ia tidak hidup
261 Ibid., hal: 17; 41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
dengan visi yang jauh ke depan. Ia tidak dilingkupi oleh kepercayaan atau
optimisme terhadap masa-masa yang akan mendatang. Hidupnya adalah
sekarang, di hari ini, di jam ini. Misalnya dalam cerpen ini dikisahkan, setelah
11 jam menanggung lapar, Idulfitri menjual dompet Namun, temannya.
Dengan hasil penjualan dompet itulah keduanya dapat makan. Makan untuk
satu hari, dirangkum di satu waktu, dan hanya cukup untuk sekali itu. Makan
untuk besok diikhtiarkan lagi saat matahari esok menjelang. Begitulah
seterusnya.
Dalam setiap perputaran jam, Idulfitri dihadapkan pada permasalahan
bagaimana supaya mengisi perut dengan segera. Dan, permasalahan ini tidak
dapat diselesaikan secara instan melalui beribadah atau beragama. Nilai-nilai
yang diajarkan agama tidak dapat dikonsumsi, dikonsumsi dalam artian
denotatifnya. Mungkin dapat menenangkan hati, tetapi tidak dapat meredam
gejolak di lambung Idulfitri. Seperti sindiran Namun pada Idulfitri: “Dan
engkau, haji gagal, apakah tidak bisa berdoa agar dalam dua jam ini paling
lambat kita bisa memperoleh makan?”262 (Perhatikan juga bahwa hitungan
jam kembali dipergunakan.)
Sementara itu, dalam hal nama Idulfitri sendiri menyimpan ironi.
Dalam cerita disebutkan, nama Idulfitri didapat karena lahir bertepatan
dengan lebaran. Idul Fitri umum diartikan sebagai momen untuk “kembali
suci, kembali ke fitrah”. Akan tetapi, makna dari nama Idulfitri ini berbanding
terbalik dari ‘nasibnya’. Alih-alih menjadi suci, atau menjadi haji seperti
harapan orang tua, Idulfitri berakhir menjadi maling, menjadi ‘bajingan’.
262 Ibid., hal: 41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Selain agama, negara juga menjadi sasaran kritik dalam Ikan-Ikan
Yang Terdampar. Bahkan Istana Merdeka, yang menjadi simbol penting dari
negara, terutama sejak ditempati Soekarno pada tahun 1949 yakni setelah
pengakuan kedaulatan Indonesia- dirujuk secara tertulis di dalam teks.
Selama berjalan mengitari Lapangan Gambir, Idulfitri dua kali lewat depan
istana. Akan tetapi, istana yang gagah itu tidak menimbulkan perasaan
megah di hati Idulfitri. Malah, ia berusaha mengelak-elakkan pandangannya
dari istana tersebut.
“Waktu mau menyeberangi jalan raya, ia menengok ke kanan, dan ia melihat pagar istana. Serdadu yang gagah menjaga lubang pintu. Tapi pada itu pun ia sudah tak peduli lagi. Sudah bosan. Sudah tak kuasa mengagumi kehebatan dan apa gunanya bagi negara dan perutnya sendiri.” “Sampai di depan istana mereka tak menengok ke kanan, ke istana, tapi jalan terus.”263 Padahal, pertautan antara negara dengan Idulfitri tidak hanya sekadar
menumpang tinggal di daerah kekuasaan republik, tetapi ia terlibat dalam
memperjuangkan kemerdekaan. Ia adalah salah seorang pejuang yang
karenanya Soekarno bisa menamai istana itu dengan embel-embel kata
“Merdeka”. Idulfitri bukan hanya penonton yang berdiri di pinggir lapangan,
ia turut serta sebagai pemain. Akan tetapi, tidak seperti mereka yang
memperoleh tempat di istana, Idulfitri adalah pemain yang terbuang. Idulfitri
adalah “pahlawan sesat” yang “tidak mendapat tempat di masyarakat
merdeka yang dahulu diperjuangkan.”264
Idulfitri adalah pahlawan yang tragis. Ia dilupakan oleh negara yang
dulu dibelanya. Ia disingkirkan dari kemiliteran, dari kantoran, dari hasil- 263
Ibid., hal: 18; 30 264 Ibid., hal: 18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
hasil perjuangannya. Bahkan, Idulfitri terusir pula dari ingatan sejarah.
Namanya tidak tercantum di mana-mana, tidak sebagai nama taman, tidak
juga nama jalan. Negaranya lebih memilih untuk mengingat-ingat Teuku
Umar, misal, yang bahkan tidak memiliki ide tentang negara Indonesia.
Idulfitri cuma pahlawan lokal yang tidak menggambarkan ciri nasional.
Oleh karena itu, di mata Idulfitri Istana Merdeka tidak
merepresentasikan sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, seperti yang
diimplisitkan dari namanya. Merdeka hanyalah milik dari segelintir orang.
Orang-orang yang berkuasa di gelanggang, “kaum penggendut perut”, istilah
Idulfitri. Sedangkan Idulfitri tersingkir dari gelanggang, membuatnya hidup
menggelandang dengan Namun sebagai sesama “kaum lapar”.
Munculnya kategori “kaum lapar” dan “kaum penggendut perut” ini
menawarkan kepada kita sebuah cara lain dalam melihat Jakarta, serta
Indonesia. Jakarta tidak hanya bisa dibagi-bagi berdasar tingkat penghasilan,
tetapi juga berdasar pada pengalaman dan perasaan hidup sehari-hari
penghuninya, yang dalam hal ini dikaitkan dengan rasa lapar. Padahal, di
masa-masa sebelum merdeka, hanya ada satu bangsa: bangsa yang terjajah.
Akan tetapi, setelah merdeka, bangsa yang terjajah itu terbelah dua: satu
kaum ganti menjajah kaum lainnya.
Karena “kaum lapar” ini tersisih dari kota berikut bangsanya, lebih
mudah bagi mereka untuk mengindentifikasikan diri dengan “kaum lapar” di
luar sana dengan tanpa mengindahkan batas-batas negara. Dalam cerita Ikan-
Ikan yang Terdampar ini, Namun dan Idulfitri menemukan kawan senasib
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
sepenanggungan itu di negeri Tiongkok dan Eropa Timur, tempat
bersarangnya kaum komunis.
Lebih jauh, teks tulisan ini memperlakukan “kaum lapar” dan “kaum
komunis” selayaknya sinonim. Di halaman 25, disebutkan: “Kaum komunis
menang gelanggang”. Di halaman berikut, masih dengan komposisi kata yang
sama, diulang: “Kaum lapar mulai menang gelanggang”.265 [penekanan dari
penulis]
Selebihnya, hadirnya daerah Tiongkok dan Eropa Timur dalam teks
ini menunjukkan bahwa pengalaman orang akan kota tidak sebatas sekat-
sekat yang membatasi daerahnya. Berkat adanya media massa, ruang itu
meluas, mengatasi jarak fisik yang tersedia. Bila Pramoedya sempat
membuat pernyataan Jakarta adalah sekumpulan kampung,266 sepertinya
bisa pula dikatakan Jakarta adalah kumpulan dari negara dunia. Sebelum
Jakarta dapat menjadi kiblat dunia, dunia tersebut telah lebih dulu
menginfiltrasi ruang-ruang di Jakarta, di antaranya melalui perantaraan surat
kabar atau film-film asing yang diputar di bioskop.
Dulu, Belanda merancang Jakarta (Batavia) secara spasial sebagai kota
yang dibagi berdasarkan kelompok ras dan etnis yang ada. Space kota Jakarta
bersifat rasial. Maka kemudian ditemukan adanya Kampung Melayu,
Kampung Betawi, Kampung Cina, dll. Oleh Soekarno, pengkotakkan wilayah
kota yang sifatnya rasial tersebut dihilangkan.267 Akan tetapi, itu tidak berarti
265Ibid., hal: 25; 26 266 Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press: Cambridge, hal: 129 267
Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibukota Jakarta di Bawah Soekarno. Penerbit Ombak: Yogyakarta, hal: 120 – 122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
semua orang yang berdiam di Jakarta menjadi sama rata, sama rasa. Tetap
ada jarak sosial yang memisahkan mereka. Kelompok yang lebih berkuasa
dan lebih berpunya mendominasi ruang-ruang yang ada. Dalam istilah
Idulfitri, mereka adalah “penguasa gelanggang”.
Idulfitri terasingkan dari ruang-ruang ekonomi di Jakarta. Selagi
Idulfitri berjalan mengitari ibukota bersama Namun, di sekelilingnya
berserakan gedung-gedung perkantoran. Diantaranya terdapat: gedung
kantor telepon, gedung Radio Nasional Indonesia, dan kementerian
pertahanan. Akan tetapi, dari kantor-kantor tersebut, tidak satu pun yang
menyediakan satu bangku kosong untuk diduduki Idulfitri. Selamanya ia
menggelandang di jalan.
Di jalan, Idulfitri masih tergolong anomali. Idulfitri tidak memiliki
rutinitas layaknya orang kota pada umumnya. Bila orang-orang kota pagi-
pagi berangkat kerja, Idulfitri malah menghabiskan hari dengan berjalan-
jalan. Sehari-hari ia hidup di jalan, dan mencari nafkah di jalan. Bila orang
menjadikan jalan sebagai lintasan yang akan mengantarkan mereka mencari
nafkah, Idulfitri memperlakukan jalanan sebagai sumber nafkah. Jalanan
adalah etalase gratis tempat ia dapat mematut kendaraan mana yang bisa
mendatangkan uang bagi pengganjal perutnya.
Maka, bagi Idulfitri, istana bukan sebuah potret yang tepat untuk
ibukota. Istana dikonstruksi sebagai lambang kemegahan dan kejayaan.
Inilah yang membuatnya berjarak dari orang-orang serupa Idulfitri.
Kedudukan istana di dalam teks cerpen ini tak ubahnya seperti dompet
Namun yang dijual ke tukang loak: di luar gagah, tetapi tak berisi, kosong
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
melompong. Bagi Idulfitri, jalananlah yang dapat merefleksikan
kehidupannya dengan lebih patut. Di jalan masih tersedia ruang untuknya
menyambung hidup. Jalanan adalah ‘monumen perjuangan’ yang
sesungguhnya.
B. Berita dari Kebayoran
Apa yang menarik dari cerpen ini yaitu ditampilkannya Kebayoran
sebagai representasi dari wilayah ‘kampung’ yang berlawanan dengan
wilayah ‘kota’ (Jakarta). Keunikan ini tidak akan dirasakan bila cerpen ini
dibaca pada periode 1950-an, masa ketika cerpen ini pertama kali
diterbitkan, masa-masa di mana Kebayoran masih berupa ‘kampung’ dan
sedang dalam tahap pengembangan menjadi kota satelit Jakarta.268 Lebih
jauh, cerpen ini mengolah isu pembangunan Kebayoran menjadi wilayah
satelit kota ini lebih sebagai sekadar latar cerita, karena ikut mempengaruhi
jalan hidup tokoh utama, Aminah.
Tadinya, Kebayoran merupakan wilayah berpenduduk jarang yang
dihuni kalangan Betawi ‘miskin’.269 Kategori ‘miskin’ di sini tidak dalam arti
bahwa mereka hidup sengsara seperti kaum ‘miskin’ kota yang hidup
menggelandang di jalan atau tidur bertumpuk-tumpukan di bawah jalan
layang. Miskin di sini lebih dekat artinya pada ‘non-modern’, daerah yang
tidak tersentuh ‘peradaban’ kota, daerah yang minim fasilitas dan minim
pendidikan. Tidak seperti di kota yang lekat dengan kawasan industri,
268 Blackburn, Susan. 2012. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Pen. Gatot Triwira. Masup Jakarta: Jakarta, hal: 216 269 Ibid., hal: 217
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
kampung identik dengan kawasan agraris. Seperti keluarga Aminah dalam
cerpen Berita dari Kebayoran, mayoritas warganya mencari nafkah dengan
menjadi petani buah.270
Orang di kampung hidup dengan memberdayakan tanah. Tanah
ibaratnya ‘esensi’ kehidupan. Orang tidak dapat hidup bila tak bertanah.
Tanah bukan hanya tempat berdiam, tetapi juga sumber mata pencarian.
Singkat kata, tanah adalah kekayaan. Maka, dengan hilangnya tanah, hidup
Aminah di kampung juga musnah. Seperti curahan hati Aminah:
“Kak Saleh sudah kubilangi, jangan jual rumah dan ladang itu. Itu sumber penghidupan kita. Tapi dia bilang, kekayaan kita itu harus kita serahkan pada pemerintah, Minah, kalau kita tak mau mendapat kesusahan dari padanya. Dan rumah serta pekarangan itu dijuallah. Tiga ribu! Tapi sejak itu kita tak dapat membuat tuak dan gula lagi. Aku tak dapat jual rujak buah atap. Tak punya panen singkong dan cabe. Dan kita tak dapat beli ladang orang lain karena tak ada yang jual...”271 [penekanan dari penulis]
Tanah di kampung yang tadinya berstatus sebagai ladang diruntuhkan
untuk dibangun simbol-simbol kemajuan, simbol-simbol urban. Sebab, untuk
merubah status Kebayoran menjadi daerah satelit dibutuhkan lebih dari
sekadar urusan administratif, tetapi juga soal representatif. Maka wajah
‘kampungan’ Kebayoran perlu dipermak menjadi ‘kekota-kotaan’. Caranya
yaitu dengan mengimpor fasilitas dan bangunan modern yang ada di kota,
masuk ke kampung. Contohnya, jalan aspal, listrik, sekolah, dan rumah-
rumah permanen. Dengan keberadaan simbol-simbol urban tersebut
meredefinisikan hubungan antara penduduk di Kebayoran dengan tanah dan
dengan kampung mereka. 270
Ibid., hal: 217 271 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
Bagi Aminah, kehilangan tanah di kampung hanya memiliki satu arti:
mati. Maka, Aminah pun memilih untuk hijrah ke kota. Kepindahan Aminah
ke kota ditanggapi secara berbeda oleh orang-orang di kampungnya. Dalam
pikiran mereka, Aminah “lari”. Aminah melarikan diri dari suami, sanak
keluarga, dan segenap handai taulan. Aminah lari dari kemelaratannya, dari
kemalangannya, dan dari kehancuran hidupnya.
Sementara, dalam sudut pandang Aminah, ia bukannya “lari”, tetapi
“mencari”. Perbedaan keduanya terletak pada ada atau tidaknya harapan.
Mencari berarti menyimpan harapan untuk menemukan sesuatu. Sedangkan
lari tidak memiliki relevansi dengan harapan, lari juga tidak memiliki
orientasi terhadap masa depan.
Sebagai tujuan dan sebagai tumpuan harapan, maka wilayah kota
selalu digambarkan dalam bentuk kini. Pun, wilayah kota diasosiakan dengan
kebaruan. Nasib baru, dan hidup yang baru. Untuk Aminah kebaruan itu
disimbolkan lebih jauh dengan pergantian laki, dari Saleh ke Diman.
Akan tetapi, nasib baru di sini tidak selalu berarti nasib baik. Untuk
kasus Aminah, yang terjadi adalah kebalikannya. Hidup barunya di kota jauh
lebih mengenaskan ketimbang hidup di kampung. Antara cita-cita dan realita
tidak sejalan. Sayangnya, di kota tidak tersedia jalan untuk kembali pulang.
Satu-satunya jalan yang tersedia adalah jalan untuk terus.
Oleh sebab itu, wilayah kampung menjadi identik dengan masa lalu.
Apalagi cerpen ini tidak disusun secara kronologis, tetapi dengan teknik kilas
balik. Maka wilayah kampung hanya hadir dalam bentuk serpihan kenangan.
Oleh sebab itu, wilayah kampung selamanya identik dengan masa lalu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
Wilayah kampung menjadi sesuatu yang usang, yang lampau. Ini jelas terlihat
di dalam kalimat di mana terus disisipkan kata “dahulu” sebagai penanda
waktu. Oleh sebab itu, kampung menjadi identik dengan kenangan. Tetapi
bukan lagi kenangan akan kenestapaan dan kesengsaraan, melainkan
kenangan akan sebuah kehidupan yang lebih ramah, lebih indah.
Namun, kesenangan hidup di kampung yang telah dirasai itu bukan
untuk dikejar. Statusnya tetap sebagai kenangan, bukan harapan. Keindahan
kampung hanya untuk diingat-ingat, tetapi tidak untuk diperjuangkan.
Aminah lanjut mengkultuskan kampungnya sebagai surga, sesuatu yang elok
untuk diangankan, tetapi membuatnya semakin berjarak dari kehidupan
nyata. Kampung menjadi kian tak terjangkau. Seperti kata Aminah, “antara
dia dan Kebayoran dan orang-orang yang dikasihinya itu tak lagi ada
jembatan yang tersedia”.272
Seterusnya, sebagaimana telah disinggung di bagian terdahulu, cerpen
ini dalam arti tertentu dapat dilihat sebagai kelanjutan dari cerpen Ikan-Ikan
yang Terdampar. Kedua cerpen tersebut masih berputar-putar di wilayah
yang sama: daerah Lapangan Gambir/Monas dan sekitarnya. Bedanya, bila
dalam Ikan-Ikan yang Terdampar kita mendapatkan gambaran tentang wajah
kota di waktu siang, melalui Berita dari Kebayoran kita dapat membayangkan
wajah kota di waktu malam.
Berbeda dengan di kala siang, gambaran kota di kala malam
didefinisikan melalui ada atau tidaknya penerangan. Secara garis besar,
wilayah kota dapat dibagi atas dua: wilayah gelap dan wilayah terang. Apa
272 Ibid., hal: 45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
yang membedakan keduanya yakni keberadaan lampu listrik. Lampu listrik
memang menjadi penanda yang cukup signifikan di dalam teks ini. Di tahun
1950-an, lampu listrik termasuk fasilitas mewah. Seperti yang dikemukakan
Blackburn, sekitar tahun 1950-an tidak semua rumah terhubung dengan
aliran listrik.273 Jadi tidak mengherankan bila di dalam teks cerpen
disebutkan hanya beberapa bangunan tertentu yang dialiri arus listrik,
seperti Restoran Yen Pin, balai pertemuan kota praja, dan pagar taman
istana.
Selain menandakan kemewahan dan kemegahan, lampu listrik di
suatu waktu juga bisa mendatangkan ancaman. Misalnya seperti cahaya
lampu listrik yang menghiasi pagar istana. Sinarnya merupakan ancaman
bagi Aminah yang berprofesi sebagai pekerja malam. Sinar tersebut
memaksa Aminah dan golongannya untuk berpindah ke sisi taman kota yang
lebih dalam, lebih kelam, dan tentunya lebih aman.
“Mula-mula ia [Aminah] dan golongannya punya daerah di depan istana presis. Tapi lampu-lampu terang dipasang orang di sepanjang jalan yang meretas-retas kegelapan taman di depan istana itu. Dan lampu-lampu itulah yang mengusirnya dengan golongannya ke sebelah kanan lagi: tak lebih dari dua ratus lima puluh meter. Tak lebih dari dua ratus lima meter dari pagar istana.”274
Bagi Aminah, berada di bawah penerangan lampu listrik sama
berbahayanya dengan berhadap-hadapan dengan polisi. Status Aminah yang
sebagai pekerja malam, sekaligus penghuni gelap ibukota, membuatnya
harus selalu menghindar dari cahaya terang. Kehadiran lampu listrik menjadi
sebuah ancaman karena lampu tersebut membuat sosok Aminah akan 273
Blackburn, Susan. Op.cit., hal: 239 274 Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
“tampak” di permukaan. Dan tampak di permukaan akan membuat sosoknya
“dikenali”, dikenali sebagai penduduk tidak sah di ibukota.
Oleh sebab itu, bagi Aminah wilayah taman kota yang gelap bukan
hanya sebagai sekadar tempat bermalam, atau tempatnya melayani
pelanggan, tetapi juga sebagai tempat perlindungan. Wilayah taman yang
gelap itu adalah rumahnya, mewakili seluruh hidupnya. Begitu pentingnya
wilayah taman yang gelap itu, sudah setara dengan “Arabia untuk orang
Islam atau Palestina untuk orang Kristen”.275
Akan tetapi, sebagai penghuni wilayah gelap ibukota, yang juga
berstatus sebagai penghuni gelap, keberadaan Aminah di taman kota itu
tidak dianggap. Seperti dikatakan: “namanya [Aminah] tak terdaftar di buku
besar, dan menurut catatan resmi dia belum dilahirkan- belum pernah ada di
atas tanah Jakarta.”276 Seperti mentimun bongkok, Aminah ada, tetapi tak
dihitung sebagai satu kepala.
Sementara bagi “pihak yang berwajib”, persoalan ada atau tidaknya
Aminah sebenarnya tidak terlalu penting. Permasalahan mendasarnya adalah
apakah Aminah tampak atau tidak. Ketika kepergok berkeliaran di taman
kota, Aminah diteriaki: “Monyet lepas! Mau ke mana, kau? Engkau cuma
mengotori keindahan taman ini.” [penekanan dari penulis]277
Muka Aminah yang kian peyot bukanlah sesuatu yang bisa
merepresentasikan wajah ibukota yang dicita-citakan. Wajah Aminah adalah
kontras dari taman yang ia tinggali. Bahkan secara sarkastik, dituliskan
275 Ibid., hal: 46 276
Ibid., hal: 46 277 Ibid., hal: 59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
saking mengeriputnya muka Aminah “orang tak bisa membedakan mana
Aminah dan mana monyet”.278 Padahal, wajah Aminah sesungguhnya adalah
metafora dari wajah kota Jakarta. Wajah Aminah adalah ‘realita’ yang
disembunyikan dari kerlap-kerlip lampu ibukota.
C. Makhluk di Belakang Rumah
Berbeda dengan dua cerpen sebelumnya, cerpen Makhluk di Belakang
Rumah ini dituliskan melalui sudut pandang orang pertama, “aku”. Namun,
keberadaan “aku” bukan yang kelewat berjarak dari kisah yang diceritakan.
“Aku” sehari-hari tinggal di lingkungan tempat cerita ini berpijak. Walau,
“aku” selalu mempertahankan posisinya sebagai pengamat. Secara spasial
dijelaskan, “aku” yang bercerita ini hanya sejarak sekira 5 meter dari
kehidupan para babu yang disaksikannya. Dalam jarak yang begitu dekat,
antara “aku” dan para babu itu tetap dipisahkan oleh pagar kawat.
Berikutnya, “aku” secara terperinci menggambarkan lingkungan
tempat ia dan para babu itu tinggal. Cerpen ini memang memberi perhatian
lebih dalam mendeskripsikan setting tempat dibanding dua cerpen
sebelumnya, meski tidak disebutkan secara persis daerah mana yang dirujuk.
Akan tetapi untuk daerah kampung, alias udik- di dalam cerpen ini
tidak terlalu dijelaskan secara rinci. Daerah udik dipakai sebagai istilah
umum untuk merujuk pada daerah luar kota, daerah tempat para babu dan
para majikan pribumi tersebut berasal. Satu kontras yang bisa ditarik antara
278 Ibid., hal: 58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
wilayah udik dengan kota hanyalah bahwa udik adalah wilayah asal,
sedangkan kota adalah wilayah tempat tinggal.
Tokoh aku dan para babu tersebut berdiam di daerah hunian yang
disebut “rumah petak”. Lebih jelasnya, “rumah petak liar”. Implikasi dari
rumah petak liar itu tidak dijelaskan secara eksplisit. Apa yang terbaca
bahwa keberadaan rumah petak tersebut mewakilkan kepadatan penduduk
ibukota. Saking rapatnya rumah-rumah di kawasan tersebut, sampai-sampai
“sumur berada di depan rumah”.279
Dengan jarak yang dekat antar satu rumah dengan rumah lain juga
mempersingkat jarak sosial yang berlangsung di dalamnya. Di kawasan
tersebut dapat disaksikan bagaimana peristiwa keluarga dapat menjadi
peristiwa masyarakat. Rahasia pribadi bisa menjadi rahasia umum. Dan,
uniknya, walau kawasan petak tersebut ada 23 jumlah pintunya, namun
perlakuan mereka terhadap para babu di rumah mereka masing-masing,
menunjukkan sebuah pola yang serupa.
Seperti yang tertera di judul, para babu tersebut disebut juga
“makhluk di belakang rumah”. Sebenarnya tidak ada kesan merendahkan
dari sebutan ini. Kalau disandingkan dengan kata “babu”, untuk konteks
sekarang, istilah yang pertama tersebut terdengar lebih degradatif. Sebab,
saat ini istilah babu, bahkan pembantu, sudah dihaluskan lagi bunyinya
menjadi “asisten rumah tangga”.
Namun, kalau menilik dari pemakaian kata “makhluk” untuk merujuk
pada babu, terdengar janggal. Tidak lazim. Makhluk tidak merujuk secara
279 Ibid., hal: 122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
spesifik pada manusia. Bahkan, hewan dan tumbuhan pun termasuk dalam
kategori makhluk. Kalau diambil dari terjemahan versi bahasa Inggrisnya,
Creatures Behind Houses, kata “creatures” di sini pun bisa dipakai untuk
merujuk pada makhluk non-human serupa alien.
Kalau lanjut ditimbang dari bagaimana para babu ini diperlakukan di
kawasan rumah petak tersebut, pantaslah istilah makhluk ini dipakai.
Walaupun berwujud manusia, tetapi hidup mereka sehari-harinya sama
sekali tidak ‘manusia’. Hidup mereka terpaku pada pekerjaan. Makan hanya
sekali, itu pun kalau sempat. Mandi pun seringkali absen. Seperti ayam yang
memiliki kandang, para babu ini juga berkandang di belakang rumah.
Lambat laun, raga babu ini pun semakin kehilangan ciri manusianya.
Dalam diri babu tersebut “suatu keretakan telah terjadi antara badan dan
jiwanya”.280 Dalam pengertian ini, pas lah para babu tersebut menyandang
gelar makhluk. Sebab, satu-satunya fakta bagi kedirian mereka hanyalah
karena mereka masih hidup.
Selanjutnya, babu dalam cerpen ini didefinisikan melalui pekerjaan
yang dilakoninya, sekaligus kekasaran yang diterimanya. Walau dalam
cerpen ini ditambahkan embel-embel “di belakang rumah”, keterangan ini
merujuk lebih dari sekadar tempat. Keterangan ini terkait erat dengan tugas
perbabuan yang diembannya, yang sebagian besar dilakukan di bagian
rumah paling belakang itu: mulai dari memasak, mencuci, hingga
memandikan dan menceboki anak majikannya.
280 Ibid., hal: 128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Bila babu didefinisikan melalui pekerjaannya, lain lagi dengan para
majikan. Para majikan ini baru memiliki arti dalam relasinya dengan si babu.
Ia tidak dapat berdiri sendiri. Toh, majikan tidak merujuk pada jenis
pekerjaan tertentu. Satu-satunya pekerjaan yang mereka lakukan adalah
memarahi hingga mengasari para babu. Dalam logika mereka, semakin
mereka mengasari para babu, semakin terlihat kualitas kemajikannya.
Walaupun tidak tersurat, perlakuan yang memperbabu para babu ini
sangatlah penting, terutama bagi majikan pribumi. Sebab, tidak ada sesuatu
yang substantif yang dapat membedakan antara para majikan ini dengan
babu-babunya. Derajat kemiripan yang dimiliki keduanya sangatlah besar.
Antara para babu dan para majikan bisa saling dipertukarkan posisinya. Ini
tidak hanya soal kemiripan fisik. Seperti yang diceritakan tokoh “aku”, baik
para babu maupun para majikan berasal dari daerah yang sama: sama-sama
udik juga. Maka mereka pun berbagi tanda kultural yang sama pula. Tidak
ada yang hierarkis di antara keduanya.
Sementara salah satu ketakutan terbesar dari para majikan pribumi
tersebut adalah apabila mereka salah dikenali sebagai babu. Begitupun
sebaliknya, mereka takut bila para babu tersebut salah dikenali sebagai
priyayi- sama seperti mereka. Dalam salah satu cerita misal disebutkan, salah
seorang babu diusir pergi karena “dianggap oleh nyonya sebagai calon
saingannya sendiri”.
Gejala ini sepertinya tidak dijumpai dalam diri majikan Eropa atau
Tionghoa yang dijadikan perbandingan. Sebab, di dalam struktur tatanan
masyarakat yang lebih luas, para majikan Eropa dan Tionghoa tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
sudah dianggap berderajat lebih tinggi. Secara fisik mereka juga jauh berbeda
dari pribumi. Jadi memiliki babu hanyalah salah satu cara untuk menguatkan
kesan akan ketinggian harkat dan derajat mereka itu. Sedangkan bagi para
majikan pribumi, memiliki babu adalah salah satu strategi untuk ‘naik kelas’.
Dengan demikian, bagi para majikan pribumi kehadiran para babu ini
dibutuhkan lebih dari sekadar menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga. Mereka dibutuhkan dalam rangka membangun imej sebagai seorang
“priyayi tulen”. Priyayi yang menjadi priyayi karena mereka memiliki
bawahan, dan bukan karena legitimasi keturunan (genealogis).
Barangkali, itulah salah satu keuntungan dari revolusi. Harkat dan
derajat orang tidak lagi ditentukan berdasarkan turunan, tidak lagi
memperhitungkan silsilah. Pertanyaannya bukan lagi siapa turunan siapa.
Yang lebih penting adalah apa yang dipunya. Kapital ekonomi menjadi
penentu utama atas kedudukan seseorang. Mau itu golongan petani atau pun
pedagang sama-sama berpeluang menjadi “raja”.
Yang bernasib malang, tentu saja para babu. Dengan kapital ekonomi
menjadi patokan, kedudukannya kian tersingkir. Maka tidaklah salah apabila
tokoh “aku” bertanya: “Apakah artinya Revolusi yang telah banyak meminta
kurban beribu-ribu anggota keluarga babu ini, bagi kepentingan hidup
mereka sendiri?”.281 Walaupun secara tertulis revolusi mengatasnamakan
bangsa, seluruh rakyat Indonesia, tetapi secara tersirat bangsa itu merujuk
hanya pada segolongan kaum saja. Dalam hal ini, Makhluk-Makhluk Di
Belakang Rumah memiliki persinggungan tidak langsung dengan cerpen
281 Ibid., hal: 127
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
Ikan-Ikan Yang Terdampar yang juga mengkritik hasil revolusi Indonesia
yang memenangkan satu golongan di atas golongan lainnya.
Selain soal pergeseran pandangan mengenai kekuasaan ini, hal lain
yang juga dibawakan revolusi adalah modernitas. Seperti kata Jennifer
Lindsay yang dikutip Nordholt, identitas nasional Indonesia pada periode
1950-an identik dengan modernitas, “to be an Indonesian was to be
modern”.282
Namun, agaknya modernitas yang berkembang di masa itu tidak
dalam bentuk perubahan dalam pola pikir. Sebagaimana yang terjadi dalam
cerpen ini, modernitas yang berlangsung adalah modernitas tempelan. Dalam
arti, modernitas yang lebih mementingkan tampilan. Hal ini diperagakan
dengan baik melalui cerita seorang babu yang rajin menenteng majalah film
ketika pergi berjalan-jalan. Sebabnya, ia ingin “memberi kesan seorang
terpelajar”.283
Kalau kata Nordholdt, apa yang dilakukan si babu tersebut khas
kalangan menengah bawah. Bagi mereka, modernitas adalah tentang “an
attractive lifestyle”.284 Akan tetapi sepertinya, modernitas tampilan ini tidak
spesifik menunjukkan kelas bawah saja, karena begitulah cara modernitas
umum dipahami di masa itu. Bukankah Soekarno membangun ibukota, dan
Indonesia, awalnya melalui monumen-monumen yang megah dari luarnya
saja?
282 Nordholdt, Henk Schulte. 2011. Indonesia in the 1950s: Nation, modernity and post-colonial state. Bijdragen tot de Taal – Land-en Volkendunde. Vol. 167 No. 4, hal: 388 283
Toer, Pramoedya Ananta. Op.cit., hal: 129 284 Ibid., hal: 400
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
D. Kecapi
Dalam cerpen “Kecapi” Jakarta disebut sebagai daerah pelarian. Ke
sanalah haluan tokoh kita, si pemetik kecapi, setelah meninggalkan anak-istri
dan kampung halamannya, “memulai penghidupan dan kehidupan baru—
memulai sejarah pelariannya”.285 Dan bukan hanya si pemetik kecapi
seorang, tetapi juga banyak orang lain, sebab Jakarta juga tempat bagi
pelarian-pelarian lain.286
Jakarta adalah kota bagi para pelarian. Kesamaan di antara mereka
sebagai pelarian adalah lari dan menjauh dari kampung. Kampung disini
lebih dari sekadar pengertian yang merujuk pada lokasi atau tempat tertentu.
Tetapi juga merujuk pada suatu lebenswelt,287 sebuah habitat kultural dan
lingkungan akrab di mana mereka merasa “di rumah sendiri” (home sweet
home).
Maka, lari dari kampung tidak hanya menyangkut sebatas mobilitas
fisik atau pindah tempat tinggal tetapi juga pergeseran kultural. Sebutan
“pelarian” jadi tepat sasaran karena merujuk pada mereka yang telah
memilih keluar dari jalur dan jalan hidup, serta aspirasi-aspirasi kulturalnya,
yang dihayati oleh orang-orang sekampungnya. Dengan lari dari kampung si
pemetik kecapi resmi telah tercabut dari dunia lamanya, dan
konsekuensinya, harus memulai sejarah penghidupan dan kehidupan baru.
285
Toer, Pramoedya Ananta. Op. cit., hal: 145 286 Ibid. 287 Edgar, Andrew and Sedgwick, Peter (Eds). 1999. Cultural Theory: The Key Concepts. London and New York: Routlege. Frase lebenswelt pertama kali digagas dalam tradisi filsafat fenomenologi yang dirintis oleh Edmund Husserl. Pengertian lebenswelt yang digunakan di sini merujuk pada rumusan Alfred Schultz, yakni sebagai “stocks of knowledge, or skills and expectations that allow us to give meaning to (indeed to construct) the social world within which we live.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Di Jakarta dia datang dengan kondisi baru yang lain dari di kampung:
“tanpa tanah dan tanpa pancing”. Di kampung, sesempit-sempitnya, tanah
adalah sumber penghidupan dan kehidupannya. Sebagai petani dia terikat
dan bergantung kepada tanah sebagai alat produksi—walau pun tanahnya
yang tak seberapa tak bisa mencegahnya dari kemelaratan dan lari dari
kampung.
Di Jakarta dia datang sebagai manusia tanpa tanah. Untuk pertama
kalinya dia harus mencari penghidupannya tidak dari tanah. Tanpa tanah
kehidupannya akan jauh berbeda. Dengan kata lain, dia harus menjalani
hidup yang baru, yakni mencari jenis pekerjaan baru (yang mungkin sukar
dibayangkan di kampung), cara berkomunitas yang baru, juga cara
menghabiskan waktu senggang yang baru.
Hidup di Jakarta menuntut persyaratan-persyaratan baru. Syarat-
syarat hidup di Jakarta berbeda dengan di kampung halamannya. Di
kampung halamannya, sebagai petani dia tahu betul bahwa luas-sempitnya
tanah akan berdampak pada kemakmuran. Strata sosial terbentuk dari luas-
sempitnya kepemilikan tanah. Kian luas kepemilikan tanahnya, kian tinggi
pula tempatnya dalam stratifikasi sosial. Kemiskinannya merupakan
konsekuensi langsung dari kepemilikan tanahnya yang sempit.
Di Jakarta lain lagi ceritanya. Tanah memiliki arti yang sama sekali
berbeda. Tanah yang menjadi dinding rumahnya bahkan menjadi penanda
dari kemelaratan hidupnya. Tanah berarti kotor, tidak higienis. Sebuah
pengetahuan yang berbeda sekali dari yang didapatnya di kampung. Di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
kampung, tanah dinilai dari gembur dan suburnya, dari apa-apa yang bisa
ditanamnya di sana.
Tidak lama setelah tiba di Jakarta, dia langsung mendapat pekerjaan
sebagai setter di sebuah penerbitan. Fakta bahwa profesi pekerjaan barunya
dirujuk dengan menggunakan sebuah istilah asing, kosakata dari bahasa
Inggris, memperlihatkan bahwa pekerjaan barunya berada di luar horison
kampungnya, di luar kosakata dan “stok pengetahuan” yang dia kenal di
kampungnya. Dengan kata lain, di luar dunianya selama ini.
Pekerjaannya sebagai setter mendesakkan sebuah pengertian baru. Di
Jakarta dia harus menerima kenyataan bahwa kemampuan baca tulis
menjadi sebuah kualifikasi penting dalam pekerjaannya dan menentukan
nasibnya. Kualifikasi itu tidak dimilikinya, dan, “karena itulah biang keladi
kekerdilan gajinya”.
Dengan kata lain, Jakarta tidak terlalu ramah untuk para pelarian
sepertinya. Sebagai ibu kota Jakarta punya logika dan hukum hidupnya
sendiri; setidaknya, Jakarta “tebang pilih” layaknya tangan seorang ibu yang
memilih-milih siapa saja yang boleh jadi anak kesayangannya. Si pemetik
kecapi jelas bukan salah seorang anak kesayangannya.
Dia tidak “paham baca tulis”, sebuah kompetensi dasar yang harus
dimiliki untuk mencari dan memperbaiki penghidupan barunya di kota.
Kemampuan baca tulis menjadi bagian dari cara dan mekanisme Jakarta
dalam menyaring dan menempatkan orang dalam tangga hierarki sosial.
Kedudukan seseorang dalam hierarki sosial ditentukan oleh tingkat
literasinya, baik dalam arti sempit (sebagai kemampuan baca tulis) maupun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
dalam arti luas (pengetahuan dan kompetensi dalam bidang pekerjaan
tertentu).
E. Gambir
Satu kontras yang segera terlihat ketika membaca cerpen Gambir
yakni ragam bahasa yang digunakan. Dibandingkan dengan cerpen-cerpen
lain dalam kumpulan Cerita dari Jakarta, cerpen ini lain sendiri. Cerpen ini
menggunakan bahasa Betawi pasaran yang lazim dijumpai di jalanan. Kata-
kata makian banyak bertebaran, mulai dari yang familiar semisal “babi”
hingga yang langka seperti “pejajaran”. Maraknya penggunaan kata makian
ini bisa menandakan lingkungan pergaulan mereka yang jauh dari kata sopan
santun, dan bisa juga mewakili kerasnya kehidupan yang mereka jalani.
Sama halnya dengan si pemetik kecapi, Hasan dalam cerpen ini juga
berstatus sebagai pelarian. Status pelariannya ini berbeda-beda sesuai
dengan perubahan fase hidupnya. Awalnya, ia melarikan diri kawanan
garong di kampungnya. Di kampungnya yang bernama Pal Merah, Hasan
dikejar-kejar oleh para garong yang telah merampas habis barang-
barangnya, sekaligus membawa kabur isterinya.
Sesampainya di kota, Hasan tidak serta merta dapat lepas dari
bayangan masa lalu tersebut. Kenangan masa lalu tersebut selalu hadir dalam
masa kininya. Hasan baru dapat melarikan diri secara fisik, tetapi tidak
dalam ingatan. Pikirannya masih terpancang pada salah satu momen di masa
lampau. Bekas sayatan pedang yang menggores dan membekas di pipinya
dapat dilihat sebagai simbol keterkungkungannya dalam wilayah masa lalu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
Hari-hari boleh berganti, tetapi perjalanan hidup Hasan tidak melaju
ke depan. Hidupnya bagai undur-undur yang kalau berjalan selalu mundur.
Oleh sebab itu, tindakan balas dendam dianggap sebagai tindakan yang
paling rasional bagi Hasan. Utamanya tidak untuk sekadar melampiaskan
sakit hati, tetapi untuk memperbarui ingatannya. Dengan balas dendam itu,
ia berharap dapat menulis ulang sejarahnya di masa lalu.
Maka, hari kini Hasan disibukkan dengan mengumpulkan sejumput
demi sejumput modal untuk acara membalas dendam. Hari demi hari, Hasan
dengan telaten menabung uang untuk dipakai membeli senjata. Bagi Hasan,
senjata adalah ganti dari rasa aman yang biasa diberikan dinding-dinding
kokoh sebuah rumah.
Akhirnya bisa ditebak, Hasan berhasil membunuh para garong yang
terus-menerus merongrong hidupnya. Namun, Hasan masih berstatus
sebagai pelarian. Kali ini sebagai pelarian polisi alias buron. Status pelarian
ini memang tidak baru bagi Hasan. Tetapi bedanya, ia tidak dapat lagi
menampakkan diri di ruang-ruang publik di ibukota. Sebab, sekarang ia
menjadi ‘pelarian resmi’: resmi dicari polisi.
Dengan status barunya ini, Hasan menyandang gelar sebagai
“penjahat”. Kategori ini terutamanya tidak merujuk pada keburukan laku dan
perbuatannya, tetapi karena apa yang diperbuatnya dianggap menyalahi
hukum. Membunuh orang secara normatif dapat dianggap sebagai perbuatan
tidak beradab. Akan tetapi, bila yang membunuh itu adalah polisi, atau
berseragam tentara, ia akan dielu-elukan sebagai pahlawan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Pengkriminalan terhadap Hasan bukan soal peristiwa terbunuhnya
Sidik. Tetapi karena ia mengambil tindakan yang di luar batas
kewenangannya. Untuk menjadi penduduk saja dibutuhkan legalisasi resmi
yang membuktikan kesahannya. Begitupun untuk membunuh, seseorang pun
membutuhkan legalitas resmi untuk dapat bertindak demikian. Dengan
demikian, persoalan utamanya bukan apakah Hasan salah atau benar.
Menjadi kriminalnya Hasan merupakan konsekuensi logis dari pelanggaran
hukum yang dilakukanya.
Dengan demikian, penjahat tidak ada sangkut pautnya dengan genetik,
bakat bawaan, atau juga sifat dan kepribadian. Penjahat adalah sebuah
kategori yang dibentuk berdasarkan sistem pengetahuan yang dibentuk
melalui hukum negara. Jelasnya, peristiwa terbunuhnya seseorang dapat
dimaknai macam-macam. Di masa revolusi misalnya, membunuh adalah
sebuah tindakan perlawanan, bermakna patriotik. Alih-alih disebut penjahat,
orang yang melakukannya dielu-elukan sebagai pahlawan.
Teks cerpen ini secara menggelitik mencoba memisahkan antara
definisi kejahatan yang dibuat negara dengan apa yang dipahami oleh orang
awam. Ini terangkum dalam komentar si tukang pancong. “Dia [Hasan] jadi
buron sekarang. Beli pestol! Mbunuh Sidik! Padahal dia kagak jahat.”288
Dalam pandangan si tukang pancong Hasan adalah orang baik. Hasan
“[...] begitu alim, begitu jujur, rajin dan bisa nyimpan duit. Dia kagak banyak
tingkah dan semua orang ditolongnya. Hutangnya selalu dibayar dan tidak
288 Ibid., hal: 205
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
pernah dia nipu gua.”289 Untuk menekankan sisi kesalehan Hasan ini, teks
cerpen secara eksplisit menyebutkan Hasan rutin beribadah. Hasan rajin
sembahyang, dan kadangkala disertai membaca kitab suci.
Salah satu hal yang dibawakan revolusi ke dalam hidup Hasan dan
kawan-kawan adalah hadirnya negara sebagai tolok ukur dalam
mengkategorisasikan penduduknya. Seseorang didefinisikan berdasarkan
sistem pengetahuan yang diterapkan oleh negara. Oleh sebab itu, timbullah
kategori-kategori semacam “penduduk sah dan penduduk tidak sah”. Begitu
pula halnya dengan kategori seperti “kuli gelap” dengan kuli resmi yang
memakai plat.
F. Merekonstruksi Jakarta dan Indonesia Periode 1950-an
Berikut kita akan melihat bagaimana cerpen-cerpen yang telah
dianalisis satu per satu di bagian sebelumnya, menolong kita melihat Jakarta
dan Indonesia periode 1950-an secara berbeda dari narasi yang ditawarkan
pemerintah di kala itu. Setidaknya kita melihat ada dua simbol material yang
didefinisikan ulang, atau dimaknai secara berbeda dalam Cerita dari Jakarta
ini, yaitunya: Lapangan Gambir/Merdeka dan Istana Merdeka.
Usaha Pramoedya dalam merekonstruksi simbol-simbol material ini
dapat dilihat sebagai usaha Pramoedya dalam mengkritik pemerintah
(memakai bahasa Pramoedya, “kaum penggendut perut”) sebab kehadiran
Lapangan dan Istana Merdeka dalam cerpen ini dapat dilihat sebagai
perwujudan atau alegori dari wewenang dan kekuasaan negara.
289 Ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
Di masa pendudukan Jepang, Lapangan Gambir/Lapangan Merdeka
dinamakan Lapangan Ikada. Lapangan ini pernah menjadi ‘saksi bisu’ dari
sebuah peristiwa bersejarah yang dihadiri sendiri oleh Pramoedya.
Sebagaimana ditulis oleh Pramoedya, tanggal 19 September 1945,
sekembalinya ke Jakarta Pramoedya menyaksikan rapat raksasa di lapangan
tersebut. Rapat tersebut dihadiri juga oleh tokoh proklamator Soekarno-
Hatta. Pramoedya di kala itu takjub sekali menyaksikan bagaimana
keberanian massa yang tidak ada takutnya terhadap serdadu Jepang yang
terkenal bengis dan garang.290
Pengambilan Lapangan Merdeka ini dapat dilihat sebagai usaha
Pramoedya untuk merekonstruksi ingatan, sekaligus memberikan
simbolisasi tandingan bagi ruang tersebut. Karena di ruang yang sama
dengan aksi patriotik orang-orang mengklaim kemerdekaan, orang-orang
Indonesia seperti Aminah, Idulfitri, dan Hasan malah kehilangan kebebasan
pribadinya.
Sasaran kritik Pramoedya selanjutnya adalah Istana Merdeka. Taufik
Abdullah dalam tulisannya mengenang bahwa kepindahan Soekarno ke
bekas istana gubernur jenderal itu mungkin merupakan peristiwa terbesar
dalam hidupnya sebagai tokoh nasional.291 Akan halnya, penamaan ulang
dari Lapangan Merdeka, penamaan ulang istana ini juga dapat dilihat sebagai
sebagai bentuk pernyataan bahwa Indonesia telah benar-benar merdeka.
290 Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000b. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra, hal: 175 – 177 291 Taufik Abdullah dalam Nordholdt, Henk Schulte. Op.cit., hal: 387
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
Lewat kisah yang dituturkan Pramoedya, terlihat bahwa istana
tersebut ibaratnya wadah tanpa isi karena kata “merdeka” baru sekadar
polesan yang belum berbukti kebenarannya. Merdeka, kemudian, bukanlah
sebuah tujuan, tidak pula sebuah hasil. Merdeka adalah sebuah titik
berangkat, sebuah janji alias hutang yang menuntut untuk ditepati. Lewat
cerpennya Pramoedya mengajak kita bertanya: apakah kita telah Merdeka,
dan bila dibaca dari tahun 2014 ini, tepatnya mempertanyakan: apakah kita
pernah merdeka?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pada umumnya, isu-isu yang dibicarakan dalam Cerita dari Jakarta
adalah juga isu terbesar yang dihadapi oleh pemerintah kota Jakarta dalam
masa 1950-an. Masalah-masalah seperti urbanisasi besar-besaran,
kekurangan rumah, penduduk gelap, pekerja seks sudah seperti masalah
harian di ibukota, bahkan hingga memasuki abad 22 ini.
Namun, yang berbeda adalah Cerita dari Jakarta memiliki
keberpihakan yang jelas terhadap mereka-mereka yang dianggap sebagai
pembawa masalah itu. Apabila pemerintah kota berupaya untuk menutup-
nutupi keberadaan mereka lewat operasi penjaringan, dalam Cerita dari
Jakarta, kisah-kisah mereka malah diekspos secara terang-terangan.
Bagi Pramoedya, wajah Jakarta tergambar melalui wajah Idulfitri,
Aminah, Hasan, si pemain kecapi, dan para babu. Wajah-wajah yang dielak-
elakkan oleh kota versi Soekarno. Wajah-wajah yang digelandang keluar dari
diskursus resmi pemerintah.
Dalam sistem pengetahuan pemerintah, mereka termasuk dalam
golongan orang-orang tidak resmi. Bahkan, dalam beberapa cerpen di sini,
ada yang memiliki dua status yang sama-sama tidak resminya, katakanlah
tidak resmi pangkat dua. Aminah misalnya. Sudahlah tidak terdaftar sebagai
penghuni ibukota, pekerjaan yang dilakoninya termasuk di luar daftar pula.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
Berbeda dengan golongan-golongan resmi yang hidup di bawah sinar terang
lampu ibukota, golongan orang-orang tidak resmi ini malah tersembunyikan
di pojok-pojok tergelap ibukota.
Jelasnya, lewat Cerita dari Jakarta Pramoedya mengkritisi bahwa
masalah di ibukota tidak terletak pada orang-orang seperti Aminah, Idulfitri,
Hasan, dkk, karena mereka semata-mata ‘korban’ dari keadaan, atau bisa juga
‘korban’ dari kebijakan keliru pemerintah.
Pada akhirnya, buku Cerita dari Jakarta ini mengajak kita untuk
berpikir ulang, apakah pada peringatan Proklamasi 17 Agustus tahun depan
kita masih butuh mengadakan pawai besar-besaran, larut dalam riuh-rendah
orang-orang memanjat pinang, atau kita bisa memilih untuk merenung,
berdiskusi, dan nyinyir mempertanyakan: sejauh mana cita-cita Revolusi
Indonesia itu telah di-‘kerja’-kan?
B. Saran
Satu keterbatasan dalam penelitian ini yaitu dalam hal menjembatani
sistem nilai dan pengetahuan yang ada di tahun 1950-an dengan apa yang
ada sekarang. Ada begitu banyak perubahan Jakarta di masa cerpen ini ditulis
dengan saat penelitian ini dirancang. Perubahan ini tidak hanya menyangkut
hal-hal yang bersifat administratif, seperti perubahan batas kota.
Contoh yang sederhana saja, sedikit susah membayangkan seberapa
benar berharganya uang senilai 2000 rupiah di tahun 1950-an. Bukan soal
konversi mata uangnya saja yang harus dipahami, tetapi juga soal nilainya
secara sosial di masyarakat. Ini lah yang sulit terjembatani. Oleh sebab itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
penulis mengharapkan agar penelitian mendatang lebih waspada dan hati-
hati ketika berhadapan dengan teks-teks yang lampau, seperti halnya cerpen-
cerpen yang dikaji dalam penelitian ini.
Selanjutnya, penelitian ini bisa dikembangkan dengan mengkaitkan
muatan cerpen dengan sudut pandang politis Pramoedya. Karya-karya
Pramoedya umumnya diidentikkan dengan aktivitasnya di Lekra. Hingga
terkadang timbul kesan Pramoedya mendadak berhaluan kiri setelah
berkenalan dengan Lekra.
Padahal, seperti yang ditunjukkan dalam cerpen-cerpen ini, terlihat
bahwa keprihatinan Pramoedya terhadap kaum-kaum yang terpinggirkan
tidak tiba-tiba saja datangnya. Pramoedya tidak sekonyong-konyong saja
kirinya. Keprihatinan dan keberpihakannya terhadap orang-orang kecil
sudah disuarakannya bahkan dalam karya-karyanya sebelum 1965.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
DAFTAR PUSTAKA Amal, Nukila. 2004. Cala Ibi. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Anderson, Benedict R O’G. Introduction dalam Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Tales from Djakarta: Caricature of Circumstances and Their Human Beings. PT. Equinox Publishing Indonesia: Jakarta Ashcroft, Bill. Et.al. [1998] 2001. Key Concepts in Post-Colonial Studies. Routledge: London & New York Bakker, Esrih & Katie Saentaweesook. 2011. “Jakarta through poverty” dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam (hal: 217 – 240) Blackburn, Susan. 2012. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Pen. Gatot Triwira. Masup Jakarta: Jakarta Evers, Hans Dieter. 2011. “Urban symbolism and the New Urbanism of Indonesia” dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibukota Jakarta di Bawah Soekarno. Penerbit Ombak: Yogyakarta Farid, Hilmar. 2008. “Pramoedya dan historiografi Indonesia” dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Eds. Nordholdt, Henk Schulte. et. al. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta (hal: 79 – 110) Kato, Tsuyoshi. 2003. "Images of colonial cities in early Indonesian novels" dalam buku Southeast Asia Over Three Generations : Essays Presented To Benedict R. O'G. Anderson. Siegel, James T. & Kahin, Audrey R. Eds. Studies on Southeast Asia 36. Ithaca: Cornell University Kurniawan, Eka. 2006. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Kusumawijaya, Marco. 2001. Metropolis Jakarta: menurut Pramoedya Ananta Toer dalam 'Tales from Djakarta'. Edisi 9. Kunci: Yogyakarta Lubis, Mochtar. 1996. Senja di Jakarta. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
Nas, Peter J.M., et.al. 2011. Introduction: variety of symbols dalam buku Cities Full of Symbols: A Theory of Urban Space and Culture. Peter J.M. Nas. Ed. Leiden University Press: Amsterdam Nordholdt, Henk Schulte. 2011. Indonesia in the 1950s: Nation, modernity and post-colonial state. Bijdragen tot de Taal – Land-en Volkendunde. Vol. 167 No. 4 Preston, Peter & Paul Simpson-Housley. Eds. 1994. Writing the City: Eden, Babylon and the New Jerusalem. Routledge: London & New York Scherer, Savitri. [1981] 2012. Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam ideologi. Komunitas Bambu: Depok, hal: 11 Shackford-Bradley, Julia. 2006. Cerpen: How Indonesian short stories re-present urban space and public discourse. Crossroads: An interdisciplinary journal of Southeast Asian studies. Vol. 17, No. 2 (hal: 93 – 127) Simatupang, Iwan. 2004. Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air: Esai-Esai Iwan Simatupang. Cetakan I. Penerbit Buku Kompas: Jakarta Teeuw, A. 1959. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru. Cetakan ke-5. PT. Pembangunan: Jakarta Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Dunia Pustaka Jaya: Jakarta Teeuw, A. 1995. Revolusi Indonesia dalam imajinasi Pramoedya Ananta Toer. Jurnal Kalam Edisi 6 (hal: 4 – 47) Teeuw, A. 1997. Citra Manusia Dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. Cetakan I. Pustaka Jaya: Jakarta Toer, Pramoedya Ananta. [1957] 2002. Cerita dari Jakarta: Sekumpulan Karikatur Keadaan dan Manusianya. Hasta Mitra: Jakarta Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000a. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra Toer, Pramoedya Ananta. [1988] 2000b. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan-Catatan dari P. Buru. Edisi Pembebasan. Hasta Mitra Vickers, Adrian. 2005. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press: Cambridge
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI