produksi sosial ruang olahraga dan tubuh ideal di

12
PRODUKSI SOSIAL RUANG OLAHRAGA DAN TUBUH IDEAL DI PERKOTAAN: KASUS KOTA MALANG Wida Ayu Puspitosari & Dewi Puspita Rahayu 1 Keberadaan fasilitas olah raga sebagai ruang sosial di wilayah perkotaan tengah mengalami transisi secara diskursif. Hal ini berakibat pada perubahan kognisi warga kota dalam mendefinisikan ulang tubuh ideal dan waktu luang. Tulisan ini hendak menelusuri diskursus ruang olah raga dan tubuh ideal dalam kerangka produksi sosial atas ruang yang terkait dengan peran negara melalui birokrasi, peran modal yang dilanggengkan oleh aglomerasi ekonomi kota serta potret segmentasi kelas dalam penggunaan ruang olah raga di kota Malang. Kata kunci: produksi ruang, olahraga, tubuh sosial, perkotaan The existence of sports facilities as social space in urban area undergoes discursive transitions resulting in the change of urban cognition in redefining ideal body and leisure time. The paper explores discourses of sport facilities and ideal body within the framework of social production of space and its relations to bureaucratic state, economic agglomeration which is perpetuated by capital, and class segmentation of sports facilities in Malang. Keywords: space production, sport, social body, urban studies Kajian mengenai dinamika ruang olahraga di perkotaan sebagai lokus mengolah tubuh ideal oleh masyarakat perkotaan pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari persoalan produksi sosial atas ruang urban. Dalam ilmu-ilmu sosial, kajian mengenai produksi ruang menjadi perhatian para peneliti dari lintas disiplin, termasuk sosiologi, antropologi dan geografi sosial. Sosiologi juga memiliki sub-disiplin yang dikenal sebagai sosiologi ruang (Urry, 2004) yang menelusuri interaksi sosial dan materialitas dari ruang (Lefebvre, 1979). Isu mutakhir mengenai ruang urban terkait kehidupan masyarakat modern sendiri dibagi dalam beberapa spesialisasi, yakni isu ekologi, ekonomi, dan geografi. Namun demikian, ketiga pendekatan ini tergolong bias dan cenderung mereduksi dimensi sosial dan budaya dari terbentuknya sebuah ruang sosial (Gottdiener, 1994). 1 Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya. Korespondensi email: [email protected]. © Wida Ayu Puspitosari & Dewi Puspita Rahayu, 2018 Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 1, No. 2, 2018, hlm. 193-203. Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA): Puspitosari, Wida Ayu & Rahayu, Dewi Puspita. 2018. “Produksi Sosial Ruang Olahraga dan Tubuh Ideal di Perkotaan: Kasus Kota Malang,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 1(2):193-203. DOI:10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2018.001.2.06

Upload: others

Post on 08-Feb-2022

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PRODUKSI SOSIAL RUANG OLAHRAGA DAN TUBUH IDEAL DI PERKOTAAN: KASUS KOTA MALANG

Wida Ayu Puspitosari & Dewi Puspita Rahayu1

Keberadaan fasilitas olah raga sebagai ruang sosial di wilayah perkotaan tengah mengalami transisi secara diskursif. Hal ini berakibat pada perubahan kognisi warga kota dalam mendefinisikan ulang tubuh ideal dan waktu luang. Tulisan ini hendak menelusuri diskursus ruang olah raga dan tubuh ideal dalam kerangka produksi sosial atas ruang yang terkait dengan peran negara melalui birokrasi, peran modal yang dilanggengkan oleh aglomerasi ekonomi kota serta potret segmentasi kelas dalam penggunaan ruang olah raga di kota Malang. Kata kunci: produksi ruang, olahraga, tubuh sosial, perkotaan The existence of sports facilities as social space in urban area undergoes discursive transitions resulting in the change of urban cognition in redefining ideal body and leisure time. The paper explores discourses of sport facilities and ideal body within the framework of social production of space and its relations to bureaucratic state, economic agglomeration which is perpetuated by capital, and class segmentation of sports facilities in Malang. Keywords: space production, sport, social body, urban studies

Kajian mengenai dinamika ruang olahraga di perkotaan sebagai lokus mengolah tubuh ideal oleh masyarakat perkotaan pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari persoalan produksi sosial atas ruang urban. Dalam ilmu-ilmu sosial, kajian mengenai produksi ruang menjadi perhatian para peneliti dari lintas disiplin, termasuk sosiologi, antropologi dan geografi sosial. Sosiologi juga memiliki sub-disiplin yang dikenal sebagai sosiologi ruang (Urry, 2004) yang menelusuri interaksi sosial dan materialitas dari ruang (Lefebvre, 1979). Isu mutakhir mengenai ruang urban terkait kehidupan masyarakat modern sendiri dibagi dalam beberapa spesialisasi, yakni isu ekologi, ekonomi, dan geografi. Namun demikian, ketiga pendekatan ini tergolong bias dan cenderung mereduksi dimensi sosial dan budaya dari terbentuknya sebuah ruang sosial (Gottdiener, 1994).

1 Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya. Korespondensi email: [email protected]. © Wida Ayu Puspitosari & Dewi Puspita Rahayu, 2018 Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 1, No. 2, 2018, hlm. 193-203. Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA): Puspitosari, Wida Ayu & Rahayu, Dewi Puspita. 2018. “Produksi Sosial Ruang Olahraga dan Tubuh Ideal di Perkotaan: Kasus Kota Malang,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 1(2):193-203. DOI:10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2018.001.2.06

194 Puspitosari & Rahayu

Fasilitas olahraga sendiri merupakan salah satu ruang sosial di perkotaan yang di dalamnya terdapat praktik spasial yang menyasar pada pembentukan tubuh (biopolitik). Di dalam ruang ini, produksi sosial atas ruang dapat ditelusuri melalui diskursus “tubuh ideal.” Tubuh menjadi entitas penting dalam melihat bagaimana berjalannya suatu praktik kuasa dan juga dalam hal produksi sosial sebuah ruang. Dengan mempertimbangan dimensi sosial-budaya, tulisan ini menelaah bagaimana keberadaan ruang olahraga dapat dilihat sebagai upaya beberapa kepentingan dalam proses produksi ruang sosial.

Perspektif produksi sosial bertujuan untuk menggali aspek-aspek praktik spasial yang terjadi di ruang urban (Lefebvre, 1991). Untuk itu, perspektif produksi sosial akan berguna dalam menjawab serangkaian pertanyaan tentang aspek apa saja yang muncul dalam bingkai produksi sosial ruang olah raga dan tubuh ideal di Kota Malang. Penekanan semacam ini merupakan kelanjutan perspektif Marxian atas ruang (Lefebvre, 1979; Goddiener, 1994). Oleh karena itu, beberapa penekanan perspektif ini tak bisa dilepaskan dari apa yang sudah dipikirkan oleh tradisi neo-Marxian, seperti: sejarah sosial dan pembangunan dari lingkungan buatan, aspek politik-ekonomi-sosial-budaya dari ruang, relasi kuasa, kontrol sosial oleh elite kota dan korporasi melalui pengaturan spasial atas ruang olahraga (Elkin, 1987; Longan dan Molotch, 1987; Stone; 1989). Produksi sosial ruang olahraga, bagaimana juga, selalu diwarnai negosiasi kepentingan para aktor dari beragam kelas dan relasi politik yang melihat kota sebagai suatu arena strategis untuk mereproduksi budaya kelas itu sendiri (Smith, 1979).

Metode Penelitian Studi ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Metode ini berusaha untuk menggali

data secara lebih mendalam tentang bagaimana produksi sosial atas ruang olahraga dan tubuh ideal di kota Malang muncul dalam berbagai aspeknya. Teknik penggalian data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan observasi lapang di empat fasilitas olahraga di Kota Malang, wawancara mendalam kepada pemangku kebijakan kota dan para pengguna fasilitas tersebut, dan kelompok diskusi terfokus dengan para guru mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes) di Kota Malang. Sumber data yang digunakan dalam studi ini adalah data primer, serta data sekunder yang berupa laporan studi empiris dan informasi dari media massa. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif dan keabsahan data dilakukan dengan triangulasi data.

Transisi Ruang Olahraga ke Ruang Rekreasi: Car Free Day Malang Perkotaan di Indonesia dewasa ini tengah menjadi ruang publik yang mengalami transisi

secara masif. Transisi ini tak hanya menyandarkan kiprahnya dalam praktik hegemoni negara. Ruang kota merupakan suatu bentuk reproduksi kompleks atas dimensi budaya, politik, relasi sosial dan potret ekologis yang didukung oleh skema modernitas dan globalisasi (Scott et al.,

Produksi Sosial Ruang Olahraga dan Tubuh Ideal 195

2001). Pelbagai praktik sosial yang dibingkai dalam rutinitas sehari-hari di dalamnya, secara konsisten, mengonstruksi sebuah konsensus kehidupan atas ruang yang senantiasa berubah (Kusno, 2009). Malang sebagai gambaran sebuah kota di Indonesia tak luput mengalaminya. Dalam subbab ini, kami mengelaborasi secara khusus bagaimana transisi rupa kota Malang dapat ditelusuri melalui kontestasi kepentingan para aktor dari beragam relasi politik dengan melihat kota sebagai suatu arena strategis untuk memproduksi diskursus ruang publik dalam konteks keberadaan ruang olahraga dan ruang rekreasi.

Perkembangan tata ruang kota akhir-akhir ini telah menjadi perhatian khusus bagi sebagian besar ilmuwan, terutama jika dihubungkan dengan hak warga kota. Tidak sedikit di antaranya melakukan protes atas distribusi pembagian ruang yang melalaikan prinsip keadilan (Fainstein, 2001; Brenner, 2004). Contoh riilnya, tercermin pada insiden penggusuran-paksa oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada warga kampung Bukit Duri yang tinggal di bantaran sungai Ciliwung tahun 2015 silam (Padawangi & Douglass, 2015). Transisi perubahan fungsi ruang, pada sisi lain, juga menjadi objek kajian para ilmuan untuk memotret bagaimana sebuah kekuasaan beragam kelompok sosial kota, beroperasi dengan intensi membentuk sebuah diskursus baru atas ruang, sebagaimana keberadaan Car Free Day (CFD) di kota Malang.

Berkaca dari Jakarta, hampir seluruh kota di Indonesia secara rutin menggelar CFD di akhir pekan. Malang adalah salah satunya. CFD sendiri merupakan arena pertemuan beragam kelompok sosial kota dengan tujuan utama mengolah raga. Terdapat puluhan jenis olahraga yang ditawarkan oleh banyak komunitas di CFD Malang, seperti: senam Aerobik, Zumba, Yoga, Freeletics, sepatu roda, bela diri, juga seni olah tubuh kreatif lainnya. CFD dimulai pagi hari dan berakhir menjelang siang. Pada sisi lain, CFD tidak hanya menawarkan kepada warga kota sebuah ruang untuk melakukan olahraga semata. Di sana juga akan dijumpai ratusan pedagang yang menjual pernak-pernik kerajinan tangan dan berbagai jenis makanan. Biasanya, setelah selesai berolahraga, para pengunjung menghabiskan waktu dengan mengudap makanan atau membeli pernak-pernik tersebut. CFD di Malang sendiri diorganisir Pemerintah Kota yang bekerja sama dengan Polres kota Malang serta Radar Malang sebagai penanggung jawab acara.

Kami menemukan bahwa secara politis dapat diargumentasikan bahwa minat seseorang untuk mengolah raga telah mengalami transisi secara diskursif. Pertama, keberadaan CFD memiliki pengaruh yang masif terhadap cara pandang seseorang mengenai proses mengolah raga. Kedua, diskursus kota Malang sebagai kota metropolis bersama tekanan iklim perkotaan kontemporer mau tak mau membuat warganya meluangkan waktu akhir pekan untuk berolahraga, yang sekaligus mengintegrasikannya dengan aktivitas rekreasi. Alokasi waktu luang, seperti menikmati kuliner atau berbelanja, dari para pengguna CFD Malang secara sosiologis menegaskan bahwa transisi sosio-spasial atas keberadaan ruang sebagai potret praktik sosial yang disponsori oleh pemangku kebijakan perkotaan. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana sebuah kebijakan yang berkaitan dengan CFD secara terstruktur mengubah perilaku seseorang dalam berolahraga dan menggunakan ruang publik. Jika dahulu olahraga dilakukan dengan cara

196 Puspitosari & Rahayu yang konvensional, dewasa ini beberapa orang justru lebih memilih melakukannya bersamaan dengan rekreasi atau mengisi waktu luang.

Kebijakan Pemkot Malang mengenai CFD juga menjadi kajian menarik bila kita menghubungkannya dengan konsep produksi ruang sosial. Lefebvre (1991) menjelaskan bagaimana ruang sosial terbentuk oleh diskursus yang saling hadir dalam kontestasi. Diskursus tersebut merupakan pengejawantahan akan hadirnya pemangku kebijakan (salah satunya) ketika mempraktikkan ruang secara verbal melalui sistem tanda dan kehadiran bahasa. Dalam hal ini, kebijakan CFD yang distimulasi Pemkot Malang merupakan upaya sebuah dominasi untuk memproduksi kontrol melalui kategorisasi ruang. Diskursus ini memberikan kemampuan warga kota yang berpartisipasi dalam CFD untuk mengimajinasikan ruang dalam bentuk abstraksi, yakni ketika ruang tersebut mulai diabstraksi oleh manusia ke dalam praktik sosio-kultural. Sejalan dengan cara mereka memperlakukan ruang sebagai lokus mengolah raga dan mengaktualisasikan aktivitas waktu senggang atau rekreasi. Dengan demikian, konsekuensi hadir dalam bentuk kekuasaan diskursif yang mendorong sebagian besar warga kota Malang mengonstruksi relasi sosial yang berbasis pada praktik sosial dalam sebuah ruang yang merepresentasikan tipe ideal akan gaya hidup sehat dan rekreasi (le perçu), yang kemudian menegaskan bahwa ruang-ruang baru yang dibangun melalui relasi sosial tersebut ialah juga produk sosial (le conçu). Hal ini oleh Valle (2013) diuraikan secara pragmatis sebagai yang menyamarkan batasan ruang olahraga dengan ruang rekreasi. Subbab setelah ini akan memaparkan lebih jauh bagaimana ruang-ruang tersebut (terutama ruang untuk mengolah raga) menampilkan diskursus kapitalisasi dan birokratisasi atas konsekuensi lain dari adanya transisi di atas.

Kapitalisasi Ruang Olahraga: Taman Nivea Berbicara mengenai produksi ruang sosial, Lefebvre (1991) menekankan pada materi

konkret dari sebuah kondisi ketika sesuatu yang material tersebut secara bersamaan dibangun dan disimbolkan dalam konsep ruang. Pada saat proses bertukar-pikir dengan penanggung jawab acara CFD dari Radar Malang, kami mendapati argumen-argumen yang mendedahkan bagaimana persepsi warga kota terhadap keberadaan fasilitas olah tubuh yang kian minim. Sarana umum yang sering kali dibangun Pemkot Malang ialah taman kota yang terintegrasi dengan tempat untuk mengolah raga, namun minus fasilitas olahraga.

Berdasarkan pemaparan di atas, indikasi adanya fenomena alih fungsi lahan yang terjadi di kota yang membuat ketersediaan tempat berolahraga kian menurun (Jones, 2001). Banyak di antaranya dijadikan pusat-pusat perbelanjaan seperti kasus Mall Olympic Garden (MOG) di wilayah Klojen, yang dulunya terdapat lapangan tenis yang dikelola oleh warga sekitar. Hal ini terjadi karena tuntutan akan pemenuhan kebutuhan ekonomi serta gaya hidup warga kota menjadi semakin kompleks. Bersamaan dengan itu, kota-kota yang telah menjadi global seperti Malang mau tak mau harus memutuskan perangkat baru dalam pembangunan wilayah

Produksi Sosial Ruang Olahraga dan Tubuh Ideal 197

perkotaan untuk meningkatkan daya saing menghadapi kompetisi dengan kota-kota lain. Terkait pengembangan spasial Pemkot Malang mencoba meningkatkan daya tarik kotanya dengan menghasilkan kebijakan untuk pembangunan properti baru sebagai flagship di pusat kota berupa rancangan arsitektur yang gigantik dan spektakuler. Perencana kebijakan memperlihatkan karakteristik kuat akan dominasi bisnis swasta, seperti pengambilan risiko, kemampuan menciptakan sesuatu yang baru, promosi dan motivasi keuntungan (Anholt, 2011). Di atas semuanya, bentuk perencanaan strategis sebagai tulang punggung pendekatan akumulasi kapital ini dipersepsikan sebagai rencana efektif untuk mengelola masa depan kota, dengan menyingkirkan historisitas ruang publik.

Kapitalisasi ruang olah tubuh tidak hanya berhenti pada pengalihfungsian lahan publik menjadi lahan komersial. Taman Nivea atau Merbabu Family Park, misalnya, merupakan potret perubahan mendasar atas sikap Pemkot Malang terkait peran sektor privat. Taman Nivea adalah bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) PT Beiersdorf Indonesia dengan slogan “NIVEA cares for family” kepada Pemerintah Kota Malang. Dalihnya, pengadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berfokus pada penyediaan kesempatan bagi keluarga di Indonesia (dalam hal ini, di Malang) untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Inisiasi Taman Nivea oleh pihak PT Beisersdorf Indonesia pada Desember 2013 mulanya ditujukan untuk menyeimbangkan udara kota, membuka ruang terbuka hijau, dan menambah tempat publik yang semakin dibutuhkan sebagai sentra aktivitas, seperti: berolahraga, bersantai bersama atau sekedar menikmati kesegaran alam, utamanya bagi keluarga. Berlokasi di Jalan Merbabu, Merbabu Family Park dilengkapi fasilitas yang sesuai untuk berbagai lapisan umur; mulai dari lapangan mini futsal, jogging track, area olahraga lansia, arena bermain anak, hingga taman bacaan.

Model CSR yang dilakukan PT. Beisersdorf Indonesia adalah model CSR yang wajar di setiap kota, namun apabila kita bertandang ke RTH tersebut akan tampak suasana yang berbeda. Kita akan menjumpaui beberapa papan reklame yang menampilkan logo Nivean sebagai mitra ekonomi Pemkot Malang di sudut-sudut taman, bahkan pada instrumen olahraga yang tersedia. Secara sadar, kita menemukan sebuah kejanggalan atas tujuan penerapan CSR PT Beisersdorf Indonesia menyoal kepentingannya dalam mewujudkan CSR atau kebutuhan mempromosikan produk perusahaan dengan dalih melakukan CSR.

Pada dasarnya, aliansi strategis antara Pemkot Malang dan PT Beisersdorf Indonesia (kemitraan publik dan privat) menyediakan kerangka kerja kelembagaan kota untuk berkompetisi di pasar global melalui proyek infrastruktur. Menurut Logan dan Molotch (1987), bentuk investasi ini pada umumnya bertujuan untuk mempromosikan agenda pertumbuhan yang lebih luas. Pertumbuhan ekonomi yang muncul atas jalinan kepentingan politik di kota memunculkan kesempatan kepada badan bisnis seperti perusahaan konstruksi, bank, kantor hukum dan entitas lain untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Agenda ini memberikan kesamaan bagi elite politik maupun pebisnis untuk menyelaraskan kepentingannya dalam

198 Puspitosari & Rahayu mengakomodasi mekanisme pasar dan modal di dalam ruang sosial. Namun demikian, model kebijakan pembangunan kota yang seperti ini menunjukkan bahwa negara (dalam hal ini Pemkot) tidaklah lebih dari perpanjangan tangan kelas borjuasi yang berdandan sebagai pemangku kebijakan ketika seluruh kepentingannya mengarah pada kepentingan borjuasi (Gottdiener, 1994).

Birokratisasi Ruang Olahraga: Stadion Gajayana dan GOR Ken Arok Fasilitas olahraga di kota Malang rupanya tidak hanya berurusan dengan upaya kapitalisasi

saja. Beberapa fasilitas publik seperti Stadion Gajayana dan GOR Ken Arok merupakan ruang bagi warga kota Malang untuk melatih kebugaran tubuh dengan corak birokrasi. Berdasarkan hasil penelusuran di dua lokasi ini, kami menemukan bahwa peran Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kota Malang sekadar menyediakan fasilitas olahraga saja, sedangkan untuk kepengurusan dan pembinaan olahragawan menjadi peran Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Koridor tata kelola fasilitas olahraga oleh Dispora terdiri dari tiga Unit Pelayanan Teknis (UPT), yaitu UPT Gayajana, UPT GOR Ken Arok, dan UPT yang mengurusi dua puluh empat tempat olahraga se-Malang. Semua kepala UPT wajib melaporkan pertanggungjawaban kerjanya kepada kepala Dispora. Terkait akses penggunaan dan sewa, masing-masing UPT menerapkan standar harga yang berbeda-beda. UPT Gajayana cenderung menarik biaya akses cukup murah kepada para pengguna dengan harga Rp. 50.000. UPT GOR Ken Arok memasang biaya sewa gedung untuk pelanggan sebesar Rp 100.000 untuk pemakaian seminggu sekali, biaya sewa insidental untuk di luar gedung Rp 1.000.000, sedangkan sewa dalam gedung Rp 2.500.000. Uang sewa yang terkumpul di pembantu bendahara untuk kemudian disetorkan kepada bendahara Dispora tiap bulannya. Dari bendahara Dispora, dana itu disetor untuk kas daerah.

Dalam proses penyewaan fasilitas olah raga sendiri, para pengguna GOR Ken Arok tidak begitu saja dengan mudah mengakses dengan membayar langsung kepada bendara UPT. Alur penyewaan bagi pengguna ialah mendatangi kantor UPT GOR Ken Arok untuk mencari jadwal yang kosong. Pengguna tetap tidak perlu menggunakan surat izin ke dinas dan cukup mengurus langsung pada UPT Ken Arok. Khusus acara insidental, pengguna harus menyerahkan surat izin dan proposal kegiatan ke Dispora untuk mendapatkan surat disposisi. Surat disposisi itu kemudian diserahkan ke UPT GOR Ken Arok. Calon pengguna akan menerima surat balasan yang kemudian diserahkan kepada kepala Dispora. Baru setelah itu, calon pengguna menerima “surat izin pemakaian tempat.” Seusai menerima surat izin, calon pengguna mengurus “surat izin kegiatan” di Dinas Perizinan. Calon pengguna juga wajib mengurus “surat ijin keramaian” yang dikeluarkan pihak Polresta Malang. Tahap terakhir, pengguna menyerahkan fotokopi surat izin keramaian beserta surat izin penggunaan tempat ke UPT GOR Ken Arok.

Bedasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa upaya mengolah raga tidak semata-mata menjadi urusan remeh-temeh bila dihadapkan dengan birokrasi. Graber (2015)

Produksi Sosial Ruang Olahraga dan Tubuh Ideal 199

menyatakan bahwa dominasi legalitas yang mendalam soal birokrasi telah membuat pembagian antara rasionalitas, sarana teknis, dan tujuan irasional serasa masuk akal. Hal ini memang dipandang normal dalam level nasional. Para birokrat senantiasa membanggakan dirinya sebagai yang paling mampu menerapkan sarana efisien bagi negara untuk mengejar misinya dalam bentuk pemurnian budaya, penciptaan tatanan yang adil, atau bahkan agenda penaklukan sebuah struktur sosial yang lain. Pada level individu, birokrasi juga berhasil melahirkan individu yang memiliki hasrat untuk membedakan manusia lain berdasarkan sumber daya, bahkan menjajahnya. Pada taraf yang lebih jauh dan memprihatinkan, birokrasi mau tak mau telah membentuk suatu sistem masyarakat yang hierarkis serta cenderung abai pada aspek-aspek sosial-kemanusiaan.

Birokrasi dalam hal ini bukanlah masalah kontrol atas produksi semata, namun ia bersifat multifaset tidak bisa dihindari dari kehidupan sosial. Beberapa orang akan tetap berpendapat bahwa birokrasi mampu melahirkan masyarakat yang efisien dan rasional melalui diskursus administratif. Pada gambaran yang lebih besar, birokrasi menunjukkan diri sebagai sebagai sarana efisiensi dan rasionalitas pasar: asumsinya tetaplah sama seperti yang dijelaskan di atas. Menurut Graber (2015) masyarakat pada dasarnya dihadapkan dengan permasalahan yang sama: praktik birokrasi, kebiasaan-kebiasaan, dan sensibilitas yang merugikan. Kehidupan masyarakat sendiri secara tidak sadar telah dicuri melalui sistem pendisiplinan yang kompleks. Birokrasi adalah jebakan antara apa-apa yang rasional dan irasional, ia bekerja melalui sistem disposisi yang rumit, yang pada kondisi tertentu melahirkan sebuah kejahatan (salah satunya kejahatan terhadap aspek ideologi dan pilihan politik individu), namun pada saat yang bersamaan terdapat sebuah anggapan bahwa ia merupakan sesuatu yang menarik, hingga pada tataran kognitif hanya diterima begitu saja atas nama “efisiensi.”

Pernyataan mengenai birokrasi di atas sebenarnya merupakan gambaran tentang sebuah ruang sosial diperlakukan. Lefebvre (1991) sendiri menekankan bahwa proses saintifikasi dan konseptualisasi ruang melibatkan pengalaman manusia. Dimensi pengalaman manusia sangatlah penting, karena hal inilah yang membedakan Lefebvre dan Foucault. Analisa ruang oleh Foucault (1971) dipandang sebagai pengetahuan dan kekuasaan aparatus yang dibentuk oleh beragam teknologi politik dan ilmu positivistik. Foucault menekankan keterhubungan pengetahuan politik dan teknologi sebagai matriks strategi kekuatan sosio-temporal dalam transisi kekuasaan terhadap masyarakat yang terdisiplinkan (termasuk disiplin industri sebagai unit epistemologi). Berbeda dengan Foucault, Lefebvre (1991) menekankan keterhubungan dominasi spasial atas tahap-tahap sosialisasi kapitalisme yang dicirikan oleh tendensi totalitarian dan urbanisasi. Sehingga bukan pada masalah industri atau produksi kelas dalam cara yang monolitik, tetapi masalah “urbanisme” dan pengalaman sehari-hari yang justru tegas menentukan struktur lingkungan hidup manusia.

Dengan demikian, paparan kami menyoal persepsi masyarakat kota Malang dalam mengolah tubuh dan menggunakan ruang publik, dalam hal ini kasus CFD, adalah sebuah

200 Puspitosari & Rahayu cermin bagi realitas perkotaan, bahwa negara (dalam hal ini pemerintah lokal) memiliki kuasa atas ruang-ruang sosial: bagaimana ia menentukan dan memproduksi cara pandang seseorang untuk memilih mengintegrasikan waktu olah raga dengan rekreasi ketimbang sibuk berurusan dengan birokrasi, untuk menjadi sehat.

Segmentasi Kelas melalui Ruang Olahraga: Arraya Club House Dalam subbab ini, peneliti akan membahas mengenai keterkaitan antara kelas yang ada di

masyarakat dengan keberadaan ruang olahraga di Malang. Sebagaimana sebuah masyarakat perkotaan yang memiliki karakteristik heterogen (Furnival, 1980), kelas adalah salah satu komponen yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan kota Malang. Komponen ini telah menjadi unsur dasar yang membentuk masyarakat kota, tercermin dalam kehidupan sosial, politik, budaya juga ekonomi masyarakat. Harvey (1973) menyebutkan bahwa aspek di atas berpengaruh dalam setiap perilaku, gaya hidup, kelompok sosial, desain perkotaan, tempat tinggal, sekolah, pasar, mal, dan lain sebagainya.

Dalam konteks ini, fasilitas olahraga pun tidak luput dari pengaruh keberadaan kelas di masyarakat. Kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat ternyata turut memberikan andil besar bagaimana sebuah ruang olahraga diproduksi. Bahwa keberadaan fasilitas olahraga ternyata berbanding lurus dengan corak konsumsi masyarakat dalam hal ini daya beli dan gaya hidup (Castells, 1977) dapat memicu klasifikasi atau pembagian ruang-ruang olahraga yang dibangun berdasarkan segmentasi kelas sosial dalam masyarakat. Terdapat ruang olahraga yang diperuntukkan kepada kalangan masyarakat menengah ke bawah dengan harga yang relatif terjangkau (bahkan, gratis) seperti alun-alun, taman kota, CFD; akan tetapi, ada juga ruang olahraga yang dibuat khusus untuk memfasilitasi kalangan masyarakat atas yang untuk seseorang dapat mengaksesnya diperlukan biaya yang tidak sedikit. Araya Golf and Family Club adalah salah satu contoh ruang olahraga yang diperuntukkan kepada kategori kedua ini.

Berada di kawasan perumahan elit di kota Malang dengan fasilitas olahraga yang berkualitas dan langsung diimpor dari luar negeri menjadikan biaya berolahraga di ruang olahraga tersebut tergolong tidak murah. Tarif berolahraga di ruang ini menyiratkan bagaimana kegiatan olahraga dikomodifikasi untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Proses komodifikasi ini diikuti dengan improvisasi dan penyediaan layanan berolahraga seperti fasilitas olahraga yang berkualitas, ruangan yang bersih, indah, aman, dan rapi, dilengkapi dengan instruktur olahraga berpengalaman. Olahraga tidak hanya sebagai alat untuk mengembangkan dan menyehatkan tubuh saja, lebih dari itu, olahraga juga bisa menjadi sarana penyaluran gaya hidup sebuah kelas yang ada di masyarakat. Ruang olahraga di Araya merepresentasikan bagaimana masyarakat kalangan menengah ke atas memproduksi pengetahuannya sendiri mengenai olahraga. Olahraga bukan hanya tentang masalah bagaimana bergerak dan mengolah tubuh agar tubuh menjadi sehat dan ideal. Lebih dari itu, proses olah tubuh agar menjadi sehat dan ideal ini juga ternyata lekat dengan hasrat individu untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan serta kebersihan dari

Produksi Sosial Ruang Olahraga dan Tubuh Ideal 201

suatu ruang yang akan dijadikan tempat aktivitas mereka. Tidak dapat dipungkiri pada sebagian masyarakat bahkan rela untuk menggelontorkan biaya yang tidak sedikit demi bisa menyalurkan hasrat tersebut. Hasrat ini pun ditangkap oleh sistem kapitalisme sebagai lahan basah untuk menciptakan industri-industri yang bergerak di bidang jasa fasilitas olah raga yang disesuaikan dengan daya beli pada masing-masing kelas sosial. Industri-industri ini pun pada akhirnya semakin mereproduksi segmentasi kelas yang ada di masyarakat melalui diskursus tubuh ideal.

Diskusi dan Kesimpulan Asumsi dasar atas keberadaan ruang olahraga di perkotaan dengan sifatnya yang

multifungsional terpadu dengan lingkungan sosial perkotaan. Kota adalah ruang bagi beragam kepentingan politik senantiasa berelasi dengan agenda perebutan dan kepemilikan alat-alat produksi untuk menopang keberlangsungannya. Dalam Lefebvre (1979; 1991), aspek teoritis yang terpenting atas ruang ialah sifatnya yang multifaset. Ruang tidak bisa semata direduksi pada sebuah lokasi atau relasi sosial dalam kepemilikan properti, akan tetapi keberagaman sosio-material. Ruang merupakan lokus kebebasan eksistensial dan ekspresi mental. Dalam level individual, misalnya, ia tidak hanya menampilkan lokasi di mana peristiwa terjadi, tapi juga menandakan izin sosial bagi individu dapat terlibat dalam sebuah peristiwa. Lebih jauh lagi, ruang memiliki multi-atribut dalam level struktural. Ia merupakan bagian penting dalam kekuatan sosial atas produksi sosial.

Scott (1980) dan Castells (1977) melihat bahwa ruang tidak bisa direduksi dalam tiga ranah produksi, konsumsi, dan pertukaran yang secara umum digunakan pada ekonomi-politik Marxian. Menurut Lefebvre (1979), tiga ranah ini bersamaan dengan ruang dapat membentuk ranah keempat dalam relasi sosial, yang disebutnya sebagai produksi nilai surplus. Ekonomi politik tradisional sejauh ini hanya mengenal pentingnya lahan sebagai sarana produksi bersamaan dengan kapital dan kelas pekerja. Bagi Lefebvre, desain spasial sendiri merupakan satu aspek kekuatan produktif masyarakat, untuk kemudian dipertimbangkan bersama teknologi, pengetahuan manusia, dan kekuatan kelas itu sendiri. Kota, ruang kota, dan realitas perkotaan tidak bisa dilihat begitu saja sebagai ranah produksi dan konsumsi; ia berelasi pada tatanan spasial kota yang mencerminkan kekuatan sosial.

Dalam penelitian ini, beberapa dimensi sosial dalam melihat realitas dengan kacamata neo-Marxisme, seperti kekuatan kelompok kelas pekerja dalam kaitannya dengan iklim politik perkotaan dan revolusi teknologi, belum dapat dijelaskan musabab penelusuran terhadap relasi kepemilikan (ownership relations) sebagai aspek sosio-material tidak dapat terpenuhi. Relasi kepemilikan menjadi permasalahan sentral mengingat moda produksi yang melibatkan kelas pekerja, lahan, kapital dan teknologi adalah motor penggerak kota yang juga berkelindan dengan pengetahuan manusia (khususnya agen-agen yang memiliki potensi mengontrol secara diskursif-spasial). Pertanyaan-pertanyaan perihal kontrol relasi spasial menampilkan pentingnya warga kota dan kelas pekerja sebagai elemen perjuangan dalam mengawasi moda produksi sebab

202 Puspitosari & Rahayu relasi kepemilikan dan relasi material merupakan inti alat produksi kapitalis yang bekerja sama dengan agen-agen, seperti pemerintah lokal, aparatus dan relasinya dengan korporasi dalam melanggengkan aglomerasi ekonomi melalui pengaturan spasial dalam konteks pembangunan dan penggunaan infrastruktur olah raga.

Akhirnya, ruang bukanlah bagian dari kekuatan dan sarana produksi semata, ia juga merupakan produk dari relasi keduanya. Lefebvre (1991) menekankan bahwa selain menjadi ruang konsumsi (atau ruang sebagai area dampak dari konsumsi kolektif) terdapat pula ruang yang dijadikan objek konsumsi. Hal ini dapat diilustrasikan dengan desain tata ruang kota Malang yang dewasa ini menjelma komoditas bersamaan dengan semakin minimnya ketersediaan lahan untuk mengolah raga. Relasi sosio-spasial meliputi alat produksi sebagai produser dan produk, relasi dan objek; dalam konteks dialektis menolak reduksi kelas atau ranah teritorial. Teknologi sebagai salah satu moda produksi menjadi titik tolak penting untuk melakukan perubahan sosial dan merebut hak warga atas ruang kota. Di sini teknologi yang dimaksud bersifat intrinsik dalam kehidupan manusia dan sosialnya: bukan sebagai sarana untuk merealisasikan pikiran dalam bentuk materialisasi ruang dan masyarakat, namun sebagai medium dan sumber, pada proses realisasi historis perihal tatanan sosial yang berkeadilan.

Produksi sosial fasilitas olahraga dan tubuh ideal di perkotaan khususnya di kota Malang tidak dapat dilepaskan dari berbagai dinamika sosial yang melingkunginya. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat temuan-temuan, antara lain: (1) adanya proses transisi dan produksi ruang sosial olahraga sehingga olahraga tidak hanya dilihat sebagai kegiatan untuk mengolah tubuh tapi juga sebagai sarana untuk mengisi waktu senggang oleh masyarakat perkotaan; (2) terdapat aspek kapitalisasi ruang olahraga di Malang yang dikendalikan oleh kepentingan korporasi dan pemangku kebijakan kota dan birokratisasi dan ruang yang diatur oleh badan keolahragaan yang bekerja sama dengan pihak keamanan di Kota Malang; dan, (3) segmentasi kelas dalam ruang olahraga di kota Malang merepresentasikan bagaimana masyarakat memproduksi pengetahuan tentang mengolah raga yang ditentukan oleh kelas sosialnya.

Daftar Pustaka Anholt, S. 2011. “Competitive Identity.” Dalam: Morgan, N., Prichard, A., & Pride, R. (eds)

Destination Brand: Managing Place Reputation. Oxford: Elsevier. Brenner, N. 2004. New State Spaces: Urban Governance and the Rescaling of Statehood.

Oxford: Oxford University Press. Castells, M. 1979. The Urban Question: A Marxist Approach. London: Erdward Arnold. Elkin, S. L. 1987. City and Regime in the American Republic. Chicago: university of Chicago

Press. Debord, G. 1967. The Society of Spectacle. Paris: Buchet-Chastel. Foucault, M. 1971. The Order of Things. New York: Vintage Books. Fainstein, S. S. 2001. “Competitiveness, Cohesion and Governance: Their Implications for

Social Justice.” International Journal of Urban and Regional Research, Vol. 25 (4): 3-19.

Produksi Sosial Ruang Olahraga dan Tubuh Ideal 203

Furnivall, J. S. 1980. “Plural Societies.” Dalam: Hans Dieter Evers (ed.), Sociology of Southeast Asia: Readings on Social Change and Development. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Gottdiener, M. 1984. “Debate on the Theory of Space: Towards on Urban Praxis.” Dalam: Smith, Cities in Transformation. Urban Affairs Annual Review 26. Beverly Hills: Sage Publication.

_____ 1986. The Decline of Urban Politics: Reinterpreting Metropolitan Politics in The United States. New York: Sage Publication.

_____ 1987. “Space as a Force of Production.” International Journal of Urban and Regional Research, Vol. 11: 404-16.

_____ 1989. “Crisis Theory and Socio-Spatial Restructuring.” Dalam: Gottdiener, M. & Kornninos, Capitalist Development and Crisis Theory. Macmillan: London dan New York

_____ 1990. “Crisis Theory and State Financed Capitalism.. International Journal of Urban and Regional Research, Vol. 14: 383-403

_____ 1994. The Social Production of Urban Space. CA: University of Texas Press Graeber, D. 2015. The Utopia of Rules: On Technology, Stupidity and The Secret Joys of

Bureaucracy. Brooklyn: Melvill House Publishing. Harvey. D. 1973. Social Justice and the City. Baltimore: John Hopkins University Press. Jones, C. 2001. “A Level Playing Field? Sport Stadium Infrastructure and Urban Development

in the United Kingdom.” Environmental and Planning, Vol. 33: 845-61. Kusno, A. 2000. Behind The Postcolonial: Architecture, Urban Space and Political Culture in

Indonesia. Roudledge: New York. _____ 2009. Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto. Yogyakarta:

Ombak. Lefebvre, H. 1979. “Space: Social Product and Use Value.” Dalam: J. Freiberg (ed) Critical

Sociology: European Perspective. New York: Irvington Publishers. _____ 1991. The Production of Space. Oxford & Massachusetts: Blackwell Publishing. Longan, J. R., & Molotch, H. L. 1987. Urban Fortunes. Berkeley: University of California Press. Padawangi, R,. & Douglass, M. 2015. “Water, Water Everywhere: Toward Participatory

Solutions to Chronic Urban Flooding in Jakarta.” Pacific Affairs, Vol. 8 (3): 517-50. Ritzer, G. & Douglas, J. G. 2003. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media. Scott, A. 1980. The Urban Land Nexus and the State. London: Pion. Scott, J.M, Davis, F.W., McGhie, R.G., Wright, R.G., & C., Estes, J., 2001. “Nature Reserves:

Do They Capture the Full Range of America’s Biological Diversity?” Ecological Applications, Vol. 11: 999-1007.

Smith, M. P. 1979. The City and Social Theory. New York: St. Marten’s Press. Stone, C, N. 1989. Regime Politics: Governing Atlanta, 1946-1988. Lawrence: University Press

of Kansas. Urry, J. 2004. “The Sociology of Space and Place.” Dalam: Judith R. Blau (ed) The Blackwell

Companion to Sociology, Malden: Blackwell Publishing. Valley, D.C. 2013. Sport in the City: Research on the Relation Between Sport and Urban

Design. Rotterdam: Creative Industries Fund. Research Paper.