problematika yang dihadapi jaksa dalam penyidikan

128
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI ( Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar ) TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Hukum Pidana Ekonomi OLEH : EKA YULIASTUTI NIM : S.330908004 PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Upload: lyquynh

Post on 14-Jan-2017

226 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i  

PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

( Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar )

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum

Minat Utama : Hukum Pidana Ekonomi

OLEH : EKA YULIASTUTI NIM : S.330908004

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010

Page 2: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii  

PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

( Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar )

Disusun Oleh :

EKA YULIASTUTI

NIM : S.330908004

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof.Dr.Adi Sulistiyono, SH.,MH ………. NIP. 196302091988031003

Pembimbing II Ismunarno, SH.,M.Hum ………. NIP. 196604281990031001

Mengetahui Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hukum

Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS. NIP. 130 345 735

Page 3: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii  

PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

( Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar )

Disusun Oleh : EKA YULIASTUTI NIM : S.330908004

Telah disetujui oleh Tim Penguji :

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal Ketua Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS …………… ……… NIP. 130 345 735 Sekretaris Prof. Dr. Jamal Wiwoho, SH., MH …………… ………. NIP. 196111081987021001 Anggota 1. Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH., MH …………… ………. NIP. 196302091988031003 2. Ismunarno, SH.,M.Hum …………… ………. NIP. 196604281990031001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Prof. Dr. H. Setiono, SH., MS ………………………… Ilmu hukum NIP. 130 345 735 Direktur Program Pror.Drs. Suranto, MSc,Ph.D ………………………….... Pasca Sarjana NIP. 131 472 192

Page 4: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv  

PERNYATAAN

Nama : EKA YULIASTUTI

NIM : S. 330908004

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul :

”Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi “

(Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar)

Adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis

tersebut diberi tanda Citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila terbukti dikemudian hari bahwa pernyataan saya tersebut diatas tidak

benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis

dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, Juli 2010

Yang Membuat Pernyataan

EKA YULIASTUTI

Page 5: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v  

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan tesis yang berjudul “Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam

Penyidikan Tindak Pidana Korupsi” (Studi Pada Kejaksaan Negeri

Karanganyar).

Dalam penulisan ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan dorongan moril

serta bantuan yang berupa informasi dari berbagai pihak. Atas bantuan maupun

bimbingan yang diberikan kepada penulis, maka dengan ini penulis menyampaikan

ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam kepada :

1. Bapak Prof. Drs. Suranto, MSc.,Ph.D., Selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Prof. Dr. H. Setiono SH.,M.S., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ibu Pror. Dr. Hartiwiningsih, SH.,M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi

MagisterIlmu Hukum, yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi.

4. Bapak Prof. Dr. Adi Sulistiyono, SH.,MH., selaku Pembimbing I yang banyak

membantu kelancaran penulis dalam menempuh studi serta dalam menyelesaikan

penulisan Tesis.

5. Bapak Ismunarno, SH.,M.Hum selaku Pembimbing II yang dengan tulus ikhlas

membimbing dan mengarahkan penulis.

6. Bapak / Ibu Tim Penguji Tesis Program Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret.

7. Bapak Kepala Kejaksaan Negeri Karanganyar yang telah memberikan ijin kepada

penulis untuk mengadakan penelitian di Kejaksaan Negeri Karanganya serta Bapak

Faisal Banu selaku Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus yang telah bersedia

membimbing penulis selama penulis mengadakan penelitian di Kejaksaan Negeri

Karanganyar.

Page 6: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi  

8. Ayah dan Ibu ku tercinta, yang selalu memberikan Doa yang tak terhingga kepada

penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan studi di Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

9. Adik-adik ku tersayang, Ahmad dan Wahyu, terimakasih atas kecintaan kalian

berdua, dan atas dukungannya.

10. Rekan-rekan mahasiswa konsentrasi Hukum Pidana Ekonomi Program

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

11. Semua Pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak

membantu dalam penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa apa yang penulis sampaikan dalam penulisan Tesis ini

masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga dapat bermanfaat

bagi siapa peneliti selanjutnya. Meskipun dalam penulisan ini banyak kesalahan dan

kekhilafan, maka dimohon saran demi penyempurnaan penulisan ini. Akhirnya, semoga

Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dan bimbingan kepada kita semua. Amin.

Surakarta, Juli 2010

Penulis

Page 7: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii  

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……………………………………………… i

HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………… ii

PENGESAHAN …………………………………………………… iii

PERNYATAAN ………………………………………………….. iv

KATA PENGANTAR …………………………………………….. v

DAFTAR ISI ……………………………………………………… vii

ABSTRAK ……………………………………………………….. ix

ABSTRACT ……………………………………………………… x

BAB I. PENDAHULUAN ……………………………………… 1

A. Latar Belakang Masalah …………………………… 1

B. Perumusan Masalah ………………………………… 7

C. Tujuan Penelitian …………………………………… 8

D. Manfaat Penelitian ………………………………….. 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………….. 11

A. Landasan Teori ……………………………………. 11

1. Arti dan Pengertian Korupsi …………………. 11

2. Lembaga-lembaga Yang Berwenang dalam

proses Penanganan Tindak Pidana Korupsi

1). Lembaga Kejaksaan ……………………… 26

2). Kepolisian ………………………………….. 27

3). Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) …. 32

3. Teori Penegakan Hukum ……………………. 34

B. Penelitian Yang Relevan ……………………………. 40

C. Kerangka Berpikir …………………………………. 41

Page 8: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii  

BAB III. METODE PENELITIAN ………………………………. 42

A. Jenis Penelitian ………………………………………. 42

B. Jenis dan Sumber data ………………………………. 45

C. Tehnik Pengumpulan Data ………………………….. 46

D. Tehnik Analisa Data …………………………………. 46

E. Jadwal Penelitian …………………………………….. 48

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….. 49

A. Hasil Penelitian ……………………………………… 49

1. Keadaan dan Gambaran Lokasi Penelitian ……… 49

2. Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan ……… 58

B. Hasil Wawancara ……………………………………. 76

C. Pembahasan ………………………………………….. 81

BAB V. PENUTUP ………………………………………………… 104

A. Kesimpulan ……………………………………………. 104

B. Implikasi ……………………………………………….. 115

C. Saran …………………………………………………… 116

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….. 119

LAMPIRAN

Page 9: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix  

ABSTRAK Eka Yuliastuti, S. 330908004, 2010, Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pada kejaksaan Negeri Karanganyar). Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa mengenai Problematika yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pada Kejaksaan Negeri Karanganyar).

Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah non-doktrinal, dengan mendasarkan pada konsep hukum ke-5. Bentuk penelitian yang digunakan adalah diagnostik. Analisis datanya menggunakan analisis kualitatif. Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan pembahasan sehubungan dengan masalah yang dikaji dapat disimpulkan bahwa problematika yang dihadapi jaksa dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi (studi pada kejaksaan negeri karanganyar) adalah : (1) Pembuatan Undang-undang atau perundang-undangan yang masih rancu sehingga menyulitkan jaksa dalam proses penyidikan dan dukungan produk legislatif yang kurang memadai baik di Pusat (undang-undang), maupun di daerah (Perda), Obyeknya rumit karena berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, (2) Kurangnya personil penyidik kejaksaan, sarana dan prasarana yang belum memadai, kurang profesionalnya sumberdaya manusia atau penyidik dari Kejaksaan, Pelaku dilindungi korps / atasan / teman-temanya, Modus operandinya canggih baik dalam bidang pembukuan dan menggunakan media elektronik, dan pelaku menggunakan cara-cara untuk mengaburkan kasus baik dalam bentuk fisik maupun psikis. Selanjutnya upaya-upaya yang dilakukan jaksa dalam menghadapi problematika tersebut adalah : Mempersiapkan para penegak hukum yang mempunyai keahlian khusus, mengadakan penataran kepada petugas-petugas yang terkait dalam penyidikan tindak pidana korupsi untuk lebih menguasai peraturan tentang tindak pidana korupsi, meminta kepada pembuat undang-undang untuk membenahi sistem perundang-undangan yang ada seperti yang terdapat dalam pasal 2 dan 3 undang-undang tindak pidana korupsi, jaksa dan hakim sering bingung dalam menafsirkan isi darinpasal-pasal tersebut. Sebagai implikasinya, Apabila sumberdaya manusia tidak ditingkatkan, akan terjadi stagnasi perkara korupsi, sehingga penyidikan kasus perkara korupsi terhambat, disarankan adanya peningkatan SDM melalui studi lanjut program strata II (Magister) dan strata III (Doktor) serta pelatihan yang relevan.

Page 10: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x  

ABSTRACT

Eka Yuliastuti S.330908004. The Problems Encountered by The Public Prosecutors in Investigating the Corruption Offenses (A Study at the District Court of Karanganyar). Thesis: The Graduate Program in Law Science, Sebelas Maret University, Surakarta, 2010. The objective of this research is to investigate and analyze the problems encountered by public prosecutors in investigating the corruption offenses (a study at the District Court of Karanganyar). This research used a non-doctrinal and method based on the fifth law concept. Its data were analyzed by using a qualitative analysis technique. Based on the results of the analysis on the problems encountered by the public prosecutors in investigating the corruption offenses, conclusions are drawn as follows: (1) The drafting of the prevailing laws and regulations is still contradictory so that it puts the public prosecutors in trouble to conduct investigation; the supports of legislative products, either from the central ones (central legislations) or the local ones (local legislations) are less adequate; and its object is very complicated because it shall include multi disciplinary sciences. (2) The public prosecutors lack investigators; the infrastructures and facilities are less adequate; the prevailing investigators are less professional; the corruption offenders are protected by their corps/ordinates/colleagues; its modus operandi (operating method) is sophisticated through the use of uneasily investigated book keeping methods and electronic devices; and the corruption offenders use certain ways to make the cases physically and non-physically undetectable. The efforts taken by the public prosecutors to encounter such problems are as follows: The public prosecutors prepare the law enforcers with special skills, conduct training to those related to the investigation of corruption offenses so that they master the laws and regulations against the corruption offenses, and call for improvement of the prevailing legislation systems to the law and regulation makers. For example, they require Articles 2 and 3 of the Corruption Act to be improved as the public prosecutors and judges are often confused in interpreting their contents. As an implication, if the ability of the human resources is not improved, the corruption offenses will remain stagnant or even become higher and the investigation of the corruption offenses will also be impended. Therefore, the ability of the human resources shall be improved through dispatching them to do graduate and postgraduate programs and to attend variety of relevant training.  

Page 11: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

1  

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibicarakan publik,

terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Banyak para ahli

mengemukakan pendapatnya tentang masalah korupsi ini. Pada dasarnya, ada yang

pro ada pula yang kontra. Akan tetapi walau bagaimanapun korupsi ini merugikan

negara dan dapat merusak sendi-sendi kebersamaan bangsa. Pada hakekatnya,

korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi

penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada

umumnya. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin

dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang

eksak. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang

pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus

diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.

Sejalan dengan dinamika masyarakat pelaksanaan pembangunan berkembang

cukup pesat, tetapi dalam berbagai bidang pembangunan nasional negara

Indonesianseperti Ideologi, Ekonomi, Sosial Budaya, pertahanan dan keamanan

terdapat adanya faktor penghambat yang berasal dari aparatur negara yang

justryseharusnya menjadi pengemban untuk mewujudkan cita-cita bangsa yaitu

berupa perbuatan tindak pidana korupsi.

Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang

memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai

akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan

uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka

ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat. Korupsi sudah

berlangsung lama, sejak zaman Mesir Kuno, Babilonia, Roma sampai abad

Page 12: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

2  

pertengahan dan sampai sekarang. Korupsi terjadi diberbagai negara, tak terkecuali

di negara-negara maju sekalipun.

Strategi preventif dibuat dan dilaksanakan dan diarahkan pada hal-hal yang

menjadi penyebab timbulnya korupsi. Strategi detektif dibuat dan diarahkan agar

apabila agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi maka perbuatan

tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-

akuratnya sehingga dapat ditindak lanjuti dengan tepat. Strategi represif dibuat dan

dilaksanakan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara tepat kepada

pihak-pihak yang terlibat dalam Korupsi.

In sum, an effective anti-corruption strategy is likely to remove the

opportunities for corruption; raise the salaries of civil servants and politicians; ensure

a high degree of policing through effective application of the formal rule of law and

the informal controls which encompass values; culture, moral and society

responsiveness; and provide a negative publicity as a deterrent.1

In Indonesia, corruption was a serious problem during the Dutch colonial

period as the salaries of the Dutch East India Company’s personnel were inadequate.

Clive Day bservant that these personnel “were underpaid and exposed to every

temptation that was offered by the combination of a weak native organization,

extraordinary opportunities in trade, and an almost complete absence of checks from

home or in Java” (Day, 1966: 00-103). Corruption became endemic during President

Sukarno’s rule because his disastrously inflationary budgets eroded civil service

salaries to the point where people simply could not live on them and where financial

accountability virtually collapsed because of administrative deterioration” (Mackie,

1970: 87-88).2

Di Indonesia masalah korupsi sepertinya tidak pernah berakhir melanda

kehidupan masyarakat di Indonesia. Dari awal Negara Republik Indonesia berdiri

                                                                1 Abdullah, N. R. W. (2008). Eradicating corruption: The Malaysian experience, JOAAG, Vol. 3. No. 1, Jurnal Internasional, www.google.com, Download Tanggal 2 Juli 2010. 

2 Jon S.T. Quah, National University of Singapore, Asian Review of Public Administration, Vol XI, , No 2 Juli-Desember 1999), Comparing Anti-corruption Measures in Asian Countries: Lessons to be Learnt, www.google.com, Download Tanggal 1 Juni 2010. 

Page 13: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

3  

hingga saat ini, pemerintah dan rakyat senantiasa disibukkan dalam urusan

pemberantasan korupsi. Apabila kita perhatikan, beberapa peraturan di bidang

korupsi, jika diamati setiap konsiderans maupun penjelasan umum perundang-

undangan, maka ternyata bahwa setiap pergantian atau perubahan undang-undang

senantiasa didasarkan pada “pertimbangan-pertimbangan” bahwa korupsi telah

banyak merugikan keuangan dan perekonomian negara, perundang-undangan yang

ada tidak lagi efektif memberantas tindak pidana korupsi yang semakin meningkat

dan kompleks.

Korupsi di Indonesia diyakini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

lingkungan masyarakat dan penyelenggara negara. Pada tatanan penyelenggaraan

negara, korupsi menjalar mulai dari level pejabat lembaga negara di tingkat pusat

hingga level yang terendah sekalipun. Aparat negara saat ini sebagian besar sudah

terkontaminasi praktek korupsi baik secara terang-terangan maupun terselubung.

Corruption is a serious problem affecting democracy and the economy and

engendering grave consequences for the security of goods and persons. Corruption is

to economic life and public life what doping is to sports, namely an illicit,

camouflaged means of breaking the rules to gain undue advantage.3

Meluasnya praktek korupsi di negara-negara yang sedang berkembang

menimbulkan kesan bahwa kata korupsi barangkali kata yang paling dikutuk orang,

bahkan sampai timbul ungkapan bahwa kebudayaan negara berkembang korupsi

merupakan ciri yang sukar diberantas. Fakta sejarah memang membuktikan bahwa

tidak sedikit negara yang runtuh karena salah satu penyebab utamanya adalah

korupsi, akan tetapi banyak pula negara yang berhasil keluar dari kemelut Korupsi,

baik negara-negara yang sekarang sudah maju seperti Inggris, Perancis dan Belanda

maupun yang masih setengah maju seperti Korea Selatan dan Singapura.4

                                                                  3 Thomas Cassuto , Efective Legal And Practical Measures For Combating Corruption : The French System, Jurnal Internasional, , www.google.com Download Tanggal 16 Juni 2010. 

4 Junaidi Soewartojo, 2005, Korupsi Pola Kegiatan dan Penindakannya Serta Peran pengawasan dalam penanggulangan, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 25. 

Page 14: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

4  

Semakin banyak bukti menumpuk tentang korupsi di negara-negara

berkembang, agaknya jelas bahwa pengaruh buruk jauh lebih besar daripada manfaat

sosialnya. Begitu pula dengan Tindak Pidana Korupsi dengan sedikit memikirkan

usaha-usaha untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi.

Modus operandi korupsi terbentang dari yang paling sederhana sampai yang

paling canggih. Paling sederhana adalah mengambil uang dari brankas atau rekening

dinas di suatu instansi. Versi yang lebih canggih banyak variannya, misalnya berupa

penundaan pencairan dana proyek oleh pejabat kepada kontraktor pembangunan.

Modus operandi delik korupsi berbeda dengan delik pada umumnya disamping

modus operandinya lebih rumit, juga dilakukan oleh mereka yang pada umumnya

mempunyai kadar intelektual atau pendidikan yang cukup tinggi, sebab itulah Erwin

E. Sutetherland menggolongkan mereka pada apa yang disebut “white collar crime”

(penjahat kerah putih)5. Bahkan muncul pula istilah “political corruption” oleh

karena pelaku tindak pidana korupsi di identifikasikan sebagai konspirasi antar

pejabat negara dan masyarakat yang bersifat kompleks. Istilah tersebut

menggambarkan pula keprihatinan masyarakat dan para ahli yang baik karena tindak

pidana korupsi sangat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah

secara substansial, disamping mengakibatkan meningkatkan biaya-biaya pelayanan

sosial sebaliknya menurunkan kualitas pelayanan sosial.6

Permasalahan dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi berdampak pada

gangguan stabilitas politik dan keamanan masyarakat, merusak lembaga dan nilai-

nilai demokratis, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan

yang berkesinambungan dan melemahkan penegakan hukum. Korupsi dalam

perkembangannya kini bukan hanya merupakan kejahatan yang berdiri sendiri tetapi

juga berhubungan sinergi dengan bentuk-bentuk kejahatan lain, seperti kejahatan

terorganisir dan kejahatan ekonomi termasuk pencucian uang. Lebih jauh kasus-

                                                             5 Muladi, Beberapa Dimensi Dari Tindak Pidana Korupsi, Makalah Penataran Hukum Pidana Nasional ke

IV kerjasama indonesia –Belanda, hal 3  6 Ibid, hal 2 

Page 15: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

5  

kasus korupsi juga mengancam aset-aset yang merupakan sumber daya dari Negara

sehingga berpotensi menimbulkan kemiskinan rakyat.

Korupsi di Indonesia dirasakan semakin meluas dan meningkat, baik dari

jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara serta kualitas

tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis memasuki seluruh aspek kehidupan

masyarakat. Meningkatnya korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana

terhadap kehidupan perekonomian nasional, kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis merupakan pelanggaran terhadap

hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi

dipandang sebagai kejahatan luar biasa. Pemberantasan tindak pidan korupsi menjadi

perhatian serius pemerintah, dengan adanya ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia No.XI/MPR/1999 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta dengan adanya UU No. 28

tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi

dan Nepotisme. Politik hukum di Indonesia menempatkan pemberantasan tindak

pidana korupsi dengan metode penegakan hukum secara luar biasa diantaranya

dengan menghilangkan hambatan prosedur dalam pelaksanaan penyidikan,

penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Diberlakukannya UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi,

sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, sebagai Undang-undang hukum pidana khusus yang memuat

tentang hukum pidana materiil dan formil sebenarnya diharapkan mampu sebagai

perangkat hukum untuk memberantas korupsi, baik secara preventif maupun represif.

Berdasarkan keputusan Jaksa Agung RI Nomor. KEP-518/A/J.A/11/2001

tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor. KEP-123/J/A/11/1994

tanggal 7 November tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana Korupsi, modus

operandi terungkapnya perkara korupsi dapat karena adanya inisiatif penyidik sendiri

atau karena adanya laporan/ informasi tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi.

Page 16: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

6  

Pada hakikatnya, Kejaksaan sebagai institusi yang berwenang menangani

Tindak Pidana Korupsi dapat bertindak baik sebagai penuntut umum yang

mendapatkan hasil penyidikan (BAP) dari kepolisian mengenai tindak pidana korupsi

dan dapat pula bertindak penyidik langsung tindak pidana korupsi.

Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara atau Dominus Litis mempunyai

kedudukan sentra dalam penegakan hukum, karena hanya institusi kejaksaan yang

dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak

berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana menurut hukum acara pidana.

Disamping sebagai penyandang Dominus Litis ( Procureur die de procesvoering

vaststels ) kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana

( executive amtenaar ). Masyarakat sangat mendambakan institusi Kejaksaan dapat

berfungsi secara optimal dalam menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, serta dapat menjadi tulang punggung reformasi. Sebab

pada dasarnya makna reformasi adalah kembali kejalur hukum dan konstitusi sebagai

prasyarat bagi tegaknya demokrasi dan civil society yang dicita-citakan.

Dalam hal penanganan tindak pidana korupsi kejaksaan dapat melakukan

penyidikan tindak pidana korupsi dengan dasar pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-

Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Selanjutnya

sebagai Penuntut Umum Tunggal (KUHAP), Kejaksaan akan melakukan penuntutan

Tindak Pidana Korupsi. Penanganan Tindak pidana di Kejaksaan dimulai dengan

penyelidikan yang dilakukan oleh seksi intelijen. Apabila ditemukan bukti permulaan

yang cukup, maka proses penyidikan diteruskan oleh seksi pidana khusus. Surat

Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor SE-007/A/J.A/11/2004 tanggal 26

November 2004 tentang Mempercepat Proses Penanganan Perkara-Perkara Korupsi

se Indonesia menggariskan agar penyidikan diselesaikan dalam waktu 2 (dua) bulan.

Untuk mendorong kinerja kejaksaan, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No.

5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Page 17: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

7  

Strategi penegakan hukum tersebut menjadi semakin relevan berhubung

dengan instruksi presiden Nomor 5 tahun 2004 tertanggal 9 Desember 2004 tentang

Percepatan pemberantasan Korupsi. Instruksi Presiden yang salah satu diantaranya

ditujukan kepada khusus kepada Jaksa Agung berisi:

a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak

pidanan korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang

Negara.

b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan

wewenang yang dilakukan oleh Jaksa/penuntut Umum dalam rangka

penegakan hukum.

c. Meningkatkan kerjasama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis

transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya

penegakan hukum dan pengendalian kerugian keuangan negara akibat tindak

pidana korupsi.

Selain Kejaksaan, KPK dan Kepolisian juga berwenang menangani kasus

Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi dalam kenyataan yang terjadi, Kejaksaan sering

mengalami hambatan-hambatan dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi.

Kejaksaan seringkali dinilai kurang kooperatif. Sorotan tajam yang mengemukakan

terhadap institusi penegakan hukum termasuk kejaksaan RI, baik dalam tugas

penyidikan maupun dalam tugas penuntutan antara lain karena Kejaksaan RI

dipandang tidak mandiri dan independent sebagaimana terlihat pada penyelesaian

perkara-perkara.

Perbedaan kewenangan penyidikan sebelum dan sesudah berlakunya KUHAP

akan jelas sekali terlihat dengan mengetahui siapa yang dimaksud dengan penyidik

menurut ketentuan acara pidana sebelum KUHAP. Menurut Reglement Indonesia

yang diperbarui (S.1941 Nomor 44) pasal 53 (1) yang dimaksud dengan penyidik

ialah Kepala Distrik, Kepala Onderdistrik, Polisi umum yang sekurang-kurangnya

Page 18: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

8  

berpangkat pembantu inspektur polisi dan pegawai polisi yang ditunjuk oleh Jaksa

Agung.

Di dalam praktek, seringkali ditemukan pula bahwa untuk tindak pidana

korupsi hanya berupa informasi saja yang dilaporkan. Bila informasi perkara korupsi

tersebut hanya melingkupi satu kabupaten maka cukup ditangani Kepala Kejaksaan

Negeri setempat, namun bila meliputi beberapa kabupaten maka ditangani oleh

Kejaksaan Tinggi.

Kejaksaan Negeri Karanganyar pada tahun 2007 hanya dapat menyelesaikan

pencapaian penanganan perkara penyelidikan, penyelidikan masing-masing sejumlah

2 (dua) perkara / kasus Tindak Pidana Korupsi yang terjadi diwilayah hukum

Kejaksaan Negeri Karanganyar. Sedangkan untuk tahun 2008 sama sekali tidak dapat

menyelesaikan pencapaian penanganan perkara baik dalam tahap penyelidikan,

penyidikan sampai ke tahap penuntutan. Hal ini berarti bahwa Kejaksaan Negeri

Karanganyar pada tahun 2007-2007 tidak dapat memenuhi target sebagaimana dalam

S.E Jaksa Agung yang ditindak lanjuti dengan Surat JAM PIDSUS.

Dari latar belakang masalah tersebut bahwa ternyata Jaksa Penyidik didalam

hal menangani proses penyidikan tindak pidana korupsi menimbulkan problematika.

Apa yang menyebabkan terjadinya problematika penyidikan tindak pidana korupsi

inilah yang layak untuk diteliti agar dapat menemukan faktor yang menjadi penyebab

terjadinya problematika, padahal sudah ada Instruksi Presiden serta surat Edaran

Kejaksaan Agung tentang percepatan penanganan kasus tindak pidana korupsi.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk menulis sebuah karya

ilmiah berbentuk tesis dengan judul “PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI

JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI”

Page 19: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

9  

B. PERUMUSAN MASALAH

Guna memberikan arah dalam pembahasan masalah maupun untuk mencapai

tujuan penelitian, maka akan dilakukan identifikasi terhadap permasalahan yang

perlu diteliti dan dibahas. Berdasarkan latar belakang masalah di atas permasalahan

yang akan diteliti meliputi :

1. Apakah problematika yang dihadapi Jaksa dalam penyidikan Tindak Pidana

Korupsi.?

2. Apakah upaya yang dapat dilakukan Jaksa untuk mengatasi problematika

tersebut.?

C. TUJUAN PENELITIAN

Untuk dapat mencapai sasaran yang di inginkan sebagai pemecahan masalah

sesuai dengan rumusan masalah yang ditetapkan, maka dalam penelitian ini

mempunyai tujuan.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui Problematika yang dihadapi Jaksa dalam Penyidikan Tindak

Pidana Korupsi.

2. Untuk mengetahui bagaimana usaha yang dapat dilakukan Jaksa dalam

mengatasi problematika penyidikan Tindak Pidana Korupsi.

D. MANFAAT PENELITIAN

Agar hasil dari kegiatan penelitian yang dicapai tidaklah sia-sia, maka setiap

penelitian berusaha untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya. Adapun

manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

Page 20: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

10  

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan

landasan teoritis bagi pengembangan disiplin ilmu hukum acara pidana pada

umumnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan

tentang penelaahan ilmiah serta menambah literatur atau bahan-bahan

informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penulisan

ilmiah bidang hukum lainnya.

2. Manfaat Praktis

a. Meningkatkan pengetahuan penulis tentang masalah-masalah dan ruang

lingkup yang dibahas dalam penelitian ini.

b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum agar

dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dan dasar pengambilan keputusan

ataupun kebijakan.

Page 21: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

11  

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Arti Dan Pengertian Korupsi

Istilah korupsi sudah dikenal dan ada dalam khasanah hukum

Indonesia sejak adanya Penguasa Militer Nomor PRT / PM-08 / 1958

tentang Penyelidikan Harta Benda. Istilah ini dapat dilihat dalam pasa 1 ayat

(a) yang menyatakan bahwa mengadakan penyelidikan harta benda

seseorang yang disangka melakukan korupsi menurut Peraturan Penguasa

Militer Nomor Prt / Pm/ 06 / 1957 Penguasa Militer Berwenang pula

mengadakan penyelidikan terhadap harta setiap orang atau badan di dalam

daerah yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan.

‘Corruption’ is a very broad term. It covers fraud (theft through

misrepresentation), embezzlement (misappropriation of corporate or public

funds) and bribery (payments made in order to gain an advantage or to avoid

a disadvantage). The different types of corruption are likely to be closely

linked. It is not easy to define a corrupt deal in a few words because

there are a number of elements to the transaction. It is an act of theft (and

hence an offence against human relationships), but it is a very particular kind

of theft. One definition that has the virtue of simplicity (but which needs

unpacking) is “the act by which ‘insiders’ profit at the expense of ‘outsiders’

”. This can convey the ideas of abuse of position, offending against

relationships, and underhandedness.7

Para ahli hukum dalam memberikan pengertian korupsi sangatlah

bervariasi, sedangkan dalam peraturan perundang-undangan KUHP maupun

                                                              7 Bryan R Evans, The Cost of corruption, A discussion paper on corruption, development and the poor,

Jurnal Internasional, www.google.com. Download tanggal 20 juni 2010. 

Page 22: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

12  

dalam undang-undang tindak pidana korupsi sama sekali tidak terdapat satu

pasalpun yang memberikan definisi korupsi secara jelas.

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-

mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada

masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu

berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan jaman.

Kata Korupsi dalam bahasa latin “Corruptio” atau “Corruptus”. Dari

bahasa latin lalu diturunkan dalam bahasa Inggris sebagai “Corruptie” yang

selanjutnya menurut bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “Korupsi”.

Arti harfiah dan kata corrupt sebagaimana ditemukan dalam The Lexion

Webster Dictionary8 diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak

jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian ,

sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Korupsi adalah

penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan,dsbnya)

untuk keuntungan pribadi atau orang lain.9

Secara harfiah arti korupsi10 dapat berupa : kejahatan, kebusukan,

dapat disuap, tidak bermoral, kebejadan dan ketidakjujuran11. Perbuatan yang

buruk, sepeti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.

Perbuatan yang kenyataaan yang menimbulkan keadaan bersifat buruk,

penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran, sesuatu yang dikorup, seperti

kata diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat.

Pengertian tindak pidana korupsi adalah salah satu dari hukum pidana

khusus disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan

hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta

apabila ditinjau dari materi yang diatur maka secara langsung atau tidak

langsung dimaksudkan untuk menekan seminimal mungkin kebocoran dan

penyimpangan keuangan dan perekonomian negara.

                                                             8 Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law dictionary, ST. Paul Minn West Publishing, hal. 35.  9 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, hlm 118.  10 Lilik Mulyadi, ibid, hlm. 16  11 WJS Poerwadarminta, Loc cit. hlm 33 

Page 23: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

13  

Sedangkan dalam definisi yang formal adalah merupakan tindakan

yang dilakukan oleh seorang pejabat kekuasaan untuk mengambil secara

melawan hukum sejumlah harta kekayaan yang terbilang atau yang

seharusnya akan dibilangkan sebagai harta kekayaan negara, sebagian

literatur merumuskan korupsi merupakan tingkah laku yang menyimpang dari

tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status uang yang

menyangkut pribadi ( perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri ) atau

melanggar aturan-aturan pelaksana beberapa tingkah laku pribadi. Definisi-

definisi ini tidak statis karena pemahaman masyarakat tentang apa yang

disebut corup itu berkembang, sepanjang waktu masyarakat lambat laun

mampu membuat perbedaan yang lebih tajam antara suap dan tindakan timbal

balik atau transaksi dan semakin mampu membuat perbedaan ini berlaku

dalam praktek.

Dalam arti sempit, korupsi berati pengabaian standar perilaku tertentu

oleh pihak yang berwenang demi memenuhi kepentingan diri sendiri. Badan

Pengawas Keuangan dan Pembangunan ( BPKP ) mendefinisikan korupsi

sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas

demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Baharudin Loppa12 membagi korupsi menurut sifatnya dalam 2 (dua)

bentuk yaitu sebagai berikut :

1. Korupsi yang bermotif terselubung

Yakni korupsi sepintas kelihatannya bermotif politik tetapi secara

tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang belaka.

Contoh, seorang pejabat menerima suap dengan janji akan menerima si

pemberi suap menjadi Pegawai Negeri atau di angkat dalam suatu jabatan.

Namun dalam kenyataannya setelah menerima suap, pejabat itu tidak

memperdulikan lagi janji kepada orang yang memberi suap tersebut yang

pokok adalah mendapatkan uang tersebut.                                                             

12 Baharudin Loppa dalam Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika. Jakarta, hal. 10  

Page 24: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

14  

2. Korupsi yang bermotif ganda

Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriyah kelihatannya hanya

bermotifkan mendapatkan uang tetapi sesungguhnya bermotif lain yaitu

kepentingan politik.

Contoh, seseorang yang membujuk dan menyogok seorang pejabat agar

dengan menyalahgunakan kekuasaannya pejabat itu dalam mengambil

keputusan memberikan suatu fasilitas pada si pembujuk itu meskipun

sesungguhnya si penyogok tidak memikirkan apakah fasilitas itu akan

memberikan hasil kepadanya.

Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia kecuali korupsi itu

telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkausa dan

mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk

menyembunyikan perbuatannya namun walaupun demikian motif korupsi

tetap dijaga rahasianya. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan

keuntungan timbal balik, kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa

uang. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha

untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran

hukum. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas

yang mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu. Setiap perbuatan

korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan politik atau

umum ( masyarakat ). Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan

kepercayaan.

Menurut Carl J. Friesnich sebagaimana dikutip oleh Martiman

Prodjohamidjojo, mengatakan bahwa apabila seseorang memegang kekuasaan

yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat

yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang

tidak diperbolehkan Undang-undang, membujuk untuk mengambil langkah

Page 25: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

15  

yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian

benar-benar mambahayakan kepentingan umum.13

Secara hukum, pengertian korupsi adalah “tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang tindak pidana korupsi”. Sedangkan definisi korupsi menurut

organisasi transparansi internasional adalah sebagai berikut :

“Perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercaya kepada mereka”.

Korupsi di mana pun dan kapan pun akan memiliki ciri khas, ciri

tersebut bisa bermacam-macam di antaranya14 :

1. Melibatkan lebih dari satu orang; 2. Korupsi tidak hanya berlaku dikalangan pegawai negeri atau anggota

birokrasi negara, tetapi terdiri juga dari Organisasi usaha swasta; 3. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam

tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk tunai, benda atau wanita;

4. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya; 5. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak

selalu uang; 6. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan

publik atau masyarakat umum; 7. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma, tugas dan

pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat; 8. Di bidang swasta korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang

dan sebagainya untuk membuka rahasia perusahaan, tempat seorang bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No 20

Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan 3

mendefinisikan korupsi antara lain sebagai berikut:

                                                             13 Martiman Prodjohamidjojo, 2001. Kekuasaan Kehakiman dan Kewenangan Mengadili. Ghalia Indonesia,

Jakarta. hlm.10  14 Ibid, hlm.10 

Page 26: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

16  

a. Setiap orang yang sengaja melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korupsi yang dapat

merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan

kewenangan,kesempatan atau sarana yanga ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau

perekonomian Negara....”

Menurut Undang-undang No.3 tahun 1971 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (LN 19 tahun 1971). Rumusan delik pada Undang-

undang N0.3 tahun 1971 mengambil oper rumusan delik korupsi dan

Undang-undang No.24 (Prp) tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi baik redaksi mengenai perbuatan-perbuatan maupun

sistmatikanya. Sehingga ada dua kelompok delik korupsi yaitu delik korupsi

yang selesai (vooltoid) dan delik percobaan (poging) serta delik permufakatan

(convenant).

Menurut Undang-undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, rumusan delik korupsi mengoper sebagian besar

delik korupsi menurut rumusan Undang-undang No.3 tahun 1971, dengan

perubahan sebagai berikut:

1. Memperluas subyek delik korupsi.

2. Memperluas pengertian pegawai negeri.

3. Memperluas pengertian delik korupsi.

4. Memperluas jangkauan berbagai modus operandi keuangan negara.

5. Delik korupsi dirumuskan secara tegas sebagai delik formil.

6. Subyek korupsi dikenakan sanksi.

7. Guna mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah memberantas

delik korupsi sanksi pida berbeda dengan sanksi pidana undang-undang

sebelumnya.

Page 27: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

17  

8. Akan dibentuk tim gabungan yang dikoordinasi oleh Jaksa Agung, agar

dalam proses penanganan delik korupsi tersangka/terdakwa memperoleh

perlindungan hak-hak asasi.

9. Penyidik, penuntut, dan hakim dapat langsung meminta keterangan

keuangan tersangka/terdakwa pada Gubernur Bank Indonesia diterapkan

pembuktian terbalik terbatas.

10. Partisipasi masyarakat berperan dalam pemberantasan delik korupsi.

11. Akan dibentuk komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, dua tahun

mendatang.

Delik korupsi menurut Undang-undang ini, dibagi dalam dua kelompok

besar, yakni, kelompok pertama, Bab II tentang tindak pidana korupsi terdiri

dari pasal 2 sampai dengan pasal 20, dan kelompok kedua, Bab III tentang

tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidan korupsi. Sedangkan

definisi umum tentang korupsi tidak diberikan oleh undamg-undang ini.

Di dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, rumusan delik korupsi mengoper sebagian besar dari

delik korupsi menurut Undang-undang No. 31 tahun 1999, dengan beberapa

perubahan yang antara lain penyebutan unsur-unsur yang langsung yang

terdapat dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 Undang-undang No. 20

Tahun 2001.

Perumusan tindak pidana korupsi dalam pasal-pasal Undang-Undang

Nomor 31 tahun1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, dimulai

dengan kata “setiap orang”, yang diberi makna orang atau perseorangan atau

termasuk korporasi. Sedangkan yang dimaksud korporasi adalah sekumpulan

orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum

maupun bukan badan hukum dan dapat terjadi subyek tindak pidana korupsi.

Page 28: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

18  

Lebih lanjut perumusan ciri-ciri tindak pidana korupsi15 sebagai berikut : 1. Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan; 2. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat

umum; 3. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan

khusus; 4. Dilakukan dengan rahasia, kecuali dalam keadaan dimana orang-orang

yang berkuasa atau bawahannya menganggap tidak perlu; 5. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak; 6. Adabya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk unag atau

lainnya; 7. Terputusnya kegiatan ( korupsi ) pada mereka yang menghendaki

keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya; 8. Adanya bentuk usaha menutupi perbuatan korupsi dalam bentuk-bentuk

pengesahan hukum; dan 9. Menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang

melakukan korupsi.

Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam-

macam pula, dan artinya pula tergantung dari segi mana pendekatan itu

dilakukan. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti yang halnya yang

dilakukan oleh Syed Husien Alatas dalam bukunya “ He Sociology of

Corruption” yang menyatakan bahwa istilah korupsi apabila seorang pegawai

negeri menerima pemberian yand di sodorkan oleh swasta dengan maksud

untuk mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa agar

memberikan perhatian istimewa untuk kepentingan si pemberi. Akan lain

halnya bila dilakukan pendekatan normatif, atau pendekatan politik maupun

ekonomi.

Hunington16 menyatakan : ”Akan tetapi tidak berati dengan adanya pola

korupsi ditingkat atas ini mengganggu stabilitas politik asal saja jalan-jalan

untuk mobilitas keatas melalui partai politik atau birokrasi tetap terbuka.

Namun jika pemain-pemain politik dari generasi muda melihat mereka akan

dikesampingkan, tidak diberi kesempatan untuk hasil-hasil yang telah dicapai

                                                             15 SH. Alatas, 1987, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi, Penerbit LP3ES, Jakarta, vii.  16 Mochtar lubis dan James C. Scoot, 1977, Bunga Rampai Mengenai Etika Pegawai Negeri, LP3ES,

Jakarta, hal. 67. 

Page 29: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

19  

oleh generasi tua atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan melihat tidak ada

harapan untuk naik pangkat dan kesempatn yang ada hanya bagi para jendral,

maka sistem terbuka tersebut akan digoncangkan oleh kekuasaan. Dalam

masyarakat seperti ini korupsi politik dari stabilitas politik kedua-duanya

tergantung pada mobilitas keatas”.

Lain halnya jika melihat korupsi sebagai perbuatan-perbuatan yang

dapat dikualifikasikan sebagia tindak pidaan korupso secara tegas diatur

dalam pasal-pasal Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang

Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasa Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana

khusus, oleh karena itu disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang

berbeda dengan hukum pidana umum, seperti halnya adanya penyimpangan

hukum acara pidana.

Apabila dikaji secara mendalam maka tindak pidana korupsi

sebenarnya tidaklah terlepas dari dan berkaitan erat dengan perbuatan-

perbuatan tindakan lain yang diatur dalam perundang-undang lainnya lainnya,

misalnya undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Tindak

Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan lain sebagainya.

Tindak pidana korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, tetapi

menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks, dengan faktor penyebab

seseorang pelaku berbuat korupsi antara lain faktor internal maupun

eksternal. Hal ini dikatakan oleh Sarlito W. Sarwono, bahwa aspek-aspek

penyebab seseeorang berbuat korupsi antara lain :

a. Dorongan dari dalam diri sendiri ( keinginan, hasrat, kehendak dan

sebagainya);

b. Rangsangan dari luar ( dorongan teman-teman, adanya kesempatan,

kurang kontrol dan sebagainya);

Korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban

normal suatu peran instansi pemerintah, karena kepentingan pribadi

Page 30: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

20  

(keluarga, golongan, kawan, teman), demi mengejar status dan gengsi, atau

melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi

kepentingan pribadi.

Menurut Bambang Poernomo17 berbicara kejahatan korupsi akan

berhubungan dengan faktor-faktor :

1. Kelemahan dalam kegiatan penegakkan hukum yang berkaitan manipulasi penyelenggaraan penerapan hukum secara tidak adil dan kekebalan bagi para pelanggar hukum dengan beraneka imbalan yang diatur dengan rapi;

2. Mekanisme kegiatan dewan legislatif sebagai badan pembentuk undang-undang yang secara politis dikendalikan oleh suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilu sering berkaitan dengan aktivitas industriawan dan perdagangan;

3. Melalui sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha akan lebih mudah menjurus untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan;

4. Sistem koneksi di berbagai bidang; 5. Penyelenggaraan pemilihan dengan pemungutan suara berbeda

dalam lingkungan kegiatan politik.

Korupsi umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan

dalam suatu jabatan sehingga karakteristik kejahatan korupsi selalu berkaitan

dengan penyalahgunaan kekuasan, dalam perspektif kejahatan yang

terorganisir, korupsi pada akhirnya dijadikan sebagai modus operandi untuk

membangun diri sendiri sebagai kekuatan besar dari kejahatan terorganisasi.

Didalam korupsi yang terorganisasi tidak terdapat kegiatan besar-besaran

yang dipakai oleh seorang oknum tunggal.

Korupsi yang terorganisir lahir dari birokrasi dan menjungkirbalikkan

struktur organisasi yang ada. Berbeda dengan kejahatan yang terorganisasi

yang membangun struktur organisasinya dilakukan oleh anggota mereka

sendiri. Didalam korupsi yang terorganisir terdapat beberapa kepala

organisasi sedangkan pada kejahatan terorganisir hanya seorang kepala yang

berkuasa. Pada umumnya berbagai kepala di dalam korupsi yang terorganisir

                                                             17 Bambang Poernomo, 1994. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di Luar Kodifikasi, Ghalia Indonesia,

Jakarta. hal. 24 

Page 31: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

21  

bertindak secara otonom meskipun seringkali mereka saling tergantung satu

sama lain. Mereka akan menenggang korupsi yang dilakukan oleh pihak lain.

Banyak faktor yang menyebabkan orang melakukan korupsi. Salah satu

faktor tersebut adalah kemiskinan. Menurut Jeremy Pope18 kemiskinan

merupakan faktor penyebab korupsi, meskipun bukan satu-satunya.

Terjadinya korupsi menurut Badan Pengawasan keuangan dan Pembangunan

( BPKP ) tahun 1997 disebabkan aspek individu pelaku korupsi seperti sikap

tamak, moral dan iman yang lemah sehingga tidak dapat menahan godaan

hawa nafsu serta penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar.

Faktor yang kedua adalah aspek organisasi, seperti kurang adanya

teladan dari pimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar dan

manajemen cenderung meniyupi korupsi di dalam organisasinya. Ketiga,

aspek masyarakat tempat iindividu dan organisasi berada seperti iindividu

dan organisasi berada seperti nilai-nilai yang berlaku di masyarakat yang

ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi. Masyarakat kurang menyadari

bahwa yang paling dirugikan oleh setiap praktek korupsi bukan hany Negara,

namun masyarakat luas luas juga akan terkena dampak korupsi itu.

Andi Hamzah19 menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi,

yakni :

1. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat;

2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. Beberapa pasal yang ada dalam KUHP di pandang jurang memadai untuk masyarakat Indonesia yang pejabat-pejabatnya cenderung melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan diri sendiri;

3. Manajemen yang kurang baik atau kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi;

4. Modernisasi pengembangbiakan korupsi.

                                                             18 Rohim, 2008, Modus Operandi tindak Pidana Korupsi, PT, Pena Multi Media, Jakarta, hal. 14  19 Andi Hamzah dalam Parman Suparman, Korupsi di Indonesia, masalah dan pemecahannya, Gramedia,

Jakarta, hlm. 15 

Page 32: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

22  

Dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 Tentang Tindak

Pidana Korupsi jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai hal-hal sebagai

berikut :

1. Perumusan Delik Sebagai Delik Formil

Adanya kata “dapat” dalam ketentuan pasal 2 UUPTK menunjukkan

bahwa delik sudah dianggap selesai apabila dipenuhinya unsur-unsur

perbuatan yang dirumuskan tanpa melihat adanya akibat. Sehingga

adanya kerugian negara / perekonomian atau tidak bukanlah

merupakan hal yang senantiasa essetialita artinya tidak merupakan

unsur yang mutlak sehingga tidak perlu dibuktikan secara obyektif.

2. Pidana Minimal Khusus

Penggunaan ancaman pidana minimal khusus beralasan agar pelaku

korupsi dapat dijatuhi pidana seberat-beratnya. Namun yang menjadi

masalah adalah belum adanya atau tidak disertai dengan aturan atau

pedoman pemidanaan yang menerapkan ancaman pidana khusus

tersebut. Hal ini disebabkan dalam KUHPidana sendiri tidak

mengatur masalah ini, sehingga tidak jelas apakah pidana minimal ini

dapat diperingan ( dalam faktor yang meringankan ) dan dapat

diperberat ( dalam faktor yang memberatkan ).

3. Pengembalian Kerugian Negara Tidak Menghapus dipidanya

Pelaku

Penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 ditegaskan bahwa

pengembalian kerugian negara tidak menghapus dipidananya seorang

pelaku. Upaya pengembalian kerugian negara tetap ada dan tidak

dapat dianggap sebagai alasan pembenar atau pemaaf kesalahan

tersangka atau terdakwa20.

                                                             20 Putusan MA RI Nomor 14012/Pid/1999 tertanggal 15 Juni 1999 

Page 33: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

23  

Menurut Lilik Mulyadi21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebenarnya tidak

mencantumkan definisi korupsi secara langsung, tetapi rumusan definisi

korupsi menurut Undang-undang ini dapat di interpretasikan dari rumusan

perbuatan-perbuatan yang dapat di hukum karena tindak pidana.

Penjelasan undang-undang nomor 20 tahun 2001 ini secara tegas

menyatakan bahwa penegakkan hukum untuk pemberantasan korupsi yang

dilakukan secara konvensional selama ini terbukti menghadapi berbagai

hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakkan hukum secara luar biasa

melalui pembentukan sebuah “badan khusus negara” yang mempunyai

wewenang luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun untuk

upaya pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan

sebagai extra ordinary crime.

Lebih jauh melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuk

komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi ( KPK ), yang tenaga

penyidiknya diambilkan dari Kepolisian RI dan Kejaksaan RI.

Menurut Romli22 pembentukan korupsi ini merupakan paradigma baru

dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan pertimbangan sebagai

berikut :

1. Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatn yang sistematik dan

meluas sehingga bukan saja merugikan keuangan negara melainkan

juga merupakan pelanggaran terhadap hak ekonomi dan sosial

masyarakat luas;

2. Penyelesaian kasus korupsi dengan karakteristik tersebut tidak dapat

dilaksanakan dengan metode-metode dan lembaga-lembaga yang

bersifat konvensional melainkan harus dengan metode baru dan

lembaga baru;

                                                             21 Lilik Mulyadi,2000, Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, hlm. 5.  22 Romli Atmasasminta, 1995, Kapita Selekta hukum Pidana dan Kriminologi, CV. Bandar maju.

Bandung, hlm. 2.  

Page 34: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

24  

3. Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah saatnya

dilakukan dengan senjata pamungkas yang dapat melindungi hak asasi

seluruh rakyat Indonesia dan sekaligus dapat membatasi hak asasi

seorang tersangka atau terdakwa. Senjata pamungkas ini hanya dapat

dibenarkan dalam bentuk undang-undang dan tidak dalam bentuk

peraturan perundang-undangan lainnya.

Corruption takes many forms. It may be incidental (bribes to junior public officials, little macro-economic cost, but hard to curb), systematic (affects whole areas of government and harms revenue, trade and development) or systemic (makes honesty irrational and has a huge developmental impact). Corruption infringes the fundamental human rights to fair treatment, unbiased decision-making, and secure civil and political status. Through corruption the public services on which the poor depend are starved of funds, foreign investors are driven away, and environmental protection measures are flouted23.

Selanjutnya menurut David Bayle24 menginvetarisasi “biaya-biaya”

yang terjadi sebagai akibat perilaku korupsi, yaitu :

1. Tindak Korupsi mencerminkan kegagalan mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan pemerintah ( misalnya, korupsi dalam pengangkatan jabatan pejabat atau salah alokasi sumberdaya menimbulkan in efisiensimdan pemborosan );

2. Korupsi akan segera menular ke sektor swasta dalam bentuk upaya mengejar laba dengan cepat ( dan berlebihan ) dalam situasi yang sulit diramalkan, atau melemahkan investasi dalam negeri, dan menyisihkan pendatang baru, dan dengan demikian mengurangi partisipasi dan pertumbuhan sektor swasta;

3. Korupsi mencerminkan kenaikan harga administrasi ( pembayar pajak harus ikut menyuap, karena membayar beberapa kali lipat untuk pelayanan yang sama );

4. Korupsi merupakan bentuk pembayaran yang tidak sah, hal ini akan mengurangi jumlah dana yang disediakn untuk publik;

5. Korupsi merusak mental aparat pemerintah, melunturkan keberanian yang diperlukan untuk mematuhi standar etika yang tinggi;

6. Korupsi dalam pemerintahan menurunkan rasa hormat kepada kekuasaan, dan akhirnya menurunkan legitimasi pemerintah;

                                                              23  Bryan R Evans,  The cost of corruption, A discussion paper on corruption development and the poor,

Jurnal Internasional, www.google.com. Download Tanggal 12 Juli 2010.  24 David Bayle dalam Rohim, 2008, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, PT. Pena Multimedia,

Jakarta, hlm. 15. 

Page 35: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

25  

7. Jika elite politik dan pejabat tinggi pemerintah secara luas dianggap korup, maka public akan menyimpulkan tidak ada alasan bagi public untuk tidak boleh kurup juga;

8. Seorang pejabat atau politisi yang korup adalah pribadi yang hanya memikirkan dirinya sendiri tidak mau berkorban demi kemakmuran bersama dimasa mendatang;

9. Korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar dari sisi produkvitas, karena waktu dan energi habis untuk menjalin hubungan guna menghindari atau mengalahkan sistem, daripada untuk meningkatkan kepercayaan dan memberikan alasan obyektif mengenai permintaan layanan yang dibutuhkan;

10. Karena korupsi merupakan ketidakadilan yang dilembagakan mau tidak mau akan menimbulkan perkara yang harus dibawa ke pengadilan dan tuduhan-tuduhan palsu yang digunakan pada pejabat yang jujur untuk tujuan pemerasan;

11. Bentuk korupsi yang paling menonjol dibeberapa negara yaitu “uang pelicin“, atau “uang rokok “ menyebabkan keputusan ditimbang berdasarkan uang, bukan berdasarkan kebutuhan manusia.

Persoalan korupsi yang sekarang telah menjadi gurita dalam sistem

pemerintahan di Indonesia merupakan gambaran dari bobroknya tata

pemerintahan di negara ini. Fenomena ini telah menghasilkan kemiskinan,

rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan serta buruknya pelayanan

publik. Akibat dari korupsi penderitaan selalu dialami oleh masyarakat,

terutama yang berada di bawah garis kemiskinan.

The fight against corruption is central to the struggle for human

rights. Corruption has always greased the wheels of the exploitation and

injustice which characterise our world. From violent ethnic cleansing to

institutionalized racism, political actors have abused their entrusted powers

to focus on gains for the few at great cost for the many.

For too long the anti-corruption and human rights movements have

been working in parallel rather than tackling these problems together.

Through this first and innovative report on human rights and corruption, the

International Council on Human Rights Policy (ICHRP) has provided an

important conceptual mendations emphasise a need to address the

Page 36: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

26  

destructive relationship between corruption and human rights and find ways

to mitigate its negative impacts, which can be direct, indirect and remote25.

2. Lembaga - Lembaga Yang Berwenang dalam Proses Penanganan dan

Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi

1. Lembaga Kejaksaan

Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI

memberikan penegasan dasar hukum kewenangan penyidikan Tindak

Pidana Korupsi bagi Kejaksaan antara lain :

Dalam Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004

Tentang Kejaksaan RI sebagai berikut :

“ Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menempuh beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

Pasal 30 ayat (1) huruf d undang-undang Nomor 16 tahun 2004 secara

implisit menyebutkan : Di bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan

wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan Undang-undang. Hal ini ditegaskan pula dalam penjelasan

pasal 30 ayat (1) huruf d sebagai berikut : Kewenangan dalam ketentuan ini

adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-undang

Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-

undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 jo

                                                              25 Corruption and Human Rights: Making the Connection, 2009. International Council on Human Rights Policy. Versoix, Switzerland. www.google.com. Download Tanggal 3 Juli 2010 

Page 37: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

27  

Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi.

2. Kepolisian

Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) mempunyai kewenangan

sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan pasal 1

butir ke 1 KUHAP dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Tugas26 dan wewenang27 kepolisian negara republik Indonesia tersirat

dalam ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia sebagai berikut :

Pasal 13 :

Tugas pokok Kepolisian Negara Indonesia adalah:

a. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; b. Menegakkan hukum; c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Dalam pasal 14 :

(1). Dalam pelaksanaan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 13,

kepolisian negara republik indenesia bertugas :

a). Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai dengan kebutuhan;

b). Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

                                                             26 Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002  27 Pasal 14 UU Nomor 2 tahun 2002 

Page 38: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

28  

c). Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d). Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e). Memelihara ketertiban dan menjaga keamanan masyarakat umum;

f). Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g). Melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan

hukum acara pidana dan peraturan peundang-undangan lainnya;

h). Menyelenggaraka identifikasi kepolosian, kedokteran kkepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan kepolisian;

i). Melindungi keselmatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan / atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasai manusia.

j). Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan / atau pihak yang berwenang.

k). Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dan lingkup tugas kepolisian; serta

l). Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2). Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 )

huruf f diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 16 :

(1). Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam

pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik

Indonesia berwenang untuk ;

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

Page 39: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

29  

b. Melarang setiap orang untuk meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi; g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara; h. Mengadakan penghentian penyidikan; i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi

dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

(2). Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, adalah

tindakan penyidikan dan penyelidikan yang dilaksanakan jika

memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan

tersebut dilakukan; c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan

jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.

Dalam proses pemeriksaan tindak pidana korupsi memang

mendapatkan prioritas utama dalam penyelesaian dibandingkan dengan

perkara lainnya, hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 25 Undang-

undang Nomor 31 tahun 1999 sebagai berikut :

“ penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.”

Page 40: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

30  

Oleh karena dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak mengatur mengenai proses

penyidikan dan pemeriksaan perkara secara khusus, maka proses

pemeriksaan dan penyidikan tindak pidana korupsi tetap mengacu kepada

ketentuan pasal 7 ayat (1) kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

tentang wewenang Penyidikan (POLRI).

Wewenang tersebut antara lain adalah :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi; h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan terdakwa; i. Mengadakan penghentian penyidikan; j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dalam melakukan tugasnya maka penyidik wajib menjunjung tinggi

hukum yang berlaku, antara lain membuat berita acara pelaksanaan tentang :

1. Pemeriksaan tersangka; 2. Penangkapan; 3. Penahanan; 4. Penggeledahan; 5. Pemasukkan rumah; 6. Penyitaan benda; 7. Pemeriksaan surat; 8. Pemeriksaan ditempat kejadian; 9. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan; 10. Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan KUHAP ( pasal 75 KUHAP).

Penyidikan menurut pasal 1 angka 2 KUHAP adalah serangkaian

tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-

Page 41: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

31  

undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu

membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan

tersangkanya.

Dari rumusan tersebut maka unsur-unsur pengertian penyidikan itu

sebagai berikut28 :

1). Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang mengandung berbagai

kegiatan / pekerjaan yang antara satu dengan yang lainnya saling

berhubungan atau yang satu merupakan kelanjutan dari yang lainnya.

2). Pekerjaan penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut

dengan penyidik yang oleh pasal 1 angka 1 didefinisikan sebagai “

Pejabat Negara Polisi Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai negeri

Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang

untuk melakukan penyidikan”.

3). Pekerjaan-pekerjaan dalam penyidikan itu didasarkan dan diatur

menurut Undang-undang.

4). Tujuan dari pekerjaan penyidik ialah (1) mencari dan mengumpulkan

bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana

yang terjadi (2) menemukan tersangkanya.

Dari unsur keempat dapat disimpulkan bahwa sebelum dilakukan

penyidikan telah diketahui adanya tindak pidana, tetapi tindak pidana

tersebut belum terang dan belum diketemukan siapa pembuatnya /

pelakunya. Jadi masih bersifat dugaan terjadinya tindak pidana berdasarkan

hasil penyelidikan sehingga dasar untuk menarik dugaan adanya / terjadinya

tindak pidana tersebut adalah adanya alat bukti permulaan, yang dalam

praktek didasarkan pada adanya laporan polisi atau hasil temuan penyidik.

Dalam proses penyelesaian kasus korupsi maka terdapat

penyimpangan / perbedaan mengenai kewenangan penyidik antara lain

                                                             28 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana 

Page 42: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

32  

dalam ketentuan pasal 30 UU Nomor 31 tahun 1999 yang disebutkan antara

lain “

“ Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana yang sedang diperiksa”.

3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

KPK ini terbentuk berdasarkan amanat Undang-undang No.30 tahun

2002 , KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenang bersifat independent

dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Berdasarkan undang-undang

tersebur, KPK memiliki kewenangan atribusi karena telah ditentukan dalam

perundang-undangan, yang mempunyai tugas sangat luas, bukan hanya

tugas penyelidikan dan penyidikan, tetapi juga tugas lain yang strategis dan

sama pentingnya dalam upaya pemberantasan korupsi.

Tugas KPK yang pertama adalah Koordinasi dengan berbagai instansi

yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, seperti

Kejaksaan dan Kepolisian serta badan-badan lain yang berkaitan seperti

BPK, BPKP, Inspektorat Jendral dan Badan Pengawasan Daerah.

Pelaksanaan koordinasi KPK, adalah menjaga agar pelaksanaan undang-

undang tidak saling tumpang tindih. Bersama instansi yang telah ada dapat

disusun suatu jaringan kerja ( networking ) dan menempatkan instansi yang

telah ada sebagai Counterpartner yang kondusif sehingga sehingga

pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.29

Tugas Koordinasi, meliputi :

a). Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan korupsi;

b). Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan korupsi;

c). Meminta informasi tentang kegiatan tentang kegiatan pemberantasan korupsi kepada instansi yang terkait;

d). Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang terkait;

                                                             29 Ruslan, Fungsi Koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), available at Bening Kliping Edisi

320 / Minggu II / Agustus 2004, dikutip dari pikiran Rakyat, 31 Juli 2004, hal. 20. 

Page 43: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

33  

e). Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan korupsi.

Tugas koordinasi ini, dalam keadaan tertentu dapat berkembang ke

tugas supervisi seperti melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan

terhadap instansi, yang menjalankan tugas dan wewenang di bidang

pemberantasan tindak pidana korupsi dan selanjutnya dengan alasan tertentu

dapat mengambil alih tugas dan wewenang institusi tersebut. Terkait dengan

hal ini kewengan KPK adalah terkait dan bebas, artinya disatu sisi KPK

adalah pelaksana dari pada Undang-undang, tetapi disatu sisi sesuai dengan

tugas lapangan, KPK berhak membuat langkah-langkah lebih konkrit sesuai

dengan tugasnya yang telah diamanatkan Undang-undang. Selain itu KPK

bertugas juga untuk memantau instansi yang melaksanakan pelayanan

publik. Pengambilalihan tugas penyidikan dan penuntutan oleh KPK

tersebut, dengan pertimbangan :

• Laporan masyarakat mengenai tindak pidana Korupsi yang tidak ditindak

lanjuti.

• Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

• Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku

tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.

• Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.

• Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari

eksekutif, yudikatif atau legislatif, atau

• Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan

dapat dipertanggungjawabkan.

Page 44: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

34  

3. Teori Penegakan Hukum

Hukum tumbuh, hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Hukum

merupakan sarana menciptakan ketertiban bagi kedamaian dalam hidup sesama

warga masyarakat. Hukum tumbuh dan berkembang bila warga masyarakat itu

sendiri menyadari makna kehidupan hukum dalam kehidupannya. Sedangkan

tujuan arti hukum itu sendiri adalah untuk mencapai suatu kedamaian dalam

masyarakat.30 Oleh karena itu hukum melindungi kepentingan manusia,

misalnya kemerdekaan, transaksi manusia satu dengan yang lain dalam

masyarakat pasar dan sebagainya. Disamping itu juga untuk mencegah

selanjutnya menyelesaikan pertentangan yang dapat menumbuhkan perpecahan

antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan lembaga.

Berdasarkan fungsi hukum, baik sebagai sarana rekayasa sosial maupun

sebagai sarana kontrol sosial, maka setiap peraturan yang diciptakan untuk

dijalankan sesuai dengan tujuan dan makna yang dikandungnya. Warga

masyarakat (individu) sebagai pihak yang dituju oleh suatu peraturan wajib

dengan lapang hati dan penuh pengertian patuh kepada hukum tersebut.

Adanya peraturan-peraturan hukum dan lembaga-lembaga serta aparat penegak

hukum yang dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang diperlukan tanpa

didukung oleh kesadaran warga masyarakat sebagai individu anggota

masyarakat, maka kemungkinan hukum itu mengalami banyak hambatan

dalam penerapannya, karena perilaku individu bermacam-macam.

Dalam suatu masyarakat yang pluralistik, penyimpangan yang dilakukan

seseorang menjadi kebiasaan bagi lainnya. Dalam keadaan demikian

diperlukan kontrol sosial, dalam arti mengendalikan tingkah laku pekerti warga

masyarakat agar selalu tetap konform dengan keharusan-keharusan norma,

hampir selalu dijalankan dengan berdasarkan kekuatan sanksi.31 Seringkali

                                                              30 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian hukum, Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta,

hlm 13.   31 Soetandyo Wignjosoebroto, 1986, Mengembangkan Ketaatan di Sanubari Warga Masyarakat

Lewat Proses Belajar, makalah FISIP UNAIR, Surabaya, hlm 19  

Page 45: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

35  

kontrol sosial tidak terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan karena

kondisi-kondisi obyektif yang tidak memungkinkan, tetapi karena sikap toleran

(manggung) agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang

terjadi. Mengambil sikap toleran yaitu sementar pelanggar norma lepas dari

sanksi yang seharusnya dijatuhkan.32 Disamping itu kadar ketaatannya juga

dipengaruhi oleh sanksi dari peraturannya atau dari hukumnya. Sehingga tidak

jarang pula terlihat kesenjangan antara perilaku yang diharapkan dengan

maksud dan tujuan peraturan dengan perilaku yang diwujudkan.

Keefektifan hukum bila dikaitkan dengan badan-badan penegak

hukumnya, maka faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah

Undang-undang yang mengaturnya harus dirancang dengan baik ( perancangan

undang-undang ) dan mereka yang bekerja sebagai pelaksana hukum harus

memusatkan tugasnya dengan baik pula.

Sistem hukum merupakan cerminan dari nilai-nilai dan standar elit

masyarakat, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sesuai

dengan kepentingan kelompok mereka. Berbicara masalah hukum pada

dasarnya membicarakan fungsi hukum di dalam masyarakat. Untuk memahami

bagaimana fungsi hukum itu, ada baiknya dipahami dulu bidang pekerjaan

hukum.

Selanjutnya dikatakan bahwa pelaksanaan penegakan hukum adalah

pelaksanaan suatu kebijakan atau suatu komitmen yang bersangkutan dengan 5

faktor, yaitu :

1. Faktor hukumnya sendiri;

2. Faktor penegak hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum berlaku atau

diterapkan;

                                                             32 Ibid hal 58 

Page 46: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

36  

5. Faktor budaya, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa didalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat, karena merupakan esensi dari

penegakan hukum dan merupakan tolak ukur dari efektivitas penegakan

hukum.33

Purnadi Purbacaraka yang dikutip oleh Soerjono Soekanto menyebutkan

terdapat ada 9 ( sembilan ) pengertian yang diberikan oleh masyarakat

mengenai arti hukum yaitu34 :

a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan. b. Hukum sebagai disiplin. c. Hukum sebagai kaedah. d. Hukum sebagai tata hukum. e. Hukum sebagai petugas (hukum). f. Hukum sebagai keputusan penguasa. g. Hukum sebagai proses pemerintahan. h. Hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur. i. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai.

Dalam pandangan lain hukum merupakan salah satu proses (produksi)

manusia (sebagai aktor) dalam membangun dunianya yang dapat dicermati dan

ditelaah melalui interaksi yang berlangsung dimasyarakat. Fenomena ini

mampu menampilkan hukum lebih mengedepankan persoalan-persoalan yang

berkembang dimasyarakat. Aktivitas masyarakat terus menerus dalam

kehidupan sehari-hari memberikan makna penting bagi pembentukan hukum35.

Dalam pada itu I.S. Susanto mengungkapkan bahwa untuk memahami makna

hukum akan sangat ditentukan oleh persepsi orang tentang apa yang disebut

hukum36. Disisi lain Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa untuk memahami

apa yang merupakan hukum perlu dipahami adanya relasi hukum, sains, fiksi

dan mistisme. Adanya pergeseran dari logika analitis menjadi logika sintesis,                                                             

33 Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm, 5  34 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perihal Kaedah Hukum. PT Citra Aditya Bakti.

Bandung, hlm. 4.  35 Anthon f. Susanto, 2004. Wajah Peradilan Kita, konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan Mekanisme

Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana. PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 26  36 Anthon F susanto, 2007. Hukum dari Concilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif.

PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 23. 

Page 47: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

37  

dengan tawaran keilmuwan bagi hukum yang asalnya berada pada domain

terkotak menuju wilayah hukum integrasi dan rumit37.

Sementara Van Hoecke atau Meuwismen menyebutkan beberapa ciri

objektif dari hukum adalah sebagai berikut38 :

1). Hukum itu untuk bagian terbanyak ditetapkan oleh kekuasaan atau kewibawaan yang berwenang;

2). Hukum memiliki satu sifat lugas dan obyektif;

3). Hukum itu berkaitan dengan tindakan-tindakan dan perilaku manusia yang dapat diamati;

4). Hukum itu memiliki suatu cara keberadaan tertentu yang dinamakan keberlakuan ( berlaku, gelding ) yaitu aspek moral, aspek sosial dan aspek yuridis;

5). Hukum itu memiliki suatu bentuk tertentu, suatu struktur formal;

6). Hukum itu menyangkut obyek dan isi dari hukum.

Syarat pertama untuk pelaksanaan Undang-undang yang efektif adalah

bahwa mereka yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan suatu keputusan

hukum mengetahui betul apa yang harus mereka lakukan seperti halnya yang

diharapkan oleh pembentuk undang-undang untuk kepentingan masyarakat.

Berhubungan dengan itu, maka bekerjanya hukum oleh penegak hukum

haruslah menunjukkan rumusan yang jelas dan mudah dipahami serta dapat

dikerjakan. Oleh karena itu dengan meminjam model dari Seidman, suatu

peraturan dibuat atau dikeluarkan tentunya berisi harapan-harapan yang

hendaknya dilakukan oleh subyek hukum sebagai pemegang peran. Faktor-

faktor yang turut menentukan bagaimanan respon yang akan diberikan oleh

pemegang peran antara lain39 :

1). Sanksi-sanksi yang terdapat didalamnya

                                                             37 Anton F Susanto, Loc cit, hal, 28.  38 Meuwismen terjemahan B. Arief Sidharta, 2007, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori

Hukum dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, hal 35-37.  39 Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT, Suryandaru Utama, Semarang,

hlm. 16 

Page 48: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

38  

2). Aktivitas dari lembaga pembuat hukum

3). Seluruh kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lainnya yang bekerja atas diri pemegang peran.

Hukum sebagai idealisme memiliki hubungan yang erat dengan

konseptualisasi keadilan secara abstrak. Apa yang dilakukan oleh hukum

adalah untuk mewujudkan ide dan konsep keadilan yang diterima oleh

masyarakatnya kedalam bentuk yang konkret, berupa pembagian atau

pengolahan sumber daya kepada masyarakat. Hal demikian itu berkaitan erat

dengan perkembangan masyarakat atau negara yang berorientasi

kesejahteraan dan kemakmuran. Hakikat dari pengertian hukum sebagai suatu

sistem norma, maka sistem hukum itu merupakan cerminan dari nilai-nilai

dan standar elit masyarakat, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-

sendiri sesuai dengan kepentingan kelompok meraka. Berkenaan dengan hal

tersebut maka guna memaknai hukum sebagai cita hukum haruslah dipahami

sebagai dasar sekaligus pengikat dalam pembentukan perundang-undangan.

Aspek nilai yang terkandung dalam cita hukum semakin penting artinya dan

secara instrumental berfungsi, tertutama bagi para pembuat kebijakan (

tecnical policy ). Dimensi nilai ini bukan saja pada saat pembentukan

peraturan hukum melainkan juga pada saat peraturan itu hendak di

implementasikan.

Secara konseptual, maka inti dari penegakan hukum terletak pada

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-

kaidah yang mantab dan mengejawantahkan dan sikap sebagai rangkaian

penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.40 Konsepsi yang mempunyai

dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan

tampak lebih konkrit.

                                                             40 Soerjono soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan Hukum, PT. Radja Grafindo, Jakarta,

1983, hal 5. 

Page 49: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

39  

Manusia didalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai

pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang huruk.

Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud didalam pasangan-

pasangan tertentu, misalnya, ada pasangan nilai ketertiban dan nilai

ketentraman, pasangan nilai kepentingan umum dan nilai pribadi, dan

seterusnya.

Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan

perundang-undangan, walaupun didalam kenyataan di Indonesia

kecenderungannya adalah demikiian, sehingga pengertian law enforcement

begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan

penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.

Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan

penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara

ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian

pribadi.41

Ada 2 ( dua ) fungsi yang dapat dijalankan oleh hukum didalam

masyarakat yaitu, pertama sebagai sarana kontrol sosial ( social control ) dan

kedua, sebagai sarana untuk melakukan sosial engineering. Proses sosial

engineering dengan hukum ini oleh Chambliss dan Seidman dibayangkan

bahwa efektivitas menanamkan kekuatan yang menentang unsur-unsur baru

dari masyarakat dalam proses perkembangan kecepatan menanamkan unsur-

unsur yang baru. Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil

pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru di

masyarakat.

Hukum mempunyai pengaruh langsung atau tidak langsung didalam

mendorong terjadinya perubahan sosial. Cara-cara mempengaruhi masyarakat

dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu dinamakan

                                                             41 Wayne La-Favre 1964 Didalam Soerjono Soekanto, Op Cit Hal 7. 

Page 50: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

40  

“socila engineering” atau “social planning”.42 Oleh karena itu agar hukum

benar-benar dapt mempengaruhi perlakuan warga masyarakat maka hukum

harus disebarluaskan, sehingga melembaga dalam masyarakat. Adanya alat-

alat komunikasi tertentu merupakan salah satu syarat bagi penyebaran dan

pelembagaan hukum. Komunikasi hukum tersebut dapat dilakukan secara

formal yaitu, melalui suatu tata cara yang terorganisasi dan resmi.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilaksanakan oleh penulis

tentang korupsi, adalah penelitian yang dilaksanakan oleh

1. Nama : Erry Purdyanto Marwantono

2. Judul : Kebijakan Penanganan Tindak Pidana Korupsi di kejaksaan Negeri

Surakarta.

Tahun : 2006

Penelitian tersebut mengkaji mengenai penanganan tindak pidana korupsi

di Kejaksaan Negeri Surakarta dan mengapa penanganan tindak pidana korupsi

di Kejaksaan Negeri Surakarta memakan waktu yang lama.

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah bahwa

penanganan perkara korupsi di Kejaksaan Negeri Surakarta diawali oleh

penyelidikan yang dilakukan oleh seksi intelijen. Apabila ditemukan bukti

permulaan cukup, maka hasil penyelidikan ditindaklanjuti dengan penyidikan

dan penuntutan oleh seksi pidana khusus.

                                                            

42 Soerjono Soekanto, 2007. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 122. 

Page 51: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

41  

C. Kerangka Berpikir

Dalam penelitian ini terhadap permasalahan yang diteliti dapatlah dibuat alur

pikir/bagan sebagaimana dalam teorinya Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut :

Gambar 2.

Kerangka Berpikir

PENYIDIK

KORUPSI

KPK KEJAKSAAN KEPOLISIAN

PROBLEMATIKA

Apakah Problematika yang dihadapi Jaksa dalam penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Apakah Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi problematika

Page 52: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

42  

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Sebelum penulis mengemukakan jenis penelitian yang akan digunakan,

maka terlebih dahulu akan diuraikan secara singkat mengenai metode. Metode

menurut Setiono43 adalah suatu alat untuk mencari jawaban dari pemecahan

masalah, oleh karena itu suatu metode atau alatnya harus jelas terlebih dahulu

apa yang akan dicari.

Metode penelitian adalah suatu cara atau jalan untuk memecahkan masalah

yang ada dengan cara mengumpulkan, mengembangkan atau menguji kebenaran

suatu ilmu pengetahuan. Metode penelitian sangat mementukan dalam suatu

penelitian karena mutu, nilai dan validitas suatu hasil penelitian sangat

ditentukan oleh pemilihan metode penelitian secara tepat.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif

(descriptve research) adalah untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai

fenomena atau kenyataan sosial. Penelitian ini dimaksudkan untuk eksplorasi

dan klarifikasi mengenai sesuatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan

mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit

yang diteliti. Jenis penelitian ini tidak melakukan pengujian hipotesis. Hasil

penelitian ini bisa menjadi masukan bagi kegiatan penelitian berikutnya.

Berdasarkan pada masalah yang diteliti maka pendekatan terbaik yang

dapat dipergunakan adalah jenis penelitian empiris. Apabila dilihat dari sifatnya

maka merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitaian yang

                                                             43 Setiono, 2005, Pemahaman Terhadap Metodelogi Penelitian Hukum, Program Pasca Sarjana UNS,

Surakarta, hal 1. 

Page 53: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

43  

dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,

keadaan atau gejala-gejala lain.44

Burhan Ashshofa mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Data tersebut berupa kata-kata

yang tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang individu secara holistik (utuh) 45.

Menurut Lexy J. Moleong, kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati

atau diwawancarai merupakan sumber data utama. Penelitian kualitatif pada

hakekatnya ialah mengamati orang dalam hidupnya, berinteraksi dengan mereka,

berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya46.

Dalam upaya menemukan fakta dan data secara ilmiah, maka peneliti

menetapkan penelitian ini dengan menggunakan pendekatan metode kualitatif

melalui studi kasus dengan pertimbangan bahwa tujuan studi kasus adalah untuk

memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta

karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu. Studi kasus

digunakan untuk keperluan penelitian, mencari kesimpulan dan diharapkan dapat

ditemukan pola, kecenderungan, arah dan lainnya yang dapat digunakan untuk

membuat perkiraan-perkiraan masa depan.

Moleong mengatakan bahwa metode kualitatif ini digunakan karena

beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah

apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua, metode ini menyajikan

secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan responden47.

Dalam mempelajari hukum, tentunya tidak boleh lepas dari 5 (lima)

konsep hukum yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto seperti dikembangkan

oleh Setiono (2005) adalah sebagai berikut :

                                                             44 Lexy J. Moeloeng, 1998, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, hal 196.  45 Burhan Ashsofa, 2001, metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal, 21-22.  46 Ibid, hlm 112  47 Lexy j. Moleong, ibid, hal, 5. 

Page 54: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

44  

1. Hukum adalah asas-asas moral atau kebenaran dan keadilan yang bersifat

kodrati dan berlaku universal (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai

hukum alam).

2. Hukum merupakan norma atau kaidah yang bersifat positif di dalam sistem

perundang-undangan.

3. Hukum adalah keputusan-keputusan badan peradilan dalam penyelesaian

kasus atau perkara (in concreto) atau apa yang diputuskan oleh hakim.

4. Pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial

yang empirik.

5. Manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak

dalam interaksi mereka (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai

hukum yang ada dalam benak manusia).

Dalam penelitian ini penulis mendasarkan pada konsep hukum yang ke-5,

yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto, seperti yang dikembangkan oleh

Setiono (2005), hukum dalam hal ini dikonsepsikan sebagai manifestasi makna-

makna simbolik para pelaku sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka

(hukum yang ada dalam benak manusia). Dalam penelitian ini, penulis ingin

menggali pendapat-pendapat, ide-ide, pikiran-pikiran dari pelaku peristiwa

secara langsung dan mendalam sehingga diperoleh informasi dan data-data yang

akurat, yang penulis perlukan dalam penulisan ini.

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran secara mendalam

tentang Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana

Korupsi, dalam tahap penyidikan yang meliputi pemanggilan saksi, pemanggilan

dan pemeriksaan tersangka, penggeledahan, penyitaan, penangkapan serta

penahanan dan pemberkasan.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian anatar lain:

1. Kejaksaan Negeri Karanganyar.

2. Perpustakaan Pascasarjana UNS.

Page 55: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

45  

3. Perpustakaan Fakultas Hukum UNS.

B. Jenis dan Sumber Data

Bahan penelitian yang digunakan pada tipe penelitian hukum emperis

berupa hasil wawancara mendalam ( in depth interview ) dengan responden

maupun nara sumber dan hasil observasi tentang Problematika yang dihadapi

Jaksa dalam Proses Penyidikan tindak pidana korupsi.

Bahan-bahan berupa bahan hukum, baik hukum primer ( primary sources

or authorites), maupun bahan hukum sekunder (secondary sources or

authorities) dan dilengkapi dengan bahan hukum tersier yang diperoleh dari

penelitian dari penelitian kepustakaan yang merupakan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian lapangan berupa

keterangan dan penjelasan yang diberikan para responden / nara sumber,

antara lain dari jaksa di Kejaksaan Negeri Karanganyar.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan perpustakaan.

Penelitian ini memperhatikan materi penelitian yang dijadikan pokok

pembahasan dan guna menentukan identifikasi data.

Adapun materi penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut :

1. Bahan hukum primer, merupakan dokumen hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat, terdiri dari :

a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP ).

b. Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.

c. Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

d. Undang-Undang no 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-

Undang No 31 tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

e. Undang-undang Nomor 20 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Korupsi ( KPK )

Page 56: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

46  

2. Bahan hukum sekunder : merupakan bahan hukum yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan

memahami bahan hukum primer, berupa bahan pustaka seperti Rancangan

peraturan perundang-undangan ( RUU ), buku, majalah, hasil penelitian

hukum, makalah, jurnal elektronik, hasil karya ilmiah yang berkaitan dengan

judul tesis, dan hasil-hasil terdahulu yang relevan.

3. Bahan Hukum Terseir

Merupakan bahan pelengkap yang berfungsi membantu dalam memahami

bahan hukum primer maupun sekunder yang meliputi kamus hukum.

C. Tehnik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data, penulis mempergunakan tehnik pengumpulan

data sebagai berikut :

a. Wawancara

Wawancara dilakukan secara mendalam untuk mendapatkan data yang

penulis perlukan, maka penulis mengadakan wawancara dengan pejabat di

wilayah kantor kejaksaan.

b. Studi kepustakaan

Merupakan tehnik pengumpulan data dengan cara membaca buku-buku

literatur, majalah, koran dan peraturan-peraturan yang ada hubungannya

dengan masalah yang diteliti.

D. Tehnik Analisa Data

Setelah data selesai dikumpulkan dengan lengkap, maka tahap

berikutnya adalah menganalisis data. Analisis data yang penulis gunakan dalam

penelitian ini adalah analisis data kualitatif, sebab data yang diperoleh bukan

berupa angka-angka yang akan dianalisis secara statistik. Sedangkan tehnik

analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah model analisis

interaktif atau Interactive Model of Analysis.

Page 57: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

47  

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan analisis kualitatif

dengan interaktif model, yaitu :

Gambar 3.

Gambar 3

Model Analisis Interaktif

a. Reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan dan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul

dari catatan-catatan tertulis dilapangan.

b. Penyajian data, sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberikan

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Dengan melihat suatu penyajian data dapat diketahui apa yang terjadi dan

kemungkinan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun tindakan

penyajian data itu sendiri dapat diketahui apa yang terjadi dan ataupun

tindakan penyajian data itu sendiri dapat berupa kalimat-kalimat, cerita-cerita,

maupun tabel-tabel.

c. Verifikasi, sejak permulaan pengumpulan data dilakukan pencatatan,

pertimbangan pada peraturan-peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi

yang mungkin, arahan sebab akibat, dan proporsi untuk mengetahui apa dari

hal-hal yang kemudian ditarik kesimpulan.

Pengumpulan Data

Reduksi Data

Penarikan Kesimpulan

Penyajian Data

Page 58: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

48  

Kesimpulan tersebut pada awalnya kurang jelas kemudian semakin

meningkat secara eksplisit dan memiliki landasan yang kuat. Kesimpulan

akhir tidak akan terjadi sampai proses pengumpulan data berupa

pengumpulan yang cepat sebagai pemikiran kedua yang timbul melintas dari

pikiran pada waktu melihat kembali pada catatan lapangan.

E. Jadwal Penelitian

Ada tiga tahapan penelitian yang akan dilaksanakan, yaitu tahap persiapan,

tahap pelaksanaan, dan tahap penyusunan program. Adapun jadwal kegiatan

pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

Kegiatan Bulan

Februari Maret April Agustus

1 Penyusunan Proposal X X

2 Pengumpulan Data X X

3 Analisis Data X X

4 Penyusunan Laporan X X

5 Perbaikan, Penggandaan,

Penyerahan hasil penelitian

X X

Page 59: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

49  

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

1. Keadaan dan Gambaran Lokasi Penelitian

Kejaksaan Negeri adalah Kejaksaan di Ibukota Kabupaten atau di

Kotamadya atau di Kota Administratif dengan daerah hukum meliputi

wilayah Kabupaten atau Kotamadya dan atau Kota Administratif. Selanjutnya

dalam pasal 27 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang

Kejaksaan RI menyebutkan bahwa “Kepala Kejaksaan Negeri adalah

pimpinan Kejaksaan Negeri yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan

wewenang Kejaksaan di daerah hukumnya. Selanjutnya dalam pasal 27 ayat 2

di sebutkan bahwa Kepala Kejaksaan Negeri dalam melaksanakan tugasnya

di bantu oleh beberapa unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.

Kejaksaan Negeri menyelenggarakan fungsi :

a. Perumusan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis berupa pemberian

bimbingan serta pemberian perizinan sesuai dengan tugasnya;

b. Pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana, pembinaan manajemen,

administrasi, organisasi, dan ketatalaksanaan serta pengelolaan atas milik

negara yang menjadi tanggung jawabnya;

c. Pelaksanaan dan pengendalian pelaksanaan penegakkan hukum baik

preventif maupun represif yang berintikan keadilan di bidang pidana,

pelaksanaan intelijen yustisia di bidang ketertiban dan ketentraman

umum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan dan penegakkan

hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan hukum dan

tugas-tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaan

pemerintah dan penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan peraturan

Page 60: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

50  

perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa

Agung.

d. Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat

perawatan jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan

hakim karena tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan hal-hal yang

dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri;

e. Pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah di daerah

hukum kejaksaan negeri yang bersangkutan, penyusunan peraturan

perundang-undangan serta peningkatan kesadarn hukum masyarakat;

f. Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan

baik di dalam maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas.

Selanjunya Kepala Kejaksaan Negeri mempunyai tugas :

a. Memimpin dan mengendalikan Kejaksaan Negeri dalam melaksanakan

tugas, wewenang dan fungsi Kejaksaan didaerah hukumnya serta

membina aparatur Kejaksaan di lingkungan Kejaksaan Negeri yang

bersangkutan agar berdaya guna dan berhasil guna;

b. Melakukan dan /atau mengendalikan kebijakan pelaksanaan penegakkan

hukum dan keadilan baik preventif maupun represif yang menjadi

tanggung jawabnya di daerah hukum Kejaksaan Negeri yang

bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan

kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan

tambahan, penuntutan, eksekusi dan tindakan hukum lain berdasarkan

peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh

Jaksa Agung;

d. Melakukan koordinasi penangkapan perkara pidana tertentu dengan

instansi terkait meliputi penyelidikan, penyidikan dan melaksanakan

tugas-tugas yustisial lain berdasarkan peraturan peundang-undangan dan

kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

Page 61: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

51  

e. Melakukan pencegahan dan penangkapan terhadap orang yang terlibat

dalam suatu perkara pidana untuk masuk kedalam atau keluar

meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia, peredaran

barang cetakan yang dapat menggangu ketertiban umum, penyalahgunaan

dan atau penodaan agama serta pengawasan aliran kepercayaan yang

dapat membahayakan ketertiban masyarakat dan negara berdasarkan

peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh

Jaksa Agung;

f. Melakukan tindakan hukum di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara,

mewakili Pemerintah dan Negara didalam dan diluar pengadilan sebagai

usaha menyelamatkan kekayaan negara berdasarkan peraturan perundang-

undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;

g. Membina dan melakukan kerjasama dengan instansi Pemerintah dan

organisasi lain didaerah hukumnya untuk memecahkan masalah yang

timbul terutama yang menyagkut tanggungjawabnya;

h. Pemberian perijinan sesuai dengan bidang tugasnya dan melaksanakan

tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan dan

kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

Kejaksaan Negeri dibagi dalam 4 seksi yakni :

1. Seksi Intelijen

Seksi Intelijan mempunyai tugas melakukan kegiatan intelijen yustisial di

bidang :

a. Ideologi;

b. Politik;

c. Ekonomi;

d. Keuangan;

e. Sosial budaya, dan

f. Pertahanan keamanan untuk mendukung kebijaksanaan penegakkan

hukum dan keadilan baik preventif maupun represif melaksanakan dan

Page 62: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

52  

atau turut serta menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum

serta pengamanan pembangunan nasional dan hasilnya didaerah hukum

Kejaksaan Negeri yang bersangkutan.

Dalam melaksanakan tugas, Seksi Intelijen menyelenggarakan fungsi

yaitu :

a) Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis di bidang intelijen

berupa bimbingan, pembinaan dan pengamanan teknis;

b) Penyiapan rencana, pelaksanaan dan penyiapan bahan pengendalian

kegiatan intelijen penyelidikan, pengamanan dan penggalangan dalam

rangka kebijaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun represif

untuk menaggulangi hambatan, tantangan, politik, ekonomi, keuangan

dan sosial budaya;

c) Pelaksanaan kegiatan produksi dan sarana intelijen, membina dan

meningkatkan kemampuan, ketrampilan dan integritas kepribadian aparat

intelijan yustisial membina aparat dan mengendalikan kekayaan di

lingkungan Kejaksaan Negeri yang bersangkutan;

d) Pengamanan teknis terhadap pelaksana tugas satuan kerja di bidang

personil, kegiatan materiil, pemberitaan dan dokumen dengan

memperhatikan koordinasi;

e) Kerjasama dengan instansi pemerintah dan organisasi lain didaerah

terutama dengan aparat intelijen.

Sub Seksi Intelijen terdiri dari :

(a) Subseksi sosial dan politik, mempunyai tugas melakukan kegiatan

intelijen yustisial penyelidikan, pengamanan dan penggalangan untuk

menanggulangi hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan serta

mendukung operasi yustisi mengenai masalah ideologi dan sosial politik,

media massa, barang cetakan, orang asing, cegah tangkal, sumberdaya

manusia, pertahanan dan keamanan, tindak pidana perbatasan dan

Page 63: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

53  

pelanggaran wilayah perairan, aliran kepercayaan, penyalahgunaan dan

atau penodaan agama, persatuan dan kesatuan bangsa, lingkungan hidup,

penyuluhan hukum serta penanggulangan tindak pidana umum dan

narkoba;

(b) Subseksi ekonomi dan moneter, mempunyai tugas melakukan

kegiatan intelijen yustisial penyelidikan pengamanan dan penggalangan

untuk menanggulangi hambatan, tantangan, ancaman dan gangguan serta

mendukung operasi yustisi mengenai masalah investasi, produksi,

distribusi, keuangan perbankan, sumberdaya alam dan pertanahan,

penanggulangan tindak pidana ekonomi, korupsi serta pelanggaran Zona

Ekonomi Ekslusif;

(c) Subseksi produksi dan Sarana Intelijen, mempunyai tugas

melakukan kegiatan dibidang produksi berupa laporan berkala, insidentil

dan perkiraan keadaan pembinaan aparat intelijen terhadap kemampuan

dan integritas aparat intelijen di lingkungan Kejaksaan Negeri dan

menyelenggarakan administrasi intelijen, penyiapan dan pemberian

penerangan serta publikasi mengenai berbagai masalah yang menyagkut

kegiatan Kejaksaan.

2. Seksi Tindak Pidana Umum

Seksi Tindak Pidana Umum mempunyai tugas melaksanakan pengendalian

dan atau pelaksanaan prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan,

melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan

terhadap keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lainnya dalam

perkara tindak pidana umum.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud tersebut diatas, Seksi

Tindak Pidana Umum menyelenggarakan fungsi :

(a). Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis dibidang tindak pidana umum

berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan pengamanan teknis;

Page 64: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

54  

(b). Penyiapan rencana, peleksanaan dan penyiapan bahan pengendalian

kegiatan prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan dalam

perkara tindak pidana terhadap keamanan negara dan ketertiban umum,

tindak pidana terhadap orang dan harta benda serta tindak pidana umum

lain yang diatur diluar Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

(c). Penyiapan bahan pengendalian dan / atau pelaksanaan penetapan Hakim

dan Putusan Pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan

keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain dalam perkara tindak

pidan umum serta pengadministrasiannya;

(d). Pembinaan kerjasama dan melakukan koordinasi dengan instansi serta

pemberian bimbingan dan petunjuk teknis dalam penanganan perkara

tindak pidana umum kepada penyidik;

(e). Penyiapan bahan saran, konsepsi tentang pendapat dan atau pertimbangan

hukum Jaksa Agung mengenai perkara tindak pidana umum dan masalah

hukum lainnya dalam kebijaksanaan penegakkan hukum;

(f). Peningkatan kemampuan, ketrampilan dan integritas kepribadian aparat

tindak pidana umum daerah hukum Kejaksaan Negeri yang

bersangkutan;

(g). Pengadministrasian dan pembuatan laporan di daerah hukum Kejaksaan

Negeri yang bersangkutan.

Seksi Tindak Pidana Umum terdiri dari :

(a). Subseksi prapenuntutan, mempunyai tugas melakukan urusan pemberian

pertimbangan, pengendalian dan petunjuk mengenai penerimaan

pemberitahuan penyidikan, penghentian penyidikan, hasil penyidikan

serta penerimaan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti/ sitaan,

mengadministrasikan dan mendokumentasikannya;

Page 65: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

55  

(b). Subseksi penuntutan, mempunyai tugas melakukan urusan penuntutan

terhadap perkara tindak pidana umum hasil penyidikan serta

pengadministrasian dan pendokumentasian;

(c). Subseksi Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi, mempunyai tugas

melakukan administrasi dan urusan perlawaanan, banding, kasasi,

peninjauan kembali dan grasi dan pelaksanaan penetapan putusan hakim

yang telah mempunyai kepastian hukum tetap, melakukan eksaminasi

perkara tertentu.

3. Seksi Tindak Pidana Khusus

Seksi tindak Pidana Khusus mempunyai tugas melakukan pengendalian

kegiatan penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan,

penuntutan, melaksanakan penetapan dan putusan pengadilan, pengawasan

terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum

lainnya dalam perkara tindak pidana khusus di daerah hukum kejaksaan

negeri yang bersangkutan.

Dalam melaksanakan tugasnya Seksi Tindak Pidana Khusus

menyelenggarakan fungsi :

(a). Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis di bidang tindak pidana

khusus berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan pengamanan

teknis;

(b). Penyiapan rencana, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan penyelidikan,

penyidikan, prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan dan

pengadministrasiannya;

(c). Pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan

terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain

dalam perkara tindak pidana khusus serta pengadministrasiannya;

Page 66: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

56  

(d). Pembinaan kerjasama dan koordinasi dengan instansi terkait dan

memberi bimbingan serta petunjuk teknis kepada penyidik dalam

penanganan perkara tindak pidana korupsi, ekonomi dan tindak pidana

khusus yang lain serta pengadministrasiannya;

(e). Penyiapan bahan sarana konsepsi tentang pendapat dan atau

pertimbangan hukum Jaksa Agung mengenai perkara tindak pidana

khusus dan masalah hukum lain dalam kebijaksanaan hukum;

(f). Peningkatan kemampuan, ketrampilan dan integritas kepribadian aparat

tindak pidana khusus.

Seksi Tindak Pidana Khusus tediri dari :

(a) Subseksi penyidikan, mempunyai tugas melakukan segala sesuatu

yang berhubungan dengan kegiatan penyidikan tindak pidana khusus serta

menyiapkan bahan, membuat telaahan dan memberikan bimbingan tknis

terhadap kegiatan penyidikan tindak pidana khusus;

(b) Subsekksi penuntutan, mempunyai tugas melakukan segala kegiatan

yang berkaitan dengan penuntutan perkara tindak pidana khusus serta

menyelenggarakan administrasi dan dokumentasi;

(c) Subseksi upaya hukum, eksekusi dan eksaminasi, mempunyai tugas

melakukan segala kegiatan yang berhubungan dengan upaya hukum

eksekusi dan eksaminasi.

4. Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara

Seksi Perdata tata usaha Negara mempunyai tugas melakukan dan atau

pengendalian kegiatan penegakan, bantuan, Pertimbangan dan pelayanan

hukum serta tindakan hukum lain kepada negara, pemerintah dan masyarakat

di bidang perdata dan tata usaha negara.

Dalam melaksanakan tugas, Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara

menyelenggaraka fungsi :

Page 67: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

57  

(a). Penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis dibidang perdata dan tata

usaha negara berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan pengamanan

teknis;

(b). Pengendalian kegiatan penegakkan hukum, bantuan pertimbangan dan

mewakili kepentingan negara dan pemerintah;

(c). Pelaksanaan gugatan uang pengganti atas putusan pengadilan, gugatan

ganti kerugian dan tindakan hukum lain terhadap perbuatan yang

melawan hukum yang merugikan keuangan negara;

(d). Pemberian bantuan hukum terhadap masyarakat yang menyangkut

pemulihan dan perlindunagn hak dengan memperhatikan kepentingan

umum sepanjang negara atau pemerintah tidak menjadi tergugat;

(e). Pelaksanaan tindakan hukum didalam maupun diluar pengadilan

mewakili kepentingan keperdataan dari negara pemerintah dan

masyarakat baik berdasarkan jabatan maupun kausa khusus.

(f). Pembinaan kerjasama maupun koordinasi dengan instansi terkait serta

memberikan bimbingan dan petunjuk teknis dalam penangan masalah

perdata dan tata usaha negara di daerah hukum kejaksaan negeri yang

bersangkutan;

(g). Pemberian saran konsepsi tentang pendapat dan atau pertimbangn hukum

Jaksa Agung mengenai perkara dan tata usaha negara dan masalah

hukum lain dalam kebijakan penegakkan hukum;

(h). Peningkatan kemampuan, ketrampilan dan integritas kepribadian aparat

tindak pidana khusus di daerah hukum Kejaksaan Negeri yang

bersangkutan.

Page 68: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

58  

Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara terdiri dari :

(a). Subseksi perdata dan tata usaha negara, mempunyai tugas melakukan

pengendalian kegiatan penegakkan, bantuan, pertimbangan dan

pelayanan hukum serta tindakan hukum lain kepada negara, pemerintah

dan masyarakat di bidang perdata dan tata usaha negara;

(b). Subseksi pemulihan dan perlindungan hak, mempunyai tugas melakukan

penyiapan bahan pengendalian penegakan, bantuan, pelayanan,

pertimbangan dan tindakan hukum lain kepada negara, pemerintah dan

masyarakat di bidang perdata dan tata usaha negara dan masyarakat.

2. Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan

Khusus terhadap tindak pidana korupsi selain fungsi penuntutan dan

eksekusi kejaksaan juga mempunyai peranan sebagai lembaga penyidik

tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 30 ayat (1) huruf d

Undang-undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.

a. Penyelidikan

penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menentukan dapat auat tidaknya dilakukan [enyidikan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang ( pasal 1 butir 5 KUHAP ).

Penyelidikan merupakan tahap awal sebelum dimulainya suatu

penyidikan. Dalam penyelidikan suatu perkara, penyelidik belum dapat

menggunakan upaya paksa ( misal : penangkapan, penahanan, penyitaan

dan lain-lain ) Penyelidikan dapat dikatakan sebagai bagian tak

terpisahkan dari penyidikan.

Mekanisme atau langkah-langkah dalam penyelidikan antara lain48 :

                                                             48 Faisal Banu, Jaksa Penyidik Kejaksaan Negeri Karanganyar 

Page 69: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

59  

1. Pimpinan mengeluarkan / menerbitkan surat perintah penyidikan.

Disitu tertera nama-nama personil yang bertugas melakukan

penyelidikan yang di sebut dengan jaksa penyelidik. Tujuan utam

dari penyelidikan menemukan suatu peristiwa itu sebagai suatu tinda

pidana atau bukan, bila peristiwa tersebut ditetapkan sebagai tindak

pidana maka ditingkatkan menjadi penyidikan bila bukan tindak

pidana maka dilakukan penghentian penyelidikan.

2. Setelah jaksa menerima surat perintah maka tim tersebut membuat

target operasi dan rencana penyelidikan / rencana pengumpulan

bahan keterangan.

3. Melakukan pengumpulan data dan keterangan yang meliputi :

Melakukan pemanggilan kepada sumber-sumber yang dianggap

mengetahui persoalan yang dituangkan dalan berita acara permintaan

keterangan maupun catatan wawancara. Terhadap orang yang

diperiksa bisa juga diminta bahan keterangan, misalnya korupsi

pengadaan motor dinas, jaksa meminta data berupa :

• Peraturan perundangan yang mengatur tata cara

pengadaan motor dinas untuk pemerintah daerah.

• Dokumen-dokumen yang berupa :

-. Dokumen persiapan yang berisi pemberitahuan

undangan lelang, proses ambissing atau penjelasan

lelang dan dokumen perintah kerja atau kontrak

perjanjian.

-. Dokumen pelaksanaan dan atau pertanggung jawaban

meliputi kwitansi-kwitansi ataupun dokumen-

dokumen lain yang berkaitan dengan proses

pengadaan motor, pembelian, pemeriksaan barang dan

pertanggung jawaban keuangan.

Page 70: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

60  

Catatan : bahwa dokumen-dukumen yang diminta dalam tahap

tersebut masih berupa fotokopi karena yang asli masih berada

ditangan yang bersangkutan. Setelah itu membuat laporan

penyelidikan operasi intelijen yustisial dan matrik hasil operasi.

Bila ditemukan dugaan korupsi masuk ke tahap penyidikan.

Jadi, sebelum dilakukan penyidikan, dilakukan penyelidikan dulu oleh

pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan untuk mengumpulkan “bukti

permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut

penyidikan. Penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindakan

pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa

keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan suatu

tondak pidana.

Kewenangan penyelidik, diatur dalam pasal 5 KUHAP :

a). Karena kewajibannya mempunyai wewenang :

(1). Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.

(2). Mencari keterangan dan barang bukti.

(3). Menyuruh berhenti seseorang yang di curigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.

(4). Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

b). Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa :

1). Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.

2). pemeriksaan dan penyitaan surat.

3). Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

4). Membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.

Page 71: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

61  

Pasal 5 ayat (2) KUHAP mewajibkan penyidik yang tersebut dalam

pasal 5 ayat (1)a itu merupakan kewenangan sesungguhnya yang dimiliki

penyidik atau polri pada umumnya. Pada ayat (1)b dapat dikatakan

kewenangan yang semu karena dapat melekukan tindakan jika ada perintah

penyidik.

Pada tahap penyelidikan kadang-kadang penyidik menggunakan atau

dibantu oleh seorang informan. Informan artinya orang yang memberikan

informasi atau orang yang biasa membantu memberikan suatu keterangan

kepada seorang penyidik yang sedang menyelidiki atau menyidik suatu

tindak pidana tertentu. Sebenarnya bukan hanya informan, tetapi kewajiban

bagi setiap orang untuk menyampaikan laporan atau pengaduan kepada

penyelidik atau penyidik ( pasal 108 KUHAP ) apabila sebagai berikut ini :

1. Mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban

peristiwa yang merupakan tindak pidana;

2. Mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana

terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa terhadap

hak milik;

3. Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang

mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana.

b. Penyidikan

Penyidikan menurut pasal 1 butir 2 KUHAP adalah serangkaian

tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang

dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan

guna menemukan tersangkanya.

Setelah menemukan suatu peristiwa yang di duga terdapat indikasi

terjadinya tindak pidana korupsi, maka penyidik kejaksaan negeri dalam

penyidikan di tuntut untuk :

Page 72: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

62  

• Mencari serta mengumpulkan barang bukti

• Membuat terang suatu tindak pidana, dan

• Menemukan dan menentukan pelakunya.

Mengawali tahap penyidikan, kepala seksi tindak pidana khusus

kejaksaan negeri menerbitkan surat perintah penyidikan yang berisi

personil penyidikan dan dasar penyidikan. Selanjutnya dibuat rencana

penyidikan yang berisi jadwal penyidikan, siapa saja saksi yang akan

diperiksa, barang bukti yang akan dikumpulkan dan arah pertanyaan

terhadap saksi. Secara garis besar rencana penyidikan merupakan blue

print penyidikan. Blue prin berguna sebagai alat kendali, pengawasan, dan

arah penyidikan.

Tahap-tahap penyidikan meliputi :

a. Pemanggilan saksi

Sebelum dilakukan penyidikan sudah dilakukan penyelidikan.

Pada saat penyelidikan, penyelidik sudah meletakkan dasar-dasar

pemeriksaan. Pemetaan terhadap kasus dan saksi-saksi yang akan

diperiksa sudah dilakukan juga dalam tahap penyelidikan. Hal ini akan

memudahkan pemanggilan saksi dalam penyidikan sehingga

pemanggilan saksi yang tidak perlu atau tidak ada kaitannya dengan

perkara dapat dihindari.

Pasal 1 butir 26 KUHAP

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik, penuntutan dan praperadilan tentang suatu perkara pidan yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Dari rumusan pasal 1 butir 36 KUHAP di atas, maka yang disebut

sebagai saksi harus :

a) Seseorang yang mendengar sendiri

b) Melihat sendiri

Page 73: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

63  

c) Mengalami sendiri peristiwa pidananya

d) Orang yang bersangkutan dapat menjelaskan sumber

pengetahuan akan apa yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami

sendiri.

Pemanggilan saksi memuat identitas saksi dan untuk apa saksi

dipanggil. Surat panggilan tersebut ditandatangani oleh kepala Kejaksaan

Negeri (Kajari) atu kepala seksi pidana khusus Kejaksaan selaku pejabat

penyidik.

Pasal 112 KUHAP

(1). Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat pemanggilan yang dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari orang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.

(2). Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

Berdasarkan pasal diatas antara tanggal hari diterimanya Surat

panggilan dengan hari tanggal orang yang dipanggil diharuskan

memenuhi panggilan, harus ada tenggang waktu yang layak ( minimal 3

hari sebelum hari pemeriksaan ). Biasanya penyidik sangat

memperhatikan tenggang waktu pemanggilan karena hal ini berkaitan

dengan konsekuensi yuridis yang mungkin terjadi. Apabila saksi tidak

mau hadir tanpa lasan yang sah dan sudah dipanggil secara layak

sebanyak tiga kali maka sesuai dengan pasal 112 ayat (2) KUHAP

penyidik dapat mendatangkannya secra paksa.

b. Pemanggilan dan Pemeriksaan Tersangka

Pemanggilan tersangka biasanya dilakukan setelah penyidik

memeriksa beberapa saksi dan yakin bahwa seseorang akan menjadi

Page 74: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

64  

tersangka. Terhadap kasus ini penyidik juga menerapkan pola

pemanggilan tersangka seperti uaraian diatas.

Berdasarkan Pasal 112 ayat (1) KUHAP surat panggilan

tersangka memuat identitas tersangka, pasal yang dilanggar dan

ditandatangani oleh kepala kejaksaan negeri atau kepala seksi pidana

khusus selaku pejabat penyidik.

Pada saat penyidik akan melakukan pemeriksaan terhadap

tersangka, penyidik wajib memberitahu kepada tersangka akan haknya

untuk mencari dan mendapatkan bantuan hukum (pasal 114 KUHAP).

Pasal 114 KUHAP

“Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang apa haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasehat hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 56”. Sesuai dengan ketentuan diatas terhadap penasehat hukum yang

mendampingi tersangka dapat dijelaskan dua hal sebagai berikut :

1. Bantuan hukum dari penasehat hukum benar-benar murni berdasar

“hak” yang diberikan hukum kepadanya dengan syarat, tersangka

dianggap mampu untuk mencari penasehat hukum. Pengertian

mampu disini adalah mampu dalam hal materi atau mampu untuk

membayar penasehat hukum. Syarat kedua, disamping tersangka

sendiri mampu, juga tindak pidananya tidak diancam dengan

hukuman mati atau lima belas tahun ke atas atau kalau tidak

mampu, diancam dengan tindak pidana kurang dari lima tahun

(lihat Pasal 56). Pada sisi seperti ini diserahkan kepada kehendak

tersangka apakah dia akan mempergunakan haknya mencari atau

mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum. Kepadanya

diberikan kebebasan untuk menunjuk penasehat yang

dikehendakinya. Jadi apabila ancaman hukuman tindak pidana

yang disangkakan kepadanya kurang dari lima tahun, kepada

Page 75: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

65  

tersangka yang mampu di beri hak untuk mencari dan mendapatkan

penasehat hukum yang disukainya.

2. Pemberian bantuan hukum oleh penasehat hukum, bukan semata-

mata hak tersangka, tetapi telah berubah sifatnya menjadi

“kewajiban” penyidik atau menjadi kewajiban dari aparat penegak

hukum pada semua tingkat pemeriksaan, baik pada tingkat

penuntutan maupun persidangan. Hak tersangka dan kewajiban

penyidik ( aparat penegak hukum ) berjumpa disebabkan beberapa

faktor :

• Tindak pidana yang diancam kepada tersangka / terdakwa

merupakan ancaman hukuman mati atau ancaman pidana

lima belas tahun ke atas;

• Bagi mereka yang tidak mampu untuk mempunyai atau

mendatangkan bantuan penasehat hukum, sedang ancaman

pidana yang disangkakan atau didakwakan kepadanya lima

tahun atau lebih.

Karena ancaman pidana terhadap Tindak Pidana Korupsi di atas

lima belas tahun dan bahkan dalam keadaan tertentu dapat diancam

pidana mati, maka pada saat pemeriksaan tersangka korupsi, wajib

didampingi penasehat hukum. Bahkan apabila tersangka tidak mampu

menunjuk penasehat hukum maka penyidik Kejaksaan Negeri wajib

menyediakan penasehat hukum bagi tersangka.

Sesuai dengan Pasal 115 ayat (1) KUHAP maka penasehat hukum

hanya mendampingi tersangka dalam pemeriksaan secara pasif saja.

Artinya penasehat hukum hanya melihat serta mendengar jalannya

pemeriksaan terhadap tersangka.

Dalam pemeriksaan terhadap tersangka penyidik memeriksa

tersangka berdasarkan unsur-unsur pasal Tindak Pidana Korupsi dan

Page 76: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

66  

dihubungkan dengan keterangan para saksi serta barang bukti yang

didapat.

c. Penggeledahan

Penggeledahan dapat dilakukan terhadap badan atau suatu tempat

yang dicurigai menyimpan hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan

korupsi. Untuk Tindak Pidana Korupsi penyidik jarang melakukan

penggeledahan badan. Yang sering dilakukan adalah penggeledahan

tempat.

Pasal 33 KUHAP

1) Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan;

2) Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisianNegara Republik Indonesia dapat memasuki rumah;

3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya;

4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir;

5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah,, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.

Pasal 33 KUHAP tersebut mengatur penggeledahan dalam

keadaan biasa, sedangkan pasal 34 KUHAP sebagai berikut :

Pasal 34 KUHAP

1) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan : a. Pada halaman rumah tersangka berttempat tinggal, berdiam

atau ada dan yang ada di atasnya; b. Pada setiap tempat lain tersangak bertempat tinggal,

berdiam atau ada;

Page 77: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

67  

c. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; d. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.

2) Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang di duga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidan tersebut dan untuk itu wajib seegera melaporkan kepada Ketua pengadilan Negeri setempat duna memperoleh persetujuannya.

Penyidik sebelum melakukan penggeledahan sudah mendapatkan

informasi dari petugas intel tentang kemungkinan keberadaan hal-hal

yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi disuatu tempat

atau penyidik mendapatkan pengakuan dari tersangka atau saksi stau

penyidik mempunyai dugaan kuat akan hal tersebut. Langkah ini

dilakukan agar penggeledahan mendapatkan hasil yang maksimal.

d. Penyitaan

Sebelum melakukan penyitaan penyidik sudah menginventarisasi

barang bukti yang akan disita dalam rencana penyidikan. Barang-

barang yang akan disita sangat berkaitan erat dengan pembuktian

perkara tindak pidana korupsi. Dimana kemungkinan besar tanpa

barang bukti, perkara tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan. Oleh

karenanya penyidik melakukan penyitaan untuk memperkuat

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.

Pasal 1 butir 16 KUHAP

“Penyitaan adalahserangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan”.

Sebagaimana halnya penggeledahhan KUHAP juga mengatur tata

cara penyitaan. Tata cara ini untuk menjamin hak-hak para pihak yang

Page 78: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

68  

mungkin dirugikan dengan adanya penyitaan dan pengawasan

pengawasan pwnyitaan yang dilakukan oleh penyidik. KUHAP

mengatur tata car penyitaan dal keadaan normal dan dalam keadaan luar

biasa.

Dalam keadaan normal KUHAP memberikan tata cara penyitaan

yang sangat ketat yaitu sebagai berikut :

1. Harus ada “surat izin” penyitaan dari ketua Pengadilan Negeri

Sebelum penyidik melakukan penyitaan, lebih dulu meminta izin

Ketua Pengadilan Negeri setempat. Dalam permintaan tersebut,

penyidik memberi permintaan dan alasan-alasan pentingnya

dilakukan penyitaan, gunna dapat memperoleh barang bukti baik

sebagai barang bukti untuk penyidikan, penuntutan, dan umtuk

barang bukti dalam persidangan pengadilan.

2. Memperlihatkan atau menunjukkan tanda pengenal

Syarat kedua yang harus dipenuhi penyidik, menunjukkan “tanda

pengenal” jabatan kepada orang dari mana benda itu akan disita. Hal

ini perlu agar ada kepastian bagi orang yang bersangkutan bahwa dia

benar-benar berhadapan dengan petugas penyidik (Pasal 128

KUHAP).

3. Memperlihatkan benda yang akan disita

Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang

dari mana benda itu akan disita, atau kalau tidak kepada orang yang

bersangkutan, dapat juga dilakukan terhadap keluarganya. Hal ini

untuk “menjamin” adanya kejelasan atas benda yang disita.

4. Penyitaan dan memperlihatkan benda sitaan harus disaksikan oleh

kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.

Syarat atau tata cara selanjutnya, ada kesaksian dalam

penyitaan dan memperlihatkan barang yang akan disita. Dengan

ketentuan ini, pada saat penyidik akan melakukan penyitaan, harus

membawa saksi ketempat pelaksanaan sita, sekurang-kurangnya tiga

Page 79: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

69  

orang. Saksi pertama dan utama ialah kepala desa atau ketua

lingkungan (ketua RT/RW), ditambah dua orang saksi lainnya (

pasal 129 ayat (1) ).

5. Membuat berita acara penyitaan

Pembuatan berita acara diatur dalam pasal 129 ayat (2), yang

menjelaskan :

• Setelah berita acara selesai dibuat, penyidik membacakan

dihadapan atau kepada orang dari mana benda itu disita atau

kepada keluarganya dan kepada ketiga orang saksi.

• Jika mereka telah dapat menerima dan menyetujui isi berita

acara, penyidik memberi tanggal pada berita acara.

• Kemudian sebagai tindakan akhir dari pembuatan berita

acara penyitaan (penyidik, orang yang besangkutan atau

keluarganya dan ketiga orang saksi masing-masing

membubuhkan tanda tangan pada berita acara).

Apabila orang yang bersangkutan atau keluarganya tidak mau

membubuhkan tanda tangan, penyidik membuat catatan tentang hal

itu serta menyebut alasan penolakan membubuhkan tanda tangan.

6. Menyampaikan turunan berita acara penyitaan

Kewajiban penyidikdalam penyampaian turunan berita acara

penyitaan, pembuat undang-undang sangat cenderung agar tindakan

penyidik dalam melaksanakn wewenang melakukan penyitaan,

benar-benar diawasi dan terkendali.

7. Membungkus benda sitaan

Demi untuk menjaga keselamatan benda sitaan, pasal 130

KUHAP telah menentukan cara-cara pembungkusan benda sitaan,

antara lain :

Page 80: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

70  

• Dicatat beratnya atau jumlahnya menurut jenis masing-

masing benda sitaan. Kalau jenisnya sulit ditentukan,

sekurang-kurangnya dicatat ciri maupun sifat khasnya.

• Dicatat hari tanggal penyitaan.

• Tempat dilakukan penyitaan.

• Identitas orang dari mana benda itu akan disita.

• Kemudian diberi lak dan cap jabatan dan ditanda tangani oleh

penyidik.

Seandainya benda sitaan tidak mungkin dibungkus sesuai

dengan ketentuan pasal 130 ayat (1) diatas, ayat (2) pasal tersebut

menentukan :

• Membuat catatan selengkapnya seperti apa yang disebut pada

ayat (1) diatas.

• Catatan itu ditulis diatas tabel yang ditempelkan atau

dikaikan dengan benda sitaan.

Sedangkan dalam keadaan luar biasa penyitaan dilakukan

dengan prosedur sebagai berikut :

1. Tanpa “surat izin” ketua pengadilan

Penyidik tidak perlu lebih dulu melapor dan meminta surat

izin dari ketua pengadilan, dapat langgsung mengadakan

penyitaan. Dengan demikian bilamana penyidik “harus segera

bertindak” dan tidak mungkin mendapatkan surat izin terlebih

dahulu, dalam keadaan seperti ini penyotaan dilakukan tanpa

surat izin ketua pengadilan negeri.

2. Hanya terbatas atas benda bergerak saja

Obyek penyitaan dalam keadaan yang sangat perludan

mendesak sangat dibatasi hanya ‘Benda bergerak” saja.

3. Wajib segera” melaporkan’ guna mendapatkan persetujuan

Segera sesudah penyitaan, apakah penyitaan berhasil atau

Page 81: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

71  

tidak, penyidik “wajib” segera melaporkan kepada Ketua

Pengadilan Negeri setempat, sambil meminta “persetujuan”.

e. Penangkapan dan Penahanan

Sebelum melakukan penangkapan dan penahanan penyidik

biasanya sudah mempertimbangkan berbagai aspek. Pertimbangan

tersebut dituangkan dalam laporan perkembangan penyidikan yang

disampaikan kepada pimpinan secara berjenjang. Tindakan selektif dan

hati-hati dari penyidik melakukan penangkapan dan penahanan sesuai

dengan uraian pasa 1 butir 20 KUHAP dan pasal 1 butir 21 KUHAP

Pasal 1 butir 20 KUHAP

“penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengengkangan sementara waktu kekbebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Pasal 1 butir 21 KUHAP

“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalm undang-undang ini”.

Penangkapan terhadap tersangaka didahului dengan terbitnya

Surat Perintah Penagkapan yang ditandatangani oleh Kepala

Kejaksaan Negeri ( Kejari ) atau Kepala Seksi tindak Pidana Khusus

sebagai pejabat penyidik. Surat Perintah Penangkapan tersebut

memuat :

• Identitas tersangka ( nama, umur, tempat tinggal, tanggal lahir,

dll ).

• Alasan singkat dilakukannya penangkapa.

• Uraian singkat dilakukannya penegkapan

Page 82: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

72  

• Uraian singkat Tindak Pidana Korupsi yang disangkakan

kepada tersangka.

• Tempat dimana pemeriksaan terhadap tersangka akan

dilakukan.

Setelah dilakukan penegkapan, penyidik harus membuat Berita

Acara Penangkapan dan memberitahukan penengkapan tersebut

kepada keluarga tersangka. Berdasarkan pasal 19 ayat (1) KUHAP

penengkapan hanya dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.

Pasal 19 ayat ( 1 ) KUHAP

“Penagkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, dapat dilakukan paling lama satu hari”.

Setelah batas waktu penangkapan habis penyidik dapat

melakukan penahanan terhadap tersangka. Berdasarkan pasal 22 ayat

(1) KUHAP jenis penahanan dapat berupa :

• Penahanan Rumah Tahanan Negara ( Rutan );

• Penahanan Rumah;

• Panahanan Kota.

Apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan penyidikan

yang belum selesai dapat memintakan perpanjangan penahanan

kepada penuntut umum paling lama 40 hari ( Pasal 24 ayat (2)

KUHAP ). Khusus untuk Tindak Pidana Korupsi yanh diperiksa

dengan ancaman pidana lebih dari 9 tahun, maka penahanan dapat

dimintakan perpanjangan selama 30 hari kepada Ketua Pengadilan

Negeri ( Pasal 29 ayat ( 1,2, dan 3 ) KUHAP. Penahanan teresbut

dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 30 hari yang dimintakan

oleh penyidik secara bertahap ( Pasal 29 ayat ( 2, 4 ) KUHAP ).

Page 83: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

73  

Seluruh masa penahanan dari tersangka dikemudian hari akan

dikurangkan dari jumlah hukuman pidana yang kelak dijatuhkan oleh

Hakim.

Sebagaimana halnya penangkapan, penyidik Tindak Pidana

Korupsi harus mempunyai alasan kuat terhadap penahanan yang

dilakukan terhadap tersangka. Dengan kata lain penahanan tidak boleh

dilakukan secara membabi buta atau bersifat menzolimi. Alasan

penahanan diatur dalam pasal 21 ayat (1) dan (4) KUHAP.

Pasal 21 ayat (1) KUHAP

“Perintah penahanan atau penahanan lanjut dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barng bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.

Pasal 21 ayat (4) KUHAP

“Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal” :

a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;

b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3), pasal 296, pasal 335 ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 yayat (1), pasal 372, pasal 378, pasal 378, pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480 dan pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pasal 23 dan 26 Rechtenordonantie ) pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad tahun 1931 nomor 471, pasal 1, pasal 4 undang-undanh Tindak Pidana Imigrasi ( Undang-undang nomor 8 Drt. Tahun 1955. Lembaran negara tahun 1955 nomor 8 ), pasa; 36 ayat ( 7 ), pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 43 dan pasal 48 undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika ( Lembaran Negara tahun 1976 nomor 37, Tambahan Lembaran Negara nomor 3086 ).

Page 84: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

74  

Alasan penahanan sebagaimana tersebut dalam pasal 21 ayat (1)

KUHAP di atas sering disebut sebagai syarat subyektif penahanan.

Alasan ini hanya ada dalam pikiran penyidik namun sangat

menentukan nasib seseorang. Berdasarkan KUHAP alasan ini sah-sah

saja dan hanya dipunyai oleh aparat penegak hukum ( dalam hal ini

penyidik ) tanpa bisa diganggu gugat.

Alasan penahanan sebagaimana tersebut dalam tersebut dalam

pasal 21 ayat (4) KUHAP diatas sering disebut sebagai syarat obyektif

penahanan. Disebut obyekti karena telah secara limitatif memberikan

batasan yang jelas terhadap tindak pidana apa saja yang dapat

dilakukan penahanan. Karena Tindak Pidana Korupsi diancam dengan

pidana penjara lima tahun, maka ia telah memenuhi syarat subyektif.

f. Pemberkasan

Berdasarkan pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, pada awal penyidikan

sebelum dilakukannya pemberkasan penyidik Kejaksaan harus

memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat

14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.

Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

” dalam hal suatu Tindak Pidana Korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh Kepolisian atau kejaksaan, instansi wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 ( empat belas ) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan”.

Setelah semua tahap yang diuraikan diatas dilalui, maka

penyidik dengan kekuatan sumpah jabatan segera melakukan

pemberkasan terhadap hasil penyidikan. Sesuai dengan pasal 121

KUHAP Berita Acara yang terangkum dalam Berkas Perkara memuat

persyaratan sebagai berikut :

Page 85: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

75  

• Memberi tanggal pada berita acara.

• Memuat tindak pidana yang disangkakan dengan menyebut

waktu, tempat, dan keadaan sewaktu tindak pidana dilakukan,

nama dan tempat tinggal tersangka dan saksi-saksi,

keterangan mengenai tersangka dan saksi (umur, kebangsaan,

agama, dan lain-lain ).

• Catatan mengenai akta dan atau benda.

• Serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan

penyelesaian perkara.

Tahap selanjutnya semua berkas tersebut dijilid dengan rapi

oleh peyidik Kejaksaan Negeri. Berkas tersebut memuat antara lain ;

1. Sampul berkas perkara

2. Daftar isi berkas perkara

3. Resume

4. Laporan polisi

5. Surat perintah penyidikan

6. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP)

7. Berita acara pemeriksaan saksi

8. Berita acara pemeriksaan tersangka

9. Surat kuasa khusus didampingi penasehat hukum

10. Surat perintah penangkapan

11. Berita acara penangkapan

12. Surat perintah penyitaan

13. Surat tanda penerimaan

14. Berita acara penahanan

15. Permintaan persetujuan ijin penyitaan

16. Surat ketetapan persetujuan ijin penyitaan

17. Surat perintah penahanan

Page 86: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

76  

18. Berita acara penahanan

19. Permintaan perpanjangan penahanan

20. Surat perpanjangan penahanan

21. Surat perintah perpanjangan penahanan

22. Berita acara perpanjangan penahanan

23. Daftar saksi

24. Daftar tersangka

25. Daftar barang bukti.

Setelah semua berkas perkara dijilid dengan rapi, maka tahap

selanjutnya semua berkas tersebut diserahkan kepada Penuntut

Umum untuk dilakukan penuntutan.

B. HASIL WAWANCARA

Dalam proses penyidikan perkara korupsi, maka Kejaksaan Negeri

Karanganyar selalu menggunakan prosedur penyidikan perkara sebagaimana

ditetapkan dalam Undang-undang, yaitu berpedoman pada ketentuan UU Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan UU nomor 16 tahun 2004

tentang Kejaksaan RI, antara lain dikemukakan oleh FAISAL BANU, Penyidik

tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Karanganyar, yang diwawancarai tanggal

24 Maret 2010 menyebutkan antara lain sebagai berikut :

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses Penyidikan Tindak Pidana

Korupsi disebabkan oleh faktor internal, yaitu kurangnya atau terbatasnya personil

kejaksaan sehingga menyebabkan problematika didalam penyidikan kasus

korupsi. Di Kejaksaan Negeri Karanganyar sendiri hanya memiliki 11 orang jaksa

penyidik, sedangkan pelaku tindak pidana korupsi semakin meningkat dari tahun

ke tahun. Disamping itu juga terbatasnya pemahaman dan pengetahuan jaksa

penyidik mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai kasus

Page 87: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

77  

korupsi misalnya mengenai ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang atau

jabatan. Faktor eksternal yaitu kurangnya informasi dari masyarakat mengenai

tindak pidana korupsi. Masyarakat yang diharapkan bisa membantu dalam

pengungkapan kasus korupsi justru terkadang malah menjadikan atau memberikan

informasi yang kurang akurat. Karena didalam masyarakat kita selalu ada

perkataan ewuh-pekewuh. Mereka cenderung selalu beranggapan bahwa tidak

mungkin seseorang itu masuk penjara karena saya, padahal orang tersebut sudah

sangat baik sama saya. Itulah yang menyebabkan juga terjadinya problematika

dalam penyidikan.

2. Penyidikan perkara korupsi memang tidak mudah, selain jaksa dituntut harus

memahami ketentuan perundang-undangan tindak pidana korupsi, jaksa juga

harus dapat memahami ketentuan perundang-undangan lain yang berhubungan

atau berkaitan dengan kasus yang terjadi. Misalnya dalam kasus pengadaan motor

dinas oleh PEMDA, maka jaksa harus juga mengetahui seluk beluk tentang

undang-undang yang berlaku dan tata cara pengadaan motor dinas tersebut.

3. Problem lain yang mempengaruhi dalam penyidikan tindak pidana korupsi adalah

bahwa perkara korupsi pada umumnya sangat rumit atau kompleks karena selalu

berkaitan dengan berbagai peraturan, berbagi instansi atau berbagai disiplin ilmu.

Hal ini mempersulit upaya penentuan kualifikasi perbuatan tindak pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi tidak mungkin dilakukan oleh satu orang tanpa melibatkan

orang lain atau teman seprofesinya. Karena tindak pidana korupsi sendiri sudah

termasuk kedalam kategori kejahatan yang terorganisir, yang tidak mungkin

dilakukan oleh satu orang saja tanpa melibatkan orang lain.

4. Kurang lengkapnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Kejaksaan seperti

misalnya alat penyadap, senjata api, alat perekam, juga menjadikan salah satu

problematika dalam penyidikan kasus korupsi yang di sidik oleh jaksa.

5. Pelaku atau subyek hukum perkara korupsi selalu mendapat perlindungan dari

korps, atasan maupun rekan kerjanya, sehingga menyulitkan penyidik dalam

mendapatkan data atau informasi yang terkait dengan perkara tersebut. Kasus-

kasus korupsi umumnya dilakukan oleh orang-orang yang profesional dalam

Page 88: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

78  

bidangnya, sehingga penyidikan harus dilakukan melalui pendekatan multi

disiplin, baik dari segi perundang-undangan yang berlaku maupun petunjuk-

petunjuk teknis dilapangan. Hal ini tentu saja memerlukan waktu yang cukup

lama, memerlukan kecermatan, ketelitian, serta analisa yang cukup mendalam.

Problematika didalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi :

1. Dari segi perundang-undangan itu sendiri, yaitu dengan adanya dualisme

kewenangan penyidikan antara Polisi dan Jaksa, sementara dalam KUHAP

khususnya mengenai tahap-tahap dalam penyidikan juga terdapat problematika

yang antara lain dan biasa terjadi adalah :

a. Problemetika dalam tahap pemanggilan saksi : saksi bertempat tinggal jauh,

identitas saksi tidak lengkap / saksi tidak diketahui alamatnya secara jelas,

saksi sudah tidak lagi bekerja di instansi tertentu (misal saksi bekerja dalam

satu instansi yang terkait dengan kasus korupsi), dan saksi tidak mau

memberikan keterangan. Dalam hal pemeriksaan saksi : yaitu ketika saksi lupa

tentang peristiwanya, saksi tidak lagi memegang atau memiliki dokumen yang

berhubungan dengan si pelaku korupsi, dan saksi sudah tidak lagi menjabat

suatu jabatan yang ada relevansinya dengan perkara tersebut, saksi sakit atau

meninggal dunia sehingga tidak bisa memberikan keterangan.

b. Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka :

-. Problematika dalam hal pemanggilan tersangka, antara lain : ketika

tersangka tidak berada ditempat, ketika tersangka melarikan diri atau

tersangka tidak mau memberikan keterangan.

-. Dalam hal pemeriksaan tersangka problematikanya biasanya adalah

tersangka tidak ada atau tersangka tidak mau diperiksa, dan tersangka

memberikan keterangan yang berbelit-belit. Maka akan dilakukuan upaya

paksa dengan membuat prosedur-prosedur penangkapan dan penangkapan

hanya berlaku selama 24 jam.

c. Penggeledahan

Prosedur ideal dari penggeledahan adalah minta ijin terlebih dahulu kepada

ketua pengadilan negeri tentang akan dilaksanakannya proses penggeledahan.

Page 89: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

79  

Apabila sudah mendapatkan ijin maka langsung dilakukan penggeledahan.

Tetapi apabila tidak mendapatkan ijin dari ketua pengadilan negeri setempat

maka penggeledahan akan tetap dilakukan dengan mengacu pada ketentuan

KUHAP pasal 34 ayat 1 dan 2.

d. Penyitaan

Penyitaan dilakukan ketika saksi/ penguasa tidak mau memberikan atau

menyerahkan dokumen atau surat yang ada kaitannya dengan tindak pidana,

si penyimpan dokumen dengan sengaja menyembunyikan atau memusnahkan

dokumen tersebut.

Tujuan dari penyitaan adalah : menjamin dokumen dalam posisi aman di

tangan penyidik, sehingga pada saat diperlukan di sidang pembuktian

dokumen tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti dipersidangan.

e. Penangkapan dan penahanan, biasanya problematika yang terjadi adalah :

orang tersebut atau si tersangka telah melarikan diri, adanya perlawanan dari

si tersangka maupun orang yang mendukungnya.

f. Pemberkasan

Dalam hal pemberkasan problematika yang dihadapi oleh jaksa adalah :

Membutuhkan waktu ketelitian dan kecermatan didalam menyusun urutan-

urutan di dalam berkas.

2. Ketidakcermatan jaksa penyidik dalam menangani penyidikan kasus korupsi.

Akibatnya, banyak proses penyidikan yang terhambat atau bahkan terhenti dan

tidak terlaksana sebagaimana mestinya akibat ketidakcermatan jaksa. Banyaknya

jaksa yang kurang cermat dalam menangani Penyidikan kasus korupsi, sehingga

dalam proses penyidikannya pun memakan waktu yang cukup lama yang bisa

berakibat si pelaku korupsi melarikan diri, bersembunyi disuatu tempat atau

pelaku bahkan menghilangkan barang bukti hasil kejahatannya tersebut. Padahal

harapan dari masyarakat pada umumnya Jaksa bisa secermat mungkin dalam

menangani penyidikan kasus korupsi, sehingga pelaku korupsi tersebut bisa

dijerat dengan pasal-pasal dan ketentuan yang berlaku.

Page 90: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

80  

3. Rancunya produk perundang-undangan yang berlaku misalnya Undang-undang

nomor 32 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa pemeriksaan terhadap kepala

daerah baru dapat dilakukan setelah mendapat ijin dari Presiden, sehingga proses

penyidikan tindak pidana korupsi menjadi terhambat. Selain itu juga faktor intern

lembaga penegak hukum kurang didukung dengan kemampuan atau

profesionalitas, ketepatan, kecermatan dan kecepatan sumberdaya manusia dalam

menyelesaikan penyidikan tindak pidana korupsi. adanya produk perundang-

undangan yang justru tidak mendukung penyidikan tindak pidana korupsi segera

dapat dilakukan, antara lain surat ijin pemeriksaan bagi pimpinan atau kepala

daerah atau institusi tertentu dari atasan langsung, adanya produk perundang-

undangan didaerah yang justru membuka peluang dan menghambat penyidikan

tindak pidana korupsi, misalnya peraturan daerah (PERDA).

4. Kurang profesionalnya dari jaksa dan sumberdaya manusia yang terlibat dalam

proses penyidikan perkara korupsi tersebut. Hal ini sangat berpengaruh terhadap

proses penyidikan tindak pidana korupsi. seperti di katakan sebelumnya bahwa

proses penyidikan tindak pidana korupsi memanglah tidak semudah yang

dibayangkan, karena proses penyidikan perkara korupsi memang tidak mudah

dilakukan karena disamping ketatnya prosedur birokrasi yang dilalui, minimnya

informasi atau data awal untuk bisa dilakukan penyidikan juga disebabkan data

yang sering hilan atau dihilangkan. Disamping itu juga kurang profesionalnya

sumberdaya manusia sehingga mempengaruhi proses penyidikan tindak pidana

korupsi. Disisi lain perkara-perkara korupsi sulit untuk dideteksi sehingga sulit

juga untuk dilakukan penyidikannya, hal ini disebabkan canggihnya cara-cara

yang ditempuh, baik yang menyangkut masalah pembukuan pertanggungjawaban

dan pekerjaan fisik maupun non fisik. Terbatasnya jumlah personil penyidik dari

kejaksaan atau sumberdaya manusia, kurangnya profesionalitas dan kemampuan

jaksa merupakan kendala yang tersendiri yang erat kaitannya dengan proses

penyidikan.

Page 91: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

81  

C. PEMBAHASAN

Fungsi hukum yang diharapkan adalah melakukan usaha untuk

menggerakakn masyarakat agar bertingkah laku sesuai dengan cara-cara baru

untuk mencapai suatu keadaan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan. Oleh

karena hukum dapat diartikan sebagai cara untuk menyalurkan kebijakan-

kebijakan yang telah diputuskan sebelumnya melalui perumusan kedalam bentuk

perundang-undangan. Sehingga pada gilirannya kebijakan kebijakan tersebut

dapat dikomunikasikan dengan jelas dan terbuka kepada masyarakat dan menjadi

sandaran bagi masyarakat untuk melakukan pelbagai perbuatan hukum

sebagaimana dalam rumusan kebijakan tersebut.

Untuk dapat menunjukkan tujuan dimaksud, maka penuangannya kedalam

bentuk hukum haruslah memenuhi persyaratan tertentu. Kegagalan mewujudkan

salah satu nilai-nilai dalam masyarakat dapat menimbulkan hasil yang tidak sesuai

dengan apa yang menjadi harapan dari isi peraturan tersebut. Sehingga pada

gilirannya kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lain

sebagainya mulai dari tahap undang-undang, penegak hukum , faktor sarana atau

fasilitas, faktor masyarakat dan faktor budaya. Sehingga pada gilirannya, setiap

produk hukum diterbitkan tidak dapat dilihat secara formal semata, melainkan

lebih dari itu. Oleh karena hukum berada dalam bagian kehidupan sosail, bukan

berada diruang hampa. Demikian pula dalam penerapan hukum (produk hukum)

dimaksud, kekuatan-kekuatan sosial mempunyai pengaruh yang sangat besar.

Terlebih untuk dapat diterimanya suatu hukum dengan penerapan hukum yang

maksimal, maka Gustav Radbruch dalam Esmi warassih menyebutkan49 adanya

tiga nilai dasar yang ingin dikejar dan perlu mendapat perhatian serius dari para

pelaksana hukum, yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Oleh karena hukum merupakan bagian dari sistem-sistem yang ada seperti

sosial, politik, ekonomi, maka bekerjanya hukum tidak bisa dipisahkan dari

masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum tersebut. Sehingga dengan demikian

                                                             49 Ibid, hal 13 

Page 92: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

82  

hukum itu mempunyai 2 (dua) sisi, yaitu sisi nilai/ide/keadilan, kedua sisi

kenyataan sehari-hari (realitas sosial). Akibat sering terjadi ketegangan, disaat

hukum diterapkan. Ketika hukum yang sarat dengan nilai hendak diwujudkan,

maka ia harus berhadapan dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi

dari lingkungan sosialnya.50

Untuk menganalisa permasalahan sebagaimana dalam tesis ini, maka

penulis akan berpedoman kepada teori Soerjono Soekanto yang dikenal dengan

teori penegakan hukum yaitu undang-undang, penegak hukum, faktor sarana atau

fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Sehingga pada gilirannya akan

diketahui jawaban dari perumusan masalah yang penulis kemukakan yaitu

mengenai problematika yang dihadapi Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana

Korupsi serta Upaya-Upaya apa saja yang dilakukan jaksa dalam menghadapi

problematika tersebut.

1. Problematika Yang Dihadapi Jaksa dalam Proses Penyidikan Tindak

Pidana Korupsi

a. Undang-undang

Undang-undang dalam arti materiel adalah51 peraturan tertulis yang

berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah.

Dengan demikian, maka Undang-undang dalam meteriel (selanjutnya disebut

undang-undang) mencakup :

• Peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu

golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum disebagian wilayah

negara.

• Peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja.

Hukum dalam bentuk peraturan adalah perwujudan dari kebijakan

publik penguasa, dan kebijakan itu sendiri merupakan proses politik. Hukum

                                                             50 Pramudya. Op, cit. hlm. 6  51 Purbacaraka dan Soerjono soekanto, 1979, dalam soerjono soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi

penegakan hukum, PT. Raja Grafindo, hlm 11 

Page 93: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

83  

adalah produk politik, karena fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan

seringkali diintervensi oleh kekuatan-kekuatan politik.

Dalam hal pembuatan suatu produk hukum, dalam kenyataannya

seringkali merupakan aspirasi dari kelompok elit menuju kelompok massa,

dikarenakan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok elit dimaksud tidaklah

sama dengan nilai-nilai yang dipahami oleh kelompok massa. Meskipun

dalam perkembangannya konsep dimaksud seringkali diterobos dengan

adanya konsep legalitas dari kompromi kelompok-kelompok yang

berkepentingan, meskipun pada gilirannya hal tersebut belumlah dapat

dikatakan adanya suatu jaminann dalam menjawab kebutuhan keadilan rakyat

yang sesungguhnya.

Bila dilihat hukum sebagai suatu bentuk perundang-undangan, maka

dapat disebutkan bahwa hukum merupakan produk politik. Oleh karena

hukum sebagai produk politik, maka Mahfud MD dan Benny K Harman

memandang hukum dari sisi yuridis sosio-politis, yaitu adanya keterkaitan

erat antara hukum dan politik dengan menghadirkan sistem politik sebagai

variabel yang mempengaruhi rumusan dan pelaksanaan hukum. Sehingga

proses dan konfigurasi politik sangat mempengaruhi karakter produk hukum

dan karakter kekuasaan kehakiman52.

Untuk dapat mewujudkan tujuan yang telah diputuskan dalam suatu

bentuk peraturan perundang-undangan, maka penuangannya kedalam bentuk

hukum dimaksud haruslah memenuhi persyaratan tertentu. Lon. L Fuller

dalam Esmi warassih menyebutkan haruslah dicermati apakah peraturan

tersebut memenuhi 8 (delapan) asas atau princples of legality berikut ini :

1. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.

2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat tersebut harus diumumkan. 3. Peraturan tidak boleh berlaku surut. 4. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.

                                                             52 Moh. Mahfud MD. 1998. Politik hukum di Indonesia, Jakarta : LP3ES. Hlm 5-8 

Page 94: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

84  

5. Suatu sisitem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain.

6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dilakukan.

7. Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah. 8. Harus ada kecocokoan antara peraturan yang diundangkan dengan

pelaksanaan sehari-hari.

Dari pasal 284 ayat (2) KUHAP dapat ditarik kesimpulan bahwa ada dua

macam perkara yang wewenang penyidikannya berbeda, yaitu perkara yang

terdapat aturan khusus acara pidananya yang diatur dalam undang-undang

tertentu. Terhadap perkara semacam ini untuk sementara waktu tidak

diberlakukan ketentuan dalam KUHAP. Adapun macam kedua adalah

perkara-perkara pidana pada umumnya yang harus mengikuti ketentuan

dalam KUHAP. Pasal 284 ayat (2) menyebutkan bahwa :

" Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka

terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan

pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana

sebagaimana tersebut dalam undang-undang tertentu, sampai ada perubahan

dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi".

Sementara dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan, yang dimaksud

dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-

undang tertentu "ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut

pada, antara lain : Undang-undang tentang pengusutan, Penuntutan dan

Peradilan Tindak Pidana Ekonomi ( undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun

1955). Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

(Undang-undang nomor 3 tahun 1971), dengan catatan bahwa semua

ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut dalam Undang-undang

tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu sesingkat-

singkatnya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terhadap perkara-perkara

pidana yang tidak diatur dalam undang-undang tertentu yang ketentuan acara

Page 95: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

85  

pidananya berbeda (seperti perkara korupsi, subversi, ekonomi dan

sebagainya), maka semua ketentuan KUHAP berlaku, termasuk dalam

wewenang penyidikan. Dalam soal ini, dapat diambil contoh masalah siapa

yang berwenang melakukan penyidikan. Menurut pasal 6 KUHAP, seperti

telah diuraikan diatas, penidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik

Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang

khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan atas perkara-

perkara pidana umum seperti itu. Wewenang jaksa terutama adalah

penuntutan tetapi dalam perkara korupsi Jaksa dapat juga langsung

melakukan penyidikan.

Ketentuan khusus acara pidana telah dijelaskan pada penjelasan resmi

pasal 284 ayat (2) KUHAP sebagaimana telah dikemukakan di atas. Hal ini

diperjelas lagi oleh Peraturan Pemerintah nomor 27 Tahun 1983. Pasal 17

peraturan pemerintah tersebut mengatur :

"Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut

pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2)

KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang

berwenag lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan".

Jadi disini terdapat dualisme kewenangan antara Polisi dan jaksa. Dalam

kasus korupsi Polisi dan jaksa sama-mempunyai kewenangan untuk

melakukan penyidikan. Hal ini didasarkan pada ketentuan yang berlaku

dalam undang-undang.

Adapun argumentasi mengapa pihak kepolisian berwenang melakukan

penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

1) Bahwa melalui visi dari jawaban pemerintah atas Pandangan Umum para

anggota DPR-GR mengenai rancangan mana diusulkan agar kata "penyidik"

pada pasal 5 diganti dengan kata "Jaksa" sesuai dengan pasal 4 dan 6

Undang-Undang Nomor : 24 Prp 1960, maka jawaban pemerintah dengan

tegas menentukan bahwa karena kewenangan dalam pasal 11,12 dan 13

Randangan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi itu menurut Undang-

Page 96: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

86  

Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok kepolisian

"Negara terdapat pula pada kepolisian negara, maka dipakai kata "penyidik".

Sedangkan pengganti kata "penyidik" oleh "Jaksa" dalam pasal-pasal yang

bersangkutan ini akan menimbulkan kesan seolah-olah jaksalah yang

mempunyai wewenang itu".

2) Bahwa berdasarkan Keputusan Kapolri NOPOL KEP/14/XII/93 dan

NOPOL Skep/15/XII/93 tanggal 13 Desember 1993 tentang penyempurnaan

Pokok Organisasi dan Prosedur beserta susunan personalia dan perlengkapan

badan pada tingkat kewilayahan Polri dan Ditserse Polisi Nopol

TR/211A/VI/95 tanggal 21 April tentang pembentukan bagian Reserse

Tindak Pidana Korupsi pada tingkat Polda besrta unit-unit Reserse Tindak

Pidana Korupsi kepada tingkat Polres/Polresta dimana ditentukan bahwa pada

tingkat Polda dibentuk Kepala bagian Tindak Pidana Korupsi (Kabag

Tipikor) dibawah Kadit Serse sedang pada tingkat Polres/Polresta dibertuk

unit Tipikor dibawah Kasatserse.

3) Ketentuan pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 28 tahun 1997

(LNRI 1997 Nomor 81, TLNRI Nomor 3710) tanggal 7 Oktober 1997 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menentukan bahwa Kepolisian

Negara Repunlik Indonesia yang menerangkan bahwa Kepolisian Negara

Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan

terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan

Peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan mengenai asumsi dasar bahwa pihak Kejaksaan berhak

melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi didukung argumentasi-

argumentasi sebagai berikut :

1) Bahwa sebagia bagian dari hukum pidana khusus (ius singulare, ius

specialle/bijzonder strafrech), maka modus operandi dan aspek

pembuktian tindak pidana korupsi harus ditangani secara lebih spesifik,

sehingga dibutuhkan keterampilan dan profesionalisme tertentu.

Page 97: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

87  

2) Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27

tahun 1983.

3) Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara

yang Bersih dan Bebas dari KKN jo. Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun

1998 tanggal 2 Desember tentang Pemberantasan KKN, yang berisi antara

lain : Pertama segera mengambil tindakan pro aktif, efektif dan efisien

dalam memberantas koruspi, kolusi dan nepotisme guna memperlancar dan

meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka

terwujudnya nasional bangsa Indonesia.

4) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentang

penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang berisi

antara lain kewenangan Jaksa sebagai penyidik tercantum dalam pasal 1,

12, 17, 18, 20, 21, dan 22 beserta penjelasannya.

5) Keputusan Presiden Nomor 86 tahun 1999 Tanggal 30 Juli 1999 tentang

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, dimana dalam pasal 17

disebutkan: " Jaksa agung Muda Tindak Pidana khusus mempunyai tugas

dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan

tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan

pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat

dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana

korupsi, dan tindak pidana khusus lain berdasarkan peraturan perundang-

undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung".

6) Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999 tanggal 16 Agustus 1999 tentang

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana dalam pasal 27 disebutkan

: " Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya,

maka dibentuk Tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa agung".

Akan tetapi justru Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang

Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, memberikan kewenangan kepada

Jaksa untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana korupsi.

Alasan yuridis yang mendasari kewenangan Jaksa melakukan penyidikan

Page 98: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

88  

Tindak Pidana Korupsi dapat ditafsirkan di dalam Pasal 39 ayat (1), pasal 44

ayat (3),(4), dan pasal 50.

b. Penegak Hukum / Birokrat

Sebagai fenomena sosial, hukum tidak berdiri sendiri, tetapi bertautan

dengan subsistem lainnya. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa tatanan

hukum dibangun diantara dua rentang tatanan lainnya, yaitu tatanan

kesusilaan dan tatanan kebiasaan. Meskipun tatanan hukum tidak

sepenuhnya cerminan dari tatanan kebiasaan atau realitas sosial (law as

mirro of sociey), namun hukum belum sepenuhnya dapat melepaskan diri

dari tatanan kebiasaan. Dengan ungkapan lain, proses penjauhan dan

pelepasan diri dari tatanan kebiasaan belum berjalan secara seksama53.

Di sisi lain, penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau

ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah, khususnya

dinegara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidaksesuaian antara

nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan

nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri.

Robert Seidman menyatakan hukum menyatakan para pemegang

peran mampu memberikan motifasi, baik yang berkehendak untuk

meyesuaikan diri dengan norma (conform) maupun yang berkehendak untuk

menyesuaikan diri dengan keharusan norma (nonconform)54.

Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga

masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan

sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara pelbagai

kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflik dan conflik of roles).

Kalau didalam kenyataannya terjadi suatu kesengajaan antara peranan yang

                                                             53 Satjipto Rahardjo, 2006. Loc,cit. hlm.17.  54 Ibid, hlm. 42 

Page 99: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

89  

seharusnya dan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual,

maka terjadi suatu kesengajaan peranan (role-distance).

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat,

yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan

aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan

pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu membawakan atau

menjalankan peran yang dapat diterima oleh mereka. Kecuali dari itu, maka

golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional

tertentu, sehingga menggairahkan partisipasi dari golongan sasaran atau

masyarakat luas.

Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan

yang seharusnya dari golongan panutan atau penegak hukum, mungkin

berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan. Halangan-halangan yang

memerlukan penanggulangan tersebut, adalah :

1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak

lain dengan siapa dia berinteraksi.

2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.

3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga

sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.

4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan

tertentu, terutama kebutuhan material.

5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan

konservatisme.

Dari uaraian tersebut dapat di temukan adanya problematika dalam

proses penyidikan tindak pidana korupsi yang berasal dari penegak hukum

yaitu :

Page 100: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

90  

1. Terdapatnya penghentian Penyidikan Alasan penghentian penyidikan disebutkan dalam pasal 109 ayat (2)

KUHAP, meliputi :

a. Tidak terdapat cukup bukti.

Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut

tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk

membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan kedepan sidang

pengadilan. Atas dasar ketidak cukupan bukti inilah penyidik

berwenang melakukan penghentian penyidikan.

Ditinjau dari satu segi pemberian wewenang ini membina sikap

mental penyidik untuk tidak secara serampangan mengajukan begitu

saja segala hasil penyidikan yang telah dilakukan. Penyidik

diharapkan lebih selektif mengajukan setiap kasus yang mereka

periksa, apakah cukup bukti atau tidak sebelum perkara dilimpahkan

kapada Penuntut Umum.

b. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.

Apabila dari penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat

bahwa apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan

perbuatan pelanggaran dan kejahatan, dalam hal ini berwenang

melakukan penghentian penyidikan. Atau tegasnya, jika apa yang

disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran yang termasuk

kompetensi peradilan umum, jika tidak merupakan pelanggaran dan

kejahatan seperti yang diatur dalam KUHp atau dalam peraturan

perundang-undangan tindak pidana khusus yang termasuk dalam

ruang lingkup wewenang peradilan umum, penyidikan beralasan

untuk dihentikan. Hal tersebut justru merupakan keharusan bagi

penyidik untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan.

c. Penghentian penyidikan demi hukum

Page 101: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

91  

Penghentian penyidikan atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya

sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya

hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII Kitab Undang-

undang Hukum Pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam

ketentuan pasal 76, 77, 78, antara lain :

(1) Nebis in idem, seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk yang

kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, terhadap mana atas

perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan

telah diputus perkaranya oleh Hakim atau pengadilan yang

berwenang untuk itu di indonesia, serta putusan itu telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Tersangka meninggal dunia (pasal 77 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana). Dengan meninggalnya tersangka, dengan

sendirinya penyidikan harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan

prinsip hukum yang berlaku universal pada abad modern, yakni

kesalahn tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalahh

menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang

bersangkutan.

(3) Karena kadaluwarsa, seperti yang dijelaskan dalam pasal 78

KUHP, apabila telah dipenuhi tenggang waktu penutupan seperti

yang diatur dalam pasal 78 KUHP dengan sendirinya menurut

hukum penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi

dilakukan.

2. Kurang Profesionalnya Jaksa

Kejaksaan Negeri karanganyar dinilai kurang profesional dalam

menjalankan tugasanya dalam menangani kasus korupsi. Hal ini dapat

dilihat dalam kasus dugaan korupsi dana peningkatan kerja DPRD

kabupaten Karanganyar senilai 450 juta. Berkas perkara dari Polres

karanganyar sempat dikembalikan sampai lima kali. Padahal menurut

Page 102: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

92  

Purwanto selaku kepala Pengadilan Negeri Karangnyar mengemukakan

bahwa pihaknya sebagai aparat penegak hukum menilai Kejaksaan Negeri

karangnyar tidak profesional dalam menangani kasus dugaan korupsi

tersebut. Menurut dia semua kasus harua ada akhirnya, dan tidak bisa

dikatung-katungkan begitu saja55. Selain itu masih adanya yang masih

bisa disuap.

3. Terbatasnya jumlah personil penyidik dari kejaksaan.

Adanya keterbatasan jumlah personil penyidik Kejaksaan menjadikan

suatu problematika dari penyidikan, karena proses penyidikan yang

diharapkan bisa segera selesai dilaksanakan tetapi karena kurangnya

jumlah personil penyidik maka proses penyidikan tidak bisa selesai

dengan cepat. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah anggota penyidik

kejaksaan karanganyar sendiri hanya 11 orang, padahal di setiap tahun

kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten karanganyar lebih dari 10 kasus.

Hal ini menyebabkan terjadinya beban berat dalam proses penyidikan

sehingga penyidikan berjalan dengan lambat atau bahkan penyidikan

kasus korupsi teresbut berhenti ditempat.

4. Manajemen sumber daya manusia

Sebagai penyidik, kurang profesionalitas dan terspesialisasi, kecermatan

dan kecepatan suatu tim dalam menyelesaikan penyidikan suatu kasus

yang dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana korupsi didukung

dengan kemampuan masing-masing individu penegak hukum atau

petugas. Jadi diharapkan agar penyidik tindak pidana korupsi tersebut

benar-benar merupakan seseorang yang profesional, tepat dan cermat

dalam menangani penyidikan kasus korupsi.

                                                                       55 Purwanto, Kompas, 24 Oktober 2003 

Page 103: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

93  

3. Faktor Sarana atau Fasilitas.

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin

penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana tersebut antara

lain mencakup, tenaga manusiia yang berpendidikan dan terampil,

organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup.

Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan

mencapai tujuannya.

1. Kurangnya sarana dan prasaran yang dimiliki oleh Kejaksaan

Adanya sarana dan prasarana yang belum memadai, ketepatan,

kecermatan, dan kecepatan suatu tim penyidik dalam meyelesaikan proses

penyidikan suatu kasus, selain tergantung pada tingkat profesionalisme

dan spesialisasi masing-masing individu juga memerlukan dukungan

sarana dan prasarana yang memadai yang dapat menunjang keberhasilan

dan kecepatan proses penyidikan. Sarana dan prasarana yang dimaksud

antara lain adalah seperti ruang kerja yang memadai, kendaraan

operasional, alat perekam, alat penyadap, kamera foto, komputer akses

internet, foto kopi, video. Kerena sepanjang pengetahuan penulis ketika

melaksanakan penelitian, Kejaksaan Negeri Karanganyar belum

dilengkapi dengan komputer yang berakseskan internet juga belum

dilengkapi dengan foto kopi.

4. Faktor Masyarakat

    Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari

sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum

Page 104: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

94  

tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk

mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas

(dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah,

bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku

penegak hukum tersebut.

Seseorang dapat diharapkan atau bertingkah laku sesuai dengan

perubahan yang dikehendaki oleh hukum. Bilamana tidak adanya komunikasi

tentang makna peraturan, maka setidaknya masyarakat tetap bertingkah laku

sesuai dengan apa yang telah menjadi pandangan dan ataupun nilai-nilai yang

telah melembaga. Oleh karena komunikasi hukum merupakan salah satu

faktor dalam membentuk pemahaman, penerimaan dan penataan masyarakat

pada isi Undang-undang.

Dalam hal ini setidaknya B. Kutschincky sebagaimana dalam soerjono

Soekanto56 menyebutkan adanya 3 (tiga) indikator dalam hal kesadaran

hukum yaitu :

1. Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum (law awarenes)

2. Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum (law acquintance)

3. Pola-pola perikelakuan (legal behavior).

Untuk memasukkan nilai-nilai baru ke dalam masyarakat memerlukan

perubahan sikap dari anggota-anggota masyarakat. Oleh karena hukum yang

dipakai sebagai sarana untuk merubah tingkah laku tentunya mengandung

nilai-nilai yang telah dipahami benar oleh masyarakat.

Oleh WJ. Chambliss dan RB. Seidman menyebut bahwa adressat

hukum sebagai pemegang peran, yang diminta untuk memenuhi peran

sebagaimana yang diharapkan dalam hukum tersebut. Meskipun dalam

pencapaian peran yang diharapkan tersebut terdapat ketidak cocokkan

dengan peran yang dilakukan. Oleh karena hukum mempunyai suatu fungsi                                                             

56 Soerjono Soekanto, op.cit hlm 159 

Page 105: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

95  

dalam masyarakat, maka hukum merupakan lembaga yang bekerja

dimasyarakat. Dalam hal ini dapat dilibatkan sikap individu anggota

masyarakat terhadap pemahaman dimaksud, sehingga berhasil tidaknya

penerapan yang telah dituangkan dalam bentuk hukum itu dapat dilihat dari

pemahaman yang melatar belakanginya.

Mengacu Soerjono Soekanto, maka apabila dikaitkan fakta dari hasil

penelitian maka akan didapat sebuah problematika penyidikan yang muncul

dari masyarakat, yaitu :

a. Pelaku (subyek hukum) dilindungi Korps, atasan atau temen-temannya.

Pada umumnya kasus-kasus yang berkualifikasi tindak pidana korupsi

ada saling keterkaitan, baik dengan organisasi, atasan maupun dengan

teman-teman pelaku. Sering terungkap bahwa suatu kasus korupsi

dilakukan berdasarkan kebijaksanaan organisasi atau atasan atau juga

memang merupakan kerjasama atau kolusi antar atasan dan pelaku atau

antara pelaku dengan teman-teman seorganisasinya. Untuk menjaga

nama baik organisasi atau untuk melindungi kepentingan atasan itu

sendiri. Pelaku sering menggunakan cara-cara untuk mengaburkan kasus

atau perkara korupsi baik dalam bentuk psikis maupun fisik, berupa

ancaman melalui surat maupun telpon, pemberitaan negatif, unjuk rasa

kepada para penegak hukum.

b. Masyarakat cenderung juga melindungi si pelaku korupsi. hal itu

didasarkan masih adanya perkataan ewuh-pekewuh dalam masyarakat

kita yang mana masyarakat diharapkan dapat membantu proses

penyidikan tetapi karena alasan suatu hal dan ewuh-pekewuh dari

sekelompok masyarakat yang mengetahui adanya Tindaka Pidana

Korupsi tadi proses penyidikan tindak pidana korupsi tidak bisa segera

dilaksanakan dan akhirnya terpaksa mengalami sebuah problematika

yang panjang.

Page 106: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

96  

d. Ada juga masyarakat yang melaporkan tentang terjadinya Tindak Pidana

Korupsi. Seperti hasil wawancara penulis dengan warga masyarakat

"…terhadap kasus-kasus yang menyangkut indikasi penyelewengan

keuangan negara termasuk tindak pidana khusus seperti korupsi, kami

memasukkan pengaduan atau aopran secara tertulis pada kejaksaan

setempat, sedangkan terhadap kasus-kasus tindak pidana umum kami

melaporkannnya kepada kepolosian…" (Wawancara tanggal 30 dan 31

Agustus 2010).

Seperti yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999

tentang Tindak Pidana Korupsi masyarakat dapat berperan serta

membantu upaya dan pemberantasan tindak pidana korupsi, peran serta

masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk :

1. Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi telah terjadi

tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani

perkara tindak pidana korupsi.

2. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab

kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana

korupsi.

3. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan

yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30

hari.

4. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam reformasi adanya dugaan

telah terjadinya tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang

menangani perkara tindak pidana korupsi.

5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum

Jadi, faktor budaya masyarakat disini tidak selalu cenderung melindungi

si pelaku korupsi tetapi juga melaporkan telah terjadinya suatu tindak

pidana korupsi. Masyarakat yang cenderung melindungi pelaku tindak

Page 107: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

97  

pidana korupsi umumnya adalah masyarakat yang mempunyai hubungan

dengan si pelaku saja.

5. Faktor Kebudayaan

  Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor

masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya

diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan

spiritual atau non materiel. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya

mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum hukum yang berlaku, nilai-nilai

yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap

baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).

Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang

mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Kebudayaan

(system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum

yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa

yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk

(sehingga dihindari).

Dengan mendasarkan kepada teori penegakan hukum dari Soerjono

Soekanto, maka faktor kebudayaan yang dimaksud adalah budaya hukum

dari masyarakat tersebut adalah :

1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.

3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

Untuk membangun budaya hukum atau membuat hukum lebih

bertenaga (empowerment hukum) di masyarakat perlu adanya :

Page 108: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

98  

1. Melihat hukum sebagai causa (penyebab) dengan ini maka hukum

diciptakan untuk mengubah masyarakat untuk menjadi lebih baik.

Dengan demikian hukum akan dilihat sebagai suatu mekanisme untuk

melakukan perubahan.

2. Melihat hukum positif dalam perpektif agama sebagai sesuatu yang baik

dan harus ditaati. Dengan ini kita tidak menganggap hukum yang berlaku

di masyarakat semata-mata ciptaan manusia yang selalu salah, namun

melihat bahwa hukum itu adalah subordinasi dari hukum Tuhan yang

diciptakan sebagai perpanjangan hukum Tuhan yang saling terkait.

3. Menganggap bahwa jika kita mencederai hukum maka kita mencederai

manusia lain, jika kita mencederai manusia lain maka kita juga

mencederai Tuhan.

4. Melihat diri kita pribadi sebagai cermin dari aparat hukum (bukan berarti

dengan demikian lalu main hakim sendiri) tetapi dengan berfikir cara-

cara aparat kita akan selalu berusaha untuk menjadi contoh keteladanan.

Sebagai aparat hukum tentunya kita akan aware bahwa kita harus selalu

berperilaku dalam koridor ketentuan hukum.

2. Upaya-upaya yang dapat dilakukan Jaksa Untuk Mengatasi

Problematika Tersebut

Di Indonesia masalah korupsi sepertinya tidak pernah berakhir melanda

kehidupan masyarakat Indonesia. Dari awal Negara Republik Indonesia berdiri

hingga saat ini, pemerintah dan masyarakat senantiasa disibukkan dalam urusan

pemberantasan kejahatan korupsi. Cukup banyak peraturan perundang-undangan

pemberantasan korupsi yang dibuat dan berganti dalam kurun waktu keberadaan

negara ini. Berturut-turut peraturan perundang-undangan silih berganti, mulai

dari KUHP, peraturan Penguasa militer Nomor : PRT/PM/06/1957 tertanggal 9

Page 109: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

99  

April 1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor :

PRT/PEPERPU/013/1958 tertanggal 16 April 1957, Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang Nomor : 24 tahun 1960 (yang disahkan menjadi

undang-undang berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961), Undang-

undang Nomor 3 tahun 1971, Undang-undang Nomor 31 tahun 1999, Undang-

undang Nomor 20 tahun 2001 sampai dengan terakhir Undang-undang Nomor

30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setiap

pergantian atau perubahan perundang-undangan senantiasa didasarkan pada

pertimbangan-pertimbangan bahwa korupsi telah banyak merugikan keuangan

dan perekonomian negara, perundang-undangan yang ada tidak lagi efektif

memberantas tindak pidanna korupsi yang semakin meningkat dan kompleks.

Akan tetapi anehnya, setiap pergantian atau perubahan atas perundang-undangan

pemberantasan tindak pidana korupsi, senantiasa terjadi pada masa-masa

peralihan situasi politik. Apakah hal itu secara kebetulan atau sengaja dijadikan

isu politik untuk men-“suci”-kan diri bagi pemerintah yang sedang berkuasa

ataupun pihak-pihak yang ingin berkuasa, tidak dapat diketahui dengan pasti.

Namun yang jelas, setiap kali terungkap kasus-kasus korupsi yang besar, segera

menyentakkan dan meresahkan masyarakat. Selanjutnya diikuti dengan

peningkatan tuntutan masyarakat agar kasus-kasus korupsi dimaksud segera

diselesaikan melalui proses peradilan.

Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan

Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 didasarkan pada alasan-alasan

sebagaimana dapat dicermati dalam Penjelasan Umum Undang-undang tersebut

yang menyatakan bahwa penegakan hukum untuk pemberantasan tindak pidana

korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami

berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan berbagai metode penegakan hukum

secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai

kewenangan luas, indepanden serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya

pemberantsan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya secara optimal,

intensif, profesional serta berkesinambungan.

Page 110: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

100  

Mengingat pemberantasan tindak pidana korupsi selama ini sudah

dilaksanakan oleh lembaga Kejaksaan, maka menerik untuk dikaji, sejauh mana

peranan kejaksaan dalam pelaksanaan penegakan hukum setelah Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) terbentuk.

Upaya-upaya yang telah dilaksanakan khususnya oleh Kejaksaan dalam

mengatasi kendala-kendala atau problematika tersebut diatas demi tegaknya

hukum dan lancarnya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah :

a. Kejaksaan jika telah menangani suatu kasus tindak pidana korupsi, maka

sebaiknya diberi tembusan surat perintah penyelidikan/penyidikan kepada

Kapolres dan / atau Kapolda, agar tidak terjadi tumpang tindih. Demikian

pula sebaliknya jika penyidik Polri mulai menangai suatu tindak pidana

korupsi, maka harus diupayakan agar Surat Pemberitahuan dimulainya

Penyidikan sesegera mungkin dikirim ke Kejaksaan dengan Tembusan

kepada Kepala Kejaksaan Negeri Setempat.

b. Aparat Kejaksaan harus bekerja secara independen tanpa intervensi atau

dipengaruhi oleh lembaga lain, sehingga hasil penyidikan dan penuntutan

murni mengacu kepada undang-undang yang berlaku.

c. Penanganan kasus-kasus tindak pidana korupsi diselesaikan secara CTT

(cepat, tepat dan tuntas). Cepat artinya tidak berlarut-larut; Tepat artinya

sesuai pedoman yang ada (profesional), dan Tuntas tidak menimbulkan

masalah-masalah yang baru yaitu mempercepat penyidikan dalam waktu 3

bulan sudah harus dilimpahkan ke Pengadilan dan adanya pengendalian serta

pengawasan dari pejabat struktural yang terkait seperti Asisten Tindak

Pidana Khusus / Kepala kejaksaan Negeri / kepala Seksi Tindak Pidana

Khusus dalam kegiatan penyidikan dan kegiatan penuntutan.

d. Jaksa Penyidik dari kejaksaan dalam melakukan penyidikan berusaha

meminta kepada pembuat undang-undang untuk membenahi sistem

perundang-undangan yang ada. Karena tanpa adanya sistem perundang-

undangan yang baik, maka proses penyidikan tindak pidana korupsi tidak

akan bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. Seperti kita ketahui bahwa

Page 111: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

101  

tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa atau

extraordinary crime atau biasa juga disebut dengan kejahatan kerah putih.

Dimana korupsi sendiri merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-

orang yang berkuasa atau Pejabat Tinggi Negara.

e. Mempersiapkan para penegak hukum untuk mempunyai keahlian khusus

dalam menangani tindak pidana korupsi, memberikan pengetahuan tentang

penguasaan hukum dan peraturan-peraturan tindak pidana korupsi kepada

petugas-petugas yang menangani tindak pidana korupsi. Misalnya dengan

mengadakan pendidikan Jaksa Tindak Pidana Korupsi, sehingga ada Jaksa

Khusus dalam menangani tindak pidana korupsi. Mengadakan penataran

kepada petugas-petugas yang terkait dalam penanganan tindak pidana

korupsi untuk lebih menguasai peraturan tindak pidana korupsi. Mengadakan

pertemuan-pertemuan antara sesama penegak hukum dan instansi yang

terkait, untuk mendapatkan kesatuan persepsi dalam penanganan perkara

tindak pidana korupsi.

f. Jaksa penyidik tindak pidana korupsi memberikan bimbingan kepada

masyarakat umum agar melaporkan setiap pelaku kejahatan tindak pidana

korupsi yang mereka ketahui, jangan berusaha melindungi si pelaku korupsi

dengan berbagai alasan. Sebagaimana kita ketahui bahwa peran serta

masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana korupsi sangatlah penting,

mengingat bahwa, pertama, banyak pejabat penegak hukum yang masih ada

hubungan dengan pelaku korupsi pada masa sebelumnya. kedua, hukum

(pidana) mempunyai kemampuan terbatas sebagai sarana untuk

menanggulangi kejahatan (korupsi).

g. Dalam rangkaian tahap penyidikan upaya-upaya yang dilakukan oleh Jaksa

Penyidik adalah :

• Dalam hal pemanggilan saksi

Apabila saksi bertempat tinggal jauh maka harus dipersiapkan

panggilan jauh-jauh hari sebelumnya dengan menggunakan sarana

tercepat. Apadila identitas saksi tidak diketahui secara jelas maka

Page 112: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

102  

jaksa penyidik memnita info kepada orang yang relevan dan bila

saksi tidak bekerja di suatu instansi tertentu maka akan disisir dari

nama kota untuk mengetahui secara pastidimana saksi tinggal, misal

dikelurahan ditanyakan kepada Kepala Desa, RT, atau RW setempat.

• Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka

Apabila tersangaka tidak berada ditempat maka penyidik

memberikan tenggang waktu kepada tersangka dan apabila tersangka

berusaha melarikan diri maka akan dilakukan upaya paksa, tetapi

apabila tersangka memberikan keterangan yang berbelit-belit mak

penyidik tidak akan memaksa tersangka karena itu merupakan hak

ingkar dari tersangka yang harus dihargai.

• Penggeledahan

Prosedur ideal dari penggeledahan adalah meminta ijin kepada ketua

pengadilan negeri setempat, dan setelah itu langsung dilakukan

penggeledahan. Apabila tidak mendapatkan ijin dari ketua

pengadilan maka akan tetap dilakukan penggeledahan oleh penyidik

dari kejaksaan.

• Penyitaan

Penyitaan dilakukan untuk mengamankan barang bukti. Dapun

tujuan dari penyitaan adalah untuk menjamin barang bukti dalam

posisi aman ditangan penyidik, sehingga pada saat diperlulan

disidang pembuktian dapat digunakan sebagai alat bulti

dipersidangan.

• Penangkapan dan penahanan

Dalam hal tersangka melarikan diri maka maka membutuhkan waktu

yang lama untuk bisa dilakukan penahanan karena harus dilakukan

terlebih dahulu pencarian terhadap tersangka ke rumahnya atau

ketempat dia bekerja, apabila tidak ditemukan juga maka akan

Page 113: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

103  

dimasukkan kedalam daftar DPO, jika ketemu maka tersangka

langsung ditangkap.

• Pemberkasan

Upaya jaksa dalam hal pemberkasan adalah bahwa Jaksa akan lebih

teliti dan cermat supaya pemberkasan yang dilakukan tidak terjadi

kesalahan.

Page 114: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

104  

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap masalah yang dada, maka

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Problematika Yang Dihadapi Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana

Korupsi

a. Undang-Undang

Adapun argumentasi mengapa pihak kepolisian berwenang melakukan

penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

1) Bahwa melalui visi dari jawaban pemerintah atas Pandangan Umum para

anggota DPR-GR mengenai rancangan mana diusulkan agar kata "penyidik"

pada pasal 5 diganti dengan kata "Jaksa" sesuai dengan pasal 4 dan 6

Undang-Undang Nomor : 24 Prp 1960, maka jawaban pemerintah dengan

tegas menentukan bahwa karena kewenangan dalam pasal 11,12 dan 13

Randangan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi itu menurut Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok kepolisian

"Negara terdapat pula pada kepolisian negara, maka dipakai kata "penyidik".

Sedangkan pengganti kata "penyidik" oleh "Jaksa" dalam pasal-pasal yang

bersangkutan ini akan menimbulkan kesan seolah-olah jaksalah yang

mempunyai wewenang itu".

2) Bahwa berdasarkan Keputusan Kapolri NOPOL KEP/14/XII/93 dan

NOPOL Skep/15/XII/93 tanggal 13 Desember 1993 tentang penyempurnaan

Pokok Organisasi dan Prosedur beserta susunan personalia dan perlengkapan

badan pada tingkat kewilayahan Polri dan Ditserse Polisi Nopol

TR/211A/VI/95 tanggal 21 April tentang pembentukan bagian Reserse

Tindak Pidana Korupsi pada tingkat Polda besrta unit-unit Reserse Tindak

Page 115: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

105  

Pidana Korupsi kepada tingkat Polres/Polresta dimana ditentukan bahwa pada

tingkat Polda dibentuk Kepala bagian Tindak Pidana Korupsi (Kabag

Tipikor) dibawah Kadit Serse sedang pada tingkat Polres/Polresta dibertuk

unit Tipikor dibawah Kasatserse.

3) Ketentuan pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 28 tahun 1997

(LNRI 1997 Nomor 81, TLNRI Nomor 3710) tanggal 7 Oktober 1997 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menentukan bahwa Kepolisian

Negara Repunlik Indonesia yang menerangkan bahwa Kepolisian Negara

Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan

terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan

Peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan mengenai asumsi dasar bahwa pihak Kejaksaan berhak

melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi didukung argumentasi-

argumentasi sebagai berikut :

1) Bahwa sebagia bagian dari hukum pidana khusus (ius singulare, ius

specialle/bijzonder strafrech), maka modus operandi dan aspek

pembuktian tindak pidana korupsi harus ditangani secara lebih spesifik,

sehingga dibutuhkan keterampilan dan profesionalisme tertentu.

2) Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27

tahun 1983.

3) Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara

yang Bersih dan Bebas dari KKN jo. Instruksi Presiden Nomor 30 Tahun

1998 tanggal 2 Desember tentang Pemberantasan KKN, yang berisi antara

lain : Pertama segera mengambil tindakan pro aktif, efektif dan efisien

dalam memberantas koruspi, kolusi dan nepotisme guna memperlancar dan

meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka

terwujudnya nasional bangsa Indonesia.

4) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentang

penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang berisi

Page 116: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

106  

antara lain kewenangan Jaksa sebagai penyidik tercantum dalam pasal 1,

12, 17, 18, 20, 21, dan 22 beserta penjelasannya.

5) Keputusan Presiden Nomor 86 tahun 1999 Tanggal 30 Juli 1999 tentang

Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, dimana dalam pasal 17

disebutkan: " Jaksa agung Muda Tindak Pidana khusus mempunyai tugas

dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan

tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan

pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat

dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana

korupsi, dan tindak pidana khusus lain berdasarkan peraturan perundang-

undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung".

6) Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999 tanggal 16 Agustus 1999 tentang

pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana dalam pasal 27 disebutkan

: " Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya,

maka dibentuk Tim gabungan dibawah koordinasi Jaksa agung".

Akan tetapi justru Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang

Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, memberikan kewenangan kepada

Jaksa untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana korupsi.

Alasan yuridis yang mendasari kewenangan Jaksa melakukan penyidikan

Tindak Pidana Korupsi dapat ditafsirkan di dalam Pasal 39 ayat (1), pasal

44 ayat (3),(4), dan pasal 50.

b. Penegak Hukum / Birokrat

Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan

yang seharusnya dari golongan panutan atau penegak hukum, mungkin

berasal dari dirinya sendiri atau dari lingkungan. Halangan-halangan yang

memerlukan penanggulangan tersebut, adalah :

Page 117: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

107  

1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak

lain dengan siapa dia berinteraksi.

2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.

3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga

sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi.

4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan

tertentu, terutama kebutuhan material.

5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan

konservatisme.

Dari uaraian tersebut dapat di temukan adanya problematika dalam

proses penyidikan tindak pidana korupsi yang berasal dari penegak hukum

yaitu :

1. Terdapatnya Penghentian Penyidikan

Alasan penghentian penyidikan disebutkan dalam pasal 109 ayat (2)

KUHAP, meliputi :

a. Tidak terdapat cukup bukti.

Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut

tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk

membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan kedepan sidang

pengadilan. Atas dasar ketidak cukupan bukti inilah penyidik

berwenang melakukan penghentian penyidikan.

Ditinjau dari satu segi pemberian wewenang ini membina sikap

mental penyidik untuk tidak secara serampangan mengajukan begitu

saja segala hasil penyidikan yang telah dilakukan. Penyidik

diharapkan lebih selektif mengajukan setiap kasus yang mereka

Page 118: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

108  

periksa, apakah cukup bukti atau tidak sebelum perkara dilimpahkan

kapada Penuntut Umum.

b. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.

Apabila dari penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat

bahwa apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan

perbuatan pelanggaran dan kejahatan, dalam hal ini berwenang

melakukan penghentian penyidikan. Atau tegasnya, jika apa yang

disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran yang termasuk

kompetensi peradilan umum, jika tidak merupakan pelanggaran dan

kejahatan seperti yang diatur dalam KUHp atau dalam peraturan

perundang-undangan tindak pidana khusus yang termasuk dalam

ruang lingkup wewenang peradilan umum, penyidikan beralasan

untuk dihentikan. Hal tersebut justru merupakan keharusan bagi

penyidik untuk menghentikan pemeriksaan penyidikan.

c. Penghentian Penyidikan Demi Hukum

Penghentian penyidikan atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya

sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya

hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII Kitab Undang-

undang Hukum Pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam

ketentuan pasal 76, 77, 78, antara lain :

1). Nebis in idem, seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk yang

kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, terhadap mana

atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili

dan telah diputus perkaranya oleh Hakim atau pengadilan yang

berwenang untuk itu di indonesia, serta putusan itu telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

Page 119: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

109  

2). Tersangka meninggal dunia (pasal 77 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana). Dengan meninggalnya tersangka, dengan

sendirinya penyidikan harus dihentikan. Hal ini sesuai dengan

prinsip hukum yang berlaku universal pada abad modern, yakni

kesalahn tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah

menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang

bersangkutan.

3). Karena kadaluwarsa, seperti yang dijelaskan dalam pasal 78

KUHP, apabila telah dipenuhi tenggang waktu penutupan seperti

yang diatur dalam pasal 78 KUHP dengan sendirinya menurut

hukum penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi

dilakukan.

2. Kurang Profesionalnya Jaksa

Kejaksaan Negeri karanganyar dinilai kurang profesional dalam

menjalankan tugasanya dalam menangani kasus korupsi. Hal ini dapat

dilihat dalam kasus dugaan korupsi dana peningkatan kerja DPRD

kabupaten Karanganyar senilai 450 juta. Berkas perkara dari Polres

karanganyar sempat dikembalikan sampai lima kali. Padahal menurut

Purwanto selaku kepala Pengadilan Negeri Karangnyar mengemukakan

bahwa pihaknya sebagai aparat penegak hukum menilai Kejaksaan Negeri

karangnyar tidak profesional dalam menangani kasus dugaan korupsi

tersebut. Menurut dia semua kasus harua ada akhirnya, dan tidak bisa

dikatung-katungkan begitu saja57. Selain itu masih adanya yang masih

bisa disuap.

                                                                       57 Purwanto, Kompas, 24 Oktober 2003 

Page 120: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

110  

3. Terbatasnya jumlah personil penyidik dari kejaksaan.

Adanya keterbatasan jumlah personil penyidik Kejaksaan menjadikan

suatu problematika dari penyidikan, karena proses penyidikan yang

diharapkan bisa segera selesai dilaksanakan tetapi karena kurangnya

jumlah personil penyidik maka proses penyidikan tidak bisa selesai

dengan cepat. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah anggota penyidik

kejaksaan karanganyar sendiri hanya 11 orang, padahal di setiap tahun

kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten karanganyar lebih dari 10 kasus.

Hal ini menyebabkan terjadinya beban berat dalam proses penyidikan

sehingga penyidikan berjalan dengan lambat atau bahkan penyidikan

kasus korupsi teresbut berhenti ditempat.

4. Manajemen sumber daya manusia

Sebagai penyidik, kurang profesionalitas dan terspesialisasi, kecermatan

dan kecepatan suatu tim dalam menyelesaikan penyidikan suatu kasus

yang dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana korupsi didukung

dengan kemampuan masing-masing individu penegak hukum atau

petugas. Jadi diharapkan agar penyidik tindak pidana korupsi tersebut

benar-benar merupakan seseorang yang profesional, tepat dan cermat

dalam menangani penyidikan kasus korupsi.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

1. Kurangnya sarana dan prasaran yang dimiliki oleh Kejaksaan

Adanya sarana dan prasarana yang belum memadai, ketepatan,

kecermatan, dan kecepatan suatu tim penyidik dalam meyelesaikan proses

penyidikan suatu kasus, selain tergantung pada tingkat profesionalisme

dan spesialisasi masing-masing individu juga memerlukan dukungan

sarana dan prasarana yang memadai yang dapat menunjang keberhasilan

Page 121: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

111  

dan kecepatan proses penyidikan. Sarana dan prasarana yang dimaksud

antara lain adalah seperti ruang kerja yang memadai, kendaraan

operasional, alat perekam, alat penyadap, kamera foto, komputer akses

internet, foto kopi, video. Kerena sepanjang pengetahuan penulis ketika

melaksanakan penelitian, Kejaksaan Negeri Karanganyar belum

dilengkapi dengan komputer yang berakseskan internet juga belum

dilengkapi dengan foto kopi.

4. Faktor Masyarakat

Mengacu Soerjono Soekanto, maka apabila dikaitkan fakta dari hasil

penelitian maka akan didapat sebuah problematika penyidikan yang muncul

dari masyarakat, yaitu :

" Masyarakat cenderung juga melindungi si pelaku korupsi. hal itu

didasarkan masih adanya perkataan ewuh-pekewuh dalam masyarakat kita

yang mana masyarakat diharapkan dapat membantu proses penyidikan tetapi

karena alasan suatu hal dan ewuh-pekewuh dari sekelompok masyarakat

yang mengetahui adanya Tindaka Pidana Korupsi tadi proses penyidikan

tindak pidana korupsi tidak bisa segera dilaksanakan dan akhirnya terpaksa

mengalami sebuah problematika yang panjang".

Seperti yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999

tentang Tindak Pidana Korupsi masyarakat dapat berperan serta membantu

upaya dan pemberantasan tindak pidana korupsi, peran serta masyarakat

dapat diwujudkan dalam bentuk :

1. Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi telah terjadi

tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani

perkara tindak pidana korupsi.

Page 122: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

112  

2. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab

kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana

korupsi.

3. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan

yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30

hari.

4. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam reformasi adanya dugaan

telah terjadinya tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang

menangani perkara tindak pidana korupsi.

5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum

Jadi, faktor budaya masyarakat disini tidak selalu cenderung melindungi

si pelaku korupsi tetapi juga melaporkan telah terjadinya suatu tindak

pidana korupsi. Masyarakat yang cenderung melindungi pelaku tindak

pidana korupsi umumnya adalah masyarakat yang mempunyai hubungan

dengan si pelaku saja.

5. Faktor Kebudayaan

1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.

3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.

2. Upaya-upaya Yang dapat Dilakukan Jaksa Untuk Mengatasi

Problematika Tersebut

a. Kejaksaan jika telah menangani suatu kasus tindak pidana korupsi, maka

sebaiknya diberi tembusan surat perintah penyelidikan/penyidikan kepada

Kapolda dan / atau Kapolres, agar tidak terjadi tumpang tindih. Demikian

Page 123: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

113  

pula sebaliknya jika penyidik Polri mulai menangani tindak pidana korupsi,

maka harus diupayakan agar Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan

sesegera mungkin dikirim ke Kejaksaan dengan tembusan kepada Kepala

kejaksaan Negeri setempat.

b. Aparat Kejaksaan dituntut bekerja secara intervensi atau dipengaruhi oleh

lembaga lain, sehingga hasil penyidikan dan penuntutan murni mengacu

kepada undang-undang yang berlaku.

c. Penanganan kasus-kasus tindak pidana korupsi diselesaikan secara CTT

(cepat, tepat dan tuntas). Cepat artinya tidak berlarut-larut; Tepat artinya

sesuai pedoman yang ada (profesional), dan Tuntas tidak menimbulkan

masalah-masalah yang baru yaitu mempercepat penyidikan dalam waktu 3

bulan sudah harus dilimpahkan ke Pengadilan dan adanya pengendalian serta

pengawasan dari pejabat struktural yang terkait seperti Asisten Tindak

Pidana Khusus / Kepala kejaksaan Negeri / kepala Seksi Tindak Pidana

Khusus dalam kegiatan penyidikan dan kegiatan penuntutan.

d. Mempersiapkan para penegak hukum untuk mempunyai keahlian khusus

dalam menangani tindak pidana korupsi, memberikan pengetahuan tentang

penguasaan hukum dan peraturan-peraturan tindak pidana korupsi kepada

petugas-petugas yang menangani tindak pidana korupsi. Misalnya dengan

mengadakan pendidikan Jaksa Tindak Pidana Korupsi, sehingga ada Jaksa

Khusus dalam menangani tindak pidana korupsi. Mengadakan penataran

kepada petugas-petugas yang terkait dalam penanganan tindak pidana

korupsi untuk lebih menguasai peraturan tindak pidana korupsi. Mengadakan

pertemuan-pertemuan antara sesama penegak hukum dan instansi yang

terkait, untuk mendapatkan kesatuan persepsi dalam penanganan perkara

tindak pidana korupsi.

e. Meminta kepada pembuat Undang-undang untuk membenahi sistem

perundang-undangan yang ada. Seperti yang terdapat dalam pasal 2 dan 3

Undang-undang Tindak pidana korupsi. Jaksa dan Hakim sering bingung

dalam menafsirkan isi dari pasal tersebut. Karena tanpa adanya sistem

Page 124: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

114  

perundang-undangan yang baik, maka proses penyidikan tindak pidana

korupsi tidak akan bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. Seperti kita

ketahui bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang bersifat luar

biasa atau extraordinary crime atau biasa juga disebut dengan kejahatan

kerah putih. Dimana korupsi sendiri merupakan kejahatan yang dilakukan

oleh orang-orang yang berkuasa atau Pejabat Tinggi Negara. Jaksa penyidik

tindak pidana korupsi memberikan bimbingan kepada masyarakat umum

agar melaporkan setiap pelaku kejahatan tindak pidana korupsi yang mereka

ketahui, jangan berusaha melindungi si pelaku korupsi dengan berbagai

alasan.

f. Dalam rangkaian tahap penyidikan upaya-upaya yang dilakukan oleh Jaksa

Penyidik adalah :

• Dalam hal pemanggilan saksi

Apabila saksi bertempat tinggal jauh maka harus dipersiapkan

panggilan jauh-jauh hari sebelumnya dengan menggunakan sarana

tercepat. Apadila identitas saksi tidak diketahui secara jelas maka

jaksa penyidik memnita info kepada orang yang relevan dan bila

saksi tidak bekerja di suatu instansi tertentu maka akan disisir dari

nama kota untuk mengetahui secara pastidimana saksi tinggal, misal

dikelurahan ditanyakan kepada Kepala Desa, RT, atau RW setempat.

• Pemanggilan dan pemeriksaan tersangka

Apabila tersangaka tidak berada ditempat maka penyidik

memberikan tenggang waktu kepada tersangka dan apabila tersangka

berusaha melarikan diri maka akan dilakukan upaya paksa, tetapi

apabila tersangka memberikan keterangan yang berbelit-belit mak

penyidik tidak akan memaksa tersangka karena itu merupakan hak

ingkar dari tersangka yang harus dihargai.

• Penggeledahan

Page 125: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

115  

Prosedur ideal dari penggeledahan adalah meminta ijin kepada ketua

pengadilan negeri setempat, dan setelah itu langsung dilakukan

penggeledahan. Apabila tidak mendapatkan ijin dari ketua

pengadilan maka akan tetap dilakukan penggeledahan oleh penyidik

dari kejaksaan.

• Penyitaan

Penyitaan bisa dilakukan tanpa ijin dari Ketua Pengadilan Negeri.

• Penangkapan dan penahanan

Dalam hal tersangka melarikan diri maka maka membutuhkan waktu

yang lama untuk bisa dilakukan penahanan karena harus dilakukan

terlebih dahulu pencarian terhadap tersangka ke rumahnya atau

ketempat dia bekerja, apabila tidak ditemukan juga maka akan

dimasukkan kedalam daftar DPO, jika ketemu maka tersangka

langsung ditangkap.

• Pemberkasan

Upaya jaksa dalam hal pemberkasan adalah bahwa Jaksa akan lebih

teliti dan cermat supaya pemberkasan yang dilakukan tidak terjadi

kesalahan.

B. IMPLIKASI

Dari hasil kesimpulan diatas, maka konsekuensi yang dapat ditimbulkan

antara lain :

1. Peran kejaksaan pasca pembentukan Komisi Tindak Pidana korupsi bukan

semakin ringan. Profesionalisme dan integritas kepribadian Jaksa menjadi

tumpuan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Kegagalan dan

penyalahgunaan yang dilakukan dalam melakukan pemberantasan tindak

pidana korupsi akan mendorong komisi untuk mengambil tindakan

terhadap aparat Kejaksaan berdasarkan Undang-undang Pemberantasan

Page 126: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

116  

Tindak Pidana orupsi. Apabila problematika yang terjadi pada proses

penyidikan tindak pidana korupsi tersebut tidak segera diminimalisir,

maka akan berpengaruh luas pada upaya pemberantasan tindak pidana

korupsi.

2. Apabila faktor sumberdaya manusia tidak ditingkatkan, maka akan terjadi

stagnasi penyidikan perkara korupsi terutama didaerah, sehingga bukan

tidak mungkin penyidikan kasus korupsi terhambat.

C. SARAN

1. a) Pembuat Undang-undang diharapkan segera melakukan

penyempurnaan berbagai produk Undang-undang yang berkaitan

dengan upaya penanggulangan korupsi, terutama ketentuan-ketentuan

yang justru dapat menghambat proses penyidikan perkara korupsi,

misalnya ketentuan mengenai penyidikan kepala daerah, anggota DPR

dan MPR yang mana disebutkan harus ada persetujuan terlebih dahulu

dari presiden. Ketentuan tersebut hendaknya dirubah menjadi :

Penyidikan terhadap kepala daerah, anggota DPR dan MPR

diberitahukan kepada Presiden”. Jadi, penyidik cukup memberitahukan

adanya penyidikan terhadap pejabat negara tersebut.

b) Pemerintah pusat hendaknya memberikan tambahan jumlah peyidik

khususnya peyidik tindak pidana korupsi pada tiap-tiap Kejaksaan

Negeri dan memberikan fasilitas sarana dan prasarana yang memadai

untuk dilakakukannya penyidikan tindak pidana korupsi supaya hasil

yang dicapai bisa maksimal. Selain itu juga Pemerintah harus berusaha

menaikan gaji pegawai sehingga kehidupan para pegawai bertambah

makmur. Dengan bertambah makmurnya pegawai diharapkan tidak

melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu juga mengadakan

perbaikan-perbaikan manajemen, sehingga memperkecil peluang untuk

terjadinya tindak pidana korupsi. Dari praktek penanganan tindak

pidana korupsi, asal pertama terjadinya tindak pidana korupsi adalah

Page 127: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

117  

dari kelemahan manajemen. Menggiatkan pelaksanaan pengawas

melekat, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan setempat.

c) Aparat penegak hukum hendaknya segera melakukan reformasi

internal, baik secara kelembagaan maupun secara pribadi. Upaya ini

diharapkan dapat mendorong aparat penegak hukum untuk bersifat

secara positif dalam merespons spirit moral dan keinginan Undang-

undang.

2. a) Perlu adanya pedoman-pedoman yang secara khusus dan terperinci

dibuat sebagai dasar proses penyidikan perkara korupsi dilapangan oleh

petugas, sehingga dapat dengan cepat mengidentifikasi perbuatan-

perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

Juga perlu adanya peningkatan profesionalitas sumberdaya manusia

terutama dari penyidik dengan cara melalui program pelatihan baik

ekstra maupun ontra kulikuler, misalnya studi lanjut ke program Strata

II (Magister) dan Strata III (Doktor).

b) Terhadap anggota masyarakat diharapkan agar dapat meningkatkan

peran sertanya dalam membantu upaya penegakan hukum untuk

sebuah penyidikan tindak pidana korupsi pada khususnya. Peran serta

ini dapat berupa kontrol secara aktif terhadap lembaga-lembaga yang

mempunyai potensi tejadinya Tindak Pidana Korupsi maupun

memberikan masukan atau laporan tentang adanta Tindak Pidana

Korupsi. oleh karena itu adanya lembaga swadaya masyarakat yang

peduli terhadap upaya penanggulangan Tindak Pidana Korupsi sangat

diperlukan, karena dapat membantu petugas Penyidik Kejaksaan dalam

melakukan Penyidikan.

c) Memperbaiki moral. Baik moral pegawai, moral penegak hukum dan

moral masyarakat atau rakyat. Sebab bila moral seseorang itu baik

Page 128: PROBLEMATIKA YANG DIHADAPI JAKSA DALAM PENYIDIKAN

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

 

118  

maka orang tersebut tidak akan melakukan perbuatan yang tidak baik,

apalagi melakukan tindak pidana korupsi.