prestâsi edisi 106
TRANSCRIPT
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
1/28
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
2/28
2
Salam sejahtera. Puji syukur ke hadirat Allah swt, shalawat
salam teruntuk Nabi-Nya, Muhammad saw. Siapa bilang
Masisir adem-adem ayem (baik-baik saja tanpa masalah)?
Banyak problem yang membikin kita sekejap menarik
nafas, duduk bersandar, dan ba-ba tersadar diri. Krea-
vitas dan kekuasaan, adalah tonggak dari masalah yang
diangkat oleh kami kali ini. Apa maksud dari berdirinya
kreavitas di sisi kekuasaan? Kreavitas Masisir begitu
banyak dan beragam; mulai dari bidang pendidikan, ke-
budayaan, sampai kesenian. Di ap bidang itu, kenyataan
yang dak banyak kita ketahui adalah adanya kekuasaan
yang di satu waktu dipandang menghambat, dan di waktu
lain malah dipandang progres. Contoh yang nyata di
hadapan kita, di bidang kesenian musik, adalah
Khatuliswa. Bidang kesenian yang satu ini, dalam
sejarahnya, adalah milik Masisir; ia berdiri di kaki sendiri
dan menjadi ajang untuk menumpahkan kreavitas
Masisir tanpa ada batasan ataupun intervensi.
Kita menghadapi satu dilema besar keka Khatuliswa
mulai disusupi pihak sponsor yang ternyata, lambat laun
tampak semakin menguasai. Kami sering mendengar
desas-desus yang sembunyi-sembunyi dari pihak yang
dak puas dengan konsep Khatuliswa kemaren. Dari
adanya desas-desus itulah, kami berinisiaf untuk
membedah dan menghadirkan masalah ini ke permukaan.
Selain itu, menyeluruhnya tema “Kreavitas danKekuasaan” juga menuntut kami untuk mengeksplor
bidang lain selain kesenian, yaitu kebudayaaan dan
pendidikan; baik di wilayah Masisir, Timur Tengah,
maupun Nusantara.
Akhirnya, judul yang menurut kami humorik dan
menyenl tapi mengena adalah: “Republik Rakyat
Tawakal”, dengan asumsi bahwa: keka kreavitas kita
dijajah oleh pihak penguasa tetapi kita diam saja, berar,
kita termasuk dalam gugusan “Rakyat Tawakal”: marah
tanpa protes, mengangguk tanpa mendongak, mengepal
tanpa melawan. Maukah kita berada di gugusan sana?
Selamat membaca!
Pelindung: Ketua KSW│Dewan Redaksi: Nashifudin Luthfi, Muhammad Fardan SatriaWibowo, Lc., Nanang Fahlevi, Fadhilah Rizqi, Iis Isti ’anah, Wais Al-Qorny │Pimpinan Umum: Laila Nur Hi-dayati │Pimpinan Redaksi: Muhammad Samsul Arifin │Pimpinan Usaha: Muhammad Furqon Khoirudin│Sekretaris Redaksi: Izzatun Nafisyah │Redaktur Pelaksana: Aminatuz Zuhriyah, Ni ’matul Majmu’ah,
Ayatullah El-Haqqi │Reporter: Muna Ni ’amy Dzurrohmah, Itta Raisah Fitriyani, Yusuf Fajri │Distributor: Ahmad Zuhdan Maimun, Muhammad Rifqi Syarifuddin │Layouter: Ahmad Rikza Aufaru l Umam│Karikaturis: Darmono │Editor: Choiri ya Safina, Zulfah Nur Alimah, Muhammad Faqih Dlofir
Redaksi menerima tulisan dan arkel yang
sesuai dengan visi misi Bulen.
Krik dan saran, kirim ke FB: Prestasi Ksw
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
3/28
3
Budaya menjadi buk eksistensi manusia. Se-
ap manusia hidup pas berbudaya, sebagai
manifestasi interaksi manusia dengan sesama
dan dengan lingkungannya. Kebudayaan yanglahir dan berkembang di suatu masyarakat ter-
tentu tentu berbeda dengan kelompok
masyarakat yang lain, disebabkan perbedaan
pengalaman hidup dan perbedaan lingkungan
hidup. Yang menjadi poros utama penggerak
terciptanya kebudayaan adalah proses kreavi-
tas.
Manusia seiring berjalannya waktu membentuk
peradaban. Dalam proses tersebut banyak pola
-pola baru yang terbentuk, seper kontrol atas
seap apa yang dihasilkan dari pemikiran
manusia. Kejahatan semacam itu semakin
terorganisir semakin ke sininya. Apa yang kami
temukan saat ini adalah kemungkinan-
kemungkinan tersebut semakin banyak terjadi,
fakta bawa pendidikan yang baik bukan untuk
orang miskin saja sudah merupakan contoh
yang sangat mewakili. Bahkan kita belum sam-
pai pada contoh-
contoh dak mudahnyaberkreasi tanpa ada koneksi ke birokrasi.
Maka dewasa ini, sungguh miris dirasakan bah-
wa proses kreavitas manusia dak diperankan
seutuhnya dalam membentuk kebudayaan. Jika
kita mau sejenak merenungkan apa yang men-
impa budaya di lingkungan kita, akan kita
dapatkan bentuk kemuskilan dalam menya-
lurkan kreavitas. Katakanlah sang seniman
yang memiliki segudang ide kreaf ingin mem-
buat suatu karya tertentu, namun tak dapatmerealisasikannya karena terhalang oleh sebab
pembiayaan. Sedangkan di sisi lain ada seorang
penguasa atau dalam hal ini adalah orang yang
memiliki materi yang dapat membantu sang
seniman, namun harus tunduk patuh sesuai
dengan apa yang diinginkannya atau laku dijual
di pasaran.
Segala bentuk kreavitas dalam menyumbang
perkembangan budaya banyak mendapattekanan dari pihak penguasa, menggiring kita
terhadap ‘’budaya’’ yang mereka ciptakan,
tanpa memberikan kebebasan kepada kita un-
tuk membuat kebudayaan sesuai dengan krea-
vitas yang kita miliki. Sebagai contohnya da-
lam dunia perlman, banyak kita jumpai lm
atau acara televisi yang digarap ala kadarnyatanpa mempermbangkan kualitas yang layak,
bahkan menyuguhkan tontonan yang–bisa
dikatakan–adalah tontonan sampah yang dak
mempunyai manfaat.
Kreavitas yang berisi ide atau gagasan
hakikatnya dapat mendorong perkembangan
manusia apabila dapat diproses dan diaplikasi-
kan dalam bentuk yang konkrit. Perkembangan
manusia akan menjadikan berkembangnya
tatanan sosial dan lebih jauh akan menjadikan
berkembangnya bangsa ke arah yang semakin
baik. Hal ini seharusnya menjadi perhaan bagi
pemimpin ataupun orang yang berkuasa untuk
dapat mendorong terealisasinya hal tersebut.
Tanpanya, perkembangan ini akan sulit ter-
wujud.
Namun, apabila pemimpin menyer laju krevi-
tas individu atau kelompok maka yang terjadi
justru sebaliknya. Masyarakat hanya akan men- jadi kOrban dari produk kekuasaan. Alih-alih
mengharapkan berkembangnya budaya, maju
sejengkal pun dak.
Bermula dari keresahan yang terjadi di
masyarakat itulah tulisan-tulisan di bulen ini
berangkat. Dengan mengangkat tema
‘’Republik Rakyat Tawakal’’ mencoba
menginterpretasikan fenomena sosial yang
menimpa masyarakat. Republik, sebuah kata
yang mengisyaratkan kelompok dalam
kekuasaan tertentu yang kedaulatannya berada
di tangan rakyat. Sedangkan tawakal berar
bentuk kepasrahan paska berusaha yang
nyatanya masih saja dak menuai hasil yang
memuaskan. Jadi dapat disimpulkan bahwa
kebebasan dalam berkreasi yang dimiliki oleh
rakyat dimonopoli oleh orang yang memiliki
kekuasaan atau materi. Sehingga yang terjadi
adalah kreavitas hanyalah sebuah barang da-gangan, tanpa memperhakan esteka sebuah
karya. Begitukah? []
Kreavitas dalam Belenggu Otoritas
Oleh M. Rifqy Syarifuddin
Edi t ori
a l
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
4/28
4
Hingga kini, pamor al-Azhar sebagai universitas
terkemuka dan dahsyat akan keilmuan serta
ulamanya masih bersinar. Masisir tentunya jugameyakini, bahwa fasilitas keilmuan yang dita-
warkan al-Azhar sangatlah melimpah. Dengan
segala potensi yang menjadi sumber kege-
milangan mahasiswa, mengapa belum
terdengar riuh rendah buah kreavitas. Karya
tulis ilmiah–selayaknya idenk dengan Masisir–
pun belum ramai terlihat. Padahal sudah ber-
puluh tahun jejak Masisir menapak.
Berbagai faktor bermunculan menanggapi per-
masalahan di atas. Bisa jadi dimensi internal
Masisir memang belum memiliki daya kreavi-
tas unggul, sehingga terkesan mandul karya.
Kemungkinan lain yaitu, permasalahan terletak
pada dimensi di luar diri mahasiswa yang berar
soal akomodasi atas sebuah karya.
Menilik program kerja di komunitas tertentu,
khususnya yang berkaitan dengan literasi, tentu
memiliki gerakan untuk menciptakan sebuah
karya. Baik berupa ilmiah maupun sastra.Bahkan, dalam lingkup kepengurusan suatu
kekeluargaan, beberapa mencantumkan pro-
gram karya tulis dalam proker. Lain dari pada
itu, bidang lain seper musik, gras dan
olahraga juga cukup subur di Masisir. Kira-kira,
beginilah besarnya kadar gairah berkreasi
Masisir.
Dengan demikian, akan terasa minus jika meni-
kberatkan sebab musabab kasus ini pada di-
mensi internal. Terlebih komunitas sekaligusakvitasnya begitu melimpah dan–bisa
dikatakan–berimbang memenuhi kebutuhan
bakat minat hampir seluruh Masisir. Berat
rasanya menyalahkan mahasiswa atas ken-
yataan ini. Sekarang ada tawaran berpikir,
bagaimana jika kita hidupkan sense kris se-
bagai mahasiswa, dan KBRI adalah objek sasa-
ran pada kesempatan kasus ini?
Penulisan laporan ini bertolak dari asumsi atauanggapan bahwa ada yang salah dengan ken-
yataan ini. Terdengar untuk menghasilkan se-
buah karya tulis, kemudian dicetak dalam ben-
tuk sik, memiliki syarat tertentu: adanya tuli-
san yang dinisbatkan pada pihak pemegangkuasa jabatan. Sebuah syarat yang akan
mencederai integritas mahasiswa sebagai kaum
terpelajar penjunjung moralitas dan idealisme.
Tahun 2014 kemarin, salah satu komunitas
kajian di Masisir, Al-Mizan Study Club
mengajukan sebuah proposal permohonan ban-
tuan dana untuk mencetak buku mereka.
Dengan menghadap Atdik–saat itu dijabat oleh
Bapak Fahmi Lukman–didapatlah sinyal posif
terkabulnya proposal. Namun suasana berubah
pasca mendapatkan harapan tersebut. Men-
gup kesaksian koordinator Mizan, Zulfah Nur
Alimah, ada syarat yang harus dipenuhi pihak
pemohon jika ingin bantuan–sejanya milik
negara, yang kemudian dimonopoli pemilik jab-
atan–dana dapat dicairkan.
Melanjutkan kesaksiannya, Zulfah menuturkan:
“Bapak Atdik menyaratkan agar tulisannya
dimuat, dan dijadikan tulisan pertama dalambuku. Padahal bisa jadi beliau dak memahami
tema yang diangkat: al - Ashâlah wa ad -Dakhîlah
(27/02).” Sebuah tema yang sebagian besar
asing bagi penghuni istana KBRI. Lantas, apa
gerangan yang mendorong seorang–yang
mengklaim diri–pelayan pendidikan untuk
menawarkan syarat yang dak memiliki sangkut
paut dengan karya ini?
Sejak lama kru PRESTâSI mengendus adanya
modus mencurigakan di balik kemandulan karyaMasisir. Melalui metode people trial , sejumlah
kesaksian dari sumber desas-desus ini dikeruk
kemudian digali. Beberapa hipotesis menjelas-
kan, bagaimana dan mengapa hal ini terjadi dan
baru terungkap lebih jelas bentuknya. Namun
pengetahuan ini belumlah cukup memuaskan
hasrat kru PRESTâSI untuk menunaikan hak
publik mendapatkan informasi yang benar.
Langkah lebih jauh pun ditempuh. Misinya,
menemukan petunjuk: sejauh apa kasus dan
siapa dalangnya.
Kebuntuan Kreavitas dan Kesewenangan Kuasa; Kaji Ulang Kasus Masisir vs Atdik
Oleh Furqon Khoiruddin
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
5/28
5
Kasus ini semakin panas keka ada perkem-
bangan baru mengenai objek sasaran. Kabarn-
ya, Mizan daklah seorang diri. Ada dua karya
tulis lain dari dua organisasi yang berbeda be-
rada dalam posisi yang serupa dialami buku
karya Mizan. Keduanya adalah majalah Aar
dan kumpulan cerpen karya salah satu ForumAlmamater Masisir. Jadi, sampai saat ini ada
ga objek kesaksian pada kasus ini.
Jika Mizan memiliki dua pilihan: dana cair
dengan syarat atau menolak, dak demikian
untuk Aar. Memang sempat terdengar kalau
Aar mendapatkan tawaran serupa. Demi me-
menuhi kelengkapan data sebagai referensi, m
redaksi mewawancarai senior Aar, saudara
Muhakam Zain. Beliau mengonrmasi kabar ini
daklah benar dan masih simpang siur. Bolehdibilang kasus yang dialami Aar malahan lebih
kejam daripada diberi syarat tertentu: proposal
ditolak.
Barangkali penolakkan ini bisa diterima pihak
Aar. Akan tetapi alasan penolakan yang
diberikan sangatlah ganjil, lain daripada yang
lain: majalah Aar dak memenuhi standar
jurnalisk. Inilah yang menjadi tanda tanya be-
sar di pihak Aar. Memangnya standar mana-lagi yang harus diterapkan, atau mungkin Atdik
memiliki standar tertentu yang sifatnya ra-
hasia?
Selama ini proses seleksi tulisan dan seluruh
konten bisa dibilang sangat ketat. Terlebih
muatan yang diangkat adalah pemikiran. Tentu
prosesnya dak dibiarkan berkelakar. Berdasar-
kan kesaksian sumber, alasan yang disampaikan
pihak Atdik dinilai daklah profesional; bernu-
ansa polis. Atau faktor terbesar penolakan inibisa jadi sebab “senmen ideologi”. Namun
demikian, pihak Aar tetap memposisikan
penilaiannya pada dugaan, bahkan narasumber
berharap jika asumsi dan kecurigaannya itu
keliru.
Kemudian yang terakhir, kumpulan cerpen milik
salah satu Forum Almamater Masisir, berbeda
dengan dua narasumber lainnya mereka
menerima tawaran dari Atdik. Berdasarkan infoyang didapat dari salah satu senior Forum Al-
mamater tersebut, syarat agar dana bantuan
dicairkan yaitu menyertakan sambutan dan
logo dari pihak Atdik di dalam buku. Suatu hal
yang wajar apabila Atdik menghendaki adanya
logo. Namun, apa urgensi dari sebuah sambu-
tan pan? Apalagi sambutan ini ternyata di-
tulis oleh pihak pemohon akan tetapi atas nama
Atdik. Jangan- jangan alasan mengapa pihak
pemohon diminta menulis sambutan tersebut
lantaran Bapak Atdik dak terlalu mendalami
dunia tulis menulis ksi.
Walaupun terjebak dalam tawaran Atdik di-
mana dana yang disepaka dak turun se-
luruhnya, Forum Almamater tersebut ternyata
cukup cerdik untuk membalas permainan polis
ini. Dari 1000 LE yang cair, hanya dua buku yang
tercantum logo dan sambutan. Sisanya dicetak
sebagaimana rencana semula sebelummengajukan proposal.
Periswa di atas tentu bukan hal baru di jagad
bumi manusia. Mengadopsi teori geopolik
milik Federich Ratzel, apabila seorang pejabat
dak terpenuhi kepenngannya, maka ia akan
melakukan ekspansi di luar dimensi yang sudah
dimiliki. Sejalan dengan kasus ini, keka Pak
Atdik dak mampu mencapai misi pribadinya, ia
akan mencari peluang dari potensi ruang yangtersedia; elemen Masisir.
Teori ruang mengatakan: semakin luas potensi
ruang, makin memungkinkan kelompok
berkepenngan bergerak lebih jauh. Masisir,
dengan ragam tradisi, budaya dan ideologi, ke-
ganya adalah potensi ruang yang memiliki
kemungkinan untuk dimanfaatkan. Baik oleh
pribadi Masisir ataupun pihak luar. Dengan
demikian, siapa pun penghuni KBRI yang berke-
hendak memenuhi kepenngan pribadi ataugolongannya, dan ia dak mampu mendapat-
kannya melalui istana KBRI, maka kega potensi
ruang tadi akan menjadi sasaran. Hal-hal seper
ini kerap kali nampak lebih jelas menjelang
pemilu.
Kasus-kasus “papa p tulisan” mesnya men-
jadi penng bagi seluruh elemen Masisir karena
dengan adanya upaya menipkan kepenngan
pribadi oleh pejabat itu akan melukai harga diridan idealisme–yang seharusnya dimiliki oleh–
mahasiswa. Selengkapnya, hal. 26
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
6/28
6
Banyak cerita yang ironis dari kengerian Orde
Baru (Orba), selalu, dari pembunuhan sampai
pembunuhan. Tapi kita seringkali lupa,pembunuhan di sini nyaris tanpa objek.
Arnya, ia hampir menyeluruh di segala hal
dan bidang. KOrban jiwa mungkin bisa dicatat
oleh pihak invesgator, tapi pembunuhan
karakter, selera, mental, dan seabrek benda
abstrak rakyat Indonesia tak mampu tercatat
oleh skema dan kalkulus. Jika pembunuhan
jiwa hanya menghilangkan nyawa kOrban,
dak dengan pembunuhan karakter, selera,
dan mental. Masyarakat Indonesia hampir bisadikatakan berbudaya tawakal, budaya yang
dalam bahasa Jawa diucapkan dengan ketukan
khas (entah khas orang sabar atau jangan-
jangan khas orang pesimis dan putus asa):
“Nerima Ing Pandum.”
Reformasi 98 dak serta merta
mengembalikan karakter individu rakyat
Indonesia. Kita menghargai kegigihan para
pejuang reformasi itu, para mahasiswa
pemberani itu, tapi perjuangan daklah tuntas
di sana: hanya keka kita usai menyaksikan
Soeharto lengser dari kepemimpinan
kemudian para mahasiswa dengan sorak dan
yel-yel menduduki gedung DPR. Sorak sorai
masihlah jauh dari target. Reformasi masih
bertahan pada pembenahan sik. Fisik? Ya,
sik. Sistem demokrasi diterapkan, hukum
ditegakkan—meskipun masih setengah-
setengah, penyiaran dan penerbitan karya
dak diser lagi. Semua ini masih pada tataran
sik, masih pada kulit. Saat ini, kita masih
belajar menata mental dan karakter, serta
masih mencari identas kebangsaan kita.
Orde Baru memang menyisakan trauma, tapi
lebih sering menciptakan dilema. Tiga puluh
dua tahun bukan waktu yang singkat untuk
membentuk selera sebuah bangsa. Tahun-
tahun yang telah terlewa itu, diam-diam,
telah menciptakan sebentuk nalar, tsaqâfah.Abed Jabiri membedakan dua nalar. Pertama,
akal yang membentuk (al -‘ aql al -mukawwin).
Kedua, akal yang dibentuk (al -‘ aql al -
mukawwan). Akal yang pertama ada lainadalah akal manusia yang membedakannya
dari hewan. Sedangkan akal yang kedua
berar hasil dari aktas berpikir. Hasil dari
aktas berpikir adalah paradigma. Jika
paradigma dipeluk banyak orang untuk jangka
waktu yang relaf lama, itu dinamakan
budaya. Budaya bisa berupa apa saja,
termasuk budaya tawakal dan “nerima ing
pandum” tadi.
Pada ranah layar kaca, kita masih melihat
dampak dari budaya itu. Dulu, Orba menyer
tayangan-tayangan yang ada di televisi.
Konsumsi publik disorr sedemikian rupa.
Sehingga tayangan-tayangan berkualitas yang
seharusnya sampai kepada khalayak, bertahan
di lembaga sensor milik pemerintah. Dalam
jangka waktu yang lama, tayangan televisi ini
menciptakan semacam “budaya selera”.
Alhasil, sampai sekarang (di mana sebenarnya
di internet kita bisa mengakses segala macam
tayangan), tayangan televisi kita didominasi
oleh sinetron-sinetron murahan. Anehnya,
sinetron inilah yang laris di pasaran dan
banyak ditonton oleh masyarakat. Hal ini
memunculkan praduga, bahwa selera Orba
masihlah membudaya sampai saat ini. Kiranya
itu yang dinamakan akal (atau budaya) yang
dibentuk (al -‘ aql al -mukawwan).
Polemik kekuasaan dan kreavitas barangkalisudah dibahas bahkan sejak Orba masih
berdiri. Lumrah kita dengar, sebagai generasi
milenium, cerita tentang penghilangan orang
dan pemenjaraan bukan segelinr akvis
polik maupun budaya. Sebut saja dua
sastrawan besar kita Pramoedya dan Wiji
Thukul. Apa yang terjadi di masa lampau itu
merupakan sebentuk demonstrasi kekerasan
sik. Banyak dari peneli yang sudah
menghitung seberapa banyak kOrban sikyang berjatuhan di rezim Soeharto itu.
Tergilas Roda Orba: Budaya Tawakal Rakyat Indonesia
Oleh M. S. Arin
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
7/28
7
Kebanyakan mereka (peneli), melihat
kekerasan hanya sebatas sik. Tapi abai bahwa
kekerasan yang masih bertahan sampai saat
ini, adalah kekerasan budaya; elan kekerasan
yang mengakar dan turun-temurun sampai
beberapa generasi. Keadaan ini tentu sangat
ironis.
Dari sini kita perlu melihat kekerasan yang
dilakukan oleh Orba dalam dua sisi. Pertama,
dari sisi kekerasan sik. Kedua, dari sisi
kekerasan budaya. Analis mengenai kekerasan
budaya bisa kita temui dari Johan Galtung,
seper yang dikup oleh Wijaya Herlambang
dalam bukunya Kekerasan Budaya Pasca 1965.
Galtung berkata:
“Dengan kekerasan budaya,maksud kami adalah aspek-
aspek kebudayaan, bidang-
bidang simbolis dari
keberadaan kita —seper
agama dan ideologi, bahasa
dan seni, pengetahuan
empiris dan pengetahuan
formal (logika, matemaka)
— yang dapat digunakan
untuk membenarkan ataumelegimasi kekerasan
langsung dan struktural.”
Analisa Galtung ini sangat mendukung untuk
keperluan tulisan ini. Bahwa kita bisa menarik
satu hipotesa: kekerasan sik hanya bertahan
sampai kekerasan itu berakhir, sementara
kekerasan budaya sifatnya lebih tahan lama
dan awet. Tulisan ini bertolak dari hal yang
sedikit berbeda dari Wijaya, tapi ia memiliki
satu k temu: kekerasan budaya. Wijaya
membidik kekerasan itu dari periswa
berdarah G30S PKI 1965, sedangkan tulisan ini,
mengacu pada selera rakyat Indonesia yang
mengalami ndak “kekerasan” pada masa
Orba.
Meskipun berbeda fokus, analisa Wijaya bisa
saya jadikan pijakan. Kekerasan sik yang
dialami oleh PKI saya rasa kengeriannya sudahcukup membuat kita empa. Tapi sekali lagi,
menurut Wijaya, kekerasan sik itu berakhir
tepat dan persis keka kekerasan itu berhen.
Pasalnya, kita tahu dak hanya kekerasan sik
yang dialami oleh kOrban 65, tapi juga
kekerasan mental, budaya, harga diri, dan lain
sebagainya. Kekerasan budaya yang
dilancarkan Orba kepada anak –cucu PKI masihbertahan meskipun secara sik sudah
berakhir. Hal paling ironis dari semua itu
adalah anak cucu PKI menghadapi sgma
negaf; seolah semua mata mengobjek
mereka dengan pandangan sinis sebagai
pemberontak. Sesungguhnya inilah kekerasan
yang paling mengerikan.
Berkaitan dengan tema kita, sampel di atas
melegimasi sekaligus mengukuhkan analisa
saya. Mof pembatasan tayangan dan
kesenian yang layak yang dilakukan oleh Orba
adalah sebentuk kekerasan budaya (lihat lagi
pengeran kekerasan budaya menurut
Galtung di atas). Di sini, analisa psikologi juga
mendukung. Taruhlah kita ambil contoh
seorang anak kecil yang mulai beranjak
dewasa, oleh orang tuanya ia dibatasi dalam
ndakan kreavitas. Ia tak mengenal banyak
bentuk kreavitas dan ia tak pernah melihat
apalagi merasakan kreavitas yang beragam.
Setelah ia dewasa, didikan ini ternyata
membentuk selera. Ibaratnya, orang yang
hanya menger satu kebenaran, sangatlah
sulit mengakui kebenaran yang lain. Orang
yang akrab dengan satu selera, sangat sulit
mengakui selera lain, meskipun selera lain itu
lebih layak.
Alhasil, kekerasan budaya yang dilakukan oleh
Orba membentuk satu pola—yang dalamislah saya: budaya tawakal. Ar singkatnya
adalah sebuah budaya yang mengakui satu
bentuk dan memeluknya secara/dengan puas
tanpa mengakui bentuk lain yang lebih baik
dan layak. Budaya tawakal adalah budaya
“nerima ing pandum”—entah dalam konteks
kepasrahan absolut manusia kepada Tuhan,
atau jangan- jangan kepasrahan total manusia
terhadap penguasanya (yang juga manusia).
Rakyat Indonesia mus lebih banyak mengenaldirinya sendiri. [*]
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
8/28
8
Aksi besar yang dilakukan sebagian besar
rakyat Mesir beberapa tahun silam,mengakibatkan Mesir harus kembali menata
ulang kepemerintahannya. Beberapa pihak
yang berada di pihak Presiden kudeta pun ikut
disingkirkan, walaupun sebenarnya masih ada
beberapa pengikutnya yang menduduki
beberapa elemen pemerintah. Ibarat bagunan
kokoh, dirobohkan, kemudian ingin
mengembalikan bangunan itu seper semula,
dak serta merta langsung kokoh. Ada proses
dan waktu yang dibutuhkan. Begitu puladengan Mesir yang harus menata ulang
kepemerintahannya sejak terjadinya revolusi.
Penataan di sini, bukan dimaksudkan penataan
dalam aran struktur eksekuf ataupun
legislaf, tapi sebuah tatanan kestabilan.
Dalam proses menuju kestabilan sekaligus
kemajuan inilah, suatu negara disebut negara
berkembang. Atau bisa dikatakan Mesir sedang
dalam masa pemulihan.
Mesir telah mendaku dirinya sebagai negara
demokrasi yang berdaulat kepada rakyat.
Bukan lagi menjalani kepemerintahan otoriter
seper yang telah dipimpin Hosni Mubarak
selama 32 tahun lamanya. Kala itu semua
elemen yang berhubungan dengan negara dan
rakyat diser oleh satu kepala. Mulai dari segi
polik, pendidikan, ekonomi, sosial sampai
pers atau sekarang lebih akrab disebut dengan
media. Secara langsung ataupun dak
langsung, kekuasaan represif yang seper ini
membatasi kreavitas masyarakatnya.
***
Kreavitas dalam diri seap insan bagaikan ruh
penggerak akal dan jiwa. Jika perkataan “ jika
saya berpikir maka saya ada”, maka jika saya
berkreavitas maka saya hidup. Terlalu
berlebihan mungkin, tapi jika kekangan dan
perasaan takut kepada penguasa sampai
merenggut daya kreavitas bahkan gerak dan
langkah menjadi terbatas, maka di saat itulah
seseorang harus bangkit secara nyata.
Menyoal tentang kreavitas dan kekuasaan diMesir, berar menyoal tentang penguasa dan
rakyatnya. Walaupun pemegang pemerintah
telah bergan tangan, masih ditemukan laku
kekuasaan represif oleh penguasa. Salah satu
contohnya dalam dunia media. Ada beberapa
media besar di Mesir yang pro pemerintah.
Sehingga dalam pemberitaannya, terbatas
pada hal-hal normaf. Pun berita tentang
kepemerintahan dan kenegaraan yang
disampaikan dak mencengangkanpembacanya. Sebut saja Al Youm As Sabi’, Al
Ahram dan Shorouk.
Periswa bom yang terjadi pada 21 Januari
2016 di dekat kawasan wisata, Pyramid, dak
ada satu pun dari media-media tersebut
memberitakan hal ini. Padahal periswa bom
di Mesir akan cukup mencuri perhaan publik
baik dari kalangan dalam maupun
mancanegara. Perhaan akan memusat padaperiswa itu dan kewaspadaan secara langsung
akan ditanamkan dalam diri.
Jika kita cerma dari pembenaran laku ini,
barangkali alasannya ada pada segi menjaga
citra negara di hadapan publik. Terlebih, Mesir
merupakan salah satu negara yang banyak
dikunjungi pelajar dan wisatawan dari berbagai
belahan dunia. Pun bahwa negara ini sedang
menjalani masa pemulihan dan
perkembangan, menjadi salah satu faktorutama. Sehingga menjadi penng untuk tetap
‘terlihat’ stabil dalam hal keamanan negara
agar birokrasi tetap berjalan sebagaimana
mesnya. Karena ancaman keamanan akan
banyak merampas minat wisatawan. Dan jika
hal ini terjadi, tentu berdampak pada aspek
ekonomi Mesir yang sebenarnya dak kunjung
stabil.
Selain itu dari sisi media pro pemerintah, sebutsaja Al Ahram yang menerbitkan surat kabar
dalam ga bahasa. Diantaranya Al Ahram
Cedera Pers di Mesir
Oleh Choiriya Sana
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
9/28
9
1hps://www.sadda.co/Egypt/566289.html
2hp://www.aljazeera.net/news/cultureandart/2012/3/2
3hps://id.wikipedia.org/wiki/Pers_Indonesia
berbahasa Arab, Al Ahram weekly berbahasa
Inggris dan Al Ahram Ebdo berbahasa perancis.
Distribusinya meluas hingga Amerika dan
Eropa. Mengingat dari segi pembaca yang luas
maka tak heran jika citra negara pun kembali
menjadi faktor permbangan.
Namun jika kita cerma dari sisi lain, persoalanpembatasan ruang gerak pers lah yang kita
temukan. Kreavitas berpikir dan gerak
akvitas insan pers berada dalam ambang.
Insan pers merasa dilema loyalitas dari dua
arah sekaligus. Jelas, dalam persoalan inilah
pers dan fungsinya tercederai oleh hegemoni.
Dalam UU pers no 40 tahun 1999, pers adalah
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa
yang melaksanakan kegiatan jurnalisk
melipu mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan,
mengolah dan
menyampaikan
informasi baik
dalam bentuk
tulisan, suara,
gambar, suara
dan gambar,
serta data dan
grak maupun
dalam bentuk
lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik
dan segala jenis saluran yang tersedia.
Selain itu pers dalam negara demokrasi hadir
sesuai wataknya, seharusnya. Demokrasi
dengan konsep kedaulatan rakyat dan watak
kebebasan seharusnya sudah diterapkan Mesir
sejak pernyataannya sebagai negarademokrasi. Selain perkara pemberitaan,
beberapa waktu lalu dalam seminarnya di
Cairo Internaonal Book fair, Sayid Wakil,
novelis sekaligus krikus mengatakan bahwa
“Mesir tengah mengalami krisis kris dan
kreavitas dan otoritas kekuasaan dak
sejalan.”1 Beliau mengkaitkan kris dengan
wujud kreavitas. Baginya, wujud kreavitas
seorang penulis atau lebih spesiknya novelis
adalah segi krik mereka. Baginya banyaknovel-novel yang terbit tanpa kreavitas baru
yang berbeda. Metode yang digunakan masih
dalam taraf normaf dan cerita imajinasi pada
umumnya. Hal ini ia indikasikan sebab adanya
otoritas kekuasaan, pun secara tersirat masih
ada bias katakutan hegemoni diktator yang
mengakar dalam diri mereka. Padahal Sayid
Wakil menjelaskan bahwa kreavitas dan
kekuasaan dak sejalan. Seharusnya kedua inimenduduki ruangnya masing-masing tanpa
saling bertemu.
***
Kebebasan pers erat kaitannya dengan
demokrasi. Dampak dari hegemoni penguasa
dalam beberapa segi kehidupan yang jarang
memberikan legimasi kepada masyarakatnya
dak lain akan terjadi kesewenang-wenangan.2
Masyarakat akan memberontak sistem
kenegaraan dan kericuhan pun terjadi. Maka
stabilitas
nasional
terancam. Dan
independensi
pers pun
semesnya
diperjuangkan
oleh insan-
insan pers.Seper yang
terjadi di
Indonesia pada
akhir tahun 1998 sampai awal tahun 1999,
insan pers gencar memperjuangan RUU pers.
Mengup jargon kala itu “biarkan pers
mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa,
sehingga dak ada lagi campur tangan
birokrasi.” Dari sini kesadaran berdemokrasi
diwujudkan dalam laku nyata, bukan sekedarwacana. Karena dengan kebebasan pers,
terjadilah check and balance dalam kehidupan
bangsa dan bernegara.3 Jika demikian, maka
demokrasi dalam suatu negara mewujud nyata
layaknya prinsip negara demokrasi, dari rakyat,
oleh rakyat, untuk rakyat.[_enbe]
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
10/28
10
Sudah umum bahwa Khatuliswa adalah salah
satu acara pagelaran seni-musik yang berjalan
di Masisir, suatu gerak kreavitas yang bisadikatakan sebagai satu-satunya ruang ekspresi
yang intens dalam kesenian musik. Ia sekaligus
pula menjadi sebentuk kegiatan yang dapat
menjadi contoh dari satu-dua ragam kreavitas
Masisir, yang tengah ramai-ramai dibangun;
sebuah iklim seni-budaya yang lahir dari rahim
Masisir. Di mana mereka —sekelompok subjek
yang mengekspresikan identasnya melalui
musik—
bukan lagi menjadi“kelainan
”ter-hadap orientasi sosial Masisir. Ada alur berpikir
yang sederhana di sini: bahwa bermusik dak
melulu sebagai bentuk hiburan yang serta mer-
ta menghilangkan identasnya sebagai maha-
siswa al Azhar, namun ia dapat menjadi jalan
tengah dan jalur alternaf komunikasi antar
subjek keka pergolakan sosial dan friksi aga-
ma yang dak lagi mampu menemukan benang
merahnya. Maka adanya Khatuliswa di tengah
-tengah dinamika Masisir, mendapatkan ar
penngnya, bahwa ia dak diam.
Hanya, kedak-diam-an dalam pagelaran
Khatuliswa yang terlihat hari-hari ini, dak
menjamin bahwa ia benar-benar hidup. Dalam
pengerannya, bahwa ada semacam
pergeseran orientasi yang terjadi di sini, keka
melihat awal lahirnya Khatuliswa. Pergeseran
watak ini yang –bagi penulis– membingungkan,
karena mula-mula ia terbentuk dari adanya
kesadaran terhadap penngnya posisi kesenian
musik di Masisir; bahwa ia bukan hanya dipan-
dang sebagai instrumen kesenangan atau se-
bentuk penyaluran hobi, tapi juga sebagai
penegasan sikap pada apa yang “rasional” dan
suatu yang “irasional”, sehingga pada saat itu
Khatuliswa menjadi ruang berekspresi yang
bebas dan jujur, yang semua elemen terlibat di
dalamnya. Namun pada perjalanannya,
pengeran yang sedari awal terbentuk ini mu-
lai layu dan mengering, keka kebebasan ek-
spresi ini dirayu untuk bergaul dengan kema-
san yang bersifat lebih “elegan” dan
“profesional”. Puncaknya terjadi pada Khatu-liswa ke-tujuh, di mana seap elemen dipaksa
memenjarakan dirinya sendiri dalam jeruji
kedakmampuan mereka atas ekspresi musik
yang dinilai tak elegan dan tak profesional.
Tidak salah keka profesionalisme itu dihadir-
kan dalam bidang atau kegiatan apapun, ter-
lebih dalam pagelaran besar seper Khatulis-
wa -yang dalam bahasa kswmesir.org merupa-
kan acara paling “spektakuler” se-Masisir. Bah-
wa tuntutan untuk profesional menjadi sebuah
keharusan di sini dan menjadi modal utama
bagi mereka yang ingin berada di atas
panggung. Hanya saja, bentuk profesionalisme
itu yang menyebabkan batas-batas keberjara-
kan semakin jelas: dengan profesionalisme itu,
kegiatan yang–katakanlah–sederhana dan
inklusif (dalam mengekspresikan kreavitas)
berubah sebentuk kegiatan yang “eksklusif ” tur
“selekf ”; sebuah “kebebasan” yang menis-
cayakan “tuntutan”; lalu kemudian menjadi
suatu gerak kreavitas yang “keberadaan” -nya
menjadi “keadaan” -nya. Sehingga pada
akhirnya bentuk yang seper ini dapat menjadi
—meminjam islah kawan sebagai— “bom
bunuh diri” bagi keberadaan Khatuliswa yang
saat ini tengah dibangun eksistensinya.
Kegandrungan akan islah “profesionalisme”
juga menjadi problemak dan harus mendapat
perhaan, keka itu berbicara mengengenai
gerak kreavitas yang terjalin dalam Khatulis-
wa saat ini. Di mana menjadi profesional bera
paham dalam bidang yang digelunya, tanpa
harus kehilangan sifat konsisten serta kompe-
ten terhadap persoalan yang terjadi di seke-
lilingnya. Dengan kata lain, profesionalisme
merupakan pengalaman di mana ia paham
akan batas-batas yang menjadi wilayah keahl-
iannya. Namun paradoksnya adalah terjadinya
Khatuliswa: Budaya Dominan yang Klise
Oleh Wais al -Qarny
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
11/28
11
kedakpahaman —untuk dak menyebut dak
profesional— dalam mengambil keputusan
siapa yang akan mewakilkan Masisir
(Khatuliswa Project ) dalam pagelaran Khatu-
liswa ke-tujuh. Di sini dak ada penyeleksian
yang selekf -inklusif keka menentukan siapa
Masisir yang berhak di atas panggung, sehinggatentu saja keputusan yang dihasilkan sangat
klise: bersifat anitas dan rasa saling keco-
cokan.
Interelasi, kedekatan, rasa saling cocok dan
segala bentuk yang menjadi ego sepihak, sed-
aknya itu yang akhir-akhir ini sangat terasa da-
lam Khatuliswa. Selama itu cocok, sama-sama
kenal dan sedaerah, selama itu juga permasala-
han selesai. Jika demikian, apakah kemudianKMC (Khatuliswa Monthly Café) yang digelu
secara serius seap bulannya, seolah tampak
tak menjadi bagian di dalamnya? Di sini KMC
bukanlah suatu yang lain dari seap kreavitas
seni-musik Masisir, yang kemudian diposisikan
sebagai suatu ajang penilaian terhadap suatu
kreavitas. Namun, bagaimana ia berangkat
dari bawah keka kebebasan kreaf dicoba
untuk diekspresikan dan dikembangkan, bukan
lagi untuk dinilai lalu dipersepsikan secara
ekonomis. Maka akan terlihat lugu di sini,
keka konsep Khatuliswa dituntut untuk
profesional, namun secara bersamaan,
kemeriahan yang terlihat di atas panggung
bukanlah hasil dari keputusan yang selekf dan
inklusif. Karena pada akhirnya, konsep ini akan
berujung klise yang mudah ditebak, dan mau
dak mau keberadaan KMC di sini ibarat
sebuah “permen” bagi seorang anak kecil yangsedang menangis.
Sampai di sini, sedaknya apa yang terlihat
dalam Khatuliswa adalah betapa keberjarakan
itu terbalut dalam budaya “suka sama suka”.
Budaya yang diam-diam memiliki efeknya yang
serius, bukan saja karena kegandrungan mere-
ka terhadap yang “profesional”, sehingga masi-
fnya keberadaan KMC yang terlihat, seolah
tampak seper penghibur pada seorang anak,namun di saat yang sama budaya yang ber-
landaskan hubungan anitas: selama kita dak
suka kau dak ada, menjadikan gerak kreavi-
tas di tempatkan dalam persepsi pasar. Sebuah
persepsi di mana keuntungan menjadi priotas
utama yang ditandai dengan nilai “standarisasi”
jual. Betapapun masifnya kegiatan KMC yang
terlihat, selagi itu dak memiliki nilai jual untuk
dipromosikan, maka jangan berharap besarket panggung Khatuliswa akan diberikan.
Sehingga apa yang seorang kawan katakan
seolah mendapat pembenarannya: di mana ada
budaya pasar dalam gerak kreavitas, di situ
kreavitas akan terjebak pada lingkaran
“standarisasi” untung-rugi, selebihnya menurut
pada besarnya modal yang diberikan.
Mungkin ini adalah sebuah ironi keka
mengama kondisi kesenian musik di Masisir,terkhusus Khatuliswa sebagai hajat tahunan
dalam kesenian musik. Kondisi di mana saat
gerak kreavitas musik tengah ramai-ramai
dibangun, keka bentuk kesenian-musik
Masisir sudah mulai mengenal diri, lalu kemudi-
an mencoba membangunnya dengan berbagai
macam kegiatan kreaf, dengan dimensi ruang
ekspresi masing-masing. Hanya saja keka
gerak kreavitas yang tengah berjalan ini, ser-
ing kali dak searah dengan bentukan awal.
Kedaksearahan gerak kreavitas di berbagai
kegiatan bukan hal mustahil untuk dak ada,
tapi bukan di situ poinnya, melainkan pada apa
yang melatarbelakangi bentuk kreavitas itu
sendiri, semacam ada “sentuhan” dari luar . Ini
yang pada akhirnya membuat gerak kreavitas
akan terganggu, dan dak mustahil jika ter-
jadinya cover -up dalam konsep, pola dan ide
gagasan yang sedari awal pengeran sudahterbentuk.
Pada posisi yang demikian, dunia kesenian
musik Masisir memang dak memiliki jalan lain
selain jalan buntu bagi mereka yang mengek-
spresikan intelektual seninya melalui musik.
Sebuah jalan yang ditutup dengan tembok bu-
daya dominan–“budaya pasar”. Dan keka
gerak kreavitas ini ingin keluar, maka jalan
terakhir adalah mendobraknya. []
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
12/28
12
Prolog
Kreavitas adalah hal mutlak yang diperlukan
oleh kehidupan untuk mencapai kemajuan. Ia
merupakan faktor pembaru yang memung-
kinkan entas baru hadir. Sesuai dengan mak-
na emologinya yang dalam bahasa Arab di-
wakilkan dengan kata al -ibdâ' yang berkaitan
dengan inovasi dan progresivitas.1 Melaluinya
keberagaman entas terungkap. Kehidupan
bukanlah panggung dengan bentuk penampi-
lan yang stagnan dan rigid. Namun, ia selalu
memberikan bentuk penampilan yang beru-
bah, yang terungkap setahap demi setahap
melalui proses kreavitas. Dari sini kita bisa
mengatakan, bahwa kreavitas memiliki karak-
ter luwes dan bebas. Kreavitas yang merupa-
kan penggerak perubahan memerlukan
keluwesan untuk keluar dari segala stagnansi.
Dan ia membutuhkan kebebasan untuk
mengembara di hamparan cakrawala baru,
menemukan hal-hal baru.
Kreavitas dengan karakternya ini, sebagaima-
na yang direkam oleh sejarah, sering kali bersi-tegang dengan kekuasaan. Tak jarang, otoritas
kekuasaan yang mapan diresahkan, di-
goyahkan hingga dirubuhkan oleh kreavitas.
Seper halnya yang terjadi antara kaum gereja
dengan para ilmuan pada masa kegelapan.
Kreavitas dak hanya memasuki zona daya
cipta seni; puisi, prosa, lukis, pahat, musik dan
lain sebagainya. Lebih luas dari itu, ia juga ber-
sangkutan erat dengan daya krik yang mam-
pu mengendusi berbagai bentuk kejanggalan.
Demi eksistensi, sang pemilik kuasa tentu tak
akan diam. Dalam sejarah kita lihat bagaimana
penguasa meletakkan batas-batas yang tak
boleh dilampaui oleh masyarakat baik pemikir,
seniman maupun orang awam sekalipun dalam
ruang gerak kreavitasnya. Kekuasaan menun-
jukkan wajah represifnya, wajah aslinya. Ia pun
berubah menjadi kesadaran polik; polik
kekuasaan yang dilegimasikan sehingga mam-
pu mewajibkan masyarakat publik untuk tun-
duk menaanya. Bahkan, kesadaran ini pun
tetap menyusup dalam sistem polik yang
menjunjung nggi demokrasi, mengaung-
ngaungkan kebebasan dengan beragam ben-
tuknya.2
Dan relasi inilah yang akan kita diskusikan da-
lam pembahasan ini untuk melacak secara
singkat perjalanan geneologis antara kuasa dan
kreavitas, sekaligus menyingkap tabiat yang
dikandung oleh keduanya.
Otoritas Kuasa dan Polik Kreavasitas
Untuk membincang permasalahan ini, kita
akan memulai dengan kata polik. Kata ini da-
lam bahasa Arab diwakilkan oleh kata siyâsah
yang secara emologi bermakna mengontrol,
mengarahkan dan memperbaiki. Polik dengan
karakter reformisnya ini, membuatnya
Otoritas Kuasa dalam Masyarakat; Kreavitas sebagai Solusi
Oleh Zulfah Nur Alimah
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
13/28
13
beriringan dengan makna kebaikan, kebajikan
dan keadilan. Tak heran jika dahulu, Plato ber-
pendapat bahwa hanya seorang lsuf yang
layak memangku jabatan pemimpin. Karena
seorang lsuf dengan pengetahuan dan
kearifannya, membuatnya mampu untuk me-
lahirkan ide-ide bijak yang memberikan
pengaruh dan efek posif bagi keberlangsun-
gan kehidupan individu dan masyarakat secara
keseluruhan.3
Karakter dasar ini pun pudar secara perlahan,
sejak polik dilembagakan dan dilegimasikan
dengan berbagai macam dalih. Polik tak lagi
bekerja untuk kemaslahatan masal, ia lebih
cenderung memperturutkan egoisme dan ke-
maslahatan subyekf. Polik tak lagi menjadi
payung besar, namun tenggelam dalam bingkai
kekuasaan. Kekuasaan polik diraih oleh nega-
ra, kelompok ataupun seorang individu terten-
tu melalui kekuasaan-kekuasaan di bawahnya;
kekuasaan ekonomi dan pengetahuan. Atau
dengan kata lain, seorang pemilik modal dan
seorang yang berpengetahuan memiliki daya
kontrol bahkan daya paksa terhadap orang
lain.
Terlebih dengan munculnya paham pragma-
sme di Amerika yang menikberatkan pada
keuntungan materialis. Dalam bingkai pragma-
sme, kebenaran diakui keka suatu ide ter-
tentu membuahkan efek praks yang
menguntungkan bagi seseorang. Ia tak ber-
tolak dari sebab, namun akibat yang
dihasilkan.4 Paham ini membentuk kesadaran
masyarakat yang materialis. Terlepas dari
tujuan dasar para peletak paham ini yang ingin
mengcover sejumlah keragaman penduduk
Amerika, paham ini memberikan dampak, d-
ak hanya bagi masyarakat Amerika namun
kesadaran manusia secara keseluruhan, yang
akan melegimasikan berbagai macam cara
untuk memperjuangkan kemaslahatannya.
Dari sinilah, para pemilik kekuasaan mendapat-
kan pembenaran dalam menggunakan otori-
tasnya untuk menundukkan orang lain agar
tetap berjalan dalam koridor tujuan-tujuannya.
Yang musykil adalah ukuran dari kemaslahatan
dan batasan maksimal yang tak boleh dilanggar
masih samar. Atau dengan kata lain, seap
orang bisa mengajukan pembenarannya
tersendiri. Jika Foucault mengatakan bahwa
kekuasaan ada di mana-mana,5 maka daya
kreavitas pun tumbuh berkembang dimana-
mana.
Selain sebagai bentuk pencurahan ja diri, kre-
avitas sekaligus cerminan akan sensivitas
dan daya krik seseorang terhadap fenomena
sekeliling yang berusaha ia ungkapkan melalui
hasil kreasinya baik secara terang-terangan
maupun secara simbolis. Bisa kita ambil con-
toh, Wiji Tukul dengan puisi-puisinya yang be-
rusaha mengkrik rezim otoriter orde baru
ataupun novel Da Vinci Code karya Dan Brown
yang dicekam oleh pihak gereja karena berani
menggulingkan prinsip-prinsip mapan akidah
Krisani.
Adapun secara simbolis, kita bisa bercermin
melalui sosok Najib Mahfudz dengan karangan
teaternya mengenai Ashâbul Kah . Dalam kar-
yanya ini, Najib ingin menyampaikan kepada
masyarakat Arab khusunya para penguasa kon-
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
14/28
14
vensional, agar move on dari masa lalunya
dengan segala kejayaannya sehingga bisa ber-
saing dengan masyarakat Barat dalam mem-
bangun peradaban baru. Karena, seseorangbisa hanya bertahan dan berinteraksi dengan
kehidupan jika ia memiliki relasi zaman yang
mengikatnya. Yaitu dengan menyadari zaman
di mana ia hidup.6
Setelah zaman kegelapan berlalu, liberalisme
yang menjunjung nilai-nilai kebebasan individu
mengambil alih dominasi gereja. Manusia
terbebas dari ikatan-ikatan yang selama ini
dianggap membelenggunya. Bahkan sampai
pada batas pelepasan diri dari ikatan agama.
Namun sebenarnya, manusia tak benar-benar
terlepas dari ikatan-ikatan ini. Manusia tak bisa
benar-benar menemukan kebebasan mutlak
itu. Kebebasan mutlak hanya sebatas slogan, ia
tak lebih dari susunan kebahasaan yang mate-
ril. Masih kita temui berbagai macam aksi re
volusi terhadap praktek-praktek kekuasaan
yang dianggap mencekik dan membelenggu;
baik belenggu ekonomi, sosial, ras dan lain
sebagainya. Yang terjadi hanyalah pergeseran
instrumen yang dipakai untuk memaksa,7
un-
tuk membungkam daya kreavitas dengan
berbagai macam bentuknya yang ingin men-
gaplikasikan 'polik' sebagaimana makna dasar
yang dikandungnya.
Kreavitas sebagai Solusi Problemaka Sosial
Keka kreavitas ditunggangi oleh kekuasaan,
hal ini dak hanya menyalahi kebebasan indi-vidu untuk mengekspresikan dan mengaktuali-
sasikan identas dirinya dalam
relasinya dengan fenomena sekitar. Kebebasan
yang merupakan hak asasi kemanusiaan
seseorang. Dalam waktu bersamaan, pem-
bungkaman kreavitas sama halnya denganmenutup solusi bagi sejumlah problemaka
sosial. Sesuai dengan denisi kreavitas yang
ditawarkan oleh Chaplin.
Kemapanan realitas sering kali dipandang se-
bagai sesuatu yang sudah semesnya. Tak ada
atau bahkan, memang tak perlu dicarikan jalan
guna merubahnya. Berbeda halnya dengan
orang kreaf. Ia akan selalu berhasil
menemukan wajah anomali yang bersemayam
dalam kemapanan. Ia menyadari bahwa dalam
mempertahankan posisinya, kemapanan selalu
menggandeng kekuasaan dengan berbagai
macam bentuknya. Otoritas kuasa akan
mengambil perannya dalam memanipulasi
realitas sehingga semuanya terlihat beres,
nampak baik-baik saja. Dan di sinilah mata
tajam kreavitas menemui urgensitasnya.
Dengan proses kreasi, biasanya seseorang
akan memutuskan mata rantai yang dianggap
kuat dan masih relevan. Karenanya, diskon-
nuitas menjadi dampak paling kentara darikreavitas. Seorang kreaf datang dengan
pemahaman dan nilai-nilai baru yang me-
nyontakkan orang-orang sekeliling. Tak jarang,
hal-hal baru ini ditentang keras oleh orang-
orang yang belum siap dengan adanya diskon-
nuitas ini. Karena, perbaharuan bagaimana-
pun itu selalu memberikan konsekuensi peru-
bahan dalam pelbagai lini kehidupan yang
mungkin tak memberikan keuntungan materil
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
15/28
15
1 Al -Mu'jam al -Wasîth, Lembaga Bahasa Arab Republik
Arab Mesir, cet. IV, hal. 44
2John Dewey, Freedom and Culture diyerjemahkan dalam
bahasa Arab oleh Amin Mursi Qandil dengan judul al -
Huriyyah wa ats-Tsaqâfah, Hai’ah al-Mishriyyah al-Ammah
li al-Kitâb, hal. 13
3Abdul Majid Shagir, as-Sulthah wa al -Ma'rifah, Haihah al-
Mishriyyah al-Ammah li al
-Kitâb, hal. 8
4William James, The Meaning of Truth diterjemahkan oleh
Ahmad Al-Anshari dengan judul Ma'nâ al -Haqîqah, hal. 20
5A. Khozin Afandi, Konsep Kekuasan Michel Foucault , hal.
140
6Dr. Tsurayya Abdul Mun'im Judah, Dirâsât Târîkhiyyah wa
Fanniyyah al -Maqâlah wa al -Qishah wa al -Masrahiyyah,
hal. 148-153
7A. Khozin Afandi, op. cit., hal 142
8John Dewey, Freedom and Culture ,diyerjemahkan dalam
bahasa Arab oleh Amin Mursi Qandil dengan judul al -
Huriyyah wa ats-Tsaqâfah, Hai’ah al-Mishriyyah al-Ammah
li al-Kitâb, op.cit .
bagi orang-orang ini.
Dalam bingkai ini, kita bisa menafsiri sejumlah
ketegangan antar masyarakat keka terjadi
transformasi sosial. Misalnya saja, transforma-
si dari masyarakat Jahiliyah menuju masyara-
kat Islam, dari masyarakat badawi menuju
masyarakat madani, dari masyarakat dogmas
menuju masyarakat liberal, dari kesukuan
menuju masyarakat nasional, dari masyarakat
feodal menuju masyarakat modern kapitalis
dan lain sebagainya. Menariknya, transforma-
si ini, dengan kadar ketegangannya, selalu ber-
hasil dilakukan dan akhirnya menjadi hal yang
diterima oleh mayoritas. Walau dak bisa
dinakan, kelompok-kelompok separas mi-
noritas akan selalu bermunculan.
Setelah transformasi terlaksana, peran
seorang kreaf belum berhen. Transformasi
tak bisa dijadikan sebagai ukuran tercapainya
tujuan dan dengan demikian perjuangan be-
rakhir. Ia justru akan membuka lembaran
problemaka-problemaka baru dan seper
ini seterusnya. Karenanya kita bisa memaklumi
kenapa John Dewey mempertanyakan dan
mempermasalahkan mengenai kebebasan,
sesuatu yang telah diperjuangkan olehmasyarakat Barat sejak abad kegelapan. Ter
nyata, kebebasan yang sebelumnya merupa-
kan tujuan yang diperjuangkan ma-maan,
Dewey melihat, kini ia justru menjadi letak
permasalahan masyarakatnya keka itu. Di
mana dengan dalih kebebasan, orang-orang
saling menyikut dan kehilangan batasan. Ia
pun berusaha memberikan pemahaman lain
mengenai kebebasan yang berkaitan erat
dengan kemaslahatan kolekf.8
Epilog
Relasi tegang antara otoritas kuasa dan krea-
vitas adalah hal yang akan selalu terjadi dan
tak akan menemui akhirnya bagaimanapun
kadar ketegangan antara keduanya. Manusia
terlalu sering kalah dan lenyap di hadapan
kuasa dengan power otoritaf represifnya.
Penyimpangan-penyimpangan akan selalu
terjadi. Maka, hal ini menuntut agar kreavitas
harus selalu hadir di manapun dan kapanpun.
Melalui daya nalar kreaf, seseorang dak
hanya akan mengendusi kejanggalan dan men-
ciptakan solusi. Ia dak hanya akan berorienta-
si kepada realitas kekinian. Dengan kreavi-
tasnya, ia juga akan menemukan hal-hal baru
untuk membangun masa depan yang lebih
baik bagi kemanusiaan seluruhnya. Wa Allâhu
A'lam.
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
16/28
16
November tahun yang lalu, bulen PRESTâSI
KSW genap pada edisi ke-seratus. Tak pelak
dari seap kru berusaha memberikan yangspesial di edisi tersebut. Maka dibuatkanlah
acara dialog interakf mengenai wacana
Media(?) dengan menghadirkan pembicara
dari penulis senior dari seap bulen yang ada
di Masisir. Selain itu sesuai rapat redaksi kru
PRESTâSI, mereka sepakat menambah
halaman bulen dan cover warna, khusus
spesial edisi 100. Otomas acara tersebut
membutuhkan dana yang dak sedikit,
sehingga mau dak mau kru PRESTâSI harus
mencari sponsor buat mensukseskan acara
tersebut. Kurang lebih ada lima sponsor yang
menyokong acara ini, dan Griya Jateng tampil
sebagai sponsor utama. Walaupun begitu dak
terjadi benturan antara kedua belah pihak,
semua berjalan layaknya kerjasama yang saling
menguntungkan tanpa mencederai salah satu
pihak. Sementara KSW dak membatasi apa
yang menjadi tujuan bersama kru PRESTâSI.KSW percaya penuh dengan semua yang
dilakukan oleh badan otonomnya tersebut,
terlebih keka menyangkut kreavitas
anggotanya. Mungkin seper inilah sedikit
gambaran mengenai kreavitas individu atau
kelompok dengan para penguasa-pemegang
modal- yang mengadakan kerjasama.
Berbicara mengenai kreavitas, dek-dek ini
rasanya ada sesuatu yang membatasi dalamdunia kreaf individu maupun kelompok.
Terlebih di ranah Masisir yang jamak kita
ketahui, dalam berorganisasi –kekeluargaan
khususnya— yang menjadi wadah berkreasi
anggotanya terkadang terbentur dengan
masalah nansial. Seabrek agenda dan acara
untuk menampung daya kreatas anggota
dari sebuah organisasi dak jarang
membutuhkan dana yang dak sedikit.
Semisal, untuk mencetak buku dalam
komunitas menulis, biasanya mereka membuat
proposal yang dikirim ke pemegang modal
besar. Tetapi keka sponsor meminta adanyatuntutan atau mencoba menyer kreavitas,
maka di sinilah muncul problemaka satu
belah pihak. Seakan kreavitas mereka
dibatasi oleh permintaan sponsor. Namun
semoga saja kalaupun terpaksa membuat
proposal, idealisme suatu komunitas harus
dak mudah tergoyahkan dengan limpahan
dana dari sponsor. Sebab dalam kerja sama
ada semacam perjanjian yang disepaka
antara kedua belah pihak.
Idenkasi Kreavitas KSW
Melirik sebentar ke salah satu kekeluargaan di
Masisir, KSW Mesir semisal. Organisasi
kekeluargaan yang beraliasi Jawa Tengah dan
Yogyakarta bisa penulis katakan sebagai
organisasi yang kokoh dan berpegang teguh
pada idealisme KSW sendiri. Dengan
banyaknya warga, KSW dak membatasi dayakreaf seap warganya. KSW membebaskan
warganya untuk melakukan apa aja sesuai
dengan keinginan dan tujuannya. Bahkan KSW
memfasilitasi sesuai dengan kecenderungan
warganya. KSW sendiri menyokong kebutuhan
seap warganya. Semua ini terlihat jelas jika
kita datang ke KSW. KSW menyediakan hampir
semua alat kesenian, mulai dari alat musik
yang lengkap, entah band, hadrah, wayang dan
perlengkapan pantomim. Selain alat kesenian,
alat olahraga juga disiapkan dengan lengkap.
Perlengkapan olahraga seper sepak bola, voli,
basket, tarik tambang, tenis meja dan bulu
tangkis tersimpan di ruang penyimpanan.
Semua ini untuk menunjang kebutuhan
anggotanya dalam hal kesenian maupun
olahraga.
Tak hanya dalam bidang olahraga dan
kesenian, sesuai dengan namanya, Kelompok
KSW Tidak Membatasi Kreavitas Warganya
Oleh Mahfudh Wasim*
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
17/28
17
Studi Walisongo juga memfasilitasi warganya
dalam segi intelektualitas. KSW membuka
jalan yang lebar bagi warganya yang ingin
belajar menulis maupun mengkaji kitab.
Sebagai contoh KSW mempunyai lahan untuk
warganya belajar menulis di SMW (Sekolah
Menulis Walisongo) bahkan yang belajar di
SMW dak hanya anggota asli KSW,
melainkan sampai dari luar KSW. Menulis
berita, opini, cerpen dan resensi diajarkan
dak hanya sekali pertemuan, biasanya
sampai ga kali pertemuan dalam
pembelajaran seap materi menulis, sesuai
dengan silabus yang telah disiapkan oleh
dewan guru SMW. Ada juga wadah
pengaplikasian menulis dalam komunitasbulen PRESTâSI KSW. Sementara dalam
memperdalam kajian suatu kitab, sejak awal
tahun 2013 KSW membuka secara resmi
kelompok studi yang disebut Walisongo Study
Club atau WSC. Di dalamnya diajarkan cara
membaca kitab, memahami, menyampaikan
dan menuliskan ide pemikirannya dengan
baik. Dimulai dengan menuliskan resensi
kitab sampai tahap akhir menulis makalah
yang kemudian dikaji bersama. Tentunya
semua yang ada di KSW tanpa ada batasan
maupun tekanan di seap kegiatan
anggotanya. Semuanya dilakukan dengan
landasan cinta tanpa ada paksaan dalam
usaha menciptakan kreavitas mereka.
Selain semua kegiatan yang disediakan KSW
seper di atas, tentunya dak semua warga
KSW berkecimpung di dalamnya. Sebagian
warganya juga banyak akf berkegiatan di
luar KSW. Sependek pengetahuan penulis,
banyak warga KSW yang ikut talaqqi di masjid
Al-Azhar, akf di PPMI, Senat, PCINU Mesir,
PCIM Mesir maupun lembaga kajian atau
kesenian di luar KSW. Selama kreavitas itu
mewujud nyata, KSW sebagai organisasi
kekeluargaan akan senanasa mendukung.
Manifestasi Kreavitas
Biasanya, buah kreavitas memang perlu
ditempuh dengan ihwal yang dak mudah.
Tidak jarang masalah nansial menghimpit,
sehingga bekerja sama dengan pihak sponsor
tak terelakkan. Masalah bisa saja terjadi
keka tuntutan sponsor melebihi kadar
kerjasama yang sewajarnya. Hal ini akhirnya
menjadikan kreavitas terkekang atau
kemungkinan kecil bisa terser oleh pihak
sponsor. Suatu niat baik yang bisa menjadi
kasus yang tanpa disadari semua menjadi
terbatas.
Memang suatu batasan maupun tekanan
terkadang lebih sering memberikan efek
negaf bagi siapa saja yang merasakannya.
Seper mendapat beban baru atau dapat
sesuatu yang berbeda dalam ha nurani
seseorang. Batasan itu bisa membuat orang
berubah arah, dak menjadikannya
konsisten. Hal seper ini juga merusak
psikologis seseorang dalam berkreavitas.
Maka sikap tegas di sini perlu digalakkan
semata untuk menjaga orisinalitas suatu daya
kreaf seseorang. Pun sikap tegas yang
penulis maksud harus dengan menjaga eka
dan sopan santun sesama manusia.
Dalam perjalanannya, keka berkreavitas
dak terbentur dengan tuntutan pemegang
modal atau KSW selaku otoritas ternggi
semisal, maka hasil dari kreavitas tersebut
murni buah kreaf insan yang berakar tanpa
tekanan. Kurang lebih seper itu yang terjadi
di KSW. Tahun 2012 buku berjudul “Kredo
Pinggiran” jadi saksi nyata dari kreavitas
SMW. Banyaknya tro juara di bidang
olahraga dan intelektualitas juga menjadisaksi bisu kreavitas warga KSW yang
dihasilkan tanpa intervensi pihak manapun.
Kebebasan bermusik atau bersholawat
diaplikasikan warga KSW hampir seap bulan.
Di dalamnya warga senang membuat
kreavitas bermusik tanpa melupakan tugas
utama mereka di bumi kinanah ini. Akhirnya
jelaslah semua, jangan batasi kreavitas dan
hormalah!
*Bendahara I KSW Mesir 2015-2016
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
18/28
18
Bapak Goenawan;
“ Saya dak menginginkan pendapat itu [konsep Khatuliswa] ada,
kemungkinan pendapat itu ada karena saya sendiri merasa kalau saya
belum bisa memuaskan semua pihak.”
KP: Apa pendapat Bapak tentang kreavitas di Masisir? Baik dari segi seni, budaya maupun
pendidikan?
BG: Menurut saya, Masisir dari sudut manapun sangatlah kreaf, karena dengan statusnya
sebagai mahasiswa dengan agenda dan targetnya, tapi masih bisa berekspresi di berbagai
bidang. Kreavitas ini akan semakin jelas terlihat keka ada event -event yang bisa menjadi
wadah mereka untuk mengekspresikan bakat yang mereka miliki secara penuh. Sedangkan un-
tuk perkembangannya, sejauh pengamatan saya kreavitas ini mengalami pasang surut (dakstabil). Hal ini bisa dilihat sebagai dampak regenerasi yang dak berkesinambungan. Kalau kita
melihat sekarang atau dulu banyak sekali potensi-potensi seni—baik musik, tari, dan panto-
mim— berkualitas muncul, maka lain halnya dengan sekarang dan di masa yang akan datang,
dimungkinkan ranah ini dak lagi cemerlang tapi justru berkembang di bidangnya yang lain,
budaya misalnya. Tentu hal ini harus diansipasi dengan baik melalui regenerasi yang
berkesinambungan. Pada dasarnya, keka kita berbicara tentang kreavitas, kuncinya hanya
satu; siapin lahan bagi mereka untuk mengembangkan potensi dan meneruskan regenerasi.
Potensi-wadah-regenerasi.
KP: Apakah menurut Bapak kreavitas mereka mencerminkan kebebasan mereka atau justru
dibatasi oleh kekuasaan legal formal (organisasi, materi, polik)?
BG: Kalau di Masisir saya melihat ada dua kelompok; pertama adalah kelompok yang secara
total bebas mengekspresikan kreavitas mereka. Kelompok ini dak peduli dengan kekuasaan
apapun. Kedua, adalah kelompok yang memiliki unsur-unsur ke arah sana. Terikat dan
“berkepenngan”. Adapun keka kita melihat kreavitas yang ada dalam acara-acara HUT atau
sejenisnya, adalah kreavitas “yang terarah”. Walaupun ada organisasi atau lembaga yang
memberikan konsep sebagai batasan alur dan tema, namun hal ini dak membatasi bagaimana
mereka mengekspresikannya. Konsep, tema dan alur yang ditentukan, justru membantu mereka
dalam mengemas kreavitas yang dimiliki. Jadi walaupun jalan cerita ditentukan, tapi bagaima-
na cara mereka mengemas kreavitas ini adalah pilihan mereka sendiri. Mereka bebas berek-spresi.
KP: Bagaimana pendapat Bapak tentang karya-karya intelektual di Masisir sendiri, seper ma-
kalah dan bulen, apakah hal tersebut termasuk bentuk kreavitas atau dak?
BG: Kalau kita bicara tentang karya-karya intelektual di sini, tentu itu termasuk bentuk kreavi-
tas. Karena tulisan-tulisan semacam itu dak akan terwujud kalau dak didasari dengan kreavi-
tas. Tanpa kreavitas hal-hal semacam itu dak akan terwujud.
KP: Sebagai sesepuh KSW, bagaimana pendapat Bapak mengenai Khatuliswa dari tahun ke
tahun? Apakah mengalami kemajuan atau seper apa?
BG: Khatuliswa pada prinsipnya adalah sebuah wadah bagi Masisir agar bisa mengeksplorasi
bakat dan kreavitas mereka. Jadi ibarat tanaman, dengan Khatuliswa, seni musik mulai tum-
Wawancara dengan Bapak Goenawan
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
19/28
19
buh dari bibit-bibit yang dibina dan diasuh melalui event -event yang ada. Karena sejauh penge-
tahuan saya, ada kalanya sebuah lembaga atau rumah budaya hanya diminta output -nya oleh
masyarakat, namun dak dipedulikan proses pembinaannya. Jadi yang dilihat itu lembaganya
saja. Karena dia lembaga seni, tentu harus siap tampil kapan dan dimana saja. Sedangkan di sisi
lain lembaga ini seolah “diterlantarkan” dan kurang asuhan. Sebab dari itu, saya itu pengen—
dari Khatuliswa—kita bisa sama-sama menghidupkan, mengasuh kembali lembaga, rumah
budaya yang ada agar bisa menjalankan fungsinya sebagai wadah penyalur bakat dan kreavitasteman-teman semua.
KP: Seper yang Bapak bilang tadi, bahwa Khatuliswa pada prinsipnya adalah wadah dan
sarana untuk teman-teman Masisir agar dapat mengembangkan bakat dan kreavitasnya
secara maksimal, terutama di bidang seni musik. Lalu, apa tanggapan Bapak mendengar kalau
sebagian teman-teman Masisir ada yang beranggapan bahwa konsep yang ada, terbilang di-
batasi, sehingga teman-teman dak bisa berparsipasi secara penuh?
BG: Saya peribadi dak ingin teman-teman Masisir beranggapan seper itu, apalagi membuat
teman-teman kecewa. Dalam aran, kalau konsep Khatuliswa dianggap cenderung membatasi
aspirasi dan kreavitas teman-teman semua, sebenarnya dak bermaksud demikian. Karena
dari awal prinsipnya, Khatuliswa adalah sebagai wadah agar potensi-potensi bisa tereksplorasi
secara maksimal. Tapi setelah semakin lama potensi ini semakin banyak bermunculan dan
akhirnya membuat kita dak bisa menampung semua. Akhirnya, kita harus mengambil jalan
lain, baik itu dengan bentuk “sekmen” atau “temak” sesuai gender musik. Sehingga kreavitas
temen-temen di sini tetap tersalurkan walaupun secara giliran.
KP: Beberapa seni yang disebutkan salah satunya ada seni musik, Khatuliswa misalnya. Se-
bagai sesepuh KSW bagaimana pendapat Bapak mengenai Khatuliswa itu sendiri, apakah
mengalami perkembangan dari tahun ke tahun?
BG: Khatuliswa hanyalah salah satu wadah untuk para Masisir agar dapat mengeksplorkan
bakat-bakat mereka yang terpendam. Yang bermula hanya tampil di kekeluargaan, kemudian
mencoba untuk keluar–dari Masisir–, akhirnya step by step Khatuliswa mengalami perkem-
bangan meskipun hanya beberapa grup band saja. Dan ini dapat dilihat dari event -event KMC
dan Khatuliswa sendiri.
Sangat disayangkan juga, ada salah satu wadah seni di Masisir –Rumah Budaya Akar– yang ku-
rang dimanfaatkan. Hal seper ini dapat memusnahkan regenerasi, karena minimnya peminat
dalam bidang seni, musik khususnya. Akhir-akhir ini, banyak sekali grup band baru mulai ber-
munculan, setelah mengetahui adanya wadah yang mengeksplorkan seni ini, dan ternyata han-
ya beberapa saja yang terpilih untuk tampil. Walaupun begitu seharusnya mereka tetap harusmengupayakan agar dirinya menjadi yang terbaik dengan menekuni seni tersebut.
KP: Sebagian dari Masisir, ada yang kurang suka dengan konsep yang ada ( dibatasi, kurang
bisa berparsipasi secara penuh), bagaimana pendapat bapak tentang hal ini?
BG: Saya dak menginginkan pendapat itu ada, kemungkinan pendapat itu ada karena saya
sendiri merasa kalau saya belum bisa memuaskan semua pihak. Tapi sedaknya langkah yang
saya lakukan dari seapkali penampilan adalah mengkonsep Khatuliswa menjadi acara yang
saya runkan seap bulannya (KMC), agar mereka dak nervous jika akan tampil di seap acara-
acara besar nannya. Dengan begitu, wadah yang ada akan diperlebar agar para Masisir
mendapatkan giliran mengekspresikan potensi masing-masing, mulai dari musik, biola sampai
pembacaan puisi sekalipun. Konsep baru inilah yang akan saya pikirkan kedepannya, jika perlu
akan diadakan sesuai dari bagian manajemen musik nannya. Selengkapnya, hal. 26
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
20/28
20
“ Bersama arus banjir tahunan pada musim
semi, sungai Enguri menghanyutkan tanah dan
batuan, dari kaukasus menuju laut Hitam.
Menciptakan pulau- pulau kecil di sepanjang
alirannya. Pulau- pulau ini adalah berkah bagi
penduduk lokal yang meninggalkan tepi sungai
lembab menuju ke tanah yang padat dan subur
di pulau itu. Antara musim semi sampai musim
gugur, seseorang bisa menanam jagung untuk
memberi makan keluarganya dari musim
dingin yang panjang. Hanya jika, alam mengiz-
inkan.” -Prolog Corn Island.
**
Lima menit berlalu, hanya kesunyian yang
mengalir dan para penonton masih berusaha
membenarkan posisi duduk untuk mendapat-
kan kenyamanan. Sepuluh menit kemudian,
suasana hanya didominasi suara riuh air dan
angin. Keadaan seper itu terus bertahan dan
sesekali sepatu bot yang dikenakan pak tua
ikut menghidupkan suasana.
Dengan sebuah perahu yang biasa ia gunakan,
pak tua (Ilyas Salman) itu membawa seorang
gadis (Mariam Buturishvili) menuju sebuah
pulau yang terbentuk akibat banjir. Tangan
gadis itu mencengkeram sebuah boneka yang
lusuh. Terlihat jelas masa kanak-kanak pada
sorot matanya. Masa kanak-kanak pada gadis
itu lambat laun lenyap bersamaan dengan
kesehariannya di atas pulau. Hingga pada sua-
tu hari, ia merasakan kejanggalan yang terjadi
pada dirinya, kemudian boneka itu tak pernah
dimainkannya lagi. Dalam tenggang waktu itu,
dak ada dialog intens yang terjadi di antara
sang gadis dan pak tua.
Sungguh, jika sebuah lm mengharuskan dialog
intens terjadi di antara tokoh-tokoh yang
memerankanya. Maka Corn Island dak pantas
menyandang sebuah lm. Tapi, apakah
demikian? Bagaimana jika visualisasi dari se-
Dialog Bisu Oleh Darmono
Judul Film : Corn Island
Genre : Drama
Sutradara : Giorgi Ovashvili
Pemeran : Ilyas Salman, Mariam Buturishvili
Tahun Rilis : 2014
Durasi :100 menit
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
21/28
21
buah lm sudah cukup mewakili untuk penyam-
paian cerita? Maka lm ini adalah jawaban dari
pertanyaan di atas.
Dialog. Sedikit sekali dijumpai dialog intens
yang keluar dari mulut pak tua dengan sang
gadis. Mereka hanya berbicara singkat, selebi-
hnya diam dan sibuk dengan pekerjaan masing-
masing. Seiring berjalannya cerita, penonton
akan mengetahui keduanya memiliki hubungan
seorang kakek dengan cucu gadisnya. Mungkin
akan terasa aneh keka mendapa hubungan
seorang kakek dengan cucu tanpa diselipi dia-
log intens di dalamnya.
Akan tetapi, dari sisi
itulah penonton diberi
kebebasan untuk
mengekpresikan, untuk
memaknai ar kedeka-
tan hubungan antara
kakek dengan cucu lewat visualisasi yang telah
diracik secara mantab oleh sang sutradara
(Giorgi Ovashvili). Bisa disimpulkan, visualisasi
adalah kekuatan dari lm ini.
Selain visualisasi yang matang, seng tempat
lm ini juga disajikan secara fokus pada satu
medan yang menjadi kanvas untuk pelukisan
berbagai macam adegan. Dengan begitu, per-
haan penonton akan benar-benar tertumpu
pada satu medan itu. Selain menumpukan per-
haan, seng tempat seper itu akan mem-
berikan sensasi kenikmatan tersendiri bagi para
penikmat lm. Karena kebanyakan lm diramu
dengan berbagai seng tempat yang berbeda
tata letaknya, kemudian berpindah dari satu
tempat menuju tempat berikutnya dan se-
terusnya hingga usai.
Kenikmatan lain dari lm ini adalah, keunikan
fragmen-fragmennya yang saling menguatkan
tanpa ketergantungan pada dialog. Seper ke-
ka aliran sungai menggerus tepian pulau, pak
tua dak perlu menjelaskan pada si gadis apa
yang harus mereka lakukan. Cerita tetap ber-
jalan bisu. Fragmen demi fragmen dimunculkan
tanpa dialog, sampai pada akhirnya penonton
paham bahwa mere-
ka membuat sema-
cam penangkal om-
bak.
Namun, tak semua
fragmennya berjalan
dengan apik. Ada
beberapa bagian —menurut penulis— yang
kurang berhasil menyampaikan maksud dari
penampilan adegan dalam fragmen tanpa dia-
log itu. Meski begitu, lm ini tetap memenangi
penghargaan Crystal Globe di Fesval Film In-
ternaonal Karlovy Vary dan terpilih sebagai
perwakilan Georgia untuk Film Berbahasa Asing
Terbaik di Academy Awards ke-87.
Dengan demikian, Corn Island yang bercerita
tentang kehidupan dua orang manusia dalam
kebisuannya, menjadi lm yang layak untuk
ditonton. Selamat menonton! []
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
22/28
22
Dalam perjalanan orang-orang sering terjebak
dalam membuat keputusan ingin berisrahat
dimana. Perdebatan lebih sering lagi menjebakorang-orang berlama-lama dalam
memutuskan; ide-ide yang ditolak, usulan-
usulan yang klise, tempat-tempat yang
membosankan, perjalanan yang melelahkan,
perut yang keroncongan, emosi yang meledak-
ledak. Seap kali terperangkap dalam situasi
itu, saya sering membuat-buat kesimpulan
sendiri bahwa manusia bisa jadi terlalu malas
menyebutkan keinginannya saat bersama
orang lain, bahkan untuk sekedarmemikirkannya. Tapi paling rajin menolak
seap masukan, yang mungkin memang,
sangat dak tepat untuk diusulkan.
Prolog yang mungkin agak bertele-tele untuk
sampai pada pembicaraan yang sebenarnya.
Tapi sedaknya kita (memang) sedang
berbincang seputar tempat-tempat yang patut
disinggahi saat jalan- jalan, atau jalan- jalan ke
tempat yang ingin dikunjungi, atau juga saat
jalan- jalan menemukan tempat yang
mendadadak ingin didatangi. Hanya saja,
sungguhan, macam-macam kemungkinan
barusan pernah saya alami dan salah satunya
mengantarkan saya ke jalanan nostalgik khas
belakang perumahan yang ramai turis serupa
gang Prawirotaman di Jogja. Jalanan yang
bagian kecil dari Zamalek ini (itu) dipenuhi
macam-macam kafe, dari sepi sama sekali
sampai terlalu ramai hingga harus mencaritempat nongkrong yang lain. Mungkin sedang
beruntung, saya dan kawan-kawan berhasil—
bahasa keren-nya—me-reservasi salah satu
meja (serius, ada papan bertuliskan reserved
di atas meja yang diberikan kepada kami) di
salah satu kafe yang menurut kami termasuk
kategori ramai. Dan kami, atau hanya saya,
mendadak merasa relijius dan teringat dosa-
dosa sekaligus melupakan perihal duniawi
melihat nama kafe tersebut; Kafe Su.
Lalu perasaan itu hilang sekeka saat berada di
dalam, seper berada di ruang-ruang klasik
yang ada di lm-lm dengan seng awal abad
20-an. Sebenarnya saya ingin menyebut at
Sherlock Holmes dalam adaptasi lm seritahun 2010-nya sebagai perumpamaan dan
feeling yang paling tepat saat memasuki salah
satu ruangan kafe tersebut; (sebagian) dinding
(bercat) merah dan lampu yang temaram. Toh,
pada akhinya saya memang menyebutkannya.
Kemudian yang paling membuat kafe ini
berbeda, bisa jadi sangat menarik atau dak
sama sekali―tergantung kecenderungan
untuk sendiri atau beramai-ramai seseorang―,
berbuku-buku dipajang (tentu dak hanya
sekedar pajangan saja) di rak kayu yang
memanjang di separuh beberapa ruangan dan
di lorong kafe.
Mungkin hanya perasaan saja, tapi sudut
peletakan buku-buku itu terkesan sangat
tepat. Keka melihat sekeliling kita akan
terpaku pada pajangan buku-buku yang cukup
banyak untuk ruangan yang cukup kecil. Untuk
penyuka buku, terlebih pembaca buku-buku, ia
akan melompat begitu saja dan melihat-lihat
jika ada buku yang ia sukai, kembali ke meja
dengan satu-dua buku dan senyum yang lebar.
Membuka-buka beberapa halamannya,
terlihat antusias untuk beberapa menit dan
kemudian menaruhnya lalu tenggelam dalam
perbincangan yang mengasyikkan. Kecuali ia
datang sendiri tanpa satupun gadget yang
menghambat proses membaca bukunya, bisa
jadi ia akan―sedaknya―terjebak dalamkesulitan mencerna huruf -huruf itu ke dalam
kepalanya. Bahkan untuk beberapa kelompok
yang gemar mengabadikan momen, angle
yang ajaib bertebaran untuk sekedar berfoto
bersama. Atau, perpaduan antara lensa
kamera yang memenuhi syarat, satu cangkir
(yang secara elegan sangat kecil) espresso
single yang pekat, warna cheesecake yang
kontras, dua buku bertumpuk (atau lebih) di
sudut meja yang memperlihatkan judul- judul
asing buku-buku itu, akng yang pas-pasan,
berbuku-buku tersusun rapih di rak sebagai
Membaca Buku-Buku Asing di Kafe Su
Oleh Fadhilah R.
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
23/28
23
latar belakang dan temaram yang mewah. Saya
hanya mengatakan, bermacam-macam
manusia tentu dak dilarang memasuki kafe se
-sakral ‘Su’.
Berbicara mengenai buku-buku dengan judul-
judul asing, saya pernah berada di depan rak
itu untuk beberapa saat, menit. Sebut saja,ensiklopedi, sains, sejarah, ksi, koleksi
kategori-kategori yang rak itu miliki cukup
lengkap. Saya seper berada di toko buku-
buku bekas di daerah Aaba dalam versi lebih
kecilnya. Saya mencari nama-nama novelis
favorit (saya) di punggung-punggung buku-
buku itu. Dengan sedikit berdebar, dalam jarak
beberapa buku, saya membaca nama Stephen
King dan segera melompat satu jengkal yang
sangat pendek. Saya meraih novelnya yang
berjudul Cujo. Tanpa berlama-lama lagi saya
segera kembali ke meja dan bergabung dengan
kawan-kawan untuk memamerkan novel
temuan yang sudah lama saya cari meski
mereka tampak dak peduli. Tidak masalah,
saya tetap membuka halaman-halaman yang
cukup tua itu. Tragedi pun terjadi. Huruf -huruf
itu tersusun menjadi kalimat yang dak saya
menger. Sama sekali. Bahasa Prancis yang
saya pahami dak lebih dari sekedar menyapa
‘Ça va bien? ’ atau berlagak bertanya ‘Tu parles
français? ’ lalu terdiam begitu saja.
Ya, setelah ditertawakan sebagian kawan
(selebihnya menghina), saya sadar banyak
buku-buku berbahasa Prancis di rak itu.
Sebenarnya mengatakan asing, buku-buku di
rak itu bagi kita tentu asing semua. Inggris,
Arab dan Prancis, bisa jadi ada bahasa-bahasa
yang lain. Juga dak mengherankan, dak barupula, kita akan menemukan buku yang kita
sukai bahkan cari-cari dalam versi Bahasa
Prancis. Karena Prancis merupakan bahasa
yang penng di Mesir, sedaknya pernah,
sebelum Bahasa Inggris menjadi lebih populer.
Bagi (yang berlagak) turis seper kita, secara
hakikat, buku-buku itu asing sama sekali. Di
Indonesia tentu sudah banyak kafe dengan
konsep buku-buku seper itu, yang pasnya
buku-bukunya dak asing secara bahasa bagi
kita. Atau, oke, katakanlah di Mesir juga ada
kafe-kafe lain yang berkonsep demikian tapi
saya belum mengetahuinya. Sedaknya untuk
sebuah sensasi, membaca buku-buku
(berbahasa) asing di kafe-kafe Mesir yang
terlanjur terkenal (oleh Masisir) dengan syisa,
kopi, teh, mentok pesan sahlab dan obrolan-
obrolan khas ngafe, dak mengecewakan. Yah,
begitu pula untuk narsisme.Selebihnya mengenai Kafe Su, bertolak
belakang dengan namanya yang
merepresentasi ke-zuhud -an, hanyalah
seberapa banyak Anda mempersiapkan uang
saku. Bisa jadi nama ‘Su’ dan konsep ruangan
yang merupakan perpaduan nuansa gok,
intelek serta merakyat adalah daya tarik saja.
Pengelolaannya dak jauh beda kapitalisnya
dari kafe-kafe semacam Starbuck . Bisa jadi
penng bisa jadi dak, tapi permbangkan ini,
membaca buku itu penng, mencoba (belajar)
membaca buku berbahasa asing untuk
mahasiswa di luar negeri tentu menjadi sangat
penng, nongkrong di kafe lumayan penng,
lebih dari itu semua belajar dari pengalaman
adalah luar biasa penng. Sedaknya bagi saya
dan yang sependapat dengan saya, tentu saja.
Membelanjakan uang saku lebih banyak untuk
sebuah pengalaman dak terlalu berlebihan,
bukan?[]
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
24/28
24
Kamu bercerita tentang hal ini kepadaku:
tentang orang-orang yang naik ke gunung
untuk mengambil bongkahan es dan kemudian
membawanya turun untuk dipersembahkan
kepada sang Raja. Kamu menceritakannya
dengan ekspresi ini-adalah-sebuah-cerita-
yang-hebat. Dan aku malas, untuk yang
kesekian kalinya, untuk bertanya
bagaimanakah cerita yang hebat menurutmu
standarmu. Karna toh , kamu lagi-lagi tidak
akan menghiraukannya.
Orang-orang tadi, yang hidup di zaman ba-
tu, tentu tidak mengenal adanya sebuah
mesin yang menyerupai almari, yang mampu
mengubah air menjadi es sebeku batu dan
membuatnya amat dingin.
“Lebih dingin dari tatapanmu,” bisikmu
pelan.
“Err “
Aku ingin protes dan kamu seolah-olah tid-
ak mau peduli dengan apa yang akan aku
katakan, lalu aku mengurungkan niatku dan
kembali menyimakmu.
Orang-orang itu, adalah budak-budak sang
Raja yang gelar budaknya sudah diwariskan
secara turun temurun dari para leluhur
sampai kepada anak cucu mereka nanti.
“Tentu bagimu ini terdengar amat bodoh.
Tapi sebagaimana yang kamu tahu, aku tidak
akan menyampaikannya kepadamu kalau ini
hanya bualan.”
“Err “ Aku ingin mengatakan bahwa be-
tapapun bodohnya cerita yang kamu bicara-
kan, aku akan tetap mendengarnya. Tapi,
kamu meletakkan telunjukmu di puncak
bibirku.
Baiklah, aku akan diam, batinku.
“Aku tahu, kamu pasti ingin protes,
bagaimana bisa perbudakan diwariskan turun
temurun. Menjadi budak memang bukan sebuahtawaran yang menggiurkan. Tapi mereka
semacam tidak memiliki pilihan lain.”
Kamu menghela napas dan matamu tiba-tiba
kosong.
Jenis pilihan seperti apa yang membuat
seseorang tidak memiliki pilihan lain?
“Mungkin seperti aku. Aku selalu diberi
pilihan tapi tidak pernah diberi kesem-
patan untuk memilih. Mudahnya, jika mem-
ilih itu kamu dibebaskan untuk menentukan
mana yang kamu suka dan mana yang tidak
kamu suka, atau begini, mana yang kamu
suka dan mana yang lebih kamu suka. Tapi
aku selalu diberi pilihan dua hal yangsama-sama tidak aku suka. Ya Tuhan, pili-
han macam apa itu?”
Kamu menghela napas setelah mengomel be-
gitu panjang.
“Budak-budak itu juga begitu. Mereka
diberi pilihan: menjadi budak atau
dibunuh. Dua-duanya nggak enak.”
Aku meletakkan tangan ku di atas tanganmu,
mengusapnya pelan. Sejujurnya aku ingin
mengatakan bahwa semua akan baik-baik sa-ja.
“Tidak, aku tidak marah kepadamu. Aku
tidak akan melemparmu, em… dengan gelas
misalnya. Aku hanya terbawa suasana,”
ucapmu.
Kamu menegakkan punggungmu, membenahi po-
sisi duduk.
”Mengenai hal bodoh tadi, aku setuju jika
gelar bodoh itu dialamatkan kepada sang
Raja. Bukankah aku pernah mengajakmumenonton film The Dictator ? Kalau kamu
mengingat sosok Aladeen, maka seperti itu-
lah gambaran sang Raja. Sebagian orang
menyebutnya sebagai ketololan, dan orang-
orang yang lebih santun akan menyebutnya
konyol.”
Kamu menatap ke luar jendela.
“Tentu saja itu bodoh. Meminta orang lain
untuk mengambil es ke puncak gunung adalah
suatu kebodohan. Tidakkah kamu berpikir,
orang-orang yang mempunyai kekuasaan,
Bukan Cerita yang Berakhir BahagiaOleh Muna Ni ’ amy
-
8/19/2019 PRESTâSI Edisi 106
25/28
25
cenderung menginginkan hal-hal yang bodoh
dan menyuruh orang untuk melakukan hal-hal
yang sama bodohnya.”
Kamu menghayati kata demi kata yang kamu
sampaikan, seolah ingin memberi kesan men-
dalam di kalimat terakhirmu barusan.
“Hari itu, sang Raja memanggil beberapabudak kepercayaannya;
‘Aku ingin sekali meminum sesuatu yang
dapat membuat tenggorokanku beku.’
‘Air macam apa itu dan di mana kami dapat
menemukannya, Yang Mulia?’
‘Kemarin, seorang saudagar Eropa berkata
bahwa itu adalah air yang amat dingin,
berwarna putih, dan bentuknya menyerupai
kristal-kristal yang amat kecil. Di
negerinya sana, air itu berceceran di jal-anan. Sayangnya di negeri kita, itu hanya
bisa ditemukan di puncak gunung.’
‘Apa nama air itu, Yang Mulia?’
‘Mereka menyebutnya es.’
Sebetulnya, mereka tahu bahwa yang Raja
maksud adalah es. Hanya saja, demi mene-
gakkan asas: Raja harus lebih tahu
dibandingkan budak dan budak harus lebih
tidak tahu dibandingkan Raja, maka mereka
pura-pura bertanya supaya terlihat bo-
doh.”
Kamu membenahi kacamatamu yang mulai melo-
rot, ciri khas saat kamu mulai antusias
menceritakan sesuatu.
“Kamu tahu, dalam cerita-cerita kezali-
man, pasti akan muncul seorang yang tidak
memiliki kekuasaan, tapi memiliki ke-
pandaian dan keberanian. Sayangnya, dalam
cerita ini, hanya ada budak yang pandai
tapi tidak memiliki keberanian.
‘Yang Mulia, bukankah es akan mencair
jika terkena panas?’
‘Apa yang coba kamu bicarakan?’
‘Maksud saya, kemungkinan besar, saat
sampai di sini es yang Anda bicarakan itu
sudah meleleh dan menjadi air biasa, Yang
Mulia.’
‘Kamu berani menentang perintahku?’
‘Maaf, Yang Mulia. Maksud saya ‘
‘Hentikan omong kosongmu! Bawakan untukku
es dari puncak gunung. Jangan coba-coba
menentang!’
Begitulah. Sang Raja murka. Wajahnya merah
padam, giginya gemeletuk menahan amarah.
Sebetulnya, itu bukan jenis marah yang
dapat membuatku takut. Andai waktu itu aku
ada di sana, menjadi bagian dari para bu-dak tadi, kakiku tidak akan gemetar se-
bagaimana halnya mereka. Tentu saja, dia
yang marah, lantas berbicara kepadaku
dengan bahasa paling sunyi jauh lebih
menakutkan.”
Tiba-tiba sunyi. Kamu menatap lurus,
seolah pandanganmu dapat menembus bahkan
meruntuhkan tembok yang menghalangi
penglihatanmu.
“Baiklah. Aku harus menyelesaikanceritaku. Bukan saatnya membicarakan
dia.”
Kamu seperti berbicara pada dirimu
sendiri.
“Dan budak yang pandai tapi tidak pem-
berani itu menyesalkan pertanyaannya tadi.
Karena saat Raja mengatakan ‘Jangan coba-
coba menentang!’ maka maksudnya ‘Jangan
sampai gagal atau kupenggal kalian. Berani
-beraninya mengatakan omong kosong sepertiitu!’
Waktu itu, siapapun tahu bahwa tidak akan
ada seorangpun di antara mereka yang akan
selamat dari pedang algojo. Mereka bisa
melihat tidak lama lagi ikhtiar mereka
akan berakhir secara prematur. Es yang
akan mereka ambil nanti bakal mencair,
bahkan sebelum mereka sampai di pertenga-
han jalan.”
Kamu melihat ke luar pintu kaca, me-
mandangi orang-orang yang memperlakukanmu
seperti tonto