prestâsi edisi 103; toko_pendidikan[dot]com

32

Upload: ksw-mesir

Post on 06-Sep-2015

177 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Ya, wacana "Industrialisasi Pendidikan" muncul bersama beliau Bapak Dr. Fahmi Lukman, M.Hum, Atase Pendidikan Nasional di KBRI Kairo, dengan pelbagai masalah lainnya, kami mencoba membaca dan manfsirkan dengan pendasaran-pendasaran yang serius serta bukan hanya asumsi. Mari kita baca dan tafsirkan bersama apa yang beliau upayakan di 'tempat' kita ini, seperti kata Pram dalam Rumah Kaca; “Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.”

TRANSCRIPT

  • 2

    Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Akhirnya, kita dapat

    bernapas lega setelah melewati ujian-ujian yang menentukan banyak lini

    hidup kita. Bersama selaksa syukur terucap teruntuk Tuhan yang Maha

    Perkasa, mari bersama-sama menghadapi ujian yang lebih menantang

    lagi bernama kehidupan, tak terikat oleh ruang dan waktu manapun.

    Salah satunya menunaikan tugas jurnalis, alhamdulillah Buletin PRESTSI

    telah dapat lolos dari goa keterlambatan yang panjang dan mengecup

    wangi pasir panas. Dalam Edisi yang ke-103 ini, PRESTSI mencoba untuk

    sedikit membuat masalah dengan mengangkat tema Menuju Industriali-

    sasi Pendidikan Masisir dalam judul Toko_Pendidikan*dot+com. Per-

    tama, mengapa pendidikan? Setelah sama-sama sadar bahwa kita telah

    melalui ujian-ujian sejak sekitar dua bulan yang lalu, mulai dari Ujian

    Akhir Tahun di kampus dan lalu ujian langsung dari Tuhan bernama iba-

    dah puasa, kita juga seharusnya semakin menyadari bahwa ujian-ujian ini

    tak lepas dari peran penting pendidikan. Seberapa dalam kita memaknai

    pendidikan, apakah hanya sampai naik tingkat dan lulus mendapat ijazah,

    hanya sampai hari lebaran lalu bermaaf-maafan dan semua selesai? Atau

    sampai kita dapat bermanfaat untuk orang lain, sampai kita mengetahui

    apa yang kita tidak tahu sebelumnya? Dan tahukan Anda kapan dua hal

    itu terjadi? Selamanya. Kita tidak akan pernah berhenti bermanfaat un-

    tuk orang lain, kita tidak akan pernah kehabisan hal yang tidak kita tahu.

    Ya, selamanya.

    Kedua, mengapa ini masalah? Mungkin orang yang pertama kali mem-

    baca Industrialisasi Pendidikan Masisir akan berpikiran macam-macam,

    bagaimana bisa nama besar Masisir didiskreditkan sebegitunya? Tapi

    tunggu dulu, kita ada di pihak yang sama, seperti sebelum-sebelumnya.

    Mengingat beberapa pihak saling berbenturan di media sosial belum

    lama ini, kami harap kita dapat lebih bersatu lagi. Tidak, tidak hanya

    sekedar berharap, kami ajak Masisir sekalian untuk merapatkan barisan

    dan bersatu. Tentu Anda tahu siapa yang sedang kami bicarakan. Ya,

    beliau Bapak Dr. Fahmi Lukman, M.Hum, Atase Pendidikan Nasional di

    KBRI Kairo, dengan pelbagai masalah yang muncul bersamanya, kami

    mencoba membaca dan manfsirkan dengan pendasaran-pendasaran

    yang serius serta bukan hanya asumsi. Mari kita baca dan tafsirkan ber-

    sama apa yang beliau upayakan di tempat kita ini, seperti kata Pram

    dalam Rumah Kaca; Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-

    hebat hanya tafsirannya. Tunggu apa lagi, selamat membaca!

    Dari Redaksi

    Pelindung: Ketua KSWDewan Redaksi: Landy T. Abdurrahman, M. Fardan Satria

    Wibowo, Fadhilah Rizqi, Iis IstianahPimpinan Umum: Zulfah Nur AlimahPimpinan Redaksi: Wais

    Al-QornyPimpinan Usaha: Mahfud WashimSekretaris Redaksi: Zuhal QobiliRedaktur Pelaksana: Rizqi

    Fitrianto, M. Samsul Arifin, Muhammad Al-Chudori, Fathimatuz Zahro, Amna Mushaffa, Izzatun Nafisyah,

    Zakiyah Muniarti, Muflikhul MunaReporter: Muhammad Khoirul Anas, Saiful Umam, Indira Rizqi Ardiani,

    Izzatu Dzihny, Laila Nur HidayatiDistributor: Hisyam Zainul Musthafa, Muhammad MahfudhLayouter:

    Rikza Aufarul UmamKarikaturis: DarmonoEditor: Nashifuddin Luthfi, Nanang Fahlevi, Choiriya Safina

    Redaksi menerima tulisan dan

    artikel yang sesuai dengan visi

    misi Buletin. Kritik dan saran,

    kirim ke FB: Prestasi Ksw

  • 3

    Pendidikan merupakan suatu hal yang penting, karena pendidikan membantu manusia men-jadi individu yang lebih baik di dalam hal mengembangkan potensi yang dimiliki, mem-bentuk keperibadian dan meningkatkan intel-ektualitas serta menambah wawasan ilmu pengetahuan. Sehingga bisa menjadi manusia bertanggungjawab pada dirinya, pada ling-kungan dan masyarakatnya. Akan tetapi pen-didikan seperti apa yang bisa memenuhi kriteria hasil pendidikan di atas? Apakah pendidikan formal atau pen-didikan dari lingkungan so-sial, atau pendidikan yang dipadukan antara formal dan non-formal?

    Di era globalisasi yang serba praktis dan cepat, dunia pendidikan tak luput dari sasaran standarisasi yang ditetapkan kelompok industrial: manusia harus bersertifikat dan berijazah. Memper-hatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini, manusia dipandang sep-erti bahan atau komponen pendukung indus-tri. Padahal tujuan dan fungsi pendidikan ada-lah untuk membangun manusia berkarakter dan berpikiran mandiri. Tujuan dan fungsi ter-sebut pada akhirnya ditinggalkan karena tuntu-tan jaman. Maka instansi pendidikan yang seharusnya mencetak anak bangsa menjadi generasi emas berubah fungsi menjadi mesin pencetak generasi yang diinginkan oleh sebuah industri pendidikan.

    Permasalahan di atas, tidak jauh beda yang sedang terjadi di Masisir. Bahwa ada salah satu tokoh instansi pemerintah, mencoba meru-bah kebiasaan Masisir yang terlalu lama lu-lusnya untuk segera lulus. Dengan cara mengi-rim orang tua mereka surat laporan pendidi-kan, atau pun dengan menyudutkan kegiatan dalam belajar mereka. Dari fenomena ini, kem-bali menilik visi dan misi Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) menjadi penting, agar

    hubungan antara mahasiswa dan tokoh pemerintah tidak saling menyudutkan dan mengkambinghitamkan. Dan agar visi pendidi-kan dalam membentuk manusia berkarater tidak hilang dari formalitas yang sedang dijal-ankan pemerintah.

    Jika demikian, pendidikan seperti apakah yang harus dijaga dan dilestarikan keberadaannya di dunia modern ini? Formal atau non-formal?

    Jika formal, konsep seperti apa yang harus diterapkannya? Seperti al-Azhar kah? Dan jika non-formal, konsep yang seperti apa pula yang patut diperjuangkan? Rangkaian pertanyaan di atas merupakan bentuk kilas balik dari beberapa kejadian yang menimpa Maha-siswa Indonesia Mesir saat ini. Bahwa gejala fobia indrustialisasi

    pendidikan sedang menjajah pikiran mereka untuk tunduk.

    Jika gejala itu tidak dikritisi dan dilawan sejak dini, dikhawatirkan industrialisasi pendidikan mewariskan imbasnya pada generasi ke depan menjadi manusia praktis, tidak mempunyai sifat kritis dan lumpuhnya nalar. Nalar diganti-kan dengan kemampuan menganalisa segala sesuatu secara instan dan dengan orientasi materialistis. Manusia tidak lagi mampu ber-fikir logis dan tidak peduli dengan sesama, yang ada hanya memikirkan keuntungan mate-rial. Para elit pemerintah memperebutkan jabatan, pengusaha tidak segan-segan untuk menipu, memanipulasi menghalalkan segala cara agar produknya terjual. Para akademisi dalam bidang tertentu melacurkan ilmunya untuk mendapatkan uang dan masih banyak dimensi masyarakat yang rela berbuat apa saja untuk mendapatlan uang secara instan. Re-portase sederhana ini, sebagai pengantar un-tuk pembaca dalam membaca edisi PRESTSI kali ini. Agar bisa memberikan sedikit penjela-san arah tema Industrialisasi Pendidikan secara umum, semoga.

    Fobia

    Izzatun Nafsiyah

    Editorial

  • 4

    Masisir adalah sebuah komunitas raksasa. Siapa saja di dalamnya saling terkait satu sama lain oleh kesamaan cita-cita, kampung halaman dan kemerantauannya di negeri orang. Satu sama lain sudah saling memahami kondisi mas-ing-masing berdasarkan kesamaan pengala-man. Paham betul resiko-resiko yang dihadapi dengan bersekolah-tinggi di Azhar. Mulai dari kenaikan tingkat yang sulit dan tidak bisa di-prediksi, pilihan-pilihan bebas konsekuensi terkait sistem untuk mengikuti perkuliahan atau tidak, kegiatan-kegiatan organisasi yang menarik minat masing-masing kecenderungan yang mewujud dalam skala mendominasi ham-pir seluruh kehidupan seorang Masisir, atau kegiatan-kegiatan dalam ruang-ruang privasi Masisir sendiri yang juga seringkali menyita banyak waktunya, dan juta pemakluman-pemakluman ala Masisir lainnya. Semuanya sudah merupakan dinamika yang seimbang untuk ekistensi Masisir. Bayangkan bila ada seseorang yang tiba-tiba datang dan merusak tatanan keseimbangan tersebut? Mungkin tid-ak jauh dari situasi dimana permainan catur sudah setengah jalan dan ada seseorang yang datang dengan wajah penuh senyum, lalu mengehentikan permainan dengan menghem-paskan papan catur secara tiba-tiba tanpa dugaan. Semua jatuh berantakan tanpa ada yang ingat secara detail dimana letak masing-masing bidak sebelumnya.

    Perumpamaan tersebut bisa jadi berlebihan. Hanya saja faktanya, beberapa kali diadakan pertemuan-pertemuan khusus terkait persoa-lan-persoalan yang ditimbulkan oleh, mari kita katakan, Bapak Atdikbud KBRI Kairo, Dr. Fahmi Lukman, M.Hum. Beberapa kalangan Masisir yang mengalami langsung dan yang hanya mengikuti arus informasi tentu akan mengamini bagaimana rasanya permainan ca-turnya dikacaukan begitu saja. Kecuali yang sibuk sendiri mengurusi pahalanya sendiri. Ten-tu mari kita berdoa tidak semua begitu apa-tisnya. Karena ini bukan pertama kali sebuah

    aspirasi hendak dicurahkan, sudah beberapa kali Masisir mendikte kebijakan Atdikbud, sejak sulit dan kurangnya perhatian dan dukungan didatangkan dari Atdikbud untuk kegiatan-kegiatan Masisir.

    Bahkan Kenduri Masisir sudah diadakan empat kali, indikasi akan terjadinya situasi khusus yang urgen untuk didiskusikan dengan mem-pertemukan pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam kasus Atdikbud KBRI Kairo Bapak Fahmi Lukman, yang seringkali memberi beberapa situasi sulit bagi Masisir, sudah terlaksana tiga kali kenduri sejak Kenduri Masisir Jilid II pada 4 November 2014 di Aula Griya Jawa Tengah, yang mempertemukan Bapak Fahmi dengan perwakilan-perwakilan komunitas Masisir memperbincangkan kurangnya dukungan dan perhatian beliau pada kegiatan-kegiatan Masisir. Kemudian Kenduri Masisir Jilid III yang dilaksakan pada Ahad, 1 Maret 2015 di Aula Konsuler KBRI terkait niat Atdik untuk mengi-rimkan surat mengenai catatan akademik Masisir kepada orang tua di tanah air, yang tentu ditentang oleh hampir semua Masisir yang menghadiri kenduri tersebut selain si-sanya mengamini. Lalu Kenduri Masisir Jilid IV yang belum lama dilaksanakan sekitar dua minggu yang lalu pada bulan puasa tahun ini di Wisma Nusantara, yaitu pada Jumat, 19 Juni 2015 mempertemukan lagi Atdik dan Masisir dalam perbincangan dan pemecahan solusi terkait masalah Temus tahun ini yang beresiko menghambat laju perputaran roda organisasi-organisasi besar di lingkungan Masisir.

    Mungkin memang akan sulit bagi seseorang yang belum pernah menjadi Masisir untuk me-mahami dinamikanya. Kita tidak mungkin diam saja bila sudah sampai titik ini, perputaran roda organisasi-organisasi besar Masisir sudah mulai direm. Kita harus menelusuri lebih dalam lagi motif-motif Atdik dalam berusaha membuat kebijakan. Kita harus melihat kepada hal yang lebih mendasar; pola pikir Bapak Fahmi Luk-

    Masisir vs Atdik; Menuju Industrialisasi Pendidikan

    Fadhilah Rizqi

    Teras

  • 5

    man. Dalam rangka mencari tahu hal tersebut, dan juga hal lain terkait kinerja Atdik, sekitar awal bulan Maret yang lalu Tim Web kswme-sir.org melakukan wawancara kepada beliau. Dari hasil wawancara tersebut yang direkam dalam format video oleh salah satu anggota Tim Web kswmesir.org, penulis menemukan beberapa poin-poin pernyataan yang dapat menjawab pertanyaan besar kita terkait moti-vasi Bapak Fahmi sebagai Atase Pendidikan dalam mengasuh kependidikan Masisir.

    Mewacanakan Industrialisasi Pendidikan

    Sangat mudah bagi kita untuk berasumsi, Bapak Fahmi begini, Atdik begitu, bahkan su-dah mulai banyak dari beberapa kalangan Masisir, senior khususnya, mengungkapkan pada diskusi-diskusi ringan non-formal bahwa Bapak Fahmi Lukman tidak paham dinamika Masisir. Sehingga beliau selalu membuat ke-bijakan-kebijakan yang terkesan merusak tatanan lingkungan Masisir. Namun kami tidak semerta menyatakan hal tersebut sebagai asumsi semata, karena ternyata semuanya berdasar pada pola pikir Bapak Fahmi yang kami temukan -atau setidaknya kami tafsirkan- di hasil wawancara Tim Web kswmesir.org seperti yang telah disebutkan.

    Selain wawancara ekslusif oleh tim web kswmesir.org, dari kru redaksi Buletin PRESTSI juga menyiapkan secara khusus kuesioner dengan sistem pilihan pada tiga per-tanyaan yang disebar secara merata pada komunitas-komunitas di lingkungan Masisir. Seperti organisasi induk PPMI dan WIHDAH, kekeluargaan-kekeluargaan, afiliatif, komuni-tas independen Masisir, sesepuh-sesepuh Masisir, dan Masisir secara umum. Semuanya terhitung 60 kuesioner yang diisi, model angket yang digunakan memang dengan kon-sep mewakili banyak orang yang merata pada tiap elemen Masisir. Yang paling krusial ialah 55 % koresponden angket menyatakan bahwa Bapak Fahmi Lukman kurang memahami kon-disi sosial Masisir, bahkan 27 % menyatakan beliau tidak memahaminya. Berarti pernyataan senior di atas bahwa Bapak Fahmi tidak paham Masisir cukup relevan. Untuk kinerja beliau

    terkait kemahasiswaan, 38 % menyatakan su-dah cukup baik dan 37 % menyatakan buruk.

    Sebelum masuk pada poin-poin yang menguak motivasi Bapak Lukman, mari kita bahas mengenai wacana industrialisasi pendidikan. Seperti apa industrialisasi pendidikan? Industri adalah sebuah ruang sesak yang mengedepankan kinerja dan prospektivitas. Terlebih apabila pada sebuah negeri yang masih menjunjung kapitalisme. Seperti ungka-pan Jerry Ash, seorang novelis historis Amerika yang juga pengamat sosial, bukanlah demo-krasi yang meruntuhkan negeri ini, tetapi memimpinnya kapitalis yang para politisinya tidak memberi kebaikan apapun. Lalu kita kaitkan dengan pendidikan yang sebenarnya mempunyai elemen-elemen yang sama, ada input dan output. Siswa berangkat ke sekolah dan belajar sebagai input, sampai pada level tertinggi di perguruan tinggi, lalu lulus maka ia telah menjadi output akhir yang menentukan kualitasnya sebagai orang berpendidikan, un-tuk bekerja dan menghasilkan uang. Sistem pabrik juga demikian, bahan mentah yang di-proses lalu menjadi barang jadi dan keluar sebagai produk pabrik, setelah ditentukan kualitasnya maka ia bekerja dengan cara dijual dan menghasilkan uang bagi pemilik modal. Apakah kita sekedar produk pendidikan yang lalu ditentukan layak atau tidak, dipakai bila berkualitas dan dibuang bila tidak? Sesingkat itu kah hasil belajar kita? Dengan melihat sis-tem pendidikan Azhar yang jauh dari gam-baran demikian, bahkan untuk mengikuti perkuliahan harus dimulai dari kemandirian akan niat dan kemauan bukannya diperbudak oleh absensi, kita sebagai Masisir bisa jadi aman-aman saja dan dengan polesan keya-kinan -meski agak naif- kita bisa jadi orang ber-pendidikan seutuhnya yang memanfaatkan ilmu pengetahuan sebaik-baiknya, tidak hanya untuk mengisi dompet semata.

    Baik, kurang lebih demikian saat sistem pen-didikan diadopsi menjadi sistem perpabrikan. Kemudian mari kita masuk pada indikasi-indikasi arah menuju indutrialisasi pendidikan Masisir...Selengkapnya hal. 28

    Teras

  • 6

    Setidaknya ada tiga masalah klasik yang berhubungan dengan pendidikan Indonesia: biaya, kuantitas, dan kualitas. Tiga masalah inilah yang dengan sendirinya akan menggiring permasalahan kepada jurang yang dalam: In-dustrialisasi Pendidikan Indonesia. Tiga masa-lah ini juga yang akhirnya membawa kita kepa-da sebab dan akibat; apa dan kenapa yang merupakan pertanyaan tak mudah untuk dija-wab.

    **+

    Ada perbedaan mendasar mengenai konsepsi pendidikan Industri dengan pendidikan yang secara niscaya memang memerlukan biaya. Dulu, literatur Madrasah Diniyyah, Ala La, mengajari kita bahwa syarat untuk menuntut ilmu salah satunya adalah Bulghah, atau biaya. Tapi penyertaaan biaya sebagai syarat bukan semena ingin mengindustrikan pendidikan seperti yang kita saksikan dewasa ini. Penyertaan biaya sebagai syarat hanya berlaku sebagai syarat pendukung (sekunder) untuk belajar.

    Kasusnya akan berbeda lagi jika membicarakan Industri pendidikan. Persoalan mahalnya pen-didikan Indonesia seolah menjadi momok. Meskipun usaha untuk membebaskan biaya SPP dari tingkat SD sampai SMA sudah menjadi program pemerintah tapi masih saja banyak kalangan yang terbebani dengan biaya sampingan di luar SPP yang telah digratiskan. Belum lagi persoalan tak terjangkaunya sekolah favorit; di sana seolah ada plang: Orang Miskin Dilarang Masuk!.

    Inilah ciri pendidikan industri. Di sana ada usaha tawar-menawar produk, promosi dan persaingan harga dan kualitas. Pada ahkirnya memang akan tercipta sebuah hirarki. Pendidi-kan yang layak bukan lagi hak semua bangsa tapi menjadi hak kelas atas. Pendidikan kelas bobrok menjadi akses tak tergantikan bagi mereka yang tak berduit. Pada akhirnya, kon-

    sentrasi pendidikan untuk kesetaraan menjadi mandul: sebab ia didesain seperti industri, seperti celana Levis kelas orisinil dan kelas KW yang berbeda konsumen.

    **+

    Di saat maraknya promosi kuantitas pendidi-kan Indonesia dengan perbaikan akses dan atau pemenuhan standarisasi, muncul suatu dilema. Sarjana bermunculan, sarjana men-jamur di mana-mana; dengan berbagai jurusan dan keahliannya. Dimana letak dilematisnya? Telah maklum bahwa mekanisme pasar mengenalkan tentang hukum permintaan yang berbunyi: Semakin turun tingkat harga, maka semakin banyak jumlah barang yang tersedia diminta, dan sebaliknya semakin naik tingkat harga semakin sedikit jumlah barang yang bersedia diminta. (id.wikipedia.com).

    Hukum itu yang akhirnya berlaku di dalam dunia pendidikan. Ilustrasinya: sarjana (produk) semakin banyak dan menjamur ham-pir di semua tingkat jurusan, maka konsek-uensinya, harga Sarjana semakin turun. Banyak sarjana yang menganggur. Fenomena yang menjadi contoh kongkrit adalah kasus yang diberitakan Kompas, Jumat 10 April 2015: Sutriyani, seorang sarjana fisika ber-IPK 3, 49 berjualan jamu keliling. Inilah yang akhirnya tercipta dari industrialisasi pendidikan: kuanti-tas yang besar hanya bernilai tinggi di meja badan statistika (bahwa kuantitas sarjana meningkat) tapi nihil dalam kenyataannya.

    Kasus seperti ini serba dilematis. Pemerintah sedang instens memberikan pendidkan yang kuantitasnya melambung ke atas. Tapi di sisi lain, pendidikan yang tinggi, yang ditandai dengan nilai di atas kertas, bukan lagi menjadi jaminan kesejahteraan mereka Yang Terpela-jar. Barangkali itu tidak hanya terjadi di mile-nium ini, sebuah lagu dari Iwan Fals Sarjana Muda (1981) setidaknya mampu memotret apa yang juga terjadi di akhir milenium 2000.

    Dijual: Pendidikan Indonesia Beserta Seluruh Permasalahan di Dalamnya

    M.S. Arifin

    Analisa Nusantara

  • 7

    Pendidikan Indonesia harus banyak berbenah lagi.

    **+

    Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidi-kan, pemerintah menseragamkan kurikulum. Sejak Orde Baru, menurut perhitungan Tempo, Indonesia sudah tujuh kali berganti kurikulum. Berikut data yang dihimpun Tempo: *1+ Kuriku-lum 1968, *2+ Kurikulum 1975, *3+ Kurikulum 1984, *4+ Kurikulum 1994, *5+ Kurikulum 2014, *6+ Krikulum 2006, *7+ Kurikulum 2013. Data ini menunjukkan usaha yang problematis dari pemerintah, setidaknya menurut beberapa kalangan.

    Keseragaman kurikulum yang selalu ditetapkan pemerintah ini hampir serupa dengan kode industri. Jika pemerintah itu ibarat pabrik, maka ia memproduksi pelajar-pelajar secara seragam. Produk yang seragam ini memper-dalam permasalahan: pada pungkasnya, output yang selaras dengan tujuan pemerintah bukan output yang atas dasar kecendrungan pelajar. Hanya tersisa robot: alat yang melakukan apa-pun sesuai program yang dijalankan. Apapun yang dilakukan robot, ia tak bisa lepas dari se-buah sistem yang menjalankannya. Pertan-yaannya: apakah manusia sama dengan robot?

    Lebih-lebih, peran kurikulum semacam jadi bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan bagi masyarakat, pertanggungjawaban kepada so-sial. Kompleksitas masalah yang bergulir di masyarakat hampir saja luput dari perhatian kurikulum. Kualitas pendidikan di sini ibarat agen rahasia: ia adalah keintiman yang menjadi milik suatu kelompok, bukan milik semua bang-sa.

    **+

    Sebagai analisa dasar dan mendasar, ketiga permasalahan di atas berpusat pada masalah persepsi. Persepsi kita tentang pendidikan te-lah melenceng jauh: ia hampir tidak hadir se-bagai kenyataan a priori, yakni pendidikan se-bagai pendidikan an sich tapi pendidikan se-bagai pendidikan. Alhasil, praktek industri dalam tubuh pendidikan mendapat legistimasi

    akibat persepsi yang salah tersebut.

    Pendidikan yang seharusnya mendidik orang menjadi Terdidik telah bergeser lima senti menjadi pendidikan yang mengajarkan orang untuk menjadi Terpelajar. Pembedaan antara Terdidik dan Terpelajar bukan tanpa alasan. Terma Terdidik lebih kompleks dari Terpelajar sebab pembacaan terhadap keduanya adalah pembacaan terhadap karak-teristik. Terdidik tak hanya mengutamakan kompetensi akademik dan ketrampilan tapi juga unsur afektif, juga unsur moralitas. Terpelajar tak sedalam itu, orang yang pintar secara akademik pantas dikatakan terpelajar tapi belum bisa dikatakan terdidik jika ia tidak mempunyai norma (bahasa agamanya akhlak) yang baik (seperti para koruptor yang kita ketahui nyaris semuanya dari kaum ter-pelajar).

    Tujuan pendidikan (beserta sistem, basis ku-rikulum, dan visi-misi) harus menuju pada satu gerbang: Pendidikan sebagai pendidikan. Artinya, pendidikan harus mampu mencetak generasi yang terdidik, bukan hanya terpelajar. Dengan demikian, persoalan biaya, kuantitas, dan kualitas bisa dikembalikan pada tujuan awal pendidikan, tujuan yang tanpa tanda petik. Industrialisasi pendidikan akan mer-eduksi makna pendidikan itu sendiri sehingga akibatnya bukan main-main: sebab kita tahu, kebutuhan kita terhadap pendidikan tidak sa-ma dengan kebutuhan kita terhadap produk insdustri. Terhadap pendidikan, kita sebagai subjek yang harus aktif melakukan inovasi dan menciptakan situasi. Sedangkan terhadap produk industri, kita cenderung diciptakan oleh pasar dan menjadi objek dari sistem kapitalis.

    Tapi rasa pesisimisme terhadap kemajuan pen-didikan Indonesia serasa beralasan. Signifikansi perubahan dan renovasi berbagai ranah ber-jalan seperti siput. Di saat negara tetangga berlomba menciptakan pendidikan yang berkualitas, kita malah sibuk membuat se-panduk besar: Dijual: Pendidikan Indonesia Beserta Seluruh Permasalah di Dalamnya! Ayo, siapa yang mau beli? *+

    Analisa Nusantara

  • 8

    Ketika beberapa hari lalu Dr. Abbas Shouman, Wakil Grand Syekh Al-Azhar, menanggapi bah-wa penurunan yang bisa dikatakan drastis pada hasil ujian akhir siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Al-Azhar, merupakan perbaikan sistem dan administrasi di lembaga Al-Azhar, ini bukanlah suatu yang memalukan atau bentuk pengacuhan lembaga kependidikan, justru ini merupakan langkah yang tepat dalam peru-bahan. Akan tidak tepat dan menjadi persoalan adalah, ketika hasil penurunan ujian ini diper-sepsikan sebagai kegagalan Al-Azhar dalam dunia pendidikan. Karena ketika suatu hasil ujian mengalami penurunan lalu dipersepsikan sebagai suatu yang gagal, maka secara tidak langsung akan menimbulkan persepsi lain: sesuatu itu akan tidak dianggap gagal dan baik ketika hasil itu memuaskan, entah bagaimana caranya. Sebab, menganggap bahwa terjadinya penurunan pada hasil ujian SMA Al-Azhar merupakan suatu bentuk kegagalan, kegagalan persepsi yang bukan hanya parsial tapi juga salah.

    Hadirnya kesalahan yang kaprah dalam cara berpikir di atas, merupakan kesalahan dalam memahami bagaimana arti atau bentuk pen-didikan itu sendiri, dalam hal ini kaitannya ter-hadap Al-Azhar sebagai sebuah institusi pen-didikan. Di sini pendidikan lebih disadari hanya sebagai syarat dan tuntutan, agar mendapat-kan keterampilan untuk tujuan yang di-inginkan, sementara Al-Azhar merupakan jem-batan yang berfungsi untuk memberi pengakuan itu. Kondisi ini sayangnya tidak han-ya terjadi di tingkat Sekolah Menengah Atas (tsanawiyah), namun juga di tingkat universitas (jamiah); dalam pengamatannya tentang per-jalanan warga Afrika Barat yang melanjutkan studi di Mesir (Afrique Contemporaine, 2009), Sophie Bava menandai bahwa salah motif uta-ma mereka datang ke Mesir dengan status kuliah di Al-Azhar adalah mencari penghidupan

    yang lebih baik dari negaranya. Pada nantinya kondisi ini dapat melebar bukan saja terkait tentang mencari penghidupan, namun juga dalam perkembangan intelektual dan mental individu mereka.

    Pada pengertian yang paling mendasar dalam titik ini, bahwa ada sikap ke-alergi-an dengan pendidikan Islam terutama terhadap Al-Azhar, yang terkesan dijauhi oleh para pelajar luar Al-Azhar maupun pelajar Al-Azhar itu sendiri. Artinya bahwa model pendidikan yang ditawar-kan oleh Al-Azhar merupakan suatu bentuk pendidikan yang kuno dan terkesan adem-ayemuntuk tidak mengatakan kurang lakujika melihat Al-Azhar yang sudah berumur, yang kemudian dihadapkan dengan realitas; bahwa sekarang sudah tidak zaman lagi nenteng kitab kuno. Dengan kesan ke-adem-ayem-an menegaskan bahwa Al-Azhar men-galami metode pendidikan yang hanya itu-itu saja, stagnan, dan tidak memiliki daya ledak bagi perkembangan dunia modern. Sedangkan model Al-Azhar yang selalu membawa kitab klasik, menitikberatkan kepada model seseorang yang secara otomatis memiliki pengetahuan yang luas, dengan demikian lalu bagaimana dengan orang yang tidak mendala-mi ilmu agama, apa mereka secara otomatis berpengetahuan di bawah prestasi?

    Jalan berpikir yang demikian itu tentu, akan membuat seolah Al-Azhar dalam abad ini tidak akan menemukan pembenarannya, dan mem-buat Al-Azhar pada posisi yang ambivalen; satu sisi dituntutnya pendidikan untuk mengejar ketertinggalan, karena sejauh pemahaman mereka, Al-Azhar adalah model kualitas pen-didikan rendah; di sisi lain ketika adanya ket-ertuntutan semacam itu, secara jelas ada tradi-si yang harus dikorbankan. Dalam posisi yang semacam ini, maka jalan yang paling baik ada-lah dengan melihat narasi awal Al-Azhar, ketika konsep pendidikan itu terbentuk, karena

    Al-Azhar dan Tradisi Keilmuan yang Melestari

    Wais Al-Qorny

    Timur Tengah

  • 9

    sepanjang segala peristiwa yang telah terjadi, keberadaan bentuk pendidikan yang datang akan kembali pada abad pertengahan, se-dangkan untuk yang lain merupakan produk dari masa modern.

    Karenanya, melihat betapa cepatnya perkem-bangan pengetahuan yang masuk ke Mesir, maka pada tahun 1936 para petinggi Al-Azhar membuat suatu perubahan wacana terkait reformasi pendidikan. Dalam hal ini Prof. Abbas al-Gamal adalah salah satu yang men-guatkan kemandirian bahasa Arab dari gempu-ran masa modern, dengan banyaknya pem-belajaran satu majlis, kajian-kajian keilmuan serta doa dalam setiap pem-belajaran. Pembelaja-ran yang ketika awal masuk Al-Azhar, siswa secara halus diarahkan menulis dan berpikir benar, hanya ketika sudah terbuka pikirannya, siswa dianjurkan untuk membaca buku yang lebih kompleks dan menantang dari buku pelajaran. Pada akhirnya gerakan semod-el ini, menjadi salah satu penyebab penge-tahuan dapat terjaga dan melestari dalam dunia Islam sejak abad ke-19, dan juga sebagai warisan kumulatif yang relatif panjang pada masa skolastik dalam kebahasaan dan pendidi-kan agama. Karenanya tanpa ini siswa Al-Azhar tidak dapat melanjutkan bagaimana tradisi pendidikan Al-Azhar.

    Demi terbidaninya tradisi keilmuan yang sudah temurun di Al-Azhar, syekh Abul Wafa El-Maraghi mencatat semangat Mohammad Ali ingin menjadikan Mesir muncul sebagai sebuah bangsa yang kuat, bangsa yang memiliki semua saran pengetahuan dan sekaligus penguasaan atas alat-alat kekuasaan. Maka langkah per-tamanya adalah dengan mengirimkan bebera-pa delegasi Al-Azhar untuk studi ke luar negeri, sehingga pada sekembalinya mereka ke Mesir mereka akan menjadi instrumen kemajuan pendidikan sekaligus kemajuan nasional. Da-lam catatannya Al-Azhar memiliki anggota di tiga misi penilitian, pertama di tahun 1826 di-

    mana ada tiga siswa Al-Azhar salah satunya syaikh El-Tahtawi, yang mengambil spesialis penerjemah, kedua pada tahun 1832 dengan jumlah siswa 12, mengambil jurusan medis, dan ketiga pada tahun 1847 dengan program studi ilmu hukum, dimana ada lima siswa dida-lamnya.

    Sampai di sini, bahwa pentingnya menjaga tradisi pendidikan Al-Azhar sangat disadari betul oleh para guru Al-Azhar, mengingat ekses destruktif yang dibawa pada masa modern akan mempengaruhi tradisi keilmuan Al-Azhar. Sehingga kemajuan Mesir khususnya Al-Azhar

    tidaklah dilihat dari seberapa jauh kema-juan materi yang dihasilkan, tapi lebih kepada seberapa besar fungsi lembaga pendidikandalam hal ini Al-Azharterhadap kehidupan

    Mesir yang tradisi keilmuan sudah menjadi bagian darinya. Oleh karena itu siswa Al-Azhar tidak akan mampu untuk membawa kemajuan peradaban kecuali dengan mengekpresikan diri mereka secara jelas dan efektif dengan pemikirannya melalui suara ataupun pemikiran di atas kertas. Dengan bentuk ek-spresi bebas tadi yang dilakukan secara terus menerus, akan membentuk karakter dan mengembangkan keterampilan mereka dari pemahaman dan penuh kearifan.

    Al-Azhar dengan sejarah perjalanannya yang panjang, dengan pendidikannya, yang men-dorong kebebasan yang berdasarkan karakter agama dan selalu mendorong untuk berek-spresi bebas, yang kebebasan itu sendiri dijaga oleh pemahaman yang penuh kearifan; dengan pendidikannya hadir nilai potensial yang mun-cul dari sebuah universitas kuno yang melampaui batas-batas negara dimana itu mencapai cakrawala terjauh dari dunia Islam, dan pendidikan yang sebagaimana Taha Husain ungkapkan: Pendidikan adalah hak-hak bagi orang-orang seperti hak mereka akan udara dan air.*+

    Timur Tengah

  • 10

    Perantau ilmu merupakan status seorang ma-hasiswa yang menuntut ilmu diluar daerah, termasuk luar negaranya sendiri. Khususnya kita Masisir. Dengan jarak yang begitu jauh dengan negara asal, maka kita dituntut untuk menjadi sosok yang mandiri namun terpantau dengan mata hati kedua orang tua. Orang tua kita yang jauh tidak mungkin memantau secara detail apa yang kita lakukan di negara orang, namun pada asalnya kita di sini memiliki niat untuk menutut ilmu dengan tekun. Maka dari itu Indonesia sebagai negara yang demokrasi mengutus atase pendidikan sebagai wahana memberi kemudahan komunikasi untuk segala permasalahan yang dihadapi oleh para maha-siswa di luar negeri layaknya orang tua. Se-bagaimana ketika kita membutuhkan sarana untuk mengembangkan potensi, akan lari kepada siapa lagi jika bukan kepada orang tua? Maka ketika di negeri perantauan kemana lagi kita akan lari kalau bukan ke ATDIK?

    Sejauh ini masih ada Masisir (red : anak) yang belum memahami siapa itu ATDIK (red : bapak-nya). Bagaimana bisa seorang anak tidak mengenali siapa bapaknya? Padahal hakikatnya seorang anak mendapat kasih sa-yang dan perhatian dari seorang bapak, sosok yang menjadi pahlawan baginya ketika ia mera-sa tidak puas dengan sesuatu, tapi bagaimana mungkin seorang anak tidak mengenali bapak-nya sendiri? Bahkan bertatap mukapun mung-kin tidak pernah. Mungkin karena jarangnya seorang bapak bertemu dengan anak-anaknya menjadikan sebagian dari Masisir tidak menge-tahui siapa itu ATDIK. Atau mungkin hanya kalangan minoritas (minoritas dalam arti dia yang sama sekali atau jarang sekali berkecimpung dalam dunia organisasi dan tid-ak tahu menahu apa itu KBRI, dan apa itu ATDIK) saja yang tidak mengetahui siapa itu ATDIK? Padahal kalangan minoritas itu juga bagian dari anak- anak ATDIK, yang berhak

    tahu siapakah orang tua mereka di negara orang. Begitu juga berhak mendapat ke-bijakannya.

    Jauh-jauh dari Indonesia tentu kita memiliki tujuan dalam menjalani lika-liku kehidupan di negara orang. Tidak lain tujuan itu adalah menuntut ilmu hingga bisa memanfaatkan ilmu tersebut, baik untuk kehidupan pribadi mau-pun kehidupan sosial. Tidak jarang orang tua yang mengatakan lewat telepon genggam nak belajar yang rajin ya, tak jauh beda dengan ATDIK sebagai orang tua kita di negeri rantauan ini. ATDIK juga menginginkan maha-siswa untuk belajar dengan tekun supaya mendapat nilai mumtaz, atau jika ada mumtaz jiddan maka raihlah untuk itu. Ujung dari semua itu adalah supaya kita mudah mendapat pekerjaan . Karena bagaimanapun seorang pelamar pekerjaan pada jaman sekarang sudah barang tentu mensyaratkan ijazah sebagai buk-ti bahwa ia patut dipekerjakan atau tidak, lalu ujung-ujungnya melihat seberapa tinggi nilai tersebut (khususnya di Indonesia). Padahal jika kita berhasil membuka lahan pekerjaan sendiri apalah arti dari ijazah? Apalah arti dari nilai mumtaz? Mungkin orang yang kreatif akan lebih berguna dibandingkan orang yang hanya memiliki nilai akademis tinggi.

    Lagipula ketika kita belajar pada fakultas syari-ah bukan berarti kita harus menjadi seorang pengacara, guru atau lainnya yang berhub-ungan dengan syariah. Begitu pula dengan fakultas yang lain. Apakah ketika kita belajar di fakultas filsafat kita harus jadi seorang ahli fil-safat? Sedangkan lingkungan kita adalah orang-orang awam yang tidak akan sampai logikanya. Jadi apapun mahasiswa nanti, yang paling penting bukankan mendapat pekerjaan sesuai dengan fakultasnya namun yang terpenting adalah bisa memanfaatkan ilmu yang sudah ia dapatkan untuk pribadi, keluarga, dan masyarakat. Beginilah jika diringkas, seolah-

    Antara Idealis dan Realistis; Kenyataan Menjadi Seorang Masisir di Mata Pejabat dan Umum

    Laila Nur Hidayati

    Opini

  • 11

    olah bapak ATDIK menginginkan kita belajar dengan tekun supaya mendapat nilai yang memuaskan kemuadian memudahkan kita mendapat pekerjaan sesuai dengan apa yang ia pelajari, lalu bisa membiayai hidup. Padahal hidup tak sesederhana itu.

    Mendapat nilai mumtaz merupakan impian semua mahasiswa, namun antara mahasiwa yang satu dengan mahasiswa yang lain ber-beda-beda. Tidak semua mahasiswa memiliki waktu belajar yang sama walaupun dalam sehari kita semua memiliki jatah waktu yang sama. Bahkan setiap mahasiswa memiliki ma-salah dimasing-masing dirinya. Bagaimana dengan mahasiswa yang tak memiliki asupan uang untuk menjalani lika-liku kehidupannya? Apakah ia hanya memikirkan pelajaran saja? Lalu bagaimana dengan mahasiswa yang memiliki penyakit? Apakah ia memikirkan pelajarannya saja? Bagaimana dengan ma-hasiswa yang memiliki kesulitan belajar? Inilah pancaran dari mahasiswa yang tidak bisa hidup hanya untuk belajar dan harus mendapat nilai memuaskan. Namun jika mahasiswa itu ada-lah anak orang yang mampu, sehat rohani dan jasmani, dan mumpuni mungkin apa yang di-inginkan oleh ATDIK bisa ia realisasikan, namun bagi mereka (mahasiswa)- tidak seperti itu. Mereka harus membagi waktu, antara perma-salahannya dengan waktu belajarnya.

    Melihat usaha ATDIK mengirim surat kepada kedua orang tua kita di Indonesia merupakan kebijakan yang menghabis-habiskan waktu. Bagaimana tidak? Inti dari surat tersebut ada-lah memberi tahu perihal nilai. Padahal sebe-lum surat itu tiba ditangan orang tua kita, pasti mereka sudah tau apa nilai kita, keculai sedikit oknum yang mungkin merahasiakan nilainya dari kedua orang tuanya karena berbagai alasan. Contoh dari alasan itu mungkin karena

    ia rasib, sehingga tidak ingin kedua orang tuanya sedih. Nah, contoh seperti itulah yang merujuk bahwa kebijakan pengiriman surat cinta itu sia-sia , karena ATDIK hanya mengi-rimkan surat kepada mahasiswa yang memiliki nilai baik saja. Sedangkan kebanyakan maha-siswa yang memiliki nilai baik sudah barang tentu mereka memberi tahu kepada orang tuanya, dengan teknologi yang semakin canggih.

    Kita yakin kebijakan ATDIK pasti menginginkan yang terbaik bagi mahasiswa (red : anaknya). Dari surat cinta itu ATDIK menginginkan supa-ya mahasiswa menjadi semangat belajar dan

    meningkatkan pres-tasinya, padahal banyak hal untuk meningkatkan prestasi selain mengi-rimkan surat cinta. Lagi pula orang tua hanya bisa mendapat kabar dari kita, kita tidak bela-jar dengan orang tua kita, namun kita belajar dengan guru-guru kita, entah itu masyayih, kakak kelas, atau justru rekan seperjuangan.

    Jadi alangkah lebih indahnya jika ATDIK menginginkan prestasi yang baik bagi maha-siswa maka membuat kebijakan yang berisi di dalamnya sitem keilmuan. Seperti hal, menga-dakan lomba pidato Bahasa Arab bagi pelajar Indonesia di Mesir. Maka mudah sekali bukan hal tersebut dilakukan oleh ATDIK, yakni men-gadakan liqo keilmuan untuk meningkatkan prestasi Masisir dan menikatkan skill dari ma-hasiswa?

    Kehidupan mahasiswa sudah bukan sekedar

    mengejar nilai, namun bagaimana ia bisa hidup

    mandiri dan bisa bermanfaat dalam bersosial-

    isasi. Jika ideologi ATDIK masih seperti itu, per-

    lu baginya mempelajari apa itu arti Masisir,

    siapa itu Masisir, bagaimana itu Masisir,

    bahkan jika perlu cobalah menjadi seorang

    Masisir.

    Opini

  • 12

    Pendidikan di era kontemporer menjadi syarat mutlak untuk umat manusia dalam menggapai dan menaikkan derajatnya di tengah-tengah masyarakat. Bahkan menjadikannya sebagai syarat mutlak yang harus ditempuh oleh masyarakat di negara berkembang maupun maju. Tujuannya adalah agar negaranya bisa menjadi maju dan masyarakatnya mampu ber-pikir kritis dan mandiri. Dan bisa juga mengejar ketertinggalan produksi sandang, bahan dan pangan dalam negara. Sehingga kemiskinan dan kebodohan tidak menjadi beban serius di dalam negara. Terutama negara berkembang.

    Dibalik adanya manfaat pendidikan yang diberikan kepada manusia ini, ada alasan lain yang menyebabkan negara mewajibkan rakyatnya untuk menjalani pendidikan formal yang diselenggarakan oleh badan resmi negara sendiri ataupun milik swasta. Yaitu pendidikan sebagai tranformasi keilmuan dari masa-masa agar manusia tidak lagi kembali ke era primitif lagi. Dalam artian, hidup dengan kekuatan un-tuk mempertahankan kehidupannya dengan berburu, berpindah-pindah tempat dan hukum rimba. Dari sini, dipahami, betapa nilai pendidi-kan itu begitu penting untuk dilaksanakan da-lam struktur sosial ini. Meski dalam pelaksa-naannya, konsep yang lahir untuk meneguhkan identitas pendidikan sebagai badan formal dan wadah pembentukan karakter beragam wujud-nya. Sehingga mengalami ketegangan konsep dan pemaknaan mengenainya. Terutama di dalam pelaksanaan konsepnya di negara berkembang, cara berpikir masyarakatnya be-lum bisa memenuhi kedewasaan sikap dan berpikir luas bisa mengancam fungsi pendidi-kan itu sendiri sebagai sebuah keharusan. Apa-lagi pelaksanaan pendidikan tersebut diterap-kan di masyarakat yang telah berubah menjadi masyarakat indrustialis, bisa menggerus tradisi masyarakat tradisonalis dan agraris. Dan par-ahnya, juga bisa mengubah makna pendidikan hanya disadari sebagai kewajiban formal yang

    harus dijalani oleh warga masyarakat sesuai undang-undang yang berlaku. Jika demikian adanya, apa masalah yang mendasari di sini, sehingga pendidikan harus kembali diuraikan dalam wacana kontemporer saat ini?

    Tidak banyak masalah yang akan diuraikan di sini. Apalagi membahas permasalahan mengenai konsep pendidikan nasional dan isu-isu mengenai undang-undang nasional pendidi-kan yang selalu berubah dari tahun ke tahun yang menjadi problem akut setiap tahun. Tapi penulis di sini fokus pada persepsi manusia dalam memahami pendidikan untuk murid dan guru serta pemerintahan. Hanya sekedar mem-bahas makna yang menyublim dalam pemikiran orang dan kemudian menjadi lan-dasan pembenaran subtansial untuk dirinya dan objeknya-masyarakat yang dihadapinya atau murid. Dan pendedahan makna ini akan direlasikan dengan realita yang sedang berlaku saat ini untuk menguji fungsi pendidikan anta-ra keharusan dan formalitas belaka. Sehingga pemendaran makna yang hadir dalam lelaku manusia-mahasiswa, guru, intelektual, pen-didik, dan budayawan, bukanlah sudut pan-dang positifis saja, tapi juga menyerap makna humaniora dalam sistemnya. Tesis ini untuk menjawab tuduhan bahwa derajat dan kualitas manusia dalam kehidupan dan kelayakannya hanya ditentukan oleh lembaga pendidikan formal. Sedangkan menjadi manusia berkarak-ter adil dan beradab bukanlah prioritas utama di saat mereka masih menjadi diri sebagai murid atau pun mahasiswa yang seharusnya ditanamkan dalam kesadaran mereka. Tapi yang menjadi tujuan adalah keberhasian me-lalui ujian formal dan nilai tertinggi dari kuliah ataupun sekolah. Dan pemaknaan ini memben-tuk absurditas makna pendidikan dalam waca-na membangun manusia adil dan beradab. Dan juga membentuk adanya absurditas standard dan ukuran keberhasilan sebagai manusia seutuhnya. Terutama statusnya sebagai

    Sublimasi1 Makna Pendidikan dalam Pemahaman Manusia Modern

    Nashifuddin Luthfi

    Kajian

  • 13

    makhluk sosial. Dari perihal inilah, kajian mengenai sublimitas makna pendidikan dalam pemamaham manusia modern ini lahir untuk memberi perimbangan pandangan yang proposianal secara ilmiah. Setidaknya dalam sudut pandang logika strutkturalis.

    Pendidikan berasal dari kata didik yang di-artikan sebagai memberi ajaran, latihan, mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Se-dangkan dalam tradisi Bahasa Arab, pendidikan dikaitan dengan kata talm dan tarbiyah yang mempunyai makna sebagai pendidikan dan pengajaran kepada umat manusia agar men-jadi pandai, berbudi dan berpengetahuan luas. Sedangkan dalam Bahasa Inggris diter-jemahkan dengan education yang berarti pen-didikan. Makna mengajari dan melatih diri menjadi orang yang berilmu ini mencakup dua bidang, koginitif dan budi pekerti. Dengan arti lain, bahwa adanya pendidikan adalah untuk mengajari manusia menjadi orang yang berilmu luas dan berbudi luhur. Kemudian makna ini diletakkan sebagai pengetahuan dasar tentang kata pendidikan. Dan pada tahap ini, makna ini menunjukkan tujuan mula-mula konsepsi manusia terhadap arti pendidikan sebagai sistem yang bisa mengajari manusia berbudi luhur. Lalu membentuk kesadaran bersama dalam memahami kegiatan saling memberi tahu dan menceritakan kebaikan dengan maksud agar ditiru sebagai kebaikan dalam laku kesadaran ataupun intraksi sosial dengan kata pendidikan. Kemudian menjadi tradisi berkelanjutan yang diabadikan dalam kata pendidikan. Meski cakupan awalnya ada-lah meniru dan mencotoh tradisi lama, pen-didikan kemudian dipahami sebagai sistem dan pengetahuan yang diajarkan di sekolah atau pun universitas.

    Polarisasi makna yang terjadi pada kata pen-didikan tersebut, meski tidak terartefakkan secara material, yakni dalam nilai dan norma yang ada dimasyarakat sebagai undang-undang, tapi kata dasar makna tersebut menunjukan pengembangan yang terjadi di masyarakat. Apalagi pada era sekarang ini, pendidikan telah menjelma sebagai intitusi

    yang ada dibawah negara, menunjukkan jelas polarisasi makna pendidikan dari masa ke ma-sa. Hal ini sesuai dengan konsep filsafat bahasa yang mengatakan bahwa kata mempunyai sig-nifikansi makna tradisi, agama, bahasa, analogi2. Yang kesemuanya diwakili kata ter-sirat dan tersurat. Artinya tersurat ya itu mak-na kata bisa dengan mudah dipahami secara langsung tanpa harus mengurai penanda-penanda yang menjelaskan maknanya secara eklusif. Sedangkan tersirat, artinya, makna kata harus diuraikan penanda-penandanya agar bisa memberikan pengertian secara mendalam tentang bingkai rasionalnya yang sesuai standar ilmu yang ada. Karena hanya menggunakan makna bahasanya saja tidak cukup memberikan pengertian maksud dari kata. Sehingga membutuhkan perangkat men-dalam untuk mendedahnya, baik secara psikologi, kesadaran linguistik dan kesadaran parole. Fungsinya adalah agar kaitan makna yang terjadi tidak saling memunggungi satu sama lain tapi saling menguatkan secara esen-sial dan eksistensial dalam kesadaran manusia, baik secara subjektif maupun objektif.3

    Untuk menguatkan logika ini, meminjam anali-sa Peter Barger, bahwa sejak lahir manusia mula-mula telah mengenal bahasa sekitarnya, terkhusus dalam hal ini, mengenali kata pen-didikan sebagai cara memperoleh penge-tahuan di sekolah atau pun melalui instansi formal atau pun melalui pengajaran guru. Manusia mula-mula memahaminya sebagai bentuk kenyataan objektif yang ia temukan apa adanya dalam konstruks masyarakat sosial. Kemudian meletakkannya dalam kesadaran dirinya sebagai bentuk subjektif dengan mem-berikan kategorisasi makna yang ia pahami tentang pendidikan sebagai sebuah kebena-ran4. Pijakan ini memberikan penegasan bah-wa ada pertautan makna, kesadaran, waktu dan problem yang terjadi pada manusia dalam memahami kata pendidikan sebagai sebuah lembaga dan kata kerja. Sehingga ketika pada saat ini, kata pendidikan hanya dilegalkan pada usaha mendapatkan ijazah, tentunya peletakan makna ini mencederai maksud dan tujuan awal kata pendidikan. Sehingga peletakan makna

    Kajian

  • 14

    tersebut perlu diurai kembali dengan men-dialektika-kan maksud sang peletak makna tersebut.

    Pada kasus ini, pendidikan pada lingkup kecil, contoh di Masisir, diletakan pada ruang for-malitas dan ijazah saja, yang tidak boleh ada kaitannya dengan aktifitas di luar formal oleh lembaga resmi dari negara Indonesia di sini. Sehingga akhir-akhir ini menjadi wacana berkembang yang merembet pada berbagai hal. Sehingga bisa mempengaruhi pende-wasaan nalar manusia. Benar atau tidaknya, bukan itu yang menjadi permasalahan dalam polarisasi makna di sini. Tapi standar peletak-kan makna terhadap arti pendidikan pada for-malitas-akademik saja, membatasi kesadaran manusia belajar menjadi manusia. Kalau pem-batasan makna di atas diletakkan sebagai ben-tuk formalitas, maka standar makna pendidi-kan tidak lagi diarahkan pada makna berbudi luhur, tapi hidup formal dan bersertifikat. Dan hukum budi luhur harus juga diukur secara formal. Sedangkan nilai-nilai menghormati dalam tradisi kemanusiaan, tidak perlu diu-raikan lagi, karena hal tersebut tidak diatur dalam undang-undang formal pendidikan. Dan yang ada dalam undang-undang pendidikan adalah mempunyai ijazah, nilai dan kartu pela-jar. Tentunya, hal ini menyebabkan pemak-naan pendidikan tidak relevan untuk diarahkan pada nilai Pancasila yang kedua, yaitu, keman-usiaan yang adil dan beradab. Atau pun diara-hkan pada konsep pendidikan agama Islam, menjadi manusia berkarakter, berkepribadian baik, takwa dan bertanggungjawab5. Pengklaiman makna pendidikan dan esensi pendidikan di atas sepatutnya untuk diurai secara lebih mendetail untuk mengetahui po-larisasi maknanya.

    Untuk menjembatani konflik pemaknaan atas eksistensi kata pendidikan ini, pendekatan kesadaran objektifitas makna dipertaruhkan otoritasnya. Agar bisa memberikan penyarin-gan makna yang independen untuk kenyataan pada umumnya, sebelum diklaim oleh satu pihak sebagai makna yang benar. Kesadarannya adalah bahwa itensi pembaca

    terhadap kata pendidikan ini dipengaruhi oleh latarbelakang masing-masing. Yang latarbe-lakang sebagai pejabat, akan memandang bah-wa pendidikan sebagai bentuk formal yang harus dijalankan, tanpa ber-apologetik pada realita dirinya. Sedangkan yang berasal dari budayawan akan mengatakan bahwa pendidi-kan adalah cara membaca manusia terhadap dirinya, lingkungan sekitar dan buku bacaann-ya sebagai ilmu pengetahuan. Yang berlatarbe-lakang orang biasa akan mengatakan bahwa pendidikan sebagai bentuk kewajiban yang harus dijalani oleh warga tanpa mengetahui visi kedepannya setelah berhasil me-nyelesaikan pendidikan, selain untuk memper-baiki nasib. Yang berlatarbelakang pedesaan, memandang bahwa pendidikan hanya untuk orang-orang kaya dan tidak bisa mengajarkan kejujuran pada anak-anak didik. Dan latarbe-lakang yang lainnya, mempengaruhi sudut pandang pemaknaan kata pendidikan. Kesadaran dasar menjadi cara melihat setiap masing-masing individu dalam mengartikan pendidikan sebagai alat pembelajaran.

    Ketika meletakkan kesadaran di atas ini pada kasus yang terjadi pada konflik Masisir, teruta-ma lembaga ATDIK dan para mahasiswa al-Azhar yang berkaitan tentang relasi pelajar, kerja, visa dan kewajibannya, mengurucut pa-da makna bahwa pendidikan adalah jalur akademis yang tidak boleh dicampuradukan dengan kebutuhan sehari-sehari. Bahwa pela-jar yang saat ini terdaftar sebagai pelajar, ha-rus menjalani darma sebagai pelajar saja, yakni pergi ke kuliah dan ikut ujian. Selain kegiatan itu, berarti melanggar ketentuan dari makna pendidikan. Sedangkan pada pihak lain, maha-siswa, mengartikan, bahwa menjalani hidup dengan bekerja, bersosial adalah bagian dari sarana pendidikan menjadi lebih baik. Dengan bekerja, mahasiswa bisa memenuhi kebu-tuhannya sehari, terutama untuk membeli buku dan membayar uang semester kuliah. Tapi ada juga memahami bahwa pendidikan adalah kegiatan akademis yang tidak hanya ditempuh dikuliah saja, tapi juga dengan berkarya dan menyumbangkan pemikiran. Dan

    Kajian

  • 15

    tentunya, masih ada banyak sudut pandang lain yang memendar dalam memahami arti dan fungsi pendidikan, baik sebagai lembaga formal dan sebagai cara memperoleh penge-tahuan. Perbedaan yang ada ini, hadir dari adanya perbedaan latar belakang dan tanggungjawab yang melekat pada diri mereka masing-masing. Dan pastinya, ketika mereka ditanya, baik ATDIK ataupun pihak mahasiswa, akan mengatakan bahwa pemaknaan dia ten-tang pendidikanlah yang paling benar. Se-dangkan pemaknaan orang lain, dianggap sa-lah. Atau menjadi sama benarnya ketika di-maknai dengan arti asal muasal kata pendidi-kan lahir.

    Jika hal ini ditarik kembali pada unsur-unsur ada dalam kata pendidikan, seharusnya, pen-didikan yang telah termaterialkan dalam ben-tuk lembaga, tetap menjaga unsur idealitasnya sebagai pembentuk karakter manusia yang adil dan beradab. Dan begitu juga penegak pen-didikan juga harus bisa mengimprovisasi mak-na pendidikan secara lebih lues untuk mengkategorikan mahasiswa-mahasiswa se-bagai seorang pelajar. Tidak hanya membatasi pada makna formalnya, saja, tapi juga perlu mengkaitkan makna logosentris bahasa yang mula-mula memendar dalam kesadaran manu-sia. Agar ketegangan makna pendidikan bisa disikapi secara lebih dini untuk mengatakan bahwa itu salah dan melanggar ketentuan makna pendidikan seorang pelajar.

    Dari kacamata ini, sublimisasi makna bahasa terjadi, karena melupakan makna subtansial yang dikandung oleh pendidikan itu sendiri secara bahasa dan tradisi. Manusia terlalu angkuh mengakui polarisasi dan pengem-bangan makna yang terjadi pada kata pendidi-kan sebagai wujud yang beragam. Seharusnya, pelaku dari kata pendidikan, baik pejabatnya atau pun pelajarnya, sama-sama menyadari diri, bahwa pendidikan haruslah mendidik dirinya, jiwanya menjadi manusia yang ber-pengetahuan luas, berbudi luhur dan ber-tanggungjawab pada dirinya atas segala tinda-kannya.

    Oleh sebab itu, tesis ini menjadi jawaban atas terjadinya rangkaian indrustialisasi dalam pen-didikan yang terjadi di negara berkembang, terutama Indonesia yang mendikotomikan ilmu pengetahuanya menjadi agama dan umum, serta mengkategorikan siswa yang be-sar, menegah dan kecil, dan membagi fungsi menteri pendidikan pada penanganan siswa yang besar dan kecil, menjadikan nalar manu-sia tidak bisa berproses lebih kritis dan manja terhadap teknologi. ..Selengkapnya hal. 29

    1Kata ini mewakili banyak arti, salah satunya yang ditekankan di sini adalah usaha pengalihan hasrat yang bersifat primitif ke tingkah laku yang dapat diterima oleh norma masyarakat. Sebagaimana arti yang disepakati dalam kamu KBBI. Artinya bahwa usaha untuk menegas-kan dan mengejawentahkan arti pendidikan dari pemak-naan yang luas menuju pemaknaan yang membumi di kalangan masyarakat. Dan usaha inilah yang mencoba untuk diurai dengan menggunakan logika kebahasaan yang menjadi produk percakapan sehari untuk mewakili kesadaran alam bawah sadarnya.

    2Tradisi ini bisa ditemukan dalam kajian hermeneutika, terutama hermeneutikanya Heideger di dalam bukunya Being dan Time, Gadamer di bukunya Truth dan Method, Paul Ricour di dalam bukunya The Conflict of Interpreta-tions, Derrida di bukunya of Gramatology. Bisa juga dilacak dalam tradisi kajian kebahasaan Noam Comsky dan Michel Foucault, yang mencoba menjelaskan pemahaman manu-sia terhadap kata, bahasa, makna, wujud, era dan pastinya juga kebenaran dalam sudut pandang ilmiah; logis dan metodologis.

    3Metode ini tidak hanya digunakan di dalam tradisi penafsiran Barat. Di dalam Islam pun juga ada. Bisa diliha kembali dalam tradisi usul fikih yang membahas tentang mantuk dan mafhum sebagai makna yang tersurat dan tersirat dengan berbagai dilalahnya.

    4Peter L. Barger, Berger and Thomas Luckmann, The Social Contruction of Reality; A Treatise in the Sociology of Knowlegde, Penguin Books, USA, 1991, Hal. 49

    5Sebagaimana yang menjadi wacana dari Darmaningtyas dalam tulisannya yang berjudul Undang-undang Pendidi-kan dari Masa ke Masa.

    Kajian

  • 16

    Dalam tatanan sebuah produk pendidikan da-lam negeri maupun warga Indonesia di luar negeri, tentunya diperlukan sebuah badan hukum pemerintah yang berfungsi menjalan-kan tujuan abadi sesuai dengan cita-cita bang-sa, yaitu mencerdaskan seluruh bangsa. Ber-mula dari betapa penting sebuah pengawas, dalam konteks ini instansi pemerintahan di lingkup pendidikan secara umum. Sama pentingnya fungsi seorang pendidik yang ber-tugas di dalam dan luar negeri. Sebuah produk pemerintahan akhirnya tercipta sebagai wujud controlling terhadap segala aktivitas maha-siswa sekaligus pendorong kepada para pegiatnya. Dalam tatanan pengawasan dan perlindungan WNI di luar negeri, pemerintah pusat memiliki KBRI sebagai lembaga yang mewakili. Dalam hal fungsi tugas pokok yang menyangkut kedinamisan mahasiswa adalah Atdikbud.

    Tugas dan fungsi Atase pendidikan dalam un-dang-undang dasar hanya disebutkan secara garis besar saja. Seperti membantu kepala per-wakilan RI. Menyelenggarakan tugas di bidang pendidikan dan kebudayaan sesuai dengan kebijakan umum menteri luar negeri dan ke-bijakan teknis menteri pendidikan RI. Begitu masih sangat global fungsi dan tugas sebuah Atase pendidikan di semua negara akreditasi.

    Pada perjalananya tugas Atase pendidikan lebih fleksibel dan bersifat inisiatif tergantung di mana penempatan dan kondisi mahasiswa di negeri akreditasi tersebut, tanpa menghilangkan tugas pokok dari bangsa Indo-nesia. Porsi yang disodorkanpun semestinya tidak janggal dengan faknya masing-masing.

    Menilik pada kerja dan kinerja Atdikbud sendiri khususnya di negeri Kinanah ini, dirasa sudah lumayan walaupun tidak jarang diketemukan kekurangan di sana sini. Salah satu contoh pro-gram pengenalan Bahasa Indonesia pada war-ga asing masih sangat jauh pada kata sukses.

    Terlihat dari beberapa program kursus bahasa

    yang masih minim dan langka. Ini bisa dibuk-tikan dari pemenang lomba pidato berbahasa asing yang entah mengapa pemenangnya han-ya dari kalangan orang asing yang secara kul-tural memang tidak asing dan akrab dengan warga Indonesia. Menunjukan salah satu bukti bahwa masih minimnya program penting ini, entah dianggap penting atau memang sedikit banyak terabaikan.

    Ketimpangan demi ketimpangan program Atdikbud yang tidak begitu terlaksana pada hakikatnya secara menyeluruh sebuah kesala-han seluruh staf pada diri Atdikbud. Akan teta-pi pada sebuah produk pemerintah dalam hal ini Atdikbud, peranan kepala Atase pendidikan bertanggung jawab penuh pada hal ini. Se-merta mengesampingkan staf ahli lainya, pokok sentral seorang kepala produk lah yang secara langsung atau tidak langsung yang membuat dan memberi keputusan atas usaha dan segala program yang sudah berjalan adanya.

    Selain daripada tugas Atase pendidikan yang berusaha merambah kepada warga asing yang terakreditasi, tentunya tidaklah lupa bah-wasanya ada banyak juga wakil-wakil dari anak didik dari bangsa sendiri yang membutuhkan sentuhan seorang Atase pendidikan. Berusaha baik di luar tentunya tidak seolah melalaikan anak sendiri. Mahasiswa sendiri sebagai calon penerus bangsa yang notabenenya akan turun langsung mengolah dunia pendidikan Indone-sia, harusnya diberikan porsi lebih dan ten-tunya perhatian khusus. Bagaimana bisa men-jadikannya sebagai pilar bangsa yang bermutu. Tentu bukan sebagai alat layaknya industri yang menghasilkan peralatan semata.

    Pada konteks ini semacam industri pendidikan yang menganut ide berkelanjutan. Adanya tuntutan dari pihak luar untuk menghasilkan karya riil tak ubanya seperti sebuah bunga yang tertuntut cepat mekar sebelum wak-tunya. Fenomena ini begitu tidak sehat bagi

    Bagaimana Lazimnya Kerja dan Kinerja

    Supandi*

    Lensa KSW

  • 17

    laju mutu pendidikan. Menikmati proses da-lam mengenyam pendidikan sekiranya dapat dijadikan percontohan yang baik, karena kita bukan mesin otomatis yang begitu mudahnya diandalkan sebagai proses finishing produk pendidikan.

    Menyoal tentang bagaimana seharusnya Atase pendidikan, pada penyampaian beberapa wak-tu lalu sempat terucap penerapan sikap role model. Penyampain yang begitu ringkas dan penuh makna itu seha-rusnya bisa diper-hatikan dan dipraktek-kan dalam lingkup produk pemerintah ini. Percontohan yang se-mestinya lebih dulu dan sepatutnya di-gandrungkan pada se-tiap sosok sebagaima-na mestinya.

    KSW sendiri sebagai salah satu kekeluar-gaan mahasiswa ten-tunya ingin mem-berikan aspirasi se-bagai bentuk perwakilan kekeluargaan lainya. Tidak dipungkiri, semua pihak menginginkan sebuah perubahan yang berarti. Sebagaiamana mestinya bisa lekas terwujud dan berjalan se-jajar secara berkesinambungan.

    Sebuah harapan kepada perwakilan langsung menteri pendidikan untuk sedini mungkin mencetuskan sebuah wacana baru yang bersi-fat masif, tentunya untuk kebaikan kualitas moral pendidikan yang agak sedikit lesu.

    Keinginan urun rembug penyaluran aspirasi sudah sewajarnya lebih diperhatikan. Adanya asap mengepul tentu ada bara yang begitu menganga. Pun demikan pada dinamika Masisir yang kini mulai berang, tentu tidak lain ada penyebabnya; tidak mungkin tersulut dengan sendirinya.

    Dari sini kesadaran seorang staf ahli lazimnya sudah sedari dulu peka dan mengerti bagaima-na cara bersikap dan menyikapi. Tidak dengan

    mementingkan keinginan pribadi terlebih sikap egois yang dijadikan patokan. Tak akan ada titik temu manakala pola pikir bersebarangan. Lebih mengedepankan wujud kepedulian akan menelurkan kesepakatan cemerlang berdasar-kan asas kebersamaan. Toh produk pemerintah ini hanya sebagai wadah bertukar pikir berbagai polemik di bidang akademis. Bukan milik personal apalagi penguasaan personal.

    Pada dasarnya produk pendidikan tidak melulu berasal dari bangku kuliah, akan tetapi lebih jauh adan-ya sikap bawaan sep-erti karakteristik seseorang. Karakteris-tik tentu ikut andil pada pembentukan seorang mahasiswa dan berperan penting pada fenomena maha-siswa yang bersikap kritis. Terbukti dari sini bahwasanya semacam skill dan

    attitude anak didik tentunya perlu dorongan penuh dan kreatif layaknya seorang pendidik, karena posisi Atase pendidikan bertanggung penuh dengan kehidupan mutu anak didiknya. Sehingga dalam mencapai sebuah kebijakan tentunya harus berpacu penuh pada nilai-nilai penting kemahasiswaan dan menyatukan pemikiran. Sekiranya kesediaan dan keber-pihakan atas hak-hak anak didik tak terabaikan apalagi dilalaikan. Tentunya harus jauh dari kata intervensi moral apalagi akademis. Men-jadikan program sejajar dan diterima khalayak seutuhnya itu yang perlu diasah kembali bagi para Atase pendidikan.

    Pada akhirnya diupayakan sebuah titik temu di mana keafsahan sebuah metode menjadi acu-an kemajemukan rasional yang berimbas pada mutu pendidkan yang bermartabat.

    *Wakil Ketua DP-KSW Periode 2014/2015

    Lensa KSW

  • 18

    Selama ini saya tidak pernah mendengar apresiasi positif dari mahasiswa atas kinerja beliau.

    Saya pikir ini adalah hasil yang riil dari kinerjanya selama ini. -Muhammad Yunus Masruchin,

    Kandidat Doktoral Aqidah Filsafat

    Lebih sering memahami keadaan Masisir. -Agus Susanto, Presiden PPMI 2014-2015.

    Perbaiki komunikasi dengan Masisir, pahami budaya Masisir, jadikan diri anda sebagai bapak

    Masisir! -Jamil Abdul Lathif, Mantan Presiden PPMI 2012-2013.

    Lebih intens berbaur dengan para mahasiswa, memahami segala serba-serbi dunia mereka dan

    lebih obyektif dan proporsional dalam mengambil setiap kebijakan. -Abdul Rouf, Dirasat

    Islamiyah.

    Bapak baik, tapi dalam komunikasi dengan kami selaku mahasiswa cara yang digunakan kurang

    baik. Salah satu hal yang membuat orang-orang tua tampak buruk di mata anak-anak adalah

    karena seorang anak harus mendongakan kepala di hadapan mereka. Padahal, jarang ada wajah

    yang terlihat bagus jika dilihat dari bawah. -Umar Abdullah, Mahasiswa Fakultas Syariah wal

    Qonun, Pengatur Umum Rumah Budaya Akar.

    Menjadi seorang pemangku kebijakan bukanlah tugas yang ringan. Dalam menentukan ke-

    bijakan perlu mengetahui dan memahami kultur setempat (Masisir) agar kebijakannya pas.

    Untuk itu pahami, bela kemudian perjuangkan. -Ahmad Ulinnuha, Ketua KSW.

    Sebagai seorang Atase Pendidikan adalah tugas utamanya mendidik. Mendidik dari perilaku

    tindakan dan kebijakan, bukan melakukan tindakan kontroversial dan memberikan kebijakan

    yang aneh. Di sini supaya jelas, Anda seorang pendidik atau seorang pejabat yang pragmatis.

    -Ahmad Akbar, Ketua GAMAJATIM.

    Jangan main-main! -Mas Aria Muhammad Okto, Ketua Senat Mahasiswa FBA.

    Pak Fahmi, aturan itu bukan saja tegas tapi juga bijaksana. -Hafidz Widodo, Lc., Mahasiswa

    Jurusan Filsafat.

    Kita hidup di bumi manusia, Bung, bahkan surga pun baru dijanjikan! Mari belajar tentang

    manusia! -Landy T. Abdurrahman, Syariah Islamiyah.

    40 Komentar Beragam Masisir untuk Bapak Dr. Fahmi Lukman, M.Hum., Atase Pendidikan Nasional di KBRI Kairo

    Kata Mereka

  • 19

    Kurangi hidup borjuistik! -Wais al-Qorny, Syariah Islamiyah.

    Sekalipun Bapak merupakan perwakilan dari kementrian pendidikan, tolong juga kami yang

    merupakan asuhan kementrian agama lebih diperhatikan. Pasalnya, beberapa kali saya bertanya

    tidak pernah ada jawaban. -Abiyu M K I, Tarikh wal Hadharah.

    Sebagai orang atasan yang menaungi sebuah institusi atau pemimpin, seharusnya bapak Atdik

    harus menjadi role model bagi orang-orang di bawahnya. Begitu juga dalam hal ini, mahasiswa

    dalam setiap kebijakan harus melihat sisi baik dan buruk dan pertimbangan yang matang untuk

    kemaslahatan yang lebih baik, dengan mendengar usulan-usulan yang lain dan atau gimana gitu

    lah. -Ahmad Obiek. Syariah Islamiyah.

    Sebenarnya Anda tahu tidak apa yang Anda lakukan di sini? -Fadhilah Rizqi, Bahasa Arab.

    Ada baiknya selaku Atase Pendidikan KBRI lebih memahami kondisi Masisir dan meluangkan

    waktu untuk terjun di Masisir. -Mahdi, Syariah Islamiyah.

    Lebih mempertimbangkan dalam mengambil langkah untuk menelurkan program-program

    pendidikan dan kemahasiswaan. -Putri Churriyatul Latifah, Syariah Islamiyah.

    Seorang Atdik sebagai bapak, mestinya mrangkul semua golongan, semua anak dari latar

    belakang mana pun. -M. S. Arifin, Dirasat Islamiyah.

    Alangkah baiknya, sebagai Atase Pendidikan di negeri orang, selain fungsi keluar dan ke dalam

    (Masisir), bisa lebih dekat Masisir, mendukung kegiatan-kegiatan Masisir. Dengan mendekat,

    saya rasa lebih haromonis dan tentunya dengan sikap atau kebijakan yang sesuai kapasitas.

    -Muhid Rahman, Syariah Islamiyah.

    Kritik dan saran saya agar Anda dan yang akan menjadi Anda, untuk menetap dan berinteraksi

    dahulu selama empat tahun, sebelum Anda berani memakai jabatan Anda. -Syukran Sayyidil

    Anshar, Bahasa Arab.

    Manusia bukanlah malaikat. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan. Manusiakanlah

    manusia! -Rosyad Sudrajad, Ushuluddin.

    Lebih memahami kembali kondisi sosial dan budaya Masisir. -Ahmad Subakri, Ushuluddin.

    Seharusnya bapak Fahmi Lukman bisa lebih memahami keadaan Mesir secara umumnya dan

    Masisir secara khususnya. -Zuhdan Maimun, Bahasa Arab.

    Kata Mereka

  • 20

    Yang paling awal tentunya, tidak ada pihak mana pun yang bisa disalahkan secara mutlak. Akan

    tetapi, seyogyanya dari Bapak, ATDIKBUD sendiri lebih paham dengan kearifan lokal (Masisir).

    Dan jangan suka mengeluarkan statement yang kontroversial! -Fahruddin, Syariah Islamiyah.

    Yang sabar pak, dengan saran dan kritikan Mahasiswa dan mohon ditanggapi dengan tulus dan

    lapang dada! Dan mohon diperjuangkan aspirasi kita, yang saya yakin bapak sudah

    mendengarnya! -Alda Kartika Yuda, Syariah Islamiyah.

    Jadilah Atdik yang berjuang dan memperjuangkan hidup dan menghidupi! -Az-Zimam Auliya,

    Syariah Islamiyah.

    Tentu seorang anak butuh perhatian dari orang tua. Siapa lagi orang tua terdekat kita selain

    Bapak Fahmi. Namun, di antara kita masih ada yang tak memahami siapakah sosok pak Fahmi.

    Tidak lain itu adalah karena bapak tak memahami kita dan kurang berbaur dengan kita. -Lella

    Fidela, Ushuluddin.

    Pak Fahmi seharusnya lebih berdialektika dengan kawan-kawan Masisir yang sangat kompleks

    ragamnya dan corak idealismenya. Hingga supaya beliau bisa memahami hal-hal yang prinsipil

    dari hal-hal yang hanya sekunder. Karena hidup lebih luas dari hanya yang dipahami oleh be-

    liau. -Ilmanuddin M. Abdul Haqq, Ushuluddin.

    Agar lebih memahami dinamika Masisir dan harus menyeimbangkan antara kritik dan apresiasi,

    serta lebih hati-hati dalam memberi pernyataan selaku pejabat publik. -L. Rahim, KMKM.

    ATDIK fungsi dasarnya sebagai pengayom para mahasiswa atau pelajar Indonesia, seharusnya

    memiliki romantisme dengan medan yang Masisir miliki. Kita melihat kebijakan-kebijakan yang

    agak dipaksakan oleh petinggi ATDIK dan kebijakan tersebut tidak kita ketahui atas dasar apa,

    walaupun ada kita tidak melihat kebijakan tersebut sebagai sebuah keputusan yang netral untuk

    mahasiswa. Namun lebih kepada pemaksaan kehendak dari pihak Atdik sendiri. Kita berharap

    semoga ke depan, mauver dan program Atdik lebih menimbang kondisi Masisir, tidak bersikeras

    memaksakan kebijakan mereka. -Muhibbussabri Hamid, Syariah Islamiyah.

    Saran-saran, kebijakan-kebijakan dan program-program bapak Fahmi Lukman cukup bagus,

    akan tetapi harus bisa merealisasikannya dengan baik dan benar. Seharusnya, Bapak Fahmi

    dapat memahami keadaan Masisir saat ini. Dalam segala hal tidak bisa diputuskan oleh sendiri,

    akan tetapi butuh kepada aspirasi atau keinginan-keinginan Masisir. Terutama, dalam sikap ha-

    rus bijaksana dan profesional. In sya Allah, jikalau bijak dan profesional, segalanya akan mudah,

    berjalan stabil dan produktif. -Saiful Anam, Ushuluddin.

    Kata Mereka

  • 21

    Lebih memahami dan mengetahui kondisi Masisir. -Hofid Eksan Rowi, Syariah Islamiyah.

    Masyarakat Masisir merupakan elemen yang kompleks dengan segala keberagaman pernak-

    perniknya. Kebijakan dan program sekiranya tidak akan berjalan baik, kecuali dengan me-

    mahami psikologi, sosial dan kultur masyarakat ini. Semoga ke depan, Bapak bisa lebih

    mengenal kami. -Akta, Syariah Islamiyah Pasca Sarjana.

    Saran saya buat Bapak Dr. Fahmi Lukman M. Hum., agar supaya menjadi lebih dekat lagi

    dengan mahasiswa dan ingin menerima aspirasi-aspirasinya dan memenuhi hak-hak maha-

    siswa. -Ahmad Muabbid, Syariah Islamiyah.

    Memahami Masisir sebagai komunitas yang beragam, jangan membuat kebijakan yang konto-

    versial! -Jafar Shadiq, Akidah-Filsafat.

    Kurang memahami Masisir, harusnya komprehensif dan memahami obyek Masisir. -Vurna

    Hubbatalillah, Fakultas Bahasa Arab.

    Kepada bapak yang terhormat untuk lebih memahami kondisi Masisir. Bukankah Bapak sebagai

    bapak dari kami, in sya Allah kami di sini telah mempertimbangkan dan memusyawarahkan

    keputusan kami. -Bahtiar, Fakultas Bahasa Arab.

    Secara personal beliau baik. Namun, untuk sosialisasi ke-Mesir-an, saya rasa tidak, kurang tahu

    apa yang dibutuhkan Masisir. -Azhar Abdul Aziz, Ushuluddin Pasca Sarjana.

    Bapak Fahmi sebaiknya memahami Masisir dengan segala aspek yang ada di dalamnya sebe-

    lum mengeluarkan kebijakan. Dan ketika kebijakan itu diterbitkan, seyogyanya menggunakan

    pendekatan persuasif, bukan asal kritik. -Pangeran, Ushuluddin.

    Terima kasih, Pak! -Randy Ahmad Fadhli, Aqidah-Filsafat.

    Fokus, Bro! -Muhammad Nur Thariq, Ushuluddin,

    Aktivis Senior Rumah Budaya Akar.

    Kata Mereka

  • 22

    I see you sitting there in agony. Come on, Todd, step up! Lets put you out of misery. -John Keating, Dead Poets Society.

    ***

    Pendidikan tidak hanya berupa forum formal yang menghabiskan waktu untuk duduk di ke-las dan mendengarkan ceramah guru. Ada satu ruang kelas lagi bernama interaksi sosial yang harus dilalui oleh seorang siswa. Terlebih seorang siswa yang sedang dalam proses berkembang ke arah kematangan dan ke-mandirian, agar ia dapat menimbang banyak hal dalam hidup ini dengan menepis keegoisan dan menanamkan kesadaran bermasyarakat lebih dalam lagi.

    Dead Poets Society adalah komunitas tak resmi yang terdiri dari anak-anak siswa SMA Welton Academy yang terinspirasi untuk membaca puisi di sebuah gua. Mereka adalah Todd An-derson (Ethan Hawke), Neil Perry (Robert Sean Leonard), Knox Overstreet (Josh Charles), Richard Cameron (Dylan Kussman), Steven Meeks (Allelon Ruggiero) Gerard Pitts (James Waterston) dan Charlie Dalton (Gale Hansen). Film ini benar benar sangat menginspirasi. Selain Plot mengalir apik tanpa cela, tidak terlalu cepat sehingga mudah diikuti maupun terlalu lambat dan agak membosankan. Akting para pemerannya pun brilian, dan topik yang diangkat membuat penulis semakin menghargai profesi seorang akademisi. Dan juga tokoh-tokoh yang ada pada film tersebut sangat berkarakter. Penulis percaya film ini akan membuka mata kita tentang pentingnya hubungan emosional antara seorang pengajar dengan murid-muridnya.

    Film yang menceritakan fenomena pendidikan ini ber-setting-kan tahun 1959 di Welton Acad-emy, di daerah timur laut Amerika Serikat. Film ini bercerita tentang John Keating (Robin Wil-liams), guru Bahasa Inggris yang bertentangan dengan nilai-nilai konvensional di sekolah per-siapan terbaik di Amerika. Dan bagaimana dia menantang murid-muridnya, termasuk tujuh sekawan tadi, untuk bersudut pandang baru yang berbeda dan lebih luas lagi. John me-nanamkan pepatah latin Carpe Diem! kepada mereka yang bermakna taklukan hari ini, jan-gan pernah lewatkan kesempatan yang ada pada hari ini, ia ingin murid-muridnya sekreatif mungkin menjalani hidupnya dan membuatnya lebih berarti. Tentu saja tak perlu dikatakan, pendekatan berbeda John Keating menemui banyak rintangan, baik dari sesama guru, kepala sekolah, orang tua para murid yang mengedepankan tradisi dan kepercayaan akan kedisiplinan kurikulum serta metode pengaja-ran.

    Dengan karakter beragam di antara tokoh-tokoh utama, yaitu tujuh sekawan Neil, Todd dkk, serta masing-masing memiliki plot latar belakang yang membawa arah alur cerita membuat kita akan terus menebak-nebak siapa pemeran utama dalam film ini. Cerita memang diawali oleh pengenalan Todd Ander-son, seorang anak baru yang kaku dan pemalu, serta diikutii oleh bayangan kakaknya yang terkenal di kalangan guru-guru dan murid-murid Welton Academy. Namun seiring ber-jalannya waktu, peran tokoh-tokoh lainnya mulai berkembang. Kisah cinta Knox, Neil -teman sekamar Todd- yang begitu ingin keluar

    Carpe Diem!; Memahami Arti Penting Interaksi Guru dan Murid

    Indira Rizqi Ardiani

    Judul Film : Dead Poet Society

    Sutradara : Peter Weir

    Pemain : Robin Williams, Robert Sean Leonard, Ethan Hawke

    Tahun Rilis : 1989

    Durasi Film : 128 menit

    Resensi

    https://en.wikipedia.org/wiki/Robert_Sean_Leonardhttps://en.wikipedia.org/wiki/Robert_Sean_Leonardhttps://en.wikipedia.org/wiki/Josh_Charleshttps://en.wikipedia.org/wiki/Dylan_Kussmanhttps://en.wikipedia.org/wiki/James_Waterstonhttps://en.wikipedia.org/wiki/James_Waterstonhttps://en.wikipedia.org/wiki/Gale_Hansen
  • 23

    dari kekangan ayahnya, kekhawatiran Richard akan pelanggaran-pelanggaran yang ia lakukan bersama teman-temannya dan juga member-ontaknya Charlie Dalton. Masing-masing mereka ditekan oleh hal yang sama, oleh beta-pa tingginya ekspetasi orang tua mereka akan kerja keras putranya hingga dapat lulus dengan baik dan masuk perguruan tinggi fa-vorit. Pada kasus ini, plot milik Neil lebih tera-sa dibanding lainnya, karena digambarkan dengan detail bagaimana kerasnya ayahnya menekan dirinya untuk disiplin.

    Dari gambaran itu dapat kita tarik sebuah konklusi, konflik yang terjadi antara orang tua dan anak dalam segi pendidikan adalah ke-banyakan orang tua tidak memperhatikan bakat yang dimiliki oleh anaknya, tetapi menuntut anak anak mereka menjadi apa yang mereka inginkan. Dengan dalih mem-berikan yang terbaik untuk anak, tanpa mere-ka sadari mereka justru menuntun anak-anaknya menuju kehidupan yang sulit. Tiba-tiba saya teringat salah satu penggalan bait puisi karya Kahlil Gibran yang berjudul Anakmu Bukan Milikmu;

    Anakmu bukanlah milikmu,

    mereka adalah putra putri Sang Hidup,

    yang rindu akan dririnya sendiri.

    Mereka lahir lewat engkau,

    tetapi bukan dari engkau,

    mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

    Dan tentu saja terdapat beberapa kekurangan yang penulis temukan dalam film Dead Poets Society ini, seperti pengaruh puisi-puisi dalam film ini tidak terlalu mengena hingga akhir film. Agak mengecewakan memang, mengapa puisi-puisi yang menjadi objek utama dalam pengembangan penyatuan plot semua tokoh utama tidak diberikan porsi untuk menguasai alur cerita. Semua serba tak tuntas, kecuali ketika pengembangan karakter Todd dengan menguak kemampuan berpuisinya, menepis sifat pemalunya. Namun hanya sampai disitu,

    kemudian plotnya dialihkan lagi. Kita tidak sedang membicarakan twisted plot yang menarik untuk diikuti, namun plot-plot yang -setidaknya penonton kira- sangat menarik selalu teralihkan. Sehingga pada beberapa sudut pandang, film ini memang tampak mem-bosankan. Namun selebihnya, kebosanan itu tertutupi oleh dialog-diaolog yang menarik dan seringkali puitis, terutama karakter nyen-trik John Keating. Kemudian penonton akan masih dikejutkan -atau tidak sama sekali- oleh pertemuan setiap tokoh pada konklusi akhir, keputusan-keputusan sulit yang tidak terduga.

    Akan kita temukan kiranya hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan pembelajaran dari metode John Keating dalam film ini. Seperti sangat beresikonya membiarkan murid-murid tenggelam dalam imajinasi serta pola pikir bebas tanpa mengawasi mereka. Sebab tidak menutup kemungkinan bahwa mereka akan keluar dari tujuan yang di harapkan dari metode ini dengan melewati batas. Namun apa yang Keating upayakan masih lebih baik ketimbang sistem pendidikan yang menekan psikologi peserta didiknya, sebagaimana be-lum tuntas persoalan tersebut di Indonesia.

    Film Dead Poets Society ini memenangkan Best Film di BAFTA Awards 1989 dan Best Original Screenplay di Academy Awards 1990. Robin Williams, yang belum lama meninggal Agustus tahun lalu, juga mendapat nominasi Best Actor in a Leading Role di Academy Awards pada tahun yang sama. Mempertim-bangkan hal tersebut, film ini tidak merupakan buang-buang waktu untuk dinikmati. Dari film ini juga kita tidak hanya menyadari betapa pentingnya pendekatan individual seorang pengajar terhadap anak didiknya, tapi juga pengawasan berlanjut akan apa yang telah seorang guru tanamkan pada murid-muridnya. Meski tentu kita semua setuju bahwa cara mengajar seorang guru sangat mempengaruhi pola pikir, gaya hidup dan juga psikologis murid. Tidak kalah penting seorang guru harus mampu menginspirasi mereka, membuka cakrawala berpikir dan mendorong mereka untuk berkembang tanpa mengekang jalan hidup mereka. Maka, selamat menonton!

    Resensi

  • 24

    17 Juli 2015 adalah momen di mana seluruh

    umat Islam di dunia merayakan datangnya hari

    raya idul fitri, yang merupakan hadiah Tuhan

    kepada umat Islam setelah menjalankan puasa

    Ramadhan sebulan penuh. Dalam mengisi hari

    raya ini, setiap masyarakat di berbagai belahan

    dunia, memiliki adat-tradisinya masing-masing

    sesuai dengan latar sejarah dan nilai filosofis

    yang diyakininya. Dan kali ini, kita akan memo-

    tret salah satu tradisi hari raya di Mesir, yang

    disebut dengan iediyah.

    Dalam tradisi Indonesia, Iediyah mungkin sepa-

    dan dengan ampau. Selain bahwa, ampau ala

    Mesir ini memiliki beragam bentuk. Iediyah

    tidak hanya berupa uang, namun juga bisa

    berbentuk pemberian manisan, coklat, pakaian

    dan lain sebagainya. Menariknya, bahwa tradi-

    si yang satu ini memiliki mata rantai sejarah

    yang panjang. Asal mula adat ampau ala Mesir

    ini sudah ada sejak dinasti kerajaan-kerajaan

    kecil (Mamluki). Dan menjadi sebuah agenda

    resmi sejak zaman rezim Fathimiyah, yang di-

    jadikan sebagai pintu jalinaan tali silaturrahmi

    dan kekerabatan. Di mana pemerintahan

    Fathimiyah menyiapkan dana sebesar enam

    belas ribu dinar yang dialokasikan untuk mem-

    belikan pakaian-pakaian baru kepada para

    warga sebelum hari raya tiba dan sang raja

    membagikan sejumlah uang kepada rakyat

    sebagai ucapan selamat akan datangnya hari

    raya idul fitri.

    Seiring dengan berjalannya waktu, tepatnya

    pada masa dinasti Ottoman, zona cakupan

    iediyah meluas yang tidak hanya berorientasi

    dalam bentuk uang. Dan sesuai dengan

    perkembangan zaman modern saat ini, ter-

    dapat beberapa fakta mengenai transformasi

    iediyah dari uang menjadi barang-barang el-

    ektronik. Perlu digarisbawahi, bahwa beberapa

    kota di Mesir memiliki kosa katanya sendiri

    untuk menamai tradisi pemberian ampau ini.

    Misalnya saja, penduduk Port Said yang

    menamainya dengan darkens dan penduduk

    provinsi Manshurah menaminya dengan

    madhy'.

    Biasanya dan seperti halnya di Indonesia,

    obyek dari iediyah adalah anak-anak kecil.

    Mereka akan berbaris, menunggu antrian

    dengan wajah berseri dan tak sabar mengam-

    bil bagiannya, baik dari kerabat keluarga mau-

    pun dari tetangga. Menurut beberapa survey,

    iediyah bagi anak-anak adalah ajang pengum-

    pulan harta, yang kemudian mereka gunakan

    untuk membeli mainan, pakaian, ditabung

    atau diberikan kepada ibu mereka. Kita akan

    menemui lagi perbedaan karakter ampau anta-

    ra Mesir dan Indonesia, di mana jika di Indone-

    sia, semakin seorang anak bertambah umur, ia

    akan semakin sedikit jumlah uang yang

    didapat. Berbeda dengan di Mesir, justru se-

    makin bertambah umur seorang anak, semakin

    banyak uang diberikan kepadanya sebagai am-

    pau hari raya.

    Namun poin penting yang dapat kita pelajari

    dari tradisi iediyah ini bukanlah sisi materilnya,

    namun sisi spiritualnya. Di mana iediyah meru-

    pakan usaha untuk mengukir senyuman di

    wajah-wajah orang-orang sekitar kita, khu-

    susnya anak-anak dan para wanita. Ia menjadi

    jemabatan cinta antara sesama saudara

    keluarga secara khusus dan antar masyarakat

    secara umum. Selain anak-anak, wanita yang

    telah bersuami dengan status sosial rendah

    Iediyah; Ampau ala Mesir

    Oase

  • 25

    juga menjadi obyek sasaran iediyah. Dengan

    harapan bahwa ampau ini dapat membantu

    mereka meringankan kondisi ekonomi suamin-

    ya atau melengkapi kebutuhan-kebutuhan ru-

    mah tangga.

    Dalam memahami nilai sosial dari ampau ini,

    baiknya kita menyimak analisa dari salah

    seorang ahli ilmu Sosial dan merupakan

    seorang dosen di salah satu Universitas Mesir,

    Dr. Bilal Salamah. Dosen ini melihat bahwa

    iediyah mengandung nilai-nilai sosial. Pada

    dahulu kala, iediyah diberikan kepada para

    wanita. Dan hal tersebut sangatlah memban-

    tu, melihat fakta ketika itu, bahwa perempuan

    masih mendapat ruang terbatas di medan

    pekerjaan. Sehingga adanya iediyah bisa men-

    jadi pemasukan finansial bagi mereka. Melihat

    kondisi sekarang yang telah berubah, iediyah

    lebih dipandang sebagai usaha menambah

    suasana harmonis dan kepedulian antar

    masyarakat sosial dalam skala luas.

    Mengenai efek sosial iediyah bagi anak-anak,

    Dr. Bilal Salamah melihat bahwa tradisi iediyah

    ini harus dipahami sebagai management edu-

    cation. Anak-anak diberikan kesempatan untuk

    me-manage uang yang mereka dapatkan, dan

    tentunya, nantinya mereka akan mempertim-

    bangkan apa yang akan mereka lakukan

    dengan uangnya itu. Dr. Bilal menekankan

    statement-nya ini dengan adanya arahan dan

    kontrol dari para orang tua. Tanpa sulit dipa-

    hami pula, tradisi iediyah tentunya membantu

    untuk membentuk atmosfer keharmoniasan

    sosial yang mengajarkan setiap individu

    masyarakat dalam memahami hari raya yang

    merupakan hari kemenangan. Bahwa keme-

    nangan adalah soal saling tolong menolong,

    bahu membahu dan membahagiakan orang

    lain.

    Negara-negara muslim lainnya, seperti halnya

    Arab Saudi, Suriah, Maroko, Lebanon dan juga

    Indonesia memiliki tradisi semacam ini, hanya

    penamaannya saja yang berbeda. Karenanya,

    kita tidaklah berlebihan ketika kita katakan

    bahwa pemberian ampau adalah fenomena

    universal di kalangan masyarakat muslim pada

    momen hari raya. Di mana, keseluruhannya

    memiliki bentuk ritual dan spirit yang sama,

    yaitu sama-sama ajang memberi dan mem-

    perkuat jalinan kasih antar kerabat dan

    masyarakat secara umum.

    Konsekuensi dari kenyataan di atas adalah logi-

    ka bahwa iediyah adalah adat tradisi yang

    mengandung nilai kemanusiaan luhur, yang

    patut dan harus dilanggengkan sepanjang ma-

    sa. Dan saya yakin seratus persen, mereka yang

    mengaku muslim dan manusia, tidak akan ragu

    mengangguk setuju untuk melestarikan tradisi

    baik semisal iediyah ini. Selamat hari raya idul

    fitri!

    Kru Redaksi Buletin PRESTSI

    Oase

  • 26

    Dia hanya bisa buang air kecil satu kali sehari.

    Tepat pukul tiga sore. Sebenarnya tidak ada yang

    salah dengan kebiasaan itu. Tapi, sebagai kasir di

    salah satu swalayan besar, tentu kebiasaan itu

    sangatlah mengganggu. Pukul tiga sore adalah

    waktu dimana para pembeli membludak. Terlebih

    jarak tempat kasir dan kamar mandi tidaklah dek-

    at. Jika dia gunakan untuk melayani pembeli,

    setidaknya sudah ada empat pembeli yang terlaya-

    ni.

    Seperti ini awal kisahnya:

    "Maaf, saya ke kamar mandi sebentar!"

    Pertama, sang pembeli itu akan memakluminya

    walaupun dengan muka tertekuk. Ia masih setia

    menunggu dengan sesekali memainkan gadget-nya.

    Namun, lima menit tak kunjung juga datang,

    dengan dorongan amarah dari para pembeli yang

    antri di belakangnya, sang pembeli dengan ram-

    but klimis, jas hitam dan sepatu hitam runcing

    mengkilatnya itu pun naik pitam.

    "Gimana sih ini? Gak professional banget! Saya

    ini punya kesibukan lain, selain menunggu orang

    buang air." Kedua mata pria itu melotot, meneri-

    aki karyawan kasir yang lain. Bisa aku lihat ada

    sesuatu yang muncrat dari mulutnya. Aku hanya

    berrsyukur tak berada di hadapannya saat itu.

    Setelah kejadian si pembeli klimis ini terulang

    berkali-kali dan banyak laporan yang masuk,

    kepala staf karyawan menempatkanku bersama

    dengan si TKP, si tukang kencing pukul 3. Be-

    gitulah kami memanggilnya. Dan sejak itulah aku

    mulai mengenalnya dengan baik, termasuk

    mengetahui kenapa dia selalu buang air kecil

    pukul tiga sore.

    ***

    Semuanya bermula ketika dia masuk asrama

    sekolah Unggul Bangsa. Sesuai dengan namanya,

    sekolah ini adalah sekolah menengah unggulan

    yang selalu memenangkan olimpiade ilmiah, baik

    untuk standar nasional maupun internasional.

    Aku dengar bahwa semua lulusan SMA ini selalu

    menjadi orang penting dan berpengaruh di nega-

    ra nantinya.

    "Jam tiga pagi kami sudah bangun untuk meng-

    ingat kembali pelajaran lalu dan menghafal semua

    materi pelajaran baru. Dari jam lima hingga jam

    enam pagi kami membaca, mempersiapkan pela-

    jaran jadwal hari itu. Jam setengah tujuh, kami

    antri mandi dan sarapan. Pihak asrama banyak

    memberi kami anggur dan tidak menyediakan air

    mineral yang banyak. Menurut mereka, jika

    seorang siswa banyak minum, ia akan sering ke

    kamar mandi, dan waktu belajarnya akan berku-

    rang. Sekolah berakhir jam 3 sore dan saat itulah

    kami baru bisa buang air, baik kecil maupun be-

    sar." Aku hanya bisa menggeleng-geleng

    mendengarnya dan membatin, "hebat sekali anak-

    anak ini!"

    Pertanyaan sepele "kenapa kamu selalu buang air

    kecil pukul tiga sore?" ternyata memiliki kilas

    sejarah yang tak sepele. Pertanyaan itu membuka

    kembali lembar ketraumaan dan keamarahan

    yang terpendam.

    "Pertama kali kudatang di sekolah itu, aku lihat

    anak-anak yang selalu menunduk. Mata mereka

    tak beralih dari buku. Alis mereka tertekuk mem-

    buka lembarannya satu per-satu. Aku tak pernah

    melihat kekhusyukan semacam ini. Sampai-

    sampai mereka tak punya waktu menyadari ked-

    atanganku saat itu." Dia meremas-remas kedua

    telapak tangannya, kedua matanya menerawang

    dan sesekali melihatku dengan senyuman getir.

    "Kamu tak perlu menceritakan semuanya jika

    terlalu pedih. Yang terpenting, aku sudah tahu

    kenapa kamu selalu buang air kecil pukul tiga."

    Aku memegang pundaknya dengan senyuman

    Buang Air Kecil

    Zulfah Nur Alimah

    Sastra

  • 27

    yang penuh perasaan bersalah.

    Dia menggelengkan kepalanya. Dia bilang justru

    dia yang berterimakasih karena aku sudah sudi

    menjadi teman dekatnya. Dan kini, dia yang me-

    megang pundakku. Dia pun melanjutkan.

    "Pihak sekolah mengambil gitar kesayanganku.

    Kata mereka, sudah ada yang mengerjakan tugas

    memainkan alat musik ini. Tugasku berat dan

    aku tidak punya waktu untuk membuang-

    buangnya dengan alat ini. Tugasmu adalah ini,

    kata mereka seraya memberiku setumpuk buku

    tebal yang menghalangi penglihatanku saat ber-

    jalan."

    "Sejak saat itu, aku membenci sekolah baruku.

    Kalau bukan mengingat senyum kebanggaan ibu

    pada saat pertama mengantarku, aku sudah me-

    rengek minta dipindahkan ataupun kabur."

    "Setiap harinya, aku bisa merasakan perubahan

    dalam diriku. Aku mulai terbiasa menunduk,

    duduk berjam-jam, membuka lembaran buku-

    buku. Aku merasa berubah menjadi robot yang

    hanya mengenal dua kata 'belajar' dan 'belajar'.

    Semunya tentang buku, tentang menghafal dan

    mendapatkan nilai terbaik. Tanyakan saja definisi

    -definisi ilmiah kepada kami, kami akan menja-

    wabnya dengan bahasa Inggris yang fasih dan

    begitu cepat seperti cepatnya kedipan mata. Ka-

    mi benar-benar murid tercerdas di negeri ini!",

    Dia diam sesaat. Dahi dan hidungnya sudah

    berkeringat. Selain karena cuaca yang panas, kon-

    trakan kecilku memang tak memilki kipas angin

    apalagi AC. Es teh yang telah kubuatkan un-

    tuknya, tak disentuhnya sama sekali. Es batunya

    sudah tak terlihat. Melihat es tehku yang sudah

    tak bersisa, dia menawariku untuk meminum es

    tehnya.

    Aku melihat jam sudah menunjukkan pukul 15.

    00 WIB. Belum selesai aku membatin, dia sudah

    berdiri dan berkata, "aku mau buang air kecil

    dulu."

    ***

    Sejak aku menanyakan pertanyaan sepele itu

    kepadanya dan mendengar jawabannya, aku men-

    jadi penasaran dengan kisah hidupnya.

    "Bukannya kamu anak orang kaya dan kamu

    memiliki otak cerdas? Kenapa kamu bisa be-

    rakhir sebagai kasir di swalayan ini?"

    Dia melirikku sambil tersenyum. Kemudian

    menatap layar monitor lagi, menghitung barang-

    barang belanjaan bocah perempuan ABG yang

    terlihat tertarik kepada si TKP. Bisa kulihat

    wajah bocah itu yang juga terlihat antusias ingin

    mendengar jawabannya.

    "Terimakasih telah berbelanja di sini!" Bocah

    perempuan itu terlihat kesal, karena usaha ca-

    pernya hanya berhasil mendapatkan kata-kata itu

    dari TKP.

    TKP hanya tersenyum memperlihatkan barisan

    giginya, ketika k