presen psikobel

33
TEORI METAKOGNISI DAN PROBLEM SOLVING A. Sekilas Tentang John Hurley Flavell Kemudian Flavell melanjutkan ke di Universitas Clark di Worcester, Massachusetts, Beliau memperoleh gelar MA pada tahun berikutnya dan gelar Ph.D. pada tahun 1955. Posisi Flavell pertama adalah sebagai seorang psikolog klinis di Veteran Administration Hospital di Colorado. Namun setahun kemudian pindah di University of Rochester di New York, pertama sebagai rekan klinis, kemudian sebagai asisten profesor psikologi, dan dipromosikan menjadi profesor pada tahun 1960. Pada tahun 1965, ia pindah ke Institut Perkembangan Anak di University of Minnesota sebagai seorang profesor psikologi. Di sana ia melanjutkan pekerjaannya pada pengembangan kognisi anak. Flavell meneliti pengembangan keterampilan memori pada anak- anak, menemukan bahwa anak-anak perlu memahami 1 Tokoh Teori Metakognisi: John Hurley Flavell Lahir pada tanggal 9 Agustus 1928 di Rockland, Massachusetts, Amerika Serikat. Setelah lulus sekolah tinggi pada tahun 1945, Flavell bergabung

Upload: rizka-novitasari

Post on 09-Feb-2016

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Presen Psikobel

TEORI METAKOGNISI DANPROBLEM SOLVING

A. Sekilas Tentang John Hurley Flavell

Kemudian Flavell melanjutkan ke di Universitas Clark di Worcester,

Massachusetts, Beliau memperoleh gelar MA pada tahun berikutnya dan gelar

Ph.D. pada tahun 1955. Posisi Flavell pertama adalah sebagai seorang

psikolog klinis di Veteran Administration Hospital di Colorado. Namun

setahun kemudian pindah di University of Rochester di New York, pertama

sebagai rekan klinis, kemudian sebagai asisten profesor psikologi, dan

dipromosikan menjadi profesor pada tahun 1960.

Pada tahun 1965, ia pindah ke Institut Perkembangan Anak di University

of Minnesota sebagai seorang profesor psikologi. Di sana ia melanjutkan

pekerjaannya pada pengembangan kognisi anak. Flavell meneliti

pengembangan keterampilan memori pada anak-anak, menemukan bahwa

anak-anak perlu memahami konsep memori sebelum mereka dapat

mengembangkan keterampilan untuk memanfaatkan dan meningkatkan

memori. Ia menyebut pengetahuan ini sebagai "metamemory’’. Kemudian

Flavell meneliti dan mengembangkan teorinya tentang "metakognisi" atau

disebut juga "metaconsciousness," yang merupakan pemahaman anak tentang

cara kerja pikiran manusia dan proses berpikir sendiri.

Dalam penelitiannya telah menemukan bahwa anak-anak prasekolah

memahami berpikir merupakan kegiatan mental manusia dan bahwa hal itu

1

Tokoh Teori Metakognisi: John Hurley Flavell

Lahir pada tanggal 9 Agustus 1928 di Rockland,

Massachusetts, Amerika Serikat.

Setelah lulus sekolah tinggi pada tahun 1945,

Flavell bergabung dengan Tentara selama dua

tahun. Dia kemudian masuk di Northeastern

University di Boston pada bidang program sarjana

psikologi dan lulus pada tahun 1951.

Page 2: Presen Psikobel

dapat melibatkan hal-hal yang di masa lalu atau di masa sekarang, nyata atau

imajiner. Mereka membedakan berpikir dari aktivitas lain seperti berbicara,

merasa, melihat, atau mengetahui. Pada tahun 1976, ia menjadi profesor

psikologi di Stanford University. Di sana ia melanjutkan keterlibatannya

dengan organisasi profesional. Ia menjabat sebagai presiden Society for

Research de Child Development 1979-1981. Pada tahun 1986 Flavell

menerima penghargaan Award G. Stanley Hall dari APA (American

Psychological Association).

B. Pengertian Metakognisi

Secara harfiah, metakognisi bisa diterjemahkan secara bebas sebagai

kesadaran berfikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses

berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah

terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu.

John Hurley Flavell pertama kali menggunakan istilah kata "metakognisi"

yang merujuk pada pengetahuan seseorang tentang proses kognisi sendiri atau

segala sesuatu yang berhubungan dengan ranah kognisi, misalnya, belajar

sesuatu yang relevan dari informasi atau data. Metakognisi mengacu pada

control yang benar-benar sadar akan aktivitas kognisinya (Brown, 1980).

Apa itu metakognisi? Biasanya secara luas dan agak longgar

didefinisikan sebagai semua pengetahuan atau aktivitas kognisi yang terjadi

seperti obyeknya, atau mengatur semua aspek dari semua upaya kognisi.

Disebut metakognisi karena pengertian intinya adalah “kognisi seputar

kognisi”. Ketrampilan metakognisi dipercaya memainkan peran penting

dalam banyak jenis aktivitas kognisi termasuk komunikasi oral, informasi,

persuasi oral, komprehensi oral, komprehensi membaca, menulis, akuisisi

bahasa, persepsi, perhatian, memori; penyelesaian masalah, kognisi sosial,

dan berbagai bentuk instruksi diri dan control diri (Flavell, 1985 : 104).

J.H. Flavell (1976 : 232), dalam teorinya, salah satu dari teori Piaget

perkembangan kognisi, menggunakan hypercognition istilah untuk merujuk

kepada diri monitoring, self-representasi, dan proses pengaturan diri, yang

dianggap sebagai komponen integral dari pikiran manusia. Selain itu,. dengan

2

Page 3: Presen Psikobel

rekan-rekannya, ia menunjukkan bahwa proses-proses ini berpartisipasi dalam

kecerdasan umum, bersama dengan efisiensi pengolahan dan penalaran.

Berbagai metakognisi merujuk pada kajian memori-monitoring dan

pengaturan diri, metapenalaran, kesadaran dan auto-consciousness/self-

awareness. Dalam prakteknya kapasitas ini digunakan untuk mengatur kognisi

sendiri, untuk memaksimalkan potensi seseorang untuk berpikir, belajar dan

evaluasi aturan etika/moral yang tepat.

Metakognisi terbagi menjadi dua rangkaian ketrampilan yang

berhubungan. Pertama, orang harus memahami ketrampilan, strategi dan

sumber daya apa saja yang dibutuhkan oleh sebuah tugas. Termasuk dalam

kluster ini adalah menemukan ide-ide utama, mengungkapkan informasi,

membentuk asosiasi atau citra, penggunaan teknik memori, pengorganisasian

material, penggunaan catatan atau penekanan, dan penggunaan teknik uji

(tes).

Kedua, orang harus tahu bagaimana dan kapan menggunakan

ketrampilan-ketrampilan dan strategi ini guna menjamin tugas yang

diselesaikan dengan berhasil. Aktivitas monitoring ini termasuk level

pengecekan pemahaman, memprediksi hasil, mengevaluasi keefektivan

usaha, perencanaan aktivitas, memutuskan bagaimana menganggarkan

waktu, dan memperbaiki atau berganti ke aktivitas lain untuk mengatasi

kesulitan (Baker dan Brown, 1984). Secara kolektif, aktivitas metakognisi

merefleksikan aplikasi strategi pengetahuan deklaratif, procedural dan

kondisional pada tugas (Schraw dan Moshman, 1995). Kuhn (1999)

berargumentasi bahwa ketrampilan metakognisi adalah kunci pada

perkembangan berpikir kritis.

Ketrampilan metakognisi berkembang secara perlahan. Anak kecil tidak

secara penuh sadar akan kognisi yang mana memproses berbagai tugas yang

terlibatkan. Misalnya, semua secara khusus buruk dalam memperkenalkan hal

yang telah mereka pikirkan dan mengingat apa yang mereka pikirkan (Flavell,

Green dan Flavell, 1995). Mereka tidak memahami bahwa alur yang tidak

tersusun baik lebih sulit dipahami daripada yang tersusun dengan baik atau

alur yang mengandung bahan yang tidak umum lebih sulit daripada yang

3

Page 4: Presen Psikobel

tersusun dari bahan yang biasa dipakai (Baker dan Brown, 1984). Dermitzaki

(2005) menemukan bahwa orang peringkat kedua menggunakan strategi

metakognisi tetapi pemanfaatannya mengggunakan sedikit hubungan dengan

aktivitas regulasi diri anak-anak yang sebenarnya. Aktivitas monitoring

diterapkan lebih sering oleh anak lebih tua dan orang dewasa daripada oleh

anak kecil, namun anak lebih tua dan orang dewasa tidak selalu memonitor

komphrensinya (kecakapannya) dan sering buruk dinilai seberapa baik

mereka sudah memahami sebuah teks (Baker, 1989).

Sebaliknya, anak kecil secara kognisi mampu memonitor aktivitas merka

dalam tugas yang sederhana (Kuhn, 1999). Secara umum, pembelajar lebih

sering memonitor aktivitas tugas mereka dengan kesulitan yang biasa saja

daripada tugas-tugas yang mudah (di mana memonitor tidak dibutuhkan) atau

terhadap tugas yang sangat sulit (di mana orang tidak tahu apa yang akan

dikerjakan atau bisa berhenti bekerja).

Kemampuan metakognisi mulai berkembang sekitar usia 5 sampai 7

tahun dan terus melewati masa anak-anak sekolah, meski di dalam semua

kelompok usia ada banyak variabilitasnya (Flavell, 1985). Anak pra sekolah

mampu memeplajari beberapa perilaku strategis (Kail dan Hagen , 1982),

tetapi sebagai hasil dari sekolah, anak berkembang kesadaran yang dapat

mereka kendalikan apa yang mereka pelajari melalui strategi yang mereka

gunakan (Duell, 1986). Flavell dan Wellman (1977) membuat hipotesis

bahwa anak-anak membentuk generalisasi seputar bagaimana tindakan

mereka mempengaruhi lingkungan ; misalnya mereka belajar “apa yang

dikerjaan” bagi mereka untuk meningkatkan prestasi sekolah. Ini secara

khusus benar bersama dengan strategi memori, mungkin karena banyak

keberhasilan di sekolah tergantugn pada infomrasi memori.

Flavell (1976) menjelaskan metakognisi sebagai pengetahuan seseorang

tentang seseorang kognisi sendiri proses dan produk atau apapun yang

berhubungan dengan pengawasan aktif peraturan konsekuen dan orkestrasi

dari proses ini. Definisi ini menekankan peran eksekutif metakognisi sebagai

proses regulasi. Eksekutif proses mengacu pada proses-proses yang

bertanggung jawab untuk pengolahan tujuan-diarahkan informasi dan

4

Page 5: Presen Psikobel

Cognitive Strategies

Metacognitive Knowledge

Metacognitive Strategies

Cognitive Goals

Leaner Variables Strategy VariablesdTask Variables

pemilihan tindakan. Dalam karyanya, Flavell (1976) mengusulkan bahwa

basis pengetahuan metakognisi terdiri dari apa yang telah kita pelajari,

melalui pengalaman, tentang kegiatan kognisi. Dia lebih jauh menyebutkan

bahwa hal itu bisa dibagi menjadi tiga variabel pengetahuan yang berbeda dan

sangat interaktif; yaitu variabel pembelajar, variabel tugas, dan variabel

strategi. Flavell menyarankan bahwa peran pengetahuan dasar metacognitive

sangat penting untuk belajar sukses dan pembelajar yang baik adalah salah

satu yang memiliki banyak pengetahuan metakognisi tentang diri sebagai

seorang pembelajar, tentang sifat tugas kognisi, dan tentang strategi yang

tepat untuk mencapai tujuan akademik. Gambar 1 menjelaskan komponen

metakognisi seperti yang dinyatakan oleh Flavell.

Gambar 1. Flavell’s Model of Metacognition

Variabel-variabel yang Mempengaruhi Metakognisi

Kesadaran metakognisi dipengaruhih oleh variabel-variabel yang terkait

dengan orang yang belajar, tugas-tugas dan strategi (Duel, 1986; Flavell dan

Wellman, 1977).

5

Page 6: Presen Psikobel

1. Variabel Pembelajar (Orang Yang Belajar)

Level perkembangan pembelajar mempengaruhi metakognisi

mereka. Anak lebih tua memahami kemampuan memori diri mereka

sendiri dan keterbatasan mereka daripada anak kecil (Flavel, Friedrich dan

Hoyt, 1970). Flavell dkk (1970) menyajikan anak-anak dengan bahan dan

menceritakan kepada mereka untuk mempelajarinya sampai mereka

berpikir mereka dapat secara akurat mengingat kembali informasinya.

Anak berusia 7 sampai 10 lebih akurat dalam menilai kesiapan mereka

mengingat daripada anak berusia 4 sampai 6. Anak lebih tua juga lebih

sadar bahwa kemampuan memori mereka berbeda dalam satu konteks

dengan yang lain. Anak dari usia sama menunjukkan variasi dalam

kemampuan memori.

Kemampuan pembelajar memonitor seberapa baik mereka sudah

menyelesaikan tugas memori juga bervariasi. Anak lebih tua lebih akurat

dalam menilai apakah mereka sudah mengingat kembali semua item yang

mereka ingat dan apakah mereka dapat mengingat kembali informasi.

Wellman (1977) menyajikan anak-anak dengan gambar-gambar obyek dan

meminta mereka memberi nama obyeknya. Jika anak tidak dapat memberi

nama semuanya, mereka diminta apakah mereka dapat mengenali

namanya. Dibandingkan dengan anak usia taman kanak-kanak, akan kelas

tiga lebih akurat memprediksi nama obyek yang mana yang mereka bisa

kenali.

2. Variabel Tugas

Mengenali kesulitan relative bentuk-bentuk pembelajaran yang

berbeda dan mengungkatkan dari berbagai tipe informasi memori menjadi

bagian dari kesadaran metakognisi. Meski anak usia taman kanak-kanak

dan kelas tiga percaya bahwa barang yang biasa diberi nama atau mudah

diberi nama lebih mudah diingat, anak lebih tua lebih baik dalam

memprediksi bahwa barang yang dikategorisasi dengan mudah diingat

daripada barang yang secara konseptual tidak berhubungan (Duell, 1986).

6

Page 7: Presen Psikobel

Anak lebih tua lebih sering percaya bahwa cerita yang tersusun dengan

baik lebih mudah diingat dariapda bagian informasi yang tidak tersusun

dengan baik.

Berkaitan dengan tujuan pembelajaran, anak kelas enam tahu lebih

baik daripada anak kelas dua di mana siswa seharusnya memanfaatkan

strategi membaca ang berbeda yang tergantung pada apakah tujuannya

adalah untuk mengingat kembali kata-kata dalam cerita atau kata mereka

sendiri (Myers dan Paris, 1978).

Beberapa tugas sekolah tidak membutuhkan metakognisi karena semua

dapat ditangai secara rutin. Bagian isu tersebut dalam scenario pembukaan

aldaah memanfaatkan lebh banyak tugas yang membutuhkan metakognisi

dengan penurunan yang terkait dalam pembelajaran level rendah yang

dapat dibentuk dengan mudah.

3. Variabel Strategi

Metakognisi tergantung pada strategi-strategi yang diterapkan

pembelajar. Anak-anak seusia 3 dan 4 tahun dapat menggunakan strategi

memori untuk mengingat informasi, tetapi kemampuannya untuk

menggunakan strategi meningkat menurut perkembangannya. Anak yang

lebih tua mampu menyatakan lebih banyak hal yang dapat mereka

kerjakan untuk membantunya mengingat. Terkait umur, anak-anak lebih

sering berpikir hal-hal dunia luar (eksternal) misalnya menulis sebuah

catatan daripada yang berasal dari dalam (misalnya berpikir seputar

mengerjakan sesuatu). Penggunaan strategi memori oleh siswa seperti

pengungkapan dan kesungguhan juga meningkatkan perkembangan

(Duell, 1986).

Meski banyak siswa mampu menggunakan strategi metakognisi,

mereka tidak bisa mengetahui strategi yang mana membantu pembelajaran

dan diungkap dari mereka, tidak bisa menerapkan strategi tersebut

menjadi hal yang sangat membantu (Flavell, 1985). Flavell, (1976)

meminta anak usia TK, kelas tiga dan mahasiswa mengingat kembali

seluruh daftar item/barang yang menjelaskan property tertentu (misalnya

7

Page 8: Presen Psikobel

barang yang mudah pecah). Meski anak kecil dilaporkan sering merespon

bahwa melaksanakan seluruh pencarian informasi menjadi hal penting

(Duell, 1986), hanya mahasiswa secara spontan mengingat kembali

masing-masing item dan memutuskan apakah ini menjelaskan property

tertentu. Hanya menghasilkan sebuah strategi tidak menjamin

pemanfaatannya.

Kekurangan pemanfaatan ini lebih umum pada anak lebih kecil

(Justice, Baker-Ward, Gupta dan Jannings, 1997), dan muncul melekat

dari pemahaman anak-anak bagaimana sebuah strategi bekerja.

Pembelajar lebih tua memahami bahwa perhatian untuk memanfaatkan

sebuah strategi membawa pada pemanfaatan strategi, yang menghasilkan

sebuah hasil. Anak kecil secara khusus hanya memiliki pemahaman

parsial hubungan antara niat, aksi dan hasil. Pemahaman tersebut dapat

berkembang antara umur 3 dan 6 tahun (Wellman, 1990).

Variabel tugas, strategi dan pembelajar secara khusus berinteraksi

ketika siswa tersatukan dalam aktivitas metakognisi. Pembelajar

mempertimbangkan tipe dan lama material yang akan dipelajari

(tugas/task), potensi strategi yang akan dipakai (strategi) dan ketrampilan

mereka memanfaatkan berbagai strategi (pembelajar). Jika pembelajar

berpikir bahwa penggunaan catatan dan penekanan (menggarisbawahi)

adalah strategi yang baik untuk mengidentifikasi poin utama artikel teknik

dan jika mereak percaya bahwa mereka baik dalam memberikan garis

bawah/menekankan ini tetapi buruk dalam penggunaan catatan, mereka

sering akan memutuskan menggaris bawahi. Sebagaimana Schraw dan

Moshman (1995) mencatatkan, pembelajar membuat teori metakognisi

yang termasuk pengetahuan dan strategi yang mereka percaya akan efektif

dalam situasi tertentu.

C. Metakognisi dan Perilaku

Memahami ketrampilan dan strategi yang mana bisa membantu kita

belajar dan mengingat informasi yang dibutuhkan tetapi tidak cukup untuk

memajukan prestasi kita. Bahkan siswa yang sadar akan apa yang membentu

8

Page 9: Presen Psikobel

mereka belajar tidak secara konsisten tersatukan dengan aktivitas

metakognisi dengan berbagai alasan. Dalam beberapa kasus, metakognisi

bisa tidak dibutuhkan karena materialnya tidak mudah dipelajari atau dapat

diproses secara otomatis. Pembelajar juga mungkin tidak ingin menanamkan

upaya mengerahkan aktivitas metakognisi. Yang disebut belakangan

merupakan tugas dengan hak mereka sendiri, mereka memanfaatkan waktu

dan upaya. Pembelajar tidak bisa memahami secara penuh bahwa strategi

metagkognisi meningkatkan kinerja mereka, atau percaya mereka tidak

mengatasinya tetapi ada faktor lain, seperti waktu yang dihabiskan dalam

pembelajaran atau upaya-upaya yang dikerahkan, menjadi hal yang lebih

penting untuk pembelajaran (Borkowski dan Cavanaugh, 1979).

Fakta bahwa aktivitas metakognisi meningkatkan prestasi tetapi siswa

tidak bisa secara otomatis memanfaatkannya memberikan hambatan bagi

pendidik. Siswa perlu diajarkan sebuah menu aktivitas seputar dari

penerapan pembelajaran secara umum (misalnya penentuan tujuan dalam

pembelajaran) hingga penerapan pada situasi khusus (misalnya

menggarisbawahi poin penting dalma teks) dan didorong memanfaatkannya

dalam berbagai konteks (Belmont, 1989). Meski komponen pembelajaran

apa saja yang penting, sehingga menjadi kapan, dimana dan mengapa strategi

dimanfaatkan. Pengajaran “apa” tanpa yang disebut belakangan akan hanya

membingungkan siswa dan dapat membuktikan demoralisasi, siswa yang

tahu apa yang akan dikerjakan tetapi tidak tahu kapan, dimana atau mengapa

mengerjakannya mungkin memegang efikasi diri yang rendah untuk

berprestasi dengan baik di sekolah.

Pembelajar yang baik sering perlu diajarkan pengetahuan deklaratif atau

prosedural dasar bersama dengan ketrampilan metakognisi (Duell, 1986).

Siswa perlu memonitor pemahaman mereka pada ide-ide utama, tetapi

monitornya kurang pas jika mereka tidak memahami apa ide utamanya atau

bagaimana menemukannya. Guru perlu mendorong siswa menerapkan

strategi metakognisi, ini menjadi salah satu implikasi diskusi, dan

menyediakan peluang bagi mereka menerapkan apa yang telah mereka

pelajari di luar konteks pengajaran. Siswa juga perlu umpan balik tentang

9

Page 10: Presen Psikobel

seberapa baik mereka menerapkan sebuah strategi dan bagaimana

pemanfaatan strategi meningkatkan kinerja mereka (Schunk dan Rice, 1993).

D. Teori Metakognisi dalam Pembelajaran

Dalam domain ilmu saraf kognisi, metakognisi pemantauan dan

pengendalian telah dilihat sebagai fungsi dari korteks prefrontal, yang

menerima (monitor) sinyal sensorik dari daerah korteks lainnya dan melalui

umpan balik menerapkan kontrol. Metakognisi telah digunakan, meskipun

dari definisi asli, untuk menggambarkan pengetahuan itu sendiri.

Komponen Metakognisi diklasifikasikan ke dalam tiga komponen:

1. Pengetahuan metakognisi (juga disebut kesadaran metakognisi) adalah apa

yang orang tahu tentang diri sendiri dan orang lain sebagai prosesor

kognisi.

2. Regulasi metakognisi adalah peraturan kognisi dan pengalaman belajar

melalui serangkaian kegiatan yang membantu orang mengendalikan

pembelajaran mereka.

3. Pengalaman metakognisi adalah pengalaman yang ada hubungannya

dengan upaya kognisi saat ini, secara terus-menerus.

Metakognisi merujuk kepada tingkat pemikiran yang melibatkan

kontrol yang aktif selama proses berpikir yang digunakan dalam belajar

situasi. Perencanaan cara untuk mendekati tugas belajar, pemantauan

pemahaman, dan mengevaluasi kemajuan terhadap penyelesaian tugas: ini

adalah keterampilan yang metakognisi di alam mereka. Demikian pula,

mempertahankan motivasi untuk melihat tugas untuk penyelesaian juga

merupakan keterampilan metakognisi. Kemampuan untuk menjadi sadar akan

mengganggu rangsangan - baik internal maupun eksternal - dan

mempertahankan usaha dari waktu ke waktu juga melibatkan fungsi

metakognisi atau eksekutif. Teori bahwa metakognisi memiliki peran penting

dalam belajar berhasil artinya adalah penting bahwa itu ditunjukkan oleh para

siswa dan guru. Siswa yang menunjukkan berbagai keterampilan metakognisi

berperforma lebih baik pada ujian dan bekerja lebih lengkap efisien. Mereka

adalah pelajar diatur sendiri yang menggunakan "alat yang tepat untuk

10

Page 11: Presen Psikobel

pekerjaan" dan mengubah strategi belajar dan keterampilan berdasarkan

kesadaran mereka efektivitas. Individu dengan tingkat tinggi pengetahuan

metakognisi dan keterampilan mengidentifikasi blok untuk belajar sedini

mungkin dan mengubah "alat" atau strategi untuk memastikan pencapaian

tujuan. metacognologist menyadari kekuatan dan kelemahan mereka sendiri,

sifat dari tugas di tangan, dan tersedia "tools" atau keterampilan. Sebuah

repertoar yang lebih luas dari "alat" juga membantu dalam pencapaian tujuan.

Ketika "alat" bersifat umum, generik, dan konteks independen, mereka lebih

mungkin berguna dalam berbagai jenis situasi belajar.

Proses metakognisi seperti yang di mana-mana, terutama, ketika datang

ke diskusi tentang pembelajaran, yang terlibat dalam metakognisi adalah fitur

penting dari diri pelajar. Groups (kelompok) memperkuat diskusi kolektif

metakognisi adalah fitur penting dari kelompok sosial sendiri dan mengatur

diri sendiri. Kegiatan seleksi strategi dan aplikasi termasuk mereka yang

peduli dengan upaya berkelanjutan untuk merencanakan, cek, monitor, pilih,

merevisi, mengevaluasi, dll. Metakognisi adalah 'stabil' dalam keputusan awal

peserta didik berasal dari fakta yang bersangkutan tentang kognisi mereka

melalui pengalaman belajar. Secara bersamaan, ia juga 'terletak' dalam arti

bahwa itu tergantung pada peserta didik keakraban dengan tugas, motivasi,

emosi, dan sebagainya. Individu perlu untuk mengatur pikiran mereka tentang

strategi yang mereka gunakan dan menyesuaikannya berdasarkan situasi yang

strategi sedang diterapkan.

Kemampuan metakognisi setiap individu akan berlainan, tergantung dari

variabel meta kognisi, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan,

pengalaman, manfaat, dan strategi berpikir. Holler, dkk. (2002)

mengemukakan bahwa aktivitas metakognisi tergantung pada kesadaran

individu, monitoring, dan regulasi. Komponen meta kognisi menurut Sharples

& Mathew ada 7, yaitu: refleksi kognisi, strategi, prediksi, koneksi,

pertanyaan, bantuan, dan aplikasi. Sedangkan Holler berpendapat tentang

komponen metakognisi, yaitu: kesadaran, monitoring, dan regulasi.

Metakognisi bisa digolongkan pada kemampuan kognisi tinggi karena

memuat unsur analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuh

11

Page 12: Presen Psikobel

kembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan

pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan

metakognisi ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.

Metakognisi peserta didik didefinisikan dan diselidiki dengan memeriksa

orang tentang pengetahuan, pengetahuan tugas dan pengetahuan strategi.

Wenden (1991) telah mengusulkan dan menggunakan kerangka dan Zhang

(2001) telah mengadopsi pendekatan ini dan diselidiki metakognisi

pembelajar bahasa kedua 'atau pengetahuan metakognisi. Selain

mengeksplorasi hubungan antara metakognisi pelajar dan kinerja, peneliti

juga tertarik pada efek instruksi strategis metakognisi yang berorientasi pada

pemahaman bacaan (misalnya, Garner, 1994, dalam konteks bahasa pertama,

dan Chamot, 2005; Zhang, 2010). Upaya ini bertujuan untuk

mengembangkan otonomi pelajar, kemandirian dan self-regulasi.

Metakognisi membantu orang untuk melakukan tugas-tugas kognisi lebih

efektif.. Strategi untuk mempromosikan metakognisi meliputi diri-pertanyaan

(misalnya "Apa yang saya sudah tahu tentang topik ini, bagaimana saya dapat

memecahkan seperti sebelumnya. Berpikir keras ketika melakukan tugas, dan

membuat representasi grafis (misalnya peta konsep, diagram alir) dari pikiran

seseorang dan pengetahuan. Carr, 2002, berpendapat bahwa tindakan fisik

menulis memainkan peranan besar dalam pengembangan keterampilan

metakognisi (seperti dikutip dalam Gammil,, 2006 p.754).

E. Metakognisi dan Problem SolvingMetakognisi pemecahan masalah didefinisikan merujuk pada

pengetahuan siswa tentang proses kognisi dan kemampuan untuk

mengendalikan dan memantau proses-proses sebagai fungsi dari umpan balik

siswa menerima melalui hasil pembelajaran (Metcalfe & Shimamura, 1994).

Jadi, dua komponen penting metakognisi terdiri: pengetahuan dan kontrol.

Pengetahuan metakognisi siswa mengacu pada apa yang dipahami dan

percaya tentang subjek atau tugas, dan penilaian serta dia membuat dalam

mengalokasikan sumber daya kognisi sebagai hasil dari pengetahuan (Flavell,

12

Page 13: Presen Psikobel

1976; Brown, 1987). Kontrol metakognisi mengacu pada pendekatan dan

strategi siswa merencanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang

spesifik dan tingkat kemampuan siswa, monitor, dan memodifikasi operasi

mereka untuk memastikan bahwa belajar adalah efektif (Jacobs & Paris,

1987).

Berkenaan dengan kontrol metakognisi, sumber daya perhatian, strategi

kognisi, dan kesadaran dalam pemahaman, ditingkatkan oleh pengetahuan

metakognisi dan keterampilan (Schraw & Dennison, 1994). Oleh karena itu,

metakognisi adalah penting untuk pemahaman pembelajaran dalam ilmu

karena peserta didik harus mengatur taktik dan strategi kognisi mereka dalam

rangka untuk membangun makna dari bacaan, ceramah, dan pengalaman

laboratorium. Metakognisi sangat diperlukan dalam pemecahan masalah

(problem solving) dalam pembelajaran, seperti digambarkan dalam diagram

berikut:

Apa itu problem solving? Istilah problem solving sering digunakan dalam

berbagai bidang ilmu dan memiliki pengertian yang berbeda-beda pula.

Tetapi pengertian problem solving memiliki kekhasan tersendiri. Secara garis

besar terdapat tiga macam interpretasi istilah problem solving dalam

13

Page 14: Presen Psikobel

pembelajaran, yaitu (1) problem solving sebagai tujuan (as a goal), (2)

problem solving sebagai proses (as a process), dan (3) problem solving

sebagai keterampilan dasar (as a basic skill).

1. Problem solving sebagai tujuan

Para pendidik, dan pihak yang menaruh perhatian pada pendidikan

seringkali menetapkan problem solving sebagai salah satu tujuan

pembelajaran. Bila problem solving ditetapkan atau dianggap sebagai tujuan

pembelajaran maka ia tidak tergantung pada soal atau masalah yang khusus,

prosedur, atau metode, dan juga isi pembelajaran. Anggapan yang penting

dalam hal ini adalah bahwa pembelajaran tentang bagaimana menyelesaikan

masalah (solve problems) merupakan “alasan utama” (primary reason) dalam

pembelajaran.

Suatu pertanyaan akan merupakan suatu masalah jika seseorang tidak

mempunyai aturan tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk

menemukan jawaban pertanyaan tersebut.

Munurut George Polya (dalam Hudojo, 2003:150), terdapat dua macam

masalah :

a. Masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis, abstrak atau

konkret, termasuk teka-teki. Kita harus mencari variabel masalah tersebut,

kemudian mencoba untuk mendapatkan, menghasilkan atau

mengkonstruksi semua jenis objek yang dapat dipergunakan untuk

menyelesaikan masalah tersebut. Bagian utama dari masalah adalah

sebagai berikut.

(1) Apakah yang dicari?

(2) (Bagaimana data yang diketahui?

(3) Bagaimana syaratnya?

b. Masalah untuk membuktikan adalah untuk menunjukkan bahwa suatu

pertanyaan itu benar atau salah atau tidak kedua-duanya. Kita harus

menjawab pertanyaan : ”Apakah pernyataan itu benar atau salah ?”.

Bagian utama dari masalah jenis ini adalah hipotesis dan konklusi dari

suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya.

14

Page 15: Presen Psikobel

Penyelesaian masalah merupakan proses dari menerima tantangan

dan usaha-usaha untuk menyelesaikannya sampai memperoleh

penyelesaian. Sedangkan pengajaran penyelesaian masalah merupakan

tindakan guru dalam mendorong siswa agar menerima tantangan dari

pertanyaan bersifat menantang, dan mengarahkan siswa agar dapat

menyelesaikan pertanyaan tersebut (Sukoriyanto, 2001:103).

◘ Tujuan Pembelajaran Problem Solving

Berhasil tidaknya suatu pembelajaran bergantung kepada suatu

tujuan yang hendak dicapai. Tujuan dari pembelajaran problem solving

adalah seperti apa yang dikemukakan oleh Hudojo (2003:155), yaitu

sebagai berikut.

(1) Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan

kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya.

(2) Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam sebagai hadiah intrinsik

bagi siswa.

(3) Potensi intelektual siswa meningkat.

(4) Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui

proses melakukan penemuan.

2. Problem solving sebagai proses

Pengertian lain tentang problem solving adalah sebagai sebuah proses

yang dinamis. Dalam aspek ini, problem solving dapat diartikan sebagai

proses mengaplikasikan segala pengetahuan yang dimiliki pada situasi yang

baru dan tidak biasa. Dalam interpretasi ini, yang perlu diperhatikan adalah

metode, prosedur, strategi dan heuristik yang digunakan siswa dalam

menyelesaikan suatu masalah. Masalah proses ini sangat penting dalam

belajar matematika dan yang demikian ini sering menjadi fokus dalam

kurikulum matematika.

Sebenarnya, bagaimana seseorang melakukan proses problem solving

dan bagaimana seseorang mengajarkannya tidak sepenuhnya dapat

dimengerti. Tetapi usaha untuk membuat dan menguji beberapa teori tentang

15

Page 16: Presen Psikobel

pemrosesan informasi atau proses problem solving telah banyak dilakukan.

Semua ini memberikan beberapa prinsip dasar atau petunjuk dalam belajar

problem solving dan aplikasi dalam pembelajaran. Problem solving sebagai

proses meliputi :

a. Langkah-langkah Pembelajaran Problem Solving

Adapun langkah-langkah yang harus diperhatikan oleh guru di dalam

pembelajaran problem solving menurut John Dewey dalam Wina Sanjaya

(2010 : 217) menjelaskan ada 6 langkah yang dinamakan metode

pemecahan masalah (problem solving) yaitu sebagai berikut:

1. Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menetukan masalah yang

akan dipecakan.

2. Menganalis masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah secara

kritis dari berbagai sudut pandang.

3. Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa berbagai kemungkinan

pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilkinya.

4. Mengumpulkan data, yaitu langkah siswa mencari dan

mengambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.

5. Pengujian hipotesis, yaitu langkah siswa mengambil atau

merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan

hipotesis yang diajukan.

6. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah siswa

menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan

hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.

Sedangkan menurut Hudojo dan Sutawijaya (dalam Hudojo,

2003:162), menjelaskan bahwa langkah-langkah yang diikuti dalam

penyelesaian problem solving yaitu sebagai berikut.

(1) Pemahaman terhadap masalah.

(2) Perencanaan penyelesaian masalah.

(3) Melaksanakan perencanaan.

(4) Melihat kembali penyelesaian.

b. Strategi Pembelajaran Problem Solving

16

Page 17: Presen Psikobel

Strategi belajar mengajar penyelesaian masalah adalah bagian dari strategi

belajar mengajar inkuiri. Penyelesaian masalah menurut J. Dewey (dalam

Hudojo, 2003:163), ada enam tahap:

(1) Merumuskan masalah: mengetahui dan menemukan masalah secara

jelas.

(2) Menelaah masalah: menggunakan pengetahuan untuk memperinci,

menganalisis masalah dari berbagai sudut.

(3) Merumuskan hipotesis: berimajinasi dan menghayati ruang lingkup,

sebab akibat dan alternatif penyelesaian.

(4) Mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian

hipotesis: kecakapan mencari dan menyusun data, menyajikan data

dalam bentuk diagram, gambar.

(5) Pembuktian hipotesis: cakap menelaah dan membahas data, menghitung

dan menghubungkan, keterampilan mengambil keputusan dan

kesimpulan.

(6) Menentukan pilihan penyelesaian: kecakapan membuat alternatif

penyelesaian, kecakapan menilai pilihan dengan memperhitungkan

akibat yang akan terjadi pada setiap langkah.

3. Problem solving sebagai keterampilan dasar

Problem solving sebagai keterampilan dasar (basic skill). Pengertian

problem solving sebagai keterampilan dasar lebih dari sekedar menjawab

tentang pertanyaan: apa itu problem solving?

Ada banyak anggapan tentang apa keterampilan dasar dalam

pembelajaran. Beberapa yang dikemukakan antara lain keterampilan

berhitung, keterampilan aritmetika, keterampilan logika, keterampilan

memahami/menghafal, keterampilan mengungkapakan ide atau jawaban dan

lainnya. Satu lagi yang baik secara implisit maupun eksplisit sering

diungkapkan adalah keterampilan problem solving. Beberapa prinsip penting

dalam problem solving berkenaan dengan keterampilan ini haruslah dipelajari

oleh semua siswa, seperti yang dikemukakan oleh George Polya tahun 1945.

17

Page 18: Presen Psikobel

Menurut Polya, pekerjaan pertama seorang guru adalah mengerahkan

seluruh kemampuannya untuk membangun kemampuan siswa dalam

menyelesaikan masalah. Mengapa hal ini menjadi penting? Alasan pertama

adalah karena siswa (bahkan guru, kepala sekolah, orang tua, dan setiap

orang) setiap harinya selalu dihadapkan pada suatu masalah, disadari atau

tidak. Karena itu pembelajaran pemecahan masalah sejak dini diperlukan agar

siswa dapat menyelesaikan problematika kehidupannya dalam arti yang luas

maupun sempit. Problem solving sebagai konteks menekankan pada

penemuan tugas-tugas atau masalah yang menarik dan yang dapat membantu

siswa memahami konsep atau prosedur.

Walaupun secara umum para pendidik hanya terfokus pada materi

pembelajaran pemecahan masalah, namun sesungguhnya ada dua dimensi

atau dua “materi” yaitu: (1) pembelajaran melalui model atau strategi

pemecahan masalah, dan (2) pembelajaran pemecahan masalah itu sendiri.

Yang pertama “pemecahan masalah” sebagai model atau strategi/ pendekatan

pembelajaran, sedang yang kedua “pemecahan masalah” sebagai materi

pembelajaran.

Mengenai model atau pendekatan pemecahan masalah (problem solving

approach), berikut merupakan karakteristik khusus pendekatan pemecahan

masalah (dalam Taplin, 2000).

1. Adanya interaksi antar siswa dan interaksi guru dan siswa.

2. Adanya dialog dan konsensus antar siswa.

3. Guru menyediakan informasi yang cukup mengenai masalah, dan siswa

mengklarifikasi, menginterpretasi, dan mencoba mengkonstruksi

penyelesaiannya.

4. Guru menerima jawaban ya-tidak bukan untuk mengevaluasi.

5. Guru membimbing, melatih dan menanyakan dengan pertanyaan-

pertanyaan berwawasan dan berbagi dalam proses pemecahan masalah.

6. Sebaiknya guru mengetahui kapan campur tangan dan kapan mundur

membiarkan siswa menggunakan caranya sendiri.

18

Page 19: Presen Psikobel

7. Karakteristik lanjutan adalah bahwa pendekatan problem solving dapat

menggiatkan siswa untuk melakukan generalisasi aturan dan konsep,

sebuah proses sentral dalam pembelajaran.

Bagaimana tahap-tahap pembelajaran dengan pendekatan problem solving

berbeda-beda menurut pendapat para ahli.

Ada kalanya kita kurang memahami karakteristik seorang pemecah

masalah (problem solver) yang baik, sehingga seringkali identifikasi kita

hanya terfokus pada hasil (apa yang ditemukan siswa, jawaban siswa), atau

pada kecocokan proses penyelesaian. Dengan mengenali karakteristik

pemecah masalah, maka kita dapat melihat potensi apa yang dimiliki oleh

siswa serta apa yang harus kita lakukan untuk meningkatkan kemampuan

siswa dalam memecahkan masalah.

Ada banyak literatur dan pendapat mengenai ciri-ciri seorang pemecah

masalah (yang baik). Suydam (1980:36) telah menghimpun dan menyaring

ciri-ciri pemecah masalah yang baik dengan mengacu pada berbagai sumber

(Dodson, Hollander, Krutetskii, Robinson, Talton dan lain-lain) menjadi 10

macam ciri. Berikut ini kesepuluh macam ciri pemecah masalah tersebut:

1. Mampu memahami istilah dan konsep.

2. Mampu mengenali keserupaan, perbedaan, dan analogi.

3. Mampu mengindentifikasi bagian yang penting serta mampu memilih

prosedur dan data yang tepat.

4. Mampu mengenali detail yang tidak relevan.

5. Mampu memperkirakan dan menganalisis.

6. Mampu memvisualkan dan mengintepretasi fakta dan hubungan yang

kuantitatif.

7. Mampu melakukan generalisasi dari beberapa contoh.

8. Mampu mengaitkan metode-metode dengan mudah.

9. Memiliki harga diri dan kepercayaan diri yang tinggi, dengan tetap

memiliki hubungan baik dengan rekan-rekannya.

10. Tidak cemas terhadap ujian atau tes.

19

Page 20: Presen Psikobel

Kita seyogyanya dapat mengidentifikasi ciri-ciri tersebut pada peserta

didiknya, dan selanjutnya dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan

perbaikan pada proses pembelajaran secara terus menerus.

Penilaian terhadap kemampuan siswa dalam pemecahan masalah

disarankan mencakup kemampuan yang terlibat dalam proses memecahkan

masalah, yaitu memahami masalah, merencanakan pemecahan masalah,

menyelesaikan masalah (melaksanakan rencana pemecahan masalah),

menafsirkan hasilnya. Dari hasil karya siswa dalam memecahkan masalah ,

dapat dilihat seberapa jauh kemampuan siswa dalam memecahkan masalah

ditinjau dari kemampuan-kemampuan tersebut. Penilaian dapat dilakukan

secara holistik (keseluruhan) atau analitik (perbagian). Pada kenyataannya,

siswa sering terhalang dalam memecahkan masalah karena lemahnya (tidak

terbiasa) mengembangkan strategi pemecahan masalah dan kurangnya

pemahaman konsep atau prosedur yang terkandung dalam penyelesaian

masalah.

Indikator keberhasilan memecahkan masalah ditunjukkan oleh

kemampuan :

a. Menunjukkan pemahaman masalah.

b. Menyajikan masalah secara sistematik dalam berbagai bentuk.

c. Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam

pemecahan masalah.

d. Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat.

e. Mengembangkan strategi pemecahan masalah.

f. Membuat dan menafsirkan model dari suatu masalah, menyelesaikan

masalah yang tidak rutin.

i.

20

Page 21: Presen Psikobel

F. Daftar PustakaAsri Budiningsih C. (2005). Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta

Dale H. Schunk. (2009). Learning Theories An Educational Perspective. New Jersey: Pearson Education, Upper Sadlle River.

Gredler, M. E. (1997). Learning and Instruction, Theory into Practice. New Jersey: Merrill, Prentice Hall.

Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan pembelajaran Matematika. Malang : JICA.

Robert B. Sund. (1976). Piaget for Educators. Columbus, Ohio: Charles E. Merril

Schoenfeld, A. H. (1985). Mathematical Problem Solving. New York,: Academic Press.

Sukoriyanto. 2001. Langkah-langkah dalam Pengajaran Matematika dengan Menggunakan Penyelesaian Masalah. Dalam Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. Malang : JICA.

Vye, N. J., Schwartz, D. L., Bransford, J. D., Barron, B. J., & Zech, L. (1998). SMART environments that support monitoring, reflection and revision. In D. J. Hacker, J. Dunlosky, & A. C. Graesser (Eds), Metacognition in Educational Theory and Practice (pp. 305-346). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Woodcock, D. (1995). Problem Solving in Chemistry , The A thru E Approach. [unknown 16 Mar 2001] http://oksw01.okanagan.bc.ca/ chem/ probsol/ps_A-E.html.

http://en.wikipedia.org/wiki/Metacognition, yang diakses pada tanggal 10 Nopember 2010.

http://special.lib.umn.edu/findaid/xml/uarc00482.xml, diakses pada tanggal 10 Nopember 2010.

21