prediksi kapasitas tampung sedimen kali gendol terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai,...

92
ISBN: 978-979-15616-4-8 Tiny Mananoma, Ali Rahmat, Djoko Legono Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 181 Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap Material Erupsi Gunung Merapi 2006 Tiny Mananoma 1) Ali Rahmat 2) Djoko Legono 3) 1) Mahasiswa S3 - Program Studi Teknik Sipil - Sekolah Pascasarjana - Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada ,Yogyakarta 2) Mahasiswa S2 - Program Studi Magister Pengelolaan Bencana Alam - Sekolah Pascasarjana Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada ,Yogyakarta 3) Profesor Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Abstrak Gunung Merapi adalah gunung api teraktif di dunia dengan karakteristik yang sangat khas. Fenomena pergerakan material yang sangat besar dan cepat dari hulu kali Gendol tepatnya dari gunung Kendil ke kawasan wisata kali adem pada fase erupsi 14 Juni 2006 membuktikan bahwa mekanisme pergerakan material piroklastik dalam volume besar sangat spesifik dan potensial menimbulkan kerusakan. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pengendalian daya rusak air dalam hal ini bencana sedimen yaitu melalui prediksi kapasitas tampung sedimen di sungai. Ruang lingkup kajian ini meliputi identifikasi akumulasi material sedimen di hulu sungai sekitar puncak Merapi, analisis kapasitas tampung alur sungai dengan atau tanpa bangunan pengendali sedimen terhadap potensi volume transpor sedimen. Hasil kajian menunjukkan bahwa mekanisme pergerakan material hasil erupsi dalam volume ± 600.000 m 3 dengan jarak luncur ± 3800 m pada peristiwa erupsi Merapi Juni 2006, telah mengisi kapasitas tampung hulu alur kali Gendol sebesar 39%. Fenomena ini berlangsung tanpa harus menunggu terpenuhinya kapasitas tampung maksimum alur sungai. Kata kunci : erupsi, sedimen, kapasitas. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki banyak gunung berapi yang masih aktif. Gunung api ini sewaktu-waktu bisa mengalami fase erupsi sehingga menimbulkan letusan yang hebat. Material hasil erupsi dengan intensitas volume yang besar ini kemudian mengalir masuk ke sungai-sungai di wilayah gunung tersebut. Fenomena ini suatu saat dapat berubah menjadi aliran lahar yang kemudian membawa bencana di sepanjang alur sungai yang dilalui baik berupa kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana publik antara lain : transportasi, irigasi, kerusakan lahan pertanian dan perkebunan, bahkan korban jiwa. Selain kerugian di berbagai sektor, bencana yang ditimbulkan oleh aliran lahar, sedimen atau debris ini juga memberi tambahan beban keuangan negara terutama untuk merehabilitasi serta memulihkan fungsi sarana dan prasarana publik yang rusak. Gunung Merapi yang terletak pada koordinat 7°32,5'LS dan 110°26,5' BT secara administratif termasuk di wilayah kabupaten Sleman Propinsi DIY, kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten, di Provinsi Jawa Tengah. Gunung dengan ketinggian 2968 meter dari permukaan air laut ini (pengukuran tahun 2001), adalah gunung api tipe strato dengan kubah lava. Merupakan gunung api teraktif di dunia dengan karakteristiknya yang sangat khas. Secara umum fenomena erupsi yang terjadi pada tahun 2006 masih memiliki pola yang sama dengan erupsi yang terdahulu yaitu : semburan awan panas, luncuran lava pijar, serta guguran material. Namun demikian pada fase erupsi di tahun 2006 dengan periode yang relatif panjang yaitu ditandai oleh status “awas” sejak April hingga Juli 2006, terjadi beberapa fenomena spesifik yaitu terbentuknya kubah lava (lava dome) baru dengan perkiraan volume lebih dari 4,5 juta m 3 . Demikian juga dengan runtuhnya kubah lama Geger Boyo pada fase erupsi kali ini memberikan peluang bagi timbunan kubah baru untuk meluncur turun menuju hulu kali Gendol. Fenomena pergerakan material yang sangat besar dan cepat dari hulu kali Gendol tepatnya dari gunung Kendil ke kawasan wisata kali adem pada 14 Juni 2006 membuktikan bahwa mekanisme pergerakan material dalam volume ± 600.000 m 3 sangat spesifik dan potensial menimbulkan kerusakan. Mengingat besarnya sumber sedimen yang terakumulasi di sekitar puncak Merapi, maka fenomena yang sama seperti di kali Gendol dapat saja terjadi pada sungai-sungai lain terutama di sisi selatan yaitu di kali Woro, kali Opak, kali Kuning, dan juga kali Boyong. Gambar 1. Kondisi alur kali Gendol sebelum erupsi 14 Juni 2006

Upload: others

Post on 27-Dec-2019

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Tiny Mananoma, Ali Rahmat, Djoko Legono

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 181

Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap Material Erupsi Gunung Merapi 2006

Tiny Mananoma 1) Ali Rahmat 2) Djoko Legono 3)

1) Mahasiswa S3 - Program Studi Teknik Sipil - Sekolah Pascasarjana - Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada ,Yogyakarta 2) Mahasiswa S2 - Program Studi Magister Pengelolaan Bencana Alam - Sekolah Pascasarjana Fakultas Teknik Universitas

Gadjah Mada ,Yogyakarta 3) Profesor Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Abstrak

Gunung Merapi adalah gunung api teraktif di dunia dengan karakteristik yang sangat khas. Fenomena pergerakan material yang sangat besar dan cepat dari hulu kali Gendol tepatnya dari gunung Kendil ke kawasan wisata kali adem pada fase erupsi 14 Juni 2006 membuktikan bahwa mekanisme pergerakan material piroklastik dalam volume besar sangat spesifik dan potensial menimbulkan kerusakan. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pengendalian daya rusak air dalam hal ini bencana sedimen yaitu melalui prediksi kapasitas tampung sedimen di sungai. Ruang lingkup kajian ini meliputi identifikasi akumulasi material sedimen di hulu sungai sekitar puncak Merapi, analisis kapasitas tampung alur sungai dengan atau tanpa bangunan pengendali sedimen terhadap potensi volume transpor sedimen. Hasil kajian menunjukkan bahwa mekanisme pergerakan material hasil erupsi dalam volume ± 600.000 m3 dengan jarak luncur ± 3800 m pada peristiwa erupsi Merapi Juni 2006, telah mengisi kapasitas tampung hulu alur kali Gendol sebesar 39%. Fenomena ini berlangsung tanpa harus menunggu terpenuhinya kapasitas tampung maksimum alur sungai. Kata kunci : erupsi, sedimen, kapasitas.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Indonesia memiliki banyak gunung berapi yang masih aktif. Gunung api ini sewaktu-waktu bisa mengalami fase erupsi sehingga menimbulkan letusan yang hebat. Material hasil erupsi dengan intensitas volume yang besar ini kemudian mengalir masuk ke sungai-sungai di wilayah gunung tersebut. Fenomena ini suatu saat dapat berubah menjadi aliran lahar yang kemudian membawa bencana di sepanjang alur sungai yang dilalui baik berupa kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana publik antara lain : transportasi, irigasi, kerusakan lahan pertanian dan perkebunan, bahkan korban jiwa. Selain kerugian di berbagai sektor, bencana yang ditimbulkan oleh aliran lahar, sedimen atau debris ini juga memberi tambahan beban keuangan negara terutama untuk merehabilitasi serta memulihkan fungsi sarana dan prasarana publik yang rusak.

Gunung Merapi yang terletak pada koordinat 7°32,5'LS dan 110°26,5' BT secara administratif termasuk di wilayah kabupaten Sleman Propinsi DIY, kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten, di Provinsi Jawa Tengah. Gunung dengan ketinggian 2968 meter dari permukaan air laut ini (pengukuran tahun 2001), adalah gunung api tipe strato dengan kubah lava. Merupakan gunung api teraktif di dunia dengan karakteristiknya yang sangat khas.

Secara umum fenomena erupsi yang terjadi pada tahun 2006 masih memiliki pola yang sama dengan erupsi yang terdahulu yaitu : semburan awan panas, luncuran lava pijar, serta guguran material. Namun demikian pada fase erupsi di tahun 2006 dengan periode

yang relatif panjang yaitu ditandai oleh status “awas” sejak April hingga Juli 2006, terjadi beberapa fenomena spesifik yaitu terbentuknya kubah lava (lava dome) baru dengan perkiraan volume lebih dari 4,5 juta m3. Demikian juga dengan runtuhnya kubah lama Geger Boyo pada fase erupsi kali ini memberikan peluang bagi timbunan kubah baru untuk meluncur turun menuju hulu kali Gendol. Fenomena pergerakan material yang sangat besar dan cepat dari hulu kali Gendol tepatnya dari gunung Kendil ke kawasan wisata kali adem pada 14 Juni 2006 membuktikan bahwa mekanisme pergerakan material dalam volume ± 600.000 m3 sangat spesifik dan potensial menimbulkan kerusakan. Mengingat besarnya sumber sedimen yang terakumulasi di sekitar puncak Merapi, maka fenomena yang sama seperti di kali Gendol dapat saja terjadi pada sungai-sungai lain terutama di sisi selatan yaitu di kali Woro, kali Opak, kali Kuning, dan juga kali Boyong.

Gambar 1. Kondisi alur kali Gendol sebelum erupsi 14

Juni 2006

Page 2: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Tiny Mananoma, Ali Rahmat, Djoko Legono

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 182

Gambar 2. Kondisi alur kali Gendol pasca erupsi 14

Juni 2006 Fenomena ini dapat terjadi sewaktu-waktu, baik dalam masa erupsi maupun pada masa pasca erupsi, pada musim kemarau, terlebih lagi di musim penghujan. Teknik penanggulangan secara struktural yang telah diterapkan selama ini berupa sistem pengendalian sedimen melalui bangunan sabo yaitu bangunan pengendali sedimen yang dimaksudkan untuk menahan dan mengendalikan laju aliran sedimen ke arah hilir sehingga dengan demikian dapat mengurangi besarnya daya rusak yang ditimbulkan. Keberadaan bangunan sabo atau bangunan pengendali sedimen ini begitu nyata manfaatnya dalam masa dimana suplai sedimen dari hulu relatif besar. Namun di sisi lain pada waktu suplai sedimen dari hulu semakin berkurang, maka keberadaan bangunan pengendali sedimen ini lebih sering dinilai sebagai salah satu penyebab utama terjadinya degradasi dasar sungai yang intensif di alur sebelah hilir bangunan sabo. Berangkat dari pengalaman penanggulangan bencana sedimen yang telah dilakukan, maka permasalahan dalam manajemen atau pengelolaan bencana sedimen yang saat ini didominasi oleh isu degradasi lingkungan merupakan suatu problem yang kompleks. Kajian “Prediksi Kapasitas Tampung sedimen kali Gendol Terhadap Material Erupsi Gunung Merapi 2006” menganalisis kondisi kapasitas tampung alur sungai baik dengan atau tanpa bangunan Sabo. Dengan mencermati karakteristik serta kecenderungan pola transpor material piroklastik pada fenomena erupsi Juni 2006, diharapkan memperoleh gambaran yang lebih jelas menyangkut volume serta jarak luncur material di alur sungai. Informasi ini dapat digunakan sebagai salah satu langkah awal dalam upaya pengendalian daya rusak air, berupa perencanaan konsep pengelolaan dan penanggulangan bencana sedimen pada alur sungai di kawasan gunung berapi yang masih aktif.

Ruang Lingkup Salah satu di antara lima misi pengelolaan SDA adalah pengendalian daya rusak air, yaitu upaya untuk mencegah, menanggulangi serta memulihkan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam upaya pengendalian daya rusak air dalam hal ini bencana sedimen, yaitu secara fisik (struktur) dan non fisik (non struktur). Mengingat fenomena pergerakan material yang sangat besar dan cepat dari hulu kali Gendol tepatnya dari gunung Kendil pada 14 Juni 2006, yang menerjang masuk ke kawasan wisata kali adem maka pada studi ini kali Gendol ditetapkan sebagai lokasi kajian. Ruang lingkup kajian “Prediksi Kapasitas Tampung sedimen kali Gendol Terhadap Material Erupsi Gunung Merapi 2006” meliputi identifikasi akumulasi material sedimen di hulu sungai sekitar puncak Merapi, memperhitungkan potensi alami serta historis suplai material dari hulu, serta analisis kapasitas tampung alur sungai terhadap volume migrasi sedimen dengan atau tanpa bangunan pengendali sedimen. Agar supaya pembahasan dapat terfokus pada kondisi yang ada di lokasi kajian, maka untuk mencapai hasil optimal perlu ditetapkan batasan dan asumsi. Batasan dan asumsi yang dimaksud antara lain : 1. pembahasan berbasis pada data pengukuran yang

ada 2. sumber sedimen yang diperhitungkan adalah

material sedimen di sekitar puncak Merapi yang potensial mengalir ke hulu kali Gendol

3. terbatas pada titik / ruas terpilih, atau lokasi yang ditinjau.

Gambar 3. Peta sistem sungai dan lokasi penelitian

L o k a s i p e n e lit ia n

K.Ge

ndol

Page 3: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Tiny Mananoma, Ali Rahmat, Djoko Legono

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 183

Sebagai salah satu sungai yang berhulu di kaki gunung Merapi, kali Gendol adalah anak sungai Kali Opak. Kali Gendol mengalir ke arah tenggara dengan panjang sungai 22 km, serta luas DAS 14,60 km2.

Gambar 4. Peta DAS kali Opak

Maksud dan Tujuan

Maksud dari kajian ini untuk mendapatkan estimasi mendasar dan akurat terhadap kapasitas tampung sedimen di alur sungai, sehubungan dengan timbunan material piroklastik di puncak gunung Merapi yang potensial meluncur turun menjadi bencana sedimen.

Dengan demikian diharapkan informasi yang diperoleh melalui kajian ini akan dapat bermanfaat sebagai salah satu langkah awal maupun sebagai landasan dalam upaya mengembangkan suatu sistem atau metode pengelolaan maupun pengendalian daya rusak air berupa bencana sedimen pada alur sungai di kawasan gunung berapi yang masih aktif secara komprehensif, terpadu dan berwawasan lingkungan.

METODOLOGI

Kajian ini dimulai dengan inventarisasi data-data sekunder dari berbagai sumber di antaranya : Kantor Proyek Merapi, Kantor Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu Penanganan Sabo serta Balai Sabo, Yogyakarta. Data-data dimaksud antara lain :

1.data existing Sabo Dam di kali Gendol 2.data geometri sungai

Pelaksanaan Kajian Gambar 5. Bagan alir pelaksanaan kajian HASIL DAN PEMBAHASAN Bencana sedimen sangat potensial terjadi antara lain di daerah pegunungan, perbukitan terjal, daerah gunung api, dan daerah lain dengan kondisi geologi yang tidak menguntungkan serta rentan terhadap erosi dan longsoran. Bencana sedimen yang banyak kali terjadi di Indonesia adalah erosi, sedimentasi, tanah longsor, serta banjir lahar (aliran debris). Dari aspek teknik sipil aliran lahar atau yang kemudian disebut sebagai aliran debris ini membawa pengaruh yang signifikan terhadap perubahan morfologi sungai sehingga dengan demikian juga berpengaruh terhadap kelestarian fungsi sungai itu sendiri. Secara umum faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian aliran debris pada wilayah gunung api adalah kemiringan lereng, jumlah material, faktor topografi dan geologi tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air dan sedimen dengan konsentrasi yang sangat tinggi. Sekali aliran ini dimulai (karena kesetimbangan statik antara gaya geser yang ditimbulkan lebih besar dari gaya geser yang menahan), maka jumlah massa yang mengalir, ketinggiannya, serta kecepatannya akan selalu bertambah (mempunyai percepatan). Faktor kemiringan dasar sungai sangat mempengaruhi besarnya nilai konsentrasi. Analisis sederhana terhadap tan θ yaitu nilai sudut kemiringan dasar sungai dari puncak gunung kendil hingga ke Soil cement Sabo dam, serta karakteristik butiran material berupa C*, σ, dan ρ berdasarkan data yang diperoleh memberikan informasi mengenai tipe aliran serta konsentrasi sedimen yang ada di lokasi penelitian. Tipe aliran di kali Gendol dapat diketahui melalui perhitungan berikut ini.

Mulai

1. Studi pustaka 2. Review kondisi eksisting sungai 3. Inventarisasi dan identifikasi data sekunder

1. Analisis data geometri sungai 2. Analisis kapasitas tampung alur sungai dengan atau tanpa

BPS 3. Analisis fenomena dan karakter material erupsi

1. Hasil dan pembahasan 2. kesimpulan dan saran

Selesai

Page 4: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

I

o

A

ISBN: 978-979-15

θtan*Cd =

(1)

(260,0tan =θd

(2) Dari hasil analbahwa tipe alikali Gendol Konsentrasi persamaan (3oleh kemiringa

111+

=dC

,11185,11

+=C d

Analisis kapasGendol berdashasil seperti te Gambar 6. Kap Gambar 7. Kap

0

0,5

1

1,5

2

2,5

0 500

volu

me

tam

pung

an (j

uta

m3)

kapkapkaperu

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

0 1000

Volum

e tam

pung

an (ju

ta m3

)

kapakapakapa

5616-4-8

(( ) ρρσ

σ*C+−−

( )) (11165,2

165,260,0++−

isis menggunaran yang terja

adalah jenisedimen (Cd

3). Konsentrasan dasar sunga

θθ2

2

tan85,11tan85,1

( )( )17,08517,05

2

2

=

sitas tampung sarkan penguk

erlihat pada gam

pasitas alur hu

pasitas alur hili

1000 1500 20

Jarak dari punc

pasitas penuh80%pasitas penuh 50%pasitas penuh 30 %upsi juni 2006

2000 3000

Jarak dari GE

pasitas penuh 80%pasitas penuh 50%pasitas penuh 30%

)( )ρρ

tan11 K+

) 070,085,01

=

akan persamaaadi di lokasi kas aliran hip

d) dapat dihsi sedimen (Cai dan tipe alira

05,126,0 =x

sedimen padkuran geometmbar berikut in

lu kali Gendol

ir kali Gendol

000 2500 3000

cak G.Kendil (m)

4000 5000 6

E-D5 (m)

φn

1,0tan22,0 =⟩ θ

an (2) diketahuajian yaitu huluperkonsentrasihitung melaluCd) dipengaruh

n sedimen. (3)

39,0 (4)

da alur sungari memberikani.

3500 4000

6000 7000

17

i u . i i

i n

Tabe

menjalur bang

GendsejummemmencaliranmenslongssedimBerikbang Tabe

Tip GEGEGEC1GEC1GE

Gam KESKesi karakpirok

Tiny M

el 1. Kapasitas K

A3

Hulu 0Hilir 3

Informasi

elaskan mengkali Gendol

gunan pengendDalam up

dol sampai dmlah fasilitas

mbuat dasar scegah erosi vn untuk menstabilkan kaki soran, serta men yang akankut ini di sgunan sabo di

el 2. Kapasitas

pe Jarak (M)

E-D5 6.700 E-D 9.000 E-2

11.100

E-0

12.100

E-C 12.300

bar 8. DPS K.G

IMPULAN DANmpulan

Hasil kajkteristik spesifklastik yang m

Mananoma, Ali Ra

alur K.Gendol Kapasitas alur Asumsi penuh 30% 50%0.3 0.843.21 5.35

yang disajikenai hasil predtanpa mempe

dali sedimen. paya pengendadengan tahun bangunan Ssungai lebih vertikal dasar ncegah erosi bukit untuk

menampungn mengalir ke asajikan informalur kali Gendo

bangunan Sab

Kapasitas (m3) 253.800 53.000

0 55.800

0 41.000

0 22.900

Gendol GE-D5

N SARAN

jian menunjufik dari lokas

meluncur dari

ahmat, Djoko Leg

(juta m3)

% 80% 4 2.27 5 8.57

kan pada diksi kapasitas

erhitungkan ke

alian banjir lah 2005 telah Sabo yang landai sehingsungai, menglateral dasa

menghindari dan meng

arah hilir. masi kondisi

ol.

bo di alur K.Ge

Terisi Si

6.500 2453.000 0 16.200 39

1.600 39

22.900 0

5 (tipe tertutup)

ukkan bahwasi dan butiran

puncak gunu

gono

Tabel 1 s tampung eberadaan

har di kali dibangun

bertujuan: gga dapat gatur arah r sungai, terjadinya

gendalikan

beberapa

ndol

sa

47.300

9.600

9.400

dengan n material ng Kendil

Page 5: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Tiny Mananoma, Ali Rahmat, Djoko Legono

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 185

pada peristiwa erupsi Merapi Juni 2006, maka seperti yang disajikan dalam Gambar 6 mekanisme pergerakan material dalam volume ± 600.000 m3 dengan jarak luncur ± 3800 m telah mengisi kapasitas tampung hulu alur kali Gendol sebesar 39%. Fenomena ini berlangsung tanpa harus menunggu terpenuhinya kapasitas tampung maksimum alur sungai. Saran

Mengingat data-data atau informasi mengenai pola migrasi serta karakter material sedimen hasil erupsi masih kurang tersedia, maka perlu dilakukan studi tersendiri untuk mendapatkan data yang handal dan sahih, mencakup data terbaru untuk digunakan dalam analisis lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA 1. Ali,Rahmat.,2006, Pengelolaan Bencana Sedimen

secara Terpadu Studi Kasus Kali Gendol Gunung Merapi Yogyakarta,Usulan penelitian, Program Studi Magister Pengelolaan Bencana Alam, Sekolah Pascasarjana Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

2. DESDM, 2006, Gunung Merapi Juli 2006, materi presentasi rapat kerja, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

3. Departemen Pekerjaan Umum, 2004, Penjelasan atas UU RI no 7 tahun 2004 tentang SDA, http://www.pu.go.id/sekjen/biro %20hukum /uu/UU_7 _2004_PJ.Pdf,

4. Departemen Pekerjaan Umum, 2004, Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Sungai http://sda.pu.go.id/info/rpp/rppsungai-10-11-04.pdf,

5. Departemen Kimpraswil, 2003, Data inventarisasi Kondisi Bangunan Pengendali Banjir Lahar Gunung Merapi untuk Kali Gendol, Proyek pengendalian lahar Gunung Merapi Pulau Jawa, Bagian Proyek Pengendalian Lahar Gunung Merapi Yogyakarta

6. Mananoma,Tiny., 2005, Prediksi Transpor Sedimen di Sungai Guna Pengendalian Daya Rusak air, Seminar, PIT XXII Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia (HATHI), Yogyakarta.

7. Sri Utami Sudiarti, 2006, Pengelolaan Sedimen Kali Boyong (Migrasi alami dan Campur Tangan Manusia), Tesis, Program Studi Magister Pengelolaan Bencana Alam, Sekolah Pascasarjana Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada ,Yogyakarta.

8. Siswoko, 2006, Pokok-Pokok Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berdasarkan UU No.7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, Seminar Nasional Sinergi Pengelolaan Terpadu DAS, Universitas Atma Jaya,Yogyakarta.

Page 6: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Halaman Kosong

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 186

Page 7: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Achmad Syarifudin, Edi Kadarsah

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 187

Pengendalian Daya Rusak Air Untuk Migitasi Bencana Banjir Sungai Lempuing Sumatera Selatan

Achmad Syarifudin1) Edi Kadarsah 2)

1) Dosen Universitas Bina Darma Palembang, 2) Anggota HATHI Sumsel

Abstract Lempuing river has overtop from the bank becaused of the flood in 2004 and in december untill 2005. The flooding caused of rainfall, the drainage system and every major problem especially from this not for technic but non-technic. Therefor, by using the hydrologic and hydraulic and any usually hydro technic system method, the result of the study is short and long-term for Lempuing catchment are needed.

Key words : Watersheed, river, regim, short and long term

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Daerah Studi Sungai Lempuing merupakan anak sungai Komering yang terletak di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) tepatnya di Kecamatan Lempuing. Sungai Lempuing merupakan sungai orde ketiga dari sungai Musi. Daerah ini dahulunya merupakan lahan rendah dan rawa-rawa, kemudian sejak dibangunnya jalur transportasi darat (jalan lintas timur), daerah ini berkembang pesat berikut berbagai sarana utama dan prasarana penunjang lainnya. Berdasarkan undang undang no. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air maka perlu adanya penanganan yang tepat terhadap pola banjir sesuai dengan kondisi di lapangan serta kebiasaan masyarakat setempat. Didalam pasal 51 ayat (1) perlu segera disosialisasikan secara benar ke berbagai kalangan khususnya di daerah bahwa pengendalian banjir yang lebih mengutamakan kegiatan pencegahan atau yang lebih mengutamakan kegiatan non-fisik (non-struktur) disamping kegiatan secara fisik merupakan suatu prioritas pendekatan terhadap pola pengendalian banjir. Di Sub DAS Lempuing pada tahun 2004 akhir dan awal tahun 2005 terjadi banjir dengan jumlah kerugian yang cukup besar serta ribuan hektar sawah hancur. Banjir terjadi sebagai akibat alamnya juga akibat belum tertatanya dengan baik sistem jaringan sungai yang berfungsi sebagai jaringan drainase. Disamping itu masih adanya sungai/saluran drainase yang mempunyai endapan dan dipersempit lagi oleh adanya rerumputan menambah permasalahan. 1.2. Ruang Lingkup Pokok bahasan yang tercakup dalam penelitian ini adalah SWS Musi mencakup daerah tangkapan

Sub-DAS Lempuing yang juga merupakan orde ketiga dari SWS Musi dengan panjang 127 km, luas DAS 2.800 km2 dan debit rata-rata 47,3 m3/det. Pada bagian Hulu Sungai Lempuing terdapat pertemuan 3 (tiga) sungai yaitu sungai Macak, Sungai Belitang dan Sungai Way Hitam sebelum masuk ke sungai Lempuing. Sedangkan ada satu lagi sungai sebelum sungai Lempuing masuk ke sungai Komering yaitu sungai Burnai. 1.3. Maksud dan Tujuan Mengingat Sub-DAS Lempuing belum ada pola pengendalian banjir, maka diperlukan suatu rumusan dan pola pengendalian banjir secara terpadu dan terprogram serta melibatkan partisipasi masyarakat setempay. II. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Analisis Hidrologi Sungai Lempuing adalah anak Sungai Komering atau sungai orde ketiga dari Sungai Musi. Bentuk daerah pengaliran Sungai Lempuing secara umum berbentuk bulu burung dan sungai sejajar luas Catchment Area Sungai Lempuing sekitar sekitar 2.800 km2. Topografi DAS Lempuing dapat di bagi 3, hulu, tengah dan hilir: 1. Daerah hulu bergelombang tidak begitu tinggi

antara 2–10 m dengan luas 1.247,00 km2 (45%) 2. Daerah tengah relatif datar, alur-alur aliran sungai

masih dapat terlihat dan berbentuk seluas 422,53 km2 (15%)

3. Daerah hilir berupa rawa-rawa dan danau-danau seluas 270,53 km2 (10%)

2.2.. Alternatif Pengendalian Banjir Sistem penanganan masalah banjir Sub DAS Lempuing diproyeksikan sampai dengan tahun 2025 dengan mempertimbangkan perkembangan penduduk maupun sosial ekonomi masyarakat yang tinggi serta campur tangan pemerintah dapat disusun alternatip pengendalian banjir sebagai berikut :

Page 8: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Achmad Syarifudin, Edi Kadarsah

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 188

1. Alternatif I Melakukan konservasi di daerah hulu sungai

Belitang dan Way Hitam dengan reboisasi. Manata normalisasi jaringan drainase sungai

Macak dan Normalisasi alur.

Melakukan normalisasi sungai Lempuing dan membuat kolam-kolam retensi pada daerah hulu sungai.

Meningkatkan kelembagaan dan pananganan non struktural serta pemberdayaan masyarakat.

2. Alternatif II Melakukan konservasi di hulu sungai Belitang dan Way

Hitam. Mempertahankan atau meningkatkan Sub DAS Macak

sebagai daerah retensi yang dilengkapi dengan bangunan pengatur banjir.

Melakukan normalisasi sungai Lempuing dan sungai Macak hilir untuk mengalirkan debit banjir rencana.

Meningkatkan sistem kelembagaan dan pananganan non struktural serta pemberdayaan masyarakat.

3. Alternatif III Melakukan konservasi lahan dengan merehabilitasi

hutan dan lahan kritis pada daerah hulu anak-anak sungai di Sub DAS Lempuing.

Penataan sistem jaringan drainase di daerah dataran yang rawan terhadap banjir pada anak sungai Lempuing yaitu sungai Belitang, sungai Macak, sungai Burnai.

Melakukan rehabilitasi atau peningkatan daerah retensi banjir yang ada di Sub DAS Lempuing.

Meningkatkan kapasitas alur sungai pada ruas-ruas sungai yang rawan terhadap banjir dengan periode ulang tertentu di Sub DAS Lempuing.

Meningkatkan sistem kelembagaan dan penanganan non struktural serta pemberdayaan masyarakat dalam program pengendalian banjir.

Dari beberapa alternatif pengendalian banjir Sungai Lempuing dengan kajian yang dilakukan baik terhadap faktor keuntungan maupun kerugian/kendala. Penanganan pengendalian banjir sungai Lempuing di bagi berdasarkan kondisi bentuk Topografi DAS, besaran debit banjir, kapasitas palung sungai dan kelandaian sungai. 2.3. Strategi Pengendalian Banjir Agar tujuan rencana induk Pengendalian Banjir Sungai Lempuing dapat tercapai secara optimal perlu strategi yang baik. Dengan berbagai pertimbangan antara lain: a. Penggunaan lahan sebagai areal irigasi oleh

masyarakan. b. Perkembangan penduduk dalam hal kebutuhan

akan air baku,

c. Perkembangan industri dan pengembangan lahan untuk tanaman

d. kelapa sawit serta pabriknya, e. Perkembangan permukiman terutama di

sepanjang jalan lintas timur. III. RENCANA PROGRAM PENANGANAN 3.1. Program Jangka Pendek ( 2006 – 2010 ) Penataan sistem jaringan drainase dan normalisasi sungai • Konservasi lahan kritis di hulu sungai Lempuing. • Pembangunan sistem jaringan drainase di Sub-

Sub DAS Macak, Belitang, Way Hitam dan Burnai. • Memfungsikan daerah retensi banjir di Sub DAS

Lempuing. • Peningkatan kapasitas alur sungai Lempuing • Peningkatan sistem kelembagaan dan

penanganan non struktural serta pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian banjir.

3.2. Program Jangka Menengah ( 2010 – 2015 ) Konservasi daerah hulu dan memfungsikan lahan rawa sebagai Retarding Pond • Konservasi di daerah hulu Sub DAS Belitang dan

Sub DAS Way Hitam dengan rebosiasi. • Peningkatan sistem jaringan drainase Sub DAS

Macak, Belitang, Way Hitam dan Burnai. • Normalisasi dan pembuatan kolam retensi di hulu

sungai Lempuing. • Peningkatan kelembagaan dan penanganan non-

struktural serta pemberdayaan masyarakat. 3.3. Program Jangka Panjang ( 2015 – 2025 ) Rehabilitasi hutan kritis dan penataan sistem jaringan drainase serta normalisasi sungai dalam Sub DAS Lempuing • Konservasi di daerah hulu Sub DAS Belitang dan

Sub DAS Way Hitam dengan rebosiasi. • Peningkatan sistem jaringan drainase Sub DAS

Macak, sebagai daerah retensi yang dilengkapi dengan bangunan pengatur dan pengendali.

• Revitalisasi sungai Lempuing hilir sebagai pengendali debit aliran sesuai dengan banjir rencana.

• Peningkatan kelembagaan dan penanganan non-struktural serta pemberdayaan masyarakat

IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa pola penanganan banjir bersifat makro dengan jangkauan jangka menengah dan jangka panjang. Selanjutnya pola tersebut perlu dipertajam melalui kegiatan perencanaan lanjutan yang terpadu dan menyeluruh untuk seluruh Sub-DAS Lempuing termasuk SWS Musi.

Page 9: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Achmad Syarifudin, Edi Kadarsah

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 189

4.2. Saran 1. Perkuatan kelembagaan dan sistem informasi data

dalam pengelolaan SDA wilayah sungai Musi, khususnya dalam Sub DAS Lempuing Perlu segera dilakukan usaha pemantapan program jangka menengah dan jangka panjang yang meliputi seluruh ruas sungai Lempuing dan anak-anak sungainya, bahkan tinjauan perlu diperluas hingga meliputi DAS Komering.

2. Pemasangan beberapa stasiun pencatatan aliran maupun curah hujan yang berada di sungai Lempuing dan anak-anak sungai untuk memonitor dan mengevaluasi kondisi aliran yang terjadi di Sub DAS tersebut.

3. Untuk menunjang program konservasi lahan kritis diperlukan peningkatan koordinasi dengan dinas kehutanan untuk menyatukan program reboisasi di Sub DAS Lempuing serta melakukan penyuluhan dalam rangka pemberdayaan masyarakat

4. Melakukan penyiapan penyusunan batas garis sempadan sungai yang ditindak lanjuti dengan pembuatan peraturan daerah (perda) serta penataan daerah dataran banjir dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

5. Penyiapan pembentukan wadah koordinasi SDA serta melakukan sosialisasi / pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap sumber air.

6. Perlu disiapkan anggaran dalam rangka Operasi dan Pemeliharaan secara rutin dan berkala yang dirasakan sangat diperlukan setelah konstruksi.

DAFTAR PUSTAKA 1. BZ Kinori, 2000, ” Manual of surface drainage

engineering volume I & II ”, Elsevier publishing company, Amsterdam – London – New York.

2. Joesron Lubis dkk, 2004, ” Hidrologi sungai ”, Departemen PU

3. Les Sawatsky., M.Sc.P.Eng, 1993, ” Flood Control Manual Volume I, Summary of flood control creteria and guidlines ”, CDIA RI MPW.

4. P.Ph. Jansen, 1999, ” Principles of river engineering the non-tidal alluvial river ”, Pitman, London.

5. Sri Harto, 2002, ” Analisis Hidrologi ”, PAU-IT UGM Yogyakarta.

6. __________, 1997, ” PSDA ”, Penerbit Gunadarma Jakarta.

Page 10: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Agus Suharyanto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 190

Page 11: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Agus Suharyanto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 191

Identifikasi Penyebab Banjir Bandang Dengan Data Satelit Penginderaan Jauh Dan SIG

Agus Suharyanto

Dosen jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

I. PENDAHULUAN

Pada tanggal 3 – 4 Pebruari 2004, Kota Mojokerto dilanda banjir bandang yang diserati dengan lumpur. Berdasarkan hasil pengamatan genangan air yang melanda wilayah perkotaan mencapai ketinggian-kedalaman hampir satu meter. Sedimen yang menggenangi sebagian wilayah Kota Mojokerto mencapai ketinggian hampir satu meter setelah air surut. Bencana alam banjir bandang tersebut telah menimbulkan kerugian yang sangat besar, tidak hanya berupa harta benda, prasarana dan sarana yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, tetapi juga adanya korban jiwa. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Mojokerto tercatat 4 orang korban jiwa dalam bencana tersebut. Kerusakan sarana dan prasarana yang terjadi adalah putus dan hanyutnya jembatan di tujuh lokasi, beberapa ruas jalan dan jembatan mengalami kerusakan parah, kerusakan berat pada bangunan air (dam, bendung, tanggul dan lain-lain), perubahan alur sungai, rusaknya lahan sawah di beberapa lokasi. Banjir juga menyebabkan lumpuhnya kegiatan perekonomian dan aktivitas sehari-hari warga yang daerahnya terlanda banjir.

Banjir yang melanda Kota Mojokerto ini berasal dari luapan sungai Brangkal, yang merupakan anak sugai Brantas. Berdasarkan penelusuran alur sungai, sungai Brangkal merupakan bagian muara dari sungai Kromong, Pikatan, Jurangcetot, dan sungai Landean yang mempunyai mata air di lereng gunung Arjuno.

Beberapa waktu kemudian yaitu tanggal 29 Februari dan awal Maret 2004, banjir susulan terjadi di alur sungai lainnya yang melewati daerah Manting dan Jatirejo. Beberapa jembatan, jalan, dan tanggul mengalami kerusakan akibat banjir susulan tersebut. Kedua banjir bandang tersebut terjadi pada aliran sungai yang berhulu di pegunungan Welirang dan Arjuna yang terletak di wilayah selatan Mojokerto. Untuk mengetahui penyebab banjir bandang tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) dari sungai-sungai yang mengalir ke Kota Mojokerto. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu pelaksanaan penanganan dan pemulihan kerusakan yang terjadi pasca bencana

alam banjir bandang serta mencegah terulangnya kejadian yang serupa. 1.1. Maksud dan Tujuan Studi

Maksud dilaksanakannya studi atau penelitian ini ialah: 1. Menganalisis penyebab terjadinya banjir bandang

dengan memanfaatkan data citra satelit penginderaan jauh dan pemanfaatan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG).

2. Menyusun suatu program pemulihan pasca bencana banjir.

3. Menyusun program penanganan lingkungan yang terpadu untuk mengantisipasi supaya kejadian banjir bandang tidak terulang lagi.

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari studi ini ialah: 1. Mengetahui kondisi DAS penyebab banjir bandang

dan kondisi alur sungai yang mengalami banjir. 2. Mengidentifikasi penyebab terjadinya banjir

bandang dan kemungkinan terulangnya banjir dimasa mendatang.

3. Menyusun strategi perbaikan kondisi DAS agar tidak terjadi banjir bandang di masa mendatang.

4. Menyusun program pemulihan, meliputi perbaikan alur sungai dan DAS yang terbagi atas tiga tahap, yaitu : • Program Pemulihan Jangka Pendek • Program Pemulihan Jangka Menengah • Program Pemulihan Jangka Panjang

1.3. Manfaat Studi

Dari studi yang dihasilkan diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut. 1. Tersusunnya suatu program pemulihan secara

komprehensip pasca bencana alam banjir bandang di wilayah Kabupaten Mojokerto.

2. Hasil studi dapat dijadikan masukan untuk mengantisipasi terjadinya bencana alam serupa di masa yang akan datang.

3. Mendorong peningkatan kesadaran semua pihak bahwa menjaga kelestarian alam merupakan tanggung jawab bersama.

Page 12: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Agus Suharyanto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 192

II. DAERAH STUDI Wilayah studi ialah Kabupaten Mojokerto

bagian selatan. Kabupaten Mojokerto secara keseluruhan terletak di antara 111°19’ - 112°39’ Bujur Timur dan antara 7°17’ - 7°45’ Lintang Selatan dengan luas wilayah keseluruhan adalah sebesar692,15 km². Secara administratif wilayah Kabupaten Mojokerto terdiri dari 18 kecamatan dan 304 desa. Aliran sungai Brantas membagi wilayah Mojokerto menjadi dua bagian yaitu wilayah utara dan selatan. Masing-masing wilayah mempunyai kondisi dan karakteristik fisik yang berbeda.

Wilayah selatan, yang juga merupakan daerah studi, terdiri dari 14 kecamatan, sebagian merupakan daerah pegunungan yang terletak di lereng gunung Gunung Arjuno, Welirang, Penanggungan, dan Gunung Anjasmoro. Konsekuensinya, sebagian besar wilayah selatan Kabupaten Mojokerto, mempunyai kemiringan lahan yang cukup curam. Tingkat kesuburan tanah di wilayah selatan relatif cukup tinggi. Sungai yang mengalir di daerah ini hampir semuanya termasuk tipe sungai pegunungan (usia muda sampai menengah).

Secara umum kondisi topografi wilayah selatan Kabupaten Mojokerto berupa wilayah pegunungan yang subur, meliputi kecamatan Pacet, Trawas, Gondang, dan Jatirejo. Kemiringan yang ada antara 80 – 150. Area di bagian selatan termasuk area Perhutani dan Tahura R. Soerjo, terletak pada ketinggian >500 m di atas permukaan laut. Berdasarkan penggolongan tingkat kelerengan lahan yang ada, maka daerah studi termasuk kategori curam.

Berdasarkan Peta Tanah tinjauan Jawa Timur dari Lembaga Penelitian Tanah 1966 jenis tanah yang terdapat pada daerah yang ditinjau dalam studi ini berupa jenis tanah Andosol dan Regosol, dengan bahan induk abu/pasir dan tuf intermedian sampai basis. Warna tanah adalah kelabu, coklat kekuningan sampai putih. Tanah berpasir sampai lempung berdebu. Struktur tanah adalah lepas atau berbutir tunggal. Berdasarkan penggolongan tingkat kepekaan terhadap erosi termasuk agak peka sampai dengan peka, tetapi tingkat kesuburannya tinggi. III. METODE PENELITIAN

Untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka metodologi yang dilakukan dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut. Secara umum langkah penelitian yang dilakukan ialah:

1. Pengumpulan Data Pengumpulan Data (Primer

maupun Sekunder). 2. Analisa Data. 3. Perumusan penyebab bajir bandang dan

penyusunan program pemulihan.

3.1. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan untuk bahan analisa

didalam studi ini adalah sebagai berikut. 1. Peta topografi 1:25.000. 2. Citra satelit penginderaan jauh sebelum kejadian

banjir bandang dan setelah kejadian banjir bandang 3. Peta jenis Tanah 4. Peta Geologi 5. Peta jaringan sungai 6. Peta tingkat bahaya erosi 7. Data curah hujan 8. Data morfologi sungai 9. Data kondisi kerusakan alur sungai akibat banjir

bandang 3.2. Analisa Data

Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan analisa untuk memeroleh informasi yang sesuai dengan tujuan studi. Sumber data dan metode analisa yang digunakan dalam studi ini dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Peta rupa bumi Indonesia 1:25.000.

Data ini diperoleh dari BAKOSURTANAL dalam bentuk digital. Nomor blad peta yang diperlukan ialah 1508-324, 1508-342, 1508-344, 1608-113, 1608-131, 1608-133. Dari data ini kemudian dipetakan jaringan sungai, identifikasi jaringan sungai Brangkal dari hilir sampai dengan hulu, geomorfologi sungai yang teridentifikasi, dan fisik sungai seperti panjang dan kemiringan dasar sungai. Dengan menggunakan software ArcView, dapat dicari Batas DAS dari sungai yang teridentifikasi yang selanjutnya disebut dengan DAS daerah studi, klasifikasi kemiringan lahan DAS daerah studi, dan klasifikasi elevasi DAS daerah studi.

2. Citra satelit penginderaan jauh sebelum kejadian banjir bandang dan setelah kejadian banjir bandang. Dua jenis citra satelit digunakan dalam penelitian ini, yaitu citra satelit LANDSAT ETM 7 dan citra satelit SPOT HRV. Data citra satelit LANDSAT diperoleh dari LAPAN dengan waktu penyiaman 19 Mei 2000 (sebelum terjadi banjir bandang) dan nomor Scene (Path/Row) 118/66. Sedangkan data SPOT HRV diperoleh dari stasiun bumi di Thailand dengan waktu penyiaman 15 Agustus 2004 (seelah terjadi banjir bandang) dan nomor Scene (Path/Row) 52973650408150254221J/4. Dengan menggunakan metode “Ward clustering algorithms dan Nearest Neighbor Classification” (Mather, 1987) tutupan lahan DAS daerah studi diklasifikasikan menjadi enam kategori, yaitu Hutan, Lahan Basah, Semak Belukar, Pemukiman, Tegalan/ Ladang, dan Tanah Gundul.

Page 13: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Agus Suharyanto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 193

3. Peta jenis Tanah Peta jenis tanah diperoleh dari Peta Tanah tinjauan Jawa Timur dari Lembaga Penelitian Tanah 1966. Dengan melakukan digitasi, peta jenis tanah yang berupa peta analog dirubah menjadi peta digital. Hal ini dilakukan agar dapat dilakukan analisa dengan bantuan Sistem Informasi Geografis

4. Peta Geologi Peta geoogi diperoleh dari Direktorat Geologi Bandung dalam bentuk analog. Dengan melakukan digitasi, peta geologi yang berupa peta analog dirubah menjadi peta digital. Hal ini dilakukan agar dapat dilakukan analisa dengan bantuan Sistem Informasi Geografis

5. Peta jaringan sungai Peta jaringan sungai pada DAS daerah studi diperoleh dari analisa peta rupa bumi Indonesia 1:25.000

6. Peta tingkat bahaya erosi Peta Tingkat Bahaya Erosi (TBE) diperoleh dari hasil penyusunan Master Plan Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Daerah Propinsi Jawa Timur tahun 2000 yang dilakukan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) Univeristas Brawijaya. Dari Peta TBE yang berupa peta analog, kemudian dilakukan digitasi pada DAS daerah studi

7. Data curah hujan Data curah hujan yang diperlukan ialah curah hujan yang berasal dari stasiun curah hujan disekitar DAS daerah studi. Data yang diperlukan ialah curah hujan harian maksimum dari tahun 1993 – 2002. Dari data yang tekumpul dicari curah hujan dengan kala ulang 10, 25, 50, dan 100 tahun dngan metode Log Pearson III. (Soemarto, 1987). Dengan menggunakan rumus Rasional (Bedient, 1992), HSS Nakayasu (Soemarto, 1987), HSS Snyder-Alexeyev (Bedient, 1992) dihitung debit banjir yang terjadi dengan kala ulang 10, 25, 50, dan 100 tahun (Shahin, 1993).

8. Data morfologi sungai Data morfologi sungai diperoleh dari Dinas Pengairan Kabupaten Mojokerto. Untuk data penampang melintang sungai pada DAS daerah studi diperoleh dari pengukuran di lapangan. Dengan menggunakan perangkat lunak HEC-RAS Anonim, 2001), dihitung tinggi muka air di sungai pada saat debit banjir maksimum

9. Data kondisi kerusakan alur sungai akibat banjir bandang Data kondisi kerusakan pada alur sungai diperoleh dari pengamatan langsung dilapangan. Data yang diamat berupa data perubahan morfologi sungai, data kerusakan penampang sungai, data kerusakan bangunan yang melintang sungai

Dari hasil analisa dari data yang terkumpul kemudian dilakukan pembahasan terhadap fenomena yang terjadi. Diharapkan dari hasil pembahasan ini

akan diperoleh jawaban penyebab terjadinya banjir bandang dan penyusunan program agar peristiwa banjir bandang tidak terulangi lagi. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisa dari data yang terkumpul kemudian dilakukan pembahasan dalam upaya mencari jawaban penyebab terjadinya banjir bandang di Kota Mojokerto. Secara ringkas hasil dari analisa yang telah dilakukan dapat dijelaskan sebagai berikut. 4.1. Identifikasi Jaringan Sungai dan Batas DAS Dengan menggunakan peta rupa bumi Indonesia skala 1:25.000, dilakukan identifiki jaringan sungai Brangkal yang bermuara di sungai Brantas yang melewati kota Mojokerto. Dari hasil identifikasi yang dikombinasi dengan pengamatan lapangan, maka dapat ditetapkan bahwa debit yang masuk kedalam sungai Brangkal berasal dari tiga buah sungai yang ada di hulunya, yaitu sungai Landean, sungai Jurangcetot, dan sungai Pikatan. Hasil identifikasi lapangan menunjukkan bahwa kerusakan pada alur sungai tidak terjadi di sungai yang berada di hilir pertemuan ketiga sungai tersebut. Dengan demikian daerah penelitian dimulai dari pertemuan ketiga sungai tersebut kearah hulu. Dengan menggunakan peta topografi digital, dibuat Digital Elevation Model (DEM) dengan ukuran grid 25 m x 25 m. Hasil DEM kemudian digunakan sebagai input data dalam penelusuran batas DAS dengan perangkat lunak SIG yang ada. Dengan menggunakan perangkat lunak ArcView dapat ditentukan batas subDAS Landean, subDAS Jurangcetot, dan SubDAS Pikatan. Gambar dari DAS daerah studi ini dapat dilihat pada gambar 1

Gambar 1. Batas DAS Daerah Studi

DAS Pikatan

DAS Landean

DAS Jurangcetot

Page 14: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Agus Suharyanto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 194

4.2. Perhitungan Curah Hujan Rencana Dengan diketahuinya batas DAS daerah studi, maka dicari stasiun curah hujan yang berpengaruh pada DAS daerah studi. Dari data stasiun curah hujan yang ada dipilih empat stasiun yang mewakili, yaitu stasiun Pacet, Pandan, Pugeran, dan Janjing. Dengan data curah hujan harian maksimum dari tahun 1993 – 2002 dan dianalisa dengan metode Log Pearson diperoleh curah hujan dengan kala ulang 10, 25, 50, dan 100 tahun. 4.3. Analisa Sifat Fisik DAS Yang dimaksud dengan sifat fisik DAS disini ialah panjang sungai utama, panjang sungai dari titik berat, kemiringan lahan DAS, luas DAS, dan kondisi tutupan lahan. Berdasarkan peta rupa bumi Indonesia, diperoleh panjang sungai utama ialah 25.5 km, panjang sungai dari titik berat DAS 12 km, luas DAS 148.2 km2, dan kemiringan lahan DAS diklasifikasikan sesuai dengan BRLK, yaitu 0-8%, 8-15%, 15-30%, 30%-40%,

dan lebih besar 40%. Hasil klasifikasi kemiringan lahan ini dapat dilihat pada gambar 2. Untuk data tutupan lahan diperoleh dari citra satelit LANDSAT ETM 7 (resolusi 30 m x 30 m) dan SPOT HRV (20m x 20 m). Hasil klasifikasi tutupan lahan dari kedua citra tersebut dapat dilihat Gambar 2 dan Gambar 3. Sedangkan hasil perhitungan luas masing-masing jenis tutupan lahan dari kedua citra tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Dari citra yang terbaru (SPOT HRV) dihitung nilai koefisien pengaliran dan diperoleh sebesar 0.75. 4.4. Perhitungan Debit Banjir Rencana Dengan menggunakan rumus rasional, HSS Nakayasu, dan HSS Snyder-Alexeyev dan data fisik DAS daerah studi, curah hujan sebagai input data dihitung debit aliran permukaan yang terjadi dengan kala ulang 10, 25, 50, dan 100 tahun. Hasil perhitungan debit dapat dilihat pada Tabel 2.

Gambar 2a. Citra LANDSAT 2004 Gambar 2b. Citra LANDSAT 2003 Tabel 1. Kondisi Tutupan Lahan Tahun 2000 dan 2004

No Jenis Tutupan Lahan LANDSAT SPOT Selisih (Luas – Ha) (Luas – Ha) Luas (Ha) 1 Hutan 10.368,024 10.256,665 - 111,359 2 Tanah Gundul 489,072 380,330 - 108,742 3 Semak Belukar 8.968, 310 8.604,490 - 363,820 4 Tegalan/Ladang 2.418,804 2.453,69 34,886 5 Permukiman 100,395 518,25 417,855 6 Lahan Basah 781,505 912,685 131,180 Luas Total 23.126,110 23.126,110 0,000

Tabel 2. Debit Banjir Rencana

Page 15: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Agus Suharyanto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 195

Metode Banjir rencana (m3/detik) 5 tahun 10 tahun 25 tahun 50 tahun 100 tahun

Rasional 307.76 316.98 327.03 333.71 339.84 Nakayasu 198.87 204.79 211.30 215.61 219.56 Snyder-Alexeyev 243.63 250.89 258.86 264.15 268.99

4.5. Perhitungan Tinggi Muka Air Banjir Dengan input data utama penampang melintang sungai utama yang ada, nilai kekasaran Manning, debit aliran permukaaan yang terbesar maka dihitung ketinggian muka air di sungai dengan perangkat lunak HEC-RAS. Debit aliran permukaan yang digunakan ialah dari hasil perhitungan dengan rumus rasional. Contoh hasil perhitungan dapat dilihat pada gambar 3.

Dengan membandingkan elevasi muka air banjir hasil simulasi dengan elevasi tanggul sungai, maka terjadi beberapa luapan di titik dimana elevasi tanggul lebih rendah dari elevasi muka air banjir. Lokasi luapan hasil simulasi sama dengan lokasi luapan hasil pengamatan di lapangan. Dengan kata lain bahwa metode dan data yang digunakan dalam analisa ini tidak jauh dari kenyataan. Lokasi-lokasi yang mengalami luapan dapat dilihat pada Tabel 4.

Gambar 3. Contoh hasil simulasi dengan HEC – RAS Tabel 4. Lokasi banjir berdasarkan banjir rencana 100 th.

0 5 10 15 20615

616

617

618

619

620

621

622

623

Studi Penanggulangan Banjir Mojokerto Plan: Simulasi Banjir River = Kromong Reach = 3 Kromong 79

Station (m)

Elev

atio

n (m

)

Legend

EG Banjir 100 tahun

WS Banjir 100 tahun

Crit Banjir 100 tahun

Ground

Bank Sta

.005 .004 .005

0 5 10 15 20540

541

542

543

544

545

546

547

Studi Penanggulangan Banjir Mojokerto Plan: Simulasi Banjir River = Kromong Reach = 3 Kromong 61

Station (m)

Elev

atio

n (m

)

Legend

EG Banjir 100 tahun

WS Banjir 100 tahun

Crit Banjir 100 tahun

Ground

Bank Sta

.005 .004 .005

0 5 10 15 20 25 3072

74

76

78

80

82

84

Studi Penanggulangan Banjir Mojokerto Plan: Simulasi Banjir River = Pikatan Reach = 1 Pikatan 6

Station (m)

Elev

atio

n (m

)

Legend

EG Banjir 100 tahun

WS Banjir 100 tahun

EG Banjir 50 tahun

EG Banjir 25 tahun

WS Banjir 50 tahun

WS Banjir 25 tahun

Ground

Bank Sta

.05 .04 .05

0 5 10 15 20 25 3074

76

78

80

82

84

Studi Penanggulangan Banjir Mojokerto Plan: Simulasi Banjir River = Pikatan Reach = 1 Pikatan 9

Station (m)

Elev

atio

n (m

)

Legend

EG Banjir 100 tahun

WS Banjir 100 tahun

EG Banjir 50 tahun

EG Banjir 25 tahun

WS Banjir 50 tahun

WS Banjir 25 tahun

Ground

Bank Sta

.05 .04 .05

Page 16: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Agus Suharyanto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 196

No Stasiun Daerah Keterangan

1 P3 – P17 Desa Padangasri, Mojogeneng, Sumberagung Aliran air meluap sampai keluar alur utama dan bantaran sungai.

2 P17 –P23 Desa Tawar, Karangkuten Air mengalir sampai bantaran sungai dengan kedalaman cukup tinggi.

3 P24 – P29 Desa Tawar, Karangkuten Aliran air meluap sampai keluar alur utama dan bantaran sungai.

4 P29 – P42 Desa Karangkuten, Pohjejer Air mengalir sampai bantaran sungai dengan kedalaman cukup tinggi.

5 P42 – P48 Desa Pohjejer Aliran air meluap sampai keluar alur utama dan bantaran sungai.

6 P48 – P139 Desa Pohjejer, Wonoploso, Pugeran, Kebontunggul, Gondang, Kemasantani, Padi, Wiyu

Air mengalir sampai bantaran sungai dengan kedalaman cukup tinggi.

7 P140 – P141 Desa Padi, Wiyu Aliran air meluap. 4.6. Analisa Penyebab Banjir Bandang Dengan melihat data kemiringan lahan, maka DAS daerah studi termasuk DAS yang mempunyai kemiringan yang curam. Dengan demikian bila terjadi hujan lebat, maka air akan segera masuk kedalam sungai (waktu puncak banjir relatif pendek). Sedangkan dilihat dari perubahan tutupan lahan tahun 2000 (LANDSAT) sampai dengan tahun 2004 (SPOT), maka dapat dilihat bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan yang menaikkan koefisien aliran permukaan. Faktor lain yang sangat dominan terhadap debit banjir ialah data curah hujan. Dengan melihat data curah hujan rata-rata dari tahun 1993 – 2002 dan data curah hujan pada tanggal 3 – 4 Pebruari 2004, maka dapat dilihat bahwa curah hujan pada tanggal 4 Pebruari sangat besar, hampir dua kali lipat dari curah hujan maksimum yang terbesar dari 1993 - 2002. Bila dibandingkan dengan curah hujan kala ulang 100 tahun (110.95 mm), maka curah pada tanggal 4 Pebruari 2004 masih jauh lebih besar. Curah hujan pada empat stasiun curah hujan yang digunakan pada tanggal 4 Pebruari 2004 adalah 225 mm, 143 mm, 120 mm, dan 206 mm berturut-turut untuk stasiun pengukur curah hujan Pacet, Pandan, Pugeran, dan Janjing. Dengan melihat hasil simulasi lokasi banjir pada Tabel 4 dan hasil pengamatan dilapangan, maka dapat disimpulkan bahwa hasil simulasi sesuai dengan kejadian yang ada dilapangan. Dari sini dapat dibuktikan bahwa data satelit penginderaan jauh sangat efektif untuk deteksi perubahan penggunaan lahan guna analisa banjir. Teknologi SIG sangat memudahkan dalam pengadaan data pendukung guna analisa banjir, seperti data batas DAS, kemiringan lahan, dan alur sungai. V. KESIMPULAN dan SARAN

Dari hasil analisa dan pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut. 5.1. Kesimpulan Dari hasil analisa dan pembahasan, penyebab banjir bandang di Kota Mojokerto tanggal 3 – 4 Pebruari 2004 adalah sebagai berikut.

a. Curah hujan pada tanggal 3 – 4 Pebruari 2004 sangat tinggi, yaitu lebih besar dari curah hujan dengan kala ulang 100 tahunan. Disamping itu hujan juga terjadi sepanjang satu Minggu sebelum tanggal kejadian banjir, yang mana hujan tersebut menyebabkan kondisi tanah menjadi jenuh.

b. Kondisi tutupan lahan di DAS Pikatan, Landean, dan Jurangcetot telah banyak mengalami perubahan dari vegetasi atau hutan menjadi lahan terbuka. Dengan demikian perubahan nilai koefisien aliran semakin besar.

c. Kondisi topografi hulu DAS Pikatan, Landean, dan Jurangcetot merupakan daerah dengan kemiringan curam, sehingga air hujan segera turun ke bawah sebagai aliran permukaan.

d. Akibat banjir bandang, terjadi perubahan morfologi sungai Pikatan, Kromong, Landean, Jurangcetot yang besar.

e. Program pemulihan kondisi lingkungan (alam) diutamakan untuk DAS Pikatan, Landean, dan Jurangcetot.

f. Daerah yang menjadi target area perbaikan lingkungan (restorasi) sebagian berada dalam pengelolaan instansi lain dan di luar wilayah Kabupaten Mojokerto, dan Instansi yang berbeda, sehingga diperlukan koordinasi dan kerjasama yang baik.

g. Segera perlu diadakannya normalisasi sungai yang sesuai dengan hasil analisa agar bisa mengalirkan air pada saat musim hujan yang akan datang.

5.2. Saran Dengan melihat kondisi pasca banjir bandang, hasil analisa dan pembahasan, maka dapat direkomendasi kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan agar banjir bandang yang serupa tidak timbul lagi. Rekomendasi yang dapat diberikan ialah: a. Harus dilaksanakan reboisasi hutan di bagian hulu

DAS Pikatan, Landean, dan Jurangcetot. b. Pembuatan dam pengendali untuk mengendalikan

aliran sedimen dan aliran banjir. c. Melarang pengambilan batu-batuan dan pasir

bawaan banjir bandang di sepanjang aliran sungai.

Page 17: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Agus Suharyanto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 197

Karena pengambilan batu-batuan dan pasir akan mengganggu kestabilan alur sungai dan geometri sungai.

d. Sosialisasi kepada penduduk (semua pihak) untuk menjaga kelestarian hutan.

e. Penegakan hukum bagi mereka yang melanggar Undang-Undang lingkungan mulai sekarang juga.

DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim, User’s Manual Program HEC-RAS, U.S.

Army of Engineer. California, 2001, 2. Bedient P.B., Huber W.C.: Hydrology and

Floodplain Analysis, Addison-Wesley Pub. Co., New York, 1992.

3. LPM Universitas Brawijaya, Laporan Akhir Master Plan Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Daerah Propinsi Jawa Timur, Malang, 2000.

4. Mather P.M.: Computer Processing of Remotely-Sensed Images An Introduction, Chichester: Biddles Ltd., Guildford and King’s Lynn, 1997.

5. Shahin M., Oorschot, and Lange, Statistical Analysis in Water Resources Engineering, A.A. Balkema, Totterdam, 1993.

6. Soemarto CD, Hidrologi Teknik, Usaha Nasional, Surabaya, 1987

Page 18: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Halaman Kosong

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 198

Page 19: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Hermawan, HM Nasyit Umar, Haris Umar, Kasim Anies

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 199

Hydraulic Modeling Untuk Banjir Bandang Tanggal 19-20 Juni 2006 Di Kab. Sinjai Propinsi Sulawesi Selatan

Hermawan 1) HM Nasyit Umar 2) Haris Umar 3) Kasim Anies 4)

1) PT Virama Karya, Makassar, 081 141 6842 / [email protected] 2) BAGBELTAN Pembinaan dan Perencanaan SNVT Irigasi dan Rawa Andalan Sulsel 081 146

7234 /[email protected] 3) Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil - Universitas Muslim Indonesia ( UMI ) Makassar 081 355

323225 /harisumar @yahoo.com 4) Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil - Universitas Muslim Indonesia ( UMI ) Makassar ; 081 355

168703/kasimanies @yahoo.com

Abstrak Semua daerah teritorial mempunyai resiko masing masing terhadap bahaya banjir . Kecepatan air yang tinggi , genangan pada daerah rendah dapat mengakibatkan bahaya dan daya merusak . Lima belas ( 15) cm air yang bergerak akan mampu menghantam manusia dan mengerakkan kakinya , sedangkan 30 cm air yang bergerak dengan kecepatan 10 mile / jam ( 4,4477 m/dt ) akan mampu menghasilkan gaya angin sebesar 100 mile / jam , walaupun gaya yang terjadi akan di distribusi secara berbeda beda sesuai rintangan yang ada . Topografi yang curam akan meningkatkan kecepatan aliran permukaan ( runoff ) dan aliran debris . Kelangkaan vegetasi yang bisa menghambat aliran merupakan faktor lain , yang mana hal ini bisa mengakbatkan daerah rawan terhadap bahaya longsor . Banjir bandang yang terjadi pada tanggal 19 – 20 Juni 2006 ( 332 mm) yang lalu di Sinjai akibat luapan beberapa sungai yaitu Sungai Mangotong , Sungai Kalamisu ( Baringang ) dan Sungai Bua telah mengakibatkan korban jiwa dan benda , oleh sebab itu perlu di teliti secara kuantitatif besaran banjir yang terjadi tersebut baik areal yang tergenang , besarnya debit , dan kecepatan aliran yang terjadi . Hasil dari studi Hydrology & Hydraulic Modeling ini diharapkan bisa memberikan masukan kepada para perencana pengendalian banjir yang akan datang khususnya untuk usaha mitigasi pra bencana . Keywords : Hujan deras , alih fungsi hutan , landuse , debit banjir

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Hampir setiap tahun terjadi banjir bandang di beberapa tempat di Indonesia , kejadiannya sangat menyedihkan karena menelan banyak korban baik nyawa maupun harta benda . Hampir setiap terjadi banjir bandang di Indonesia terlihat ketidak siapan baik masyarakat maupun pemerintah dalam usaha mitigasi bencana baik sebelum maupun sesudah kejadian . Dalam studi ini akan mengetengahkan usaha untuk memahami hakekat banjir tersebut , baik sebab-sebabnya maupun cara mencegahnya di masa yang akan datang . Adanya kegiatan masyarakat yang mengalihkan fungsi hutan akan dibahas pada studi ini dengan mengadakan analisa landuse dulu dan sekarang dalam memberikan dampak terhadap banjir . 1.2. Ruang Lingkup Pada penulisan ini menjelaskan tentang aplikasi ilmu hydrologi dan hidrolika yang dipadukan dengan teknologi GIS ( Geographic Information System ) untuk menganalisis daya rusak air akibat banjir bandang . Untuk studi ini perlu di persiapkan DTM ( Digital Terain Model ) yang dalam hal ini berupa DEM ( Digital Elevation Model ) untuk hydrology modeling dan TIN (

Trianggulated Irregular Networks) untuk hydraulic modeling . DEM yang digunakan adalah tipe USGS yang didapat dari satelit SRTM90 . 1.3. Maksud dan Tujuan Maksud : Memberikan gambaran analisis tentang besaran banjir yaitu debit , kecepatan dan periode ulang yang terjadi pada tanggal 19-20 Juni 2006 di Kabupaten Sinjai yang mana memiliki daya rusak yang sangat dahsyat sehingga banyak menelan korban baik jiwa maupun harta benda . Tujuan : Menjadikan hasil analisis sebagai acuan untuk perencanaan yang akan datang dalam usaha mitigasi bencana banjir yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang . 2. HYDRAULIC MODELING 2.1. Pengertian Umum Pada studi ini akan dilakukan beberapa perhitungan yaitu sebagai berikut : • Menghitung debit banjir yang terjadi akibat banjir

tanggal 19-20 Juni 2006 dengan menggunakan data landuse 2006 dan landuse 1993 sebagai pembanding .

• Software yang digunakan : WMS 7.1 ( Dari Brigham Young University )

Page 20: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Hermawan, HM Nasyit Umar, Haris Umar, Kasim Anies

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 200

• Terain model yang digunakan : USGS DEM (USGS Digital Elevation Model ) tipe SRTM 90 dari NOOA.

2. 2. Watershed delineation Sebagai langkah pertama maka akan dilakukan watershed delineation yaitu menentukan batas DPS dari

sungai utama di Sinjai yaitu S. Mangotong , S. Kalamisu ( Baringan) dan S. Bua . Untuk melakukan hal ini dipakai Program Topaz yang merupakan salah satu interface pada WMS 7.1 .

Gambar 1 Hasil Watershed Delineation

2. 3. Hydrology Soil Group ( Klas hidrologi tanah ) NRCS (The U.S. Natural Resource Conservation Service) mengklasifikasi tanah menjadi 4 kelas grup hidrologi tanah. Propertis tanah yang mempengaruhi potensi runoff adalah tanah yang memiliki pengaruh kuat terhadap minimalnya besar infiltrasi pada kondisi tanah jenuh. Propertis tanah tersebut adalah kedalaman tanah hingga batas permukaan air tanah pada setiap musimnya, saturated hydraulic conductivity, dan kedalaman lapisan permiable. Maka tanah dibagi menjadi kelas grup : A,B,C,D, dengan definisi sebagai berikut : A : (Memiliki potensial runoff rendah). Tanah yang

memiliki besar infiltrasi tinggi, bahkan pada saat pada kondisi sepenuhnya jenuh. Tanah tersebut memiliki tekstur lapisan pasir dan kerikil, sehingga digolongkan dalam tanah yang memiliki tingkat drain yang baik, Dan memiliki tingkat transmisi/penyebaran air yang tinggi.

B: Tanah yang memiliki besar infiltrasi sedang dalam kondisi basah/jenuh. Mempunyai kedalaman air tanah, tingkat drain dalam kategori sedang dengan tekstur tanah mulai tekstur agak halus hingga kasar.

C: Tanah yang memiliki besar infiltrasi rendah dalam kondisi jenuh. Yaitu tanah yang memiliki lapisan yang menghalanngi pergerakan air masuk kedalam lapisan tanah, atau memiliki tekstur mulai agak halus hingga tekstur halus.

D: (Potensial Runoff yang tinggi). Tanah tersebut memiliki besar infiltrasi yang sangat rendah/lambat dalam kondisi jenuh. Yaitu tanah yang memiliki tektur tanah lempung/memiliki potensi kembang susut yang tinggi, memiliki muka air tanah tetap/permanen, layer tanah cenderung berupa

tekstur lempung hingga batas permukaannya, dan memiliki lapisan permiabel yang dangkal.

Untuk mengetahui dan mendapatkan peta hydrology soil group , maka digunakan data dari peta hidrogeologi indonesia yang menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam hal menyimpan potensi air tanah . Untuk daerah yang memiliki kemampuan besar dalam potensi air tanahnya maka bisa disimpulkan bahwa daerah tersebut mempunyai daya runoff yang rendah , demikian sebaliknya .

Gambar 2 Hydrology Soil Group 2.4. Landuse Berikut adalah gambar peta landuse yaitu dari tahun 1993 dan tahun 2006 . Penggunaan lahan dibagi menjadi Hutan , sawah , tegalan , badan air ( sungai /empang) dan permukiman ( perkampungan ) .

DPS BUA

DPS KALAMISU / BARINGAN

DPS MANGOTONG

Hydrology Soil Group ( Di digitasi dari Peta Hidrogeologi Indonesia 1 : 250 000 )

Page 21: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Hermawan, HM Nasyit Umar, Haris Umar, Kasim Anies

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 201

Gambar 3 land uses Kab Sinjai pada 3 DPS

2. 5. Hydrology Modeling a) Dasar perhitungan Volume limpasan permukaan dapat tergantung dari berbagai faktor . Tentunya volume curah hujan merupakan faktor yang sangat penting . Untuk DPS yang sangat luas volume limpasan dari suatu kejadian

banjir bisa saja tergantung dari hujan yang terjadi sebelumnya . Bagaimanapun dalam pendekatan perhitungan banjir maka asumsi adanya independensi sangat biasa digunakan . Dalam hydrology modeling maka hujan yang sebagai bahan terjadinya limpasan dibagi tiga (3) bagian yaitu : limpasan langsung ( direct runoff ) , initial

LANDUSE TAHUN 2006 (Sumber Dinas PU Kab Sinjai )

No1 Hutan 83.3372 Sawah 150.4123 Tegalan 291.4314 Sungai 13.3965 empang 2.2816 Permukiman 29.335

Total 570.192

Luas Areal ( km2)

LANDUSE TAHUN 1993 ( Sumber www.pu.go.id )

No1 Hutan 342.0952 Sawah 51.7543 Tegalan 60.9134 Sungai 25.6835 empang 06 Permukiman 89.747

Total 570.192

Luas Areal ( km2)

Page 22: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Hermawan, HM Nasyit Umar, Haris Umar, Kasim Anies

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 202

abstraction , dan losses . Faktor yang mempengaruhi pemisahan antara losses dan direct runoff meliputi volume hujan , lahan penutup , soil type dan anticedent moisture conditions . Lahan penutup dan dan landuse akan menentukan jumlah depresi dan interception storage . Dalam mengembangkan hubungan antara rainfall – runoff , maka jumlah curah hujan dipisahkan menjadi tiga komponen utama yaitu : direct runoff ( Q ) , actual retention (F) , dan initial abstraction ( Ia) . Retention F di asumsikan sebagai fungsi ketebalan hujan dan limpasan dan initial abstraction . Akhirnya dapat kimemukakan rumus sebagai berikut :

dimana : Q : limpasan permukaan /surface runoff (mm) P : tinggi curah hujan (mm) Ia : abstraksi awal hujan pada 2 jam pertama ( mm)

S : Volume total tampungan ( mm)

a : 25.4 untuk SI unit CN : Curve Number ( dari tabel , berkisar antara 0-100 ) Tabel 1 Nilai CN untuk berbagai jenis tanah dan lahan penutup

Hydrology Soil Group

No Lahan Penutup ( land Cover ) A B C D

1 Sungai ( Badan Air ) 0 0 0 0

2 Sawah 49 69 79 84 3 Tegalan 35 56 70 77 4 Hutan 36 60 73 79 5 Permukiman 57 72 81 86

Menghitung Debit Puncak Banjir dengan Metode SCS

qp : debit puncak banjir (m3/dt) � : Konstanta konversi satuan = 0.00043 ( SI unit ) Kp : Peaking Constant = 484 A : luas DPS ( km2) Q : limpasan permukaan ( mm) tc : waktu konsentrasi ( jam ) Waktu Konsentrasi :

Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan untuk pengaliran mulai air hujan yang jatuh pada titik terjauh pada DPS sampai ke outlet yang ditinjau . Waktu konsentrasi ini dibagi dua yaitu waktu pengaliran pada overland dan waktu pengaliran pada sungai ( water way ) yang biasanya terdiri dari beberapa segmen .

Tc = To + Td Dimana : Tc : waktu konsentrasi ( menit) To : Waktu pengaliran pada overland ( menit ) Td : Waktu Pengaliran pada sungai ( menit) Kecepatan aliran pada overland dapat dihitung dengan rumus :

dimana : V : kecepatan aliran ( m/dt) � : 10 k : intercept coefficient yang merupakan fungsi lahan penutup ( dari tabel) . S : kemiringan lahan ( m/m ) Tabel 2 Intercept Coefficient , Mc Cuen 1989

No Land Cover / Flow Regime k

1 Hutan 0.076 2 Saluran Rumput 0.457 3 Semak belukar 0.152 4 Ladang /Tegalan 0.274

Waktu Pengaliran ( Travel time ) pada overland dapat dihitung dengan :

dimana : Tt = travel time ( menit ) L = Panjang lintasan pada overland flow( m) To = Tt Untuk menghitung waktu pengaliran pada sungai metodenya hampir sama , disini untuk menghitung kecepatan aliran dipakai rumus Manning .

dimana : V : kecepatan aliran di sungai ( waterway ) ( m/dt) � : 1 untuk satuan SI n : koefisien kekasaran Manning ( tabel) R : Jari jari hidrolis ( m) : A/P A : Luas Basah (m) P : Keliling basah (m)

Page 23: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Hermawan, HM Nasyit Umar, Haris Umar, Kasim Anies

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 203

S : Kemiringan garis energi , utk uniform flow sama dengan slope dasar sal (m/m) Td : L/60V L : Panjang sungai ( m) Tabel 3 Koefisien kekasaran Manning ( SCS 1986)

No Jenis Saluran / sungai N Manning 1 Beton 0.014 2 Saluran tanah /alam 0.030 3 Pasangan Batu Kali 0.017 4 Saluran Berumput 0.240

b) Hasil Perhitungan Debit puncak dengan program WMS 7.1 Dengan data berupa DEM dan parameter tanah , curah hujan yang telah diuraikan diatas maka hydrology modeling dengan program WMS 7.1 bisa dilaksanakan . Adapun hasil dari perhitungan ini ditampilkan dan dicantumkan ke dalam peta berikut berupa debit puncak pada masing-masing sungai dan penggalannya . Hidrograp banjir pada outlet juga bisa dilihat pada gambar berikut ini .

Gambar 4 Debit Puncak Banjir dengan Landuse tahun 1993

Gambar 5 Debit Puncak Banjir dengan Landuse tahun 2006

HASIL SIMULASI DEBIT BANJIR 19-20 JUNI 2006( LAND USE 1993 )

Ket :QP = Debit Puncak ( m /dt )CN = Curve numberA = Luas catchment (Km )MSL = Mean Stream Length ( Km )MSS = Mean Stream Slope ( mm )

3

2

Qp = 583.94 m3/dtCN = 66.2A = 59.08 km2MSL= 9.35 kmMSS= 0.0099 m/m

Qp = 619.93 m3/dtCN = 62A = 95.33 km2MSL= 17 kmMSS= 0.0080 m/m

Qp = 722.10 m3/dtCN = 71.70A = 51.23 km2MSL= 8.29 kmMSS= 0.0034 m/m

Qp = 856.69 m3/dtCN = 56A = 11.77 km2MSL= 7.60 kmMSS= 0.00192 m/m

Qp = 477.53 m3/dtCN = 63A = 92.17 km2MSL= 25.4 kmMSS= 0.0249 m/m

Qp = 160.43 m3/dtCN = 58.4A = 28.80 km2MSL= 6.53 kmMSS= 0.0167 m/m

Qp = 104.47 m3/dtCN = 59A = 19.16 km2MSL= 2.35 kmMSS= 0.0196 m/m

Qp = 1468 m3/dtCN = 52.6A = 9.41 km2MSL= 3.25 kmMSS= 0.0013 m/m

Qp = 1323.80 m3/dtCN = 57.3A = 26.83 km2MSL= 7.51 kmMSS= 0.0046 m/m

Qp = 1430.06 m3/dtMSL= 2.50 kmMSS= 0.0080 m/m

Qp = 1293.01 m3/dtCN = 60.2A = 32.37 km2MSL= 5.86 kmMSS= 0.0034 m/m

Qp = 229.11 m3/dtCN = 62.7A = 24.82 km2MSL= 1.1 kmMSS= 0.0089 m/m

Qp = 1064.66 m3/dtCN = 57.50A = 31.41 km2MSL= 11.56 kmMSS= 0.0012 m/m

Qp = 164.48 m3/dtCN = 61.3A = 16.49 km2MSL= 0.75 kmMSS= 0.0176 m/m

Qp = 942.76 m3/dtCN = 58.9A = 21.37 km2MSL= 8.51 kmMSS= 0.0108 m/m

Qp = 1049.19 m3/dt

Batas DPS

Batas Sub-DPS

Sungai

HASIL SIMULASI DEBIT BANJIR 19-20 JUNI 2006( LAND USE 2006 )

Ket :QP = Debit Puncak ( m /dt )CN = Curve numberA = Luas catchment (Km )MSL = Mean Stream Length ( Km )MSS = Mean Stream Slope ( mm )

3

2

Qp = 727.46 m3/dtCN = 66.1A = 59.08 km2MSL= 9.35 kmMSS= 0.0099 m/m

Qp = 762.67 m3/dtCN = 61.1A = 95.33 km2MSL= 17 kmMSS= 0.0080 m/m

Qp = 658.38 m3/dtCN = 68.3A = 51.23 km2MSL= 8.29 kmMSS= 0.0034 m/m

Qp = 786.89 m3/dtCN = 60.1A = 11.77 km2MSL= 7.60 kmMSS= 0.00192 m/m

Qp = 583.34 m3/dtCN = 61.90A = 92.17 km2MSL= 25.4 kmMSS= 0.0249 m/m

Qp = 200.63 m3/dtCN = 58.3A = 28.80 km2MSL= 6.53 kmMSS= 0.0167 m/m

Qp = 130.10 m3/dtCN = 58.6A = 19.16 km2MSL= 2.35 kmMSS= 0.0196 m/m

Qp = 1873 m3/dtCN = 57.7A = 9.41 km2MSL= 3.25 kmMSS= 0.0013 m/m

Qp = 1288.56 m3/dtCN = 58.1A = 26.83 km2MSL= 7.51 kmMSS= 0.0046 m/m

Qp = 1821.54 m3/dtCN = 54MSL= 2.50 kmMSS= 0.0080 m/m

Qp = 1436 m3/dtCN = 62.2A = 32.37 km2MSL= 5.86 kmMSS= 0.0034 m/m

Qp = 294.14 m3/dtCN = 64A = 24.82 km2MSL= 1.1 kmMSS= 0.0089 m/m

Qp = 1381.07 m3/dtCN = 63.4A = 31.41 km2MSL= 11.56 kmMSS= 0.0012 m/m

Qp = 208.95 m3/dtCN = 62.1A = 16.49 km2MSL= 0.75 kmMSS= 0.0176 m/m

Qp = 1198.35 m3/dtCN = 62.2A = 21.37 km2MSL= 8.51 kmMSS= 0.0108 m/m

Qp = 1074.02 m3/dt

Batas DPS

Batas Sub-DPS

Sungai

Page 24: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Hermawan, HM Nasyit Umar, Haris Umar, Kasim Anies

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 204

Gambar 6 Hidrograp Debit banjir tahun 2006 2. 6.Hydraulic Modeling Hydraulic modeling yang dilakukan disini bertujuan untuk sebagai berikut : • Menghitung parameter hidrolika debit banjir yang

dihasilkan dari Hydrology Modeling untuk beberapa sungai utama dan hasilnya bisa digunakan untuk ploting genangan yang terjadi .

• Terain model yang digunakan : TIN (Trianggulated Irregular Networks )

• Software yang digunakan : WMS 7.1 ( Dari Brigham Young University ) & HECRAS 3.1.3 ( Dari US Army Corps of Engineers )

a) Dasar perhitungan Profile muka air yang akan dibahas adalah merupakan aliran satu dimensi ( one-dimensional water surface profile ) hasil dari analisis aliran steady gradually varied flow . Profile muka air dihitung dari satu cross section ke cross section berikutnya dengan menggunakan perhitungan persamaan energi secara iterasi yang disebut dengan standard step method . Rumus persamaan energi adalah sebagai berikut :

Dimana : Y1 , Y2 = kedalaman muka air pada suatu penampang

( cross section ) Z1 , Z2 = elevasi dasar saluran ( invert elevation )

V1 , V2 = kecepatan aliran rata-rata ( debit / luas basah rata-rata )

�1 ,�2 = koefisien kecepatan g = percepatan gravitasi ( 9,81 m/dt2) he = kehilangan energi Persamaan energi dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 7 Gambar istilah dalam persamaan energi .

Untuk menentukan debit aliran total dan koefisien kecepatan pada suatu penampang diperlukan adanya pembagian unit unit potongan dimana kecepatan bisa didistribusikan secara merata . Pada program HEC-RAS melakukan pendekatan dengan pembagian area pada overbank dengan memkai input nilai n pada cross section ( lihat gambar 8 ) . Debit dihitung dengan menjumlahkan hasil dari seluruh divisi . Q = K .Sf 1/2

K = 1/n . A.R 2/3

Dimana : K = Faktor Pengaliran (conveyance)

0

250

500

750

1000

1250

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000

Hydrograph of Mangotong RiverPEAK: 1381.07 cms; TIME OF PEAK: 855min.; VOLUME: 26604717.30 m 3

Flow

(m3/

s)

Time (min)

Index 1,20C Ratio 1,P:1381.07,T:855,V:26604717.3

0

250

500

750

1000

1250

1500

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000

Hydrograph of Kalamisu / Baringan RiverPEAK: 1436.03 cms; TIME OF PEAK: 850min.; VOLUME: 25264990.50 m 3

Flow

(m3/

s)

Time (min)

Index 1,21C Ratio 1,P:1436.03,T:850,V:25264990.5

0

250

500

750

1000

1250

1500

1750

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000

Hydrograph of Bua River PEAK: 1873.20 cms; TIME OF PEAK: 950min.; VOLUME: 52477035.90 m 3

Flow

(m3/

s)

Time (min)

Index 1,32C Ratio 1,P:1873.20,T:950,V:52477035.9

Page 25: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Hermawan, HM Nasyit Umar, Haris Umar, Kasim Anies

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 205

n = N manning dari sub bagian penampang A = Luas basah dari sub bagian penampang R = Jari jari hidrolis dari sub bagian penampang

Gambar 8 Metode pembagian penampang . Cara lain yang tersedia pada HEC-RAS adalah dengan menghitung debit pada antara koordinat pada overbank ( gambar 9 ) .

Gambar 9 Metode Alternatif sistim pembagian penampang . b) Hasil Perhitungan Hasil perhitungan berikut merupakan hasil modeling hidrolika pada S. Mangotong yang mana menunjukkan parameter genangan banjir . Gambar selengkapnya untuk ke dua sungai yang lain bisa dilihat pada prentasi dengan powerpoint .

Gambar 10 Kekasaran bantaran sungai ( flood plain )

Gambar 11 Potongan memanjang dan XYZ plot dari Sungai Mangotong

Kekasaran Bantaran Sungai( Floodplain roughness )

946.830

318.174

16

15312.2813800.02

12946.31

12513.29

11737.3911225.15

10736.599890.543

9492.963

8417.998

7178.3696564.1315541.828

4019.784

2725.9731516.217

1049.091661.866 9893.996

8023.5126704.909

4497.333

3865.4502950.1301596.271

1019.304

Page 26: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Hermawan, HM Nasyit Umar, Haris Umar, Kasim Anies

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 206

Gambar 12 Genangan hasil hydraulic modeling – S.Mangotong

Gambar 13 Tinggi Genangan hasil hydraulic modeling – S.Mangotong TABEL 4 – Tabel ringkasan hasil perhitungan hidrolika

Page 27: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Hermawan, HM Nasyit Umar, Haris Umar, Kasim Anies

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 207

III KESIMPULAN • Hujan pada tanggal 19-20 Juni 2006 yang

mengakibatkan banjir bandang di Kab Sinjai sebesar 332 mm memiliki periode ulang 20 tahunan .

• Dari hasil studi perbandingan pada landuse tahun 1993 dan 2006 pada areal 3 buah sungai utama di Kab .Sinjai yaitui S. Mangotong , S. Kalamisu dan S. Bua ada indikasi adanya alih fungsi lahan yang mana memberikan dampak terhadap adanya kenaikan debit puncak banjir sebagai berikut :

Reach River Sta Q Total Min Ch El W.S. Elev E.G. Slope Vel Chnl Flow Area Top Width Froude # Chl(m3/s) (m) (m) (m/m) (m/s) (m2) (m)

Lower Main 9.893.996 1381.07 14.18 19.06 0.011424 5.21 264.93 96.67 1.01Lower Main 9.460.355 1381.07 11.5 18.33 0.000467 1.44 959.3 219.82 0.22Lower Main 9.113.292 1381.07 9.96 18.35 0.000046 0.57 2580.53 482.26 0.07Lower Main 8.634.921 1381.07 16.11 17.62 0.014333 3.33 402.54 329.21 0.98Lower Main 8.023.512 1381.07 8.76 14.37 0.000142 0.76 2057.27 675.44 0.12Lower Main 7.546.452 1381.07 11.39 13.58 0.01596 3.31 421.95 400.28 1.02Lower Main 6.704.909 1381.07 5.68 12.49 0.000101 0.73 2115.67 533.02 0.1Lower Main 6.270.989 1381.07 4.5 12.47 0.000043 0.57 2751.59 617.35 0.07Lower Main 5.729.743 1381.07 9.76 11.66 0.013205 2.77 384.87 284.82 0.91Lower Main 4.873.551 1381.07 2.61 9.51 0.000213 1.07 1445.51 427.53 0.15Lower Main 4.497.333 1381.07 5.31 9.35 0.000611 1.38 1147.39 502.56 0.24Lower Main 3.865.450 1381.07 3.53 9.1 0.000324 1.03 1541.42 696.36 0.18Lower Main 3.355.537 1381.07 6.04 8.51 0.004296 2.31 749.47 722.88 0.57Lower Main 2.950.130 1381.07 3.5 8.48 0.000136 0.72 2375.95 905.05 0.12Lower Main 2.519.235 1381.07 4.24 8.42 0.000139 0.71 2209.18 756.38 0.12Lower Main 2.198.266 1381.07 4.38 8.22 0.001392 1.37 1011.16 607.24 0.33Lower Main 1.596.271 1381.07 6.11 7.75 0.000579 0.65 1570.82 915.07 0.2Lower Main 1.019.304 1381.07 2.5 7.18 0.001258 1.67 923.58 461.45 0.33Lower Main 603.388 1381.07 0.5 6.86 0.000576 1.49 1125.43 458.23 0.24Lower Main 179.786 1381.07 3.48 6.45 0.001201 1.48 868.04 349.66 0.32Upper Main 16601.53 727.46 192.5 197.4 0.012275 4.72 154.27 68.5 1Upper Main 16142.98 727.46 178.38 180.77 0.014674 3.49 208.7 168.88 1Upper Main 15312.28 727.46 174.25 177.43 0.001301 1.52 479.13 218.85 0.33Upper Main 14352.46 727.46 168.86 175.4 0.002531 2.89 251.71 70.53 0.49Upper Main 13800.02 727.46 169.58 172.17 0.013002 4.23 172.05 94.85 1Upper Main 13336.59 727.46 154.8 169.23 0.000025 0.54 1424.19 180.51 0.06Upper Main 12946.31 727.46 156.5 169.23 0.000012 0.34 2174 287.83 0.04Upper Main 12513.29 727.46 164.42 168.45 0.009908 3.95 208.33 139.75 0.89Upper Main 12152.04 727.46 147.77 153.7 0.002112 2.36 308.34 104.09 0.44Upper Main 11737.39 727.46 145.5 153.77 0.000097 0.77 947.99 170.74 0.1Upper Main 11225.15 727.46 148.79 152.57 0.012826 4.35 167.12 87.3 1Upper Main 10736.59 727.46 139.21 149.62 0.000007 0.2 3180.01 555.18 0.03Upper Main 10292.13 727.46 130.72 149.62 0.000001 0.1 6097.77 416.52 0.01Upper Main 9.890.543 727.46 143.77 148.35 0.012107 4.75 153.1 66.82 1Upper Main 9.492.963 727.46 128.27 133.59 0.011683 5.12 142 53.34 1Upper Main 8.417.998 1198.35 104.28 115.33 0.000114 0.79 1508.05 293.32 0.11Upper Main 7.716.355 1198.35 106.11 113.15 0.010779 5.89 203.48 57.78 1Upper Main 7.178.369 1198.35 92.02 96.31 0.011837 4.9 244.35 100.36 1Upper Main 6.564.131 1198.35 82.5 85.09 0.012077 4.14 323.72 227.9 0.97Upper Main 5.541.828 1198.35 68.58 76.43 0.001503 2.4 499.31 127.19 0.39Upper Main 5.077.401 1198.35 67.5 75.99 0.000843 1.96 611.96 136.95 0.3Upper Main 4.653.033 1198.35 59.66 76.09 0.000017 0.45 2504.87 251.55 0.05Upper Main 4.019.784 1198.35 58.21 76.07 0.000055 0.58 2091.19 384.19 0.08Upper Main 3.365.484 1198.35 51.75 76.08 0.000002 0.25 4983.17 345.51 0.02Upper Main 2.725.973 1198.35 68.13 74.36 0.011028 5.54 216.39 69.48 1Upper Main 2.329.615 1198.35 46.65 50.44 0.013391 4 299.52 183.33 1Upper Main 1.516.217 1198.35 26.98 29.59 0.002815 1.93 573.02 288.45 0.46Upper Main 1.049.091 1198.35 22.5 27.64 0.004253 3.12 383.75 144.04 0.61Upper Main 661.866 1198.35 19.27 24.22 0.011733 5.01 239.03 94.31 1.01Upper Main 287.176 1198.35 17.32 21.14 0.000653 1.46 838.18 258.56 0.25

Page 28: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Hermawan, HM Nasyit Umar, Haris Umar, Kasim Anies

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 208

Landuse Selisih No Uraian Tahun 1993 Tahun 2006 Angka % Keterangan I. Luas Areal ( km2) 1 Hutan 342.095 83.337 258.758 75.639 Berkurang 2 Sawah 51.754 150.412 98.658 190.629 Bertambah 3 Tegalan 60.913 291.431 230.518 378.438 Bertambah 4 Sungai 25.683 13.396 12.287 47.841 Berkurang 5 empang 0 2.281 2.281 - Bertambah 6 Permukiman 89.747 29.335 60.412 67.314 Berkurang Total 570.192 570.192 II. Debit Banjir Sungai Pada Outlet (m3/dt) 1 S.Mangotong 1065 1381 316 29.678 Bertambah 2 S.Kalamisu/Baringan 1293 1436 143 11.060 Bertambah 3 S.Bua 1468 1873 405 27.589 Bertambah

• Dari hasil perhitungan hidrolika( tabel 4) terlihat

bahwa kecepatan aliran ada yang mencapai 5 m/df dimana hal ini udah melebihi kecepatan yang diijinkan bagi saluran tanpa lining .

Apabila alih fungsi lahan tidak segera dikendalikan maka apabila terjadi banjir serupa , maka dampaknya akan makin besar terhadap masyarakat . Untuk mengatasi hal ini maka segera dilakukan usaha konservasi DPS ( Daerah Pengaliran Sungai ).

Perlu adanya sistim peringatan dini bagi masyarakat yang bermukim di daerah yang berpotensi terkena banjir (1) dapat memperoleh informasi lebih awal tentang besaran (magnitude) banjir yang mungkin terjadi yaitu debit puncak (peak discharge) dan waktu menuju debit puncak (time to peak), (2) dapat memperkirakan waktu

yang dibutuhkan untuk evakuasi dan pengungsian. (3) dilengkapi dengan informasi tentang tinggi genangan yang mungkin terjadi serta lokasi genangan.

DAFTAR PUSTAKA 1. Brigham Young University , Watershed Modeling

System (WMS ) 7.1 Tutorial , 2005 2. US Army Corps of Engineers , HECRAS 3.1.3

User’s Manual , January 2005 3. Federal Highway Administration , Highway

Hidrology , National Highway Institutes ( NHI) , 2002

4. Moh Fuad Bustomi Zen (Kelompok Kerja STUDIO MINO Yogyakarta) dan Visi Asriningtyas (Fakultas Geografi UGM Yogyakarta) , Bencana Banjir Bandang Kebutuhan Riset dan Mitigasi , 2005

Page 29: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

I

t a

2

ISBN: 978-979-15

P

pada Kecam– Keca meruskecamsepadringanmenga run uptidak asehingmelum menca

gelom

gelomdenga berat vegetaramba

stabilit

Kata k I . Pendahulua Pantai ModKabupaten Bkerusakan sepmemutuskan jtanggal 30 Juli Kondisi vegada yang bakpantai yang Modung sepankali yang diples Pukulan gemusim saat oNopember,bula(wave run up)merusakkan pr Sebelum adberat. Tinggi g2.70 m.

5616-4-8

Penyebab KTimu

Pantai Moduselat Madura

matan Modung samatan Kwanya

Zona morfolsak badan jalanmatan modung, dan pantai juga n berupa talut alami deformasi

p) terus menerusada mangrove dgga akumulasi kmpuhkan aktifitas

apai tahap akhir

Tahap jangkmbang naik dapa

Tahap jangkmbang setinggi 1an interval 100 m

Groin terbensinglenya sehin

asi berupa bakaatan gelombang

Diperhitungktas marfologi pa

kunci : Morfolog

an dung yang teangkalan, Pro

panjang 6 km bjalan raya (Su 2005).

getasi di sepankaunya lebat,

terbuka gundnjang 6 km telaster. lombangn yan

ombak besar yan Desember ) samapai overoperti dibalik tda bencana ingelombang 1.6

Keruntuhanur Dan Pen

Teknik Sip

ung terletak dipeantara Pulau J

sejauh 8 km dariar – Bangkalan. logi pantai sepan Bina Marga, talud rusak, ba

rusak. Tingkat mengelupas pl dan runtuh slidi

Segala s gelombang be

dipesisirnya. Gelokerusakan pesiss ekonomi dan d

Didalamr perkuatan dengka pendek adalt dipatahkan. ka menengah d1,65 meter. Sehm, sedimentasi dntuk dari batuanngga tidak teranau, maka bakau kepantai. kan bila vegetas

antai dilakukan o

gi Pantai, ramba

erletak di Keopinsi Jawa bahkan ada yanurabaya Post,

njang pantai m ada yanag bdul tidak ada ah diberi talut d

ng terus – meyaitu pada bulsering terjadi o

er toping meletalut tersebut. i kondisi talut

65 m dengan

n Zona Morfanggulang

Djoko Tpil – FTSP ITS, A

Aesisir selatan PuJawa – Kota Si cause way jem njang 6.028 meMerusak Propese coarse perkekerusakan ada

lesterannya, rusing. titik kerusakan tbas dari sisi timombang bebas tsir sangat cepadistribusi barangm penanggulanggan vegetasi. lah rekondisi tal

dibangun groin hingga laju kerudapat terjadi dan n primer, batuanngkat gelombanu ditanam deng

si mengakar kuaoleh vegetasi yan

tan naik, keruntu

ecamatan MoTimur menga

ng runtuh sehiharian sore s

modung bervabakau jarang, bakaunya. Pdari pasangan

enerus bahkanlan Oktober, bombak rambat

ewati lunas tan

stabil, tidak rbeda pasang

fologi Pantgan Perman

Tri Yudianto

Anggota HATHI C

Abstrak ulau Madura – dSurabaya dengambatan suramadu

ter dipesisir panerti dimuka daraerasan jalan rus yang rusak rinsak sedang tal

tersebut diatas tur selatan beraktanpa fraksi, gelt, dalam waktu

g konsumsi. ganya dipecah

lud pasangan b

dari batu armousakan talud da terjebak didalam pengisi dan ba

ng setelah segan jarak 7 me

t, usia groin terlang kuat dari hasi

uhan gelombang

dung alami ngga sabtu

ariasi, ada

Pantai batu

ada bulan t naik nggul

rusak surut

Gam

tai Modungnen Dengan

Cabang Surabaya

di Kecamatan Moan Pulau Maduu (surabaya mad

ntai modung menat pada pantai sak, rumah pengan, rusak sedlud lubang akib

terjadi karena rakibat abrasi, Zonlombang belum p singkat terjadi

– pecah menj

batu kali dan dit

our dengan berapat dihambat dm zona pasang stu penutup yang

edimentasi terbeter sehingga ak

ampaui, tidak peil penghijauan in

g, talud, groin, ve

mbar.3 Kondis

Djoko T

g Bangkalann Vegetasi

odung Kabupateura Kabupaten dura) pada sisi D

ngalami keruntu tersebut. Sepanduduk diseberadang dan rusak bat erosi, rusa

ambat naik gelomna morfologi kospecah dilaut ( br keruntuhan yan

njadi beberapa

tinggikan sehing

rat 320 kg, undengan adanya surut antar groing diperhitungkanentuk cukup unkarnya cukup k

erlu groin dirawani.

egetasi.

i Geometri pan

Tri Yudianto

n Jawa

en Bangkalan Bangkalan – Desa Sukolilo

han sehingga anjang pesisir ang jalan dari berat. Rusak k berat talut

mbang (wave song vegetasi, reaker zone ), ng hebat dan

tahap untuk

gga rambatan

tuk menahan groin – groin

n. n dimensi dan ntuk hidupnya kuat menahan

at, pertahanan

ntai Modung

Page 30: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Djoko Tri Yudianto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 210

II. Kondisi Pantai Setelah Bencana Pada rute pantai yang berbakau lebat talut tidak mengalami kerusakan, vegetasi stabil, properti yang ada tidak terganggu. Sisi sepanjang pantai yang bakaunya jarang, talut rusak ringan sampai rusak sedang. Rusak ringan berupa plesteran terkelupas, rusak sedang ada pasangan yang retak – retak dan sedikit tergerus. Beberapa sisi menyusuri pantai yang tidak ada bakaunya, akibat wave run up pias morfologi sangat longsor, merusakkan properti di belakang talut, talut berlubang erosi berat, talut longsor sedang, jalan putus, arus lalu lintas sangat terganggu. III. Penanggulangan Permanen Kerusakan Pantai Penanggulangan permanen jangka panjang adalah dengan penanaman bakau (vegetasi), karena bakau dapat menahan arus, menahan gelombang serta dapat menyehatkan air yang tercemar. Sebelum bakau dapat langsung ditanam, perlu penyiapan lahan dengan bangunan proteksi untuk itu, sehingga perlu penanganan jangka pendek. Tahapan penanganan awal menuju penanggulangan permanen. 3.1 Penanggulangan Jangka Pendek a.Perbaikan talut Rusak berat

• Rekondisi pasangan batu kali 1:4 • Siar Timbbul 1PC : 2PS • Rekondisi bahu jalan dengan lapisan ijuk • Sirtu terseleksi CBR 30% • Proteksi batu Bronjong (Gabion)

b. Perbaikan Talut Rusak Erosi

• Rekondisi pasangan batu kali 1:4 • Siar Timbbul 1PC : 2PS • Rekondisi bahu jalan dengan lapisan ijuk • Sirtu terseleksi CBR 30%

c. Perbaikan Talut Rusak Sedang

• Rekondisi pasangan batu kali 1:4 • Siar Timbbul 1PC : 2PS

d. Perbaikan Talut Rusak Ringan

• Siar Timbbul 1PC : 2PS 3.2 Penanggulangan Jangka Menengah

Memasang groin 3.3 Penanggulangan Jangka Panjang Menanam bakau a. Perhitungan Batu Armor

Berat armor per unit, dihitung berdasarkan persamaan Hudson:

αρ

cot)( 3

3

xISrxKHgxAW

D −=

W = Berat batu minimum H = Tinggi gelombang rencana G = Percepatan gravitasi KD = Koefisien jenis batu Sr = Rapat massa relatif Α = Sudut lereng bangunan pemecah gelombang ρA = Rapat massa batu

untuk data – data sbb : ρA = 2,20 t/ m3 H = 1,65 m KD = 6,60

Page 31: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Djoko Tri Yudianto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 211

Cot α = 1,50 Diperoleh berat batu minimum : W = 0.320 t b. Perhitungan lebar puncak groin Desain Penampang - Tebal lapis batu pelindung : dihitung dengan persamaan

31

gxAWKxmr A ρ

=

r = Tebal lapis batu m = Jumlah lapis batu KA = Koefisien batu W = Berat unit batu ρA = Rapat massa batu W = 0,320 t Bila KA = 1,05 ; m = 2v ; maka 1,10 Untuk W = 0,320 t; maka r = 0,60 m

- Lebar Puncak dihitung dengan rumus :

gxAWKAxMB

ρ*=

untuk m* = 5 diperoleh lebar B = 2,6 m - Tinggi puncak bangunan

Perhitungan Wave run up Angka Irribaren :

)/(tan

0LHφζ =

untuk H= 1,67 m dan T = 7,86 dt diperoleh: ζ = 2,766 Ru = 3,275 – 0,3 x ζ Ru = 1,6 x 2,238 = 2,445 m Ru = 0,5 x 2,445 = 1,222 m

- Elevasi lunas bangunan = HHWL + SS + Ru + Wakking = 1,67 + 0,75 + 1,222 + 0,52 ~ 4,20 m

c. Stabilitas groin

Perhitungan Kontrol Stabilitas Tanah Tegangan Tanah :

bwHxnxA )1( −= γσ Dengan nilai : Aγ = 2,20t/m3 n = 0,38 Hbw = 6,65 Didapat :

)(/12,0/09, 22 OKcmkgcmkg ijin =<= αα

Penurunan Tanah

)(log)1

(p

pxpeoHxCS oc

ΔΔ

+=

Tanah dasar merupakan lapis tanah pasir,

sehingga penurunan dapat terjadi pada waktu yang cepat sebesar S= 0,25m

Sliding

Dengan asumsi bahwa sudut geser batu (ϕ ) = 450, melalui metode grafis dari Sigh, jika sudut lereng batu 1 : 1,5, akan didapat faktor keamanan sliding sebesar 1,8. Gambar penampang Groin

IV. Kesimpulan Dan Saran Penanggulangan jangka panjang permanen dan alami adalah dengan penanaman bakau (vegetasi). Sebelum bakau dapat ditanam, perlu bangunan sarana pencetak lahan dan pelindung bakau muda berupa groin – groin. Disarankan dalam keterbatasan dana, penanggulangan jangka pendek dilakukan, termasuk rekondisi jalan aspal, sehingga arus ekonomi masyarakat tidak terganggu. Daftar Pustaka 1. Bambang Triatmodjo, 1999, Teknik Pantai.

Page 32: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Halaman Kosong

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 212

Page 33: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Sobri Harun

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 213

Regional Homogeneity and Probability Weighted Moments in Design Storms

Masimin 1) Sobri Harun 2) 1) Civil Eng. Dept., Syiah Kuala University, Banda Aceh – Indonesia 23111, E-mail: [email protected]

2) Civil Eng. Faculty, Universiti Teknologi Malaysia, Johore Bahru – Malaysia 81300

Abstract Design storm analysis deals with magnitude and threshold or depth and return period. In the study, frequency based storm (FBS) and probable maximum precipitation (PMP) were used and the estimate analysis was using the probability weighted moments (PWM) to define the distribution, parameter and quantile estimates. Preliminary test was conducted to see the independence and stationary of data set and X-10 test was used to test the regional homogeneity. The daily and 5-minute incremental rainfall data were analyzed to examine the seasonal, spatial, and temporal variability including the calculation of PMP values. The starting point of annual time stick for collecting data was displaced from January 1 to March 21 and in the partition of regional homogeneity, the distance of the station from the sea was significant. It was found that the GEV and GLOG distribution were two appropriate distributions for data from the State of Selangor and Johore. The correction factor of 2.65 was to be inserted to frequency factor of Hershfield’s approach to get 165% PMP value greater than those of the maximum data record. The IDF-curves defined based on daily rainfall data was over estimate compared to those of defined based on 5-minute incremental rainfall data. Keywords: rainfall analysis, regional homogeneity, and probability weighted moments.

INTRODUCTION In water resources management, estimation, prediction and forecast were three main portions since today’s working based on last time observed data and experiences was for tomorrow’s usage. This statement was also applied to flow analysis that availability hydrological data and understanding of statistical knowledge become mandatory. The rainfall analysis was to determine the magnitude and threshold or depth and return period. It was needed in determining design flow for mostly water works including water storages, dams, weirs, channel, etc. Since the limitation in number and duration of observation for flow data, rainfall data was an alternative. These kinds of data were commonly had great in number and had longer period of record in fulfilled the statistical analysis.

Based on the size and hazard level of the water related projects, there were three types in rainfall analysis; (a) Frequency Based Storm (FBS), (b) Standard Project Storm (SPS), and (c) Probable Maximum Precipitation (PMP). The FBS was using statistical analysis based on maximum storms and return period. The SPS was obtained from a survey of past severe storms, and the PMP was based on meteorological or statistical analysis to find the theoretically greatest depth of precipitation that possible occurred at particular geographic location.

The examples of small project’s size was levees, drainage ditches, irrigation tanks, minor road bridges, urban storm drains, airport drainage systems, spillway appurtenances of small dams, detention storages reservoirs, etc. The intermediate size was for hydropower plants, irrigation canals, medium size dams and reservoirs, urban flood control reservoirs, drainage systems, thermal power plants, railway bridges, etc. The large project size was for multi purpose water resources projects, large dams, levees, spillways, major river bridges, major irrigation canals, nuclear power plants, big hydropower plants, etc. The standard for hazard level was presented on Table 1. Table 1, U.S. Army Corp Engineers Safety Standards based on size of projects

Hazard Level Size of Projects Safety Standard Low

Small 50 to 100-year flood Intermediate 100-year flood to SPS Large SPS to PMP

Significant

Small 100-year to SPS Intermediate SPS to PMP Large PMP

High

Small SPS to PMP Intermediate PMP Large PMP

Source: (Singh, 1992)

Rainfall varies in season, space, and time, so the study of rainfall analysis was to consider the seasonal, spatial, and temporal rainfall variability. It was common using Julian date in rainfall analysis but actually the first day for season was March 21. It meant that the analysis was not considering seasonal variability since it was a great possibility that two data represented for two years were from the same season. The spatial variability was to detect the magnitude of rainfall for different location at the same time. It was conducted since rainfall had its eye or center and traveled paths. The temporal variability was to define rainfall magnitudes as a function of time for particular area that the analysis of transferring point rainfall to regional or areal rainfall was to be conducted. In design rainfall, the point rainfall data analysis was outdated and was proposed to use a regional homogeneity analysis (Adamowsky, 1996).

When talking about return period, the statistical estimates for parameter and quantile of the distribution became important. It could be done using method of moments (MOM), method of likelihood moments (MLM), or probability weighted moments (PWM). Among them, the PWM method gave parameter estimates comparable to MLM estimates, yet in some cases the estimation procedure was much less complicated and the computation was the simple one (Rao & Hamed, 2000).

Page 34: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Sobri Harun

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 214

To estimate the PMP value, two methods were currently used; the traditional and statistical approach. The traditional approach required the use of meteorological data and the statistical approach solely analyses rainfall data and was probabilistic in nature. The statistical approach will be used in the study since it required considerably less time to apply than did the traditional approach and one did not necessarily have to be a meteorologist to use it (Guthrie, 2001). DATA AND PRELIMINARY ANALYSIS Rainfall data used in the study was from the state of Selangor and Johore using 34 and 5 stations respectively. The distribution of the stations could be examined in Fig. 1. The type of data was daily and 5-minute incremental rainfall data and the length of record in the range of 25 – 83 years. Before doing frequency analysis, preliminary data analysis was done to test that the data were statistically valid to be used. Some statistical tests were carried out including the independence and stationarity test and the spatial sample correlation test. The test for independence and stationary was executed using the Wald-Wolfowitz testing method (Rao and Hamed, 2000). The statistical test result (u) was to be compared to the statistical table for double tails α /2 with 90% significance. It was found that all the data sets were to be independent as the statistical test results were passed the test (Masimin & Harun, 2006a).

The spatial sample correlation test was used to examine the correlation of every pairs observed point data sets that was separated by some distances (Kottegoda & Rosso, 1997; Berndtsson & Niemczynowics, 1986). The correlation coefficient values were in range of -1 to +1. When the value was about zero, it meant that the two pair of data set had no correlation at all and called as null correlation. The sign of the value indicated the direction of its correlation between two pairs of the data.

Fig.1. Location map showing the two sub-regions It was about 80 tests were done applied to the eight types

of rainfall durations pattern. The correlation results were plotted as in Fig.2 showing some information that some pairs of data points for a shorter distance (20-50 km) gave correlation values about zero and some data points for a long distance (70-100 km) gave correlation with greater values. Although separated by far distance they had a larger correlation value since they

had about the same distance measured from the sea. Two stations with short distance in between sometime gave a null correlation because topographically they located in different condition. The distance from the sea would be the significance parameter in partitioning the region to homogeneous sub regions.

Fig. 2, Spatial sample correlation for all data sets. THEORITICAL BACKGROUND Probability Weighted Moments (PWM) The PWM’s method was firstly introduced by Greenwood et al. (1979) based on the concept that the distributions whose inverse forms were explicitly defined, such as Turkey’s lambda, may present problems in deriving their parameters by more conventional means. It has received considerable attention to the researches and used it in their research works (Hosking, 1985; Hosking and Wallis, 1987; Rao & Hamed., 1997; Sveinsson et al., 2002; Kumar et al., 2003).

Hosking (1985, 1990) has defined the L-moments (Rao & Hamed, 1997). The L-moments were analogous to conventional moments and were estimated by linear combination of order statistics. L-moment can also be expressed by linear combination of PWM. Thus, the procedures based on PWM and L-moments were equivalent. However, L-moments are more convenient because they were directly interpretable as measure of the scale and of the shape of probability distribution (Hosking, 1987). Hosking (1990) has used L-moments ratio diagram to identify underlying parent distributions and L-moment ratios for testing hypotheses about different probability distributions. Hosking and Wallis (1993) extended the use of L-moments and developed statistics that can be used for regional frequency analysis to measure discordance, regional homogeneity, and goodness-of-fit.

Probability weighted moments Mprs was proposed by Greenwood et al. (1979) with the following relationship.

∫ −=

−=`

0

,,

)1()]([

}]1[)]({[

dFFFFx

FFFxEM

srp

srpsrp

………………..(1)

where F is the cumulative distribution and there were two moments to be considered:

-0.4

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

10 30 50 70 90 110Distance (KM)

Coe

ff. C

orre

latio

n

Page 35: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Sobri Harun

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 215

∫ −==1

0,0,1 )1)(( dFFFxM s

ss α ……………..(2)

∫==1

00,,1 )( dFFFxM r

rr β ………………….(3)

Both sα and rβ are linear in x and are of sufficient generality for parameter estimation. There are also relationship between

sα and rβ as in (4) and (5)

∑=

−⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛=

s

kk

ks k

s

0

)1( βα …………..…………….(4)

∑=

−⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛=

r

kk

kr k

r

0

)1( αβ ………………………(5)

The L-moments 1+rλ were introduced by Hosking (1986, 1990) which were linear function of PWM’s. It was more convenient than PWM’s because of the direct interpretation of the measures of scale and shape probability distribution. In terms of PWM’s, sα and rβ are defined as in (6).

=

=+

=

−=

r

kkkr

r

kkkr

rr

p

p

0

*,

0

*,1 )1(

β

αλ ……………………......(6)

where ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ +⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−= −

kkr

kr

p krkr )1(*

,

…………………….(7) For given ordered sample ,,... rnxx ni >≤≤ and n > s the unbiased sample PWM’s are calculated (Hosking 1986) using (8) and (9)

∑=

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ −⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ −=

n

iins s

nx

sin

a1

11

/ ……………………(8)

∑=

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ −⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ −=

n

iinr r

nx

ri

b1

11

/1

………...…………..(9)

Alternatively, consistent, but not unbiased, plotting position estimators are obtained by using (10) and (11)

∑=

−==n

ii

sninss xPa

1:

1 )1(α ………………… (10)

∑=

==n

ii

rninrr xPb

1:

1β …………….…………….(11)

where Pi:n is the plotting position. The use of Pi:n = (i – 0.35)/n usually gives good estimates of parameters and quantiles for generalized extreme value (GEV) (Hosking et al. 1985), the generalized Pareto (Hosking and Wallis, 1987), and Wakeby distributions (Lettenmaier et al. 1979a). However Hosking and Wallis (1993) recommended using plotting position estimators when using a Wakebay distribution to estimate extreme upper tail quantiles in a regional frequency analysis and to use unbiased estimators under all other circumstances. Sample L-

moments (lr) are calculated by using (6) and (7), replacing sα or rβ with their sample estimates as and br from (10) and

(11). The L-moments ratio, which are analogous to the conventional moment ratio, are defined by Hosking (1986, 1990) in (12) and 13)

12 /λλτ = ……………………..………………(12)

3;/ 2 ≥= rrr λλτ ………………………(13)

where 1λ = measure of location; τ = measure of scale and dispersion (LCv); 3τ = measure of skewness (LCs); and 4τ = measure of kurtosis (LCk). Sample L-moment ratio (denoted t and tr) are calculated by using (12) and (13), substituting sample estimates lr for population value .rλ The L-moment ratio offer an easy way to identify underlying, particularly skewed, distributions (Hosking, 1990). Generalized Extreme Value (GEV) Distribution The GEV distribution was introduced by Jenkinson (1955 and 1969) to identify the frequency distribution of the largest values of meteorological data when the limiting form of the extreme value distribution was unknown. The cumulative density function of the GEV distribution is as in (14) (Kottegoda and Rosso, 1997; Burn (1990)) for 0 ≤ x with λ>0 and r > 0.

})]/)((1[exp{)( /1max

kxkxF αε−−−= ……..(14) whereα denotes a scale parameter, ε denotes a location parameter, and k is the shape parameter. The PWM’s parameter estimates of the GEV are of the form in equation (15) (Hosking, et al., 1985).

)}]ˆ1()1(1){ˆ/([)1( ˆ1 krkur kr +Γ+−++= −− αβ

………………(15) The value of parameter k is given as (16) with, C = (2/(3+t3)-0.6309 (Sveinsson et al., 2002).

29954.28590.7ˆ CCk += …………………….(16) Once the value of k is obtained α and μ are estimated by equation (16) and (17) where b0, b1, b2 are the sample estimates of .,, 210 βββ

)}21)(ˆ1(/{ˆˆ ˆ2

kkkl −−+Γ=α …………………..(16)

}1)ˆ1(){ˆ/ˆ(ˆ 1 −+Γ+= kklu α ………………… (17)

The inverse form of the distribution function is written as (18) and by substituting F = 1 – 1/T where T is the return period, the T-year quantile estimate is obtained by using (19),

})log(1){/( kFkux −−+= α ………………(18)

]))}/1(1log({1)[ˆ/ˆ(ˆˆ kT Tkux −−−+= α .....(19)

Generalized Logistic (GLOG) Distribution The GLOG distribution function is defined as in (20)

1/1 ])}/)((1{1[)( −−−+= kxkxF αε ………. (20)

Page 36: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Sobri Harun

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 216

where {0)/(0)/(

>+≤∝<−<<≤+

kkxkxk

αεααε

………… (21)

The parameter estimates and quantile are calculated using (22) to (25) with 3

ˆ tk −= and F = 1 – (1/T) where T is the return period in years.

)]ˆ1()ˆ1(/[ˆ 2 kkl −Γ+Γ=α …………………….. (21)

kll ˆ/)ˆ(ˆ 21 αε −+= …………...………………….. (22)

]}/)1{1)[/( kFFkx −−+= αε ………….. (23)

])1(1)[ˆ/ˆ(ˆˆ kTkx −−−+= αε ……………….. (25) Regional Homogeneity Regional frequency analysis uses data from several sites to estimate quantiles of underlying variable at each site in the region of consideration (Cunane, 1988). The analysis involves identification of the region, i.e., the site that belong to the region, testing whether the proposed region is homogeneous, choice of the distribution to fit the region data, and estimation of parameters and quantiles (Sveinsson et al., 2002). The identification of the region is something subjective and based on site characteristics; delineation of the region can be approached. The site characteristics includes: the latitude (o), longitude (o), altitude (o), concentration of precipitation (%), mean annual precipitation (mm), rainfall seasonability (category), and distance from the sea (m) (Smithers and Schulze, 2001).

The second step is testing for regional homogeneity of the regional data that is very important for the regional frequency analysis (Dinpashoh, 2004). In practice, homogeneity is judged by the variability, among sites, of coefficient of variance Cv and /or the skew coefficient Cs, of their L-moment equivalent, or dimensionless quantiles (Hosking, 1990; Fill and Stedinger, 1995). Fill and Stedinger (1995) studied some homogeneity tests included an index flood or Dalrymple’s test, a normalized quantile test based upon L-moment parameter estimation (X-10 test), and the method of moment Cv test (MoM-Cv test). Other L-moment based tests was H-W test proposed by Hosking and Wallis (1993) that the test would be equivalent to the X-10 test if the at-site quantiles were estimated using a fix value of shape parameter k.

Based on Lu and Stedinger (1995), the X-10 test was always more powerful than the other two tests and also the X-10 test for the GEV distribution has similar power to the L-Cv regional homogeneity test used by Hosking and Wallis (1993, 1997). The X-10 test was chosen to be used in the study since the GEV distribution was suspected to be applied to the region. Given the GEV distribution with L-moments parameter estimation and unit mean, so the quantiles are as in (44) that κis defined using (16). The regional estimate based on at-site data and statistical test are calculated by using (26) and (27). In (26), (27), and (28), 2τ and 3τ are the at-site L-Cv and L-Cs estimates, Γ (.) is the gamma function, m is the number of sites, n is the length of data, and R denoted as regional.

⎪⎩

⎪⎨⎧

=+

≠−Γ

−−

+= −

0ˆ4139.21

0])ˆ1(

10536.01[21

ˆ1ˆ

2

ˆ

ˆ2

10

κτ

κκ

τ κ

κx ……

(26)

∑ ∑=

=m

ii

ii

R nxnx1

1010 /ˆˆ ………………………….. (27)

∑=

−−=

m

i

iRiML

xxx1

102

1010 )ˆvar(/)ˆˆ(2χ ………….. (28)

The denominator, var( ix10ˆ ) can be estimated by its asymptotic value as in (29) and (30) (Lu and Stedinger, 1992) and α is calculating using (16). The test statistics (28) has approximately a Chi-square test with (m-1) degree of freedom.

]}){exp[/()ˆvar( 210 Anxi α= , where…………. (29)

])exp([ 33

2210 κκκ aaaaA ++−+= ……. (30)

There are some methods can be used in parameter and quantile estimates in regional frequency analysis and one of them is at-site method (Durrans and Kirby 2004)). This method uses all data in the homogeneous region and the data is to be treated as a single sample. Probable Maximum Precipitation (PMP) To estimate the PMP value, two methods were currently used; the traditional and statistical approach. The traditional approach for PMP calculation required the use of meteorological data and the statistical approach solely analyses rainfall data and was probabilistic in nature. Kulkarni (2002) and Al-Mamun (2004) used the traditional method to calculate PMP values in India and Malaysia respectively. Ven T. Chow (1964) demonstrated that the only difference between various distributions which led themselves to the analysis of extreme-values hydrologic data was the common statistical variable (K) or standardized variate in (31). Substituting the maximum observed rainfall Xm for XT and Km for K in (31) gave Hershfield’s PMP model as in (32) that applied for watersheds of no more than 1000 km2.

)()()( NNT SXX KPPP += ………………………… (31)

)()()( NNm SmXX PKPP += ………………………. (32) where P(Xm) was the maximum observed rainfall and Km was the number of standard deviations that must be added to the mean to obtain P(Xm). The variate Km was found by rearranging (32) to get (33) and based on Iowa data, the area that was not influenced locally by bodies of water or orography, Km = 15 (Viessman. 1972).

)()()( /)(NNm SXXm PPPK −= ………………. (33)

It was suggested that direct application of Hersfield’s method should be avoided since there was no completely objective method for determining the Km value in (33). The modified (33) was the objective of the study and it would be done by replacing conventional mean value in (31) by mean value of the one-tenth greater data.

Page 37: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Sobri Harun

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 217

SEASONAL RAINFALL VARIABILITY Source of rainfall data

The ‘block method’ was used in the data processing that the block was defined based on duration pattern, so that it was not an event based but time based analysis. The reason of using the time based was that the short duration rainfall was a ‘cloud burst’ and long duration rainfall was a multiple storms that the event based rainfall data gave a small magnitude compared to those of time based data (Sveinsson et al., 2002).

To see that the annual maxima rainfall data extracted based on Julian date was not reliable to the seasonal analysis, they were plotted to the seasonal ‘annual time stick’ that the

starting point was March 1st. The results could be seen on Fig.3 representing the relation between annual maxima data records and their position in the yearly time scale. Fig 3 showed that the data point was not distributed for one data point for every yearly time scale. Some of them had two data points, but some others had no a single data point. It means that data for the seasonal rainfall analysis should be extracted based on ‘seasonal annual time stick’ to fulfill the definition of an annual maxima rainfall data that only one data with the maximum value would be taken for each year.

Fig. 3, Plotting position of Julian date data for each station to ‘seasonal annual time stick’. Identification of Homogeneous Region

In regional rainfall frequency analysis, it is difficult step to identify the homogenous region. The annual mean of rainfall is not quite different in their magnitudes and two physical variables, the altitude and the distance from the sea, are to be considered in partitioning the region. The region is influenced by body of water, the Strait of Malacca on the South-West (SW) direction and the South China Sea on the East. The rainfall study for Klang Valley as part of the State of Selangor was also found that the high magnitude of rainfall occurred in the inland region (Mohammad Kasim and Way, 1995). Another study found that the whole region of the State Selangor was also can be treated as one homogeneous region (Masimin & Harun, 2006)

The area of Johore Bahru was expected to be a one homogeneous region and directed to do a statistical test. There were 5 stations distributed in Johore Bahru that their samples were used to test regional homogeneity as a whole region (WR). The X-10 test using (28) to (29) was used in the study and the results are presented in Table 2 showing the values of statistical X-10 test were less than Chi-square value. It meant than the data sets for each duration pattern were passed the statistical test and the region was concluded to be a homogeneous region. Table 2. The results for X-10 test compared to Chi2 value

Location

Duration

X-10 Test

24;9.0 =dfχ

Results

Whole Region (WR)

15-min 30-min 1-hour 2-hour 4-hour 8-hour 16-hour 1-day

2.66 4.78 0.63 1.08 0.53 1.54 1.07 0.70

7.78

X-10 Test Values < 7.78 Passed

Selection of Distribution

The GEV and GLOG distributions were an appropriate selection of probability distribution based on previous study by Daud et. al. (2002) and Masimin & Harun (2006). The plotting diagram for statistical regional parameters based on L-moment for eight data sets and two types of distribution can be examined on Fig. 4. Examining the plot of L-moment parameters as in Fig.6, three data set for shorter duration pattern (15-, 30-minute, and 1-hour) that have higher values of L-Ck follow the GLOG distribution, while the others five of data sets that have lower values of L-Ck follow the GEV distribution. To simplify the analysis, the GEV distribution would be selected in the determination of parameter and quantile estimates.

0

12

3

4

5

6

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Time (year)

Stat

ions

Sta.ASta.BSta.CSta.DSta.E

Page 38: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Sobri Harun

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 218

Fig. 4. Plotting diagram for L-moments parameters with GEV and GLOG distribution SPATIAL RAINFALL VARIABILITY By examining the position of the stations, the station rainfall data correlation was set for the correlation among 5 stations as (1) 1541139-1437116, (2) 1541139-1636001, (3) 1437116-1636001, (4) 1437116-1732004, (5) 1437116-1534002, (6) 1636001-1534002, and (7) 1534002-1732004. The station rainfall data correlation was done by plotting their rainfall data and formulated the correlation by setting the intercept was equal to zero. The two sets of rainfall data was correlated when its formulation was Y ≈ X where Y was an ordinate of 1st data set and X was an axis of 2nd data set. When Y ≈ X applied, the two data sets could be treated as at-site data and the two locations were assumed to have no spatial rainfall variability otherwise should be treated individually.

Based on the analysis it was found that the correlation of: as (1) 1541139-1437116 Y = 0.593 X, (2) 1541139-1636001

Y = 0.5917 X, (3) 1437116-1636001 Y = 0.9672 X, (4) 1437116-1732004 Y = 1.044 X, (5) 1437116-1534002 Y = 1.0121 X, (6) 1636001-1534002 Y = 0.9272 X, and (7) 1534002-1732004 Y = 1.0029 X. The data set from Sta1451139 had no correlation to closest stations since its values were about 0.5. The data from this station would be

treated individually. The rest of five stations had a good correlation by showing the correlation values were about one, so that at-site data would applied to the sub-region as in Fig. 5. The conclusion of the analysis was that the region was divided into two sub-regions; sub-region I for east coastal area was represented by Sta1541139, and sub-region II for west coastal area was represented by Sta1437116, 1636001, 1534002, and 1732004. It was found that the rainfall depth in west coastal region in Johore is about 60% compared to those of west coastal region although it was only one station represented for east coastal region.

Individual rainfall variability

The annual daily maxima rainfall data was taken of an average values for the magnitudes of 5 stations taken from the same day of record. It was assumed that the values represented the areal rainfall data to the region that would be used in rainfall frequency analysis. The results of data processing for the annual daily maxima temporal rainfall data were plotted and presented in Fig. 6.

Upon the spatial rainfall variability was defined, the rainfall data represented the region was to be defined. The assumption that the maximum data for particular station was to be applied to the region was not matching to the characteristics of rainfall that it had an eye and traveling paths. The defined rainfall data was to be calculated based on the areal reduction factor (ARF).

Fig. 5, Partitioning of the region

Fig.6, Plot of the annual daily maxima values for Sta.1541139 and others 4 sta. TEMPORAL RAINFALL VARIABILITY Identification of Homogeneous Region

In regional rainfall frequency analysis, it is difficult step to identify the homogenous region. Based on physical data, the

0.10

0.14

0.18

0.22

0.26

0.10 0.15 0.20 0.25 0.30

L-Cs

L-C

k

GEVGLOGDATA

41, 15

36, 16

37, 14

34, 15

32, 17

13

14

15

16

17

18

31 33 35 37 39 41

Long

Lat

StaLine

0

50

100

150

200

250

300

350

1980 1985 1990 1995 2000 2005

Year (1980-2004)

R (m

m)

15411391732004163600114371161534002

Page 39: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Sobri Harun

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 219

State of Selangor is in one degree both for latitude and longitude. The annual mean of rainfall is not quite different in their magnitudes that the higher values are found in the inland region. Two physical variables, the altitude and the distance from the sea, are to be considered in partitioning the region. The region is influenced by body of water, the Strait of Malacca on the South-West (SW) direction. The rainfall study for Klang Valley as part of the State of Selangor was also found that the high magnitude of rainfall occurred in the inland region (Mohammad Kasim and Way, 1995).

Based on above information, a two sub-regions; namely coastal region (CR) and interior region (IR) was implemented to the State of Selangor as in Fig. 1. There are 20 stations distributed in CR and 14 stations located IR that their samples are used to test regional homogeneity includes to test the whole region (WR). The X-10 test using (28) to (29) is used in the study and the results are presented in Table 3 that CR, IR, or WR is defined as homogeneity region. The selection of the distributions will defined in the next section.

Selection of Distribution Previous study and the expectation showed that the GEV distribution was the suitable or the candidate of the distribution. Fig. 7 is showing the 1-, 3-, 5-, and 7-day plot of parameters L-moment. The GEV distribution is located in the lower bound of the sample L-moments parameters, so that another type of distribution is to be added to the analysis.

The GLOG distribution is an appropriate selection of additional distribution since it has a higher value of L-Ck. The plotting diagram for statistical regional parameters based on L-moment and four types of distribution can be examined on FIG.5 and FIG.6 gives a detail view of the plot. The GEV and GLOG distributions are considerable the selection of regional sample data for the CR, IR, and WR region. Table 2 summaries the complete type of distribution for CR, IR, and WR applied to the 1-, 3-, 5-, and 7-day of annual maximum rainfall data in the State of Selangor, Malaysia.

Table 3. The results for X-10 test Location

Duration

X-10 Test

2;9.0 dfχ

Remark Coastal Region

(CR)

1-day 3-day 5-day 7-day

1.54 11.76 19.94 7.11

27.20

df = 19 Passed

Interior Region (IR)

1-day 3-day 5-day 7-day

1.00 6.34 8.28 3.38

19.81

df =13 Passed

Whole Region (WR)

1-day 3-day 5-day 7-day

6.29 3.72 4.33 6.23

40.26

df =33 Passed

Fig. 7. Plotting diagram for L-moments parameters Parameter and Quantile Estimates Upon the known of the distributions, the estimation of parameters and quantiles can be determined. In the study, frequency analysis was using at-site data that data of the region or sub-region was to be treated as in one sample. The parameter estimation and quantile estimation for GEV distribution are determined using (18) to (19), while for those GLOG distribution is calculated using (24) to (25). The values of parameter estimates for the GEV and GLOG distribution are as in Table 4. These parameters are used to calculate their quantile estimates. Table 4. Parameter estimates based on the distribution

Duration

Coastal Region (CR) α u or ε a k or t3b Dist.

1-day 3-day 5-day 7-day

14.97 19.61 35.62 41.01

90.05 125.59 144.05 165.85

-0.17 -0.18 0.17 0.15

GLOG GLOG GEV GEV

Duration Interior Region (IR) 1-day 3-day 5-day 7-day

13.57 21.19 26.09 30.62

92.56 141.03 175.13 204.16

-0.19 -0.18 -0.17 -0.18

GLOG GLOG GLOG GLOG

Duration Whole region (WR) 1-day 3-day 5-day 7-day

14.59 25.21 39.73 43.09

91.19 140.07 149.20 174.27

-0.17 0.18 0.17 0.16

GLOG GEV GEV GEV

a u (GEV) & ε (GLOG); b t3 (GEV) & k (GLOG)

The quantile estimates for every rainfall duration and region are calculated for 2-, 5-, 10-, 20-, 50-, 100-, and 200-year return period. As seen on Table 4, both distributions, the GLOG and GEV distribution, are suitable to be applied to at-site data in CR region. The GLOG distribution is for 1-day and 3-day rainfall data and the rest two rainfall data follow the GEV distribution.

It is only GLOG distribution that applied to the four types of data set in IR region. For the whole data sets, it follows the GEV distribution except for the 1-day rainfall data. The analyses results of quantile estimates are plotted as in Fig. 8, Fig. 9, and Fig. 10 for the CR-, IR-, and WR- region

0.15

0.16

0.17

0.18

0.19

0.20

0.15 0.16 0.17 0.18 0.19 0.20

L- Cs

L-C

k

GEVGLOGL-Moment

Page 40: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Sobri Harun

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 220

respectively. For application purposes, the two distributions can be applied but it is needed to understand the characteristics of the quantile growth for both distributions. It can be done by taking the difference quantile values for both, the GLOG and the GEV distribution and the results were plotted as in Fig. 11.

Fig. 11 shows that the upper curves are for 7-day rainfall and the lower curves are for 1-. 3-, and 5-day rainfall. It is obvious that GLOG distribution gives higher values compared to those of GEV distribution when the return period Log (T) are greater than 3.50. For Log (T) less than 3.5, GEV distribution give the higher values compared to those of GLOG. The more specifically, the GLOG distribution gives higher value for 7-day rainfall.

The differences of quantile values between the two distributions are proportional to the return period. For return period T = 200-year, the value is about 8%, so the selected distribution is important. In reality, dense population, valuable properties, and small coverage lands is the characteristic of urban areas and the opposite things are for rural areas. Based those characteristics, it is recommended that the GLOG distribution is to be used for projects located in urban areas and GEV distribution is for those located in rural areas.

Fig. 8. Quantile estimates for the CR region.

Fig .9. Quantile estimates for the IR region.

Fig.10. Quantile estimates for the whole region (WR)

Fig.11. Differences between GLOG and GEV quantile estimates. PROBABLE MAXIMUM PRECIPITATION The probable maximum precipitation (PMP) as an infinity probability was not reliable to be defined using frequency analysis that commonly based on sample less than 100, so that the word ‘calculation’ was used in defining PMP value. As described before, there were two methods could be used to determine PMP value; traditional and statistical approaches. The PMP calculation for long duration rainfall in Malaysia was done by Al Mamun (2004) using traditional approach. They found that PMP value in Malaysia was about 40% greater than the maximum observed data. In this study, the statistical approach was used when the rainfall data were available and only applied to the region of Selangor.

Based on at-site sample CR and IR, the mean of one-tenth maximum data ( 10R ) was calculated to replace the

conventional central tendency ( R ). The PMP value was defined based on the 10R , the standard deviation Sd, and the frequency factor K. The value of Km was defined based on the at-site maximum value and it was used to calculate the PMP value applied to each data set. The value of Km and the average for ratio of PMP value to the maximum data (RPMP/RMAX) were presented in Table 5.

50

100

150

200

250

300

350

400

0 1 2 3 4 5 6

Log(T)

P (m

m)

1GLOG3GLOG5GEV7GEV

0

100

200

300

400

500

0 1 2 3 4 5 6

Log (T)

P (m

m)

1GLOG3GLOG5GLOG7GLOG

50

150

250

350

450

0 1 2 3 4 5 6

Log (T)

P (m

m)

1GLOG3GEV5GEV7GEV

-5

0

5

10

0 1 2 3 4 5 6

Log (T)

Diff

. (%

)

CR1CR3CR5CR7IR1IR3IR5IR7WR1WR3WR5WR7

Page 41: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Sobri Harun

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 221

Table 5. The Km value and RMAX/RPMP for sub-region Duration

CR IR Km RPMP/RMAX Km RPMP/RMAX

1-day 3-day 5-day 7-day

7.46 8.12 7.43 9.88

1.55 1.68 1.62 1.94

8.70 7.22 8.20 7.09

1.70 1.61 1.71 1.56

Ave. 8.22 1.70 7.80 1.65 Examining Table 5, it was found that the value of Km was in

range of 7.09 to 9.88 or about 8.0 in average. This value was less than that of 15 as described in Viessman (1996). The ratio between PMP value and the maximum observed data RPMP/RMAX was about 1.65. It means that the PMP value is about 65% greater than that of the maximum observed rainfall data. The Hersfield’s Km was modified by inserting a coefficient as the ratio of at-site Km to the Km station based. By taking a weighting average to the results, it was found that the coefficient, namely c is equal to 2.65 and by substituting c to (31) gave the proposed modified Hershfield’s of Km. All of the parameters were the same as those in Hersfiled’s approach and it could be used directly to calculate PMP value when the conventional mean and standard deviation were known. SUMMARY AND CONCLUSION The study of rainfall using data from the State of Selangor and Johore had been conducted covering the seasonal, partial, and temporal variability. The analysis was using probability weighted moments (PMW) and the X-10 test was used to define regional homogeneity. The GEV and GLOG distribution were used on frequency analysis and probable maximum precipitation using statistical approach was also used in the study. After analyzing the rainfall data and getting the results in rainfall analysis, it was concluded that: 1. The preliminary statistical test for rainfall data was to be done

to check the data set was valid to be used in the rainfall analysis.

2. To fulfill seasonal rainfall variability, the displaced of starting data collection from January 1st to March 21st was to be done to avoid two represented data taken from the same season.

3. Cross-correlation can be used to partitioning the region to fulfill the spatial rainfall variability and the rainfall data represented to the sub-region can be determined based on areal reduction factor (ARF).

4. In determining the regional homogeneity, the distance of the stations from the sea was significant for the island region.

5. The GEV and GLOG distribution were the appropriate rainfall data distribution for the State of Selangor and Johore.

6. The constant value of 2.65 was to be inserted the frequency factor in PMP calculation to get PMP value 165% greater that that of maximum observed data.

REFERENCES 1. Al-Mamun A. & Hashim, A. (2004) Generalized long

duration probable maximum precipitation (PMP) isohyetal map for Peninsular Malaysia. J. Spatial Hydrology, 4(1), 1-15.

2. Berndtsson, R. & Niemczynowics, J. (1986) Spatial and temporal characteristics of high-intensive rainfall in northern Tunisia. J. Hydrology, 87, 285-298.

3. Burn, D.H., (1990) Evaluation of regional flood frequency analysis with a region of influence approach. Water Resources Research, 26(10), 2257-2265.

4. Chow, V.T. (1964) Handbook of applied hydrology, McGraw-Hill Book Co., New York.

5. Cunnane, C., (1988) Methods and merits of regional flood frequency analysis. J. Hydrology, 100, 269-290.

6. Dinpashoh, Y., et al., (2004) Selection of variables for the purpose of regionalization climate using multivariate methods. J. Hydrology, 297, 109-123.

7. Daud, Z.M., et al., (2002) Statistical analysis of at-site extreme rainfall process in Peninsular Malaysia. Proc. of 4th Int. Conference of FRIEND, Cape Town, March 2002, IAHS Publ. (274), 1-8.

8. Daud, Z.M., Yusof, F. & Jamaludin, S.S.S. (2003) Regionalisation study on rainfall process in Peninsular Malaysia, Fakulti Sains, Universiti Teknologi Malaysia, Johor Bahru, Malaysia.

9. Durrans, S.R. & Kirby, J.T.(2004) Regionalization of extreme precipitation estimates for the Alabama rainfall atlas. J. Hydrology, 295,101-107.

10. Fill, H.D. & Stedinger, J.R. (1995) Homogeneity tests based upon Gumbel distribution and a critical appraisal of Dalrymple’s test. J. Hydrology, 166, 81-105.

11. Greenwood, J.A., et al., (1979) Probability weighted moments: Definition and relation to parameters of several distributions expressable in inverse form. Water Resources Research, 15(5), 1049-1054.

12. Guthrie, J.H. (2001) Extrene rainfall in the Greater Calgary Area. MSc Thesis, University of Calgary, Alberta, Canada.

13. Hosking, J.R.M., Wallis, J.R. & Wood, E.F. (1985). “Estimation of the generalized extreme-value distribution by the method of PWM.” Technometrics, 27(3), 251-261.

14. Hosking, J.R.M. & Wallis, J.R. (1987) An ‘index flood’ procedure for regional rainfall frequency analysis. Eos Trans. Am. Geophys. Un., 68, 312..

15. Hosking, J.R.M. & Wallis, J.R. (1987) Parameter and quantile estimation for the generalized Pareto distribution. Technometrics, August 1987, 29 (3), 339-349.

16. Hosking, J.R.M, (1990) L-moments: Analysis and estimation of distributions using liner combinations of order statistics. J. R. Stat. Society, 52 (1), 105-124.

17. Hosking, J.R.M. & Wallis, J.R. (1993) Some statistics useful in regional frequency analysis. Water Resources Research, 29(2), 271-281.

18. Hosking, J.R.M, (1994) The four-parameter kappa distribution. IBM J. Res. Develop., 38(2), 251-258.

19. Hosking, J.R.M., (1996) Fortran routines for use with the method of L-moments, RESEARCH REPORT, IBM Research Division, Yorktown Heights, NY 10598.

20. Kanji, G.P. (1995) 100 Statistical tests, SAGE Publications, New Delhi, India.

21. Kottegoga, N.T. & Rosso, R. (1997) Statistics, probability, and reliability for civil and environmental engineers, The McGraw-Hill Companies, Inc., New York, USA.

22. Kulkarni, B.D. (2002) Generalized physical approach of estimating areal probable maximum precipitation (PMP) for plain region og the Godavari River Basin (India). J. Spatial Hydrolohy, 2(2), 1-16.

Page 42: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Sobri Harun

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 222

23. Kumar, R. & Chatterjee, C. (2005) Regional flood frequency analysis using L-moments for North Brahmaputra region of India. J. Hydrol. Engg., 10(1), 1- 7.

24. Lettenmaier, D.P., Wallis, J.R. & Wood, E.F. (1987) Effect of regional heterogeneity on flood frequency estimation. Water Resour. Res., 23(2), 313-324.

25. Lettenmaier, D.P., Matalas, N.C. &Wallis, J.R. (1987) Estimation of parameters and quantiles of Wakeby distribution, part 1 and 2. Water Resour. Res., 15(6), 1361-1379.

26. Lu, L.H. & Stedinger, J.R. (1992) Sampling variance of normalized GEV/PWM quantile estimators and a regional homogeneity test. J. Hydrology, 138, 223-245.

27. Lu, L.H. & Stedinger, J.R (1992) Variance of two- and three-parameter GEV/PWM quantile estimators: formulae, confidence intervals, and a comparison. J. Hydrology, 138, 247-267.

28. Michele, C.D., & Salvadori, G. (2005) Some hydrological appli-cation of small sample estimators of generalized Pareto and extreme value distributions. J. of Hydrology, (301), 37-53.

29. Mohd. Kasim, A.H., & Way, L.K. (1995) Frequency analysis of annual maximum rainfall for the Klang river basin using GEV distribution. Fac.y of Civil Engineering, Universiti Teknologi Malaysia, Johor Bahru, Malaysia.

30. Muhara, G., (2001) Selection of flood frequency model in Tanzania using L-moment and the region of influence approach. 2nd WARFSA Symposium, Cape Town, 1-13.

31. Norcliffe, G.B., (1985) Inferential statistics for geographers: An Introduction. Hutchinson, London.

32. Rao, A.R & Hamed, K.H. (1997) Regional frequency analysis of Wabash river flood data by L-Moments. J. Hidrol. Engg., 2(4), 160-179.

33. Rao, A.R & Hamed, K.H. (2000) Flood frequency analysis. CRC Press, New York, USA.

34. Rao, A.R. & Srinivas, V.V. (2006) Regionalization of water-sheds by fuzzy cluster analysis, J. Hydrology, 318, 57-79.

35. Singh, V.P. (1992) Elementary Hydrology. Dept. of Civil Engg., Lousiana State University

36. Smithers, J.C. & Schulze, R.E. (2001) A methodology for the estimation of short duration design storms in South Africa using regional approach based on L-moment, J Hydrology, 241, 42-52).

37. Sveinsson, O.G.B., Salas, J.D. & Boes, D.C. (2002) Regional frequency analysis of extreme precipitation in Northeastern Colorado and Fort Collins flood of 1997. J. Hydrol Eng., 7(1), 49-63.

38. Viessman, W. & Lewis, G.L. (1996) Introduction to hydrology, (4th ed) Harper - Collins, New York.

39. Wiltshire, S.E., (1986) Identification of homogeneous region for flood frequency analysis. J. Hydrology, 84, 287-302.

AKNOWLEDGMENTS The writers thanks to UNSYIAH-Banda Aceh, Indonesia, especially for TPSDP-PROJECT for the research funding, UTM-Johore Bahru, Malaysia for the facilities of study, and JPS Kuala Lumpur for the availability of rainfall data.

Page 43: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Zouhrawaty, A.Ariff, Mahdani

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 223

Greenbelts-Subseawall Sebagai Pelindung Pantai Dalam Mereduksi Tsunami

Masimin1) Zouhrawaty 2) A. Ariff 3) Mahdani 4) 1), 2) Fakultas Teknik, Jurusan Sipil, UNSYIAH, Banda Aceh – Indonesia 23111 E-mail: [email protected]

3), 4) Dinas Sumber Daya Air, Provinsi Nanggro Aceh Darussalam, Banda Aceh – Indonesia 23223

Abstrak Dua variabel utama tsunami adalah tenaga dan genangan yang berjalan bersama-sama dan karena tenaganya itulah maka tsunami dapat menghancurkan apa saja yang diserangnya. Bangunan pelindung pantai tidak dapat menahan serangan gelombang tsunami karena karakter gelombangnya yang berbeda juda standar perencanaan bangunan pelindung pantai jauh dibawah dari dimensi gelombang tsunami. Jadi hal yang mungkin dilakukan adalah mereduksi tenaga tsunami dengan maksud bencana yang ditimbulkannya juga dapat diminimalisir. Masalah genangan tsunami tidak dapat ditiadakan karena cakupannya yang begitu luas kecuali pada lokasi yang khusus memunngkinkan dapat dibuat bangunan tembok tsunami yang dapat melokalisir lokasi tersebut. Salah satu bangunan yang dapat mereduksi tenaga tsunami adalah kombinasi antara ‘greenbelt’ dan ‘sub-seawall’ atau GSW. Greenbelt baru berfungsi kalau tidak tenggelam oleh tinggi muka air tsunami dan mempunyai persyaratan kerapatan jumlah pohon dan lebarnya, sedangkan sub-seawall berfungsi untuk mencegah erosi akibat ‘bore’ saat tsunami datang ataupun ‘backwash’ yaitu disaat air tsunami surut. Keywords: tsunami, greenbelts, sub-seawall.

INTRODUCTION Bencana alam tsunami sebagai proses lanjutan dari gempa bumi dengan skala diatas M6 dipastikan akan menelan banyak korban jiwa, harta benda, infrastruktur, dan lingkungan. Gempa bumi terbesar kedua didunia sebesar M9,3 pada tanggal 26 Desember 2004 menyebabkan Sumatera-tsunami yang menyerang pantai Aceh dan Nias dan masih hangat dalam ingatan bahwa gempa bumi sebesar M7,2 pada tanggal 17 Juli 2006 juga menyebabkan tsunami yang menyerang pantai Selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kedua tsunami ini menelan banyak korban jiwa dan harta benda serta merusak infrastruktur termasuk bangunan pantai yang ada. Khusus untuk Sumatera-tsunami, serangannya begitu dasyat sehingga sebagian besar bangunan pantai lenyap (washout) dan hanya sebagian kecil saja yang dapat dikategorikan rusak berat (destroyed). Mengenal lebih jauh dan memahami terjadinya tsunami adalah hal sangat penting karena tidak semua gempa bumi akan menyebabkan tsunami dan mendalami proses tsunami juga sangat penting untuk mengantisipasinya dalam usaha mengurangi jumlah korban yang diakibatkannya serta usaha penanggulangannya secara konstruktif.

Secara fisik, gelombang tsunami sangatlah berbeda dengan gelombang laut biasa, ia merupakan gelombang panjang yang bergerak secepat kapal terbang (600-800 km/jam) di laut dalam dan pada saat mendekati pantai karena efek shoalinh gelombangnya menjadi lebih tinggi dengan kecepatannya menurun hingga menjadi 30 m/det. Dengan adanya peningkatan tinggi gelombang tsunami maka pada awalnya terjadi majunga garis pantai (retrait) diikuti datangnya tsunami dengan kecepatan tinggi, tsunami merusak apa saja dikawasan pantai hingga tenaganya berkurang dan hilang sama sekali meninggalkan genangan. Jadi

secara konsep tenaga tsunami dapat direduksi tetapi tinggi genangan air tsunami tidak dapat ditanggulangi. Salah satu usaha penanggulangan tsunami dengan mereduksi tenagan tsunami adalah dengan menanam hutan pantai atau greenbelts dengan persyaratan tinggi tanaman tidak terlampaui oleh tinggi muka air tsunami dan kerapatan pohon atau jumlah pohon persatuan luas sangat menentukan tingkat efektivitas nilai reduksi tenaga tsunami. Hutan pantai dengan ukuran diameter pohon d1 = 30 cm dengan jumlah pohon 400 batang persatuan luas 10,0 m dapat mereduksi hampir semua tenaga tsunami. Kuatnya tenaga erosi tsunami dapat merusak akar-akar pohon dan hutan menjadi rusak dan hanyut oleh air tsunami maka untuk mengurangi tenaga erosi ini maka perlu adanya bangunan tembok laut bawah permukaan atau sub-seawall sehingga hutan pantai dapat terselamatkan dan berfungsi sebagai pereduksi tenaga tsunami.

Terjadang tinggi genangan lebih tinggi dari tinggi pohon di hutan pantai maka perlu adanya peninggian tanah lahan terlebih dahulu (land elevated) sebelum penanaman pohon dilakukan. Lahan yang ditinggikan ini juga perlu diproteksi dengan konstruksi ‘retaining wall’ agar aman terhadap erosi tsunami. Apabila greenbelts dibangun tidak menerus sepanjang pantai maka akan terdapat lokasi yang sangat berbahaya yaitu lokasi gap atau celah diantara dua kelompok hutan pantai ini karena arus gelombang tsunami akan terpusat pada celah ini dengan kecepatan yang lebih tinggi pula. DASAR PERTIMBANGAN TEORI Mengenal Tsunami Gempa bumi mengakibatkan tsunami tetapi dengan persyaratan: (a) gempanya di laut, (b) pergerakan lempeng patahan vertikal, dan (c) pusat gempa (hipocentrum) dangkal atau kurang dari 30,0 km

Page 44: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Zouhrawaty, A.Ariff, Mahdani

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 224

dibawah dasar laut. Tsunami adalah gelombang panjang dengan kecepatan rambatnya merupakan fungsi dari kedalaman laut sehingga di laut dalam kecepatan tsunami setara dengan kecepatan pesawat terbang. Dengan adanya efek shoaling, kecepatan tsunami menurun, tetapi tinggi gelombang-nya meningkat dan ini terjadi pada daerah pantai. Parameters Tsunami Empat parameter yang perlu diketahui dalam analisa gelombang tsunami, yaitu: (a) kedalaman tsunami (η ), (b) gaya tsunami (F), (c) tekanan run-up tsunami (P), dan (d) tekanan gaya tsunami (FD). Kedalaman genangan (η ) dapat dianggap sama tinggi dengan kedalaman genangan tsunami yang merupakan perbedaan elevasi muka tanah dan muka air. Gaya yang diakibatkan oleh tsunami ada dua, yaitu gaya impulsive yang terjadi pada awal gelombang datang dan gaya ‘standing wave’ sebagai lanjutan dari gaya yang pertama. Pada kejadiannya gaya yang pertama lebih besar dan terjadi pada waktu yang lebih pendek dibanding gaya kedua, akan tetapi gaya yang mempunyai daya rusak tinggi adalah gaya ‘standing wave’ karena waktunya lebih lama dengan pergerakan massa air yang lebih besar seperti diperlihatkan pada Gbr.1.

GAYA IMPULSIVE

GAYA STANDING WAVE

WAKTU (s)

(N/m

2)

CD VARIASI

ZTSUNAMI

maxη

3 maxη

gρη max3

Gbr. 1, Variasi gaya dan tekanan run-up tsunami

Besarnya tekanan run-up tsunami diformulasikan sebagai [1] dengan nilai z maksimum sebesar max3η . Untuk tekanan tsunami, Matsutomi (1994) dengan mengambil koefisien seret CD = 2 mendapatkan rumusan untuk tekanan tsunami seperti pada [2] dan [3] untuk nilai run-up R = 1 – 5 m.

gzzPm ρη )(3)( max −= ………….…….. (1) 2/2 AuFD ρ= ………...……………….. (2)

gRu = ............................................... (3) dengan Pm = distribusi tekanan run-up tsunami, g = percepatan gravitasi, FD = tekanan tsunami, u = kecepatan tsunami, A = luas, dan R = tinggi run-up yang identik dengan tinggi genangan. Studi Terdahulu

Studi tentang efek greenbelts terhadap mereduksi gaya tsunami telah dilakukan oleh PARI tahun 2001 dan observari lapangan mengenai kerusakan didepan dan belakang greenbelts oleh F. Denielsen et.al tahun 2005 dan Matsutomi tahun 2005 (Hiraishi, 2006). PARI mendapatkan rumus tenaga gelombang (WF) dengan adanya greenbelts sebagai berikut [4].

tu

VVCuuACWF MD ∂

∂+= 0

05.0 ρ ……………. (4)

dengan, CD = koefisien seret, CM = koefisien inersia, u = kecepatan aliran tsunami, A0 = proyeksi luas vegetasi, V0 = volume vegetasi, dan V = total volume dibawah air. Jumlah pohon perunit 10 m yang terdapat pada greenbelts dapat menurunkan intensitas tsunami seperti diperlihatkan pada Gbr. 2.

Gbr. 2, Hubungan antara jumlah pohon dan intensitas Tsunami Disamping jumlah pohon, lebar greenbelts juga perpengaruh terhadap pengurangan gaya tsunami seperti diperlihatkan pada Gbr. 3 untuk R = 5 hingga 30 m dan secara rata-rata hubungan pengurangan kapasitas tsunami dan total jumlah pohon disajikan pada Gbr. 4. Gbr.2, 3, dan 4 merupakan gambar ulang dari Hiraishi (2001).

Gbr. 3, Hubungan lebar antara greenbelts dan pengurangan kapasitas gaya tsunami

0123456

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450Ns (Total/10 m)

Inten

sitas

Tsu

nami

R = 3R = 5

0.00.20.40.60.81.01.2

0 10 20 30Lebar greenbelts Ns (x10 m)

1-CR

(Rdu

ced f

orce

rate

)

5102030

Page 45: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Zouhrawaty, A.Ariff, Mahdani

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 225

Gbr. 4, Reduksi kapasitas rata-rata berdasarkan jumlah pohon

Hasil studi tersebut menginformasikan bahwa selain dapat mereduksi tekanan (pressure), tinggi genangan (inundation), arus (current) pada awal terjadinya tsunami, konstruksi greenbelts juga dapat memperpanjang waktu terjadinya puncak ketiga parameter diatas. Ini semua dapat mengefektifkan waktu evakuasi dan mengurangi tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh tsunami. USULAN TIPE KONSTRUKSI Pemilihan tipe konstruksi bangunan pantai perlu disesuaikan dengan maksud penanganan dan kondisi lokal pantai yang akan ditangani. Untuk kondisi lokal, pantai dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pantai terbuka dan pantai tertutup yang sifatnya khusus. Pantai terbuka yang mencakup kawasan yang luas dan panjang dapat dipilih konstruksi greenbelts, sedangkan yang sifatnya khusus seperti kawasan pelabuhan dapat diproteksi dengan bangunan tembok laut yang dilengkapi dengan pintu-pintu.

Dari referensi terlihat bahwa greenbelts dengan persyaratan tertentu dapat mereduksi daya rusak tsunami, maka untuk jenis konstruksi ini dapat dibangun khususnya pada pantai terbuka dengan tidak adanya ‘headlands’ pada kedua sisinya. Konstruksi ini hanya dapat mereduksi kapasitas tsunami akan tetapi tidak dapat mengurangi tinggi genangan air tsunami (inundation) Kawasan Pantai Terbuka Kawasan pantai terbuka yang panjang dan luas seakan tidak layak diproteksi dengan menggunakan konstruksi teknis karena besarnya volume material dan mahal harga konstruksinya apabila diharapkan konstruksi tersebut mampu menahan gelombang tsunami. Konstruksi hutan pantai (beach forest) atau greenbelts adalah lebih layak untuk dibangun pada pantai terbuka ini. Hutan pantai (greenbelts)

Persyaratan pembangunan konstruksi hutan pantai atau greenbelts untuk menahan tsunami adalah: (a) pohon tidak tegenang oleh muka air tsunami, (b) pohon ditanam pada lahan yang relatif cukup lebar, (c) tanaman pohon mempunyai kerapatan tertentu, dan (d) lahan greenbelts harus aman terhadap erosi baik oleh bore maupun oleh backwash.

Untuk melindungi greenbelts dari erosi maka perlu adanya proteksi dan tipe yang relatif cocok untuk itu adalah tembok laut bawah permukaan (sub-seawall) yang dipasang dibagian dan belakang konstruksi greenbelts. Skema pembangunan konstruksi greenbelts dapat dilihat pada Gbr.5 dan konstruksi sub-seawall pada Gbr.6.

MUKA AIR TSUNAMI

HUTAN PANTAI

SUB-SEAWALL

TANAH DASARSUB-SEAWALL

TIMBUN

Gbr. 5, Greenbelts untuk mereduksi tenaga tsunami

TANAH DASAR

MUKA AIR TSUNAMI

HUTAN PANTAI

SUB-SEAWALL

Gbr. 6, Konstruksi dan posisi sub-seawall Meninggikan muka tanah (land elevated) Prinsip hidup tanaman adalah mencari matahari dan untuk kawasan pantai yang merupakan daerah terbuka, sinar matahari mudah didapat bagi tanaman sehingga tanaman cenderung tumbuh tidak terlalu tinggi. Untuk kawasan pantai dengan serangan tsunami yang tinggi, hutan ini dapat saja terendam air tsunami dan hutan tersebut tidak lagi berfungsi secara efektif mengurangi tenaga tsunami. Untuk kasus demikian maka elevasi muka lahan perlu ditinggikan sebelum dihutankan sehingga elevasi tanaman nantinya lebih tinggi darimuka air tsunami sehingga hutan pantai akan berfungsi dengan baik.

Lahan yang ditinggikan (land elevated) ini akan berbentuk sebagai tanggul (embarkment) dan perlu adanya pelindung tebing (bank protection) sehingga hutan pantai selalu dalam keadaan stabil baik saat bore menyerang maupun saan air balik sesudah tsunami

0.00.20.40.60.81.01.2

0 100 200 300 400 500Total jumlah pohon (/10 m)

Redu

ksi k

apas

itas

d1 = 30 cm

Page 46: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Zouhrawaty, A.Ariff, Mahdani

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 226

(backwash). Tipe konstruksinya adalah seperti pada Gbr.7.

LAND ELEVATED

MUKA AIR TSUNAMI

HUTAN PANTAI

TEMBOK PENAHANTANAH DASAR

TEMBOK PENAHAN

Gbr. 7, Hutan pantai di tanggul terproteksi

Usulan ini sebagian besar didasarkan pada hasil uji laboratorium dan observasi lapangan, studi lanjut masih diperlukan yang berkaitan dengan jenis pohon, gap antar blok greenbelts, dan spasing antar pohon. Kawasan Pantai Tertutup (Khusus) Kawasan pantai tertutup biasanya diapit oleh dua ‘headland’ dimana jarak antara dua headlnd tersebut masih layak untuk dibangun konstruksi permanen tanggul laut atau tembok laut (Gbr. 8). Kawasn pantai yang bersifat khusus adalah seperti halnya pelabuhan yang sebenarnya dibangun di kawasan pantai terbuka (Gbr. 9).

Pada kawasan pantai tertutup, konstruksi tanggul atau tembok laut dibangun dengan kelengkapan pintu-pintu sepanjang tanggul/tembok laut. Pada kondisi normal pintu-pintu ini selalu dalam keadaan terbuka dan begitu ada informasi akan terjadi tsunami pintu-pintu ini semuanya ditutup, sehingga daerah dibelakang tanggul/tembok laut ini aman terhadap bahaya tsunami. Konstruksi bangunan ini, baik tanggul maupun pintu-pintu, harus tinggi dan cukup kuat menahan serangan tsunami.

Pada kawasan khusus seperti halnya pelabuhan, kawasan perkantoran dan gudang-gudang perlu ditempatkan pasa satu kawasan yang terlindungi dari bahaya tsunami. Kawasn ini perlu diisolasi dengan membangun tembok laut yang tinggi dan relatif cukup kuat terhadap serangan bahaya tsunami. Seperti halnya tanggul laut pada kawasan pantai tertutup, pintu-pintu juga perlu dipasang dengan jumlah cukup sepanjang tembok laut dan dibangun cukup kuat untuk menahan bahaya tsunami. Proses operasional-nya sama dengan operasional pintu-pintu pada kawasan pantai tertutup. Karena ini termasuk kawasan publik, maka perlu disiapkan lokasi evakuasi baik untuk orang-orang maupun properti pada lantai yang lebih tinggi apabila terjadi bencana tsunami.

KOLAM PELABUHAN

DERAMAGA

DER

AMAG

A

DER

AMAG

A

HEADLANDHEADLAND

BREAKWATER

INLE

T

TANGGUL / TEMBOK LAUT

KAWASAN PERMUKIMAN

Gbr. 8, Skema proteksi kawasan pantai tertutup

JETTY / PLATFORM

OFFICES AND YARD STORAGES

BREAKWATER

BR

EAK

WAT

ER

BR

EAK

WAT

ER

PINTU PINTU

PINTU

PINTU

PINTU

TEMBOK TSUNAMITEM

BO

K T

SUN

AMI

TEM

BO

K T

SUN

AMI

KOLAM PELABUHAN

Gbr. 9, Skema proteksi kawasan pantai khusus ANTISIPASI BAHAYA TSUNAMI DI JEPANG Jepang adalah negara yang sering dilanda bencana alam gempa bumi, tsunami, gelombang badai (surge storm), dan thypons. Negara tersebut sangat siap mengantisipasi bencana-bencana tersebut baik secara kosntruktif maupun kesiapan masyarakatnya. Pada kawasan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti pelabuhan, breakeater tsunami dibangun di tengah laut dan kondisi laut disekitar bangunan tersebut selalu dimonitor secara menerus selama 24 jam. Gambar 10 memperlihatkan breakwater tsunami untuk melindingi kawasan sebuah teluk dan pelabuhan telah merekam kejadian pada saat terjadi gelombang badai menyerang kawasan tersebut.

Gambar 10, Breakwater tsunami Kawasan pemukiman dibelakang pelabuhan biasanya dilindungi dengan tembok yang terbuat dari konstruksi beton (Gambar 11) dan untuk menghubungkan antara kawasan pemukiman dan pelabuhan dipasang pintu

Page 47: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Zouhrawaty, A.Ariff, Mahdani

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 227

yang melintas di jalan penghubung tersebut (Gambar 12). Pintu yang terbuat dari baja ini dapat ditutup secara manual ataupun otomatis pada saat ada informasi akan terjadi tsunami.

Gambar 11, Tembok pemisah terbuat dari beton

Pendidikan secara menerus apa itu tsunami

merupakan usaha yang perlu dilakukan untuk mengurangi jumlah korban tsunami dan salah satunya adalah dengan membuat monumen tsunami sehingga masyarakat akan selalu teringat bahwa kawasan tersebut rawan terhadap bahaya tsunami. Pada monumen tsunami tersebut disertakan tanda-tanda kejadian tsunami yang pernah terjadi termasuk waktu kejadian, tinggi genangan dan jumlah koeban.

Penetapan tempat evakuasi pada lokasi yang lebih tinggi disertai dengan rambu-rambu evakuasi juga perlu dilakukan termasuk latihan evakuasi secara menerus juga perlu dilaksanakan (tsunami drill) yang didasarkan pada peta evakuasi yang dibuat oleh kelompok masyarakat dengan bimbingan para ahli tsunami.

Gambar 12, Pintu tsunami terbuat dari baja

RINGKASAN DAN KESIMPULAN

Bencana alam tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 telah memporakporandakan dan mengubah wajah pantai di Aceh. Bangunan pantai yang telah dibangun lenyap dan sebagiannya rusak berat.

Dengan adanya Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias, perbaikan dan pembangunan bangunan pantai telah mulai dilaksanakan.

Dari pengamatan dilapangan terkihat prongam pembangunan ini adalah untuk menahan gelombang laut tetap dipantai dengan tidak menimbulkan erosi dan abrasi pantai dan bangunan ini tidak diperuntukkan untuk menahan atau menanggulangi bencana tsunami dimasa-masa yang akan datang. Pembangunan konstruksi greenbelts dibelakang konstruksi bangunan pelindung pantai perlu dipertimbangkan sebagai usaha untuk mengurangi efek kerusakan bencana tsunami.

Tenaga tsunami yang begitu dasyat dapat direduksi secara konstruktif tetapi genangan air tsunami tidak dapat ditanggulangi. Dengan tereduksinya tenaga tsunami maka daya rusat akibat tenaga tsunami akhirnya dapat diminimalisir. Hal ini selanjutnya akan mereduksi jumlah korban dan kerusakan infrastruktur pada kawasan bencana. Salah satu jenis konstruksi yang dapat mereduksi tenaga tsunami adalah kombinasi antara ‘greenbelts and sub-seawall’ yang dibangun sejajar pantai.

Greenbelts ini menghendaki persyaratan khusus untuk dapat berfungsi dengan baik, yaitu tidak tenggelam mukan air tsunami dan mempunyai kerapatan pohon tertentu serta lebar lahan yang dihutankan. Konstruksi sub-seawall berfungsi untuk menanggulangi erosi pada saat tsunami menyerang dan pada saat terjadinya air balik (backwash) sehingga hutan pantai selalu dalam kondisi aman dan dapat menjalankan fungsinya sebagai pereduksi tenaga tsunami.

Setelah melakukan uraian diatas yang berkaitan dengan fenomena tsunami, metode penanggulan, dan pemilihan jenis konstruksinya maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yang diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Bencana tsunami mengakibatkan banyak korban

dan merusak infrastruktur termasuk bangunan pelindung pantai.

2. Mengerti dan memahami karakter tsunami yang sangat berbeda dengan gelombang laut biasa adalah sangat penting dalam mengatisipasi bencana ini.

3. Pembangunan konstruksi pelindung di Aceh sesudah tsunami hanya berfungsi menahan gelombang tetap dipantai tanpa menimbulkan erosi dan abrasi pantai.

4. Tenaga tsunami yang dasyat perlu direduksi secara konstruktif untuk mengurangi daya rusaknya sehingga korban dan kerusakan infra-struktur dapat diminimalisir.

5. Hutan pantai atau greenbelts dapat mereduksi tenaga tsunami dengan syarat tidak tenggelam dan mempunyai kerapatan pohon dan lebar hutan yang cukup.

Page 48: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Masimin, Zouhrawaty, A.Ariff, Mahdani

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 228

6. Hutan pantai ini juga dapat meperpanjang waktu pergerakan tsunami yang dapat memberikan kesempatan untuk evakuasi dari bencana.

7. Konstruksi sub-seawall merupakan kelengkapan hutan pantai ini untuk menahan erosi tsunami pada saat bore datang dan backwash saat air tsunami bergerak surut yang begitu cepat sehingga hutan tidak menjadi rusak.

Reference: 1. Hiraishi, T., (2006) Tsunami reduction due to

coastal greenbelts, Workshop on Tsunami Disaster Mitigation, Port and Airport Research Institute, Yokosuka, Japan.

2. Tomita, T., (2006) Research of Tsunami Research Center, Workshop on Tsunami Disaster Mitigation, Port and Airport Research Institute, Yokosuka, Japan.

Page 49: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Yadi Suryadi

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 229

Pengaruh Perubahan Hidrograf Infow [Waktu Dasar (Tb), Waktu Puncak (Tp) Dan Debit Puncak (Qp)] Terhadap Fluktuasi Muka Air Di Sungai

Dalam Rangka Melihat Potensi Banjir

Yadi Suryadi Mahasiswa Program Doktor, FT Sipil dan Lingkungan, ITB

Abstrak

Kejadian banjir/genangan di Sungai Citarum Hulu (Cekungan Bandung) terjadi berlangsung hampir setiap tahun. Sistem penanggulangan banjir dengan normalisasi, pengerukan sedimen dan sodetan telah dilaksanakan pada sungai utama dan anak-anak sungainya, akan tetapi masih terjadi banjir/genangan setiap musim hujan.

Pada tahap ini penulis mencoba melihat potensi penyebab terjadinya banjir dari variasi hidrograf inflow yang terjadi , dengan cara mensimulasikan pada model sungai satu dimensi. Kejadian banjir diindikasikan apabila tinggi muka air melewati puncak tanggul sepanjang ruas sungai yang dimodelkan.

Variasi hidrograf inflow ini terdiri dari variasi debit puncak (Qp), variasi waktu puncak (Tp) dan variasi waktu dasar (Tb). Hasil simulasi diperoleh bahwa perubahan Qp, Tp dan Tb mempengaruhi hidrograf otflow, tinggi mula air dan lama waktu terluapi serta ada parameter lain yang juga berpengaruh yaitu bentuk geometri penampang dan elevasi tanggul sungai.

I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Seperti kita ketahui bahwa penyebab langsung tejadinya banjir adalah meluapnya muka air sungai melewati puncak tanggul akibat kapasitasnya tidak memadai. Fluktuasi muka air sungai yang terjadi dipengaruhi oleh perubahan debit yang masuk (hidrograf inflow) ke tubuh sungai itu sendiri. Dimana selama ini kebanyakan hidrograf inflow ditinjau hanya dari besar puncaknya (Qp) saja, padahal bentuk variasi hidrograf inflow tergantung juga pada besarnya basetime (Tb) dan peaktime (Tp).

Pada kesempatan ini penulis ingin memaparkan hasil penelitian model numerik, pada perubahan tiga variabel hidrograf inflow, yaitu Qp, Tb, dan Tp pengaruhnya terhadap fluktuasi muka air dan waktu konsentrasi di sungai Citarum hulu.

Diharapkan dengan hasil yang diperoleh dapat menjadi acuan dalam rangka studi selanjutnya mengenai banjir. 1.2 RUANG LINGKUP

Lingkup yang akan dibahas disini adalah : Hidrograf inflow merupakan hasil perhitungan

model numerik Rainfall Run off (RR) dengan cara lumped.

Fluktuasi muka air di sungai merupakan hasil perhitungan model numerik hidraulik satu dimensi.

Fluktuasi muka air di sungai sebagai akibat perubahan hidrograf inflow, terutama debit puncak (Qp), basetime (Tb), dan peaktime (Tp).

1.3 MAKSUD DAN TUJUAN

Mendapatkan fungsi hubungan antara fluktuasi muka air di sungai dengan variasi hidrograf inflow, terutama debit puncak (Qp), basetime (Tb) dan peaktime (Tp).

II. METODOLOGI Secara skematis metodologi penelitian dapat

dilihat pada Gambar 1 di samping.

Gambar 1. Bagan Alir Meodologi Penelitian 2.1 Data Curah hujan : Curah hujan yang disimulasi adalah

hujan realtime jam-jaman selama waktu yang ditinjau.

Karakteristik Catchment Area : Terdiri dari : luas catchment area, baseflow, koefisien pengaliran dll.

Evaporasi Layout sungai Cross section sungai

D a t a :- C u r a h H u j a n- E v a p o r a s i- K a r a k t e r i s t i k C a tc h m e n t A r e a

S im u la t i R a in f a l l R u n o f f d g n L u m p e d R o u t in g

K a l i b r a s i d e n g a n d a ta p e n g u k u ra n :D e b i t S u n g a i

H y d r o g r a p h I n f lo w ( Q p d a n

T b )

S im u la s i H id r o d in a m i k 1 D ` d i S u n g a i

K a r a k t e r i s t ik M o r f o lo g i S u n g a i

F lu k t u a s i M u k a A i r d i S u n g a i

P e n e n tu a n h u ja n w i la y a h m a s in g -m a s in g s u b D A S

Page 50: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Yadi Suryadi

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 230

2.2 Rainfall Runoff dengan NAM Model Dalam perhitungan hidrograph inflow, model yang

digunakan dalam simulasi adalah NAM (Nedbor-Afstromnings-Model=model runoff-hujan ). Penggunaan NAM model ini sesuai untuk perhitungan rainfall-runoff skala Daerah Aliran Sungai.

NAM model merepresentasikan variasi komponen dari rainfall-runoff dengan perhitungan yang kontinyu

dari kandungan air dalam empat storage berbeda yang saling berhubungan satu sama lain.

NAM model dapat dikarakteristikan sebagai model deteministik, lumped, dan konseptual dengan persyaratan input data yang moderat (Abbott and Refsgaard, 1996). Keluaran : runoff, grounwater level, overland, interflow, base flow. Secara skematis model RR ini dapat digambarkan sbb :

Gambar 2. Struktur NAM Model 2.3 Hidrograf Inflow Secara skematis hidrograf inflow dapat dilihat pada gambar di bawah ini : Gambar 3. Skematik Hidrograf Inflow Dimana : Qp = debit puncak Tb = basetime Tp = peaktime 2.4 Persamaan Hidrodinamik Model dan persamaan matematik yang digunakan adalah model 1 dimensi dengan persamaan :

• Persamaan Saint – Venant • Skema finite different adalah Abbott-Ionescu FD Dua persamaan dasar (Saint Venant) yaitu : 1. persamaan Kontibuitas (Conservation of Mas) dan 2. persamaan Momentum (Conservation of

Momentum – Newton’2nd Law) : Persamaan Konservasi Kontinuitas : Persamaan Konservasi Momentum : Sedangkan model gelombang dinamik ditemukan dengan cara mengembangkan persamaan karakteristik dari persamaan Saint-Venant.

Qp

Tb

t

Q

Qp

Tb

t

Q

Tp

BF 0=−

∂∂

+∂∂ q

tA

xQ

0..2

2

=+∂∂

+∂

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛∂

+∂∂

ARCQgQ

xhAg

xA

QQ

α

( ) 011

2

=−−∂∂

+∂

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛∂

+∂∂

fo SSgxyg

xA

Q

AtQ

A

K i n e m a t i c w a v e

D i f f u s i o n w a v e

D y n a m i c w a v e

L o c a l a c c e l e r a t i o n

C o n v e c t i v e a c c e l e r a t i o n

P r e s s u r ef o r c e

G r a v i t yf o r c e

F r i c t i o nf o r c e

( ) 011

2

=−−∂∂

+∂

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛∂

+∂∂

fo SSgxyg

xA

Q

AtQ

A

K i n e m a t i c w a v e

D i f f u s i o n w a v e

D y n a m i c w a v e

K i n e m a t i c w a v e

D i f f u s i o n w a v e

D y n a m i c w a v e

L o c a l a c c e l e r a t i o n

C o n v e c t i v e a c c e l e r a t i o n

P r e s s u r ef o r c e

G r a v i t yf o r c e

F r i c t i o nf o r c e

SNOWRAIN

Overland Flow

Inter Flow

Overland Flow

Q OF

Q IF

OF

IFP Ep

Ep

G

DL

GWL

BFu

BF

Base Flow

GW PumpCAFlux

SNOWRAIN

Overland Flow

Inter Flow

Overland Flow

Q OF

Q IF

OF

IFP Ep

Ep

G

DL

GWL

BFu

BF

Base Flow

GW PumpCAFlux

Page 51: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Yadi Suryadi

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 231

2.5 Simulasi Simulasi awal dilakukan terhadap data hujan realtime jam-jaman, selanjutnya dikalibrasi dengan data hasil pengukuran debit. Simulasi selanjutnya dilakukan dengan cara memvariasikan hidrograf inflow sebagai berikut :

Variasi beda tinggi Qp Variasi beda waktu Tp Variasi beda waktu Tb

Gambar 4. Skema Sungai Citarum Hulu

Gambar 5. Detail Posisi Cross Section yang Ditinjau Daerah yang ditinjau adalah daerah sekitar genangan yang terjadi, pada kesempatan ini ada tiga penampang melintang saluran yaitu penampang 801, 3656 dan

4293. Masing-masing bentuk dan kapasitas penampang tersebut dapat dilihat seperti pada Gambar 6,7 dan 8 di bawah ini.

Gambar 6. Penampang Saluran 801 dengan

Page 52: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Yadi Suryadi

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 232

Kapasitas Penampang 221,976 m2 dan Kapasitas Angkut Debit 651,632 m3

Gambar 7. Penampang Saluran 3656 dengan Kapasitas Penampang 267,04 m2 dan Kapasitas Angkut Debit 744,45 m3

Gambar 8. Penampang Saluran 4293 dengan Kapasitas Penampang 270,47 m2 dan Kapasitas Angkut Debit 776,98 m3

a. Simulasi pertama dilakukan terhadap perubahan Qp. Qp berubah semakin besar dengan Tp dan Tb tetap, seperti yang terlihat pada gambar 9 dibawah ini :

Gambar 9. Variasi Hidrograf Inflow dengan Qp berubah, Tp dan Tb tetap b. Simulasi kedua dilakukan terhadap perubahan Tp. Tp berubah semakin besar dengan Qp dan Tb tetap, seperti yang terlihat pada gambar 10 di bawah ini :

Variasi Hidrograf InflowQp berubah, Tp dan Tb tetap

0

100

200

300

400

500

600

1/18

/200

2 17

1/18

/200

2 18

1/18

/200

2 19

1/18

/200

2 20

1/18

/200

2 21

1/18

/200

2 22

1/18

/200

2 23

1/19

/200

2 0

1/19

/200

2 1

1/19

/200

2 2

1/19

/200

2 3

1/19

/200

2 4

1/19

/200

2 5

1/19

/200

2 6

1/19

/200

2 7

1/19

/200

2 8

1/19

/200

2 9

1/19

/200

2 10

1/19

/200

2 11

1/19

/200

2 12

1/19

/200

2 13

1/19

/200

2 14

1/19

/200

2 15

1/19

/200

2 16

1/19

/200

2 17

1/19

/200

2 18

1/19

/200

2 19

1/19

/200

2 20

1/19

/200

2 21

1/19

/200

2 22

1/19

/200

2 23

1/20

/200

2 0

1/20

/200

2 1

1/20

/200

2 2

1/20

/200

2 3

1/20

/200

2 4

1/20

/200

2 5

1/20

/200

2 6

1/20

/200

2 7

1/20

/200

2 8

1/20

/200

2 9

1/20

/200

2 10

1/20

/200

2 11

1/20

/200

2 12

1/20

/200

2 13

1/20

/200

2 14

1/20

/200

2 15

1/20

/200

2 16

1/20

/200

2 17

1/20

/200

2 18

1/20

/200

2 19

1/20

/200

2 20

1/20

/200

2 21

1/20

/200

2 22

Waktu (jam)

Q (m

3/dt

k)

Page 53: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

I

cT

Q

T

ISBN: 978-979-15

c. Simulasi kedTb berubah se

III. HASIL KE Qp berubah Dengan Qp yaTetap, diperole• Tinggi muka

terendah patergantung lurus) dansungainya.

• Semakin besungainya, sGambar 12)

Gambar 12. Ting

0

100

200

300

400

500

600

1/18

/200

2 17

1/18

/200

2 18

Q (m

3/dt

k)

0

50

100

150

200

250

300

350

1/18

/200

2 13

1/18

/200

2 15

Q (m

3/dt

k)

5616-4-8

Gamb

dua dilakukan temakin besar d

Gamb

EGIATAN DAN

ang berubah, Teh hasil sebagaa air yang terjaada penampandari besarnya

n kapasitas

esar kapasitasemakin kecil

ggi Muka Air di a

1/18

/200

2 19

1/18

/200

2 20

1/18

/200

2 21

1/18

/200

2 22

1/18

/200

2 23

1/19

/200

2 0

1/19

/200

2 1

1/19

/200

22

1/18

/200

2 17

1/18

/200

2 19

1/18

/200

2 21

1/18

/200

2 23

1/19

/200

2 1

1/19

/200

2 3

bar 10. Variasi

terhadap perubengan Qp dan

bar 11. Variasi

N BAHASAN

p dan Tb ai berikut : adi di atas elevng melintang ya Qp inflow

penampang

as penampang tinggi muka a

atas tanggul tere

1/19

/200

2 2

1/19

/200

2 3

1/19

/200

2 4

1/19

/200

2 5

1/19

/200

2 6

1/19

/200

2 7

1/19

/200

2 8

1/19

/200

2 9

1/19

/200

2 3

1/19

/200

2 5

1/19

/200

2 7

1/19

/200

2 9

1/19

/200

2 11

1/19

/200

2 13

Hidrograf Inflo

bahan Tb. Tp tetap, sepe

Hidrograf Inflo

vasi tanggul yang ditinjau (berbanding

melintang

g melintang airnya. (lihat

endah

Variasi HTp berubah

1/19

/200

2 10

1/19

/200

2 11

1/19

/200

2 12

1/19

/200

2 13

1/19

/200

2 14

1/19

/200

2 15

1/19

/200

2 16

Varias i HTb be rubah

1/19

/200

2 15

1/19

/200

2 17

1/19

/200

2 19

1/19

/200

2 21

1/19

/200

2 23

1/20

/200

2 1

ow dengan Tp b

erti yang terliha

ow dengan Tb b

DengmukaakanterluaGam

Gambade

Hidrograf Inflowh, Qp dan Tb tet

1/19

/200

2 17

1/19

/200

2 18

1/19

/200

2 19

1/19

/200

2 20

1/19

/200

2 21

1/19

/200

2 22

1/19

/200

2 23

Waktu (jam)

Hidrograf Inflowh, Qp dan Tp te ta

1/20

/200

2 3

1/20

/200

2 5

1/20

/200

2 7

1/20

/200

2 9

1/20

/200

2 11

1/20

/200

2 13

Waktu ( jam )

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

5

TIN

GG

I MU

KA

AIR

(m)

berubah, Qp da

at pada gamba

berubah, Qp da

gan bertambaha air di atas tan tetapi ada api di atas ta

mbar 13).

r 13. Perubahangan Penambah

wtap

1/20

/200

2 0

1/20

/200

2 1

1/20

/200

2 2

1/20

/200

2 3

1/20

/200

2 4

1/20

/200

2 5

1/20

/200

2 6

1/20

/200

27

ap

1/20

/200

2 13

1/20

/200

2 15

1/20

/200

2 16

1/20

/200

2 18

1/20

/200

2 20

1/20

/200

2 22

GRAFIK PERUBA

.0

.0

.0

.0

.0

.0

.0

.0

.0

0.0 10.0

T terluapi awa

T terluapi saa

an Tb tetap

ar 11 di bawah

an Tp tetap

h besarnya Qpanggul saja yadampak lain

anggul menjad

an Tinggi Mukahan Qp inflow

1/20

/200

2 7

1/20

/200

2 8

1/20

/200

2 9

1/20

/200

2 10

1/20

/200

2 11

1/20

/200

2 12

1/20

/200

2 13

1/20

/200

2 14

1/21

/200

2 0

1/21

/200

2 2

1/21

/200

2 4

1/21

/200

2 6

1/21

/200

2 8

1/21

/200

2 10

BAHAN TINGGI MATAS TANGGUL

20.0 30.0

WAKTU (jam)

Elevasi taterendah

al saat

at Qt

Yadi Suryadi

ini :

p, tidak hanya ang semakin be

yaitu lama wi lebih lama (

Air di Atas Ta

1/20

/200

2 15

1/20

/200

2 16

1/20

/200

2 17

1/20

/200

2 18

1/20

/200

2 19

1/20

/200

2 20

1/20

/200

2 21

1/21

/200

2 12

1/21

/200

2 14

1/21

/200

2 16

1/21

/200

2 18

1/21

/200

2 20

1/21

/200

2 22

MUKA AIR DI

40.0 50.0

1 x1,17 x1,33 x1,50 x1,67 x1,83 x

anggul

tingi esar,

waktu (lihat

anggul

1/20

/200

2 22

1/21

/200

2 22

60.0

xxxxx

Page 54: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Yadi Suryadi

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 234

Rasio penambahan Qp terhadap Qp asal (Qpo) relatif berbanding lurus terhadap rasio penambahan tinggi muka air di atas tangul terendah dan besarnya gradien (kemiringan) tergantung dari kapasitas penampang saluran. (lihat Gambar 14)

Gambar 14. Perbandingan Penambahan Rasio Qp Inflow terhadap Rasio Penambahan Ketinggian Muka Air di Atas Tanggul

Semakin besar kapasitas saluran, semakin kecil

gradien rasio Qpt/Qpo terhadap rasio ht/ho, ini artinya rasio perubahan tinggi muka air di penampang saluran yang mempunyai kapasitas lebih besar lebih tinggi dibanding penampang saluran yang mempunyai kapasitas penampang lebih kecil. ? (lihat Gambar 14)

Tp berubah Dengan Tp yang berubah, Qp dan Tb tetap diperoleh

hal-hal sebagai berikut : Adanya pergeseran waktu terjadinya Tp yang

relatif sama, untuk kasus di Sungai Citarum ini dengan jarak antara 3 – 4 km dari inflow, hasilnya relatif sama yaitu mempunyai perbedaan sekitar 1 jam. (lihat gambar 15)

Gambar 15. Perubahan Tp inflow terhadap Tp outflow Rasio penambahan Tp inflow berbanding lurus

dengan rasio penambahan Tp outflow, hal ini terjadi pada semua penampang melintang saluran yang ditinjau. Hasil plot secara grafis terlihat linier, seperti yang terlihat pada Gambar 16.

Tidak terjadi perubahan lama genangan yang signifikan

Gambar 16. Perbandingan Penambahan Rasio Tp inflow Terhadap Rasio Penambahan Tp outflow

Tb berubah Dengan Tb yang berubah, Qp dan Tp tetap diperoleh hal-hal sebagai berikut : Penambahan Tb pada hidrograf inflow berbanding

lurus dengan penambahan Tb pada hidrograf outflow, dan berbanding lurus juga dengan penambahan waktu genangannya. (lihat Gambar 17 dan 18)

Rasio penambahan Tb pada hidrograf inflow vs rasio penambahan lama terluapi berbanding lurus dan mempunyai nilai yang relatif linier. (lihat Gambar 19)

Besar kecilnya gradien garis tergantung dari kapasitas penampang salurannya, semakin kecil kapasitas penampangnya semakin kecil gradien garisnya. Artinya semakin lama waktu terluapinya. (lihat Gambar 19)

GRAFIK Tpi/Tpo inflow vs Tpi/Tpo outflow

y = 1.125x - 0.125R2 = 1

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50

Tpi/Tpo outflow

Tpi/T

p o in

flow

CTR 755.42

CTR 3603.29

CTR 4245.13

Linear (CTR 4245.13)

G R AF IK Q pt/Q po vs ht/ho

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

1.60

1.80

2.00

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00

ht/ho

Qp t

/Qp o

CRO SS SE CT IO N CT R 8 0 0 .6 2

CRO SS SE CT IO N CT R 3 6 5 5 .7 8

CRO SS SE CT IO N CT R 4 2 9 3 .7 0

GRAFIK PENGARUH PERUBAHAN tp

0100200300400500600700

1/18

/200

2 17

1/18

/200

2 18

1/18

/200

2 19

1/18

/200

2 20

1/18

/200

2 21

1/18

/200

2 22

1/18

/200

2 23

1/19

/200

2 0

1/19

/200

2 1

1/19

/200

2 2

1/19

/200

2 3

1/19

/200

2 4

1/19

/200

2 5

1/19

/200

2 6

1/19

/200

2 7

1/19

/200

2 8

1/19

/200

2 9

1/19

/200

2 10

1/19

/200

2 11

1/19

/200

2 12

1/19

/200

2 13

1/19

/200

2 14

1/19

/200

2 15

1/19

/200

2 16

1/19

/200

2 17

1/19

/200

2 18

1/19

/200

2 19

1/19

/200

2 20

1/19

/200

2 21

1/19

/200

2 22

1/19

/200

2 23

1/20

/200

2 0

1/20

/200

2 1

1/20

/200

2 2

1/20

/200

2 3

1/20

/200

2 4

1/20

/200

2 5

1/20

/200

2 6

1/20

/200

2 7

1/20

/200

2 8

1/20

/200

2 9

1/20

/200

2 10

1/20

/200

2 11

1/20

/200

2 12

1/20

/200

2 13

1/20

/200

2 14

1/20

/200

2 15

1/20

/200

2 16

1/20

/200

2 17

1/20

/200

2 18

1/20

/200

2 19

1/20

/200

2 20

1/20

/200

2 21

1/20

/200

2 22

WAKTU (jam)

DEB

IT (m

3/de

tik)

in 1 x

in 1,38 x

in 1,75 x

in 2,13 x

in 3,25 x

out 1 x

out 1,38 x

out 1,75 x

out 2,13 x

out 3,25 x

Page 55: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Yadi Suryadi

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 235

Gambar 17. Pengaruh Penambahan Tb Hidrograf Inflow terhadap Tb Hidrograf outflow

Gambar 18. Pengaruh Penambahan Tb pada Hidrograf Inflow terhadap Lama Terluapi Gambar 19. Perbandingan Penambahan Rasio Tb Hidrograf inflow Terhadap Rasio Lama Waktu Terluapi IV. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil analisa grafik dapat dibuat beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut : Perubahan debit puncak hidrograf inflow (Qp)

berpengaruh terhadap besar tingginya muka air diatas tanggul terendah dan lama waktu terluapi .

Pada Qp yang berubah, kapasitas penampang melintang saluran mempengaruhi percepatan kenaikan muka air, kapasitas penampang yang lebih besar belum tentu mempunyai percepatan kenaikan yang lebih kecil. Ada indikasi faktor lain yang mempengaruhinya, yaitu geometri penampang melintang dan elevasi tanggul sungai.

Rasio penambahan Tp pada hidrograf inflow pada jarak yang ditinjau berbanding lurus dan linier untuk semua penampang pada hidrograf outflownya.

Perubahan Tb pada hidrograf inflow berbanding lurus dengan perubahan Tb pada hidrograf outflow.

Rasio penambahan Tb pada hidrograf inflow berbanding lurus dan linier terhadap penambahan lama terluapi pada outflow yang ditinjau.

Tinggi muka air di atas tanggul terendah adalah indikasi terjadinya banjir di daerah tersebut.

Lama terluapi tanggul mempunyai indikasi lama terjadinya genangan.

Untuk lebih lengkapnya penelitian ini disarankan sebagai berikut :

G ra fik H id ro g ra f In flo w d a n H id ro g ra f O u tflo w

d e n g a n T b b e ru b a h

0

1 0 0

2 0 0

3 0 0

4 0 0

5 0 0

6 0 0

1/18

/200

2 15

1/18

/200

2 17

1/18

/200

2 19

1/18

/200

2 21

1/18

/200

2 23

1/19

/200

2 1

1/19

/200

2 3

1/19

/200

2 5

1/19

/200

2 7

1/19

/200

2 9

1/19

/200

2 11

1/19

/200

2 13

1/19

/200

2 15

1/19

/200

2 17

1/19

/200

2 19

1/19

/200

2 21

1/19

/200

2 23

1/20

/200

2 1

1/20

/200

2 3

1/20

/200

2 5

1/20

/200

2 7

1/20

/200

2 9

1/20

/200

2 11

1/20

/200

2 13

1/20

/200

2 15

1/20

/200

2 16

1/20

/200

2 18

1/20

/200

2 20

1/20

/200

2 22

1/21

/200

2 0

1/21

/200

2 2

1/21

/200

2 4

1/21

/200

2 6

1/21

/200

2 8

1/21

/200

2 10

1/21

/200

2 12

1/21

/200

2 14

1/21

/200

2 16

1/21

/200

2 18

1/21

/200

2 20

1/21

/200

2 22

1/22

/200

2 0

W a k tu (j a m )

Deb

it (m

3/de

t)in 2 4

in 3 6

in 4 8

in 6 0

in 7 2o u t 2 4

o u t 3 6

o u t 4 8

o u t 6 0

o u t 7 2

Akhir Tb inflow dan Tb outflow sama

GRAFIK PENGARUH tb TERHADAP LAMA GENANGAN

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

1/18

/200

2 15

1/18

/200

2 17

1/18

/200

2 19

1/18

/200

2 21

1/18

/200

2 23

1/19

/200

2 1

1/19

/200

2 3

1/19

/200

2 5

1/19

/200

2 7

1/19

/200

2 9

1/19

/200

2 11

1/19

/200

2 13

1/19

/200

2 15

1/19

/200

2 17

1/19

/200

2 19

1/19

/200

2 21

1/19

/200

2 23

1/20

/200

2 1

1/20

/200

2 3

1/20

/200

2 5

1/20

/200

2 7

1/20

/200

2 9

1/20

/200

2 11

1/20

/200

2 13

1/20

/200

2 15

1/20

/200

2 17

1/20

/200

2 19

1/20

/200

2 21

1/20

/200

2 23

1/21

/200

2 1

1/21

/200

2 3

1/21

/200

2 5

1/21

/200

2 7

1/21

/200

2 9

1/21

/200

2 11

1/21

/200

2 13

1/21

/200

2 15

1/21

/200

2 17

1/21

/200

2 19

1/21

/200

2 21

1/21

/200

2 23

1/22

/200

2 1

WAKTU (jam)

TING

GI M

UKA

AIR

(m)

24 jam

36 jam

48 jam

60 jam

72 jam

GRAFIK LAMA Tbi/Tbo vs LA M A GEN A N GA N f ( Tb i ) / LA M A GEN A N GA N f ( Tb o )

y = 1.1309x - 0.1298

R2 = 0.9989

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00

LA MA GEN A N GA N f ( Tb i ) / LA MA GEN A N GA N f ( Tb o )

Tb i

/Tb o

CTR 80 0 .62CTR 36 55.78CTR 42 93 .70Linear (CTR 8 00 .62 )

Page 56: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Yadi Suryadi

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 236

Agar diperhatikan juga parameter bentuk geometri dan elevasi tinggi tanggul dari penampang melintang sungai .

Agar penelitian ini dilanjutkan dengan sarana dua dimensi yang dapat mempresentasikan luapan air sungai menjadi limpasan ke daerah banjir dan dapat mengecek apakah lama terluapi sama dengan lama genangan di lahan ?

DAFTAR PUSTAKA 1. Chaudhry, M.H. “ Open-Channel Flow “,Prentice-

Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 1993.

2. Handout Notes, “ Workshop on Hydarulic Modelling Using Mike11”, Danish Hudraulic Institute.

3. McCuen, R.H. ” Hydrologic Analysis And Design” Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River, New Jersey, 1998

4. Raudkivi, A. J. “ Hydrology An Advanced Introduction to Hydrological Prosseses and Modelling, Pergamon Press, 1979.

Page 57: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Achmad Syarifudin, Ishak Yunus

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 237

Analisis Debit Banjir Sungai Lempuing Dalam Rangka Pengendalian Daya

Rusak Air

Achmad Syarifudin 1) Ishak Yunus 2) 1), 2) Dosen Fakultas Teknik Universitas Bina Darma Palembang

Abstract

Lempuing river has overtop from the bank becaused of the flood in 2004 and in december untill 2005. The flooding caused of rainfall, the drainage system and every major problem especially from this not for technic but non-technic. Therefor, by using the hydrologic and hydraulic and any usually hydro technic system method, the result of the study is short and long-term for Lempuing catchment are needed. Key words : Watersheed, river, regim, debit, program

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai Lempuing yang terletak di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) tepatnya di Kecamatan Lempuing. Sungai Lempuing merupakan sungai orde ketiga dari sungai Musi. Daerah ini dahulunya merupakan lahan rendah dan rawa-rawa, kemudian sejak dibangunnya jalur transportasi darat (jalan lintas timur), daerah ini berkembang pesat berikut berbagai sarana utama dan prasarana penunjang lainnya. Di Sub DAS Lempuing pada tahun 2004 akhir dan awal tahun 2005 terjadi banjir dengan jumlah kerugian yang cukup besar serta ribuan hektar sawah hancur. Banjir terjadi sebagai akibat alamnya juga akibat belum tertatanya dengan baik sistem jaringan sungai yang berfungsi sebagai jaringan drainase. Disamping itu masih adanya sungai/saluran drainase yang mempunyai endapan dan dipersempit lagi oleh adanya rerumputan menambah permasalahan. 1.2. Ruang Lingkup SWS Musi mencakup daerah tangkapan seluas lebih kurang 59.942 km2 (Sumber : Musi River Basin, 2003), yang terbagi menjadi beberapa wilayah Sub SWS, salah satunya adalah Sub SWS Komering (DAS Komering) dengan luas DAS 9.980 km2, panjang 190 km dan debit rerata sebesar 195 m3/det. Dengan melihat sistem sungai yang ada di SWS Musi, maka sungai Lempuing merupakan orde ketiga dari SWS Musi dengan panjang 127 km, luas DAS 2.800 km2 dan debit rata-rata 47,3 m3/det. Pada bagian Hulu Sungai Lempuing terdapat pertemuan 3 (tiga) sungai yaitu sungai Macak, Sungai Belitang dan Sungai Way Hitam sebelum masuk ke sungai Lempuing. Sedangkan ada satu lagi sungai sebelum sungai

Lempuing masuk ke sungai Komering yaitu sungai Burnai. II. METODOLOGI Dari data-data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk menentukan penyebab banjir, dengan analisis hidrologi, waktu konsentrasi, insensitas hujan, debit banjir rencana, analisis hidrometri dan flow routing, analisis tanah, kriteria desain dan hidrolika sungai. Metode Rasional adalah rumus perhitungan debit paling tua di dunia, dengan anggapan yang sangat sederhana. Debit adalah tinggi hujan per satuan waktu jatuh pada luasan tertentu.

AiCQp ..= (1) Qp adalah debit puncak (satuan volume per waktu), i adalah intensitas hujan (tinggi hujan per waktu), C koefisien yang tergantung pada kemampuan lahan menahan air dan A adalah luas (satuan luas). Asumsi dalam rumus ini adalah Intensitas hujan seragam diseluruh daerah dan Frekuensi banjir adalah sama seperti curah hujan. Asumsi-asumsi ini tidak tepat untuk luasan yang luas, sehingga penggunaan rumus rasional pada luasan terbatas, seperti perencanaan drainase (bukan sungai).

6,336001010 63 CiAC

CiACxQ ss ==

(2) dimana A dalam (km2) Rumus Rasional ditulis:

6,3AiCCQp S=

(3) dengan : Q = debit limpasan (m3/dt) C = koefisien pengaliran tergantung jenis permukaan Cs = koefisien koreksi Rasional modifikasi i = intensitas hujan rata-rata (mm/jam) untuk hujan

deras yang durasinya sama dengan waktu konsentrasi (Tc), untuk mendapatkan i tersedia kurve IDF terlampir.

A = Luas daerah yang dikeringkan (km2)

Page 58: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Achmad Syarifudin, Ishak Yunus

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 238

Bila A dalam satuan (ha), maka rumus diatas menjadi:

CiACCiACQ ss 00278,0

100.6,3==

(4) dimana A dalam (ha)

Berdasarkan hasil modifikasi Rumus Rasional oleh beberapa ahli menetapkan; nilai koefisien pengaliran (C) berdasarkan pengaruh luasan daerah kedap air:

CpA

AkAAkC )1(9,0 ++=

(5) dengan : C = koefisien pengaliran Ak = Luas daerah yang kedap (km, ha) A = Luas total daerah yang akan di keringkan (km,

ha) Cp = koefisien pengaliran daerah yang tidak kedap IZZARD’S menetapkan time of equalibrium (te) dalam menit untuk luasan kecil permukaan tanah tanpa saluran:

3/13/2

3/1 0007,041So

CribibLote +

== (6)

dengan : Lo = panjang aliran (feet), i = Intensitas hujan inches per hour dan So =

slope permukaan. 2.1 WAKTU KONSENTRASI (tc) Sesuai dengan penjelasan paragraf diatas penggunaan rumus rasional terbatas pada luasan yang kecil. Waktu konsentrasi untuk lahan yang alur-alur aliranya tidak kentara, seperti di DAS Lempuing disarankan menggunakan formula IZZARD’S (Water Resources Engineering, Linsley & Franzini 1979), rumus ini berkaitan dengan intensitas hujan yang terjadi. Untuk saluran dan sungai digunakan formula untuk mendapatkan waktu konsentrasi formula dari Kirpick, dimana pengaruh panjang sungai dan kelandaian sungai berpengaruh penting, Bransby-Williams menambah pengaruh luasan DAS, penggunaanya harus dilakukan dengan pertimbangan cermat. (1) KIRPICH ( 1940 )

385,077,001947,0 −= SLTC (7) Kirpich membuat rumus menggunakan pengaruh panjang sungai dan kelandaian. Tc = waktu konsentrasi (menit) L = panjang maksimum lintasan air (m)

S = kemiringan slope DAS = (∆H / L) (2) BRANSBY-WILLIAMS

2,01,0

604,0SA

LTc = (8)

dengan : L = panjang aliran (km), A = Luas catchment area (ha), S = Slope dan Tc dalam jam. III. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 3.1 ANALISIS DEBIT RENCANA Debit Rencana dipilih berdasarkan perhitungan Gama I untuk anak sungai dan Nakayasu untuk Sungai Lempuing. Tabel. 3.1. Debit Banjir Rencana

No Nama Sungai Debit Banjir Q10 (m3/dt)

1 Sungai Burnai 378,59 2 Sungai Macak 407,64 3 Sungai Belitang 420,86 4 Sungai Way Hitam 467,70 5 Sungai Lempuing SL.1 859.70 6 Sungai Lempuing SL.2 1076,59 7 Sungai Lempuing SL.3 1391,01

3.2. ANALISIS BANJIR

Ringkasan hasil analisis banjir disampaikan dalam tabel berikut: Tabel 3.2. Debit Banjir Rencana dan Kapasitas Alur

No Sungai Q10 (m3/det)

Kapasitas Alur (m3/det)

Kondisi

1 Burnai 378,59 37.22 Meluap 2 Macak 407,64 124.31 Meluap 3 Belitang 420,86 154.70 Meluap 4 Way Hitam 467,70 214.47 Meluap 5 Lempuing 1391,01 534.24 Meluap 3.3 ALTERNATIF PENGENDALIAN BANJIR Sistem penanganan masalah banjir Sub DAS Lempuing diproyeksikan sampai dengan tahun 2025 dengan mempertimbangkan perkembangan penduduk maupun sosial ekonomi masyarakat yang tinggi serta campur tangan pemerintah dapat disusun alternatip pengendalian banjir sebagai berikut :

3.3.1 Alternatif I Melakukan konservasi di daerah hulu sungai

Belitang dan Way Hitam dengan reboisasi. Manata normalisasi jaringan drainase sungai

Macak dan Normalisasi alur. Melakukan normalisasi sungai Lempuing dan

membuat kolam-kolam retensi pada daerah hulu sungai.

Page 59: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Achmad Syarifudin, Ishak Yunus

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 239

Meningkatkan kelembagaan dan pananganan non struktural serta pemberdayaan masyarakat.

3.3.2 Alternatif II Melakukan konservasi di hulu sungai Belitang dan

Way Hitam. Mempertahankan atau meningkatkan Sub DAS

Macak sebagai daerah retensi yang dilengkapi dengan bangunan pengatur banjir.

Melakukan normalisasi sungai Lempuing dan sungai Macak hilir untuk mengalirkan debit banjir rencana.

Meningkatkan sistem kelembagaan dan pananganan non struktural serta pemberdayaan masyarakat.

3.3.3 Alternatif III Melakukan konservasi lahan dengan merehabilitasi

hutan dan lahan kritis pada daerah hulu anak-anak sungai di Sub DAS Lempuing.

Penataan sistem jaringan drainase di daerah dataran yang rawan terhadap banjir pada anak sungai Lempuing yaitu sungai Belitang, sungai Macak, sungai Burnai.

Melakukan rehabilitasi atau peningkatan daerah retensi banjir yang ada di Sub DAS Lempuing.

Meningkatkan kapasitas alur sungai pada ruas-ruas sungai yang rawan terhadap banjir dengan periode ulang tertentu di Sub DAS Lempuing.

Meningkatkan sistem kelembagaan dan penanganan non struktural serta pemberdayaan masyarakat dalam program pengendalian banjir.

3.4 PEMILIHAN ALTERNATIF PENGENDALIAN

BANJIR Perubahan yang terjadi pada daerah aliran diatasnya serta pemanfaatan lahan bantaran sepanjang sungai dan belum tertatanya penggunaan lahan akan mengakibatkan terjadi perubahan alur sungai. Perubahan yang dimaksud antara lain : a. Berkurangnya hutan akibat penebangan tidak

terkendali, sehingga air hujan yang jatuh langsung pada lahan terbuka pada sub DAS dan daerah Irigasi, mengikis tanah dan terbawa menjadi angkutan sedimen sungai.

b. Sedimentasi sungai akibat aliran dari sungai kecil yang tidak / belum di normalisasi menimbulkan pendangkalan pada daerah inlet ke sungai utama (sungai Lempuing), membuat kestabilan dan morfologi sungai berubah.

c. Pemanfaatan lahan terutama daerah bantaran sungai yang tidak terkendali, khususnya pada daerah permukiman penduduk.

Dari beberapa alternatif pengendalian banjir Sungai Lempuing dengan kajian yang dilakukan baik terhadap faktor keuntungan maupun kerugian/kendala. Penanganan pengendalian banjir sungai Lempuing di

bagi berdasarkan kondisi bentuk Topografi DAS, besaran debit banjir, kapasitas palung sungai dan kelandaian sungai.

IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 KESIMPULAN 1. Terdapat kecenderungan meningkatnya nilai

kerugian akibat banjir yang terjadi di wilayah Sub DAS Lempuing sesuai dengan meningkatnya penanaman investasi dan kegiatan ekonomi serta sejalan dengan terjadinya peningkatan potensi dan ancaman banjir akibat perubahan tata guna lahan.

2. Kecenderungan kerugian tersebut harus segera diatasi dengan melakukan langkah-langkah penanganan secara menyeluruh dan terpadu yang tertuang dalam program-program jangka panjang, jangka menengah, maupun jangka pendek sesuai dengan hasil studi ini.

3. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka untuk menangani masalah banjir di wilayah Sub DAS Lempuing perlu dilakukan usaha-usaha penanganan yang paling optimal baik dari segi efektifitas teknis maupun efisiensi biaya seperti yang diuraikan dalam BAB V. Sebagai kesimpulan analisis, konsultan mengusulkan Alternatif III sebagai alternatif terpilih sebagai program mendesak dari Pola Penanggulangan Banjir di wilayah Sub DAS Lempuing dan akan terus dilakukan studi lanjut dalam rangka program terpadu dalam pembuatan Master Plan penanggulangan banjir secara menyeluruh dan terpadu.

4. Pola penanganan banjir seperti yang dimaksud dalam butir 3 diatas bersifat makro dengan jangkauan jangka menengah dan jangka panjang. Selanjutnya pola tersebut perlu dipertajam melalui kegiatan perencanaan lanjutan yang terpadu dan menyeluruh untuk seluruh sub DAS Lempuing dan keterkaitannya dengan DAS Komering bahkan mencakup keterkaitan DAS dan Sub DAS dalam lingkup SWS MUSI.

4.2 Saran Untuk menunjang keberhasilan Program Pengendalian Banjir di Sub Das Lempuing, konsultan memberi rekomendasi (saran-saran) bahwa masih diperlukan kegiatan-kegiatan lanjutan dan penunjang sebagai berikut : 7. Perlu segera dilakukan usaha pemantapan

program jangka menengah dan jangka panjang yang meliputi seluruh ruas sungai Lempuing dan anak-anak sungainya, bahkan tinjauan perlu diperluas hingga meliputi DAS Komering.

8. Pemasangan beberapa stasiun pencatatan aliran maupun curah hujan yang berada di sungai Lempuing dan anak-anak sungai untuk memonitor

Page 60: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Achmad Syarifudin, Ishak Yunus

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 240

dan mengevaluasi kondisi aliran yang terjadi di Sub DAS tersebut.

9. Penanganan Sub DAS Burnai yang merupakan daerah penyanggah (Buffer Zone) yang juga merupakan dataran rendah serta rawan terhadap banjir dengan melakukan survei identifikasi dan desain penanganan sistem drainase.

10. Untuk menunjang program konservasi lahan kritis diperlukan peningkatan koordinasi dengan dinas kehutanan untuk menyatukan program reboisasi di Sub DAS Lempuing serta melakukan penyuluhan dalam rangka pemberdayaan masyarakat.

11. Melakukan penyiapan penyusunan batas garis sempadan sungai yang ditindak lanjuti dengan pembuatan peraturan daerah (perda) serta penataan daerah dataran banjir dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

12. Untuk menjaga kelestarian lingkungan yang berkelanjutan, program penataan ruang harus dilaksanakan sesuai dengan rencana dan tidak boleh dilakukan asal jadi dan tidak sesuai dengan peruntukkan ruang seperti daerah resapan dan kawasan rawa alam sehingga tidak timbul permasalahan dan pelanggaran pemanfataan lahan yang akhirnya menimbulkan masalah.

13. Untuk penanganan terpadu diperlukan kerjasama lintas sektoral dan lintas batas administratif

kecamatan yang perlu diformalkan dalam peraturan daerah setingkat kabupaten maupun propinsi.

14. Penyiapan pembentukan wadah koordinasi SDA serta melakukan sosialisasi / pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap sumber air.

DAFTAR PUSTAKA 1. BZ Kinori, 2000, ” Manual of surface drainage

engineering Volume I & II ”, Elsevier publishing company, Amsterdam – London – New York.

2. Joesron Lubis dkk, 2004, ” Hidrologi sungai ”, Departemen PU

3. Les Sawatsky., M.Sc.P.Eng, 1993, ” Flood Control Manual Volume I, Summary of flood control creteria and guidlines ”, CDIA RI MPW.

4. P.Ph. Jansen, 1999, ” Principles of river engineering the non-tidal alluvial river ”, Pitman, London.

5. Sri Harto, 2002, ” Analisis Hidrologi ”, PAU-IT UGM Yogyakarta.

6. __________, 1997, ” PSDA ”, Penerbit Gunadarma jakarta.

Page 61: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Bambang Priyambodo

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 241

Banjir di Daerah Pantai Yang Mengalami Penurunan Tanah dan Dipengaruhi Oleh Peningkatan Muka Air Laut

(Studi Kasus Daerah Jakarta) Bambang Priyambodo

Konsultan Teknik dan Manajemen Sumberdaya Air

Abstrak Genangan akibat meluapnya air yang berasal dari sungai atau sering disebut banjir umumnya terjadi di wilayah hilir yang dapat menimbulkan dampak luar biasa terutama bagi kota-kota yang berkembang di daerah pantai. Dampak banjir dapat melumpuhkan kegiatan warga kota di semua sektor kegiatan. Akibat pembangunan yang pesat di kota-kota tersebut terjadilah ‘land subsidence’ terutama dikarenakan pengambilan air tanah yang berlebihan karena belum tersedianya air bersih yang memadai bagi penduduk kota tersebut. Kota-kota pinggir pantai juga menghadapi isue kenaikan muka air laut karena pemanasan global. Peningkatan muka air laut dapat mengubah garis pantai; dengan kejadian banjir pada daerah kota yang mengalami ‘land subsidence’ maka genangan banjir dapat ‘menenggelamkan’ kota tersebut. Hubungan banjir, ‘land subsidence’ dan peningkatan muka air laut di daerah pantai semacam inilah yang dipelajari dari penelitian ini. Dengan mengambil studi kasus daerah Jakarta, yang mempunyai dataran rendah seluas 40% wilayahnya, korelasi hubungan banjir yang sering terjadi di wilayah Jakarta dan adanya ‘land subsidence’ serta pengaruh peningkatan muka air laut di Teluk Jakarta dapat diketahui dengan jelas. Banjir yang terjadi di wilayah Jakarta disebabkan karena hujan yang lebat baik di daerah hulu Sungai Ciliwung dan hulu sungai-sungai lain yang masuk ke wilayah Jakarta maupun hujan lebat yang terjadi diatas kota Jakarta. Genangan banjir yang terjadi di kota Jakarta semakin meluas dari semula di wilayah dataran rendah tersebut menuju tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah mengalami banjir. Banjir yang terjadi pada tahun 2002 dijadikan input untuk mengetahui hubungan diatas. Kota Jakarta juga mengalami ‘land subsidence’ di beberapa tempat secara meyakinkan. Prediksi ‘land subsidence’ untuk masa yang akan datang dijadikan acuan dalam mempelajari hubungan diatas. Disamping itu, rencana pembangunan reklamasi pantai Jakarta menjadikan isue kenaikan muka air laut menjadi penting untuk dipelajari. Dari hasil pengamatan pasang-surut di Teluk Jakarta dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan peningkatan MA laut. Kecenderungan ini dikaitkan dengan prediksi adanya peningkatan MA laut global menurut IPCC untuk masa yang akan datang telah dijadikan acuan dalam mempelajari hubungan diatas. Hasil penelitian dalam mempelajari hubungan banjir, penurunan tanah dan peningkatan MA laut yang dilaksanakan melalui pemodelan aliran banjir (MIKE Flood) menunjukkan adanya korelasi yang tinggi terhadap meluasnya genangan banjir. Hubungan ketiganya dibangun melalui persamaan regresi. Dari hubungan tersebut dapat diketahui bahwa kontribusi ‘land subsidence’ terhadap luasnya genangan banjir lebih besar dibandingkan pengaruh peningkatan muka air laut dalam jangka pendek (tahun 2025 dan 2050). Namun, sebaliknya dalam jangka panjang (tahun 2100), kontribusi ’sea-level rise’ terhadap luasnya genangan banjir lebih besar dibandingkan pengaruh penurunan tanah. Kata kunci : penurunan tanah (land subsidence), peningkatan muka air laut (sea-level rise), pemodelan MIKE

Flood Pendahuluan Pesatnya laju pembangunan di kota-kota yang terletak di pinggir pantai seperti kota Jakarta, Semarang dan Surabaya menuntut berbagai kebutuhan bagi warganya. Kebutuhan tersebut antara lain adalah kebutuhan akan sarana lahan pemukiman dan bangunan dari yang sederhana sampai mewah dan kebutuhan dasar lainnya seperti air bersih. Umumnya kebutuhan-kebutuhan di atas sudah disediakan oleh Pemerintah tetapi nampaknya tidak cukup dan belum dipenuhi dengan baik. Kebutuhan akan papan misalnya, tidak cukup dengan bangunan sampai bertingkat dua melainkan sudah memerlukan gedung bertingkat banyak bahkan sampai katagori gedung pencakar langit.

Kebutuhan perluasan lahan juga semakin mendesak mengingat kepadatan penduduk sudah melampaui batas. Lahan tambahan diperlukan dengan cara reklamasi pantai dan lautnya. Demikian pula kebutuhan air bersih, tidak cukup disediakan oleh PDAM melalui pengolahan air permukaan, melainkan sudah memerlukan air tanah dengan cara pemompaan yang berlebihan. Interaksi berbagai kebutuhan di atas dapat menimbulkan dampak yaitu adanya penurunan tanah di lokasi bangunan atau kawasan gedung-gedung dan daerah-daerah yang melakukan pemompaan air tanah tanpa kendali.

Page 62: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Bambang Priyambodo

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 242

Kebutuhan lain di bidang industri kimia dengan mendirikan pabrik-pabrik (kimia) di zona industri yang disediakan dapat menyumbangkan pemanasan global sehingga berdampak terhadap peningkatan muka air laut (sea-level rise). Di lain pihak kondisi topografi daerah pantai yang umumnya berupa dataran rendah, yang dipenuhi pesatnya hasil pembangunan di atas, dapat menyumbangkan banjir di daerah kota meskipun hanya turun hujan ringan dan sedang. Banjir yang terjadi di daerah-daerah perkotaan yang mengalami penurunan tanah dapat dipastikan akan memperluas daerah genangan banjir. Demikian pula dampak peningkatan muka air laut yang terjadi di tempat yang sama seperti di

atas akan mempengaruhi luas genangan. Daerah-daerah yang semula tidak pernah mengalami banjir pada waktu yang lalu, saat ini sudah terjangkau genangan banjir. Artinya, lokasi dan genangan banjir makin meluas. Hubungan antara banjir dan dampak yang terjadi serta resiko banjir di daerah-daerah yang rawan terhadap penurunan tanah di atas dan kenaikan muka air laut akan dipelajari dalam penelitian ini. Latar belakang pemikiran dalam penelitian ini digambarkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Latar Belakang Penelitian, Masalah Banjir Pengaruh penurunan tanah (land subsidence) dan peningkatan muka air laut (sea-level rise) dipelajari dalam berbagai skenario pemodelan hydrodynamic untuk masa yang akan datang. Sebelumnya, ‘land subsidence’ akibat pengambilan air tanah melalui pemompaan yang berlebihan telah dipelajari melalui metoda-metoda empiris dan semi teoritis sehingga prediksi ‘land subsidence’ dapat digunakan dalam pemodelan diatas. Demikian pula ‘sea-level rise’, telah dipelajari sebelumnya melalui data pasang-surut yang tersedia. Terdapat kecenderungan peningkatan muka air laut di lokasi lokal (Jakarta) yang apabila dikaitkan dengan kecenderungan global dapat digunakan dalam prediksi peningkatan muka air laut dalam skenario pemodelan. Pengujian model dilakukan sejak pemodelan ‘rainfall-runoff’ melalui kalibrasi dan verifikasi debit banjir yang terjadi. Kalibrasi dan verifikasi juga dilakukan terhadap genangan yang terjadi (hydrodynamic model). Demikian pula dilakukan verifikasi terlebih dahulu terhadap data-data penurunan tanah dan kecenderungan peningkatan muka air laut sebelum digunakan sebagai salah satu faktor dalam skenario pemodelan.

Sebagai studi kasus digunakan banjir yang pernah terjadi pada tahun 2002 yang mengakibatkan terjadinya genangan yang luas diluar palung sungai. Hubungan banjir dan genangan yang terjadi melalui skenario pemodelan baik dengan atau tanpa penurunan tanah dan peningkatan muka air laut menghasilkan berbagai tinggi (elevasi) dan luas genangan. Hubungan ketiganya (banjir dan genangan, penurunan tanah dan peningkatan muka air laut) dipelajari melalui persamaan regresi. Kemudian ditentukan besarnya sumbangan masing-masing pengaruh penurunan tanah dan peningkatan muka air laut. Hasil dan Pembahasan Genangan banjir yang terjadi di Jakarta dijadikan obyek studi penelitian hubungan banjir dan genangan dimana kota Jakarta juga mengalami penurunan tanah dan dipengaruhi oleh peningkatan muka air laut. Debit banjir yang tercatat di bendung Katulampa (DAS Ciliwung) pada tahun 2002 digunakan dalam analisa hidrologi melalui pemodelan ‘rainfall-runoff’’. Data-data penampang memanjang sungai Ciliwung

HUJANDi Daerah Aliran

Sungai dari HULU sampai HILIR

Pesatnya

PEMBANG UNAN K OTA PA NTA I

Dengan segalaaspeknya

Tata G una Tanah Koef. R UNO FF

Kebutuhan AIR B ersih melalui

PEMOMPAA N A IR TANAH yang

berlebihan

Kebutuhan LAHAN dengan caraREKLA MASI

KebutuhanBANGUNAN /

GEDUNG-GEDUNG

BA

NJ

IR

LAND SUBSIDENCE Penurunan Tanah

SEA-LEVEL RISE Peningkatan MA

Laut

Kondisi Fisik/Topografi Daerah Pantai/Dataran Rendah

Page 63: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Bambang Priyambodo

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 243

dari Katulampa sampai Jakarta dan juga 12 sungai lainnya yang masuk wilayah Jakarta diperoleh dari Proyek Induk PWS Ciliwung – Cisadane. Peta digital skala 1:1000 diperoleh dari Bakosurtanal. Melalui pemodelan MIKE Flood diperoleh peta genangan, tinggi dan luas genangan. Pemodelan dilaksanakan pada sistem sungai Barat yaitu sistem sungai Angke, Pesanggrahan dan Cengkareng Drain melalui berbagai skenario utama yaitu kondisi awal, skenario ‘land subsidence’ dan skenario ‘sea-level rise’. Untuk kondisi awal digunakan data-data peta topografi yang sudah ada dengan kondisi banjir 2002 dan pasang-surut di muara sungai pada saat kejadian banjir. Untuk skenario ‘land subsidence’ kondisi banjir dan pasang-surut adalah sama seperti kondisi awal hanya kecuali peta topografi sudah dimodifikasi sesuai prediksi ‘land subsidence’. Nilai-nilai prediksi yang digunakan dalam pemodelan dengan menurunkan kontur peta topografi adalah 70cm (tahun 2025), 78cm (tahun 2050) dan 89cm (tahun 2100). Untuk skenario ‘sea-level rise’ digunakan hasil studi Tysa Meliana (2005) dengan menggunakan data yang lebih panjang di Tanjung Priok (1925 – 2003) yang menunjukkan adanya peningkatan muka air laut sebesar 5,7 mm/tahun. Hasil ini cukup ’significant’ dibandingkan dengan hasil studi Tim ITB tahun 1990 yang mendapatkan angka 4,4 mm/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan muka air laut selama kurun waktu 15 tahun (1990 – 2005). Perhitungan pengaruh global dan lokal adalah mengikuti metoda probability Titus, et al (1996) dengan 3 asumsi

laju lokal (historic rate trend) yaitu lokal Jakarta (nol dan 5,7 mm/tahun) dan Honolulu Hawaii (1,6 mm/th). Hasil perhitungan menunjukkan kisaran ‘sea-level rise’ yang dapat digunakan di Teluk Jakarta sesuai dengan tahun prediksi global, yaitu sebagai berikut : Tahun SLR (cm) rata-rata SLR(cm) prob.1% 2025 5 – 25 19 - 39 2050 10 – 44 35 – 69 2100 25 – 88 92 - 155 Gambaran peta genangan sistem sungai Barat untuk berbagai skenario diatas dapat dilihat pada Gambar 2, 3 dan 4. Gambar 3 adalah hasil-hasil skenario jika terjadi penurunan tanah di wilayah Jakarta Barat sebesar rata-rata 70 cm di tahun 2025, 78 cm di tahun 2050 dan pada tahun 2100 sebesar rata-rata 89 cm. Sedangkan Gambar 4 adalah peta genangan hasil skenario jika terjadi peningkatan muka air laut sebesar nilai prediksi yaitu 25 cm di tahun 2025, 44 cm di tahun 2050 dan pada tahun 2100 sebesar 88 cm.

Gambar 2 Kondisi awal

Gambar 3 Skenario ‘land subsidence’

Gambar 4 Skenario ‘sea-level rise’

Tinggi dan luas genangan untuk berbagai skenario diatas, dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6 di bawah ini.

686000 688000 690000 692000 694000 696000

-672000

-671000

-670000

-669000

-668000

-667000

-666000

-665000

-664000

-663000

-662000

-661000

-660000

-659000

-658000

MzResultView3sken4

H Water Depth m [m]Above 56

52 - 5648 - 5244 - 4840 - 4436 - 4032 - 3628 - 3224 - 2820 - 2416 - 2012 - 168 - 124 - 80 - 4

Below 0Undefined Value

01/29/02 21:15:00, Time step 61 of 61686000 688000 690000 692000 694000 696000

-672000

-671000

-670000

-669000

-668000

-667000

-666000

-665000

-664000

-663000

-662000

-661000

-660000

-659000

-658000

MzResultView3sken4

686000 688000 690000 692000 694000 696000

-672000

-671000

-670000

-669000

-668000

-667000

-666000

-665000

-664000

-663000

-662000

-661000

-660000

-659000

-658000

MzResultView2sken6

H Water Depth m [m]Above 3532.5 - 35

30 - 32.527.5 - 30

25 - 27.522.5 - 25

20 - 22.517.5 - 20

15 - 17.512.5 - 15

10 - 12.57.5 - 10

5 - 7.52.5 - 5

0 - 2.5Below 0Undefined Value

01/30/02 01:45:00, Time step 79 of 79686000 688000 690000 692000 694000 696000

-672000

-671000

-670000

-669000

-668000

-667000

-666000

-665000

-664000

-663000

-662000

-661000

-660000

-659000

-658000

MzResultView2sken6

686000 688000 690000 692000 694000 696000

-672000

-671000

-670000

-669000

-668000

-667000

-666000

-665000

-664000

-663000

-662000

-661000

-660000

-659000

-658000

MzResultView1sken8

H Water Depth m [m]Above 32.75 - 32.5 - 2.75

2.25 - 2.52 - 2.25

1.75 - 21.5 - 1.75

1.25 - 1.51 - 1.25

0.75 - 10.5 - 0.75

0.25 - 0.50 - 0.25

-0.25 - 0-0.5 - -0.25

Below -0.5Undefined Value

01/30/02 00:45:00, Time step 75 of 75686000 688000 690000 692000 694000 696000

-672000

-671000

-670000

-669000

-668000

-667000

-666000

-665000

-664000

-663000

-662000

-661000

-660000

-659000

-658000

MzResultView1sken8

686000 688000 690000 692000 694000 696000

-672000

-671000

-670000

-669000

-668000

-667000

-666000

-665000

-664000

-663000

-662000

-661000

-660000

-659000

-658000

MzResultView4sken10

H Water Depth m [m]Above 3

2.8 - 32.6 - 2.82.4 - 2.62.2 - 2.4

2 - 2.21.8 - 21.6 - 1.81.4 - 1.61.2 - 1.4

1 - 1.20.8 - 10.6 - 0.80.4 - 0.60.2 - 0.4

Below 0.2Undefined Value

01/29/02 19:40:00, Time step 82 of 73686000 688000 690000 692000 694000 696000

-672000

-671000

-670000

-669000

-668000

-667000

-666000

-665000

-664000

-663000

-662000

-661000

-660000

-659000

-658000

MzResultView4sken10

686000 688000 690000 692000 694000 696000

-672000

-671000

-670000

-669000

-668000

-667000

-666000

-665000

-664000

-663000

-662000

-661000

-660000

-659000

-658000

MzResultView2sken12

H Water Depth m [m]Above 10.4

9.6 - 10.48.8 - 9.6

8 - 8.87.2 - 86.4 - 7.25.6 - 6.44.8 - 5.6

4 - 4.83.2 - 42.4 - 3.21.6 - 2.40.8 - 1.6

0 - 0.8-0.8 - 0

Below -0.8Undefined Value

01/29/02 18:10:00, Time step 73 of 73686000 688000 690000 692000 694000 696000

-672000

-671000

-670000

-669000

-668000

-667000

-666000

-665000

-664000

-663000

-662000

-661000

-660000

-659000

-658000

MzResultView2sken12

686000 688000 690000 692000 694000 696000

-672000

-671000

-670000

-669000

-668000

-667000

-666000

-665000

-664000

-663000

-662000

-661000

-660000

-659000

-658000

MzResultView2sken14

H Water Depth m [m]Above 4.4

4 - 4.43.6 - 43.2 - 3.62.8 - 3.22.4 - 2.8

2 - 2.41.6 - 21.2 - 1.60.8 - 1.20.4 - 0.8

0 - 0.4-0.4 - 0-0.8 - -0.4-1.2 - -0.8

Below -1.2Undefined Value

01/29/02 17:30:00, Time step 69 of 69686000 688000 690000 692000 694000 696000

-672000

-671000

-670000

-669000

-668000

-667000

-666000

-665000

-664000

-663000

-662000

-661000

-660000

-659000

-658000

MzResultView2sken14

686000 688000 690000 692000 694000 696000

-672000

-671000

-670000

-669000

-668000

-667000

-666000

-665000

-664000

-663000

-662000

-661000

-660000

-659000

-658000

MzResultView2sken2

H Water Depth m [m]Above 2.25

2.1 - 2.251.95 - 2.11.8 - 1.95

1.65 - 1.81.5 - 1.65

1.35 - 1.51.2 - 1.35

1.05 - 1.20.9 - 1.05

0.75 - 0.90.6 - 0.75

0.45 - 0.60.3 - 0.45

0.15 - 0.3Below 0.15Undefined Value

01/29/02 19:20:00, Time step 80 of 80686000 688000 690000 692000 694000 696000

-672000

-671000

-670000

-669000

-668000

-667000

-666000

-665000

-664000

-663000

-662000

-661000

-660000

-659000

-658000

MzResultView2sken2

Page 64: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Bambang Priyambodo

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 244

Gambar 5 Tinggi-Luas Genangan Perbandingan Jangka Pendek

Gambar 6 Tinggi-Luas Genangan Perbandingan Jangka Panjang Dari Gambar 5 dapat diambil kesimpulan bahwa pengaruh ’land subsidence’ terhadap luasnya genangan banjir lebih besar dari pada pengaruh ’sea-level rise dalam jangka pendek. Sebaliknya dari Gambar 6 dapat disimpulkan bahwa dalam jangka panjang (tahun 2100) pengaruh ’sea-level rise’ lebih besar dari pada pengaruh ’land subsidence’. Kesimpulan 1. Tinggi dan luas genangan banjir dipengaruhi oleh

terjadinya penurunan tanah dan peningkatan muka air laut

2. Penelitian hubungan banjir dan genangan yang terjadi di daerah pantai seperti Jakarta yang mengalami penurunan tanah dan juga dipengaruhi oleh pasang-surut dan peningkatan muka air laut menunjukkan korelasi yang ‘significant’.

3. Penurunan tanah yang terjadi di kota Jakarta telah menyumbang terjadinya banjir yang makin meluas. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa penurunan tanah dan peningkatan muka air laut masing-masing menyumbang terjadinya genangan banjir. Sumbangan ’land subsidence’ terhadap genangan banjir, dalam jangka pendek, lebih dominan dibandingkan sumbangan ’sea-level rise’. Namun

sebaliknya, dalam jangka panjang (tahun 2100) sumbangan ’sea-level rise’ terhadap genangan banjir lebih dominan 49% dari pada sumbangan ’land subsidence’.

4. Hasil simulasi dengan menggunakan piranti lunak (software) MIKE Flood yang berbasis GIS (Geographical Information System) yaitu pemodelan banjir melalui alur sungai dan daerah genangan menunjukkan bahwa genangan terkonsentrasi pada kawasan perumahan dan industri dan menyebar sesuai dengan kondisi topografi. Hubungan antara tinggi dan luas genangan lebih selaras mengikuti fungsi logaritmik jika dipandang X sebagai elevasi (Y=a.Ln(X) + b) dengan Y = luas genangan (m2), a dan b = konstanta

Saran Berikut adalah saran-saran yang perlu dilaksanakan lebih lanjut untuk mendukung hasil penelitian ini : 1. Memantau penurunan tanah (settlement) akibat

bangunan gedung tinggi agar sumbangan ’settlement’ dapat diketahui dengan benar dibandingkan dengan ’subsidence’ akibat penurunan MAT/pemompaan air tanah.

Grafik Tinggi - Luas Genangan Banjir (Jangka Pendek)

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Elevasi (m)Lu

as (H

a)

LSx

SLRxasli

Grafik Tinggi - Luas Genangan (Jangka Panjang)

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Elevasi (m)

Luas asli

LSz

SLRz

Page 65: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Bambang Priyambodo

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 245

2. Pemasangan patok BM (Bench Mark) untuk pemantauan diatas dibuat lebih rapat dengan kerapatan 1 BM/km2 untuk kawasan perumahan, gedung perkantoran dan industri, baik oleh Pemda DKI Jakarta maupun oleh Pengembang/Developer.

3. Untuk mengurangi dampak pengempangan (backwater) dari air pasang maupun peningkatan muka air laut (sea-level rise) disarankan bentuk geometri muara dipertahankan atau dikembalikan ke bentuk alami yaitu melebar kearah laut (lidah laut). Demikian juga setiap kegiatan reklamasi muara atau pantai harus mempertahankan kondisi muara sungai yaitu bentuk geometri lidah laut yang merupakan kepemilikan (properties) alami muara sungai.

4. Untuk mengurangi beban banjir dari hulu (DAS Ciliwung dan sungai lainnya) disarankan membuat waduk besar di kawasan Bopuncur, seperti rencana waduk Ciawi dan merehabilitasi situ-situ yang ada. Upaya ini adalah yang paling efektif mengurangi masalah banjir Jakarta sekaligus menjaga kelestarian (konservasi) air tanah Jakarta melalui resapan dasar waduk dan situ (recharge).

5. Skenario peningkatan muka air laut yang juga merupakan isu global dunia perlu dipertimbangkan dalam kajian penelitian didaerah pantai lain.

Daftar Pustaka 1. Abidin, H.Z. (2000), Beberapa Pemikiran Tentang

Sistem dan Kerangka Referensi Koordinat untuk DKI Jakarta, Jurnal Surveying dan Geodesi, Vol.X, No.3, 32 – 41

2. Anonymous, (2005), MIKE 21 FLOW MODEL, Hydrodynamic Module, User Guide, Danish Hydraulic Institute

3. Anonymous, (2005), MIKE 21 FLOW MODEL, Hydrodynamic Module, Step-by-step Training Guide, Danish Hydraulic Institute

4. Anonymous, (2005), MIKE 21 FLOW MODEL, Hydrodynamic Module, Scientific Documentation, Danish Hydraulic Institute

5. Anonymous, (2004), MIKE ZERO, Short Introduction, Danish Hydraulic Institute

6. Anonymous, (2004), PLOT COMPOSER, Generic Component, Danish Hydraulic Institute

7. Anonymous, (2004), MIKE FLOOD, 1D-2D Modelling, User Manual, Danish Hydraulic Institute

8. Anonymous, (2002), MIKE 11 User Guide, Danish Hydraulic Institute

9. Anonymous, (2001), MIKE 11 GIS, Floodplain Mapping & Analysis, User Guide, Danish Hydraulic Institute

10. Anonymous, (2001), Climate Change 2001 Mitigation – Summary for Policymakers and Technical Summary, IPCC0003

11. Anonymous, (2001), Climate Change 2001 Synthesis Report, IPCC0005E

12. Anonymous, (2001), Climate Change 2001 IPCC Third Assessment Report, CD-ROM

13. Anonymous, (1999), Laporan Akhir Studi Pengaruh Pemompaan Air Bawah Tanah Terhadap Land Subsidence dan Intrusi Air Laut, Desember, LPM ITB

14. Anonymous, (1998), Groundwater Development Constraints in Layered Coastal Aquifers, Seminar and Workshop Groundwater Quality Monitoring and Aquifer Control in Indonesia, March, British Geological Survey & Binnie Black and Veath

15. Anonymous, (1998), Bapedal-DFID Project Conference Report, Seminar dan Lokakarya Sistem Pemantauan Kualitas Air Tanah dan Perlindungan Akuifer di Indonesia, March, British Geological Survey & Binnie Black and Veath

16. Anonymous, (1998), Laporan Hasil Survey/Pengukuran Elevasi Dalam Rangka Pengamatan Penurunan Tanah di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, PT (Persero) Pelabuhan Indonesia III Cabang Tg.Emas - CV Mitra Muda Rekayasa Semarang

17. Anonymous, (1998), Laporan Hasil Pemantauan Daerah Amblesan di Wilayah DKI Jakarta, Februari, Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan.

18. Anonymous, (1997), Final Report : The Study on Comprehensive River Water Management Plan in Jabotabek, Volume III, IV dan V, March, Nikken Consultants, Inc & Nippon Koei Co,Ltd.

19. Anonymous, (1992), MIKE 11 Reference Manual, Danish Hydraulic Institute

20. Anonymous, (1990), NAM Documentation & User’s Guide, Danish Hydraulic Institute

21. Anonymous, (1986), Floodplain Development Manual, December, New South Wales Government.

22. Anonymous, (1973), Master Plan Drainage and Flood Control Jakarta, Main Report, Nedeco

23. Anonymous, (1969), Land Subsidence in Tokyo, Tokyo Metropolitan Government

24. Archiving, Validation & Interpretation of Satellite Oceanographic data, (2005), http://www.aviso.oceanobs.com/

25. Ayers, M.A., Wolock, D.M., McCabe, G.J., Hay, L.E and Tasker, G.D. (1994), Sensitivity of Water Resources in the Delaware River Basin to Climate Variability and Change, USGS Water Supply Paper 2422.

26. Blodgett, J.C., Ikehara, M.E and Williams, G.E. (1990), Monitoring Land Subsidence in Sacramento Valley, California, Using GPS, Journal of Surveying Engineering, Vol.116, No.2, May 1990, pp 112-130.

27. Chen, Chongxi., Pei, Shunping., Jiao, J.J. (2002), Land Subsidence caused by Groundwater

Page 66: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Bambang Priyambodo

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 246

Exploitation in Suzhou City, China, Hydrogeology Journal (2003), 11: 275 – 287.

28. Darmawan, D., Abidin, H.Z., Djaja, R., Kusuma, M.A., Meilano, I., Gamal, M., (2000), Strategi Pengolahan Data GPS untuk Pemantauan Penurunan Tanah : Studi Pereduksian Bias Atmosfir, Jurnal Surveying dan Geodesi, Vol.X, No.2, 35 – 47

29. Djaja, R. (2000), Perubahan MSL di Tanjung Priok, Jurnal Ilmiah Geomatika, Vol 6, No.1, 43-52

30. Dunn, I.S., Anderson, L.R., Kiefer, F.W. (1980), Fundamentals of Geotechnical Analysis, John Wiley & Sons, Inc.

31. Gambolati, G., Teatini, P., Tomasi L., Gonella, M., Yu, C.S and Decouttere, C., Flood Risk Analysis in the Upper Adriatic Sea Due to Sea Level Rise and Land Subsidence, Conference Proceeding Part of Managing Water Coping with Scarcity and Abundance, pp 621-626

32. Gibbons, R. D. (1994), Statistical Methods for Groundwater Monitoring, John Wiley & Sons, Inc.

33. Gunther, W.H. (1997), Peta Jalan dan Indeks Jakarta Jabotabek, Edisi 97/98, Jakarta.

34. Hadikusumah, (1992), Study on Sea-Level Rise in the Western Indonesia, International Symposium on Equarorial Atmosphere Observation over Indonesia, Jakarta.

35. Hadikusumah, Studi Perubahan Muka Air Laut di Cilacap, Jawa Tengah, pp 88-97, Balai Penelitian & Pengembangan Oseanografi Puslitbang Oseanologi LIPI.

36. Haji, T.S. (2005), Integrasi Model Hidrologi Sebar Keruangan dan SIG Untuk Prognosa Banjir Daerah Aliran Sungai, Disertasi Doktor, Institut Teknologi Bandung, Bandung

37. Hasanudin, A. (2004), Pengaruh Tata Guna Lahan dan Kondisi Permukaan Tanah Terhadap Aliran Permukaan Menggunakan Model Parameter Terdistribusi (Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu), Disertasi Doktor, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

38. Hirose, K., Maruyama, T., Murdohardono, D., Effendi, A., Abidin, H.Z. (2001), Land Subsidence Detection Using JERS-1 SAR Interferometry, Jurnal Surveying dan Geodesi, Vol.XI, No.3, 9 – 14

39. Hockin, D.L (1962), Chapter 22 : Mining Subsidence and Land Drainage Remedial Measures.

40. Hutasoit, L.M, (2001), Kemungkinan Hubungan Antara Kompaksi Alamiah Dengan Daerah Genangan Air di DKI Jakarta, Jurusan Teknik Geologi ITB – Dinas Pertambangan DKI Jakarta, Kumpulan Makalah Seminar Sehari : Tinjauan Geologi Terhadap Daerah Genangan di Wilayah Propinsi DKI Jakarta, Bandung 5 April 2001.

41. Intergovernmental Panel on Climate Change, (2005), http://www.ipcc.ch/

42. JASON Satelite, (2005), http://www.jason.oceanobs.com

43. Jayaputra, A. (1999), Penurunan Muka Tanah dan Faktor Beban Permukaan, Daerah Jakarta.

44. John-Daly, (2005), http://www.john-daly/elnino.htm

45. Komar, P.D. (1976), Beach Process & Sedimentation : Chapter 6 Changing Levels of Sea and Land, pp 147 – 166, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.

46. Laboratoire d’Etudes en Geophysique et Oceanographie Spatiales, (2005), http:// www.legos.obs-mip.fr/ Lisitzin, E. (1974), Sea-Level Changes, Elsevier Oceanography Series, 8.

47. Manurung, P. (2004), Permanent Sea Level Monitoring in Indonesia, Bakosurtanal

48. Murty, T.S. (1992), Effect of Sea Level Rise on Bays and Estuaries, Journal of Hydraulic Engineering, Vol.118, No.1, pp 1-10.

49. National Aeronautics and Space Administration, (2005), http:// mynasadata.larc.nasa.gov/data.html

50. National Oceanic and Admospheric Administration, (2005), http:// www.pmel.noaa.gov/tao/elnino/nino-home.html

51. Ongkosongo, Otto S.R., dan Suyarso, Penyunting, (1989), Pasang – Surut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta

52. Ongkosongo, Otto S.R. (1993), Complementing Factors to Sea-Level Rise Impacts in Indonesia, Malaysian Journal of Tropical Geography, 24(1/2), 103 – 106

53. Ongkosongo, Otto S.R. (1993), Evolution and Dynamics of the Citarum Delta, West Java, and Predicted Effects of a Rising Sea Level, Malaysian Journal of Tropical Geography, 24(1/2), 89 – 93

54. Ongkosongo, Otto S.R., and Effendi, L. (1993), Environmental Changes with a Rising Sea Level on the Coast of Batam Island, Malaysian Journal of Tropical Geography, 24(1/2), 99 - 101

55. Peerbolte, E.B., and Wind, H.G. (1994), Flood and Erosion Control in the Context of Sea-Level Rise, pp 3193, 24th International Conference on Coastal Engineering, Kobe, Japan.

56. Permanent Service for Mean Sea Level, (2005). http://www.pol.ac.uk/psml/index.html

57. Poland, J.F., Editor, (1984), Guidebook to Studies of Land Subsidence due to Ground-water Withdrawal, Unesco

58. Priyambodo, B. (2001), Banjir Jakarta dan Masalahnya, Pertemuan Ilmiah Tahunan ke XVIII, HATHI, Malang, Jawa Timur

59. Priyambodo, B. (2002), Reklamasi dan Banjir Jakarta, Kompas Rabu 23 Januari 2002

60. Priyambodo, B. (2002), Manajemen Banjir Jakarta Menuju Manajemen DAS, Seminar -

Page 67: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Bambang Priyambodo

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 247

Diskusi Panel Manajemen dan Pengendalian Banjir Jakarta, Inkindo, Jakarta

61. Priyambodo, B. (2005), Cooperation Agreement, Public-Private Partnership (P3) in Urban Water Supply, Jakarta Indonesia Case Study, The Second Southeast Asia Water Forum, Denpasar, Bali

62. Soetrisno, S., Satriyo, H., Haryadi, T. (1997), To Anticipate Impacts of Reclamation of Jakarta Bay, Workshop Paper, June

63. Soetrisno, S. (1995), Ketersediaan Air Sebagai Faktor Penentu Pengembangan Lahan Reklamasi Pantai Jakarta, Simposium Nasional Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia, November

64. Suyarso, and Subardi, (1993), The Effect of a Rising Sea Level on the Eroding Coasts of West Kalimantan, Malaysian Journal of Tropical Geography, 24(1/2), 95 - 98

65. Titus, J.G., and Narayanan, V.K. (1995), The Probability of Sea Level Rise, US EPA

66. Tjasyono, H.K. Bayong, (2003), Geosains, Penerbit ITB, Bandung

67. University of Hawai’I Sea Level Center, (2005), http://www.soest.hawaii.edu/UHSLC/

68. Viles, H., and Spencer, T. (1995), Coastal Problems : Geomorphology Ecology and Society at the Coast, Edward Arnold, HH Plc, London

69. Wiratmo, J. (1998), Sudah Benarkah Pemahaman Anda tentang La Nina dan El Nino?, Penerbit ITB, Bandung

70. Windupranata, W., Mihardja, D.K., Fitrianto, M.S., Stevanus, F., (2001), Analisis Tinggi Muka Air Laut di Samudera Hindia, Perairan Indonesia dan Samudera Pasifik Serta Kaitannya Dengan Fenomena El-Nino dan La-Nina, Jurnal Surveying dan Geodesi, Vol.XI, No.1, 1 – 10

71. Zeidler, R.S. (1994), Sea Level Rise and Coast Evolution in Poland, pp 612-613, 24th International Conference on Coastal Engineering, Kobe, Japan.

Page 68: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Halaman Kosong

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 248

Page 69: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Istiarto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 249

Pengaruh Jembatan Srandakan I terhadap Gerusan Lokal di Sekitar Pilar Jembatan Srandakan II Yogyakarta

Istiarto Jurusan Teknik Sipil FT UGM

ABSTRAK Menyusul pembangunan Jembatan Srandakan II di hilir jembatan lama (Jembatan Srandakan I) yang mengalami

kegagalan pilar, timbul kekhawatiran bahwa jembatan lama berpotensi membahayakan jembatan baru. Simulasi pola aliran dengan model matematik dan prediksi gerusan lokal dengan persamaan empiris dipakai untuk menelaah pengaruh jembatan lama terhadap jembatan baru. Hasil kajian menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan potensi gerusan lokal di sekitar pilar jembatan baru yang ditimbulkan oleh keberadaan jembatan lama.

Kata kunci : Gerusan Lokal

Latar Belakang Jembatan Srandakan merupakan prasarana transportasi untuk menyeberangi S. Progo, menghubungkan Kecamatan Srandakan di Kabupaten Bantul dan Kecamatan Galur di Kabupaten Kulon Progo, lebih kurang 30 km dari Kota Yogyakarta ke arah barat daya. Jembatan ini merupakan bagian vital prasarana transportasi jalur selatan Yogyakarta, jalur yang tempo doeloe dikenal sebagai Jalan Daendels. Pada tahun 2000, Jembatan Srandakan mengalami kegagalan. Dua dari 58 pilar jembatan amblas ke dalam tanah dan diikuti dengan runtuhnya tiga bentang jembatan di atasnya. Kegagalan ini diakibatkan oleh degradasi dasar sungai, gerusan lokal di sekitar pilar, serta kenaikan beban lalu lintas. Groundsill telah dibangun di hilir jembatan untuk mengembalikan dasar sungai ke taraf awal sebelum degradasi dan mencegah degradasi lebih lanjut.

Jembatan baru, Jembatan Srandakan II, tengah dibangun di hilir jembatan lama, yang saat ini dikenal sebagai Jembatan Srandakan I (Gambar 1). Pembangunan Jembatan Srandakan II akan diikuti dengan pembongkaran (demolisi) Jembatan Srandakan I. Hal ini didorong oleh kekhawatiran bahwa Jembatan Srandakan I secara hidraulis akan mengganggu Jembatan Srandakan II. Pola aliran yang terbentuk oleh keberadaan jembatan lama diduga akan memperbesar ancaman gerusan lokal pada pilar jembatan baru. Saat ini, timbul pertanyaan mengenai kebenaran kekhawatiran tersebut. Di samping itu, ada keinginan untuk mempertahankan Jembatan Srandakan I mengingat muatan historisnya yang panjang, manfaatnya untuk melayani lalu lintas ringan, serta keberadaannya sebagai peringatan bahaya degradasi dasar sungai dan gerusan lokal terhadap keamanan jembatan.

Gambar 1. Situasi S. Progo di Jembatan Srandakan I dan Srandakan II

Groundsill Srandakan

Jembatan Srandakan I Jembatan Srandakan II

Page 70: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Istiarto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 250

Makalah ini memaparkan kajian hidraulis pengaruh Jembatan Srandakan I terhadap kedalaman gerusan lokal di sekitar pilar Jembatan Srandakan II. Kedalaman gerusan dihitung dengan beberapa persamaan empiris yang pernah dilaporkan, antara lain persamaan-persamaan Shen, Breusers, Raudkivi, CSU, dan Froehlich. Kedalaman dan kecepatan aliran dalam hitungan kedalaman gerusan diperoleh melalui simulasi aliran dengan model matematik satu dan dua dimensi. Hasil kajian ini menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk membongkar atau mempertahankan Jembatan Srandakan I. Gerusan Lokal di Sekitar Pilar Jembatan Mekanisme Gerusan Lokal Gerusan lokal di sekitar pilar jembatan difahami sebagai akibat interaksi antara aliran, pilar jembatan, serta sedimen di dasar sungai. Keberadaan pilar jembatan akan menghambat aliran dan membelokkan arah aliran ke bawah dan ke samping pilar. Aliran ke bawah di depan pilar, dikenal sebagai downward flow, ditengarai sebagai inisiator terjadinya gerak butir sedimen di dekat pilar. Di dasar sungai di sekeliling pilar, terbentuk pusaran arus yang sering disebut sebagai pusaran tapal kuda (horseshoe vortex). Pusaran ini ditengarai sebagai agen pembawa butir sedimen di sekeliling pilar ke arah hilir. Gerusan lokal akan meninggalkan lubang gerusan yang berbentuk cekungan dengan kemiringan lubang gerusan lebih kurang sama dengan sudut geser dalam butir sedimen. Lubang gerusan berbentuk oval mirip tapal kuda jika dilihat dari atas. Tidak semua kondisi aliran akan menimbulkan gerusan lokal. Arus lemah dengan kecepatan aliran rendah tidak mengakibatkan gerusan lokal. Menurut berbagai laporan penelitian, gerusan di sekitar pilar jembatan diawali pada saat kecepatan aliran lebih kurang sama dengan separuh kecepatan kritik awal gerak butir sedimen pada kondisi aliran seragam tanpa pilar jembatan. Seiring dengan meningkatnya kecepatan aliran, kedalaman gerusan di muka pilar akan semakin dalam dan mencapai puncaknya pada saat kecepatan aliran sama dengan kecepatan kritik awal gerak butir sedimen. Dalam kajian gerusan lokal di sekitar pilar jembatan, mekanisme gerusan dibedakan menjadi gerusan tanpa angkutan sedimen (clear-water scour) dan gerusan dengan angkutan sedimen (live-bed scour). Gerusan lokal tanpa angkutan sedimen adalah proses gerusan yang menunjukkan transpor sedimen keluar dari lubang gerusan tanpa ada transpor sedimen masuk kedalam lubang gerusan. Gerusan lokal dengan angkutan sedimen adalah proses gerusan yang menunjukkan adanya transpor sedimen keluar dari dan masuk kedalam lubang gerusan. Sedimen yang masuk kedalam lubang gerusan berasal dari transpor sedimen dari hulu jembatan. Gerusan lokal dengan angkutan sedimen, dengan demikian, terjadi apabila aliran sungai di sisi hulu jembatan dibarengi dengan transpor sedimen.

Kedalaman Gerusan Lokal Pada kasus sederhana, yaitu pilar tunggal berbentuk silinder yang berada pada saluran lebar bertampang segiempat yang memiliki material dasar saluran non-kohesif (pasir), serta aliran seragam, permanen, dan arah aliran tegak lurus pilar, maka kedalaman gerusan lokal merupakan fungsi dari: rapat massa dan viskositas air, rapat massa dan diameter butir sedimen, kedalaman aliran, kemiringan dasar saluran, percepatan gravitasi, dan diameter pilar. Berbagai persamaan telah dilaporkan oleh banyak ahli untuk memperkirakan kedalaman gerusan lokal di sekitar pilar jembatan. Dari penelusuran berbagai persamaan yang telah dilaporkan, Graf dan Altinakar (1998) merangkum persamaan-persaman untuk memperkirakan kedalaman gerusan lokal sebagai berikut: Persamaan Shen, berlaku pada kasus gerusan lokal tanpa angkutan sedimen.

619.000022.0 ⎟⎟

⎞⎜⎜⎝

ν= p

sDU

d (1)

Gerusan lokal tanpa angkutan sedimen dan dengan angkutan sedimen Persamaan Breusers et al., berlaku pada gerusan lokal tanpa angkutan sedimen dan dengan angkutan sedimen.

αξξ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛= s

pcrp

sDh

UU

Dd tanh2f (2)

1untuk

15.0untuk

5.0untuk

1

12

0

f

>

<<

<

⎪⎪⎩

⎪⎪⎨

=

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−=

=

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

cr

cr

cr

crcr

UU

UU

UU

UU

UU

Persamaan Raudkivi, berlaku pada kasus gerusan lokal dengan angkutan sedimen.

αξ= 3.2p

sDd (3)

αξξξ= sgp

sDd 2 yang berlaku untuk 5.1>pDh

dan 2550 >dDp (4) Dalam persamaan-persamaan tersebut di atas, kedalaman gerusan lokal merupakan kedalaman ekuilibrium, yang umumnya dicapai setelah banjir yang berlangsung lama. Arti berbagai simbol dalam persamaan-persamaan tersebut adalah ds = kedalaman gerusan, Dp = diameter pilar silinder, U = kecepatan aliran, Ucr = kecepatan aliran awal gerak butir sedimen dasar saluran, h = kedalaman aliran, g = percepatan gravitasi, d50 = diameter rata-rata butir sedimen, �g, �s, �� = koefisien (faktor koreksi) yang merepresentasikan pengaruh gradasi butir sedimen, bentuk pilar, serta arah aliran. Di samping persamaan-persamaan di atas, dikenal pula persamaan-persamaan yang kebanyakan dipakai di Amerika Serikat. Persamaan-persamaan tersebut adalah persamaan-persamaan yang dipakai untuk menghitung

Page 71: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Istiarto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 251

kedalaman gerusan dalam Program Aplikasi HEC-RAS. Persamaan-persamaan tersebut dipaparkan pada paragraf-paragraf berikut ini. Persamaan CSU, berlaku pada gerusan dengan angkutan sedimen maupun tanpa angkutan sedimen.

43.01

35.01

65.04321 Fr2 hDKKKKd ps = (5)

CSU membatasi kedalaman gerusan, yaitu ds ≤ 2.4 Dp jika Fr ≤ 0.8 dan ds ≤ 3 Dp jika Fr > 0.8. Persamaan Froehlich, dipakai untuk keperluan perancangan.

( ) pps DdhDd +′φ= − 09.050

22.01

47.01

62.0 Fr32.0 (6) Batasan kedalaman gerusan seperti pada persamaan CSU berlaku pula pada persamaan Froehlich. Arti berbagai simbol dalam persamaan CSU dan Froehlich adalah Fr1 = Angka Froude aliran di sisi hulu jembatan, K1, K2, K3, K4 = koefisien (faktor koreksi) yang merepresentasikan pengaruh bentuk pilar, arah (sudut datang) aliran, butir sedimen dasar, serta armoring butir sedimen dasar, � = koefisien (faktor koreksi) bentuk pilar, dan pD′ �= lebar pilar, diproyeksikan pada bidang tegak lurus arah aliran. Kedalaman Gerusan pada Pilar Ganda Persamaan-persamaan yang dipaparkan di atas adalah persamaan-persamaan yang berlaku pada pilar tunggal. Pada pilar ganda, yaitu dua pilar jembatan berjajar pada arah aliran, satu di hulu dan yang lain di hilir, kedalaman gerusan akan dipengaruhi oleh jarak antar kedua pilar

tersebut. Graf dan Altinakar (1998) menjelaskan perilaku gerusan lokal pada pilar ganda ini berdasarkan penelitian yang dilaporkan oleh Raudkivi (Gambar 2). 1. Apabila kedua pilar saling menempel, 1=pDa ,

kedalaman gerusan pada pilar hulu tidak terpengaruh.

2. Apabila kedua pilar terpisah, maka kedalaman gerusan pada pilar hulu akan bertambah, namun setelah selang kedua pilar mencapai jarak tertentu, kedalaman gerusan pilar hulu akan berkurang.

3. Apabila jarak antara kedua pilar cukup jauh, 11≈pDa , kedalaman gerusan pada pilar hulu tidak

terpengaruh. 4. Seiring dengan jarak antara kedua pilar, kedalaman

gerusan di antara kedua pilar berkurang dengan sangat cepat dan menghilang setelah 10>pDa .

5. Kedalaman gerusan pada pilar hilir selalu lebih kecil daripada kedalaman gerusan pada pilar hulu.

Butir terakhir sangat menarik dan sangat relevan dengan kasus Jembatan Srandakan I dan Srandakan II. Hasil penelitian tersebut menyanggah kekhawatiran bahwa Jembatan Srandakan I (jembatan lama, berada di hulu) akan memperbesar gerusan pada pilar Jembatan Srandakan II (jembatan baru, berada di hilir). Bahkan sebaliknya, keberadaan Jembatan I berpotensi mereduksi gerusan lokal pada pilar Jembatan II.

Gambar 2. Kedalaman gerusan pada pilar ganda (Graf and Altinakar, 1998)

Metode Kajian Prediksi kedalaman gerusan lokal di sekitar pilar Jembatan Srandakan II dilakukan pada dua kasus tinjauan. Pertama, keberadaan Jembatan Srandakan I dipertahankan. Kedua, Jembatan Srandakan I ditiadakan. Kajian dilakukan dengan teknik simulasi matematis pola aliran di sekitar pilar jembatan serta prediksi kedalaman gerusan yang ditimbulkan oleh pola aliran tersebut. Langkah Kerja Pelaksanaan kajian mengikuti langkah kerja sebagai berikut ini. 1. Simulasi aliran sungai di sekitar jembatan dengan

model matematik hidrodinamika (model aliran satu dimensi,

2. 3. Gambar 3, dan model aliran dua dimensi, 4. Gambar 4) dengan tetap mempertahankan

keberadaan Jembatan Srandakan I. 5. Analisa kedalaman gerusan lokal di pilar Jembatan

Srandakan II pada keadaan aliran seperti butir 1 di atas.

6. Simulasi aliran sungai seperti butir 1, namun dengan asumsi Jembatan Srandakan I telah dibongkar.

7. Analisa gerusan lokal di pilar Jembatan Srandakan II pada keadaan aliran seperti butir 3.

8. Perbandingan kedalaman gerusan lokal di pilar Jembatan Srandakan II pada keadaan dengan dan tanpa keberadaan Jembatan Srandakan I.

Page 72: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Istiarto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 252

Gambar 3. Model aliran satu dimensi S. Progo ruas Sapon-Srandakan

Gambar 4. Model aliran dua dimensi S. Progo ruas Sapon-Srandakan Data Pendukung Memperhatikan situasi alur S. Progo di sekitar Jembatan Srandakan, maka simulasi aliran untuk keperluan prediksi gerusan lokal di pilar jembatan dilakukan dengan batas hulu di sekitar Bendung Sapon dan batas hilir di Groundsill Srandakan (3 km). Kualitas hasil simulasi aliran dengan model matematik sangat bergantung pada representasi konfigurasi geometris sungai: bentuk alur, tampang lintang, tampang memanjang, ukuran butir material dasar sungai, letak dan dimensi bangunan yang ada di sungai, serta representasi parameter hidraulis sungai: debit aliran di batas hulu, muka air di batas hilir, serta kekasaran dasar sungai. Geometri sungai. Data geometri sungai diperoleh dari peta situasi alur sungai (Peta RBI 1999), serta tampang memanjang dan melintang sungai (diperoleh dari

perencanaan Bendung Sapon, perencanaan Groundsill Srandakan, dan pelaksanaan Jembatan Srandakan II). Material dasar sungai. Data material dasar sungai di sekitar pilar jembatan direpresentasikan oleh diameter rata-rata butir sedimen dasar, d50 = 2 mm. Parameter hidraulis. Debit di batas hulu adalah Q50 = 2125 m3/s, muka air di batas hilir mengikuti rating curve Groundsill Srandakan, dan kekasaran dasar sungai diperkirakan n = 0.03 s/m1/3. Simulasi Aliran Satu Dimensi dan Prediksi Kedalaman Gerusan Lokal Jembatan Srandakan I Dipertahankan Aliran S. Progo di ruas Bendung Sapon sampai Groundsill Srandakan dimodelkan dengan model matematik hidrodinamik satu dimensi HEC-RAS. Model ini merupakan program aplikasi untuk memodelkan aliran

Bendung Sapon

Bendung Sapon

Srandakan I

Srandakan II Groundsill

Jembatan Srandakan

Srandakan

83

82

81

80

797877

7675

74

73727170

63.4*56.8*

52.4*50.2*

43.6*41.4*

37.*34.8*

32.6*30.4*

28.2*26.*

23.8*21.6*

19.4*17.2*

15.*

10.6*8.4*

6.20000*4

3

2

Kali Progo

Page 73: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Istiarto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 253

di sungai, River Analysis System (RAS), dibuat oleh Hydrologic Engineering Center (HEC) yang merupakan satuan kerja di bawah US Army Corps of Engineers (USACE). HEC-RAS menghitung profil muka air serta kecepatan di sepanjang aliran. Dengan mengetahui kecepatan dan kedalaman aliran di sekitar pilar jembatan, maka kedalaman gerusan dapat dihitung. HEC-RAS dapat pula langsung menghitung kedalaman gerusan. HEC-RAS menghitung kedalaman gerusan persamaan dengan persamaan CSU atau Froehlich. Pada Gambar 5 disajikan muka air banjir dengan debit kala ulang 50 tahun, Q50 = 2125 m3/s. Di lokasi Jembatan Srandakan II, kedalaman aliran serta berbagai parameter hasil hitungan dengan model satu dimensi ini disajikan pada Tabel 1. Pada tabel tersebut, disajikan pula berbagai parameter geometri dan hidraulik yang dipakai untuk menghitung kedalaman gerusan di sekitar pilar Jembatan Srandakan II. Dengan parameter-parameter tersebut, maka kedalaman gerusan di sekitar pilar dapat dihitung.

Gambar 5 Profil muka air maximum S. Progo sepanjang ruas Sapon � Srandakan pada saat banjir dengan debit Q50 = 2125 m3/s, Jembatan Srandakan I tidak dibongkar Tabel 1. Parameter hidraulik di Jembatan II hasil hitungan dengan model satu dimensi, Jembatan Srandakan I dipertahankan

Parameter Hidraulik Nilai Kedalaman aliran, h m 3.98 Kecepatan aliran, U m/s 1.51 Angka Froude, Fr 0.24 Diameter butir sedimen, d50 mm 2 Lebar pilar, Dp m 1 Panjang pilar, L m 5.5 Faktor bentuk pilar, K1 1 Faktor sudut datang, K2 2.28 Faktor bentuk dasar sungai, K3 1.1 Faktor armoring, K4 1

Perkiraan kedalaman gerusan di sekitar pilar Jembatan Srandakan II yang dihitung dengan berbagai persamaan (lihat Persamaan 1 s.d. 6) dirangkum pada Tabel 2. Dari berbagai persamaan, tampak bahwa persamaan

Breusers memberikan nilai kedalaman gerusan yang sangat besar, yaitu 13.76 m pada debit banjir Q50 = 2125 m3/s. Nilai ini kurang mencerminkan keadaan di lapangan dan oleh karena persamaan Breusers dapat dikatakan tidak sesuai untuk kasus gerusan di Jembatan Srandakan. Nilai kedalaman gerusan yang relatif kecil, sebaliknya, ditunjukkan oleh hasil hitungan dengan persamaan Shen, yaitu 1.47 m. Ini pun kurang sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, sehingga persamaan Shen juga tidak cocok untuk dipakai di Jembatan Srandakan. Hasil yang hampir mirip ditunjukkan oleh persamaan Raudkivi dan CSU. Kedua persamaan ini memberikan perkiraan kedalaman gerusan sekitar 4.40 s.d. 4.60 m. Mengingat persamaan Raukivi tidak memperhatikan parameter hidraulik, tidak seperti persamaan CSU, maka persamaan CSU akan lebih cocok untuk kasus yang sedang ditinjau ini. Persamaan Froehlich memberikan perkiraan kedalaman gerusan yang lebih kecil, yaitu sekitar 2.50 m. Nilai-nilai yang dihasilkan oleh persamaan Froehlich dan CSU ini lebih sesuai dengan keadaan di lapangan. Persamaan Froehlich memberikan perkiraan nilai bawah dan persamaan CSU nilai atas. Oleh karena itu, dalam tinjauan selanjutnya, kedua persamaan ini yang akan dipakai. Perlu dicatat bahwa perbedaan hasil yang diperoleh dari pemakaian persamaan yang berlainan untuk menghitung kedalaman gerusan di sekitar pilar jembatan bukan merupakan hal yang tidak biasa. Persamaan-persamaan gerusan lokal umumnya merupakan peramaan empiris yang didasarkan pada hasil experimen di laboratorium. Extrapolasi pada kasus nyata di lapangan memerlukan kehati-hatian. Apalagi, gerusan lokal merupakan fenomena yang sangat komplex, menyangkut pola aliran maupun interaksi antara pola aliran, sedimen, serta pilar. Kelengkapan data dan, tidak kalah penting, pengalaman pengguna sangat berperan dalam keberhasilan prediksi gerusan lokal. Tabel 2. Kedalaman gerusan pada pilar Jembatan Srandakan II, dihitung dengan berbagai persamaan

Persamaan Kedalaman Gerusan

Shen 1.47 m Breusers 13.76 m Raudkivi 4.56 m CSU 4.41 m Froehlich 2.47 m

Jembatan Srandakan I Dibongkar Simulasi ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengurangan kedalaman gerusan di sekitar pilar Jembatan Srandakan II apabila Jembatan Srandakan I dibongkar. Parameter hidraulik utama yang dihasilkan dari simulasi pada kasus ini dirangkum pada Tabel 3. Membandingkan hasil simulasi ini dengan hasil simulasi sebelumnya (Jembatan Srandakan I dipertahankan), tampak bahwa keduanya menunjukkan nilai yang sama.

Jembatan Srandakan I

Jembatan Srandakan II

0 1000 2000 3000 40006

8

10

12

14

16

18

20

Main Channel Distance (m)

Ele

vatio

n (m

)

Kali Progo Srandakan

Page 74: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Istiarto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 254

Kenyataan ini dapat dijelaskan dengan mencermati bahwa jarak antara kedua jembatan relatif jauh sehingga pola aliran di jembatan yang berada di hilir, Jembatan Srandakan II, telah tidak terpengaruh oleh pola aliran yang terbentuk oleh jembatan yang berada di hulu, Jembatan Srandakan I. Dengan tidak adanya perbedaan pada parameter hidraulik yang dihasilkan oleh kedua simulasi, maka kedalaman gerusan yang ditimbulkan oleh kedua aliran akan sama. Dengan kata lain, pembongkaran Jembatan Srandakan I tidak berpengaruh terhadap kedalaman gerusan di sekitar pilar Jembatan Srandakan II. Prediksi kedalaman gerusan, dihitung dengan persamaan CSU dan Froehlich, yang dihasilkan dari simulasi dengan mempertahankan dan membongkar Jembatan Srandakan I disajikan pada Gambar 6. Tidak adanya pengaruh pembongkaran Jembatan Srandakan I terhadap kedalaman gerusan di pilar Jembatan Srandakan II ini sesuai pula dengan Gambar 2. Dalam kasus Jembatan Srandakan ini, jarak antara pilar hulu dan pilar hilir lebih besar daripada sebelas kali diameter karakteristik pilar. Pada jarak ini, kedalaman gerusan di pilar hilir tidak lagi dipengaruhi oleh keberadaan pilar hulu. Tabel 3. Parameter hidraulik di Jembatan II hasil hitungan dengan model satu dimensi, Jembatan Srandakan I dibongkar

Parameter hidraulik Nilai Kedalaman aliran, h m 3.98 Kecepatan aliran, U m/s 1.51 Angka Froude, Fr 0.24

Gambar 6. Kedalaman gerusan di sekitar pilar Jembatan Srandakan II, dihitung dengan persamaan CSU dan Froehlich, kasus tanpa dan dengan pembongkaran Jembatan Srandakan I Simulasi Aliran Dua Dimensi dan Prediksi Kedalaman Gerusan Lokal Simulasi aliran dengan model dua dimensi dilakukan dengan SMS (Surface-water Modeling System) yang merupakan model aliran rata-rata kedalaman. SMS dikembangkan oleh Brigham Young University dan BOSS Corporation. Jurusan Teknik Sipil FT UGM memiliki lisensi untuk Versi 8. Dengan model aliran dua dimensi ini, aliran di sekitar pilar jembatan dapat lebih rinci dikaji. Distribusi kecepatan aliran di masing-masing lokasi pilar jembatan dapat diketahui, sehingga prediksi kedalaman gerusan lokal, apabila dikehendaki, dapat dilakukan di setiap pilar. Dalam kajian ini, ditinjau tiga pilar, yaitu di sisi kiri, tengah, dan kanan. Kedalaman gerusan dihitung dengan persamaan CSU dan Froehlich. Parameter geometri pilar sama dengan parameter yang dipakai pada kajian dengan model satu dimensi. Kedalaman, kecepatan, dan Angka Froude aliran diperoleh dari simulasi aliran dengan model dua dimensi. Pada Gambar 7 ditampilkan pola aliran di sekitar pilar Jembatan Srandakan pada saat banjir dengan debit Q50 = 2125 m3/s. Pada gambar tersebut, ditampilkan pola aliran pada keadaan Jembatan Srandakan I dipertahankan (gambar di atas) dan dibongkar (gambar di bawah). Tampak bahwa pola aliran di sekitar pilar Jembatan Srandakan II tidak mengalami perubahan yang mencolok dengan pembongkaran Jembatan Srandakan I. Secara umum, pembongkaran Jembatan Srandakan I sedikit menggeser pola aliran ke arah kanan; kecepatan aliran di sisi kanan bertambah, sedang di sisi kiri berkurang. Di sisi tengah, tidak tampak adanya perubahan kecepatan aliran.

(a) Kasus A: Jembatan Srandakan I dipertahankan

3

2 1

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

4.0

4.5

5.0

CSU Froehlich

Ked

alam

an G

erus

an (m

)

A: dipertahankanB: dibongkar

Jembatan Srandakan I:

Page 75: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Istiarto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 255

(b) Kasus B: Jembatan Srandakan I dibongkar Gambar 7. Pola aliran di sekitar pilar jembatan; kontour warna menunjukkan magnitude kecepatan aliran

Untuk lebih merinci perbedaan yang terjadi antara mempertahankan atau membongkar Jembatan Srandakan I, ditinjau tiga pilar, yaitu Pilar 1, 2, dan 3,

yang berturut-turut berada di sisi kiri, tengah, dan kanan bentang jembatan. Perbandingan ini ditampilkan pada

Tabel 4. Pada tabel tersebut, disajikan pula kedalaman gerusan yang dihitung dengan persamaan CSU dan Froehlich. Perbandingan kedalaman gerusan yang dihitung dengan persamaan CSU di setiap pilar disajikan secara grafis pada Gambar 8. Tampak bahwa dengan pembongkaran Jembatan Srandakan I, kedalaman gerusan di pilar kiri cenderung berkurang, sebaliknya di pilar kanan cenderung bertambah, sedang di pilar tengah dapat dikatakan tidak

ada perubahan. Pengurangan maupun penambahan kedalaman gerusan lokal di pilar-pilar pinggir pun relatif kecil dan dapat dikatakan masih dalam batas akurasi persamaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembongkaran Jembatan Srandakan I tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kedalaman gerusan di pilar Jembatan Srandakan II. Hasil di atas membawa kesimpulan bahwa Jembatan Srandakan I, dari sisi potensi ancaman gerusan pada pilar Jembatan Srandakan II, tidak berpengaruh.

Tabel 4. Parameter hidraulik dan kedalaman gerusan di pilar Jembatan Srandakan II, dengan mempertahankan atau

membongkar Jembatan Srandakan I

Parameter Hidraulik Pilar 1 Pilar 2 Pilar 3 A B A B A B

Kecepatan, U m/s 0.75 0.4 0.9 0.92 0.6 0.75 Kedalaman aliran, h m 1 0.95 4.75 4.86 4.3 4.8 Angka Froude 0.24 0.13 0.13 0.13 0.09 0.11 Kedalaman gerusan, CSU, ds m 2.71 2.06 3.62 3.67 3.00 3.35 Kedalaman gerusan, Froehlich, ds m 1.94 1.80 2.72 2.74 2.52 2.66

3

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

4.0

4.5

Pilar 1 Pilar 2 Pilar 3

Keda

lam

an G

erus

an (m

)

A: dipertahankanB: dibongkar

Jembatan Srandakan I:

Page 76: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Istiarto

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 2

Gambar 8. Kedalaman gerusan pada pilar Jembatan Srandakan II, dihitung dengan persamaan CSU, kasus tanpa dan dengan pembongkaran Jembatan Srandakan I

Kesimpulan dan Saran Mencermati hasil kajian hidraulis di sekitar Jembatan Srandakan I dan II dapat disimpulkan bahwa kekhawatiran terhadap pengaruh keberadaan Jembatan Srandakan I yang akan memperbesar kedalaman gerusan di pilar Jembatan Srandakan II tidak terbukti. Secara teoretis (lihat Gambar 2 pada Sub-bab 0) maupun dari prediksi kedalaman gerusan dengan model satu dimensi (lihat Gambar 6) dan model dua dimensi (lihat Gambar 8) kedalaman gerusan di pilar Jembatan Srandakan II tidak dipengaruhi oleh keberadaan Jembatan Srandakan I. Simulasi pola aliran di sekitar jembatan, sebenarnya dapat pula dilakukan dengan menggunakan model tiga

dimensi. Hal ini patut dipertimbangkan untuk dilakukan pada kajian sejenis. Daftar Pustaka 1. Graf, W.H. and Altinakar, M.S., 1998, Fluvial

Hydraulics, Chapter 9: Local Scour, John Wiley and Sons, London.

2. Jurusan Teknik Sipil FT UGM, 2006, Kajian Hidraulis Pengaruh Jembatan Srandakan I terhadap Gerusan Lokal di Sekitar Pilar Jembatan Srandakan II, Yogyakarta.

3. USACE, 2002, HEC-RAS River Analysis System, Hydraulic Reference Manual, Version 3.1, November 2002, US Army Corps of Engineers, Hydrologic Engineering Center.

Ucapan Terimakasih Terimakasih disampaikan kepada Bidang Bina Marga Dinas Kimpraswil Provinsi DI Yogyakarta dan PT. Yasa Patria Perkasa yang telah memfasilitasi pelaksanaan kajian ini.

Page 77: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Soekistijono, Aris Harnanto, Swasti Hendrati, Zainal Alim, Fahmi Hdayat

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 257

Penelitian Erosi dan Sedimentasi di Sub DAS Kali Lesti Sebagai Upaya Pengendalian Daya Rusak Air

Soekistijono 1) Aris Harnanto 2) Swasti Hendrati 3) Zainal Alim 4) Fahmi Hidayat 5)

1), 2), 3), 4), 5) Perum Jasa Tirta I

Abstrak Sub DAS Kali Lesti berada di lereng Gunung Semeru (+ 3.676 m) yang aktif memuntahkan abu vulkanik dan sebagian jatuh pada daerah tersebut yang mudah tererosi oleh hujan munson dengan intensitas tinggi. Hasil erosi ini terangkut ke Kali Lesti melalui anak-anak sungainya, dan akhirnya menyebabkan permasalahan sedimentasi di Waduk Sengguruh. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik hujan, perilaku erosi di Sub DAS Kali Lesti serta muatan sedimen yang terangkut di Kali Lesti untuk mengetahui karakteristik proses erosi dan sedimentasi yang terjadi di DAS Kali Lesti. Penelitian dilakukan dengan melakukan observasi dan pengukuran langsung di lapangan serta memanfaatkan data penginderaan jauh. Dari investigasi karakteristik hujan dengan menggunakan Micro Rain Radar (MRR) menunjukkan adanya suatu hubungan yang linier antara energi tumbukan partikel hujan dan besarnya curah hujan yang diukur dengan menggunakan alat penakar hujan jenis tipping bucket. Dari berbagai data penginderaan jauh menunjukkan adanya variabilitas musiman yang tinggi dari nilai NDVI pada area cultivated dimana nilai terendah terjadi pada awal musim hujan. Selain itu diperoleh informasi bahwa tidak terdapat suatu hubungan yang signifikan antara debit sungai dengan debit sedimen. Namun didapatkan suatu hubungan yang lemah (tidak terlalu signifikan) antara debit sedimen (Qs) dalam ton/jam dengan kandungan turbiditas (T) dalam ppm. Kata kunci : erosi, sedimentasi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan sedimen secara terpadu merupakan hal yang sangat krusial bagi keberlanjutan pengembangan dan pengelolaan sumber daya air khususnya dalam aspek pengendalian daya rusak air di daerah aliran sungai yang terletak di sekitar gunung berapi dan daerah yang mudah tererosi seperti DAS Kali Brantas bagian hulu. Erosi dan sedimentasi merupakan kejadian alami yang tidak mungkin dihindari sama sekali. Akibat yang ditimbulkan oleh erosi yang tidak terkendali di bagian hulu suatu waduk akan dirasakan sangat merugikan. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah pengamanan terhadap waduk dari bahaya pendangkalan yang dipercepat akibat erosi di bagian hulu. Langkah awal yang seharusnya dilakukan adalah mengukur besarnya erosi yang terjadi di bagian hulu kemudian mencari dan menentukan sumber-sumber erosi serta menginventarisasi faktor-faktor penyebabnya. Berdasar informasi-informasi ini dapat dicari alternatif pemecahan dan penanggulangannya. DAS Kali Lesti yang mempunyai luas sekitar 625 km2 berada di bagian hulu DAS Kali Brantas (11.800 km2) dimana Kali Brantas merupakan sistem sungai terpanjang kedua di Pulau Jawa. Secara umum sebagian besar DAS Kali Lesti merupakan tanah berjenis Regosol (hampir 40%) yang bertekstur kasar atau berpasir yang umumnya berasal dari bahan induk tuf dan abu vulkanik

karena lokasinya sebagian besar berada di lereng barat Gunung Semeru (+ 3.676 m) yang secara aktif memuntahkan abu vulkanik dan sebagian jatuh pada daerah tangkapan air sungai tersebut. Akibat kondisi lahan yang seperti itu, maka daerah tersebut mudah tererosi, terutama oleh hujan munson yang memiliki intensitas tinggi. Hasil erosi ini terangkut ke aliran Kali Lesti melalui anak-anak sungainya, dan akhirnya mengendap di Waduk Sengguruh. Aliran sedimen yang terangkut di Kali Lesti tersebut merupakan penyebab permasalahan sedimentasi di Waduk Sengguruh di samping aliran sedimen yang berasal dari Kali Brantas sendiri. Laju aliran sedimen yang masuk Waduk Sengguruh diperkirakan sebesar 2,26 juta m3 per tahun. Di sebelah hilir Waduk Sengguruh ini terdapat Waduk Karangkates (Sutami) yang merupakan waduk terbesar dan terpenting pada pada sistem pengelolaan sumber daya air di wilayah sungai Kali Brantas yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta I. 1.2 Ruang Lingkup Penelitian erosi dan sedimentasi di Sub DAS Kali Lesti dilakukan dalam kerangka kerja sama antara Perum Jasa Tirta I dengan Disaster Prevention Research Institute, Kyoto University, Jepang di 3 (tiga) lokasi pada ruas Kali Lesti, yaitu 1) Desa Poncokusumo (S 80 3’ 25.3” , E 1120 48’ 36.9”) yang berada di Kali Lesti bagian hulu yang merupakan areal hutan dan perkebunan, 2) Desa

Page 78: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Soekistijono, Aris Harnanto, Swasti Hendrati, Zainal Alim, Fahmi Hdayat

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 258

Wajak (S 80 5’ 31.8” , E 1120 44’ 57.8”) yang berada di Kali Lesti bagian tengah dan 3) Desa Gedogwetan (S 80 12’ 36.4” , E 1120 41’ 57.4”) yang terletak di Kali Lesti bagian hilir. Penelitian yang dilakukan tersebut meliputi observasi hujan (Poncokusumo, Gedogwetan, dan Tawangrejeni), observasi sedimen terangkut sungai khususnya untuk beban melayang (suspended load) (Poncokusumo, Wajak dan Gedogwetan), serta observasi erosi (Poncokusumo - 2 lokasi dan Gedogwetan). 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik hujan, perilaku erosi di DAS Kali Lesti serta muatan sedimen yang terangkut di Kali Lesti. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan gambaran besarnya erosi dan sumber-sumber erosi, dan mengukur besarnya sedimen yang terangkut sungai dimana bahan ini dianggap berasal dari proses erosi dan akhirnya akan dibawa masuk ke dalam Waduk Sengguruh. Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui karakteristik proses erosi dan sedimentasi yang terjadi di DAS Kali Lesti. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan melakukan observasi dan pengukuran langsung di lapangan serta memanfaatkan data penginderaan jauh. Observasi hujan dilakukan dengan pemasangan pengukur curah hujan otomatis dengan data logger berinterval 10 menit. Karakteristik hujan dipelajari dengan menggunkaan Micro Rain Radar (MRR). Observasi erosi dilakukan dengan pengukuran secara langsung perubahan elevasi permukaan tanah pada daerah-daerah yang datar dan yang mempunyai kemiringan yang tajam dengan kasus erosi lokal yang dianggap mempunyai laju erosi sangat tinggi. Perubahan elevasi permukaan tanah diamati dengan menggunakan tongkat yang diberi ukuran (erosion staves) yang ditancapkan ke dalam tanah. Perubahan elevasi permukaan tanah dicatat setiap hari untuk mengetahui keadaan tanah di sekitarnya apakah terjadi erosi, stabil atau tertimbun. Observasi turbiditas dengan menggunakan peralatan Turbidity Meter Model ATU30-D dan data dari stasiun pemantauan kualitas air yang dipasang di Kali Lesti. Kondisi tutupan lahan di DAS Lesti diamati dengan menggunakan berbagai citra satelit meliputi ADEOS/AVNIR (resolusi 16 m, Juli 1997), LANDSAT7/ETM+ (resolusi 30 m, Mei 2002) dan TERRA/MODIS NDVI (resolusi 250 m, 2002 sampai 2003). III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Karakteristik Curah Hujan dengan MRR Hasil pengukuran curah hujan dengan menggunakan MRR (x) apabila dibandingkan dengan menggunakan alat penakar curah hujan jenis tipping bucket (y) menunjukkan suatu hubungan linier dengan

koefisien korelasi sekitar 0,86. Hubungan tersebut dapat dirumuskan: y = 0,87 x. Sedangkan intensitas hujan (x) dalam mm/jam mempunyai suatu hubungan linier dengan impact energy work (y) dalam J/m2 dengan koefisien korelasi sekitar 0,98. Hubungan tersebut dapat dirumuskan: y = 56,48 x. 3.2 Kondisi Tutupan Lahan Kondisi tutupan lahan di DAS Lesti diamati dengan menggunakan berbagai citra satelit meliputi ADEOS/AVNIR (resolusi 16 m, Juli 1997), LANDSAT7/ETM+ (resolusi 30 m, Mei 2002) dan TERRA/MODIS NDVI (resolusi 250 m, 2002 sampai 2003). Dari perbandingan data citra satelit antara tahun 1997 dan 2002 tidak terdapat perubahan penutup lahan dalam skala besar di DAS Lesti. Dari citra TERRA/MODIS diperoleh informasi bahwa Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) mempunyai nilai terendah pada akhir musim hujan di lahan pertanian dan perkebunan, namun di lokasi hutan nilai NDVI relatif tinggi selama musim hujan dan kemarau. Kondisi vegetasi yang bervariasi menurut musim sangat mempengaruhi proses terjadinya erosi. Di lahan pertanian dan perkebunan yang hampir terbuka di saat awal musim hujan menyebabkan laju erosi yang tinggi pada saat musim hujan. Erosi Tanah Gambar 3 menunjukkan hasil pengukuran erosi yang dilakukan pada tiga jenis tata guna lahan di Sub DAS Kali Lesti. Empat garis pada tiap panel menunjukkan elevasi terukur. Grafik batang dengan nilai pada axis kanan menunjukkan data curah hujan harian pada lokasi penelitian. Karena lokasi dengan tata guna lahan tree crop dan hutan letaknya berdekatan (Poncokusumo) maka data hujan yang digunakan sama. Dari perbandingan pengamatan pada ketiga jenis tata guna lahan tersebut diketahui bahwa perubahan elevasi tanah di cultivated area (Gedogwetan) mempunyai fluktuasi yang lebih besar dibandingkan area tree crop (Poncokusumo I) maupun hutan (Poncokusumo II). Pada area tree crop di Poncokusumo hampir tidak ada rerumputan sama sekali sebagai penutup lahan pada bulan Oktober, namun pada awal musim hujan yaitu bulan Nopember, rerumputan tumbuh dengan cepat. Hal ini dapat dikonfirmasi dengan analisa nilai TERRA/MODIS NVDI, dimana ada perubahan berdasar musim yang signifikan pada tanaman penutup lahan. Hasil pengamatan erosi menunjukkan kondisi yang lebih stabil pada bulan Pebruari dan Maret dibandingkan pada bulan Nopember dan Desember. Penutup lahan berupa rerumputan tersebut dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat menstabilkan erosi lahan. Gambar 4 menunjukkan grafik perubahan kedalaman tanah tanpa dimensi (nilai absolut perubahan tanah baik erosi maupun deposisi) per jumlah hujan. Misal

Page 79: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Soekistijono, Aris Harnanto, Swasti Hendrati, Zainal Alim, Fahmi Hdayat

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 259

nilai hubungan tersebut 0,1, ini berarti bahwa curah hujan sebesar 10 mm menyebabkan erosi atau deposisi sedalam 1 mm. Dari grafik tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kondisi erosi pada area cultivated (Gedogwetan) lebih besar tiga kali jika dibandingkan dengan kedua tata guna lahan yang lain. Lebih jauh lagi, pada area tree crop dan hutan diketahui bahwa laju pergerakan sedimen menurun setelah bulan Nopember, sementara terlihat ada 2 (dua) puncak laju pergerakan sedimen pada area cultivated (Gedogwetan). Tendensi yang sama akan tampak pada hasil pengamatan turbiditas, dimana hal tersebut berkaitan erat dengan waktu tanam ganda yang ada di lokasi penelitian. 3.3 Perkiraan sedimen Sedimen yang masuk ke Waduk Sengguruh dari Kali Lesti pada umumnya dalam bentuk suspended load. Tidak terdapat suatu hubungan yang signifikan antara debit sungai dengan debit sedimen. Namun didapatkan suatu hubungan yang lemah (tidak terlalu signifikan) antara debit sedimen (Qs) dalam ton/jam dengan kandungan turbiditas (T) dalam ppm dimana: Qs = 0,104 T IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan 1) Investigasi karakteristik hujan dengan

menggunakan MRR menunjukkan adanya suatu hubungan yang linier antara energi tumbukan partikel hujan dan besarnya curah hujan yang

diukur dengan menggunakan alat penakar hujan jenis tipping bucket.

2) Dari berbagai data penginderaan jauh menunjukkan adanya variabilitas musiman yang tinggi dari nilai NDVI pada area cultivated dimana nilai terendah terjadi pada awal musim hujan.

3) Tidak terdapat suatu hubungan yang signifikan antara debit sungai dengan debit sedimen. Namun didapatkan suatu hubungan yang lemah (tidak terlalu signifikan) antara debit sedimen (Qs) dalam ton/jam dengan kandungan turbiditas (T) dalam ppm.

4.2 Saran Proses erosi dan sedimetasi melibatkan banyak faktor yang sangat sulit untuk diketahui secara detail seperti iklim, kondisi geologi, karakteristik tanah dan vegetasi dan lain-lain yang saling pengaruh-mempengaruhi. Aktivitas manusia juga memberikan andil yang cukup besar pada proses tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam untuk mempelajari proses tersebut sehingga penanganannya dapat dilakukan secara tepat. DAFTAR PUSTAKA 1. Nakagawa, Hajime et all. 2004. On Sediment Yield

and Transport in the Lesti River Basin, a Tributary of the Brantas River, Indonesia, Experiences From Field Observations and Remotely Sensed Data. Disaster Prevention Research Institute, Kyoto University.

Page 80: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Halaman Kosong

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 260

Page 81: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 C. Bambamg Sukatja

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 261

Mitigasi Bencana dengan Data Foto Udara Small Format

(Studi kasus perubahan morfologi sungai Curah Lengkong akibat aktivitas G. Semeru, Jawa Timur) C. Bambang Sukatja

Balai Sabo, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pekerjaan Umum.

Abstract

Aerial photograph small format system is developing from the convensional/standard aerial photograph. The photography technology of small format system will be done to minimize of operational budget and in order to get the high resolution photographof thematic data in the earth surface. Also, the analyzing of the small format aerial photograph data can be done more easy, because the objects on the photograph are clear.

In the assessment, will be tried to analyze of land area and morphology changes of Curah Lengkong river in Semeru volcano area. That morphology of river changes by lahar flows. Key words: small format aerial photograph,mitigation, lahar flows.

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Sejak pertama dikenalkan oleh militer pada tahun 1912, dunia Foto Udara untuk pemetaan topografi tidak mengalami perkembangan yang berarti baik dalam hal teknologi maupun pemanfaatannya. Foto udara adalah merupakan data tematik suatu daerah yang berasal dari hasil pemotretan tutupan lahan permukaan bumi yang pengambilannya dari udara. Kegunaan foto udara untuk kebutuhan perekaman data yang terjadi pada tutupan lahan permukaan bumi yang memiliki fenomena yang dinamis dan monitoring suatu perkembangan kejadian alam yang memerlukan pengamatan secara terus menerus.

Dengan disusunnya perangkat lunak (ILWIS) sangat membantu untuk interpretasi data foto udara terutama dalam mitigasi bencana. Namun untuk menyediakan suatu foto udara pada suatu wilayah tertentu memerlukan beaya tinggi, karena perangkat fotografi yang digunakan dan pengambilan fotonya memerlukan peralatan penunjang yang mahal. Selain biaya pembuatan foto udara yang mahal hasil pemotretan yang dilakukan dengan pesawat yang berada pada ketinggian tertentu (>1.000 m) mempunyai keterbatasan, terutama obyek pemotretan tampak kecil dan resolusinya rendah (skala 1 : > 5.000). Sehingga pada suatu kejadian alam tematik yang terjadi di suatu daerah, yang mempunyai dampak terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar daerah tersebut dari segi beaya tidak selamanya dapat dilakukan pemotretan foto udara.

Untuk mengatasi hal tersebut telah ditemukan suatu sistem baru dalam pemotretan lewat foto udara, yang dikenal pemotretan foto udara dengan small format (skala 1 : < 5000).

Foto udara small format (FU SF) adalah salah satu jenis dari foto udara, yang kegunaannya sama dengan foto udara konvensional/standar, memotret foto tutupan lahan permukaan bumi dari udara. Yang berbeda adalah format film yang digunakan sebagai detektor kamera. Format film menggunakan 6 cm x 6 cm berdimensi 70mm atau 135mm (24mm x 36mm),

menggunakan kamera yang umum digunakan orang sehari-hari. Salah satu ciri yang menonjol adalah harus dilakukannya perbesaran pada format film saat mencetak hasilnya. Perbesaran foto ini merupakan identitas dari foto udara small format.

Saat ini FU SF tidak hanya menggunakan kamera analog yang memerlukan film, melainkan sudah memanfaatkan kamera digital. Sehingga definisi FU SF menjadi tampak tidak relevan, karena tidak menggunakan film lagi. Walau demikian, bagaimanapun juga kamera digital dikembangkan dari kamera film dengan fungsi yang sama digunakan umumnya orang untuk potret sehari-hari, hanya berbeda pada sistem perekamannya. Artinya dengan kamera digital tersebut hasilnya tetap dapat diklasifikasikan sebagai foto udara small format juga.

Pemotretan FU SF yang dilakukan dengan perangkat fotografi yang sederhana (harga murah) dan jarak antara kamera dengan obyek (bumi) dekat (< 500m), maka dapat dilakukan dengan menggunakan pesawat ringan/kecil atau ultralight. Dengan demikian beaya pembuatan FU SF lebih murah bila dibandingkan dengan pengambilan foto udara standar. Sehingga sistem yang murah beayanya ini sangat cocok untuk keperluan infromasi tematik. Menghasilkan obyek berskala besar atau resolusi tinggi, dapat mengidentifikasi obyek pada skala besar dengan lebih detil dan dapat diperoleh hasilnya (dipotret) kapan saja bila diperlukan tergantung pada kondisi atmosfir.

Ruang Lingkup

Pengkajian ini dilakukan dialur sungai Curah Lengkong dan sekitarnya yang berada di daerah G. Semeru, Lumajang, Jawa Timur. Kegiatannya melakukan interpretasi foto udara small format hasil penggabungan FU SF yang sudah berupa mozaik dengan memperhatikan hasil survai lapangan dan studi pustaka. Maksud dan Tujuan

Pengkajian ini bermaksud mengamati sungai Curah Lengkong melalui FU SF setelah mendapat suplai

Page 82: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 C. Bambamg Sukatja

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 262

material vulkanik dari G. Semeru. Sedang tujuannya untuk memperkenalkan teknik FU SF yang dapat mengetahui perubahan morfologi sungai dalam usaha penanggulangan bencana banjir lahar sebagai antisipasi mengurangi korban jiwa dan harta benda masyarakat yang tinggal dan mencari nafkah di sekitar sungai.

2. METODOLOGI Pengkajian ini dilaksanakan dengan metodologi sebagai berikut : 1) Melaksanakan pengamatan dan pengumpulan data

lapangan, 2) Melakukan pemotretan udara dengan pesawal

ultralight, 3) Menyusun foto udara hasil pemotretan menjadi satu

informasi peta tematik (mozaik foto), 4) Melakukan analisis dan interprestasi hasil foto udara

dan pengumpulan data, 5) Melakukan evaluasi dan diskusi dalam usaha

penanggulangan jangka pendek, menengah dan panjang,

6) Merumuskan kesimpulan dan mengajukan saran-saran berdasarkan hasil analisis dan interprestasi yang telah dilakukan.

3. HASIL PENGKAJIAN DAN BAHASAN

Sejak tahun 1980, penggunaan Sistem Informasi Geografi (SIG) di negara-negara maju meningkat tajam terutama di kalangan pemerintah, militer, akademis atau bisnis. Perkembangan teknologi digital sangat besar peranannya dalam penggunaan SIG di berbagai bidang. Hal ini dikarenakan teknologi SIG banyak mendasarkan pada teknologi digital sebagai alat analisis. Sumber data digital dapat berupa citra satelit atau data foto udara yang terdigitasi (scanning). Untuk itu penyediaan data foto udara sangat diperlukan dalam SIG.

Seperti telah diketahui bersama bahwa foto berbeda dengan peta, peta memiliki skala dan foto tidak memilikinya. Semua obyek yang ada pada peta memiliki skala yang sama, tapi semua obyek yang ada pada foto mempunyai skala yang berbeda. Hal ini karena peta dibuat berdasarkan proyeksi orthografis sedang foto berdasarkan dari proyeksi yang terpusat (perspective). Setiap foto udara tmemiliki karakteristik yang unik, karena pengaruh adanya sudut liputan yang miring, perubahan tinggi penerbangan dan berbagai bentuk dari permukaan tanah, maka skala pada foto udara memakai skala rata-rata. Skala yang dipergunakan dalam tampilan foto merupakan perbandingan antara jarak titik focus ke film (f, jarak focal) dengan titik focus ke tanah (H, tinggi pesawat dari tanah). Sehingga foto udara yang memiliki focus kamera 152 mm skalanya 1 : 20.000, maka untuk menghitung tinggi pesawat dari tanah: 152 mm/H = 1/20.000, jadi pesawat harus terbang dari permukaan tanah = 20.000 x 152 mm = 3,04 km.

Gambar 1. Kamera Geometri

Pemotretan FU SF tidak mengikuti prosedur yang

ketat seperti halnya pemotretan foto udara konvensional, tetapi tetap menggunakan prinsip fotogrametri. Pesawat sebagai wahana membawa kamera akan merekam permukaan bumi beberapa kali pada ketinggian yang telah ditentukan pada jalur penerbangan sesuai dengan rencana yang telah disusun sebelumnya sebagai navigasi udara. Biasanya, setelah foto diperoleh, kemudian akan dilakukan proses transformasi menjadi ortofoto dan setelahnya akan dijadikan mosaik hingga dihasilkan citra pada area yang luas tanpa terlihat batas-batas sambungannya.

Pemotretan FU SF yang mempergunakan pesawat ringan dilakukan pada ketinggian 450 – 1.000 m, pemilihan tinggi penerbangan ini didasarkan atas jenis pesawat yang digunakan, seberapa detail obyek yang diperlukan, seberapa luas daerah yang akan dikaji. Semakin kecil jenis pesawat yang digunakan, semakin terbatas ketinggian terbangnya. Mengingat pesawat kecil akan terbang lebih stabil pada ketinggian rendah. Keuntungan dari penerbangan dengan ketinggian rendah ini menyebabkan awan yang berada di atasnya tidak menghalangi obyek yang dipotret dan obyek juga akan nampak semakin jelas. Namun bila diperlukan pemotretan pada daerah yang cukup luas dan obyek tematik di permukaan bumi tidak perlu detail sekali maka lebih efisien dengan mempergunakan pesawat yang agak besar sehingga mampu terbang pada ketinggian sekitar 1.000 m.

Gambar 2. Pesawat ringan dan perlengkapan fotografi

Foto Udara Small Format memiliki 4 komponen yaitu: • Wahana (platform), • Kamera (sensor dan detektor),

Kamera Jarak focal Bidang film atau focal Lensa H

Tanah

Gambar 2. Pesawat ringan dan perlengkapan fotografi untuk pemotretan FU SF

Page 83: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 C. Bambamg Sukatja

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 263

• Dudukan kamera (mounting) • Metode perekaman. Wahana adalah sesuatu yang membawa perlatan

fotografi ke udara hingga ketinggian tertentu untuk melakukan pemotretan obyek sesuai jalur yang ditentukan. Wahana dapat berupa layangan, balon udara, pesawat model yang dikendalikan dari jarak jauh, ultralight, pesawat kecil, atau wahana lainnya yang konstruksinya tidak dikhususkan untuk keperluan proyek pemotretan udara.

Kamera yang digunakan bukanlah kamera standar fotografi udara untuk kepentingan fotogrammetri, tetapi kamera pada umumnya, tidak peduli kamera film atau kamera digital asalkan sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan.

Dudukan kamera merupakan suatu konstruksi khusus yang dibuat untuk meletakkan kamera pada badan pesawat (wahana) yang dibuat sendiri.

Metode perekaman tergantung pada hasil yang diinginkan, tegak atau miring, strip atau area, atau spesifikasi-spesifikasi lainnya.

Gambar 3. Hasil pemotretan Foto Udara sistem Small Format sebelum dibuat Mozaik

Pengembangan Sistem

Saat ini teknik fotogrametri FU SF terus dikembangkan untuk meningkatkan akurasi terutama pada bagian sensor yang digunakan untuk identifikasi obyek; dan teknologi GPS untuk navigasinya. Beberapa penelitian fotogrametri telah digunakan dengan banyak metode yang kemudian digabungkan dengan data lapangan, teknologi spasial agar akurasi dan presisi hasil pemotretannya dapat lebih ditingkatkan.

Disamping itu, penggunaan spesifikasi kamera yang lebih tinggi dapat meningkatkan kemampuan identifikasi obyek pada kemampuan radiometriknya. Dan perkembangan teknologi digital pada bidang fotografi menjadikan kamera digital dari waktu ke waktu memiliki resolusi spasial (dimensi) dan radiometrik yang makin besar.

Dengan teknologi GPS jalur penerbangan untuk keperluan pemotretan akan sangat membantu terutama dalam informasi yang berupa posisi, tinggi, track dan identitas obyek memungkinkan untuk lebih meningkatkan akurasi data. Selanjutnya operasional dan pengolahan citra akan lebih mudah dan lebih sempurna dari sebelumnya.

Kelebihan dan kekurangan sistem FU SF:

FU SF sangat sesuai untuk keperluan informasi tematik, karena menghasilkan obyek berskala besar atau resolusi tinggi, dan dapat diperoleh fotonya (dipotret) kapan saja bila diperlukan tergantung pada kondisi atmosfir merupakan kelebihannya. Identifikasi obyek pada skala besar akan lebih jelas. Kasus-kasus dengan keterbatasan waktu perekaman seperti banjir dan dinamika yang tinggi sangat bermanfaat.

Meskipun demikian karena sesuatu yang di dunia ini tidak semuanya bebas dari unsur kekurangan, maka pada sistem ini juga memiliki kelemahan, yaitu dalam fotogrametrinya (menggunakan kamera sederhana) dan untuk pemotretan daerah yang relatif luas(> 100.000 Ha) memerlukan waktu yang lama, hasil pemotretannya banyak dan kadang keadaan foto ada yang tidak seragam, sehingga dalam pembuatan mosaik foto menjadi lebih rumit.

Beaya Pembuatan FU SF:

Beaya pembuatan FU SF lebih murah bila dibandingkan pembuatan FU konvensional. Karena pada pembuatan FU SF dapat menekan beaya untuk sewa pesawat sebagai wahana pembawa kamera, peralatan fotografi yang sederhana, material yang diperlukan selama pemotretan dan proses akhir fotografi serta jumlah personil yang dilibatkan.

Sebagai contoh wahana udara (pesawat terbang) yang biasa digunakan khusus untuk pemotretan FU konvensional membutuhkan biaya yang besar dibandingkan untuk sistem FU SF. Biasanya proyek pemotretan FU konvensional pada luas area yang sempit (kurang lebih 5000 Ha) dapat mencapai puluhan ribu dollar (1 $ USA = Rp. 9.300,-), namun dengan FU SF beayanya dapat ditekan hingga hanya berkisar pada ribuan dollar.

Pada pengkajian ini dilakukan analisa kejadian tematik yang berkaitan dengan mitigasi bencana pada penyebaran material vukanik G. Semeru di K. Curah Lengkong, Lumajang Jawa Timur dengan FU SF. Hal ini dilakukan mengingat foto udara standar terkini belum tersedia, DAS nya tidak begitu luas dan jalur terbang pemotretannya dapat dilakukan dalam satu arah yang sederhana (dari hulu ke hilir atau sebaliknya).

Pemilihan lokasi di K. Curah Lengkong ini berdasarkan atas pertimbangan bahwa dahulu sungai tersebut merupakan sungai biasa kini telah berubah menjadi sungai laharan, sehingga perlu penanganan yang cepat dan tepat dari instansi terkait yang bekerja

Page 84: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 C. Bambamg Sukatja

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 264

sama dengan masyarakat dan lembaga sosial kemasyarakatan.

Diharapkan penanganan perubahan morfologi sungai dan daerah sekitarnya dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan ragam kearifan lingkungan yang ada di masyarakat sekitar. Karena terjadinya bencana alam seperti banjir, tanah longsor dan kerusakan alam lainnya juga berkaitan dengan semakin terpinggirkannya kearifan lingkungan lokal, terutama yang berkaitan dengan kelestarian alam.

FU SF banyak dikembangkan saat ini terutama untuk kebutuhan perekaman data dalam waktu yang cepat. Selain itu dipergunakan sebagai salah satu pilihan penyediaan data penginderaan jauh (remote sensing) yang mempunyai prospek dalam hal keunggulan outputnya, pengoperasian dapat lebih dikembangkan dengan pesawat tanpa awak yang dikendalikan dengan remote control dan pengembangan dalam hal pemanfaatan datanya lebih luas terutama dengan memanfaatkan berbagai perangkat lunak komputer yang ada. Kronologis perubahan morfologi K. Curah Lengkong

Pada sekitar tahun 1895 material piroklastik masuk ke K. Besuk Tunggeng dan K. Besuk Semut, mengakibatkan selama + 5 (lima) tahun kedua sungai tersebut selalu dialiri lahar yang cukup hebat.

Pada 1941 terjadi aliran lava pijar yang cukup jauh masuk ke K. Besuk Semut dan K. Besuk Koboan. Jauhnya aliran lava pijar ini dikarenakan lava tidak keluar melalui kawah yang berada di puncak gunung tetapi melalui dinding gunung. Lava pijar yang masuk ke K. Besuk Semut ketika dingin seolah menjadi tembok raksasa yang menutup aliran ke K. Besuk Semut, sehingga ketika terjadi guguran awan panas berikutnya, pada 1963 material piroklastik selalu masuk ke K. Curah Lengkong hingga sekarang.

Gambar 4. Peta distribusi aliran piroklastik dan lava pijar G. Semeru

Hasil analisa Mozaik FU SF Dari pengamatan hasil pemotretan FU SF terlihat

perubahan morfologi sungai yang dahulu berupa sungai biasa menjadi sungai laharan yang pada saat tertentu dialiri aliran lahar, mempunyai daya rusak tinggi dan membahayakan bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Pada tebing sungai terjadi pengikisan, semakin lama palung sungai semakin lebar. Jumlah material yang tersebar di sepanjang alur sungai juga semakin banyak. Peran bangunan sabo (konsolidasi dam) yang dimaksudkan untuk mengendalikan elevasi dasar sungai dan lajunya kecepatan aliran lahar dapat berfungsi seperti yang direncanakan. Banyaknya material kasar (batu besar) yang diameternya lebih dari 1,5 m menunjukkan jumlah curah hujan yang terjadi di daerah endapan mengalami penurunan sehingga hanya material halus yang terbawa ke hilir aliran. Sampai sejauh ini terjadinya banjir lahar di K. Curah Lengkong belum membahayakan bagi permukiman penduduk. Namun untuk masa yang akan datang sehubungan dengan perkembangan wilayah dan jumlah endapan vulkanik dari aktivitas G. Semeru yang terjadi sepanjang tahun, maka memerlukan perhatian yang serius. Untuk itu memerlukan usaha penanggulangan bencana dengan perencanaan yang bijak berbasis kearifan lingkungan.

Juga terlihat terjadinya perubahan tata guna lahan yang berada di sekitar alur sungai khususnya di bagian hilir. Pohon-pohon besar tampak semakin jarang menutupi permukaan tanah, di beberapa tempat tampak masyarakat membuka lahan perkebunan. Dari sejumlah lahan perkebunan yang tampak dilokasi pengkajian dapat diartikan bahwa banyak penduduk yang saat ini tinggal di sekitar daerah tersebut.

Mengingat fasilitas penyeberangan yang berupa jembatan belum tersedia, konsolidasi dam yang juga berfungsi sebagai penyeberangan sering dimanfaatkan manusia, hewan dan kendaraan besar atau kecil sebagai penghubung antar daerah di sekitarnya. Banyaknya masyarakat yang menggunakan sungai sebagai penyeberangan, mencari nafkah dan bertempat tinggal di sekitar sungai mempunyai resiko dari dampak terjadinya aliran lahar G. Semeru.

Usaha Penanggulangan Bencana

Dari klarifikasi kejadian terjadinya banjir lahar di daerah K. Curah Lengkong yang dalam dekade terakhir ini terjadi perkembangan jumlah penduduk di sekitar sungai, maka perlu perencanaan yang bijak dalam usaha penanggulangannya. Dalam perencanaan usaha penanggulangan bencana banjir lahar ini hendaknya mengaitkan perencanaan sabo (master plan) dengan rencana perkembangan ekonomi bagi masyarakat setempat. Perencanaan sabo diharapkan dapat mendukung rencana setempat dalam mengatasi masalah bencana sedimen dan memajukan aktivitas perekonomian masyarakatnya tanpa merusak lingkungan. Untuk itu perlu perencanaan kerja :

Page 85: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 C. Bambamg Sukatja

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 265

• jangka pendek • jangka menengah • jangka panjang

Ketiga rencana tersebut harus mempunyai analisa efektifitas pembeayaan dan juga target dari masing-masing proyek. Jangka Pendek :

Perencanaan ini mempunyai skala prioritas untuk jangka 5 tahun dengan memilih bagian dari perencanaan jangka menengah yang memiliki prioritas tinggi dan menentukan perincian pekerjaan lapangan dan rencana garis besarnya. Pekerjaan ini antara lain :

o Melakukan survai lapangan untuk menentukan pembangunan bangunan sabo dalam meng-hadapi banjir lahar,

o Melakukan pekerjaan darurat (urgent work) yang diperlukan untuk pengendalian aliran lahar dan fasilitas umum yang rusak akibat banjir lahar yang sifatnya permanen atau semi permanen.

o Bekerja sama dengan instansi terkait dan lembaga sosial kemasyarakatan melakukan sosialisasi kepada masyarakat terhadap bahayanya banjir lahar, dsb.

Jangka Menengah :

Dalam perencanaan ini diharapkan dapat diperhitungkan rencana anggaran yang diperlukan dalam waktu 10 tahun mendatang dan mengevaluasi efektifitas beaya dari setiap pekerjaan. Evaluasi berdasarkan besarnya pembeayaan dan manfaatnya, sampai sejauh mana pengendalian sedimen yang telah dilaksanakan dapat memenuhi tujuan dalam pemeliharaan kapasitas sungai, penanggulangan aliran lahar pada permukiman penduduk dan sedimentasi pada reservoir serta pemeliharaan lingkungan. Pekerjaan perencanaan jangka menengah ini antara lain :

o Bersama instansi terkait, lembaga sosial kemasyarakatan dan masyarakat setempat mencari solusi dalam usaha pencegahan bencana yang berbasis kearifan lingkungan

o Bila diperlukan menentukan daerah rawan bencana banjir lahar

o Menentukan daerah penambangan bahan galian C

o Bila diperlukan membuat sistem prakiraan dan peringatan dini terjadinya banjir lahar

o Bila diperlukan menyiapkan sistem pengungsian dengan segala fasilitasnya

o Melakukan latihan mengungsi kepada masyarakat dan aparat pelaksana yang terkait agar tercipta management pengungsian yang baik dan benar

o Melakukan survai lapangan untuk menyusun master plan bangunan pengendali banjir lahar (perencanaan sabo) yang dikaitkan dengan irigasi untuk persawahan penduduk sekitar.

Gambar 5. Mozaik hasil pemotretan Foto Udara Small Format K. Curah Lengkong

Jangka Panjang :

Perencanaan ini diperlukan sebagai pendukung untuk memperoleh gambaran jangka panjang secara rinci dengan mengklasifikasikan pekerjaan dalam beberapa kelompok daerah yang dilindungi. Sehingga sasarannya menjadi jelas dan memberikan batasan wilayah pekerjaannya. Pekerjaan perencanaan jangka panjang ini antara lain:

o Melakukan survai lapangan secara berkelanjutan o Membina kerjasama yang baik antara instansi

terkait, lembaga sosial kemasyarakatan dan masyarakat setempat dalam usaha pencegahan bencana yang berbasis kearifan lingkungan secara berkelanjutan

o Mengevaluasi rencana master plan bangunan pengendali banjir lahar

o Bila diperlukan membangun fasilitas bangunan pengendali banjir lahar (perencanaan sabo) yang dikaitkan dengan irigasi untuk persawahan penduduk sekitar, dsb

Gambar 6. Banjir lahar di K. Curah Lengkong, Lumajang, Jatim

Page 86: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 C. Bambamg Sukatja

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 266

Gambar 7. Pengambilan sample material banjir lahar yang melewati Konsolidasi Dam Kobo’an 4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan :

FU SF dapat menjadi salah satu pilihan penyediaan data penginderaan jauh (remote sensing), mengingat biaya yang rendah dan mempunyai prospek dalam hal keunggulan outputnya, pengoperasioan dan pengembangan. Sangat bermanfaat dalam kebutuhan perekaman data dalam waktu yang cepat, fenomena yang dinamis dari permukaan bumi, monitoring dan berbagai fungsi lainnya tergantung pada meningkatnya kebutuhan.

Penggunaan spesifikasi kamera yang lebih tinggi dapat meningkatkan kemampuan identifikasi obyek pada kemampuan radiometriknya. Detektor kamera digital dari waktu ke waktu memiliki resolusi spasial (dimensi) dan radiometrik yang makin besar.

FU SF diutamakan untuk keperluan infromasi tematik. Menghasilkan obyek berskala besar atau resolusi tinggi, dan dapat diperoleh fotonya (dipotret) kapan saja bila diperlukan tergantung pada kondisi cuaca.Identifikasi obyek pada skala besar akan lebih detil. Kasus-kasus dengan keterbatasan waktu perekaman seperti banjir dengan dinamika tinggi muka banjir yang tinggi sangat bermanfaat.

Pengkajian morfologi sungai di K. Curah Lengkong dengan membandingkan hasil FU SF dapat menganalisa perubahan lebar palung sungai, penyebaran material aliran lahar di alur sungai, menganalisa kerusakan lahan hutan dan pertanian akibat aliran lahar, menentukan

usaha penanggulangan aliran lahar baik jangka pendek, menegah ataupun panjang.

Pengkajian pada daerah yang tidak begitu luas (< 100.000 Ha) sangat efektif karena waktu yang diperlukan untuk pemotretan dan proses fotogrametri tidak memakan waktu yang lama.

Saran : 1) Aplikasi FU SF dapat juga untuk interpretasi dan

pemetaan penutupan lahan, penggunaan lahan, perencanaannya (pertanian, kehutanan untuk menghitung jumlah tanaman, luas area, perkiraan panen, pengelolaan dan kesehatan vegetasi), study perkotaan, pedesaan, dan transportasi.

2) Aplikasi dalam bencana untuk memperkirakan kerugian dan luas area bencana.

3) Kerja sama dengan instansi terkait (aircraft amateur, Perguruan Tinggi) akan lebih menekan beaya pengoperasiannya

4) Dalam situasi yang sulit seperti saat ini maka perlu diusahakan penanggulangan bencana dengan mengaitkan kearifan lingkungan yang ada di masyarakat setempat.

5. DAFTAR PUSTAKA 1. C. Bambang Sukatja, Danang S, 2004,

Memanfaatkan Program ILWIS 3.12 Untuk Menayangkan Foto Udara Secara Stereo Pada Layar Komputer dan Aplikasinya Dalam Usaha Pengelolaan Sumber Daya Air, HATHI XXI , 2004.

2. W.S. Warner, R.W. Graham, R.E. Read, 1997, Small Format Aerial Photography, American Society for Photgrametry and Remote Sensing, Interprint Ltd., Malta.

3. Mitchell, Bruce, B. Setiawan, Dwita Hadi Rahmi, 2000, Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

4. …………, 1987, Pengantar Perencanaan Sabo, Volcanic Sabo TechnicalCentre, JICA

UCAPAN TERIMA KASIH :

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada Sdr. Barandi Sapta Widartono S.Si, Pengajar Fakultas Geografi UGM yang telah memberikan sumbang saran dalam melengkapi tulisan ini.

Page 87: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Gusti Zulkifli Mulki, Stefanus B. Soeryamassoeka

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 267

Penanaman Mangrove Oleh Masyarakat Guna Menanggulangi Abrasi Pantai di Kalimantan Barat

Gusti Zulkifli Mulki 1) Stefanus B. Soeryamassoeka 2)

1) Ketua Pengelola Magister Teknik Universitas Tanjungpura dan Wakil Ketua HATHI Kalimantan Barat 2) Dosen Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura

Abstrak

Ekosistem mangrove memiliki fungsi fisik, ekologis, dan sosial ekonomi yang sangat penting bagi ekosistem pesisir. Secara fisik, tegakan mangrove dapat menahan hempasan ombak atau angin saat terjadi badai, sehingga mampu menjaga dan melindungi keberadaan pantai. Sedangkan secara ekologis, ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber plasma nutfah; tempat pemijahan dan mencari makan bagi berbagai biota perairan seperti ikan, udang, dan kepiting. Disisi lain, pemanfaatan yang berlebihan telah mengakibatkan ekosistem mangrove mengalami kerusakan yang memprihatinkan. Hal tersebut disebabkan oleh semakin tingginya tingkat eksploitasi, lemahnya koordinasi program antar sektor, lemahnya penegakan hukum, dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi ekosistem mangrove. Sejak 1971 pantai Kalimantan Barat bagian utara, khususnya dari Kecamatan Mempawah hingga Kecamatan Pemangkat, sedang mengalami erosi pantai yang telah lanjut. Di beberapa desa, tanaman kelapa dan rumah penduduk telah musnah, demikian pula areal pertambakan yang berada di sekitarnya telah mulai terancam. Jalan arteri yang menghubungkan Mempawah - Pemangkat telah beberapa kali dipindahkan. Terjadinya erosi pantai pada dasarnya dapat ditinjau dari dua hal. Pertama, secara alami pantai terkikis gelombang laut. Kedua, pengaruh manusia yang tinggal di sekitar/di dekat pantai yang memanfaatkan lahan atau tumbuh-tumbuhan pantai. Hal yang kedua inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut, terutama keterkaitan keadaan'sosiall ekonomi, dan budaya masyarakat pantai dengan kerusakan lahan ataupun tumbuh-tumbuhan pantai. Makalah ini membahas mengenai perjuangan masyarakat ( dalam hal ini ibu-ibu) dalam menanggulangi abrasi pantai di desanya yaitu desa Sei Raya di kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat.. Suatu perjuangan yang tak kenal lelah, dan antara harapan dan keputusasaan. Keywords : mangrove, abrasi, Kalimantan Barat, partisipasi masyarakat

1. Pendahuluan

Ekosistem mangrove memiliki fungsi fisik, ekologis, dan sosial ekonomi yang sangat penting bagi ekosistem pesisir. Secara fisik, tegakan mangrove dapat menahan hempasan ombak atau angin saat terjadi badai, sehingga mampu menjaga dan melindungi keberadaan pantai, pemukiman serta bangunan fisik lainnya. Sedangkan secara ekologis, ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber plasma nutfah; tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi berbagai biota perairan seperti ikan, udang, dan kepiting. Selain daripada itu, ekosistem mangrove juga banyak dimanfaatkan dan atau dikonversi untuk berbagai keperluan pembangunan, seperti wisata bahari, budidaya perikanan, kehutanan, pemukiman, perhubungan dan sebagainya.

Disisi lain, pemanfaatan yang berlebihan telah mengakibatkan ekosistem mangrove mengalami kerusakan yang memprihatinkan. Hal tersebut disebabkan oleh semakin tingginya tingkat eksploitasi, lemahnya koordinasi dan sinkronisasi program antar sektor, lemahnya penegakan hukum, dan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi ekosistem mangrove. Kerusakan tersebut telah memberikan dampak merugikan bagi lingkungan maupun masyarakat, antara lain ditunjukkan dengan semakin menurunnya tangkapan ikan, terganggunya kegiatan budidaya, kesulitan air tawar karena intrusi air laut, meningkatnya erosi pantai, terjadinya kerusakan kawasan permukiman oleh angin, badai, dan lain sebagainya.

Degradasi sumber daya pesisir ini sejak tahun 1970-an semakin berkembang dan meluas akibat pemanfaatan yang berlebihan yang menyebabkan hilangnya ekosistem mangrove, terumbu karang dan estuaria yang selanjutnya dapat mengganggu lingkungan biosfer wilayah pantai dan pesisir. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya

2. Permasalahan

Sejak tahun 1971 pantai Kalimantan Barat bagian utara, khususnya dari kecamatan Mempawah hingga kecamatan Pemangkat, di beberapa tempat sedang mengalami erosi pantai yang telah lanjut.

Sejauh ini, pola penanganan abrasi dilakukan dengan pendekatan rekayasa teknik sipil yaitu berupa pembangunan sarana penahan ombak yang biasanya terbuat dari bahan beton dengan berbagai bentuk dan ukurannya. Metoda ini cukup praktis, tetapi bukan cara terbaik untuk menangani masalah abrasi pantai ini ditinjau dari segi ekonomi dan kelestarian ekosistem pantai (ekologis). Dengan kondisi gelombang laut Cina Selatan yang memiliki karakteristik gelombang besar setiap musim terutama musim barat sesungguhnya diperlukan investasi yang sangat besar untuk

Page 88: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Gusti Zulkifli Mulki, Stefanus B. Soeryamassoeka

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 268

menuntaskan masalah penganganan abrasi pantai ini dengan rekayasa sipil tersebut.

Sebenarnya Pemerintah Daerah telah menggunakan pendekatan ekologi untuk mencegah semakin luasnya abrasi yaitu dengan penanaman jenis mangrove. Akan tetapi persentase hidup tanaman mangrove itu sangat kecil.

Penduduk Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Bengkayang yang bermukim disekitar daerah abrasi sangat merasakan dampak negatif dari adanya abrasi yang tak tertanggulangi. Akibat dari abrasi, masyarakat sekitar yang bermata pencaharian sebagai nelayan mau tidak mau harus mencari ikan jauh di tengah laut dengan hasil yang kurang memuaskan.

3. Pendekatan / Metodologi

Sebagai langkah awal dari kegiatan ini akan dilihat (survey) ke lokasi. Setelah mengetahui karakteristik (tanah, gelombang) dari lokasi tersebut, kemudian dibuat areal persemaian. Kajian management dilakukan dengan cara menghimpun imformasi dari masyarakat sekitar pantai, pemerintah dan swasta , mengenai tingkat keterlibatan yang diharapkan dari semua stake holders tersebut dalam proses penanaman kembali, pemeliharaan dan pemanfaatan hutan mangrove. Tahap selanjutnya dilakukan perumusan konsep management hutan mangrove yang akan direkomendasikan menjadi sebuah konsep kebijakan pemerintah.

Adapun maksud dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan menyadarkan masyarakat lokal pada pentingnya fungsi ekosistem hutan mangrove bagi berbagai biota laut, dan kondisi fisik pantai yang pada akhirnya akan berpengaruh signifikan pada dinamika pendapatan perekonomian masyarakat Kabupaten Bengkayang. Sedangkan tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merehabilitasi hutan mangrove yang keberadaannya sudah rusak sehingga akan bermuara pada perbaikan kondisi sosial ekonomi komunitas lokal.

4. Mangrove di Kalimantan Barat 4.1. Berkurangnya hutan mangrove

Menurut Kusmana (2002), pengertian mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang

secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotic dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.

Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis. Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah Bakau (Rhizophora. spp.), Api-api (Avicennia spp.), Pedada (Sonneratia spp.), Tanjang (Bruguiera spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.), Tenger (Ceriops spp) dan, Buta-buta (Exoecaria spp.).

MacKinnon dan Artha (1981) memperkirakan bahwa di Kalimantan Barat, rawa bakau termasuk nipa awalnya memiliki Iuas 425.000 ha dan kemudian di tahun 1981 hanya 60.000 ha atau 14% yang tersisa. Cukup beralasan untuk memperkirakan dari data ini bahwa kurang dari 10% hutan bakau Kalimantan Barat yang saat ini masih tersisa. jika perkiraan ini benar, pertanyaan kemudian yang timbul adalah bagaimana pemanfaatan bakau di masa akan datang. Di pihak lain, jika dapat dibuktikan bahwa luas daerah bakau saat ini tidak menurun dan telah kembali stabil karena praktek pemanfaatan yang baik, kemudian dapat dikemukakan bahwa pemanfaatan bakau dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, jika dapat dibuktikan bahwa lebih dari 86% bakau telah dirusak, adalah bijaksana untuk memberikan perhatian yang khusus pada pemanfaatan sumber daya ini. Perencanaan dan pemberdayaan peraturan harus mencoba dan meyakinkan bahwa tidak akan ada persetujuan yang akan diberikan bagi hal-hal yang merusak atau menurunkan kualitas bakau.

Menurut peta RTRWP Kalimantan Barat, sekitar 175.000 ha bakau akan dilindungi hingga tahun 2008. Meskipun demikian, hal ini kurang meyakinkan, dan bahwa hanya 40.000 ha saja yang saat ini masih ada.

Perkiraan luas bakau di Kalimantan Barat cenderung masuk ke dalam dua kelompok: sekitar 50.000 ha dan sekitar 200.000 ha, perbedaan sekitar empat kali lipat. Salah satu sebab perbedaan ini adalah berbedanya sumber informasi. Nilai yang besar berdasarkan sistem lahan dan berhubungan dengan areal vegetasi bakau mula-mula, sementara angka yang lebih rendah lebih memberikan perkiraan luas yang tersisa saat disurvei.

Tabel: Luas hutan bakau tersisa di Kalimantan Barat dan Indonesia Lokasi BIPRAN PHPA-AWB NFI RePPProT Giesen

(1982) (ha) (1987) (ha) (1993) (ha) (1985) (ha) (1993) (ha) Kalbar 40.000 60.000 194.300 205.000 40.000Indonesia 4.251.010 3.235.700 3.737.340 3.790.500 2.490.185Sumber: Strategi Nasional untuk Pengelolaan Hutan Bakau di Indonesia (1996)

Page 89: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Gusti Zulkifli Mulki, Stefanus B. Soeryamassoeka

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 269

Giesen (1993) mengumpulkan data mengenai

tutupan bakau saat ini. Di Kalimantan Barat, is memperkirakan luas bakau mula-mula sekitar 213.000 ha, berdasarkan RePPProT dan perhitungan pada sistem lahan yang berhubungan. Jumlah luas mangrove tersisa sebanyak 40.000 ha, berasal dari data yang diberikan oleh Dit. Jen. Perikanan. Ini memperlihatkan bahwa pada tahun 1991 hanya 19% saja bakau Kalimantan Barat yang tersisa, dibandingkan dengan 60% di seluruh Indonesia. Dari 25 propinsi yang ada pada daftar Giesen, Kalimantan Barat masuk peringkat ke 5 dari hilangnya bakau. Kalimantan Tengah, Timur dan Selatan masuk peringkat yang Iebih baik, yaitu: 24%, 39%, dan 58%. Jika diasumsikan data dari MacKinnon & Artha dan Giesen adalah benar, terlihat bahwa sisa hutan bakau di Kalimantan saat ini hanya 10-20% saja.

4.2. Fungsi & Manfaat Mangrove

Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Karena sifat fisiknya, mangrove mampu berperan sebagai penahan ombak serta penahan intrusi dan abrasi laut. Proses dekomposisi serasah bakau yang terjadi mampu menunjang kehidupan makhluk hidup di dalamnya. Keunikan lainnya adalah fungsi serbaguna hutan mangrove sebagai sumber penghasilan masyarakat desa di daerah pesisir, tempat berkembangnya biota laut tertentu dan flora-fauna pesisir, serta dapat dikembangkan sebagai wanawisata untuk kepentingan pendidikan dan penelitian.

Konservasi kawasan mangrove termaktub dalam Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dimana paling tidak terdapat tiga aspek penting, yaitu: 1. Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan

dengan menjamin terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan hidup biota dan keberadaan ekosistemnya.

2. Pengawetan sumber plasma nutfah, yaitu menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya, yang sesuai bagi kepentingan kehidupan umat manusia.

3. pemanfaatan secara lestari atau berkelanjutan, baik berupa produksi dan jasa.

Berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No. 60/Kpts/Dj./I/1978, hutan mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara

sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan pada

waktu surut. Mangrove merupakan suatu tempat yang bergerak akibat adanya pembentukan tanah lumpur dan

daratan secara terus-menerus oleh tumbuhan sehingga secara perlahan-lahan berubah menjadi semi daratan.

Fungsi fisik: 1. Menjaga garis pantai agar tetap stabil 2. Melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi

atau abrasi, serta menahan atau menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat.

3. Menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru.

4. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat, atau sebagai filter air asin menjadi tawar.

Fungsi kimia: 1. Tempat terjadinya proses daur ulang yang

menghasilkan oksigen. 2. Sebagai penyerap karbondioksida. 3. Sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil

pencemaran industri dan kapal-kapal di lautan. Fungsi biologi: 1. Sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan

sumber makanan penting bagi invertebrate kecil pemakan bahan pelapukan (detritus), yang kemudian berperan sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar.

2. Sebagai kawasan pemijah atau asuhan (nursery ground) bagi udang, ikan, kepiting, kerang, dan sebagainya, yang setelah dewasa akan kembali ke lepas pantai.

3. Sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang, serta berkembang biak bagi burung dan satwa lain.

4. Sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetika. 5. Sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota darat

dan laut lainnya. Fungsi ekonomi: 1. Penghasil kayu, misalnya kayu baker, arang, serta

kayu untuk bahan bangunan dan perabot runah tangga.

2. Penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan, alcohol, penyamak kulit, kosmetika, dan zat pewarna.

3. Penghasil bibit ikan, udang, kerang, kepiting, telur burung dan madu

Fungsi lain: 1. Sebagai kawasan wisata alam pantai dengan

keindahan vegetasi dan satwa, serta berperahu di sekitar mangrove.

2. Sebagai tempat pendidikan, konservasi dan penelitian.

Page 90: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Gusti Zulkifli Mulki, Stefanus B. Soeryamassoeka

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 270

5. Pembahasan Masalah Garis pantai di Kalimantan Barat tidak stabil.

Hanya dalam skala waktu ratusan tahun bisa terdapat perubahan yang berarti karena proses transgresi atau regresi. Di dalam sistem yang dinamis ini, bakau merupakan pelindung utama terhadap angin, gelombang dan arus taut yang bersama-sama menimbulkan energi untuk proses erosi pantai. Bakau juga penting dalam proses akresi lumpur, dan pada kondisi tertentu, bakau membantu proses terbentukknya pulau/Iahan.

Soegiato dan Ilahude (ibid) telah memperlihatkan bahwa garis pantai Sambas sangat terpengaruh oleh erosi dan akresi. Kondisi ini secara Iangsung dihubungkan dengan hilangnya bakau yang mengakibatkan meningkatnya erosi pantai. Hasil dari permasalahan ini adalah rusaknya jalan dan desa di tepi pantai. Di utara

Mempawah, yang dutunya terdapat daerah bakau, jalan yang ada telah rusak dan blok-blok beton telah harus digunakan untuk mengurangi dampak gelombang taut. Di masa lalu, bakau membantu menstabilkan garis pantai tanpa biaya ekonomi.

. 5.1. Partisipasi Masyarakat dlm Penanggulangan Abrasi

Penanggulangan abrasi pantai wilayah pesisir Kabupaten Bengkayang dapat dilakukan dengan menanam kembali hutan mangrove. Berdasarkan jenis vegetasi mangrove yang ditemui di daerah ini serta jenis tanah dan karekteristik gelombangnya maka jenis tanaman yang cocok untuk daerah ini adalah jenis Api-Api Putih (Avicennia marina) dan Bakau (Rhizophora apiculata).

Gambar 1. Lokasi Penanaman

5.1.1. Pembinaan Masyarakat

Pembinaan masyarakat dilakukan dengan membentuk 5 kelompok kerja masing-masing terdiri dari 4 orang. Masyarakat yang dibina dipilih dari kalangan perempuan karena sebagian besar dari mereka tidak punya kesibukan selain mengurus rumah tangga. Kegiatan pembinaan dilaksanakan di salah satu rumah penduduk dengan pemberi materi adalah tim ahli mangrove. Materi yang diberikan yaitu tentang teknis penanaman, pola penanganan, manfaat hutan mangrove,

serta bahaya yang dapat ditimbulkan apabila hutan mangrove mngalami kerusakan. Didalam pembinaan ini masyarakat diajarkan cara pembibitan, penanaman dan pemeliharaan mangrove. Setelah kegiatan pembinaan ini diharapkan masyarakat bisa menyadari pentingnya hutan mangrove dalam mendukung kehidupan masyarakat pesisir. Lebih dari itu diharapkan masyarakat dapat melakukan sendiri pembibitan, penanaman serta pemeliharaan hutan mangrove.

Pembagian Kelompok Kerja No. Nama Kelompok Kerja Nama Anggota 1. Api-api Hitam (Avicennia alba) Musgiah, Dahniar, Minarsih, Isnaniah 2. Api-api Putih (Avicennia marina) Feriati, Ida Mariana, Suryani, Maya 3. Tumu (Bruguiera gymnorhiza) Surya, Lilis, Gerhanita, Kalsum 4. Bakau (Rhizophora apiculata) Kartini, Kartika, Nita, Kartini 5. Prepat (Sonneratia caseolaris) Jaleha, Sinang, Marni, Sri

5.1.2. Persemaian dan Pembibitan

Benih yang disemaikan diperoleh dari daerah setempat dengan memetik langsung dari pohon. Ciri

kematangan buah adalah warna kulit buah kekuningan dan kadang-kadang kulit buah sedikit terbuka. Buah yang matang mudah terlepas dari kelopaknya. Buah dilepas

Page 91: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Gusti Zulkifli Mulki, Stefanus B. Soeryamassoeka

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 271

dari kelopaknya dan dipilih benih yang bebas hama dan beratnya 1,5 gram atau lebih. Setelah kelopak dilepas, buah direndam dalam air selama satu hari agar terkelupas kulitnya, buah yang belum terkelupas kulitnya dapat dikupas dengan tangan. Kemudian benih dipindah ke dalam ember berisi air payau yang bersih. Ember diletakkan di tempat yang dingin dan ternaungi dengan baik.

Bahan yang digunakan untuk media semai adalah tanah alluvial dari daerah pesisir (tepi laut) setempat. Tanah diambil dengan cangkul sedalam ± 15 cm di bagian atas, kemudian diangkut ke pondok kerja. Tanah dimasukkan ke dalam kantong plastik (polybag) dengan takaran ¾ dari kapasitas polybag.

Pembuatan bibit api-api dilakukan di dua tempat yaitu di darat untuk penyemaian dan pemeliharaan serta di daerah pasang surut untuk pemantapan. Pembibitan di darat dibuat pada areal yang tidak terkena pasang surut air laut dan diberi naungan yang memungkinkan masuknya cahaya matahari ± 70 %. Setelah 2 bulan pemeliharaan di darat, bibit dipindahkan ke daerah yang terkena pasang surut air laut tanpa naungan untuk pemantapan selama 1 bulan agar bibit dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan dimana akan ditanam nantinya.

Untuk bibit yang berada didarat dilakukan penyiraman dua kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. Penyiraman dilakukan dengan air laut Sedangkan untuk bibit di daerah pasang surut tidak perlu disiram karena memanfaatkan penyiraman alami dari pasang surut air laut. Akan tetapi pada saat pasang perbani bibit ini disiram satu kali sehari karena tinggi air pasang tidak mencapai bibit.

Penyiangan dilakukan untuk membuang rumput atau gulma yang tumbuh pada media semai. Penyiangan

dilakukan secara terus menerus dengan menggunakan tangan.

Pengendalian hama dilakukan terutama untuk hama kepiting dan ulat. Hama kepiting seringkali memakan bibit muda dan daun. Gangguan ini diatasi dengan menutup lubang mereka dengan batu. Hama ulat diatasi dengan cara diambil dan dibunuh. Untuk kerusakan yang cukup serius, disemprot dengan insektisida atau dipindahkan ke daerah pasang surut.

Pembibitan dilakukan didekat pemukiman penduduk untuk memudahkan pengawasan dalam pemeliharaan bibit. Pembibitan, pengawasan dan pemeliharaan di lakukan oleh tenaga lokal yang didampingi oleh ahli mangrove.

5.1.3. Penanaman

Bibit yang ditanam adalah bibit yang segar dan sehat dengan tinggi tidak kurang dari 55 cm dan jumlah daun minimal 4 helai. Bibit ditanam di daerah yang terlindung dari gelombang. Sebelum melakukan penanaman terlebih dahulu dipasang ajir dengan jarak antar ajir 50 cm. Ajir dibuat dari bambu dengan panjang setiap ajir 150 cm. Bibit-bibit yang akan ditanam dilepas dulu polybagnya. Bibit diikat pada ajir agar lebih tahan terhadap hempasan gelombang dan tidak hanyut terbawa arus. Untuk memudahkan penanaman, bibit ditanam pada saat air sedang surut. Penanaman bibit mangrove dilakukan di daerah percobaan sepanjang 1000 meter di sekitar pemukiman penduduk sebanyak 4000 bibit. Sisa Bibit yang belum ditanam digunakan untuk penyulaman apabila terdapat tanaman yang rusak. Penanaman dikerjakan oleh tenaga lokal yang didampingi oleh tim ahli mangrove agar prosedur penanaman berlangsung secara benar.

Page 92: Prediksi Kapasitas Tampung Sedimen Kali Gendol Terhadap ...tanah, luas daerah pengaliran sungai, serta curah hujan. Aliran debris adalah suatu aliran massa berupa campuran antara air

ISBN: 978-979-15616-4-8 Gusti Zulkifli Mulki, Stefanus B. Soeryamassoeka

Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI ke-23, Manado 10-12 Nopember 2006 272

5.1.4. Pemeliharaan/Penyulaman Pemeliharaan terhadap tanaman mangrove

merupakan pekerjaan yang cukup penting dalam menentukan keberhasilan. Pengawasan dilakukan untuk mengetahui apabila terdapat ajir yang terlepas sehingga menyebabkan tanaman mangrove menjadi hanyut. Pada saat ditemukan tanaman yang hanyut segera dilakukan penyulaman dengan sisa bibit yang tersedia. Terlepasnya ajir disebabkan oleh lapisan lumpur yang terlalu tebal sehingga tidak kuat mengikat ajir. Untuk mengatasi hal tersebut maka ajir diganti dengan yang lebih panjang sehingga mencapai ke lapisan tanah yang cukup keras. 6. Kesimpulan & Saran 6.1. Kesimpulan 1. Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa

abrasi pantai di Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Bengkayang sudah cukup parah dan harus segera diatasi.

2. Model penanggulangan abrasi yang alami dan berbasis masyarakat dapat diterapkan di pesisir Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Bengkayang yaitu dengan penanaman mangrove, asal pendampingan dilakukan secara terus menerus.

3. Jenis tanaman mangrove yang cocok untuk pantai Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Bengkayang

adalah jenis Api-api Putih (Avicennia marina) dan Bakau (Rhizophora apiculata).

6.2. Saran 1. Penanggulangan abrasi pantai sebaiknya dilakukan

juga pada daerah pesisir kritis lainnya yang terdapat di pantai Kalimantan Barat terutama daerah Pantai Utara.

2. Sebaiknya dilakukan penelitian terhadap jenis tanaman lain untuk mencari alternatif baru dalam merehabilitasi daerah pesisir Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Bengkayang.

DAFTAR PUSTAKA 1. ---------------, 2004, Pedoman Pengelolaan Ekosistem

Mangrove, DKP-Dirjen Pesisir & Pulau-pulau Kecil, Jakarta.

2. ---------------, 1997, Environmental Profile of Wetland in West Kalimantan Province, DPU-Dirjen Pengairan, Jakarta.

3. MacKinnon K dan Artha G, 1981. Ekologi Kalimantan, Prenhallindo. Jakarta.

4. Wijayani, S. 2002. Rehabilitasi Hutan Mangrove: Tinjauan Ekologi Keanekaragaman Jenis Mangrove. Proseeding Workshop Rehabilitasi Mangrove Tingkat Nasional. Jogjakarta.