praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan indonesia

Upload: ikhsan-ferdiyan

Post on 19-Jul-2015

68 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia. Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP di tengah-tengah kehidupan penegakan hukum. Praperadilan dalam KUHAP, ditempatkan dalam Bab X, Bagian Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri. Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang : 1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan, dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tagaknya hukum dan keadilan; 3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan

Akhir akhir ini kajian mengenai pra peradilan begitu mengemuka. Banyaknya persoalan hukum yang menjadi isu nasional, membuat perkara pra peradilan menarik perhatian masyarakat, diantaranya adalah di kabulkannnya permohonan pra peradilan Anggodo oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan serta akan diajukannya pra peradilan oleh Susno Duaji, Mantan Kabareskrim yang saat ini menjadi tersangka kasus suap. Pra peradilan yang lama tidak pernah muncul, mulai menjadi bahan kajian kembali bagi ahli hukum terutama berkaitan dengan efektifitas pra peradilan melindungi HAM dalam tindakan upaya paksa aparat hukum, serta perdebatan mengenai perlu tidaknya pra peradilan diganti dengan peran hakim komisaris sebagaimana tercantum dalam RUU KUHAP. Banyak pihak menganggap pra peradilan masih di perlukan dalam perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM) dari kesewenang wenangan hukum penguasa serta untuk menguji seberapa jauh aturan hukum acara pidana telah di jalankan aparat hukum.

Arti pra peradilan dalam hukum acara pidana dapat dipahami dari bunyi pasal 1 butir 10 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa Pra Peradilan adalah wewenang pengadilan untuk memeriksa dan memutus dan memutus : Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan; Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepntingan demi tegaknya hukum dan keadilan dan; Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Secara limitattif umumnya mengenai pra peradilan diatur dalam pasal 77 sampai pasal 88 KUHAP. Selain dari pada itu, ada pasal lain yang masih berhubungan dengan pra

peradilan tetapi diatur dalam pasal tersendiri yaitu mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana di atur dalam pasal 95 dan 97 KUHAP. Kewenangan secara spesifik pra peradilan sesuai dengan pasal 77 sampai pasal 88 KUHAP adalah memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa (penangkapan dan penahanan) serta memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, akan tetapi dikaitkan pasal 95 dan 97 KUHAP kewenangan pra peradilan ditambah dengan kewenangan untuk memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabitilasi. Ganti kerugian dalam hal ini bukan hanya semata mata mengenai akibat kesalahan upaya paksa, penyidikan maupun penuntutan, tetapi dapat juga ganti kerugian akibat adanya pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah secara hukum sesuai dengan penjelasan pasal 95 ayat (1) KUHAP. Dalam keputusan Menkeh RI No. M.01.PW.07.03 tahun 1982, pra peradilan disebutkan dapat pula dilakukan atas tindakan kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat bukti, atau seseorang yang dikenankan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang undang karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan. Ganti kerugian diatur dalam Bab XII, Bagian Kesatu KUHAP. Perlu diperhatikan dalam pasal 1 butir 22 menyatakan Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang undang atau karena kekeliruan orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur undang undang ini. Beranjak dari bunyi pasal diatas, dapat ditangkap dengan jelas bahwa ganti rugi adalah alat pemenuhan untuk mengganti kerugian akibat hilangnya kenikmatan berupa kebebasan karena adanya upaya paksa yang tidak berdasar hukum. Kiranya sangat tepat jika negara bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi, sebab tindakan upaya paksa tentu dilakukan oleh aparat hukum yang merupakan bagian dari negara. Dalam Bab X Bagian Kesatu mulai pasal 79 sampai dengan pasal 83 KUHAP diatur pihak pihak yang dapat mengajukan pra peradilan adalah :

Tersangka, keluarganya melalui kuasa hukum yang mengajukan gugatan praperadilan terhadap kepolisian atau kejaksaan di pengadilan atas dasar sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan; Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan atas dasar sah lam atau tidaknya penghentian penyidikan; Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan atas dasar sah atau tidaknya penghentian penuntutan; Tersangka atau pihak ketiga yang bekepentingan menuntut ganti rugi tentang sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan (pasal 81 KUHAP); Tersangka, ahli waris atau kuasanya tentang tuntutan ganti rugi atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan (pasal 95 ayat (2) KUHAP).

Khusus dalam hal pra peradilan yang dilakukan oleh penyidik terhadap penghentian penuntutan atau penuntut umum terhadap penghentian penyidikan hendaknya di pahami bukan untuk mencampuri urusan kewenangan masing masing kelembagaan tetapi lebih di pahami sebagai kontrol mekanisme penegakan hukum acara. Peran serta masyarakat baik itu melalui LSM maupun secara individu juga mutlak di perlukan dalam pengawasan penegakan hukum. Dalam pasal 80 KUHAP, pengertian pihak ketiga yang berkepentingan dalam mengajukan pra peradilan tentang penghentian penyidikan atau penuntutan, sering diartikan hanya sebatas saksi pelapor atau saksi korban tindak pidana. Kedepan pengertian itu perlu diperluas dengan melibatkan masyarakat luas yang diwakili LSM atau organisasi kemasyarakatan. M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP menyatakan perlunya LSM atau organisasi kemasyarakatan di beri ruang sebagai pihak untuk mengajukan pra peradilan. Sebagai lembaga yang bertujuan mengawal penegakan hukum, jika tujuan mem pra peradilankan penghentian penyidikan maupun penghentian penuntutan adalah untuk mengkoreksi atau mengawasi kemungkinan kekeliruan maupun kesewenangan atas penghentian secara horizontal, cukup alasan untuk berpendapat, bahwa kehendak untuk melibatkan masyarakat luas yang di wakili LSM atau organisasi kemasyarakatan dapat di terima dalam proses pengajuan pra peradilan. Pengajuan pra peradilan di lakukan di pengadilan negeri, dengan membuat permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk nantinya di register dalam register khusus tentang pra peradilan. Dari permohonan tersebut, sesuai ketentuan pasal 78 ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk seorang hakim tunggal untuk memeriksa perkara pra peradilan dengan dibantu dengan seorang panitera. Untuk penetapan hari sidang sesuai dengan pasal 82 ayat (1) huruf c mensyaratkan untuk segera bersidang 3 hari setelah di catat dalam register dan dalam tempo 7 hari perkara tersebut sudah harus di putus, sedangkan untuk pemanggilan para pihak dilakukan bersamaan dengan penetapan hari sidang oleh hakim yan ditunjuk. Tata cara maupun bentuk putusan dalam pra peradilan tidak diatur dalam ketentuan khusus dalam KUHAP. Sesuai dengan sifat cepat dan sederhananya proses persidangan, hendaknya hakim dapat meyesuaikan dalam melaksanakan proses persidangan maupun putusan. M. Yahya Harahap menegaskan bertitik tolak dari pasal 82 ayat (1) huruf c yang mengatur pengajuan dan tata cara pemeriksaan pra peradilan, hakim diminta untuk tegas menentukan tahapan persidangan pra peradilan dan membuat putusan sesederhana mungkin atau bisa di gabung dengan Berita Acara Sidang asalkan putusan memuat pertimbangan hukum yang lengkap, jelas dan memadai. Memperhatikan Pasal 82 ayat (1) huruf d yang berbunyi Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur maka pra peradilan dianggap gugur apabila :

Perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri dan ; pada saat perkaranya di periksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan pra peradilan belum selesai. Ketentuan pra peradilan gugur apabila pokok perkara telah masuk di Pengadilan Negeri, di maksudkan untuk menghindari penjatuhan putusan yang berbeda. Tidak tepat kiranya apabila pra peradilan tetap di periksa sementara perkara pokoknya telah

masuk juga dalam tahap persidangan. Tentunya jika di paksakan bersidang dan terjadi perbedaan penjatuhan putusan antara pra peradilan dengan perkara pokok, akan menimbulkan akibat hukum yang tidak baik. Gugurnya permohonan pra peradilan dapat juga di lakukan oleh pihak pemohon ketika sidang belum menjatuhkan putusan, asalkan hal tersebut di setujui termohon. Putusan pra peradilan pada dasarnya tidak dapat dimintakan banding. kecuali atas putusan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Pasal 83 ayat (1) berbunyi Terhadap putusan pra peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat di mintakan banding, sedangkan pasal 83 ayat (2) berbunyi :

terhadap putusan yang menetapkan sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan tidak dapat diajukan permintaan banding; terhadap putusan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan permintaan banding; Pengadilan Tinggi (PT) yang memeriksa dan memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, bertindak sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus dalam tingkat akhir. Ketentuan pasal 83 ayat (1) tidak dimaksudkan untuk membatasi keinginan para pihak mencari keadilan tetapi justru dimaksudkan untuk mewujudkan acara cepat dan mewujudkan kepastian hukum dalam waktu yang relatif singkat, sebagaimana dasar pra peradilan, sebab dalam pasal 83 ayat (2) proses banding ke PT pun merupakan upaya terakhir dan final serta tidak dikenal upaya kasasi pra peradilan ke Mahkamah Agung (MA). Pra peradilan adalah hal biasa dalam membangun saling kontrol antara kepolisian, kejaksaan dan tersangka melalui kuasa hukumnya. Tidak usah suatu proses pra peradilan di tanggapi dengan kecurigaan bahwa antara lembaga hukum akan saling menjatuhkan. Dalam suatu negara hukum, saling kontrol adalah suatu hal lumrah untuk menghindari kesewenang wenangan penerapan upaya paksa (penangkapan dan penahanan) atau penghentian penyidikan dan penuntutan (SP 3 dan SKPPP) secara tidak beralasan apalagi diam diam. Upaya kontrol itu perlu sebagai peningkatan kinerja di lembaga penegak hukum, serta untuk membangun kembali citra penegak hukum yang saat ini telah terpuruk. Oleh sebab itu semua proses pra peradilan harus dapat diterima dengan lapang dada, begitu pula dengan putusan yang di hasilkan pra peradilan. Kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat harus mampu bekerja sama menampilkan hukum yang pasti, jelas dan memadai. Kepastian hukum akan membuat keadaan negara harmonis dan pencari keadilan merasa terlindungi.

. Praperadilan Praperadilan, jika diartikan secara terminologi atau dipisah anatara kata pra dan peradilan. Pra beratti sebelum, sedangkan peradilan adalah proses penegakan hukum dalam mencari keadilan

dalam sebuah institusi yang disebut pengadilan (adjudikasi). Kalau demikian, praperdilan lebih diartikan sebagai istilah yang sama dengan prajudikasi. Padahal prajudikasi lebih pada tingkat penyidikan, penyelidikan, dan setelah itu berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan oleh penuntut umum dalam bentuk requisitor yang masuk di area pengadilan. Proses pemerikasaan di pengadilan di sebut sebagai adjudikasi.

Pra-adjudikasi yang disandingkan dengan praperadiln tidak tepat. Pasal 1 butir 10 memberikan arti yang berbeda. Praperadilan tidak diartikan dalam proses penyelidikan dan penyidikan semata. Melainkan adanya bantahan oleh tersangka, kuasa hukumnya, ahli waris, terhadap tidak sahnya tindakan penyidik dalam upaya paksa oleh penyidik terhadap penangkapan (arrest), penahanan (detention), penggelerdahan (searching) dan penyitaan (seizure). Bantahan itu dapat diajukan kepengadilan negeri untuk dinilai oleh hakim tunggal dengan acara pemeriksaan cepat, yang diputuskan dalam waktu tujuh hari oleh pengadilan negeri.

Menurut Hamzah (2006: 183) menitik beratkan praperadilan sebagai pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh hakim terhadap kewenangan kepolisian dan kejaksaan. Namun yang terjadi di Eropa seperti Prancis pemeriksaan pendahuluan yang dimaksud tidak hanya pada tindakan tidak sahnya penangkapan, penggeledahan dan penyitaan, namun hakim ikut serta melakukan pemeriksaan pendahuluan, apakah tindak pidana tersebut layak masuk sebagai objek/ kompetensi pengadilan atau tidak?

Negara indonesia, yang menentukan layaknya sebuah perkara oleh pelaku tindak pidana untuk dilimpahkan ke pengadilan adalah kepolisian dan kejaksaan setelah memenuhi unsur dan alat pembuktian.

Menurut Yahya Harahap (2002 b: 1) praperadilan merupakan lembaga baru yang ciri dan eksistensinya:

1. Berada dan merupakam kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri dan sebagai lembaga pengadilan, yang hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak pernah terpisah dari Pengadilan Negeri.

2. Dengan demikian, praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya merupakan divisi Pengadilan Negeri. 3. Adminitrasi yustisial, personil, peralatan, dan finansial baru bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua Pengadilan Negeri. 4. Tata laksanan yustisiallnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.

Eksistensi dan kehadiran lembaga praperadilan, yakni sebagai lembaga yang berwenang dan berfungsi mengadili atau menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan. Keberadan lembaga praperadilan, untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal (vide: Pasal 80 KUHAP). Jadi praperadilan adalah sebagai sarana pengendali dan pengawas atas tindakan institusi kepolisian dan kejaksaan terhadap kesalahan dalam tindakan penyidikan/ proses penuntutan (dalam penangkapan, penahanan, penggeledahan,dan penyitaan). Kesalahan itu baik berupa undue process of law ataukah terjadi eror in persona dalam penangkapan/ penahanan.