pramahartamiipbbab2

42
 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Wilayah Pesisir Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan, yang saling berinteraksi dan membentuk suatu kondisi lingkungan (ekologis) yang unik (Dahuri et al., 1996; Brown, 1996). Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan  perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al., 2001) (Gambar 2). Gambar 2. Skema Batas Wilayah Pesisir Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa wilayah pesisir dimulai dari lingkungan daratan hingga perairan laut. Sehingga harus dikelola secara terpadu dan bukan secara terpisah. Sementara itu, menurut berbagai pustaka utama tentang  pengelolaan wilayah pesisir, seperti Gartside (1988), Sorensen dan Creary (1990), Pernetta dan Elder (1993), Chua (1992), Clark (1996), Dahuri et al., (2001), dan

Upload: qiqin-abbas

Post on 12-Jul-2015

690 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 1/42

 

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem daratan dan

lautan, yang saling berinteraksi dan membentuk suatu kondisi lingkungan

(ekologis) yang unik (Dahuri et al., 1996; Brown, 1996). Definisi wilayah pesisir 

yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut; ke

arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam

air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan

 perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut

yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti

sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia

di daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri

et al., 2001) (Gambar 2).

Gambar 2. Skema Batas Wilayah Pesisir 

Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa wilayah pesisir dimulai dari

lingkungan daratan hingga perairan laut. Sehingga harus dikelola secara terpadu

dan bukan secara terpisah. Sementara itu, menurut berbagai pustaka utama tentang

 pengelolaan wilayah pesisir, seperti Gartside (1988), Sorensen dan Creary (1990),

Pernetta dan Elder (1993), Chua (1992), Clark (1996), Dahuri et al., (2001), dan

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 2/42

 

8

Brown (1996), bahwa penentuan batas-batas wilayah pesisir di dunia pada

umumnya berdasarkan pada tiga kriteria berikut:

1. Garis linier secara arbiter tegak lurus terhadap garis pantai (coastline atau

 shoreline). Republik Rakyat Cina mendefinisikan wilayah pesisirnya sebagai

suatu wilayah peralihan antara ekosistem darat dan lautan, ke arah darat

mencakup lahan darat sejauh 15 km dari garis pantai, dan ke arah laut meliputi

 perairan laut sejauh 15 km dari garis pantai (Zhijie dan Cote, 1990).

2. Batas-batas adiministrasi dan hukum. Negara bagian Washington, Amerika

Serikat; Australia Selatan; dan Queensland, batas ke arah laut dari wilayah

  pesisirnya adalah sejauh 3 mil laut dari garis dasar (coastal baseline)

(Sorensen dan Mc.Creary, 1990).

3. Karakteristik dan dinamika ekologis (biofisik), yakni atas dasar sebaranspasial dari karakteristik alamiah (natural features) atau kesatuan proses-

  proses ekologis (seperti aliran air sungai, migrasi biota, dan pasang surut).

Contoh batas satuan pengelolaan wilayah pesisir menurut kriteria ketiga ini

adalah: batasan menurut Daerah Aliran Sungai (catchment area atau

watershed ) (Rais et al., 2004; Chua, 2006).

Ciri-ciri Wilayah Pesisir meliputi antara lain:

1. Wilayah yang sangat dinamis dengan perubahan-perubahan biologis, kimiawi

dan geologis yang sangat cepat (Tulungen, 2001).

2. Tempat dimana terdapat ekosistem yang produktif dan beragam dan

merupakan tempat bertelur, tempat asuhan dan berlindung berbagai jenis

spesies organisme perairan (Tulungen, 2001; Dahuri et al., 2001)

3. Ekosistemnya yang terdiri dari terumbu karang, hutan bakau, pantai dan pasir,

muara sungai, lamun dan sebagainya yang merupakan pelindung alam yang

  penting dari erosi, banjir dan badai serta dapat berperan dalam mengurangi

dampak polusi dari daratan ke laut (Tulungen, 2001; Dahuri et al., 2001; Idris

et al., 2007).

4. Sebagai tempat tinggal manusia, untuk sarana transportasi, dan tempat berlibur 

atau rekreasi (UN, 2002a; UNEP, 2002a; da Silva, 2002).

Ekosistem alamiah (pada butir 3), seperti ekosistem pesisir dan lautan,

menyediakan tempat fungsi utama yang sangat diperlukan bagi kesinambungan

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 3/42

 

9

  pembangunan ekonomi dan kelangsungan hidup umat manusia itu sendiri

(Ortolano, 1984; de Groot, 1992).  Pertama adalah sebagai penyedia sumberdaya

alam dapat pulih (seperti hutan, ikan, dan energi matahari) dan sumberdaya alam

tak dapat pulih (termasuk bahan tambang dan mineral) yang diperlukan untuk 

  bahan baku pangan, papan, transportasi, industri dan kegiatan manusia lainnya.

 Kedua sebagai penyedia ruang ( space) untuk tempat tinggal (permukiman);

melakukan kegiatan budidaya pertanian dalam arti luas (termasuk perikanan dan

 peternakan) dan industri; rekreasi dan pariwisata; perlindungan alam; dan lain-lain.

 Ketiga sebagai penampung atau penyerap limbah (residu) sebagai hasil samping

dari kegiatan konsumsi, produksi (pabrikasi), dan transportasi yang dilakukan

oleh manusia.  Keempat  sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan (amenities) dan

 jasa-jasa pendukung kehidupan (life-suport services), seperti udara bersih, siklushidrologi, siklus hara, keanekaragaman hayati (biodiversity), alur ruaya

(migratory routes) berbagai jenis fauna dan lain sebagainya.

Wilayah pesisir merupakan kawasan yang paling padat dihuni oleh manusia

serta tempat berlangsung berbagai macam kegiatan pembangunan. Konsentrasi

kehidupan manusia dan berbagai kegiatan pembangunan di wilayah tersebut

disebabkan oleh tiga alasan ekonomi yang kuat, yaitu bahwa wilayah pesisir 

merupakan kawasan yang paling produktif di bumi, wilayah pesisir menyediakan

kemudahan bagi berbagai kegiatan, dan wilayah pesisir memiliki pesona yang

menarik bagi obyek pariwisata. Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan pesisir di

dunia termasuk Indonesia mengalami tekanan ekologis yang parah dan kompleks

sehingga menjadi rusak. Di Indonesia kerusakan wilayah ini terutama disebabkan

oleh pola pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi,

tanpa ada perhatian yang memadai terhadap karakteristik, fungsi dan dinamika

ekosistem. Padahal wilayah pesisir dan lautan beserta segenap sumberdaya alam

dan jasa-jasa lingkungan yang terkandung di dalamnya diharapkan akan menjadi

tumpuan pembangunan nasional. Oleh karena itu diperlukan perbaikan yang

mendasar di dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan sumberdaya alam

 pesisir. Pola pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi

  perlu diganti dengan pembangunan berkelanjutan. Pendekatan dan praktek 

  pengelolaan pembangunan wilayah pesisir yang selama ini dilaksanakan secara

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 4/42

 

10

sektoral dan terpilah-pilah, perlu diperbaiki melalui pendekatan pengelolaan

secara terpadu. (Dahuri, 1998; IOC, 1999; UNEP, 2002a).

Beberapa contoh kegiatan pembangunan yang banyak dikembangkan di

wilayah pesisir adalah:

(1) Pengembangan kawasan pemukiman di pesisir. Sejalan dengan semakin

meningkatnya pertumbuhan penduduk, maka semakin meningkat pula

kebutuhan fasilitas tempat tinggal yang menuntut adanya pengembangan

kawasan pemukiman. Kecenderungan yang ada saat ini bahwa pengembangan

kawasan pemukiman banyak dilakukan di kawasan pesisir. Sayangnya

  pengembangan kawasan pemukiman yang dilakukan hanya

mempertimbangkan kepentingan jangka pendek tanpa memperhatikan

kelestarian lingkungan untuk masa mendatang. Dengan pengembangankawasan pemukiman ini, maka dampak lain yang mungkin timbul adalah

 pencemaran perairan oleh limbah rumah tangga, jika tidak diantisipasi dengan

 pengembangan penanganan limbah secara terpadu (Dahuri et al., 2001; UN,

2002a; UNEP 2002a).

(2) Pengembangan lahan pertambakan. Pembukaan lahan mangrove menjadi

kawasan pertambakan terjadi secara besar-besaran sejak tahun 1980 yang

dipicu oleh membaiknya harga udang di pasar internasional dan dilarangnya

 penggunaan trawl di Indonesia. Kegiatan ini dilakukan baik dalam skala besar 

(industri) maupun skala kecil (masyarakat setempat). Kegiatan ini tidak hanya

 berdampak terhadap hilangnya fungsi fisik dan biologis ekosistem mangrove,

tetapi juga kegiatan budidaya memberikan dampak terhadap kualitas perairan

 baik berupa peningkatan kekeruhan maupun peningkatan bahan-bahan organik 

dalam lingkungan perairan pesisir ((FAO, 2001; Dahuri et al., 2001; WRI,

2002).

(3) Kegiatan pengilangan minyak di wilayah pesisir. Kegiatan ini juga berpotensi

memberikan dampak negatif terhadap kualitas perairan pesisir. Beberapa

kasus yang terjadi di wilayah pesisir menunjukkan tingginya pencemaran

minyak yang berasal dari kegiatan ini, seperti yang terjadi di Teluk 

Balikpapan (Dahuri et al., 2001; UN, 2002a; Idris et al., 2007).

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 5/42

 

11

(4) Kegiatan reklamasi di wilayah pesisir. Reklamasi seteliti apapun

  perencanannya, tetap akan mengubah kondisi dan ekosistem pesisir dan

ekosistem buatan yang baru tentunya tidak akan sebaik yang alamiah. Secara

garis besar reklamasi pantai memberikan dampak antara lain: Pertama,

reklamasi pesisir demi memperoleh lahan lebih luas merupakan kegiatan

  paling buruk yang mengubah bentang alam asli pantai dan wilayah pesisir.

Perubahan bentang alam ini akan berakibat pula terhadap perubahan hidro-

oseanografi terutama arus dan gelombang laut yang tentunya akan menjadi

ancaman besar bagi beberapa wilayah pesisir kota. Kedua, hilangnya potensi

sumberdaya hayati pesisir terutama beberapa biota laut yang selama ini

dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan, dan dampak selanjutnya adalah

kemungkinan berkurangnya hasil tangkapan nelayan. Secara umum ekosistemseperti padang lamun, terumbu karang, dan lainnya diketahui memiliki fungsi

ekologi yang sangat penting. Ekosistem-ekosistem ini menjadi urat nadi

kehidupan sebagian besar biota laut seperti ikan, udang, moluska, dan lainnya,

  baik sebagai tempat bertelur (pemijahan) maupun tempat mencari makan

(  feeding ground ) dan tempat pembesaran (nursery ground ). Untuk itu, bila

ekosistem pesisir ini rusak maka fungsi–fungsi tersebut di atas akan hilang,

apalagi aktivitas seperti alih fungsi suatu wilayah pesisir, di mana secara fisik 

akan mengalami tekanan yang sangat besar dan dampaknya akan semakin luas

dan kompleks. Ketiga, kemungkinan besar akan terjadi perubahan dan

 perpindahan sedimen yang sebelumnya tertampung pada wilayah reklamasi.

Pengerukan dan penimbunan dalam proses reklamasi pantai dapat

menyebabkan perubahan arus laut sekitarnya yang selanjutnya akan mengubah

  pola sedimentasi. Keempat, reklamasi berdampak terhadap rusaknya

ekosistem mangrove dan terumbu karang, yang selanjutnya akan

mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan sumberdaya ikan serta erosi

 pantai (Bryant et al., 1998; Dahuri et al., 2001; WRI, 2001; Fortes, 2001).

(5) Kegiatan industri yang dikembangkan di wilayah pesisir. Kegiatan ini

ditujukan untuk (a) meningkatkan dan memperkokoh program industrialisasi

dalam rangka mengantisipasi pergeseran struktur ekonomi nasional dari

dominan   primary based industry menuju   secondary based industry dan

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 6/42

 

12

tertiary based industry; dan (b) menyediakan kawasan industri yang memiliki

akses yang baik terhadap bahan baku, air untuk proses produksi dan

 pembuangan limbah dan transportasi produk maupun bahan baku (Dahuri et 

al., 2001; UN, 2002a; Idris et al., 2007).

(6) Kegiatan rekreasi dan pariwisata bahari yang banyak dikembangkan di

wilayah pesisir (misalnya pengembangan wisata bahari di Taman Nasional

Laut Bunaken yang juga berfungsi untuk kawasan lindung bagi biota yang

hidup pada ekosistem terumbu karang) akan dapat merusak ekosistem pesisir 

yang ada (UN, 2002a; da Silva, 2002).

(7) Kegiatan pertanian dan perkebunan di lahan atas. Secara langsung atau pun

tidak langsung akan memberikan dampak negatif terhadap wilayah pesisir.

Pembukaan lahan untuk kegiatan ini akan meningkatkan laju sedimentasi diwilayah pesisir, khususnya di muara-muara sungai. Kegiatan pertanian juga

meningkatkan kandungan nutrien ke dalam perairan. Apabila peningkatan ini

cukup tinggi, maka akan berpotensi menimbulkan eutrofikasi di perairan

 pesisir (Seitzinger dan Kroeze 1998; Kroeze dan Seitzinger 1998; Dahuri et al.,

2001).

Konsentrasi kehidupan umat manusia dan berbagai kegiatan pembangunan

di wilayah pesisir bukanlah suatu kebetulan, melainkan disebabkan oleh tiga

alasan ekonomis (economic rationality) yang kuat, antara lain:

1.  Pertama, wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologis

  paling produktif. Berbagai ekosistem dengan produktivitas hayati tertinggi,

seperti hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang dan estuaria berada di

wilayah pesisir. Lebih dari 90% total produksi perikanan dunia (sekitar 82 juta

ton), baik melalui kegiatan penangkapan maupun budidaya, berasal dari

wilayah pesisir (FAO, 1998).

2.  Kedua, wilayah pesisir menyediakan berbagai kemudahan (accessibilities)

yang paling praktis dan relatif lebih murah bagi kegiatan industri, pemukiman

dan kegiatan pembangunan lainnya, dibandingkan dengan yang dapat

disediakan oleh daerah lahan atas (up-land areas). Kemudahan tersebut berupa

media transportasi, tempat pembuangan limbah, bahan baku air pendingin

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 7/42

 

13

(cooling water) dari air laut untuk berbagai jenis pabrik dan pembangkit

tenaga listrik, dan bahan baku industri lainnya (Anutha dan Johnson 1996).

3.  Ketiga, wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama keindahan yang

dapat dijadikan objek rekreasi dan pariwisata yang sangat menarik dan

menguntungkan (lucrative), seperti pasir putih untuk berjemur, perairan pesisir 

untuk renang, selancar, berperahu, terumbu karang serta keindahan bawah laut

lainnya untuk pariwisata selam dan snorkling (da Silva, 2002).

2.2. Pengembangan Wilayah Pesisir dan Lautan

Prasetyawati (2001) memberikan pengertian tentang pengembangan sebagai

suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk mengenai

lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatnya taraf hidup mereka sebagai

akibat dari pengusahaan mereka, dengan demikian pengembangan adalah suatu

 proses yang menuju pada suatu kemajuan.

Dengan disahkannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang

telah diganti dengan UU No. 32 tahun 2004 pasal 18 ayat 4 tentang pengelolaan

kawasan pesisir, maka kewenangan dan kewajiban pengembangan kawasan

sekarang ini berada pada Pemerintah Kabupaten/Kota. Peran Pemerintah Pusat

adalah menyusun Norma, Standar, Pedoman dan Manual disamping memfasilitasi

dan meningkatkan kapasitas aparat pemerintah daerah. Sedangkan kewenangan

 pemerintah daerah dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan adalah sangat

luas, antara lain: 1) Menetapkan target pertumbuhan; 2) Menetapkan tahap dan

langkah pembangunan kawasan dan kedaerahan, sesuai dengan potensi yang

dimilikinya; 3) Menetapkan persetujuan kerjasama regional di bidang

 perdagangan yang berlandaskan pada produksi lokal yang dihasilkan oleh sentra-

sentra komoditas tertentu; 4) Melakukan berbagai macam negosiasi yang

 bertujuan mewujudkan konsepsi pertumbuhan ekonomi regional; 5) Menetapkan

institusi-institusi pendukung kebijakan untuk pertumbuhan ekonomi regional; 6)Mengembangkan sistem informasi untuk promosi kegiatan-kegiatan ekonomi

regional.

Pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan di Indonesia dewasa ini

telah menganut sistem desentralisasi. Dasar desentralisasi pembangunan

 perikanan adalah UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 8/42

 

14

UU No. 22/1999. Pada pasal 18 ayat 1 dinyatakan bahwa daerah yang memiliki

wilayah laut, diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya laut di wilayah

laut. Sedangkan kewenangan daerah dalam pengelolaan sumberdaya laut

dijelaskan pada ayat 3 (tiga) meliputi: 1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan

 pengelolaan kekayaan laut; 2) Pengaturan administratif; 3) Pengaturan tata ruang;

4) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang

dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat; 5) Ikut serta dalam

 pemeliharaan keamanan; 6) Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

Selanjutnya menurut Sondita (2001) pengembangan dalam hal

  pembangunan ekonomi dampaknya dapat dilihat pada: 1) Industri perikanan

tangkap; 2) Perikanan rakyat; 3) Wisata massal dan ekowisata serta wisata bahari;

4) Perikanan budidaya; 5) Perhubungan laut dan pembangunan pelabuhan; 6)Pertambangan lepas pantai; 7) Penelitian kelautan; 8) Akses terhadap sumberdaya

genétika.

Tertulis dalam naskah Pidato Presiden Republik Indonesia (2004) yang

  berisi bahwa pembangunan kelautan diarahkan untuk: 1) Mengelola dan

mendayagunakan potensi sumberdaya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara

lestari berbasis masyarakat; 2) Membangun sistem pengendalian dan pengawasan

dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir yang disertai dengan penegakan

hukum yang ketat; 3) Meningkatkan upaya konservasi laut, pesisir dan pulau-

  pulau kecil serta merehabilitasi ekosistem yang rusak, seperti terumbu karang,

mangrove, padang lamun dan estuaria; 4) Mengendalikan pencemaran dan

 perusakan lingkungan hidup di wilayah pesisir, laut, perairan tawar (danau, situ,

  perairan umum) dan pulau-pulau kecil; 5) Menjalin kerja sama regional dan

internasional untuk menyelesaikan batas laut dengan negara tetangga; 6)

Memperkuat kapasitas instrumen pendukung pembangunan kelautan yang

meliputi iptek, SDM, kelembagaan dan peraturan perundangan; 7) Meningkatkan

riset dan pengembangan teknologi kelautan; 8) Mengembangkan upaya mitigasi

lingkungan laut dan pesisir, meningkatkan keselamatan kerja dan meminimalkan

resiko terhadap bencana alam laut bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir 

dan pulau-pulau kecil; dan 9) Menggiatkan kemitraan untuk meningkatkan peran

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 9/42

 

15

aktif masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sumberdaya laut, pesisir dan

 pulau-pulau kecil.

Menurut Kusumastanto (2000) agar pengelolaan dan pemanfaatan

sumberdaya kelautan mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

masyarakat pesisir (nelayan), maka langkah-langkah strategis yang dapat

dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Pembangunan desa pantai dan pemberian insentif kepada masyarakat pesisir 

untuk meningkatkan produktivitasnya. Insentif yang diberikan meliputi

kemudahan terhadap pengembangan usaha seperti perizinan, subsidi, pinjaman

dan menjaga kestabilan harga.

2. Pendekatan aktivitas sekunder seperti budidaya tambak, budidaya rumput laut

dan industri pengolahan. Upaya untuk menggalakkan aktivitas sekunder tersebut juga harus disertai dengan kemudahan dalam pemberian perizinan,

subsidi dan bantuan dana kemitraan dengan pengusaha besar dan pemasaran.

3. Pembentukan lembaga yang sesuai dengan karakteristik usaha dan

  peningkatan kegiatan usaha nelayan, khususnya untuk pengembangan

  perikanan dan aktivitas-aktivitas sekunder yang mampu meningkatkan

 pendapatan dan kesejahteraaan masyarakat pesisir atau nelayan.

4. Penataan perairan pesisir dan lautan secara lokal untuk menentukan daerah

 penangkapan antara perikanan skala kecil dan perikanan skala besar. Strategi

 penataan ruang perairan pesisir untuk daerah penangkapan adalah menetapkan

zonasi atau peta operasional untuk setiap usaha perikanan berdasarkan

kemampuan operasi (perikanan rakyat dan industri) yang dilengkapi aspek 

hukum, termasuk pengaturan dan sanksi.

Menurut WCED (1987); Anutha dan Johnson (1996) istilah pengembangan

  berkelanjutan berarti mengelola pengguna, mengembangkan dan melindungi

sumberdaya fisik dan alami atau pada satu tingkatan dimana keberadaan

seseorang dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi,

kesejahteraan budaya, kesehatan dan keamanan sewaktu: 1) menopang potensi

sumberdaya alam dan fisik untuk memenuhi kebutuhan generasi yang akan

datang; 2) perlindungan kebutuhan hidup berupa kapasitas udara, air, tanah dan

ekosistem; 3) mencegah, memperbaiki atau memitigasi setiap dampak yang

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 10/42

 

16

kurang baik terhadap lingkungan. Tujuannya adalah memadukan pembangunan

dengan lingkungan sejak awal proses penyusunan kebijaksanaan dan pengambilan

keputusan yang strategik sampai kepada penerapannya di lapangan (Aryanto,

2003).

Pembangunan yang komprehensif menurut Asian Development Bank (ADB)

dalam Nikijuluw (1995) adalah pembangunan dengan memiliki ciri-ciri (1)

  berbasis lokal; (2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan; (3) berbasis

kemitraan; (4) secara holistik; dan (5) berkelanjutan. Pengelolaan berbasis

masyarakat setempat atau biasa disebut Community-Based Management  (CBM).

Pemanfaatan secara lestari hanya akan dicapai jika sumberdaya dikelola secara

  baik, proporsional dan transparan. Sumberdaya yang dimaksud adalah

sumberdaya manusia, alam, buatan dan sosial (Keraf, 2000).Menurut Nikijuluw (1995) pendekatan pengelolaan sumberdaya alam sangat

didukung oleh tujuan jangka panjang pembangunan wilayah pesisir dan bahari di

Indonesia antara lain: (a) Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan

lapangan kerja dan kesempatan usaha, (b) Pengembangan program dan kegiatan

yang mengarah kepada peningkatan pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir 

dan lautan secara optimal dan lestari, (c) Peningkatan kemampuan peran serta

masyarakat pantai dalam pelestarian lingkungan, (d) Peningkatan pendidikan,

latihan, riset dan pengembangan di wilayah pesisir dan lautan.

Tentang pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan

( sustainable), maka Albertson (1999) dalam risetnya menyebutkan dimensi-

dimensi:

1.  Environmental Sustainability: perlindungan untuk generasi mendatang.

2.  Economic Sustainability: setiap pengembangan variabel secara ekonomi.

3. Socio-Cultural Sustainability: setiap inovasi harus harmoni antara

  pengetahuan lokal sosial-budaya, praktek, pengetahuan dan teknologi tepat

guna (Hardin, 1985).

4.   Political Sustainability: keterkaitan birokrasi (pemerintah) dan masyarakat.

Para pemimpin formal dan informal untuk suatu sektor tertentu dalam

masyarakat lokal harus mampu menjalin komunikasi dengan struktur-struktur 

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 11/42

 

17

  politik dan birokrasi. Hilangnya keterkaitan birokrasi terjadi karena tidak 

adanya perantara (interface).

Sama halnya dengan pendapat Fauzi dan Anna (2002) yang menyatakan

 bahwa konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung

aspek:

1.   Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini

memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya

dukungya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistim menjadi

fokus utama.

2. Socioeconomic sustainabilty (keberlanjutan sosioekonomi). Konsep ini

mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan

keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan baik pada tingkat individu.Dengan kata lain mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan

masyarakat yang lebih tinggi merupakan fokus dalam kerangka keberlanjutan.

3. Community sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan

kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian

membangunan perikanan yang berkelanjutan.

4.  Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini

keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut memelihara aspek finansial dan

administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan

 berkelanjutan di atas.

Pendapat serupa dikemukakan oleh Arrow et al., (1995); Dahuri (1998) dan

Lim (1998) tentang garis besar konsep pembangunan berkelanjutan yang memiliki

empat dimensi, yaitu ekologis, sosial ekonomi budaya, sosial politik, serta hukum

dan kelembagaan untuk pemecahan masalah-masalah di wilayah pesisir.

2.3. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan

Salah satu pengertian yang lebih komprehensif tentang pengelolaan pesisir yang berkelanjutan dapat digambarkan sebagai: suatu proses dinamis dalam

mengambil keputusan untuk menggunakan, mengembangkan dan melindungi

sumberdaya dan kawasan pesisir untuk mencapai kemakmuran bersama baik itu

antara kelompok pengguna dan tingkat nasional serta daerah dan pusat.

Pengelolaan pesisir yang berkelanjutan terkenal dengan karakter kawasan pesisir 

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 12/42

 

18

yang berbeda seperti nilai sumberdayanya yang digunakan untuk generasi saat ini

dan akan datang. Pengelolaan pesisir yang berkelanjutan berorientasi pada banyak 

tujuan, pengelolaan tersebut mencakup implikasi pengembangan, konflik antar 

  pengguna, keterkaitan antara proses fisik dan aktivitas manusia serta

mengedepankan hubungan dan harmonisasi antara sektor pesisir dan kegiatan

yang ada di laut (Knecht et al., 1994; Anutha dan Johnson, 1996).

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu berfungsi untuk perencanaan

kawasan, pengembangan dan pembangunan ekonomi, perlindungan dan

 pemanfaatan sumberdaya, resolusi konflik, perlindungan keselamatan umum dan

  penataan pemilikan sumberdaya (Cicin-Sain dan Knecht, 1998). Tetapi dalam

implementasinya mengidentifikasi masalah-masalah seperti: (1) kurangnya

  pengetahuan mengenai pesisir dan lautan, (2) rendahnya penilaian (valuation) pada sumberdaya pesisir dan lautan, (3) kurangnya pemberdayaan masyarakat dan

  pengguna sumberdaya pesisir dan lautan, (4) ketidakjelasan wewenang

  pengelolaan, (5) rendahnya kapasitas kelembagaan, dan (6) kurangnya

keterpaduan antar prakarsa (Dahuri dan Dutton, 2000).

Sumberdaya kawasan pesisir dan laut memiliki spesifikasi lokasi dengan

karakteristik yang beragam baik lahan, komoditas maupun sumberdaya

manusianya. Karena itu konsep pengembangan kawasan pesisir bertitik tolak dari

meningkatkan kekuatan dan menurunkan kelemahan supaya kawasan pesisir 

mampu berlaku sebagai pelaku dan bukan sebagai obyek pembangunan dan upaya

 pengelolaan sumberdaya perikanan harus didasarkan kepada karakteristik wilayah

dan kebutuhan faktual dari masyarakat kawasan pesisir serta dapat mendukung

upaya peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan sekaligus tetap mendukung

keberlanjutan produksi dan kelestarian sumberdaya perikanan (Dendi et al., 2005).

Pengelolaan wilayah pesisir harus didasarkan pada pendekatan ekosistem

yang meliputi interaksi yang bersifat fisika, kimia dan biologi antara berbagai

variasi komponen yang berkaitan dengan hal yang bersifat alami dan masukan

yang berasal dari kegiatan manusia, baik yang masuk, keluar dan alirannya

kedalam system tersebut (Fabbri, 1998). Untuk pengelolaan wilayah pesisir yang

  berkelanjutan perlu kiranya kita menjelaskan kriteria yang relevan yang

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 13/42

 

19

merupakan bagian dari penelitian, seperti indikator yang bersifat site-specific yang

mungkin secara signifikan untuk dievaluasi (OECD, 1993).

2.4. Budidaya Perikanan Sistem Keramba Jaring Apung

Pengembangan akuakultur di Indonesia diharapkan mampu menjawab

empat isu penting antara lain: 1) keamanan pangan; 2) perikanan yang

 bertanggung jawab (pengembangan perikanan budidaya tidak boleh menimbulkan

degradasi kualitas lingkungan yang pada akhirnya akan mengganggu

kesetimbangan ekologis lokal); 3) perdagangan global; 4) memiliki daya saing

komperatif yang esensinya berupa peluang pasar bagi produk akuakultur kita

(FAO, 1995; FAO Fisheries dan Aquaculture Department , 2006; Abdullah, 1997).

Pengembangan budidaya laut di Indonesia untuk waktu yang akan datang adalah

sangat penting artinya bagi pembangunan sub sektor perikanan, serta merupakan

salah satu prioritas yang diharapkan menjadi pertumbuhan dari sub sektor 

 perikanan. Hal ini dikarenakan beberapa alasan:

a. Sumberdaya ikan di laut meskipun merupakan sumberdaya yang dapat pulih

kembali, tetapi tetap ada batasan, apabila batas tersebut dilampaui akan sangat

membahayakan kelestarian sumberdaya ikan (Dahuri, 1998; 2001).

 b. Pemanfaatan sumberdaya ikan di laut di beberapa perairan sudah intensif dan

menunjukkan gejala-gejala padat tangkap, sehingga pengembangan

selanjutnya di wilayah perairan tersebut diarahkan ke kegiatan budidaya laut

(Dahuri, 2001; Effendi, 2004; Idris et al., 2007).

c. Potensi pengembangan budidaya laut yang dimiliki Indonesia sangat besar 

dengan garis pantai yang panjang, gugusan pulau-pulau, selat dan teluk yang

sangat sesuai untuk lahan pengembangan budidaya laut (Idris et al., 2007).

d. Budidaya laut merupakan jenis usaha baru yang bila dikembangkan dapat

menyerap tenaga kerja yang besar dari desa pantai atau desa yang umumnya

masuk kategori desa tertinggal (FAO, 1995; Dahuri, 2007).e. Kegiatan budidaya laut dapat diandalkan sebagai salah satu penyumbang

devisa negara, karena komoditas budidaya laut ini mempunyai nilai ekonomis

 penting seperti ikan kerapu, kakap, tiram mutiara dan lain sebagainya (Dahuri,

2001; Effendi, 2004; Idris et al., 2007).

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 14/42

 

20

f. Kegiatan budidaya laut berguna untuk mendidik nelayan ikan ikut memelihara

lingkungan pantai dari kerusakan sumberdaya hayati seperti penggunaan alat

dan bahan terlarang perusak ekosistem karang (Abdullah, 1997).

Budidaya memainkan peranan ekonomi penting melalui penciptaan

kesempatan ekonomi baru (menciptakan lapangan kerja di suatu kawasan dimana

ada beberapa alternatif pilihan usaha) dan penyediaan sumber kualitas makanan

yang tinggi secara lokal dan kesempatan untuk menarik usahawan lokal untuk 

  berinvestasi dalam perekonomian lokal, sehingga meningkatkan pengendalian

 pengembangan ekonomi secara keseluruhan. Budidaya tergantung pada input dari

keanekaragaman makanan, pemrosesan, transportasi dan industri lainnya serta

menghasilkan produk yang bernilai, buangan limbah perairan yang tidak 

terkontaminasi dan pengelolaan limbah perikanan yang kesemuanya dapatmenjadi bagian yang penting dari sistem ekologi yang dapat direncanakan dan

dikelola untuk produksi makanan akuatik yang berbasis masyarakat, rehabilitasi

ekosistem alami, reklamasi dan peningkatan pemberdayaan dan bukan kerusakan

(DFO, 2002; Costa-Pierce, 2008; Soto, 2008).

Peluang pengembangan usaha perikanan di Indonesia masih sangat besar,

mengingat pemanfaatan perairan yang dimilikinya sampai saat ini masih relatif 

rendah. Pemanfaatan potensi sumberdaya ikan di laut baru mencapai 65 %, atau

 baru 4,8 juta ton per tahun dari potensi sumberdaya ikan yang mencapai 6,4 juta

ton per tahun (Ditjen. Perikanan, 2008). Sementara itu, kondisi global juga

menyediakan peluang besar bagi pengembangan perikanan yang ditunjukkan

antara lain oleh terus meningkatnya permintaan terhadap ikan dan produk 

 perikanan, berubahnya pola makan dari daging merah (red meat ) ke daging putih

(white meat ), gaya hidup yang lebih berorentasi pada makanan yang non-

kolesterol dan lain sebagainya (Effendi, 2004 dan Cholik et al., 2005).

Budidaya laut merupakan suatu usaha memanfaatkan sumberdaya yang ada

di kawasan pesisir dalam hal memelihara berbagai jenis ikan, kerang-kerangan,

rumput laut dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis penting. Pengertian lain

mengenai budidaya laut adalah suatu kegiatan pada area tertentu di perairan pantai

yang dicirikan dengan banyaknya terdapat kumpulan keramba jaring apung, rakit-

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 15/42

 

21

rakit kerang-kerangan atau rumput laut atau membudidayakan organisme laut

dalam wadah atau area terbatas dan terkurung (Ismail et al., 2001).

Dirjen perikanan (2001) mendefinisikan keramba jaring apung sebagai

tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang memungkinkan

keluar masuknya air dengan leluasa, sehingga terjadi pertukaran ke perairan

sekitarnya. Komponen-komponen keramba jaring apung terdiri dari kerangka atau

 bingkai, pelampung, jangkar, pemberat jaring, penutup kantung jaring, bangunan

fisik dan peralatan pendukung lainnya.

Teknologi budidaya ikan dengan sistem KJA telah lama dikenal oleh

masyarakat Indonesia. Menurut Ismail et al., (1996), teknologi ini sudah

diterapkan para petani di Indonesia sejak tahun 1940 di beberapa sungai besar dan

  perairan waduk. Kemudian dalam perkembangannya di tahun 1976, mulaidilakukan adopsi terhadap teknik dasar budidaya dengan menggunakan jaring

apung yang dilakukan oleh petani di sekitar waduk Jatiluhur. Di tahun 1998,

  budidaya khususnya perikanan dengan sistem keramba jaring apung tersebut

mulai dikembangkan di perairan pesisir.

Beberapa keunggulan ekonomis usaha budidaya ikan dalam keramba yaitu:

1) Menambah efisiensi penggunaan sumberdaya; 2) Prinsip kerja usaha keramba

dengan melakukan pengurungan pada suatu badan perairan dan memberi makan

dapat meningkatkan produksi ikan; 3) Memberikan pendapatan yang lebih teratur 

kepada nelayan dibandingkan dengan hanya bergantung pada usaha penangkapan

(Galapitage, 1986). Menurut Rachmansyah et al., 1997 budidaya perikanan

dengan sistem keramba jaring apung memiliki keunggulan komperatif 

diantaranya:

1. Efisien dalam penggunaan lahan dengan tingkat produktivitas tinggi

dibandingkan tambak, tidak memerlukan pematang, saluran air dan

 pengolahan lahan sehingga dapat mengurangi biaya produksi.

2. Unit usaha dapat ditentukan sesuai kemampuan modal dengan menggunakan

 bahan rakit sederhana sesuai bahan yang tersedia disekitar lokasi budidaya.

3. Mudah dipantau karena wadah budidaya yang relatif terbatas, terhindar dari

 pemangsa dan mudah melakukan pemanenan.

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 16/42

 

22

4. Tidak memerlukan pengelolaan kualitas iar, karena adanya gerakan pasut

sehingga efisien dalam biaya produksi.

5. Produksi mudah dicapai oleh armada penangkapan tuna dan cakalang sebagai

sarana pemasaran.

Suatu organisme yang akan dibudidayakan dipilih berdasarkan beberapa

  pertimbangan atau kriteria yaitu 1) Besarnya manfaat organisme bagi manusia,

seperti untuk bahan makanan, bahan baku industri, obat-obatan dan sektor jasa; 2)

Peluang untuk dapat diproduksi dengan teknologi dan biaya yang layak; 3)

Pengaplikasian usaha budidaya tidak banyak menimbulkan gangguan terhadap

kegiatan lain atau lingkungan (Dirjen Perikanan Budidaya DKP, 2001). Untuk 

keberhasilan dan kesinambungan usaha budidaya ikan dalam keramba jaring

apung, maka beberapa aspek penting yang harus dipertimbangkan adalah  pemilihan lokasi, konstruksi keramba jaring apung, ketersediaan benih,

  pembesaran ikan budidaya (padat tebar, pakan dan cara pemberian pakan),

  perawatan keramba, pengendalian hama penyakit dan pemasaran (Rochdianto,

1996 dan Sunyoto, 1996).

Beberapa faktor non teknis yang ikut andil dalam menentukan usaha

  budidaya sistem keramba jaring apung ini meliputi: 1) Dekat dengan daerah

sumber benih ikan yang akan dibudidayakan; 2) Infrastruktur jalan cukup tersedia

sehingga akses menuju lokasi dalam mobilisasi benih dan hasil panen dapat

terjamin; 3) Terdapatnya sumber listrik untuk penerangan lokasi budidaya dalam

kaitannya dengan keamanan, kemudahan operasional pemeliharaan ikan dan

kenyamanan pekerja; 4) Tenaga kerja tersedia dengan cukup; 5) Kebijakan

  pemerintah daerah setempat dengan perangkat peraturan dan intensif bagi

  pengembangan usaha budidaya sistem keramba jaring apung yang ramah

lingkungan (Sunyoto, 1993; Wardana, 1999).

Dahuri (2000); Effendi (2004) dan Cholik et al., 2005 menyebutkan bahwa

dalam kaitannya dengan pemanfaatan potensi pesisir dan lautan, kegiatan

  budidaya perikanan dapat dilakukan melalui pembenihan, pembudidayaan,

  penyiapan prasarana serta pengelolaan kesehatan organisme dan lingkungan.

Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan mampu meningkatkan efisiensi,

  produktivitas dan produksi usaha perikanan budidaya. Secara umum, kegiatan

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 17/42

 

23

  budidaya perikanan dapat diklasifikasikan menjadi kegiatan mariculture dan

 budidaya air payau (tambak).

Alasan yang mendorong perlu ditingkatkannya usaha budidaya perikanan

laut didasarkan pada perhitungan konversi konsumsi ikan penduduk Indonesia

  pada tahun 2003 dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa dan tingkat konsumsi

ikan sebesar 26,5 kg/kapita/tahun. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut

dibutuhkan persediaan 5,5 juta ton ikan/tahun dan bila ditambah dengan volume

ekspor 1,4 juta ton/tahun dan kebutuhan ikan untuk industri tepung ikan 0,3 juta

ton/tahun, maka pada tahun 2003 terjadi kekurangan produksi ikan sebesar 2,3

 juta ton/tahun dengan asumsi 4,9 juta ton kebutuhan ikan terpenuhi dari produksi

 penangkapan. Tingkat produksi budidaya saat ini 1,1 juta ton, dengan ini berarti

untuk mencukupi kebutuhan ikan melalui budidaya yaitu sebesar 1,2 jutaton/tahun (Akbar, 2001).

Ismail et al., (2001) menyebutkan bahwa pemilihan lokasi yang tepat

merupakan hal yang sangat menentukan, mengingat kegagalan dalam pemilihan

lokasi akan berakibat resiko yang permanen dalam kegiatan produksi. Untuk 

memperoleh hasil yang memuaskan, hendaknya dipilih lokasi yang sesuai dengan

karakteristik biofisik (persyaratan hidup) bagi jenis ikan yang dibudidayakan.

Lebih lanjut Ismail et al., (2001) menyebutkan beberapa syarat pemilihan lokasi

  budidaya antara lain: 1) Harus terlindung dari pengaruh arus kuat dan angin

musim; 2) Tidak mengalami fluktuasi salinitas yang besar; 3) Perairan harus

 benar-benar bebas dari pencemaran baik industri maupun rumah tangga.

Aspek sosial dan ekonomi yang penting diperhatikan dalam memilih lokasi

usaha budidaya dengan sistem keramba jaring apung yaitu tersedianya prasarana

  jalan yang memadai, keamanan terjamin, mudah mendapatkan tenaga kerja

dengan upah yang wajar, merupakan daerah pengembangan budidaya ikan, sesuai

dengan tata ruang dan kebijaksanaan pemerintah (Rochdianto, 1996 dan Sunyoto,

1996).

2.5. Kualitas Air untuk Budidaya Ikan di Laut

Kualitas lingkungan perairan adalah suatu kelayakan lingkungan perairan

untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme air yang nilainya

dinyatakan dalam suatu kisaran tertentu. Sementara itu, perairan ideal adalah

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 18/42

 

24

 perairan yang dapat mendukung kehidupan organisme dalam menyelesaikan daur 

hidupnya (Boyd, 1982).

Menurut Ismoyo (1994) kualitas air adalah suatu keadaan dan sifat-sifat

fisik, kimia dan biologi suatu perairan yang dibandingkan dengan persyaratan

untuk keperluan tertentu, seperti kualitas air untuk air minum, pertanian dan

  perikanan, rumah sakit, industri dan lain sebagainya. Sehingga menjadikan

 persyaratan kualitas air berbeda-beda sesuai dengan peruntukannya.

Menurut Mc Gauhey (1968) beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan

dalam pengelolaan kualitas air: 1) Tingkat pemanfaatan dari penggunaan air; 2)

Faktor kualitas alami sebelum dimanfaatkan; 3) Faktor yang menyebabkan

kualitas air bervariasi; 4) Perubahan kualitas air secara alami; 5) Faktor-faktor 

khusus yang mempengaruhi kualitas air; 6) Persyaratan kualitas air dalam  penggunaan air; 7) Pengaruh perubahan dan keefektifan kriteria kualitas air; 8)

Perkembangan teknologi untuk memperbaiki kualitas air; 9) Kualitas air yang

sesuai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Parameter fisik dalam kualitas air merupakan parameter yang bersifat fisik,

dalam arti dapat dideteksi oleh panca indera manusia yaitu melalui visual ,

 penciuman, peraba dan perasa. Perubahan warna dan peningkatan kekeruhan air 

dapat diketahui secara visual , sedangkan penciuman dapat mendeteksi adanya

  perubahan bau pada air serta peraba pada kulit dapat membedakan suhu air,

selanjutnya rasa tawar, asin dan lain sebagainya dapat dideteksi oleh lidah (indera

 perasa). Hasil indikasi dari panca indera ini hanya dapat dijadikan indikasi awal

karena bersifat subyektif, bila diperlukan untuk menentukan kondisi tertentu,

misal kualitas air tersebut telah menurun atau tidak harus dilakukan analisis

  pemeriksaan air di laboratorium dengan metode analisis yang telah ditentukan.

Sedangkan parameter kimia yang didefinisikan sebagai sekumpulan bahan/zat

kimia yang keberadaannya dalam air mempengaruhi kualitas air. Selanjutnya

secara keseluruhan parameter biologi mampu memberikan indikasi apakah

kualitas air pada suatu perairan masih baik atau sudah kurang baik, hal ini

dinyatakan dalam jumlah dan jenis biota perairan yang masih dapat hidup dalam

  perairan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Effendi, 2003). Secara singkat

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 19/42

 

25

kriteria kualitas air untuk lokasi budidaya ikan dengan sistem keramba jaring

apung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Kualitas Air untuk Lokasi Budidaya dengan sistem KJA

Parameter yang Diukur Kisaran Nilai

Arus 20 – 30 cm/det

Suhu 25 – 320C (untuk wilayah tropis)

Kecerahan 3 m

Salinitas 28 – 32 ppt

DO 5 – 10 mg/l

  pH 7,0 – 8,5

  Nitrogen < 0,5 mg/l

Posfat 10 – 110 mg/l

Sumber: Bambang dan Tjahjo (1997); Suwandana (1996) dalam Prasetyawati

(2001).

Tabel 1 menampilkan parameter kunci yang dianggap paling berpengaruh

dalam keberlanjutan usaha budidaya sistem keramba jarring apung. Di dalam

 penelitian ini, penulis menampilkan parameter kualitas air yang dianggap paling

mendukung bagi kehidupan organisme yang dibudidayakan serta ditambah

dengan parameter penunjang untuk keefisiensian penempatan instalasi budidaya

ikan dalam keramba jaring apung, baik itu berupa parameter fisika, kimia maupun

 biologi.

2.5.a DO (Oksigen Terlarut)

Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme.

Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang

  berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh yang tidak 

langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya

dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan oksigen terlarut

digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak (Rahayu,

1991).

Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan makhluk 

hidup didalam air maupun hewan teristrial. Penyebab utama berkurangnya

oksigen terlarut di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan organik yang

  banyak mengkonsumsi oksigen sewaktu penguraian berlangsung (Hardjojo dan

Djokosetiyanto, 2005). Asmawi (1983) menyatakan O2

terlarut yang baik adalah

5–10 mg/l, CO2 bebas tidak lebih dari 12 mg/l dan terendah 2 mg/l serta NH

3yang

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 20/42

 

26

 baik adalah kurang dari 1 mg/l. Pada kadar NH3

0,053-0,280 mg/l kondisi larva

udang masih cukup baik. Gangguan NH3

terhadap larva mulai terlihat pada kadar 

0,6 mg/l, kandungan NH3

yang baik untuk pertumbuhan ikan kurang dari 1 mg/l

dan CO2 berkisar 0,0-15,0 mg/l (Hadic dan Jatna, 1998).

Konsentrasi oksigen terlarut yang aman bagi kehidupan diperairan

sebaiknya harus diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun,

konsentrasi oksigen minimum sebesar 2 mg/l cukup memadai untuk menunjang

secara normal komunitas akuatik di periaran (Pescod, 1973). Kandungan oksigen

terlarut untuk menunjang usaha budidaya adalah 5 – 8 mg/l (Mayunar et al., 1995;

Akbar, 2001).

2.5.b. Salinitas

Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa salinitas adalah

 berat garam dalam gram per kilogram air laut serta merupakan ukuran keasinan

air laut dengan satuan pro mil (0/00), salinitas merupakan parameter penunjuk 

  jumlah bahan terlarut dalam air. Zat-zat yang terlarut dalam air laut yang

membentuk garam adalah:

1. Unsur utama : Khlorida (Cl), Natrium/ Sodium (Na), Oksida Sulfat (SO4) dan

Magnesium (Mg).

2. Gas terlarut : gas Karbondioksida (CO2), gas Nitrogen (N2), gas Oksigen(O2).

3. Unsur hara : Silika (Si), Nitrogen (N), Phosphor (P).

4. Unsur runut : Besi (Fe), Mangan (Mn), Timbal (Pb) dan Air Raksa/ Merkuri

(Hg).

Menurut Holiday (1967), salinitas mempunyai peranan penting untuk 

kelangsungan hidup dan metabolisme ikan, disamping faktor lingkungan maupun

faktor genetik spesies ikan tersebut. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh

 beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran air 

sungai. Di perairan lepas pantai yang dalam, angin dapat pula melakukan

  pengadukan lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kira-kira

setebal 50-70 meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Lapisan

dengan salinitas homogen, maka suhu juga biasanya homogen, selanjutnya pada

lapisan bawah terdapat lapisan pekat dengan degradasi densitas yang besar yang

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 21/42

 

27

menghambat pencampuran antara lapisan atas dengan lapisan bawah (Nontji,

2007).

Salinitas permukaan air laut sangat erat kaitannya dengan proses penguapan

dimana garam-garam akan mengendap atau terkonsentrasi. Daerah-daerah yang

mengalami penguapan yang cukup tinggi akan mengakibatkan salinitas tinggi.

Berbeda dengan keadaan suhu yang relatif kecil variasinya, salinitas air laut dapat

 berbeda secara geografis akibat pengaruh hujan lokal, banyaknya air sungai yang

masuk ke laut, penguapan dan edaran massa air (King, 1963 dalam Presetiahadi,

1994).

Salinitas disebabkan oleh tujuh ion utama yaitu natrium (Na), kalium (K),

kalsium (Ca), magnesium (Mg), klorit (Cl), sulfat (SO4) dan bikarbonat (HCO3),

sementara itu salinitas dinyatakan dalam satuan gr/l atau permil (

0

/00) (Effendi,2003). Biota estuaria biasanya mempunyai toleransi terhadap variasi salinitas

yang besar (eury-haline). Contohnya Chanos chanos (bandeng), Mugil (belanak)

dan Tilapia (mujair). Salinitas yang tidak sesuai dapat menghambat

  perkembangbiakan dan pertumbuhan. Kerang hijau, kerang darah dan tiram

adalah jenis-jenis kerang yang hidup di daerah estuaria. Variasi salinitas alami

estuaria di Indonesia berkisar antara 15–32 psu. Hasil penelitian yang dilakukan

 pada kerang hijau memberikan petunjuk bahwa salinitas yang lebih rendah dari 15

  psu dapat menyebabkan kematian kerang tersebut. Keberhasilan benih kerang

darah untuk menempel pada kolektor tergantung pada salinitas. Pada salinitas 18

  psu, keberhasilan menempel lebih tinggi. Tiram dapat hidup dalam perairan

dengan salinitas yang lebih rendah daripada salinitas untuk kerang hijau dan

kerang darah. Kerapu dan beronang dapat hidup di daerah estuaria maupun daerah

terumbu karang. Ikan kakap hidup di perairan pantai dan muara sungai. Rumput

laut hidup di daerah terumbu karang. Pada umumnya salinitas alami perairan

terumbu karang di Indonesia 31 psu (Romimohtarto, 1985).

2.5.c. Suhu Perairan

Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa suhu air normal

adalah suhu air yang memungkinkan makhluk hidup dapat melakukan

metabolisme dan berkembangbiak. Suhu merupakan faktor fisik yang sangat

  penting di air, karena bersama-sama dengan zat/unsur yang terkandung

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 22/42

 

28

didalamnya akan menentukan massa jenis air, dan bersama-sama dengan tekanan

dapat digunakan untuk menentukan densitas air. Selanjutnya, densitas air dapat

digunakan untuk menentukan kejenuhan air. Suhu air sangat bergantung pada

tempat dimana air tersebut berada. Kenaikan suhu air di badan air penerima,

saluran air, sungai, danau dan lain sebagainya akan menimbulkan akibat sebagai

  berikut: 1) Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun; 2) Kecepatan reaksi

kimia meningkat; 3) Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu. Jika batas

suhu yang mematikan terlampaui, maka akan menyebabkan ikan dan hewan air 

lainnya mati.

Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun

tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol

reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkanlaju maksimum fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni

dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi

distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997).

Pengaruh suhu secara tidak langsung dapat menentukan stratifikasi massa

air, stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh keadaan cuaca dan sifat

setiap perairan seperti pergantian pemanasan dan pengadukan, pemasukan atau

  pengeluaran air, bentuk dan ukuran suatu perairan. Suhu air yang layak untuk 

 budidaya ikan laut adalah 27 – 320

C (Mayunar et al., 1995; Sumaryanto et al.,

2001). Kenaikan suhu perairan juga menurunkan kelarutan oksigen dalam air,

memberikan pengaruh langsung terhadap aktivitas ikan disamping akan

menaikkan daya racun suatu polutan terhadap organisme perairan (Brown dan

Gratzek, 1980). Selanjutnya Kinne (1972) menyatakan bahwa suhu air berkisar 

antara 35 – 40 0C merupakan suhu kritis bagi kehidupan organisme yang dapat

menyebabkan kematian.

Di Indonesia, suhu udara rata-rata pada siang hari di berbagai tempat

 berkisar antara 28,2 0C sampai 34,6 0C dan pada malam hari suhu berkisar antara

12,80C sampai 30

0C. Keadaan suhu tersebut tergantung pada ketinggian tempat

dari atas permukaan laut. Suhu air umumnya beberapa derajat lebih rendah

dibanding suhu udara disekitarnya. Secara umum, suhu air di perairan Indonesia

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 23/42

 

29

sangat mendukung bagi pengembangan budidaya perikanan (BPS, 2003; Cholik et 

al., 2005).

2.5.d. pH

 pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam

air, besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H. Besaran

 pH berkisar antara 0 – 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang

masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH =

7 disebut sebagai netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).

Perairan dengan pH < 4 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat

menyebabkan kematian makhluk hidup, sedangkan pH > 9,5 merupakan perairan

yang sangat basa yang dapat menyebabkan kematian dan mengurangi

  produktivitas perairan. Perairan laut maupun pesisir memiliki pH relatif lebihstabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,7 – 8,4.

  pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam

karbonat dan bikarbonat yang dikandungnya (Boyd, 1982; Nybakken, 1992).

Pescod (1973) menyatakan bahwa toleransi untuk kehidupan akuatik 

terhadap pH bergantung kepada banyak faktor meliputi suhu, konsentrasi oksigen

terlarut, adanya variasi bermcam-macam anion dan kation, jenis dan daur hidup

  biota. Perairan basa (7 – 9) merupakan perairan yang produktif dan berperan

mendorong proses perubahan bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral

yang dapat diassimilasi oleh fotoplankton (Suseno, 1974).

  pH air yang tidak optimal berpengaruh terhadap pertumbuhan dan

 perkembangbiakan ikan, menyebabkan tidak efektifnya pemupukan air di kolam

dan meningkatkan daya racun hasil metabolisme seperti NH3 dan H2S. pH air 

 berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut dan memiliki pola hubungan terbalik,

semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka pH akan menurun dan demikian

  pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang apabila air mengandung garam

CaCO3 (Cholik et al., 2005).

2.5.e. Kecepatan Arus

Penyebaran kualitas air di badan air penerima, baik sungai, waduk dan laut,

sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus dan debit air. Semakin cepat arus dan

semakin besar debit air maka penyebaran kualitas air semakin cepat dan semakin

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 24/42

 

30

luas. Arus laut jauh lebih rumit karena adanya gaya Coriolis, yakni gaya yang

diakibatkan oleh perputaran bumi dan adanya pasang surut yang dipengaruhi oleh

gaya tarik bulan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).

Romimohtarto (1985) menyatakan bahwa arus mempunyai pengaruh positif 

maupun negatif terhadap kehidupan biota perairan. Arus dapat mengakibatkan

rusaknya jaringan-jaringan jasad hidup yang tumbuh di daerah itu dan partikel-

 partikel dalam suspensi dapat menghasilkan pengikisan. Di perairan dengan dasar 

  berlumpur, arus dapat mengaduk endapan lumpur sehingga mengakibatkan

kekeruhan air dan mematikan organisme air. Kekeruhan bisa mengurangi

 penetrasi sinar matahari, dan karenanya mengurangi aktivitas fotosintesa. Manfaat

dari arus bagi banyak biota adalah menyangkut penambahan makanan bagi biota-

 biota tersebut dan pembuangan kotoran-kotorannya. Untuk algae kekurangan zat-zat kimia dan CO2 dapat dipenuhi. Sedangkan bagi binatang CO2 dan produk-

  produk sisa dapat disingkirkan dan O2 tetap tersedia. Arus juga memainkan

  peranan penting bagi penyebaran plankton, baik holoplankton maupun

meroplankton. Terutama bagi golongan meroplankton yang terdiri dari telur-telur 

dan burayak-burayak avertebrata dasar dan ikan-ikan. Mereka mempunyai

kesempatan menghindari persaingan makanan dengan induk-induknya terutama

yang hidup menempel seperti teritip ( Belanus spp) dan kerang hijau ( Mytilus

viridis).

Kecepatan arus yang baik dilokasi yang ingin dijadikan sebagai tempat atau

kawasan keramba jaring apung berkisar antara 23 – 50 cm/det (Mayunar  et al.,

1995); sedangkan KLH (2004) memberikan batasan kisaran nilai 15 – 25 cm/det.

2.5.f. Nitrogen

 Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme

dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu unsur utama

  pembentukan protein. Diperairan nitrogen biasanya ditemukan dalam bentuk 

amonia, amonium, nitrit dan nitrat serta beberapa senyawa nitrogen organik 

lainnya. Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat

(NO3 – N) dan amonia (NH3 – N). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH3 – N

dibandingkan dengan NO3 – N karena lebih banyak dijumpai diperairan baik dala

kondisi aerobik maupun anaerobik. Senyawa-senyawa nitrogen ini sangat

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 25/42

 

31

dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen

rendah nitrogen berubah menjadi amoniak (NH3) dan saat kandungan oksigen

tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3-) (Welch, 1980).

Senyawa ammonia, nitrit, nitrat dan bentuk senyawa lainnya berasal dari

limbah pertanian, pemukiman dan industri. Secara alami senyawa ammonia di

  perairan berasal dari hasil metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi

 bahan organik oleh bakteri. Jika kadar ammonia di perairan terdapat dalam jumlah

yang terlalu tinggi (lebih besar dari 1,1 mg/l pada suhu 250C dan pH 7,5) dapat

diduga adanya pencemaran (Alaerst dan Sartika, 1987).

Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik 

(protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, juga

 berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telahmati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah

ammonifikasi (Effendi, 2003).

  Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di

  perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit bersifat tidak 

stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia

dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan proses

nitrifikasi dan denitrifikasi (Effendi, 2003).

  Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat

merupakan salah satu nutrien senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan

dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi

  pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh

ketersediaan nutrient (Alaerst dan Sartika, 1987). Konsentrasi ammonia untuk 

keperluan budidaya laut adalah 0,3 mg/l (KLH, 2004). Sedangkan untuk nitrat

adalah berkisar antara 0,9 – 3,2 mg/l (KLH, 2004; DKP, 2002).

2.5.g. Intensitas Cahaya dan Kecerahan

Cahaya matahari merupakan sumber energi yang utama bagi kehidupan

  jasad termasuk kehidupan di perairan karena ikut menentukan produktivitas

 perairan. Intensitas cahaya matahari merupakan faktor abiotik utama yang sangat

menentukan laju produktivitas primer perairan, sebagai sumber energi dalam

 proses fotosintesis (Boyd, 1982).

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 26/42

 

32

Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan bertambahnya intensitas

cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi), diatas nilai

tersebut cahaya merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi).

Sedangkan semakin ke dalam perairan intensitas cahaya akan semakin berkurang

dan merupakan faktor pembatas sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis

sama dengan respirasi (Cushing, 1975; Mann, 1982; Valiela, 1984; Parson et al.,

1984; Neale , 1987).

Kedalaman perairan dimana proses fotosintesis sama dengan proses

respirasi disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi biasanya terjadi

  pada saat cahaya di dalam kolom air hanya tinggal 1 % dari seluruh intensitas

cahaya yang mengalami penetrasi dipermukaan air. Kedalaman kompensasi

sangat dipengaruhi oleh kekeruhan dan keberadaan awan sehingga berfluktuasisecara harian dan musiman (Effendi, 2003).

Cahaya merupakan sumber energi utama dalam ekosistem perairan. Di

  perairan, cahaya memiliki dua fungsi utama (Jeffries dan Mills, 1996 dalam

Effendi, 2003) antara lain adalah:

1. Memanasi air sehingga terjadi perubahan suhu dan berat jenis (densitas) dan

selanjutnya menyebabkan terjadinya percampuran massa dan kimia air.

Perubahan suhu juga mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai

habitat suatu organisme akuatik, karena setiap organisme akuatik memiliki

kisaran suhu minimum dan maksimum bagi kehidupannya.

2. Merupakan sumber energi bagi proses fotosintesis algae dan tumbuhan air.

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditemukan secara

visual dengan menggunakan secchi disk . Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan

meter, nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran,

kekeruhan dan padatan tersuspensi serta ketelitian seseorang yang melakukan

  pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah

(Effendi, 2003). Untuk budidaya perikanan laut, kecerahan air yang

dipersyaratkan adalah > 3 m (KLH, 2004; Akbar 2001).

2.5.h. Kekeruhan

Kekeruhan merupakan sifat fisik air yang tidak hanya membahayakan ikan

tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar 

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 27/42

 

33

matahari untuk fotosintesa. Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu

 banyak partikel tersuspensi sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna

dan kotor. Adapun penyebab kekeruhan ini antara lain meliputi tanah liat, lumpur,

  bahan-bahan organik yang tersebar secara baik dan partikel-partikel kecil

tersuspensi lainnya. Tingkat kekeruhan air di perairan mempengaruhi tingkat

kedalaman pencahayaan matahari, semakin keruh suatu badan air maka semakin

menghambat sinar matahari masuk ke dalam air. Pengaruh tingkat pencahayaan

matahari sangat besar pada metabolisme makhluk hidup dalam air, jika cahaya

matahari yang masuk berkurang maka makhluk hidup dalam air terganggu,

khususnya makhluk hidup pada kedalaman air tertentu, demikian pula sebaliknya

(Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Alaerts dan Santika, 1987).

Menurut Alaerts dan Santika (1987) menyatakan bahwa ada 3 metode  pengukuran kekeruhan yaitu: 1) Metoda Nefelometrik (unit kekeruhan

nefelometrik FTU atau NTU); 2) Metoda Hellige Turbidimetri (unit kekeruhan

silica); 3) Metoda visual  (unit kekeruhan Jackson). Metoda visual  adalah cara

kuno dan lebih sesuai untuk nilai kekeruhan yang tinggi, yaitu lebih dari 25 unit,

sedangkan metode nefelometrik lebih sensitif dan dapat digunakan untuk segala

tingkat kekeruhan.

Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak 

terlarut dan tidak dapat mengendap langsung yang terdiri dari partikel-partikel

yang ukuran maupun beratnya lebih kecil daripada sediment, seperti tanah liat,

 bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan lain sebagainya (Hardjojo dan

Djokosetiyanto, 2005). Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi

  positif yaitu semakin tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi pula

nilai kekeruhan. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan

tingginya kekeruhan. Air laut memiliki nilai padatan terlarut yang tinggi, tetapi

tidak berarti kekeruhannya tinggi pula (Effendi, 2003). Padatan tersuspensi

 perairan yang baik untuk usaha budidaya perikanan laut adalah 5 – 25 mg/l (KLH,

2004).

Padatan tersuspensi menciptakan resiko tinggi terhadap kehidupan dalam air 

 pada aliran air yang menerima tailings di kawasan dataran rendah. Dalam daftar 

 berikut ini, dapat dilihat bahwa padatan tersuspensi dalam jumlah yang berlebih

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 28/42

 

34

(diukur sebagai total suspended solids   – TSS) memiliki dampak langsung yang

 berbahaya terhadap kehidupan dan bisa mengakibatkan kerusakan ekologis yang

signifikan melalui beberapa mekanisme berikut ini: 1) Abrasi langsung terhadap

insang binatang air atau jaringan tipis dari tumbuhan air; 2) Penyumbatan insang

ikan atau selaput pernapasan lainnya; 3) Menghambat tumbuhnya/ smothering 

telur atau kurangnya asupan oksigen karena terlapisi oleh padatan; 4) Gangguan

terhadap proses makan, termasuk proses mencari mangsa dan menyeleksi

makanan (terutama bagi  predation dan   filter feeding ; 5) Gangguan terhadap

  proses fotosintesis oleh ganggang atau rumput air karena padatan menghalangi

sinar yang masuk; 6) Perubahan integritas habitat akibat perubahan ukuran

 partikel.

2.5.i. COD (Chemical Oxygen Demand )Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa COD (Chemical 

Oxygen Demand ) merupakan suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang

dibutuhkan oleh bahan oksidan. Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan

oksigen yang lebih tinggi dibandingkan uji BOD karena bahan-bahan yang stabil

terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dengan uji

COD.

Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik 

yang secara alami dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis yang

mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Sedangkan nilai COD

dapat memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran limbah industri di

dalam perairan (ALaerst dan Sartika, 1987).

2.5.j. BOD ( Biochemical Oxygen Demand )

BOD ( Biochemical Oxygen Demand ) atau kebutuhan oksigen menunjukkan

  jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah

atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen

tinggi yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka

  berarti kandungan bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi.

Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengoksidasi air pada suhu 200C

selama 5 hari, dan nilai BOD yang menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 29/42

 

35

dapat diketahui dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum

dan sesudah inkubasi (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).

Menurut Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa dalam uji

BOD mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya adalah: 1) Dalam uji BOD

ikut terhitung oksigen yang dikonsumsi oleh bahan-bahan anorganik atau bahan-

  bahan tereduksi lainnya yang disebut juga intermediate oxygen demand ; 2) Uji

BOD memerlukan waktu yang cukup lama yaitu minimal lima hari; 3) Uji BOD

yang dilakukan selama 5 hari masih belum dapat menunjukkan nilai total BOD

melainkan hanya kira-kira 68 % dari total BOD; 4) Uji BOD tergantung dari

adanya senyawa penghambat didalam air tersebut, misalkan adanya germisida

seperti chlorine yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang

dibutuhkan untuk merombak bahan organik, sehingga hasil uji BOD menjadikurang teliti.

BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi

mikroba aerob yang terdapat pada botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 

200C selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya (Boyd, 1982). Berikut akan

disajikan derajat pencemaran suatu badan perairan yang dilihat berdasarkan nilai

BOD5 (Tabel 2).

Tabel 2. Derajat Pencemaran Berdasarkan Nilai BOD5

Kisaran BOD5 (mg/l) Kriteria Kualitas Perairan 2,9 Tidak tercemar 

3,0 – 5,0 Tercemar ringan

5,1 – 14,9 Tercemar sedang

15,0 Tercemar berat

Sumber: Lee (1987) dalam Sukardiono (1987).

Tabel 2 menyajikan tingkat pencemaran di badan perairan berdasarkan nilai

BOD. Kriteria ini merupakan kriteria untuk organisme budidaya dengan berbagai

sistem budidaya.

2.6. Daya Dukung Lingkungan

Purnomo (1997) menyatakan bahwa daya dukung lingkungan perairan

adalah suatu yang berhubungan erat dengan produktivitas perairan, sebagai nilai

mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau

komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem. Daya

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 30/42

 

36

dukung (carrying capacity) merupakan areal dimana populasi organisme akuatik 

akan ditunjang oleh kawasan atau volume perairan tanpa mengalami penurunan

mutu atau deteriorasi (Turner, 1998). Kenchington dan Hudson (1984)

mendefinisikan daya dukung sebagai suatu kuantitas maksimum ikan yang

didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu yang panjang.

Poernomo (1992) menyatakan bahwa daya dukung dinyatakan sebagai

 pemanfaatan maksimum suatu kawasan atau suatu ekosistem baik berupa jumlah

maupun kegiatan yang ada di dalamnya. Daya dukung ekonomi merupakan

tingkat skala usaha dalam pemanfaatan sumberdaya yang memberikan

keuntungan ekonomi maksimum secara berkelanjutan.

Prasetyawati (2001) menyatakan daya dukung lahan pesisir ditentukan oleh

mutu dan sumber air (asin dan tawar), arus dan pasang surut (hidro-oceanografi),topografi, klimatologi daerah pesisir dan hulu. Scone dalam Prasetyawati (2001)

membagi daya dukung lingkungan menjadi dua yaitu daya dukung ekologis

(ecological carrying capacity) dan daya dukung ekonomi (economic carrying 

capacity). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum organisme dalam

suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor 

kepadatan maupun terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen

(irreversible). Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu, pH,

salinitas, CO2 dan parameter kualitas air lainnya. Sementara itu daya dukung

ekonomi adalah tingkat produksi yang memberikan keuntungan maksimum dan

ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter-

 paremeter kelayakan usaha secara ekonomi seperti NPE (net present value), B/C

(benefit cost ratio) dan IRR (internal rate of return).

Hardjowigeno (2001) mengemukakan bahwa daya dukung/kesesuaian lahan

dapat pula dibedakan atas kesesuaian lahan sekarang (  present land suitability),

yaitu kesesuaian lahan yang dinilai berdasarkan keadaan lahan pada saat

dilakukan penelitian tanpa memperhitungkan jenis perbaikan lahan yang

diperlukan; dan kesesuaian lahan potensial (  potential land suitability), yaitu

kesesuaian lahan yang dinilai berdasarkan lahan setelah diadakan perbaikan-

 perbaikan tertentu yang diperlukan.

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 31/42

 

37

Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability)

suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas)

lahan serta pola tata guna lahan yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya,

sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha

  pemeliharaan kelestariannya. Penilaian kesesuaian lahan merupakan suatu

 penilaian sistematik dari lahan dan menggolong-golongkannya kedalam kategori

 berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kesesuaian

lahan bagi suatu usaha atau penggunaan tertentu (Hardjowigeno, 2001).

Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas assimilasi

dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang

kedalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi. Kemampuan assimilasi

merupakan ukuran kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaranlimbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan

sesuai peruntukkannya (UNEP, 1993). Penjelasan tersebut apabila diterapkan

sebagai daya dukung lingkungan pesisir menjadi kemampuan badan air atau

 peraian di kawasan pesisir dalam menerima limbah organik, termasuk didalamnya

adalah kemampuan mendaur ulang atau mengassimilasi limbah tersebut sehingga

tidak mencemari lingkungan perairan yang berakibat pada terganggunya

keseimbangan ekologis suatu perairan (Widigdo, 2000).

2.7. Estimasi Beban Limbah

Kuantitas dan komposisi dari makanan yang tidak dimakan dan feses yang

dihasilkan oleh ikan peliharaan tergantung pada sejumlah faktor termasuk 

diantaranya jenis pakan (basah dan kering), jumlah ikan yang dipelihara disetiap

keramba, kesehatan ikan yang dipelihara (ikan yang sakit cendrung kekurangan

selera makan), frekuensi pemberian pakan, jenis metode pemberian pakan (secara

otomatis atau manual) dan rasio konversi makanan. Tidak seperti kegiatan

  peternakan, budidaya ikan tidak memerlukan pengelolaan limbah. Dalam  budidaya ikan laut, keramba dibatasi oleh jaring yang memiliki ukuran mata

  jaring tertentu. Buangan limbah dari kegiatan budidaya dikeluarkan langsung

kelingkungan sekitarnya. Besarnya dampak ekologi dari limbah tersebut terhadap

lingkungan akan tergantung pada: 1) ukuran unit keramba yang beroperasi

(jumlah keramba yang beroperasi); 2) kepadatan ikan untuk setiap keramba; 3)

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 32/42

 

38

durasi pengoperasian keramba pada suatu tempat; 4) kondisi fisik dan oseanografi

yang berkaitan dengan tempat kegiatan keramba berlangsung; 5) biota yang

menghuni kawasan tersebut; dan 6) kapasitas assimilasi dari lingkungan dimana

kegiatan keramba ditempatkan (Milewski, 2001).

Limbah pakan dapat dikurangi melalui peningkatan stabilitas pakan,

mengurangi tingkat tenggelamnya pakan dan menyediakan ukuran pakan yang

sesuai dengan ukuran ikan pada setiap tahapan yang berbeda dari kegiatan

 budidaya. Buangan amonia dari ikan merupakan fungsi dari penyerapan protein

dan dapat dijaga agar tetap rendah. Pakan yang memiliki tingkat kecernaan yang

tinggi, pengoptimalan rasio protein/ energi dapat diterapkan untuk masing-masing

spesies budidaya dan setiap tahap pengembangan. Kebutuhan energi ikan dapat

dicukupi melalui pemberian karbohidrat dan lemak, sehingga protein dapat  bertahan untuk pembentukan jaringan tubuh. Hal ini telah ditunjukkan melalui

retensi protein dari ikan Sparatus aurata yang dapat ditingkatkan dari 24,30 %

menjadi 31,30 % dengan cara meningkatkan kandungan lemak pakan menjadi

37 % (Kissil dan Lupatsch, 1992). Sebenarnya, pengurangan N dalam pakan

hanya dapat dicapai jika menggunakan pakan buatan. Kesulitan menggunakan

formulasi pakan buatan adalah masih banyaknya penggunaan ikan rucah. Alasan

mengapa penggunaan ikan rucah masih banyak dilakukan karena masih rendahnya

  pemahaman mengenai kebutuhan nutrisi untuk berbagai jenis ikan budidaya.

Kualitas pakan jelas merupakan faktor utama karena pakan mempengaruhi

  pertumbuhan ikan secara keseluruhan (pertumbuhan harian dan konversi

makanan), kesehatan ikan, buangan limbah fekal dan limbah pakan, dan jumlah

total phosphor yang pada akhirnya dilepaskan keperairan (Goddard, 1996;

Steffens, 1996; Gatlin dan Hardy, 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Guo dan Li (2003) memperlihatkan total

nitrogen di sekitar keramba yang terukur kandungannya hampir sama dalam jarak 

yang relatif jauh yaitu sekitar 50 – 130 m. Sementara itu, kandungan Chlorofil-a

di sekitar keramba berbeda dengan yang ada dilokasi lain yang tidak 

diperuntukkan sebagai kawasan budidaya. Demikian pula dengan biomassa rotifer

yang lebih rendah pada lokasi keramba dan lebih tinggi pada kawasan yang jauh

dari keramba. Cladocera juga memperlihatkan kecendrungan yang berlawanan,

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 33/42

 

39

  pada akhir penelitian hanya ditemukan dua spesies (  Branchiura sowerbyi dan

Sphaerium lacustre) yang ditemukan tepat di bawah keramba yang sebelumnya

 berjumlah 13 spesies dan tujuh spesies ditemukan di luar kawasan keramba.

Pengaruh banyaknya masukan nutrien pada badan air, mencirikan adanya

suatu peningkatan terhadap rendahnya tingkat oksigen terlarut pada area yang luas,

lebih tingginya kandungan BOD dan konsentrasi ammonia di dalam kolom

  perairan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Warren dan Hansen (1982) yang

menggunakan pakan buatan. Ternyata pakan buatan secara signifikan mengurangi

masukan polutan ke sekitar perairan. Berbedanya spesies ikan yang dipelihara

memungkinkan berbedanya tingkat ekskresi ammonia, hal ini juga bergantung

  pada tingkat pertumbuhan dan konsumsi makanan. Sebagai contoh, tingkat

ekskresi amonia dari ikan kakap ( Lutjanius argentimaculatus) sebesar 558 mg/kg  berat tubuh/tahun, lebih besar 50% dibandingkan dengan ikan kerapu

(  Epinephelus areolatus) 375 mg/kg berat tubuh/tahun pada saat kedua spesies

ikan tersebut diberi sejumlah pakan yang sama (Leung, 1996).

Penurunan oksigen terlarut dan peningkatan BOD, nutrien (P, N organik 

maupun anorganik dan total C) secara umum ditemukan di kolom perairan

disekitar keramba (Muller dan Varadi, 1980; Bergheim et al., 1982; Beveridge

dan Muir, 1982; Enell, 1982, 1987; Penczak  et al., 1982; Enell dan Lof, 1983;

Beveridge, 1985, 1986; Molver  et al., 1988). Oksigen terlarut kembali normal

 pada jarak sejauh 30 m dari kegiatan budidaya ikan dalam keramba (Gowen dan

Bradbury, 1987) tetapi kandungan oksigen berkurang hingga jarak 1 km jika

kegiatan keramba tersebut menggunakan pakan ikan rucah dan kondisi kawasan

  budidaya yang buruk (Wu et al., 1994). Perubahan padatan terlarut, penurunan

koefisien cahaya yang masuk, klorofil-a dan phaeopigmen dianggap merupakan

dampak yang kurang signifikan atau bersifat lokal (Beveridge et al., 1994; Wu et 

al., 1994).

  Nutrien-nutrien terlarut tidak secara keseluruhan buruk bagi lingkungan.

Phytoplankton yang merupakan tanaman mikroskopis yang menjadi dasar rantai

makanan memerlukan nutrien untuk pertumbuhan, dengan meningkatnya

 produsen primer maka kelebihan nutrien tersebut dapat memicu produktifitas total

dari suatu sistem, khususnya spesies komersial penting yang diinginkan. Ketika

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 34/42

 

40

adanya peningkatan produksi primer maka kemungkinan blooming alga

 berbahaya juga terjadi. Pada saat ini tidak ada bukti yang nyata bahwa kegiatan

 budidaya telah memicu munculnya alga beracun secara besar-besaran (seperti red 

tide), tetapi tetap saja resiko kemungkinan munculnya harus dipertimbangkan.

Akan tetapi, alga non toksik juga dapat berbahaya jika tidak ada yang

mengkonsumsinya, ketika alga non toksik ini mati dan mengendap didasar akan

diuraikan oleh bakteri dan dapat memicu masalah terjadinya anoksia seperti yang

disebabkan oleh pelet dan limbah pakan. Perhitungan kapasitas dari badan

  perairan untuk mengasimilasi penambahan nutrien tanpa menimbulkan dampak 

masih merupakan suatu hal yang langka (Silvert, 2001).

Untuk mengurangi dampak terjadinya loading  nutrien yang berlebih

keperairan, maka perlu dikaji mengenai kapasitas assimilasi dari suatu badan  perairan dimana kegiatan budidaya akan ditempatkan. Kapasitas assimilasi

digambarkan sebagai kemampuan suatu kawasan untuk mempertahankan

kesehatan lingkungan dan mengakomodasi sejumlah limbah (GESAMP

(IMO/FAO/UNESCO-IOC/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP   Joint Group of 

  Experts on the Scientific Aspects of Marine Environmental Protection), 1986).

Model pendekatan secara matematik telah digunakan dalam upaya untuk 

menentukan kapasitas assimilasi dan beberapa model saat ini digunakan di

Scotlandia oleh SEPA untuk menetapkan dan mengatur konsentrasi buangan

terutama yang berupa bahan kimia, obat-obatan dan nutrien untuk memprediksi

kondisi suatu lingkungan (Henderson et al., 2001). Ada juga desakan perlunya

 peningkatan pengawasan konsentrasi nutrien, bahan kimia dan obat-obatan untuk 

keperluan validasi dari model pendugaan. Masalah penentuan kapasitas assimilasi

untuk kegiatan budidaya dalam hal nutrien merupakan masalah yang kompleks

dengan adanya fakta bahwa sulitnya untuk mencirikan masukan nutrien dari

keramba ikan budidaya dengan masukan nutrien yang berasal dari hutan dan

kegiatan pertanian. Sehingga perlu adanya pendekatan yang holistik untuk 

mengelola polutan di wilayah pesisir, khususnya yang mengacu pada pemodelan

masukan nutrien dan penentuan kapasitas assimilasi (SEPA, 2002).

Daya dukung perairan tergantung pada kecepatan  flushing , arus dan

kapasitas assimilasi badan air terhadap polutan. Konsumsi oksigen dari spesies

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 35/42

 

41

ikan yang dipelihara berkisar antara 83 hingga lebih besar dari 400 g O2/t/h (Wu,

1990b; McLean et al., 1993). Dengan asumsi oksigen terlarut diperairan laut

adalah 7 mg/l, lebih kurang 17 – 53 m3

air laut yang bersih dibutuhkan untuk 

mengganti konsumsi oksigen untuk 1 ton ikan budidaya dan tidak menyertakan

kebutuhan oksigen yang digunakan untuk menguraikan limbah dari kegiatan

 budidaya (Beveridge et al., 1994). Pada sistem budidaya ikan dalam keramba di

 perairan laut terbuka, produksi ikan sebesar 200 ton/tahun memerlukan kecepatan

arus sebesar 1 m3/detik (Tervet, 1981). Pada area dimana pertukaran air lambat,

maka produksi ikan seharusnya dikurangi (Heinig, 2001).

Kerusakan lingkungan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan organik 

yang tinggi dalam sedimen yang mungkin akan mempengaruhi kesehatan ikan-

ikan yang dipelihara dan akan mengurangi keuntungan. Oleh karena itu, kerambaapung harus diletakkan pada tempat dimana kedalaman perairan mampu

mempertukarkan air secara maksimal dan menjaga bagian dasar tetap memiliki

kondisi substrat yang baik pada suhu terendah dan juga tak kalah penting adalah

mengetahui batimetri perairan (Beveridge, 1996).

Selain limbah yang dikeluarkan oleh organisme budidaya, limbah yang

 berasal dari suatu pulau juga meski diketahui. Sayangnya tidak ada pengukuran

yang secara langsung mengetahui kuantitas dan kualitas buangan limbah dari

suatu pulau. Walaupun demikian, untuk menghitung kesesuian dari kegiatan

  budidaya ikan dalam keramba di perairan yang tertutup, dan sulit untuk 

mengeluarkan limbah, ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan untuk 

karakteristik buangan limbah (buangan limbah domestik tanpa pembuangan

limbah yang berasal dari aktivitas industri) antara lain adalah: jumlah orang yang

 berada di wilayah pesisir, keberadaan atau ketiadaan perlakuan-perlakuan sebelum

limbah tersebut dibuang keperairan. Sejumlah orang yang terkait pada masing-

masing sektor menentukan kuantitas limbah yang dibuang kelaut. Keberadaan dan

ketiadaan perlakauan-perlakuan sebelum pembuangan limbah akan menentukan

 bahaya potensial yang akan dialami (Pe´rez et al., 2003).

2.8. Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jarak Jauh

Aplikasi dan pengembangan SIG dimulai di negara maju, terutama Amerika

Utara. Komponen utama SIG meliputi perangkat keras, perangkat lunak, data dan

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 36/42

 

42

sumberdaya manusia. Perangkat keras meliputi komputer, digitizer, scanner,

  plotter, printer, sedangkan perangkat lunak bisa dipilih baik yang komersial

maupun yang tersedia dengan bebas. Contoh perangkat lunak yang banyak dipakai

adalah ARC/INFO, ArcView, IDRISI, ER Mapper, GRASS, MapInfo. Beberapa

cara memasukkan data ke dalam SIG adalah melalui keyboard, digitizer, scanner,

sistem penginderaan jauh, survei lapangan dan GPS. Sumberdaya manusia sebagai

komponen SIG bukan hanya meliputi staf teknikal yang bertugas dalam hal

  pemasukan data maupun pemrosesan dan penganalisaan data, tetapi juga

koordinator yang bertugas untuk mengontrol kualitas dari SIG. Adapun elemen

fungsional SIG meliputi pengambilan data, pemrosesan awal, pengelolaan data,

manipulasi dan analisa data, dan pembuatan output akhir (ESRI, 1990; Puntodewo

et al., 2003; Aronof, 2005).SIG dapat dipertimbangkan sebagai suatu sistem manajemen basis data

yang memperbolehkan pengguna untuk menyimpan, mendapatkan kembali dan

memanipulasi data, serta mengintegrasikan dengan suatu  series yang diikuti

dengan analisis spasial yang tangguh (Borrough, 1986), sehingga dapat digunakan

sebagai referensi informasi geografis yang sangat berguna bagi pengambil

keputusan yang didalamnya mengintegrasikan data keruangan untuk memecahkan

masalah-masalah lingkungan (Cowen , 1988; Kam et al., 1992).

Sistim Informasi Geografis (SIG) merupakan sistim informasi berbasis

keruangan dan merupakan alat yang menghubungkan atribut basis data dengan

  peta digital. Sistem informasi geografis (SIG) di desain untuk mengumpulkan,

menyimpan dan menganalisis suatu objek ataupun fenomena dimana lokasi

tersebut berada yang memiliki karakteristik penting ataupun kritis untuk dianalisis.

Didalam SIG, informasi bahkan ditampilkan dalam bentuk peta maupun tabel.

Beberapa contoh aplikasi SIG antara lain dalam hal pengelolaan hutan dan

kehidupan liar, perencanaan pemukiman, pendugaan erosi tanah, pengelolaan

  pesisir dan hampir semua masalah yang berkaitan dengan rencana penggunaan

lahan dan pengawasannya. Berkaitan dengan kompleksitas yang dinamis dan sifat

ruang dari sistem kawasan pesisir, SIG sangat cocok untuk menangani dan

menganalisa kumpulan data wilayah pantai yang sangat banyak. Sekarang ini ada

  banyak tersedia SIG yang bersifat komersil dan penelitian SIG, tetapi dalam

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 37/42

 

43

memilih SIG yang akan digunakan sangat tergantung pada sifat aplikasinya

(Mennecke, 2000; Aronoff, 2005).

Penggunaan teknologi SIG dapat mempertajam kemampuan operasional

agen pemerintah yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dalam

  pengelolaan wilayah pesisir. Kemampuan teknologi SIG dalam pengelolaan

wilayah pesisir meliputi pananganan data spasial temporal, membangun basis data

untuk wilayah pesisir dan menyediakan alat untuk analisis sehingga dapat

meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya yang harus dikeluarkan (Rongxing,

2001). Secara kaidah, SIG harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1)

Terdiri atas konsep dan data geografis yang berhubungan dengan distribusi

spasial; 2) Merupakan suatu informasi dari data yang didapat, ide atau analisis,

  biasanya berhubungan dengan tujuan pengambilan keputusan; 3) Suatu sistemyang terdiri dari komponen, masukan, proses dan keluaran; 4) Ketiga hal

sebelumnya difungsikan kedalam skenario berdasarkan pada teknologi tinggi

(Hamid, 2003).

Dalam pemanfaatan daerah pesisir, sangat dibutuhkan informasi mengenai

 potensi wilayah pesisir dan lautan yang terpadu. Bentuk sistem informasi terpadu

yang cocok dalam pengertian dapat menyimpan dan mengolah serta

menyampaikan secara cepat dan mudah dari berbagai sektor adalah Sistem

Informasi Geografis (SIG). SIG dapat dipadukan dengan Teknologi Penginderaan

Jauh (Inderaja) yang memiliki kelebihan dalam memberikan data spasial multi

temporal, cakupan yang luas dan mampu menjangkau daerah yang terpencil

sehingga integrasi keduanya merupakan early information dalam pengkajian

kesesuaian lahan di wilayah pesisir diantaranya untuk budidaya laut. Pada

 pengelolaan wilayah pesisir, SIG dapat diaplikasikan untuk pengaturan tata ruang

wilayah pengelolaan, antara lain untuk menduga wilayah potensi wisata, potensi

 perikanan dan wilayah pengembangan budidaya perikanan pesisir. Selain itu, SIG

dapat digunakan untuk melihat terjadinya berbagai perubahan penggunaan lahan

di wilayah pesisir (Purwadhi dan Hardiyanti, 1998).

Pemanfaatan data penginderaan jauh dan SIG telah banyak dilakukan dalam

 pengembangan budidaya perikanan. Namun penelitian di bidang ini masih perlu

dikembangkan dengan mengkaji aspek biofisik, perencanaan wilayah dan

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 38/42

 

44

infrastruktur. Berbagai aspek tersebut dianalisis dengan menggunakan dua

  pendekatan, yaitu analisis kesesuaian lahan (  suitability analysis) dan analisis

keberlanjutan (  sustainability analysis) sehingga diperoleh lokasi budidaya yang

  berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Dalam pengelolaan sumberdaya

 pesisir, SIG dapat digunakan untuk menyajikan data dasar keruangan yang terkait

dengan masalah: 1) Fisik pesisir antara lain topografi/ batimetri, penutupan lahan,

aliran sedimen, erosi dan deposisi, iklim, batas habitat dan lain sebagainya; 2)

Lingkup manusia/sosial, yaitu berupa data dasar keruangan termasuk batas

administratif, distribusi populasi, jaringan transportasi, dan berbagai karakteristik 

sosial lainnya (Gunawan, 1998).

Dalam penerapannya, SIG dapat diterapkan dalam bidang kelautan dan

 perikanan. Ruang lingkup SIG untuk kelautan dapat dibedakan kedalam beberapaareal yaitu daerah pantai (Coastal Zone), bawah laut serta laut terbuka. Setiap

zona tersebut menuntut cara survei, analisis dan kebutuhan teknik pemetaan yang

khusus, dan tentunya membutuhkan struktur dan basis data yang berbeda. Sebagai

contoh dalam pembuatan model SIG untuk pariwisata, Tim Kerja Survey Sumber 

Alam Laut memisahkan analisa untuk bagian darat dengan parameter antara lain

kelas lereng, ketinggian, sumberdaya air, penutupan lahan dan aman terhadap

 bencana yang semuanya disusun menurut tingkat kepentingannya (Sutrisno dan

Sutrisno, 1993; Davis dan Davis, 1998).

Sistim Informasi Geografis (SIG) sebagai sistim informasi digital berbasis

spasial telah berkembang menjadi sebuah sistim pendukung pengambilan

keputusan. Teknologi SIG telah banyak dimanfaatkan oleh pemerintah kabupaten

untuk kajian kewilayahan termasuk didalamnya wilayah pesisir. Dalam

  perkembangannya teknologi SIG dirancang untuk semakin mudah digunakan,

sehingga tekonologi ini telah menjangkau kabupaten/kota di Indonesia. Sistim

Informasi Geografis dapat diaplikasikan untuk penyusunan model berbasis spasial

termasuk penyusunan model pengelolaan pesisir wilayah kabupaten (Dartoyo,

2004). Meaden dan Kapetsky (1991) menjelaskan tentang penggunaan SIG

dibidang perikanan antara lain: 1) Perencanaan zonasi sumberdaya air; 2)

Pemetaan zonasi spesies biota air; 3) Pengaruh lingkungan terhadap produksi ikan

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 39/42

 

45

secara intensif; 4) Identifikasi daerah pusat dimana inovasi kegiatan perikanan

kemungkinan menyebar.

Dahuri (1997) menyatakan bahwa keuntungan penggunaan SIG pada

  perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam adalah: 1) Mampu

mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, analog, dan digital)

dari berbagai sumber; 2) Memiliki kemampuan yang baik dalam pertukaran data

diantara berbagai macam disiplin ilmu dan lembaga terkait; 3) Mampu memproses

dan menganalisis data lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan pekerjaan

manual; 4) Mampu melakukan pemodelan, pengujian dan perbandingan beberapa

alternatif kegiatan sebelum dilakukan aplikasi lapangan; 5) Memiliki kemampuan

 pembaruan data yang efisien terutama model grafik; 6) Mampu menampung data

dalam volume besar.Selain data spasial dan atribut yang dikumpulkan dari berbagai sektor 

terpadu, data inderaja dapat pula diintegrasikan dengan data SIG untuk analisa

maupun dimanipulasi lebih lanjut. Data inderaja ini dapat berupa citra satelit

maupun foto udara. Data inderaja, terutama yang berasal dari satelit mempunyai

  beberapa keuntungan antara lain liputannya yang sipnotik (luas) dan sistematik 

(Sutrisno dan Sutrisno, 1993).

Hamid (2003) menyatakan bahwa sumber data yang diperlukan untuk 

 proses dalam SIG secara umum dibedakan atas tiga kategori yaitu: 1) Data survey

lapangan (berupa data digital dan data atribut); 2) Data peta, merupakan informasi

yang telah terekam pada peta, kertas atau film yang telah dikonversikan dalam

  bentuk dgital, dan bila telah terekam dalam bentuk peta maka tidak diperlukan

lagi data lapang kecuali untuk keperluan Ground Check ; 3) Data inderaja, berupa

foto udara dan citra satelit.

Lillesan dan Kiefer (1979) menyatakan bahwa penginderaan jarak jauh

adalah pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena oleh

sebuah alat yang tidak secara fisik melakukan kontak dengan objek tersebut atau

 pengukuran atau akuisisi data dari sebuah objek atau fenomena oleh sebuah alat

dari jarak jauh, (misalnya dari pesawat, pesawat luar angkasa, satelit, kapal atau

alat lain). Contoh dari penginderaan jarak jauh antara lain satelit observasi bumi,

satelit cuaca dengan ultrasonik dan wahana luar angkasa yang memantau planet

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 40/42

 

46

dari orbit. Di masa modern, istilah penginderaan jarak jauh mengacu kepada

teknik yang melibatkan instrumen di pesawat atau pesawat luar angkasa dan

dibedakan dengan penginderaan lainnya seperti penginderaan medis atau

fotogrametri. Walaupun semua hal yang berhubungan dengan astronomi

sebenarnya adalah penerapan dari penginderaan jarak jauh (faktanya merupakan

  penginderaan jarak jauh yang intensif), istilah "penginderaan jarak jauh"

umumnya lebih kepada yang berhubungan dengan teresterial dan pengamatan

cuaca.

Ketersediaan data inderaja/citra satelit dalam bentuk digital memungkinkan

 penganalisaan dengan komputer secara kuantitatif dan konsisten. Selain itu data

Inderaja dapat digunakan sebagai input yang independen untuk verifikasi

lapangan. Dengan teknologi Inderaja, penjelajahan lapangan dapat dikurangi,sehingga akan menghemat waktu dan biaya bila dibanding dengan cara teristris di

lapangan (Atmawidjaja, 1995).

Pengolahan data inderaja meliputi pengolahan awal dan pengolahan lanjut.

Pengolahan awal meliputi pemilihan data untuk mencari data yang bebas dari

tutupan awan. Proses berikutnya adalah koreksi radiometrik dan geometrik citra.

Koreksi radiometrik dan geometrik berfungsi untuk memulihkan data citra yang

mengalami distorsi ke arah gambaran yang lebih sesuai dengan keadaan

sebenarnya. Setelah proses ini selesai maka data sudah dapat digunakan untuk 

mendapatkan informasi selanjutnya dengan cara mengekstrak menggunakan

metode yang sesuai dengan informasi yang diperlukan. Sedangkan pengolahan

lanjut terdiri atas pengolahan untuk mendapatkan informasi tentang bentuk lahan

dan penutupan lahan/penggunaan lahan, yaitu membuat citra komposit dan

  penajamannya. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan tampilan visual  citra

yang optimal untuk identifikasi bentuk lahan untuk mengetahui karakteristik 

terumbu karang. Pengolahan data ini dilakukan dengan menggunakan  software

ER Mapper, dengan tujuan menonjolkan detail bentuk permukaan bumi dengan

memanfaatkan konfigurasi variasi nilai spektral dan penajaman, sehingga aspek-

aspek morfologi, morfogenesis, dan morfokronologi bentuk lahan diharapkan

dapat diidentifikasi. Kemudian dilakukan interpretasi bentuk lahan secara visual 

  pada monitor komputer dengan menggunakan unsur-unsur interpretasi dan

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 41/42

 

47

fasilitas memperbesar dan memperkecil liputan citra yang ada pada komputer agar 

detail ataupun pola keruangan bentuk lahan dapat diamati. Analisis geomorfologis

dilakukan dengan pendekatan bentang lahan (landscape) dengan mengutamakan

 perhatian pada bentuk lahan, litologi, genesis, dan proses-proses masa lampau dan

sekarang yang dapat diamati dari citra (Asriningrum et al., 2004). Untuk lebih

  jelas, ilustrasi proses pengolahan data dengan menggunakan SIG dapat dilihat

 pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram Sistem untuk Ilustrasi SIG (Meaden dan Kapetsky, 1991).

Diagram alir yang diperlihatkan pada Gambar 3 lebih pada proses

  pengerjaan untuk pemecahan masalah dengan menggunakan SIG. Menurut

Maeden dan Kapetsky (1991), ada empat komponen penting dalam sistem

  penginderaan jauh adalah (1) sumber tenaga elektromagnetik, (2) atmosfer, (3)

interaksi antara tenaga dan objek, (4) sensor. Secara skematik, komponen-

komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

Masukan

(Input)Keluaran

(Output)System Informasi Geografis

Pengolahan Database

CaptureCode Edit 

Penyimpanan

dan

Pencarian

Manipulasi

dan

Analisis

Tampilan

dan

Laporan

Kebutuhan Pengguna (User)

Laporan Tekstual

PetaProduk Fotografi

Statistik dan Tabel

Data untuk SIGlainnya

 Digital Database

Peta

Tabel

Surey LapanganData Digital

Data Inderaja

Analisis SIG lainnya

5/11/2018 pramahartamiipbbab2 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/pramahartamiipbbab2 42/42

 

48

Gambar 4. Sistem Penginderaan Jauh (Maeden dan Kapetsky, 1991)

Gambar 4 memperlihatkan bahwa tenaga panas yang dipancarkan dari

obyek dapat direkam dengan sensor yang dipasang jauh dari obyeknya.

Penginderaan obyek tersebut menggunakan spektrum inframerah termal (Samsuri,

2004). Dengan menggunakan satelit maka akan memungkinkan untuk memonitor 

daerah yang sulit dijangkau dengan metode dan wahana yang lain. Satelit dengan

orbit tertentu dapat memonitor seluruh permukaan bumi. Satelit-satelit yang

digunakan dalam penginderaan jauh terdiri dari satelit lingkungan, cuaca dan

sumberdaya alam seperti yang terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Data satelit ocean color dan spesifikasinya.

Jenis

DataSpesifikasi Data Sumber Data

Parameter terukur

(Produk) Klorofil-a

Endapan

terlarut (TSM)

Kekeruhan

 perairan

Batimetri

SeaWiFS 8 bands (Visible, NIR)

Resolusi spasial: 4km

(GAC), 1km (LAC)

Perioda: 1997-sekarang

CZCS 6 bands

Perioda: 1978-1986

Klorofil-a

Surface

temperature

Klorofil-aOCTS 18 bands

Resolusi spasial: 1km

MODISAqua

36 bands

Resolusi spasial: 250 m

(bands 1-2), 500 m

(bands 3-7), 1000 m

(bands 8-36)

Perioda: 2002-sekarang

 NASA (order, lectronically)

Data (level 1, 2):

http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/browse.pl?sen=am

http://daac.gsfc.nasa.gov/data

Data (level 3) images:

http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/

cgi/level3.pl

LAPAN

Klorofil-a

Endapanterlarut (TSM)

Kekeruhan

 perairan

Suhu

 permukaan laut

Sumber: NASA Research Announcement in http://simbios.gsfc.nasa.gov/Info.