praktik tasawuf syekh nawawi...
TRANSCRIPT
i
PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun Oleh:
Hidayatul Mufid
NIM: 1113033100018
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H. / 2018 M.
v
ABSTRAK
PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANI
Tulisan ini fokus pada pemikiran tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani yang
tertuang dalam sejumlah karyanya. Diantara karya-karyanya yaitu Salâlim al-
Fudalâ, Nasâ‟ih al-„Ibâd, dan Qâmi‟Tughyân yang semuanya ini menjadi sumber
primer penulis dalam mengkaji konsep tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani. Buku-
Buku tersebut berisi nasehat-nasehat, petunjuk, serta bimbingan untuk dapat
menjalankan perintah agama dengan baik. Meninggalkan segala perilaku buruk,
dan menanamkan dalam hati segala sifat terpuji.
Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan
praktik tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani, karakterstik pemikirannya serta
relevansi pemikirannya dengan zaman modern. Poin yang dapat diambil dari
konsep pemikirannya yakni Syekh Nawawi merupakan tokoh seperti al-Ghazali di
era modern, karena ia mampu menyatukan kebekuan antara fiqih dan tasawuf.
Selain itu dalam pemikirannya ia lebih menekankan kepada pengamalan yakni
mulai dari syariat, tarekat dan hakekat serta wasiat-wasiat jalan spiritualnya untuk
sampai kepada kedudukan yang lebih dekat dengan Allah yakni, taubat, qanaah,
zuhud, mempelajari ilmu syariat, menjaga sunnah rasul, tawakal, ikhlas, uzlah,
memperhatikan waktu dan ma‟rifat. Dari semua konsep pemikirannya ini ia
mencoba menyeimbangkan antara hubungan manusia dengan Tuhan dengan
hubungan manusia dengan manusia yang lain. Adapun corak yang tergambar dari
konsep tasawufnya yakni tasawuf Sunni yang mana seluruh ajarannya
disandarkan kepada al-Qur‟an dan Hadits serta orientasinya kepada pembentukan
akhlak yang baik.
Tujuan dari penelitian praktik tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani ini
adalah untuk mengenalkan kembali kepada khalayak umum tentang konsep
tasawufnya yang mungkin juga menjadi solusi dari keadaan moral generasi
bangsa saat ini yang semakin terdegradasi. Dengan adanya tulisan ini semoga
menjadi pedoman untuk kehidupan yang lebih terarah dan dapat menciptakan
masyarakat madani yang memiliki akhlak dan hati nurani yang Islami.
Kata Kunci: Praktik tasawuf, Konsep tasawuf, Karakteristik, Relevansi,
Syekh Nawawi al-Bantani.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum wr. wb
Syukur al-hamdulillah atas nikmat Allah yang terus mengiringi setiap
langkah para hamba-Nya dalam segala poros kehidupan. Karena-Nya penulis
diberi kemudahan selama penyusunan skripsi ini, sehingga dapat menyelesaikan
dengan baik. Salawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan
pilihan, Nabi Muhammad Saw. Atas selesainya karya ilmiah ini tidak terlepas dari
bantuan moril maupun materil dari berbagai pihak. Untuk itu saya ucapkan
terimakasih kepada:
1. Din Wahid, Ph.D., selaku Dosen Pembimbing yang selalu meluangkan
waktunya untuk memberikan arahan, motivasi dan membimbing penulis
dengan baik, sehingga terselesaikannya skripsi ini.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
3. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku Ketua Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam dan Abdul Hakim, S.H.I, M.A., selaku Sekertaris Program
Studi Aqidah dan Filsafat Islam.
4. Drs. Fakhruddin, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik.
5. Abi Sofan dan Umi Suheti, kedua orang tua yang selalu memberikan
motivasi, serta doa selama perjalanan penulis dalam menuntut ilmu di
manapun penulis berada, serta kakak dan adik-adik tercinta yang selalu
memberikan semangat dan doa. Rasanya tidak pernah cukup untuk
berterima kasih, semoga Allah selalu mencurahkan rahmat dan kasih
sayang kepada mereka.
vii
6. K.H Bahrudin S.Ag (Abi) dan Hj. Tutik Rosmaya SE (Umi) selaku
pengasuh Pondok Pesantren Daar el-Hikam yang telah mengasuh,
medidik, dan mengajarkan berbagai ilmu agama serta bimbingan akhlak
kepada penulis yang tidak penulis dapatkan di perkuliahan.
7. Sahabat seperjuangan Aqidah Filsafat angkatan 2013, khususnya Aqidah
Filsafat kelas A yang selalu menemani suka duka dan selalu mendengar
keluh kesah penulis selama lima tahun ini.
8. Untuk seseorang yang selalu memberikan banyak hal kepada penulis, baik
semangat, doa, menghibur di kala sedih, dan memberikan ketenangan di
saat galau tanpa mengenal lelah yakni Siti Nurhidayah. Semoga tetap
selalu menjadi seseorang yang terbaik yang hadir dalam kehidupan
penulis.
9. Untuk sahabat-sahabat alumni Ikatan Keluarga Ma‟had Assa‟adah
(IKMA) Ciputat, terimakasih atas semangat, kasih sayang, canda tawa
serta kekeluargaan yang telah dihadirkan untuk penulis. Semoga tali
silaturahmi kekeluargaan kita selalu terjaga sampai akhir hayat.
10. Ucapan terimakasih disampaikan juga untuk Mahesa, Muhammad Mufid,
Auliya, Imur dan Lea. Sahabat-sahabat yang selalu menemani, membantu
penulis dalam memberikan masukan, arahan serta kritiknya kepada penulis
agar dapat lebih baik lagi.
11. Terimakasih atas semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
viii
Tentu terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini, baik secara tekstual
mapupun kontekstual, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan
mendapat ridho dari Allah Swt. Ȃmîn.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ........................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iv
ABSTRAKSI ............................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ...................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 7
E. Metode Penelitian........................................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan .................................................................................... 10
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG TASAWUF ....................................... 12
A. Pengertian dan Tujuan Tasawuf .................................................................... 12
B. Sejarah dan Sumber Tasawuf ........................................................................ 16
C. Aliran-Aliran Tasawuf .................................................................................. 19
D. Maqâmât dan Ahwâl ..................................................................................... 23
BAB III MENGENAL LEBIH DEKAT SYEKH NAWAWI AL-BANTANI ....... 33
A. Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani .............................................................. 33
B. Latar Belakang Intelektual Syekh Nawawi Al-Bantani ................................. 37
C. Pemikiran-Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani ......................................... 41
D. Karya-Karya Syekh Nawawi Al-Bantani ....................................................... 47
BAB IV HASIL KAJIAN PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-
BANTANI .................................................................................................................. 53
A. Praktik Tasawuf Syekh Nawawi Al-Bantani ................................................. 53
B. Corak dan Karakteristik Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani ................... 73
C. Relevansi Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani dengan Zaman Modern .... 78
x
BAB V PENUTUP .................................................................................................... 85
A. Kesimpulan .................................................................................................... 85
Daftar Pustaka ............................................................................................................ 88
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada
pedoman transliterasi Arab-latin berdasarkan buku Pedoman Akademik Program
Strata 1 Tahun 2013/2014 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
HURUF ARAB HURUF LATIN KETERANGAN
tidak dilambangkan - ا
B be ب
T te ت
Ts te dan es ث
J te ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D de د
Dz de dan zet ذ
R er ر
Z zet ز
S es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
Z zet dengan garis bawah ظ
„ عkoma terbalik di atas
hadap kanan
Gh ge dan ha غ
F ef ف
Q ki ق
xi
K ka ك
L el ل
M em م
N en ن
W we و
H ha ه
apostrof „ ء
Y ye ي
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal
adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A fathah
I kasrah
U Dammah
Adapun untuk vokal rangkap ketentuannya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي Ai a dan i
و Au a dan u
xii
Vokal Panjang
Ketentuan vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan
dengan harakat dan huruf yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ȃ A dengan topi di atas سا
Ȋ I dengan topi di atas سي
Ȗ U dengan topi di atas سو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâal, al-diwân bukan ad-diwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata انض زورة tidak ditulis ad-darûrah
melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.
xiii
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. Hal yang
sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‟t). Namun, jika
huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihsarakan menjadi huruf /t/.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman yang semakin modern dan serba canggih ini banyak
memberikan kemudahan bagi manusia dalam melakukan aktifitasnya, sehingga
manusia banyak dimanjakan dengan peralatan teknologi yang serba canggih. Di
sisi lain, kemodernan ini justru mengakibatkan kesengsaraan dan berbagai
penderitaan yang besar, karena penyalahgunaan teknologi dan ilmu pengetahuan
yang sebatas hanya untuk memenuhi hawa nafsu pribadi. Pada dasarnya,
masyarakat hanya menginginkan sebuah perubahan dengan kemajuan teknologi
ke arah yang lebih baik dengan harapan tercapai suatu kehidupan yang maju dan
sejahtera. Namun faktanya, masyarakat terjebak dengan kemajuan teknologi
tersebut sehingga mereka kehilangan jati diri dan terlantarnya kebutuhan spiritual.
Bahkan, sampai mereka tidak mengetahui posisi dan hubungannya dengan Sang
Maha Pencipta. Keterputusan dengan sumber ini adalah penyebab timbulnya
perasaan terasing, gelisah dan sejenisnya, sebagaimana yang banyak diderita
manusia yang hidup di dunia modern ini.1
Di samping perkembangan teknologi yang semakin pesat, keadaan
pergaulan para remaja dan pelajar yang kini kian memprihatinkan perlu juga
menjadi perhatian khusus. Pergaulan yang sudah tidak lagi mengindahkan norma-
norma agama maupun sosial masyarakat dan mengarah kepada pergaulan bebas
seperti mabuk-mabukan, pemakaian narkoba, seks bebas menjadi penyakit yang
1 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h.
270.
2
saat ini sudah mewabah di kalangan remaja dan pelajar. Remaja atau ABG (anak
baru gede) adalah subjek yang paling banyak menjadi korban dalam pergaulan
bebas, bahkan saat ini sudah menular kepada anak-anak sekolah dasar. Ini bisa
dipahami, karena kebanyakan anak muda seusia mereka memang masih sangat
labil. Mereka kadang susah membedakan sesuatu yang baik dan buruk bagi
perkembangan hidup mereka.
Menurut Said Aqil siradj, dalam sebuah pengantar sufistiknya mengatakan
bahwa berbagai krisis menimpa kehidupan manusia modern, mulai dari krisis
sosial, krisis struktural sampai krisis spiritual. Semuanya itu bermuara pada
persoalan makna hidup. Modernitas dengan segenap kemajuan teknologi dan
pesatnya industrialisasi membuat manusia kehilangan orientasi. Kekayaan materi
kian menumpuk, tetapi jiwa mengalami kekosongan. Seiring dengan logika dan
orientasi yang kian modern, pekerjaan dan materi lantas menjadi aktualisasi
kehidupan masyarakat. Gagasan tentang makna hidup berantakan. Akibatnya,
manusia ibarat sebuah mesin, semuanya diukur atas dasar materi.2
Selain itu, keadaan ekonomi yang mulai bersaing baik di tingkat perdesaan
sampai ke perkotaan, membuat manusia tergiur untuk hidup bermewah-mewahan
dan untuk memperkaya dirinya masing-masing. Berusaha untuk tampil hidup
mewah, lebih mapan, lebih kaya dibandingkan dengan orang-orang di
sekelilingnya. Namun sayangnya, usaha yang dilakukan yang semata-mata hanya
untuk memperkaya diri tersebut yang seharusnya membawa ketenangan,
keamanan dan kesejahteraan manusia itu tak jarang justru menyengsarakannya.
Kecenderungan dan cinta terhadap materi merupakan bagian faktor yang dapat
2 Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. viii.
3
menyesatkan manusia dari tujuan utamanya. Kehidupan modern yang demikian
kompetitif menyebabkan manusia harus mengerahkan seluruh pikiran, tenaga, dan
kemampuannya. Mereka terus bekerja tanpa mengenal batas dan kepuasan.
Akibatnya, jika terkena problem yang tidak dapat dipecahkan dirinya, ia akan
stres dan frustasi. Pada dasarnya, berusaha untuk mencari harta sangatlah
dianjurkan oleh Allah agar tetap dapat menyambung hidup dan agar dapat
menjalankan segala kewajiban dengan baik. Akan tetapi, mencari harta akan
menjadi dilarang jika itu berlebih-lebihan dan menjerumuskan manusia kepada
dosa seperti sombong, serakah, dengki, congkak, tamak dan sifat-sifat buruk
lainnya.3
Meskipun demikian, dari segala pelik persoalan ini masih ada upaya untuk
menghadapi tantangan dan rintangan tersebut. Seperti pengajian-pengajian di
rumah-rumah, perkantoran ataupun majlis-majlis taklim yang mulai
menggencarkan kajian dan pengajaran ajaran Islam yang murni. Karena
kehidupan modern ini harus mempunyai landasan yang kuat, yaitu akidah Islam
yang bersumber dari Al-Qur‟an dan hadis. Dengan cara seperti ini maka akan
terbangun kehidupan yang seimbang antara lahir dan batin, duniawi dan ukhrawi,
serta individu dan masyarakat. Keseimbangan ini harus menjadi roh bagi
peradaban manusia dalam kehidupan modern sekarang ini.4
Dengan kecenderungan beberapa masyarakat yang mulai menggemari
kajian-kajian Islam, atau majlis-majlis yang ada di rumah-rumah atau perkantoran
3 Sudirman Tebba, Manfaat Tasawuf dalam Kehidupan Sehari-hari, (Ciputat: Pustaka
irVan, 2008), h. 119. 4 Adlin Sila dkk, Sufi Perkotaan, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama
Jakarta, 2007), h. ix-x.
4
sebagai bentuk pencarian jati diri dan pendekatan diri kepada Sang Maha
Pencipta. Maka jalan tasawuf juga menjadi salah satu solusi jalan untuk
memecahkan segala permasalahan yang ada. Menurut Mulyadi Kartanegara dalam
bukunya Menyelami Lubuk Tasawuf¸ tasawuf bukan hanya menyadarkan kita
akan keterpisahan dari sumber dan tempat kembali kita yang sejati. Tetapi,
tasawuf juga menjelaskan kepada kita dari mana kita berasal dan kemana kita
akan kembali. Dengan demikian, dalam arti tertentu tasawuf telah memberikan
arah (orientasi) dalam hidup.5
Dalam mengatasi masalah yang membelenggu masyarakat modern ini,
maka salah satu solusinya adalah kembali kepada agama dengan membumikan
nilai-nilai spiritual ke dalam kehidupan. Serta sikap materialistik dan hedonistik
yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan
konsep zuhud (asketisisme). Dalam tasawuf, zuhud ini mempunyai pengertian
khusus. Ia bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, tetapi
merupakan hikmah yang membuat penganutnya mempunyai visi khusus tehadap
kehidupan, di masa mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi
itu tidak menguasai kecenderungan hati mereka, serta tidak membuat mereka
mengingkari Tuhannya.6
Itulah yang dapat digali dan dikembangkan dari ajaran tasawuf. Untuk
mengatasi masyarakat modern saat ini. Tasawuf dapat dijadikan salah satu
alternatif terpenting. Ajaran tasawuf perlu diterapkan ke dalam seluruh konsep
5 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 272.
6 Al-Tafthazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad Rafi‟ Usmani,(Bandung:
Pustaka ITB, 1985), h. 54.
.
5
kehidupan. Ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan
lain sebagainya perlu dilandasi dengan ajaran tasawuf.
Menurut Imam Junaid al-Baghdâdi;
انتصىف تصفيت انمهىب حتى اليعاودها ضعفهاانذاتى ومفارلت اخالق انطبيعيت واخماد صفاث
انبشزيت ومجانيت نزواث اننفس
Artinya: Tasawuf adalah mensucikan hati sehingga tidak ditimpa suatu
kelemahan, menjauhi akhlak alamiah, melenyapkan sifat kemanusiaan, dan
menjauhi segala keinginan nafsu.7
Selain itu, tasawuf tidak dipahami hanya sebatas pembersihan hati akan
tetapi juga sebagai proses pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui amalan-
amalan seperti dzikir, „uzlah dan berakhlak dengan akhlak Tuhan sebagai salah
satu pelatihan manusia agar dapat merasakan kehadiran Allah di dalam kehidupan
ini. Mengamalkan tasawuf juga menjadi salah satu pengembangan dan
membentuk kepribadian Muslim agar memiliki keyakinan dan akidah yang lurus,
memiliki sikap peduli terhadap problematika yang sering dihadapi kaum Muslim
belakangan ini, serta dapat terjun langsung membantu menyelesaikan
permasalahan yang ada.8
Jadi dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis
kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak
mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas
makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Maka lewat spiritualitas
7 Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012), h. 11.
8 Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global Upaya Membangun
Karakter Muslim, (Jakarta: Trans Pustaka, 2012), h. 177-178.
6
Islam, ladang kering jadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta
mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah tujuannya.
Terdapat banyak tokoh ulama yang telah memberikan gambaran dan
penjelasan mengenai ajaran tasawuf, namun pada kesempatan ini penulis
membatasi hanya mengkaji konsep tasawuf menurut Syekh Nawawi al-Bantani.
Ada beberapa alasan mengapa saya tertarik mengangkat tokoh ini. Pertama, dia
adalah maha guru yang telah melahirkan tokoh-tokoh pembesar Islam khususnya
di tanah Jawa seperti K.H. Hasyim „Asy‟ari, K.H. Khalil, K.H Asnawi dan masih
banyak lagi. Kedua, Syekh Nawawi adalah tokoh dari tanah Jawa yang sangat
produktif dalam menghasilkan karya-karya di bidang keilmuan Islam dan juga
mudah dipahami oleh masyarakat umum. Ketiga, isi dari pemikiran Syekh
Nawawi khususnya dalam bidang tasawuf yang sangat relevan sehingga menjadi
salah satu solusi untuk menjawab segala permasalahan di atas.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, guna menjawab segala
pelik permasalahan-permasalahan tersebut maka penulis mengangkatnya dalam
satu pembahasan skripsi dengan judul: “ Praktik Tasawuf Syekh Nawawi al-
Bantani”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, penulis memberikan batasan pada
pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani yakni terkait corak dan karakteristik
tasawufnya, karena Syekh Nawawi al-Bantani adalah seorang pemikir Islam dari
Banten yang sangat dikenal dengan keistiqomahannya dalam mempertahankan
dan melestarikan pemikiran para tokoh pendahulunya.
7
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yakni:
a. Bagaimana praktik tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani ?
b. Bagaimana corak dan karakteristik tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani ?
c. Apa relevansi pemikiran-pemikiran Syekh Nawawi dengan zaman modern
ini ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
a. Untuk mengetahui lebih mendalam tentang pemikiran dan riwayat hidup
Syekh Nawawi al-Bantani khususnya dalam pemikiran tasawuf, corak
pemikiran, praktik, serta relevansi pemikirannya dengan zaman modern
ini.
b. Untuk mendapatkan gelar kesarjanaan Strata Satu (S1) di Jurusan Aqidah
Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Diharapkan mampu memberikan wawasan, informasi dan pengetahuan
kepada mahasiswa dalam khazanah keilmuan khususnya mengenai konsep
tasawuf yang diajarkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani.
b. Sebagai salah satu tambahan referensi dalam bidang keilmuan atau juga
bisa dijadikan bahan kajian untuk dianalisis lebih mendalam lagi.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian dalam bidang tasawuf bukanlah hal yang baru. Untuk
mengembangkan dan memfokuskan skripsi ini penulis melakukan tinjauan
8
pustaka dari beberapa karya ilmiah. Dalam bidang akademis, ditemukan karya
ilmiah yang secara khusus mengkaji karya dan pemikiran Syekh Nawawi baik
dalam bentuk makalah, laporan penelitian, skripsi, tesis, maupun disertasi dari
berbagai sisi dan perspektif, mulai dari pemikiran teologis, fiqih, pendidikan,
hingga mengenai pengaruh Syekh Nawawi dalam pembelajaran pesantren.
Beberapa karya ilmiah yang penulis temukan yang memiliki keterkaitan yang erat
dalam pembahasan tema skripsi ini yaitu:
Dalam karya ilmiah Sri Mulyati menulis tesis yang berjudul Sufism in
Indonesia: An Analysis of Nawawi al-Banteni‟s Salâlim al-Fudalâ di McGill
University pada tahun 1992 mengenai ajaran-ajaran sufisme Syekh Nawawi
dalam kitab Salâlim al-Fudalâ. Sri Mulyati menjelaskan konstribusi Syekh
Nawawi dan kecenderungannya dalam esoterisme Islam. Selain itu, perbedaan
mendasar lain dengan karya ilmiah ini yaitu, dalam karya ilmiah Sri Mulyati
hanya menganalisis tasawuf Syekh Nawawi dari satu karya tasawufnya saja yaitu
Salâlim al-Fudalâ. Sedangkan dalam karya ilmiah ini akan dibahas tasawuf Syekh
Nawawi dari tiga karya tasawufnya yakni Salâlim al-Fudalâ, Nasâ‟ih al-„Ibâd
dan Qâmi‟ al-Tughyân.
Penelitian yang dilakukan oleh Rifya Mahmudin pada tahun 2015 Fakultas
Adab dan Humaniora Jurusan Tarjamah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
bentuk skripsi berjudul Metode Penerjemahan Fuad Kauma Terhadap Kitab
Nasâ‟ih al-‘Ibâd Karya Syekh Nawawi al-Bantani. Penelitian ini lebih
menekankan untuk mengetahui bagaimana metode yang digunakan penerjemah
dalam menerjemahkan kitab Nasâ‟ih al-„Ibâd, melalui analisis diketahui bahwa
9
hasil terjemahan yang diteliti adalah menggunakan terjemahan harfiyah
(terjemahan yang setia terhadap sumber).
Penelitian yang dilakukan oleh Setya Pambudi pada tahun 2013 Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan Program Studi Pendidikan Agama Islam IAIN Surakarta
dengan skripsi berjudul Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Nasâ‟ih al-„Ibâd
Karya Imam Nawawi al-Bantani. Penelitian ini mengarah untuk mengetahui
konsep pendidikan akhlak pada murid terhadap guru pada kitab Nasâ‟ih al-„Ibâd
karya Imam Nawawi al-Bantani, penelitian ini menunjukkan bahwa konsep
pendidikan akhlak terhadap guru dalam kitab Nasâ‟ih al-„Ibâd ditinjau dari 3
(tiga) aspek yaitu : 1. Ruang Lingkup pendidikan akhlak terhadap guru 2. Metode
yang digunakan adalah keteladanan 3. Tujuan pendidikan akhlak pada guru.
Dari hasil penelitian di atas yang penulis temukan hanya sedikit yang
secara komprehensif menjelaskan tentang konsep tasawuf Syekh Nawawi al-
Bantani. Maka dari itu, dari karya-karya tasawufnya penulis akan menganalisis
lebih kritis lagi untuk menemukan praktik tasawuf dari Syekh Nawawi al-Bantani
ini.
E. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah kajian pustaka yaitu
dengan mencari sumber-sumber referensi atau data-data kepustakaan baik itu
primer maupun sekunder.
Sumber primer dalam penulisan skripsi ini adalah karya-karya Syekh
Nawawi al-Bantani itu sendiri, yaitu Nasâ‟ih al-„Ibâd, Salâlim al-Fudalâ dan
Qami‟ al-Tughyân.
10
Sumber sekundernya adalah buku-buku lain seperti Kunci Memahami Ilmu
Tasawuf oleh Dr. Mustafa Zahri yang diterbitkan oleh PT Bina Ilmu Tahun 1976,
Ilmu Tasawuf oleh Drs. Samsul Munir Amin yang diterbitkan oleh Amzah Tahun
2012, skripsi, jurnal atau makalah yang berkaitan dengan tema yang dibahas oleh
penulis mengenai konsep tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani.
Panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Akademik Tahun
2013/2014 Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan
oleh Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun pedoman transliterasi yang penulis
gunakan dalam penulisan skripsi ini mengacu pada buku yang sama yaitu
Pedoman Akademik Tahun 2013/2014 Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah analisa materi dalam penulisan skripsi ini, maka
penulis menggambarkannya dalam sistematika sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan, yaitu signifikasi tema yang meliputi latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab II: Pada bab ini penulis membahas gambaran umum mengenai konsep
tasawuf dengan sub-bab antara lain pengertian dan tujuan tasawuf, sejarah dan
sumber tasawuf, aliran-aliran tasawuf, maqâmât dan ahwâl.
Bab III: Pada bab ini merupakan sebuah upaya mengenal biografi tokoh. Hal ini
dilakukan sebagai satu upaya penelusuran atas latar belakang keluarga,
11
pendidikan dan hubungannya dengan proses keilmuan atau dalam penulisan
karyanya. Mengetahui gambaran umum dari pemikiran-pemikiran yang dimiliki
oleh Syekh Nawawi al-Bantani. Sejarah kehidupan dan karya-karya Syekh
Nawawi al-Bantani.
Bab IV: Pada bab ini penulis membahas praktik dari tasawuf Syekh Nawawi al-
Bantani dengan sub-bab antara lain praktik tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani,
corak dan karakteristik dari pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani dan relevansi
pemikiran-pemikirannya dengan zaman modern.
Bab V: Pada bab ini akan diberikan sebuah kesimpulan akhir sebagai jawaban
dari rumusan masalah yang diajukan dalam skripsi ini dan disertakan pula saran-
saran sebagai masukan lebih lanjut setelah dilakukan penelitian.
12
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG TASAWUF
a. Pengertian dan Tujuan Tasawuf
Tasawuf merupakan ilmu yang mengajak manusia untuk hidup berakhlak
dengan akhlak Tuhan, tidak terlena dengan kenikmatan dunia yang sesaat dan
harus selalu berintrospeksi diri serta berusaha untuk dekat dengan Allah.
Sederhananya, tasawuf ini hadir untuk membantu mengarahkan manusia untuk
dapat berakhlak mulia dan agar selalu berada di dalam garis yang sudah
ditentukan-Nya.1
Secara etimologi kata “Tasawuf” berasal dari kata “ahl al-Suffah” ( اهم
yang berarti sekelompok orang yang tidak memiliki apapun, yang hidupnya (انصفت
hanya mengandalkan sedekah dari kaum Muslim. Mereka tinggal di serambi
masjid di Madinah yang mana mereka ikut berhijrah bersama Nabi dari Makkah
ke Madinah. Di masjid Nabi ini mereka tinggal di atas bangku dengan berbantal
pelana yang disebut dengan Suffah.2
Ada yang berpendapat lain bahwa tasawuf berasal dari kata “saff” yang
berarti “barisan ketika shalat”. Alasannya, karena shalat adalah pangkal atau tiang
agama ( اداندينانصالةعم ), selain itu orang yang memiliki iman yang kuat atau murni
kebatinannya pasti memilih barisan yang paling terdepan dalam shalat, agar hati
mereka benar-benar dekat dengan Allah. 3
1 Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 6-7.
2 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
h. 57. 3 Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 3.
13
Kemudian, ada juga yang mengartikan bahwa tasawuf berasal dari kata
“sûf” yang berarti “bulu domba” atau “kain yang terbuat dari bulu yaitu wol”.
Pada waktu itu, pakaian yang terbuat dari kain wol adalah salah satu simbol dari
kesederhanaan dan kemiskinan. Selain dari pada itu, dengan menggunakan
pakaian yang berbahan kain wol ini sebagai bukti penafian kaum sufi terhadap
duniawi serta menjadi langkah untuk bersikap tawadhu.4 Dalam satu riwayat
dikatakan dari Ibn Qutaibah meriwayatkan bahwa, pakaian yang terbuat dari bulu
itu adalah pakaian kaum fakir, orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang
berdosa.5
Dari manapun kata tasawuf itu berasal, dari bahasa Arab atau Yunani, dari
semua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, tasawuf adalah suatu
upaya yang mengajak manusia untuk selalu dekat dengan Tuhannya, selalu
menjaga hatinya, memurnikan batinnya, menahan agar tidak tergoda dengan
keduniawian yang bersifat semu, rela berkorban dalam hal kebaikan dan selalu
bersikap bijaksana. Setelah mengetahui pengertian tasawuf secara etimologi, di
bawah ini penulis akan menjelaskan beberapa pendapat dari sufi terkemuka
tentang tasawuf secara terminologi.
Menurut Ma‟ruf Al-Karhi, tasawuf menekankan hal-hal yang hakiki dan
mengabaikan segala apa yang ada pada makhluk. Barang siapa yang belum
bersungguh-sungguh dengan kefakiran, berarti belum bersungguh-sungguh dalam
bertasawuf.6
4 Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, h. 4-5.
5 Ahmad Daudy, Kuliah Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h. 20.
6 Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 6.
14
Menurut Abul Hasan Nuri:
نيس انتصىف رسما وال عهما ونكنه أخالق
Artinya: Tasawuf tidak terdiri atas praktik-praktik dan ilmu-ilmu, tapi ia
adalah moral/akhlak.
Abu Hasan Nuri menegaskan kembali bahwa, Tasawuf tidak bisa hanya
dikatakan terdiri dari praktik-praktik saja karena jika tasawuf terdiri dari itu saja ia
bisa didapatkan hanya melalui usaha semata, dan jika ia terdiri atas ilmu-ilmu
maka ia dapat diperoleh dengan pembelajaran saja. Menurutnya, tasawuf adalah
akhlak yang tidak dapat diperoleh dengan hanya pelajaran dan praktik formalitas
yang tidak memiliki realitas, akan tetapi akhlak menuntut tindakan-tindakan
terpuji yang bentuknya selaras dengan ruhnya, sehingga merefleksikan akhlak
Tuhan.7
Syekh Muhammad Hisyam Kabbani memberikan penjelasan mengenai
tasawuf, dalam penjelasannya banyak menyerupai pendapat dari Imam Junaid al-
Baghdâdi yang menekankan pada penyucian hati, menjauhi dari segala bentuk
penyakit hati seperti dengki, riya, ingin dipuji, sombong, angkuh, tamak, kikir dan
menghormati yang kaya dan menyingkirkan yang fakir. Karena tasawuf
menurutnya mengajarkan seseorang untuk melihat pada dirinya sendiri atau selalu
berintropeksi dan memperbaiki diri dengan tuntunan Nabi dan pedoman al-
Qur‟an, serta menghiasi diri dengan sifat-sifat yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad seperti jujur,amanah, hidup sederhana, konsisten dalam ketaatan,
7 Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, terj. Suwarjo Muthary dan Abdul Hadi (Bandung: Mizan
Pustaka, 1992), h. 51.
15
selalu bertaubat serta jalan-jalan lain menuju Allah yang akan dijelaskan oleh
penulis pada pembahasan selanjutnya.8
Adapun tujuan terpenting yang ingin dicapai dari tasawuf ini adalah agar
sedekat mungkin dengan Allah. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa
salah satu yang menjadi akhir dari perjalanan seorang sufi adalah mengenal Tuhan
dengan jalan yang sesuai tuntunan yang sudah dijelaskan dari al-Qur‟an dan hadits
Nabi. Oleh karena itu, tidak ada tujuan lain bagi seorang sufi selain mendekatkan
diri kepada Allah melalui târiqah atau jalan-jalan menuju Allah dalam tasawuf
untuk mencapai ma‟rifatullah dengan sebenar-benarnya dan tersingkapnya hijab
atau dinding yang membatasi diri dengan Allah.
Secara terperinci terdapat tiga tujuan yang ingin dicapai dari tasawuf yaitu:
1. Pembinaan moral
2. Mencapai ma‟rifatullah
3. Pengkajian garis hubungan dengan Tuhan.9
Selain itu, ada tujuan yang pasti menjadi tujuan semua manusia di bumi
yaitu menjadi manusia yang sempurna atau dalam tasawuf dikenal dengan insân
kâmil. Meskipun ada sajak Arab yang mengatakan bahwa al-insân makân al-khata
wa al-nisyân (manusia tidak akan pernah luput dari lupa dan kesalahan) akan
tetapi jika manusia mau berusaha untuk mengenal dirinya sendiri dan berakhlak
dengan akhlak Tuhan serta mengikuti Sunnah Nabi maka ia akan memperoleh
derajat yang mulia di sisi-Nya.
8 Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, h. 10-11.
9 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo: Amzah,
2005), h. 257-258.
16
b. Sejarah dan Sumber Tasawuf
Tasawuf secara umum merupakan ilmu yang dipelajari dan dipraktikkan
oleh setiap agama tidak hanya dalam Islam. Tasawuf bahkan hadir di tengah
masyarakat Yunani seperti istilah asketis atau di dalam tasawuf dikenal dengan
zuhud. Bahkan ada beberapa pendapat mengatakan bahwa tasawuf terpengaruh
dari ajaran-ajaran di luar Islam seperti Hindu, Budha dan Kristen.10
Secara umum, banyak teori yang mengatakan bahwa tasawuf lahir atas
pengaruh dari luar Islam. Harun Nasution menjelaskan dalam bukunya Falsafah
dan Mistisisme dalam Islam bahwa tasawuf lahir atas beberapa pengaruh dari luar
yakni:
1. Kristen, dengan paham asketicnya (menjauhi dunia dan hidup
mengasingkan diri dalam biara-biara).
2. Falsafat mistik Phytagoras, yang berpendapat bahwa roh manusia
bersifat kekal. Selama roh itu terpenjara dalam jasmani, keharusan
manusia yaitu untuk melakukan penyucian diri dan bersikap tidak
terikat dengan hal keduniawian.
3. Hindu, dengan menekankan manusia untuk menjauhi dunia dan
mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dan Brahman.
4. Budha, dengan paham Nirwananya yang mengajarkan untuk hidup
berkontemplasi agar dapat mencapai derajat fana‟.
5. Falsafat emanasi Plotinus, yang berpendapat bahwa seluruh wujud
yang dapat terindra merupakan pancaran dari Tuhan yang Maha Esa.
10
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 43-45.
17
Roh yang berada di dalamnya merupakan berasal dari-Nya. Roh
menjadi kotor ketika masuk ke alam materi. Agar dapat kembali ke
asal pemiliknya yang Maha Suci, maka roh haruslah dibersihkan
dengan penyucian diri dan meninggalkan hal-hal yang merusak diri
dan bersifat duniawi.11
Dari pengaruh ajaran-ajaran di atas, terdapat kesamaan di dalamnya yang
menjadi poin utama di setiap ajaran. Kesamaan itu ialah perintah untuk hidup
tidak terikat dengan hal keduniawian dan melakukan penyucian diri. Akan tetapi,
semua ini sebatas hipotesa paham dari luar yang mempengaruhi munculnya
tasawuf, bagaimanapun juga tanpa adanya pengaruh-pengaruh dari luar, tasawuf
bisa lahir dari dan bernafaskan Islam.
Tasawuf yang merupakan refleksi dari peradaban Islam baik dari zaman
dahulu sampai sekarang dalam hal mental maupun spiritual tidak luput dari
serangan kaum orientalis. Mereka berpendapat bahwa tasawuf lahir dari kompilasi
sumber-sumber di luar Islam seperti Kristen, India maupun yang lain. Sebenarnya,
tasawuf tumbuh dan berkembang sendiri dari ajaran-ajaran Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad Saw. Dr. Ahmad Amin berpendapat secara jelas dan
terpecaya bahwa tasawuf lahir dari rahim Islam, dan rukun tasawuf dimulai
dengan proses kezuhudan pada awal kelahirannya yang kemudian akan
menumbuhkan sikap kecintaan kepada Allah. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur‟an
yang mengandung perintah mengenai tasawuf seperti keharusan zuhud, dzikir,
11
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 44-45.
18
wara‟ dan lain sebagainya sebagai petunjuk dan tuntunan umat Islam dan
dijelaskan kembali oleh sunnah-sunnah Nabi.12
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari kelahiran tasawuf ini.
Pada abad ke-5 H, Imam al-Ghazâli tampil menentang jenis-jenis tasawuf yang
dianggapnya tidak sesuai dengan al-Qur‟an dan Sunnah dalam sebuah upaya
mengembalikan tasawuf kepada status semula sebagai jalan hidup zuhud,
pendidikan jiwa dan pembentukan moral.13
Sebagian kaum sufi dari kalangan
Islam yang lain juga menolak bahwa ajaran atau isi dari tasawuf ini merupakan
adopsi dari pendapat-pendapat paganistik Yunani, atau filsafat-filsafat Hindu-
Budha dan taqlid pada kaum Kristen. Ajaran atau isi dari tasawuf ini memiliki
landasan yaitu al-Qur‟an dan Hadits Nabi. Tasawuf ini merupakan representasi
dari al-Qur‟an dan Hadits yang diperuntukkan untuk manusia untuk hidup lebih
baik dan lebih dekat dengan Tuhannya. Jadi, tasawuf merupakan refleksi dari
ajaran al-Qur‟an dan Hadits yang di dalamnya tercantum berbagai perintah untuk
bertasawuf seperti zuhud, wara‟, taubat dan sebagainya.14
Al-Qur‟an yang merupakan pedoman utama bagi umat Islam menjadi
salah satu sumber tasawuf dalam Islam. Meskipun secara langsung kata sufi tidak
terdapat dalam al-Qur‟an akan tetapi apabila lebih diteliti dan dipahami secara
seksama pada ayat al-Qur‟an, maka banyak sekali ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadits
yang berfungsi sebagai sumber tasawuf. Sebagaimana sudah sedikit disinggung di
atas, meskipun ada yang berpendapat bahwa tasawuf terpengaruh dari ajaran-
12
Dr. Muhammah Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 21. 13
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok: Pustaka IIMaN, 2009), h. 49. 14
Dr. Muhammah Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak, h. 24.
19
ajaran luar akan tetapi pada dasarnya Islam sendiri memiliki pedoman dan
tuntunan yang jelas dan pasti dari Allah dan Nabi Muhammad.
Selain itu, ada sumber lain dalam Islam yang menjadi penyebab
tumbuhnya tasawuf, yaitu berasal dari perilaku Salaf al-Sâlih yakni sahabat-
sahabat Nabi, para tabiin, dan orang-orang sesudah itu. Dengan berperilaku
senantiasa menjalankan kewajiban dalam beribadah, mendekatkan diri kepada
Allah dan berpaling atau tidak terikat dengan hal-hal keduniawian baik dari
kemewahan, kesenangan dan gemerlap dunia.15
Jadi semuanya terlihat jelas bahwa tumbuhnya tasawuf bersumber dari
ajaran al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad. Dengan membaca ayat-ayat al-
Qur‟an dan memahami maksudnya serta mencontoh kehidupan dan perilaku Nabi
bersama para Sahabat, menjadi salah satu sumber kuat tasawuf yang dijadikan
pedoman hidup umat Muslim.
c. Aliran-Aliran dalam Tasawuf
1. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak,
mencari hakikat kebenaran dan mewujudkan manusia yang dapat makrifat kepada
Allah, dengan metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf akhlaki biasa juga
disebut dengan istilah tasawuf Sunni. Tasawuf model ini berusaha untuk
mewujudkan akhlak mulia dalam diri sufi, sekaligus menghindarkan diri dari
akhlak mazmûmah (tercela).16
Tasawuf akhlaki/ tasawuf sunni yang
15
Moh Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern. h,
19-20. 16
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), h. 31.
20
dikembangkan para sufi pada abad ke-3 dan ke-4 H yang disusul al-Ghazâli dan
para pengikutnya dari syekh-syekh tarekat, yaitu tasawuf yang berwawasan moral
praktis dan bersandarkan pada al-Qur‟an dan Sunnah.17
Adapun ciri dari tasawuf sunni antara lain:
1. Berlandaskan pada al-Qur‟an dan Sunnah
2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat
pada ungkapan-ungkapan syathahat
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan
manusia
4. Kesinambungan antara haqîqah dengan syari‟ah
5. Lebih terkosentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan
pengobatan jiwa dengan cara riyâdah dan langkah takhali, tahalli dan
tajalli.18
Adapun tokoh-tokoh yang bercorak pemikiran dalam aliran tasawuf
akhlaki ini di antaranya yaitu, Hasan Basri, al-Muhasibi, Abu Hamid al-Ghazâli,
Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Ibn „Athaillah as-Sakandari, dan Imam al-Qusyairi.19
2. Tasawuf Falsafi
Sesuai dengan namanya, dalam tasawuf falsafi ini mulai memadukan visi
mistis dengan visi rasional atau tasawuf dengan filsafat. Berbeda dengan tasawuf
17
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia,( Depok: Pustaka Iman, 2009), h. 51. 18
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo: Amzah,
2005), h. 265. 19
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, h. 32.
21
akhlaki yang tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat, dalam tasawuf
falsafi terminologi filsafat digunakan dalam pengungkapannya.
Secara umum, tasawuf falsafi ini adalah jenis tasawuf yang
mengkolaborasikan antara tasawuf dengan filsafat atau suatu bentuk tasawuf yang
memasukkan ke dalam ajarannya unsur-unsur falsafah dari luar Islam. Seperti
pemikiran Yunani, Persia, India, dan Kristen serta mengungkapkan ajaran-ajaran
yang ada di dalam tasawuf dengan istilah-istilah filsafat yang sulit untuk dipahami
secara umum.20
At-Taftazani berpendapat bahwa tasawuf falsafi tidak dapat
dikategorikan sebagai tasawuf murni atau tasawuf yang sesungguhnya karena
dominasi dari kandungan filsafat pada setiap terminologi tasawuf falsafi, selain itu
karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa (dzauq).21
Contohnya pada
pemikiran tasawuf Ibnu „arabi yang banyak terpengaruh filsafat Plato dan Plotinus
seperti wujud, alam semesta atau makrifat.22
Adapun tokoh-tokoh penting yang termasuk kelompok sufi falsafi antara
lain al-Hallaj (244-309 H/ 858-922 M), Ibn Arabi (560 H.-638 H.), al-Jili (767 H.-
805 H.), Ibn Sab‟in (lahir tahun 614 H) dan Suhrawardi.23
Sedangkan tokoh-tokoh
sufi falsafi di Nusantara adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan
Ronggowarsito di Jawa.24
20
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 263. 21
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, h. 70. 22
Ibrahim Hilal, Tasawuf antara Agama dan Filsafat, terjemah.Ija Suntana dan & Edi
Kusdian, (Bandung, Pustaka Hidayah; 2002), h. 144. 23
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, h. 71. 24
Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok: Pustaka Iman, 2009), h. 58.
22
3. Tasawuf Irfani
Tasawuf „irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat
kebenaran atau makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau
pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah). Ilmu
itu diperoleh karena seorang sufi berupaya melakukan tasfiyat al-qalb. Dengan
hati yang suci seseorang dapat berdialog secara batin dengan Tuhan, sehingga
pengetahuan atau makrifat dimasukkan Allah ke dalam hatinya, hakikat kebenaran
tersingkap lewat ilham (intuisi).25
Murtadha Muthahari berpendapat bahwa, „irfan sebagai sebuah ilmu
memiliki dua aspek yaitu praktis dan teoritis. Aspek praktis „irfan adalah bagian
yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya,
dunia dan Tuhan. Irfan praktis ini disebut pula al-Sair wa al-Suluk. Bagian ini
menjelaskan bagaimana seorang sâlik mengawali perjalanan, menempuh maqâmât
secara sistematis, dan keadaan jiwa yang akan dialaminya sepanjang perjalanan
tersebut. Sedangkan „irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah
wujud secara ontologis, mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta.
Dengan demikian, „irfan ini menyerupai teosofi (falsafah Ilahi) yang juga
memberikan penjelasan wujud. Seperti halnya filsafat, „irfan juga mendefinisikan
berbagai prinsip dan problemnya. Hanya saja kalau filsafat mendasarkan
argumentasinya pada prinsip-prinsip rasional, „irfan mendasarkan diri pada
25
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, h. 92.
23
ketersingkapan mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa rasional
untuk menjelaskannya.26
Tokoh-tokoh yang mengembangkan tasawuf „irfani antara lain: Rabiah al-
Adawiyah (96 H. – 185 H.), Dzunnun al-Misri (180 H.-246 H.), Imam Junaid al-
Baghdâdi (W. 297 H.), Abu Yazid al-Bustâmi (200 H.-261 H, al-Hallâj (244 H-
309 H).27
d. Maqâmât dan Ahwâl
Seorang sufi dalam perjalanan spiritualnya untuk mencapai derajat yang
paling tinggi atau paling dekat dengan Tuhan harus melewati maqâmât dan ahwâl.
“Maqâmât” yang merupakan bentuk jamak dari kata “maqâm” berarti “sebuah
tingkatan perjalanan spiritual yang diusahakan oleh seorang sufi”. Sementara itu,
“ahwâl” yang merupakan bentuk jamak dari kata “hâl” berarti “suatu keadaan
mental yang dialami oleh sufi di dalam perjalanan spiritualnya” dan hâl ini
merupakan sebuah anugerah atau pemberian dari Tuhan yang tidak didapatkan
melalui usaha seorang sufi. Meskipun keduanya sama-sama dicapai dan dialami
dalam perjalanan spiritual menuju Tuhan, akan tetapi secara mendasar keduanya
memiliki perbedaan khusus di dalam meraih keduanya.28
Seyyed Hossein Nasr mengibaratkan maqâm sebagai dataran tinggi yang
dapat dicapai seseorang dalam pendakian gunung, dan di dalam pendakiannya
terdapat tempat-tempat peristirahatan untuk mempersiapkan diri ke tahap
26
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, h. 92-93. 27
Moh Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, h.
181-193. 28
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 179-
180.
24
selanjutnya sampai akhirnya mencapai puncak. Tercapainya sebuah kedudukan
menyiratkan tingkat pencapaian spiritual yang tinggi, karena pada hakikatnya
perjuangan untuk pindah dari satu maqâm ke maqâm selanjutnya membutuhkan
perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu
yang merupakan musuh terbesar dalam diri manusia dan juga menjadi kendala
terbesar dalam perjalanan menuju Tuhan.29
Selain dari cara memperoleh maqâm oleh seorang sufi, penting juga
diketahui bahwa pengalaman spiritual dari seorang sufi juga lah yang
mempengaruhi jumlah dari maqâmât beserta susunannya. Pengalaman subjektif
seorang sufi inilah yang menyebabkan deskripsi nama dan urutan maqâmât dari
seorang sufi berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini penulis
mengutip maqâmât dari tokoh termasyhur yakni al-Ghazâli yang memulai
maqâmâtnya dengan taubat dan mengakhirinya dengan rida. Berikut maqâmât
menurut al-Ghazâli:
a. Taubat
Menurut al-Ghazâli taubat adalah suatu pengertian yang tersusun dari
tiga hal yaitu ilmu, keadaan, dan perbuatan. Jadi dengan ilmu maka
seseorang mengetahui batasan-batasan dari Tuhan untuk tidak dilanggar
sehingga dari pengetahuan ini akan muncul suatu keadaan di dalam hati,
yaitu merasa pedih karena takut kehilangan. Dengan memiliki perasaan
ini, seseorang akan selalu bertaubat dan memperbaiki diri dari kesalahan
yang lalu. Maka dari itu, jelaslah bahwa taubat adalah meninggalkan dosa
29
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, h. 43-44.
25
sekarang dan berketetapan hati untuk tidak mengulangnya, serta menyesali
kesalahan yang telah lalu.30
Menurut Mulyadi Kartanegara yang mengutip pendapat al-Ghazâli
mengatakan bahwa, inti taubat adalah menyesali perbuatan dosa yang
dilakukan di masa lalu dan akibatnya terhalanginya ia dari segala rahmat
dan kasih sayang Tuhan karena dosa tersebut, kemudian bertekad untuk
menghentikan seluruh dosa tersebut agar terjalin kembali hubungan
dengan Tuhan.31
Jadi pada maqâm ini seorang sufi diwajibkan untuk
membersihkan diri terlebih dahulu dari segala bentuk dosa dan menahan
hawa nafsu tercela sebelum selanjutnya berpindah ke maqâm yang lebih
dekat dengan Tuhan.
b. Sabar
Al-Ghazâli membagi sabar dalam dua macam. Pertama yaitu sabar
yang berkaitan dengan fisik. Kesabaran seperti ini kadang dilakukan
dengan perbuatan, seperti melakukan pekerjaan yang berat berupa ibadah
atau lainnya. Terkadang juga berupa ketabahan, seperti sabar menahan
pukulan yang keras, penyakit yang parah atau luka-luka yang
menyakitkan. Hal ini menjadi terpuji jika dijalani sesuai dengan syariah.
Kedua, kesabaran yang terpuji dan sempurna, yakni kesabaran yang
berhubungan jiwa khususnya dalam melawan hawa nafsu yang merupakan
musuh terbesar dalam diri manusia.32
Kebanyakan sabar adalah keharusan
menahan diri dari syahwat dan terlepas dari pengaruhnya. Alasan yang
30
Al-Ghazâli, Mutiara Ihya‟ „Ulumuddin, (Jakarta: Mizan, 1997), h. 306. 31
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 197-198. 32
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 198.
26
mengharuskan manusia bersabar adalah jika seseorang menuduh kita
berbuat kejahatan dengan perkataan atau perbuatan, karena sesungguhnya
di dalam keduanya terdapat kesempurnaan iman.33
c. Kefakiran
Kefakiran diartikan oleh al-Ghazâli dengan manusia yang
membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Manusia semuanya adalah
orang-orang fakir kepada Allah karena membutuhkan-Nya dalam
kelangsungan eksistensinya. Karena pada hakikatnya seluruh wujud selain
Allah adalah fakir atau tidak memiliki apa-apa dan mereka
menggantungkan seluruh kebutuhannya kepada Sang Maha Penolong.34
Akan tetapi meskipun dengan kefakiran yang sedang dialami atau
keberadaan dari harta yang dimiliki tidak mengubah kebahagiaan
seseorang. Jadi jika seorang sufi mendapatkan harta, ia tidak
menampakkan kebahagiaan yang berlebihan. Demikian juga kalau ia tidak
memilikinya tidaklah ia sedih dibuatnya.35
d. Zuhud
Pada maqâm ini merupakan tingkatan di mana seorang sufi
diperintahkan untuk tidak terikat pada hal-hal yang bersifat duniawi.
Bahkan ada beberapa Ulama yang berpendapat bahwa zuhud merupakan
tingkatan bagi sufi untuk meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi atau
meninggalkan segala kesenangan duniawi demi kebahagiaan abadi.
33
Al-Ghazâli, Mutiara Ihya‟ „Ulumuddin, h. 316. 34
Al-Ghazâli, Mutiara Ihya‟ „Ulumuddin, h. 334. 35
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 198-199.
27
Menurut al-Ghazâli hakikat zuhud adalah tidak menyukai sesuatu dan
menyerahkannya kepada yang lain, karena siapa saja yang meninggalkan
kelebihan dunia dan membencinya, lalu mencintai akhirat maka ia adalah
orang zuhud di dunia.36
Secara bahasa “zuhud” berarti “meninggalkan
sesuatu dan berpaling darinya tanpa kecenderungan dan keinginan
padanya”.37
Al-Ghazâli menyebutkan ada tiga tanda orang yang zuhud yaitu: 1)
tidak bergembira dengan yang ada atau bersedih dengan sesuatu yang
hilang 2) merespon sama rata terhadap pujian ataupun celaan 3) selalu
terikat hatinya dengan Allah dan mengkombinasikan lezatnya ketaatan dan
cinta Allah.38
e. Tawakal
Setelah seorang sufi melewati maqâm-maqâm yang membuat dirinya
lebih taat dan lebih dekat dengan Allah, maka pada tahap ini diperintahkan
kepada seorang sufi untuk bersikap menggantungkan dan menyerahkan
segalanya kepada Allah. Karena kita sadar bahwa Dialah yang Maha
Mengetahui mana yang baik dan buruk untuk hamba-Nya, sehingga
membuat hati kita lebih yakin dan percaya untuk lebih taat kepada-Nya.
Secara istilah tawakal ini berarti penyandaran hati kepada Allah
dengan mempercayai-Nya sepenuhnya, serta kesadaran hati untuk
melarikan diri dari pengawasan kekuatan dan sumber manapun. Karena
36
Al-Ghazali, Mutiara Ihya‟ „Ulumuddin, h. 339. 37
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h.
49. 38
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 199.
28
jika seseorang sudah menyandarkan seluruhnya kepada Allah, maka bisa
menjadi satu latihan bagi kita untuk membangkitkan kegiatan
penghambaan kita dalam menjalankan segala perintah-Nya serta tidak
perlu khawatir dengan kebutuhan esok. Percayakan semuanya pada janji-
janji Allah dan bersikap dalam beribadah selayaknya akan menemui
kematian esok hari.39
Al-Ghazâli memperinci kembali tawakal ini ke dalam tiga tingkatan
yaitu:
1. Keadaan menyangkut hak Allah dan keyakinan kepada jaminan dan
perhatian-Nya.
2. Keadaan bersama Allah layaknya keadaan anak kecil bersama ibunya,
di mana ia tidak mengenal yang lainnya dan tidak bersandar kecuali
kepadanya.
3. Berada di hadapan Allah dalam semua gerak dan diamnya, seperti
mayat yang ada di tangan orang yang memandikannya.
Jadi yakin dan menyerahkan sepenuhnya terhadap semua kehendak
Allah, karena Dialah Sang Penggerak, yang Maha Mengetahui dan Pemilik
dari segalanya.40
Akan tetapi bukan berarti dalam tawakal seseorang tidak
dianjurkan untuk melakukan ikhtiar atau usaha, hanya saja fungsi dari
tawakal itu hanyalah pemusatan untuk menaruh harapan hanya kepada
Allah, berserah kepada kehendak-Nya tanpa menaruh ketergantungan
39
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, h. 51-52. 40
Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 200.
29
kepada usaha dan ikhtiar karena jika mengandalkan usaha dan ikhtiar tak
ada nilainya sama sekali di mata Allah.
f. Makrifat
Secara sederhana ma‟rifat diartikan mengetahui Tuhan dari dekat,
sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Zunnun al-Misri, seseorang
yang dianggap sebagai bapak paham ma‟rifat, menjelaskan tiga macam
pengetahuan tentang Tuhan.
1. Pengetahuan orang umum yakni Tuhan satu dengan perantaraan
ucapan syahadat.
2. Pengetahuan Ulama yakni Tuhan satu menurut logika akal.
3. Pengetahuan sufi yakni Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.41
Pengetahuan di atas tentang mengetahui Tuhan dari pengetahuan yang
pertama dan kedua belum merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan,
keduanya sebatas ilmu. Pada pengetahuan yang ketigalah yang merupakan
pengetahuan yang hakiki, karena ma‟rifat hanya terdapat pada kaum sufi
yang mana bisa melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Jadi, ma‟rifat
bukanlah hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan
rahmat Tuhan. Ma‟rifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang
sanggup menerima setelah benar-benar dalam menjalankan maqâm-
maqâm sebelum ma‟rifat ini.
Menurut al-Ghazâli ma‟rifat adalah pengetahuan yang tidak menerima
keraguan lagi, jika yang dimaklumi adalah dzat Allah dan sifat-sifat-Nya.
41
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, h. 59-60.
30
Bagi al-Ghazâli ma‟rifat melampaui ilmu. Jika ilmu bagaikan melihat api,
maka makrifat bagaikan menyentuh dan merasakan langsung api
tersebut.42
g. Mahabbah
Menurut al-Ghazâli mahabbah adalah kecenderungan jiwa padanya
karena keberadaannya sebagai suatu kelezatan padanya. Mahabbah atau
cinta ini merupakan salah satu hasil dari ketaatan seorang sufi dalam
perjalanan spiritualnya. Akan tetapi jika cinta yang tidak didasarkan atas
ilmu dan ketaatan dalam perintah atau sesuatu yang berkaitan dengan
Allah, maka itu adalah cinta yang dilakukan karena kebodohan dan kurang
mengenal dengan Allah.43
Menurut Harun Nasution, mahabbah adalah
mematuhi segala perintah-Nya, membenci dan menjauhi segala yang
dilarang-Nya, pasrah kepada-Nya dan mengosongkan hati dari segala-gala
kecuali dari diri yang selalu mencintai yaitu Allah.44
Menurut al-Hujwiri di dalam bukunya Kasful Mahjub menjelaskan
bahwa, cinta terbagi menjadi dua bagian yakni cinta Tuhan kepada
manusia dan cinta manusia kepada Tuhan. Adapun bentuk cinta Tuhan
kepada manusia yaitu memberikan seluruh nikmat-nikmat duniawi dan
pahala untuk di akhirat, membuatnya aman dari segala mara bahaya dan
melimpahkannya kedudukan mulia. Sedangkan cinta manusia kepada
Tuhan adalah meyakini dalam hati yang beriman bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah, selalu mengingat-Nya dalam bentuk dzikir atau selalu taat
42
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, h. 53. 43
Al-Ghazâli, Mutiara Ihya‟ „Ulumuddin, h. 366. 44
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 55.
31
dalam segala perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya dan
yang terpenting adalah tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.45
h. Rida
Pada tingkatan perjalanan spiritual ini erat sekali hubungannya dengan
yang sebelumnya yakni mahabbah atau cinta, karena jika cinta itu sudah
tertanam di hati seorang sufi maka akan menimbulkan rasa rida atas semua
yang dikehendaki oleh Tuhan. Secara definisi ridha merupakan keadaan
tidak terguncangnya hati seseorang ketika menghadapi musibah dan
menerima semua ketetapan takdir Allah serta menyikapinya dengan tabah
meskipun derita dan nestapa yang ditimbulkan darinya.46
Sayyid Jurjani berpendapat sebagaimana dijelaskan dalam bukunya al-
Ta‟rifât bahwa rida adalah senangnya rasa hati ketika menerima takdir
yang buruk. Jadi pada maqâm ini, seseorang diukur dari seberapa jauh
seorang sufi bisa menerima semua takdir yang diberikan oleh Allah, dan
jika seseorang telah berhasil meraih kedudukan ridha ini maka hatinya
akan selalu tenang dan tentram dengan segala putusan takdir yang datang.
Jadi ridha ini merupakan tersingkapnya pengetahuan spiritualnya terhadap
Allah dan cinta yang tulus kepada-Nya.47
Sebagaimana Rasul pernah menjelaskan bahwa orang yang ridha
adalah orang yang paling kaya karena dialah orang yang paling gembira
dan tentram, terjauh dari perasaan susah, resah, marah dan menggerutu.
45
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, h. 56. 46
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, h. 57. 47
Syeikh Abdul Qadir Isa, Cetak Biru Tasawuf:Spiritualitas Ideal dalam Islam, h. 232.
32
Karena pada hakikatnya kekayaan itu bukanlah orang yang memiliki
banyak harta akan tetapi kekayaan hakiki adalah kekayaan hati yang
dipenuhi dengan rida dan iman.
Sedangkan hâl secara garis besar merupakan suatu keadaan mental.
Seperti yang dikatakan Harun Nasution bahwa hâl adalah keadaan mental sepeti
perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, rendah hati, patuh, ikhlas dan
sebagainya.48
Selain itu, hâl diperoleh bukan atas usaha, keinginan atau undangan
seorang sufi akan tetapi hâl merupakan sebuah anugerah dan rahmat Allah yang
tidak terbatas yang diberikan oleh Tuhan kepada seorang sufi, dan hâl ini bersifat
sementara bagi seorang sufi dalam pendakian spiritualnya.
Untuk mendapatkan tingkatan hâl ini seorang sufi harus melakukan
serangkaian latihan mental seperti riyâdah, uzlah, murâqabah, dan maqâmât yang
sudah penulis jelaskan di atas sebagai salah satu latihan seorang sufi agar lebih
mendalami dari sifat-sifat yang diperintahkan dalam setiap maqâm.49
48
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 49. 49
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 205.
33
BAB III
MENGENAL LEBIH DEKAT SYEKH NAWAWI AL-BANTANI
A. Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani
Nama Syekh Nawawi al-Bantani sudah tidak asing lagi bagi umat Islam di
Indonesia, khususnya di Banten. Bahkan sering terdengar disejajarkan kebesarannya
dengan imam mazhab seperti Imam Syâfi‟i. Melalui karya-karyanya yang tersebar di
pesantren-pesantren di Indonesia yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama
Syekh Nawawi ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan
kesejukan dalam ajaran-ajaran Islam. Di kalangan komusitas pesantren, Syekh
Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama yang produktif dalam menghasilkan
karya tulis, tetapi juga dikenal dengan Maha Guru. Syekh Nawawi juga turut banyak
membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri organisasi keagamaan dan juga
pesantren-pesantren di Indonesia.
Syekh Nawawi memiliki nama lengkap Abu Abd al-Muti‟ Muhammad Ibn
Umar Ibn „Arabi al-Tanari al-Nawawi al-Bantani al-Jawi. Ia lebih masyhur dipanggil
dengan Syekh Nawawi al-Bantani karena di akhir namanya dinisbahkan kepada
kampung halamannya yakni Banten, sementara keluarganya menyebutnya dengan
sebutan Abu Abdul Mu‟thi. Syekh Nawawi lahir di Desa Tanara, Kecamatan
Tirtayasa, Kabupaten Serang, Provinsi Banten Indonesia pada tahun 1230 H/ 1813 M
dan meninggal di umur 84 tahun pada tahun 1314 H/ 1897 M di Makkah di mana
makamnya terletak bersebelahan dengan makamnya Khadijah Umm al-Mu‟minîn istri
34
Nabi yang berada di Ma‟la. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam Jawa dan juga
sebagai salah satu penghormatan untuk mengenang jasa-jasanya, masyarakat Banten
memperingati hari wafatnya pada malam jum‟at dan sabtu pada akhir Syawal setiap
tahunnya di Tanara Banten.1 Syekh Nawawi wafat pada saat sedang menyusun
sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan kitab Minhâj al-Thâlibîn karya
Yahya ibn Sharf ibn Mura ibn Hasan ibn Husain.2
Syekh Nawawi hidup dalam lingkungan ulama. Ia adalah putra dari seorang
penghulu3 ternama di daerah Tanara yakni Umar bin Arabi dan Ibunya Zubaidah
yang merupakan penduduk asli Tanara yang sangat religius, perhatian dan penuh
kasih sayang.4 Dari segi nasab Syekh Nawawi masih keturunan Sultan Maulana
Hasanuddin, putra dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati dari
Cirebon) yang mana ia juga merupakan keturunan ke-12 dari Sultan Banten.
Nasabnya melalui jalur ini sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Ia adalah saudara
tertua dari lima bersaudara, yakni Ahmad Syihabuddin, Said Tamim Abdullah, dan
dua saudara perempuan yakni Syakila dan Syahriya. Semasa kecilnya Syekh Nawawi
mendapatkan pengajaran pertamanya dari ayahnya. Bersama dengan saudara-
saudaranya, mereka mempelajari ilmu bahasa Arab (nahwu dan sarf), fiqih dan
1 Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), h. 941.
2 A Rifai Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia atas Karya-Karya Klasik, (Bandung:
Mizan, 1987), h. 44. 3 Menurut Snouck Hurgronje, pada masa itu penghulu memliki banyak fungsi yakni sebagai
seorang qâdhi, mufti pengatur pernikahan, petugas zakat administrator dan nâdir atau imam masjid.
Akan tetapi fungsi penghulu mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan saat ini fungsinya hanya
sebatas pengatur pernikahan. 4 Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
(Jakarta: Kencana, 2006), h. 110.
35
tafsir.5 Dari lima bersaudara, hanya Syekh Nawawi yang meneruskan memperdalam
studi keulamaan. Sedangkan kedua saudara laki-lakinya Said Tamim Abdullah, lebih
suka menjadi agen jamaah haji dan Ahmad Syihabuddin mengikuti jejak ayahnya
sebagai penghulu. Sementara kedua saudara perempuannya lebih memilih menetap
belajar dan meneruskan estafet keluarga di kampung halamannya.6
Untuk lebih jelasnya mengenai silsilah dari Syekh Nawawi sebagaimana
ditulis oleh Rafiudin Ramli, berikut adalah urutan silsilah Syekh Nawawi dari garis
ayah yaitu; Syekh Nawawi bin Umar bin Arabi, bin Ali bin Jamad, bin Janta, bin
Masbuqil, bin Masqun, bin Maswi, bin Tajul Arsy (Pangeran Suryararas), bin
Maulana Hasanuddin, bin Ali Nuruddin, bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain, bin
Imam Sayid Ahmad Syah Jalal, bin Abdullah Malik, bin Sayyid Alwi, bin Sayyid
Muhammad Shahib Mitbath, bin Sayyid Ali Khali Qasim, bin Sayyid Alwi, bin Imam
„Ubaidillah, bin Imam Ahmad Muhajir Ilallahi, bin Imam Isa an-Naqib, bin Imam
Muhammad Naqib, bin Imam Muhammad al-Baqir, bin Imam Ali Zainal Abidin, bin
Sayyidina Husain, bin Sayyidatuna Fatimah az-Zahra, binti Muhammad Rasulullah
Saw. Sedangkan urutan silsilah Syekh Nawawi dari garis keturunan ibu yaitu Syekh
Nawawi bin Nyai Zubaidah, binti Muhammad Singaraja.7
5 Ustad Rizen Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh
Mereka,(Yogyakarta: Diva Press, 2016), h. 144. 6 Abdul Malik dkk, Jejak Ulama Banten, (Serang: Biro Humas dan Protokol Setda Banten,
2014), h. 10. 7 Rafi‟udin Ramli, Sejarah Hidup dan Silsilah Syekh Kyai Muhammad Nawawi Tanara,
(Banten: Yayasan Syekh Nawawi al-Bantani 1399 H), h. 13.
36
Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah
dan tinggal di sana selama 3 tahun.8 Ia gunakan waktu tersebut untuk menuntut ilmu
kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadist, tafsir terutama fiqih. Guru-guru dari
Syekh Nawawi yang terkenal di Makkah ialah Sayyid Ahmad Nahrawi, Sayyid
Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, dan Muhammad Khatib al-Hambali. Dari
tokoh-tokoh inilah karakter Syekh Nawawi terbentuk dan sangat berpengaruh dalam
corak pemikirannya.9
Syekh Nawawi kembali ke Tanara Banten untuk membantu mengembangkan
pesantren ayahnya yang kini dikenal dengan Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara,
sekaligus mengamalkan ilmu pengetahuan yang sudah ia dapatkan. Tiga tahun
kemudian, ia kembali lagi ke Makkah karena situasi tanah air yang tidak
menguntungkan. Pada saat itu, Belanda dalam keadaan menjajah Indonesia serta
selalu mengawasi orang-orang yang berpengaruh dan dapat memobilisasi massa
untuk membangkitkan perjuangan. Maka dari sinilah, Syekh Nawawi selalu ditekan
dan dipojokkan oleh para tentara Belanda yang pada akhirnya Syekh Nawawi
memutuskan untuk kembali ke Makkah. Syekh Nawawi tidak pernah lagi kembali ke
tanah air sampai akhir hayatnya. Selama di Makkah, ia memulai karirnya untuk
mengajar dan mengarang dengan kecerdasan yang ia miliki dengan cepat ia mendapat
simpati dari murid-muridnya. Di antara murid-muridnya yang berasal dari Indonesia
adalah K.H. Khalil (Madura), K.H. Hasyim Asy‟ari (Jawa Timur), K.H. Asnawi
8 Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 354.
9 Ustad Rizen Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh Mereka,
h. 145.
37
(Jawa Timur), K.H. Asy‟ari (Bawean), sedangkan yang berasal dari Jawa Barat
adalah K.H. Tubagus Muhammad Asnawi, K.H. Najihun, K.H. Ilyas, K.H. Abdul
Ghafar dan K.H. Tubagus Bakri.10
Syekh Nawawi memiliki dua orang istri keturunan Arab yang bernama
Nasimah dan Hamdanah. Dari istri yang pertama, Syekh Nawawi memperoleh tiga
orang anak perempuan yaitu Maryam, Nafisah dan Ruqayyah. Sementara dari
Hamdanah, Syekh Nawawi memperoleh seorang anak perempuan bernama Zahra.11
B. Latar Belakang Intelektual Syekh Nawawi al-Bantani
Syekh Nawawi merupakan salah satu tokoh ternama di Nusantara yang telah
menghasilkan berbagai karya tulis di berbagai bidang keilmuan Islam, dan karyanya
telah menjadi rujukan atau pedoman dalam pendidikan pesantren-pesantren di
Indonesia. Jika ditengok ke belakang dari segi pendidikannya, Syekh Nawawi
mendapatkan pendidikan pertamanya dari ayahnya. Ia mulai mengajarkan Syekh
Nawawi ilmu kalam, nahwu, tafsir dan fiqih.12
Setelah mendapat bimbingan langsung
dari ayahnya, ia kemudian berguru kepada Kiyai Sahal, Banten dan kemudian
mengaji kepada Kiyai Yusuf, Purwakarta.13
Pada usia mudanya, Syekh Nawawi bersama para saudaranya menunaikan
ibadah haji. Namun setelah menunaikan ibadah haji, hanya Syekh Nawawi yang tidak
10
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993), h. 841. 11
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 942. 12
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 110. 13
Ustad Rizen Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh Mereka,
h. 144.
38
kembali ke tanah air dan tinggal di tanah suci selama kurang lebih tiga tahun. Ini
merupakan langkah awal dari Syekh Nawawi dalam pengembangan intelektual
keislamannya di tanah suci Makkah. Sampai sekitar tahun 1833, Syekh Nawawi
pulang ke tanah air setelah menguasai berbagai keilmuan Islam.14
Melihat Syekh Nawawi sebagai sosok „alim dan simpatik, banyak para
pemuda di lingkungannya tertarik untuk belajar kepadanya. Namun keberadaannya di
Banten tidak lah lama. Ada beberapa faktor yang menjadikan Syekh Nawawi tidak
merasa nyaman berada di lingkungannya sendiri dan memutuskan untuk kembali
menetap di tanah suci tahun 1855. Pertama, menurut C. Brockelmann, Syekh
Nawawi merasa bahwa tinggal di Haramain lebih menjanjikan, dan benar-benar
menjadi obsesi bagi banyak Muslim Jawa untuk tinggal sampai mengakhiri hidupnya
di sana. Karena pada abad XIX di Jawa, kota Makkah dan Madinah telah menjadi
pusat kaum Muslim dunia. Ka‟bah telah menjadi kiblat yang sesungguhnya dan
benar-benar dipandang sebagai rantai penghubung antara Allah dan makhluk-Nya,
sementara Madinah merupakan tempat di mana Nabi Muhammad dimakamkan serta
merupakan simbol kota suci dan kota perdamaian Nabi. Kedua, situasi kehidupan
Syekh Nawawi yang pada masa itu banyak diwarnai dengan intervensi pemerintah
kolonial Belanda terhadap kehidupan sosioreligius masyarakat. Ketiga, ingin menjaga
sebuah tradisi panjang yang dimulai sejak periode Abdul Samad al-Palimbani dan
Ahmad Khatib Sambas yaitu ia ingin mendedikasikan seluruh hidupnya untuk
mengajar komunitas Jawi, yang dari tahun ke tahun jumlahnya terus bertambah, yang
14
Samsul Munir Amir, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 354.
39
hendak menuntut ilmu kepadanya.15
Namun terlepas dari itu semua, perjalanan Syekh
Nawawi ke Makkah bisa juga didorong oleh inspirasi pribadinya sebagai hamba ilmu
pengetahuan untuk lebih menjaga kebebasan intelektualnya di pusat dunia Islam.
Setelah memutuskan untuk menetap di Makkah, sebagai seorang yang haus
akan ilmu pengetahuan meskipun ia telah dipandang sebagai seorang „alim dan maha
guru, khususnya di kalangan komunitas Jawi, dan untuk menambah penguasaan
dalam berbagai cabang ilmu keislaman ia kemudian banyak berguru dan mengadakan
rihlah „ilmiyah (perjalanan untuk menuntut ilmu) ke berbagai daerah di sekitar
Makkah. Dimulai dari Makkah dia berguru kepada Ahmad Nahrâwî, Ahmad Dimyâtî,
Ahmad Zaynî Dahlân, Khatib Sambas dan Abd al-Ghani Bima. Setelah itu ia juga
pergi ke beberapa negara lain dan belajar pada guru-guru yang berbeda misalnya
berguru kepada Yûsuf Dagistânî di Dagistan, Yusuf Sumbulaweni dan Nahrawi
ketika ia di Madinah dan masih banyak lagi guru-guru yang mungkin tidak dapat
disebutkan hingga terperinci.16
Hal ini semua dikarenakan ketidakpuasannya terhadap
ilmu pengetahuan yang telah diperoleh, dan menurut pandangannya bahwa mencari
ilmu itu sudah menjadi satu kewajiban dan bahkan sudah menjadi karakter dasar dari
Syekh Nawawi.
Selain itu, kegemaran lain dari antusiasnya Syekh Nawawi dalam menuntut
ilmu yang patut dicontoh yakni mengajarkan semua ilmu yang sudah didapat. Di
Makkah, dia selalu mengajar mulai dari pagi hingga siang hari dan murid-muridnya
15
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 112-114. 16
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 942.
40
banyak yang berasal dari Indonesia dan Malaysia sekitar tahun 1860-1870 dan setelah
itu dia melanjutkan untuk berkonsentrasi dalam menulis.17
Murid-muridnya berjumlah tidak kurang dari 200 orang setiap tahunnya.
Menurut beberapa keterangan menyatakan bahwa, Syekh Nawawi menghabiskan
lebih dari 15 tahun untuk mengajar di Hijaz. Ini berarti bahwa jumlah keseluruhan
muridnya sudah mencapai ribuan Muslim yang sebagian besar berasal dari Indonesia.
Ketika dia mengajar, khususnya di Ma‟had Nasyr al-Ma‟arif al-Diniyah di Masjidil
Haram, Syekh Nawawi dikenal sebagai guru yang simpatik, yang menyampaikan
pelajarannya secara jelas dan mendalam, dan komunikatif dengan murid-muridnya.18
Cara mengajar Syekh Nawawi tidak seperti lazim yang sering kita temui, di
mana guru memiliki otoritas penuh dan murid harus mengikuti semua apa yang
diajarkannya. Akan tetapi, Syekh Nawawi percaya pada potensi aktif dan kekhasan
individual. Sikap mengajar Syekh Nawawi ini didasarkan atas pengalaman pribadinya
sebagai pelajar pengelana dari Jawa yang ada di pusat-pusat pendidikan utama. Dia
selalu menemukan sebuah pola transmisi interaktif yakni para guru menyampaikan
pengetahuan kepada para pendengar dan selanjutnya memberikan pengajaran melalui
bacaan, membahas materi di kalangan teman-teman (mudzakarah), dan menulis di
antara murid-murid yang berbakat.19
17
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 942. 18
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 122-123. 19
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 123.
41
Syekh Nawawi dikenal oleh murid-muridnya sebagai seorang guru yang baik
hati yang memaparkan pelajaran dengan jelas dan mendalam, dan berkomunikasi
dengan baik terhadap murid-muridnya. Salah seorang muridnya, Abd al-Sattar
menerangkan bahwa ia adalah seseorang yang sangat sederhana, seorang zâhid,
rendah hati dan amat penolong. Di antara murid-muridnya dari Indonesia terdapat
orang-orang yang kemudian menjadi tokoh besar dan menjadi pemimpin religius
terpandang ketika mereka kembali ke Nusantara antara lain: KH. Hasyim Asy‟ari dari
Tebuireng Jombang, Jawa Timur dan KH. Khalil dari Bangkalan, Madura. Jumlah
muridnya yang lebih besar di Haramain adalah berasal dari lingkungannya sendiri
yakni Banten. 20
C. Pemikiran-Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani
Syekh Nawawi merupakan tokoh terkemuka dari tanah Banten yang memiliki
segudang pengetahuan. Berikut pemikiran-pemikiran dari Syekh Nawawi al-Bantani
miliki yang penulis gambarkan secara umum:
1. Bidang Tafsir
Salah satu yang sangat diunggulkan dari pemikiran yang dimiliki Syekh
Nawawi yakni di dalam bidang tafsirnya. Berkat prestasi yang diperoleh Syekh
Nawawi dalam bidang tafsir, para ulama menganugerahkan kepadanya gelar Sayyid
Ulama‟ al-Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Salah satu karya tafsir yang sangat
20
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 942.
42
dikagumi oleh ulama-ulama di Makkah maupun Madinah yakni Tafsir al-Munîr li
Ma‟âlim at-Tanzîl atau dalam judul lain disebut Marâh Labîd Tafsir an-Nawawi.21
Kontribusi utama Syekh Nawawi dalam bidang tafsir ini adalah bahwa dia
telah menulis sebuah tafsir ketika dunia Islam tidak menunjukkan adanya tanda-tanda
munculnya revitalisasi tradisi klasik Islam. Kekhasan karya Syekh Nawawi terletak
pada perhatian keilmuan khususnya terhadap pentingnya nilai dari pengetahuan.
Contohnya, dalam menafsirkan al-Qur‟an surat al-Fâtihah, dia menjelaskan bahwa
surat ini memuat paling tidak empat bidang ilmu pengetahuan.
1. Tauhid, keesaan Tuhan atau teologi.
2. Hukum Islam dengan ibadah sebagai bagian terpenting.
3. Kesempurnaan ilmu yang sejalan dengan moralitas Islam.
4. Sejarah atau kisah berbagai bangsa pada masa lampau.22
Selain daripada itu, sisi penting yang ditekankan oleh Syekh Nawawi dalam
tafsirnya yaitu penekanan terhadap kesalehan dengan menyampaikan ajaran akidah
(keimanan) dan keyakinan kepada Tuhan dan petunjuknya. Di samping itu, Syekh
Nawawi juga tidak akan pernah lupa menyampaikan pesan amar ma‟ruf nahi munkar
(memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) dan juga
menyisipkan kisah menarik.23
21 Samsul Munir Amir, Ilmu Tasawuf, h. 143.
22 Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
(Jakarta: Kencana, 2006). h, 131-133. 23
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 130-131.
43
2. Bidang Tasawuf dan Akhlak
Dalam bidang tasawuf dan akhlaknya, Syekh Nawawi tidak akan pernah jauh
pemikirannya dari pengaruh gurunya yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi. Konsep
tasawufnya banyak mengutip pendapat-pendapat al-Ghazali sebagaimana halnya
yang dilakukan oleh gurunya. Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi adalah seorang
pendiri tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah, dan ia juga merupakan penganut dari
sufisme al-Ghazali. Dalam ajaran tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani, menyarankan
kepada masyarakat untuk mengikuti salah satu sufi seperti Imam al-Junaid al-
Baghdâdi yang merupakan pangeran sufisme dalam arti teoritis maupun praktis.24
Selain itu, secara umum Syekh Nawawi tidak pernah memaksa untuk mengikuti
tarekat sebagai salah satu jalan menuju Allah, karena ia memiliki pandangan bahwa
keterkaitan antara praktik tarekat, syariat dan hakikat erat sekali. Pandangan ini
mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktik-praktik tarekat selama
tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.25
Salah satu tujuan yang menjadikan Syekh Nawawi menulis di bidang tasawuf
yakni untuk manfaat umat Muslim dalam beribadah, bagi kehidupannya di akhirat
kelak dan supaya memperoleh pahala dari Tuhan. Melalui karya-karyanya lah
diharapkan kaum Muslim bisa memperoleh hikmah ilmu pengetahuan Islam dalam
rangka mempelajari dan mengamalkan kebajikan, sehingga mereka akan selalu
dibimbing oleh prinsip-prinsip Islam.
24
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 135. 25
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), h. 150.
44
Selain itu, dalam bidang tasawuf ini Syekh Nawawi menekankan pada
kesempurnaan individu sebagai makhluk yang membutuhkan petunjuk dari Tuhan
atau secara sederhana tasawuf diartikan sebagai pembinaan etika. Karena jika
seseorang hanya menguasai ilmu lahir saja tanpa mempelajari ilmu batinnya juga,
maka ia akan terjerumus ke dalam kefasikan. Demikian sebaliknya, jika seseorang
hanya mengusai ilmu batinnya saja tanpa dibarengi dengan ilmu lahir maka ia akan
tergolong orang zindik. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam pembinaan etika
atau moral.26
3. Bidang Hukum Islam
Syekh Nawawi adalah seorang penganut mazhab Syafi‟i dan merupakan tokoh
yang sangat penting dalam menjaga dan mengembangkan ajaran Syafi‟i di kalangan
Muslim di Jawa. Salah satu alasan yang menjadikan Syekh Nawawi menjadi pengikut
dari Mazhab Syafi‟i yakni dalam menentukan setiap hukum pasti harus melalui satu
mazhab yang sudah diyakini kebenaran serta alasannya. Tingkatan orang yang berada
di dalamnya adalah para ulama yang memiliki maqâm khusus yang sudah hafal
sumber, asbab al-nuzul, „illah atau dari segi fiqih, ushul al-fiqh, tafsir, ta‟wil, mantiq
dan ilmu-ilmu alat yang lainnya, sehingga dapat dengan jelas dalam menentukan satu
hukum dari sebuah permasalahan yang ada. Adapun di luar dari golongan Mujtahidîn
(orang-orang menentukan hukum) berkewajiban taqlîd (mengikuti ketentuan hukum
26
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh
Mereka, (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), h. 151.
45
yang sudah ada) kepada salah satu mazhab baik itu Syafi‟i, Maliki, Hanafi atau
Hambali.27
Menurutnya, dari keempat mazhab itu pasti memiliki kelebihan dan
kekurangan tersendiri. Akan tetapi, mazhab Syafi‟i dikenal lebih terpercaya dan dapat
diandalkan, Maliki lebih bersifat tengah-tengah, Abu Hanifah lebih bersifat massive,
sedangkan Hambali dipandang lebih saleh. Bagi Syekh Nawawi, ilmu fiqih adalah
jenis ilmu pengetahuan Islam yang sangat signifikan, karena jika ilmu ini tidak
dipelajari dengan sungguh-sungguh, maka tak seorangpun bisa berkomunikasi
dengan Tuhan dalam ibadah ritualnya.28
Sebuah prinsip yang disampaikan oleh Syekh Nawawi untuk para muridnya
dan masyarakat umum yang teramat penting yakni menjadi muqallid yang terus
melakukan kajian kritis. Jadi tidak hanya sebatas mengikuti perbuatan-perbuatan para
„alim-ulama dengan tidak mengetahui hukum atau maksud dari suatu pekerjaan, akan
tetapi Syekh Nawawi menekankan untuk mencari tahu dan lebih kritis tentang
hukum, tujuan, dan manfaat atas apa yang diikutinya.29
4. Bidang Tauhid
Syekh Nawawi adalah seorang teolog Sunni yang mendukung sebagian besar
pemikiran Sunni dalam menentang kelompok Jabariyah dan Muktazilah. Baginya
27
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 141-143. 28
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 143-146. 29
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 144.
46
kedua kelompok itu termasuk golongan filsuf yang lebih cenderung menggunakan
pendekatan rasional daripada sumber-sumber utama ajaran Islam, al-Qur‟an dan
Hadis. Di samping itu, orang juga bisa mengenal Syekh Nawawi melalui karya-
karyanya seperti Fath al-Majîd, Sullâm al-Taufîq dan masih banyak lagi yang sampai
sekarang ini dalam bidang teologi digunakan secara luas di kalangan pesantren dan
madrasah.30
Dalam ilmu tauhid ini Syekh Nawawi memperkenalkan teori ada tidaknya
Tuhan, dan untuk menunjukkan ada tidaknya Tuhan ini Syekh Nawawi menggunakan
teori Daur Tasalsul yang berarti lingkaran yang tidak ada ujungnya. Secara bahasa,
kata “Daur Tasalsul” terdiri dari dua suku kata Arab yakni kata “Daur” berarti
“sesuatu sebagai sebab bagi dirinya sendiri dengan satu atau beberapa perantara”, dan
“Tasalsul” berarti “rangkaian tak terhingga”. Dari kedua kata ini memiliki maksud
yang berbeda. Maksud dari daur adalah sesuatu sebagai sebab bagi dirinya sendiri
dengan satu atau beberapa perantara. Sedangkan maksud dari tasalsul adalah satu
rangkaian tak terbatas dari sebab-sebab dan akibat-akibat dimana tidak akan pernah
berhenti pada sebab pertama sebagai contoh wujud (A) adalah akibat dari wujud (B)
dan wujud (B) adalah akibat dari wujud (C) dan seterusnya hingga tak terbatas dan
tak berakhir.31
Menurutnya, dalam memecahkan satu permasalah mengenai teologi maka
haruslah menggunakan dalil-dalil naqli (wahyu) dan aqli (akal). Akan tetapi jika
30
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 150. 31
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh
Mereka,h. 149-150.
47
terdapat penggabungan antara keduanya maka yang harus diutamakan adalah dalil
naqli (wahyu), karena Syekh Nawawi meyakini bahwa kewajiban setiap orang untuk
meyakini sesuatu yang berhubungan dengan wajib, mustahil dan mungkin dari
eksistensi Tuhan adalah sebagai salah satu perintah dari syariat bukan dari akal.32
Syekh Nawawi merupakan representasi ulama Jawa abad XIX yang berupaya
menyegarkan kembali ajaran Islam abad pertengahan di bidang teologi dan untuk
meninggalkan apa yang tengah terjadi di negeri yang jauh itu tentang kemutlakan
Allah melalui konsep tawakkal billah. Salah satu tema pokok dari karya-karya tulis
Syekh Nawawi dalam bidang tauhid ini adalah kemutlakan Tuhan. Akan tetapi Syekh
Nawawi tidak sejalan dengan kemutlakan ajaran Jabariyah yang mengingkari bahwa
suatu perbuatan menjadi atribut bagi seorang individu, namun berasal dari Tuhan.
Jadi konsekuensinya seorang individu tidak memiliki kekuatan atau tanggungjawab.33
D. Karya-Karya Syekh Nawawi al-Bantani
Kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Nawawi sebagian besar adalah kitab-kitab
komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap
sulit untuk dipahami. Ada beberapa alasan yang menjadikan syekh Nawawi banyak
menulis syarh dari karya-karya tokoh sebelumnya yaitu karena permintaan saudara
32
Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
h. 152-153. 33
Abdurrahman Mas‟ud, dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, h.
153-154.
48
dan murid-muridnya di tanah Jawa, serta untuk melestarikan karya pendahulunya
yang sering mengalami perubahan dan pengurangan.34
Setelah tahun 1870 Syekh Nawawi memusatkan kegiatannya hanya untuk
mengarang. Tercatat dari karya-karya yang dihasilkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani
berjumlah 40. Karena kegemarannya dalam menulis di berbagai bidang keislaman
sehingga Syekh Nawawi al-Bantani dikenal sebagai seorang yang prolifik (penulis
produktif). Brockelmann mengklasifikasikan karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani
yang 40 itu ke dalam beberapa bidang kajian Islam. Seperti yang sudah disebutkan
dan dijelaskan dalam ajaran-ajaran Syekh Nawawi al-Bantani pada subbab
sebelumnya yaitu35
:
1. Di dalam bidang tafsir, Syekh Nawawi menulis Marâh labîd li Kasf
Ma‟na al-Qur‟an al-Mâjîd atau biasa dikenal dengan Tafsîr Munîr li
Ma‟âlim al-Tanzîl al-Mufsir an Wujûh Mahâsim al-Ta‟wîl.
2. Dalam bidang akidah Syekh Nawawi menulis beberapa karya yaitu:
a. Dzarî‟ah al-Yaqîn komentar atas Umm al-Barâhîn karya al-Sanûsî.
b. Nûr al-Zulâm komentar atas Aqîdah al-Awwâm karya Ahmad al-
Marzûqî al-Mâlikî al-Makkî.
c. Tijân al-Darârî komentar atas Risâlah fi „Ilm al-Tawhîd karya Syaikh
Ibrâhîm al-Bâjûrî.
34
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara. h, 149. 35
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 942.
49
d. Qatr al-Ghayts Syarh Masâ`il Abî al-Layts komentar atas Masâ`il
karya Imâm Abî al-Layts ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ibrâhîm al-
Hanafi al-Samarqandî.
e. Hilyat al-Sibyân komentar atas Fath al-Rahmân karya Nahrâwî.
f. Fath al-Majîd Komentar atas al-Durr al-Farîd fi Ilm al-Tauhîd karya
Ahmad Nahrâwî.
g. Al-Tsimâr al-Yâni‟ah komentar atas Al-Riyâdh al-Bâdi‟ah fi Usûl al-
Dîn wa Ba‟d Furû‟ al-Syarî‟ah karya Sulaymân Hasb Allah.
3. Dalam bidang fikih Syekh Nawawi menulis dan mengomentari terhadap
karya-karya tokoh terdahulu di antaranya yaitu:36
a. Al-Tawsyîh dan Qût al-Habîb al-Gharîb berisi anotasi terhadap Fath
al-Qarîb karangan Muhammad bin Qâsim al-Ghazzî, komentar atas
al-Taqrib karangan Abu Syuja‟ al-Isfahani.
b. Marâqî al-Ubûdiyah yang merupakan komentar Bidâyat al-Hidâyah
karya al-Ghazâlî.
c. Al-Fath al-Mujîb komentar dari Manâqib al-Hâjj karya Muhammad
Ibn Muhammad al-Syirbinî al-Khâtib.
d. Sullam al-Munâjât komentar dari Safînat al-Salâh karya „Abd Allâh
ibn Yahyâ al-Hadramî.
36
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh
Mereka, h. 154-155.
50
e. Al-„Iqd al-Tsâmin komentar atas al-Fath al-Mubîn Nazm Muqaddimah
al-Zâhid karya dari salah satu tokoh Indonesia Mustofa ibn Usman al-
Jawi al-Qaruti.
f. Kâsyifatu al-Sajâ memuat komentar atas Safînatu al-Najâh karya
Sâlim ibn Samîr dari Sihr Sullamu al-Taufîq yang ditulis oleh
Abdullah bin Husain bin Thahir Ba‟lawi.
4. Dalam bidang tasawuf Syekh Nawawi menulis:
a. Salâlim al-Fudalâ‟ komentar atas Manzûmah Hidâyat al-Adzkiyâ ilâ
Tarîq al-Auliyâ karya Zayn al-Dîn al-Malîbarî.
b. Qâmi‟ al-Tughyân komentar atas Manzûmah fi Syu‟ab al-Ȋmân karya
Zayn al-Dîn al-Malibârî.
c. Misbâh al-Zulâm komentar atas al-Manhâj al-Atâmm fi Tabwib al-
Hikâm karya Ali Ibn Husam al-Dîn al-Hindi.
5. Komentar-komentar atas cerita kehidupan Nabi Muhammad di antaranya:
a. Targhîb al-Musytâqîn li Bayân Manzûmât Zayn al‟Ȃbidîn al-Banzanjî
komentar atas kitab Mawlîd karya Ja‟far ibn Hasan Abd al-Karîm ibn
Muhammad ibn al-Khâdim ibn Zayn al-„Ȃbidîn al-Barzanjî al-Madanî.
b. Al-Madârij al-Su‟ûd ilâ Iktisâ‟ al-Burûd komentar dari karya dan
pengarang yang sama seperti di atas.
c. Al-Durar al-Bahiyyah komentar atas al-Khasâ`is al-Nabawiyyah
merupakan karya yang sama dari Barzanjî.
d. Al-Ibrîz al-Dânî fî Mawlîd Sayyidinâ Muhammad al-Sayyid al-Adnânî
kutipan atas kitab Mawlîd karya al-Qastallânî.
51
e. Fath al-Samad al-„Ȃlim „alâ Mawlîd asy-Syaykh Ahmad ibn al-Qâsim
wa al-Bulûgh al-Fawzî li Bayân alMawlîd ibn al-Jawzî komentar atas
kitab Mawlîd al-Nabî atau dikenal juga dengan Al‟arûs karya ibn al-
Jawzî dan Ahmad ibn al-Qâsim al-Harîrî.
6. Dalam Bidang Tata bahasa Arab Syekh Nawawi menulis:
a. Kasyf al-Murûtiya an Sitâr al-Ajurrûmiyya komentar atas kitab al-
Ajurrûmiyya karya Abû Abd Allâh Muhammad ibn Muhammad ibn
Dâwûd al-Sanhâjî ibn al-Ajurrûm.
b. Fath Ghâfir al-Khatiyyah „alâ al-Kawâkib al-Jaliyyah fi Nazm al-
Ajurrûmiyyah komentar serta verivikasi atas kitab al-Ajurrûm.
c. Al-Fusûs al-Yaqûtiyyah komentar atas kitab al-Rawdat al-Bahiyyah fi
al-Abwâb al-Tasrîfiyyah karya dari Abd al-Mun‟îm Iwad al-Jirjâwî.
7. Di dalam bidang retorika Syekh Nawawi hanya menulis Lubâb al-Bayân fî
„Ilm al-Bayân komentar atas kitab Risâlat al-„Isti‟ârât karya Husayn al-
Nawawî al-Mâlikî.
Selain dari pada tujuh bidang keilmuan dari karya Syekh Nawawi yang
disebutkan di atas ditemukan pula karya Syekh Nawawi yang lain yaitu37
:
a. Tanqîh al-Qawl al-Hatîts
b. Nihâyat al-Zayn
c. Nasâih al-„Ibâd
d. Al-Futuhât al-Madaniyyah
37
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 944-945.
52
e. Bahjat al-Wasâ‟il bi Syarh al-Masâ‟il
f. Uqûd al-Lujayn fi Bayân al-Huquq al-Zawzayn
g. Al-Riyâd al-Fawliyah
h. Suluk al-Jaddah
i. Al-Nahjât al-Jayyidah
j. Fath al‟Ȃrifin.
53
BAB IV
PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANI
A. Praktik Tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani
Tasawuf menjadi salah satu cara bagi manusia untuk lebih dekat kepada
Tuhannya. Inti tasawuf adalah berakhlak, yakni dengan mensucikan jiwa agar
terbentuk jatidiri manusia yang baik dan menjauhi sifat-sifat buruk. Tasawuf diartikan
oleh Syekh Nawawi adalah pembinaan moral.1 Dalam karya-karya tasawufnya, Syekh
Nawawi mengajarkan berbagai cara manusia agar lebih mendekatkan diri kepada
Allah dengan segala ketaatan seperti cara beriman kepada Allah, malaikat-Nya,
Rasul-Nya, kitab-Nya, hari akhir, dan takdir baik maupun buruk. Syekh Nawawi juga
banyak memberikan petunjuk dan nasehat-nasehat yang mengantarkan manusia
kepada pemahaman yang hakikat seperti yang dituangkan dalam kitab Nasâ‟ih al-
„Ibâd-nya. Selain itu, sejalan dengan arti tasawufnya, Syekh Nawawi juga banyak
mengajarkan adab-adab seorang hamba, di antaranya adalah adab menuntut ilmu,
adab berbicara, adab murid kepada guru, adab dalam keseharian dan masih banyak
lagi. Semuanya itu tertuang dalam kitab Tanqih al-Qaul dan Qâmi‟ al-Tughyân.
Jalan-jalan lain yang diajarkan Syekh Nawawi dalam mendekatkan diri kepada Allah
dalam ranah eksoterik adalah jalan spiritual dalam tasawuf dan keutamaan-
keutamaannya dijelaskan dalam Salâlim al-Fudalâ. Selain itu, jika diperhatikan dari
konsep tasawufnya, Syekh Nawawi lebih menekankan kepada tasawuf amaliyah
1 Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, (Yogyakarya: Diva Press, 2016), h. 151.
54
yakni dalam konsep pengamalan syariat, tarekat dan hakikat.2 Berikut penulis akan
jelaskan beberapa konsep tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani yang penulis temukan,
serta beberapa wasiat Syekh Nawawi untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam
amaliyah.
a.) Syariat, Tarekat dan Hakikat
Syariat, tarekat dan hakikat merupakan satu kesatuan untuk mencapai
ma‟rifatullah (mengetahui Allah). Ketiga jalan ini menjadi ciri khas dari Syekh
Nawawi yang lebih ditekankan dalam pemikiran tasawufnya untuk amalan di
keseharian umat Muslim, sebab ketiga ini merupakan dasar-dasar dari agama Islam.
Syariat adalah hukum, dan tarekat adalah jalan bagi seorang sufi sementara hakikat
adalah hasil dari syariat dan tarekat. Maka dalam proses pengamalannya, syariat dan
tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida‟i) seorang sufi, sementara hakikat
adalah hasil dari syariat dan tarekat.3
Syariat dalam pandangan Syekh Nawawi adalah perjalanan spiritual yang
ditempuh seorang Muslim menuju Allah dengan istiqamah, dengan menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.4 Sebagaimana segala yang ada di dalam al-
Qur‟an dan Sunnah Nabi merupakan substansi dari syariat berupa aturan-aturan dan
norma-norma hukum yang memberikan arahan dan tujuan agar ibadah penyerahan
diri manusia kepada Allah dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak-
2 Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 150.
3 Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 150.
4 Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, Penerjemah Nasrullah dan Zainal Arifin
Yahya, (Jakarta; Pustaka Mampir, 2006), h. 14.
55
Nya. Karena ibadah yang seperti itulah yang mampu membawa dampak pada
penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada-Nya. Di samping itu, dalam
mengamalkan syariat ini amatlah penting bagi seorang Muslim dalam menempuh
jalan spiritual, karena menjadi salah satu proses mensucikan jiwa dan lebih
mendekatkan diri kepada Allah, selain itu juga memberikan manfaat sosial yakni
dapat membangun solidaritas yang erat. Sebagai agama Islam yang sempurna, Islam
memberikan ruang bagi pemeluknya untuk tidak hanya menjalankan ibadah yang
bersifat vertikal, tetapi harus melaksanakan ibadah yang bersifat horizontal juga atau
biasa disebut dengan hablumminallâhi (hubungan dengan Allah) dan
hablumminannâsi (hubungan dengan manusia).5
Para pakar hukum Islam memberikan penjelasan mengenai syariat, yaitu
segala perintah Allah yang berhubungan dengan manusia baik yang lahir seperti
mu‟amalah, zakat, sholat dan batin seperti iman, ikhlas, dan niat. Dengan demikian
syariat adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah lahir maupun batin.
Dalam hal ini Dr. Farouk Abu Zeid juga menjelaskan bahwa, syariat ialah apa-apa
yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabi-Nya.6
Menurut Syekh Nawawi memadukan antara syariat dengan tasawuf amatlah
penting, karena dengan syariatlah segala tata cara beribadah atau cara berhubungan
dengan Allah dapat diketahui. Akan tetapi, jika dalam perjalanan spiritualnya tidak
dilandaskan sesuai dengan apa yang telah syariatkan dalam Islam, maka ia telah
5 Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, (Jakarta: Trans Pustaka 2012),
h. 37. 6 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 2-4.
56
keluar dari jalan yang benar.7 Sebagaimana yang dikatakan Moh. Rifa‟i dalam
bukunya Ilmu Fiqih Islam Lengkap bahwa, fiqih mengatur pola kehidupan manusia,
mulai dari hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun minallâhi) seperti shalat,
puasa, haji, dan hubungan dengan sesama manusia (hablun minannâsi) seperti
muamalah dalam jual beli, utang piutang, kerjasama, nikah, waris, serta hubungan
manusia dengan lainnya di luar kegiatan muamalah di atas seperti pemanfaatan tanah,
peternakan, dan perkebunan.8 Selain itu, Syekh Nawawi juga mengutip dari salah
satu tokoh mazhab terkenal yakni Imam Malik yang mengatakan bahwa:
ك م ح د ت م ا ف م ه ين ب ع م ن ج م و ك س ف د ت م ف ف ى ص ت م ي ن ه و م ف ن ت م و ق ند ز د ت م ه ف م ف ت م ي ن و ف ى ص ن ت م
Artinya: Barang siapa yang bertasawuf tanpa mempelajari fiqih maka
telah rusak imannya, dan barang siapa yang memahami fiqih tanpa
menjalankan tasawuf maka telah rusaklah dirinya, dan siapa yang
menggabungkan keduanya maka sungguh ia telah benar9
Dalam hal ini, Imam Malik menjelaskan bahwa keterpaduan antara tasawuf
dengan syariat sangatlah penting. Karena dari penjelasan di atas menerangkan jika
seorang Muslim tidak mempelajari salah satunya baik itu tasawuf ataukah syariat
maka akan terjebak kedalam pelanggaran agama. Jadi, keterpaduan keduanya ini
merupakan salah satu jalan proses pembersihan jiwa dan mendekatkan diri kepada
Allah seperti halnya sholat, zakat, haji dan yang lainnya, dan jika antara syariat
dengan tasawuf terpisah maka semua amalan seorang Muslim akan menjadi sia-sia.10
7 Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al- Fudalâ, h. 18.
8 Muhammad Rifa‟i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1978, h. 5.
9 Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2015), h. 170. 10
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 151.
57
Maka dari itu, kombinasi antara fiqih dan tasawuf sangatlah dibutuhkan dan
tidak dapat dipisahkan. Karena keduanya selain sebagai syarat sebagai terlaksananya
syariat juga dibutuhkan dalam upaya pembentukan etika dan moral, juga akan
melahirkan pribadi yang mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan lahir dan
batin, antara kehidupan individu dan sosial, serta kehidupan yang berorientasi dunia
dan akhirat.11
Adapun ciri-ciri orang yang telah memadukan antara syariat dengan
tasawuf dengan baik dan benar akan tercermin gaya hidup seperti berikut :
1. Lebih mengutamakan dimensi batin dari pada dimensi lahir.
2. Lebih memilih pola hidup asketis (zuhd) dengan khalwat, „uzlah, dan
jalan tarekat sebagaimana tergambar pada corak kehidupan para
petapa.
3. Lebih mengutamakan kepuasan spiritual yang bersifat individual
daripada tanggung jawab sosial yang bersifat kolektif.
4. Memandang segala bentuk kebendaan (materi) sebagai sesuatu yang
rendah, hina dan sebagai faktor penghalang pengembangan kualitas
rohani.
5. Memandang aktivitas mu‟âmalah seperti bekerja, berdagang, bertani
dengan mempunyai istri dan anak sebagai tindak mencintai dunia yang
hina.12
Pemahaman syariat yang benar dan kemudian diamalkan pada kehidupan
sehari-hari menjadi bukti ketaatan seorang Muslim atas segala perintah dan larangan
Allah yang ditegaskan dalam al-Qur‟an dan Sunnah. Yang kemudian dilanjutkan
dengan bertasawuf sehingga menjadikan segala amalan syariatnya meresap dalam
11
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, h. 26. 12
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, h. 26-27.
58
hati sanubari. Keduanya harus dilakukan dengan membangun keseimbangan.13
Sebagaimana Allah tegaskan dalam al-Qur‟an yakni:
Artinya: Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, serta diletakkan oleh-
Nya prinsip keseimbangan, agar janganlah kamu (manusia) melanggar prinsip
keseimbangan itu (QS. Ar-Rahman [55]: 7-8)
Dengan demikian, mengamalkan syariat yang baik dan benar yang dipadukan
dengan pengamalan tasawuf yang bersumber pada al-Qur‟an dan Sunnah, merupakan
modal yang sangat berharga dalam mengembangkan kepribadian Muslim.
Selanjutnya, setelah seorang Muslim mengetahui apa saja yang disyariatkan dalam
Islam dan amaliahnya, sesuai tata cara yang sudah dijelaskan dalam bidang ilmu fiqih
atau bidang ilmu yang terkait dengan amalan syariat tersebut, serta dapat
memadukannya dengan tasawuf sebagaimana yang diajarkan Syekh Nawawi, maka
selanjutnya seorang Muslim beranjak menempuh kepada jalan tarekat.14
Menurut Syekh Nawawi tarekat adalah menghayati terhadap hal yang lebih
hati-hati seperti wara‟ dan berkemauan yang teguh seperti riyâdah (latihan jiwa)
meninggalkan duniawi untuk beribadah kepada Allah. Maksud dari tarekat ini adalah
memperdalam pelaksanaan syariat melalui amalan-amalan Sunnah dan menundukkan
jiwa seperti dengan menyedikitkan makan, minum dan tidur dan menghindari sikap
berlebih-lebihan, serta dengan mengkonsistensikan amalan-amalan baik meskipun
13
Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, h. 38. 14
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al- Fudalâ, h. 18-19.
59
dalam bentuk kecil dan selalu ingat Allah dalam hal apapun dan kapanpun.15
Dalam
membahas tarekat ini, Syekh Nawawi tidak memberikan penjelasan khusus terhadap
tarekat tertentu. Karena ia tidak memaksakan kepada setiap muridnya untuk
mengikuti tarekat tertentu, akan tetapi hanya menyarankan kepada setiap Muslim
khususnya kepada murid-muridnya untuk mengikuti salah satu dari tarekat, selama
tarekat itu tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Karena tarekat memiliki
hubungan yang sangat penting terhadap syariat dan hakikat.16
Tahap selanjutnya, setelah seorang sâlik menjalankan syariat dan tarekat
dengan sungguh-sungguh, sampailah kepada hasil dari perjalanan itu semua yakni
hakikat. Syekh Nawawi memberikan arti hakikat berdasarkan apa yang ia kutip
yakni:
1. Pemahaman terhadap hakikat-hakikat segala sesuatu, seperti
penyaksian terhadap hakikat nama-nama, sifat-sifat dan penyaksian
terhadap zat (keagungan Allah).
2. Pemahaman terhadap rahasia-rahasia al-Qur‟an dan rahasia-rahasia
halal dan haram.
3. Pemahaman terhadap ilmu-ilmu kegaiban yang tidak diperoleh dari
seorang guru.17
Jadi, hakikat menurut Syekh Nawawi adalah buah dari syariat dan tarekat.
Berarti hakikat ini adalah pencapaian yang diraih sufi dalam perjalanan spiritualnya
setelah melewati istilah-istilah tasawuf dalam pandangan Syekh Nawawi, yang
membuahkan penyaksian terhadap rahasia-rahasia Tuhan dengan jelas tanpa ada hijab
yang menutupinya. Seluruh perjalanan manusia menuju Tuhan merupakan proses
15
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 13. 16
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 150. 17
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 15-16.
60
panjang yang harus dijalani dengan ketekunan dan kesabaran. Karena bagi seorang
sâlik, untuk mendekatkan diri kepada Tuhan harus dengan membawa segudang
kesungguhan agar tidak patah di tengah jalan.
b.) Jalan-Jalan Menuju Allah
Dalam berbagai karya tasawuf Syekh Nawawi seperti Nasâ‟ih al-„Ibâd,
Salâlim al-Fudalâ dan Qâmi‟ Tughyân, banyak memberikan nasehat, petunjuk, serta
tata cara dalam menempuh jalan spiritual untuk lebih dekat dengan Allah. Berikut
beberapa wasiat yang disampaikan oleh Syekh Nawawi untuk ditempuh agar dapat
mengetahui hakikat dan mendapat posisi terdekat dengan Allah:
1. Taubat
Taubat merupakan gerbang utama bagi seorang sufi dalam menempuh
perjalanan spiritualnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam tahapan ini,
seorang sufi terlebih dahulu membersihkan hati, fikiran dan perbuatannya dari
segala dosa. Syekh Nawawi membagi taubat menjadi tiga bagian. Pertama,
Taubah (penyesalan) yakni bertaubat karena takut akan siska. Kedua, Inâbah
(konsisten dalam ketaatan) yakni bertaubat karena mengharap pahala dari Allah.
Ketiga, Aubah (kembali suci dari dosa) yakni bertaubat karena menjaga atau
61
konsisten melakukan ibadah bukan karena mengharap pahala dan bukan karena
terancam siksa.18
Selain itu menurutnya taubat adalah kunci dari segala ketaatan dan landasan
segala kebaikan. Jika seorang Muslim diuji dengan kelalaian atau kesulitan di
suatu tempat, maka hendaknya ia memperbaiki diri dengan kemampuannya dan
berharap hanya untuk meraih ridho dan ampunan Allah. Adapun jalan untuk
menuju taubat menurutnya adalah memohon ampunan taubat dengan penyesalan
yang tidak berpanjangan, dengan tekad meninggalkan dosa dan kesalahan yang
lalu. Selain itu dengan selalu bermuhasabah, berintrospeksi diri agar tercegah dari
terulangnya kesalahan yang lalu dan yang terpenting menurutnya adalah menjaga
mata, lisan dan seluruh anggota badan agar terhindar dari segala keburukan yang
lahir maupun batin.19
Setelah seorang sâlik melakukan taubatnya, kemudian Syekh Nawawi
memberikan tanda-tanda diterimanya taubat seseorang yaitu:
a. Merasa sulit terhindar dari kemaksiatan.
b. Merasa di dalam hatinya bahwa kegembiraan itu jauh dan kesedihan
itu terasa dekat.
c. Selalu mendekati orang-orang baik dan menjauhi orang-orang jahat.
d. Menganggap bahwa harta dunia yang banyak itu sedikit dan
memandang amal akhirat yang sedikit itu banyak.
e. Hatinya selalu disibukkan dengan ketaatan kepada Allah dan tidak
menyibukkan diri dalam mencari rizki yang sudah dijamin oleh-Nya.
18
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 23. 19
Syekh Muhammad Nawawi bin Umar, Qâmi‟ al-Tughyân, (Semarang: Toha Putra), h. 4.
62
f. Selalu menjaga lisan, selalu bertafaqur tentang keagungan Allah, dan
selalu menyesali kemaksiatan yang pernah diperbuatnya.20
2. Qana‟ah
Menurut Syekh Nawawi qana‟ah adalah ridho dengan apa yang telah ditentukan.
Ridho untuk meninggalkan sesuatu yang tidak penting dan hanya mengupayakan hal-
hal yang penting. Tidak diperkenankan bagi kita untuk mencari hal yang melebihi hal
yang penting. Hal yang penting itu berbentuk kebutuhan yang memiliki nilai manfaat
bagi kecukupan kita di dunia dan sebagai bekal di akhirat. Sedangkan sesuatu yang
tidak penting yaitu hal-hal yang memancing manusia melebihi kebutuhan yang ada
seperti mencari jabatan, permainan-permainan atau segala hal yang tidak memiliki
manfaat di akhirat. Menurutnya, cukuplah atas apa yang dimiliki saat ini dari segala
yang Allah berikan.21
Jadi, maksud dari qana‟ah ini adalah untuk ridho bagi orang-
orang yang menginginkan jalan akhirat dengan meninggalkan segala hal yang dapat
menghantarkannya pada puncak segala peluang duniawi dan meninggalkan segala
yang berlebihan dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Jadi berusaha dan
menerima dengan secukupnya karena sesungguhnya yang berlebihan itu dapat
berpotensi membuat durhaka dan tergelincir dalam kesengsaraan.22
3. Zuhud
Syekh Nawawi dalam kitab Nasâ„ih al-„Ibâd mengutip dari Ibnu „Abbas
menjelaskan dua makna dari kata zuhud. Pertama¸ yaitu kata zuhud terdiri dari tiga
20
Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, Penerjemah Fuad Saifudin Nur, (Jakarta: Wali
Pustaka, 2006), h. 252. 21
Syekh Muhammad Nawawi bin Umar, Qâmi‟ al-Tughyân, h. 5. 22
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 34.
63
huruf zâi, hâ‟, dâl. Huruf zâi berarti zâd li al-ma‟âd (bekal untuk akhirat, yakni
ketakwaan). Huruf hâ‟ berarti hudan li al-dîn (petunjuk untuk mengikuti agama
Islam). Huruf dâl berarti dawâm „ala al-tâ‟ah (konsisten dalam ketaatan). Kedua,
makna yang diberikan oleh Ibn „Abbas pada kata zuhud juga memberikan arti pada
setiap hurufnya yaitu huruf zâi berarti tarku al-zînah (meninggalkan kemewahan dan
gemerlap dunia). Huruf hâ‟ berarti tarku al-hawâ (meninggalkan hawa nafsu). Huruf
dâl berarti tarku al-dunyâ (meninggalkan keduniawian).23
Secara mendasar pondasi zuhud itu adalah menjauhi segala larangan atau dosa,
baik yang kecil maupun yang besar. Dari sikap ini akan melahirkan sikap selektif dan
lebih berhati-hati dalam bertindak. Tindakan ini pula merupakan bentuk konsistensi
dari pelaku tobat sehingga ia akan tetap dalam kebenaran dan mendapatkan
penerangan hati serta terhindar dari hal-hal yang buruk.24
Seorang zâhid yang sudah sampai pada tingkatan ini, maka ia di dunia dengan
fisiknya, sedangkan ruh dan akalnya ada di akhirat.25
Selain itu juga, seorang zâhid
akan disibukkan pada satu hal yang sangat penting di samping kesibukannya
menghindari kemewahan di dunia, yaitu berdo‟a dengan sepenuh hati kepada Allah.
Seorang zâhid haruslah selalu merendah di hadapan Allah dan memohon kebaikan
yang diridhai-Nya. Karena tujuan dari seorang zâhid adalah mengharapkan pahala
atau surga serta dapat berlanjut ke maqâm selanjutnya.26
23
Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 92-93. 24
Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 95. 25
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 38.
26
Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 37.
64
Dalam penjelasan lain, Syekh Nawawi menjelaskan hakikat zuhud itu sendiri
melalui hadits Nabi yang ia kutip yakni, diriwayatkan oleh Abu Dzâr al-Ghifari
mengatakan bahwa:
Zuhud terhadap kehidupan dunia bukan mengharamkan yang halal dan
bukan pula menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, hakikat zuhud yaitu ketika
keyakinanmu terhadap apa yang ada di tanganmu tidak melebihi keyakinanmu
terhadap apa yang ada di tangan Allah. Selain itu, merasa lebih senang menerima
pahala dan sabar menghadapi musibah sekalipun musibah itu terus menimpa
dirimu. (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)27
Dari kutipan di atas, Syekh Nawawi mengingatkan agar manusia tidak terjebak
dengan kesenangan dunia, sehingga melupakan hubungan dengan Allah, karena
kesenangan dunia tersebut tidak kekal. Maka dari itu, agar manusia tidak terjerumus
kepada kelalaian yang menjadikan manusia lupa akan Tuhan berikut Syekh Nawawi
memberikan pegangan untuk zâhid pada tiga tanda yakni:
1. Senantiasa dalam kondisi yang sama.
2. Memandang semua orang sama.
3. Merasa senang bersama dengan Allah ta‟âla dan hatinya didominasi rasa
manis ketaatan.28
4. Mempelajari Ilmu Syariat
Pada konsep ini, Syekh Nawawi menganjurkan untuk mempelajari ilmu syariat
yang dapat melegitimasi keabsahan ketaatan Muslim dalam menjalankan segala
syariatnya seperti sholat, puasa, zakat dan haji. Karena seorang sâlik yang
menjalankan syariat tanpa mengetahui landasan hukum yang dijalaninya maka dinilai
sia-sia. Selain itu, mempelajari ilmu yang dapat mengesahkan akidah adalah wajib,
27
Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 216-217. 28
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 40.
65
agar terhindar dari keserupaan para pelaku bid‟ah dan untuk menghilangkan keraguan
dalam hati. Serta anjuran Syekh Nawawi untuk mempelajari ilmu yang dapat
membersihkan hati dari segala penyakitnya seperti dengki, riya dan sombong. Ketiga
macam ilmu di atas haruslah dipelajari bagi umat Muslim, bahkan hukum dalam
mempelajari ilmu-ilmu itu adalah wajib „ain.29
Harapan setiap orang yang menuju Allah adalah kemampuan memahami ilmu-
ilmu-Nya yang menjadi pelita perjalanan. Karena ilmu itu sebagai jembatan untuk
mencapai ibadah yang sempurna. Amal ibadah juga bisa jadi jembatan untuk meraih
ilmu-ilmu yang ada pada rahasia Allah. Namun untuk menyentuh rahasia ruhani yang
halus dan penuh metafor, maka harus melalui tahapan pembersihan hati dan jiwa dari
maksiat lahir maupun batin.
5. Menjaga Sunnah-Sunnah Rasul
Menjaga Sunnah-sunnah Rasul adalah anjuran yang ditekankan juga oleh Syekh
Nawawi dalam bertasawuf. Karena Sunnah Rasul merupakan salah satu sumber
tasawuf dan menjadi sandaran penting bagi seorang sufi dalam bertasawuf. Sebab
tidak ada petunjuk jalan menuju Tuhan kecuali mengikuti Sunnah Rasul yang
sempurna dalam perkataan dan perbuatannya.
Secara makna, Sunnah adalah sesuatu yang jika dikerjakan mendapatkan pahala
dan jika ditinggalkan tidaklah berdosa. Selain itu, Sunnah juga bisa diartikan dengan
segala sesuatu yang sumbernya berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan,
29
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 45-46.
66
perbuatan dan akhlak.30
Menjaga Sunnah Rasul dengan bentuk selalu istiqamah
dalam pengamalan dari segala Sunnah-Sunnah Rasul, karena apa yang telah datang
darinya berupa sabda, perintah, serta uswah hasanah darinya yang merupakan budi
pekerti yang luhur yang wajib untuk diikuti. Budi pekerti ini adalah segala hal yang
dipuji, berupa ucapan dan tindakan terutama dari segala akhlak yang dicontohkan
oleh Rasul, karena diutus Rasul tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak.
Sebagaimana Syekh Nawawi mengutip dari Ibnu „Athoilah bahwa budi pekerti adalah
berdiam diri disertai melakukan kebaikan-kebaikan.31
Kemudian Syekh Nawawi
membagi budi pekerti kepada 4 bagian:
1. Syar‟iy (sesuai adab keagamaan Islam) yaitu melakukan segala hal yang
diperintahkan dan menjauhi segala hal yang dilarang.
2. Tabi‟iy (karakter) seperti dermawan dan keberanian.
3. Kasbiy (usaha) seperti memahami ilmu nahwu dan bahasa.
4. Shûfiy (tasawwuf) yaitu membatasi pancaindra dan memperhatikan nafas-
nafas.32
Pada dasarnya, tasawuf yang sebagian orientasinya kepada akhlak, maka
mempelajari dan menjaga budi pekerti luhur yang diajarkan oleh Rasul amatlah
penting. Selain itu, untuk meraih syafâ‟ah (pertolongan) dari Rasul di akhirat nanti
sebagai pengikut Sunnah-Sunnahnya. Sebagaimana dikatakan dalam hadits.
30
Mahmud Toha, Mustalah al-Hadits,(Kuwait: Haromain, 1985), h. 15. 31
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 47. 32
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 47.
67
من أحيا سنت ف قد أحبن ومن أحبن كان معي ف النة
Artinya: Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku maka ia telah
mencintaiku, dan barangsiapa yang mencintaiku maka aku bersamanya di surga
(HR. At-Tirmidzi)
6. Tawakal
Menurut Syekh Nawawi, tawakal bukan berarti tidak berusaha dan menyerahkan
seluruhnya kepada takdir Allah. Akan tetapi, dengan berusaha merupakan salah satu
bentuk tawakal seorang hamba, dengan rela terhadap rizki yang telah ditentukan oleh
Allah dan tidak memunculkan keinginan memiliki yang lebih dari bagiannya itu.33
Imam al-Ghazali yang menjadi salah satu pengaruh dari pemikiran gurunya Syekh
Nawawi memberikan contoh mengenai tawakal yaitu seperti tawakalnya seorang
ketua kepada wakilnya, karena ia yakin bahwa wakilnya dapat dipercaya dan bisa
mengurus persoalannya. Karena keyakinan inilah yang menyebabkan ia menyerahkan
urusannya kepada wakilnya tadi.34
Syekh Nawawi mengutip sebuah pendapat dari Syekh Ali al Jaizy dalam Tuhfatu
al-Khawwâs bahwa, siasat yang berhasil untuk memperoleh tawakal itu adalah
membiasakan diri dalam melakukan lima peringatan;
1. Meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui keadaan dirinya.
2. Meyakini kesempurnaan kekuasaan Allah.
3. Mencermati bahwasanya Allah tersucikan dari alpa dan lupa.
33
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 59. 34
Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1305.
68
4. Mencermati bahwasannya Allah terhindar dari sifat ingkar janji.
5. Memperhatikan bahwa simpanan-simpanan Allah itu tidak akan pernah
berkurang selamanya.35
7. Ikhlas
Ikhlas menurut Syekh Nawawi tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah,
menghindarkan diri dari ujub (membanggakan diri) dengan amal-amalnya.36
Dijelaskan dalam kitab Qâmi‟ al-Tughyân Syekh Nawawi memperintahkan untuk
ikhlas dalam ketaatannya kepada Allah tanpa dicampuri maksud lain seperti ingin
mendapatkan pujian, kemewahan dunia, kedudukan tinggi di mata manusia atau yang
lainnya, selain hanya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Salah satu yang
menjadi penyakit dalam keikhlasan ini adalah riya atau ingin dipuji oleh orang lain.
Jika amalan seseorang sudah diniatkan hanya untuk memamerkan kemampuannya
dalam sesuatu maka amalannya tersebut telah sia-sia.37
Syekh Nawawi mengutip dari kitab Tuhfatu al-Khawwâs bahwa riya adalah
melakukan ibadah dengan tujuan memperlihatkan kepada manusia, untuk
menghasilkan harta, pangkat atau pujian. Perbuatan ini termasuk dosa-dosa besar dan
setiap perbuatan yang tercampur dengan riya maka perbuatan itu batal lagi ditolak.38
Dalam hal ini, Muzakkir berpendapat sama mengenai ikhlas dalam bukunya Tasawuf
Jalan Mudah Menuju Ilahi yang mengutip perkataan dari Al-Sûsiy tokoh sufi besar
yakni:
35
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 60-61. 36
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 65-66. 37
Syekh Muhammad Nawawi bin Umar, Qâmi‟ al-Tughyân, h. 8-9. 38
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 68.
69
Ikhlas adalah tidak merasa telah berbuat ikhlas. Barang siapa masih
menyaksikan keikhlasan dan ikhlasnya, maka keihklasannya masih membutuhkan
keikhlasan lagi. Sama seperti seorang mengatakan, saya ikhlas, pada dasarnya ia
belum ikhlas karena ikhlas tidak bisa disebut dengan ungkapan.39
Jadi janganlah menampakkan ketaatan kepada manusia untuk tujuan meyakinkan
manusia bahwa engkau adalah orang taat dalam menjalankan perintah Allah. Akan
tetapi, jika tujuan dari memperlihatkan itu adalah untuk mengajak dan agar manusia
senang dalam kebaikan, maka itu lebih utama dari pada melakukannya secara
sembunyi-sembunyi jika dalam pelaksanaannya tidak tercampur riya.
8. Uzlah
Maksud uzlah menurut Syekh Nawawi yaitu menjauhkan diri atau menyendiri
dari orang-orang yang dapat memberikan dampak buruk. Hal itu dilakukan agar
terhindar dari keburukan mereka. Jika menemani orang-orang yang baik dan soleh,
maka itu sangat dianjurkan karena berharap akan terbawa dalam kebaikan mereka.40
Jadi maksud dari uzlah ini adalah bukan untuk mengasingkan diri atau
menghindar dari kehidupan bersosial dan bermasyarakat, akan tetapi menjalani
aktivitas sebagaimana manusia biasa, namun dalam hatinya tetap menyendiri dan
melakukan segala hal karena Allah. Namun uzlah dalam bentuk menyendiri
diutamakan apabila zaman telah rusak atau takut dari fitnah-fitnah, khawatir
tergelincir kepada yang syubhât terlebih lagi kepada yang haram, maka uzlah menjadi
39
Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, h. 48. 40
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 76.
70
lebih utama. Syekh Nawawi mengutip dari pendapat al-Ghazali menjelaskan bahwa
manfaat dari uzlah yakni:
1. Mencurahkan untuk beribadah, berfikir, nyaman bermunajat kepada Allah,
dan menyibukkan diri untuk mengungkap berbagai rahasia-rahasia Allah
dan kekuasaan-Nya yang ada di langit maupun di bumi.
2. Melucuti kemaksiatan-kemaksiatan yang timbul dari pergaulan pada
umumnya seperti ghibah (gosip), namîmah (mengadu domba), riyâ
(pamer kebajikan) dan berdiam diri dari memerintah kebaikan dan
melarang kemungkaran.
3. Menyelamatkan diri dari fitnah-fitnah dan permusuhan, dan melindungi
agama.
4. Menjaga diri dari kejahatan manusia dan menghindari menyakiti manusia
dengan ghibah atau prasangka buruk dan pemberian semangat yang
bohong, yang sulit memenuhinya atau dengan namîmah dan berdusta.
5. Memutus ketamakan orang-orang terhadap orang yang uzlah dan memutus
keinginan dirinya dari mereka.
6. Menyelamatkan diri dari menyaksikan orang-orang bodoh dan
menghindari menyamai kebodohan dan perilaku-perilaku mereka.41
9. Memperhatikan waktu
Maksudnya adalah untuk mempergunakan waktu dengan melaksanakan segala
ketaatan kepada Allah dalam setiap waktu yang dimiliki. Jangan sampai ada waktu
41
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 77-78.
71
yang terabaikan begitu saja, karena kelalaian yang berkemungkinan membuntut
sehingga dapat melupakan diri sendiri dengan kesibukannya. Syekh Nawawi
menyarankan untuk mempergunakan waktu dalam memberi manfaat kepada orang-
orang dengan berbagi ilmu atau dengan mendidik dan mengkaji kitab-kitab.
Menghabiskan seluruh waktu untuk melakukan rutinitas-rutinitas ibadah seperti
sholat-sholat sunnah, membaca al-Qur‟an dan berdzikir.42
10. Makrifat
Makrifat ini merupakan salah satu maqâm seorang suluk yang sudah sampai
tersingkapnya hijab antara makhluk dengan Tuhan. Seorang sâlik setelah mengetahui
secara langsung semua rahasia-rahasia di balik penglihatan manusia biasa, dalam hal
ini Syekh Nawawi memberikan penjelasan bahwa, bagi seorang Muslim yang telah
mencapai derajat makrifat akan mendapatkan buah dari makrifat tersebut di
antaranya:
a. Rasa malu kepada Allah.
b. Rasa cinta kepada Allah.
c. Rindu berjumpa dengan Allah.
Yang dimaksud dengan rasa malu kepada Allah yaitu, malu melakukan
perbuatan-perbuatan buruk yang dilarang oleh-Nya. Karena Allah Maha Mengetahui,
di mana pun seorang sufi berada pasti rasa murâqabah (selalu merasa diawasi oleh
Allah) pasti ada sehingga sulit dan enggan untuknya melakukan perbuatan maksiat.
42
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 84-85.
72
Jika seorang sufi telah mengetahui seluruh rahasia yang Allah miliki, maka rasa
kecintaan seorang sufi kepada Tuhannya akan meningkat, sampai rasa kecintaan ini
berlanjut kepada maqâm mahabbah, yang tidak memberikan ruang kecintaan dalam
hatinya selain Allah. Setelah rasa cinta itu ada dalam hati dan ingin selalu dekat dan
selalu berdua dengan-Nya, maka akan timbul rasa rindu jikalau terpisah dan ingin
kembali berjumpa dengan-Nya.43
Akibat yang diperoleh bagi seorang sufi yang telah sampai pada maqâm ini yaitu
tidak akan merasakan nikmat bergaul dengan makhluk-Nya, tidak menyukai hal-hal
keduniawian, tidak pernah terlibat dalam sengketa karena telah mengetahui hakikat
dari keadilan. Berikut Syekh Nawawi memberikan beberapa ciri seorang yang telah
sampai pada tingkatan jalan spiritual ini yaitu:
a. Selalu mencintai-Nya.
b. Hatinya selalu bersih dan dapat melihat kebenaran.
c. Banyak beramal saleh.44
B. Corak dan Karakteristik Tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani
Syekh Nawawi adalah salah satu tokoh Nusantara yang tetap mempertahankan
dan melestarikan nilai-nilai pemikiran para pendahulunya yang dianggap relevan
dengan situasi sekarang. Selain itu, ia juga terkenal dan dihormati karena keahliannya
dalam syarh dan hasyiyah atau menjelaskan ulang dari karya-karya tulis tokoh
43
Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 105-106. 44
Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 110-113.
73
pendahulunya yang dianggap sulit agar mudah dipahami dan dipelajari, serta
keberanian mengkritisi atau mengubah dan mengembangkan substansi materi
pemikiran para pendahulunya sehingga ia membangun pemikirannya sendiri. Syekh
Nawawi merupakan salah satu tokoh Muslim Jawa yang sangat produktif dalam
menghasilkan karya-karya tulis, seperti dalam fiqih, tauhid, hadits, tafsir, dan
tasawuf.
Yang membuat Syekh Nawawi tertarik dalam menuntut ilmu adalah karena
Syekh Nawawi dibesarkan dalam tradisi keagamaan yang kuat dan hidup di
lingkungan ulama. Selain itu ayahnya pun merupakan salah satu tokoh agama yang
sangat dipandang di daerahnya pada saat itu.45
Adapun selanjutnya yang menjadi
pengaruh terbentuknya corak pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani sehingga
menghasilkan berbagai karya tulis yang dapat diterima di semua kalangan yakni,
berasal dari guru-gurunya pada setiap bidang keilmuan Islam yang digeluti oleh
Syekh Nawawi. Khusus dalam bidang tasawuf, Syekh Nawawi banyak terpengaruh
dari Syekh Ahmad Khatib Sambas, meskipun ketika di Indonesia Syekh Nawawi
sempat berguru pada pamannya sendiri. Akan tetapi, dari karya-karya yang ditulisnya
banyak menggambarkan corak dari pemikiran gurunya yaitu Syekh Ahmad Khatib
Sambas, yang mana gurunya juga memiliki corak pemikiran al-Ghazali.46
Jika dilihat dari karakteristik umum tasawuf Syekh Nawawi yang tidak hanya
mengutamakan aktivitas spiritualnya untuk lebih dekat dengan Allah, akan tetapi ia
45
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 144. 46
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, h. 46-47.
74
juga memperhatikan hubungan dengan sesama manusia agar keduanya menjadi
seimbang antara hubungan vertikal dengan horizontal. Karena ia menyadari bahwa
untuk mencapai derajat yang paling tinggi dalam perjalanan spiritual seperti dalam
melewati maqâmât tasawuf maka tidaklah untuk mengesampingkan hal-hal yang
bersifat lahiriah atau syariat. Segala bentuk syariat yang ada memiliki peran penting
sebagai penghantar untuk sampai kepada tingkatan jalan spiritual yang paling
tinggi.47
Selain itu Syekh Nawawi juga memiliki pendirian yang khas yakni dalam
menghadapi pemerintah kolonial, ia tidak agresif atau reaksioner. Namun demikian ia
sangat anti bekerja sama dengan pihak kolonial dalam bentuk apapun ia lebih suka
mengarahkan perhatiannya pada pendidikan, membekali murid-muridnya dengan
jiwa keagamaan dan semangat untuk menegakkan kebenaran. Adapun terhadap orang
kafir yang tidak menjajah, ia membolehkan umat Islam berhubungan dengan mereka
untuk tujuan kebaikan dunia. Ia memandang semua manusia adalah saudara,
sekalipun dengan orang kafir. Begitulah mulianya akhlak dari Syekh Nawawi yang
mencontohkan untuk tidak membeda-bedakan derajat manusia dalam akhlak.48
Jika diidentifikasi corak tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani dari segala
pemikiran dan amaliah yang ia contohkan, serta ciri khasnya dalam memecahkan
kebekuan antara syariat/fiqih dengan tasawuf merupakan termasuk dalam corak
tasawuf akhlaki atau sunni. Adapun yang menjadi bukti dari tasawuf akhlaki ini
47
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 145-147. 48
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve,
1994), h. 24.
75
seperti yang tergambar dari akhlaknya Syekh Nawawi yang tidak membeda-bedakan
manusia dalam derajat akhlak. Menurutnya, semua manusia layak diperlakukan dan
disikapi dengan akhlak yang terpuji sekalipun ia nonMuslim. Selain itu, pemikiran
yang menggambarkan tentang corak tasawuf akhlaki yakni pada perpaduan antara
tasawuf dan fiqih, yakni tentang ilmu lahir dan batin karena secara hakikat manusia
tersusun atas dua unsur yakni jasmani dan rohani. Untuk mengusai ilmu lahir maka
cukuplah dengan belajar dan berguru saja sehingga mencapai derajat „âlim,
sedangkan untuk meraih ilmu batin maka haruslah menjalani proses dzikir,
murâqabah dan musyâhadah sehingga sampai kepada derajat „ârif, oleh karena itu
menurutnya keterkaitan dari keduanya ini amatlah penting. Selain itu, amalan syariat
jika hanya dikerjakan secara formalitas saja akan tetapi tidak diresapi hati maka akan
hilang ruhnya. Kesemuanya itu menjadi cara bagi Syekh Nawawi untuk membentuk
jati diri manusia yang lebih baik dengan menguasai segala ilmu lahir maupun batin.49
Corak tasawuf Syekh Nawawi yang berorientasi pada akhlak ini jika
diperhatian banyak mengajarkan tentang bagaimana tahalli atau mengisi hati yang
telah kosong dari sifat-sifat tercela dengan amalan-amalan terpuji seperti taubat,
menanamkan rasa ikhlas, qana‟ah, rida, selalu berintropeksi diri agar tidak terjatuh
dalam kesalahan yang sama, mempelajari ilmu syari‟at, menjaga Sunnah Nabi dengan
mengamalkannya, memperhatikan waktu, dan uzlah dari hal-hal yang membuat hati
kotor. Semuanya itu mengarah kepada pembentukan jatidiri yang lebih baik dengan
selalu menjalankan perintah-perintah Allah, sehingga akan terbiasa dalam melakukan
49
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 151.
76
hal-hal kebaikan. Ini merupakan salah satu ciri dari tasawuf akhlaki yang dalam
pembentukannya harus melalui tiga tahap yakni takhalli (mengosongkan diri dari
akhlak tercela), tahalli (menghiasi diri dengan akhlak terpuji, dan tajalli (hilangnya
hijab atau terungkapnya nur ghaib) karena secara tujuan utama dari corak tasawuf
akhlaki adalah tazkiyatu al-Nafs (membersihkan hati) dan menanamnya dengan sifat-
sifat terpuji.50
Selain itu, corak tasawuf Syekh Nawawi juga termasuk kepada tasawuf amali
atau irfani, yang mencoba mengungkap hakikat kebenaran dan ma‟rifat tidak hanya
melalui logika, akan tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah). Maka dari itu,
Syekh Nawawi menekankan pengamalan syariat, tarekat dan hakikat ini agar seorang
sâlik benar-benar dapat membersihkan hatinya, dan sampai tersingkapnya hijab
antara makhluk dengan Tuhan. Selain itu, Syekh Nawawi juga memerintahkan agar
mempelajari dua unsur keilmuan yakni lahir dan batin atau syari‟at dan tasawuf serta
memadukannya dalam pengaplikasiannya. Karena keduanya memiliki keterkaitan
yang sangat penting sebagaimana yang sudah dijelaskan pada Subbab sebelumnya.
Dilihat dari corak tasawuf akhlaki Syekh Nawawi ini memiliki karakter yang
moderat, karena segala pemikiran moderat terjauh dari pemikiran dan perilaku
ekstrim sehingga mudah untuk diterima oleh banyak orang. Terbukti dari berbagai
karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani yang diterima di berbagai pesantren dan
kalangan umum. Tidak hanya itu, bukti dari kemoderatan tasawuf akhlaki ini
tergambar pada diri Syekh Nawawi dalam kehidupan kesehariannya yang merupakan
50
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 212-220.
77
sosok yang tawadhu, banyak disegani dan dihormati oleh setiap kalangan karena
akhlak dan keilmuannya yang luhur, sehingga menjadi satu panutan tersendiri bagi
umat Muslim dan murid-muridnya. Selain itu, refleksi dari tasawuf akhlaki ini juga
bisa dilihat dari kepasrahan dan kepatuhannya kepada agama. Bentuk karakter ini
merupakan bentuk ketawaduan Syekh Nawawi dan beberapa pemikirannya seperti
ikhlas, qana‟ah dan ridha.51
Dengan demikian, dari beberapa corak tasawuf di ataslah yang menjadikan
Syekh Nawawi dijuluki sebagai tokoh Nusantara yang sangat produktif, sehingga
mampu memberikan sumbangan yang begitu besar bagi peradaban Islam di dunia dan
khususnya di Nusantara. Sesuai dengan hasil penelitian Martin Van Bruinesses
menunjukkan bahwa dalam kurikulum kitab rujukan di 46 pondok peantren klasik di
Indonesia menjadikan karya-karya Syekh Nawawi paling mendominasi. Di samping
dalam bidang tasawuf, pemikirannya ini juga memberikan pengaruh terhadap
perkembangan hukum di Indonesia.52
Maka dari itu, dengan adanya tulisan ini,
semoga dapat lebih memperkenalkan kembali kepada khalayak umum tentang Syekh
Nawawi dan beberapa pemikirannya agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
C. Relevansi Pemikiran Syekh Nawawi dengan Zaman Modern
51
M Hasyim Syamhudi, Akhlak Tasawuf;Dalam Kontruksi Piramida Ilmu Islam, (Malang:
Madani Media, 2015), h. 276. 52
Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 156.
78
Berpegangan kepada prinsip maqâmât tasawuf dan segala pengamalan yang
ditekankan oleh Syekh Nawawi, maka berikut relevansi tasawuf Syekh Nawawi pada
zaman modern ini.
Dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu mengembangkan
masa depan manusia, seperti melakukan introspeksi (muhâsabah) baik dalam
kaitannya dengan masalah-masalah vertikal maupun horizontal, meluruskan hal-hal
yang kurang baik, dan selalu berdzikir kepada Allah sebagai segala sumber nilai yang
dijadikan acuan dalam hidup agar selalu berada di dalam sunnatullâh dan sirât al-
mustaqîm.53
Untuk lebih mudah dipahami, penulis mengklasifikasikannya kepada tiga
bagian untuk menghubungkan tasawuf Syekh Nawawi dengan zaman modern ini,
agar dapat menjadi solusi dan mudah untuk diterapkan.
1. Takhalli
Pengosongan hati dari sifat-sifat tercela dengan taubat dan zuhud. Pada tahapan
pengosongan hati ini menjadi kunci untuk menghapus keburukan dan memulai
menanamkan kebaikan-kebaikan dalam hati dengan bertobat, seperti yang dikatakan
Syekh Nawawi bahwa taubat merupakan kunci ketaatan. Seseorang yang bertobat
berarti menyesali dan meninggalkan segala perbuatan buruk yang sudah diperbuat,
kecil ataupun besar kesalahan yang diperbuat jika manusia hendak bertobat maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun akan memberikan ampunan-Nya kepada siapa
saja yang memohon kepada-Nya, dengan kesungguhan dan ketaatan. Berhenti dari
53
Muzakkir, Membumikan Tasawuf; Dari Paradigma Ritual Formal Menuju Aksi Sosial,
(Jakarta: Kultura Jakarta, 2011), h. 89.
79
segala kebiasaan buruk seperti pergaulan bebas, free sex, narkoba, tawuran dan
bertekad tidak mengulanginya. Selain itu, Syekh Nawawi selalu menganjurkan untuk
selalu beritrospeksi diri atau bermuhasabah dari segala aktifitas yang sudah
dilakukan, agar terhindar dari keburukan yang sudah dilakukan dengan tanpa
disadari.
Setelah hati seseorang bersih dan berniat untuk lebih taat kepada Allah, maka
berlanjut kepada maqâm selanjutnya yaitu zuhud. Pada maqâm ini manusia bukan
diharuskan menjauhi keduniawian, akan tetapi manusia dituntut harus lebih selektif
dalam memilih. Syekh Nawawi mengingatkan untuk tidak terikat dengan
keduniawian yang membuat manusia lupa dengan identitasnya selaku makhluk yang
berkewajiban beribadah sepenuhnya kepada Allah. Karena hakikat dari zuhud ini
menurut Syekh Nawawi adalah keyakinan yang ada di tangan jangan sampai melebihi
keyakin kepada Tuhan.54
Artinya, apapun yang dimiliki saat ini baik berupa harta
yang banyak, jabatan yang tinggi, istri yang cantik, anak yang pintar, jangan sampai
kesemuanya itu membuat lupa bahwa semua itu adalah berasal dari Allah. Karena
penyakit yang timbul dari sifat zuhud ini adalah riya dan sombong, membanggakan
diri sendiri bahwa apa yang dimilikinya saat ini semata-mata adalah berkat usaha dan
kerja keras yang selama ini ia lakukan.
Maka dari itu, dengan kedua poin wasiat yang diajarkan oleh Syekh Nawawi ini
menjadi solusi untuk benar-benar membersihkan hati dari sifat, kebiasaan dan sesuatu
54
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 38-42.
80
hal yang jelek, serta mengkosongkan hati dengan tidak terikat dengan sesuatu apapun
yang berbentuk semu dan mulai menanaminya dengan bibit kebaikan dan ketaatan.
2. Tahalli
Upaya pengisian hati dengan sifat-sifat terpuji seperti qanaah, ikhlas, tawakal,
mempelajari ilmu syariat, menjaga Sunnah, dan uzlah. Keseluruhan amalan ini
merupakan wasiat yang dibawa oleh Syekh Nawawi yang memiliki relevansi
tersendiri pada saat ini. Pada tahapan ini, setelah hati seseorang kosong dan mulai
menanamkannya dengan nilai-nilai kebaikan seperti zuhud, maka kemudian akan
lahirlah sikap qanaah. Sebagaimana Syekh Nawawi menjelaskan bahwa qanaah
berarti ridho dengan apa yang telah ditentukan.55
Maksud dari ridho di sini adalah
ridho untuk meninggalkan segala hal yang dapat mengantarkan pada puncak
kedudukan duniawi dan meninggalkan segala yang terbaik dari sudut pandang
duniawi, baik makanan, minuman dan tempat hunian. Maka cukup untuk mencari
hal-hal yang penting saja, yakni segala hal yang dapat mendatangkan manfaat untuk
dirinya atau untuk agamannya dan meninggalkan segala yang tidak penting, yakni
segala hal yang tidak menghantarkannya dengan baik menuju akhirat.56
Amalan selanjutnya dari Syekh Nawawi adalah ikhlas. Dengan ikhlas ini dapat
membersihkan segala kotoran yang melekat di hati, sedikit atau banyak sehingga
tujuan mendekatkan diri benar-benar murni karena Allah, bukan yang lain, dan nilai
yang diharapkan pun hanyalah ridha Allah. Hal ini hanya akan datang dari seorang
55
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 34. 56
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 34-36.
81
yang mencintai Allah dan menggantungkan seluruh harapannya di akhirat, yang tidak
tersisa tempat di hatinya untuk mencintai dunia. Bila ia bekerja, makan-minum,
semuanya dikerjakan dengan ikhlas dan niat yang benar. Seorang yang dipenuhi oleh
kecintaan kepada Allah dan akhirat, maka seluruh aktifitas hariannya merupakan
cerminan dari cita-citanya, sehingga keseluruhan dilakukan dengan ikhlas. Demikian
sebaliknya, orang yang telah dikalahkan oleh gemerlap dunia, status sosial, pangkat
dan segala sesuatu selain Allah, maka seluruh aktivitas hariannya pun merupakan
cerminan dari harapan-harapannya, sehingga shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah
lainnya tidak dikerjakan dengan ikhlas, yang ada hanya sebatas menggugurkan
kewajiban dirinya.57
Jadi kunci dari keikhlasan tersebut adalah, kita harus yakin
bahwa Allah yang Maha membalas, Allah yang Maha Menyaksikan dan Allah yang
Maha Mengetahui atas semua yang kita inginkan.
Kemudian dari sikap ini akan melahirkan sikap tawakal kepada Allah.
Sebagaimana penjelasan di atas, menurutnya tawakal adalah berpasrah kepada
ketentuan qadâ dan qadâr Allah atau menyerahkan seluruh hasil dari apa yang ia
usahakan kepada Allah.58
Bukan berarti tawakal hanya pasrah menyerahkan
seluruhnya kepada Allah tanpa adanya usaha, akan tetapi sebenarnya tawakal adalah
kepasrahan yang didasarkan atas usaha dan kerja keras. Sehingga seseorang yang
menyandarkan dan meyakinkan semuanya kepada Allah terhadap baik atau buruknya
hasil yang ia terima akan terhindar dari sikap-sikap buruk yang kemungkinan akan
menimpannya, seperti stres, putus asa, depresi atau sejenisnya. Dengan
57
Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, h. 47. 58
Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 58.
82
menyandarkan seluruhnya kepada Allah maka seseorang akan yakin bahwa
seluruhnya hasil yang ia terima adalah yang terbaik di mata Allah yang mungkin ada
hikmah di setiap hal yang diterimanya.
Melihat realita kehidupan saat ini, tidak sedikit manusia kehilangan kepercayaan
dirinya dan muncul sikap ragu-ragu. Salah satu faktor yang menjadi penyebab dari
ketidak-percayaan diri atau keraguan ini muncul didasarkan karena kurangnya ilmu
pengetahuan yang matang, sehingga seseorang ragu apakah perbuatan yang ia
lakukan benar ataukah salah. Maka dari itu, salah satu wasiat yang diajarkan oleh
Syekh Nawawi adalah untuk mempelajari ilmu syariat Islam, guna mengabsahkan
segala ibadah yang dilakukan. Karena seseorang yang mengetahui tata cara, manfaat
dan tujuan dari satu ibadah maka sempurnalah pahala yang didapatkan. Selain itu,
dengan mempelajari ilmu syariat dengan baik maka akan terhindar dari sikap saling
menyalahkan, saling mengkafirkan, atau menganggap bahwa ajaran yang di luar dari
pemikirannya adalah salah. Sedangkan, pada hakikatnya segala syariat yang diajarkan
dalam Islam keseluruhannya adalah mengajarkan kasih sayang rahmatan li al-
„âlamîn.
Amalan selanjutnya adalah menjaga Sunnah atas segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad dari perkataan dan perbuatan, karena sebagaimana
dikatakan dalam sebuah hadits bahwa diutusnya Nabi Muhammad tidak lain adalah
untuk menyempurnakan akhlak. Mungkin sebagian Muslim merasa cukup dengan
hanya menjalankan yang wajib saja tanpa menjalankan Sunnah-Sunnahnya. Akan
tetapi perlulah diketahui, bahwa dalam setiap menjalankan kewajiban pastilah di
83
dalamnya terdapat kecacatan yang mungkin tidak disadari. Oleh karena itu, dengan
mengerjakan Sunnah-Sunnah Nabi serta menjaganya agar tetap bisa istiqomah dalam
menjalankannya akan menjadi penambal kecacatan dalam melaksanakan ibadah
wajib, serta menjadi penyempurna bagi Muslim terutama dalam perjalanan spiritual
untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Wasiat selanjutnya adalah uzlah, sebagaimana Syekh Nawawi berpendapat
tentang uzlah bahwa, uzlah bukan berarti mengasingkan diri dari hidup bersosial.
Akan tetapi, uzlah menurut Syekh Nawawi adalah tetap melaksanakan segala aktifitas
sosialnya dengan senantiasa memelihara hati agar tidak terdistorsi hal-hal negatif.
Dengan demikian berarti di tengah kesibukannya menunaikan tanggung jawab sosial
ia masih menjaga kestabilan dalam menjalankan ketaatannya kepada Tuhan.
3. Tajalli
Tajalli ini bermakna pencerahan atau tersingkapnya segala hijab yang menutupi
antara makhluk dengan segala rahasia Tuhan. Wujud akhir sebagai puncak dari segala
perjalanan yakni berupa makrifatullah. Dalam tingkatan ini, seseorang yang
melakukan segala ketaatan bukan karena kewajiban atau perintah dari Tuhan, akan
tetapi ia sudah mengetahui rahasia di balik itu semua dari kenikmatan yang akan
didapat, kebahagiaan yang akan dirasakan, sehingga menjadi pengetahuan langsung
bagi seorang sâlik dalam menjalankan segala syariat Islam. Sungguh akan menjadi
masyarakat yang diidam-idamkan jika dalam pengamalan segala kewajibannya tidak
84
terbebani dengan itu, akan tetapi karena mereka tahu manfaat dan hasil yang ada di
balik seluruh kewajiban itu.
Jadi jelaslah bahwa tanggung jawab tasawuf terhadap sosial bukanlah melarikan
diri dari kehidupan dunia dengan segala tipu daya dan muslihatnya, akan tetapi ia
adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah yang baru, yang
akan membentengi diri saat menghadapi problem hidup dan kehidupan yang serba
materialistik, dan berusaha merealisasikan keseimbangan jiwa sehingga timbul
kemampuan menghadapi beragam problem tersebut dengan sikap jantan.
85
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah menganalisa dan mendeskripsikan pembahasan di atas, berikut
penulis akan kemukakan beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari praktik
tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani, corak tasawufnya dan relevansi pemikirannya
dengan zaman modern ini. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis temukan dari
berbagai referensi, khususnya referensi primer yang penulis ambil dari karya
Syekh Nawawi al-Bantani yang berkaitan dengan tasawuf yaitu Salālim al-
Fuḍalā, Nasâ‟ih al-„Ibâd, dan Qâmi‟ Tughyân serta kitab-kitab sekunder lainnya,
sampai mendapatkan kesimpulan bahwa inti dari tasawuf Syekh Nawawi al-
Bantani adalah pengamalan dari syariat, tarekat dan hakikat, karena ketiga unsur
ini sangat penting dan memiliki keterkaitan diantaranya sehingga tidak bisa
dipisahkan.
Jalan pertama yang harus dilalui seorang Muslim untuk lebih dekat dengan
Allah adalah syariat. Menurut Syekh Nawawi syariat adalah mematuhi berbagai
hukum dan aturan dari Allah yang bersumber dari al-Qur‟an dan Hadits berbentuk
wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Kemudian seorang Muslim harus
melalui tarekat, yaitu memperdalam pelaksanaan syariat melalui amalan-amalan
Sunnah dan menghindari perilaku makruh dan mubah, serta dengan merutinkan
amalan-amalan khusus dan dzikir (riyāḍah). Dalam menjalani tarekat ini, Syekh
Nawawi mengharuskan kepada Muslim agar mengikuti seorang guru (mursyīd).
86
Syekh Nawawi membebaskan untuk memilih mursyīd dan tarekat apa pun, selama
tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah.
Setelah melalui syariat dan tarekat, maka seorang penempuh jalan spiritual
akan menemukan hakikat. Menurut Syekh Nawawi, orang yang sampai kepada
hakikat akan memahami dengan mendalam hakikat segala sesuatu seperti
menyaksikan nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan Dzat Allah, rahasia-
rahasia al-Qur‟an, rahasia-rahasia larangan, kebolehan, dan ilmu-ilmu gaib.
Adapun satu kesatuan lainnya dari konsep syariat, tarekat dan hakikat diturunkan
ke dalam sepuluh wasiatnya untuk menempuh jalan spiritual atau dapat diterapkan
agar sampai kepada pencapaian maqâm yang terdekat dengan Allah di dunia
maupun di akhirat nanti. Wasiat tersebut yaitu:
1. Taubat
2. Qana‟ah
3. Zuhud
4. Mempelajari ilmu syariat
5. Menjaga sunnah-sunnah
6. Tawakal
7. Ikhlas
8. Uzlah
9. Memperhatikan waktu
10. Ma‟rifat
Seluruh konsep tasawuf Syekh Nawawi di atas berorientasi pada corak
tasawuf akhlaki atau Sunni yang banyak mengajarkan tentang cara tahalli
87
(menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji) serta segala ajarannya yang
bertujuan pada akhlak dan tasfiyatu al-qalb (pembersihan hati) dengan
berlandaskan pada al-Qur‟an dan Sunnah. Selain itu konsep tasawuf Syekh
Nawawi juga termasuk dalam corak tasawuf amali karena berusaha mencari
kebenaran hakiki dan ma‟rifat tidak menggunakan logika, yakni dengan
pemberian Tuhan (mauhibah) dengan jalan penerapan syariat, tarekat dan hakikat,
sehingga menjadi satu jalan untuk mencapai tingkatan terdekat dengan Tuhan.
Secara karakteristik pemikiran yang paling menjadi identitas dari Syekh Nawawi
adalah karya tulisnya yang berbentuk syarh atau penjelasan ulang atas karya dari
tokoh pendahulunya, selain itu juga dalam tasawufnya ia terkenal sebagai
pemecah kebekuan dikhotomi antara tasawuf dan fiqih.
Jelaslah, dari semua konsep tasawuf Syekh Nawawi dapat dipraktikkan
guna menjadi solusi mengentaskan permasalahan di zaman modern ini. Karena
sebagian besar konsep yang diajarkan merupakan wasiat-wasiat untuk diamalkan
dalam keseharian. Sehingga manusia dapat memiliki orientasi hidup yang jelas
dan terarah dengan konsep yang diajarkan. Seperti halnya perintah untuk
menanamkan sifat qanaah, ikhlas, ridha agar terhindar dari penyakit-penyakit hati,
serta anjuran selalu melakukan intropeksi (muhâsabah) dan bertawakal agar
terhindar dari stress dan keputusasaan. Secara keseluruhan, segala pemikirannya
menjadi persenjataan untuk menghadapi zaman yang sudah terdegradasi dengan
hal-hal buruk seperti pergaulan bebas, narkoba dan lainnya.
88
DAFTAR PUSTAKA
Aizid, Ustad Rizen, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan
Pengaruh Mereka,(Yogyakarta: Diva Press, 2016).
Alba, Cecep, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012).
Al-Bantani, Syekh Nawawi, Nashâ`ih al-„Ibâd, Penerjemah Fuad Saifudin Nur,
(Jakarta: Wali Pustaka, 2006).
Al-Bantani, Syekh Nawawi, Salâlim al-Fudholâ, Penerjemah Nasrullah dan
Zainal Arifin Yahya, (Jakarta; Pustaka Mampir, 2006).
Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, terj. Suwarjo Muthary dan Abdul Hadi (Bandung:
Mizan Pustaka, 1992).
Al-Tafthazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad Rafi‟ Usmani,(Bandung:
Pustaka ITB, 1985).
Amin, Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012).
Azra, Azyumardi dkk, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008).
Daudy, Ahmad, Kuliah Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998).
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993).
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Hoeve, 1994).
Hajjaj, Dr. Muhammah Fauqi, Tasawuf Islam & Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011).
Hasan, A Rifai, Warisan Intelektual Islam Indonesia atas Karya-Karya Klasik,
(Bandung: Mizan, 1987).
Isa, Syeikh Abdul Qadir, Cetak Biru Tasawuf:Spiritualitas Ideal dalam Islam,
(Jakarta: Ciputat Press, 2007).
89
Ismail, Asep Usman, Tasawuf Menjawab Tantangan Global Upaya Membangun
Karakter Muslim, (Jakarta: Trans Pustaka, 2012).
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo:
Amzah, 2005).
Kabbani, Syekh Muhammad Hisyam, Tasawuf dan Ihsan, (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2015).
Kartanegara, Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2006).
Malik, Abdul dkk, Jejak Ulama Banten, (Serang: Biro Humas dan Protokol Setda
Banten, 2014).
Mas‟ud, Abdurrahman, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek
Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006).
Moh Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia
Modern, (Malang: UIN Malang Press, 2008).
Muzakkir, Membumikan Tasawuf; Dari Paradigma Ritual Formal Menuju Aksi
Sosial, (Jakarta: Kultura Jakarta, 2011).
Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, (Jakarta: Gaung Persada Press,
2012).
Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang,
1973).
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008).
Nawawi, Syekh Muhammad bin Umar, Qâmi‟ al-Tughyân, (Semarang: Toha
Putra).
90
Ramli, Rafi‟udin, Sejarah Hidup dan Silsilah Syekh Kyai Muhammad Nawawi
Tanara, (Banten: Yayasan Syekh Nawawi al-Bantani, 1399 H).
Rifa‟i, Muhammad, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT Karya Toha Putra,
1978).
Rusli, Ris‟an, Tasawuf dan Tarekat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013)
Shihab, Alwi, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok: Pustaka IIMaN, 2009).
Syamhudi, M Hasyim, Akhlak Tasawuf;Dalam Kontruksi Piramida Ilmu Islam,
(Malang: Madani Media, 2015).
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2013).
Toha, Mahmud, Mustholah Hadits,(Kuwait: Haromain, 1985).
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016).