praktik tasawuf syekh nawawi...

104
i PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANI Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Disusun Oleh: Hidayatul Mufid NIM: 1113033100018 PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H. / 2018 M.

Upload: others

Post on 03-Sep-2019

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

i

PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun Oleh:

Hidayatul Mufid

NIM: 1113033100018

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H. / 2018 M.

Page 2: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan
Page 3: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan
Page 4: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan
Page 5: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

v

ABSTRAK

PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANI

Tulisan ini fokus pada pemikiran tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani yang

tertuang dalam sejumlah karyanya. Diantara karya-karyanya yaitu Salâlim al-

Fudalâ, Nasâ‟ih al-„Ibâd, dan Qâmi‟Tughyân yang semuanya ini menjadi sumber

primer penulis dalam mengkaji konsep tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani. Buku-

Buku tersebut berisi nasehat-nasehat, petunjuk, serta bimbingan untuk dapat

menjalankan perintah agama dengan baik. Meninggalkan segala perilaku buruk,

dan menanamkan dalam hati segala sifat terpuji.

Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

praktik tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani, karakterstik pemikirannya serta

relevansi pemikirannya dengan zaman modern. Poin yang dapat diambil dari

konsep pemikirannya yakni Syekh Nawawi merupakan tokoh seperti al-Ghazali di

era modern, karena ia mampu menyatukan kebekuan antara fiqih dan tasawuf.

Selain itu dalam pemikirannya ia lebih menekankan kepada pengamalan yakni

mulai dari syariat, tarekat dan hakekat serta wasiat-wasiat jalan spiritualnya untuk

sampai kepada kedudukan yang lebih dekat dengan Allah yakni, taubat, qanaah,

zuhud, mempelajari ilmu syariat, menjaga sunnah rasul, tawakal, ikhlas, uzlah,

memperhatikan waktu dan ma‟rifat. Dari semua konsep pemikirannya ini ia

mencoba menyeimbangkan antara hubungan manusia dengan Tuhan dengan

hubungan manusia dengan manusia yang lain. Adapun corak yang tergambar dari

konsep tasawufnya yakni tasawuf Sunni yang mana seluruh ajarannya

disandarkan kepada al-Qur‟an dan Hadits serta orientasinya kepada pembentukan

akhlak yang baik.

Tujuan dari penelitian praktik tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani ini

adalah untuk mengenalkan kembali kepada khalayak umum tentang konsep

tasawufnya yang mungkin juga menjadi solusi dari keadaan moral generasi

bangsa saat ini yang semakin terdegradasi. Dengan adanya tulisan ini semoga

menjadi pedoman untuk kehidupan yang lebih terarah dan dapat menciptakan

masyarakat madani yang memiliki akhlak dan hati nurani yang Islami.

Kata Kunci: Praktik tasawuf, Konsep tasawuf, Karakteristik, Relevansi,

Syekh Nawawi al-Bantani.

Page 6: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum wr. wb

Syukur al-hamdulillah atas nikmat Allah yang terus mengiringi setiap

langkah para hamba-Nya dalam segala poros kehidupan. Karena-Nya penulis

diberi kemudahan selama penyusunan skripsi ini, sehingga dapat menyelesaikan

dengan baik. Salawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan

pilihan, Nabi Muhammad Saw. Atas selesainya karya ilmiah ini tidak terlepas dari

bantuan moril maupun materil dari berbagai pihak. Untuk itu saya ucapkan

terimakasih kepada:

1. Din Wahid, Ph.D., selaku Dosen Pembimbing yang selalu meluangkan

waktunya untuk memberikan arahan, motivasi dan membimbing penulis

dengan baik, sehingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.

3. Dra. Tien Rohmatin, MA., selaku Ketua Program Studi Aqidah dan

Filsafat Islam dan Abdul Hakim, S.H.I, M.A., selaku Sekertaris Program

Studi Aqidah dan Filsafat Islam.

4. Drs. Fakhruddin, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik.

5. Abi Sofan dan Umi Suheti, kedua orang tua yang selalu memberikan

motivasi, serta doa selama perjalanan penulis dalam menuntut ilmu di

manapun penulis berada, serta kakak dan adik-adik tercinta yang selalu

memberikan semangat dan doa. Rasanya tidak pernah cukup untuk

berterima kasih, semoga Allah selalu mencurahkan rahmat dan kasih

sayang kepada mereka.

Page 7: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

vii

6. K.H Bahrudin S.Ag (Abi) dan Hj. Tutik Rosmaya SE (Umi) selaku

pengasuh Pondok Pesantren Daar el-Hikam yang telah mengasuh,

medidik, dan mengajarkan berbagai ilmu agama serta bimbingan akhlak

kepada penulis yang tidak penulis dapatkan di perkuliahan.

7. Sahabat seperjuangan Aqidah Filsafat angkatan 2013, khususnya Aqidah

Filsafat kelas A yang selalu menemani suka duka dan selalu mendengar

keluh kesah penulis selama lima tahun ini.

8. Untuk seseorang yang selalu memberikan banyak hal kepada penulis, baik

semangat, doa, menghibur di kala sedih, dan memberikan ketenangan di

saat galau tanpa mengenal lelah yakni Siti Nurhidayah. Semoga tetap

selalu menjadi seseorang yang terbaik yang hadir dalam kehidupan

penulis.

9. Untuk sahabat-sahabat alumni Ikatan Keluarga Ma‟had Assa‟adah

(IKMA) Ciputat, terimakasih atas semangat, kasih sayang, canda tawa

serta kekeluargaan yang telah dihadirkan untuk penulis. Semoga tali

silaturahmi kekeluargaan kita selalu terjaga sampai akhir hayat.

10. Ucapan terimakasih disampaikan juga untuk Mahesa, Muhammad Mufid,

Auliya, Imur dan Lea. Sahabat-sahabat yang selalu menemani, membantu

penulis dalam memberikan masukan, arahan serta kritiknya kepada penulis

agar dapat lebih baik lagi.

11. Terimakasih atas semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu, yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Page 8: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

viii

Tentu terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini, baik secara tekstual

mapupun kontekstual, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan

mendapat ridho dari Allah Swt. Ȃmîn.

Page 9: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ........................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iv

ABSTRAKSI ............................................................................................................ v

KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi

DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ...................................................................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 7

D. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 7

E. Metode Penelitian........................................................................................... 9

F. Sistematika Penulisan .................................................................................... 10

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG TASAWUF ....................................... 12

A. Pengertian dan Tujuan Tasawuf .................................................................... 12

B. Sejarah dan Sumber Tasawuf ........................................................................ 16

C. Aliran-Aliran Tasawuf .................................................................................. 19

D. Maqâmât dan Ahwâl ..................................................................................... 23

BAB III MENGENAL LEBIH DEKAT SYEKH NAWAWI AL-BANTANI ....... 33

A. Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani .............................................................. 33

B. Latar Belakang Intelektual Syekh Nawawi Al-Bantani ................................. 37

C. Pemikiran-Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani ......................................... 41

D. Karya-Karya Syekh Nawawi Al-Bantani ....................................................... 47

BAB IV HASIL KAJIAN PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-

BANTANI .................................................................................................................. 53

A. Praktik Tasawuf Syekh Nawawi Al-Bantani ................................................. 53

B. Corak dan Karakteristik Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani ................... 73

C. Relevansi Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani dengan Zaman Modern .... 78

Page 10: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

x

BAB V PENUTUP .................................................................................................... 85

A. Kesimpulan .................................................................................................... 85

Daftar Pustaka ............................................................................................................ 88

Page 11: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

x

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada

pedoman transliterasi Arab-latin berdasarkan buku Pedoman Akademik Program

Strata 1 Tahun 2013/2014 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

HURUF ARAB HURUF LATIN KETERANGAN

tidak dilambangkan - ا

B be ب

T te ت

Ts te dan es ث

J te ج

H ha dengan garis bawah ح

Kh ka dan ha خ

D de د

Dz de dan zet ذ

R er ر

Z zet ز

S es س

Sy es dan ye ش

S es dengan garis bawah ص

D de dengan garis bawah ض

T te dengan garis bawah ط

Z zet dengan garis bawah ظ

„ عkoma terbalik di atas

hadap kanan

Gh ge dan ha غ

F ef ف

Q ki ق

Page 12: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

xi

K ka ك

L el ل

M em م

N en ن

W we و

H ha ه

apostrof „ ء

Y ye ي

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal dalam bahasa Indonesia, terdiri dari

vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal

adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A fathah

I kasrah

U Dammah

Adapun untuk vokal rangkap ketentuannya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي Ai a dan i

و Au a dan u

Page 13: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

xii

Vokal Panjang

Ketentuan vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan

dengan harakat dan huruf yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ȃ A dengan topi di atas سا

Ȋ I dengan topi di atas سي

Ȗ U dengan topi di atas سو

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun

huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâal, al-diwân bukan ad-diwân.

Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku

jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti

oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata انض زورة tidak ditulis ad-darûrah

melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

Page 14: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

xiii

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/. Hal yang

sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‟t). Namun, jika

huruf ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata benda (ism), maka huruf tersebut

dialihsarakan menjadi huruf /t/.

Page 15: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan zaman yang semakin modern dan serba canggih ini banyak

memberikan kemudahan bagi manusia dalam melakukan aktifitasnya, sehingga

manusia banyak dimanjakan dengan peralatan teknologi yang serba canggih. Di

sisi lain, kemodernan ini justru mengakibatkan kesengsaraan dan berbagai

penderitaan yang besar, karena penyalahgunaan teknologi dan ilmu pengetahuan

yang sebatas hanya untuk memenuhi hawa nafsu pribadi. Pada dasarnya,

masyarakat hanya menginginkan sebuah perubahan dengan kemajuan teknologi

ke arah yang lebih baik dengan harapan tercapai suatu kehidupan yang maju dan

sejahtera. Namun faktanya, masyarakat terjebak dengan kemajuan teknologi

tersebut sehingga mereka kehilangan jati diri dan terlantarnya kebutuhan spiritual.

Bahkan, sampai mereka tidak mengetahui posisi dan hubungannya dengan Sang

Maha Pencipta. Keterputusan dengan sumber ini adalah penyebab timbulnya

perasaan terasing, gelisah dan sejenisnya, sebagaimana yang banyak diderita

manusia yang hidup di dunia modern ini.1

Di samping perkembangan teknologi yang semakin pesat, keadaan

pergaulan para remaja dan pelajar yang kini kian memprihatinkan perlu juga

menjadi perhatian khusus. Pergaulan yang sudah tidak lagi mengindahkan norma-

norma agama maupun sosial masyarakat dan mengarah kepada pergaulan bebas

seperti mabuk-mabukan, pemakaian narkoba, seks bebas menjadi penyakit yang

1 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h.

270.

Page 16: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

2

saat ini sudah mewabah di kalangan remaja dan pelajar. Remaja atau ABG (anak

baru gede) adalah subjek yang paling banyak menjadi korban dalam pergaulan

bebas, bahkan saat ini sudah menular kepada anak-anak sekolah dasar. Ini bisa

dipahami, karena kebanyakan anak muda seusia mereka memang masih sangat

labil. Mereka kadang susah membedakan sesuatu yang baik dan buruk bagi

perkembangan hidup mereka.

Menurut Said Aqil siradj, dalam sebuah pengantar sufistiknya mengatakan

bahwa berbagai krisis menimpa kehidupan manusia modern, mulai dari krisis

sosial, krisis struktural sampai krisis spiritual. Semuanya itu bermuara pada

persoalan makna hidup. Modernitas dengan segenap kemajuan teknologi dan

pesatnya industrialisasi membuat manusia kehilangan orientasi. Kekayaan materi

kian menumpuk, tetapi jiwa mengalami kekosongan. Seiring dengan logika dan

orientasi yang kian modern, pekerjaan dan materi lantas menjadi aktualisasi

kehidupan masyarakat. Gagasan tentang makna hidup berantakan. Akibatnya,

manusia ibarat sebuah mesin, semuanya diukur atas dasar materi.2

Selain itu, keadaan ekonomi yang mulai bersaing baik di tingkat perdesaan

sampai ke perkotaan, membuat manusia tergiur untuk hidup bermewah-mewahan

dan untuk memperkaya dirinya masing-masing. Berusaha untuk tampil hidup

mewah, lebih mapan, lebih kaya dibandingkan dengan orang-orang di

sekelilingnya. Namun sayangnya, usaha yang dilakukan yang semata-mata hanya

untuk memperkaya diri tersebut yang seharusnya membawa ketenangan,

keamanan dan kesejahteraan manusia itu tak jarang justru menyengsarakannya.

Kecenderungan dan cinta terhadap materi merupakan bagian faktor yang dapat

2 Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. viii.

Page 17: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

3

menyesatkan manusia dari tujuan utamanya. Kehidupan modern yang demikian

kompetitif menyebabkan manusia harus mengerahkan seluruh pikiran, tenaga, dan

kemampuannya. Mereka terus bekerja tanpa mengenal batas dan kepuasan.

Akibatnya, jika terkena problem yang tidak dapat dipecahkan dirinya, ia akan

stres dan frustasi. Pada dasarnya, berusaha untuk mencari harta sangatlah

dianjurkan oleh Allah agar tetap dapat menyambung hidup dan agar dapat

menjalankan segala kewajiban dengan baik. Akan tetapi, mencari harta akan

menjadi dilarang jika itu berlebih-lebihan dan menjerumuskan manusia kepada

dosa seperti sombong, serakah, dengki, congkak, tamak dan sifat-sifat buruk

lainnya.3

Meskipun demikian, dari segala pelik persoalan ini masih ada upaya untuk

menghadapi tantangan dan rintangan tersebut. Seperti pengajian-pengajian di

rumah-rumah, perkantoran ataupun majlis-majlis taklim yang mulai

menggencarkan kajian dan pengajaran ajaran Islam yang murni. Karena

kehidupan modern ini harus mempunyai landasan yang kuat, yaitu akidah Islam

yang bersumber dari Al-Qur‟an dan hadis. Dengan cara seperti ini maka akan

terbangun kehidupan yang seimbang antara lahir dan batin, duniawi dan ukhrawi,

serta individu dan masyarakat. Keseimbangan ini harus menjadi roh bagi

peradaban manusia dalam kehidupan modern sekarang ini.4

Dengan kecenderungan beberapa masyarakat yang mulai menggemari

kajian-kajian Islam, atau majlis-majlis yang ada di rumah-rumah atau perkantoran

3 Sudirman Tebba, Manfaat Tasawuf dalam Kehidupan Sehari-hari, (Ciputat: Pustaka

irVan, 2008), h. 119. 4 Adlin Sila dkk, Sufi Perkotaan, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama

Jakarta, 2007), h. ix-x.

Page 18: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

4

sebagai bentuk pencarian jati diri dan pendekatan diri kepada Sang Maha

Pencipta. Maka jalan tasawuf juga menjadi salah satu solusi jalan untuk

memecahkan segala permasalahan yang ada. Menurut Mulyadi Kartanegara dalam

bukunya Menyelami Lubuk Tasawuf¸ tasawuf bukan hanya menyadarkan kita

akan keterpisahan dari sumber dan tempat kembali kita yang sejati. Tetapi,

tasawuf juga menjelaskan kepada kita dari mana kita berasal dan kemana kita

akan kembali. Dengan demikian, dalam arti tertentu tasawuf telah memberikan

arah (orientasi) dalam hidup.5

Dalam mengatasi masalah yang membelenggu masyarakat modern ini,

maka salah satu solusinya adalah kembali kepada agama dengan membumikan

nilai-nilai spiritual ke dalam kehidupan. Serta sikap materialistik dan hedonistik

yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan

konsep zuhud (asketisisme). Dalam tasawuf, zuhud ini mempunyai pengertian

khusus. Ia bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, tetapi

merupakan hikmah yang membuat penganutnya mempunyai visi khusus tehadap

kehidupan, di masa mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi

itu tidak menguasai kecenderungan hati mereka, serta tidak membuat mereka

mengingkari Tuhannya.6

Itulah yang dapat digali dan dikembangkan dari ajaran tasawuf. Untuk

mengatasi masyarakat modern saat ini. Tasawuf dapat dijadikan salah satu

alternatif terpenting. Ajaran tasawuf perlu diterapkan ke dalam seluruh konsep

5 Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 272.

6 Al-Tafthazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad Rafi‟ Usmani,(Bandung:

Pustaka ITB, 1985), h. 54.

.

Page 19: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

5

kehidupan. Ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan

lain sebagainya perlu dilandasi dengan ajaran tasawuf.

Menurut Imam Junaid al-Baghdâdi;

انتصىف تصفيت انمهىب حتى اليعاودها ضعفهاانذاتى ومفارلت اخالق انطبيعيت واخماد صفاث

انبشزيت ومجانيت نزواث اننفس

Artinya: Tasawuf adalah mensucikan hati sehingga tidak ditimpa suatu

kelemahan, menjauhi akhlak alamiah, melenyapkan sifat kemanusiaan, dan

menjauhi segala keinginan nafsu.7

Selain itu, tasawuf tidak dipahami hanya sebatas pembersihan hati akan

tetapi juga sebagai proses pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui amalan-

amalan seperti dzikir, „uzlah dan berakhlak dengan akhlak Tuhan sebagai salah

satu pelatihan manusia agar dapat merasakan kehadiran Allah di dalam kehidupan

ini. Mengamalkan tasawuf juga menjadi salah satu pengembangan dan

membentuk kepribadian Muslim agar memiliki keyakinan dan akidah yang lurus,

memiliki sikap peduli terhadap problematika yang sering dihadapi kaum Muslim

belakangan ini, serta dapat terjun langsung membantu menyelesaikan

permasalahan yang ada.8

Jadi dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis

kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak

mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidakjelasan atas

makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Maka lewat spiritualitas

7 Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012), h. 11.

8 Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global Upaya Membangun

Karakter Muslim, (Jakarta: Trans Pustaka, 2012), h. 177-178.

Page 20: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

6

Islam, ladang kering jadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta

mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah tujuannya.

Terdapat banyak tokoh ulama yang telah memberikan gambaran dan

penjelasan mengenai ajaran tasawuf, namun pada kesempatan ini penulis

membatasi hanya mengkaji konsep tasawuf menurut Syekh Nawawi al-Bantani.

Ada beberapa alasan mengapa saya tertarik mengangkat tokoh ini. Pertama, dia

adalah maha guru yang telah melahirkan tokoh-tokoh pembesar Islam khususnya

di tanah Jawa seperti K.H. Hasyim „Asy‟ari, K.H. Khalil, K.H Asnawi dan masih

banyak lagi. Kedua, Syekh Nawawi adalah tokoh dari tanah Jawa yang sangat

produktif dalam menghasilkan karya-karya di bidang keilmuan Islam dan juga

mudah dipahami oleh masyarakat umum. Ketiga, isi dari pemikiran Syekh

Nawawi khususnya dalam bidang tasawuf yang sangat relevan sehingga menjadi

salah satu solusi untuk menjawab segala permasalahan di atas.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, guna menjawab segala

pelik permasalahan-permasalahan tersebut maka penulis mengangkatnya dalam

satu pembahasan skripsi dengan judul: “ Praktik Tasawuf Syekh Nawawi al-

Bantani”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, penulis memberikan batasan pada

pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani yakni terkait corak dan karakteristik

tasawufnya, karena Syekh Nawawi al-Bantani adalah seorang pemikir Islam dari

Banten yang sangat dikenal dengan keistiqomahannya dalam mempertahankan

dan melestarikan pemikiran para tokoh pendahulunya.

Page 21: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

7

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yakni:

a. Bagaimana praktik tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani ?

b. Bagaimana corak dan karakteristik tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani ?

c. Apa relevansi pemikiran-pemikiran Syekh Nawawi dengan zaman modern

ini ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

a. Untuk mengetahui lebih mendalam tentang pemikiran dan riwayat hidup

Syekh Nawawi al-Bantani khususnya dalam pemikiran tasawuf, corak

pemikiran, praktik, serta relevansi pemikirannya dengan zaman modern

ini.

b. Untuk mendapatkan gelar kesarjanaan Strata Satu (S1) di Jurusan Aqidah

Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Diharapkan mampu memberikan wawasan, informasi dan pengetahuan

kepada mahasiswa dalam khazanah keilmuan khususnya mengenai konsep

tasawuf yang diajarkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani.

b. Sebagai salah satu tambahan referensi dalam bidang keilmuan atau juga

bisa dijadikan bahan kajian untuk dianalisis lebih mendalam lagi.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian dalam bidang tasawuf bukanlah hal yang baru. Untuk

mengembangkan dan memfokuskan skripsi ini penulis melakukan tinjauan

Page 22: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

8

pustaka dari beberapa karya ilmiah. Dalam bidang akademis, ditemukan karya

ilmiah yang secara khusus mengkaji karya dan pemikiran Syekh Nawawi baik

dalam bentuk makalah, laporan penelitian, skripsi, tesis, maupun disertasi dari

berbagai sisi dan perspektif, mulai dari pemikiran teologis, fiqih, pendidikan,

hingga mengenai pengaruh Syekh Nawawi dalam pembelajaran pesantren.

Beberapa karya ilmiah yang penulis temukan yang memiliki keterkaitan yang erat

dalam pembahasan tema skripsi ini yaitu:

Dalam karya ilmiah Sri Mulyati menulis tesis yang berjudul Sufism in

Indonesia: An Analysis of Nawawi al-Banteni‟s Salâlim al-Fudalâ di McGill

University pada tahun 1992 mengenai ajaran-ajaran sufisme Syekh Nawawi

dalam kitab Salâlim al-Fudalâ. Sri Mulyati menjelaskan konstribusi Syekh

Nawawi dan kecenderungannya dalam esoterisme Islam. Selain itu, perbedaan

mendasar lain dengan karya ilmiah ini yaitu, dalam karya ilmiah Sri Mulyati

hanya menganalisis tasawuf Syekh Nawawi dari satu karya tasawufnya saja yaitu

Salâlim al-Fudalâ. Sedangkan dalam karya ilmiah ini akan dibahas tasawuf Syekh

Nawawi dari tiga karya tasawufnya yakni Salâlim al-Fudalâ, Nasâ‟ih al-„Ibâd

dan Qâmi‟ al-Tughyân.

Penelitian yang dilakukan oleh Rifya Mahmudin pada tahun 2015 Fakultas

Adab dan Humaniora Jurusan Tarjamah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan

bentuk skripsi berjudul Metode Penerjemahan Fuad Kauma Terhadap Kitab

Nasâ‟ih al-‘Ibâd Karya Syekh Nawawi al-Bantani. Penelitian ini lebih

menekankan untuk mengetahui bagaimana metode yang digunakan penerjemah

dalam menerjemahkan kitab Nasâ‟ih al-„Ibâd, melalui analisis diketahui bahwa

Page 23: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

9

hasil terjemahan yang diteliti adalah menggunakan terjemahan harfiyah

(terjemahan yang setia terhadap sumber).

Penelitian yang dilakukan oleh Setya Pambudi pada tahun 2013 Fakultas

Tarbiyah dan Keguruan Program Studi Pendidikan Agama Islam IAIN Surakarta

dengan skripsi berjudul Konsep Pendidikan Akhlak dalam Kitab Nasâ‟ih al-„Ibâd

Karya Imam Nawawi al-Bantani. Penelitian ini mengarah untuk mengetahui

konsep pendidikan akhlak pada murid terhadap guru pada kitab Nasâ‟ih al-„Ibâd

karya Imam Nawawi al-Bantani, penelitian ini menunjukkan bahwa konsep

pendidikan akhlak terhadap guru dalam kitab Nasâ‟ih al-„Ibâd ditinjau dari 3

(tiga) aspek yaitu : 1. Ruang Lingkup pendidikan akhlak terhadap guru 2. Metode

yang digunakan adalah keteladanan 3. Tujuan pendidikan akhlak pada guru.

Dari hasil penelitian di atas yang penulis temukan hanya sedikit yang

secara komprehensif menjelaskan tentang konsep tasawuf Syekh Nawawi al-

Bantani. Maka dari itu, dari karya-karya tasawufnya penulis akan menganalisis

lebih kritis lagi untuk menemukan praktik tasawuf dari Syekh Nawawi al-Bantani

ini.

E. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah kajian pustaka yaitu

dengan mencari sumber-sumber referensi atau data-data kepustakaan baik itu

primer maupun sekunder.

Sumber primer dalam penulisan skripsi ini adalah karya-karya Syekh

Nawawi al-Bantani itu sendiri, yaitu Nasâ‟ih al-„Ibâd, Salâlim al-Fudalâ dan

Qami‟ al-Tughyân.

Page 24: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

10

Sumber sekundernya adalah buku-buku lain seperti Kunci Memahami Ilmu

Tasawuf oleh Dr. Mustafa Zahri yang diterbitkan oleh PT Bina Ilmu Tahun 1976,

Ilmu Tasawuf oleh Drs. Samsul Munir Amin yang diterbitkan oleh Amzah Tahun

2012, skripsi, jurnal atau makalah yang berkaitan dengan tema yang dibahas oleh

penulis mengenai konsep tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani.

Panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Akademik Tahun

2013/2014 Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan

oleh Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun pedoman transliterasi yang penulis

gunakan dalam penulisan skripsi ini mengacu pada buku yang sama yaitu

Pedoman Akademik Tahun 2013/2014 Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

F. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah analisa materi dalam penulisan skripsi ini, maka

penulis menggambarkannya dalam sistematika sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan, yaitu signifikasi tema yang meliputi latar belakang masalah,

batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II: Pada bab ini penulis membahas gambaran umum mengenai konsep

tasawuf dengan sub-bab antara lain pengertian dan tujuan tasawuf, sejarah dan

sumber tasawuf, aliran-aliran tasawuf, maqâmât dan ahwâl.

Bab III: Pada bab ini merupakan sebuah upaya mengenal biografi tokoh. Hal ini

dilakukan sebagai satu upaya penelusuran atas latar belakang keluarga,

Page 25: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

11

pendidikan dan hubungannya dengan proses keilmuan atau dalam penulisan

karyanya. Mengetahui gambaran umum dari pemikiran-pemikiran yang dimiliki

oleh Syekh Nawawi al-Bantani. Sejarah kehidupan dan karya-karya Syekh

Nawawi al-Bantani.

Bab IV: Pada bab ini penulis membahas praktik dari tasawuf Syekh Nawawi al-

Bantani dengan sub-bab antara lain praktik tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani,

corak dan karakteristik dari pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani dan relevansi

pemikiran-pemikirannya dengan zaman modern.

Bab V: Pada bab ini akan diberikan sebuah kesimpulan akhir sebagai jawaban

dari rumusan masalah yang diajukan dalam skripsi ini dan disertakan pula saran-

saran sebagai masukan lebih lanjut setelah dilakukan penelitian.

Page 26: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

12

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG TASAWUF

a. Pengertian dan Tujuan Tasawuf

Tasawuf merupakan ilmu yang mengajak manusia untuk hidup berakhlak

dengan akhlak Tuhan, tidak terlena dengan kenikmatan dunia yang sesaat dan

harus selalu berintrospeksi diri serta berusaha untuk dekat dengan Allah.

Sederhananya, tasawuf ini hadir untuk membantu mengarahkan manusia untuk

dapat berakhlak mulia dan agar selalu berada di dalam garis yang sudah

ditentukan-Nya.1

Secara etimologi kata “Tasawuf” berasal dari kata “ahl al-Suffah” ( اهم

yang berarti sekelompok orang yang tidak memiliki apapun, yang hidupnya (انصفت

hanya mengandalkan sedekah dari kaum Muslim. Mereka tinggal di serambi

masjid di Madinah yang mana mereka ikut berhijrah bersama Nabi dari Makkah

ke Madinah. Di masjid Nabi ini mereka tinggal di atas bangku dengan berbantal

pelana yang disebut dengan Suffah.2

Ada yang berpendapat lain bahwa tasawuf berasal dari kata “saff” yang

berarti “barisan ketika shalat”. Alasannya, karena shalat adalah pangkal atau tiang

agama ( اداندينانصالةعم ), selain itu orang yang memiliki iman yang kuat atau murni

kebatinannya pasti memilih barisan yang paling terdepan dalam shalat, agar hati

mereka benar-benar dekat dengan Allah. 3

1 Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 6-7.

2 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1973),

h. 57. 3 Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 3.

Page 27: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

13

Kemudian, ada juga yang mengartikan bahwa tasawuf berasal dari kata

“sûf” yang berarti “bulu domba” atau “kain yang terbuat dari bulu yaitu wol”.

Pada waktu itu, pakaian yang terbuat dari kain wol adalah salah satu simbol dari

kesederhanaan dan kemiskinan. Selain dari pada itu, dengan menggunakan

pakaian yang berbahan kain wol ini sebagai bukti penafian kaum sufi terhadap

duniawi serta menjadi langkah untuk bersikap tawadhu.4 Dalam satu riwayat

dikatakan dari Ibn Qutaibah meriwayatkan bahwa, pakaian yang terbuat dari bulu

itu adalah pakaian kaum fakir, orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang

berdosa.5

Dari manapun kata tasawuf itu berasal, dari bahasa Arab atau Yunani, dari

semua pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, tasawuf adalah suatu

upaya yang mengajak manusia untuk selalu dekat dengan Tuhannya, selalu

menjaga hatinya, memurnikan batinnya, menahan agar tidak tergoda dengan

keduniawian yang bersifat semu, rela berkorban dalam hal kebaikan dan selalu

bersikap bijaksana. Setelah mengetahui pengertian tasawuf secara etimologi, di

bawah ini penulis akan menjelaskan beberapa pendapat dari sufi terkemuka

tentang tasawuf secara terminologi.

Menurut Ma‟ruf Al-Karhi, tasawuf menekankan hal-hal yang hakiki dan

mengabaikan segala apa yang ada pada makhluk. Barang siapa yang belum

bersungguh-sungguh dengan kefakiran, berarti belum bersungguh-sungguh dalam

bertasawuf.6

4 Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, h. 4-5.

5 Ahmad Daudy, Kuliah Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), h. 20.

6 Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 6.

Page 28: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

14

Menurut Abul Hasan Nuri:

نيس انتصىف رسما وال عهما ونكنه أخالق

Artinya: Tasawuf tidak terdiri atas praktik-praktik dan ilmu-ilmu, tapi ia

adalah moral/akhlak.

Abu Hasan Nuri menegaskan kembali bahwa, Tasawuf tidak bisa hanya

dikatakan terdiri dari praktik-praktik saja karena jika tasawuf terdiri dari itu saja ia

bisa didapatkan hanya melalui usaha semata, dan jika ia terdiri atas ilmu-ilmu

maka ia dapat diperoleh dengan pembelajaran saja. Menurutnya, tasawuf adalah

akhlak yang tidak dapat diperoleh dengan hanya pelajaran dan praktik formalitas

yang tidak memiliki realitas, akan tetapi akhlak menuntut tindakan-tindakan

terpuji yang bentuknya selaras dengan ruhnya, sehingga merefleksikan akhlak

Tuhan.7

Syekh Muhammad Hisyam Kabbani memberikan penjelasan mengenai

tasawuf, dalam penjelasannya banyak menyerupai pendapat dari Imam Junaid al-

Baghdâdi yang menekankan pada penyucian hati, menjauhi dari segala bentuk

penyakit hati seperti dengki, riya, ingin dipuji, sombong, angkuh, tamak, kikir dan

menghormati yang kaya dan menyingkirkan yang fakir. Karena tasawuf

menurutnya mengajarkan seseorang untuk melihat pada dirinya sendiri atau selalu

berintropeksi dan memperbaiki diri dengan tuntunan Nabi dan pedoman al-

Qur‟an, serta menghiasi diri dengan sifat-sifat yang dicontohkan oleh Nabi

Muhammad seperti jujur,amanah, hidup sederhana, konsisten dalam ketaatan,

7 Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, terj. Suwarjo Muthary dan Abdul Hadi (Bandung: Mizan

Pustaka, 1992), h. 51.

Page 29: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

15

selalu bertaubat serta jalan-jalan lain menuju Allah yang akan dijelaskan oleh

penulis pada pembahasan selanjutnya.8

Adapun tujuan terpenting yang ingin dicapai dari tasawuf ini adalah agar

sedekat mungkin dengan Allah. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa

salah satu yang menjadi akhir dari perjalanan seorang sufi adalah mengenal Tuhan

dengan jalan yang sesuai tuntunan yang sudah dijelaskan dari al-Qur‟an dan hadits

Nabi. Oleh karena itu, tidak ada tujuan lain bagi seorang sufi selain mendekatkan

diri kepada Allah melalui târiqah atau jalan-jalan menuju Allah dalam tasawuf

untuk mencapai ma‟rifatullah dengan sebenar-benarnya dan tersingkapnya hijab

atau dinding yang membatasi diri dengan Allah.

Secara terperinci terdapat tiga tujuan yang ingin dicapai dari tasawuf yaitu:

1. Pembinaan moral

2. Mencapai ma‟rifatullah

3. Pengkajian garis hubungan dengan Tuhan.9

Selain itu, ada tujuan yang pasti menjadi tujuan semua manusia di bumi

yaitu menjadi manusia yang sempurna atau dalam tasawuf dikenal dengan insân

kâmil. Meskipun ada sajak Arab yang mengatakan bahwa al-insân makân al-khata

wa al-nisyân (manusia tidak akan pernah luput dari lupa dan kesalahan) akan

tetapi jika manusia mau berusaha untuk mengenal dirinya sendiri dan berakhlak

dengan akhlak Tuhan serta mengikuti Sunnah Nabi maka ia akan memperoleh

derajat yang mulia di sisi-Nya.

8 Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, h. 10-11.

9 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo: Amzah,

2005), h. 257-258.

Page 30: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

16

b. Sejarah dan Sumber Tasawuf

Tasawuf secara umum merupakan ilmu yang dipelajari dan dipraktikkan

oleh setiap agama tidak hanya dalam Islam. Tasawuf bahkan hadir di tengah

masyarakat Yunani seperti istilah asketis atau di dalam tasawuf dikenal dengan

zuhud. Bahkan ada beberapa pendapat mengatakan bahwa tasawuf terpengaruh

dari ajaran-ajaran di luar Islam seperti Hindu, Budha dan Kristen.10

Secara umum, banyak teori yang mengatakan bahwa tasawuf lahir atas

pengaruh dari luar Islam. Harun Nasution menjelaskan dalam bukunya Falsafah

dan Mistisisme dalam Islam bahwa tasawuf lahir atas beberapa pengaruh dari luar

yakni:

1. Kristen, dengan paham asketicnya (menjauhi dunia dan hidup

mengasingkan diri dalam biara-biara).

2. Falsafat mistik Phytagoras, yang berpendapat bahwa roh manusia

bersifat kekal. Selama roh itu terpenjara dalam jasmani, keharusan

manusia yaitu untuk melakukan penyucian diri dan bersikap tidak

terikat dengan hal keduniawian.

3. Hindu, dengan menekankan manusia untuk menjauhi dunia dan

mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dan Brahman.

4. Budha, dengan paham Nirwananya yang mengajarkan untuk hidup

berkontemplasi agar dapat mencapai derajat fana‟.

5. Falsafat emanasi Plotinus, yang berpendapat bahwa seluruh wujud

yang dapat terindra merupakan pancaran dari Tuhan yang Maha Esa.

10

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 43-45.

Page 31: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

17

Roh yang berada di dalamnya merupakan berasal dari-Nya. Roh

menjadi kotor ketika masuk ke alam materi. Agar dapat kembali ke

asal pemiliknya yang Maha Suci, maka roh haruslah dibersihkan

dengan penyucian diri dan meninggalkan hal-hal yang merusak diri

dan bersifat duniawi.11

Dari pengaruh ajaran-ajaran di atas, terdapat kesamaan di dalamnya yang

menjadi poin utama di setiap ajaran. Kesamaan itu ialah perintah untuk hidup

tidak terikat dengan hal keduniawian dan melakukan penyucian diri. Akan tetapi,

semua ini sebatas hipotesa paham dari luar yang mempengaruhi munculnya

tasawuf, bagaimanapun juga tanpa adanya pengaruh-pengaruh dari luar, tasawuf

bisa lahir dari dan bernafaskan Islam.

Tasawuf yang merupakan refleksi dari peradaban Islam baik dari zaman

dahulu sampai sekarang dalam hal mental maupun spiritual tidak luput dari

serangan kaum orientalis. Mereka berpendapat bahwa tasawuf lahir dari kompilasi

sumber-sumber di luar Islam seperti Kristen, India maupun yang lain. Sebenarnya,

tasawuf tumbuh dan berkembang sendiri dari ajaran-ajaran Islam yang dibawa

oleh Nabi Muhammad Saw. Dr. Ahmad Amin berpendapat secara jelas dan

terpecaya bahwa tasawuf lahir dari rahim Islam, dan rukun tasawuf dimulai

dengan proses kezuhudan pada awal kelahirannya yang kemudian akan

menumbuhkan sikap kecintaan kepada Allah. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur‟an

yang mengandung perintah mengenai tasawuf seperti keharusan zuhud, dzikir,

11

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 44-45.

Page 32: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

18

wara‟ dan lain sebagainya sebagai petunjuk dan tuntunan umat Islam dan

dijelaskan kembali oleh sunnah-sunnah Nabi.12

Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dari kelahiran tasawuf ini.

Pada abad ke-5 H, Imam al-Ghazâli tampil menentang jenis-jenis tasawuf yang

dianggapnya tidak sesuai dengan al-Qur‟an dan Sunnah dalam sebuah upaya

mengembalikan tasawuf kepada status semula sebagai jalan hidup zuhud,

pendidikan jiwa dan pembentukan moral.13

Sebagian kaum sufi dari kalangan

Islam yang lain juga menolak bahwa ajaran atau isi dari tasawuf ini merupakan

adopsi dari pendapat-pendapat paganistik Yunani, atau filsafat-filsafat Hindu-

Budha dan taqlid pada kaum Kristen. Ajaran atau isi dari tasawuf ini memiliki

landasan yaitu al-Qur‟an dan Hadits Nabi. Tasawuf ini merupakan representasi

dari al-Qur‟an dan Hadits yang diperuntukkan untuk manusia untuk hidup lebih

baik dan lebih dekat dengan Tuhannya. Jadi, tasawuf merupakan refleksi dari

ajaran al-Qur‟an dan Hadits yang di dalamnya tercantum berbagai perintah untuk

bertasawuf seperti zuhud, wara‟, taubat dan sebagainya.14

Al-Qur‟an yang merupakan pedoman utama bagi umat Islam menjadi

salah satu sumber tasawuf dalam Islam. Meskipun secara langsung kata sufi tidak

terdapat dalam al-Qur‟an akan tetapi apabila lebih diteliti dan dipahami secara

seksama pada ayat al-Qur‟an, maka banyak sekali ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadits

yang berfungsi sebagai sumber tasawuf. Sebagaimana sudah sedikit disinggung di

atas, meskipun ada yang berpendapat bahwa tasawuf terpengaruh dari ajaran-

12

Dr. Muhammah Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011), h. 21. 13

Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok: Pustaka IIMaN, 2009), h. 49. 14

Dr. Muhammah Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak, h. 24.

Page 33: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

19

ajaran luar akan tetapi pada dasarnya Islam sendiri memiliki pedoman dan

tuntunan yang jelas dan pasti dari Allah dan Nabi Muhammad.

Selain itu, ada sumber lain dalam Islam yang menjadi penyebab

tumbuhnya tasawuf, yaitu berasal dari perilaku Salaf al-Sâlih yakni sahabat-

sahabat Nabi, para tabiin, dan orang-orang sesudah itu. Dengan berperilaku

senantiasa menjalankan kewajiban dalam beribadah, mendekatkan diri kepada

Allah dan berpaling atau tidak terikat dengan hal-hal keduniawian baik dari

kemewahan, kesenangan dan gemerlap dunia.15

Jadi semuanya terlihat jelas bahwa tumbuhnya tasawuf bersumber dari

ajaran al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad. Dengan membaca ayat-ayat al-

Qur‟an dan memahami maksudnya serta mencontoh kehidupan dan perilaku Nabi

bersama para Sahabat, menjadi salah satu sumber kuat tasawuf yang dijadikan

pedoman hidup umat Muslim.

c. Aliran-Aliran dalam Tasawuf

1. Tasawuf Akhlaqi

Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak,

mencari hakikat kebenaran dan mewujudkan manusia yang dapat makrifat kepada

Allah, dengan metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf akhlaki biasa juga

disebut dengan istilah tasawuf Sunni. Tasawuf model ini berusaha untuk

mewujudkan akhlak mulia dalam diri sufi, sekaligus menghindarkan diri dari

akhlak mazmûmah (tercela).16

Tasawuf akhlaki/ tasawuf sunni yang

15

Moh Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern. h,

19-20. 16

Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), h. 31.

Page 34: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

20

dikembangkan para sufi pada abad ke-3 dan ke-4 H yang disusul al-Ghazâli dan

para pengikutnya dari syekh-syekh tarekat, yaitu tasawuf yang berwawasan moral

praktis dan bersandarkan pada al-Qur‟an dan Sunnah.17

Adapun ciri dari tasawuf sunni antara lain:

1. Berlandaskan pada al-Qur‟an dan Sunnah

2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat

pada ungkapan-ungkapan syathahat

3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan

manusia

4. Kesinambungan antara haqîqah dengan syari‟ah

5. Lebih terkosentrasi pada soal pembinaan, pendidikan akhlak dan

pengobatan jiwa dengan cara riyâdah dan langkah takhali, tahalli dan

tajalli.18

Adapun tokoh-tokoh yang bercorak pemikiran dalam aliran tasawuf

akhlaki ini di antaranya yaitu, Hasan Basri, al-Muhasibi, Abu Hamid al-Ghazâli,

Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Ibn „Athaillah as-Sakandari, dan Imam al-Qusyairi.19

2. Tasawuf Falsafi

Sesuai dengan namanya, dalam tasawuf falsafi ini mulai memadukan visi

mistis dengan visi rasional atau tasawuf dengan filsafat. Berbeda dengan tasawuf

17

Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia,( Depok: Pustaka Iman, 2009), h. 51. 18

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo: Amzah,

2005), h. 265. 19

Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, h. 32.

Page 35: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

21

akhlaki yang tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat, dalam tasawuf

falsafi terminologi filsafat digunakan dalam pengungkapannya.

Secara umum, tasawuf falsafi ini adalah jenis tasawuf yang

mengkolaborasikan antara tasawuf dengan filsafat atau suatu bentuk tasawuf yang

memasukkan ke dalam ajarannya unsur-unsur falsafah dari luar Islam. Seperti

pemikiran Yunani, Persia, India, dan Kristen serta mengungkapkan ajaran-ajaran

yang ada di dalam tasawuf dengan istilah-istilah filsafat yang sulit untuk dipahami

secara umum.20

At-Taftazani berpendapat bahwa tasawuf falsafi tidak dapat

dikategorikan sebagai tasawuf murni atau tasawuf yang sesungguhnya karena

dominasi dari kandungan filsafat pada setiap terminologi tasawuf falsafi, selain itu

karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa (dzauq).21

Contohnya pada

pemikiran tasawuf Ibnu „arabi yang banyak terpengaruh filsafat Plato dan Plotinus

seperti wujud, alam semesta atau makrifat.22

Adapun tokoh-tokoh penting yang termasuk kelompok sufi falsafi antara

lain al-Hallaj (244-309 H/ 858-922 M), Ibn Arabi (560 H.-638 H.), al-Jili (767 H.-

805 H.), Ibn Sab‟in (lahir tahun 614 H) dan Suhrawardi.23

Sedangkan tokoh-tokoh

sufi falsafi di Nusantara adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan

Ronggowarsito di Jawa.24

20

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, h. 263. 21

Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, h. 70. 22

Ibrahim Hilal, Tasawuf antara Agama dan Filsafat, terjemah.Ija Suntana dan & Edi

Kusdian, (Bandung, Pustaka Hidayah; 2002), h. 144. 23

Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, h. 71. 24

Alwi Shihab, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok: Pustaka Iman, 2009), h. 58.

Page 36: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

22

3. Tasawuf Irfani

Tasawuf „irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat

kebenaran atau makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika atau

pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah). Ilmu

itu diperoleh karena seorang sufi berupaya melakukan tasfiyat al-qalb. Dengan

hati yang suci seseorang dapat berdialog secara batin dengan Tuhan, sehingga

pengetahuan atau makrifat dimasukkan Allah ke dalam hatinya, hakikat kebenaran

tersingkap lewat ilham (intuisi).25

Murtadha Muthahari berpendapat bahwa, „irfan sebagai sebuah ilmu

memiliki dua aspek yaitu praktis dan teoritis. Aspek praktis „irfan adalah bagian

yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya,

dunia dan Tuhan. Irfan praktis ini disebut pula al-Sair wa al-Suluk. Bagian ini

menjelaskan bagaimana seorang sâlik mengawali perjalanan, menempuh maqâmât

secara sistematis, dan keadaan jiwa yang akan dialaminya sepanjang perjalanan

tersebut. Sedangkan „irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah

wujud secara ontologis, mendiskusikan manusia, Tuhan serta alam semesta.

Dengan demikian, „irfan ini menyerupai teosofi (falsafah Ilahi) yang juga

memberikan penjelasan wujud. Seperti halnya filsafat, „irfan juga mendefinisikan

berbagai prinsip dan problemnya. Hanya saja kalau filsafat mendasarkan

argumentasinya pada prinsip-prinsip rasional, „irfan mendasarkan diri pada

25

Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, h. 92.

Page 37: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

23

ketersingkapan mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa rasional

untuk menjelaskannya.26

Tokoh-tokoh yang mengembangkan tasawuf „irfani antara lain: Rabiah al-

Adawiyah (96 H. – 185 H.), Dzunnun al-Misri (180 H.-246 H.), Imam Junaid al-

Baghdâdi (W. 297 H.), Abu Yazid al-Bustâmi (200 H.-261 H, al-Hallâj (244 H-

309 H).27

d. Maqâmât dan Ahwâl

Seorang sufi dalam perjalanan spiritualnya untuk mencapai derajat yang

paling tinggi atau paling dekat dengan Tuhan harus melewati maqâmât dan ahwâl.

“Maqâmât” yang merupakan bentuk jamak dari kata “maqâm” berarti “sebuah

tingkatan perjalanan spiritual yang diusahakan oleh seorang sufi”. Sementara itu,

“ahwâl” yang merupakan bentuk jamak dari kata “hâl” berarti “suatu keadaan

mental yang dialami oleh sufi di dalam perjalanan spiritualnya” dan hâl ini

merupakan sebuah anugerah atau pemberian dari Tuhan yang tidak didapatkan

melalui usaha seorang sufi. Meskipun keduanya sama-sama dicapai dan dialami

dalam perjalanan spiritual menuju Tuhan, akan tetapi secara mendasar keduanya

memiliki perbedaan khusus di dalam meraih keduanya.28

Seyyed Hossein Nasr mengibaratkan maqâm sebagai dataran tinggi yang

dapat dicapai seseorang dalam pendakian gunung, dan di dalam pendakiannya

terdapat tempat-tempat peristirahatan untuk mempersiapkan diri ke tahap

26

Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat, h. 92-93. 27

Moh Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern, h.

181-193. 28

Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 179-

180.

Page 38: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

24

selanjutnya sampai akhirnya mencapai puncak. Tercapainya sebuah kedudukan

menyiratkan tingkat pencapaian spiritual yang tinggi, karena pada hakikatnya

perjuangan untuk pindah dari satu maqâm ke maqâm selanjutnya membutuhkan

perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu

yang merupakan musuh terbesar dalam diri manusia dan juga menjadi kendala

terbesar dalam perjalanan menuju Tuhan.29

Selain dari cara memperoleh maqâm oleh seorang sufi, penting juga

diketahui bahwa pengalaman spiritual dari seorang sufi juga lah yang

mempengaruhi jumlah dari maqâmât beserta susunannya. Pengalaman subjektif

seorang sufi inilah yang menyebabkan deskripsi nama dan urutan maqâmât dari

seorang sufi berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini penulis

mengutip maqâmât dari tokoh termasyhur yakni al-Ghazâli yang memulai

maqâmâtnya dengan taubat dan mengakhirinya dengan rida. Berikut maqâmât

menurut al-Ghazâli:

a. Taubat

Menurut al-Ghazâli taubat adalah suatu pengertian yang tersusun dari

tiga hal yaitu ilmu, keadaan, dan perbuatan. Jadi dengan ilmu maka

seseorang mengetahui batasan-batasan dari Tuhan untuk tidak dilanggar

sehingga dari pengetahuan ini akan muncul suatu keadaan di dalam hati,

yaitu merasa pedih karena takut kehilangan. Dengan memiliki perasaan

ini, seseorang akan selalu bertaubat dan memperbaiki diri dari kesalahan

yang lalu. Maka dari itu, jelaslah bahwa taubat adalah meninggalkan dosa

29

Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, h. 43-44.

Page 39: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

25

sekarang dan berketetapan hati untuk tidak mengulangnya, serta menyesali

kesalahan yang telah lalu.30

Menurut Mulyadi Kartanegara yang mengutip pendapat al-Ghazâli

mengatakan bahwa, inti taubat adalah menyesali perbuatan dosa yang

dilakukan di masa lalu dan akibatnya terhalanginya ia dari segala rahmat

dan kasih sayang Tuhan karena dosa tersebut, kemudian bertekad untuk

menghentikan seluruh dosa tersebut agar terjalin kembali hubungan

dengan Tuhan.31

Jadi pada maqâm ini seorang sufi diwajibkan untuk

membersihkan diri terlebih dahulu dari segala bentuk dosa dan menahan

hawa nafsu tercela sebelum selanjutnya berpindah ke maqâm yang lebih

dekat dengan Tuhan.

b. Sabar

Al-Ghazâli membagi sabar dalam dua macam. Pertama yaitu sabar

yang berkaitan dengan fisik. Kesabaran seperti ini kadang dilakukan

dengan perbuatan, seperti melakukan pekerjaan yang berat berupa ibadah

atau lainnya. Terkadang juga berupa ketabahan, seperti sabar menahan

pukulan yang keras, penyakit yang parah atau luka-luka yang

menyakitkan. Hal ini menjadi terpuji jika dijalani sesuai dengan syariah.

Kedua, kesabaran yang terpuji dan sempurna, yakni kesabaran yang

berhubungan jiwa khususnya dalam melawan hawa nafsu yang merupakan

musuh terbesar dalam diri manusia.32

Kebanyakan sabar adalah keharusan

menahan diri dari syahwat dan terlepas dari pengaruhnya. Alasan yang

30

Al-Ghazâli, Mutiara Ihya‟ „Ulumuddin, (Jakarta: Mizan, 1997), h. 306. 31

Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 197-198. 32

Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 198.

Page 40: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

26

mengharuskan manusia bersabar adalah jika seseorang menuduh kita

berbuat kejahatan dengan perkataan atau perbuatan, karena sesungguhnya

di dalam keduanya terdapat kesempurnaan iman.33

c. Kefakiran

Kefakiran diartikan oleh al-Ghazâli dengan manusia yang

membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Manusia semuanya adalah

orang-orang fakir kepada Allah karena membutuhkan-Nya dalam

kelangsungan eksistensinya. Karena pada hakikatnya seluruh wujud selain

Allah adalah fakir atau tidak memiliki apa-apa dan mereka

menggantungkan seluruh kebutuhannya kepada Sang Maha Penolong.34

Akan tetapi meskipun dengan kefakiran yang sedang dialami atau

keberadaan dari harta yang dimiliki tidak mengubah kebahagiaan

seseorang. Jadi jika seorang sufi mendapatkan harta, ia tidak

menampakkan kebahagiaan yang berlebihan. Demikian juga kalau ia tidak

memilikinya tidaklah ia sedih dibuatnya.35

d. Zuhud

Pada maqâm ini merupakan tingkatan di mana seorang sufi

diperintahkan untuk tidak terikat pada hal-hal yang bersifat duniawi.

Bahkan ada beberapa Ulama yang berpendapat bahwa zuhud merupakan

tingkatan bagi sufi untuk meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi atau

meninggalkan segala kesenangan duniawi demi kebahagiaan abadi.

33

Al-Ghazâli, Mutiara Ihya‟ „Ulumuddin, h. 316. 34

Al-Ghazâli, Mutiara Ihya‟ „Ulumuddin, h. 334. 35

Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 198-199.

Page 41: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

27

Menurut al-Ghazâli hakikat zuhud adalah tidak menyukai sesuatu dan

menyerahkannya kepada yang lain, karena siapa saja yang meninggalkan

kelebihan dunia dan membencinya, lalu mencintai akhirat maka ia adalah

orang zuhud di dunia.36

Secara bahasa “zuhud” berarti “meninggalkan

sesuatu dan berpaling darinya tanpa kecenderungan dan keinginan

padanya”.37

Al-Ghazâli menyebutkan ada tiga tanda orang yang zuhud yaitu: 1)

tidak bergembira dengan yang ada atau bersedih dengan sesuatu yang

hilang 2) merespon sama rata terhadap pujian ataupun celaan 3) selalu

terikat hatinya dengan Allah dan mengkombinasikan lezatnya ketaatan dan

cinta Allah.38

e. Tawakal

Setelah seorang sufi melewati maqâm-maqâm yang membuat dirinya

lebih taat dan lebih dekat dengan Allah, maka pada tahap ini diperintahkan

kepada seorang sufi untuk bersikap menggantungkan dan menyerahkan

segalanya kepada Allah. Karena kita sadar bahwa Dialah yang Maha

Mengetahui mana yang baik dan buruk untuk hamba-Nya, sehingga

membuat hati kita lebih yakin dan percaya untuk lebih taat kepada-Nya.

Secara istilah tawakal ini berarti penyandaran hati kepada Allah

dengan mempercayai-Nya sepenuhnya, serta kesadaran hati untuk

melarikan diri dari pengawasan kekuatan dan sumber manapun. Karena

36

Al-Ghazali, Mutiara Ihya‟ „Ulumuddin, h. 339. 37

Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h.

49. 38

Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 199.

Page 42: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

28

jika seseorang sudah menyandarkan seluruhnya kepada Allah, maka bisa

menjadi satu latihan bagi kita untuk membangkitkan kegiatan

penghambaan kita dalam menjalankan segala perintah-Nya serta tidak

perlu khawatir dengan kebutuhan esok. Percayakan semuanya pada janji-

janji Allah dan bersikap dalam beribadah selayaknya akan menemui

kematian esok hari.39

Al-Ghazâli memperinci kembali tawakal ini ke dalam tiga tingkatan

yaitu:

1. Keadaan menyangkut hak Allah dan keyakinan kepada jaminan dan

perhatian-Nya.

2. Keadaan bersama Allah layaknya keadaan anak kecil bersama ibunya,

di mana ia tidak mengenal yang lainnya dan tidak bersandar kecuali

kepadanya.

3. Berada di hadapan Allah dalam semua gerak dan diamnya, seperti

mayat yang ada di tangan orang yang memandikannya.

Jadi yakin dan menyerahkan sepenuhnya terhadap semua kehendak

Allah, karena Dialah Sang Penggerak, yang Maha Mengetahui dan Pemilik

dari segalanya.40

Akan tetapi bukan berarti dalam tawakal seseorang tidak

dianjurkan untuk melakukan ikhtiar atau usaha, hanya saja fungsi dari

tawakal itu hanyalah pemusatan untuk menaruh harapan hanya kepada

Allah, berserah kepada kehendak-Nya tanpa menaruh ketergantungan

39

Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, h. 51-52. 40

Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, h. 200.

Page 43: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

29

kepada usaha dan ikhtiar karena jika mengandalkan usaha dan ikhtiar tak

ada nilainya sama sekali di mata Allah.

f. Makrifat

Secara sederhana ma‟rifat diartikan mengetahui Tuhan dari dekat,

sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Zunnun al-Misri, seseorang

yang dianggap sebagai bapak paham ma‟rifat, menjelaskan tiga macam

pengetahuan tentang Tuhan.

1. Pengetahuan orang umum yakni Tuhan satu dengan perantaraan

ucapan syahadat.

2. Pengetahuan Ulama yakni Tuhan satu menurut logika akal.

3. Pengetahuan sufi yakni Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari.41

Pengetahuan di atas tentang mengetahui Tuhan dari pengetahuan yang

pertama dan kedua belum merupakan pengetahuan hakiki tentang Tuhan,

keduanya sebatas ilmu. Pada pengetahuan yang ketigalah yang merupakan

pengetahuan yang hakiki, karena ma‟rifat hanya terdapat pada kaum sufi

yang mana bisa melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Jadi, ma‟rifat

bukanlah hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan

rahmat Tuhan. Ma‟rifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang

sanggup menerima setelah benar-benar dalam menjalankan maqâm-

maqâm sebelum ma‟rifat ini.

Menurut al-Ghazâli ma‟rifat adalah pengetahuan yang tidak menerima

keraguan lagi, jika yang dimaklumi adalah dzat Allah dan sifat-sifat-Nya.

41

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, h. 59-60.

Page 44: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

30

Bagi al-Ghazâli ma‟rifat melampaui ilmu. Jika ilmu bagaikan melihat api,

maka makrifat bagaikan menyentuh dan merasakan langsung api

tersebut.42

g. Mahabbah

Menurut al-Ghazâli mahabbah adalah kecenderungan jiwa padanya

karena keberadaannya sebagai suatu kelezatan padanya. Mahabbah atau

cinta ini merupakan salah satu hasil dari ketaatan seorang sufi dalam

perjalanan spiritualnya. Akan tetapi jika cinta yang tidak didasarkan atas

ilmu dan ketaatan dalam perintah atau sesuatu yang berkaitan dengan

Allah, maka itu adalah cinta yang dilakukan karena kebodohan dan kurang

mengenal dengan Allah.43

Menurut Harun Nasution, mahabbah adalah

mematuhi segala perintah-Nya, membenci dan menjauhi segala yang

dilarang-Nya, pasrah kepada-Nya dan mengosongkan hati dari segala-gala

kecuali dari diri yang selalu mencintai yaitu Allah.44

Menurut al-Hujwiri di dalam bukunya Kasful Mahjub menjelaskan

bahwa, cinta terbagi menjadi dua bagian yakni cinta Tuhan kepada

manusia dan cinta manusia kepada Tuhan. Adapun bentuk cinta Tuhan

kepada manusia yaitu memberikan seluruh nikmat-nikmat duniawi dan

pahala untuk di akhirat, membuatnya aman dari segala mara bahaya dan

melimpahkannya kedudukan mulia. Sedangkan cinta manusia kepada

Tuhan adalah meyakini dalam hati yang beriman bahwa tidak ada Tuhan

selain Allah, selalu mengingat-Nya dalam bentuk dzikir atau selalu taat

42

Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, h. 53. 43

Al-Ghazâli, Mutiara Ihya‟ „Ulumuddin, h. 366. 44

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 55.

Page 45: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

31

dalam segala perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya dan

yang terpenting adalah tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.45

h. Rida

Pada tingkatan perjalanan spiritual ini erat sekali hubungannya dengan

yang sebelumnya yakni mahabbah atau cinta, karena jika cinta itu sudah

tertanam di hati seorang sufi maka akan menimbulkan rasa rida atas semua

yang dikehendaki oleh Tuhan. Secara definisi ridha merupakan keadaan

tidak terguncangnya hati seseorang ketika menghadapi musibah dan

menerima semua ketetapan takdir Allah serta menyikapinya dengan tabah

meskipun derita dan nestapa yang ditimbulkan darinya.46

Sayyid Jurjani berpendapat sebagaimana dijelaskan dalam bukunya al-

Ta‟rifât bahwa rida adalah senangnya rasa hati ketika menerima takdir

yang buruk. Jadi pada maqâm ini, seseorang diukur dari seberapa jauh

seorang sufi bisa menerima semua takdir yang diberikan oleh Allah, dan

jika seseorang telah berhasil meraih kedudukan ridha ini maka hatinya

akan selalu tenang dan tentram dengan segala putusan takdir yang datang.

Jadi ridha ini merupakan tersingkapnya pengetahuan spiritualnya terhadap

Allah dan cinta yang tulus kepada-Nya.47

Sebagaimana Rasul pernah menjelaskan bahwa orang yang ridha

adalah orang yang paling kaya karena dialah orang yang paling gembira

dan tentram, terjauh dari perasaan susah, resah, marah dan menggerutu.

45

Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, h. 56. 46

Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, h. 57. 47

Syeikh Abdul Qadir Isa, Cetak Biru Tasawuf:Spiritualitas Ideal dalam Islam, h. 232.

Page 46: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

32

Karena pada hakikatnya kekayaan itu bukanlah orang yang memiliki

banyak harta akan tetapi kekayaan hakiki adalah kekayaan hati yang

dipenuhi dengan rida dan iman.

Sedangkan hâl secara garis besar merupakan suatu keadaan mental.

Seperti yang dikatakan Harun Nasution bahwa hâl adalah keadaan mental sepeti

perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, rendah hati, patuh, ikhlas dan

sebagainya.48

Selain itu, hâl diperoleh bukan atas usaha, keinginan atau undangan

seorang sufi akan tetapi hâl merupakan sebuah anugerah dan rahmat Allah yang

tidak terbatas yang diberikan oleh Tuhan kepada seorang sufi, dan hâl ini bersifat

sementara bagi seorang sufi dalam pendakian spiritualnya.

Untuk mendapatkan tingkatan hâl ini seorang sufi harus melakukan

serangkaian latihan mental seperti riyâdah, uzlah, murâqabah, dan maqâmât yang

sudah penulis jelaskan di atas sebagai salah satu latihan seorang sufi agar lebih

mendalami dari sifat-sifat yang diperintahkan dalam setiap maqâm.49

48

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 49. 49

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), h. 205.

Page 47: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

33

BAB III

MENGENAL LEBIH DEKAT SYEKH NAWAWI AL-BANTANI

A. Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani

Nama Syekh Nawawi al-Bantani sudah tidak asing lagi bagi umat Islam di

Indonesia, khususnya di Banten. Bahkan sering terdengar disejajarkan kebesarannya

dengan imam mazhab seperti Imam Syâfi‟i. Melalui karya-karyanya yang tersebar di

pesantren-pesantren di Indonesia yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama

Syekh Nawawi ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan

kesejukan dalam ajaran-ajaran Islam. Di kalangan komusitas pesantren, Syekh

Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama yang produktif dalam menghasilkan

karya tulis, tetapi juga dikenal dengan Maha Guru. Syekh Nawawi juga turut banyak

membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri organisasi keagamaan dan juga

pesantren-pesantren di Indonesia.

Syekh Nawawi memiliki nama lengkap Abu Abd al-Muti‟ Muhammad Ibn

Umar Ibn „Arabi al-Tanari al-Nawawi al-Bantani al-Jawi. Ia lebih masyhur dipanggil

dengan Syekh Nawawi al-Bantani karena di akhir namanya dinisbahkan kepada

kampung halamannya yakni Banten, sementara keluarganya menyebutnya dengan

sebutan Abu Abdul Mu‟thi. Syekh Nawawi lahir di Desa Tanara, Kecamatan

Tirtayasa, Kabupaten Serang, Provinsi Banten Indonesia pada tahun 1230 H/ 1813 M

dan meninggal di umur 84 tahun pada tahun 1314 H/ 1897 M di Makkah di mana

makamnya terletak bersebelahan dengan makamnya Khadijah Umm al-Mu‟minîn istri

Page 48: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

34

Nabi yang berada di Ma‟la. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam Jawa dan juga

sebagai salah satu penghormatan untuk mengenang jasa-jasanya, masyarakat Banten

memperingati hari wafatnya pada malam jum‟at dan sabtu pada akhir Syawal setiap

tahunnya di Tanara Banten.1 Syekh Nawawi wafat pada saat sedang menyusun

sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan kitab Minhâj al-Thâlibîn karya

Yahya ibn Sharf ibn Mura ibn Hasan ibn Husain.2

Syekh Nawawi hidup dalam lingkungan ulama. Ia adalah putra dari seorang

penghulu3 ternama di daerah Tanara yakni Umar bin Arabi dan Ibunya Zubaidah

yang merupakan penduduk asli Tanara yang sangat religius, perhatian dan penuh

kasih sayang.4 Dari segi nasab Syekh Nawawi masih keturunan Sultan Maulana

Hasanuddin, putra dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati dari

Cirebon) yang mana ia juga merupakan keturunan ke-12 dari Sultan Banten.

Nasabnya melalui jalur ini sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Ia adalah saudara

tertua dari lima bersaudara, yakni Ahmad Syihabuddin, Said Tamim Abdullah, dan

dua saudara perempuan yakni Syakila dan Syahriya. Semasa kecilnya Syekh Nawawi

mendapatkan pengajaran pertamanya dari ayahnya. Bersama dengan saudara-

saudaranya, mereka mempelajari ilmu bahasa Arab (nahwu dan sarf), fiqih dan

1 Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), h. 941.

2 A Rifai Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia atas Karya-Karya Klasik, (Bandung:

Mizan, 1987), h. 44. 3 Menurut Snouck Hurgronje, pada masa itu penghulu memliki banyak fungsi yakni sebagai

seorang qâdhi, mufti pengatur pernikahan, petugas zakat administrator dan nâdir atau imam masjid.

Akan tetapi fungsi penghulu mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan saat ini fungsinya hanya

sebatas pengatur pernikahan. 4 Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,

(Jakarta: Kencana, 2006), h. 110.

Page 49: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

35

tafsir.5 Dari lima bersaudara, hanya Syekh Nawawi yang meneruskan memperdalam

studi keulamaan. Sedangkan kedua saudara laki-lakinya Said Tamim Abdullah, lebih

suka menjadi agen jamaah haji dan Ahmad Syihabuddin mengikuti jejak ayahnya

sebagai penghulu. Sementara kedua saudara perempuannya lebih memilih menetap

belajar dan meneruskan estafet keluarga di kampung halamannya.6

Untuk lebih jelasnya mengenai silsilah dari Syekh Nawawi sebagaimana

ditulis oleh Rafiudin Ramli, berikut adalah urutan silsilah Syekh Nawawi dari garis

ayah yaitu; Syekh Nawawi bin Umar bin Arabi, bin Ali bin Jamad, bin Janta, bin

Masbuqil, bin Masqun, bin Maswi, bin Tajul Arsy (Pangeran Suryararas), bin

Maulana Hasanuddin, bin Ali Nuruddin, bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain, bin

Imam Sayid Ahmad Syah Jalal, bin Abdullah Malik, bin Sayyid Alwi, bin Sayyid

Muhammad Shahib Mitbath, bin Sayyid Ali Khali Qasim, bin Sayyid Alwi, bin Imam

„Ubaidillah, bin Imam Ahmad Muhajir Ilallahi, bin Imam Isa an-Naqib, bin Imam

Muhammad Naqib, bin Imam Muhammad al-Baqir, bin Imam Ali Zainal Abidin, bin

Sayyidina Husain, bin Sayyidatuna Fatimah az-Zahra, binti Muhammad Rasulullah

Saw. Sedangkan urutan silsilah Syekh Nawawi dari garis keturunan ibu yaitu Syekh

Nawawi bin Nyai Zubaidah, binti Muhammad Singaraja.7

5 Ustad Rizen Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh

Mereka,(Yogyakarta: Diva Press, 2016), h. 144. 6 Abdul Malik dkk, Jejak Ulama Banten, (Serang: Biro Humas dan Protokol Setda Banten,

2014), h. 10. 7 Rafi‟udin Ramli, Sejarah Hidup dan Silsilah Syekh Kyai Muhammad Nawawi Tanara,

(Banten: Yayasan Syekh Nawawi al-Bantani 1399 H), h. 13.

Page 50: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

36

Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah

dan tinggal di sana selama 3 tahun.8 Ia gunakan waktu tersebut untuk menuntut ilmu

kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadist, tafsir terutama fiqih. Guru-guru dari

Syekh Nawawi yang terkenal di Makkah ialah Sayyid Ahmad Nahrawi, Sayyid

Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, dan Muhammad Khatib al-Hambali. Dari

tokoh-tokoh inilah karakter Syekh Nawawi terbentuk dan sangat berpengaruh dalam

corak pemikirannya.9

Syekh Nawawi kembali ke Tanara Banten untuk membantu mengembangkan

pesantren ayahnya yang kini dikenal dengan Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara,

sekaligus mengamalkan ilmu pengetahuan yang sudah ia dapatkan. Tiga tahun

kemudian, ia kembali lagi ke Makkah karena situasi tanah air yang tidak

menguntungkan. Pada saat itu, Belanda dalam keadaan menjajah Indonesia serta

selalu mengawasi orang-orang yang berpengaruh dan dapat memobilisasi massa

untuk membangkitkan perjuangan. Maka dari sinilah, Syekh Nawawi selalu ditekan

dan dipojokkan oleh para tentara Belanda yang pada akhirnya Syekh Nawawi

memutuskan untuk kembali ke Makkah. Syekh Nawawi tidak pernah lagi kembali ke

tanah air sampai akhir hayatnya. Selama di Makkah, ia memulai karirnya untuk

mengajar dan mengarang dengan kecerdasan yang ia miliki dengan cepat ia mendapat

simpati dari murid-muridnya. Di antara murid-muridnya yang berasal dari Indonesia

adalah K.H. Khalil (Madura), K.H. Hasyim Asy‟ari (Jawa Timur), K.H. Asnawi

8 Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 354.

9 Ustad Rizen Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh Mereka,

h. 145.

Page 51: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

37

(Jawa Timur), K.H. Asy‟ari (Bawean), sedangkan yang berasal dari Jawa Barat

adalah K.H. Tubagus Muhammad Asnawi, K.H. Najihun, K.H. Ilyas, K.H. Abdul

Ghafar dan K.H. Tubagus Bakri.10

Syekh Nawawi memiliki dua orang istri keturunan Arab yang bernama

Nasimah dan Hamdanah. Dari istri yang pertama, Syekh Nawawi memperoleh tiga

orang anak perempuan yaitu Maryam, Nafisah dan Ruqayyah. Sementara dari

Hamdanah, Syekh Nawawi memperoleh seorang anak perempuan bernama Zahra.11

B. Latar Belakang Intelektual Syekh Nawawi al-Bantani

Syekh Nawawi merupakan salah satu tokoh ternama di Nusantara yang telah

menghasilkan berbagai karya tulis di berbagai bidang keilmuan Islam, dan karyanya

telah menjadi rujukan atau pedoman dalam pendidikan pesantren-pesantren di

Indonesia. Jika ditengok ke belakang dari segi pendidikannya, Syekh Nawawi

mendapatkan pendidikan pertamanya dari ayahnya. Ia mulai mengajarkan Syekh

Nawawi ilmu kalam, nahwu, tafsir dan fiqih.12

Setelah mendapat bimbingan langsung

dari ayahnya, ia kemudian berguru kepada Kiyai Sahal, Banten dan kemudian

mengaji kepada Kiyai Yusuf, Purwakarta.13

Pada usia mudanya, Syekh Nawawi bersama para saudaranya menunaikan

ibadah haji. Namun setelah menunaikan ibadah haji, hanya Syekh Nawawi yang tidak

10

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993), h. 841. 11

Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 942. 12

Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,

h. 110. 13

Ustad Rizen Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh Mereka,

h. 144.

Page 52: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

38

kembali ke tanah air dan tinggal di tanah suci selama kurang lebih tiga tahun. Ini

merupakan langkah awal dari Syekh Nawawi dalam pengembangan intelektual

keislamannya di tanah suci Makkah. Sampai sekitar tahun 1833, Syekh Nawawi

pulang ke tanah air setelah menguasai berbagai keilmuan Islam.14

Melihat Syekh Nawawi sebagai sosok „alim dan simpatik, banyak para

pemuda di lingkungannya tertarik untuk belajar kepadanya. Namun keberadaannya di

Banten tidak lah lama. Ada beberapa faktor yang menjadikan Syekh Nawawi tidak

merasa nyaman berada di lingkungannya sendiri dan memutuskan untuk kembali

menetap di tanah suci tahun 1855. Pertama, menurut C. Brockelmann, Syekh

Nawawi merasa bahwa tinggal di Haramain lebih menjanjikan, dan benar-benar

menjadi obsesi bagi banyak Muslim Jawa untuk tinggal sampai mengakhiri hidupnya

di sana. Karena pada abad XIX di Jawa, kota Makkah dan Madinah telah menjadi

pusat kaum Muslim dunia. Ka‟bah telah menjadi kiblat yang sesungguhnya dan

benar-benar dipandang sebagai rantai penghubung antara Allah dan makhluk-Nya,

sementara Madinah merupakan tempat di mana Nabi Muhammad dimakamkan serta

merupakan simbol kota suci dan kota perdamaian Nabi. Kedua, situasi kehidupan

Syekh Nawawi yang pada masa itu banyak diwarnai dengan intervensi pemerintah

kolonial Belanda terhadap kehidupan sosioreligius masyarakat. Ketiga, ingin menjaga

sebuah tradisi panjang yang dimulai sejak periode Abdul Samad al-Palimbani dan

Ahmad Khatib Sambas yaitu ia ingin mendedikasikan seluruh hidupnya untuk

mengajar komunitas Jawi, yang dari tahun ke tahun jumlahnya terus bertambah, yang

14

Samsul Munir Amir, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 354.

Page 53: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

39

hendak menuntut ilmu kepadanya.15

Namun terlepas dari itu semua, perjalanan Syekh

Nawawi ke Makkah bisa juga didorong oleh inspirasi pribadinya sebagai hamba ilmu

pengetahuan untuk lebih menjaga kebebasan intelektualnya di pusat dunia Islam.

Setelah memutuskan untuk menetap di Makkah, sebagai seorang yang haus

akan ilmu pengetahuan meskipun ia telah dipandang sebagai seorang „alim dan maha

guru, khususnya di kalangan komunitas Jawi, dan untuk menambah penguasaan

dalam berbagai cabang ilmu keislaman ia kemudian banyak berguru dan mengadakan

rihlah „ilmiyah (perjalanan untuk menuntut ilmu) ke berbagai daerah di sekitar

Makkah. Dimulai dari Makkah dia berguru kepada Ahmad Nahrâwî, Ahmad Dimyâtî,

Ahmad Zaynî Dahlân, Khatib Sambas dan Abd al-Ghani Bima. Setelah itu ia juga

pergi ke beberapa negara lain dan belajar pada guru-guru yang berbeda misalnya

berguru kepada Yûsuf Dagistânî di Dagistan, Yusuf Sumbulaweni dan Nahrawi

ketika ia di Madinah dan masih banyak lagi guru-guru yang mungkin tidak dapat

disebutkan hingga terperinci.16

Hal ini semua dikarenakan ketidakpuasannya terhadap

ilmu pengetahuan yang telah diperoleh, dan menurut pandangannya bahwa mencari

ilmu itu sudah menjadi satu kewajiban dan bahkan sudah menjadi karakter dasar dari

Syekh Nawawi.

Selain itu, kegemaran lain dari antusiasnya Syekh Nawawi dalam menuntut

ilmu yang patut dicontoh yakni mengajarkan semua ilmu yang sudah didapat. Di

Makkah, dia selalu mengajar mulai dari pagi hingga siang hari dan murid-muridnya

15

Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,

h. 112-114. 16

Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 942.

Page 54: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

40

banyak yang berasal dari Indonesia dan Malaysia sekitar tahun 1860-1870 dan setelah

itu dia melanjutkan untuk berkonsentrasi dalam menulis.17

Murid-muridnya berjumlah tidak kurang dari 200 orang setiap tahunnya.

Menurut beberapa keterangan menyatakan bahwa, Syekh Nawawi menghabiskan

lebih dari 15 tahun untuk mengajar di Hijaz. Ini berarti bahwa jumlah keseluruhan

muridnya sudah mencapai ribuan Muslim yang sebagian besar berasal dari Indonesia.

Ketika dia mengajar, khususnya di Ma‟had Nasyr al-Ma‟arif al-Diniyah di Masjidil

Haram, Syekh Nawawi dikenal sebagai guru yang simpatik, yang menyampaikan

pelajarannya secara jelas dan mendalam, dan komunikatif dengan murid-muridnya.18

Cara mengajar Syekh Nawawi tidak seperti lazim yang sering kita temui, di

mana guru memiliki otoritas penuh dan murid harus mengikuti semua apa yang

diajarkannya. Akan tetapi, Syekh Nawawi percaya pada potensi aktif dan kekhasan

individual. Sikap mengajar Syekh Nawawi ini didasarkan atas pengalaman pribadinya

sebagai pelajar pengelana dari Jawa yang ada di pusat-pusat pendidikan utama. Dia

selalu menemukan sebuah pola transmisi interaktif yakni para guru menyampaikan

pengetahuan kepada para pendengar dan selanjutnya memberikan pengajaran melalui

bacaan, membahas materi di kalangan teman-teman (mudzakarah), dan menulis di

antara murid-murid yang berbakat.19

17

Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 942. 18

Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,

h. 122-123. 19

Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,

h. 123.

Page 55: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

41

Syekh Nawawi dikenal oleh murid-muridnya sebagai seorang guru yang baik

hati yang memaparkan pelajaran dengan jelas dan mendalam, dan berkomunikasi

dengan baik terhadap murid-muridnya. Salah seorang muridnya, Abd al-Sattar

menerangkan bahwa ia adalah seseorang yang sangat sederhana, seorang zâhid,

rendah hati dan amat penolong. Di antara murid-muridnya dari Indonesia terdapat

orang-orang yang kemudian menjadi tokoh besar dan menjadi pemimpin religius

terpandang ketika mereka kembali ke Nusantara antara lain: KH. Hasyim Asy‟ari dari

Tebuireng Jombang, Jawa Timur dan KH. Khalil dari Bangkalan, Madura. Jumlah

muridnya yang lebih besar di Haramain adalah berasal dari lingkungannya sendiri

yakni Banten. 20

C. Pemikiran-Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani

Syekh Nawawi merupakan tokoh terkemuka dari tanah Banten yang memiliki

segudang pengetahuan. Berikut pemikiran-pemikiran dari Syekh Nawawi al-Bantani

miliki yang penulis gambarkan secara umum:

1. Bidang Tafsir

Salah satu yang sangat diunggulkan dari pemikiran yang dimiliki Syekh

Nawawi yakni di dalam bidang tafsirnya. Berkat prestasi yang diperoleh Syekh

Nawawi dalam bidang tafsir, para ulama menganugerahkan kepadanya gelar Sayyid

Ulama‟ al-Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Salah satu karya tafsir yang sangat

20

Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 942.

Page 56: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

42

dikagumi oleh ulama-ulama di Makkah maupun Madinah yakni Tafsir al-Munîr li

Ma‟âlim at-Tanzîl atau dalam judul lain disebut Marâh Labîd Tafsir an-Nawawi.21

Kontribusi utama Syekh Nawawi dalam bidang tafsir ini adalah bahwa dia

telah menulis sebuah tafsir ketika dunia Islam tidak menunjukkan adanya tanda-tanda

munculnya revitalisasi tradisi klasik Islam. Kekhasan karya Syekh Nawawi terletak

pada perhatian keilmuan khususnya terhadap pentingnya nilai dari pengetahuan.

Contohnya, dalam menafsirkan al-Qur‟an surat al-Fâtihah, dia menjelaskan bahwa

surat ini memuat paling tidak empat bidang ilmu pengetahuan.

1. Tauhid, keesaan Tuhan atau teologi.

2. Hukum Islam dengan ibadah sebagai bagian terpenting.

3. Kesempurnaan ilmu yang sejalan dengan moralitas Islam.

4. Sejarah atau kisah berbagai bangsa pada masa lampau.22

Selain daripada itu, sisi penting yang ditekankan oleh Syekh Nawawi dalam

tafsirnya yaitu penekanan terhadap kesalehan dengan menyampaikan ajaran akidah

(keimanan) dan keyakinan kepada Tuhan dan petunjuknya. Di samping itu, Syekh

Nawawi juga tidak akan pernah lupa menyampaikan pesan amar ma‟ruf nahi munkar

(memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) dan juga

menyisipkan kisah menarik.23

21 Samsul Munir Amir, Ilmu Tasawuf, h. 143.

22 Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,

(Jakarta: Kencana, 2006). h, 131-133. 23

Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,

h. 130-131.

Page 57: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

43

2. Bidang Tasawuf dan Akhlak

Dalam bidang tasawuf dan akhlaknya, Syekh Nawawi tidak akan pernah jauh

pemikirannya dari pengaruh gurunya yaitu Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi. Konsep

tasawufnya banyak mengutip pendapat-pendapat al-Ghazali sebagaimana halnya

yang dilakukan oleh gurunya. Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi adalah seorang

pendiri tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah, dan ia juga merupakan penganut dari

sufisme al-Ghazali. Dalam ajaran tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani, menyarankan

kepada masyarakat untuk mengikuti salah satu sufi seperti Imam al-Junaid al-

Baghdâdi yang merupakan pangeran sufisme dalam arti teoritis maupun praktis.24

Selain itu, secara umum Syekh Nawawi tidak pernah memaksa untuk mengikuti

tarekat sebagai salah satu jalan menuju Allah, karena ia memiliki pandangan bahwa

keterkaitan antara praktik tarekat, syariat dan hakikat erat sekali. Pandangan ini

mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktik-praktik tarekat selama

tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.25

Salah satu tujuan yang menjadikan Syekh Nawawi menulis di bidang tasawuf

yakni untuk manfaat umat Muslim dalam beribadah, bagi kehidupannya di akhirat

kelak dan supaya memperoleh pahala dari Tuhan. Melalui karya-karyanya lah

diharapkan kaum Muslim bisa memperoleh hikmah ilmu pengetahuan Islam dalam

rangka mempelajari dan mengamalkan kebajikan, sehingga mereka akan selalu

dibimbing oleh prinsip-prinsip Islam.

24

Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,

h. 135. 25

Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), h. 150.

Page 58: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

44

Selain itu, dalam bidang tasawuf ini Syekh Nawawi menekankan pada

kesempurnaan individu sebagai makhluk yang membutuhkan petunjuk dari Tuhan

atau secara sederhana tasawuf diartikan sebagai pembinaan etika. Karena jika

seseorang hanya menguasai ilmu lahir saja tanpa mempelajari ilmu batinnya juga,

maka ia akan terjerumus ke dalam kefasikan. Demikian sebaliknya, jika seseorang

hanya mengusai ilmu batinnya saja tanpa dibarengi dengan ilmu lahir maka ia akan

tergolong orang zindik. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam pembinaan etika

atau moral.26

3. Bidang Hukum Islam

Syekh Nawawi adalah seorang penganut mazhab Syafi‟i dan merupakan tokoh

yang sangat penting dalam menjaga dan mengembangkan ajaran Syafi‟i di kalangan

Muslim di Jawa. Salah satu alasan yang menjadikan Syekh Nawawi menjadi pengikut

dari Mazhab Syafi‟i yakni dalam menentukan setiap hukum pasti harus melalui satu

mazhab yang sudah diyakini kebenaran serta alasannya. Tingkatan orang yang berada

di dalamnya adalah para ulama yang memiliki maqâm khusus yang sudah hafal

sumber, asbab al-nuzul, „illah atau dari segi fiqih, ushul al-fiqh, tafsir, ta‟wil, mantiq

dan ilmu-ilmu alat yang lainnya, sehingga dapat dengan jelas dalam menentukan satu

hukum dari sebuah permasalahan yang ada. Adapun di luar dari golongan Mujtahidîn

(orang-orang menentukan hukum) berkewajiban taqlîd (mengikuti ketentuan hukum

26

Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh

Mereka, (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), h. 151.

Page 59: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

45

yang sudah ada) kepada salah satu mazhab baik itu Syafi‟i, Maliki, Hanafi atau

Hambali.27

Menurutnya, dari keempat mazhab itu pasti memiliki kelebihan dan

kekurangan tersendiri. Akan tetapi, mazhab Syafi‟i dikenal lebih terpercaya dan dapat

diandalkan, Maliki lebih bersifat tengah-tengah, Abu Hanifah lebih bersifat massive,

sedangkan Hambali dipandang lebih saleh. Bagi Syekh Nawawi, ilmu fiqih adalah

jenis ilmu pengetahuan Islam yang sangat signifikan, karena jika ilmu ini tidak

dipelajari dengan sungguh-sungguh, maka tak seorangpun bisa berkomunikasi

dengan Tuhan dalam ibadah ritualnya.28

Sebuah prinsip yang disampaikan oleh Syekh Nawawi untuk para muridnya

dan masyarakat umum yang teramat penting yakni menjadi muqallid yang terus

melakukan kajian kritis. Jadi tidak hanya sebatas mengikuti perbuatan-perbuatan para

„alim-ulama dengan tidak mengetahui hukum atau maksud dari suatu pekerjaan, akan

tetapi Syekh Nawawi menekankan untuk mencari tahu dan lebih kritis tentang

hukum, tujuan, dan manfaat atas apa yang diikutinya.29

4. Bidang Tauhid

Syekh Nawawi adalah seorang teolog Sunni yang mendukung sebagian besar

pemikiran Sunni dalam menentang kelompok Jabariyah dan Muktazilah. Baginya

27

Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,

h. 141-143. 28

Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,

h. 143-146. 29

Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,

h. 144.

Page 60: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

46

kedua kelompok itu termasuk golongan filsuf yang lebih cenderung menggunakan

pendekatan rasional daripada sumber-sumber utama ajaran Islam, al-Qur‟an dan

Hadis. Di samping itu, orang juga bisa mengenal Syekh Nawawi melalui karya-

karyanya seperti Fath al-Majîd, Sullâm al-Taufîq dan masih banyak lagi yang sampai

sekarang ini dalam bidang teologi digunakan secara luas di kalangan pesantren dan

madrasah.30

Dalam ilmu tauhid ini Syekh Nawawi memperkenalkan teori ada tidaknya

Tuhan, dan untuk menunjukkan ada tidaknya Tuhan ini Syekh Nawawi menggunakan

teori Daur Tasalsul yang berarti lingkaran yang tidak ada ujungnya. Secara bahasa,

kata “Daur Tasalsul” terdiri dari dua suku kata Arab yakni kata “Daur” berarti

“sesuatu sebagai sebab bagi dirinya sendiri dengan satu atau beberapa perantara”, dan

“Tasalsul” berarti “rangkaian tak terhingga”. Dari kedua kata ini memiliki maksud

yang berbeda. Maksud dari daur adalah sesuatu sebagai sebab bagi dirinya sendiri

dengan satu atau beberapa perantara. Sedangkan maksud dari tasalsul adalah satu

rangkaian tak terbatas dari sebab-sebab dan akibat-akibat dimana tidak akan pernah

berhenti pada sebab pertama sebagai contoh wujud (A) adalah akibat dari wujud (B)

dan wujud (B) adalah akibat dari wujud (C) dan seterusnya hingga tak terbatas dan

tak berakhir.31

Menurutnya, dalam memecahkan satu permasalah mengenai teologi maka

haruslah menggunakan dalil-dalil naqli (wahyu) dan aqli (akal). Akan tetapi jika

30

Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,

h. 150. 31

Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh

Mereka,h. 149-150.

Page 61: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

47

terdapat penggabungan antara keduanya maka yang harus diutamakan adalah dalil

naqli (wahyu), karena Syekh Nawawi meyakini bahwa kewajiban setiap orang untuk

meyakini sesuatu yang berhubungan dengan wajib, mustahil dan mungkin dari

eksistensi Tuhan adalah sebagai salah satu perintah dari syariat bukan dari akal.32

Syekh Nawawi merupakan representasi ulama Jawa abad XIX yang berupaya

menyegarkan kembali ajaran Islam abad pertengahan di bidang teologi dan untuk

meninggalkan apa yang tengah terjadi di negeri yang jauh itu tentang kemutlakan

Allah melalui konsep tawakkal billah. Salah satu tema pokok dari karya-karya tulis

Syekh Nawawi dalam bidang tauhid ini adalah kemutlakan Tuhan. Akan tetapi Syekh

Nawawi tidak sejalan dengan kemutlakan ajaran Jabariyah yang mengingkari bahwa

suatu perbuatan menjadi atribut bagi seorang individu, namun berasal dari Tuhan.

Jadi konsekuensinya seorang individu tidak memiliki kekuatan atau tanggungjawab.33

D. Karya-Karya Syekh Nawawi al-Bantani

Kitab-kitab yang ditulis oleh Syekh Nawawi sebagian besar adalah kitab-kitab

komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap

sulit untuk dipahami. Ada beberapa alasan yang menjadikan syekh Nawawi banyak

menulis syarh dari karya-karya tokoh sebelumnya yaitu karena permintaan saudara

32

Abdurrahman Mas‟ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,

h. 152-153. 33

Abdurrahman Mas‟ud, dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, h.

153-154.

Page 62: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

48

dan murid-muridnya di tanah Jawa, serta untuk melestarikan karya pendahulunya

yang sering mengalami perubahan dan pengurangan.34

Setelah tahun 1870 Syekh Nawawi memusatkan kegiatannya hanya untuk

mengarang. Tercatat dari karya-karya yang dihasilkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani

berjumlah 40. Karena kegemarannya dalam menulis di berbagai bidang keislaman

sehingga Syekh Nawawi al-Bantani dikenal sebagai seorang yang prolifik (penulis

produktif). Brockelmann mengklasifikasikan karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani

yang 40 itu ke dalam beberapa bidang kajian Islam. Seperti yang sudah disebutkan

dan dijelaskan dalam ajaran-ajaran Syekh Nawawi al-Bantani pada subbab

sebelumnya yaitu35

:

1. Di dalam bidang tafsir, Syekh Nawawi menulis Marâh labîd li Kasf

Ma‟na al-Qur‟an al-Mâjîd atau biasa dikenal dengan Tafsîr Munîr li

Ma‟âlim al-Tanzîl al-Mufsir an Wujûh Mahâsim al-Ta‟wîl.

2. Dalam bidang akidah Syekh Nawawi menulis beberapa karya yaitu:

a. Dzarî‟ah al-Yaqîn komentar atas Umm al-Barâhîn karya al-Sanûsî.

b. Nûr al-Zulâm komentar atas Aqîdah al-Awwâm karya Ahmad al-

Marzûqî al-Mâlikî al-Makkî.

c. Tijân al-Darârî komentar atas Risâlah fi „Ilm al-Tawhîd karya Syaikh

Ibrâhîm al-Bâjûrî.

34

Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara. h, 149. 35

Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 942.

Page 63: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

49

d. Qatr al-Ghayts Syarh Masâ`il Abî al-Layts komentar atas Masâ`il

karya Imâm Abî al-Layts ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ibrâhîm al-

Hanafi al-Samarqandî.

e. Hilyat al-Sibyân komentar atas Fath al-Rahmân karya Nahrâwî.

f. Fath al-Majîd Komentar atas al-Durr al-Farîd fi Ilm al-Tauhîd karya

Ahmad Nahrâwî.

g. Al-Tsimâr al-Yâni‟ah komentar atas Al-Riyâdh al-Bâdi‟ah fi Usûl al-

Dîn wa Ba‟d Furû‟ al-Syarî‟ah karya Sulaymân Hasb Allah.

3. Dalam bidang fikih Syekh Nawawi menulis dan mengomentari terhadap

karya-karya tokoh terdahulu di antaranya yaitu:36

a. Al-Tawsyîh dan Qût al-Habîb al-Gharîb berisi anotasi terhadap Fath

al-Qarîb karangan Muhammad bin Qâsim al-Ghazzî, komentar atas

al-Taqrib karangan Abu Syuja‟ al-Isfahani.

b. Marâqî al-Ubûdiyah yang merupakan komentar Bidâyat al-Hidâyah

karya al-Ghazâlî.

c. Al-Fath al-Mujîb komentar dari Manâqib al-Hâjj karya Muhammad

Ibn Muhammad al-Syirbinî al-Khâtib.

d. Sullam al-Munâjât komentar dari Safînat al-Salâh karya „Abd Allâh

ibn Yahyâ al-Hadramî.

36

Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan Pengaruh

Mereka, h. 154-155.

Page 64: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

50

e. Al-„Iqd al-Tsâmin komentar atas al-Fath al-Mubîn Nazm Muqaddimah

al-Zâhid karya dari salah satu tokoh Indonesia Mustofa ibn Usman al-

Jawi al-Qaruti.

f. Kâsyifatu al-Sajâ memuat komentar atas Safînatu al-Najâh karya

Sâlim ibn Samîr dari Sihr Sullamu al-Taufîq yang ditulis oleh

Abdullah bin Husain bin Thahir Ba‟lawi.

4. Dalam bidang tasawuf Syekh Nawawi menulis:

a. Salâlim al-Fudalâ‟ komentar atas Manzûmah Hidâyat al-Adzkiyâ ilâ

Tarîq al-Auliyâ karya Zayn al-Dîn al-Malîbarî.

b. Qâmi‟ al-Tughyân komentar atas Manzûmah fi Syu‟ab al-Ȋmân karya

Zayn al-Dîn al-Malibârî.

c. Misbâh al-Zulâm komentar atas al-Manhâj al-Atâmm fi Tabwib al-

Hikâm karya Ali Ibn Husam al-Dîn al-Hindi.

5. Komentar-komentar atas cerita kehidupan Nabi Muhammad di antaranya:

a. Targhîb al-Musytâqîn li Bayân Manzûmât Zayn al‟Ȃbidîn al-Banzanjî

komentar atas kitab Mawlîd karya Ja‟far ibn Hasan Abd al-Karîm ibn

Muhammad ibn al-Khâdim ibn Zayn al-„Ȃbidîn al-Barzanjî al-Madanî.

b. Al-Madârij al-Su‟ûd ilâ Iktisâ‟ al-Burûd komentar dari karya dan

pengarang yang sama seperti di atas.

c. Al-Durar al-Bahiyyah komentar atas al-Khasâ`is al-Nabawiyyah

merupakan karya yang sama dari Barzanjî.

d. Al-Ibrîz al-Dânî fî Mawlîd Sayyidinâ Muhammad al-Sayyid al-Adnânî

kutipan atas kitab Mawlîd karya al-Qastallânî.

Page 65: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

51

e. Fath al-Samad al-„Ȃlim „alâ Mawlîd asy-Syaykh Ahmad ibn al-Qâsim

wa al-Bulûgh al-Fawzî li Bayân alMawlîd ibn al-Jawzî komentar atas

kitab Mawlîd al-Nabî atau dikenal juga dengan Al‟arûs karya ibn al-

Jawzî dan Ahmad ibn al-Qâsim al-Harîrî.

6. Dalam Bidang Tata bahasa Arab Syekh Nawawi menulis:

a. Kasyf al-Murûtiya an Sitâr al-Ajurrûmiyya komentar atas kitab al-

Ajurrûmiyya karya Abû Abd Allâh Muhammad ibn Muhammad ibn

Dâwûd al-Sanhâjî ibn al-Ajurrûm.

b. Fath Ghâfir al-Khatiyyah „alâ al-Kawâkib al-Jaliyyah fi Nazm al-

Ajurrûmiyyah komentar serta verivikasi atas kitab al-Ajurrûm.

c. Al-Fusûs al-Yaqûtiyyah komentar atas kitab al-Rawdat al-Bahiyyah fi

al-Abwâb al-Tasrîfiyyah karya dari Abd al-Mun‟îm Iwad al-Jirjâwî.

7. Di dalam bidang retorika Syekh Nawawi hanya menulis Lubâb al-Bayân fî

„Ilm al-Bayân komentar atas kitab Risâlat al-„Isti‟ârât karya Husayn al-

Nawawî al-Mâlikî.

Selain dari pada tujuh bidang keilmuan dari karya Syekh Nawawi yang

disebutkan di atas ditemukan pula karya Syekh Nawawi yang lain yaitu37

:

a. Tanqîh al-Qawl al-Hatîts

b. Nihâyat al-Zayn

c. Nasâih al-„Ibâd

d. Al-Futuhât al-Madaniyyah

37

Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, h. 944-945.

Page 66: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

52

e. Bahjat al-Wasâ‟il bi Syarh al-Masâ‟il

f. Uqûd al-Lujayn fi Bayân al-Huquq al-Zawzayn

g. Al-Riyâd al-Fawliyah

h. Suluk al-Jaddah

i. Al-Nahjât al-Jayyidah

j. Fath al‟Ȃrifin.

Page 67: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

53

BAB IV

PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANI

A. Praktik Tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani

Tasawuf menjadi salah satu cara bagi manusia untuk lebih dekat kepada

Tuhannya. Inti tasawuf adalah berakhlak, yakni dengan mensucikan jiwa agar

terbentuk jatidiri manusia yang baik dan menjauhi sifat-sifat buruk. Tasawuf diartikan

oleh Syekh Nawawi adalah pembinaan moral.1 Dalam karya-karya tasawufnya, Syekh

Nawawi mengajarkan berbagai cara manusia agar lebih mendekatkan diri kepada

Allah dengan segala ketaatan seperti cara beriman kepada Allah, malaikat-Nya,

Rasul-Nya, kitab-Nya, hari akhir, dan takdir baik maupun buruk. Syekh Nawawi juga

banyak memberikan petunjuk dan nasehat-nasehat yang mengantarkan manusia

kepada pemahaman yang hakikat seperti yang dituangkan dalam kitab Nasâ‟ih al-

„Ibâd-nya. Selain itu, sejalan dengan arti tasawufnya, Syekh Nawawi juga banyak

mengajarkan adab-adab seorang hamba, di antaranya adalah adab menuntut ilmu,

adab berbicara, adab murid kepada guru, adab dalam keseharian dan masih banyak

lagi. Semuanya itu tertuang dalam kitab Tanqih al-Qaul dan Qâmi‟ al-Tughyân.

Jalan-jalan lain yang diajarkan Syekh Nawawi dalam mendekatkan diri kepada Allah

dalam ranah eksoterik adalah jalan spiritual dalam tasawuf dan keutamaan-

keutamaannya dijelaskan dalam Salâlim al-Fudalâ. Selain itu, jika diperhatikan dari

konsep tasawufnya, Syekh Nawawi lebih menekankan kepada tasawuf amaliyah

1 Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, (Yogyakarya: Diva Press, 2016), h. 151.

Page 68: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

54

yakni dalam konsep pengamalan syariat, tarekat dan hakikat.2 Berikut penulis akan

jelaskan beberapa konsep tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani yang penulis temukan,

serta beberapa wasiat Syekh Nawawi untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam

amaliyah.

a.) Syariat, Tarekat dan Hakikat

Syariat, tarekat dan hakikat merupakan satu kesatuan untuk mencapai

ma‟rifatullah (mengetahui Allah). Ketiga jalan ini menjadi ciri khas dari Syekh

Nawawi yang lebih ditekankan dalam pemikiran tasawufnya untuk amalan di

keseharian umat Muslim, sebab ketiga ini merupakan dasar-dasar dari agama Islam.

Syariat adalah hukum, dan tarekat adalah jalan bagi seorang sufi sementara hakikat

adalah hasil dari syariat dan tarekat. Maka dalam proses pengamalannya, syariat dan

tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida‟i) seorang sufi, sementara hakikat

adalah hasil dari syariat dan tarekat.3

Syariat dalam pandangan Syekh Nawawi adalah perjalanan spiritual yang

ditempuh seorang Muslim menuju Allah dengan istiqamah, dengan menjalankan

perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.4 Sebagaimana segala yang ada di dalam al-

Qur‟an dan Sunnah Nabi merupakan substansi dari syariat berupa aturan-aturan dan

norma-norma hukum yang memberikan arahan dan tujuan agar ibadah penyerahan

diri manusia kepada Allah dilakukan dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak-

2 Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 150.

3 Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 150.

4 Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, Penerjemah Nasrullah dan Zainal Arifin

Yahya, (Jakarta; Pustaka Mampir, 2006), h. 14.

Page 69: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

55

Nya. Karena ibadah yang seperti itulah yang mampu membawa dampak pada

penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada-Nya. Di samping itu, dalam

mengamalkan syariat ini amatlah penting bagi seorang Muslim dalam menempuh

jalan spiritual, karena menjadi salah satu proses mensucikan jiwa dan lebih

mendekatkan diri kepada Allah, selain itu juga memberikan manfaat sosial yakni

dapat membangun solidaritas yang erat. Sebagai agama Islam yang sempurna, Islam

memberikan ruang bagi pemeluknya untuk tidak hanya menjalankan ibadah yang

bersifat vertikal, tetapi harus melaksanakan ibadah yang bersifat horizontal juga atau

biasa disebut dengan hablumminallâhi (hubungan dengan Allah) dan

hablumminannâsi (hubungan dengan manusia).5

Para pakar hukum Islam memberikan penjelasan mengenai syariat, yaitu

segala perintah Allah yang berhubungan dengan manusia baik yang lahir seperti

mu‟amalah, zakat, sholat dan batin seperti iman, ikhlas, dan niat. Dengan demikian

syariat adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah lahir maupun batin.

Dalam hal ini Dr. Farouk Abu Zeid juga menjelaskan bahwa, syariat ialah apa-apa

yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabi-Nya.6

Menurut Syekh Nawawi memadukan antara syariat dengan tasawuf amatlah

penting, karena dengan syariatlah segala tata cara beribadah atau cara berhubungan

dengan Allah dapat diketahui. Akan tetapi, jika dalam perjalanan spiritualnya tidak

dilandaskan sesuai dengan apa yang telah syariatkan dalam Islam, maka ia telah

5 Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, (Jakarta: Trans Pustaka 2012),

h. 37. 6 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 2-4.

Page 70: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

56

keluar dari jalan yang benar.7 Sebagaimana yang dikatakan Moh. Rifa‟i dalam

bukunya Ilmu Fiqih Islam Lengkap bahwa, fiqih mengatur pola kehidupan manusia,

mulai dari hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun minallâhi) seperti shalat,

puasa, haji, dan hubungan dengan sesama manusia (hablun minannâsi) seperti

muamalah dalam jual beli, utang piutang, kerjasama, nikah, waris, serta hubungan

manusia dengan lainnya di luar kegiatan muamalah di atas seperti pemanfaatan tanah,

peternakan, dan perkebunan.8 Selain itu, Syekh Nawawi juga mengutip dari salah

satu tokoh mazhab terkenal yakni Imam Malik yang mengatakan bahwa:

ك م ح د ت م ا ف م ه ين ب ع م ن ج م و ك س ف د ت م ف ف ى ص ت م ي ن ه و م ف ن ت م و ق ند ز د ت م ه ف م ف ت م ي ن و ف ى ص ن ت م

Artinya: Barang siapa yang bertasawuf tanpa mempelajari fiqih maka

telah rusak imannya, dan barang siapa yang memahami fiqih tanpa

menjalankan tasawuf maka telah rusaklah dirinya, dan siapa yang

menggabungkan keduanya maka sungguh ia telah benar9

Dalam hal ini, Imam Malik menjelaskan bahwa keterpaduan antara tasawuf

dengan syariat sangatlah penting. Karena dari penjelasan di atas menerangkan jika

seorang Muslim tidak mempelajari salah satunya baik itu tasawuf ataukah syariat

maka akan terjebak kedalam pelanggaran agama. Jadi, keterpaduan keduanya ini

merupakan salah satu jalan proses pembersihan jiwa dan mendekatkan diri kepada

Allah seperti halnya sholat, zakat, haji dan yang lainnya, dan jika antara syariat

dengan tasawuf terpisah maka semua amalan seorang Muslim akan menjadi sia-sia.10

7 Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al- Fudalâ, h. 18.

8 Muhammad Rifa‟i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1978, h. 5.

9 Syekh Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ihsan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,

2015), h. 170. 10

Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 151.

Page 71: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

57

Maka dari itu, kombinasi antara fiqih dan tasawuf sangatlah dibutuhkan dan

tidak dapat dipisahkan. Karena keduanya selain sebagai syarat sebagai terlaksananya

syariat juga dibutuhkan dalam upaya pembentukan etika dan moral, juga akan

melahirkan pribadi yang mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan lahir dan

batin, antara kehidupan individu dan sosial, serta kehidupan yang berorientasi dunia

dan akhirat.11

Adapun ciri-ciri orang yang telah memadukan antara syariat dengan

tasawuf dengan baik dan benar akan tercermin gaya hidup seperti berikut :

1. Lebih mengutamakan dimensi batin dari pada dimensi lahir.

2. Lebih memilih pola hidup asketis (zuhd) dengan khalwat, „uzlah, dan

jalan tarekat sebagaimana tergambar pada corak kehidupan para

petapa.

3. Lebih mengutamakan kepuasan spiritual yang bersifat individual

daripada tanggung jawab sosial yang bersifat kolektif.

4. Memandang segala bentuk kebendaan (materi) sebagai sesuatu yang

rendah, hina dan sebagai faktor penghalang pengembangan kualitas

rohani.

5. Memandang aktivitas mu‟âmalah seperti bekerja, berdagang, bertani

dengan mempunyai istri dan anak sebagai tindak mencintai dunia yang

hina.12

Pemahaman syariat yang benar dan kemudian diamalkan pada kehidupan

sehari-hari menjadi bukti ketaatan seorang Muslim atas segala perintah dan larangan

Allah yang ditegaskan dalam al-Qur‟an dan Sunnah. Yang kemudian dilanjutkan

dengan bertasawuf sehingga menjadikan segala amalan syariatnya meresap dalam

11

Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, h. 26. 12

Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, h. 26-27.

Page 72: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

58

hati sanubari. Keduanya harus dilakukan dengan membangun keseimbangan.13

Sebagaimana Allah tegaskan dalam al-Qur‟an yakni:

Artinya: Dan langit pun ditinggikan oleh-Nya, serta diletakkan oleh-

Nya prinsip keseimbangan, agar janganlah kamu (manusia) melanggar prinsip

keseimbangan itu (QS. Ar-Rahman [55]: 7-8)

Dengan demikian, mengamalkan syariat yang baik dan benar yang dipadukan

dengan pengamalan tasawuf yang bersumber pada al-Qur‟an dan Sunnah, merupakan

modal yang sangat berharga dalam mengembangkan kepribadian Muslim.

Selanjutnya, setelah seorang Muslim mengetahui apa saja yang disyariatkan dalam

Islam dan amaliahnya, sesuai tata cara yang sudah dijelaskan dalam bidang ilmu fiqih

atau bidang ilmu yang terkait dengan amalan syariat tersebut, serta dapat

memadukannya dengan tasawuf sebagaimana yang diajarkan Syekh Nawawi, maka

selanjutnya seorang Muslim beranjak menempuh kepada jalan tarekat.14

Menurut Syekh Nawawi tarekat adalah menghayati terhadap hal yang lebih

hati-hati seperti wara‟ dan berkemauan yang teguh seperti riyâdah (latihan jiwa)

meninggalkan duniawi untuk beribadah kepada Allah. Maksud dari tarekat ini adalah

memperdalam pelaksanaan syariat melalui amalan-amalan Sunnah dan menundukkan

jiwa seperti dengan menyedikitkan makan, minum dan tidur dan menghindari sikap

berlebih-lebihan, serta dengan mengkonsistensikan amalan-amalan baik meskipun

13

Asep Usman Ismail, Tasawuf Menjawab Tantangan Global, h. 38. 14

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al- Fudalâ, h. 18-19.

Page 73: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

59

dalam bentuk kecil dan selalu ingat Allah dalam hal apapun dan kapanpun.15

Dalam

membahas tarekat ini, Syekh Nawawi tidak memberikan penjelasan khusus terhadap

tarekat tertentu. Karena ia tidak memaksakan kepada setiap muridnya untuk

mengikuti tarekat tertentu, akan tetapi hanya menyarankan kepada setiap Muslim

khususnya kepada murid-muridnya untuk mengikuti salah satu dari tarekat, selama

tarekat itu tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Karena tarekat memiliki

hubungan yang sangat penting terhadap syariat dan hakikat.16

Tahap selanjutnya, setelah seorang sâlik menjalankan syariat dan tarekat

dengan sungguh-sungguh, sampailah kepada hasil dari perjalanan itu semua yakni

hakikat. Syekh Nawawi memberikan arti hakikat berdasarkan apa yang ia kutip

yakni:

1. Pemahaman terhadap hakikat-hakikat segala sesuatu, seperti

penyaksian terhadap hakikat nama-nama, sifat-sifat dan penyaksian

terhadap zat (keagungan Allah).

2. Pemahaman terhadap rahasia-rahasia al-Qur‟an dan rahasia-rahasia

halal dan haram.

3. Pemahaman terhadap ilmu-ilmu kegaiban yang tidak diperoleh dari

seorang guru.17

Jadi, hakikat menurut Syekh Nawawi adalah buah dari syariat dan tarekat.

Berarti hakikat ini adalah pencapaian yang diraih sufi dalam perjalanan spiritualnya

setelah melewati istilah-istilah tasawuf dalam pandangan Syekh Nawawi, yang

membuahkan penyaksian terhadap rahasia-rahasia Tuhan dengan jelas tanpa ada hijab

yang menutupinya. Seluruh perjalanan manusia menuju Tuhan merupakan proses

15

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 13. 16

Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 150. 17

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 15-16.

Page 74: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

60

panjang yang harus dijalani dengan ketekunan dan kesabaran. Karena bagi seorang

sâlik, untuk mendekatkan diri kepada Tuhan harus dengan membawa segudang

kesungguhan agar tidak patah di tengah jalan.

b.) Jalan-Jalan Menuju Allah

Dalam berbagai karya tasawuf Syekh Nawawi seperti Nasâ‟ih al-„Ibâd,

Salâlim al-Fudalâ dan Qâmi‟ Tughyân, banyak memberikan nasehat, petunjuk, serta

tata cara dalam menempuh jalan spiritual untuk lebih dekat dengan Allah. Berikut

beberapa wasiat yang disampaikan oleh Syekh Nawawi untuk ditempuh agar dapat

mengetahui hakikat dan mendapat posisi terdekat dengan Allah:

1. Taubat

Taubat merupakan gerbang utama bagi seorang sufi dalam menempuh

perjalanan spiritualnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam tahapan ini,

seorang sufi terlebih dahulu membersihkan hati, fikiran dan perbuatannya dari

segala dosa. Syekh Nawawi membagi taubat menjadi tiga bagian. Pertama,

Taubah (penyesalan) yakni bertaubat karena takut akan siska. Kedua, Inâbah

(konsisten dalam ketaatan) yakni bertaubat karena mengharap pahala dari Allah.

Ketiga, Aubah (kembali suci dari dosa) yakni bertaubat karena menjaga atau

Page 75: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

61

konsisten melakukan ibadah bukan karena mengharap pahala dan bukan karena

terancam siksa.18

Selain itu menurutnya taubat adalah kunci dari segala ketaatan dan landasan

segala kebaikan. Jika seorang Muslim diuji dengan kelalaian atau kesulitan di

suatu tempat, maka hendaknya ia memperbaiki diri dengan kemampuannya dan

berharap hanya untuk meraih ridho dan ampunan Allah. Adapun jalan untuk

menuju taubat menurutnya adalah memohon ampunan taubat dengan penyesalan

yang tidak berpanjangan, dengan tekad meninggalkan dosa dan kesalahan yang

lalu. Selain itu dengan selalu bermuhasabah, berintrospeksi diri agar tercegah dari

terulangnya kesalahan yang lalu dan yang terpenting menurutnya adalah menjaga

mata, lisan dan seluruh anggota badan agar terhindar dari segala keburukan yang

lahir maupun batin.19

Setelah seorang sâlik melakukan taubatnya, kemudian Syekh Nawawi

memberikan tanda-tanda diterimanya taubat seseorang yaitu:

a. Merasa sulit terhindar dari kemaksiatan.

b. Merasa di dalam hatinya bahwa kegembiraan itu jauh dan kesedihan

itu terasa dekat.

c. Selalu mendekati orang-orang baik dan menjauhi orang-orang jahat.

d. Menganggap bahwa harta dunia yang banyak itu sedikit dan

memandang amal akhirat yang sedikit itu banyak.

e. Hatinya selalu disibukkan dengan ketaatan kepada Allah dan tidak

menyibukkan diri dalam mencari rizki yang sudah dijamin oleh-Nya.

18

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 23. 19

Syekh Muhammad Nawawi bin Umar, Qâmi‟ al-Tughyân, (Semarang: Toha Putra), h. 4.

Page 76: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

62

f. Selalu menjaga lisan, selalu bertafaqur tentang keagungan Allah, dan

selalu menyesali kemaksiatan yang pernah diperbuatnya.20

2. Qana‟ah

Menurut Syekh Nawawi qana‟ah adalah ridho dengan apa yang telah ditentukan.

Ridho untuk meninggalkan sesuatu yang tidak penting dan hanya mengupayakan hal-

hal yang penting. Tidak diperkenankan bagi kita untuk mencari hal yang melebihi hal

yang penting. Hal yang penting itu berbentuk kebutuhan yang memiliki nilai manfaat

bagi kecukupan kita di dunia dan sebagai bekal di akhirat. Sedangkan sesuatu yang

tidak penting yaitu hal-hal yang memancing manusia melebihi kebutuhan yang ada

seperti mencari jabatan, permainan-permainan atau segala hal yang tidak memiliki

manfaat di akhirat. Menurutnya, cukuplah atas apa yang dimiliki saat ini dari segala

yang Allah berikan.21

Jadi, maksud dari qana‟ah ini adalah untuk ridho bagi orang-

orang yang menginginkan jalan akhirat dengan meninggalkan segala hal yang dapat

menghantarkannya pada puncak segala peluang duniawi dan meninggalkan segala

yang berlebihan dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Jadi berusaha dan

menerima dengan secukupnya karena sesungguhnya yang berlebihan itu dapat

berpotensi membuat durhaka dan tergelincir dalam kesengsaraan.22

3. Zuhud

Syekh Nawawi dalam kitab Nasâ„ih al-„Ibâd mengutip dari Ibnu „Abbas

menjelaskan dua makna dari kata zuhud. Pertama¸ yaitu kata zuhud terdiri dari tiga

20

Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, Penerjemah Fuad Saifudin Nur, (Jakarta: Wali

Pustaka, 2006), h. 252. 21

Syekh Muhammad Nawawi bin Umar, Qâmi‟ al-Tughyân, h. 5. 22

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 34.

Page 77: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

63

huruf zâi, hâ‟, dâl. Huruf zâi berarti zâd li al-ma‟âd (bekal untuk akhirat, yakni

ketakwaan). Huruf hâ‟ berarti hudan li al-dîn (petunjuk untuk mengikuti agama

Islam). Huruf dâl berarti dawâm „ala al-tâ‟ah (konsisten dalam ketaatan). Kedua,

makna yang diberikan oleh Ibn „Abbas pada kata zuhud juga memberikan arti pada

setiap hurufnya yaitu huruf zâi berarti tarku al-zînah (meninggalkan kemewahan dan

gemerlap dunia). Huruf hâ‟ berarti tarku al-hawâ (meninggalkan hawa nafsu). Huruf

dâl berarti tarku al-dunyâ (meninggalkan keduniawian).23

Secara mendasar pondasi zuhud itu adalah menjauhi segala larangan atau dosa,

baik yang kecil maupun yang besar. Dari sikap ini akan melahirkan sikap selektif dan

lebih berhati-hati dalam bertindak. Tindakan ini pula merupakan bentuk konsistensi

dari pelaku tobat sehingga ia akan tetap dalam kebenaran dan mendapatkan

penerangan hati serta terhindar dari hal-hal yang buruk.24

Seorang zâhid yang sudah sampai pada tingkatan ini, maka ia di dunia dengan

fisiknya, sedangkan ruh dan akalnya ada di akhirat.25

Selain itu juga, seorang zâhid

akan disibukkan pada satu hal yang sangat penting di samping kesibukannya

menghindari kemewahan di dunia, yaitu berdo‟a dengan sepenuh hati kepada Allah.

Seorang zâhid haruslah selalu merendah di hadapan Allah dan memohon kebaikan

yang diridhai-Nya. Karena tujuan dari seorang zâhid adalah mengharapkan pahala

atau surga serta dapat berlanjut ke maqâm selanjutnya.26

23

Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 92-93. 24

Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 95. 25

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 38.

26

Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 37.

Page 78: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

64

Dalam penjelasan lain, Syekh Nawawi menjelaskan hakikat zuhud itu sendiri

melalui hadits Nabi yang ia kutip yakni, diriwayatkan oleh Abu Dzâr al-Ghifari

mengatakan bahwa:

Zuhud terhadap kehidupan dunia bukan mengharamkan yang halal dan

bukan pula menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, hakikat zuhud yaitu ketika

keyakinanmu terhadap apa yang ada di tanganmu tidak melebihi keyakinanmu

terhadap apa yang ada di tangan Allah. Selain itu, merasa lebih senang menerima

pahala dan sabar menghadapi musibah sekalipun musibah itu terus menimpa

dirimu. (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)27

Dari kutipan di atas, Syekh Nawawi mengingatkan agar manusia tidak terjebak

dengan kesenangan dunia, sehingga melupakan hubungan dengan Allah, karena

kesenangan dunia tersebut tidak kekal. Maka dari itu, agar manusia tidak terjerumus

kepada kelalaian yang menjadikan manusia lupa akan Tuhan berikut Syekh Nawawi

memberikan pegangan untuk zâhid pada tiga tanda yakni:

1. Senantiasa dalam kondisi yang sama.

2. Memandang semua orang sama.

3. Merasa senang bersama dengan Allah ta‟âla dan hatinya didominasi rasa

manis ketaatan.28

4. Mempelajari Ilmu Syariat

Pada konsep ini, Syekh Nawawi menganjurkan untuk mempelajari ilmu syariat

yang dapat melegitimasi keabsahan ketaatan Muslim dalam menjalankan segala

syariatnya seperti sholat, puasa, zakat dan haji. Karena seorang sâlik yang

menjalankan syariat tanpa mengetahui landasan hukum yang dijalaninya maka dinilai

sia-sia. Selain itu, mempelajari ilmu yang dapat mengesahkan akidah adalah wajib,

27

Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 216-217. 28

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 40.

Page 79: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

65

agar terhindar dari keserupaan para pelaku bid‟ah dan untuk menghilangkan keraguan

dalam hati. Serta anjuran Syekh Nawawi untuk mempelajari ilmu yang dapat

membersihkan hati dari segala penyakitnya seperti dengki, riya dan sombong. Ketiga

macam ilmu di atas haruslah dipelajari bagi umat Muslim, bahkan hukum dalam

mempelajari ilmu-ilmu itu adalah wajib „ain.29

Harapan setiap orang yang menuju Allah adalah kemampuan memahami ilmu-

ilmu-Nya yang menjadi pelita perjalanan. Karena ilmu itu sebagai jembatan untuk

mencapai ibadah yang sempurna. Amal ibadah juga bisa jadi jembatan untuk meraih

ilmu-ilmu yang ada pada rahasia Allah. Namun untuk menyentuh rahasia ruhani yang

halus dan penuh metafor, maka harus melalui tahapan pembersihan hati dan jiwa dari

maksiat lahir maupun batin.

5. Menjaga Sunnah-Sunnah Rasul

Menjaga Sunnah-sunnah Rasul adalah anjuran yang ditekankan juga oleh Syekh

Nawawi dalam bertasawuf. Karena Sunnah Rasul merupakan salah satu sumber

tasawuf dan menjadi sandaran penting bagi seorang sufi dalam bertasawuf. Sebab

tidak ada petunjuk jalan menuju Tuhan kecuali mengikuti Sunnah Rasul yang

sempurna dalam perkataan dan perbuatannya.

Secara makna, Sunnah adalah sesuatu yang jika dikerjakan mendapatkan pahala

dan jika ditinggalkan tidaklah berdosa. Selain itu, Sunnah juga bisa diartikan dengan

segala sesuatu yang sumbernya berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan,

29

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 45-46.

Page 80: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

66

perbuatan dan akhlak.30

Menjaga Sunnah Rasul dengan bentuk selalu istiqamah

dalam pengamalan dari segala Sunnah-Sunnah Rasul, karena apa yang telah datang

darinya berupa sabda, perintah, serta uswah hasanah darinya yang merupakan budi

pekerti yang luhur yang wajib untuk diikuti. Budi pekerti ini adalah segala hal yang

dipuji, berupa ucapan dan tindakan terutama dari segala akhlak yang dicontohkan

oleh Rasul, karena diutus Rasul tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak.

Sebagaimana Syekh Nawawi mengutip dari Ibnu „Athoilah bahwa budi pekerti adalah

berdiam diri disertai melakukan kebaikan-kebaikan.31

Kemudian Syekh Nawawi

membagi budi pekerti kepada 4 bagian:

1. Syar‟iy (sesuai adab keagamaan Islam) yaitu melakukan segala hal yang

diperintahkan dan menjauhi segala hal yang dilarang.

2. Tabi‟iy (karakter) seperti dermawan dan keberanian.

3. Kasbiy (usaha) seperti memahami ilmu nahwu dan bahasa.

4. Shûfiy (tasawwuf) yaitu membatasi pancaindra dan memperhatikan nafas-

nafas.32

Pada dasarnya, tasawuf yang sebagian orientasinya kepada akhlak, maka

mempelajari dan menjaga budi pekerti luhur yang diajarkan oleh Rasul amatlah

penting. Selain itu, untuk meraih syafâ‟ah (pertolongan) dari Rasul di akhirat nanti

sebagai pengikut Sunnah-Sunnahnya. Sebagaimana dikatakan dalam hadits.

30

Mahmud Toha, Mustalah al-Hadits,(Kuwait: Haromain, 1985), h. 15. 31

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 47. 32

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 47.

Page 81: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

67

من أحيا سنت ف قد أحبن ومن أحبن كان معي ف النة

Artinya: Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku maka ia telah

mencintaiku, dan barangsiapa yang mencintaiku maka aku bersamanya di surga

(HR. At-Tirmidzi)

6. Tawakal

Menurut Syekh Nawawi, tawakal bukan berarti tidak berusaha dan menyerahkan

seluruhnya kepada takdir Allah. Akan tetapi, dengan berusaha merupakan salah satu

bentuk tawakal seorang hamba, dengan rela terhadap rizki yang telah ditentukan oleh

Allah dan tidak memunculkan keinginan memiliki yang lebih dari bagiannya itu.33

Imam al-Ghazali yang menjadi salah satu pengaruh dari pemikiran gurunya Syekh

Nawawi memberikan contoh mengenai tawakal yaitu seperti tawakalnya seorang

ketua kepada wakilnya, karena ia yakin bahwa wakilnya dapat dipercaya dan bisa

mengurus persoalannya. Karena keyakinan inilah yang menyebabkan ia menyerahkan

urusannya kepada wakilnya tadi.34

Syekh Nawawi mengutip sebuah pendapat dari Syekh Ali al Jaizy dalam Tuhfatu

al-Khawwâs bahwa, siasat yang berhasil untuk memperoleh tawakal itu adalah

membiasakan diri dalam melakukan lima peringatan;

1. Meyakini bahwa Allah Maha Mengetahui keadaan dirinya.

2. Meyakini kesempurnaan kekuasaan Allah.

3. Mencermati bahwasanya Allah tersucikan dari alpa dan lupa.

33

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 59. 34

Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008), h. 1305.

Page 82: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

68

4. Mencermati bahwasannya Allah terhindar dari sifat ingkar janji.

5. Memperhatikan bahwa simpanan-simpanan Allah itu tidak akan pernah

berkurang selamanya.35

7. Ikhlas

Ikhlas menurut Syekh Nawawi tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah,

menghindarkan diri dari ujub (membanggakan diri) dengan amal-amalnya.36

Dijelaskan dalam kitab Qâmi‟ al-Tughyân Syekh Nawawi memperintahkan untuk

ikhlas dalam ketaatannya kepada Allah tanpa dicampuri maksud lain seperti ingin

mendapatkan pujian, kemewahan dunia, kedudukan tinggi di mata manusia atau yang

lainnya, selain hanya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Salah satu yang

menjadi penyakit dalam keikhlasan ini adalah riya atau ingin dipuji oleh orang lain.

Jika amalan seseorang sudah diniatkan hanya untuk memamerkan kemampuannya

dalam sesuatu maka amalannya tersebut telah sia-sia.37

Syekh Nawawi mengutip dari kitab Tuhfatu al-Khawwâs bahwa riya adalah

melakukan ibadah dengan tujuan memperlihatkan kepada manusia, untuk

menghasilkan harta, pangkat atau pujian. Perbuatan ini termasuk dosa-dosa besar dan

setiap perbuatan yang tercampur dengan riya maka perbuatan itu batal lagi ditolak.38

Dalam hal ini, Muzakkir berpendapat sama mengenai ikhlas dalam bukunya Tasawuf

Jalan Mudah Menuju Ilahi yang mengutip perkataan dari Al-Sûsiy tokoh sufi besar

yakni:

35

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 60-61. 36

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 65-66. 37

Syekh Muhammad Nawawi bin Umar, Qâmi‟ al-Tughyân, h. 8-9. 38

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 68.

Page 83: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

69

Ikhlas adalah tidak merasa telah berbuat ikhlas. Barang siapa masih

menyaksikan keikhlasan dan ikhlasnya, maka keihklasannya masih membutuhkan

keikhlasan lagi. Sama seperti seorang mengatakan, saya ikhlas, pada dasarnya ia

belum ikhlas karena ikhlas tidak bisa disebut dengan ungkapan.39

Jadi janganlah menampakkan ketaatan kepada manusia untuk tujuan meyakinkan

manusia bahwa engkau adalah orang taat dalam menjalankan perintah Allah. Akan

tetapi, jika tujuan dari memperlihatkan itu adalah untuk mengajak dan agar manusia

senang dalam kebaikan, maka itu lebih utama dari pada melakukannya secara

sembunyi-sembunyi jika dalam pelaksanaannya tidak tercampur riya.

8. Uzlah

Maksud uzlah menurut Syekh Nawawi yaitu menjauhkan diri atau menyendiri

dari orang-orang yang dapat memberikan dampak buruk. Hal itu dilakukan agar

terhindar dari keburukan mereka. Jika menemani orang-orang yang baik dan soleh,

maka itu sangat dianjurkan karena berharap akan terbawa dalam kebaikan mereka.40

Jadi maksud dari uzlah ini adalah bukan untuk mengasingkan diri atau

menghindar dari kehidupan bersosial dan bermasyarakat, akan tetapi menjalani

aktivitas sebagaimana manusia biasa, namun dalam hatinya tetap menyendiri dan

melakukan segala hal karena Allah. Namun uzlah dalam bentuk menyendiri

diutamakan apabila zaman telah rusak atau takut dari fitnah-fitnah, khawatir

tergelincir kepada yang syubhât terlebih lagi kepada yang haram, maka uzlah menjadi

39

Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, h. 48. 40

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 76.

Page 84: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

70

lebih utama. Syekh Nawawi mengutip dari pendapat al-Ghazali menjelaskan bahwa

manfaat dari uzlah yakni:

1. Mencurahkan untuk beribadah, berfikir, nyaman bermunajat kepada Allah,

dan menyibukkan diri untuk mengungkap berbagai rahasia-rahasia Allah

dan kekuasaan-Nya yang ada di langit maupun di bumi.

2. Melucuti kemaksiatan-kemaksiatan yang timbul dari pergaulan pada

umumnya seperti ghibah (gosip), namîmah (mengadu domba), riyâ

(pamer kebajikan) dan berdiam diri dari memerintah kebaikan dan

melarang kemungkaran.

3. Menyelamatkan diri dari fitnah-fitnah dan permusuhan, dan melindungi

agama.

4. Menjaga diri dari kejahatan manusia dan menghindari menyakiti manusia

dengan ghibah atau prasangka buruk dan pemberian semangat yang

bohong, yang sulit memenuhinya atau dengan namîmah dan berdusta.

5. Memutus ketamakan orang-orang terhadap orang yang uzlah dan memutus

keinginan dirinya dari mereka.

6. Menyelamatkan diri dari menyaksikan orang-orang bodoh dan

menghindari menyamai kebodohan dan perilaku-perilaku mereka.41

9. Memperhatikan waktu

Maksudnya adalah untuk mempergunakan waktu dengan melaksanakan segala

ketaatan kepada Allah dalam setiap waktu yang dimiliki. Jangan sampai ada waktu

41

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 77-78.

Page 85: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

71

yang terabaikan begitu saja, karena kelalaian yang berkemungkinan membuntut

sehingga dapat melupakan diri sendiri dengan kesibukannya. Syekh Nawawi

menyarankan untuk mempergunakan waktu dalam memberi manfaat kepada orang-

orang dengan berbagi ilmu atau dengan mendidik dan mengkaji kitab-kitab.

Menghabiskan seluruh waktu untuk melakukan rutinitas-rutinitas ibadah seperti

sholat-sholat sunnah, membaca al-Qur‟an dan berdzikir.42

10. Makrifat

Makrifat ini merupakan salah satu maqâm seorang suluk yang sudah sampai

tersingkapnya hijab antara makhluk dengan Tuhan. Seorang sâlik setelah mengetahui

secara langsung semua rahasia-rahasia di balik penglihatan manusia biasa, dalam hal

ini Syekh Nawawi memberikan penjelasan bahwa, bagi seorang Muslim yang telah

mencapai derajat makrifat akan mendapatkan buah dari makrifat tersebut di

antaranya:

a. Rasa malu kepada Allah.

b. Rasa cinta kepada Allah.

c. Rindu berjumpa dengan Allah.

Yang dimaksud dengan rasa malu kepada Allah yaitu, malu melakukan

perbuatan-perbuatan buruk yang dilarang oleh-Nya. Karena Allah Maha Mengetahui,

di mana pun seorang sufi berada pasti rasa murâqabah (selalu merasa diawasi oleh

Allah) pasti ada sehingga sulit dan enggan untuknya melakukan perbuatan maksiat.

42

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 84-85.

Page 86: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

72

Jika seorang sufi telah mengetahui seluruh rahasia yang Allah miliki, maka rasa

kecintaan seorang sufi kepada Tuhannya akan meningkat, sampai rasa kecintaan ini

berlanjut kepada maqâm mahabbah, yang tidak memberikan ruang kecintaan dalam

hatinya selain Allah. Setelah rasa cinta itu ada dalam hati dan ingin selalu dekat dan

selalu berdua dengan-Nya, maka akan timbul rasa rindu jikalau terpisah dan ingin

kembali berjumpa dengan-Nya.43

Akibat yang diperoleh bagi seorang sufi yang telah sampai pada maqâm ini yaitu

tidak akan merasakan nikmat bergaul dengan makhluk-Nya, tidak menyukai hal-hal

keduniawian, tidak pernah terlibat dalam sengketa karena telah mengetahui hakikat

dari keadilan. Berikut Syekh Nawawi memberikan beberapa ciri seorang yang telah

sampai pada tingkatan jalan spiritual ini yaitu:

a. Selalu mencintai-Nya.

b. Hatinya selalu bersih dan dapat melihat kebenaran.

c. Banyak beramal saleh.44

B. Corak dan Karakteristik Tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani

Syekh Nawawi adalah salah satu tokoh Nusantara yang tetap mempertahankan

dan melestarikan nilai-nilai pemikiran para pendahulunya yang dianggap relevan

dengan situasi sekarang. Selain itu, ia juga terkenal dan dihormati karena keahliannya

dalam syarh dan hasyiyah atau menjelaskan ulang dari karya-karya tulis tokoh

43

Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 105-106. 44

Syekh Nawawi al-Bantani, Nasâ`ih al-„Ibâd, h. 110-113.

Page 87: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

73

pendahulunya yang dianggap sulit agar mudah dipahami dan dipelajari, serta

keberanian mengkritisi atau mengubah dan mengembangkan substansi materi

pemikiran para pendahulunya sehingga ia membangun pemikirannya sendiri. Syekh

Nawawi merupakan salah satu tokoh Muslim Jawa yang sangat produktif dalam

menghasilkan karya-karya tulis, seperti dalam fiqih, tauhid, hadits, tafsir, dan

tasawuf.

Yang membuat Syekh Nawawi tertarik dalam menuntut ilmu adalah karena

Syekh Nawawi dibesarkan dalam tradisi keagamaan yang kuat dan hidup di

lingkungan ulama. Selain itu ayahnya pun merupakan salah satu tokoh agama yang

sangat dipandang di daerahnya pada saat itu.45

Adapun selanjutnya yang menjadi

pengaruh terbentuknya corak pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani sehingga

menghasilkan berbagai karya tulis yang dapat diterima di semua kalangan yakni,

berasal dari guru-gurunya pada setiap bidang keilmuan Islam yang digeluti oleh

Syekh Nawawi. Khusus dalam bidang tasawuf, Syekh Nawawi banyak terpengaruh

dari Syekh Ahmad Khatib Sambas, meskipun ketika di Indonesia Syekh Nawawi

sempat berguru pada pamannya sendiri. Akan tetapi, dari karya-karya yang ditulisnya

banyak menggambarkan corak dari pemikiran gurunya yaitu Syekh Ahmad Khatib

Sambas, yang mana gurunya juga memiliki corak pemikiran al-Ghazali.46

Jika dilihat dari karakteristik umum tasawuf Syekh Nawawi yang tidak hanya

mengutamakan aktivitas spiritualnya untuk lebih dekat dengan Allah, akan tetapi ia

45

Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 144. 46

Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, h. 46-47.

Page 88: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

74

juga memperhatikan hubungan dengan sesama manusia agar keduanya menjadi

seimbang antara hubungan vertikal dengan horizontal. Karena ia menyadari bahwa

untuk mencapai derajat yang paling tinggi dalam perjalanan spiritual seperti dalam

melewati maqâmât tasawuf maka tidaklah untuk mengesampingkan hal-hal yang

bersifat lahiriah atau syariat. Segala bentuk syariat yang ada memiliki peran penting

sebagai penghantar untuk sampai kepada tingkatan jalan spiritual yang paling

tinggi.47

Selain itu Syekh Nawawi juga memiliki pendirian yang khas yakni dalam

menghadapi pemerintah kolonial, ia tidak agresif atau reaksioner. Namun demikian ia

sangat anti bekerja sama dengan pihak kolonial dalam bentuk apapun ia lebih suka

mengarahkan perhatiannya pada pendidikan, membekali murid-muridnya dengan

jiwa keagamaan dan semangat untuk menegakkan kebenaran. Adapun terhadap orang

kafir yang tidak menjajah, ia membolehkan umat Islam berhubungan dengan mereka

untuk tujuan kebaikan dunia. Ia memandang semua manusia adalah saudara,

sekalipun dengan orang kafir. Begitulah mulianya akhlak dari Syekh Nawawi yang

mencontohkan untuk tidak membeda-bedakan derajat manusia dalam akhlak.48

Jika diidentifikasi corak tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani dari segala

pemikiran dan amaliah yang ia contohkan, serta ciri khasnya dalam memecahkan

kebekuan antara syariat/fiqih dengan tasawuf merupakan termasuk dalam corak

tasawuf akhlaki atau sunni. Adapun yang menjadi bukti dari tasawuf akhlaki ini

47

Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 145-147. 48

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve,

1994), h. 24.

Page 89: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

75

seperti yang tergambar dari akhlaknya Syekh Nawawi yang tidak membeda-bedakan

manusia dalam derajat akhlak. Menurutnya, semua manusia layak diperlakukan dan

disikapi dengan akhlak yang terpuji sekalipun ia nonMuslim. Selain itu, pemikiran

yang menggambarkan tentang corak tasawuf akhlaki yakni pada perpaduan antara

tasawuf dan fiqih, yakni tentang ilmu lahir dan batin karena secara hakikat manusia

tersusun atas dua unsur yakni jasmani dan rohani. Untuk mengusai ilmu lahir maka

cukuplah dengan belajar dan berguru saja sehingga mencapai derajat „âlim,

sedangkan untuk meraih ilmu batin maka haruslah menjalani proses dzikir,

murâqabah dan musyâhadah sehingga sampai kepada derajat „ârif, oleh karena itu

menurutnya keterkaitan dari keduanya ini amatlah penting. Selain itu, amalan syariat

jika hanya dikerjakan secara formalitas saja akan tetapi tidak diresapi hati maka akan

hilang ruhnya. Kesemuanya itu menjadi cara bagi Syekh Nawawi untuk membentuk

jati diri manusia yang lebih baik dengan menguasai segala ilmu lahir maupun batin.49

Corak tasawuf Syekh Nawawi yang berorientasi pada akhlak ini jika

diperhatian banyak mengajarkan tentang bagaimana tahalli atau mengisi hati yang

telah kosong dari sifat-sifat tercela dengan amalan-amalan terpuji seperti taubat,

menanamkan rasa ikhlas, qana‟ah, rida, selalu berintropeksi diri agar tidak terjatuh

dalam kesalahan yang sama, mempelajari ilmu syari‟at, menjaga Sunnah Nabi dengan

mengamalkannya, memperhatikan waktu, dan uzlah dari hal-hal yang membuat hati

kotor. Semuanya itu mengarah kepada pembentukan jatidiri yang lebih baik dengan

selalu menjalankan perintah-perintah Allah, sehingga akan terbiasa dalam melakukan

49

Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 151.

Page 90: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

76

hal-hal kebaikan. Ini merupakan salah satu ciri dari tasawuf akhlaki yang dalam

pembentukannya harus melalui tiga tahap yakni takhalli (mengosongkan diri dari

akhlak tercela), tahalli (menghiasi diri dengan akhlak terpuji, dan tajalli (hilangnya

hijab atau terungkapnya nur ghaib) karena secara tujuan utama dari corak tasawuf

akhlaki adalah tazkiyatu al-Nafs (membersihkan hati) dan menanamnya dengan sifat-

sifat terpuji.50

Selain itu, corak tasawuf Syekh Nawawi juga termasuk kepada tasawuf amali

atau irfani, yang mencoba mengungkap hakikat kebenaran dan ma‟rifat tidak hanya

melalui logika, akan tetapi melalui pemberian Tuhan (mauhibah). Maka dari itu,

Syekh Nawawi menekankan pengamalan syariat, tarekat dan hakikat ini agar seorang

sâlik benar-benar dapat membersihkan hatinya, dan sampai tersingkapnya hijab

antara makhluk dengan Tuhan. Selain itu, Syekh Nawawi juga memerintahkan agar

mempelajari dua unsur keilmuan yakni lahir dan batin atau syari‟at dan tasawuf serta

memadukannya dalam pengaplikasiannya. Karena keduanya memiliki keterkaitan

yang sangat penting sebagaimana yang sudah dijelaskan pada Subbab sebelumnya.

Dilihat dari corak tasawuf akhlaki Syekh Nawawi ini memiliki karakter yang

moderat, karena segala pemikiran moderat terjauh dari pemikiran dan perilaku

ekstrim sehingga mudah untuk diterima oleh banyak orang. Terbukti dari berbagai

karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani yang diterima di berbagai pesantren dan

kalangan umum. Tidak hanya itu, bukti dari kemoderatan tasawuf akhlaki ini

tergambar pada diri Syekh Nawawi dalam kehidupan kesehariannya yang merupakan

50

Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 212-220.

Page 91: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

77

sosok yang tawadhu, banyak disegani dan dihormati oleh setiap kalangan karena

akhlak dan keilmuannya yang luhur, sehingga menjadi satu panutan tersendiri bagi

umat Muslim dan murid-muridnya. Selain itu, refleksi dari tasawuf akhlaki ini juga

bisa dilihat dari kepasrahan dan kepatuhannya kepada agama. Bentuk karakter ini

merupakan bentuk ketawaduan Syekh Nawawi dan beberapa pemikirannya seperti

ikhlas, qana‟ah dan ridha.51

Dengan demikian, dari beberapa corak tasawuf di ataslah yang menjadikan

Syekh Nawawi dijuluki sebagai tokoh Nusantara yang sangat produktif, sehingga

mampu memberikan sumbangan yang begitu besar bagi peradaban Islam di dunia dan

khususnya di Nusantara. Sesuai dengan hasil penelitian Martin Van Bruinesses

menunjukkan bahwa dalam kurikulum kitab rujukan di 46 pondok peantren klasik di

Indonesia menjadikan karya-karya Syekh Nawawi paling mendominasi. Di samping

dalam bidang tasawuf, pemikirannya ini juga memberikan pengaruh terhadap

perkembangan hukum di Indonesia.52

Maka dari itu, dengan adanya tulisan ini,

semoga dapat lebih memperkenalkan kembali kepada khalayak umum tentang Syekh

Nawawi dan beberapa pemikirannya agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan

sehari-hari.

C. Relevansi Pemikiran Syekh Nawawi dengan Zaman Modern

51

M Hasyim Syamhudi, Akhlak Tasawuf;Dalam Kontruksi Piramida Ilmu Islam, (Malang:

Madani Media, 2015), h. 276. 52

Ustadz Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, h. 156.

Page 92: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

78

Berpegangan kepada prinsip maqâmât tasawuf dan segala pengamalan yang

ditekankan oleh Syekh Nawawi, maka berikut relevansi tasawuf Syekh Nawawi pada

zaman modern ini.

Dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu mengembangkan

masa depan manusia, seperti melakukan introspeksi (muhâsabah) baik dalam

kaitannya dengan masalah-masalah vertikal maupun horizontal, meluruskan hal-hal

yang kurang baik, dan selalu berdzikir kepada Allah sebagai segala sumber nilai yang

dijadikan acuan dalam hidup agar selalu berada di dalam sunnatullâh dan sirât al-

mustaqîm.53

Untuk lebih mudah dipahami, penulis mengklasifikasikannya kepada tiga

bagian untuk menghubungkan tasawuf Syekh Nawawi dengan zaman modern ini,

agar dapat menjadi solusi dan mudah untuk diterapkan.

1. Takhalli

Pengosongan hati dari sifat-sifat tercela dengan taubat dan zuhud. Pada tahapan

pengosongan hati ini menjadi kunci untuk menghapus keburukan dan memulai

menanamkan kebaikan-kebaikan dalam hati dengan bertobat, seperti yang dikatakan

Syekh Nawawi bahwa taubat merupakan kunci ketaatan. Seseorang yang bertobat

berarti menyesali dan meninggalkan segala perbuatan buruk yang sudah diperbuat,

kecil ataupun besar kesalahan yang diperbuat jika manusia hendak bertobat maka

sesungguhnya Allah Maha Pengampun akan memberikan ampunan-Nya kepada siapa

saja yang memohon kepada-Nya, dengan kesungguhan dan ketaatan. Berhenti dari

53

Muzakkir, Membumikan Tasawuf; Dari Paradigma Ritual Formal Menuju Aksi Sosial,

(Jakarta: Kultura Jakarta, 2011), h. 89.

Page 93: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

79

segala kebiasaan buruk seperti pergaulan bebas, free sex, narkoba, tawuran dan

bertekad tidak mengulanginya. Selain itu, Syekh Nawawi selalu menganjurkan untuk

selalu beritrospeksi diri atau bermuhasabah dari segala aktifitas yang sudah

dilakukan, agar terhindar dari keburukan yang sudah dilakukan dengan tanpa

disadari.

Setelah hati seseorang bersih dan berniat untuk lebih taat kepada Allah, maka

berlanjut kepada maqâm selanjutnya yaitu zuhud. Pada maqâm ini manusia bukan

diharuskan menjauhi keduniawian, akan tetapi manusia dituntut harus lebih selektif

dalam memilih. Syekh Nawawi mengingatkan untuk tidak terikat dengan

keduniawian yang membuat manusia lupa dengan identitasnya selaku makhluk yang

berkewajiban beribadah sepenuhnya kepada Allah. Karena hakikat dari zuhud ini

menurut Syekh Nawawi adalah keyakinan yang ada di tangan jangan sampai melebihi

keyakin kepada Tuhan.54

Artinya, apapun yang dimiliki saat ini baik berupa harta

yang banyak, jabatan yang tinggi, istri yang cantik, anak yang pintar, jangan sampai

kesemuanya itu membuat lupa bahwa semua itu adalah berasal dari Allah. Karena

penyakit yang timbul dari sifat zuhud ini adalah riya dan sombong, membanggakan

diri sendiri bahwa apa yang dimilikinya saat ini semata-mata adalah berkat usaha dan

kerja keras yang selama ini ia lakukan.

Maka dari itu, dengan kedua poin wasiat yang diajarkan oleh Syekh Nawawi ini

menjadi solusi untuk benar-benar membersihkan hati dari sifat, kebiasaan dan sesuatu

54

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 38-42.

Page 94: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

80

hal yang jelek, serta mengkosongkan hati dengan tidak terikat dengan sesuatu apapun

yang berbentuk semu dan mulai menanaminya dengan bibit kebaikan dan ketaatan.

2. Tahalli

Upaya pengisian hati dengan sifat-sifat terpuji seperti qanaah, ikhlas, tawakal,

mempelajari ilmu syariat, menjaga Sunnah, dan uzlah. Keseluruhan amalan ini

merupakan wasiat yang dibawa oleh Syekh Nawawi yang memiliki relevansi

tersendiri pada saat ini. Pada tahapan ini, setelah hati seseorang kosong dan mulai

menanamkannya dengan nilai-nilai kebaikan seperti zuhud, maka kemudian akan

lahirlah sikap qanaah. Sebagaimana Syekh Nawawi menjelaskan bahwa qanaah

berarti ridho dengan apa yang telah ditentukan.55

Maksud dari ridho di sini adalah

ridho untuk meninggalkan segala hal yang dapat mengantarkan pada puncak

kedudukan duniawi dan meninggalkan segala yang terbaik dari sudut pandang

duniawi, baik makanan, minuman dan tempat hunian. Maka cukup untuk mencari

hal-hal yang penting saja, yakni segala hal yang dapat mendatangkan manfaat untuk

dirinya atau untuk agamannya dan meninggalkan segala yang tidak penting, yakni

segala hal yang tidak menghantarkannya dengan baik menuju akhirat.56

Amalan selanjutnya dari Syekh Nawawi adalah ikhlas. Dengan ikhlas ini dapat

membersihkan segala kotoran yang melekat di hati, sedikit atau banyak sehingga

tujuan mendekatkan diri benar-benar murni karena Allah, bukan yang lain, dan nilai

yang diharapkan pun hanyalah ridha Allah. Hal ini hanya akan datang dari seorang

55

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 34. 56

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 34-36.

Page 95: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

81

yang mencintai Allah dan menggantungkan seluruh harapannya di akhirat, yang tidak

tersisa tempat di hatinya untuk mencintai dunia. Bila ia bekerja, makan-minum,

semuanya dikerjakan dengan ikhlas dan niat yang benar. Seorang yang dipenuhi oleh

kecintaan kepada Allah dan akhirat, maka seluruh aktifitas hariannya merupakan

cerminan dari cita-citanya, sehingga keseluruhan dilakukan dengan ikhlas. Demikian

sebaliknya, orang yang telah dikalahkan oleh gemerlap dunia, status sosial, pangkat

dan segala sesuatu selain Allah, maka seluruh aktivitas hariannya pun merupakan

cerminan dari harapan-harapannya, sehingga shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah

lainnya tidak dikerjakan dengan ikhlas, yang ada hanya sebatas menggugurkan

kewajiban dirinya.57

Jadi kunci dari keikhlasan tersebut adalah, kita harus yakin

bahwa Allah yang Maha membalas, Allah yang Maha Menyaksikan dan Allah yang

Maha Mengetahui atas semua yang kita inginkan.

Kemudian dari sikap ini akan melahirkan sikap tawakal kepada Allah.

Sebagaimana penjelasan di atas, menurutnya tawakal adalah berpasrah kepada

ketentuan qadâ dan qadâr Allah atau menyerahkan seluruh hasil dari apa yang ia

usahakan kepada Allah.58

Bukan berarti tawakal hanya pasrah menyerahkan

seluruhnya kepada Allah tanpa adanya usaha, akan tetapi sebenarnya tawakal adalah

kepasrahan yang didasarkan atas usaha dan kerja keras. Sehingga seseorang yang

menyandarkan dan meyakinkan semuanya kepada Allah terhadap baik atau buruknya

hasil yang ia terima akan terhindar dari sikap-sikap buruk yang kemungkinan akan

menimpannya, seperti stres, putus asa, depresi atau sejenisnya. Dengan

57

Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, h. 47. 58

Syekh Nawawi al-Bantani, Salâlim al-Fudalâ, h. 58.

Page 96: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

82

menyandarkan seluruhnya kepada Allah maka seseorang akan yakin bahwa

seluruhnya hasil yang ia terima adalah yang terbaik di mata Allah yang mungkin ada

hikmah di setiap hal yang diterimanya.

Melihat realita kehidupan saat ini, tidak sedikit manusia kehilangan kepercayaan

dirinya dan muncul sikap ragu-ragu. Salah satu faktor yang menjadi penyebab dari

ketidak-percayaan diri atau keraguan ini muncul didasarkan karena kurangnya ilmu

pengetahuan yang matang, sehingga seseorang ragu apakah perbuatan yang ia

lakukan benar ataukah salah. Maka dari itu, salah satu wasiat yang diajarkan oleh

Syekh Nawawi adalah untuk mempelajari ilmu syariat Islam, guna mengabsahkan

segala ibadah yang dilakukan. Karena seseorang yang mengetahui tata cara, manfaat

dan tujuan dari satu ibadah maka sempurnalah pahala yang didapatkan. Selain itu,

dengan mempelajari ilmu syariat dengan baik maka akan terhindar dari sikap saling

menyalahkan, saling mengkafirkan, atau menganggap bahwa ajaran yang di luar dari

pemikirannya adalah salah. Sedangkan, pada hakikatnya segala syariat yang diajarkan

dalam Islam keseluruhannya adalah mengajarkan kasih sayang rahmatan li al-

„âlamîn.

Amalan selanjutnya adalah menjaga Sunnah atas segala sesuatu yang disandarkan

kepada Nabi Muhammad dari perkataan dan perbuatan, karena sebagaimana

dikatakan dalam sebuah hadits bahwa diutusnya Nabi Muhammad tidak lain adalah

untuk menyempurnakan akhlak. Mungkin sebagian Muslim merasa cukup dengan

hanya menjalankan yang wajib saja tanpa menjalankan Sunnah-Sunnahnya. Akan

tetapi perlulah diketahui, bahwa dalam setiap menjalankan kewajiban pastilah di

Page 97: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

83

dalamnya terdapat kecacatan yang mungkin tidak disadari. Oleh karena itu, dengan

mengerjakan Sunnah-Sunnah Nabi serta menjaganya agar tetap bisa istiqomah dalam

menjalankannya akan menjadi penambal kecacatan dalam melaksanakan ibadah

wajib, serta menjadi penyempurna bagi Muslim terutama dalam perjalanan spiritual

untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.

Wasiat selanjutnya adalah uzlah, sebagaimana Syekh Nawawi berpendapat

tentang uzlah bahwa, uzlah bukan berarti mengasingkan diri dari hidup bersosial.

Akan tetapi, uzlah menurut Syekh Nawawi adalah tetap melaksanakan segala aktifitas

sosialnya dengan senantiasa memelihara hati agar tidak terdistorsi hal-hal negatif.

Dengan demikian berarti di tengah kesibukannya menunaikan tanggung jawab sosial

ia masih menjaga kestabilan dalam menjalankan ketaatannya kepada Tuhan.

3. Tajalli

Tajalli ini bermakna pencerahan atau tersingkapnya segala hijab yang menutupi

antara makhluk dengan segala rahasia Tuhan. Wujud akhir sebagai puncak dari segala

perjalanan yakni berupa makrifatullah. Dalam tingkatan ini, seseorang yang

melakukan segala ketaatan bukan karena kewajiban atau perintah dari Tuhan, akan

tetapi ia sudah mengetahui rahasia di balik itu semua dari kenikmatan yang akan

didapat, kebahagiaan yang akan dirasakan, sehingga menjadi pengetahuan langsung

bagi seorang sâlik dalam menjalankan segala syariat Islam. Sungguh akan menjadi

masyarakat yang diidam-idamkan jika dalam pengamalan segala kewajibannya tidak

Page 98: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

84

terbebani dengan itu, akan tetapi karena mereka tahu manfaat dan hasil yang ada di

balik seluruh kewajiban itu.

Jadi jelaslah bahwa tanggung jawab tasawuf terhadap sosial bukanlah melarikan

diri dari kehidupan dunia dengan segala tipu daya dan muslihatnya, akan tetapi ia

adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah yang baru, yang

akan membentengi diri saat menghadapi problem hidup dan kehidupan yang serba

materialistik, dan berusaha merealisasikan keseimbangan jiwa sehingga timbul

kemampuan menghadapi beragam problem tersebut dengan sikap jantan.

Page 99: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

85

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Setelah menganalisa dan mendeskripsikan pembahasan di atas, berikut

penulis akan kemukakan beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari praktik

tasawuf Syekh Nawawi al-Bantani, corak tasawufnya dan relevansi pemikirannya

dengan zaman modern ini. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis temukan dari

berbagai referensi, khususnya referensi primer yang penulis ambil dari karya

Syekh Nawawi al-Bantani yang berkaitan dengan tasawuf yaitu Salālim al-

Fuḍalā, Nasâ‟ih al-„Ibâd, dan Qâmi‟ Tughyân serta kitab-kitab sekunder lainnya,

sampai mendapatkan kesimpulan bahwa inti dari tasawuf Syekh Nawawi al-

Bantani adalah pengamalan dari syariat, tarekat dan hakikat, karena ketiga unsur

ini sangat penting dan memiliki keterkaitan diantaranya sehingga tidak bisa

dipisahkan.

Jalan pertama yang harus dilalui seorang Muslim untuk lebih dekat dengan

Allah adalah syariat. Menurut Syekh Nawawi syariat adalah mematuhi berbagai

hukum dan aturan dari Allah yang bersumber dari al-Qur‟an dan Hadits berbentuk

wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Kemudian seorang Muslim harus

melalui tarekat, yaitu memperdalam pelaksanaan syariat melalui amalan-amalan

Sunnah dan menghindari perilaku makruh dan mubah, serta dengan merutinkan

amalan-amalan khusus dan dzikir (riyāḍah). Dalam menjalani tarekat ini, Syekh

Nawawi mengharuskan kepada Muslim agar mengikuti seorang guru (mursyīd).

Page 100: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

86

Syekh Nawawi membebaskan untuk memilih mursyīd dan tarekat apa pun, selama

tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah.

Setelah melalui syariat dan tarekat, maka seorang penempuh jalan spiritual

akan menemukan hakikat. Menurut Syekh Nawawi, orang yang sampai kepada

hakikat akan memahami dengan mendalam hakikat segala sesuatu seperti

menyaksikan nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan Dzat Allah, rahasia-

rahasia al-Qur‟an, rahasia-rahasia larangan, kebolehan, dan ilmu-ilmu gaib.

Adapun satu kesatuan lainnya dari konsep syariat, tarekat dan hakikat diturunkan

ke dalam sepuluh wasiatnya untuk menempuh jalan spiritual atau dapat diterapkan

agar sampai kepada pencapaian maqâm yang terdekat dengan Allah di dunia

maupun di akhirat nanti. Wasiat tersebut yaitu:

1. Taubat

2. Qana‟ah

3. Zuhud

4. Mempelajari ilmu syariat

5. Menjaga sunnah-sunnah

6. Tawakal

7. Ikhlas

8. Uzlah

9. Memperhatikan waktu

10. Ma‟rifat

Seluruh konsep tasawuf Syekh Nawawi di atas berorientasi pada corak

tasawuf akhlaki atau Sunni yang banyak mengajarkan tentang cara tahalli

Page 101: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

87

(menghiasi diri dengan akhlak-akhlak terpuji) serta segala ajarannya yang

bertujuan pada akhlak dan tasfiyatu al-qalb (pembersihan hati) dengan

berlandaskan pada al-Qur‟an dan Sunnah. Selain itu konsep tasawuf Syekh

Nawawi juga termasuk dalam corak tasawuf amali karena berusaha mencari

kebenaran hakiki dan ma‟rifat tidak menggunakan logika, yakni dengan

pemberian Tuhan (mauhibah) dengan jalan penerapan syariat, tarekat dan hakikat,

sehingga menjadi satu jalan untuk mencapai tingkatan terdekat dengan Tuhan.

Secara karakteristik pemikiran yang paling menjadi identitas dari Syekh Nawawi

adalah karya tulisnya yang berbentuk syarh atau penjelasan ulang atas karya dari

tokoh pendahulunya, selain itu juga dalam tasawufnya ia terkenal sebagai

pemecah kebekuan dikhotomi antara tasawuf dan fiqih.

Jelaslah, dari semua konsep tasawuf Syekh Nawawi dapat dipraktikkan

guna menjadi solusi mengentaskan permasalahan di zaman modern ini. Karena

sebagian besar konsep yang diajarkan merupakan wasiat-wasiat untuk diamalkan

dalam keseharian. Sehingga manusia dapat memiliki orientasi hidup yang jelas

dan terarah dengan konsep yang diajarkan. Seperti halnya perintah untuk

menanamkan sifat qanaah, ikhlas, ridha agar terhindar dari penyakit-penyakit hati,

serta anjuran selalu melakukan intropeksi (muhâsabah) dan bertawakal agar

terhindar dari stress dan keputusasaan. Secara keseluruhan, segala pemikirannya

menjadi persenjataan untuk menghadapi zaman yang sudah terdegradasi dengan

hal-hal buruk seperti pergaulan bebas, narkoba dan lainnya.

Page 102: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

88

DAFTAR PUSTAKA

Aizid, Ustad Rizen, Biografi Ulama Nusantara: Disertai Pemikiran dan

Pengaruh Mereka,(Yogyakarta: Diva Press, 2016).

Alba, Cecep, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012).

Al-Bantani, Syekh Nawawi, Nashâ`ih al-„Ibâd, Penerjemah Fuad Saifudin Nur,

(Jakarta: Wali Pustaka, 2006).

Al-Bantani, Syekh Nawawi, Salâlim al-Fudholâ, Penerjemah Nasrullah dan

Zainal Arifin Yahya, (Jakarta; Pustaka Mampir, 2006).

Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, terj. Suwarjo Muthary dan Abdul Hadi (Bandung:

Mizan Pustaka, 1992).

Al-Tafthazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad Rafi‟ Usmani,(Bandung:

Pustaka ITB, 1985).

Amin, Samsul Munir, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012).

Azra, Azyumardi dkk, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008).

Daudy, Ahmad, Kuliah Tasawuf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998).

Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993).

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru

van Hoeve, 1994).

Hajjaj, Dr. Muhammah Fauqi, Tasawuf Islam & Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011).

Hasan, A Rifai, Warisan Intelektual Islam Indonesia atas Karya-Karya Klasik,

(Bandung: Mizan, 1987).

Isa, Syeikh Abdul Qadir, Cetak Biru Tasawuf:Spiritualitas Ideal dalam Islam,

(Jakarta: Ciputat Press, 2007).

Page 103: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

89

Ismail, Asep Usman, Tasawuf Menjawab Tantangan Global Upaya Membangun

Karakter Muslim, (Jakarta: Trans Pustaka, 2012).

Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Wonosobo:

Amzah, 2005).

Kabbani, Syekh Muhammad Hisyam, Tasawuf dan Ihsan, (Jakarta: Serambi Ilmu

Semesta, 2015).

Kartanegara, Mulyadi, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Erlangga,

2006).

Malik, Abdul dkk, Jejak Ulama Banten, (Serang: Biro Humas dan Protokol Setda

Banten, 2014).

Mas‟ud, Abdurrahman, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek

Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006).

Moh Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf dalam Dunia

Modern, (Malang: UIN Malang Press, 2008).

Muzakkir, Membumikan Tasawuf; Dari Paradigma Ritual Formal Menuju Aksi

Sosial, (Jakarta: Kultura Jakarta, 2011).

Muzakkir, Tasawuf Jalan Mudah Menuju Ilahi, (Jakarta: Gaung Persada Press,

2012).

Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam,(Jakarta: Bulan Bintang,

1973).

Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008).

Nawawi, Syekh Muhammad bin Umar, Qâmi‟ al-Tughyân, (Semarang: Toha

Putra).

Page 104: PRAKTIK TASAWUF SYEKH NAWAWI AL-BANTANIrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40443/1/HIDAYATUL...Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan mengenai konsep dan

90

Ramli, Rafi‟udin, Sejarah Hidup dan Silsilah Syekh Kyai Muhammad Nawawi

Tanara, (Banten: Yayasan Syekh Nawawi al-Bantani, 1399 H).

Rifa‟i, Muhammad, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: PT Karya Toha Putra,

1978).

Rusli, Ris‟an, Tasawuf dan Tarekat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013)

Shihab, Alwi, Akar Tasawuf di Indonesia, (Depok: Pustaka IIMaN, 2009).

Syamhudi, M Hasyim, Akhlak Tasawuf;Dalam Kontruksi Piramida Ilmu Islam,

(Malang: Madani Media, 2015).

Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2013).

Toha, Mahmud, Mustholah Hadits,(Kuwait: Haromain, 1985).

Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016).