praktek kerja profesi di apotek kimia farma no. … · yang dilakukan oleh apoteker dan tenaga...

106
UNIVERSITAS INDONESIA PRAKTEK KERJA PROFESI DI APOTEK KIMIA FARMA NO. 389 DEPOK PERIODE BULAN JULI 2017 LAPORAN PRAKTEK KERJA ARGA WAHYU HIDAYAT 1606965783 FAKULTAS FARMASI PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER DEPOK DESEMBER 2017

Upload: phamnhu

Post on 20-Jun-2019

253 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

UNIVERSITAS INDONESIA

PRAKTEK KERJA PROFESI DI APOTEK KIMIA

FARMA NO. 389 DEPOK PERIODE BULAN JULI 2017

LAPORAN PRAKTEK KERJA

ARGA WAHYU HIDAYAT

1606965783

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

DEPOK

DESEMBER 2017

ii

UNIVERSITAS INDONESIA

PRAKTEK KERJA PROFESI DI APOTEK KIMIA

FARMA NO. 389 DEPOK PERIODE BULAN JULI 2017

LAPORAN PRAKTEK KERJA

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Apoteker

ARGA WAHYU HIDAYAT

1606965783

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

DEPOK

DESEMBER 2017

iii

iv

v

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur diucapkan kepada Gusti Allah yang Maha Agung atas

segala rahmat dan pertolongan-Nya dalam penulisan laporan praktek kerja profesi

Apoteker ini. Penyusun mengucapkan terima kasih atas dukungan kepada:

1. Ibu Irma Nuryantie, S. Farm, Apt. dan Ibu Dra. Azizahwati, M.S, Apt. selaku

pembimbing yang telah membimbing, memotivasi selama praktek kerja

berlangsung dan penyusunan laporan.

2. Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi UI yang telah

memberikan kesempatan untuk melaksanakan Praktek Kerja Profesi

Apoteker.

3. Dr. Hayun, M.Si., Apt, selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas

Farmasi UI sekaligus pembimbing akademis yang telah memberikan

bimbingan, saran, bantuan dan dukungan selama perkuliahan di Fakultas

Farmasi.

4. Seluruh karyawan Apotek Kimia Farma No. 389 atas bantuan dan

dukungannya selama pelaksanaan praktek kerja profesi Apoteker.

5. Seluruh dosen dan staff Fakultas Farmasi yang telah mengajar, mendidik, dan

membantu selama masa perkuliahan dan penyusunan laporan akhir.

6. Ayah, Ibu dan keluarga, terima kasih atas kasih sayang, doa dan semangat

selama menyelesaikan perkuliahan dan laporan Praktek kerja ini.

Akhir kata, semoga Gusti Allah yang Maha Agung berkenan membalas

segala kebaikan semua pihak yang telah membantu dan semoga laporan PKPA ini

dapat memberi manfaat nyata bagi Farmasi UI, masyarakat dan Indonesia.

Depok, Desember 2017

Penyusun

vii

DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ........................................ iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. iv

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... x

BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1 Latar belakang .......................................................................................... 1

1.2 Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN UMUM APOTEK ................................................................ 3

2.1 Definisi dan Fungsi Apotek ...................................................................... 3

2.2 Persyaratan Apotek ................................................................................... 3

2.2.1. Lokasi dan Bangunan Apotek .................................................................. 3

2.2.2 Sarana dan Prasarana di Apotek ............................................................... 4

2.2.3 Sumber Daya Manusia di Apotek ............................................................ 5

2.3 Perizinan Pendirian Apotek ......................................................................... 7

2.4 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis

Pakai ......................................................................................................... 8

2.4.1 Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, dan Obat Keras ................................. 8

2.4.2 Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor ................................................. 11

2.5 Pelayanan Farmasi Klinik ...................................................................... 17

BAB 3 TINJAUAN KHUSUS PT. KIMIA FARMA APOTEK ...................... 22

3.1 Struktur Organisasi PT. Kimia Farma Apotek ....................................... 22

3.2 Apotek Kimia Farma 389 ....................................................................... 23

3.3 Lokasi dan Tata Ruang Apotek .............................................................. 23

3.3.1 Lokasi ..................................................................................................... 23

3.3.2 Tata Ruang ............................................................................................. 24

3.4 Struktur Organisasi dan Personalia ........................................................ 26

3.5 Kegiatan Apotek Kimia Farma No. 389 ................................................. 28

3.5.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP .................. 28

3.5.2 Pelayanan Farmasi Klinis ....................................................................... 28

BAB 4 PELAKSANAAN PRAKTEK KERJA PROFESI .............................. 34

4.1 Tempat dan Waktu ................................................................................. 34

viii

4.2 Uraian Kegiatan PKPA .......................................................................... 34

BAB 5 PEMBAHASAN ...................................................................................... 40

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 49

6.1 Kesimpulan ............................................................................................. 49

6.2 Saran ....................................................................................................... 49

DAFTAR ACUAN ............................................................................................... 51

LAMPIRAN ......................................................................................................... 53

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Penandaan Obat Bebas …………………………...…………….. 9

Gambar 2.2 Penandaan Obat Bebas Terbatas ……………………....……….. 9

Gambar 2.3 Peringatan Obat Bebas Terbatas ……………………….....……. 9

Gambar 2.4 Penandaan Obat Keras …………………………………………. 9

Gambar 2.5 Penandaan Obat Narkotika.……………………....……………... 11

Gambar 3.1 Logo PT. Kimia Farma (Persero), Tbk ...……………….……… 22

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Denah Lokasi Apotek Kimia Farma No. 389……………………… 54

Lampiran 2 Desain dan Rancang Bangun Apotek Kimia Farma No. 389……… 54

Lampiran 3 Lembar Surat Pesanan Narkotika ………………............................. 55

Lampiran 4 Lembar Surat Pesanan Psikotropika ……………….……………… 55

Lampiran 5 Lembar Bon Pengambilan Obat ………………………………....… 56

Lampiran 6 Lembar Kuitansi Pembayaran Resep/Tunai ……………………….. 56

Lampiran 7 Salinan Resep ……………………………………………………… 57

Lampiran 8 Kemasan dan Etiket ………………………………………………... 57

Lampiran 9 Contoh Label Obat ………………………………………………… 58

Lampiran 10 Alur Pelayanan Resep ……………………………………………... 58

Lampiran 11 Apotek Kimia Farma No. 389 ……………………………………... 59

Lampiran 12 Laporan Tugas Khusus …………………………………………….. 60

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kesehatan, baik sehat secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (UU

No. 36 Tahun 2009), adalah suatu kebutuhan sekaligus hak bagi setiap warga

negara Indonesia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) RI tahun 1945.

Kesehatan merupakan suatu faktor yang sangat krusial dalam mewujudkan sumber

daya manusia yang unggul dan berkualitas demi tercapainya tujuan bangsa, yaitu

memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dalam

koridor pembangunan nasional.

Untuk mewujudkan pemerataan kesehatan pada masyarakat dengan seluas

– luasnya, dibutuhkan dukungan sumber daya kesehatan, sarana kesehatan, dan

sistem pelayanan kesehatan yang optimal. Salah satu sarana penunjang kesehatan

yang memiliki peran penting dalam mewujudkan peningkatan derajat kesehatan

bagi masyarakat adalah Apotek, termasuk didalamnya pekerjaan kefarmasian,

meliputi pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,

penyimpanan, pendistribusian Obat, pelayanan informasi Obat, serta

pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat tradisional (PP No. 51 Tahun 2009)

yang dilakukan oleh Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.

Apotek sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam proses distribusi akhir

dari sediaan farmasi dan alat kesehatan memiliki dua fungsi utama, yaitu

pengabdian kepada masyarakat (non profit oriented) dan bisnis sebagai retailer

(profit oriented), kedua fungsi dari Apotek tersebut tidak dapat dipisahkan antara

satu dengan yang lainnya, Apotek sebagai unit bisnis harus dikelola dengan baik

untuk menjaga kelangsungan hidupnya (sustainability) dengan menjaga arus kas

dan biaya operasional tetap dalam tingkat yang aman.

Disisi lain, Apotek tidak boleh melupakan peran sosialnya, yaitu

menyediakan Obat – Obatan dan perbekalan farmasi yang aman, bermutu,

berkualitas dan terjangkau, serta memastikan bahwa segala informasi, konsultasi

2

Universitas Indonesia

dan evaluasi mengenai Obat yang dibutuhkan oleh masyarakat telah diberikan

dengan sebaik – baiknya, sehingga tujuan Apotek dalam memelihara dan menjaga

kesehatan masyarakat dapat tercapai.

Mengingat pentingnya peran Apotek tersebut, maka dibutuhkan Apoteker

yang kompeten dan terampil serta memahami maupun menguasai aspek – aspek

yang berhubungan dengan pengelolaan Apotek yang tepat, kemampuan institusi

pendidikan yang menciptakan sumber daya manusia calon Apoteker yang

berkualitas menjadi faktor yang sangat krusial. Oleh sebab itu, Program Studi

Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia bekerja sama dengan PT.

Kimia Farma Apotek menyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA)

yang berlangsung pada periode 3-29 Juli 2017. PKPA ini diharapkan dapat

memberikan pemahaman kepada calon Apoteker mengenai peranan Apoteker di

Apotek, sebagai sarana pelatihan langsung secara bertanggung jawab untuk

menerapkan ilmu yang telah didapatkan dalam perkuliahan, serta mempelajari

aspek – aspek dan permasalahan yang timbul dalam pengelolaan suatu Apotek.

1.2 Tujuan

Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Kimia Farma No. 389, Jalan

Nusantara Raya No. 33 Depok bertujuan agar calon Apoteker:

a. Mampu memahami tugas dan tanggung jawab Apoteker dalam pengelolaan

Apotek, serta melakukan praktek pelayanan kefarmasian sesuai dengan

ketentuan perundang – undangan dan etika yang berlaku.

b. Memiliki wawasan, pengetahuan, keterampilan dan pengalaman praktis untuk

melakukan praktek kefarmasian di Apotek.

c. Memiliki gambaran nyata tentang permasalahan praktek kefarmasian serta

mempelajari strategi dan kegiatan – kegiatan yang dapat dilakukan dalam

rangka pengembangan praktek kefarmasian.

3 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN UMUM APOTEK

2.1. Definisi dan Fungsi Apotek

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun

2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Apotek berfungsi sebagai sarana pelayanan

kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Pekerjaan

kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu

sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau

penyaluranan Obat, pengelolaan Obat, pelayanan Obat atas Resep dokter,

pelayanan informasi Obat, serta pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat

tradisional.

Salah satu praktek kefarmasian yang dapat dilakukan di Apotek yaitu

pelayanan kefarmasian dimana pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 73 tahun

2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek adalah suatu pelayanan

langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan

farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu

kehidupan pasien.

2.2. Persyaratan Apotek

2.2.1. Lokasi dan Bangunan Apotek

Jarak antara Apotek tidak dipersyaratkan, namun Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran Apotek di wilayahnya dengan

memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kefarmasian.

Lokasi Apotek harus memenuhi Persyaratan kesehatan lingkungan Apotek dapat

didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan dan komoditi lainnya

diluar sediaan farmasi (Menteri Kesehatan RI, 2017). Selain itu juga

mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan, jumlah

penduduk, dan kemampuan daya beli penduduk di sekitar lokasi Apotek, dan

keamanan.

Bangunan Apotek harus dapat memberikan keamanan, kenyamanan, dan

kemudahan dalam pemberian pelayanan kepada pasien termasuk penyandang cacat,

4

Universitas Indonesia

anak – anak dan orang lanjut usia. Selain itu, Apotek harus mempunyai luas yang

cukup dan memenuhi persyaratan teknis sehingga dapat menjamin kelancaran

pelaksanaan tugas dan fungsi Apotek, serta memelihara mutu perbekalan kesehatan

di bidang farmasi. Apotek sekurang-kurangnya harus memiliki ruang penerimaan

Resep, ruang pelayanan Resep dan peracikan maupun produksi sediaan secara

terbatas; ruang penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan; ruang konseling;

ruang penyimpanan sediaan farmasi dan alat kesehatan; dan ruang arsip. Bangunan

Apotek harus bersifat permanen dan merupakan bagian dan/atau terpisah dari pusat

perbelanjaan, apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah susun, dan bangunan

yang sejenis (Menteri Kesehatan RI, 2017)..

Apotek juga harus dilengkapi dengan sumber air yang memenuhi syarat

kesehatan, penerangan yang baik, alat pemadam kebakaran yang befungsi baik,

ventilasi dan sistem sanitasi yang baik dan memenuhi syarat higienis, serta papan

nama. Papan nama terdiri atas papan nama Apotek yang memuat paling sedikit

informasi mengenai nama Apotek, nomor SIA, dan alamat, serta papan nama

praktek Apoteker yang memuat paling sedikit informasi mengenai nama Apoteker,

nomor SIPA, dan jadwal praktek Apoteker. Papan nama harus dipasang di dinding

bagian depan bangunan atau dipancangkan di tepi jalan, secara jelas dan mudah

terbaca. Selain itu, jadwal praktek Apoteker harus berbeda dengan jadwal praktek

Apoteker yang bersangkutan di fasilitas kefarmasian lain (Menteri Kesehatan RI,

2017).

2.2.2. Sarana dan Prasarana di Apotek

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 9 Tahun 2017 tentang

Apotek, sarana dan prasarana Apotek ditujukan untuk menjamin mutu Sediaan

Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta kelancaran praktek

Pelayanan Kefarmasian. Sarana dan Prasarana di Apotek terdiri atas:

a. Area peneriman Resep

Area ini ditempatkan di bagian paling depan sehingga mudah terlihat oleh

pasien. Sekurang kurangnya terdiri atas counter penerimaan resep serta satu set

komputer untuk melakukan pekerjaan administrasi.

5

Universitas Indonesia

b. Ruang pelayanan Resep dan peracikan

Ruang pelayanan Resep dan peracikan meliputi rak Obat dan meja peracikan.

Sekurang-kurangnya tersedia peralatan peracikan, timbangan Obat, air minum

(mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan pengemas Obat, lemari

pendingin, termometer ruangan, blanko salinan Resep, etiket, dan label Obat.

Ruangan dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan.

c. Area penyerahan Obat

Area penyerahan Obat berupa counter penyerahan Obat yang dapat

digabungkan atau bersebelahan dengan counter penerimaan Resep.

d. Ruang konseling

Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi

konseling, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu konseling, buku

catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien.

e. Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan Bahan Medis Habis

Pakai (BMHP).

Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,

kelembaban, serta ventilasi untuk menjamin mutu produk dan keamanan

petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan lemari Obat, pendingin

ruangan (AC), lemari pendingin, alat pengukur suhu dan catatan suhu.

f. Ruang arsip

Digunakan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan

sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP serta catatan pelayanan kefarmasian

seperti catatan konseling maupun catatan pengobatan pasien dalam jangka

waktu tertentu.

2.2.3 Sumber Daya Manusia di Apotek

Semua Apoteker yang akan melaksanakan praktek kefarmasian harus memiliki

sertifikat kompetensi Apoteker. Sertifikat kompetensi profesi Apoteker berlaku selama

lima tahun dan dapat dilakukan sertifikasi ulang setelah habis masa berlakunya. Calon

Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi harus mengikuti Uji Kompetensi

Apoteker Indonesia (UKAI) sebelum dapat diberikan sertifikat kompetensi Apoteker.

(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2016).

6

Universitas Indonesia

Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker lain, Tenaga Teknis Kefarmasian

(TTK) dan/ atau tenaga administrasi dalam pengelolaan Apotek. Apoteker wajib

memiliki surat izin praktek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

berupa Surat Izin Praktek Apotek (SIPA). (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,

2017). Sebelum memperoleh SIPA, Apoteker harus memiliki Surat Tanda

Registrasi Apoteker (STRA). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 31

tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Nomor 889 tahun 2011 tentang

Registrasi, Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, STRA diberikan oleh

Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi. Menteri akan mendelegasikan

pemberian STRA kepada Komite Farmasi Nasional (KFN). Masa berlaku STRA

selama 5 tahun dan dapat diregistrasi ulang selama memenuhi persyaratan. Untuk

memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Memiliki ijazah Apoteker;

b. Memiliki sertifikat kompetensi profesi;

c. Memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;

d. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat

izin praktek; dan

e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Pengurusan SIPA dilakukan di Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu

Pintu Kabupaten/Kota tempat Apoteker akan melaksanakan Pekerjaan

Kefarmasian. Permohonan SIPA harus melampirkan:

a. Fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;

b. Surat pernyataan mempunyai tempat praktek profesi atau surat keterangan dari

pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian;

c. Surat rekomendasi dari organisasi profesi; dan

d. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4 sebanyak 2

(dua) lembar.

Apoteker yang bekerja di fasilitas pelayanan kefarmasian dapat memiliki

paling banyak 3 SIPA untuk fasilitas pelayanan kefarmasian, sementara Apoteker

yang memiliki SIA (Surat Izin Apotek), boleh memiliki paling banyak 2 SIPA di

fasilitas pelayanan kefarmasian lain.

7

Universitas Indonesia

2.3. Perizinan Pendirian Apotek

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 9 tahun 2017 tentang Apotek,

Apotek dapat didirikan oleh Apoteker dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik

modal baik perorangan maupun perusahaan. Namun, pekerjaan kefarmasian harus tetap

dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan apabila pendirian suatu Apotek

bekerja sama dengan pemilik modal. Sebelum suatu Apotek dapat beroperasi, seorang

Apoteker harus memiliki Surat Izin Apotek (SIA). SIA berlaku selama 5 tahun dan dapat

diperpanjang apabila masih memenuhi persyaratan. Apoteker harus mengajukan

permohonan tertulis untuk memperoleh SIA melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu

(PTSP) Kabupaten/Kota apabila perizinan dilakukan diluar wilayah DKI Jakarta

atau PTSP Kecamatan apabila perizinan dilakukan di wilayah DKI Jakarta.

Permohonan harus ditandatangani oleh Apoteker disertai dengan kelengkapan

dokumen administratif meliputi:

a. Fotokopi SIPA (Surat Izin Praktek Apoteker), dapat menggunakan SIPA kesatu,

kedua atau ketiga;

b. Fotokopi KTP Apoteker;

c. Surat Pernyataan bahwa APA tidak merangkap/bekerja di Apotek lain/ Industri

lain dan sanggup bekerja sebagai APA di Apotek dimaksud;

d. Fotokopi perjanjian kerjasama antara APA dan Pemilik Sarana Apotek (PSA)

(di depan Notaris);

e. Surat pernyataan PSA bahwa tidak pernah terlibat pelanggaran perundang-

undangan dibidang Farmasi;

f. Peta Lokasi dan Denah Bangunan Apotek;

g. Status Bangunan dan kaitannya dengan PSA (Hak Milik/Sewa/Kotrak);

h. Daftar Asisten Apoteker dilampiri Fotokopi Ijasah dan SIPTTK;

i. Surat izin Atasan untuk APA yang bekerja sebagai PNS/BUMN; dan

j. Surat Izin Tempat Usaha (SITU).

Paling lama dalam waktu 6 hari kerja sejak menerima permohonan dan

dinyatakan telah memenuhi kelengkapan dokumen administratif, Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota menugaskan tim pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan

setempat terhadap kesiapan Apotek. Tim pemeriksa harus melibatkan unsur dinas

8

Universitas Indonesia

kesehatan kabupaten/kota yang terdiri atas tenaga kefarmasian dan tenaga lainnya

yang menangani bidang sarana dan prasarana. Paling lama dalam waktu 6 hari kerja

sejak tim pemeriksa ditugaskan, tim pemeriksa harus melaporkan hasil pemeriksaan

setempat yang dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota. Paling lama dalam waktu 12 hari kerja sejak Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota menerima laporan dan dinyatakan memenuhi persyaratan,

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerbitkan SIA dengan tembusan kepada

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Bila hasil pemeriksaan oleh tim pemeriksa dinyatakan masih belum

memenuhi persyaratan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus mengeluarkan

surat penundaan paling lama dalam waktu 12 hari kerja. Pemohon dapat

melengkapi persyaratan paling lambat dalam waktu 1 bulan sejak surat penundaan

diterima. Apabila pemohon tidak dapat memenuhi kelengkapan persyaratan, maka

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengeluarkan Surat Penolakan. Apabila

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan SIA melebihi jangka

waktu (12 hari kerja), Apoteker pemohon dapat menyelenggarakan Apotek dengan

menggunakan BAP sebagai pengganti SIA. Pemerintah daerah menerbitkan SIA

bersamaan dengan penerbitan SIPA untuk Apoteker pemegang SIA. Oleh sebab itu,

masa berlaku SIA mengikuti masa berlaku SIPA. Setiap perubahan alamat di lokasi

yang sama atau perubahan alamat dan pindah lokasi, perubahan Apoteker

pemegang SIA, atau nama Apotek harus dilakukan perubahan izin mengikuti

ketentuan seperti pengajuan SIA untuk pertama kalinya. Namun, untuk Apotek

yang melakukan perubahan alamat di lokasi yang sama atau perubahan nama

Apotek tidak perlu dilakukan pemeriksaan setempat oleh tim pemeriksa.

2.4. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis

Pakai

2.4.1. Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, dan Obat Keras

Obat bebas adalah Obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa Resep

dokter. Obat bebas memiliki tanda khusus pada kemasan dan etiket yaitu lingkaran hijau

dengan garis tepi berwarna hitam (Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, 2007).

Contoh: Vitamin C tablet.

9

Universitas Indonesia

Gambar 2.1. Penandaan Obat Bebas

Obat bebas terbatas adalah Obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker

tanpa Resep dokter dengan disertai tanda peringatan berupa persegi panjang berwarna

hitam dengan panjang 5 cm dan lebar 2 cm dengan huruf berwarna putih. Obat bebas

terbatas memiliki tanda khusus pada kemasan dan etiket yaitu lingkaran biru dengan garis

tepi berwarna hitam (Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, 2007). Contoh:

Betadine gargle, Dimenhidrinat (Antimo).

Gambar 2.2. Penandaan Obat Bebas Terbatas

Gambar 2.3. Penandaan Tanda Peringatan

Obat keras adalah Obat yang hanya dapat dibeli di Apotek dengan Resep dokter.

Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis

tepi berwarna hitam. Contoh: Captopril, Glibenklamid.

Gambar 2.4. Penandaan Obat Keras dan Psikotropika

10

Universitas Indonesia

2.4.1.1 Pengelolaan Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, dan Obat Keras.

a. Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan perlu diperhatikan pola penyakit, pola

konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat sekitar Apotek.

b. Pengadaan

Pengadaan harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian. Pengadaan Obat dilakukan kepada

PBF resmi dengan menggunakan Surat Pesanan (SP) yang berisi nama Obat dan

jumlah Obat yang dipesan. SP dibuat rangkap dua, satu untuk PBF dan satu untuk arsip

Apotek.

c. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah,

mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan faktur dan

kondisi fisik barang yang diterima.

d. Penyimpanan

Aspek yang perlu diperhatikan pada penyimpanan Obat/bahan Obat yaitu harus

disimpan dalam wadah asli dari pabrik pada kondisi yang sesuai sehingga terjamin

keamanan dan stabilitasnya, apabila ada suatu keadaan yang menyebabkan Obat harus

dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus

ditulis informasi yang jelas (nama Obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa) pada

wadah baru. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan

dan kelas terapi Obat serta disusun secara alfabetis dan pengeluaran Obat memakai

sistem First Expire First Out dan First In First Out. Obat yang memiliki nama maupun

bentuk kemasan yang mirip (Look Alike Sound Alike/ LASA) tidak boleh diletakkan

berdekatan dan harus diberikan penanda dengan stiker LASA pada tempat

penyimpanan Obat.

e. Pemusnahan dan penarikan

Pemusnahan Obat selain narkotika, psikotropika dan prekursor yang kadaluwarsa atau

rusak harus dilakukan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan, dan dilakukan oleh

Apoteker serta disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain. Resep yang telah disimpan

melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan oleh Apoteker disaksikan

oleh petugas lain di Apotek.

11

Universitas Indonesia

f. Pengendalian

Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan sesuai

kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pengelolaan persediaan. Pengelolaan

persediaan dapat menggunakan prinsip pareto, analisis ABC, maupun analisis VEN

atau kombinasi ketiganya. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan,

kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian

pesanan.

g. Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan meliputi pengadaan (surat

pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan

pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan

internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk

kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.

2.4.2. Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor

Narkotika adalah zat atau Obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri

dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Gambar 2.5. Penandaan Obat Narkotika

1. Narkotika

Menurut Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Narkotika

digolongkan menjadi:

a. Narkotika Golongan I

Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan

kesehatan. Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk

kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk

reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan

12

Universitas Indonesia

persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan

Makanan. Contoh: Seluruh bagian tanaman Papaver Somniverum L. kecuali

bijinya.

b. Narkotika Golongan II

Narkotika golongan dua, berkhasiat untuk pengobatan digunakan sebagai

pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Morfin, Petidin, Fentanil.

c. Narkotika Golongan III

Narkotika golongan tiga adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan,

tetapi bermanfaat dan berkhasiat untuk pengobatan dan penelitian. Contoh:

Kodein, Buprenorfin, Etilmorfin.

2. Psikotropika

Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma

ketergantungan digolongkan menjadi (Presiden RI, 1997):

a. Psikotropika golongan I

Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan

tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat

mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: MDMA (3,4-

methylenedioxy-methamphetamine), LSD (Asam lisergat dietilamida)

b. Psikotropika golongan II

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi

dan/atau untuk tujuan ilmu penge-tahuan serta mempunyai potensi kuat

mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: Metamfetamin.

c. Psikotropika golongan III

Psikotropika yang berkhasiat pengObat-an dan banyak digunakan dalam terapi

dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang

mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: Amobarbital.

13

Universitas Indonesia

d. Psikotropika golongan IV.

Psikotropika yang berkhasiat pengObat-an dan sangat luas digunakan dalam

terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan

mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: Diazepam, Klordiazepoksid.

3. Prekursor

Pengelolaan prekursor farmasi terdapat dalam Peraturan Pemerintah nomor 44

tahun 2010, Peraturan Kepala BPOM nomor 40 tahun 2013 dan Peraturan

Pemerintah nomor 3 tahun 2015. Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan

pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong

untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk antara, produk

ruahan, dan produk jadi Narkotika dan Psikotropika. Prekursor digolongkan

menjadi 2, yaitu Prekursor Tabel I seperti Potassium Permanganat, 1-Fenil 2-

Propanon, Asam Asetat Anhidrat, Asam Asetil Antranilat, Isosafrol, 3,4-

Metilendioksifenil 2-Propanon, Piperonalm Safrol, Efedrin, Pseudoefedrin,

Fenil Propanol Amin Hidroklorida, Ergometrin dan Asam Lisergat, serta

Prekursor Tabel II seperti Asam Hidroklorida, Asam Sulfat, Toluen, Dietil Eter,

Aseton, Metil Etil Keton, Asam Fenil Asetat, Asam Antranilat dan Piperidin.

Prekursor dalam penggolongan Tabel I merupakan bahan awal dan pelarut yang

sering digunakan dan diawasi lebih ketat dibandingkan Prekursor dalam

penggolongan pada Tabel II.

2.4.2.1 Pengelolaan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor

Pengelolaan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor diatur dalam Peraturan

Menteri Kesehatan RI nomor 3 tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan,

Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi,

pengelolaan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor meliputi:

a. Pemesanan

Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di Apotek hanya

dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan. Surat pesanan untuk Narkotika,

Psikotropika dan Prekursor hanya dapat berlaku untuk masing-masing

Narkotika, Psikotropika, atau Prekursor Farmasi. Surat pesanan narkotika

hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis narkotika. Sedangkan surat pesanan

14

Universitas Indonesia

Psikotropika atau Prekursor Farmasi dapat digunakan untuk beberapa jenis

Psikotropika atau Prekursor Farmasi. Surat pesanan harus terpisah dari pesanan

barang lain. Surat pesanan narkotika dibuat rangkap 4, sementara surat pesanan

psikotropika dibuat rangkap 3 dan surat pesanan prekursor dibuat rangkap 2.

b. Penyimpanan

Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di

fasilitas pelayanan kefarmasian termasuk Apotek harus mampu menjaga

keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.

Narkotika dan Psikotropika di Apotek disimpan di dalam lemari khusus.

Sedangkan untuk Prekursor Farmasi harus disimpan dalam bentuk Obat jadi di

tempat penyimpanan Obat yang aman berdasarkan analisis risiko. Lemari

khusus untuk menyimpan Narkotika dan Psikotropika di Apotek harus terbuat

dari bahan yang kuat, tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah

kunci yang berbeda, diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh

umum dan kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung

jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.

c. Penyerahan

Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada

Apotek lainnya, puskesmas; instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi

Klinik; dokter; dan pasien. Hal yang harus diperhatikan dalam pelayanan Resep

yang mengandung Narkotika antara lain adalah:

1. Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan atau ilmu

pengetahuan.

2. Narkotika hanya dapat diserahkan kepada pasien untuk pengobatan

penyakit berdasarkan Resep Dokter.

3. Apotek dilarang mengulangi penyerahan Narkotika atas dasar salinan Resep

Dokter.

4. Apotek dilarang melayani salinan Resep yang mengandung Narkotika.

5. Untuk Resep Narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum sama sekali,

Apotek boleh membuat salinan Resep, tetapi salinan Resep tersebut hanya

boleh dilayani oleh Apotek yang menyimpan Resep asli.

15

Universitas Indonesia

d. Pemusnahan

Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat

dilakukan dalam hal diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang

berlaku dan/atau tidak dapat diolah kembali, telah kadaluarsa, tidak memenuhi

syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk

pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan, dibatalkan izin

edarnya, atau berhubungan dengan tindak pidana.

Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus dilakukan

dengan tidak mencemari lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan

masyarakat. Pemusnahan dilakukan dengan tahapan yaitu penanggung jawab

Apotek menyampaikan surat pemberitahuan dan permohonan saksi kepada

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar Badan Pengawas Obat

dan Makanan setempat serta harus membuat Berita Acara Pemusnahan yang

paling sedikit memuat hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan, tempat

pemusnahan, nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas

distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktek

perorangan, nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain

badan/sarana tersebut, nama dan jumlah Narkotika dan Psikotropika yang

dimusnahkan, cara pemusnahan, serta tanda tangan penanggung jawab fasilitas

pelayanan kefarmasian dan saksi. Berita Acara Pemusnahan harus dibuat paling

sedikit sebanyak 3 (tiga) rangkap.

e. Pencatatan dan Pelaporan

Apotek wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan pengeluaran

Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Pencatatan paling sedikit

terdiri atas:

1. Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor

Farmasi

2. Jumlah persediaan

3. Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan

4. Jumlah yang diterima

5. Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan

6. Jumlah yang disalurkan/diserahkan

16

Universitas Indonesia

7. Nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran/penyerahan

8. Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.

Pencatatan yang dilakukan harus sesuai dengan dokumen penerimaan dan

dokumen penyaluran. Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan,

dokumen penyaluran, dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan

Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib disimpan secara terpisah

paling singkat 3 (tiga) tahun. Pelaporan disampaikan paling lambat setiap

tanggal 10 setiap bulan melalui aplikasi SIPNAP (Sistem Informasi Pelaporan

Narkotika dan Psikotropika) yang dapat diakses di website http:// www.

sipnap.kemkes.go.id

2.4.2.2 SIPNAP (Sistem Informasi Pelaporan Narkotika dan Psikotropika)

Aplikasi SIPNAP (Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika)

dikembangkan dan dikelola oleh Direktorat Bina Produksi dan Distribusi

Kefarmasian, Ditjen Binfar dan Alkes. Software SIPNAP ini diberikan kepada

Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pihak Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai user akan melakukan input data unit pelayanan,

seperti Apotek, puskesmas, dan rumah sakit, ke dalam software SIPNAP. Software

akan memberikan output berupa lembar kerja dalam format Microsoft Excel yang

kemudian dibagikan kepada unit pelayanan yang ada di kabupaten/kota tersebut.

Lembar kerja tersebut diisi oleh unit pelayanan melalui komputer dan selanjutnya

diserahkan kembali kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam bentuk

softcopy setiap bulannya. Hasil isian lembar kerja dari unit pelayanan tersebut lalu

dimasukkan ke dalam software SIPNAP oleh pihak pengelola SIPNAP di Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota. Setelah semua hasil laporan dari unit pelayanan

direkapitulasi, selanjutnya data tersebut dikirimkan melalui internet ke server yang

ada di Kementerian Kesehatan. Program SIPNAP ini juga dilengkapi dengan

aplikasi berupa daftar dalam form Excel berisi nama-nama narkotika dan

psikotropika yang dapat dilaporkan (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi

Kefarmasian, 2008).

17

Universitas Indonesia

Implementasi penggunaan SIPNAP ini dilakukan melalui bimbingan teknis

oleh petugas dari Kementerian Kesehatan kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan

satu Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang berada di ibukota provinsi. Pihak

Kementerian Kesehatan akan memberikan user ID dan password kepada pengelola

SIPNAP di Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Laporan terdiri dari laporan pemakaian narkotika dan psikotropika untuk bulan

bersangkutan meliputi periode, status pelaporan, jenis entry, produk, status

transaksi, stok awal, pemasukan dari PBF (jika ada transaksi), pemasukan dari

sarana (jika ada transaksi), pengeluaran untuk Resep (jika ada transaksi),

pengeluaran untuk sarana (jika ada transaksi), status pemusnahan, nomor Berita

Acara Pemusnahan (BAP), tanggal BAP, jumlah yang dimusnahkan, dan stok akhir.

Setelah dilakukan input dan pengiriman laporan dalam SIPNAP, maka rekapitulasi

pelaporan dapat diunduh dan disimpan kemudian ditampilkan dalam format file

excel untuk diprint dan ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA).

Password dan username untuk login ke dalam SIPNAP didapatkan setelah

melakukan registrasi pada Dinkes setempat.

Melalui server tersebut, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat melihat

hasil laporan yang telah dikirimkan ke server Kementerian Kesehatan. Dinas

Kesehatan Provinsi bertugas untuk mengecek pengiriman laporan yang telah

dilakukan oleh pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui server SIPNAP

tersebut. Selain itu, Dinas Kesehatan Provinsi juga melakukan pembinaan kepada

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui sosialisasi dan pelatihan software

SIPNAP serta memberi teguran kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang

belum mengirimkan laporannya (Direktorat Bina Produksi dan Distribusi

Kefarmasian, 2011).

2.5. Pelayanan Farmasi Klinik

Seorang Apoteker di Apotek bertanggung jawab melaksanakan pelayanan farmasi

klinik, hal ini berhubungan langsung dengan pasien untuk meningkatkan kualitas

hidupnya. Sesuai yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 73 tahun

2016, yang termasuk pelayanan farmasi klinik adalah:

18

Universitas Indonesia

a. Pengkajian dan Pelayanan Resep

Kegiatan pengkajian Resep dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Kajian administratif, meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan,

nama dokter, nomor Surat Izin Praktek (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf,

dan tanggal penulisan Resep.

2. Kajian kesesuaian farmasetik, meliputi bentuk dan kekuatan, sediaan stabilitas

sediaan, dan kompatibilitas (ketercampuran Obat).

3. Pertimbangan klinis, meliputi ketepatan indikasi dan dosis Obat, aturan, cara dan

lama penggunaan Obat, duplikasi dan/atau polifarmasi, reaksi Obat yang tidak

diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi klinis lain), kontra indikasi, dan

interaksi.

b. Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi Obat,

kegiatannya dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep, dengan menghitung

kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep dan mengambil Obat.

2. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan

3. Memberikan etiket dengan ketentuan warna putih untuk Obat oral, warna biru

untuk Obat luar dan suntik, dan pelabelan “kocok dahulu” pada bentuk sediaan

suspensi atau emulsi.

4. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat yang

berbeda.

5. Memeriksa kembali penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta

jenis dan jumlah Obat.

6. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien, lalu memastikan ulang identitas dan

alamat pasien serta memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau

keluarganya.

7. Menyerahkan Obat disertai pemberian informasi Obat meliputi cara penggunaan

Obat, manfaat Obat, makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan

efek samping, dan cara penyimpanan.

8. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh

Apoteker (apabila diperlukan).

19

Universitas Indonesia

9. Menyimpan Resep pada tempatnya.

10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien (patient medication record).

Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan swamedikasi

disertai edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit

ringan dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai maupun Obat

Wajib Apotek.

c. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam

pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan

dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan

lain, pasien atau masyarakat. Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi

khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, efikasi, dan lain-

lain. Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran

kembali dalam waktu yang relatif singkat.

d. Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk

meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi

perubahan perilaku dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan masalah yang

dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime

questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan

metode Health Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau

keluarga pasien sudah memahami Obat yang digunakan. Kriteria pasien/keluarga

pasien yang perlu diberi konseling:

1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal, ibu

hamil dan menyusui).

2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, AIDS, epilepsi).

3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan

kortikosteroid dengan tappering down/off).

4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, teofilin).

5. Pasien dengan polifarmasi.

6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.

20

Universitas Indonesia

e. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)

Pelayanan Kefarmasian ini bersifat kunjungan rumah, dilakukan khususnya untuk

kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.

f. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Kegiatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi

Obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan

efek samping. Hal utama yang dilakukan adalah mengidentifikasi masalah terkait

Obat. Selanjutnya memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi

rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan

meminimalkan efek yang tidak dikehendaki dan dikomunikasikan dengan tenaga

kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.

g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang merugikan atau

tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk

tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.

h. Swamedikasi

Swamedikasi adalah kegiatan pengobatan diri sendiri oleh masyarakat terhadap

penyakit yang umum diderita, dengan menggunakan Obat-Obatan yang dijual bebas

di

pasaran atau Obat keras yang bisa didapat tanpa Resep Dokter dan diserahkan oleh

Apoteker di Apotek. Peran dan tanggung jawab Apoteker sebagai profesional dalam

pelayanan swamedikasi diantaranya adalah:

1. Memberikan nasehat dan informasi yang benar, cukup dan objektif tentang

swamedikasi dan semua produk yang tersedia untuk swamedikasi.

2. Merekomendasikan kepada pasien agar segera mencari nasehat medis yang

diperlukan, apabila dipertimbangkan swamedikasi tidak mencukupi.

3. Memberikan laporan kepada lembaga pemerintah yang berwenang, dan untuk

menginformasikan kepada produsen Obat yang bersangkutan, mengenai efek tak

dikehendaki (adverse reaction) yang terjadi pada pasien yang menggunakan Obat

tersebut dalam swamedikasi.

21

Universitas Indonesia

4. Mendorong anggota masyarakat agar memperlakukan Obat sebagai produk

khusus yang harus dipergunakan dan disimpan secara hati-hati, dan tidak boleh

dipergunakan tanpa indikasi yang jelas.

Kriteria Obat yang dapat diserahkan tanpa Resep Dokter adalah adalah:

1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah

usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

2. Pengobatan sendiri dengan Obat dimaksud tidak memberikan risiko pada

kelanjutan penyakit.

3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh

tenaga kesehatan.

4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.

5. Memiliki rasio khasiat dan keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk

pengobatan sendiri.

22 Universitas Indonesia

BAB 3

TINJAUAN KHUSUS PT. KIMIA FARMA APOTEK

3.1 Struktur Organisasi PT. Kimia Farma Apotek

PT. Kimia Farma Apotek dipimpin oleh seorang Direktur Utama yang

membawahi 3 direktur (Direktur Operasional, Direktur Keuangan serta Direktur

SDM dan Umum) dan 1 manajer (Manajer Pengembangan). Direktur Operasional

membawahi Manajer Controller, Manajer Compliance dan Risk Management serta

Manajer Principal and Merchandise. Direktur Keuangan membawahi Manajer

Akuntansi, Keuangan dan IT serta Manajer Apotek Bisnis (Unit Bisnis). Direktur

SDM dan Umum membawahi Manajer Human Capital dan General Affair.

Gambar 3.1 Logo PT. Kimia Farma (Persero), Tbk

Ada 2 (dua) jenis Apotek Kimia Farma, yaitu Apotek administrator yang

sekarang disebuat Business Manager (BM) dan Apotek pelayanan. Business

Manager membawahi beberapa Apotek pelayanan yang berada dalam suatu

wilayah. Business Manager bertugas menangani pembelian, penyimpanan barang

dan administrasi Apotek pelayanan yang berada di bawahnya. Dengan adanya

konsep unit BM, diharapkan pengelolaan aset dan keuangan dari Apotek dalam

suatu area menjadi lebih efektif dan efisien, demikian juga kemudahan dalam

pengambilan keputusan- keputusan yang menyangkut antisipasi dan penyelesaian

masalah. Secara umum keuntungan yang diperoleh melalui konsep BM adalah:

a. Koordinasi modal kerja menjadi lebih mudah.

b. Apotek pelayanan akan lebih fokus kepada kualitas pelayanan, sehingga mutu

pelayanan akan meningkat dan diharapkan akan berdampak pada peningkatan

penjualan.

c. Merasionalkan jumlah SDM terutama tenaga administrasi yang diharapkan

berimbas pada efisiensi biaya administrasi.

23

Universitas Indonesia

d. Meningkatkan bargaining dengan pemasok untuk memperoleh sumber barang

dagangan yang lebih murah, dengan maksud agar dapat memperbesar range

margin atau HPP rendah.

Untuk wilayah jabodetabek dibagi menjadi 7 unit bisnis, yaitu:

a. Business Manager Jaya I, membawahi wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta

Barat dengan BM di Apotek Kimia Farma No. 42, Kebayoran Baru.

b. Business Manager Jaya II, membawahi wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan

Jakarta Timur dengan BM di Apotek Kimia Farma No. 48, di Matraman.

c. Business Manager Bogor, membawahi wilayah Bogor dan Sukabumi dengan

BM di Apotek Kimia Farma No. 7, Bogor.

d. Businness Manager Depok, membawahi wilayah Depok dengan BM di Apotek

Kimia Farma No. 389, Depok.

e. Business Manager Tanggerang, membawahi wilayah Provinsi Banten dengan

BM di Apotek Kimia Farma No. 78, Tanggerang.

f. Business Manager Rumah Sakit di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

g. Business Manager Wilayah Bekasi

3.2 Apotek Kimia Farma 389

Apotek Kimia Farma 389 yang berlokasi di Jl. Nusantara Raya No. 33,

Pancoran Mas, Depok (lampiran) merupakan salah satu unit Business Manager

yang dimiliki oleh PT. Kimia Farma Apotek, sebagai unit Business Manager,

Apotek Kimia Farma No. 389 mengelola administrasi, pengadaan atau pembelian,

piutang dagang, hutang dagang, pajak, kas, personalia, dan kasir besar untuk

kepentingan seluruh Apotek pelayanan yang berada di bawah BM wilayah Depok.

3.3 Lokasi dan Tata Ruang Apotek

3.3.1 Lokasi

Apotek Kimia Farma No. 389 berlokasi di Jalan Nusantara Raya No. 33,

Depok. Ditinjau dari lokasinya, Apotek ini cukup strategis karena berada tepat di

pinggir jalan dengan arus lalu lintas dua arah yang sering dilalui kendaraan yang

juga dilewati oleh kendaraan umum. Lokasi Apotek sekitar 300 meter dari

24

Universitas Indonesia

persimpangan pitara yang cukup ramai dan dekat dengan lokasi untuk memutar

kendaraan serta terletak dekat dengan tempat-tempat umum seperti pusat

perbelanjaan, pertokoan, pasar, pemukiman penduduk, klinik maupun praktek

dokter serta dekat dengan rumah sakit.

3.3.2 Tata Ruang

Apotek Kimia Farma No. 389 terletak di sebuah gedung berlantai 3, dimana

lantai 1 merupakan Apotek pelayanan, sementara lantai 2 merupakan gudang

Business Manager untuk seluruh Apotek pelayanan di wilayah Depok dan lantai 3

merupakan kantor Business Manager. Tata ruang Apotek memiliki konsep semi

terbuka sehingga kegiatan yang sedang dilakukan oleh pegawai dapat dilihat

langsung oleh pasien, kecuali ruangan peracikan dan administrasi. Desain dinding

bagian depan bangunan Apotek menggunakan kaca tembus pandang secara

keseluruhan, hal bertujuan untuk mempermudah masyarakat melihat kondisi di

dalam Apotek dan menarik perhatian pengguna jalan yang melewati Apotek. Obat

dengan kemasan dan warna yang menarik diletakkan di rak paling depan dengan

penataan sedemikian rupa sehingga konsumen tertarik untuk berkunjung.

Pembagian ruangan di Apotek Kimia Farma No. 389 adalah sebagai berikut:

a. Halaman Depan Apotek

Terdapat tempat parkir kendaraan di halaman depan Apotek yang cukup luas

dan memadai untuk kendaraan roda dua maupun roda empat.

b. Area Swalayan Farmasi

Area ini berada di sebelah kanan dan kiri dari arah masuk pintu depan. Rak obat

di swalayan farmasi berada dekat dengan ruang tunggu sehingga mudah dilihat

oleh pengunjung, baik pengunjung yang bertujuan langsung membeli Obat

swamedikasi, maupun pengunjung yang sedang menunggu pelayanan Resep.

Swalayan Farmasi terdiri dari 2 wall dan 4 gondola Obat OTC (over the

counter) yang digunakan dalam UPDS (upaya pengobatan diri sendiri) atau

swamedikasi, seperti analgetik, antipiretik, Obat batuk, Obat anti mual,

antelmentika, suplemen maupun nutraceutical seperti susu, serta perbekalan

kesehatan lainnya, pada area swalayan farmasi juga terdapat lemari pendingin

minuman.

25

Universitas Indonesia

c. Ruang Tunggu

Ruang tunggu Apotek terletak pada sebelah kiri dari arah masuk pintu depan,

di dalam ruang tunggu terdapat pendingin ruangan untuk memberikan

kenyamanan pada pelanggan yang sedang menunggu penyiapan Obat.

Sayangnya tidak tersedia televisi maupun bahan bacaan seperti koran maupun

majalah bagi pasien yang menunggu peracikan Obat.

d. Area Pelayanan

Area pelayanan terdiri dari tempat penerimaan Resep sekaligus kasir, tempat

penyiapan Obat, tempat penyerahan Obat, dan tempat pembelian Obat-Obat

OTC (over the counter). Antara pelanggan dengan bagian dalam area pelayanan

dibatasi oleh meja berbentuk huruf L dengan tinggi setara dada orang dewasa,

kecuali pada bagian penyerahan Obat. Pada bagian penyerahan Obat,

disediakan meja yang lebih rendah dengan dua kursi yang saling berhadapan

untuk Apoteker memberikan konseling maupun tenaga teknis kefarmasian

memberikan informasi mengenai Obat kepada pasien.

Terdapat 2 counter untuk penerimaan Resep maupun pembelian Obat-Obat

OTC, masing-masing counter memiliki komputer yang berfungsi untuk

memeriksa ketersediaan barang dan memberikan informasi harga Obat kepada

pasien sehingga memudahkan pelayanan dan menghindari antrian yang

panjang.

e. Ruang Penyimpanan dan Peracikan Obat

Pada bagian dalam area pelayanan Apotek terdapat lemari Obat sebagai tempat

penyimpanan Obat. Pada ruangan ini dilakukan proses pembacaan Resep,

penyiapan Obat, dan pembuatan etiket. Ruangan ini dilengkapi dengan lemari

Obat–Obat ethical, meja serta kursi untuk menulis, etiket, kemasan, label,

lembar copy Resep, kuitansi, dan buku–buku panduan yang diperlukan seperti

ISO, MIMS, dan buku yang berisi daftar Obat untuk Resep– Resep kredit.

Penempatan Obat ethical di rak disusun berdasarkan abjad, kelas terapi, serta

bentuk sediaan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah serta mempersingkat

waktu yang dibutuhkan saat pengambilan Obat. Obat ethical dengan bentuk

solid (tablet dan kapsul dalam strip atau blister) disusun di rak yang dapat

diputar sehingga dapat menghemat tempat untuk meletakan Obat. Untuk Obat-

26

Universitas Indonesia

Obat yang tidak stabil pada suhu ruangan, penyimpanannya diletakkan di dalam

lemari pendingin yang memiliki pengatur dan catatan suhu, lemari pendingin

tersebut terletak di ruang peracikan. Obat-Obat golongan Narkotika dan

Psikotropika disimpan terpisah pada lemari yang tidak dapat digeser, dibaut

pada dinding, terbuat dari kayu, memiliki dua bagian, dan masing-masing

bagian memiliki kunci yang berbeda. Kunci lemari Narkotika tersebut dipegang

oleh Apoteker dan seorang Tenaga Teknis Kefarmasian senior yang

dikuasakan.

Area peracikan Obat berada dalam satu ruangan dengan area penyimpanan

Obat. Di dalam ruangan ini dilakukan penimbangan, peracikan, dan

pengemasan Obat-Obat racikan. Area peracikan obat memiliki fasilitas yang

cukup lengkap dan memadai untuk peracikan seperi timbangan, mortar dan

stamper, bahan baku, cangkang kapsul, kertas puyer berlogo, kertas perkamen,

serta mesin press untuk kertas puyer berlogo Kimia Farma.

f. Area Kerja Apoteker Pengelola Apotek

Area ini tidak memiliki ruangan khusus melainkan berada dibawah lemari

Narkotika dan Psikotropika. Area ini digunakan oleh APA untuk melakukan

tugas dan tanggung jawabnya, baik dalam hal teknis kefarmasian (fungsi

kontrol) dan non teknis kefarmasian (fungsi manajerial). Dilengkapi meja

dengan lemari yang berisi berkas – berkas administrasi Apotek, seperti bon

permintaan barang Apotek (BPBA), faktur, serta dokumentasi pelaksanaan

home care.

g. Ruang Penunjang Lainnya

Terdapat toilet di bagian belakang Apotek, tepat lurus dengan pintu masuk yang

dihalangi oleh banner promosi Obat OTC.

3.4 Struktur Organisasi dan Personalia

Kepala Apotek Kimia Farma No. 389 adalah seorang Apoteker Pengelola

Apotek (APA) yang juga merangkap sebagai Manager Apotek Pelayanan (MAP).

Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, APA dibantu dan membawahi Asisten

Apoteker lulusan Sekolah Menengah Farmasi yang berjumlah 4 orang dengan shift

27

Universitas Indonesia

yang berbeda beda. Untuk lebih jelasnya struktur organisasi Apotek Kimia Farma

No. 389 dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tugas dan tanggung jawab masing-masing personil di Apotek Kimia Farma

No. 389, adalah:

a. Apoteker Pengelola Apotek (APA) dengan tanggung jawab:

1. Mengelola dan memantau seluruh kegiatan operasional di Apotek, meliputi

pelayanan kefarmasian maupun non-kefafarmasian

2. Memastikan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) sesuai

dengan arahan dan kebijakan BM

3. Memastikan kegiatan operasional Apotek berjalan sesuai prosedur dan

ketentuan yang berlaku

4. Memastikan layanan profesi sesuai kebutuhan pelanggan

5. Memastikan penataan produk dan ketersediaan barang di Apotek dapat

memenuhi kebutuhan pelanggan

6. Mengelola kegiatan pemasaran Apotek (melalui marketing promotion)

mengelola kegiatan pengembangan usaha Apotek (melalui penambahan dan

pengembangan pelanggan serta kerjasama dengan pihak luar), untuk

memastikan pencapaian target penjualan dan pelayanan yang ditetapkan

7. Mengelola kegiatan perencanaan, pengadaan dan pengendalian persediaan

di Apotek untuk memastikan tingkat ketersediaan produk di Apotek secara

optimal

8. Mengelola kegiatan pemberdayaan dan peningkatan potensi karyawan

untuk memastikan tercapainya produktivitas karyawan yang optimal di

Apotek

b. Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) dengan tanggung jawab:

1. Menyiapkan, meracik, mengubah bentuk, mengemas, dan memberi etiket

sesuai permintaan Resep

2. Memberikan harga Obat dari setiap Resep dokter yang ditebus pasien

3. Memeriksa kebenaran dan kelengkapan Obat sesuai Resep yang diterima

meliputi nama Obat, bentuk sediaan, jumlah Obat, kekuatan sediaan, nama

pasien, dan cara penggunaan Obat

28

Universitas Indonesia

4. Membuat kuitansi pembayaran dan salinan Resep untuk Obat yang tidak

ditebus atau ditebus sebagian oleh pasien, dan Obat yang diulang

5. Mengontrol, mengatur, dan menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan dan

Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) sesuai dengan bentuk dan jenis barang

6. Memeriksa kesesuaian barang yang datang dari distributor dengan faktur

dan Bon Permintaan Barang Apotek (BPBA) yang telah dibuat

7. Melayani penjualan Obat bebas, Obat bebas terbatas, Obat herbal, alat

kesehatan, dan BMHP disertai pemberiaan informasi yang dibutuhkan

kepada pasien

8. Memastikan ketersediaan barang-barang Apotek untuk kebutuhan penjualan

bebas

c. Tenaga Non Kefarmasian, terdiri dari sales promotion girl (SPG) dan satpam.

3.5 Kegiatan Apotek Kimia Farma No. 389

Kegiatan operasional di Apotek meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan bahan medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik, telefarma, pesan

antar Obat (drug delivery order), dan swamedikasi.

3.5.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP

Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP di Apotek Kimia

Farma No. 389 meliputi:

3.5.1.1 Perencanaan

Perencanaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP dilakukan

dengan mempertimbangkan beberapa hal, antara lain data historis penjualan/ LIPH

(Laporan Ikhtisar Penjualan Harian), pola peresepan, epidemiologi dan buku

penolakan yang kemudian dianalisis menggunakan metode ABC (Pareto) dan

analisis VEN.

3.5.1.2 Pengadaan

Proses pengadaan dilakukan dengan cara memberikan daftar Obat yang

akan dipesan ke bagian supervisor pengadaan. Supervisor pengadaan kemudian

memberikan semua pesanan Obat ke distributor dan selanjutnya distributor tersebut

29

Universitas Indonesia

akan langsung mengirimkan Obat yang di pesan ke masing-masing Apotek. Apotek

pelayanan dapat melakukan permintaan mendesak jika Obat atau perbekalan

farmasi lainnya dibutuhkan segera tetapi tidak ada persediaan, permintaan

dilakukan menggunakan Bon Pemesanan Barang Apotek/BPBA CITO.

Khusus untuk pengadaan narkotika dan psikotropika, pengadaan dilakukan

oleh masing-masing Apotek pelayanan melalui Surat Pesanan (SP) khusus

Narkotika dan Psikotropika dan diantar langsung ke Apotek pelayanan. Surat

pesanan hanya berlaku untuk masing-masing Narkotika, Psikotropika, atau

Prekursor Farmasi. SP untuk narkotika dibuat rangkap empat dengan ketentuan

dalam satu SP hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis narkotika. Sedangkan

untuk pengadaan Obat golongan psikotropika atau prekursor, SP dibuat rangkap

tiga dan dalam satu SP dapat digunakan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis

psikotropika atau prekursor yang kemudian ditandatangani oleh APA.

3.5.1.3 Penerimaan

Penerimaan barang dilakukan dengan cara memeriksa kessesuaian antara

surat pesanan dengan faktur, meliputi kesesuaian jumlah, jenis, bentuk sediaan,

kekuatan sediaan, volume, nomor batch, dan tanggal kadaluarsa. Kemudian

diperiksa juga kesesuaian antara faktur dengan fisik barang. Setelah pemeriksaan

selesai, dibuat tanda terima pada BPBA dengan ditandatangani oleh Apoteker dan

diberi stempel Apotek.

3.5.1.4 Penyimpanan

Penyimpanan dilakukan di bagian OTC dan ruang peracikan.

Penyimpanan Obat disusun berdaskan alfabetis, bentuk sediaan, kelas terapi, dan

kondisi penyimpanan. Untuk Obat-Obat OTC ditempatkan pada bagian swalayan.

Penyusunan Obat di bagian swalayan berdasarkan bentuk sediaan, efek

farmakologi, dan kategori barang sehingga memudahkan petugas dalam mengambil

Obat atau barang yang diinginkan pembeli.

Resep untuk golongan non narkotik dan non psikotropik dikumpulkan

setiap bulan secara terpisah untuk disimpan selam 5 tahun. Resep dikumpulkan ke

BM Depok untuk dimusnahkan dan Apotek membuat Berita Acara Pemusnahan

30

Universitas Indonesia

(BAP) untuk BM Depok dan nantinya dibuat BAP secara menyeluruh. Sementara

itu, untuk penyimpanan Resep narkotika dan psikotropika caranya sama seperti

Resep non narkotik dan non psikotropik.

3.5.1.5 Pemusnahan

Kegiatan pemusnahan dilakukan pada Resep yang telah disimpan lebih

dari lima tahun dan Obat yang kadaluwarsa atau rusak. Pemusnahan Obat

kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan

oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Pemusnahan

Obat non narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh

tenaga kefarmasian lain. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan

oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar. Pemusnahan

dan penarikan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat digunakan

atau izin edarnya dicabut dilakukan oleh pemilik izin edar dengan laporan kepada Kepala

BPOM.

3.5.1.6 Pengendalian

Pengendalian ketersediaan di Apotek dilakukan menggunakan kartu stok,

stock opname, dan penandaan tanggal kadaluarsa. Kartu stok diisi pada setiap

barang yang masuk ataupun keluar. Stock opname dilakukan setiap triwulan. Stock

opname dilakukan untuk seluruh item Obat dalam satu waktu. Stok opname

dilakukan setiap 3 bulan sekali dan hasilnya digunakan untuk memperbaharui stok

yang terdapat pada sistem KIS sehingga saldo yang terdapat dalam sistem sesuai

dengan stok fisik.

Penandaan tanggal kadaluarsa dilakukan dengan penandaan Obat terkait

dengan masa kadaluarsanya. Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk menghindari

terjadinya barang kadaluarsa di Apotek, dimana hal ini sangat berhubungan dengan

pengelolaan keuangan Apotek karena saat ditemukan barang kadaluarsa, maka

Apoteklah yang akan menaggung kerugian finansialnya. Cara yang dilakukan

adalah dengan melakukan penandaan menggunakan kertas berwarna dimana setiap

warna akan menunjukkan masa kadaluarsa Obat yang berbeda. Sebuah kertas

berwarna bertuliskan tahun ED ditempelkan pada kotak dimana suatu Obat

disimpan.

31

Universitas Indonesia

3.5.1.7 Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan yang dilakukan meliputi pelaporan internal dan eksternal.

Pelaporan internal berisi kegiatan manajerial Apotek (laporan keuangan dan

laporan barang), sedangkan pelaporan eksternal berupa pelaporan narkotika dan

psikotropika. Pencatatan penjualan barang di Apotek dilakukan secara elektronik

menggunakan KIS yang mendokumentasikan setiap transaksi yang dilakukan. Data

penjualan ini kemudian dicetak setiap harinya dalam bentuk LIPH (Laporan

Ikhtisan Penjualan Harian) yang berisi jumlah penjualan klinik, Resep kredit, Resep

tunai, Obat tunai, dan Obat swamedikasi, total penjualan keseluruhan komponen,

serta selisih jumlah uang pada LIPH dan jumlah setoran.

Resep yang mengandung narkotika dan psikotropika harus dipisahkan dari

Resep lainnya dan dikumpulkan berdasarkan bulan yang sama. Kegiatan pelaporan

dilakukan sebulan sekali paling lambat setiap tanggal 10 menggunakan SIPNAP

(Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika) yang berisi kode, nama dan satuan

Obat Narkotika atau Psikotropika, stok awal, jumlah pemasukan, jumlah

pengeluaran, pemusnahan (jumlah, nomor BAP, tanggal BAP) dan stok akhir.

3.5.2. Pelayanan Farmasi Klinis

Pelayanan farmasi klinik di Apotek Kimia Farma No. 389 meliputi:

3.5.2.1 Pengkajian dan Pelayanan Resep

Pelayanan Obat dengan Resep diawali dengan melakukan pengkajian

Resep yang meliputi kajian administratif, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan

klinis. Kemudian memeriksa ketersediaan dan menetapkan harga. Pasien dapat

menyetujui untuk dibayarkan semua atau hanya menebus sebagian Obat dalam

Resep, ada tidaknya penggantian Obat atas persetujuan dokter atau pasien,

pembayarannya dilakukan secara tunai atau kredit serta pembuatan kuitansi dan

salinan Resep jika diperlukan. Setelah dilakukan pembayaran, dilanjutkan dengan

penyiapan Obat atau dispensing.

3.5.2.2 Dispensing

Kegiatan dispensing di dilakukan dengan menyiapkan Obat sesuai dengan

permintaan dalam Resep yang dilanjutkan dengan pembuatan etiket. Sebelum Obat

32

Universitas Indonesia

diserahkan, petugas melakukan pemeriksaan akhir untuk memastikan kesesuaian

antara penulisan etiket dengan Resep, kesesuaian salinan Resep dengan Resep asli

dan kebenaran kuitansi yang dibuat. Selanjutnya, Obat diberikan kepada pasien

disertai dengan pemberian informasi Obat yang meliputi: nama Obat, bentuk dan

jenis sediaan, dosis, jumlah, aturan pakai, cara penyimpanan, dan efek samping

yang mungkin timbul dan cara mengatasinya. Pada tahap akhir ini petugas juga

harus meminta tanda terima pasien/penerima Obat sebagai bukti bahwa Obat telah

diserahkan.

3.5.2.3 Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan informasi Obat (PIO) di Apotek dilakukan secara langsung. PIO

yang dilakukan secara langsung adalah menerima pertanyaan terkait pengobatan

pasien. PIO langsung juga biasanya diberikan Apoteker saat memberikan

penjelasan kepada mahasiswa yang sedang praktek profesi ataupun siswa yang

sedang praktek kerja lapangan di Apotek.

3.5.2.4 Konseling

Pasien-pasien yang menerima konseling antara lain pasien dengan kondisi

khusus terutama geriatri, ibu hamil dan menyusui, serta pediatri; pasien yang

menggunakan Obat dengan instruksi khusus seperti inhaler, injeksi insulin dan

spiriva; serta pasien dengan tingkat kepatuhan rendah. Biasanya kegiatan konseling

ini terintegrasi dengan proses penyerahan Obat ataupun saat melaksanakan

pelayanan kefarmasian di rumah. Saat melakukan penyerahan Obat, Apoteker

memulai proses konseling dengan memperkenalkan diri, kemudian menjelaskan

tujuan dilakukannya konseling, serta meminta izin untuk meminta waktu untuk

melaksanakan konseling. Konseling diawali dengan mengajukan Three Prime

Questions pada pasien dan dilanjutkan dengan menggali informasi terkait

pengobatan pasien. Selanjutnya dari permasalahan yang ada, Apoteker akan

memberikan solusi terkait masalah yang dialami pasien.

3.5.2.5 Home Pharmacy Care

Pelayanan kefarmasian di rumah dilakukan sebagai bentuk pemantauan

terapi Obat. Kegiatan ini biasanya merupakan program lanjutan dari kegiatan

konseling dan telefarma. Pelayanan kefarmasian di rumah pasien dilakukan rutin

33

Universitas Indonesia

setiap bulan, bertujuan untuk memantau pengobatan serta mempertahankan

loyalitas pasien kepada Apotek.

3.5.2.6 Pelayanan Swamedikasi

Pelayanan swamediakasi dilakukan saat pasien akan meminta Obat tanpa

Resep (golongan Obat bebas, bebas terbatas, Obat keras yang termasuk Obat Wajib

Apotek, dan Obat herbal/tradisional). Biasanya swamedikasi dilakukan untuk

mengatasi kesehatan ringan mulai dari batuk, pilek, demam, dan sakit kepala.

3.5.2.7 Telefarma dan Drug Delivey Order

Telefarma merupakan layanan lanjutan terhadap pasien yang sebelumnya

telah mendapatkan Obat sebagai bentuk follow up terkait pengobatan lewat telepon.

Selain itu, telefarma juga ditujukan untuk mengetahui kepatuhan pasien dalam

meminum Obat dan mengingatkan pasien untuk mengambil Obat yang dijanjikan

oleh Apotek. Sedangkan drug delivery order atau pesan antar Obat adalah program

yang menawarkan kemudahan kepada pasien untuk membeli Obat hanya lewat

telepon, yang nantinya Obat akan diantar ke rumah tanpa tambahan biaya apapun.

Semua kegiatan yang dilakukan baik telefarma maupun drug delivery order

ditujukan untuk mempertahankan pelanggan serta agar pasien menjadi loyal

terhadap Apotek.

34 Universitas Indonesia

BAB 4

PELAKSANAAN PRAKTEK KERJA PROFESI

4.1 Tempat dan Waktu

Praktek kerja profesi dilaksanakan di Apotek Kimia Farma No. 389 yang

berlokasi di Jalan Nusantara Raya No. 33 Pancoran Mas, Depok. Kegiatan ini

dilaksanakan selama 4 minggu dari tanggal 3 Juli sampai dengan tanggal 29 Juli

Tahun 2017.

4.2 Uraian Kegiatan PKPA

Tanggal Uraian Kegiatan

4 Juli 2017 1. Penjelasan mengenai tata tertib dan ketentuan mengenai

penulisan laporan PKPA

2. Orientasi mengenai tata letak Obat OTC dan ethical serta

pemisahan antara Obat reguler dan Obat yang ditanggung

oleh BPJS/Asuransi

3. Melakukan rekap omset Resep bulan Juni untuk

mengetahui jumlah Resep, asal Resep dan jumlah

pendapatan Resep, data yang diperoleh dapat digunakan

untuk melakukan pemetaan (mapping) terhadap pola

peresepan dari institusi (RS, Praktek Dokter, Klinik dan

Puskesmas) yang mengeluarkan Resep

4. Melakukan penyiapan Obat atas Resep dokter

5. Analisis Resep, meliputi nama Obat, komposisi, indikasi,

dosis dan konseling

5 Juli 2017 1. Melakukan rekap omset bulan mei untuk mengetahui

jumlah Resep, asal Resep dan jumlah pendapatan Resep,

data kemudian digunakan untuk melakukan estimasi

persentase pendapatan dari Obat Resep (ethical) dan Obat

OTC maupun produk lainnya, analisis kemudian dilakukan

untuk memperkirakan kebutuhan pesanan berdasarkan

kategori slow dan fast moving

2. Melakukan pelayanan terhadap Obat OTC dan Obat

ethical/Resep, serta mempelajari alur pelayanan Resep

regular maupun BPJS

3. Melakukan dispensing Obat Resep, meliputi penyiapan,

pembuatan etiket dan kopi Resep

4. Memberikan rekomendasi swamedikasi

35

Universitas Indonesia

7 Juli 2017 1. Penjelasan mengenai pengolahan data merchandise produk

OTC, melakukan pengolahan data mengenai penyusunan

dan pengaturan tata letak produk OTC di swalayan Apotek

kimia farma

2. Melakukan pelayanan dan dispensing Resep Obat ethical

meliputi penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan

kepada pasien, termasuk pemberian informasi Obat secara

terbatas

3. Melakukan perhitungan konversi insulin untuk menentukan

berapa jumlah injector yang diserahkan kepada pasien

8 Juli 2017 1. Melakukan pelayanan dan dispensing Resep Obat ethical,

meliputi penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan

kepada pasien termasuk pemberian informasi Obat secara

terbatas

2. Pelayanan dan pengecekan eligibilitas Resep BPJS

3. Mempelajari alur dropping Obat dari cabang Apotek kimia

farma lain

4. Mempelajari cara pembuatan surat pesanan Obat tertentu

9 Juli 2017 1. Melakukan analisa Resep meliputi dosis, interaksi,

indikasi, efek samping dan konseling

2. Melayani pasien swamedikasi dan memberikan saran serta

rekomendasi terapi Obat yang sesuai termasuk cara

penggunaan dan pemberian informasi mengenai

mekanisme kerja Obat tersebut

3. Memberikan rekomendasi Obat herbal kepada pasien yang

hendak membeli Obat ethical tanpa Resep dokter

4. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada

pasien termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas

10 Juli 2017 1. Melayani pasien swamedikasi dan memberikan saran serta

rekomendasi terapi Obat yang sesuai termasuk cara

penggunaan dan pemberian informasi mengenai

mekanisme kerja Obat tersebut

2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien

termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas

11 Juli 2017 1. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien

termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas

2. Melayani pasien swamedikasi dan memberikan saran serta

rekomendasi terapi Obat yang sesuai termasuk cara

penggunaan dan pemberian informasi mengenai

mekanisme kerja Obat tersebut

3. Mengecek keabsahan persyaratan Resep BPJS, meliputi

surat eligibilitas, fotocopy kartu BPJS dan KTP serta

fotokopi kartu kendali

36

Universitas Indonesia

13 Juli 2017 1. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien

termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas

2. Penjelasan mengenai pemberian KIE. Informasi Obat harus

diberikan secara lengkap, termasuk cara penggunaan,

waktu penggunaan, efek samping yang mungkin terjadi

serta makanan/minuman yang tidak boleh dikonsumsi

selama pemberian Obat

4. Melayani pasien swamedikasi dan memberikan saran serta

rekomendasi terapi Obat yang sesuai termasuk cara

penggunaan dan pemberian informasi mengenai

mekanisme kerja Obat tersebut

3. Mengatur tata letak Obat berdasarkan sistem FEFO/FIFO

dan mempelajari cara mengecek kesesuaian faktur dengan

barang yang dikirimkan

14 Juli 2017 1. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien

termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas

2. Mengecek kesesuaian antara barang yang datang dengan

faktur yang menyertainya, meliputi nama produk, jenis

produk, no. batch dan expired date

3. Melakukan pengeaturan display Obat OTC berdasarkan

perencanaan yang telah dibuat

4. Penjelasan mengenai aspek hygiene dan sanitasi. Sebelum

dan sesudah melakukan peracikan Obat hendaknya

peralatan yang digunakan dalam kondisi bersih dan kering,

cuci tangan dengan sabun antiseptik sebelum melakukan

peracikan

15 Juli 2017 1. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien

termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta

penulisan copy Resep

2. Melakukan konfirmasi kepada pasien yang menebus Obat

tetes mata, apakah mata kiri/kanan yang mengalami gejala

dan menuliskan keterangan di etiket

3. Mengatur display rak OTC sedemikian rupa dengan

menggeser Obat yang sejenis hingga tidak ada bagian rak

yang kosong

16 Juli 2017 1. Melakukan pelayanan Obat OTC pada pasien swamedikasi

serta memberikan informasi mengenai Obat secara terbatas

(contoh: alternatif Obat merk lain dengan komposisi yang

sama, memilihkan Obat batuk yang sesuai dengan batuk

berdahak/ekspektoran)

2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien

termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta

penulisan copy Resep

37

Universitas Indonesia

3. Mengatur display rak OTC sedemikian rupa dengan

menggeser Obat yang sejenis hingga tidak ada bagian rak

yang kosong

4. Penjelasan mengenai swamedikasi. Pada pelayanan

swamedikasi, harus memperhatikan tangal kadaluarsa Obat

serta memperhatikan aspek FEFO/FIFO

17 Juli 2017 1. Mempelajari mekanisme penerimaan dropping item dan

penyerahannya

2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien

termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta

penulisan copy Resep

3. Mengambil Obat dropping dari outlet Apotek kimia farma

lain

18 Juli 2017 1. Melakukan pelayanan swamedikasi kepada pasien

menggunakan Obat OTC yang dapat diperoleh tanpa Resep

dokter

2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien

termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta

penulisan copy Resep

3. Mengecek keabsahan Resep BPJS, meliputi fotokopi kartu

BPJS/KTP/Buku PRB/Kartu Kendali serta tanggal

penulisan Resep

20 Juli 2017 1. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien

termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta

penulisan copy Resep

2. Penjelasan mengenai buku janji pasien. Apabila ada Obat

yang belum diserahkan kepada pasien, dapat dilakukan

pembuatan janji pemberian Obat yang dicatat di buku janji,

apabila Obat yang dipesan sudah datang maka pasien akan

dihubungi untuk memberitahukan ketersediaannya

3. Melakukan pelayanan swamedikasi kepada pasien

menggunakan Obat OTC yang dapat diperoleh tanpa Resep

dokter, memberikan informasi dan alternatif dari produk

yang tidak tersedia (contoh : balsam tiger diganti balsam

geliga, minya kayu putih cap lang diganti minyak kayu

putih fitocare)

21 Juli 2017 1. Melakukan pelayanan swamedikasi kepada pasien

menggunakan Obat OTC yang dapat diperoleh tanpa Resep

dokter, memberikan informasi dan alternatif dari produk

yang tidak tersedia

2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien

termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta

penulisan copy Resep

38

Universitas Indonesia

3. Mengecek kesesuaian antara barang yang datang dengan

faktur yang menyertainya, meliputi nama produk, jenis

produk, no. batch dan expired date

22 Juli 2017 1. Mendokumentasikan lembar kopi Resep, etiket, bon janji

Obat, dan sebagainya

2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien

termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta

penulisan copy Resep

3. Mempelajari contoh faktur

23 Juli 2017 1. Melakukan pelayanan swamedikasi kepada pasien

menggunakan Obat OTC yang dapat diperoleh tanpa Resep

dokter, memberikan informasi produk (contoh:

memberikan informasi ada jenis suplemen vitamin C yang

aman di lambung dan memberikan edukasi bahwa vitamin

tidak boleh dikonsumsi secara berlebihan)

2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

skrining Resep, penyiapan, pembuatan etiket dan

penyerahan kepada pasien termasuk pemberian informasi

Obat secara terbatas serta penulisan copy Resep

3. Memberikan penjelasan kepada pasien BPJS bahwa Obat –

Obatan yang dicover oleh BPJS berdasarkan Resep dokter

hanya berlaku per wilayah, apabila ada suatu Resep

dikeluarkan oleh sarana pelayanan kesehatan diluar

wilayah depok, maka Resep tersebut tidak akan bias

dilayani di Apotek kimia farma wilayah depok

24 Juli 2017 1. Melakukan pelayanan swamedikasi kepada pasien

menggunakan Obat OTC yang dapat diperoleh tanpa Resep

dokter, memberikan informasi dan alternatif dari produk

yang tidak tersedia

2. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien

termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta

penulisan copy Resep

3. Memperbaiki layout/display produk OTC, memindahkan

sedemikian rupa Obat yang stoknya sudah laku terjual

26 Juli 2017 1. Mempelajari daftar Obat narkotika dan psikotropika

berdasarkan UU No. 35 tahun 2009

2. Melakukan pelayanan swamedikasi kepada pasien

menggunakan Obat OTC yang dapat diperoleh tanpa Resep

dokter, memberikan informasi dan alternatif dari produk

yang tidak tersedia

3. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien

termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta

penulisan copy Resep

39

Universitas Indonesia

4. Menelepon pasien yang nama, alamat serta no. teleponnya

tercantum dalam buku pasien loyal untuk mengagendakan

jadwal pelaksanaan home pharmacy care

5. Mempelajari indikasi, dosis, kontraindikasi dan efek

samping Obat yang sedang digunakan oleh pasien home

care serta mempelajari pantangan makanannya dan terapi

non farmakologi yang sesuai

27 Juli 2017 1. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien

termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta

penulisan copy Resep

2. Melakukan home pharmacy care kepada pasien dengan

keluhan osteoporosis dan osteo arthritis

3. Mendokumentasikan hasil rekam medis pasien degeneratif

28 Juli 2017 1. Melayani permintaan Obat atas Resep dokter, meliputi

penyiapan, pembuatan etiket dan penyerahan kepada pasien

termasuk pemberian informasi Obat secara terbatas serta

penulisan copy Resep

2. Merekomendasikan Obat OTC kepada pasien swamedikasi

(contoh: praxion drop untuk demam pada bayi 5 bulan,

sofratulle sebagai pengganti kasa steril)

3. Penjelasan bahwa dalam swamedikasi, Obat yang dapat

diberikan hanyalah Obat yang boleh diebrikan tanpa Resep

dokter

29 Juli 2017 1. Melakukan pelayanan swamedikasi kepada pasien

menggunakan Obat OTC yang dapat diperoleh tanpa Resep

dokter, memberikan informasi dan alternatif dari produk

yang tidak tersedia

2. Mengambil pesanan dropping Obat dari outlet kimia farma

lain

40 Universitas Indonesia

BAB 5

PEMBAHASAN

Apotek merupakan tempat dilakukannya pelayanan kefarmasian yang

disertai dengan unit bisnis sebagai fungsi pengelolaan perbekalan kefarmasian

dengan tetap menjalankan standar pelayanan kefarmasian. Dalam pengelolaan

suatu Apotek, diperlukan suatu sistem pengaturan agar bisnis dapat berjalan dengan

baik dan berkesinambungan (sustainable) serta mampu melakukan pelayanan

kefarmasian yang berorientasi pada pasien (patient oriented), oleh karena itu pada

Apotek Kimia Farma, Apoteker Pengelola Apotek (APA) merangkap jabatan

sebagai Manager Apotek Pelayanan (MAP) dan dituntut untuk mempunyai

kompetensi yang lebih yaitu memiliki pengetahuan ekonomi, manajerial dan

komunikasi yang baik dengan pasien.

Dalam melakukan pengelolaan atas unit usaha yang dimilikinya, PT. Kimia

Farma Apotek memiliki unit Business Manager (BM). Tanggung jawab dari masing

– masing unit BM adalah pengelolaan persediaan, pengadaan, pelayanan, maupun

administrasi keuangan dari Apotek – Apotek pelayanan yang berada dibawah

wilayah operasinya. Metode perencanaan pengadaan menggunakan sistem ini

dibuat berdasarkan buffer stock, lead time dan stock level baik setiap maupun

seluruh Apotek pelayanan berdasarkan rata-rata penjualan per hari yang diperoleh

dari riwayat penjualan masing-masing Apotek tiap satu bulan menggunakan sistem

informasi manajemen yang terintegrasi.

Dalam pelaksanaannya, sistem tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan,

salah satu keuntungan yang diberikan oleh sistem ini adalah adanya kesatuan

manajemen dalam kegiatan pengelolaan persediaan barang, hal ini berimplikasi

dalam peningkatan efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja. Keuntungan lain

pada sistem pengadaan melalui BM adalah tercapainya efisiensi dan peningkatan

penghematan dalam proses pengadaan barang karena dalam pembelian barang

dengan jumlah besar, umumnya distributor akan memberikan diskon/potongan

harga.

41

Universitas Indonesia

Salah satu kerugian dari sistem manajemen berdasarkan pembagian

Business Manager adalah lead time yang lebih panjang dalam proses pengadaan

barang, hal ini disebabkan karena pemesanan barang dari Apotek pelayanan kepada

distributor dilakukan secara bersamaan (kolektif) dalam suatu waktu atau periode

waktu tertentu melalui BM, pengecualian terhadap narkotika maupun psikotropika

yang pemesanannya dilakukan oleh APA masing – masing Apotek menggunakan

surat pemesanan (SP) khusus kepada distributor tunggal, yaitu Pedagang Besar

Farmasi (PBF) Kimia Farma. Apabila barang yang dibutuhkan oleh Apotek

pelayanan tersedia di gudang BM, maka barang tersebut akan langsung di dropping

kepada Apotek pelayanan yang membutuhkan, sementara jika barang yang

dibutuhkan tidak tersedia di gudang BM, maka BM akan melakukan pemesanan

kepada distributor, pengiriman barang akan dilakukan oleh distributor kepada

Apotek yang memesan beserta fakturnya. Salah satu kerugian lain manajemen

dengan BM adalah terkadang terjadi ketidakcocokan anatara data persediaan di

komputer dengan stok fisik. Akibatnya, pelayanan Obat di Apotek dapat terganggu

akibat terjadi kekosongan persediaan di Apotek.

Peranan Business Manager (BM) yang lain adalah dalam pelaksanaan studi

kelayakan terhadap pengembangan Apotek yang akan dilakukan di wilayah

operasinya, ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan Apotek,

diantaranya adalah lokasi. Tingkat kestrategisan lokasi suatu Apotek berbanding

lurus dengan peningkatan jumlah pasien/konsumen yang datang ke Apotek,

semakin strategis suatu lokasi, umumnya jumlah pasien/konsumen yang

berkunjung juga akan semakin banyak, hal berbanding lurus dengan meningkatnya

penjualan Apotek tersebut.

Apotek Kimia Farma No. 389 merupakan Apotek yang merangkap sebagai

Business Manager dari Apotek Kimia Farma di wilayah Depok. Apotek tersebut

memiliki lokasi yang cukup strategis karena terletak di tepi Jalan Raya Nusantara

yang ramai dan merupakan jalan alternatif bagi kendaraan yang akan menuju

Jakarta melalui Kukusan, Depok maupun kendaraan yang menuju Sawangan,

Depok. Apotek Kimia Farma No. 389 berlokasi pada bagian jalan yang akan

dilewati kendaraan pada jam pulang kerja, sehingga karyawan yang bekerja di

42

Universitas Indonesia

Jakarta dan memiliki rumah di Depok dapat membeli Obat maupun perbekalan

kesehatan lainnya pada saat pulang dari lokasi kerjanya, hal ini ditunjang dengan

tersedianya area parkir kendaraan yang cukup memadai, berdasarkan pengamatan

dan estimasi penulis, area parkir kendaraan dapat menampung hingga dua mobil

atau sepuluh sepeda motor. Selain mudah untuk dijangkau dengan kendaraan

pribadi, Apotek Kimia Farma No. 389 juga mudah untuk dijangkau dengan

kendaraan umum karena dilewati oleh angkutan umum. Apotek Kimia Farma No.

389 berada dekat dengan pemukiman penduduk, sekolah, pusat perbelanjaan dan

pasar, stasiun kereta api, serta rumah sakit dan klinik maupun praktek dokter

pribadi, hal ini menunjang banyaknya penjualan Obat Resep yang dilayani oleh

Apotek.

Strategi lain yang digunakan oleh Apotek Kimia Farma No. 389 untuk

meningkatkan penjualan adalah dengan melakukan kerjasama dengan asuransi

seperti Mandiri InHealth dan BPJS Kesehatan, pemeriksaan kesehatan seperti

pengukuran tekanan darah, asam urat, kolesterol serta gula darah, maupun

pelayanan home pharmacy care untuk pasien loyal yang telah melakukan beberapa

kali pembelian dengan nilai transaksi yang besar serta memiliki penyakit kronis

maupun kelompok lansia yang membutuhkan pemantauan keberhasilan terapi.

Selain home pharmacy care, dapat juga dilakukan telefarma yang

merupakan layanan edukasi kesehatan oleh Apoteker atau Asisten Apoteker dalam

memberikan informasi mengenai penggunaan Obat yang pasien konsumsi selama

ini melalui telepon. Telefarma dilakukan pada pasien dengan keadaan poli farmasi,

pasien dengan kelompok khusus seperti pasien geriatri ataupun pasien dengan

penyakit yang membutuhkan perhatian khusus. Setelah data pasien terkumpul,

Apoteker atau asisten Apoteker dapat langsung menelepon pasien dengan cara

mengucapkan salam (greeting), memperkenalkan diri dan menjelaskan secara

singkat maksud dan tujuan menelepon. Secara umum, layanan telefarma cukup

diapresiasi oleh pasien, akan tetapi terkadang ditemui pasien yang tidak bersedia

menerima informasi penggunaan Obat melalui telefarma, apabila ditemukan pasien

seperti ini, Apoteker atau Asisten Apoteker yang melakukan telefarma akan

mengakhiri panggilan telepon beserta permintaan maaf. Strategi lain yang

43

Universitas Indonesia

dilakukan untuk meningkatkan penjualan adalah layanan pengiriman Obat (Drug

Delivery Order yang juga memiliki peranan yang signifikan dalam meningkatkan

penjualan, akan tetapi, apabila lokasi pemesan Obat berada terlalu jauh dari Apotek

Kimia Farma No. 389, maka pemesan akan diarahkan untuk melakukan pemesanan

Obat pada Apotek Kimia Farma yang terdekat dari lokasi pemesan tersebut.

Apotek Kimia Farma No. 389 telah memiliki desain rancang bangun yang

telah terstandarisasi, hal yang diatur dalam standarisasi rancang bangun Apotek

diantaranya adalah adanya tiang dengan logo kimia farma yang dapat menyala pada

malam hari, memiliki cat dengan warna yang khas, yaitu putih dengan aksen orange

dan biru yang merupakan warna khas dari Apotek Kimia Farma, pintu dan dinding

yang terbuat dari kaca besar dengan tulisan Kimia Farma berwarna orange dan biru

yang memudahkan pelanggan untuk melihat ke dalam Apotek dan menarik

perhatian pelanggan, adanya ciri khas tersebut penting untuk mengidentifikasi

keberadaan Apotek Kimia Farma sehingga Apotek mudah dikenali oleh pasien

yang telah mengenal reputasi kimia farma. Namun ada hal yang perlu diperhatikan

mengenai penggunaan kaca besar tembus pandang sebagai dinding, diantaranya

adalah peletakan salah satu gondola yang posisinya terlalu dekat dengan dinding

kaca sehingga sinar matahari dapat langsung menyinari dan berpotensi

meningkatkan suhu Obat OTC yang dipajang pada area tersebut, hal ini tentunya

dapat mempengaruhi waktu kadaluarsa dari Obat tersebut.

Apotek Kimia Farma No. 389 juga memiliki papan nama praktek Apoteker,

yang memuat informasi mengenai nama Apoteker, nomor SIPA dan jadwal praktek

Apoteker sesuai dengan yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek. Salah satu kekurangan

yang dimiliki oleh Apotek Kimia Farma No. 389 adalah Apotek tidak memiliki

mesin ATM, sehingga pasien dapat mengalami kesulitan apabila uang tunai yang

dibawa tidak cukup, apabila terjadi hal demikian transaksi dapat dilakukan

menggunakan mesin Electronic Debet Card (EDC).

Swalayan farmasi yang dimiliki Apotek Kimia Farma No. 389 sudah cukup

baik dan tertata rapih, terletak di area ruang tunggu pasien untuk memudahkan

konsumen membeli secara langsung, meskipun demikian Asisten Apoteker atau

44

Universitas Indonesia

Apoteker yang bertugas selalu siap untuk memberikan saran dan informasi terhadap

pasien swamedikasi terkait produk upaya pelayanan diri sendiri (UPDS) yang akan

dibelinya. Swalayan farmasi di Apotek Kimia Farma No. 389 sudah cukup lengkap,

pengaturan penataan Obat dan barang diletakkan berdasarkan kategorinya, seperti

baby care, topical, paper product, milk and nutrition, oral care, haircare, skin care,

medicine, dan suplemen serta vitamin. Adanya swalayan farmasi diharapkan dapat

menaikkan omset dari Apotek. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, diketahui

bahwa pelanggan merasa kesulitan dalam memperoleh informasi terkait harga

barang barang swalayan karena pada produk yang dipajang di rak tidak

dicantumkan harga. Hal ini menyebabkan pasien harus mengecek harga di kasir

terlebih dahulu. Hal ini berpotensi merepotkan pelanggan jika Apotek sedang dalam

keadaan ramai dan petugas harus melakukan pengecekan pada komputer terlebih

dahulu untuk mengetahui harga barang yang ditanyakan oleh pasien. Oleh karena

itu, perlu dilakukan penambahan label harga di masing masing kotak barang atau

Obat yang dipajang di swalayan.

Apotek Kimia Farma No. 389 dipimpin oleh Apoteker Pengelola Apotek

(APA) sekaligus Manajer Apotek Pelayanan (MAP) yang memimpin dan

mengelola Apotek beserta sumber dayanya. Dalam menjalankan kegiatan teknis

kefarmasian dan nonkefarmasian, APA dibantu oleh Asisten Apoteker (AA).

Kegiatan operasional Apotek Kimia Farma No. 389 adalah setiap hari dari pukul

8.00 hingga 23.00 WIB, yang terbagi dalam 2 shift, yaitu pagi pada pukul 8.00 -

15.00 WIB dan sore pada pukul 15.00 - 23.00 WIB. Apoteker berada di Apotek

pada pukul 9.00 – 15.00 WIB, sementara pada shift 2 tidak ada Apoteker yang stand

by di Apotek, permasalahan ini dapat diatasi dengan merekrut seorang Apoteker

lain untuk menggantikan APA pada jam tertentu pada waktu operasi Apotek.

Dalam melakukan pelayanan kepada pasien, apabila ada Obat yang dicari

oleh pasien maupun tertera di Resep tidak tersedia di Apotek, upaya yang dilakukan

untuk memenuhi permintaan adalah dengan memberikan penawaran Obat lain yang

memiliki komposisi dan dosis yang sama sebagai pengganti Obat yang dicari,

setelah itu dilakukan pencatatan terhadap Resep maupun Obat yang ditolak untuk

mempersiapkan persediaan agar di masa mendatang kejadian penolakan dapat

45

Universitas Indonesia

diminimalisir. Apabila ditemukan suatu Obat habis persediaannya, maka dilakukan

pengecekan stok Obat di gudang BM maupun Apotek Kimia Farma terdekat, jika

Obat tersedia maka dilakukan mekanisme dropping melalui sistem dan Obat

dijemput ke Apotek yang menyetujui dropping tersebut, apabila tidak tersedia juga,

maka pasien ditawarkan untuk membuat janji, Obat dapat diantarkan ke rumah

pasien maupun pasien ditelepon jika Obat yang dijanjikan telah tersedia. Asisten

Apoteker yang bertugas di bagian pelayanan dan penjualan telah melayani dengan

cukup baik dan ramah, pelayanan dimulai dengan mengucapkan “selamat datang di

kimia farma” dan diakhiri dengan mengucapkan terimakasih dan “semoga sehat

selalu”. Dalam berkomunikasi, petugas bersikap informatif dan santun

menggunakan bahasa yang baik, keluhan yang diutarakan oleh pasien ditanggapi

dengan professional dan responsif.

Dalam hal manajemen penyimpanan barang, penyimpanan Obat ethical

yang tidak memerlukan kondisi penyimpanan terkontrol dilakukan di lemari yang

memiliki dua sisi dan dapat diputar untuk menghemat ruangan, sementara

penyimpanan Obat yang yang perlu disimpan pada suhu tertentu seperti

suppositoria dan insulin pen disimpan di lemari pendingin. Penyimpanan dilakukan

dengan mengeluarkannya dari dus aslinya demi menghemat space dan estetika. Hal

ini berpotensi menyebabkan masalah pada pengelolaan Obat, contohnya pada

penanganan Obat yang kadaluarsa atau mengalami penarikan, khususnya Obat yang

seharusnya dapat dikembalikan kepada distributor dengan dus aslinya serta

menimbulkan hambatan dalam penerapan prinsip First In First Out (FIFO) dan

First Expired First Out (FEFO) karena dapat terjadi ketercampuran antara blister

Obat lama dan baru, hal ini menyebabkan masih dapat ditemukannya Obat-Obat

yang kadaluarsa pada saat dilakukan pemeriksaan Obat yang akan diserahkan

kepada pasien.

Setiap wadah penyimpanan Obat memiliki kartu stok untuk memantau

jumlah stok Obat yang tersedia agar tidak terjadi penyimpanan yang tidak rapi,

tercecernya persediaan maupun kehilangan dan kerusakan persediaan, kartu stok

juga memudahkan petugas dalam mengecek kesesuaian Obat yang tersedia secara

fisik dengan yang tercatat di sistem komputer. Setiap data mengenai masuk dan

46

Universitas Indonesia

keluarnya Obat idealnya harus dicatat pada kartu stok, akan tetapi, akibat kesibukan

yang cukup tinggi, pencatatan dalam kartu stok seringkali terlewat, selain itu

ditambah dengan penjualan barang menggunakan sistem dropping dari Apotek

terdekat yang terkadang tidak tercatat dalam sistem sehingga struk pembelian tidak

bisa tercetak. Hal ini menyebabkan data yang tertulis pada kartu stok tidak sesuai

dengan jumlah Obat secara fisik, sehingga mempersulit pengawasan terhadap stok

dan ketersediaan barang termasuk pada saat dilakukan stock opname dan

perencanaan persediaan, dimana terjadi ketidak akuratan perencanaan persediaan

yang menyebabkan kekosongan persediaan (out of stock). Stock opname yang

dilakukan setiap tiga bulan sekali berfungsi untuk mengecek barang secara fisik

apakah sesuai dengan jumlah yang ada di komputer. Pada saat penulis

melaksanakan PKPA di Apotek Kimia Farma No. 389, kegiatan stock opname

sudah selesai dilaksanakan sehingga penulis tidak mendapatkan gambaran

bagaimana teknis pelaksanaan kegiatan tersebut.

Proses pelayanan Resep di Apotek Kimia Farma No. 389 dilakukan sesuai

dengan standar operasional yang telah ditetapkan oleh PT. Kimia Farma Apotek,

terdiri dari 6 langkah pelayanan Resep, Apoteker memiliki peranan dalam

melakukan skrining Resep mulai dari memeriksa kelengkapan persyaratan

administrasi, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis. Setelah semua

pengecekan dilakukan, kegiatan dispensing selanjutnya dilakukan oleh petugas

yang berbeda, dengan strategi ini diharapkan pengecekan dan koreksi dilakukan

selama beberapa kali mulai dari awal Resep diterima sampai Obat akan diserahkan

kepada pasien. Hal ini dimaksud untuk menghindari kesalahan dalam dispensing

Obat.

Prosedur pelayanan Resep terdiri atas penerimaan Resep, perjanjian dan

pembayaran, penyiapan Obat dan peracikan, pemeriksaan akhir, penyerahan Obat

dan pemberian informasi serta layanan purna jual (after sale service). Dalam

pelayanan yang diberikan, harus dipastikan hak pelanggan terpenuhi guna

meningkatkan citra Apotek, yaitu menerima senyum, sapa, salam, dan komunikasi

dengan santun, mengetahui harga, jenis, bentuk kemasan dan jumlah Obat yang

dibeli serta mendapatkan informasi Obat dan penggunaan alat kesehatan langsung

47

Universitas Indonesia

maupun melalui telepon. Pelayanan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

untuk pasien serta pasien swamedikasi diberikan oleh Apoteker, kecuali apabila

Apoteker tidak berada di tempat. Informasi yang diberikan dapat berupa cara

penggunaan Obat, indikasi Obat, cara penyimpanan, interaksi Obat dan informasi

lainnya yang berkaitan dengan Obat yang diberikan. Untuk meningkatkan

keselamatan kerja petugas peracikan, sebaiknya pada saat peracikan petugas

menggunakan masker dan sarung tangan disposable. Selain itu, perlengkapan untuk

mencuci alat peracikan seperti mortar dan stamper sebaiknya dibedakan dengan

perlengkapan untuk mencuci piring dan gelas untuk mencegah kontaminasi dari

Obat kepada petugas maupun dari sisa makanan kepada Obat.

Sistem komputer kasir yang digunakan untuk melakukan pelayanan

mengharuskan Asisten Apoteker memasukkan alamat dan nomor telepon pasien

yang dapat dihubungi sebelum melakukan pencetakan struk pembayaran. Hal ini

dilakukan untuk mengatasi masalah yang mungkin baru diketahui setelah Obat

diserahkan kepada pasien, seperti contohnya reaksi Obat yang tidak dikehendaki

(ROTD) maupun kesalahan pemberian Obat, baik kesalahan penyiapan, kesalahan

pasien penerima Obat maupun pemberian Obat yang mendekati kadaluwarsa. Pada

pelaksanaannya, untuk OTC atau Obat bebas dan Obat dengan resiko rendah

lainnya, alamat dan nomor telepon pasien dapat ditulis dengan tidak lengkap, cukup

nama kota tempat tinggal pasien.

Pengelolaan kegiatan administrasi dan keuangan di Kimia Farma, dilakukan

menggunakan Kimia Farma Informasi Sistem (KIS) untuk seluruh Apotek Kimia

Farma yang ada di Indonesia. Dengan adanya KIS maka kegiatan yang

berhubungan dengan administrasi Apotek dapat dilakukan dengan cepat dan

terkontrol. Administrasi dan keuangan merupakan salah satu kegiatan

nonkefarmasian yang dilakukan di Apotek Kimia Farma No. 389, administrasi

keuangan yang dilakukan di Apotek Kimia Farma No. 389 diantaranya adalah Bukti

Setoran Kas, Laporan Ikhtisar Penjualan Harian, Laporan Realisasi Penggunaan

Dana Kas Kecil, Laporan Laba Rugi Apotek dan Laporan Arus Kas. Dalam setiap

pergantian shift, petugas Apotek yang bertanggung jawab harus melaporkan

seluruh hasil penjualan Apotek dalam bentuk bukti setoran kasir Apotek untuk

48

Universitas Indonesia

selanjutnya divalidasi. Validasi dilakukan terhadap semua transaksi, baik tunai

maupun kredit. Validasi adalah proses pengecekan data transaksi dari hasil entry,

lalu bukti setoran kas untuk transaksi tunai dicocokkan dengan kas yang ada.

Validasi dilakukan setiap hari dan dikirim ke unit BM.

Pengelolaan administrasi non keuangan di Apotek Kimia Farma No. 389

diantaranya meliputi administrasi Resep berupa pencatatan data pasien, pembuatan

rekam medis (Patient Medication Record) untuk pasien dengan kualifikasi tertentu,

penyimpanan Resep, pembuatan kuitansi, Salinan/kopi Resep, pelaporan serta

pengarsipan Obat-Obat narkotika dan psikotropika. Pemusnahan Resep dilakukan

setiap 3 tahun, administrasi lainnya meliputi administrasi barang/merchandising,

meliputi BPBA pengadaan cito, surat pesanan untuk Obat narkotika dan

psikotropika, kartu stok, serta administrasi personalia (absensi karyawan,

perhitungan lembut (overtime), pengaturan jadwal (shift) kerja dan sebagainya.

49 Universitas Indonesia

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pelaksanaan Program Praktek Kerja

Profesi Apoteker (PKPA) yang dilaksanakan di Apotek Kimia Farma No. 389 yang

dilaksanakan selama 4 minggu adalah:

a. Peranan Apoteker di Apotek tidak hanya sebagai penanggung jawab kegiatan

kefarmasian yang harus bertanggung jawab dalam mendukung peningkatan

kualitas hidup pasien, melainkan juga berperan dalam manajemen Apotek

sebagai suatu unit bisnis dalam menjamin kelangsungan hidup Apotek.

b. Apoteker Pengelola Apotek (APA) memiliki peran yang penting dalam

pengelolaan Apotek, dalam bidang manajerial, APA berperan dalam

menentukan kebijakan pengelolaan Apotek serta melaksanakan fungsi

pengawasan dan pengendalian terhadap semua komponen yang ada di Apotek,

mulai dari persediaan, prosedur standar operasional, administrasi dan keuangan

serta personalia. Selain itu, APA juga bertanggung jawab dalam menjalankan

fungsi sebagai professional kesehatan dengan menjamin penggunaan Obat yang

efektif, aman dan rasional, melalui pemberian informasi Obat maupun

konseling.

c. Tugas dan fungsi professional APA di Apotek Kimia Farma No. 389

diantaranya adalah skrining Resep, pelayanan informasi Obat, konseling,

informasi dan edukasi, serta home care maupun telefarma dan dispensing Obat.

6.2 Saran

Adapun saran yang dapat diberikan setelah mekakukan praktek kerja di

Apotek Kimia Farma No. 389 adalah:

a. Adanya tempat khusus bagi Apoteker untuk memberikan konseling kepada

pasien, selama ini Apoteker melakukan konseling di sudut meja pelayanan yang

memiliki tinggi lebih rendah dengan dua kursi yang saling berhadapan, adanya

ruangan khusus membuat pasien dapat lebih leluasa menceritakan keluhan dan

permasalahan yang dimilikinya terkait dengan penggunaan Obat.

50

Universitas Indonesia

b. Sebaiknya brosur/leaflet sebaiknya tidak dibuang, tetapi diamankan pada

tempat tertentu sehingga memudahkan petugas bila memerlukan informasi

terkait Obat apabila pasien bertanya, contohnya saat pasien bertanya sebaiknya

suatu Obat diminum sebelum atau sesudah makan, pagi atau malam hari yang

terkadang dokter lupa mencantumkan signa tersebut pada Resep.

c. Sebaiknya pada tiap gondola dan rak dinding dicantumkan harga dari tiap

produk, hal tersebut dapat membantu konsumen memutuskan alternatif produk

yang akan dibeli berdasrkan perbandingan antara manfaat yang didapatkan

dengan uang yang harus dikeluarkan.

d. Sebaiknya kedisiplinan untuk mengisi kartu stok serta pencatatan stok secara

komputerisasi perlu ditingkatkan dan dioptimalkan, sehingga selisih antara stok

fisik dengan yang tercantum di komputer dapat diminimalkan, hal ini bertujuan

agar proses pengecekan ketersediaan Obat dan perencanaan pengadaan menjadi

lebih mudah dan efisien.

51 Universitas Indonesia

DAFTAR ACUAN

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan. (2007). Pedoman

Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: Ditjen Binfar dan

Alkes.

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. (2008). Training of

Trainer Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) dan Sistem

Pelaporan Dinamika Obat Pedagang Besar Farmasi. Dalam Buletin

INFARKES 1, Edisi Agustus 2008, 5.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran,

Penyimpanan, Pemusnahan, Dan Pelaporan, Narkotika, Psikotropika, dan

Prekursor Farmasi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2016 tentang Perubahan atas

Peraturan Menteri Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi,

Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Jakarta: Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

52

Universitas Indonesia

Presiden Republik Indonesia. (2009). Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009

tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia.

Presiden Republik Indonesia. (1997) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Jakarta: Sekretariat Negara Republik

Indonesia.

Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta: Sekretariat Negara Republik

Indonesia.

Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia.

Presiden Republik Indonesia. (2010). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

No. 44 Tahun 2010 tentang Prekursor. Jakarta: Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia.

LAMPIRAN

54

Universitas Indonesia

Lampiran 1. Denah Lokasi Apotek Kimia Farma No. 389

Lampiran 2. Desain dan Rancang Bangun Apotek Kimia Farma No. 389

Area Parkir

Pintu Masuk

Area Swalayan

Rak

pro

du

k O

TC

Rak

pro

du

k O

TC

Rak

OTC

Rak

OTC

Rak

OTC

Rak

OTC

Lemari Pendingin

Tangga Toilet

Ruang Tunggu

Area Peracikan

Lemari Narkotika Rak obat ethical

Lemari Pendingin

Rak obat ethical

Area Konseling Counter pelayanan

55

Universitas Indonesia

Lampiran 3. Lembar Surat Pesanan Narkotika

Lampiran 4. Lembar Surat Pesanan Psikotropika

56

Universitas Indonesia

Lampiran 5. Lembar Bon Pengambilan Obat

Lampiran 6. Lembar Kuitansi Pembayaran Resep/Tunai

57

Universitas Indonesia

Lampiran 7. Salinan Resep

Lampiran 8. Kemasan dan Etiket

58

Universitas Indonesia

Lampiran 9. Contoh Label Obat

Lampiran 10. Alur Pelayanan Resep

59

Universitas Indonesia

Lampiran 11. Apotek Kimia Farma No. 389

60

Universitas Indonesia

Lampiran 12. Laporan Tugas Khusus

UNIVERSITAS INDONESIA

HOME PHARMACY CARE PASIEN OSTEOPOROSIS

SERTA OSTEOARTHRITIS DI APOTEK KIMIA FARMA

NO. 389

LAPORAN TUGAS KHUSUS

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI APOTEK KIMIA FARMA NO. 389 PERIODE JULI

TAHUN 2017

ARGA WAHYU HIDAYAT

1606965783

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

DEPOK

DESEMBER 2017

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv

DAFTAR TABEL ................................................................................................ v

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2 Tujuan ...................................................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN UMUM ................................................................................ 3

2.1 Definisi Osteoporosis .............................................................................. 3

2.2 Klasifikasi Osteoporosis .......................................................................... 3

2.3 Patogenesis .............................................................................................. 5

2.4 Faktor Resiko Osteoporosis dan Fraktur yang disebabkan oleh

Osteoporosis ............................................................................................ 5

2.5 Manifestasi Klinis Osteoporosis .............................................................. 7

2.6 Diagnosa Osteoporosis ............................................................................ 7

2.7 Pencegahan dan Pengobatan ................................................................... 8

2.8 Definisi Osteoarthritis ........................................................................... 11

2.9 Klasifikasi Osteoarthritis ....................................................................... 11

2.10 Patogenesis ............................................................................................. 12

2.11 Faktor Resiko Osteoarthritis .................................................................. 13

2.12 Manifestasi Klinik Osteoarthritis .......................................................... 13

2.13 Diagnosa Osteoarthritis ......................................................................... 14

2.14 Pencegahan dan Pengobatan.................................................................. 14

2.15 Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care) ................. 16

BAB 3 METODE ................................................................................................ 17

3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................ 17

3.2 Sampel ................................................................................................... 17

3.3 Metode Pengkajian ................................................................................ 17

BAB 4 PEMBAHASAN ..................................................................................... 18

4.1 Informasi Dari Pasien ............................................................................ 18

4.2 Skrining Farmasetika ............................................................................. 19

4.3 Skrining Farmakologi ............................................................................ 20

4.4 Pelaksanaan Home Pharmacy Care ...................................................... 25

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 29

5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 29

iii

5.2 Saran ...................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 30

LAMPIRAN ........................................................................................................ 32

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Perbandingan tulang normal dengan tulang yang mengalami

osteoporosis ……...……………………………………..........…… 4

Gambar 2.2 Perbandingan tulang belakang normal dengan tulang belakang yang

mengalami kifosis ………………………………………………… 5

Gambar 2.3 Algoritma terapi osteoporosis ………………………………….… 10

Gambar 2.4 Perbandingan sendi normal dengan sendi yang mengalami

osteoarthritis ……………………………………………….……. 16

Gambar 2.5 Algoritma terapi osteoarthritis ………………………………...… 19

Gambar 4.1 Resep Pasien Tn. S …………………………………………….… 23

v

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Nilai T-Score menurut WHO ……………………………………..…. 12

Tabel IV.1 Data pengobatan yang diterima pasien ……………………………... 22

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka Harapan Hidup adalah rata-rata jumlah tahun kehidupan yang masih

dijalani oleh seseorang yang telah berhasil mencapai umur tertentu, Pengamat

Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia Pattrick Wauran mengatakan, tinggi

rendah Angka Harapan Hidup penduduk menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu

negara, termasuk didalamnya adalah tingkat keamanan dan pertumbuhan negara

tersebut. Sebagai suatu negara berkembang, Indonesia merupakan salah satu negara

dengan tingkat Angka Harapan Hidup yang cukup tinggi. Angka Harapan Hidup

penduduk di Indonesia menempati posisi ke-6 dari negara-negara anggota ASEAN,

periode tahun 2010-2015. Posisi pertama ditempati Singapura yang mencatat

indeks 82,2 dari posisi sebelumnya periode 2005-2010 sebesar 81,2.

Menurut Badan Pusat Statistik (2013), Angka Harapan Hidup penduduk

Indonesia tercatat sebesar 70,1 tahun pada periode 2010-2015, atau naik dari 69,1

tahun pada periode 2005-2010 dan akan meningkat pada menjadi 72,2 tahun pada

periode 2030-2035. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa jumlah penduduk

Indonesia selama dua puluh lima tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 238,5

juta pada tahun 2010 menjadi 305,6 juta pada tahun 2035. Pada saat yang sama,

jumlah penduduk yang berusia 65 tahun ke atas naik dari 5,0 persen menjadi 10,6

persen. Hal ini diantaranya disebabkan oleh meluasnya pelayanan kesehatan yang

berkualitas, semakin banyaknya sarana pelayanan kesehatan yang memenuhi

standar, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta

kesadaran masyarakat sendiri akan pentingnya kesehatan. Berbanding lurus dengan

meningkatnya usia harapan hidup, insidensi penyakit degeneratif terus meningkat

di negara-negara berkembang (emerging country), salah satunya adalah penyakit

osteoporosis dan osteoarthritis. Ostoporosis merupakan suatu penyakit degeneratif

yang ditandai dengan menurunnya massa tulang melebihi 2,5 kali standar deviasi

massa tulang pada populasi usia muda dan perubahan pada mikroarsitektur jaringan

tulang yang berakibat pada meningkatnya fragilitas serta kecenderungan untuk

2

Universitas Indonesia

mengalami fraktur pada tulang. Osteoarthritis adalah gangguan pada sendi yang

bergerak. Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, dan abrasi rawan

sendi dan menyebabkan gangguan pembentukan tulang baru pada permukaan

persendian. (Price A, Sylvia, 2005).

Insidensi osteoporosis maupun osteoarthritis sering ditemukan pada lansia.

Resiko osteoporosis maupun osteoarthritis pada wanita lebih besar dibandingkan

pada pria. Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan memiliki peranan dan

tanggung jawab untuk memberikan pengetahuan yang tepat kepada lansia yang

memiliki resiko untuk menderita osteoporosis maupun osteoarthritis. Salah satu

cara yang dapat digunakan oleh Apoteker dalam memberikan konseling kepada

pasien yaitu melalui pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).

Mengingat pentingnya peran Apoteker dalam memberikan konseling melalui

pelayanan kefarmasian di rumah untuk pasien dengan penyakit kronis, mahasiswa

calon Apoteker diberikan tugas khusus untuk melakukan pelayanan kefarmasian di

rumah (Home Pharmacy Care) kepada salah satu pasien di Apotek Kimia Farma

No. 389 yang menderita osteoporosis dan osteoarthritis.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan laporan tugas khusus ini adalah untuk menganalisis

terapi osteoporosis dan osteoarthritis berdasarkan Resep dokter yang masuk di

Apotek Kimia Farma No. 389 dan melakukan monitoring terhadap terapi pasien

lansia dengan penyakit osteoporosis dan osteoarthritis melalui pelayanan Home

Pharmacy Care untuk mengetahui dan meningkatkan keberhasilan terapi yang

diterima pasien.

3 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN UMUM

2.1 Definisi Osteoporosis

Osteoporosis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan

berkurangnya massa tulang dan timbulnya perubahan mikroarsitektur jaringan

tulang. Penurunan massa tulang terjadi akibat kecepatan resorpsi tulang yang lebih

besar dibandingkan dengan kecepatan pembentukan tulang. Secara progresif,

tulang menjadi porus, rapuh dan mudah mengalami fraktur dengan stress maupun

benturan yang pada keadaan normal tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang.

(Kementerian Kesehatan RI, 2008). Osteoporosis juga dapat didefinisikan sebagai

keadaan dimana densitas mineral tulang (DMT) berada di bawah nilai rujukan

menurut umur. Berdasarkan WHO, massa tulang diklasifikasikan berdasarkan T-

scores. T-scores merupakan bilangan standar deviasi dari rata-rata densitas mineral

tulang pada populasi muda normal. Massa tulang yang normal memiliki nilai T-

score lebih besar dari -1, sedangkan osteoporosis memiliki nilai T-score kurang dari

-2,5 (Dipiro et. al, 2008).

Gambar 2.1 Perbandingan tulang normal dengan tulang yang mengalami

osteoporosis

2.2 Klasifikasi Osteoporosis

2.2.1 Osteoporosis primer

Osteoporosis primer diklasifikasikan kembali menjadi dua tipe, yaitu:

4

Universitas Indonesia

a. Osteoporosis primer tipe I (post menopause)

Osteoporosis primer tipe I umumnya terjadi pada wanita yang telah mengalami

menopause (berusia sekitar 50-65 tahun). Insiden fraktur pada osteoporosis tipe

I pada umumnya terjadi pada bagian tulang belakang, tulang iga maupun pada

tulang radius (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008b).

b. Osteoporosis primer tipe II (senile)

Osteoporosis primer tipe II umumnya terjadi pada pasien yang berusia lanjut

(berusia ≥ 70 tahun) dan dapat terjadi pada pria maupun wanita. Insiden fraktur

pada osteoporosis tipe II pada umumnya terjadi pada tulang paha. Manifestasi

klinis yang dapat terjadi selain fraktur adalah terjadinya kifosis dorsalis yang

ditandai dengan berkurangnya tinggi tubuh yang disertai dengan nyeri tulang

yang berkepanjangan (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008b).

Perbedaan antara tulang belakang (vertebra) normal dan tulang belakang yang

mengalami kifosis dicontohkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Perbandingan tulang belakang normal dengan tulang belakang yang

mengalami kifosis

2.2.2 Osteoporosis sekunder

Osteoporosis sekunder merupakan jenis penyakit osteoporosis yang

disebabkan oleh penyakit maupun infeksi pada tulang, contohnya adalah

rheumatoid arthritis kronis, tuberculosis spondylitis, osteomalacia, kelumpuhan

pada otot, hipertiroid, immobilitas atau kurangnya aktivitas fisik dalam jangka

waktu lama, dan lain sebagainya. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008b).

5

Universitas Indonesia

2.3 Patogenesis

Menurut Dipiro et. al, (2008), patogenesis terjadinya osteoporosis adalah:

a. Pengeroposan tulang terjadi ketika proses resorpsi tulang lebih besar dari

kemampuan osteoblas untuk membentuk tulang baru.

b. Kepadatan mineral tulang/Bone Mass Density (BMD), kualitas tulang dan

integritas struktural tulang akan berkurang.

c. Pria dan wanita mulai kehilangan sejumlah kecil massa tulang pada usia 30-40

tahun hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari pembentukan tulang yang

berkurang.

d. Defisiensi estrogen selama menopause dapat meningkatkan proliferasi,

diferensiasi dan aktivasi osteoklas baru serta memperpanjang usia osteoklas.

Meningkatnya jumlah osteoklas menyebabkan proses resorpsi tulang lebih

besar dari proses pemberntukan tulang.

e. Osteoporosis juga berhubungan dengan usia, hormon, kalsium, dan kekurangan

vitamin D. Faktor tersebut menyebabkan resorpsi tulang menjadi semakin cepat

dan mengurangi pembentukan osteoblas.

f. Osteoporosis akibat Obat mungkin terjadi karena penggunaan Obat

kortikosteroid sistemik (prednisone dosis >7,5 mg/hari), kortikosteroid

menyebabkan penurunan penyerapan kalsium dari usus, peningkatan hilangnya

kalsium dari usus, peningkatan hilangnya kalsium melalui ginjal dalam air seni

dan peningkatan hilangnya kalsium tulang.

2.4 Faktor Resiko Osteoporosis dan Fraktur yang disebabkan oleh

Osteoporosis

2.4.1 Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi

Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi diantaranya adalah:

a. Usia

Daya serap kalsium akan menurun seiring dengan bertambahnya usia.

b. Gender

Sepanjang hidupnya, wanita akan kehilangan massa tulang sebesar 30-50%,

sementara pria akan mengalami kehilangan massa tulang sebesar 20-30%. Hal

6

Universitas Indonesia

ini diantaranya disebabkan oleh proses hamil dan menyusui serta proses

menopause.

c. Genetika dan Ras

Beberapa ras seperti kulit hitam amerika mempunyai tulang yang lebih besar

dengan struktur tulang lebih kuat daripada bangsa kaukasia sehingga akan

relatif jarang mengalami fraktur karena osteoporosis.

d. Gangguan hormonal

Wanita yang memasuki masa menopause mengalami pengurangan produksi

hormon esterogen, penurunan jumlah atau hilangnya estrogen dari dalam tubuh

akan mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan kalsium. Hal ini

disebabkan oleh penurunan efisiensi absorbsi kalsium dari makanan dan

penurunan konservasi kalsium di ginjal.

2.4.2 Faktor resiko yang dapat dimodifikasi

Faktor resiko yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah:

a. Kurangnya aktivitas fisik

Immobilitas pada waktu lama menyebabkan pengecilan tulang dan ekskresi

kalsium dari tubuh melalui urin (hiperkalsuria).

b. Postur tubuh kurus

Seseorang dengan tubuh kurus cenderung lebih mudah mengalami osteoporosis

dibandingkan orang dengan Indeks Massa Tubuh normal.

c. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol, kopi dan minuman yang mengandung

kafein serta merokok secara berlebihan

Merokok dan minum kopi secara berlebihan cenderung akan mengakibatkan

penurunan massa tulang. Kafein dan alkohol dapat memperbanyak ekskresi

kalsium melalui urin maupun tinja.

d. Kurangnya asupan nutrisi

Pola makan yang tidak seimbang yang kurang memperhatikan kandungan gizi

merupakan faktor risiko osteoporosis.

e. Kurang terkena sinar matahari

Orang yang jarang terkena sinar matahari lebih berisiko untuk terkena

osteoporosis. Sinar matahari dibutuhkan untuk memicu kulit membentuk

7

Universitas Indonesia

vitamin D3, dimana vitamin D (D3 + D2/berasal dari makanan) diubah oleh

hepar dan ginjal menjadi kalsitriol.

f. Penggunaan Obat tertentu dalam waktu lama

Penggunaan Obat seperti kortikosteroid, sitostatika (metotreksat), anti kejang

dan anti koagulan (heparin, warfarin) dapat menyebabkan penurunan

penyerapan kalsium dari usus, peningkatan hilangnya kalsium dari usus,

peningkatan hilangnya kalsium melalui ginjal dalam air seni dan peningkatan

hilangnya kalsium tulang.

2.5 Manifestasi Klinis Osteoporosis

Pasien osteoporosis pada umumnya mengalami sakit/nyeri pada tulang

dengan atau tanpa fraktur yang nyata, nyeri yang timbul secara mendadak, sakit

hebat yang terlokalisasi pada tulang yang terserang osteoporosis dan nyeri

berkurang pada saat penderita istirahat di tempat tidur atau berbaring, nyeri ringan

pada saat bangun tidur dan akan bertambah parah saat melakukan aktivitas serta

deformitas vertebra thorakalis yang menyebabkan penurunan tinggi badan.

2.6 Diagnosa Osteoporosis

2.6.1 Pemeriksaan pendahuluan

a. Penelusuran riwayat penyakit dan pengobatan pasien

b. Identifikasi faktor resiko

c. Pemeriksaan fisik lengkap yang dilakukan dengan mengamati penurunan tinggi

badan dan postur tubuh. Untuk melengkapi anamnesis dapat menggunakan

formulir tes semenit risiko osteoporosis (Lampiran 1) yang dikeluarkan oleh

International Osteoporosis Foundation (IOF).

2.6.2 Pengukuran non invasif

Terdapat berbagai metode yang dapat digunakan untuk melakukan

pengukuran massa tulang, namun yang menjadi standar diagnosis osteoporosis saat

ini adalah pengukuran densitas mineral tulang sentral (tulang punggung dan

panggul) menggunakan Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) yang

memungkinkan untuk melakukan pengukuran massa tulang di permukaan maupun

bagian yang lebih dalam. Densitas mineral tulang dari pengukuran tersebut dapat

8

Universitas Indonesia

dinyatakan dengan T-score. Nilai T-score dalam berbagai kondisi adalah sebagai

berikut:

Tabel II.1 Nilai T-Score menurut WHO

Kondisi Nilai T-Score

Tulang

Normal

≥ -1 (10% di bawah SD rata-rata atau lebih tinggi)

Osteopenia -1 sampai dengan 2,5 (10-25% di bawah SD rata-rata)

Osteoporosis ≤ - 2,5 (25% di bawah SD rata-rata)

Pengujian radiografi juga dapat dilakukan untuk memastikan ada atau

tidaknya patah tulang pada tulang vertebral. (Menteri Kesehatan Republik

Indonesia, 2008b).

2.6.3 Pemeriksaan invasif (biopsi)

Pemeriksaan biopsi dilakukan secara invasive pada tulang sternum atau

krista iliaka untuk memberikan informasi mengenai keadaan osteoklas, osteoblast,

ketebalan trabekula dan kualitas mineralisasi tulang.

2.6.4 Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain adalah

pengukuran ekskresi kalsium urin 24 jam yang berguna untuk menentukan pasien

malabsorpsi kalsium (total ekskresi 24 jam kurang dari 100 mg). Bila dari hasil

pemeriksaan klinis, darah dan urin diduga ada hiperparatiroidisme, maka perlu

diperiksa kadar hormon paratiroid (PTH). (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,

2008b).

2.7 Pencegahan dan Pengobatan

Prinsip dari pengobatan osteoporosis adalah untuk meningkatkan

pembentukan tulang dan menghambat resorbsi tulang untuk menjaga massa dan

kekuatan tulang.

2.7.1 Pencegahan dan Pengobatan Non Farmakologi

Upaya pencegahan osteoporosis hendaknya memperhatikan kondisi puncak

massa tulang. Secara umum puncak massa tulang akan tercapai pada usia 20-30

tahun, setelah itu massa tulang akan menurun dikarenakan proses penuaan.

(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008b). Aktivitas fisik seperti berjalan

9

Universitas Indonesia

kaki secara teratur dapat dilakukan untuk mencegah maupun sebagai terapi non-

farmakologi osteoporosis untuk meningkatkan kepadatan massa tulang. Paparan

sinar matahari di pagi dan sore juga dianjurkan untuk penderita osteoporosis

maupun seseorang dengan resiko osteoporosis. (Menteri Kesehatan Republik

Indonesia, 2008b).

2.7.2 Pengobatan Farmakologi

10

Universitas Indonesia

Gambar 2.3 Algoritma terapi osteoporosis

Obat yang digunakan dalam terapi osteoporosis digolongkan menjadi dua,

yaitu hormonal seperti estrogen dan testosteron, serta Obat-Obatan non hormonal

seperti kalsium, vitamin D, bifosfonat, Selective Estrogen Receptor Modulators

(SERMs), kalsitonin, teriparatide dan diuretic tiazid. Algoritma terapi osteoporosis

menurut Dipiro et. al, (2008), dibagi menjadi dua yaitu pengobatan tanpa

pengukuran BMD (Bone Mineral Density) dan pengobatan dengan pengukuran

BMD (Bone Mineral Density).

Pertimbangan terapi tanpa pengukuran BMD adalah untuk (i) Pria dan

wanita dengan peningkatan risiko kerapuhan tulang; serta (ii) Pria dan wanita yang

menggunakan glukokortikoid dalam jangka waktu lama. Terapi dapat dilakukan

dengan Biphosphonate, jika pasien mengalami intoleransi dengan Biphosphonate

pilihan terapi Obat lainnya adalah Raloxifene, Kalsitonin nasal, Teriparatide dan

Bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian

Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah Teriparatide.

Populasi yang memerlukan pengukuran BMD adalah: (i) Wanita dengan

usia ≥ 65 tahun; (ii) Wanita usia 60-64 tahun post menopause dengan peningkatan

risiko osteoporotis; dan (iii) Pria dengan usia 70 tahun atau yang risiko tinggi. Dari

11

Universitas Indonesia

hasil pengukuran BMD, jika T-score >-1, maka nilai BMD termasuk normal, tetapi

tetap diperlukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan

pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene,

Kalsitonin (Dipiro et. al, 2008). Jika T-score -1 s/d -2,5, maka termasuk dalam

osteopenia. Dapat dilakukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan

pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene,

Kalsitonin.

Jika T-score <-2,0 dilakukan pemeriksaan lanjut untuk osteoporosis

sekunder, yaitu dengan pengukuran PTH, TSH, 25-OH vitamin D, CBC, panel

kimia, tes kondisi spesifik. Kemudian dilakukan terapi berdasarkan penyebab, bila

ada, yaitu dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan Biphosphonate maka

pilihan pengobatannya adalah Biphosphonate parenteral, Teriparatide, Raloxifene

dan Kalsitonin. Sedangkan, jika hasil pengukuran BMD mendapat skor T < -2,5,

terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan

Biphosphonate pilihan terapi Obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal,

teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian

Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide.

2.8 Definisi Osteoarthritis

Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang progresif dimana

tulang rawan (kartilago) yang melindungi ujung tulang mengalami kerusakan,

disertai perubahan reaktif pada tepi sendi yang menimbulkan rasa sakit dan

hilangnya kemampuan gerak. (Kementerian Kesehatan RI, 2006). Sendi yang

paling sering terserang oleh osteoarthritis adalah sendi-sendi yang harus memikul

beban tubuh, antara lain lutut, panggul, vertebra lumbal dan servikal, serta sendi-

sendi pada jari (Price dan Wilson, 2013).

2.9 Klasifikasi Osteoarthritis

Berdasarkan patogenesisnya osteoarthritis dibedakan menjadi osteoarthritis

primer dan osteoarthritis sekunder. Osteoarthritis primer (idiopatik) penyebabnya

tidak diketahui dengan jelas dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik

maupun proses perubahan lokal pada sendi. Sementara Osteoarthritis sekunder

12

Universitas Indonesia

disebabkan oleh adanya perubahan degeneratif yang terjadi pada sendi yang sudah

mengalami deformasi, atau degenerasi sendi yang terjadi dalam kondisi medis

tertentu seperti inflamasi, trauma, gangguan endokrin dan sebagainya (Robbins,

2007).

2.10 Patogenesis

Osteoartritis terjadi akibat kondrosit (sel pembentuk proteoglikan dan

kolagen pada rawan sendi) gagal dalam memelihara homeostasis antara degradasi

dan sintesis matriks ekstraseluler, sehingga terjadi perubahan diameter dan orientasi

serat kolagen tulang rawan, yang menyebabkan tulang rawan sendi kehilangan sifat

kompresibilitasnya yang unik akibat perubahan biomekanik. (Price dan Wilson,

2013). Selain kondrosit, sinoviosit juga berperan pada patogenesis osteoarthritis,

terutama setelah terjadi sinovitis. Sinoviosit yang mengalami peradangan akan

menghasilkan berbagai sitokin pro inflamasi seperti interleukin 1 (IL 1) dan tumor

necrosis factor-alpha (TNFα) yang akan dilepaskan ke dalam rongga sendi dan

merusak matriks tulang rawan sendi (kartilago). (Robbins, 2007).

Lapisan permukaan kartilago yang sobek dan aus menyebabkan tulang–

tulang saling bergesekan, menyebabkan rasa sakit, bengkak, dan sendi dapat

kehilangan kemampuan bergerak. Lama kelamaan sendi akan kehilangan bentuk

normalnya, dan osteofit dapat tumbuh di ujung persendian. Sedikit dari tulang atau

kartilago dapat pecah dan mengapung di dalam ruang persendian, menyebabkan

rasa sakit bertambah hebat dan dapat memperburuk keadaan. (Kementerian

Kesehatan RI, 2006).

Gambar 2.4 Perbandingan sendi normal dengan sendi yang mengalami

osteoarthritis

13

Universitas Indonesia

2.11 Faktor Resiko Osteoarthritis

Faktor resiko osteoarthritis diantaranya adalah:

a. Usia

Prevalensi dan keparahan osteoarthritis meningkat sering dengan dengan

bertambahnya usia seseorang.

b. Obesitas

Semakin tinggi berat badan seseorang, semakin besar kemungkinan seseorang

untuk menderita osteoarthritis. Hal ini adalah disebabkan karena seiring dengan

bertambahnya berat badan seseorang, beban yang akan diterima oleh sendi pada

tubuh makin besar. Beban yang diterima oleh sendi akan memberikan tekanan

pada bagian sendi yang berpengaruh, contohnya pada bagian lutut dan pinggul.

c. Trauma

Atlet dan orang-orang yang memiliki pekerjaan yang memerlukan gerakan

berulang memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena osteoarthritis karena

mengalami peningkatan tekanan pada sendi tertentu.

d. Genetika

Kelainan tulang bawaan dapat mempengaruhi bentuk dan stabilitas sendi dan

meningkatkan resiko osteoarthritis.

e. Kelemahan pada otot

Kelemahan otot dapat disebabkan oleh faktor usia, inaktivasi akibat nyeri atau

karena adanya peradangan pada sendi.

f. Nutrisi

Kadar vitamin D yang rendah di jaringan dapat mengganggu kemampuan tulang

untuk merespons secara optimal proses terjadinya osteoarthritis.

2.12 Manifestasi Klinik Osteoarthritis

Gejala yang dominan adalah rasa nyeri lokal pada sendi yang terkena

osteoarthritis. Pada awal terjadinya osteoarthritis, rasa sakit dapat meningkat saat

beraktivitas dan menurun atau hilang saat istirahat. Apabila osteoarthritis tidak

ditangani, rasa sakit dapat timbul jika pasien melakukan aktivitas minimal atau saat

istirahat. Kekakuan sendi biasanya berlangsung kurang dari 30 menit. Sendi yang

terasa hangat, berwarna kemerahan menunjukkan terjadinya inflamasi pada

14

Universitas Indonesia

persendian. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi lutut, pinggul, dan tulang

belakang. Selain rasa sakit, keterbatasan gerak, kekakuan, krepitus (gemeretak pada

sendi), dan kelainan bentuk mungkin terjadi. (Dipiro et. al, 2008).

2.13 Diagnosa Osteoarthritis

Diagnosis osteoarthritis dilaksanakan dengan menggali riwayat pengobatan

pasien, pemeriksaan fisik, dan temuan radiologi dengan tujuan untuk membedakan

antara osteoarthritis primer dan sekunder menegaskan sendi yang mana yang

terkena, keparahannya dan respons terhadap terapi sebelumnya. (Kementerian

Kesehatan RI, 2006). Pemeriksaan osteoarthritis meliputi:

a. Observasi sendi

Pada penderita osteoarthritis dapat terjadi proliferasi tulang, radang sinovium,

peka terhadap sentuhan, krepitus, atrofi otot, keterbatasan gerak pasif maupun

aktif, serta perubahan bentuk pada sendi.

b. Evaluasi radiologi

Pada awal osteoarthritis ringan, umumnya belum terlihat perubahan gambaran

radiologi, semakin tinggi derajat keparahan osteoarthritis menyebabkan jarak

antar sendi menyempit dan mulai timbulnya osteofit marginal. Pada

osteoarthritis parah pasien dapat mengalami deformasi sendi.

c. Pemeriksaan cairan sinovial

Dapat terjadi leukositosis ringan (<2000 sel/mm) pada cairan sinovial penderita

osteoarthritis.

2.14 Pencegahan dan Pengobatan

2.14.1 Pencegahan dan Pengobatan Non Farmakologis

Latihan fisik rutin dapat membantu untuk menguatkan persendian, terutama

olahraga yang tidak melibatkan gerakan berulang yang membebani sendi seperti

berenang, jalan kaki, dan bersepeda. Terapi fisik dengan panas atau dingin dapat

membantu menjaga dan mengembalikan rentang gerakan sendi dan mengurangi

rasa sakit dan kejang otot. Mandi atau berendam air hangat akan mengurangi rasa

sakit dan kekakuan. Efek fisiologi dari suhu hangat adalah relaksasi otot dan

mengurangi rasa sakit. (Kementerian Kesehatan RI, 2006).

15

Universitas Indonesia

Gambar 2.5 Algoritma terapi osteoarthritis

2.14.2 Pengobatan Farmakologis

Terapi Obat pada osteoarthritis ditargetkan pada penghilangan rasa sakit.

Karena osteoarthritis sering terjadi pada individu lanjut usia yang memiliki kondisi

16

Universitas Indonesia

medis tertentu. Banyak faktor yang dipertimbangkan dalam memberi Obat untuk

pasien osteoarthritis, diantaranya adalah intensitas rasa sakit, efek samping yang

potensial dari Obat dan penyakit penyerta. (Dipiro et. al, 2008).

Obat penghilang rasa nyeri yang umum diresepkan untuk penderita

osteoarthritis terdiri atas analgesik NSAID seperti piroxicam maupun celexocib

serta analgesik non NSAID seperti parasetamol maupun capsaicin (analgesik

topikal). Pada pasien yang mengalami nyeri yang hebat, dapat dilakukan pemberian

analgesik opioid seperti tramadol yang dikombinasikan dengan parasetamol. Obat

lain yang sering diresepkan oleh dokter adalah kortikosteroid yang berfungsi

sebagai anti inflamasi. Kortikosteroid lebih sering diberikan dalam bentuk injeksi

intra-artikular dibandingkan dengan penggunaan oral. Untuk meningkatkan

keberhasilan terapi, pasien dapat diberikan suplemen makanan yang mengandung

glukosamin maupun kondroitin yang berdasarkan uji klinik dapat mengurangi

gangguan sendi atau mengurangi gejala osteoarthritis. Apabila pasien tidak

menunjukkan responsifitas terhadap terapi lain, dapat dilakukan injeksi intra

artikular pada sendi lutut dengan asam hialuronat untuk membantu proses

rekonstitusi cairan sinovial, serta meningkatkan elastisitas kartilago dan viskositas

cairan sinovial. Obat ini diberikan dalam bentuk garamnya (sodium hialuronat).

(Dipiro et. al, 2008).

2.15 Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Apoteker sebagai pemberi layanan

diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan

rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit

kronis, pasien dengan terapi jangka panjang serta pasien dengan 6 macam diagnosa

atau lebih. Berdasarkan Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Rumah Tahun 2008.

Tujuan dilaksanakannya kegiatan Home Pharmacy Care secara umum adalah

tercapainya keberhasilan dari terapi Obat.

17 Universitas Indonesia

BAB 3

METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care)

dilakukan pada tanggal 27 Juli 2017 di rumah pasien yang terletak di Depok.

3.2 Sampel

Sampel dalam tugas khusus ini adalah seorang pasien dengan penyakit

kronis yang membeli Obat di Apotek Kimia Farma No. 389.

3.3 Metode Pengkajian

Metode pengkajian yang digunakan adalah dengan mengkaji catatan rekam

medik pasien dengan penyakit kronis yang yang membeli Obat Resep di Apotek

Kimia Farma No.389. Setelah dilakukan pengkajian terhadap rekam medik,

diketahui bahwa ada seorang pasien yang sudah menebus Obat yang sama selama

dua kali dengan peningkatan dosis yang diberikan oleh dokter. Untuk memantau

dan menjamin kepatuhan pasien dalam meminum Obat serta menilai keberhasilan

terapi Obat yang ditunjukan dengan berkurang atau hilangnya gejala seperti sakit

atau nyeri yang muncul akibat osteoporosis, pasien tersebut kemudian dimintai

persetujuannya untuk diberikan pelayanan Telefarma dan Home Pharmacy Care.

18 Universitas Indonesia

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan Home Pharmacy Care dilakukan kepada salah satu pasien Apotek

Kimia Farma No. 389 yang menderita osteoporosis dan osteoarthritis sebagai

berikut:

Nama Pasien : Tn. S

Umur : 84 Tahun

Tanggal Resep : 25 Juli 2017

Riwayat

Keluarga

: Tidak ada

Riwayat

Penyakit Lain

: Hiperkolesterolemia dan Hiperurisemia

Riwayat Sosial : Kondisi kebersihan dari rumah, pekarangan, lingkungan

dan jalan cukup terpelihara dengan baik tetapi kondisi

ventilasi, aliran udara dan cahaya yang memasuki rumah

sangat minim karena kondisi rumah yang tidak terlalu luas

serta dipenuhi perlengkapan rumah tangga

Jamu/Suplemen

Lain

: Tidak ada

Riwayat

Pengobatan

: Pasien sering membeli natrium diklofenak untuk

menghilangkan rasa nyeri tanpa diketahui oleh keluarganya

4.1 Informasi Dari Pasien

Pasien bernama Tn. S (84 tahun) mengeluh sakit dan nyeri pada

pinggangnya terutama saat berjalan dan saat melakukan gerakan rukuk dan sujud

pada saat beribadah sembahyang. Pasien suka mengkonsumsi kacang-kacangan

terutama kacang tanah baik mentah maupun digoreng, kacang panjang, wortel serta

teh manis dan kopi. Pengobatan yang diterima pasien berdasarkan Resep adalah

sebagai berikut.

Tabel IV.1 Data pengobatan yang diterima pasien

Nama Obat Jumlah Signa Keterangan

Glucosamine 500 mg 30 tablet s.1.dd.1 1 kali sehari 1 tablet

Meloxicam 15 mg 30 tablet s.1.dd.1.s.prn 1 kali sehari 1 tablet apabila

nyeri

CaCO3 30 tablet s.1.dd.1 1 kali sehari 1 tablet

Actonel 35 mg 4 tablet 1 tab/minggu 1 kali seminggu 1 tablet

19

Universitas Indonesia

Gambar 4.1 Resep Pasien Tn. S

4.2 Skrining Farmasetika

a. Glukosamin 500 mg

Bentuk sediaan : Tablet

Dosis : Satu kali sehari satu tablet

Potensi : 500 mg

Inkompatibilitas : -

Cara pemberian : Per oral

Lama pemberian : 4 minggu

b. Meloxicam 15 mg

Bentuk sediaan : Tablet

Dosis : Satu kali sehari satu tablet

Potensi : 15 mg

Inkompatibilitas : -

Cara pemberian : Per oral

Lama pemberian : 4 minggu

c. CaCO3

Bentuk sediaan : Tablet

20

Universitas Indonesia

Dosis : Satu kali sehari satu tablet

Potensi : -

Inkompatibilitas : Mengurangi absorpsi actonel

Cara pemberian : Per oral

Lama pemberian : 4 minggu

d. Actonel 35 mg

Bentuk sediaan : Tablet

Dosis : Satu kali seminggu satu tablet

Potensi : 35 mg

Inkompatibilitas : CaCO3 mengurangi absorpsi actonel

Cara pemberian : Per oral

Lama pemberian : 4 minggu

4.3 Skrining Farmakologi

4.3.1 Mekanisme kerja

Obat pertama yang diresepkan oleh dokter adalah Glukosamin

Hidroklorida. Glukosamin (2-amino-2-deoxi-β-d-glukopiranosa), merupakan zat

yang normal ditemukan di matriks tulang rawan sendi dan cairan sendi manusia.

Glukosamin merupakan prekusor utama untuk biosintesis berbagai makromolekul

seperti asam hialuronat, proteoglikan, glikosaminoglikan (GAGs), glikolipid, dan

glikoprotein. Glukosamin terdapat di hampir semua jaringan lunak dalam tubuh

manusia, dengan konsentrasi tertinggi di tulang rawan. Pemberian suplemen

glukosamin bertujuan untuk meringankan osteoarthritis, rematik, dan gangguan

pada persendian, bekerja dengan cara merangsang produksi proteoglikan dan

meningkatkan serapan sulfat oleh tulang rawan artikular. Efek samping glukosamin

umumnya ringan, seperti diare, konstipasi, nausea dan muntah, pada kasus tertentu

pasien dapat mengalami heartburn serta reaksi hipersensitivitas. Glukosamin tidak

dianjurkan untuk dikonsumsi Penderita hipersensitivitas terhadap glukosamin

maupun produk makanan laut seperti udang, tiram maupun kepiting, penderita

asma, penderita hiperlipidemia dan penderita hipertensi. (Dipiro et. al, 2008).

Obat kedua yang diresepkan oleh dokter adalah meloxicam. Meloxicam

merupakan golongan Anti Inflamasi Non steroid (NSAID) derivat asam enolat yang

21

Universitas Indonesia

bekerja dengan cara menghambat biosintesis prostaglandin yang merupakan

mediator inflamasi melalui penghambat cyclooxygenase 2 (COX-2) selektif,

walaupun tidak sebaik celexocib. Selektifitas meloxicam terhadap cyclooxygenase

1 (COX-1) terutama apabila diresepkan pada dosis terapeutik minimal, yaitu 7.5

mg per hari. (Katzung, 2003). Meloxicam diresepkan untuk meredakan gejala-

gejala arthritis, misalnya peradangan, pembengkakan, kaku dan nyeri otot, serta

nyeri akibat osteoartritis, rheumatoid arthritis, dan ankylosing spondylitis. selain itu

meloxicam juga digunakan untuk meredakan nyeri tulang dan otot yang merupakan

salah satu efek samping dari penggunaan Actonel. Penderita asma, urtikaria

maupun memiliki hipersensitivitas dengan meloxicam dan NSAID lainnya tidak

dianjurkan untuk mengkonsumsi meloxicam. Efek samping yang mungkin terjadi

adalah reaksi alergi, termasuk edema, kelelahan, demam, dan shock; gangguan

kardiovaskular seperti angina pectoris, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan

infark miokard, aritmia, takikardia, gangguan gastrointestinal seperti colitis, mulut

kering, ulkus duodenum, tukak lambung dan gastroesophageal reflux disease

(GERD). Resiko terjadinya efek samping pendarahan dan komplikasi tukak seperti

perforasi pada mukosa akan meningkat seiring bertambahnya usia, kondisi medis

tertentu seperti penyakit kardiovaskular, penggunaan Obat Obatan antikoagulan

dan riwayat penyakit tukak peptik. (Dipiro et. al, 2008).

Obat ketiga yang diresepkan oleh dokter adalah kalsium karbonat. Kalsium

karbonat merupakan suplemen kalsium yang paling sering digunakan untuk

pengobatan osteoporosis maupun hipokalsemia karena mengandung paling banyak

unsur kalsium (40%) dibandingkan dengan kalsium laktat (13%), kalsium fosfat (25

%) dan kalsium sitrat (21 %). Kalsium merupakan unsur pembentuk tulang yang

penting dan dapat meningkatkan massa tulang akan tetapi tidak cukup baik untuk

mencegah terjadinya fraktur sehingga pemberian suplemen kalsium umumnya tidak

diberikan tunggal, melainkan dikombinasikan dengan vitamin D untuk

meningkatkan kadar kalsium serum. Efek samping yang umum terjadi karena

pemberian kalsium diantaranya adalah konstipasi dan flatulensi pada saluran

gastrointestinal. Pemberian kalsium juga dimaksudkan sebagai antasida untuk

mengurangi efek samping tukak lambung yang mungkin terjadi akibat pemberian

22

Universitas Indonesia

meloxicam. Pemberian suplemen kalsium dikontraindikasikan pada penderita

hipersensitivitas terhadap Kalsium Karbonat dan penderita hiperkalsemia serta

hiperkalsuria. Efek samping yang umum terjadi adalah reaksi hipersensitivitas dan

konstipasi, sehingga pemberian kalsium umumnya diberikan bersamaan dengan

magnesium. (Dipiro et. al, 2008).

Obat terakhir yang diresepkan oleh dokter adalah actonel. Actonel

merupakan Obat dengan bahan aktif Risedronate Na (Pyridinyl Bisphosphonate)

yang diberikan sebanyak 4 tablet dengan potensi 35 mg dan diminum satu kali

seminggu satu tablet pada pagi hari. Risedronate Na merupakan Obat yang

digunakan untuk terapi farmakologi osteoporosis yang termasuk dalam golongan

antiresorbsi. Mekanisme kerja utamanya adalah menginhibisi resorbsi tulang

normal dan abnormal. Risedronate Na dapat mengurangi resorbsi tulang oleh sel

osteoklas dengan cara berikatan dengan permukaan tulang dan menghambat kerja

osteoklas dengan cara mengurangi produksi enzim lisosomal dibawah osteoklas

(Dipiro, 2008). Dibandingkan Obat penghambat resorbsi tulang lainnya bifosfonat

memiliki efektivitas yang paling tinggi untuk meningkatkan massa tulang dan

mengurangi resiko terjadinya fraktur. Risedronate dapat juga digunakan untuk

osteoporosis yang disebabkan oleh Obat-Obatan glukokortikoid. Bifosfonat harus

diberikan dengan hati-hati untuk meningkatkan manfaat klinisnya dikarenakan

semua Obat-Obatan golongan bifosfonat memiliki bioavalabilitas yang buruk (1-

5%) dan meminimalisasi efek samping dari bifosfonat, seperti gangguan gastro

intestinal, ulkus peptikum, esofagitis, nyeri tulang-otot dan sakit kepala, ruam,

eritema, mual, muntah, nyeri tulang dan otot serta sakit kepala. Pemberian actonel

tidak dianjurkan bagi penderita gangguan esophagus, seperti Gastro Esophageal

Reflux Disease (GERD), memiliki kadar kalsium darah yang rendah dan memiliki

hipersensitivitas terhadap Risedronate Na. (Dipiro et. al, 2008).

4.3.2 Kesesuaian dosis

a. Glukosamin HCl

Dosis yang direkomendasikan untuk glukosamin HCl adalah 1500 mg per hari

yang diberikan dalam 3 dosis terbagi. Dosis maksimal per hari adalah 1500 mg

(Dipiro et. al, 2008). Dosis yang diresepkan oleh dokter adalah 500 mg perhari

23

Universitas Indonesia

yang diberikan satu kali sehari. Apoteker tidak memberikan glukosamin karena

pada salinan Resep tertera “det” yang berarti sudah diberikan seluruhnya.

b. Meloxicam

Dosis yang direkomendasikan untuk mengurangi nyeri adalah 7.5 mg per hari

yang diberikan satu kali sehari. Dosis maksimal per hari adalah 15 mg (Dipiro

et. al, 2008). Dosis yang diresepkan oleh dokter adalah 15 mg perhari yang

diberikan satu kali sehari. Apoteker memberikan meloxicam sebanyak 25 tablet

dengan dosis sesuai dengan Resep dokter.

c. CaCO3

Untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis, maksimal dosis pada

pemberian single dose adalah 500-600 mg. Batas pemberian maksimal perhari

adalah 2500 mg, lebih dari itu tidak akan meningkatkan manfaat dan mungkin

meningkatkan resiko gangguan kardiovaskular (Dipiro et. al, 2011). Kebutuhan

kalsium untuk laki-laki berusia > 70 tahun adalah 1200 mg per hari. Dosis yang

diresepkan oleh dokter tidak tertera pada Resep. Apoteker memberikan

osteocare yang mengandung 300 mg (unsur) kalsium, 150 mg (unsur)

magnesium, 5 mg (unsur) zinc dan 2.5 mcg vitamin D3 per tablet. Osteocare

dapat diberikan 2-3 tablet per hari. Apoteker memberikan osteocare sebanyak

30 tablet dengan dosis dua kali sehari satu tablet.

d. Actonel

Dosis yang direkomendasikan untuk pengobatan osteoporosis post menopause

adalah satu kali sehari satu tablet 5 mg, satu kali seminggu satu tablet 35 mg,

dua kali sebulan satu tablet 75 mg dan satu kali sebulan satu tablet 150 mg;

Dosis yang direkomendasikan untuk meningkatkan massa tulang pada pria

dengan osteoporosis adalah satu kali seminggu satu tablet 35 mg; Dosis yang

direkomendasikan untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis yang

disebabkan oleh Obat-Obat glukokortikoid adalah satu kali sehari satu tablet 5

mg. (Dipiro et. al, 2008). Dosis yang diresepkan oleh dokter adalah satu tablet

35 mg yang diberikan satu minggu sekali. Apoteker memberikan Actonel

sebanyak 4 tablet dengan dosis sesuai dengan Resep dokter.

24

Universitas Indonesia

4.3.3 Aturan pakai

a. Glukosamin HCl 500 mg

Glukosamin HCl digunakan satu satu kali sehari satu tablet 500 mg sesudah

makan pagi (MIMS, 2013).

b. Meloxicam 15 mg

Meloxicam digunakan satu kali sehari satu tablet 15 mg sesudah makan atau

pada saat perut terisi. Meloxicam hanya digunakan pada saat timbul nyeri.

(MIMS, 2013).

c. Osteocare (CaCO3)

Osteocare digunakan dua kali sehari satu tablet. Osteocare mengandung

kalsium yang dapat menurunkan absorbsi dari actonel jika digunakan secara

bersamaan. Oleh sebab itu penggunaan osteocare sebaiknya diberi jeda dengan

osteocare atau osteocare dapat diminum pada siang hari. Osteocare paling baik

diberikan 15-20 menit sebelum makan (MIMS, 2013)

d. Actonel 35 mg

Actonel digunakan satu kali seminggu satu tablet 35 mg pada pagi hari. Actonel

harus diminum 30 menit sebelum mengkonsumsi makanan apapun termasuk

suplemen kalsium dan vitamin D maupun Obat-Obatan lainnya. Actonel harus

diminum dengan segelas air putih (± 180 ml) dengan posisi berdiri. Pasien harus

tetap berdiri atau duduk setidaknya 30 menit setelah mengkonsumsi Actonel.

Actonel harus ditelan utuh dan tidak boleh dikunyah. Pasien yang lupa

mengkonsumsi dosis mingguan dapat meminumnya pada hari berikutnya,

apabila dosis terlewat lebih dari satu hari, dosis dilewati sampai pemberian

berikutnya. Pasien yang lupa mengkonsumsi dosis bulanan, pasien dapat

mengkonsumsi dosis yang terlewat maksimal 7 hari sebelum pemberian

berikutnya. (Dipiro et. al, 2011).

4.3.4 Interaksi Obat

a. Glukosamin

Penggunaan glukosamin bersamaan dengan warfarin dapat meningkatkan efek

antikoagulan dari warfarin dan meningkatkan resiko pendarahan.

25

Universitas Indonesia

b. Meloxicam

Meloxicam dapat berinteraksi dengan Obat golongan ACE inhibitor dan

meniadakan efek antihipertensi, penggunaan meloxicam bersamaan dengan

warfarin dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin dan

meningkatkan resiko pendarahan.

c. Osteocare (CaCO3)

Kalsium dapat menghambat absorpsi dari Obat lain seperti bifosfonat,

levotiroksin, dan antibiotik tetrasiklin serta kuinolon.

d. Actonel

Actonel dapat berinteraksi dengan antasida, kalsium atau Obat oral yang

mengandung kation divalen lainnya. Jika Actonel digunakan bersamaan dengan

Obat tersebut maka absorbsi Actonel akan terpengaruh (menurun). (MIMS,

2013).

4.4 Pelaksanaan Home Pharmacy Care

Penilaian awal terhadap pasien dilakukan dengan melihat identitas pasien,

riwayat penyakit pasien, riwayat alergi, serta profil pengobatan pasien. Hal ini

dilakukan saat pasien menebus Resep yang diikuti dengan pelaksanaan konseling

di Apotek Kimia Farma No.389 pada tanggal 25 Juli 2017. Proses penilaian awal

pasien dilakukan untuk mengidentifikasi masalah kefarmasian yang perlu

ditindaklajuti dengan pemberian Home Pharmacy Care. Ketika konseling, pasien

menyatakan bahwa pasien mengkonsumsi Obat ini baru sejak bulan lalu. Tn. S

dipilih sebagai pasien yang menerima pelayanan kefarmasian di rumah karena

pasien memenuhi syarat sebagai pasien yang diprioritaskan, yaitu menderita

penyakit kronis dan memerlukan perhatian khusus tentang penggunaan Obat,

adanya kemungkinan terjadi interaksi Obat dan efek samping Obat, serta usianya

yang sudah lebih dari 84 tahun. Setelah melakukan penilaian awal terhadap kondisi

pasien, persetujuan pelaksanaan Home Pharmacy Care disepakati secara lisan pada

saat akhir kegiatan konseling pada saat pasien menebus Obat di Apotek pada

tanggal 25 Juli 2017. Kegiatan yang dilakukan selanjutnya adalah telefarma.

Kegiatan telefarma bertujuan untuk mengetahui kondisi pasien dan monitoring

pengobatan pasien setelah pemberian Obat dan untuk menanyakan kesediaanya

26

Universitas Indonesia

untuk dikunjungi oleh personil Apotek yang akan melaksanakan Home Pharmacy

Care.

Kegiatan Home Pharmacy Care dilaksanakan pada tanggal 27 Juli 2017

dengan didampingi oleh Apoteker Pengelola Apotek dari Apotek Kimia Farma No.

389. Berdasarkan diagnosa dokter yang ditegakkan dengan hasil pemeriksaan

laboratorium, pasien Tn. S dinyatakan menderita osteoporosis dan osteoarthritis.

Hal ini ditegaskan dengan keluhan pasien yang mengeluhkan sakit dan nyeri pada

pinggang serta sendi lututnya. Usia pasien yang sudah mencapai 84 tahun juga

merupakan salah satu faktor penunjang terjadinya osteoporosis. Ketika dilakukan

Home Pharmacy Care, kondisi pasien terlihat sehat dan setelah dilakukan

pengecekan tekanan darah, tekanan darah pasien 140/80 mmHg.

Berdasarkan keterangan yang didapatkan dari pasien, diketahui bahwa

pasien sudah diresepkan actonel oleh dokter untuk yang kedua kalinya. Pada

peresepan awal dokter memberikan instruksi untuk meminum actonel setiap dua

minggu sekali satu tablet 35 mg, akan tetapi karena nyeri pada pinggang dan

punggungnya yang tidak kunjung sembuh dokter meningkatkan frekuensi

penggunaan actonel menjadi satu minggu sekali satu tablet 35 mg. Setelah

diwawancarai, ternyata pasien tidak mengetahui jika actonel harus diminum dengan

segelas air putih (± 180 ml) dengan posisi berdiri dan pasien harus tetap berdiri atau

duduk setidaknya 30 menit setelah mengkonsumsi actonel. Pasien juga tidak tahu

jika actonel harus diminum 30 menit sebelum mengkonsumsi makanan apapun

termasuk suplemen kalsium dan vitamin D maupun Obat-Obatan lainnya. Selama

ini pasien mengkonsumsi actonel sebelum sarapan pagi dan kemudian

mengkonsumsi osteocare setelahnya, oleh sebab itu, sebaiknya diberikan jeda

antara pemakaian actonel dan osteocare (MIMS, 2013). Berdasarkan keterangan

yang didapatkan dari anak pasien, Tn. S sering mengkonsumsi Obat tukak lambung

yang mengandung antasida seperti mylanta maupun magasida pada saat pagi hari

karena mengalami nyeri pada lambungnya. Diduga antasida yang diminum

bersamaan dengan actonel menghambat absorpsi actonel yang memang memiliki

bioavailabilitas yang buruk (<1-5%) sehingga menghilangkan efektifitasnya. Untuk

meminimalisir tukak lambung yang merupakan salah satu efek samping dari actonel

27

Universitas Indonesia

disamping nyeri pada tulang dan otot, tindakan dokter untuk menetapkan regimen

pemberian Obat mingguan sudah tepat, apabila efektifitas terapi tidak meningkat

maupun efek samping tukak lambung masih terjadi, Apoteker dapat memberikan

saran kepada dokter untuk mengganti risedronate dengan Obat golongan bifosfonat

lainnya seperti alendronate dan ibandronate. Pilihan terapi Obat lainnya adalah

Raloxifene, Kalsitonin nasal, Teriparatide dan Bifosfonat parenteral. Jika

kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi

lainnya adalah Teriparatide. (Dipiro et. al, 2011).

Glukosamin yang diminum oleh pasien merupakan sediaan kombinasi,

yaitu Viostin X yang mengandung Glucosamine HCI 500 mg, Chondroitin Sulfate

200 mg, MSM 300 mg dan Manganese 0.5 mg. Viostin X digunakan oleh pasien

untuk menghilangkan rasa nyeri pada sendi, terutama pada saat pasien

membungkuk. Viostin X diminum oleh pasien setelah makan yang sudah sesuai

dengan aturan penggunaan. Saran yang dapat diberikan adalah dapat dilakukan

pengaturan dosis glukosamin menjadi tiga kali sehari satu tablet viostin X (1500

mg per hari) apabila pasien masih mengeluh tidak ada perbaikan rasa sakit yang

nyeri yang diderita olehnya, dokter dapat meningkatkan dosis glukosamin dari 500

mg perhari menjadi 1500 mg perhari sesuai rekomendasi dosis glukosamin untuk

pengobatan osteoarthritis menurut Dipiro et. al, (2008).

Keluhan lain yang disampaikan oleh pasien adalah keluhan tukak pada

lambungnya, setelah dilakukan wawancara, diketahui pasien sering membeli

natrium diklofenak untuk menghilangkan rasa nyeri yang diderita olehnya.

Berdasarkan pengakuan pasien, rasa nyeri pada pinggang dan punggungnya

membaik setelah mengkonsumsi natrium diklofenak. Penggunaan natrium

diklofenak tanpa Resep yang dikombinasikan dengan meloxicam yang sudah

diberikan oleh dokter menyebabkan tukak lambung yang diderita oleh pasien, hal

ini diperparah lagi akibat salah satu efek samping dari actonel yang dapat

menyebabkan tukak lambung. Setelah mendapat keterangan yang memadai, saran

yang dapat diberikan adalah menghentikan konsumsi natrium diklofenak tanpa

Resep dan mengkonsumsi meloxicam dalam kondisi perut terisi. Alternatif lain

yang dapat diberikan adalah memberikan saran kepada dokter penulis Resep untuk

28

Universitas Indonesia

mengganti meloxicam dengan celecoxib yang merupakan COX-2 inhibitor selektif.

Dosis yang dapat diberikan yaitu dua kali sehari satu tablet 100 mg atau satu kali

sehari satu tablet 200 mg. (Dipiro et. al, 2008).

Setelah pasien diberikan informasi mengenai cara penggunaan dan waktu

penggunaan Obat yang tepat, selanjutnya pasien diberikan saran terapi non-

farmakologi yang dapat menunjang keberhasilan terapi farmakologinya. Setelah

mewawancarai pasien dan keluarga, diketahui bahwa pasien suka mengkonsumsi

kacang-kacangan terutama kacang tanah baik mentah maupun digoreng, kacang

panjang, wortel serta meminum teh manis dan kopi hitam beberapa gelas per hari.

Berdasarkan informasi tersebut, saran yang dapat diberikan adalah: (i) Pasien

disarankan untuk mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung kalsium,

seperti susu tinggi kalsium, konsumsi makanan yang mengandung kalsium harus

diberi jeda dengan penggunaan Obat actonel; (ii) Pasien disarankan untuk

menghentikan dan membatasi asupan natrium, minuman bersoda dan berkafein

seperti teh dan kopi; (iii) Pasien disarankan untuk banyak mengkonsumsi vitamin

D dan banyak berjemur dibawah sinar matahari untuk meningkatkan absorpsi

kalsium dan vitamin K yang baik untuk pertumbuhan tulang. Pasien juga diarahkan

untuk banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung protein, seperti

kedelai, konsumsi protein yang tinggi dapat melindungi tulang dari kerapuhan dan

resiko fraktur; (iv) Pasien disarankan untuk banyak melakukan gerakan fisik ringan

sehingga dapat meningkatkan kekuatan otot, koordinasi dan keseimbangan serta

mobilitas.

Langkah terakhir yang dilakukan adalah melakukan dokumentasi kegiatan

Home Pharmacy Care. Sebagai tindak lanjut terhadap kegiatan Home Pharmacy

Care perlu dilakukan monitoring dan evaluasi untuk menilai perkembangan pasien,

menilai tercapainya tujuan dan sasaran pengobatan, menilai kualitas pelayanan

kefarmasian yang diberikan, serta menilai peningkatan kepatuhan pasien. Akan

tetapi karena berbagai pertimbangan dan keterbatasan sarana maupun waktu hal ini

tidak dilakukan.

29 Universitas Indonesia

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari kegiatan Home Pharmacy Care yang dilakukan pada Tn. S dapat

ditarik kesimpulan bahwa:

a. Obat-Obatan yang memerlukan instruksi khusus dalam penggunaannya seperti

actonel harus diberikan oleh Apoteker disertai dengan konseling untuk

mencegah terjadinya kesalahan penggunaan Obat oleh pasien. Apoteker juga

harus memberikan edukasi kepada pasien yang tidak memiliki Resep dokter

apabila hendak membeli Obat yang tidak boleh diberikan tanpa Resep dokter

untuk mencegah terjadinya hal yang merugikan kepada pasien itu sendiri.

b. Masalah yang dapat diidentifikasi dari tidak tercapainya tujuan pengobatan

pada Tn. S adalah ketidaktahuan pasien mengenai cara penggunaan, waktu

penggunaan serta kurang tepatnya pemilihan jenis Obat. Untuk mengatasi

masalah tersebut, seorang Apoteker dapat memberikan saran kepada pasien

mengenai cara penggunaan dan waktu penggunaan Obat yang tepat serta

memberikan saran kepada dokter dalam pemilihan regimen terapi yang tepat.

5.2 Saran

Diperlukan monitoring dan evaluasi secara rutin untuk menilai kepatuhan

dan cara meminum Obat pasien.

30 Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Dipiro. J.T. et. al, (2008). Pharmacotherapy Handbook 7th Edition. New York:

Mc Graw Hill Medical.

Dipiro, J.T. et. al, (2011). Pharmacotherapy Handbook 8th Edition. New York:

Mc Graw Hill Medical.

Katzung B.G. (2009). Basic and Clinical Pharmacology 9th Edition. New York:

McGraw-Hill.

Kumar, V, Cortan, R.S, dan Robbins, S.L. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins

Volume 2, Edisi 7. Jakarta: EGC

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Pharmaceutical care untuk pasien

penyakit arthritis rematik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2008a). Pedoman Pelayanan Kefarmasian

Di Rumah (Home Pharmacy Care. Jakarta: Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2008b). Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 1142/MENKES/SK/XII/2008 Tentang

Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia.

Price, S.A dan Wilson, L.M. (2013). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit, Edisi 6. Jakarta: EGC

Tim Penyusun. (2013). MIMS Petunjuk Konsultasi. Jakarta: BIP Kelompok

Gramedia.

LAMPIRAN

32

Universitas Indonesia

Lampiran 1. Tes semenit resiko osteoporosis (Menteri Kesehatan Republik

Indonesia, 2008).