pragmatisme parpol

21
PRAGMATISME PARPOL : Uang Dan Figur Oleh : Rum Rosyid, Untan Pontianak Pendahuluan Apabila mencermati perkembangan dan dinamika internal maupun eksternal parpol-parpol yang ada, bau pragmatisme sungguh menusuk kini. Internal, pragmatisme itu mengental, misalnya lewat terterobosnya tradisi-tradisi konservatif regenerasi parpol. Pragmatisme itu, dalam konteks ini mengemuka lewat dua faktor: uang dan figur. Uang ternyata dapat dipakai untuk membeli suara dalam setiap kongres atau munas parpol. Politik uang memang susah dibuktikan, mengingat kecanggihan pemainnya tetapi dapat terasakan dampaknya. Politik uang ternyata mampu merobohkan bangunan dan proses kaderisasi parpol yang sudah dibangun bertahun- tahun oleh para pengurus sebelumnya. Dari situasi di atas dapat dijelaskan adanya keterputusan kehendak konstituen dan elite partai. Saat hendak mendulang suara, partai berusaha mendengungkan apa yang bisa membangkitkan sentimen konstituen, tapi sesudahnya elite cenderung mengejar kepentingan mereka. Selanjutnya antar- sesama elite politik menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Pada titik inilah, pragmatisme politik menjadi kartel-kartel politik. Para elite politik menentukan dan menegosiasikan kekuasaan. Siapa yang menjadi ketua komisi di DPR, ketua DPR dan MPR, termasuk posisi menteri di kabinet hampir semuanya hasil dari tawar-menawar antar-elite. Tidak ada yang bisa menafikan hal ini, termasuk SBY yang mendulang suara mayoritas di legislatif. Lalu apa yang mendasari pragmatisme ini. Kesimpulan dari Ambardi cukup klise: Uang. Tapi memang begitulah faktanya. Ketika ongkos berpolitik semakin tinggi (biaya kampanye di media, operasional partai, gaya hidup elite politik) maka partai politik harus mencari sumber dana sendiri. Akibatnya tidak ada partai politik yang berani bertahan sebagai oposisi dan menjauh dari kekuasaan.

Upload: ziyyaelhakim

Post on 24-Jun-2015

283 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PRAGMATISME PARPOL

PRAGMATISME PARPOL : Uang Dan FigurOleh : Rum Rosyid, Untan PontianakPendahuluanApabila mencermati perkembangan dan dinamika internal maupun eksternal parpol-parpol yang ada, bau pragmatisme sungguh menusuk kini. Internal, pragmatisme itu mengental, misalnya lewat terterobosnya tradisi-tradisi konservatif regenerasi parpol. Pragmatisme itu, dalam konteks ini mengemuka lewat dua faktor: uang dan figur. Uang ternyata dapat dipakai untuk membeli suara dalam setiap kongres atau munas parpol. Politik uang memang susah dibuktikan, mengingat kecanggihan pemainnya tetapi dapat terasakan dampaknya. Politik uang ternyata mampu merobohkan bangunan dan proses kaderisasi parpol yang sudah dibangun bertahun-tahun oleh para pengurus sebelumnya.Dari situasi di atas dapat dijelaskan adanya keterputusan kehendak konstituen dan elite partai. Saat hendak mendulang suara, partai berusaha mendengungkan apa yang bisa membangkitkan sentimen konstituen, tapi sesudahnya elite cenderung mengejar kepentingan mereka. Selanjutnya antar-sesama elite politik menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri.

Pada titik inilah, pragmatisme politik menjadi kartel-kartel politik. Para elite politik menentukan dan menegosiasikan kekuasaan. Siapa yang menjadi ketua komisi di DPR, ketua DPR dan MPR, termasuk posisi menteri di kabinet hampir semuanya hasil dari tawar-menawar antar-elite. Tidak ada yang bisa menafikan hal ini, termasuk SBY yang mendulang suara mayoritas di legislatif.

Lalu apa yang mendasari pragmatisme ini. Kesimpulan dari Ambardi cukup klise: Uang. Tapi memang begitulah faktanya. Ketika ongkos berpolitik semakin tinggi (biaya kampanye di media, operasional partai, gaya hidup elite politik) maka partai politik harus mencari sumber dana sendiri. Akibatnya tidak ada partai politik yang berani bertahan sebagai oposisi dan menjauh dari kekuasaan.

Bahkan PDIP yang menyatakan diri oposisi pada pemerintahan SBY yang lalu, punya catatan menempatkan elitenya sebagai ketua komisi yang dianggap basah. Kasus uang Departemen Kelautan adalah contoh bagaimana uang negara mengalir ke sejumlah partai. Dan ketika akan menjadi kartu yang dapat menjatuhkan elite politik maka terjadi kompromi dan diredam di antara elite politik pula, SBY dan Amien Rais bersalaman di Halim dan sepakat untuk tidak saling menjatuhkan. Termasuk Akbar Tanjung dengan kasus Bulog-nya yang kemudian divonis bebas.

Untuk kehidupan politik, perilaku kartel politik semacam ini tentu saja merugikan. Praktek ini membawa politik ke level yang sangat permukaan dan artifisial. Tidak ada lagi perihal yang bersifat prinsipil. Politik dengan mudahnya digeser dari perdebatan mendalam akan kesejahteraan publik kepada tawar-menawar kekuasaan. Kemungkinan lebih menakutkan adalah kepentingan publik pada akhirnya dapat dibeli. Argumen politik yang cerdas dan debat yang sehat hilang tergantikan oleh uang dan kekuasaan. Tidak ada jaminan bahwa kehendak publik yang dititipkan kepada partai politik lewat hak pilih oleh rakyat akan direalisasikan. Ada keterputusan mandat dari para pemilih.

Page 2: PRAGMATISME PARPOL

Politik uang dalam Pemilu memiliki rasionalitas yang berbeda bagi masing-masing pelaku politik. Bagi para calon legislatif (caleg) politik uang merupakan alat untuk menaklukkan pilihan bebas masyarakat. Bagi mereka suara pemilih adalah komoditas yang bisa dibarter atau dibeli dengan harga atau barang yang disepakati bersama atau sesuai dengan harga pasar (gelap) yang ketahui dan ditetapkan para calo-calo politik. Para calo yang membuka pintu masuk bagi para caleg ke pertemuan-pertemuan warga atau para tokoh masyarakat.Bagi para pemilih, penerimaan atas politik uang bukan berarti penundukan elit politik atas pilihan politik mereka. Berlainan dari kekhawatiran yang melihat masyarakat sebagai korban politik uang, saya malah menemukan contoh bagaimana beberapa kelompok masyarakat telah berhasil mengembangkan strategi politik dalam Pemilu berdasarkan realitas dan bentuk kelembagaan Pemilu yang berkembang selama satu dekade ini.Setelah satu Pemilu legislatif berlangsung pada tahun 1999 dan rangkaian Pilkada, dengan cepat masyarakat sadar bahwa sistem politik yang baru saja dilembagakan juga tidak dapat memberikan kepastian akan pemenuhan kebutuhan mereka. Masyarakat tidak lagi hanya menghadapi caleg sebagai individu yang lemah karena teratomisasi secara politik. Mereka menyusun strategi bersama yang bisa memaksa para caleg untuk memenuhi kebutuhan mereka. Di beberapa komunitas desa yang saya jumpai terdapat beberapa warga dalam lingkup satu RT, RW atau Dusun membentuk panitia penyambutan caleg dan mengatur strategi kolektif untuk menghadapi masuknya caleg ke dalam kelembagaan sosial mereka. Dengan persetujuan keseluruhan warga mereka menawarkan lembaga mereka dan memfasilitasi para caleg untuk ‘bersilaturahmi’ dengan para warga. Terkadang kebutuhan dan harga telah disepakati sejak awal sebelum pertemuan.Untuk acara silaturahmi antara warga dengan caleg, para panitia telah mengatur sebuah pentas drama yang mencoba meyakinkan para caleg bahwa sebagai komunitas mereka bisa bersepakat untuk memberikan suara mereka. Pertanyaan disusun, pernyataan dukungan disiapkan, demikian pula para pembawa perannya. Bahkan suara warga pun siap dibagi sebagai bentuk kompromi terhadap para caleg yang telah mampir ke pertemuan warga sehingga semua merasa menang sesuai dengan jumlah uang atau barang yang diberikan. Di akhir pertemuan yang disampaikan adalah penegasan terhadap tuntutan warga dan yang ditunggu adalah jawaban langsung dari sang caleg berupa uang atau barang baik untuk skedar membeli tikar, mengecor jalan kampung hingga memperbaiki tempat ibadah. Semakin cepat uang atau material disampaikan maka semakin meyakinkanlah sang caleg.

Tentu “masyarakat” yang dimaksud di sini bukanlah satu kesatuan organik dan panitia bukanlah orang yang benar-benar dapat menentukan suara warganya. Kesepakatan warga yang direpresentasikan panitia sangat mungkin bersifat semu dan hanya akal-akalan sadar warga yang kini benar-benar merasa terlindungi kebebasan memilihnya di dalam bilik suara. Sebuah berkah politik dari reformasi 1998 tentunya. Bagi para caleg ini adalah resiko politik yang sulit diperhitungkan. Mereka sadar banyaknya dana dan material yang mereka gelontorkan tidak selalu berbanding lurus dengan jumah suara yang mereka raih.

Page 3: PRAGMATISME PARPOL

Pada akhirnya variabel lain seperti ikatan primordial dan pengaruh sosial para panitia lebih berpengaruh langsung daripada uang itu sendiri.

Dalam obrolan ronda malam atau di kedai-kedai kopi strategi politik semacam ini bukanlah rahasia lagi. Bahkan para caleg pun mengetahuinya. Bagi para caleg, tuntutan warga adalah ongkos politik yang harus dibayar untuk melempangkan jalan menuju kekuasaan. Sedangkan tuntutan masyarakat untuk pemberian uang muka merupakan jawaban dari masyarakat atas strategi politik uang yang dimulai oleh partai politik. Setali tiga uang. Penerimaan atas politik uang ini tidak bisa kita lihat sebatas oportunisme masyarakat dalam menyikapi bombardir uang dari para caleg. Lebih dari itu, politik uang muka adalah transaksi ekonomi politik yang dilakukan secara sadar akibat tidak adanya mekanisme kontrol masyarakat terhadap partai politik dan para anggota legislatif. Oleh karena tidak ada kepastian imbal balik pemenuhan kebutuhan warga setelah para caleg terpilih, maka secara rasional imbal balik tersebut harus dilakukan di awal, dalam bentuk uang muka.

Politik uang muka ini sepenuhnya rasional dalam sistem pemilu yang tidak bisa melahirkan keterwakilan politik berkualitas yang dapat mendorong pengelolaan sumber daya negara bagi kepentingan konstituennya. Lingkaran setan pun terbentuk. Politik uang muka sedang melembaga dalam masyarakat. Para caleg pun tidak bisa menghindar dari politik uang yang berbiaya tinggi, yang berakibat logis pada penggerogotan sumber daya publik. Lingkaran permasalahan yang mungkin berakar pada hilangnya kepercayaan terhadap kebaikan bersama dalam hidup bernegara. Apakah keputusan MK mengenai penentuan anggota legislaif berdasar suara terbanyak akan berpengaruh terhadap praktek ini. Fakta yang yang terjadi adalah keputusan tersebut makin mendorong banyaknya caleg yang masuk ke pertemuan-pertemuan warga untuk melakukan kesepakatan-kesepakatan langsung dengan warga. Berbeda dengan sistem sebelumnya yang lebih banyak dilakukan dan dibiayai caleg pada nomor urut teratas. Bagi beberapa komunitas ini adalah berkah karena kini semakin banyak caleg yang bisa ‘menyumbang’ kas warga atau membantu memenuhi kebutuhan kolektif mereka.Dari sisi caleg dan parpol, keputusan ini masih mungkin untuk mendorong ke dua arah yang berbeda. Pertama, oleh karena para tingginya persaingan, para caleg kini harus lebih banyak melakukan pertemuan langsung dengan pemilih yang mengakibatkan semakin tingginya biaya politik. Jika pragmatisme politik uang muka semakin menguat dalam masyarakat maka pemenang Pemilu dapat dipastikan adalah mereka yang memiliki modal finansial yang besar. Kemungkinan kedua adalah tingginya biaya politik yang diakibatkan sistem suara terbanyak tersebut akan melampaui nilai ekonomi dari jabatan legislatif yang diperebutkan. Akibatnya para caleg akan berpikir ulang untuk menggunakan politik uang untuk memperoleh dukungan suara dan mulai menggunakan strategi-strategi lain yang berbasis modal sosial atau intelektual. Untuk itu mereka terlebih dahulu harus mematahkan pragmatisme politik uang muka dalam masyarakat. Dan ini tentu akan membawa politik Indonesia ke arah yang lebih baik.

Sejarah Pendirian Partai PolitikJika ditelusuri sejarah kelahiran partai politik, pada mulanya terinspirasi oleh bagaimana sejatinya elemen kemasyarakatan menyalurkan aspirasinya kepada penguasa. Itu terjadi

Page 4: PRAGMATISME PARPOL

disejumlah negara Eropa yang menganut sistem monarki, dimana kekuasaan atas negara dan pemerintahan secara absolut dipegang oleh kerajaan yang berkuasa secara mutlak. Maka untuk menyalurkan aspirasi mereka dalam kekuasaan negara yang begitu kuat, oleh segolongan masyarakat kemudian menggabungkan dirinya dalam kelompok-kelompok untuk secara bersama-sama menyalurkan aspirasinya, yang dalam perkembangannya kelompok-kelompok itu kemudian mendapatkan pengakuan dalam sistem politik kenegaraan, yang pada bentuknya disebut dengan “Partai Politik”.

Pada perkembangan selanjutnya, partai politik tidak lagi diorientasikan semata untuk penyaluran aspirasi, tetapi pada prakteknya juga dimanfaatkan oleh elitnya untuk menjadi instrumen pencapaian posisi dan kedudukannya di lembaga formal, baik di lembaga perwakilan aspirasi pendukungnya (legislatif), maupun di jajaran pemerintahan (eksekutif), dengan dalih bahwa aspirasi yang disampaikan hanya mungkin efektif pencapaiannya, jika kedudukan dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif dapat diraih, untuk berfungsi mensejahterakan pendukung dan anggotanya. Ironisnya karena para ahli ilmu politik dalam merumuskan definisinya, tidak mempetakan antara “tujuan” dan “fungsi” partai politik itu sendiri. Sebutlah misalnya definisi yang dikemukakan dua ilmuan politik terkemuka. Carl J. Friedrich mendifinisikan partai politik pada tujuannya untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan, untuk maksud mensejahterakan anggotanya, baik untuk kebijaksaanaan keadilan, maupun untuk hal-hal yang bersifat materil. “A political party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaning for its leaders the control of a government, with the farther objective of giving to members of the party, through such control ideal and material benefits and advantages”.

Sementara lebih jauh oleh R. H. Soltau mengemukakan definisinya tentang partai politik sebagai organisasi yang dimanfaatkan untuk menguasai pemerintahan dalam menjalankan kebijaksanaan umum: “A group of citizens more or les organized, who act as a political unit and who, by the us of their voting power, aim to control the govern ment and carry out their general policies”. Jika rumusan dari dua definisi itu dicermati, jelas bahwa antara tujuan dan fungsi semakin tidak nyata pembedaannya, sehingga sadar atau tidak sadar dalam prakteknya, menjebak para pelaku politik (elit partai politik) tidak lagi mementingkan pembedaan itu, sehingga dapat mengaburkan cita-cita ideal ideal pendirian suatu partai politik, dan dalam prakteknya untuk tujuan kemaslahatan pendukungnya.

Kartel Politik : Koalisi Partai dan Politik Dinasti Partai-partai politik Indonesia telah membentuk suatu sistem kepartaian yang terkartelisasi sejak berjalannya kembali demokrasi pada 1999. Temuan-temuan dari studi yang di lakukan memperlihatkan bahwa sistem kepartaian yang terkartelisasi tersebut mengandung lima ciri utama: (1) menghilangnya peran ideologi partai dalam menentukan perilaku koalisi partai; (2) ketidakpastian dalam membentuk koalisi; (3) tidak adanya partai-partai oposisi; (4) efek minimal dari hasil-hasil pemilu; dan (5) kecenderungan yang kuat dari berbagai partai untuk bertindak sebagai sebuah kelompok. Kelima ciri ini, khususnya yang kelima, tidak memperlihatkan ciri-ciri yang umumnya menggambarkan sebuah sistem kepartaian yang kompetitif.

Page 5: PRAGMATISME PARPOL

Kebutuhan partai-partai untuk menjaga keberlangsungan hidup kolektif mereka menyebabkan mereka membentuk sebuah kartel. Dengan demikian, keberlangsungan hidup mereka didefinisikan oleh kebutuhan kolektif mereka untuk menjaga sumber-sumber keuangan mereka yang terutama berasal dari pemerintah. Sumber itu bukan uang pemerintah yang secara resmi dialokasikan untuk partai-partai politik. Namun sumber itu adalah uang pemerintah yang didapatkan partai-partai tersebut melalui aktivitas-aktivitas perburuan-rente (rent-seeking). Hal ini dimungkinkan hanya jika mereka memiliki akses dalam jabatan-jabatan pemerintahan dan parlemen. Lebih khusus, jabatan-jabatan kabinet dan pemimpin parlemen di tingkat komisi sangat penting bagi partai-partai tersebut.

Begitu partai-partai itu terlibat dalam jenis aktivitas rente ini, mereka mematok nasib mereka bersama sebagai sebuah kelompok. Nasib politik dan ekonomi mereka terikat bersama dan keberlangsungan hidup mereka bergantung pada terpeliharanya kartel itu. Dalam situasi seperti ini, partai-partai tersebut melihat jabatan-jabatan kabinet dan parlemen terutama sebagai gerbang untuk menjalankan aktivitas-aktivitas rente, bukan untuk mencapai kepentingan ideologis dan programatis partai-partai itu.

Sikap politik pragmatis dan mayoritasnya partai koalisi pendukung SBY di legislatif merupakan kondisi yang mencemaskan dalam politik kontemporer Indonesia ke depannya. Analisis yang dilakukan oleh Hendrik Boli Tobi (P2D) menunjukkan bahwa kondisi tersebut memusatkan kekuasaan pada Presiden SBY. Hampir bisa dipastikan kekuasaan SBY akan hadir tanpa koreksi, dan kekuasaan tanpa koreksi tentu saja rentan untuk menyimpang. Ada nuansa SBY mencoba menghadirkan kehendak dirinya dalam pemilihan ketua umum Golkar, dan juga ada kehendak dari partai politik untuk terlihat sejalan dengan garis politik SBY. Hasilnya Aburizal Bakrie yang dikenal sejalan dengan SBY terpilih menjadi ketua umum. Sama halnya dengan PDI-P, Taufiq Kiemas yang dikenal sangat punya pengaruh di dalam partai didaulat duduk sebagai Ketua Umum MPR. Indikasi lainnya dari politik SBY adalah menentukan ketua DPRD di mana Partai Demokrat menguasai mayoritas. Kalau ini terjadi maka lengkaplah jangkauan kekuasaan SBY di pusat dan daerah.

Selain memaksimalkan kekuasaan ditangannya, tendensi lainnya adalah politik dinasti. Seperti diketahui beberapa Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo, Panglima Kostrad Jendral Erwin Sudjono, Danjen Kopasus Mayjen Pramono Edie Wibowo dan Dirut BNI memiliki kekerabatan dengan SBY. Kedua anaknya pun sudah dipersiapkan untuk menjadi tokoh politik di masa mendatang. Bibit nepotisme seperti ini wajar jika jauh-jauh hari harus terus menerus diingatkan. Kekuasaan yang tanpa koreksi dan kehendak untuk memajukan handai-tolan sangat berpotensi memunculkan konflik kepentingan. Bagi sebagian orang kecenderungan semacam ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena ukuran-ukurannya adalah konstitusi. Selama tindak-tanduk politik tidak melanggar konstitusi maka tidak lah perlu dipermasalahkan. Jika melanggar, serta merta hukum akan menjatuhkan keberadaannya. Korupsi (baca: suap) masih menjadi kebiasaan dalam lini birokrasi di Indonesia, termasuk wilayah pengadilan.

Studi Ambardi menyimpulkan bahwa kartel politik menemukan ruang geraknya karena

Page 6: PRAGMATISME PARPOL

banyaknya wilayah abu-abu dalam politik. Dengan demikian, argumen di atas terasa naif dan tidak bersentuhan dengan realitas politik Indonesia. Kekuasaan yang mutlak, pengadilan yang korup dan hukum yang multiinterpretasi merupakan kondisi cukup agar kekuasaan menjadi absolut. Sedemikian dominannya perburuan kekuasaan membuat model kleptokrasi tumbuh mekar. Kleptokrasi bisa dimaknai sebagai model kekuasaan politik berdasarkan kemampuan mencuri uang. Alhasil, wakil pilihan rakyat pun identik dengan wakil pilihan uang. Padahal, sejak bangsa ini berdiri, gerakan untuk melawan kleptokrasi sudah digagas dengan membumikan nilai-nilai Pancasila. Sangat tepatlah ketika Mohammad Hatta mengatakan bahwa Sila I Pancasila adalah fundamen etik bernegara. Sementara sila II-V adalah fundamen politik. Artinya politik mesti dibangun dengan semangat kemanusiaan, peraturan, demokrasi dan keadilan sosial. Semestinya, energi dibalik kekuasaan itu adalah ideologi. Satu rezim kekuasaan tidak akan mungkin berjalan dengan baik tanpa memiliki ideologi. Ideologi merupakan sumber visi, inspirasi dan motivasi. Ideologi membuat orang cerdas menatap masa depan. Ideologi menjadi dasar perubahan.

Pragmatisme Politisi PengusahaPascatumbangnya Orde Baru, selain melengserkan Soeharto dan membuka katup demokrasi, nyaris tak ada pembaruan mendasar yang bisa dilakukan pemuda dan gerakan mahasiswa. Mengutip hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (2007), salah satu kendala utama dalam menuntaskan agenda reformasi adalah sulitnya mencari sosok muda tampil mengimbangi peran elite mapan produk kepemimpinan politik Orde Baru.Terhambatnya regenerasi kepemimpinan politik pemuda yang bisa berdiri sejajar dengan sosok mapan seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati Soekarnoputri atau Jusuf Kalla diperkirakan masih akan terus berlangsung hingga pemilu 2009. Elite Indonesia pascareformasi, sepertinya tengah mengalami pergeseran entitas, dari elite berbasis militer-politisi-birokrat ke elite berlatar aktivisintelektual-entrepreneur.

Menarik dalam konteks ini, ialah munculnya para aktor politisi-pengusaha yang bahu-membahu terjun langsung untuk menguasai parpol. Faktanya, jumlah mahasiswa dan geliat gerakan mahasiswa mengalami booming pada dekade 70-an, yang perannya tumbuh dan mengait kuat dengan dunia politik. Hal itu berpengaruh signifikan padatampilnya kembali sosok politik pemuda. Pascakampus, para mantan aktivis mahasiswa aktif dalam organisasi kepemudaan, partai politik, LSM, perguruan tinggi, pers, dan dunia bisnis. Kejatuhan rezim Soeharto menjadi momentum bagi para mantan aktivis mahasiswa untuk memasuki dunia politik praktis. Banyak di antara mereka, terutama mantan aktivis berlatar profesionalentrepreneur untuk duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif, di level nasional maupun daerah. Namun, tak sedikit dari mereka yang memasuki arena kekuasaan harus mengalami disorientasi visi dan terjebak dalam arus pragmatisme politik.

Penyebabnya adalah, tren politik nasional diwarnai secara kental oleh kegiatan ekonomi pasar. Pasar telah menjadi arena political game baru, yang mempenetrasi wilayah politik dan perilaku para aktornya. Tren politik berbasis pasar (industri politik) juga tumbuh seiring dengan sikap elite politik yang kian arogan, parokial, dan partitokrat (perilaku partai yang suka "merampas" kedaulatan rakyat). Kalau pola yang lazim selama ini, para

Page 7: PRAGMATISME PARPOL

pengusaha tidak susah-susah ikut berpolitik, melainkan sekedar mensponsori para politisi murni. Tetapi, kini trennya, utamanya pasca Munas Partai Golkar akhir 2004, para politisi pengusaha kelihatannya emoh untuk berdiam diri, melainkan terjun langsung mengendalikan komando parpol. Sehingga dengan demikian tak ada kekhawatiran lagi obsesi politiknya terganggu oleh manuver politisi murni yang kadang-kadang merugikan gerak-langkah mereka. Tatkala kritik conflict of interest dimunculkan, mereka tenang-tenang saja mungkin etika politik telah dianggap tidak signifikan lagi apakah parpol didukung atau tidak oleh konstituen.

Dalam buku The Rise of Capital (1986), Richard Robinson menjelaskan bagaimana pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Realitas politik itu sesungguhnya adalah wajah lain dari watak kekuasaan Orde Baru yang nepotik, kolutif, dan koruptif.Ketika sikap pragmatisme para politico-business itu bersinerji dengan iklim politik pasar, maka bisa dipastikan dunia politik akan menjadi lawan dari demokrasi. Persoalannya kemudian, bagaimana menjamin proses transisi politik dari generasi tua ke generasimuda tidak kembali terjebak pada model regenerasi elitis, pragmatis, subjektif, dan fragmentatif. Pertama, kaum muda harus berani merombak watak budaya politik "banalisme" yang menjadikan kekuasaan dan uang sebagai tujuan. Kedua, memperkuat komitmen penegakan hukum dan memfungsikan partai politik dan badan legislatif sebagai arena perjuangan kepentingan.

Figure Politik : artis politisiPragmatisme juga terbaca lewat ketergantungan atas figur politik yang sengaja atau tidak dimitoskan sedemikian rupa. Adakalanya, figur itu kuat karena dipercaya merupakan penyambung ideologis atas tokoh politik berpengaruh tempo dulu, adakalanya ia dianggap ikon reformasi (perubahan). Tetapi, belakangan muncul tren figur yang layak jual di pasar politik elektoral Indonesia karena rating popularitas tinggi seolah mengikuti tren acara-acara favorit di berbagai televisi dan pandai menawarkan janji perubahan. Sejumlah artis ramai-ramai diusung oleh partai politik menjadi caleg dalam pemilu 2009. Salah satunya PAN yang disebut-sebut menggaet Wulan Guritno, Eko Patrio, Marini Zumarnis, Derry Drajat, dan Iyet Bustami. Pantaskah mereka menjadi wakil rakyat di DPR. "Politik kita instan. Ingin cepat mendapatkan dukungan suara dengan memasang artis yang dikenal masyarakat. Harusnya ada kesadaran di kalangan artis bisa mengukur diri sendiri, kalau tidak mampu, ya jangan," ujar pengamat politik dari LIPI Lili Romli kepada detikcom, Kamis (17/7/2008).

Lili mengatakan, jangan mentang-mentang karena artis itu populer dan dikenal masyarakat jadi ikut-ikutan tanpa mengetahui apa itu politik. "Tetapi itu hak politik artis itu. Memang ada juga artis yang mampu berpolitik," katanya. Menurut Lili, masyarakat Indonesia juga harus diberikan kesadaran agar tidak masuk ke dalam politik pragmatis tersebut. Meskipun syarat pemilihan caleg atau presiden itu terkenal namun harus dilihat juga kualitas dari orang yang dicalonkan itu. "Masyarakat harus diberi kesadaran agar tidak terjebak dengan politik pragmatis itu," tukasnya. Apa mungkin nanti partai-partai yang ikut pemliu 2009 mencalonkan artis jadi presiden? "Bisa jadi seperti itu," kata Lili. Artis-artis yang berada di DPR sekarang ini, lanjut Lili, hanya diam seribu bahasa. "Itu

Page 8: PRAGMATISME PARPOL

merugikan rakyat dan partai. Dia dikirim ke dewan untuk memperjuangkan nasib rakyat," tegasnya.

Fenomena Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)yang mirip pemilihan kontes kecantikan dan model kembali menjadi pembicaraan di masyarakat. Kasus terbaru yang membuat heboh jagat politik nasional adalah munculnya artis yang kerap tampil vulgar Julia Perez alias Jupe. Artis 'heboh' ini diusung tujuh partai politik sebagai calon wakil bupati Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Apakah ini sebagai guyonan atau serius, ini menjadi bahan pertanyaan besar. Yang pasti Jupe semakin mengharumkan daerah kelahiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kasus Jupe ini semakin mengukuhkan bahwa politik Indonesia tidak hanya bermodalkan visi dan misi untuk dipilih rakyat melainkan juga harus memiliki modal citra dan popularitas yang menjadi representasi dari sikap pragmatisme. Sekarang memang partai berbondong-bondong mengajukan calon tanpa mempriortaskan aspek kualitas sang calon tetapi lebih mengedepankan aspek popularitas dan sebagainya. Yang terpenting targetnya adalah menang.  Sebenarnya kalau kita jujur mengakui, kita tidak mampu menjawab kebutuhan pragmatisme masyarakat. Kalau dia (calon) tidak punya finansial dia tidak berani maju. Kalau dia punya kemampuan finansial untuk memenuhi kebutuhannya sendiri pasti mikir dua kali untuk maju. Sekarang masyarakat bila tidak ada uang trasportnya mana mau disuruh-suruh, apalagi memilih. Transport dan segala macamnya ini tentu membutukan sumber finansial yang cukup untuk mencapai target pemilih yang dibutuhkan. Sebenarnya bukan partai tidak punya kader yang cukup (dalam segi kualitas) tapi juga harus dilihat juga masalah finansial itu. Sebenarnya ini masalah lama, sudah terjadi sejak pemilu lalu.

Julia Perez selain dia populer juga secara finansial memadai. Popularitas dia itu justru mendatangkan finansial. Misalnya dia menyanyi, dari lagu-lagu itu bisa dijual albumnya dan bisa buat nada sambung. Dari sini semua bisa dijadikan sebagai pendidikan politik bagi masyarakat. Bagaimana agar masyarakat tidak gampang melihat finansial semata. Oleh karena itu kita masih berharap masyarakat memilih calonnya secara rasional. Secara umum masyarakat dan kader politik harus diberikan pendidikan politik tentang persyaratan umum seorang calon pimpinan daerah yang diatur undang-undang. Selama ini kriteria sebenarnya sudah cukup seperti pendidikannya harus diperhatikan, visi dan misinya serta memiliki komitmen untuk memajukan daerah tempat.

Politik Pragmatisme Struktural Fungsional

Selain itu ada pragmatisme struktural-fungsional, bahwa karena posisi dan perannya amat strategis, maka pada saat yang sama parpol harus mengupayakan aspek material-finansial yang cukup dengan segala cara -asal tidak terdeteksi oleh aparat penegak hukum. Banyak peluang untuk itu, misalnya dengan menyelewengkan jabatan-jabatan politik yang ada untuk memperkaya pundi-pundi finansial parpol (secara tidak resmi), atau dengan menjadikan parpol sebagai mesin keruk para pelamar kandidat presiden-wakil presiden,

Page 9: PRAGMATISME PARPOL

kepala daerah atau yang lain yang pencalonannya harus lewat parpol.

Adakalanya masyarakat cemas akan kelakuan-kelakuan negatif parpol-parpol. Betapa beraninya parpol-parpol itu mengambil risiko kebangkrutan lembaga karena tidak disukai lagi oleh konstituen. Diasumsikan kalau masyarakat semakin cerdas dan obyektif, maka tidak ada kesempatan bagi parpol-parpol untuk macam-macam atau mempercepat proses kematiannya. Tapi, apakah masyarakat politik kita sudah cerdas? Kini, terserah para pengurus dan kader parpol mana saja, apakah sekadar berjuang untuk kepentingan jangka pendek artinya kepentingan lingkaran elite di dalamnya secara optimal, tetapi parpolnya hancur. Ataukah untuk kepentingan keberlangsungan parpol dan optimalisasi fungsi dan perannya, termasuk dalam ikut melaksanakan tanggungjawab pendidikan politik bangsa.KEPUSTAKAANAchmad An'am Tamrin Demokrasi “voorskot”: strategi resistensi terhadap politik uang, Wednesday, 01 April 2009 20:44, http://www.jakartabeat.net/politikaAchwan, Rochman, "Good Governance": Manifesto Politik Abad Ke-21 , google 2010Administrator, Peran Pemuda Terjebak Pragmatisme Sesaat , 05 August 2009, http://www.hmifebugm.comAdmin, Pragmatisme Partai Ancam Bangsa, 08 Apr 2010 admin on Sun, 02/15/2009, Hak Asasi Manusia dalam Bayang-bayang Pragmatisme, Litbang Kompas, http://cetak.kompas.com/read/Admin(2008), Politik yang Berorientasi Nilai: Kuliah Umum Akbar Tandjung di SSSJakarta, 7 Juni 2005 Akbar Tandjung Chairman Akbar Tandjung Institute.Ahmad Suaedy(2008) Peta Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia:Masa Depan Islam Indonesia, http://www.gusdur.netAlfan Alfian, Dilema Golkar, Dilema Jusuf Kalla, Selasa, 06 November 2007ariedjito, Orde (paling) Baru   , Wednesday, 07 May 2008 Budi Mulyana, Pragmatisme Polugri Indonesia, google 2010.Chazizah Gusnita , Artis Jadi Caleg, Politik Indonesia Pragmatis, detikNews, Kamis, 17/07/2008 08:49 WIBDimas Bagus Wiranata Kusuma , Pragmatisme Politik Pemuda, Thursday, 15 October 2009 09:11 Duesseldorf, Nov 8, '06 4:13 AM, http://ediwahyu.multiply.com/journal/Dodi Ambardi, IDEOLOGI, KONSTITUEN, DAN PROGRAM PARPOL, Bukit Talita, 27 Februari - 1 Maret 2009freedom.institute.org/idEdiwahyu, Mendayung Diantara Dua Karang: Pemuda, Nasionalisme dan Pragmatisme, ediwahyu.multiply.com/journalEndrizal, MA, Century, Koalisi dan Pragmatisme Politik, 02 Maret 2010 | BP Erlangga Ida Fauziah , Julia Perez Wujud Pragmatisme, Selasa, 06/04/2010Iwan Januar , BAHAYA PRAGMATISME, Friday, 01 May 2009, KapanLagi.comMakmur Keliat, Peta Kekuasaan dan Kemiskinan, 2009 08 Tuesday, 31 March:01 KompasMarinus W, Koalisi Pragmatisme Vs Koalisi Deontologisme, . (Artikel April, 2009)Masdiana, Sarana Pragmatisme Politik, 06 april 2009 ,http://m.suaramerdeka.com/Max Regus , "Pragmatisme Religius", Menuju Sinkretisme Destruktif? , : http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0410/15/opini/1262288.htm M. Fadjroel Rahman, 2001 Pelopor dan Pengawal Revolusi Demokrasi: Gerakan Mahasiswa Sebagai Gerakan Politik Nilai, PSJ, 2001.

Page 10: PRAGMATISME PARPOL

Nova Kurniawan, Pragmatisme Politik ‘09, Maret 26, 2009, Nova Kurniawan's WeblogNU Online , Ideologi Modal Jadikan Pragmatisme Politik , Kamis, 17 Juli 2008 Pandu Oscar Siagian , Koalisi dalam Ruang Pragmatisme Elit, Redaksi on Mei 5th, 2009 Peter G. Riddel, "The Diverse Voices of Political Islam in Post-Suharto Indonesia", Islam and Christian - Muslim Relations, Vol. 13, No. 1, 2002, hlm. 65 – 83Redaksi(2008), Maklumat Politik Indonesia, 11 Aug , http://swaramuslim.net/Utama Manggala(2007), Memilih Demokrasi untuk Indonesia, October 8.Sanusi Uwes PR(2009), Pragmatisme Partai Politik dan Bendera Islam , Thursday, 15 October.Todung Mulya Lubis(2008), Negara Pragmatis, Thu Nov 20.VIVAnews , Politik Kartel Atau Dinasti? Indonesia pasca reformasi bergerak ke arah format poltik baru. Perlu kritik dan refleksi. Dari Diskusi P2D, Senin, 26 Oktober 2009, 10:05 WIBWishnugroho akbar(2010), Birokrasi Harus Steril dari Kepentingan Politik, JakartaWemmy al-Fadhli , Fenomena Koalisi Pragmatis, Monday, 27 April 2009 20:33 Woodward, M., (Summer-Fall 2001), "Indonesia, Islam and the Prospect of Democracy" SAIS Review Vol. XXI, No. 2, hlm. 29-37. Zaenal Abidin EP, Majelis Ulama Indonesia: Pelanggeng Pragmatisme Religius, 24 Pebruari 2006M Ismail Yusanto: Pragmatisme Menggusur Idealisme Islam, Monday, 10 August 2009Afan Gaffar. Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.A. S. Hikam. Demokrasi dan Civil Society, LP3S, Jakarta,1996Burhanuddin (Editor), Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, INCIS, Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1988.Jakob Oetama.Perspektif Pers Indonesia?, LP3S, Jakarta 1987.Max Webwr. Wirschaft und Gesellschaft, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya pada Bab I)Ignas Kleden. Budaya Politik atau Moralitas Politik, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret 1998.Ben Anderson. The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945 (Disertasi) pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.Frans Neumann (Ed). Politische Theorien und Ideologien, Baden-baden, Signal-Verlag.Idrus Marham, Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme, Artikel dalam Jurnal Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.Anderson, Benedict dan Audrey Kahin (eds.),  Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contribution to the Debate. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1982.Booth, Anne dan Peter McCawley (eds.), Boediono  (penerjemah),   Ekonomi Orde Baru: The Indonesian Economics During the Soeharto Era Jakarta: LP3ES, 1981. Crouch, Harold, The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978.Hill, Hal (ed), Indonesia’s New Order: The Dynamics of Socio-Economic Transformation.

Page 11: PRAGMATISME PARPOL

Honolulu: University of Hawaii Press, 1994.Karim, Muhammad Rusli, Peranan ABRI dalam Politik dan Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Politik di Indonesia (1965-1979), Jakarta: Yayasan Idayu, 1981.Liddle, R. William,   Cultural and Class Politics in New Order Indonesia. Singapore, Institute ofSoutheast Asian Studies, 1977.Mas’oed, Mohtar, Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994.Pabottinggi, Mochtar Sihbudi, Syamsuddin Haris, Riza (eds),Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta: PPW-LIPI Yayasan Insan Politika, 1995.Sanit, Arbi,  Sistem Politik Indonesia: Penghampiran dan Lingkungan. Jakarta: Yayasan Ilmu-IlmuSosial & FIS-UI, 1980.Van Der Kroef, J.M.,  Indonesia after Sukarno. Van Couver: Univ. of British Columbia Press, 1971.Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi.              Bandung: Simbiosa Rekatama Media.Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar              Maju, hlm 264. Kam. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 – Cetakan 1.           Jakarta: Balai Pustaka, hlm 828. Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: A  Biographical Approach. New York:The Free Press.West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia            Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika. Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Cetakan ke-3. Jakarta: PT.             Grasindo-Gramedia Widiasarana Indonesia.Afan Gaffar. “Javanese Voters: A Case of Election Under A Hegemonic Party System”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992.A. S. Hikam. “Demokrasi dan Civil Society”, LP3S, Jakarta,1996Burhanuddin (Editor), “Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia”, INCIS, Jakarta 2003. Carl J. Friedrich. “Constitutional Governt and Democracy: Theory and Practice in Europe and America”, Waltham, Mass : Blaisdell Publishing Company, 1967.Miriam Budiardjo. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Gramedia, Jakarta, 1988.Jakob Oetama.“Perspektif Pers Indonesia”, LP3S, Jakarta 1987.Max Weber. “Wirschaft und Gesellschaft”, Tuebingen, JCB Mohr, 1956. (khususnya pada Bab I)Ignas Kleden. “Budaya Politik atau Moralitas Politik?”, (Artikel), Harian Kompas, 12 Maret 1998.Ben Anderson. “The Pemuda Revolution: Indonesian Politics 1945-1945” (Disertasi) pada Universitas Cornell Amerika Serikat, 1967.Frans Neumann (Ed). ”Politische Theorien und Ideologien”, Baden-baden, Signal-Verlag.Idrus Marham, “Pemuda dan Jebakan Penjara Pragmatisme”, Artikel dalam Jurnal Resonansi, volume 1 nomor 2 tahun 2003.Harry Truman, Golkar Dalam Pusaran Politik Indonesia, Mar 22, '07 10:24 AMhttp://adetaris.multiply.com

Page 12: PRAGMATISME PARPOL

Berger, Arthur Asa. 1991. Media Analysis Techniques. California:Sage PublicationBignell, Jonathan. 2001. Media Semiotics, An Introduction. London: Manchaster University PressChomsky, Noam dan Edward S. Herman, 1988. Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. New York:PantheonCurrant, James and Michael Gurevitch. 1991. Mass Media and Society .London :Edward ArnoldCurran, James and Richard Collins, 1986. Media, Culture and Society: A Critical Reader. London:Sage PublicationDenzin, Norman K. (eds). 2000. Handbook of Qualitative Research. California:Sage PublicEriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta:LKISFairclough, Norman. 1998. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London:LongmanFairclough, Norman. 1995. Media Discourse. New York:Edward ArnoldFiske, John. 1982. Introduction of Communication Studies. London:RoutledgeGuba, Egon. G,. 1990. The Paradigm Dialog. New York:Sage BooksHall, Stuart. 1992. Culture, Media dan Language. London:RoutledgeHardiman, Budi Francisco, 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta:KanisiusKolakowski, Leszek. 1978. Main Currents of Marxisme III. Oxford:Clarendon PressLatif, Yid dan Idi Subandy Ibrahim (eds). 1996. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Jakarta:MizanLittlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication. California:Wadsworth Publishing CompanyLull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan; Suatu Pendekatan Global. Jakarta:YOIMagnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:KanisiusMagnis-Suseno, Franz. 1991. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral dan Dasar Kenegaraan modern. Jakarta:GramediaMannheim, Karl. 1979. Ideologi dan Utopia. An Introduction to the Sociology of Knowledge. London:RoutledgeMcdonnell, Diane. 1986. Theories of Discourse: An Introduction. Oxford:Basil BlackwallMcquail, Dennis (ed). 2002. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London:Sage PublicationsMills, Sara. 1991. Discourse. London:RoutledgeNeuman, Lawrence W. 2000. Social Research Methods. London:Allyn and BaconRaboy, Marc dan Bernard Dagenais (eds). 1995. Media, Crisis and Democracy: Mass Communication and the Disruption of Social Order. London:Sage PublicationReese, Stephen D,. 2001. Framing Public Life. New Jersey:Lawrence Earlbaum PublisherRiggins, Stephen H,. 1997. The Language and Politics of Exclusion: Others in Discourse. London:Sage PublicationRogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study. New York:The Free PressSaverin, Werner. 1997. Communication Theories: Origins, Methods and Uses in the Mass Media. New York:Longman

Page 13: PRAGMATISME PARPOL

Sen, Krishna dan David T. Hill. 2001. Media, Budaya dan Politik di Indonesia. Jakarta:PT Media Lintas Inti NusantaraShoemaker, Pamela cs (eds). 1991. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. London:Longman GroupShoemaker, Pamela cs (eds). 1996. Mediating The Message: Theories of Influences on Mass Media Content. London:Longman GroupSobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung:PT. Remaja RosdakaryaWimmer, Roger D. 2000. Mass Media Research: An Introduction. Singapore:Wadsworth PCVatikionis, Michail R.J. 1993. Indonesian Politics under Soeharto, Order, Development and Pressure for Change. New York:RoutledgeAlmond, Gabriel A. and G Bingham Powell, Jr.,Comparative Politics: A Developmental Approach . New Delhi, Oxford & IBH Publishing Co, 1976Anderson, Benedict, R. O’G., Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia . Ithaca: Cornell University Press, 1990.Emmerson, Donald,  K., Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics. London: Cornell University Press, 1976.Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,  Pokok-pokok pikiran sekitar penyelenggaraan pemilu 1987: Laporan  Kedua, Bagian I, Transformasi Budaya Politik. Jakarta: LIPI, 1987.Rosenbaum, Wolter, A., Political Culture, Princeton. Praeger, 1975.Suryadinata, Leo,  Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik . Jakarta: LP3ES, 1992.Widjaya, Albert, Budaya Politik dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1982