pragmatik 2

23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa. Dalam jangka yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6), studi bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan logika, dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam linguistik, Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang turut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu makna, seperti akan saya jelaskan kemudian,

Upload: jhob-mhacker

Post on 23-Jul-2015

267 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PRAGMATIK 2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas

prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi

tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam

etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi

saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan

memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun

menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para

anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata

bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik,

sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna

ujaran dan pada pengguna bahasa.

Dalam jangka yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6), studi bahasa

sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem

formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan logika,

dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam linguistik,

Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang turut memperhitungkan manusia sebagai

pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu

makna, seperti akan saya jelaskan kemudian, makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda

dengan makna yang dikaji dalam semantik.

Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22),

terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui

oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa

menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini

penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai

dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam

pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang

dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara

umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah

dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain

Page 2: PRAGMATIK 2

kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik

(sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa

tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan

untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence)

yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang

berlaku khusus dalam setiap bahasa.

Laporan ini bertujuan menjelaskan pentingnya bidang pragmatik untuk dipelajari

dalam program studi linguistik. Untuk tujuan tersebut, saya mengawali makalah ini dengan

pembahasan mengenai pengertian pragmatik, perkembangannya, menjelaskan secara singkat

topik-topik bahasannya, dan, menunjukkan pentingnya pragmatik. Berangkat dari uraian

tersebut, penulis berinisiatif untuk mengambil judul Kajian Pragmatik pada acara Talk

Show @Show_imah yang ditayangkan di Trans TV.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang ada, maka penulis merumuskan

masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana deiksis yang digunakan pada percakapan dalam acara Talk Show

@Show_imah yang ditayangkan di Trans TV?

2. Jenis praanggapan apakah yang digunakan pada percakapan dalam acara Talk Show

@Show_imah yang ditayangkan di Trans TV?

3. Bagaimana tindak tutur pada percakapan dalam acara Talk Show @Show_imah yang

ditayangkan di Trans TV?

4. Jenis implikatur percakapan apakah yang terdapat dalam acara Talk Show @Show_imah

yang ditayangkan di Trans TV?

5. Bagaimana penerapan prinsip-prinsip pragmatic pada percakapan dalam acara Talk

Show @Show_imah yang ditayangkan di Trans TV?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengetian Pragmatik

Page 3: PRAGMATIK 2

Stephen C. Levinson telah mengumpulkan sejumlah batasan pragmatik yang berasal

dari berbagai sumber dan pakar, yang dapat dirangkum seperti berikut ini.

a. Pragmatik adalah telaah mengenai hubungan tanda-tanda dengan penafsir (Morris,

1938:6). Teori pragmatik menjelaskan alasan atau pemikiran para pembicara dan

penyimak dalam menyusun korelasi dalam suatu konteks sebuah tanda kalimat dengan

suatu proposisi (rencana, atau masalah). Dalam hal ini teori pragmatik merupakan bagian

dari performansi.

b. Pragmatik adalah telaah mengenai hubungan antara bahasa dan konteks yang

tergramatisasikan atau disandikan dalam struktur sesuatu bahasa.

c. Pragmatik adalah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori

semantik, atau dengan perkataaan lain: memperbincangkan segala aspek makna ucapan

yang tidak dapat dijelaskan secara tuntas oleh referensi langsung kepada kondisi-kondisi

kebenaran kalimat yang ciucapkan. Secara kasar dapat dirumuskan: pragmatik = makna –

kondisi-kondisi kebenaran.

d. Pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan

dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah

mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-

kalimat dan konteks-konteks secara tepat.

e. Pragmatik adalah telaah mengenai deiksis, implikatur, anggapan penutur

(presupposition), tindak ujar, dan aspek struktur wacana.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa

pengertian pragmatic adalah cabang ilmu bahasa yang menelaah penggunaan bahasa.

Satuan-satuan lingual dalam penggunaannya. studi kebahasaan yang terikat konteks dan

cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana

satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi

2. Deiksis

Deiksis adalah kata atau frasa yang menghunjuk kepada kata, frasa, atau ungkapan yang telah

dipakai atau yang akan diberikan (Agustina, 1995:40). Purwo (1984:1) menjelaskan bahwa

sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-

ganti, tergantung pada siapa yang menjadi sipembicara dan tergantung pada saat dan tempat

dituturkannya kata itu.

Pengertian deiksis yang lain dikemukakan oleh Lyons (1977:637) dalam Djajasudarma

(2010:51) yang menjelaskan bahwa deiksis adalah lokasi dan identifikasi orang, objek,

Page 4: PRAGMATIK 2

peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam

hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau

yang diajak bicara. Dari penjelasan di atas disimpulkan bahwa deiksis adalah kata, frasa, atau

ungkapan yang rujukannya berpindah-pindah tergantung siapa yang menjadi pembicara dan

waktu, dan tempat dituturkannya satuan bahasa tersebut.

Perhatikan contoh kalimat berikut.

1) Begitulah isi sms yang dikirimkannya padaku dua hari yang lalu.

2) Hari ini bayar, besok gratis.

3) Jika Anda berkenan, di tempat ini Anda dapat menunggu saya dua jam lagi.

Dari contoh di atas, kata-kata yang dicetak miring dikategorikan sebagai dieksis. Pada kalimat

(1) yang dimaksud dengan begitulah tidak bisa diketahui karena uraian berikutnya tidak

dijelaskan. Pada kalimat (2) kapan yang dimaksud dengan hari ini dan besok juga tidak jelas,

karena kalimat itu terpampang setiap hari di sebuah kafetaria. Pada kalimat (3) kata Anda

tidak jelas rujukannya, apakah seorang wanita atau pria, begitu juga frasa di tempat ini

lokasinya tidak jelas.

Semua kata dan frasa yang tidak jelas pada kalimat di atas dapat diketahui jika konteks untuk

masing-masing kalimat tersebut disertakan. Dalam berpragmatik kalimat seperti di atas wajar

hadir di tengah-tengah pembicaraan karena konteks pembicaraan sudah disepakati antara si

pembicara dan lawan bicara.

Dalam kajian pragmatik, deiksis dapat dibagi menjadi jenis-jenis seperti diuraikan berikut ini.

a. Deiksis Orang

Deiksis orang adalah pemberian rujukan kepada orang atau pemeran serta dalam peristiwa

berbahasa (Agustina, 1995:43). Djajasudarma (2010:51) mengistilahkan dengan deiksis

pronomina orangan (persona), sedangkan Purwo (1984:21) menyebutkan dengan deiksis

persona. Dalam kategori deiksis orang, yang menjadi kriteria adalah peran pemeran serta dalam

peristiwa berbahasa tersebut (Nababan, 1987:41). Bahasa Indonesia mengenal pembagian kata

ganti orang menjadi tiga yaitu, kata ganti orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga.

Page 5: PRAGMATIK 2

Dalam sistem ini, orang pertama ialah kategori rujukan pembicara kepada dirinya sendiri, seperti

saya, aku, kami, dan kita. Orang kedua adalah kategori rujukan kepada seseorang (atau lebih)

pendengar atau siapa yang dituju dalam pembicaraan, seperti kamu, engkau, anda, dan kalian.

Orang ketiga adalah kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara dan bukan pula

pendengar, seperti dia, ia, beliau, -nya, dan mereka. Contoh pemakaian deiksis orang dapat

dilihat dalam kalimat-kalimat berikut.

1. Mengapa hanya saya yang diberi tugas berat seperti ini?

2. Saya melihat mereka di pasar kemarin.

Kata-kata yang dicetak miring seperti contoh-contoh tersebut di atas adalah contoh dari kata-kata

yang digunakan sebagai penunjuk dalam dieksis orang. Contoh kata seperti itu dipakai dalam

percakapan sebagai pengganti atau rujukan dari yang dimaksud dalam suatu peristiwa berbahasa.

b. Dieksis Tempat

Dieksis tempat adalah pemberian bentuk kepada lokasi ruang atau tempat yang dipandang dari

lokasi pemeran serta dalam peristiwa berbahasa itu (Agustina, 1995:45). Dalam berbahasa, orang

akan membedakan antara di sini, di situ dan di sana. Hal ini dikarenakan di sini lokasinya dekat

dengan si pembicara, di situ lokasinya tidak dekat pembicara, sedangkan di sana lokasinya tidak

dekat dari si pembicara dan tidak pula dekat dari pendengar. Purwo (1984:37) mengistilahkan

dengan deiksis ruang dan lebih banyak menggunakan kata penunjuk seperti dekat, jauh, tinggi,

pendek, kanan, kiri, dan di depan. Sedangkan Djajasudarma (2010:65) mengistilahkannya

dengan dieksis penunjuk.

Contoh penggunaan dieksis tempat dapat dilihat pada kalimat-kalimat berikut.

1. Tempat itu terlalu jauh baginya, meskipun bagimu tidak.

2. Duduklah bersamaku di sini.

Kata-kata yang dicetak miring seperti contoh-contoh tersebut di atas adalah contoh dari kata-kata

yang digunakan sebagai penunjuk dalam deiksis tempat.

c. Deiksis Waktu

Page 6: PRAGMATIK 2

Deiksis waktu adalah pengungkapan atau pemberian bentuk kepada titik atau jarak waktu yang

dipandang dari waktu sesuatu ungkapan dibuat (Agustina, 1995:46). Contoh deiksis waktu

adalah kemarin, lusa, besok, bulan ini, minggu ini, atau pada suatu hari.

Kalimat-kalimat berikut adalah contoh pemakaian dari kata penunjuk deiksis waktu.

1. Dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri, yang bernama Fitri dapat makan gratis

besok. (tulisan di sebuah restoran)

2. Gaji bulan ini tidak seberapa yang diterimanya.

3. Saya tidak dapat menolong Anda sekarang ini.

d. Deiksis Wacana

Deiksis wacana adalah rujukan kepada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah

diberikan atau yang sedang dikembangkan (Agustina, 1995:47). Deiksis wacana ditunjukkan

oleh anafora dan katafora. Sebuah rujukan dikatakan bersifat anafora apabila perujukan atau

penggantinya merujuk kepada hal yang sudah disebutkan. Senada dengan hal itu, Hasanuddin

WS. (2009:70) menjelaskan bahwa anafora adalah hal atau fungsi yang menunjuk kembali

kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam kalimat atau wacana.

Contoh kalimat yang bersifat anafora dapat dilihat dalam kalimat berikut.

1. Wati belum mendapatkan pekerjaan, padahal dia sudah diwisuda dua tahun yang lalu.

2. Joni baru saja membeli mobil BMW. Warnanya merah dan harganya jangan ditanya.

Sebuah rujukan atau referen dikatakan bersifat katafora jika rujukannya menunjuk kepada hal

yang akan disebutkan (Agustina, 1995:42). Contoh kalimat yang bersifat katafora dapat

dilihat dalam kalimat berikut.

1. Di sini, digubuk tua ini mayat itu ditemukan.

2. Setelah dia masuk, langsung Toni memeluk adiknya.

e. Deiksis Sosial

Deiksis sosial adalah mengungkapkan atau menunjukkan perbedaan ciri sosial antara

pembicara dan lawan bicara atau penulis dan pembaca dengan topik atau rujukan yang

Page 7: PRAGMATIK 2

dimaksud dalam pembicaraan itu (Agustina, 1995:50). Contoh deiksis sosial misalnya

penggunaan kata mati, meninggal, wafat dan mangkat untuk menyatakan keadaan meninggal

dunia. Masing-masing kata tersebut berbeda pemakaiannya. Begitu juga penggantian kata

pelacur dengan tunasusila, kata gelandangan dengan tunawisma, yang kesemuanya dalam tata

bahasa disebut eufemisme (pemakaian kata halus). Selain itu, deiksis sosial juga ditunjukkan

oleh sistem honorifiks (sopan santun berbahasa). Misalnya penyebutan pronomina persona

(kata ganti orang), seperti kau, kamu, dia, dan mereka, serta penggunaan sistem sapaan dan

penggunaan gelar. Contoh pemakaian deiksis sosial adalah pada kalimat berikut.

1. Apakah saya bisa menemui Bapak hari ini?

2. Saya harap Pak Haji berkenan memenuhi undangan saya.

Selain pembagian lima deiksis di atas, dalam kajian pragmatik juga dibedakan antara deiksis

sejati dengan deiksis tak sejati dan deiksis kinesik dengan deiksis simbolik (Agustina,

1995:51). Penjelasan deiksis tersebut akan dijelaskan berikut ini.

3. Tindak Tutur

Tindak tutur (istilah Kridalaksana ‘pertuturan’ / speech act, speech event): pengujaran kalimat

untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar (Kridalaksana,

2008: 154). Tindak tutur (selanjutnya TT) atau tindak ujaran (speech act) mempunyai

kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan analisisnya. Uraian

berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis TT.

a. Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi

Austin (1962) dalam How to do Things with Words mengemukakan bahwa mengujarkan

sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act), di samping

memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan

dengan ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.

Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata

dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai

dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian.

Jadi, apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku ngelak”

dalam tindak lokusi kita akan mengartikan “aku” sebagai ‘pronomina persona tunggal’

(yaitu si P) dan “ngelak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’, tanpa

bermaksud untuk minta minum.

Page 8: PRAGMATIK 2

Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang maksud dan

fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan. Jadi, “Aku

ngelak” yang diujarkan oleh P dengan maksud ‘minta minum’ adalah sebuah tindak ilokusi.

Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara

singkat, perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika MT

melakukan tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di

sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi.

b. TT Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklaratif

Searle (1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis TT

(dalam Ibrahim, 1993: 11-54). Kelima TT itu sebagai berikut:

1) TT representatif yaitu TT yang mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa yang

dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan.

2) TT direktif yaitu TT yang dilakukan P-nya dengan maksud agar si pendengar atau MT

melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh,

memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.

3) TT ekspresif ialah TT yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai

evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya memuji,

mengucapkan terima kasih, mengritik, dan mengeluh.

4) TT komisif adalah TT yang mengikat P-nya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di

dalam ujarannya, misalnya berjanji dan bersumpah.

5) TT deklaratif merupakan TT yang dilakukan P dengan maksud untuk menciptakan hal

(status, keadaan, dan sebagainya) yang baru, misalnya memutuskan, membatalkan,

melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.

c. TT Langsung vs TT Tidak Langsung

Dari sembilan bentuk ujaran tersebut diperoleh sembilan TT yang berbeda-beda derajat

kelangsungannya dalam menyampaikan maksud ‘menyuruh memindahkan meja’ itu. Hal

ini berkaitan dengan tindak tutur langsung (TT-L) dan tindak tutur tidak langsung (TT-

TL). Derajat kelangsungan TT dapat diukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik

ilokusi ( di benak P) ke titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat

pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran makin

langsunglah ujaran itu, dan sebaliknya. Dari kesembilan bentuk ujaran tersebut, yang

paling samar-samar maksudnya ialah bentuk ujaran (9), berupa isyarat halus. Karena kata

Page 9: PRAGMATIK 2

“meja” sama sekali tidak disebutkan oleh P dalam ujaran (9), maka MT harus mencari-

cari konteks yang relevan untuk dapat menangkap maksud P.

Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga menggunakan tindak tutur harafiah (TT-H) atau

tindak tutur tidak harafiah (TT-TH) di dalam mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal

itu, kelangsungan dan keharafiahan ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat

macam ujaran, yaitu:

(1)  TT-LH         :  “Buka mulut”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada

pasiennya.

(2)  TT-LTH       :  “Tutup mulut”, misalnya diucapkan oleh seseorang yang jengkel

kepada

MT-nya yang selalu “cerewet”.

(3)  TT-TLH       :  “Bagaimana kalau mulutnya dibuka?”, misalnya diucapkan oleh

dokter gigi

kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut.

(4)  TT-TLTH     :  “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua sepakat

menutup mulut

kita masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P yang mengajak

MT-nya

untuk tidak membuka rahasia.

Dengan demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di atas

dapat dicatat ada delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996: 36).

1) Tindak tutur langsung (TT-L)

2) Tindak tutur tidak langsung (TT-TL)

3) Tindak tutur harafiah (TT-H)

4) Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH)

5) Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)

6) Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH)

7) Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)\

8) Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH)

d. Tindak tutur langsung-tidak langsung dan literal-tidak literal

Berdasarkan isi kalimat atau tuturannya, kalimat dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu

kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif).

Page 10: PRAGMATIK 2

Berdasarkan modusnya, kalimat atau tuturan dapat dibedakan menjadi tuturan langsung dan

tutran tidak langsung. Misalnya:

[Tuturan langsung]

A: Minta uang untuk membeli gula!

B: Ini.

 

[Tuturan tidak langsung]

A: Gulanya habis, nyah.

B: Ini uangnya. Beli sana!

 

Kadang-kadang secara pragmatis kalimat berita dan tanya digunakan untuk memerintah,

sehingga merupakan TT tidak langsung (indirect speech). Hal ini merupakan sesuatu yang

penting dalam kajian pragmatik. Misalnya:

 

1. Rumahnya jauh. (ada maksud: jangan pergi ke sana).

2. Adiknya sakit. (ada maksud: jangan ribut atau tengoklah!)

 

Berdasarkan keliteralannya, tuturan dapat dibedakan menjadi tuturan literal dan tuturan tidal

literal.

1. Tuturan literal: tuturan yang sesuai dengan maksud atau modusnya. Misalnya, Buka

mulutnya! (makna lugas: buka).

2. Tuturan tidak literal: tuturan yang tidak sesuai dengan maksud dalam tulisan/tuturan.

Misalnya, Buka mulutnya! (makna tidak lugas: tutup). Hal ini disebut juga ‘nglulu’

 

Dalan bahasa kadang-kadang terjadi, yang bagus dikatakan jelek (hal ini disebut banter

[bEnte]), yang jelek dikatakan bagus (disebut ‘ironi’).

 

Masing-masing tindak tutur (langsung, tidak langsung, literal, dan tidak literal) apabila

disinggungkan (diinterseksikan) dapat dibedakan menjadi 8 macam seperti sebagai berikut.

1) TT langsung

2) TT tidak langsung

3) TT literal

4) TT tidak literal

Page 11: PRAGMATIK 2

5) TT langsung literal

6) TT tidak langsung literal

7) TT langsung tidak literal

8) TT tidak langsung tidak literal

4. Prinsip-Prinsip Pragmatik

Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat

dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama (cooperative principle) (Yule

1996: 36-37 dan Thomas 1995: 61). Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini

terwujud dalam empat bidal (maxim), yaitu (1) bidal kuantitas (quantity maxim), memberi

informasi sesuai yang diminta; (2) bidal kualitas (quality maxim), menyatakan hanya yang

menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya; (3) bidal relasi (relation maxim),

memberi sumbangan informasi yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxim),

menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara

singkat, mengungkapkan secara beraturan (Gunarwan 2004: 11 dan Thomas 1995: 63-64).

Berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice di atas, pada kenyataannya, dalam komunikasi

kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti diungkap oleh Gunarwan

(2004: 12-14), didasarkan atas beberapa alasan, misalnya untuk memberikan informasi

secara tersirat (implicature) dan menjaga muka lawan bicara (politeness).

Menurut Leech (1993), pragmatik umum tidak dikendalikan atau tidak diatur (regulated)

oleh kaidah seperti dalam semantik, melainkan prinsip (=retoris) yang bersifat

nonkonvensional, yaitu dimotivasi oleh tujuan-tujuan sosial. Misalnya, seorang guru yang

bermaksud menyuruh muridnya untuk membersihkan kelas, dia dapat memilih satu di

antara tuturan-tuturan berikut.

(1) Bersihkan kelasnya! (kalimat imperatif)

(2) Kelasnya kotor. (kalimat deklaratif)

(3) Saya ingin kelasnya bersih. (kalimat deklaratif)

(4) Kelasnya kotor sekali ya? (kalimat interogatif)

(5) Kenapa kelasnya kotor ya? (kalimat interogatif)

a. Prinsip Kerja Sama

Maksim kuantitas: berikan jumlah informasi yang tepat; termanifestasikan dalam sub-sub

maksim berikut.

Page 12: PRAGMATIK 2

(a) Sumbangan informasi harus seinformatif yang dibutuhkan.

(b) Sumbangan informasi tidak melebihi kebutuhan.

Contoh:

X: Siapa yang tidak mengerjakan PR?

Y: Saya Pak. (memang yang ditanyakan hanya siapa)

Y: Saya Pak, karena sakit. (yang ditanyakan hanya siapa, bukan mengapa)

(2) Maksim kualitas: usahakan sumbangan indormasi Anda benar; termanifestasikan

dalam sub-sub maksim berikut.

(a) Jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini tidak benar.

Contoh:

X: Siapa yang mengambil buku di meja saya?

Y: Adi Pak. (padahal Y tahu bukan Adi yang mengambil buku)

(b) Jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.

Contoh:

X: Siapa yang mengambil buku di meja saya?

Y: Sepertinya Adi yang mengambil Pak.

X: Apa kamu punya buktinya?

Y: ya tidak ada Pak. Tapi sepertinya memang Adi yang mengambil.

(3) Maksim hubungan: usahakan perkataan Anda ada relevansinya.

Contoh:

X: Siapa yang mengambil buku di meja saya?

Y: Harga buku itu lebih mahal ya Pak?

(4) Maksim cara: usahakan perkataan Anda mudah dimengerti; termanifestasikan dalam

sub-sub maksim berikut.

(a) Hindarilah pernyataan-pernyataan yang samar.

Contoh:

X: Kenapa dia juga ditahan?

Y: Ya kena getahnya.

(b) Hindarilah ketaksaan.

Contoh:

X: Anda memenuhi panggilan pengadilan untuk diperiksa. Anda bersalah?

Y: Warga negara yang baik itu taat hukum.

(c) Usahakan pernyataan yang ringkas (tidak bertele-tele).

Page 13: PRAGMATIK 2

Contoh:

X: Apakah dengan menikah lagi Aa’ tidak takut ditinggalkan jama’ah?

Y: Saya hanya ingin melaksanakan ajaran agama dengan baik dan benar. Karena itulah

tugas yang harus saya emban sampai saya mati nanti.

(d) Usahakan berbicara dengan teratur.

Contoh:

X: Jelaskan apa tujuan penelitian Anda!

Y: Adapun yang menjadi tujuan daripada penelitian yang ada di dalam penelitian adalah

untuk dapatnya memperoleh deskripsi struktur mantra saja.

b. Prinsip Sopan Santun

(1) Maksim kearifan:

(a) buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin.

(b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.

Contoh:

X: Mau sewa mobil mahal Pak. Padahal saya urusan saya banyak.

Y: Tak usah memikirkan sewa! Pakailah mobilku ini!

(2) Maksim kedermawanan:

(a) buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin.

(b) buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.

Contoh:

X: Aduh bagaimana ini pak? Harus dibagi berapa-berapa berasnya?

Y: Sudahlah, saya ambil satu ons saja.

X: Tapi Bapak butuh banyak kan?

Y: Tidak apa-apa.

(3) Maksim pujian:

(a) kecamlah orang lain sesedikit mungkin.

(b) pujilah orang lain sebanyak mungkin.

Contoh:

X: Bagaimana pendapatmu tentang novelku ini?

Y: Warna sampulnya saja yang kurang menarik. Isinya bagus sekali Pak.

(4) Maksim kerendahan hati:

(a) pujilah diri sendiri sesedikit mungkin.

(b) kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.

Page 14: PRAGMATIK 2

Contoh:

X: Wah hebat bisa kamu juara!

Y: Ah cuma tingkat RT. Kalau tingkat RW, saya ini tidak ada apa-apanya.

(5) Maksim kesepakatan:

(a) usahakan ketidaksepakatan dengan orang lain sesedikit mungkin.

(b) usahakan kesepakatan dengan orang lain sebanyak mungkin.

Contoh:

X: Anda setuju dengan ide saya?

Y: Satu saja yang kurang setuju Pak. Lainnya, saya setuju semua.

(6) Maksim simpati:

(a) kurangilah rasa antipati kepada orang lain hingga sekecil mungkin.

(b) tingkatkanlah rasa simpati kepada orang lain hingga sebesar mungkin.

Contoh:

X: Saya sangat kecewa dengan hasil yang saya raih ini?

Y: Kenapa begitu? Tapi saya bangga kalau kamu kecewa. Karena dengan begitu berarti

kamu punya semangat yang tinggi untuk mendapat hasil yang jauh lebih baik.

5. Implikatur Percakapan

Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57), menyebut dua macam implikatur, yaitu

implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional

merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung

implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 14), dapat dicontohkan dengan

penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan

karena tuntutan konteks tertentu (Thomas 1995: 58). Contoh.

1) Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya

2) Saya kebetulan ke Inggris untuk studi selama dua tahun dan berangkat besok

Contoh (1) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak Menteri Agama

biasanya tidak menghadiri acara sunatan, sedangkan contoh (2) merupakan implikatur

konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan jawaban atas pertanyaan maukah

Anda menghadiri selamatan sunatan anak saya?

Berbeda dengan Grice, menurut Gazdar, dengan menggunakan prinsip kerja sama Grice,

implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur khusus dan implikatur umum. Yang

Page 15: PRAGMATIK 2

pertama ada karena konteks ujaran, misalnya contoh (2) di atas, sedangkan yang kedua

tidak, misalnya contoh (1) di atas.

Untuk lebih memperjelas pemahaman tentang implikatur ini, berikut akan dipaparkan

beberapa ciri-ciri implikatur menurut beberapa ahli. Menurut Nababan (1987:39) ada 4,

sebagai berikut:

a. Sesuatu implikatur percakapan dapat dibatalkan dalam hal tertentu, umpamanya dengan

menambahkan klausa yang mengatakan bahwa seseorang tidak mau memakai

implikatur percakapan itu, atau memberikan suatu konteks untuk membatalkan

implikatur itu.

b. Biasanya tidak ada cara lain untuk mengatakan apa yang dikatakan dan masih

mempertahankan implikatur yang bersangkutan.

c. Implikatur percakapan mempersyaratkan pengetahuan terlebih dahulu arti konvensional

dari kalimat yang dipakai. Oleh karena itu, isi implikatur percakapan tidak termasuk

dalam arti kalimat yang dipakai.

d. Kebenaran isi dari suatu implikatur percakapan bukan tergantung pada kebenaran yang

dikatakan. Oleh karena itu, implikatur tidak didasarkan atas apa yang dikatakan, tetapi

atas tindakan yang mengatakan hal itu.

Senada dengan pendapat sebelumnya Grice, H.P (Mujiyono, 1996:40) mengemukakan ada 5

ciri-ciri dari implikatur percakapan, yakni:

a. Dalam keadaan tertentu, implikatur percakapan dapat dibatalkan baik dengan cara

eksplisit ataupun dengan cara kontektual (cancellable).

b. Ketidakterpisahan implikatur percakapan dengan cara menyatakan sesuatu. Biasanya

tidak ada cara lain yang lebih tepat untuk mengatakan sesuatu itu, sehingga orang

memakai tuturan bermuatan implikatur untuk menyampaikannya (nondetachable).

c. Implikatur percakapan mempersyaratkan makna konvensional dari kalimat yang dipakai,

tetapi isi implikatur tidak masuk dalam makna konvensional kalimat itu

(nonconventional).

d. Kebenaran isi implikatur tidak tergantung pada apa yang dikatakan, tetapi dapat

diperhitungkan dari bagaimana tindakan mengatakan apa yang dikatakan (calcutable).

e. Implikatur percakapan tidak dapat diberi penjelasan spesifik yang pasti sifatnya

(indeterminate).

Page 16: PRAGMATIK 2

B. Kerangka Pikir