documentpr

41
Nurul Faizatul Amira Bt Ab Mutalib 11-2012-228 Dr. Pembimbing: Dr. Sonny Kusuma Yuliarso, SpA 1. Reye Syndrome Sindrom Reye merupakan gangguan multisistem akut yang disertai infeksi virus ringan, biasanya influenza atau varisela. Diagnosis dan penatalaksanaan yang dini adalah penting karena gangguan memiliki awitan yang cepat dan dapat menyebabkan kematian dalam beberapa jam. Pada Sindroma Reye, terdapat infiltrasi lemak pada mikrovesikular hepatik panlobular. Saat ini diketahui bahwa Sindroma Reye bukanlah hanya satu jenis, tetapi mencakup juga kelainan yang dapat dibagi dua: a. Sindroma Reye “Klasik” atau “idiopatik” atau “tipe Amerika utara”, yang secara khas (walaupun tidak eksklusif) muncul pada anak umur 5 tahun atau lebih dan pada usia remaja. Sindroma ini sering kali berhubungan dengan influenza atau penyakit cacar dan dengan penggunaan aspirin pada dosis terapeutik. b. The “Reye-like” inherited metabolic disorder (IMD), kategori utama berhubungan dengan kelainan oksidasi lemak, gangguan siklus urea, dan gangguan metabolisme asam amino. Tipe ini tidak ditemukan pada anak-anak

Upload: momo-taros

Post on 25-Nov-2015

8 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Nurul Faizatul Amira Bt Ab Mutalib 11-2012-228Dr. Pembimbing: Dr. Sonny Kusuma Yuliarso, SpA

1. Reye SyndromeSindrom Reye merupakan gangguan multisistem akut yang disertai infeksi virus ringan, biasanya influenza atau varisela. Diagnosis dan penatalaksanaan yang dini adalah penting karena gangguan memiliki awitan yang cepat dan dapat menyebabkan kematian dalam beberapa jam. Pada Sindroma Reye, terdapat infiltrasi lemak pada mikrovesikular hepatik panlobular. Saat ini diketahui bahwa Sindroma Reye bukanlah hanya satu jenis, tetapi mencakup juga kelainan yang dapat dibagi dua:a. Sindroma Reye Klasik atau idiopatik atau tipe Amerika utara, yang secara khas (walaupun tidak eksklusif) muncul pada anak umur 5 tahun atau lebih dan pada usia remaja. Sindroma ini sering kali berhubungan dengan influenza atau penyakit cacar dan dengan penggunaan aspirin pada dosis terapeutik.b. The Reye-like inherited metabolic disorder (IMD), kategori utama berhubungan dengan kelainan oksidasi lemak, gangguan siklus urea, dan gangguan metabolisme asam amino. Tipe ini tidak ditemukan pada anak-anak dengan Sindroma Reye klasik dan sering muncul pada bayi dan anak-anak umur kurang dari 5 tahun.

EtiologiPenyebabnya masih belum jelas. Namun, tiga penyebab yang sering dikaitkan dengan awitannnya adalah infeksi pernafasan, cacar air dan diare. Obat salisilat, asetaminofen, toksin dan antidiare seluruhnya telah dikaitkan dengan sindrom Reye. Peringatan tentang hubungan antara aspirin dan sindrom Reye telah menyebaabkan penurunan penggunaan aspirin dan diikuti penurunan insidensi sindrom Reye.

PatofisiologiGangguan dicirikan dengan ensefalopati dan degenerasi lemak pada hati. Patogenesis penyakit ini juga masih belum jelas. Namun, sensitisasi pejamu terhadap infeksi virus dapat menyebabkan disfungsi mitokondria sel sehingga menghambat fosforilasi oksidatif dan oksidasi beta asam lemak. Pejamu juga biasanya sudah sering terpapar dengan toksin dari mitokondria terutama salisilat. Terdapat teori yang mengatakan bahwa salisilat menstimulasi iNOS (inducible nitric oxide synthase) berdasarkan temuan adanya stimulasi iNOS pada anak-anak di Afrika dengan malaria yang fatal. Sindrom ini dikaitkan dengan malaria karena malaria dapat menimbulkan gejala menyerupai gejala sindrom Reye dan sering diberikan terapi aspirin. Perubahan histologik yang terjadi pada sindrom ini meliputi vakoulisasi lemak sitoplasmik di dalam sel hati (hepatosit), edema pada astrosit, kehilangan neuron pada otak, edema dan degenerasi lemak pada lobulus proksimal di ginjal. Semua sel yang terganggu akan berbentuk pleomorfik dan mengandung mitokondria yang membengkak dengan jumlah yang sedikit dengan penurunan glikogen serta inflamasi jaringan yang minimal. Mitokondria sel hati yang rusak bisa menyebabkan terjadinya hiperamonemia, yang dapat menginduksi pembengkakan astrosit sehingga terjadinya edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial.

Manifestasi klinisTanda-tanda dan gejala dari sindrom Reye biasanya berupa muntah yang terus-menerus, dengan atau tanpa dehidrasi yang signifikan secara klinis, ensefalopati pada pasien yang tidak demam dengan sedikit atau tanpa jaundice, dan hepatomegali pada 50% pasien. Beberapa ahli berpendapat bahwa penggunaan obat antiemetik dapat meyamarkan gejala awal dan beberapa ahli juga berpendapat obat antiemetik sendiri dapat menyebabkan terjadinya sindroma Reye. Meskipun sindrom Reye berkembang secara bertahap, deteriotiasi dapat terjadi dalam 24 jam sampai 48 jam.Lovejoy mendeskripsikan tingkatan klinis menjadi stadium I-V, kemudian Hurwitz memodifikasikannya menjadi stadium 0-5 termasuk tingkatan nonklinik (stadium 0). CDC menggunakan klasifikasi Hurwitz dan menambahkan stadium 6. Stadium 0 tidak menggambarkan definisi dari CDC karena tidak menggambarkan kriteria ensefalopati.

a. Tahap I: antara lain muntah, letargi, konfusi, irama EEG yang lambat dan disfuungsi hepar.b. Tahap II: antara lain disorientasi, cenderung mengamuk, hiperventilasi, halusinasi, respons terhadap stimulus nyeri yang sesuai, disfungsi hepar, c. Tahap III: antara lain koma, kaku dekortikasi, hiperventilasi, dan refleks pupil dan okular yang menetap.d. Tahap IV: antara lain koma yang dalam, kaku deserebrasi, kehilangan refleks okulosefalik, pupil yang membesar, dan tanda-tanda disfungsi batang otak.e. Tahap V: antara lain kejang, flaksiditas, henti nafas, dan kehilangan refleks tendon profunda.Pemeriksaan penunjanga. Uji fungsi hati akan mendeteksi peningkatan amonia, peningkatan alanin transferase (ALT), aspartate transaminase (AST), dan kadar laktat dehidrogenase (LDH).b. Pemeriksaan koagulasi akan mendeteksi waktu protrombin yang memanjang.c. Pada anak-anak yang mengalami hipoglikemia, arteri gas darah akan menyatakan ketidakseimbangan asam basa dan ventilasi dengan alkalosis respirasi (peningkatan pH, penurunan PaCO2, dan HCO3 yang normal) dan asidosis metabolik (penurunan pH, PaCO2 yang normal, dan penurunan HCO3).d. Biopsi hepar dilakukan hanya jika diagnosis tidak jelas.DiagnosisKriteria diadnosis untuk sindrom Reye adalah:a. Ensefalopati non inflamasi yang akut dengan gangguan kesadaran.b. Gangguan hepatik. Pada biopsi hati didapatkan metamorfosis lemak dan adanya peningkatan ALT, AST dan/atau kadar ammonia sebanyak 3 kali lipat.c. Penyebab lain untuk edema serebral dan gangguan hati telah disingkirkan.d. Pada cairan serebrospinal terdapat < 8 lekosit per milimeter kubik.e. Pada biopsi otak ditemukan edema otak disertai inflamasi.PrognosisPrognosis penderita tergantung seberapa berat edema otak yang terjadi. Beberapa orang sembuh sempurna tetapi yang lainnya mungkin terjadi beberapa kerusakan otak. Pada kasus dengan gangguan yang berkembang dengan cepat, pasien dapat jatuh dalam keadaan koma dengan cepat. Prognosisnya lebih buruk daripada pasien dengan kerusakan otak yang sedikit. Statistik emnunjukkan bahwa bila Sindroma Reye didiagnosis dan diobati pada stadium awal, tingkat kesembuhannya lebih baik. Ketika didiagnosis dan diobati terlambat, penyembuhan dan kelangsungan hisup orang tersebut berkurang.Sindroma Reye jika tidak didiagnosis dan diobati dengan baik, sering menyebabkan kematian. Rata-rata kematian pada pasien dengan Sindroma Reye sekitar 40%. Pada anak-anak, kerusakan otak ringan sampai berat tidak dapat kembali normal khususnya pada bayi sekitar 30% dari kasus yang dilaporkan di Amerika meninggal.PencegahanHindari pemberian salisilat pada anak-anak. Untuk anak-anak yang memerlukan jangka lama penggunaan salisilat, sebaiknya cepat hentikan pemakaian bila ditemukan gejala awal dari Sindroma Reye.Komplikasi Herniasi otak, status epileptikus, syndrome of inappropriate secretionn of antidiuretic hormone (SIADH) dan diabetes insipidus. Selain itu dapat terjadi juga gagal nafas akut, aspirasi pneumonia, kolaps kardiovaskular, perdarahan GIT, pancreatitis, gagal ginjal akut, kerusakan otak yang permanen, sepsis, koma, bahkan menyebabkan kematian.PenatalaksanaanTidak ada pengobatan khusus untuk Sindroma Reye. Keberhasilan terapi tergantung pada diagnosis dini. Penatalaksanaan sindroma Reye bertujuan untuk mencegah kerusakan otak, mengupayakan gangguan seminimal mungkin serta mengoreksi gangguan metabolik yang ada, dan mengontrol adanya edema otak. Dalam hal ini yang terpenting adalah mengobati penderita sebelum terjadi kerusakan otak yang irreversibel.Penatalaksanaan biasanya bersifat suportif. Pengawasan yang terus menerus dari tekanan intrakranial, analisis gas darah dan pH darah sangat diperlukan. Yang termasuk dalam penatalaksanaannya adalah:a. Cairan intravena untuk menyediakan elektrolit, nurisi dan glukosa. Cairan juga harus diseleksi untuk meyakinkan keseimbangan elektrolit, nutrisi dan membantu mengontrol keseimbangan cairan di luar dan dalam sel.b. Penggunaan kateter (NGT dan kateter urin) mungkin dibutuhkan untuk memonitor dan mengontrol cairan, elektrolit, analisis gas darah dan nutrisi.c. Steroid untuk mengurangi edema otak.d. Barbiturat untuk menjadikan metabolisme menjadi lambat dan menurunkan tekanan intrakranial.e. Sejumlah kecil insulin diberikan untuk meningkatkan metabolisme glukosa.f. Diuretik diberikan untuk meningkatkan kehilangan cairan.g. Alat bantu nafas diperlukan saat nafas menjadi putus-putus atau koma.Pengobatan pasien berdasarkan stadiumStadium 0-1 Pastikan pasien benar-benar tenang. Monitor secara teratur tanda-tanda vital dan nilai laboratorium. Koreksi cairan dan elektrolit yang abnormal, acidemia, dan hipoglikemia. Jika pasien hipoglikemia, berikan dektrose 25% intravena (IV) bolus dengan dosis 1-2 ml/kgBB. Jika pH awal 10 sampai dengan 12 kali per hari, di antara kejang neonatus terlihat normal. Tipe kejang bersifat klonik fokal atau tonik fokal disertai apne. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat keluarga. Keadaan ini diturunkan secara autosomal dominan.

Benign idiopathic neonatal seizures (fifth-day fits)Karakteristik kejang ini adalah timbul pada akhir minggu pertama, pada umumnya terjadi pada neonatus cukup bulan dengan riwayat kelahiran normal. Kejang terjadi antara hari keempat dan keenam setelah lahir dan menghilang dalam 15 hari. Tipe kejang klonik fokal atau multifokal dan serangan apne, kejang dapat berlangsung sampai 24 jam. Pada 80% kasus dapat terjadi status epileptikus selama interval tersebut.

3. Bronkiolitis

Bronkiolitis adalah infeksi saluran respiratorik bawah yang disebabkan virus, yang biasanya lebih berat pada bayi muda, terjadi epidemik setiap tahun dan ditandai dengan obstruksi saluran pernafasan dan wheezing. Penyebab paling sering adalah Respiratory syncytial virus. Infeksi bakteri sekunder bisa terjadi dan biasa terjadi pada keadaan tertentu. Penatalaksanaan bronkiolitis yang disertai dengan nafas cepat atau tanda lain distres pernafasan , sama dengan pneumonia. Episode wheezing bisa terjadi beberapa bulan setelah serangan bronkiolitis, namun akhirnya akan berhenti.

Dasar diagnosisAnamnesisPada anak usia di bawah 2 tahun didahului oleh infeksi saluran nafas akut bagian atas dengan gejala batuk, pilek, biasanya tanpa demam atau hanya subfebris, sesak nafas makin hebat dengan nafas dangkal dan cepat. Bayi menjadi gelisah, tidak mau makan dan muntah.

Pemeriksaan fisikDapat dijumpai dispnea dengan expiratory effort, retraksi dan mengi. Nafas cepat dan dangkal disertai dengan nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut, gelisah. Dapat dijumpai ekspirium memanjang atau mengi. Jika obstruksi hebat suara nafas nyaris tak terdengar. Pada auskultasi paru dapat terdengar ronki basah halus nyaring pada akhir atau awal eksperium. Suara perkusi paru hipersonor.

Pemeriksaan penunjangPemeriksaan darah tepi tidak khas. Pada pemeriksaan foto dada AP dan lateral dapat terlihat gambaran hiperinflasi paru (emfisema) dengan diameter anteroposterior membesar pada foto lateral serta dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar. Gambaran lain yang bisa didapatkan adalah normal, penebalan peribronkial, atelektasis, dan kolaps segmenta. Analisis gas darah dapat menunjukkan hiperkarbia sebagai tanda air trapping, asidosis metabolik atau respiratorik.

TatalaksanaAntibiotik Apabila terdapat nafas cepat saja, pasien dapat rawat jalan dan diberikan kotrimoksazol (4mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehai atau amoksisilin (25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari. Apabila terdapat tanda distress pernafasan tanpa sianosis tetapi anak masih bisa minum, rawat anak di rumah sakit dan beri ampisilin/amoksisilin (25-50mg/kgBB/kali) IV atau IM setiap 6 jam, yang harus dipantau 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik maka terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (25 mg/kgBB/kali) 2 kali sehari untuk 3 hari berikutnya. Bila keadaan klinis bertambah buruk sebelum 48 jamatau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernafasan berat)_ maka ditambahkan kloramfenikol (25mg/kgBB/kali) IM atau IV setiap 8 jam sampai keadaan membaik, dilanjutkan per oral 4 kali sehari sampai total 10 hari. Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat (pneumonia berat) segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100mg/kg BB/kali) IM atau IV sekali sehari.Oksigen Beri oksigen pada semua anak dengan wheezing dan distres pernafasan berat. Metode yang direkomendasikan untuk pemberian oksigen adalah dengan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal. Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau masker kepala tidak direkomendasikan pada bayi muda. Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau nafas > 70x/menit) tidak ditemukan lagi. Perawat sebaiknya memeriksa sedikitnya setiap 3 jam bahwa kateter atau prong tidak tersumbat oleh mukus dan berada di tempat yang benar serta memastikan semua sambungan baik.Perawatan penunjang Bila anak disertai demam (> 39oC) yang tampaknya menyebabkan distres, beri parasetamol. Pastikan anak yang dirawat di rumah sakit mendapatkan cairan rumatan harian secara tepat sesuai umur, tetapi hindarkan kelebihan cairan/overhidrasi. Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral. Bujuk anak untuk makan sesegera mungkin setelah anak sudah bisa makan.PemantauanAnak harus diperiksa oleh oleh perawat paling sedikit setiap 3 jam oleh dokter minimal 1 kali per hari. Perhatikan khususnya tanda gagal nafas, misalnya hipoksia yang memberat dan distres pernafasan mengarah pada keletihan.

KomplikasiJika anak gagal memberikan respons terhadap terapi oksigen atau keadaan anak memburuk secara tiba-tiba, lakukan pemeriksaan foto dada untuk melihat kemungkinan pneumotoraks. Tension pneumothorax yang diikuti dengan distres pernafasan dan pergeseran jantung, membutuhkan penanganan segera dengan menempatkan jarum di daerah yang terkena agar udara bisa keluar (perlu diikuti dengan insersi kateter dada dengan katup di bawah air untuk menjamin kelangsungan keluarnya udara sampai kebocoran udara menutup secara spontan dan paru mengembang).

4. Sebagai dokter jaga, pemeriksaan penunjang apakah yang akan dilakukan pada anak usia 3 tahun datang dengan keluhan panas, suhu: 39,5oC?

Pemeriksaan laboratorium sebagai salah satu penunjang untuk menegakkan penyebab demam sangat diperlukan. Sebaiknya dilakukan secara bertahap dan tidak serentak. Luasnya pemeriksaan laboratorium harus disesuaikan dengan derajat penyakit pasien. Tahapan pemeriksaan laboratorium demam tanpa kausa jelas adalah seperti berikut:Tahap 1: Foto toraks Darah perifer lengkap, hitung jenis dan morfologi Hapusan darah tebal Laju endap darah dan atau C reactive protein Urinalisis Pemeriksaan mikroskopik apusan darah, urin, likuor serebrospinal, feses, cairan tubuh lain bila terdapat indikasi. Biakan darah, urin, feses, hapusan tenggorok Uji tuberkulin Uji fungsi hatiTahap II: Pemeriksaan uji serologik: terhadap salmonella, toksoplasma, leptospira, mononukleosis, virus sitomegalo, hitoplasma USG abdomen, kepala (bila ubun-ubun besar masih terbuka).Tahap III: Aspirasi sumsum tulang Pielografi intravena Foto sinus paranasal Antinuclear antibody (ANA) Enema barium Scanning Limfangiogram Biopsi hati LaparatomiBila anak tampak sakit berat, diagnosis harus dilakukan dengan cepat, tetapi bila penyakit lebih kronik pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan secara bertahap. Pemeriksaan awal dan rutin meliputi darah tepi lengkap termasuk hitung jenis, trombosit, feses lengkap dan urinalisis, uji tuberkulin, laju endap darah, biakan darah, biakan urin, kalau perlu dilakukan hapusan tenggorok.Pemeriksaan foto toraks dapat dilakukan untuk semua pasien sedangkan foto mastoid dan sinus nasalis serta traktus urogenitalis dilakukan atas indikasi tertentu. Uji untuk HIV seharusnya dilakukan untuks semua pasien. Uji serologik lain dapat dilakukan untuk shigelosis, salmonelosis, bruselosis, tularemia, infeksi mononukleosis, CMV, toksoplasmosis dan beberapa infeksi jamur. CT Scan dapat membantu mengidentifikasikan lesi di kepala, leher, dada, rongga peritoneum, hati, limpa, kelenjar getah bening intra abdominal dan intratoraks, ginjal, pelvis dan mediastinum. CT scan atau USG juga dapat membantu dalam melakukan biopsi atau aspirasi pada daerah yang dicurigai terdapat lesi. Cara ini dapat mengurangi laparatomi eksplorasi atau torakostomi. Biopsi kadang-kadang dapat membantu menegakkan diagnosis FUO (fever of unknown origin).

5. Ketoasidosis diabetik (KAD) pada anak

Ketoasidosis Diabetik Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa bila tidak ditangani secara tepat. Ketoasidosis diabetik disebabkan oleh penurunan kadar insulin efektif di sirkulasi yang terkait dengan peningkatan sejumlah hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone. Hal ini akan memicu peningkatan produksi glukosa oleh hepar dan ginjal disertai penurunan penggunaan glukosa perifer, sehingga mengakibatkan keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar. Peningkatan lipolisis, dengan produksi badan keton (hidroksibutirat dan asetoasetat) akan menyebabkan ketonemia dan asidosis metabolik. Hiperglikemia dan asidosis akan menghasilkan diuresis osmotik, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit. Kriteria biokimia untuk diagnosis KAD mencakup hiperglikemia (gula darah > 11 mMol/L / 200 mg/dL) dengan pH vena < 7,3 dan atau bikarbonat < 15 mMol/L). Keadaan ini juga berkaitan dengan glikosuria, ketonuria, dan ketonemia. Ketoasidosis diabetik pada umumnya dikategorisasi berdasarkan derajat keparahan asidosis, dari ringan (pH < 7,30; bikarbonat , 15 mmol/L), moderat (pH < 7,20; bikarbonat < 10) dan berat (pH < 7,10; bikarbonat 11 mmol/L atau > 200 mg/dL), diuresis osmotik, kehilangan elektrolit, dehidrasi, penurunan laju filtrasi glomerulus, dan hiperosmolaritas.

Secara bersamaan, lipolisis akan meningkatkan kadar asam lemak bebas, oksidasi akan turut memfasilitasi glukoneogenesis dan membentuk asam asetoasetat dan hidroksibutirat (keton) secara berlebihan, sehingga menyebabkan terjadinya asidosis metabolik (pH < 7,3). Keadaan ini juga diperparah oleh semakin meningkatnya asidosis laktat akibat perfusi jaringan yang buruk. Dehidrasi yang berlangsung progresif, hiperosmolar, asidosis, dan gangguan elektrolit akan semakin memperberat ketidak-seimbangan hormonal dan menyebabkan keadaan ini berlanjut membentuk semacam siklus. Akibatnya, dekompensasi metabolik akan berjalan progresif. Manifestasi klinis berupa poliuria, polidipsia, dehidrasi, respirasi yang panjang dan dalam, akan menurunkan nilai pCO2 dan buffer asidosis, menyebabkan keadaan berlanjut menjadi koma. Derajat keparahan KAD lebih terkait dengan derajat asidosis yang terjadi: ringan (pH 7,2 7,3), moderat (pH 7,1 7,2), dan berat (pH < 7,1).

Meskipun dapat terjadi penurunan kadar kalium, adanya hiperkalemia biasanya didapatkan pada pasien dengan KAD yang mendapat resusitasi cairan. Hiperkalemia serum terjadi akibat pergeseran distribusi ion kalium dari intrasel ke ekstrasel karena adanya asidosis akibat defisiensi insulin dan penurunan sekresi tubular renal. Terjadinya penurunan kadar fosfat dan magnesium serum juga akibat pergeseran ion. Hiponatremia terjadi akibat efek dilusi akibat osmolaritas serum yang tinggi. Kadar natrium dapat diukur dengan menambahkan kadar natrium sebanyak 1,6 mEq/L untuk setiap kenaikan kadar glukosa 100 mg/dL. Peningkatan osmolaritas serum akibat hiperglikemia juga akan menyebabkan peningkatan osmolaritas intraselular di otak. Koreksi hiperglikemia serum yang dilakukan secara cepat dapat memperlebar gradien osmolaritas serum dan intraserebral. Cairan bebas kemudian akan memasuki jaringan otak dan menyebabkan edema serebri beserta peningkatan risiko herniasi. Oleh sebab itu, resusitasi cairan dan koreksi hiperkalemia harus dilakukan secara bertahap dengan monitoring ketat.

DiagnosisKriteria biokimia untuk diagnosis KAD mencakup hiperglikemia (gula darah > 11 mmol/L / 200 mg/dL) dengan pH vena < 7,3 dan atau bikarbonat < 15 mmol/L). Keadaan ini juga berkaitan dengan glikosuria, ketonuria, dan ketonemia.2 Beberapa pemeriksaan laboratoris dapat diindikasikan pada pasien KAD, yaitu: Gula darah Analisis gula darah diperlukan untuk monitoring perubahan kadar gula darah selama terapi dilakukan, sekurang-kurangnya satu kali setiap pemberian terapi. Pemeriksaan dilakukan setidaknya setiap jam apabila kadar glukosa turun secara progresif atau bila diberikan infus insulin. Gas darah Pada umumnya, sampel diambil dari darah arteri, namun pengambilan darah dari vena dan kapiler pada anak dapat dilakukan untuk monitoring asidosis karena lebih mudah dalam pengambilan dan lebih sedikit menimbulkan trauma pada anak. Derajat keparahan ketoasidosis diabetik didefinisikan sebagai berikut: Ringan (pH < 7,30; bikarbonat, 15 mmol/L), moderat (pH < 7,20; bikarbonat < 10 mmol/L) dan berat (pH < 7,10; bikarbonat < 5,4 mmol/L). Kalium Pada pemeriksaan awal, kadar kalium dapat normal atau meningkat, meskipun kadar kalium total mengalami penurunan. Hal ini terjadi akibat adanya kebocoran kalium intraselular. Insulin akan memfasilitasi kalium kembali ke intraselular, dan kadar kalium mungkin menurun secara cepat selama terapi diberikan. Pemeriksaan secara berkala setiap 1-2 jam dilakukan bersamaan dengan monitoring EKG, terutama pada jam-jam pertama terapi. Natrium Kadar natrium pada umumnya menurun akibat efek dilusi hiperglikemia Kadar natrium yang sebenarnya dapat dikalkulasi dengan menambahkan 1,6 mEq/L natrium untuk setiap kenaikan 100 mg/dL glukosa (1 mmol/L natrium untuk setiap 3 mmol/L glukosa). Kadar natrium umumnya meningkat selama terapi. Apabila kadar natrium tidak meningkat selama terapi, kemungkinan berhubungan dengan peningkatan risiko edema serebri. Ureum dan Kreatinin: Peningkatan kadar kreatinin seringkali dipengaruhi oleh senyawa keton, sehingga memberikan kenaikan palsu. Kadar ureum mungkin dapat memberikan ukuran dehidrasi yang terjadi pada KAD. Kadar keton: Pengukuran kadar keton kapiler digunakan sebagai tolok ukur ketoasidosis, dimana nilainya akan selalu meningkat pada KAD (> 2 mmol/L). Terdapat dua pengukuran yang dilakukan untuk menilai perbaikan KAD, yaitu nilai pH >7,3 dan kadar keton kapiler < 1 mmol/L. Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c): Peningkatan HbA1c menentukan diagnosis diabetes, terutama pada pasien yang tidak mendapat penanganan sesuai standar. Pemeriksaan darah rutin: Peningkatan kadar leukosit sering ditemukan, meskipun tidak terdapat infeksi. Urinalisis: Pemeriksaan urin dilakukan untuk menilai kadar glukosa dan badan keton per 24 jam, terutama bila pemeriksaan kadar keton kapiler tidak dilakukan. Insulin: Pemeriksaan ini khusus dilakukan pada anak dengan KAD rekuren, dimana rendahnya kadar insulin dapat terkonfirmasi. Perlu diperhatikan adanya senyawa analog insulin yang dapat memberikan nilai palsu dalam hasil pemeriksaan. Osmolaritas serum: Osmolaritas serum umumnya meningkat.Pada pemeriksaan imaging (radiologis) dapat dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu: CT scan kepala dilakukan bila terjadi koma atau keadaan yang menuju ke arah koma, selain sebagai ukuran dalam menangani edema serebri. Pemeriksaan radiografi thoraks dilakukan apabila terdapat indikasi klinis.

Pemeriksaan lainnya yang juga perlu dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu:5 EKG cukup berguna untuk menentukan status kalium. Perubahan karakter EKG akan terjadi apabila status kalium terlalu ekstrem. Perubahan karakter hipokalemia yang terepresentasi pada EKG, yaitu: Interval QT memanjang Depresi segmen ST Gelombang T mendatar atau difasik Gelombang U Interval PR memanjang Blok SA Hiperkalemia dapat terjadi akibat overkoreksi kehilangan kalium, dengan perubahan EKG sebagai berikut: Kompleks QRS melebar Gelombang T tinggi Interval PR memanjang Gelombang P hilang Kompleks QRS difasik Asistole

Penilaian rutin derajat kesadaran: Menentukan derajat kesadaran per jam sampai dengan 12 jam, terutama pada anak yang masih muda dan mengalami diabetes untuk pertama kali. Penilaian menggunakan GCS direkomendasikan untuk penentuan derajat kesadaran. Skor maksimum normal GCS adalah 15. Skor 12 atau kurang menunjukkan gangguan kesadaran yang bermakna. Skor yang terus menurun menunjukkan edema serebri yang semakin berat.Beberapa prosedur yang dilakukan terhadap pasien KAD, yaitu: Dilakukan pemasangan kateterisasi intravena yang besar untuk keperluan cairan, infus insulin, drip, dan lain-lain. Kateterisasi arteri dilakukan pada kondisi: status mental yang buruk, adanya tanda syok berat, dan adanya tanda asidosis berat.PentalaksanaanAnak dengan ketosis dan hiperglikemia tanpa disertai gejala muntah dan dehidrasi berat dapat diterapi di rumah atau pusat layanan kesehatan terdekat. Namun, untuk mendapatkan perawatan yang baik, perlu dilakukan reevaluasi berkala dan pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh dokter ahli. Dokter anak yang telah mendapat pelatihan penanganan KAD harus terlibat langsung. Anak juga dapat dimonitoring dan diterapi sesuai standar baku, serta dilakukan berbagai pemeriksaan laboratoris secara berkala untuk mengevaluasi sejumlah parameter biokimia.8 Anak dengan tanda-tanda KAD berat (durasi gejala yang lama, gangguan sirkulasi, atau penurunan derajat kesadaran) atau adanya peningkatan risiko edema serebri (termasuk usia < 5 tahun dan onset baru) harus dipertimbangkan dirawat di unit perawatan intensif anak. Terdapat lima penanganan prehospital yang penting bagi pasien KAD, yaitu: penyediaan oksigen dan pemantauan jalan napas, monitoring, pemberian cairan isotonik intravena, tes glukosa, dan pemeriksaan status mental.8 Penanganan pasien anak dengan KAD, antara lain: Prinsip utama penanganan KAD sesuai dengan resusitasi emergensi dasar, yaitu airway, breathing, dan circulation. Sebagai tambahan, pasien dengan KAD harus diberikan diet nothing by mouth, suplementasi oksigen, dan apabila terjadi kemungkinan infeksi, diberikan antibiotik. Tujuan utama terapi pada satu jam pertama resusitasi cairan dan pemeriksaan laboratorium adalah: Cairan: pemberian NaCl isotonis bolus, 20 mL/Kg sampai dengan 1 jam atau kurang. Glukosa : Tidak diberikan, kecuali bila penurunan glukosa serum mencapai 250 300 mg/dL selama rehidrasi. Tujuan berikutnya dilakukan pada jam-jam selanjutnya setelah hiperglikemia, asidosis dan ketosis teratasi, yaitu monitoring, pemeriksaan laboratorium ulang, stabilisasi glukosa darah pada level 150 - 250 mg/dL.MonitoringPerlu dilakukan observasi dan pencatatan per jam mengenai keadaan pasien, mencakup medikasi oral dan intravena, cairan, hasil laboratorium, selama periode penanganan. Monitoring yang dilakukan harus mencakup: Pengukuran nadi, respirasi, dan tekanan darah per jam. Pengukuran input dan output cairan setiap jam (atau lebih sering). Apabila terdapat gangguan derajat kesadaran, maka pemasangan kateterisasi urine perlu dilakukan. Pada KAD berat, monitoring EKG akan membantu menggambarkan profil hiperkalemia atau hipokalemia melalui ekspresi gelombang T. Glukosa darah kapiler harus dimonitor per jam (dapat dibandingkan dengan glukosa darah vena, mengingat metode kapiler dapat menjadi inakurat pada kasus asidosis atau perfusi perifer yang buruk) Tes laboratorium: elektrolit, ureum, hematokrit, glukosa darah, dan gas darah harus diulangi setiap 2 4 jam. Pada kasus berat, pemeriksaan elektrolit dilakukan per jam. Peningkatan leukosit menunjukkan adanya stress fisiologik dan bukan merupakan tanda infeksi. Observasi status neurologik dilakukan per jam atau lebih sering, untuk menentukan adanya tanda dan gejala edema serebri: Nyeri kepala, detak jantung melambat, muntah berulang, peningkatan tekanan darah, penurunan saturasi oksigen, perubahan status neurologik (gelisah, iritable, mengantuk, atau lemah). Pemeriksaan spesifik neurologik dapat ditemukan kelumpuhan saraf kranialis atau penurunan respons pupil.Cairan dan NatriumOsmolalitas cairan yang tinggi di dalam kompartemen ekstraselular akan menyebabkan pergeseran gradien cairan dari intrasel ke ekstrasel. Beberapa penelitian terhadap pasien dengan IDDM yang mendapat terapi insulin menunjukkan defisit cairan sebanyak kurang lebih 5L bersamaan dengan kehilangan 20% garam natrium dan kalium. Pada saat yang sama, cairan ekstraselular mengalami penyusutan. Keadaan syok dengan kegagalan hemodinamik jarang terjadi pada KAD. Pengukuran kadar natrium serum bukan merupakan ukuran derajat penyusutan cairan ekstrasel terkait efek dilusi cairan. Osmolalitas efektif (2[Na+ K+] + glukosa) pada saat yang sama berkisar antara 300 350 mOsm/L. Peningkatan ureum nitrogen serum dan hematokrit mungkin dapat memprediksi derajat penyusutan cairan ekstraselular.

Onset dehidrasi berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus, yang menyebabkan penurunan regulasi kadar glukosa dan keton yang tinggi di dalam darah. Penelitian pada manusia menunjukkan bahwa pemberian cairan intravena saja akan menyebabkan penurunan kadar glukosa darah dalam jumlah yang relatif besar akibat peningkatan laju filtrasi glomerulus. Tujuan pemberian cairan dan natrium pada KAD, antara lain: Mengembalikan volume sirkulasi efektif. Mengganti kehilangan natrium dan cairan intrasel maupun ekstrasel. Mengembalikan laju filtrasi glomerulus dengan meningkatkan clearance glukosa dan keton dari dalam darah. Menghindari edema serebri.Pada penelitian terhadap hewan dan manusia, terlihat bahwa ada kemungkinan terjadi peningkatan tekanan intrakranial selama pemberian cairan intravena. Pada hewan coba yang dibuat ke dalam kondisi KAD, tampak bahwa pemberian cairan hipotonik, bila dibandingkan cairan hipertonik, berkaitan dengan peningkatan tekanan intrakranial. Pada pemberian cairan isotonik atau yang mendekati isotonik dapat segera mengatasi asidosis, bila diberikan sesuai standar. Namun, penggunaan cairan isotonis 0,9% dalam jumlah besar juga memiliki risiko lain, yaitu asidosis metabolik hiperkloremik.

Belum terdapat data yang mendukung penggunaan koloid dibandingkan kristaloid dalam tatalaksana KAD. Juga belum terdapat data mengenai pemberian cairan yang lebih encer dari larutan NaCl 0,45%. Penggunaan cairan ini, yang mengandung sejumlah besar cairan dan elektrolit, dapat menyebabkan perubahan osmolaritas dengan cepat dan memicu perpindahan cairan ke dalam kompartemen intraselular.

Insulin Meskipun rehidrasi saja sudah cukup bermanfaat dalam menurunkan konsentrasi glukosa darah, pemberian insulin juga tidak kalah penting dalam normalisasi kadar glukosa darah dan mencegah proses lipolisis dan ketogenesis. Meskipun diberikan dengan dosis dan cara yang berbeda (subkutan, intramuskular, intravena), telah banyak bukti yang menunjukkan pemberian insulin intravena dosis rendah merupakan standar terapi efektif. Penelitian fisiologis menunjukkan bahwa insulin pada dosis 0,1 unit/Kg/jam, yang akan mencapai kadar insulin plasma 100 200 unit/mL dalam 60 menit, cukup efektif. Kadar ini cukup potensial karena mampu mengimbangi kemungkinan resistensi insulin dan yang paling penting menghambat proses lipolisis dan ketogenesis, menekan produksi glukosa, dan menstimulasi peningkatan ambilan glukosa di perifer. Pemulihan asidemia bervariasi bergantung normalisasi kadar glukosa darah.2,3 Adapun pedoman pemberian insulin pada anak dengan KAD, antara lain: Insulin tidak diberikan sampai hipokalemia terkoreksi. Insulin diberikan 0,1 U/Kg secra bolus intravena, dilanjutkan dengan pemberian 0,1 U/Kg/jam intravena secara konstan melalui jalur infus. Untuk memberikan drip insulin, penambahan setiap unit regular insulin setara dengan Kg berat badan pasien untuk setiap 100 mL salin. Pengaturan kecepatan infus adalah 10 mL/jam, sehingga didapatkan dosis 0,1 U/Kg/jam. Untuk menghindari keadaan hipoglikemia, dapat ditambahkan glukosa secara intravena apabila glukosa plasma menurun hingga 250 300 mg/dL.KaliumPada orang dewasa dengan KAD, terjadi penurunan kalium hingga 3 6 mmol/Kg. Namun, pada anak, data yang ada masih sedikit. Sebagian besar kehilangan kalium dari intrasel adalah hipertonisitas, defisiensi insulin, dan buffering ion hidrogen di dalam sel. Kadar kalium serum pada awal kejadian dapat normal, meningkat, atau menurun. Hipokalemia yang terjadi berkaitan dengan perjalanan penyakit yang lama, sedangkan hiperkalemia terjadi akibat penurunan fungsi renal. Pemberian insulin dan koreksi asidosis akan memfasilitasi kalium masuk ke intrasel sehingga kadar dalam serum menurun.

Adapun pedoman pemberian cairan dan kalium pada anak dengan KAD, antara lain: Berikan larutan NaCl isotonik atau 0,45% dengan suplementasi kalium. Penambahan kalium berupa kalium klorida, kalium fosfat, atau kalium asetat. Apabila kadar kalium serum berada pada nilai rendah yang membahayakan, dipertimbangkan pemberian kalium oral (atau melalui NGT) dalam formulasi cair. Apabila koreksi hipokalemia lebih cepat daripada pemberian intravena, kecepatan pemberian harus dikurangi. Apabila kadar kalium serum < 3,5, tambahkan 40 mEq/L kedalam cairan intravena. Apabila kadar kalium serum 3,5 5,0, tambahkan 30 mEq/L. Apabila kadar kalium serum 5,0 5,5, tambahkan 20 mEq/L. Apabila kadar kalium serum lebih besar dari 5,5, maka tidak perlu dilakukan penambahan preparat kalium ke dalam cairan intravena. Apabila kadar kalium serum tidak diketahui, evaluasi gambaran EKG untuk menilai profil hiperkalemia pada EKG.FosfatPenurunan kadar fosfat intrasel terjadi akibat diuresis osmotik. Pada dewasa, penurunan berkisar antara 0,5 2,5 mmol/Kg, sedangkan pada anak belum ada data yang lengkap. Penurunan kadar fosfat plasma setelah terapi dimulai akan semakin memburuk dengan pemberian insulin, karena sejumlah besar fosfat akan masuk ke kompartemen intraselular. Kadar fosfat plasma yang rendah berhubungan dengan gangguan metabolik dalam skala yang luas, yaitu penurunan kadar eritrosit 2,3-difosfogliserat dan pengaruhnya terhadap oksigenasi jaringan. Penurunan kadar fosfat plasma akan terjadi sampai beberapa hari setelah KAD mengalami resolusi. Namun, beberapa penelitian prospektif menunjukkan tidak adanya keuntungan klinis yang bermakna pada terapi penggantian fosfat. Meski demikian, dalam upaya menghindari keadaan hipokalemia berat, kalium fosfat dapat diberikan secara aman yang dikombinasikan dengan kalium klorida atau asetat untuk menghindari hiperkloremia. AsidosisAsidosis yang berat dapat diatasi dengan pemberian cairan dan insulin. Pemberian insulin akan menghentikan sintesis asam keton dan memungkinkan asam keton dimetabolisme. Metabolisme keto-anion akan menghasilkan bikarbonat (HCO3-) dan akan mengoreksi asidemia secara spontan. Selain itu, penanganan hipovolemia akan memperbaiki perfusi jaringan dan fungsi renal yang menurun, sehingga akan meningkatkan ekskresi asam organik dan mencegah asidosis laktat.

Pada KAD, terjadi peningkatan anion gap. Anion utama dalam hal ini adalah hidroksibutirat dan asetoasetat.Anion gap = [Na+] [Cl-] + [HCO3-]Nilai Normal: 12 2 mmol/L

Indikasi pemberian bikarbonat pada KAD masih belum jelas. Beberapa penelitian menelaah pemberian natrium bikarbonat kepada sejumlah anak dan dewasa, namun tidak menunjukkan adanya manfaat yang bermakna. Sebaliknya, terdapat beberapa alasan untuk tidak menggunakan bikarbonat. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa terapi bikarbonat dapat menyebabkan asidosis SSP paradoksikal dan koreksi asidosis yang terlalu cepat dengan bikarbonat akan menghasilkan keadaan hipokalemia dan meningkatkan penimbunan natrium sehingga terjadi hipertonisitas serum. Selain itu, terapi alkali dapat meningkatkan produksi badan keton oleh hepar, sehingga memperlambat pemulihan keadaan ketosis.

Namun, pada pasien tertentu dan pada keadaan tertentu, pemberian terapi alkali justru memberikan keuntungan, misalnya pada keadaan asidemia sangat berat (pH < 6,9) yang disertai dengan penurunan kontraktilitas jantung dan vasodilatasi perifer, maka pemberian terapi alkali ditujukan untuk menangani gangguan perfusi dan hiperkalemia yang mengancam jiwa.

Edema SerebriTerapi edema serebri harus dilakukan sesegera mungkin setelah gejala dan tanda muncul. Kecepatan pemberian cairan harus dibatasi dan diturunkan. Meskipun manitol menunjukkan efek yang menguntungkan pada banyak kasus, namun sering kali justru menimbulkan efek merusak bila pemberian tidak tepat. Pemberian manitol harus dilakukan sesuai keadaan dan setiap keterlambatan pemberian akan mengurangi efektivitas. Manitol intravena diberikan 0,25 1,0 g/Kg selama 20 menit pada pasien dengan tanda edema serebri sebelum terjadi kegagalan respirasi. Pemberian ulang dilakukan setelah 2 jam apabila tidak terdapat respons positif setelah pemberian awal. Saline hipertonik (3%), sebanyak 5 10 mL/Kg selama 30 menit dapat digunakan sebagai pengganti manitol. Intubasi dan ventilasi mungkin perlu dilakukan sesuai kondisi. Seringkali, hiperventilasi yang ekstrem terkait dengan edema serebri yang terkait dengan KAD.PencegahanSebelum DiagnosisDiagnosis awal mencakup skrining genetik dan imunologi terhadap anak dengan risiko tinggi KAD terkait onset diabetes mellitus. Kesadaran tinggi terhadap individu dengan riwayat keluarga dengan IDDM juga akan membantu menurunkan risiko KAD. Berbagai strategi, seperti publikasi kesehatan oleh dokter dan sekolah pada anak-anak akan menurunkan komplikasi KAD dari 78% hingga hampir 0%. Peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai tanda dan gejala diabetes harus dilakukan agar diagnosis dini menjadi lebih mudah dan misdiagnosis dapat dicegah.

Sesudah DiagnosisPada pasien dengan terapi insulin kontinu, episode KAD dapat diturunkan dengan edukasi algoritmik mengenai diabetes mellitus. Setiap gejala yang merujuk pada episode KAD harus segera ditangani. Pada kasus rekurensi KAD yang multiple, selain dengan pemberian insulin berkala, juga diberikan edukasi yang baik, evaluasi psikososial, dan status kesehatan fisik ke pusat pelayanan kesehatan.

6. Dosis obat

Heparin

Pada gangguan tromboembolik 50-100 unit/kg/dosis diberikan tiap 4-6 jam didasarkan pada pencapaian perpanjangan waktu pembekuan penderita yang diharapkan Kebutuhan dosis ditentukan dengan memantau waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial yang diaktifkan, dan/atau INR. Infus terus-menerus dapat dikaitkan dengan resiko/insiden perdarahan yang kurang.

IV 50-100 unit/kg dosis pembebanan diikuti dengan infus IV terus-menerus 15-25 unit/kg/jam. Kecepatan infus dinaikkan dengan 2-5 unit/kg/jam tiap 6-8 jam untuk efek yang diharapkan.

Immunoglobulin

Dosis IVIG: 2 gram/kgBB dosis tunggal intravena selama 10-12 jam.