ppns pertambangan

Download PPNS PERTAMBANGAN

If you can't read please download the document

Upload: royspidy

Post on 31-Oct-2014

65 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

PPNS PERTAMBANGAN

TRANSCRIPT

PERAN PPNS DALAM KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN Oleh : Brigjen Pol. Drs. Bung Djono, SH, MH Disampaikan pada Kursus Intensif Hukum Pertambangan Angkatan VII tanggal 26 Juni 2012 di Gedung Manggala Wanabakti Jakarta Semenjak Tahun 1981 proses penegakan hukum pidana di Indonesia, hukum Acaranya menggunakan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang kegiatan awalnya dilaksanakan dengan proses penyidikan, dan pelaksanaannya telah memberi kewenangan kepada Penyidik Polri dan Penyidfik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan masing-masing telah diberikan wewenang. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Penyidik Polri diberi wewenang untuk : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka ; melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; mengambil sidik jari dan memotret seorang; memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; mengadakan penghentian penyidikan; mengadakan tindakan hlain menurut hukum yang bertanggung jawab.

sedangkan untuk PPNS telah diberikan wewenang oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya. Hubungan tata cara kerja Penyidik Polri dan PPNS telah diatur dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 107 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 109 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Dalam Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi : PPNS mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri. Pengertian Koordinasi dan Pengawasan tersebut dimaknai sebagai sebagai bentuk kegiatan Penyidik Polri dalam mengawal PPNS yang sedang melakukan penyidikan, dengan tujuan agar berkas yang dibuat dapat memenuhi syarat formil dan meteril. Implimentasi Koordinasi dan Pengawasan berupa pemberian bantuan berupa bantuan personil maupun peralatan, bantuan teknis penyidikan, (seperti Labotarium Forensik, Identifikasi, NCB-Interpol), bantuan upaya paksa (pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan), dan konsultasi teknis penyidikan.

Selain itu Koordinasi dan Pengawasan juga berperan untuk menjembatani dalam penanganan kasus, manakala PPNS tidak berwenang menangani kasus yang dihadapi dan karena keterbatasan wewenang PPNS. Pararel dengan kegiatan tersebut di atas, berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf UU No. 2 Tahun 2002, Polri melakukan pembinaan teknis yang dilakukan semenjak dilaksanakan Pendidikan dan Latihan penyidikan bagi calon PPNS sampai pada kegiatan operasional. Pelaksanaan Koordinasi dan Pengawasan terutama dalam pemberian bantuan penyidikan mekanismenya telah diatur dalam Pasal 107 ayat (1) yang berbunyi Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada PPNS dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. Dalam penjelasanya telah dipertegas Penyidik Polri diminta atau tidak diminta berdasarkan tanggung jawabnya wajib memberikan bantuan penyidikan kepada PPNS. Untuk itu PPNS sejak awal wajib memberitahukan tentang penyidikan itu kepada Penyidik. Pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Polri telah memberikan konsekwensi kepada Penyidik Polri untuk wajib memberikan bantuan penyidikan kepada PPNS baik diminta atau tidak diminta. Kewajiban Polri dalam pemberian bantuan tersebut dapat tidak terwujud, apabila PPNS dalam pelaksanaan penyidikanya tidak memberitahukan kepada Penyidik Polri. Di Indonesia saat ini ada 38 (tiga puluh delapan) instansi (Kementerian/Ditjen) dan 6 (enam) Badan yang membawahi PPNS yang masingmasing PPNS di instansi tersebut satu sama lain berbeda wewenang dan objek penyidikannya. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP telah mensinergikan pelaksanaan penegakan hukum yang dapat digambarkan dalam filosofi sapu lidi, dimana lidi-lidinya adalah PPNS yang diikat oleh Pasal 7 ayat (2), sehingga dalam pelaksanaannya akan efektif dan efisien. Tidak terlepas di bidang Pertambangan juga telah diatur pelaksanaan penegakan hukum tindak pidananya selain dalam dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP juga diatur Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan jenis-jenis tindak pidananya yang antara lain : 1. Pasal 158 Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP (Izin Usaha Pertambangan), IPR (Izin Pertambangan Rakyat) atau IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). a. Pasal 37. IUP (Izin Usaha Pertambangan),diberikan oleh: 1) bupati/walikota apabila WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota;

3 2) gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;dan Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3)

b.

Pasal 40 ayat (3) Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 48. IUP Operasi Produksi diberikan oleh: 1) bupati/walikota apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota; 2) gubernur apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan 3) Menteri apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 67 ayat (1) Bupati/walikota memberikan IPR (Izin Pertambangan Rakyat) terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi. Pasal 74 ayat (1) IUPK diberikan memperhatikan kepentingan daerah. oleh Menteri dengan

c.

d.

e. f.

Pasal 74 ayat (5) Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut.

2.

Pasal 159 Pemegang IUP, IPR, atau IUPK yang dengan sengaja menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Pasal 70 huruf e, Pasal 81 ayat (1), Pasal 105 ayat (4), Pasal 110, atau Pasal 111 ayat (1) dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). a. Pasal 43 ayat (1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP Eksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada pemberi IUP. Pasal 70 huruf e. Pemegang IPR wajib: menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi IPR.

b.

usaha

c.

Pasal 81 ayat (1) Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUPK Eksplorasi yang mendapatkan mineral logam tau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada Menteri. Pasal 105 ayat (4) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan laporan hasil penjualan mineral dan/atau batubara yang tergali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 110 Pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Pasal 111 ayat (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

d.

e.

f.

3.

Pasal 160. (1) Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan

(2)

5 kegiatan operasi produksi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). a. Pasal 37. IUP diberikan oleh: 1) bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota; 2) gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan 3) Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 74 ayat (1) IUPK diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah.

b. 4.

Pasal 161 Setiap orang atau pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK, atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 43 ayat (2), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1), Pasal 81 ayat (2), Pasal 103 ayat (2), Pasal 104 ayat (3), atau Pasal 105 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). a. Pasal 37. IUP diberikan oleh: 1) bupati/walikota apabila WIUP berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota; 2) gubernur apabila WIUP berada pada lintas wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan 3) Menteri apabila WIUP berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 40 ayat (3) Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan

b.

mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. c. Pasal 43 ayat (2) Pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan. Pasal 48. IUP Operasi Produksi diberikan oleh: 1) bupati/walikota apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota; 2) gubernur apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan 3) Menteri apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. d. Pasal 67 ayat (1) Bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi. Pasal 74 ayat (1) IUPK diberikan memperhatikan kepentingan daerah. oleh Menteri dengan

c.

e. f.

PasaL 81 ayat (2) Pemegang IUPK Eksplorasi yang ingin menjual mineral logam atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan. Pasal 103 ayat (2) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya.

g.

h.

Pasal 104 ayat (3) Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan pengolahan dan

7 pemurnian dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR, atau IUPK. i. Pasal 105 ayat (1) Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha pertambangan yang bermaksud menjual mineral dan/atau batubara yang tergali wajib terlebih dahulu memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan.

5.

Pasal 162 Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 136 ayat (2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK.

Selain jenis-jenis tindak pidana tersebut, di bidang pertambangan juga dibatasi oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan sebagainya, dan masing-masing juga ada PPNS nya. Penegakan hukum di bidang Pertambangan, maka yang berwenang untuk melakukan penyidikan di bidang pertambangan adalah Penyidik Polri dan PPNS Pertambangan dengan mekanisme penyidikan seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Strategi penyidikanya dikedepankan PPNS Pertambangan dengan alasan PPNS lebih menguasi secara teknis tentang pertambangan, sehingga PPNS perlu dikedepankan sesuai bidang tugasnya dengan wewenang dalam Pasal 149 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan yang antara lain : 1. 2. 3. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; memanggil dan/atau mendatangkan secara paksa orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka dalam perkara tindak pidana kegiatan usaha pertambangan;

4. 5. 6. 7. 8.

menggeledah tempat dan/atau sarana yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; melakukan pemeriksaan sarana dan prasarana kegiatan usaha pertambangan dan menghentikan penggunaan peralatan yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana; menyegel dan/atau menyita alat kegiatan usaha pertambangan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagai alat bukti; mendatangkan dan/atau meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan; dan/atau menghentikan penyidikan perkara tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan.

dan dalam Pasal 150 ayat (1) PPNS Pertambangan diberi wewenang melakukan penangkapan pelaku tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan. Proses penyidikannya dimulai sejak : 1. 2. 3. Adanya laporan baik dari masyarakat atau petugas. Tertangkap tangan oleh masyarakat atau petugas, dituangkan dalam Laporan Kejadian yang ditandatangani Pelapor dan PPNS. Diketahui langsung oleh PPNS.

Jakarta, 26 Juni 2012

9 BADAN RESERSE KRIMINAL POLRI BIRO KORWAS PPNS

PERAN PPNS DALAM KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN

Jakarta,

Juni 2012