potensi pence mar an limbah rumah sakit
TRANSCRIPT
Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit
« on: January 28, 2010, 01:41:28 pm »
Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh RS di
Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali
menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per hari. Sedangkan
produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari. Analisis lebih jauh menunjukkan,
produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah
infektius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS
sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran
tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan
kemungkinannya menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit (Sebayang dkk, 1996). Rumah
sakit menghasilkan limbah dalam jumlah besar, beberapa diantaranya membahyakan kesehatan di
lingkungannya. Di negara maju, jumlah limbah diperkirakan 0,5 - 0,6 kilogram per tempat tidur rumah
sakit per hari (Sebayang dkk, 1996).
Sementara itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran kepada 23 rumah
sakit (RS) yang tidak mengindahkan surat peringatan mengenai keharusan memiliki instalasi
pengolahan air limbah (IPAL). Berdasarkan data dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah
(BPLHD) Jaktim yang diterima Pembaruan, dari 26 rumah sakit yang ada di Jaktim, hanya tiga rumah
sakit saja yang memiliki IPAL dan bekerja dengan baik. Selebihnya, ada yang belum memiliki IPAL dan
beberapa rumah sakit IPAL-nya dalam kondisi rusak berat (Sebayang dkk, 1996).Data tersebut juga
menyebutkan, hanya sembilan rumah sakit saja yang memiliki incinerator. Alat tersebut, digunakan
untuk membakar limbah padat berupa limbah sisa-sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh dibuang
begitu saja. Menurut Kepala BPLHD Jaktim, Surya Darma, pihaknya sudah menyampaikan surat edaran
yang mengharuskan pihak rumah sakit melaporkan pengelolaan limbahnya setiap tiga bulan sekali.
Sayangnya, sejak dilayangkannya surat edaran akhir September 2005 lalu, hanya tiga rumah sakit saja
yang memberikan laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius,
belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah
medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut
justru memperbesar permasalahan limbah medis. Padahal, limbah medis memerlukan pengelolaan
khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius,
limbah radiologi, limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di
Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah
sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu (Sebayang dkk,
1996).Sementara itu, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Sudin Kesmas Jaktim menduga, buruknya
pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah
sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen
Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar. Padahal setiap rumah sakit,
selain harus memiliki IPAL, juga harus memiliki surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) dan
surat izin pengolahan limbah cair. Sementara limbah organ-organ manusia harus di bakar di incinerator.
Persoalannya, harga incinerator itu cukup mahal sehingga tidak semua rumah sakit bisa memilikinya
(Sebayang dkk, 1996).
Beberapa hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit, dan jadi penyebab
tingginya tingkat penurunan kualitas lingkungan dari kegiatan rumah sakit antara lain disebabkan,
kurangnya kepedulian manajemen terhadap pengelolaan lingkungan karena tidak memahami masalah
teknis yang dapat diperoleh dari kegiatan pencegahan pencemaran, kurangnya komitmen pendanaan
bagi upaya pengendalian pencemaran karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk
menghasilkan uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran, kurang memahami apa yang
disebut produk usaha dan masih banyak lagi kekurangan lainnya (Sebayang dkk, 1996). Untuk itu,
upaya-upaya yang harus dilakukan rumah sakit adalah, mulai dan membiasakan untuk mengidentifikasi
dan memilah jenis limbah berdasarkan teknik pengelolaan (Limbah B3, infeksius, dapat digunapakai
atau guna ulang). Meningkatkan pengelolaan dan pengawasan serta pengendalian terhadap pembelian
dan penggunaan, pembuangan bahan kimia baik B3 maupun non B3. Memantau aliran obat mencakup
pembelian dan persediaan serta meningkatkan pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan
lingkungan melalui pelatihan dengan materi pengolahan bahan, pencegahan pencemaran,
pemeliharaan peralatan serta tindak gawat darurat (Sebayang dkk, 1996).
Penanganan dan Pengolahan Limbah Rumah Sakit
Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair, padat dan
gas.Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit
yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari
limbah rumah sakit.
Sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No. 9 tahun 1990 tentang Pokok-pokok Kesehatan,
bahwa setiap warga berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan yang berupa
pencegahan dan pemberantasan penyakit, pencegahan dan penanggulangan pencemaran, pemulihan
kesehatan, penerangan dan pendidikan kesehatan kepada masyarakat (Siregar, 2001).
Upaya perbaikan kesehatan masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai macam cara, yaitu
pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, penyediaan
air bersih, penyuluhan kesehatan serta pelayanan kesehatan ibu dan anak. Selain itu, perlindungan
terhadap bahaya pencemaran lingkungan juga perlu diberi perhatian khusus (Said dan Ineza, 2002).
Rumah sakit merupakan sarana upaya perbaikan kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan
dan dapat dimanfaatkan pula sebagai lembaga pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Pelayanan
kesehatan yang dilakukan rumah sakit berupa kegiatan penyembuhan penderita dan pemulihan
keadaan cacat badan serta jiwa (Said dan Ineza, 2002).
Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair, padat dan gas.
Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit
yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari
limbah rumah sakit. Unsur-unsur yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan pelayanan rumah sakit
(termasuk pengelolaan limbahnya), yaitu (Giyatmi. 2003) :
Pemrakarsa atau penanggung jawab rumah sakit.
Pengguna jasa pelayanan rumah sakit.
Para ahli, pakar dan lembaga yang dapat memberikan saran-saran.
Para pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan sarana dan fasilitas yang diperlukan.
Upaya pengelolaan limbah rumah sakit telah dilaksanakan dengan menyiapkan perangkat lunaknya
yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-pedoman dan kebijakan-kebijakan yang mengatur
pengelolaan dan peningkatan kesehatan di lingkungan rumah sakit. Di samping itu secara bertahap dan
berkesinambungan Departemen Kesehatan mengupayakan instalasi pengelolaan limbah rumah sakit.
Sehingga sampai saat ini sebagian rumah sakit pemerintah telah dilengkapi dengan fasilitas
pengelolaan limbah, meskipun perlu untuk disempurnakan. Namun harus disadari bahwa pengelolaan
limbah rumah sakit masih perlu ditingkatkan lagi (Barlin, 1995).
1.2. Peranan Rumah Sakit Dalam Pengelolaan Limbah
Rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan
yang meliputi pelayanan rawat jalan, rawat nginap, pelayanan gawat darurat, pelayanan medik dan non
medik yang dalam melakukan proses kegiatan hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan sosial, budaya
dan dalam menyelenggarakan upaya dimaksud dapat mempergunakan teknologi yang diperkirakan
mempunyai potensi besar terhadap lingkungan (Agustiani dkk, 1998).
Limbah yang dihasilkan rumah sakit dapat membahayakan kesehatan masyarakat, yaitu limbah berupa
virus dan kuman yang berasal dan Laboratorium Virologi dan Mikrobiologi yang sampai saat ini belum
ada alat penangkalnya sehingga sulit untuk dideteksi. Limbah cair dan Iimbah padat yang berasal dan
rumah sakit dapat berfungsi sebagai media penyebaran gangguan atau penyakit bagi para petugas,
penderita maupun masyarakat. Gangguan tersebut dapat berupa pencemaran udara, pencemaran air,
tanah, pencemaran makanan dan minunian. Pencemaran tersebut merupakan agen agen kesehatan
lingkungan yang dapat mempunyai dampak besar terhadap manusia (Agustiani dkk, 1998).
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Kesehatan menyebutkan bahwa setiap
warga negara Indonesia berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu
Pemerintah menyelenggarakan usaha-usaha dalam lapangan pencegahan dan pemberantasan
penyakitpencegahan dan penanggulangan pencemaran, pemulihan kesehatan, penerangan dan
pendidikan kesehatan pada rakyat dan lain sebagainya (Karmana dkk, 2003). Usaha peningkatan dan
pemeliharaan kesehatan harus dilakukan secara terus menerus, sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang kesehatan, maka usaha pencegahan dan penanggulangan pencemaran
diharapkan mengalami kemajuan. Adapun cara-cara pencegahan dan penanggulangan pencemaran
limbah rumah sakit antara lain adalah melalui (Karmana dkk, 2003) :
Proses pengelolaan limbah padat rumah sakit.
Proses mencegah pencemaran makanan di rumah sakit.
Sarana pengolahan/pembuangan limbah cair rumah sakit pada dasarnya berfungsi menerima limbah
cair yang berasal dari berbagai alat sanitair, menyalurkan melalui instalasi saluran pembuangan dalam
gedung selanjutnya melalui instalasi saluran pembuangan di luar gedung menuju instalasi pengolahan
buangan cair. Dari instalasi limbah, cairan yang sudah diolah mengalir saluran pembuangan ke
perembesan tanah atau ke saluran pembuangan kota (Sabayang dkk, 1996). Limbah padat yang
berasal dari bangsal-bangsal, dapur, kamar operasi dan lain sebagainya baik yang medis maupun non
medis perlu dikelola sebaik-baiknya sehingga kesehatan petugas, penderita dan masyarakat di sekitar
rumah sakit dapat terhindar dari kemungkinan-kemungkinan dampak pencemaran limbah rumah sakit
tersebut (Sabayang dkk, 1996).
1.3. Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit
Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh RS di Indonesia
berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali
menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per hari. Sedangkan
produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari. Analisis lebih jauh menunjukkan,
produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah
infektius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS
sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran
tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan
kemungkinannya menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit (Sebayang dkk, 1996). Rumah
sakit menghasilkan limbah dalam jumlah besar, beberapa diantaranya membahyakan kesehatan di
lingkungannya. Di negara maju, jumlah limbah diperkirakan 0,5 - 0,6 kilogram per tempat tidur rumah
sakit per hari (Sebayang dkk, 1996).
Sementara itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran kepada 23 rumah sakit (RS)
yang tidak mengindahkan surat peringatan mengenai keharusan memiliki instalasi pengolahan air
limbah (IPAL). Berdasarkan data dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jaktim yang
diterima Pembaruan, dari 26 rumah sakit yang ada di Jaktim, hanya tiga rumah sakit saja yang memiliki
IPAL dan bekerja dengan baik. Selebihnya, ada yang belum memiliki IPAL dan beberapa rumah sakit
IPAL-nya dalam kondisi rusak berat (Sebayang dkk, 1996).Data tersebut juga menyebutkan, hanya
sembilan rumah sakit saja yang memiliki incinerator. Alat tersebut, digunakan untuk membakar limbah
padat berupa limbah sisa-sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh dibuang begitu saja. Menurut
Kepala BPLHD Jaktim, Surya Darma, pihaknya sudah menyampaikan surat edaran yang mengharuskan
pihak rumah sakit melaporkan pengelolaan limbahnya setiap tiga bulan sekali. Sayangnya, sejak
dilayangkannya surat edaran akhir September 2005 lalu, hanya tiga rumah sakit saja yang memberikan
laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola
dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis
noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru
memperbesar permasalahan limbah medis. Padahal, limbah medis memerlukan pengelolaan khusus
yang berbeda dengan limbah nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah
radiologi, limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di
Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah
sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu (Sebayang dkk,
1996).Sementara itu, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Sudin Kesmas Jaktim menduga, buruknya
pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah
sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen
Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar. Padahal setiap rumah sakit,
selain harus memiliki IPAL, juga harus memiliki surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) dan
surat izin pengolahan limbah cair. Sementara limbah organ-organ manusia harus di bakar di incinerator.
Persoalannya, harga incinerator itu cukup mahal sehingga tidak semua rumah sakit bisa memilikinya
(Sebayang dkk, 1996).
Beberapa hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit, dan jadi penyebab tingginya tingkat
penurunan kualitas lingkungan dari kegiatan rumah sakit antara lain disebabkan, kurangnya kepedulian
manajemen terhadap pengelolaan lingkungan karena tidak memahami masalah teknis yang dapat
diperoleh dari kegiatan pencegahan pencemaran, kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya
pengendalian pencemaran karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan
uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran, kurang memahami apa yang disebut produk
usaha dan masih banyak lagi kekurangan lainnya (Sebayang dkk, 1996). Untuk itu, upaya-upaya yang
harus dilakukan rumah sakit adalah, mulai dan membiasakan untuk mengidentifikasi dan memilah jenis
limbah berdasarkan teknik pengelolaan (Limbah B3, infeksius, dapat digunapakai atau guna ulang).
Meningkatkan pengelolaan dan pengawasan serta pengendalian terhadap pembelian dan penggunaan,
pembuangan bahan kimia baik B3 maupun non B3. Memantau aliran obat mencakup pembelian dan
persediaan serta meningkatkan pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan lingkungan melalui
pelatihan dengan materi pengolahan bahan, pencegahan pencemaran, pemeliharaan peralatan serta
tindak gawat darurat (Sebayang dkk, 1996).
1.4. Jenis Limbah Rumah Sakit Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Serta Lingkungan
Limbah rumah Sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan
penunjang lainnya. Mengingat dampak yang mungkin timbul, maka diperlukan upaya pengelolaan yang
baik meliputi pengelolaan sumber daya manusia, alat dan sarana, keuangan dan tatalaksana
pengorganisasian yang ditetapkan dengan tujuan memperoleh kondisi rumah sakit yang memenuhi
persyaratan kesehatan lingkungan (Said, 1999). Limbah rumah Sakit bisa mengandung bermacam-
macam mikroorganisme bergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan
sebelum dibuang. Limbah cair rumah sakit dapat mengandung bahan organik dan anorganik yang
umumnya diukur dan parameter BOD, COD, TSS, dan lain-lain. Sedangkan limbah padat rumah sakit
terdiri atas sampah mudah membusuk, sampah mudah terbakar, dan lain-lain. Limbah- limbah tersebut
kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun berbahaya yang
menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan rumah sakit yang disebabkan oleh
teknik pelayanan kesehatan yang kurang memadal, kesalahan penanganan bahan-bahan
terkontaminasi dan peralatan, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana sanitasi yang masib buruk
(Said, 1999).
Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika dilakukan dengan memilah-milah
limbah ke dalam pelbagai kategori. Untuk masing-masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan
limbah yang berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin
menghindari resiko kontaminsai dan trauma (injury). jenis-jenis limbah rumah sakit meliputi bagian
berikut ini (Shahib dan Djustiana, 1998) :
a. Limbah Klinik
Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin, pembedahan dan di unit-unit resiko tinggi.
Limbah ini mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan populasi umum dan
staff rumah sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas sebagai resiko tinggi. contoh limbah jenis
tersebut ialah perban atau pembungkus yang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi,
jarum-jarum dan semprit bekas, kantung urin dan produk darah.
b. Limbah Patologi
Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diotoklaf sebelum keluar dari unit patologi.
Limbah tersebut harus diberi label biohazard.
c. Limbah Bukan Klinik
Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkontak dengan
cairan badan. Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah tersebut cukup merepotkan karena
memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut dan mambuangnya.
d. Limbah Dapur
Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga seperti kecoa, kutu dan
hewan mengerat seperti tikus merupakan gangguan bagi staff maupun pasien di rumah sakit.
e. Limbah Radioaktif
Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di rumah sakit, pembuangannya
secara aman perlu diatur dengan baik.
1.5. Pencegahan Pengolahan Limbah Pada Pelayanan Kesehatan
Pengolahan limbah pada dasarnya merupakan upaya mengurangi volume, konsentrasi atau bahaya
limbah, setelah proses produksi atau kegiatan, melalui proses fisika, kimia atau hayati. Dalam
pelaksanaan pengelolaan limbah, upaya pertama yang harus dilakukan adalah upaya preventif yaitu
mengurangi volume bahaya limbah yang dikeluarkan ke lingkungan yang meliputi upaya mengunangi
limbah pada sumbernya, serta upaya pemanfaatan limbah (Shahib, 1999). Program minimisasi limbah di
Indonesia baru mulai digalakkan, bagi rumah sakit masih merupakan hal baru, yang tujuannya untuk
mengurangi jumlah limbah dan pengolahan limbah yang masih mempunyainilai ekonomi (Shahib, 1999).
Berbagai upaya telah dipergunakan untuk mengungkapkan pilihan teknologi mana yang terbaik untuk
pengolahan limbah, khususnya limbah berbahaya antara lain reduksi limbah (waste reduction),
minimisasi limbah (waste minimization), pemberantasan limbah (waste abatement), pencegahan
pencemaran (waste prevention) dan reduksi pada sumbemya (source reduction) (Hananto, 1999).
Reduksi limbah pada sumbernya merupakan upaya yang harus dilaksanakan pertama kali karena upaya
ini bersifat preventif yaitu mencegah atau mengurangi terjadinya limbah yang keluar dan proses
produksi. Reduksi limbah pada sumbernya adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas
dan tingkat bahaya limbah yang akan keluar ke lingkungan secara preventif langsung pada sumber
pencemar, hal ini banyak memberikan keuntungan yakni meningkatkan efisiensi kegiatan serta
mengurangi biaya pengolahan limbah dan pelaksanaannya relatif murah (Hananto, 1999). Berbagai
cara yang digunakan untuk reduksi limbah pada sumbernya adalah (Arthono, 2000) :
1. House Keeping yang baik, usaha ini dilakukan oleh rumah sakit dalam menjaga kebersihan
lingkungan dengan mencegah terjadinya ceceran, tumpahan atau kebocoran bahan serta
menangani limbah yang terjadi dengan sebaik mungkin.
2. Segregasi aliran limbah, yakni memisahkan berbagai jenis aliran limbah menurut jenis komponen,
konsentrasi atau keadaanya, sehingga dapat mempermudah, mengurangi volume, atau
mengurangi biaya pengolahan limbah.
3. Pelaksanaan preventive maintenance, yakni pemeliharaan/penggantian alat atau bagian alat
menurut waktu yang telah dijadwalkan.
4. Pengelolaan bahan (material inventory), adalah suatu upaya agar persediaan bahan selalu cukup
untuk menjamin kelancaran proses kegiatan, tetapi tidak berlebihan sehiugga tidak menimbulkan
gangguan lingkungan, sedangkan penyimpanan agar tetap rapi dan terkontrol.
5. Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik: sesuai dengan petunjuk
pengoperasian/penggunaan alat dapat meningkatkan efisiensi.
6. Penggunaan teknologi bersih yakni pemilikan teknologi proses kegiatan yang kurang potensi
untuk mengeluarkan limbah B3 dengan efisiensi yang cukup tinggi, sebaiknya dilakukan pada
saat pengembangan rumah sakit baru atau penggantian sebagian unitnya.
Kebijakan kodifikasi penggunaan warna untuk memilah-milah limbah di seluruh rumah sakit harus
memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah dapat dipisah-pisahkan di tempat sumbernya, perlu
memperhatikan hal-hal berikut (Haryanto, 2001) :
1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu untuk limbah klinik
dan yang lain untuk bukan klinik.
2. Semua limbah dari kamar operasi dianggap sebagai limbah klinik.
3. Limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis, dianggap sebagai limbah klinik.
4. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah klinik dan perlu
dinyatakan aman sebelum dibuang.
Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kodifikasi dengan warna yang
menyangkut hal-hal berikut (Sundana, 2000) :
1. Pemisahan limbah
Limbah harus dipisahkan dari sumbernya
Semua limbahberesiko tinggi hendaknya diberi label jelas
Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda, yang menunjukkan ke
mana plastik harus diangkut untuk insinerasi atau dibuang. Di beberapa negara, kantung plastik
cukup mahal sehingga sebagai ganti dapat digunakan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat
secara lokal sehingga dapat diperoleh dengan mudah). Kantung kertas ini dapat ditempeli
dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan di tong dengan kode warna dibangsal dan unit-unit
lain
2. Penyimpanan limbah
Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian. Kemudian diikat
bagian atasnya dan diberi label yang jelas
Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau dibawa mengayun
menjauhi badan, dan diletakkan di tempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan
Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang samatelah
dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai
Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak sebelum
diangkut ke tempat pembuangannya
3. Penanganan limbah
Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bila telah ditutup
Kantung dipegang pada lehernya
Petugas harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya dengan memakai sarung tangan yang
kuat dan pakaian terusan (overal), pada waktu mengangkut kantong tersebut
Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan kantung baru yang bersih untuk membungkus
kantung baru yang kotor tersebut seisinya (double bagging)
Petugas diharuskan melapor jika menemukan benda-benda tajam yang dapat mencederainya di
dalma kantung yang salah
Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam kantung limbah
4. Pengangkutan limbah
Kantung limbah dikumpulkan dan seklaigus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah bagian bukan
klinik misalnya dibawa ke kompaktor, limbah bagian klinik dibawa ke insinerator. Pengankutan dengan
kendaran khusus (mungkin ada kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum) kendaraan yang digunakan
untuk mengankut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan tiap hari, kalau perlu
(misalnya bila ada kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.
5. Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat penimbunan
sampah (land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insinerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun dengan
kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai
membusuk.
Kemudian mengenai limbah gas, upaya pengelolaannya lebih sederhana dibanding dengan limbah cair,
pengelolaan limbah gas tidak dapat terlepas dari upaya penyehatan ruangan dan bangunan khususnya
dalam memelihara kualitas udara ruangan (indoor) yang antara lain disyaratkan agar (Agustiani dkk,
2000) :
Tidak berbau (terutania oleh gas H2S dan Anioniak);
Kadar debu tidak melampaui 150 Ug/m3 dalam pengukuran rata-rata selama 24 jam.
Angka kuman. Ruang operasi : kurang dan 350 kalori/m3 udara dan bebas kuman padao gen
(khususnya alpha streptococus haemoliticus) dan spora gas gangrer. Ruang perawatan dan
isolasi : kurang dan 700 kalorilm3 udara dan bebas kuman patogen. Kadar gas dan bahan
berbahaya dalam udara tidak melebihi konsentrasi maksimum yang telah ditentukan.
Rumah sakit yang besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri. insinerator berukuran kecil atau
menengah dapat membakar pada suhu 1300 - 1500o C atau lebih tinggi dan mungkin dapat mendaur
ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat
pula memperoleh penghasilan tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakityang berasal
dari rumah sakitlain. Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain
kemampuannya menampung limbah klinik maupun bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk
farmasi yang tidak terpakai (Rostiyanti dan Sulaiman, 2001).
Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan ditanam. Langkah-
langkah pengapuran (liming) tersebut meliputi yang berikut (Djoko, 2001) :
Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter.
Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm.
Tambahkan lapisan kapur.
Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditambahkan sampai ketinggian 0,5
meter dibawah permukaan tanah.
Akhirnya lubang tersebut harus dituutup dengan tanah.
1.6. Ozonisasi Pengolahan Limbah Medis
Limbah cair yang dihasilkan dari sebuah rumah sakitumumnya banyak mengandung bakteri, virus,
senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat sekitar rumah
sakittersebut. Dari sekian banyak sumber limbah di rumah sakit, limbah dari laboratorium paling perlu
diwaspadai. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses uji laboratorium tidak bisa diurai hanya
dengan aerasi atau activated sludge. Bahan-bahan itu mengandung logam berat dan inveksikus,
sehingga harus disterilisasi atau dinormalkan sebelum "dilempar" menjadi limbah tak berbahaya. Untuk
foto rontgen misalnya, ada cairan tertentu yang mengandung radioaktif yang cukup berbahaya. Setelah
bahan ini digunakan. limbahnya dibuang (Suparmin dkk, 2002).
1.7. Teknologi Pengolahan Limbah
Teknologi pengolahan limbah medis yang sekarang jamak dioperasikan hanya berkisar antara masalah
tangki septik dan insinerator. Keduanya sekarang terbukti memiliki nilai negatif besar. Tangki septik
banyak dipersoalkan lantaran rembesan air dari tangki yang dikhawatirkan dapat mencemari tanah.
Terkadang ada beberapa rumah sakit yang membuang hasil akhir dari tangki septik tersebut langsung
ke sungai-sungai, sehingga dapat dipastikan sungai tersebut mulai mengandung zat medis (Suparmin
dkk, 2002).
Sedangkan insinerator, yang menerapkan teknik pembakaran pada sampah medis, juga bukan berarti
tanpa cacat. Badan Perlindungan Lingkungan AS menemukan teknik insenerasi merupakan sumber
utama zat dioksin yang sangat beracun. Penelitian terakhir menunjukkan zat dioksin inilah yang menjadi
pemicu tumbuhnya kanker pada tubuh (Suparmin dkk, 2002). Yang sangat menarik dari permasalahan
ini adalah ditemukannya teknologi pengolahan limbah dengan metode ozonisasi. Salah satu metode
sterilisasi limbah cair rumah sakit yang direkomendasikan United States Environmental Protection
Agency (USEPA) pada tahun 1999. Teknologi ini sebenarnya dapat juga diterapkan untuk mengelola
limbah pabrik tekstil, cat, kulit, dan lain-lain (Christiani, 2002).
1.7.1. Ozonisasi
Proses ozonisasi telah dikenal lebih dari seratus tahun yang lalu. Proses ozonisasi atau proses dengan
menggunakan ozon pertama kali diperkenalkan Nies dari Prancis sebagai metode sterilisasi pada air
minum pada tahun 1906. Penggunaan proses ozonisasi kemudian berkembang sangat pesat. Dalam
kurun waktu kurang dari 20 tahun terdapat kurang lebih 300 lokasi pengolahan air minum menggunakan
ozonisasi untuk proses sterilisasinya di Amerika (Berlanga, 1998).
Dewasa ini, metode ozonisasi mulai banyak dipergunakan untuk sterilisasi bahan makanan, pencucian
peralatan kedokteran, hingga sterilisasi udara pada ruangan kerja di perkantoran. Luasnya penggunaan
ozon ini tidak terlepas dari sifat ozon yang dikenal memiliki sifat radikal (mudah bereaksi dengan
senyawa disekitarnya) serta memiliki oksidasi potential 2.07 V. Selain itu, ozon telah dapat dengan
mudah dibuat dengan menggunakan plasma seperti corona discharge (Berlanga, 1998). Melalui proses
oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai macam mikroorganisma seperti bakteri Escherichia
coli, Salmonella enteriditis, Hepatitis A Virus serta berbagai mikroorganisma patogen lainnya (Crites,
1998). Melalui proses oksidasi langsung ozon akan merusak dinding bagian luar sel mikroorganisma
(cell lysis) sekaligus membunuhnya. Juga melalui proses oksidasi oleh radikal bebas seperti hydrogen
peroxy (HO2) dan hydroxyl radical (OH) yang terbentuk ketika ozon terurai dalam air. Seiring dengan
perkembangan teknologi, dewasa ini ozon mulai banyak diaplikasikan dalam mengolah limbah cair
domestik dan industri (Akers, 1993).
1.7.2. Ozonisasi Limbah cair rumah sakit
Limbah cair yang berasal dari berbagai kegiatan laboratorium, dapur, laundry, toilet, dan lain sebagainya
dikumpulkan pada sebuah kolam equalisasi lalu dipompakan ke tangki reaktor untuk dicampurkan
dengan gas ozon. Gas ozon yang masuk dalam tangki reaktor bereaksi mengoksidasi senyawa organik
dan membunuh bakteri patogen pada limbah cair (Harper, 1986).
Limbah cair yang sudah teroksidasi kemudian dialirkan ke tangki koagulasi untuk dicampurkan
koagulan. Lantas proses sedimentasi pada tangki berikutnya. Pada proses ini, polutan mikro, logam
berat dan lain-lain sisa hasil proses oksidasi dalam tangki reaktor dapat diendapkan (Harper, 1986).
Selanjutnya dilakukan proses penyaringan pada tangki filtrasi. Pada tangki ini terjadi proses adsorpsi,
yaitu proses penyerapan zat-zat pollutan yang terlewatkan pada proses koagulasi. Zat-zat polutan akan
dihilangkan permukaan karbon aktif. Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, atau tidak
mampu lagi menyerap maka proses penyerapan akan berhenti, dan pada saat ini karbon aktif harus
diganti dengan karbon aktif baru atau didaur ulang dengan cara dicuci. Air yang keluar dari filter karbon
aktif untuk selanjutnya dapat dibuang dengan aman ke sungai (Harper, 1986).
Ozon akan larut dalam air untuk menghasilkan hidroksil radikal (-OH), sebuah radikal bebas yang
memiliki potential oksidasi yang sangat tinggi (2.8 V), jauh melebihi ozon (1.7 V) dan chlorine (1.36 V).
Hidroksil radikal adalah bahan oksidator yang dapat mengoksidasi berbagai senyawa organik (fenol,
pestisida, atrazine, TNT, dan sebagainya). Sebagai contoh, fenol yang teroksidasi oleh hidroksil
radikalakan berubah menjadi hydroquinone, resorcinol, cathecol untuk kemudian teroksidasi kembali
menjadi asam oxalic dan asam formic, senyawa organik asam yang lebih kecil yang mudah teroksidasi
dengan kandungan oksigen yang di sekitarnya. Sebagai hasil akhir dari proses oksidasi hanya akan
didapatkan karbon dioksida dan air (Harper, 1986). Hidroksil radikal berkekuatan untuk mengoksidasi
senyawa organik juga dapat dipergunakan dalam proses sterilisasi berbagai jenis mikroorganisma,
menghilangkan bau, dan menghilangkan warna pada limbah cair. Dengan demikian akan dapat
mengoksidasi senyawa organik serta membunuh bakteri patogen, yang banyak terkandung dalam
limbah cair rumah sakit (Wilson, 1986). Pada saringan karbon aktif akan terjadi proses adsorpsi, yaitu
proses penyerapan zat-zat yang akan diserap oleh permukaan karbon aktif. Apabila seluruh permukaan
karbon aktif ini sudah jenuh, proses penyerapan akan berhenti. Maka, karbon aktif harus diganti baru
atau didaur ulang dengan cara dicuci (Wilson, 1986).
Dalam aplikasi sistem ozonisasi sering dikombinasikan dengan lampu ultraviolet atau hidrogen
peroksida.Dengan melakukan kombinasi ini akan didapatkan dengan mudah hidroksil radikal dalam air
yang sangat dibutuhkan dalam proses oksidasi senyawa organik. Teknologi oksidasi ini tidak hanya
dapat menguraikan senyawa kimia beracun yang berada dalam air, tapi juga sekaligus
menghilangkannya sehingga limbah padat (sludge) dapat diminimalisasi hingga mendekati 100%.
Dengan pemanfaatan sistem ozonisasi ini dapat pihak rumah sakittidak hanya dapat mengolah
limbahnya tapi juga akan dapat menggunakan kembali air limbah yang telah terproses (daur ulang).
Teknologi ini, selain efisiensi waktu juga cukup ekonomis, karena tidak memerlukan tempat instalasi
yang luas (Wilson, 1986).
Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi masyarakat
sekitarnya, tetapi juga mungkin dampak negatif. Dampak negatif itu berupa cemaran akibat proses
kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar. Pengelolaan limbah rumah
sakityang tidak baik akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan penyakit darin
pasien ke pekerja, dari pasien ke pasien dari pekerja ke pasien maupun dari dan kepada masyarakat
pengunjung rumah sakit. Oleh sebab itu untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja
maupun orang lain yang berada di lingkungan rumah sakit dana sekitarnya, perlu penerapan kebijakan
sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan dan
monitoring limbah rumah sakitsebagai salah astu indikator penting yang perlu diperhatikan. Rumah sakit
sebagai institusi yang sosioekonomis karena tugasnya memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat, tidak terlepas dari tanggung jawab pengelolaan limbah yang dihasilkan (Wilson, 1986).
LIMBAH RUMAH SAKIT
Limbah domestik biasanya berupa kertas, karton, plastik, gelas, metal, dan sampah dapur. Hanya 19%
limbah domestik yang telah diolah dan dimanfaatkan kembali, sisanya limbah domestik dari rumah sakit
masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA). Limbah medis sangat penting untuk dikelola secara benar,
hal ini mengingat limbah medis termasuk kedalam kategori limbah berbahaya dan beracun. Sebagian
limbah medis termasuk kedalam kategori limbah berbahaya dan sebagian lagi termasuk kategori
infeksius. Limbah medis berbahaya yang berupa limbah kimiawi, limbah farmasi, logam berat, limbah
genotoxic dan wadah bertekanan masih banyak yang belum dikelola dengan baik. Sedangkan limbah
infeksius merupakan limbah yang bisa menjadi sumber penyebaran penyakit baik kepada petugas,
pasien, pengunjung ataupun masyarakat di sekitar lingkungan rumah sakit. Limbah infeksius biasanya
berupa jaringan tubuh pasien, jarum suntik, darah, perban, biakan kultur, bahan atau perlengkapan yang
bersentuhan dengan penyakit menular atau media lainnya yang diperkirakan tercemari oleh penyakit
pasien. Pengelolaan lingkungan yang tidak tepat akan beresiko terhadap penularan penyakit. Beberapa
resiko kesehatan yang mungkin ditimbulkan akibat keberadaan rumah sakit antara lain: penyakit
menular (hepatitis,diare, campak, AIDS, influenza), bahaya radiasi (kanker, kelainan organ genetik) dan
resiko bahaya kimia.
Penaganan limbah medis sudah sangat mendesak dan menjadi perhatian Internasional. Isu ini telah
menjadi agenda pertemuan internasional yang penting. Pada tanggal 8 Agustus 2007 telah dilakukan
pertemuan High Level Meeting on Environmental and Health South-East and East-Asian Countries di
Bangkok. Dimana salah satu hasil pertemuan awal Thematic Working Group (TWG) on Solid and
Hazardous Waste yang akan menindaklanjuti tentang penanganan limbah yang terkait dengan limbah
domestik dan limbah medis. Selanjutnya pada tanggal 28-29 Pebruari 2008 dilakukan pertemuan
pertama (TWG) on Solid and Hazardous Waste di Singapura membahas tentang pengelolaan limbah
medis dan domestic di masing masing negara.
Pada saat ini masih banyak rumah sakit yang kurang memberikan perhatian yang serius terhadap
pengelolaan limbahnya. Pengelolaan limbah masih �terpinggirkan� dari pihak manajemen RS. Hal ini
terlihat dalam struktur organisasi RS, divisi lingkungan masih terselubung di bawah bag. Umum.
Pemahaman ataupun pengetahuan pihak pengelola lingkungan tentang peraturan dan peryaratan dalam
pengelolaan limbah medis masih dirasa minim. Masih banyak yang belum mengetahui tatacara dan
kewajiban pengelolaan limbah medis baik dalam hal penyimpanan limbah, incinerasi limbah maupun
pemahaman tentang limbah B3 sendiri masih terbatas.
Data hasil pengawasan di DKI Jakarta per Juni 2005 menunjukkan bahwa dari 77 Rumah Sakit yang
diawasi :
� Hanya 32 RS (40 %) yang mempunyai alat ukur debit
� Hanya 27 RS (35 %) yang melakukan swapantau
� Hanya 25 RS (32 %) yang memenuhi BMAL
Disamping itu, hasil kajian terhadap rumah sakit yang ada di Bandung pada tahun 2005 menunjukkan:
� jumlah limbah rumah sakit yang dihasilkan di Bandung sebesar 3.493 ton per tahun,
� Komposisi limbah padat rumah sakit terdiri atas :
- 85% limbah domestik,
- 15% limbah medis terdiri atas: 11% limbah infeksius dan 4% limbah berbahaya.
� Limbah domestik yang sudah dimanfaatkan hanya sebesar 19%
Beberapa peraturan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan Rumah Sakit antara lain diatur
dalam :
- Permenkes 1204/Menkes/PerXI/2004, mengatur tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit
- Kepmen KLH 58/1995, mengatur tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit
- PP18 tahun 1999 jo PP 85 tahun 1999, mengatur tentang pengelolaan limbah bahan
berbahaya dan Beracun (B3)
- Kepdal 01- 05 tahun 1995 tentang pengelolaan limbah B3
Limbah medis termasuk dalam kategori limbah berbahaya dan beracun (LB3) sesuai dengan PP 18 thn
1999 jo PP 85 thn 1999 lampiran I daftar limbah spesifik dengan kode limbah D 227. Dalam kode
limbah D227 tersebut disebutkan bahwa limbah rumah sakit dan limbah klinis yang termasuk limbah B3
adalah limbah klinis, produk farmasi kadaluarsa, peralatan laboratorium terkontaminasi, kemasan
produk farmasi, limbah laboratorium, dan residu dari proses insinerasi.
Dalam pengelolaan limbah padatnya, rumah sakit diwajibkan melakukan pemilahan limbah dan
menyimpannya dalam kantong plastik yang berbeda beda berdasarkan karakteristik limbahnya. Limbah
domestik di masukkan kedalam plastik berwarna hitam, limbah infeksius kedalam kantong plastik
berwarna kuning, limbah sitotoksic kedalam warna kuning, limbah kimia/farmasi kedalam kantong plastik
berwarna coklat dan limbah radio aktif kedalam kantong warna merah. Disamping itu rumah sakit
diwajibkan memiliki tempat penyimpanan sementara limbahnya sesuai persyaratan yang ditetapkan
dalam Kepdal 01 tahun 1995. Pengelolaan limbah infeksius dengan menggunakan incinerator harus
memenuhi beberapa persyaratan seperti yang tercantum dalam Keputusan Bapedal No 03 tahun 1995.
Peraturan tersebut mengatur tentang kualitas incinerator dan emisi yang dikeluarkannya. Incinerator
yang diperbolehkan untuk digunakan sebagai penghancur limbah B3 harus memiliki efisiensi
pembakaran dan efisiensi penghancuran / penghilangan (Destruction Reduction Efisience) yang tinggi.
Baku Mutu DRE untuk Incinerator
No Parameter Baku Mutu DRE
1. POHCs 99.99%
2. Polychlorinated biphenil (PCBs) 99.9999%
3. Polychlorinated dibenzofuran
(PCDFs)
99.9999%
4. Polychlorinated dibenzo-p-dioksin 99.9999%
Disamping itu, persyaratan lain yang harus dipenuhi dalam menjalankan incinerator adalah emisi udara
yang dikeluarkannya harus sesuai dengan baku mutu emisi untuk incinerator.
Baku Mutu Emisi Udara untuk Incinerator
No Parameter Kadar Maksimum
(mg/Nm2)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12
13
14
Partikel
Sulfur dioksida (SO2)
Nitrogen dioksida (NO2)
Hidrogen Fluorida (HF)
Karbon Monoksida (CO)
Hidrogen Chlorida (HCl)
Total Hidrocarbon (sbg CH4)
Arsen (As)
Kadmiun (Cd)
Kromium (Cr)
Timbal (Pb)
Merkuri (Hg)
Talium (Tl)
Opasitas
50
250
300
10
100
70
35
1
0.2
1
5
0.2
0.2
10%
Dalam penangan limbah medis ini rumah sakit dapat mengelolanya sendiri atau dikelola oleh rumah
sakit lain atau pengelola lain yang sudah memperoleh izin dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Beberapa contoh rumah sakit yang sudah memperoleh izin pengoperasian incineratornya dari
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
No Rumah Sakit Alamat
1 RSU Unit Swadana Kab Sumedang, Jabar
2 RSU Daerah Ajidamo R Rangkasbitung, Banten
3 RSUD Dr. M. Ashari Pemalang Pemalang, Jateng
4 RSUD Blambangan Banyuwangi, Jatim
5 RS Otorita Batam Sekupang, Batam
6 RSUD Ulin Banjarmasin, Kalsel
7 RS Tembakau Deli PRPN II Medan
8 RS Haji Jakarta
9 RS Prof Dr. Sulianti Saroso Jakarta
10 RS Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
11 RSD Cibinong Jawa Barat
Green Hospital
Dalam mendorong pengelolaan lingkungan rumah sakit yang ramah lingkungan (Green Hospital),
Kementerian Negara Lingkungan Hidup mendorong Rumah Sakit agar dalam pengelolaannya tidak
hanya bersifat reaktif tetapi juga bersifat proaktif. Masih banyak rumah sakit yang dalam mengelola
lingkungannya hanya mengandalkan terhadap kecanggihan teknologi end of pipe treatment dan belum
memaximalkan opsi atau pilihan pencegahan dan minimisasi limbah. Agar mencapai green hospital
maka rumah sakit ddidorong untuk tidak hanya mengelola limbahnya sesuai degan peraturan saja tetapi
juga menerapkan prisip 3R (Reuse, Recycle, Recovery) terhadap limbah yang dihasilkannya serta
melakukan penghematan dalam penggunaan sumber daya alam dan energi seperti penghematan air,
listrik, bahan kimia, obat-obatan dan lain lain. Disamping itu pengelola juga didorong untuk terus
meningkatkan pengelolalaan kesehatan lingkungan rumah sakitnya.
Tahap awal dalam pengelolaan limbah medis adalah melakukan pencegahan pada sumbernya.
Semaksimal mugkin harus diupayakan pencegahan terhadap timbulnya limbah yang seharusnya tidak
terjadi. Upaya pencegahan pencemaran dan minimisasi limbah yang sering dikenal dengan Produksi
Bersih (Cleaner Production) akan memberikan keuntungan bagi pengelola dan lingkungan. Dengan
berkurangnya jumlah limbah yang harus dimusnahkan dengan incinerator maka akan mengurangi
jumlah biaya operasionalnya dan akan mengurangi emisi yang dikeluarkan ke lingkungan. Berikut
adalah beberapa upaya dalam melakukan pencegahan timbulan limbah:
- Pelaksanaan �House Keeping� yang baik, dengan menjaga kebersihan lingkungan, mencegah
terjadinya ceceran bahan. Dengan pelaksanaan good house keeping yang baik di laboratorium dan
kamar rawat akan menghindarkan terjadinya ceceran bahan kimia ataupun racikan obat.
- Pemakaian air yang efisien akan mengurangi jumlah air yang masuk kedalam instalasi
pengolahan limbah cair (IPLC).
- Kalaupun timbulan limbah tidak bisa dihindari maka perlu dilakukan segregasi atau pemilahan
limbah sehingga limbah yang masih bisa dimanfaatkan atau didaur ulang tidak terkontaminasi oleh
limbah infeksius. Contoh lainnya adalah pemisahan limbah klinis dengan limbah dari kegiatan non
klinis.
- Pelaksanaan preventif maintenance, yang ketat akan menghindarkan terjadinya kerusakan alat
yang pada akhirnya dapat mengurangi jumlah limbah yang terjadi.
- Pengelolaan bahan-bahan atau obat-obatan yang tepat, rapi dan selalu terkontrol sehingga tidak
terjadi ceceran dan kerusakan bahan atau obat, berarti mengurangi limbah yang terjadi.
Tahap selanjutnya terhadap limbah yang tidak bisa dihindari adalah langkah segregasi atau pemilahan.
Pemilahan dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan limbah berdasarkan karakteristiknya. Limbah
domestik harus terpisah dari limbah B3 ataupun limbah infeksius. Hal ini bertujuan agar jumlah ataupun
limbah yang harus ditreatmen secara khusus (limbah B3) tidak terlalu besar (minimal). Limbah kimia dari
laboratorium dan sisa racikan obat harus memiliki tempat penampungan tersendiri agar tidak
mengkontaminasi limbah cair lainnya yang bukan limbah B3.
Tahap ketiga adalah pemanfaatan limbah. Limbah yang masih bisa dimanfaatkan agar dipisahkan dari
limbah yang tercemar oleh limbah B3 ataupun limbah infeksius. Limbah domestik yang dapat didaur
ulang ataupun dimanfaatkan harus dipisah dalam tempat terpisah. Limbah domestik berupa
kertas/karton, plastik, gelas dan logam masih mempunyai nilai jual untuk di reuse. Begitu pula dengan
limbah domestik berupa sampah organik bisa untuk kompos. Limbah plastik bekas pengobatan lainnya
seperti bekas infus yang tidak terkontaminasi limbah B3 atau limbah infeksius dapat didaur ulang. Pada
saat ini hanya sekitar 19% limbah domestik dari rumah sakit yang sudah dimanfaatkan untuk didaur
ulang. Limbah berbahaya dan beracun sendiri tidak menutup kemungkinan untuk dapat dimanfaatkan
ataupun untuk direuse. Beberapa limbah kimia yang dapat dimanfaatkan kembali antara lain adalah
limbah radiologi seperti fixer dan developer dengan dikirimkan ke pihak ke-3 yang berizin.
Selanjutnya adalah penghancuran terhadap limbah infeksius dan padatan limbah B3 dengan incinerator.
Incinerator yang digunakan adalah incinerator yang mempunyai spesifikasi khusus sesuai dengan yang
disyaratkan dalam Kepdal No 03 Tahun 1995. Incinerator yang memiliki nilai pembakaran dan
penghancuran yang tinggi akan membakar habis limbahnya dan hanya meninggalkan sedikit sekali abu.
Abu yang dihasilkan dapat dikirim ke industri jasa pengolah limbah atau dimanfaatkan sendiri seizin
Kementerian Negara Lingkungan Hidup.