potensi pence mar an limbah rumah sakit

23
Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit « on: January 28, 2010, 01:41:28 pm » Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh RS di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121. 996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata- rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per hari. Sedangkan produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari. Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infektius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan kemungkinannya menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit (Sebayang dkk, 1996). Rumah sakit menghasilkan limbah dalam jumlah besar, beberapa diantaranya membahyakan kesehatan di lingkungannya. Di negara maju, jumlah limbah diperkirakan 0,5 - 0,6 kilogram per tempat tidur rumah sakit per hari (Sebayang dkk, 1996). Sementara itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran kepada 23 rumah sakit (RS) yang tidak mengindahkan surat peringatan mengenai keharusan memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Berdasarkan data dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jaktim yang diterima Pembaruan, dari 26 rumah sakit yang ada di Jaktim, hanya tiga rumah sakit saja yang memiliki IPAL dan bekerja dengan baik. Selebihnya, ada yang belum memiliki IPAL dan beberapa rumah sakit IPAL-nya dalam kondisi rusak berat (Sebayang dkk, 1996).Data tersebut juga menyebutkan, hanya sembilan rumah sakit saja yang memiliki incinerator. Alat tersebut, digunakan untuk membakar limbah padat berupa limbah sisa-sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh dibuang begitu saja. Menurut Kepala BPLHD Jaktim, Surya Darma, pihaknya sudah menyampaikan surat edaran yang mengharuskan pihak rumah sakit melaporkan pengelolaan limbahnya setiap tiga bulan sekali. Sayangnya, sejak dilayangkannya surat edaran akhir September 2005 lalu, hanya tiga rumah sakit saja yang memberikan laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut

Upload: rizky-garindani

Post on 30-Jun-2015

144 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit

« on: January 28, 2010, 01:41:28 pm »

               Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh RS di

Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali

menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per hari. Sedangkan

produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari. Analisis lebih jauh menunjukkan,

produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah

infektius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS

sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran

tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan

kemungkinannya menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit (Sebayang dkk, 1996). Rumah

sakit menghasilkan limbah dalam jumlah besar, beberapa diantaranya membahyakan kesehatan di

lingkungannya. Di negara maju, jumlah limbah diperkirakan 0,5 - 0,6 kilogram per tempat tidur rumah

sakit per hari (Sebayang dkk, 1996).

            Sementara itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran kepada 23 rumah

sakit (RS) yang tidak mengindahkan surat peringatan mengenai keharusan memiliki instalasi

pengolahan air limbah (IPAL). Berdasarkan data dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah

(BPLHD) Jaktim yang diterima Pembaruan, dari 26 rumah sakit yang ada di Jaktim, hanya tiga rumah

sakit saja yang memiliki IPAL dan bekerja dengan baik. Selebihnya, ada yang belum memiliki IPAL dan

beberapa rumah sakit IPAL-nya dalam kondisi rusak berat (Sebayang dkk, 1996).Data tersebut juga

menyebutkan, hanya sembilan rumah sakit saja yang memiliki incinerator. Alat tersebut, digunakan

untuk membakar limbah padat berupa limbah sisa-sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh dibuang

begitu saja. Menurut Kepala BPLHD Jaktim, Surya Darma, pihaknya sudah menyampaikan surat edaran

yang mengharuskan pihak rumah sakit melaporkan pengelolaan limbahnya setiap tiga bulan sekali.

Sayangnya, sejak dilayangkannya surat edaran akhir September 2005 lalu, hanya tiga rumah sakit saja

yang memberikan laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius,

belum dikelola dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah

medis noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut

justru memperbesar permasalahan limbah medis. Padahal, limbah medis memerlukan pengelolaan

khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius,

limbah radiologi, limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di

Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah

sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu (Sebayang dkk,

1996).Sementara itu, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Sudin Kesmas Jaktim menduga, buruknya

pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah

sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen

Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar. Padahal setiap rumah sakit,

selain harus memiliki IPAL, juga harus memiliki surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) dan

surat izin pengolahan limbah cair. Sementara limbah organ-organ manusia harus di bakar di incinerator.

Persoalannya, harga incinerator itu cukup mahal sehingga tidak semua rumah sakit bisa memilikinya

(Sebayang dkk, 1996).

Page 2: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

              Beberapa hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit, dan jadi penyebab

tingginya tingkat penurunan kualitas lingkungan dari kegiatan rumah sakit antara lain disebabkan,

kurangnya kepedulian manajemen terhadap pengelolaan lingkungan karena tidak memahami masalah

teknis yang dapat diperoleh dari kegiatan pencegahan pencemaran, kurangnya komitmen pendanaan

bagi upaya pengendalian pencemaran karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk

menghasilkan uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran, kurang memahami apa yang

disebut produk usaha dan masih banyak lagi kekurangan lainnya (Sebayang dkk, 1996). Untuk itu,

upaya-upaya yang harus dilakukan rumah sakit adalah, mulai dan membiasakan untuk mengidentifikasi

dan memilah jenis limbah berdasarkan teknik pengelolaan (Limbah B3, infeksius, dapat digunapakai

atau guna ulang). Meningkatkan pengelolaan dan pengawasan serta pengendalian terhadap pembelian

dan penggunaan, pembuangan bahan kimia baik B3 maupun non B3. Memantau aliran obat mencakup

pembelian dan persediaan serta meningkatkan pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan

lingkungan melalui pelatihan dengan materi pengolahan bahan, pencegahan pencemaran,

pemeliharaan peralatan serta tindak gawat darurat (Sebayang dkk, 1996).

Penanganan dan Pengolahan Limbah Rumah Sakit

Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair, padat dan

gas.Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit

yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari

limbah rumah sakit.

Sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No. 9 tahun 1990 tentang Pokok-pokok Kesehatan,

bahwa setiap warga berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan yang berupa

pencegahan dan pemberantasan penyakit, pencegahan dan penanggulangan pencemaran, pemulihan

kesehatan, penerangan dan pendidikan kesehatan kepada masyarakat (Siregar, 2001).

Upaya perbaikan kesehatan masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai macam cara, yaitu

pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, penyediaan

air bersih, penyuluhan kesehatan serta pelayanan kesehatan ibu dan anak. Selain itu, perlindungan

terhadap bahaya pencemaran lingkungan juga perlu diberi perhatian khusus (Said dan Ineza, 2002).

Rumah sakit merupakan sarana upaya perbaikan kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan

dan dapat dimanfaatkan pula sebagai lembaga pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Pelayanan

kesehatan yang dilakukan rumah sakit berupa kegiatan penyembuhan penderita dan pemulihan

keadaan cacat badan serta jiwa (Said dan Ineza, 2002).

Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair, padat dan gas.

Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian dari kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit

yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang bersumber dari

limbah rumah sakit. Unsur-unsur yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan pelayanan rumah sakit

(termasuk pengelolaan limbahnya), yaitu (Giyatmi. 2003) :

Page 3: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

Pemrakarsa atau penanggung jawab rumah sakit.

Pengguna jasa pelayanan rumah sakit.

Para ahli, pakar dan lembaga yang dapat memberikan saran-saran.

Para pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan sarana dan fasilitas yang diperlukan.

Upaya pengelolaan limbah rumah sakit telah dilaksanakan dengan menyiapkan perangkat lunaknya

yang berupa peraturan-peraturan, pedoman-pedoman dan kebijakan-kebijakan yang mengatur

pengelolaan dan peningkatan kesehatan di lingkungan rumah sakit. Di samping itu secara bertahap dan

berkesinambungan Departemen Kesehatan mengupayakan instalasi pengelolaan limbah rumah sakit.

Sehingga sampai saat ini sebagian rumah sakit pemerintah telah dilengkapi dengan fasilitas

pengelolaan limbah, meskipun perlu untuk disempurnakan. Namun harus disadari bahwa pengelolaan

limbah rumah sakit masih perlu ditingkatkan lagi (Barlin, 1995).

1.2. Peranan Rumah Sakit Dalam Pengelolaan Limbah

Rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan

yang meliputi pelayanan rawat jalan, rawat nginap, pelayanan gawat darurat, pelayanan medik dan non

medik yang dalam melakukan proses kegiatan hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan sosial, budaya

dan dalam menyelenggarakan upaya dimaksud dapat mempergunakan teknologi yang diperkirakan

mempunyai potensi besar terhadap lingkungan (Agustiani dkk, 1998).

Limbah yang dihasilkan rumah sakit dapat membahayakan kesehatan masyarakat, yaitu limbah berupa

virus dan kuman yang berasal dan Laboratorium Virologi dan Mikrobiologi yang sampai saat ini belum

ada alat penangkalnya sehingga sulit untuk dideteksi. Limbah cair dan Iimbah padat yang berasal dan

rumah sakit dapat berfungsi sebagai media penyebaran gangguan atau penyakit bagi para petugas,

penderita maupun masyarakat. Gangguan tersebut dapat berupa pencemaran udara, pencemaran air,

tanah, pencemaran makanan dan minunian. Pencemaran tersebut merupakan agen agen kesehatan

lingkungan yang dapat mempunyai dampak besar terhadap manusia (Agustiani dkk, 1998).

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Kesehatan menyebutkan bahwa setiap

warga negara Indonesia berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu

Pemerintah menyelenggarakan usaha-usaha dalam lapangan pencegahan dan pemberantasan

penyakitpencegahan dan penanggulangan pencemaran, pemulihan kesehatan, penerangan dan

pendidikan kesehatan pada rakyat dan lain sebagainya (Karmana dkk, 2003). Usaha peningkatan dan

pemeliharaan kesehatan harus dilakukan secara terus menerus, sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan di bidang kesehatan, maka usaha pencegahan dan penanggulangan pencemaran

diharapkan mengalami kemajuan. Adapun cara-cara pencegahan dan penanggulangan pencemaran

limbah rumah sakit antara lain adalah melalui (Karmana dkk, 2003) :

Proses pengelolaan limbah padat rumah sakit.

Proses mencegah pencemaran makanan di rumah sakit.

Sarana pengolahan/pembuangan limbah cair rumah sakit pada dasarnya berfungsi menerima limbah

cair yang berasal dari berbagai alat sanitair, menyalurkan melalui instalasi saluran pembuangan dalam

gedung selanjutnya melalui instalasi saluran pembuangan di luar gedung menuju instalasi pengolahan

Page 4: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

buangan cair. Dari instalasi limbah, cairan yang sudah diolah mengalir saluran pembuangan ke

perembesan tanah atau ke saluran pembuangan kota (Sabayang dkk, 1996). Limbah padat yang

berasal dari bangsal-bangsal, dapur, kamar operasi dan lain sebagainya baik yang medis maupun non

medis perlu dikelola sebaik-baiknya sehingga kesehatan petugas, penderita dan masyarakat di sekitar

rumah sakit dapat terhindar dari kemungkinan-kemungkinan dampak pencemaran limbah rumah sakit

tersebut (Sabayang dkk, 1996).

1.3. Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit

Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh RS di Indonesia

berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali

menunjukkan bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per hari. Sedangkan

produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari. Analisis lebih jauh menunjukkan,

produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah

infektius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS

sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Dari gambaran

tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi RS untuk mencemari lingkungan dan

kemungkinannya menimbulkan kecelakaan serta penularan penyakit (Sebayang dkk, 1996). Rumah

sakit menghasilkan limbah dalam jumlah besar, beberapa diantaranya membahyakan kesehatan di

lingkungannya. Di negara maju, jumlah limbah diperkirakan 0,5 - 0,6 kilogram per tempat tidur rumah

sakit per hari (Sebayang dkk, 1996).

Sementara itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah melayangkan teguran kepada 23 rumah sakit (RS)

yang tidak mengindahkan surat peringatan mengenai keharusan memiliki instalasi pengolahan air

limbah (IPAL). Berdasarkan data dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jaktim yang

diterima Pembaruan, dari 26 rumah sakit yang ada di Jaktim, hanya tiga rumah sakit saja yang memiliki

IPAL dan bekerja dengan baik. Selebihnya, ada yang belum memiliki IPAL dan beberapa rumah sakit

IPAL-nya dalam kondisi rusak berat (Sebayang dkk, 1996).Data tersebut juga menyebutkan, hanya

sembilan rumah sakit saja yang memiliki incinerator. Alat tersebut, digunakan untuk membakar limbah

padat berupa limbah sisa-sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh dibuang begitu saja. Menurut

Kepala BPLHD Jaktim, Surya Darma, pihaknya sudah menyampaikan surat edaran yang mengharuskan

pihak rumah sakit melaporkan pengelolaan limbahnya setiap tiga bulan sekali. Sayangnya, sejak

dilayangkannya surat edaran akhir September 2005 lalu, hanya tiga rumah sakit saja yang memberikan

laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola

dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis

noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran tersebut justru

memperbesar permasalahan limbah medis. Padahal, limbah medis memerlukan pengelolaan khusus

yang berbeda dengan limbah nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah

radiologi, limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium. Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di

Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan limbah. Ironisnya, malah

sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke tangki pembuangan seperti itu (Sebayang dkk,

1996).Sementara itu, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Sudin Kesmas Jaktim menduga, buruknya

pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah

Page 5: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat yang diterbitkan Departemen

Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan dengan benar. Padahal setiap rumah sakit,

selain harus memiliki IPAL, juga harus memiliki surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) dan

surat izin pengolahan limbah cair. Sementara limbah organ-organ manusia harus di bakar di incinerator.

Persoalannya, harga incinerator itu cukup mahal sehingga tidak semua rumah sakit bisa memilikinya

(Sebayang dkk, 1996).

Beberapa hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola rumah sakit, dan jadi penyebab tingginya tingkat

penurunan kualitas lingkungan dari kegiatan rumah sakit antara lain disebabkan, kurangnya kepedulian

manajemen terhadap pengelolaan lingkungan karena tidak memahami masalah teknis yang dapat

diperoleh dari kegiatan pencegahan pencemaran, kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya

pengendalian pencemaran karena menganggap bahwa pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan

uang bukan membuang uang mengurusi pencemaran, kurang memahami apa yang disebut produk

usaha dan masih banyak lagi kekurangan lainnya (Sebayang dkk, 1996). Untuk itu, upaya-upaya yang

harus dilakukan rumah sakit adalah, mulai dan membiasakan untuk mengidentifikasi dan memilah jenis

limbah berdasarkan teknik pengelolaan (Limbah B3, infeksius, dapat digunapakai atau guna ulang).

Meningkatkan pengelolaan dan pengawasan serta pengendalian terhadap pembelian dan penggunaan,

pembuangan bahan kimia baik B3 maupun non B3. Memantau aliran obat mencakup pembelian dan

persediaan serta meningkatkan pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan lingkungan melalui

pelatihan dengan materi pengolahan bahan, pencegahan pencemaran, pemeliharaan peralatan serta

tindak gawat darurat (Sebayang dkk, 1996).

1.4. Jenis Limbah Rumah Sakit Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Serta Lingkungan

Limbah rumah Sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan

penunjang lainnya. Mengingat dampak yang mungkin timbul, maka diperlukan upaya pengelolaan yang

baik meliputi pengelolaan sumber daya manusia, alat dan sarana, keuangan dan tatalaksana

pengorganisasian yang ditetapkan dengan tujuan memperoleh kondisi rumah sakit yang memenuhi

persyaratan kesehatan lingkungan (Said, 1999). Limbah rumah Sakit bisa mengandung bermacam-

macam mikroorganisme bergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan

sebelum dibuang. Limbah cair rumah sakit dapat mengandung bahan organik dan anorganik yang

umumnya diukur dan parameter BOD, COD, TSS, dan lain-lain. Sedangkan limbah padat rumah sakit

terdiri atas sampah mudah membusuk, sampah mudah terbakar, dan lain-lain. Limbah- limbah tersebut

kemungkinan besar mengandung mikroorganisme patogen atau bahan kimia beracun berbahaya yang

menyebabkan penyakit infeksi dan dapat tersebar ke lingkungan rumah sakit yang disebabkan oleh

teknik pelayanan kesehatan yang kurang memadal, kesalahan penanganan bahan-bahan

terkontaminasi dan peralatan, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana sanitasi yang masib buruk

(Said, 1999).

Pembuangan limbah yang berjumlah cukup besar ini paling baik jika dilakukan dengan memilah-milah

limbah ke dalam pelbagai kategori. Untuk masing-masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan

limbah yang berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin

menghindari resiko kontaminsai dan trauma (injury). jenis-jenis limbah rumah sakit meliputi bagian

berikut ini (Shahib dan Djustiana, 1998) :

Page 6: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

a. Limbah Klinik

Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin, pembedahan dan di unit-unit resiko tinggi.

Limbah ini mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi kuman dan populasi umum dan

staff rumah sakit. Oleh karena itu perlu diberi label yang jelas sebagai resiko tinggi. contoh limbah jenis

tersebut ialah perban atau pembungkus yang kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi,

jarum-jarum dan semprit bekas, kantung urin dan produk darah.

b. Limbah Patologi

Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya diotoklaf sebelum keluar dari unit patologi.

Limbah tersebut harus diberi label biohazard.

c. Limbah Bukan Klinik

Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkontak dengan

cairan badan. Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah tersebut cukup merepotkan karena

memerlukan tempat yang besar untuk mengangkut dan mambuangnya.

d. Limbah Dapur

Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor. Berbagai serangga seperti kecoa, kutu dan

hewan mengerat seperti tikus merupakan gangguan bagi staff maupun pasien di rumah sakit.

e. Limbah Radioaktif

Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan pengendalian infeksi di rumah sakit, pembuangannya

secara aman perlu diatur dengan baik.

1.5. Pencegahan Pengolahan Limbah Pada Pelayanan Kesehatan

Pengolahan limbah pada dasarnya merupakan upaya mengurangi volume, konsentrasi atau bahaya

limbah, setelah proses produksi atau kegiatan, melalui proses fisika, kimia atau hayati. Dalam

pelaksanaan pengelolaan limbah, upaya pertama yang harus dilakukan adalah upaya preventif yaitu

mengurangi volume bahaya limbah yang dikeluarkan ke lingkungan yang meliputi upaya mengunangi

limbah pada sumbernya, serta upaya pemanfaatan limbah (Shahib, 1999). Program minimisasi limbah di

Indonesia baru mulai digalakkan, bagi rumah sakit masih merupakan hal baru, yang tujuannya untuk

mengurangi jumlah limbah dan pengolahan limbah yang masih mempunyainilai ekonomi (Shahib, 1999).

Berbagai upaya telah dipergunakan untuk mengungkapkan pilihan teknologi mana yang terbaik untuk

pengolahan limbah, khususnya limbah berbahaya antara lain reduksi limbah (waste reduction),

minimisasi limbah (waste minimization), pemberantasan limbah (waste abatement), pencegahan

pencemaran (waste prevention) dan reduksi pada sumbemya (source reduction) (Hananto, 1999).

Reduksi limbah pada sumbernya merupakan upaya yang harus dilaksanakan pertama kali karena upaya

ini bersifat preventif yaitu mencegah atau mengurangi terjadinya limbah yang keluar dan proses

produksi. Reduksi limbah pada sumbernya adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas

Page 7: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

dan tingkat bahaya limbah yang akan keluar ke lingkungan secara preventif langsung pada sumber

pencemar, hal ini banyak memberikan keuntungan yakni meningkatkan efisiensi kegiatan serta

mengurangi biaya pengolahan limbah dan pelaksanaannya relatif murah (Hananto, 1999). Berbagai

cara yang digunakan untuk reduksi limbah pada sumbernya adalah (Arthono, 2000) :

1. House Keeping yang baik, usaha ini dilakukan oleh rumah sakit dalam menjaga kebersihan

lingkungan dengan mencegah terjadinya ceceran, tumpahan atau kebocoran bahan serta

menangani limbah yang terjadi dengan sebaik mungkin.

2. Segregasi aliran limbah, yakni memisahkan berbagai jenis aliran limbah menurut jenis komponen,

konsentrasi atau keadaanya, sehingga dapat mempermudah, mengurangi volume, atau

mengurangi biaya pengolahan limbah.

3. Pelaksanaan preventive maintenance, yakni pemeliharaan/penggantian alat atau bagian alat

menurut waktu yang telah dijadwalkan.

4. Pengelolaan bahan (material inventory), adalah suatu upaya agar persediaan bahan selalu cukup

untuk menjamin kelancaran proses kegiatan, tetapi tidak berlebihan sehiugga tidak menimbulkan

gangguan lingkungan, sedangkan penyimpanan agar tetap rapi dan terkontrol.

5. Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik: sesuai dengan petunjuk

pengoperasian/penggunaan alat dapat meningkatkan efisiensi.

6. Penggunaan teknologi bersih yakni pemilikan teknologi proses kegiatan yang kurang potensi

untuk mengeluarkan limbah B3 dengan efisiensi yang cukup tinggi, sebaiknya dilakukan pada

saat pengembangan rumah sakit baru atau penggantian sebagian unitnya.

Kebijakan kodifikasi penggunaan warna untuk memilah-milah limbah di seluruh rumah sakit harus

memiliki warna yang sesuai, sehingga limbah dapat dipisah-pisahkan di tempat sumbernya, perlu

memperhatikan hal-hal berikut (Haryanto, 2001) :

1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah dengan dua warna, satu untuk limbah klinik

dan yang lain untuk bukan klinik.

2. Semua limbah dari kamar operasi dianggap sebagai limbah klinik.

3. Limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis, dianggap sebagai limbah klinik.

4. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus dianggap sebagai limbah klinik dan perlu

dinyatakan aman sebelum dibuang.

Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan kodifikasi dengan warna yang

menyangkut hal-hal berikut (Sundana, 2000) :

1. Pemisahan limbah

Limbah harus dipisahkan dari sumbernya

Semua limbahberesiko tinggi hendaknya diberi label jelas

Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda, yang menunjukkan ke

mana plastik harus diangkut untuk insinerasi atau dibuang. Di beberapa negara, kantung plastik

cukup mahal sehingga sebagai ganti dapat digunakan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat

secara lokal sehingga dapat diperoleh dengan mudah). Kantung kertas ini dapat ditempeli

Page 8: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

dengan strip berwarna, kemudian ditempatkan di tong dengan kode warna dibangsal dan unit-unit

lain

2. Penyimpanan limbah

Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah berisi 2/3 bagian. Kemudian diikat

bagian atasnya dan diberi label yang jelas

Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga kalau dibawa mengayun

menjauhi badan, dan diletakkan di tempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan

Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang samatelah

dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai

Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak sebelum

diangkut ke tempat pembuangannya

3. Penanganan limbah

Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh diangkut bila telah ditutup

Kantung dipegang pada lehernya

Petugas harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya dengan memakai sarung tangan yang

kuat dan pakaian terusan (overal), pada waktu mengangkut kantong tersebut

Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan kantung baru yang bersih untuk membungkus

kantung baru yang kotor tersebut seisinya (double bagging)

Petugas diharuskan melapor jika menemukan benda-benda tajam yang dapat mencederainya di

dalma kantung yang salah

Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan tangannya kedalam kantung limbah

4. Pengangkutan limbah

Kantung limbah dikumpulkan dan seklaigus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah bagian bukan

klinik misalnya dibawa ke kompaktor, limbah bagian klinik dibawa ke insinerator. Pengankutan dengan

kendaran khusus (mungkin ada kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum) kendaraan yang digunakan

untuk mengankut limbah tersebut sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan tiap hari, kalau perlu

(misalnya bila ada kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.

5. Pembuangan limbah

Setelah dimanfaatkan dengan kompaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat penimbunan

sampah (land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insinerasi), jika tidak mungkin harus ditimbun dengan

kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga tidak sampai

membusuk.

Kemudian mengenai limbah gas, upaya pengelolaannya lebih sederhana dibanding dengan limbah cair,

pengelolaan limbah gas tidak dapat terlepas dari upaya penyehatan ruangan dan bangunan khususnya

dalam memelihara kualitas udara ruangan (indoor) yang antara lain disyaratkan agar (Agustiani dkk,

2000) :

Page 9: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

Tidak berbau (terutania oleh gas H2S dan Anioniak);

Kadar debu tidak melampaui 150 Ug/m3 dalam pengukuran rata-rata selama 24 jam.

Angka kuman. Ruang operasi : kurang dan 350 kalori/m3 udara dan bebas kuman padao gen

(khususnya alpha streptococus haemoliticus) dan spora gas gangrer. Ruang perawatan dan

isolasi : kurang dan 700 kalorilm3 udara dan bebas kuman patogen. Kadar gas dan bahan

berbahaya dalam udara tidak melebihi konsentrasi maksimum yang telah ditentukan.

Rumah sakit yang besar mungkin mampu membeli insinerator sendiri. insinerator berukuran kecil atau

menengah dapat membakar pada suhu 1300 - 1500o C atau lebih tinggi dan mungkin dapat mendaur

ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat

pula memperoleh penghasilan tambahan dengan melayani insinerasi limbah rumah sakityang berasal

dari rumah sakitlain. Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain

kemampuannya menampung limbah klinik maupun bukan klinik, termasuk benda tajam dan produk

farmasi yang tidak terpakai (Rostiyanti dan Sulaiman, 2001).

Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan ditanam. Langkah-

langkah pengapuran (liming) tersebut meliputi yang berikut (Djoko, 2001) :

Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter.

Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75 cm.

Tambahkan lapisan kapur.

Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditambahkan sampai ketinggian 0,5

meter dibawah permukaan tanah.

Akhirnya lubang tersebut harus dituutup dengan tanah.

1.6. Ozonisasi Pengolahan Limbah Medis

Limbah cair yang dihasilkan dari sebuah rumah sakitumumnya banyak mengandung bakteri, virus,

senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat sekitar rumah

sakittersebut. Dari sekian banyak sumber limbah di rumah sakit, limbah dari laboratorium paling perlu

diwaspadai. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses uji laboratorium tidak bisa diurai hanya

dengan aerasi atau activated sludge. Bahan-bahan itu mengandung logam berat dan inveksikus,

sehingga harus disterilisasi atau dinormalkan sebelum "dilempar" menjadi limbah tak berbahaya. Untuk

foto rontgen misalnya, ada cairan tertentu yang mengandung radioaktif yang cukup berbahaya. Setelah

bahan ini digunakan. limbahnya dibuang (Suparmin dkk, 2002).

1.7. Teknologi Pengolahan Limbah

Teknologi pengolahan limbah medis yang sekarang jamak dioperasikan hanya berkisar antara masalah

tangki septik dan insinerator. Keduanya sekarang terbukti memiliki nilai negatif besar. Tangki septik

banyak dipersoalkan lantaran rembesan air dari tangki yang dikhawatirkan dapat mencemari tanah.

Terkadang ada beberapa rumah sakit yang membuang hasil akhir dari tangki septik tersebut langsung

ke sungai-sungai, sehingga dapat dipastikan sungai tersebut mulai mengandung zat medis (Suparmin

dkk, 2002).

Page 10: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

Sedangkan insinerator, yang menerapkan teknik pembakaran pada sampah medis, juga bukan berarti

tanpa cacat. Badan Perlindungan Lingkungan AS menemukan teknik insenerasi merupakan sumber

utama zat dioksin yang sangat beracun. Penelitian terakhir menunjukkan zat dioksin inilah yang menjadi

pemicu tumbuhnya kanker pada tubuh (Suparmin dkk, 2002). Yang sangat menarik dari permasalahan

ini adalah ditemukannya teknologi pengolahan limbah dengan metode ozonisasi. Salah satu metode

sterilisasi limbah cair rumah sakit yang direkomendasikan United States Environmental Protection

Agency (USEPA) pada tahun 1999. Teknologi ini sebenarnya dapat juga diterapkan untuk mengelola

limbah pabrik tekstil, cat, kulit, dan lain-lain (Christiani, 2002).

1.7.1. Ozonisasi

Proses ozonisasi telah dikenal lebih dari seratus tahun yang lalu. Proses ozonisasi atau proses dengan

menggunakan ozon pertama kali diperkenalkan Nies dari Prancis sebagai metode sterilisasi pada air

minum pada tahun 1906. Penggunaan proses ozonisasi kemudian berkembang sangat pesat. Dalam

kurun waktu kurang dari 20 tahun terdapat kurang lebih 300 lokasi pengolahan air minum menggunakan

ozonisasi untuk proses sterilisasinya di Amerika (Berlanga, 1998).

Dewasa ini, metode ozonisasi mulai banyak dipergunakan untuk sterilisasi bahan makanan, pencucian

peralatan kedokteran, hingga sterilisasi udara pada ruangan kerja di perkantoran. Luasnya penggunaan

ozon ini tidak terlepas dari sifat ozon yang dikenal memiliki sifat radikal (mudah bereaksi dengan

senyawa disekitarnya) serta memiliki oksidasi potential 2.07 V. Selain itu, ozon telah dapat dengan

mudah dibuat dengan menggunakan plasma seperti corona discharge (Berlanga, 1998). Melalui proses

oksidasinya pula ozon mampu membunuh berbagai macam mikroorganisma seperti bakteri Escherichia

coli, Salmonella enteriditis, Hepatitis A Virus serta berbagai mikroorganisma patogen lainnya (Crites,

1998). Melalui proses oksidasi langsung ozon akan merusak dinding bagian luar sel mikroorganisma

(cell lysis) sekaligus membunuhnya. Juga melalui proses oksidasi oleh radikal bebas seperti hydrogen

peroxy (HO2) dan hydroxyl radical (OH) yang terbentuk ketika ozon terurai dalam air. Seiring dengan

perkembangan teknologi, dewasa ini ozon mulai banyak diaplikasikan dalam mengolah limbah cair

domestik dan industri (Akers, 1993).

1.7.2. Ozonisasi Limbah cair rumah sakit

Limbah cair yang berasal dari berbagai kegiatan laboratorium, dapur, laundry, toilet, dan lain sebagainya

dikumpulkan pada sebuah kolam equalisasi lalu dipompakan ke tangki reaktor untuk dicampurkan

dengan gas ozon. Gas ozon yang masuk dalam tangki reaktor bereaksi mengoksidasi senyawa organik

dan membunuh bakteri patogen pada limbah cair (Harper, 1986).

Limbah cair yang sudah teroksidasi kemudian dialirkan ke tangki koagulasi untuk dicampurkan

koagulan. Lantas proses sedimentasi pada tangki berikutnya. Pada proses ini, polutan mikro, logam

berat dan lain-lain sisa hasil proses oksidasi dalam tangki reaktor dapat diendapkan (Harper, 1986).

Selanjutnya dilakukan proses penyaringan pada tangki filtrasi. Pada tangki ini terjadi proses adsorpsi,

yaitu proses penyerapan zat-zat pollutan yang terlewatkan pada proses koagulasi. Zat-zat polutan akan

dihilangkan permukaan karbon aktif. Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, atau tidak

mampu lagi menyerap maka proses penyerapan akan berhenti, dan pada saat ini karbon aktif harus

Page 11: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

diganti dengan karbon aktif baru atau didaur ulang dengan cara dicuci. Air yang keluar dari filter karbon

aktif untuk selanjutnya dapat dibuang dengan aman ke sungai (Harper, 1986).

Ozon akan larut dalam air untuk menghasilkan hidroksil radikal (-OH), sebuah radikal bebas yang

memiliki potential oksidasi yang sangat tinggi (2.8 V), jauh melebihi ozon (1.7 V) dan chlorine (1.36 V).

Hidroksil radikal adalah bahan oksidator yang dapat mengoksidasi berbagai senyawa organik (fenol,

pestisida, atrazine, TNT, dan sebagainya). Sebagai contoh, fenol yang teroksidasi oleh hidroksil

radikalakan berubah menjadi hydroquinone, resorcinol, cathecol untuk kemudian teroksidasi kembali

menjadi asam oxalic dan asam formic, senyawa organik asam yang lebih kecil yang mudah teroksidasi

dengan kandungan oksigen yang di sekitarnya. Sebagai hasil akhir dari proses oksidasi hanya akan

didapatkan karbon dioksida dan air (Harper, 1986). Hidroksil radikal berkekuatan untuk mengoksidasi

senyawa organik juga dapat dipergunakan dalam proses sterilisasi berbagai jenis mikroorganisma,

menghilangkan bau, dan menghilangkan warna pada limbah cair. Dengan demikian akan dapat

mengoksidasi senyawa organik serta membunuh bakteri patogen, yang banyak terkandung dalam

limbah cair rumah sakit (Wilson, 1986). Pada saringan karbon aktif akan terjadi proses adsorpsi, yaitu

proses penyerapan zat-zat yang akan diserap oleh permukaan karbon aktif. Apabila seluruh permukaan

karbon aktif ini sudah jenuh, proses penyerapan akan berhenti. Maka, karbon aktif harus diganti baru

atau didaur ulang dengan cara dicuci (Wilson, 1986).

Dalam aplikasi sistem ozonisasi sering dikombinasikan dengan lampu ultraviolet atau hidrogen

peroksida.Dengan melakukan kombinasi ini akan didapatkan dengan mudah hidroksil radikal dalam air

yang sangat dibutuhkan dalam proses oksidasi senyawa organik. Teknologi oksidasi ini tidak hanya

dapat menguraikan senyawa kimia beracun yang berada dalam air, tapi juga sekaligus

menghilangkannya sehingga limbah padat (sludge) dapat diminimalisasi hingga mendekati 100%.

Dengan pemanfaatan sistem ozonisasi ini dapat pihak rumah sakittidak hanya dapat mengolah

limbahnya tapi juga akan dapat menggunakan kembali air limbah yang telah terproses (daur ulang).

Teknologi ini, selain efisiensi waktu juga cukup ekonomis, karena tidak memerlukan tempat instalasi

yang luas (Wilson, 1986).

Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi masyarakat

sekitarnya, tetapi juga mungkin dampak negatif. Dampak negatif itu berupa cemaran akibat proses

kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar. Pengelolaan limbah rumah

sakityang tidak baik akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan penyakit darin

pasien ke pekerja, dari pasien ke pasien dari pekerja ke pasien maupun dari dan kepada masyarakat

pengunjung rumah sakit. Oleh sebab itu untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja

maupun orang lain yang berada di lingkungan rumah sakit dana sekitarnya, perlu penerapan kebijakan

sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan dan

monitoring limbah rumah sakitsebagai salah astu indikator penting yang perlu diperhatikan. Rumah sakit

sebagai institusi yang sosioekonomis karena tugasnya memberikan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat, tidak terlepas dari tanggung jawab pengelolaan limbah yang dihasilkan (Wilson, 1986).

LIMBAH RUMAH SAKIT

Page 12: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

Limbah domestik biasanya berupa kertas, karton, plastik, gelas, metal, dan sampah dapur. Hanya 19%

limbah domestik yang telah diolah dan dimanfaatkan kembali, sisanya limbah domestik dari rumah sakit

masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA). Limbah medis sangat penting untuk dikelola secara benar,

hal ini mengingat limbah medis termasuk kedalam kategori limbah berbahaya dan beracun. Sebagian

limbah medis termasuk kedalam kategori limbah berbahaya dan sebagian lagi termasuk kategori

infeksius. Limbah medis berbahaya yang berupa limbah kimiawi, limbah farmasi, logam berat, limbah

genotoxic dan wadah bertekanan masih banyak yang belum dikelola dengan baik. Sedangkan limbah

infeksius merupakan limbah yang bisa menjadi sumber penyebaran penyakit baik kepada petugas,

pasien, pengunjung ataupun masyarakat di sekitar lingkungan rumah sakit. Limbah infeksius biasanya

berupa jaringan tubuh pasien, jarum suntik, darah, perban, biakan kultur, bahan atau perlengkapan yang

bersentuhan dengan penyakit menular atau media lainnya yang diperkirakan tercemari oleh penyakit

pasien. Pengelolaan lingkungan yang tidak tepat akan beresiko terhadap penularan penyakit. Beberapa

resiko kesehatan yang mungkin ditimbulkan akibat keberadaan rumah sakit antara lain: penyakit

menular (hepatitis,diare, campak, AIDS, influenza), bahaya radiasi (kanker, kelainan organ genetik) dan

resiko bahaya kimia.

 

Penaganan limbah medis sudah sangat mendesak dan menjadi perhatian Internasional. Isu ini telah

menjadi agenda pertemuan internasional yang penting. Pada tanggal 8 Agustus 2007 telah dilakukan

pertemuan High Level Meeting on Environmental and Health South-East and East-Asian Countries di

Bangkok. Dimana salah satu hasil pertemuan awal Thematic Working Group (TWG) on Solid and

Hazardous Waste yang akan menindaklanjuti tentang penanganan limbah yang terkait dengan limbah

domestik dan limbah medis. Selanjutnya pada tanggal 28-29 Pebruari 2008 dilakukan pertemuan

pertama  (TWG) on Solid and Hazardous Waste di Singapura membahas tentang pengelolaan limbah

medis dan domestic di masing masing negara.   

 

Pada saat ini masih banyak rumah sakit yang kurang memberikan perhatian yang serius terhadap

pengelolaan limbahnya. Pengelolaan limbah masih �terpinggirkan� dari pihak manajemen RS. Hal ini

terlihat dalam struktur organisasi RS, divisi lingkungan masih terselubung di bawah bag. Umum.

Pemahaman ataupun pengetahuan pihak pengelola lingkungan tentang peraturan dan peryaratan dalam

pengelolaan limbah medis masih dirasa minim. Masih banyak yang belum mengetahui tatacara dan

kewajiban pengelolaan limbah medis baik dalam hal penyimpanan limbah, incinerasi limbah maupun

pemahaman tentang limbah B3 sendiri masih terbatas.

 

Data hasil pengawasan di DKI Jakarta per Juni 2005 menunjukkan bahwa dari 77 Rumah Sakit yang

diawasi :

�      Hanya 32 RS (40 %) yang mempunyai alat ukur debit

�      Hanya 27 RS (35 %) yang melakukan swapantau

�      Hanya 25 RS (32 %) yang memenuhi BMAL

 

Disamping itu, hasil kajian terhadap rumah sakit yang ada di Bandung pada tahun 2005 menunjukkan:

�         jumlah limbah rumah sakit yang dihasilkan di Bandung sebesar 3.493 ton per tahun,

�         Komposisi limbah padat rumah sakit terdiri atas :

Page 13: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

-          85% limbah domestik,

-          15% limbah medis terdiri atas: 11% limbah infeksius dan 4% limbah berbahaya.

�         Limbah domestik yang sudah dimanfaatkan hanya sebesar 19%

 

Beberapa peraturan yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan Rumah Sakit antara lain diatur

dalam :

-          Permenkes 1204/Menkes/PerXI/2004, mengatur tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan

Rumah Sakit

-          Kepmen KLH 58/1995, mengatur tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit

-          PP18 tahun 1999 jo PP 85 tahun 1999, mengatur tentang pengelolaan limbah bahan

berbahaya dan Beracun (B3)

-          Kepdal 01- 05 tahun 1995 tentang pengelolaan limbah B3

 

Limbah medis termasuk dalam kategori limbah berbahaya dan beracun (LB3) sesuai dengan PP 18 thn

1999 jo PP 85 thn 1999 lampiran I daftar limbah spesifik dengan kode limbah D 227.  Dalam kode

limbah D227 tersebut disebutkan bahwa limbah rumah sakit dan limbah klinis yang termasuk limbah B3

adalah limbah klinis, produk farmasi kadaluarsa, peralatan laboratorium terkontaminasi, kemasan

produk farmasi, limbah laboratorium, dan residu dari proses insinerasi.

 

Dalam pengelolaan limbah padatnya, rumah sakit diwajibkan melakukan pemilahan limbah dan

menyimpannya dalam kantong plastik yang berbeda beda berdasarkan karakteristik limbahnya. Limbah

domestik di masukkan kedalam plastik berwarna hitam, limbah infeksius kedalam kantong plastik

berwarna kuning, limbah sitotoksic kedalam warna kuning, limbah kimia/farmasi kedalam kantong plastik

berwarna coklat dan limbah radio aktif kedalam kantong warna merah. Disamping itu rumah sakit

diwajibkan memiliki tempat penyimpanan sementara limbahnya sesuai persyaratan yang ditetapkan

dalam Kepdal 01 tahun 1995. Pengelolaan limbah infeksius dengan menggunakan incinerator harus

memenuhi beberapa persyaratan seperti yang tercantum dalam Keputusan Bapedal No 03 tahun 1995.

Peraturan tersebut mengatur tentang kualitas incinerator dan emisi yang dikeluarkannya. Incinerator

yang diperbolehkan untuk digunakan sebagai penghancur limbah B3 harus memiliki efisiensi

pembakaran dan  efisiensi penghancuran / penghilangan (Destruction Reduction Efisience) yang tinggi.

 

Baku Mutu DRE untuk Incinerator

No Parameter Baku Mutu DRE

 

1. POHCs 99.99%

2. Polychlorinated biphenil (PCBs) 99.9999%

3. Polychlorinated dibenzofuran

(PCDFs)

99.9999%

4. Polychlorinated dibenzo-p-dioksin 99.9999%

 

Disamping itu, persyaratan lain yang harus dipenuhi dalam menjalankan incinerator adalah emisi udara

yang dikeluarkannya harus sesuai dengan baku mutu emisi untuk incinerator.

Page 14: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

 

Baku Mutu Emisi Udara untuk Incinerator

No Parameter Kadar Maksimum

(mg/Nm2)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12

13

14

Partikel

Sulfur dioksida (SO2)

Nitrogen dioksida (NO2)

Hidrogen Fluorida (HF)

Karbon Monoksida (CO)

Hidrogen Chlorida (HCl)

Total Hidrocarbon (sbg CH4)

Arsen (As)

Kadmiun (Cd)

Kromium (Cr)

Timbal (Pb)

Merkuri (Hg)

Talium (Tl)

Opasitas

50

250

300

10

100

70

35

1

0.2

1

5

0.2

0.2

10%

 

Dalam penangan limbah medis ini rumah sakit dapat mengelolanya sendiri atau dikelola oleh rumah

sakit lain atau pengelola lain yang sudah memperoleh izin dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

Beberapa contoh rumah sakit yang sudah memperoleh izin pengoperasian incineratornya dari

Kementerian Negara Lingkungan Hidup

 

No Rumah Sakit Alamat

1 RSU Unit Swadana Kab Sumedang, Jabar

2 RSU Daerah Ajidamo R Rangkasbitung, Banten

3 RSUD Dr. M. Ashari Pemalang Pemalang, Jateng

4 RSUD Blambangan Banyuwangi, Jatim

5 RS Otorita Batam Sekupang, Batam

6 RSUD Ulin Banjarmasin, Kalsel

7 RS Tembakau Deli PRPN II Medan

8 RS Haji Jakarta

9 RS Prof Dr. Sulianti Saroso Jakarta

10 RS Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

11 RSD Cibinong Jawa Barat

 

 

Page 15: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

Green Hospital

 

Dalam mendorong pengelolaan lingkungan rumah sakit yang ramah lingkungan (Green Hospital),

Kementerian Negara Lingkungan Hidup mendorong Rumah Sakit agar dalam pengelolaannya tidak

hanya bersifat reaktif tetapi juga bersifat proaktif. Masih banyak rumah sakit yang dalam mengelola

lingkungannya hanya mengandalkan terhadap kecanggihan teknologi end of pipe treatment dan belum

memaximalkan opsi atau pilihan pencegahan dan minimisasi limbah. Agar mencapai green hospital

maka rumah sakit ddidorong untuk tidak hanya mengelola limbahnya sesuai degan peraturan saja tetapi

juga menerapkan prisip 3R (Reuse, Recycle, Recovery) terhadap limbah yang dihasilkannya serta

melakukan penghematan dalam penggunaan sumber daya alam dan energi seperti penghematan air,

listrik, bahan kimia, obat-obatan dan lain lain. Disamping itu pengelola juga didorong untuk terus

meningkatkan pengelolalaan kesehatan lingkungan rumah sakitnya.

 

Tahap awal dalam pengelolaan limbah medis adalah melakukan pencegahan pada sumbernya.

Semaksimal mugkin harus diupayakan pencegahan terhadap timbulnya limbah yang seharusnya tidak

terjadi. Upaya pencegahan pencemaran dan minimisasi limbah yang sering dikenal dengan Produksi

Bersih (Cleaner Production) akan memberikan keuntungan bagi pengelola dan lingkungan.  Dengan

berkurangnya jumlah limbah yang harus dimusnahkan dengan incinerator maka akan mengurangi

jumlah biaya operasionalnya dan akan mengurangi emisi yang dikeluarkan ke lingkungan. Berikut

adalah beberapa upaya dalam melakukan pencegahan timbulan limbah:

-          Pelaksanaan �House Keeping� yang baik, dengan menjaga kebersihan lingkungan, mencegah

terjadinya ceceran bahan. Dengan pelaksanaan good house keeping yang baik di laboratorium dan

kamar rawat akan menghindarkan terjadinya ceceran bahan kimia ataupun racikan obat.

-          Pemakaian air yang efisien akan mengurangi jumlah air yang masuk kedalam instalasi

pengolahan limbah cair (IPLC).

-          Kalaupun timbulan limbah tidak bisa dihindari maka perlu dilakukan segregasi atau pemilahan

limbah sehingga limbah yang masih bisa dimanfaatkan atau didaur ulang tidak terkontaminasi oleh

limbah infeksius. Contoh lainnya adalah pemisahan limbah klinis dengan limbah dari kegiatan non

klinis.

-          Pelaksanaan preventif maintenance, yang ketat akan menghindarkan terjadinya kerusakan alat

yang pada akhirnya dapat mengurangi jumlah limbah yang terjadi.

-          Pengelolaan bahan-bahan atau obat-obatan yang tepat, rapi dan selalu terkontrol sehingga tidak

terjadi ceceran dan kerusakan bahan atau obat, berarti mengurangi limbah yang terjadi.

 

Tahap selanjutnya terhadap limbah yang tidak bisa dihindari adalah langkah segregasi atau pemilahan.

Pemilahan dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan limbah berdasarkan karakteristiknya. Limbah

domestik harus terpisah dari limbah B3 ataupun limbah infeksius. Hal ini bertujuan agar jumlah ataupun

limbah yang harus ditreatmen secara khusus (limbah B3) tidak terlalu besar (minimal). Limbah kimia dari

laboratorium dan sisa racikan obat harus memiliki tempat penampungan tersendiri agar tidak

mengkontaminasi limbah cair lainnya yang bukan limbah B3.  

 

Page 16: Potensi Pence Mar An Limbah Rumah Sakit

Tahap ketiga adalah pemanfaatan limbah. Limbah yang masih bisa dimanfaatkan agar dipisahkan dari

limbah yang tercemar oleh limbah B3 ataupun limbah infeksius. Limbah domestik yang dapat didaur

ulang ataupun dimanfaatkan harus dipisah dalam tempat terpisah. Limbah domestik berupa

kertas/karton, plastik, gelas dan logam masih mempunyai nilai jual untuk di reuse. Begitu pula dengan

limbah domestik berupa sampah organik bisa untuk kompos. Limbah plastik bekas pengobatan lainnya

seperti bekas infus yang tidak terkontaminasi limbah B3 atau limbah infeksius dapat didaur ulang. Pada

saat ini hanya sekitar 19% limbah domestik dari rumah sakit yang sudah dimanfaatkan untuk didaur

ulang. Limbah berbahaya dan beracun sendiri tidak menutup kemungkinan untuk dapat dimanfaatkan

ataupun untuk direuse. Beberapa limbah kimia yang dapat dimanfaatkan kembali antara lain adalah

limbah radiologi seperti fixer dan developer dengan dikirimkan ke pihak ke-3 yang berizin.

 

Selanjutnya adalah penghancuran terhadap limbah infeksius dan padatan limbah B3 dengan incinerator.

Incinerator yang digunakan adalah incinerator yang mempunyai spesifikasi khusus sesuai dengan yang

disyaratkan dalam Kepdal No 03 Tahun 1995. Incinerator yang memiliki nilai pembakaran dan

penghancuran yang tinggi akan membakar habis limbahnya dan hanya meninggalkan sedikit sekali abu.

Abu yang dihasilkan dapat dikirim ke industri jasa pengolah limbah atau dimanfaatkan sendiri seizin

Kementerian Negara Lingkungan Hidup.