polifarmasi gerontik

20
Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan bersamaan 5 macam atau lebih obat-obatan oleh pasien yang sama. Namun, polifarmasi tidak hanya berkaitan dengan jumlah obat yang dikonsumsi. Secara klinis, kriteria untuk mengidentifikasi polifarmasi meliputi (Terrie, 2004): 1.Menggunakan obat-obatan tanpa indikasi yang jelas 2.Menggunakan terapi yang sama untuk penyakit yang sama 3.Penggunaan bersamaan obat-obatan yang berinteraksi 4.Penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat 5.Penggunaan obat-obatan lain untuk mengatasi efek samping obat. Polifarmasi meningkatkan risiko interaksi antara obat dengan obat atau obat dengan penyakit. Populasi lanjut usia memiliki risiko terbesar karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi dengan proses penuaan. Perubahan fisiologis ini, terutama menurunnya fungsi ginjal dan hepar, dapat menyebabkan perubahan proses farmakodinamik dan farmakokinetik obat tersebut (Terrie, 2004). 2.1 Farmakodinamik

Upload: wiky-wijaksana

Post on 27-Oct-2015

85 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Polifarmasi Gerontik

Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan bersamaan 5 macam atau lebih obat-obatan oleh pasien yang sama. Namun, polifarmasi tidak hanya berkaitan dengan jumlah obat yang dikonsumsi. Secara klinis, kriteria untuk mengidentifikasi polifarmasi meliputi (Terrie, 2004):

1. Menggunakan obat-obatan tanpa indikasi yang jelas

2. Menggunakan terapi yang sama untuk penyakit yang

sama

3. Penggunaan bersamaan obat-obatan yang berinteraksi

4. Penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat

5. Penggunaan obat-obatan lain untuk mengatasi efek

samping obat.

Polifarmasi meningkatkan risiko interaksi antara obat dengan

obat atau obat dengan penyakit. Populasi lanjut usia memiliki

risiko terbesar karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi

dengan proses penuaan. Perubahan fisiologis ini, terutama

menurunnya fungsi ginjal dan hepar, dapat menyebabkan

perubahan proses farmakodinamik dan farmakokinetik obat

tersebut (Terrie, 2004).

2.1 Farmakodinamik

Farmakodinamik menggambarkan efek obat terhadap tubuh.

Sebagai contoh, Acetylsalycilyc acid (ASA) menghambat fungsi

platelet sehingga memperpanjang waktu perdarahan. Oleh

karena itu, perdarahan adalah efek farmakodinamik dari ASA.

Page 2: Polifarmasi Gerontik

2.1.1 Efek Samping Obat

Hal utama yang perlu diperhatikan dalam polifarmasi adalah

risiko munculnya efek samping obat dan interaksi obat yang

serius. Dalam beberapa kasus, memang diperlukan terapi

dengan beberapa agen (Terrie, 2004).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 75% efek

samping obat yang menyebabkan pasien harus dirawat inap

berhubungan dengan agen farmakologis dan sebagian karena

monitoring yang tidak adekuat, peresepan yang kurang tepat,

dan kurangnya edukasi dan kompliansi pasien. Penelitian juga

menyatakan bahwa efek samping obat terjadi 6% pada pasien

yang mendapat 2 macam obat, meningkat 50% pada pasien

yang mengonsumsi 5 macam obat bersamaan, dan 100%

ketika lebih dari 8 obat digunakan (Terrie, 2004).

Efek samping obat polifarmasi terutama timbul pada pasien

tua. Hal ini dapat menyerupai sindrom geriatrik atau

menyebabkan kebingungan, jatuh, inkontinensia, retensi urin,

dan malaise. Efek samping ini menyebabkan dokter

meresepkan obat lain untuk mengatasinya (Terrie, 2004).

Penelitian tidak dapat menunjukkan bahwa banyaknya

penggunaan obat bersifat iatrogenik. Diagnosis klinis berkaitan

dengan penyakit cenderung lebih kompleks pada orang tua,

Page 3: Polifarmasi Gerontik

sehingga sulit untuk menentukan apakah gejala fisik dan psikis

yang timbul merupakan bagian dari proses penuaan normal.

Sulit untuk mengetahui apakah gejala yang timbul pada orang

tua disebabkan oleh penghentian obat. Penghentian obat

menyebabkan banyak gejala, seperti halusinasi dan kejang,

yang perlu ditangani dengan obat-obatan baru. Hal ini

menyebabkan pemberian polifarmasi. Untuk menghindari efek

penghentian obat, semakin lama obat digunakan, semakin

lambat penghentian penggunaannya. Dosisnya harus dikurangi

setengah atau dua pertiganya. Setelah beberapa minggu atau

bulan, perlu dilakukan penurunan dosis menjadi sepertiganya.

Penghentian obat harus diturunkan dosisnya perlahan-lahan

sampai dosis terkecil obat tersebut dapat ditinggalkan. Obat

dengan masa kerja yang panjang, seperti benzodiazepine,

memerlukan penghentian yang lama sekitar 6 bulan sampai 1

tahun atau lebih. Karena risiko efek samping obat meningkat

dengan banyaknya obat yang dikonsumsi, penting untuk

menghentikan terapi yang tidak efektif (Linjakumpu, 2003).

2.1.2 Interaksi Obat

Polifarmasi dan interaksi obat lebih sering terjadi dan lebih

serius pada pasien tua. Secara keseluruhan, insiden polifarmasi

sekitar 3-5% namun meningkat secara eksponensial dengan

banyaknya obat yang dikonsumsi. Interaksi obat sering terjadi

Page 4: Polifarmasi Gerontik

pada pasien tua dengan kondisi medis multipel. Interaksi obat

menyebabkan kegagalan terapi atau efek samping obat.

Inhibisi metabolik dapat meningkatkan kadar obat beberapa

kali dengan konsekuensi yang serius (Standridge, et al.,2010).

2.1.2.1 Inhibisi

Obat-obatan saling berinteraksi dan dengan makanan serta

ramuan herbal. Interaksi yang signifikan secara klinis terjadi

pada obat-obatan yang sering digunakan, seperti warfarin,

antibiotik, antidepresan, analgesik, dan HMG-CoA reductase

inhibitors). Perubahan absorbsi obat terjadi karena pengikatan

obat dalam saluran cerna, misalnya antasida mengganggu

penyerapan tetrasiklin, perubahan pH lambung, gangguan flora

usus, dan perubahan motilitas saluran cerna. Penurunan

keasaman lambung dan melambatnya motilitas saluran cerna

merupakan fenomena penuaan yang normal (Standridge, et

al.,2010).

2.1.2.2 Potensiasi

Contoh interaksi farmakodinamik yang bersifat potensiasi atau

saling menguatkan adalah sebagai berikut. Seorang pasien

mengonsumsi ASA yang dibeli sendiri untuk rematiknya dan

ginkgo biloba untuk memorinya. Pasien mengalami atrial

fibrillation dan diresepi warfarin oleh kardiologisnya untuk

Page 5: Polifarmasi Gerontik

mencegah terjadinya stroke. Pada kasus ini, ASA menghambat

platelet dan warfarin mempengaruhi faktor pembekuan.

Keduanya meningkatkan risiko perdarahan. Ginkgo biloba dosis

tinggi juga meningkatkan perdarahan. Interaksi

farmakodinamik obat-obatan ini menyebabkan perdarahan

pada pasien (Lin, 2003).

2.1.2.3 Akumulasi

Pasien diabetes yang mendapat sulfonylureas, seperti

glyburide, beresiko mengalami hipoglikemia ketika

mengonsumsi antibiotik sulfonamide, karena obat ini

menghambat metabolisme glyburide oleh sistem

enzim cytochrome P450 2C9 (CYP 2C9). Toksisitas digoksin

dapat timbul pada pasien yang diterapi dengan clarithromycin

yang menghambat P-glycoprotein, sehingga meningkatkan

renal clearance digoxin. Hiperkalemia banyak terjadi pada

pasien yang diterapi denganangiotensin-converting enzyme

(ACE) inhibitors, dan penggunaan bersamaan

dengan potassium-sparing diuretics dapat menyebabkan

hyperkalemia yang mengancam nyawa (Juurlink, et al., 2003).

Metabolisme obat terutama terjadi di hepar melalui berbagai

sistem enzim, seperticytochrome P450 (CYP450). Suatu obat

dapat menjadi inhibitor atau menginduksi jalur tertentu, dan

menjadi substrat pada jalur lainnya. Eliminasi obat melalui

ekskresi urin dapat dipengaruhi dengan menambahkan obat

Page 6: Polifarmasi Gerontik

lainnya, mengubahglomerular filtration rate (GFR), sekresi

tubulus, atau pH urin. Diuretik dapat menurunkan GFR

sehingga meningkatkan kadar obat dalam serum (Standridge,

et al.,2010).

2.2 Farmakokinetik

Linjakumpu, T. 2003. Drug use among the home-dwelling

elderly. Oulun yliopisto. University of Oulu. ISBN 951-42-7102-5.

Standrigde JB, Zylstra LG, Miller KE, Ruiz DE, Simpson JD.

2010. Caring for Elderly Individual: Polypharmacy and Drug

Interaction

.http://www.researchresidency.com/goppert/FP2010/FP_Compre

hensive/FP-E_297/section3_polypharmacy.html.

Terrie YC. 2004. Understanding and Managing Polypharmacy in

the Elderly.http://www.pharmacytimes.com

Lin, P. 2003. Drug Interaction and Polypharmacy in the

Elderly. The Canadian Alzheimer Disease Review, September

2003, p 10-14.

Juurlink DN, Mamdani M, Kopp A, Laupacis A, Redelmeier DA.

2003. Drug-Drug Interactions Among Elderly Patients

Hospitalized for Drug Toxicity.JAMA. 2003;289(13):1652-1658.

doi: 10.1001/jama.289.13.1652

Page 7: Polifarmasi Gerontik

PENDAHULUAN

Pemberian polifarmasi pada pasien tidak saja menjadi problema di

negara-negara yang sedang berkembang, tapi juga merupakan masalah yang cukup

serius di negara yang telah maju. Banyak obat yang tidak ada hubungannya

dengan penyakit pasien diberikan pada pasien, yang tentu saja merupakan

pemborosan dan meningkatkan insiden penyakit karena obat.

Dalam suatu survei di Zimbabwe, dokter Raymond mendapatkan banyak dokter di

Zimbabwe memberikan obat sampai 14 jenis. Tujuh jenis di antaranya

sebenarnya tidak diperlukan sama sekali oleh pasien, sedangkan tiga jenis

obat lainnya diberikan untuk melawan efek samping obat lain(1). Selain itu,

dalam sebuah workshop tentang Penggunaan Obat Rasional di Pakistan terungkap

masih banyak terdapat pemberian obat secara polifarmasi dengan perkiraan

rata-rata 3,6 jenis obat per satu resep(2). Dalam sebuah survei di Denpasar

juga didapatkan 84,4% resep yang diberikan pada pasien anak mengandung lebih

dari 4 jenis zat aktif(3).

Faktor penyebab dari pemberian obat secara polifarmasi tidak saja terletak

pada dokter sebagai pemberi obat, tapi juga pada sediaan obat yang ada, yang

memang sudah dalam bentuk polifarmasi. Sediaan obat dalam bentuk polifarmasi

masih banyak dipasarkan di Indonesia, seperti sirup obat batuk, sirup obat

flu, juga ada dalam bentuk tablet yang mengandung 4 sampai 6 bahan aktif.

Dokter seringkali terjebak kalau kurang hati-hati, karena kurang hafal pada

kandungan sediaan obat polifarmasi.

Page 8: Polifarmasi Gerontik

Di samping penyebab di atas, penggunaan polifarmasi juga bisa disebabkan

oleh faktor pasien. Beberapa pasien kadang-kadang minta supaya setiap gejala

yang dirasakannya diberikan obat secara tersendiri, misalnya pasien minta

obat sakit kepala, obat nyeri badan, atau obat demam. Padahal, sebenarnya

semua gejala tersebut dapat diatasi dengan satu jenis obat karena semua

gejala yang dideritanya merupakan kumpulan gejala dari suatu penyakit. Dalam

tulisan ini akan dibahas beberapa jenis polifarmasi yang sering ditemukan

dalam praktik, dan beberapa jenis sediaan polifarmasi yang beredar di

pasaran Indonesia.

JENIS POLIFARMASI YANG DIBERIKAN

Beberapa jenis polifarmasi yang sering diberikan ialah:

KOMBINASI ANTARA DUA JENIS OBAT ATAU LEBIH YANG MEMPUNYAI EFEK

YANG SAMA

ATAU MIRIP UNTUK MENGOBATI SATU SIMPTOM

Seringkali parasetamol dikombinasi dengan salicylamide dan acetylsalicylic

acid untuk mengobati pasien demam. Ketiga obat ini termasuk golongan

antipyretic analgetic yang digunakan untuk menghilangkan demam dan rasa

nyeri. Tujuan utama kombinasi obat sebenarnya untuk tercapainya potensiasi

dan menurunkan efek samping obat. Tapi, contoh kombinasi di atas tidak

menunjukkan adanya tujuan tersebut, malah menimbulkan efek samping yang

lebih banyak, yang dapat ditimbulkan oleh masing-masing obat.

Jenis kombinasi seperti ini tidak saja ditulis secara tersendiri oleh

dokter, tapi juga telah ada sediaan obat dalam bentuk kombinasi tetap

seperti kombinasi antara parasetamol dengan salicylamide, antara acetyl

salicylic acid dengan parasetamol, atau antara metampyron dengan

salicylamide. Kombinasi analgesik ini tidak memberikan keuntungan secara

nyata, malah mungkin dapat menimbulkan bahaya dan yang jelas harganya akan

menjadi lebih mahal.

Menggunakan kombinasi analgesik juga akan mengkombinasi efek samping

masing-masing kelas analgesik sebagai konsekuensinya. Kombinasi ini lebih

sering menyebabkan kerusakan ginjal daripada penggunaan secara tunggal.

Banyak lagi contoh-contoh polifarmasi yang tersedia dalam bentuk kombinasi

Page 9: Polifarmasi Gerontik

tetap seperti obat reumatik, obat batuk, obat diare, obat asma bronkhiale,

dsb yang dianggap tidak rasional dan mengundang lebih bayak timbulnya efek

samping.

MEMBERIKAN OBAT KOMBINASI DENGAN MAKSUD MENGURANGI ATAU

MENGHILANGKAN EFEK

SAMPING OBAT UTAMA

Sama seperti contoh di atas, kombinasi sejenis ini tidak saja ditulis secara

tersendiri oleh dokter, tapi juga tersedia dalam bentuk kombinasi tetap.

Obat anti rheumatic (anti inflamasi) secara umum dapat menimbulkan iritasi

mukosa lambung, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung melalui

proses penekanan synthese prostaglandin. Untuk mengurangi efek iritasi ini

maka obat anti rheumatic ini dikombinasi dengan antasida, antagonis reseptor

H2 (cimetidine, ranitidine), proton pump inhibitor (PPI), atau dengan

derivate PGEI (misoprostol).

Tujuan kombinasi obat di sini ialah mengurangi efek samping obat utama,

tidak mengharapkan terjadinya potensiasi, tapi mengabaikan proses interaksi

obat yang dikombinasi, yang mungkin saja mengurangi efek obat utama. Dalam

hal ini, obat kombinasi yang diberikan juga mempunyai efek samping dan

kemungkinan lebih besar daripada obat utama. Kalau demikian halnya, maka

akan berderet jumlah obat yang fungsinya menghilangkan efek samping obat

lainnya, tapi justru akan menambah efek samping yang baru, sehingga akhirnya

menyimpang dari tujuan pengobatan semula.

Selain contoh obat kombinasi di atas, masih banyak lagi ditemukan di pasaran

obat kombinasi yang sejenis. Misalnya, efek ngantuk Chlorpheniramine maleate

dihilangkan dengan cafein, efek insomnia dari Aminophyline atau ephedrine

dengan phenobarbital.

MEMBERIKAN OBAT KOMBINASI DENGAN MAKSUD MENINGKATKAN ABSORPSI

(RATE OF

ABSORPTION AND EXTEND OF ABSORPTION) OBAT UTAMA

Secara klinis, kombinasi ini ada yang bermakna dan ada pula yang tidak

Page 10: Polifarmasi Gerontik

bermakna. Dalam hal ini, harus dipertimbangkan tentang efikasi obat,

risk/benefit ratio, dan tentu saja harga.

Contoh yang menarik ialah kombinasi antara parasetamol dengan metoklopramid.

Metklopramid mempengaruhi rate of absorption paracetamol sehingga puncak

konsentrasi parasetamol dalam darah cepat dicapai. Tetapi, tidak

mempengaruhi extend of absorption, sehingga jumlah parasetamol yang terdapat

dalam darah tidak berubah. Efek yang sama efektifnya akan didapat dengan

memberikan parasetamol dosis yang agak lebih tinggi. Kalau dipertimbangkan

secara cost/benefit ratio maka didapat bahwa kombinasi antara metoklopramid

dan parasetamol sama efektifnya dengan parasetamol dosis agak tinggi dengan

harga yang jauh lebih murah dan tidak menambah efek samping obat.

Berbeda halnya dengan kombinasi antara ergotamin dengan kafein. Ergotamin

sulit diabsorpsi di saluran cerna sehingga untuk membantu absorspsinya (rate

& extend of absorption) setiap 1 mg ergotamin/dikombinasi dengan 100 mg

cafein. Kombinasi ini akan mempercepat dan memperbanyak absorpsi ergotamin

(4).

Walaupun kombinasi ini secara cost/benefit ratio menguntungkan, tapi tetap

dianggap kurang rasional, karena ada cara pemberian yang lebih efektif,

yaitu pemberian secara intravena atau intramuskuler.

MEMBERIKAN KOMBINASI OBAT YANG TAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN

KINETIK DAN

DINAMIK OBAT SERTA DENGAN PENYAKIT PASIEN.

Kombinasi antara metampiron dengan vitamin neurotropik (B1, B2, B6, B12)

banyak beredar di pasaran yang dikemas alam bentuk kombinasi tetap. Indikasi

utama pemberian vitamin adalah penderita defisiensi vitamin(5). Vitamin

neurotropik ini tidak menyembuhkan mialgia, sefalgia, ataupun atralgia dan

pemberiannya pada pasien yang tak memerlukan akan membuang-buang obat dan

uang.

Contoh lain ialah pemberian antara antasid dengan tranquilizer seperti

diazepam atau klordiazepam pada pasien yang menderita gastritis.

Tranquilizer bukan obat gastritis, tapi obat penenang yang diberikan pada

Page 11: Polifarmasi Gerontik

pasien yang mengalami ansietas. Tidak menjadi masalah kalau pasiennya juga

menderita ansietas, tapi kalau tidak maka diazepam atau klordiazepoksid yang

diberikan akan menjadi mubazir. Malah akan menambah efek samping atau

menimbulkan masalah ketergantungan.

MEMBERIKAN OBAT LEBIH DARI 3 JENIS DALAM SEKALI PEMBERIAN, JUGA

TERMASUK

KATEGORI POLIFARMASI.

Pemberian obat jenis ini sering diberikan pada pasien dengan banyak keluhan

atau memang menderita banyak penyakit seperti diabetes mellitus, hipertensi,

hiperkolesterolemia, dan rheumathoid arthritis. Dalam keadaan seperti ini,

dokter harus bijaksana dalam mempertimbangkan dan menentukan penyakit

dasarnya serta penyakit yang merupakan komplikasi penyakit dasar.

MEMBERIKAN OBAT KOMBINASI DENGAN TUJUAN TIMBULNYA EFEK

POTENSIASI.

Pemberian kombinasi obat ini sering dilakukan pada antibiotika, baik secara

kombinasi tetap atau tidak tetap. Sampai saat sekarang, hanya ada dua jenis

antibiotika kombinasi tetap yang benar-benar bermakna secara klinik dan

diakui oleh WHO, yaitu kotrimaksazol (kombinasi antara trimethoprim dengan

sulfametoksazol) dan koamoksiklaf (kombinasi antara amoksilin dengan asam

klavulonat).

Sedangkan kombinasi lainnya harus dapat dibuktikan secara laboratoris

sebelum dipakai. Kombinasi jenis ini juga sering dilakukan pada analgesik,

terutama kombinasi dengan kafein. Banyak orang menganggap bahwa kafein

adalah suatu analgesik yang poten dan dapat meningkatkan efek analgesik obat

lain. Namun belum ada bukti penelitian yang menunjang pernyataan tersebut.

SEDIAAN OBAT POLIFARMASI

Tersedianya sediaan obat polifarmasi banyak memberi andil pada pemberian

obat secara polifarmasi. Sirup batuk bahkan ada yang mengandung 6 zat aktif,

seperti difeenhidramin, amonium klorida, mentol, alkohol, natrium sitrat,

dan dekstrometorfan.

Page 12: Polifarmasi Gerontik

Yang paling tidak rasional terlihat dalam antara ekspektoran (amonium

klorida, natrium sitrat) dengan antitusif dekstrometorfan(6). Harus diingat

bahwa batuk merupakan proses fisiologi untuk mengeluarkan dahak atau lendir

yang mengental pada bronkhus pada jenis batuk yang produktif. Kalau

dikombinasi dengan antitusf maka batuk akan terhenti dan dahak dan lendir

yang kental tidak bisa keluar dengan lancar. Sedangkan antitusif hanya

digunakan pada pasien yang batuk nonproduktif yang sampai mengganggu

tidurnya. Kalau diperhatikan maka sediaan obat batuk di atas banyak

mengandung zat aktif yang sebenarnya tidak diperlukan.

Ada pula sediaan obat flu yang mengandung 6 bahan aktif dalam satu tablet,

yaitu parasetamol, salisilamid, phenylpropanolamine (PPA), dekstrometorfan,

klorfeniramin, dan kafein. Obat flu ini dibuat untuk pasien flu dengan

gejala demam, hidung buntu, batuk, alergi dan ngantuk. Kombinasi ini

maksudnya ada untuk menguatkan obat lainnya. Ada pula yang bertujuan untuk

menghilangkan efek samping obat utama. Kalau semua gejala ada pada pasien,

mungkin obat kombinasi ini cocok dan pas untuk pasien ini. Tetapi, kalau

pasien hanya demam dan hidung buntu maka bahan aktif lainnya seperti

dektrometorfan, klorfeniramin, dan kafein menjadi mubazir, tidak diperlukan,

dan dapat menimbulkan efek samping obat.

Ada pula sediaan obat untuk asma bronkial yang terdiri dari prednisolon,

efedrin, teofilin, fenobarbital, dan klorfeniramin maleat(7). Penderita asma

bronkial yang ringan cukup diberikan efedrin dan teofiline, sedangkan

penggunaan prednisolon seharusnya diberikan pada pasien yang mengalami

status asthmaticus atau pasien dengan eksaserbasi akut yang berat(8).

Pemberian fenobarbital malah merupakan indikasi kontra pada pasien asma

bronkial karena dapat menyebabkan depresi nafas dan spasme bronkhus yang

menambah sesaknya pasien(9).

Begitu juga pemberian klorfeniramin maleat suatu antihistamin yang mempunyai

efek antikolinergik (atropin like effect) merupakan indikasi kontra pada

pasien asma bronkhiale, karena dapat mengentalkan cairan lendir bronkhus

sehingga pasien bertambah sulit bernapas.

Page 13: Polifarmasi Gerontik

Selain sediaan obat seperti disebutkan di atas, di bawah ini beberapa contoh

sediaan obat polifarmasi yang tidak rasional seperti:

(a) obat antasid tersedia dalam bentuk kombinasi antara magnesium trisikat,

alumunium hidrosid, papaverin HCl, klordiazepoksid, vitamin B1, B2, B6, B12

kalsium pantothenat, nikotinamid;

(b) obat anti asma yang terdiri dari ekstrak belladona, efedrin, kafein,

parasetamol, teofilin, khlorfeniramin,

(c) obat antikolik yang terdiri dari metampiron, salisilamid, fenobarbital,

cafein, hiosin N, metilbromide,

(d) obat analgesik yang terdiri dari metampiron, khlordiazepoksid, diazepam,

vitamin B1, B2, B6, B12, kafein,

(e) obat anti reumatik yang terdiri dari prednisolon, sulfirin,

fenilbutazone, magnesium trisilicate(7).

Dari contoh di atas, terlihat banyak penggunaan kafein. Kafein bukanlah

suatu analgesik atau antiinflamasi, juga tidak dapat memperkuat efek

analgesik atau anti inflamasi obat lain. Malah, ia dapat meningkatkan efek

iritasi aspirin terhadap lambung.

RESIKO YANG DIHADAPI

Semakin banyak bahan aktif yang diminum oleh pasien, semakin banyak

kemungkinan efek samping yang akan timbul. Kalau pasien ternyata alergi

obat, sulit untuk menentukan bahan aktif yang mana sebagai penyebab

alerginya.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan seperti berikut:

1. Pemberian obat secara polifarmasi lebih banyak ruginya daripada untungnya

bagi pasien.

2. Banyak bahan obat aktif yang mubazir sehingga timbul pemborosan obat dan

uang.

3. Kemungkinan timbulnya interaksi obat semakin besar.

4. Kemungkinan timbulnya efek toksik dan efek samping serta penyakit karena

obat semakin meningkat.

Page 14: Polifarmasi Gerontik

SARAN

Supaya pengobatan lebih mendekati rasional maka disarankan hal-hal berikut:

1. Sediaan obat polifarmasi harus dikurangi di pasaran.

2. Sediaan obat kombinasi tetap yang dalam bentuk polifarmasi sebaiknya yang

bersifat potensiasi dengan harga yang tidak lebih mahal dari masing-masing

komponen.

3. Obat sirup batuk atau sirup obat flu sebaiknya berisi tidak lebih dari 3

bahan aktif.

4. Kurangi penjualan obat bebas (over the counter).

5. Promosi obat harus dibatasi. Sebaiknya dilakukan oleh medical

representative yang terlatih, dan tidak lagi lewat media masa, radio, serta

televisi.

6. Para dokter harus mengetahui dan memahami kandungan obat kombinasi yang

diresepkan. Jangan meresepkan obat yang belum diketahui kandungannya.

7. Pemakaian obat harus tetap berpegang pada paling sedikit 4 faktor, yaitu

efficacy ‘khasiat obat’, safety ‘keamanan obat’, suitability ‘kesesuaian

obat pada pasien’, dan cost ‘harga obat’ sehingga dapat dipilih obat yang

efektif, aman, tidak ada indikasi kontra, serta harganya dapat dijangkau

masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Raymond T. Mossop. Essential Drugs Monitor No. 21,1996

2. Rational drug use workshop for universities in Pakistan. Essential Drugs

Monitor No. 16,1993

3. Aman G.M. Polypharmacy in pediatric practice in Denpasar. Majalah

Kedokteran Udayana Vol.31, No. 109, Juli 2000

4. Burkhalter A, Julius D.J, Katzung B.G. Clinical pharmacology of ergot

alkaloids in Basic & Clinical Pharmacology a Lange Medical Book, seventh

edition. Edited by Bertram G Katzung MD, PhD, 1998

5. Chetley A. Vitamine preparation. Problem Drugs, Amsterdam, Health Action

International, 1993

6. Chetley A. Cough and cold preparations. Problem drugs, Amsterdam, Health

Action International, 1993

7. IIMS, 1994

8. Xaliner .M.A, Barnes P.J, Persson CLG.A. Asthma, Its Pathology and

Treatment, Vol. 49, 195)

Page 15: Polifarmasi Gerontik

9. Hartog R. Barbitutate Combinations, risks without benefits. Essential

Drugs Monitor No. 16.1993