pola tanam juring ganda pada tebu

9
1 INTRODUKSI POLA TANAM JURING GANDA DAN PENDAPATAN USAHATANI TEBU DOUBLE ROW INTRODUCTION AND FARMER INCOME OF SUGARCANE FARMING Rachmat Hendayana 1 , Tri Sudaryono 2 , dan Q. Dadang Erwanto 2 1 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jl Tentara Pelajar, No 10 Bogor 16114, Jawa Barat, Indonesia 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur Jl. Karangloso KM.4 Malang 65152, Jawa Timur, Indonesia ABSTRACT Double row technology is one of innovation breakthrough of IAARD to increase sugarcane yielding, support national sugar production, at once to increase the sugarcane farmers' income. In double row pattern, farmers can do intercropping with onion so that improvement of sugarcane farm income. The assessment aims to analyze the value-added of sugarcane double row farming with onion intercrop. This activities executed at Tlanakan, Pamekasan District in Madura, East Java Province, in the last 2013. Double row technology uses DCC (distance from center to center) 185 cm, and Rubaru onion varieties intercrop. Data collected through participatory rural appraisal and focus group discussion involve 30 sugarcane farmers. Data analysis uses “losses and gains” approach, reflected in the marginal benefit cost ratio (MBCR). Assuming revenue of sugarcane ceteris paribus because was not harvest yet, so the sugarcane value added calculated only from the results of onion intercropping. Introductions double row with onion intercropping requires an additional cost about Rp 29.9 million per hectare, and produce revenues of Rp 41.04 million. Value-added income earned approximately Rp 11.19 million/hectare, or resulting in a value of 1.37 MBCR. These value-added relatively small. Researcher guarding and extension worker guidance to sugarcane double row implementation are needed to be more intensive. Keywords : Sugarcane, Double row, Value added ABSTRAK Teknologi juring ganda merupakan salah satu terobosan inovasi Balitbangtan untuk meningkatkan produktivitas tebu rakyat dalam upaya mendukung produksi gula nasional, sekaligus meningkatkan pendapatan petani tebu. Pada pola tanam juring ganda, petani dapat melakukan tumpangsari dengan bawang merah, sehingga diprediksi akan meningkatkan pendapatan usahatani tebu. Pengkajian bertujuan menganalisis nilai tambah usahatani tebu juring ganda dengan tumpangsari bawang merah. Kegiatan berlangsung di Desa Tlanakan Kecamatan/Kabupaten Pamekasan Madura Provinsi Jawa Timur pada akhir 2013. Teknologi juring ganda menggunakan PKP (jarak dari pusat ke pusat) 185 cm, dengan tumpang sari bawang merah varietas Rubaru. Pengumpulan data dilakukan melalui Pemahaman Pedesaan secara Partisipatif dan Diskusi Kelompok Terfokus melibatkan 30 petani tebu. Analisis data menggunakan pendekatan “losses and gains” yang direfleksikan dalam marginal benefit cost ratio (MBCR). Dengan asumsi pendapatan dari tebu dianggap ceteris paribus karena belum panen, nilai tambah usahatani tebu dihitung dari hasil tumpangsari bawang merah. Introduksi juring ganda dengan tumpangsari bawang merah membutuhkan tambahan biaya sekitar Rp 29,9 juta per hektar, dan setelah panen petani menerima Rp 41,04 juta. Nilai tambah pendapatan diperoleh sekitar Rp 11,19 juta/hektar, atau menghasilkan nilai MBCR 1,37. Nilai MBCR seperti itu, relatif kecil. Pengawalan teknologi oleh peneliti dan pendampingan oleh penyuluh terhadap pelaksanaan introduksi juring ganda perlu lebih diintensifkan. Kata Kunci: Tebu, Juring Ganda, Nilai Tambah

Upload: iaardbogor-indonesia

Post on 07-Aug-2015

129 views

Category:

Technology


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pola tanam juring ganda pada tebu

1

INTRODUKSI POLA TANAM JURING GANDA DAN PENDAPATAN USAHATANI TEBU

DOUBLE ROW INTRODUCTION AND FARMER INCOME OF SUGARCANE FARMING

Rachmat Hendayana1, Tri Sudaryono2, dan Q. Dadang Erwanto2 1Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

Jl Tentara Pelajar, No 10 Bogor 16114, Jawa Barat, Indonesia 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur

Jl. Karangloso KM.4 Malang 65152, Jawa Timur, Indonesia

ABSTRACT Double row technology is one of innovation breakthrough of IAARD to increase

sugarcane yielding, support national sugar production, at once to increase the sugarcane farmers' income. In double row pattern, farmers can do intercropping with onion so that improvement of sugarcane farm income. The assessment aims to analyze the value-added of sugarcane double row farming with onion intercrop. This activities executed at Tlanakan, Pamekasan District in Madura, East Java Province, in the last 2013. Double row technology uses DCC (distance from center to center) 185 cm, and Rubaru onion varieties intercrop. Data collected through participatory rural appraisal and focus group discussion involve 30 sugarcane farmers. Data analysis uses “losses and gains” approach, reflected in the marginal benefit cost ratio (MBCR). Assuming revenue of sugarcane ceteris paribus because was not harvest yet, so the sugarcane value added calculated only from the results of onion intercropping. Introductions double row with onion intercropping requires an additional cost about Rp 29.9 million per hectare, and produce revenues of Rp 41.04 million. Value-added income earned approximately Rp 11.19 million/hectare, or resulting in a value of 1.37 MBCR. These value-added relatively small. Researcher guarding and extension worker guidance to sugarcane double row implementation are needed to be more intensive.

Keywords : Sugarcane, Double row, Value added

ABSTRAK Teknologi juring ganda merupakan salah satu terobosan inovasi Balitbangtan untuk

meningkatkan produktivitas tebu rakyat dalam upaya mendukung produksi gula nasional, sekaligus meningkatkan pendapatan petani tebu. Pada pola tanam juring ganda, petani dapat melakukan tumpangsari dengan bawang merah, sehingga diprediksi akan meningkatkan pendapatan usahatani tebu. Pengkajian bertujuan menganalisis nilai tambah usahatani tebu juring ganda dengan tumpangsari bawang merah. Kegiatan berlangsung di Desa Tlanakan Kecamatan/Kabupaten Pamekasan Madura Provinsi Jawa Timur pada akhir 2013. Teknologi juring ganda menggunakan PKP (jarak dari pusat ke pusat) 185 cm, dengan tumpang sari bawang merah varietas Rubaru. Pengumpulan data dilakukan melalui Pemahaman Pedesaan secara Partisipatif dan Diskusi Kelompok Terfokus melibatkan 30 petani tebu. Analisis data menggunakan pendekatan “losses and gains” yang direfleksikan dalam marginal benefit cost ratio (MBCR). Dengan asumsi pendapatan dari tebu dianggap ceteris paribus karena belum panen, nilai tambah usahatani tebu dihitung dari hasil tumpangsari bawang merah. Introduksi juring ganda dengan tumpangsari bawang merah membutuhkan tambahan biaya sekitar Rp 29,9 juta per hektar, dan setelah panen petani menerima Rp 41,04 juta. Nilai tambah pendapatan diperoleh sekitar Rp 11,19 juta/hektar, atau menghasilkan nilai MBCR 1,37. Nilai MBCR seperti itu, relatif kecil. Pengawalan teknologi oleh peneliti dan pendampingan oleh penyuluh terhadap pelaksanaan introduksi juring ganda perlu lebih diintensifkan.

Kata Kunci: Tebu, Juring Ganda, Nilai Tambah

Page 2: Pola tanam juring ganda pada tebu

2

PENDAHULUAN

Teknologi “juring ganda” (JG) adalah salah satu terobosan inovasi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) pada usahtani tebu. Inisiasinya dimulai awal 2013 di Kebun Percobaan Muktiharjo, Jawa Tengah. Pengenalan inovasi JG tersebut bertujuan selain untuk meningkatkan pendapatan petani tebu rakyat, sekaligus memberikan dukungan terhadap kebijakan pemerintah mendorong peningkatan produktivitas tebu guna memenuhi kebutuhan gula nasional.

Kebutuhan gula nasional pada tahun 2014 diprediksi mencapai 5,7 juta ton untuk memenuhi konsumsi langsung (rumah tangga) dan industri, masing-masing sekitar 2,5 juta ton dan 3,2 juta ton (Nasir, G., 2013). Sementara itu, produksi gula nasional pada tahun 2012 relatif masih rendah yakni sekitar 2,6 juta ton (BPS, 2014). Rendahnya produksi gula nasional tersebut disebabkan banyak faktor. Perluasan areal lahan yang lambat, optimalisasi penggunaan bibit unggul serta manajemen pergulaan, merupakan faktor-faktor yang ditengarai Barani, (2013) menjadi penyebabnya. Disamping karena faktor-faktor tersebut, teridentifikasi pula faktor lemahnya daya saing, bergesernya pengembangan tebu dari lahan sawah ke lahan tegalan/marginal, lokasi yang jauh dari pabrik gula (PG), adanya konversi lahan pertanian ke non pertanian, dan in-efisiensi (Dirjen Perkebunan, 2013) .

Faktor yang tak kurang pentingnya dalam mendukung produksi gula adalah produktivitas yang masih relatif rendah. Rendahnya produktivitas merupakan konsekuensi logis merosotnya kualitas teknis budidaya yang merefleksikan merosotnya minat petani sebagai reaksi rasional terhadap rendahnya pendapatan riel dan nilai tukar (term of trade) secara konsisten selama satu dekade terakhir (Dirjenbun, 2010). Oleh karena itu salah satu upaya yang ditempuh untuk memenuhi kebutuhan gula nasional dan sekaligus meningkatkan pendapatan riel petani tebu adalah melalui peningkatan produktivitas. Peluang untuk meningkatkan produktivitas tebu masih terbuka, karena capaian rata-rata produktivitas tebu nasional saat ini baru 72 ton/hektar dengan rendemen 7,69 persen, padahal potensinya 120 ton/hektar dengan rendemen gula di atas 9 persen (Balitbangtan, 2013).

Mulai 2012, Dirjen Perkebunan melaksanakan program peningkatan produksi, produktivitas dan mutu hasil tebu melalui bongkar ratoon, penataan varietas tanaman tebu dan pemberdayaan serta penguatan kelembagaan petani tebu. Untuk mendukung pencapaian target tersebut, Balitbangtan menyelenggarakan Percepatan Penerapan Teknologi Tebu Terpadu (P2T3), yang salah satu inovasinya adalah teknologi JG.

Teknologi JG ini tidak beda jauh dengan pola tanam konvensional, kecuali dalam hal pengaturan jarak tanam. Pada teknologi JG, ada jarak tanam yang dibuat lebih lebar di antara barisan tebu. Istilah JG pada pola tanam tebu menggunakan jarak tanam berselang, dengan jarak pucuk ke pucuk (PKP) 185 cm. Sedangkan juring tunggal (JT) jarak tanamnya 110 x 50 cm.

Hasil pertanaman tebu di Kebun Percobaan Muktiharjo, Pati, Jawa Tengah dengan menggunakan teknologi JG mampu meningkatkan produktivitas tebu hingga 30-60 persen. Keunggulan teknologi sistem tanam JG yaitu mampu meningkatkan populasi tanaman tebu dengan cara mengatur jarak tanam tebu dengan pola beberapa barisan agar sirkulasi udara dan pemanfaatan sinar matahari oleh tanaman tebu lebih optimal (Anonim, 2013a). Teknologi budidaya tebu yang dilakukan meliputi: (a) bongkar ratoon, dengan komponen inovasi penggunaan varietas unggul, bongkar tanaman keprasan (Ratoon Cane) lebih dari 6 kali dan penyediaan teknologi budidaya; (b) Rawat

Page 3: Pola tanam juring ganda pada tebu

3

ratoon dengan komponen teknologi pedot oyot, penggunaan pupuk organik, kletek, dan pengairan (Puslitbangbun, 2012).

Cara budidaya yang dilakukan di Kabupaten Pamekasan umumnya dengan sistem tanam monokultur. Oleh karenanya dengan memanfaatkan budidaya juring ganda diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tebu di wilayah tersebut.

Disamping itu, jumlah populasi tanaman per hektar pada JG relatif lebih tinggi 2500 batang dibandingkan pola tanam juring tunggal (JT) karena jarak tanam dalam baris lebih pendek. Populasi tanaman tebu pada JT 20.000 batang, sedangkan pada JG 22.500 batang per hektar. Kelebihan lainnya, petani dapat memanfaatkan juringan yang lebar dengan tumpangsari yang dapat dipanen ketika tebu masih berumur 3 – 4 bulan, yaitu antara lain: kacang tanah, kedelai, bawang merah, dan jagung. Tanaman tumpang sari tersebut tidak mempengaruhi tanaman tebu (Ernawanto, 2014; Soejono, 2013).

Pertanyaannya, seberapa besar peningkatan pendapatan petani tebu pada pola tanam JG?, dan berapakah nilai tambah yang diterima petani yang menerapkan pola tanam tebu dengan JG? Berdasarkan permasalahan tersebut, pengkajian bertujuan menganalisis struktur pembiayaan dan pendapatan usahatani tebu pola tanam JG dan menganalisis nilai tambah usahatani tebu juring ganda dengan tumpangsari bawang merah. Hasil pengkajian ini akan memperkuat dugaan efektifitas penerapan pola tanam JG pada usahatani tebu sehingga dapat dipertimbangkan sebagai bahan kebijakan pengembangan tebu ke depan.

METODE PENELITIAN

Kegiatan usahatani tebu pola tanam JG dilaksanakan pada luasan 2 hektar, di Desa Tlanakan Kecamatan/Kabupaten Pamekasan Madura Provinsi Jawa Timur pada November 2013. Kabupaten Pamekasan akan menjadi salah satu pusat penanaman tebu untuk di lahan kering iklim kering, di masa depan.

Rancangan kegiatan penerapan teknologi JG dilakukan sebagai berikut: (a) Pola tanam tebu menggunakan ukuran PKP 185 cm, dengan rancangan seperti

disajikan dalam Gambar 1.

(b) Varietas tebu yang ditanam adalah Kidang Kencono, yang dikenal toleran terhadap kekeringan karena batangnya memiliki lapisan lilin.

(c) Penanaman tebu dilakukan dengan cara mengubur bibit tanaman dalam lubang tanam sepanjang juring.

(d) Seminggu setelah tebu tertanam, di antara barisan tanaman tebu yang lebar (135 cm), ditanam bawang merah.

(e) Perlakuan usahatani terhadap tebu dan bawang merah dilakukan normatif mulai pemeliharaan sampai panen sesuai persyaratan tumbuh agronomis.

Gambar 1: Pola Tanam Juring Ganda

Page 4: Pola tanam juring ganda pada tebu

4

Pengumpulan data fokus pada aspek finansial dilakukan melalui Pemahaman Pedesaan secara Partisipatif dan Diskusi Kelompok Terfokus melibatkan 30 petani tebu. Analisis data untuk mengungkap struktur pembiayaan dan pendapatan usahatani tebu serta nilai tambah dilakukan melalui analisis anggaran parsial dilanjutkan dengan menggunakan pendekatan “losses and gains” yang direfleksikan dalam marginal benefit cost ratio (MBCR) (FAO, 2003).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pola Tanam Juring Ganda dengan Tumpangsari Bawang Merah

Introduksi pola tanam JG pada usahatani tebu merupakan rangkaian dalam mendukung pengembangan tebu di Madura. Menurut sejarahnya pengembangan tebu di Madura di awali Pabrik Gula (PG) Candi di bawah PTPN X pada tahun 2009/2010. Areal tanamnya seluas 14,5 hektar di Kecamatan Jrengik, Omben dan Ketabang Kabupaten Sampang. Tanaman tebu tersebut kemudian meluas mencapai 236 hektar pada tahun 2011/2012 dan pada tahun 2012/2013 mencapai 986 hektar (Ernawanto, at.al.,2013).

Hasil evaluasi lahan oleh P3GI bekerjasama dengan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur (2011), menunjukkan bahwa Madura berpotensi untuk pengembangan tebu dengan tingkat kesesuaian lahan S2. Potensi produktivitasnya 60 – 85 ton per hektar seluas 68.066 ha, dengan rincian seluas 34.528 ha di Kabupaten Sampang dan 16.265 hektar di Pamekasan. Sedangkan yang termasuk kelas kesesuaian S3 sekitar 4.250 hektar di Pamekasan dan 8.081 ha di Sampang. Sejalan dengan pengembangan areal tebu tersebut, dibangun juga jalan produksi, inventarisasi lahan kering yang adaptif tebu, dan juga inisiatif penguatan kelembagaan berupa Koperasi Petani Tebu Rakyat (KPTR).

Pengembangan tebu tersebut dilakukan dengan pola konvensional’ yakni menerapkan “single row” (SR) dengan jarak tanam 115 x 50 x 50 cm, sehingga dalam satu hektar terdapat sekitar 20 ribu batang. Pola tanam JG baru dimulai dari Desa Tlanakan, pada akhir tahun 2013. Jika dalam pola konvensional hanya ada tanaman tebu, dalam pola JG petani bisa menanam tumpang sari dengan tanaman palawija seperti jagung, kacang tanah dan bawang merah. Bahasan berikut fokus pada tumpang sari bawang merah.

Pada dasarnya teknologi usahatani tebu yang dilakukan dengan menerapkan JG maupun SR tidak berbeda dalam kegiatan agronomisnya. Teknologi yang diterapkan juga sama kecuali jarak tanamnya. Teknologi yang ditetapkan dalam usahatani tebu meliputi: penanaman, penyulaman, pemupukan, pengolahan tanah, penyiangan, pembumbunan, pengguludan, klentek, pemeliharaan saluran dan panen. Uraian berikut menyajikan struktur pembiayaan dan pendapatan usahatani tebu.

Varietas tebu yang diusahakan petani adalah varietas Kidang Kencana, yang dirilis tahun 2008 dengan nama asal PA 198. Sesuai namanya, varietas ini pertamakali berkembang di Dusun Kencana Kecamatan Jatitujuh Majalengka Jawa Barat. Potensi hasil tebu mencapai 99,2 ton per hektar, tahan penggerek batang dan blendok. Rendemennya bisa mencapai 9,51 persen (P3GI, 2014).

Bawang merah yang ditumpangsarikan, adalah varietas Rubaru, varietas unggul lokal Sumenep dari Desa Basokah Kecamatan Rubaru. Bawang ini memiliki umur panen 60 – 65 hari. Produksi umbi mencapai 14 – 17 ton per hektar umbi kering dengan susut bobot umbi 10 – 15 persen. Keunggulan varietas bawang Rubaru ini antara lain

Page 5: Pola tanam juring ganda pada tebu

5

toleran fusarium sp, rasa bawang enak gurih, serta memiliki aroma kuat. Karena itu sangat digemari masyarakat luas (Harisandi, 2013). Struktur Pembiayaan dan Pendapatan Usahatani Tebu

Secara terinci struktur pembiayaan dan pendapatan usahatani tebu di Madura dalam luasan satu hektar, disajikan dalam Tabel 1. Proporsi pembiayaan paling tinggi dalam usahatani tebu adalah untuk pembelian bibit tanaman (bagal), kemudian diikuti pengeluaran untuk sewa lahan dan pembayaran biaya panen serta pengangkutan.

Terhadap penerimaan usahatani, proporsi pengeluaran untuk pembiayaan usahatani hampir mencapai 75 persen dari toral penerimaan. Artinya petani tebu hanya menikmati pendapatan sekitar 25 persen dari total penerimaan kotor. Jika ditinjau nilai R/C yang 1,4 artinya tingkat keuntungan usahatani tebu ini kelayakannya relatif rendah. Di tempat lain, usahatani tebu di lahan kering seperti di Pamekasan ini bisa mencapai nilai RC 1,99 seperti yang ditunjukkan oleh Nuryanti (2011) di Jawa Tengah.

Waktu yang diperoleh untuk memperoleh pendapatan tebu kisarannya antara 11 – 12 bulan. Oleh karena itu jika petani tebu tidak memiliki usaha tambahan, tidak memiliki dukungan ketahanan pangan.

Tabel 1. Struktur Pembiayaan dan pendapatan usahatani tebu dalam satu hektar, di

Madura, 2013.

Uraian Volune Harga Satuan (Rp)

Nilai (Rp) Proporsi Terhadap (%) Total Biaya

Total Penerimaan

Biaya saprodi : Bibit (bagal) 22500 750 16.875.000 47,61 34,09 Penyulaman (bagal) 225 750 168.750 0,48 0,34 NPK Phonska (kg) 400 2.300 920.000 2,60 1,86 ZA (kg) 600 1.400 840.000 2,37 1,70 Urea (kg) 200 1.700 340.000 0,96 0,69 Petroganik (kg) 5000 500 2.500.000 7,05 5,05 Herbisida (lt) 0,00 0,00 Amexone 5 70.000 350.000 0,99 0,71 Starmin 5 75.000 375.000 1,06 0,76 Biaya Tenaga kerja: Pengolahan tanah dan pembuatan juring (HOK)

40 50.000 2.000.000 5,64 4,04

Pemupukan (HOK) 12 50.000 600.000 1,69 1,21 Penyiangan dan Pembumbunan (HOK)

30 50.000 1.500.000 4,23 3,03

Gulud (HOK) 25 50.000 1.250.000 3,53 2,53 Pemeliharaan Saluran (HOK) 16 50.000 800.000 2,26 1,62 Klentek (HOK) 60 50.000 3.000.000 8,46 6,06 Pemanenan (ku) 900 7.000 6.300.000 17,77 12,73 Angkutan (ku) 900 5.000 4.500.000 12,70 9,09 Sewa Lahan 1 MT 10.000.000 28,21 20,20 Total Biaya 35.443.750 100 71,60 Produksi (ku) 900 0,18 Nilai Produksi 49.500.000 100 Pendapatan 14.056.250 R/C 1,40

Salah satu introduksi teknologi yang diharapkan memberikan nilai tambah pada

petani tebu dengan pola tanam JG adalah melakukan tumpang sari. Banyak jenis

Page 6: Pola tanam juring ganda pada tebu

6

tanaman yang dapat ditumpangsarikan dengan tebu, antara lain: jagung, kacang tanah, kedelai, dan bawang merah. Namun dari hasil wawancara dengan petani, di antara tanaman palawija yang dapat ditumpangsarikan itu tidak semuanya cocok dalam arti menghasilkan produksi optimal. Tanaman jagung, misalnya tidak cocok di tumpangsarikan dengan tebu karena dalam pertumbuhannya bersaing dengan tebu.

Dalam bahasan ini yang dianalisis adalah tanaman tumpangsari bawang merah. Sebagai gambaran struktur pembiayaan tumpang sari (bawang merah), disajikan dalam Tabel 2. Untuk satu hektar pertanaman bawang merah pada pola tanam juring ganda, petani perlu menyiapkan biaya tambahan sebesar Rp 34 juta.

Dari biaya sebanyak itu proporsi paling tinggi adalah untuk pembelian bibit, kemudian biaya pengolahan tanah dan sewa lahan. Secara keseluruhan proporsi biaya usahatani bawang merah di antara tanaman tebu ini mencapai lebih dari 80 persen dari total penerimaan. Artinya keuntungan dari usahatani tebu di dalam juringan ini kurang dari 20 persen.

Tabel 2. Struktur Pembiayaan dan pendapatan usahatani bawang merah dalam juringan Tebu, di Madura, 2013.

Uraian Volune Harga Satuan (Rp)

Nilai (Rp) Proporsi Terhadap (%) Total Biaya

Total Penerimaan

Biaya saprodi :

- Bibit bawang merah (kg) 330 35.000 11.550.000 34,12 28,14 Pupuk (kg): ZA 100 1.400 140.000 0,41 0,34 Urea 25 1.600 40.000 0,12 0,10 NPK Phonska 200 2.300 460.000 1,36 1,12 Obat-Obatan : - - - Curacron (lt) 8 185.000 1.480.000 4,37 3,61 Tracer (lt) 3 800.000 2.400.000 7,09 5,85 Vondozeb (kg) 8 75.000 600.000 1,77 1,46 Perekat (lt) 8 45.000 360.000 1,06 0,88 Beaya Tenaga kerja (HOK): Meratakan dan

menggemburkan guludan 90 45.000 4.050.000 11,96 9,87

Tanam 30 45.000 1.350.000 3,99 3,29 Pembumbunan & Penyiangan 25 45.000 1.125.000 3,32 2,74 PHT 45 45.000 2.025.000 5,98 4,93 Pemanenan 45 45.000 2.025.000 5,98 4,93 Penalian bawang merah 30 45.000 1.350.000 3,99 3,29 Pengeringan bawang merah 20 45.000 900.000 2,66 2,19 Biaya lain-Lain - - Sewa Lahan 1 MT 4.000.000 11,82 9,75 Total Biaya 33.855.000 100 82,49 Produksi (kg/ha) 2565 16.000 41.040.000 100 Pendapatan 7.185.000 R/C 1,21

Dari nilai R/C yang 1,21 menunjukkan bahwa usahatani bawang merah di antara

tanaman tebu ini kurang menguntungkan. Meskipun dikatakan tidak rugi karena nilainya lebih besar dari satu, akan tetapi tingkat keuntungan yang diperoleh relatif kecil. Keterampilan petani mengelola tanaman tebu dan sekaligus harus memelihara

Page 7: Pola tanam juring ganda pada tebu

7

bawang merah mungkin menjadi salah satu faktor rendahnya usahatani bawang merah tersebut.

Analisis Nilai Tambah Untuk mengetahui nilai tambah yang diperoleh petani tebu yang menerapkan pola

tanam JG, dilakukan “analisis losses and gains”. Langkah awal sebelum analisis tersebut dilakukan analisis perubahan atau tambahan biaya yang diperlukan untuk JG dengan tumpang sari bawang merah. Hasilnya ditampilkan dalam Tabel 3.

Secara parsial tambahan biaya yang diperlukan untuk melakukan juring ganda dengan tumpang sari bawang merah berkisar antara 12 persen hingga hampir 87 persen dengan rata-rata hampir mencapai 50 persen. Dalam hal ini tambahan biaya paling tinggi adalah untuk penanggulangan serangan hama penyakit pada bawang merah, dan terendah untuk pupuk.

Tabel 3. Tambahan Pembiayaan Usahatani Tebu Pola Tanam Juring Ganda dengan Tumpangsari Bawang Merah

Uraian Tunggal Juring Ganda + Tumpangsari

Tambahan Biaya Perubahan (%)

Bibit (Rp) 17.043.750 28.593.750 11.550.000 40.39 Pupuk(Rp) 4.600.000 5.240.000 640.000 12.21 Pestisida(Rp) 725.000 5.565.000 4.840.000 86.97 Biaya Tenaga kerja(Rp) 19.950.000 32.775.000 12.825.000 39.13 Sewa Lahan (Rp) 10.000.000 14.000.000 4.000.000 28.57 Total Biaya(Rp) 35.443.750 69.298.750 33.855.000 48.85

Dengan analisis “losses and gains” seperti disajikan pada Tabel 4, usahatani tebu

juring ganda dengan tumpang sari bawang merah menghasilkan MBCR 1,37. Artinya setiap tambahan biaya RP 1000 untuk melakukan juring ganda dengan tumpangsari bawang merah akan menghasilkan tambahan pendapatan sekitar Rp 1370.

Tabel 4. Analisis Losses and Gains Usahatani Tebu Pola Tanam Juring Ganda

dengan Tumpangsari Bawang Merah

Kerugian Rp Keuntungan Rp

Biaya tambahan Benih/Bibit 11.550.000 Penghasilan tambahan 41.040.000 Pupuk 640.000 Pestisida 4.840.000 Tenaga kerja 12.825.000 Jumlah 29.855.000 Jumlah 41.040.000 Tambahan Keuntungan (Rp) : (41.040.000 – 29.855.000) = 11.185.000 Marginal B/C : (41.040.000 : 29.855.000) = 1,37

Dari nilai MBCR tersebut, meskipun terkesan menguntungkan tetapi nilai tambah

yang diperolehnya relatif masih kecil. Apalagi kalau mempertimbangkan faktor risiko atau risk premium dalam usahatani yang biasanya mencapai 80 persen, maka perolehan

Page 8: Pola tanam juring ganda pada tebu

8

nilai MBCR tersebut belum memadai sebagai suatu usaha. Nilai MBCR yang diperlukan minimal di angka 1,8 agar hasil usahatani itu mampu menutup risiko.

KESIMPULAN

Usahatani tebu pola tanam juring ganda dengan tumpang sari bawang merah di Kabupaten Pamekasan Madura belum menunjukkan hasil yang optimal. Meskipun tampilan R/C > 1, tetapi masih di bawah kapasitas potensi produksinya sehingga masih berpeluang untuk ditingkatkan.

Nilai tambah dari tumpang sari bawang merah yang ditanam diantara barisan tebu masih relatif rendah. Nilai MBCR yang diperoleh masih dibawah kapasitas potensinya, meskipun nilainya sudah lebih besar dari satu.

Untuk meningkatkan kinerja pola tanam tebu juring ganda dengan intervensi tumpang sari bawang merah, diperlukan penguatan dalam pengawalan dan pendampingan teknologi oleh peneliti dan penyuluh.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Tanam Perdana Tebu Sistem Juring Ganda di Madura. http://www. litbang.deptan.go.id/berita/one/1603/. Diunduh 19 Januari 2014

Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Bulanan Perkebunan Besar, Indonesia. http://www.bps.go.id/aboutus. php? search=1 . Diunduh 18 Januari 2014.

Badan Litbang Pertanian. 2013. Pedoman Umum Percepatan Penerapan Teknologi Tebu Terpadu.

Barani, A.M., 2013. Produksi Gula Nasional Terus Menurun. http://www.republika. co.id/berita/ekonomi/bisnis. Diunduh 19 Januari 2014.

Dirjenbun. 2012. Harapan terwujudnya swasembada gula. Dirjenbun. Kementerian Pertanian.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Pedoman Teknis Pengembangan Tanaman Tebu. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Semusim. Kementerian Pertanian.

Ernawanto, Q.D., Suyamto, Tri Sudaryono, Agus Suryadi, Syaiful Husni, Sugiono, Noeriwan B.S, Era Parwati. 2013, Pengembangan Teknologi Usahatani Tebu Spesifik Lokasi di Madura. Laporan Hasil Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur . Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian

FAO. 2003. Financial Analysis and Assessment of Technologies. Special Programme for Food Security (SPFS). Handbook on Monitoring and Evaluation. Food and Agriculture Organization of The United Nations (FAO). Rome.

Harisandi, H. 2013. Analisis Pasar Hasil Pertanian (APHP). Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sumenep.

Nasir, G., 2013. Kebutuhan Gula Nasional mencapai 5, 7 juta ton tahun 2014. http://ditjenbun.deptan.go.id/berita- 2014. html. Diunduh, 19 Januari 2014.

Nuryanti, Y. 2011. Usahatani Tebu pada Lahan Sawah dan Tegalan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. http://referensiagribisnis.files.wordpress.com/2011/12/usahatani-tebu-pada-lahan-sawah-dan-tegalan-di-yogyakarta-dan-jawa-tengah/pdf

Page 9: Pola tanam juring ganda pada tebu

9

P3GI. 2014. Deskripsi Tebu Varietas Kidang Kencana. http://sugarresearch.org/wp-content/uploads/2009/04/kidang-kencana.pdf. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Jalan Pahlawan No 25 Pasuruan 67126

Puslitbangbun. 2012. Pedoman Teknis Percepatan Penerapan Teknologi Tebu Terpadu (P2T3). Badan Litbang Pertanian,Kementrian Pertanian

Soejono, A.T. 2004. Kajian Jarak Antar Baris Tebu dan Jenis Tanaman Palawija Dalam Pertanaman Tumpangsari. Ilmu Pertanian Volume: 11, Issue: 1, Pages: 32-41