pola penyakit saat ini dapat dipahami dalam rangka transisi epidemiologis campur

11
Pola penyakit saat ini dapat dipahami dalam rangka transisi epidemiologis, suatu konsep mengenai perubahan pola kesehatan dan penyakit, suatu konsep mengenai perubahan pola kesehatan dan penyakit. Konsep tersebut hendak mencoba menghubungkan hal-hal tersebut dengan morbiditas dan mortalitas pada beberapa golongan penduduk dan menghubungkannya dengan faktor sosioekonomi serta demografi masyarakat masing-masing. Dikenal 3 periode dalam transisi epidemologis. Hal tersebut terjadi tidak saja di indonesia tetapi juga di negara-negara lain yang sedang berkembang. Periode I. Era pestilince dan kelaparan. Dengan kedatangan orang-orang barat ke Asia pada akhir abad ke 15, datang pula penyakit-penyakit menular seperti pes, kolera, influenza, Tuberkulosis dan penyakit kelamin, yang meningkatkan angka kematian. Harapan hidup bayi-bayi rendah dan pertambahan penduduk juga sangat rendah pada waktu itu. Periode II. Pandemi berkurang pada akhir abad ke 19. Dengan perbaikan gizi, hegiene serta sanitasi, penyakit menular berkurang dan mortalitas menurun. Rata-rata harapan hidup pada waktu lahir meningkat dan jumlah penduduk seperti di pulau jawa nampak bertambah. Periode III. periode ini merupakan era penyakit degeneratif dan pencemaran. Karena komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat barat serta adopsi cara kehidupan barat, penyakit-penyakit degeneratif, seperti hipertensi, penyakit kardiovaskuler dan diabetes militus meningkat. Tetapi apabila kontak dengan barat kurang dan masih terdapat kehidupan tradisional, seperti di daerah

Upload: hasty-wahyuni

Post on 17-Nov-2015

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

file

TRANSCRIPT

Pola penyakit saat ini dapat dipahami dalam rangka transisi epidemiologis, suatu konsep mengenai perubahan pola kesehatan dan penyakit, suatu konsep mengenai perubahan pola kesehatan dan penyakit. Konsep tersebut hendak mencoba menghubungkan hal-hal tersebut dengan morbiditas dan mortalitas pada beberapa golongan penduduk dan menghubungkannya dengan faktor sosioekonomi serta demografi masyarakat masing-masing.Dikenal 3 periode dalam transisi epidemologis. Hal tersebut terjadi tidak saja di indonesia tetapi juga di negara-negara lain yang sedang berkembang.Periode I. Era pestilince dan kelaparan. Dengan kedatangan orang-orang barat ke Asia pada akhir abad ke 15, datang pula penyakit-penyakit menular seperti pes, kolera, influenza, Tuberkulosis dan penyakit kelamin, yang meningkatkan angka kematian. Harapan hidup bayi-bayi rendah dan pertambahan penduduk juga sangat rendah pada waktu itu. Periode II. Pandemi berkurang pada akhir abad ke 19. Dengan perbaikan gizi, hegiene serta sanitasi, penyakit menular berkurang dan mortalitas menurun. Rata-rata harapan hidup pada waktu lahir meningkat dan jumlah penduduk seperti di pulau jawa nampak bertambah.Periode III. periode ini merupakan era penyakit degeneratif dan pencemaran. Karena komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat barat serta adopsi cara kehidupan barat, penyakit-penyakit degeneratif, seperti hipertensi, penyakit kardiovaskuler dan diabetes militus meningkat. Tetapi apabila kontak dengan barat kurang dan masih terdapat kehidupan tradisional, seperti di daerah pedesaan penyakit-penyakit tersebut umumnya jarang ditemukan.Dari penelitian Zimmet (1978) dapat dilihat bahwa beberapa golongan etnik mempunyai semacam proteksi terhadap efek buruk pengaruh barat, antara lain bangsa melanesia dan eskimo. Dampak positif pembangunan yang dilaksanakan oleh oleh pemerintah dalam kurung waktu 60 tahun merdeka, pola penyajik diindonesia mengalami pergeseran yang cukup meyakinkan. Penyakit infeksi dan kekurangan gizi berangsur turun, meskipun diakui bahwa angka penyakit infeksi masih dipertanyakan dengan timbulnya penyakit baru seperti hepatitis B dan AIDS, juga angka kesakitan TBC yang tampaknya masih tinggi. Akhir-akhir ini diabetes meningkat dengan tajam.Di samping itu cara hidup yang sangat sibuk dengan pekerjaan dari pagi samapai sore bahkan kadang-kadang sampai malam hari duduk dibelakang meja menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk berekreasi atau berolah raga, apalagibagi para eksekutif hampir tiap hari harus lunch atau dinner dengan para relasinya dengan menu makanan yang cepat saji. Pola hidup berisiko seperti inilah yang menyebabkan tingginya kekerapan penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes, hiperlipedemia. Diantara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya dimasa datang. Diabetes sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. Perserikatan bangsa-bangsa ( WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurung waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang.Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran dinegara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak disoroti. Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama dikota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipedimia, diabetes dan lain-lain. Dalam meyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efisien dan efektif untuk mengdapatkan hasil yang maksimal. Seperti juga pada pencegahan penyakit menular, ada 2 macam strategi untuk diijalankan, antara lain :Pendekatan populasi, merupakan upaya yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat agar menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup beresiko. Upaya ini ditujukan tidak hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga untuk mencegah penyakit lain sekaligus. Upaya ini sangat berat karena target populasinya sangat luas, oleh karena itu harus dilakukan tidak saja oleh profesi tetapi harus oleh segala lapisan masyarakat termasuk pemerintah dan swasta.Pendekatan individu berisiko tinggi. Semua upaya pencegahan yang dilakukan oleh individu-individu yang berisiko untuk menderita diabetes pada suatu saat kelak. Pada golongan ini termasuk individu yang : berumur > 40 tahun, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan bayi >4 k, riwayat DM pada saat kehamilan, dislipedemia.Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih sehat. Cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggung jawab bukan hanya profesi, tetapi seluruh masyarakat termasuk pemerinta. Semua pihak harus mempropagandakan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup beresik. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik dari pada mengobatinya. Kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang adalah alternatif terbaik dan harus sudah mulai ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak. Pencegahan sekunder mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika lebih mudah karena populasinya lebih kecil, yaitu pasien diabetes yang sudah diketahui dan sudah berobat, tetapi kenyataannya tidak demikian.tidak gampang memotivasi pasien untuk berobat teratur, dan menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak bisa sembuh. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar glukosa darah harus selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari sepanjang tahun. Penyuluhan tentang perilaku sehat seperti pada pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan peningkatan pelayanan kesehatan primerdi pusat-pusat pelayanan kesehatan.Pencegahan tersier adalah upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya termasuk dalam pencegahan tersier: Pencegahan komplikasi diabetes, yang pada konsensus dimasukkan sebagai pencegahan sekunder. Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus kepada penyakit organ. Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau jaringan.Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali, baik antara pasien dengan dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasiny. Dalam hal peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan diabetesnya. Peran ini tentu saja akan merepotkan dokter yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu dia harus dibantu oleh orang yang sudah dididik untuk keperluan itu yaitu penyuluh diabetes.

Dalam rangka mengantisipasi ledakan jumlah pasien diabetes dan meningkatnya komplikasi terutama PJK, tadi sudah diuraikan upaya pencegahan, baik primer, sekunder maupun tersier adalah yang paling baik. Karena upaya itu sangat erat, adalah tidak mungkin dilakukan hanya oleh dokter ahli diabetes atau endokrinologis. Oleh karena itu diperlukan tenaga trampil yang dapat berperan sebagai perpanjangan tangan dokter endokrinologis itu. Di luar negeri tenaga itu sudah lama ada disebut diabetes educator yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, atau pekerja sosial dan lain-lain yang berminat. Pelaksana para penyuluh diabetes itu sebaiknya memberikan pelayanan secara terpadu dalam suatu instansi misalnya dalam bentuk sentral informasi yang bekerja 24 jam sehari dan akan melayani pasien untuk siapapun yang ingin menanyakan seluk beluk tentang diabetes terutama sekali tentang penatalaksanaanya termasuk diet dan komplikasi.

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan dilaboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. (serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemerikasaan penyaringan positif, untuk memastikan diagnosis definitif ).PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara berikut :1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/ dl (11,1 mmol/L) glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terkahir.2. Atau gejala klasik DM + glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/L) puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dl (11,1 mmol/L) dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram gukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air.Cara pelaksanaan TTGO : 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan. Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu: < 140 mg/dL normal 140- < 200 mg/dL toleransi glukosa tergangu 200 mg/dL diabetesPemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) 25 kg/m2 dengan faktor resiko lain sebagai berikut : 1) aktivitas fisik kurang, 2) riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama, 3) masuk kelompok etnik resiko tinggi, 4) wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat 4000 gram atau riwayat diabetes melitus gestational, 5) Hipertensi (tekanan darah 140 /90 mmHg atau sedang dalam terapi obat hipertensi, 6) Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigleserida 250 mg/dL, 7) wanita dengan sindrom polikistik ovarium, 8) riwayat toleransi glukosa tergangu (TGT) atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT), 9) keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (Obesitas, akantosis nigrikans).Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu atau TTGO. Untuk kelompok risiko tinggi yang berhasil pemeriksaan penyaringan yang negatif , pemeriksaan penyaringan ulangan dilakukan tiap tahun ; sedangkan bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaringan dapat dilakukan setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung dari klinis masing-masing pasien.Pemeriksaan penyaringan yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaringan bersama penyakit lain sangat dianjurkan.Pemeriksaan penyaringan berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa tergangu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. setelah 5-10 tahun kemudian itu akan berkembang menjadi DM. adanya TGT ini berisiko terjadinya ateroskerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan dilipedemia. Peran aktif para penegeloala kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan testoleransi glukosa oral (TTGO) standar.