pneumothorax
DESCRIPTION
internaTRANSCRIPT
PNEUMOTHORAX
Definisi
Pneumotoraks adalah penumpukan udara yang bebas dalam dada diluar paru yang
menyebabkan paru kolaps.
Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada kavum pleura.
Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa
mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh :
1. Robeknya pleura viseralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari alveolus
akan memasuki kavum pleura. Pneumotoraks jenis ini disebut sebagai closed
pneumotoraks. Apabila kebocoran pleura viseralis berfungsi sebagai katup, maka
udara yang masuk saat inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada
saat ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak sehingga
mendorong mediastinum kearah kontralateral dan menyebabkan terjadinya
tension pneumotoraks.
2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan antara
kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih besar dari 2/3
diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding
traktus respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan dalam rongga
dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi
dan menyebabkan kolaps pada paru ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga
dada meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui lubang
tersebut. Kondisi ini disebut sebagai open pneumotoraks (Berck, 2010).
2.2 Epidemiologi
Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks spontan dan
traumatik. Pneumotoraks spontan merupakan pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa
atau dengan adanya penyakit paru yang mendasari. Pneumotoraks jenis ini dibagi lagi
menjadi pneumotoraks primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru yang mendasari)
maupun sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya).
Insidensinya sama antara pneumotoraks primer dan sekunder, namun pria
lebih banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan 6:1. Pada pria, resiko
pneumotoraks spontan akan meningkat pada perokok berat dibanding non perokok.
Pneumotoraks spontan sering terjadi pada usia muda, dengan insidensi puncak pada
dekade ketiga kehidupan (20-40 tahun).
Sementara itu, pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma
langsung maupun tidak langsung pada dinding dada, dan diklasifikasikan menjadi
iatrogenik maupun non-iatrogenik. Pneumotoraks iatrogenik merupakan tipe
pneumotoraks yang sangat sering terjadi (Berck, 2010).
Umur : Biasanya terjadi pada orang yang ber usia 20-40 tahun
Seks : Lebih sering pada pria
Pneumotoraks spontan primer
Biasanya terjadi pada anak laki-laki yang tinggi, kurus dan usia 10-30 tahun
Incidens pada usia tertentu: 7,4-18 kasus per 100.000 orang per tahun pada laki-
laki 1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun pada perempuan
Pneumotoraks spontan sekunder
Umur : Puncak kejadian di usia 60-65 tahun insidensi 6,3 kasus per 100.000
orang per tahun pada laki-laki 2,0 kasus per 100.000 orang per tahun pada
perempuan 26 per 100.000 pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik per
tahun (McCool FD, 2008)
Kejadian pneumotoraks spontan primer adalah 18 per 100.000 orang per tahun dan 6
per 100.000 perempuan per tahunnya.
Hal ini terjadi paling sering di usia 20-an, dan pneumotoraks spontan primer jarang
terjadi di atas usia 40.
Pneumotoraks spontan sekunder biasanya terjadi antara usia 60 dan 65.
Antara Tahun 1991 dan 1995 tingkat MRS di UK Hospitalbaik untuk pneumotoraks
spontan primer dan sekunder adalah 16,7 per 100.000 orang per tahun dan 5,8 per
100.000 perempuan per tahun.
Rekurensiakan terjadi pada sekitar 30% dari 45% primer dan sekunder pneumotoraks.
Hal ini sering terjadi dalam 6 bulan, dan biasanya dalam waktu 3 tahun. (Korom S,
2011)
2.3 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekanisme Kejadian
2.3.1 Pneumotoraks spontan
2.3.1.1 Pneumotoraks Spontan Primer
Pneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada paru-paru yang sehat
dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari. Angka kejadian pneumotoraks spontan
primer (PSP) sekitar 18-28 per 100.000 pria pertahun dan 1,2-6 per 100.000 wanita pertahun
(Mackenzie and Gray, 2007). Umumnya, kejadian ini terjadi pada orang bertubuh tinggi, kurus,
dan berusia antara 18-40 tahun. Mekanisme yang diduga mendasari terjadinya PSP adalah
ruptur bleb subpleura pada apeks paru-paru (Heffner and Huggins, 2004). Udara yang terdapat
di ruang intrapleura tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai kelainan klinis dan radiologis.
Namun banyak pasien yang dinyatakan mengalai PSP mempunyai penyakit paru-paru
subklinis. Riwayat keluarga dengan kejadian serupa dan kebiasaan merokok meningkatkan
resiko terjadinya pneumotoraks ini (Heffner and Huggins, 2004).
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme PSP adalah terdapat
sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya. Peningkatan porositas
menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau tanpa perubahan emfisematous paru-paru.
Hubungan tinggi badan dengan peningkatan resiko terjadinya PSP adalah karena gradien
tekanan pleura meningkat dari dasar ke apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks paru-paru
orang bertubuh tinggi rentan terhadap meningkatnya tekanan yang dapat mendahului proses
pembentukan kista subpleura (Mackenzie and Gray, 2007).
PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena tidak adanya
penyakit paru-paru yang mendasari (Heffner and Huggins, 2004). Pada sebagian besar kasus
PSP, gejala akan berkurang atau hilang secara spontan dalam 24-48 jam. Kecepatan absorpsi
spontan udara dari rongga pleura sekitar 1,25-1,8% dari volume hemitoraks per hari, dan
suplementasi oksigen sebesar 10 lpm akan meningkatkan kecepatan absorpsi sampai dengan
empat kali lipat (Mackenzie and Gray, 2007). Beberapa macam terapi yang dapat dilakukan
pada pasien PSP antara lain observasi, drainase interkostal dengan atau tanpa pleurodesis,
dan video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) (Heffner and Huggins, 2004).
Panduan terapi untuk PSP dikeluarkan oleh British Thoracic Society (BTS) dan
American College of Chest Physician (ACCP). Terdapat perbedaan untuk besar-kecilnya
pneumotoraks dan jenis terapi untuk PSP kecil simtomatik dan PSP simtomatik yang stabil di
antara keduanya(Mackenzie and Gray, 2007). Berikut adalah ringkasan gabungan panduan
terapi menurut BTS dan ACCP (Mackenzie and Gray, 2007).
a. Clinically stable small pneumotoraks
Kedua panduan menyatakan terapi untuk pasien stabil dengan pneumotoraks
kecil (<2 cm, BTS; <3 cm, ACCP) dan gejala minimal adalah dengan melakukan
observasi dan di-KRS-kan. Panduan ACCP menyarankan dilakukannya observasi
sekitar 3-6 jam, foto rontgen paru-paru, diKRSkan dengan instruksi lengkap, dan
pasien diminta untuk kontrol dalam dua hari berikutnya.
b. Large pneumotoraks and symptomatic small pneumotoraks
Pasien yang tergolong dalam PSP ini membutuhkan intervensi. BTS
merekomendasikan aspirasi sederhana sebagai terapi lini pertama pada PSP luas
dengan kondisi stabil dan pneumotoraks kecil simtomatis. CXR dilakukan setelah
aspirasi untuk menentukan apakah terdapat perbaikan. Apabila tidak ada
perbaikan atau pasien masih simtomatis dan jumlah aspirasi awal kurang dari 2,5
liter aspirasi ulangan dapat dilakukan. Apabila aspirasi pertama sudah lebih dari
2,5 liter atau aspirasi ulangan tidak berhasil maka pemasangan drain interkostal
harus dilakukan.
c. Clinically unstable patients with a large pneumotoraks
Pada pasien yang termasuk dalam kategori ini sebaiknya dilakukan pemasangan
drain interkostal dan di-MRS-kan. Paru-paru harus dapat mengembang
sepenuhnya 24 jam sebelum drain dilepas. CXR dilakukan setiap 24 jam.
d. Surgical intervention
Terapi pembedahan harus mulai dipikirkan apabila terdapat kebocoran udara
persisten atau paru-paru gagal melakukan re-ekspansi setelah 3-5 hari.Indikasi
dilakukannya operasi meliputi terjadinya pneumotoraks ipsilateral yang kedua,
pneumotoraks kontralateral yang pertama, dan adanya reiko pekerjaan seperti
penyelam atau pilot. Pasien dengan profesi tersebut sebaiknya menjalani
tindakan operasi bilateral. Pilihan terapi pembedahan yang dapat dilakukan
seperti VATS, pleural abrasion, surgical talc pleurodesis, pleurectomy, dan open
thoracostomy (Mackenzie and Gray, 2007)
Pada pemasangan drain interkostal, ukuran kateter pleura tidak mempengaruhi
efektivitas drain pada terapi PSP. Selain itu, tidak ada korelasi antara ukuran drain dan tingkat
komplikasi, rekurensi, dan lamanya pasien dirawat. Namun kateter dengan diameter kecil tidak
dapat digunakan apabila terdapat cairan pleura (karena dapat menyumbat) dan adanya
kebocoran udara (menyebabkan reekspansi yang tidak adekuat). Suction hanya dapat
dipertimbangkan 48 jam setelah pemasangan drain untuk mengurangi resiko terjadinya edema
re-ekspansi paru-paru dan harus dikonsulkan kepada dokter ahli paru-paru. BTS
merekomendasikan sistem suction dengan volume besar dan tekanan rendah (-10 to -20 cm
H2O). Drain sebaiknya tidak diklem kecuali diminta oleh ahli paru atau spesialis bedah TKV.
Pengekleman drain dapat berbahaya dan tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan angka
keberhasilan atau penurunan resiko rekurensi. Indikasi klem drain adalah apabila terdapat
kebocoran udara terus menerus karena berpotensi menyebabkan tension pneumotoraks.
2.3.1.2 Pneumotoraks Spontan Sekunder
PSS merupakan pneumotoraks yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru yang
mendasari. Umumnya PSS terjadi sebagai komplikasi COPD, fibrosis kistik, tuberkulosis,
pneumocystits pneumonia, dan menstruasi. PSS juga dapat terjadi ada penyakit intersisiel paru
seperti sarcoidosis, lymphangioleiomyomatosis, langerhans cell histiocytosis and tuberous
sclerosis. Secara umum udara pada PSS memasuki rongga pleura melalui alveoli yang melebar
atau rusak. Perburukan klinis dan sequelae biasanya terjadi akibat adanya kondisi komorbid.
Causa terbanyak PSS adalah COPD, khususnya COPD sedang-berat. Apabila
pneumotoraks terjadi pasien COPD gejala sesak napas yang progresif muncul dan biasanya
bersamaan dengan nyeri pleuritik. PSS merupakan penanda signifikan untuk mortalitas pasien
COPD. Setiap kejadian pneumotoraks meningkatkan resiko kematian sampai dengan empat
kali lipat. Sekitar 40-50% pasien akan mengalami PSS yang kedua apabila pleurodesis tidak
dilakukan (Heffner and Huggins, 2004).
Untuk penangan PSS, ACCP merekomendasikan pemasangan chest tube untuk
setiap pasien PSS, dan pleurodesis pada episode pertama PSS guna mencegaj rekurensi.
Sedangkan rekomendasi BTS merekomendasikan aspirasi dengan syringe dan kateter untuk
pasien pneumotoraks kecil dengan penyakit paru yang mendasari ringan. Sebagian besar
pasien membutuhkan drainase melalui chest tube. Pelepasan chest tube dilakukan setelah
terjadi re-ekspansi paru dan resolusi kebocoran udara. Pleurodesis merupakan terapi pilihan
terakhir dan dilakukan pada pasien dengan kebocoran udara yang tidak teratasi dan mengalami
pneumotoraks rekuren (Mackenzie and Gray, 2007).
2.3.2 Pneumotoraks Traumatik
2.3.2.1 Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik
Pneumotoraks iatrogenikmerupakan pneumotoraks yang terjadi akibat pembukaan
rongga paru secara paksa saat tidakan dianosis atau terapi invasif dilakukan . Tindakan seperti
thoracocentesis, biopsi pleura, pemasangan kateter vena sentral, biopsi paru perkutan,
bronkoskopi dengan biopsi transbronkial, aspiasi transtoracic, dan ventilasi tekanan positif
dapat menjadi etiologinya. Akibatnya, pasien perlu lebih lama dirawat di rumah sakit (Yilmaz, et
al, 2002).
Penyebab utama terjadinya pneumotoraks iatrogeni adalah aspirasi jarm halus
transthoracic. Dua faktor yang memegang perang penting adalah ukuran dan kedalaman lesi.
Apa bila lesi kecil dan dalam maka resiko pneumotoraks meningkat. Penyebab kedua terbanyak
adalah pemasangan kateter vena sentral. Penyebab lainnya antara lain akupunkktur
transthoracic, resusitasi jantung-paru, dan penyalahgunaan obat melalui vena leher (Sharma,
2009).
2.3.2.2 Pneumotoraks Traumatik Non Iatrogenik
Pneumotoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang merusak pleura
viseralis atau parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan udara dapat masuk ke rongga
pleura langsung ke dinding toraks atau memenuju pleura viseralis melalui cabang-cabang
trakeobronkial. Luka tusuk atau luka tembak secara langsung melukai paru-paru perifer
menyebabkan terjadinya hemothoraks dan pneumotoraks di lebih dari 80% lesi di dada akibat
benda ajam (Sharma, 2009).
Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis terobek oleh fraktur
atau dislokasi costa. Kompresi dada tiba-tiba menyebabkan peningkatan tekanan alveolar
secara tajam dan kemudian terjadi ruptur alveoli. Saat alveoli ruptur udara masuk ke rongga
intersisiel dan terjadi diseksi menuju pleura viseralis atau mediastinum. Pneumotoraks terjadi
saat terjadi ruptur pada pleura viseralis atau mediastinum dan udara masuk ke rongga pleura.
Manifestasi klinisnya dapat berupa Fallen lung sign/peptic lung sign di mana hilus paru terletak
lebih rendah dari normal atau terdapat pneumotoraks persisten dengan chest tube terpasang
dan berfungsi dengan baik (Sharma, 2009).
Pneumotoraks traumatik noniatrogenik juga dapat terjadi akibat barotrauma. Pada
suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik dengan tekanannya, sehingga apabila
ditempatkan pada ketinggian 3050 m, volume udara yang tersaturasi pada tubuh meningkat 1,5
kali lipat daripada saat di ketinggian permukaan laut. Pada peningkatan tekanan tersebut, udara
yang terjebak dalam bleb dapat mengalami ruptur dan menyebabkan pneumotoraks. Hal ini
biasanya terjadi pada kru pesawat terbang. Sedangkan pada penyelam, udara yang
terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui regulator dan sewaktu naik ke permukaan
barotrauma dapat terjadi seiring dengan penurunan tekanan secara cepat sehingga udara yang
terdapat di paru-paru dapat menyebabkan pneumotoraks (Sharma, 2009)
2.4 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Jenis Fistulanya
2.4.1 Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada),
sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura
awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap
oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami reekspansi,
sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali
negatif.Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap
negatif. Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan paru atau jalan nafas atau
esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena tekanan vakum pleura negatif (Alsagaff,
2009).
2.4.2 Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Pneumotoraks terbuka yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga
pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar karena terdapat luka
terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara
luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini
sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan.Pada saat
inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi
positif.Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada
saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking
wound) (Alsagaff, 2009).
2.4.3 Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Pneumotoraks ventil adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan
makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat
ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya
dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di
dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin
lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer.Udara yang terkumpul dalam rongga
pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas (Alsagaff,
2009).
2.5 Patofisiologi Pneumotoraks
Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik, iatrogenik.
Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan primer dan sekunder.
Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ paru dan pneumotoraks
iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi diagnostic ataupun terapeutik.
Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru yang
mendasarinya, namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula subpleural ditemukan
pada 76-100% pasien pneumotoraks spontan primer dengan tindakan video-assisted
thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus pneumotoraks spontan primer sering
dihubungkan dengan faktor resiko merokok yang mendasari pembentukan bula subpleural,
namun pada sebuah penelitian dengan komputasi tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa
89% kasus dengan bula subpleural adalah perokok berbanding dengan 81% kasus adalah
bukan perokok.
Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun sebuah teori
menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi oleh rokok yang
kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Proses ini menyebabkan
ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem oksidan-antioksidan serta menginduksi
terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan
alveolar sehingga terjadi kebocoran udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan
menyebabkan pneumomediastinum. tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura
parietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks.
Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi oleh udara
akibat rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai tercapainya keseimbangan
tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut ditutup. Paru-paru akan bertambah kecil
dengan bertambah luasnya pneumotoraks. Konsekuensi dari proses ini adalah timbulnya sesak
akibat berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya PO2.
Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam
patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus pneumotoraks spontan
primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti: sindrom marfan, homosisteinuria,
serta sindrom Birt-Hogg-Dube.
Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paru yang sudah
ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan tekanan alveolar yang
melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan berpindah ke interstitial menuju hilus
dan menyebabkan pneumomediastinum. Selanjutnya udara akan berpindah melalui pleura
parietalis pars mediastinal ke rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks. Beberapa
penyebab terjadinya pneumotoraks spontan sekunder adalah:
Penyakit saluran napas
o PPOK
o Kistik fibrosis
o Asma bronchial
Penyakit infeksi paru
o Pneumocystic carinii pneumonia
o Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerobik, bakteri gram negatif atau
staphylokokus)
Penyakit paru interstitial
o Sarkoidosis
o Fibrosis paru idiopatik
o Granulomatosis sel langerhans
o Limfangioleimiomatous
o Sklerosis tuberus
Penyakit jaringan penyambung
o Artritis rheumatoid
o Spondilitis ankilosing
o Polimiositis dan dermatomiosis
o Sleroderma
o Sindrom Marfan
o Sindrom Ethers-Danlos
Kanker
o Sarkoma
o Kanker paru
Endometriosis toraksis
Pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi maupun non-
penetrasi.Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat menimbulkan
pneumotoraks. Bila terjadi pneumotoraks, paru akan mengempes karena tidak ada lagi tarikan
ke luar dnding dada. Pengembangan dinding dada pada saat inspirasi tidak diikuti dengan
pengembangan paru yang baik atau bahkan paru tidak mengembang sama sekali. Tekanan
pleura yang normalnya negatif akan meningkat hingga menyebabkan gangguan ventilasi pada
bagian yang mengalami pneumotoraks.
Pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari prosedur medis atau
bedah.Salah satu yang paling sering adalah akibat aspirasi transtorakik (transthoracic needle
aspiration), torakosentesis, biopsy transbronkial, ventilasi mekanik tekanan positif (positive
pressure mechanical ventilation).Angka kejadian kasus pneumotoraks meningkat apabila
dilakukan oleh klinisi yang tidak berpengalaman.
Pneumotoraks ventil (tension pneumotoraks) terjadi akibat cedera pada parenkim
paru atau bronkus yang berperan sebagai katup searah.Katup ini mengakibatkan udara
bergerak searah ke rongga pleura dan menghalangi adanya aliran balik dari udara
tersebut.Pneumotoraks ventil biasa terjadi pada perawatan intensif yang dapat menyebabkan
terperangkapnya udara ventilator (ventilasi mekanik tekanan positif) di rongga pleura tanpa
adanya aliran udara balik.
Udara yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di rongga pleura
sehingga menekan mediastinum dan mendorong jantung serta paru ke arah kontralateral. Hal
ini menyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya hipoksia. Curah jantung turun karena
venous return ke jantung berkurang, sedangkan hipoksia terjadi akibat gangguan pertukaran
udara pada paru yang kolaps dan paru yang tertekan di sisi kontralateral. Hipoksia dan
turunnya curah jantung akan menggangu kestabilan hemodinamik yang akan berakibat fatal jika
tidak ditangani secara tepat.
2.6 Diagnosis Pneumotoraks
2.6.1 Keluhan
a) Nyeri dada hebat yang tiba-tiba pada sisi paru terkena khususnya padasaat bernafas
dalam atau batuk.
b) Sesak, dapat samapai berat, kadang bisa hilang dalam 24 jam, apabila
sebagian paru yang kolaps sudah mengembang kembali
c) Mudah lelah pada saat beraktifitas maupun beristirahat.
d) Warna kulit yang kebiruan disebabkan karena kurangnya oksigen (cyanosis)
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi: dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan nafas, tertinggal
pada sisi yang sakit
b) Palpasi: Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau melebar, iktus jantung
terdorong kesisi thoraks yang sehat. Fremitus suara melemah atau menghilang.
c) Perkusi: Suara ketok hipersonor samapi tympani dan tidak bergetar, batas jantung
terdorong ke thoraks yang sehat, apabila tekanannya tinggi
d) Auskultasi: suara nafas melemah sampai menghilang, nafas dapat amforik apabila
ada fistel yang cukup besar
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
a) Radiologis:
1. Tampak bayangan hiperlusen baik bersifat lokal maupun general
2. Pada gambaran hiperlusen ini tidak tampak jaringan paru, jadi avaskuler.
3. Bila pneumotoraks hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya kolaps dari paru-
paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru yang terdesak ini lebih padat
dengan densitas seperti bayangan tumor.
4. Biasanya arah kolaps ke medial
5. Bila hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya perdorongan pada jantung
misalnya pada pneumotoraks ventil atau apa yang kita kenal sebagai tension
pneumothorax
6. Juga mediastinum dan trakea dapat terdorong kesisi yang berlawanan.
b) BGA: untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah pasien
2.7. Penatalaksanaan Pneumotoraks
2.7.1 Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks
Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan stabiisasi leher
hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera cervical dengan cara memasang cervical
collar atau dengan kantong berisi pasir. Evaluasi tingkat kesadaran dengan menyapa pasien
dan dilaknjutkan dengan pemeriksaan ABC (airway, breathing, circulation) (Boon, 2008).
Pada pemeriksaan jalan nafas yaitu membuka jalan nafas dengan jaw thrust (bila
dicurigai terdapat cedera cervical/pada pasien tidak sadar) atau head tilt chin lift dilanjutkan
dengan membersihkan rongga mulut dengan swab mengunakan jari telunjuk, mempertahankan
jalan nafas agar tetap terbuka. Pada pasien tidak sadar dilakukan pemasangan orofaringeal
tube untuk mencegah lidah jatuh dan menutup jalan nafas (Boon, 2008).
Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan dilakukan secara
bersamaan. Pada pasien dengan pneumotoraks perkembangan dinding dada asimetris, deviasi
trakea ke paru yang sehat, JVP meningkat, suara nafas menurun bahkan menghilang dan pada
perkusi didapatkan hipersonor. Bila didapatkan tanda-tanda tersebut, langsung dilakukan
tindakan needle thoracostomy (Boon, 2008).
Pemeriksaan nadi carotis dan radialis didapatkan takhikardi, akral dan memeriksa
capillary refill test. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila terjadi perdarahan masif
dilakukan pemasangan double line dengan cairan kristaloid (Boon, 2008).
2.7.2 Penatalaksanaan Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Kebanyakan simple pneumothoraces akan membutuhkan pemasangan intecostal
chest drain sebagai terapi definitif. Pneumothoraces kecil, khususnya yang hanya terlihan
dengan CT dapat diobservasi. Keputusan untuk data diobservasi berdasarkan status klinis
pasien prosedur yang direncanakan berikutnya. Pemasangan chest tube cocok pada kasus
yang terdapat multiple injury, pasien yang menjalani anestesia yang berkepanjangan, atau
pasien yang akan ditransfer dengan jarak yang jauh dimana deteksi peningkatan atau tension
pneumothorax mungkin sulit atau tertunda (Brohi, 2004).
2.7.3 Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Oksigen 100% harus diberikan melalui facemask. Intubasi harus dipertimbangkan bila
oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat. Intubasi tidak boleh menunda pemasangan chest tube
dan penutupan luka. Manajemen definitif pada open pneumotoraks adalah menutup luka dan
segera memasang intercostal chest drain (Brohi, 2004).
Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa melakukan
terapi definitif perban dapat diletakkan di atas luka dan diplester pada tiga sisinya. Secara teori,
hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk memungkinkan udara keluar dari pneumotoraks
selama ekspirasi, namun tidak masuk selama inspirasi. Hal ini mungkin sulit bila dilakukan
pada luka yang luas dan efeknya sangat bervariasi. Sesegera mungkin chest drain harus
dipasang dan luka ditutup (Brohi, 2004).
2.7.4 Penatalaksanaan Tension Pneumothorax
2.7.4.1 Needle Thoracostomy
Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada emergensi dengan
needle toracostomy. Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan pada Intercostal Space (ICS) II Mid
Clavicular Line (MCL). Jarum dipertahankan hingga udara dapat dikeluarkan melalui spuit yang
terhubung dengan jarum. Jarum ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di udara. Udara yang keluar
dengan cepat dari dada menunjukkan adanya tension pneumothorax. Manuver ini mengubah
tension pnemothorax menjadi simple pneumothorax (Brohi, 2004).
2.7.4.2 Pemasangan Chest Tube
Pemasangan chest tube merupakan terapi definitif pada tension pnemothorax. Chest
tube harus tersedia dengan cepat di ruang resusitasi dan pemasangannnya biasanya cepat.
Pemasangan terkontrol chest tube lebih baik untuk blind needle thoracostomy. Hal ini
menyebabkan status respiratori dan hemodinamik pasien akan menoleransi beberapa menit
tambahan untuk melakukan surgical thoracostomy. Setelah pleura dimasuki (diseksi tumpul),
tekanan akan didekompresi dan pemasangan chest tube dapat dilakukan tanpa terburu-buru.
Hal ini terutama berlaku bagi pasien yang terventilasi manual dengan tekanan positif (Brohi,
2004).
2.8 Komplikasi Pneumotoraks
Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumotoraks antara lain adalah
pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Pneumomediastinum dapat terjadi melalui tiga
tahap yang umum disebut dengan efek Macklin. Urutan kejadiannya adalah terjadinya ruptur
alveolar kemudian terjadi diseksi sepanjang seubung bronkovaskuler menuju daerah hilus dan
akhirnya udara mencapai mediastinum. Pneumomediastinum jarang menyebabkan komplikasi
klinis yang signifikan. Tetapi pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum dapat
menyebabkan peningkatan tekanan mediastinum sehingga terjadi penekanan langsung
terhadap jantung atau menurunkan aliran darah balik sehingga terjadi penurunan curah jantung.
Pneumomediastinum dapat berkembang menjadi emfiesema subkutis. Apabila udara pada
subkutan dan mediastinum sangat banyak dapat terjadi kompresi jalan napas dan jantung
(Carolan, 2010).
Gambar 2.1 Pneumomediastinum Gambaran pneumomediastinum pada foto thoraks tampak
sebagai daerah radiolusens di sekitar batas jantung kiri.
Mediastinum berhubungan dengan daerah submandibula, retrofaringeal, dan
selubung pembuluh darah leher, dan toraks lateral (Carolan, 2010). Emfisema subkutis terjadi
akibat udara memasuki daerah-daerah tersebut dan bermanifestasi sebagai pembengkakan
tidak nyeri. Pada palpasi akan terasa seperti kertas. Gambaran radiologis untuk emfisema
subkutis adalah radiolusen di tepian struktur anatomi terkait.Komplikasi ini dapat memperparah
keadaan pasien dengan pneumotoraks akibat kompresi jalan napas. Pertolongan pertama yang
dapat dilakukan apabila terjadi distres adalah insisi kulit dengan pisau pada daerah kulit yang
mengalami pembengkakan (Paramasivam, 2008).