pmkp

45
1.Pendahuluan 2.Latar belakang 3.Tujuan 4.Pengertian 5.Kebijakan 6.Pengorganisasian 7.Kegiatan 8.Metode 9.Pencatatan dan Pelaporan 10.Monitoring dan Evaluasi 11.Penutup I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era Jaminan Kesehatan Nasional, masyarakat dapat memilih fasilitas kesehatan tingkat pertama yang sesuai dengan kebutuhan dan kepuasan mereka. Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat dan gate keeper pada pelayanan kesehatan formal dan penapis rujukan, harus dapat memberikan pelayanan bermutu sesuai dengan standar pelayanan maupun standar kompetensi. Oleh karena itu, Puskesmas dituntut untuk selalu meningkatkan mutu penyelenggaraan pelayanan Puskesmas baik dalam

Upload: casper-reuse-fiber

Post on 31-Jan-2016

25 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pokja

TRANSCRIPT

Page 1: PMKP

1.Pendahuluan

2.Latar belakang

3.Tujuan

4.Pengertian

5.Kebijakan

6.Pengorganisasian

7.Kegiatan

8.Metode

9.Pencatatan dan Pelaporan

10.Monitoring dan Evaluasi

11.Penutup

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam era Jaminan Kesehatan Nasional, masyarakat dapat memilih fasilitas kesehatan

tingkat pertama yang sesuai dengan kebutuhan dan kepuasan mereka. Puskesmas sebagai ujung

tombak pelayanan kesehatan masyarakat dan gate keeper pada pelayanan kesehatan formal dan

penapis rujukan, harus dapat memberikan pelayanan bermutu sesuai dengan standar pelayanan

maupun standar kompetensi. Oleh karena itu, Puskesmas dituntut untuk selalu meningkatkan

mutu penyelenggaraan pelayanan Puskesmas baik dalam administrasi manajemen Puskesmas,

pelayanan klinis maupun pelayanan program Puskesmas. Akreditasi merupakan salah satu upaya

dalam menjamin peningkatan mutu pelayanan Puskesmas. Pelaksanaan Standar Akreditasi

Puskesmas ini diharapkan akan memberikan manfaat tidak hanya bagi kepuasan pasien karena

pelayanan yang diberikan aman dan sesuai standar, tetapi juga bagi kepuasan dan keamanan

petugas kesehatan dalam pemberian layanan

Page 2: PMKP

Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan nasional diselenggarakan berbagai upaya

kesehatan secara menyeluruh, berjenjang dan terpadu. Puskesmas merupakan garda depan dalam

penyelenggaraan upaya kesehatan dasar. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014

tentang ”Pusat Kesehatan Masyarakat”, merupakan landasan hukum dalam penyelenggaraan

Puskesmas. Puskesmas yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan

masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan

upaya promotif dan preventif untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-

tingginya di wilayah kerjanya.

Agar Puskesmas dapat menjalankan fungsinya secara optimal perlu dikelola dengan baik, baik

kinerja pelayanan, proses pelayanan, maupun sumber daya yang digunakan. Masyarakat

menghendaki pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu, serta dapat menjawab kebutuhan

mereka, oleh karena itu upaya peningkatan mutu, manajemen risiko dan keselamatan pasien

perlu diterapkan dalam pengelolaan Puskesmas dalam memberikan pelayanan kesehatan yang

komprehensif kepada masyarakat.

Keselamatan pasien merupakan isu global yang paling penting saat ini dimana sekarang

banyak dilaporkan tuntutan pasien atas medical error yang terjadi pada pasien. Pada saat ini mutu

pelayanan kesehatan telah memasuki era keselamatan pasien. Pengalaman buruk yang menimpa

Willie King, pada tahun 1995 di Amerika menjadi pemicu yang efektif. Pria berusia 51 tahun ini

diketahui menderita gangren (luka membusuk) pada kaki kanannya akibat penyakit Diabetes

Mellitus. Untuk itu direncanakan amputasi kaki kanannya untuk menyelamatkan nyawanya.

Tragis, bukannya kaki kanan yang diamputasi, tetapi justru kaki kirinya yang sehat. Akibatnya,

kedua kakinya pun teramputasi.

Pada tahun 2000 Institute of Medicine di Amerika Serikat menerbitkan laporan yang

mengagetkan banyak pihak : “TO ERR IS HUMAN” , Building a Safer Health System. Laporan

itu mengemukakan penelitian di rumah sakit di Utah dan Colorado serta New York. Di Utah dan

Colorado ditemukan KTD (Adverse Event) sebesar 2,9 %, dimana 6,6 % diantaranya meninggal.

Sedangkan di New York KTD adalah sebesar 3,7 % dengan angka kematian 1 3,6 %. Angka

kematian akibat KTD pada pasien rawat inap di seluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta per

tahun berkisar 44.000 – 98.000 per tahun. Publikasi WHO pada tahun 2004, mengumpulkan

Page 3: PMKP

angkaangka penelitian rumah sakit di berbagai Negara : Amerika, Inggris, Denmark, dan

Australia, ditemukan KTD dengan rentang 3,2 – 1 6,6 %. Dengan data-data tersebut, berbagai

negara segera melakukan penelitian dan mengembangkan Sistem Keselamatan Pasien

Tahun 2001 dalam laporan FDA Safety, Thomas`Maria R, et al menemukan bahwa yang

menjadi penyebab terjadinya kesalahan obat adalah: komunikasi (19%), pemberian label (20%),

nama pasien yang membingungkan (13%), faktor manusia (42%), dan desain kemasan (20,6%).

Adapun kesalahan yang berhubungan dengan faktor manusia antara lain berhubungan dengan:

kurangnya pengetahuan (12,3%), kurangnya kinerja (13,2%), kelelahan (0,3%), kesalahan

kecepatan infuse (7%), dan kesalahan dalam menyiapkan obat (7%). Sedangkan menurut

penelitian tersebut menurut kesalahan yang paling banyak adalah salah obat (22%), over dosis

(17%), salah rute obat (8%), salah teknik (7%), dan kesalahan dalam monitoring (7%).

Kasus terakhir adalah meninggalnya 2 pasien RS Siloam. Ramai diberitakan, dua pasien RS

Siloam, Karawaci tewas lantaran kesalahan pemberian obat bius. Obat tersebut diduga tertukar

label antara Buvanest Spinal dan Asam Tranexamat. Obat yang semestinya diberikan adalah

Buvanest Spinal, tapi yang disuntikkan justru berisi Asam Tranexamat. Pasien pertama tewas

karena dugaan pembiusan untuk melakukan operasi Caesar. Sedangkan pasien kedua tewas

karena dugaan saat pembiusan untuk operasi kandung kemih.

Pendekatan lain untuk menunjukkan pentingnya mutu pelayanan kesehatan adalah dengan

mencermati karakteristik pelayanan yang buruk. Ernest A. Codman (1869-1940), seorang ahli

bedah, telah lama menyadari bahwa manusia tidak mungkin lepas dari kesalahan. Dari 337

pasien yang ditanganinya pada kurun waktu lima tahun (1911 - 1916), lebih dari sepertiganya

(36,5%) mengalami kejadian yang tidak diharapkan (KTD) (Neuhauser, 2002).

Harus diakui, pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan pasien sesuai

dengan yang diucapkan Hiprocrates kira-kira 2400 tahun yang lalu yaitu Primum, non nocere

atau First, do no harm (melayani tanpa harus membahayakan) Namun diakui dengan semakin

berkembangnya ilmu dan teknologi pelayanan kesehatan menjadi semakin kompleks dan

berpotensi terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan - KTD (Adverse event) apabila tidak dilakukan

dengan hati-hati.

Page 4: PMKP

Didalam keselamatan pasien terdapat istilah insiden keselamatan pasien yang selanjutnya

disebut insiden yaitu setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau

berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak

Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera (KNC), Kejadian Tidak Cedera (KTC), Kejadian

Potensial Cedera (KPC).

Di Indonesia, mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien telah mempunyai landasan

hukum yang kuat. Undang-undang (UU) Kesehatan no. 36/2009 mengamanatkan bahwa

pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau merupakan tanggungjawab pemerintah

dan hak setiap orang (pasal 5 dan 19). Demikian pula UU Praktik Kedokteran (UUPK) no

29/2004 dan UU Rumah Sakit (UURS) no 44/2009 tegas menyatakan bahwa mutu pelayanan

dan keselamatan pasien merupakan dasar dan tujuan praktik kedokteran dan penyelenggaraan

rumah sakit.

Kegiatan peningkatan mutu pelayanan dan keselamatan pasien disebutkan secara eksplisit

dalam UUPK, antara lain melalui uji kompetensi dokter (pasal 6), kendali mutu, pelayanan

sesuai standar dan audit medis (pasal 49, 51, 72, 74). Sedangkan UURS mencantumkan

perizinan (pasal 25-28), audit kinerja dan audit medis (pasal 39), akreditasi (pasal 40),

keselamatan pasien (pasal 43), serta pembinaan dan pengawasan internal (oleh Dewan Pengawas

Rumah Sakit) dan eksternal (oleh Badan Pengawas Rumah Sakit) (pasal 54 dan 55). Secara

khusus, Kementerian Kesehatan membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit pada

tahun 2006. Di tingkat pemerintah daerah, aturan mengenai mutu pelayanan kesehatan dan

keselamatan pasien telah pula disusun. (pengukuhan adiutarin)

Untuk mencegah terjadinya kasusu kasus diatas maka pelayanan puskesmas dalam

melaksanakan pelayanannya harusa senantiasa memperhatikan Keselamatan pasien (patient

safety). Upaya Keselamatan Pasien adalah  reduksi dan meminimalkan tindakan yang tidak aman

dalam sistem pelayanan kesehatan sebisa mungkin melalui pratik yang terbaik untuk mencapai

luaran klinis yang optimum. (The Canadian Patient Safety Dictionary, October 2003).

Page 5: PMKP

1.2 TUJUAN

1.2.1 Tujuan Umum

Secara garis besar tujuan program upaya peningkatan mutu klinis dan keselamatan pasien

adalah tercipta dan terjaminnya mutu pelayanan kesehatan prima dan keselamatan pasien

yang berorientasi pada mutu paripurna (Total Quality Management) dan peningkatan

mutu berkelanjutan (Continous Quality Improvement).

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Terlaksananya program keselamatan pasien secara sistematis dan terarah.

2. Terlaksananya pencatatan insiden dan pelaporannya.

3. Terjaminnya Mutu Pelayanan melalui 6 Indikator Mutu yang telah ditetapkan

4. Terciptanya budaya melayani yang berorientasi pada keselamatan pasien

5. Terjaminnya kepastian pelayanan yang aman berorientasi pada pasien, pelanggan dan

masyarakat

6. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD)

7. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian

tidak diharapkan.

8. Sebagai acuan penyusunan instrumen akreditasi.

9. Sebagai acuan bagi kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan

1.3 MANFAAT

Insiden keselamatan pasien merupakan indikator mutu layanan kesehatan, sehingga dapat

menjadikan masukan dalam rangka memberikan pelayanan yang aman, nyaman dan

bermutu tinggi. Dengan meningkatnya keselamatan pasien diharapkan kepercayaan

masyarakat akan meningkat pula.

Page 6: PMKP

II. PENGERTIAN

2.1 Mutu Pelayanan Kesehatan

2.1.1 pengertian Mutu

Mutu merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik oleh penyedia jasa

atau pelayanan (Tomey, 2006). Aplikasi mutu sebagai suatu sifat dari penampilan produk

atau kinerja yang merupakan bagian utama strategi perusahaan dalam rangka meraih

keunggulan yang berkesinambungan, baik sebagai pemimpin pasar atau pun sebagai

strategi untuk terus tumbuh. Keunggulan suatu produk jasa atau pelayanan adalah

tergantung dari keunikan jasa tersebut, apakah sudah sesuai dengan harapan keinginan

pelanggan (Supranto, 2001). Mutu adalah penentuan pelanggan, bukan ketetapan

insinyur, pasar atau ketetapan manajemen. Ia berdasarkan atas pengalaman nyata

pelanggan terhadap produk dan jasa pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya,

dijanjikan atau tidak, sadar atau hanya dirasakan, operasional teknik atau subyektif sama

sekali dan selalu menggambarkan target yang bergerak dalam pasar yang kompetitif”

(Wijono, 1999).

Jadi mutu merupakan suatu produk yang diberikan kepada pelanggan untuk

memberikan kepuasan akan kebutuhan dalam pelayanan jasa yang diberikan kepada

pelanggan, dengan menjamin kualitas pelayanan yang berkesinambungan, efektif dan

efisien serta tanggap terhadap adanya indikator yang menyebabkan ketidakpuasan.

Manajemen Mutu menurut J.M Juran dan Wijono, 1999 bahwa mutu yang lebih tinggi

memungkinkan untuk mengurangi tingkat kesalahan, mengurangi pekerjaan ulang,

mengurangi kegagalan di lapangan, mengurangi ketidakpuasan pelanggan, mengurangi

keharusan memeriksa dan menguji, meningkatkan hasil kapasitas, memberikan dampak

utama pada biaya, dan biasanya mutu lebih tinggi biaya lebih sedikit.

2.1.2 Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan

Lori Di Prete Brown, et. al dalam Wijono, 1999, menjelaskan bahwa kegiatan

menjaga mutu dapat menyangkut dalam beberapa dimensi:

Page 7: PMKP

1. Kompetensi teknis, yang terkait dengan keterampilan, kemampuan dan penampilan

petugas. Kompetensi teknis berhubungan dengan standar pelayanan yang telah

ditetapkan. Kompetensi teknis yang tidak sesuai standar dapat merugikan pasien.

2. Akses terhadap pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial

dan ekonomi, budaya atau hambatan bahasa.

3. Efektifitas, kualitas pelayanan kesehatan tergantung dari efektifitas pelayanan

kesehatan dan petunjuk klinis sesuai standar yang ada.

4. Hubungan antar manusia, berkaitan dengan interaksi antara petugas kesehatan dan

pasien, manajer, petugas serta antar tim kesehatan. Hubungan antar manusia yang

baik menanamkan kepercayaan dan kredibilitas dengan cara menghargai, menjaga

rahasia, menghormati, responsif , dan memberikan perhatian.

5. Efisiensi, pelayanan kesehatan dapat dipengaruhi oleh efisiensi sumber daya

pelayanan kesehatan. Pelayanan yang efisien akan memberikan perhatian yang

optimal daripada memaksimalkan pelayanan pasien dan masyarakat

6. Kelangsungan pelayanan, klien menerima pelayanan yang lengkap sesuai yang

dibutuhkan. Klien hendaknya mempunyai terhadap pelayanan rutin dan preventif.

7. Keamanan dan kenyamanan klien, mengurangi risiko cedera, infeksi, efek samping,

atau bahaya lain yang berkaitan dengan pelayanan. Keamanan pelayanan

melibatkan petugas dan pasien.

8. Keramahan/kenikmatan (amenietis) berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang

tidak berhubungan langsung dengan efektifitas klinik tetapi dapat mempengaruhi

kepuasan pasien dan bersedia untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk

memperoleh pelayanan berikutnya.

Dimensi mutu yang lain menurut Dep Kes 2006, yaitu keprofesian, efisiensi, keamanan

pasien, kepuasan pasien, aspek sosial budaya.

2.1.3 Pendekatan Sistem dalam Menjaga Mutu

Mutu pelayanan kesehatan perlu untuk ditingkatkan dengan pendekatan sistem,

menurut Donabedian dalam Wijono, 1999 bahwa penilaian mutu terbagi atas

Page 8: PMKP

input/struktur, proses, dan outcome. Struktur meliputi peralatan dan sarana fisik,

keuangan, organisasi dan, sumber daya kesehatan lainnya. Baik tidaknya struktur

sebagai input dapat diukur dari: jumlah besarnya input, mutu struktur atau mutu input,

besarnya anggaran atau biaya, kewajaran. Proses merupakan kegiatan yang

dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan. Proses mencakup diagnosa,

rencana pengobatan, indikasi tindakan, prosedur dan penanganan kasus. Sedangkan

outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap

pasien. Penilaian terhadap outcome merupakan evaluasi hasil akhir dari kesehatan atau

kepuasan pelanggan (Wijono, 1999).

Penilaian mutu menurut Dep Kes R.I, 2006 terdiri dari struktur, proses, dan

outcome. Struktur adalah sumber daya manusia, sumber daya fisik, sumber daya

keuangan, dan sumber daya pada fasilitas pelayanan kesehatan. Proses adalah kegiatan

yang dilakukan dokter dan tenaga profesi lain terhadap pasien, evaluasi, diagnosa

keperawatan, konseling, pengobatan, tindakan dan penanganan pasien secara efektif

dan bermutu. Outcome adalah kegiatan dan tindakan dokter dan tenaga profesi lain

terhadap pasien dalam arti perubahan derajat keseahtan dan kepuasan pelanggan.

2.1.4 Mengukur Mutu Pelayanan Kesehatan

Mutu pelayanan kesehatan perlu dilakukan pengukuran, dengan cara mengetahui

tentang pengertian indikator, kriteria, dan standar. Indikator adalah petunjuk atau tolak

ukur. Indikator mutu asuhan kesehatan atau pelayanan kesehatan dapat mengacu pada

indikator yang relevan berkaitan dengan struktur, proses, dan outcome. Indikator terdiri

dari indikator proses, indikator outcome. Indikator proses memberikan petunjuk tentang

pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan, prosedur asuhan yang ditempuh oleh

tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya. Indikator outcomes merupakan indikator

hasil daripada keadaan sebelumnya, yaitu input dan proses seperti BOR, LOS, dan

Indikator klinis lain seperti: Angka Kesembuhan Penyakit, Angka Kematian 48 jam,

Angka Infeksi Nosokomial, Komplikasi Perawatan, dan sebagainya. Indikator

dispesifikasikan dalam berbagai kriteria. Untuk pelayanan kesehatan, kriteria ini adalah

fenomena yang dapat dihitung. Selanjutnya setelah kriteria ditentukan dibuat standarstandar yang

Page 9: PMKP

eksak dan dapat dihitung kuantitatif, yang biasanya mencakup hal-hal yang

standar baik (Wijono, 1999).

Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan yang dapat mengukur mutu

pelayanan kesehatan menurut Depkes (2006) yaitu melalui indikator, kriteria, dan

standar. Indikator adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu

indikasi. Indikator merupakan suatu variabel yang digunakan untuk dapat melihat

perubahan. Kriteria adalah spesifikasi dari indikator. Standar adalah tingkatan

performance atau keadaan yang dapat diterima oleh seseorang yang berwenangan dan

merupakan suatu norma atau persetujuan mengenai keadaan atau prestasi yang sangat

baik.

Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien diantaranya pasien terjatuh

dari tempat tidur, pasien diberi obat salah, tidak ada obat/alat emergensi, tidak ada

oksigen, tidakada alat penyedot lendir, tidak tersedia alat pemadam kebakaran, dan

pemakaian obat (Muninjaya, 1999).

2.2 Insiden Keselamatan Pasien

Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien

karena suatu tindakan (commision) atau karena tidak bertindak (ommision), dan bukan

karena ”underlying disease” atau kondisi pasien (KKP-RS). KTD yang tidak dapat

dicegah (unpreventable adverse event): - suatu KTD akibat komplikasi yang tidak dapat

dicegah dengan pengetahuan yang mutakhir (KKP-RS). Masalah KTD bisa terjadi

dikarenakan (AHRQ Publication No.04-RG005, Agency for Healthcare Research and

Quality Desember 2003):

Masalah komunikasi. Penyebab yang paling umum terjadi medical errors. Kegagalan

komunikasi: verbal/tertulis, miskomunikasi antar staf, antar shif, informasi tidak

didokumentasikan dengan baik/hilang, masalah-masalah komunikasi: tim layanan

kesehatan di 1 lokasi, antar berbagai lokasi, antar tim layanan dengan pekerja non klinis,

dan antar staf dengan pasien. Arus informasi yang tidak adekuat. Ketersediaan informasi

yang kritis saat akan merumuskan keputusan penting, komunikasi tepat waktu dan dapat

diandalkan saat pemberian hasil pemeriksaan yang kritis, koordinasi instruksi obat saat

Page 10: PMKP

transfer antara unit, informasi penting tidak disertakan saat pasien ditransfer ke unit

lain/dirujuk ke RS lain.

Masalah SDM. Gagal mengikuti kebijakan, SOP dan proses-proses, dokumentasi

suboptimal dan labelling spesimen yang buruk, kesalahan berbasis pengetahuan, staf

tidak punya pengetahuan yang adekuat, untuk setiap pasien pada saat diperlukan Hal

hal yang berhubungan dengan pasien. Idenifikasi pasien yang tidak tepat, asesmen

pasien yang tidak lengkap, kegagalan memperoleh consent, pendidikan pasien yang

tidak adekuat transfer pengetahuan di rumah sakit. Kekurangan pada orientasi atau

training, tingkat pengetahuan staf untuk jalankan tugasnya, transfer pengetahuan di RS

pendidikan. Pola SDM/alur kerja. Para dokter, perawat ,dan staf lain sibuk karena SDM

tidak memadai, pengawasan/supervisi yang tidak adekuat.

Kegagalan-kegagalan teknis. Kegagalan alat/perlengkapan: pompa infus, monitor.

Komplikasi/kegagalan implants atau grafts. Instruksi tidak adekuat, peralatan dirancang

secara buruk bisa sebabkan pasien cedera. Kegagalan alat tidak teridentifikasi secara

tepat sebagai dasar cederanya pasien, dan diasumsikan staf yang buat salah. RCA yang

lengkap, sering tampilkan kegagalan teknis, yang mula-mula tidak tampak, terjadi pada

suatu KTD.

Kebijakan dan prosedur yang tidak adekuat. Pedoman cara pelayanan dapat

merupakan faktor penentu terjadinya banyak medical errors. Kegagalan dalam proses

layanan dapat ditelusuri sebabnya pada buruknya dokumentasi, bahkan tidak ada

pencatatan, atau SOP klinis yang adekuat.

2.3 Keselamatan Pasien (Patient Safety)

2.3.1 Latar Belakang

Menurut Sir Liam Donaldson (Ketua WHO World Alliance For Patient Safety,

Forword Progremme, 2006-2007) mengungkapkan bahwa “safe care is not an option, it is the

right of every patien twho entrusts their care to our health care system” yaitu pelayanan

kesehatan yang aman bagi pasien bukan sebuah pilihan akan tetapi merupakan hak pasien untuk

percaya pada pelayanan yang diberikan oleh suatu sistem pelayanan kesehatan. (tesis)

Page 11: PMKP

WHO Health Assembly ke 55 Mei 2002 menetapkan resolusi yang mendorong (urge)

negara untuk memberikan perhatian kepada problem Patient Safety meningkatkan

keselamatan dan sistem monitoring. Pada bulan Oktober 2004, WHO dan berbagai

lembaga mendirikan “World Alliance for Patient Safety” dengan tujuan mengangkat isu

Patient Safety Goal “First do no harm” dan menurunkan morbiditas, cedera dan kematian

yang diderita pasien. (WHO: World Alliance for Patient Safety, Forward Programme,

2004). Enam tujuan penanganan patient safety menurut Joint Commission International

antara lain: mengidentifikasi pasien dengan benar, meningkatkan komunikasi secara

efektif, meningkatkan keamanan dari high-alert medications, memastikan benar tempat,

benar prosedur, dan benar pembedahan pasien, mengurangi risiko infeksi dari pekerja

kesehatan, mengurangi risiko terjadinya kesalahan yang lebih buruk pada pasien.

Obat-obatan adalah salah satu bagian yang terpenting dalam penanganan pada pasien

untuk memastikan patient safety. Seperti, potassium chloride (2 mEq/ml atau konsentrasi

yang lebih), pothasium phosphate, sodium chloride (0,9%) atau dengan konsentrasi

lebih), dan magnesium sulfate (50% atau konsentrasi lebih). Kesalahan ini dapat juga

muncul ketika angota staf tidak engan benar mengorientasikan ke unit perawatan pasien,

ketika perawat kontrak dan digunakan dan tidak berorientasi dengan benar, atau selama

keadaan gawat darurat.

Terdapat enam tahapan untuk mengambil keputusan dalam pemberian pengobatan

yaitu: (1) Membuat diagnosa yang benar, (2). Mengerti patofisiologi pada penyakit

tersebut, review pilihan menu dari farmakoterapI, (3). Teliti pasien – obat dan dosis yang

benar, (4). Memilih poin-poin akhir atau bagian untuk mengikuti, (5). Memelihara

hubungan terapeutik dg pasien. (Melmon and Morelli’s Clinical Pharmacology, 2000)

Adapun untuk memberikan obat dengan tepat terdapat 6 tepat yang harus diperhatikan

yaitu:

1. Tepat obat: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, menanyakan ada

tidaknya alergi obat, menanyakan keluhan pasien sebelum dan setelah memberikan

obat, mengecek label obat, mengetahui reaksi obat, mengetahui efek samping obat,

hanya memberikan obat yang didiapkan diri sendiri.

Page 12: PMKP

2. Tepat dosis: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek hasil

hitungan dosis dengan dengan perawat lain, mencampur/mengoplos obat.

3. Tepat waktu: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek tanggal

kadarluarsa obat, memberikan obat dalam rentang 30 menit.

4. Tepat pasien: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, memanggil nama

pasien yang akan diberikan obat, mengecek identitas pasien pada papan/kardeks di

tempat tidur pasien

5. Tepat cara pemberian: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek

cara pemberian pada label/kemasan obat.

6. Tepat dokumentasi: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mencatat

nama pasien, nama obat, dosis, cara, dan waktu pemberian obat (Kozier, B. Erb, G.

& Blais, K. (1997).

2.3.2 Definisi Keselamatan Pasien (Patient Safety)

Menurut IOM keselamatan pasien (Patient Safety) didefinisikan sebagai freedom from

accidental injury. Accidental injury disebabkan karena error yang meliputi kegagalan suatu

perencanaan yang salah dalam mencapai tujuan. Accidental injury juga akibat dari melaksanakan

tindakan yang salah (commision) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil

(omiision) accidental injury pada prakteknya akan berupa kejadian tidak diinginkan (near miss).

2.3.3 Tujuh Langkah Keselamatan Pasien

Komite keselamatan pasien yang dibentuk Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI)

yang juga di supervisi oleh Departemen Kesehatan tahun 2008 mencanangkan tujuh langkah

keselamatan pasien yang harus dilaksanakan, antara lain adalah:

1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien, ciptakan kepemimpinan dan budaya

yang terbuka dan adil

2. Pimpin dan dukung staf , bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang

keselamatan pasien

Page 13: PMKP

3. Integrasikan aktivitas pengelolaan resiko, kembangkan sistem dan proses pengelolaan

resiko, serta lakukan identifikasi dan asesmen hal yang potensial bermasalah

4. Kembangkan sistem pelaporan, pastikan setaf agar dengan mudah dapat melaporkan

kejadian atau insiden

5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien, kembangkan cara-cara komunikasi yang

terbuka dengan pasien

6. Beljar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien, dorong setaf untuk

melakukan analisis akar permasalahan untuk belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu

timbul

7. Cegah cidera melalui implementasi sistem keselamatan pasien, gunakan informasi yang

ada tentang kejadian atau masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan.

2.3.4 Lima Prinsip Keselamatan Pasien

Selain program, Khon (2000) menyusun lima prinsip untuk merancang safety system di

organisasi kesehatan yaitu:

1. Prinsip 1: Provide Leadersip meliputi

a. Menjadikan keselamatan pasien sebagai tujuan utama/perioritas

b. Menjadikan keselamatan pasien sebagai tanggung jawab bersama

c. Menunjuk/menugaskan seseorang yang bertanggungjawab untuk program

keselamtan

d. Menyediakan sumberdaya manusia dan dana untuk analisis error dan redesign sistem

e. Mengembangkan mekanisme yang efektif untuk mengidentifikasi “unsafe” dokter

2. Prinsip 2: memperhatikan keterbatasan manusia dalam perancangan pros yakni:

a. Design job for safety

b. Menyederhanakan proses

c. Membuat standar proses

3. Prinsip 3: mengembangkan tim yang efektif

4. Prinsip 4: antisipasi untuk kejadian yang tidak terduga

a. Pendekatan proaktof

b. Menyediakan antidotum dan

c. Training simulasi

Page 14: PMKP

5. Prinsip 5: menciptakan atmosfer “learning”

2.3.5 Enam Sasaran Keselamatan Pasien

Sasaran keselamatan pasien mengacu kepada Nine life saving patient safety solutions dari

WHO Patient safety (2007) yang juga digunakan oleh komite Keselamatan Rumah Sakit (PERSI)

dan dari Joint Commission International (JCI)

1. Sasaran I: Ketepatan Identifikasi Pasien

Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi dihampir

semua aspek/tahapan diagnosis dan pengobatan. Maksud sasaran ini adalah untuk

melakukan dua kali pengecekan yaitu: pertama, untuk identifikasi pasien sebagai indifidu

yang akan menerima pelayanan atau pengobatan. Kedua, untuk kesesuaian pelayanan

atau pengobatan terhadap inividu tersebut

Kebijakan dan atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk

memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi pasien

ketika pemberian obat, darah dan produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain

untuk pemeriksaan klinis; atau pemberian pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan

atau prosedur sedikitnya memerlukan dua cara untuk mengidentifikasi seseorang pasien,

seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir gelang identitas pasien, dan lain-

lain. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan

dan atau prosedur juga menjelaskan pegunaan dua identitas berbeda di dua lokasi yang

berbeda seperti pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau ruang oprasi termasuk

identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk

mengembangkan kebijakan dan atau prosedur agar dapat memastikan semua

kemungkinan situasi untuk dapat diidentifikasi.

2. Sasaran II: Peningkatan Komunikasi Yang Efektif

Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami

oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan tingkat keselamatan pasien.

Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan atau tulisan. Komunikasi yang sering

terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan secara lisan atau

melalui telpon. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan

Page 15: PMKP

kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti melaporkan hasil laboraturium klinik cito

melalui telpon ke unit pelayanan.

3. Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat yang perlu diwaspadai (High Alert)

Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen

harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang

perlu diwaspadai (high alert medication) adalah obat yang sering menyebabkan

terjadinya kesalahan/ kesalahan serius (sentinel/event), obat yang beresiko tinggi

menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse event) seperti obat-obatan yang

terlihat mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/ NORUM), obat-obatan yang sering

disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolitkonsentrat secara

tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2 meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat,

natrium klorida lebih pekat dari 0,9%, dan magnesium sulfat (50% atau lebih pekat).

Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapat orientasi dengan baik di unit

pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum

ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk mengurangi

atau mengeleminasi kejadian tersebut adalah dengan peningkatan proses pengelolaan

obat-obatan yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit

pelayanan pasien kefarmasi.

4. Sasaran IV: Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat Pasien Oprasi

Salah lokasi, salah prosedur, pasien salah pada oprasi adalah sesuai yang

menghawatirkan dan tidak jarang terjadi. Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi

yang tidak efektif atau yang tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/atau tidak

melibatkan pasien didalam penandaan lokasi oprasi (site making), dan tidak ada prosedur

untuk verifikasi lokasi operasi. Disamping itu asesmen pasien yang tidak adekuat,

penelaahan catatan medis yang tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi

yang terbuka antara anggota tim, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan

yang tidak terbaca dan memakai singkatan adalah faktor-faktor kontribusi yang sering

terjadi.

Penandaan lokasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan pada tanda yang mudah

dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten dan harus dibuat oleh operator/

Page 16: PMKP

orang yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan pada saat pasien terjaga dan sadar

jika memungkinkan, dan harusterlihat pada saat sampai akan disayat.

Maksud proses verifikasi praopratif adalah untuk:

1. Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar

2. Memastikan semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang relevan

tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang

3. Melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan atau implan yang

dibutuhkan

5. Sasaran V: Pengurangan Resiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan

Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam

tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang

berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keperhatinan besar bagi pasien

ataupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua

bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah

(blood stream infektion), dan peneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi

mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan

(hand hygiene) yang tepat.

6. Sasaran VI: Pengurangan Resiko Jatuh

Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cidera bagi pasien rawat

inap, dalam kontek populasi/ masyarakat yang dilayani, pelayanan yang disediakan, dan

fasilitasnya, hal ini perlu dievaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk

mengurangi risiko cedera bila pasien jatuh. Evaluasi termasuk riwayat jatuh, obat dan

telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu untuk

berjalan yang digunakan oleh pasien.

4.7 Penanganan Pasien Cedera

Jatuh merupakan pengalaman pasien yang tidak direncanakan untuk terjadinya jatuh,

suatu kejadian yang tidak disengaja pada seseorang pada saat istirahat yan gdapat

Page 17: PMKP

dilihat/dirasakan atau kejadian jatuh yang tidak dapat dilihat karena suatu kondisi adanya

penyakit seperti stroke, pingsan, dan lainnya.

Beberapa hal untuk mencegah terjadinya jatuh obat-obatan: perawat melihat efek

samping obat yang memungkinkan terjadinya jatuh:

a. Penglihatan menurun: perawat dapat tetap menjaga daerah yang dapat

menyebabkan jatuh, menggunakan kaca mata, sehingga pasien dapat berjalan

sendiri misalnya pada malam hari.

b. Perubahan status mental: perawat tanggap terhadap perubahan perilaku pasien

Meletakkan sepatu dan tali sepatu pada tempatnya: perawat mengecek seluruh

daerah yang dapat menyebabkan jatuh (misal sepatu atau tali sepatu yang tidak pada

tempatnya).

c. Jatuh di lantai: perawat mengecek penyebab sering terjadinya jatuh.

d. Terlalu banyakfur niture, daerah yang gelap, dan sedikit hidarasi (perawat

menganjurkan untuk minum 6-8 gelas per hari). (Joint Commission International,

2007)

4.8 Mengidentifikasi Risiko Jatuh

Di Joseph’s Hospital dan Medical Center sejak tahun 2001 sudah mengidentifikasi risiko

terjadinya jatuh (misalnya pada pasien akut). Manajer mengidentifikasi kondisi medis,

oabt-obatan, status mental, lingkungan, kemampuan beraktivitas, dan pola tidur pasien.

Mengkaji kemungkinan terjadinya risiko jatuh adalah dengan cara meletakkan stiker

berupa simbol senyuman (green smiling-face sticker) yang ditempelkan di pintu pasien

sebagai tanda/sinyal untuk kemungkinan terjadinya jatuh sehingga perawat dapat

memonitor pasien dengan lebih dekat. Keluarga juga ikut dilibatkan dalam program ini.

Mengklasifikasi risiko jatuh dengan cara: jatuh yang tidak disengaja, jatuh secara fisik

yang tidak diantisipasi (misalnya, pingsan, serangan mendadak, dan lain-lain), jatuh yang

diantisipasi dapat diukur dengan menggunakan Morse Fall Scale (karakteristik pasien

yang mesti diketahui seperti jatuh, lemah atau gangguan pada cara berjalan,

menggunakan alat bantu berjalan, mengkaji intravena, atau gangguan status mental).

Page 18: PMKP

Jatuh dapat dikarenakan faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik (jatuh yang

pernah

terjadi sebelumnya, menurunnya pandangan, sistem muskuloskeletal, status mental,

penyakit akute. Faktor ekstrinsik (obat-obatan, bathtubs dan toilet, desain alat-alatfu r n

itu re, tidak adekuatnya perlengkapan).

Keamanan fisik (Biologic safety) merupakan keadaan fisik yang aman terbebas dari

ancaman kecelakaan dan cedera (injury) baik secara mekanis, termis, elektris maupun

bakteriologis. Kebutuhan keamanan fisik merupakan kebutuhan untuk melindungi diri dari

bahaya yang mengancam kesehatan fisik

Mencegah terjadinya jatuh pada klien: orientasikan klien pada saat masuk rumah sakit

dan jelaskan sistem komunikasi yang ada, hati-hati saat mengkaji klien dengan

keterbatasan gerak, supervisi ketat pada awal klien dirawat terutama malam hari,

anjurkan klien menggunakan bel bila membutuhkan bantuan, berikan alas kaki yang tidak

licin, berikan pencahayaan yang adekuat, pasang pengaman tempat tidur terutama pada

klien dengan penurunan kesadaran dan gangguan mobilitas, jaga lantai kamar mandi

agar tidak licin (Potter and Perry, 1997).

Penggunaan alat seperti restrains merupakan salah satu alat untuk immobilisasi pasien.

Alat restrain dapat manual ataupun mekanik, alat ini berguna untuk memberikan batasan

pada klien untuk bergerak secara bebas. Untuk menghindari jatuh dapat dimodifikasi

dengan memodofikasi lingkungan yang dapat mengurangi cedera seperti memberi

keamanan pada tempat tidur, toilet, dan bel. Jeruji (side rails) pada sisi tempat tidur juga

dapat mencegah terjadi cedera pada klien. Said rails dapat meningkatkan mobilisasi klien

dan stabilitas di tempat tidur pada saat klien akan bergerak dari tempat tidur ke kursi

(Potter dan Perry, 1997).

4.9 Program “Keselamatan Pasien Rumah sakit” sebagai Langkah Strategis

Keselamatan Pasien Rumah Sakit- KPRS (patient safety) adalah suatu system dimana

RS membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ni termasuk: asesment risiko, “Identifikasi

dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, “Peloporan dan analisis

insiden, “Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta “implementasi solusi

Page 19: PMKP

untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang

disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil

tindakan yang seharusnya diambil.

Tujuan sistem keselamatan pasien RS:

1. terciptanya budaya keselamatan pasien di RS

2. meningkatnya akuntabilitas RS terhadap pasien dan masyarakat,

3. menurunnya KTD di RS,

4. terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi

pengulangan KTD (Buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit, Depkes

R.I. 2006)

Adapun 7 Standar Keselamatan Pasien

1) Hak pasien

2) Mendidik pasien dan keluarga

3) Keselamatan pasien dan asuhan berkesinambungan

4) Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja, untuk melakukan evaluasi dan

meningkatkan keselamatan pasien

5) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

6) Mendidik staf tentang keselamatan pasien

7) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

(Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit, Depkes R.I. 2006)

Tujuh standar keselamatan pasien tersebut diatas adalah sebagai berikut:

Standar I. Hak pasien

Standar: Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang

rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak

Diharapkan.

Kriteria: Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan, dokter penanggung jawab

pelayanan wajib membuat rencana pelayanan, dokter penanggung jawab pelayanan

wajib memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya

Page 20: PMKP

tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk

kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan.

Standar II. Mendidik pasien dan keluarga

Standar: RS harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung

jawab pasien dalam asuhan pasien.

Kriteria: Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan

keterlibatan pasien yang merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS

harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban

dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut

diharapkan pasien dan keluarga dapat : Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap

dan jujur, mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga, mengajukan

pertanyaan- pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti, memahami dan menerima

konsekuensi pelayanan, mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS,

memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa dan emenuhi kewajiban finansial

yang disepakati.

Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan.

Standar: RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga

dan antar unit pelayanan.

Kriteria: Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien

masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan

dan saat pasien keluar dari RS, terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan

kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada

seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar,

terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk

memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi

dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya, terdapat komunikasi

Page 21: PMKP

dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses

koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.

Standar IV. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi

dan program peningkatan keselamatan pasien.

Standar: RS harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada,

memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara

intensif Kejadian Tidak Diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan

kinerja serta keselamatan pasien.

Kriteria: Setiap RS harus melakukan proses perancangan (desain) yang baik, mengacu

pada visi, misi, dan tujuan RS, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah

klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi

pasien sesuai dengan "Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien RS", setiap RS

harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait dengan: pelaporan

insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan, setiap RS

harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua Kejadian Tidak Diharapkan, dan

secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi, setiap RS harus

menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan

sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.

Standar V. Peran kepemimpina dalam meningkatkan keselamatan pasien

Standar: Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien

secara terintegrasi dalam organsasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju

Keselamatan Pasien Rumah sakit”, pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif

untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi

kejadian tidak diharapkan, pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan

oordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang

keselamatan pasien, pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk

mengukur, mengkaji, dan menigkatkan kinerja rumah sait serta meningkatkan

keselamatan pasien dan pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya

dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.

Page 22: PMKP

Kriteria: Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien,

tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program

meminimalkan insiden, yang mencakup jenis-jenis kejadian yang memerlukan perhatian,

mulai dari “kejadian nyaris cedera (near miss) sampai dengan “Kejadian Tidak

Diharapkan” (adverse event), Tersedia mekanisme kerja untuk menjmin bahwa semua

komponen dari rumah sakit terintregrasi dan berpatisipasi dalam program keselamatan

pasien, tersedia prosedur “cepat tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada

pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian

informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.

Standar VI: mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas

Standar: rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan

untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan

interdisiplin dalam pelayanan pasien.

Kriteria: Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi

bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya masingmasing,

setiap rumah sakit harus megintregasikan topik keselamatan pasien dalam

setiap kegiatan in-service training dan memberi pedoman yan jelas tentang pelaporan

insiden dan setiap rumah sakit harus menyelenggarkan pelatihan tentang kerjasama

kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam

rangka melayani pasien.

Standar VII: Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien

Standar: Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi

keelamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal,

transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.

Kriteria: Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses

manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan

keselamatan pasien, tesedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi

untuk merevisi manajemen informasi yang ada.

Page 23: PMKP

4.10 Indikator Patient Safety

Indikator patient safety merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkat

keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit. Indikator ini dapat digunakan

bersama dengan data pasien rawat inap yang sudah diperbolehkan meninggalkan rumah

sakit. Indikator patient safety bermanfaat untuk menggambarkan besarnya masalah yang

dialami pasien selama dirawat di rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan

berbagai tindakan medik yang berpotensi menimbulkan risiko di sisi pasien. Dengan

mendasarkan pada IPS ini maka rumah sakit dapat menetapkan upaya-upaya yang

dapat mencegah timbulnya outcome klinik yang tidak diharapkan pada pasien.

(Dwiprahasto, 2008).

Secara umum IPS terdiri atas 2 jenis, yaitu IPS tingkat rumah sakit dan IPS tingkat area

pelayanan.

1. Indikator tingkat rumah sakit (hospital level indicator) digunakan untuk mengukur

potensi komplikasi yang sebenarnya dapat dicegah saat pasien mendapatkan

berbagai tindakan medik di rumah sakit. Indikator ini hanya mencakup kasus-kasus

yang merupakan diagnosis sekunder akibat terjadinya risiko pasca tindakan medik.

2. Indikator tingkat area mencakup semua risiko komplikasi akibat tindakan medik yang

didokumentasikan di tingkat pelayanan setempat (kabupaten/kota). Indikator ini

mencakup diagnosis utama maupun diagnosis sekunder untuk komplikasi akibat

tindakan medik.

4.11 Tujuan penggunaan Indikator Patient Safety

Indikator patient safety (IPS) bermanfaat untuk mengidentifikasi area-area pelayanan

yang memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih lanjut, seperti misalnya untuk

menunjukkan:

1. adanya penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu.

2. bahwa suatu area pelayanan ternyata tidak memenuhi standar klinik atau terapi

sebagaimana yang diharapkan

3. tingginya variasi antar rumah sakit dan antar pemberi pelayanan

Page 24: PMKP

4. disparitas geografi antar unit-unit pelayanan kesehatan (pemerintah vs swasta atau

urban vs rural). (Dwiprahasto, 2008).

Selain penjelasan di atas metode tim perlu menjadi strategi dalam penanganan patient

safety karena metode tim merupakan metode pemberian asuhan keperawatan, yaitu

seorang perawat profesional memimpin sekelompok tenaga keperawatan dalam

memberikan asuhan keperawatan pada sekelompok pasien melalui upaya kooperatif dan

kolaboratif. (Sitorus, 2006). Pada metode ini juga memungkinkan pelayanan keperawatan

yang menyeluruh. Adanya pemberian asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien.

(Nursalam, 2002). Jadi dengan pemberian asuhan keperawatan yang menyeluruh

kepada pasien diharapkan keselamatan pasien dapat diperhatikan, sehingga dapat

meningkatkan mutu pelayanan.

Daftar Pustaka

Departemen Kesehatan R.I (2006). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah

Sakit. Jakarta: Bhakti Husada

Depertemen Kesehatan R.I (2006). Upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit.

(konsep dasar dan prinsip). Direktorat Jendral Pelayanan Medik Direktorat Rumah

Sakit Khusus dan Swasta.

Kozier, B. Erb, G. & Blais, K. (1997) Professional nursing practice concept, and

prespective. California: Addison Wesley Logman, Inc.

Muninjaya, Gde, A.A.(1999). Manajemen kesehatan. Jakarta. EGC

Nursalam, (2002). Manajemen keperawatan. aplikasi dalam praktik keperawatan

profesional. Salemba Medik. Jakarta.

Page 25: PMKP

PERSI – KARS, KKP-RS. (2006). Membangun budaya keselamatan pasien rumah sakit.

Lokakarya program KP-RS. 17 Nopember 2006

Potter, P.A and Perry , A.G. (1997). Fundamental of nursing concept; process and

Practice. St. Louis: Mosby. Jilid 2

Supranto.(2001). Pengukuran tingkat kepuasan pelanggan untuk menaikkan pangsa

pasar. Jakarta: Rieneka Cipta

Sitorus, R. (2006). Metode praktik keperawatan pofessional di rumah sakit. penataan

struktur & proses (sistem) pemberian asuhan keperawatan di ruang rawat.EGC.

Jakarta.

Tomey. A.M. dan Alligoog, M.R.(2006). Nursing theorist and their work. 6th ed. St.

Louis:Mosby.

Wijono, D. (1999). Manajemen mutu pelayanan kesehatan . teori, strategi dan aplikasi.

Volume 1 dan 2. Airlangga University Press. Surabaya.

Yahya, A. A.(2007). Kecurangan dalam jaminan asuransi kesehatan. Fraud dan Patient

Safety. Jakarta.Seminaar PAMJAKI. Hotel