pmkp
DESCRIPTION
pokjaTRANSCRIPT
1.Pendahuluan
2.Latar belakang
3.Tujuan
4.Pengertian
5.Kebijakan
6.Pengorganisasian
7.Kegiatan
8.Metode
9.Pencatatan dan Pelaporan
10.Monitoring dan Evaluasi
11.Penutup
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam era Jaminan Kesehatan Nasional, masyarakat dapat memilih fasilitas kesehatan
tingkat pertama yang sesuai dengan kebutuhan dan kepuasan mereka. Puskesmas sebagai ujung
tombak pelayanan kesehatan masyarakat dan gate keeper pada pelayanan kesehatan formal dan
penapis rujukan, harus dapat memberikan pelayanan bermutu sesuai dengan standar pelayanan
maupun standar kompetensi. Oleh karena itu, Puskesmas dituntut untuk selalu meningkatkan
mutu penyelenggaraan pelayanan Puskesmas baik dalam administrasi manajemen Puskesmas,
pelayanan klinis maupun pelayanan program Puskesmas. Akreditasi merupakan salah satu upaya
dalam menjamin peningkatan mutu pelayanan Puskesmas. Pelaksanaan Standar Akreditasi
Puskesmas ini diharapkan akan memberikan manfaat tidak hanya bagi kepuasan pasien karena
pelayanan yang diberikan aman dan sesuai standar, tetapi juga bagi kepuasan dan keamanan
petugas kesehatan dalam pemberian layanan
Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan nasional diselenggarakan berbagai upaya
kesehatan secara menyeluruh, berjenjang dan terpadu. Puskesmas merupakan garda depan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan dasar. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 75 tahun 2014
tentang ”Pusat Kesehatan Masyarakat”, merupakan landasan hukum dalam penyelenggaraan
Puskesmas. Puskesmas yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan
upaya promotif dan preventif untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya di wilayah kerjanya.
Agar Puskesmas dapat menjalankan fungsinya secara optimal perlu dikelola dengan baik, baik
kinerja pelayanan, proses pelayanan, maupun sumber daya yang digunakan. Masyarakat
menghendaki pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu, serta dapat menjawab kebutuhan
mereka, oleh karena itu upaya peningkatan mutu, manajemen risiko dan keselamatan pasien
perlu diterapkan dalam pengelolaan Puskesmas dalam memberikan pelayanan kesehatan yang
komprehensif kepada masyarakat.
Keselamatan pasien merupakan isu global yang paling penting saat ini dimana sekarang
banyak dilaporkan tuntutan pasien atas medical error yang terjadi pada pasien. Pada saat ini mutu
pelayanan kesehatan telah memasuki era keselamatan pasien. Pengalaman buruk yang menimpa
Willie King, pada tahun 1995 di Amerika menjadi pemicu yang efektif. Pria berusia 51 tahun ini
diketahui menderita gangren (luka membusuk) pada kaki kanannya akibat penyakit Diabetes
Mellitus. Untuk itu direncanakan amputasi kaki kanannya untuk menyelamatkan nyawanya.
Tragis, bukannya kaki kanan yang diamputasi, tetapi justru kaki kirinya yang sehat. Akibatnya,
kedua kakinya pun teramputasi.
Pada tahun 2000 Institute of Medicine di Amerika Serikat menerbitkan laporan yang
mengagetkan banyak pihak : “TO ERR IS HUMAN” , Building a Safer Health System. Laporan
itu mengemukakan penelitian di rumah sakit di Utah dan Colorado serta New York. Di Utah dan
Colorado ditemukan KTD (Adverse Event) sebesar 2,9 %, dimana 6,6 % diantaranya meninggal.
Sedangkan di New York KTD adalah sebesar 3,7 % dengan angka kematian 1 3,6 %. Angka
kematian akibat KTD pada pasien rawat inap di seluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta per
tahun berkisar 44.000 – 98.000 per tahun. Publikasi WHO pada tahun 2004, mengumpulkan
angkaangka penelitian rumah sakit di berbagai Negara : Amerika, Inggris, Denmark, dan
Australia, ditemukan KTD dengan rentang 3,2 – 1 6,6 %. Dengan data-data tersebut, berbagai
negara segera melakukan penelitian dan mengembangkan Sistem Keselamatan Pasien
Tahun 2001 dalam laporan FDA Safety, Thomas`Maria R, et al menemukan bahwa yang
menjadi penyebab terjadinya kesalahan obat adalah: komunikasi (19%), pemberian label (20%),
nama pasien yang membingungkan (13%), faktor manusia (42%), dan desain kemasan (20,6%).
Adapun kesalahan yang berhubungan dengan faktor manusia antara lain berhubungan dengan:
kurangnya pengetahuan (12,3%), kurangnya kinerja (13,2%), kelelahan (0,3%), kesalahan
kecepatan infuse (7%), dan kesalahan dalam menyiapkan obat (7%). Sedangkan menurut
penelitian tersebut menurut kesalahan yang paling banyak adalah salah obat (22%), over dosis
(17%), salah rute obat (8%), salah teknik (7%), dan kesalahan dalam monitoring (7%).
Kasus terakhir adalah meninggalnya 2 pasien RS Siloam. Ramai diberitakan, dua pasien RS
Siloam, Karawaci tewas lantaran kesalahan pemberian obat bius. Obat tersebut diduga tertukar
label antara Buvanest Spinal dan Asam Tranexamat. Obat yang semestinya diberikan adalah
Buvanest Spinal, tapi yang disuntikkan justru berisi Asam Tranexamat. Pasien pertama tewas
karena dugaan pembiusan untuk melakukan operasi Caesar. Sedangkan pasien kedua tewas
karena dugaan saat pembiusan untuk operasi kandung kemih.
Pendekatan lain untuk menunjukkan pentingnya mutu pelayanan kesehatan adalah dengan
mencermati karakteristik pelayanan yang buruk. Ernest A. Codman (1869-1940), seorang ahli
bedah, telah lama menyadari bahwa manusia tidak mungkin lepas dari kesalahan. Dari 337
pasien yang ditanganinya pada kurun waktu lima tahun (1911 - 1916), lebih dari sepertiganya
(36,5%) mengalami kejadian yang tidak diharapkan (KTD) (Neuhauser, 2002).
Harus diakui, pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan pasien sesuai
dengan yang diucapkan Hiprocrates kira-kira 2400 tahun yang lalu yaitu Primum, non nocere
atau First, do no harm (melayani tanpa harus membahayakan) Namun diakui dengan semakin
berkembangnya ilmu dan teknologi pelayanan kesehatan menjadi semakin kompleks dan
berpotensi terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan - KTD (Adverse event) apabila tidak dilakukan
dengan hati-hati.
Didalam keselamatan pasien terdapat istilah insiden keselamatan pasien yang selanjutnya
disebut insiden yaitu setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau
berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak
Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera (KNC), Kejadian Tidak Cedera (KTC), Kejadian
Potensial Cedera (KPC).
Di Indonesia, mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien telah mempunyai landasan
hukum yang kuat. Undang-undang (UU) Kesehatan no. 36/2009 mengamanatkan bahwa
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau merupakan tanggungjawab pemerintah
dan hak setiap orang (pasal 5 dan 19). Demikian pula UU Praktik Kedokteran (UUPK) no
29/2004 dan UU Rumah Sakit (UURS) no 44/2009 tegas menyatakan bahwa mutu pelayanan
dan keselamatan pasien merupakan dasar dan tujuan praktik kedokteran dan penyelenggaraan
rumah sakit.
Kegiatan peningkatan mutu pelayanan dan keselamatan pasien disebutkan secara eksplisit
dalam UUPK, antara lain melalui uji kompetensi dokter (pasal 6), kendali mutu, pelayanan
sesuai standar dan audit medis (pasal 49, 51, 72, 74). Sedangkan UURS mencantumkan
perizinan (pasal 25-28), audit kinerja dan audit medis (pasal 39), akreditasi (pasal 40),
keselamatan pasien (pasal 43), serta pembinaan dan pengawasan internal (oleh Dewan Pengawas
Rumah Sakit) dan eksternal (oleh Badan Pengawas Rumah Sakit) (pasal 54 dan 55). Secara
khusus, Kementerian Kesehatan membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit pada
tahun 2006. Di tingkat pemerintah daerah, aturan mengenai mutu pelayanan kesehatan dan
keselamatan pasien telah pula disusun. (pengukuhan adiutarin)
Untuk mencegah terjadinya kasusu kasus diatas maka pelayanan puskesmas dalam
melaksanakan pelayanannya harusa senantiasa memperhatikan Keselamatan pasien (patient
safety). Upaya Keselamatan Pasien adalah reduksi dan meminimalkan tindakan yang tidak aman
dalam sistem pelayanan kesehatan sebisa mungkin melalui pratik yang terbaik untuk mencapai
luaran klinis yang optimum. (The Canadian Patient Safety Dictionary, October 2003).
1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Secara garis besar tujuan program upaya peningkatan mutu klinis dan keselamatan pasien
adalah tercipta dan terjaminnya mutu pelayanan kesehatan prima dan keselamatan pasien
yang berorientasi pada mutu paripurna (Total Quality Management) dan peningkatan
mutu berkelanjutan (Continous Quality Improvement).
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Terlaksananya program keselamatan pasien secara sistematis dan terarah.
2. Terlaksananya pencatatan insiden dan pelaporannya.
3. Terjaminnya Mutu Pelayanan melalui 6 Indikator Mutu yang telah ditetapkan
4. Terciptanya budaya melayani yang berorientasi pada keselamatan pasien
5. Terjaminnya kepastian pelayanan yang aman berorientasi pada pasien, pelanggan dan
masyarakat
6. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD)
7. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian
tidak diharapkan.
8. Sebagai acuan penyusunan instrumen akreditasi.
9. Sebagai acuan bagi kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan
1.3 MANFAAT
Insiden keselamatan pasien merupakan indikator mutu layanan kesehatan, sehingga dapat
menjadikan masukan dalam rangka memberikan pelayanan yang aman, nyaman dan
bermutu tinggi. Dengan meningkatnya keselamatan pasien diharapkan kepercayaan
masyarakat akan meningkat pula.
II. PENGERTIAN
2.1 Mutu Pelayanan Kesehatan
2.1.1 pengertian Mutu
Mutu merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan baik oleh penyedia jasa
atau pelayanan (Tomey, 2006). Aplikasi mutu sebagai suatu sifat dari penampilan produk
atau kinerja yang merupakan bagian utama strategi perusahaan dalam rangka meraih
keunggulan yang berkesinambungan, baik sebagai pemimpin pasar atau pun sebagai
strategi untuk terus tumbuh. Keunggulan suatu produk jasa atau pelayanan adalah
tergantung dari keunikan jasa tersebut, apakah sudah sesuai dengan harapan keinginan
pelanggan (Supranto, 2001). Mutu adalah penentuan pelanggan, bukan ketetapan
insinyur, pasar atau ketetapan manajemen. Ia berdasarkan atas pengalaman nyata
pelanggan terhadap produk dan jasa pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya,
dijanjikan atau tidak, sadar atau hanya dirasakan, operasional teknik atau subyektif sama
sekali dan selalu menggambarkan target yang bergerak dalam pasar yang kompetitif”
(Wijono, 1999).
Jadi mutu merupakan suatu produk yang diberikan kepada pelanggan untuk
memberikan kepuasan akan kebutuhan dalam pelayanan jasa yang diberikan kepada
pelanggan, dengan menjamin kualitas pelayanan yang berkesinambungan, efektif dan
efisien serta tanggap terhadap adanya indikator yang menyebabkan ketidakpuasan.
Manajemen Mutu menurut J.M Juran dan Wijono, 1999 bahwa mutu yang lebih tinggi
memungkinkan untuk mengurangi tingkat kesalahan, mengurangi pekerjaan ulang,
mengurangi kegagalan di lapangan, mengurangi ketidakpuasan pelanggan, mengurangi
keharusan memeriksa dan menguji, meningkatkan hasil kapasitas, memberikan dampak
utama pada biaya, dan biasanya mutu lebih tinggi biaya lebih sedikit.
2.1.2 Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan
Lori Di Prete Brown, et. al dalam Wijono, 1999, menjelaskan bahwa kegiatan
menjaga mutu dapat menyangkut dalam beberapa dimensi:
1. Kompetensi teknis, yang terkait dengan keterampilan, kemampuan dan penampilan
petugas. Kompetensi teknis berhubungan dengan standar pelayanan yang telah
ditetapkan. Kompetensi teknis yang tidak sesuai standar dapat merugikan pasien.
2. Akses terhadap pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial
dan ekonomi, budaya atau hambatan bahasa.
3. Efektifitas, kualitas pelayanan kesehatan tergantung dari efektifitas pelayanan
kesehatan dan petunjuk klinis sesuai standar yang ada.
4. Hubungan antar manusia, berkaitan dengan interaksi antara petugas kesehatan dan
pasien, manajer, petugas serta antar tim kesehatan. Hubungan antar manusia yang
baik menanamkan kepercayaan dan kredibilitas dengan cara menghargai, menjaga
rahasia, menghormati, responsif , dan memberikan perhatian.
5. Efisiensi, pelayanan kesehatan dapat dipengaruhi oleh efisiensi sumber daya
pelayanan kesehatan. Pelayanan yang efisien akan memberikan perhatian yang
optimal daripada memaksimalkan pelayanan pasien dan masyarakat
6. Kelangsungan pelayanan, klien menerima pelayanan yang lengkap sesuai yang
dibutuhkan. Klien hendaknya mempunyai terhadap pelayanan rutin dan preventif.
7. Keamanan dan kenyamanan klien, mengurangi risiko cedera, infeksi, efek samping,
atau bahaya lain yang berkaitan dengan pelayanan. Keamanan pelayanan
melibatkan petugas dan pasien.
8. Keramahan/kenikmatan (amenietis) berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang
tidak berhubungan langsung dengan efektifitas klinik tetapi dapat mempengaruhi
kepuasan pasien dan bersedia untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk
memperoleh pelayanan berikutnya.
Dimensi mutu yang lain menurut Dep Kes 2006, yaitu keprofesian, efisiensi, keamanan
pasien, kepuasan pasien, aspek sosial budaya.
2.1.3 Pendekatan Sistem dalam Menjaga Mutu
Mutu pelayanan kesehatan perlu untuk ditingkatkan dengan pendekatan sistem,
menurut Donabedian dalam Wijono, 1999 bahwa penilaian mutu terbagi atas
input/struktur, proses, dan outcome. Struktur meliputi peralatan dan sarana fisik,
keuangan, organisasi dan, sumber daya kesehatan lainnya. Baik tidaknya struktur
sebagai input dapat diukur dari: jumlah besarnya input, mutu struktur atau mutu input,
besarnya anggaran atau biaya, kewajaran. Proses merupakan kegiatan yang
dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan. Proses mencakup diagnosa,
rencana pengobatan, indikasi tindakan, prosedur dan penanganan kasus. Sedangkan
outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap
pasien. Penilaian terhadap outcome merupakan evaluasi hasil akhir dari kesehatan atau
kepuasan pelanggan (Wijono, 1999).
Penilaian mutu menurut Dep Kes R.I, 2006 terdiri dari struktur, proses, dan
outcome. Struktur adalah sumber daya manusia, sumber daya fisik, sumber daya
keuangan, dan sumber daya pada fasilitas pelayanan kesehatan. Proses adalah kegiatan
yang dilakukan dokter dan tenaga profesi lain terhadap pasien, evaluasi, diagnosa
keperawatan, konseling, pengobatan, tindakan dan penanganan pasien secara efektif
dan bermutu. Outcome adalah kegiatan dan tindakan dokter dan tenaga profesi lain
terhadap pasien dalam arti perubahan derajat keseahtan dan kepuasan pelanggan.
2.1.4 Mengukur Mutu Pelayanan Kesehatan
Mutu pelayanan kesehatan perlu dilakukan pengukuran, dengan cara mengetahui
tentang pengertian indikator, kriteria, dan standar. Indikator adalah petunjuk atau tolak
ukur. Indikator mutu asuhan kesehatan atau pelayanan kesehatan dapat mengacu pada
indikator yang relevan berkaitan dengan struktur, proses, dan outcome. Indikator terdiri
dari indikator proses, indikator outcome. Indikator proses memberikan petunjuk tentang
pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan, prosedur asuhan yang ditempuh oleh
tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya. Indikator outcomes merupakan indikator
hasil daripada keadaan sebelumnya, yaitu input dan proses seperti BOR, LOS, dan
Indikator klinis lain seperti: Angka Kesembuhan Penyakit, Angka Kematian 48 jam,
Angka Infeksi Nosokomial, Komplikasi Perawatan, dan sebagainya. Indikator
dispesifikasikan dalam berbagai kriteria. Untuk pelayanan kesehatan, kriteria ini adalah
fenomena yang dapat dihitung. Selanjutnya setelah kriteria ditentukan dibuat standarstandar yang
eksak dan dapat dihitung kuantitatif, yang biasanya mencakup hal-hal yang
standar baik (Wijono, 1999).
Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan yang dapat mengukur mutu
pelayanan kesehatan menurut Depkes (2006) yaitu melalui indikator, kriteria, dan
standar. Indikator adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu
indikasi. Indikator merupakan suatu variabel yang digunakan untuk dapat melihat
perubahan. Kriteria adalah spesifikasi dari indikator. Standar adalah tingkatan
performance atau keadaan yang dapat diterima oleh seseorang yang berwenangan dan
merupakan suatu norma atau persetujuan mengenai keadaan atau prestasi yang sangat
baik.
Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien diantaranya pasien terjatuh
dari tempat tidur, pasien diberi obat salah, tidak ada obat/alat emergensi, tidak ada
oksigen, tidakada alat penyedot lendir, tidak tersedia alat pemadam kebakaran, dan
pemakaian obat (Muninjaya, 1999).
2.2 Insiden Keselamatan Pasien
Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien
karena suatu tindakan (commision) atau karena tidak bertindak (ommision), dan bukan
karena ”underlying disease” atau kondisi pasien (KKP-RS). KTD yang tidak dapat
dicegah (unpreventable adverse event): - suatu KTD akibat komplikasi yang tidak dapat
dicegah dengan pengetahuan yang mutakhir (KKP-RS). Masalah KTD bisa terjadi
dikarenakan (AHRQ Publication No.04-RG005, Agency for Healthcare Research and
Quality Desember 2003):
Masalah komunikasi. Penyebab yang paling umum terjadi medical errors. Kegagalan
komunikasi: verbal/tertulis, miskomunikasi antar staf, antar shif, informasi tidak
didokumentasikan dengan baik/hilang, masalah-masalah komunikasi: tim layanan
kesehatan di 1 lokasi, antar berbagai lokasi, antar tim layanan dengan pekerja non klinis,
dan antar staf dengan pasien. Arus informasi yang tidak adekuat. Ketersediaan informasi
yang kritis saat akan merumuskan keputusan penting, komunikasi tepat waktu dan dapat
diandalkan saat pemberian hasil pemeriksaan yang kritis, koordinasi instruksi obat saat
transfer antara unit, informasi penting tidak disertakan saat pasien ditransfer ke unit
lain/dirujuk ke RS lain.
Masalah SDM. Gagal mengikuti kebijakan, SOP dan proses-proses, dokumentasi
suboptimal dan labelling spesimen yang buruk, kesalahan berbasis pengetahuan, staf
tidak punya pengetahuan yang adekuat, untuk setiap pasien pada saat diperlukan Hal
hal yang berhubungan dengan pasien. Idenifikasi pasien yang tidak tepat, asesmen
pasien yang tidak lengkap, kegagalan memperoleh consent, pendidikan pasien yang
tidak adekuat transfer pengetahuan di rumah sakit. Kekurangan pada orientasi atau
training, tingkat pengetahuan staf untuk jalankan tugasnya, transfer pengetahuan di RS
pendidikan. Pola SDM/alur kerja. Para dokter, perawat ,dan staf lain sibuk karena SDM
tidak memadai, pengawasan/supervisi yang tidak adekuat.
Kegagalan-kegagalan teknis. Kegagalan alat/perlengkapan: pompa infus, monitor.
Komplikasi/kegagalan implants atau grafts. Instruksi tidak adekuat, peralatan dirancang
secara buruk bisa sebabkan pasien cedera. Kegagalan alat tidak teridentifikasi secara
tepat sebagai dasar cederanya pasien, dan diasumsikan staf yang buat salah. RCA yang
lengkap, sering tampilkan kegagalan teknis, yang mula-mula tidak tampak, terjadi pada
suatu KTD.
Kebijakan dan prosedur yang tidak adekuat. Pedoman cara pelayanan dapat
merupakan faktor penentu terjadinya banyak medical errors. Kegagalan dalam proses
layanan dapat ditelusuri sebabnya pada buruknya dokumentasi, bahkan tidak ada
pencatatan, atau SOP klinis yang adekuat.
2.3 Keselamatan Pasien (Patient Safety)
2.3.1 Latar Belakang
Menurut Sir Liam Donaldson (Ketua WHO World Alliance For Patient Safety,
Forword Progremme, 2006-2007) mengungkapkan bahwa “safe care is not an option, it is the
right of every patien twho entrusts their care to our health care system” yaitu pelayanan
kesehatan yang aman bagi pasien bukan sebuah pilihan akan tetapi merupakan hak pasien untuk
percaya pada pelayanan yang diberikan oleh suatu sistem pelayanan kesehatan. (tesis)
WHO Health Assembly ke 55 Mei 2002 menetapkan resolusi yang mendorong (urge)
negara untuk memberikan perhatian kepada problem Patient Safety meningkatkan
keselamatan dan sistem monitoring. Pada bulan Oktober 2004, WHO dan berbagai
lembaga mendirikan “World Alliance for Patient Safety” dengan tujuan mengangkat isu
Patient Safety Goal “First do no harm” dan menurunkan morbiditas, cedera dan kematian
yang diderita pasien. (WHO: World Alliance for Patient Safety, Forward Programme,
2004). Enam tujuan penanganan patient safety menurut Joint Commission International
antara lain: mengidentifikasi pasien dengan benar, meningkatkan komunikasi secara
efektif, meningkatkan keamanan dari high-alert medications, memastikan benar tempat,
benar prosedur, dan benar pembedahan pasien, mengurangi risiko infeksi dari pekerja
kesehatan, mengurangi risiko terjadinya kesalahan yang lebih buruk pada pasien.
Obat-obatan adalah salah satu bagian yang terpenting dalam penanganan pada pasien
untuk memastikan patient safety. Seperti, potassium chloride (2 mEq/ml atau konsentrasi
yang lebih), pothasium phosphate, sodium chloride (0,9%) atau dengan konsentrasi
lebih), dan magnesium sulfate (50% atau konsentrasi lebih). Kesalahan ini dapat juga
muncul ketika angota staf tidak engan benar mengorientasikan ke unit perawatan pasien,
ketika perawat kontrak dan digunakan dan tidak berorientasi dengan benar, atau selama
keadaan gawat darurat.
Terdapat enam tahapan untuk mengambil keputusan dalam pemberian pengobatan
yaitu: (1) Membuat diagnosa yang benar, (2). Mengerti patofisiologi pada penyakit
tersebut, review pilihan menu dari farmakoterapI, (3). Teliti pasien – obat dan dosis yang
benar, (4). Memilih poin-poin akhir atau bagian untuk mengikuti, (5). Memelihara
hubungan terapeutik dg pasien. (Melmon and Morelli’s Clinical Pharmacology, 2000)
Adapun untuk memberikan obat dengan tepat terdapat 6 tepat yang harus diperhatikan
yaitu:
1. Tepat obat: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, menanyakan ada
tidaknya alergi obat, menanyakan keluhan pasien sebelum dan setelah memberikan
obat, mengecek label obat, mengetahui reaksi obat, mengetahui efek samping obat,
hanya memberikan obat yang didiapkan diri sendiri.
2. Tepat dosis: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek hasil
hitungan dosis dengan dengan perawat lain, mencampur/mengoplos obat.
3. Tepat waktu: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek tanggal
kadarluarsa obat, memberikan obat dalam rentang 30 menit.
4. Tepat pasien: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, memanggil nama
pasien yang akan diberikan obat, mengecek identitas pasien pada papan/kardeks di
tempat tidur pasien
5. Tepat cara pemberian: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek
cara pemberian pada label/kemasan obat.
6. Tepat dokumentasi: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mencatat
nama pasien, nama obat, dosis, cara, dan waktu pemberian obat (Kozier, B. Erb, G.
& Blais, K. (1997).
2.3.2 Definisi Keselamatan Pasien (Patient Safety)
Menurut IOM keselamatan pasien (Patient Safety) didefinisikan sebagai freedom from
accidental injury. Accidental injury disebabkan karena error yang meliputi kegagalan suatu
perencanaan yang salah dalam mencapai tujuan. Accidental injury juga akibat dari melaksanakan
tindakan yang salah (commision) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(omiision) accidental injury pada prakteknya akan berupa kejadian tidak diinginkan (near miss).
2.3.3 Tujuh Langkah Keselamatan Pasien
Komite keselamatan pasien yang dibentuk Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI)
yang juga di supervisi oleh Departemen Kesehatan tahun 2008 mencanangkan tujuh langkah
keselamatan pasien yang harus dilaksanakan, antara lain adalah:
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien, ciptakan kepemimpinan dan budaya
yang terbuka dan adil
2. Pimpin dan dukung staf , bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang
keselamatan pasien
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan resiko, kembangkan sistem dan proses pengelolaan
resiko, serta lakukan identifikasi dan asesmen hal yang potensial bermasalah
4. Kembangkan sistem pelaporan, pastikan setaf agar dengan mudah dapat melaporkan
kejadian atau insiden
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien, kembangkan cara-cara komunikasi yang
terbuka dengan pasien
6. Beljar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien, dorong setaf untuk
melakukan analisis akar permasalahan untuk belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu
timbul
7. Cegah cidera melalui implementasi sistem keselamatan pasien, gunakan informasi yang
ada tentang kejadian atau masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan.
2.3.4 Lima Prinsip Keselamatan Pasien
Selain program, Khon (2000) menyusun lima prinsip untuk merancang safety system di
organisasi kesehatan yaitu:
1. Prinsip 1: Provide Leadersip meliputi
a. Menjadikan keselamatan pasien sebagai tujuan utama/perioritas
b. Menjadikan keselamatan pasien sebagai tanggung jawab bersama
c. Menunjuk/menugaskan seseorang yang bertanggungjawab untuk program
keselamtan
d. Menyediakan sumberdaya manusia dan dana untuk analisis error dan redesign sistem
e. Mengembangkan mekanisme yang efektif untuk mengidentifikasi “unsafe” dokter
2. Prinsip 2: memperhatikan keterbatasan manusia dalam perancangan pros yakni:
a. Design job for safety
b. Menyederhanakan proses
c. Membuat standar proses
3. Prinsip 3: mengembangkan tim yang efektif
4. Prinsip 4: antisipasi untuk kejadian yang tidak terduga
a. Pendekatan proaktof
b. Menyediakan antidotum dan
c. Training simulasi
5. Prinsip 5: menciptakan atmosfer “learning”
2.3.5 Enam Sasaran Keselamatan Pasien
Sasaran keselamatan pasien mengacu kepada Nine life saving patient safety solutions dari
WHO Patient safety (2007) yang juga digunakan oleh komite Keselamatan Rumah Sakit (PERSI)
dan dari Joint Commission International (JCI)
1. Sasaran I: Ketepatan Identifikasi Pasien
Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi dihampir
semua aspek/tahapan diagnosis dan pengobatan. Maksud sasaran ini adalah untuk
melakukan dua kali pengecekan yaitu: pertama, untuk identifikasi pasien sebagai indifidu
yang akan menerima pelayanan atau pengobatan. Kedua, untuk kesesuaian pelayanan
atau pengobatan terhadap inividu tersebut
Kebijakan dan atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk
memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi pasien
ketika pemberian obat, darah dan produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain
untuk pemeriksaan klinis; atau pemberian pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan
atau prosedur sedikitnya memerlukan dua cara untuk mengidentifikasi seseorang pasien,
seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir gelang identitas pasien, dan lain-
lain. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan
dan atau prosedur juga menjelaskan pegunaan dua identitas berbeda di dua lokasi yang
berbeda seperti pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau ruang oprasi termasuk
identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk
mengembangkan kebijakan dan atau prosedur agar dapat memastikan semua
kemungkinan situasi untuk dapat diidentifikasi.
2. Sasaran II: Peningkatan Komunikasi Yang Efektif
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami
oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan tingkat keselamatan pasien.
Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan atau tulisan. Komunikasi yang sering
terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan secara lisan atau
melalui telpon. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan
kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti melaporkan hasil laboraturium klinik cito
melalui telpon ke unit pelayanan.
3. Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat yang perlu diwaspadai (High Alert)
Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen
harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang
perlu diwaspadai (high alert medication) adalah obat yang sering menyebabkan
terjadinya kesalahan/ kesalahan serius (sentinel/event), obat yang beresiko tinggi
menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse event) seperti obat-obatan yang
terlihat mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/ NORUM), obat-obatan yang sering
disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolitkonsentrat secara
tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2 meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat,
natrium klorida lebih pekat dari 0,9%, dan magnesium sulfat (50% atau lebih pekat).
Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapat orientasi dengan baik di unit
pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum
ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk mengurangi
atau mengeleminasi kejadian tersebut adalah dengan peningkatan proses pengelolaan
obat-obatan yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit
pelayanan pasien kefarmasi.
4. Sasaran IV: Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat Pasien Oprasi
Salah lokasi, salah prosedur, pasien salah pada oprasi adalah sesuai yang
menghawatirkan dan tidak jarang terjadi. Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi
yang tidak efektif atau yang tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/atau tidak
melibatkan pasien didalam penandaan lokasi oprasi (site making), dan tidak ada prosedur
untuk verifikasi lokasi operasi. Disamping itu asesmen pasien yang tidak adekuat,
penelaahan catatan medis yang tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi
yang terbuka antara anggota tim, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan
yang tidak terbaca dan memakai singkatan adalah faktor-faktor kontribusi yang sering
terjadi.
Penandaan lokasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan pada tanda yang mudah
dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten dan harus dibuat oleh operator/
orang yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan pada saat pasien terjaga dan sadar
jika memungkinkan, dan harusterlihat pada saat sampai akan disayat.
Maksud proses verifikasi praopratif adalah untuk:
1. Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar
2. Memastikan semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang relevan
tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang
3. Melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan atau implan yang
dibutuhkan
5. Sasaran V: Pengurangan Resiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam
tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keperhatinan besar bagi pasien
ataupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua
bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah
(blood stream infektion), dan peneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi
mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan
(hand hygiene) yang tepat.
6. Sasaran VI: Pengurangan Resiko Jatuh
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cidera bagi pasien rawat
inap, dalam kontek populasi/ masyarakat yang dilayani, pelayanan yang disediakan, dan
fasilitasnya, hal ini perlu dievaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk
mengurangi risiko cedera bila pasien jatuh. Evaluasi termasuk riwayat jatuh, obat dan
telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu untuk
berjalan yang digunakan oleh pasien.
4.7 Penanganan Pasien Cedera
Jatuh merupakan pengalaman pasien yang tidak direncanakan untuk terjadinya jatuh,
suatu kejadian yang tidak disengaja pada seseorang pada saat istirahat yan gdapat
dilihat/dirasakan atau kejadian jatuh yang tidak dapat dilihat karena suatu kondisi adanya
penyakit seperti stroke, pingsan, dan lainnya.
Beberapa hal untuk mencegah terjadinya jatuh obat-obatan: perawat melihat efek
samping obat yang memungkinkan terjadinya jatuh:
a. Penglihatan menurun: perawat dapat tetap menjaga daerah yang dapat
menyebabkan jatuh, menggunakan kaca mata, sehingga pasien dapat berjalan
sendiri misalnya pada malam hari.
b. Perubahan status mental: perawat tanggap terhadap perubahan perilaku pasien
Meletakkan sepatu dan tali sepatu pada tempatnya: perawat mengecek seluruh
daerah yang dapat menyebabkan jatuh (misal sepatu atau tali sepatu yang tidak pada
tempatnya).
c. Jatuh di lantai: perawat mengecek penyebab sering terjadinya jatuh.
d. Terlalu banyakfur niture, daerah yang gelap, dan sedikit hidarasi (perawat
menganjurkan untuk minum 6-8 gelas per hari). (Joint Commission International,
2007)
4.8 Mengidentifikasi Risiko Jatuh
Di Joseph’s Hospital dan Medical Center sejak tahun 2001 sudah mengidentifikasi risiko
terjadinya jatuh (misalnya pada pasien akut). Manajer mengidentifikasi kondisi medis,
oabt-obatan, status mental, lingkungan, kemampuan beraktivitas, dan pola tidur pasien.
Mengkaji kemungkinan terjadinya risiko jatuh adalah dengan cara meletakkan stiker
berupa simbol senyuman (green smiling-face sticker) yang ditempelkan di pintu pasien
sebagai tanda/sinyal untuk kemungkinan terjadinya jatuh sehingga perawat dapat
memonitor pasien dengan lebih dekat. Keluarga juga ikut dilibatkan dalam program ini.
Mengklasifikasi risiko jatuh dengan cara: jatuh yang tidak disengaja, jatuh secara fisik
yang tidak diantisipasi (misalnya, pingsan, serangan mendadak, dan lain-lain), jatuh yang
diantisipasi dapat diukur dengan menggunakan Morse Fall Scale (karakteristik pasien
yang mesti diketahui seperti jatuh, lemah atau gangguan pada cara berjalan,
menggunakan alat bantu berjalan, mengkaji intravena, atau gangguan status mental).
Jatuh dapat dikarenakan faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik (jatuh yang
pernah
terjadi sebelumnya, menurunnya pandangan, sistem muskuloskeletal, status mental,
penyakit akute. Faktor ekstrinsik (obat-obatan, bathtubs dan toilet, desain alat-alatfu r n
itu re, tidak adekuatnya perlengkapan).
Keamanan fisik (Biologic safety) merupakan keadaan fisik yang aman terbebas dari
ancaman kecelakaan dan cedera (injury) baik secara mekanis, termis, elektris maupun
bakteriologis. Kebutuhan keamanan fisik merupakan kebutuhan untuk melindungi diri dari
bahaya yang mengancam kesehatan fisik
Mencegah terjadinya jatuh pada klien: orientasikan klien pada saat masuk rumah sakit
dan jelaskan sistem komunikasi yang ada, hati-hati saat mengkaji klien dengan
keterbatasan gerak, supervisi ketat pada awal klien dirawat terutama malam hari,
anjurkan klien menggunakan bel bila membutuhkan bantuan, berikan alas kaki yang tidak
licin, berikan pencahayaan yang adekuat, pasang pengaman tempat tidur terutama pada
klien dengan penurunan kesadaran dan gangguan mobilitas, jaga lantai kamar mandi
agar tidak licin (Potter and Perry, 1997).
Penggunaan alat seperti restrains merupakan salah satu alat untuk immobilisasi pasien.
Alat restrain dapat manual ataupun mekanik, alat ini berguna untuk memberikan batasan
pada klien untuk bergerak secara bebas. Untuk menghindari jatuh dapat dimodifikasi
dengan memodofikasi lingkungan yang dapat mengurangi cedera seperti memberi
keamanan pada tempat tidur, toilet, dan bel. Jeruji (side rails) pada sisi tempat tidur juga
dapat mencegah terjadi cedera pada klien. Said rails dapat meningkatkan mobilisasi klien
dan stabilitas di tempat tidur pada saat klien akan bergerak dari tempat tidur ke kursi
(Potter dan Perry, 1997).
4.9 Program “Keselamatan Pasien Rumah sakit” sebagai Langkah Strategis
Keselamatan Pasien Rumah Sakit- KPRS (patient safety) adalah suatu system dimana
RS membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ni termasuk: asesment risiko, “Identifikasi
dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, “Peloporan dan analisis
insiden, “Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta “implementasi solusi
untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil.
Tujuan sistem keselamatan pasien RS:
1. terciptanya budaya keselamatan pasien di RS
2. meningkatnya akuntabilitas RS terhadap pasien dan masyarakat,
3. menurunnya KTD di RS,
4. terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan KTD (Buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit, Depkes
R.I. 2006)
Adapun 7 Standar Keselamatan Pasien
1) Hak pasien
2) Mendidik pasien dan keluarga
3) Keselamatan pasien dan asuhan berkesinambungan
4) Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja, untuk melakukan evaluasi dan
meningkatkan keselamatan pasien
5) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6) Mendidik staf tentang keselamatan pasien
7) Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
(Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit, Depkes R.I. 2006)
Tujuh standar keselamatan pasien tersebut diatas adalah sebagai berikut:
Standar I. Hak pasien
Standar: Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang
rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak
Diharapkan.
Kriteria: Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan, dokter penanggung jawab
pelayanan wajib membuat rencana pelayanan, dokter penanggung jawab pelayanan
wajib memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya
tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk
kemungkinan terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan.
Standar II. Mendidik pasien dan keluarga
Standar: RS harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung
jawab pasien dalam asuhan pasien.
Kriteria: Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan
keterlibatan pasien yang merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS
harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban
dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut
diharapkan pasien dan keluarga dapat : Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap
dan jujur, mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga, mengajukan
pertanyaan- pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti, memahami dan menerima
konsekuensi pelayanan, mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS,
memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa dan emenuhi kewajiban finansial
yang disepakati.
Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan.
Standar: RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga
dan antar unit pelayanan.
Kriteria: Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien
masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan
dan saat pasien keluar dari RS, terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada
seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar,
terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk
memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi
dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya, terdapat komunikasi
dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses
koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.
Standar IV. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi
dan program peningkatan keselamatan pasien.
Standar: RS harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada,
memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara
intensif Kejadian Tidak Diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan
kinerja serta keselamatan pasien.
Kriteria: Setiap RS harus melakukan proses perancangan (desain) yang baik, mengacu
pada visi, misi, dan tujuan RS, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah
klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi
pasien sesuai dengan "Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien RS", setiap RS
harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait dengan: pelaporan
insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan, setiap RS
harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua Kejadian Tidak Diharapkan, dan
secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi, setiap RS harus
menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan
sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.
Standar V. Peran kepemimpina dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standar: Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien
secara terintegrasi dalam organsasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju
Keselamatan Pasien Rumah sakit”, pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif
untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi
kejadian tidak diharapkan, pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan
oordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang
keselamatan pasien, pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk
mengukur, mengkaji, dan menigkatkan kinerja rumah sait serta meningkatkan
keselamatan pasien dan pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya
dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.
Kriteria: Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien,
tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program
meminimalkan insiden, yang mencakup jenis-jenis kejadian yang memerlukan perhatian,
mulai dari “kejadian nyaris cedera (near miss) sampai dengan “Kejadian Tidak
Diharapkan” (adverse event), Tersedia mekanisme kerja untuk menjmin bahwa semua
komponen dari rumah sakit terintregrasi dan berpatisipasi dalam program keselamatan
pasien, tersedia prosedur “cepat tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada
pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian
informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
Standar VI: mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas
Standar: rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan
untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisiplin dalam pelayanan pasien.
Kriteria: Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi
bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya masingmasing,
setiap rumah sakit harus megintregasikan topik keselamatan pasien dalam
setiap kegiatan in-service training dan memberi pedoman yan jelas tentang pelaporan
insiden dan setiap rumah sakit harus menyelenggarkan pelatihan tentang kerjasama
kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam
rangka melayani pasien.
Standar VII: Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Standar: Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi
keelamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal,
transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriteria: Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses
manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan
keselamatan pasien, tesedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi
untuk merevisi manajemen informasi yang ada.
4.10 Indikator Patient Safety
Indikator patient safety merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkat
keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit. Indikator ini dapat digunakan
bersama dengan data pasien rawat inap yang sudah diperbolehkan meninggalkan rumah
sakit. Indikator patient safety bermanfaat untuk menggambarkan besarnya masalah yang
dialami pasien selama dirawat di rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan
berbagai tindakan medik yang berpotensi menimbulkan risiko di sisi pasien. Dengan
mendasarkan pada IPS ini maka rumah sakit dapat menetapkan upaya-upaya yang
dapat mencegah timbulnya outcome klinik yang tidak diharapkan pada pasien.
(Dwiprahasto, 2008).
Secara umum IPS terdiri atas 2 jenis, yaitu IPS tingkat rumah sakit dan IPS tingkat area
pelayanan.
1. Indikator tingkat rumah sakit (hospital level indicator) digunakan untuk mengukur
potensi komplikasi yang sebenarnya dapat dicegah saat pasien mendapatkan
berbagai tindakan medik di rumah sakit. Indikator ini hanya mencakup kasus-kasus
yang merupakan diagnosis sekunder akibat terjadinya risiko pasca tindakan medik.
2. Indikator tingkat area mencakup semua risiko komplikasi akibat tindakan medik yang
didokumentasikan di tingkat pelayanan setempat (kabupaten/kota). Indikator ini
mencakup diagnosis utama maupun diagnosis sekunder untuk komplikasi akibat
tindakan medik.
4.11 Tujuan penggunaan Indikator Patient Safety
Indikator patient safety (IPS) bermanfaat untuk mengidentifikasi area-area pelayanan
yang memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih lanjut, seperti misalnya untuk
menunjukkan:
1. adanya penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu.
2. bahwa suatu area pelayanan ternyata tidak memenuhi standar klinik atau terapi
sebagaimana yang diharapkan
3. tingginya variasi antar rumah sakit dan antar pemberi pelayanan
4. disparitas geografi antar unit-unit pelayanan kesehatan (pemerintah vs swasta atau
urban vs rural). (Dwiprahasto, 2008).
Selain penjelasan di atas metode tim perlu menjadi strategi dalam penanganan patient
safety karena metode tim merupakan metode pemberian asuhan keperawatan, yaitu
seorang perawat profesional memimpin sekelompok tenaga keperawatan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada sekelompok pasien melalui upaya kooperatif dan
kolaboratif. (Sitorus, 2006). Pada metode ini juga memungkinkan pelayanan keperawatan
yang menyeluruh. Adanya pemberian asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien.
(Nursalam, 2002). Jadi dengan pemberian asuhan keperawatan yang menyeluruh
kepada pasien diharapkan keselamatan pasien dapat diperhatikan, sehingga dapat
meningkatkan mutu pelayanan.
Daftar Pustaka
Departemen Kesehatan R.I (2006). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah
Sakit. Jakarta: Bhakti Husada
Depertemen Kesehatan R.I (2006). Upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit.
(konsep dasar dan prinsip). Direktorat Jendral Pelayanan Medik Direktorat Rumah
Sakit Khusus dan Swasta.
Kozier, B. Erb, G. & Blais, K. (1997) Professional nursing practice concept, and
prespective. California: Addison Wesley Logman, Inc.
Muninjaya, Gde, A.A.(1999). Manajemen kesehatan. Jakarta. EGC
Nursalam, (2002). Manajemen keperawatan. aplikasi dalam praktik keperawatan
profesional. Salemba Medik. Jakarta.
PERSI – KARS, KKP-RS. (2006). Membangun budaya keselamatan pasien rumah sakit.
Lokakarya program KP-RS. 17 Nopember 2006
Potter, P.A and Perry , A.G. (1997). Fundamental of nursing concept; process and
Practice. St. Louis: Mosby. Jilid 2
Supranto.(2001). Pengukuran tingkat kepuasan pelanggan untuk menaikkan pangsa
pasar. Jakarta: Rieneka Cipta
Sitorus, R. (2006). Metode praktik keperawatan pofessional di rumah sakit. penataan
struktur & proses (sistem) pemberian asuhan keperawatan di ruang rawat.EGC.
Jakarta.
Tomey. A.M. dan Alligoog, M.R.(2006). Nursing theorist and their work. 6th ed. St.
Louis:Mosby.
Wijono, D. (1999). Manajemen mutu pelayanan kesehatan . teori, strategi dan aplikasi.
Volume 1 dan 2. Airlangga University Press. Surabaya.
Yahya, A. A.(2007). Kecurangan dalam jaminan asuransi kesehatan. Fraud dan Patient
Safety. Jakarta.Seminaar PAMJAKI. Hotel