pkm gt fpik abdullah malik firdaus

25
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global (Global Warming) dapat diartikan secara sederhana, yakni kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi yang diakibatkan panas yang diserap oleh lapisan ozon sebagian dan sisanya sebagian dipantulkan kembali ke bumi. Sebagian dari panas ini mengandung radiasi infra merah gelombang panjang ke luar angkasa. Namun, sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca. Gas-gas tersebut menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan bumi, akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Jika konserntrasi gas-gas tersebut terus meningkat di atmosfer, maka akan semakin banyak panas yang terpantul ke bumi. Pemanasan global menjadi faktor penting bagi berlangsungya suatu kehidupan, yang telah menjadi isu global yang menyita perhatian masyarakat dunia, sebagaimana telah diproyeksikan ilmuwan hingga puluhan tahun kedepan, pemansan global menimbulkan perubahan

Upload: abdul-malik-firdaus

Post on 28-Jun-2015

307 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanasan global (Global Warming) dapat diartikan secara sederhana, yakni

kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi yang

diakibatkan panas yang diserap oleh lapisan ozon sebagian dan sisanya sebagian

dipantulkan kembali ke bumi. Sebagian dari panas ini mengandung radiasi infra

merah gelombang panjang ke luar angkasa. Namun, sebagian panas tetap

terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca. Gas-gas

tersebut menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan

bumi, akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Hal tersebut

terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus

meningkat. Jika konserntrasi gas-gas tersebut terus meningkat di atmosfer, maka akan

semakin banyak panas yang terpantul ke bumi.

Pemanasan global menjadi faktor penting bagi berlangsungya suatu

kehidupan, yang telah menjadi isu global yang menyita perhatian masyarakat dunia,

sebagaimana telah diproyeksikan ilmuwan hingga puluhan tahun kedepan, pemansan

global menimbulkan perubahan berskala luas menyangkut semua unsur di bumi yang

melibatkan berbagai unsur, antara lain atmosfer, lautan, daratan dan biota. Perubahan

ini dapat terjadi secara berskala dengan perulangan yang cukup teratur, namun juga

dapat terjadi tanpa memperlihatkan keteraturan perulangan.

Fenomena tersebut dikuatkan dengan data anomali suhu global (Gambar 1)

dari tahun 1880 sampai 2000 yang menunjukkan adanya gejala pemanasan suhu.

Page 2: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

2

Gambar 1. Anomali suhu global terhadap waktu

Sumber : Mc Kenzie, 1998

Beberapa hal yang diproyeksikan terjadi apabila perubahan iklim begitu cepat terjadi

yang sudah mulai kita rasakan belakangan ini antara lain : kejadian cuaca yang lebih

ekstrem, kenaikan muka air laut, kenaikan suhu air laut, dan kenaikan suhu udara.

Indonesia sebagai negara maritim memiliki potensi kelautan yang sangat

potensial dalam mengurangi dampak pemanasan global. Hal ini dikarenakan posisi

strategis Indonesia yang memiliki luas laut kurang lebih 5,6 juta km2 atau sekitar 63%

dari total wilayahnya, dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dengan jumlah

pulau mencapai 17.506 pulau (DKP, 2008). Laporan PBB yang baru dirilis di

perundingan Kopenhagen tahun 2009 menyatakan bahwa wilayah samudera dapat

menyerap sekitar 25% dari efek gas rumah kaca dunia yang dipompa ke atmosfir dari

aktivitas manusia setiap tahun. Data produksi emisi karbon di dunia dari tahun 1980

sampai 2004 mencapai 8000 Million Metric Tons of Carbon/year (Modern Global

Antropogenic Carbon Emissions, 2010).

Indonesia memiliki laut yang sangat luas, dimana didalamnya terdapat

terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan biomassa laut (fitoplankton) itu

sendiri, sehingga potensi penyerapan karbon baik yang dilakukan fitoplakton atau

biota laut lainnya sangatlah besar. Oleh karena itu, ekosistem laut di Indonesia

mempunyai potensi besar untuk menyerap CO2 sebagai gas utama penyebab

pemanasan global yang berimplikasi pada terjadinya perubahan iklim. Salah satu

Page 3: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

3

contohnya adalah hutan mangrove yang memiliki produktivitas antara 3,99-26,70

ton/hektare/tahun (Komiyama et al.,2008). Jika dilihat dari angka ini hutan mangrove

berpotensi sebagai rosot karbon).

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah untuk mengkaji potensi ekosistem

laut (hutan mangrove, padang lamun, fitoplankton, dan terumbu karang) sebagai rosot

karbon, guna penyelamatan lingkungan dari efek dari pemanasan global.

1.3 Manfaat Penulisan

Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan wacana kepada mahasiswa,

pemerintah, Instansi terkait, dunia internasional mengenai pentingnya ekosistem laut

(hutan mangrove, padang lamun, fitoplankton, dan terumbu karang).

GAGASAN

Tinjauan Umum Ekosistem Laut

Ekosistem laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan

mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Peran ekosistem laut

tergambarkan oleh kehadiran ekosistem lainnya seperti ekosistem hutan mangrove,

padang lamun, terumbu karang ,dan aktifitas fitoplankton. Ekosistem laut juga

memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, tempat

pemijahan, tempat pengasuhan dan tumbuhan besar, tempat mencari makan bagi

beragam biota laut, serta sebagai alternatif ekosistem yang dapat mereduksi CO2.

Ekosistem Terumbu Karang

Page 4: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

4

Terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium

karbonat (CaCO3) yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas

Anthozoa, ordo Madreporaria, Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga

berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat.

(Nybakken, 1988). Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk

dalam filum Coelenterata (hewan berongga) atau Cnidaria, yang disebut sebagai

karang (coral) mencakup karang dari ordo scleractinia dan sub kelas Octocorallia

(kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa (Timotius, 2003). Menurut Dahuri 2003,

Distribusi dan pertumbuhan ekosistem terumbu karang tergantung dari beberapa

parameter fisika lingkungan yaitu: kecerahan, temperatur, salinitas, sirkulasi arus dan

sedimentasi

Ekosistem Hutan Mangrove

Mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugish) dan grove (English).

Secara umum hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe ekosistem hutan

yang tumbuh di suatu daerah pasang surut (pantai, laguna, muara sungai) yang

tergenang pasang dan bebas pada saat air laut surut dan komunitas tumbuhannya

mempunyai toleransi terhadap garam (salinity) air laut. Menurut Nybakken (1988)

hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu

komunitas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau

semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan tawar

maupun asin.

Tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi membuat hutan mangrove

sebagai aset yang sangat berharga tidak saja dilihat dari fungsi ekologisnya tetapi

juga dari fungsi ekonomisnya. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain untuk

penangkal abrasi pantai, tsunami, dan penghambat angin badai, habitat berbagai jenis

fauna, daerah asuhan (nursery ground), dan daerah mencari makanan (feeding

ground), serta daerah pemijahan (spawning ground) bermacam ikan dan udang,

pengontrol penyakit malaria, pengendali intrusi air laut, penyerap CO2 dan penghasil

Page 5: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

5

O2, sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan sebagai perangkap sedimen yang

diangkut oleh aliran air permukaan (surface run-off) dan juga sebagai perangkap

bahan-bahan pencemar tertentu yang akan diikat oleh substrat. Adapun fungsi

ekonomis hutan mangrove antara lain sebagai penyedia kayu yang digunakan untuk

berbagai kontruksi bangunan, kayu bakar, arang, bahan kertas, dan lain-lain. Daun-

daunnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan obat-obatan, pupuk

untuk pertanian, dan sebagainya. Hutan mangrove juga dapat dijadikan sebagai

tempat rekreasi atau obyek wisata alam (ecotourism) yang menarik seperti yang telah

dikembangkan di banyak negara lain, antara lain Malaysia dan Australia.

Ekosistem Padang lamun

Lamun (seagrasses), atau disebut juga ilalang laut adalah satu-satunya

kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang terdapat di lingkungan laut. Tumbuh-

tumbuhan ini hidup di perairan pantai yang dangkal. Seperti halnya rumput di darat,

yang merupakan asal-usul lamun, mereka punya tunas berdaun yang tegak dan

tangkai-tangkai yang merayap yang dinamakan rimpang (rhizome) efektif untuk

berkembang-biak. Berbeda dengan tumbuh-tumbuhan laut lainnya (alga dan rumput

laut), lamun mempunyai sistem perakaran jangkar (rhizoma) berbunga

(angiospermae), berbuah dan menghasilkan biji (biji satu/monokotil). Selain itu,

organisme ini mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas dan zat-zat

hara.

Lamun memegang peranan penting dalam pendauran barbagai zat hara dan

elemen-elemen yang langka di lingkungan laut. Khususnya zat-zat hara yang

dibutuhkan oleh algae epifit. Lamun juga mempunyai akar dan rimpang (rhizome)

yang mencengkeram dasar laut sehingga dapat membantu pertahanan pantai dari

gerusan ombak dan gelombang. Fungsi ekologis dan nilai ekonomis dari lamun itu

sendiri sangat penting bagi manusia.  Menurut Nybakken 1988), fungsi ekologis

padang lamun adalah: (1) sumber utama produktivitas primer, (2) sumber makanan

Page 6: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

6

bagi organisme dalam bentuk detritus, (3) penstabil dasar perairan dengan sistem

perakarannya yang dapat menangkap sediment (trapping sediment), (4) tempat

berlindung bagi biota laut, (5) tempat perkembangbiakan (spawning ground),

pengasuhan (nursery ground), serta sumber makanan (feeding ground) bagi biota-

biota perairan laut, (6) pelindung pantai dengan cara meredam arus, (7) penghasil

oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan.

Komunitas Fitoplankton

Fitoplankton merupakan mikroalgae yang melayang di permukaan air dan

pergerakannya lebih banyak dibantu oleh arus laut Di perairan laut, keberadaan

fitoplankton sangat berpengaruh dalam regulasi karbon. Fitoplankton termasuk

organisme renik, berukuran sekitar 20 mikron, bersel tunggal dan bergerak mengikuti

arus laut. Biota berklorofil ini menjadi santapan organisme lainnya yang lebih besar,

seperti zooplankton dan ikan.

Fitoplankton akan mengekstrak karbon dari gas karbon dioksida dari atmosfer

untuk proses fotosintesa. Proses sederhana ini dapat terjadi di permukaan laut dan

membutuhkan beberapa syarat seperti cukupnya sinar matahari untuk proses

fotosintesa dan nutrisi di permukaan laut untuk mendukung pertumbuhan plankton di

permukaan laut. Nutrisi tersebut berupa nutrient (nitrat dan fosfat) yang berasal dari

aliran sungai, aktifitas industri dan manusia yang bermuara di laut serta dari proses

alamiah seperti kenaikan massa air laut ke atas (upwelling).

Konsep Umum Laut Indonesia sebagai Rosot Karbon

Indonesia sebagai negara maritim memiliki potensi besar untuk mengurangi

dampak pemanasan global ini karena memiliki luas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

sebesar (2.914.878 km2) yang dapat meyerapan karbon sebesar 59,2 juta ton/tahun

(McNeil, 2003) ; luas terumbu karang (61.000 km2) yang dapat menyerap karbon

65,7 juta ton/tahun; hutan bakau (93.000 km2) yang memiliki potensi penyerapan

Page 7: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

7

karbon hingga 67,7 juta ton/tahun; padang lamun (30.000 km2) yang memiliki

potensi penyerapan karbon hingga 50,3 juta ton/tahun ; dan fitoplankton (contoh 5.8

juta km2) memiliki potensial penyerapan karbonnya 36,1 juta ton/tahun (DKP, 2007)

dan 3.5 juta ton per tahun (Darmawan,2003), berdasarkan pada produktivitas primer.

Daratan maupun lautan dapat berfungsi sebagai tempat penyerap gas karbon

dioksida (CO2). Gas ini dapat diserap oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis,

sedangkan di lautan, gas karbon dioksida digunakan oleh fitoplankton untuk proses

fotosistesis, dapat tenggelam ke dalam laut beserta dengan pemakan fitoplakton dan

predator tinggi lainnya. Proses perpindahan gas karbon dioksida dari atmosfer (lautan

dan daratan) disebut sebagai carbon sequestration. Penelitian Ahmad Subki,

menjelaskan pada tahun 1995 rata-rata perairan Indonesia melepaskan gas CO2

hingga 2 mol CO2 m2 per tahun, dan selanjutnya terjadi trend peningkatan daya serap

oleh laut mencapai 0,5 mol CO2 m2 per tahun Untuk memprediksi kemampuan laut

Indonesia dalam menyerap CO2 hingga tahun 2100, dalam studi ini diaplikasikan dua

skenario, yaitu skenario dasar (skenario B2 IPCC) dan skenario mitigasi (skenario

berdasarkan Protokol Kyoto), dimana pada skenario mitigasi konsentrasi CO2 lebih

rendah dari skenario dasarnya. Pada skenario dasar, hasil prediksi menunjukkan pada

tahun 2050 perairan Indonesia mampu menyerap secara optimum hingga 15 mol CO2

m2 per tahun. Setelah tahun 2050 diperkirakan daya serap laut mulai menurun

kembali karena konsentrasi CO2 di atmosfer diperkirakan menurun hingga tahun

2100. Sedangkan pada skenario mitigasi, trend laut Indonesia menyerap CO2 lebih

rendah dibandingkan dengan skenario dasar.

Dengan menggabungkan informasi potensi laut Indonesia dalam penyerapan

karbon dan iklim beserta kajian proses carbon sequestrationnya yang terjadi dapat

memberikan gambaran potensi laut benua maritim Indonesia dalam menyerap karbon

dari gas-gas rumah kaca melalui pemanfaatan secara maksimal dan tepat terhadap

ekosistem laut. Ekosistem laut tersebut antara lain terumbu karang, mangrove,

fitoplankton, dan padang lamun.

Page 8: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

8

Hutan Mangrove sebagai Rosot karbon

Hutan mangrove sebagai bagian dari hutan tropis yang berada di ekoton antara

terestial dan laut luasnya hanya mencapai 0,1% luas hutan di dunia, tetapi memiliki

peran yang patut diperhitungkan. Hutan mangrove memiliki peran yang unik dalam

siklus karbon oseanik, yaitu pertukaran karbon di perairan laut (Twilley et al., 1992

dalam Buillon et al., 2008). Lebih luas lagi, zona laut (~200m kedalaman laut)

memiliki peran penting di dalam siklus karbon oseanik. Karbon organik dibentuk

oleh ekosistem mangrove dan lamun, kemudian dimineralisasi di zona laut. Selain itu

produksi karbonat dan akumulasi terjadi pula di zona ini oleh ekosistem karang

(Duarte et al.,2005)

Besarnya produksi karbon organik dapat dilihat dari tingkat produktivitas

ekosistem mangrove dan lamun. Hutan mangrove merupakan salah satu ekositem

yang memiliki produktifitas yang tinggi (Komiyama et al.,2008). Menurut riviewnya,

produktifitas hutan mangrove di beberapa negara berkisar antara 3,99-26,70

ton/hektar/tahun. Contoh di Indonesia, produktivitas hutan mangrove mencapai 22,90

ton/hektar/tahun (Sukardjo dan Yamada,1992).

Dari laju produktifitas di atas dapat diestimasikan besarnya laju penimbunan

karbon di ekosistem mangrove. Pada tabel 1 ditunjukkan estimasi laju penimbuann

karbon di ekosistem mangrove. Karbon biomassa tersimpan dalam jangka waktu

puluhan tahun (Tomlinson, 1994 dalam Duarte et al., 2005) untuk mangrove dan

beberapa dekade (Duarte & Hemimnga, 2000). Fraksi karbon organik yang

diproduksi vegetasi pantai diduga dilepaskan ke laut lepas lebih dari 10% (Dittmar et

al., 2006). Ini menegaskan ekosistem mangrove sangat penting dalam siklus karbon

oseanik.

Page 9: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

9

Tabel 1 . Estimasi laju penimbunan karbon organik di area vegetasi pantai (Duarte et

al., 2005)

Komponen Area (10 12 m2 ) gC/m2 /tahun Ton/tahunmangrove 0,2 139,0 23,6

Kendala sekarang adalah sedikitnya informasi mengenai karbon budget pada

mangrove. Estimasi produktifitas biomassa di bawah tanah masih kasar karena

sulitnya mengembangkan metodologi, sehingga dalam kajian budget karbon

seringkali diabaikan, akibatnya memberikan bias dalam penghitungan. Selain itu,

setting lokasi mangrove yang sangat bervariasi, karena perbedaan iklim,

geomorfolog, struktur vegetasi turut juga dalam menyulitkan ekstrapolasi perhitungan

bujet karbon global (Buillon et al., 2008). Berikut contoh kegiatan estimasi karbon

tersimpan yang telah dilakuakn Puslit Oseanografi-LIPI pada Tabel 2.

Tabel 2. Karbon tersimpan, aboveground, hutan mangrove Kepulauan Pari

Karbon Tersimpan Pulau Pari Pulau Tengah Pulau Burung Pulau Kongsi

Rata-rata 158.8 140.65 154.54 151.7Standar Deviasi 96.24 82.09 71.07 124.08Jumlah Data 45 30 4 18

Terumbu Karang sebagai Rosot Karbon

Sebagai sebuah ekosistem, terumbu karang mempunyai banyak fungsi seperti

tempat pemijahan ikan, perlindungan, pencarian makan, hingga “body wash” oleh

sebagian hewan akuatik. Dalam fungsi secara ekologi, terumbu karang mampu

sebagai penghalang bagi struktur laut sehingga tidak tergerus. Demikian juga halnya

dengan fungsi ekonomi, dimana masyarakat nelayan mengambil ikan dari keberadaan

ekosistem ini yang dimana peran terumbu karang sebagai tempat tinggal yang kokoh

bagi biota laut dan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan erosi pantai.

Page 10: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

10

Pada kondisi normal daerah terumbu karang memproduksi 2,5X1013 moles

CaCO3 ha/th, dimana 1,5X1013CaCO3 akan diakumulasikan dalam bentuk kapur,

1,5X1013 dalam bentuk terlarut di dalam air laut. CaCO3 yang terlarut dalam air laut

inilah yang mempunyai kemampuan untuk menyerap CO2 yang berasal dari udara

sebesar 6% (Kleypas et al, 2006). De Goeij and Van Duyl 2007 meneliti kemampuan

karang menyerap dissolved organic carbon (DOC), kedua peneliti ini

membandingkan kemampuan terumbu karang yang ada di Berau, Kalimatan timur

dan terumbu karang di Curacao. Hasilnya menunjukan bahwa karang di Berau

mampu menyerap rata-rata 90 mmol/m2/hari sedangkan karang di Curacao daya

serap yang lebih besar yaitu rata-rata 342 mmol/m2/hari. Kedua peneliti ini

menyimpulkan bahwa karang “net sink of DOC” dan memainkan peranan yang

sangat penting dari energy budget dari terumbu karang.

Padang lamun sebagai Rosot Karbon

Padang lamun sering dijumpai berdampingan atau tumpang tindih dengan

ekosistem mangrove dan terumbu karang. Bahkan, terdapat interkoneksi antar

ketiganya. Di seluruh laut terdapat tumbuhan yang dapat menyerap karbon dari

atmosfer lewat fotosintesis, baik berupa plankton yang mikroskopis maupun yang

berupa tumbuhan yang hanya hidup di pantai seperti di hutan mangrove, padang

lamun, ataupun rawa payau (salt marsh). Meskipun tumbuhan pantai (mangrove,

padang lamun, dan rawa payau) luas totalnya kurang dari setengah persen dari luas

seluruh laut, ketiganya dapat mengunci lebih dari separuh karbon laut ke sedimen

dasar laut. Keseluruhan tumbuhan mangrove, lamun, dan rawa payau dapat mengikat

235-450 juta ton karbon per tahun, setara hampir setengah dari emisi karbon lewat

transportasi di seluruh dunia. Dengan demikian, penyelamatan ekosistem padang

lamun sangat penting, dan tidak kalah strategis, dibandingkan dengan pengelolaan

ekosistem terumbu karang dan mangrove.

Page 11: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

11

Potensi lamun sebagai rosot karbon didapatkan melalui proses fotosintesis dan

kemampuan akar lamun untuk menyimpan nutrient dan pengikat karbon. Lamun

sebagaimana mangrove juga memiliki peranan dalam siklus karbon oseanik.

Tabel 4. Berikut laju penimbunan karbon oseanik di area vegetasi pantai lamun

(Duarte et al., 2005)

Komponen Area (10 12 m2 ) gC/m2 /tahun Ton/tahunLamun 0,3 83,0 27,4

Tabel 5. Luas tutupan, kerapatan dan karbon tersimpan lamun (n=3, PB= Pari Barat,

PU= Pari Utara).

Stasiun Jenis Par

Luas Kerapatan Karbon Karbon TotalTutupan

(%) (tunas/m2) tersimpan tersimpan (gr.BK.m2)          belowground aboveground            (gr.BK.m2) (gr.BK.m2)  PB-1 T.hemprichii X 70,00 500 141,40 124,94 266,34

    Sd 16,73 350 67,08 33,20 150,29  C. rotundata X   416,7 11,25 19,50 37,44    Sd   104,1 6,16 3,14 7,87

PB-2 E. acoroides X 78,00 99,7 468,27 18,61 636,87    Sd 10,95 3,1 25,65 95,36 113,34  T.hemprichii X   650,0 103,66 121,94 225,65    Sd   377,5 6,93 37,22 40,46  C. rotundata X   366,7 23,29 24,93 48,22    Sd   175,6 14,77 14,88 29,45

PU E. acoroides X 21,50 77,5 344,93 152,32 497,25    Sd 8,00 17,3 166,87 60,60 227,40

Fitoplankton sebagai Rosot Karbon

Fitoplankton akan mengekstrak karbon dari gas karbon dioksida dari atmosfer

untuk proses fotosintesa. Proses sederhana ini dapat terjadi di permukaan laut dan

membutuhkan beberapa syarat seperti cukupnya sinar matahari untuk proses

Page 12: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

12

fotosintesa dan nutrisi di permukaan laut untuk mendukung pertumbuhan plankton di

permukaan laut. Nutrisi tersebut berupa nutrient (nitrat dan fosfat) yang berasal dari

aliran sungai, aktifitas industri dan manusia yang bermuara di laut serta dari proses

alamiah seperti kenaikan massa air laut ke atas (upwelling).

Reaksi sederhana fotosintesis adalah sebagai berikut : 6CO2+6H2O→C6 H

12O6+6O2. Dari reaksi tersebut terlihat bahwa 6 molekul CO2 menghasilkan 6 molekul

O2. Dengan demikian untuk menghitung laju fotosintesis bisa dilakukan dengan

mengukur CO2 yang diserap, atau mengukur O2 yang dihasilkan

Nilai penyerapan karbon oleh fitoplankton dapat diestimasi dari laju

fotosintesis atau produktivitas primer fitoplankton. Apabila produktivitas primer

diukur dengan metode karbon, maka data tersebut dapat langsung digunakan. Apabila

produktivitas primer diukur dengan metode oksigen, maka nilai oksigen yang

dihasilkan dikonversi terlebih dahulu menjadi karbon, baru digunakan dalam

perhitungan. Perhitungan metode oksigen dinyatakan dalam satuan mgC/I/jam dan

mgO2/I/jam. Nilai produktivitas primer di perairan pantai dan laut Indonesia adalah

50 mgC/m2/th. Luas perairan Indonesia (Teritorial dan ZEE) kurang lebih 6 juta km 2

atau sama dengan 6 X (1.000.000)2=36.000.000.000.000 m2. Jadi untuk keseluruhan

Indonesia:

Serapan CO2 = 50 X 36.000.000.000.000 gC/tahun= 1.800.000.000.000.000 gC/tahun= 1.800.000.000 C/tahun= 1,8 milyar ton C/tahun

Jika satu persen dari nilai tersebut tenggelam sampai ke dasar laut, maka akan ada

sekitar 0,0186 milyar ton C/tahun disimpan di dasar laut.

KESIMPULAN

Page 13: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

13

Analisis Perbandingan dari Ekosistem Mangrove, Lamun, Terumbu Karang,

dan Fitoplankton

Tabel 6. Data perbandingan Ekosistem Mangrove, Lamun, Terumbu Karang, dan

Fitoplankton

Parameter Hutan Mangrove Padang Lamun Terumbu Karang Fitoplankton

*Potensi Daya

Serap Karbon

67,7 juta ton/tahun

(L 93.000 km2)

50,3 juta ton/tahun

(30.000 km2)

65,7 juta ton/tahun

(61.000 km2)

36,1 juta ton/tahun

(L 5,8juta km2)

Cara

Penyerapan

Melalui fotosintesis Melalui foteosintesis Melalui fotosintesis,

kalsifikasi

Melalui fotosintesis

*Produktifitas 22,90 ton/hektar/tahun Belum diketahui Belum diketahui 50mgC/m2/tahun

Faktor

PembatasKecerahan:Temperatur

:Substrat: Berhubungan

Pemanfaatan oleh

masyarakat Suhu

Kecerahan Temperatur

Salinitas Substrat

Kecepatan Arus Suhu

Temperature Salinitas

Suhu

Cahaya, Nutrisi,

Pencemaran

Nilai Estetika) Menunjang demi

pariwisata

Menunjang demi

pariwisata

Menunjang demi

pariwisata

Tidak ada

Kekurangan Tidak ada Tidak ada Rentan terhadap suhu

panas yang bisa

menyebabkan bleching

Menyebabkan red

tide/blooming

*Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007

Dari hasil analisa perbandingan pada tabel 6. didapat bahwa ekosistem padang

lamun memiliki nilai rosot karbon yang lebih besar dibandingkan dengan ketiga

ekosistem lainnya. Hal ini dibuktikan dengan analisis dalam kisaran luas relatif kecil

tetapi memiliki potensi daya serap karbon yang cukup besar. Adapun dilihat dari

parameter kekurangan, terumbu karang dan fitoplankton masing-masing memiliki

kekurangan yaitu terumbu karang sangat rentan dengan suhu tinggi yang

mengakibatkan bleaching, sedangkan pada fitoplankton apabila pertumbuhannya

berlebihan akan menyebabkan red tide. Maka dalam perencanaan ekosistem laut

Page 14: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

14

seharusnya padang lamun diberikan persentasi yang lebih besar dibandingkan dengan

hutan mangrove dan terumbu karang.

Rekomendasi Konsep Pengelolaan Ekosistem Laut Terpadu Sebagai solusi

perubahan iklim

Berdasarkan hasil kajian dan analisis pustaka tentang kemampuan ekosistem

laut dalam mereduksi karbon yang merujuk penelitian dari Pusat Penelitian

Oseanografi LIPI dan PKSPL IPB (Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut

Institut Pertanian Bogor) menunjukkan bahwa kemampuan laut Indonesia mampu

menyerap karbon secara efektif. Kemampuan laut dalam menyerap karbon tersebut

bisa efektif dan maksimal apabila keempat ekosisitem tersebut berjalan secara

sinergis. Adapun konsep yang dapat direkomendasikan dalam rangka mencapai

sinergisme pemanfaatan ekosistem laut tersebut antara lain sebagai berikut :

Perencanaan

Perencanaan dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Kawasan Konservasi

Terpadu (Integrated Conservation Zone Management) yang mengintegrasikan

berbagai perencanaan, sehingga terjadi sinergisme antara empat elemen ekosistem

sebagai rosot karbon. Konsep perencanaan kawasan konservasi terpadu merupakan

upaya bertahap dan terprogram yang disertai dengan upaya pengendalian dampak

implementatif yang mungkin timbul dalam rangka mengurangi dampak perubahan

iklim. Perencanaan Kawasan Konservasi Terpadu dibagi ke dalam empat tahapan

utama yaitu ; (i) rencana strategis ; (ii) rencana zonasi ; (iii) rencana pengelolaan ;

dan (iv) rencana aksi.

Pengelolaan

Pengelolaan Kawasan Konservasi Terpadu (Integrated Conservation Zone

Management) meliputi proses perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan,

Page 15: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

15

pengendalian, pengawasan, dan pemberdayaan masyarakat, penentuan

kewenangan, kelembagaan, sampai dengan tindakan pencegahan demi kelestarian

ekossitem laut sebgai rosot karbon.

Pengawasan dan Pengendalian

Secara umum upaya pengawasan dan pengendalian Kawasan Konservasi

Terpadu (Integrated Conservation Zone) dilakukan dalam rangka :

1) Mengetahui adanya penyimpangan implementasi pelaksanaan rencana

strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, serta implikasi penyimpangan

tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem.

2) Mendorong agar pola pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya di kawasan

konservasi berjalan sinergis sesuai dengan rencana pengelolaannya, serta

menjamin terpenuhinya hak pengelolaan oleh pihak-pihak (negara) terkait.

3) Memberikan sanksi pelanggaran baik berupa sanksi administratif, sanksi

perdata, maupun sanksi pidana berdasarkan kesepakatan hukum yang telah

disepakati.

DAFTAR PUSTAKA

Boyd, P. W. 2000. A mesosscle phytoplankton bloom in the plar southhern ocean stimulated by iron Fertilization. Nature, 407:695-702.

Dahuri, R. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta.

Dittmar, T. et al. 2006. Mangroves, a major source of dissolved organic carbon to the oceans. Global Biogeochem. Cycles.20(1).

Duarte, C.M.; J.J. Middleburg & C. Caraco, 2005. Major role of marine vegetation on the oceanic carbon Cycle. Biogeoscience. 2: 1-8.

Page 16: PKM GT FPIK Abdullah Malik Firdaus

16

IPCC.2001.Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovrnental Panel on Climate Change [Houghton,J.T.,Y.Ding,D.J.Griggs, M Nouger, P.J. van der Linden, et al. (eds.)]. Cambridge University Press,Cambridge, United Kingdom and New York, NY,881pp.

IPCC (Interngovernmental Panel on Climate Change), 2007. Summary for Policy Makers of IPCC Fouth Assessment Report, Working Group III – climate change 2007: mitigation of climate change, IPCC, Bangkok, Thailand.

Jarred D., 2006. Collapse. How societies choose to fail or survive. Penguin Books.

Komiyama, A., Jin E.O., Sasitorn P. 2008. Allometry, biomass and produktivity of mangrove forest. A review. Acuatiq Botany.89:128-137.

Purwadianto.2009. Pengelolaan Bidang Kesehatan Dalam Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Di Indonesia. Disampaikan dalam Workshop: Laut Sebagai Pengendali Perubahan Iklim.Bogor, 4 Agustus 2009, Indonesia.

WWF and the University of Queensland, 2009. The Coral Triangle and Climate Change ecosystem,People and societies at risk, Sydney, Australia.