pidato pengukuhan prof. dr. ir. iman satyarno m.e

15
EVALUASI DAN TINDAKAN PENGURANGAN KERENTANAN BANGUNAN DALAM RANGKA MITIGASI BENCANA GEMPA UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Oleh: Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno, M.E.

Upload: adrian-von-bismarck

Post on 30-Dec-2015

45 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno m.e

EVALUASI DAN TINDAKAN PENGURANGAN KERENTANAN BANGUNAN DALAM RANGKA

MITIGASI BENCANA GEMPA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik

Universitas Gadjah Mada

Oleh: Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno, M.E.

Page 2: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno m.e

2

EVALUASI DAN TINDAKAN PENGURANGAN KERENTANAN BANGUNAN DALAM RANGKA

MITIGASI BENCANA GEMPA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik

Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada

Pada tanggal 22 Februari 2010 di Yogyakarta

Oleh: Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno, M.E.

Page 3: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno m.e

3

EVALUASI DAN TINDAKAN PENGURANGAN KERENTANAN BANGUNAN DALAM RANGKA

MITIGASI BENCANA GEMPA Gempabumi merupakan salah satu bencana alam yang selalu

datang secara tiba-tiba tanpa didahului tanda-tanda sehingga tidak bisa diprediksi kapan, di mana, dan seberapa besar akan terjadinya. Dibandingkan dengan bencana alam lain, gempabumi umumnya terjadi dalam waktu yang sangat singkat, yaitu hanya dalam hitungan detik saja, namun demikian efek yang ditimbulkan bisa sangat luar biasa dengan tingkat kerusakan bangunan dan infrastruktur serta jumlah korban jiwa sangat besar terutama jika gempabumi yang terjadi diikuti pula peristiwa tsunami melanda suatu daerah pemukiman. Dengan demikian perlu dikembangkan suatu program yang dapat mengurangi jumlah kerusakan, kerugian dan jumlah korban jika suatu gempabumi terjadi.

Untuk Indonesia, beberapa tahun terakhir ini kejadian gempa sudah bisa dikatakan fenomenal karena kejadiannya yang cukup sering dalam waktu yang cukup berdekatan sebagaimana yang telah terjadi antara lain di Nabire, Aceh, Nias, Yogyakarta, Bengkulu, Tasikmalaya, Padang, dan daerah-daerah lainnya. Disamping itu kejadian gempa juga dapat terjadi secara berulang di tempat yang sama dalam waktu yang cukup dekat sehingga dalam kurun waktu antara tahun 1998 sampai 2008 saja telah menyebabkan kerugian dan korban jiwa yang sangat besar. Menurut data statistik dari Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB), bahwa antara tahun 1998 sampai 2008 saja telah terjadi 114 kali gempa dimana 3 kali diantaranya diikuti dengan kejadian tsunami.

Kejadian-kejadian gempa ini telah mengakibatkan korban meninggal sebanyak kurang lebih 136.799 orang, 37.140 orang hilang, 474.171 rumah rusak berat dan runtuh, 10.519 pusat pendidikan rusak berat dan runtuh, 1.336 rumah sakit rusak berat dan runtuh dengan kerugian mencapai Rp 43,356 triliyun. Angka-angka ini didominasi oleh kejadian gempa Aceh yang disertai dengan tsunami pada tahun 2004 dan belum termasuk gempa yang terjadi di Tasikmalaya dan Padang pada tahun 2009 (http://dibi.bnpb.go.id).

Page 4: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno m.e

4

Sebelum kejadian gempa Padang pada tanggal 30 September 2009, sebagaian besar bangunan yang runtuh dan rusak adalah bangunan rumah masyarakat yang digolongkan sebagai bangunan nonengineered, namun hasil evaluasi lapangan pasca gempa Padang tersebut diketahui bahwa terdapat juga bangunan-bangunan engineered yang rusak berat dan runtuh dengan jumlah yang cukup banyak. Termasuk diantaranya adalah bangunan perkantoran, bangunan pendidikan, bangunan hotel, dan bahkan bangunan rumah sakit yang sebagian besar termasuk bangunan publik dan bangunan peting atau lifeline facilities. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan serta kekhawatiran tentang keamanan bangunan-bangunan engineered lain yang ada saat ini terutama yang berada di daerah-daerah rawan gempa. Mampukah bangunan-bangunan ini bertahan jika terjadi gempa atau akankah kejadian seperti di Padang terulang kembali?

Dari hasil tinjauan lapangan dapat diketahui bahwa sebagian besar bangungan-bangunan nonengineered dan engineered rusak berat dan runtuh karena bangunan-bangunan tersebut mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi (Satyarno, 2007). Secara umum kerentanan bangunan ditentukan oleh kekuatan, kekakuan, redaman, dan daktilitas yang dimiliki (FEMA 172, 1992) yang secara dominan ditentukan oleh kualitas bahan, kekuatan yang disediakan, kualitas pendetailan struktur, dan konfigurasi bangunannya.

Tingkat resiko gempa ditentukan oleh dua faktor utama yaitu besarnya tingkat ancaman atau hazard dan besarnya tingkat kerentanan atau vulnerability. Semakin besar nilai kedua faktor ini maka semakin besar juga tingkat resikonya, atau dengan kata lain dapat juga dikatakan semakin besar kemungkinan terjadinya keruntuhan, kerugian, dan korban jiwa.

Besarnya ancaman tidak dapat dikurangi karena sudah merupakan fenomena alam dan bagian dari sunnatullah. Dengan demikian tingkat resiko gempa suatu bangunan hanya dapat dikurangi dengan memperkecil tingkat kerentanannya. Namun sayang pemahaman tingkat kerentanan dan tindakan nyata untuk menguranginya pada bangunan-bangunan yang ada sampai saat ini dirasa masih sangat perlu untuk ditingkatkan. Pemahaman kerentanan bangunan di sini berarti memahami akibat yang akan ditimbulkan jika

Page 5: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno m.e

5

terjadi gempa pada suatu bangunan seperti terhentinya pelayanan, timbulnya kerusakan, kerugian harta dan bahkan kematian. Tindakan nyata adalah berbagai upaya yang sudah dilakukan pada bangunan-bangunan yang ada saat ini.

Pemahaman tentang tingkat kerentanan suatu bangunan sebagaimana disebut di atas kelihatannya belum sepenuhnya dipahami. Padahal pemahaman kerentanan ini sangat diperlukan karena digunakan sebagai acuan atau titik awal tindakan nyata pengurangannya. Ditinjau dari fungsinya, suatu bangunan akan mempunyai tingkat kerentanan yang berbeda untuk fungsi yang berbeda dengan parameter tingkat kinerja atau level of performace bangunan setelah dilanda gempa. Menurut FEMA 302 (1997) berdasarkan fungsinya bangunan dapat dibagi menjadi tiga kelompok kegunaan atau seismic use group sebagai berikut.

Pertama adalah kelompok kegunaan III, yaitu bangunan-bangunan fasilitas penting yang sangat dibutuhkan pada masa tanggap darurat sesaat setelah terjadi gempa, atau bangunan-bangunan yang berisi bahan-bahan berbahaya dengan jumlah yang besar. Bangunan-bangunan yang termasuk kelompok kegunaan III ini adalah bangunan-bangunan yang digunakan untuk; pemadam kebakaran, pertolongan, kantor polisi, rumah sakit, fasilitas medik yang mempunyai fasilitas pelayanan darurat, pusat siaga tanggap darurat, pusat operasi tanggap darurat, pusat pembangkit listrik, hangar pesawat dan kendaraan untuk operasi tanggap darurat, pusat komunikasi, pusat pengawas aviasi dan pusat pengendali lalulintas udara, bangunan yang berisi cukup banyak bahan beracun atau bahan peledak yang bisa berbahaya bagi masyarakat, dan fasilitas pengolahan air minum dan air limbah.

Tingkat kinerja bangunan-bangunan kelompok kegunaan III ini harus bisa tetap beroperasi secara penuh atau fully operasional setelah terjadi gempa, yaitu tidak ada kerusakan yang terjadi pada bagian struktur, mekanikal, elektrikal, serta arsitektural bangunan. Secara struktural bangunan-bangunan kelompok kegunaan III seharusnya mempunyai respon elastik pada saat terjadi gempa dan bagian-bagian mekanikal, elektrikal dan arsitekturalnya dirancang sesuai dengan persyaratan agar tetap operasional (FEMA 302, 1997).

Kedua adalah kelompok kegunaan II, yaitu bangunan-bangunan fasilitas umum dengan jumlah orang yang beraktivitas di dalamnya

Page 6: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno m.e

6

cukup banyak dan yang termasuk kelompok ini adalah; bangunan-bangunan dengan jumlah penghuni lebih dari 300 orang, bangunan-bangunan pendidikan, pusat perawatan dengan jumlah orang lebih dari 150, dan penjara. Tingkat kinerja bangunan-bangunan kelompok kegunaan II ini setelah terjadi gempa harus bisa tetap beroperasi walaupun tidak secara penuh. Pada tingkat kinerja ini ada kerusakan sebagian yang terjadi pada bagian-bagian mekanikal, elektrikal, serta arsitektural dengan kerusakan struktur bangunan ringan sehingga aman untuk langsung dihuni kembali atau immediate occupancy. Secara struktural bangunan-bangunan kelompok kegunaan II seharusnya mempunyai respon plastis yang kecil. Kerusakan-kerusakan yang terjadi dapat segera diperbaiki agar bangunan dapat kembali beroperasi secara penuh.

Ketiga adalah kelompok kegunaan I, yaitu bangunan-bangunan yang tidak termasuk dalam kelompok kegunaan III dan II yang bisa mempunyai response plastis besar akibat gempa yang terjadi. Tingkat kinerja bangunan-bangunan ini pada pasca gempa dapat dibagi menjadi dua tingkat kinerja yaitu tingkat keamanan penghuni atau life safety dan tingkat pencegahan keruntuhan atau near collapse yang kadang disebut juga dengan collapse prevention. Untuk tingkat kinerja keamanan penghuni, kondisi struktur, mekanikal, elektrikal dan arsitektural bisa mengalami kerusakan sedang sampai berat namum beberapa bagian tertentu tetap tidak rusak. Dengan kondisi seperti ini maka keamanan penghuni tetap terjaga dan setelah gempa bangunan masih dapat diperbaiki walaupun kemungkinan besar tidak ekonomis. Untuk tingkat kinerja pencegahan keruntuhan, kondisi struktur, mekanikal, elektrikal dan arsitektural mengalami kerusakan berat sehingga keamanan penghuni tidak terjamin namun struktur secara keseluruhan tetap dirancang agar tidak runtuh dimana perbaikan bangunan pasca gempa tidak ekonomis sehingga lebih baik diruntuhkan. Pada tingkat kinerja seperti ini keamanan penghuni tidak sepenuhnya terjamin karena ada kemungkinan kejatuhan bagian-bagian mekanikal, elektrikal dan arsitektural.

Dari pengamatan pasca gempa seperti di Yogyakarta tahun 2006 dan di Tasikmalaya serta Padang tahun 2009 dapat diketahui bahwa tingkat kinerja beberapa bangunan pasca gempa tidak sesuai dengan yang tingkat kinerja yang seharusnya berdasarkan fungsi atau

Page 7: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno m.e

7

kelompok kegunaan bangunan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bangunan pendidikan dan bahkan bangunan rumah sakit atau puskesmas yang tidak dapat beroperasi atau melakukan pelayanan lagi pasca terjadinya gempa. Dengan kata lain banyak bangunan yang seharusnya termasuk kelompok kegunaan III tetapi pada saat terkena gempa hanya mempunyai kinerja sebagai kelompok kegunaan II, I atau bahkan malah runtuh. Sekalipun bangunan kelompok kegunaan III secara struktural tidak mengalami kerusakan sama sekali, akan tetapi jika tidak dapat beroperasi akibat kerusakan pada bagian-bagian mekanikal, elektrikal dan arsitektural, maka bangunan ini bisa dikatakan rentan.

Walaupun gempa sudah berulangkali terjadi dan secara nyata telah menimbulkan kerusakan bangunan dan korban jiwa dengan jumlah yang besar, namun tindakan nyata pengurangan kerentanan terhadap bangunan yang ada dirasa masih jauh dari harapan yang seharusnya bisa dilakukan. Sebagai misal, pada saat terjadi gempabumi di Yogyakarta tahun 2006 setelah gempa Aceh tahun 2004, beberapa bangunan penting seperti bangunan pendidikan serta bangunan pelayanan kesehatan telah mengalami kerusakan sebagaimana dijelaskan di atas, namun belum ada tindakan nyata secara berarti yang telah dilakukan terhadap bangunan-bangunan yang sama di daerah lain dengan tingkat acaman kegempaan yang sama atau bahkan lebih besar sampai akhirnya terjadi gempa di Padang pada tanggal 30 September 2009 dengan tingkat kerusakan pada bangunan engineered yang bahkan lebih banyak. Sampai hari inipun nampaknya masih belum ada aksinyata secara berarti yang dilakukan pada gedung-gedung yang ada sehingga kemungkinan kejadian serupa di Padang dapat terjadi lagi di daerah lain pada gempa-gempa berikutnya.

Tentunya timbul pertayaan, tindakan nyata apakah sebenarnya yang bisa dilakukan pada bangunan-bangunan yang ada dalam rangka mitigasi bencana gempa? Secara umum ada dua tindakan nyata yang dapat dilakukan dalam rangka mitigasi bencana gempa yaitu pelaksanaan evaluasi kerentanan bangunan dan tindakan pengurangannya. Evaluasi kegempaan dapat dilakukan menjadi dua tahap yaitu tahap evaluasi cepat secara visual atau rapid visual screening (FEMA 154, 2002) dan dilanjutkan dengan tahap evaluasi

Page 8: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno m.e

8

kegempaan secara rinci atau detail seismic evaluation (FEMA 310, 1998). Tindakan terhadap kerentanan yang ada juga ada dua yaitu perbaikan atau retrofitting dan pembongkaran atau demolishing apabila tindakan perbaikan dirasa tidak ekonomis.

Evaluasi cepat secara visual cukup mudah dilakukan dengan cara mengisi formulir atau checklist form yang tersedia. Hasil evaluasi didasarkan pada nilai atau skor yang didapat dari pengisian formulir tersebut tanpa melakukan perhitungan mekanika dan hanya menggunakan peralatan yang sangat sederhana. Karena proses evaluasi yang mudah dan cepat maka kebutuhan tenaga untuk dapat melakukan evaluasi ini dapat disiapkan dengan hanya melakukan pelatihan-pelatihan seperlunya. Pelaksanaan evaluasi cepat secara visual ini memang dibuat cukup mudah mengingat banyaknya jumlah bangunan yang harus dievaluasi serta banyaknya tenaga pelaksana yang diperlukan. Hasil evaluasi ini dapat memberi gambaran secara kasar apakah bangunan rentan atau tidak.

Selanjutnya bangunan-bangunan yang diperkirakan rentan harus dievaluasi lebih lanjut secara rinci. Berbeda dengan evaluasi cepat secara visual, evaluasi secara rinci harus dilakukan oleh tenaga ahli. Jika jumlah bangunan yang harus dievaluasi sangat banyak sementara jumlah tenaga ahli tidak mencukupi, maka dapat dilakukan skala prioritas berdasarkan fungsi bangunan yang sesuai dengan kelompok kegunaannya sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Prioritas tentunya harus diberikan pada bangunan yang termasuk dalam kelompok kegunaan III, kemudian kelompok kegunaan II, dan akhirnya kelompok kegunaan I jika memungkinkan. Dalam pelaksanaanya, evaluasi rinci ini dibagi menjadi tiga tahap atau tier yang memerlukan analisis mekanika dari mulai analisis sederhana berupa analis statik ekivalen sampai analisis dinamik secara nonlinear (FEMA 310, 1998).

Untuk memperkirakan kinerja bangunan jika terjadi gempabumi pada tahap 3 atau tier 3 saat melakukan evaluasi rinci, umumnya digunakan analisis beban statik dorong nonlinear atau nonlinear pushover analysis. Secara umum analisis beban dorong statik pada bangunan adalah suatu analisis dimana pengaruh gempa rencana terhadap struktur gedung dianggap sebagai beban-beban statik yang menangkap pada pusat massa masing-masing lantai, yang nilainya

Page 9: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno m.e

9

ditingkatkan secara berangsur-angsur sampai melampaui pembebanan yang menyebabkan terjadinya pelelehan karena terjadinya sendi plastis pertama di dalam struktur bangunan. Kemudian peningkatan beban lebih lanjut akan menyebabkan lebih banyak sendi plastis terjadi dan struktur mengalami perubahan bentuk yang besar sampai mencapai kondisi di ambang keruntuhan (Lawson, et.al. 1994). Analisis beban dorong statik ini umumnya digunakan untuk melakukan analisis berbasis kinerja atau performance based.

Analisis beban dorong statik yang digunakan dalam evaluasi kegempaan suatu bangunan berbasis kinerja dalam rangka memperkirakan tingkat kerentanannya, umumnya dilakukan dengan beberapa keterbatasan sebagai berikut.

Pertama, evaluasi kegempaan struktur dilakukan dari penggambaran hubungan gaya geser dasar dan simpangan lateral hasil hitungan yang bentuknya tergantung pada distribusi beban lateral yang digunakan. Kedua, tidak ada interaksi antara kegagalan lentur dan geser di daerah sendi plastis.

Untuk itu dikembangan suatu analisis beban dorong statik nonlinear yang lebih aplikatif dengan menggunakan mekanisme yang dapat beradaptasi atau nonlinear adaptive pushover analysis (Satyarno, 2000) dengan pemodelan dan kemampuan sebagai berikut. Daerah-daerah sendi plastis dimodelkan dengan elemen pegas atau spring element untuk memperhitungkan kegagalan lentur, kegagalan geser atau kombinasi akibat interaksi lentur dan geser. Kekakuan struktur tidak hanya tergantung pada dimensi batang yang didefinisikan saat tahap awal tetapi juga tergantung pada kekuatan batang. Penentuan distribusi dan peningkatan gaya lateral dalam analisis beban dorong statik ditentukan berdasarkan kondisi plastis terkini pada struktur bangunan. Perhitungan kondisi kritis struktur dimana daktilitas dan kapasitas simpangan lateral atau lateral deflection capacity struktur dihitung secara otomatis.

Dengan menggunakan mekanisme adaptasi tersebut di atas, maka analisis dorong statik nonlinear akan mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut. Pengguna tidak perlu memperkirakan distribusi gaya lateral yang sesuai. Sembarang asumsi awal distribusi gaya lateral dapat digunakan. Dalam setiap tahap kenaikan beban, distribusitribusi gaya lateral akan dihitung ulang sehingga sesuai

Page 10: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno m.e

10

dengan bentuk ragam atau mode shape yang sesuai dengan perkembangan sendi plastis. Analisis dilakukan dengan menggunakan kontrol simpangan yang sangat cocok untuk analisis beban dorong statik nonlinear. Analisis dapat mendeteksi secara otomatis adanya kegagalan geser yang terjadi sebagai indikasi adanya kegagalan getas.

Hasil dari analisis beban dorong statik nonlinear ini selanjutnya digunakan untuk memperkirakan tingkat kinerja atau kerentanan suatu bangunan dengan menggunakan grafik spektrum kapasitas atau capacity spectrum dengan tolok ukur sebagai berikut.

Struktur mengalami kerusakan ringan jika dari pembacaan grafik spektrum kapasitas menunjukkan bahwa respon struktur masih elastis yang merupakan syarat bangunan kelompok kegunaan III, dengan perbandingan simpangan dan tinggi antar tingkat atau storey drift tidak lebih dari 1% (FEMA 302, 1997).

Struktur mengalami kerusakan sedang jika dari pembacaan grafik spektrum kapasitas menunjukkan bahwa respon struktur mengalami perubahan bentuk plastis sedang yang merupakan syarat bangunan kelompok kegunaan II, dengan perbandingan simpangan dan tinggi antar tingkat atau storey drift tidak lebih dari 1,5 % (FEMA 302, 1997).

Struktur mengalami kerusakan berat tapi tidak runtuh jika dari pembacaan grafik spektrum kapasitas menunjukkan bahwa respon struktur mengalami simpangan plastis besar tetapi masih lebih kecil dari kapasitas simpangan plastisnya, dengan perbandingan simpangan dan tinggi antar tingkat atau storey drift tidak lebih dari 2 % (FEMA 302, 1997).

Struktur berada di ambang batas keruntuhan atau kemungkinan mengalami keruntuhan jika dari pembacaan grafik spektrum kapasitas menunjukkan bahwa kemampuan simpangan struktur baik secara elastis maupun secara plastis lebih kecil dari simpangan yang dibutuhkan.

Apabila dari hasil evaluasi kegempaan secara rinci diketahui bahwa suatu bangunan ternyata mempunyai kerentanan karena tidak dapat memenuhi kinerja yang disyaratkan sesuai dengan fungsi atau kelompok kegunaannya, maka perlu dilakukan suatu tindakan dalam rangka mitigasi. Ada beberapa macam pilihan tidakan yang dapat dilakukan pada bangunan yang rentan karena tidak bisa memenuhi

Page 11: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno m.e

11

kinerja yang diharapkan apabila dilanda gempa. Tindakan yang pertama adalah melakukan perbaikan atau retrofitting, yang kedua merubah fungsi bangunan dari kelompok kegunaan III menjadi II atau menjadi I. Jika kinerja bangunan tidak memenuhi bahkan untuk kelompok kegunaan I dan tidak dilakukan perbaikan karena dirasa tidak ekonomis maka gedung tersebut sebaiknya diruntuhkan atau demolished untuk diganti dengan yang baru. Dengan demikian seharusnya tidak ada bangunan yang rentan atau tidak jelas satus kerentanannya terutama untuk bangunan-bangunan penting yang termasuk dalam kelompok kegunaan III dan terletak pada daerah dengan tingkat acaman gempa yang tinggi.

Untuk tindakan perbaikan, secara umum ada tiga macam cara yang dapat dilakukan terhadap bangunan yang rentan, yaitu; mengurangi beban gempa yang akan terjadi, memperkuat struktur, memperbaiki bagian mekanikal, elektrikal dan arsitektural yang tidak memenuhi syarat kinerja terutama untuk bangunan yang termasuk dalam kelompok kegunaan III.

Perbaikan bangunan dengan cara mengurangi beban gempa dapat dilakukan dengan cara sederhana yaitu dengan mengurangi berat sendiri bangunan seperti mengubah fungsi bangunan, menggunakan bahan bangunan yang ringan, mengurangi jumlah lantai maupun dengan cara yang lebih rumit seperti pemberian isolasi dasar atau base isolation. Pengurangan gaya gempa dengan mengurangi berat sendiri dapat terjadi karena besarnya gaya gempa yang terjadi berbanding lurus dengan berat bangunan.

Salah satu bahan ringan yang dapat digunakan antara lain beton Styrofoam ringan atau lightweight Styrofoam concrete (Satyarno, 2006). Berat beton Styrofoam ringan per meter kubik yang dikembangkan di Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan universitas Gadjah Mada ini dapat dibuat sampai lebih kecil dari 1000 kg/m3 yang berarti dapat mengapung dalam air. Jika dibuat untuk pasangan dinding, disamping beratnya yang ringan beton Styrofoam ini juga mempunyai sifat yang lebih daktail dari pasangan bata pada umumnya sehingga sangat cocok untuk dinding bangunan pada daerah gempa (Satyarno, 2006). Disamping untuk bahan dinding, penggunaan beton Styrofoam ringan ini juga dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penyelesaian bangunan yang berada pada lokasi dengan

Page 12: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno m.e

12

potensi likuifaksi atau liquefaction (Satyarno, 2009). Pemberian isolasi dasar merupakan alternatif lain yang dapat

dilakukan untuk mengurangi gaya gempa karena waktu getar bangunan menjadi lebih panjang. Namun sayang sementara di luar negeri penggunaan isolasi dasar dalam rangka perbaikan bangunan yang rentan sudah banyak dilakukan (Kelly, 2001), di Indonesia nampaknya masih sangat minim. Penggunaan isolasi dasar ini selain mengurangi kerusakan struktur, pada umumnya digunakan juga untuk mengurangi kerusakan mekanikal, elektrikal, dan arsitektural yang disebabkan karena mengecilnya percepatan lantai serta mengecilnya perbandingan simpangan dan tinggi antar lantai atau storey drift (Satyarno, 2003). Dengan demikian penggunaan isolasi dasar ini bisa digunakan sebagai salah satu alternatif perbaikan untuk memenuhi syarat kinerja bangunan pasca gempa yang termasuk dalam kelompok kegunaan III seperti untuk rumah sakit.

Selain mengurangi gaya gempa sebagaimana dijelaskan di atas, kerentanan bangunan dapat juga dikurangi dengan melakukan perkuatan struktur dengan berbagai macam cara. Untuk bangunan rumah sederhana atau bangunan nonengineered berupa dinding pasangan bata, perkuatan dapat dilakukan dengan menggunakan kawat kasa atau wiremesh (Satyarno dan Kardiyono, 2008) maupun dengan menggunakan pita polipropilena atau polypropylene band (Satyarno dan Kardiyono, 2009) dan diplester dengan mortar. Metode ini cocok digunakan untuk rumah-rumah sederhana yang tidak memenuhi syarat-syarat tahan gempa. Disamping pelaksanaanya di lapangan yang mudah, perkuatan dengan cara ini hanya memerlukan biaya yang bisa dikatakan relatif murah.

Untuk bangunan-bangunan yang tidak sederhana atau bangunan-bangunan engineered, berbagai macam cara perkuatan juga telah banyak diperkenalkan. Secara umum perkuatan dilakukan dengan cara melakukan kombinasi dari perlakukan yaitu; menambah dimensi, menambah bahan baru, atau menambah struktur baru. Namun perlu dicatat bahwa pelaksanaan perkuatan suatu bangunan harus dilakukan dengan hati-hati karena selain dapat merubah kekuatan, perkuatan yang dilakukan juga dapat merubah, kekakuan, redaman, dan daktilitas dari struktur. Tentu saja untuk meyakinkan bahwa perkuatan yang diberikan sudah sesuai maka perlu dilakukan kembali analisis

Page 13: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno m.e

13

struktur secara keseluruhan, terutama jika perkuatan dilakukan pada struktur beton bertulang.

Secara umum, bahan yang digunakan untuk memperkuat struktur suatu bangunan harus mempunyai modulus elatisitas dan kekuatan yang lebih tinggi dari bahan struktur yang diperkuat. Salah satu contoh bahan yang dapat digunakan untuk perkuatan struktur beton bertulang adalah penggunaan baja mutu sangat tinggi dengan kuat leleh lebih dari 1000 MPa baik untuk tulangan sengkang maupun untuk tulangan longitudinal (Satyarno, 1993). Saat ini di Jurusan Teknik Sipil dan Lingkunagn Universitas Gadjah Mada sedang dilakukan juga penelitian perkuatan struktur beton bertulang dengan menggunakan mortar cair dengan penambahan tulangan biasa maunpun tulangan yang berbentuk rantai (Primitasari et.al., 2009). Penggunaan mortar cair dan tulangan yang berbentuk rantai akan mempermudah pelaksanaan di lapangan. Mobilisasi tulangan bentuk rantai lebih mudah dilakukan dari pada tulangan biasa untuk pelaksanaan di dalam ruangan yang sudah bersekat-sekat, sedangkan mortar cair sangat cocok digunakan untuk pertambahan tebal beton yang tipis.

Uraian tentang evaluasi kerentanan bangunan dan cara perbaikannya sebagaimana dijelaskan di atas baru ditinjau dari sisi struktural. Evaluasi dan perbaikan kerentanan lebih lanjut untuk bagian-bagian mekanikal, elektrikal dan arsitektural harus dilakukan tersendiri terutama untuk bangunan dengan kategori kegunaan III. Demikian juga dengan evaluasi dalam rangka pengurangan kerentanan akibat lain dari gempa seperti tumbukan antar bangunan, likuifaksi, tanah longsor dan tsunami juga harus dilakukan.

Mudah-mudah dengan pemahaman yang lebih baik tentang kerentanan bangunan terhadap bahaya gempa dapat memberikan tekad yang lebih besar untuk menguranginya. Kita tidak ingin kerugian harta benda dan kehilangan sanak saudara terulang walaupun gempa akan datang kembali seperti terbitnya mata hari esok hari atau datangnya hujan diakhir tahun.

Page 14: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno m.e

14

DAFTAR PUSTAKA FEMA 172, 1992, NEHRP Handbook of Techniques for the Seismic

Rehabilitation of Existing building, Building Seismic Safety Council, Washington, D.C.

FEMA 302, 1997, NEHRP Recommended Provisions for Seismic Regulations for Buildings and Other Structures, Building Seismic Safety Council, Washington, DC.

FEMA 310, 1998, Handbook for the Seismic Evaluation of Buildings, Federal Emergency Management Agency, USA.

FEMA 154, 2002, Rapid Visual Screening of Building for Potential Seismic Hazards: A Handbook, Second Edition, Applied Technology Council, 555 Twin Dolpin Drive, Suite 550 Redwood City, California 94065.

Kelly, T., E., 2001, Base Isolation of Structures, Design Guidelines Holmes Consulting Group, Ltd.

Lawson, R.S., Vance, V., and Krawinkler, H., 1994, Nonlinear Statik Push-Over Analysis-Why, When, and How?, Proc. Of the Fifth U.S. National Conference on Earthquake Engineering, July 10-14, 1994, Chicago, Illinois, Volume I.

Primitasari, M., Satyarno, I., Triwiyono, A., 2009, Perkuatan Lentur Balok Tampang Persegi dengan Penambahan Tulangan Tarik Bentuk Rantai dan Komposit Mortar, Naskah Publikasi, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Program Pasca Sarjana Fakultas Teknik UGM.

Satyarno, I., 1993, Concrete Columns Incorporating Mixed Ultra High and Normal Strength Longitudinal Reinforcement, M.E. thesis, Department of Civil Engineering University of Canterbury New Zealand.

Satyarno, I., 2000, Adaptive Pushover Analysis for the Seismic Assessment of Older Reinforced Concrete Buildings, Ph.D. thesis, Department of Civil Engineering University of Canterbury New Zealand.

Satyarno, I., 2003, Effects Of Base Isolation Inelastic Behaviour On Multi-Storey Building Dynamic Response Due To Earthquake, Media Teknik No. 1 Th. XXV Edisi Februari 2003, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.

Page 15: Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Ir. Iman Satyarno m.e

15

Satyarno, I., 2006, Lightweight Styrofoam Concrete for Lighter and More Ductile Wall, Recent Development of Concrete Technology and Structures, 2nd ACF International Conference, Bali.

Satyarno, I., 2007, Some Practical Aspects in the Post Yogyakarta Earthquake Reconstruction of Brick Masonry Houses, The Yogyakarta Earthquake of May 27, 2006, Star Publisher, USA.

Satyarno, I., 2009, Lightweight Styrofoam Concrete as Potential Material to Solve Construction Problems on Soft Soil or Soil with Potential Liquefaction, Proceedings of JS-Fukuoka 2009 International Joint Symposium on Geodisaster Prevention and Geoenvironmental in Asia, 24-25 November 2009, Fukuoka, Japan.

Satyarno, I., dan Kardiyono, 2008, Kuat Lentur Tembok Pasangan Bata Pada Arah Tegak Lurus Bidang Untuk Berbagai Variasi Tebal Plester Dengan Dan Tanpa Kawat Kasa, Laporan Penelitian, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.

Satyarno, I., dan Kardiyono, 2009, Perkuatan Lentur Tembok Pasangan Bata Pada Arah Tegak Lurus Bidang Dengan Menggunakan Pita Polipropilena, Laporan Penelitian, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.