perubahan sifat fisik talas (colocoasia esculenta l. schoot) … · 2017. 3. 5. · perubahan sifat...
TRANSCRIPT
Perubahan Sifat Fisik Talas (Colocoasia esculenta L. Schoot) Selama Pengeringan Lapis Tipis
OLEH :
AMIRUDDIN
G 621 07 040
PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
i
Perubahan Sifat Fisik Talas (Colocoasia esculenta L. Schoot) Selama Pengeringan Lapis Tipis
OLEH :
AMIRUDDIN G 621 07 040
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
pada Jurusan Teknologi Pertanian
PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Perubahan Sifat Fisik Talas (Colocoasia esculenta L. Schoot) Selama Pengeringan Lapis Tipis
Nama : Amiruddin Stambuk : G621 07 040
Program Studi : Keteknikan Pertanian
Jurusan : Teknologi Pertanian
Disetujui Oleh Dosen Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Junaedi Muhidong, M.Sc NIP. 1960010 198503 1 014
Prof. Dr. Ir. Mursalim NIP. 19610510 198702 1 001
Mengetahui
Ketua Jurusan Teknologi Pertanian
Ketua Panitia Ujian Sarjana
Prof. Dr. Ir. Mulyati M. Tahir, MS NIP. 19570923 198312 2 001
Dr. Iqbal, STP, M.Si NIP. 197812252002121001
Tanggal Pengesahan : Januari 2013
iii
Amiruddin (G62107040) Perubahan Sifat Fisik Talas (Colocoasia esculenta L. Schoot) Selama Pengeringan Lapis Di Bawah Bimbingan: Junaedi Muhidong dan Mursalim
ABSTRAK
Pengeringan Lapis Tipis merupakan salah satu metode yang dilakukan untuk menurunkan kadar air yang terdapat dalam bahan pangan. Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mendapatkan model Pengeringan lapisan tipis yang sesuai dengan karakteristik talas (Colocoasia esculenta L. Schoot) varietas Safira. Penelitian ini menggunakan alat pengering EH-TD-300 Eunha Fluid Science tray dryer . Talas diiris dengan ketebalan 0,5 cm dan 1 cm kemudian dikeringkan pada suhu 50 °C dengan kecepatan udara 0,5 m/s, 1,0 m/s, dan 1,5 m/s. Tiga model Pengeringan lapisan tipis yang diuji, yaitu Newton, Henderson & Pabis, dan Page, untuk melihat kesesuainnya dengan perilaku kadar air, direpresentasikan dengan Moisture Ratio. Model Page secara konsisten memberikan nilai R2 yang lebih tinggi dari kedua model lainnya, yaitu pada ketebalan 0,5 cm R2 yang di dapatkan yaitu 0,99972 , dan pada ketebalan 1 cm nilai R2 yang di dapatkan yaitu 0,99872. Tingkat kekerasan Talas meningkat secara linear sejalan dengan semakin lamanya proses Pengeringan, namun kenaikan tingkat kekerasan mengikuti pola exponensial pada saat kadar air Talas semakin menurun selama proses pegeringan lapisan tipis.
Kata kunci : Talas, Kadar air, Model Pengeringan, Tingkat Kekerasan
iv
RIWAYAT HIDUP
Amiruddin, Lahir pada tanggal 19 Mei 1989, di kota Bima,
Nusa Tenggara Barat. Anak pertama dari 4 bersaudara, dari
pasangan Ismail dan Suharti. Amiruddin menghabiskan masa
kecilnya di Kota Palopo .
Jenjang pendidikan formal yang pernah dilalui adalah :
1. Pada tahun 1993 sampai pada tahun 1995, terdaftar sebagai murid di TK
Masita Palopo TK Masita Palopo
2. Pada tahun 1995 sampai pada tahun 2001, terdaftar sebagai siswa di SD
Negeri 274 Mattirowalie Palopo
3. Pada tahun 2001 sampai pada tahun 2004, terdaftar sebagai siswa di SMP
Negeri 1 Malili
4. Pada tahun 2004 sampai pada tahun 2007, terdaftar sebagai siswa di SMU
Negeri 1 Malili
5. Pada tahun 2007 sampai pada tahun 2013, diterima pada Universitas
Hasanuddin, Fakultas Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Program Studi
Keteknikan Pertanian,
Selama menjadi mahasiswa Teknologi Pertanian Universitas Hasanuddin,
penulis aktif di mata kuliah dan menjadi asisten pengantar komputer serta penulis
juga aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian (Himatepa
UH).
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini sebagaimana mestinya.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi
Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar.
Penyusunan dan penulisan skripsi tidak lepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak. Olehnya itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Ir. Junaedi Muhidong, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Mursalim sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan curahan ilmu, petunjuk, pengarahan, bimbingan, saran, kritikan dan motivasi sejak pelaksanaan penelitian sampai selesainya penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Ir. H. Mahmud Achmad, MP sebagai penasehat akademik yang telah mengarahkan selama proses perkuliahan.
3. Kedua orang tua, saudara dan keluarga yang telah banyak memberikan pengorbanan baik materil maupun moril sehingga penulis sampai pada tahap sekarang ini.
4. Rekan – rekan Mahasiswa Teknologi Pertanian khususnya Program Studi Keteknikan Pertanian dan semua pihak yang telah membantu selama penulis menuntut ilmu hingga selesai.
Semoga segala bantuan, petunjuk, dorongan dan bimbingan yang telah diberikan
mendapatkan imbalan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat buat almamater khususnya Jurusan Teknologi Pertanian Universitas
Hasanuddin dan para pembaca.
Penulis menyadari bahwa, skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini
selanjutnya. Amin
Makassar, Januari 2013
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................... ii
RINGKASAN ............................................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................................. v
DAFTAR ISI................................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ x
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Tujuan dan Kegunaan .................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 . Talas ............................................................................................................. 4
2.2 Jenis – Jenis Talas ......................................................................................... 6
2.3 Penanganan Pasca Panen Talas .................................................................... 9
2.4 Prinsip Dasar Pengeringan ............................................................................ 10
2.5 Model Pengeringan Lapisan Tipis ................................................................ 15
2.6 Kadar Air ...................................................................................................... 16
2.7 Model Matematika ....................................................................................... 18
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................................ 21
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................................. 21
3.3 Prosedur Penelitian ....................................................................................... 21
3.4 Parameter Pengamatan .................................................................................. 23
3.5 Prosedur Pengujuan Model ........................................................................... 24
3.6 Diagram Alir Penelitian ................................................................................ 25
vii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pola Penurunan Kadar Air ............................................................................ 26
4.2 Pola Penurunan Moisture Ratio .................................................................... 27
4.3 Model Pengeringan ....................................................................................... 29
4.4 Pola Perubahan Tingkat Kekerasan .............................................................. 31
4.5 Pola Perubahan Energi Terhadap Kadar Air ................................................. 32
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan ................................................................................................... 34
5.2. Saran ............................................................................................................. 34
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 35
LAMPIRAN ................................................................................................................. 37
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1. Kandungan Gizi Talas per 100 Gram Talas ................................................. 6
2. Kinerja Model Pengeringan Lapisan Tipis Newton,
Henderson & Pabis,dan Page . ........................................................................ 30
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1. Tanaman Talas (Calocasia esculenta L. Schott) ............................... 2
2. Diagram Alir Penelitian .................................................................... 25
3. Pola Penurunan ka-bk Selama Proses Pengeringan Dengan
Ketebalan Sampel 0,5 cm ................................................................ 26
4. Pola Penurunan ka-bk Selama Proses Pengeringan Dengan
Ketebalan Sampel 1 cm ................................................................... 27
5. Pola MR Selama Proses Pengeringan Untuk Ketebalan
Sampel 0,5 cm ................................................................................... 28
6. Pola MR Selama Proses Pengeringan Untuk Ketebalan
Sampel 1 cm ....................................................................................... 28
7. Rata - Rata Pola MR Selama Proses Pengeringan Untuk
Ketebalan Sampel 0,5 cm dan Ketebalan Sampel 1 cm. ................... 29
8. Hubungan Tingkat Kekerasan (Energi, E) dan waktu
Pengeringan Dengan Kecepatan 0,5 m/s ........................................... 31
9. Hubungan Tingkat Kekerasan (Energi, E) dan Waktu
Pengeringan Dengan Kecepatan 1 m/s 7. .......................................... 31
10. Hubungan Tingkat Kekerasan (Energi, E) dan Waktu
Pengeringan Dengan Kecepatan 1,5 m/s ........................................... 32
11. Hubungan Tingkat Kekerasan (Energi, E) dan Kadar Air Basis Kering
Dengan Kecepatan 0,5 m/s ................................................................ 32
12. Hubungan Tingkat Kekerasan (Energi, E) dan kadar Air Basis Kering
Dengan Kecepatan 1 m/s ................................................................... 33
13. Hubungan Tingkat Kekerasan (Energi, E) dan Kadar Air Basis Kering
Dengan Kecepatan 1.5 m/s ................................................................ 33
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Teks Halaman
1. Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Talas Ketebalan
Sampel 0,5 cm Dengan Kecepatan Udara 0,5 m/s ............................ 37
2. Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Talas Ketebalan
Sampel 1 cm Dengan Kecepatan Udara 0,5 m/s ............................... 38
3. Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Talas Ketebalan
Sampel 0,5 cm Dengan Kecepatan Udara 1 m/s ............................... 39
4. Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Talas Ketebalan
Sampel 1 cm Dengan Kecepatan Udara 1 m/s .................................. 40
5. Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Talas Ketebalan
Sampel 0,5 cm Dengan Kecepatan Udara 1,5 m/s ............................ 41
6. Hasil Pengamatan Selama Proses Pengeringan Talas Ketebalan
Sampel 1 cm Dengan Kecepatan Udara 1,5 m/s ............................... 42
7. Kadar Air dan Moisture Ratio Talas Selama Proses
Pengeringan pada Suhu 50 ⁰C dan Ketebalan Sampel 0,5 cm
Dengan Kecepatan Udara 0,5 m/s .................................................... 43
8. Kadar Air dan Moisture Ratio Talas Selama Proses
Pengeringan pada Suhu 50 ⁰C dan Ketebalan Sampel 1 cm
Dengan Kecepatan Udara 0,5 m/s .................................................... 44
9. Kadar Air dan Moisture Ratio Talas Selama Proses
Pengeringan pada Suhu 50 ⁰C dan Ketebalan Sampel 0,5 cm
Dengan Kecepatan Udara 1 m/s ....................................................... 45
10. Kadar Air dan Moisture Ratio Talas Selama Proses
Pengeringan pada Suhu 50 ⁰C dan Ketebalan Sampel 1 cm
Dengan Kecepatan Udara 1 m/s ....................................................... 46
11. Kadar Air dan Moisture Ratio Talas Selama Proses
Pengeringan pada Suhu 50 ⁰C dan Ketebalan Sampel 0,5 cm
Dengan Kecepatan Udara 1,5 m/s .................................................... 47
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Teks Halaman
12. Kadar Air dan Moisture Ratio Talas Selama Proses
Pengeringan pada Suhu 50 ⁰C dan Ketebalan Sampel 1 cm
Dengan Kecepatan Udara 1,5 m/s .................................................... 48
13. Rata – rata Moisture Ratio Talas Selama Proses Pengeringan
pada Suhu 50 ⁰C dan Ketebalan Sampel 0,5 cm dan 1 cm .............. 49
14. Model Newton pada Pengeringan lapis Talas Selama Proses
Pengeringan pada Suhu 50 ⁰C dan Ketebalan Sampel 0,5 cm ......... 50
15. Model Newton pada Pengeringan lapis Talas Selama Proses
Pengeringan pada Suhu 50 ⁰C dan Ketebalan Sampel 1 cm ............ 51
16. Model Henderson-Pabis pada Pengeringan lapis Talas Selama
Proses Pengeringan pada Suhu 50 ⁰C dan
Ketebalan Sampel 0,5 cm ................................................................ 52
17. Model Henderson-Pabis pada Pengeringan lapis Talas Selama
Proses Pengeringan pada Suhu 50 ⁰C dan
Ketebalan Sampel 1 cm ................................................................... 53
18. Model Page pada Pengeringan lapis Talas Selama Proses
Pengeringan pada Suhu 50 ⁰C dan Ketebalan Sampel 0,5 cm ......... 54
19. Model Page pada Pengeringan lapis Talas Selama Proses
Pengeringan pada Suhu 50 ⁰C dan Ketebalan Sampel 1 cm ............ 55
20. Grafik Kinerja Model Newton, Hederdon – Pabis dan Page
pada Pengeringan lapis Talas Selama Proses Pengeringan
pada Suhu 50 ⁰C dan Ketebalan Sampel 0,5 cm .............................. 56
21. Grafik Kinerja Model Newton, Hederdon – Pabis dan Page
pada Pengeringan lapis Talas Selama Proses Pengeringan
pada Suhu 50 ⁰C dan Ketebalan Sampel 1 cm ................................. 57
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Teks Halaman
22. Hasil uji tekstur Talas Selama Pengeringan lapis tipis
Dengan perlakuan Ketebalan Sampel 1 cm dan
menggunakan Kecepatan Udara 0,5 m/s ......................................... 58
23. Hasil uji tekstur Talas Selama Pengeringan lapis tipis
Dengan perlakuan Ketebalan Sampel 1 cm dan
menggunakan Kecepatan Udara 1 m/s ............................................ 59
24. Hasil uji tekstur Talas Selama Pengeringan lapis tipis
Dengan perlakuan Ketebalan Sampel 1 cm dan
menggunakan Kecepatan Udara 1,5 m/s ......................................... 60
25. Gambar Kegiatan Selama Pengeringan Talas .................................. 61
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Talas (Calocasia esculenta L. Schott), merupakan tanaman umbi-
umbian sumber karbohidrat yang banyak digemari masyarakat. Selain sebagai
sumber karbohidrat non beras yang terkandung dalam umbi, daun talas juga
mengandung protein. Kandungan protein daun talas lebih tinggi dari umbinya.
Talas bogor, talas semir dan bentul kandungan protein kasar berat kering daun
adalah 4,24-6,99% sedangkan umbinya sekitar 0,54-3,55% (Anonima, 2012).
Talas merupakan tanaman pangan berupa herba tahunan. Talas
termasuk dalam suku talas-talasan (Araceae), berperawakan tegak, tingginya 1
m atau lebih dan merupakan tanaman semusim atau sepanjang tahun. Di
beberapa negara dikenal dengan nama lain, seperti: Abalong (Philipina),
Taioba (Brazil), Arvi (India), Keladi (Malaya), Satoimo (Japan), Tayoba
(Spanyol) dan Yu-tao (China) (Anonimc, 2012).
Asal mula tanaman ini berasal dari daerah Asia Tenggara, menyebar ke
China dalam abad pertama, ke Jepang, ke daerah Asia Tenggara lainnya dan ke
beberapa pulau di Samudra Pasifik, terbawa oleh migrasi penduduk. Di
Indonesia talas bisa di jumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari
tepi pantai sampai pegunungan di atas 1000 m dpl, baik liar maupun di tanam
(Anonima, 2012).
Karakteristik morfologi umbi talas, seperti bentuk, ukuran, warna umbi
dan kenampakan terkait langsung terhadap rancangan suatu alat khusus atau
2
analisis perilaku produk. Ukuran dan bentuk komoditas sangat berpengaruh
terhadap perhitungan energi dalam proses pendinginan dan pengeringan.
Prinsip pengeringan talas adalah menguapkan air karena ada perbedaan
kandungan uap air di antara udara dan bahan yang dikeringkan. Udara panas
mempunyai kandungan uap air yang lebih kecil dari pada bahan sehingga dapat
mengurangi uap air dari bahan yang dikeringkan. Salah satu faktor yang dapat
mempercepat proses pengeringan adalah udara yang mengalir. Dengan adanya
aliran udara maka udara yang sudah jenuh dapat diganti oleh udara kering
sehingga proses pengeringan dapat berjalan secara terus menerus (Anonima,
2012).
Proses pengeringan mekanis dengan menggunakan alat pengering
mekanis yang tidak sesuai dengan karakteristik dari talas yang dikeringkan
mengakibatkan terjadinya kerusakan talas, sehingga dapat mengurangi mutu
dari talas yang dihasilkan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah model
pengeringan sebagai dasar dalam perancangan sebuah alat pengering.
Berdasarkan penjelasan di atas maka perlu diadakan penelitian untuk
mendapatkan sebuah model pengeringan yang mampu mempresentase perilaku
talas selama pengeringan. Disamping itu perubahan sifat fisik Talas juga akan
sangat penting diamati selama proses pengeringan berlangsung.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
3
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendapatkan model pengeringan
lapisan tipis yang sesuai dengan karakteristik talas varietas Safira dan
perubahan sifat fisik yang terjadi selama proses pengeringan berlangsung.
Kegunaan dari penelitian ini adalah menjadi dasar permodelan
pengeringan talas varietas Safira serta memperkaya informasi tentang
perubahan sifat fisik talas selama proses pengeringan.
.
II. TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1 Talas
Talas (Colocasia esculenta) termasuk tumbuhan tegak yang memiliki
perakaran liar, berserabut dan dangkal. Batang yang tersimpan dalam tanah
pejal, bentuknya menyilinder (membulat), umumnya berwarna cokelat
tua, ,dilengkapi dengan kuncup ketiak yang terdapat diatas lampang daun
tempat munculnya umbi baru, tunas (stolon). Daun memerisai dengan tangkai
panjang dan besar. (Anonima, 2012).
Gambar 1. Tanaman Talas (Calocasia esculenta L. Schott) Menurut Dalimarta (1999), klasifikasi tanaman talas sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Bangsa : Arales
Suku : Araceae
Marga : Colocasia
Jenis : Colocasia esculenta L Schott
Talas merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat sebagian
besar di dunia ini. Di dalam family Araceae, talas sesungguhnya di kenal
5
dengan nama Colocasia esculenta. Habitat tanaman ini diperkirakan berasal
dari daerah tropis antara India dan Indonesia. Talas merupakan bahan makanan
pokok bagi masyarakat daerah pasifik, seperti New Zealand dan Australia
(Matthews,2004).
Tanaman keladi jenis (Colocoasia esculenta) termasuk tumbuhan tegak
yang memiliki perakaran liar, berserabut dan dangkal. Tanaman monokotil
setinggi 90-180 cm. batang yang tersimpan dalam tanah pejal, bentuk silinder
(bulat), umumnya berwarna cokelat tua, dilengkapi dengan kuncup ketiak yang
terdapat di atas, lampang daun tempat munculnya umbi baru, tunas (stolon).
Daun talas berbentuk perisai besar dengan tangkai panjang dan besar, lembaran
daunnya 20-50 cm, dengan tangkai mencapai 1 meter panjangnya dan warna
pelepahnya bermacam-macam. Permukaan daunnya ditumbuhi rambut-rambut
halus yang menjadikannya kedap air (Anonimb, 2012).
Umbi talas segar sebagaian besar terdiri dari air dan karbohidrat.
Kandungan gizi yang terdapat pada 100 gram umbi talas terdapat dalam tabel
berikut:
Tabel 1. Kandungan gizi talas per 100 gram talas
6
Kandungan Gizi Satuan Talas
Mentah Talas Rebus
Energi kal 120 108 Protein g 1,5 1,4 Lemak g 0,3 0,4 Hidrat Arang total g 28,2 25 Serat g 0,7 0,9 Abu g 0,8 0,8 Kalsium mg 31 47 Fosfor mg 67 67 Besi mg 0,7 0,7 Vitamin B1 mg 0,05 0,06 Vitamin C mg 2 4 Air g 69,2 72,4 Bagian yang dimakan % 85 100
Sumber : Slamet D.S dan lg. Tarkotjo (1990), majalah gizi jilid 4, hal 26. Pusat penelitian dan pengembangan kesehatan Depkes RI.
2.2 Jenis-Jenis Talas
Varietas talas yang telah dikenal di Indonesia sudah banyak, berikut
beberapa varietas talas beserta karakteristiknya (Anonimc,2012)
1. Talas Bogor
Salah satu jenis talas yang digemari orang ialah Colocasia esculenta
L. Schoott atau talas Bogor. Bedanya dengan Belitung, jenis ini mempunyai
daun yang berbentuk hati dengan ujung pelepah daunnya tertancap agak
ketengah helai daun sebelah bawah. Warna pelepah bermacam-macam.
Bunga terdiri atas tangkai seludang dan tongkol. Bunga betinanya terletak
di pangkal tongkol, bunga jantan di sebelah atasnya, sedang diantaranya
terdapat bagian yang menyempit. Pada ujung tongkolnya terletak bunga-
bunga yang mandul, umbinya berbentuk silinder sampai agak membulat.
Talas Bogor ini mengandung kristal yang menyebabkan rasa gatal. Terdapat
keanekaragaman pada bentuk daun, warna pelepah, bentuk dan rasa umbi
7
serta kandungan kristal. Untuk pertumbuhan talas yang baik diperlukan
tanah yang kaya akan humus dan berdrainase baik.
2. Talas Belitung
Talas belitung di sebut juga kimpul dengan nama ilmiah
Xanthosoma sagitifolium ini termasuk famili Areacea dan merupakan
tumbuhan tahunan yang mempunyai umbi batang maupun batang palsu
yang sebenarnya adalah tangkai daun. Umbinya digunakan sebagai bahan
makanan dengan cara direbus ataupun digoreng. Di Benua Afrika bagian
barat, di daerah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur,
Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat telah dibudidayakan secara teratur
oleh para petani. Penanaman talas belitung menggunakan jarak tanam 50 x
50 cm dan 100 x 100 cm. Sedangkan budidaya yang tidak teratur meliputi
daerah Aceh, Kalimantan Tengah, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Nusa
Tenggara Timur.
Pada umumnya tanaman ini diusahakan petani di pekarangan sekitar
rumah dan di kebun-kebun. Rata-rata hasil per rumpun berkisar antara 0,25
– 20 kg. Para petani telah melakukan penyiangan dan pembumbunan
tanaman, kecuali di daerah Bengkulu.
3. Talas Padang
Talas padang Colocasia gigantea Hook F., hampir sama dengan
jenis lainnya yang semarga, ialah colocasia esculenta. Perbedaannya ialah
pada ukuran pohonnya yang lebih besar, bisa mencapai tinggi 2 meter dan
tangkai daunnya yang ditutupi lapisan lilin putih, serta urat-urat daunnya
8
yang lebih kasar. Umbi induknya cukup besar, akan tetapi tidak enak
dimakan. Salah satunya yang telah dibudidayakan mempunyai ukuran
pohon yang lebih kecil untuk digunakan daunnya, kultivar ini dikenal
dengan nama talas Padang. Jenis ini berasal dari Malaysia. Tumbuh dari
dataran rendah sampai pegunungan (25 – 1,500 m dpl), pada hutan
campuran, hutan jati, di rawa-rawa dan pada padang alang-alang.
Menyenangi tempat yang agak terlindung dan lembab.
Di Jawa terdapat dari barat sampai ke timur. Colocasia gigantea
yang dibudidayakan, dimanfaatkan tangkai dan daunnya saja. Umbinya,
menurut analisa mengandung 0,8 % protein kasar. Talas Padang
diperbanyak dengan bijinya, anaknya atau bagian pangkal umbinya beserta
bagian pelepahnya. Karena yang dimanfaatkan hanya daunnya, maka anak-
anaknya dibiarkan tumbuh di sekeliling batangnya. Berbeda dengan talas
Bogor, talas ini mudah sekali berbunga dan dapat berbuah serta berbiji
banyak. Mengingat ukuran pohon dan umbinya yang besar dan
pembungaannya yang mudah, maka talas Padang mungkin dapat
disilangkan dengan talas Bogor yang dapat berbunga
2.3 Penanganan Pasca Panen Talas
Salah satu bagian dalam proses budi daya semua tanaman termasuk
tanaman talas adalah pemanenan. Setelah sekian lama dilakukan
penanaman serta perawatan tanaman talas diharapkan tanaman yang
tumbuh menghasilkan umbi talas yang banyak serta berkualitas baik.
9
Kualitas umbi selain ditentukan oleh kualitas bibit yang digunakan,
penanaman serta perawatan juga dipengaruhi ketepatan waktu pemanenan serta
penanganan pasca panennya (Anonimd, 2012).
Pemanenan dilakukan dengan cara menggali umbi talas, lalu pohon
talas dicabut dan pelepahnya di potong sepanjang 20-30 cm dari pangkal umbi
serta akarnya dibuang dan umbinya di bersihkan dari tanah yang melekat
(Anonimd, 2012).
Berdasarkan Anonimd (2012) selain waktu pemanenan yang tepat umur
kualitas umbi talas juga dipengaruhi oleh perlakuan pascapanennya. Adapun
proses pascapanen tanaman talas meliputi :
1. Proses Pengumpulan
Hasil panen dikumpulkan di lokasi yang cukup strategis, aman
dan mudah dijangkau oleh angkutan.
2. Proses Penyortiran dan Pengolahan
Pemilihan atau penyortiran umbi talas sebenarnya dapat
dilakukan pada saat pencabutan berlangsung. Akan tetapi penyortiran
umbi talas dapat dilakukan setelah semua pohon dicabut dan ditampung
dalam suatu tempat. Penyortiran dilakukan untuk memilih umbi yang
berwarna bersih terlihat dari kulit umbi yang segar serta yang cacat
terutama terlihat dari ukuran besarnya umbi serta bercak hitam/garis-
garis pada daging umbi.
3. Proses Pengemasan dan Pengangkutan
10
Pengemasan umbi talas bertujuan untuk melindungi umbi dari
kerusakan selama dalam pengangkutan. Untuk pasaran antar kota/dalam
negeri dikemas dan dimasukkan dalam karung-karung goni atau
keranjang terbuat dari bambu agar tetap segar.
2.4 Prinsip Dasar Pengeringan
Prinsip utama pengeringan adalah penurunan kadar air untuk mencegah
aktifitas mikroorganisme pada banyak produk seperti sayuran, terlebih dahulu
dilakukan proses pengecilan ukuran (misalnya diiris) sebelum dikeringkan.
Pengecilan ukuran akan meningkatkan luas permukaan bahan sehingga akan
mempercepat proses pengeluaran air (Istadi, 2002).
Pengeringan adalah proses pemindahan panas dan uap air secara
simultan, yang memerlukan energi panas untuk menguapkan kandungan air
yang dipindahkan dari permukaan bahan yang dikeringkan oleh media
pengeringan yang biasanya berupa panas ( Istadi, 2002).
Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering atau
dengan menggunakan sinar matahari (Suarnadwipa et al., 2008). Pengeringan
dengan menggunakan pengering buatan memiliki lebih banyak keuntungan
dibandingkan dengan menggunakan sinar matahari. Hal ini dikarenakan suhu
pengeringan dan aliran udaranya dapat diatur sehingga pengeringan lebih cepat
dan merata (Winarno, 1993). Selain itu, kebersihan dapat lebih terjaga. Salah
satu jenis alat pengering yang biasa digunakan adalah tray drier (pengering
rak). Alat ini bekerja dengan menggunakan bantuan panas dan mudah
dioperasikan (Brown,1950 di dalam Budiyati, et al., 2004).
11
Proses pengeringan masih banyak digunakan orang, salah satunya
dengan menggunakan sinar matahari. Pengeringan juga bertujuan untuk
meningkatkan mutu hasil pertanian. Salah satu penyebab terjadinya kerusakan
produk pertanian ialah adanya akumulasi air di dalam atau sekitar hasil
pertanian dan hal ini dapat dicegah dengan jalan mengalirkan udara pada
sekeliling hasil pertanian untuk menjaga suhu yang seragam (Santoso, 2012).
Supriyono, (2003) mengatakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh
dalam pengeringan yaitu:
1. Luas Permukaan
Air menguap melalui permukaan bahan, sedangkan air yang ada di
bagian tengah akan merembes ke bagian permukaan dan kemudian
menguap. Untuk mempercepat pengeringan umumnya bahan pangan yang
akan dikeringkan dipotong - potong atau diiris terlebih dahulu. Hal ini
terjadi karena pemotongan atau pengirisan tersebut akan memperluas
permukaan bahan dan permukaan yang luas dapat berhubungan dengan
medium pemanasan sehingga air mudah keluar. Potongan - potongan kecil
atau lapisan yang tipis mengurangi jarak dimana panas harus bergerak
sampai ke pusat bahan pangan.
2. Perbedaan suhu dan udara sekitarnya
Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan
bahan pangan makin cepat pemindahan panas ke dalam bahan dan makin
cepat pula penghilangan air dari bahan. Air yang keluar dari bahan yang
12
dikeringkan akan menjenuhkan udara sehingga kemampuannya untuk
menyingkirkan air berkurang. Sehingga semakin tinggi suhu pengeringan
maka proses pengeringan akan semakin cepat.
3. Kecepatan aliran udara
Udara yang bergerak dan mempunyai gerakan yang tinggi selain
dapat mengambil uap air juga akan menghilangkan uap air dari permukaan
bahan pangan sehingga akan mencegah terjadinya atmosfir jenuh yang akan
memperlambat penguapan air. Apabila aliran udara di sekitar tempat
pengeringan berjalan dengan baik proses pengeringan akan semakin cepat
dan uap air mudah terbawa dan teruapkan.
4. Tekanan udara
Semakin kecil tekanan udara akan semakin besar kemampuan udara
untuk mengangkut air selama pengeringan, karena dengan semakin kecilnya
tekanan berarti kerapatan udara makin berkurang sehingga uap air dapat
lebih banyak tertampung dan disingkirkan dari bahan pangan. Sebaliknya
jika tekanan udara semakin besar maka udara di sekitar pengeringan akan
lembab sehingga kemampuan menampung uap air terbatas dan menghambat
laju pengeringan.
Dasar dari proses pengeringan adalah terjadi penguapan air menuju
udara karena adanya perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan
yang dikeringkan. Tujuan pengeringan antara lain agar produk dapat disimpan
lebih lama, mempertahankan daya fisiologi bij-bijian/benih, mendapatkan
kualitas yang lebih baik (Taib, 1988).
13
Proses pengeringan terbagi dalam tiga kategori yaitu:
1. Pengeringan udara dan pengeringan yang berhubungan langsung di bawah
tekanan atmosfir. Dalam hal ini panas dipindahkan menembus bahan
pangan, baik dari udara maupun permukaan yang dipanaskan. Uap air
dipindahkan dengan udara.
2. Pengeringan hampa udara. Keuntungan pengeringan hampa udara
didasarkan pada kenyataan bahwa penguapan air terjadi lebih cepat pada
tekanan rendah daripada tekanan tinggi. Panas yang dipindahkan dalam
pengeringan hampa udara umumnya secara konduksi, kadang-kadang
secara pemancaran.
3. Pengeringan beku. Pengeringan beku, uap air disublimasikan keluar dari
bahan pangan beku. Struktur bahan pangan dipertahankan dengan baik pada
kondisi ini. Suhu dan tekanan yang sesuai harus dipersiapkan dalam alat
pengering untuk menjamin terjadinya proses sublimasi.
Menurut Istadi (2002) Metode Pengeringan ada beberapa antara lain:
1. Pengeringan alami
a. Sun Drying
14
Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari sebaiknya
dilakukan di tempat yang udaranya kering dan suhunya 1000F.
Pengeringan dengan metode ini memerlukan waktu 3-4 hari.
b. Air Drying
Pengeringan dengan udara berbeda dengan pengeringan dengan
menggunakan sinar matahari. Pengeringan ini dilakukan dengan cara
menggantungkan bahan di tempat udara kering berhembus.
2. Pengeringan Buatan
a. Menggunakan alat Dehidrator
Pengeringan makanan memerlukan waktu yang lama. Dengan
menggunakan alat dehydrator, makanan akan kering dalam jangka
waktu 6-10 jam. Waktu pengeringan tergantung dengan bahan yang kita
gunakan.
b. Menggunakan Oven
Dengan mengatur panas, kelembaban, dan kadar air, oven akan
dapat digunakan sebagai dehydrator. Waktu yang diperlukan adalah
sekitar 5-12 jam. Lebih lama dari dehydrator biasa. Agar bahan menjadi
kering, temperatur oven harus di atas 140 0F.
2.5 Model Pengeringan Lapisan Tipis
Menurut Hendarson and Perry (1976), pengeringan lapisan tipis adalah
pengeringan dimana seluruh bahan dalam lapisan tersebut dapat menerima
15
langsung aliran udara pengering yang melewatinya dengan kelembaban relatif
dan suhu konstan. Pada pengeringan lapisan tipis bidang pengeringan lebih
besar dan ketebalan bahan dikurangi sehingga pengeringan berlangsung
serentak dan merata ke seluruh bahan.
Pengeringan lapisan tipis dimasudkan untuk mengeringkan produk
sehingga pergerakan udara dapat melalui seluruh permukaan yang dikeringkan
sehingga terjadi penurunan kadar air dalam pross pengeringan. Pengeringan
lapisan tipis merupakan suatu pengeringan yang dilakukan dimana bahan
dihamparkan dengan ketebalan satu lipis (Sodha, et al., 1987).
Pemodelan proses pengeringan yang paling sederhana adalah model
kinetika pengeringan untuk sistem lapisan tipis atau lebih dikenal dengan thin
layer drying. Model pengeringan tipe ini dapat dikategorikan sebagai sistem
model parameter Lump dimana konsentrasi air dan temperatur setebal bahan
yang dikeringkan diasumsikan sama dengan mempunyai karateristik yang
sama pula (Istadi, 2002).
Pengeringan lapisan tipis mempunyai beberapa kelebihan yaitu
penanganan kadar air dapat dilakukan sampai minimum, biji dengan kadar air
maksimum dapat dipanen dan periode pengeringan dapat lebih pendek untuk
kadar air yang sama (Brooker, 1974).
2.6 Kadar Air
16
Salah satu faktor yang mempengaruhi proses pengeringan adalah kadar
air, pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan untuk
menghambat perkembangan organisme pembusuk. Kadar air suatu bahan
berpengaruh terhadap banyaknya air yang diuapkan dan lamanya proses
pengeringan (Taib, et al., 1988).
Kadar air suatu bahan menunjukkan banyaknya kandungan air
persatuan bobot bahan yang dapat dinyatakan dalam persen berat basah (wet
basis) atau dalam persen berat kering (dry basis). Kadar air basis basah
mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100%, sedangkan kadar air basis
kering dapat lebih dari 100%. Kadar air berat basah (b.b) adalah perbandingan
antara berat air yang ada dalam bahan dengan berat total bahan (Rahmawan,
2001).
Kadar air basis basah dapat ditentukan dengan persamaan berikut:
KA bb 100% 100% ......................... (1)
Keterangan :
KA-(bb) = Kadar air basis basah (%bb)
Wt = Berat air dalam bahan (g)
Wd = Berat bahan kering(g)
Wm = Berat total(g)
Kadar air basis kering (b.k) adalah perbandingan antara berat air yang
ada dalam bahan dengan berat padatan yang ada dalam bahan.
17
Kadar air berat kering dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
KA bk 100% 100% ..................... (2)
Keterangan:
KA-(bk) = Kadar air basis kering (%bk)
Wt = Berat air dalam bahan (g)
Wd = Berat bahan kering(g)
Wm = Berat total(g)
Kadar air basis kering adalah berat bahan setelah mengalami
pengeringan dalam waktu tertentu sehingga beratnya konstan. Pada proses
pengeringan, air yang terkandung dalam bahan tidak dapat seluruhnya
diuapkan meskipun demikian hasil yang diperoleh disebut juga sebagai berat
bahan kering
Di dalam analisis bahan pangan, biasanya kadar air bahan dinyatakan
dalam persen berat kering. Hal ini disebabkan perhitungan berdasarkan berat
basah mempunyai kelemahan yaitu berat basah bahan selalu berubah-ubah
setiap saat, sedangkan berat bahan kering selalu tetap. Metode pengukuran
kadar air yang umum dilakukan di Laboratorium adalah metode oven atau
dengan cara destilasi. Pengukuran kadar air secara praktis di lapangan dapat
dilakukan dengan menggunakan moisture meter yaitu alat pengukur kadar air
secara elektronik (Rachmawan, 2001).
2.7 Model Matematika
18
Model matematika yang valid dapat memudahkan perancangan mesin
alat pengering biji - bijian. Reaksi bahan selama pengeringan bergantung pada
panas dan karakteristik pemindahan massa dari produk yang dikeringkan.
Pengetahuan tentang temperatur dan sifat penyebaran panas dalam produk
sangat penting untuk mendisain sebuah alat pengering, kualitas control,
pemilihan tempat penyimpanan yang tepat, dan praktek pemeliharaan dan
penanganan. Model matematika dapat menjelaskan tentang mekanisme
pengeringan yang menyediakan informasi tentang temperatur yang dibutuhkan
dan informasi kelembaban (Murat, 2009).
Persamaan pengeringan lapisan tipis, dibagi atas 3 kategori, yaitu
teroritis, semi teroritis, dan empiris. Model semi teoritis secara umum berasal
dari penyederhanaan penyelesaian deret hukum Fick’s II atau memodifikasi
model yang sederhana. Pengeringan produk seperti beras dan buah kemiri,
kacang kedelai, buah kenari hijau dapat diprediksi dengan menggunakan
hukum Fick’s II, tetapi hanya akurat di dalam suhu, kelembaban relative,
kecepatan udara, dan kadar air di mana itu diterapkan. Beberapa model semi
teoritis antara lain model Handerson and Pabis model, two term model, page
model (Murat, 2009).
19
Beberapa model-model teoritis yang sering digunakan dalam
pengeringan lapisan tipis hasil-hasil pertanian antara lain:
1. Newton
MR = exp (-kt) ................................................................. (3)
Keterangan :
MR = Moisture Ratio
k = Konstan
Model Newton sering digunakan oleh para peneliti dalam
pengeringan dan menghitung tingkat kehilangan air pada suatu bahan
dengan medium yang mempunyai suhu yang konstan. Model Newton
digunakan untuk pengeringan pada gandum, kulit jagung, kacang mente dan
biji-bijian semacam kenari dan kakao. Pada kurva pengeringan, sebuah
model akan memberikan gambaran yang jelas pada tahap awal pengeringan
namun mengabaikan tahap selanjutnya (Brooker, 1974).
2. Henderson and Pabis
MR = α exp (-kt) ................................................................. (4)
Keterangan :
MR = Moisture Ratio
a dan k = Konstant pada model
Model Henderson and Pabis adalah sebuah bentuk penyelesaian
pada hukum Fick’s II. Model Henderson and Pabis dahulu digunakan untuk
model pengeringan pada jagung, gandum, beras kasar, kacang tanah, dan
jamur (Murat, 2009).
20
3. Page Model
MR = exp (-ktn) ................................................................. (5)
Keterangan :
MR = Moisture Ratio
n dan k = Konstant pada model
Page model merupakan modifikasi dari model Newton. Model ini
bertujuan untuk menutupi kekurangan-kekurangan pada model newton.
Page model telah menghasilkan prediksi yang baik pada pengeringan biji
beras dan padi kasar, kacang kedelai, buncis putih, kulit, jagung, dan biji
bunga matahari (Murat, 2009).
21
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini di laksanakan pada bulan Juni hingga Juli 2012. Di
Laboratorium Processing Program Studi Keteknikan Pertanian, Jurusan
Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pengering tray
dryer model EH-TD-300 Eunha Fluid Science, Timbangan Digital, Mistar,
cutter, Anemometer dan Desikator, Texture Analyzer, sedangkan bahan
penelitian adalah Talas Varietas Safira
3.3 Prosedur Penelitian
1. Persiapan Bahan
Persiapan bahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Menyiapkan Talas yang baru dipanen sebanyak 1 Kilogram
b. Talas dicuci untuk menghilangkan kotoran tanah
c. Kulit talas dikupas dengan menggunakan cutter
d. Sampel talas dipotong tipis dibagian tengah secara vertikal dengan
ukuran 3 x 3 cm dengan ketebalan masing-masing 1 cm dan 0,5 cm.
e. Sampel talas direndam ke dalam air panas (80o C) selama 10 menit,
perendaman ini dilakukan untuk mempertahankan warna talas selama
proses pengeringan.
22
2. Prosedur Pengeringan
Adapun prosedur pengeringan dengan cara pengeringan mekanis
adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan alat (tray dryer) dan bahan (talas) yang akan digunakan
untuk pengeringan mekanis.
2. Menimbang berat kawat kasa tanpa talas
3. Menimbang berat talas + Kawat kasa
4. Alat pengeringan diatur sehingga suhunya berada pada 50oC.
5. Tiga level kecepatan udara yang digunakan pada pengeringan yaitu 0,5
1,0 dan 1,5 m/s.
6. Mengukur suhu bola basah dan bola kering lingkungan penelitian setiap
1 jam
7. Menghitung perubahan berat bahan, perubahan dimensi panjang, lebar
dan tebal, setiap 1 jam dan perubahan tingkat kekerasan pada setiap 3
jam.
8. Menghitung kadar air talas Safira yang digunakan untuk pengeringan
mikanis.
9. Pengeringan berlangsung sampai bahan mencapai berat konstanta.
10. Setelah berat bahan konstan, bahan dimasukkan ke oven selama 72 jam
pada suhu 105oC untuk mendapat berat akhir atau berat padatan/ kering
bahan.
23
3. Proses uji tingkat kekerasan
1. Menyiapkan alat Texture Analyzer
2. Memasang Probe dengan yang berdiameter 3 mm untuk metode
tusuk (puncture).
3. Meletakkan Talas diatas penopang Texture Analyzer.
4. Pengukuran tingkat kekerasan pada sampel.
3.4 Parameter Pengamatan
Parameter pengamatan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Perubahan berat sampel selama proses pengeringan yang selanjutnya
dikonversi ke kadar air :
a. Kadar Air Basis Basah (KA. Bb)
b. Kadar Air Basis Kering (KA. Bk)
2. Tingkat kekerasan
Tingkat kekerasan biji direpresentasikan dengan nilai Energi
Energi = F x D x 0,5 .............................................. (6)
dimana nilai F (N) dan D (mm) diperoleh langsung dari proses
pengukuran. Faktor 0,5 digunakan mengingat gerakan F terhadap S yang
membentuk bidang segitiga.
3. Suhu (0C).
4. Kecepatan udara (m/s).
24
3.5 Prosedur Pengujian Model
Model pengeringan lapisan tipis yang akan di uji adalah sebagai berikut:
1. Newton
2. Henderson and Pabis
3. Page Model
Di mana MR adalah Moisture ratio yang dihitung menurut formula :
.............................................. (7)
Keterangan :
MR = Moisture Ratio
Mo = Kadar awal air (%)
Mt = Kadar air pada saat (t)
Me = Kadar air kesetimbangan (%) yang diperoleh setelah
berat dalam konstan.
a, c, k, n = Konstanta.
Nilai a, c, k dan n akan dihitung dengan menggunakan
software Microsoft Excel solver. Persamaan dengan nilai R2 paling
besar akan dinyatakan sebagai model terbaik untuk merepresentasikan
perilaku Talas Safira selama pengeringan lapisan tipis.
Model pola perubahan tingkat kekerasan akan mengikuti pola grafik
yang terbentuk anatara masing-masing variabel dengan kadar air basis kering
sampel. Fasilitas trendline pada MS-Excel akan digunakan untuk mendapatkan
pola ini.
25
3.6 Bagan Alir Penelitian
Gambar 1. Bagan Alir Penelitian
UMBI TALAS
DIKUPAS
DI POTONG
DIRENDAM DALAM AIR HANGAT DENGAN SUHU 800C SELAMA 10
MENIT
Start
MENGUKUR BERAT BAHAN, DAN TINKGKAT KEKERASAN
BERAT AKHIR BAHAN
FINISH
SETELAH MENCAPAI BERAT YANG KONSTAN KEMUDIAN DI MASUKKAN KE DALAM OVEN SELAMA 72 JAM DENGAN SUHU
1050C
PENGERINGAN DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PENGERING
PENGUKURAN BERAT BAHAN SETIAP 60 MENIT
26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pola Penurunan Kadar Air
Setelah melakukan penelitian pengeringan Talas Safira dengan suhu
pengeringan 50 oC, serta dengan tebal irisan 0,5 cm dan 1 cm dan kecepatan
udara masuk dengan menggunakan variasi kecepatan udara (0,5 , 1,0 , dan 1,5
m/s) untuk pengeringan lapisan tipis, maka diperoleh pola penurunan kadar air
(basis kering ) seperti disajikan pada Gambar 2 dan 3.
Gambar 2. Pola Penurunan KA-(bk) Selama Proses Pengeringan
Dengan Ketebalan Sampel 0,5 cm
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kad
ar Air Basis Kering( x 100% )
Jam Pengeringan ( jam )
v=0.5 m/s
v=1.0 m/s
v=1.5 m/s
27
Gambar 3. Pola Penurunan KA-(bk) Selama Proses Pengeringan
Dengan Ketebalan Sampel 1,0 cm
Dari kedua Gambar diatas nampak bahwa perubahan kadar air pada
kecepatan udara pengeringan 1,5 m/s, baik pada ketebalan irisan 0,5 cm dan 1,0
cm sampel talas yang di uji lebih cepat mencapai KA kesetimbangan yang
dimana pada ketebalan irisan 0,5 cm kesetimbangan di capai pada waktu
pengeringan 11 jam, sedangkan pada ketebalan irisan 1 cm mencapai
kesetimbangan lingkungan pada waktu jam pengeringan 15 jam. Selain itu
penurunan kadar air juga berubah seiring dengan lamanya waktu pengeringan
yang di lakukan.
4.2 Pola Penurunan Moisture Ratio
Pola Moisture Ratio (MR), untuk masing-masing sampel ketebalan 0,5
cm dan 1,0 cm dari masing-masing kecepatan udara pengeringan dihitung
dengan menggunakan persamaan 9, sehingga di peroleh MR dari masing
kecepatan udara seperti yang di sajikan pada gambar 4 dan gambar 5.
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kad
ar Air Basis Kering ( x 100% )
Jam Pengeringan ( jam )
v=0.5 m/s
v=1.0 m/s
v=1.5 m/s
28
Gambar 4. Pola MR Selama Proses Pengeringan Untuk Ketebalan
Sampel 0,5 cm .
Gambar 5. Pola MR Selama Proses Pengeringan Untuk Ketebalan
Sampel 1 cm.
MR dari ketiga kecepatan udara dirata-ratakan untuk masing-masing
ketebalan sampel 0,5 cm dan 1,0 cm. Perilaku nilai MR untuk kedua jenis
sampel ini disajikan pada Gambar 6
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Moister Ratio (MR)
Jam Pengeringan ( jam )
v=0.5 m/s
v=1.0 m/s
v=1.5 m/s
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Moister Ratio (MR)
Jam Pengeringan ( jam )
v=0.5 m/s
v=1.0 m/s
v=1.5 m/s
29
Gambar 6. Rata - Rata Pola MR Selama Proses Pengeringan Untuk
Ketebalan Sampel 0,5 cm dan Ketebalan Sampel 1 cm.
Dari Gambar diatas nampak pola penurunan MR sejalan dengan pola
penurunan KA-(bk). Hal ini terjadi karena MR dihitung dari perubahan KA-
(bk). Pola MR ini selanjutnya digunakan untuk menentukan model pengeringan
lapisan tipis terbaik untuk Talas.
4.3 Model Pengeringan
Hasil pengujian terhadap ketiga model pengeringan lapisan tipis
Newton, Herderson dan Pabis serta Page disajikan pada Tabel 2. Pengujian
model ini menggunakan Microsoft Excel dengan menggunakan add-Ins yaitu
Solver untuk mendapatkan nilai konstanta pengeringan yang terdapat pada
masing-masing model. Software yang sama juga digunakan untuk mendapat
nilai R2 masing-masing model.
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Moister Ratio (MR)
waktu ( jam )
rata ‐ rata mr t=0.5
rata ‐ rata mr t=1
30
Tabel 2 . Kinerja Model Pengeringan Lapisan Tipis Newton, Henderson &
Pabis, dan Page.
ketebalan sampel
model pengeringan
Konstanta
a n k R2
0,5 cm
Newton - - 0,4615 0,9960
Henderson & Pabis
1,0275 - 0.4724 0,9955
Page - 1,2179 0,3706 0,9997
1 cm
Newton - - 0.2557 0,9978
Henderson & Pabis
1,0275 - 0,4724 0,9971
Page - 1,1147 0,2144 0,9987
Sumber: Data primer setelah diolah, 2012.
Dari tabel diatas, nampak bahwa model Page secara konsisten
memberikan nilai R2 yang lebih tinggi dari kedua model lainnya, yaitu pada
ketebalan 0,5 cm R2 yang di dapatkan yaitu 0.9997 , dan pada ketebalan 1 cm R2
yang di dapatkan yaitu 0.9987. Oleh karena itu, penelitian menyimpulkan bahwa
model Page adalah model terbaik untuk merepresentasi perilaku pengeringan
lapisan tipis pada talas.
31
4.4 Pola Perubahan Tingkat Kekerasan
Pola perubahan energi selama proses pengeringan serta kecepatan udara
terhadap waktu berlangsungnya proses pengeringan di sajikan pada Gambar 7,
8, dan 9.
Gambar 7 . Hubungan Tingkat Kekerasan (Energi, E) dan Waktu
Pengeringan Dengan Kecepatan 0,5 m/s
Gambar 8. Hubungan Tingkat Kekerasan (Energi, E) dan Waktu
Pengeringan Dengan Kecepatan 1 m/s
y = 0.0057x + 0.0045R² = 0.9276
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
0.09
0.1
0 3 6 9 12 15
Energi ( Nm )
Waktu pengeringan ( jam )
energi
pendugaan
y = 0.0073x + 0.0118R² = 0.9743
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0 3 6 9 12 15
Energi ( Nm)
waktu pengeringan ( jam )
energi
pendugaan
32
Gambar 9 . Hubungan Tingkat Kekerasan (Energi, E) dan Waktu
Pengeringan Dengan Kecepatan 1,5 m/s
Pada Gambar 5, 6 dan 7 jelas menunjukkan bahwa perubahan energi
selama proses pengeringan mengikuti pola linear, energi yang dihasilkan
berbanding lurus dengan lamanya proses pengeringan, dimana semakin lama
waktu pengeringan yang dilakukan maka semakin besar energi yang di
butuhkan.
4.5 Pola Perubahan Energi Terhadap Kadar air
Pola perubahan energi selama proses pengeringan serta kecepatan udara
terhadap kadar air basis kering di sajikan pada Gambar 10, 11 , dan 12
Gambar 10 . Hubungan Tingkat Kekerasan (Energi, E) dan Kadar Air
Basis Kering Dengan Kecepatan 0,5 m/s
y = 0.0077x + 0.0114R² = 0.8448
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0 3 6 9 12 15
Energi ( Nm )
waktu pengeringan ( jam )
energi
pendugaan
y = 0.0782e‐0.777x
R² = 0.9252
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
Energi ( Nm)
Kadar Air ( X 100 % )
0.5
pendugaan
33
Gambar 11 . Hubungan Tingkat Kekerasan (Energi, E) dan Kadar Air
Basis Kering Dengan Kecepatan 1 m/s
Gambar 12 . Hubungan Tingkat Kekerasan (Energi, E) dan Kadar Air
Basis Kering Dengan Kecepatan 1,5 m/s
Pada Gambar 8, 9 dan 10 jelas menunjukkan bahwa perubahan energi
selama proses pengeringan mengikuti pola exponensial. Energi yang
dibutuhkan untuk meretakkan sample berbanding terbalik dengan kadar air
yang di hasilkan selama proses pengeringan, dimana semakin rendah kadar air
semakin tinggi energi yang dibutuhkan atau sampel menjadi semakin keras.
y = 0.1538e‐1.58x
R² = 0.9617
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
Energi ( Nm)
Kadar air ( X 100 % )
1
pendugaan
y = 0.1364e‐1.225x
R² = 0.9744
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
Energi ( Nm )
Kadar Air ( X 100 % )
1.5
pendugaan
34
V. KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil pengamatan dan analisis diperoleh informasi sebagai berikut:
1. Dari ketiga model yang diuji, dalam hal ini Model Newton, Henderson &
Pabis, serta Model Page, diperoleh bahwa Model Page adalah model terbaik
untuk mewakili perilaku penurunan kadar air Talas selama proses
pengeringan lapisan tipis.
2. Ketiga perlakuan kecepatan udara pengeringan (0,5 , 1,0 dan 1,5 m/s),
diperoleh bahwa pengeringan selama proses pengeringan lapisan tipis Talas
lebih cepat mencapai KA kesetimbangan pada kecepatan 1,5 m/s baik pada
ketebalan 0,5 cm maupun pada ketebalan 1,0 cm.
3. Tingkat kekerasan Talas meningkat secara linear sejalan dengan semakin
lamanya proses pengeringan, namun kenaikan tingkat kekerasan mengikuti
pola exponensial pada saat kadar air Talas semakin menurun selama proses
pegeringan lapisan tipis.
5.2 Saran
Bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian, disarankan untuk
melanjutkan penelitian ini. Penelitian ini hanya sampai pada pengeringan talas
sehingga untuk kedepannya sangat potensial untuk dilakukan penelitian
tentang pengolahan talas menjadi tepung talas.
35
DAFTAR PUSTAKA
Anonima.2012.http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/talas-padang. Di akses pada tanggal 8 Mei 2012
Anonimb.2012.Safira.http://www.muhadjirincorporation.com/index.php/artik
el-sengon/93-budidaya-talas-safira. Di akses pada tanggal 8 Mei 2012 Anonimc.2012.TALAS.www.scribd.com/doc/8756584/TALAS .Di akses pada
tanggal 8 Mei 2012
Anonimd.2012.Umbiumbian(TALAS).www.deptan.go.id/ditjentan/admin/rb/Talas.pdf . Di akses pada tanggal 8 Mei 2012
Brooker, D.E., Barker Arkenata and C. W. Hall, 1974.Crying Cereal Grains,
the Avi Puplising Company, inc west port. Conenection. Brown, G.G. 1950. Unit Operation. Jhon Willey & Sons, New York. Dalimarta, S. 2000. atlas tumbuhan obat Indonesia. Jilid 4.Depok.Uspa swara
karakterisasi empat jenis umbi talas varian mentega, hijau, semir, dan beneng serta tepung yang dihasilkan dari keempat varian umbi talas.
Hendarson, SM., and R. L. Perry 1976.Agricultural Process Enggeneering
dalam Sa’pa Payangan 1996.Pengeringan Lapisan Tipis Kacang Hijau (Vagina radiatc). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Hasnuddin
Istadi, Sumardiono, S, dan Soetrisnanto, D. 2002. Penentuan konstanta
pengeringan dalam system pengeringan lapisan tipis (thin layer drying). Universitas diponegoro. Fakultas Teknik
Matthews, P., 2004. Genetic diversity in taro, and the preservation of culinary
knowledge. Ethonobotany Journal 2 (1547), 55-77 Ozdemir Murat. 2009. Mathematical Analysis of Color Changes and
Chemucal Parameters of Rosted Hazelnut, jurnal of engineering science and technology vol.3 no 1 (2008) 1-10.
Rachmawan, Obin,. 2001. Pengeringan, Pendinginan dan Pengemasan
Komoditas Pertanian. Direktorat Pendidikan Kejuruan. Jakarta Santoso, Wawan. 2012. Fisiologi dan teknologi pasca panen. Universitas
Sudirman. Purwokerto. Setiawan, D. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Puspa Swara, Jakarta.
36
Slamet D.S dan lg. Tarkotjo (1990), majalah gizi jilid 4, hal 26.Pusat penelitian
dan pengembangan kesehatan Depkes RI. Sodha, Mahendra S., Narendra K. Bansal, Ashuni Kumar, Pradeep K. Bansal,
and M.A.S. Malik, 1987. Solar Crop Driying. Volume I.CRC Press, inc. Boca Raton, Florida.
Suarnadwipa, N dan Hendra W. 2008. Pengeringan jamur dengan dehumifier.
Jurnal Ilmiah Teknik Mesin CAKRAM. Vol 2. No 1. Juni 2008. (30-33)
Supriyono, (2003), Mengukur Faktor-faktor Dalam Pengeringan, Bagian Pengembangan Kurikulum Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional.
Taib,G.,GumbiraSaid,danS.Wiraatmadja.1988. Operasi Pengeringan pada
Pengolahan Hasil Pertanian. PT Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Winarno, FG. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta