pertimbangan etika dalam penelitian · pdf filetelaah tentang pengaruh ... jika para peneliti...
TRANSCRIPT
PERTIMBANGAN ETIKA DALAM PENELITIAN KUALITATIF : TELAAH TENTANG PENGARUH PANDANGAN ETIK DAN EMIK TERHADAP
PERILAKU PENELITI DI LOKASI PENELITIAN 1
Prof. Dr. H. Agus Suradika
Assalamu’alaikum Wr. Wb Om Swastyastu, Yth. Koordinator Kopertis Wilayah VIII Yth. Pengurus Yayasan Jagadhita Yth. Ketua dan Para Anggota Senat/Guru Besar Yth. Rektor Universitas Ngurah Rai Yth. Para Wakil Rektor dan Para Dekan di lingkungan UNR Yth. Sivitas Akademika UNR Yth. Para Tamu dan Undangan “Kita tidak perlu menjadi pribumi untuk memahami orang pribumi”
(Clifford Geerzt, 1985 : 248).
“Kalau peneliti pelacuran melacur, menurut saya jelas-jelas dia telah
melanggar kode etik dan sekaligus telah melakukan perbudakan
terhadap respondennya”, (Koentjoro, 2004 : xix).
Hadirin yang berbahagia,
Dalam penelitian sosial yang menggunakan pendekatan kualitatif,
manusia terlibat dalam dua posisi yang menjadi titik sentral perhatian, yakni
sebagai subyek sekaligus obyek. Untuk keperluan pengumpulan data, peneliti
merupakan instrumen utama dan harus hidup bersama dengan orang yang 1 Isi dan pikiran dalam pidato ini merupakan ringkasan dari makalah lengkap yang disampaikan pada bagian berikutnya dari buku pidato pengukuhan ini.
ditelitinya . Posisi ini menimbulkan kerumitan tertentu bagi para peneliti yang
berusaha mengungkap kenyataan sosial dalam latar alamiah sebagaimana
kekhasan ciri penelitian kualitatif 2. Kerumitan tersebut berkaitan dengan dua
jenis realitas yang ada pada diri manusia, yaitu (a) fenomena, dan (b) noumena.
Immanuel Kant, mahaguru logika dan matematika yang hidup pada
tahun 1724 – 1804, seperti dinyatakan Agus Salim (2001 : 1), adalah filosof yang
mengemukakan dua jenis realitas tersebut. Fenomena merupakan dunia yang
kita alami dengan panca indera dan terbuka bagi penelitian ilmiah karena
rasional. Sebaliknya dunia noumena tidak dapat didekati dengan pengalaman
empiris karena bukan hal yang fisik atau empiris. Di sinilah letak kerumitan
tersebut.
Manusia mempunyai sifat yang serba “misteri”. Bila hewan, tumbuh-
tumbuhan dan alam tergolong dunia fenomena, selanjutnya jin, malaikat dan roh
adalah dunia noumena, maka manusia mempunyai sifat dari dua dunia tersebut
sekaligus. Sebagai fenomena, manusia terikat pada hukum-hukum alam dan
terbuka bagi penyelidikan ilmiah. Tetapi di balik itu, manusia juga noumena
karena mempunyai jiwa, paling tidak sebagai diri sendiri manusia memiliki free
will atau kemauan bebas. Pendek kata, manusia dapat diposisikan sebagai
makhluk yang pasif karena didorong dan dibentuk oleh kekuatan di luar dirinya,
tetapi pada saat yang sama manusia juga makhluk aktif karena mengontrol,
membentuk, dan bertindak bebas. Diakibatkan oleh karena keadaan inilah para
peneliti kualitatif yang berusaha memahami realitas kehidupan manusia
menyarankan suatu pendekatan yang berbeda dengan yang biasa digunakan
oleh para peneliti kuantitatif.
2 Sejumlah ahli metodologi kualitatif seperti Lincoln dan Guba (1985 : 187-219) ; Bogdan dan Biklen (1990 : 32-36) ; Hasan (1990 : 14-25) ; Creswell ( 1994 : 8–15 dan 2003 : 181–183) ; Moleong (1996 : 4-8) ; Neuman (2000 : 16-18) ; dan Irawan (2006 : 6-12) mengemukakan beberapa karakteristik yang dapat menunjukkan bahwa yang dilakukan oleh seorang peneliti adalah metode kerja penelitian kualitatif. Pertama, lingkungan alamiah sebagai sumber data langsung. Kedua, peneliti sebagai instrumen utama. Ketiga, penelitian kualitatif bersifat interpretative. Keempat, peneliti kualitatif harus berrefleksi secara sistematik terhadap setiap informasi dari responden dan peka terhadap biografi pribadi responden dan membuat penelitian lebih fokus. Terakhir, kelima, analisis data dilakukan secara induktif.
Jika para peneliti kuantitatif lebih banyak bekerja di belakang mejanya,
mereduksi realitas menjadi penggalan-penggalan variabel yang saling
berhubungan, dan menggunakan instrumen berupa kuesioner atau check-list
untuk mengumpulkan data, peneliti kualitatif memilih metode yang berbeda
dengan itu. Realitas, dalam pandangan para peneliti kualitatif tak dapat
disederhanakan hanya menjadi beberapa variable, melainkan sesuatu yang
komprehensif dan harus dipahami secara holistik. Peneliti tidak dapat bekerja
hanya di belakang meja, melainkan harus pergi ke tempat hidup manusia yang
ingin dipahaminya, hidup bersama dan menjadi bagian dari mereka, mengamati,
bertanya, mencatat, berefleksi, dan menyimpulkan temuan-temuannya.
Prosedur kerja seperti ini didasari oleh suatu pandangan yang disebut
Naturalisme3. Dalam pandangan Denzin dan Lincoln (2000:2), munculnya
penelitian kualitatif yang berupaya melakukan kajian budaya dan bersifat
interpretatif sesungguhnya merupakan reaksi dari tradisi yang terkait dengan
positivisme dan post-positivisme4 yang biasa digunakan dalam penelitian
kuantitatif.
Hidup bersama dengan seorang apalagi sekelompok orang yang memiliki
latar sosial, tradisi dan budaya berbeda untuk suatu keperluan pengumpulan
data penelitian dengan menggunakan teknik complete-participant atau observer
as participant 5 bukanlah perkara mudah, bahkan cenderung beresiko.
Sejumlah peneliti kualitatif mengalami hal tersebut. Pengalaman tiga orang
peneliti berikut ini relevan untuk dikemukakan. 3 Muhadjir (1990 : 133-136) mengemukakan lima aksioma paradigma naturalisme, yaitu aksioma tentang (a) realitas, (b) interaksi yang mengenal dengan yang dikenal, (c) keterkaitan pada waktu dan konteks, (d) pembentukan timbal balik dan simultan, dan (e) keterkaitan pada nilai. Dalam kaitannya dengan realitas, dipahami bahwa realitas itu kompleks, memiliki tata, tampil dalam berbagai perspektif, ada keterhubungan timbal balik antar berbagai sesuatu. 4 Paradigma positivisme menolak metaphisik dan teologik, atau setidaknya mendudukkan metaphisik dan teologik sebagai primitif (Muhadjir, 1990 : 20). Kelompok positivis berpendapat bahwa terdapat realitas di luar sana yang perlu dipelajari, ditangkap dan dipahami, Selanjutnya kelompok pospositivistik berpandangan bahwa realitas itu tidak pernah bisa sepenuhnya dipahami, paling-paling hanya bisa didekati (Agus Salim, 2001 : 11-12). 5 Dalam proses pengumpulan data yang menggunakan teknik observasi, Cresswel (1999 : 150-151) membagi observasi dilihat dari partisipasi peneliti ke dalam empat kategori, yaitu (a) Complete participant di mana peran sebagai peneliti disembunyikan, (b) Observer as participant, peran sebagai peneliti diketahui, (c) Participant as observer – observation, peran partisipan merupakan peran sekunder, dan (d) Complete observer – researcher, pengamatan tanpa partisipasi.
Margaret Mead mengalami kesukaran dalam mamahami Bahasa Indiana,
cara makan, kebiasaan tidur, dan cara berpakaian ketika ia meneliti remaja dan
kehidupan seks dalam kebudayaan primitif suku Samoa, sebuah kepulauan di
lautan Pasifik tahun 1923. James Dananjaya mengalami kesukaran dengan bale
tempat tidurnya, menu dan takaran makan, WC dan cara buang air besar, ketika
ia meneliti Folklore Bali Aga di Trunyan, Bali pada tahun 1974-1975. Demikian
juga Koentjoro yang banyak disindir dengan “nada miring” oleh kolega dan
mahasiswanya, diajak kencan gratisan oleh respondennya, dan karenanya
dengan sekuat tenaga harus dapat menunjukan konsistensi dan kekuatan iman
Islamnya ketika meneliti pelacuran di Indonesia tahun 1990an. Dengan takaran
yang lebih ringan, saya mengalami juga kesukaran sosial-psikologis-religius
yang berkaitan dengan penyesuaian diri dengan lingkungan dan orang-orang
yang harus diwawancarai serta sedikit cemooh saat melakukan penelitian
tentang kehidupan wanita pekerja malam pada tahun 2002-2004.
Dari pengalaman para penelti kualitatif, inti persoalan yang berkaitan
dengan hubungan antara peneliti dan yang diteliti adalah bagaimana peneliti
harus bertingkah laku akibat adanya pengaruh kontradiksi antara pandangan etik
dan pandangan emik yang berkaitan dan dapat memunculkan persoalan etika.
Hadirin yang berbahagia,
Koentjaraningrat (1982 : xviii-xix) menyatakan bahwa pandangan etik
adalah pandangan yang dikuasai oleh nilai-nilai, norma-norma, dan teori-teori
ilmiah yang merupakan pandangan “dari luar”. Sebaliknya pandangan “emik”
adalah pandangan tentang kebudayaan sendiri dari warga masyarakat yang
bersangkutan yang merupakan pandangan “dari dalam”. Kedua hal tersebut,
menurut Geertz (1982 : 247) berasal dari perbedaan linguistik antara fonemik
dan fonetik, di mana fonemik mengklasifikasikan bunyi sesuai dengan fungsi
intern dalam bahasa, sedangkan fonetik mengklasfikasikan dengan sifat-sifat
akustiknya sebagaimana adanya. Untuk lebih menperjelas pengertian ini, akan
saya sajikan dialog antara pedagang dan pembeli di sebuah pasar tradisional di
bawah ini :
Pembeli : Bang, ini berapa harganya ?
Penjual : tujuh setengah
Pembeli : mahal amat bang, lima ribu ya !
Penjual : tujuh aja dah, buat panglaris neng !
Pembeli : Ya …. Si abang, enam ribu ya !
Penjual : Ya udah, ambil dah !
Bagi mereka yang tidak tertarik pada penelitian kualitatif, ia pasti akan
melewati kenyataan dalam dialog itu begitu saja, sebab tampak sekilas seperti
tidak ada yang perlu dijelaskan. Jika diperhatikan dengan seksama, di dalam
dialog tersebut terdapat persoalan pandangan etik dan emik. Untuk memahami
dialog tersebut, jika peneliti menggunakan pandangan etik (fonetik), ia akan
menyimpulkan bahwa dalam catatan lapangannya terdapat dialog yang tidak
logis. Lebih banyak mana tujuh setengah (jika ditulis 7,5) dibanding lima ribu
(jika ditulis : 5.000) ? Bukankah lebih banyak lima ribu ?. Demikian pula halnya
lebih banyak mana 7 dibanding 6.000 ? Tentu lebih banyak 6.000. Jika logika
perbandingan ini benar, mengapa harga yang “hanya” tujuh setengah ditawar
menjadi lima ribu dan mengapa pula si pembeli menawar lagi enam ribu, padahal
penjual sudah memberi harga baru “hanya” tujuh ?. Di sinilah letak
persoalannya. Dalam pandangan “emik” (fonemik) penjual dan pembeli, tujuh
setengah secara intern dipahami sebagai tujuh ribu lima ratus rupiah, sementara
tujuh dipahami sebagai tujuh ribu rupiah. Dengan demikian jika peneliti
memaknai dialog tersebut dengan pandangan emik (fonemik) maka ia akan
dapat memahami makna yang ada dalam realitas budaya berupa bahasa yang
digunakan di pasar tersebut, tetapi sebaliknya jika ia pahami dengan pandangan
etik (fonetik) maka ia akan tersesat dalam memaknainya.
Contoh di atas belumlah merupakan persoalan serius. Ia akan menjadi
serius dan dilematis tatkala pemahaman seseorang tentang realitas telah
menyentuh pada aspek penting yang berkaitan dengan pandangan hidup atau
keyakinan seseorang. Seorang peneliti kualitatif yang beragama Islam yang kuat
pemahaman keagamannya, sebagai misal, akan menghadapi situasi dilematis
ketika ia harus menghadapi pandangan emik masyarakat di daerah
penelitiannya yang berpandangan bahwa prostitusi merupakan sesuatu yang
biasa, bahkan dipandang mulia karena dapat memberi jalan keluar dalam
menghadapi keterpurukan ekonomi. Inilah persoalan yang sering dialami oleh
peneliti kualitatif yang di dalam keseluruhan proses penelitiannya memilih, atau
diharuskan karena pertimbangan metodologi, untuk hidup bersama dengan
masyarakat yang ditelitinya secara partisipatif. Dalam menghadapi dua
pandangan yang bertentangan, mana yang harus dipilih, apakah ia harus
mengikuti pandangan etiknya dan tetap menjaga jarak dengan realitas
lingkungan yang ditelitinya sehinga ia dapat mempertahankan nilai subyektif
yang diyakininya, tetapi sebagai konsekuensinya ia akan mengalami kesulitan
memperoleh informasi dan data penelitiannya. Atau, ia mengikuti pandangan
emik yang sangat mungkin bertolak belakang dengan hati nuraninya tetapi
sebagai imbalannya ia akan lebih mudah memahami realitas yang ingin ia
pelajari. Seorang peneliti kualitatif yang baik, papar Koentjaraningrat (1982 : xix)
lebih lanjut, perlu menguasai kemahiran untuk mengkombinasikan pandangan
etik dan pandangan emik sesempurna mungkin. Berdasarkan norma-norma
ilmiah, lanjut Koentjaraningrat, pandangan diri sendiri yang sebenarnya
merupakan pandangan subyektif harus diusahakan agar pengaruhnya hanya
sedikit saja. Persoalannya adalah, bagaimana peneliti dapat memposisikan diri
secara tepat : tidak larut atau “going native” dalam pandangan emik, tetapi juga
tidak “stereotype” dan terbelenggu oleh pandangan etiknya.
Untuk lebih memperjelas persoalan etik dan emik dalam proses
penelitian kualitatif, terutama saat mulai masuk ke dalam realitas dan
mengumpulkan data, saya akan menguraikan lebih lanjut pengalaman James
Dananjaya (1982) dan Koentjoro (2004) sebagaimana telah disebut pada uraian
sebelumnya.
Hadirin yang terhormat, . Dalam pandangan orang-orang Trunyan, papar Dananjaya, ada
kebiasaan bagi kerabat atau kawan terdekat dan keluarga kepala desa untuk
meniduri bale-bale mana saja yang ada di rumah jika ia sedang bertamu atau
kebetulan mengantuk. Untuk beberapa minggu pertama, Dananjaya, yang untuk
keperluan tempat tinggalnya selama melakukan penelitian disediakan satu
kamar khusus yang masih belum banyak dipakai orang namun banyak kutu
busuknya, membiarkan orang-orang desa mempraktekan kebiasaan intim di
bale-balenya karena takut menyinggung perasaan mereka jika ia melarangnya.
Tetapi setelah ia berkesempatan untuk pergi ke Denpasar maka dibelinya
sekaleng insektisida untuk membasmi kutu busuk yang ada di bale-balenya
tersebut. Kemudian kasurnya ia tutupi dengan seperai putih terbersih. Melihat
bale-bale yang berubah menjadi putih bersih ini, orang desa tak berani lagi
menidurinya kecuali merabanya dengan perasaan kagum.
Mengadakan perubahan di rumah orang adalah perbuatan yang “kurang
ajar”. Hal itu diakui Dananjaya. Tetapi mengingat bahwa ia akan diam di rumah
tersebut bukan hanya untuk satu dua hari, melainkan untuk satu tahun,
sedangkan ia tahu bahwa penghalang utama dari suksesnya suatu penelitian di
satu tempat terpencil adalah kesehatan yang buruk dan keadaan fisik yang tidak
enak, maka terpaksa hal itu ia lakukan, di samping untuk menunjukkan kepada
pendukuk cara-cara menjaga kebersihan.
Lebih lanjut Dananjaya juga menceritakan bahwa dalam kebudayaan orang
Trunyan pemeliharaan kebersihan seperti di kota bukanlah salah satu unsur
kebudayaan mereka. Pada hari-hari pertama ia tinggal di Trunyan, WC pertama
yang dibangun di sana belum selesai, maka cara buang air di semak-semak
seperti yang dilakukan oleh penduduk di sana membuat ia menjadi merana dan
tidak betah hidup di desa itu. Tetapi lambat laun ia menjadi terbiasa dengan
kebiasaan itu.
Pengalaman di awal penelitian ketika memasuki realitas sosial seperti
yang dialami Dananjaya menyiratkan persoalan etik dan emik. Sebagai “orang
luar” ia menyadari bahwa seharusnya ia mempertahankan latar alamiah dengan
tidak mengubah perilaku “orang dalam” tentang kebiasaan meniduri bale-
balenya. Namun kepentingan yang lebih besar demi suksesnya penelitian yang
akan ia lakukan yakni untuk menjaga kesehatan dan staminanya agar ia tidak
terkena penyakit akibat kutu busuk memaksa ia harus melakukan tindakan
sesuai pandangan etiknya. Ia menyadari bahwa tindakan melakukan perubahan
di rumah orang adalah tindakan “kurang ajar”, tetapi, sekali lagi demi sebuah
kepentingan yang lebih besar terpaksa tindakan itu ia lakukan.
Jika soal kutu busuk Dananjaya “memenangkan” pandangan etiknya,
dalam hal WC ia harus mengalah. Walaupun ia merana dan tidak betah hidup di
desa itu karena cara buang air di semak-semak bukan merupakan
kebiasaannya, terpaksa ia harus menerimanya dan lambat laun ia terbiasa
dengan kebiasaan itu. Dalam kaitan ini, ia mengalah dengan pandangan “emik”.
Hadirin yang berbahagia, Koentjoro (2004), yang juga sudah saya sebut di awal orasi ini,
mempunyai pengalaman yang menegangkan ketika untuk keperluan
pengumpulan data penelitiannya ia harus berada satu kamar dengan seorang
pelacur6 di rumah si pelacur yang tinggal bersama orang tua dan saudaranya di
Indramayu. Ketika si pelacur, ma’af , telah telanjang bulat dan meminta
hubungan seks dengannya, ia tidak memenuhi permintaannya tersebut. Ia hanya
memeluknya dan mengatakan bahwa ia tidak ingin lebih lanjut melakukan hal itu.
Mengapa Koentjoro menolak ?, Secara eksplisit memang ia tidak menjelaskan
alasan penolakannya. Yang jelas, sebagai peneliti profesional ia dituntut untuk
mempertahankan jatidiri dengan menjauhkan diri dari kepentingan pribadi.
Manakala orang meneliti sekaligus melacur, papar Koentjoro, maka tentu
kepentingannya sudah bergeser sebab pengalaman melacur akan mewarnai
intrepretasi peneliti terhadap hasil dan temuannya.
Interpretasi memang merupakan perkara penting dalam keseluruhan
proses penelitian kualitatif karena kekuatan mengintrepretasikan atau memaknai
realitas merupakan ciri penting riset kualitatif. Bagaimana mungkin seorang
peneliti dapat secara tegar mempertahankan interpretasi obyektifnya jika ia telah
larut (going native) dalam perspektif subyek. Seorang yang meneliti sekaligus
6 Maaf, saya tidak menggunakan istilah PSK (Pekerja atau Penjaja Seks Komersial) karena istilah tersebut mengaburkan makna asusila, bahkan anti-susila. Di samping itu, Indonesia sesungguhnya tidak menganut paham seks sebagai komoditas yang dapat dikomersialkan.
melacur, akan sulit mengatakan bahwa melacur, sebagaimana dipahami banyak
orang dalam lingkaran moral, adalah perbuatan tercela karena ia telah
melakukan perbuatan tercela tersebut. Di sinilah letak persoalannya. Bagi
seseorang yang tidak terlatih melakukan penelitian kualitatif-partisipatif, sulit
dapat mempercayai pernyataan Koentjoro yang dapat mempertahankan jati
dirinya dengan tidak memenuhi permintaan pelacur tersebut. Tidak heran,
seperti diakuinya, bila kedekatannya dengan pelacur memunculkan “nada-nada
miring” yang mempertanyakan konsistensi dan kekuatan imannya sebagai
seorang peneliti pelacuran. Salah satu redaksi nada miring tersebut seperti ini :
“Wah, enak ya jadi peneliti pelacur, dapat jajan gratis dong !?”. Dengan tegas
Kuntjoro menyatakan bahwa ketika seorang peneliti pelacuran “mencicipi”
responden penelitiannya, berarti ia telah menghianati kode etik profesinya dan ia
telah menjadi pelacur itu sendiri. Bagi Koentjoro dalam perkara moral yang satu
ini ia harus pertahankan pandangan etik-nya. Bila dalam pandangan emik
pelacur melakukan hubungan intim bukanlah perbuatan anti-susila, tidak
demikian halnya dengan pandangan etik Koentjoro. Bagi Koentjoro,
mempertahankan pandangan etik bahwa melakukan hubungan intim dengan
lawan jenis yang bukan muhrimnya adalah perbuatan asusila bahkan anti-susila
harus ia pertahankan7. Ia tak ingin going native dalam pandangan emik pelacur
tersebut. Di sini, seperti juga diungkap Koentjoro, diperlukan syarat keberanian
baik keberanian memasuki kancah riset, maupun keberanian menanggung
segala resiko yang mungkin terjadi seperti disetalitigauangkan dengan pelacur,
disebut pemabuk, disatroni preman, disebut germo, dan sebagainya. Keberanian
ini berkaitan dengan kemampuan ketika peneliti belajar mengatasi situasi-situasi
yang menekan termasuk dicemooh orang karena menganggap rendah penelitian
kualitatif yang concern pada dunia “remang-remang”.
Bagaimanakah etika menilai tindakan seseorang sebagai perbuatan
baik atau buruk?. Untuk itu, perkenankan saya menguraikan sedikit tentang dua
7 Untuk dapat “bertahan” seperti ini Koentjoro (2004 : xx) sengaja melatih diri untuk tidak ereksi sembarangan. Sesuatu yang diakuinya sebagai latihan yang memang menyakitkan, tetapi itulah resiko pekerjaan.
perspektif etika, yaitu etika teleologis dan etika deontologis (Suradika dan
Maskun, 2005 : 11-17).
Hadirin yang budiman,
Istilah “Deontologi” berasal dari kata Yunani yang berarti “kewajiban” (duty)
atau keharusan. Oleh karena itu etika deontologi menekankan kewajiban
manusia untuk bertindak secara baik. Menurut perspektif deontologi, suatu
tindakan itu baik bukanlah dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan
baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik
menurut dirinya sendiri. Maka tindakan itu bernilai moral/etis karena tindakan itu
dilaksanakan berdasarkan kewajiban. Atas dasar pandangan demikian, etika
deontologi sangat menekankan pentingnya motif, kemauan baik, kesadaran dan
watak yang kuat dari para pelaku, terlepas dari akibat yang timbul dari perilaku
para pelaku itu.
Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi justru menilai baik
buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan
itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan
dinilai baik jika bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau jika akibat yang
ditimbulkan oleh tindakan itu baik. Baik atau buruknya tindakan mencuri,
sebagai contoh, bagi etika teleologi tidak ditentukan oleh tindakan itu sendiri baik
atau buruk, melainkan ditentukan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Jika
tujuannya baik, maka tindakan mencuri dapat dipandang baik. Seorang anak
yang mencuri uang karena tidak mempunyai cara lain untuk membeli obat bagi
ibunya yang sedang sakit parah dalam perspektif etika teleologi dipandang
sebagai tindakan yang baik, tetapi jika ia mencuri untuk membeli narkoba atau
keperluan tidak mulia lainnya, maka tindakan itu dinilai jahat. Demikian juga
seorang dokter profesional, laki-laki, ahli kandungan yang harus melihat, ma’af,
alat vital wanita yang bukan muhrimnya untuk sebuah pemeriksaan atau
persalinan, dari perspektif teleologi merupakan tindakan yang dapat diterima
sebagai perbuatan baik karena mempunyai tujuan atau akibat yang baik.
Hadirin yang terhormat,
Dari uraian singkat dan sederhana tentang PERTIMBANGAN ETIKA
DALAM PENELITIAN KUALITATIF : TELAAH TENTANG PENGARUH
PANDANGAN ETIK DAN EMIK TERHADAP PERILAKU PENELITI DI LOKASI
PENELITIAN yang telah saya sampaikan, dapat disarikan menjadi beberapa
catatan sebagai berikut. Pertama, dua jenis realitas yang dimiliki manusia, yakni
fenomena dan noumena, dalam pandangan peneliti kualitatif merupakan realitas
yang tidak dapat dipisahkan, apalagi dipenggal hanya menjadi beberapa variabel
yang saling berhubungan. Oleh karenanya, kendati terdapat kerumitan-
kerumitan, keseluruhan realitas tersebut harus dilibatkan ketika seorang peneliti
ingin memahami kehidupan manusia secara holistik.
Kedua, harus dipahami bahwa resiko-resiko stigmatik seperti di “cap”
sebagai manusia tidak bermoral atau “perasaan tak enak” karena melakukan
suatu tindakan yang berlawanan dengan keyakinan tentang nilai baik,
merupakan keadaan yang akan dihadapi oleh peneliti yang memiliki minat tinggi
untuk mempelajari tingkah laku manusia dalam suatu kebudayaan tertentu
apalagi mereka yang tertarik mempelajari realitas kehidupan manusia dalam
dunia “remang-remang” dan lebih lagi dunia “hitam”. Jika peneliti tidak siap atau,
meminjam istilah Koentjoro, tidak memiliki keberanian dengan resiko ini, maka
disarankan agar ia lebih baik memilih topik atau masalah penelitian sosial
lainnya yang hasilnya juga sama pentingnya dalam usaha mengembangkan
ilmu sosial.
Dalam ajaran Islam, kita juga diperintahkan untuk menghindari hal-hal
yang “remang-remang,” yang meragukan atau subhat. Rasulullah saw
bersabda: innal-halaala bayyinun, wa innal kharaama bayyinun. Wabaina huma
umuurun musytabihaatun laa ya’lamuhunna katsiirun minannaas. Famanittaqasy
syubuhaati faqadis tabra-a lidiinihi wa’ridhihi waman waqa’a fisy-syubuhaati
waqa’a fil kharaami kar-raa’i yar’a khaulal khimaa yuu syiku an yar ta’a fiihi.
(Sesungguhnya sesuatu yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di
antara keduanya ada persoalan yang samar-samar (subhat). Akan tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. Maka barangsiapa menjaga dirinya dari
persoalan yang samar-samar (subhat) itu maka ia telah membersihkan agama
dan kehormatannya. Dan barang siapa yang selalu melakukan hal-hal yang
samara-samar maka ia telah jatuh dalam perkara yang haram seperti
penggembala yang menggembala di sekeliling tanah larangan (halaman) orang.
Lambat laun, ia akan masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketiga, nilai baik-buruk suatu tindakan yang dilakukan oleh peneliti
berupa tindakan yang bertentangan dengan pandangan etik tetapi sesuai
dengan pandangan emik, atau bertentangan dengan pandangan emik tetapi
sesuai dengan pandangan etik, tergantung dari perspektif etika mana kita
melihat. Perspektif deontologi menyarankan untuk melihat pentingnya motif,
kemauan baik, kesadaran dan watak yang kuat dari para pelaku, terlepas dari
akibat yang timbul dari perilaku para pelaku itu, sedangkan perspektif teleologi
memposisikan pentingnya melihat tujuan atau akibat dari suatu tindakan.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa “kekurangajaran” Dananjaya yang
melakukan perubahan di rumah orang karena ingin penelitiannya tidak terhambat
oleh gangguan kesehatan selama melakukan penelitian, atau Koentjoro sebagai
peneliti profesional yang untuk keperluan pengumpulan data penelitiannya harus
“bergaul” dengan para pelacur, mucikari, germo dan “aktor” lainnya, dalam
perspektif teleologi dipandang sebagai tindakan yang dapat diterima sebagai
perbuatan baik.
Saya akhiri substansi orasi ini dengan mengemukakan ungkapan yang
sangat bersahaja dari Clffort Geerzt (1982 : 248) : “Kita tidak perlu menjadi
pribumi untuk memahami orang pribumi”. Demikian juga ungkapan Koentjoro
(2004 : xix) : “Kalau peneliti pelacuran melacur, menurut saya jelas-jelas dia
telah melanggar kode etik dan sekaligus telah melakukan perbudakan terhadap
respondennya”. Ungkapan ini dapat dimaknai : untuk memahami realitas
kehidupan pelacur, tentu saja seorang peneliti tak perlu melacurkan diri. Peneliti
tetap dapat mempertahankan jati dirinya dan tidak larut dalam tradisi dan
kebudayaan yang hidup dalam realitas sosial yang ditelitinya. Dengan
menggunakan dua perspektif etika tersebut, peneliti dapat memutuskan dengan
pertimbangannya sendiri apakah ia harus melakukan atau tidak melakukan
suatu tindakan sehingga ia dapat memposisikan diri secara tepat : tidak larut
atau “going native” dalam pandangan emik orang-orang yang diteliti, tetapi juga
tidak “stereotype” dan terbelenggu oleh pandangan etiknya.
Semoga uraian singkat pidato ini ada manfaatnya.
Sebagai umat beragama, etika kita tentu merujuk pada norma-norma
agama. Dalam agama kita diajarkan antara niat, cara dan tujuan harus sama-
sama baik. Islam tidak membenarkan perilaku menghalalkan segala cara untuk
meraih tujuan, meskipun tujuan itu baik. Niatnya benar, caranya benar dan
tujuannya benar. Kita tentu tidak lupa ikrar yang selalu kita ucapkan: inna
shalaati, wanusuki, wamah yaaya, wama maati, lillaahi rabbil ‘alamin
(Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya untuk Allah
rabbul’alamin). Ikrar ini tampaknya juga penting menjadi standar nilai dalam
menentukan pilihan-pilihan bagi seorang peneliti.
Bapak/ibu senat Guru Besar serta hadirin yang saya hormati,
Sudah merupakan keharusan dan kewajiban saya pada kesempatan
pidato ini menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah
mengantarkan saya memperoleh anugerah yang sungguh tak pernah
terbayangkan akan dapat dicapai tanpa bantuan dari banyak pihak yang telah
amat berjasa. Ucapan terima kasih yang pertama amat patut disampaikan
kepada seluruh guru saya baik pada jalur formal maunpun non-formal sejak
Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan jenjang paling tinggi, maupun pada
jalur non-formal seperti pengajian, kursus, training, dan sebagainya.
Ketika di TK, saya amat berhutang budi kepada ibu Tati, guru TK Pikir di
Jl. Ketimun I, Blok. A, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Karena jasa beliaulah
kognitif, afektif, dan psikomotorik saya ketika kecil dapat tumbuh berkembang
sebagaimana mestinya. Sampai saat ini saya masih hafal lagu-lagu karya Bapak
Kasur dan Ibu Kasur yang beliau ajarkan seperti “Aku Seorang Kapitan”, “Balon
ku ada lima”, “Cicak-cicak di dinding”, dan sebagainya. Untuk itu, kepada beliau
saya berhutang budi dan amat patut berterima kasih.
Ibu Maryam, Ibu Chadijah, Bapak Azis, Ibu Rusminah dan Ibu Siti
Nuraniyah adalah guru-guru saya ketika sekolah di SD Blok. A I Petang. Dari
beliaulah kompetensi CALISTUNG (membaca, menulis, berhitung), berteman,
dan bersosialisasi yang menjadi tujuan pembelajaran di SD dapat saya kuasai.
Kepada beliau semua, saya amat berhutang budi dan karenanya sangat patut
berterima kasih. Karena kesungguhan dan kegigihan beliau lah kendati ketika di
kelas 1, 2, dan 3 nilai rapor saya banyak angka merahnya tetapi di kelas 4 dan 5
selalu menjadi juara, bahkan di kelas 6 menjadi pelajar teladan. Hampir dapat
dipastikan tidak mungkin saya dapat menulis karya ilmiah, termasuk naskah
orasi ini, yang telah menghantarkan saya memperoleh jabatan terhormat sebagai
Guru Besar tanpa jasa baik dari beliau semua.
Ibu Yusuf Nazar yang kemudian dilanjutkan oleh Bapak Drs. Hasan Basri
adalah Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 9, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan yang memimpin Bapak Ibu Guru saya ketika di SMP, yaitu : Bapak
Maharzul, BA ; Ibu Dra. Siti Menara Murni ; Bapak Ramadhin ; Bapak Drs. Daud
Afifie ; Ibu Kartini, BA ; Bapak Sam’ani AK ; Ibu Endang ; dan Bapak Sukamdio.
Dari sekolah ini, saya memperoleh banyak pengetahuan tentang agama Islam
yang sering membuat saya harus berbeda pandangan dengan teman-teman
sebaya di kampung saya tentang implementasi ibadah praktis. Namun, justru
karena hal inilah saya beruntung. Pengalaman hidup di dua tradisi peribadatan
Islam dari dua organisasi besar : Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama
membuat saya terbiasa dalam sikap berbeda pendapat tetapi tetap saling
menghormati. Kepada semua guru saya di SMP Muhammadiyah 9, saya
berhutang budi dan mengucapkan terima kasih.
Bapak Drs. NT Padidi yang dilanjutkan oleh Bapak Drs. Wirwahyu adalah
kepala sekolah yang memimpin guru-guru saya ketika belajar di SMA Negeri 6
Bulungan Jakarta Selatan. Ibu Zaenab ; Bapak Santoso ; Bapak Naibaho ;
Bapak Bakri ; Ibu Titi Larasati Nurhadi ; Bapak Bakri, adalah sebagian dari
seluruh guru-guru saya yang mengingatkan dan memberi semangat untuk tetap
giat belajar ketika ayah saya meninggal dunia saat saya kelas 2 SMA (sekarang
kelas 11). Kepada beliau semua saya berhutang budi dan mengucapkan terima
kasih.
Ketika studi S1 di kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta, saya
amat berhutang budi kepada banyak dosen saya di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. Dengan tidak mengurangi rasa terima kasih dan hormat saya pada
dosen lain yang tidak saya sebut namanya secara khusus, saya ingin menyebut
beberapa nama yang telah amat berjasa membuat saya tertarik pada dunia
akademik setelah hampir lima tahun sehabis menyelesaikan studi sarjana muda
saya bekerja di dunia bisnis. Almarhum Drs. Ardissa Supina; Almarhum Drs.
Djalal Sayuti; Drs. Mohamad Sobary, MA ; dan dr.H. Yose Rizal, SKM; adalah
dosen-dosen saya yang di luar kelas telah memberikan bimbingan yang
melampaui batas kewajiban mulianya sebagai dosen. Dari mereka saya belajar
banyak tentang idealisme dan semangat memperjuangkan kebenaran.
Hubungan formal dosen–mahasiswa di kampus lebur menjadi hubungan
persahabatan yang hangat dan egaliter ketika mendiskusikan mengenai ilmu,
kebudayaan, politik, agama dan dimensi kemanusiaan lainnya di luar kampus.
Dari mereka, saya yang tak pernah membayangkan akan mampu menjadi dosen
mendapat dukungan yang amat kuat untuk berani “banting stir” dari pekerja
dunia bisnis ke dunia kampus yang mempunyai budaya sangat berbeda. Talenta
mereka ternyata sangat tajam. Dengan berbagai keterbatasan, akhirnya saya
dapat mencapai jenjang jabatan terhormat sebagai Guru Besar. Saya benar-
benar merasakan apa yang belasan tahun yang lalu pernah mereka sampaikan
: “dunia kampus adalah dunia yang amat dinamis, tidak kering, menggairahkan,
dan menyenangkan”. Demikian juga kepada Drs. Mahbub Nitiraharja, MM yang
menjadi pembimbing skripsi saya bersama almarhum Drs. Ardissa SP. Dari Pak
Mahbub, begitu saya biasa menyapa beliau, saya mendapat pelajaran tentang
kesabaran dan ketelitian. Beberapa kali skripsi saya dicoret karena panjang
marginnya tidak sesuai dengan pedoman teknis penulisan skripsi.
Masih ketika studi di S1, saya juga amat patut menyampaikan terima
kasih dan berhutang budi kepada Prof. Dr. H. Aminuddin Rasyad dan Drs. H.
Isom Sumhudi. Dari beliau berdua, saya mendapat pelajaran tentang sikap
lapang dada dan demokratis. Betapa tidak, kendati saya banyak memprotes
kebijakan beliau ketika saya masih mahasiswa dan beliau berdua dalam periode
yang berbeda menjadi Dekan FISIP-UMJ dengan menggalang demonstrasi
mahasiswa, tak ada sedikitpun dendam. Bahkan, Prof. Aminudin kemudian
menjadi Penasehat Akademis ketika saya menyelesaikan S1 setelah setahun
cuti akademik sehabis menyelesaikan sarjana muda. Di bawah bimbingan Prof.
Aminuddin Rasyad saya banyak mendapat kiat sehingga dapat menyelesaikan
S1 dalam waktu “hanya” dua semester, bilangan waktu yang relatif cepat untuk
ukuran penyelesaian studi di Perguruan Tinggi Swasta saat itu. Demikian juga
kapada almarhum Drs. H. Agus Sunarto, M.Si., senior saya yang kendati di
permukaan tampak saya sering berseberangan pendapat, tetapi sunguh
persahabatan pribadi kami sangat hangat, bahkan saling mendukung untuk
urusan pengembangan diri, studi, dan keluarga. Dari beliau saya belajar tentang
kerja keras, keseriusan, dan kegigihan menghadapi berbagai cobaan hidup.
Untuk itu , saya amat patut menyampaikan terima kasih. Selain itu, kepada Drs.
Sumarno, M.Si dan Drs. Makmun Murod, M.Si saya juga amat patut
menyampaikan terima kasih dan rasa hormat. Kendati lebih yunior, pengalaman
kedua kolega saya tersebut dalam bidang tulis menulis dan keluasan
pengetahuan dalam ilmu politik telah banyak memberi masukan dan sentuhan
kosa kata, bahkan substansi, yang menajamkan makna dalam beberapa tulisan
saya yang berhubungan dengan ilmu politik.
Sekali lagi, kendati saya hanya menyebut beberapa nama dosen ketika
menyelesaikan studi S1 secara khusus agak panjang lebar, tidak berarti
mengesampingkan dan mengurangi rasa hormat dan terima kasih saya kepada
seluruh dosen FISIP-UMJ dan tentu saja juga dengan staf sekretariat.
Masih di UMJ, saya amat patut juga menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah mendukung proses pengusulan Guru Besar diri saya.
Sebagai dosen PNS dipekerjakan di FISIP-UMJ, ucapan terima kasih saya
sampaikan kepada Koordinator Kopertis Wilayah III beserta seluruh jajarannya.
Selanjutnya kepada Rektor Ibu Dr.Hj. Masyitoh dan seluruh wakil Rektor,
Dekan dan seluruh Wakil Dekan di UMJ, serta seluruh anggota Senat/Guru
Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah memberi persetujuan
pengangkatan diri saya sebagai Guru Besar. Secara khusus ucapan terima kasih
dan penghargaan saya tujukan kepada Tim yang telah diberi kepercayaan untuk
memeriksa, menilai, dan memberi pertimbangan, yaitu Prof. Dr. Muhammadi,
Prof. Dr. Hadjid Harnawidagda, Prof. Dr. Dede Rosyada, Prof. Dr. Aminuddin
Rasyad, Prof. Dr. Sutjipto, Prof. Drs. Darwis Abdullah, dan Prof. Dr. Buchari
Zainun.
Selain itu, dalam menapaki karier pada posisi struktural di UMJ, sangat
patut saya menyampaikan terima kasih dan rasa hormat kepada almarhum Prof.
Mr. Roeslan Saleh, Rektor UMJ periode 1991-1994 dan Prof. Dr. Muhammadi,
M.Sc, Rektor periode 1994-1998 dan 1998-2002. Dari beliau berdua saya
mendapat kesempatan belajar tentang bagaimana mengelola Perguruan Tinggi.
Bahkan pada dua periode kepemimpinan Prof. Muhammadi, saya mendapat
kesempatan menjadi Pembantu Rektor I, II, dan III, sebuah pengalaman yang
mungkin jarang diperoleh banyak orang. Ketika sebagai Kepala Biro Umum
membantu Rektor almarhum Prof. Roeslan Saleh saya mendapat kesempatan
menyelesaikan studi S2, selanjutnya pada masa kepemipinan Prof. Muhammadi
saya mendapat kesempatan menyelesaikan studi S3. Kepada beliau berdua,
sekali lagi saya mengucapkan terima kasih.
Ucapan terima kasih saya sampaikan juga kepada seluruh staf
sekretariat baik di Rektorat, Fakultas, maupun di bagian administratif lainnya.
Secara klhusus saya menyampaikan terima kasih kepada Ibu Endang Sulastri,
Wakil Dekan FISIP-UMJ, seluruh Ketua Jurusan : Bapak Sumarno, Ibu Nani
Nurani Mukhsin, Ibu Romlah Hernowo, dan Ibu Maria Sri Iswari. Juga kepada
Ibu Muzazimah, Kepala Tata Usaha FISIP dan seluruh “pasukan” tak kenal lelah
di FISIP-UMJ. Bapak Emsumisran dan Bapak Syahrudin Al Murtala beserta
seluruh jajarannya di Rektorat UMJ. Juga kepada Prof. Dr. Suhendar Sulaiman,
Prof. Dr. Koesmawan, Dr. Irwan Prayitno, Dr. Abdul Hamid, Gandang Sungkawa,
SE, MM, Gafur Ahmad, ST,MM, Iskandar Zulkarnaen, SE, MM , Nur Azis
Hakim, SH, MM di Program Pascasarjana Magister Manajemen. Demikian pula
kepada Bapak Fadillah Izhari, Bapak Subedjo, Bapak Syarifudin , dan Mbak
Yuli di Fakultas Ekonomi. Tak ketinggalan Sdr. Achmad Cholid yang telah
membantu segala urusan teknis penyelesaian naskah pidato dan makalah yang
disampaikan dalam kesempatan pengukuhan ini.
IKIP Jakarta, sekarang Universitas Negeri Jakarta, adalah tempat yang
memberi kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan studi Pascasarjana
Magister dan Doktor. Ketika menyelesaikan program Doktor, saya mendapat bea
siswa dari Pemerintah Republik Indonesia melalui program TMPD (Tim
Manajemen Program Doktor). Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih kepada
Pemerintah melalui Kopertis Wilayah III dan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Dengan bantuan biaya tersebut, saya
tak memperoleh hambatan finansial dalam menyelesaikan studi tersebut.
Kepada seluruh dosen saya di Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
saya mengucapkan terima kasih. Secara khusus, saya ingin menyampaikan
penghargaan, rasa hormat dan hutang budi kepada Prof. Dr. Sutjipto, almarhum
Prof. Dr. AOB Situmorang, Prof. Dr. Toeti Soekamto, Prof. Dr. Jujun S.
Suriasumantri, Dr. Farida Mukti, Prof. Dr. Atwi Suparman, Prof. Dr. Yusufhadi
Miarso, Prof. Dr. Djaali, Prof. Dr. Lexy J. Moleong, Prof. Dr. R. Santosa
Murwani, dan Dr. Zaenal Rafli serta seluruh dosen yang terlalu panjang untuk
saya sebut satu persatu. Di samping itu, kepada Prof. Dr. Fathurrahman Djamil,
Guru Besar UIN Jakarta, saya sampaikan pula rasa terima kasih atas
bimbingannya ketika saya menyelesaikan Disertasi.
Ucapan terima kasih patut saya sampaikan juga kepada seluruh guru
dan “orang tua” saya di sekitar rumah saya di Blok. A, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan. Almarhum KH. Abdurrahman Said, Ustadz Muchtar Luthfi, Ustadz
Sukarna Yusuf, Bapak H. Romli, Almarhum Bapak Mamat Mansyur, almarhum
Bapak Parno, almarhum “Mbah” Kamiyo, Bapak Zain Ahmad Gidag, almarhum
Bapak Taufik Arigayo, “Om” Alex Sunarno, Om Yatin Sudibyo adalah hamba-
hamba Allah yang amat berjasa membina saya di kampung halaman ketika saya
remaja. Beliau semua adalah pihak yang telah mengganti peran Bapak saya
dalam memberi motivasi, dukungan spiritual, dan teladan karena Allah
berkehendak “memanggil” Bapak saya terlebih dahulu ketika saya masih remaja.
Terima kasih saya sampaikan juga kepada sahabat-sahabat saya di
organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah dan seluruh Organiasi Otonomnya
terutama Gerakan Pemuda Muhammadiyah. Secara khusus saya ingin
menyampaikan terima kasih kepada Drs.H. Husni Thoyar, M.Ag, Bapak Abdul
Somad Karim, dan Drs. H. Muchlis Noor yang banyak membimbing saya dalam
berorganisasi di Muhammadiyah, serta Saudara Edward Lukman dan Saudara
Irfan Chalik yang selain menjadi teman di Gerakan Pemuda Muhammadiyah juga
banyak membantu dalam beberapa proyek penelitian yang saya lakukan.
Organisasi lain yang juga patut saya sebut untuk menyampaikan ucapan terima
kasih adalah Partai Amanat Nasional, Komite Nasional Pemuda Indonesia
(KNPI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Amanat Nasional, Dewan
Pendidikan Propinsi DKI Jakarta, Karang Taruna Kelurahan Gandaria Utara dan
Kelurahan Petogogan Jakarta Selatan, Persatuan Remaja Mesjid Darussalam,
Keluarga Remaja Mushalla Daarul Muttaqien, Remaja Islam Masjid Nurul Hilal,
Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), dan Badan Musyawarah Masyarakat
(Bamus) Betawi.
Bapak/Ibu hadirin yang terhormat, .
Terakhir, perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih yang
amat pribadi kepada seluruh keluarga besar saya. “Batua” (kakek), “Nyatua”
(nenek), Encang, dan Encing yang terlalu banyak untuk saya sebut satu
persatu, saya ucapkan terima kasih atas dukungan materiel maupun morilnya
ketika saya kuliah. Kepada Bapak saya : Almarhum Abdillah Dul Baisan saya
panjatkan do’a semoga Bapak mendapat limpahan rahmat dari Allah SWT,
Ananda yakin saat ini Bapak sedang tersenyum di Syurga menyaksikan hasil
jerih payah Bapak ketika masih hidup. Usia Bapak memang tidak panjang, tetapi
amal kebaikan yang Bapak tinggalkan terutama semangat menyekolahkan kami,
putra-putri Bapak, tidak akan terukur panjang kebaikannya. Bapak memang
tidak meninggalkan harta benda, tetapi harta berupa iman Islam, pendidikan, dan
nama baik ketika menjadi Guru Madrasah dan Lurah semasa hidup sudah
teramat cukup sebagai modal kami untuk bergaul dan hidup bermasyarakat.
Kepada Mama saya : Hj. Siti Marminah, ketegaran Mama menjadi single
parent membesarkan dan membimbing sembilan anak setelah ditinggal Bapak
merupakan teladan yang amat berharga. Di dalam kesendirian Mama berhasil
membesarkan kami. Kegetiran hidup karena ditinggal suami, tidak menjadikan
Mama putus asa. Hasil jerih payah berupa penghargaan sebagai Guru Besar
yang saat ini Ananda peroleh teramat kecil jika dibandingkan dengan jerih payah
dan Kerja keras Mama sebagai tukang jahit yang berhasil membesarkan kami.
Ananda amat yakin, berkat kerja keras tersebut, dibarengi dengan do’a dan
shalat tahajud dan shalat dhuha yang Mama lakukan hampir setiap hari, Allah
telah memberi rahmat, berkah, dan karunia yang teramat banyak kepada kami,
anak-anak Mama. Ananda berdo’a semoga Mama selalu diberikan rahmat dan
hidayah dari Allah SWT dan menikmati hari tua dengan bahagia.
Kepada Kakak-kakak saya dan suami : Kakak Hj. Salmah Budiarti dan
Uda Yunisaf Anwar, SE ; Kakak Salmah Nurseha dan Mas Budi Suwarto, saya
juga mengucapkan terima kasih atas bantuan moril dan materiel selama saya
sekolah dan kuliah. Saya tak akan lupa ketika kakak berdua harus berhutang di
Koperasi untuk menyelesaikan kewajiban keuangan saya di kampus saat akan
ujian sarjana muda. Kepada Adik-adik saya dan isteri: Drs. Ichwan Ghalbi dan
Nelda Saswita, SH ; Ir. Rachmat Nursiaga dan Pelitasasi ; Pamilda
Fathurachman, S.Sos dan Nurbaiti, S.Sos, M.Si ; Andry Priharta, SE, MM dan
Rina, SE ; Firdaus Pidada, S.Sos (Ini adik saya satu-satunya yang belum
menikah, semoga cepat menikah) ; dan Indra Lusahadi, SE dan Pipit, S.Sos.
Saya juga mengucapkan terima kasih atas semangat dan dukungan dari kalian.
Kekompakan dan kehangatan persaudaraan kita semoga tetap terjaga.
Saya beruntung mendapat mertua Bapak Prof. Dr.H. Soekarno dan Ibu
Hj. Siti Lamirah. Dorongan dan dukungan dari beliau lah yang membuat saya
percaya diri untuk menyelesaikan studi sarjana dan pascasarjana. ”Ancaman”
dari beliau yang tak akan mengizinkan putrinya menikah dengan saya kecuali
dapat menyelesaikan S1 belasan tahun yang lalu ternyata saya rasakan
manfaatnya sampai saat ini. Jika dahulu tidak “diancam” mungkin studi saya
berhenti sampai di tingkat sarjana muda saja. Sangat patut dikemukakan di sini
semangat untuk studi lanjut pascasarjana terasa semakin kuat karena dorongan
dan dukungan dari Bapak. Rasanya, kebaikan dan kemurahan hati yang bapak
dan ibu berikan tak akan dapat terbalas oleh saya. Bapak dan Ibu tak pernah
membedakan kasih sayang antara kepada anak dan menantu. Semoga Bapak
dan Ibu berbahagia dan tetap sehat menjalani hari tua yang indah.
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada adik-adik ipar saya :
Ir. Djoko Riadi, MM dan isteri : Ir. Ogawati ; Ir. Yuli Sasmita dan isteri : dr. Nur
Faizah ; drg. Viera Lasmiana dan suami : Chaerudin Lubis, SE, MM ; dan Ir.
Wahyu Surachmat, MM dan isteri : Chrisnawati Budi, S.Sos, Kekompakan,
kegembiraan, dan bakti kita pada Bapak dan Ibu harus dapat terus kita jaga.
Terakhir dan sangat penting. Saya mengucapkan terima kasih kepada isteri saya
tercinta : dr. Ratnawati dan tiga putra-putri buah cinta kami : Dian, Dina, dan
Danie. Kalian berempat adalah karunia Allah dan kebanggaan saya. Pengertian
dan kasih sayang kalian telah memudahkan saya dalam menyelesaikan studi
dan tugas melaksanakan berbagai peran sosial kemasyarakatan yang
diamanatkan kepada saya. Banyak waktu libur yang seharusnya menjadi milik
kalian terpaksa terkalahkan karena berbagai aktifitas saya tersebut. Tetapi
sungguh, di dalam kesibukan itu saya selalu ingat kalian sebagai amanah Allah.
Saya amat mencintai kalian, dan tentu saya pun merasakan kasih dan cinta
kalian. Semoga Allah selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada
keluarga kita.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Om Shanti..Shanti..Shanti..Om