feminisasi kemiskinan yang dihadapi pekerja seks …
TRANSCRIPT
1 Universitas Indonesia
FEMINISASI KEMISKINAN YANG DIHADAPI PEKERJA SEKS KOMERSIAL (STUDI KASUS PADA PEREMPUAN USIA PRODUKTIF
YANG TERPAKSA KEMBALI BEKERJA SEBAGAI PSK DI KABUPATEN INDRAMAYU)
Resna Anggria Putri, Johanna Debora Imelda
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai feminisasi kemiskinan yang dihadapi oleh perempuan usia produktif yang terpaksa kembali bekerja sebagai pekerja seks komersial di Kabupaten Indramayu. Data kualitatif yang diperoleh dikumpulkan melalui observasi dan wawancara mendalam. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa feminisasi kemiskinan tersebut dapat terlihat dari subordinasi dan marginalisasi yang dihadapi perempuan usia produktif yang menyebabkan mereka terpaksa kembali bekerja sebagai PSK. Subordinasi tersebut terjadi dalam bidang pendidikan dan pekerjaan. Sedangkan, marginalisasi yang dihadapi terjadi di dalam bidang pekerjaan. Kata kunci: feminisasi kemiskinan, marginalisasi, pekerja seks komersial, perempuan usia produktif, prostitusi, subordinasi
Abstract This study was carried out to obtain the description of feminization of poverty faced by productive-aged women who are forced to return to work as commercial sex workers in Indramayu Regency. The qualitative data were collected by conducting direct observation and in-depth interview. Based on the result of this study, the feminization of poverty could be seen from subordination and marginalization faced by women that caused them to return to work as sex workers. The subordination occured in education and work sectors. Meanwhile, the marginalization occured only in work sector when they quited being sex workers. Keywords: commercial sex workers, feminization of poverty, marginalization, productive-aged women, prostitution, subordination
1. Pendahuluan
Keberhasilan suatu negara dalam mencapai tingkat standar hidup yang baik sangat ditentukan
oleh strategi pembangunan di negara tersebut. Pembangunan tersebut bukan hanya
pembangunan ekonomi semata, melainkan juga pembangunan sosial yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Dengan jumlah yang hampir
separuh dari total penduduk, peran perempuan dalam pembangunan bangsa Indonesia sangat
besar dan merupakan aset bangsa yang potensial dan kontributor yang signifikan dalam
pembangunan bangsa sebagai agen perubahan (Jajuli, 2012).
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
2
Universitas Indonesia
Walaupun perempuan memiliki kontribusi yang besar dalam pembangunan di Indonesia,
sayangnya posisi mereka dapat dikatakan tidak menguntungkan karena tingginya angka
perempuan yang mengalami kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik Republik Indonesia pada
tahun 2008 dalam Curumur (2009, hal. 138) menunjukkan bahwa 70% dari jumlah penduduk
miskin di Indonesia yang mencapai 34,96 juta jiwa adalah perempuan.
Namun, bukan berarti perempuan yang bekerja terlepas dari kemiskinan. Walaupun mereka
masuk ke dunia kerja, banyak dari mereka ditempatkan di posisi yang rendah. Hal ini terlihat
dari banyaknya tenaga kerja perempuan yang ditempatkan di sektor informal. Menurut Sari
(2005), dari bulan Januari hingga April 2004, hanya 10,75% tenaga kerja perempuan yang
ditempatkan di sektor formal di luar negeri. Lebih jauh, Sari menyatakan bahwa sejumlah
89,25% tenaga kerja perempuan di Indonesia bekerja di sektor informal dengan pendapatan
rendah.
Salah satu akibat dari tingginya kemiskinan yang terjadi pada perempuan adalah banyak dari
mereka yang terpaksa bekerja sebagai pekerja seks komersial. Selain itu, tidak sedikit mantan
pekerja seks komersial yang kembali terjun ke dunia prostitusi. Sekitar 80% mantan pekerja
seks komersial yang berasal dari beberapa wilayah di Jawa Barat, termasuk Kabupaten
Indramayu, yang dimasukkan ke Badan Rehabilitasi Sosial Karya Wanita (BRSKW) di
Cirebon untuk diberikan pembinaan dan pelatihan selalu kembali menjajakan diri karena
berbagai alasan (Setianingsih, 2011).
Menurut Heyzer (1986, hal. 62), banyaknya perempuan yang kembali menjadi PSK,
disebabkan karena adanya pendekatan tradisional di mana perempuan-perempuan tersebut
dianggap hanya bisa melakukan pekerjaan di ranah domestik, seperti pembantu rumah
tangga. Padahal, pada saat melakukan pekerjaan tersebut, mereka mendapatkan upah yang
rendah, perlindungan yang minim, pekerjaan yang melelahkan (berjam-jam dan hampir tidak
ada hari libur), serta sering diperlakukan kasar dan buruk. Akhirnya, mereka lebih memilih
untuk bekerja sebagai PSK di panti pijat atau klub malam.
Kemiskinan yang menyebabkan mantan PSK kembali bekerja di dunia prostitusi bukanlah
kemiskinan dalam sudut pandang ekonomi saja. Arjani (2007, hal. 6) mengatakan kemiskinan
multidimensional yang tidak hanya dilihat dari sudut padang ekonomi semata yang dialami
perempuan menunjukkan adanya feminisasi kemiskinan. Lebih jauh, Arjani (2007, hal. 10)
mengatakan bahwa feminisasi kemiskinan berkaitan dengan budaya patriarki yang
berkembang di dalam masyarakat. Menurutnya, hal tersebut terlihat dari penempatan kaum
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
3
Universitas Indonesia
perempuan pada posisi subordinat (subordinasi), termarginal (marginalisasi), dan
terdiskriminasi (diskriminasi). Tetapi, karena di dalam subordinasi dan marginalisasi tersebut
memang terdapat diskriminasi terhadap perempuan, dalam penelitian ini, feminisasi
kemiskinan yang terlihat dibatasi pada subordinasi dan marginalisasi saja agar dapat
menghindari adanya tumpang tindih dari konsep-konsep tersebut.
Pertanyaan umum yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah “bagaimana feminisasi
kemiskinan yang dihadapi mantan pekerja seks komersial yang membuat mereka terpaksa
kembali bekerja sebagai PSK?”
Ada pun pertanyaan-pertanyaan khusus yang dapat memperjelas fokus penelitian ini adalah
1.) Bagaimana subordinasi yang dihadapi mantan pekerja seks komersial yang membuat
mereka terpaksa kembali bekerja sebagai PSK? 2.) Bagaimana marginalisasi yang dihadapi
mantan pekerja seks komersial yang membuat mereka terpaksa kembali bekerja sebagai
PSK?
2. Metodologi
2.1 Pendekatan dan Strategi Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Creswell (2010,
hal. 262) menyatakan bahwa “dalam keseluruhan proses penelitian kualitatif, peneliti terus
fokus pada usaha mempelajari makna yang disampaikan pada partisipan tentang masalah atau
isu penelitian”. Lebih jauh, Creswell (2010, hal 263) mengungkapkan bahwa salah satu
karakteristik dari penelitian kualitatif adalah penggunaan pandangan yang subjektif dan
beragam. Pendekatan ini dipilih karena peneliti ingin menerjemahkan data dan memaknainya
menggunakan cara pandang, perasaan, dan persepsi pekerja seks komersial usia produktif,
bukan menggunakan data berupa angka-angka seperti pada penelitian kuantitatif. Untuk
melihat cara pandang, perasaan, dan persepsi partisipan, peneliti tidak dapat menggunakan
kuesioner yang akan membatasi jawaban partisipan. Karena itu, peneliti harus menjadi
instrumen utama dalam penelitian di mana peneliti mengumpulkan sendiri data melalui
interaksi langsung terhadap informan. Selain itu, secara pribadi, peneliti ingin melihat
masalah ini menggunakan pandangan-pandangan menyeluruh (holistik) yang subjektif dan
beragam meningat feminisasi kemiskinan yang dihadapi PSK yang satu dengan yang lainnya
pasti berbeda-beda.
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
4
Universitas Indonesia
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study). Stake dalam
Creswell (2010, hal. 20) menganggap bahwa “studi kasus menekankan pada eksplorasi proses
atau aktivitas-aktivitas yang terjadi secara spesifik pada lembaga, kelompok, atau individu
tertentu”. Lebih jauh, Yin (1989) menekankan bahwa penggunaan multi sumber bukti
merupakan salah satu prinsip penting pengumpulan data dalam studi kasus. Studi kasus
dipilih mengingat peneliti ingin menitikberatkan penelitian ini pada identifikasi bagaimana
feminisasi kemiskinan yang secara spesifik terjadi pada kelompok tertentu, yaitu pekerja seks
komersial. Feminisasi kemiskinan sendiri merupakan suatu proses yang menjadi fokus dalam
penelitian ini. Oleh karena itu, penggunaan strategi ini pun akan menentukan pertanyaan
penelitian yang diajukan. Karena studi kasus bertujuan untuk melihat proses, maka
pertanyaan penelitian berawal dari pertanyaan “bagaimana”. Alasan lain peneliti
menggunakan studi kasus adalah peneliti akan menggunakan lebih dari satu informan yang
merupakan pekerja seks komersial dalam usia produktif dan memperhatikan sumber-sumber
bukti lainnya, seperti keluarga atau teman dekat informan.
2.2 Teknik Pengumpulan Data
Creswell (2010, hal. 266-270) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, pengumpulan
data dapat dilakukan melalui wawancara, observasi, dokumen kualitatif, dan materi audio
visual. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa fokus penelitian ini merupakan masalah yang
cukup sensitif di Indonesia karena masih terdapat stigma negatif terhadap PSK dalam
masyarakat. Oleh karena itu, peneliti harus mempertimbangkan secara matang teknik yang
akan digunakan dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini. Peneliti haruslah
menghargai para partisipan dan tempat yang akan diteliti karena banyak masalah etis yang
mungkin muncul selama tahap pengumpulan data.
Teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah observasi,
yaitu melihat perilaku dan aktivitas partisipan di lokasi penelitian, kemudian mencatatnya.
Observasi tersebut dilakukan sebelum dan pada saat penelitian. Observasi yang dilakukan
sebelum penelitian dilakukan untuk mendapatkan gambaran awal mengenai kondisi serta
permasalahan yang berada di lokasi penelitian. Sedangkan, observasi yang dilakukan pada
saat penelitian dilakukan bersamaan dengan wawancara mendalam dan triangulasi.
Selain observasi, teknik lain yang dilakukan adalah wawancara mendalam. Menurut peneliti,
dalam penelitian ini, teknik yang paling cocok digunakan untuk memperoleh gambaran
mengenai feminisasi kemiskinan yang terjadi pada PSK dalam usia produktif ialah
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
5
Universitas Indonesia
wawancara mendalam dengan informan. Melalui wawancara secara langsung, peneliti
mendapatkan data mengenai cara pandang, perasaan, dan persepsi PSK dalam usia produktif
yang menggambarkan feminisasi kemiskinan yang terjadi pada mereka secara mendalam.
2.3 Lokasi Penelitian
Peneliti melakukan penelitian di luar institusi, yaitu di salah satu kecamatan di Kabupaten
Indramayu. Kabupaten Indramayu dipilih sebagai lokasi penelitian karena mengacu pada
Wibowo dalam International Labour Organization (1998, hal. 47), Kabupaten Indramayu
identik sebagai pemasok pekerja seks komersial (a source area for sex workers) karena
tingginya angka prostitusi di daerah tersebut. Ada pun kecamatan yang dipilih, sebut saja
Kecamatan X tidak dapat dijelaskan secara detail karena terkait dengan kode etik dalam
penelitian yang tergolong sensitif dan harus terjamin kerahasiaannya.
2.4 Teknik Pemilihan Informan
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik nonprobability sampling, yaitu teknik
pemilihan informan yang tidak memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anggota
populasi untuk dipilih menjadi informan (Sugiyono, 2011, hal. 125). Teknik nonprobability
sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Sugiyono (2011, hal. 126) menganggap
purposive sampling sebagai teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu di mana
sumber data merupakan orang yang dianggap paling mengetahui informasi yang kita
harapkan.
Dalam penentuan informan, dipilih orang-orang yang dianggap dapat memudahkan peneliti
menjelajahi objek atau situasi sosial yang akan diteliti. Seperti dalam penelitian ini, informan
yang dipilih merupakan perempuan usia produktif yang kembali sebagai PSK karena mereka
lah yang mengalami subordinasi dan marginalisasi sehingga dianggap mampu memberikan
informasi yang mendalam untuk menggambarkan masalah tersebut. Oleh karena itu, peneliti
menganggap bahwa teknik pemilihan informan tersebut merupakan teknik yang paling tepat
dilakukan dalam penelitian ini.
Ada pun informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah pekerja seks komersial yang
berusia 20-40 tahun yang termasuk ke dalam usia produktif (15-64 tahun) yang pernah
berhenti dan kembali bekerja sebagai PSK. Hal ini disebabkan karena peneliti lebih banyak
bertemu PSK dengan rentang usia 20-40 tahun di lokasi penelitian. Informan yang dipilih
merupakan PSK yang bekerja di beberapa warung yang terdapat di Kecamatan X.
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
6
Universitas Indonesia
Selain itu, untuk mendapatkan keakuratan dan kelengkapan data mengenai feminisasi
kemiskinan yang dihadapi oleh pekerja seks komersial, peneliti juga memilih informan
pendukung, antara lain keluarga informan (4 orang), teman/peer group informan (2 orang),
serta mucikari (1 orang).
3. Kerangka Pemikiran
Feminisasi kemiskinan merupakan sebuah istilah yang menekankan bahwa perempuan
miskin dianggap lebih miskin dibandingkan dengan laki-laki yang juga hidup dalam
kemiskinan yang menyebabkan kemiskinan menjadi identik dengan perempuan (Moghadam,
2005, hal. 2). Gimenez dalam Moghadam (2005, hal. 7) pun mengatakan bahwa kemiskinan
yang terjadi pada laki-laki merupakan konsekuensi dari adanya pengangguran sehingga dapat
ditanggulangi dengan memberikan pekerjaan. Akan tetapi, kemiskinan yang dihadapi oleh
perempuan akan tetap terjadi walaupun perempuan bekerja dalam waktu penuh. Hal itulah
yang mengakibatkan perempuan dianggap lebih rentan mengalami kemiskinan.
Chant (2007, hal. 1) menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi ciri bahwa
perempuan menghadapi feminisasi kemiskinan. Karakteristik tersebut antara lain perempuan
mengalami insiden kemiskinan lebih tinggi daripada laki-laki, perempuan mengalami
kemiskinan yang lebih dalam dan ekstrim daripada laki-laki, perempuan cenderung
mengalami kemiskinan dalam jangka panjang dibandingkan laki-laki, beban kemiskinan
perempuan lebih berat jika dibandingkan dengan laki-laki, perempuan menghadapi lebih
banyak hambatan untuk keluar dari kemiskinan, adanya feminisasi kepala rumah tangga di
mana perempuan menjadi kepala rumah tangga karena berbagai sebab, perempuan yang
menjadi kepala keluarga merupakan orang termiskin di antara orang-orang miskin (the
poorest of the poor), serta perempuan yang menjadi kepala keluarga tersebut akan
“menurunkan” kemiskinan kepada anak-anak mereka.
Menurut Arjani (2007, hal. 10), feminisasi kemiskinan berkaitan dengan budaya patriarki
yang berkembang di dalam masyarakat. Lebih jauh, Arjani menjelaskan bahwa hal tersebut
dapat terlihat dari subordinasi atau penempatan kaum perempuan pada posisi subordinat,
marginalisasi atau penempatan kaum perempuan pada posisi marginal, serta diskriminasi.
Namun, karena di dalam subordinasi dan marginalisasi tersebut terdapat diskriminasi
terhadap perempuan, dalam penelitian ini, feminisasi kemiskinan yang terlihat dibatasi pada
subordinasi dan marginalisasi saja sehingga menghindari adanya tumpang tindih dari konsep
tersebut.
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
7
Universitas Indonesia
Penempatan kaum perempuan pada posisi subordinat disebut sebagai subordinasi. KP3A
Republik Indonesia (2010) mendefinisikan subordinasi sebagai “suatu penilaian atau
anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang
lain.”
Subordinasi terhadap perempuan tersebut dapat terlihat dari beberapa aspek, yaitu: 1.)
banyaknya kegiatan dan ciri-ciri kaum perempuan yang dianggap kurang penting, lemah,
kurang berharga, dibandingkan dengan kegiatan dan ciri-ciri kaum pria (Bemmelen, 1995,
hal. 183); 2.) perempuan memiliki otoritas yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki karena
adanya anggapan bahwa perempuan hanya dapat mengurusi hal-hal dalam arena rumah
tangga (domestik) saja di saat laki-laki dianggap memiliki kapabilitas dalam arena publik
(Ridjal, Margani, & Husein, 1993, hal. 33-34).
Dalam penelitian ini, konsep subordinasi yang digunakan adalah subordinasi dalam bidang
pendidikan dan pekerjaan. Berdasarkan indikator yang telah dijelaskan, subordinasi di bidang
pendidikan dapat terlihat dari adanya otoritas perempuan yang lebih sedikit dibandingkan
laki-laki sehingga posisi mereka lebih lemah daripada laki-laki, yakni tidak adanya
pemberian prioritas bagi anak perempuan untuk bersekolah dalam keluarga serta adanya
anggapan bahwa pendidikan kurang penting bagi perempuan. Sedangkan, subordinasi di
bidang pekerjaan dapat terlihat dari otoritas perempuan yang lebih sedikit daripada laki-laki
di bidang pekerjaan di mana terdapat anggapan bahwa perempuan hanya dapat bekerja di
ranah domestik saja.
Menurut Dejardin & Awad (1995, hal. 10), marginalisasi terhadap perempuan tersebut dapat
terlihat dari: 1.) Adanya anggapan bahwa tanggung jawab domestik dan reproduktif
perempuan sebagai merupakan fungsi utama mereka; 2.) perempuan menghadapi hambatan
dalam mengakses jasa dan sumber daya produktif; 3.) perempuan dianggap sebagai pencari
nafkah sekunder, sedangkan laki-laki dianggap pencari nafkah utama; 3.) pekerjaan
perempuan cenderung kurang dihargai.
Dalam penelitian ini, konsep marginalisasi yang digunakan adalah marginalisasi dalam
bidang pendidikan dan pekerjaan. Berdasarkan indikator yang telah dijelaskan, marginalisasi
dalam bidang pendidikan terlihat dari adanya hambatan bagi perempuan untuk mengakses
pendidikan. Sedangkan, dalam bidang pekerjaan, marginalisasi dapat terlihat dari anggapan
bahwa perempuan merupakan pencari nafkah sekunder dan pekerjaan perempuan yang
kurang dihargai, baik secara sosial maupun ekonomi.
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
8
Universitas Indonesia
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Subordinasi yang Dihadapi
• Subordinasi di Bidang Pendidikan
Dalam penelitian ini, subordinasi di bidang pendidikan ditemukan pada beberapa kasus, yaitu
kasus yang dialami Bunga, Indri, dan Mona. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bunga,
diketahui bahwa orang tuanya menganggap bahwa pendidikan tidak begitu penting bagi
perempuan. Anak perempuan dalam keluarganya memang diprioritaskan untuk menikah
muda, bahkan dijodohkan. Kakak pertama Bunga dipaksa untuk menikah pada usia 17 tahun.
Lalu, pada saat kakak pertama Bunga melahirkan anak pertama, kakaknya yang kedua pun
dijodohkan setelah tiga tahun lulus dari sekolah dasar. Namun, anak laki-laki dalam
keluarganya diperbolehkan untuk sekolah hingga tingkat lanjut walaupun hanya sampai
tingkat SMP. Hal tersebut pun diakui oleh Bapak T1 yang merupakan kakak sepupu Bunga.
Menurutnya, adik laki-laki Bunga memang disekolahkan hingga tingkat SMP dengan alasan
bahwa anak laki-laki harus bekerja.
Sama seperti yang dialami Bunga, Mona pun merasa kesulitan untuk mencari pekerjaan yang
layak ketika berhenti menjadi PSK. Hal tersebut disebabkan karena ia tidak memiliki
pendidikan yang memadai untuk mencari pekerjaan. Orang tua Mona menyekolahkan adik
laki-lakinya (anak kedua) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Sedangkan, ia dan adik
perempuannya hanya disekolahkan sampai bangku Sekolah Dasar (SD).
Berbeda dengan Bunga dan Mona, Indri mengaku bahwa ia telah terpengaruh dengan teman-
temannya. Sebagian besar teman-temannya menganggap bahwa pendidikan bagi perempuan
itu kurang penting karena nantinya perempuan tidak perlu bekerja dan akan dibiayai oleh
suami. Artinya, perempuan dianggap tergantung dengan laki-laki yang dianggap lebih
‘superior’ dibandingkan perempuan. Hal serupa pun diakui oleh T3 yang merupakan salah
satu teman yang mempengaruhi Indri. Menurutnya, ia dan teman-temannya, termasuk Indri,
sempat berpikir bahwa pendidikan tidak begitu penting bagi perempuan. Mereka
beranggapan bahwa mereka tidak perlu bekerja karena hanya tinggal menikah dan mengurus
anak saja sehingga tidak perlu bersekolah hingga lanjut. Ternyata, pemikiran teman-teman
Indri tersebut telah mempengaruhi Indri. Indri menuturkan bahwa ia menjadi malas untuk
bersekolah dan menganggap bahwa pendidikan memang tidak penting untuk perempuan.
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
9
Universitas Indonesia
Perlakuan yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan dalam keluarga Bunga dan
Mona, menurut Ridjal, Margani, & Husein, merupakan salah satu bentuk subordinasi
terhadap perempuan di mana perempuan memiliki otoritas yang lebih sedikit dibandingkan
laki-laki. Dalam dua kasus ini, ditemukan bahwa otoritas tersebut merupakan otoritas dalam
hal pendidikan. Anak laki-laki dalam keluarga Bunga dan Mona lebih diberi prioritas untuk
bersekolah. Sedangkan, anak perempuan kurang diberikan kesempatan untuk bersekolah
hingga lanjut. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki otoritas yang lebih
sedikit dalam hal pendidikan dibandingkan laki-laki sehingga pendidikan mereka menjadi
rendah.
Pada kasus Bunga, rendahnya pendidikan menyebabkan ia tidak percaya diri untuk mencari
pekerjaan yang layak ketika ia berhenti menjadi pekerja seks komersial sehingga memilih
untuk diam saja di rumah. Padahal, ia memiliki anak yang harus dibiayai setelah bercerai
dengan mantan suaminya. Ia tidak ingin terus-menerus membebani anak pertamanya serta
anak kakaknya yang pertama dan kedua yang membiayainya ketika ia berhenti menjadi PSK.
Ia pun ingin dapat hidup secara mandiri dan tidak tergantung dengan orang lain. Karena
merasa tidak bisa mencari pekerjaan yang layak akibat subordinasi di bidang pendidikan yang
sudah tersosialisasi sejak lama dalam keluarga tersebut, ia pun memutuskan untuk kembali
terjun ke dunia prostitusi setelah sempat berhenti selama satu tahun.
Seperti yang terjadi pada Bunga, pada kasus Mona, rendahnya pendidikan akibat subordinasi
di bidang pendidikan dalam keluarga juga membuatnya tidak percaya diri untuk mencari
pekerjaan lain. Akan tetapi, berbeda dengan Bunga, ia sempat memiliki pekerjaan ketika
berhenti menjadi PSK, yaitu menjadi buruh tani. Namun, ia merasa pekerjaannya tersebut
kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Padahal, setelah bercerai dengan mantan
suaminya, Mona harus membiayai kehidupan anak hasil pernikahannya dengan mantan
suaminya tersebut. Selain itu, ia pun harus membiayai ibu dan adik-adiknya.Akhirnya, karena
merasa tidak ada jalan lain, ia pun terpaksa kembali bekerja sebagai PSK.
Subordinasi dalam bidang pendidikan juga dialami oleh Indri. Berbeda dengan Bunga dan
Mona, Indri mengalami subordinasi dalam lingkungan peer group. Hal itu terlihat dari
adanya anggapan dari teman-temannya bahwa perempuan tidak perlu bersekolah karena
nantinya akan ikut suami dan mengurus rumah tangga. Mengacu pada Ridjal, Margani, &
Husein, anggapan tersebut merupakan salah satu bentuk subordinasi yakni perempuan
dianggap hanya bisa mengurusi ranah domestik (rumah tangga) sehingga tidak perlu
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
10
Universitas Indonesia
bersekolah. Walaupun kasus yang dialami Indri tidak terkait dengan pemberian prioritas
untuk bersekolah seperti yang terjadi pada kasus Bunga dan Mona, tetapi berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa anggapan teman-temannya tersebut
ternyata sangat mempengaruhi pemikiran Indri. Ia pun menganggap bahwa pendidikan
memang kurang penting bagi perempuan dan menjadi malas untuk bersekolah.
Namun, setelah bercerai karena sering kali disakiti oleh mantan suaminya, Indri sangat
menyesali hal tersebut. Ia baru merasakan pentingnya pendidikan setelah ia berjuang menjadi
tulang punggung keluarga. Anggapan yang membuatnya malas untuk bersekolah hingga
lanjut tersebut ternyata membuatnya mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Pada
saat berhenti, Indri memang sempat bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Namun, ia
merasa tidak nyaman dengan pekerjaan tersebut. Ia mengaku bahwa ia tidak bisa mencari
pekerjaan yang lebih layak karena tidak bisa membaca dan menulis. Seperti yang terjadi pada
kasus yang dialami Bunga dan Indri, subordinasi yang sudah tersosialisasi sejak lama dalam
peer group tersebut membuat Indri tidak memiliki pendidikan yang memadai. Hal itu
menyebabkan ia kesulitan mencari pekerjaan yang layak di saat ia harus membesarkan kedua
anaknya sendirian setelah bercerai dengan suaminya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk
kembali bekerja sebagai pekerja seks komersial.
Subordinasi di bidang pendidikan yang terjadi pada Bunga, Indri, dan Mona membuat mereka
kesulitan untuk mencari pekerjaan yang layak sehingga sulit untuk memperbaiki kondisi
mereka. Mengacu pada Chant, hal tersebut merupakan salah satu karakteristik dari feminisasi
kemiskinan di mana perempuan mengalami kesulitan untuk keluar dari kemiskinan.
Dari analisis yang telah dijabarkan, jelas terlihat bahwa subordinasi di bidang pendidikan
yang terjadi pada Bunga, Indri, dan Mona merupakan subordinasi yang sudah tersosialisasi
jauh sebelum mereka menjadi pekerja seks komersial. Subordinasi di bidang pendidikan yang
terjadi pada Bunga dan Mona merupakan subordinasi yang sudah tersosialisasi sejak dulu di
dalam lingkungan keluarga yang terlihat dari tidak adanya prioritas bagi anak perempuan
untuk bersekolah hingga lanjut. Sedangkan, subordinasi di bidang pendidikan yang terjadi
pada Indri adalah subordinasi yang tersosialisasi di dalam lingkungan teman sebaya (peer
group) yang terlihat dari adanya anggapan bahwa perempuan tidak perlu bersekolah.
Subordinasi yang sudah tersosialisasi sejak lama tersebut ternyata mempengaruhi mereka
untuk kembali bekerja sebagai PSK.
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
11
Universitas Indonesia
• Subordinasi di Bidang Pekerjaan
Dalam penelitian ini, subordinasi di bidang pekerjaan ditemukan pada kasus Ratu, Mona, dan
Dita. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ratu, selain karena keinginannya sendiri, ternyata
orang tuanya pun memintanya untuk kembali bekerja di warung. Orang tuanya menganggap
bahwa jika Ratu melamar pekerjaan lain, belum tentu ia akan diterima karena ia merupakan
perempuan. Begitu pula dengan yang dialami Mona, keputusannya untuk kembali terjun ke
dunia prostitusi salah satunya dipengaruhi oleh teman sesama PSK yang bekerja di warung.
Teman-temannya membujuk Mona agar kembali bekerja karena menurut mereka, perempuan
sulit mencari kerja. Apalagi, jika tidak bersekolah hingga lanjut dan memiliki ijazah seperti
Mona. Akhirnya, ia terpengaruh dengan ucapan teman-temannya tersebut. Ia pun merasa
bahwa perempuan memang tidak memiliki potensi apa pun yang dapat menjanjikan selain
bekerja sebagai PSK.
Hal serupa dialami Dita. Ia menuturkan bahwa ibu kandungnya lah yang memintanya untuk
kembali terjun ke dunia prostitusi. Ia pun mengungkapkan bahwa sebenarnya ibunya
menginginkan ia menikah lagi agar ia dapat dibiayai oleh suaminya kelak. Namun, ia sendiri
belum siap untuk kembali menjalin hubungan dengan laki-laki setelah suaminya meninggal
dunia. Oleh karena itu, ibunya memintanya untuk kembali bekerja di warung agar tetap bisa
memenuhi kebutuhan keluarga.
Mengacu pada Ridjal, Margani, & Husein, subordinasi di bidang pekerjaan salah satunya
dapat terlihat dari adanya anggapan bahwa perempuan tidak memiliki kapabilitas untuk
bekerja di ranah publik dan hanya dapat mengurusi hal-hal dalam arena rumah tangga
(domestik) saja, seperti yang dialami oleh Ratu, Mona, dan Dita pada saat mereka berhenti
menjadi pekerja seks komersial.
Pada kasus Ratu dan Mona, tampak bahwa mereka dianggap akan sulit mencari pekerjaan
lain karena identitas mereka sebagai perempuan. Anggapan tersebut sebenarnya
menunjukkan bahwa perempuan dianggap hanya bisa mengurusi hal-hal dalam ranah
domestik saja sehingga akan sulit untuk mencari pekerjaan. Akhirnya, orang tua Ratu dan
teman-teman Mona sesama PSK mempengaruhi mereka untuk kembali bekerja di dunia
prostitusi. Hal itu menyebabkan mereka terpaksa kembali bekerja sebagai PSK.
Sedangkan, pada kasus Dita, subordinasi di bidang pekerjaan dapat terlihat dari adanya
anggapan bahwa perempuan tergantung dengan laki-laki secara ekonomi. Ibu kandung Dita
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
12
Universitas Indonesia
memintanya untuk menikah lagi agar dapat dinafkahi oleh suami. Akan tetapi, karena Dita
belum siap untuk kembali menjalin hubungan, ibu kandungnya justru memintanya untuk
kembali bekerja sebagai PSK. Anggapan ini sebenarnya pun menunjukkan bahwa perempuan
dianggap tidak memiliki kapabilitas untuk bekerja di ranah publik sehingga harus tergantung
dengan laki-laki yang dianggap ‘lebih mampu’ bekerja. Pada akhirnya, hal tersebut
menyebabkan Dita kembali bekerja di dunia prostitusi.
Subordinasi di bidang pekerjaan yang dialami oleh Ratu, Mona, dan Dita menunjukkan
adanya feminisasi kemiskinan. Mengacu pada Chant, salah satu karakteristik dari feminisasi
kemiskinan adalah perempuan mengalami kesulitan untuk keluar dari kemiskinan. Adanya
subordinasi di bidang pekerjaan membuat mereka kesulitan untuk memperbaiki kondisi
mereka dan tetap terkungkung dalam kemiskinan karena dianggap tidak memiliki kapabilitas
untuk bekerja dan hanya bisa mengurusi hal-hal di ranah rumah tangga (domestik) saja.
Berdasarkan analisis yang telah dijabarkan, jelas terlihat bahwa subordinasi di bidang
pekerjaan yang terjadi pada Ratu, Mona, dan Dita hanya terjadi ketika mereka berhenti
menjadi pekerja seks komersial, bukan subordinasi yang sudah tersosialisasi sejak lama.
Subordinasi di bidang pekerjaan yang dialami Ratu dan Dita terjadi di lingkungan keluarga
yang terlihat dari adanya anggapan bahwa perempuan tidak memiliki kapabilitas untuk
bekerja di ranah publik sehingga akan sulit mencari pekerjaan. Sedangkan, subordinasi di
bidang pekerjaan yang dihadapi Mona terjadi di dalam lingkungan peer group (teman sesama
PSK) yang juga terlihat dari adanya anggapan bahwa perempuan tidak memiliki kapabilitas
untuk bekerja di ranah publik.
4.2 Marginalisasi yang Dihadapi
• Marginalisasi di Bidang Pendidikan
Dalam penelitian ini, marginalisasi di bidang pendidikan ditemukan pada dua kasus, yaitu
Bunga dan Mona. Marginalisasi di bidang pendidikan tersebut terjadi dalam lingkungan
keluarga. Menurut pengakuan Bunga dan Mona, kedua orang tuanya tidak memberikan
kesempatan bagi mereka untuk bersekolah hingga jenjang yang lebih tinggi. Sebagai anak
perempuan, Bunga dan Mona dianggap tidak perlu bersekolah karena nantinya akan menikah
dan dibiayai oleh suami. Hal tersebut menunjukkan bahwa Bunga dan Mona memiliki
hambatan dalam mengakses pendidikan karena tidak memiliki kesempatan untuk bersekolah.
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
13
Universitas Indonesia
Menurut Dejardin & Awad, adanya hambatan dalam mengakses pendidikan membuat
perempuan menjadi terpinggirkan. Hambatan tersebut sebenarnya merupakan dampak dari
adanya anggapan bahwa tanggung jawab reproduktif dan domestik merupakan fungsi utama
perempuan, seperti yang dialami oleh Bunga dan Mona. Berdasarkan hasil wawancara
dengan kedua informan tersebut, terlihat bahwa orang tua mereka menganggap bahwa
mereka harus mengurusi hal-hal di ranah domestik saja sehingga tidak diberikan kesempatan
untuk bersekolah. Bahkan, orang tua Bunga justru meminta Bunga untuk menikah muda. Hal
itu menyebabkan mereka akhirnya merasa kesulitan untuk mencari pekerjaan yang lebih
layak dan memutuskan untuk kembali bekerja di dunia prostitusi.
Marginalisasi di bidang pendidikan dalam lingkungan keluarga tersebut menunjukkan adanya
feminisasi kemiskinan. Menurut Chant, salah satu karakteristik feminisasi kemiskinan adalah
perempuan mengalami kemiskinan yang lebih dalam dan ekstrim. Tidak diberikannya
kesempatan bagi Bunga dan Mona untuk bersekolah hingga jenjang yang lebih tinggi
membuat kemiskinan yang dialami mereka lebih dalam karena lemahnya human capital.
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa marginalisasi di bidang pendidikan yang
dialami oleh Bunga dan Mona dalam keluarga sudah terjadi sejak lama, bukan ketika mereka
berhenti menjadi PSK. Marginalisasi di bidang pendidikan tersebut terlihat dari adanya
hambatan bagi perempuan untuk mengakses pendidikan yang ditunjukkan dengan tidak
diberikannya kesempatan bagi informan untuk bersekolah hingga jenjang yang lebih tinggi.
Hal itu menyebabkan lemahnya human capital yang pada akhirnya membuat mereka tidak
percaya diri untuk mencari pekerjaan yang layak. Mereka pun memutuskan untuk kembali
bekerja sebagai PSK karena menganggap bahwa mereka tidak memiliki kemampuan lain.
• Marginalisasi di Bidang Pekerjaan
Dalam penelitian ini, marginalisasi di bidang pekerjaan ditemukan pada beberapa kasus, yaitu
Indri, Ratu, Mona, serta Dita. Menurut penuturan Indri, setelah menikah pada tahun 1998,
Indri memutuskan untuk berhenti menjadi PSK. Pada saat itu, ia pun bekerja sebagai
pembantu rumah tangga, masih di salah satu daerah di Kabupaten Indramayu. Akan tetapi,
pada saat bekerja sebagai pembantu, ia mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan dari
majikannya berupa kekerasan secara verbal. Ia mengaku sering dibentak oleh majikannya.
Terlebih lagi, penghasilannya sebagai pembantu dianggap tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Hal yang serupa dijelaskan oleh Ibu T2 yang merupakan ibu kandung
Indri. Menurut Ibu T2, Indri memang tidak betah bekerja sebagai pembantu. Ia menuturkan
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
14
Universitas Indonesia
bahwa pendapatan yang dihasilkan Indri sangat sedikit, yaitu Rp. 30.000 per hari. Padahal,
anak perempuannya itu hanya bekerja tiga kali dalam seminggu. Artinya, dalam sebulan, ia
mendapatkan penghasilan sebanyak Rp. 360.000.
Tak jauh berbeda dengan Indri, Ratu pun mengalami hal serupa. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Ratu, pada saat ia berhenti menjadi PSK, ia sempat bekerja di pabrik
konveksi bahan jaket di Jakarta selama tiga tahun. Ia pertama kali bekerja di sana pada saat ia
telah bercerai dengan suaminya di tahun 2003. Namun, pada awal tahun 2006, ia
memutuskan untuk berhenti bekerja di pabrik tersebut karena merasa lelah bekerja di Jakarta.
Ia menganggap pendapatan yang ia hasilkan tergolong sedikit. Padahal, pekerjaannya di
pabrik tersebut cukup melelahkan. Menurut penuturannya, ia bekerja tiga shift dalam sehari.
Ia bekerja dari pagi hingga larut malam. Akan tetapi, ia mendapatkan upah yang minim.
Menurutnya, ia hanya digaji Rp. 1.000.000 setiap bulannya. Padahal, pekerjaan tersebut
membutuhkan keterampilan dan sangat menguras tenaga. Menurut Ibu T4 yang merupakan
pengelola ‘warung’ (mucikari) tempat Ratu bekerja, Ratu memang sudah lelah bekerja di
Jakarta sehingga ia memilih untuk berhenti. Selain itu, pendapatan yang Ratu hasilkan selama
bekerja di pabrik konveksi dianggap kurang bisa mencukupi kebutuhan. Ia pun menuturkan
bahwa Ratu mengaku merasa lebih nyaman bekerja di tempatnya.
Selain Indri dan Ratu, Dita pun pernah menghadapi hal yang sama. Pada tahun 2007, Dita
memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai PSK. Sama seperti Indri, pada saat itu, Dita pun
bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Namun, ketika bekerja sebagai pembantu, ia
mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan dari majikannya berupa kekerasan secara
verbal. Bahkan ia pernah dituduh mencuri telepon genggam milik anak majikannya yang
menyebabkan ia harus menerima berbagai cacian dari majikannya tersebut. Ibu T7 pun
menuturkan hal yang senada. Menurutnya, majikan di tempat Dita bekerja sebagai pembantu
rumah tangga memang galak. Ia pun mengakui bahwa anaknya tersebut sempat dituduh
mencuri telepon genggam milik anak majikannya.
Mengacu pada Dejardin & Awad, Indri, Ratu, dan Dita telah mengalami marginalisasi atau
peminggiran terhadap perempuan. Marginalisasi yang dialami mereka merupakan
marginalisasi di bidang pekerjaan. Dalam kasus ini, terlihat bahwa pekerjaan yang dilakukan
mereka ketika berhenti menjadi PSK yang tergolong sebagai pekerjaan di ranah domestik
tersebut kurang dihargai, baik secara sosial, maupun ekonomi. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh seorang pembantu rumah tangga memang kegiatan yang diidentikkan sebagai
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
15
Universitas Indonesia
pekerjaan perempuan, seperti mencuci pakaian, menyetrika, membersihkan rumah, dan
memasak. Begitu pula dengan pekerjaan di pabrik konveksi bahan jaket yang dilakukan Ratu
ketika berhenti menjadi PSK, yaitu menjahit dan membordir.
Namun, pekerjaan yang sebenarnya membutuhkan keterampilan dan menguras tenaga itu
justru kurang dihargai, baik secara sosial, maupun ekonomi. Pekerjaan yang melelahkan tidak
sebanding dengan pendapatan yang mereka peroleh yang menunjukkan bahwa pekerjaan
tersebut kurang dihargai secara ekonomi, seperti yang terjadi pada Indri dan Ratu. Selain itu,
beberapa informan, yaitu Indri dan Dita kurang dihargai secara sosial, yakni mereka
mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan selama bekerja. Peristiwa yang dialami
mereka di mana pekerjaan atau sektor yang didominasi oleh perempuan cenderung kurang
dihargai, baik secara sosial, maupun ekonomi, menurut Dejardin & Awad, menunjukkan
adanya marginalisasi terhadap perempuan. Hal tersebut menyebabkan mereka lebih memilih
untuk kembali menjadi PSK karena dianggap lebih bisa membuat mereka lebih sejahtera.
Berbeda dengan yang dialami Indri, Ratu, dan Dita, Mona mengalami marginalisasi bahkan
ketika pekerjaan yang dilakukannya tidak identik atau didominasi oleh perempuan. Pada saat
Mona memiliki suami, ia berhenti bekerja sebagai PSK dan mulai bekerja di sawah sebagai
buruh tani. Awalnya, ia ingin berjualan. Akan tetapi, ia tidak memiliki modal. Pekerjaannya
sebagai buruh tani tersebut diakuinya sangat melelahkan. Ia harus berangkat kerja pada pukul
delapan pagi dan selesai pada pukul empat sore. Ada pun pekerjaan yang dilakukannya pada
saat bertani adalah tandur atau menanam padi, panen padi, menjemur padi, serta
membersihkan tanaman padi dari rumput liar atau gulma.
Selain melelahkan, ternyata pendapatan yang Mona terima ketika bekerja di sawah,
menurutnya, sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Hal serupa dituturkkan
oleh Ibu T5. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu T5, terlihat bahwa pekerjaan Mona
sebagai buruh tani memang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu,
menurut Mona, pendapatan yang ia terima memang berbeda dengan buruh tani laki-laki. Pada
saat tandur (menanam padi), Mona mendapatkan Rp. 6.500 sekali kerja. Selain itu, ia pun
mendapatkan makan siang, teh, dan makanan ringan. Menurut Mona, upah tersebut lebih
rendah dibandingkan buruh tani laki-laki yang mendapatkan Rp. 8.000 ditambah dengan
makan siang, kopi, dan juga makanan ringan setiap melakukan tandur. Apabila sedang tidak
ada kegiatan tandur atau panen, ia terpaksa menganggur dan tidak mendapatkan upah. Mona
pun hanya bisa bersabar menghadapi hal tersebut. Terkadang, ia harus meminjam uang pada
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
16
Universitas Indonesia
orang lain. Jika musim tandur atau panen telah datang, ia baru bisa membayar pinjaman
tersebut.
Pada kasus ini, terlihat bahwa Mona sudah membanting tulang dari pagi hingga sore untuk
membiayai kebutuhan keluarganya (Ibu dan adik-adiknya). Akan tetapi, upah yang ia terima
ternyata sangat kurang sehingga ia terpaksa harus meminjam uang kepada tetangganya.
Sedangkan, upah yang diterima buruh tani laki-laki ternyata lebih tinggi dibandingkan
dengan upah yang ia terima. Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun pekerjaan tersebut
tidak identik dengan pekerjaan perempuan, pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan tetap
kurang dihargai dibandingkan dengan yang dilakukan oleh laki-laki. Padahal, buruh tani
perempuan dan buruh tani laki-laki melakukan pekerjaan dengan tingkat yang sama. Artinya,
posisi perempuan tetap terpinggirkan (marginal) dibandingkan laki-laki karena identitasnya
sebagai perempuan.
Menurut Dejardin & Awad, hal tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa perempuan
dianggap sebagai pencari nafkah sekunder, sedangkan laki-laki dianggap pencari nafkah
utama, yang merupakan salah satu indikasi adanya marginalisasi di bidang pekerjaan. Hal ini
menyebabkan laki-laki memiliki prioritas lebih dari perempuan, seperti yang terjadi pada
kasus ini, di mana buruh tani laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama sehingga upah
yang diterima pun lebih tinggi dibandingkan perempuan. Pada kasus yang dialami Mona,
terlihat bahwa hal tersebut membuatnya berpikir untuk kembali ke dunia prostitusi dan tidak
melanjutkan pekerjaannya sebagai buruh tani. Akhirnya, ia pun terpaksa kembali bekerja
sebagai pekerja seks komersial.
Menurut Gimenez dalam Moghadam, marginalisasi di bidang pekerjaan yang terjadi pada
Indri, Ratu, Mona, dan Dita memperlihatkan adanya feminisasi kemiskinan di mana
kemiskinan yang dihadapi oleh perempuan akan tetap terjadi walaupun perempuan bekerja
dalam waktu penuh. Walaupun Indri, Ratu, Mona, dan Dita memiliki pekerjaan ketika
mereka berhenti menjadi PSK, mereka tetap mengalami kemiskinan karena adanya
marginalisasi di bidang pekerjaan.
Berdasarkan analisis yang telah dijabarkan, jelas terlihat bahwa marginalisasi di bidang
pekerjaan yang terjadi pada Indri, Ratu, Mona, dan Dita terjadi ketika mereka berhenti
menjadi PSK dan memiliki pekerjaan lain. Pada kasus Indri, Ratu, dan Dita, marginalisasi di
bidang pekerjaan terlihat dari pekerjaan yang identik dengan perempuan yang kurang
dihargai, baik secara sosial maupun ekonomi. Sedangkan, pada kasus Mona, marginalisasi di
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
17
Universitas Indonesia
bidang pekerjaan terlihat dari adanya anggapan bahwa perempuan merupakan pencari nafkah
sekunder. Marginalisasi tersebut merupakan salah satu faktor yang cukup mempengaruhi
keputusan mereka untuk kembali ke dunia prostitusi.
5. Penutup
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi
terhadap informan utama dan informan pendukung, dapat disimpulkan bahwa memang
terdapat subordinasi dan marginalisasi yang membuat mereka terpaksa bekerja sebagai PSK,
yaitu subordinasi dan marginalisasi di bidang pendidikan dan pekerjaan, yang menunjukkan
adanya feminisasi kemiskinan.
Subordinasi di bidang pendidikan yang terjadi sudah lama tersosialisasi dapat terlihat dari
tidak adanya prioritas bagi anak perempuan dalam keluarga serta adanya anggapan bahwa
perempuan tidak perlu bersekolah. Sedangkan, subordinasi di bidang pekerjaan yang terjadi
ketika informan berhenti menjadi PSK terlihat dari adanya anggapan bahwa perempuan tidak
memiliki kapabilitas di ranah publik dan hanya bisa mengurusi pekerjaan di ranah domestik
(rumah tangga).
Marginalisasi di bidang pendidikan yang terjadi sebelum informan bekerja sebagai PSK
terlihat dari adanya hambatan bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan karena tidak
diberikan kesempatan untuk bersekolah hingga jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan,
marginalisasi di bidang pekerjaan yang terjadi ketika informan berhenti menjadi PSK dan
memiliki pekerjaan lain dapat terlihat dari kurang dihargainya pekerjaan yang identik dengan
perempuan, baik secara sosial maupun ekonomi, serta adanya anggapan bahwa perempuan
merupakan pencari nafkah sekunder.
Oleh karena itu, berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
subordinasi dan marginalisasi terhadap perempuan merupakan faktor yang cukup
berpengaruh terhadap kembalinya perempuan usia produktif ke dunia prostitusi. Subordinasi
dan marginalisasi di bidang pendidikan dan pekerjaan terhadap perempuan tersebut
merupakan indikasi adanya feminisasi kemiskinan yang membuat beberapa perempuan usia
produktif yang memiliki peranan penting dalam pembangunan memiliki beban kemiskinan
yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Akhirnya, mereka terpaksa kembali bekerja sebagai
pekerja seks komersial karena dianggap lebih dapat menjamin kehidupan mereka.
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
18
Universitas Indonesia
5.2 Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan tersebut, peneliti mencoba memberikan rekomendasi kepada
beberapa pihak terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian.
1. Perlu adanya sosialisasi mengenai pentingnya pendidikan bagi perempuan yang dapat
dilakukan oleh pihak pemerintah daerah dengan mengadakan penyuluhan atau
seminar atau melalui media-media, seperti poster, spanduk, dan lain sebagainya.
2. Pemerintah daerah setempat harus memperhatikan kemungkinan adanya marginalisasi
yang mungkin terjadi ketika mantan PSK masuk ke dunia kerja. Oleh karena itu,
pemberian pelatihan kewirausahaan sebagai bekal mereka untuk masuk ke dunia kerja
menjadi penting untuk dilakukan. Misalnya, dengan memberikan keterampilan-
keterampilan yang disesuaikan dengan minat mereka.
3. Bagi penelitian yang akan dilakukan selanjutnya diharapkan mampu mengkaji faktor
struktural yang juga mempengaruhi perempuan usia produktif yang terpaksa kembali
bekerja sebagai PSK, seperti kegagalan kebijakan dan lain sebagainya, mengingat
penyebab mereka kembali bekerja di dunia prostitusi dapat dipengaruhi oleh banyak
faktor selain feminisasi kemiskinan.
Daftar Pustaka
Sumber Buku
Bemmelen, S. v. (1995). Jender dan Pembangunan: Apakah yang Baru? Dalam T. O. Ihromi,
Kajian Wanita dalam Pembangunan (hal. 175-226). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Chant, S. (2007). Gender, Generation and Poverty: Exploring the Feminisation of Poverty in
Africa, Asia, and Latin America. Cheltenham: Edward Elgar Publishing.
Creswell, J. W. (2010). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. (A.
Fawaid, Trans.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dejardin, A. K., & Awad, A. B. (1995). Gender, Poverty and Employment: Turning
Capabilities into Entitlements. Geneva: The Development Policies Branch,
International Labour Office.
Heyzer, N. (1986). Working Women in South-East Asia (Development, Subordination and
Emancipation. Philadelphia: Open University Press.
International Labour Organization. (1998). The Sex Sector: The Economic and Social Bases
of Prostitution in Southeast Asia. (L. L. Lin, Ed.) Geneva: International Labour
Office.
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
19
Universitas Indonesia
Ridjal, F., Margani, L., & Husein, A. F. (1993). Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Soedjono. (1977). Masalah Pelacuran Ditinjau dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam
Masyarakat. Bandung: Karya Nusantara.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi. Bandung:
Alfabeta.
Tangdilintin, P. (2007). Masalah-Masalah Sosial. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas
Terbuka Departemen Pendidikan Nasional.
Yin, R. K. (1989). Case Study Research: Design and Methods. Applied Social Research
Methods Series. Washington DC: Sage Publications.
Makalah dan Jurnal
Arjani, N. L. (2007). Feminisasi Kemiskinan dalam Kultur Patriarki. Denpasar: PSW Unud.
Curumur, V. A. (2009). Pembangunan Kota dan Kondisi Kemiskinan Perempuan. Manado:
Universitas Sam Ratulangi.
Moghadam, V. M. (2005). The Feminization of Poverty and Women's Human Rights. Paris:
Gender Equality and Development Section, Division of Human Rights, UNESCO.
Sari, D. I. (2005). Buruh Perempuan: Kemanusiaan dan Produktivitas yang Sia-sia. Jurnal
Perempuan , 5.
Laporan dan Hasil Pendataan
Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu. (2010). Laporan Data Penduduk Berdasarkan
Agama. Indramayu: Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu.
Sensus Penduduk. (2010). Penduduk Menurut Kelompok Umur, Daerah
Perkotaan/Pedesaan, Jenis Kelamin. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik
Indonesia.
Survei Angkatan Kerja Nasional. (2010). Tingkat Pengangguran Terbuka Penduduk Berumur
15 Tahun Ke Atas. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.
Survei Sosial Eknomi Nasional. (2009-2010). Persentase Penduduk 10 Tahun Ke Atas yang
Tidak/Belum Pernah Sekolah menurut Provinsi, Daerah Tempat Tinggal, dan Jenis
Kelamin, 2009-2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013
20
Universitas Indonesia
Survei Sosial Ekonomi Nasional. (2010). Persentase Penduduk Berumur 10 tahun Ke atas
yang Buta Huruf menurut Provinsi dan Jenis Kelamin, 2009-2010. Jakarta: Badan
Pusat Statistik Republik Indonesia.
Web Site
Aditya, I. (2012, April 25). Nasional, Kesejahteraan Sosial. Dipetik November 24, 2012, dari
Kedaulatan Rakyat Online: http://krjogja.com/read/126295/psk-rentan-kekerasan.kr
Cirebon News. (2011, Desember 13). Sosial Budaya. Dipetik November 24, 2012, dari
Cirebon News (CNC): http://cirebonnews.com/Sosial-Budaya/PSK-Rentan-
Terjangkit-HIV/AIDS.html
Febrida, M. (2012, November 13). Health. Dipetik November 24, 2012, dari Liputan 6:
http://health.liputan6.com/read/453335/ibu-rt-yang-kena-aids-jumlahnya-lebih-
banyak-dari-psk
Jajuli, A. (2012, April 30). Opini. Dipetik November 29, 2012, dari Radar Lampung:
http://www.radarlampung.co.id/read/opini/48939-peran-perempuan-dalam-
pembangunan-
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak. (2010). Bentuk-Bentuk Ketidakadilan
Gender. Dipetik April 5, 2013, dari Aplikasi Data & Informasi PP dan KPA:
http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_content&view=categ
ory&layout=blog&id=52&Itemid=117
Setianingsih, Y. (2011, April 1). Read. Dipetik Desember 7, 2012, dari Inilah.com:
http://www.inilah.com/read/detail/1379512/80-psk-kembali-jajakan-diri-setelah-
dibina
Supriadi, A. (2008, September 24). Berita. Dipetik November 29, 2012, dari Kabar
Indonesia: http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20080924181005
Tim Sigi SCTV. (2010, Maret 3). News. Dipetik Mei 25, 2013, dari Liputan 6 :
http://news.liputan6.com/read/266308/prostitusi-rumahan-ala-pantura
Feminisasi kemiskinan..., Resna Anggria Putri, FISIP UI, 2013