perspektif teleologi dan deontologi pada pemberitaan kasus korupsi nazaruddin

9
 Makalah Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Etika dan Hukum Media Massa “DILEMA ETIKA PEMBERITAAN KASUS KORUPSI: PERSPEKTIF DEONTOLOGI VERSUS TELEOLOGI” (  ANA LISI S KAS US K ORUPSI NAZA RUDDIN ) Oleh: Ayub Wahyudi 209000012 Kajian Media Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina 2011/2012

Upload: ayubwahyudi

Post on 19-Jul-2015

406 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

deskripsi singkat tentang bagaimana perpektif teleologi dan deontologi melihat kasus nazaruddin

TRANSCRIPT

Page 1: Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin

5/17/2018 Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/perspektif-teleologi-dan-deontologi-pada-pemberitaan-kasus-korupsi-nazaruddin 1/9

 

Makalah Ujian Akhir Semester 

Mata Kuliah Etika dan Hukum Media Massa

“DILEMA ETIKA PEMBERITAAN KASUS KORUPSI: PERSPEKTIF

DEONTOLOGI VERSUS TELEOLOGI”

( ANALISIS KASUS KORUPSI NAZARUDDIN )

Oleh:

Ayub Wahyudi

209000012

Kajian Media

Ilmu Komunikasi

Universitas Paramadina

2011/2012

Page 2: Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin

5/17/2018 Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/perspektif-teleologi-dan-deontologi-pada-pemberitaan-kasus-korupsi-nazaruddin 2/9

 

Sejak reformasi 1998, media massa telah mengalami euphoria kebebasan setelah selama 32

tahun terkungkung dibawah tirani otoriter rezim orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto.

Media massa pada akhirnya mampu memberikan informasi pada khalayak sesuai dengan konten

informasi tersebut tanpa harus disensor apalagi dilarang, tidak ada lagi ketakutan akan dibredel jika

memberikan informasi yang tidak sesuai dengan keinginan penguasa. Hingga hari ini media massa

tetap berjalan menikmati kebebasan mereka dalam melakukan tugas mereka sebagai penyedia

informasi bagi khalayak. Akan tetapi, kebebasan bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan dan di

agungkan karena apa yang kita sebut kebebasan terkadang menjadi persoalan etis. Kebebasan

dapat membatasi, atau bahkan merusak, kebebasan orang lain. Dengan kata lain, adanya

kebebasan maka kita dapat memahami kebebasan yang lain. Seperti kata Frans Magnis-Suseno,

“hanya karena saya memiliki kebebasan, saya dapat dibebani kewajiban moral” 1. Ketika kita bebas

maka harus ada aturan. Maka dari itu, kebebasan yang sekarang dimiliki oleh media massa juga

harus diatur dalam kesepakatan bersama. Aturan tersebut kita kenal Kode Etik Jurnalistik dan

Undang-undang No. 40 Tahun1999 tentang Pers.

Korupsi, dapat kita pahami bersama, sebagai sesuatu yang merusak kebebasan orang lain

dalam jumlah besar. Korupsi mengambil hak orang lain tanpa melihat dampak dari hilangnya hal

tersebut. Orang yang kehilangan hak dapat dianggap sebagai orang yang kehilangan kebebasan.

Mereka seperti orang yang mempunyai rumah tapi tidak memiliki kunci rumah tersebut. Maka

wajarlah pada pemerintahan SBY dari 2004, mengajak kita untuk memerangi korupsi hingga saatini. Dampak dari kampanye tersebut membuat korupsi menjadi musuh negara nomor satu yang

selalu menjadi pembahasan di ruang publik. Akan tetapi, fakta bahwa korupsi menjalar di

 pemerintah dan ruang politik adalah akibat dari kebebasan media massa. Tidak ada hal yang buruk 

terhadap hal itu, hanya saja media massa melakukannya dengan membabi buta sehingga

melupakan aturan yang telah mereka buat sendiri. Mereka melakukan cara apapun agar dapat

membongkar korupsi meskipun harus melupakan etika yang telah mereka sepakati sendiri. Hal ini

telah menjadi persoalan etika. Media massa saat ini telah bertindak bebas dengan memberantas

korupsi yang telah merusak kebebasan orang banyak tanpa mematuhi etika yang telah ada

sehingga, entah mereak sadar atau tidak, mereka juga telah merusak kebebasan orang lain.

Beberapa kasus korupsi yang telah dibongkar oleh media massa memang merupakan hal

yang seharusnya. Meskipun tidak berhasil membongkar, akan tetapi beberapa kasus korupsi pada

1 Frans Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Jogjakarta:Kanisius, 1987), Hlm. 21

Page 3: Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin

5/17/2018 Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/perspektif-teleologi-dan-deontologi-pada-pemberitaan-kasus-korupsi-nazaruddin 3/9

 

akhirnya berhasil menjadi perhatian masyarakat dan para penegak hukum sehingga kasus tersebut

 berhasil terbongkar. Salah satu kasus yang heboh adalah kasus korupsi penyelewengan dana wisma

atlit oleh Nazarudin yang merupakan bendahara umum Partai Demokrat.

Pemberitaan pers tentang skandal M. Nazaruddin dapat menjadi contoh. Jika dicermati

dengan teliti, banyak berita tentang skandal ini yang tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik 

serta merugikan Anas Urbaningrum dan lain-lain. Namun harus diakui, berkat pemberitaan pers

 pulalah, KPK dan pemerintah serius menangani skandal ini. Tanpa pemberitaan pers, sangat

mungkin kontroversi tentang Nazaruddin akan "layu sebelum berkembang", berakhir dengan

antiklimaks. Kasus diatas merupakan contoh dilematis dari kebebasan media massa dalam

melakukan pemberitaan demi memberantas korupsi yang ada di Indonesia. Jurnalisme hit and run,

Begitu istilah untuk  trend yang saat ini marak di Indonesia. Jurnalisme yang serba menekankan

aktualitas, kecepatan penyampaian informasi, dengan menomorduakan kelengkapan dan kelayakan

 jurnalistik. Jurnalisme yang lebih mengedepankan tujuan secara umum dengan mengesampingkan

kebenaran proses. Perkembangan terbaru ini menarik untuk diteropong dari sudut pandang etika.

Dengan tren yang lebih mengedepankan aktualitas, kecepatan transmisi pesan, dan tujuan secara

umum itu, pers Indonesia tampaknya bertolak dari pendekatan etika yang bersifat teleologis

konsekuensialis. Etika yang diperkenalkan Aristoteles ini menyatakan bahwa baik-buruknya suatu

tindakan bergantung pada tujuan atau dampak yang ditimbulkan. Nilai moral suatu tindakan tidak 

ditentukan oleh prinsip-prinsip tentang tindakan yang benar, tapi oleh observasi atas dampak-dampak tindakan. Jika dampaknya baik, baik pula tindakan itu, meskipun dilakukan dengan

mengabaikan prinsip tindakan yang benar 2.

Pernyataan di atas menggambarkan bahwa media massa telah melakukan pemberitaan

tanpa memenuhi kreteria jurnalisme yang sesuai dengan etika jurnalistik. Ada beberapa prinsip

yang telah dilanggar, antara lain; prinsip asas praduga tak bersalah, verifikasi dan objektifikasi.

 pelanggaran tersebut dilakukan demi memberantas korupsi dan kita tahu memberantas korupsi

merupakan dorongan hati karena korupsi telah merenggut hak orang lain. Dalam pandangan

deontologi Immanuel Kant, tindakan pelanggaran terhadap etika jurnalistik tersebut merupakan hal

yang Immoral. Menurut Kant, dorongan hati semacam itu bisa saja baik, tapi moralitas tidak 

2 Agus Sudibyo, Dilema Etis Kebebasan Media, http://bataviase.co.id/node/854775, 14 januari

2012

Page 4: Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin

5/17/2018 Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/perspektif-teleologi-dan-deontologi-pada-pemberitaan-kasus-korupsi-nazaruddin 4/9

 

terletak padanya3.Dalam perdebatan tentang teori-teori etika, Deontologi dan Teleologi merupakan

teori etika yang selama ini saling bertolak belakang terhadap pencapaian moralitas dalam setiap

kehidupan manusia.

Deontologi dan Teleologi: Etika Pemberitaan Korupsi

Etika dan moral adalah dua hal yang tidak mungkin dipisahkan pembahasannya. Secara

sederhana, etika adalah ilmu yang menjelaskan permasalahan moral. Moral sendiri dapat diartikan

sebagai:

“Concerning habits, customs, ways of life, especially when these are assested as

 good or bad, right or wrong. Ethymologically the Latin “moral” corresponds to the

Greek “ethical”. They both mean “concerning habits, etc”. ‘Ethical’ and 

‘unethical’ tend often to be used of considerable behaviour directed at interests

other than those of the agent, at any rate where the agent is an individual person .”

A.R. Lacey (1996)4.

Sedangkan etika sendiri dapat secara secara etimologis etika berasal dari kata Yunani ethikos.

Secara terminologi etika diartikan sebagai,

“That study or discipline which concerns itself with judgements of approval dan

disapproval, judgments as to the rightness or wrongness, goodness or badness, virtue

or vice, desirability or wisdom of actions, dispositions, ends, objects, or states of affairs”, Meta-Encyclopedia of Philosophy, 20075.

Defenisi tentang moral dan etika diatas menjelaskan bahwa etika adalah ilmu yang berusaha

menjawan tentang permalahan moral.

Deontologi dan teleologi adalah teori etika dengan pendekatan etika normatif. Etika

normatif adalah yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang

seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif 

memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan

diputuskan. Etika Deontologi, terdiri kata Deon yang berarti kewajiban dalam bahasa yunani. Jadi

secara harafiah istilah ini semacam teori tentang kewajiban. Kant mengatakan bahwa kewajiban

3 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzche (Jakarta: GramediaPustaka Utama, 2007), Hlm. 1464 Dasar-Dasar Etika: Sebuah Pengantar Sangat Ringkas, http://www.yousaytoo.com/dasar-dasar-etika-sebuah-pengantar-sangat-ringkas/356972, 12 Januari 20125 Ibid.

Page 5: Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin

5/17/2018 Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/perspektif-teleologi-dan-deontologi-pada-pemberitaan-kasus-korupsi-nazaruddin 5/9

 

adalah dasar moralitas. Dalam tindakan menunaikan kewajiban, menurut Kant, manusia

meninggalkan pamrih-pamrihnya, maka kehendak baik didunia ini terwujud dalam pelaksanaan

kewajiban. Tindakan yang dilakukan demi kewajiban, bernilai moral. Dimana kewajiban yang

dimaksud adalah kewajiban yang sesuai hukum universal6. Dengan kata lain, bertindak sesuai

hukum yang telah ada adalah tindakan yang bermoral. Deontologi fokus pada tindakannya.

Sedangkan yang sering menjadi kebalikan dari deontology adalah etika teleologi.

Etika Teleologi justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin

dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Etika

teleologi lebih bersifat situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat

tergantung pada situasi khusus tertentu7. Dengan kata lain, selama tujuan, akibat atau hasilnya baik 

maka itu adalah tindakan yang bermoral.

Moral Media Massa.

Media massa sebagai pilar keempat demokrasi sering dianggap sebagai watch dog . Predikat

tersebut membuat media massa mempunyai kuasa dan sekaligus seolah mempunyai tanggung

 jawab sebagai institusi yang mengawasi, khususnya mengawasi pemerintah. Ketika pemerintah

melakukan pelanggaran, apa lagi dalam bentuk korupsi, media massa merasa mempunyai tanggung

 jawab moral untuk memberitahukannya kepada publik. Pemberitaan pun dilakukan agar 

 pelanggaran tersebut menjadi sesuatu yang opini utama dalam masyarakat sehingga masyarakat

akan melihat pelanggaran tersebut dan bertindak. Agar opini tersebut bisa bertahan maka informasiakan terus menerus diulang agar tidak dilupakan. Akan tetapi, pengulangan terus menerus justru

membuat khalayak bosan dan bisa menjauhi isu tersebut sehingga perlu dicari berita baru dengan

konten yang berhubungan agar menjadi sebuah penyegaran. Maka dari itu, media massa

memanfaatkan isu, gossip dan rumor sebagai bumbu penyegar. Disinilah titik permasalah terjadi.

Terkadang isu, gossip dan rumor dapat berkembang menjadi kepercayaan yang dianggap sebagai

sebuah fakta. Dengan demikian, jika ada nama yang diisukan, digosipkan atau dirunorkan terkait

dengan korupsi dapat menjadi fakta bahwa nama tersebut ikut terlibat dalam kasus korupsi yang

sedang terjadi.

6 Loc. Cit., Hlm. 145-1467 A. Racman, Etika Deskiptif Dan Etika Normatif  (Modul II, Etika Humas, Universitas MercuBuana), Hlm 7.

Page 6: Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin

5/17/2018 Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/perspektif-teleologi-dan-deontologi-pada-pemberitaan-kasus-korupsi-nazaruddin 6/9

 

Korupsi, secara arti harafiah, adalah kebusukan, kebejatan, keburukan, ketidakjujuran, dapat

disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang me nghina atau

memfitnah. Arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia,

disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia: “Korupsi ialah

 perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”8.

Memberantas korupsi, bagi media massa, adalah sebuah tanggung jawab yang harus dilaksanakan

demi mendukung terciptanya negara dengan demokrasi sehingga wajar jika pemberitaan kasus

korupsi selalu didahulukan agar khalayak ingat akan bahayanya korupsi. Akan tetapi, tindakan

 pemberitaan korupsi dengan melanggar semua kode etik merupakan tindakan yang salah. Dengan

kata lain, kebebasan media massa digunakan untuk mengambil kembali kebebasan bangsa yang

telah direnggut oleh kebebasan korupsi dengan segala cara tanpa sadar kebebasan tersebut telah

merusak kebebasan orang lain. Tindakan ini menimbulkan pertanyaan tentang moral media massa

dalam pemberitaan korupsi.

Dalam melakukan pemberitaan, media massa mempunyai aturan yang telah sepakati

 bersama yaitu Kode Etik Jurnalistik dan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Undang-undang Pers memberikan kita tiga penjelasan tentang media massa sebagai pers.

1. Pers menggunakan media massa dalam menyampaiakan informasi

2. Pers bertugas berhak mendapatkan informasi dan berkewajiban menyampaikannya dengan

menghormati nilai-nilai agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak  bersalah

3. Pers memiliki dan menaati kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik adalah himpunan

etika profesi wartawan.

Didalam kode etik jurnalistik, terdapat aturan yang telah disepakati bersama sebagai acuan untuk 

menjalankan tugas pers, dalam hal ini media massa melakukan pemberitaan, khususnya pasal 2 dan

 pasal 3.

1. Pasal 2: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam

melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsiran cara-cara yang profesional adalah:

a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

 b. menghormati hak privasi;

8 Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Ed.), Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat dan

Prospek Pemberantasan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), Hlm. 557

Page 7: Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin

5/17/2018 Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/perspektif-teleologi-dan-deontologi-pada-pemberitaan-kasus-korupsi-nazaruddin 7/9

 

c. tidak menyuap;

d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi

f. dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

g. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto,

h. suara;

i. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya

sendiri;

 j. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita

k. investigasi bagi kepentingan publik. 

2. Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara

 berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas

 praduga tak bersalah.Penafsiran:

a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.

b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing

 pihak secara proporsional.

c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini

interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.Pada kasus Nazaruddin, media massa melakukan pemberitaan besar-besaran yang menarik 

 perhatian yang kemudian menarik menarik nama-nama yang dianggap terlibat. Meskipun hal

tersebut berupa anggapan, namun nama-nama tersebut telah menjadi seorang koruptor dimata

masyarakat. Hal tersebut terjadi karena opini yang diberikan adalah opini media massa yang belum

melewati pengujian informasi check and recheck  sehingga langsung melanggar prinsip asas

 praduga tak bersalah. Akibatnya adalah nama-nama yang berada dalam informasi tersebut menjadi

seorang tertuduh tanpa bukti.

Pemberitaan yang dilakukan oleh media massa pada kasus nazarudin juga terjadi pada

kasus korupsi yang lain. Kita semua sepakat bahwa tujuan media massa untuk memberantas

korupsi adalah sesuatu yang baik. Akan tetapi, sesuatu yang baik belum tentu benar. Melakukan

 pemberitaan dengan melanggar prinsip jurnalisme tidak hanya merugaikan pihak yang diberitakan

Page 8: Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin

5/17/2018 Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/perspektif-teleologi-dan-deontologi-pada-pemberitaan-kasus-korupsi-nazaruddin 8/9

 

tapi juga merugikan masyarakat. Masyarakat jadi tidak tahu membedakan yang benar dan yang

salah. Media massa menjadi menggampangkan kualitas informasi.

“ If the media are to be part of the democratic process because of their role in the

origination and circulation of information and opinion, then the quality of that 

information and opinion is going to be a vital issue. Quality here is meant in a

typically ethical sense, so that the ethics and the politics of the media are not really

different or separable issues. Ethical journalism serves the public interest ”9.

Masyarakat butuh informasi berkualitas, dengan melupakan kualitas informasi maka media

tidak dapat dianggap melayani kepentingan publik. Jika media tidak mampu melayani kepentingan

 publik maka media massa diangga tidak bermoral. Mulai saat ini media massa harus menghadapi

tantangan berat. Tantangan media massa Indonesia sekarang adalah bagaimana tetap memberikan

kemaslahatan buat publik dan tetap memberikan kontribusi berarti bagi pemberantasan korupsi,

tapi tanpa melupakan prinsip jurnalisme itu sendiri.

9 Matthew Kieran (Ed.), Media Ethic (New York: Routlegde, 2002), Hlm. 10

Page 9: Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin

5/17/2018 Perspektif Teleologi dan Deontologi pada Pemberitaan kasus korupsi nazaruddin - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/perspektif-teleologi-dan-deontologi-pada-pemberitaan-kasus-korupsi-nazaruddin 9/9

 

Daftar Pustaka

1.  Dasar-Dasar Etika: Sebuah Pengantar Sangat Ringkas, http://www.yousaytoo.com/dasar-

dasar-etika-sebuah-pengantar-sangat-ringkas/356972, 12 Januari 2012

2. Hardiman, F. Budi. (2007)  Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzche. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

3. Kieran, Matthew. (2002). Media Ethic. New York: Routlegde.

4. Magnis-Suseno, Frans. (1987).  Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral .

Jogjakarta: Kanisius.

5. Racman, A. Etika Deskiptif Dan Etika Normatif . Jakarta: Universitas Mercu Buana.

6. Wijayanto dan Zachrie, Ridwan (Ed.). (2002).  Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab,

 Akibat dan Prospek Pemberantasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.