perspektif psikodinamik - xa.yimg.comxa.yimg.com/kq/groups/25274757/1454753319/name/clu… · web...
TRANSCRIPT
CLUSTER C: ANXIOUS-FEARFUL PERSONALITY DISORDER
& Fungsi Intelijensi
Disusun oleh:
Anak Agung Bagus Margarana M. 190420080016
Chandrania Fastari 190420080034
Dewi Yardi 190420080047
MAGISTER PROFESIONAL PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2009
Cluster C: Anxious-Fearful Personality DisorderGangguan kepribadian yang termasuk dalam kelompok ini adalah gangguan
kepribadian menghindar (avoidant), tergantung (dependent), dan obsesif-kompulsif
(obsessive-compulsive). Karakteristik dari kepribadian kelompok Anxious-Fearful adalah
adanya perasaan cemas atau takut yang kronis dan perilaku yang dimunculkan bertujuan
untuk menghindari situasi atau sesuatu yang menimbulkan rasa cemas atau takut.
Gangguan Kepribadian Avoidant (Menghindar)Gangguan kepribadian ini telah diteliti sebelum dua gangguan kepribadian pada
kelompok C ini. Individu yang mengalami gangguan kepribadian ini memiliki perasaan
cemas akibat kritik yang dikeluarkan oleh orang lain sehingga mereka akan bersikap
menghindari interaksi dengan orang lain yang memunculkan adanya kemungkinan dikritik
oleh orang lain. Aktivitas atau pekerjaan yang mereka pilih adalah aktivitas atau pekerjaan
yang terhindar dari interaksi sosial, seperti menjadi polisi hutan. Saat mereka dituntut untuk
berinteraksi dengan orang lain, individu dengan gangguan kepribadian ini akan merasa gugup
dan bertahan, sangat sensitif dengan adanya tanda-tanda untuk dievaluasi atau dikritik oleh
orang lain. Mereka mengalami ketakutan untuk mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal
atau salah, atau melakukan sesuatu yang akan membuatnya merasa malu. Mereka cenderung
merasa depresi dan kesendirian. Tetapi walaupun mereka membutuhkan berhubungan dengan
orang lain, mereka merasa sia-sia dari hubungan ini sehingga mereka mengisolasi diri.
Sekitar 1% dari manusia normal akan didiagnosa mengalami gangguan kepribadian
menghindar, tanpa adanya perbedaan jenis kelamin untuk kecenderungan penyakit ini
(Fabrega dkk, 1991; Weissman, 1993b). Individu dengan gangguan ini cenderung untuk
memiliki kadar distimik yang kronis dan menderita beberapa gejala depresi dan kecemasan
ringan (Fabrega dkk, 1991). Jelas terdapat informasi yang melengkapi antara karakteristik
gangguan kepribadian menghindar dan untuk fobia sosial, tetapi juga ada perbedaan yang
jelas. Individu dengan gangguan kepribadian mempunyai perasaan ketidakcakapan secara
umum dan perasaan takut untuk dikritik yang menetap yang berakibat mereka berperilaku
menghindari jenis interaksi yang umum dilakukan. Individu dengan fobia sosial cenderung
untuk mengalami rasa takut pada situasi sosial tertentu yang mengharapkan kecakapan
mengenai penampilannya (misalnya memberikan pidato di depan kelas) dan cenderung tidak
mempunyai perasaan ketidakcakapan secara umum. Individu dengan gangguan kepribadian
schizoid juga menarik diri dari situasi sosial, tetapi tidak seperti individu dengan gangguan
kepribadian menghindar, mereka tidak melihat dirinya sebagai individu yang tidak kompeten
atau tidak cukup.
Inti dari gangguan kepribadian menghindar adalah berpaling dari: manusia,
pengalaman baru, dan bahkan dari pengalaman terdahulu. Rentang kejadian dari 0,4-1,3 %
dari populasi (Millon dan Martinez, 1995; Weissman, 1993). Sindrom yang muncul meliputi
ketakutan untuk tampak bodoh, dengan adanya keinginan yang kuat untuk penerimaan dan
afeksi. Individu yang mengalami gangguan ini sangat ingin memasuki hubungan sosial atau
aktivitas baru, tetapi mereka tidak menginginkan adanya resiko kecil yang ditimbulkan,
kecuali mereka dijamin dari kekuatan penerimaan kritik. Mereka pemalu. Mereka akan
mengintepretasi peristiwa tidak penting sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Individu yang
menderita karena gangguan ini akan mengalami stres dari ketidakmampuan untuk menjaga
interaksi dengan orang lain, sebagai tambahan dari rendahnya harga diri, yang berujung
kepada sensitivitas terhadap kritik dan keterasingan-sebagai sebuah siklus.
Kunci dari individu dengan gangguan kepribadian menghindar adalah sangat sensitif
terhadap penolakan, sehingga akhirnya yang tampak adalah tingkah laku menarik diri.
Mereka sebenarnya sangat ingin berelasi dengan orang lain dan membutuhkan kehangatan
serta perlindungan, namun mereka malu dan sangat membutuhkan jaminan bahwa mereka
akan diterima tanpa alasan apapun dan tanpa kritik.
Mereka memiliki perasaan rendah diri (inferiority complex), tidak percaya diri, takut
untuk berbicara di depan publik atau meminta sesuatu dari orang lain. Mereka seringkali
mensalahartikan komentar dari orang lain sebagai menghina atau mempermalukan dirinya.
Oleh karena itu, individu dengan gangguan kepribadian menghindar biasanya tidak memiliki
teman dekat. Secara umum dapat dikatakan bahwa sifat yang dominan pada individu ini
adalah malu-malu. Prevalensi gangguan kepribadian menghindar adalah 1-10 % dari populasi
pada umumnya.Gangguan kepribadian ini dapat dikatakan sebagai gangguan yang umumnya
dimiliki oleh individu. Bayi-bayi yang diklasifikasikan sebagai memiliki tempramen yang
pemalu memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk memiliki gangguan ini daripada
bayi-bayi yang aktif bergerak (berdasarkan activity-approach scales).
Banyak individu dengan gangguan kepribadian menghindar mampu berfungsi dengan
baik dalam kehidupannya, selama mereka berada dalam lingkungan yang mendukungnya.
Beberapa diantara mereka menikah dan memiliki anak, walaupun kehidupan mereka terbatas
hanya dikelilingi oleh keluarganya saja. Sayangnya, apabila dukungan sosial tersebut
menghilang ataupun tidak sesuai dengan harapan, mereka dapat mengalami depresi,
kecemasan, dan juga kemarahan. Individu dengan gangguan kepribadian menghindar
biasanya memiliki sejarah fobia sosial atau malahan menjadi fobia sosial dalam
perjalanannya gangguannya.
Perspektif Kognitif
Pada kepribadian avoidant, kandungan kognisi menjalin hubungan timbal balik
patologis dengan struktur kognisi (misalnya perangkat penyusunan informasi), dimana
hubungan ini yang bertanggungjawab atas terjadinya gangguan. Sifat terlalu curiga adalah
pusat dari seluruh gangguan. Avoidant secara konstan memeriksa lingkungan mencari potensi
ancaman. Mereka sensitif terhadap segala perasaan dan niatan orang lain terhadap mereka.
Yang dihasilkan adalah sistem pemrosesan informasi yang dikuasai oleh terlalu banyak
stimulus yang menghambat mereka memahami sesuatu yang biasa atau keadaan sekitar.
Akibatnya, penilaian terhadap potensi bahaya menjadi sangat tinggi, bahkan kejadian yang
sebenarnya tidak mengandung bahaya-pun ditandai sebagai ancaman. Karena terlalu banyak
potensi ancaman yang masuk maka tidak ada satu informasi-pun yang diolah secara
mendalam.
Hipotesis yang menyatakan bahwa setiap sumber stimulasi itu berbahaya berlanjut
sebagai akibat dari ketidakpastian, membiarkan sebuah ancaman tanpa diperiksa akan sangat
berisiko. Hasilnya, kecemasan meningkat, kepekaan terhadap tanda-tanda bahaya juga
meningkat dan kedalaman pemrosesan informasi makin menderita. Akibatnya, seluruh proses
kognitif menjadi sangat terbebani karena menganggap segala sesuatu sebagai ancaman. Oleh
sebab itu seorang avoidant harus menarik diri demi mendapatkan rasa aman.
Gambar 6.2 Siklus Proses Informasi Individu dengan Avoidant Disorder
Fungsi Intelijensi dari Avoidant Personality Disorder
Kepekaan akut serta harapan dipermalukan,
dihina, direndahkan
Kewaspadaan interpersonal kronis terhadap tanda-
tanda di sekitar
Harapan dipermalukan mengakibatkan salah
identfikasi stimulus sosial sebagai memalukan
Kecemasan meningkatkan kepekaan sedangkan prmrosesan informasi menjadi tidak
efisien
Tidak ada stimulus yang diproses mendalam, semua diidentifikasi
sebagai ancaman
Menghindari lingkungan sosial
Menurut DSM IV-TR, individu dengan gangguan kepribadian menghindar mempunyai
konflik sebagai berikut: Ingin dekat dengan orang lain dan menghidupkan potensi intelektual
dan pekerjaan, tetapi mereka takut untuk disakiti, ditolak, dan tidak sukses. Strategi mereka
adalah mundur-atau menghindari terlibat dengan kejadian pertama.
Pandangan diri: Melihat diri sebagai individu yang tidak mampu dan tidak kompeten dalam
bidang akademis dan situasi bekerja
Pandangan tentang orang lain: Melihat orang lain yang mengkritik, tidak tertarik, dan
penuntut.
Kepercayaan: Intinya adalah “saya tidak baik...tidak berharga...tidak dicintai. Saya tidak
bisa menerima perasaan yang tidak menyenangkan.” Tingkatan kepercayaan yang lebih
tinggi adalah “Jika orang mendekati saya, mereka akan menemukan “keaslian diri saya” dan
akan menolak saya-hal ini tidak bisa diterima.” Tingkat selanjutnya, adalah kepercayaan
mengenai instruksi diri (self-instructional) seperti: “Lebih baik tidak mengambil resiko,”
“Sebaiknya saya menghindari situasi yang tidak menyenangkan”, “Jika saya merasa atau
berpikir sesuatu yang tidak menyenangkan, saya seharusnya mencoba keluar dengan
mengacaukan diri.”
Ancaman: Ancaman paling besar adalah merasa “aneh” diletakkan di bawah, dituntut, atau
ditolak.
Strategi: Strateginya adalah menghindari situasi sosial yang memungkinkan adanya evaluasi.
Maka, mereka cenderung hang back on the fringers of social group dan menghindari
penarikan perhatian kepada mereka. Dalam situasi kerja, mereka menghindari mengambil
resiko atau tanggung jawab baru atau mencapai sesuatu karena ketakutan untuk gagal dan
subsequent reprisals from others.
Afek: Perasaan utamanya adalah disphoria, kombinasi kecemasan dengan sedih,
dihubungkan dengan kurangnya perolehan kesenangan yang relasi terdekat dan keyakinan
diri dalam penyelesaian tugas. Penerimaan yang rendah terhadap disphoria menghambat
mereka dalam mengatasi perasaan malu dan membantu mereka untuk lebih efektif. Karena
mereka menghayati dan mengawasi perasaan terus menerus, mereka sensitif untuk perasaan
sedih dan cemas. Ironisnya, disamping kewaspadaan yang sangat terhadap perasaan tidak
nyaman, mereka malu untuk mengidentifikasi pikiran yang tidak menyenangkan itu-
kecenderungan yang sesuatu dengan strategi utama yang disebut “cognitive avoidance”.
Walaupun mendapatkan masalah, mereka tetap tidak mau terlibat hubungan dengan resiko
kegagalan atau penolakan.
No Karakteristik Avoidant Indikasi Hasil Tes Keterangan
Kognitif
1 Merasa kikuk ketika
berada di sebuah
hubungan karena takut
dipermalukan dan
ditertawakan
Gembira, bercanda
(Schafer-Clinical
Application)
Mengutarakan jawaban untuk menghindari kritik dan evaluasi (Gilbert)
2 Information Rendah Sistem pemrosesan informasi yang menghambat informasi yang diserap dari lingkungan dan kurangnya ketertarikan pada informasi (Marnat, hal. 166).
3 Comprehension Rendah Dengan pandangan adanya kritikan dari orang lain, akan menimbulkan penilaian sosial yang tidak sesuai (Marnat, hal 168).
4 Arithmethic Rendah Dengan kepercayaan yang “aneh” terhadap orang lain, akan menimbulkan kekacauan berpikir
5 Similarities Rendah Dengan pola pikir yang lebih curiga terhadap orang lain, akan mudah mengalihkan pikiran dari informasi yang masuk
6 Vocabulary Tinggi Dengan pola pikir pada masa lalu, akan memudahkan merecall informasi masa lalu
7 Picture Completion Tinggi Kesiagaan yang tinggi terhadap orang lain, akan membuat adanya perhatian kepada sesuatu yang detil pada lingkungan
8 Digit Symbol Tinggi Kesiagaan terhadap kritik orang lain membuat adanya reaksi yang cepat untuk bertindak
9 Picture Arrangement Rendah Dengan kecurigaan terhadap orang lain, akan menimbulkan kesulitan berinteraksi dengan orang lain
Kesulitan: Tidak ditemukannya hasil tes intelijensi yang berhubungan langsung
dengan gangguan kepribadian menghindar, termasuk kecenderungan adanya indikasi
gangguan kepribadian menghindar dari tes intelijensi.
DEPENDENT PERSONALITY DISORDER
Gambaran Gangguan Kepribadian Dependen
Individu dengan kepribadian dependen khawatir terhadap kesalahan, mendahulukan
kepentingan orang lain tanpa peduli akibatnya terhadap dirinya sendiri atau identitasnya.
Dengan selalu membantu dan memberi, mereka committed terhadap hubungan personalnya,
khususnya terhadap pasangan dan institusi pernikahan. Intinya, mereka menjalani
kehidupannya melalui dan untuk orang lain, kepada siapa mereka menawarkan kehangatan,
kepekaan, dan perhatian. Ketika orang yang mereka sayangi senang, mereka pun senang.
Bukan hal yang mengejutkan jika mereka cenderung menerima peran yang lebih pasif dalam
suatu hubungan, tunduk pada pendapat dan keinginan orang yang mereka cintai, yang
kesenangan dan kepuasannya kemudian mereka nikmati sebagai ganti kesenangan dan
kepuasan mereka sendiri. Mereka lebih menyukai harmoni dalam hubungannya dan
cenderung memaafkan bahkan kepada orang yang seharusnya bertanggung jawab dan
berperan lebih besar dalam pertengkaran.
Banyak karakteristik yang diasosiasikan dengan kepribadian dependen dihargai dan
dikagumi dalam kebudayaan kita. Karakteristik yang meliputi kualitas untuk merasa senang
ketika orang yang dicintai senang dan melakukan pengorbanan pribadi demi kebaikan orang
lain, termasuk mengajukan diri secara sukarela untuk melakukan berbagai tindakan tidak
egois. Di permukaan, mereka hangat dan penuh kasih sayang, tapi di dalam, mereka melihat
dirinya sendiri tidak berdaya dan takut untuk melakukan apa-apa sendiri. Mereka butuh untuk
diurus dan mencari orang lain sebagai alat pengganti yang kompeten dengan menghadiahkan
kepatuhan karena orang tersebut mewakili mereka dalam menghadapi permasalahan di dunia
ini. Banyak individu dengan kepribadian dependen yang tidak mampu untuk membuat
keputusan rutin tanpa sebelumnya mencari nasehat dari orang lain. Dengan meletakkan
kehidupan mereka di bawah kontrol orang lain, mereka terus menempel pada pasangannya
sehingga membuat pasangannya kehabisan udara dan pada akhirnya membuat mereka rentan
untuk ditinggalkan. Untuk melindungi diri mereka dari kemungkinan ini, individu-individu
dengan kepribadian dependen dengan cepat menuruti keinginan pasangannya atau menjadi
sangat menyenangkan sehingga tidak mungkin seorang pun mau meninggalkan mereka.
Sering mereka mengatur kehidupannya sedemikian rupa sehingga mereka bisa menghindari
untuk memperoleh keahlian yang memungkinkan mereka untuk bisa berdiri sendiri. Ketika
suatu hubungan pada akhirnya bubar, harga diri (self-esteem) mereka hancur. Kekurangan
dukungan atau ikatan, mereka menarik diri dan menjadi sangat tegang dan merasa putus asa.
Karakteristik Gangguan Kepribadian Dependen menurut DSM-IV
Dalam DSM-IV dinyatakan bahwa individu dengan gangguan kepribadian dependen
memiliki kebutuhan yang mendalam dan berlebihan untuk diurus yang mengarah pada
tingkah laku patuh dan bergantung dan takut akan pemisahan, dimulai pada awal masa
dewasa dan muncul dalam berbagai konteks, seperti yang diindikasikan oleh lima (atau lebih)
hal-hal berikut ini:
1. Memiliki kesulitan untuk membuat keputusan sehari-hari tanpa nasehat dan jaminan
yang berlebihan dari orang lain.
2. Membutuhkan orang lain untuk mengambil alih tanggung jawab akan sebagian besar
area penting dari hidupnya.
3. Memiliki kesulitan untuk mengekspresikan ketidak-setujuan pada orang lain karena
ketakutan kehilangan dukungan atau persetujuan. Catatan: tidak termasuk ketakutan
realistis akan pembalasan.
4. Memiliki kesulitan untuk memulai rencana atau melakukan hal-hal sendiri (karena
kurangnya kepercayaan diri dalam hal penilaian atau kemampuan daripada karena
kurangnya motivasi atau energi).
5. Berusaha berlebihan untuk mendapatkan pengasuhan dan dukungan dari orang lain
sampai pada titik mau mengajukan diri secara sukarela untuk melakukan hal-hal yang
tidak menyenangkan.
6. Merasa tidak nyaman atau tidak berdaya saat sendirian karena ketakutan yang
berlebihan akan ketidakmampuan untuk mengurus dirinya sendiri.
7. Dengan cepat mencari hubungan lainnya sebagai sumber perhatian dan dukungan
ketika suatu hubungan dekat berakhir.
8. Terpreokupasi secara tidak realistis pada rasa takut ditinggalkan supaya ia mengurus
dirinya sendiri.
Karakteristik Gangguan Kepribadian Dependen menurut PPDGJ-III
Sedangkan menurut PPDGJ-III, gangguan kepribadian dependen ditandai dengan hal-hal
berikut:
a. Mendorong atau membiarkan orang lain untuk mengambil sebagian besar keputusan
penting bagi dirinya;
b. Meletakkan kebutuhan sendiri lebih rendah dari pada orang lain pada siapa ia
bergantung, dan kerelaan yang tidak semestinya terhadap keinginan mereka;
c. Keengganan untuk mengajukan tuntutan yang layak kepada orang pada siapa ia
bergantung;
d. Perasaan tidak enak atau tidak berdaya apabila sendirian, karena ketakutan yang
dibesar-besarkan tentang ketidakmampuan mengurus diri sendiri;
e. Terpaku pada ketakutan akan ditinggalkan oleh orang yang dekat dengannya dan
ditinggalkan agar mengurus diri sendiri;
f. Keterbatasan kemampuan untuk membuat keputusan sehari-hari tanpa mendapat
nasihat yang berlebihan dan diyakinkan oleh orang lain.
Dari penjelasan dan kriteria-kriteria yang tercantum pada DSM-IV dan PPDGJ-III,
sangatlah jelas perbedaan gangguan kepribadian dependen dengan gangguan kepribadian
lainnya. Dari sini, kita dapat pahami dan perkirakan bagaimana kognitif individu dengan
gangguan ini. Bagaimana skor atau respon individu dengan gangguan kepribadian dependen
jika mereka dihadapkan pada tes yang mengungkap inteligensi. Kemungkinan adanya variasi
respon dan skor yang bersifat relatif dan bukan mutlak.
Gambaran Kognitif Gangguan Kepribadian Dependen
Individu dependen biasanya menggambarkan dirinya lemah, rentan, tidak mampu,
tidak cakap, atau tidak kompeten. Ketika ketidakmampuan mereka menjadi terlalu jelas
terlihat, rasa cemas dan panik mungkin muncul. Untuk menjaga agar kerentanan mereka
terkontrol, banyak individu dependen lebih suka untuk tidak melihat diri mereka terlalu
dalam, lebih suka membatasi kesadaran mereka hanya pada kesenangan dalam hidup, melihat
hanya yang baik saja dan tidak pernah melihat yang buruk. Sewaktu kesulitan diakui,
individu dependen sering menyimpan harapan bahwa pada akhirnya semua akan baik-baik
saja. Penyangkalan, yang telah dibahas dalam perspektif psikodinamis, secara bertahap
berkembang menjadi gaya kognitif yang lebih luas.
Skema diri (self-schema) dari individu dependen meliputi kualitas positif dan negatif.
Pada sisi positif, individu dependen melihat diri mereka sebagai seseorang yang penuh
pertimbangan, penuh perhatian, dan bisa bekerja sama. Dengan mengingkari prestasi yang
sah, mereka terlihat sederhana dan rendah hati. Diam-diam, mereka mungkin mengharapkan
sanjungan dan pujian, tapi tidak terlalu berlebihan, karena harapan akan kemandirian dan
self-sufficientcy pasti akan mengikuti. Namun kualitas baik yang individu dependen anggap
ada pada diri mereka juga diimbangi oleh sejumlah dasar patologis, kepercayaan kondisional
dan instrumental (Beck et al., 1990, hal. 45).
Banyak individu dependen yang sangat tidak canggih secara kognitif. Bagi orang lain,
mereka terlihat naif, kekanak-kanakan, dan polos –sebuah gambaran yang sering mereka
perkuat dengan meminimalkan prestasi dan kemampuan diri mereka sendiri dan
memperbesar ketidakmampuan instrumental mereka. Pada individu yang tidak mampu,
tuntutan yang dibuat lebih sedikit. Karena orang lain selalu datang untuk membantu mereka,
maka individu dependen mungkin mengembangkan beberapa strategi penanggulangan yang
terpisah dari keahlian hidup dasar. Kadang-kadang, hal tersebut juga tidak sempurna.
Beberapa tidak bisa menyeimbangkan neraca keuangan atau membutuhkan begitu banyak
instruksi dan nasehat, sehingga untuk mempertahankan pekerjaan dasar saja merupakan
sesuatu yang tidak mungkin. Individu dependen lain yang lebih dekat pada jangkauan normal
mungkin memiliki kompetensi meskipun terbatas pada daerah tertentu saja, hal ini biasanya
muncul dalam rangka melindungi hubungan pengasuhan. Di sini, pendapat, “Saya harus
belajar bagaimana melakukan ini dan itu dengan baik jika saya ingin menikmati rasa aman
dan perlindungan dari hubungan ini,” berfungsi sebagai suatu kepercayaan kondisional
tambahan yang sangat adaptif. Individu tersebut melakukan sesuatu untuk persetujuan orang
lain dan akhirnya mungkin menjadi ahli dalam suatu kerangka pikir yang mendukung, seperti
halnya dengan istri dependen yang lembur demi kemajuan tujuan karir suaminya.
Aspek kedua dari kognisi individu dependen adalah gaya kognitif mereka, yang
menampilkan pola pemikiran yang sangat mungkin untuk tetap menyeluruh dan tersebar.
Individu yang mawas diri secara terus menerus mencari di dalam dirinya sendiri dan
menciptakan ide yang pasti mengenai siapa mereka sebenarnya, ingin menjadi apa mereka,
dan apa yang mereka inginkan dari hidupnya. Karena individu dependen jarang melihat ke
dalam dirinya, mereka hanya bisa mengembangkan ide yang samar mengenai tujuan dan
identitas diri mereka.
Sebagian besar individu dependen, yang kehidupannya diatur oleh figur otoritas
kompeten sejak masa bayi, tidak pernah mengembangkan potensi untuk membuat penilaian
kualitatif yang secanggih itu. Orang lain entah menganggap individu dependen tidak mampu,
atau secara alamiah mengontrolnya sendiri dan mengambil keputusan, untuk setiap
pertanyaan hidup, hasil terbaik apa yang akan keluar dan bagaimana mencapainya. Yang cara
apapun, individu dependen berulang kali menemukan diri mereka terkurung dalam sebuah
dunia yang secara aktif mematahkan semangat perkembangan kecanggihan kognitif.
Kebutuhan mungkin bukan hanya merupakan sumber dari penemuan, tapi juga sumber dari
berbagai bakat kognitif, khususnya kemampuan untuk menyusun rencana, untuk memegang
berbagai kemungkinan di dalam benak, untuk menentukan kriteria suatu hasil yang baik bagi
diri sendiri dan orang lain, dan untuk menilai kemungkinan suatu tindakan yang direncanakan
untuk berhasil. Kemampuan kognitif canggih ini tidak pernah berkembang sepenuhnya pada
individu dependen, baginya semua kebutuhannya telah menjadi tanggung jawab orang lain.
Namun hal tersebut tidak berarti bahwa kepribadian dependen selalu bodoh atau tidak
berpengetahuan. Sebagai contoh, dalam lingkungan sekolah, dimana harapan konkrit akan
nilai yang bagus akan mendapatkan persetujuan, pujian, dan kasih sayang dari orang tua dan
guru, banyak dependen yang normal siap menaati dan menghasilkan rapor di atas rata-rata.
Beberapa bahkan menjadi anak kesayangan guru. Namun ketika ditempatkan dalam konteks
dimana evaluasi masa depan tidak terelakkan dan serangkaian tindakan ambigu, bahkan
dependen normal mungkin merasa cemas atau tertekan. Mereka dengan gangguan yang
terdiagnosa cenderung melarikan diri atau menangis. Keseluruhan mereka yang kurang
canggih secara kognitif mencegah kemungkinan untuk mempertimbangkan semua alternatif
dan memperhitungkan rasio keuntungan-kerugian dari perspektif tiap individu yang
dipengaruhinya. Selain itu, ketakutan akan mengecewakan orang lain yang mereka miliki
mencegah mereka bahkan untuk mencobanya. Sebagai gantinya, kunci dari kognisi individu
dependen terletak pada pembangunan dunia yang lebih sederhana tapi lebih bisa diatur,
walaupun mereka memiliki kekurangan dalam penilaian kompleks. Secara kognitif, individu
dependen membutuhkan kesederhanaan, seperti halnya individu kompulsif membutuhkan
dunia internal yang terkontrol dan teratur.
Dalam Beck et al. (1990), Fleming menyatakan sejumlah distorsi kognitif yang
membuat gangguan tetap bertahan. Ada dua yang sepertinya penting: Pertama, individu
dependen melihat dirinya sebagai “secara alamiah tidak mampu dan tidak berdaya”; kedua,
kekurangan-kekurangan yang mereka rasa ada pada dirinya (self-perceived shortcomings)
mengarahkan mereka untuk menyimpulkan bahwa mereka harus mencari seseorang yang bisa
mengatasi kesulitan hidup dalam dunia yang berbahaya. Hal tersebut sebenarnya hanya
merupakan pengulangan dari apa yang telah mereka pelajari. Namun antara premis dan
kesimpulan terdapat beberapa kesalahan logis yang menyimpangkan kenyataan (Fleming,
1990) dan kemudian membatalkan semua argumen. Yang paling penting dari hal tersebut
adalah pemikiran dikotomus, suatu gaya pemikiran yang membagi dunia menjadi kutub yang
saling bertolak belakang, tanpa terdapat daerah abu-abu di antara keduanya. Jika individu
dependen tidak diperhatikan, mereka melihat diri mereka sendiri sebagai seseorang yang
benar-benar sendirian di dunia ini. Dengan cara yang sama, jika mereka sama sekali tidak
yakin bagaimana melakukan sesuatu, tentunya masalah tersebut pasti tidak dapat teratasi,
paling tidak bagi mereka.Pemikiran dikotomus tidak dapat dihindari mengarah pada distorsi
ketiga: individu dependen cenderung untuk menganggap sesuatu sebagai malapetaka.
Gambaran WBIS pada Gangguan Kepribadian Dependen
No Subtes Indikasi Alasan
VIQ : PIQ Verbal IQ significantly
above Performance IQ
Individu mengambil tanggung jawab terkecil saja yang menurutnya bisa dkerjakan, tetapi tanggung jawab yang lebih besar ia membutuhkan orang lain untuk mengambil alih tanggung jawab termasuk sebagian besar area penting dari hidupnya.
Berusaha berlebihan untuk mendapatkan pengasuhan dan dukungan dari orang lain sampai pada titik mau mengajukan diri secara sukarela untuk melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan.
Verbal Subtest
1 Information To produce two or
more misses on the
easy Information
items.
Individu dengan gangguan kepribadian dependen tidak selalu bodoh. Ia bisa memacu dirinya memiliki prestasi atau pengetahuan dengan tujuan menyenangkan figur yang di dependenkannya.
Sering mereka mengatur kehidupannya sedemikian rupa sehingga mereka bisa menghindari untuk memperoleh keahlian yang memungkinkan mereka untuk bisa berdiri sendiri.
2 Comprehension Decrement
Comprehension subtest
score below
Information
impaired judgement
Skor rendah menunjukkan Individu tidak mampu mengambil keputusan yang berkaitan dengan kehidupan praktis sehari-hari.
Individu tidak mampu memanfaatkan Information yang
dia miliki. Banyak individu dengan
kepribadian dependen yang tidak mampu untuk membuat keputusan rutin tanpa sebelumnya mencari nasehat dari orang lain.
3 Digit Span Measure of attention
(Rapaport)
Individu merasa cemas dan khawatir berlebihan bahwa dirinya tidak mampu atau tidak kompeten.
4 Arithmetic Measure of
concetration
(Rapaport)
Bisa saja individu merasa cemas karena merasa tidak nyaman atau tidak berdaya saat dihadapkan pada persoalan.
Memiliki ketakutan yang berlebihan akan ketidakmampuan untuk menyelesaikan tugasnya.
5 Similarities A test of abstraction or
concept formation
(Rapaport)
Memiliki kesulitan untuk memulai rencana atau melakukan hal-hal sendiri (karena kurangnya kepercayaan diri dalam hal penilaian atau kemampuan daripada karena kurangnya motivasi atau energi).
6 Vocabulary Many misses on
relatively easy
Vocabulary items,
especially if harder are
passed.
Relatively low
weighted score.
A parallel lowering of
both the mean of the
Verbal subtest score
(excluding Digit Span
and Arithmetic) and
the Vocabulary score.
Banyak individu dependen yang sangat tidak canggih secara kognitif. Bagi orang lain, mereka terlihat naif, kekanak-kanakan, dan polos –sebuah gambaran yang sering mereka perkuat dengan meminimalkan prestasi dan kemampuan diri mereka sendiri dan memperbesar ketidakmampuan instrumental mereka. Pada individu yang tidak mampu, tuntutan yang dibuat lebih sedikit. Karena orang lain selalu datang untuk membantu mereka, maka individu dependen mungkin mengembangkan beberapa strategi penanggulangan yang terpisah dari keahlian hidup dasar.
Performance Subtest
7 Digit Symbol Imitative learning Sering mereka mengatur kehidupannya sedemikian rupa sehingga mereka bisa menghindari untuk memperoleh keahlian yang memungkinkan mereka untuk bisa berdiri sendiri.
8 Picture Arrangement Anticipation and
planning ability
(Rapaport)
Skor rendah menunjukkan bahwa individu memiliki kesulitan untuk membuat keputusan sehari-hari tanpa nasehat dan jaminan yang berlebihan dari orang lain.
Memiliki kesulitan untuk memulai rencana atau melakukan hal-hal sendiri (karena kurangnya kepercayaan diri dalam hal penilaian atau kemampuan daripada karena kurangnya motivasi atau energi).
9 Object Assembly Impaired efficiency on
the Object Assembly
subtest.
Individu merasa tidak sanggup dan tidak kompeten menyelesaikan permasalahan.
OBSESSIVE-COMPULSIVE
Perspektif Psikodinamik
Menurut Freud, perkembangan manusia terjadi melalui beragam tahapan psikoseksual.
Masing-masing, wilayah badan tertentu menjadi zona yang erogenous, fokus energi libidinal
selama periode tertentu itu. Seksualitas diterima sebagai kekuatan instingtif yang biasanya
diabaikan. Bagi banyak orang, kemajuan melalui tahapan psikoseksual tidaklah begitu
memukau. Beberapa individu mengalami frustasi eksesif atau kegemaran eksesif, muncul
dalam penyesuaian energi seksual atas tahap tertentu, sehingga mewarnai keseluruhan
kepribadian. Sepanjang tahap oral, energi seksual terfokus pada mulut. Gratifikasi kebutuhan
oral yang eksesif dipercaya mengarah pada perkembangan karakter oral, ekuivalen
psikodinamik dari kepribadian dependen kontemporer.
Begitu anak-anak beranjak balita, mereka meninggalkan tahap oral dan memasuki periode
pelatihan toilet, tahap anal, dimulai pada usia 18 bulan. Seperti Freud catat (1908), bila tahap
oral menghisap air susu ibu, refleks bawaan semua bayi, maka tahap anal mengawali periode
erotisisme anal yang tidak hanya menampakkan apa yang kelihatan. Khususnya, tahap anal
memerlukan kontrol diri, penundaan gratifikasi instingtif yang mengiringi pembuangan feses.
Dorongan penuh hasrat dari id mengarahkan secara langsung keinginan pada orangtua,
sehingga tahap anal memainkan peran penting dalam pembentukan superego dan kontrol
impuls agresif.
Pengaruh pasti tahap anal atas perkembangan kepribadian tergantung pada perilaku yang
dilakukan orangtua ketika melakukan pelatihan toilet. Perilaku yang kaku, tergesa-gesa, dan
terlalu menuntut dapat memunculkan ciri-ciri anal-retrentif, imbangan karakter logik dari
kepribadian kompulsif. Pada dasarnya, anak-anak menanggapi orangtua dengan mundur dan
menolak melakukan, mengarah pada ciri-ciri dewasa seperti kekeras-kepalaan, kekakuan, dan
kemarahan tersembunyi. Tipe-tipe anal-retentif juga dipercayai selalu tepat waktu, teratur,
teliti, dan dikelilingi kebersihan, ciri-ciri utama yang mengarahkan orangtua mereka agar
patuh jadwal, dengan segalanya pada tempatnya, tanpa berantakan. Alternatifnya, anak-anak
mungkin menanggapi dengan menjadi tipe anal-ekspulsif. Di sini, anak-anak menjadi ofensif;
feses menjadi senjata. Strategi anal-retentif sepenuhnya merupakan penolakan, kini strategi
berubah menjadi perusakan keinginan mereka secara aktif, hasrat yang membuat orang lain
menyesali karena mereka pernah menguasainya. Biasanya, ciri-ciri kedewasaan merupakan
kebalikan dari tipe anal-retentif dan mencakup kerusakan, penyimpangan dan kekejaman
sadistis.
Seiring psikoanalisis mulai mengembangkan relasi ego psikologi dan obyek, konsepsi
karaker anal pun diperluas. W. Reich (1933) mengemukakan sang kompulsif sebagai yang
dikelilingi dengan ‘aturan pedantik’, sebagai makhluk hidup menurut pola yang disesuaikan
namun juga cenderung risau dan cemas. Mungkin lebih penting, W. Reich (1949)
menganggap sang kompulsif sebagai yang diterimas secara emosional, tidak menampakkan
cinta dan afeksi, karakteristik yang dia sebut ‘blok afek’.
Kita telah melihat bahwa kompulsif, secara tersirat meminta aturan, rincian, dan
kesempurnaan sebagai seperangkat peniruan dengan apa yang tidak dapat diduga atau tidak
pasti di dunia sekitar mereka. Namun itu bukanlah batas persyaratan ini; sang kompulsif
meminta rasa aman yang sama dari dunia internal mereka. Pada sembarang waktu, pengujian
kecil sendiri menunjukkan bahwa banyak dari kita yang mendidih karena perasaan bertikai
yang menarik kita dan mencegah penilaian hitam-putih, bahkan pada situasi sederhana
sekalipun. Anda mengikuti suatu kelas dan walau instrukturnya hebat, beban kerja lebih
sesuai di kelas lain dan menyebabkan Anda marah dan menyesal. Anda mengikuti kelas,
walau beban kerjanya mudah, Anda bisa saja dapat substansi lebih karena bayaran Anda.
Anda mencintai ibu Anda, namun dia mengejek Anda; lalu, ketika dia mengurus Anda walau
sebentar, Anda penasaran apakah dia masih mencintai Anda. Isu-isunya mungkin berbeda,
namun setiap orang terjebak di teka-teki kata semacam itu. Banyak di antara kita hanya
mengakui kedua sisi koin dan menoleransi kompleksitas hidup. Tidak ada yang semuanya
jahat atau semuanya baik.
Bagi sang kompulsif, perasaan berlawanan dan disposisi semacam itu menciptakan
perasaan marah yang intens, ketidakpastian, dan ketidakamanan yang harus tetap diikat.
Untuk melakukan hal tersebut, mereka memakai semua strategi bertahan, lebih dari pola
kepribadian lainnya. Riset berpendapat bahwa yang pertama, dan mungkin yang paling
menentukan, adalah pembentukan reaksi (Berman & McCann, 1995). Di sini, sang kompulsif
membalikkan dorongan kecerobohan dan pemberontakan yang terlarang untuk
mengkompromikan ideal ego yang kaku dan tinggi. Contohnya, ketika berhadapan dengan
situasi yang menimbulkan kecemasan banyak orang, sang kompulsif menghargai diri mereka
sendiri ketika menampilkan kedewasaan dan kemasukakalan, seperti yang Efeknya, sang
kompulsif secara simbolik membersihkan diri mereka sendiri dari kekotoran dan kehinaan
dengan mengembangkan apa yang bertentangan secara diametral.
Kedua, sang kompulsif sering memindahkan kemarahan dan ketidakamanan dengan
mencari beberapa posisi kekuasaan yang memperbolehkan mereka untuk menjadi superego
yang dijatuhi sanksi secara sosial untuk yang lainnya. Di sini, sang kompulsif mengeluarkan
kemarahan mereka dengan membuat yang lainnya mematuhi standar yang tidak mampu
bekerja secara terinci atau kaku. Mereka yang rendah kedudukannya maka harus mengakui
otoritas dan pengetahuan atasan yang kompulsif atau menjatuhkan korban ke penghakiman
menyeluruh yang mensegel kebahagiaan bijak dan sadistis di belakang topeng kedewasaan.
Hukuman menjadi tugas; humanitarianisme, kegagalan. Ayah yang kelewat moralis dan ibu
yang kelewat menguasai menyediakan contoh permusuhan kamuflase. Di samping usaha
kontrol mereka, riset menunjukkan bahwa ciri-ciri kompulsif erat kaitannya dengan agresi
impulsif (Stein, Trestman, Mitropoulou, & Coccaro, 1996).
Mekanisme pertahanan lainnya yang dipakai sang kompulsif, isolasi afek,
menghubungkan domain psikodinamik dan kognitif, setidaknya bagi kepribadian macam ini.
Permintaan yang sama akan aturan dan kesempurnaan yang sang kompulsif minta kepada
lingkungan mereka, mereka meminta lanskap mental mereka sendiri. Untuk menjaga impuls
dan perasaan oposisional dari memengaruhi satu sama lain dan memegang citra-citra
ambivalen dan perilaku berlawanan dari pembuangan menjadi kepedulian sadar, mereka
mengatur dunia dalam mereka menjadi kompartemen kaku, dan ketat. Efeknya, sang
kompulsif berusaha mencekik insting, gairah, dan emosi dengan menghancurkan pengalaman
sehingga lebih mudah dibicarakan daripada dirasakan. Bagi orang normal, kenangan bukan
hanya mekanisme mengingat kembali, namun juga serangkaian pemutaran kembali episode
dari hidup kita untuk mengingat kembali keutuhan pengalaman asli, dengan semua emosi dan
sensasi yang mengiringinya. Walau beberapa di antaranya menakutkan dan yang lainnya
dihargai, semua kita punya kenangan seperti itu sehingga kita seringkali ke sana.
Sang kompulsif berbeda. Isi mental mereka menyerupai tempat penyimpanan yang
diatur dalam jumlah besar dari fakta yang diciutkan atau dikeringkan, yang masing-masing
ditunjukkan namun tetap terpisah dari yang lainnya. Efeknya, tujuan mereka berlawanan
dengan dengan sajak. Oleh karena sajak membubuhi pengalaman dengan menyediakan
jaringan simbolik dan metaforis dengan pengalaman terkait, sang kompulsif berusaha
mendapatkan setiap aspek pengalaman di kompartemen kecilnya. Mereka mengumpulkan
kenangan mereka dan hanya melakukan asosiasi intelektual di antara mereka. Dengan
mencegah interaksi mereka, sang kompulsif memastikan bahwa tidak ada satu pun fase
pengalaman yang mampu mengkatalis apapun sehingga mampu menghasilkan emosi yang
tidak terantisipasi atau menggerakkan kedalaman yang signifikan. Akibatnya, banyak
kompulsif melihat penjajakan diri itu percuma saja. Psikoterapi mungkin dilihat terlalu
banyak sains halus untuk menjamin waktu atau perhatian mereka. Bagi para kompulsif,
isolasi afeksi dan struktur mental secara tertutup saling memberdayakan.
Konsepsi modern kepribadian kompulsif diletakkan berhadapan dengan kerangka
relasi-obyek. Seperti telah dicatat, perkembangan psikodinamik dari kepribadian kompulsif
erat terkait dengan tahap anal. Freud menekankan frustasi dan perasaan energi psikoseksual
yang mendalam. Pemikir psikodinamik belakangan menafsirkan kembali tahapan
psikoseksual dalam istilah relasi-obyek, memusatkan peranan pengawas, bukan perasaan
mendalam energi kejiwaan. Konflik mendasar terjadi antara hasrat orangtua ikut campur dan
mengontrol, serta rasa otonomi anak yang bertumbuh. Pelatihan toilet lalu hanya merupakan
bagian kecil interaksi total antara orangtua dan anak, serta adalah di luar interaksi total ini
personalitas itu tumbuh.
Pada saat mereka mencapai kedewasaan mereka, sang kompulsif masa depan telah
penuh menghayati keketatan dan regulasi orangtua mereka. Hingga kini, mereka dilengkapi
dengan ukuran dalam yang secara kasar menilai dan mengawasi mereka, tanpa iba menyusup
untuk meragukan mereka dan ragu-ragu sebelum beraksi. Sumber daya tantangan eksternal
telah digantikan dengan kontrol pendekatan diri internal yang ketat. Sang kompulsif kini
menjadi jaksa dan hakim mereka sendiri, siap mengutuk diri mereka sendiri tidak hanya
karena banyak lagak namun juga karena pemikiran transgresi. Dengan menekankan perasaan
bersalah, anak-anak mendapatkan suara kritis nurani yang siap memarahi bahkan ketika
pengasuh secara fisik absen atau bahkan mati. Unsur keagamaan sering memainkan peranan
penting. Beberapa di antaranya mengatakan konsekuensi menakutkan dari dosa; yang lainnya
mengatakan bagaimana sulitnya atau malunya orangtua mereka jika mereka menyimpang dari
‘jalan lurus’. Kadang-kadang, mereka mengubah rasa moralitas mereka menjadi rasa
superioritas moral, dan memakainya untuk mengisi bahan bakar kemarahan yang
mengesampingkan ekspresi kemarahan dan fokus padanya atas tujuan yang sesuai.
Perspektif Interpersonal
Kita bisa simpulkan bahwa sang kompulsif begitu mengekang interaksi interpersonal
mereka. Orang normal mampu melakukan spontanitas, sang kompulsif secara aktif
mengawasi tingkah laku dan pesan mereka sendiri. Komunikasi mereka mungkin nampaknya
didahului kekakuan kartu pencatatan, mungkin dengan sedikit melihat ini: Pertama,
memformulasikan rencana interpersonal. Kedua, memeriksa rencana secara teliti demi
menghindari pemborosan dalam ketepatan dan kematangan, mengadopsi permulaan yang
rendah untuk menghilangkan kemungkinan perilaku sehingga dapat melenyapkan segala
kemungkinan penghinaan atau ketidakmampuan. Ketiga, memformulasikan perilaku yang
baru jika perlu, dan memeriksa sebelumnya. Keempat, memerankan perilaku terpilih,
mengukur reaksi orang lain, dan kembali ke langkah pertama. Kekakuan meningkat ketika
partisipan lain di dalam transaksi punya tingkat atau status tertentu yang meluas yaitu sang
kompulsif sehingga pentingnya penyensoran kesalahan pun meningkat.
Proses kompulsif interpersonal mensyaratkan bahwa mereka menginvestasikan
banyak waktu dan energi untuknya. Untuk alasan ini, sang kompulsif sering dilihat orang lain
begitu kaku, muram, atau bahkan cemberut. Walau mereka amat sopan, ini mengalir dari
hasrat mereka untuk mengikuti kesepakatan sosial, bukan dari keinginan terdalam. Postur dan
gerak mereka mungkin nampak ketat dan terkontrol. Kata-kata mereka cermat dipilih agar
akurat dan obyektif. Apapun topik percakapan, sang kompulsif lebih suka tetap
mempertahankan jarak dan impersonal, merendahkan penilaian subyektif atau opini demi
menerima kecerdasan atau formulasi abstrak yang tidak mengungkapkan apapun bagi mereka
sendiri. Mereka mungkin bicara dengan tata cara yang impersonal dan jumawa daripada
memahamkan komentar mereka, menaikkannya sampai ke level peraturan. Contohnya,
seorang kompulsif mungkin berkata, “Seorang seringkali menemukan dalam hidup bahwa
pengalaman salah satu guru terbaik,” bukan berkata, “Anda membuat kesalahan, pelajari apa
yang Anda bisa, dan selanjutnya.” Untuk alasan ini, impresi interpersonal mereka adalah
salah satu dari kesopanan, formalitas, dan kekangan.
Dinamika kepribadian kompulsif bagian dalam terutama dibuat jelas ketika membedakan
arahan interpersonal mereka dengan atasan dan bawahan. Memberikan kesadaran dan
keasyikan mereka dengan rincian, efisiensi, dan kesempurnaan, sang kompulsif membuat
baik ‘pria dan perempuan organisasi,’ mengadopsi kebutuhan dan tujuan bisnis sesuai
keinginannya sendiri, nyaris menjadi bagian dari superego mereka sendiri. Mayoritas
berhubungan dengan orang lain berdasarkan tingkat atau status. Mereka menyanjung, bahkan
memuja, atasan mereka, namun otoriter atau tiran terhadap bawahan. Dengan
mempersekutukan diri mereka sendiri dengan orang lain yang berkuasa, sang kompulsif
menikmati serangkaian perlindungan dan secara tidak langsung mendapatkan mantel
kekuatan dan penghormatan. Pada waktu bersamaan, mereka memakai posisi kekuasaan
mereka untuk menyebarkan ketakutan kepada bawahan mereka, ketakutan sama yang mereka
alami sendiri ketika ‘dipanggil di atas karpet’ di hadapan orang lain yang lebih berkuasa.
Untuk mengekang permusuhan tertekan mereka, sang kompulsif mungkin mengantagoniskan
pekerja mereka dengan peraturan, regulasi, tata cara, dan konformitas sesuai dengan deskripsi
kerja.
Perspektif Kognitif
Ciri-ciri kognitif yang kuat dari kepribadian kompulsif dikenali dan ditulis teoris analitik jauh
sebelum perspektif kognitif menjadi tenar. Adapun kajian pengolahan-informasi kontemporer
peduli dengan pencatatan arsitektur dan proses kognisi, kajian analitik lebih peduli dengan
gaya kognitif dan hubungan erat antara karakter dan kognisi. W. Reich (1933, h. 211) menilai
sang kompulsif sebagai bimbang dan ragu.
Teoris psikoanalitik lainnya mencatat ketidaktoleransian. Sang kompulsif
memperlakukan isi mental mereka selayaknya mereka memperlakukan kerja mereka,.
Mereka gemar memiliki barang-barang yang konkrit; semuanya harus sesuai dengan
beberapa sistem klasifikasi; semuanya yang sulit diatur menjadi sumber kecemasan atau
sasaran kutukan. Mencandui konsep klasik tentang karakter anal, Rado (1959: 326)
menggambarkan orang ini sebagai konkrit, berorientasi pada fakta, dan mengutuk keragaman
dan imajinasi. Ciri-ciri kognitif seperti itu mungkin bisa dilacak ke belakang pada lingkungan
keluarga. Ketika orangtua Anda begitu keji, mudah menghukum, dan merasa benar sendiri,
Anda biasanya lebih menyukai hal kongkrit karena lebih mudah menilai dan menghindari
masalah, terutama jika kamu adalah anak-anak dan tanpa unsur kognitif dewasa.
Segalanya yang berada pada sisi terjauh dari perhatian kepribadian kompulsif
berpotensi diangkut secara langsung menuju pusat kesadaran dan meletakkan di bawah
kehebatan orang. Para individu ini tidak hanya tidak mampu memahami ‘gambaran besar’
namun juga tidak mampu merasakan keseluruhan nada emosional dari situasi impersonal,
menyumbang pada impresi kepribadian bahwa mereka kaku atau dingin. Oleh karena
kompulsif fokus pada rincian di dalam komunikasi dan gagal utuh menilai atmosfer
interpersonal, mereka tidak bisa bersantai atau spontan atau empatik. Shapiro juga
menghubungkan level perhatian kompulsif pada kekurangan intuisi mereka, tidak ada bahwa
mereka jarang berfirasat. Akhirnya, sang kompulsif keras melawan apresiasi estetik dari
sastra atau seni. Level perhatian kerja di dalam konjungsinya dengan pertahanan isolasi
emosional, contohnya, membuat mereka merasa masa bodoh atas tragedi atau drama manusia
lainnya. Kalau saja Elsa bisa menilai atmosfer ruang kelas mereka, dia akan menanggapi
umpan balik murid dan tidak akan duduk di pusat bimbingan.
Faktanya, tidak peka akan ketidakpekaan mereka pada nuansa emosional, sang
kompulsif gagal menyadari bahwa kehidupan emosional orang lain jauh lebih kaya daripada
dirinya sendiri. Banyak orang akan iba pada imersi sang kompulsif yang asing terhadap
kesegeraan akan perasaan yang benar-benar hidup, banyak kompulsif tidak mampu
memandang-ke-dalam pemiskinan kehidupan mereka. Sebaliknya, mereka membersihkan
dan men-dehumanisasi keberadaan mereka dengan mengatur pemikiran mereka secara kaku
sesuai dengan aturan dan regulasi konvensional, jadwal formal, dan hierarki sosial. Beberapa
di antaranya melakukan hal seperti itu dengan sikap merendahkan diri dan hina, menganggap
orang lain tidak teratur, tidak efisien, dan primitif. Tipe-tipe seperti itu muncul di pengaturan
birokratis, di mana hasrat mereka akan spesifisitas dan rincian bisa dipakai sebagai senjata
melawan siapa saja yang menghalangi mereka, mereka pun diacuhkan, atau agak terlalu tega.
Dengan merumitkan hidup orang lain, sang kompulsif membendung kemarahan bagian dalam
mereka seraya membenarkan perilaku mereka sesuai aturan keorganisasian.
Para kompulsif lain nampaknya sesuai untuk mengatur dan merinci hampir semua
sebagai pertahanan kognitif melawan ketidakpastian dan kemenduaan. Tidak seperti varietas
sadistik sebelumnya, mereka lebih tunduk dan takut akan kemurkaan, memiliki kebutuhan
yang intens agar pasti. Perilaku kompulsif seperti itu begitu takut berbuat salah, melarang diri
mereka sendiri pada situasi yang akrab dan intim. Mereka menghindari hal berbahaya dengan
mempertahankan pendekatan hidup yang ketat dan teratur. Rutinitas yang sama
memperbolehkan mereka bermain aman namun mencegah mereka dari pengembangan
persepsi atau pendekatan baru penyelesaian masalah.
Individu seperti itu biasanya bimbang, terus menerus mencari sumber informasi,
saran, dan opini otoritatif sebelum memutuskan. Sering, pencarian mereka meninggalkan
penilaian mereka dilimpahi ratusan rincian yang mereka rasakan tidak mampu
menggabungkan secara konklusif. Selamanya terteror dan tertekan, mereka mungkin
terperosok di dalam suatu kelumpuhan analisa yang sama sekali mencegah mereka
mengambil keputusan. Efeknya, mereka terperangkap di dalam lingkaran setan pengolahan-
informasi: makin banyak rincian yang mereka kumpulkan, makin banyak fakta yang gagal
dipahami atas suatu kajian aksi tertentu atau konklusi, dan kecemasan mereka pun meningkat.
Solusinya adalah menggandakan kembali usaha mereka dan mengumpulkan lebih banyak
rincian.
Sebaliknya, perintah moral yang memerintah pengalaman mereka diberdayakan dan
diatur beberapa kesalahan kognitif kunci (Beck, et.al., 1990). Mungkin, sang kompulsif
memandang dunia secara hitam-putih. Pernyataan ‘mesti’ mereka menetapkan kemutlakan
tidak layak di dalam situasi tertentu, kemampuan personal, atau ketersediaan sumber daya.
Sebaliknya, sang kompulsif diperintah komandemen yang disarikan dari Superego yang
mahakuat: “Anda tidak akan pernah gagal. Anda akan selalu terkontrol. Anda tidak terjebak
kesalahan, sekecil apapun,” dll. Mempertimbangkan dikotomi mereka, pandangan moralistik
akan dunia, tidaklah mengejutkan bahwa konsekuensi menyakiti satu komandemen ini saja
adalah kotor, bahkan bencana. Sang kompulsif tidak bisa melakukan apa yang mereka
inginkan; mereka harus melakukan apa yang semestinya, di setiap kasus. Hasilnya, hidup
memang hanya punya sedikit potensi untuk sedikit kebahagiaan dan amat berpotensi untuk
cemas. Banyak dari kehidupan sang kompulsif terbuang di masa lalu dan di masa depan,
hilang pemahaman atas apa yang mesti mereka lakukan kepada orang tertentu atau situasi,
atau apa yang telah mereka lakukan akan menghilang. Kadang-kadang kungkungan
keinginan mereka bisa membuat mereka nampak tidak menarik. Hanya kadang-kadang
mereka berpusat di saat sekarang, rumah bagi mereka yang gembira dan keakraban hidup.
Subtes Keterangan
Information (tinggi) Tinggi Individu dengan gangguan obsesif-kompulsif memiliki pengetahuan yang luas dan minat terhadap lingkungan yang tinggi sebagai usaha melengkapi diri mereka dengan pengetahuan sebanyak mungkin dan menjauhkan diri dari berbuat salah, sehingga mampu mencapai skor tinggi.
Vocabulary (tinggi) Tinggi Individu dengan gangguan obsesif-kompulsif mengungkapkan ide-ide secara akurat dan lengkap berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Mereka pada umumnya mampu merumuskan pengertian mengenai suatu konsep dengan penjelasan-penjelasan yang panjang dalam rangka mencapai hasil yang sempurna sehingga skor yang diperoleh dalam subtes ini tinggi.
Arithmatic (tinggi) Tinggi Kesiagaan mental individu dengan gangguan obsesif-kompulsif sangat tinggi. Mereka memiliki kesiapan untuk menata dan menalar suatu permasalahan secara terstruktur di dalam sistem kognitifnya. Kesiagaan yang berasal dari kecemasan dan ketakutan berbuat salah ini menyebabkan mereka selalu siap dan aktif mengelola informasi yang
diterima Digit Symbol (tinggi) Tinggi Individu dengan gangguan obsesif-
kompulsif sangat patuh dan terbiasa dengan aturan sehingga ia mampu mengerjakan tugas-tugas yang jelas panduannya.
Picture Completion (tinggi) Tinggi Individu dengan gangguan obsesif-kompulsif mampu mempersepsi visual secara detail dan menyeluruh.
Comprehension (relative rendah) Rendah Penilaian sosial individu penderita obsesif kompulsif berbeda dengan orang lain. Mereka melakukan penilaian sosial berdasarkan pemahaman mereka sendiri (berbeda dengan orang pada umumnya). Pendapat orang lain cenderung tidak didengarkan atau dimaknakan sebagai sesuatu yang berbeda dengan pemahaman orang tersebut. Individu penderita gangguan obsesif-kompulsif berpatokan pada pemahamannya sendiri sehingga kognisi sosialnya tidak baik.
Similarities (rendah) Rendah Individu dengan gangguan obsesif-kompulsif memiliki pola berpikir abstraksi dan simbolisasi yang bersifat individual sehingga tidak mampu mengkonseptualisasikan suatu hal, kurang mampu menganalisa maupun menalar informasi yang diterima dalam system kognitifnya sehingga tidak mampu mencapai skor tinggi.
Digit Span Tinggi Individu dengan gangguan obsesif-kompulsif memiliki atensi yang tinggi untuk mempersepsi stimulus yang diterimanya. Atensinya secara aktif bekerja untuk mencapai kesempurnaan hasil.
Picture Arrangement Rendah Individu dengan gangguan obsesif-kompulsif tidak memiliki antisipasi sosial yang tepat.
Block Design Rendah Individu dengan gangguan obsesif-kompulsif tidak memiliki fleksibilitas
dalam memecahkan masalah sehingga sulit mengatasi permasalahan yang bersifat abstrak.
Daftar PustakaGilbert, Joseph. 1980. Intepretating Psychological Test Data: Volume II, Behavioral
Attribute Antecedent. Litton Publishing Incorporation, Inc.
Marnat, Gary-Groth. 2003. Handbook of Psychological Assessment. John Wiley and Sons,
Inc.
Millon, Theodore. 2004. Personality Disorder in Modern Life. John Wiley and Sons, Inc.
Nolen-Hoeksema, Susan. 1959. Abnormal Psychology: Secon Edition. McGraw Hill.
Ogdon, Donald P. 1993. Handbook of Psychological Signs, Symptomps, and Syndromes.
Western Psychological Services.
Ogdon, Donald P. 1977. Psychodiagnostic and Personality Assessment: A Handbook.
Western Psychological Services.
Rappaport,David, dkk. 1968. Diagnostic Psychological Testing. Internation University Press,
Inc.
Wechsler, David. 1944. The Measurement of Adult Intelligence. Williams and Wilkins
Company.
Seligman, Martinez, dkk. 2001. Abnormal Psychology. New York: W.W Norton & Company
http://www2.massgeneral.org/prp/marci_pubs/porcerelli%20et%20al%202007.pdf