perspektif hukum islam terhadap praktik ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang...

71
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK KONSINYASI DI KANTIN PONDOK PESANTREN HUDATUL MUNA DUA KABUPATEN PONOROGO SKRIPSI Oleh : WINDARTI NIM 210215061 Pembimbing: DRS. H. M. MUHSIN, M.H. NIP. 196010111994031001 JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO 2020

Upload: others

Post on 22-Nov-2020

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK KONSINYASI

DI KANTIN PONDOK PESANTREN HUDATUL MUNA DUA

KABUPATEN PONOROGO

SKRIPSI

Oleh :

WINDARTI

NIM 210215061

Pembimbing:

DRS. H. M. MUHSIN, M.H.

NIP. 196010111994031001

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2020

Page 2: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

vi

ABSTRAK

Windarti. 2020. Perspektif Hukum Islam Terhadap Praktik Konsinyasi di Kantin

Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo. Skripsi.

Jurusan Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Fakultas Syariah Institut

Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo. Pembimbing Drs. M. Muhsin,

M.H.

Kata kunci: Konsinyasi, Waka>lah Bil Ujrah dan Etika Bisnis Islam

Sistem konsinyasi adalah pengiriman atau penitipan barang dari pemilik

kepada pihak lain yang bertindak sebagai agen penjualan dengan memberikan

komisi. Dalam ekonomi Islam, sistem konsinyasi terdapat beberapa pendekataan

teori akad, diantaranya adalah waka>lah bil ujrah dan etika bisnis Islam. Praktik

konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo,

akad dilakukan pada saat pertamakali penyetor barang dagangan menitipkan

barang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan

ketentuan-ketentuan yang berlaku. Kemudian bagi hasil dijelaskan berupa

persentase sebesar 10% dari hasil penjualan barang dagangan yang habis terjual.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perspektif

hukum Islam terhadap praktik akad konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren

Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo. 2. Bagaimana perspektif hukum Islam

terhadap praktik pengupahan konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul

Muna Dua Kabupaten Ponorogo.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian field research (penelitian

lapangan). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dan

Pengumpulan datanya menggunakan teknik observasi, wawancara dan

dokumentasi. Kemudian data dianalisis menggunakan metode induktif, yaitu

pembahasan yang diawali dengan pengamatan terlebih dahulu, lalu menarik

kesimpulan berdasarkan pengamatan tersebut.

Skripsi ini menyimpulkan pertama, praktik akad konsinyasi di Kantin

Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo adalah termasuk akad

waka>lah bil ujrah dan akadnya sah menurut hukum Islam karena kedua belah

pihak telah sepakat, tetapi kurang sesuai dengan prinsip etika bisnis Islam. Kedua,

praktik pengupahan konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua

Kabupaten Ponorogo sudah sesuai dengan hukum Islam, karena sepakat dengan

ketentuan pengupahan yang ditentukan ketika akad, tetapi kurang sesuai dengan

nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis.

Page 3: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan
Page 4: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan
Page 5: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan
Page 6: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan
Page 7: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam adalah nama bagi segala ketentuan Allah dan utusan-

Nya yang mengandung larangan, pilihan, atau menyatakan syarat, sebab,

dan halangan untuk suatu perbuatan hukum.1 Isi ajaran Islam bersumber

pada al-Qur’an dan al-Hadith. Menurut Mahmud Syaltout, ajaran Islam

terdiri atas dua bagian yaitu aqidah dan syari’ah. Ajaran syariah itu sendiri

terbagi menjadi dua, yaitu ajaran tentang aqidah dan mu’a>malah. Ajaran

mu’a>malah berkaitan tentang persoalan-persoalan hubungan antara sesama

manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan prinsip-

prinsip yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.2 Pada dasarnya

Allah menciptakan dan menetapkan hukum bertujuan untuk menciptakan

kemaslahatan dan keselamatan hidup manusia.3

Dalam bermu’a>malah akad adalah sesuatu yang harus dipenuhi,

karena dalam perekonomian akad adalah suatu hal yang penting yang dapat

mempengaruhi sah atau tidaknya dalam bertransaksi. Dan juga mempunyai

kategori tersendiri mengenai penempatan akad yang dilaksanakan dalam

bermu’a>malah. Akad disebut juga sebagai perjanjian, perikatan, transaksi,

kesemuanya ini mempunyai arti yang sama yaitu akad atau perjanjian yang

1 Abd. Shomad, Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2010), 27. 2 Neneng Nur Hasanah, Mudharabah Dalam Teori Dan Praktik (Bandung: PT Refika

Aditama, 2015),1. 3 Asmawi, Studi Hukum Islam (Yogyakarta: Sukses Offset, 2012), 107.

Page 8: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

2

dilakukan oleh seseorang dengan orang lain yang menimbulkan akibat

hukum pada obyeknya.

Menurut Abdul Manan mengutip pendapat dari Hasyim Ma’ruf al-

Husaini akad adalah sebuah kontrak merupakan suatu persetujuan dan

konsekuensinya adalah suatu kewajiban dan mengikat bagi pihak-pihak

yang terlibat. Dalam kontrak terdapat beberapa asas yaitu: kebebasan,

persamaan dan kesetaraan, keadilan, kerelaan, dan tertulis.4

Selain memperhatikan akad dalam ekonomi Islam harus

memperhatikan sebuah etika atau akhlak dalam berbisnis. Etika sendiri

adalah cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan buruk yang

berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang, yang dilakukan dengan

kesadaran berdasarkan pertimbangan pemikirannya.5 Etika bisnis Islam

berarti suatu kebiasaan atau budaya moral yang berkaitan dengan kegiatan

bisnis suatu perusahaan.6 Titik sentral dari etika bisnis islam sendiri adalah

untuk menjaga perilaku wirausaha muslim dengan tetap bertanggungjawab

karena percaya kepada Allah SWT.

Seiring dengan berjalannya waktu kegiatan perekonomian semakin

berkembang, salah satunya adalah sistem konsinyasi (titip jual). Seperti

halnya praktik yang diterapkan di kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna

Dua Kabupaten Ponorogo.

4 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama

(Jakarta: Kencana, 2012), 72-80. 5 Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam (Bandung: Alfabeta, 2013), 20. 6 Ibid, 35.

Page 9: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

3

Sistem konsinyasi adalah pengiriman atau penitipan barang dari

pemilik kepada pihak lain yang bertindak sebagai agen penjualan dengan

memberikan komisi. Hak milik atas barang, tetap masih berada pada

pemilik barang sampai barang tersebut terjual. dan mengambil keuntungan

yang lebih sedikit. Dengan sistem ini maka pemilik produk tidak langsung

menerima pembayaran dari toko melainkan sementara hanya dititipkan, jika

kemudian ada konsumen yang membeli produknya maka baru pembayaran

dilakukan sejumlah banyaknya produk yang terjual.

Sebagai kontraprestasi terhadap orang atau lembaga yang memberikan

jasa perantara, biasanya berupa pemberian provisi/komisi/fee yang

jumlahnya sebesar jumlah presentase tertentu dari harga pokok barang.7

Beberapa teori pendekatan sistem konsinyasi tersebut dalam hukum

ekonomi Islam diantaranya adalah: pertama, Akad Waka>lah bil Ujrah yaitu

posisi pemilik barang sebagai yang mewakilkan (al-Mukil), sementara

penjual sebagai wakilnya. Selanjutnya mereka menetapkan adanya ujrah

(upah) sesuai kesepakatan. Dalam waka>lah bil ujrah, disyaratkan upah yang

disepakati harus jelas.8

Kedua, Etika Bisnis Islam, merupakan suatu proses dan upaya untuk

mengetahui hal-hal yang benar dan yang salah yang selanjutnya tentu

7Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (Yogyakarta, Gadjah Mada

University Press: 2010), 50. 8 Nabila Nailul Muna, “Wakalah,” Makalah (Jurai Siwo Metro: STAIN Jurai Siwo Metro,

2016), 10.

Page 10: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

4

melakukan hal yang benar berkenaan dengan produk, pelayanan dengan

pihak yang berkepentingan.9

Di kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua dagangan yang dijual

adalah produksi dari beberapa orang yang setiap harinya menyetorkan

makanan atau minuman yang sudah jadi dan siap dijual oleh pihak kantin

atau disebut sebagai pemilik/penyetor barang dagangan. Sedangkan dari

pihak kantin adalah pihak yang menyediakan tempat dan tenaga dalam

pengelolaan/penjual barang dagangan tersebut, yang disebut sebagai pihak

pengelola barang dagangan, yang nantinya akan ada komisi dari

penjualannya, sesuai dengan barang dagangan yang sudah habis terjual,

karena barang yang tidak terjual akan dikembalikan kepada pemilik

dagangan.

Penyetor barang dagangan di kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna

Dua, tidak hanya satu orang saja melainkan ada beberapa orang. Dan setiap

orangnya pada perjanjian/akad awalnya sepakat dengan menyetorkan barang

dagangan 1 macam saja tetapi lambat laun ketika barang dagangan tersebut

sudah semakin laku pihak pemilik dagangan menambahkan barang

dagangannya dengan tanpa sepengetahuan dari pihak pengelola sehingga

dalam penambahan tersebut tidak ada kesepakatan atau pembaruan akad

secara pasti antara keduanya. Misalnya, A pada perjanjian awal sepakat

memberikan modal barang dagangan berupa jajanan gorengan seperti

tempe, pia, tetapi lama kelamaan yang disetorkan berupa jajanan pasar

9 Abdul Aziz, Etika, 35.

Page 11: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

5

seperti onde-onde, mpon-mpon, cenil atau sesukanya, dan B yang pada

perjanjian awalnya menyetorkan nasi saja lama kelamaan menyetorkan nasi

dan es, nasi dan gorengan, dan lain-lain. Ada juga pihak yang menyetorkan

barang dagangan secara tidak pasti dan pada kesepakatan awalnya tidak

boleh menyetorkan dagangan yang di kantin sudah ada penyetornya tetapi

pada praktiknya barang yang disetorkan terkadang sudah ada, sehingga

menimbulkan ketidakrelaan bagi pihak lainnya. Dan pihak pengelola sendiri

sebenarnya tidak berkenan dengan hal tersebut, tapi mengingat para

penyetor tersebut mengantarkan dagangannya ketika pengelola belum ada di

tempat dan juga pertimbangan jika si pemilik barang dagangan tidak akan

mau menitipkan dagangannya lagi di kantin, sehingga faktor-faktor tersebut

menghambat pengelola kantin untuk bersikap tegas kepada pemilik

dagangan.10

Dalam praktik pemberian komisi yang seharusnya persentase

keuntungannya harus diketahui dan disepakati oleh kedua pihak, pada

praktiknya ketentuan komisi atau potongan persentase, pihak pengelola

kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua tidak menyatakan secara jelas

kepada penyetor, baru ketika pemilik dagangan menanyakan maka akan

dijawab 10% dari perbuah dari dagangannya.11

Tetapi dalam praktik aslinya

ternyata tidak hanya 10% saja yang dipotong, tetapi ada yang 20%, 5%

ataupun hanya dengan dikira-kira saja, misalnya pemilik modal

menyetorkan nasi 10 bungkus yang perbungkusnya dihargai Rp. 2.000,

10 Qoirun Nisa, Hasil Wawancara, Ponorogo. 05 Agustus 2019. 11 Bu Nur, Hasil Wawancara, Ponorogo. 08 Agustus 2019.

Page 12: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

6

sesuai dengan akadnya seharusnya perbungkus dipotong Rp. 200 (10% dari

2000) menjadi Rp. 1.800 x 10 = Rp. 18.000 tetapi dalam praktiknya

perhitungannya adalah Rp. 1.900 x 10 = Rp. 19.000 (5%). Sehingga dalam

praktiknya terdapat unsur ketidak jelasan mengenai besaran jumlah

komisi/upah atau persentasenya.

Berangkat dari masalah inilah penulis masih ada yang perlu dicari

jawabannya yaitu pertama; mengenai praktik akad konsinyasi di Kantin

Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo, kedua;

mengenai praktik pengupahan konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren

Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo.

Dengan demikian dalam penelitian ini akan membahas mengenai

Perspektif Hukum Islam Terhadap Praktik Konsinyasi di Kantin

Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang ada dan agar lebih terarah dari segi

operasional maupun sistematika penulisan skripsi ini, maka peneliti

menyimpulkan pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap praktik akad konsinyasi di

Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo ?

2. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap praktik pengupahan

konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten

Ponorogo?

Page 13: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

7

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan diadakan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam terhadap praktik akad

konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten

Ponorogo.

2. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam terhadap praktik pengupahan

konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten

Ponorogo.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat peneliti ini dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini secara teori diharapkan mampu memberikan

kontribusi dalam upaya pengembangan pemikiran dalam khazanah

intelektual Islam dan hukum Islam khususnya dalam akad konsinyasi

serta sebagai bahan kajian untuk dikembangkan lebih lanjut dalam

penelitian berikutnya mengenai praktik konsinyasi yang baik sesuai

dengan syariat Islam.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan dan wawasan dan sebagai referensi untuk

pengembangan ilmu terutama dibidang praktik konsinyasi dalam

usaha kemitraan yang sesuai dengan hukum Islam.

b. Bagi Pengelola Kantin

Page 14: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

8

Memberikan informasi kepada Kantin Pondok Pesantren Hudatul

Muna Dua dalam mengambil langkah selanjutnya demi

menciptakan strategi yang tepat untuk meningkatkan kredibilitas

dan profesionalitas serta wawasan mengenai akad dan penentuan

upah/komisi agar sesuai dengan hukum Islam.

c. Bagi Pemasok Dagangan

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi pertimbangan atau

pengetahuan bagi para pemasok dagangan dalam melakukan akad

konsinyasi antara pemasok/pemilik modal dan pihak pengelola

kantin, serta diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan

bagi seluruh pihak yang ada didalamnya khususnya tentang akad

konsinyasi yang sesuai dengan hukum Islam.

E. Telaah Pustaka

Berdasarkan telaah yang dilakukan penulis terhadap sejumlah

penelitian tentang konsinyasi terdapat beberapa karya ilmiah terdahulu yang

berkaitan dengan masalah tersebut tetapi dengan pokok permasalahan yang

berbeda, diantaranya:

Skripsi yang ditulis oleh Ikfa Aelulu Anisatul Ummah, Prodi Hukum

Ekonomi Syariah Jurusan Muamalah Fakultas Syariah Institut Agama Islam

Negeri (IAIN) Purwokerto 2018, yang berjudul “Jual Beli Kue Kering

Dengan Sistem Konsinyasi Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di

UD Sri Rejeki Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas)” , dalam skripsi

tersebut membahas tentang Bagaimana praktek jual beli kue kering dengan

Page 15: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

9

sistem konsinyasi di UD SRI REJEKI Kecamatan Cilongok Kabupaten

Banyumas, dan Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktek jual beli

kue kering dengan sistem konsiyasi di UD SRI REJEKI Kecamatan

Cilongok Kabupaten Banyumas, dengan menggunakan pendekatan kualitatif

dengan metode pengumpulan data melalui observasi serta wawancara.

Dengan kesimpulan sebagai berikut:

1. Praktek jual beli kue kering yang terjadi di UD Sri Rejeki ialah

dengan menggunakan sistem konsinyasi yakni transaksi jual beli kue

kering antara sales dengan pemilik toko yang ada di perkotaan dan di

warung desa. Para sales itu menawarkan kue kering yang berbagai

macam dengan membawa sampel untuk dititipkan di toko tersebut.

Ketika terjadi transaksi yakni dalam hal jual beli kue kering dengan

sistem konsinyasi ada perjanjian terlebih dahulu antara si sales dengan

pemilik toko. Sistem pembayarannya adalah sesuai dengan barang

yang terjual yang tidak terjual akan kembali ke pengusahanya

sehingga.

2. Praktik jual beli kue kering dengan sistem konsinyasi menurut hukum

Islam diperbolehkan karena pada dasarnya sistem konsinyasi adalah

praktek titipan barang penjualan dengan pemberian komisi atau ujrah,

sehingga praktek konsinyasi termasuk akad ijarah atau akad waka>lah

bil ujrah.12

12 Ikfa Aelulu Anisatul Ummah, berjudul “Jual Beli Kue Kering Dengan Sistem Konsinyasi

Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di UD Sri Rejeki Kecamatan Cilongok Kabupaten

Banyumas)” Skripsi (Purwokerto: IAIN Purwokerto, 2018), 75.

Page 16: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

10

Penelitian lainnya yang dilakukan M. Misbahul Mujib Ilmu Hukum

Universitas Gadjah Mada Yoyakarta dalam thesisnya yang berjudul

“Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Antara Distributor Buku Dengan

Pedagang Buku di Shopping Center Yogyakarta”, penelitian ini bersifat

empiris yuridis yaitu melakukan penelitian lapangan untuk data primer dan

penelitian kepustakaan untuk data sekunder. Dilakukan untuk menjawab

permasalahan pelaksanaan perjanjian konsinyasi antara distributor buku

dengan pedagang buku di Shopping Centre Yogyakarta serta bagaimana

peerlindungan hukum dalam perjanjian konsinyasi.

Dalam penelitiannya disimpulkan bahwa perjanjian konsinyasi yang

dilakukan oleh pedagang buku dengan distributor hanya berupa lisan dan

perjanjian ini dianggap telah dimengerti oleh setiap pelakunya, sehingga

saat distributor merasa dirugikan dengan pengembalian buku yang

mengalami kerusakan disebabkan oleh pedagang buku, distributor tidak

dapat melakukan upaya hukum apapun selain menerima pengembalian buku

yang telah mengalami kerusakan, dengan demikian perlindungan hukum

terhadap distributor belum memadai.13

Skripsi yang ditulis oleh Mamnunah, Ilmu Hukum Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun

2015, yang berjudul “Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Antara Supplier

Dengan Distributor (Studi Di Hamzah Batik Malioboro Yogyakarta)”

menggunakan pendekatan Metode analisis yang digunakan dalam

13 M. Misbahul Mujib “Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Antara Distributor Buku Dengan

Pedagang Buku di Shopping Center Yogyakarta”, Thesis (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada,

2007), ii.

Page 17: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

11

penelitian ini adalah deskriptif analitik kualitatif dengan pokok

permasalahan apakah pelaksanaan perjanjian konsinyasi di Hamzah Batik

Malioboro Yogyakarta sudah sesuai dengan asas-asas hukum perjanjian

serta bagaimana perlindungan hukum bagi supplier akibat kerusakan barang

yang diakibatkan oleh konsumen atau lamanya waktu.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan perjanjian

konsinyasi di Hamzah Batik Malioboro didasari aspek yuridis melalui

perjanjian tidak tertulis dalam bentuk kesepakatan secara lisan. Meskipun

mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian konsinyasi di Hamzah Batik

Malioboro tidak dituangkan dalam perjanjian tertulis, bentuk perjanjian

tersebut merupakan perjanjian standar karena hal-hal pokok dalam

perjanjian ditentukan oleh satu pihak yang posisinya lebih kuat yaitu

Hamzah Batik. Ada dominasi sepihak dari pihak Hamzah Batik dalam

pelaksanaan perjanjian konsinyasi yang terlihat dari penentuan harga pokok

terhadap supplier dan hal itu tidak sesuai dengan asas kepastian hukum dan

asas persamaan hak. Perlindungan hukum yang diberikan kepada supplier

apabila terjadi kerusakan barang diakibatkan kesalahan konsumen yang

tidak diketahui atau lamanya waktu adalah dalam bentuk penerimaan

kembali barang yang tidak terjual.14

Skripsi yang ditulis oleh Satriani Hisyam, Jurusan Muamalat Fakultas

Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

tahun 2013, yang berjudul “ Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik

14 Mamnunah, “Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Antara Supplier Dengan Distributor (Studi

Di Hamzah Batik Malioboro Yogyakarta)”, Skripsi (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga, 2015), ii.

Page 18: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

12

Konsinyasi Pada Koperasi Pegawai Negeri UIN Sunan Kalijaga” dengan

pokok masalah tentang Apakah praktik konsinyasi pada Koperasi Pegawai

Negeri (KPN) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta telah sesuai dengan hukum

Islam. menggunakan pendekatan Metode analisis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah deskriptif analitik kualitatif.

Hasil penelitian tersebut adalah Konsinyasi yang dilakukan KPN UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta dapat dikatakan telah sesuai dengan hukum

Islam, meski penjualan konsinyasi tidak dituangkan di dalam perjanjian

tertulis, rukun dan syarat dalam akad telah terpenuhi. KPN UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta adalah sebuah badan hukum yang dapat melakukan

perbuatan hukum, sedangkan pengamat juga telah mampu melakukan

perbuatan hukum. Obyek pada konsinyasi tidak berupa barang-barang yang

dilarang oleh syara’. Barang konsinyasi adalah hak milik pengamat,

sehingga dengan demikian pengamat dapat melakukan apa saja dengan hak

miliknya termasuk dengan melakukan penjualan dengan sistem konsinyasi.

KPN UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tidak menjual barang komisi

melebihi dengan harga yang telah disepakati.15

Berdasarkan penelusuran hasil penelitian di atas, belum ada yang

membahas secara khusus tentang bagaimana perspektif hukum Islam

terhadap akad konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua

Kabupaten Ponorogo, dan bagaimana perspektif hukum Islam terhadap

praktik pengupahan konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna

15 Satriani Hisyam, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Konsinyasi Pada Koperasi

Pegawai Negeri UIN Sunan Kalijaga, Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013), 72.

Page 19: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

13

Dua Kabupaten Ponorogo dan berangkat dari jenis permasalahan yang

berbeda pula. Maka dari itu penulis merasa tertarik untuk memilih judul

dengan pokok permasalahan tersebut yaitu “Perspektif Hukum Islam

Terhadap Praktik Konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna

Dua Kabupaten Ponorogo”.

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dapat terarah dengan baik

dan sistematis, penyusun menggunakan metode sebagai berikut :

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yaitu

kegiatan penelitian yang dilakukan di lingkungan masyarakat tertentu

baik di lembaga dan organisasi kemasyarakatan maupun lembaga

pemerintah16

. Dalam penelitian ini peneliti dalam mencari data maupun

informasi bersumber dari lapangan yaitu yang bertempat di Kantin

Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo sebagai

tempat praktik konsinyasi.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif

yaitu prosedur penelitian yang lebih menekankan pada aspek proses dan

makna suatu tindakan yang dilihat secara menyeluruh.17

Yang mana

dalam penelitian ini peneliti melakukan observasi serta wawancara

dengan para penyetor dagangan di tempat mereka melakukan transaksi

16 Abdurrahmat Fatoni, Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2006), 96. 17 Aji Damanuri, Metodologi Penelitian Muamalah (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 148.

Page 20: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

14

kerjasama dan mereka sedang melakukan aktifitas yang mana aktifitas

tersebut adalah yang digunakan oleh peneliti untuk dikaji.

2. Kehadiran Peneliti

Kehadiran peneliti dalam penyusunan penelitian ini ialah sebagai

pengamat partisipan, artinya selain peneliti mengamati peristiwa yang

terjadi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten

Ponorogo peneliti juga aktif berpartisipasi dengan cara terjun ke lapangan

untuk melakukan observasi dan wawancara untuk mendapatkan data

yang lebih mendalam dari para pemilik modal maupun pengelola modal

tersebut.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi yang dijadikan penelitian oleh peneliti dalam skripsi ini

adalah lokasi keberadaan praktik konsinyasi yang berada di Kantin

Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo. Peneliti

memilih lokasi ini sebagai obyek penelitian karena sesuai alasan

akademis, yaitu praktik konsinyasi yang dilakukan antara pemilik modal

dan pengelola modal di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua

Kabupaten Ponorogo yang menurut peneliti belum sesuai dengan

ketentuan hukum Islam dalam praktik sistem konsinyasi.

Page 21: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

15

4. Data dan Sumber Data

a. Data

Data-data adalah segala sesuatu yang terkait dalam praktik yang

terjadi dilapangan, yaitu meliputi praktik akad dan pengupahan yang

terjadi di kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Kabupaten Ponorgo.

b. Sumber Data

1) Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari para penyetor

jajanan kantin sebagai pemilik modal dalam sistem konsinyasi di

Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten

Ponorogo, pengurus kantin sebagai pengelola modal dalam

sistem konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna

Dua Kabupaten Ponorogo dan pihak lain yang mengetahui objek

yang diteliti yaitu pengasuh pondok yang tinggal dalam kawasan

Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten

Ponorogo.

2) Data Sekunder, yaitu berupa data-data pondok pesantren yang

meliputi profil pondok, profil kantin, serta wawancara dan

dokumentasi yang berkaitan dengan praktik konsinyasi.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

tiga cara, yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi.

a. Observasi adalah teknik yang menuntut adanya pengamatan dari

peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap objek

Page 22: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

16

penelitian.18

Yang peneliti lakukan ialah dengan cara melihat dan

mengamati segala aktifitas kerjasamanya untuk mengetahui

bagaimana proses kegiatannya secara keseluruhan, diantaranya

interaksi ketika para penyetok barang dagangan dengan pihak

pengurus kantin akan menyetorkan barang dagangan dan mengambil

uang perolehan penjualan.

b. Wawancara adalah bentuk komunikasi antara 2 orang, melibatkan

seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnnya

dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan

tertentu.19

Dalam penelitian ini, para pihak yang akan diwawancara

adalah para pemilik modal/penyetor barang dagangan, pengurus

kantin, pengasuh pondok.

c. Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variable yang

berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen

rapat, legger, agenda, dan sebagainya.20

Yang diperlukan dalam

penelitian ini yaitu berupa catatan lapangan hasil wawancara dengan

para pihak terkait, buku catatan setoran dagangan Kantin Pondok

Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo.

18 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian (Jakarta: Kencana, 2012),140. 19 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2010), 180. 20 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT Rineka

Cipta, 2002), 206.

Page 23: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

17

6. Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif ini, secara teknis analisis penelitian

hukum dilakukan dengan mendialogkan teori hukum dengan realitas

yang terjadi di lapangan, yang ditulis sebagai berikut :

a. Reduksi data merupakan suatu proses pemilihan pada penyederhanaan

dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan

tertulis di lokasi penelitian. Reduksi ini berlangsung secara terus-

menerus selama kegiatan penelitian yang berorientasi kualitatif

berlangsung.

b. Proses penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Dengan melihat penyajian data, peneliti akan

dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus

dilakukan berdasarkan atas pemahaman yang di dapat peneliti dari

penyajian data tersebut.21

c. Proses menarik kesimpulan yaitu peneliti berusaha untuk mencari

makna dari data yang telah diperoleh dan dikumpulkannya. Dan dari

data yang diperolehnya peneliti mencoba mengambil kesimpulan.

Dengan bertambahnya data-data, kesimpulan tersebut lebih

“grounded”.22

21 Aji Damanuri, Metodologi Penelitian, 307. 22 Ibid., 86.

Page 24: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

18

7. Pengecekan Keabsahan Data

Keabsahan data merupakan standard kebenaran suatu data hasil

penelitian yang lebih menekankan pada data/informasi dari pada sikap

dan jumlah orang. Pada dasarnya uji kebasahan data dalam sebuah

penelitian, hanya ditekankan pada uji validitas dan realibilitas. Ada

perbedaan yang mendasar mengenai validitas dan realibilitasnya

adalah instrumen penelitiannya. Sedangkan dalam penelitian kualitatif

yang di uji adalah datanya. Dalam penelitian kualitatif, temuan atau

data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang

dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek

yang diteliti.

Maka dalam penelitian ini menggunakan pengecekan keabsahan

data dengan cara Cheking data (pemeriksaan) oleh informan kembali.

Ketika data telah tersusun, peneliti kembali kelapangan dan

menunjukkan display data kepada informan, jika informan telah acc

(sependapat) bearti data itu sah-sah saja. Hal ini untuk menghindari

pula terjadinya protes oleh informan yang berakibat sampai pada

gugatan. Dengan perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali ke

lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan sumber

data yang pernah ditemui maupun yang baru. 23

23Elma Sutriani Dan Rika Octaviani, “Analisis Data Dan Pengecekan Keabsahan Data”

https://www.academia.edu/38325494/ANALISIS_DATA_DAN_PENGECEKAN_KEABSAHAN

_DATA.pdf (diakses pada tanggal 26 Agustus 2019, jam 19.30)

Page 25: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

19

G. Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini agar lebih

mudah bagi para pembaca untuk memahaminya, terbagi ke dalam lima bab

dengan penjelasan susunannya sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

telaah pustaka, kajian teori, metode penelitian dan

sistematika pembahasan.

BAB II : KONSEP AKAD DALAM SISTEM KONSINYASI

Merupakan landasan teori. Dalam bab ini peneliti akan

membahas konsep konsinyasi yang terdiri dari beberapa

sub bab yaitu : akad waka>lah bil ujroh, dan etika bisnis

Islam.

BAB III : GAMBARAN PELAKSANAAN PRAKTIK

KONSINYASI DI KANTIN PONDOK PESANTREN

HUDATUL MUNA DUA KABUPATEN

PONOROGO.

Bab ini merupakan deskriptif data, berupa pemaparan

tentang gambaran umum pelaksanaan Praktik Konsinyasi

di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua

Kabupaten Ponorogo. Yang akan peneliti bahas adalah

meliputi gambaran sejarah berdirinya Pondok Pesantren

Page 26: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

20

dan kantin Hudatul Muna Dua, profil pondok pesantren

serta kondisi kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna

Dua, lalu dihubungkan dengan adanya hukum Islam

terhadap praktik konsinyasi.

BAB IV :ANALISIS PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

TERHADAP PRAKTIK KONSINYASI DI KANTIN

PONDOK PESANTREN HUDATUL MUNA DUA

KABUPATEN PONOROGO.

Bab keempat membahas tentang Analisis Perspektif

Hukum Islam terhadap akad dan pengupahan dalam

praktik konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul

Muna Dua Kabupaten Ponorogo.

BAB V : PENUTUP

Bab kelima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan

mengenai analisis pembahasan disertai dengan saran-

saran.

Page 27: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

21

BAB II

KONSEP WAKA>LAH BIL UJRAH DAN ETIKA BISNIS ISLAM

DALAM SISTEM KONSINYASI

A. Waka>lah Bil Ujrah

1. Pengertian Waka>lah

Waka>lah secara etimologi berarti al-hifzh, al-kifayah, dan ad-

da>man dan al-tafwidh (penyerahan, pendelegasian, dan pemberian

mandat). Sedangkan menurut terminology, waka>lah yaitu sebagai

berikut:

a. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, waka>lah adalah

pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu.1

b. Menurut fatwa DSN, waka>lah adalah pelimpahan suatu

kekuasaan oleh pihak satu kepada pihak lain dalam hal-hal yang

boleh diwakilkan.

c. Menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,

waka>lah adalah akad pemberian kuasa kepada penerima kuasa

untuk melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa.2

Ridwan Nurdin mengutip dari Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan

waka>lah dengan prinsip penyerahan kekuasaan, dimana seseorang

menyerahkan kekuasaanya kepada orang lain sebagai gantinya untuk

bertindak.3

1 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: Kencana, 2017), 17. 2 Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2015),235. 3 Ridwan Nurdin, Fiqh Muamalah (Banda Aceh: Pena, 2014), 124.

Page 28: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

22

Waka>lah adalah pemberian kuasa dari seseorang (muwakkil)

kepada penerima kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas

(taukil) atas nama muwakkil (pemberi kuasa).4 Pemberian kuasa ini

ada yang sifatnya sukarela dan ada yang sifatnya profit, dengan

pemberian semacam upah kepada pihak yang menerima kuasa.5

2. Dasar Hukum Waka>lah

Dasar hukum waka>lah yaitu sebagai berikut:

a. Q.S. al-Kahfi [18]: 19:

Artinya:“dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka

saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah

salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah

kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita

berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang

lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa

lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah

seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan

membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia lihat

manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia

membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia

Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali

menceritakan halmu kepada seorangpun.”6

Ayat ini menjelaskan as}h}ab al kahfi menyuruh salah

seorang diantara mereka untuk melihat makanan dengan

4 M. Dumairi Nor Dkk, Ejonomi Syariah Versi Salaf (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008), 133.

5Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2009), 163. 6 Al-Qur‟an, 18: 19.

Page 29: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

23

membawa uang perak, yang didalamnya terkandung makna

perintah yang artinya mereka mewakilkan perginya salah

seorang as}h}ab al kahfi yang bertindak untuk dan atas nama

rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan

membeli makanan.

b. Hadith Nabi SAW: أن رسول الله صلى الله عليو وسلم وكل عمرو بن أمية الضمرى رضي الله عنو ف ق ب ول نكاح أم حبيبة رملة بنت أب سفيان رضي الله عنو

(رواه البيهقى)Artinya:”sesungguhnya Rasulullah SAW. mewakilkan kepada

Amr bin Umayyah adl-Dlamri R.A. dalam menerima

nikahnya Ummu Habibah, Ramlah binti Abi Sufyan

R.A.” (H.R. Baihaqi).7

Dalam penjelasan hadith tersebut kata وكل yang artinya

mewakilkan menjadi dasar diperbolehkannya akad waka>lah.

Dan dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan

kepada orang lain untuk berbagai urusan, salah satunya adalah

seperti peristiwa hadith diatas.

Umat Islam ijma‟ atas kebolehan waka>lah, bahkan

memandangnya sebagi sunnah, karena hal itu termasuk jenis

ta’awun (tolong menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa, yang

diserukan oleh al-Qur‟an dan disunnahkan oleh hadith

Rasulullah SAW.8

7 Tim Lascar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 206. 8 Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik Dan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012),

213.

Page 30: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

24

c. Kaidah fiqh : “pada dasarnya, semua bentuk mu’a>malah boleh

dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.9

3. Rukun Waka>lah:

1) Muwakkil (orang yang mewakilkan/melimpahkan kekuasaan)

2) Wakil (orang yang menerima perwakilan)

3) Muwakkal fi>h (sesuatu yang diwakilkan)

4) Shi>ghat i>ja>b qabu>l (ucapan serah terima)10

4. Syarat Waka>lah:

1) Muwakkil (orang yang mewakilkan/melimpahkan kekuasaan),

dianggap sah oleh syariat dalam menjalankan apa yang telah ia

telah wakilkan.

2) Wakil (orang yang menerima perwakilan), dianggap sah oleh

syariat dalam menjalankan sesuatu yang diwakilkan kepadanya.

3) Muwakkal fi>h (sesuatu yang diwakilkan), 1) bisa digantikan

kepada orang lain, 2) milik muwakkil pada saat pemberian

kuasa, 3) diketahui oleh kedua belah pihak

4) Shi>ghat i>ja>b qabu>l (ucapan serah terima), harus berupa ucapan

atau tulisan yang mengindikasikan kerelaan.

Dalam konteks hukum Islam mengenal asas-asas hukum

perjanjian/akad. Adapun asas-asas itu adalah kebebasan, persamaan

atau kesetaraan, keadilan, kerelaan, kebenaran dan kejujuran, tertulis.

9 Beni Ahmad Saebani, Hukum Ekonomi & Akad Syariah di Indonesia (Bandung: CV Pustaka

Setia, 2018), 497. 10 Mardani, Hukum Sistem, 134.

Page 31: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

25

Yang artinya dalam suatu akad tidak boleh ada unsur paksaan,

kekhilafan, dan penipuan, harus senantiasa mendatangkan keuntungan

yang adil dan seimbang, serta tidak boleh mendatangkan kerugian

bagi salah satu pihak, dilakukan atas dasar kerelaan antara masing-

masing pihak, tidak ada unsur paksaan, dan tekanan.11

Muhammad Bin Qasim al-Ghazi menerangkan tentang batasan

waka>lah melalui perkataannya, bahwa setiap sesuatu yang boleh bagi

manusia untuk mentas}arufkan dengan dirinya sendiri, maka boleh

baginya mewakilkan hal itu kepada orang lain, atau dia menjadi wakil

dalam hal itu dari orang lain. Maka tidak sah anak kecil atau orang

gila mewakilkan urusannya dan tidak sah pula menjadi wakil.12

Jika dalam akad waka>lah si wakil meminta ongkos, maka

hukumnya sebagaimana ongkos ketika menyerahkan barang yang

diwakilkan atau setelah tugasnya selesai.13

5. Bentuk-Bentuk Akad Waka>lah

Beberapa bentuk waka>lah antara lain:

1. Waka>lah muthlaqah, yaitu perwakilan yang tidak terikat syarat

tertentu.

2. Waka>lah muqayyadah, yaitu perwakilan yang terikat oleh

syarat-syarat yang telah ditentukan dan disepakati bersama.14

11 Gemala Dewi, Dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2005), 30-37. 12 Abu Hazim Mubarok, Fiqh Idola Terjemah Fathul Qarib, Terj. Muhammad Bin Qasim Al

Ghazi (Kediri: Mukjizat, 2013), 37-38. 13 Mardani, Hukum Sistem, 136. 14 Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syariah (Jakarta: Rajawali Press, 2011), 105.

Page 32: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

26

Melalui akad waka>lah, muwakkil dapat menyerahkan pekerjaan

kepada wakilnya dengan menyertakan syarat-syarat tertentu. Begitu

pula sebaliknya, seorang wakil yang menjalankan pekerjaan untuk

orang lain (muwakkil), boleh mendapatkan upah (ujrah) yang sesuai.

Akad wakalah yang dijalankan dengan disertai pemberian imbalan

disebut Waka>lah bil ujrah.

6. Waka>lah Bil Ujrah

Akad waka>lah bisa dilakukan dengan sistem gratis atau dengan

sistem upah (ju’lin), berdasarkan tindakan Rasulullah SAW. yang

pernah mengadakan perwakilan dengan kedua sistem tersebut.

Apabila akad waka>lah dilakukan dengan sistem upah, maka upah

disyaratkan harus jelas (ma’lum).15

Demikian waka>lah dengan upah

sebagai imbalan suatu pekerjaan yang telah dilakukannya disebut

waka>lah bil ujrah.

Dalil syariah yang menjadi dasar hukum akad waka>lah dengan

imbalan adalah hadith Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muttafaq

„Alaih Dari Ibn al-Sa‟di al-Maliki dalam Fatwa Dewan Syariah

Nasional-Majelis Ulama Indonesia No:113/DSN-MUI/IX/2017

Tentang Akad Waka>lah Bi al-Ujrah:

الكي قال است ملن عمر على الص قة، : عن بن س ي أن ابن الل ي اا

ها وأ ت ليو أمر ب مالة، قلت ا عملت لله، قال : لما ر ت من :خذ ما أعطيت، إن عملت على عه رسول الله صلى الله عليو وسلم

15 Tim Lascar, Metodologi, 215.

Page 33: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

27

: ملن، قلت م ل ق ول ، قال رسول الله صلى الله عليو وألو وسلم . ا أعطيت ي ا من أن تل ل قل و ص

"Diriwayatkan dari Busr bin Sa'id bahwa Ibn Sa'diy al-Maliki berkata:

Umar mempekerjakan saya untuk mengambil sedekah (zakat). Setelah

selesai dan sesudah saya menyerahkan zakat kepadanya, Umar

memerintahkan agar saya diberi imbalan (fee). Saya berkata: saya

bekerja hanya karena Allah. Umar menjawab: Ambillah apa yang

kamu beri; saya pernah bekerja (seperti kamu) pada masa Rasul, lalu

beliau memberiku imbalan; saya pun berkata seperti apa yang kamu

katakan. Kemudian Rasul bersabda kepada saya: Apabila kamu diberi

sesuatu tanpa kamu minta, makanlah (terimalah) dan

bersedekahlah."16

Dari penjelasan hadith diatas pekerjaan yang dimaksud adalah

Umar mewakilkan pekerjaan untuk mengambil zakat kepada Ibn

Sa'diy al-Maliki, kemudian Umar memberikan imbalan berupa upah

kepadanya.

Pendapat Imam Syaukani ketika menjelaskan hadith Busr bin

Sa'id dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia

No:113/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Akad Waka>lah Bi al-Ujrah:

.و يو أ ضا ليل على أن من ن وى التب رر و لو أخذ ا ر ب ل “Hadith busr bin sa‟id tersebut menunjukkan pula bahwa orang yang

melakukan sesuatu dengan niat tabarru‟ (semata-mata mencari pahala,

dalam hai ini menjadi wakil) boleh menerima imbalan.”17

Dari hadith dan penjelasan Imam Syaukani ketika menjelaskan

hadis Busr Bin Sa‟id diatas, dapat dipahami bahwa melakukan suatu

pekerjaan dengan menerima imbalan diperbolehkan menurut syara‟.

16 Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, “Akad Wakalah Bi Al Ujrah”

No. 113, Https://Dsnmui.Or.Id/Kategori/Fatwa/Page/2/ (Diakses Pada Tanggal 04 Februari 2020,

Jam 16.50). 17 Ibid.

Page 34: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

28

Dalam memberikan upah harus sepadan dengan pekerjaan yang

dilakukan. Jika menurut kebiasaan tidak perlu memberikan upah,

berarti akad waka>lah kembali pada hukum asalnya yang bersifat

tabarru‟. Karena akibat hukum dari berlakunya syarat tertentu pada

waka>lah (waka>lah bil ujrah) ialah bahwa akad tersebut menjadi

bersifat mengikat.18

7. Berakhirnya Akad Waka>lah

a. Matinya salah seorang dari s}a>hib al akad (orang-orang yang

berakad), atau hilangnya cakap hukum.

b. Dihentikannya aktivitas/pekerjaan dimaksud oleh kedua belah

pihak.

c. Pembatalan akad oleh pemberi kuasa terhadap penerima kuasa,

yang diketahui oleh penerima kuasa.

d. Penerima kuasa mengundurkan diri dengan sepengetahuan

pemberi kuasa.

e. Gugurnya hak pemilikan atas barang bagi pemberi kuasa.19

B. Etika Bisnis Islam

1. Pengertian Etika Bisnis Islam

Etika menurut Sofyan S. Harahap mengutip dari pendapat

Satyanugraha, etika sebagai nilai-nilai dan norma moral dalam suatu

masyarakat. Etika sebagai ilmu juga dapat diartikan pemikiran moral

18 Ascarya, Akad, 106. 19 Nabila Nailul Muna, “Wakalah,” Makalah (Jurai Siwo Metro: STAIN Jurai Siwo Metro,

2016), 10.

Page 35: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

29

yang mempelajari tentang apa yang harus dilakukan atau yang tidak

boleh dilakukan.20

Nashruddin Baidan dan Erwati Aziz mengungkapkan bahwa

etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ilmu

tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan

kewajiban, kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak,

dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau

masyarakat.21

Bisnis adalah pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling

menguntungkan atau memberikan manfaat. Bisnis berlangsung karena

adanya kebergantungan antarindividu, adanya peluang internasional,

usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan standar hidup, dan

lain sebagainya. Bisnis dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan

keuntungan (profit), mempertahankan kelangsungan hidup,

pertumbuhan social, dan tanggungjawab social.22

Etika bisnis Islam merupakan suatu proses dan upaya untuk

mengetahui hal-hal yang benar dan yang salah yang selanjutnya tentu

melakukan hal yang benar berkenaan dengan produk, pelayanan

perusahaan dengan pihak yang berkepentingan dengan tuntutan

perusahaan.

20 Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Salemba Empat, 2011),

17. 21 Nashruddin Baidan Dan Erwati Aziz, Etika Islam Dalam Berbisnis (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2014), 2. 22 Ika Yunia Fauzia, Etika Bisnis Dalam Islam (Jakarta: Kencana, 2013), 3.

Page 36: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

30

Mempelajari kualitas moral kebijaksanaan organisasi, konsep

umum dan standar untuk perilaku moral dalam bisnis, berperilaku

penuh tanggung jawab dan bermoral. Artinya etika bisnis Islami

merupakan suatu kebiasaan atau budaya moral yang berkaitan dengan

kegiatan bisnis suatu perusahaan. Berbisnis berarti suatu usaha yang

menguntungkan, jadi etika bisnis Islam adalah studi tentang seseorang

atau organisasi melakukan usaha atau kontrak bisnis yang saling

menguntungkan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.23

2. Al-Qur’an Sebagai Pedoman Etika

Al-Qur‟an disebut sebagai pedoman etika atau tuntutan etika

kehidupan, termasuk didalamnya bagaimana perilaku manusia dalam

berdagang. Sebab al-Qur‟an sendiri menyebutkan sebagai kitab

petunjuk bagi manusia dan kriteria pembeda antara kebenaran dengan

kebathilan dan antara kebaikan dengan keburukan, sebagaimana

dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 185, yaitu:

Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,

bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran

sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan

mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan

yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir

(di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah 23 Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam (Bandung: Alfabeta, 2013), 35.

Page 37: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

31

ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau

dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya

berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada

hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu,

dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah

kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu

mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan

kepadamu, supaya kamu bersyukur.”24

Dalam ayat tersebut, kata “petunjuk” berarti menekankan bahwa

al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi umat manusia dan kata “pembeda”

adalah menjelaskan bahwa manusia harus bisa membedakan etika atau

akhlak yang baik atau yang buruk, yang benar atau yang bathil.

3. Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Islam

Etika bisnis secara umum menurut Abdul Aziz mengutip dari

pendapat Suarny Amran, harus berdasarkan prinsip-prinsip sebagai

berikut25

:

a. Prinsip Otonomi

Yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan dan bertindak

berdasarkan keselarasan tentang apa yang baik untuk dilakukan

dan bertanggung jawab secara moral atas keputusan yang diambil.

b. Prinsip Kejujuran

Merupakan kunci keberhasilan suatu bisnis, kejujuran dalam

pelaksanaan control terhadap konsumen, dalam hubungan kerja

dan lainnya.

24 Ma‟had Tahfidh Yanbu‟ul Qur‟an Kudus, al-Quddus al-Qur’an Terjemah Bi Rosm Utsmani

(Kudus: CV. Mubarokatan Thoyyibah, 2014), 27. 25 Abdul Aziz, Etika Bisnis,37.

Page 38: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

32

c. Prinsip Keadilan

Setiap orang yang berbisnis diperlakukan sesuai dengan haknya

masing- masing dan tidak ada yang boleh dirugikan.

d. Prinsip saling menguntungkan, dalam bisnis yang kompetitif.

e. Prinsip Integritas Moral

Merupakan dasar dalam berbisnis, harus menjaga nama baik

perusahaan tetap dipercaya dan merupakan perusahaan terbaik.

Berdasarkan prinsip-prinsip dasar etika bisnis Islam di atas,

maka secara teologis Islam menawarkan nilai-nilai dasar atau prinsip-

prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan

perkembangan zaman dan mempertimbangkan dimensi ruang dan

waktu. Nilai-nilai dasar etika bisnis Islam adalah tauhid, khilafah,

ibadah, tazkiyah, dan ihsan. Dari nilai dasar ini dapat diangkat ke

prinsip umum tentang keadilan, kejujuran, keterbukaan (transparansi),

kebersamaan, kebebasan, tanggungjawab dan akuntabilitas.26

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip dasar

etika bisnis Islam harus mencakup:

a. Kesatuan (Unity)

Sebagaimana dalam konsep tauhid yang menawarkan

ketepaduan agama, ekonomi, dan social demi membentuk

kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis

26 Abdul Aziz, Etika Bisnis, 43.

Page 39: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

33

menjadi terpadu, vertikal maupun horizontal, membentuk suatu

persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.

b. Keseimbangan (Equilibrium)

Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam

mengharuskan untuk berbuat adil.

c. Kehendak bebas (Free Will)

Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis

Islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan

kolektif.

d. Tanggungjawab (Responsibility)

Secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak

bebas, ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas

dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua

yang dilakukannya.

e. Kebenaran (Kebajikan dan Kejujuran)

Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna

kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur

yaitu kebajikan dan kejujuran.27

4. Nilai-Nilai Dalam Etika Bisnis Islam

Berikut ini nilai-nilai etika syariah yang dapat mendorong

bertumbuh dan suksesnya bisnis, yaitu sebagai berikut:

27 Abdul Aziz, Etika Bisnis, 45-46.

Page 40: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

34

a. Konsep Ihsan

Ihsan adalah usaha individu untuk bersungguh-sungguh dalam

bekerja, tanpa kenal menyerah, memiliki dedikasi penuh menuju

optimalisasi. Harus mengerjakan setiap pekerjaan sebaik

mungkin dan semaksimal mungkin.

b. Itqan

Yaitu membuat sesuatu dengan teliti dan teratur. Jadi harus bisa

menjaga kualitas produk yang dihasilkan, adakan penelitian dan

pengawasan kualitas produk yang dihasilkan sehingga hasil

maksimal. Allah SWT telah menjanjikan bahwa siapa saja yang

bersungguh-sungguh maka Dia akan menunjukkan jalan

kepadanya dalam mencapai nilai yang setinggi-tingginya.

c. Konsep Hemat

Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada umatnya, umat

muslim harus hemat. Kita harus hemat dengan harta, tapi tidak

kikir dan tidak menggunakannya kecuali untuk sesuatu yang

benar-benar bermanfaat.

d. Kejujuran dan Keadilan

Konsep kejujuran membuat ketenangan hati bagi orang yang

melaksanakannya. Dalam bisnis, hal ini sangat diperlukan dan

sangat membantu kemajuan bisnis dalam jangka panjang.

Sedangkan keadilan tidak membeda-bedakan manusia yang satu

dengan yang lainnya.

Page 41: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

35

e. Kerja Keras

Rasulullah menyuruh umatnya untuk bekerja keras, jangan

hanya berpangku tangan dan minta belas kasihan orang lain.

Pelaku-pelaku bisnis diharapkan bertindak secara etis dalam

berbagai aktivitasnya artinya usaha yang dilakukan harus

mampu memupuk atau membangun kepercayaan dari pada

relasinya. Kepercayaan, keadilan dan kejujuran adalah elemen

pokok dalam mencapai suksesnya suatu bisnis dikemudian hari.

Keberadaan bisnis pada hakikatnya adalah untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat.28

Dalam etika bisnis terdapat aspek hukum yang terdiri dari

kepemilikan, pengelolaan, dan pendistribusian harta. Sehingga etika

bisnis syariah:

a. Menolak monopoli (Monopoli adalah penguasaan atas produksi

dan/atau pemasaran berang dan /atau penggunaan jasa tertentu

oleh satu pelaku usaha).

b. Menolak eksploitasi.

c. Menolak diskriminasi.

d. Menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban.

e. Terhindar dari usaha tidak sehat.29

28Arif Rachman Eka Permata dan Dahruji, “Etika Bisnis Dalam Perspektif Ekonomi Islam:

Tinjauan Teoritik Dan Empiris Di Indonesia,” Paper (Madura: Universitas Trunojoyo). 29 Ibid,.

Page 42: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

36

BAB III

PRAKTIK KONSINYASI DI KANTIN PONDOK PESANTREN

HUDATUL MUNA DUA KABUPATEN PONOROGO

A. Deskripsi Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua

1. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua

Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua tidak

lepas dari sejarah berdirinya Pondok Pesantren Hudatul Muna, yaitu

berdiri sejak tahun 1911 M, yang didirikan oleh:

a. Almarhum K.H. Moh. Muslim dan K.H. Hasan Imam (1911-1920)

b. Almarhum K.H. Moh. Ngiso (1911-1931)

c. Almarhum K.H. Thoyyib (1931-1940)

d. Almarhum K. Moh. Surat (1940-1950)

e. Almarhum K. Moh. Iskandar (1950-1971)

f. Almarhum K.H. Moh. Qomaruddin Muftie (1964-1989)

Setelah melewati bulan suci ramadhan bertepatan tanggal 12

Syawal 1964 M. Berdirilah Pondok Pesantren Hudatul Muna dan

Madrasah Miftahul Huda di Jenes yang terletak di Desa Brotonegaran,

Kecamatan Ponorogo Kabupaten Ponorogo, yaitu di Jalan Yos

Sudarso Nomor 2 B Ponorogo oleh Almarhum K.H. Moh.

Qomaruddin Muftie sekaligus penggagas nama dari Pondok Pesatren

Hudatul Muna.

Page 43: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

37

Antara tahun 1972 M sampai tahun 1980 M, pendidikannya

meliputi pengajian kitab kuning (salaf), sorogan kitab, sorogan al-

qur’an. Pendidikan lainnya yaitu untuk Ibtida’ terdiri dari kelas 1

sampi kelas 4 sedangkan untuk Madrasah Tsanawiyah dari kelas 1

sampai kelas 3 yang semuanya terdiri dari dua kelas dan Madrasah

Aliyah terdiri dari 3 kelas. Jumlah keseluruhan santri mencapai 325

santri yang bermukim di 13 kamar.

Sekitar tahun 2000 M, Pondok Pesantren Hudatul Muna

terpecah menjadi 2, yang sebelah selatan adalah pondok putra. Dan di

sebelah utara yaitu santri putri.

Pada tahun 2002 M, pondok utara beralih nama menjadi Hudatul

Muna 2 dan selatan Hudatul Muna 1. Dan pondok utara membuka

madrasah sendiri sehingga santri utara sekolah di madrasahnya

sendiri. Dan pada tahun itu pula, pondok utara mulai menerima santri

putra yang ingin mukim di pondok.

Mulai tahun 2005 Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua

berbentuk yayasan, sehingga segala kegiatan belajar mengajar di

Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua bernaung dibawah Yayasan

Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua. Reg PN Ponorogo

no.6/PndLPP/2005 dengan jumlah santri putra putri ±150 orang. Saat

ini pendidikan yang berada dibawah naungan Yayasan Pondok

Pesantren Hudatul Muna Dua yaitu Madrasah Tsanawiyah, Madrasah

Page 44: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

38

Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, Madrasah Diniyah, Madrasah

Murottilil Qur’an, dan Taman Pendidikan al-Qur’an. 1

Hingga saat ini total santri putra maupun putri ±200 orang yang

bermukim di Pondok Pesantren, sedangkan santri laju ± 30 orang.

Dengan pembaruan beberapa sistem pembelajaran dan administrasi

yang lebih teratur serta sarana prasana yang lebih lengkap.2

Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua memakai pedoman ayat

al-Qur’an surat at-Taubat ayat 122, yaitu:

Artinya: “tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke

medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan

di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam

pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi

peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali

kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”3

2. Visi dan Misi Pondok Pesantren

a. Visi

Terbentuknya generasi berwawasan global yang berakhlaqul

karimah ala thoriqoti ahli sunnah wal jamaah.

b. Misi

1) Mewujudkan pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin yang

bersendikan ajaran ahli sunnah wal jamaah.

1 Dokumenter Kenangan Para Sahabat, Buku Kenangan (Ponorogo: Alisa Design, 2014), 4-8.

2 Ulfi Hasanah, Hasil Wawancara, Ponorogo. 18 Februari 2020.

3 al-Qur’an, 9: 122.

Page 45: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

39

2) Meningkatkan sumber daya manusia yang kompeten.

3) Sebagai bekal pengembangan profesi dan keahlian di

masyarakat.

4) Mengefektifkan pembelajaran dan pengembangan potensi diri.

5) Pemberdayaan potensi dan peran serta masyarakat.4

3. Program-Program Pondok Pesantren

a. Pendidikan

1) Formal

a) Madrasah Tsanawiyah Hudatul Muna Dua

b) Madrasah Aliyah Hudatul Muna Dua

c) Sekolah Menengan Kejuruan Tekhnologi Informatika

Hudatul Muna Dua

2) Non formal

a) Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi’aat

b) Madrasah Murottilil Qur’an

c) TPQ The Best Al-Qur’an

d) Kegiatan Ma’hadiyah, meliputi: Sorogan Kitab, Pengajian

Wekton, Sima’an al-Qur’an, Syawir, Roan Akbar,

Manaqib, barzanji, dan lain-lain.

3) Ekstrakurikuler, meliputi: Muhadharah, Kegiatan Bahasa

(Indonesia, inggris, dan arab), Pramuka, Kaligrafi, Hadrah

Banjari.

4 M.Yunus Kartono, Hasil Wawancara, Ponorogo. 04 November 2019.

Page 46: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

40

b. Perekonomian

1) Kantin

2) Toko kitab. 5

4. Sejarah Berdirinya Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua

Kabupaten Ponorgo

Pada awal tahun 2015, bersamaan dengan renovasi gedung

Madrasah di Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua, kantin Pondok

Pesantren Hudatul Muna Dua juga didirikan tepat disamping

Madrasah, supaya lebih strategis dan mudah untuk dijangkau para

santri maupun guru-guru dan juga staf yang ada di Madrasah. Selain

itu, diharapkan dengan didirikannya kantin tersebut, dapat

menanggulangi para santri yang sering jajan keluar area pondok

sehingga meminimalisir adanya santri bolos pada saat jam pelajaran

dan aktivitas belajar mengajar berjalan sesuai mestinya.

Alasan utama dirikannya kantin Pondok Pesantren Hudatul

Muna Dua adalah karena tidak adanya kantin atau tempat para santri

untuk membeli jajan yang bertempat di area Madrasah. Sehingga

setiap harinya banyak santri yang sering keluar Madrasah untuk

membeli jajan, bahkan banyak yang keluar Madrasah tanpa seizin

guru atau pengurus pondok dan kesempatan ini juga sering dijadikan

alasan para santri untuk bolos sekolah, dan menjadi penghambat untuk

aktivitas Madrasah karena sering kali santri keluar dalam waktu yang

5 Yunus, Wawancara, 03 Desember 2019.

Page 47: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

41

lama dan tempat yang tidak diketahui jelas oleh Madrasah, dan

seringnya para santri yang tidak kembali ketika pelajaran dimulai. Dan

karena banyaknya santri yang sering membolos akhirnya para guru

dan pengurus pun kesulitan untuk mengontrol satu-persatu.

Pada saat kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua

didirikan, masih dalam kondisi bangunan kosong. Penjual atau pun

barang dagangannya belum tersedia, sehingga pihak Madrasah dan

Pengasuh Pondok sepakat untuk mencarikan orang yang bersedia

memasok barang dagangan, dan pengelola kantin diambil dari pihak

pengurus Pondok Pesantren sebagai bentuk pengabdiannya ke pondok.

Sarana-prasarananya sendiri, seperti perabotan, lampu, meja dan

lainnya untuk sementara disediakan oleh Madrasah dan Pengasuh,

yang meliputi: 1 buah lampu yang listriknya diikutkan dengan

Madrasah, kemudian 2 pasang meja dan kursi panjang, 1 etalase, 1

kompor tumpu satu, 1 tabung gas, 1 ember, 1 galon, 1 loyang, dan 6

buah gelas beserta tutupnya. Yang semuanya masih pinjaman yang

sewaktu-waktu akan dikembalikan kepada pemiliknya.6

Pada tahun 2017, kantin sudah dapat mengembalikan perlatan

pinjaman dari madrasah dan pengasuh. kecuali peralatan yang ditolak

untuk dikembalikan atau dihibahkan untuk kantin. Saat ini peralatan

6 Bu Izu, Hasil Wawancara, Ponorogo. 26 Oktober 2019.

Page 48: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

42

yang berada dikantin sepenuhnya milik kantin sendiri sedangkan

listrik kantin, membayar kepada madrasah perbulannya. 7

5. Profil Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten

Ponorgo

a. Deskripsi Status Kantin

Status kepemilikan kantin adalah milik Pondok Pesantren

Hudatul Muna Dua, bukan milik perseorangan atau yang lainnya,

yang bertanggung jawab atas pengelolaan kantin yaitu pengurus

yang bertugas untuk mengelola segala sesuatu yang ada di kantin

tersebut, sebagai wakil dari pondok pesantren untuk mewakili

mengelola kantin di Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua.

Pemegang keputusan dan yang membuat peraturan untuk

menentukan segala sesuatunya, termasuk yang menentukan

penyetor dagangan adalah pengasuh, pengelola hanya

menjalankannya saja. Kecuali jenis setoran barang dan jumlah

setoran yang mengatur adalah pengelola kantin.

b. Status tanah & bangunan adalah milik Pondok Pesantren Hudatul

Muna Dua.8

c. Tahun berdiri : tahun 2015.

d. Pendiri : Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua.

e. Modal Awal : Rp. 300.000.

f. Aset Sekarang :Rp. 500.000.

7 Qoirun Nisa, Hasil Wawancara, Ponorogo. 26 Oktober 2019. 8 M. Yunus Kartono, Hasil Wawancara, Ponorogo. 04 November 2019.

Page 49: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

43

g. Omset Sekarang :Rp. 1.800.000.

h. Penyetor Dagangan : 8 Orang.

i. Jumlah Pembeli : ± 250 Orang.

j. Pengelola kantin : 3 Orang .9

6. Tujuan Didirikannya Kantin Pondok

a. Mendidik para santri agar lebih mencintai produk dalam pondok.

b. Meningkatkan kesejahteraan para santri.

c. Menjadikan wadah pembelajaran dalam perekonomian.

7. Struktur Anggota

a. Dewan Pengasuh/Pelindung : Hj. Nyai Saudah Qomarudin Muftie

b. Ketua : Qoirun Nisa’ Aryani

c. Anggota : Nurul Istiqomah

Neni Rahmawati10

B. Kegiatan Praktik Konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul

Muna Dua Kabupaten Ponorogo

1. Praktik Akad Konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul

Muna Dua Kabupaten Ponorogo

Akad konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna

Dua sudah berlangsung sejak awal berdirinya kantin tersebut. Karena

kondisi kantin pada saat itu masih kosong, sehingga perlu adanya

modal atau barang dagangan yang dapat diperjual belikan. Karena dari

pihak pengelola kantin tidak memungkinkan untuk mengolah atau

9 Qoirun, Wawancara, 04 November 2019. 10 Wahyu Nur Hidayah, Hasil Wawancara, Ponorogo. 07 November 2019.

Page 50: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

44

membuat sendiri dagangan tersebut dikarenakan terbatasnya modal

dan juga alat-alat yang belum cukup memadai, sehingga dari pihak

Madrasah dan pengasuh pondok membantu mencarikan penyetor

barang dagangan.

Mayoritas penduduk sekitar Pondok Pesantren masih saudara

sehingga mempermudah untuk mengadakan kerjasama. Selain dari itu,

lambat laun banyak yang menawarkan untuk menjadi penyetor

dagangan di kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua, tetapi

karena mendahulukan orang dalam (sanak saudara), jadi penyetor dari

luar Pondok harus dibatasi dan diputuskan oleh pengasuh pondok.

Dagangan yang dijual adalah produksi dari beberapa orang yang

setiap harinya menyetorkan makanan atau minuman yang sudah

jadi/siap saji dan siap dijual oleh pihak kantin sehingga tidak ada yang

menyetorkan barang dagangan dalam keadaan masih mentah.

Pemilik barang dagangan di Kantin Pondok Pesantren Hudatul

Muna Dua tidak hanya satu orang saja melainkan ada beberapa orang.

Dan setiap orang diawal akadnya sepakat dengan menyetorkan barang

dagangan satu macam saja misalnya gorengan saja atau nasi saja,

tetapi lambat laun ketika barang dagangan tersebut sudah semakin

laku pihak pemilik dagangan menambahkan barang dagangannya

dengan tanpa sepengetahuan dari pihak pengelola sehingga dalam

penambahan tersebut tidak ada kesepakatan atau pembaruan akad

secara pasti antara keduanya.

Page 51: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

45

Misalnya, A pada perjanjian awal sepakat memberikan modal

barang dagangan berupa jajanan gorengan seperti tempe, pia, tetapi

lama kelamaan yang disetorkan berupa jajanan pasar seperti onde-

onde, mpon-mpon, cenil atau sesukanya, dan B yang pada perjanjian

awalnya menyetorkan nasi saja lama kelamaan menyetorkan nasi dan

es, nasi dan gorengan, dan lain-lain.

Ada juga pihak yang menyetorkan barang dagangan secara tidak

pasti dan pada kesepakatan awalnya tidak boleh menyetorkan

dagangan yang di kantin sudah ada penyetornya tetapi pada

praktiknya barang yang disetorkan terkadang sudah ada di kantin

sehingga menimbulkan sengketa bagi pihak lainnya.11

Penjelassan Bu Um (pihak penyetor) mengatakan bahwa: “saya

dulu ketika pertamakali setor dijatah gorengan saja mbak, tapi karena

saya lihat yang setor es itu tidak rutin saya tambahi setor es dan

gorengannya saya kurangi dan memang saya tidak bilang dulu pada

mbak kantinnya, kan jumlahnya tetap sama dengan setor gorengan”12

Berdasarkan penjelasan di atas memang penyetor sendiri telah

menambah dagangannya tanpa sepengetahuan dari pihak pengelola.

Dan pihak pengelola sendiri sebenarnya tidak berkenan dengan hal

tersebut, tapi mengingat para penyetor tersebut mengantarkan

dagangannya ketika pengelola belum ada di tempat dan juga

pertimbangan jika pemilik barang dagangan tidak akan mau

11 Qoirun, Wawancara, 05 Agustus 2019. 12 Bu Um, Hasil Wawancara, Ponorogo. 25 November 2019.

Page 52: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

46

menitipkan dagangannya lagi karena mayoritas penyetor dagangan

adalah saudara dari pengasuh pondok sehingga pengelola kantin

merasa khawatir jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Faktor-

faktor itulah yang menghambat pengelola kantin untuk bersikap tegas

kepada pemilik dagangan.13

Sesuai dengan penjelasan dari Mbak Neni (salah satu pengelola

kantin), yaitu:

“Saya sebenarnya juga kurang berkenan dengan adanya pihak yang

tiba-tiba menambahkan dagangannya dan tanpa seizin dari saya

atau teman-teman yang lain, karena nanti pas ada yang tidak terima

karena kan sudah dibagi-bagi kenapa masih begitu. Dan sebenarnya

sudah pernah saya ingatkan tapi hanya berhenti beberapa kali saja

selanjutnya kembali lagi seperti itu. Dan karena disini saya masih

mengabdi dan kantin juga bukan milik saya sendiri akhirnya saya

pasrah saja daripada berkepanjangan masalahnya dan takutnya

nanti malah tidak mau setor lagi kan jadi saya yang rugi”14

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa tidak

adanya kesepakatan secara pasti antara kedua belah pihak.

2. Praktik Pengupahan Konsinyasi Di Kantin Pondok Pesantren

Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorgo

Praktik pengupahan dalam sistem konsinyasi antara penyetor

barang dagangan dan kantin pondok, telah dijelaskan sebelumnya

bahwa, akad atau perjanjian yang telah terjadi antara kedua belah

pihak tersebut telah dibuat dan sepakati oleh masing-masing pihak

dengan ikhlas tanpa ada paksaan diantara keduanya. Sedangkan

upah/komisi sendiri ialah suatu imbalan atas praktik konsinyasi

13 Qoirun, Wawancara, 05 Agustus 2019.

14 Neni Rahmawati, Hasil Wawancara, 05 Agustus 2019.

Page 53: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

47

dengan proporsi antara pemodal/penyetor barang dagangan dan

pengelola kantin yang telah disepakati.

Setelah akad terjadi dan usaha kerjasama tersebut telah

menghasilkan keuntungan, akan ada komisi dari penjualan barang

dagangan yang habis terjual, karena barang yang tidak terjual akan

dikembalikan kepada pemilik dagangan. Maka laba dan keuntungan

akan dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.

Perhitungan keuntungan atau laba dilakukan dengan cara

menghitung jumlah seluruh penghasilan yang didapatkan dari

habisnya barang dagangan yang terjual, Kemudian jika jumlah

penghasilan telah diketahui akan dipersentase sesuai dengan ketentuan

atau langsung mengambil potongan dari barang yang terjual yang

sekiranya sama dengan besaran persentase, dalam perjanjian ini

apabila barang dagangan masih sisa atau tidak habis terjual maka

dapat dikembalikan kepada penyetor dagangan.

Persentase dalam sistem konsinyasi di sini biasanya 90% : 10%

yang mana 90% bagian dari pemilik dagangan sedangkan 10% adalah

bagian kantin. Tetapi di sini dalam praktik pengupahan yang

seharusnya persenan keuntungannya harus diketahui dan disepakati

oleh kedua pihak, pada praktiknya ketentuan pengupahan atau

potongan persentase pihak pengelola di Kantin tidak menyatakan

Page 54: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

48

secara jelas kepada penyetor, baru ketika penyetor dagangan

menanyakan maka akan dijawab 10% dari perbuah dagangannya.15

Tetapi dalam praktik aslinya ternyata tidak hanya 10% saja yang

dipotong, tetapi ada yang 20%, 5% ataupun hanya dengan dikira-kira

saja, misalnya pemilik modal menyetorkan gorengan 10 buah yang

per@ dihargai Rp. 500, sesuai dengan akadnya seharusnya per@

dipotong Rp. 50 (10% dari Rp. 500) menjadi Rp. 450 x 10 = Rp.

4.500, dalam praktiknya perhitungannya adalah Rp. 400 x 10 = Rp.

4.000 atau di sini dapat diketahui potongan persentasenya adalah

(20%). Sehingga dalam praktik pengupahan ini terdapat unsur ketidak

jelasan mengenai persentasenya.

Penjelasan dari Bu Nur (salah satu pemilik dagangan), sebagai

berikut: “pembagian keuntungan dibagi 2 mbak, kalau saya yang buat

jajanan biasanya kalau jualnya 500 ya bagian saya 400 perjajannya,

kalau 1000-an ya saya 900 trus mbaknya kantin 100 perjajannya. Dan

saya tinggal terima uang bersihnya saja yang menghitung biarkan

mbaknya yang jaga”.16

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa

presentase pengupahan sebenarnya yang menentukan adalah pihak

kantin.

15 Bu Nur, Hasil Wawancara, Ponorogo. 08 Agustus 2019.

16 Ibid.

Page 55: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

49

Berikut ilustrasi perhitungan pembagian hasil penjualan:

Bu Nur menyerahkan nasi seharga Rp. 2.000 pernasi, sejumlah 30

bungkus, dan es lilin per@ Rp. 500 sejumlah 50 bungkus, yang

dititipkan dikantin untuk dijual. Kemudian dagangan yang habis terjual

adalah nasi sebanyak 28 bungkus dan tersisa 2 bungkus dan es habis

terjual semua.

Pada saat perjanjian Bu Nur tidak diberi tahu secara langsung

berapa persen yang diambil untuk nisbah kantin, baru ketika beliau

bertanya akan diberitahu jika persentase yang diambil adalah 10%

seperti biasanya. Kemudian hasil pembagiannya adalah:

1. Nasi = Rp. 2.000 x 28 nasi = Rp. 56.000 x 10 % = Rp.5.600.

2. Es lilin = Rp. 500 x 50 es = Rp. 25.000 x 10% = Rp. 2.500.

Pada praktinya penghitungan dari penjualan es adalah langsung

Rp. Rp. 400 x 50= Rp. 20.000 dan diberikan kepada pemilik dagangan

sedangkan bagian kantin adalah terhitung Rp. 5.000. jadi perhitungan

di sini tidak 10 % lagi melainkan menjadi 20%.

Jadi bagian untuk kantin seharusnya adalah Rp. 5.600 + Rp.

2.500 = Rp. 8.100, menjadi Rp. 5.600 + Rp. 5.000 = Rp.10.600

sedangkan bagian dari Bu Nur yang seharusnya Rp. 56.000-

Rp.5.600= Rp.50.400 (nasi) dan Rp.25.000- Rp.2.500 = Rp.22.500

(es) = Rp. 72.900.

Menjadi Rp.50.400 (nasi)+ Rp.20.000 (es) = Rp.70.400.

Page 56: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

50

Dan sisa dari dagangana tersebut dikembalikan kepada pemilik barang

sesuai dengan kesepakatan diawal perjanjian.

Penjelasan dari Mbak Nurul (salah satu pihak kantin), sebagai

berikut:

“kalau saya mengambil persenan ini memang tidak pernah

menghitung secara jelas berapa persen tetapi dulu pernah diberitahu

jika laba yang diambil kantin adalah 10%, tapi perhitungannya saya

langsung menjumlah berapa yang habis dikali potongan yang

biasanya dilakukan misalnya ya 100, 200, atau 500 begitu, karena

memang sejak saya jadi pengelola disini sudah begitu

perhitungannya dan saya juga tidak mengotak-atiknya kembali.

Dan jika penyetor tidak bertanya saya memang tidak memberi tahu

kan memang biasanya seperti itu, mungkin mereka juga sudah

paham.”17

Berdasarkan keterangan di atas dapat diketahui bahwa dari

pengelola sendiri tidak menghitung persenannya secara rinci dan

hanya menganut pada aturan yang tidak pasti.

17 Nurul Istiqomah, Hasil Wawancara, Ponorogo. 25 November 2019.

Page 57: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

51

BAB IV

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK KONSINYASI

DI KANTIN PONDOK PESANTREN HUDATUL MUNA DUA

KABUPATEN PONOROGO

A. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Akad Konsinyasi di Kantin

Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo

Pada bab IV penulis akan menganalisa mengenai gambaran umum

yang terjadi pada praktik konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul

Muna Dua Kabupaten Ponorogo. Di mana yang diketahui pada bab

sebelumnya, bahwa di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua

terdapat suatu praktik konsinyasi antara pengelola kantin dengan penyetor

barang dagangan. Praktik konsinyasi yang terjadi adalah penyetor barang

dagangan menyetorkan dagangannya ke kantin pondok dengan jenis dan

jumlah dagangan yang sudah ditentukan oleh pihak kantin, dalam sistem

pengupahan diambil dari persentase hasil penjualan barang bagangan yang

habis terjual seperti penjelasan diawal akad. Akad dilakukan pada saat

berlangsungnya transaksi, yang dilakukan dengan cara lisan, tanpa

menggunakan surat perjanjian tertulis. pengupahan tersebut dilakukan setiap

hari pada akhir penjualan atau setelah kantin tutup. Para penyetor barang

dagangan mendapatkan hasil penjualannya sesuai barang yang habis terjual

dengan potongan 10%, sebagai nisbah untuk kantin.

Dalam Islam, praktik konsinyasi terdapat beberapa pendekatan teori,

diantaranya adalah :

Page 58: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

52

1. Waka>lah Bil Ujrah

Waka>lah adalah pemberian kuasa dari seseorang (muwakkil)

kepada penerima kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas

(taukil) atas nama muwakkil (pemberi kuasa).1 Melalui akad waka>lah,

muwakkil dapat menyerahkan pekerjaan kepada wakilnya dengan

menyertakan syarat-syarat tertentu. Begitu pula sebaliknya, seorang

wakil yang menjalankan pekerjaan untuk orang lain (muwakkil), boleh

mendapatkan upah (ujrah) yang sesuai. Akad wakalah yang

dijalankan dengan disertai pemberian imbalan disebut Waka>lah bil

ujrah.

Rukun dalam sistem Waka>lah bil ujrah yaitu:

a. Muwakkil (orang yang mewakilkan/melimpahkan kekuasaan)

b. Wakil (orang yang menerima perwakilan)

c. Muwakkal fi>h (sesuatu yang diwakilkan)

d. Shi>ghat i>ja>b qabu>l (ucapan serah terima)

e. Ujrah (upah)

Pada praktik konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul

Muna Dua Kabupaten Ponorogo, pemilik barang dagangan bertindak

sebagai muwakkil (orang yang mewakilkan untuk menjualkan barang

dagangan), pengelola kantin bertindak sebagai wakil (orang yang

menerima perwakilan untuk menjualkan barang dagangan), Shi>ghat

i>ja>b qabu>l suatu ucapan serah terima atas akad yang telah disepakati

1 M. Dumairi Nor Dkk, Ejonomi Syariah Versi Salaf (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008), 133.

Page 59: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

53

oleh kedua belah pihak, dan ujrah adalah suatu imbalan/keuntungan

atas suatu pekerjaan yang telah dilakukan pihak pengelola kantin

dengan bentuk persentase dari hasil barang dagangan yang dijualkan.

2. Etika Bisnis Islam

Islam memiliki aturan tentang etika yang harus dilakukan oleh

pelaku bisnis dalam berbisnis. Etika dipandang sama dengan akhlak

yang membahas tentang perilaku baik buruknya seseorang. Titik

sentral dari etika bisnis islam sendiri adalah untuk menjaga perilaku

wirausaha muslim dengan tetap bertanggungjawab karena percaya

kepada Allah SWT.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sistem waka>lah bil ujrah,

muwakkil menyerahkan kewenangannya untuk mewakilkan pekerjaannya

kepada orang yang mewakili. Praktik konsinyasi di Kantin Pondok

Pesantren Hudatul Muna Dua, jika dikaitkan dengan sistem waka>lah bil

ujrah, maka pihak pengelola kantin mewakili penyetor barang dagangan

untuk menjualkan dagangannya kemudian upah yang diberikan berupa

persentase yang telah disepakati. Dan langsung diberikan ketika penjualan

tersebut telah selesai.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam praktik konsinyasi di

Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua tidak ada rukun dan syarat

yang bertentangan dengan sistem waka>lah bil ujrah, sehingga dapat

diketahui bahwa praktik konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul

Muna Dua adalah akad waka>lah bil ujrah.

Page 60: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

54

Dalam konteks hukum Islam mengenal asas-asas hukum

perjanjian/akad. Adapun asas-asas itu adalah kebebasan, persamaan atau

kesetaraan, keadilan, kerelaan, kebenaran dan kejujuran, tertulis. Yang

artinya dalam suatu akad tidak boleh ada unsur paksaan, kekhilafan, dan

penipuan, harus senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan

seimbang, serta tidak boleh mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak,

dilakukan atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak, tidak ada unsur

paksaan, dan tekanan.2

Selain asas-asas tersebut, dalam suatu akad disyaratkan adanya unsur

at-tara>din (suka sama suka). Tara>din merupakan persyaratan yang paling

mendasar dalam semua kontrak komersial dalam hukum Islam. Persetujuan

secara ridha juga harus bebas dari intimidasi, penipuan, dan ketidakadilan

serta penyamaran3.

Syarat sah akad harus memenuhi beberapa kualifikasi, yaitu: bebas

dari gharar (unsur penipuan), bebas dari kerugian dan penyerahan, bebas

dari riba, bebas dari syarat-syarat fasid, ketidakjelasan jenis yang

mengakibatkan pertengkaran (al-jilalah).4 Dalam al-Qur’an surat al-Nisa’

ayat 29 dijelaskan:

2 Gemala Dewi, Dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2005), 30-37. 3 Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syariah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), 115. 4 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), 243.

Page 61: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

55

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan

perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.

dan janganlah kamu membunuh dirimuSesungguhnya Allah adalah

Maha Penyayang kepadamu”.

Dalam ayat diatas, Allah melarang untuk memakan, memanfaatkan,

menggunakan, atau bentuk transaksaksi lainnya dengan jalan yang bathil

(tidak diperbolehkan oleh syara’). Tetapi boleh melakukan transaksi dengan

orang lain dengan dasar saling ridha atau suka sama-suka.

Selain terpenuhinya akad, dalam sebuah bisnis, terdapat etika atau

perilaku yang mengandung seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar, dan

salah dalam dunia bisnis berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas. Dalam

arti lain etika bisnis berarti seperangkat prinsip dan norma dimana para

pelaku bisnis harus komit padanya dalam bertransaksi, berperilaku, dan

berelasi guna mencapai daratan atau tujuan-tujuan bisnisnya dengan

selamat.5

Beberapa prinsip yang harus terpenuhi dalam bisnis, salah satunya

adalah prinsip kebenaran yang mengandung dua unsur yaitu kejujuran dan

kebajikan serta keterbukaan yang dimaksudkan sebagai niat, sikap dan

prilaku yang benar, yang meliputi, proses akad (transaksi), proses mencari

atau memperoleh komoditas, pengembangan maupun dalam proses upaya

meraih atau menetapkan margin keuntungan (laba). Kebajikan adalah sikap

ihsan, beneviolence yang merupakan tindakan yang memberi keuntungan

bagi orang lain dan bersikap terbuka untuk menerima pendapat orang lain

5 Faisal Badroen, Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2015),15.

Page 62: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

56

yang lebih baik dan lebih benar serta menghidupkan potensi dan inisiatif

yang kontruktif, kreatif dan positif. Dalam pandangan Islam sikap ini

sangat dianjurkan. Dengan prinsip kebenaran dan keterbukaan ini, maka

etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap

kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi,

kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.6

Pada akad konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua

diawal perjanjian ketika penyetor menitipkan dagangannya di kantin. Kedua

belah pihak telah sepakat mengenai perjanjian yang telah dilakukan, dengan

pihak pengelola kantin memberikan peraturan bahwa setiap penyetor harus

menyetorkan barang dagangannya sesuai dengan pembagian menu dan

jumlah setoran yang telah ditetapkan. Akan tetapi, jumlah persentase tidak

disebutkan oleh pengelola kantin jika penyetor tidak menanyakan secara

langsung. Dan seiring berjalannya waktu, tidak semua penyetor patuh

dengan peraturan tersebut, dan terdapat adanya unsur pengingkaran dan

tidak kerelaan pada salah satu pihak.

Menurut penjelasan di atas, dalam akad konsinyasi antara penyetor

dagangan dan pengelola kantin di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna

Dua Kabupaten Ponorogo dapat disimpulkan bahwa akad konsinyasi sudah

sah menurut hukum Islam, karena akad tersebut telah disepakati oleh kedua

belah pihak. Tetapi dalam praktik tersebut terdapat suatu pengingkaran

diantara keduanya yaitu adanya unsur pengingkaran dari pihak penyetor

6 Burhanuddin, Hukum Bisnis Syariah (Yogyakarta: UII Press, 2011), 228-229.

Page 63: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

57

barang dagangan sehingga berakibat adanya ketidakrelaan dari pihak

pengelola kantin, serta unsur ketidakjelasan mengenai persentase

pengupahannya. Sehingga ditinjau dari etika bisnis Islam hal ini kurang

sesuai karena tidak memenuhi unsur kebenaran (kejujuran dan kebajikan)

dan juga prinsip keterbukaan.

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Pengupahan Konsinyasi di

Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo

Sebagaimana telah diungkapkan pada data pengupahan, perhitungan

keuntungan atau laba dilakukan dengan cara menghitung jumlah seluruh

penghasilan yang didapatkan dari habisnya barang dagangan yang terjual,

Kemudian jika jumlah penghasilan telah di ketahui akan dipersentase sesuai

dengan ketentuan atau langsung mengambil potongan dari barang yang

terjual yang sekiranya sama dengan besaran persentase, dalam perjanjian ini

apabila barang dagangan masih sisa atau tidak habis terjual maka dapat

dikembalikan kepada penyetor dagangan. Persentase praktik di sini biasanya

90% : 10% yang mana 90% bagian dari pemilik dagangan sedangkan 10%

adalah bagian kantin.

Dalam praktiknya di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua

besaran persentase tidak hanya 10% saja, tetapi ada yang 20%, 5%, karena

besarnya upah terkadang tidak dihitung melalui persentase melainkan hanya

dikira-kirakan sama dengan persentase, padahal hal tersebut belum tentu

sesuai atau sama. Misalnya pemilik modal menyetorkan gorengan 10 buah

yang per@ dihargai Rp. 500, sesuai dengan akadnya seharusnya per@

Page 64: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

58

dipotong Rp. 50 (10% dari Rp. 500) menjadi Rp. 450 x 10 = Rp. 4.500,

dalam praktiknya perhitungannya adalah Rp. 400 x 10 = Rp. 4.000 atau

dapat diketahui potongan persentasenya adalah (20%). Sehingga dalam

praktik pengupahan ini terdapat unsur ketidakjelasan mengenai upah

persentasenya. Dari data tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa

praktik pengupahan yang di terapkan di Kantin Pondok Pesantren Hudatul

Muna Dua ditetapkan oleh pihak kantin. Mengenai komisi/upah atau

persentasenya juga dari pihak kantin.

Dari penjelasan beberapa teori sistem konsinyasi di atas, menurut

penulis sistem pengupahan termasuk dalam akad ujrah dalam waka>lah bil

ujrah, yaitu imbalan yang diberikan pemilik dagangan sebagai upah atau

kompensasi atas apa yang telah dilakukan oleh pengelola kantin sebagai

imbalan dari menjualkan dagangannya.

Pemberian upah (al ujrah) itu hendaknya berdasarkan akad (kontrak)

perjanjian kerja, karena akan menimbulkan hubungan kerjasama antara

pekerja dengan pengusaha yang berisi hak-hak atas kewajiban masing-

masing pihak. Hak dari pihak yang satu merupakan suatu kewajiban bagi

pihak yang lainnya, adanya kewajiban yang utama bagi majikan adalah

membayar upah.

Penentuan upah kerja, syariat Islam tidak memberikan ketentuan rinci

secara tekstual baik dalam ketentuan al-Qur’an maupun Sunnah Rasul.

Dalam Islam, besaran upah ditetapkan oleh kesepakatan antara pengusaha

dan pekerja. Kedua belah pihak memiliki kebebasan untuk menetapkan

Page 65: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

59

jumlah upah, serta bebas menetapkan syarat dan cara pembayaran upah

tersebut. Asalkan saling rela dan tidak merugikan salah satu pihak.7

Praktik pengupahan di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua,

penentuan persentase dilakukan oleh pihak pengola kantin, dan pihak

penyetor hanya mengikuti ketentuan yang berlaku. Upah atau persentase

keuntungan diambil sendiri secara langsung oleh pengelola kantin, dengan

demikian uang yang diserahkan kepada penyetor barang dagangan adalah

hasil dari penjualan barang dagangan yang sudah diambil potongannya

untuk bagian kantin.

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa persentase

pengupahan di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua sah menurut

Islam karena persentase atau potongan hasil penjualan dimaksudkan sebagai

imbalan atau upah untuk pengelola kantin yang diberikan oleh penyetor

dagangan. Besaran upah serta cara pengambilan upah yang ditentukan dari

pihak kantin juga sah karena kedua belah pihak telah sepakat dalam

akadnya.

Dalam etika bisnis Islam, terdapat nilai-nilai etika dalam sebuah

bisnis, salah satunya adalah Ihsan, itqan dan tanggung jawab yaitu usaha

individu untuk bersungguh-sungguh dalam bekerja, tanpa kenal menyerah,

memiliki dedikasi penuh menuju optimalisasi. Harus mengerjakan setiap

pekerjaan sebaik mungkin dan semaksimal mungkin, mengerjakan sesuatu

7 Fuad Riyadi, “Sistem Dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam,” Iqtishadia, Vol 8, (No. 1,

Maret 2015), 169.

Page 66: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

60

dengan teliti dan teratur dan bertanggung jawab.8 Islam juga tidak

memperbolehkan mencari harta dengan cara yang bathil, atau segala cara

yang tidak sesuai dengan ketentuan syara’. seperti riba, judi, paksaan,

ketidakjelasan dan penipuan.

Praktik perhitungan pengupahan di Kantin Pondok Pesantren Hudatul

Muna Dua, penentuan atau perhitungan pengupahan dilakukan melalui

persentase atau dilakukan secara perkiraan, dengan mengira-ngira hasil yang

sama dengan persentase. Sehingga hasil yang didapat belum tentu sesuai

dengan yang semestinya. Maka praktik perhitungan pengupahan yang

dilakukan di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua, menurut etika

bisnis kurang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam etika yang

berlaku karena pengelola kantin tidak teliti atau kurang bersungguh-

sungguh dalam melakukan tanggung jawabnya.

8 Arif Rachman Eka Permata dan Dahruji, “Etika Bisnis Dalam Perspektif Ekonomi Islam:

Tinjauan Teoritik Dan Empiris Di Indonesia,” Paper (Madura: Universitas Trunojoyo), 11.

Page 67: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

61

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Akad praktik konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna

Dua Kabupaten Ponorogo adalah termasuk akad waka>lah bil ujrah dan

akadnya sah menurut hukum Islam karena kedua belah pihak telah

sepakat, tetapi kurang sesuai dengan prinsip etika bisnis Islam.

2. Pengupahan dalam praktik konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren

Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo sesuai dengan hukum Islam

karena sepakat dengan ketentuan pengupahan yang ditentukan ketika

akad, tetapi kurang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam

etika bisnis.

B. Saran-Saran

1. Dalam melakukan suatu transaksi sebaiknya diperhatikan dan

dipahami dengan teliti mengenai akadnya dan kedua belah pihak

sebaiknya selalu mentaati semua peraturan yang telah disepakati pada

saat terjadinya akad dan bisa bertindak tegas apabila terjadi

pengingkaran supaya tidak terjadi perselisihan.

2. Dalam menyampaikan potongan persentase atau komisi suatu

perjanjian, pihak pengelola hendaknya menyampaikan secara jelas dan

rinci pada saat akad, dan pihak pengelola memahami secara benar dan

teliti dalam melaksanakan perhitungan persentase sebagai bentuk

kesungguhan dan tanggungjawabnya.

Page 68: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku:

Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press: 2010.

---------. Perbankan Syariah Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press. 2009.

Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah.Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

2010.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2002.

Asmawi. Studi Hukum Islam. Yogyakarta: Sukses Offset, 2012.

Ascarya. Akad Dan Produk Bank Syariah. Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada, 2012.

---------. Jakarta: Rajawali Press, 2011.

Aziz, Nashruddin Baidan Dan Erwati. Etika Islam Dalam Berbisnis. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. 2014.

Aziz, Abdul. Etika Bisnis Perspektif Islam. Bandung: Alfabeta. 2013.

Badroen, Faisal. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Prenada Media Group. 2015.

Burhanuddin. Hukum Bisnis Syariah. Yogyakarta: UII Press. 2011.

Damanuri, Aji. Metodologi Penelitian Muamalah. Ponorogo: STAIN PO Press,

2010.

Dewi, Gemala, Dkk. Hukum Perikatan Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2005.

Dokumenter Kenangan Para Sahabat, Buku Kenangan (Ponorogo: Alisa Design,

2014.

Fatoni, Abdurrahmat. Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi.

Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006.

Fauzia, Ika Yunia. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Kencana. 2013.

Harahap, Sofyan S. Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Salemba

Empat. 2011.

Page 69: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

Hasanah, Neneng Nur. Mudharabah Dalam Teori Dan Praktik. Bandung: PT

Refika Aditama, 2015.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana, 2017.

Manan, Abdul. Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan

Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2012.

Mardani. Hukum Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2015.

Ma’had Tahfidh Yanbu’ul Qur’an Kudus, al-Quddus al-Qur’an Terjemah Bi

Rosm Utsmani. Kudus: CV. Mubarokatan Thoyyibah, 2014.

Mubarok, Abu Hazim. Fiqh Idola Terjemah Fathul Qarib, Terj. Muhammad Bin

Qasim Al Ghazi. Kediri: Mukjizat, 2013.

Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2010.

Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik Dan Kontemporer. Bogor: Ghalia

Indonesia. 2012.

Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana, 2012.

Nor, M. Dumairi, Dkk, Ejonomi Syariah Versi Salaf. Pasuruan: Pustaka Sidogiri,

2008.

Nurdin, Ridwan. Fiqh Muamalah. Banda Aceh: Pena, 2014.

Pradja, Juhaya S. Ekonomi Syariah. Bandung: CV Pustaka Setia, 2015.

Saebani, Beni Ahmad. Hukum Ekonomi Dan Akad Syariah Di Indonesia.

Bandung: CV Pustaka Setia, 2018.

Shomad, Abd. Hukum Islam.Jakarta: Kencana, 2010.

Tim Lascar Pelangi. Metodologi Fiqih Muamalah Diskursus Metodologis Konsep

Interaksi Social Ekonomi. Lirboyo Press: Kediri, 2013.

Referensi Jurnal dan Artikel Ilmiah

Dahruji, dan Arif Rachman. Eka Permata dan “Etika Bisnis Dalam Perspektif

Ekonomi Islam: Tinjauan Teoritik Dan Empiris Di Indonesia.” Paper.

Madura: Universitas Trunojoyo.

Page 70: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

Hisyam, Satriani. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Konsinyasi Pada

Koperasi Pegawai Negeri UIN Sunan Kalijaga” Skripsi. Yogyakarta: UIN

Sunan Kalijaga. 2013.

Mamnunah, “Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Antara Supplier Dengan

Distributor (Studi Di Hamzah Batik Malioboro Yogyakarta)” Skripsi.

Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. 2015.

Muna, Nabila Nailul. “Wakalah,” Makalah. Jurai Siwo Metro: STAIN Jurai Siwo

Metro, 2016.

Mujib, M. Misbahul. “Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Antara Distributor

Buku Dengan Pedagang Buku di Shopping Center Yogyakarta” Thesis.

Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2007.

Riyadi, Fuad. “Sistem Dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam.” Iqtishadia. Vol

8. No. 1, Maret 2015.

Ummah, Ikfa Aelulu Anisatul. berjudul “Jual Beli Kue Kering Dengan Sistem

Konsinyasi Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di UD Sri Rejeki

Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas)” Skripsi. Purwokerto: IAIN

Purwokerto, 2018.

Referensi Internet

Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, “Akad Wakalah Bi Al

Ujrah” No. 113, https://dsnmui.or.id/kategori/fatwa/page/2/ (diakses pada

tanggal 04 Februari 2020, jam 16.50)

Octaviani, Elma Sutriani Dan Rika. “Analisis Data dan Pengecekan Keabsahan

Data”https://www.academia.edu/38325494/ANALISIS_DATA_DAN_PEN

GECEKAN_KEABSAHAN_DATA.pdf. (diakses pada tanggal 26 Agustus

2019, jam 19.30).

Hasil Wawancara

Bu Nur. Hasil Wawancara, Ponorogo. 08 Agustus 2019.

Bu Izu. Hasil Wawancara, Ponorogo. 26 Oktober 2019.

Bu Um. Hasil Wawancara, Ponorogo. 25 November 2019.

Hidayah, Wahyu Nur. Hasil Wawancara, Ponorogo. 07 November 2019.

Hasanah, Ulfi. Hasil Wawancara, Ponorogo. 18 Februari 2020.

Page 71: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK ...etheses.iainponorogo.ac.id/8767/1/windarti.pdfbarang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan ketentuan-ketentuan

Istiqomah, Nurul. Hasil Wawancara, Ponorogo. 25 November 2019.

Kartono, M. Yunus. Hasil Wawancara, Ponorogo. 03 Desember 2019.

Nisa, Qoirun. Hasil Wawancara, Ponorogo. 26 Oktober 2019.

Rahmawati, Neni. Hasil Wawancara. Ponoroho. 05 Agustus 2019.