personal reflection

5
1 Personal Reflection Globalisasi, Proses atau Proyek? Cahyo Adi Jati Nugroho 12/335793/SP/25424 Globalisasi selalu menjadi topik perdebatan yang menarik bagi semua orang terutama karena menyangkut kehidupan kita seharai- hari. Salah satu perdebatan yang muncul dari topik globalisasi adalah apakah globalisasi merupakan sebuah proses yang natural dan tidak terelakkan ataukan sebuah proyek yang dibentuk oleh golongan tertentu untuk kepentingan mereka? Kecurigaan ini muncul ketika ada ketimpangan kekayaan yang ekstrim di dunia yang driasa merupakan akibat dari sistem global yang lebih menguntungkan negara maju. Dalam kuliah kemarin di jelaskan secara terperinci betapa timpangnya manfaat globalisasi, dimana sebagian orang bisa menikmati manfaatnya dan sebagian lain dirugikan karenannya. Mereka yang diuntungkan biasanya merupakan negara maju dan korporasi besar sedangkan negara berkembang dan publik adalah yang dirugikan. Ketika kita hendak menjelaskan mengapa hal ini bisa terjadi kita bisa berargumen bahwa kondisi ini terjadi karena unsur manipulasi yang dilakukan dengan sengaja oleh sebagian pihak yang lebih dominan untuk menjaga keutnungan mereka, dimana manipulasi ini dilakukan dengan forum-forum international yang seolah olah sah dan demokratis. Dalam pengamatan saya pribadi saya percaya bahwa globalisasi merupakan sesuatu yang di rancang oleh kelompok tertentu untuk kepentingan mereka, dan banyak kasus di dunia nyata bisa mendukung hal ini. Adalah rahasia umum bahwa sebelum demonstrasi Seattle 1999 sebagian besar negosiasi

Upload: fajar-gama-darmawan

Post on 21-Dec-2015

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

.

TRANSCRIPT

Page 1: Personal Reflection

1

Personal Reflection

Globalisasi, Proses atau Proyek?

Cahyo Adi Jati Nugroho 12/335793/SP/25424

Globalisasi selalu menjadi topik perdebatan yang menarik bagi semua orang terutama karena

menyangkut kehidupan kita seharai-hari. Salah satu perdebatan yang muncul dari topik

globalisasi adalah apakah globalisasi merupakan sebuah proses yang natural dan tidak

terelakkan ataukan sebuah proyek yang dibentuk oleh golongan tertentu untuk kepentingan

mereka? Kecurigaan ini muncul ketika ada ketimpangan kekayaan yang ekstrim di dunia

yang driasa merupakan akibat dari sistem global yang lebih menguntungkan negara maju.

Dalam kuliah kemarin di jelaskan secara terperinci betapa timpangnya manfaat globalisasi,

dimana sebagian orang bisa menikmati manfaatnya dan sebagian lain dirugikan karenannya.

Mereka yang diuntungkan biasanya merupakan negara maju dan korporasi besar sedangkan

negara berkembang dan publik adalah yang dirugikan. Ketika kita hendak menjelaskan

mengapa hal ini bisa terjadi kita bisa berargumen bahwa kondisi ini terjadi karena unsur

manipulasi yang dilakukan dengan sengaja oleh sebagian pihak yang lebih dominan untuk

menjaga keutnungan mereka, dimana manipulasi ini dilakukan dengan forum-forum

international yang seolah olah sah dan demokratis.

Dalam pengamatan saya pribadi saya percaya bahwa globalisasi merupakan sesuatu yang di

rancang oleh kelompok tertentu untuk kepentingan mereka, dan banyak kasus di dunia nyata

bisa mendukung hal ini. Adalah rahasia umum bahwa sebelum demonstrasi Seattle 1999

sebagian besar negosiasi WTO;Organisasi Perdagangan Dunia dilakukan di belakang ruang

sidang oleh negara-negara besar dimana keputusan di ambil di sana.1 Dari sini kita bisa

mengambil kesimpulan bahwa dalam dunia perdagangan international kepentingan negara

besar akan jauh lebih dipentingkan dari pada negara berkembang. Tentu saja tidak hanya

sampai di sini, apabila kita mengamati beberapa organisasi international besar yang masih

relevan saat ini kita akan menemukan beberapa negara besar terutama Amerika Serikat dan

China belakangan ini.

Saat ini rezim international masih didominasi oleh beberapa negara dunia pertamadan

korporat yang kepentingannya di representasikan olehnya. Hingga saat ini negara-negara

dunia pertama masih memiliki kontrol atas agenda dalam pembentukan hukum international

dan kesepakatan international lain, misalnya dalam IMF dimana proporsi suara suatu negara

1 Bossiness Standard, WTO: How the deal was clinched http://www.business-standard.com/article/international/wto-how-the-deal-was-clinched-113120700545_1.html diakses 06/04/2015

Page 2: Personal Reflection

2

tergantung pada besarnya sumbangan mereka, sehingga negara dunia pertama dengan

ekonomi kuat jauh lebih dominan dari pada negara dunia ke-3. Dalam WTO negara dunia

pertama seringkali menjadi promotor dan mendorong perundingan ke arah yang lebih

menguntungkan mereka, dan untuk melakukan hal ini mereka akan menggunakan semua

sumber daya mereka untuk mempengaruhi suara, dimana salah satu contoh yang yang cukup

jelas adalah negosiasi Uruguay Round ketika perundingan perjanjian pengakuan hak

intelektual TRIPS dimana negara dunia ketiga tidak bersuara karena tidak tahu harus

mengambil posisi apa dan adanya stick and carrot yang ditawarkan Amerika berupa konsensi

dalam perjanjian mengenai tekstil, dan agrikultur serta fleksibilitas dalam hak intelektual

untuk obat-obatan, sebagai hukuman ada “bahaya” bagi negara berkembang untuk

mengambil oposisi dengan A.S sebagai pengimport besar dan pemberi pinjaman. Dalam

PBB dapat kita lihat bahwa masih ada 5 negara yang memiliki keanggotaan tetap dan hak

veto dalam dewan keamanan PBB, yang artinya ada 5 negara yang sangat berpengaruh

terhadap keamanan dunia. Dengan banyaknya kondisi yang menguntungkan negara dunia

pertama maka wajar bagi kitu auntuk mengatakan bahwa rezim international sekarang

merupakan hasil manipulasi dan konstruksi dari negara dunia pertama, dan bertujuan

menguntungkan mereka.

Selain menciptakan kondisi international yang menguntungkan globalisasi juga merubah

situasi domestik negara dunia ketiga untuk lebih menguntungkan negara dunia pertama.

Dalam kuliah kemarin di bahas mengneai post-developmentalism yaitu suatu kondisi dimana

negara kehilangan kontrol atas banyak aspek di dalam negerinya. Negara sebagai pemegang

kedaulatan telah kehilangan sebagian besar kekuasaanya terhadap isu ekonomi dan isu-isu

penting lainnya, dan hal ini merupakan dampak dari globalisasi. Dalam periode

pembangunan, ada dominasi pola pikir modernis dalam kebijakan pembangunan yang ada,

yang artinya penggunaan model negara barat, selaku negara dunia pertama sebagai model,

bahkan terkadang perubahan ini dilakukan secara “paksa” misalnya melalui pinjaman

bersyarat atau intervensi politik langsung. Ciri-ciri lain dari kondisi ini adalah adanya

desentralisasi pengambilan keputusan ke bawah, dan sentralisasi pengambilan keputusan ke

atas. Artinya saat ini negara harus memberikan kekuasaan pada daerah dalam desentralisasi,

dan mengikuti peraturan yang disepakati di dunia international.

Berkaca dari pemahaman ini kita bisa melihat bahwa apa yang disampaikan di atas sangat

mencerminkan kondisi Indonesia saat ini. Bermula dari sejarah krisis moneter 1998 dimana

Indonesia mendapatkan Structural Adjusment Loan yang merombak ulang regulasi

Page 3: Personal Reflection

3

pemerintah mulai dari sistem politik hingga sistem ekonomi, dari sini kita sudah mulai

melihat bahwa Indonesia telah kehilangan kontrol atas kebijakan nationalnya. Hal ini

menjadi awal mula desentralisasi Indonesia, dimana saat ini pemerintah daerah memiliki

kekuasaan atas daerah mereka sendiri. Yang ingin saya soroti di Indonesia adalah simbiosis

mutualisme antara para penguasa lokal ini dengan pengusaha terutama dari modal asing yang

merupakan sumber pemasukan yang besar bagi daerah. Meskipun tidak dapat dikatakan

sepenuhnya buruk namun tindakan ini beresiko menciptakan fragmentasi, ketika tiap daerah

mementingkan kepentingannya sendiri bukan tujuan national.

Kesimpulannya saya percaya bahwa globalisasi merupakan proyek, kesimpulan ini saya

ambil setelah melihat kondisi realitas dimana negara dunia pertama yang saya tenggarai

merupakan pare ‘arsitek’ dari globalisasi yang lebih diuntungkan dengan globalisasi.

Menggunakan Indonesia sebagai cermin saya percaya bahwa globalisasi saat ini membawa

lebih banyak dampak negatif terhadap negara berkembang sehingga dibutuhkan pendekatan

baru untuk menyelesaikannya. Disinilah saya percaya ada kesempatan bagi teori kritis

terhadap globalisasi untuk menciptakan dunia global yang lebih ‘ramah’ bagi semua orang.