personal reflection
DESCRIPTION
.TRANSCRIPT
1
Personal Reflection
Globalisasi, Proses atau Proyek?
Cahyo Adi Jati Nugroho 12/335793/SP/25424
Globalisasi selalu menjadi topik perdebatan yang menarik bagi semua orang terutama karena
menyangkut kehidupan kita seharai-hari. Salah satu perdebatan yang muncul dari topik
globalisasi adalah apakah globalisasi merupakan sebuah proses yang natural dan tidak
terelakkan ataukan sebuah proyek yang dibentuk oleh golongan tertentu untuk kepentingan
mereka? Kecurigaan ini muncul ketika ada ketimpangan kekayaan yang ekstrim di dunia
yang driasa merupakan akibat dari sistem global yang lebih menguntungkan negara maju.
Dalam kuliah kemarin di jelaskan secara terperinci betapa timpangnya manfaat globalisasi,
dimana sebagian orang bisa menikmati manfaatnya dan sebagian lain dirugikan karenannya.
Mereka yang diuntungkan biasanya merupakan negara maju dan korporasi besar sedangkan
negara berkembang dan publik adalah yang dirugikan. Ketika kita hendak menjelaskan
mengapa hal ini bisa terjadi kita bisa berargumen bahwa kondisi ini terjadi karena unsur
manipulasi yang dilakukan dengan sengaja oleh sebagian pihak yang lebih dominan untuk
menjaga keutnungan mereka, dimana manipulasi ini dilakukan dengan forum-forum
international yang seolah olah sah dan demokratis.
Dalam pengamatan saya pribadi saya percaya bahwa globalisasi merupakan sesuatu yang di
rancang oleh kelompok tertentu untuk kepentingan mereka, dan banyak kasus di dunia nyata
bisa mendukung hal ini. Adalah rahasia umum bahwa sebelum demonstrasi Seattle 1999
sebagian besar negosiasi WTO;Organisasi Perdagangan Dunia dilakukan di belakang ruang
sidang oleh negara-negara besar dimana keputusan di ambil di sana.1 Dari sini kita bisa
mengambil kesimpulan bahwa dalam dunia perdagangan international kepentingan negara
besar akan jauh lebih dipentingkan dari pada negara berkembang. Tentu saja tidak hanya
sampai di sini, apabila kita mengamati beberapa organisasi international besar yang masih
relevan saat ini kita akan menemukan beberapa negara besar terutama Amerika Serikat dan
China belakangan ini.
Saat ini rezim international masih didominasi oleh beberapa negara dunia pertamadan
korporat yang kepentingannya di representasikan olehnya. Hingga saat ini negara-negara
dunia pertama masih memiliki kontrol atas agenda dalam pembentukan hukum international
dan kesepakatan international lain, misalnya dalam IMF dimana proporsi suara suatu negara
1 Bossiness Standard, WTO: How the deal was clinched http://www.business-standard.com/article/international/wto-how-the-deal-was-clinched-113120700545_1.html diakses 06/04/2015
2
tergantung pada besarnya sumbangan mereka, sehingga negara dunia pertama dengan
ekonomi kuat jauh lebih dominan dari pada negara dunia ke-3. Dalam WTO negara dunia
pertama seringkali menjadi promotor dan mendorong perundingan ke arah yang lebih
menguntungkan mereka, dan untuk melakukan hal ini mereka akan menggunakan semua
sumber daya mereka untuk mempengaruhi suara, dimana salah satu contoh yang yang cukup
jelas adalah negosiasi Uruguay Round ketika perundingan perjanjian pengakuan hak
intelektual TRIPS dimana negara dunia ketiga tidak bersuara karena tidak tahu harus
mengambil posisi apa dan adanya stick and carrot yang ditawarkan Amerika berupa konsensi
dalam perjanjian mengenai tekstil, dan agrikultur serta fleksibilitas dalam hak intelektual
untuk obat-obatan, sebagai hukuman ada “bahaya” bagi negara berkembang untuk
mengambil oposisi dengan A.S sebagai pengimport besar dan pemberi pinjaman. Dalam
PBB dapat kita lihat bahwa masih ada 5 negara yang memiliki keanggotaan tetap dan hak
veto dalam dewan keamanan PBB, yang artinya ada 5 negara yang sangat berpengaruh
terhadap keamanan dunia. Dengan banyaknya kondisi yang menguntungkan negara dunia
pertama maka wajar bagi kitu auntuk mengatakan bahwa rezim international sekarang
merupakan hasil manipulasi dan konstruksi dari negara dunia pertama, dan bertujuan
menguntungkan mereka.
Selain menciptakan kondisi international yang menguntungkan globalisasi juga merubah
situasi domestik negara dunia ketiga untuk lebih menguntungkan negara dunia pertama.
Dalam kuliah kemarin di bahas mengneai post-developmentalism yaitu suatu kondisi dimana
negara kehilangan kontrol atas banyak aspek di dalam negerinya. Negara sebagai pemegang
kedaulatan telah kehilangan sebagian besar kekuasaanya terhadap isu ekonomi dan isu-isu
penting lainnya, dan hal ini merupakan dampak dari globalisasi. Dalam periode
pembangunan, ada dominasi pola pikir modernis dalam kebijakan pembangunan yang ada,
yang artinya penggunaan model negara barat, selaku negara dunia pertama sebagai model,
bahkan terkadang perubahan ini dilakukan secara “paksa” misalnya melalui pinjaman
bersyarat atau intervensi politik langsung. Ciri-ciri lain dari kondisi ini adalah adanya
desentralisasi pengambilan keputusan ke bawah, dan sentralisasi pengambilan keputusan ke
atas. Artinya saat ini negara harus memberikan kekuasaan pada daerah dalam desentralisasi,
dan mengikuti peraturan yang disepakati di dunia international.
Berkaca dari pemahaman ini kita bisa melihat bahwa apa yang disampaikan di atas sangat
mencerminkan kondisi Indonesia saat ini. Bermula dari sejarah krisis moneter 1998 dimana
Indonesia mendapatkan Structural Adjusment Loan yang merombak ulang regulasi
3
pemerintah mulai dari sistem politik hingga sistem ekonomi, dari sini kita sudah mulai
melihat bahwa Indonesia telah kehilangan kontrol atas kebijakan nationalnya. Hal ini
menjadi awal mula desentralisasi Indonesia, dimana saat ini pemerintah daerah memiliki
kekuasaan atas daerah mereka sendiri. Yang ingin saya soroti di Indonesia adalah simbiosis
mutualisme antara para penguasa lokal ini dengan pengusaha terutama dari modal asing yang
merupakan sumber pemasukan yang besar bagi daerah. Meskipun tidak dapat dikatakan
sepenuhnya buruk namun tindakan ini beresiko menciptakan fragmentasi, ketika tiap daerah
mementingkan kepentingannya sendiri bukan tujuan national.
Kesimpulannya saya percaya bahwa globalisasi merupakan proyek, kesimpulan ini saya
ambil setelah melihat kondisi realitas dimana negara dunia pertama yang saya tenggarai
merupakan pare ‘arsitek’ dari globalisasi yang lebih diuntungkan dengan globalisasi.
Menggunakan Indonesia sebagai cermin saya percaya bahwa globalisasi saat ini membawa
lebih banyak dampak negatif terhadap negara berkembang sehingga dibutuhkan pendekatan
baru untuk menyelesaikannya. Disinilah saya percaya ada kesempatan bagi teori kritis
terhadap globalisasi untuk menciptakan dunia global yang lebih ‘ramah’ bagi semua orang.