persepsi pengguna layanan pengadaan barang dan jasa …/persepsi... · persepsi pengguna layanan...
TRANSCRIPT
PERSEPSI PENGGUNA LAYANAN PENGADAAN BARANG DAN JASA
PADA PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA TERHADAP
IMPLEMENTASI SISTEM E-PROCUREMENT
TESIS
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Magister Sains Program Studi Magister Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
Ita Akyuna Nightisabha NIM : S4307076
PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
PERSEPSI PENGGUNA LAYANAN PENGADAAN BARANG DAN JASA
PADA PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA TERHADAP
IMPLEMENTASI SISTEM E-PROCUREMENT
Disusun oleh:
Ita Akyuna Nightisabha NIM : S4307076
Telah disetujui Pembimbing
Pada tanggal,
Pembimbing I
Drs. Djoko Suhardjanto, M. Com (Hons)., Ph.D., Ak.
NIP. 19630203 198903 1 006
Pembimbing II
Anas Wibawa, SE., M.SI. Ak
NIP. 19730215200012 1 001
Mengetahui :
Ketua Program Studi Magister Akuntansi
Dr. Bandi, M.Si. Ak
NIP. 19641120199103 1 002
PERSEPSI PENGGUNA LAYANAN PENGADAAN BARANG DAN JASA
PADA PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA TERHADAP
IMPLEMENTASI SISTEM E-PROCUREMENT
Disusun oleh:
Ita Akyuna Nightisabha NIM : S4307076
Telah disetujui dan disahkan Tim Penguji
Pada tanggal, 5 Pebruari 2010
Ketua Tim Penguji : Dr. Bandi, M.Si., Ak ...................
Sekretaris Tim Penguji : Dr. Payamta, M.Si., Ak., CPA ...................
Anggota Tim Penguji : Drs. Djoko Suhardjanto, M.Com(Hons)., Ph.D., Ak...................
Anggota Tim Penguji : Anas Wibawa, SE., M.Si., Ak ...................
Mengetahui :
Direktur PPs UNS Ketua Program Studi Magister Akuntansi UNS
Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. Dr. Bandi, M.Si., Ak
NIP. 195708201985031004 NIP. 19641120199103 1 002
PERNYATAAN
Nama : Ita Akyuna Nightisabha
NIM : S4307076
Program Studi : Magister Akuntansi
Konsentrasi : Akuntansi Sektor Publik
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul “Persepsi Pengguna Layanan
Pengadaan Barang dan Jasa pada Pemerintah Kota Yogyakarta terhadap Implementasi
Sistem E-Procurement” adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya
saya, dalam tesis ini diberi tanda citiasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya ini tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh atas tesis
tersebut.
Surakarta, Januari 2010
Yang menyatakan,
Ita Akyuna Nightisabha
Dedicated to
Jasmine Amadea Lintang Amadangi, jalan kita masih panjang ‘nak…
Ketiadaan yang saat ini ada, tetaplah tinggal dalam rumah jiwaku..
HALAMAN MOTTO
☺ Hari ini sebelum kamu mengatakan kata-kata yang tidak baik, pikirkan tentang seseorang yang tidak dapat berbicara sama sekali
☺ Hari ini sebelum kamu mengeluh bahwa kamu buruk, pikirkan tentang seseorang yang
berada pada tingkat terburuk dalam hidupnya
☺Hari ini sebelum kamu mengeluh tentang jauhnya kamu telah menyetir, pikirkan tentang seseorang yang menempuh jarak yang sama dengan berjalan kaki
☺Hari ini sebelum kamu mengeluh tentang hidupmu, pikirkan tentang seseorang yang
meninggal terlalu cepat
☺Dan ketika kamu sedang bersedih dan hidupmu dalam kesusahan, tersenyum dan berterima kasihlah pada Tuhan bahwa kamu masih hidup
Life is a gift
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat,
karunia dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis dengan judul
“Persepsi Pengguna Layanan Pengadaan Barang dan Jasa pada Pemerintah Kota
Yogyakarta terhadap Implementasi Sistem E-Procurement” ini disusun untuk memenuhi
persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Magister Akuntansi Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini bukan hasil dari jerih payah
sendiri, akan tetapi banyak pihak yang telah membantu. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu
baik secara langsung maupun tidak langsung hingga selesainya Tesis ini. Dengan
kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa
studi lanjut dan kepada penulis melalui Program Beasiswa Unggulan pada Magister
Akuntansi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dr. Bandi, M.Si., Ak, selaku Ketua Tim Penguji, atas saran dan bimbingan kepada
penulis.
3. Dr. Payamta, M.Si., Ak., CPA, selaku Sekretaris Tim Penguji atas waktu dan
bimbingan yang diberikan.
4. Drs. Djoko Suhardjanto, M.Com (Hons)., Ph.D., Ak., selaku pembimbing I yang tidak
pernah berhenti untuk memberi semangat yang luar biasa, kadang menakutkan tapi tak
pernah sekalipun mematahkan.
5. Anas Wibawa, SE., M.Si.,Ak, selaku pembimbing II yang telah memberikan waktu dan
segala kemudahan dan kesabaran dalam penulisan tesis.
6. Ibu Lusi, Bapak Handoko dan semua staf yang ada pada LPSE Kota Yogyakarta, atas
ijin penelitian dan semua informasi yang dibutuhkan.
7. Dr. JJ. Sarungu, MS dan Drs. Wahyu Agung, M.Si, untuk kesempatan yang diberikan
dalam menyelesaikan kuliah dan tesis ini.
8. Dosen beserta staf di Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak memberikan ilmu dan pencerahan.
9. Orang tuaku H.A. Walid, SH., ST., untuk limpahan kasih dan doa sepanjang hidup.
10. Kakak dan keponakanku tercinta Happy, Motiq, dan Sekar Langit, yang telah
menemani Dea selama penulisan tesis ini, luv ya
11. Men behind the scene : BB. Bekti, Bayu, Darmawan, Antim, Santi, Yuni, Hendro,
Wahyu Widyo, Upik dan Irma : keep on laughing!
12. Teman-teman kelas A Maksi angkatan 2007, untuk transfer ilmu dan hari-hari manis
asem asin selama ini.
13. Gege, penggalan terbesar dalam hidup, semoga segala sesuatu menjadi mudah untuk
kita jalani, be happy..
14. Semua pihak yang telah membantu atas terselesainya tesis ini, yang tidak bisa penulis
sebutkan satu per satu.
Semoga Allah SWT yang akan memberikan balasan atas segala kebaikan dan
dibalasNya dengan limpahan berkah. Semoga tesis ini bermanfaat.
Surakarta, Januari 2010
Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAAN.................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN....................................................................... v
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... vi
KATA PENGANTAR...................................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Perumusan Masalah........................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian............................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian............................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS..... 9
A. E-Commerce...................................................................................... 11
B. E-Procurement.................................................................................... 13
C. B.1. Fitur E-Procurement ................................................................... 15
B.2. Perkembangan E-Procurement Indonesia................................... 17
B.3. Dasar Hukum E-Procurement Indonesia .................................... 20
B.4. Manfaat E-Procurement.............................................................. 22
B.5. Tantangan dalam E-Procurement ............................................... 25
B. 6. Implementasi E-Procurement .................................................... 27
B.7. Penilaian Sistem E-Procurement …………………………….. . 30
C. Pengembangan Hipotesis ................................................................... 31
D. Kerangka Berpikir ............................................................................... 37
BAB III METODE PENELITIAN................................................................... 40
A. Jenis Penelitian................................................................................... 40
B. Lokasi Penelitian ............................................................................... 40
C. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 41
D. Pengumpulan Data dan Pemilihan Sampel ........................................ 43
E. Variabel Penelitian dan Konstruk Variabel ....................................... 46
F. Analisis Data ....................................................................................... 48
F.1. Uji Validitas .................................................................................. 48
F.2. Uji Realibilitas............................................................................... 49
F.3. Pengujian Hipotesis ....................................................................... 49
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ....................................... 51
A. Gambaran Umum Obyek dan Statistik Deskriptif................................ 51
B. Karakteristik Sampel............................................................................. 52
C. Statistik Deskriptif ............................................................................... 55
D. Persepsi Responden ............................................................................. 59
E. Hasil Uji validitas dan Reliabilitas ....................................................... 66
F. Hasil Uji Beda ...................................................................................... 68
BAB V PENUTUP........................................................................................... 71
A. Kesimpulan ........................................................................................... 71
B. Keterbatasan ......................................................................................... 73
C. Saran ..................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penerapan good governance sangat diyakini memberikan kontribusi yang strategis
dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat karena dengan penerapan tata kelola
pemerintahan yang baik diharapkan mampu menghindari penyimpangan yang merupakan
awal dari tindakan korupsi dan suap (Kristiadi, 2006).
Sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 dan bergulirnya
reformasi, good governance mulai menjadi isu yang diangkat banyak pihak. Salah satu
yang mendasari dibentuknya Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) pada tahun
1999 adalah mendorong dan meningkatkan efektivitas penerapan tata kelola di Indonesia
dalam rangka membangun kultur yang berwawasan good governance baik di sektor publik
maupun korporasi. Sejalan dengan hal tersebut, prinsip good governance dalam The
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) tahun 2005
menyatakan bahwa dengan tata kelola yang baik, tidak hanya memberikan keyakinan pada
diri sendiri baik itu privat maupun instansi publik bahwa mereka mampu mendapatkan
manfaat baik secara finansial maupun kepercayaan pada investor luar dalam menanamkan
modalnya dan berinvestasi bersama (Prasetyantoko, 2008).
Transparansi dan kredibilitas menjadi hal utama dalam menciptakan tata kelola
yang baik. Sebuah proses yang transparan mampu memberikan kesempatan kepada semua
pihak untuk memberikan masukan guna peningkatan kualitas birokrasi, dan kredibilitas
adalah bangunan yang terbentuk dari proyek dan hasil dari kebijakan publik yang
bertanggung jawab (Kristiadi, 2006).
1
Salah satu upaya pemerintah untuk menciptakan transparansi publik adalah dengan
Inpres nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-
government. Pengembangan e-government merupakan upaya mengembangkan
penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan
kualitas layanan publik secara efektif dan efisien.
Selain permasalahan rendahnya pelayanan publik pada instansi pemerintahan,
kegiatan pengadaan barang dan jasa pada sektor publik masih menyisakan banyak
permasalahan baik itu prosedur maupun hasilnya. Prinsip dasar pengadaan barang dan jasa
yang sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah tahun
2003 yaitu efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil, dan akuntabel, masih
menyisakan berbagai kasus korupsi yang banyak ditemukan (www.kpk.go.id, 2009).
Sebagai lembaga yang membantu pemerintah dalam penciptaan good governance,
fungsi dan peran KNKG diantaranya adalah mengembangkan pedoman standar dan kode
untuk sektor publik dan korporasi, melakukan pemantauan dan asesmen penerapan good
governance di berbagai sektor dan menata organisasi, SDM dan mekanisne internal. Sesuai
dengan SK. Menteri Perekonomian Indonesia Nomor 14 tahun 2008, dalam Pedoman
Umum Good Corporate Governance (GCG) dan indikator keberhasilan Sub-Komite
Bidang Publik adalah diberlakukannya sistem e-procurement dan e-reporting pada semua
instansi pemerintah dan proyek-proyek berskala besar.
LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah) terus
berupaya membenahi sistem dan prosedur layanan pengadaan nasional secara on-line.
Sistem baru tersebut diharapkan dapat diterapkan di semua kementerian dan lembaga serta
pemerintah daerah pada tahun 2010 melalui revisi terbatas Keputusan Presiden Nomor 80
tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah
(www.iprowatch.go.id, 2009).
Pemerintah Kota Yogyakarta, sebagai salah satu instansi pemerintah daerah yang
sudah melaksanakan sistem pengadaan barang melalui e-procurement, menjadi obyek
penelitian ini karena belum adanya penilaian yang menjadi dasar dalam menilai efektivitas
dan efisiensi sistem pengadaan barang dan jasa secara on-line serta dalam pengembangan
sistem tersebut di masa datang. LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) Kota
Yogyakarta didirikan pada bulan Juli tahun 2008 sebagai bagian dari upaya pemerintah
kota Yogyakarta untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, persaingan sehat dan
akuntabilitas dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa di lingkungan Pemerintah Kota
Yogyakarta.
Lemahnya pemanfaatan e-government di lingkungan birokrasi yang saling terkait
dengan masih terbatasnya aplikasi di dunia bisnis telah menyebabkan lambatnya
pelaksanaan program e-government (Satriya, 2006). Hal tersebut juga terjadi pada
pelaksanaan e-procurement pada beberapa pemerintah daerah dan lembaga publik yang
disebabkan adanya kesenjangan digital para pelaku kegiatan. Kesenjangan digital
merupakan tantangan terutama untuk menyukseskan e-procurement sebab belum semua
pengguna atau penyedia barang dan jasa menguasai teknologi elektronik atau teknologi
informasi sehingga diperlukan waktu untuk adaptasi. Kesenjangan digital juga terjadi di
sisi internal, kesiapan sumber daya manusia untuk mengoperasikan e-procurement tak
tersebar merata di lingkup SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan infrastruktur
Teknologi Informasi (TI) yang terbatas sehingga perlu persiapan yang lebih optimal
(www.wartaegov.com, 2009).
Hasil penelitian menyangkut kesiapan e-procurement di Kabupaten Sleman
menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum siap untuk menjalankannya (Prabowo,
2009). Hal ini dilihat dari masih rendahnya komitmen kepala daerah yang diindikasikan
dari adanya motif-motif ekonomi politik dalam menjalankan kebijakan pengadaan
barang/jasa. Selain itu masih sangat minimnya pegawai dengan kemampuan yang dapat
diandalkan untuk menjalankan sistem ini.
Temuan lain terkait dengan kegagalan e-procurement juga terjadi pada salah satu
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hambatan-hambatan implementasi e- procurement
adalah kesiapan sumber daya manusia terkait masalah mental, masih terbatasnya
pengetahuan transaksi secara on-line dikalangan vendors maupun unit - unit di perusahaan,
kompatibilitas dan kehandalan sistem yang dibangun masih diragukan, auditor khususnya
Badan Pemeriksa Keuangan belum sepenuhnya menggunakan standar transaksi on-line,
dan belum adanya aturan dan standar pelaksanaan e-procurement (Mulyanto, 2008).
Beberapa penelitian terdahulu yang mengukur keberhasilan implementasi sistem e-
procurement yang diukur dari persepsi dan tingkat kepuasan pengguna akhir telah
dilakukan pada pemerintah kota Surabaya. Nurliya (2007) mengukur kepuasan pengguna
akhir yaitu para pengguna barang/jasa yang memanfaatkan layanan e-procurement
menghasilkan gambaran bahwa implementasi sistem e-procurement di pemerintah kota
Surabaya telah berhasil dilakukan.
Penelitian sejenis yang dilakukan pada obyek yang sama yaitu pemerintah kota
Surabaya yang bertujuan untuk menilai efektivitas dan efisiensi sistem e-procurement
dilakukan oleh Wijayanto (2008). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya
adalah menambahkan pengukuran gap analysis dari nilai ekonomis yang dihasilkan oleh
penyedia barang/jasa dan pengelola. Hasil yang didapat dari penilaian sistem menunjukkan
bahwa kepuasan pengguna yaitu penyedia barang/jasa dan pengelola sistem menunjukkan
tingkat kepuasan yang sama, sehingga dari penelitian ini juga didapat hasil bahwa
penerapan sistem e-procurement yang sedang berjalan pada pemerintah kota Surabaya
telah berhasil.
Penelitian yang mengukur persepsi masyarakat terhadap penerapan sistem baru
pengadaan barang dan jasa sektor publik dilakukan oleh Rafiqul (2007). Penelitian ini
berlatar belakang proses pengadaan barang/jasa yang ada di Bangladesh. Hasil dari
penelitian ini adalah 70% para pengguna layanan memahami prosedur pengadaan dan 30%
terpecah kedalam berbagai pendapat yaitu cukup paham dan tidak paham.
Dengan adanya beberapa temuan penelitian dan beberapa kasus dalam
implementasi sistem e-procurement di beberapa pemerintah daerah tersebut, baik kesiapan
pemerintah daerah seperti yang dilakukan oleh Prabowo (2009) pada pemerintah
Kabupaten Sleman terhadap rencana implementasi sistem e-procurement maupun penilaian
atas sistem yang sedang berjalan pada pemerintah kota Surabaya yang dilakukan oleh
Nurliya (2007) dan Wijayanto (2008), menjadi alasan pemilihan topik ini. Mengingat kota
Yogyakarta telah menerapkan sistem e-procurement yang saat ini sedang berjalan pada
tahun kedua, maka penelitian ini bertujuan untuk menilai implementasi awal sistem e-
procurement pada pemerintah kota Yogyakarta dengan melihat persepsi pengguna layanan
yaitu panitia pengadaan dan penyedia barang/jasa atas aplikasi sistem e-procurement.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah ”bagaimana persepsi pengguna layanan pengadaan barang dan jasa yaitu panitia
pengadaan dan penyedia barang/jasa terhadap implementasi sistem e-procurement yang
diselenggarakan oleh LPSE Kota Yogyakarta?”
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
menguji bahwa persepsi atas implementasi sistem oleh para pengguna dapat digunakan
sebagai dasar dalam menilai keberhasilan sistem dan pengembangannya di waktu
mendatang.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini melibatkan berbagai pihak yang terlibat dalam suatu proyek
pengadaan barang dan jasa pada lingkup pemerintah kota Yogyakarta, sehingga manfaat
penelitian ini juga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan atas berbagai pihak tersebut.
1. Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas semua
kegiatan pengadaan barang dan jasa di lingkupnya, dapat mengambil informasi dari
penilaian atas perbedaan sistem pengadaan yang pernah dilakukan yaitu sistem
konvensional dan sistem yang saat ini baru saja diterapkan yaitu sistem on-line;
2. Pengelola sistem, dalam hal ini yaitu LPSE (Layanan Pengadaaan Secara Elektronik)
Yogyakarta sebagai pengembang dan pelaksana sistem, dapat melakukan
pengembangan sistem di waktu mendatang;
3. Pejabat Pembuat Komitmen (PPKom) dan Unit Layanan Pengadaan (ULP), sebagai
pihak yang bertanggung jawab secara penuh atas kegiatan pengadaan dan bersama-
sama dengan LPSE menjalankan sistem e-procurement.
4. Penyedia barang dan jasa yang merupakan rekanan pemerintah kota Yogyakarta dalam
memenuhi kebutuhan pengadaan barang dan jasa di lingkup Yogyakarta, dapat mulai
dari sekarang terbiasa dengan sistem baru yang digunakan sehingga masih terus dapat
mendukung dalam hal pemenuhan kebutuhan barang dan jasa di lingkup kota
Yogyakarta;
5. Dapat menjadi acuan dan referensi pada instansi pemerintah lain dalam hal penerapan
sistem pengadaan barang dan jasa sebagai upaya penciptaan pemerintahan yang bersih
dan bertanggung jawab.
BAB II
Tinjauan Teoritis dan Pengembangan Hipotesis
Perkembangan teknologi dalam bidang komunikasi dan komputer telah
menyebabkan terjadinya perubahan kultur manusia sehari-hari. Media elektronik menjadi
salah satu media andalan untuk melakukan berbagai kegiatan komunikasi dan bisnis. Ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut telah mendorong terjadinya perubahan dan kemajuan
dalam semua bidang termasuk kegiatan pengadaan barang dan jasa (Setiawan, 2002).
Pengadaan barang dan jasa yang awalnya berupa kegiatan jual beli secara langsung,
saat ini dapat dilakukan dengan menggunakan media teknologi informasi sehingga
kegiatan yang tadinya merupakan kegiatan praktis yang hanya melibatkan pihak-pihak
tertentu, saat ini dengan kemajuan teknologi menjadikannya sebagai suatu pengetahuan
yang dapat dipelajari secara umum dan semua pihak bahkan diluar pihak yang terlibat
(Hardjowijono, 2009).
Meskipun penggunaan media elektronik belum sepenuhnya dimengerti oleh semua
lapisan masyarakat, namun desakan untuk menggunakannya semakin kuat sehingga proses
pemahaman dan implementasinya berjalan beriringan dan terintegrasi
(www.wartaegov.com, 2009). Hal tersebut dikarenakan perubahan-perubahan yang terjadi
saat ini menuntut terbentuknya pemerintahan yang bersih, transparan dan mampu
menjawab tuntutan perubahan secara efektif dimana masyarakat menuntut pelayanan
publik yang memenuhi kepentingan masyarakat luas di seluruh wilayah negara, dapat
diandalkan dan terpercaya, serta mudah dijangkau secara interaktif (kepmenkominfo no.
57). Wacana penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari korupsi dengan implementasi
e-government sudah menjadi himbauan dan kewajiban bagi semua pemerintah daerah
maupun lembaga publik dengan salah satu kegiatan utamanya yaitu e-procurement
(www.wartaegov.com, 2009).
Kemunculan internet dan world wide web sebagai dasar berkembangnya
perdagangan elektronik atau electronic commerce telah menimbulkan dorongan yang kuat
bagi berbagai pihak untuk terus mengupayakan sistem perdagangan barang dan jasa secara
on-line.
Penelitian yang dilakukan oleh Giunipero dan Sawchuck (2002) menekankan pada
fungsi internet dalam proses pengadaan barang dan jasa dimana internet dapat digunakan
sebagai alat bantu dalam proses pengadaan secara profesional dengan cara ”shop around”
dan membandingkan beberapa pemasok dan menerbitkan katalog. Selain itu internet
digunakan untuk penghematan biaya tetapi didapatkan manfaat yang maksimal dengan
kecepatan akses transaksi. Manfaat internet dinyatakan Giunipero (2000) tidak hanya
pembeli tetapi juga penjual yang terhubung dalam sebuah rantai nilai yang
berkesinambungan.
E-procurement adalah proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang
dilaksanakan secara elektronik yang berbasis web/internet dengan memanfaatkan fasilitas
teknologi komunikasi dan informasi yang meliputi pelelangan umum secara elektronik
yang diselenggarakan oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Internet sebagai
media global, merupakan salah satu alat yang dapat dipakai sebagai pendukung dalam
upaya menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih, khusunya dalam hal pengadaan
barang dan jasa pemerintah (LKPP, 2009).
Kegiatan jual beli barang dan jasa dengan menggunakan fasilitas internet diawali
dengan kegiatan tukar menukar data penjualan antar pelaku bisnis dan berkembang ke
tahapan pemesanan dan pengiriman barang. Kegiatan jual beli dalam dunia maya yaitu:
A. E-commerce
E-commerce atau perdagangan elektronik merupakan pengembangan dari kegiatan
perdagangan dengan mengeksploitasi media elektronik, yang diartikan sebagai penyebaran,
pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik (Setiawan,
2002). E-commerce mengubah bentuk persaingan, kecepatan bertindak, dan perampingan
interaksi, produk dan pembayaran dari pelanggan dan dari perusahaan ke pemasok
(O’Brien, 2006).
E-commerce adalah penggunaan media elektronik sebagai wadah dalam pertukaran
produk antar individu satu dengan yang lain dan antar individu dan kelompok lain yang
berbasis intranet dan ekstranet (Jaworski, 2002). Keberadaan e-commerce bukan saja
membantu percepatan proses transaksi dan perpindahan barang dan jasa, melainkan juga
mampu mendukung pengembangan dalam bidang lain misalnya proses pembayaran yang
melibatkan pihak lebih luas misalnya perbankan dan beberapa pihak pendukung lain.
Tujuan utama dari e-commerce adalah mengurangi biaya transaksi dan menyelaraskan
semua proses (Awad, 2004).
Sejarah perkembangan e-commerce diawali dengan pengiriman dokumen
pemesanan pembelian dan tagihan secara elektronik dalam sebuah transaksi komersial
kemudian berkembang menjadi suatu wadah yang disebut “perdagangan web” pada tahun
1994, yang meliputi semua kegiatan jual beli dimana telah digunakan piranti khusus yang
menjamin kerahasiaan transaksi. Kematangan tahap ini terjadi pada awal tahun 2000 yang
ditandai dengan adanya penggunaan secara masal para pebisnis di Amerika dan Eropa
(Setiawan, 2002). Kategori e-commerce meliputi:
1. Business to business (B2B). Umumnya menggunakan mekanisme Electronic Data
Interchange (EDI), dimana aktivitas pada kategori ini melibatkan pasar e-business
dan hubungan pasar langsung antar perusahaan.
2. Business to consumer (B2C). Kategori ini memiliki permasalahan yang berbeda.
Mekanisme mendekati konsumen menggunakan berbagai cara misalnya portal atau
”electronic shopping mall”.
3. Consumer to consumer (C2C). Keberhasilan besar dari beberapa perusahaan pelaku
C2C yaitu mereka dapat membeli dan menjual ke satu sama lain dalam satu proses
lelang (O’Brien, 2006).
Kegiatan e-commerce telah banyak diterapkan pada sektor privat baik dalam
maupun luar negeri. Di beberapa negara keberhasilan e-commerce menjadi awal
implementasi pengadaan barang dan jasa pada sektor publik secara eletronik (e-
procurement) dan tidak jarang pula aplikasi sistem pada sektor privat dikembangkan oleh
sektor publik yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pada sektor publik (Walker
& Harland, 2008).
B. E-procurement
Seperti halnya e-commerce, e-procurement merupakan transformasi mekanisme
pengadaan secara manual (LKPP, 2009). Definisi e-procurement dari berbagai sumber
yaitu :
1. Menurut Kantor Manajemen Informasi Pemerintah Australia (Australian Government
Information Management, AGIMO), e-procurement merupakan pembelian antar-bisnis
(business-to-business), B2B) dan penjualan barang dan jasa melalui internet
(www.agimo.gov.au, 2001).
2. Bank Dunia menyebut e-procurement dari sisi pemerintahan sebagai electronic
government procurement atau e-GP adalah penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi khususnya internet oleh pemerintahan-pemerintahan dalam melaksanakan
hubungan pengadaan dengan para pemasok untuk memperoleh barang, karya-karya,
dan layanan konsultasi yang dibutuhkan oleh sektor publik (Ippolito, 2003).
3. Palmer (2003) menyebutkan e-procurement adalah teknologi yang dirancang untuk
memfasilitasi manajemen seluruh aktivitas pengadaan barang melalui internet, yang
meliputi semua aspek fungsi pengadaan yang didukung oleh bermacam-macam bentuk
komunikasi secara elektronik.
4. Menurut Peraturan Presiden nomor 8 tahun 2006 dan mulai diterapkan sejak tahun
2007 dengan berdirinya LKPP, e-procurement atau pengadaan barang/jasa pemerintah
yang selanjutnya disebut PPE adalah sistem pengadaan barang/jasa
Kementerian/Lembaga/Sekretariat Lembaga Tinggi Negara/Sekretariat Lembaga
Tertinggi Negara/TNI/Polri/Komisi/Pemerintah Propinsi/Pemerintah
Kabupaten/Pemerintah Kota/Bank Indonesia (BI)/Badan Hukum Milik Negara
(BHMN)/Badan Usaha Milik Negara (BUMN/Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD)/Badan Layanan Umum (BLU), yang proses pelaksanaannya dilakukan secara
elektronik dengan memanfaatkan fasilitas teknologi komunikasi dan informasi, yang
meliputi : e-Lelang Umum (e-regular Tendering); e-Lelang Penerimaan (e-Reverse
Tender), e-Pembelian (e-Purchasing), e-Penawaran Berulang (e-Reverse Auction), dan
e-Seleksi (e-Selection).
Berdasarkan definisi e-procurement dari berbagai sumber tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa e-procurement adalah kegiatan yang dilakukan oleh sektor publik baik
itu pemerintah pusat dan daerah maupun lembaga publik lain termasuk Badan Usaha Milik
Negara dengan menggunakan fasilitas teknologi internet yang dikembangkan oleh
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dengan landasan hukum
Peraturan Presiden nomor 8 tahun 2006.
B.1. Fitur yang ada dalam e-procurement.
Fasilitas teknologi komunikasi dan informasi dalam e-procurement menurut
Peraturan Presiden nomor 8 tahun 2006 yaitu:
1. E-Lelang Umum (e-Regular Tendering) adalah pelelangan umum dalam rangka
mendapatkan barang/jasa, dengan penawaran harganya dilakukan satu kali pada hari,
tanggal dan waktu yang telah ditentukan dalam dokumen pengadaan, untuk mencari
harga terendah tanpa mengabaikan kualitas dan sasaran yang telah ditetapkan, dengan
menggunakan media elektronik yang berbasis pada web/internet dengan fasilitas
teknologi komunikasi dan informasi;
2. E-Lelang Penerimaan (e-Reverse Tendering) adalah proses untuk mendapatkan harga
yang paling menguntungkan bagi negara atas penjualan, penyewaan, dan pemanfaatan
barang/jasa milik negara secara elektronik;
3. E-Pembelian (e-Purchasing) adalah pengadaan barang/jasa yang dilakukan dengan cara
e-Penawaran Langsung (e-Price Quotation), e-Penawaran Berulang (e-Reverse
Auction), atau e-Pembelian Langsung (e-Direct Purchasing);
4. E-Penawaran Langsung (e-Price Quatation) adalah pembelian barang/jasa yang
prosesnya dilakukan secara elektronik untuk barang/jasa yang tersedia banyak di pasar
dan yang kualitas barang/jasanya sudah pasti dengan cara meminta penawaran harga
langsung kepada seluruh penyedia barang/jasa yang terdaftar dalam sistem PPE
(Pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elekronik);
5. E-Penawaran Berulang (e-Reverse Auction) adalah pembelian barang yang prosesnya
dilakukan secara elektronik untuk barang tertentu yang tersedia banyak di pasar,
jumlah penyedia barang banyak, kualitas barang sudah pasti, dan batas harga tertinggi
telah ditentukan, serta diberikan kesempatan kepada peserta untuk menawarkan harga
berulang kali sampai harga terendah dalam kurun waktu yang ditetapkan;
6. E-Pembelian Langsung (e-Direct Purchasing) adalah pembelian barang yang tersedia
banyak di pasar dan yang kualitas barang sudah pasti melalui e-katalog yang tersedia
dalam sistem PPE (Pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elekronik);
7. E-Seleksi (e-Selection) adalah pengadaan jasa konsultasi yang prosesnya dilakukan
secara elektronik yang dilakukan dengan metoda seleksi secara umum dan terbuka;
8. E-Katalog (e-Catalog) adalah daftar barang/jasa dan harga dalam sistem PPE
(Pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elekronik) yang bersumber dari
pemasok/pabrikan/penyedia jasa, yang isinya sekurang-kurangnya memuat daftar,
nama, spesifikasi, dan harga produk.
Tidak semua lembaga publik di berbagai negara melaksanakan proses e-
procurement dengan semua fitur secara bersamaan. Demikian juga di Indonesia, dimana
perkembangan e-procurement diawali dengan e-announcement yang dipelopori oleh
pemerintah kota Surabaya. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Assar (2006)
menghasilkan temuan bahwa integrasi keseluruhan fitur e-procurement di sektor publik di
negara Perancis mengalami kendala dari sisi teknologi karena lemahnya formula dari
pemerintah pusat.
B.2. Perkembangan E-procurement di Indonesia
Kegiatan pengadaan barang dan jasa secara on-line telah lebih dulu
diimplementasikan berbagai negara. Penggunaan sistem e-procurement diterapkan dalam
konteks supply chain management dengan tujuan untuk meningkatkan persaingan dengan
melibatkan banyak pihak sehingga dapat diperoleh harga dan barang terbaik serta
meningkatkan profit perusahaan (Pearcy, 2008). Klasifikasi sistem e-procurement yaitu
berfokus pada tiga variabel yaitu fungsi, dampak biaya dan aspek organisasi (deBoer,
2002).
Pelaksanaan e-procurement di Indonesia pertama kali dikembangkan oleh
Bappenas sebelum LKPP terbentuk, dengan menggunakan lima wilayah sebagai proyek
percontohan yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Gorontalo, Kalimantan Tengah dan Sumatera
Barat. E- announcement (lelang serentak) merupakan tahap awal dari sistem e-
procurement dimana didalamnya terdapat tahapan sosialisasi bagi semua pelaksana e-
procurement (LKPP, 2009). Pilot project tersebut dimulai dari informasi pengadaan dan
pelatihan bagi semua pelaku usaha pada semua golongan.
E-announcement pertama kali dikenalkan oleh pemerintah kota Surabaya
(www.wartaegov.com, 2009). Setelah e-announcement, Departemen Pekerjaan Umum
menjadi instansi pertama yang melakukan uji coba e-procurement pada tahun 2004 dalam
format semi e-procurement. Meskipun keterbatasan infrastruktur masih menjadi kendala
sehingga hanya diikuti oleh sedikit peminat, namun pelaksanaan e-procurement pada
lingkungan DPU mampu menjadi motivator bagi instansi lain.
Setelah mengawali e-procurement dengan mengadakan e-announcement, pemkot
Surabaya kembali memulai kegiatan e-procurement dengan penyempurnaan sistem.
Keberhasilan pemkot Surabaya melakukan kegiatan e-procurement kemudian diikuti oleh
berbagai instansi misalnya Departemen Luar Negeri, Garuda Indonesia, Pemerintah Kota
Bogor, dan pada tahun 2008, Pemerintah Kota Yogjakarta juga meresmikan Layanan
Pengadaan Barang dan Jasa secara Elektronik (LPSE) sebagai wadah dalam melaksanakan
kegiatan pengadaan barang dan jasa melalui e-procurement bagi instansi di lingkungan
pemerintah kota Yogjakarta (www.wartaegov.com, 2009).
Manfaat adanya e-procurement bukan hanya untuk instansi maupun pengembang
sistem itu sendiri melainkan juga bagi para penyedia barang/jasa serta masyarakat umum
yang hendak mengetahui proses pengadaan barang dan jasa pada pemerintah yang dapat
diakses secara terbuka. Dengan e-procurement, instansi penyelenggara pengadaan
mendapatkan harga penawaran yang lebih banyak dan proses administrasi lebih sederhana,
sedangkan bagi para penyedia barang/jasa dapat memperluas peluang usaha, menciptakan
persaingan usaha yang sehat, membuka kesempatan pelaku usaha secara terbuka bagi
siapapun dan mengurangi biaya administrasi (Handoko, 2009).
Keberhasilan penerapan e-procurement di berbagai instansi pemerintah yang sudah
melaksanakan sistem tersebut kemudian diikuti oleh banyak instansi pemerintah, baik
pemerintah daerah maupun departemen. Daerah lain yang sedang merencanakan perubahan
sistem pengadaan barang/jasa dari model konvensional ke sistem on-line sedikitnya 20
pemerintah kabupaten maupun kota dan beberapa departemen diantaranya Depkominfo
dan Perindustrian. Sebagian besar pemerintah provinsi dan lembaga tinggi pendidikan
bahkan sudah melakukan inisiasi awal maupun sosialisasi sistem tersebut, misalnya
Provinsi Jawa Tengah, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Institut Teknologi Surabaya,
dan Universitas Negeri Padang (LKPP, 2009).
B.3. Dasar Hukum E-procurement di Indonesia
Implementasi e-procurement agar sesuai dengan tujuan dan prinsip pengadaan didasarkan
atas peraturan pemerintah yaitu (www.bappenas.go.id, 2009):
1. Undang-undang nomor 11 tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi elektronik.
2. Keputusan Presiden nomor 80 tahun 2003, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah.
3. Peraturan Presiden nomor 8 tahun 2006, tentang Perubahan keempat atas Keputusan
Presiden nomor 8 tahun 2003.
4. Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2008, tentang Fokus Program Ekonomi Tahun
2008-2009.
5. Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2004, tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Payung hukum kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah dan sistem e-
procurement mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini menunjukkan upaya pemerintah
dalam menciptakan tata kelola yang baik guna mencapai tujuan pengadaan barang/jasa
yang bersih dari penyimpangan.
Penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa yang tidak sehat berdampak pada
kerugian yang akan ditanggung oleh masyarakat, termasuk rendahnya kualitas pelayanan
yang diterima oleh pemerintah, sehingga perlu dilakukan beberapa langkah guna
menyehatkan praktik pengadaan barang/jasa baik oleh pemerintah maupun masyarakat
sipil misalnya (Adrian, 2008):
1. memperkuat dasar hukum pengadaan barang/jasa.
2. peningkatan kapasitas (capacity building) bagi para penyedia lokal.
3. proses perencanaan pengadaan dilakukan secara profesional dan sesuai dengan
rencana strategis.
4. peran aktif dari masyarakat sebagai warga negara yang ikut menggunakan fasilitas
publik hasil dari kegiatan pengadaan barang/jasa.
Ditinjau dari aspek yuridis, pengadaan barang/jasa pemerintah dengan
menggunakan e-procurement adalah legal dengan berdasar pada teori Stufenbau Des
Rechts yang dikemukakan oleh Hans Kelsen (Rachman, 2007). Dalam teori Hans Kelsen
dijelaskan bahwa berlakunya suatu hukum harus dapat dikembalikan kepada hukum yang
lebih tinggi kedudukannya yakni (www.polhukam.kompas.com, 2009):
1. adanya cita-cita hukum (rechtsidee) yang merupakan norma abstrak.
2. adanya norma antara (tussen norm, generelle norm, law in books) yang dipakai sebagai
perantara.
3. adanya norma konkrit (concrete norm) sebagai hasil dari penerapan norma atau
penegakkannya di pengadilan.
Peraturan yang digunakan dalam implementasi sistem e-procurement pada masing-
masing lembaga publik di Indonesia menggunakan dasar Keputusan Presiden nomor 80
tahun 2003 beserta perubahannya dan diikuti oleh berbagai aturan dibawahnya hingga
peraturan pelaksana masing-masing lembaga.
Dalam pelaksanaan e-procurement di kota Yogyakarta, Walikota Yogyakarta
mengeluarkan Peraturan Walikota Yogyakarta nomor 31 tahun 2008 dan perubahannya
pada tahun 2009 dengan Peraturan Walikota Yogyakarta nomor 18 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/jasa Secara Elektronik Pada Layanan Pengadaan Secara
Elektronik (LPSE) Kota Yogyakarta.
B.4. Manfaat E-procurement
Sebagai salah satu alat dalam menciptakan tata pemerintahan yang bersih dari
korupsi dan nepotisme sebagai manfaat secara makro dari e-procurement, manfaat
langsung yang diharapkan dari penerapan sistem baru ini adalah proses yang lebih singkat
terutama dari segi waktu dan birokrasi, serta penghematan biaya dalam proses pengadaan
(Hardjowijono, 2009).
Dalam peraturan perundangan yang mengatur kegiatan pengadaan barang dan jasa
yaitu Keputusan Presiden 80/2003 dan Peraturan Presiden nomor 8/2006 dinyatakan
bahwa untuk lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pengadaan barang dan
jasa pemerintah, juga untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta
memudahkan sourcing dalam memperoleh data dan informasi tentang barang dan jasa,
spesifikasi teknis dan harga maupun penyedia barang dan jasa yang memenuhi kriteria.
Dalam peraturan tersebut juga dinyatakan tujuan lain dari penerapan e-procurement
sebagai upaya untuk menjamin persamaan kesempatan dan akses dari berbagai pihak
terutama pelaku usaha dalam negeri dan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri,
dalam proses pengadaan sehingga tercipta persaingan sehat diantara mereka.
Manfaat dari e-procurement adalah tercapainya kolaborasi yang baik antara
pembeli dan pemasok, mengurangi penggunaan tenaga lapangan, meningkatkan kordinasi,
mengurangi biaya transaksi dan siklus pengadaan, tingkat persediaan yang rendah dan
transparansi yang baik (Palmer, 2003).
Sebagai salah satu lembaga yang telah melaksanakan proses pengadaan secara
elektronik, PT. Garuda Indonesia menyebutkan bahwa dengan penerapan e-procurement
telah mendapatkan manfaat berupa (www.garudaindonesia.com, 2009):
1. mendapatkan harga pembelian barang yang terkontrol. 2. mempercepat waktu proses pengadaan. 3. proses pengadaan yang transparan. 4. mereduksi biaya pengadaan barang/jasa. 5. menghemat sampai dengan 50% anggaran. 6. memperlancar komunikasi buyer-supplier. 7. pelayanan yang baik kepada supplier.
Pemasok pada PT. Garuda Indonesia diseleksi berdasarkan daya saing, fleksibilitas,
inovasi dan kekuatan pada penerapan solusi yang dikembangkan, perusahaan mencari
bisnis yang mampu dan mempunyai keinginan serta niat baik untuk berbagai tanggung
jawab dalam melakukan usaha untuk mengembangkan tingkat kualitas dan layanan dengan
biaya terjangkau, keterikatan pemasok terhadap penawaran perusahaan selanjutnya
ditindaklanjuti dengan proses pengiriman proposal oleh para pemasok. Untuk menjalankan
program e-procurement ini dibutuhkan juga dukungan dari Hardware, Software, Network,
maupun organware.
Penerapan e-procurement pada Garuda Indonesia diperoleh ragam imbas dengan
sebaran faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja operasional, seperti: kelancaran proses
pelaksanaan kontrak pembelian, peningkatan komunikasi dengan pemasok, percepatan
proses pembelian dan pengurangan tingkat kesalahan dalam pembelian.
Selain PT. Garuda, Departemen Pekerjaan Umum mendapatkan hasil signifikan
berupa bertambahnya rekanan yang secara langsung telah menciptakan proses pengadaan
yang terseleksi, dan penghematan biaya (www.pu.go.id, 2009). Indikasi penyimpangan
yang terjadi pada Departemen Pekerjaan Umum mampu dikurangi hampir 50% dengan
menerapkan sistem SEP (Semi Electronic Procurement) (Nugroho, 2006).
B.5. Tantangan dalam Pelaksanaan E-procurement
Menurut Michael Hammer dan James Champy (1994), ekonomi global berdampak
terhadap 3C yaitu customer, competition, dan change. Pelanggan menjadi penentu, pesaing
menjadi banyak dan perubahan menjadi konstan. Beberapa orang menolak perubahan dan
beberapa orang yang lain menerima dan menghadapi hal tersebut karena mereka
menganggap bahwa perubahan adalah perlu agar proses dan dampak dari perubahan
tersebut membawa hal positif.
E-procurement sebagai salah satu upaya dalam menciptakan tata pemerintahan
yang bersih dan bertanggungjawab, mempunyai beberapa tantangan diantaranya
pemahaman dan penolakan atas peralihan sistem pengadaan barang dan jasa konvesional
ke sistem baru secara on-line. Penolakan atas sebuah perubahan adalah wajar. Reaksi
penolakan atas implementasi e-procurement pernah terjadi di provinsi Jawa Barat.
Penolakan tersebut datang dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan beberapa asosiasi rekanan jasa konstruksi
(www.lkpp.go.id, 2009). Alasan penolakan tersebut dikarenakan sistem yang belum
sepenuhnya dinilai siap oleh beberapa kalangan.
Reaksi penolakan atas penerapan sebuah sistem baru tersebut sejalan dengan
beberapa teori penolakan oleh beberapa ahli. Teori penolakan oleh Kling (Markus, 1983)
bahwa penerapan sistem baru melahirkan beberapa sikap penolakan yaitu Rational,
Structural, Human Relatons, Interactionist, Organizational Politics, dan Class Politics.
Dari beberapa sikap tersebut menunjukkan reaksi yang berbeda-beda, mulai dari bertahan
terhadap sistem lama hingga menghambat dan merusak sistem baru.
Hambatan lain dalam implementasi e-procurement yaitu adanya kesenjangan
digital, metodologi, kepentingan kelompok dan resistansi individual atas keengganan untuk
berubah (www.bappenas.go.id, 2009). Kepatuhan peraturan juga ikut andil dalam
penerapan sistem baru tersebut. Hal itu masih ditambah dengan terjadinya beberapa kali
perubahan peraturan hukum yang bagi sebagian masyarakat memerlukan waktu untuk
memahami peraturan baru. Tantangan lain dalam penerapan sistem e-procurement yaitu
faktor teknis berupa standar keamanan dan pengembangan sistem itu sendiri (Setiawan,
2002). Tantangan yang bersifat teknis atau aksesibilitas menjadi hal penting dalam menilai
efektivitas pelaksanaan e-procurement (Bruno, 2005).
Seperti halnya awal perkembangan e-commerce, seandainya proses perpindahan
pemesanan dan tagihan tidak pula didukung oleh pengembangan sistem berupa
pengamanan data, mungkin kegiatan dalam berdagang secara elektronik masih dilakukan
secara manual dalam proses penyelesaian transaksi. Bagi organisasi pelaku sistem e-
procurement, selain pengembangan sistem yang berkelanjutan berdasar fungsinya,
integrasi teknis dan SDM yang berbudaya teknologi menjadi hal mutlak dalam sebuah
kesuksesan sistem e-procurement (Harrigan, 2008).
Besarnya biaya pengembangan sistem menjadi kendala bagi beberapa perusahaan
non profit di Amerika Serikat. Guna menyiasati hal tersebut, mereka tidak segan untuk
mengadopsi keberhasilan sistem yang dimiliki oleh perusahaan privat untuk diterapkan di
beberapa organisasi lain (Walker dan Harland, 2008).
B.6. Implementasi E-procurement
Beberapa negara yang telah berhasil menerapkan implementasi pengadaan
barang/jasa secara elektronik diantaranya Australia dan Skotlandia. Keberhasilan kedua
negara tersebut ikut andil dalam perkembangan sistem e-procurement di negara lain
termasuk Indonesia.
Negara Australia sebagai salah satu negara pelopor pelaksanaan e-procurement
yang dimulai pada tahun 1990 telah menggunakan e-procurement sebagai salah satu alat
dalam efisiensi pengeluaran anggaran serta mempermudah dalam penyediaan barang dan
jasa (Review of e-procurement Project, 2005). Pelaksanaan e-procurement di Australia
meliputi:
1. Perencanaan, dalam tahapan ini akan ditentukan beberapa proses pengembangan dari
kebutuhan penyediaan barang dan jasa yang meliputi :
a. waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk membuat pengumuman tender.
b. jumlah pengumuman tender yang didistribusikan dan metode distribusi yang
digunakan.
c. waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk mereviu penawaran tender dari penyedia.
2. Tahapan pengadaan, evaluasi dalam tahapan ini bertujuan untuk menentukan besaran
nilai pengadaan serta membantu mengurangi waktu yang digunakan dan kepatuhan
terhadap kontrak, diantaranya:
a. jumlah penyedia barang dan jasa yang mengakses sistem e-procurement.
b. jumlah penyedia barang dan jasa yang tersedia dalam sistem.
c. jumlah permintaan pembelian yang diproses.
d. waktu yang digunakan untuk memproses permintaan pembelian.
e. waktu rata-rata yang digunakan untuk memenuhi permintaan pembelian.
3. Tahapan Pembayaran. Tahapan ini adalah tahapan akhir dalam sebuah proyek
pengadaan dimana didalamnya adalah proses evaluasi atas:
a. jumlah tagihan dan nilai tagihan yang diselesaikan per bulan.
b. total pengeluaran.
c. persentase jumlah tagihan yang telah dibayar.
d. ketepatan waktu pembayaran.
e. kesesuaian nilai dan jumlah pembayaran dengan pesanan pembelian.
Berdasarkan tahapan dalam pengadaan barang/jasa secara elektronik yang
dilaksanakan di negara Australian telah menjadi alat yang mampu menghemat pengeluaran
anggaran sedangkan dari sisi sistem yang mereka gunakan mampu menciptakan transaksi
dalam pengadaan barang/jasa lebih mudah dan terarah. Upaya memperkuat sistem
pengadaan secara konvensional kemudian didukung dengan sistem baru secara elektronik.
Negara lain yang telah sukses dalam mengambangkan sistem e-procurement adalah
Skotlandia (www.e-procurementscotlandia.com, 2009). E-procurement Scotlandia (EPS)
didirikan pada tahun 2002 dan saat ini menjadi salah satu yang paling komprehensif dan
inisitif serta sukses dalam penerapan e-procurement di sektor publik. Salah satu bukti
kesuksesan pelaksanaan e-procurement di Skotlandia yaitu bertambahnya tiap tahun
jumlah organisasi sektor publik yang berpartisipasi dalam EPS. Semua kontrak layanan
dikelola oleh satu lembaga pemerintah pusat dan konsistensi keikutsertaan pemasok baik
besar maupun kecil dijamin oleh pemerintah pengelola EPS. Kepatuhan pada kontrak dan
penghematan biaya menjadi kunci utama kesukesan pelaksanaan EPS. E-procurement di
Skotlandia adalah sebuah pendekatan untuk pengadaan sektor publik yang cepat,
berkelanjutan dan mafaat yang signifikan bagi organisasi yang berpartisipasi.
Sudah sepantasnya bila Skotlandia menjadi salah satu negara contoh bagi negara
lain dalam hal pelaksanaan sistem e-procurement oleh negara lain, karena implementasi
yang terukur dengan jelas terutama dari sisi sistemnya, bukan saja mendatangkan manfaat
kepada pemerintah tetapi juga terhadap organisasi maupun perusahaan dalam negeri yang
berpartisipasi.
Keberhasilan negara Australian dan Skotlandia menjadi tolok ukur implementasi e-
procurement di Indonesia yang dipeopori oleh pemerintah kota Surabaya dan Departemen
Pekerjaan Umum (DPU), bukan saja dari implementasi awal sistem maupun keberhasilan
dari segi rantai nilai pelaku e-procurement.
Pelaksanaan e-procurement di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat pesat
pada tahun 2009. Hal ini terbukti semakin banyaknya pemerintah daerah dan lembaga
publik lain meliputi sekolah, departemen dan kementerian, serta BUMN melakukan inisiasi
dan sosialisasi e-procurement.
Sebagai pelopor sistem e-procurement, keberhasilan pemerintah kota Surabaya
dalam menerapkan sistem e-procurement berupa efisiensi anggaran hingga 10% karena
adanya standarisasi harga dan analisa standar belanja, efisiensi terhadap alokasi yang telah
ditetapkan hingga 25%, terencananya proses pengadaan barang/jasa, dan pelaporan yang
jelas atas kegiatan dan penyerapan anggaran dapat diakses oleh pimpinan dan masyarakat
secara terbuka dan kapan saja melalui internet. Dari sisi penyedia barang dan jasa,
implementasi e-procurement kota Surabaya mampu memberikan kesempatan merata dan
lebih luas kepada pengusaha kecil menengah hingga 96,4% perusahaan lokal
(www.surabaya-e-procurement.or.id, 2009).
Mengikuti keberhasilan dua negara yang telah melaksanakan sistem e-procurement
yaitu Australia dan Skotlandia, negara Indonesia telah dan akan berusaha untuk
menerapkan sistem tersebut kedepannya. Hal ini terbukti dengan adanya upaya pemerintah
daerah lain untuk menerapkan sistem tersebut sejak tahun 2007 hingga sekarang dengan
ikutnya berbagai lembaga publik mengenal dan mengenalkan sistem baru pengadaan
barang/jasa secara elektronik tersebut.
Kematangan konsep pengadaan dan persiapan teknis dari sistem e-procurement
menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan e-procurement yang dilakukan oleh pemerintah
Australia dan Skotlandia. Keberhasilan itu pula yang hendak dicoba pemerintah kota
Surabaya dalam melaksanakan sistem on-line pengadaan barang/jasa agar diikuti oleh
pemerintah daerah dan lembaga publik lain di Indonesia.
B.7. Penilaian Sistem E-procurement
Model dasar kesuksesan sistem teknologi informasi mengalami banyak
perkembangan. Model yang baik adalah model yang lengkap dan sederhana (Jogiyanto
2007). Model kesuksesan sistem insformasi DeLone dan McLean (D&M IS Success
Model) menggunakan beberapa faktor atau komponen yaitu kualitas sistem, kualitas
informasi, penggunaan, kepuasan pemakai, dampak individual dan dampak organisasi
(DeLone, 2002).
Menurut Jogiyanto (2007) pengukuran kinerja dapat diterapkan untuk elemen
sistem kerja yang terdiri dari teknologi informasi dan partisipan manusia. Pengukuran
kinerja untuk teknologi tersebut dihubungkan ke beberapa aspek dari kemampuan
fungsionalnya meliputi kapasitas, kecepatan, kemudahan penggunaan, dan
kompatibilitasnya. Sedangkan untuk informasi dihubungkan ke kualitasnya meliputi
akurasi, ketepatwaktuan, kemampuan akses dan keamanan. Pengukuran kinerja untuk
partisipan termasuk pengukuran dampak dari sitem kerja terhadap pengguna misalnya
koneksi sosial, pertumbuhan personal, keahlian dan komitmen.
Konsep karakteristik sistem (sistem characteristics) dikemukakan oleh Emery
(1971) sebagai pengukur kualitas sistem informasi. Karakteristik tersebut meliputi:
1. Isi dari basis data (content of the database).
2. Agregasi dari rincian-rincian (agregation of details).
3. Faktor manusia (human factor).
4. Waktu respon (response time).
5. Akurasi sistem (sistem accuracy).
Karwan dan Wallace (1982) menjelaskan pengukur keberhasilan sistem dengan
keandalan, waktu respon, kemudahan penggunaaan, dan kemudahan dipelajari sebagai
pengukur empiris kualitas sistem informasi.
Salah satu teori yang mendukung keberhasilan sistem e-procurement dikemukakan
oleh Bruno (2005). Aksesibilitas menjadi hal yang sangat penting dalam menilai
keberhasilan sistem e-procurement. Temuan hasil penelitian ini adalah untuk mencapai
tingkat optimal dari proses dan sistem e-procurement pada sektor publik adalah
aksesibilitas portal e-procurement sektor publik lebih kompleks karena dipengaruhi oleh
persepsi pengguna dan tampilan atau layanan portal e-procurement. Penilaian atas
keberhasilan sistem e-procurement ini sejalan dengan teori dasar atas keberhasilan sistem
oleh Srinivasan (1985) yang mengukur keberhasilan sistem dengan dimensi waktu respon,
keluwesan sistem, dan keaksesan sistem.
Karakteristik sistem yang menjadi pengukur yang dilakukan oleh Emery (1971),
Karwan dan Wallace (1982), dan Srinivasan (1985) merupakan instrumen yang berfokus
pada penggunaan secara umum dan penggunaan secara khusus. Pengembangan dan
penggabungan dari dua instrumen tersebut kemudian menjadi isu penelitian berikutnya
seperti yang dilakukan Bailey dan Pearson (1983), Barki dan Huff (1985) dan Torkzaden
dan Doll (1991).
C. Pengembangan Hipotesis
Berdasarkan pengertian, hambatan dan beberapa implementasi e-procurement di
Australia, Skotlandia, dan juga beberapa sektor publik di Indonesia, maka dalam penelitian
ini akan penulis kembangkan beberapa aspek yang nantinya menjadi dasar dalam penilaian
keberhasilan sistem e-procurement khususnya yang ada di pemerintah Yogyakarta. Hal
tersebut juga didukung dengan beberapa penelitian terdahulu terkait dengan penilaian
keberhasilan sistem teknologi dan aspek teknis yang mendukung keberhasilan sebuah
sistem e-procurement.
Keberhasilan sebuah sistem teknologi diukur oleh semua pengguna sistem tersebut
(Jogiyanto, 2007). Sebagai sebuah sistem yang baru diterapkan pada awal implementasi,
kendala sosialisasi dan pengembangan sistem tidak semudah yang diharapkan oleh
berbagai pihak. Hal tersebut sejalan dengan berbagai masalah yang timbul ketika sebuah
organisasi memutuskan untuk melakukan sebuah perubahan. Banyak masalah yang bisa
terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling menonjol adalah resistance
of change atau penolakan atas perubahan tersebut (Mustafa, 2001). Penolakan tersebut bisa
datang dari individu maupun organisasi (Robbins, 1991). Menurut Robbins penolakan
tersebut didasarkan atas sikap konservatif individu maupun organisasi yang menolak
perubahan karena persepsi, kebutuhan dan alasan kepribadian mereka sendiri. Faktor lain
yang ikut andil dalam penolakan tersebut juga dapat berupa alasan kebiasaan, rasa aman,
faktor ekonomi dan ketidaktahuan akan hal-hal yang ada pada suatu perubahan.
Persepsi pengguna sebuah sistem dapat saja berbeda diantara para penggunanya.
Hal ini dikarenakan persepsi adalah proses pemahaman ataupun pemberian makna atas
suatu informasi terhadap stimulus yang didapat dari proses penginderaan terhadap objek,
peristiwa, atau hubungan-hubungan antar gejala yang selanjutnya diproses dan diyakini
(Bjorklund, 2000). Dalam http://social-science.com, (2009) definisi persepsi disebutkan
oleh Gibson (2008) sebagai suatu proses pengenalan maupun pemberian arti terhadap
lingkungan oleh individu sedangkan menurut Lindzey dan Aronson adalah suatu proses
yang terjadi dalam diri seseorang yang bertujuan untuk mengetahui, mengintepretasi, dan
mengevaluasi baik mengenai sifat, kualitas, ataupun keadaan lain yang ada dalam suatu
objek. Intensitas dan interaksi dapat menimbulkan persepsi yang berbeda antar individu.
Sebagai pihak yang sama-sama menggunakan aplikasi sistem e-procurement,
panitia dan penyedia dihadapkan pada penilaian atas sistem yang mereka gunakan.
Pengukuran dalam penilaian sistem e-procurement dalam penelitian ini menggunakan
model yang dikembangkan oleh Torkzadeh dan Doll (1991) yang menilai keberhasilan
sistem dengan membandingkan persepsi antar penggunanya.
Torkzadeh dan Doll (1991) menilai kepuasan pengguna sebuah sistem dengan
menggunakan ukuran berupa isi (content), keakuratan (accuracy), bentuk (format),
kemudahan dalam penggunaan (ease of use), dan ketepatwaktuan (timeliness). Penelitian
serupa juga dilakukan oleh Paul Harrigan dan Elaine Ramsey (2008) yang menyebutkan
bahwa pengembangan sistem e-procurement berdasarkan fungsi dan integrasi antara SDM
dan teknisnya. Hasil yang signifikan dilaporkan bahwa proses bisnis sejalan dengan
penghematan biaya.
Dimensi yang digunakan dalam penelitian Torkzadeh dan Doll (1991) adalah
gabungan dari berbagai penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bailey dan Pearson
(1983), serta Barki dan Huff (1985). Torkzadeh dan Doll (1991) menambahkan unsur
penggunaan seperti yang dikemukakan oleh Karwan dan Wallace (1982) yaitu kemudahan
penggunaan dan kemudahan dipelajari. Hal inilah menjadi apa yang disebut oleh
Torkzadeh dan Doll (1991) sebagai ”general user satisfaction with a specific application”
yang berbeda namun harus dikembangkan. ”General user” berfokus pada karakteristik
secara umum yang ada pada sebuah sistem sedangkan ”specific application” ditandai
dengan ”internal user satisfaction” dengan salah satu pengukurnya adalah penggunaan.
Berikut ini tabel pengukur empiris kualitas sistem yang digunakan dalam penelitian
Torkzadeh dan Doll (1991):
Tabel 1 Pengukur Empiris Kualitas Sistem
Peneliti Jenis Penelitian Pengukur
Belardo dan Wallace (1982)
Laboratorium 1. Keandalan 2. Waktu respon 3. Kemudahan penggunaan 4. Kemudahan dipelajari
Bailey dan Pearson (1983)
Studi Lapangan 1. Kenyamanan Akses 2. Keluwesan sistem 3. Integritas sistem 4. Waktu respon 5. Bentuk 6. Akurasi 7. Ketepatwaktuan
Barki dan Huff (1985)
Studi Lapangan Realisasi nilai dari ekpektasi pemakai
Sumber : Jogiyanto (2007)
Beberapa aspek digunakan oleh banyak peneliti kesuksesan sistem selama ini.
Pengukuran keberhasilan sistem informasi bukan saja pengukuran tunggal yang terdiri dari
kualitas sistem maupun kualitas informasi semata melainkan suatu konstruk multidimensi
(Jogiyanto, 2007).
Konstruk atau dimensi yang digunakan Torkzadeh dan Doll (1991) maupun para
peneliti lain telah mencakup berbagai dimensi tersebut. Beberapa pengukur kesuksesan
sistem informasi yang sering digunakan oleh beberapa penelitian diantaranya seperti dalam
tabel berikut:
Tabel 2 Pengukur Kesuksesan Sistem
Dimensi Pengukur-pengukur
Kualitas Sistem (Sistem Quality)
1. Akurasi (accuracy) 2. Isi basis data (database content) 3. Kemudahan Penggunaan (ease of use) 4. Kemudahan dipelajari (ease of learning) 5. Realisasi dari kebutuhan-kebutuhan pemakai (Realization
of user requirements) Kualitas Informasi (Information Quality)
1. Relevan (relevance) 2. Keinformatian (informativeness) 3. Bentuk (format) 4. Isi (content) 5. Akurasi (accuracy) 6. Kekinian (currency) 7. Ketepatwaktuan (timeliness) 8. Kegunaan (usableness) 9. Kejelasan (clarity)
Penggunaan 1. Banyaknya penggunaan (amount of use) / durasi
Informasi (information use)
penggunaan (duration of use) 2. Digunakan oleh siapa?
Kepuasan pemakai (user satisfaction)
1. Kepuasan penyeluruh (overall satisfaction) 2. Kepuasan informasi : perbedaan antara informasi yang
dibutuhkan dengan yang diterima (information satisfaction : difference between information needed and received)
Sumber : Jogiyanto (2007).
Tidak semua penelitian yang bertujuan untuk mengukur keberhasilan sebuah sistem
menggunakan semua konstruk atau dimensi tersebut, tetapi hanya diambil beberapa
variabel yang paling mewakili sistem dan penggunaanya. Pengukuran model kesuksesan
sistem didasarkan pada proses dan hubungan kausal dari dimensi-dimensi yang ada pada
model. Pertimbangan akan adanya kontribusi dari berbagai model pengukuran sistem
didasarkan atas argumentasi bahwa suatu sistem terdiri dari beberapa proses (DeLone dan
McLean, 2003).
Konstruk/dimensi yang digunakan dalam pengukuran keberhasilan sistem e-
procurement mencakup berbagai dimensi dari penelitian-penelitian terdahulu yaitu
meliputi aplikasi sistem (general user) dan aspek penggunaan oleh pengguna (internal
user). Aplikasi sistem secara umum meliputi isi sistem dan keinformasian sedangkan aspek
penggunaan oleh pengguna meliputi siapa yang menggunakan dan bagaimana mereka
menggunakannya. Penggabungan tersebut menjadi penting dalam mengukur aplikasi
sistem yang terintegrasi mengingat penggunaan sistem tidak hanya digunakan oleh satu
orang maupun divisi tertentu melainkan oleh beberapa pengguna. Penelitian yang
dilakukan oleh Ilias et al (2007) terhadap implementasi sistem akuntansi pada sektor publik
di Malaysia menitikberatkan pada hubungan manajemen terhadap sistem informasi
akuntansi yang diukur melalui kepuasan para penggunanya.
Hal ini mereka lakukan karena mengingat sulitnya mengukur efektivitas sistem bila
hal tersebut hanya dilakukan pada salah satu divisi pengguna sistem sehingga perlu
dilakukan uji persepsi antar penggunanya. Penelitian serupa dengan obyek implementasi
sistem e-procurement dilakukan oleh Jones (2009) pada salah satu sektor publik di negara
Inggris. Jones (2009) membandingkan persepsi pengguna sistem e-procurement. Hal
tersebut dilakukan guna mengukur keberhasilan sistem yang dilihat dari sisi pemerintah
dan penyedia barang/jasa bahwa dengan e-procurement dapat mempengaruhi ”financial
impact” yang berupa penghematan biaya pengadaan.
Masing-masing pihak pengguna sistem e-procurement berharap mendapatkan
dampak positip atas sistem e-procurement. Meskipun persepsi keduanya belum tentu selalu
sama terutama pada awal implementasi sistem. Hal ini dimungkinkan karena adanya
beberapa faktor diantaranya rantai birokrasi dan sumber daya manusia yang meliputi
kendala kemampuan maupun keengganan pihak-pihak yang nantinya terlibat dalam proses
pengadaan karena sudah terlampau banyak tuduhan akan adanya kecurangan dalam
pengadaan barang/jasa publik selama ini ( www.wartaegov.com, 2009).
Banyaknya persoalan dalam pengadaan barang/jasa publik terutama dari sisi SDM
telah banyak ditemukan di berbagai lembaga publik di Indonesia misalnya rendahnya
tingkat kelulusan ujian sertifikasi pengadaan barang/jasa yang merupakan syarat wajib bagi
panitia dan peserta pengadaan, pemahaman Keppres nomor 80 tahun 2003, dan kesiapan
SDM dengan aplikasi sistem elektronik dalam e-procurement baik itu panitia pengadaan
maupun penyedia barang/jasa (Puspito, 2007).
Berdasarkan beberapa temuan di lembaga publik di Indonesia pada proses
pengadaan barang/jasa dan dimensi pengukuran sistem yang dikemukakan oleh beberapa
ahli, maka untuk penelitian ini akan dikembangkan hipotesa yaitu:
Hı = terdapat perbedaan persepsi antara panitia pengadaan dan penyedia barang
dan jasa terhadap implementasi sistem e-procurement.
D. Kerangka Berpikir
Persepsi pengguna dalam implementasi sistem e-procurement pemerintah kota
Yogyakarta yang dikembangkan oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota
Yogyakarta tertuang dalam kerangka pikir berikut:
Gambar 1 Kerangka Berpikir
Persepsi Panitia
Persepsi Penyedia
Implementasi Sistem E-procurement pemerintah Kota Yogyakarta :
1. Content (isi) 2. Accuracy (akurat) 3. Format (bentuk) 4. Ease of Use (penggunaan) 5. Timeliness (waktu)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pengguna layanan e-
procurement terhadap sistem e-procurement yang mereka gunakan pada kegiatan
pengadaan barang/jasa di lingkup pemerintah kota Yogyakarta, dengan harapan dapat
digunakan sebagai bahan evaluasi atas implementasi sistem yang sedang berjalan.
Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi yang dimaksudkan untuk menilai
satu program agar tersedia informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan
(Purwanto 2008). Jacobs dan Razavieh (1982) menyatakan bahwa langkah pertama
dalam suatu metode penelitian ilmiah didasarkan atas pengakuan adanya kesulitan,
hambatan, atau masalah yang membingungkan peneliti. Pemahaman atas sebuah
fenomena penerapan sistem baru dalam pengadaan barang dan jasa sektor publik,
penulis berharap agar hasil dari penelitian ini mampu menyediakan informasi yang
dapat dipakai untuk mengambil tindakan tertentu (decision oriented).
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada pemerintah Kota Yogyakarta dengan obyek
penelitian pada lembaga Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota
Yogyakarta, sebagai pengelola sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik (e-
procurement) pada lingkup pemerintah kota Yogyakarta.
C. Jenis dan Sumber Data
Data adalah sesuatu yang diketahui atau dianggap mempunyai sifat bisa
memberikan gambaran tentang suatu keadaan atau persoalan (Supranto, 2001). Data
kuantitatif berupa respon yang diberikan responden yang tampak dan dapat diukur
(Purwanto, 2007). Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati
dan dicatat untuk pertama kalinya (Marzuki, 2003). Data primer yang dipergunakan
dalam penelitian ini menggunakan metode angket (kuisioner) yang menggunakan
referensi penelitian yang dilakukan oleh Torkzadeh dan Doll (1991), dengan
mengasumsikan bahwa responden adalah orang yang paling tahu tentang dirinya
dan pernyataan yang diberikan dapat dipercaya karena adanya persamaan
kepahaman akan penyataan yang diajukan dalam penelitian.
Rancangan kuesioner dalam penelitian meliputi data responden dan
pertanyaan yang terdiri dari lima konstruk/dimensi yang dikembangkan kedalam
beberapa butir pertanyaan yang akan diberikan kepada seluruh responden.
Butir/item pertanyaan dari konstruk/dimensi tersebut merupakan pengukuran
keberhasilan sistem e-procurement yang biasa digunakan untuk menilai model
kesuksesan sistem oleh berbagai penelitian sebelumnya dengan membandingkan
persepsi para penggunanya.
Pertanyaan dari semua konstruk/dimensi pengukuran terdiri dari 12 butir
pertanyaan (seperti terlihat pada lampiran), yang terdiri dari 4 butir pertanyaan
untuk konstruk/dimensi content, 2 butir pertanyaan untuk konstruk/dimensi
accuracy, 2 butir pertanyaan untuk konstruk/dimensi format, 2 butir pertanyaan
untuk konstruk/dimensi ease of use dan 2 butir pertanyaan untuk konstruk/dimensi
timeliness.
Sebagai upaya guna mendapatkan hasil pengisian kuesioner yang valid,
konstruk/dimensi dan semua butir/item pertanyaan dalam kuesioner, peneliti
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh seluruh responden. Makna dan
penyebutan dalam konstruk/dimensi dan butir/item pertanyaan didapat dengan
menggunakan telaah kamus bahasa terutama dalam bidang teknologi informasi dan
melalui pakar bahasa. Hal ini ditempuh dengan alasan bahwa tidak semua
responden mengerti maksud dari konstruk/dimensi dan butir/item pertanyaan yang
diajukan, yang merupakan kelemahan dari sebuah penelitian kuantitatif, dimana isi
kuesioner tidak hanya dimengerti oleh peneliti melainkan oleh seluruh responden.
Pengukuran keberhasilan sistem yang dimuat dalam penelitian ini akan
dibagikan kepada seluruh responden, baik penyedia barang.jasa maupun panita
pengadaan yang terlibat dalam kegiatan e-procurement pemerintah kota
Yogyakarta.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya
oleh peneliti, misalnya dari biro statistik, majalah, keterangan-keterangan atau
publikasi lainnya (Marzuki, 2003). Pada penelitian ini data sekunder berasal dari
jelajah situs pada beberapa portal resmi pemerintah daerah, lembaga negara, dan
portal pengadaan barang/jasa, serta peraturan perundangan. Keseluruhan data
skunder tersebut diunduh selama masa penelitian dan penulisan.
D. Pengumpulan Data dan Pemilihan Sampel
Sampel (contoh) ialah sebagian anggota populasi yang diambil dengan
menggunakan teknik tertentu yang disebut dengan teknik sampling (Husaini dan
Purnomo, 2004). Menurut Sekaran (2006) sampel merupakan bagian dari populasi,
yang terdiri atas sejumlah anggota yang dipilih dari populasi.
Berdasarkan tujuan penelitian maka teknik pengambilan sampel yang akan
dilakukan yaitu sampling bertujuan (purposive sampling). Sampling bertujuan adalah
pengambilan sampling yang dilakukan secara sengaja menyesuaikan dengan tujuan
penelitian (Purwanto, 2007). Dari sampel yang dipilih dari pihak penyedia akan dibagi
kedalam beberapa kelompok yaitu penyedia barang, jasa konsultan dan jasa konstruksi.
Dengan pengelompokan tersebut diharapkan mereka mampu mewakili dalam kegiatan
pengadaan barang dan jasa.
Responden penelitian ini terdiri dari panitia pengadaan dan penyedia
barang/jasa yang menjadi rekanan dalam kegiatan pengadaan barang/jasa di lingkup
pemerintah kota Yogyakarta. Kriteria responden dalam penelitian ini meliputi:
1. Sebagai panitia pengadaan yang terdiri dari pejabat pembuat komitmen dan
karyawan dari Unit Layana Pengadaan (ULP) pemerintah kota Yogyakarta yang
sah, yang telah lolos ujian sertifikasi pengadaan barang dan jasa, dan diangkat
berdasarkan keputusan Walikota Yogyakarta.
2. Sebagai penyedia barang/jasa yang telah lolos verifikasi oleh LPSE Kota
Yogyakarta.
3. Bagi kedua kelompok diatas mempunyai nama dan alamat korespondensi yang
jelas terutama alamat e-mail.
Jumlah responden untuk masing-masing kelompok terbagi ke dalam tabel
berikut:
Tabel 3 Responden Penelitian
Panitia Pengadaan Penyedia Barang / jasa
Unit Layanan Pengadaan (ULP) = 8 orang
Pejabat Pembuat Komitmen (PPKom) = 20 orang
100 perusahaan
Responden penelitian ini telah memenuhi kriteria yang ditetapkan baik oleh
peraturan sebagai pihak yang berwenang dalam kegiatan pengadaan maupun yang
ditentukan dalam penelitian ini yaitu telah lulus ujian sertifikasi pengadaan barang/jasa
pemerintah yang merupakan syarat wajib dalam kegiatan pengadaan barang/jasa.
Responden dari penyedia barang/jasa terbagi dalam beberapa kriteria yaitu pemasok
barang, konsultan jasa, dan jasa konstruksi berjumlah 100 perusahaan baik berbentuk
Persekutuan Komanditer (CV) maupun Perseroan Terbatas (PT). Bagi penyedia yang
telah lolos verifikasi oleh LPSElah yang berhak mengikuti tahapan selanjutnya.
Peneliti diberikan data responden dari kelompok panitia berupa nama lengkap beserta
alamat e-mail. Sedangkan responden dari penyedia barang dan jasa berupa nama
perusahaan, alamat, dan alamat e-mail. Kepada mereka penelitian ini akan menilai
persepsi keduanya atas implementasi sistem e-procurement sebagai alat yang
digunakan dalam pemerintah kota Yogyakarta dalam memperbaiki dan meningkatkan
kinerja kegiatan pengadaan barang dan jasa pada lingkup kota dengan menggunakan
aplikasi yang dikembangkan oleh LPSE.
Penyebaran kuisioner dilakukan dengan mengirimkan e-mail kepada seluruh
responden dan dilakukan konfirmasi melalui telepon dan faksimili, mengingat domisili
para penyedia tersebar di berbagai daerah dengan sebagian besar berasal dari
Yogyakarta dan sekitarnya, juga berasal dari beberapa kota besar lainnya di Indonesia
yaitu Jakarta dan Surabaya.
E. Variabel Penelitian dan Konstruk Variabel
Seperti tergambar dalam kerangka berpikir, penelitian ini akan mengukur dan
membandingkan persepsi pengguna layanan e-procurement yang dikembangkan oleh
pemerintah kota Yogyakarta melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Variabel dalam penelitian ini adalah sistem e-procurement. Menurut Peraturan
Walikota Yogyakarta nomor 18 tahun 2008, e-procurement adalah proses pengadaan
barang dan jasa pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan secara elektronik yang
berbasis web/internet. Sebagai instrumen utama dalam penilaian sistem pengadaan
barang/jasa secara on-line, layanan e-procurement meliputi berbagai informasi terkait
dengan rencana pengadaan pada instansi publik yang berada dalam lingkup pemerintah
kota Yogyakarta.
Sebagai referensi utama dalam mengukur keberhasilan implementasi e-
procurement, pengukuran dalam penelitian ini menggunakan skala Likert lima poin ( 1
= hampir tidak pernah, 2 = jarang, 3 = kadang-kadang, 4 = sering, dan 5 = hampir
selalu). Tiap dimensi penilaian terbagi kedalam beberapa pertanyaan, yang berupa
hubungan pengguna terhadap isi dan tampilan sistem e-procurement. Dari lima dimensi
yang diajukan, dikembangkan menjadi 12 pertanyaan yang merefleksikan hubungan
pengguna terhadap sistem secara individual dan langsung.
Dengan menggunakan referensi Torkzadeh dan Doll (1991), penelitian ini
akan mengukur keberhasilan sistem e-procurement yang dilihat dari persepsi
pengguna aplikasi sistem LPSE Kota Yogyakarta yaitu pantia pengadaan dan penyedia
barang/jasa. Dimensi yang dikemukakan Torkzadeh dan Doll (1991) untuk mengukur
persepsi pengguna layanan e-procurement LPSE Kota Yogyakarta, merupakan
kontribusi konstruk/dimensi pengukuran yang dikembangkan oleh penelitian
sebelumnya tentang model kesuksesan sistem.
Sebagai langkah untuk memudahkan proses pengukuran dan pengumpulan
data, peneliti menggunakan proses dekomposisi penelitian. Semua butir (item) yang
ditanyakan dalam metode pengumpulan data ini sejalan dengan rumusan masalah
dan/atau hipotesis penelitian.
Proses dekomposisi variabel penelitian menjadi sub-variabel, dimensi dan
butir penelitian merupakan pekerjaan yang harus dilakukan dengan hati-hati. Proses
dekomposisi ini dikenal sebagai proses operasionalisasi variabel penelitian (Hasan,
2004). Secara bertahap, dari variabel penelitian yaitu sistem e-procurement, ditentukan
konstruk/dimensi pengukuran dari variabel tersebut. Setelah penentuan
konstruk/dimensi dalam mengukur variabel, dikembangkan menjadi butir/item
pertanyaan yang akan dijadikan bahan dalam penyusunan kuesioner.
Berikut gambaran proses dekomposisi dalam penelitian ini:
Gambar 2 Dekomposisi Penelitian
Variabel : Aplikasi Sistem E-procurement
LPSE Kota Yogya
Konstruk / Dimensi : 1. Isi (content) 2. Keakuratan (accuracy) 3. Bentuk (format) 4. Kemudahan
Penggunaan (ease of use)
5. Ketepatwaktuan (timeliness)
Butir (item) pengukuran : 1. Isi (content) : 4 item
pertanyaan 2. Keakuratan (accuracy) :
2 item pertanyaan 3. Bentuk (format) : 2
item pertanyaan 4. Kemudahan
penggunaan (ease of use) : 2 item pertanyaan
5. Ketepatwaktuan (timeliness) : 2 item pertanyaan
Butir pertanyaan yang merupakan item masing-masing dimensi berjumlah 12
pertanyaan, selengkapnya seperti tertuang dalam lampiran (kuisioner).
F. Analisis Data
Pengunaan alat analisis dalam penelitian ini adalah:
1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevaliditan dan
kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 1993). Uji validitas dilakukan untuk
mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner, dan dinyatakan valid apabila
pertanyaan pada kusioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan
diukur oleh kuesioner tersebut (Ghozali, 2006). Uji validitas dalam penelitian ini
berupa menguji korelasi masing-masing tiap butir/item pertanyaan dari masing-
masing konstruk/dimensi dalam variabel e-procurement, sehingga perlu
dilakukan 5 kali pengujian untuk masing-masing konstruk/dimensi.
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah alat yang digunakan untuk mengukur suatu kuesioner yang
merupakan indikator dari variabel atau konstruk dan suatu kuesioner dikatakan
relaiabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah
konsisten atau stabil dari waktu ke waktu (Ghozali, 2006). Nunnaly (1960)
dalam Ghozali (2006) menyatakan untuk mengukur reliabilitas salam suatu
instrumen menggunakan alpha cronbach yang berdasarkan rata-rata korelasi
butir data instrumen pengukuran dan suatu instrumen dikatakan handal apabila
nilai alpha cronbach lebih besar atau sama dengan 0,6. Pengujian reliabilitas
dalam penelitian ini meliputi uji konsistensi tiap butir pertanyaan dari
keseluruhan konstruk/dimensi guna melihat konsistensi jawaban responden dari
waktu ke waktu.
3. Uji Hipotesis
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan persepsi antara pengelola
dan penyedia atas implementasi sistem e-procurement. Untuk mengetahui
perbedaan persepsi dalam penelitian ini digunakan uji beda independent simple
t-test (Ghozali, 2006). Uji beda t (t-test) digunakan untuk menentukan apakah
dua sampel yang tidak berhubungan memiliki nilai rata-rata yang berbeda,
dengan cara membandingkan perbedaan antara dua nilai rata-rata dengan standar
error dari perbedaan rata-rata dua sampel (Ghozali, 2006). Tingkat siginifikansi
yang digunakan adalah α = 0,05. Hipotesis statistik penelitian ini adalah Hı = µm
≠ µp, di mana µm adalah nilai mean untuk panitia dan µp adalah nilai mean
penyedia.
Langkah pengujian persepsi dalam penelitian ini terdiri dari tiga uji beda.
Pertama untuk mengetahui persepsi atas sistem e-procurement antar responden
dalam masing-masing kelompok, kedua untuk mengetahui persepsi atas masing-
masing butir/item dari konstruk/dimensi antar dua kelompok responden dan
ketiga adalah untuk menguji persepsi dari dua kelompok responden atas
keseluruhan isi sistem e-procurement.
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Obyek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pemerintah Kota Yogyakarta, dengan obyek lembaga
Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Secara Elektronik (LPSE). Pemerintah Kota
Yogyakarta adalah pemerintah daerah pertama di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta yang menerapkan pengadaan barang / jasa secara elektronik (electronic
government procurement) yaitu proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang
pelaksanaannya dilakukan secara elektronik yang berbasis web/internet.
LPSE Kota Yogyakarta adalah unsur pelaksana di Pemerintah Kota Yogyakarta
yang melayani proses pengadaan barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa
secara elektronik dengan menggunakan sistem aplikasi LPSE Nasional. LPSE Nasional
adalah pusat layanan pengadaan barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa
secara elektronik milik Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS).
LPSE Kota Yogyakarta berbentuk Sekretariat Pengadaan barang/jasa secara
elektronik Pemerintah Kota Yogyakarta yang berada di Bagian Pengendalian
Pembangunan Setda Kota Yogyakarta. LPSE Kota Yogyakarta diresmikan pada tanggal 25
Juli 2008. Tujuan didirikan layanan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah kota
Yogyakarta untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, persaingan sehat dan akuntabilitas
dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta
(LPSE Kota Yogya, 2009).
B. Karakteristik Sampel
Jumlah responden yang berhasil terkumpul hingga batas akhir pengujian kuisioner
adalah 58 sampel yang berasal dari 43 dari sampel penyedia barang/jasa dan 15 dari
Panitia pengadaan. Tingkat pengembalian kuisioner adalah 65% (58 dari 89 yang
ditargetkan). Jumlah dari masing-masing kelompok tersebut telah diseleksi dari awal
pengumpulan data, dimana hanya kuesioner yang terisi secara lengkap dan penuh oleh
respondenlah yang kemudian dilakukan olah data dalam uji statitik yang meliputi uji
validitas, reliabilitas, dan uji beda t (independent simple t-test).
Dalam penelitian ini akan dilakukan tiga tahapan uji beda, meliputi uji beda untuk
masing-masing kelompok responden yaitu panitia pengadaan dan penyedia barang/jasa,
masing-masing item, dan keseluruhan dimensi. Hal ini dilakukan guna melihat persepsi
awal dari masing-masing kelompok responden terhadap sistem e-procurement. Setelah
dilakukan uji beda tiap kelompok responden, uji validitas konstruk/dimensi, dan uji
reliabilitas dari masing-masing pertanyaan dan jawaban tiap butir/item dari masing-masing
konstruk/dimensi, kemudian dilakukan uji beda t guna melihat perbedaan rerata persepsi
dari dua kelompok responden yaitu panitia pengadaan dan penyedia barang/jasa terhadap
sistem e-procurement. Tabel pertama dalam analisis data dalam penelitian ini meliputi
karakteristik responden dari dua kelompok yang berjumlah 58 sampel (Tabel 4).
Tabel 4 Karakteristik Sampel
Karakteristik Jumlah Persentase
Penyedia barang/jasa · Jabatan
Staf Supervisor Lainnya
· Tipe perusahaan Jasa konstruksi Jasa pemasok barang
43 orang 25 10 8 17 26
100 58,1 23,3 18,6 60,5 39,5
· Lama keikutsertaan dalam sistem e-procurement <1 tahun
>1 tahun · Frekuensi keikutsertaan >5 kali <5 kali
26 17
20 23
39,5 60,5 46,5 63,5
Panitia pengadaan · Jabatan
Staf Supervisor Lainnya
· Lama keikutsertaan dalam sistem e-procurement <1 tahun
>1 tahun · Frekuensi keikutsertaan >5 kali <5 kali
15 12 3 7 8 9 6
100 80,0 20,0 46,7 53,3 60,0 40,0
Kuisioner diisi oleh penyedia barang/jasa maupun Panitia pengadaan yang sama-
sama menggunakan aplikasi sistem LPSE yang diselenggarakan oleh LPSE Kota
Yogyakarta.
Karakteristik sampel responden (Tabel 4) menunjukkan bahwa sampel penyedia
barang/jasa cukup didominasi oleh pekerja yang mempunyai jabatan staf dalam
implementasi e-procurementnya. Dalam analisis uji beda t terkait jabatan pihak penyedia
barang/jasa menyatakan bahwa ternyata tidak ada perbedaan pandangan terhadap sistem e-
procurement. Tipe perusahaan yang menggunakan sistem pengadaan barang pada
umumnya adalah perusahaan bergerak sebagai pemasok barang daripada jasa konstruksi.
Berdasarkan uji t, berbedaan tipe perusahaan tidak berarti berbeda pula persepsi mereka
terhadap sistem e-procurement. Sedangkan para pegawai penyedia barang/jasa dengan
lama keikutsertaan dalam sistem kebanyakan kurang dari satu tahun. Situasi serupa juga
terjadi pada hasil uji t untuk penilaian responden yang dibedakan pada rentang waktu
keikutsertaan mereka dalam e-procurement.
Hasil dari uji beda t untuk jumlah keikutsertaan menunjukkan tidak ada perbedaan
diantara mereka yang telah mengikuti kegiatan e-procurement kurang dari lima kali dan
mereka yang lebih dari lima kali kegiatan e-procurement.
Pengujian sampel pada kelompok panitia pengadaan juga didominasi oleh pekerja
yang mempunyai jabatan staf/anggota dalam tiap kegiatan pengadaan. Dalam analisis uji
beda t terkait jabatan pada kelompok panitia pengadaan menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan persepsi terhadap sistem e-procurement. Lama keikutsertaan para panitia
pengadaan dalam sistem kebanyakan lebih dari satu tahun dan pada umumnya
frekuensinya lebih dari lima kali. Tetapi setelah dilakukan analisis uji beda t ternyata tidak
ada perbedaan pandangan terhadap sistem e-procurement dengan para pegawai yang
keikutsertaannya lebih dari setahun maupun dengan frekuensi yang kurang dari lima kali.
Secara keseluruhan dari masing-masing kelompok sampel menunjukkan persepsi
yang sama terkait sistem e-procurement yang mereka jalankan. Hasil tersebut meliputi
tidak adanya perbedaan persepsi meskipun mereka terdiri dari berbagai karakteristik, yaitu
dari kelompok responden penyedia terdiri dari jabatan, tipe perusahaan, lama keikutsertaan
dalam sistem e-procurement, dan frekwensi keikutsertaan kegiatan e-procurement. Hal
serupa juga berlaku pada kelompok responden panitia pengadaan. Mereka terbagi kedalam
jabatan, lama keikutsertaan dalam sistem e-procurement, dan frekwensi keikutsertaan
kegiatan e-procurement. Hasil statistik uji beda pada karakteristik sampel (Tabel 4)
tertuang dalam lampiran uji statistik di bagian akhir dalam laporan penelitian ini.
C. Statistik Deskriptif
Statisik deskriptif tiap konstruk/dimensi dari variabel e-procurement dapat dilihat
pada tabel 5. Dimana responden mempunyai tanggapan yang berbeda-beda untuk masing-
masing konstruk/dimensi dan butir/item pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini..
Dari statistik deskriptif yang disajikan terlihat bahwa dalam penelitian ini menggunakan
kuisioner dengan jumlah item pertanyaan sebanyak 12 item yang mengukur variabel sistem
pengadaan barang secara elektonik (e-procurement) yang terbagi ke dalam lima
konstruk/dimensi pengukuran dan 12 butir/item pertanyaan:
Tabel 5 Statistik Deskriptif tiap item pertanyaan
sumber: hasil olah data
Dimensi Item pertanyaan Min
Max Mean
Deviasi
Standar
Isi (Content)
1. Apakah sistem memberikan informasi yang tepat yang anda butuhkan?
1.00 5.00 4.0345 0.8779
2. Apakah informasi memenuhi kebutuhan anda? 1.00 5.00 3.9483 0.8465
3. Apakah sistem menghasilkan laporan yang sesuai dengan kebutuhan anda?
3.00 5.00 3.9655 0.7484
4. Apakah sistem memberikan informasi yang cukup?
2.00 5.00 3.9828 0.7834
Keakuratan (Accuracy)
5. Apakah sistem akurat? 2.00 5.00 3.9483 0.8669
6. Apakah anda merasa puas dengan keakuratan sistem?
1.00 5.00 3.8621 0.9261
Bentuk (Format)
7. Apakah ’output’ yang disajikan dalam format yang berguna
3.00 5.00 3.9138 0.7079
8. Apakah informasi yang dihasilkan jelas? 2.00 5.00 3.9310 0.7916
Kemudahan Menggunakan (Ease of Use)
9. Apakah sistem akrab dengan pemakai (user friendly)?
2.00 5.00 3.9310 0.8135
10. Apakah sistem mudah digunakan? 1.00 5.00 4.1379 0.8875
Ketepatan (Timeliness)
11. Apakah anda memperoleh informasi yang anda butuhkan tepat waktu?
1.00 5.00 4.0172 0.9078
12. Apakah sistem memberikan informasi yang mutakhir (up to date)?
1.00 5.00 4.1207 0.8801
Selanjutnya secara detail disajikan nilai mean, serta deviasi standar dari masing-
masing variabel. Untuk kisaran teoritis sendiri ditentukan dari kemungkinan responden
memilih semua jawaban dengan nilai atau poin terkecil dari masing-masing item dan
kemungkinan responden memilih semua jawaban dengan nilai atau poin terbesar dari
masing-masing item pertanyaan. Tetapi pada kenyataannya berdasarkan kisaran aktual dari
jawaban responden ternyata cukup bervariasi dari jawaban yang mereka pilih.
Dari deskripsi jawaban responden menunjukkan hampir semua item pertanyaan
dijawab pada skala poin 4 (sering). Sebagai contoh pertanyaan dari butir kemudahan istilah
user friendly dan easy to use, responden dapat membedakan dua istilah tersebut dan
menjawab pada skala poin 4 (sering). Dalam hal ini membuktikan bahwa responden sering
menggunakan sistem penggadaaan barang secara elektornik (e-procurement). Dilihat dari
jawaban responden sistem e-procurement sudah memberikan informasi yang tepat dan
sesuai kebutuhan. Begitu juga dengan keakuratan, responden merasa puas dengan
keakuratan sistem. Terkait dengan format sistem, responden menanggapi bahwa output
yang disajikan dalam format yang berguna dan jelas. Disisi lain reponden juga menyatakan
bahwa sistem e-procurement mudah untuk digunakan dan memberikan informasi yang
mutakhir (up to date).
Tabel 6 Statistik Deskristif tiap konstruk/dimensi
Variabel
Sistem pengadaan barang (e-procurement)
Jumlah
item
No.
Item
Mean Deviasi
Standar
Dimensi:
Isi (Content) Keakuratan (Accuracy) Bentuk (Format) Kemudahan Menggunakan (Ease of Use) Ketepatan (Timeliness)
4 2 2 2 2
1-4 5-6 7-8 9-10
11-12
15,9310
7,8103 7,8448 8,0690 8,1379
2,7521 1,6163 1,2051 1,5768 1,6162
Dari uraian tabel 6 menunjukkan bahwa total item pertanyaan sebanyak 12 item
yang terbagi menjadi lima dimensi pengukuran. Dimensi isi (content) terdapat 4
pertanyaan, dimana untuk mean dari jawaban responden mendekati angka 16 (kebanyakan
responden menjawab pada skala poin 4/sering). Berarti dilihat dari sisi isi nya berdasar
jawaban responden e-procurement sudah memberikan informasi yang tepat dan sesuai
kebutuhan.
Dimensi Keakuratan (Accuracy) terdapat 2 pertanyaan, dimana untuk mean dari
jawaban responden mendekati angka 7,81. Hal ini dapat diartikan bahwa hampir semua
responden menjawab pada skala poin 4 untuk setiap pertanyaan. Hal ini berarti keakuratan
sistem e-procurement sudah sesuai dan responden puas dengan keakuratan sistem.
Untuk Dimensi Bentuk (Format) terdapat 2 pertanyaan, dimana untuk mean dari
jawaban responden mendekati angka 7,84. Dapat diartikan juga bahwa kebanyakan
responden menjawab pada skala poin 4 (sering) untuk setiap pertanyaan. Hal ini
menunjukkan bahwa responden menanggapi bahwa output yang disajikan dalam format
yang berguna dan jelas.
Kemudahan Menggunakan (Ease of Use) juga terdapat 2 pertanyaan, dimana untuk
mean dari jawaban responden mendekati angka 8,07. Dapat diartikan juga bahwa hampir
semua responden menjawab pada skala poin 4 (sering) untuk setiap pertanyaan. Kisaran
aktual dari jawaban responden menunjukkan bahwa responden menyatakan cukup mudah
dalam menggunakan sitem pengadaan barang berbasis elektronik (e-procurement)
Sedangkan untuk dimensi pengukuran yang terakhir, yaitu Dimesi Ketepatan
(Timeliness) juga terdapat 2 pertanyaan, dimana untuk mean dari jawaban responden
mendekati angka 8,13. Dapat diartikan juga bahwa kebanyakan responden menjawab pada
skala poin 4 untuk setiap pertanyaan. Untuk kisaran aktual dari jawaban responden
menunjukkan bahwa sistem e-procurement memberikan informasi yang mutakhir (up to
date).
D. Persepsi Responden
Berikut ini akan diuraikan persepsi responden atas tiap item pertanyaan.
Kesimpulan yang ditarik dari bagian ini harus dipahami dengan hati-hati. Karena persepsi
yang dituangkan dalam kuisioner tidak lepas dari faktor subjektivitas responden
(Asmadewa, 2006). Perlu dipahami juga bahwa konteks perkembangan implementasi
sistem pengadaan barang pada pemerintah daerah khusunya daerah istimewa Yogyakarta
baru memasuki tahap awal. Oleh karena itu, persepsi responden atas implementasi sistem
tidak dipahami secara terpisah menurut masing-masing dimensi e-procurement, tetapi
harus memperhatikan sebagai suatu kesatuan dimensi dalam sebuah sistem e-procurement.
Bagi semua pihak pengguna aplikasi sistem e-procurement tentunya berharap atas
keberhasilan sistem secara sama, bahwa mereka mendapatkan fungsi e-procurement yang
sesungguhnya bahwa sistem meliputi tautan (link) informasi antar penggunanya, yaitu
panitia pengadaan, penyedia barang/jasa, dan LPSE (Layanan Pengadaan Secara
Elektronik) sebagai pengembang sistem. Informasi yang mendetail mengenai jadwal dan
ketersediaan lelang pengadaan barang dan jasa, persyaratan dan prosedur lelang yang
meliputi penggambaran alur lelang dan uraian mengenai paket pekerjaan yang ditawarkan,
memudahkan para pengguna sistem yang sudah terdaftar secara on-line untuk mengetahui
peluang lelang yang bisa diikuti, para pesaing lelang hingga informasi mengenai hasil
lelang.
Sistem aplikasi e-procurement merupakan gabungan dari modul-modul aplikasi
dari sejumlah sub-program dan database yang saling terkait satu dengan yang lain. Sebagai
aplikasi dalam pengelolaan pengadaan barang dan jasa berbasis web yang saling
terintegrasi, sudah seharusnya sistem mampu mengelola transaksi antara penyedia
barang/jasa dan panitia dengan baik dan imbang, serta mampu memberikan solusi lengkap
dari pengumuman lelang, pengelolaan rekanan, hingga penentuan pemenang.
Fungsionalisasi sistem e-procurement seharusnya dapat berjalan lancar, terbebas
dari permasalahan akses dan kejelasan informasi bagi semua pengguna sistem. Berbagai
hambatan dan tantangan dalam penerapan sistem e-procurement yang meliputi kesiapan
sumber daya manusia, sarana internet dan kesiapan sistem itu sendiri, sangat besar
kemungkinan terjadi pada semua kelompok pengguna sistem. Hambatan lain dalam
penerapan sistem e-procurement juga meliputi kesenjangan digital antar pengguna karena
budaya penggunaan internet dan pengenalan web belum merata di semua rekanan penyedia
barang/jasa.
Aplikasi e-procurement hendaknya berbasis dan bisa mengelaborasi secara tepat
Keppres nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang atau Jasa
Pemerintah dan Perpres nomor 8 tahun 2006 tentang Pengadaan Barang atau Jasa
Pemerintah Secara Elektronik. Aplikasi sistem e-procurement seharusnya memiliki
fasilitas akses login yang handal dan rentan manipulasi teknis, tidak hanya dari panitia
pengadaan melainkan juga pihak penyedia barang/jasa. Penggunaan sistem e-procurement
harusnya merepresentasikan sebuah transaksi dan kegiatan yang berkesinambungan antara
panitia pengadaan dan penyedia barang/jasa, yang bisa dinilai dari persepsi keduanya.
Penerapan sistem e-procurement bukan meliputi persiapan dari sisi piranti
teknologi saja, melainkan upaya dari semua pihak untuk bersama menggunakan sistem
tersebut. Situasi demikian sejalan dengan adanya sikap resistensi satu orang belum tentu
mewakili resistensi terhadap implementasi TI oleh suatu kelompok secara keseluruhan
(Markus, 1983). Hal tersebut sejalan dengan teori penolakan oleh Kling (Markus, 1983)
bahwa penerapan sistem baru melahirkan beberapa sikap penolakan yaitu Rational,
Structural, Human Relatons, Interactionist, Organizational Politics, dan Class Politics.
Dari beberapa sikap tersebut menunjukkan reaksi yang berbeda-beda, mulai dari bertahan
terhadap sistem lama hingga menghambat dan merusak sistem baru.
D.1. Persepsi Responden Penyedia Barang/Jasa
Tabulasi respon para responden penyedia barang/jasa terhadap sistem pengadaaan
barang secara elektronik (Tabel 3) secara umum mengindikasikan bahwa sebagian besar
responden dengan nilai mean dari semua pertanyaan yang mendekati skala poin 4 (sering)
menunjukkan bahwa sistem e-procurement sudah sering dilakukan dalam sistem
pengadaan barang.
Tabel 7 Nilai mean respon penyedia terhadap sistem e-procurement
Dimensi Item pertanyaan Min Max Mean Deviasi
Standar
Isi (Content)
1. Apakah sistem memberikan informasi yang tepat yang anda butuhkan?
1.00
5.00
3,8372
0.8978
2. Apakah informasi memenuhi kebutuhan anda? 1.00 5.00 3,7442 0.8192
3. Apakah sistem menghasilkan laporan yang sesuai dengan kebutuhan anda?
3.00
5.00
3,7674
0.6844
4. Apakah sistem memberikan informasi yang cukup? 2.00 5.00 3,9302 0.7986
Keakuratan (Accuracy)
5. Apakah sistem akurat?
2.00
5.00
3,7442
0.8192
6. Apakah anda merasa puas dengan keakuratan sistem? 1.00 5.00 3,6279 0.9264
Bentuk (Format)
7. Apakah ’output’ yang disajikan dalam format yang berguna
3.00
5.00
3,7209
0.6296
8. Apakah informasi yang dihasilkan jelas? 2.00 5.00 3,7674 0.7507
Kemudahan Menggunakan (Ease of Use)
9. Apakah sistem akrab dengan pemakai (user friendly)? 2.00 5.00
3,6512
0.7199
10. Apakah sistem mudah digunakan (easy to use)? 1.00 5.00 3,9302 0.9101
Ketepatan (Timeliness)
11. Apakah anda memperoleh informasi yang anda butuhkan tepat waktu?
1.00
5.00
3,8605
0.9149
12. Apakah sistem memberikan informasi yang mutakhir (up to date)?
1.00
5.00
3,9767
0.8860
1= hampir tidak pernah 2= jarang, 3=kadang-kadang, 4=sering,5=hampir selalu
Dapat dilihat dari respon para responden penyedia barang/jasa pada 12 item
pertanyaan yang terdiri dari lima dimensi yang mengukur sistem pengadaan barang secara
elektronik (e-procurement) dimana dari sebagian besar para responden menanggapi cukup
positif. Untuk dimensi Isi (item pertanyaan 1-4) menunjukkan bahwa nilai mean diatas 3,7
dapat diartikan bahwa isi dari sistem e-procurement dirasa sudah sesuai dengan kebutuhan
informasinya.
Informasi kegiatan pelelangan yang disampaikan oleh LPSE dari panitia pengadaan
dapat dimengerti oleh rekanan penyedia barang/jasa. Kejelasan informasi tersebut dapat
memenuhi kebutuhan penyedia pada kisaran skala 3 (kadang-kadang) dan 4 (hampir).
Dimensi Keakuratan (item pertanyaan 5-6), menunjukkan bahwa jawaban responden
dengan nilai mean diatas 3,62 menunjukkan bahwa responden sudah cukup puas terhadap
keakuratan sistem e-procurement. Selanjutnya untuk dimensi Format (item pertanyaan 7-
8), menunjukkan bahwa nilai mean jawaban responden menunjukkan nilai mean diatas
3,72. Hal ini dirasa responden format output dari sistem e-procurement dirasa sudah jelas
dan berguna bagi rekanan penyedia barang/jasa.
Dimensi Kemudahan penggunaan (item pertanyaan 9-10), menunjukkan bahwa
tanggapan responden atas kemudahan penggunaan sistem e-procurement nilai mean diatas
3,65. Hal ini berarti para penyedia tidak kesulitan dalam penggunaan sistem e-
procurement. Pemaknaan simbol dan fungsi yang ada pada tampilan dan aplikasi sistem e-
procurement yang dikembangkan oleh LPSE Kota Yogya, dapat dimengerti oleh para
penyedia barang/jasa (user-friendly) dan hal tersebut juga sejalan dengan penggunaan yang
mudah pula (easy to use). Sedangkan untuk dimensi Ketepatan Waktu (item pertanyaan
11-12), nilai mean diatas 3,86 menunjukkan bahwa sistem sudah cukup mutakhir sehingga
dapat diperoleh informasi secara tepat waktu. Informasi setiap tahapan kegiatan pengadaan
barang/jasa yang diadakan oleh pemerintah kota Yogyakarta telah disajikan oleh LPSE
secara tepat waktu dan hal tersebut dinilai oleh para penyedia barang/jasa pada skala
3(kadang-kadang) dan 4 (sering).
D.2. Persepsi Responden Panitia Pengadaan
Tabulasi respon para responden panitia pengadaan terhadap sistem pengadaaan
barang secara elektronik (Tabel 5) secara umum mengindikasikan bahwa sebagian besar
responden merespon bahwa sistem e-procurement sudah sering dilakukan dalam sistem
pengadaan barang. Dimana hal tersebut ditunjukkan nilai mean untuk semua item
pertanyaan diatas nilai 4,1.
Tabel 8 Nilai mean respon panitia terhadap sistem e-procurement
Dimensi Item pertanyaan Min Max Mean Deviasi
Standar
Isi (Content)
1. Apakah sistem memberikan informasi yang tepat yang anda butuhkan?
4.00 5.00 4,6000 0.5070
2. Apakah informasi memenuhi kebutuhan anda? 3.00 5.00 4,5333 0.6399
3. Apakah sistem menghasilkan laporan yang sesuai dengan kebutuhan anda?
3.00 5.00 4,5333 0.6399
4. Apakah sistem memberikan informasi yang cukup? 3.00 5.00 4.1333 0.7432
Keakuratan (Accuracy)
5. Apakah sistem akurat? 3.00 5.00 4,5333 0.7432
6. Apakah anda merasa puas dengan keakuratan sistem? 4.00 5.00 4,5333 0.5164
Bentuk (Format)
7. Apakah ’output’ yang disajikan dalam format yang berguna
3.00 5.00 4,4667 0.6399
8. Apakah informasi yang dihasilkan jelas? 3.00 5.00 4,4000 0.7367
Kemudahan Menggunakan (Ease of Use)
9. Apakah sistem akrab dengan pemakai (user friendly)? 4.00 5.00 4,7333 0.4577
dilanjutkan
Lanjutan
10. Apakah sistem mudah digunakan? 4.00 5.00 4,7333 0.4577
Ketepatan (Timeliness)
11. Apakah anda memperoleh informasi yang anda butuhkan tepat waktu?
3.00 5.00 4,4667 0.7432
12. Apakah sistem memberikan informasi yang mutakhir (up to date)?
3.00 5.00 4,5333 0.7432
1= hampir tidak pernah 2= jarang, 3=kadang-kadang, 4=sering,5=hampir selalu
Respon para responden panitia pengadaan pada 12 item pertanyaan yang terdiri
dari lima dimensi yang mengukur sistem pengadaan barang secara elektronik (e-
procurement) cukup berbeda dengan respon dengan tanggapan dari penyedia sistem e-
procurement, dimana dari sebagian besar para responden menanggapi dengan positif
dimana nilai mean mencapai lebih dari 4,13. Bahkan dalam jawaban responden tidak ada
yang berpendapat tidak pernah atau jarang pada item pertanyaan yang terkait sistem
pengadaan barang secara elektronik.
Untuk dimensi Isi (item pertanyaan 1-4) menunjukkan bahwa nilai mean diatas 4,1
dapat diartikan bahwa isi dari sistem e-procurement dirasa sudah sesuai dengan kebutuhan
informasinya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa informasi yang disampaikan dari pihak
penyedia terhadap tanggapan atas pengumuman lelang yang disampaikan oleh panitia
pengadaan, memberikan feedback yang baik kepada panitia pengadaan.
Item dari dimensi content yang diperoleh panitia pengadaan yang meliputi data
rekanan penyedia hingga tanggapan atas kegiatan lelang yang direncanakan dapat dinilai
panitia dengan kisaran skala 4 (sering) dan 5 (hampir selalu). Dimensi keakuratan (item
pertanyaan 5-6), menunjukkan bahwa jawaban responden dengan nilai mean diatas 4,5
menunjukkan bahwa responden dari kelompok ini puas terhadap keakuratan sistem e-
procurement. Selanjutnya untuk dimensi bentuk (item pertanyaan 7-8), menunjukkan
bahwa nilai mean jawaban responden menunjukkan nilai mean diatas 4,4. Hal ini dirasa
responden bahwa format output dari sistem e-procurement terkait dengan informasi dari
pihak penyedia barang/jasa memberikan gambaran yang jelas kepada panitia pengadaan.
Dimensi kemudahan penggunaan (item pertanyaan 9-10), menunjukkan bahwa
tanggapan responden atas kemudahan penggunaan sistem e-procurement nilai mean diatas
4,7. Responden panitia pengadaan menilai item user-friendly dan easy to use lebih baik
dibandingkan pihak penyedia barang/jasa. Hal ini berarti para penyedia tidak kesuiltan
dalam penggunaan sistem e-procurement bahkan dirasa cukup mudah bila dilihat dari
tanggapan responden. Sedangkan untuk dimensi Ketepatan Waktu (item pertanyaan 11-
12), nilai mean diatas 4,4 tanggapan responden menunjukkan bahwa sistem sudah cukup
mutakhir sehingga dapat diperoleh informasi secara tepat waktu. Hal ini menunjukkan
bahwa informasi yang disajikan oleh pihak penyedia barang/jasa terhadap informasi yang
diberikan kepada panitia pengadaan lebih baik dari sisi ketepatan yaitu sistem mampu
menyajikan informasi yang tepat waktu dan mutakhir.
D.3. Persepsi Responden terhadap Keseluruhan Konstruk/Dimensi
Dari tanggapan para responden terhadap 12 item pertanyaan yang terdiri dari lima
dimensi yang mengukur sistem e-procurement, baik itu dari kelompok penyedia
barang/jasa maupun panitia pengadaan, selanjutnya dilakukan uji atas persepsi kedua
kelompok terhadap masing-masing butir/item dari semua kosntruk/dimensi. Hasil uji beda
per-item antar kelompok responden (penyedia barang/jasa dengan panitia pengadaan) juga
menunjukkan bahwa hampir semua butir/item dari konstruk/dimensi ditanggapi secara
berbeda oleh kedua kelompok responden.
Hasil uji beda per item, dari total butir/item berjumlah 12, 11 diantaranya
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi tentang sistem eprocurement. Persamaan
persepsi hanya ditunjukkan oleh hasil pada butir/item nomor 4 dari konstruk/dimensi isi
(content). Butir/item 4 dari konstruk/dimensi isi (content) tersebut mengukur bahwa sistem
memberikan informasi yang cukup, terdapat kesamaan pandangan antar kelompok
responden. Kecukupan informasi yang dirasakan oleh masing-masing kelompok responden
menandakan bahwa transfer informasi antar kedua pengguna sistem e-procurement
tersebut sudah didapatkan oleh keduanya.
Seperti diuraikan sebelumnya bahwa perbedaan persepsi atas sistem e-procurement
dapat diuraikan dari berbagai sudut penilaian, bahwa untuk mengukur sebuah kesuksesan
sistem perlu dilakukan berbagai cara pengujian, baik itu secara internal kelompok
pengguna maupun antar kelompok pengguna, serta pengukuran sistem yang dinilai dari
keseluruhan konstruk/dimensi maupun secara detail tiap masing-masing butir/item dari
konstruk/dimensi tersebut.
E. HASIL UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS
Hasil uji validitas dan realibilitas instrumen penelitian yang disebar pada panitia
pengadaan dan penyedia barang/jasa juga menunjukkan bahwa semua butir/item
pertanyaan berkorelasi dengan skor total konstruk/dimensi secara signifikan, semua
konstruk/dimensi dari variabel e-procurement tersebut mempunyai tingkat signifikan di
bawah 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tiap item pertanyaan tersebut
adalah valid dan dapat digunakan untuk mengukur konstruk/dimensi dalam penelitian ini.
Tabel 9 Hasil uji validitas
Variabel Sistem Pengadaan Barang (e-procurement)
Pearson Correlation
Tingkat Sig.
dengan dimensi: Isi (Content)
informasi kebutuhan laporan kecukupan
Keakuratan (Accuracy) akurat
kepuasan Bentuk (Format)
Berguna Jelas
Kemudahan Menggunakan (Ease of Use) User friendly Easy to use
Ketepatan (Timeliness) Tepat waktu Mutakhir
0,865 0,880 0,825 0,805
0,894 0,908
0,844 0,879
0,920 0,933
0,907 0,901
0,000 0,000 0,000 0,000
0,000 0,000
0,000 0,000
0,000 0,000
0,000 0,000
Sumber : hasil olah data
Selanjutnya dilakukan uji reliabilitas, peneliti menggunakan metode internal
consistency dengan menggunakan cronbach’s alpha. Suatu konstruk atau variabel
dikatakan reliable jika memberikan jawaban yang konsisten dari waktu ke waktu dan
memberikan nilai cronbach’s alpha lebih besar dari 0,60 (Nunnaly, 1967 dalam Ghozali
2006). Dari hasil tabel 9 di atas terlihat bahwa koefisien alpha setiap konstruk/dimensi
dalam variabel e-procurement semuanya bernilai > 0,60. Dengan demikian jawaban dari
masing-masing pertanyaan dalam tiap konstruk/dimensi pada kuisioner tersebut dapat
dikatakan reliabel.
Tabel 10 Hasil uji reliabilitas
Variabel Sistem Pengadaan Barang (e-procurement)
Item pertanyaan
Cronbach’s Alpha
dengan dimensi: Isi (Content) Keakuratan (Accuracy) Bentuk (Format) Kemudahan Menggunakan (Ease of Use) Ketepatan (Timeliness)
1-4 5-6 7-8
9-10 11-12
0,865 0,894 0,768 0,655 0,776
Sumber : hasil olah data
E. HASIL ANALISIS DATA (UJI BEDA)
Untuk mengetahui perbedaan persepsi antara pengguna e-procurement yaitu
penyedia barang/jasa dan pengelola sistem maka dilakukan uji beda t (t-test). Dimana uji
beda ini membandingkan nilai rata-rata dua grup yang tidak berhubungan satu dengan yang
lain (Ghozali, 2006).
Sebagai tahapan akhir dari proses pengujian dalam penelitian ini adalah dilakukan
uji beda untuk mengetahui persepsi atas sistem e-procurement pada dua kelompok
responden secara keseluruhan yang didapat dengan membandingkan nilai rata-rata respon
masing-masing kelompok. Hasil perhitungan dari data yang diperoleh secara studi empiris
disajikan dalam tabel 11 sebagai berikut:
Tabel 11 Hasil Uji Beda T-test
Nilai levene Test Nilai t-test Variabel Variance populasi
F Sig. t Sig. E-procurement
Equal variances assumed 5.039 .029 -4.535 .000
Equal variances not assumed
-5.958 .000
Sumber: hasil olah data
Terlihat bahwa dari output SPSS bahwa F hitung levene test sebesar 5.039 dengan
probabilitas 0.029. Oleh karena probabilitas kurang dari <0.05 maka dapat disimpulkan
mempunyai asumsi equal variance not assumed. Dari output SPSS terlihat bahwa nilai t
pada equal variance not assumed adalah -5.958 dengan probabilitas signifikansi 0.000
(two tail). Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan persepsi antara pengguna e-
procurement yaitu penyedia barang/jasa dan panitia pengadaan.
Kehadiran teknologi sebagai penunjang dalam kegiatan pelayanan publik berupa e-
government dan pengadaan barang dan jasa pemerintah berupa e-procurement membawa
dampak positif dalam berbagai hal, terutama dalam menciptakan transparansi publik dan
efektivitas kegiatan pengadaan barang dan jasa. Penggunaan perangkat internet dalam
menunjang kegiatan pada pemerintah tersebut juga membawa dampak yang berupa
kesenjangan digital bagi para pemakainya baik itu pemerintah secara khusus sebagai
penentu kebijakan maupun masyarakat pada umumnya.
Kesenjangan digital dalam penerapan e-procurement dapat terjadi dengan berbagai
alasan diantaranya ketidaksiapan sumber daya manusia, sarana dan prasarana teknologi
penunjang, serta kurangnya upaya dan kesadaran dari dalam diri masing-masing individu
pengguna layanan e-procurement itu sendiri.
Situasi yang terjadi pada awal implementasi sistem e-procurement di pemerintah
Kota Yogyakarta menunjukkan kondisi yang sesuai dengan tahapan moving dalam teori
Lewin (1951) bahwa suatu perubahan memerlukan waktu untuk mengumpulkan
informasi dan mencari dukungan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya dan
diharapkan mampu membantu memecahkan masalah (Clarke, 1998).
Teori resistensi oleh Kotter & Schlesinger (1979) dalam Clarke (1998)
menyebutkan bahwa dalam menghadapi perubahan sistem baru, masing-masing pihak
yang terlibat dalam penerapannya seringkali mengatasi perubahan dengan cara
komunikasi, partisipasi, fasilitasi, negosiasi, dan sedikit paksaan. Menurut teori ini teknik
yang berbeda-beda tergantung pada tingkat resistensi masing-masing kelompok (Kasali,
2005).
Bila dilihat dari sisi LPSE Kota Yogyakarta sebagai fasilitator sistem e-
procurement, telah mencoba mengenalkan aplikasi tersebut kepada panitia dan penyedia
dalam bentuk pelatihan dan help desk. Dari sisi regulator, dalam hal ini pemerintah pusat
maupun daerah, dengan adanya kewajiban menggunakan sistem e-procurement pada tahun
2010, dapat dikatakan bahwa hal tersebut merupakan unsur paksaan dalam penerapan
sebuah sistem baru, dengan adanya beberapa peraturan hukum yang mengatur tentang
pengadaan barang/jasa secara elektronik.
Berdasarkan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masih terdapat
kesenjangan digital dalam penerapan sistem e-procurement oleh pemerintah kota
Yogyakarta yaitu antara panitia pengadaan dan penyedia barang/jasa. Meskipun
kesenjangan digital antar pengguna sistem e-procurement tidak terlampau lebar, namun hal
tersebut harus diatasi dan dijembatani oleh LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik)
sebagai pengembang sistem agar tercipta fungsionalisasi sistem e-procurement oleh semua
pihak.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perkembangan teknologi berbasis internet yang digunakan pemerintah sebagai
sarana meningkatkan layanan kepada masyarakat yang lebih baik dan transparansi publik,
berupa penerapan e-procurement dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah,
telah membawa banyak manfaat bagi pemerintah terutama dalam hal efektivitas dan
efisiensi pengadaan barang dan jasa publik.
Penerapan sistem e-procurement yang dikembangkan oleh LPSE (Layanan
Pengadaan Secara Elektronik) pemerintah kota Yogyakarta sejak tahun 2008, memberikan
salah satu bukti bahwa penerapan sistem baru dalam hal pengadaan barang dan jasa
berbasis internet mempunyai berbagai masalah dan salah satunya adalah perbedaan
persepsi para pengguna dalam menghadapi perubahan sistem dan penggunaan sistem
tersebut. Perbedaan persepsi tersebut membawa dampak berupa kesenjangan digital antar
pengguna sistem e-procurement.
Kesenjangan digital dalam implementasi e-procurement bukanlah masalah
sederhana yang dapat dibiarkan begitu saja sehingga hal tersebut akan teratasi dengan
sendirinya bila hal tersebut tidak diupayakan oleh berbagai pihak. Perbedaan persepsi
yang berarti adanya kesenjangan digital antara panitia pengadaan dan penyedia barang dan
jasa mencerminkan sistem yang dikembangkan oleh LPSE (Layanan Pengadaan Secara
Elektronik) Kota Yogyakarta belum sepenuhnya teraplikasi dengan optimal.
Penilaian atas sistem e-procurement yang dikembangkan oleh LPSE (Layanan
Pengadaan Secara Elektronik) kota Yogyakarta dengan melihat persepsi dan
membandingkan antar penggunanya Perbedaan persepsi kedua kelompok pengguna sistem
e-procurement yaitu panitia pengadaan dan penyedia barang/jasa pada pemerintah kota
Yogyakarta dimungkinkan adanya perbedaan sikap dalam menghadapi perubahan sistem
pengadaan dari konvensional ke sistem baru e-procurement sehingga mempengaruhi
tindakan masing-masing dalam pemahaman dan penggunaan sistem tersebut.
Keseluruhan hasil uji beda dalam penelitian ini menunjukkan beberapa situasi
terkait persepsi antar pengguna sistem e-procurement. Hasil uji beda pertama dilakukan
guna melihat persepsi antar anggota dari tiap kelompok responden yaitu panitia pengadaan
dan penyedia barang/jasa. Hasil uji beda pertama menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
persepsi dari keseluruhan anggota dari masing-masing kelompok. Karakteristik masing-
masing kelompok responden yang meliputi jabatan dan frekwensi serta durasi
keikutsertaan kegiatan e-procurement menunjukkan persamaan persepsi terhadap sistem e-
procurement yang mereka jalankan.
Hasil uji beda kedua yaitu untuk melihat persepsi kedua kelompok pengguna
sistem terhadap masing-masing konstruk/dimensi dan keseluruhan butir/item didalamnya.
Hasil uji beda ini menunjukkan perbedaan persepsi antar kedua kelompok pengguna untuk
11 butir/item dari kosntruk/dimensi yang ada dan persamaan persepsi atas 1 butir/item
pada kosntruk/dimensi isi (content) pada butir/item ke empat, yaitu kecukupan informasi.
Hasil uji SPSS menunjukkan bahwa nilai t pada equal variance assumed adalah -.863
dengan probabilitas signifikansi 0.392 (two tail). Oleh karena probabilitas lebih dari 0.05
maka dapat disimpulkan mempunyai asumsi equal variance assumed. Jadi dapat
disimpulkan bahwa terdapat persamaan persepsi antara pengguna e-procurement yaitu
penyedia barang/jasa dan panitia pengadaan terhadap butir/item kecukupan informasi dari
konstruk/dimensi isi (content).
Hasil uji beda terakhir adalah untuk melihat persepsi kedua kelompok berdasarkan
keseluruhan penilaian dari masing-masing konstruk/dimensi yang didapat dari rata-rata
respon mereka sebelumnya. Hasil uji SPSS pada uji beda ketiga menunjukkan bahwa F
hitung levene test sebesar 5,039 dengan probabilitas 0,029. Oleh karena probabilitas
kurang dari <0,05 maka dapat disimpulkan mempunyai asumsi equal variance not
assumed. Dari output SPSS terlihat bahwa nilai t pada equal variance not assumed adalah
-5.958 dengan probabilitas signifikansi 0.000 (two tail). Jadi dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan persepsi antara pengguna e-procurement yaitu penyedia barang/jasa
dan panitia pengadaan.
Dengan adanya hasil analisa data yang menunjukkan perbedaan tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa implementasi sistem e-procurement yang sedang dijalankan oleh
pemerintah kota Yogyakarta saat ini akan dikatakan berhasil bila kesenjangan digital yang
disebabkan oleh perbedaan persepsi antara panitia pengadaan dan penyedia barang dan jasa
tersebut dapat diatasi.
Sesuai dengan tujuan penelitian bahwa penelitian ini merupakan penelitian
evaluasi, maka dengan adanya perbedaan persepsi tersebut, dapat ditentukan tindakan apa
yang seharusnya diambil oleh para pengguna dan pengembang sistem e-procurement yaitu
LPSE Kota Yogyakarta, panitia pengadaan, dan penyedia barang/jasa.
B. KETERBATASAN
Sesuai dengan tujuan penelitian yang mengukur persepsi pengguna layanan e-
procurement, maka temuan penelitian ini perlu dikaji lebih dalam apakah perbedaan
persepsi tersebut memang hasil dari satu kondisi yang normal, karena persepsi bersifat
subyektif.
Penelitian ini dilakukan di pemerintah kota Yogyakarta, yang saat ini sedang
menjalankan perubahan sistem pengadaan barang/jasa dari sistem konvensional ke sistem
elektronik dan sedang memasuki tahun kedua. Dengan rentang waktu yang cukup pendek,
gambaran tentang obyek penelitian belum cukup jelas mengingat obyek penelitian dalam
hal ini LPSE Kota Yogyakarta maupun seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan e-
procurement sedang berada dalam tahap yang sama yaitu proses penyesuaian atas
perubahan sistem pengadaan konvensional ke sistem elektronik.
Penelitian ini merupakan studi kasus di salah satu pemerintah daerah yang tidak
bisa digunakan secara menyeluruh atas implementasi sistem yang sama di daerah lain.
C. SARAN
Berdasarkan beberapa keterbatasan penelitian dan hasil yang didapat dari penelitian
ini, maka saran yang bisa penulis berikan diantaranya:
1. Melihat hasil penelitian yang berupa perbedaan persepsi pengguna antara panitia
dan penyedia barang/jasa, sebaiknya LPSE Kota Yogyakarta dapat lebih
meningkatkan sosialisasi sistem e-procurement yang sedang berjalan.
2. Adanya kesenjangan digital yang terjadi pada sebagian besar penyedia barang/jasa
dan panitia pengadaan, dapat disebabkan oleh berbagai hal misalnya langkanya
sumber daya yang handal, budaya penggunaan teknologi infrastruktur yang
memadai dalam hal akses internet, hendaknya menjadikan mereka yang terlibat
dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah meningkatkan upaya dalam
mengatasi kendala tersebut. Kesadaran akan melek teknologi menjadi unsur utama
dalam penerapan sistem e-procurement.
3. Perubahan sistem konvensional ke sistem on-line tentunya membawa dampak bagi
semua pihak yang selama ini terlibat dalam suatu kegiatan pengadaan barang / jasa.
Hal ini pula yang terjadi pada kegiatan pengadaan barang/jasa di lingkup
pemerintah kota Yogyakarta. Bisa jadi bahwa sistem konvensional menjadi cara
yang paling baik bagi beberapa pihak yang kurang setuju dengan sistem baru,
sedangkan tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa pihak yang lain lebih
memilih sistem baru karena beroleh manfaat secara langsung. Untuk itu perlu
diadakan penelitian yang menguji efektivitas dan efisiensi pengadaan barang/jasa
diukur dari sistem yang digunakan.
4. Keberhasilan sebuah sistem baru akan dapat diukur dengan jelas bila dari sisi waktu
implementasi dan proses penerapannya telah berjalan cukup matang dan sesuai
dengan rencana. Perlu diadakan penelitian serupa pada waktu mendatang guna
mengukur tingkat keberhasilan implementasi sistem e-procurement. Saat ini, baik
dari sisi pengembang sistem yaitu LPSE Kota Yogyakarta, panitia pengadaan
maupun penyedia barang/jasa, sedang memasuki tahun kedua implementasi sistem,
dimana ketiganya sama-sama berada pada proses awal adaptasi.
5. Adanya kewajiban bagi semua instansi pemerintah untuk menggunakan sistem baru
pengadaan barang/jasa secara on-line, diharapkan dapat dijadikan bahan penelitian
selanjutnya guna membandingkan keberhasilan sistem antar lembaga publik.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian. Yogyakarta. Rineka Cipta.
Ary, D., Jacobs, LC., Ravazieh. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Terj. Arief Furchan. Surabaya. Usaha Nasional
Asmadewa, I. 2006. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keefektifan Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja (Survei pada Pemerintah Pusat). Thesis UGM. Unpublished.
Assar, Said. 2008. Collaborative Features in French Publik E-procurement. Universite de Savoie, Institut de Recherche en Gestion et en Economie (IREGE). Hal 83-103.
Australian Government. Department of Finance and Administration. 2005. Review of E-procurement Demontration Project. Pada www.agimo.gov.au
Awad. 2004. "Consumer trust in B2C e-Commerce and the importance of social presence: experiments in e-Products and e-Services," Omega. Vol. 32. Hal 1-13.
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Payung Hukum Kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah secara Elektronik. 2009. Pada www.bappenas.go.id
Bjorklund. 2000. Perception and Its Effect : Factors influencing e-procurement usage. Public Procurement. Hal 43-60.
Bruno, G. 2005. A Multicriteria Approach to Evaluate E-procurement Web Sites. Journal of Publik Procurement. Vo. 5. Hal 492-508.
Clarke, L. 1998. Manajemen Perubahan (Terjemahan). Penerbit ANDI, Yogyakarta.
deBoer, L., J. 2002. Electronic Commerce, A managerial Perspective. Pearson Education Inc., New Jersey.
DeLone, W., dan McLean. 2003 “The DeLone and McLean Model of Information Sistem Success : A Ten Year Update,” Journal of Management Information Sistems), Vol 19. Hal 9-30.
Dessler, G. 2003. Human Resource Management. Ninth Edition. Ney Jersey: Prentice-
Hall, Inc. E-procurement at Scotland. 2009. Pada www.eprocurementscotlandia.com
Forum Pengadaan. 2008. Kebocoran dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pada www.iprocwatch.go.id
Giunipero, L. dan Sawchuck.2002. E-Purchasing Plus : Chaning the way corporations
buy. Journal of Publik Procurement. Issue 3. Vol 28. Hal 54-62.
Hammer, Michael dan Champy, James. 2003. Reengineering the Corporation. New York. Harper Business Essentials.
Handoko. Konsultan Pengadaan Barang dan Jasa. 2009. Pada www.yogyakarya.com.
Hans Kelsen. 2009. Hukum dan Implikasinya. Pada www.polhukam.kompas.com
Hardjowijono. 2009. Prinsip Dasar Pengadaan Barang dan Jasa Publik di Indonesia. Jakarta. Indonesia Procurement Watch.
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan SPSS. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Ilias, Azleen, Rusdan, Mohd., Razak, Mohd. 2007. The Study of End-User Computing Satisfaction (EUCS) on Computerised Accounting Sistem (CAS) Among Labuan F.T. Government Sectors : A Case Study in The Responsibility Centres. Labuan e-Journal of Muamalat and Society. Vol. 1. Hal 1-13
Ippolito, Sarzana. 2003. Knowing E-procurement. Information Sistems Forensic Assosiation. Inc.
Iqbal Hasan. 2004. Analisis Data Penelitian. Jakarta. Bumi Aksara.
Iwan Arif, Wijayanto. 2007. Analisis Efektifitas dan Efisiensi Penerapan Sistem E-procurement di Pemkot Surabaya. Tesis UGM.
Jaworski, Frochlich. 2002. E-integrations in the Supply Chain. Decision Sciense. Hal 20-29.
Jogiyanto, 2007. Model Kesuksesan Sistem Teknologi Informasi. Jogjakarta. Andi Offset.
Jones, Brandon. 2009. Improving e-procurement compliance : The Role of user perceptions. POMS 20th Annual Conference, Orlando, Florida, U.S.A. Hal 1-21.
Karwan, Bellardo dan Wallace. 1982. ”DSS Component design Through Field Experimentation : An Applicyion to Emergency Mangement”. Procedings of the 3rd International Conference on Information Sistems.
Keputusan Presiden nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa.
Keputusan Presiden nomor 228 tahun 2001 tentang E-Government.
Keputusan Menteri Komunikasi dan Informasi Indonesia nomor 57 tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penerapan E-Government Indonesia.
Khasali, R. 2005. Change. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Komisi Pemberantasan Korupsi. 2009. Mencegah Korupsi Melalui E-procurement. Pada www.kpk.go.id.
Kristiadi, 2006. Pedoman Good Corporate Governance. Jakarta. Kanisius.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). 2009. Sistem dan Prosedur Pengadaan. Pada www.lkpp.go.id
Marzuki. 2003. Metodologi Riset. BPFE UII, Yogyakarta. Markus, M. L. 1983. “Power, Politics, and MIS Implementation,” Communications of the
ACM. Hal. 430-444.
Mulyanto. 2008. Analisis implementasi E-procurement pada Badan Usaha Milik Negara, Studi Kasus pada PT. (persero) Pupuk Sriwijaya, PT. (persero) Industri Gelas dan PT. (persero) Angkasa Pura II. Tesis IPB.
Nugroho, Rino. 2006. Studi Penjelajahan tentang Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa melalui Internet di Departemen Pekerjaan Umum. Spirit Publik. Vol. 2. Hal 75-80.
O’Brien, J. 2006. Introduction to Information sistems. Mc. Graw Hill.
Paul O. Harrigan. 2008. The Development of E-procurement within the ICT Manufacturing Industry in Ireland. Management Decision. Emerald Group Publishing Limited.Vol. 46. Hal 481-500.
Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Peraturan Walikota Yogyakarta nomor 31 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota Yogyakarta.
Peraturan Walikota Yogyakarta nomor 18 tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota Yogyakarta.
Pikkarainen, Kari. 2006. The Measurement of End-user Computing Satisfaction of Online Banking Services : empirical Evidence from Finland. International Journal of Bank Marketing. Vol 24. Issue 3. Hal 158-172.
Praktek-praktek yang baik di Unit Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Secara Elektronik (LPSE) di Jawa Barat. 2009. Seri Manajemen Pelayanan Publik. Hal 21-23. Pada www.lpse.jawabarat.go.id
Prasetantyoko, Corporate Governance dan Pendekatan Institusional, 2008, Jakarta.
Penerbit Erlangga.
Prabowo, Akbar. 2005. Analisis Terhadap Kesiapan Penerapan E-procurement di Lingkungan Kabupaten Sleman. Tesis UGM.
Purwanto. 2007. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Puspito, Edy. 2007. E-Proc dan Sumber Daya Manusia Pengadaan Barang/Jasa. Simposium Ahli Pengadaan Nasional ke-2.
Rafiqul. 2007. Publik Procurement and Contracting in Bangladesh : An Analysis of the Perceptions of Civil Servants. Journal of Publik Procurement. Boca Raton. Vol 7, Hal 31-50.
Rahman, Andy. 2007. Tinjauan Yuridis Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Sistem E-procurement. Tesis UNAIR.
R. Palmer.2003. Moving Procurement Sistems to the Internet : the adoption and use of e-procurement technology models. European Management Journal. Vol. 44. Hal 17-25.
Satriya, Eddy. 2006. Pentingnya Revitalisasi E-Government di Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi & Komunikasi untuk Indonesia.
Sekaran, Uma. 2006. Metode Penelitian Bisnis. PT Sekawan. Jakarta. Setiawan, Deris. 2002. Electronic Commerce. Jogjakarta. Andi Offset.
Srinivasan, A. 1985. “Alternative Measures of Sistem Effetiveness. Assosociations and Implications”. MIS Quarterly. Vol 9. Hal 243-253.
Sulinar, Nurliya. 2007. Analisis Kepuasan Users pada Penerapan Sistem E-procurement Pemerintah Kota Surabaya. Tesis UNAIR.
Supranto, J. 2001. Statistika Teori dan Aplikasi. Edisi Keenam Jilid 1. Erlangga, Jakarta. Surat Keputusan Menteri Perekonomian nomor 14 tahun 2008 tentang Pembentukan
Komite Kebijakan Governance.
Sutedi, Adrian. 2008. Aspek-aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya. Jakarta. Sinar Grafika.
Torkzadeh, Gholamreza dan William Doll., 1991. Test-Retest Reliability of the End-User Computing Satisfaction Instrument. Decision Sciences. Vol. 22. Hal 26-37.
Usman, Husaini dan Setiady Akbar, Purnomo. 2004. Metodologi Penelitian Sosial. Edisi Kelima. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Walker, Helen dan Christine Harland. 2008. E-procurement in the United Nations : Influences, Issues and Impact. International Journal of Operations and Production Management. Vol. 28. Hal 195-219.
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pengukur Empiris Kualitas Sistem ....................................................... 35
Tabel 2 Pengukur Kesuksesan Sistem .......................................................... 36
Tabel 3 Responden Penelitian ............................................................ 44
Tabel 4 Karakteristik Sampel ........................................................................... 53
Tabel 5 Statistik Deskriptif .............................................................................. 56
Tabel 6 Statistik deskriptif tiap dimensi ............................................................ 57
Tabel 7 Nilai Mean respon penyedia ............................................................... 62
Tabel 8 Nilai mean respon panitia ............. ....................................................... 64
Tabel 9 Hasil Pengujian Validitas ........... ....................................................... 67
Tabel 10 Hasil Pengujian Reliabilitas …... ......................................................... 68
Tabel 11 Hasil Uji Beda t ……………….. ......................................................... 68
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pikir ........................................................................................ 39
2. Dekomposisi Penelitian ………………………………………………… 48
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kuisioner Penelitian .................................................................................... 81
2. Hasil Uji Validitas dan Realibilitas ............................................................. 83
3. Hasil Uji Deskriptif dan Uji Asumsi Klasik................................................ 81
4. Hasil Uji Regresi ......................................................................................... 85
5. Hasil Analisis Tambahan (Uji Beda)........................................................... 86
ABSTRAKSI
Persepsi Pengguna Layanan Pengadaan Barang dan Jasa pada Pemerintah Kota Yogyakarta terhadap Implementasi Sistem E-procurement
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi sistem baru pengadaan
barang dan jasa secara elektronik yang dilakukan oleh pemerintah kota Yogyakarta, sebagai salah satu upaya menciptakan tata kelola yang baik terutaman dalam hal pengadaan barang dan jasa. Penelitian ini akan membandingkan persepsi para penggunanya. Pengguna layanan e-procurement terdiri dari panitia pengadaan dan penyedia barang dan jasa.
Lokasi penelitian di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota Yogyakarta sebagai pengembang system dengan sample yaitu para panitia pengadaan dan rekanan penyedia barang dan jasa yang tersebar di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.
Penelitian ini menggunakan uji beda (t-tes) dengan menggunakan referensi pengukuran kesuksesan system pada end-user computing satisfaction yang dikembangkan oleh Torkazadeh dan Doll (1991). Hasil menunjukkan perbedaan persepsi antara panitia pengadaan dan penyedia barang dan jasa terhadap implementasi system e-proc. Nilai F hitung levene test sebesar 5,039 dengan probabilitas 0,029 (<0,05), maka disimpulkan mempunyai asumsi equal variance not assumed. Nilai t pada equal variance not assumed adalah -5,958 dengan probabilitas signifikansi 0.000 (two tail). sehingga terdapat perbedaan persepsi antara pengguna e-procurement yaitu penyedia barang/jasa dan panitia pengadaan.
Implementasi sistem e-procurement yang sedang dijalankan oleh pemerintah kota Yogyakarta saat ini belum diaplikasikan secara optimal, karena kesenjangan teknologi yang terjadi antara panitia pengadaan dan penyedia barang dan jasa.
Kata kunci : Corporate governance, e-procurement, perception
ABSTRACT
User Perception of Goods and Services Procurement at Government City of Yogyakarta to the Implementation of E-procurement System
This study aims to evaluate the implementation of electronic procurement of goods and services by the Government City of Yogyakarta, as an effort to create good governance especially in terms of procurement. This study will compare the perceptions of user that consist of procurement committee and the providers of goods and services. Research location is in Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) of Government City of Yogyakarta as a system developer with the sample of the procurement committee and partner of goods and services that are spread in Yogyakarta and surrounding areas. This research uses t-test by using a reference measurement system on the success of end-user computing satisfaction developed by Torzadeh and Doll (1991). The results show a difference of perception between the committee and the procurement of goods and services providers to the implementation of e-proc system. F value of Levene test for 5.039 with a probability of 0.029 (<0.05), then the conclusion has not assuming equal variance assumed. T value on equal variance not assumed is -5958 to 0000 the probability of significance (two tail). so that there are differences in perception between users of e-procurement supplier of goods / services and the procurement committee. Implementation of e-procurement system is being run by the Government City of Yogyakarta is currently has not been relatively applied, because the technology gap that has led to the differences in perception between the committee and the procurement of goods and services providers. Keywords : Good Governance, e-procurement, perception