persepsi calon guru kimia mengeni literasi digital …
TRANSCRIPT
PERSEPSI CALON GURU KIMIA MENGENI LITERASI DIGITAL
SEBAGAI KETERAMPILAN ABAD 21
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh :
Puspa Mawarni
NIM. 11160162000061
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul Persepsi Calon Guru Kimia mengenai Literasi Digital sebagai
Keterampilan Abad 21 disusun oleh Puspa Mawarni, NIM. 11160162000061,
Program Studi Pendidikan Kimia, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai Karya
Ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang
telah ditetapkan fakultas.
Jakarta, 12 November 2020
Yang Mengesahkan,
Pembimbing I Pembimbing II
Burhanudin Milama, M.Pd Rizqy Nur Sholihat, M.Pd
NIP. 19770201 200801 1 011 NIP. 19910306 201903 2 017
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pendidikan Kimia
Burhanudin Milama, M.Pd
NIP. 19770201 200801 1 011
iii
iv
ABSTRAK
Puspa Mawarni (11160162000061). Persepsi Calon Guru Kimia mengenai
Literasi Digital sebagai Keterampilan Abad 21, Program Studi Pendidikan
Kimia, Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Calon guru sebagai kunci utama keberhasilan penggunaan teknologi di sekolah ke
depannya harus mampu membangun literasi digital. Berbagai penelitian telah
dilakukan sebagai upaya untuk mengasah kemampuan literasi digital ini, salah
satunya dengan mengetahui sejauh mana pemahaman masyarakat mengenai literasi
digital melalui persepsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa tinggi
persepsi calon guru kimia mengenai literasi digital sebagai keterampilan abad 21.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif, dengan
instrumen berbentuk angket. Responden merupakan mahasiswa pendidikan kimia
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2016, 2017, dan
2018. Data penelitian diperoleh dari jawaban 187 orang responden terhadap angket
yang diberikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada komponen literasi media
dan informasi calon guru kimia memiliki persepsi yang sangat baik dengan
persentase rata-rata sebesar 81,06%, begitupun pada komponen literasi TIK, calon
guru kimia memiliki kriteria persepsi yang sangat baik dengan nilai persentase
sebesar sebesar 84,47%. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa secara
keseluruhan persepsi calon guru kimia mengenai literasi digital memiliki kriteria
persepsi yang sangat baik dengan hasil persentase rata-rata dari keseluruhan
indikatornya sebesar 82,19%.
Kata Kunci: Calon guru kimia, Literasi Digital, Keterampilan abad 21, Persepsi.
v
ABSTRACT
Puspa Mawarni (11160162000061). Pre-Service Chemistry Teachers Perception
About Digital Literacy as 21st Century Skills, Chemistry Education Study
Program, Department of Science Education, Faculty of Tarbiya and Teaching
Training, Syarif Hidayatullah Jakarta Islamic State University.
Pre-Service teachers as the main key in applying technology in schools and below
must be able to build digital literacy. Various studies have been carried out as one
of the efforts to hone digital literacy skills, one of which is knowing the extent of
people's understanding of digital literacy through perception. This study aims to
determine how much pre-service chemistry teacher perception about digital
literacy as 21st Century skill. The method used in this research is descriptive
quantitative, with the instrument in the form of a questionnaire. Respondents were
students of chemistry education at Syarif Hidayatullah State Islamic University
Jakarta, batch 2016, 2017, and 2018. The research data was obtained from the
answers of 187 respondents to the questionnaire given. The results showed that the
components of media and information literacy, chemistry teacher candidates had
very good perceptions with an average proportion of 81,06%, as well as the ICT
literacy component, chemistry teacher candidates had very good perception
criteria with a proportion value of 84,47%. Thus, it can be seen that the total
perceptions of prospective chemistry teachers regarding digital literacy have very
good perception criteria with the proportion of the average result of the total
indicators of 82.19%.
Keywords: Pre-Service Chemistry Teachers, Digital Literacy, 21st Century Skills,
Perception.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrohim.
Puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi dengan judul “Persepsi Calon Guru Kimia mengenai Literasi Digital sebagai
Keterampilan Abad 21”. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad saw. beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya
hingga akhir zaman.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah memberikan
dukungan dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini. Dengan tulus penulis
menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dr. Sururin, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Burhanudin Milama, M.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Kimia
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sekaligus sebagai dosen pembimbing I yang telah memberikan waktu, ilmu,
bimbingan, dan saran kepada penulis dengan penuh kesabaran selama proses
penyusunan skripsi hingga akhir.
3. Rizqy Nur Solihat, M.Pd. selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan
waktu, ilmu, bimbingan, motivasi, semangat, serta saran dengan penuh
keihklasan dan kesabaran dalam penyusunan skripsi ini hingga akhir.
4. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan IPA, khususnya dosen Program Studi
Pendidikan Kimia FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik
dan memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis selama penulis
menjadi mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Para Mahasiswa Pendidikan Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu penulis dalam pengambilan data penelitian.
6. Orang tua tersayang, Bapak Yanto Suryantono dan Ibu Aas Asiyah yang
senantiasa memberikan dukungan, nasehat, pikiran, tenaga, dan waktunya serta
doa yang dipanjatkan dengan penuh ketulusan, kesabaran dan keikhlasan.
Kakak saya Sugih Pangestu yang selalu memberikan dukungan, nasihat, dan
vii
saran terbaik selama proses penyelesaian skripsi, dan adik tercinta Arrum
Melatini, yang selalu siap sedia saat dimintai bantuan.
7. Bunda Zakiatin Nisa, Bu Hilda Indriyani beserta keluarga yang sangat
menginspirasi saya, terimakasih atas dukungan Bunda Nisa dan Bu Hilda yang
selalu memberikan support terbaiknya selama masa perkuliahan saya. Semoga
Allah selalu melindungi dan membalas segala kebaikan Ibu, Bunda, beserta
keluarga.
8. Sahabat seperjuangan saya yang selalu memberikan dukungan, dorongan, dan
semangat disaat saya dilanda kebingungan yaitu Ernawati, Umi Hani, Aan Siti
Nurjanah, Firda Tri Lestari, Intan Septia Anggraeni, Anisa Solihat, dan Dina
Hasna Rofiah.
9. Teman-teman bimbingan skripsi Pak Burhan dan Bu Kiki, terutama untuk
Devita Maharani, yang sudah berbagi waktu, kesabaran, semangat, dan
motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Teman-teman Pendidikan Kimia 2016 yang saling memberikan motivasi dan
semangat selama perkuliahan dan penyelesaian skripsi.
11. Tak lupa kepada teman-teman sedaerah saya, terkhusus teh Eneng Siti Nurhaya
yang tak pernah sungkan saat membantu dalam kebaikan, dan menjadi teman
curhat seperjuangan.
12. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
membantu penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan, kritik, dan
saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang menggunakannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Ciputat, 11 November 2020
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ................................................. iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
ABSTRACT ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................... 5
C. Batasan Masalah ......................................................................................... 5
D. Rumusan Masalah ....................................................................................... 6
E. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
F. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................. 7
A. Kajian Teoritik............................................................................................ 7
1. Persepsi ................................................................................................. 7
2. Calon Guru Kimia................................................................................ 10
3. Literasi Digital ..................................................................................... 14
4. Keterampilan Abad 21 ......................................................................... 36
B. Penelitian yang Relevan ............................................................................ 45
C. Kerangka Berpikir .................................................................................... 47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 48
A. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 48
B. Metode Penelitian ..................................................................................... 48
C. Prosedur Penelitian ................................................................................... 49
ix
D. Populasi dan Sampel Penelitian................................................................. 50
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 51
F. Instrumen Penelitian ................................................................................. 52
G. Validitas dan Reliabilitas Instrumen .......................................................... 56
H. Teknik Analisis Data ................................................................................ 58
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 61
A. Hasil Penelitian ......................................................................................... 61
1. Literasi Media dan Informasi ............................................................... 61
2. Literasi TIK ......................................................................................... 63
B. Pembahasan .............................................................................................. 65
1. Literasi Media dan Informasi ............................................................... 66
2. Literasi TIK ......................................................................................... 74
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 81
A. Kesimpulan............................................................................................... 81
B. Saran ........................................................................................................ 81
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 82
LAMPIRAN ..................................................................................................... 88
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Pengetahuan dan Keterampilan Abad 21 ........................................ 18
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir ......................................................................... 47
Gambar 3.1 Skema Alur Penelitian ................................................................... 49
Gambar 3.2 Angket yang Diunggah ke Google Form ........................................ 51
Gambar 4.1 Grafik Rata-Rata Persentase Aspek Literasi Media dan Informasi .. 62
Gambar 4.2 Grafik Rata-Rata Persentase Aspek Literasi TIK ............................ 64
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kisi-kisi Angket Persepsi Literasi Digital ........................................... 52
Tabel 3.2 Tabel Penilaian ................................................................................... 58
Tabel 3.3 Tabel Klasifikasi Berdasarkan Persentase ........................................... 59
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Bimbingan Skripsi ............................................................... 89
Lampiran 2. Surat Permohonan Validasi ........................................................... 91
Lampiran 3. Lembar Validasi Ahli Instrumen ................................................... 92
Lampiran 4. Lembar Hasil Uji Validitas dan Reabilitas Angket ....................... 100
Lampiran 5. Pernyataan Angket Setelah Uji Validitas dan Reabilitas .............. 105
Lampiran 6. Hasil Angket Definisi dan artikulasi kebutuhan media dan informasi –
Lokasi dan Pengambilan Media dan Informasi .............................................. 108
Lampiran 7. Hasil Angket Penilaian Media dan Informasi ............................... 115
Lampiran 8. Hasil Angket Organisasi Media dan Informasi – Penciptaan
Pengetahuan – Lokasi dan Pengambilan Media dan Informasi ......................... 122
Lampiran 9. Hasil Angket Pengetahuan Dasar – Keterampilan Teknis –
Keterampilan Penilaian Kritis ......................................................................... 129
Lampiran 10. Hasil Angket Total Per Aspek ................................................... 136
Lampiran 11. Tabel Indikator Literasi Media, Informasi, dan TIK ................... 142
Lampiran 12. Tabel Aspek Literasi Media, Informasi, dan TIK ....................... 149
Lampiran 13. Lembar Uji Referensi ................................................................ 150
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Abad ke 21 merupakan abad yang siap dan terbuka dengan segala
perubahan yang bersifat fundamental (Wijaya, dkk, 2016, hlm. 263). Salah satu
contoh dari perubahannya yaitu dalam bidang teknologi informasi, khususnya
media sosial (Redhana, 2019, hlm. 2240). Perkembangan ini secara signifikan
berdampak pada gaya hidup dan kebutuhan masyarakat di berbagai bidang,
sehingga akan membentuk komunitas masyarakat yang membutuhkan
keterampilan dan kompetensi untuk memanfaatkan potensi teknologi terbaru
secara maksimal dalam berbagai bidang (Rizal, dkk, 2019, hlm. 1).
Perkembangan teknologi ini dapat dimanfaatkan dalam bidang pendidikan,
terutama pada pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan
pendidikan. Sehingga perlu dibangun keterampilan yang dibutuhkan di abad
21 untuk membantu menghadapi segala permasalahan yang ada di era
kemudahan informasi ini. Keterampilan abad 21 ini mencakup keterampilan
belajar dan berinovasi, keterampilan menggunakan teknologi dan media
informasi, serta dapat bekerja, dan bertahan dengan menggunakan
keterampilan untuk hidup (life skills) (Wijaya, dkk, 2016, hlm. 264). Hal ini
dikarenakan pendidikan di abad ke 21 lebih bersifat global dan internasional.
Setiap kemajuan teknologi menghadirkan konstruksi teoritis dan wawasan
yang realistis dalam pengembangan dan peningkatan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap di antara siswa dan guru (Boholano, 2017, hlm. 22)
Terlebih, saat ini generasi milenial dihadapkan dengan era revolusi
industri 4.0 yang secara masif memanfaatkan segala bentuk kemajuan
teknologi. Pada era revolusi industri 4.0 ini atau sering disebut juga sebagai era
disrupsi teknologi terjadi otomatisasi dan konektivitas di sebuah bidang yang
membuat pergerakan dunia industri dan persaingan kerja menjadi tidak linear
(Astini, 2019, hlm. 114). Selain itu, adanya fenomena digital native juga
2
menuntut guru untuk memiliki keterampilan dalam mengintegrasikan
teknologi di lingkungan persekolahan seperti yang diungkapkan Chien, Wu &
Hsu (2014) bahwa siswa yang terlahir sebagai digital native memiliki
ekspektasi tinggi terhadap penggunaan teknologi di lingkungan persekolahan
mereka, semakin muda siswa, maka semakin tinggi harapan mereka dalam
pengintegrasian TIK di kelas. Berkenaan dengan hal tersebut, Uni Eropa
menekankan penggunaaan teknologi dalam pendidikan, terutama pada
pendidikan yang berbasis sosial dan budaya karena sangat dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi yang pesat. Pendidikan yang terintegrasi teknologi
tentunya perlu didukung oleh berbagai elemen pendidikan, terutama guru. Oleh
karena itu, guru perlu memiliki keterampilan di bidang media, informasi,
maupun TIK yang terangkum dalam satu keterampilan yang disebut Literasi
Digital (Suryanti, 2018, hlm. 6). Literasi digital ini merupakan bentuk
ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam menggunakan teknologi
komunikasi digital untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan,
menganalisis dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru,
membuat dan berkomunikasi dengan orang lain agar dapat berpartisipasi secara
efektif dalam masyarakat. (Setyaningsih, dkk, 2019, hlm. 1203).
Literasi digital ini jelas memiliki banyak cakupan, tidak hanya tentang
sejauh mana peserta didik dapat memanfaatkan teknologi sebagai media
maupun sumber belajar, namun juga bagaimana peserta didik secara bijak
menghadapi arus informasi yang mudah didapatkan lewat teknologi, seperti
maraknya berita-berita hoax yang disampaikan ke publik, bahkan tak jarang
banyaknya oknum tertentu yang menyalahgunakan informasi untuk
memprovokasi orang lain agar menghujat dan membenci lawan mainnya.
Penggunaan teknologi yang tidak bijak bisa berdampak pada kondisi psikis
seseorang, seperti banyaknya kasus cyberbullying yang menjadikan media
sosial sebagai sarana untuk mencemooh seseorang, memberikan komentar
negatif terhadap seseorang yang dianggap tidak sesuai dengan pemikirannya.
Oleh karena itu, perlu dibangun literasi media, informasi, maupun TIK baik
bagi guru maupun calon guru atau mahasiswa keguruan sebagai bentuk
3
antisipasi dari dampak buruk yang disebabkan rendahnya literasi media,
informasi, maupun TIK sebagai komponen penting dari literasi digital.
Literasi media mencakup kemampuan dalam membaca dan kreatif
komunikasi akademik maupaun professional secara kritis melalui beragam
media. Adanya literasi media ini membuat khalayak tidak mudah terperdaya
oleh informasi-informasi yang secara sekilas memenuhi dan memuaskan
kebutuhan psikologis dan sosialnya. Adapun, literasi informasi merupakan
kemampuan dalam mencari, mengevaluasi dan menggunakan informasi yang
dibutuhkan secara efektif. Sedangkan literasi TIK berfokus pada cara-cara
untuk mengadopsi, menyesuaikan dan menggunakan perangkat digital dan
media berbasis TIK (Setyaningsih, dkk, 2019, hlm. 1204).
Literasi ini penting untuk dimiliki guru, apalagi calon guru yang
merupakan generasi milenial yang lebih siap dan terbuka dalam menerima dan
memanfaatkan teknologi sebagai media belajar. Generasi ini juga dikatakan
sebagai generasi yang akrab dengan komunikasi, media, dan teknologi digital
(Budiati, dkk, 2018, hlm. 18).
Namun pada kenyataannya, beberapa penelitian menyebutkan bahwa
masih rendahnya literasi digital yang dimiliki guru maupun calon guru, baik di
bidang literasi media, literasi informasi, maupun literasi TIK. Seperti penelitian
yang dilakukan oleh Helleve (2019, hlm. 1-2) memaparkan bahwa pendidikan
guru dilaporkan tidak terlalu memperhatikan kompetensi digital mahasiswa
keguruan. Hal ini menggambarkan bahwa belum adanya upaya untuk
membangun literasi TIK pada mahasiswa keguruan. Di bidang literasi media,
Hartini (2019, hlm. 20) menyampaikan observasi yang dilakukan oleh tim
pengabdian, bahwa terungkap guru-guru jarang menggunakan media
pembelajaran, khususnya media pembelajaran berbasis Informasi dan
Teknologi (IT) seperti media pembelaran berbasis e-learning. Hal ini
disebabkan oleh kurang tersedianya sarana dan prasarana khususnya media
pembelajaran, selain itu kurangnya pemahaman serta keterampilan guru dalam
merancang media pembelajaran berbasis e-learning. Adapun di bidang literasi
informasi, saat ini kemampuan guru dan tenaga perpustakaan sekolah kurang
4
memadai. Tantangan terbesar dalam penerapan literasi informasi di sekolah
berasal dari internal sekolah, di antaranya kemampuan guru dan tenaga
perpustakaan sekolah di bidang literasi informasi yang kurang memadai
(Kurnianingsih, dkk, 2017, hlm. 63).
Melihat masih rendahnya literasi digital yang dimiliki calon guru maupun
guru di sekolah, tentunya diperlukan upaya yang konsisten dan
berkesinambungan untuk membentuk literasi digital yang baik. Banyaknya
upaya yang dilakukan untuk membentuk literasi digital ini seperti diadakannya
Gerakan Literasi Nasional (GLN) oleh Kemendikbud. Upaya ini dilakukan
agar masyarakat memiliki kemampuan yang baik di bidang literasi digital.
Kemampuan literasi digital dapat dibangun dengan terlebih dahulu mengetahui
sejauh mana pemahaman masyarakat, khususnya mahasiswa keguruan
mengenai literasi digital. Persepsi berperan sebagai tolok ukur pemahaman
calon guru mengenai literasi digital dan bagaimana tingkat literasi digital yang
dimiliki oleh calon guru seperti yang disampaikan oleh Listyana & Hartono
(2015, hlm. 121) bahwa persepsi mengandung proses untuk mengetahui dan
mengevaluasi sejauh mana kita mengetahui orang lain. Dalam hal ini persepsi
digunakan untuk mengukur sejauh mana pemahaman calon guru mengenai
literasi digital.
Persepsi menurut Rakhmat dalam Arifin, dkk (2017, hlm. 90) merupakan
“pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan”.
Artinya persepsi merupakan pengalaman seseorang mengenai suatu objek,
ataupun peristiwa yang terjadi sehingga dihasilkan suatu kesimpulan berupa
informasi atau pesan yang telah ditafsirkan. Informasi yang dihasilkan inilah
yang bisa dijadikan acuan seseorang dalam memahami sesuatu, seperti halnya
pemahaman seseorang mengenai literasi digital.
Melihat pentingnya persepsi dalam proses pembangunan literasi digital
mahasiswa, telah banyak dilakukan penelitian berkenaan dengan keterampilan
ini, seperti penelitian yang dilakukan oleh Rizal, Setiawan & Rusdiana (2019)
yang mengukur literasi digital calon guru SD di salah satu universitas di
5
Sumedang, penelitian lain juga dilakukan oleh Nelson, Courier & Joseph yang
mengukur persepsi literasi digital yang dibutuhkan oleh mahasiswa di berbagai
universitas.
Pentingnya mengetahui persepsi mahasiswa mengenai literasi digital
diperkuat oleh pernyataan Suyanto, dkk (2018, hlm. 54-55) yang
menyampaikan bahwa pentingnya mengetahui persepsi mahasiswa terhadap
maraknya fenomena hoax di media sosial. Hoax ini merupakan salah satu
bentuk rendahnya literasi digital mahasiswa.
Berdasarkan segala permasalahan yang terjadi terhadap pentingnya
mengetahui persepsi calon guru mengenai literasi digital, maka perlu diadakan
penelitian mengenai “Persepsi Calon Guru Kimia mengenai Literasi Digital
sebagai Keterampilan Abad 21”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka
identifikasi masalah yang terdapat dalam penelitian ini yaitu:
1. Abad 21 yang terbuka dengan kemajuan teknologi merubah gaya hidup serta
kebutuhan masyarakat secara signifikan.
2. Tuntutan untuk mengintegrasikan teknologi di dunia pendidikan untuk
membantu mencapai tujuan pembelajaran.
3. Guru banyak yang tidak mengintegrasikan teknologi dalam proses
pembelajaran, dan masih kurang memadainya literasi informasi guru.
4. Pendidikan keguruan tidak terlalu memperhatikan kompetensi digital calon
guru
C. Batasan Masalah
Karena luasnya permasalahan dari penelitian ini, maka peneliti membatasi
permasalahan pada persepsi Literasi Media, Literasi Informasi, dan Literasi
TIK yang diadopsi dari dokumen UNESCO berjudul Towards Media and
Information Literacy Indicators (2010) dan jurnal internasional yang berjudul
A Review on ICT Literacy in Science Learning (2019). .
6
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah diatas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Seberapa tinggi persepsi calon guru kimia mengenai
literasi digital sebagai keterampilan abad 21?”
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan
penelitiannya yaitu untuk mengetahui persepsi calon guru kimia mengenai
literasi digital sebagai keterampilan abad 21.
F. Manfaat Penelitian
Pelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Peneliti, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran sejauh mana
pemahaman para calon guru kimia mengenai literasi digital dan dapat
dijadikan tolok ukur agar dapat mempersiapkan diri untuk jenjang karir ke
depannya
2. Calon Guru Kimia, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan
bagi para calon guru kimia mengenai pentingnya pemahaman literasi digital
sebagai keterampilan abad 21.
3. Pembaca, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai
sejauh mana persepsi guru mengenai literasi digital sebagai keterampilan
abad 21 dan dapat dijadikan referensi untuk diadakan penelitian yang lebih
mendalam serta relevan.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teoritik
1. Persepsi
a. Pengertian Persepsi
Persepsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tanggapan
(penerimaan) langsung dari sesuatu; serapan. Menurut Sugihartono
(dalam Arifin, 2017, hlm. 90) persepsi merupakan kemampuan panca
indera dalam menerjamahkan stimulus yang masuk atau berupa proses
penerjemahan stimulus yang masuk dalam panca indera. Terdapat
perbedaan pada sudut pandang manusia dalam mempersepsikan sesuatu,
baik berupa persepsi positif maupun persepsi negatif yang
mempengaruhi tindakan nyata seseorang.
Hal serupa juga dijelaskan oleh Nugraha (2015, hlm. 3) bahwa
persepsi merupakan “kecenderungan seseorang terhadap sesuatu dalam
ranah relatif, artinya persepsi individu terhadap sesuatu akan berbeda-
beda berdasarkan persepsi dari masing-masing orang”. Sedangkan
menurut Rakhmat (dalam Arifin, 2017, hlm. 90) persepsi merupakan
pengalaman mengenai objek, maupun peristiwa atau hubungan yang
menghasilkan kesimpulan berupa informasi ataupun pesan yang
ditafsirkan.
Sarlito W. Sarwono (dalam Listyana & Hartono, 2015, hlm. 121)
juga berpendapat mengenai persepsi sebagai “proses perolehan,
penafsiran, pemilihan dan pengaturan informasi indrawi”. Pengertian ini
dimaksudkan sebagai proses masuknya informasi ke dalam panca indra
yang kemudian diproses dan ditafsirkan
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi
memiliki arti berupa kemampuan panca indera dalam menerjemahkan
stimulus yang masuk untuk menghasilkan kecendrungan terhadap
8
sesuatu dalam ranah tertentu yang berhubungan dengan peristiwa atau
pengalaman objek sehingga membentuk kesimpulan berupa informasi
ataupun pesan.
b. Proses Pembentukan Persepsi
Arifin, dkk (2017, hal. 91) menjelaskan pendapat mengenai tahap-
tahap terjadinya persepsi yang disampaikan oleh Walgito, yaitu:
1) Tahap fisik merupakan tahap penerimaan stimulus atau rangsangan
yang telah diterima oleh alat indra.
2) Tahap fisiologis yaitu tahap lanjutan dari tahap awal dimana stimulus
yang telah diterima alat indra, kemudian dilanjutkan ke reseptor
melalui saraf-saraf sensoris.
3) Tahap psikologis di mana penerima stimulus mulai sadar dengan
stimulus yang telah diterima.
4) Tahap Keempat, merupakan hasil dari tanggapan yang telah diterima
berupa perilaku.
Sedangkan menurut Robbins (dalam Yazid & Ridwan, 2017, hlm.
197) proses terbentuknya persepsi berasal dari beberapa faktor eksternal
dan internal:
1) Pemilihan
Pada proses ini individu menyeleksi sesuatu yang dilihatnya.
Proses ini dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal
yang terdiri dari. Adapun faktor eksternalnya terdiri dari:
a) Ukuran, sesuatu yang berukuran besar akan lebih menarik
perhatian individu
b) Kontras, keadaan yang memiliki latar belakang yang kontras dan
menonjol akan menarik perhatian
c) Intensitas kuatnya suatu rangsangan
d) Gerakan, obyek yang bergerak lebih menarik perhatian daripada
obyek yang tak bergerak
9
e) Sesuatu yang baru. Obyek yang baru di suatu lingkungan lebih
menarik perhatian
Sedangkan faktor-faktor internal yang mempengaruhi
terbentuknya persepsi sebagai berikut: Pertama, faktor fisiologis,
terjadi ketika seseorang mendapat stimulus dari luar melalui panca
indera berupa mata, kulit, lidah, telinga, dan hidung. Kedua, faktor
psikologis, berupa motivasi maupun pengalaman belajar di masa lalu.
2) Pengorganisasian
Pengelolaan informasi yang diterima melibatkan pengetahuan
individu dalam memahami dan memaknai stimulus yang ada. Individu
yang memiliki tingkat kognisi yang baik cenderung memiliki persepsi
yang baik pula.
3) Interpretasi
Pada proses ini, individu melihat konteks dari obyek yang
dipersepsikan juga disebut sebagai proses dalam memahami
lingkungan. Artinya individu tersebut membandingkan apa yang telah
dilihatnya dengan orang lain.
Hal ini sama seperti yang disampaikan oleh Julia T. Wood dalam
Citraningrum & Pawito (2017, hlm. 7) yang membagi proses
pembentukan persepsi menjadi tiga proses, yaitu seleksi, organisasi,
dan interpretasi.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Terdapat dua faktor yang memengaruhi persepsi yaitu faktor
personal dan faktor situasional. Sedangkan menurut Rakhmat (dalam
Arifin, dkk, 2017, hlm. 91) menyebutkan bahwa terdapat faktor
fungsional dan struktural. “Faktor fungsional berasal dari kebutuhan,
pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk dalam faktor-
faktor personal.” Persepsi tidak ditentukan oleh jenis stimulus yang
diterima, tetapi lebih kepada karakteristik dari orang yang memberikan
respon terhadap stimulus yang diterimanya. Sedangkan faktor struktural
10
“berasal dari sifat fisik stimuli dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya
pada sistem saraf individu.”
Faktor fungsional juga dapat diartikan sebagai persepsi orang
terhadap sesuatu berdasarkan karakteristik. Terdapat pengaruh antara
karakteristik pribadi seseorang terhadap penafsirannya mengenai objek
yang diamati. Kondisi emosional seseorang dapat mempengaruhi
persepsinya terhadap objek yang diamati. Faktor lain yang ikut
berpengaruh pada proses pembentukan persepsi yaitu faktor struktural,
faktor ini berasal dari stimulus yang disampaikan dalam bentuk fisik
(Adawiyah & Gunansyah, 2018, hlm. 610-611).
Berbeda dengan Adawiyah & Gunansyah, Restiyanti Prasetijo
(dalam Arifin, dkk, 2019, hlm. 92) membagi faktor yang mempengaruhi
persepsi menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari
pengalaman, kebutuhan, penilaian, dan ekspektasi/pengharapan.
Sedangkan faktor eksternal meliputi tampakan luar, sifat stimulus, dan
situasi lingkungan. Toha (dalam Arifin, dkk, 2017, hlm. 92)
menyebutkan lingkup faktor internal yang meliputi “perasaan, sikap dan
karakteristik individu, prasangka, keinginan atau harapan, perhatian
(fokus), proses belajar, keadaan fisik, gangguan kejiwaan, nilai dan
kebutuhan juga minat, dan motivasi.” Sedangkan faktor eksternal
meliputi “latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh,
pengetahuan dan kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan,
pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar atau ketidak asingan suatu
objek.”
2. Calon Guru Kimia
a. Karakteristik Calon Guru
Menurut Murti dan Madya (dalam Kharisma, 2017) pendidikan pada
era abad 21 tentu memiliki karakteristik yang berbeda dari sebelumnya.
Di abad ini, pendidikan yang menjamin peserta didik memiliki
keterampilan belajar dan berinovasi, keterampilan dalam menggunakan
11
media, informasi, dan teknologi, dapat bekerja, serta memliki
keterampilan untuk hidup (life skill) menjadi sangatlah penting. Guru
harus melek terhadap perkembangan jaman, baik dalam hal
perkembangan sosial maupun emosional anak.
Tantangan guru di era milenial sangat berat jika dibandingkan
dengan guru- guru di era terdahulu. Selain harus menguasai bidang
keilmuan yang diajarkan, guru juga harus mampu memahami teknologi
serta menjadi pribadi yang kreatif dan inovatif. Guru yang merupakan
role model bagi siswa, juga harus memberikan pemahaman kepada siswa
mengenai batasan-batasan penggunaan teknologi, sehingga tidak salah
dalam menggunakan teknologi. Guru harus lebih terbuka dengan
pemikiran-pemikiran baru sesuai dengan zaman yang sedang
berkembang (Barni, 2019, hlm. 111).
Calon guru yang saat ini masih menduduki bangku perkuliahan
masuk ke dalam generasi Y atau sering disebut generasi milenial.
Generasi Y adalah generasi yang lahir tahun 1980-2000. Generasi ini
memiliki karakter yang kreatif, dinamis, serba cepat, dekat dengan media
sosial, serta melek teknologi. Generasi ini sangat terbuka dengan
teknologi, mereka menggunakan teknologi untuk kehidupan sehari-hari,
dimulai dari berinteraksi dengan teman hingga penggunaan teknologi
untuk belajar. (Budiati, 2018).
Budiati, dkk (2018, hlm. 18) dalam bukunya juga memaparkan ciri
utama generasi milenial sebagai “peningkatan penggunaan dan
keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital. Karena
dibesarkan oleh kemajuan teknologi, generasi milenial memiliki ciri-ciri
kreatif, informatif, mempunyai passion dan produktif.”
Menurut DeBard dan Prensky (dalam Zaluchu, 2019) untuk
mempersiapkan pendidikan generasi milenial perlu diperhatikan terlebih
dahulu karakteristiknya. Dalam studinya sekitar seribu siswa dari semua
12
kelas ekonomi, sosial, intelektual, dan latar belakang usia di seluruh
dunia, ditemukan fakta konsisten mengenai karakter milenial. Sejumlah
karakter khas milenial ini adalah: (a) tidak ingin menjadi diajari; (b) ingin
dihormati, dipercaya, sehingga pendapatnya dihargai dan
diperhitungkan; (c) mengikuti keinginannya, terutama keinginan pribadi;
(d) ingin membuat, menggunakan alat saat bekerja; (e) ingin bekerja
dalam kelompok dan proyek (tidak membiarkan pemalas hanya
menumpang nama); (f) ingin membuat keputusan dan mengendalikan;
(g) ingin terhubung dalam jaringan untuk mengekspresikan dan berbagi
pendapat, baik di kelas maupun di dunia; (h) ingin bekerja sama dan
bersaing satu sama lain; dan (i) menginginkan pendidikan yang tidak
hanya relevan, tetapi juga nyata.
Selain itu, menurut Andriyani (dalam Fatmawati, 2019, hlm. 125)
generasi milenial memiliki karakteristik sebagai berikut: Pertama,
memiliki ambisi yang besar untuk menjadi sukses, sehingga lebih
bersikap optimis dalam menggapai mimpinya. Kedua, memiliki perilaku
instan dan berpikir praktis. Ketiga, anak lebih mencintai kebebasan. Oleh
karena itu, dengan karakter yang seperti ini anak yang lahir di generasi
milenial akan cenderung lebih terbuka dalam menerima teknologi
sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhannya.
Para calon guru yang memiliki keyakinan konstruktivisme lebih
tertarik menggunakan teknologi dalam praktik mengajar mereka di masa
depan; oleh karena itu, mereka memiliki lebih banyak teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) dan kompetensi integrasi teknologi
dalam pendidikan (Bahcivan, 2019).
b. Pembelajaran abad 21 untuk guru
Pada proses pembelajarannya, guru professional dan kritis dibangun
dari dua identitas seorang mahasiswa keguruan. Saat mahasiswa
keguruan memasuki pendidikan guru sampai ujian akhir selesai dan
memperoleh sertifikat mengajar, siswa harus melalui transisi dari pribadi
13
ke orang profesional. Seharusnya ada pergeseran identitas atau
pemahaman diri dari siswa ke guru. Menurut Lee dan Schallert (2016)
dalam Helleve (2019, hlm. 3-4) pendidikan guru harus memperhatikan
bagaimana calon guru mengatur identitas ganda ini antara diri sebagai
siswa dan diri sebagai guru dalam perjalanan mereka untuk menjadi guru.
Dalam perjalanan untuk menjadi profesional, mahasiswa keguruan
menghadapi sejumlah ketegangan terkait dengan pemahaman diri
mereka mengenai partisipasi sosial dan keseimbangan kehidupan kerja.
Oleh karena adanya ketegangan ini, maka calon guru perlu
membiasakan diri memahami apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi
guru professional di masa mendatang. Calon guru diharapkan mampu
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan kondusif dengan
gaya belajar yang bervariasi, selain itu pentingnya menggunakan media
belajar atau bahan belajar yang tepat sehingga menciptakan mutu
pembelajaran yang lebih baik. Proses pemecahan masalah calon guru
pada lingkungan belajar salah satunya bisa dengan penggunaan TIK yang
biasa digunakan sehari-hari seperti smartphone dengan kamera,
komputer atau laptop, dan aplikasi perangkat lunak lainnya (wiki,
YouTube, dan Facebook) (Hakkinen, 2016, hlm. 10).
Selanjutnya upaya lain yang dapat dilakukan yaitu guru perlu
diberikan bimbingan dan informasi mengenai penggunaan teknologi
secara aman dan efektif. Oleh karena itu, pembelajaran abad 21 perlu
dilengkapi dengan teknologi dan informasi yang kreatif dan inovatif.
Langkah-langkah yang dapat diambil, khususnya dalam pelajaran kimia
yaitu dengan menggunakan media sosial seperti blog, ensiklopedia,
youtube, dan sebagainya. Dengan demikian, diharapkan pembelajaran
kimia akan berlangsung lebih menarik (Dewi, dkk, 2018, hlm. 269).
14
3. Literasi Digital
a. Pengertian Literasi Digital
Ulum (2019, hlm. 25) mengungkapkan istilah literasi digital pertama
kali disampaikan oleh Gilster (1997) bahwa literasi digital merupakan
kemampuan penggunaan teknologi informasi dari perangkat digital
secara efektif efisien dalam berbagai konteks kehidupan sehari-hari.
Bawden (2001) dalam Ulum (2019, hlm. 25) memperluas pemahaman
literasi digital yang berasal dari literasi perangkat komputer dan
informasi. Literasi komputer berkembang pada dekade 1980-an ketika
komputer mikro semakin luas dipergunakan, tidak hanya di lingkungan
bisnis, tetapi juga masyarakat. Sementara itu, literasi informasi menyebar
luas pada dekade 1990-an manakala informasi semakin mudah disusun,
diakses, dan disebarluaskan melalui teknologi informasi berjejaring.
Martin (2006) dalam Ulum (2019, hlm. 25) merumuskan definisi literasi
digital adalah kesadaran, sikap, dan kemampuan individu untuk
menggunakan alat dan fasilitas digital secara tepat untuk
mengidentifikasi, mengakses, mengelola, mengintegrasikan,
mengevaluasi, menganalisis, dan menyintesis sumber daya digital,
membangun pengetahuan baru, menciptakan ekspresi media, dan
berkomunikasi dengan orang lain, di konteks situasi kehidupan tertentu,
untuk memungkinkan tindakan sosial yang konstruktif; dan
merenungkan prosesnya. Hague (2010) dalam Ulum (2019, hlm. 25)
mengemukakan bahwa literasi digital merupakan kemampuan membuat
serta berbagi dalam keadaan dan bentuk yang berbeda dalam rangka
berkolaborasi, dan berkomunikasi secara lebih efektif, serta memahami
bagaimana dan kapan teknologi digital digunakan dengan baik dalam
menciptakan proses tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa karakteristik literasi digital tidak hanya mengacu pada
keterampilan operasi dan menggunakan berbagai perangkat teknologi
informasi dan komunikasi teknologi (perangkat keras dan platform
perangkat lunak), tetapi juga untuk proses “membaca” dan “memahami”
15
sajian isi perangkat teknologi serta proses “menciptakan” dan “menulis”
menjadi sebuah pengetahuan baru.
Knobel dan Lankshear (2006) dalam Lund, dkk (2019, hlm. 48)
memperkenalkan tiga aspek yang berjumlah jamak "literasi digital":
informasi, yang biasanya terhubung dengan pembuatan atau komunikasi
informasi; keterlibatan epistemik dengan informasi, seperti memvalidasi
atau memutuskan pertanggungjawaban informasi yang ada; dan,
akhirnya, kapasitas atau serangkaian keterampilan.
Literasi digital mengacu pada serangkaian kompetensi di luar
penggunaan media digital, komputer dan Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK). Sering dipahami terdiri dari (atau telah digabung)
sejumlah bentuk literasi lainnya seperti literasi komputer, literasi
internet, literasi media, dan literasi informasi (Leaning, 2018, hlm. 4).
Selain itu literasi digital dapat diartikan sebagai keterampilan secara
teknis maupun intelektual pada penggunaan internet dan komputer dalam
melatih keterampilan sosial dalam jaringan serta bertindak sesuai dengan
kerangka yang telah ditentukan (Ata, 2019, hlm. 421).
Permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat seperti cyberbullying
juga dikarenakan digital native tidak memiliki penguasaan pada literasi
baru. Literasi ini mencakup literasi data, teknologi dan manusia. Literasi
ini berkaitan dengan kemampuan manusia untuk membaca,
menganalisis, menyimpulkan data dan informasi yang didapat,
memahami cara kerja mesin, serta keterampilan dalam berkomunikasi,
berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif dan juga inovatif (Suryanti, 2018,
hlm. 2-3).
b. Prinsip Literasi Digital
Konsep literasi digital, sejalan dengan terminologi yang
dikembangkan oleh UNESCO pada tahun 2011 yang tidak bisa
dilepaskan dari kegiatan seperti membaca dan menulis, serta matematika
berkaitan dengan pendidikan. Oleh karena itu, literasi digital tidak hanya
melibatkan kemampuan dalam menggunakan perangkat teknologi,
16
informasi, maupun komunikasi, tetapi juga mencakup kemampuan untuk
bersosialisasi, kemampuan dalam pembelajaran, bersikap dan berpikir
kritis, kreatif, serta inspiratif sebagai kompetensi digital.
Prinsip dasar pengembangan literasi digital, antara lain, sebagai berikut.
1) Pemahaman
Prinsip pertama dari literasi digital meliputi kemampuan untuk
menghasilkan ide ide secara implisit dan ekspilisit dari media.
2) Saling Ketergantungan
Prinsip kedua dari literasi digital adalah saling ketergantungan yang
dimaknai bagaimana suatu bentuk media berhubungan dengan yang
lain secara potensi, metaforis, ideal, dan harfiah.
3) Faktor Sosial
Faktor sosial sebagai wujud dalam memberikan pesan tersendiri dari
informasi yang ada. Siapa yang membagikan informasi, kepada siapa
informasi itu diberikan, dan melalui media apa informasi itu berikan
tidak hanya dapat menentukan keberhasilan jangka panjang media itu
sendiri, tetapi juga dapat membentuk ekosistem organik untuk
mencari informasi, berbagi informasi, menyimpan informasi, dan
akhirnya membentuk ulang media itu sendiri.
4) Kurasi
Hal ini berkaitan tentang penyimpanan informasi, seperti metode
“save to read later” pada media sosial sebagai bentuk penilaian pada
sebuah informasi dan menyimpannya agar lebih mudah diakses dan
memiliki manfaat jangka panjang. (Nasrullah, dkk, 2019, hlm. 9).
Sedangkan Nelson (hlm. 97) mengungkapkan bahwa literasi digital
dibangun atas tiga prinsip: "keterampilan dan pengetahuan untuk
menggunakan berbagai aplikasi perangkat lunak media digital dan
perangkat perangkat keras; kemampuan untuk memahami secara kritis
17
konten dan aplikasi media digital; serta pengetahuan dan kapasitas untuk
menciptakan dengan teknologi digital.
c. Komponen Literasi Digital
Komponen yang terdapat pada keterampilan abad 21 yaitu literasi
informasi, literasi media, literasi ICT (Informasi, Komunikasi, dan
Teknologi). Peserta didik yang tergolong digital native, perlu diberikan
perhatian khusus dari pendidik pada keterampilan informasi, media, dan
teknologinya. Ketiga literasi tersebut tergabung menjadi Literasi Digital.
Literasi digital merupakan kebutuhan yang diperlukan pada abad 21 ini.
Teknologi digital memungkinkan terjadinya penyampaian informasi dan
komunikasi yang lebih cepat dari sebelumnya. Selain itu, perlu disadari
pula meningkatnya kecepatan penyebaran informasi di dunia maya
semakin dipenuhi dengan berita bohong, ujaran kebencian, bahkan
praktik-praktik penipuan. Disinilah setiap individu dapat meletakkan
kesadarannya untuk menjadi literat digital (Kemdikbud, 2017) dalam
(Suryanti, 2018, hlm. 6). Masih dalam sudut pandang yang sama, Nelson
(hlm. 97) menyampaikan bahwa konsep literasi digital jauh lebih luas
daripada literasi komputer yang mewakili kerangka untuk
mengintegrasikan sub-disiplin / literasi dan keterampilan-keterampilan
lainnya yang saling terkait. Seperti literasi teknologi, literasi informasi,
literasi media, dan literasi visual. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan
Sujana dan Rachmatin bahwa:
“Literasi digital yang penting untuk dimiliki mahasiswa abad 21
meliputi literasi informasi, literasi media, serta literasi Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK). Kemampuan literasi digital yang
dimiliki mahasiswa dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-
hari, baik di lingkungan masyarakat, keluarga, sekolah, tempat kerja serta
lingkungan lainnya” (Sujana & Rachmatin, 2019, hlm. 1). Literasi ini
diperlukan sebagai salah satu komponen terpenting dalam keterampilan
abad 21.
18
Gambar 2.1. Pengetahuan dan Keterampilan Abad 21
Sumber : p4tksb.kemdikbud.go.id
Banyaknya upaya nasional dan regional untuk mengembangkan dan
mengimplementasikan kerangka kerja literasi digital dan rencana
strategis untuk meningkatkan literasi digital masyarakat. Namun, setiap
negara mengadopsi dan mengembangkan kerangka kerja berbeda-beda.
Sebagai contoh, Republik Korea bermaksud meningkatkan literasi digital
pejabat publik untuk meningkatkan efisiensi, transparansi dan pemberian
layanan kepada warga negara melalui administrasi publik. Di sisi lain,
Oman mengadopsi Kurikulum Literasi Digital Microsoft untuk
menjembatani kesenjangan digital, meningkatkan industri TIK dan
membangun kapasitas kerja generasi muda (Law, dkk, 2018, hlm. 6).
Demikian juga, definisi untuk literasi digital juga berbeda. Beberapa
orang menganggap literasi digital sebagai literasi baru yang terdiri dari
banyak dimensi dan terwakili dalam praktik sosial multimoda yang baru.
Misalnya, Ala-Mutka (2011) mendefinisikan literasi digital untuk
DigComp sebagai literasi yang muncul dari literasi lain dan, dengan
demikian, lebih besar dari jumlah literasi lainnya, yang meliputi literasi
informasi, literasi media, literasi internet, dan komputer atau Literasi TIK
(yaitu pengetahuan dan keterampilan perangkat keras dan lunak).
Demikian pula, dalam Kerangka Kerja Kurikulum Pendidikan Dasar
Kenya, literasi digital mencakup literasi tradisional dan literasi komputer
(Law, dkk, 2018, hlm. 6).
19
Kerangka Literasi Digital Internasional yang diusulkan
dimaksudkan untuk melayani pemantauan, penilaian, dan pengembangan
lebih lanjut dari literasi digital, dengan mempertimbangkan berbagai
tingkat perkembangan. Oleh karena itu, kerangka kerja yang dihasilkan
perlu dioperasikan untuk memenuhi tujuan ini. Dalam meninjau
kerangka kerja terkait yang dikumpulkan dari lembaga pemerintah dan
non-pemerintah, kami menemukan bahwa gagasan berikut secara
berulang dan terus-menerus: "akses", "kelola", "pahami", "integrasikan",
"komunikasikan", "evaluasi" dan "ciptakan". Karenanya, kami
mengusulkan definisi berikut untuk literasi digital:
“Literasi digital adalah kemampuan untuk mengakses, mengelola,
memahami, mengintegrasikan, berkomunikasi, mengevaluasi, dan
membuat informasi secara aman dan tepat melalui teknologi digital untuk
pekerjaan, pekerjaan yang layak dan kewirausahaan. Ini mencakup
kompetensi yang beragam disebut sebagai literasi komputer, literasi TIK,
literasi informasi dan literasi media” (Law, dkk, 2018, hlm. 6).
Literasi Digital memiliki cakupan yang cukup luas, maka peneliti
mengambil rujukan dari penelitian Sujana & Rachmatin yang
menjelaskan bahwa komponen literasi digital terdiri dari literasi media,
informasi, dan teknologi atau TIK, hal ini merupakan komponen utama
yang sangat diperlukan calon guru untuk membentuk siswa menjadi
literat digital yang berkualitas. Masing-masing komponen ini memiliki
area kompetensi yang berbeda, namun tetap saling berkaitan.
1) Literasi Media
a) Definisi Literasi Media
Definisi mengenai literasi media menurut Baran & Denis
dalam Ulum (2019, hlm. 24), merupakan suatu rangkaian gerakan
melek media yang dirancang untuk meningkatkan kontrol
individu terhadap media yang mereka gunakan untuk mengirim
dan menerima pesan.
20
Literasi media menurut Hobbs (1996) dalam Ainiyah (2017,
hlm. 69) dapat juga dipahami sebagai “proses dalam mengakses,
menganalisis secara kritis pesan-pesan yang terdapat dalam media,
kemudian menciptakan pesan menggunakan alat media”.
Pemahaman lain perihal literasi media juga dikemukakan oleh
Rubin (1998) dalam Ainiyah (2017, hlm. 69) sebagai “pemahaman
sumber, teknologi komunikasi, kode yang digunakan, pesan yang
dihasilkan, seleksi, interpretasi, dan dampak dari pesan tersebut”.
Secara historis literasi media digunakan untuk
menggambarkan berbagai praktik pendidikan. Potter (2010)
mengakui bahwa lebih dari 20 definisi yang berbeda digunakan
untuk mendefinisikan literasi media hingga adanya pemufakatan
definisi secara tetap. Organisasi seperti National Leadership
Conference on Media Literacy (Aufderheide, 1993), UK’s Office
of Communication (OFCOM, 2004) dan Asosiasi Nasional untuk
Pendidikan Literasi Media (National Association for Media
Literacy Education, 2015) yang berbasis di AS semuanya
menawarkan definisi yang mengidentifikasi berbagai keterampilan
khusus yang akan dimiliki oleh orang yang melek media. Alternatif
untuk metode berbasis keterampilan ini terletak pada pendekatan
yang terlihat untuk mengembangkan sikap kritis pada siswa dan
menganggap literasi media sebagai praktik sosial dan budaya dan
teknologi yang menopang studi informasi dengan literasi
informasi. Secara akademik literasi ini berperan sebagai
kemampuan untuk menilai media secara kritis (Leaning, 2019,
hlm. 7).
Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa literasi
media merupakan suatu upaya yang dilakukan individu supaya
mereka sadar terhadap berbagai bentuk pesan yang disampaikan
oleh media, serta berguna dalam proses menganalisa dari
21
berbagai sudut pandang kebenaran, memahami, mengevaluasi dan
juga menggunakan media secara kritis.
b) Konsep Literasi Media
Literasi media merupakan sebuah konsep baru di Indonesia,
namun kajian mengenai literasi ini telah banyak dilakukan di
negara lain. Dalam menghadapi arus media massa yang
menyajikan beragam tayangan, maka aktivitas literasi media tepat
untuk melindungi khalayak dari serbuan tayangan yang disajikan.
Di Indonesia sendiri kegiatan literasi media ini disebabkan oleh
kekhawatiran akan dampak negatif yang ditimbulkan (Fitryarini,
2016, hlm. 53)
Cakupan media literacy atau literasi media mencakup
kemampuan kritis dalam membaca dan kreatif dalam melakukan
komunikasi baik akademik maupun profesional melalui beragam
media. Literasi ini menjadikan masyarakat tidak mudah terpedaya
oleh informasi-informasi yang secara sekilas memenuhi dan
memuaskan kebutuhan psikologis dan sosialnya (Setyaningsih,
2019, hlm. 1204).
Simons (2017, hlm. 102) juga mengatakan hal yang sama
mengenai kompetensi literasi media yang umumnya mengacu pada
pada “kemampuan untuk menganalisis dan merefleksikan secara
kritis tentang pesan-pesan media serta untuk membuat dan
menyebarkan pesan-pesan media dan mengambil tindakan”.
Menurut Ferrés dan Piscitelli (2012) dalam Mateus (2019, hlm.
438) kompetensi media membantu kita untuk berinteraksi secara
kritis menggunakan pesan (media) dari orang lain, dan mampu
menghasilkan dan mendistribusikan pesan kita sendiri. Menurut
Horton (2007, hlm. 6-7) literasi media mencakup segala hal mulai
dari memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk menggunakan
teknologi media lama dan baru hingga memiliki hubungan kritis
dengan konten media di saat media merupakan salah satu kekuatan
22
paling kuat di masyarakat. Literasi media sebagai masalah
keterampilan, pengetahuan, dan kompetensi, yang juga tergantung
pada institusi, teks, dan teknik yang melaluinya informasi dan
komunikasi media.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, maka literasi
media memiliki cakupan yang tidak lepas dari sikap kritis
seseorang dalam mengolah pesan yang disampaikan oleh media,
sehingga pesan yang disampaikan dapat dinilai, direfleksikan, dan
dikomunikasikan kepada khalayak agar dapat dikonsumsi dengan
benar dan tidak menyimpang dari budaya yang ada.
Baran (2010) dalam Ulum (2019, hlm. 26) menyampaikan
bahwa kemampuan ini sangat penting dalam proses komunikasi
massa. Adapun keterampilan literasi media memiliki beberapa
tujuan diantaranya yaitu:
Agar konsumen memiliki pengetahuan serta pemahaman
mengenai isi media, sehingga dapat mengendalikan pengaruh
media dalam kehidupannya;
Melindungi konsumen yang rentan terhadap dampak masuknya
budaya baru melalui media;
Menghasilkan warga yang “well informed” serta dapat menilai
konten media berdasarkan pengetahuan media yang dimiliki.
Sedangkan Rahmi (2013) dalam Ainiyah (2017, hlm. 69)
menyebut tujuan literasi media untuk:
Membantu mengembangkan pemahaman menjadi lebih baik;
Membantu mereka dalam mengendalikan pengaruh media
terhadap kehidupan sehari-hari;
Membantu meningkatkan kemampuan untuk membedakan
pesan yang dapat meningkatkan kualitas hidup atau yang
merusak.
23
c) Upaya Membangun Literasi Media
Upaya untuk mengintegrasikan literasi media dalam
pendidikan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, guru
dapat menumbuhkan literasi media menggunakan konten mata
pelajaran tertentu: literasi media memainkan peran penting dalam
kursus seni dan musik (literasi visual dan audio); kursus bahasa,
khususnya dalam pendidikan bahasa ibu, dengan fokus pada fungsi
komunikatif media (membaca dan memahami beberapa jenis teks);
dan dalam kursus seperti sejarah, geografi dan sains, yang
menawarkan kemungkinan untuk mempromosikan literasi media
dengan membuat peserta didik mencari, menganalisis, dan
menyajikan informasi. Selain itu, perlu untuk membahas literasi
media secara eksplisit dalam kurikulum dengan mendiskusikan
topik dan isu media. Sekolah dapat menerapkan literasi media
dalam mata pelajaran tertentu yang disebut “Media”. Akhirnya,
sekolah juga dapat mengadopsi desain interdisipliner untuk
menumbuhkan literasi media pada siswa dengan
mengimplementasikan proyek yang berfokus pada literasi media di
beberapa mata pelajaran (Simons, 2017, hlm. 100).
Guru juga harus tetap mengikuti aplikasi dan sumber media
baru dan mengidentifikasi literasi media yang memadai yang
dibutuhkan bersama mereka. Kedua, guru harus cenderung
memiliki kompetensi pendidikan yang diperlukan untuk
mengaplikasikan literasi media kepada siswa mereka. Dalam hal
ini, kompetensi pedagogis dan didaktik terkait dengan pendidikan
yang melibatkan literasi media (Simons, 2017, hlm. 103).
Pengukuran literasi media di kalangan guru dapat bermanfaat
dalam tiga konteks. Pertama, penting bagi masing-masing guru
untuk dapat mengukur kompetensi literasi media mereka sendiri
dan merefleksikan peningkatan mereka. Namun, tidak selalu perlu
bagi semua guru di sekolah untuk memiliki tingkat literasi media
24
yang tinggi, atau memiliki kompetensi media yang sama; lebih
penting dan berguna untuk mengidentifikasi kompetensi media
dari tim guru secara keseluruhan dan untuk menentukan apakah
semua kompetensi literasi media yang diperlukan terwakili.
Pengembangan profesional dapat membantu guru untuk saling
melengkapi dan pada akhirnya mencapai tujuan pendidikan bagi
siswa mereka. Akhirnya, pengukuran kompetensi literasi media
guru berguna untuk pengembangan kebijakan. Dalam konteks ini,
literasi media dianggap dalam perspektif yang lebih luas (yaitu
sekolah, tingkat regional). Pandangan yang memadai tentang
kompetensi literasi media guru diperlukan untuk menilai
kebutuhan untuk memulai tindakan spesifik untuk
meningkatkannya (Simons, 2017, hlm. 103).
2) Literasi informasi
a) Definisi Literasi Informasi
Hasugian (2008) dalam Setyaningsih (2019, hlm. 1204)
menjelaskan literasi informasi sebagai kemampuan dalam mencari,
mengevaluasi dan menggunakan informasi yang dibutuhkan secara
efektif.
Library of Conggres Subject Heading (LCSH) memberikan
pengertian literasi informasi sebagai “kemampuan untuk
mengenali kapan informasi dibutuhkan serta untuk mencari,
mengevaluasi, dan menggunakan informasi yang diperlukan secara
efektif” (Septiyantono, hlm. 1.8). Pengertian ini menjelaskan
bahwa seseorang dapat mengetahui kapan waktu yang tepat dalam
membutuhkan, mencari, mengevaluasi, maupun menggunakan
informasi sesuai kebutuhan.
Menurut Garner (2006) dalam Leaning (2019, hlm. 7) literasi
informasi berkaitan dengan pembelajaran seumur hidup yang
memberdayakan masyarakat untuk mencari, mengevaluasi,
25
menggunakan, dan menciptakan informasi secara efektif dalam
mencapai tujuan pribadi, sosial, pekerjaan, maupun pendidikan
mereka.
b) Konsep Literasi Informasi
Konsep literasi informasi ini pertama kali diperkenalkan oleh
Paul Zurkowski (President of Information Industries Association)
di Amerika pada tahun 1974. Literasi informasi ini ditujukan
kepada The National Commisionon Libraries and Information
Science (NCLIS) USA melalui sebuah proposal. Zurkowski
berpendapat
People trained in the application of information resources to
their work can be called information literate. They are learned
techniques and skill for utilizing the wide range of information
tools as well as prmary sources in molding information
solution to their problems. (Septiyantono, hlm. 1.6)
Makna dari konsep tersebut yang dimaksud dengan literasi
informasi adalah orang yang terlatih dalam menggunakan sumber
informasi untuk menyelesaikan tugas mereka. Dalam pengertian di
atas, Zurkowski mengusulkan:
1. sumber informasi digunakan dalam lingkungan kerja;
2. dibutuhkan teknik dan keterampilan untuk menggunakan alat
informasi dan sumber-sumber primer;
3. informasi digunakan untuk memecahkan masalah.
Konsep ini menggambarkan keterampilan dalam
memanfaatkan informasi serta mengenali sumber informasi yang
digunakan sebagai alat bantu untuk menemukan kembali
informasi. Konsep yang kedua ini menunjukkan bahwa literasi
informasi sebagai berikut.
1. Memberikan keterampilan dalam menggunakan berbagai
sumber informasi melalui pelatihan.
26
2. Teknik dan keterampilan yang dilatihkan adalah memanfaatkan
sumber informasi, menggunakan alat bantu untuk menemukan
kembali informasi, dan memanfaatkan informasi.
3. Menggunakan informasi sebagai sumber utama dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
(Septiyantono, hlm. 1.6 - 1.7)
Pada tahun 1990, Bob Berkowitz dan Mike Eisenberg
merumuskan salah satu model literasi informasi yakni model Big
Six Skills. Model tersebut mencakup kemampuan untuk
mengetahui kapan informasi dibutuhkan; mengidentifikasi sumber
informasi; menemukan dan mengakses informasi secara efektif dan
efisien; menilai informasi secara kritis; mengorganisasikan dan
mengintegrasikan informasi berdasarkan pengetahuan;
menggunakan informasi secara etis dan legal; dan menggabungkan
informasi secara efektif.
Salah satu acuan standar kompetensi literasi informasi yang
digunakan berasal dari The Association for College and Research
Libraries (ACRL), yakni asosiasi bagi komunitas pustakawan
akademik dan penelitian. Melalui keanggotaan di ACRL, setiap
anggota memiliki akses untuk meningkatkan kemampuan dan
pengetahuan pustakawan. Standar kompetensi yang ditetapkan
ACRL (2000) ialah:
a. mampu menentukan sifat dan besarnya kebutuhan informasi,
b. mampu mengakses informasi yang dibutuhkan secara efektif
dan efisien,
c. mampu mengevaluasi informasi dan sumbernya secara kritis
dan menggabungkan informasi yang dipilihnya ke dalam
pengetahuan dan sistem nilai,
d. mampu menggunakan informasi secara efektif untuk mencapai
tujuan tertentu,
27
e. mampu memahami isu-isu bidang ekonomi, hukum, sosial, dan
seputar penggunaan informasi dan mengakses serta
menggunakan informasi secara etis dan legal.
Peserta didik yang sudah memenuhi standar kompetensi yang
ditetapkan ACRL diharapkan mampu menelusuri informasi yang
begitu melimpah, menyeleksi informasi yang dibutuhkan (baik dari
sumber dalam bentuk cetak maupun elektronik), mengembangkan
kemampuan berpikir kritis, dan menyelesaikan masalah, baik
dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam penyelesaikan tugas-
tugas di sekolah, serta menyajikan informasi secara etis.
Pentingnya keterampilan literasi tidak hanya bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan untuk menyelasaikan tugasnya saja,
tetapi hingga pada lingkungan kerja dan masyarakat
(Kurnianingsih, 2017, hlm. 63).
c) Upaya Membangun Literasi Informasi
Horton (2007, hlm. 9-13) menyatakan bahwa ada sebelas
tahapan dalam siklus literasi informasi. Beberapa ahli dapat
menggabungkan beberapa langkah atau tahapan ini menjadi satu.
Dan yang lain mungkin memecah satu tahap menjadi lebih dari satu
langkah. Kami mengakui bahwa tidak ada jawaban "terbaik" untuk
identifikasi tahapan atau langkah karena paradigma itu masih
terlalu baru.
1) Sadarilah bahwa ada kebutuhan atau masalah yang
membutuhkan informasi yang penyelesaiannya memuaskan.
Singkatnya, jika seseorang dihadapkan dengan masalah namun
tidak tahu cara mengatasinya dan memutuskan untuk mencari
informasi agar dapat menyelesaikan masalah, maka artinya
seseorang masih dikatakan buta informasi, hal ini merupakan
siklus pertama dari literasi informasi.
28
2) Mengetahui cara mengidentifikasi secara akurat dan
mendefinisikan informasi yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan, menyelesaikan masalah, atau membuat keputusan.
Diantara banyaknya informasi, maka pustakawan memberikan
‘trik’ atau aturan tertentu tentang terminologi yang idealnya
harus digunakan. Terkadang keterampilan ini juga disebut
sebagai istilah "pencarian".
3) Tahu bagaimana menentukan apakah informasi yang
dibutuhkan ada atau tidak, jika tidak, tahu cara membuat, atau
menyebabkan dibuatnya informasi yang tidak tersedia (juga
disebut sebagai "menciptakan pengetahuan baru"). Di sinilah
alat referensi perpustakaan dan mesin pencari ikut bermain dan
"melakukan pekerjaan terbaik mereka." Jika informasi yang
dibutuhkan tidak terdapat di Google, maka bisa dicari di
perpustakaan konvensional.
4) Ketahui cara menemukan informasi yang diperlukan jika telah
memutuskan bahwa informasi itu memang ada. Hal lainnya
dapat dilakukan dengan menghadiri pelatihan tatap muka, atau
menemukan tutorial online mengenai cara mencari informasi
yang telah diketahui.
5) Ketahui cara membuat, atau menyebabkan dibuat, informasi
yang tidak tersedia yang dibutuhkan; kadang-kadang disebut
"menciptakan pengetahuan baru."
6) Tahu bagaimana memahami sepenuhnya informasi yang
ditemukan, atau tahu ke mana harus mencari bantuan jika perlu
memahaminya.
7) Tahu bagaimana mengatur, menganalisis, menafsirkan dan
mengevaluasi informasi, termasuk keandalan sumber. Informasi
yang telah didapatkan perlu ditata ulang untuk dipahami.
Setelah itu, dianalisis dan ditafsirkan. Sehingga informasi yang
didapat dapat dinilai kredibilitas dan keasliannya.
29
8) Mengetahui cara berkomunikasi dan menyajikan informasi
kepada orang lain dalam dengan menggunakan format dan
media yang sesuai.
9) Mengetahui cara memanfaatkan informasi untuk menyelesaikan
masalah, membuat keputusan, atau memenuhi kebutuhan.
10) Mengetahui cara menyimpan, menggunakan kembali,
merekam, dan mengarsipkan informasi untuk penggunaan di
masa mendatang.
11) Mengetahui cara membuang informasi yang tidak lagi
diperlukan, dan menjaga informasi yang harus dilindungi.
3) Literasi Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK)
a) Definisi Literasi TIK
Literasi TIK atau disebut dengan melek teknologi informasi
dan komunikasi berfokus pada cara untuk mengadopsi,
menyesuaikan, dan menggunakan perangkat digital berbasis TIK
baik berupa aplikasi maupun layanan lainnya (Setyaningsih, 2019,
hlm. 1204).
Menurut Syarifuddin (dalam Helaluddin, 2019) literasi TIK
dianggap sebagai kemampuan dalam menggunakan media baru
seperti internet, untuk mengakses, menyebarkan maupun
mengkomunikasikan informasi secara efektif. Literasi ini juga
dimaknai sebagai literasi media yang menjadikan manusia mampu
memahami, menguasai, dan memanfaatkan konten media massa.
Tidak jauh berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh
The Educational Testing Service (ETS) yang mengartikan literasi
TIK sebagai penggunaan teknologi digital, peralatan komunikasi,
maupun jaringan untuk mengakses, mengatur, mengintegrasikan,
mengevaluasi, serta menciptakan informasi yang bermanfaat
dalam kehidupan sosial (Helaluddin, 2019).
30
Mengakses merupakan langkah mengumpulkan dan
mengambil informasi dalam perangkat digital. Evaluasi adalah
menilai informasi yang memenuhi permasalahan otoritas, bias,
ketepatan waktu, relevansi, maupun aspek material lainnya.
Mengelola yaitu mengatur informasi untuk membantu proses
penemuan informasi selanjutnya. Mengintegrasikan yaitu
menafsirkan dan mewakili informasi menggunakan alat digital
untuk mensintesis, meringkas, dan membandingkan informasi dari
berbagai sumber. Mencipta yaitu beradaptasi, menerapkan,
mendesain, ataupun membangun informasi dalam lingkungan
digital. Berkomunikasi yaitu menyebarkan informasi yang sesuai
kepada khalayak tertentu dalam format digital secara efektif.
Dengan adanya kemampuan literasi TIK para guru akan semakin
relevan dengan tuntutan zaman, apalagi sebagai guru profesional
(Astini, 2019, hlm. 117-118).
Jadi berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
literasi TIK diartikan sebagai kemampuan dalam mengadopsi atau
menggunakan perangkat TIK, peralatan komunikasi dan jaringan
sebagai media baru berupa internet untuk mengakses,
mengevaluasi, menciptakan, maupun mengkomunikasikan
informasi secara efektif dalam kehidupan sosial masyarakat.
b) Konsep Literasi TIK
Literasi TIK terbagi dalam dua sudut pandang. Pertama,
Literasi Teknologi (Technological Literacy)—sebelumnya dikenal
dengan sebutan Computer Literacy—merujuk pada kemampuan
penggunaan teknologi digital maupun secara teknisnya. Kedua,
menggunakan Literasi Informasi (Information Literacy). Literasi
ini mencakup kemampuan untuk memetakan, mengidentifikasi,
mengolah, dan menggunakan informasi digital secara optimal
(Nasrullah, dkk, 2019, hlm. 8).
31
Penggunaan teknologi baru dalam pendidikan menyiratkan
peran baru guru, pedagogi baru dan pendekatan baru terhadap
pendidikan guru. Integrasi TIK yang berhasil ke dalam kelas
bergantung pada kemampuan guru untuk menyusun lingkungan
belajar dengan cara baru, untuk menggabungkan teknologi baru
dengan pedagogi baru, untuk mengembangkan ruang kelas yang
aktif secara sosial, mendorong interaksi kooperatif, pembelajaran
kolaboratif, dan kerja tim. Keterampilan mengajar di masa depan
akan mencakup kemampuan untuk mengembangkan cara-cara
inovatif menggunakan teknologi untuk meningkatkan lingkungan
belajar, dan untuk mendorong melek teknologi, pendalaman
pengetahuan dan penciptaan pengetahuan. Pembelajaran
profesional guru akan menjadi komponen penting dari peningkatan
pendidikan ini (Mare, 2019, hlm. 1-2).
Analisis keterampilan dasar TIK calon guru berfokus pada
keterampilan operasional komputer dan smartphone serta aplikasi
office yang paling umum - Microsoft Word, Excel, dan PowerPoint.
Tingkat kompetensi calon guru dalam TIK adalah salah satu
indikator utama kemampuan mereka untuk mengintegrasikan
teknologi ke dalam pengajaran dan pembelajaran mereka. Persepsi
calon guru tentang teknologi untuk pengajaran dan pembelajaran
mencerminkan tingkat kesadaran dan pemahaman mereka tentang
peran teknologi dalam pendidikan.
Tujuan penggunaan TIK dianggap sebagai indikator yang
proporsional dalam penggunaan TIK oleh calon guru untuk tujuan
pendidikan dan nonpendidikan (misal pribadi dan sosial).
Dukungan kelembagaan TIK dan dosen keguruan mengeksplorasi
sejauh mana calon guru telah menerima dukungan TIK yang
diperlukan dari lembaga mereka dan instruktur mereka. Rata-rata
yang rendah dan standar deviasi yang konsisten menunjukkan
bahwa calon guru hanya mendapat sedikit dukungan dari
32
kelembagaan dan guru dalam pelatihan TIK. Calon guru yang
mendapatkan pengalaman secara konsisten dengan teknologi di
seluruh program pendidikan guru mereka akan lebih siap untuk
mengintegrasikan teknologi ke dalam ruang kelas mereka sendiri.
Argumen-argumen ini menyarankan perlunya pendekatan yang
lebih komprehensif dan harmonis untuk memperbaiki kesenjangan
integrasi TIK yang efektif ke dalam pendidikan guru. Program
pendidikan guru kemudian harus menyediakan sarana, model, dan
kerangka kerja untuk mengatasi kebutuhan pengajaran dan
pembelajaran (Mare, 2019, hlm. 4-6).
c) Upaya Membangun Literasi TIK
Upaya ini telah mendapatkan perhatian dari banyak peneliti.
Beberapa inisiatif telah diambil untuk menyediakan kerangka kerja
dengan kompetensi yang harus diperoleh (calon) guru terkait
penggunaan TIK dalam proses belajar mengajar (misalnya, ISTE,
2008). Baru-baru ini, di Flanders (Belgia), kerangka kerja
komprehensif baru untuk kompetensi TIK calon guru telah
dikembangkan (ENW AUGent, 2013). Kerangka kerja TIK (ICT-
CF) ini telah mengintegrasikan kerangka kerja yang ada dan
bertujuan untuk mengembangkan kompetensi TIK calon guru.
Pengenalan kerangka kerja yang disebutkan di atas
mengasumsikan bahwa sangat penting bagi calon guru untuk
mengembangkan kompetensi TIK yang diperlukan. Meskipun
kerangka kerja serupa yang dirancang oleh lembaga pemerintah
tersedia (misalnya, Kennisnet, 2012), mereka disusun terutama
pada tingkat konseptual dan tidak selalu divalidasi secara empiris.
Oleh karena itu, masih tidak selalu jelas apakah dan sejauh mana
calon guru memiliki kompetensi yang diperlukan untuk
mengintegrasikan TIK ke dalam praktik pendidikan mereka
(Tondeur, 2015, hlm. 1)
33
Banyaknya organisasi yang telah menyediakan kerangka kerja
dengan standar TIK yang harus dipenuhi oleh calon guru. Dalam
kerangka kerja ini, istilah yang berbeda digunakan, seperti literasi
TIK, literasi digital dan kompetensi TIK. Keterampilan TIK
merujuk pada penggunaan teknis TIK, sedangkan kompetensi TIK
dikonseptualisasikan sebagai pengetahuan penggunaan,
keterampilan, dan sikap digital yang terintegrasi dan fungsional.
Dengan demikian, keterampilan digital adalah bagian dari
kompetensi digital. Namun, dalam penelitian ini, istilah
kompetensi TIK digunakan karena menawarkan pandangan yang
lebih komprehensif tentang penggunaan teknologi (Tondeur, 2015,
hlm. 3).
Kaufman (2015) menjelaskan bahwa kualitas dan kuantitas
pengalaman TIK calon guru telah diidentifikasi sebagai faktor
penting dalam mempengaruhi pengembangan kompetensi TIK
calon guru. Sebagai contoh, tampaknya mengamati guru yang
menggunakan teknologi terbukti menjadi motivator penting untuk
integrasi teknologi masa depan di kelas (Tondeur, 2015, hlm. 9).
d. Strategi Implementasi Literasi Digital di Sekolah
Menurut Bawden (2001) dalam Suryanti (2018, hlm. 6-7) terdapat
delapan elemen penting yang dapat mengembangkan kemampuan literasi
digital, yaitu;
1) Culture (Kultural). Hal ini berkaitan dengan pemahaman pendidik dan
peserta didik dalam menggunakan perangkat digital.
2) Cognitive (kognitif). Kemampuan ini berhubungan dengan
kemampuan nalar dan berpikir pendidik dan peserta didik dalam
menilai suatu konten.
3) Constructive (konstruktif). Kemampuan konstruktrif berhubungan
dengan merancang sesuatu dengan keahlian dan aktual.
34
4) Communicative (komunikatif). Dalam hal ini pendidik dan peserta
didik harus memiliki kemampuan untuk memahami cara
berkomunikasi dan kinerja jaringan dan komunikasi dunia digital.
5) Confidence (kepercaya diri yang bertanggung jawab) yaitu
kemampuan pendidik dan peserta didik untuk memunculkan rasa
kepercayaan diri dan tanggung jawab terhadap apa yang telah
dirancang.
6) Creative (kreatif). Hal ini terkait dengan kemampuan pendidik dan
peserta didik dalam melakukan atau bahkan menciptakan hal baru,
atau mungkin dengan strategi yang baru pula.
7) Critics (kritis). Kemampuan literat digital dalam menyikapi konten
media digital secara kritis, teliti, dan bijak.
8) Civic (bertanggung jawab secara sosial). Pendidik dan peserta didik
harus memiliki rasa tanggung jawab sosial. Literasi ini tidak hanya
berfokus pada satu aspek pengetahuan saja, melainkan kemampuan
lain yang juga terangkum dalam literasi ini seperti kemampuan untuk
memetakan, mengidentifikasi, mengolah, dan menggunakan
informasi digital dengan cerdas, bijak, dan sesuia dengan norma yang
ada.
Menyikapi berbagai elemen yang harus dimiliki oleh literat digital
ini, maka perlu dilakukan upaya untuk membangun literasi digital ini
sendiri. Ada beberapa stategi atau cara yang ditempuh sekolah dalam
upaya membawa literasi digital ini ke sekolah. Peran pendidik sangat
dibutuhkan untuk menumbuhkan literasi ini. Maka sudah tentu pendidik
perlu melakukan beberapa upaya diantaranya:
1) Mengikuti berbagai pelatihan terkait literasi digital
2) Memanfaatkan literasi digital dalam kegiatan pembelajaran
3) Menambah jumlah dan variasi sumber baca dan media yang berbasis
digital
4) Kegiatan sekolah dan kebijakan sekolah yang memanfaatkan
teknologi dan informasi
35
5) Menyediakan situs-situs dan aplikasi-aplikasi edukatif sebagai
sumber belajar.
Cara penggunaan didaktik digital dalam mengajar (misalnya tablet
atau papan interaktif) membawa perubahan pedagogis yang bermakna ke
pembelajaran kelas klasik (Lewin et al., 2008) tetapi efek positif dari
penggunaan cara ini tergantung pada guru (Zahorec, 2019, hlm. 379).
Lebih jauhnya Nasrullah (2019, hlm. 14) bahkan menyebutkan
bahwa literasi digital ini perlu diintegrasikan dalam kurikulum atau
setidaknya terkoneksi dengan kegiatan belajar mengajar. Siswa perlu
ditingkatkan keterampilannya, guru perlu ditingkatkan pengetahuan dan
kreativitasnya dalam proses pengajaran literasi digital, dan kepala
sekolah perlu memfasilitasi guru atau tenaga kependidikan dalam
mengembangkan budaya literasi digital sekolah.
Mendalami hal tersebut, maka dalam prosesnya guru perlu
memanfaatkan berbagai sumber informasi. Guru juga perlu menciptakan
suasana yang membuat siswa memiliki perspektif yang berbeda dengan
mengarahkannya dalam lingkungan pembelajaran seperti ini. Guru
sebagai perancang lingkungan belajar yang terintegrasi teknologi, tidak
harus menjadi ahli dalam literasi digital, namun menjadikan
keterampilan yang harus dimiliki. Aspek kedua menyangkut cara guru
menggunakan situasi sebagai titik awal untuk memotivasi siswa dalam
mencari pengetahuan mereka. Guru melakukan ini dengan mengenali
informasi relevan namun saling bertentangan yang ditemukan oleh siswa.
Namun, alih-alih memberikan jawaban kepada para siswa, ia mendorong
mereka untuk menyelesaikan kesulitan dengan mencari informasi
tambahan secara online (Lund, 2019, hlm. 55).
Aspek ketiga terkait dengan merancang lingkungan belajar dengan
berbagai bentuk representasi pengetahuan, misalnya informasi statistik
online dan representasi visual. Dengan demikian, guru perlu
36
menyesuaikan pelajaran yang direncanakan dengan temuan baru murid-
muridnya. Kasus ini adalah contoh dari beberapa penelitian
menunjukkan: bahwa mengarahkan beragam bentuk representasi
pengetahuan dapat membantu meningkatkan pemahaman siswa tentang
materi pelajaran. Juga, kita melihat bahwa literasi digital jarang
diberlakukan sebagai praktik terpisah tetapi terkait dengan penggunaan
berbagai sumber daya analog, konseptual, simbolik, dan sosial (Lund,
2019, hlm. 55).
e. Dampak Literasi Digital
Dampak positif dari peningkatan program literasi digital yaitu
seseorang menjadi mampu mengembangkan seluruh kemampuan dalam
mengolah informasi yang didapat dari internet. Selain mempunyai
dampak positif, ternyata literasi yang memanfaatkan teknologi digital
juga mempunyai dampak negatif. Pemahaman literasi digital yang buruk
tidak dapat meningkatkan etika dan tanggung jawab siswa, siswa lebih
memilih untuk memposting di media sosial yang cenderung menghina
orang lain dengan menggunakan bahasa yang kurang sopan (Deonisius,
dkk, 2019, hlm. 71)
Literasi digital dapat menciptakan tatanan masyarakat dengan pola
pikir yang kritis dan kreatif. Masyarakat tidak akan mudah terprovokasi
oleh isu-isu yang ada, dan tidak akan termakan informasi hoaks, maupun
korban penipuan berbasis digital. Membangun budaya literasi digital ini
perlu melibatkan peran aktif masyarakat bersama-sama. Keberhasilan
dalam membangun literasi digital merupakan salah satu indikator
pencapaian dalam bidang pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud
dalam buku Gerakan Literasi Nasional (Nasrullah, 2017, hlm. 5)).
4. Keterampilan Abad 21
Wagner (2010) dan Change Leadership Group menekankan tujuh
keterampilan yang harus dimiliki oleh siswa dalam menghadapi kehidupan,
dunia kerja, dan sebagai warga negara di abad ke-21 yaitu sebagai berikut:
37
a. kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah,
b. kolaborasi dan kepemimpinan,
c. ketangkasan dan kemampuan beradaptasi,
d. inisiatif dan berjiwa entrepeneur,
e. mampu berkomunikasi efektif baik secara oral maupun tertulis,
f. mampu mengakses dan menganalisis informasi, dan
g. memiliki rasa ingin tahu dan imajinasi.
(Zubaidah, 2016, hlm. 2)
Sedangkan US-based Apollo Education Group menyebutkan sepuluh
keterampilan yang mesti dimiliki siswa untuk bekerja di abad 21 yaitu
keterampilan berpikir kritis, kepemimpinan, kolaborasi, komunikasi,
kemampuan dalam beradaptasi, produktivitas dan akuntabilitas, inovasi,
kewarganegaraan global, kemampuan dan jiwa entrepreneurship, serta
kemampuan untuk mengakses, menganalisis, dan mensintesis informasi
(Zubaidah, 2016, hlm. 2-3).
Pada bagian berikut dijelaskan sekilas tentang kompetensi dan
keterampilan sesuai empat pilar pendidikan yang terdapat pada Delors
Report dalam Zubaidah (2016, hlm. 3-8).
a. Learning to Know
Penguasaan materi merupakan hal yang penting bagi siswa di abad
ke 21, konsep pembelajaran sepanjang hayat pun perlu ditanamkan pada
diri siswa agar memiliki keinginan belajar yang berkesinambungan untuk
mengetahui apa yang perlu diketahui dengan memperkuat
pemahamannya. Pembelajaran abad 21 juga hendaknya menekankan
pada tema pembelajaran interdisipliner.
Peserta didik juga dianjurkan untuk mencari pengetahuan sebanyak
mungkin melalui pengalamannya. Hal ini akan memicu sikap kritisnya
dan meningkatkan semangat peserta didik. Learning to know
mengajarkan arti pentingnya pengetahuan, karena learning to know
mengandung learning how to learn yang berarti pemahaman peserta didik
38
mengenai lingkungan di sekitarnya sebagai proses belajar (Laksana,
2016, hlm. 46-47).
Menurut Suprijanto (dalam Laksana, 2016, hlm. 47)
mengungkapkan bahwa learning to know juga mengajarkan belajar
sepanjang hayat atau live long of education. Pendidikan sepanjang hayat
ini merupakan pendidikan yang berlanjut sepanjang hidupnya, tidak
hanya sampai dewasa.
Learning to know ini memuat indikator yang telah ditetapkan oleh
UNESCO, yaitu memperoleh dan menguasai materi sebanyak mungkin;
mencari informasi dari lingkungan maupun sumber lain; menguasai
materi yang diterima; mengembangkan dan merespon informasi baru;
mengembangkan rasa ingin tahu; memanfaatkan berbagai sumber
pelajaran (Prasetyono & Trisnawati, 2018, hlm. 164).
b. Learning to Do
Setiap individu di abad 21 perlu belajar berkarya agar dapat
menyesuaikan diri dengan masyarakat yang berkembang sangat cepat.
Siswa maupun dewasa perlu memiliki pengetahuan akademik dan
terapan yang akan ditransformasikan ke dalam keterampilan yang
berharga.
Learning to do menekankan pada kepentingan dalam berinteraksi
dan bertindak. Ilmu yang telah didapat dapat diterapkan dalam
kehidupan, kerjasama dalam tim untuk mengatasi masalah dari berbagai
situasi dan kondisi. Learning to do ini berkaitan dengan kemampuan
hard skill maupun soft skill. Soft skill maupun hard skill sangat
dibutuhkan dalam dunia pendidikan karena pendidikan merupakan hal
terpenting dalam proses penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berkualitas, tangguh, dan terampil mengikuti perkembangan zaman.
Hard skill menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi
maupun keterampilan teknis lain yang berhubungan dengan kemampuan
39
peserta didik. Adapun soft skill mengacu pada ciri-ciri kepribadian,
kemampuan berbahasa, dan pengoptimalan derajat seseorang (Laksana,
2019, hlm. 48-49).
Learning to do memuat kompetensi tertentu, sesuai dengan yang
telah ditetapkan oleh UNESCO, yaitu “mengaitkan pembelajaran dengan
kompetensi; mengimplementasikan pengetahuan dengan keterampilan;
mengaplikasikan pemahaman secara kreatif dengan tindakan di
lingkungan sehari-hari; meningkatkan keterampilan dalam pemecahan
masalah; berkreasi dengan pengetahuan yang telah diperoleh”
(Prasetyono & Trisnawati, 2018, hlm. 164).
Berikut merupakan kompetensi yang masuk ke dalam Learning to do:
1) Keterampilan Berpikir Kritis
Keterampilan ini merupakan keterampilan fundamental pada
pembelajaran di abad ke-21. Pada era literasi digital dimana arus
informasi sangat berlimpah, siswa perlu memiliki kemampuan untuk
memilih sumber dan informasi yang relevan, menemukan sumber
yang berkualitas dan melakukan penilaian terhadap sumber dari aspek
objektivitas, reliabilitas, dan kemutahiran.
2) Kemampuan Menyelesaikan Masalah
Keterampilan memecahkan masalah mencakup keterampilan lain
seperti identifikasi dan kemampuan untuk mencari, memilih,
mengevaluasi, mengorganisir, dan mempertimbangkan berbagai
alternatif dan menafsirkan informasi. Seseorang harus mampu
mencari berbagai solusi dari sudut pandang yang berbeda-beda, dalam
memecahkan masalah yang kompleks.
3) Komunikasi dan Kolaborasi
Kemampuan komunikasi dapat dilihat sebagai keterampilan
untuk menyempaikan pemikiran secara persuasif, jelas baik lisan
40
maupun tulisan. Kemampuan ini juga mencakup keterampilan dalam
memotivasi orang lain, dan memberikan arahan dengan kalimat yang
jelas.
4) Kreativitas dan Inovasi
Berkembangnya kreativitas dan inovasi siswa dengan
memberikan kesempatan berpikir divergen. Siswa harus diberikan
stimulus untuk berpikir di luar kebiasaan yang ada, cara berpikir yang
baru, memberikan gagasan dan solusi-solusi baru, mengajukan
pertanyaan yang tidak biasa, dan memberikan kemungkinan jawaban.
5) Literasi Informasi, Media, dan Teknologi
Literasi informasi sangat berpengaruh pada perolehan
keterampilan lain di abad ke-21. Literasi media meliputi kemampuan
untuk menganalisis, merefleksikan dan bertindak dalam memahami
pesan yang disampaikan media. Kerangka dari literasi media meliputi
kemampuan untuk mengakses, menganalisi, mengevaluasi,
memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai peran dari
media, serta membangun keterampilan dari informasi yang diselidiki.
Literasi media juga mencakup kemampuan untuk menyampaikan
pesan pribadi untuk orang lain dengna jalan memberikan pengaruh
dan informasi kepada orang lain.
6) Literasi Informasi, Komunikasi, dan Teknologi (TIK)
Literasi ini meliputi kemampun untuk mengakses, mengatur,
mengintegrasi, dan menciptakan informasi dari penggunaan teknologi
komunikasi digital. Literasi ICT ini berpusat pada keterampilan
berpikir tingkat tinggi dalam mempertimbangkan penggunaan media,
informasi dan teknologi. Terdapat keterkaitan antara literasi media,
komunikasi dan teknologi. Penguasaan pada keterampilan ini
memungkinkan penguasaan terhadap keterampilan lain yang
diperlukan dalam kehidupan abad ke-21.
41
c. Learning to Be
Siswa yang memiliki kemampuan kognitif secara fundamental,
dapat menghadapi situasi konflik dan krisis, sehingga terbentuk pribadi
yang berkualitas. Utamanya, siswa harus dapat beradaptasi dengan
kondisi zaman yang berubah dan dapat bekerja sama dengan lingkungan
sosial.
1) Keterampilan Sosial dan Lintas Budaya
Keterampilan ini mencakup kemampuan untuk berinteraksi
secara efektif dengan orang lain, seperti mengetahui waktu yang tepat
untuk berbicara ataupun mendengarkan. Bagaimana memperlakukan
diri dengan hormat, dan bagaimana bersikap secara profesional.
Bekerja secara efektif dalam tim dengan anggota yang beragam (baik
dari kondisi sosial maupun latar belakang budayanya), terbuka dengan
ide-ide dan nilai yang dianggap berbeda, berinovasi dan berkualitas
dalam bekerja.
2) Tanggung Jawab Pribadi, Pengaturan Diri, dan Inisiatif
Siswa yang mandiri dan tanggungjawab dalam proses belajarnyaa
akan meningkatkan kemampuannya sepanjang karirnya.
3) Keterampilan Berpikir Logis
Kemampuan berpikir logis dalam menghadapi isu-isu global yang
kompleks penting untuk dikembangkan. Mereka harus siap mengatasi
segala permasalahan manusia seperti perubahan iklim, konflik
manusia, penyebaran wabah penyakit, krisis energi, kemiskinan.
Sekolah harus mampu mengembangkan kompetensi yang dapat
membantu mereka untuk memahami situasi lingkungan yang baru.
4) Keterampilan Metakognitif
Metakognisi diartikan sebagai 'thinking about thinking'.
Keterampilan metakognitif dapat meningkatkan pemahaman siswa.
42
Beberapa langkah penting yang perlu dilakukan untuk mengajarkan
keterampilan metakognisi adalah sebagai berikut: (a) mengajarkan
bahwa ilmu pengetahuan sangatlah luas, sehingga belajar itu tidak ada
batasnya, kemampuan seseorang dalam belajar juga dapat diubah, (b)
mengajarkan bagaimana menetapkan tujuan dan pencapaian
pembelajaran, (c) memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berlatih memantau kegiatan belajarnya secara akurat.
5) Kemampuan Berpikir Berwirausaha
Kemampuan berpikir yang tidak biasa (out of the box) merupakan
salah satu hal yang perlu dimiliki dalam menumbuhkan kreativitas
seseorang, terutama dalam berwirausaha, membayangkan sesuatu
yang baru dengan menghasilkan karya yang menakjubkan. Memiliki
pola pikir berwirausaha dengan memanfaatkan peluang dan
kesanggupan untuk bertanggung jawab dan menanggung resiko,
sehingga memungkinkan untuk terciptanya lapangan pekerjaan bagi
orang banyak. Oleh karena itu, siswa harus dilatih berpikir dan
menentukan keputusan dengan cepat, mereka juga harus memiliki
kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru yang berdampak positif
bagi orang banyak.
6) Belajar untuk Belajar dan Kebiasaan Belajar Sepanjang Hayat
Seperti yang dikatakan oleh Bolstad (2011) dalam Zubaidah
(2016, hlm. 6) bahwa sekolah harus menanamkan keinginan dan
kemampuan siswanya untuk dapat belajar sepanjang hayat serta
dengan memperluas kapasitas intelektual dari siswa. Selain itu,
memiliki keterbukaan dalam belajar dan komitmen yang kuat untuk
belajar sepanjang hidup sangatlah penting bagi siswa. kemampuan
siswa untuk belajar lebih diutamakan dari akumulasi pengetahuan
yang diperolehnya.
43
d. Learning to Live Together
Berdasarkan beberapa bukti yang telah ditemukan bahwa siswa yang
dapat bekerja secara kooperatif memiliki tingkat kemampuan yang lebih
tinggi dilihat dari hasil pemikiran dan kemampuan menyimpan informasi
dalam jangka panjang dibandingkan siswa yang bekerja secara individu.
Belajar bersama dapat melibatkan siswa untuk lebih aktif dalam
berdiskusi, memantau strategi dan pencapaian dalam belajar, serta
kemampuan berpikir kritis.
1) Menghargai Keanekaragaman
Keterampilan ini mencakup rasa hormat dan menghargai
perbedaan budaya dan permasalahan orang lain, sehingga mereka juga
akan memperoleh keterampilan sosial dan lintas budaya. Lingkungan
sekolah harus memberikan kesempatan bagi siswa untuk saling
menghargai dan hidup berdampingan secara damai di lingkungan
dengan budaya yang beragam. Sehingga, guru perlu menciptakan
kegiatan pembelajaran yang kolaboratif dan sesuai dengan kehidupan
nyata yang dapat mengembangkan pemahaman, dan keterampilan
serta nilai-nilai siswa.
2) Teamwork dan Interconnectedness
Keterampilan teamwork dan interconnectedness harus menjadi
hal yang utama dalam pendidikan. Hasil survei Conference Board
menemukan bahwa profesionalisme, etika kerja yang baik,
komunikasi secara lisan dan tertulis, kerja tim, kolaborasi, berpikir
kritis dan kemampuan memecahkan masalah merupakan keterampilan
yang sangat penting.
44
3) Kompetensi Global
Siswa yang memiliki kompetensi global cenderung menganggap
mereka sebagai warga dunia sehingga memiliki banyak cara untuk
melakukan suatu tindakan. Mereka memiliki kemampuan berpikir
kritis untuk memikirkan masalah yang lebih utama, mencari dan
menilai solusi dan merencanakan tindakan yang akan dilakukan
berdasarkan bukti yang ada, serta mempertimbangkan dampak yang
mungkin muncul atas tindakan yang dilakukan. Siswa yang memiliki
kompetensi global cenderung berhati-hati dalam menentukan
beberapa pendekatan dan dalam memahami perspektif orang lain.
4) Kompetensi antar Budaya
Menurut Barrett, dkk (2014) dalam (Zubaidah, 2016, hlm. 8)
kompetensi antar budaya merupakan hal yang diperlukan siswa. Maka
dari itu, pendidikan antar budaya bertujuan agar dapat memberikan
kontribusi dalam menjaga perdamaian dan pembelajaran inklusif
dengan meningkatkan kemampuan in. Kompetensi antarbudaya tidak
diperoleh secara otomatis, melainkan harus dipelajari, dipraktikkan
dan dipelihara sepanjang hidup. Guru memiliki peran yang sangat
penting dalam memfasilitasi pengembangan kompetensi antarbudaya
di antara siswa (Barrett, dkk, 2014 dalam Zubaidah, 2016, hlm. 8).
Sikap toleransi sangat penting dilakukan dalam masyarakat
multikultural. Perbedaan pandangan, latar belakang budaya perlu
diakui dan dihormati. Sehingga siswa perlu untuk belajar
mendengarkan orang lain, menunjukkan fleksibilitas, serta bekerja
sama dalam tim yang berasal dari budaya yang beragam dengan
rumpun ilmu pengetahuan yang beragam pula. Berbagai. Inilah
kompetensi yang penting pada pembelajaran abad ke-21.
45
B. Penelitian yang Relevan
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian
yang diambil, yaitu:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Syarifah Meutiah Eka Sari (2019) dengan
judul “Persepsi Guru Kimia mengenai Keterampilan Abad 21” yang
menunjukkan hasil bahwa persepsi guru kimia mengenai keterampilan Abad
21 tergolong baik, selain itu guru banyak memilih menggunakan model
pembelajaran Problem Based Learning, Project Based Learning, dan
Discovery Learning. Selain itu, keterampilan informasi, media, dan
teknologi guru Kimia tergolong dalam kategori baik.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Suryanti & Wijayanti (2018) mengenai
“Literasi Digital: Kompetensi Mendesak Pendidik Di Era Revolusi Industri
4.0” menunjukkan hasil bahwa pendidik perlu terus meningkatkan
kompetensinya di bidang literasi digital mengingat maraknya fenomena
revolusi industri 4.0.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Sujana dan Rachmatin (2019) tentang
“Literasi Digital Abad 21 bagi Mahasiswa PGSD: Apa, Mengapa, dan
Bagaimana” yang menunjukkan hasil bahwa Literasi Digital sangat penting
untuk dimiliki oleh mahasiswa PGSD, literasi digital yang harus dimiliki
literasi media, literasi informasi, dan literasi TIK.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Ainiyah (2017) mengenai “Membangun
Penguatan Budaya Literasi Media dan Informasi dalam Dunia Pendidikan”
yang menunjukkan bahwa pentingnya dilakukan pendidikan literasi media
publik untuk memberikan penyadaran dan pengenalan akan informasi yang
beredar di media.
5. Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Kumala Dewi, dkk (2019) tentang
“Demand of ICT-Based Chemistry Learning Media in the Disruptive Era”
yang memberikan kesimpulan bahwa strategi dalam menghadapi era
disruptif dapat dilakukan dengan mengembangkan keterampilan digital
untuk guru dan siswa, guru mencoba menerapkan teknologi baru di bidang
media pembelajaran kimia, penerapan literasi baru dalam bentuk data,
46
teknologi, dan kolaborasi semua sekolah yang terdiri dari kepala sekolah,
guru, dan siswa untuk mendukung pencapaian kemajuan sistem pendidikan
dalam keterampilan abad ke-21
6. Penelitian yang dilakukan oleh Mare, dkk (2019) mengenai “Eritrean Pre-
service Teachers’ Perceptions of and Proficiency with TPACK and ICT
Integration in Education” yang menunjukkan bahwa calon guru pada
analisis keterampilan dasar TIK baik dari segi sikap terhadap TIK,
kompetensi TIK, dan persepsi tentang TIK untuk proses belajar mengajar
memiliki kemampuan yang sangat baik. Persepsi positif, serta kemampuan
dalam Teknologi, Pedagogis, Pengetahuan Konten dari calon guru
merupakan faktor pendukung yang kuat dalam proses integrasi teknologi.
7. Penelitian yang telah dilakukan Ready (2016) tentang “Penggunaan Media
Online Sebagai Sumber Informasi Akademik Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau” yang memberikan
hasil bahwa mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Riau
mengakses Media Online cenderung memiliki pola yang tidak beraturan.
Media online ini juga dijadikan sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan
informasi akademisnya. Hal ini karena media online memiliki kelebihan
dalam hal kecepatan akses, biaya yang murah, dan keberadaan sumber
informasi yang melimpah.
8. Penelitian yang dilakukan oleh Andreas Lund, dkk (2019) mengenai
“Expanding and Embedding Digital Literacies: Transformative Agency in
Education” yang menunjukkan bahwa sebuah pendekatan yang
transformative untuk literasi digital dibutuhkan dalam pendidikan. Siswa
perlu menangani tugas yang dimediasi oleh sumber daya digital yang
canggih.
47
C. Kerangka Berpikir
Tuntutan abad 21 terhadap generasi muda untuk menjadi lebih melek
terhadap teknologi dalam pengelolaannya berbuntut pada sistem pendidikan
yang mengharuskan setiap pendidik maupun calon pendidik agar lebih paham
mengenai literasi digital, yang merupakan bagian dari keterampilan abad 21.
Pemahaman mengenai literasi digital ini sangat diperlukan mengingat
banyaknya pendidik maupun calon pendidik yang masih belum mengetahui
lebih jauh mengenai penggunaan media, informasi, maupun teknologi. Dengan
diadakannya penelitian ini, diharapkan seluruh guru, khususnya calon guru
yang tergolong kaum milenial, dapat lebih memahami literasi digital, dan
bagaimana urgensinya literasi digital ini untuk diterapkan di dunia pendidikan
ke depannya, karena pada dasarnya kita sedang dihadapkan dengan dua
fenomena besar yang menjadi tantangan terberat di era globalisasi ini, yaitu
revolusi industri 4.0 dan tuntutan abad 21.
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir
Perkembangan di Abad 21 yang
terbuka dengan kecanggihan
teknologi
Kecanggihan teknologi
merambah ke semua sektor
kehidupan
Pendidikan yang terintegrasi
teknologi
Siswa perlu dibekali
kemampuan dalam
memanfaatkan teknologi
digital
Pentingnya pemahaman
literasi digital pada calon guru
Masih banyak guru maupun
calon guru yang memiliki
literasi digital yang rendah
Persepsi berperan sebagai
tolok ukur kemampuan literasi
digital calon guru
Persepsi guru mengenai literasi digital
sebagai keterampilan Abad 21
48
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 minggu dari tanggal 13 Mei 2020
sampai dengan 01 Juni 2020. Penelitian dilakukan kepada mahasiswa
Pendidikan Kimia angkatan 2016-2018 Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode
deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif berkaitan dengan penyelidikan
terhadap fenomena yang sedang terjadi (Singh, 2006, hlm. 104). Metode
penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang menggunakan angka, mulai
dari pengumpulan data, penafsiran data yang telah didapat, serta hasil yang
didapatkan (Siyoto, 2015, hlm. 17). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
penelitian deskriptif kuantitatif dilakukan untuk menggambarkan objek yang
diteliti berdasarkan angka yang didapatkan, serta menarik kesimpulan
mengenai objek yang diteliti berdasarkan fenomena yang ada. Metode ini tepat
digunakan untuk menggambarkan pemahaman dan persepsi calon guru kimia
mengenai literasi digital sebagai keterampilan abad 21.
Adapun teknik pengumpulan data digunakan metode survey untuk
mengetahui persepsi dari calon guru kimia. Survey digunakan untuk
menyelidiki status fenomena yang sedang terjadi. Survey deskriptif terbagi
menjadi tiga macam yaitu (1) Survey testing method; (2) Questionnaire survey
method; dan (3) Interview survey method (Singh, 2006, hlm. 101). Pada
penelitian ini peneliti menggunakan questionnaire survey method, yaitu survey
yang menggunakan angket atau kuisioner untuk mengumpulkan data.
Kuesioner berisi beberapa pertanyaan dengan struktur yang baku (Priyono,
2016, hlm. 43).
49
C. Prosedur Penelitian
Penelitian ini diawali dengan pembuatan instrument yang berupa angket
dan kisi-kisinya berdasarkan komponen-komponen literasi digital yang
diadopsi dari Towards Media and Information Literacy Indicators (2010) dan
A Review on ICT Literacy in Science Learning (2019). Instrumen tersebut
kemudian dilakukan validitas isi, konstruk, dan empiris. Validitas isi dan
konstruk melibatkan dosen Pendidikan Kimia. Pada proses validitas isi dan
konstruk, terjadi reduksi indikator sebanyak 1 pernyataan yaitu pada indikator
mengkomunikasikan produk pembelajaran yang memiliki hak cipta, karena
dianggap tidak sesuai dengan kondisi sampel yang masih merupakan
mahasiswa keguruan. Setelah uji validitas isi dan konstruk, dilakukan uji
validitas secara empiris kepada mahasiswa angkatan 2019. Pernyataan yang
tidak valid direvisi, sedangkan pernyataan angket yang valid diinput ke dalam
google form dengan tautan https://forms.gle/6drPQgu6C6HxDYMQ9,
sehingga angket dapat diisi secara online oleh Mahasiswa Pendidikan Kimia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2016-2018. Tautan dikirimkan
melalui grup di setiap angkatan. Setelah data angket terisi dan terkumpul maka
dilakukan analisis dari data yang didapatkan.
Gambar 3.1 Skema Alur Penelitian
Pembuatan angket berdasarkan
Towards Media and
Information Literacy Indicators
dan A Review on ICT Literacy
in Science Learning
Dilakukan uji validitas isi
dan konstruk oleh salah
satu dosen pendidikan
kimia
Pernyataan yang tidak
valid diubah sesuai dengan
kerangka teoritis yang
tepat dan relevan
Dilakukan uji validitas
empiris ke Mahasiswa
Pendidikan Kimia
angkatan 2019
Angket valid diinput ke
Google Form
Tautan Google Form disebar ke
responden, yaitu mahasiswa
Pendidikan Kimia UIN Jakarta
angkatan 2016-2018
Analisis Data
Angket yang
tidak valid
direvisi
50
D. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah obyek atau subyek secara general yang memiliki kuantitas
dan karakteristik tertentu yang ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan ditarik
kesimpulannya (Siyoto, 2015, hlm. 63). Populasi yang diambil dari penelitian
ini adalah seluruh Mahasiswa Pendidikan Kimia UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Sedangkan sampel yang peneliti gunakan disini yaitu Mahasiswa
Pendidikan Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2016, 2017, dan
2018 yang berjumlah 187 orang, terdiri dari 33 mahasiswa dan 154 mahasiswi,
dikarenakan peneliti ingin mengetahui sejauh mana pemahaman Mahasiswa
Pendidikan Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengenai literasi digital.
Sampel adalah bagian kecil dari suatu populasi berdasarkan prosedur tertentu
yang mewakili populasinya. Jika populasi dalam jumlah yang besar, maka
peneliti dapat menggunakan sampel yang mewakili populasi untuk mengatasi
keterbatasan biaya, waktu, maupun tenaga (Siyoto, 2015, hlm. 64).
Adapun teknik penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu teknik purposive sampling. Pengambilan purposive sampling dipilih
karena mewakili seluruh populasi atau kelompok yang sesuai. Sampel
ditentukan berdasarkan beberapa kriteria yang berkaitan dengan studi yang
dikaji (Singh, 2006, hlm. 91). Peneliti menetapkan sampel dari mahasiswa
pendidikan kimia angkatan 2016 - 2018 yang merupakan mahasiswa yang
masih aktif dalam perkuliahan dan sudah menyelesaikan mata kuliah media
dan teknologi pembelajaran kimia. Mahasiswa yang telah mempelajari mata
kuliah media dan teknologi pembelajaran kimia sudah memiliki pengetahuan
mengenai penggunaan media dan teknologi yang digunakan dalam
pembelajaran sebagai salah satu komponen dari literasi digital. Dengan
demikian, diharapkan mahasiswa yang telah mempelajari mata kuliah media
dan teknologi pembelajaran kimia dapat merepresentasikan kemampuan calon
guru kimia mengenai persepsi mereka terhadap literasi digital.
51
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa
angket online melalui google form. Kuesioner memiliki cakupan yang luas
dalam penelitian dengan menggunakan responden yang besar dan representatif
sehingga validitasnya semakin besar (Singh, 2006, hlm. 108). Kuesioner terdiri
dari sejumlah pertanyaan yang dicetak atau diketik dalam urutan tertentu pada
formulir atau serangkaian formulir. Kuesioner dikirimkan kepada responden
yang diharapkan membaca dan memahami pertanyaan, responden kemudian
menuliskan jawaban di form yang disediakan untuk keperluan kuesioner itu
sendiri. Para responden harus menjawab pertanyaan mereka sendiri (Kothari,
2004, hlm. 100). Pada penelitian ini, para calon guru diberi 56 pernyataan
angket mengenai persepsinya tentang literasi digital sebagai keterampilan abad
21 dalam bentuk google form dengan tautan
https://forms.gle/6drPQgu6C6HxDYMQ9 yang disebar melalui grup setiap
angkatan dari responden.
Gambar 3.2 Angket yang diunggah ke Google Form
52
F. Instrumen Penelitian
Instrumen berperan untuk membantu mengumpulkan data. Bentuk
instrument tergantung dari metode pengumpulan data, jika metode yang
digunakan berupa wawancara maka perlu disusun instrumen pedoman
wawancara, namun jika metodenya berupa angket atau tes, maka perlu dibuat
instrument angket atau kuisioner. Menyusun instrumen sama dengan
menyusun alat evaluasi, karena hasil dari data yang diperoleh dapat diukur
dengan standar yang telah ditetapkan oleh peneliti sebelumnya (Siyoto, 2015,
hlm. 78).
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu angket atau kuesioner
mengenai literasi digital sebagai keterampilan abad 21. Angket ini kemudian
disebar pada Mahasiswa Pendidikan Kimia angkatan 2016 - 2018 dalam bentuk
google form. Angket yang digunakan berupa angket dengan skala bertingkat
atau skala likert. Pada angket skala bertingkat, jawaban responden berupa
pertanyaan bertingkat yang menunjukkan skala sikap dengan rentang sangat
setuju hingga sangat tidak setuju terhadap pernyataan yang tersedia (Siyoto,
2015, hlm. 80).
Tabel 3.1 Kisi-kisi Angket Persepsi Literasi Digital
Variabel Komponen Aspek Indikator No
Item
Persepsi Calon
Guru Kimia
Mengenai
Literasi Digital
sebagai
Keterampilan
Abad 21
Literasi Media
dan Informasi
Definisi dan
artikulasi
kebutuhan
media dan
informasi
1. Mengakui kebutuhan akan
media dan informasi 1
2. Menentukan kebutuhan
akan media dan informasi 2
3. Mengakui bahwa beragam
media dan informasi
memiliki beragam tujuan
3
4. Mengenali masalah dan
mencari solusi dari media
dan informasi
4
53
5. Mengembangkan strategi
untuk menemukan media
dan informasi
5
6. Mengidentifikasi media dan
informasi untuk tujuan
tertentu dan menentukan
konten yang diperlukan
6
7. Mengevaluasi sumber yang
tepat untuk mencari media
dan informasi
7
Lokasi dan
pengambilan
media dan
informasi
8. Memilih sumber media dan
informasi yang tepat 8
9. Mengakses sumber media
dan informasi yang dipilih 9
10. Memilih dan mengambil
media dan informasi yang
ada
10
Organisasi
media dan
informasi
11. Menganalisis, memeriksa,
dan memperoleh media dan
informasi yang relevan
11
12. Membedakan editorial dari
konten komersial / konten
faktual dan fiksi dari media
dan informasi
12
13. Mengakui bahwa media
mencoba menarik audiens
yang berbeda untuk tujuan
yang berbeda pula
13
14. Menafsirkan media dan
informasi 14
15. Memahami dan
mengevaluasi fungsi media
dan informasi dalam
masyarakat
15
16. Memahami dan
mempertanyakan makna,
kepemilikan, regulasi,
audiensi, masalah ekonomi,
hukum, privasi, dan
16,
17,
18,
19,
20,
54
keamanan media dan
informasi
21,
22
17. Mengevaluasi bagaimana
masyarakat, tempat,
masalah, ide, dan konsep
digambarkan dalam media
dan informasi, dengan
mengedapankan keragaman
media dan informasi
23
18. Mengevaluasi peredaran,
relevansi, keakuratan, dan
kualitas media dan
informasi yang diambil
24,
25,
26,
27
19. Mengakui bahwa media dan
informasi memiliki
keterlibatan sosial dan
politik
28
20. Memilih dan mensintesis
media dan informasi 29
Organisasi
media dan
informasi
21. Mengidentifikasi media dan
informasi terbaik dan paling
bermanfaat
30
22. Menentukan penggunaan
media dan informasi yang
sesuai dan relevan
31
23. Mengelompokkan dan
mengatur media dan
informasi yang diambil
32
24. Mengatur / Menyimpan /
Memelihara / Menghapus
media dan informasi
33
Penciptaan
pengetahuan
25. Mempelajari atau
menginternalisasi media
dan informasi sebagai
pengetahuan pribadi
34
26. Menerapkan media dan
informasi dalam pengaturan
yang relevan secara
kontekstual untuk audiens
target
35
55
27. Mengevaluasi pengetahuan
agar bermanfaat 36
Penggunaan
komunikasi
dan etika serta
media dan
informasi
28. Berkomunikasi dalam
format media dan informasi
untuk pesan tertentu untuk
audiens tertentu
37
29. Menunjukkan penggunaan
informasi secara etis 38
30. Melindungi data pribadi 39
31. Mengidentifikasi dan
berinteraksi dengan badan-
badan yang mengatur media
dan informasi
40
32. Menggunakan standar hak
cipta 41
Literasi TIK
Pengetahuan
Dasar
33. Terbiasa menggunakan
smartphone, komputer,
internet, dan pendukung
TIK lainnya.
42,
43
34. Memiliki kemampuan untuk
menggunakan alat
pendukung TIK.
44
35. Menggunakan fungsi TIK
dalam kehidupan sehari-
hari.
Keterampilan
teknis
36. Memiliki kemampuan untuk
menggunakan aplikasi pada
perangkat TIK
45
37. Mampu mengakses dan
mencari melalui situs web 46
38. Mampu menggunakan
layanan internet dasar 47
39. Mampu mencari dan
memproses informasi data
elektronik
48
40. Memiliki kemampuan untuk
mengubah informasi
elektronik menjadi grafik
atau bentuk visual lainnya.
49
56
41. Menggunakan TIK untuk
mendukung keterampilan
berpikir kritis, kreatif dan
inovatif.
50,
51
42. Mampu membedakan
informasi yang dapat
dipercaya atau tidak dapat
dipercaya.
52
Keterampilan
Penilaian Kritis
43. Mampu menggunakan TIK
untuk bekerja secara
individu atau berkolaborasi
dalam tim untuk
menemukan solusi dari
suatu masalah.
53
44. Memiliki kepekaan dalam
menggunakan internet
dengan aman dan
bertanggung jawab.
54
45 Memiliki sikap kritis dan
reflektif ketika menilai
informasi.
55,
56
G. Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Alat ukur atau instrumen yang akan disusun harus memiliki validitas dan
reliabilitas, agar data yang diperoleh bisa reliabel dan valid yang disebut
dengan validitas dan reliabilitas instrumen. Validitas merupakan salah satu ciri
yang menandai apakah suatu tes memiliki validitas atau daya ketepatan dalam
mengukur (Siyoto, 2015, hlm. 84).
Validitas secara rasional yaitu validitas yang didasarkan pada hasil
pemikiran. Suatu tes dapat dikatakan memiliki validitas secara rasional jika
dilakukan analisis secara rasional terhadap instrumen yang tepat dan dapat
mengukur apa yang seharusnya diukur ( Hermawan dalam Siyoto, 2015, hlm.
85). Instrumen diuji validitasnya secara rasional dengan melibatkan salah satu
dosen pendidikan kimia.
Validitas butir soal uraian dihitung dengan rumus product moment.
Dipakai product moment karena data yang dikorelasikan adalah data interval
57
dengan data interval (Siyoto, 2015, hlm. 89). Korelasi Pearson atau product
moment digunakan untuk melihat korelasi kedua skor instrumen. Semakin
besar nilai korelasi Pearson maka semakin tinggi tingkat validitas instrumen
tersebut (Budiastuti & Bandur, 2018, hlm. 147). Signifikansi koefisien korelasi
dapat ditentukan dengan dua cara. Cara pertama dengan membandingkan
koefisien korelasi hitung dengan tabel r Product Moment. Koefisien korelasi
dikatakan siginifikan jika nilai r hitung lebih besar dibandingkan dengan tabel
r Product Moment (ri > rt). Cara kedua dengan uji t (Yusup, 2018, hlm. 20).
Dalam menentukan signifikansi koefisien korelasi, peneliti menggunakan
cara pertama yaitu dengan membandingkan koefisien korelasi dengan r tabel
Product Moment senilai 0.2272 pada sampel uji validitas empiris sebanyak 75
orang. Sehingga didapatkan hasil uji validitas angket yang menyatakan bahwa
dari seluruh pernyataan angket yang berjumlah 56 secara keseluruhan angket
dinyatakan valid dan dapat digunakan untuk penelitian, nilai r hasil perhitungan
menggunakan program SPSS 23 memiliki nilai diatas r tabel yang telah
ditentukan.
Setelah melakukan uji validitas, peneliti melakukan uji reliabilitas.
Menurut Azwar (dalam Siyoto, 2015, hlm. 91) reliabilitas berhubungan dengan
akurasi instrumen dalam pengukuran, seberapa cermat dan akurat jika
dilakukan pengukuran ulang. Azwar (dalam Siyoto, 2015, hlm. 91) juga
menyatakan reliabilitas sebagai “konsistensi pengamatan yang diperoleh dari
pencatatan berulang baik pada satu subjek maupun sejumlah subjek”.
Penelitian ini menggunakan uji Cronchbach Alpha untuk menguji kereliabelan
instrumen.
Para ahli menentukan nilai koefisien alpha sebagai berikut:
0 = Tidak memiliki reliabilitas (no reliability)
> .70 = Reliabilitas yang dapat diterima (acceptable reliability);
> .80 = Reliabilitas yang baik (good reliability);
>. 90 = Reliabilitas yang sangat baik (excellent reliability)
1 = Reliabilitas sempurna (perfect reliability)
(Budiastuti & Bandur, 2018, hlm. 211)
58
Peneliti menggunakan program SPSS 23 dalam menentukan reliabilitas
instrument sehingga didapatkan nilai Cronbach Alpha senilai 0,939 dari total
56 pernyataan. Berdasarkan nilai yang telah didapatkan diatas dapat diketahui
bahwa angket memiliki reliabilitas yang sangat baik. Sehingga secara
keseluruhan dari 56 pernyataan angket, persepsi guru mengenai literasi digital
bersifat valid dan reliabel seperti yang terlampir dalam lampiran 4.
H. Teknik Analisis Data
Ada beberapa langkah yang digunakan dalam penelitian menurut Priyono
(2016). Langkah-langkah tersebut adalah:
1. Pengkodean Data atau Data Coding. Data coding merupakan penyusunan
data mentah dalam kuisioner secara sistematis menjadi data yang mudah
dibaca oleh mesin pengolah data seperti komputer. Penelitian ini
menggunakan angket dengan skala Likert, dimana setiap jawaban yang
didapatkan dari responden diberikan nilai sesuai dengan skala yang telah
ditentukan. Pengolahan data menjadi bentuk angka menggunakan bantuan
mesin pengolah data yaitu Microsoft excel.
Tabel 3.2 Tabel Penilaian
No Jawaban
Nilai
Pernyataan
Positif
Pernyataan
Negatif
1 Sangat Setuju (SS) 5 1
2 Setuju (S) 4 2
3 Ragu-ragu (RG) 3 3
4 Tidak Setuju (TS) 2 4
5 Sangat Tidak Setuju (STS) 1 5
2. Pemindahan Data ke komputer atau Data Entering. Data Entering adalah
memindahkan data yang telah diubah menjadi kode ke dalam mesin
59
pengolah data. Data yang didapatkan dari google form dalam program
spreadsheet dipindahkan ke dalam program Microsoft Excel untuk diolah.
3. Pembersihan Data atau Data Cleaning. Data cleaning adalah memastikan
bahwa seluruh data yang telah dimasukkan ke dalam mesin pengolah data
sudah sesuai dengan yang sebenarnya. Di sini peneliti memerlukan adanya
ketelitian dan akurasi data. Peneliti menemukan beberapa data angket yang
diisi oleh responden yang sama, sehingga dilakukan data cleaning dengan
cara mengambil data yang diisi pertama kali oleh responden.
4. Penyajian Data atau Data Output. Data output adalah hasil pengolahan data.
Bentuk hasil pengolahan data tersebut numerik atau dalam bentuk angka
Hasil pengolahan data yang berupa numerik dapat disajikan dalam bentuk
tabel frekuensi dan tabel silang.
Data dihitung dengan proses persentase yaitu
P = f / N x 100%
Keterangan:
f = Frekuensi jawaban responden
N = Number of cases (jumlah frekuensi atau banyaknya individu)
P = Angka persentase
(Sari S. M., 2019)
5. Penganalisisan Data atau Data Analyzing. Penganalisisan data merupakan
suatu proses lanjutan dari proses pengolahan data untuk melihat bagaimana
menginterpretasikan data, kemudian menganalisis data dari hasil yang
sudah ada pada tahap hasil pengolahan data.
Setelah data dalam bentuk persentase didapat, hasil pada angket dengan
skala likert dikelompokkan sesuai dengan kategori yaitu:
Tabel 3.3 Tabel Klasifikasi Berdasarkan Persentase
No Persentase Penafsiran
1 81-100% Sangat Baik
2 61-80% Baik
60
3 41-60% Cukup
4 31-40% Kurang
5 0-20% Sangat Kurang
(Sari S. M., 2019)
81
81
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil penelitian, dapat diketahui
bahwa persepsi responden calon guru kimia mengenai literasi media dan
informasi memiliki persentase rata-rata sebesar 81,06% dengan kategori yang
sangat baik, sedangkan persepsi calon guru kimia pada literasi TIK memiliki
nilai persentase rata-rata sebesar 84,46% dengan kategori persepsi yang sangat
baik pula. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa responden calon guru kimia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki persepsi yang sangat baik pada
seluruh komponen dari literasi digital ini dengan rata-rata persentase total
senilai 82,19%, baik dari literasi media, informasi, maupun literasi TIK.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa saran yang dapat diberikan adalah
sebagai berikut:
1. Calon guru kimia harus aktif menambah pengetahuan mengenai literasi
digital dengan mengikuti pelatihan, seminar, dan menggunakan
pengalamannya untuk mengasah kemampuan literasi digital yang
dimilikinya.
2. Calon guru kimia harus mampu menerapkan literasi digital dalam
kehidupannya agar dapat memecahkan masalah secara efektif dan efisien.
3. Calon guru kimia harus memiliki literasi digital yang baik agar ke depannya
dapat menjadi guru professional yang menanamkan literasi digital pada
peserta didiknya.
82
82
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, L. R., & Gunansyah, G. (2018). Persepsi Guru terhadap Pelaksanaan
Gerakan Literasi di Sekolah Dasar Negeri Terakreditasi A Kota Surabaya.
JPGSD, 6(4), 608-617.
Arifin, H. S., Fuady, I., & Kuswarno, E. (2017). Analisis Faktor yang
Mempengaruhi Persepsi Mahasiswa UNTIRTA terhadap Keberadaan Perda
Syariah di Kota Serang. Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik,
21(1), 88-101.
Astini, N. K. (2019). Pentingnya Literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi bagi
Guru Sekolah Dasar untuk Menyiapkan Generasi Milenial. 113-120.
Aswandi, R., dkk. (2020). Perlindungan Data dan Informasi Pribadi melalui
Indonesian Data Protection System (IDPS). LEGISLATIF, 3(2), 167-190.
Ata, R., & Yıldırım, K. (2019). Turkish Pre-Service’ Perceptions of Digital
Citizenship in Education Programs. Journal of Information Technology
Education : Research, 18, 419-436.
Bahcivan, E., dkk. (2019). Investigating the Relations Among Pre-Service
Teachers’ Teaching/Learning Beliefs and Educational Technology
Integration Competencies: a Structural Equation Modeling Study. Journal
of Science Education and Technology.
Barni, M. (2019). Tantangan Pendidik di Era Millenial. Jurnal Transformatif, 3(1),
99-116.
Basuki, S. (2019). Etika Informasi. media pustakawan, 26(1), 4-11.
Boholano, H. B. (2019). Smart Social Networking 21st Century Teaching and
Learning Skills. Research in Pedagogy, 7(1), 21-29.
Budiastuti, D., & Bandur, A. (2018). Validitas dan Reliabilitas Penelitian . Jakarta:
Mitra Wacana Media.
Budiati, I., dkk. (2018). Profil Generasi Milenial Indonesia. Indonesia:
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Çam, E., & Kiyici, M. (2017). Perceptions of Prospective Teachers on Digital
Literacy. Malaysian Online Journal of Educational Technology, 5(4), 29-
44.
Catts, R., & Lau, J. (2008). Towards Information Literacy Indicators. Paris:
UNESCO.
83
Cherner, T. S., & Curry, K. (2019). Preparing Pre-Service Teachers to Teach Media
Literacy: A Response to “Fake News”. Journal of Media Literacy
Education, 11(1), 1 – 31.
Citraningrum, P. P. (2017). Komunikasi dan Persepsi mengenai Kepemimpinan
Perempuan dalam Masyarakat Jawa. 1-19.
Deonisius, R. F., Lestari, I., & Sarkadi. (2019). The Effect of Digital Literacy to
Internet Addiction. Jurnal Pendidikan Indonesia, 5(1), 71-75.
Dewi, F. (2015). Proyek Buku Digital: Upaya Peningkatan Keterampilan Abad 21
Calon Guru Sekolah Dasar melalui Model Pembelajaran Berbasis Proyek.
Metode Didaktik, 9(2), 1-15.
Dewi, R. K., dkk. (2019). Demand of ICT-Based Chemistry Learning Media in the
Disruptive Era. International Journal of Evaluation and Research in
Education (IJERE), 8(2), 265-270.
Fatmawati, N. I. (2019). Literasi Digital, Mendidik Anak di Era Digital bagi Orang
Tua Milenial. Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan, 11(2), 119-138.
Fitryarini, I. (2016). Literasi Media pada Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi
Universitas Mulawarman. Jurnal Komunikasi, 8(1), 51-67.
Gumilar, G., dkk. (2017). Literasi Media: Cerdas Menggunakan Media Sosial
dalam Menanggulangi Berita Palsu (Hoax) oleh Siswa SMA. Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(1), 35-40.
Häkkinen, P., dkk. (2016). Preparing Teacher-Students for Twenty-First-Century
Learning Practices (PREP 21): A Framework for Enhancing Collaborative
Problem-Solving and Strategic Learning Skills. Teachers and Teaching:
Theory and Practice, 1-17.
Hartini, S., dkk. (2019). Media Pembelajaran Fisika SMA Berbasis E-Learning di
Kabupaten Tanah Laut sebagai Upaya Melatihkan Literasi Digital. Pro
Sejahtera, 1, 20-24.
Helaluddin. (2019). Peningkatan Kemampuan Literasi Teknologi dalam Upaya
Mengembangkan Inovasi Pendidikan di Perguruan Tinggi. PENDAIS, 1(1),
44-55.
Helleve, I., Almas, A. G., & Bjorkelo, B. (2019). Becoming a Professional Digital
Competent Teacher. hal. 1-13.
Horton, F. W. (2007). Understanding Information Literacy: A Primer. Paris: United
Nations Educational, Scientifi c and Cultural Organization.
Kazu, I., & Erten, P. Prospective Teachers’ Perception Levels of Their Digital
Literacy. International Journal of Multidisciplinary Thought, 3(1), 51-68.
84
Khan, M. L., & Idris, I. (2019). Recognise Misinformation and Verify Before
Sharing: A Reasoned Action and Information Literacy Perspective.
Behaviour & Information Technology, 1-19.
Kharisma, N. V. (2017). Kriteria Guru Sekolah Dasar Ideal pada Era Generasi Alfa.
Kothari, C. (2004). Research Methodology Methods and Techniques. Jaipur: New
Age International (P) Limited.
Krisnawati, E. (2016). Perilaku Konsumsi Media oleh Kalangan Remaja dalam
Pencarian Informasi. Jurnal Ilmiah Komunikasi, 5(1), 43-69.
Kurniangsih, I., dkk. (2017). Upaya Peningkatan Kemampuan Literasi Digital bagi
Tenaga Perpustakaan Sekolah dan Guru di Wilayah Jakarta Pusat Melalui
Pelatihan Literasi Informasi. Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat, 3(1),
61-76.
Laksana, S. D. Integrasi Empat Pilar Pendidikan (UNESCO) dan Tiga Pilar
Pendidikan Islam. 43-61.
Law, N., dkk. (2018). A Global Framework of Reference on Digital Literacy Skills
for Indicator 4.4.2. Quebec, Canada: UNESCO Institute for Statistics.
Leaning, M. (2019). An Approach to Digital Literacy through the Integration of
Media and Information Literacy. Media and Communication, 7(2), 4-13.
Lestari, D., & Prasetyo, Z. (2019). A Review on ICT Literacy in Science Learning.
Journal of Physics: Conference Series.
Liansari, V., & Nuroh, E. (2018). Realitas Penerapan Literasi Digital bagi
Mahasiswa FKIP Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Seminar Nasional
FKIP UMSIDA, 1, hal. 241-252. Sidoarjo. doi:10.21070/picecrs.v1i3.1397
Listyana, R., & Hartono, Y. (2015). Persepsi dan Sikap Masyarakat terhadap
Penanggalan Jawa dalam Penentuan Waktu Pernikahan (Sudi Kasus Desa
Jonggrang Kecamatan Barat Kabupaten Magetan Tahun 2013). Jurnal
Agastya, 5(1), 118-138.
Lund, A., dkk. (2019). Expanding and Embedding Digital Literacies:
Transformative Agency in Education. Media and Communication, 7(2), 47–
58.
Mare, A., dkk. (2019). Eritrean Pre-service Teachers’ Perceptions of and
Proficiency with TPACK and ICT Integration in Education. TEEM , 1-7.
Mateus, dkk. (2019). Validation of a Self-Perceived Media Competence Instrument
for Pre-service Teachers. Culture and Education, 31(2), 436–464.
85
Moeller, S., dkk. (2010). Towards Media and Information Literacy Indicators.
Bangkok: UNESCO.
Nasrullah, R., dkk. (2017). Materi Pendukung Literasi Digital. Rawamangun,
Jakarta Timur: Kemendikbud.
Nelson, K., dkk. Teaching Tip An Investigation of Digital Literacy Needs of
Students. Journal of Information Systems Education, 22(2), 95-109.
Ningrum, N. R., Toenlioe, Anselmus J.E. , & Abidin, Z. (2019). Analisis
Pemanfaatan Search Engine dalam Meningkatkan Self-Regulated Learning
Mahasiswa Teknologi Pendidikan. JKTP Jurnal Kajian Teknologi
Pendidikan, 02 (02), 149-157.
Nugraha, U. (2015). Hubungan Persepsi, Sikap dan Motivasi Belajar terhadap Hasil
Belajar pada Mahasiswa Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas
Jambi. Jurnal Cerdas Sifa, 1(1), 1-10.
Pernia, E. E. (2008). Strategy Framework for Promoting ICT Literacy in the Asia-
Pasific Region. Bangkok: UNESCO.
Prasetyono, R. N., & Trisnawati, E. (2018). Pengaruh Pembelajaran IPA Berbasis
Empat Pilar Pendidikan terhadap Kemampuan Berpikir Kritis. Jurnal
Pendidikan IPA Veteran, 2(2), 162-173.
Priyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif. Sidoarjo: Zifatama Publishing.
Ready, A. (2016). Penggunaan Media Online sebagai Sumber Informasi Akademik
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Riau . JOM FISIP, 3(1).
Redhana, I. W. (2019). Mengembangkan Keterampilan Abad Ke-21 dalam
Pembelajaran Kimia. Jurnal Inovasi Pendidikan Kimia, 13(01), 2239 –
2253.
Rizal, R., dkk. (2019). Digital Literacy of Pre-service Science Teacher. Journal of
Physic.
Ruthven, I. (2019). The Language of Information Need: Differentiating Conscious
and Formalized Information Needs. Information Processing and
Management, 77-90.
Sari, S. M. (2019). Persepsi Guru Kimia mengenai Keterampilan Abad 21. UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Jakarta:
Tidak Diterbitkan.
Sari, Z. A. (2019). Literasi Privasi pada Media Sosial Instagram di Kalangan
Mahasiswa Strata 1 Universitas Airlangga Surabaya. 1-14.
86
Sautunnida, L. (2018). Urgensi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi di
Indonesia; Studi Perbandingan Hukum Inggris dan Malaysia. Kanun Jurnal
Ilmu Hukum, 20(2), 369-384.
Septiyantono, T. (2014). Konsep Dasar Literasi Informasi. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Setyaningsih, R., dkk. (2019). Model Penguatan Literasi Digital melalui
Pemanfaatan e-Learning. Jurnal ASPIKOM, 3(6), 1200-1214.
Silvana, H., dkk. (2019). Kebutuhan Informasi Guru di Era Digital: Studi Kasus di
Sekolah Dasar Labschool Universitas Pendidikan Indonesia. Jurnal
Dokumentasi dan Informasi, 40(2), 147-158.
Simons, M., dkk. (2017). Measuring Media Literacy for Media Education:
Development of a Questionnaire for Teachers' Competencies. Journal of
Media Literacy Education, 9(1), 99 - 115.
Singh, Y. K. (2006). Fundamental of Research Methodology and Statistics. Madhya
Pradesh, India: New Age International (P) Limited.
Siyoto, S., & Sodik, A. (2015). Dasar Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Literasi
Media Publishing.
Suharmanto, A., & Sunarso. (2017). Pemanfaatan Internet sebagai Media dalam
Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di SMA Negeri
1 Sleman. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum, 24-41.
Sujana, A., & Rachmatin, D. (2019). Literasi Digital Abad 21 bagi Mahasiswa
PGSD: Apa, Mengapa, dan Bagaimana. Current Research in Education:
Conference Series Journal, 1(1), 1-7.
Suryanti, & Wijayanti, L. (2018). Literasi Digital: Kompetensi Mendesak Pendidik
di Era Revolusi Industri 4.0. Jurnal Pendidikan Dasar, 2(1), 1-9.
Suyanto, T., dkk. (2018). Persepsi Mahasiswa terhadap Kemunculan Berita Bohong
di Media Sosial. Jurnal Civics: Media Kajian Kewarganegaraan, 15(1), 52-
61.
Tondeur, J. (2015). Developing a Validated Instrument to Measure Preservice
Teachers’ ICT Competencies: Meeting the Demands of the 21st Century.
British Journal of Educational Technology, 1-11.
Ulum, B., dkk. (2019). Pemanfaatan Google Apps di Era Literasi Digital pada
Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Ilmiah Kependidikan, 14(2), 22-31.
Walidaini, B. Pemanfaatan Internet untuk Belajar pada Mahasiswa . 37-49.
87
Wijaya, E. Y. (2016). Transformasi Pendidikan Abad 21 sebagai Tuntutan
Pengembangan Sumber Daya Manusia di Era Global. Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan Matematika (hal. 263-278). Malang: Universitas
Kanjuruhan Malang.
Wilson, C., dkk. (2011 ). Media and Information Literacy Curriculum for Teachers.
Paris, France: the United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization.
Wulandari, P. (2017). Kebutuhan Informasi Mahasiswa UPBJJ-UT Jakarta
Program Studi Ilmu Perpustakaan dalam Penyelesaian Masa Studi. Skripsi.
Tidak Diterbitkan. Jakarta: UIN Syarif Hidatayatullah.
Yaumi, M. (2017). Ragam Media Pembelajaran: Dari Pemanfaatan Media
Sederhana ke Penggunaan Multi Media. Pemanfaatan Media Pembelajaran
dan Pengembangan Evaluasi Sistem Pembelajaran Berorientasi Multiple
Intelligences, (hal. 21-44). Pare-Pare.
Yazid, T. P., & Ridwan. (2017). Proses Persepsi Diri Mahasiswi dalam Berbusana
Muslimah. Jurnal Pemikiran Islam, 41(2), 193-201.
Yusup, F. (2018). Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Kuantitatif.
Jurnal Tarbiyah: Jurnal Ilmiah Kependidikan, 7(1), 17-23.
Zahorec, J., dkk. (2019). Teachers’ Professional Digital Literacy Skills and Their
Upgrade. European Journal of Contemporary Education, 8(2), 378-393.
Zaluchu, S. E. (2019). The Digital Mindset as an Approach to Education for the
Millenial Generation . ICOGESS .
Zubaidah, S. (2016). Keterampilan Abad ke-21: Keterampilan yang Diajarkan
melalui Pembelajaran. 1-17.