permasalahan politik dan hukum di indonesia
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Memperhatikan perkembangan sistem hukum Indonesia, kita akan melihat
adanya ciri-ciri yang spesifik dan menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum
dari penjajahan Belanda di Indonesia berlaku hukum adat dan hukum Islam yang
berbeda-beda dari berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan
etnik yang berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya sendiri
yang sebagian besarnya merupakan konkordansi dengan hukum yang berlaku di
Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-undangan yang bercorak positivis.
Walaupun demikian Belanda menganut politik hukum adat (adatrechtpolitiek),
yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia
asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan golongan Eropa yang bertempat
tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa Hindia
Belanda berlaku pluralisme hukum. Perkembangan hukum di Indonesia
menunjukkan kuatnya pengaruh hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat.
(baca Daniel S. Lev, 1990 : 438-473).Karena itu, dalam melihat persoalan hukum
di Indonesia harus dipandang dari kenyataan sejarah dan perkembangan hukum
Indonesia itu. Pada saat sekarang ini terdapat perbedaan cara pandang terhadap
hukum diantara kelompok masyarakat Indonesia. Berbagai ketidakpuasan atas
penegakkan hukum dan penanganan berbagai persoalan hukum bersumber dari
cara pandang yang tidak sama tentang apa yang dimaksud hukum dan apa yang
menjadi sumber hukum. Tulisan ini akan mengkaji permasalahan ini dari sudut
pandang teori positivis yang berkembang dalam ilmu hukum dengan harapan akan
mendapatkan gambaran tentang akar persoalan pembangunan sistem hukum
Indonesia pada masa mendatang. Kondisi politik di Indonesia saat iini sangat
buruk. Hal ini disebabkan oleh penurunan politik Indonesia tidak sehat. Banyak
politisi di negeri ini yang terlibat dalam kasus korupsi. Sebenarnya, apa yang
dibutuhkan bukanlah popularitas tetapi kinerja yang optimal yang dapat
membangun Indonesia yang sangat baik politik.Politik adalah proses
pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat, antara lain,
1
membentuk proses pengambilan keputusan, terutama di negara bagian.
Kebanyakan orang mengetahui politik Indonesia yang kotor karena ada banyak
hal yang membuat politik kotor. Hal ini membuat negara kita semakin terpuruk.
B.TUJUAN
Tujuan dari penulisan paper ini yaitu:
1. Mengetahui masalah-masalah hokum dan politik yang dihadapi bangsa Indonesia.
2. Mengetahui penyebab masalah-masalah hukum dan sosial yang ada di Indonesia.
3. Mengetahui dampak masalah-masalah hukum dan sosial yang ada di Indonesia.
4. Mengetahui solusi masalah-masalah hukum dan sosial yang ada di Indonesia
2
BAB II
PEMBAHASAN
A.PERMASALAHAN POLITIK
Beberapa agenda masalah hokum yanga ada di Indonesia:
1. KKN
Kalau basis untuk menentukan kesalahan ini adalah kerugian negara atau
masyarakat dari tindakan yang dilakukan pejabat dan yang terkait, maka yang
paling penting dari ketiga unsur dalam KKN adalah perbuatan korupsi. Ketiganya
memang dapat bergandengan, sering yang satu menyebabkan yang lain atau
memperburuk yang lain. Akan tetapi kalau yang menjadi dasar kesalahan adalah
terjadinya kerugian negara, maka pusat perhatian harus pada tindakan atau
perbuatan korupsi tersebut, untuk menentukan siapa yang malakukannya dan apa
sanksi yang harus dibebankan terhadap kesalahan tersebut. Kalau masalah korupsi
ini dipisahkan dulu dari yang lain, maka kita mungkin terhindar dari sloganisasi.
Tuntutan akan lebih jelas dan penyidikan masalahnya akan lebih fokus, karena itu
Pemerintah lebih sukar untuk mengobral janji saja. Dalam Undang-undang
tentang tindak pidana ekonomi, tindakan korupsi telah didefinisikan secara cukup
eksplisit. Pada dasarnya unsur-unsurnya adalah adanya perbuatan yang melawan
hukum, untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok, yang merugikan negara.
Ini mungkin bisa dibuat lebih eksplisit, tetapi minimal telah ada basisnya.
Kalau kita memusatkan perhatian pada pemberantasan korupsi, maka
masalahnya akan lebih jelas dan operasionalisasinya dapat menjadi lebih nyata.
Apakah hal ini bergandengan dengan kolusi dan nepotisme, bisa diteliti lebih
lanjut. Bahkan kalau korupsi ini terjadi dalam rangka suatu kolusi dan nepotisme,
maka pembuktiaan siapa yang teribat dalam korupsi akan menyangkut jaringan
kolusi dan nepotismenya dan penyidikannya dapat langsung menjaring mereka ini
semua. Tetapi yang menjadi fokus jelas, tindakan korupsi, tindakan melanggar
hukum yang merugikan negara menurut suatu definisi yang pasti.
3
Pada dasarnya adanya hubungan keluarga antara pejabat satu dengan yang lain
atau antara pejabat dan pengusaha, tidak secara otomatis menunjukkan adanya
kolusi atau nepotisme yang ingin kita hilangkan itu. Nepotisme dan kolusi ini
tidak hanya harus terbukti ada, akan tetapi untuk dikategorikan dalam tindakan
yang tidak dikehendaki hal tersebut harus juga diukur dengan kriteria adanya
pelanggaran ketentuan hukum, misalnya perbuatan tersebut telah merugikan
negara atau masyarakat, sebagaimana dalam kasus korupsi.
Dalam kebanyakan masyarakat pemberian suatu surat referensi sebagai suatu
'jaminan' mengenai kualifikasi seseorang untuk menempati suatu posisi adalah
diterima secara umum. Yang diharapkan tidak terjadi adalah penyalah gunaan
surat referensi tersebut. Jangan sampai surat ini aspal, jangan sampai referensi ini
tidak sesuai dengan kenyataannya. Ini yang tidak boleh disalah gunakan. Istilah
'katabelece' adalah untuk penyalah gunaan kebiasaan adanya referensi ini. Yang
jelas agar ada kepastian ketentuannya harus jelas, mana yang boleh mana yang
tidak, untuk menentukan apakah terjadi suatu pelanggaran terhadap ketentuan
oleh seseorang dan apakah sanksi terhadap pelanggaran tersebut. Dalam hal
adanya tidakan korupsi ketentuannya telah jelas. Bagaimana dengan kolusi dan
nepotisme?
Sekuat keinginan kita menghilangkan kolusi dan nepotisme, kita perlu secara
realistis melihat, apakah ketentuan-ketentuan mengenai hal ini telah jelas? Saya
takut belum. Dan ini salah satu sebab mengapa penghapusan masalah ini nampak
begitu susahnya di masyarakat kita.
Mengingat kenyataan tersebut, yang harus dilakukan adalah menyusun ketentuan
untuk melarang adanya kolusi dan nepotisme. Akan tetapi ini hanya menyangkut
ketentuan untuk masa depan yang harus diperhatikan. Sedangkan kita juga melihat
bahwa praktek kolusi dan nepotisme dalam era Orde Baru ini memang sangat
mencolok. Karena itu emosi masyarakat meluap untuk menghabiskan praktek-
praktek ini dan menindak para pelakunya. Ini adalah perasaan semua orang,
kecuali mereka yang mempraktekkan.
4
Penyebab adanya masalah tersebut :
a. Rendahnya iman dan moral yang dimiliki seorang pemegang kekuasaan
publik sehingga mudah terpengaruh dan tergoda untuk melakukan praktik
korupsi.
b. Kurang tegasnya peraturan perundang-undangan menekan atau
memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme serta sanksi yang kurang tegas
bagi pelaku KKN sehingga tidak menimbulkan efek jera dan tidak mencegah
munculnya koruptor-koruptor baru.
c. Adanya kekuasaan monopoli kekuasaan yang dipegang oleh seseorang dan
orang tersebut memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang
berlebihan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas,karena semakin besar
kekuasaan serta kewenangan yang luas dan semakin rendah kewajiban
pertanggungjawaban dari suatu institusi/person, otomatis potensi korupsi
yang dimiliki akan semakin tinggi.
d. Lemahnya pengawasan dan kontrol terhadap kinerja aparat negara sehingga
memberikan peluang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
e. Gaji yang relatif rendah.
Faktor inilah yang sering menjadi alasan utama seseorang melakukan korupsi,
karena ia menganggap bahwa gaji yang ia dapat belum cukup untuk
mendapatkan kehidupan yang berkecukupan. Selain itu, tingkat pendapatan
juga dianggap tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan hidup yang semakin
meningkat dan semakin kompleks.
f. Rendahnya pengetahuan dan parisipasi masyarakat dalam hal kontrol kinerja
aparat pemerintahan serta kebijakan-kebijakan yang diambil, sehingga rentan
penyelewengan kekuasaan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab.
g. Budaya korupsi yang sudah berkembang dimasyarakat.
5
h. Warisan budaya korupsi yang sudah ada sejak zaman kolonial yang terus
berlanjut hingga masa pasca Indonesia merdeka, bahkan hingga era reformasi
menjadikan korupsi semakin sulit untuk diberantas secara menyeluruh.
i. Tidak adanya rasa nasionalisme dalam diri pejabat publik, dan lain-lain.
Dampak dari permasalahn tersebut :
1. Berkurangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah
Meningkatnya praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintahan
semakin membuat publik (rakyat) tidak memberikan kepercayaan secara
penuh kepada pemerintah. Bahkan kepercayaan dari negara lain pun juga bisa
berkurang terhadap pemerintah yang sedang berkuasa di negara tersebut
sebagai akibat dari maraknya kasus korupsi di kalangan pemegang kekuasaan
publiknya. Hal ini tentu akan membawa dampak yang cukup besar terhadap
pembangunan di segala bidang.
2. Berkurangnya kewibawaan pemerintah.
Banyaknya aparat di pemerintahan yang melakukan korupsi membuat citra
dan kewibawaan pemerintah menjadi berkurang dan bahkan bisa
menyebabkan rakyat bersikap apatis terhadap peraturan-peraturan serta
himbauan-himbauan yang diberikan pemerintah. Hal ini tentu dapat
mengganggu stabilitas keamanan dan ketahanan nasional.
3. Kerugian negara dalam bidang ekonomi
Berbagai pendapatan negara yang sebagian besar berasal dari uang rakyat dan
seharusnya juga digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Namun, pada
kenyataannya uang rakyat banyak yang digelapkan atau dikorupsi oleh
pemegang kekuasaan publik.
4. Menghambat laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
Ketika sebuah negara memiliki catatan buruk pada kasus korupsi, maka hal
tersebut akan berpengaruh terhadap kepercayaan investor asing untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Dan akan berdampak buruk bagi
kondisi perekonomian nasional.Selain itu, birokrasi yang sulit dan lebih
mengedepankan uang daripada profesionalisme dan tanggung jawab sebagai
6
birokrat juga menjadikan modal asing berpaling dari Indonesia dan
mengalihkan investasi ke negara yang lebih baik birokrasinya,
Solusi dari permasalahan tersebut:
Mungkin kalau kita tidak terlalu ambisius menghilangkan seluruh KKN
sekaligus tetapi secara sistimatis dalam suatu program, memusatkan pada masalah
korupsi dulu, maka program pemberantasan KKN akan lebih jalan. Ketentuan
mengenai pidana ekonomi, mengenai korupsi telah cukup jelas dan dapat
dilaksanakan untuk menyidik dan memberi sanksi ke pada mereka yang
melanggarnya. Dalam proses ini sebagian dari masalah kolusi dan nepotisme juga
akan terungkap dan bisa dilaksanakan penindakan terhadap pelanggarnya. Akan
tetapi berkaitan dengan masalah kolusi dan nepotisme yang tidak berkaitan
dengan korupsi, yang dilanggar mungkin ketentuan kepegawaian atau masalah
etik. Yang jelas adalah untuk ke depan, bagaimana memasukkan rambu-rambu
menghalangi tumbuhnya kolusi dan nepotisme ini dalam peraturan kepegawaian
dan ketentuan mengenai tender, kontrak, serta ketentuan mengenai 'governance'
pada umumnya. Mengenai langkah ke depan menghilangkan masalah KKN saya
menekankan pada sikap untuk menjauhi kebiasaan hidup lebih besar pasak dari
tiang pada tulisan lain.
Merestrukturisasi organisasi di berbagai sektor pemerintahan sehingga bisa
memudahkan dalam pengawasan/kontrol terhadap kinerja aparat
pemerintahan.
Meningkatkan kesejahteraan pegawai sehingga bisa mengurangi dorongan
untuk melakukan korupsi.
Penegakan hukum secara tegas dengan menerapkan peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu,
pemberian sanksi pidana maupun sanksi sosial yang bisa memberikan efek
jera sekaligus bisa memberikan peringatan bagi aparatur negara lainnya
agar tidak melakukan korupsi.
Meningkatkan kesadaran seluruh elemen bangsa untuk turut berpartisipasi
dalam melakukan kontrol sosial serta pengawasan kinerja pemegang
7
kekuasaan publik serta memaksimalkan fungsi media massa sebagai agen
untuk mengontrol kinerja pemerintahan.
Menciptakan pemerintahan yang bersih, jujur, dan terbuka.
Hal ini bisa dimulai dengan perekrutan pegawai baru berdasarkan keahlian
dan menghapus jalur-jalur ilegal (suap dan nepotisme) sehingga kedepan
organisasi kepemerintahan bisa lebih baik.
Pencatatan kekayaan aparatur negara secara berkala sehingga bisa diketahui
apabila ada aparatur negara yang mempunyai kekayaan yang tidak wajar.
Menanamkan rasa nasionalisme sejak dini, serta memberikan pendidikan
tentang dampak yang ditimbulkan akibat korupsi, kolusi, dan nepotisme,
serta membangun karakter generasi penerus bangsa yang berkarakter
Pancasila.
2.Money politik
Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji
menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk
memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat
pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang.
Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya
dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari
H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian
berbentuk uang, sembako antar lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat
dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan
suaranya untuk partai yang bersangkutan.
Sebab adanya masalah tersebut:
a) Tidak adanya kesadaran masyarakat untuk memilih pemimpin yang
benar-benar pilihan mereka.
b) Kurangnya rasa nasionalisme di masyarakat.
c) Kurangnya rasa percaya diri dan iman pada calon pemimpin.
Solusi dari permasalahan tersebut:
1.Pemerintah menyerukan untuk tidak menerima serangan fajar atau imbalan
sejenisnya pada masyarakat.8
2.Adanya tim khusus yang mengawasi pada setiap daerah untuk mengawasi
apabila ada calon legislatif dan sejenisnya yang mengadakan serangan fajar dan
money politik.
3.Pemberian sanksi tegas dari pemerintah apabila ada calon legislatif dan
sejenis mengadakan money politik dan serangan fajar.
Dampak dari permasahan tersebut:
1. Semakin meningkatnya korupsi karena ketika sudah menjalankan
kekuasaannya, ia berpotensi melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum,
hal ini dilakukan karena ia telah mengeluarkan banyak uang sebagai modal
mendapatkan kekuasaan, sehingga ketika dia sudah menjabat, ia berkeinginan
untuk mendapatkan kembali modal yang telah ia keluarkan dan salah satu
cara yang ditempuh adalah dengan melakukan korupsi. padahal korupsi
merupakan tindakan melanggar hukum karena menyelewengkan kekuasaan
publik untuk kepentingan tertentu.
2.Tidak kompetenya pemimpin yang terpilih karena masyarakat memilih
bukan karena kemampuannya melainkan dilihat dari segi uang.
3. Intervensi politik.
Tidak bisa dipungkiri bahwa polotik memiliki peran yang penting dalam
mengintervensi keputusan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, sudah selayaknya
sebuah lembaga hukum negara berdiri secara idependen tanpa bisa dipengaruhi
oleh kepentingan - kepentingan tertentu.tetapi kenyaatanya ketika suaat masalah
tersebut berhubungan dengan negara lain intervensi hukum dan campur tangan
asing bagaikan pisau bermata dua. Disatu pihak tekanan asing dapat membawa
berkah bagi pencari keadilan dengan dipercepatnya penyidikan dan penegakan
hukum oleh aparat. Lembaga asing non pemerintah biasanya aktif melakukan
tekanan-tekanan semaam ini, misalnya dalam pengusutan kasus pembunuhan di
Aceh, tragedi Ambon, Sambas, dan sebagainya.Namun di lain pihak tekanan asing
kadang juga memberi mimpi buruk pula bagi masyarakat. Beberapa perusahaan
asing yang terkena kasus pencemaran lingkungan, gugatan tanah oleh masyarakat
adat setempat, serta sengketa perburuhan, kadang menggunakan negara induknya
untuk melakukan pendekatan dan tekanan terhadap pemerintah Indonesia agar
tercapai kesepakatan yang menguntungkan kepentingan mereka, tanpa
9
membiarkan hukum untuk menyelesaikannnya secara mandiri. Tekanan tersebut
dapat berupa ancaman embargo, penggagalan penanaman modal, penghentian
dukungan politik, dan sebagainya. Kesemuanya untuk meningkatkan posisi tawar
mereka dalam proses hukum yang sedang atau akan dijalaninya.
Contoh kasusnya :
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur, yang terjadi pada tanggal 6 September
2000, yang menewaskan tiga orang staf UNHCR mendapatkan perhatian
internasional dengan cepat. Dimulai dengan keluarnya Resolusi No. 1319 dari
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK PBB), surat dari Direktur
Bank Dunia kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk segera menyelesaikan
permasalahan tersebut, permintaan DK PBB untuk mengirim misi penyelidik
kasus Atambua ke Indonesia, desakan CGI (Consultatif Group on Indonesia),
sampai dengan ancaman embargo oleh Amerika Serikat. Tekanan internasional ini
mengakibatkan cepatnya pemerintah bertindak, dengan segera melucuti
persenjataan milisi Timor Timur dan mengadili beberapa bekas anggota milisi
Timor Leste yang dianggap bertanggung jawab.Apabila dibandingkan dengan
kasus-kasus kekerasan yang terjadi di bagian lain di Indonesia, misalnya : Ambon,
Aceh, Sambas, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang mengalami
penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat.
Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi, kekerasan berhasil diatasi, milisi
berhasil dilucuti, dan situasi kembali aman dan normal. Meskipun ada perhatian
internasional dalam kasus-kasus kekerasan lain di Indonesia, namun tekanan yang
terjadi tidak sebesar pada kasus Atambua. Dalam pandangan masyarakat, derajat
tekanan internasional menentukan kecepatan aparat melakukan penegakan hukum
dalam mengatasi kasus kekerasan.
Penyebab timbulnya masalah tersebut:
1. Teralu ambisiusnya aparat hukum indonesia yang ingin mendapatkan
image baik di hadapan internasional.
2. pemerintah kurang konsisten dalam menerapkan kebijakan diakibatkan
sifat kerakusan dan ketakutan akan tekanan asing.
Solusi dari permasalahan tersebut :
a) Pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia.
10
b) Penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat,
pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi.
c) Sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela.
d) Adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan
yang dapat diakses oleh masyarakat.
e) Adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak
hukum.
B.PERMASALAHAN HUKUM
Beberapa masalah hukum yang terjadi di indonesia yaitu :
1. Jual beli putusan perkara.
Masalah ini sering sekali terjadi di dunia hukum Indonesia. Hakim, Jaksa,
Pengacara adalah pihak - pihak yang paling sering terlibat dalam masalah
ini.Berdasarkan hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (2001), ada sejumlah
modus jual-beli perkara di pengadilan, yaitu menentukan (rekayasa) majelis
hakim, tawar-menawar putusan, memperlambat pemeriksaan perkara atau
mengulur waktu penetapan perkara, menunda eksekusi, dan memakai pengacara
tertentu. Dalam kasus yang sedang dibahas, mulai terlihat modus lain, yaitu
menawarkan putusan palsu.Selain modusnya beragam, praktek jual-beli perkara
melibatkan kalangan yang lebih luas. Setidaknya, dalam kasus yang baru
digeledah KPK, secara jelas tampak keterlibatan pengacara dan pegawai MA yang
tidak terkait langsung dengan proses perkara. Dalam kasus kasasi Probosutedjo,
kalangan pegawai yang terlibat amat beragam, dari anggota staf Direktorat
Perdata MA, bagian kepegawaian MA, staf bagian kendaraan MA, dan staf Korpri
MA. Bisa jadi, kalau ditelusuri lebih jauh, sangat mungkin ada keterlibatan
kalangan lain di luar pengacara dan pegawai.
Peristiwa hampir serupa terjadi di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
beberapa waktu lalu. Saat itu (16/6), KPK menangkap pengacara Abdullah Puteh,
Tengku Syaifuddin Popon, sedang melakukan transaksi dengan Wakil Ketua
Panitera Pengadilan Tinggi Jakarta Syamsu Rizal Ramadhan. Transaksi yang
11
dilakukan Popon terkait dengan upaya memuluskan proses banding kasus korupsi
yang dilakukan Abdullah Puteh. Dalam kasus ini, selain keterlibatan pengacara,
peran panitera begitu dominan. Sayangnya, sampai saat ini tidak terungkap ada
keterlibatan pihak lain.
Dalam konteks penelusuran praktek jual-beli perkara di pengadilan, kasus
kasasi Probosutedjo punya dimensi yang jauh lebih luas dan menarik. Soalnya,
beberapa orang yang sudah memberikan keterangan di KPK mulai menyebut
keterlibatan hakim. Setidaknya, dari keterangan Probosutedjo, Rp 5 miliar dari
uang yang diminta Harini akan diberikan kepada Ketua MA Bagir
Manan.Berdasarkan keterangan di atas, publik mulai menoleh ke arah majelis
hakim yang menangani kasus Probosutedjo. Yang paling menjadi sorotan adalah
Bagir Manan. Sorotan itu tidak hanya terkait dengan posisi Bagir Manan sebagai
Ketua MA, tapi juga dalam posisi Bagir Manan sebagai ketua majelis hakim
kasasi Probosutedjo. Apalagi Bagir Manan sendiri mengaku pernah bertemu
dengan Harini ketika yang bersangkutan pamitan (pensiun) sebagai salah seorang
hakim tinggi.
Bagi saya, ketika beberapa orang yang dimintai keterangan oleh KPK mulai
menyebut hakim, kasus suap yang terjadi di MA sedang memasuki babak baru.
Soalnya, pengungkapan kasus ini akan menjadi titik penting untuk mengetahui
keterlibatan hakim dalam proses jual-beli perkara di pengadilan. Bagaimanapun,
banyak kalangan meyakini, sangat mungkin sebagian hakim menjadi aktor dalam
jual-beli perkara di pengadilan. Keterlibatan hakim bisa saja terjadi di semua
jenjang pengadilan, dari pengadilan tingkat pertama sampai hakim di tingkat
kasasi.
Bagaimana caranya? Menurut Teten Masduki (2005), berdasarkan hasil
eksaminasi publik atas putusan-putusan kontroversial yang diperiksa oleh hakim
agung ditemukan tiga masalah besar: (1) keliru dalam memberikan pertimbangan
hukum, (2) mengabaikan fakta-fakta penting yang dapat menjerat terdakwa, dan
(3) sengaja mencari pertimbangan yang menguntungkan terdakwa. Dalam konteks
mafia peradilan, kata Teten, putusan hakim adalah tujuan utama yang akan
12
dipengaruhi. Artinya, upaya merekayasa putusan akan menjadi lebih mudah
dilakukan dengan melibatkan hakim.
Terkait dengan kemungkinan keterlibatan hakim, sejak terungkapnya kasus suap
perkara korupsi Probosutedjo, mengapa nama Bagir Manan lebih dominan disebut
dibandingkan dengan dua orang hakim lainnya? Padahal dua orang hakim lain itu
juga amat terbuka kemungkinan berhubungan dengan orang-orang yang telah
ditangkap KPK. Setidaknya, dari keterangan Pono Waluyo, Harini mengaku
sudah membereskan dua orang anggota majelis hakim lain yang menangani kasus
korupsi Probosutedjo (Kompas, 14/10).
Dalam hal ini, saya tidak ingin berspekulasi bahwa penyebutan nama Bagir
Manan merupakan bagian dari resistensi sebagian kalangan di MA menerima
kehadiran hakim agung nonkarier. Apalagi, selama ini, Bagir Manan dikenal
cukup memberikan peluang kepada kalangan eksternal untuk melakukan berbagai
langkah pembaruan di lingkungan pengadilan, terutama MA.
Bagi saya, penyebutan nama Bagir Manan harus dilihat sebagai sebuah
kesempatan untuk membongkar praktek suap yang terjadi di MA. Karena
namanya lebih sering disebut, tentunya Bagir Manan punya motivasi tersendiri
membongkar kasus suap dalam kasasi korupsi Probosutedjo. Sebab, hanya dengan
cara begitulah Bagir Manan bisa membersihkan namanya sebagai Ketua MA dan
sebagai salah seorang guru besar ilmu hukum yang terkemuka di negeri ini.
Sebetulnya, langkah ke arah itu sudah dimulai dengan adanya janji Bagir Manan
untuk membantu dan memberikan akses seluas-luasnya bagi KPK untuk
mengungkap secara tuntas kasus indikasi suap yang melibatkan pegawai MA.
Namun, dengan posisi sebagai Ketua MA, Bagir Manan bisa melakukan langkah
besar guna mengungkapkan semua indikasi jual-beli perkara yang terjadi selama
ini. Caranya, dengan sisa waktu yang tersedia sebagai Ketua MA, Bagir Manan
harus memimpin langsung pembongkaran dan pemberantasan praktek jual-beli
perkara di pengadilan.
13
Kalau itu dilakukan, yang akan terjadi bukan hanya babak baru pengungkapan
kasus suap di MA, melainkan juga babak baru dalam membongkar semua praktek
suap yang terjadi di semua jenjang pengadilan.
Penyebab masalah tersebut:
Kurangnya Iman dan moral para penagak hukum. Lemahnya hukum di Indonesia. Kurang transparasinya penjelasan UUD.
Dampak dari masalah tersebut :
a) Hasil dari keputusan hukum tersebut menjadi tabu tidak ada kejelasaan hukum.
b) Tidak adanya demokrasi untuk seluruh masyarakat.
c) Menjadikan kehilangan kepercayaan dari masyakat atas hukum indonesia yang bisa dibeli.
Solusi dari masalah tersebut :
Setiap instansi hukum di indonesia ada pengawas khusus yang mengawasi jalanya pekerjaan mereka,tetapi dalam pemilihan orang- orang yang benar- benar kompeten yang kepercayaanya bisa di percaya dan dapat di pertanggung jawabkan.
2. Peranan uang dan kekuasaan di dunia hukumUang dan kekuasaan memegang peranan penting dalam dunia hukum.
Tindakan KPK untuk menangkap para koruptor tanpa pandang bulu termasuk para
petinggi negeri ini merupakan angin segar bagi dunia hukum Indonesia. Salah satu
keputusan kontroversial yang terjadi pada bulan Februari ini adalah jatuhnya
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terpidana kasus
korupsi proyek pemetaan dan pemotretan areal hutan antara Departemen Hutan
dan PT Mapindo Parama, Mohammad “Bob” Hasan . PN Jakpus menjatuhkan
hukuman dua tahun penjara potong masa tahanan dan menetapkan terpidana tetap
dalam status tahanan rumah. Putusan ini menimbulkan rasa ketidakadilan
masyarakat, karena untuk kasus korupsi yang merugikan negara puluhan milyar
14
rupiah, Bob Hasan yang sudah berstatus terpidana hanya dijatuhi hukuman
tahanan rumah. Proses pengadilan pun relatif berjalan dengan cepat. Demikian
pula yang terjadi dengan kasus Bank Bali, BLBI (Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia), kasus Texmaco, dan kasus-kasus korupsi milyaran rupiah
lainnya.Dibandingkan dengan kasus pencurian kecil, perampokan bersenjata,
korupsi yang merugikan negara “hanya” sekian puluh juta rupiah, putusan kasus
Bob Hasan sama sekali tidak sebanding. Masyarakat dengan mudah melihat
bahwa kekayaanlah yang menyebabkan Bob Hasan lolos dari hukuman penjara.
Kemampuannya menyewa pengacara tangguh dengan tarif mahal yang dapat
mementahkan dakwaan kejaksaan, hanya dimiliki oleh orang-orang dengan
tingkat kekayaan tinggi. Kasus Ancolgate berkaitan dengan studi banding ke luar
negeri (Australia, Jepang, dan Afrika Selatan) yang diikuti oleh sekitar 40 orang
anggota DPRD DKI Komisi D. Dalam studi banding tersebut anggota DPRD yang
berangkat memanfaatkan dua sumber keuangan yaitu SPJ anggaran yang
diperoleh dari anggaran DPRD DKI sebesar 5.2 milyar
rupiah dan uang saku dari PT Pembangunan Jaya Ancol sebesar 2,1 milyar rupiah.
Dalam kasus ini, sembilan orang staf Bapedal dan Sekwilda dikenai tindakan
administratif, sementara Kepala Bapedal DKI Bambang Sungkono dan Kepala
Dinas Tata Kota DKI Ahmadin Ahmad tidak dikenai tindakan apapun.Dalam
kasus ini, terlihat penyelesaian masalah dilakukan segera setelah media cetak dan
elektronik menemukan ketidakberesan dalam masalah pendanaan studi banding
tersebut. Penyelesaian secara administratif ini seakan dilakukan agar dapat
mencegah tindakan hukum yang mungkin bisa dilakukan. Rasa ketidakadilan
masyarakat terusik tatkala sanksi ini hanya dikenakan pada pegawai rendahan.
Pihak kejaksaan pun terkesan mengulur-ulur janji untuk mengusut kasus ini
sampai ke pejabat tertinggi di DKI, yaitu Gubernur Sutiyoso, yang sebagai
komisaris PT Pembangunan Jaya Ancol ikut bertanggungjawab.
Dampak dari masalah tersebut : Kekuasaan mutlak dimasyarakat dipegang orang-orang tertentu yag di situ
mempunyai pengaruh penting bagi masyarakat,orang yang berkuasa
semakin mudah melakukan pelanggaran,karena keputusan perkara bisa di
15
beli dengan uang,jeleknya image hukum di indonesia karena hanya
dengan uang hukum bisa dikuasai
Hancurnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat
Melemahnya kontrol negara sebagai negara hukum dan penegak keadilan
Masyarakat tidak lagi percaya dengan penegak hukum.
Hilangnya keberpihakan negara pada nilai-nilai keadilan.
Pudarnya ketaatan masyarakat pada hukumyang akhirnya mengancam
keberlangsungan demokrasi.
Turunya kesadaran masyarakat pada keikutsertaan pengaws demokrasi.
Solusi dari masalah tersebut : kembali lagi ketika mencari aparat hukum yang sebaiknya berkompeten
dalam bidang tersebut dan kepercayaanya bisa dipertanggng jawabkan,dan
selalu ada aparat yang mengawasi aparat tersebut.
3. Mental para penegak hukum.Sebagai para penegak hukum, seharusnya mereka bisa menjadi contoh
bagi masyarakat umum. Bukan malah bertingkah laku dan bermental 'suka-suka'
sehingga mengakibatkan hukum menjadi wilayah yang abu-abu bagi masyarakat
satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya
inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini
kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan
terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi
penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun
cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan
sebagainya). Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari,
baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa
terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya. Masyarakat dapat melihat bagaimana
suatu peraturan lalu lintas (misalnya aturan three-in-one di beberapa ruas jalan di
Jakarta) tidak berlaku bagi anggota TNI dan POLRI. Polisi yang bertugas
membiarkan begitu saja mobil dinas TNI yang melintas meski mobil tersebut
berpenumpang kurang dari tiga orang dan kadang malah disertai pemberian
hormat apabila kebetulan penumpangnya berpangkat lebih tinggi.Contoh
peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas 16
kakap dibebaskan dari dakwaan karena kurangnya bukti, sementara pencuri ayam
bisa terkena hukuman tiga bulan penjara karena adanya bukti nyata.
Sehingga dapat di katakan aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat)
juga mudah atau dimudahkan untuk melakukan berbagai tindakan tercela dan
sekaligus juga melawan hukum. Suatu tindakan yang terkadang dilatarbelakangi
salah satunya oleh alasan rendahnya kesejahteraan dari para aparat penegak
hukum tersebut (kecuali mungin advokat). Namun memberikan gaji yang tinggi
juga tidak menjadi jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi
melakukakn tindakan tercela dan melawan hukum, karena praktek-praktek
melawan hukum telah menjadi bagian hidup setidaknya merupakan pemandangan
yang umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas
hukum.
Penyebab masalah tersebut :
1. persamaan derajat manusia.
2. Hilangnya keberpihakan negara pada nilai-nilai keadilan dan pudarnya
ketaatan pada hukum.
3. Tidak adanya pengwas aparat hukum yang jelas.
Solusi dari masalah tersebut :
1. Keterbuakaan peraturan hukum yang jelas.
2. Pemberian training kepada aparat hukum tentang birokrasi keadilan.
3. Kejelasan pidana untuk masyarakat tanpa membedakan kekayaan dan
jabatan.
4.Disparitas pidana
Disparitas putusan hakim pidana adalah masalah yang telah lama menjadi
pusat perhatian kalangan akademisi, pemerhati dan praktisi hukum. Disparitas
putusan dianggap sebagai isu yang mengganggu dalam sistem peradilan pidana
terpadu, dan praktek disparitas tak hanya ditemukan di Indonesia. Ia bersifat
universal dan ditemukan di banyak negara.17
Disparitas putusan mungkin saja ikut berpengaruh pada cara pandang dan
penilaian masyarakat terhadap peradilan. Ia dapat dilihat sebagai wujud
ketidakadilan yang mengganggu. Tetapi apa sebenarnya disparitas putusan itu?
Dalam bukunya Sentencing and Criminal Justice (2005: 72), Andrew Ashworth
mengatakan disparitas putusan tak bisa dilepaskan dari diskresi hakim
menjatuhkan hukuman dalam suatu perkara pidana.
Di Indonesia, disparitas hukuman juga sering dihubungkan dengan
independensi hakim. Model pemidanaan yang diatur dalam perundang-undangan
(perumusan sanksi pidana maksimal) juga ikut memberi andil. Dalam
menjatuhkan putusan, hakim tidak boleh diintervensi pihak manapun. UU No. 48
Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Hakim juga wajib mempertimbangkan sifat bak dan jahat pada diri
terdakwa.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo (2003: 7) menyatakan disparitas
putusan berkenaan dengan perbedaan penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa
atau setara keseriusannya, tanpa alasan atau pembenaran yang jelas.
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan.
Tetapi pada akhirnya hakimlah yang paling menentukan terjadinya disparitas.
Misalnya, ada dua orang yang melakukan tindakan pencurian dengan cara yang
sama dan akibat yang hampir sama. Meskipun hakim sama-sama menggunakan
pasal 362 KUHP, bisa jadi hukuman yang dijatuhkan berbeda.
Namun independensi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bukan tanpa batas.
Eva Achjani Zulfa, dalam buku Pergeseran Paradigma Pemidanaan (2011: 33),
mengatakan ada asas nulla poena sine lege yang memberi batas kepada hakim
untuk memutuskan sanksi pidana berdasarkan takaran yang sudah ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun ada takaran, masalah disparitas
akan tetap terjadi karena jarak antara sanksi pidana minimal dan maksimal dalam
takaran itu terlampau besar.18
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan ikut berpengaruh
karena ketiadaan standar merumuskan sanksi pidana. Disparitas putusan sejak
awal ‘dimungkinkan’ karena aturan hukum yang disusun pemerintah dan DPR
membuka ruang untuk itu.
Menghapuskan sama sekali perbedaan putusan hakim untuk kasus yang
mirip tak mungkin dilakukan. Selama ini, upaya yang dilakukan adalah
meminimalisir disparitas dengan cara antara lain membuat pedoman pemidanaan
(sentencing guidelines). Amerika Serikat, Finlandia, Swedia dan Selandia Baru
termasuk negara yang sudah mengadopsi dan menerapkan pedoman pemidanaan
tersebut.
Hakim-hakim Indonesia pun sebenarnya sudah menyadari persoalan
disparitas itu. Meskipun berat ringannya hukuman menjadi wewenang hakim
tingkat pertama dan banding, tetapi dalam beberapa putusan, hakim agung
mengoreksi vonis itu dengan alasan pemidanaan yang tidak proporsional.
Contoh masalah ini: bolehlah disebut putusan Mahkamah Agung No.
662K/Pid/1992 (JPU vs Abdullah bib Tatoto dkk), dan putusan No. 1168
K/Pid/2000 (JPU vs Margono Kusuma Widagdo dan Sri Endah Soekardi). Dalam
dua putusan ini, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan karena
menaikkan hukuman penjara tanpa pertimbangan dan alasan yang cukup
terperinci. Dalam putusan kedua, misalnya, Mahkamah Agung melihat disparitas
hukuman antara yang hanya turut serta dengan pelaku utama mengedarkan uang
palsu.
Rujukan lain yang menyinggung langsung pemidanaan yang tidak proporsional
adalah putusan MA No. 143K/Pid/1993. Majelis hakim agung dipimpin M. Yahya
Harahap mempertimbangkan bahwa pada dasarnya berat ringannya hukuman
adalah kewenangan judex facti. Pemidanaan dapat menjadi kewenangan hakim
tingkat kasasi jika pidana yang dijatuhkan tidak sesuai dengan cara melakukan
tindak pidana dikaitkan dengan luasnya dampak yang diakibatkan perbuatan
terdakwa. Begitu pula jika pidana yang dijatuhkan tidak memenuhi tujuan
19
penegakan hukum pidana sebagai tindakan edukasi, koreksi, prevensi dan represi
bagi masyarakat dan pelaku.
“Meskipun tujuan pemidanaan terhadap seseorang bukan sebagai balas dendam,
namun pemidanaan tersebut harus benar-benar proporsional dengan prinsip
edukasi, koreksi, prevensi dan represi,” demikian penggalan pertimbangan majelis
hakim agung.
Penjatuhan hukuman yang proporsional adalah penjatuhan hukuman yang
‘sesuai dengan tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan. Pada intinya,
proporsionalitas mensyaratkan skala nilai untuk menimbang dan menilai berat
ringannya pidana dikaitkan dengan tindak pidananya. Nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat sert5a budaya cenderung menjadi determinan dalam
menentukan peringkat sanksi yang dipandang patut dan tepat dalam konteks
historis tertentu (Harkrisnowo, 2003: 12). Penelusuran Harkristuti Harkrisnowo
menemukan fakta bahwa asas proporsionalitas sudah dirumuskan pada kitab-kitab
hukum zaman Indonesia kuno.
Menurut Eva Achjani Zulfa (2011: 37-38), ide tentang penjatuhan pidana
yang proporsional berkembang menjadi gagasan untuk membuat suatu pedoman
pemidanaan yang mampu mereduksi subjektivitas hakim dalam memutus perkara.
Diskresi hakim sangat mungkin disalahgunakan Sehingga pedoman
pemidanaan dianggap sebagai jalan terbaik membatasi kebebasan hakim.
Pedoman pemidanaan itu, kata Asworth (2005: 101), harus ‘a strong and
restrictive guideline’.
KUHP sebenarnya sudah memuat sejumlah pedoman, seperti Pasal 14a,
pasal 63-71, dan Pasal 30. Selain itu, RUU KUHP sudah guidelines yang wajib
dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan, yaitu: kesalahan pembuat
tindak pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat
tindak pidana, apakah tindak pidana dilakukan berencana, cara melakukan tindak
pidana, sikap dan tindakan pelaku setelah melakukan tindak pidana, riwayat hidup
dan keadaan sosial ekonomi pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan
20
pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan korban atau keluarga korban, maaf
dari korban/keluarga, dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang
dilakukan.
Dampak dari permasalahan tersebut :
a) Disparitas pidana akan berakibat fatal apabila dikaitkan dengan correction
administrator.
b) Terpidana yang lebih diperbandingkan pidananya dengan dengan terpidana
yang lain dan merasakan ada disparitas, maka ia akan memandang dirinya
sebagai korban yudicial coprice.
c) Selanjutnya yang bersangkutan akan sulit dimasyarakatkan dan bahkan
tidak menghargai hukum.
d) Adanya manifestasi kegagalan suatu sistem untuk mancapaI suatu
persamaan keadilan di dalam negara hukum sekaligus melemahkan
kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana.
e) Dispiratas juga mengandung dampak sisial, masyarakat akan melihat
pengadilan pidana sebagai suatu yang mengecewakan dan hal ini jelas
merendahkan martabat dan wibawa hukum dan penegak hukum.
Solusi dari permasalhan tersebut:
1) Harus ada patokan pemidanaan dalam perundang-undangan dan praktik
peradilan.
2) Perlu diusahakan pemidanaan yang tepat dan serasi.
3) Lahirnya yurisprudensi sangat diharapkan sebagai panduan utama untuk
menghindari disparitas putusan.
4) MA harus membuat pedoman pemidanaan untuk hakim, terutama dalam
menjatuhkan pidana tambahan uang pengganti. Pasalnya, tidak ada aturan
yang jelas mengenai berapa pidana penjara yang harus dijalani apabila
aset-aset terdakwa tidak mencukupi saat dilelang untuk menutupi kerugian
Negara.
21
22