permasalahan jalan raya di indonesia
TRANSCRIPT
PERMASALAHAN JALAN RAYA DI INDONESIA
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi dan
industri yang semakin tahun semakin berkembang, sehingga keberadaan
jalan raya sangat di perlukan untuk menunjang laju pertumbuhan ekonomi,
seiring dengan meningkatnya kebutuhan saran transportasi yang dapat
menjangkau daerah-daerah terpencil yang merupakan sentra produksi
pertanian. Jaringan jalan raya yang merupakan praarana transportasi darat
yang memegang peranan penting dalam sector perhubungan, terutama
untuk kesinambungan distribusi barang dan jasa,serta masyarakat dan untuk
pengembangan wilayah. Perkembangan kapasitas maupun kwantitas
kendaraan yang menghubungkan kota-kota antar propinsi dan terbatasnya
dana untuk pembangunan jalan serta belum optimalnya pengoperasian
prasarana lalu lintas yang ada, merupakan persoalan utama di indonesiadan
di banyak negara terutama di negara negara yang sedang berkembang.
Perencanaan peningkatan jalan merupakan salah satu upaya untuk
mengatasi permasalahan lalu lintas. Sehubungan dengan permsalahan lalu
lintas, maka diperlukan penambahan kapasitas jalan yang tentu akan
memerlukan metoda efektif dalam perancangan maupun perencanaan agar
diperoleh hasil yang terbaik dan ekonomis, tetapi memnuhi kenyamanan,
keamanan dan keselamatan pengguna jalan.
Kecelakaan lalu lintas saat ini merupakan permasalahan serius bagi
negara-negara berkembang. Masalah tersebut sama halnya yang terjadi di
Indonesia dimana di kota-kota besar jumlah kasus kecelakaan cukup banyak.
Berdasar data Kepolisian RI pada tahun 2003, jumlah kecelakaan di jalan
mencapai 13.399 kejadian dengan tingkat kematian mencapai 9.865 orang,
mengalami luka berat 6.142 orang dan luka ringan 8.694 orang. Ironinya,
usaha penanganan kecelakaan lalu lintas yang telah dilakukan oleh
pemerintah selama ini ternyata tidak mampu mengatasi masalah tersebut.
Penanganan masalah kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Indonesia
dilakukan dengan mengetahui kondisi dan perilaku pengguna jalan.
Kemudian memberikan beberapa alternatif usulan sebagai upaya untuk
meningkatkan keselamatan lalu lintas. Berdasarkan sudut pandang tersebut
maka dipilih pendekatan psikologi persuasi sebagai solusi. Upaya
penanggulangan kecelakaan lalu lintas dengan pendekatan psikologi
persuasi dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: pembangkitan kepedulian,
perencanaan program 5 tahunan, koordinasi dan manajemen keselamatan
jalan, peredaan lalu lintas (traffic calming), kurikulum pendidikan
keselamatan lalu lintas, serta kampanye dan sosialisasi keselamatan lalu
lintas.
Salah satu masalah yang sering terjadi pada jalan raya adalah
kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan yang terjadi di jalan raya (road crash)
tidak hanya disebabkan oleh faktor kondisi kendaraan maupun pengemudi,
namun disebabkan pula oleh banyak faktor antara lain: kondisi alam (cuaca),
desain ruas jalan (alinyemen vertikal dan horizontal), jarak pandang
pengemudi, kondisi kerusakan perkerasan, kelengkapan rambu atau
petunjuk jalan, pengaruh budaya dan pendidikan masyarakat sekitar jalan,
peraturan / kebijakan lokal yang berlaku dapat secara tidak langsung
memicu terjadinya kecelakaan di jalan raya, misalnya penetapan lokasi
sekolah dasar di tepi jalan arteri (Mulyono dkk, 2009).
Selain itu permasalahan yang sering kita jumpai adalah kerusakan
jalan pada suatu ruas jalan, kerusakan ini bermacam macam, umumnya ada
kerusakan jalan berupa retak-retak (cracking), berupa gelombang
(corrugation), juga kerusakan berupa alur/cekungan arah memanjang jalan
sekitar jejak roda kendaraan (rutting) ada juga berupa genangan aspal
dipermukaan jalan (bleeding), dan ada juga berupa lobang-lobang (pothole).
Kerusakan tersebut bisa terjadi pada muka jalan yang menggunakan beton
aspal sebagai lapis permukaannya.
Sekarang timbul pertanyaan kita, apa penyebab dari masing-masing
kerusakan tersebut?
Penyebab kerusakan jalan adalah akibat beban roda
kendaraan berat yang lalulalang (berulang-ulang), kondisi muka air
tanah yang tinggi, akibat dari salah pada waktu pelaksanaan, dan
juga bisa akibat kesalahan perencanaan.
Kita ambil salah satu bentuk kerusakan yang sering kita jumpai dan
kerusakan tersebut sangat tidak nyaman untuk dilalui adalah kerusakan
berlubangnya jalan, bahkan jalan yang bisa menyerupai kubangan kerbau
(tempat mandi kerbau dengan lumpur) yang hal ini sering kita lihat disawah.
Jelas penyebab utama adalah air. Jika sistim drainase sepanjang jalan tidak
sempurna, termasuk perawatannya, maka air akan naik, bahkan bisa
menggenangi jalan.
Daya dukung tanah pada badan jalan sangat dipengaruhi oleh
kandungan air yang ada dalam tanah tersebut. Jika kandungan air optimum
sudah terlewati maka daya dukung tanah akan menurun,apalagi jika sampai
muka jalan tergenang maka kondisi saturated akan terjadi. Daya lekat antar
butiran tanah menjadi sangat kecil bahkan bisa tidak ada sama sekali,
gesekan antar partikal sangat menurun dan saling mengunci antar butiran
sudah tidak bekerja. Pada kondisi ini kemampuan tanah mendukung beban
boleh dikatakan sangat-sangat kecil. Sedangkan kendaraan tetap akan
lewat, akibat beban kendaraan yang menekan muka jalan maka terjadilah
pelepasan ikatan antar butiran pada tanah, dan akan mengakibatkan
permukaan jalan menjadi pecah dan amblas. Nah inilah proses awal
kerusakan jalan tersebut.
Oleh karena itu hampir setiap selesainya musim hujan akan nampak
banyak jalan yang mengalami kerusakan, mulai dari lobang kecil sampai
berlobang yang sangat besar. Jelas ini diakibatkan dari kondisi drainase yang
tidak sempurna. Inilah yang sering dihebohkan yang terjadi dijalan Pantura
Pulau Jawa. Memang banyak cara mengatasi kerusakan jalan. Nah
sempurnakanlah sistim drainase sepanjang jalan agar muka air tanah tidak
naik, untuk memperkecil terjadinya kerusakan jalan.
Berbicara mengenai permasalahan lalu lintas, tentunya kita tidak akan
dapat terlepas dari faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya mobilitas
pergerakan lalu lintas, dimana salah satu dari faktor tersebut adalah
penduduk. Mudah untuk dipahami bahwa tekanan terhadap prasarana dan
sarana transportasi di wilayah perkotaan Indonesia, khususnya Jabotabek
sangat dipengaruhi oleh intensitas dan mobilitas pergerakan penduduk antar
bagian wilayah.
Pada tahun 1990, misalnya, jumlah penduduk tercatat yang bermukim
di wilayah ini telah mencapai lebih dari 17 juta jiwa, dimana 8,2 juta
merupakan penduduk DKI-Jakarta dan 8,9 juta merupakan penduduk
Botabek. Jumlah ini akan senantiasa meningkat, baik yang disebabkan oleh
pertumbuhan penduduk alamiah, maupun karena migrasi yang terjadi
sebagai akibat dari meningkatnya harapan ekonomi dan kesempatan kerja di
wilayah ini. Untuk periode 1985-1990 misalnya, pertumbuhan penduduk
yang terjadi adalah sekitar 2.31 % per tahun untuk wilayah DKI-Jakarta dan
4,81% untuk wilayah Botabek, sehingga rata-rata pertumbuhan penduduk
untuk keseluruhan wilayah Jabotabek adalah 3,57% per tahun.
Tingkat pertumbuhan ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga
masa yang akan datang, meskipun dengan tingkat pertumbuhan yang
diharapkan akan mengalami penurunan, yaitu rata-rata Jabotabek untuk
periode pasca tahun 2000 menjadi 2,19% per tahun dari 3,11% yang terjadi
pada periode sebelumnya. Diprediksikan bahwa jumlah penduduk pada
tahun 2000 akan mencapai sekitar 23,3 juta jiwa dan pada tahun 2015 akan
mencapai lebih kurang 32,2 juta jiwa (JMTSS). Jumlah ini berarti hampir
mencapai 2x (dua kali) lipat dari jumlah penduduk yang ada saat ini dan
tentunya akan mengakibatkan terjadinya peningkatan yang sangat berarti
terhadap mobilitas perjalanan orang dan barang, jumlah kendaraan
bermotor dan arus lalu litas jalan raya.
Di wilayah DKI-Jakarta, jumlah rata-rata perjalanan orang dengan
kendaraan bermotor (motorised trips) yang terjadi antara pk. 6.00 sampai
pk. 22.00 telah mencapai sekitar 9,7 juta perjalanan per hari, dimana sekitar
81% merupakan perjalanan internal di dalam wilayah DKI, sedangkan 19%
sisanya merupakan perjalanan internal-eksternal dari dan ke wilayah
Botabek. Jumlah perjalanan ini akan senantiasa meningkat setiap tahunnya,
dengan peningkatan sekitar 3,6% per tahun dan pada tahun 2015
diestimasikan akan mencapai 23,7 juta perjalanan per hari.
Dapat dipastikan bahwa permasalahan lalu lintas yang kronis
akan terjadi apabila penanganan-penanganan yang seksama dan
terintegrasi tidak segera dilakukan, khususnya mengingat bahwa untuk saat
ini saja, kondisi kemacetan lalu lintas telah memprihatinkan dan melanda
hampir seluruh jalan-jalan raya yang ada dengan durasi waktu kemacetan
yang tidak terbatas hanya pada saat jam sibuk saja, melainkan telah
tersebar hampir sepanjang hari, khususnya pada daerah pusat kota.
2. Ketidakseimbangan antara Prasarana dan Pertumbuhan Jumlah
Kendaraan
Penyebab klasik yang sering dikumandangkan sebagai faktor yang
menimbulkan terjadinya permasalahan lalu lintas adalah karena tidak
seimbangnya tingkat pertumbuhan prasarana jalan raya yang saat ini
memiliki panjang sekitar 4500 km jika dibandingkan dengan tingkat
pertumbuhan sarana kendaraan yang saat ini telah melampaui jumlah 1,5
juta buah. Bahkan menurut prediksi yang telah disusun secara seksama,
ketidak-seimbangan ini akan terus berlanjut di masa datang dengan angka
tingkat pertumbuhan sekitar 5,1% untuk pertumbuhan kendaraan dan 2%
untuk pertumbuhan prasarana jalan raya (JMTSS). Estimasi jumlah
kendaraan pada tahun 2015 diperkirakan akan mencapai lebih dari 4,5 juta
buah (tiga kali lipat kondisi saat ini), sedangkan penyediaan prasarana jalan
raya, meskipun akan mengalami peningkatan, namun dengan tingkat
pertumbuhan yang relatif lebih kecil.
Penelitian yang dilakukan pada Studi Pengembangan Sistem Jalan
Arteri DKI-Jakarta (SPSJA) menyatakan bahwa meskipun total panjang jalan
beraspal yang terdapat di wilayah DKI-Jakarta hampir mencapai 10% dari
total panjang yang terdapat di seluruh pulau Jawa, namun jika ditinjau secara
proporsional dari aspek tata guna lahan, total luas peruntukkan lahan untuk
jalan kota ini hanya sekitar 4% dari total luas wilayah DKI-Jakarta yang
meliputi luas areal sekitar 64 ribu hektar. Hal ini berarti masih berada jauh di
bawah nilai pagu dasar 10-20% yang terdapat pada kota-kota besar di
negara maju. Rendahnya tingkat penyediaan prasarana jalan ini terutama
terjadi pada wilayah-wilayah di bagian Timur, Barat, Barat Laut dan Timur
Laut kota DKI-Jakarta, dimana hal ini telah mengakibatkan rendahnya tingkat
aksebilitas pergerakan penduduk yang bermukim di wilayah-wilayah
tersebut untuk menuju ke wilayah lainnya.
3. Kurang Memadainya Kualitas dan Kuantitas Pelayanan Angkutan
Umum
Indikator yang paling jelas mengenai kurang memadainya kualitas
pelayanan bis yang disediakan adalah tingginya tingkat kelebihan muatan
(Overloading) yang dialami oleh seluruh pelayanan bis, khususnya pada jam-
jam puncak. Studi TNPR menyimpulkan bahwa sekitar 58% dari seluruh
pelayanan angkutan bis mengalami kondisi kelebihan penumpang
(Overloaded), bahkan hampir mencapai 30% pelayanan angkutan
mengalami kondisi kelebihan muatan dengan tingkatan yang berat (Heavily
Overloaded). Kondisi ini berlaku bukan hanya pada pelayanan bis-bis besar
di koridor utama saja, melainkan juga melanda pada jenis-jenis angkutan
yang lain, seperti Metro Mini dan Mikrolet. Ini memberikan arti bahwa
pengguna jasa angkutan bis kota harus mengalami kondisi yang berjejal-jejal
dan kurang nyaman setiap kali mereka melaksanakan perjalanan.
Faktor lain yang merupakan permasalahan di bidang angkutan umum
adalah rendahnya kualitas pelayanan disebabkan oleh tidak memadainya
sistem perawatan; waktu singgah yang lama di terminal-terminal (rata-rata
37 menit/perjalanan) mengakibatkan rata-rata tingkat penggunaan bis hanya
menjadi 58%; sistem Wajib Angkut Penumpang (WAP) yang menimbulkan
tingkah laku pengemudi dan awak bis menjadi tidak disiplin; rendahnya
tingkat keamanan; kondisi tempat pemberhentian bis ada terminal yang
tidak memadai; kecepatan yang rendah dan waktu perjalanan yang panjang
karena beroperasi pada lalu lintas yang berbaur (Mixed Traffic).
Hasil survai studi TNPR terhadap penumpang bis memperlihatkan
bahwa hampir separuh dari seluruh perjalanan penumpang memerlukan
sekurang-kurangnya satu kali transfer. Dari sisi pengguna jasa angkutan
umum, semakin banyak jumlah transfer antar bis yang harus dilakukan,
maka semakin besar pengeluaran mereka untuk membayar ongkos
perjalanan.
Di sisi kuantitas, proporsi rata-rata dari jumlah bis yang sebenarnya
beroperasi terhadap jumlah bis yang memiliki ijin sebesar 75% merupakan
angka yang relatif agak rendah, bahkan pada lebih dari seperempat rute-
rute yang dioperasikan oleh operator terbesar misalnya, pelayanan yang
sebenarnya disediakan hanya kurang dari 50% pelayanan yang diijinkan.
Rata-rata tingkat penggunaan bis juga sangat rendah, yaitu rata-rata hanya
6 rit operasi per bis per hari. Kuantitas pelayanan bis yang disediakan secara
keseluruhan ditentukan oleh jumlah bis yang melayani, ukuran-nya, dan
kecepatan rata-rata bis. Lebih dari 75% bis di Jakarta berupa minibus yang
efisien untuk pengoperasian di wilayah pinggir kota (sub-urban), tetapi tidak
tepat untuk fungsi jalur angkutan utama sebagaimana yang digunakan di
Jakarta.
4. Penggunaan Kendaraan Yang Tidak Efisien Dalam Pemanfaatan
Ruang
Di samping pengaruh-pengaruh dan faktor-faktor yang menimbulkan
permasalahan lalu lintas sebagaimana diuraikan sebelumnya, perlu
ditekankan pula disini bahwa permasalahan yang paling mendasar adalah
karena besarnya jumlah pemakaian kendaraan yang tidak efisien dalam
penggunaan ruang. Sebagai ilustrasi, meskipun berdasarkan standar
internasional, penawaran angkutan umum di Jabotabek telah relatif tinggi
(52,5%), namun sekitar 4,6 juta perjalanan (47,5% sisanya) masih harus
menggunakan angkutan pribadi yang tidak efisien jika ditinjau dari sudut
pandang pemanfaatan ruangnya.
Komposisi kendaraan pribadi yang berjumlah 1,3 juta buah menempati
86% dari jumlah total kendaraan yang ada di wilayah DKI-Jakarta, sedangkan
secara berturut 2,6% (0,04 juta kendaraan) dan 11,4% (0,17 juta
kendaraan ) sisanya merupakan jenis angkutan umum penumpang dan
angkutan barang. Dari fakta diatas dapat dilihat bahwa kendaraan angkutan
umum penumpang yang hanya menduduki proporsi 2,6% dari total jumlah
kendaraan yang berada di wilayah DKI-Jakarta harus melayani sejumlah
hampir 5,1 juta perjalanan, sedangkan 86% lainnya yang merupakan
angkutan pribadi hanya melayani 4,6 juta perjalanan. Hal ini memberikan
arti bahwa, secara rata-rata, setiap kendaraan angkutan umum melayani 36
kali lebih banyak dari pada kendaraan pribadi.
5. Pesatnya Pertumbuhan Ekonomi Dan Pembangunan Lahan Utama
Dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir ini, kondisi perekonomian
Indonesia telah meningkat secara pesat yang tercermin dari peningkatan
rata-rata GNP sebesar 5,5% per tahun untuk perode 1983-1989 dan bahkan
pada periode 1988-1989 telah mencapai tingkat pertumbuhan 6,1% per
tahun. Konstribusi DKI-Jakarta terhadap pendapatan nasional ini hampir
mencapai angka 12% dengan tingkat pertumbuhan GRDP rata-rata 6,6% per
tahunnya.
Pesatnya pertumbuhan ini disebabkan karena meningkatnya
penerimaan devisa negara sebagai akibat dari keberhasilan pelaksanaan
program-program pembangunan di berbagai bidang, khususnya sektor
produksi berupa industri manufaktur yang berskala dan berorientasi ekspor,
industri pariwisata dan ekspor hasil bumi. Pertumbuhan sektor jasa,
perdagangan dan industri non-manufaktur telah pula meningkat secara
dramatis mengikuti pertumbuhan industri dasar tersebut. Migrasi penduduk
ke kota-kota besar dan sentra-sentra produksi, secara tidak dapat
dihindarkan, telah pula meningkat guna memenuhi kebutuhan akan
penyediaan tenaga kerja.
Kondisi tersebut diatas memberikan konsekwensi logis berupa
meningkatnya permintaan terhadap pembangunan fisik prasarana, sarana
dan fasilitas penduduk yang pada gilirannya telah mengakibatkan
meningkatnya permintaan terhadap lahan-lahan pembangunan baru guna
mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan tersebut yang disediakan baik
oleh Pemerintah maupun sektor Swasta. Hampir seluruh kota-kota besar di
Indonesia saat ini tengah mengalami desakan yang meningkat dari berbagai
pihak, khususnya Developer swasta untuk mengembangkan lahan yang ada,
baik yang berskala kecil, sedang maupun besar dan untuk memperoleh ijin
pembangunan Major Real Estate guna kepentingan kegiatan-kegiatan bisnis,
komersil, perdagangan, industri dan perumahan, dimana desakan tersebut
tidak terbatas hanya di wilayah pusat kota saja, melainkan meliputi pula
wilayah lain di sekitarnya.
Tidak dapat dihindarkan bahwa pembangunan-pembangunan yang
telah dilaksanakan tersebut, selain akan lebih memacu lagi pertumbuhan
perekonomian negara dan peningkatan terhadap lapangan pekerjaan, hal ini
telah pula memberikan tekanan yang cukup berarti terhadap prasarana dan
sarana transportasi yang pada sebagian besar kasus, tidak atau belum
dirancang untuk melayani dan menampung beban-beban lalu lintas
tambahan yang ditimbulkan oleh karena adanya pembangunan-
pembangunan baru tersebut.
Meskipun permasalahan-permasalahan tersebut tumbuh di kebanyakan
pusat-pusat kota di daerah, sudah barang tentu, masalah tersebut terutama
sangat terasakan pula di ibu kota negara, DKI-Jakarta dan wilayah
sekitarnya, Bogor-Tangeran-Bekasi atau secara keseluruhan wilayah ini lazim
disebut sebagai JABOTABEK. Permintaan terhadap pengembangan lahan di
wilayah ini sangat tinggi, baik untuk kegiatan industri, bisnis, perdagangan
maupun perumahan, bahkan dalam dekade terakhir ini desakan yang kuat
dari berbagai pihak untuk mengembangkan lahan berupa pembangunan
yang bersifat masif dan besar (Major Development) telah semakin
meningkat.
Pembangunan utama tersebut yang acapkali disebut pula sebagai
Superblock, meskipun pada dasarnya tidak diragukan lagi akan dapat
meningkatkan pendapatan daerah, peningkatan lapangan kerja, dan bahkan
peningkatan kesempatan terhadap penanaman modal asing, akan tetapi
merupakan suatu keadaan yang nyata dan terbukti bahwa pembangunan-
pembangunan semacam itu akan memberikan tekanan tambahan yang
cukup berarti terhadap kapasitas daya dukung lingkungan, utilitas dan
pelayanan umum (listrtik, air bersih, gas, kebersihan, kemanan), dan
khususnya prasarana, serta sarana transportasi yang ada di wilayah DKI-
Jakarta.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, meskipun Pemerintah tidak
bermaksud untuk menghalangi antusiasme bisnis dan komersial yang pada
dasarnya tidak diragukan lagi akan dapat meningkatkan pendapatan daerah,
peningkatan lapangan kerja, dan bahkan peningkatan kesempatan terhadap
penanaman modal asing, akan tetapi merupakan suatu bukti yang nyata
bahwa kapasitas daya dukung fisik, khususnya prasarana jalan raya yang
ada akan menjadi tidak mampu untuk memenuhi tingkat permintaan lalu
lintas kendaraan pribadi di masa datang yang dibangkitkan oleh karena
adanya pembangunan-pembangunan yang baru tersebut.
6. Penutup
Meskipun bukanlah suatu hal yang realistis dan hanya memandang dari
sudut pandang supply semata, semua permasalahan lalu lintas yang telah
berpotensi akan terjadi sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya, secara
ekstrim dapat terpecahkan seluruhnya apabila dana yang dimiliki
Pemerintah tidak terbatas. Semua kendala yang berkaitan dengan faktor
fisik dapat diatasi seluruhnya oleh penerapan faktor teknologi yang
direncanakan secara seksama.
Secara lebih konkrit, masalah kemacetan lalu lintas dapat diatasi
seluruhnya dengan melaksanakan pembangunan secara besar-besaran
terhadap prasarana jalan raya dan prasarana/sarana angkutan umum yang
berkualitas tinggi, bebas hambatan dan memiliki tingkat keselamatan yang
tinggi, termasuk disini peningkatan dan pelebaran jalan, pembangunan jalan
bertingkat banyak (multy decker), persimpangan tidak sebidang
(interchange & flyover) pada semua simpang yang ada, pembangunan
sistem angkutan umum massal cepat & ringan (Mass Rapid & Light Rail
Transits), pembangunan terminal & penyediaan bis secara masal, dan lain-
lain.
Upaya kearah itu telah dilaksanakan oleh Pemerintah dan beragam
langkah, serta tindakan untuk mengurangi masalah lalu lintas dan
menyeimbangkan antara supply dan demand telah pula dilaksanakan.
Disamping telah dilakukannya pembangunan prasarana dan sarana
angkutan yang sifatnya cukup intensif, Pemerintah telah pula melaksanakan
pengaturan terhadap sisi permintaan lalu lintas (management of demand)
melalui upaya pengaturan jam masuk kerja dan sekolah, seta penerapan
Kawasan Pembatasan Penumpang (KPP) yang seringkali dikenal dengan
sebutan three in one.
Namun demikian, dalam memberikan pelayanannya kepada
masyarakat, termasuk upaya untuk menyediakan prasarana dan fasilitas-
fasilitas umum bagi penduduk, Pemerintah memiliki kendala dalam hal
pembiayaan dan penyediaan dananya. Terlebih lagi dengan adanya fungsi
pemerataan pembangunan dan keadilan sosial yang harus diemban
Pemerintah dalam menjalankan tugasnya, tentunya hal ini akan lebih
membatasi lagi jumlah dana yang dapat disediakan Pemerintah untuk
pembangunan sektor transportasi pada wilayah tertentu, termasuk disini
DKI-Jakarta.
Pihak yang memperoleh nilai tambah dan terlibat secara langsung
dalam memberikan tekanan tambahan terhadap daya dukung fisik,
prasarana & lingkunan, dalam hal ini Developer, harus turut pula dalam
memberikan konstribusinya secara langsung dan nyata untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh pembangunan lahan
utama yang mereka lakukan.