perlindungan hukum bagi franchisor dalam hal...
TRANSCRIPT
i
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI FRANCHISOR DALAM HAL
PENGGUNAAN MEREK TANPA HAK SETELAH BERAKHIRNYA
PERJANJIAN WARALABA
(Studi Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015/PN Bla)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
ANISA KATRIA UTAMI
NIM : 11150480000129
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
v
ABSTRAK
Anisa Katria Utami, NIM 11150480000129, “PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI FRANCHISOR DALAM HAL PENGGUNAAN MEREK
TANPA HAK SETELAH BERAKHIRNYA PERJANJIAN WARALABA
(Studi Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015/PN Bla)”. Program Studi Ilmu Hukum,
Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1442 H / 2020 M. Isi: x + 62 halaman + 3
halaman daftar pustaka + 70 halaman lampiran.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk perlindungan
hukum bagi franchisor dalam hal penggunaan merek tanpa hak setelah
berakhirnya perjanjian waralaba antara Oktavia Cokrodiharjo sebagai mantan
franchisee melawan PT. K-24 Indonesia sebagai pemilik merek K-24 Indonesia,
serta mengetahui pertimbangan Majelis Hakim berdasarkan Putusan Mahkamah
Agung Nomor 4/Pid.Sus/2015/ PN Bla apakah telah sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku. Pendekatan penelitian yang digunakan masuk ke dalam
kategori yuridis normatif dengan menganalisis putusan dan dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan di bidang Hukum Merek, literatur pendapat para
ahli dan putusan hakim. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-
undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perlindungan hukum bagi
franchisor dalam hal penggunaan merek tanpa hak setelah berakhirnya perjanjian
waralaba diatur dalam Pasal 90 dan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek, dimana dalam Pasal 90 dijelaskan bahwa apabila ada pihak
lain yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada
keseluruhan dengan merek terdaftar milik pihak lain akan mendapatkan sanksi
pemidanaan maksimal pidana penjara 5 tahun dan/atau denda maksimal
Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah), kemudian dalam Pasal 91 dijelaskan bahwa
apabila ada pihak lain yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek
yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain akan
mendapatkan sanksi pemidanaan maksimal pidana penjara 4 tahun dan/atau denda
maksimal 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah). Pertimbangan Majelis Hakim
pada Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015/ PN Bla, perbuatan yang dilakukan Oktavia
Cokrodiharjo yang masih menggunakan aksessoris/atribut yang berhubungan
dengan merek K-24 Indonesia setelah perjanjian waralaba berakhir telah terbukti
secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 91 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek.
Kata kunci : Penggunaan Merek Tanpa Hak, Apotek K-24
Pembimbing Skripsi : Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H.
Mustolih, S.H.I., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1990 sampai Tahun 2019
vi
KATA PENGANTAR
حْمنِِِاللِِِبِسْمِِ حِيمِِِالرَّ الرَّ
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya dan telah memberikan kemudahan sehingga peneliti mampu
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa peneliti curahkan kepada
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, dan para sahabatnya.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum,
Konsenterasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini berjudul
“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI FRANCHISOR DALAM HAL
PENGGUNAAN MEREK TANPA HAK SETELAH BERAKHIRNYA
PERJANJIAN WARALABA (Studi Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015/PN
Bla)”.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para
pihak yang telah memberikan peranan secara langsung dan tidak langsung atas
pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, antara lain kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. dan Mustolih, S.H.I., M.H.
Pembimbing Skripsi yang telah bersedia dengan sabar meluangkan waktu
untuk memberikan bimbingan, arahan, dukungan, saran, dan masukan
sehingga peneliti dapar menyelesaikan skripsi ini.
5. Dra. Ipah Farihah, M.H. Penasihat Akademik yang telah mempermudah dan
memberikan saran kepada peneliti di dalam proses penyusunan skripsi.
viii
DAFTAR ISI
COVER SKRIPSI ............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................. 6
1. Identifikasi Masalah ........................................................... 6
2. Pembatasan Masalah .......................................................... 7
3. Perumusan Masalah ........................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 8
1. Tujuan Penelitian ............................................................... 8
2. Manfaat Penelitian ............................................................. 8
D. Metode Penelitian...................................................................... 9
1. Pendekatan Penelitian ........................................................ 9
2. Jenis Penelitian ................................................................... 10
3. Sumber Data dan Bahan Hukum ........................................ 10
4. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 11
5. Teknik Pengolahan Data .................................................... 12
6. Teknik Analisis Data .......................................................... 12
7. Teknik Penulisan ................................................................ 12
E. Sistematika Penelitian ............................................................... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGGUNAAN MEREK
TANPA HAK .................................................................................. 14
A. Kerangka Konseptual ................................................................ 14
ix
1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian .................................. 14
2. Tinjauan Umum Tentang Merek ........................................ 19
3. Tinjauan Umum Tentang Waralaba ................................... 23
B. Kerangka Teori.......................................................................... 24
1. Teori Perlindungan Hukum ................................................ 24
2. Teori Perbuatan Melawan Hukum .................................... 25
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................ 26
BAB III PELANGGARAN PENGGUNAAN MEREK ORANG
LAIN TANPA HAK ....................................................................... 28
A. Profil PT K-24 Indonesia .......................................................... 28
1. VISI .................................................................................... 28
2. MISI ................................................................................... 29
B. Kasus Posisi Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015/Pn Bla ............... 29
1. Para Pihak .......................................................................... 29
2. Kronologis Kasus ............................................................... 30
C. Pelanggaran Hak Merek ............................................................ 33
1. Pelanggaran berupa persamaan pada pokoknya yang
menyebabkan persamaan yang membingungkan tentang
sumber, afiliasi, koneksi .................................................... 34
2. Pemalsuan atau penggunaan merek yang secara
substansial tidak memiliki daya pembeda (merek
identik) disyaratkan pengetahuan penggunaan untuk
dapat dinilai merugikan dan dikenai pidana ...................... 35
3. Pelanggaran dilution/persamaan pada pokoknya atau
keseluruhan dengan merek terkenal ................................... 36
4. Pendaftaran dan penggunaan merek terkenal di internet
(Cybersquatting) ................................................................ 37
5. Penggunaan karakter dalam pemasaran (Character
Merchandising) .................................................................. 38
BAB IV PELANGGARAN PENGGUNAAN MEREK ORANG
LAIN TANPA HAK (Studi Putusan Nomor
4/Pid.Sus/2015/PN Bla) .................................................................. 39
x
A. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Merek............ 39
1. Perlindungan Hukum atas Merek secara Preventif ............ 43
2. Perlindungan Hukum atas Merek secara Represif ............. 44
B. Penyelesaian Sengketa dan Sanksi Terhadap Pelanggaran
Merek ........................................................................................ 45
1. Gugatan Ke Pengadilan Niaga ........................................... 46
2. Pengajuan Kasasi ............................................................... 47
3. Penetapan Sementara ......................................................... 48
C. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim ......................................... 51
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 61
A. Kesimpulan ............................................................................... 61
B. Rekomendasi ............................................................................. 62
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam menjalankan kehidupannya tidak bisa bergantung
pada diri sendiri. Setiap tindakan yang akan dilakukannya pasti membutuhkan
bantuan orang lain. Selain disebut sebagai mahluk individu, manusia juga
disebut sebagai mahluk sosial. Dengan kodratnya sebagai mahluk sosial,
manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan manusia lainnya.
Interaksi antar manusia meliputi banyak bidang, diantaranya bidang sosial,
ekonomi dan budaya. Berlangsungnya interaksi ini meningkatkan keterikatan
dan ketergantungan antar manusia.
Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari banyak hal yang dapat
dilakukan manusia, salah satunya adalah kegiatan ekonomi. Dalam kegiatan
ekonomi ini, manusia saling berinteraksi satu sama lain. Banyak hal yang
dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti menghasilkan
atau memproduksi berbagai jenis barang dan atau jasa, mendistribusikan
barang dan atau jasa, serta menggunakan barang dan atau jasa. Semua itu
tidak bisa dikerjakan sekaligus. Setiap manusia mempunyai kelebihan atau
keahlian tersendiri untuk menjalankan kehidupannya. Disinilah interaksi itu
muncul dan membuat kegiatan ekonomi.
Seiring dengan perkembangan zaman dan begitu pesatnya kegiatan
ekonomi, berbagai macam jenis bisnis dapat dilakukan dengan mudah. Untuk
dapat bertahan menghadapi arus globalisasi yang sangat pesat, kompetitif dan
selalu berubah-ubah ini, manusia melakukan kerjasama antar-sesama manusia
diberbagai bidang kehidupan, salah satunya adalah bidang perdagangan.
Salah satu faktor penting dalam perdagangan adalah sistem
pemasaran. Pemasaran sering kali memerlukan biaya yang cukup tinggi
dimana biaya tinggi yang dikeluarkan tersebut tidak efektif dan efisien bagi
pengusaha untuk mengembangkan usahanya di era globalisasi ini. Cara yang
dapat dilakukan untuk mensiasati pemasaran yang tidak efektif dan efisien
2
adalah dengan melakukan kerjasama atau kemitraan dengan pengusaha lain.
Salah satu cara yang efektif dan efisien antara lain adalah dengan sistem
waralaba (franchise).1
Waralaba pada dasarnya adalah sebuah perjanjian mengenai metode
pendistribusian barang dan atau jasa kepada konsumen. Pemberi waralaba
(franchisor) dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada
penerima waralaba (franchisee) untuk melakukan usaha pendistribusian
barang dan atau jasa di bawah nama dan identitas franchisor dalam wilayah
tertentu.2 Selain itu dari segi bisnis dewasa ini, istilah franchise dipahami
sebagai suatu bentuk kegiatan pemasaran dan distribusi. Di dalamnya sebuah
perusahaan besar memberikan hak untuk menjalankan bisnis secara tertentu
dalam waktu dan tempat tertentu kepada individu atau perusahaan yang relatif
lebih kecil. Franchise merupakan salah satu bentuk metode produksi dan
distribusi barang dan atau jasa kepada konsumen dengan suatu standar dan
sistem eksploitasi tertentu. Pengertian standar dan eksploitasi tersebut
meliputi kesamaan dan penggunaan nama perusahaan, merek, serta sistem
produksi, tata cara pengemasan, penyajian dan pengedarannya.
Di Amerika Serikat, waralaba mulai dikenal kurang lebih dua abad
yang lalu ketika perusahaan-perusahaan bir memberikan lisensi kepada
perusahaan-perusahaan kecil sebagai upaya mendistribusikan produk mereka.
Sistem waralaba di Amerika Serikat pertama kali dimulai pada tahun 1851.
Pada saat itu, di Amerika Serikat timbul apa yang dinamakan dengan sistem
waralaba Amerika generasi pertama, yang disebut sebagai straight product
franchising (waralaba produk murni). Pada mulanya, sistem ini berupa
pemberian lisensi bagi pengguna nama pada industri minuman (Coca-Cola),
kemudian berkembang menjadi sistem pemasaran pada industri mobil
(Geberal-Motors). Setelah itu, sistem waralaba ini dikembangkan oleh
produsen bahan bakar yang memberikan hak waralabanya kepada pemilik
1 Muhammad Faisal, Skripsi “Tijauan Yuridis Perlindungan Rahasia Dagang Dalam
Perjanjian Waralaba” (Depok: Universitas Indonesia, 2012), h. 2. 2 Suharnoko, “Pemutusan Perjanjian dan Perlindungan Hukum bagi Franchisee”, Jurnal
Hukum dan Pembangunan, Vol. 26 No.6, Desember 1996, h. 501.
3
pompa bensin sehingga terbentuk jaringan penyediaan untuk memenuhi
suplai bahan bakar dengan cepat.3
Di Indonesia, sejarah perkembangan waralaba mulai dikenal pada
tahun 1950-an dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui
pembelian lisensi atau menjadi agen tunggal pemilik merek. Waralaba di
Indonesia semakin berkembang ketika masuknya waralaba asing pada tahun
80-90an. KFC, McDonalds, Burger King, dan Wendys adalah sebagian dari
jejaring waralaba asing yang masuk ke Indonesia pada awal-awal
berkembangnya waralaba di Indonesia. Perusahaan-perusahaan waralaba
lokal pun mulai bertumbuhan pada masa itu, salah satunya adalah Es Teler
77. Pesatnya pertumbuhan penjualan sistem waralaba disebabkan oleh faktor
popularitas franchisor. Hal ini tercermin dari kemampuannya untuk
menawarkan suatu bidang usaha yang probabilitas keberhasilannya tinggi.4
Legalitas yuridis waralaba sudah dikenal di Indonesia sejak tahun
1997 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997
tentang Waralaba dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 259/MPP/Kep/7/1997, tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, sebagai Peraturan
Pelaksanaannya. Peraturan Pemerintah ini dilahirkan untuk mengembangkan
kegiatan waralaba sebagai upaya memperluas kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha serta sebagai upaya untuk meningkatkan pelaksanaan
alih teknologi. Peraturan tersebut juga dibuat dalam upaya memberikan
kepastian usaha dan kepastian hukum bagi para pelaku usaha yang
menjalankan waralaba, terutama dalam upaya pengaturan, pembinaan dan
pengembangan waralaba. Peraturan ini kemudian diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang
Penyelenggaraan Waralaba yang sekarang diganti dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 53/M/Dag/Per/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba.
3 Adrian Sutedi, “Hukum Waralaba”, (Bogor: 2008, Ghalia Indonesia), h. 2.
4 Adrian Sutedi, “Hukum Waralaba”, ... h. 19.
4
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 dikatakan
bahwa Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorang atau
badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka
memasarkan barang dan atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat
dimanfaatkan dan atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
waralaba. Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa waralaba
memiliki aspek Hukum Perjanjian dan aspek Hak Kekayaan Intelektual
(HKI).
Menurut Amir Karamoy, Pihak yang memperoleh hak (lisensi)
menggunakan merek dagang dan sistem bisnis yaitu perorangan dan atau
pengusaha yang dipilih oleh franchisor untuk menjadi franchisee, dengan
memberikan imbalan bagi hasil kepada franchisor berupa fee (uang jaminan
awal) dan royalty (uang bagi hasil terus menerus). Jadi keduanya mengadakan
kerjasama yang saling menguntungkan, dengan berbagai persyaratan yang
telah disetujui oleh kedua belah pihak dan dituangkan ke dalam perjanjian
kontrak yang disebut perjanjian waralaba (franchise).5
Salah satu sektor bisnis yang berkembang pesat di Indonesia saat ini
adalah sektor kesehatan. Seiring dengan perkembangan bisnis kesehatan,
muncul berbagai apotek yang menyediakan jasa penjualan obat-obatan yang
dibutuhkan masyarakat. Dalam suatu waktu PT. K-24 Indonesia mengadakan
kerjasama dengan CV. Ramai Medika (Apotek K-24) untuk mengadakan
perjanjian waralaba atas penggunaan Hak Kekayaan Intelektual berupa Merek
dan Sistem Pengelolaan Apotek K-24. Namun karena CV. Ramai Medika
(Apotek K-24) tidak dapat memenuhi perjajian yang telah disepakati
(wanprestasi), timbulah permasalahan hukum yang menimbulkan pencabutan
hak penerimaan waralaba.
Pencabutan hak penerimaan waralaba tersebut bermula ketika
software komputer milik Apotek K-24 yang selama ini digunakan oleh Otavia
Cokrodiharjo selaku franchisee mengalami kerusakan sehingga kemudian
franchisee memanggil teknisi PT. K-24 Indonesia untuk memperbaiki
5 Gunawan Widjaja, “Lisensi dan Waralaba”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), h. 5.
5
perangkat komputer tersebut, akan tetapi teknisi tersebut tidak dapat
memperbaiki komputer sehingga kemudian perangkat komputer tersebut oleh
teknisi dibawa ke kantor pusat PT. K-24 Indonesia. Pada saat perbaikan
komputer, PT. K-24 Indonesia mengklaim terdapat perbedaan omset
penjualan yang tertera pada komputer dengan omset yang dilaporkan.
Sehingga Apotek K-24 milik franchisee diwajibkan membayar franchise fee
sebesar Rp176.790.535,00 (seratus tujuh puluh enam juta tujuh ratus
sembilan puluh ribu lima ratus tiga puluh lima rupiah).
Pihak PT. K-24 Indonesia telah melayangkan surat peringatan
pembayaran sebanyak tiga kali kepada Apotek K-24 yang dimiliki oleh
Oktavia Cokrodiharjo, namun surat tersebut tidak diindahkan oleh Oktavia
Cokrodiharjo selaku franchisee. Oleh karena itu, hak penerimaan waralaba
Apotek K-24 milik Oktavia Cokrodiharjo dicabut oleh PT. K-24 Indonesia
berdasarkan Surat Nomor 213/sekretariat/K-24/XI/2012 tertanggal 07
Nopember 2012 yang disampaikan melalui e-mail dengan ketentuan bahwa
Apotek milik Oktavia Cokrodiharjo diwajibkan untuk membongkar dan
menghilangkan semua assesoris/atribut dan perlengkapan yang berhubungan
dengan merek K-24 Indonesia paling lambat tanggal 14 Nopember 2012.
Permasalahan hukum muncul ketika pada tanggal 4 Desember 2012
sekitar 4 minggu setelah Hak Penerimaan Waralaba dicabut, apotek milik
Oktavia Cokrodiharjo yang telah berganti nama menjadi “Apotek Pemuda”
kedapatan oleh Legal Officer PT. K-24 Indonesia masih menggunakan
assesoris/atribut dan perlengkapan yang berhubungan dengan merek K-24
Indonesia. Atas kejadian itu, PT. K-24 Indonesia melaporkan Oktavia
Cokrodiharjo selaku pemilik Apotek Pemuda ke Polres Blora atas dasar
penggunaan Merek K-24 tanpa hak.
Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 4/Pid.Sus/2015/PN Bla,
Hakim memutuskan Terdakwa Oktavia Cokrodiharjo tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan
dalam dakwaan Primer yaitu menggunakan Merek yang sama pada
keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain. Namun, Hakim
6
menyatakan bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana menggunakan Merek yang sama pada pokoknya
dengan Merek terdaftar milik pihak lain sebagaimana yang tercantum dalam
dakwaan sekunder, dan menjatuhkan pidana penjara selama 10 (sepuluh)
bulan dengan masa percobaan selama satu tahun dan denda sejumlah
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana
denda tidak dibayarkan maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua)
bulan.
Menurut peneliti, permasalahan tersebut sangat menarik untuk dikaji
lebih dalam terkait perselisihan antara Pemberi waralaba (franchisor) selaku
pemegang Hak Merek “Apotek K-24” dengan penerima waralaba
(franchisee) yang telah berakhir perjanjian waralabanya dikarenakan
wanprestasi, namun pihak franchisee yang telah dicabut hak penerimaan
waralabanya masih menggunakan assesoris/atribut dan perlengkapan yang
berhubungan dengan merek K-24 Indonesia. Oleh karena itu, peneliti ingin
mengkaji mengenai regulasi hukum di Indonesia dalam hal perlindungan
hukum terhadap pemegang Hak Atas Merek yang mereknya digunakan oleh
pihak lain tanpa hak setelah perjanjian waralaba berakhir. Berdasarkan latar
belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
skripsi: “Perlindungan Hukum Bagi Franchisor Dalam Hal Penggunaan
Merek Tanpa Hak Setelah Berakhirnya Perjanjian Waralaba (Studi
Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015/Pn Bla)”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, maka identifikasi
masalah yang muncul dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Hubungan kerja antara PT. K-24 Indonesia selaku franchisor dengan
CV. Ramai Medika selaku franchisee.
b. PT. K-24 Indonesia mencabut hak penerimaan waralaba CV. Ramai
Medika dikarenakan franchisee melakukan wanprestasi.
7
c. Apotek Pemuda yang sebelumnya bernama Apotek K-24 milik CV.
Ramai Medika yang telah dicabut hak penerimaan waralabanya
masih menggunakan assesoris/atribut dan perlengkapan yang
berhubungan dengan merek K-24.
d. Pasal 90 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
telah mengatur bahwa apabila ada pihak lain yang dengan sengaja
dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhan
dengan merek terdaftar milik pihak lain akan mendapatkan sanksi
pemidanaan maksimal pidana penjara 5 tahun dan/atau denda
maksimal Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah)
e. Pasal 91 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
telah mengatur bahwa apabila ada pihak lain yang dengan sengaja
dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya
dengan merek terdaftar milik pihak lain akan mendapatkan sanksi
pemidanaan maksimal pidana penjara 4 tahun dan/atau denda
maksimal 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah).
2. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini dilakukan pembatasan masalah dengan tujuan
untuk memfokuskan penelitian pada masalah utama yang akan diangkat
sehingga didapatkan hasil yang maksimal dan dapat dipahami dengan
mudah. Penelitian ini memfokuskan pada perlindungan hukum bagi
franchisor terhadap pihak lain yang menggunakan Merek dagangnya
tanpa hak dikarenakan perjanjian waralabanya telah berakhir serta apa
pertimbangan dari Majelis Hakim dalam memberi putusan. Dalam hal ini
peneliti akan memfokuskan penelitian ini pada analisis putusan Nomor
4/Pid.Sus/2015/Pn Bla yang merupakan kasus penggunaan merek orang
lain tanpa hak setelah perjanjian waralaba berakhir. Dikarenakan putusan
yang peneliti ambil sebagai bahan hukum merupakan putusan tahun
2015, peneliti tidak menganalisis putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015/PN Bla
menggunakan undang-undang terbaru, melainkan menggunakan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
8
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan
pembatasan masalah di atas, perumusan masalah skripsi ini adalah
franchisor memiliki Hak Atas Merek yang dilindungi oleh Undang-
Undang untuk tidak digunakan pihak lain tanpa hak, maka peneliti
mempertegas perumusan masalah dengan dibuat pertanyaan penelitian
seputar hal tersebut sebagai berikut:
a. Bagaimana hukum di Indonesia melindungi hak franchisor selaku
pemegang Hak Atas Merek dari pihak lain yang menggunakan
Mereknya tanpa izin setelah perjanjian waralaba berakhir?
b. Bagaimana pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam kasus
penggunaan Merek yang sama dengan Merek terdaftar milik pihak
lain, Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015/PN Bla?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok-pokok permasalahan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti dalam
melakukan penelitian ini adalah:
a. Untuk memahami regulasi hukum di Indonesia dalam hal
perlindungan Hak Atas Merek milik franchisor dari pihak lain yang
menggunakan Mereknya tanpa izin setelah perjanjian waralaba
berakhir.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam kasus
penggunaan Merek yang sama dengan Merek terdaftar milik pihak
lain berdasarkan Studi Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015/PN Bla, yang
disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang peneliti harapkan dalam penulisan
skriksi ini adalah:
9
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
sebagai sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum
perdata, khususnya dalam hal perlindungan hak atas merek. Selain
itu juga diharapkan agar dapat memberikan pemahaman dan
wawasan ilmiah baik secara khusus maupun secara umum berkenaan
dengan masalah yang diteliti.
b. Manfaat Praktis
Bagi peneliti dapat menerapkan ilmu-ilmu yang didapat dari
teori kemudian direalisasikan dalam praktik lapangan. Serta
diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat yang ingin menekuni dunia usaha, khususnya dalam
bisnis waralaba.
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini dibutuhkan data yang akurat, yang
berasal dari studi dokumentasi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
yang ada dalam skripsi ini. Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan masuk ke dalam kategori
yuridis normatif, yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan meneliti
bahan pustaka atau data sekunder belaka.6 Sifat penelitian ini adalah
deskriptif analitis, yaitu memaparkan subjek dan objek penelitian secara
analitis.7 Kemudian dilakukan penelaahan terhadap peraturan yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti dan menghubungkannya dengan
fakta yang relevan.
Selain menggambarkan dan menguraikan fakta-fakta juga sekaligus
menganalisisnya berdasarkan pendekatan peraturan Perundang-undangan
6 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif” (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 13-14. 7 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris”,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 183.
10
(statute aproach) serta pendekatan kasus (case aproach). Pendekatan
perundang-undangan digunakan untuk mengetahui keseluruhan peraturan
hukum, sedangkan pendekatan kasus bertujuan untuk mempelajari
norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.8
Dalam hal ini yang menjadi objek yuridis normatif adalah:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
b. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek;
c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis;
d. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 53/M/Dag/Per/8/2012 tentang
Penyelenggaraan Waralaba;
f. Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015/PN Bla.
2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif
bertujuan untuk memperoleh data seutuhnya sehingga menjadi data yang
merupakan rinci dari suatu fenomena yang diteliti oleh penulis. Metode
analisis data secara kualitatif menggunakan norma-norma, asas-asas,
prinsip-prinsip, doktrin para ahli, serta menganalisis permasalahan ini
berdasarkan ketentuan yuridis.
3. Sumber Data dan Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, yang atinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer tersebut terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam perbuatan, perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim.9 Bahan hukum primer yang peneliti gunakan
dalam penelitian ini adalah: Putusan Mahkamah Agung Nomor
4/Pid.Sus/2015/PN Bla.
8 Johny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, (Malang:
Bayumedia Publish, 2006), h. 321. 9 Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 141.
11
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder biasanya berupa semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi
seperti buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal
hukum.10
Bahan sekunder yang peneliti gunakan diantaranya Jurnal
hukum karya Esti Aryani yang berjudul “Pemalsuan Merek dan
Penegakkan Hukumnya (Ditinjau dari Aspek Hukum Pidana)”,
VOL.VII, NO.1, April 2009. Peneliti juga banyak menggunakan
buku, diantaranya Rachmadi Usman yang berjudul “Hukum Hak atas
Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di
Indonesia”.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap sumber primer
atau sumber sekunder seperti kamus, kamus hukum, ensiklopedia
dan lain sebagainya. Salah satu kamus hukum yang peneliti gunakan
dalam skripsi ini adalah Kamus Hukum Black's Law Dictionary.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
penelitian kepustakaan (library research), yakni upaya untuk
memperoleh data dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan
perundang-undangan, putusan hakim, pendapat artikel dan jurnal hukum.
Dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder kemudian
diklasifikasikan sesuai dengan isu hukum yang akan dibahas. Metode ini
dilakukan dengan cara melihat dan membaca sehingga dapat memberikan
kejelasan dari bahan hukum yang sudah terkumpul. Untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini, peneliti melakukan penelitian kepustakaan di
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
10
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, ... h. 141.
12
5. Teknik Pengolahan Data
Data-data yang diperoleh kemudian dikumpulkan sesuai dengan
landasan pustaka yang relevan dengan tema yang diteliti. Selanjutnya
dikategorikan menjadi bab dan sub-sub dalam penelitian secara rinci agar
terstruktur dan sistematis
6. Teknik Analisis Data
Selanjutnya penelitian ini dianalisa dengan metode analisis
kualitatif deskriptif yang dimana dalam hal ini bertujuan untuk
memperoleh data seutuhnya sehingga menjadi data yang merupakan rinci
dari suatu fenomena yang diteliti oleh penulis. Metode analisis data
secara kualitatif adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti untuk
menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam
menyajikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.11
7. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam
skripsi ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang ada
dalam buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”
E. Sistematika Pembahasan
Untuk menuangkan hasil penelitian kedalam bentuk penulisan yang
benar, sistematis dan teratur, maka skripsi ini dirancang dengan sistematika
penulisan yang terdiri dari lima bab, yaitu:
BAB I Dalam bab ini menjelaskan Latar Belakang Masalah,
Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika
Pembahasan.
BAB II Dalam bab ini menjelaskan kerangka teoritis dan konseptual
yang mengacu pada kajian kepustakaan yang relevan dengan
11
Zainuddin Ali, “Metode Penelitian Hukum”, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2011), h. 107.
13
permasalahan peneliti yang berkaitan dengan penggunaan
Merek dagang pihak lain tanpa hak setelah berakhirnya
perjanjain waralaba. Dalam bab ini juga terdapat kerangka
teori dan tinjauan (review) kajian terdahulu.
BAB III Dalam bab ini akan dibahas mengenai data yang berkenaan
dengan objek yang diteliti yaitu profil PT. K-24 Indonesia,
pelanggaran merek, perlindungan hukum terhadap pemegang
hak atas merek dan penyelesaian sengketa serta sanksi
terhadap pelanggaran merek.
BAB IV Bab ini membicarakan tentang perlindungan hukum bagi
franchisor yang merek waralabanya masih digunakan oleh
pihak lain ketika perjanjian waralaba sudah berakhir.
Selanjutnya peneliti juga akan membahas mengenai analisis
pertimbangan hukum majelis hakim pada Putusan Nomor
4/Pid.Sus/2015/PN Bla.
BAB V Dalam bab ini merupakan bab yang terakhir yang di
dalamnya berisikan kesimpulan dan rekomendasi dari bab-
bab sebelumnya.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGGUNAAN MEREK TANPA HAK
A. Kerangka Konseptual
1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
a. Pengertian Perjanjian
Perjanjian memiliki definisi yang berbeda-beda menurut
pendapat ahli yang satu dengan yang lainnya. Di dalam Buku III
KUH Perdata mengatur tentang Verbintenissenrecht, dimana
tercakup pula istilah Overeenkomst. Dikenal terdapat 3 (tiga)
terjemahan dari Verbentenis, yaitu perikatan, perutangan dan
perjanjian, sedangkan Overeenkomst ada 2 (dua) terjemahan, yaitu
perjanjian dan persetujuan.1
Istilah hukum seperti perikatan, kontrak, MoU dan akad pada
prinsipnya memiliki pengetian yang sama, yaitu perjanjian. Akan
tetapi jika ingin lebih cermat, antara perjanjian, perikatan, kontrak,
MoU dan akad terdapat perbedaan fungsi dan penggunaannya, yaitu:
1) Perjanjian
Pasal 1313 dalam KUH Perdata memberikan definisi, yaitu:
“Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yang
dilakuakan antara para pihak, yang kemudian saling
mengikatkan dirinya sehingga menimbulkan adanya perikatan.
Dari perjanjian tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian
merupakan sumber dari perikatan.
2) Perikatan
Mr. H. F. Vollmar, di dalam bukunya “Inleiding tot de
Studie van het Nederlends Burgerlijk Recht” mengatakan:
1 Handri Raharjo, “Hukum Perjanjian di Indonesia”, (Yogyakarta: Pustaka Yustitia, 2009),
h. 41.
15
“Ditinjau dari isinya ternyata bahwa perikatan itu ada
selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu
prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap
kreditur kalau perlu dengan bantuan hakim”. 2
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
perikatan merupakan hubungan hukum yang timbul dari
perbuatan hukum. Pihak yang berhak menuntut suatu hal dari
pihak lain disebut kreditur, dan pihak lain yang berkewajiban
untuk memenuhi tuntutan tersebut adalah debitur.
3) Kontrak
Kata kontrak berasal dari bahasa Inggris, contract. Baik
perjanjian maupun kontrak mengandung pengertian yang sama,
yaitu suatu perbuatan hukum untuk saling mengikatkan para
pihak kedalam suatu hubungan hukum perikatan. Istilah kontrak
lebih sering digunakan dalam praktek bisnis. Karena jarang
sekali orang menjalankan bisnis mereka secara asal-asalan,
maka kontrak-kontrak bisnis biasanya dibuat secara tertulis,
sehingga kontrak dapat juga disebut sebagai perjanjian yang
dibuat secara tertulis.3
4) MoU (Memorandum of Understanding)
Memorandum of Understanding, yang dalam bahasa
Indonesia disebut Nota Kesepahaman atau Nota Kesepakatan
adalah langkah awal dalam pembuatan suatu kontrak. Isi MoU
lebih kepada penawaran, pertimbangan, penerimaan dan niat
untuk terikat secara hukum. Menurut Munir Fuady, MoU adalah
perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan
dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara
detail, karena itu MoU berisikan hal-hal yang pokok saja.
2 Taryana Soenandar dkk, “Kompilasi Hukum Perikatan”, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2016), h. 1. 3 http://www.legalakses.com/download/Hukum%20Perjanjian/Perikatan.pdf, (Diakses pada
23 Oktober 2019, pukul 13.45)
16
Adapun mengenai lain-lain aspek dari MoU relatif sama dengan
perjanjian-perjanjian lain.4
5) Akad
Kata akad berasal dari bahasa Arab al-aqd yang secara
etimologi berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan.
Secara terminologi fiqh, akad didefenisikan dengan “pertalian
ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan
penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang
berpengaruh kepada objek perikatan”.5
b. Asas-Asas Perjanjian
1) Asas Kebebasan Berkontrak
Hukum perjanjian di Indonesia menganut sistem terbuka,
hal ini berarti hukum memberikan kebebasan untuk mengadakan
perjanjian yang dikehendaki asal tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.6 Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata menjelaskan bahwa “Semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”.
2) Asas Konsensualisme
Arti konsensualisme ialah, pada dasarnya perjanjian dan
perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik
tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu
sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal yang pokok dan
tidaklah diperuntukan suatu formalitas. Adakalanya undang-
undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian
diharuskan perjanjian itu dilakukan secara tertulis atau dengan
akta notaris, tetapi hal yang demikian itu merupakan suatu
4 Ricardo Simanjuntak, “Hukum Kontrak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis”, Edisi
Revisi, (Jakarta: Kontan Publishing, 2011), h. 91. 5 Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, “Fiqh Muamalat”, (Jakarta:
Kencana, 2010), h. 50-51. 6 A. Qirom Syamsudin Meliala, “Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya”, (Yogyakarta: Liberty, 2004), h. 9.
17
pengecualian. Yang lazim, bahwa perjanjian itu sudah sah dalam
arti sudah mengikat, apabila sudah tercapai kesepakatan
mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Jual beli, tukar
menukar, sewa-menyewa adalah salah satu contoh perjanjian
yang konsensuil.7
3) Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum berhubungan dengan mengikatnya
suatu perjanjian. Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338
Ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”.
4) Asas Itikad Baik
Asas itikad baik ini berkaitan dengan pelaksanaan suatu
perjanjian. Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata, menyatakan
bahwa: “persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan
itikad baik”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang
dimaksud dengan itikad baik adalah “Kepercayaan, keyakianan
yang teguh, maksud, kemauan (yang baik)”. Wirdjono
Prodjodikoro memberikan batasan itikad baik dengan istilah
“dengan jujur” atau “secara jujur”.8
c. Syarat Sahnya Perjanjian
1) Kesepakatan Kedua Belah Pihak
Kesepakatan harus dilahirkan oleh para pihak tanpa
adanya paksaan, kekeliruan dan penipuan. Menurut Subekti
dalam bukunya yang berjudul hukum perjanjian menyatakan
bahwa menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, para pihak
dianggap menerima semua yang termaksud dalam surat
perjanjian apabila telah menandatangani suatu perjanjian.
Bahwasannya mungkin ia tidak membaca isinya, hal itu menjadi
7 Subekti, “Hukum Perjanjian”, (Jakarta: Intermasa, 2004), h. 15.
8 Subekti, “Pokok-pokok Hukum Perdata”, (Jakarta: P.T. Intermasa, 2004), h. 134.
18
tanggung jawab sendiri. Ia dianggap sepantasnya membaca surat
yang diterimanya dalam waktu sesingkat-singkatnya.9
2) Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap berarti sudah dewasa, sehat pikiran dan tidak
dilarang oleh undang-undang untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum
adalah orang yang sudah dewasa. Sebagaimana yang telah
ditetapkan undang-undang, ukuran kedewasaan yaitu berumur
21 tahun dan atau sudah kawin.
Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan
hukum ialah anak di bawah umur, orang yang ditaruh di bawah
pengampuan dan istri (Pasal 1330 KUH Perdata). Dalam
perkembangan hukum yang ada, isteri dapat melakukan
perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963.
3) Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang
menjadi obyek suatu perjanjian. Yang menjadi objek perjanjian
adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang
menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur.
Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Menurut
Pasal 1234 KUH Perdata, Prestasi terdiri dari memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.10
4) Suatu Sebab Yang Halal
Suatu sebab yang halal adalah syarat sahnya perjanjian.
Mengenai syarat ini Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan
bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat
karena suatu sebab yang terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
9 Subekti, “Hukum Perjanjian”, … h. 29-30.
10 Salim HS, “Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia (Buku
Kesebelas)”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 34.
19
d. Berakhirnya Perjanjian
1) Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak, misalnya
persetujuan yang berlaku untuk waktu tertentu.
2) Ditentukan oleh Undang-undang mengenai batas berlakunya
suatu perjanjian, misalnya menurut Pasal 1066 ayat 3 KUH
perdata disebutkan bahwa para ahli waris dapat mengadakan
perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan
pemecahan harta warisan, tetapi waktu persetujuan tersebut oleh
ayat 4 dibatasi hanya dalam waktu lima tahun.
3) Ditentukan oleh para pihak atau Undang-undang bahwa
perjanjian akan hapus dengan terjadinya peristiwa tertentu.
Misalnya jika salah satu pihak meninggal dunia, maka perjanjian
tersebut akan berakhir.
4) Pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging). Opzegging
dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak.
Opzegging hanya ada pada perjanjian yang bersifat sementara,
misalnya perjanjian kerja dan perjanjian sewa-menyewa.
5) Perjanjian hapus karena putusan hakim.
6) Tujuan perjanjian telah dicapai.
7) Berdasarkan kesepakatan para pihak (herroeping).11
2. Tinjauan Umum Tentang Merek
Secara yuridis definisi merek berdasarkan perspektif hukum di
Indonesia telah tercantum dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 tentang Merek yang berbunyi:
“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-
huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-
unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam
kegiatan perdagangan barang atau jasa”.12
11
Handri Raharjo, “Hukum Perjanjian di Indonesia”, … h. 95 12
Arus Akbar Silondae, Wirawan B. Ilyas, “Pokok-Pokok Hukum Bisnis”, (Jakarta:
Salemba Empat, 2018), h. 211.
20
Seiring perkembangan waktu, undang-undang tentang merek
mengalami perubahan. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek sudah digantikan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis. Menurut Pasal 1 butir 1 dijelaskan
“Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa
gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam
bentuk 2 (dua) dimensi dan/ atau 3 {tiga) dimensi, suara,
hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut
untuk membedakan barang dan Zatau jasa yang diproduksi oleh
orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang
darr/ atau jasa.”
Merek bagi pelaku usaha barang dan atau jasa sangat penting
karena berfungsi sebagai tanda pengenal yang membedakan produk
perusahaan yang satu dengan produk perusahaan lain (product identity).
Selain itu merek juga memiliki fungsi sebagai tanda untuk membedakan
asal-usul serta citra reputasi diantara pelaku usaha, terutama bagi pelaku
usaha yang memiliki jenis usaha yang sama. Melalui merek konsumen
dapat mengetahui kualitas dan asal-usul barang dan atau jasa yang
ditawarkan. Semakin unik nama, bentuk, logo dan warna dari suatu
merek, maka konsumen akan lebih mengingat merek tersebut. Oleh
karena itu, merek sangat erat kaitannya dengan citra suatu perusahaan.
Merek secara etimologis berasal dari bahasa inggris, yaitu trade
mark yang dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai:
“A world phrase, logo and other graphic symbol used by a
manufacturer or seller to distinguish its product or products from
those of orders”. 13
(Suatu kata, susunan kata, lambang atau gambar yang digunakan
oleh pabrik atau penjual untuk membedakan produk mereka
dengan produk lainnya).
13 Venantria Sri Hadiarinanti, “Hak Kekayaan Intelektual Merek & Merek Terkenal”,
(Jakarta: Unika Atmajaya, 2009), h. 7.
21
Harsono Adisumarto,S.H.,MPA, merumuskan bahwa, “Merek
adalah tanda pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik
orang lain, seperti pada pemilikan ternak dengan memberi tanda cap pada
punggung sapi yang kemudian dilepaskan di tempat penggembalaan
bersama yang luas. Cap seperti itu memang merupakan tanda pengenal
untuk menunjukkan bahwa hewan yang bersangkutan adalah milik orang
tertentu. Biasanya, untuk membedakan tanda atau merek digunakan
inisial dari mana pemilik sendiri sebagai tanda pembedaan”.14
a. Jenis Merek
Menurut Rahmi Jened, merek (trademark) digunakan sebagai
tanda daya pembeda untuk perdagangan barang atau jasa. Untuk itu
merek harus memiliki elemen:
1) tanda dengan daya pembeda
2) tanda tersebut harus digunakan
3) untuk perdagangan barang atau jasa.15
.
Jenis-jenis merek juga dapat dibagi berdasarkan tingkat derajat
kemasyuran suatu merek di masyarakat, yaitu:
1) Merek Biasa
Disebut juga “normal mark” yang berarti merek ini tidak
memiliki reputasi yang baik di dalam masyarakat karena
kualitasnya yang rendah. Merek ini tidak memberikan citra yang
baik kepada masyarakat sehingga masyarakat enggan memilih
merek produk tertentu diantara berbagai merek yang ada.
Perlu diingat terkadang suatu merek tergolong merek
biasa, bukan semata-mata disebabkan faktor kualitas
teknologinya yang kurang. Juga bukan disebabkan desain atau
kemudahan serta efektivitas pemakaian dan pemeliharaan. Tidak
pula karena faktor lukisan dan warna merek yang dipencarkan.
Kemungkinan besar dikarenakan faktor strategi promosi dan
14
H. Adisumarto, “Hak Milik Perindustrian”, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1990) h. 44. 15
Rahmi Jened, “Hukum Merk Trademark Law Dalam Era Global Integrasi Ekonomi”,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2015), h. 6.
22
pengiklanan. Dana iklan yang tidak memadai menyebabkan
pengenalan ke masyarakat kurang memadai.16
2) Merek Terkenal
Sering disebut “well-known mark”. Merek ini memiliki
reputasi yang baik dan merupakan merek yang sering dipilih
oleh masyarakat yang biasanya memiliki kualitas yang baik dan
dapat memuaskan konsumen yang memakai merek tersebut.
Suatu merek terkenal harus terdaftar pada negara asalnya agar
mendapatkan perlindungan di negara lain.
3) Merek Termasyur
Jenis merek ini adalah merek dengan derajat yang paling
tinggi yaitu “famous mark”. Merek termasyur yaitu merek yang
sudah dikenal dan memiliki reputasi paling tinggi yang pada
beberapa negara bahkan diakui keberadaannya meskipun tidak
terdaftar, kemahsyurannya dapat mencegah pihak yang tidak
memiliki hak untuk menggunakan merek termahsyur tersebut.
Merek termahsyur dapat terlindungi dari penggunaan yang tidak
sah atas barang dan jasa meskipun tidak masuk dalam daftar
perlindungan karena orang sudah sangat mengenalnya.17
b. Fungsi Merek
Menurut P.D.D. Dermawan fungsi merek ada tiga, yaitu:
1) Fungsi Indikator Sumber, artinya merek berfungsi untuk
menunjukan bahwa suatu produk bersumber secara sah pada
suatu unit usaha dan karenanya juga berfungsi untuk
memberikan indikasi bahwa produk itu dibuat secara
profesional;
2) Fungsi Indikator Kualitas, merek berfungsi sebagai jaminan
kualitas khususnya dalam kaitan dengan produk bergengsi;
16
M.Yahya Harahap, “Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia
Berdasarkan Undang-undang No.19 Tahun 1992”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), h. 81-82. 17
Elisa Tanadi, Skripsi “Pelanggaran Merek Dengan Itikad Tidak Baik (Studi Putusan
No.409k/Pdt.Sus-Hki/2015)”, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2018), h. 24.
23
3) Fungsi Sugestif, artinya merek memberikan kesan akan menjadi
kolektor produk tersebut.18
c. Hak Atas Merek
Definisi hak atas merek tercantum dalam Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang berbunyi:
“Hak atas merek adalah hak esklusif yang diberikan negara
kepada pemilik merek yang terdaftar untuk jangka waktu
tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau
memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya”.
Pengalihan terhadap hak atas merek dapat terjadi melalui
beberapa peristiwa hukum seperti, pewarisan, hibah, perjanjian atau
sebab-sebab lain yang diperbolehkan oleh Undang-Undang yang
berlaku (misalnya jual beli, merger perusahaan dan lain-lain).
3. Tinjauan Umum Tentang Waralaba
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007
Tentang Waralaba, franchise diartikan sebagai :
“Hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan
usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka
memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan
dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain
berdasarkan perjanjian waralaba”.
Unsur-unsur yang dapat dirumuskan dari definisi ini adalah:19
1) Adanya perikatan
2) Adanya hak pemanfaatan dan/atau penggunaan
3) Adanya objek, yaitu hak atas kekayaan intelektual atau penemuan
baru atau ciri khas usaha
4) Adanya imbalan atau jasa
5) Adanya persyaratan dan penjualan barang.
18
M. Yahya Harapan, “Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992”, … h. 44-45. 19
Salim HS, “Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia (Buku
Kesebelas)”, … h. 164.
24
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba
juga memberikan pengertian Pemberi waralaba (franchisor) yaitu orang
perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk
memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya
kepada Penerima Waralaba. Kemudian, penerima waralaba (franchisee)
adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh
pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba
yang dimiliki pemberi waralaba.
Pengertian waralaba dalam Black’s Law Dictionary menekankan
pada pemberian hak untuk menjual produk berupa barang dan jasa
dengan memanfaatkan merek dagang franchisor, dimana pihak
franchisee berkewajiban untuk mengikuti metode dan tata cara atau
prosedur yang telah ditetapkan oleh franchisor.20
B. Kerangka Teori
1. Teori Perlindungan Hukum
Terkait dengan teori perlindungan hukum, ada beberapa ahli yang
menjelaskan, antara lain:
a. Fitzgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum dari Salmond
bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
beberapa kepentingan dalam masyarakat, perlindungan terhadap
kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi
beberapa kepentingan di lain pihak. Perlindungan hukum harus
melihat tahapan yakni, perlindungan hukum lahir dari suatu
ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh
masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat
tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota
masyarakat dan antara perseorangan dengan Pemerintah yang
dianggap mewakili kepentingan masyarakat.21
20
Adrian, “Hukum Waralaba”, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), h. 7-8. 21
http://tesishukum.com (Diakses pada 20 September 2019 Pukul 14.00)
25
b. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum memberikan
pengayoman terhadap HAM (Hak Asasi Manusia) yang dirugikan
oleh orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat
agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. 22
Berdasarkan deefinisi mengenai perlindungan hukum di atas, dapat
disimpulkan bahwa fungsi hukum adalah melindungi rakyat dari bahaya
dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari
orang lain, masyarakat maupun penguasa. Selain itu berfungsi pula untuk
memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Berdasarkan pembahasan yang peneliti
teliti, sangat erat kaitannya dengan teori perlindungan hukum, karena
apabila hak franchisor sebagai pemilik merek yang sah tidak dilindungi,
maka akan terjadi perbuatan yang melanggar hukum karena dapat
merugikan pemegang hak atas merek yang sah.
2. Teori Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk perikatan yang
lahir dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan manusia yang
melanggar hukum, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.23
Perbuatan melawan hukum erat kaitannya dengan perbuatan
pelanggaran terhadap hak orang lain, hak-hak yang dilanggar tersebut
adalah hak-hak yang diakui oleh hukum, termasuk hak-hak pribadi, hak
kekayaan intelektual, hak atas kebebasan dan hak atas kehormatan.
Dalam kasus yang peneliti teliti, subjek yang melakukan perbuatan
melawan hukum adalah mantan franchisee yang masih menggunakan
assesori/atribut yang berhubungan dengan Merek K-24 Indonesia.
Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), berbunyi: “Tiap perbuatan yang
melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
22
Satjipto Raharjo, “Ilmu Hukum” (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 53. 23
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, “Seri Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir
Dari Undang-Undang”, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2017), h. 81.
26
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya
untuk menggantikan kerugian tersebut”.
Dari bunyi Pasal tersebut, maka dapat ditarik unsur-unsur PMH
sebagai berikut:
a. ada perbuatan melawan hukum;
b. ada kesalahan;
c. ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan;
d. ada kerugian.24
Pengertian perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH
Perdata tidaklah dirumuskan secara eksplisit. Pasal 1365 KUH Perdata
hanya mengatur apabila seseorang mengalami kerugian karena perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain terhadap dirinya, maka
ia dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Pengadilan Negeri. Jadi
Pasal tersebut bukan mengatur mengenai onrechtmatigedaad, melainkan
mengatur mengenai syarat-syarat untuk menuntut ganti kerugian akibat
perbuatan melawan hukum.25
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk menjaga keaslian judul yang diajukan oleh peneliti, perlu
diadakan penelitian berupa kajian terdahulu sebagai dasar perbandingan:
1. Skripsi yang ditulis oleh Elisa Tanadi.26
Dalam skripsi ini membahas
mengenai tinjauan umum tentang merek dari Undang-undang No.20
Tahun 2016 Tentang Merek dan jenis-jenis pelanggaran merek terdaftar
dan kriteria itikad tidak baik. Sedangkan peneliti membahas mengenai
perlindungan hukum terhadap pelanggaran merek tentang penggunaan
merek tanpa hak ketika perjanjian waralaba telah berakhir. Yang
menjadi inti permasalahan peneliti adalah ketika perjanjian waralaba
24
https://konsultanhukum.web.id/unsur-unsur-perbuatan-melawan-hukum/ (Diakses pada
Senin, 13 Januari 2020, pukul 22.44 WIB) 25
M.A. Moegni Djodjodirjo, “Perbuatan Melawan Hukum”, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1976), h. 18. 26
Elisa Tanadi, Skripsi“Pelanggaran Merek Dengan Itikad Tidak Baik (Studi Putusan
No.409k/Pdt.Sus-Hki/2015)”, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2018).
27
berakhir, mantan franchisee tersebut masih menggunaan atribut dan
aksesoris milik Merek franchisor. Persamaan skripsi ini dengan yang
akan peneliti bahas adalah sama sama membahas mengenai merek dan
bagaimana hukum di Indonesia membahas dan melindungi hak atas
merek.
2. Skripsi yang ditulis oleh Ovy Suharttiwy.27
Dalam skripsi ini
membahas mengenai bagaimana pertimbangan hukum dalam
pemutusan perjanjian waralaba antara Salon Kecantikan De Grace
dengan Salon Kecantikan dan Pelangsingan “Yemember”. Sedangkan
peneliti membahas mengenai perlindungan hukum bagi frachisor yang
memutuskan perjanjian waralaba dikarenakan franchisee melakukan
wanprestasi. Persamaan skripsi ini dengan yang akan peneliti bahas
yakni sama-sama membahas mengenai perlindungan hukum yang
diberikan bagi pihak-pihak dalam bisnis waralaba.
3. Jurnal yang ditulis oleh Ibrahim Nainggolan.28
Dalam jurnal ini
membahas tentang pertanggungjawaban pidana terkait penggunaan
merek yang sama tanpa izin, sedangkan peneliti membahas ketika
perjanjian waralaba berakhir, franchisee yang sudah dicabut Hak
Penerimaan Waralabanya karena wanprestasi masih menggunaan
atribut dan aksesoris milik Merek franchisor. Yang menjadi persamaan
antara jurnal ini dengan masalah yang akan peneliti teliti adalah sama-
sama membahas mengenai seseorang yang menggunakan Merek
dagang milik orang lain tanpa tanpa izin dan bentuk perlindungan
hukum serta pertanggungjawabannya.
27
Ovy Suharttiwy, Skripsi “Perlindungan Hukum Bagi Franchisee Dalam Hal Pemutusan
Perjanjian Waralaba (Studi Kasus Salon De Grace dan Salon Yemember Surabaya)” (Solo:
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2016), h. 9. 28
Ibrahim Nainggolan, Jurnal “Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan Penggunaan
Merek Yang Sama Pada Pokonya Tanpa Izin (Analisis Putusan MA.RI No. 2037/ Pid.Sus/2015)”
(Medan: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, 2019), h. 8.
28
BAB III
PELANGGARAN PENGGUNAAN MEREK ORANG LAIN TANPA HAK
A. Profil PT K-24 Indonesia
Apotek K-24 didirikan oleh dr. Gideon Hartono pada tanggal 24
Oktober 2002 di Yogyakarta. K-24 sendiri adalah kependekan dari komplet
24 jam. Komplet dalam artian komplet obatnya dan buka 24 jam sehari
sepanjang tahun. Gerai pertama didirikan di Jl. Magelang mendapat sambutan
yang luar biasa sehingga didirikan gerai berikutnya pada tanggal 24 maret
2003 di Jl. Gejayan dan tanggal 24 Agustus 2003 gerai ke tiga didirikan di Jl.
Kaliurang. Pada tahun 2004 apotek k-24 membuka gerai ketiga di Jl.
Gondomanan dan gerai keempat di dirikan di Kota Semarang di Jl. Gajah
Mada. Pada tanggal 6 April 2005 Apotek K-24 mendapat penghargaan dari
MURI sebagai “Apotek Jaringan Pertama di Indonesia Yang Buka 24 jam
Non Stop Setiap Hari”1
Karena keberhasilannya akhirnya pada tahun 2005 apotek K-24
mulai di waralabakan dan pada ulang tahunnya yang ke 3 (tiga) Apotek K-24
membuka secara serentak 7 gerai baru, 4 gerai berlokasi di Surabaya, 2 gerai
di Yogyakarta dan 1 gerai di Semarang, bersamaan pula MURI memberikan
penghargaan kembali yaitu untuk “apotek asli Indonesia yang pertama
diwaralabakan”, dan “pembukaan gerai apotek terbanyak”.2 Dalam kurun
waktu 17 tahun Apotek K-24 telah berkembang hingga lebih dari 450 gerai
yang tersebar di 115 kota/kabupaten dan 24 provinsi di Indonesia.
Pengembangan Apotek K-24 di seluruh Indonesia dilakukan secara franchise
atau waralaba maupun dengan membuka gerai sendiri (company owned).
1. VISI
a. Menjadi merek nasional yang menjadi pemimpin pasar bisnis apotek
di Negara Republik Indonesia, melalui apotek jaringan waralaba
1 https://www.apotek-k24.com/tentang-kami (Diakses pada tanggal 04 November 2019,
pukul 14.20 WIB) 2 http://bayudwinanto44.blogspot.com/2013/11/sejarah-visi-misi-pt-apotek-k-24.html
(Diakses pada tanggal 04 November 2019, pukul 14.20 WIB)
29
yang menyediakan ragam obat yang komplit, buka 24 jam termasuk
hari libur yang tersebar di seluruh Indonesia.
b. Menjadi merek nasional kebanggaan bangsa Indonesia yang menjadi
berkat dan bermanfaat bagi masyarakat, karyawan dan pemilik.
c. Menyediakan pilihan obat yang komplit, setiap saat, dengan harga
yang sama pagi-siang-malam dan hari libur.
d. Menyediakan kualitas pelayanan prima: Apotek K-24 senantiasa
mempelajari dan mengusahakan peningkatan kualitas pelayanan
untuk memaksimalkan tingkat kepuasan para pelanggan dan
penerima waralaba.3
2. MISI
a. Menyediakan pilihan obat yang komplit, setiap saat, dengan harga
sama pagi-siang-malam dan hari libur: Apotek K-24 melayani
masyarakat selama 24 jam perhari 7 hari perminggu dengan
memberlakukan kebijakan harga yang tetap sama pada pagi hari,
siang hari, malam hari maupun hari libur.
b. Menyediakan kualitas pelayanan yang prima: Apotek K-24
senantiasa mempelajari dan mengusahakan peningkatan kualitas
pelayanan untuk memaksimalkan tingkat kepuasan para pelanggan
dan penerima waralaba.4
B. Kasus Posisi Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015/Pn Bla
1. Para Pihak
PT. K-24 Indonesia yang beralamat di Jl. Magelang Karangwaru
Kidul PR 24 Kecamatan Tegalrejo Kota Yogyakarta, mengajukan
gugatan kepada Oktavia Cokrodiharjo bin Poly Cokrodiharjo bertempat
tinggal di Jalan Diponegoro Nomor 08C RT 01 RW 10 Kelurahan Cepu
Kecamatan Cepu Kabupaten Blora. Terdakwa didampingi oleh Penasihat
3 http://bayudwinanto44.blogspot.com/2013/11/sejarah-visi-misi-pt-apotek-k-24.html
(Diakses pada tanggal 04 November 2019, pukul 14.20 WIB) 4 http://bayudwinanto44.blogspot.com/2013/11/sejarah-visi-misi-pt-apotek-k-24.html
(Diakses pada tanggal 04 November 2019, pukul 14.20 WIB)
30
Hukum bernama Dion S. Marhaendra, S.H., M.H. dan M. Rizky Dano,
S.H., M.H., Para Advokat dan Konsultan Hukum pada Law Office &
Legal Consultant Dion S. Marhaendra & Partners, yang beralamat di
Jalan Singosari IV Nomor 14 Semarang, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tanggal 14 Januari 2015.
2. Kronologis Kasus
Merek K-24 merupakan sebuah merek yang telah terdaftar pada
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dengan nomor
sertifikat 559254 tertanggal 12 Januari 2004 atas nama pemilik Gideon
Hartono yang kemudian diperpanjang sebagaimana tertuang di dalam
Sertifikat Merek yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual (HAKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia dengan nomor pendaftaran IDM000386245
tanggal 29 Januari 2013 atas nama pemilik PT. K-24 Indonesia, berlamat
di Jalan Magelang Karangwaru Kidul PR 24 Yogyakarta, dimana PT. K-
24 Indonesia bergerak dalam bidang apotek penjualan obat-obatan. Pada
tanggal 15 Juni 2009, PT. K-24 Indonesia yang diwakili Gideon Hartoni
dan CV. Ramai Medika yang diwakili Oktavia Cokrodiharjo,
mengadakan perjanjian waralaba atas penggunaan Hak Kekayaan
Intelektual berupa Merek dan Sistem Pengelolaan Apotek K-24.
Pada bulan April 2012 software computer milik Apotek K-24
Indonesia yang selama ini digunakan oleh Oktavia Cokrodiharjo
mengalami kerusakan sehingga kemudian Oktavia Cokrodiharjo
memanggil teknisi dari PT. K-24 Indonesia, akan tetapi teknisi PT. K-24
Indonesia tidak dapat memperbaiki sehingga kemudian perangkat
komputer tersebut dibawa ke kantor kantor pusat yang terletak di Jl.
Magelang Karangwaru Kidul PR 24 Kecamatan Tegalrejo, Kota
Yogyakarta. Kemudian pada bulan Juli 2012 PT. K-24 Indonesia
menyatakan terdapat perbedaan omset penjualan yang tertera dalam
komputer dengan omset yang dilaporkan, sehingga kepada Oktavia
Cokrodiharjo diwajibkan oleh PT. K-24 Indonesia untuk membayar
31
franchise fee kurang lebih Rp176.790.535,- (seratus tujuh puluh enam
juta tujuh ratus sembilan puluh ribu lima ratus tiga puluh lima rupiah).
Oktavia Cokrodiharjo tidak pernah mau membayar franchise fee
sebesar kurang lebih Rp176.790.535,- (seratus tujuh puluh enam juta
tujuh ratus sembilan puluh ribu lima ratus tiga puluh lima rupiah)
tersebut, sehingga oleh PT. K-24 Indonesia diberikan surat peringatan
tentang tunggakan pembayaran franchise fee yang antara lain:
1) Surat No. 170/sekretariat/K-24/IV/2012 tanggal 08 April 2012
2) Surat No. 089/K-24/LEGAL/VII/2012 tanggal 02 Juli 2012 tentang
peringatan pembayaran kewajiban franchise fee.
3) Surat No. 093/K-24/LEGAL/VII/2012 tanggal 26 Juli 2012 tentang
peringatan kedua pembayaran kewajiban franchise fee.
4) Surat No. 111/K-24/LEGAL/IX/2012 tanggal 02 Oktober 2012
tentang peringatan dan undangan terakhir untuk melakukan
pembayaran kewajiban franchise fee.
Sampai dengan surat peringatan terakhir diajukan, Oktavia
Cokrodiharjo tetap tidak mau untuk melakukan pembayaran kewajiban
franchise fee sebesar kurang lebih Rp176.790.535,- (seratus tujuh puluh
enam juta tujuh ratus sembilan puluh ribu lima ratus tiga puluh lima
rupiah), kepada pihak PT. K-24 Indonesia. Atas dasar tersebut, pada
tanggal 07 Nopember 2012, hak penerima waralaba Apotek K-24 milik
Oktavia Cokrodiharjo dicabut oleh PT. K-24 Indonesia berdasarkan Surat
Nomor 213/sekretariat/K-24/XI/2012 tertanggal 07 Nopember 2012 yang
disampaikan melalui e-mail dengan ketentuan sebagaimana dalam
perjanjian waralaba, bahwa Oktavia Cokrodiharjo diwajibkan untuk
membongkar dan menghilangkan semua assesoris/atribut dan
perlengkapan yang berhubungan dengan merek K-24 Indonesia paling
lambat tanggal 14 Nopember 2012.
Setelah Oktavia Cokrodiharjo mendapat email mengenai
pencabutan hak penerimaan waralaba, hari itu juga ia memerintahkan
Isna Laily Mukhayah, S. Farm Apt., ke Kantor Dinkes Kabupaten Blora
32
untuk mengurus perijinan Apotik yang baru dengan nama Apotik
“Pemuda”. Pada tanggal 20 Nopember 2012, berdasarkan Surat Ijin
Apotik Nomor: 18/SIA/VI/2009/GN/2012 tertanggal 20 Nopember 2012
yang ditandatangani oleh Slamet Sucahyo, SH., selaku Plt. Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Blora pada saat itu, Apotik K-24 Cepu milik
Oktavia Cokrodiharjo telah resmi berubah menjadi Apotik Pemuda.
Pada tanggal 10 Nopember 2012, Oktavia Cokrodiharjo pergi ke
Amerika Serikat selama 10 hari dan baru kembali ke Indonesia pada
tanggal 20 Nopember 2012. Pada tanggal 12 Nopember 2012 saat
Oktavia Cokrodiharjo sedang berada di Amerika Serikat, Surat Nomor
213/sekretariat/K-24/XI/2012 tertanggal 07 Nopember 2012 tentang
pencabutan hak waralaba, secara fisik baru diterima oleh Suhartatik.
Dikarenakan Oktavia Cokrodiharjo sedang di Amerika Serikat, surat
tersebut baru disampaikan oleh Suhartatik pada tanggal 20 Nopember
2012 sepulang dari Amerika Serikat.
Pada tanggal 4 Desember 2012, Grace Amelia Senggu, S.H., selaku
Legal Officer PT. K-24 Indonesia, mendatangi Apotik Pemuda milik
Oktavia Cokrodiharjo, ternyata masih terdapat asesoris/atribut dan
perlengkapan yang berhubungan dengan merek K-24, padahal oleh
Apoteker Pengelola Apotik (APA) milik Oktavia Cokrodiharjo, telah
dinyatakan dalam surat pernyataan bahwa sejak tanggal 07 Nopember
2012 sudah tidak menggunakan seragam K-24, spanduk K-24 dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan K-24.
Berdasarkan keterangan Grace Amelia Senggu, SH., ketika ia
mendatangi Apotek Pemuda pada tanggal 4 Desember 2012 kedapatan
masih menggunakan merk K-24 dan aksesorisnya, yaitu:
1) Board atau papan reklame masih terpasang walaupun sudah ada
skafolding.
2) Di dalam ruangan apotik terdapat tulisan / aksesoris milik K-24.
3) Tulisan papan apotik dalam ruangan masih menggunakan K-24.
4) Karyawan juga masih menggunakan pakaian seragam K-24.
33
Atas kejadian tersebut, Grace Amelia Senggu, SH. yang sudah
dibekali surat kuasa oleh PT. K-24 Indonesia melaporkan Oktavia
Cokrodiharjo ke Polres Blora atas dasar penggunaan merek K-24 tanpa
hak, dengan tuntutan Primer Pasal 90 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek; “dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek
terdaftar milik pihak lain untuk barang/atau jasa sejenis yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan” dan tuntutan Subsider Pasal 91 Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek; “dengan sengaja dan
tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek
terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang
diproduksi dan/atau diperdagangkan”.
C. Pelanggaran Hak Merek
Sebuah merek terdaftar dilindungi selama jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun dengan pembayaran biaya. Namun, pemilik harus mengajukan
perpanjangan 12 (dua belas) bulan sebelum merek tersebut berakhir. Merek
akan diperpanjang masa berlakunya hanya jika pemilik masih menggunakan
merek tersebut dalam perdagangan barang dan atau jasa.5 Meski undang-
undang telah memberikan perlindungan terhadap hak atas merek, masih
banyak saja pihak-pihak yang melakukan pelanggaran.
Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek sebagai payung hukum terhadap pelanggaran hak atas merek. Di
dalam peraturan tersebut memuat bentuk-bentuk pelanggaran merek.
Pelanggaran merek tersebut terdapat pada pasal 90 – 94 Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan dikategorikan menjadi 5, yaitu:
1. Dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada
keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
5 Tim Lindsey, dkk, “Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar”, (Bandung: PT. Alumni,
2005), h. 144.
34
2. Dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada
pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau
jasa sejenis yang diproduksi dan/atau dipergunakan
3. Dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada
keseluruhan atau pada pokonya dengan Indikasi-Geografis milik pihak
lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar
4. Dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi
berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat
memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau
jasa
5. Memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut
diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil
pelanggaran sebagaimana tercantum pada poin di atas.
Suatu merek dianggap melanggar merek pihak lain apabila adanya
persamaan yang cenderung menipu konsumen (begitu sama/mirip, sehingga
menyesatkan/menyebabkan kebingungan bagi konsumen) sampai pada batas
dimana kemungkinan konsumen keliru membeli produk barang dan atau jasa,
padahal konsumen tersebut bermaksud membeli produk yang lain. Yang perlu
diingat bahwa tujuan utama dari peraturan merek adalah melindungi bisnis
dan mencegah orang lain “mombonceng” reutasi seseorang atau perusahaan.6
Yang dituntut oleh hukum dari upaya seseorang untuk memperoleh
harta kekayaan ialah harus dilakukan dengan adil, layak dan tidak merugikan
salah satu pihak. Pada prinsipnya sesuai prinsip hukum merek, pelanggaran
merek dapat dikategorikan dalam lima area utama, yaitu:7
1. Pelanggaran berupa persamaan pada pokoknya yang menyebabkan
persamaan yang membingungkan tentang sumber, afiliasi, koneksi.
Merek bertujuan untuk memungkinkan konsumen membedakan
satu produsen dari produsen lainnya dan memberikan kesempatan kepada
konsumen untuk membuat pilihan pembelian suatu barang dan atau jasa
6 Tim Lindsey, dkk, “Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar”, … h. 147.
7 Rahmi Jened, “Hukum Merek “Trademark Law” Dalam Era Globalisasi & Integrasi
Ekonomi”, (Jakarta: Kencana, 2015), h. 312-323.
35
berdasarkan pengalaman sebelumnya. Disamping itu, merek
menyediakan insentif bagi perusahaan untuk memproduksi barang dan
atau jasa yang berkualitas dan juga untuk melindungin investasi
perusahaan dalam rangka membangun reputasi.
Teori likelihood of confusing (persamaan yang membingungkan)
dalam undang-undang merek di Indonesia digunakan terminologi
“persamaan pada pokoknya”. Dalam proses administrasi pendaftaran
merek, pelanggaran berdasarkan “persamaan pada pokoknya”
memunculkan isu keberatan (opposition). Dalam konteks litigasi muncul
sebagai isu gugatan pembatalan (cancelation) didasarkan pada
penggunaan nyata (actual use) atau declaratory judgment.8
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek dapat dipakai untuk menetapkan tindakan yang dapat dianggap
sebagai pelanggaran terhadap hak atas merek. Pada pasal tersebut
menyebutkan bahwa permohonan pendaftaran merek harus ditolak oleh
Direktorat Jenderal apabila merek mempunyai persamaan pada pokoknya
atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar
lebih dulu untuk barang dan atau jasa yang sejenis. Pasal 6 (1)
memaparkan beberapa unsur yang mengakibatkan penolakan pendaftaran
merek. Hal ini dilakukan karena apabila merek tersebut diterima, akan
menimbulkan konflik dengan pemilik merek yang terdaftar lebih dahulu.
2. Pemalsuan atau penggunaan merek yang secara substansial tidak
memiliki daya pembeda (merek identik) disyaratkan pengetahuan
penggunaan untuk dapat dinilai merugikan dan dikenai pidana.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian
identik adalah sama besar, tidak berbeda sedikitpun, sama dan sebangun.
Dalam bentuk kata kerja adalah mengidentikkan yang artinya
menyamakan benar-benar. Jadi yang dimaksud merek identik adalah
ketika terdapat suatu merek terkenal kemudian muncul merek lain yang
8 Rahmi Jened, “Hukum Merek “Trademark Law” Dalam Era Globalisasi & Integrasi
Ekonomi”, … h. 313.
36
memiliki kemiripan yang hampir sama dengan merek yang terlebih
dahulu didaftarkan. Hal seperti ini merupakan pelanggaran terhadap
hukum merek atau bisa disebut juga tindakan pemalsuan (counterfeiting).
Pemalsuan merupakan suatu tindakan penyalahgunaan terhadap
merek dagang yang identik sehingga melanggar hak pemegang merek
dagang. Praktek pemalsuan merek dagang dilakukan oleh pengusaha
yang tidak beritikad baik dengan cara memproduksi barang-barang
dengan mempergunakaan merek yang sudah terkenal yang bukan
haknya.9 Sering kali hal tersebut dapat menyesatkan konsumen dalam
mencari produk asli yang akan dibeli.
Pemalsuan terhadap merek bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya secara mudah dengan
melakukan tindakan meniru atau memalsukan merek-merek yang sudah
terkenal di masyarakat tanpa memikirkan bahwa yang dilakukannya
adalah melanggar hak-hak orang lain yang telah dilindungi oleh undang-
undang. Pada prinsipnya setiap tindakan untuk menggunakan merek
identik untuk produk identik adalah secara nyata merupakan tindakan
pemalsuan. Teori counterfeiting muncul dalam kasus pengiklanan untuk
menjual, pengemasan ulang, perbaikan dan pengkondisian ulang
(reconditioning).10
3. Pelanggaran dilution/persamaan pada pokoknya atau keseluruhan
dengan merek terkenal.
Dalam praktik di Indonesia, pelanggaran justru banyak terjadi
melalui penggunaan langsung tanpa ada kehendak untuk mendaftarkan
suatu merek terkenal (wellknown trademarks). Bentuk pelanggaran yang
dapat diidentifikasikan meliputi:11
9 Esti Aryani, “Pemalsuan Merek dan Penegakkan Hukumnya (Ditinjau dari Aspek Hukum
Pidana)”, VOL.VII, NO.1, April 2009, h. 56. 10
Rahmi Jened, “Hukum Merek “Trademark Law” Dalam Era Globalisasi & Integrasi
Ekonomi”, … h. 316. 11
Rahmi Jened, “Kesadaran Hukum Pengusaha Tanggulangin Terhadap Perlindungan
Merek Terkenal, Penelitian Mandiri yang Dibiayai oleh JIII dan JICA, 2000 (Rahmi Jened
XXII)”, h. 14-16.
37
a. Penggunaan merek untuk produk barang dan atau jasa yang tidak
sejenis yang dapat menyesatkan konsumen, contohnya, penggunaan
merek Sony berikut inisialnya untuk produk makanan kecil,
underware dan sebagainya.
b. Penggunaan nama-nama asing sebagai merek seperti, nama Louis,
Karl dan sebagainya.
c. Penggunaan merek secara tanpa hak untuk barang dan atau jasa yang
sejenis, contohnya, Charles Jourdan untuk produk tas dan dompet.
d. Penggunaan material (bahan)dan juga peniruan model produk
dengan inisial merek terkenal, contohnya, penggunaan corak materi
(bahan), accessories sampai dengan model yang sama dengan tas
merek YSL atau Louis Vuittonyang asli (genuine product).
e. Pencantuman indikasi asal yang dapat menyesatkan konsumen,
contohnya, Made in Japan, Made in Italy
f. Penerapan merek terkenal oleh pihak pembeli (termaksud pembeli
asing) terhadap produk-produk yang dibeli secara kosongan dan jual
putus di Indonesia dengan tujuan untuk dijual kembali, contohnya,
pada kasus jual beli tas-tas dari Tanggulangin dan berbagai hasil
kerajinan Indonesia lainnya.
4. Pendaftaran dan penggunaan merek terkenal di internet
(Cybersquatting)
Kasus pendaftaran merek terkenal (wellknown trademark) oleh
pihak lain secara tidak sah di internet dengan maksud untuk menjualnya
dengan harga yang tinggi kepada pemilik merek yang sebenarnya disebut
cybersquatting. Pelanggaran merek jenis dilution ini biasanya disebut
penggunaan domain name. Domain name ini digunakan sebagai situs
atau homepage. Hal ini termaksud ke dalam tindakan mendaftarkan
merek pihak lain secara tidak sah untuk sekedar menutup pesaingnya
sebagai pemilik merek yang sebenarnya.
Beberapa kasus yang ternama adalah Burger King One Million
Case, dimana tergugat mencoba menjual Domain Names
38
Burgerking.co.uk sebesar £125.000 kepada pihak Burgerking. Beberapa
Domain Names merek terkenal (wellknown trademark) seperti
windows.com, mc.donald.com, ternyata terdaftar oleh pihak lain bukan
pemilik merek yang sebenarnya.12
5. Penggunaan karakter dalam pemasaran (Character Merchandising)
Penggunaan karakter dalam pemasaran (character merchandising),
seperti karakter Spiderman, Winnie The Pooh, Micky Mouse, dan lain-
lain sebagai merek atau langsung dipakai dalam produk adalah
pelanggaran. Penggunaan reputasi berbagai karakter fiksi untuk
memberikan nama dan menambah popularitas suatu produk, padahal
produk tersebut tidak memiliki kaitan langsung dengan karakter tersebut,
berpotensi melanggar hak pihak-pihak yang menciptakan karakter
tersebut. Hal ini mengingat kemungkinan hilangnya peluang pemegang
hak cipta atas berbagai karakter tersebut untuk memasarkan karakter
fiksinya dalam berbagai produk seperti T-shirt, dan lain-lain. Bahkan hal
tersebut dapat menghambat peluang pemegang hak cipta untuk
memberikan lisensi penggunaan karakter tersebut kepada pihak lain.13
12
Rahmi Jened, “Hukum Merek “Trademark Law” Dalam Era Globalisasi & Integrasi
Ekonomi”, … h. 321. 13
Rahmi Jened, “Hukum Merek “Trademark Law” Dalam Era Globalisasi & Integrasi
Ekonomi”, … h. 322-323.
39
BAB IV
PELANGGARAN PENGGUNAAN MEREK ORANG LAIN TANPA HAK
(Studi Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015/PN Bla)
A. Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Merek
Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa perlindungan hukum adalah
memberikan pengayoman terhadap HAM (Hak Asasi Manusia) yang
dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar
dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.1 Perlindungan
hukum merupakan hak setiap Warga Negara dan di lain sisi perlindungan
hukum merupakan kewajiban bagi Negara itu sendiri, oleh karena itu Negara
wajib memberikan perlindungan hukum kepada Warga Negara.
Pada prinsipnya perlindungan hukum terhadap masyarakat bertumpu
dan bersumber pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap
harkat, dan martabat sebagai manusia. Sehingga pengakuan dan perlindungan
terhadap hak korban sebagai bagian dari hak asasi manusia tanpa membeda-
bedakan. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan
perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan
tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.
Sebagai salah satu bagian dari Hak Kekayaan Intelektual, maka
Merek memiliki peran yang sangat penting dalam ekonomi bangsa Indonesia,
khususnya bagi kelancaran dan peningkatan terhadap perdagangan barang
dan atau jasa dalam kegiatan perdagangan. Merek dapat memenuhi kebutuhan
konsumen akan tanda pengenal suatu produk barang dan atau jasa yang
berfungsi sebagai jaminan kualitas dari suatu produk.
Jika kita membahas mengenai pentingnya suatu Merek dalam
kegiatas perekonomi bangsa, tentu tidak bisa lepas dari perlindungan
hukumnya. Dewasa ini banyak sekali bentuk-bentuk pelanggaran merek yang
terjadi di masyarakat. Karena, merek memiliki nilai ekonomis yang jika tidak
1 Satijipto Raharjo, “ Ilmu Hukum”, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000) , h.53.
40
dilindungi maka dapat merugikan pihak yang memiliki hak ekslusif atas
merek tersebut.
Di Indonesia, payung hukum yang melindungin pemegang hak
merek adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Undang-undang ini dibentuk dengan tujuan memberikan perlindungan hukum
bagi tanda yang dapat berupa gambar, nama, huruf, angka atau kombinasi.
Kombinasi dari unsur-unsur tersebut memiliki daya pembeda dan digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang dan atau jasa. Tanda tersebut harus
berbeda dengan tanda yang digunakan oleh orang perorang atau perusahaan
lain untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
Agar suatu merek mendapatkan perlindungan hukum, maka terhadap
merek tersebut harus didaftarkan terlebih dahulu. Adapun sistem yang dianut
dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek adalah system
konstitutif, yaitu bahwa hak atas merek timbul karena pendaftarannya.2 Hal
ini tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2015 tentang
Merek yang berbunyi sebagai berikut:
“Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara
kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek
untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek
tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk
menggunakannya”.
Perjanjian antara PT. K-24 Indonesia dengan CV. Ramai Medika
berakhir ketika PT. K-24 Indonesia mencabut hak penerimaan waralaba
Apotek K-24 milik CV. Ramai Medika berdasarkan Surat Nomor
213/sekretariat/K-24/XI/2012 tertanggal 07 Nopember 2012 yang
disampaikan melalui e-mail dengan ketentuan sebagaimana dalam perjanjian
waralaba bahwa terdakwa diwajibkan untuk membongkar dan menghilangkan
semua assesoris/atribut dan perlengkapan yang berhubungan dengan merek
K-24 Indonesia paling lambat 14 Nopember 2012.
2 Syprianus Aristeus, “Perlindungan Merek Terkenal Sebagai Aset Perusahaan”, (Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2010), h. 130.
41
Email yang dikirimkan oleh PT. K-24 Indonesia kepada CV. Ramai
Medika adalah merupakan alat bukti hukum yang sah sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi “informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan
alat bukti hukum yang sah”. Kekuatan alat bukti e-mail sebagai proses
pembuktian dalam persidangan bila dikaitkan dengan Pasal 164 HIR
mengenai alat bukti yang sah, maka kekuatan e-mail bila dicetak dianggap
sama dengan surat asli dan mempunyai kekuatan yang sama pula dengan akta
otentik.3
Setelah Oktavia Cokrodiharjo mendapat email mengenai pencabutan
hak penerimaan waralaba, hari itu juga terdakwa memerintahkan Isna Laily
Mukhayah, S. Farm Apt., ke Kantor Dinkes Kabupaten Blora untuk mengurus
perijinan Apotik yang baru dengan nama Apotik Pemuda. Pada tanggal 20
Nopember 2012, berdasarkan Surat Ijin Apotik Nomor:
18/SIA/VI/2009/GN/2012 tertanggal 20 Nopember 2012 yang ditandatangani
oleh Slamet Sucahyo, SH., selaku Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Blora pada saat itu, Apotik K-24 milik Oktavia Cokrodiharjo telah resmi
berubah menjadi “Apotik Pemuda”.
Apabila mengacu pada perbuatan yang dilakukan oleh CV. Ramai
Medika yaitu masih menggunakan assesoris dan atribut milik PT. K-24
Indonesia setelah perjanjiannya berakhir, jelas hal ini merupakan perbuatan
melawan hukum. Perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk perikatan
yang lahir dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan manusia yang
melanggar hukum, yang diatur oleh KUH Perdata.4
Dalam surat Nomor 213/sekretariat/K-24/XI/2012 tertanggal 07
Nopember 2012 memuat ketentuan sebagaimana dalam perjanjian waralaba
bahwa Apotek K-24 milik CV. Ramai Medika diwajibkan untuk membongkar
3 Nolfi Papendang, “Kekuatan Alat Bukti E-Mail dalam Persidangan Kasus Perdata”, Vol.
V/No. 1/ Jan-Feb/2017, h. 98. 4 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, “Seri Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir
Dari Undang-Undang”, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2017), h. 81.
42
dan menghilangkan semua assesoris/atribut dan perlengkapan yang
berhubungan dengan merek K-24 Indonesia paling lambat tanggal 14
Nopember 2012. Namun, sampai dengan tanggal 4 Desember 2012 ketika
Grace Amelia Senggu, S.H., selaku staff legal officer PT. K-24 Indonesia
mendatangi Apotek K-24 yang sudah berganti nama menjadi Apotek Pemuda,
ditemukan bahwa Apotek Pemuda masih menggunakan assesoris/atribut dan
perlengkapan yang berhubungan dengan merek K-24 Indonesia. Grace
Amelia Senggu, S.H. yang telah dibekali dengan surat kuasa khusus dari
Gideon Hartono selaku pemilik merek K-24, berdasarkan temuan dan bukti
berupa foto Apotek Pemuda, saksi Grace Amelia Senggu, S.H. langsung
melaporkan ke Polres Blora atas penggunaan merek K-24 tanpa hak dengan
ancaman pidana sesuai dalam Pasal 90-91 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek.
Perbuatan yang dilakukan oleh Oktavia Cokrodiharjo selaku Pemilik
CV. Ramai Medika merupakan perbuatan melawan hukum. Oktavia
Cokrodiharjo masih menggunakan assesoris/atribut dan perlengkapan yang
berhubungan dengan merek K-24 Indonesia. PT. K-24 Indonesia merupakan
pemegang Hak Atas Merek yang sah dan telah terdaftar pada Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dengan nomor sertifikat 559254
tertanggal 12 Januari 2004 atas nama pemilik Gideon Hartono yang kemudian
diperpanjang sebagaimana tertuang di dalam Sertifikat Merek yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan
nomor pendaftaran IDM000386245 tanggal 29 Januari 2013 atas nama
pemilik PT. K-24 Indonesia. Hak Merek timbul apabila telah didaftarkan dan
PT. K-24 Indonesia telah mendaftarkan mereknya secara sah sehingga PT. K-
24 Indonesia dilindungi haknya oleh Undang-Undang dan pihak lain tidak
boleh menggunakan merek K-24 tanpa izin.
Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan
pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau
korban. Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari
43
perlindungan masyarakat dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti
pemberian restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.5 Di
Indonesia terdapat 2 (dua) bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada
pemegang merek, diantaranya:6
1. Perlindungan Hukum atas Merek secara Preventif
Perlindungan hukum preventif merupakan sebuah bentuk
perlindungan yang mengarah pada tindakan yang bersifat pencegahan.
Tujuan dari tindakan ini adalah untuk meminimalisasi peluang terjadinya
pelanggaran terhadap merek dagang. Langkah ini difokuskan pada
pengawasan terhadap pemakaian merek, perlindungan terhadap hak
ekslusif pemegang hak atas merek dagang terkenal asing, dan anjuran-
anjuran kepada pemilik merek untuk mendaftarkan mereknya agar
haknya terlindungi.
Konsekuensi dari sistem konstitutif yang dianut oleh Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, hak atas merek tercipta
karena adanya pendaftaran. Dengan melakukan pendaftaran, maka
pemilik merek akan memperoleh hak eksklusif yang diberikan oleh
negara atas penggunaan merek untuk memberikan izin kepada pihak lain
untuk menggunakannya selama jangka waktu tertentu atau menggunakan
sendiri merek yang telah ia daftarkan. Apabila pemilik merek belum
mendaftarkan mereknya, maka ia tidak bisa meminta bantuan hukum
apabila ada pihak lain yang menggunakan mereknya tanpa hak, oleh
karena itu penting sekali bagi pemilik merek untuk mendaftarkan
mereknya di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Yahya Harapan mengatakan bahwa sistem konstitutif memliki
keunggulan, yaitu:7 Kepastian hukum untuk dilindungi. Cukup dilihat
siapa yang lebih dahulu memperoleh filing date atau terdaftar dalam
5 Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, (Jakarta: UI Press, 1984), h. 133.
6 Hery Firmansyah, “Perlindungan Hukum Terhadap Merek”, (Jakarta: Penerbit Pustaka
Yustisia, 2011), h. 67-80. 7 Rahmi Jened, “Hukum Merek “Trademark Law” Dalam Era Globalisasi & Integrasi
Ekonomi”, (Jakarta: Prenada Media Group, 2015), h. 96-97.
44
daftar umum merek; kepastian hukum pembuktian karenanya didasarkan
pada akta pendaftaran; untuk mewujudkan dugaan hukum siapa pemilik
merek yang paling berhak, tidak menimbulkan kontroversi antara
pemakai pertama dengan pendaftar pertama, karena dugaan hukum hanya
berdiri di atas fakta pendaftar pertama; oleh karena landasan untuk
menentukan siapa pemegang merek yang paling utama hanya didasarkan
atas prinsip pendaftar pertama, dan pembuktian didasarkan pada
dokumen yang bersifat autentik, maka untuk menarik dugaan hukum,
jauh lebih sederhana dibanding dengan sistem deklaratif. Hal ini
berdampak positif atas penyelesaian sengketa, yakni penyelesaian jauh
lebih sederhana, cepat, dan biaya ringan.
2. Perlindungan Hukum atas Merek secara Represif
Pengertian perlindungan hukum represif adalah perlindungan yang
dilakukan untuk menyelesaikan atau menanggulangi suatu peristiwa atau
kejadian yang terjadi, yaitu berupa pelanggaran hak atas merek.8 Dari
pengertian tersebut dapat disimpulkan, yang mempunyai wewenang
terhadap bentuk pelanggaran atas merek adalah lembaga peradilan dan
aparat penegak hukum lainnya seperti Kepolisian, Pejabat Pegawai
Negeri Sipil dan Kejaksaan untuk melakukan penindakan terhadap
pelanggaran merek. Pada umumnya, sebuah pelanggaran terhadap Hak
Kekayaan Intelektual dapat dianggap sebagai kasus-kasus pidana
maupun perdata, namun di Indonesia penekanan pelanggaran lebih
menitikberatkan pada hukum pidana. Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek mengatur tentang ketentuan pidana sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 90-95. Hal ini berbeda dengan negara
penganut sistem hukum Common Law seperti Australia, Inggris, dan
Amerika dimana pelanggaran HAM ditangani hukum perdata, karena
yang dipentingkan dalam memutus perkara adalah dengan adanya ganti-
rugi atau kompensasi.
8 Hery Firmansyah, “Perlindungan Hukum Terhadap Merek”, (Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Yustisia, 2011), h. 70.
45
Perlindungan hukum yang bersifat represif dilakukan jika terjadi
pelanggaran hak atas merek melalui gugatan perdata dan atau gugatan
pidana. Pemilik merek terdaftar mendapatkan perlindungan hukum atas
pelanggaran hak atas merek baik dalam bentuk gugatan ganti-rugi atau
penghentian perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek
tersebut maupun berdasarkan tuntutan hukum pidana. Ganti rugi di sini
dapat berupa ganti rugi materiil dan ganti rugi immaterial. Ganti rugi
materiil berupa kerugian yang nyata dan dapat dinilai dengan uang.
Sedangkan ganti rugi immaterial berupa tuntutan ganti rugi yang
disebabkan oleh penggunaan merek dengan tanpa hak, sehingga pihak
yang berhak menderita kerugian secara moral.9
Pemberian sanksi yang jelas dan tegas bagi pelaku pelanggaran
merek harus dilaksanakan sesuai dengan yang telah tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, juga harus
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum secara konsisten. Konsisten ini
akan memberikan jaminan kepastian hukum khususnya bagi pemegang
hak atas merek.
B. Penyelesaian Sengketa dan Sanksi Terhadap Pelanggaran Merek
Penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran hak atas merek dapat
diselesaikan dengan mengambil jalur hukum. Sebagai konsekuensi adanya
perlindungan hukum hak atas merek, pemilik merek terdaftar mempunyai hak
untuk mengajukan gugatan perdata berupa ganti rugi jika mereknya
dipergunakan pihak lain tanpa hak atau izin darinya.10
Gugatan atas merek
dapat terjadi apabila ada pihak lain selain pemilik merek yang dengan sengaja
dan tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada
keseluruhannya atau pada pokoknya untuk barang dan atau jasa sejenis. Pihak
yang berhak mengajukan gugatan adalah pemilik merek dan penerima lisensi
9 Rachmadi Usman, “Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia”, (Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2003), h. 365. 10
Rachmadi Usman, “Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia”, … , h. 364.
46
merek terdaftar. Penerima lisensi merek terdaftar dapat mengajukan gugatan
sendiri atau bersama-sama dengan pemilik merek yang bersangkutan.
Gugatan ganti rugi dan atau penghentian perbuatan yang berkaitan
dengan penggunaan merek secara tanpa hak tersebut memang sudah
sewajarnya dilakukan, karena tindakan tersebut sangat merugikan pemegang
hak atas merek. Kerugian yang secara langsung dapat dirasakan yaitu
kerugian ekonomi. Selain itu perbuatan menggunakan merek orang lain juga
dapat merusak reputasi merek tersebut terlebih apabila barang dan atau jasa
yang ditawarkan tersebut kualitasnya lebih rendah daripada produk barang
dan atau jasa pemilik merek yang sah.
Upaya hukum yang dapat digunakan dalam kasus pelanggaran Merek, yaitu:
1. Gugatan Ke Pengadilan Niaga
Pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Niaga terhadap pihak yang secara tanpa hak menggunakan
merek orang lain yang mempunyai persamaan pada keseluruhannya dan
atau pada pokoknya untuk barang atau jasa sejenis berupa gugatan ganti
rugi dan penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan
penggunaan merek tersebut. Dalam masa pemeriksaan dan dalam rangka
untuk mencegah kerugian secara lebih besar, atas permohonan pemilik
merek atau pemegang lisensi selaku penggugat, Hakim dapat
memerintahkan tergugat untuk menghentikan produksi, peredaran dan
atau perdagangan yang menggunakan merek tersebut tanpa hak.11
Tata cara gugatan terhadap penyelesaian sengketa merek dalam
proses Pengadilan Niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 tentang Merek adalah:
a. Gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah
hukum domisili tergugat.
b. Jika tergugat berkedudukan di luar wilayah Indonesia, gugatan
diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
11
Hery Firmansyah, “Perlindungan Hukum Terhadap Merek”, (Jakarta: Penerbit Pustaka
Yustisia, 2011), h. 75.
47
c. Panitera menyampaikan gugatan terhadap ketua Pengadilan Niaga
dalam jangka waktu 2 hari terhitung sejak gugatan didaftarkan.
d. Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal
gugatan didaftarkan, Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan
menentukan hari sidang.
e. Pemanggilan para pihak dilakukan juru sita paling lama 7 (tujuh)
hari setelah gugatan.
f. Sidang untuk pemeriksaan atas gugatan diselenggarakan dalam
jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan
didaftarkan.
g. Putusan atas gugatan harus diucapkan paling lama 90 (Sembilan
puluh hari setelah gugatan didaftarkan dan diperpanjang paling lama
30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Mahkamah Agung.
h. Putusan atas gugatan harus dibacakan dalam sidang terbuka untuk
umum.
2. Pengajuan Kasasi
Terhadap putusan Pengadilan Niaga tidak dapat diajukan banding,
melainkan hanya dapat diajukan kasasi. Ketentuan ini tercantum dalam
Pasal 82 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang
menyatakan bahwa terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 80 ayat (8) hanya dapat diajukan kasasi.
Tata cara mengajukan permohonan kasasi adalah sebagai berikut:
a. Permohonan kasasi diajukan paling lama 14 (empat belas) hari
setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diberitahukan
kepada para pihak dengan mendaftarkan kepada panitera yang telah
memutuskan gugatan tersebut.
b. Permohonan kasasi sudah harus menyampaikan memori kasasi
kepada Panitera dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal
permohonan kasasi di daftarkan.
c. Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dalam waktu paling
lama 2 (dua) hari setelah permohonan kasasi di daftarkan.
48
d. Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada
Panitera paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi
menerima memori kasasi dan selanjutnya Panitera wajib
menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling
lama 2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi diterima Panitera.
e. Setalah kontra memori kasasi disampaikan pada Pemohon Kasasi,
Panitera wajib menyampaikan berkas perkara kasasi yang
bersangkutan kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari.
f. Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas perkara kasasi dan
menetapkan hari sidang paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal
permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
g. Sidang acara pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling
lama 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi
diterima oleh Mahkamah Agung.
h. Putusan atas permohonan kasasi harus dibacakan dalam sidang
terbuka untuk umum.
i. Juru sita selanjutnya wajib menyampaikan isi putusan kasasi, kepada
pemohon dan termohon paling lama 2 (dua) hari setelah putusan
kasasi diterima.
3. Penetapan Sementara
Penetapan sementara dilakukan sebagai sarana atau upaya hukum
bagi pemohon terhadap pihak yang melakukan tindakan melawan hukum
yang diduga berdasarkan bukti yang cukup akan merugikan pemohon dan
pelanggaran merek terdaftar.12
Permohonan penetapan sementara dapat
diajukan secara tertulis oleh salah satu pihak yang mendaftarkan terlebih
dahulu terhadap pihak lain ke Pengadilan Niaga, dengan persyaratan:
a. Melampirkan bukti kepemilikan merek
b. Melampirkan bukti adanya petunjuk awal yang kuat atas terjadinya
pelanggaran merek
c. Membayar jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank
12
Hery Firmansyah, “Perlindungan Hukum Terhadap Merek”, … h. 78.
49
d. Ketetapan yang jelas mengenai barang dan atau dokumen yang
diminta, dicari, dikumpulkan dan diamankan untuk pembuktian
e. Adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan
pelanggaran merek akan menghilangkan barang bukti.
Jika tindakan penetapan sementara telah dilaksanakan Pengadilan
Niaga, kemudian Pengadilan Niaga wajib dengan segera memberitahu
kepada pihak terlapor dan memberikan kesempatan kepada pihak
tersebut untuk didengar keterangannya.
Isi dari putusan penetapan sementara, yaitu:13
a. Dikuatkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan
kepada pemohon penetapan;
b. Dibatalkan, uang jaminan yang telah dibayarkan harus segara
diserahkan kepada pihak lain yang dikenai tindakan sebagai ganti
kerugian akibat adanya penetapan sementara.
Mengenai sanksi hukuman pidana di bidang Merek merupakan delik
aduan. Pasal 95 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
dengan tegas menyatakan bahwa tindak pidana sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 90-94 merupakan delik aduan. Artinya, tindak pidana di bidang
Merek tidak dapat dituntut, kecuali sebelumnya ada pengaduan dari pemilik
Merek terdaftar yang bersangkutan.14
Adapun sanksi yang bisa dijatuhkan kepada pelanggar hak atas merek adalah:
No. Pasal Ancaman Pidana Keterangan
Penjara Denda
1. 90 5 tahun Rp1.000.000.000 Perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan merek yang sama pada
keseluruhannya dengan merek terdaftar
milik pihak lain untuk barang dan atau
jasa sejenis yang diproduksi dan atau
diperdagangkan
13
Hery Firmansyah, “Perlindungan Hukum Terhadap Merek”, … h. 79. 14
Rachmadi Usman, “Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia”, … h. 377.
50
2. 91 4 tahun Rp800.000.000 Perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan merek yang sama pada
pokoknya dengan merek terdaftar milik
pihak lain untuk barang dan atau jasa
sejenis yang diproduksi dan atau
diperdagangkan
3. 92 (1) 5 tahun Rp1.000.000.000 Perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan tanda yang sama pada
keseluruhan dengan indikasi geografis
milik pihak lain untuk barang yang sama
atau sejenis dengan barang yang
terdaftar.
4. 92 (2) 4 tahun Rp800.000.000 Perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan tanda yang sama pada
pokoknya dengan indikasi geografis
milik pihak lain untuk barang yang sama
atau sejenis dengan barang yang
terdaftar.
5. 92 (3) Perbuatan pencatatan asal sebenarnya
pada barang yang merupakan hasil
pelanggaran ataupun pencantuman kata
yang menunjukkan barang tersebut
merupakan tiruan dari barang yang
terdaftar dan dilindungi berdasarkan
indikasi geografis
6. 93 4 tahun Rp800.000.000 Perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan tanda yang dilindungi
indikasi asal pada barang atau jasa yang
dapat memperdaya atau menyesatkan
mesyarakat mengenai asal barang atau
asal jasa tersebut.
7. 94 1 tahun Rp200.000.000 Perbuatan memperdagangkan barang dan
atau jasa yang diketahui atau patut
diketahui bahwa barang dan atau jasa
tersebut merupakan hasil pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal-
pasal 90, 91, 92 dan 93
51
C. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim
Perkara merek antara PT K-24 Indonesia sebagai penggugat
melawan CV Ramai Medika sebagai mantan terwaralabanya yang menjadi
tergugat, di Pengadilan Negeri Blora dimenangkan oleh PT K-24 Indonesia
sebagai pihak Penggugat. Dalam bahasan ini peneliti lebih memfokuskan
mengenai dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara.
Dalam kasus merek ini, Terdakwa, Oktavia Cokrodiharjo telah didakwa oleh
Penutut Umum dengan dakwaan subsideritas.
Majelis Hakim terlebih dahulu mempertimbangkan dakwaan primer
sebagaimana diatur dalam Pasal 90 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Unsur barangsiapa
Unsur barangsiapa adalah seseorang yang diajukan oleh Penuntut
Umum ke depan persidangan karena didakwa telah melakukan suatu
perbuatan pidana dengan identitas sebagaimana diuraikan dalam surat
dakwaan untuk menghindari terjadinya salah subyek. Oktavia
Cokrodiharjo dihadirkan di depan persidangan sebagai Tersangka, oleh
sebab itu Majelis Hakim berpendapat bahwa unsur pertama dari dakwaan
telah terpenuhi;
2. Unsur dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama
pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk
barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan.
Majelis Hakim berpendapat unsur pokok di dalam unsur kedua ini
adalah menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan
merek terdaftar milik pihak lain. Bahwa Majelis Hakim sependapat
dengan Penuntut Umum berkaitan dengan menggunakan merek yang
sama pada keseluruhannya, dimana dalam hal ini, harus terkandung
persamaan yang menyeluruh antara merek yang digunakan pelaku
dengan merek orang lain yang sudah terdaftar. Definisi umum atas
mempunyai persamaan secara keseluruhan adalah peniruan meng-copy
52
atau memproduksi secara utuh merek orang lain serta berbarengan
dengan itu sekaligus terdapat persamaan yang persis mengenai:
a. Jenis barang atau jasa,
b. Kelas barang,
c. Persamaan bahan barang (raw material),
d. Persamaan desain,
e. Persamaan penggunaan dan pemeliharaan,
f. Persamaan proses produksi,
g. Persamaan persaingan dan segmen pasar
h. Sama jalur pemasaran
Tidak perlu semua faktor tersebut terpenuhi. Faktor yang paling
menentukan adalah persamaan logo, gambar, tulisan atau bunyi dan kelas
barang, kegunaan serta jalur pemasaran.
Sesuai dengan yang telah peneliti jabarkan di dalam kasus posisi,
bahwa adanya fakta hukum jika setelah menerima email pemberitahuan
pencabutan hak waralaba pada tanggal 7 November 2012, Terdakwa
kemudian memerintahkan kepada saksi Isna Laily Mukhayah, S. Farm
Apt., untuk mengurus perijinan apotek yang baru dengan nama Apotek
Pemuda ke Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Blora, selanjutnya pada
tanggal 20 November 2012 sekira pukul 16.00 WIB Terdakwa menyuruh
saksi Suhartik untuk menurunkan papan reklame dengan merek K-24
beserta aksesorisnya.
Majelis Hakim berpendapat terhitung sejak tanggal 7 November
2012, perjanjian waralaba antara PT. K-24 Indonesia dengan CV. Ramai
Medika telah putus, untuk itu Terdakwa tidak diperbolehkan untuk
menggunakan assesoris/atribut dan perlengkapan yang berhubungan
dengan merek K-24, dan wajib untuk membongkar assesoris/atribut dan
perlengkapan yang berhubungan dengan merek K-24. Sampai dengan
tanggal 4 Desember 2012, ketika saksi Grace Amelia Senggu, S.H. yang
merupakan Legal Officer dari PT. K-24 Indonesia mendatangi Apotek
Pemuda, ternyata Apotek K-24 Cepu yang sudah berubah nama menjadi
53
Apotek Pemuda Cepu masih mempergunakan assesoris/atribut K-24,
akan tetapi untuk semua transaksi obat, kwitansi, dan stempel sudah
menggunakan nama Apotek Pemuda Cepu.
Apabila fakta hukum tersebut di muka dihubungkan dengan unsur
pokok di dalam unsur kedua ini yaitu menggunakan merek yang sama
pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain, Majelis
Hakim berpendapat perbuatan Terdakwa tidaklah memenuhi unsur kedua
ini, oleh karena walaupun Terdakwa masih mengoperasionalkan Apotek
dengan atribut K-24, namun merek K-24 tidak secara keseluruhan
dipergunakan oleh Terdakwa, yaitu untuk semua transaksi obat, kwitansi,
dan stempel sudah menggunakan nama Apotek Pemuda Cepu.
Dari uraian pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim
berpendapat, unsur kedua dakwaan Penuntut Umum tidak terbukti, untuk itu
oleh karena salah satu dari unsur-unsur dakwaan Primer Penuntut Umum
tidak terpenuhi, maka Terdakwa dinyatakan tidak terbukti dengan sengaja dan
tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan
merek terdaftar milik pihak lain sebagaimana didakwakan dalam dakwaan
Primer dan harus dibebaskan dari dakwaan Primer. Oleh karena dakwaan
Primer tidak terbukti, maka selanjutnya Majelis Hakim akan membuktikan
dakwaan Subsider sebagaimana diatur dalam Pasal 91 Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang unsur-unsurnya sebagai berikut:
1. Unsur barangsiapa
Bahwa, unsur barangsiapa telah terpenuhi pada diri Terdakwa dan
telah dipertimbangkan dalam dakwaan Primer, maka segala yang telah
dipertimbangkan diambil alih sebagai pertimbangan dalam dakwaan
Subsider ini, sehingga tidak perlu untuk dipertimbangkan kembali.
2. Unsur dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama
pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
Majelis hakim menimbang bahwa dalam pengetahuan hukum
pidana terdapat 3 (tiga) tingkatan kesengajaan, yaitu:
54
a. Kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk) yang berarti
bahwa terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu adalah betul-
betul sebagai perwujudan dari maksud dan tujuan dari pelaku.
b. Kesengajaan secara keinsyafan/kepastian (opzet met bewustheid van
zekerheid of noodzakelijkheid). Di sini yang menjadi sandaran
pelaku adalah tentang tindakan dan akibat tertentu itu. Dalam hal ini
termasuk tindakan atau akibat-akibat lainnya yang pasti terjadi.
Bahwa sengaja dengan kepastian terjadi itu pembuat yakin bahwa
akibat yang dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa terjadinya
akibat yang tidak dimaksud.
c. Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan (opzet met
mogelijkeheidsbewustzijn). Di sini yang menjadi sandaran pelaku
adalah sejauh mana pengetahuan atas kesadaran pelaku tentang
tindakan atau akibat terlarang yang mungkin akan terjadi.
Mengenai pengertian tanpa hak, Majelis Hakim berpendapat harus
diartikan baik secara formil maupun secara materiil, yaitu tidak saja
sebagai perbuatan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, melainkan juga harus diartikan
sebagai perbuatan yang melanggar hak orang lain, bertentangan dengan
kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan yang baik,
ataupun bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat terhadap diri atau barang orang lain.
Majelis Hakim berpendapat unsur pokok di dalam unsur kedua ini
adalah menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan Merek
terdaftar milik pihak lain. Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang dimaksud
dengan persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan
oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara Merek yang satu dengan
merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik
mengenai bentuk, cara penetapan, cara penulisan atau kombinasi antara
55
unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam
merek-merek.
Bahwa ditemukan bukti berdasarkan ketentuan Perjanjian
Waralaba, sebagai konsekuensi pencabutan hak waralaba, Terdakwa
berkewajiban untuk membongkar dan menghilangkan semua
assesoris/atribut dan perlengkapan yang berhubungan dengan merek K-
24 Indonesia paling lambat 1 (satu) minggu setelah pencabutan hak
waralaba, yang apabila dihitung sejak dikeluarkannya Surat Keputusan
Nomor: 213/sekretariat/K-24/XI/2012 tanggal 7 November 2012 tentang
pencabutan hak waralaba Apotek K-24 Pemuda adalah tanggal 14
Nopember 2012. Namun, sampai dengan tanggal 14 Nopember 2012,
Terdakwa masih mengoperasikan Apotek K-24 Cepu.
Sebelumnya pada hari Selasa tanggal 20 November 2012 sekira
pukul 19.00 WIB, saksi Grace Amelia Senggu, S.H. selaku staff legal
officer PT. K-24 Indonesia mendapat informasi jika Apotek Pemuda
Cepu masih menggunakan atribut merk K-24, sehingga untuk
memastikan kebenaran informasi tersebut, pada tanggal 4 Desember
2012 sekitar jam 16.00 WIB, saksi Grace Amelia Senggu, S.H. dengan
diantar saksi Juwanto selaku sopir di PT. K-24 Indonesia mendatangi
Apotek Pemuda dan ternyata memang apotek K-24 Cepu yang sudah
berubah nama menjadi Apotek Pemuda Cepu masih mempergunakan
atribut K-24 yaitu:
a. Papan reklame masih terpasang walaupun sudah ada skafolding.
b. Di dalam ruangan apotik masih terdapat tulisan/aksesoris milik K-
24.
c. Tulisan papan apotik dalam ruangan masih menggunakan K-24.
d. Karyawan juga masih menggunakan pakaian seragam K-24.
Untuk itu oleh karena saksi saksi Grace Amelia Senggu, S.H. telah
dibekali dengan surat kuasa khusus dari Gideon Hartono selaku pemilik
merek K-24, maka berdasarkan temuan itu saksi saksi Grace Amelia
Senggu, S.H. langsung melaporkan ke Polres Blora pada hari itu juga.
56
Oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat terhitung sejak tanggal
7 November 2012, perjanjian waralaba antara PT. K-24 Indonesia dengan
CV. Ramai Medica telah putus, untuk itu Terdakwa tidak diperbolehkan
untuk menggunakan assesoris/atribut dan perlengkapan yang
berhubungan dengan merek K-24 Indonesia, dan wajib untuk
membongkarnya, namun demikian sampai dengan tanggal 4 Desember
2012, ketika saksi Grace Amelia Senggu, S.H. mendatangi Apotek
Pemuda, ternyata Apotek K-24 Cepu yang sudah berubah nama menjadi
Apotek Pemuda Cepu masih mempergunakan atribut K-24, akan tetapi
untuk semua transaksi obat, kwitansi, dan stempel sudah menggunakan
nama apotek Pemuda Cepu.
Apabila fakta hukum tersebut di muka dihubungkan dengan unsur
pokok di dalam unsur kedua ini yaitu menggunakan merek yang sama pada
pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain, Majelis Hakim
berpendapat perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur ini, oleh karena
Terdakwa masih mengoperasionalkan Apotek dengan atribut K-24, namun
untuk semua transaksi obat, kwitansi, dan stempel sudah menggunakan nama
Apotek Pemuda Cepu.
Terdapat fakta hukum jika Terdakwa menerima dan menyetujui
pencabutan hak waralaba, yang sekaligus juga menerima pemutusan
perjanjian waralaba sepihak dari PT. K-24 Indonesia, sehingga mengetahui
konsekuensi apabila masih menggunakan atribut merk K-24, namun demikian
Terdakwa masih tetap juga menggunaan atribut Apotek K-24 di Apotek milik
Terdakwa yang telah berubah nama menjadi Apotek Pemuda Cepu, maka
apabila dihubungkan dengan teori kesengajaan sebagaimana tersebut di atas,
Majelis Hakim berpendapat perbuatan Terdakwa masuk dalam kategori
kesengajaan secara keinsyafan/kepastian.
Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan
Terdakwa, yaitu masih mengoperasionalkan Apotek Pemuda Cepu dengan
assesori/atribut yang berhubungan dengan merek dagang K-24 Indonesia,
sementara perjanjian waralaba diantara PT. K-24 Indonesia dengan
57
CV. Ramai Medika telah putus, adalah perbuatan yang melanggar hak orang
lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum Terdakwa sesuai pengertian
tanpa hak. Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim
berpendapat bahwa unsur kedua dakwaan Penuntut Umum telah terpenuhi.
Terdakwa di dalam pembelaannya telah menyampaikan hal-hal yang
sepatutnya dipertimbangkan oleh Majelis Hakim sebagai berikut:
a. Terdakwa merasa dijebak seperti halnya rekanan K-24 yang lain;
Majelis Hakim berpendapat oleh karena dalil Terdakwa tersebut
tidak didukung dengan bukti-bukti yang cukup yang dapat membuktikan
adanya jebakan, baik terhadap Terdakwa maupun rekanan K-24 lainnya,
maka Majelis Hakim tidak akan mempertimbangkannya lebih lanjut dan
patutlah untuk dikesampingkan;
b. Terdakwa tidak ada niat untuk melakukan perbuatan sebagaimana
yang didakwakan karena sudah memerintahkan orang Terdakwa
untuk menurunkan semua atribut K-24;
Majelis Hakim telah mempertimbangkannya di dalam kategori
kesengajaan sebagaimana terurai di muka, walaupun Terdakwa
menyampaikan perbuatan yang ia lakukan tidak berniat, namu Majelis
Hakim berpendapat perbuatan yang dilakukan Terdakwa termasuk dalam
kategori kesengajaan secara keinsyafan/kepastian, oleh karena memang
tidak ada niat di dalam diri Terdakwa untuk melakukan perbuatan a quo,
namun Terdakwa mengetahui secara pasti akibat dari perbuatannya akan
terjadi. Apabila memang ada niat di dalam diri Terdakwa, maka
perbuatan Terdakwa adalah masuk dalam kategori kesengajaan sebagai
maksud/tujuan (opzet als oogmerk), dimana Terdakwa menghendaki
akibat perbuatannya akan terjadi, sehingga terhadap pembelaan ini,
Majelis Hakim tidak akan mempertimbangkannya lebih lanjut.
c. Terdakwa mohon keringanan hukuman yang akan dijatuhkan dan
menyatakan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi;
Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebelum menjatuhkan
putusan di dalam keadaan yang meringankan Terdakwa.
58
d. Terdakwa menyerahkan 1 bendel fotokopi salinan Putusan
Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1461/Pid.Sus/2012/PN.TNG.
Majelis Hakim mempelajari dengan seksama putusan dimaksud, Majelis
Hakim berpendapat materi perkara yang diperiksa oleh Majelis Hakim
pada pokoknya adalah sama dengan perkara yang didakwakan kepada
Terdakwa, untuk itu terhadap putusan dimaksud adalah sebagai bahan
pertimbangan tambahan bagi Majelis Hakim sebelum menjatuhkan
putusan pidana perkara a quo atas nama Terdakwa.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ternyata
perbuatan Terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari dakwaan
Penuntut Umum, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Terdakwa
telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya yaitu melanggar Pasal 91 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek.
Dalam persidangan, Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang
dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan
pembenar dan/atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Oleh karena Terdakwa mampu
bertanggung jawab, maka harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana.
Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana dan harus
dipidana, namun mengingat fakta berkaitan perbuatan Terdakwa sebagaimana
telah dipertimbangkan, mengenai keharusan untuk menahan Terdakwa
sebagaimana ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, Majelis Hakim
berketetapan akan menentukannya dengan terlebih dahulu
mempertimbangkan pidana yang sesuai dengan perbuatannya.
Untuk menjatuhkan hukuman pidana terhadap Terdakwa, maka perlu
dipertimbangkan terlebih dahulu beberapa aspek, yaitu:
Keadaan yang memberatkan :
• Perbuatan Terdakwa merugikan PT. K-24 Indonesia.
Keadaan yang meringankan :
• Terdakwa belum pernah dihukum;
59
• Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga;
• Terdakwa berlaku sopan dan terus terang mengakui perbuatannya;
• Terdakwa telah mengganti nama Apotek K-24 menjadi Apotek Pemuda
setelah pemutusan perjanjian pemberian hak waralaba;
• Terdakwa telah memerintahkan kepada pegawainya untuk menurunkan
segala atribut K-24 walaupun terlambat dilaksanakan;
• Terdakwa merasa menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi
perbuatannya lagi.
Majelis Hakim berpedoman kepada Teori Pemidanaan, bahwa
pemidanaan kepada pelaku suatu perbuatan pidana tidak semata-mata
ditujukan untuk memberikan pembalasan kepada pelaku karena perbuatan
jahatnya, tetapi juga ditujukan sebagai proses evaluasi/ koreksi bagi pelaku/
Terdakwa karena ada unsur pencelaan terhadap perbuatan pidana yang
dilakukannya, supaya ada introspeksi dalam diri Terdakwa bahwa
perbuatannya salah, dan selanjutnya tidak akan lagi melakukan perbuatan
apapun yang tidak patut atau dilarang oleh hukum (efek penjeraan), selain itu
secara lebih luas juga harus ditujukan sebagai proses evaluasi sosial, sebagai
peringatan kepada publik supaya tidak mengikuti melakukan perbuatan
Terdakwa atau perbuatan apapun yang tidak patut atau dilarang oleh hukum
(public shock therapy).
Hakim berpendapat, proses pemeriksaan terhadap diri Terdakwa dari
tingkat penyidikan sampai dengan penuntutan di depan persidangan telah
cukup memberikan pelajaran terhadap diri Terdakwa. Majelis Hakim menilai
terdapat niat baik dari Terdakwa untuk menurunkan semua atribut merek K-
24 walaupun terlambat, sehingga wajar apabila Terdakwa diberikan pidana
yang ringan, dalam hal ini Majelis Hakim akan menjatuhkan pidana bersyarat
dengan keyakinan Terdakwa tidak akan mengulangi perbuatannya lagi atau
melakukan perbuatan pidana lainnya, serta berkesuaian dengan cita rasa
keadilan masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang telah
dijabarkan di atas, Majelis Hakim memberikan putusan:
60
1. Menyatakan Terdakwa Oktavia Cokrodiharjo bin Poly Cokrodiharjo
tersebut diatas tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan Primer;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Primer tersebut;
3. Menyatakan Oktavia Cokrodiharjo bin Poly Cokrodiharjo tersebut diatas
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar
milik pihak lain sebagaimana dalam dakwaan Subsider.
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 10 (sepuluh) bulan dengan ketentuan bahwa hukuman
tersebut tidak akan dijalankan, kecuali jika di kemudian hari ada perintah
lain dalam putusan hakim karena Terdakwa dipersalahkan melakukan
suatu kejahatan / pelanggaran atau tidak mencukupi sesuatu syarat
sebelum habis masa percobaan selama 1 (satu) tahun.
5. Menjatuhkan pula pidana denda kepada Terdakwa sejumlah
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana
denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan
selama 2 (dua) bulan.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan yang telah peneliti
kaji pada setiap sub bab pembahasan, maka dalam hal ini peneliti
memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Ketentuan mengenai perlindungan hukum terhadap penggunaan merek
orang lain tanpa hak ialah diatur dalam Pasal 90 dan 91 Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dalam Pasal 90 disebutkan bahwa
perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama
pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk
barang dan atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Sedangkan dalam
Pasal 91 disebutkan bahwa perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar
milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenis yang diproduksi dan
atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000 (delapan ratus juta
rupiah).
2. Pertimbangan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Blora atas kasus
penggunaan merek orang lain tanpa hak antara Oktavia Cokrodiharjo
dengan PT. K-24 Indonesia yakni dimenangkan oleh pihak Penggugat
PT. K-24 Indonesia sebagai pemegang hak merek dengan berlandaskan
pasal 91 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang
selanjutnya menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 10 (sepuluh)
bulan dengan ketentuan bahwa hukuman tersebut tidak akan dijalankan,
kecuali jika di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim
karena Terdakwa dipersalahkan melakukan suatu kejahatan / pelanggaran
atau tidak mencukupi sesuatu syarat sebelum habis masa percobaan
62
selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sejumlah Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut
tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua)
bulan.
B. Rekomendasi
Berdasarkan yang telah diuraikan dalam pembahasan yang telah di
bahas dan telah di simpulkan, rekomendasi yang diberikan oleh peneliti
diantaranya, sebagai berikut:
1. Setiap pelaku usaha yang telah berakhir masa kerjasamanya terutama di
bidang bisnis waralaba untuk lebih memperhatikan terhadap hak atas
merek milik orang lain. Jika masa kerjasamanya telah berakhir, lebih
baik segera menurunkan segala sesuatu baik assesoris/atribut toko yang
berhubungan dengan merek orang lain. Tanpa sadar, jika masih
menggunakan segala sesuatu yg berhubungan dengan Merek Dagang
dapat menimbulkan pelanggaran yang dapat dipidana.
2. Direkomendasikan agar masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang
ingin melakukan kegiatas usaha di dalam bisnis waralaba untuk paham
tentang aturan-aturan yang bersangkutan dengan Merek Dagang,
sehingga apabila masyarakat ingin melakukan usaha khususnya dalam
bisnis waralaba, masyarakat bisa lebih mengetahui apa saja yang boleh
dan tidak boleh dilakukan.
63
DAFTAR PUSTAKA
Adisumarto, H., “Hak Milik Perindustrian”, Jakarta: Akademika Pressindo, 1990.
Adrian, “Hukum Waralaba”, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.
Ali, Zainuddin, “Metode Penelitian Hukum”, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2011.
Aristeus, Syprianus, “Perlindungan Merek Terkenal Sebagai Aset Perusahaan”,
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2010.
Arus Akbar Silondae, Wirawan B. Ilyas, “Pokok-Pokok Hukum Bisnis”, Jakarta:
Salemba Empat, 2018.
Djodjodirjo, M.A. Moegni, “Perbuatan Melawan Hukum”, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1976.
Faisal, Muhammad, Skripsi “Tijauan Yuridis Perlindungan Rahasia Dagang
Dalam Perjanjian Waralaba” Depok: Universitas Indonesia, 2012.
Firmansyah, Hery, “Perlindungan Hukum Terhadap Merek”, Jakarta: Penerbit
Pustaka Yustisia, 2011.
Ghazaly, Abdul Rahman, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, “Fiqh Muamalat”,
Jakarta: Kencana, 2010.
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, “Seri Hukum Perikatan-Perikatan Yang
Lahir Dari Undang-Undang”, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2017
Hadiarinanti, Venantria Sri, “Hak Kekayaan Intelektual Merek & Merek
Terkenal”, Jakarta: Unika Atmajaya, 2009.
Harahap, M.Yahya, “Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di
Indonesia Berdasarkan Undang-undang No.19 Tahun 1992”, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1996.
HS,Salim, “Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia (Buku
Kesebelas)”, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Huda, Qomarul, “Fiqh Mu‟amalah”, Yogyakarta: Teras, 2011.
Ibrahim, Johny, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, Malang:
Bayumedia Publish, 2006.
Jened, Rahmi, “Hukum Merk Trademark Law Dalam Era Global Integrasi
Ekonomi”, Jakarta: Prenada Media Group, 2015.
Keraf, Sonny, “Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi”, Yogyakarta:
Kanisius, 1997.
Marzuki, Peter Mahmud, “Penelitian Hukum”, Jakarta: Kencana, 2007.
64
Meliala, A. Qirom Syamsudin. “Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya”, Yogyakarta: Liberty, 2004.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Nainggolan, Ibrahim, Jurnal “Pertanggungjawaban Pidana Perbuatan
Penggunaan Merek Yang Sama Pada Pokonya Tanpa Izin (Analisis
Putusan MA.RI No. 2037/ Pid.Sus/2015)” (Medan: Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara, 2019.
Projodikoro, Wirjono, “Asas-Asas Hukum Perjanjian”, Bandung: Sumur Batu,
1981.
Raharjo, Handri, “Hukum Perjanjian di Indonesia”, Yogyakarta: Pustaka
Yustitia, 2009.
Raharjo, Satjipto, “Ilmu Hukum”, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000
Simanjuntak, Ricardo, “Hukum Kontrak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis”,
Edisi Revisi, Jakarta: Kontan Publishing, 2011.
Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif” (Suatu
Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Pers, 2001.
_________, “Pengantar Penelitian Hukum”, Jakarta: UI Press, 1984.
Subekti, “Hukum Perjanjian”, (Jakarta: Intermasa, 2004.
_________, “Pokok-pokok Hukum Perdata”, Jakarta: P.T. Intermasa, 2004.
Suharttiwy, Ovy, Skripsi “Perlindungan Hukum Bagi Franchisee Dalam Hal
Pemutusan Perjanjian Waralaba (Studi Kasus Salon De Grace dan
Salon Yemember Surabaya)” Solo: Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 2016.
Sutedi, Adrian, “Hukum Waralaba”, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008,
Tanadi, Elisa, Skripsi “Pelanggaran Merek Dengan Itikad Tidak Baik Studi
Putusan No.409k/Pdt.Sus-Hki/2015)”, Medan: Universitas Sumatera
Utara, 2018.
Taryana Soenandar dkk, “Kompilasi Hukum Perikatan”, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2016.
Tim Lindsey, dkk, “Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar”, Bandung: PT.
Alumni, 2005.
Usman, Rachmadi, “Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan
Dimensi Hukumnya di Indonesia”, Bandung: Penerbit P.T. Alumni,
2003.
Widjaja, Gunawan, “Lisensi dan Waralaba”, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002.
65
Jurnal
Aryani, Esti, “Pemalsuan Merek dan Penegakkan Hukumnya (Ditinjau dari
Aspek Hukum Pidana”, VOL.VII, NO.1, April 2009.
Jened, Rahmi, “Kesadaran Hukum Pengusaha Tanggulangin Terhadap
Perlindungan Merek Terkenal, Penelitian Mandiri yang Dibiayai oleh
JIII dan JICA, 2000 (Rahmi Jened XXII)”
Papendang, Nolfi, “Kekuatan Alat Bukti E-Mail dalam Persidangan Kasus
Perdata”, Vol. V/No. 1/ Jan-Feb/2017.
Suharnoko, “Pemutusan Perjanjian dan Perlindungan Hukum bagi Franchisee”,
Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 26 No.6, Desember 1996.
Internet
http://bayudwinanto44.blogspot.com/2013/11/sejarah-visi-misi-pt-apotek-k-
24.html (Diakses pada tanggal 04 November 2019, pukul 14.20 WIB)
http://bayudwinanto44.blogspot.com/2013/11/sejarah-visi-misi-pt-apotek-k-
24.html (Diakses pada tanggal 04 November 2019, pukul 14.20 WIB)
http://bayudwinanto44.blogspot.com/2013/11/sejarah-visi-misi-pt-apotek-k-
24.html (Diakses pada tanggal 04 November 2019, pukul 14.20 WIB)
http://www.legalakses.com/download/Hukum%20Perjanjian/Perikatan.pdf,
(Diakses pada 23 Oktober 2019, pukul 13.45)
https://www.apotek-k24.com/tentang-kami (Diakses pada tanggal 04 November
2019, pukul 14.20 WIB)
https://tesishukum.com (Diakses pada tanggal 20 September 2019, pukul 14.00
WIB)