perlawanan politik santri - .samping batik gaya solo, batik gaya jogjakarta, dan batik gaya cirebon
Post on 06-Mar-2019
216 views
Embed Size (px)
TRANSCRIPT
PERLAWANAN POLITIK
SANTRI
Kajian tentang Pudarnya Kewibawaan dan Pengaruh Kiai,
Perlawanan Politik Santri, serta Dampaknya bagi
Perkembangan Partai-partai Politik Islam
di Pekalongan
J. Mardimin
Satya Wacana University Press
2016
PERLAWANAN POLITIK
SANTRI
Kajian tentang Pudarnya Kewibawaan dan Pengaruh Kiai,
Perlawanan Politik Santri, serta Dampaknya bagi
Perkembangan Partai-partai Politik Islam
di Pekalongan
J. Mardimin
Satya Wacana University Press
2016
ii
J. Mardimin
All rights reserved. Saved exception stated by the law, no part of this
publication may be reduced, stored in a retrieval system of any nature, or
transmitted in any form or by any means electronic, mechanical,
photocopying, recording or otherwise, included a complete or partial
transcription, without the prior written permission of the author, application
for which should be addressed to author.
Diterbitkan oleh
Satya Wacana University Press
Universitas Kristen Satya Wacana
Jln. Diponegoro No. 52-60 Salatiga 50711
Telp (0298) 321212 ext. 229 Fax (0298) 311995
iv
Promotor:
Dr. Pamerdi Giri Wiloso, M.Si
Ko Promotor:
Dr. Zuly Qodir
Prof. Dr. Sony Heru Priyanto, MM
Penguji:
Marthen L. Ndoen, MA., Ph.D
Neil Semuel Rupidara, M.Sc., Ph.D
Prof. Dr. H. Muhammad Zuhri, MA
ii
J. Mardimin
All rights reserved. Saved exception stated by the law, no part of this
publication may be reduced, stored in a retrieval system of any nature, or
transmitted in any form or by any means electronic, mechanical,
photocopying, recording or otherwise, included a complete or partial
transcription, without the prior written permission of the author, application
for which should be addressed to author.
Diterbitkan oleh
Satya Wacana University Press
Universitas Kristen Satya Wacana
Jln. Diponegoro No. 52-60 Salatiga 50711
Telp (0298) 321212 ext. 229 Fax (0298) 311995
iii
Universitas Kristen Satya Wacana
PERLAWANAN POLITIK
SANTRI
Kajian tentang Pudarnya Kewibawaan dan Pengaruh Kiai,
Perlawanan Politik Santri, serta Dampaknya bagi
Perkembangan Partai-partai Politik Islam
di Pekalongan
DISERTASI
Diajukan untuk memperoleh gelar Doktor
di Universitas Kristen Satya Wacana.
Disertasi ini telah dipertahankan dalam ujian terbuka
Program Pascasarjana Doktor Studi Pembangunan
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga,
Yang dipimpin oleh Rektor Magnificus:
Prof. Pdt. John A. Titaley, Th.D
pada hari Rabu, 10 Agustus 2016, pukul 10.00 WIB
di Universitas Kristen Satya Wacana
Jalan Diponegoro 52-60 Salatiga 50711
Oleh:
J. Mardimin
Lahir di Wonogiri, Jawa Tengah
iv
Promotor:
Dr. Pamerdi Giri Wiloso, M.Si
Ko Promotor:
Dr. Zuly Qodir
Prof. Dr. Sony Heru Priyanto, MM
Penguji:
Marthen L. Ndoen, MA., Ph.D
Neil Semuel Rupidara, M.Sc., Ph.D
Prof. Dr. H. Muhammad Zuhri, MA
v
PROLOG
Setiap kali mendengar nama Pekalongan, ada tiga hal menarik yang
terlintas [melintas] dalam pikiran saya, yaitu: sega megana, batiknya yang khas, dan corak kehidupan masyarakatnya yang Islami. Kesan
serupa mungkin juga ada di benak banyak orang.
Sega megana adalah bentuk hidangan sega (nasi) dan megana (sayuran yang terbuat dari buah nangka muda yang dicincang lembut
dan dimasak dengan cara dikukus dan kemudian ditomis dengan
racikan bumbu-bumbu dan parutan kelapa setengah tua). Jika
dihidangkan hangat-hangat dengan tambahan lauk sambal terasi dan
tempe goreng (mendhohan), sega megana terasa sangat nikmat untuk sarapan.
Hal kedua yang juga sangat populer dari Pekalongan adalah
batiknya. Juga telah menjadi pengetahuan umum bahwa, batik
Pekalongan telah mempunyai tempat khusus di dunia perbatikan, di
samping Batik gaya Solo, Batik gaya Jogjakarta, dan Batik gaya Cirebon.
Sebagaimana dikemukakan Anton E. Lucas (1989) dalam bukunya yang
berjudul Peristiwa Tiga Daerah, batik khas Pekalongan yang cukup fenomenal bermotif merak ngigel sesondheranburung merak yang menari-nari memamerkan keindahan bulu ekornyadengan pilihan
warnanya yang khas. Menurut para pengamat seni batik, jika
disandingkan dengan batik gaya Solo, gaya Jogjakarta, dan gaya
Cirebon, Batik Pekalongan mempunyai ciri khas yang cukup menonjol,
terutama pada pilihan warna dan motif-motifnya.
Selain makanan khasnya yang merindukan, dan kerajinan
batiknya yang membuat Pekalongan dikenal sebagai Kota Batik,
Pekalongan juga dikenal sebagai Kota Santri. Predikat ini dilekatkan
padanya; selain karena banyaknya santri, banyaknya Pondok
Pesantren, dan corak kehidupan masyarakatnya yang Islami, konon,
vi
hampir di setiap Pondok Pesantren besar yang ada di Jawa selalu
didapati Santri yang berasal dari Pekalongan.
Sejak awal tahun 1990-an, setelah Pemerintah Orde Baru
mencanangkan Program Pembangunan Lingkungan yang bersih dan
sehat, serta memberikan penghargaan Adipura bagi daerah-daerah
Kabupaten/Kota yang dinilai telah berhasil melaksanakan program
tersebut, predikat Kota Batik dipakai sebagai slogan Kota Pekalongan,
dan predikat Kota Santri dipakai sebagai slogan Kabupaten
Pekalongan. Dalam konteks ini, kata BATIK, kemudian, dipakai
sebagai singkatan slogan pembangunan lingkungan Kota Pekalongan
sebagai daerah yang Bersih, Aman, Tertib, Indah, dan Komunikatif;
sedangkan kata SANTRI digunakan sebagai singkatan dari slogan
pembangunan lingkungan Kabupaten Pekalongan sebagai kota yang
Sehat, Agamis, Nyaman, Tertib, Rapi, dan Indah.
Masalahnya adalah: di balik kelezatan hidangan makanan
khasnya, kemewahan hasil kerajinan batiknya, serta kuatnya tradisi
ke-Islam-an masyarakatnya, terutama di wilayah Pekalongan Bawah,
ternyata, Pekalongan menyimpan berbagai persoalan yang cukup
serius. Di antara berbagai persoalan tersebut, yang sudah sampai pada
tingkat memprihatinkan adalah masalah dehumanisasi di balik corak
masyarakatnya yang kapitalistik, masalah pecemaran lingkungan yang
jauh melebihi ambang batas; serta karakter kehidupan sosial
masyarakatnya yang feodalistik, dan bersumbu pendek.
Masalah dehumanisasi. Selain dikenal sebagai Kota Santri,
Kota Pekalongan juga dikenal sebagai kota dagang. Karena itu, tidak
mengherankan jika corak masyarakatnya menjadi sangat kapitalistik
dan transaksional. Diakui oleh banyak tokoh masyarakat dari berbagai
kalangan di Kota Pekalongan bahwa, di Pekalongan, harga diri dan
kebernilaian hubungan-hubungan sosial selalu diukur dengan materi.
Persis seperti masyarakat kapitalistik pada umumnya, kebernilaian
hubungan-hubungan sosial dan harga diri seseorang dinilai dan diukur
dengan apa yang dia punya, bukan siapa dia. Dengan demikian,
menjadi orang yang beriman, shaleh atau sholekhah, pintar, baik hati, pemaaf, dan murah hati, tetap tidak akan bernilai tinggi jika hidupnya
vii
tetap miskin. Dalam konteks sosial yang demikian, tentu tidak
mengherankan jika, belakangan ini, politik dagang sapi berkembang
cukup subur di Pekalongan. Dalam event-event politik yang mereka hadapi belakangan ini, kalkulasi-kalkulasi politik untung-rugi, seperti:
saya mendapat apa? dan berapa jumlahnya?, serta anda berani
berapa?, akan menjadi pertimbangan utama dalam menentukan
pilihan politik atau sikap politiknyatak peduli asasnya apa. Memang
benar, gejala ini bukanlah monopoli orang Pekalongan. Namun, bagi
masyarakat Pekalongan, politik dagang sapi itu merupakan sesuatu
yang baru, meski tidak seratus persen baru. Dominasi partai[-partai]
politik Islam selama masa Orde Baru dengan sangat gamblang
menunjukkan hal ini.
Masyarakat Pekalongan juga dikenal sebagai masyarakat yang
bersumbu pendekmudah terprovokasi, mudah marah, mudah
meledak, dan mudah terbakar emosinya. Dari penelitian ini,
sedikitnya dapat diidentifikasi tiga kondisi yang menyebabkan
mengapa Masyarakat Kota Pekalongan bersumbu pendek. Pertama: Tingkat pendidikan warga masyarakat Pekalongan yang relatif rendah.
Adalah suatu kenyataan yang tak dapat disangkal bahwa, tingkat
pendidikan yang rendah cenderung membuat orang kurang bisa
berpikir panjang, kurang rasional, cenderung emosional, dan mudah
terprovokasi. Kedua: Pemahaman ke-Islam-an warga masyarakat Pekalongan yang umumnya skripturalistikuntuk tidak mengatakan
tekstual dan dangkal. Terpadu dengan point pertama, kondisi ini
membuat watak ke-Islam-an warga masyarakat Pekalongan cenderung
fanatik dalam pengertian yang sempit, sehingga keagungan Islam yang
ramatan lil al-amin tidak dapat tertangkap dengan baik. Ketiga: Tingkat persaingan para pelaku bisnis (usaha) home industry yang sangat tinggi. Telah menjadi pengetahuan umum juga bahwa, tingginya
tingkat persaingan usaha antar-keluarga ini membuat warga
masyarakatnya menjadi individu