perlawanan, identitas dan agama - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/d_762008002_bab...
TRANSCRIPT
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 221 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
BAB V
PERLAWANAN, IDENTITAS
DAN AGAMA
Bab sebelumnya memperlihatkan bahwa di hadapan
tekanan kebijakan asimilasi pemerintah Orde Baru, orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT memperagakan dua macam
pertunjukan di atas dua panggung yang berbeda. Di panggung
pertama, yakni hadapan para penguasa dan representasi-
representasinya, diperlihatkan segala dukungan dan kepatuhan
dalam mengikuti kebijakan asimilasi. Dari kewarganegaraan
sampai bahasa bahkan terus sampai nama, organisasi dan
komposisi keanggotaan gereja serta sasaran penjangkauan anggota
baru semuanya disesuaikan menurut keinginan penguasa. Namun
di panggung yang lain, yang luput dari observasi penguasa dan
representasi-representasinya, orang-orang Tionghoa Kristen di
GKT menampilkan “pertunjukan” yang kontras dari yang
diperagakan di panggung pertama. Penanda-penanda identitas
Tionghoa yang coba dihapus oleh kebijakan asimilasi, di tempat
ini malah terus dilestarikan.
Di masa yang lalu, macam perilaku seperti yang
ditampilkan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT pernah
disimpulkan sebagai perilaku yang membahayakan keutuhan
bangsa dari sudut pandang ketahanan nasional.1 Terlepas dari isu
berbahaya atau tidak berbahayanya perilaku itu bagi kelangsungan
negara, yang tentu saja bukan menjadi objek kajian disertasi ini,
apa yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT
tentu perlu dilihat dari berbagai sudut pandang agar diperoleh
suatu lukisan yang utuh. Perspektif interaksi kelompok-kelompok
minoritas dengan negara dan respons mereka terhadap upaya
1 Lihat studi M.D. La Ode, Tiga Muka Etnis Cina-Indonesia: Fenomena
di Kalimantan Barat (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 1997), 386.
222 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA
negara mengatur dirinya adalah sudut pandang lain yang perlu
turut dipakai. Tafsir yang sifatnya dari atas, baik itu dari sudut
ketahanan nasional, identitas nasional, maupun kebijakan negara
terhadap kelompok minoritas, harus pula dilengkapi dengan
pemahaman dari bawah, dari sudut pandang orang-orang yang
mengalami pemaksaan oleh negara untuk berasimilasi.
Dalam bab ini akan disajikan suatu interpretasi teoretis
tentang hal-hal yang sudah dilakukan oleh orang-orang Tionghoa
Kristen di GKT selama masa pemerintahan Orde Baru dalam
menghapi paksaan negara untuk berasimilasi. Tafsir ini akan fokus
pada cara-cara yang dipergunakan untuk melawan, pada identitas
yang dibentuk dan pada peran yang dimainkan oleh agama dalam
proses itu. Ketiga isu ini saling berhubungan satu sama lain dan
menampilkan dirinya dalam interaksi orang-orang Tionghoa
Kristen di GKT dengan negara di masa kekuasaan rezim Orde
Baru.
A. Melawan Paksaan untuk Berasimilasi
1. Membentuk Kelompok Keagamaan yang Baru
Seperti diteorikan oleh Eriksen, kebijakan asimilasi
merupakan salah satu strategi favorit yang ditempuh oleh negara
untuk menyelesaikan problem eksistensi kelompok-kelompok
minoritas dalam teritori wilayahnya. Keunikan identitas sosial-
budaya kelompok dipandang berpotensi menghambat terwujudnya
integrasi sosial antar sesama warga negara, yang dibayangkan oleh
pemerintah berdiri di atas sebuah identitas nasional yang sama.
Keunikan itu harus dihilangkan, atau sekurang-kurangnya
dikurung dalam suatu ruang di mana ia tidak lagi terlihat di depan
publik. Namun karena identitas, seperti diterangkan Castell,
adalah sumber makna sekaligus yang mempengaruhi pengalaman
hidup seseorang atau sekelompok orang dengan yang lain, maka
pengurangan nilai, apalagi penghapusannya oleh pihak lain tidak
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 223 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 akan dibiarkan begitu saja terjadi. Melawan adalah salah satu
respons yang dapat diambil oleh kelompok minoritas.2
Namun dengan posisi minoritasnya, mereka memerlukan
kekuatan tambahan yang dapat meningkatkan daya tawarnya
terhadap negara. Di sini, menurut Eriksen, kelompok minoritas
dapat membentuk suatu aliansi strategis dengan kelompok-
kelompok minoritas lain menjadi sebuah inkorporasi etnis (ethnic
incorporation). Di dalamnya kelompok-kelompok etnis minoritas
yang berbeda-beda menyatukan diri atau meleburkan diri menjadi
sebuah organisasi etnis yang lebih besar dan dengan cakupan yang
lebih luas.3 Tujuannya ialah memperkuat posisi daya tawar politis
dalam interaksi dan negosiasi dengan negara.
Apa yang khas dari cara orang-orang Tionghoa Kristen di
GKT melawan penerapan kebijakan asimilasi adalah bahwa
perlawanan itu dilakukan di dalam dan melalui sebuah kelompok
keagamaan. Kelompok ini belum dikenal sebelum tahun 1965.
Kelompok ini baru dibentuk oleh orang-orang Tionghoa Kristen
pada tahun 1968, sebagai respons terhadap perubahan-perubahan
besar yang terjadi di arena kehidupan orang-orang Tionghoa di
Indonesia. Ia lahir sebagai upaya untuk memitigasi “bencana
sosial” yang sedang terjadi dan menimpa orang-orang Tionghoa.
Namun demikian, di sisi yang lain, terbentuknya kelompok ini
juga tak bisa lepas dari peran aktif aparatur sipil dan militer serta
peran lembaga gerejawi di tingkat nasional dan regional. Dengan
caranya masing-masing, mereka mendesak orang-orang Tionghoa
Kristen di GKT untuk membentuk sebuah kelompok keagamaan
2 Lihat Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism:
Anthropological Perspectives (London: Pluto Press, 2010), 149-150. Juga Manuel
Castell, The Information Age—Economy, Society and Culture Vol II: The Power of
Identity (Malden, MA.:Wiley-Blackwell, 2010), 6. Dalam buku ini Castell
coba meneropong perlawanan dalam konteks interaksi yang lebih luas, yang
berskala global. Namun pada prinsipnya ia sama dengan Eriksen. Setiap
tindakan dominasi akan melahirkan perlawanan. 3 Tentang inkorporasi etnis, Eriksen merujuk pada pendapat
Handelman dalam Don Handelman, “The Organization of Ethnicity”, Ethnic
Groups, Vol I (1997): 187-200.
224 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA
baru yang lebih cocok karakternya dengan keadaan baru yang
sedang berlangsung di Indonesia.
Tidak seperti THKTKH Klasis Jatim, kelompok
keagamaan baru ini tidak lagi tersusun secara eksklusif atas orang-
orang Tionghoa yang berbahasa Tionghoa saja. Ia juga mencakup
orang-orang Kristen dari etnis-etnis non-Tionghoa. Fokusnya
pelayanannya diperluas dari hanya pada orang-orang Tionghoa
menjadi kepada semua suku bangsa, Tionghoa maupun non-
Tionghoa. Kelompok yang dideklarasikan dengan nama Sinode
Gereja Kristus Tuhan itu lantas menjadi semacam “inkorporasi
etnis”, dalam mana orang-orang Tionghoa Kristen yang minoritas
menurut etnisitasnya bergabung dengan orang-orang lain yang
minoritas menurut keagamaannya. Basis pemersatu kelompok
bukan lagi pada kesamaan etnis, dialek atau derah asal tetapi pada
kesamaan agama.
Pemerintah Orde Baru tampaknya puas dengan apa yang
diperbuat oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT. Mereka
senang karena sesuai dengan kebijakan asimilasi orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT tidak lagi berkumpul dengan sesama
orang Tionghoa saja, sudah mempergunakan bahasa Indonesia,
mendukung ideologi negara Pancasila dan patuh pada pemerintah.
Namun yang tidak teramati oleh pemerintah ialah cara orang-
orang Tionghoa Kristen di GKT mengatur kategori keanggotaan
kelompok-kelompok jemaat yang ada di dalamnya. Sebagai gereja
nasional Indonesia, pemerintah tampaknya berpikir bahwa
kategori yang dipergunakan dalam menyusun keanggotaan
kelompok adalah semata kebangsaan Indonesia. Itu berarti bukan
saja etnis lain diterima dalam gereja secara sinodal namun di level
lokal, di jemaat demi jemaat, orang dari etnis lain akan diterima
dan dijangkau secara sengaja serta diberi kesempatan yang sama
untuk menjadi pekerja gerejawi di jemaat mana saja.
Namun pemerintah Orde Baru keliru. Kategorisasi
keanggotaan yang tunggal dan baku semacam itu, yang dalam
kategorisasi Handelman disebut hierarkhis, sudah berakhir dengan
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 225 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 perubahan nama, sifat dan bentuk organisasi gereja dari THKTKH
Klasis Jatim menjadi Sinode GKT. Kategori yang semula
hierarkhis kini dibuat menjadi lateral,4 di mana tiap-tiap jemaat
memiliki keleluasaan untuk menetapkan basis kategoris tersendiri
bagi keanggotaan dalam kelompoknya. Bak sebuah rumah besar
dengan banyak kamar, pintu masuk ke dalam rumah itu terbuka
lebar untuk siapa saja yang datang dan mau diam di dalamnya.
Namun tiap-tiap kamar yang sudah terisi memiliki syarat-syarat
masuk tersendiri. Bagi mereka yang tidak dapat terakomodasi
mereka dipersilakan mendiami kamar lain yang masih kosong;
atau meninggalkan rumah itu. Secara formal, seperti tampak dari
luar “rumah,” gereja ini terlihat nasional namun secara praktis di
dalam “kamar-kamar” rumahnya, masing-masing jemaat memiliki
basis-basis kategoris tersendiri dalam berelasi dan berinteraksi
dengan orang lain yang masuk ke dalam rumah atau mau
dimasukkan ke situ.
Dalam ungkapan yang lain, kelompok disusun lebih
menyerupai model multikultural (atau pluralisme budaya) dari
pada model asimilasi atau amalgamasi.5 Di bawah payung gereja
nasional Indonesia keunikan mereka yang berkumpul dalam tiap-
tiap jemaat diberi ruang untuk lestari. Di dalam dan melalui
kelompok yang macam inilah orang-orang Tionghoa Kristen di
GKT melakukan perbuatan-perbuatan yang menggagalkan
4 Untuk pengertian tentang susunan hierarkhis dan lateral lihat
Don Handelman, “The Organization of Ethnicity”, Ethnic Groups, Vol I
(1997): 192-193. Pada susunan lateral, tiap-tiap anggota kelompok dapat
memilih basis-basis kategoris yang mendasari relasi-relasi mereka dengan
sesamanya. Sifatnya dinamis dan fleksibel. Kategori-kategori seperti
etnis, pekerjaan, agama, hobi, pendidikan dan lain-lain dengan bebas
dipakai di mana perlu untuk menjalin relasi dengan orang lain. Pada
susunan hierarkhis, kategori-kategori yang mengatur hubungan antar
anggota bersifat tunggal, baku dan harus diikuti dengan patuh. Sifatnya
baku dan statis. 5 Untuk penjelasan lihat Peter I. Rose, They and We: Racial and
ethnic Relations in the united States (New York: Random House, 1967),
49-56.
226 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA
maksud yang mau dicapai oleh kebijaksan asimilasi dan yang
malah melestarikan identitas ketionghoaannya.
Tampaknya faktor inilah yang membedakan orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT dari orang-orang Tionghoa lain yang
sebangun latar belakang sosial-kulturalnya. Setelah kaki-kaki
penyangga identitas Tionghoa (koran berbahasa Tionghoa,
sekolah asing Tionghoa dan ormas-ormas Tionghoa) dihapus oleh
pemerintah Orde Baru, orang-orang Tionghoa non-Kristen tidak
lagi memiliki suatu kelompok pengganti yang dapat membantu
mereka merawat komponen-komponen identitas tionghoanya.
Salah satu faktor penyebabnya mungkin karena tebalnya batas-
batas yang menandai kelompoknya dari kelompok lain. Pada
kelompok penganut Taoisme dan Konghucuisme, misalnya,
inkorporasi etnis dengan kelompok-kelompok minoritas lain
terhambat oleh persepsi yang terbangun tentang dua agama ini
sebagai agamanya orang Tionghoa. Pada orang-orang Tionghoa
Kristen di GKT agama justru membantu mereka berhubungan
dengan etnis lain dan memfasilitasi terbentuknya sebuah kelompok
dengan basis etnis yang lebih luas.
2. Melawan di Dua Medan
Perlawanan kelompok minoritas terhadap dominasi terjadi
dalam suatu situs yang didefinisikan Scott sebagai lokasi sosial di
mana balasan yang selama ini tidak terungkap, kemarahan yang
terpendam lama dalam hati dan kepahitan yang ditimbulkan oleh
relasi-relasi dominasi diungkapkan secara terang-terangan.6 Lokasi
ini bersifat sequestered, terasing, terpisah, meski tidak selalu berarti
tertutup sama sekali dari pandangan. Ia bisa berada di mana saja
bahkan di depan penguasa sekalipun. Ia bisa di tempat-tempat
umum seperti kedai minuman, kafe, penginapan dan kapel gereja,
6 Lengkapnya, “The sociall sites of the hidden trascript are those
locations in which the sunspoken riposte, stifled anger, and bitten tongues
created by relations of domination find a vehement, full-throated expression.” Lihat James C. Scott, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts.
(New Haven: Yale University Press, 1990),120.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 227 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 juga di dalam rumah-rumah pribadi para penguasa itu sendiri. Ia
bahkan bisa, seperti dipikirkan Michel De Certeau, berada di
dalam praktik-praktik hidup sehari-hari seperti saat bercakap-
cakap, membaca, berbelanja, memasak, dan lain-lain.7 Ia dapat
terjadi di pusat-pusat kekuasaan-kekayaan (center) dan terlebih-
lebih di pinggiran (margin).8
Apapun tempat dan namanya, perlawanan terjadi di lokasi
yang diklaim sebagai ‘ruang milik kita.’ Sejumlah karakteristik
yang menandai lokasi ini ialah, pertama, di lokasi ini tidak ada
kontrol, pengawasan dan penindasan dari kaum dominan. Orang
merasa bebas untuk mengutarakan sikap, pikiran, dan isi hatinya
tanpa tekanan dan tanpa takut. Kedua, di lokasi ini orang-orang
mengenal satu sama lain dengan baik dan mereka sama-sama
mengalami dominasi.9 Dan terakhir, di lokasi ini orang-orang yang
didominasi mempergunakan kode-kode linguistik, dialek-dialek
dan gerak isyarat yang tidak dapat diterobos maknanya sebagai
perlawanan oleh penguasa.10
Meski sepintas menyebut kapel (gedung gereja kecil) dan
menyitir pikiran Weber tentang tokoh-tokoh dan aliran agama
namun Scott tidak memberikan elaborasi yang lebih jauh. Bisa jadi
karena data yang dimiliki tidak memberi informasi lebih banyak;
atau mungkin saja karena dari data-data yang tersedia dari masa
lalu gereja-gereja di Eropa lebih banyak berperan sebagai sekutu
negara dan penguasa dalam mendominasi kehidupan masyarakat
umum. Hal itu bisa kedengaran dalam komentarnya tentang sikap
7 Michel DeCerteau, The Practice of Everyday Life (Berkeley, CA.:
University of California Press, 1988), xix. 8 Bell Hooks, “Marginality As Site of Resistance” Out There:
Marginalization and Contemporary Cultures, ed. Russel Ferguson (Cambridge,
Mass.: The MIT Press, 1990), 341-343; juga lihat Sandra Jovchelovitch &
Jacqueline Priego-Hernandez, Underground Sociabilities: Identity, Culture and
Resistance in Rio de Janeiro’s favelas (Paris: UNESCO, 2013). 9 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 120. Lihat juga Anindita
Gosh, “Introduction,” Behind the Veil: Resistance, Women and the Everyday in
Colonial South Asia, ed. Anindita Gosh (New York: Palgrave Macmillan,
2008), 5. 10 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 121.
228 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA
otoritas gereja terhadap kedai-kedai minum, yang sama nadanya
dengan sikap para penguasa sipil. Oleh gereja tempat-tempat itu
dipandang sebagai places of subversion, tempat-tempat subversif.
Penelitian ini setidaknya memberitahukan dua lokasi
sosial penting dimana perilaku-perilaku yang berlawanan dengan
tuntutan kebijakan asimilasi dapat ditemukan. Lokasi pertama
adalah gedung gereja dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di
dalamnya; sementara lokasi kedua ialah di dalam sidang-sidang
sinode gereja.
Meski mungkin bukan lokasi yang benar-benar ideal
namun gedung gereja dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung di
dalamnya secara relatif memenuhi kriteria Scott tentang sebuah
lokasi sosial perlawanan. Di lokasi ini kontrol dan kendali negara
secara langsung dapat dikatakan tidak ada. Tidak pernah terjadi,
selama masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah atau aparat
negara memata-matai atau menghentikan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT di dalam
gedung gerejanya. Di lokasi ini hanya berhimpun orang-orang
yang mengenal baik satu sama lain, yang sama-sama mengalami
operasi kebijakan asimilasi.
Meski relatif aman dari kontrol dan intervensi pemerintah
namun transkrip tersembunyi tetap diperagakan dengan hati-hati.
Untuk kegiatan-kegiatan yang bisa diakses oleh orang-orang dari
luar komunitas, seperti ibadah hari Minggu, penggunaan bahasa
dan aksara Tionghoa diargumentasikan sedemikian rupa sebagai
medium pembinaan spiritual umat yang belum fasih berbahasa
Indonesia. Itu bukan untuk membangun apalagi menyatakan
sebuah identitas kultural yang terpisah dari identitas nasional
Indonesia. Peran bahasa sebagai alat komunikasi dikedepankan
dari pada perannya sebagai alat identifikasi sosial. Fungsi
pragmatis bahasa ditonjolkan dari pada fungsi ideologisnya.
Untuk kegiatan-kegiatan yang mengedepankan fungsi
ideologis bahasa seperti pembelajaran bahasa Tionghoa,
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 229 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 kegiatannya dilakukan secara terbatas buat anak-anak orang
Tionghoa, sambil dengan cerdik diselubungi baju kegiatan
pembinaan spiritual anak. Anak-anak dari kategori tersebut
sengaja dipilih karena meminimalisir kemungkinan bocornya
informasi perbuatan terlarang itu kepada pihak luar. Walau
mereka tidak seagama namun sebagai bagian dari kaum yang
sama-sama menghadapi tekanan serupa dari pemerintah, diyakini
bahwa mereka tidak akan membocorkan informasi tentang
kegiatan tersebut kepada orang lain.11
Kalau gereja dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
berlangsung di sana cocok dengan kategori Scott mengenai lokasi
sosial perlawanan, tidak demikian halnya dengan lokasi sosial
kedua, yaitu sidang-sidang sinode GKT. Lokasi ini unik karena di
satu pihak ia tidak bisa disebut sebagai lokasi yang dimiliki dan
dikuasai penuh oleh penguasa, sementara di pihak lain ia pun
tidak bisa disebut sebagai milik orang-orang Tionghoa Kristen di
GKT sepenuhnya. Bagi penguasa ia bukan publik karena kegiatan
yang berlangsung di dalamnya merupakan acara intern gereja.
Namun bagi orang-orang Tionghoa Kristen di GKT ia bukan
miliknya sepenuhnya karena penyelenggaraannya memerlukan
izin khusus dari penguasa dan dipantau pelaksanaannya. Bahkan,
seperti pernah terjadi pada sidang sinode tahun 1974, yang
terpaksa dihentikan karena Ketua Badan Pengurus Sinode GKT
dijemput paksa oleh polisi militer dari tempat acara, lokasi sosial
ini bisa sewaktu-waktu diintervensi langsung oleh penguasa.
Gambar 6.1. Lokasi Sosial Interaksi dengan Penguasa
11 Sampai berakhirnya era Orde Baru tidak pernah kedengaran ada
teguran khusus, atau tindakan lain yang dilakukan oleh aparat negara terhadap jemaat-jemaat yang mengadakan pembelajaran bahasa Tionghoa.
Ruang Kita:
Gereja
Ruang Publik Kita: Sidang-
sidang Sinode
Ruang Publik
Penguasa
230 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA
Seperti diilustrasikan oleh Gambar 6.1, interaksi orang-
orang Tionghoa Kristen di GKT dengan penguasa dapat terjadi
dalam tiga macam ruang. Gedung gereja dan kegiatan-kegiatan di
dalamnya dapat dikatakan sebagai lokasi yang benar-benar “ruang
kita.” Di sini elemen-elemen ketionghoaan yang coba disingkirkan
atau yang mau dihapus dari “ruang publik” dapat dengan leluasa
dilestarikan. Lokasi-lokasi sosial di luar gedung gereja adalah
ruang publik, tempat di mana interaksi langsung muka dengan
muka dengan penguasa dan masyarakat umum terjadi. Di sini
operasi kekuasaan begitu masif sehingga tak ada kesempatan
untuk menampilkan penanda-penanda ketionghoaannya. “Ruang
publik kita” adalah ruang yang berada di antara “ruang kita” dan
“ruang publik.” Sidang-sidang sinode GKT berlangsung di dalam
lokasi ini. Di sini orang-orang Tionghoa Kristen di GKT bertemu
dan membicarakan agenda-agenda keagamaannya dan soal-soal
yang berhubungan dengan negara, pemerintah dan masyarakat
luas. Ruang ini unik karena di satu pihak diklaim sebagai “ruang
kita” namun di pihak lain tidak sepenuhnya dalam kendali “kita”
sebab eksistensinya ditentukan pula oleh kontrol dan pengawasan
penguasa.
“Ruang publik kita” berbeda dari kategori “ruang publik”
yang diteorikan Scott untuk beberapa alasan. Pertama, di sini tidak
tersedia medium budaya yang polisemis yang dapat dipakai untuk
menyampaikan pesan-pesan perlawanan secara terselubung. Sikap
oposisi orang-orang Tionghoa Kristen di GKT terhadap sejumlah
besar unsur budaya Tionghoa dan belum terserapnya budaya lokal
membuat alternatif yang tersedia lebih banyak pada kecerdikan
dan kecermatan dalam menegosiasikan agenda-agendanya dengan
agenda-agenda pemerintah. Cara kerjanya mirip dengan yang
sehari-hari dilakukan dalam berbisnis. Ada yang ditawarkan, ada
yang dibeli. Ada yang dilepas, ada yang diambil. Tergantung pada
bagaimana situasi “pasar” di suatu momen perjumpaan dengan
representasi penguasa.
Kedua, jika di ‘ruang publik’ transkrip yang diperagakan
adalah transkrip publik dan di ‘ruang kita’ ialah transkrip
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 231 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 terselubung, maka di ‘ruang publik kita’transkripnya bisa transkrip
terselubung atau transkrip publik. Penggunaannya ditentukan oleh
sedikit-dikitnya dua faktor. Pertama, pada kondisi soliditas internal
kelompok; dan kedua, pada kuat lemahnya tekanan eksternal yang
dirasakan dari pihak penguasa.
Manakala tekanan eksternal dari pihak pemerintah dirasa
kuat, seperti pada awal-awal kekuasaan rezim Orde Baru, sekuat
apapun soliditas kelompok sedikitpun tidak bisa mengangkat
posisi tawar yang lemah di depan pemerintah. Konsekuensinya,
transkrip yang diperagakan adalah transkrip publik. Komponen-
komponen identitas Tionghoa dengan mudah ditukar dengan
komponen-komponen identitas nasional Indonesia. Kalau kondisi
internal tidak solid sementara tekanan eksternal tetap kuat maka
posisi tawar tetap lemah sehingga negosiasi tidak memungkinkan.
Yang dilakukan adalah melepas komponen-komponen identitas
primordial dan merangkul sepenuh-penuhnya identitas nasional.
Setelah internal kelompok mulai solid dan tekanan penguasa
dirasa berkurang, elemen-elemen identitas sosial-kultural yang
dahulu “diobral” kini diklaim kembali.
Gambar 6.2. Dinamika Perlawan di ‘Ruang Publik Kita’
Pemerintah, Negara
Kelompok solid + tekanan
eksternal kuat = Transkrip publik.
Kelompok pecah + tekanan
eksternal kuat = Transkrip publik. Kelompok solid
+ tekanan eksternal lemah =
Transkrip terselubung.
232 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA
B. Identitas Dalam Ketegangan
Bila merangkul identitas nasional Indonesia adalah titik
tuju dari kebijakan asimilasi; dan kalau orang-orang Tionghoa
Kristen di GKT dengan cara-cara yang mungkin telah melawan
paksaan itu, maka menjadi perlu untuk diketahui identitas macam
apa yang kemudian dikonstruksi dari perlawanan itu. Arus utama
pemikiran sosial di wilayah teori identitas sepakat bahwa identitas
tidak dapat lagi diterima sebagai konstruksi sosial yang tunggal,
stabil, baku, dan tidak berubah dari waktu ke waktu.12 Identitas
berubah mengikuti berbagai macam faktor relasi manusia di dalam
atau di luar kelompoknya. Karenanya identitas seseorang itu
jamak, banyak, multipel.13
Gagasan tersebut kuat mengemuka dalam studi-studi yang
dilakukan atas identitas orang Tionghoa setelah runtuhnya rezim
Orde Baru.14 Lokasi geografis, jarak antar generasi, pendidikan,
kultur dan level pergaulan sosial dengan masyarakat setempat
serta kebijakan negara atas orang Tionghoa adalah faktor-faktor
yang dipandang telah berkontribusi kepada multiplisitas tersebut.
Sebagai ganti identitas yang tunggal, identitas yang kemudian
dibentuk adalah identitas yang bersifat hibrida.15 Identitas ini
berlokasi di tengah, di antara yang pribumi dan non-pribumi,
Tionghoa dan non-Tionghoa. Identitas ini tidak baku dan tetap
karena terus berproses meramu material-material kultural dan
12 Lihat Rina S. Onorato & John C. Turner, “Fluidity in self
concept: the shift from personal to social identity”, European Journal of Social
Psychology, 34 (2004): 257-278. 13 Lihat Peter J. Burke & Jan E. Stets, Theory of Identity (New York:
Oxford University Press, 2009), 3. 14 Lihat Mely G. Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia—Kumpulan Tulisan.
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 156-190; Thung Ju Lan, “Susahnya Jadi Orang Cina: Ke-Cina-an sebagai Konstruksi Sosial,” Harga Yang Harus
Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, ed. I. Wibowo (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2000), 169-190. 15 Chang-Yau Hoon, “Assimilation, Multiculturalism, Hybridity:
The Dillemas of the Ethnic Chinese in Post-Suharto Indonesia,” Asian
Ethnicity, Vol 7, No. 2 (June 2006): 149-166. Juga lihat Darwin Darmawan,
Identitas Hibrid Orang Cina (Yogyakarta: Gading Publishing, 2014).
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 233 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 sosial dari kutub-kutub di sekelilingnya demi mendapatkan
identitas yang cocok dan berguna di lokasi dan situasi sosial
tertentu. Karakteristik-karakteristik yang berbeda-beda dirangkul
sekaligus dipadu menjadi kombinasi identitas yang bersifat
kondisional.
Dalam studinya atas identitas orang-orang Tionghoa
Kristen, Darwin Darmawan berpendapat bahwa hibriditas ini
muncul dari interaksi tiga agensi: Cina, Indonesia dan Kristen.16
Di satu waktu interaksinya bisa dalam ketegangan sementara di
waktu lain negosiasi, tergantung pada konteks sosial dan politik
yang dihadapi oleh orang-orang Tionghoa Kristen.17 Identitas ini
lebih tepat digambarkan sebagai “sebuah perjalanan yang
dinamis” dalam mana yang terpenting bukan titik awal perjalanan
melainkan proses apa yang terjadi di tengah perjalanan dan ke
rupa mana proses ini akan berakhir.18
Kurun waktu 1968-1998 adalah kurun waktu yang
panjang. Dalam masa yang panjang ini, corak bangunan identitas
orang-orang Tionghoa Kristen di GKT dipengaruhi oleh interaksi
mereka dengan dua kutub utama identitas: identitas nasional
Indonesia dan identitas etnis. Kutub identitas nasional Indonesia
adalah identitas baru, yang dipaksakan secara sosial dan politik
kepada mereka sementara kutub identitas etnis adalah identitas
yang dibawa dari masa lalu, jauh sebelum rezim Orde Baru
muncul di nusantara.
Pada tataran kelembagaan di tingkat sinodal, khususnya di
ruang-ruang publik di mana mereka berhadap-hadapan langsung
dengan penguasa, bangun identifikasi diarahkan kepada kutub
identitas nasional Indonesia. Komponen-komponen identitas
tersebut diambil dan dikenakan sementara komponen-komponen
identitas etnis ditanggalkan. Pada ruang tengah, atau ‘ruang publik
kita’ dua kutub yang bertentangan ini coba dinegosiasikan
16
Darmawan, Identitas Hibrid Orang Cina, 32. 17
Ibid. 18
Ibid., 32-33.
234 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA
sedemikian rupa supaya di satu pihak terlihat ke-Indonesiaan,
sementara di pihak lain ciri-ciri ketionghoaan tetap terjaga. Pada
tataran lokal di tingkat jemaat-jemaat, jalan yang ditempuh di level
sinodal tidak sepenuhnya diikuti. Komponen-komponen identitas
yang dibawa dari “rumah Muumbi”—meminjam istilah Harold
Issacs—terus dipertahankan dan corak identitas dibuat terarah
kepada identitas etnis.
Pulihnya hubungan diplomatik Indonesia dengan
Tiongkok pada tahun 1990 tampaknya memberi dorongan
tersendiri kepada penguatan sekaligus pengungkapan identitas
etnis kepada publik. Ruang sosial-politik yang lebih terbuka
memberi kesempatan untuk membuat kontak-kontak dan
berinteraksi dengan sesama orang Tionghoa Kristen di tempat
lain. Kontak dan interaksi ini kemudian berkontribusi balik kepada
penguatan kesadaran yang semakin kuat dan kepada penegasan
ketionghoaan yang lebih nyata kepada publik. Jika dalam dua
dekade sebelumnya, corak identitas tersebut disembunyikan rapat-
rapat, pada dekade ini ia perlahan-lahan diekspresikan dengan
terbuka kepada publik.
Bahwa kedua-duanya dirangkul tidak serta merta berarti
bahwa keduanya telah diterima dengan bulat sebagai komponen-
komponen penyusun identitas yang setara. Sampai berakhirnya
periode penelitian ini, dua kutub identitas ini terus berkontestasi.
Satu sama lain masih terlibat dalam kompetisi kalah-menang di
mana merangkul yang satu akan berakibat menghilangkan yang
lain, atau sedikit-dikitnya membuatnya tidak ada artinya. Jika
identitas tengah, yang diperagakan di ‘ruang publik kita’, dapat
diterima sebagai identitas ideal yang bersifat hibrida, maka corak
identitas tersebut tampaknya belum dilihat sebagai sasaran akhir
yang akan dicapai. Situasi ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan
Orde Baru yang sama sekali tidak memberi ruang kepada
timbulnya “identitas tengah” di mana baik keindonesiaan maupun
ketionghoaan dipadu seimbang. Pilihan yang tersedia bagi orang-
orang Tionghoa Kristen di GKT hanya identitas nasional
Indonesia saja. Karenanya, sampai runtuhnya rezim Orde Baru,
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 235 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 corak identitas orang-orang Tionghoa Kristen di GKT dapat
dikatakan sebagai identitas dalam ketegangan—dalam tarik
menarik yang konstan antara ke Indonesia dan ke Tionghoa.
Dalam penelitiannya tentang identitas, Manuel Castell
menemukan dua corak identitas yang mungkin dikonstruksi oleh
orang-orang yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan dominan.19
Yang pertama adalah resistance identity, atau identitas perlawanan.
Corak identitas ini bertolak belakang dengan identitas pelegitimasi
(legitimizing identity), yang dipaksakan ke atas yang didominasi
oleh pihak yang mendominasi. Bagi yang didominasi, identitas
perlawanan adalah “parit perlindungan” yang melindungi
sekaligus basis untuk melancarkan perlawanan terhadap institusi-
institusi dan identitas-identitas dominan.
Meski sifatnya melawan namun identitas perlawanan
tidak memberi kemungkinan bagi pihak yang didominasi untuk
menang. Itu hanya bisa dicapai bila mereka berhasil membangun
macam identitas kedua yang disebut Castell dengan nama project
identity, atau identitas proyek. Identitas yang bersifat sintesis ini
menawarkan suatu identitas baru di mana perbedaan-perbedaan di
antara yang didominasi dan yang mendominasi dilampaui. Oleh
identitas ini keduanya dibawa ke level relasi dan interaksi sosial
yang baru, di mana keduanya kini ditaruh dalam posisi sosial yang
setara. Identitas proyek pada hakikatnya adalah sebuah identitas
perlawanan juga namun tidak seperti yang dilakukan oleh aktor-
aktor identitas perlawanan, yang bertahan dan menyerang di
dalam “parit-parit perlindungan” sosial atau ghetto-ghetto, aktor-
aktor yang memperjuangkan identitas proyek keluar dari sana.
Mereka menawarkan suatu wacana identitas baru, yang sifatnya
menantang sekaligus mendorong sistem sosial dominan untuk
merekonstruksi struktur-strukturnya supaya adil bagi semua.
Identitas perlawanan dapat berhasil membangun komunitas
tertutup yang solid namun ia tidak berdaya melakukan
transformasi sosial. Identitas proyek memberdayakan komunitas
19 Castell, The Power of Identity, 8.
236 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA
untuk transformasi sosial. Di dalam kategorinya jarak antara
“kami” dan “mereka” dilenyapkan. Yang tersisa ialah “kita.”
Dalam konfigurasi identitas yang dibicarkan Castell,
identitas dalam ketegangan kiranya masih dapat digolongkan ke
dalam jenis identitas perlawanan. Ia timbul dari situasi dominasi,
yang dialami oleh sekelompok orang minoritas yang dipaksa
untuk menanggalkan identitas lamanya dan mengenakan suatu
identitas yang berbeda. Terlepas dari kuatnya paksaan yang
dialami, identitas dalam ketegangan rupanya menyediakan ruang
gerak yang cukup memadai bagi upaya-upaya melestarikan
komponen-komponen identitas yang dibawa dari masa lalu.
Namun demikian dalam soal apakah identitas macam ini
menolong orang-orang minoritas mendapatkan penerimaan dan
perlakuan yang lebih adil dalam masyarakatnya, penelitian ini
memperlihatkan bahwa jawabannya adalah tidak.
Setidaknya ada dua alasan yang dapat menjelaskan hal
tersebut. Pertama, karena identitas dalam ketegangan tidak
memberikan batasan-batasan kategoris diri dan kelompok yang
sepenuhnya disepakati secara internal. Identitas ini masih belum
mampu mengikat dan menyatukan kelompok menurut suatu
kategori sosial-kultural tertentu. Tarik menarik ke arah kutub
identitas Tionghoa dan identitas nasional Indonesia masih belum
tiba pada titik ekuilibrium. Konsekuensinya kelompok tidak punya
titik berangkat yang kokoh untuk bertemu dan membangun kerja
sama dengan orang-orang dalam kategori yang lebih luas. Hal itu
juga menghalangi timbulnya wacana-wacana identitas alternatif
yang dapat ditawarkan kepada pihak mayoritas. Di sisi lain, yang
kedua, batasan-batasan kategoris yang ditetapkan lawan belum
sampai pada spektrum identitas yang cukup luas. Segala hal yang
beraroma Tionghoa tidak diberi tempat dalam kategori orang
Indonesia. Karenanya menjadi sukar untuk menawarkan suatu
wacana identitas alternatif, yang di dalamnya unsur-unsur
ketionghoaan yang diharamkan itu masih dapat ditemukan.
Pilihan yang kemudian diambil adalah di ruang yang satu tampil
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 237 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 dengan corak identitas tertentu, sementara di ruang yang lain
dengan corak identitas yang berbeda.
C. Agama sebagai Tembok Pelindung dan Sumber Daya
Perlawanan
Teori-teori tentang peran agama dalam asimilasi,
umumnya sepakat dengan peran positif agama.20 Meski keinginan
untuk melestarikan identitas unik kelompok terus ada namun
karena tekanan struktur sosial masyarakat dan demi mewujudkan
impian di negeri yang baru membuat berasimilasi sulit untuk
dihindari.21 Dalam ungkapan Will Herberg, seorang peneliti
asimilasi imigran di AS pada era 50-an, akhirnya agamalah yang
akan memberi seorang pendatang di Amerika suatu tempat yang
dapat dikenali di dalam kehidupan Amerika.22 Dengan kata lain,
agama menolong orang untuk diterima di dalam masyarakat.
Kesimpulan ini ditegaskan kembali oleh risat Kaba dan Warner
bertahun-tahun kemudian. Keduanya berpendapat bahwa agama
memfasilitasi asimilasi dan integrasi pendatang ke dalam
masyarakat penerima (host society).23
20 Lihat Joseph F. Healey, Race, Ethnicity, Gender and Class: The
Sociology of Group Conflict and Change (Thousand Oaks, CA.: Sage
Publications, Inc., 2012), 71. 21 Helen G. McDonald & Pallassana R. Balgopal, “Conflicts of
American Immigrants: assimilate or retain ethnic identity”, Migration World
Magazine, May-June1998 v26 n4 p14 (15): 3. Menurut Gordon orang white
Protestant (orang Protestan putih) adalah kelompok etnis terbesar di AS pada
masanya. Merekalah yang diacu ketika orang berkata tentang masyarakat AS
secara umum. Merekalah kelompok dominan masyarakat AS. Lihat Milton M. Gordon, Assimilation in American Life (New York: Oxford University Press,
1964), 221. 22 Dalam Phillip Connor, “Contextualizing Immigrant Religious
Participation: A Test of Heterogeneity and Religious Proportionality”, McGill
Social Statistic Master Working Paper, August 2005, Series #2005-1: 2. 23 Amadu Jacky Kaba, “Religion, Immigration and Assimilation:
the Hispanic/Latino Population in the United States and the North
African/Muslim Population in Europe”, Asian Journal of Latin American
Studies, Vol. 21, Number 2, 2008: 94; R. Stephen Warner, “The Role of
238 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA
Dalam proses itu agama memainkan tiga peran penting,
yang disebut Charles Hirschman dengan istilah tiga R: refuge,
respect dan resource.24 Sebagai refuge, agama memberikan kelegaan
psikologis dari beratnya beban penyesuaian diri di lingkungan
hidup yang baru. Dengan ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan
keagamaan, orang memperoleh penghiburan emosional dari rasa
cemas, gelisah, takut dan terasing di negeri yang baru. Sebagai
respect, agama memfasilitasi diperolehnya rasa hormat dari
masyarakat dengan cara memberikan kesempatan-kesempatan
kepada para pendatang untuk menduduki posisi-posisi
kepemimpinan di lembaga-lembaga keagamaan, mendapatkan
pendidikan yang baik dari sekolah-sekolah parokial dan akhirnya
penerimaan politis. Terakhir, sebagai resource, organisasi
keagamaan memfasilitasi diperolehnya perumahan, pendidikan,
ketrampilan berbahasa setempat dan sekaligus pekerjaan dengan
cara membagi-bagikan informasi mengenai hal-hal tersebut kepada
para imigran, atau menyediakannya melalui badan-badan sosial
yang dikelola oleh lembaga keagamaan.
Seperti sudah dibahas di Bab II, studi-studi terhadap
orang-orang Tionghoa di zaman Orde Baru cenderung
berpendapat bahwa agama, khususnya agama Kristen, Katolik dan
Islam, memainkan peran yang positif terhadap asimilasi dan
integrasi orang Tionghoa.25 Namun pendapat ini agaknya mulai
diragukan. Studi Andreas Susanto atas orang-orang Tionghoa di
Religion in the Process of Segmented Assimilation”, ANNALS, AAPSS, 612,
July 2007: 105, 109-110. 24 Charles Hirschman, “The Role of Religion in the Origins and
Adaptation of Immigrant Groups in the United States”, makalah untuk
konferensi mengenai Conceptual and Methodological Developments in the Study of
International Migration, Princeton University, May 23- 25, 2003: 26-28. Lihat
juga Phillip Connor, “Religion as resource: Religion and immigrant economic
incorporation”, Social Science Research 40 (2011): 1350. 25 Lihat Stuart W. Greif, “WNI” Problematik Orang Indonesia Asal
Cina (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991), 127; juga Leo Suryadinata,
Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: PT Grafiti Pers, 1984), 205; Junus Jahja,
“Menyelesaikan ‘Masalah Tionghoa’ dengan Persaudaraan Islam (Ukhuwah
Islmyah)” dalam Leo Suryadinata, ed. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa
Indonesia 1900-2002 (Jakarta: LP3ES, 2005), 249-254.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 239 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 Yogyakarta menemukan bahwa sikap orang Tionghoa terhadap
asimilasi tidak bisa disebut tunggal. Respons mereka bermacam-
macam dan hal itu menghasilkan kategori orang-orang Tionghoa
yang bermacam-macam pula.26 Terkait dengan agama, Susanto
mendapati bahwa peran yang dimainkan agama pada dasarnya
sama, yaitu sebagai alat untuk menghindar dari dilabeli sebagai
orang Tionghoa, yang dirasa membawa konsekuensi sosial, politik
dan ekonomi yang tidak menguntungkan.27
Kalau kesimpulan Susanto hendak dibaca dalam kerangka
teoretis Hirschman, agaknya temuan itu cocok dengan peran
agama sebagai alat untuk memperoleh respek dari masyarakat.
Namun respek macam ini mungkin bisa didapatkan oleh orang
Tionghoa yang memeluk agama Islam.28 Bagi pemeluk agama
Kristen, hal sebaliknya yang didapatkan. Menganut agama Kristen
masih dipandang oleh masyarakat sebagai indikasi keengganan
untuk berasimilasi, bahkan sebagai perlawanan terhadap
kebijaksanaan pemerintah untuk mengadopsi identitas pribumi.29
Sayang sekali riset Susanto tidak memberikan penjelasan yang
memadai tentang bagaimana pandangan semacam itu dapat
terbentuk di kalangan orang non-Tionghoa.
Di pihak lain, ia hanya merasa heran dengan fakta bahwa
ada lebih banyak orang Tionghoa yang beragama Kristen dari
pada Katolik. Sebab jika alasan menjadi Kristen adalah untuk
mempertahankan budaya dan ritual tradisional Tionghoa maka
semestinya Katoliklah yang dipilih; karena Katolik lebih toleran
26 Ia mencatat ada empat macam orang Tionghoa dengan empat
respons berbeda terhadap asimilasi. Keempatnya adalah natural assimilationist,
opportunistic assimilationist, symbolic assimilationist dan cosmopolitant
assimilationist. Lihat Andreas Susanto, “Diversity in Compliance: Yogyakarta
Chinese and the New Order Assimilation Policy” dalam Chinese Indonesians
and Regime Change, ed. Marleen Dieleman et all. (Leiden: Brill, 2011), 72-78. 27 Susanto, 80. 28 Meski menurut Susanto, menjadi muslim tidak pula menjamin
penerimaan yang penuh dalam masyarakat. Lihat ibid., 81-82. 29 Ibid., 81. Perasaan bahwa menjadi Kristen tidak berarti membuat
seorang Tionghoa diterima telah berasimilasi dialami pula oleh seorang
informan Greif pada era 80-an.. Lihat Greif, “WNI”, 42.
240 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA
dalam soal-soal budaya dari pada Kristen. Berangkat dari teori-
teori konversi religius orang-orang Tionghoa30 ia menduga hal itu
bersumber pada karakter sejumlah denominasi Protestan yang
dimasuki oleh orang Tionghoa. Di dalamnya tersedia ruang bagi
suatu bentuk individualisme, yang memungkinkan orang
Tionghoa dapat memiliki gereja yang didominasi oleh orang
Tionghoa lengkap dengan atribut-atribut budayanya sendiri.31 Hal
ini mustahil didapatkan di dalam Gereja Katolik.
Kalau demikian, peran agama dalam asimilasi orang
Tionghoa, khususnya peran agama Kristen, sebetulnya tidak
melulu positif. Agama dapat pula memainkan peran sebaliknya,
melawan arus asimilasi dengan menyediakan kemungkinan-
kemungkinan dan ruang-ruang yang aman bagi terpeliharanya
suatu identitas tersendiri. Riset ini meneguhkan hal itu. Hanya saja
kalau tesis Susanto yang dibangun dari teori konversi agama,
temuan penelitian ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan
konversi semacam itu. Sejak zaman kolonial, bahkan jauh sejak
masih di Tiongkok, orang-orang Tionghoa Kristen di GKT sudah
memeluk agama Kristen.
Jika demikian, dalam cara bagaimanakah agama orang-
orang Tionghoa Kristen di GKT memfasilitasi penolakan untuk
berasimilasi? Dalam studi-studi yang meneropong peran agama
dalam politik, agama umumnya dilihat memainkan peran
melumpuhkan atau menginspirasi perlawanan secara terang-
30 Pendapat Susanto dibangun di atas teori Hefner tentang konversi
religius orang Jawa menjadi Kristen dan teori The Siauw Giap tentang konversi religius orang Tionghoa di Indonesia dan Malaysia menjadi muslim.
Lihat Robert W. Hefner, “Of Faith and Commitment: Christian Conversion in Muslim Java” dalam Conversion to Christianity: Historical and Anthropological
Perspectives on Great Transformation, Robert W. Hefner, ed. (California:
University of California Press, Ltd., 1993), 99-125 dan The Siauw Giap,
“Islam and Chinese Assimilation in Indonesia and Malaysia” dalam Chinese
Beliefs and Practices in Southeast Asia, Cheu Hock Tong, ed. (Selangor:
Pelanduk Publication, 1993), 59-99. 31 Susanto dalam Chinese Indonesians and Regime Change, 82-83.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 241 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 terangan.32 Peran pertama umumnya dimainkan oleh kaum elit
dengan maksud mengokohkan dominasinya, sementara peran
kedua dimainkan oleh kaum miskin dan tertindas demi melawan
penindasan dan ketidakadilan.33 Dari sudut pandang Gramscian,
Billings berpendapat bahwa kedua peran ini sama-sama
membutuhkan tumbuhnya suatu pemikiran kritis (critical
understanding), baik yang sifatnya mendukung dominasi maupun
yang menolaknya. Pada kelompok di mana agama menginspirasi
perlawanan, pemikiran kritis ini akan muncul bila tiga syarat
terpenuhi. Pertama, tersedianya organisasi otonom yang bebas dari
campur tangan luar, atau tersedianya ruang bebas di dalam
organisasi di mana praanggapan-praanggapan ideologis kelompok
dominan dapat ditelaah secara kritis. Kedua, hadirnya kaum
intelektual yang membantu mengembangkan pandangan dunia
alternatif yang menantang status quo dan bekerja keras mendidik
orang-orang yang ada di dalam gerakan yang mendukung atau
melawan dominasi. Dan yang terakhir, harus ada suatu komunitas
yang menerima pandangan dunia alternatif itu dan
mempraktikkannya dalam keseharian.34 Intinya, perlu ada ruang
sosial yang bebas tekanan, intelektual yang memproduksi ideologi
alternatif dan kelompok sosial yang mempratikkan ideologi
tersebut.
Studi lebih lanjut coba mengurai peran agama dari tiga
aspeknya, yaitu dari aspek ajaran, institusi dan kelompok sosial-
kulturalnya.35 Aspek ajaran berhubungan dengan teologi atau
sistem kepercayaannya, sementara aspek institusi menyentuh
organisasi keagamaan, peraturan-peraturan, tradisi, kebiasaan-
32 Fredrick C. Harris, Something Within: Religion in Arican-American
Political Activism (New York: Oxford University Press, 1999), 4. 33 John Raines, ed., Marx On Religion (Philadelphia: Temple
University Press, 2012), 168. 34 Dwight J. Billings, “Religion As Opposition: A Gramscian
Analysis” dalam The American Journal of Sociology Vol. 96, No. 1 (Jul., 1990):
27. 35 Kenneth D. Wald & Allison Calhoun-Brown, Religion and Politics
in the United States (Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.,
2011), 25.
242 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA
kebiasaan dan praktik-praktik yang berjalan sehari-hari. Aspek
kelompok sosial-kultural menyentuh hal-hal yang berkaitan
dengan anggota-anggota organisasi agama ini dan ciri budaya
mereka yang unik. Ketiga faset ini diyakini dapat mendorong
sekaligus memperlengkapi lembaga-lembaga agama ke dalam
aktivitas politik.36 Aspek ajaran menyediakan ideologi; institusi
menyediakan akses, komunikasi sekaligus ketrampilan untuk
berpartisipasi dalam aktivitas politik; sementara identitas sosial-
budaya kelompok berperan menyediakan motif dan sebagai alat
untuk memobilisasi dan membangun koneksi dengan kekuatan-
kekuatan sosial serupa lainnya.37
Meski memiliki ruang-ruang sosial yang relatif aman dari
tekanan, penelitian ini memperlihatkan bahwa agama tidak
mendorong keterlibatan dalam suatu aktivitas politik yang
bertujuan menghapuskan kebijakan asimilasi. Faktor yang paling
krusial tampaknya dimainkan oleh elit pemimpin dan kaum
intelektual keagamaan, yang belum mampu mengembangkan
suatu wacana alternatif tentang tempat identitas orang Tionghoa
di tengah-tengah wacana identitas nasional Indonesia versi rezim
Orde Baru. Wacana semacam itu malah tidak diberi ruang sama
sekali untuk muncul seiring dengan pemisahan tegas antara agama
dan politik. Wacana dan aktivisme itu adalah politis dan tidak kait
mengkaitnya dengan agama.38
Dari sisi yang lebih ideologis yakni di level ajaran-ajaran
agama, keterlibatan sosial tidak dapat terjadi karena ajaran-ajaran
keagamaan yang dianut tidak mensuplai suatu visi sosial
kemasyarakatan yang dapat menginspirasi tindakan keluar untuk
menuntut perubahan. Meski di tingkat personal kebijakan
asimilasi dikeluhkan dan dipandang tidak adil namun pengajaran-
pengajaran agama yang disampaikan lebih fokus pada kesalehan
36 Wald & Calhoun-Brown, Religion and Politics in the United States,
26. 37 Harris, Something Within, 8-9. 38 “Kumpulan Keputusan Sidang Sinode Ke-2 Tahun 1969” dalam
buku Tata Gereja dan Peraturan Khusus Gereja Kristus Tuhan, 63.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 243 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 personal dari pada sosial; lebih berorientasi pada gereja dan
kehidupan dunia yang akan datang dari pada kehidupan saat ini
dalam masyarakat luas.
Pada tataran institusi keagamaan, praktik-praktik yang
dijalankan belum diarahkan sebagai sarana pendidikan dan
pelatihan untuk sebuah aktivitas politis di tengah masyarakat.
Institusi keagamaan yang dibangun sejak zaman kolonial sampai
zaman Orde Lama malah menjauhkan mereka dari kekuatan-
kekuatan sosial yang berjuang melawan ketidakadilan. Akibatnya,
macam komunitas keagamaan yang terbangun adalah komunitas
yang terpisahkan dari yang lain, bahkan dari sesama orang
Tionghoa yang tidak sebudaya (baca: Tionghoa peranakan).
Dengan demikian, agama tidak dimainkan sebagai yang
memfasilitasi dan menginspirasi timbulnya “serangan keluar”
melainkan sebagai yang melindungi identitas kulturalnya dari
gempuran kebijakan asimilasi. Peran itu dimainkan dengan
kecerdikan memanfaatkan celah yang disediakan oleh kebijakan
Orde Baru tentang agama yang sah serta oleh posisi strategis
agama di dalam menghancurkan komunisme dan di dalam
pembangunan Indonesia.
Orang Tionghoa Kristen di GKT paham bahwa agama
yang dianutnya adalah salah satu dari agama yang sah yang diakui
oleh pemerintah. Mereka tampaknya mengerti bahwa agamanya
punya peran dan kedudukan yang penting dalam proyek politik
Orde Baru. Karena itu agamanya lantas diperlihatkan sebagai
pendukung setia negara dan pemerintah. Ajaran agama
dinyatakan sejalan dengan Pancasila, ideologi negara, sementara
para intelektualnya, sekalipun bukan WNI, adalah pelopor dan
pengemban Pancasila. Para pemimpinnya adalah penghayat dan
pengamal Pancasila, sementara anggota-anggotanya patuh kepada
segala kebijakan pemerintah.
Taktik semacam itu membuat lembaga dan komunitas
keagamaannya dipercayai oleh pemerintah dan pada gilirannya
244 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA
menjadi tempat yang aman bagi pelestarian komponen-komponen
identitas kulturalnya. Demi pembinaan agama yang maksimal izin
penggunaan bahasa Tionghoa dalam gereja diberikan. Celah itu
dimaksimalkan lebih jauh lagi dengan mengajarkan bahasa itu
secara diam-diam di jemaat-jemaat dan di sekolah teologi milik
gereja.
Peran militer yang dominan dalam memastikan kebijakan
asimilasi berjalan sesuai keinginan pemerintah, disiasati oleh
orang-orang Tionghoa Kristen di GKT dengan membangun relasi
dan komunikasi yang baik dengan mereka. Memanfaatkan tali
persaudaraan sesama penganut agama yang sama, komunikasi dan
koneksi yang erat dibangun melalui sejumlah perwira militer
Kristen yang bertugas di bidang pembinaan rohani Kristen untuk
para tentara. Hubungan yang terjalin baik berhasil meyakinkan
penguasa militer setempat untuk merestui pemakaian bahasa
Tionghoa dalam gereja. Kecerdikan taktik ini adalah bahwa ruang
aman bagi tetap lestarinya penanda-penanda identitas Tionghoa
diamankan justru oleh pihak yang di luar dikenal giat berusaha
menghapuskannya.
Mengkaji ulang kegagalan proyek asimilasi pemerintah
Orde Baru, Leo Suryadinata menemukan bahwa hal itu terjadi
karena di dalam jaminan kebebasan beragama yang diberikan oleh
pemerintah Orde Baru orang-orang Tionghoa di Indonesia
mendapat kesempatan untuk melestarikan identitas Tionghoanya
“di balik identitas agama” minoritas yang dianutnya.39 Dalam
kajiannya, agama minoritas yang dibicarakan Suryadinata adalah
“agama Buddha, Tridharma dan Kong Hu Cuisme.”40 Ia sama
sekali tidak membicarakan tentang agama Kristen. Namun, seperti
dicermati oleh Judith Nagata tentang peran lembaga-lembaga
keagamaan Kristen bagi penyuburan identitas Tionghoa, agama
Kristen pun memainkan peran seperti yang terjadi pada agama
Buddha dan Tridarma dan Kong Hu Cuisme. Agama ini tidak
39 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah
Bunga rampai 1965-2008 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 221. 40 Ibid.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 245 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 mendorong mereka keluar tetapi dengan lihai telah dipergunakan
untuk melindungi identitas Tionghoa dari gempuran habis-habisan
kebijakan asimilasi yang datang dari segala arah.
D. Penutup
Menimbang perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT terhadap pelaksanaan kebijakan
asimilasi pemerintahan Orde Baru, tiga hal pokok yang menjadi
kontribusinya kepada teori-teori perlawanan terhadap dominasi
adalah mengenai ruang, hasil perlawanan dan strategi yang
dimainkan agama.
Tentang ruang perlawanan, penelitian ini memperlihatkan
bahwa selain ruang privat dan ruang publik, panggung depan dan
panggung belakang, masih ada sebuah ruang lain yang berada di
antara keduanya. Di ruang ini, transkrip yang diperagakan
tergantung pada dinamika kekuasaan (power dynamics) yang terjadi
di sana. Dua faktor yang mempengaruhi dinamikanya ialah
kondisi internal pihak yang didominasi dan tekanan pihak yang
mendominasi. Di dalam ruang ini, pihak yang didominasi bertemu
dengan yang mendominasi tidak sepenuhnya sebagai kawan
(friend) atau lawan (enemy), namun lebih tepat sebagai saingan
(kompetitor); saingan dalam perebutan kendali atas macam
identitas yang diperagakan.
Daya tekan pihak yang mendominasi bertambah kuat
ketika pihak yang didominasi mengalami konflik internal. Namun
daya saing pihak yang didominasi justru malah menguat setelah
mereka menampilkan diri kalah total dalam persaingan. Di titik
itu, pihak yang didominasi mundur dari panggung, atau berhasil
didorong keluar dari panggung tanpa perlawanan. Dan dengan
minggirnya mereka dari arena itu kembali tersedia ruang yang
cukup bagi pihak yang didominasi untuk menegaskan dirinya.
Hasil yang diperoleh dari perlawanan ini bukanlah sebuah
pencapaian yang bersifat menang-kalah atau sebuah perpaduan
246 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA
tetapi sebuah identitas yang belum tuntas dinegosiasikan
komponen-komponennya. Identitas nasional Indonesia masih
dipersepsi sebagai bersifat monokrom, yang tidak memberi ruang
kepada warna identitas primordial untuk tetap hidup. Di sisi lain,
identitas Tionghoa yang coba dipertahankan masih belum
didudukkan sebagai yang memperkaya keindonesiaan sehingga
keduanya, identitas nasional Indonesia dan identitas Tionghoa,
belum menjadi sebuah perpaduan yang harmonis. Kalau konsep
identitas hibrida, yang belakangan ini banyak dipakai untuk
menjelaskan identitas orang-orang Tionghoa di Indonesia,
mengimplikasikan pengakuan, penerimaan dan penggunaan yang
bebas dari unsur-unsur yang bermacam-macam di dalam suatu
konstruksi identitas maka pada orang-orang Tionghoa Kristen di
GKT di zaman Orde Baru, unsur-unsur itu masih tinggal dalam
ketegangan.
Dalam kaitan dengan agama, sudah nyata bahwa
perlawanan orang-orang Tionghoa Kristen di GKT terhadap
kebijakan asimilasi tidak diinspirasi oleh ide-ide, visi-visi dan aksi-
aksi yang diinspirasi oleh agama. Dalam perlawanan ini agama
berperan memberi celah sosial alternatif di tengah ketatnya
penerapan kebijakan asimilasi dalam mana identitas kultural
penganutnya dapat terus dilestarikan eksistensinya. Agama tidak
mendorong penganutnya keluar tetapi menariknya ke dalam
sebuah “cagar budaya” yang relatif bebas dari tekanan untuk
berasimilasi. Lalu kemudian, oleh para penganutnya agama
dimanfaatkan dengan cara yang cerdik sebagai pelindung ruang
tersebut.
Penelitian ini menunjukan bahwa peran tersebut akan
dimainkan oleh agama manakala dua kondisi berikut terpenuhi.
Pertama, bila agama menduduki posisi yang penting dalam
mendukung pencapaian tujuan-tujuan penguasa; dan kedua bila
agama menduduki posisi yang penting dalam konstruksi identitas
suatu kelompok minoritas.