perlawanan, identitas dan agama - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/d_762008002_bab...

26
BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA Bab sebelumnya memperlihatkan bahwa di hadapan tekanan kebijakan asimilasi pemerintah Orde Baru, orang-orang Tionghoa Kristen di GKT memperagakan dua macam pertunjukan di atas dua panggung yang berbeda. Di panggung pertama, yakni hadapan para penguasa dan representasi- representasinya, diperlihatkan segala dukungan dan kepatuhan dalam mengikuti kebijakan asimilasi. Dari kewarganegaraan sampai bahasa bahkan terus sampai nama, organisasi dan komposisi keanggotaan gereja serta sasaran penjangkauan anggota baru semuanya disesuaikan menurut keinginan penguasa. Namun di panggung yang lain, yang luput dari observasi penguasa dan representasi-representasinya, orang-orang Tionghoa Kristen di GKT menampilkan “pertunjukan” yang kontras dari yang diperagakan di panggung pertama. Penanda-penanda identitas Tionghoa yang coba dihapus oleh kebijakan asimilasi, di tempat ini malah terus dilestarikan. Di masa yang lalu, macam perilaku seperti yang ditampilkan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT pernah disimpulkan sebagai perilaku yang membahayakan keutuhan bangsa dari sudut pandang ketahanan nasional. 1 Terlepas dari isu berbahaya atau tidak berbahayanya perilaku itu bagi kelangsungan negara, yang tentu saja bukan menjadi objek kajian disertasi ini, apa yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT tentu perlu dilihat dari berbagai sudut pandang agar diperoleh suatu lukisan yang utuh. Perspektif interaksi kelompok-kelompok minoritas dengan negara dan respons mereka terhadap upaya 1 Lihat studi M.D. La Ode, Tiga Muka Etnis Cina-Indonesia: Fenomena di Kalimantan Barat (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 1997), 386.

Upload: vanliem

Post on 06-Feb-2018

226 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 221 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

BAB V

PERLAWANAN, IDENTITAS

DAN AGAMA

Bab sebelumnya memperlihatkan bahwa di hadapan

tekanan kebijakan asimilasi pemerintah Orde Baru, orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT memperagakan dua macam

pertunjukan di atas dua panggung yang berbeda. Di panggung

pertama, yakni hadapan para penguasa dan representasi-

representasinya, diperlihatkan segala dukungan dan kepatuhan

dalam mengikuti kebijakan asimilasi. Dari kewarganegaraan

sampai bahasa bahkan terus sampai nama, organisasi dan

komposisi keanggotaan gereja serta sasaran penjangkauan anggota

baru semuanya disesuaikan menurut keinginan penguasa. Namun

di panggung yang lain, yang luput dari observasi penguasa dan

representasi-representasinya, orang-orang Tionghoa Kristen di

GKT menampilkan “pertunjukan” yang kontras dari yang

diperagakan di panggung pertama. Penanda-penanda identitas

Tionghoa yang coba dihapus oleh kebijakan asimilasi, di tempat

ini malah terus dilestarikan.

Di masa yang lalu, macam perilaku seperti yang

ditampilkan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT pernah

disimpulkan sebagai perilaku yang membahayakan keutuhan

bangsa dari sudut pandang ketahanan nasional.1 Terlepas dari isu

berbahaya atau tidak berbahayanya perilaku itu bagi kelangsungan

negara, yang tentu saja bukan menjadi objek kajian disertasi ini,

apa yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT

tentu perlu dilihat dari berbagai sudut pandang agar diperoleh

suatu lukisan yang utuh. Perspektif interaksi kelompok-kelompok

minoritas dengan negara dan respons mereka terhadap upaya

1 Lihat studi M.D. La Ode, Tiga Muka Etnis Cina-Indonesia: Fenomena

di Kalimantan Barat (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 1997), 386.

Page 2: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

222 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA

negara mengatur dirinya adalah sudut pandang lain yang perlu

turut dipakai. Tafsir yang sifatnya dari atas, baik itu dari sudut

ketahanan nasional, identitas nasional, maupun kebijakan negara

terhadap kelompok minoritas, harus pula dilengkapi dengan

pemahaman dari bawah, dari sudut pandang orang-orang yang

mengalami pemaksaan oleh negara untuk berasimilasi.

Dalam bab ini akan disajikan suatu interpretasi teoretis

tentang hal-hal yang sudah dilakukan oleh orang-orang Tionghoa

Kristen di GKT selama masa pemerintahan Orde Baru dalam

menghapi paksaan negara untuk berasimilasi. Tafsir ini akan fokus

pada cara-cara yang dipergunakan untuk melawan, pada identitas

yang dibentuk dan pada peran yang dimainkan oleh agama dalam

proses itu. Ketiga isu ini saling berhubungan satu sama lain dan

menampilkan dirinya dalam interaksi orang-orang Tionghoa

Kristen di GKT dengan negara di masa kekuasaan rezim Orde

Baru.

A. Melawan Paksaan untuk Berasimilasi

1. Membentuk Kelompok Keagamaan yang Baru

Seperti diteorikan oleh Eriksen, kebijakan asimilasi

merupakan salah satu strategi favorit yang ditempuh oleh negara

untuk menyelesaikan problem eksistensi kelompok-kelompok

minoritas dalam teritori wilayahnya. Keunikan identitas sosial-

budaya kelompok dipandang berpotensi menghambat terwujudnya

integrasi sosial antar sesama warga negara, yang dibayangkan oleh

pemerintah berdiri di atas sebuah identitas nasional yang sama.

Keunikan itu harus dihilangkan, atau sekurang-kurangnya

dikurung dalam suatu ruang di mana ia tidak lagi terlihat di depan

publik. Namun karena identitas, seperti diterangkan Castell,

adalah sumber makna sekaligus yang mempengaruhi pengalaman

hidup seseorang atau sekelompok orang dengan yang lain, maka

pengurangan nilai, apalagi penghapusannya oleh pihak lain tidak

Page 3: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 223 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 akan dibiarkan begitu saja terjadi. Melawan adalah salah satu

respons yang dapat diambil oleh kelompok minoritas.2

Namun dengan posisi minoritasnya, mereka memerlukan

kekuatan tambahan yang dapat meningkatkan daya tawarnya

terhadap negara. Di sini, menurut Eriksen, kelompok minoritas

dapat membentuk suatu aliansi strategis dengan kelompok-

kelompok minoritas lain menjadi sebuah inkorporasi etnis (ethnic

incorporation). Di dalamnya kelompok-kelompok etnis minoritas

yang berbeda-beda menyatukan diri atau meleburkan diri menjadi

sebuah organisasi etnis yang lebih besar dan dengan cakupan yang

lebih luas.3 Tujuannya ialah memperkuat posisi daya tawar politis

dalam interaksi dan negosiasi dengan negara.

Apa yang khas dari cara orang-orang Tionghoa Kristen di

GKT melawan penerapan kebijakan asimilasi adalah bahwa

perlawanan itu dilakukan di dalam dan melalui sebuah kelompok

keagamaan. Kelompok ini belum dikenal sebelum tahun 1965.

Kelompok ini baru dibentuk oleh orang-orang Tionghoa Kristen

pada tahun 1968, sebagai respons terhadap perubahan-perubahan

besar yang terjadi di arena kehidupan orang-orang Tionghoa di

Indonesia. Ia lahir sebagai upaya untuk memitigasi “bencana

sosial” yang sedang terjadi dan menimpa orang-orang Tionghoa.

Namun demikian, di sisi yang lain, terbentuknya kelompok ini

juga tak bisa lepas dari peran aktif aparatur sipil dan militer serta

peran lembaga gerejawi di tingkat nasional dan regional. Dengan

caranya masing-masing, mereka mendesak orang-orang Tionghoa

Kristen di GKT untuk membentuk sebuah kelompok keagamaan

2 Lihat Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism:

Anthropological Perspectives (London: Pluto Press, 2010), 149-150. Juga Manuel

Castell, The Information Age—Economy, Society and Culture Vol II: The Power of

Identity (Malden, MA.:Wiley-Blackwell, 2010), 6. Dalam buku ini Castell

coba meneropong perlawanan dalam konteks interaksi yang lebih luas, yang

berskala global. Namun pada prinsipnya ia sama dengan Eriksen. Setiap

tindakan dominasi akan melahirkan perlawanan. 3 Tentang inkorporasi etnis, Eriksen merujuk pada pendapat

Handelman dalam Don Handelman, “The Organization of Ethnicity”, Ethnic

Groups, Vol I (1997): 187-200.

Page 4: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

224 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA

baru yang lebih cocok karakternya dengan keadaan baru yang

sedang berlangsung di Indonesia.

Tidak seperti THKTKH Klasis Jatim, kelompok

keagamaan baru ini tidak lagi tersusun secara eksklusif atas orang-

orang Tionghoa yang berbahasa Tionghoa saja. Ia juga mencakup

orang-orang Kristen dari etnis-etnis non-Tionghoa. Fokusnya

pelayanannya diperluas dari hanya pada orang-orang Tionghoa

menjadi kepada semua suku bangsa, Tionghoa maupun non-

Tionghoa. Kelompok yang dideklarasikan dengan nama Sinode

Gereja Kristus Tuhan itu lantas menjadi semacam “inkorporasi

etnis”, dalam mana orang-orang Tionghoa Kristen yang minoritas

menurut etnisitasnya bergabung dengan orang-orang lain yang

minoritas menurut keagamaannya. Basis pemersatu kelompok

bukan lagi pada kesamaan etnis, dialek atau derah asal tetapi pada

kesamaan agama.

Pemerintah Orde Baru tampaknya puas dengan apa yang

diperbuat oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT. Mereka

senang karena sesuai dengan kebijakan asimilasi orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT tidak lagi berkumpul dengan sesama

orang Tionghoa saja, sudah mempergunakan bahasa Indonesia,

mendukung ideologi negara Pancasila dan patuh pada pemerintah.

Namun yang tidak teramati oleh pemerintah ialah cara orang-

orang Tionghoa Kristen di GKT mengatur kategori keanggotaan

kelompok-kelompok jemaat yang ada di dalamnya. Sebagai gereja

nasional Indonesia, pemerintah tampaknya berpikir bahwa

kategori yang dipergunakan dalam menyusun keanggotaan

kelompok adalah semata kebangsaan Indonesia. Itu berarti bukan

saja etnis lain diterima dalam gereja secara sinodal namun di level

lokal, di jemaat demi jemaat, orang dari etnis lain akan diterima

dan dijangkau secara sengaja serta diberi kesempatan yang sama

untuk menjadi pekerja gerejawi di jemaat mana saja.

Namun pemerintah Orde Baru keliru. Kategorisasi

keanggotaan yang tunggal dan baku semacam itu, yang dalam

kategorisasi Handelman disebut hierarkhis, sudah berakhir dengan

Page 5: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 225 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 perubahan nama, sifat dan bentuk organisasi gereja dari THKTKH

Klasis Jatim menjadi Sinode GKT. Kategori yang semula

hierarkhis kini dibuat menjadi lateral,4 di mana tiap-tiap jemaat

memiliki keleluasaan untuk menetapkan basis kategoris tersendiri

bagi keanggotaan dalam kelompoknya. Bak sebuah rumah besar

dengan banyak kamar, pintu masuk ke dalam rumah itu terbuka

lebar untuk siapa saja yang datang dan mau diam di dalamnya.

Namun tiap-tiap kamar yang sudah terisi memiliki syarat-syarat

masuk tersendiri. Bagi mereka yang tidak dapat terakomodasi

mereka dipersilakan mendiami kamar lain yang masih kosong;

atau meninggalkan rumah itu. Secara formal, seperti tampak dari

luar “rumah,” gereja ini terlihat nasional namun secara praktis di

dalam “kamar-kamar” rumahnya, masing-masing jemaat memiliki

basis-basis kategoris tersendiri dalam berelasi dan berinteraksi

dengan orang lain yang masuk ke dalam rumah atau mau

dimasukkan ke situ.

Dalam ungkapan yang lain, kelompok disusun lebih

menyerupai model multikultural (atau pluralisme budaya) dari

pada model asimilasi atau amalgamasi.5 Di bawah payung gereja

nasional Indonesia keunikan mereka yang berkumpul dalam tiap-

tiap jemaat diberi ruang untuk lestari. Di dalam dan melalui

kelompok yang macam inilah orang-orang Tionghoa Kristen di

GKT melakukan perbuatan-perbuatan yang menggagalkan

4 Untuk pengertian tentang susunan hierarkhis dan lateral lihat

Don Handelman, “The Organization of Ethnicity”, Ethnic Groups, Vol I

(1997): 192-193. Pada susunan lateral, tiap-tiap anggota kelompok dapat

memilih basis-basis kategoris yang mendasari relasi-relasi mereka dengan

sesamanya. Sifatnya dinamis dan fleksibel. Kategori-kategori seperti

etnis, pekerjaan, agama, hobi, pendidikan dan lain-lain dengan bebas

dipakai di mana perlu untuk menjalin relasi dengan orang lain. Pada

susunan hierarkhis, kategori-kategori yang mengatur hubungan antar

anggota bersifat tunggal, baku dan harus diikuti dengan patuh. Sifatnya

baku dan statis. 5 Untuk penjelasan lihat Peter I. Rose, They and We: Racial and

ethnic Relations in the united States (New York: Random House, 1967),

49-56.

Page 6: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

226 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA

maksud yang mau dicapai oleh kebijaksan asimilasi dan yang

malah melestarikan identitas ketionghoaannya.

Tampaknya faktor inilah yang membedakan orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT dari orang-orang Tionghoa lain yang

sebangun latar belakang sosial-kulturalnya. Setelah kaki-kaki

penyangga identitas Tionghoa (koran berbahasa Tionghoa,

sekolah asing Tionghoa dan ormas-ormas Tionghoa) dihapus oleh

pemerintah Orde Baru, orang-orang Tionghoa non-Kristen tidak

lagi memiliki suatu kelompok pengganti yang dapat membantu

mereka merawat komponen-komponen identitas tionghoanya.

Salah satu faktor penyebabnya mungkin karena tebalnya batas-

batas yang menandai kelompoknya dari kelompok lain. Pada

kelompok penganut Taoisme dan Konghucuisme, misalnya,

inkorporasi etnis dengan kelompok-kelompok minoritas lain

terhambat oleh persepsi yang terbangun tentang dua agama ini

sebagai agamanya orang Tionghoa. Pada orang-orang Tionghoa

Kristen di GKT agama justru membantu mereka berhubungan

dengan etnis lain dan memfasilitasi terbentuknya sebuah kelompok

dengan basis etnis yang lebih luas.

2. Melawan di Dua Medan

Perlawanan kelompok minoritas terhadap dominasi terjadi

dalam suatu situs yang didefinisikan Scott sebagai lokasi sosial di

mana balasan yang selama ini tidak terungkap, kemarahan yang

terpendam lama dalam hati dan kepahitan yang ditimbulkan oleh

relasi-relasi dominasi diungkapkan secara terang-terangan.6 Lokasi

ini bersifat sequestered, terasing, terpisah, meski tidak selalu berarti

tertutup sama sekali dari pandangan. Ia bisa berada di mana saja

bahkan di depan penguasa sekalipun. Ia bisa di tempat-tempat

umum seperti kedai minuman, kafe, penginapan dan kapel gereja,

6 Lengkapnya, “The sociall sites of the hidden trascript are those

locations in which the sunspoken riposte, stifled anger, and bitten tongues

created by relations of domination find a vehement, full-throated expression.” Lihat James C. Scott, Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts.

(New Haven: Yale University Press, 1990),120.

Page 7: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 227 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 juga di dalam rumah-rumah pribadi para penguasa itu sendiri. Ia

bahkan bisa, seperti dipikirkan Michel De Certeau, berada di

dalam praktik-praktik hidup sehari-hari seperti saat bercakap-

cakap, membaca, berbelanja, memasak, dan lain-lain.7 Ia dapat

terjadi di pusat-pusat kekuasaan-kekayaan (center) dan terlebih-

lebih di pinggiran (margin).8

Apapun tempat dan namanya, perlawanan terjadi di lokasi

yang diklaim sebagai ‘ruang milik kita.’ Sejumlah karakteristik

yang menandai lokasi ini ialah, pertama, di lokasi ini tidak ada

kontrol, pengawasan dan penindasan dari kaum dominan. Orang

merasa bebas untuk mengutarakan sikap, pikiran, dan isi hatinya

tanpa tekanan dan tanpa takut. Kedua, di lokasi ini orang-orang

mengenal satu sama lain dengan baik dan mereka sama-sama

mengalami dominasi.9 Dan terakhir, di lokasi ini orang-orang yang

didominasi mempergunakan kode-kode linguistik, dialek-dialek

dan gerak isyarat yang tidak dapat diterobos maknanya sebagai

perlawanan oleh penguasa.10

Meski sepintas menyebut kapel (gedung gereja kecil) dan

menyitir pikiran Weber tentang tokoh-tokoh dan aliran agama

namun Scott tidak memberikan elaborasi yang lebih jauh. Bisa jadi

karena data yang dimiliki tidak memberi informasi lebih banyak;

atau mungkin saja karena dari data-data yang tersedia dari masa

lalu gereja-gereja di Eropa lebih banyak berperan sebagai sekutu

negara dan penguasa dalam mendominasi kehidupan masyarakat

umum. Hal itu bisa kedengaran dalam komentarnya tentang sikap

7 Michel DeCerteau, The Practice of Everyday Life (Berkeley, CA.:

University of California Press, 1988), xix. 8 Bell Hooks, “Marginality As Site of Resistance” Out There:

Marginalization and Contemporary Cultures, ed. Russel Ferguson (Cambridge,

Mass.: The MIT Press, 1990), 341-343; juga lihat Sandra Jovchelovitch &

Jacqueline Priego-Hernandez, Underground Sociabilities: Identity, Culture and

Resistance in Rio de Janeiro’s favelas (Paris: UNESCO, 2013). 9 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 120. Lihat juga Anindita

Gosh, “Introduction,” Behind the Veil: Resistance, Women and the Everyday in

Colonial South Asia, ed. Anindita Gosh (New York: Palgrave Macmillan,

2008), 5. 10 Scott, Domination and the Arts of Resistance, 121.

Page 8: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

228 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA

otoritas gereja terhadap kedai-kedai minum, yang sama nadanya

dengan sikap para penguasa sipil. Oleh gereja tempat-tempat itu

dipandang sebagai places of subversion, tempat-tempat subversif.

Penelitian ini setidaknya memberitahukan dua lokasi

sosial penting dimana perilaku-perilaku yang berlawanan dengan

tuntutan kebijakan asimilasi dapat ditemukan. Lokasi pertama

adalah gedung gereja dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di

dalamnya; sementara lokasi kedua ialah di dalam sidang-sidang

sinode gereja.

Meski mungkin bukan lokasi yang benar-benar ideal

namun gedung gereja dan kegiatan-kegiatan yang berlangsung di

dalamnya secara relatif memenuhi kriteria Scott tentang sebuah

lokasi sosial perlawanan. Di lokasi ini kontrol dan kendali negara

secara langsung dapat dikatakan tidak ada. Tidak pernah terjadi,

selama masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah atau aparat

negara memata-matai atau menghentikan kegiatan-kegiatan yang

dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT di dalam

gedung gerejanya. Di lokasi ini hanya berhimpun orang-orang

yang mengenal baik satu sama lain, yang sama-sama mengalami

operasi kebijakan asimilasi.

Meski relatif aman dari kontrol dan intervensi pemerintah

namun transkrip tersembunyi tetap diperagakan dengan hati-hati.

Untuk kegiatan-kegiatan yang bisa diakses oleh orang-orang dari

luar komunitas, seperti ibadah hari Minggu, penggunaan bahasa

dan aksara Tionghoa diargumentasikan sedemikian rupa sebagai

medium pembinaan spiritual umat yang belum fasih berbahasa

Indonesia. Itu bukan untuk membangun apalagi menyatakan

sebuah identitas kultural yang terpisah dari identitas nasional

Indonesia. Peran bahasa sebagai alat komunikasi dikedepankan

dari pada perannya sebagai alat identifikasi sosial. Fungsi

pragmatis bahasa ditonjolkan dari pada fungsi ideologisnya.

Untuk kegiatan-kegiatan yang mengedepankan fungsi

ideologis bahasa seperti pembelajaran bahasa Tionghoa,

Page 9: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 229 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 kegiatannya dilakukan secara terbatas buat anak-anak orang

Tionghoa, sambil dengan cerdik diselubungi baju kegiatan

pembinaan spiritual anak. Anak-anak dari kategori tersebut

sengaja dipilih karena meminimalisir kemungkinan bocornya

informasi perbuatan terlarang itu kepada pihak luar. Walau

mereka tidak seagama namun sebagai bagian dari kaum yang

sama-sama menghadapi tekanan serupa dari pemerintah, diyakini

bahwa mereka tidak akan membocorkan informasi tentang

kegiatan tersebut kepada orang lain.11

Kalau gereja dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang

berlangsung di sana cocok dengan kategori Scott mengenai lokasi

sosial perlawanan, tidak demikian halnya dengan lokasi sosial

kedua, yaitu sidang-sidang sinode GKT. Lokasi ini unik karena di

satu pihak ia tidak bisa disebut sebagai lokasi yang dimiliki dan

dikuasai penuh oleh penguasa, sementara di pihak lain ia pun

tidak bisa disebut sebagai milik orang-orang Tionghoa Kristen di

GKT sepenuhnya. Bagi penguasa ia bukan publik karena kegiatan

yang berlangsung di dalamnya merupakan acara intern gereja.

Namun bagi orang-orang Tionghoa Kristen di GKT ia bukan

miliknya sepenuhnya karena penyelenggaraannya memerlukan

izin khusus dari penguasa dan dipantau pelaksanaannya. Bahkan,

seperti pernah terjadi pada sidang sinode tahun 1974, yang

terpaksa dihentikan karena Ketua Badan Pengurus Sinode GKT

dijemput paksa oleh polisi militer dari tempat acara, lokasi sosial

ini bisa sewaktu-waktu diintervensi langsung oleh penguasa.

Gambar 6.1. Lokasi Sosial Interaksi dengan Penguasa

11 Sampai berakhirnya era Orde Baru tidak pernah kedengaran ada

teguran khusus, atau tindakan lain yang dilakukan oleh aparat negara terhadap jemaat-jemaat yang mengadakan pembelajaran bahasa Tionghoa.

Ruang Kita:

Gereja

Ruang Publik Kita: Sidang-

sidang Sinode

Ruang Publik

Penguasa

Page 10: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

230 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA

Seperti diilustrasikan oleh Gambar 6.1, interaksi orang-

orang Tionghoa Kristen di GKT dengan penguasa dapat terjadi

dalam tiga macam ruang. Gedung gereja dan kegiatan-kegiatan di

dalamnya dapat dikatakan sebagai lokasi yang benar-benar “ruang

kita.” Di sini elemen-elemen ketionghoaan yang coba disingkirkan

atau yang mau dihapus dari “ruang publik” dapat dengan leluasa

dilestarikan. Lokasi-lokasi sosial di luar gedung gereja adalah

ruang publik, tempat di mana interaksi langsung muka dengan

muka dengan penguasa dan masyarakat umum terjadi. Di sini

operasi kekuasaan begitu masif sehingga tak ada kesempatan

untuk menampilkan penanda-penanda ketionghoaannya. “Ruang

publik kita” adalah ruang yang berada di antara “ruang kita” dan

“ruang publik.” Sidang-sidang sinode GKT berlangsung di dalam

lokasi ini. Di sini orang-orang Tionghoa Kristen di GKT bertemu

dan membicarakan agenda-agenda keagamaannya dan soal-soal

yang berhubungan dengan negara, pemerintah dan masyarakat

luas. Ruang ini unik karena di satu pihak diklaim sebagai “ruang

kita” namun di pihak lain tidak sepenuhnya dalam kendali “kita”

sebab eksistensinya ditentukan pula oleh kontrol dan pengawasan

penguasa.

“Ruang publik kita” berbeda dari kategori “ruang publik”

yang diteorikan Scott untuk beberapa alasan. Pertama, di sini tidak

tersedia medium budaya yang polisemis yang dapat dipakai untuk

menyampaikan pesan-pesan perlawanan secara terselubung. Sikap

oposisi orang-orang Tionghoa Kristen di GKT terhadap sejumlah

besar unsur budaya Tionghoa dan belum terserapnya budaya lokal

membuat alternatif yang tersedia lebih banyak pada kecerdikan

dan kecermatan dalam menegosiasikan agenda-agendanya dengan

agenda-agenda pemerintah. Cara kerjanya mirip dengan yang

sehari-hari dilakukan dalam berbisnis. Ada yang ditawarkan, ada

yang dibeli. Ada yang dilepas, ada yang diambil. Tergantung pada

bagaimana situasi “pasar” di suatu momen perjumpaan dengan

representasi penguasa.

Kedua, jika di ‘ruang publik’ transkrip yang diperagakan

adalah transkrip publik dan di ‘ruang kita’ ialah transkrip

Page 11: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 231 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 terselubung, maka di ‘ruang publik kita’transkripnya bisa transkrip

terselubung atau transkrip publik. Penggunaannya ditentukan oleh

sedikit-dikitnya dua faktor. Pertama, pada kondisi soliditas internal

kelompok; dan kedua, pada kuat lemahnya tekanan eksternal yang

dirasakan dari pihak penguasa.

Manakala tekanan eksternal dari pihak pemerintah dirasa

kuat, seperti pada awal-awal kekuasaan rezim Orde Baru, sekuat

apapun soliditas kelompok sedikitpun tidak bisa mengangkat

posisi tawar yang lemah di depan pemerintah. Konsekuensinya,

transkrip yang diperagakan adalah transkrip publik. Komponen-

komponen identitas Tionghoa dengan mudah ditukar dengan

komponen-komponen identitas nasional Indonesia. Kalau kondisi

internal tidak solid sementara tekanan eksternal tetap kuat maka

posisi tawar tetap lemah sehingga negosiasi tidak memungkinkan.

Yang dilakukan adalah melepas komponen-komponen identitas

primordial dan merangkul sepenuh-penuhnya identitas nasional.

Setelah internal kelompok mulai solid dan tekanan penguasa

dirasa berkurang, elemen-elemen identitas sosial-kultural yang

dahulu “diobral” kini diklaim kembali.

Gambar 6.2. Dinamika Perlawan di ‘Ruang Publik Kita’

Pemerintah, Negara

Kelompok solid + tekanan

eksternal kuat = Transkrip publik.

Kelompok pecah + tekanan

eksternal kuat = Transkrip publik. Kelompok solid

+ tekanan eksternal lemah =

Transkrip terselubung.

Page 12: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

232 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA

B. Identitas Dalam Ketegangan

Bila merangkul identitas nasional Indonesia adalah titik

tuju dari kebijakan asimilasi; dan kalau orang-orang Tionghoa

Kristen di GKT dengan cara-cara yang mungkin telah melawan

paksaan itu, maka menjadi perlu untuk diketahui identitas macam

apa yang kemudian dikonstruksi dari perlawanan itu. Arus utama

pemikiran sosial di wilayah teori identitas sepakat bahwa identitas

tidak dapat lagi diterima sebagai konstruksi sosial yang tunggal,

stabil, baku, dan tidak berubah dari waktu ke waktu.12 Identitas

berubah mengikuti berbagai macam faktor relasi manusia di dalam

atau di luar kelompoknya. Karenanya identitas seseorang itu

jamak, banyak, multipel.13

Gagasan tersebut kuat mengemuka dalam studi-studi yang

dilakukan atas identitas orang Tionghoa setelah runtuhnya rezim

Orde Baru.14 Lokasi geografis, jarak antar generasi, pendidikan,

kultur dan level pergaulan sosial dengan masyarakat setempat

serta kebijakan negara atas orang Tionghoa adalah faktor-faktor

yang dipandang telah berkontribusi kepada multiplisitas tersebut.

Sebagai ganti identitas yang tunggal, identitas yang kemudian

dibentuk adalah identitas yang bersifat hibrida.15 Identitas ini

berlokasi di tengah, di antara yang pribumi dan non-pribumi,

Tionghoa dan non-Tionghoa. Identitas ini tidak baku dan tetap

karena terus berproses meramu material-material kultural dan

12 Lihat Rina S. Onorato & John C. Turner, “Fluidity in self

concept: the shift from personal to social identity”, European Journal of Social

Psychology, 34 (2004): 257-278. 13 Lihat Peter J. Burke & Jan E. Stets, Theory of Identity (New York:

Oxford University Press, 2009), 3. 14 Lihat Mely G. Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia—Kumpulan Tulisan.

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 156-190; Thung Ju Lan, “Susahnya Jadi Orang Cina: Ke-Cina-an sebagai Konstruksi Sosial,” Harga Yang Harus

Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, ed. I. Wibowo (Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2000), 169-190. 15 Chang-Yau Hoon, “Assimilation, Multiculturalism, Hybridity:

The Dillemas of the Ethnic Chinese in Post-Suharto Indonesia,” Asian

Ethnicity, Vol 7, No. 2 (June 2006): 149-166. Juga lihat Darwin Darmawan,

Identitas Hibrid Orang Cina (Yogyakarta: Gading Publishing, 2014).

Page 13: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 233 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 sosial dari kutub-kutub di sekelilingnya demi mendapatkan

identitas yang cocok dan berguna di lokasi dan situasi sosial

tertentu. Karakteristik-karakteristik yang berbeda-beda dirangkul

sekaligus dipadu menjadi kombinasi identitas yang bersifat

kondisional.

Dalam studinya atas identitas orang-orang Tionghoa

Kristen, Darwin Darmawan berpendapat bahwa hibriditas ini

muncul dari interaksi tiga agensi: Cina, Indonesia dan Kristen.16

Di satu waktu interaksinya bisa dalam ketegangan sementara di

waktu lain negosiasi, tergantung pada konteks sosial dan politik

yang dihadapi oleh orang-orang Tionghoa Kristen.17 Identitas ini

lebih tepat digambarkan sebagai “sebuah perjalanan yang

dinamis” dalam mana yang terpenting bukan titik awal perjalanan

melainkan proses apa yang terjadi di tengah perjalanan dan ke

rupa mana proses ini akan berakhir.18

Kurun waktu 1968-1998 adalah kurun waktu yang

panjang. Dalam masa yang panjang ini, corak bangunan identitas

orang-orang Tionghoa Kristen di GKT dipengaruhi oleh interaksi

mereka dengan dua kutub utama identitas: identitas nasional

Indonesia dan identitas etnis. Kutub identitas nasional Indonesia

adalah identitas baru, yang dipaksakan secara sosial dan politik

kepada mereka sementara kutub identitas etnis adalah identitas

yang dibawa dari masa lalu, jauh sebelum rezim Orde Baru

muncul di nusantara.

Pada tataran kelembagaan di tingkat sinodal, khususnya di

ruang-ruang publik di mana mereka berhadap-hadapan langsung

dengan penguasa, bangun identifikasi diarahkan kepada kutub

identitas nasional Indonesia. Komponen-komponen identitas

tersebut diambil dan dikenakan sementara komponen-komponen

identitas etnis ditanggalkan. Pada ruang tengah, atau ‘ruang publik

kita’ dua kutub yang bertentangan ini coba dinegosiasikan

16

Darmawan, Identitas Hibrid Orang Cina, 32. 17

Ibid. 18

Ibid., 32-33.

Page 14: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

234 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA

sedemikian rupa supaya di satu pihak terlihat ke-Indonesiaan,

sementara di pihak lain ciri-ciri ketionghoaan tetap terjaga. Pada

tataran lokal di tingkat jemaat-jemaat, jalan yang ditempuh di level

sinodal tidak sepenuhnya diikuti. Komponen-komponen identitas

yang dibawa dari “rumah Muumbi”—meminjam istilah Harold

Issacs—terus dipertahankan dan corak identitas dibuat terarah

kepada identitas etnis.

Pulihnya hubungan diplomatik Indonesia dengan

Tiongkok pada tahun 1990 tampaknya memberi dorongan

tersendiri kepada penguatan sekaligus pengungkapan identitas

etnis kepada publik. Ruang sosial-politik yang lebih terbuka

memberi kesempatan untuk membuat kontak-kontak dan

berinteraksi dengan sesama orang Tionghoa Kristen di tempat

lain. Kontak dan interaksi ini kemudian berkontribusi balik kepada

penguatan kesadaran yang semakin kuat dan kepada penegasan

ketionghoaan yang lebih nyata kepada publik. Jika dalam dua

dekade sebelumnya, corak identitas tersebut disembunyikan rapat-

rapat, pada dekade ini ia perlahan-lahan diekspresikan dengan

terbuka kepada publik.

Bahwa kedua-duanya dirangkul tidak serta merta berarti

bahwa keduanya telah diterima dengan bulat sebagai komponen-

komponen penyusun identitas yang setara. Sampai berakhirnya

periode penelitian ini, dua kutub identitas ini terus berkontestasi.

Satu sama lain masih terlibat dalam kompetisi kalah-menang di

mana merangkul yang satu akan berakibat menghilangkan yang

lain, atau sedikit-dikitnya membuatnya tidak ada artinya. Jika

identitas tengah, yang diperagakan di ‘ruang publik kita’, dapat

diterima sebagai identitas ideal yang bersifat hibrida, maka corak

identitas tersebut tampaknya belum dilihat sebagai sasaran akhir

yang akan dicapai. Situasi ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan

Orde Baru yang sama sekali tidak memberi ruang kepada

timbulnya “identitas tengah” di mana baik keindonesiaan maupun

ketionghoaan dipadu seimbang. Pilihan yang tersedia bagi orang-

orang Tionghoa Kristen di GKT hanya identitas nasional

Indonesia saja. Karenanya, sampai runtuhnya rezim Orde Baru,

Page 15: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 235 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 corak identitas orang-orang Tionghoa Kristen di GKT dapat

dikatakan sebagai identitas dalam ketegangan—dalam tarik

menarik yang konstan antara ke Indonesia dan ke Tionghoa.

Dalam penelitiannya tentang identitas, Manuel Castell

menemukan dua corak identitas yang mungkin dikonstruksi oleh

orang-orang yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan dominan.19

Yang pertama adalah resistance identity, atau identitas perlawanan.

Corak identitas ini bertolak belakang dengan identitas pelegitimasi

(legitimizing identity), yang dipaksakan ke atas yang didominasi

oleh pihak yang mendominasi. Bagi yang didominasi, identitas

perlawanan adalah “parit perlindungan” yang melindungi

sekaligus basis untuk melancarkan perlawanan terhadap institusi-

institusi dan identitas-identitas dominan.

Meski sifatnya melawan namun identitas perlawanan

tidak memberi kemungkinan bagi pihak yang didominasi untuk

menang. Itu hanya bisa dicapai bila mereka berhasil membangun

macam identitas kedua yang disebut Castell dengan nama project

identity, atau identitas proyek. Identitas yang bersifat sintesis ini

menawarkan suatu identitas baru di mana perbedaan-perbedaan di

antara yang didominasi dan yang mendominasi dilampaui. Oleh

identitas ini keduanya dibawa ke level relasi dan interaksi sosial

yang baru, di mana keduanya kini ditaruh dalam posisi sosial yang

setara. Identitas proyek pada hakikatnya adalah sebuah identitas

perlawanan juga namun tidak seperti yang dilakukan oleh aktor-

aktor identitas perlawanan, yang bertahan dan menyerang di

dalam “parit-parit perlindungan” sosial atau ghetto-ghetto, aktor-

aktor yang memperjuangkan identitas proyek keluar dari sana.

Mereka menawarkan suatu wacana identitas baru, yang sifatnya

menantang sekaligus mendorong sistem sosial dominan untuk

merekonstruksi struktur-strukturnya supaya adil bagi semua.

Identitas perlawanan dapat berhasil membangun komunitas

tertutup yang solid namun ia tidak berdaya melakukan

transformasi sosial. Identitas proyek memberdayakan komunitas

19 Castell, The Power of Identity, 8.

Page 16: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

236 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA

untuk transformasi sosial. Di dalam kategorinya jarak antara

“kami” dan “mereka” dilenyapkan. Yang tersisa ialah “kita.”

Dalam konfigurasi identitas yang dibicarkan Castell,

identitas dalam ketegangan kiranya masih dapat digolongkan ke

dalam jenis identitas perlawanan. Ia timbul dari situasi dominasi,

yang dialami oleh sekelompok orang minoritas yang dipaksa

untuk menanggalkan identitas lamanya dan mengenakan suatu

identitas yang berbeda. Terlepas dari kuatnya paksaan yang

dialami, identitas dalam ketegangan rupanya menyediakan ruang

gerak yang cukup memadai bagi upaya-upaya melestarikan

komponen-komponen identitas yang dibawa dari masa lalu.

Namun demikian dalam soal apakah identitas macam ini

menolong orang-orang minoritas mendapatkan penerimaan dan

perlakuan yang lebih adil dalam masyarakatnya, penelitian ini

memperlihatkan bahwa jawabannya adalah tidak.

Setidaknya ada dua alasan yang dapat menjelaskan hal

tersebut. Pertama, karena identitas dalam ketegangan tidak

memberikan batasan-batasan kategoris diri dan kelompok yang

sepenuhnya disepakati secara internal. Identitas ini masih belum

mampu mengikat dan menyatukan kelompok menurut suatu

kategori sosial-kultural tertentu. Tarik menarik ke arah kutub

identitas Tionghoa dan identitas nasional Indonesia masih belum

tiba pada titik ekuilibrium. Konsekuensinya kelompok tidak punya

titik berangkat yang kokoh untuk bertemu dan membangun kerja

sama dengan orang-orang dalam kategori yang lebih luas. Hal itu

juga menghalangi timbulnya wacana-wacana identitas alternatif

yang dapat ditawarkan kepada pihak mayoritas. Di sisi lain, yang

kedua, batasan-batasan kategoris yang ditetapkan lawan belum

sampai pada spektrum identitas yang cukup luas. Segala hal yang

beraroma Tionghoa tidak diberi tempat dalam kategori orang

Indonesia. Karenanya menjadi sukar untuk menawarkan suatu

wacana identitas alternatif, yang di dalamnya unsur-unsur

ketionghoaan yang diharamkan itu masih dapat ditemukan.

Pilihan yang kemudian diambil adalah di ruang yang satu tampil

Page 17: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 237 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 dengan corak identitas tertentu, sementara di ruang yang lain

dengan corak identitas yang berbeda.

C. Agama sebagai Tembok Pelindung dan Sumber Daya

Perlawanan

Teori-teori tentang peran agama dalam asimilasi,

umumnya sepakat dengan peran positif agama.20 Meski keinginan

untuk melestarikan identitas unik kelompok terus ada namun

karena tekanan struktur sosial masyarakat dan demi mewujudkan

impian di negeri yang baru membuat berasimilasi sulit untuk

dihindari.21 Dalam ungkapan Will Herberg, seorang peneliti

asimilasi imigran di AS pada era 50-an, akhirnya agamalah yang

akan memberi seorang pendatang di Amerika suatu tempat yang

dapat dikenali di dalam kehidupan Amerika.22 Dengan kata lain,

agama menolong orang untuk diterima di dalam masyarakat.

Kesimpulan ini ditegaskan kembali oleh risat Kaba dan Warner

bertahun-tahun kemudian. Keduanya berpendapat bahwa agama

memfasilitasi asimilasi dan integrasi pendatang ke dalam

masyarakat penerima (host society).23

20 Lihat Joseph F. Healey, Race, Ethnicity, Gender and Class: The

Sociology of Group Conflict and Change (Thousand Oaks, CA.: Sage

Publications, Inc., 2012), 71. 21 Helen G. McDonald & Pallassana R. Balgopal, “Conflicts of

American Immigrants: assimilate or retain ethnic identity”, Migration World

Magazine, May-June1998 v26 n4 p14 (15): 3. Menurut Gordon orang white

Protestant (orang Protestan putih) adalah kelompok etnis terbesar di AS pada

masanya. Merekalah yang diacu ketika orang berkata tentang masyarakat AS

secara umum. Merekalah kelompok dominan masyarakat AS. Lihat Milton M. Gordon, Assimilation in American Life (New York: Oxford University Press,

1964), 221. 22 Dalam Phillip Connor, “Contextualizing Immigrant Religious

Participation: A Test of Heterogeneity and Religious Proportionality”, McGill

Social Statistic Master Working Paper, August 2005, Series #2005-1: 2. 23 Amadu Jacky Kaba, “Religion, Immigration and Assimilation:

the Hispanic/Latino Population in the United States and the North

African/Muslim Population in Europe”, Asian Journal of Latin American

Studies, Vol. 21, Number 2, 2008: 94; R. Stephen Warner, “The Role of

Page 18: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

238 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA

Dalam proses itu agama memainkan tiga peran penting,

yang disebut Charles Hirschman dengan istilah tiga R: refuge,

respect dan resource.24 Sebagai refuge, agama memberikan kelegaan

psikologis dari beratnya beban penyesuaian diri di lingkungan

hidup yang baru. Dengan ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan

keagamaan, orang memperoleh penghiburan emosional dari rasa

cemas, gelisah, takut dan terasing di negeri yang baru. Sebagai

respect, agama memfasilitasi diperolehnya rasa hormat dari

masyarakat dengan cara memberikan kesempatan-kesempatan

kepada para pendatang untuk menduduki posisi-posisi

kepemimpinan di lembaga-lembaga keagamaan, mendapatkan

pendidikan yang baik dari sekolah-sekolah parokial dan akhirnya

penerimaan politis. Terakhir, sebagai resource, organisasi

keagamaan memfasilitasi diperolehnya perumahan, pendidikan,

ketrampilan berbahasa setempat dan sekaligus pekerjaan dengan

cara membagi-bagikan informasi mengenai hal-hal tersebut kepada

para imigran, atau menyediakannya melalui badan-badan sosial

yang dikelola oleh lembaga keagamaan.

Seperti sudah dibahas di Bab II, studi-studi terhadap

orang-orang Tionghoa di zaman Orde Baru cenderung

berpendapat bahwa agama, khususnya agama Kristen, Katolik dan

Islam, memainkan peran yang positif terhadap asimilasi dan

integrasi orang Tionghoa.25 Namun pendapat ini agaknya mulai

diragukan. Studi Andreas Susanto atas orang-orang Tionghoa di

Religion in the Process of Segmented Assimilation”, ANNALS, AAPSS, 612,

July 2007: 105, 109-110. 24 Charles Hirschman, “The Role of Religion in the Origins and

Adaptation of Immigrant Groups in the United States”, makalah untuk

konferensi mengenai Conceptual and Methodological Developments in the Study of

International Migration, Princeton University, May 23- 25, 2003: 26-28. Lihat

juga Phillip Connor, “Religion as resource: Religion and immigrant economic

incorporation”, Social Science Research 40 (2011): 1350. 25 Lihat Stuart W. Greif, “WNI” Problematik Orang Indonesia Asal

Cina (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1991), 127; juga Leo Suryadinata,

Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: PT Grafiti Pers, 1984), 205; Junus Jahja,

“Menyelesaikan ‘Masalah Tionghoa’ dengan Persaudaraan Islam (Ukhuwah

Islmyah)” dalam Leo Suryadinata, ed. Pemikiran Politik Etnis Tionghoa

Indonesia 1900-2002 (Jakarta: LP3ES, 2005), 249-254.

Page 19: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 239 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 Yogyakarta menemukan bahwa sikap orang Tionghoa terhadap

asimilasi tidak bisa disebut tunggal. Respons mereka bermacam-

macam dan hal itu menghasilkan kategori orang-orang Tionghoa

yang bermacam-macam pula.26 Terkait dengan agama, Susanto

mendapati bahwa peran yang dimainkan agama pada dasarnya

sama, yaitu sebagai alat untuk menghindar dari dilabeli sebagai

orang Tionghoa, yang dirasa membawa konsekuensi sosial, politik

dan ekonomi yang tidak menguntungkan.27

Kalau kesimpulan Susanto hendak dibaca dalam kerangka

teoretis Hirschman, agaknya temuan itu cocok dengan peran

agama sebagai alat untuk memperoleh respek dari masyarakat.

Namun respek macam ini mungkin bisa didapatkan oleh orang

Tionghoa yang memeluk agama Islam.28 Bagi pemeluk agama

Kristen, hal sebaliknya yang didapatkan. Menganut agama Kristen

masih dipandang oleh masyarakat sebagai indikasi keengganan

untuk berasimilasi, bahkan sebagai perlawanan terhadap

kebijaksanaan pemerintah untuk mengadopsi identitas pribumi.29

Sayang sekali riset Susanto tidak memberikan penjelasan yang

memadai tentang bagaimana pandangan semacam itu dapat

terbentuk di kalangan orang non-Tionghoa.

Di pihak lain, ia hanya merasa heran dengan fakta bahwa

ada lebih banyak orang Tionghoa yang beragama Kristen dari

pada Katolik. Sebab jika alasan menjadi Kristen adalah untuk

mempertahankan budaya dan ritual tradisional Tionghoa maka

semestinya Katoliklah yang dipilih; karena Katolik lebih toleran

26 Ia mencatat ada empat macam orang Tionghoa dengan empat

respons berbeda terhadap asimilasi. Keempatnya adalah natural assimilationist,

opportunistic assimilationist, symbolic assimilationist dan cosmopolitant

assimilationist. Lihat Andreas Susanto, “Diversity in Compliance: Yogyakarta

Chinese and the New Order Assimilation Policy” dalam Chinese Indonesians

and Regime Change, ed. Marleen Dieleman et all. (Leiden: Brill, 2011), 72-78. 27 Susanto, 80. 28 Meski menurut Susanto, menjadi muslim tidak pula menjamin

penerimaan yang penuh dalam masyarakat. Lihat ibid., 81-82. 29 Ibid., 81. Perasaan bahwa menjadi Kristen tidak berarti membuat

seorang Tionghoa diterima telah berasimilasi dialami pula oleh seorang

informan Greif pada era 80-an.. Lihat Greif, “WNI”, 42.

Page 20: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

240 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA

dalam soal-soal budaya dari pada Kristen. Berangkat dari teori-

teori konversi religius orang-orang Tionghoa30 ia menduga hal itu

bersumber pada karakter sejumlah denominasi Protestan yang

dimasuki oleh orang Tionghoa. Di dalamnya tersedia ruang bagi

suatu bentuk individualisme, yang memungkinkan orang

Tionghoa dapat memiliki gereja yang didominasi oleh orang

Tionghoa lengkap dengan atribut-atribut budayanya sendiri.31 Hal

ini mustahil didapatkan di dalam Gereja Katolik.

Kalau demikian, peran agama dalam asimilasi orang

Tionghoa, khususnya peran agama Kristen, sebetulnya tidak

melulu positif. Agama dapat pula memainkan peran sebaliknya,

melawan arus asimilasi dengan menyediakan kemungkinan-

kemungkinan dan ruang-ruang yang aman bagi terpeliharanya

suatu identitas tersendiri. Riset ini meneguhkan hal itu. Hanya saja

kalau tesis Susanto yang dibangun dari teori konversi agama,

temuan penelitian ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan

konversi semacam itu. Sejak zaman kolonial, bahkan jauh sejak

masih di Tiongkok, orang-orang Tionghoa Kristen di GKT sudah

memeluk agama Kristen.

Jika demikian, dalam cara bagaimanakah agama orang-

orang Tionghoa Kristen di GKT memfasilitasi penolakan untuk

berasimilasi? Dalam studi-studi yang meneropong peran agama

dalam politik, agama umumnya dilihat memainkan peran

melumpuhkan atau menginspirasi perlawanan secara terang-

30 Pendapat Susanto dibangun di atas teori Hefner tentang konversi

religius orang Jawa menjadi Kristen dan teori The Siauw Giap tentang konversi religius orang Tionghoa di Indonesia dan Malaysia menjadi muslim.

Lihat Robert W. Hefner, “Of Faith and Commitment: Christian Conversion in Muslim Java” dalam Conversion to Christianity: Historical and Anthropological

Perspectives on Great Transformation, Robert W. Hefner, ed. (California:

University of California Press, Ltd., 1993), 99-125 dan The Siauw Giap,

“Islam and Chinese Assimilation in Indonesia and Malaysia” dalam Chinese

Beliefs and Practices in Southeast Asia, Cheu Hock Tong, ed. (Selangor:

Pelanduk Publication, 1993), 59-99. 31 Susanto dalam Chinese Indonesians and Regime Change, 82-83.

Page 21: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 241 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 terangan.32 Peran pertama umumnya dimainkan oleh kaum elit

dengan maksud mengokohkan dominasinya, sementara peran

kedua dimainkan oleh kaum miskin dan tertindas demi melawan

penindasan dan ketidakadilan.33 Dari sudut pandang Gramscian,

Billings berpendapat bahwa kedua peran ini sama-sama

membutuhkan tumbuhnya suatu pemikiran kritis (critical

understanding), baik yang sifatnya mendukung dominasi maupun

yang menolaknya. Pada kelompok di mana agama menginspirasi

perlawanan, pemikiran kritis ini akan muncul bila tiga syarat

terpenuhi. Pertama, tersedianya organisasi otonom yang bebas dari

campur tangan luar, atau tersedianya ruang bebas di dalam

organisasi di mana praanggapan-praanggapan ideologis kelompok

dominan dapat ditelaah secara kritis. Kedua, hadirnya kaum

intelektual yang membantu mengembangkan pandangan dunia

alternatif yang menantang status quo dan bekerja keras mendidik

orang-orang yang ada di dalam gerakan yang mendukung atau

melawan dominasi. Dan yang terakhir, harus ada suatu komunitas

yang menerima pandangan dunia alternatif itu dan

mempraktikkannya dalam keseharian.34 Intinya, perlu ada ruang

sosial yang bebas tekanan, intelektual yang memproduksi ideologi

alternatif dan kelompok sosial yang mempratikkan ideologi

tersebut.

Studi lebih lanjut coba mengurai peran agama dari tiga

aspeknya, yaitu dari aspek ajaran, institusi dan kelompok sosial-

kulturalnya.35 Aspek ajaran berhubungan dengan teologi atau

sistem kepercayaannya, sementara aspek institusi menyentuh

organisasi keagamaan, peraturan-peraturan, tradisi, kebiasaan-

32 Fredrick C. Harris, Something Within: Religion in Arican-American

Political Activism (New York: Oxford University Press, 1999), 4. 33 John Raines, ed., Marx On Religion (Philadelphia: Temple

University Press, 2012), 168. 34 Dwight J. Billings, “Religion As Opposition: A Gramscian

Analysis” dalam The American Journal of Sociology Vol. 96, No. 1 (Jul., 1990):

27. 35 Kenneth D. Wald & Allison Calhoun-Brown, Religion and Politics

in the United States (Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.,

2011), 25.

Page 22: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

242 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA

kebiasaan dan praktik-praktik yang berjalan sehari-hari. Aspek

kelompok sosial-kultural menyentuh hal-hal yang berkaitan

dengan anggota-anggota organisasi agama ini dan ciri budaya

mereka yang unik. Ketiga faset ini diyakini dapat mendorong

sekaligus memperlengkapi lembaga-lembaga agama ke dalam

aktivitas politik.36 Aspek ajaran menyediakan ideologi; institusi

menyediakan akses, komunikasi sekaligus ketrampilan untuk

berpartisipasi dalam aktivitas politik; sementara identitas sosial-

budaya kelompok berperan menyediakan motif dan sebagai alat

untuk memobilisasi dan membangun koneksi dengan kekuatan-

kekuatan sosial serupa lainnya.37

Meski memiliki ruang-ruang sosial yang relatif aman dari

tekanan, penelitian ini memperlihatkan bahwa agama tidak

mendorong keterlibatan dalam suatu aktivitas politik yang

bertujuan menghapuskan kebijakan asimilasi. Faktor yang paling

krusial tampaknya dimainkan oleh elit pemimpin dan kaum

intelektual keagamaan, yang belum mampu mengembangkan

suatu wacana alternatif tentang tempat identitas orang Tionghoa

di tengah-tengah wacana identitas nasional Indonesia versi rezim

Orde Baru. Wacana semacam itu malah tidak diberi ruang sama

sekali untuk muncul seiring dengan pemisahan tegas antara agama

dan politik. Wacana dan aktivisme itu adalah politis dan tidak kait

mengkaitnya dengan agama.38

Dari sisi yang lebih ideologis yakni di level ajaran-ajaran

agama, keterlibatan sosial tidak dapat terjadi karena ajaran-ajaran

keagamaan yang dianut tidak mensuplai suatu visi sosial

kemasyarakatan yang dapat menginspirasi tindakan keluar untuk

menuntut perubahan. Meski di tingkat personal kebijakan

asimilasi dikeluhkan dan dipandang tidak adil namun pengajaran-

pengajaran agama yang disampaikan lebih fokus pada kesalehan

36 Wald & Calhoun-Brown, Religion and Politics in the United States,

26. 37 Harris, Something Within, 8-9. 38 “Kumpulan Keputusan Sidang Sinode Ke-2 Tahun 1969” dalam

buku Tata Gereja dan Peraturan Khusus Gereja Kristus Tuhan, 63.

Page 23: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 243 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 personal dari pada sosial; lebih berorientasi pada gereja dan

kehidupan dunia yang akan datang dari pada kehidupan saat ini

dalam masyarakat luas.

Pada tataran institusi keagamaan, praktik-praktik yang

dijalankan belum diarahkan sebagai sarana pendidikan dan

pelatihan untuk sebuah aktivitas politis di tengah masyarakat.

Institusi keagamaan yang dibangun sejak zaman kolonial sampai

zaman Orde Lama malah menjauhkan mereka dari kekuatan-

kekuatan sosial yang berjuang melawan ketidakadilan. Akibatnya,

macam komunitas keagamaan yang terbangun adalah komunitas

yang terpisahkan dari yang lain, bahkan dari sesama orang

Tionghoa yang tidak sebudaya (baca: Tionghoa peranakan).

Dengan demikian, agama tidak dimainkan sebagai yang

memfasilitasi dan menginspirasi timbulnya “serangan keluar”

melainkan sebagai yang melindungi identitas kulturalnya dari

gempuran kebijakan asimilasi. Peran itu dimainkan dengan

kecerdikan memanfaatkan celah yang disediakan oleh kebijakan

Orde Baru tentang agama yang sah serta oleh posisi strategis

agama di dalam menghancurkan komunisme dan di dalam

pembangunan Indonesia.

Orang Tionghoa Kristen di GKT paham bahwa agama

yang dianutnya adalah salah satu dari agama yang sah yang diakui

oleh pemerintah. Mereka tampaknya mengerti bahwa agamanya

punya peran dan kedudukan yang penting dalam proyek politik

Orde Baru. Karena itu agamanya lantas diperlihatkan sebagai

pendukung setia negara dan pemerintah. Ajaran agama

dinyatakan sejalan dengan Pancasila, ideologi negara, sementara

para intelektualnya, sekalipun bukan WNI, adalah pelopor dan

pengemban Pancasila. Para pemimpinnya adalah penghayat dan

pengamal Pancasila, sementara anggota-anggotanya patuh kepada

segala kebijakan pemerintah.

Taktik semacam itu membuat lembaga dan komunitas

keagamaannya dipercayai oleh pemerintah dan pada gilirannya

Page 24: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

244 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA

menjadi tempat yang aman bagi pelestarian komponen-komponen

identitas kulturalnya. Demi pembinaan agama yang maksimal izin

penggunaan bahasa Tionghoa dalam gereja diberikan. Celah itu

dimaksimalkan lebih jauh lagi dengan mengajarkan bahasa itu

secara diam-diam di jemaat-jemaat dan di sekolah teologi milik

gereja.

Peran militer yang dominan dalam memastikan kebijakan

asimilasi berjalan sesuai keinginan pemerintah, disiasati oleh

orang-orang Tionghoa Kristen di GKT dengan membangun relasi

dan komunikasi yang baik dengan mereka. Memanfaatkan tali

persaudaraan sesama penganut agama yang sama, komunikasi dan

koneksi yang erat dibangun melalui sejumlah perwira militer

Kristen yang bertugas di bidang pembinaan rohani Kristen untuk

para tentara. Hubungan yang terjalin baik berhasil meyakinkan

penguasa militer setempat untuk merestui pemakaian bahasa

Tionghoa dalam gereja. Kecerdikan taktik ini adalah bahwa ruang

aman bagi tetap lestarinya penanda-penanda identitas Tionghoa

diamankan justru oleh pihak yang di luar dikenal giat berusaha

menghapuskannya.

Mengkaji ulang kegagalan proyek asimilasi pemerintah

Orde Baru, Leo Suryadinata menemukan bahwa hal itu terjadi

karena di dalam jaminan kebebasan beragama yang diberikan oleh

pemerintah Orde Baru orang-orang Tionghoa di Indonesia

mendapat kesempatan untuk melestarikan identitas Tionghoanya

“di balik identitas agama” minoritas yang dianutnya.39 Dalam

kajiannya, agama minoritas yang dibicarakan Suryadinata adalah

“agama Buddha, Tridharma dan Kong Hu Cuisme.”40 Ia sama

sekali tidak membicarakan tentang agama Kristen. Namun, seperti

dicermati oleh Judith Nagata tentang peran lembaga-lembaga

keagamaan Kristen bagi penyuburan identitas Tionghoa, agama

Kristen pun memainkan peran seperti yang terjadi pada agama

Buddha dan Tridarma dan Kong Hu Cuisme. Agama ini tidak

39 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah

Bunga rampai 1965-2008 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), 221. 40 Ibid.

Page 25: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 245 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998 mendorong mereka keluar tetapi dengan lihai telah dipergunakan

untuk melindungi identitas Tionghoa dari gempuran habis-habisan

kebijakan asimilasi yang datang dari segala arah.

D. Penutup

Menimbang perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT terhadap pelaksanaan kebijakan

asimilasi pemerintahan Orde Baru, tiga hal pokok yang menjadi

kontribusinya kepada teori-teori perlawanan terhadap dominasi

adalah mengenai ruang, hasil perlawanan dan strategi yang

dimainkan agama.

Tentang ruang perlawanan, penelitian ini memperlihatkan

bahwa selain ruang privat dan ruang publik, panggung depan dan

panggung belakang, masih ada sebuah ruang lain yang berada di

antara keduanya. Di ruang ini, transkrip yang diperagakan

tergantung pada dinamika kekuasaan (power dynamics) yang terjadi

di sana. Dua faktor yang mempengaruhi dinamikanya ialah

kondisi internal pihak yang didominasi dan tekanan pihak yang

mendominasi. Di dalam ruang ini, pihak yang didominasi bertemu

dengan yang mendominasi tidak sepenuhnya sebagai kawan

(friend) atau lawan (enemy), namun lebih tepat sebagai saingan

(kompetitor); saingan dalam perebutan kendali atas macam

identitas yang diperagakan.

Daya tekan pihak yang mendominasi bertambah kuat

ketika pihak yang didominasi mengalami konflik internal. Namun

daya saing pihak yang didominasi justru malah menguat setelah

mereka menampilkan diri kalah total dalam persaingan. Di titik

itu, pihak yang didominasi mundur dari panggung, atau berhasil

didorong keluar dari panggung tanpa perlawanan. Dan dengan

minggirnya mereka dari arena itu kembali tersedia ruang yang

cukup bagi pihak yang didominasi untuk menegaskan dirinya.

Hasil yang diperoleh dari perlawanan ini bukanlah sebuah

pencapaian yang bersifat menang-kalah atau sebuah perpaduan

Page 26: PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/5/D_762008002_BAB … · senang karena sesuai dengan kebijakan ... mendukung ideologi negara Pancasila

246 | BAB V PERLAWANAN, IDENTITAS DAN AGAMA

tetapi sebuah identitas yang belum tuntas dinegosiasikan

komponen-komponennya. Identitas nasional Indonesia masih

dipersepsi sebagai bersifat monokrom, yang tidak memberi ruang

kepada warna identitas primordial untuk tetap hidup. Di sisi lain,

identitas Tionghoa yang coba dipertahankan masih belum

didudukkan sebagai yang memperkaya keindonesiaan sehingga

keduanya, identitas nasional Indonesia dan identitas Tionghoa,

belum menjadi sebuah perpaduan yang harmonis. Kalau konsep

identitas hibrida, yang belakangan ini banyak dipakai untuk

menjelaskan identitas orang-orang Tionghoa di Indonesia,

mengimplikasikan pengakuan, penerimaan dan penggunaan yang

bebas dari unsur-unsur yang bermacam-macam di dalam suatu

konstruksi identitas maka pada orang-orang Tionghoa Kristen di

GKT di zaman Orde Baru, unsur-unsur itu masih tinggal dalam

ketegangan.

Dalam kaitan dengan agama, sudah nyata bahwa

perlawanan orang-orang Tionghoa Kristen di GKT terhadap

kebijakan asimilasi tidak diinspirasi oleh ide-ide, visi-visi dan aksi-

aksi yang diinspirasi oleh agama. Dalam perlawanan ini agama

berperan memberi celah sosial alternatif di tengah ketatnya

penerapan kebijakan asimilasi dalam mana identitas kultural

penganutnya dapat terus dilestarikan eksistensinya. Agama tidak

mendorong penganutnya keluar tetapi menariknya ke dalam

sebuah “cagar budaya” yang relatif bebas dari tekanan untuk

berasimilasi. Lalu kemudian, oleh para penganutnya agama

dimanfaatkan dengan cara yang cerdik sebagai pelindung ruang

tersebut.

Penelitian ini menunjukan bahwa peran tersebut akan

dimainkan oleh agama manakala dua kondisi berikut terpenuhi.

Pertama, bila agama menduduki posisi yang penting dalam

mendukung pencapaian tujuan-tujuan penguasa; dan kedua bila

agama menduduki posisi yang penting dalam konstruksi identitas

suatu kelompok minoritas.