bab i pendahuluan -...

25
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Orang Tionghoa adalah salah satu dari sekian kelompok minoritas yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka sudah hadir di negeri ini jauh sebelum negara Indonesia ada. Namun kehadiran mereka telah dianggap sebagai sebuah masalah sejak sebelum Indonesia merdeka. 1 Setelah Indonesia merdeka dan terus sampai naiknya rezim Orde Baru eksistensi mereka tetap menjadi sebuah persoalan yang tak kunjung selesai. Dua masalah mereka adalah masalah identitas dan loyalitas. 2 Identitasnya dipersoalkan karena dipandang asing dan tidak asli Indonesia; sementara loyalitasnya dipersoalkan karena haluan politiknya dianggap berorientasi kepada negara lain. Bagi pemerintah Orde Baru orang Tionghoa bermasalah karena mereka berasal dari luar wilayah geografis nasional Indonesia, berbeda budayanya, kuat secara ekonomi namun dicurigai terkait erat dengan komunisme. 3 Masalah-masalah tersebut dipandang berbahaya bagi pencapaian dua tujuan besar pemerintah Orde Baru, yaitu 1 Hal itu tercermin dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Amry Vandenbosch yang berjudul “A Problem in Java: The Chinese in the Dutch East Indies,” Pacific Affairs Vol. 3, No. 11 (Nov., 1930): 1001-1017. 2 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), 59-61. 3 Ariel Heryanto, “Ethnic Identities and Erasure: Chinese Indonesians in Public Culture,” dalam Joel S. Kahn, ed., Southeast Asian Identities: Culture and Politics of Representation in Indonesia, Malaysia, Singapore and Thailand (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1998), 97.

Upload: doancong

Post on 11-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Orang Tionghoa adalah salah satu dari sekian kelompok

minoritas yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka sudah hadir

di negeri ini jauh sebelum negara Indonesia ada. Namun

kehadiran mereka telah dianggap sebagai sebuah masalah sejak

sebelum Indonesia merdeka.1 Setelah Indonesia merdeka dan terus

sampai naiknya rezim Orde Baru eksistensi mereka tetap menjadi

sebuah persoalan yang tak kunjung selesai. Dua masalah mereka

adalah masalah identitas dan loyalitas.2 Identitasnya dipersoalkan

karena dipandang asing dan tidak asli Indonesia; sementara

loyalitasnya dipersoalkan karena haluan politiknya dianggap

berorientasi kepada negara lain. Bagi pemerintah Orde Baru orang

Tionghoa bermasalah karena mereka berasal dari luar wilayah

geografis nasional Indonesia, berbeda budayanya, kuat secara

ekonomi namun dicurigai terkait erat dengan komunisme.3

Masalah-masalah tersebut dipandang berbahaya bagi

pencapaian dua tujuan besar pemerintah Orde Baru, yaitu

1 Hal itu tercermin dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Amry

Vandenbosch yang berjudul “A Problem in Java: The Chinese in the Dutch

East Indies,” Pacific Affairs Vol. 3, No. 11 (Nov., 1930): 1001-1017. 2 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1994), 59-61. 3 Ariel Heryanto, “Ethnic Identities and Erasure: Chinese

Indonesians in Public Culture,” dalam Joel S. Kahn, ed., Southeast Asian Identities: Culture and Politics of Representation in Indonesia, Malaysia, Singapore

and Thailand (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1998), 97.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

2 | BAB I PENDAHULUAN

stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan nasional.4

Dalam kaca mata ideologis Orde Baru, yang mengedepankan

kesatuan organis masyarakat,5 perbedaan-perbedaan yang dimiliki

oleh orang Tionghoa rawan memicu gesekan dan konflik sosial

serta berpotensi merintangi program pembangunan nasional. Agar

masalah itu tidak sampai terjadi maka pemerintah merasa perlu

mengambil langkah-langkah kontrol atas orang-orang Tionghoa.6

Solusi yang dipilih untuk menyelesaikannya ialah kebijakan atau

program asimilasi.

Sejumlah hal yang dijadikan pertimbangan kebijakan ini

adalah karena “agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di

Indonesia” dianggap “berpusat pada negeri leluhurnya.” Hal

tersebut dikuatirkan “menimbulkan pengaruh psychologis, mental

dan moril yang kurang wajar terhadap warganegara Indonesia.”7

Selanjutnya, agar orang Tionghoa tidak lagi hidup secara “seklusif

rasial”8 yakni berkumpul di dalam kelompoknya sendiri, dan demi

mewujudkan warga negara Indonesia (WNI) yang “menghayati

dan berjiwa Pancasila” serta yang “menyesuaikan dirinya dengan

lingkungan hidup di mana mereka berada”9 maka mereka harus

berasimilasi ke dalam masyarakat di mana mereka berada.

4 Untuk tujuan besar Orde Baru lihat Colin Brown, A Short History of

Indonesia: The Unlikely Nation? (Crows Nest, NSW.: Allen and Unwin, 2003),

200. Lihat juga Chang Yau Hoon, “Assimilation, Multiculturalism &

Hybridity: The Dilemmas of the Ethnic Chinese in Post-Suharto Indonesia,” Asian Ethnicity, Volume 7, Number 2 (June 2006): 151.

5 David Bourchier & Vedi R. Hadiz, Indonesian Politics and Society: A

Reader (New York: RoutledgeCurzon, 2003), 8. 6 Irman G. Lanti, “Comparing Ethnic Minorities in Control and in

Hegemoci Consociational Situations: The Political and Economic Roles of

the Chinese in Malaysia and Indonesia,” Graduate Journal of Asia Pacific Studies

2:1 (2004): 72, 75-80. 7 Inpres No. 14 Tahun 1967 tertanggal 6 Desember 1967 tentang

Agama, Kepercayaan dan Adat-Istiadat Cina. 8 Keppres No 240 Tahun 1967 tertanggal 6 Desember 1967 tentang

Kebijaksanaan Pokok yang Menyangkut Warga Negara Indonesia Keturunan

Asing. Lihat juga 9 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0170/U/1975

tertanggal 18 Maret 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Asimilasi

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 3 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Gambaran yang lebih detil dari itu dapat ditemukan dalam

keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang asimilasi

di bidang pendidikan. Meskipun mengatur soal asimilasi di bidang

pendidikan namun apa yang tergambar di sini dapat diterima

sebagai cerminan dari keinginan pemerintah secara keseluruhan.

Asimilasi diberlakukan supaya orang-orang Tionghoa10

1. memiliki sikap dan perilaku terbuka sebagai perwujudan

penghayatan nilai Pancasila;

2. memiliki cara hidup yang sesuai dengan nilai-nilai

kebudayaan nasional sehingga dengan demikian melenyap-

kan kantong-kantong kebudayaan asing;

3. mengadakan komunikasi sosial yang saling mengisi dengan

warga negara Indonesia lainnya sehingga menghilangkan

sikap eksklusivisme golongan;

4. menggunakan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-

hari baik di dalam maupun di luar sekolah sebagai bahasa

nasional;

5. memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,

sehingga peri kehidupan beragama dapat dihayati dan

diamalkan sesuai dengan falsafah Pancasila demi tercapai-

nya kerukunan hidup beragama;

6. berjiwa Pancasila sehingga dapat menjadi generasi penerus

yang lebih baik, lebih bertanggung jawab, lebih mampu

mengisi dan membina kemerdekaan Bangsa;

7. memiliki kesadaran akan nilai-nilai sejarah perjuangan

Nasional dengan kemantapan keseimbangan kehidupan

lahiriah dan batiniah serta mempunyai jiwa yang dinamis

dan semangat gotong royong sehingga sanggup serta

(Pembauran) di Bidang Pendidikan. Juga lihat isi pidato kenegaraan Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1967, yang menggemakan hal serupa.

Lihat Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila (Jakarta:

CSIS, 1976), 56. 10 Lihat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.

0170/U/1975 tertanggal 18 Maret 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Asimilasi (Pembauran) di Bidang Pendidikan.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

4 | BAB I PENDAHULUAN

mampu melanjutkan perjuangan Bangsa dalam mencapai

tujuan.

Ketujuh sasaran itu memperlihatkan bahwa asimilasi

ditujukan untuk mengubah sikap dan cara hidup pribadi, cara

hidup komunitas, komunikasi sosial, bahasa, agama serta orientasi

patriotisme orang Tionghoa. Dalam ungkapan Benny G. Setiono,

kebijakan ini pada hakikatnya hendak “melikuidasi pengaruh

seluruh kebudayaan Tionghoa termasuk kepercayaan, tradisi, adat

istiadat dan agamanya dan mendorong terjadinya asimilasi secara

total.”11 Sasaran akhirnya adalah “secara fisik dan mental tidak

ada lagi tirai pemisah antara Warga Negara keturunan Cina

dengan Warga Negara Indonesia (asli).”12 Dengan demikian tidak

akan ada lagi yang namanya orang Tionghoa. Yang tersisa hanya

orang Indonesia saja.

Orang-orang Tionghoa Kristen di dalam Gereja Kristus

Tuhan (GKT) adalah imigran dari Tiongkok, yang secepat-

cepatnya masuk ke Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 dan

paling lambat pada akhir tahun 40-an. Ketika Orde Baru

mengambil alih kekuasaan, sebagian besar di antaranya adalah

generasi pertama, yang lahir dan dibesarkan di Tiongkok atau lahir

di sana dan dibesarkan di sini. Sisanya adalah generasi kedua,

yakni anak-anak dari generasi pertama ini. Hampir semuanya

adalah warga negara asing Tiongkok (WNA). Di GKT mereka

berkumpul dalam jemaat-jemaat yang dibentuk menurut kesamaan

bahasa dan daerah asal. Dari antara lima belas jemaat yang

mendirikan Sinode GKT pada tahun 1968, empat belas di

antaranya memakai bahasa Tionghoa secara penuh dalam

kehidupan dan kegiatan-kegiatan gerejawi. Para pemimpin jemaat

hampir semua berkewarganegaraan asing; demikian pula dengan

para pekerja gerejawinya—para pendeta dan pengabar Injil. Untuk

pendidikan anak-anak, mereka mengirimkannya ke sekolah-

11 Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik: Menyingkap

Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia (Jakarta: TransMedia

Pustaka, 2008), 1008. 12 Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila, 56.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 5 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

sekolah asing Tionghoa yang berada di kota-kota kediaman

mereka di Jawa Timur.

Dengan bangun kehidupan sosial dan keagamaan

semacam ini maka kebijakan asimilasi membawa sejumlah

masalah. Awalnya bersifat praktis saja, seperti bagaimana caranya

membina rohani umat yang sebagian besar hanya mampu

memahami bahasa Tionghoa saja. Atau, bagaimana caranya

memperoleh literatur-literatur spiritual Kristen, termasuk Kitab

Suci Kristen dalam bahasa Tionghoa dan materi pendamping-

nya;13 atau bagaimana caranya menyediakan tenaga-tenaga

pekerja gerejawi yang berbahasa Tionghoa;14 atau ke sekolah mana

anak-anak harus disekolahkan.15 Selanjutnya muncul persoalan

lain yang jauh lebih mendasar, yakni yang berhubungan dengan

identitasnya sebagai bagian dari kelompok etnis Tionghoa.

13 Dua orang informan mengungkapkan bahwa pada akhir 60-an

dan awal 70-an, sulit sekali bagi mereka untuk mendapatkan Alkitab dan

literatur Kristen dalam bahasa Tionghoa. Karena dilarang maka harus

diimpor dari Hongkong meski tetap dengan banyak kesukaran. Biasanya dibawa secara sembunyi-sembunyi dari Hongkong dengan memasukkannya

ke dalam koper. Wawancara di Mojokerto, 7 Juli 2009. 14 Sejak mulai dirintis pada awal abad XX sampai tahun 1940,

hampir semua pendeta yang melayani di THKTKH Klasis Jawa Timur

didatangkan dari Tiongkok. Pola penyediaan terhenti sama sekali pada masa

Pendudukan Jepang. Setelah masa Pendudukan Jepang berakhir, pola penyediaan tenaga seperti ini dilakukan kembali. Kali ini tidak lagi dari

Tiongkok tetapi dari Hongkong, Taiwan atau Singapura. [Beberapa tenaga pendeta tetap yang bekerja di GKT sampai tahun 1965 adalah Pdt. Yio Pek

Eng (Tiongkok, datang tahun 1940), Pdt. Oei Poo Tjin (Tiongkok, datang tahun 1946), Pdt. Sie Ren Tek (Singapura, datang tahun 1950), Pdt. Ie Tjin

Sin (Tiongkok, datang tahun 1930-an). Selain para pendeta ini juga hadir

guru-guru Injil yang datang dari Tiongkok.] Pola ini kembali terhenti sama sekali setelah tahun 1965. Keadaan ini menimbulkan krisis tersendiri pada

THKTKH Klasis Jawa Timur dan selanjutnya pada GKT. 15 Berdasarkan isi Surat Keputusan Menteri P.P. dan K No. 016/1966

tertanggal 6 Juli 1966 ditetapkan bahwa anak WNA, bekas murid sekolah

asing, diizinkan masuk ke sekolah negeri namun “tidak ada keharusan bagi sekolah negeri untuk menampung mereka.” Sekolah swasta juga “dilarang

menerima anak warga negara asing bekas murid sekolah asing yang telah

ditutup.” Yang bisa diterima oleh sekolah swasta adalah “bekas murid sekolah asing yang dapat memberikan bukti bahwa anak itu benar-benar dari

keluarga yang beragama” sesuai dengan landasan agama sekolah swasta tersebut.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

6 | BAB I PENDAHULUAN

Penanda-penanda budaya (cultural markers) yang selama ini

dipergunakan untuk mengidentifikasi diri sebagai orang Tionghoa,

antara lain nama dan bahasa Tionghoa, sekarang dipaksa untuk

dihilangkan dan diganti dengan penanda-penanda yang lain.

Sejumlah pertanyaan kemudian muncul. Di antaranya,

“Apakah yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di

GKT dalam menghadapi paksaan itu? Apakah mereka patuh?

Apakah mereka melawan?” Penjelasan umum tentang sikap

orang-orang Tionghoa di masa Orde Baru mengatakan bahwa

mereka tunduk dan patuh kepada tuntutan kebijakan asimilasi.

Tidak ada perlawanan. Sekalipun prosesnya diakui tidak otomatis

dan membutuhkan waktu namun ide dasarnya adalah tunduk dan

mengindonesiakan diri.16 Dalam proses ini agama dan lembaga-

lembaga keagamaan orang Tionghoa dikatakan telah memfasilitasi

asimilasi.17 Jika pendapat ini benar maka seharusnya selama Orde

Baru aspek-aspek kultural orang Tionghoa Kristen di GKT akan

melemah. Kehidupan mereka akan makin cocok dengan cita-cita

asimilasi. Tetapi, seperti nanti akan diperlihatkan, kenyataan tidak

berjalan seperti itu. Dalam masa satu tahun setelah Orde Baru

tumbang, orang-orang Tionghoa Kristen di GKT malah begitu

bersemangat untuk menegaskan ke publik penanda-penanda

Tionghoanya sekaligus dengan itu bersemangat menyatakan

identitas ketionghoaannya.

Apa yang membuatnya jadi begitu? Mengapa setelah

kurang lebih tiga puluh tahun dilarang berbahasa Tionghoa dan

dilarang berkelompok secara eksklusif dengan sesama orang

Tionghoa kini malah berbalik arah dan condong memilih menjadi

seperti itu? Hal-hal semacam ini tentu tidak bisa muncul begitu

saja hanya gara-gara rezim berganti. Apalagi sampai saat itu,

kebijakan-kebijakan asimilasi masih belum dicabut. Kalau begitu

dapat diduga bahwa dalam cara-cara yang tidak teramati oleh

16 Lihat Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafiti

Pers, 1984), 206. 17 Stuart W. Greif, “WNI” Problematik Orang Indonesia Asal Cina

(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), 127.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 7 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

penguasa, komponen-komponen penanda ketionghoaan, yang

selama ini coba dihapus lewat program asimilasi, ternyata secara

diam-diam berhasil terus dilestarikan. Dengan cara-cara yang rapi

dan tidak terlihat oleh observasi penguasa mereka berhasil

melawan upaya-upaya negara untuk menghapuskannya.

Dorongan untuk melakukan penelitian ini timbul dari

pengalaman pribadi saya, sebagai seorang non-Tionghoa dari etnis

Sumba yang lahir dan besar di kota Sumbawa Besar, Nusa

Tenggara Barat (NTB); yang sama sekali tidak mampu berbahasa

Tionghoa, namun yang bersekolah, hidup dan berkarya di antara

orang-orang Tionghoa Kristen yang berkumpul di dalam Gereja

Kristus Tuhan (GKT). Perkenalan sangat intensif dimulai ketika

saya menempuh studi teologi di sekolah tinggi teologi milik Sinode

GKT di kota Lawang, Malang. Sekolah itu bernama Sekolah

Tinggi Teologi Aletheia (STTA).18 Masa studi saya di sana

berlangsung dari tahun 1992-1997. Dari sejak tingkat dua sampai

tingkat terakhir, saya ditempatkan secara resmi untuk melakukan

latihan pelayanan akhir minggu di beberapa jemaat GKT di kota

Malang. Pertama-tama di GKT Pos Pekabaran Injil (PI) Singosari

(1993-1994), lalu GKT Pos PI Kepanjen (1994-1995) dan terakhir

di GKT Jemaat II Malang. Pada antara bulan Juni-Agustus 1994

saya ditugaskan di GKT Pos PI Mimbo, Situbondo. Lalu pada Juli

1995-Juni 1996 saya ditugaskan praktik pelayanan satu tahun di

sebuah gereja Tionghoa lain di kota Bandung, yaitu Gereja Kristen

Immanuel (GKIm) Jemaat Mesias.19 Setamat dari STTA pada

tahun 1997, saya ditempatkan oleh Badan Pengurus (BP) Sinode

GKT sebagai pekerja gerejawi penuh waktu di GKT Jemaat Sinai

18 Sekolah teologi ini didirikan oleh Gereja Kristus Tuhan sebagai

wadah untuk mempersiapkan calon-calon pendeta dan penginjil yang bekerja di lingkungannya. Sekolah ini didirikan oleh pada 12 Februari 1969. Selain

melayani kebutuhan GKT sekolah ini juga melayani gereja-gereja lain yang mengutus calon-calon pendeta dan penginjilnya belajar di situ.

19 GKIm merupakan sebuah sinode kecil yang muncul dari Sinode

Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat. Gereja-gereja yang tergabung dalam sinode ini berlatar belakang orang Tionghoa totok dari sub etnis

Hokchia/Hokchiu. Mereka memisahkan diri dari Sinode GKI Jabar pada tahun 1976.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

8 | BAB I PENDAHULUAN

di Kota Batu, Malang. Saya menjadi pendeta di gereja tersebut

selama sembilan tahun sampai tahun 2006.

Saya belajar, hidup dan bekerja di antara orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT sejak tahun-tahun terakhir akhir era

pemerintahan Orde Baru sampai tumbangnya dan terus sampai

kini di dalam Orde Reformasi. Selain bekerja di level lokal saya

pun sempat ditunjuk memimpin dua lembaga sinodal, yaitu

Departemen Dogma dan Penelitian untuk periode 2001-2005 dan

Kelompok Kerja Penelitian dan Pengembangan (Pokja Litbang)

untuk masa bakti 1999-2005. Posisi ini membawa saya bertemu,

berkenalan akrab dan bekerja sama dengan banyak orang

Tionghoa di GKT di yang tinggal di kota-kota lain.

Saya hadir di tengah-tengah mereka pada masa kebijakan

asimilasi atau pembauran menjadi kebijakan resmi pemerintah

untuk menyelesaikan masalah orang-orang Tionghoa.20 Saya juga

hadir dan dapat merasakan kecemasan yang begitu mendalam

ketika bersamaan dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru

timbul aksi-aksi permusuhan terhadap orang-orang Tionghoa di

sejumlah tempat di Indonesia. Saya merasakan suasana takut yang

mencengkeram mereka di Kota Batu dan mendengarkan

ungkapan-ungkapan hati yang gelisah mencermati situasi yang

sedang berkembang. Namun saya juga hadir di tengah-tengah

mereka dan dapat merasakan antuasiasme serta optimisme yang

meledak setelah terbit perubahan sikap politik pemerintah kepada

orang-orang Tionghoa pasca jatuhnya pemerintahan Suharto.

Perubahan itu diresponi, salah satunya, dengan mengusulkan

kepada Sidang Sinode Ke-18 tahun 1999, sidang sinode pertama

yang dilakukan pada era reformasi, untuk memasukkan kembali

teks bahasa Tionghoa ke dalam edisi revisi buku Puji-pujian

Rohani (PPR), yang baru terbit dua tahun sebelumnya. Setelah

20 Tentang kebijakan pemerintah Orde Baru lihat Leo Suryadinata,

“Indonesian Policies toward the Chinese Minority under the New Order,”

Asian Survey, Vol. 16, No. 8 (Aug., 1976): 776; Mely G. Tan, Etnis Tionghoa di

Indonesia: Kumpulan Tulisan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 48.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 9 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

melalui suatu perdebatan yang cukup sengit, usulan itu akhirnya

diterima dengan suara bulat.

Tahun-tahun sesudah itu kehidupan GKT diwarnai oleh

perdebatan lain mengenai identitas kelompok target (target group)

usaha pekabaran Injil (PI) yang dilakukan oleh GKT. Perdebatan

ini tampaknya dipicu oleh pernyataan visi dan misi sebuah jemaat

GKT di Surabaya yang barusan dirilis. Dalam pernyataan itu

dicantumkan bahwa identitas jemaat itu adalah sebuah gereja

Tionghoa.21 Dengan dasar itu maka sasaran yang sengaja dipilih

untuk karya PI-nya adalah orang-orang Tionghoa. Kelompok

Kerja Penelitian dan Pengembangan (Pokja Litbang) Sinode GKT

kemudian diminta oleh BP Sinode GKT untuk melakukan sebuah

riset jemaat terkait dengan maksud menjadikan orang Tionghoa

sebagai target utama karya PI GKT. Tugas kami adalah

mencermati kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan

timbul dalam jemaat bila ide itu benar-benar diwujudkan. Dalam

pembicaraan-pembicaraan awal didapati bahwa sebagian orang

mendukung penuh ide itu sementara yang lain meminta supaya

gagasan itu nantinya diformulasi dengan baik supaya di satu pihak

dapat mendorong pertumbuhan jumlah anggota GKT dan di pihak

lain tidak mengganggu harmoni dengan anggota-anggota jemaat

GKT yang non-Tionghoa. Gagasan ini akhirnya tidak dilanjutkan

karena tidak pernah ditemukan formulasi yang tepat dan timbul

kritik keras dari sejumlah anggota gereja, yang cemas terhadap

timbulnya konflik di antara anggota yang Tionghoa dan non-

Tionghoa.

Pengalaman-pengalaman tersebut menyadarkan saya

bahwa GKT masih tetap sebuah gereja etnis Tionghoa. Orang-

orang Tionghoa yang ada di dalamnya masih tetap ingin

mempertahankan identitas ketionghoaannya. Inilah yang mem-

bangkitkan minat saya untuk melakukan studi mendalam atas

21 Pernyataan Visi GKT Hosana, Surabaya. Kalimat lengkapnya

adalah: “Gereja Reformed Tionghoa yang sehat dan menjadi berkat dalam

kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk serta berperan aktif dalam misi sedunia.” Lihat situsnya: http://www.gkthosana.org/

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

10 | BAB I PENDAHULUAN

kehidupan orang-orang Tionghoa GKT di masa Orde Baru. Lewat

penelitian ini saya harap dapat menjelaskan hal-hal apa saja yang

dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT melalui

lembaga keagamaannya untuk melawan program asimilasi. Saya

juga berharap bahwa penelitian ini akan memberikan suatu

pemahaman baru kepada studi-studi tentang orang-orang

Tionghoa di Indonesia dan kepada peran agama dalam

perlawanan kelompok-kelompok minoritas terhadap dominasi

negara.

B. Pertanyaan Penelitian dan Tujuan Penelitian

Kebijakan asimilasi adalah salah satu cara yang dipakai

negara untuk mendominasi kelompok minoritas di dalam negara.

Secara historis kemunculannya dihubungkan dengan timbulnya

negara-negara kuat (the strong states),22 yakni negara yang bercirikan

peran pemerintah pusat yang menonjol dalam mengontrol dan

mengatur kehidupan masyarakat.23 Maksud di belakangnya adalah

untuk mencegah timbulnya masalah yang disebabkan oleh

kelompok minoritas, baik itu yang bersifat kriminal maupun

pemberontakan.24 Etnis-etnis minoritas yang hidupnya berbeda

(distinct) dan diam dalam komunitas-komunitas yang ter-

konsentrasi di suatu tempat dalam pandangan negara-negara kuat

adalah suatu masalah berbahaya yang harus diselesaikan.25

Keperbedaannya mengancam homogenitas populasi dalam sebuah

teritori negara26 dan bisa mendatangkan ancaman serius kepada

22 Henry Minde, “Assimilation of the Sami—Implementation and

Consequences,” Gáldu Čála-Journal of Indigenous Peoples Rights No. 3 /2005: 7. 23 Lihat pula Joel S. Migdal, State in Society: Studying How States and

Societies Transform and Constitute One Another (Cambridge, UK.: Cambridge

University Press, 2004), khususnya dalam Bab 3. 24 Terence E. Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation:

Contrasting Ethnic Minorities Policies (Westport, CT.: Praeger Publishers, 2003),

64. 25 Minde, gáldu čála No. 3 /2005: 7. 26 Adriana Kemp, “Dangerous Population: State Territoritoriality

and the Constitution of National Minorities” dalam Joel S. Migdal, ed., Boundaries and Belonging: States and Societies in the Struggle to Shape Identities and

Local Practices (New York: Cambridge University Press, 2004), 74.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 11 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

mereka yang berada di pusat kekuasaan.27 Agar ancaman-ancaman

itu tidak berubah menjadi kenyataan maka negara biasanya

membuat sebuah kebijakan nasional khusus (special national

policy)28 untuk mengendalikan orang-orang minoritas tersebut.

Asimilasi adalah kebijakan yang paling sering diambil.29

Berangkat dari aksioma Foucault yang mengatakan,

“Where there is power, there is resistance”30—setiap peragaan

kekuasan, apapun bentuknya dan oleh siapapun itu, akan selalu

melahirkan perlawanan—maka dua pertanyaan utama yang

melandasi proyek disertasi ini adalah: dengan cara-cara bagaimana

orang-orang Tionghoa Kristen di GKT merespons kebijakan

asimilasi? Strategi-strategi apakah yang dipergunakan dalam

menghadapi tekanan kebijakan yang bermaksud menghapuskan

penanda-penanda budayanya sebagai orang Tionghoa?

Terhadap kebijakan asimilasi pemerintah Orde Baru

respons orang-orang Tionghoa tentu bermacam-macam. Berangkat

dari teori perlawanan orang-orang tertindas yang digagas oleh

James C. Scott, penelitian ini hendak mencapai dua tujuan.

Pertama, untuk menggambarkan tanggapan-tanggapan yang

diambil oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT terhadap

kebijakan asimilasi sekaligus perlawanannya terhadap maksud

kebijakan tersebut. Tujuan yang kedua adalah untuk melengkapi

sejumlah pandangan yang selama ini sudah diajukan oleh para

ahli tentang respons-respons orang Tionghoa kepada kebijakan

asimilasi. Menambahkan kepada pemikiran-pemikiran yang sudah

ada selama ini tentang peran positif agama dalam proses asimilasi

orang Tionghoa di zaman Orde Baru, riset ini mau

memperlihatkan bahwa peran yang dimainkan agama dan

27 Mary P. Callahan, “Making Myanmars: Language, Territory, and

Belonging in Post Socialist Burma” dalam Joel S. Migdal, ed., Boundaries and

Belonging, 99. 28 Minde, gáldu čála, 7. 29 Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism: Anthropological

Perspectives (London: Pluto Press, 2010), 149. 30 Michel Foucault, History of Sexuality Volume I: An Intriduction (New

York: Vintage Books, 1990), 95.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

12 | BAB I PENDAHULUAN

lembaga keagamaan tidak selalu demikian. Dalam kasus orang

Tionghoa Kristen di GKT, akan diperlihatkan bahwa lembaga

keagamaan Kristen di mana mereka berkumpul malah memainkan

peran yang berbeda.

C. Fokus dan Ruang Lingkup Penelitian

Studi ini hendak menginvestigasi respons orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT terhadap upaya pemerintah Orde Baru

mengasimilasikan mereka ke dalam masyarakat dan budaya

Indonesia. Fokus analisisnya adalah orang-orang Tionghoa

Kristen yang berkumpul dalam wadah lembaga keagamaan yang

bernama Sinode Gereja Kristus Tuhan (GKT) dan strategi-

strateginya dalam menghadapi kebijakan asimilasi di masa

pemerintahan Orde Baru dari tahun 1968-1998.

Mengingat besarnya kuantitas dan luasnya wilayah

penyebaran subjek penelitian maka ruang lingkup penelitian akan

dikonsentrasikan pada dua lokasi saja. Yang pertama adalah

respons-respons yang mereka perlihatkan secara bersama-sama di

tingkat pusat atau sinodal. Di sini ada dua lokasi yang

diinvestigasi. Yang pertama adalah di sidang-sidang sinode GKT

dari tahun 1968-1999 dan yang kedua adalah di rapat-rapat Badan

Pengurus Sinode GKT.

Lokasi kedua adalah respons-respons yang mereka

perlihatkan di tingkat jemaat atau di level lokal. Dari keseluruhan

lokasi maka jemaat-jemaat yang mendapat perhatian adalah yang

berada di di kota Surabaya dan Malang. Dua tempat ini sengaja

dipilih karena di sinilah cikal bakal GKT ditanam, bertumbuh dan

berkembang. Yang lain, karena personel-personel yang duduk di

kepengurusan pusat organisasi gereja sebagian besar berasal dari

kedua kota ini. Kontribusi tenaga, dana dan pemikiran banyak

berasal dari jemaat-jemaat GKT di kedua kota ini. Lagipula,

sidang-sidang sinode, rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan

penting para pemimpin GKT banyak dilakukan di kedua kota ini.

Hal ini tidak berarti bahwa jemaat-jemaat di kota lain sama sekali

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 13 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

diabaikan. Jemaat-jemaat itu tetap akan diinvestigasi sejauh

relevan dengan soal yang mau dibahas.

D. Metodologi

Pendekatan yang dipergunakan oleh penelitian ini bersifat

kualitatif. Ini karena perhatian yang diberikan oleh pendekatan ini

kepada individu-individu dan situasi hidup mereka31 serta

kemampuannya untuk memberikan gambaran rinci dan mendalam

tentang suatu peristiwa atau perilaku orang atau kelompok orang

di suatu masa dan tempat tertentu.32 Pusat perhatiannya bukan

pada data-data kuantitatif atau angka-angka melainkan pada data-

data tekstual dan kisah-kisah subjek yang diteliti,33 pada emosi-

emosi mereka, motivasi-motivasi, simbol-simbol dan maknanya,

serta aspek-aspek subjektif lain sebagaimana tampil dalam

perilaku-perilaku sehari-hari, dalam pengalaman-pengalamannya

dan dalam berbagai kondisi yang mempengaruhi hal-hal yang

rutin dan alami buat mereka.34

1. Metode-metode Penelitian

Mengingat penelitian ini dilakukan atas kehidupan yang

berlangsung di masa yang lalu maka strategi utama yang

dipergunakan untuk menggali data adalah dengan penelitian

dokumen-dokumen dan arsip-arsip. Untuk mendapatkan

gambaran yang lebih terang tentang situasi dan kondisi yang

sedang berlangsung pada masa yang diteliti serangkaian

31 Bruce L. Berg, Qualitative Research Methods for the Social Sciences

(Needham Heights, MA.: Allyn & Bacon, 2001), 10. 32 Prof. Dr. Djam’an Satori, M.A. & Dr. Aan Komariah, M.Pd.,

Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. Ke-2. (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2010),

219. 33 Carl F. Auerbach & Louise B. Silverstein, An Introduction to Coding

and Analysis Qualitative Data (New York, NY.: New York University Press,

2003), 23, 24. 34 Berg, Qualitative Research Methods, 10-11.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

14 | BAB I PENDAHULUAN

wawancara dilakukan atas sejumlah individu. Selain itu,

keterlibatan dalam berbagai kegiatan gerejawi bersama subjek

penelitian juga turut dilakukan untuk mencari informasi yang

melengkapi data-data penelitian. Informasi yang diperoleh dari

sejumlah percakapan direkam dalam laporan percakapan.

Di bawah ini merupakan penjelasan metode-metode riset

yang dipergunakan.

1.1. Penelitian Dokumen

Jika wawancara dan observasi berhubungan dengan subjek

yang hidup, riset dokumen berurusan dengan subjek-subjek yang

bisu, yang terdiri atas teks-teks tertulis dan artifak-artifak.35

Lincoln dan Guba membagi dokumen-dokumen ini ke dalam dua

kategori, yakni dokumen-dokumen (documents) dan rekaman-rekaman

(records).36 Rekaman-rekaman adalah teks-teks yang dipersiapkan

untuk suatu transaksi formal. Bentuknya seperti piagam nikah,

surat izin mengemudi, surat kontrak dan lain-lain. Dokumen-

dokumen adalah teks-teks yang dipersiapkan untuk urusan-urusan

personal. Bentuknya bisa berupa buku harian (diary), memo, surat-

surat, catatan-catatan lapangan dan lain-lain.

Hodder menyejajarkan dokumen dengan peristiwa ucapan

atau perkataan (speech). Untuk memahaminya dibutuhkan

interpretasi yang lebih kontekstual. Rekaman lebih sejajar dengan

peristiwa tulisan, yang penggunaannya dapat sangat lokal dan

karena itu maknanya bisa sangat jauh dari yang diterima secara

resmi. Jika dokumen melibatkan suatu teknologi yang bersifat

35 Ian Hodder, “The Interpretation of Documents and Material

Culture” dalam Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln, eds., Collecting and

Interpreting Qualitative Materials (Thousand Oaks, CA.: SAGE Publications

Inc., 2003), 155. 36 Ibid., 156.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 15 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

pribadi sementara rekaman suatu teknologi kekuasaan negara yang

penuh.37

Sartono Kartodirdjo membuat dua pembedaan lain atas

dokumen. Yang pertama dokumen dalam arti sempit dan kedua

dokumen dalam arti luas. Dokumen pertama adalah “kumpulan

data verbal yang berbentuk tulisan.”38 Dokumen jenis ini dapat

ditemukan pada surat-surat, catatan-catatan harian, memoar-

memoar, laporan-laporan dan lain sebagainya. Dokumen jenis

kedua adalah artifak-artifak, monumen-monumen, foto-foto, tape

dan lain-lain.

Pembedaan-pembedaan di atas tentu berguna dalam

menganalisis isi yang terkandung dalam suatu dokumen. Dalam

penelitian ini dipergunakan pengertian dokumen yang lebih luas,

seperti yang disarankan Hodder, yaitu teks-teks tertulis dari segala

macam jenis.39 Sejumlah besar dokumen-dokumen GKT yang

dibaca dan diteliti adalah sbb.:

1.1.1. Akta Rapat Tahunan Geredja Kristen Tionghoa

(THKTKH) Klasis Jatim tahun 1967-1968.

1.1.2. Akta-akta dan Notulen-notulen Sidang Sinode Gereja

Kristus Tuhan (GKT) dari Sidang Sinode Ke-1 tahun 1968

sampai dengan Sidang Sinode Ke-19 tahun 1999.

1.1.3. Surat-surat Pengurus Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee

(THKTKH) Klasis Jatim yang dikirim kepada perorangan,

lembaga-lembaga pemerintah dan badan-badan gerejawi

antara tahun 1960-1967 dan balasannya.

1.1.4. Surat-surat Badan Pengurus Sinode Gereja Kristus Tuhan

(GKT) yang dikirim kepada perorangan, lembaga-lembaga

37 Hodder dalam Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln, eds.,

Collecting and Interpreting Qualitative Materials, 156. 38 Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Dokumen” dalam

Metode-metode Penelitian Masyarakat, Koentjaraningrat, ed. (Jakarta; PT

Gramedia Pustaka Utama, 1993), 46. 39 Lihat Hodder dalam Denzin & Lincoln, eds., Collecting and

Interpreting Qualitative Materials, 156.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

16 | BAB I PENDAHULUAN

pemerintah dan badan-badan gerejawi antara tahun 1968-

1999 dan balasannya.

1.1.5. Buku Tata Gereja dan Peraturan Khusus Sinode Gereja

Kristus Tuhan (GKT) edisi 1977, edisi 1993 dan edisi

revisi 2008.

1.1.6. Anggaran Dasar Sekolah Kristen Aletheia Departemen

Pendidikan Synode Gereja Kristus Tuhan Tahun 1970,

Buku Pedoman Pengelolaan Sekolah Kristen Aletheia

1987 dan Pedoman Tehnis Penyelenggaraan Pendidikan

dan Operasional Sekolah Kristen Aletheia Tahun 1993.

1.1.7. Majalah-majalah Sinode GKT. Majalah ini awalnya

diterbitkan dua bulan sekali dengan nama Berita Geredja

Sinode Geredja Kristus Tuhan. Beberapa waktu kemudian

namanya berganti menjadi Berita Warga Gereja Kristus

Tuhan Indonesia. Setelah berhenti terbit pada akhir 70-an,

pada tahun 1987 majalah ini terbit lagi dengan nama baru

Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan. Edisi baru ini terbit tiga

kali, April, Agustus dan Desember tiap tahun sampai dengan

tahun 1997. Setelah itu, karena masalah finansial

diputuskan tidak terbit lagi.

1.1.8. Buku-buku peringatan hari ulang tahun jemaat GKT.

Beberapa jemaat mempunyai kebiasaan merayakan ulang

tahun jemaat. Umumnya dipaskan dengan hari pendirian

gedung gereja yang pertama. Buku peringatan ulang tahun

tidak diterbitkan setiap tahun namun hanya pada momen-

momen HUT tertentu. Di dalamnya disajikan sejarah

berdirinya jemaat yang bersangkutan, sejarah pem-

bangunan gedung gereja, kesaksian hidup tokoh-tokoh

perintisnya, baik yang ditulis sendiri maupun oleh orang

lain, serta artikel-artikel yang berhubungan dengan orang

Tionghoa Kristen di GKT dalam jemaat itu. Buku-buku

peringatan HUT jemaat yang dapat ditemukan dan diteliti

di sini adalah buku peringatan HUT GKT Jemaat I

Malang, Jemaat III Malang, GKT Nazareth, Surabaya,

GKT Jember dan GKT Genteng Banyuwangi.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 17 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

1.1.9. Catatan-catatan lapangan sejarah GKT yang berisi

catatan-catatan versi pribadi dari sejumlah tokoh GKT

pada awal tahun 70-an. Catatan-catatan ini mereka susun

dalam rangka dilaporkan kepada tim peneliti survei

menyeluruh gereja-gereja di Indonesia, DGI. Catatan-

catatan ini masing-masing dibuat oleh Go Yauw Koen

(anak Go A Sie, salah satu pendiri GKT Jemaat I,

Malang), Ds. Ie Tjin Sin (pendeta emeritus GKT), Koo

Twan Tjhing (Tua-tua GKT Jemaat III Malang), Komisi

Visitasi ke Jemaat Lumajang, Jemaat Probolinggo, Jemaat

Jember dan Jemaat Genteng, Go Beng Kie, dan Ds. Yang

Pek Yung. Sebagian catatan diketik, sementara sebagian

ditulis tangan. Dokumen-dokumen ini diterima dari

Kantor Sinode GKT.

Sebagian besar dokumen pertama sampai keempat

diperoleh dari koleksi alm. Singgih Lukito Setiawan, mantan

Ketua Sinode GKT periode 1970-1985. Sebagian sebagian kecil

dari arsip yang tersimpan Kantor Sinode GKT, Jl. Argopuro 6,

Malang. Untuk notulen-notulen sidang-sidang sinode, sebagian

besar diperoleh dari koleksi pribadi alm. Pdt. Moretz Masrikat.

Selain material primer di atas, sejumlah material sekunder

turut pula dibaca dan diteliti. Yang pertama adalah sejumlah besar

dokumen dan arsip Gereja Methodist Episkopal Konferensi

Malaysia dan Gereja Methodist Episkopal Konferensi Misi Hindia

Belanda, dari tahun 1909-1928. Dokumen dan arsip itu berupa

notulen-notulen, laporan-laporan, surat dan majalah. Laporan-

laporan itu ditulis oleh para misionaris dan superintenden para

misionaris serta pekerja gerejawi lainnya dari Gereja Methodist

Episkopal yang bekerja di kota Surabaya dan sekitarnya.

Dokumen-dokumen ini sebagian diperoleh dari The Methodist

Church Archives, Singapura dan sebagian dari perpustakaan digital

Yale University.

Sumber sekunder lain yang diinvestigasi adalah Madjalah

Bulanan Dewan Geredja-geredja Kristen Tionghoa Indonesia (DGKTI),

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

18 | BAB I PENDAHULUAN

yang berbahasa Indonesia. Majalah ini terbit dari tahun 1948

sampai dengan tahun 1958. Isinya berupa laporan berbagai

kegiatan jemaat-jemaat Tionghoa di berbagai tempat di Indonesia,

artikel-artikel dan laporan-laporan perjalanan yang dilakukan oleh

pengurus masing-masing klasis. Majalahnya diterbitkan dalam dua

bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Tionghoa. Sebagian edisi

diperoleh dari arsip digital perpustakaan Ohio University, Amerika

Serikat, dalam bentuk salinan elektronik. Sebagian lain, dalam

jumlah yang lebih banyak dan dalam bentuk cetakan, dari koleksi

GKT Jemaat Efrata, Genteng, Banyuwangi.

Selanjutnya adalah dokumen Sidang Lengkap IV dan V

Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) yang diadakan di Jakarta

pada tahun 1960 dan 1964.40 Di dalamnya ditemukan

pembahasan-pembahasan tentang orang-orang Tionghoa Kristen

di GKT, yang waktu itu masih bernama Tiong Hoa Kie Tok Kauw

Hwee Klasis Jawa Timur (THKTKH Klasis Jatim) dan data-data

lain terkait dengan gereja tersebut. Dokumen lain dari DGI yang

turut diteliti di sini adalah sebuah laporan survei gereja-gereja di

Indonesia yang dilakukan oleh DGI dari tahun 1968-1976.41 GKT

adalah salah satu gereja anggota yang turut disurvei. Data-data

yang disajikan dalam dokumen-dokumen ini dipergunakan untuk

memahami identitas sosial-budaya dan keagamaan orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT sampai sebelum Orde Baru berkuasa.

Yang bertanggung jawab mengumpulkan data dan mengirimkan-

nya ke tim di Jakarta adalah Pdt. Joseph Tong, mantan Sekretaris

Assisten Sinode GKT dan dekan di sekolah tinggi teologi GKT

pada awal tahun 70-an.

Selain itu, turut pula dibaca dan dianalisis tulisan-tulisan

yang muncul dari kalangan Sinode Gereja Kristen Indonesia Jawa

Timur (GKI Jatim). Alasanya, karena sebelum berpisah, GKI

40 Dokumen ini sudah diterbitkan oleh Sekretariat Umum PGI pada

tahun 1996. 41 Dr. Fridolin Ukur & Dr. Frank L. Cooley, peny., Jerih dan Juang:

Laporan Nasional Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia (Jakarta: Lembaga

Penelitian dan Studi-DGI, 1979).

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 19 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Jatim dan GKT adalah sama-sama bagian dari THKTKH Klasis

Jatim. GKI Jatim adalah THKTKH Klasis Jatim Seksi bahasa

Indonesia sementara GKT adalah THKTKH Klasis Jatim Seksi

bahasa Tionghoa. Sumber-sumber GKI Jatim yang dipergunakan

adalah Buku Kenang-kenangan 50 Tahun Gereja Kristen Indonesia

Jawa Timur 22-2-1934—22-2-1984, Benih Yang Tumbuh 14: Gereja

Kristen Indonesia Jawa Timur dan Boekoe Sedjarah Geredja Kristen

Indonesia Toemapel Malang 1941-2001.

1.2. Penelitian Wawancara

Tujuan wawancara ialah untuk menemukan gambaran

yang lebih kongkrit tentang situasi yang dihadapi, yang menjadi

konteks segala percakapan dan keputusan yang diambil dalam

rapat-rapat gerejawi GKT, atau surat-surat yang dikirimkan

kepada berbagai pihak, atau tindakan-tindakan tertentu yang

diambil di level jemaat. Ada beberapa kriteria yang dipergunakan

untuk memilih para informan. Pertama, mengetahui riwayat

orang-orang Tionghoa Kristen di THKTKH Klasis Jatim pada

dekade 50-an dan 60-an. Kedua, mengetahui riwayat orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT pada akhir dekade 60-an sampai akhir

dekade 90-an. Ketiga, memiliki pengetahuan secara tidak langsung

tentang THKTKH Klasis Jatim dan GKT, yakni dari tokoh atau

pelaku yang diketahui terlibat langsung dalam kehidupan dua

organisasi gerejawi tersebut. Keempat, memiliki pengetahuan dan

pengalaman tentang keadaan hidup orang-orang Tionghoa Kristen

di suatu jemaat GKT pada zaman sebelum Orde Baru, atau di

zaman Orde Baru, atau di kedua-duanya.

Pemilihan informan dilakukan secara purposif dan

snowball. Awalnya dipilih orang-orang yang cocok dengan kriteria

di atas kemudian dari mereka diperoleh tentang informan-

informan lain. Sebagian besar informan adalah laki-laki (22) dan

sisanya perempuan (5). Dua puluh enam dari antaranya adalah

orang Tionghoa. Umumnya berdomisili di Malang (9) dan

Surabaya (9). Sisanya berdomisili di kota-kota lain seperti

Mojokerto (2), Jember (3), Genteng-Banyuwangi (1), Jakarta (1)

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

20 | BAB I PENDAHULUAN

dan di luar negeri (3). Profesi mereka bermacam-macam: pekerja

gerejawi (9), pengusaha (13), dosen (2), pekerja seni (1), mantan

guru (1) dan ibu rumah tangga (1). Sebagian besar informan saya

kenal secara pribadi sementara sebagian kecil baru bertemu dan

berkenalan dalam proses wawancara. Sebagian wawancara dapat

direkam dengan alat perekam sementara sebagian lain tidak dapat

karena keengganan informan untuk direkam. Informasi yang

diperoleh dari informan yang bermukim di luar negeri sebagian

besar melalui korespondensi surat elektronik (e-mail).

Wawancara yang dilakukan bersifat tidak terstruktur. Sifat

wawancara ini dipilih karena memberi kesempatan kepada peneliti

untuk masuk secara mendalam, menyingkapkan petunjuk-

petunjuk baru, membuka dimensi-dimensi baru dari sebuah

problem dan untuk memperoleh laporan-laporan yang hidup,

akurat dan inklusif dari para informan, berangkat dari

pengalaman-pengalaman pribadi mereka.42 Meski tidak

terstruktur, wawancara tetap dbingkai dalam problem yang coba

ditemukan jawabannya oleh riset ini, yaitu dalam cara-cara

bagaimana informan atau orang-orang Tionghoa Kristen di GKT

mensiasati kebijakan asimilasi dari pemerintah Orde Baru. Waktu

yang dihabiskan untuk tiap wawancara bervariasi antara empat

puluh menit sampai tiga jam.

1.3. Pengamatan Terlibat

Selain data-data dari wawancara, sepanjang tahun 2008-

2014 saya juga telah mengambil bagian dalam berbagai kegiatan

orang-orang Tionghoa Kristen di GKT di berbagai kota di Jawa

Timur. Dalam kegiatan-kegiatan ini saya telah bertemu dan

bercakap-cakap dengan sejumlah anggota sebuah jemaat GKT dan

sejumlah pekerja gerejawi GKT. Dari pertemuan-pertemuan itu

saya telah membuat catatan-catatan yang merekam hal-hal yang

relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan.

42 Robert G. Burgess, “The Unstructured Interview as a

Conversation” dalam Robert G. Burgess, ed., Field Research: A Sourcebook and

Field Manual (New York, NY: Routledge, 2005), 166.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 21 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

2. Prosedur Analisis Data

Data-data yang tersaji di dalam dokumen-dokumen primer

dan sekunder serta wawancara dipilah-pilah ke dalam empat level

analisis. Level pertama adalah level sidang-sidang gerejawi. Level

kedua adalah level korespondensi dengan lembaga-lembaga

pemerintah dan aktor-aktor pemerintah; level ketiga korespondensi

dengan lembaga-lembaga gerejawi lain. Dan, terakhir, level

keempat adalah level kehidupan jemaat setempat di mana orang-

orang Tionghoa Kristen ini menjadi anggotanya. Tiga level

pertama berhubungan dengan lokasi pertama penelitian ini, yaitu

di tingkat sinodal; sementara level analisis terakhir berhubungan

dengan lokasi kedua penelitian ini, yaitu di tingkat lokal.

Teori perlawanan James C. Scott, yang telah diakui

sebagai alat yang berguna dalam memahami perilaku orang-orang

yang didominasi saat berhadapan dengan penguasa dan di

belakang penguasa di antara sesamamua,43 dipergunakan sebagai

kerangka teoretis utama untuk menganalisis perilaku orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT terhadap kebijakan asimilasi. Dua

kerangka konseptual yang disediakan oleh teori itu, yakni transkrip

publik dan transkrip tersembunyi, dipakai sebagai pisau untuk

menganalisis data-data yang ditemukan dari penelitian.

3. Akses kepada Informan dan Informasi

Sejak awal telah saya sadari bahwa isu yang dibahas

dalam penelitian ini adalah topik yang sensitif bagi orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT. Sebagai bagian dari masyarakat

minoritas Tionghoa, mereka turut pula mengalami pahit getirnya

hidup di bawah rezim yang mendiskriminasi. Karenanya, untuk

43 Carol J. Greenhouse, “Hegemony and Hidden Transcript: The

Discursive Arts of Neoliberal Legitimation” dalam American Anthropologist

Vol. 107, Issue 3: 356-368. Juga tanggapan James C. Scott terhadap artikel Greenhouse, “Afterword to ‘Moral Economies, State Spaces and Categorical

Violence’” dalam American Anthropologist Vol. 107, Issue 3: 395-402.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

22 | BAB I PENDAHULUAN

memperoleh informasi, dibutuhkan suatu relasi yang baik dan rasa

percaya mereka.

Faktor yang saya temukan telah berperan besar dalam

relasi saya dengan para informan dan penyedia dokumen adalah

profesi saya sebagai pekerja gerejawi GKT, yang pernah bekerja di

level lokal jemaat dan sinodal. Meski dari antara informan ada

yang sama sekali belum pernah mengenal saya secara pribadi, latar

belakang itu telah membuat permintaan saya untuk menggali

informasi mendapat sambutan yang baik.

Meski demikian hambatan yang saya hadapi juga ada.

Sebagai orang non-Tionghoa yang tak bisa berbahasa Tionghoa,

akses saya kepada informasi dan informan berbahasa Tionghoa

menjadi terhambat. Ada informan-informan yang mestinya dapat

memberi informasi namun karena keterbatasan tersebut saya

akhirnya memilih tidak menghubungi mereka.

Semua informan yang diwawancarai telah setuju untuk

diwawancarai. Sebagian dengan perekam sementara sebagian lain

tidak. Nama-nama yang tertulis dalam surat-surat, akta-akta

sidang dan notulen-notulen diungkapkan secara terbuka karena

semua dokumen itu bukan dokumen rahasia. Sementara nama-

nama sebenarnya dari informan yang diwawancarai diubah untuk

menjaga kerahasiaan namanya sesuai kesepakatan peneliti dengan

mereka.

E. Garis Besar Isi

Penelitian ini adalah untuk memaparkan respons orang

Tionghoa Kristen di GKT terhadap kebijakan asimilasi

pemerintah Orde Baru. Di dalamnya akan diperlihatkan strategi-

strategi yang dipergunakan untuk di satu pihak memperlihatkan

ketundukannya kepada kebijakan itu dan di pihak lain

memperlihatkan penolakannya untuk tunduk. Agar pembahasan-

nya menjadi terang maka disertasi ini akan diatur dalam

sistematika sebagai berikut.:

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 23 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998

Bab I menyajikan latar belakang timbulnya studi ini diikuti

dengan artikulasi masalah, pertanyaan-pertanyaan penelitian yang

diajukan dan tujuan yang mau dicapai. Selanjutnya disajikan fokus

dan ruang lingkup studi yang memberikan penjelasan tentang isu

yang hendak didalami dan sampai di mana batas-batasnya. Bab ini

ditutup dengan uraian singkat mengenai metodologi yang

dipergunakan untuk penelitian ini.

Di dalam Bab II disajikan suatu kajian pustaka mengenai

kerangka teori yang akan dipergunakan dalam penelitian ini.

Pembahasan akan diawali dengan pembahasan ringkas temuan-

temuan terdahulu mengenai orang Tionghoa dan kebijakan

asimilasi. Ditunjukkan di sana bahwa perlawanan belum dilihat

sebagai suatu sikap yang turut diambil oleh orang-orang Tionghoa.

Peran agama dan lembaga keagamaan masih dilihat sebagian

medium berasimilasi. Berangkat dari kenyataan bahwa operasi

kekuasaan selalu menimbulkan resistensi uraian selanjutnya

bergerak kepada sebuah kerangka teori baru untuk membaca

pengalaman orang-orang Tionghoa di Indonesia, yang akan

dipergunakan dalam penelitian ini. Sesudah sejumlah diskusi

mengenai perlawanan terhadap dominasi negara bab ini akan

diakhiri dengan bahasan tentang teori perlawanan yang diajukan

James C. Scott. Kerangka teori inilah yang dipergunakan dalam

menjelaskan aktivitas orang-orang Tionghoa Kristen di GKT.

Bab III membuka pembahasan mengenai hasil-hasil

penelitian dengan deskripsi historis singkat mengenai siapa dan

bagaimana orang-orang Tionghoa Kristen di GKT sampai

menjelang tahun 1968. Di dalamnya akan diterangkan latar

belakang sosial, budaya, politis dan spiritual orang-orang

Tionghoa Kristen di GKT. Uraian ini berperan sebagai latar untuk

memahami respons-respons mereka, yang diuraikan dalam bab

selanjutnya.

Deskripsi temuan dilanjutkan dalam Bab IV, yang fokus

pada bagaimana cara orang-orang Tionghoa Kristen di GKT

merespons kebijakan asimilasi yang dipaksakan oleh pemerintah

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

24 | BAB I PENDAHULUAN

Orde Baru atas semua orang Tionghoa. Akan diurai aneka strategi

yang dijalankan untuk memperlihatkan kepatuhan mengikuti

kebijakan asimilasi di depan penguasa. Lalu juga sikap dan

perilaku yang diperagakan di pentas belakang (off stage), di ruang-

ruang yang luput dari pemantauan (surveillance) penguasa, demi

melestarikan penanda-penanda budaya Tionghoa, yang coba

dihapus oleh kebijakan asimilasi.

Bab V akan menjadi sebuah kajian yang lebih teoretis,

yang membahas temuan-temuan yang sudah dipaparkan dalam

dua bab sebelumnya. Akan didiskusikan kontribusi penelitian ini

kepada teori-teori mengenai orang-orang Tionghoa di Indonesia

dan kepada teori-teori tentang perlawanan orang-orang tertindas.

Bab VI memberikan sejumlah kesimpulan dan saran bagi

pihak-pihak yang relevan dan bagi upaya-upaya penelitian lebih

lanjut di kemudian hari.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12977/1/D_762008002_BAB I.pdf · 2 | BAB I. PENDAHULUAN. stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan

Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan | 25

Orang-Orang Tionghoa Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998