perkembangan studi hadis di indonesia: pemetaan...

258
PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN DAN ANALISIS GENEALOGI Disertasi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Hadis dan Tradisi Kenabian Oleh: HASEP SAPUTRA (NIM. 11.3.00.1.05.01.0052) Pembimbing: Prof. Dr. H. Said Agil Husin al-Munawar, MA. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. KONSENTRASI HADIS DAN TRADISI KENABIAN PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/ 1435 H

Upload: tranxuyen

Post on 04-May-2019

316 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

1

PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA:

PEMETAAN DAN ANALISIS GENEALOGI

Disertasi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Doktor dalam Bidang Hadis dan Tradisi Kenabian

Oleh:

HASEP SAPUTRA

(NIM. 11.3.00.1.05.01.0052)

Pembimbing:

Prof. Dr. H. Said Agil Husin al-Munawar, MA.

Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA.

KONSENTRASI HADIS DAN TRADISI KENABIAN

PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2014 M/ 1435 H

Page 2: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

2

KATA PENGANTAR

Bismillāh al-raḥmān al-raḥīm.

Alḥamdu lillāh atas karunia dan pertolongan Allah SWT

disertasi ini telah dapat penulis selesaikan. Salawat dan salam untuk

junjungan alam, Nabi akhir zaman, Muhammad Rasulullah SAW.,

untuk keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir masa.

Dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis mengucapkan

terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan,

bimbingan, saran, motivasi, dan do‘a. Mereka adalah:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., selaku Direktur Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sekaligus sebagai

Pembimbing penulis, yang telah membimbing penulis dalam

menyelesaikan disertasi ini.

3. Prof. Dr. Suwito, MA., selaku ketua Program Doktor, dan Dr.

Yusuf Rahman, MA., selaku ketua Program Magister, yang telah

memberikan saran, motivasi, perbaikan dalam setiap kesempatan

dalam meningkatkan kualitas tulisan dalam disertasi ini.

4. Prof. Dr. H. Said Agil Husin al-Munawar, MA., selaku pembimbing

penulis. Saran, dorongan, dan ide yang beliau sampaikan sangat

berarti dalam penulisan disertasi ini.

5. Segenap civitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta: Bapak dan Ibu dosen yang telah membuka

wawasan intelektual penulis, dan karyawan Sekolah Pascasarjana

yang menciptakan suasana penuh kekeluargaan, keramahan, dan

sistem pelayanan yang optimal. Itu semua sangat pantas untuk

diingat.

6. Ayah, H. Magek Abas dan Ibu, Ertini, S.Pd., yang telah mendidik

dan membesarkan dengan penuh kasih sayang, serta tulus

mendo‘akan dari kejauhan.

7. Istri tercinta: Roza Eva, SKM., dan putri tercinta Qowiyya Lathifa

Qamra, yang rela berpisah untuk waktu yang lama demi kesuksesan

bersama. Begitu juga mertua penulis, yang selalu memberikan

semangat untuk menyelesaikan disertasi ini.

Page 3: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

3

8. Kakanda, Muhammad Irzan, ST., dan juga kakak ipar Meri JB serta

si kecil ―dedek ais‖; Adinda, Rizki Ema Wulan Sari, Fandi Juliarta,

atas do‘a dan motivasi kalian yang tiada henti.

9. Kawan-kawan seperjuangan, Milki Aan yang telah banyak sekali

memberikan bantuan secara moril dan materil. Nicolas Habibi,

Bobi A. Rahman, Marjan Fadil, Mufdil, Taufik, Rifyal, dan kawan-

kawan yang lainnya, terima kasih atas dukungan kalian.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang tidak

terhingga kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Kepada semuanya, Jazākum Allāh khair wa-Aḥsan al-Jazā‟. Mohon

maaf atas kekurangan dan keterbatasan penulis dalam disertasi ini.

Ciputat, 14 Oktober 2014

Penulis

HASEP SAPUTRA

Page 4: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

4

ABSTRAK

Kajian hadis yang berawal dari kajian sanad hadis, ulūm al-

ḥadīth, hingga metodologi pemahaman hadis menunjukkan adanya

pergeseran kajian hadis serta perkembangan pemahaman hadis dengan

pendekatan ilmiah, logika-deduktif, dan korelasi konteks sosio-historis-

psikologis di Indonesia.

Hasil ijtihad para pengkaji hadis di Indonesia tidak dapat

dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosiokultural tempat mereka

tinggal, faktor politik yang mereka dukung, latar belakang bacaan,

mazhab dan kecenderungan pemikiran yang mereka anut, serta

lingkungan pendidikan.

Penelitian ini mendukung pernyataan bahwa terdapat

perkembangan studi hadis di Indonesia. Pernyataan di atas mempunyai

persamaan dengan komunitas akademik lainnya, seperti Daniel Djuned

(2002), R. Michael Feener (2002), dan Muhammad Dede Rodliyana

(2003). Pada sisi lain, pernyataan tersebut kontradiktif dengan

pandangan sebagian kelompok akademik lainnya, seperti Ramli Abdul

Wahid (2006), Khairul Rafiqi (2012), dan Martin van Bruinessen

(1995) yang menyebutkan bahwa pengkajian atau karya-karya yang

berkaitan dengan hadis di Indonesia sangat jarang dan tidak

berkembang.

Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat pergeseran dan

perkembangan studi hadis di Indonesia, khususnya dalam metodologi

pemahaman hadis oleh pengkaji hadis di Indonesia pada masa

sekarang.

Dalam meneliti pemikiran dari ulama hadis di Indonesia penulis

menggunakan metode hermeneutik. Pendekatan hermeneutik ini dapat

berperan menguak cara berpikir ulama hadis di Indonesia secara rinci

pada beberapa pemikirannya yang dinilai mengandung unsur

pembaharuan. Kajian ini juga dilengkapi dengan pendekatan sosio-

historis yang ditekankan pada latar belakang kehidupan yang dapat

mempengaruhi pemikiran mereka dan historico-critical-method

(metode kritik sejarah) yang ditekankan pada penemuan fakta-fakta

objektif dan nilai-nilai yang terdapat dalam pemikiran ulama hadis di

Indonesia.

Page 5: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

5

ABSTRACK

Study of hadīth from Sanad al-Ḥadīth, Ulūm al-Ḥadīth, until

methodology of ḥadīth studies indicated that there were development in

study hadīth with a scientific approach, deductiv logic, and corellation

of socio-historical contex-psychological in Indonesia.

Ijtihad scholars ḥadīth in Indonesia cannot be separated from

socio-cultural, political factor, background readings, education,

madhhab and trends of thought that he holds.

This study supports the notion that there is development of

ḥadīth studies in Indonesia. The above statement has similarities with

other academic communities, such as Daniel Djuned (2002), R.

Michael Feener (2002 ), and Muhammad Dede Rodliyana ( 2003). On

the other hand, the statement contradictory of some other academic

groups, such as Ramli Abdul Wahid (2006), Khairul Rafiqi (2012), and

Martin van Bruinessen (1995) explained that the tradition of hadith

studies was rare in Indonesia.

This study prove that there is development of study ḥadīth in

Indonesia, particularly in the methodology of ḥadīth in Indonesia at

present.

In researching the thought of ḥadīth scholars in Indonesia is

used the method of hermeneutic. This hermeneutic approach can

contribute to uncover ways of thinking ḥadīth scholar in Indonesia in

detail at some of his thinking is considered an element of renewal. This

study is also equipped with a socio-historical approach that focused on

the background of the lives that may affect their thinking and historico-

critical method is focused on the discovery of objective facts and values

contained in the ḥadīth scholars thought in Indonesia .

Page 6: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

6

يهخص انبحث

كر حغريت دراسث احلريد اىيت حتخي ىلع دراسث السر، عيم احلريد ع ادخالف املاز اىعييث، حن املز وطسق ف احلريد وحطر ف

واتلارديث وعي املطييق، واىعالكات ةني اىلسائ االسخاعيث -االستخايج انلفس يف إرويسيا.

وال خيي أن يكن اسخاد املحرذني اإلرويسني خز حأذري ابليئث االسخاعيث احلضاريث حيد يعيشن فيا. وكزالم األستاب السياسيث ومما كسؤوا نرريا الهخب، و يهل إىل املزاب واىفهس،

وأيضا ابليئث اىرتبيث. زا ابلحد اىلل ةأن دراسث احلريد كر حطرت يف إرويسيا. وأير

(، ر. ايكو فرن 2002ر )يدايال سويف فس األمس يكن اىطالب رو مافلني ة. وىك اىلم خياىف رو (2002(، حمر ديري راضياا )2002)

حير ) وذنسوا وارح فان ةسوينس (، 2002(، دري السافيق )2002رميل عتر ال أن ادلراسات واملؤىفات املخعيلث ةا يف إرويسيا ادرة وسانث.

وأذتج زا ابلحد ىلع أن اك إزاحات يف دراسث احلريد ةإرويسيا، داصث فيا يخعيق ةطسق ف احلريد عر املحرذني ايلم.

ويف حبر اسخذرم ابلاحد املز اتلفسرييكي خنض ة دضا حرذني املخشردة. وسسخعو أيضا في املفاي اإلسخاعيث عيلا أفاكر امل

. وال نىس اسخعال يو ةاواتلارديث اىيت حت ديفيات حياح فخؤذس أفاكر. دة يف أفاكر س ز لر اتلاريخ في يف الكائع احلليلث واىلي امل

Page 7: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

7

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Konsonan

b = ب Z = ص F = ف

t = ث S = ط Q = ق

th = ث Sh = ش K = ك

j = ج ṣ = ص L = ل

ḥ = ح ḍ = ض M = و

kh = خ ṭ = ط N =

d = د ẓ = ظ H =

dh = ع = ‗ ر W =

r = س Gh = ؽ Y =

Vokal Pendek : a = ‗ i = u =

Vokal Panjang : ā = ا ī = ū =

Diftong : ay = ا aw ا =

Page 8: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

8

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ...................................................................... ii

ABSTRAK ......................................................................................... iv

ABSTRACK ...................................................................................... v

انبحثيهخص ........................................................................................... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................... vii

DAFTAR ISI ..................................................................................... viii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1

B. Permasalahan .................................................................... 16

1. Identifikasi Masalah ................................................... 16

2. Pembatasan Masalah................................................... 17

3. Perumusan Masalah .................................................... 18

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan .................................. 18

D. Tujuan Penelitian .............................................................. 22

E. Manfaat Penelitian ........................................................... 22

F. Metodologi Penelitian ...................................................... 22

G. Sistematika Penulisan ....................................................... 28

BAB II. KAJIAN HADIS PADA MASA MODERN

A. Paradigma Kajian Hadis ................................................... 29

B. Perbedaan Metodologi Kajian Hadis: Sarjana

Barat dan Sarjana Timur. .................................................. 40

1. Kajian Hadis di Timur Tengah ................................... 40

2. Kajian Hadis di Barat ................................................. 47

3. Kajian Hadis di Indonesia........................................... 53

C. Kajian Hadis dilihat dari Beberapa Literatur

Keilmuan .......................................................................... 60

1. Historiografi ............................................................... 60

2. Linguistik .................................................................... 64

D. Konsep Genealogi dan Pemetaan Studi Hadis ................. 67

Page 9: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

9

BAB III. DINAMIKA PEMIKIRAN PENGKAJI

HADIS DI INDONESIA ABAD XXI

A. Awal Perkembangan Studi Hadis di Indonesia ................ 74

B. Kriteria Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia ............ 82

C. Perkembangan Metodologi Pemahaman Hadis

pada Abad XXI di Indonesia ............................................ 100

1. Muhammad Syuhudi Ismail ....................................... 100

2. Said Agil Husin al-Munawar ...................................... 105

3. Ali MusthafaYa‘qub ................................................... 109

4. Kamaruddin Amin ...................................................... 115

BAB IV. DINAMIKA KAJIAN HADIS MASA

MODERN DI INDONESIA

A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Perkembangan Studi Hadis di Indonesia. ......................... 121

1. Hereditas ..................................................................... 122

2. Lingkungan ................................................................. 125

3. Politik dan Mazhab ..................................................... 130

4. Pendidikan .................................................................. 131

B. Pemetaan Secara Sinkronis dan Diakronis

Perkembangan Studi Hadis di Indonesia. ......................... 135

C. Rekonstruksi Metodologi Pemahaman Hadis di

Indonesia ........................................................................... 141

BAB V. GENEALOGI PERKEMBANGAN STUDI

HADIS DI INDONESIA A. Sinkronisasi antara Pengkaji Hadis di Indonesia

dengan Pengkaji Hadis Lainnya ....................................... 162

B. Keontetikan Karya Pengkaji Hadis di Indonesia .............. 179

C. Signifikansi Perkembangan Kajian Hadis di

Indonesia. .......................................................................... 190

1. Signifikansi Pergeseran Kajian Hadis ........................ 190

2. Signifikansi Perkembangan Metode

Pemahaman Hadis ...................................................... 197

D. Pemikiran Pengkaji Hadis di Indonesia ............................ 204

BAB VI. PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................... 219

B. Saran ................................................................................. 220

Page 10: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

10

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 222

LAMPIRAN ...................................................................................... 236

GLOSARIUM ................................................................................... 243

INDEKS ............................................................................................. 248

BIODATA PENULIS ....................................................................... 251

Page 11: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

11

BAB I

PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan desain penelitian yang menggambarkan

secara umum latar belakang penelitian, hasil yang akan dicapai, dan

langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian.

Pembahasannya dibagi menjadi tujuh sub bab, dimulai dengan sub-sub

bab yang mengungkap penentuan wilayah penelitian, yaitu latar

belakang masalah, permasalahan, tujuan serta kegunaan penelitian.

Serta sub bab yang menginformasikan perdebatan akademik dan karya

tulis yang berkenaan dengan tema penelitian. Sub bab selanjutnya

mengemukakan rasionalisasi pencapaian tujuan penelitian serta

metodologi penelitian yang menunjang. Pembahasan diakhiri dengan

sistematika penulisan.

A. Latar Belakang Masalah

Dalam perkembangan ilmu hadis, karya tulis ulama hadis dunia

sudah sangat banyak diteliti oleh para penulis atau peneliti, baik segi

metode maupun pemikiran dari ulama hadis itu sendiri. Berbeda

dengan pengkaji hadis yang ada di Indonesia yang belum banyak

diteliti dan diketahui karya tulis mereka, kecuali hanya beberapa yang

sudah dikenal oleh masyarakat.1

Dari beberapa pengkaji hadis di Indonesia ada beberapa orang

yang mencoba membuat perubahan atau rekonstruksi dalam memahami

1 Perbedaan penyebutan ulama hadis, muhadīth, pengkaji hadis, dan ahli

hadis. Pertama, Ulama hadis adalah ulama yang menguasai ilmu hadis, mengenal dan

hafal banyak hadis, mengetahui bobot ke-ṣaḥīḥ-annya, asbāb al-wurūd-nya (situasi

datangnya hadis), dan sebagainya yang berkaitan dengan kaidah dan uṣūl pemahaman

hadis; Kedua, Muhadīth adalah orang yang hafal banyak hadis dan juga meriwayatkan

hadis; Ketiga, Pengkaji hadis adalah penelaah atau peneliti hadis secara mendalam;

dan Keempat, Ahli hadis adalah orang yang ahli dalam seluk beluk hadis atau orang-

orang yang memperhatikan hadis Rasulullah SAW baik dari segi riwayah maupun

dari segi dirayah, mereka mencurahkan tenaganya untuk mengkaji hadis-hadis Nabi

SAW dan periwayatannya mengikuti isinya berupa ilmu dan amal serta menjalankan

sunnah dan menjauhi bid‘ah. Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar

Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), 660; dan Jamāl al-Dīn ibn Manẓur,

Lisan al-„Arab (Beirut: Dar Shadir, t.th.), 163, 798. Dalam penelitian ini, dipakai kata

istilah ―pengkaji hadis‖ untuk menyebutkan beberapa akademisi yang meneliti

tentang hadis di Indonesia, karena menurut penulis pemakaian istilah ―pengkaji hadis‖

lebih cocok dan pas sesuai dengan pengertian di atas.

1

Page 12: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

12

hadis, yang mungkin berbeda dengan metode yang dipakai oleh ulama

lain, dan semakin berkembangnya zaman maka berkembang pula ilmu

pengetahuan, maka semakin komplitlah permasalahan yang dihadapi

pada masa modern ini. Seperti hal dalam memahami hadis, metode-

metode lama2 untuk memahami hadis dianggap kurang relevan dalam

menjawab permasalahan kekinian.3 Karena itu, perlu ada pendekatan

lain seperti hermeneutik.

Pendekatan hermeneutik untuk memahami hadis digunakan oleh

ahli hadis di Indonesia karena dianggap relevan untuk menjawab

permasalahan masa kekinian, dikarenakan pendekatan ini dalam

memahami hadis lebih kepada substansi hadis itu sendiri dengan

melihat dimensi historis, filosofis, ilmiah dan sosiologis.4

2 Empat metode yang lazimnya digunakan yaitu: metode tahlilī, ijmalī,

mauḍū‟ī dan muqarran. Keempat metode ini pada dasarnya juga bisa digunakan

dalam memahami hadis Nabi SAW. Kitab syarah yang ada pada umumnya memiliki

keistimewaan dan ciri-ciri tersendiri yang menggambarkan kecendrungan dan metode

yang digunakan dalam memahami hadis Nabi SAW tersebut.Lihat Buchari M.

Metode Pemahaman Hadis sebuah Kajian Hermeneutika (Jakarta: Nuansa Madani,

1999). 36-37; Edi Safri, Al-Imam al-Syafi‟ī: Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif

(Padang: IAIN IB Press, 1999), 111; dan Nashrudin Baidan, Metodologi Penafsiran

al-Qur‟an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 151. 3 Contohnya adanya penolakan terhadap hadis-hadis misogini, atau hadis

yang tampak melemahkan peran wanita dalam Islam dan juga beberapa hadis yang

tampak bertentangan dengan logika dan sains. Hadis yang secara sanad bernilai ṣaḥīḥ,

tetapi tidak sesuai dengan kenyataan sain atau logika nalar manusia, ternyata para

ulama berbeda pendapat yang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua)

kelompok.

Kelompok pertama memandang bahwa hadis tersebut tetap berkualitas

ṣaḥīḥ, hanya saja manusia yang belum bisa menemukan rahasianya, serta akal

manusia belum dapat sampai/menjangkaunya. Sedang kelompok kedua memandang

bahwa hadis-hadis tersebut tidak ṣaḥīḥ, sebab ada illah yang mencacatkannya dan ada

pula kejanggalan artinya. Lihat: Yusuf al-Qaraḍāwī, al-Khaṣaiṣ wa al-Ḥayāh al-

Mu‟āṣirah (Kairo: Dar al-Ma‘rifah, t.t), 220-221; Musṭafa al-Sibā‘ī, al-Sunnah al-

Nabawiyyah wa Makanatuha fī al-Tasyri‟ al-Islāmī (Beirut: al-Maktab al-Islami,

1976), 285; dan Hasbi ash-Shiddiqi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jakarta:

Bulan Bintang, 1976),128. 4 Metode hermeneutik digunakan oleh pengkaji hadis di Indonesia, salah

satunya adalah Buchari M. dalam karyanya Metode Pemahaman Hadis sebuah Kajian

Hermeneutika. Jika kita melihat karya Buchari M, ia menulis tentang perlunya metode

hermeneutik dalam memahami hadis, Menurut Buchari, hermeneutik dapat digunakan

dalam tatanan mafhûm al-naṣ (pemahaman teks), bukan dalam mengukur

keontentikan naṣ. Buchari M. Metode Pemahaman Hadis sebuah Kajian

Hermeneutika (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), 36.

Page 13: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

13

Dalam mukadimahnya Muhammad al-Ghazalī mengatakan

bahwa dengan pandangan yang sempit terhadap pemahaman hadis Nabi

SAW maka sudah pasti akan timbul problem-problem sosial.5 Seperti

memahami hadis tentang bid‘ah atau hadis tentang dunia merupakan

penjara bagi mukmin dan surga bagi orang kafir.6 Jika hadis-hadis

seperti ini dipahami secara sempit maka tentunya akan menimbulkan

permasalahan di dalam masyarakat.

Daniel Djuned dalam bukunya menjelaskan bahwa sesuai

dengan misi Rasulullah SAW sendiri sebagai pembawa rahmah,

tuntunan hadis atau sunnah merupakan faktor terciptanya kedamaian.

Kedamaian yang merupakan misi utama dari keberadaan Rasulullah

dapat terwujud dalam kenyataan, jika warisan yang didapatkan dari

beliau dipahami dengan baik. Sebaliknya, jika tuntunan dimaksud tidak

dipahami dengan baik, maka bukan rahmat dan kedamaian yang

didapat, tetapi malah pertengkaran yang membawa kepada perpecahan

umat.7

Menurut penulis, metode pemahaman hadis yang dipakai oleh

ulama terdahulu mempunyai kekurangan yaitu belum bisa menjawab

permasalahan kekinian, contohnya adanya penolakan terhadap hadis-

hadis yang nampak bertentangan dengan sains dan logika.8

5 Muhammad al-Ghazalī, Studi Kritik Atas Hadis Nabi SAW antara

Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (diterjemahkan dari buku al-Sunnah al-

Nabawiyyah: Baina ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīth) (Bandung: Mizan, 1998), 19. 6 Hadisnya adalah

انذا صج انؤي جت انكافش )سا يضهى(

Artinya: Dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang kafir

(HR. Muslim).6

Menurut Muhammad Syuhudi Ismail, teks hadis tersebut dapat dipahami

sebagai berbentuk tamthil dan dapat pula dipahami sebagai bukan berbentuk tamthil.

Kedua pemahaman itu dapat saling melengkapi. Secara tekstual, hadis tersebut

menjelaskan bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang yang beriman. Karenanya,

selama hidup di dunia orang yang beriman harus selalu dalam penderitaan.

Kebahagiaan hidup barulah dirasakan oleh orang yang beriman tatkala telah berada

dalam surga, yakni di akhirat kelak. Bagi orang kafir, hidup di dunia ini adalah surga.

Di akhirat, orang kafir berada dalam neraka. M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang

Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang

Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 16-17. 7 Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis (Aceh: Citra Karya,

2002), 5. 8 Seperti hadis tentang mencelupkan lalat ke dalam air minum, hadis-hadis

yang melemahkan wanita, dan hadis-hadis yang dianggap bertentangan dengan

logika-deduktif, ilmiah, dan lain sebagainya.

Page 14: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

14

Hadis tidak hanya dipahami dengan pendekatan tekstual saja,

akan tetapi hadis harus dipahami dari berbagai dimensi. Di samping itu,

harus diperhatikan situasi dan kondisi kejadiannya, sering Nabi SAW

mengeluarkan sabdanya dengan memperhatikan keadaan yang beliau

hadapi. Beliau menemukan hal yang sangat berpadanan dengan

keadaan orang yang beliau hadapi itu. Kepada seorang yang

menanyakan tentang perbuatan terbaik dan disukai Tuhan, Nabi

menjawab sesuai dengan keadaan pada waktu dan siapa yang bertanya,

sehingga hadis tidak hanya dipahami berupa memakai baju gamis

pendek dan janggut yang lebat akan tetapi memahami substansi hadis

yang menjadikan kita mempunyai akal yang cerdas, hati yang lebih

tulus, akhlak yang lebih bersih, fitrah yang lebih sehat dan perilaku

yang lebih bijaksana.9

Menurut Ibn al-Athir (544-606 H), Nabi Muhammad SAW.

adalah seorang yang fasih bicaranya, mudah dipahami bahasanya,

lembut tutur katanya, dan jelas dialek yang digunakannya.10

Kemampuan Nabi SAW berkomunikasi bahasa Arab yang berbeda-

beda membawa dampak tidak hanya pada penelitian kualitas hadis,

tetapi terutama pada pemahaman matan hadis,11

selain memberikan

9 Jawaban yang dapat direkam atas pertanyaan yang sama tersebut adalah: 1)

Amal yang paling baik adalah shalat tepat pada waktunya, 2) Amal yang paling baik

dan disukai Allah adalah membaca al-Qur‘an sepanjang waktu, 3) Amal yang paling

utama adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, 4) Amal yang paling utama adalah

menahan diri dari mengganggu dan menyakiti manusia, 5) Amal yang paling baik

adalah memberikan makanan kepada fakir miskin dan memberikan salam kepada

siapa saja.

Hadis-hadis tersebut tidak dapat hanya dipahami secara harfiah-literal-

atomistis, namun dapat dipahami latar belakang sejarahnya, bagaimana dan dalam

situasi apa Nabi SAW mengucapkan sabda hadis tersebut. Selain itu juga harus

dipahami apakah ketentuan yang pernah disabdakan oleh Nabi tersebut berlaku umum

atau merupakan ketentuan khusus dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain dan di

tempat lain. Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil)

(Yogyakarta: Teras, 2008), 6. 10

Abū Alī Muḥammad ‗Abd al-Raḥmān ibn Abd al-Raḥīm al-Mubarakfurī,

Muqaddimah Tuḥfat al-Ahwādhi (Beirut: Dar al-fikr, 1979), 230. 11

Pengujian redaksi (matan) hadis sebenarnya sudah dilakukan sejak awal

sekali, bahkan dari kalangan sahabat sudah terlihat pengujian-pengujian yang mereka

lakukan. Dari beberapa kasus yang dicermati, terlihat bahwa pengujian hadis yang

dilakukan sahabat adalah dengan al-Qur‘an serta hadis-hadis yang lebih kuat dan

masyhur yang terkadang diperkuat dengan argumen rasional dalam bentuk analogi.

Pengujian hadis dengan al-Qur‘an ini, bahkan pernah dilakukan oleh Aisyah terhadap

hadis yang sedang disampaikan oleh Rasulullah sendiri.

Page 15: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

15

peluang yang relatif luas terjadinya periwayatan makna, hal itu juga

dapat menyebabkan adanya lafaz gharīb12

dalam matan hadis.

Di kalangan para ulama hadis, ditemukan dua kecenderungan

pemahaman terhadap kandungan hadis. Kedua kecenderungan tersebut

representasi dalam dua kelompok yang cukup dominan di kalangan

umat Islam, yakni restriction of traditionalist dan modernist

scripturalism.13

Pemahaman kelompok pertama hanya membatasi diri

pada tradisi yang diperolehnya dari ulama klasik tanpa

mempertimbangkan realitas sosial. Sedangkan pemahaman kelompok

modernist scripturalism tidak membatasi pada tradisi tersebut, tetapi

mempertimbangkan konteks dan realitas sosial yang berada di luar teks.

Produk pemahaman hadis yang dihasilkan dari kedua kelompok

Rasulullah SAW bersabda: ―Barang siapa yang dihisab pasti akan diazab‖. Aisyah

menyela: ―Bukankan Allah telah berfirman: ―Mereka (orang beriman) akan dihisab

dengan hisab yang sangat mudah (al-Insyiqaq: 8).‖ Rasul lalu bersabda kembali: ―Itu

hanya sepintas, tetapi orang yang dihisab secara ketat, pasti akan sengsara. Ṣalahuddīn Ibn Ahmad al-Adlabi, mencatat beberapa orang sahabat yang

melakukan kritik terhadap hadis yang diriwayatkan oleh sahabat lain. Mereka antara

lain adalah Siti Aisyah, Umar bin Khaṭṭab, Alī ibn Abī Ṭalib, Abdullāh ibn Mas‘ūd,

dan Abdullāh ibn ‗Abbas. Tetapi, di antara sekian sahabat yang melakukan pengujian

terhadap hadis ini, yang paling intens adalah Siti Aisyah. Lihat karya Muḥammad

Fuād ‗Abd al-Bāqī, Al-Lu‟lu‟ wa al-Marjān (Beirut: Dār al-Fikri, t.t), 299, dan Ṣalah

al-Dīn ibn Aḥmad al-Aḍabi, Metodologi Kritik Matan Hadis (Jakarta: Gaya Media

Pratama, 2004), 85. 12

Lafaz gharīb dalam hadis adalah lafaz yang terdapat pada matan hadis

yang sulit dipahami. Ke-gharīb-an suatu hadis disebabkan oleh dua faktor, yakni lafaz

tersebut sendiri sulit dipahami, kecuali dengan pemahaman yang mendalam atau ada

petunjuk dari Nabi SAW. dan lafaz tersebut asing bagi periwayat, baik karena jarang

digunakan ataupun karena perkembangan bahasa. Al-Sayyīd al-Ṣarīf ‗Alī ibn

Muḥammad ibn Alī al-Sayyīd al-Zain Abū al-Ḥasan al-Ḥusainī al-Jurjanī al-Ḥanafī,

al-Ta‟rīfāt (Kairo: Musṭafā al-Bābī al-Halabī wa Ṣurakahu, 1938), 229. 13

Restriction of traditionalist adalah pola pemikiran keagamaan tradisional

yang sempit. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh tradisi ulama masa lampau,

dimana hasil pemikiran ulama terdahulu dijadikan acuan dan sekaligus referensi bagi

setiap persoalan kemasyarakatan yang muncul pada saat sekarang. Pola pemikiran

yang demikian ini biasanya diikuti oleh komunitas masyarakat tradisional yang

membanggakan tradisi, seperti kelompok pengikut pola bermazhab dalam keagamaan.

Sedangkan, modernist scripturalism adalah tipe pola gerakan yang menamakan

dirinya kelompok modern. Lihat Ahmad Arifin, Pergulatan Pemikiran Fiqh

“Tradisi” Pola Mazhab (Jakarta: elSAQ Press, 2010), 3.

Page 16: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

16

tersebut mencerminkan dua tipologi pemahaman, yakni pemahaman

tekstual/literal, dan pemahaman konstekstual.14

Teori yang digunakan oleh kelompok tekstual adalah teori

tekstual-legalistik-normatif. Teori ini menekankan pada aspek

gramatika bahasa. Argumen yang dijadikan dasar adalah merujuk

kepada struktur kebahasaan Arab. Karena hadis tertuang dalam bahasa

Arab, maka cara yang paling tepat untuk memahami hadis adalah

dengan merujuk kepada struktur kebahasaan Arab itu sendiri. Struktur

kebahasan setidaknya melibatkan dua aspek, yaitu aspek logika bahasa

dan aspek tata bahasa (grammar). Dalam tradisi pemahaman hadis,

teori ini merupakan akibat dari pengaruh yang kuat dalam sejarah

pemikiran ilmu bahasa yang melahirkan dua mazhab, yaitu mazhab

Kufah dan Basrah.15

Teori pemahaman hadis yang direpresentasikan oleh kelompok

modernist scripturalism adalah historis-kontekstual.16

Teori ini

mencoba memahami hadis dengan bergerak dari wilayah gramatika-

tekstual ke wilayah kontekstual. Penguasaan gramatika dan gaya

14

Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual yang Kontekstual: (Telah

Ma‘ani al-Hadis yang Universal, Temporal, dan Lokal) (Jakarta: Bulan Bintang,

1994), 17. 15

Mazhab Kufah lebih menekankan pada tata bahasa Arab yang memiliki

akar dan karakter yang khas sehingga kalau menemukan beberapa kata dan kalimat

yang sulit dalam hadis, maka pemahamannya harus ditelurusi pada tradisi bahasa

Arab klasik sebagaimana orang Arab dahulu memahaminya. Adapun mazhab Basrah

yang ditekankan adalah logika universal sebagaimana yang diajarkan filsafat Yunani

(Aristoteles), bukannya tata bahasa Arab yang bersifat lokal-partikular. Alasannya,

hadis sebagai sumber ajaran Islam ditujukan untuk semua umat manusia tentunya

memiliki logika universal yang melewati batas dan karakter lokal. Komaruddin

Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:

Paramadina, 1996), 210. 16

Para ulama tidak puas dengan pendekatan gramatika-tekstual saja. Mereka

mencoba memahami hadis dengan pendekatan historis-kontekstual, yakni untuk

memahami ucapan Nabi, misalnya, hendaknya juga dipahami gaya bahasa yang

digunakan, konteks sosial dan psikologis ketika Nabi Muhammad SAW bersabda

serta kepada siapa ucapan itu dialamatkan. Seorang yang tidak mengetahui latar

belakang sosial-budaya darimana dan dalam situasi apa sebuah hadis disabdakan,

maka pesan dari sebuah hadis sulit ditangkap. Ketika hadis diterjemahkan secara

literal dan dilepaskan dari konteksnya, sangat mungkin pemahaman yang muncul jauh

dari yang dikehendaki oleh pembicaranya (Nabi). Pemahaman kontekstual ini lebih

diperlukan lagi ketika seseorang akan menentukan sebuah formula hukum.

pemahaman yang demikian ini dikenal dengan teori historis-kontekstual dalam

memahami hadis. Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil)

(Yogyakarta: Teras, 2008),10.

Page 17: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

17

bahasa Arab sangat diperlukan dalam memahami hadis. Tanpa kedua

aspek tersebut, pemahaman akan kehilangan peta dan arah. Persoalan

yang muncul kemudian adalah hadis yang datang dari Nabi adalah

berbentuk pesan dalam bahasa Arab, namun bahasa Arab yang

dijadikan wahananya sampai tingkat tertentu dapat dimasukkan ke

dalam kategori budaya yang di dalamnya terkandung sifat relatif, dan

juga mengandung sistem tanda bahasa yang bersifat arbitrer

(kesepakatan sosial). Konsekuensinya, makna yang dikandung hadis

tidak semuanya terungkap dan tidak bisa dipahami secara tuntas oleh

pembacanya, meskipun pembacanya ahli dalam ilmu bahasa. Dalam

hadis mudah dijumpai kata ataupun kalimat yang menimbulkan multi

makna, karena dari segi bahasa memang memungkinkan. Multi makna

yang bersifat semantikal ini diperkuat oleh perbedaan tingkat akademis,

psikologis, dan kepentingan politik pencari makna hadis, sehingga kita

menyaksikan munculnya berbagai mazhab atau aliran pemikiran dalam

Islam, baik dalam bidang hukum, teologi, filsafat, tasauf maupun

politik. Berbagai isu yang diperselisihkan oleh para ulama tidak

mungkin diselesaikan dengan cara penyeragaman makna hadis karena

hadis membuka diri untuk ditafsirkan.17

Pada zaman dahulu, sebagian ulama sudah merasa puas dengan

menyatakan wa Allāh a‟lām (Allah yang mengetahui maksud-Nya).

Akan tetapi, tatkala problem sosial dan ilmu pengetahuan semakin

kompleks seperti sekarang ini, maka literalisme seringkali tidak

memuaskan pemikiran banyak pihak. Bahkan pada gilirannya

berpotensi untuk memunculkan sikap keraguan dari sebagian orang

terhadap otentisitas hadis Nabi SAW, karena isinya secara literal

bertentangan dengan sains, logika, atau nalar manusia. Padahal hadis

tersebut diriwayatkan oleh para perawi hadis yang diakui

kredibilitasnya dalam periwayatan hadis.

Pengkaji hadis di Indonesia berusaha untuk merekonstruksi

metode pemahaman hadis sehingga hadis Nabi Muhammad SAW dapat

diterima pada masa sekarang khususnya oleh masyarakat Indonesia. Di

antara pengkaji hadis yang mencoba merekonstruksi metode

pemahaman hadis, yaitu dari tamatan Timur Tengah yaitu Said Agil al-

Munawar, Ali Mustafa Ya‘qub, Daud Rasyid Sitorus dan Lutfi

Fathullah; dari tamatan Barat yaitu, Kamarudin Amin; dan dari

17

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian

Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 165.

Page 18: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

18

Indonesia yaitu Muhammad Syuhudi Ismail, Daniel Djuned, Buchari M

dan lain-lain.

Berdasarkan sejarah perkembangan ilmu-ilmu hadis, secara

umum sejak abad ke-10 H. sampai abad ke-14 H. ijtihad dalam masalah

tersebut di atas terhenti dan tidak ada usaha untuk mengembangkannya,

kecuali ada beberapa kitab ilmu-ilmu hadis dalam bentuk syair yang

merupakan susunan ulang dan syarahan tanpa ada pengembangan.18

Pada permulaan abad ke-14 H, para ulama hadis mulai bangkit

membahas ilmu-ilmu hadis dan mengaitkannya dengan perkembangan

pengetahuan modern sebagai akibat persentuhan antara dunia Islam

dengan dunia Barat.19

Perlunya kajian ulang terhadap proses

pembakuan hadis, tanpa perlu menghilangkan otensitas spritualitas oleh

perubahan kehidupan masyarakat modern dalam era teknologi dan

informasi yang begitu cepat. Ulama yang tergolong tanggap akan

masalah ini, antara lain al-Qasimī,20

Maḥmūd al-Ṭahān,21

Abū

Ṣuhbah,22

Subḥi al-Ṣalīh,23

Muḥammad ‗Ajjaj al-Khatīb,24

M.M.

18

Nūr al-Dīn ‗Itr, Manhāj al-Naqd fī „Ulūm al-Ḥadīth (Damsyiq: Dar al-

Fikr, 1979), 56. 19

Pertemuan umat Islam yang dalam kemundurannya dengan Barat yang

maju mengakibatkan timbulnya pemikiran untuk meningkatkan kembali kehidupan

umat Islam. Disisi lain, timbul pula masalah di kalangan umat Islam dengan

munculnya ―intelektual baru‖ yang sering disebut ―cendekiawan sekular‖ yang lebih

berorientasi pada hal-hal yang bersifat keduniawian. Azyumardi Azra, Esei-Esei

Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), 53. 20

Nama lengkapnya adalah al-Sayyīd Muḥammad Jamāl al-Dīn al-Qasimī,

antara lain menyusun buku yang berjudul: Qawā‟id al-Taḥdīth min Funūn Musṭalah

al-Ḥadīth, diterbitkan oleh Isā al-Bābu al-Halabī wa Shurakah. 21

Maḥmūd al-Ṭahan, antara lain menulis buku berjudul: Taisīr Musṭalah al-

Ḥadīth yang diterbitkan oleh Dār al-Qur‘ān al-Karīm, Beirut dan Uṣūl al-Takhrīj wa

Dirāsah al-Asānīd yang diterbitkan oleh al-Maṭba‘ah al-‗Arabīyah. 22

Nama lengkapnya adalah Muḥammad Abū Ṣuhbah, antara lain menulis

buku yang berjudul Difa‟ān al-Sunnah wa Radd Shubah al-Mushtashriqīn wa al-

Kutub al-Mu‟aṣirīn yang diterbitkan oleh Maṭba‘ah al-Arabīyah 23

Ṣubhī al-Ṣalīh menulis buku berjudul: „Ulūm al-Ḥadīth wa Musṭalaḥuhu

yang diterbitkan oleh Dār al-‗Ilm lī al-Malayin, Beirut. 24

Nama lengkapnya adalah Muḥammad ‗Ajjaj al-Khatīb telah menyusun

buku, antara lain: al-Sunnah Qabl al-Tadwīn yang diterbitkan oleh Maktabah

Wahbah, Kairo, Abū Huráirah Rawīyah al-Islām, dan Uṣūl al-Hadīth „Ulūmuhu wa

Musṭalaḥuhu yang diterbitkan oleh Dār al-Fikr, Beirut.

Page 19: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

19

Azamī,25

Musṭafā al-Ṣibā‘ī,26

Nūr al-Dīn ‗Itr,27

dan Naṣiruddīn al-

Albanī.28

Tetapi setelah berlalu beberapa generasi, sebagian hadis-hadis

Nabi mulai tampak sulit dipahami (mushkīl), baik karena kata-kata

yang ada dalam redaksi hadis itu sulit dipahami karena asing atau juga

karena sulit dipahami ketika berada dalam konteks redaksi tertentu

(gharīb) maupun karena dipandang bertentangan satu sama lainnya

(mukhtalīf).29

Tiba pada abad modern saat ini, hadis-hadis tidak hanya

dipandang bertentangan satu sama lainnya, tetapi juga dipandang

bertentangan dengan logika dan pengetahuan modern.

Hadis Nabi SAW merupakan sumber pokok ajaran Islam

setelah al-Qur‘an.30

Sebagai salah satu sumber ajaran Islam, hadis harus

dipahami secara baik dan benar agar pemahaman yang diambil darinya

dapat dipertanggungjawabkan, karena pemahaman tersebut mempunyai

25

Muḥammad Musṭafa al-Azamī telah menulis buku yang terkenal, yaitu

Studies in Hadith Methodology and Literature yang diterbitkan oleh Islamic Teaching

Centre, Indiana dan Manhāj al-Naqd „inda al-Muḥaddithīn yang diterbitkan oleh

Shirkah al-Ṭiba‘ah al-‗Arabiyyah al-Sa‘udiyyah, Riyaḍ. 26

Musṭafa al-Ṣibā‘īy, antara lain menulis buku berjudul: al-Sunnah wa

Makānatuha fī al-Tashrī‟ al-Islamiyyah yang diterbitkan oleh al-Dār al-Qaumiyyah 27

Nūr al-Dīn ‗Itr, antara lain menulis buku yang berjudul: Manhāj al-Naqd fī

„Ulūm al-Ḥadīth yang diterbitkan oleh Dār al-Fikr, Damsyiq, al-Jamī‟ al-Ṣaḥiḥ lī

Imām al-Turmudzī wa al-Muwazanah bainahu wa baina al-Ṣaḥiḥain dan al-Madkhal

ilá „Ulūm al-Ḥadīth yang diterbitkan oleh Dār al-Fikr, Damaskus. 28

Naṣiruddīn al-Albanī banyak menulis buku tentang hadis, seperti

mawḍu‟at, dan lain-lain. 29

Secara bahasa mukhtalif (يختهف ) adalah bentuk isim fā‟il (subjek) dari

kata اختالفا yakni bentuk maṣḍar dari kata اختهف. Menurut Ibn Mandhūr, ihktilāf

merujuk pada makna نى تفك (tidak serasi/tidak cocok) dan كم يانى تسا (segala sesuatu

yang tidak sama/beragam), hal ini dapat dilihat dalam al-Qur‘ân surat al-An‘ām ayat

141: ش يتشاب غ يتشابا ا ي انش ت انض سع يختهفا أكه انض انخم (pohon korma, tanam-

tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan

warnanya) dan tidak sama (rasanya). Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukarram ibn

Mandhūr al-Afriqī al-Mishrī, Lisān al-„Arab (Beirūt: Dār Fikr, 1990), Jilid IX, 91.

Secara istilah Ḥadīth mukhtalif ialah Ḥadīth ṣaḥīḥ atau Ḥadīth ḥasan yang

secara lahiriyahnya tampak saling bertentangan dengan Ḥadīth ṣaḥīḥ atau Ḥadīth

ḥasan lainnya. Namun, makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh

Ḥadīth tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan yang lainnya dapat

dikompromikan atau dicari jalan penyelesaiannya dalam bentuk nasakh atau tarjīh.

Edi Safri, al-Imam al-Shafi‟ī; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif (Padang:

IAIN IB Press, 1999), 81-82. 30

Abd al-Ḥalīm Maḥmūd, al-Sunnah fī Makānatihā wa fī Tarīkhinā (Kairo:

Dār al-Kutub al-Arabī, 1967), 26.

Page 20: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

20

dampak eskatologis, yang menyangkut keselamatan di dunia dan di

akhirat.31

Berhubungan dengan fiksasi wacana lisan dalam bentuk tulisan

sebagaimana disebut di atas, dengan perkembangan writing tradition

(tradisi tulisan), maka bahasa tulis cenderung menggeser oral tradition

(tradisi lisan) dalam komunikasi keilmuan. Perkembangan ini sekaligus

mengantarkan kebangkitan strukturalisme,32

subyek menjadi hilang dan

teks cenderung otonom.

Setelah Rasulullah wafat, upaya pemahaman hadis sangat

diperlukan dan proses pemahaman tersebut berkembang terus hingga

sekarang. Jika pemahaman hadis hanya sekedar dalam ruang lingkup

tekstualitas dan tidak melihat substansi variabel konstekstual historis,33

31

Buchari M, Metode Pemahaman Hadis (Sebuah Kajian Hermeneutik)

(Jakarta: Nuansa Madani, 1999), 5. 32

Untuk pembahasan tentang strukturalisme lebih lanjut lihat Jean Piaget,

Strukturalisme, penerjemah Hermoyo, judul asli ―Le Structuralisme‖(Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 1995), 2-10. 33

Kedua pemahaman ini (tekstual dan kontekstual) telah terjadi semasa Nabi

SAW. yang dilakukan oleh sahabat. Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW.

memerintahkan sejumlah sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah.

Sebelum berangkat, beliau berpesan:

... ظت ب شإالفأحذانؼص الصه ..لشArtinya: “…Janganlah ada salah seorang di antara kamu mengerkajan shalat „Ashar

kecuali di perkampungan Bani Quraizhah…”.

Ternyata perjalanan ke perkampungan tersebut begitu jauh, sehingga mereka

khawatir bahwa sebelum mereka tiba di tempat yang di tuju, waktu ‗Ashar telah

habis. Di sini, mereka merenungkan kembali apa maksud pesan Nabi di atas. Ternyata

sebagian memahaminya sebagai perintah untuk bergegas dalam perjalanan agar dapat

tiba di sana pada waktu masih ‗Ashar. Jadi bukan seperti bunyi teksnya yang

melarang shalat ‗Ashar kecuali setelah sampai di sana (Perkampungan Bani

Quraizhah). Dengan demikian mereka boleh shalat ‗Ashar walaupun belum tiba atau

sampai di tempat yang dituju. Pemahaman seperti ini disebut dengan pemahaman

secara kontekstual.

Namun sebagian yang lain memahaminya secara tekstual. Oleh karena itu,

mereka baru melakukan shalat ‗Ashar setelah waktu ‗Ashar berlalu, karena mereka

baru tiba di perkampungan Bani Quraizah setelah waktu ‗Ashar berlalu. Lihat karya

Abū ‗Abd Allāh Muhammad ibn Ismā‘īl ibn al-Mughīrat ibn Bardizbat al-Bukhārī,

Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), Juz 1, 227, dan Muhammad al-Ghazali,

Studi Kritik atas Hadis Nabi SAW. Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual,

Judul Asli: Al-Sunnat al-Nabawiyyat; Baina Ahl al-Fiqh wa al-Hadīth, Penerjemah:

Muhammad al-Baqir (Bandung: Mizan, 1993), Cet. III, 8-9.

Page 21: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

21

prinsip Islam sebagai raḥmat li al-ālamīn akan diragukan apabila

pemahaman terhadap hadis tersebut tidak baik dan benar.34

Kajian terhadap hadis-hadis Nabi, tidak hanya terbatas pada

kajian ilmu riwayah, yakni ilmu yang mempelajari tentang periwayatan

hadis atau ilmu dirayah, yakni berupa kaedah-kaedah yang bertujuan

untuk mengetahui apakah sebuah hadis dapat diterima sebagai riwayat

yang bersumber dari Nabi (maqbūl) atau tidak (mardūd).35

Tetapi

secara lebih luas meliputi berbagai aspek-aspek kajian lainnya, seperti:

aspek kesejarahan, aspek pemahaman, aspek literatur-literatur, para

tokoh, dan kajian Barat terhadap hadis. Meskipun demikian, kajian

ilmu dirayah dan riwayah hadis lebih populer dibanding dengan aspek-

aspek kajian hadis lainnya. Hal ini terlihat dari banyaknya karya-karya

tentang ilmu dirayah dan riwayah hadis yang muncul sejak awal

pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadis itu sendiri.

Hal ini wajar, karena kajian ilmu dirayah dan riwayah hadis

sangat mendesak dan mendasar dalam menyiapkan hadis-hadis Nabi

yang dapat dijadikan sebagai sumber ajaran agama. Di samping itu,

ilmu dirayah dan riwayah hadis tumbuh dan berkembang secara

simultan dengan periwayatan hadis itu sendiri. Sampai pada masa

kodifikasi hadis, ilmu dirayah dan riwayah semakin menempati posisi

yang sangat penting bagi para pengkodifikasi. Imam al-Bukhārī

misalnya, yang bersafari selama lebih kurang 16 tahun dalam

mengumpulkan dan mengkodifikasi hadis-hadis Nabi dari satu daerah

ke daerah lainnya, menetapkan dan mengembangkan beberapa kriteria

dalam menerima dan mengklasifikasikan hadis-hadis dalam kategori

maqbūl. Karena itu, dari 600.000 hadis yang diperolehnya, hanya 4.000

hadis yang dimuat dalam kitabnya ―Al-Jamī‘ al-Ṣaḥīḥ-nya‖ yang

dipandang layak dari segi validitas sanadnya.36

Demikian pula Imam

Muslim dan beberapa imam hadis lainnya.

Dilihat dari bentuk matannya, hadis Nabi ada yang berupa

jawami‟ al-kalīm (ungkapan yang singkat namun padat makna), tamthil

(perumpamaan), ramzi (bahasa simbolik), bahasa percakapan,

34

Buchari M, Metode Pemahaman Hadis (Sebuah Kajian Hermeneutik)

(Jakarta: Nuansa Madani, 1999), 8. 35

Muḥammad ‗Ajjaj al-Khatib, Uṣūl al-Ḥadīth „Ulūmuhu wa Musṭalaḥuhu

(Beirut: Dār al-Fikr, 1989),7-8.Yang menawarkan ilmu hadis riwayah dan dirayah

yaitu Muhmammad ibn Ibrahim ibn Said al-Sinjari al-Anshari (w. 749 H) dalam

bukunya yang berjudul ―Irshad al-Qasid ‖. 36

Muḥammad Muḥammad Abū Shuhbah, Kitab Ṣaḥīḥ Yang Enam,

Terjemahan Maulana, 1991, 47-48.

Page 22: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

22

ungkapan analogi, dan lain-lain.37

Perbedaan bentuk matan hadis

menunjukkan bahwa pemahaman terhadap hadis Nabi pun harus

berbeda-beda.

Pengkajian ilmu hadis pada aspek pemahaman hadis secara

umum masih sangat terkurung pada aspek historis (analisis sanad). Ini

bermakna bahwa berbagai penyelesaian persoalan hadis sering

dianggap selesai dengan pendekatan kritik sanad dan matan untuk

menentukan ṣaḥīḥ tidaknya sebuah hadis atau menentukan ṣaḥīḥ dan

lebih ṣaḥiḥ. Jika ada kasus hadis yang terkesan paradoks (mukhtalif),

maka jalan yang ditempuh langsung masuk kepada upaya men-tarjīh

satu sanad dan me-marjūh yang lain. Tindakan seperti ini

mengakibatkan pemakai hadis akan mengamalkan sebuah hadis yang

dianggap lebih atau paling ṣaḥīḥ dan meninggalkan hadis-hadis lain

yang juga berkualitas ṣaḥīḥ.

Loncatan jauh kepada tarjīh ini agaknya disebabkan oleh

kenyataan bahwa kajian ilmu hadis dipandang sudah sampai puncak

jika sudah dapat melakukan studi kritik sanad dengan menerapkan

kaedah-kaedah jarah dan ta‟dīl dan beberapa aspek tentang kritik

matan. Adapun yang berhubungan dengan pemahaman teks kalaupun

ada hanya bersifat sekilas dan dangkal tanpa memasukkan analisis

tentang penyebab terjadi berbagai bentuk mushkīl atau ikhtilāf hadis

(komparasi antara dua hadis atau lebih) ataupun ikhtilāf fī fahm al-

Ḥadīth (teks tertentu dalam sebuah hadis), serta kaedah-kaedah yang

sangat patut diperhatikan seperti kaedah-kaedah yang berhubungan

dengan gharīb, majaz, isti‟ārah, kinayah, al-jam‟u, khash, ‗am,

jawamī‟ al-kalīm, asbāb al-wurūd, tanawwū‟ fī al-„ibadah, amal rawī,

amal sahabat, ta‟awwūl al-Qur‟ān, dan sejumlah kaedah lain. Semua

kaedah dimaksud seharusnya sudah digunakan sebelum loncat ke

dalam pendekatan nasakh dan selanjutnya tarjīh.38

Semangat kembali kepada al-Qur‘an dan hadis yang telah

tumbuh dan berkembang dapat diimbangi dengan penguasaan kerangka

keilmuan dan metode pemahaman kedua sumber ajaran agama tersebut.

Tanpa keseimbangan ini, semangat yang bermuatan positif sebagai

yang dimaksudkan di atas, sesuai dengan sejumlah kasus di lapangan,

37

Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:

Telaah Ma‟ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal

(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 9. 38

Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis (Aceh: Citra Karya,

2002),10.

Page 23: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

23

akan melahirkan kontra-produktif terhadap pesan-pesan ruhaniah al-

Qur‘an dan hadis tersebut. Sejumlah kasus khilafiah dalam masyarakat

Islam, terutama dalam konteks kekinian di Indonesia lebih disebabkan

oleh keminiman analisis filosofis terhadap ilmu hadis dan hadis itu

sendiri dalam sebuah kerangka keilmuan yang jelas dan sistematis.39

Kenyataan lain, keminiman ilmu dan kekakuan tekstual dalam

pemahaman hadis, gerakan yang berupaya memurnikan ajaran Islam,

kadang kala tidak tepat dikatakan ―pemurnian‖, melainkan telah

terjebak ke dalam ―pengikisan‖ sebagian ajaran Islam itu sendiri.

Akibatnya, apa yang dihasilkan gerakan kembali kepada al-Qur‘an dan

hadis dalam memahami agama tidak lebih baik dari pada hasil ijtihad

para ulama yang sudah ada.40

Pengkaji hadis di Indonesia antara lain M. Syuhudi Ismail, Said

Agil Husin al-Munawar, Ali Musthafa Ya‘qub, Kamarudin Amin, Daud

Rasyid Sitorus, Muhammad Lutfi Fathullah, Muhammad Dede

Rodliyana, Daniel Djuned, dan Buchari M.41

Menurut asumsi penulis

mereka lebih kepada pengembangan terhadap pemahaman hadis atau

studi hadis itu sendiri, yang sesuai kenyataan belum banyak ditulis.

R. Michael Feener dalam karyanya menjelaskan bahwa selama

dekade pertengahan abad kedua puluh, sarjana Muslim Indonesia

berpartisipasi dalam gerakan untuk menciptakan pembaharuan. Begitu

juga perkembangan dalam ilmu hadis. Perkembangan belum pernah

39

Kenyataan di India juga ikut mewarnai kehidupan keagamaan di Indonesia

dan lebih terasa lagi di kawasan Malaysia. Sayangnya, pengaruh yang masuk ke

Nusantara ini bukan pola pemahaman hadis sebagai yang dicetuskan tokoh sebangsa

al-Dahlawī. Yang masuk kesini justru pola pengamalan sunnah yang sangat tekstual

sebagai yang dikembangkan oleh Dār al-Arqam dan yang terakhir Jama‘ah Tablig.

Kedua kelompok ini dengan basis yang sama ditilik dari sudut pandang semangat

keagamaan yang sangat menggembirakan. Akan tetapi dilihat dari sisi pandang

pemahaman keagamaan, terutama hadis sungguh sangat menyedihkan. Kelompok ini

nyaris sama sekali tidak dapat membedakan hadis ṣaḥīḥ dan ḍa‟if. Dari sisi lain,

mereka terjebak pada aspek-aspek agama yang bersifat marginal, seperti masalah

serban, jenggot, makan setalam, pakaian yang tidak wangi yang bebas alkohol dan

sebagainya. Daniel Djuned, Paradigma Baru, 16. 40

Daniel Djuned, Paradigma Baru, 11. 41

Alasan kenapa mereka disebut dengan pengkaji hadis karena mereka

banyak membuat karya tulis mengenai hadis, dan mereka sangat berkompeten dalam

hadis sesuai dengan pengakuan dari akademik dan masyarakat.

Page 24: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

24

terjadi sebelumnya, terjadi dalam konteks modernitas, ketika Indonesia

sedang menghadapi tantangan oleh pemikiran reformis Islam.42

Dalam beberapa kasus pemahaman hadis para ulama Indonesia

mencoba menerapkan metodologi pemahaman hadis agar hadis bisa

dipahami secara benar oleh masyarakat, seperti halnya hadis:

43ال تسافر المرأة ثالثا اال مع ذي محرم

Artinya: Wanita jangan bepergian selama tiga hari kecuali didampingi

mahramnya.

Berdasarkan latar belakang kondisi alam di tanah Arab

umumnya merupakan tanah gersang dan banyak padang pasir yang sepi

dari kehidupan. Pada masa awal Islam moral masyarakatnya belum

seluruhnya terbina dengan baik, masih banyak manusia yang

melakukan pencurian, perampokan, penodongan, pelecehan atau

pemerkosaan dan perbuatan maksiat lainnya. Dalam kondisi ini dapat

dipahami bahwa larangan bepergian bagi wanita tanpa mahram di atas

bersifat kondisional.

Dalam memahami hadis di atas Daniel Djuned menggunakan

pendekatan geografis, daerah Arab sangat berbeda dengan daerah di

Indonesia, mahram menjadi persyaratan jika kondisi tidak aman, dalam

kondisi aman seperti keadaan Indonesia hari ini, mahram dimaksud

bukan hal yang mengikat. Jika di tempat tertentu di zaman modern

sekarang ini juga tidak aman maka hukumnya seperti masa lalu.44

Persoalan mahram bagi wanita ini mencuat kembali di zaman

modern karena akan banyak wanita yang harus tetap tinggal selamanya

di suatu tempat, karena tidak boleh bepergian tanpa mahram, dengan

memahami hadis dengan menggunakan pendekatan geografis maka

hadis di atas dapat dipahami secara benar oleh umat Islam.45

42

R. Michael Feener, Indonesian Movements for the Creation of a 'National

Madhhab'. Journal of Islamic Law and Society, Vol. 9, No. 1 (2002), 83,

http://www.jstor.org/stable/3399202 .(Accessed: March 16, 2012). 43

Al-Bukharī, Ṣaḥī al-Bukharī, 369. 44

Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis, 140 -141. 45

Hukum diungkapkan hanya melalui hadis dan karenanya tidak perlu untuk

sebuah genre terpisah yurisprudensi (fiqh). Kemudian menunjukkan meningkatnya

kesadaran perlunya hadis sebagai bukti dalam diskusi hukum. Lihat Robert Gleave,

Between Ḥadīth and Fiqh: The "Canonical" Imāmī Collections of Akhbār, Journal of

Islamic Law and Society, Vol. 8, No. 3 (2001), 350, http://www.jstor.org/

stable/3399449. (Accessed: March 14, 2012).

Page 25: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

25

Di atas merupakan salah satu kasus dari beberapa kasus yang

membutuhkan pendekatan yang tepat untuk memahaminya, agar

substansi dari hadis Nabi Muhammad SAW dapat dipahami oleh umat

Islam.46

Dalam membahas pemikiran-pemikiran ahli hadis di Indonesia,

terasa bahwa mereka menggiring persepsi dan pikiran kita kepada

pertumbuhan dan perkembangan hadis terutama di Indonesia.47

Metode

yang mereka gunakan dalam memahami hadis mengarah kepada kajian

hermeneutik hadis, terutama kalau kita cermati buku-bukunya, seperti:

Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis dan Rekonstruksi Fiqh al-Hadis,

Metode Pemahaman Hadis (Sebuah Kajian Hermeneutik), Menguji

Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, dan karya yang lainnya.

Adapun alasan penulis mengangkat tokoh ini adalah karena

walaupun mereka belum dikenal oleh masyarakat akan tetapi menurut

penulis kontribusi mereka dalam perkembangan ilmu hadis sangatlah

besar.48

Ini terbukti ketika mereka bisa membuat karya-karya dalam

ilmu hadis.

46

Begitu juga kasus terhadap kekerasan yang berkedok agama, Muhammad

Khalid Mas‘ud menjelaskan bahwa banyak hadis yang menerangkan tentang

kekerasan, dimana hadis tersebut haruslah dipahami secara baik dengan metodologi

yang baik pula. Muhammad Khalid Mas‘ud, Hadith and Violence, Istituto per

l‟Oriente Journal of Hadith in Modern Islam 21 (2002), 5, http://www.jstor.org/

stable/25817809.(Accessed March 16, 2012). 47

Di antaranya adalah Muhammad Syuhudi Ismail, Said Agil Husin al-

Munawwar, Ali Mustafa Ya‘qub, Kamaruddin Amin, Daniel Djuned, Buchari M, dan

pengkaji hadis lainnya. 48

Daniel Djuned pernah menerjemahkan beberapa buku bahasa Arab ke

dalam bahasa Indonesia, dan kitab sya‘ir bahasa melayu kuno ke dalam bahasa

Indonesia. Ia termasuk salah seorang penulis entri untuk buku ensiklopedi Islam

terbitan Depertemen Agama RI. Beliau juga produktif dalam menghasilkan beberapa

karya Ilmiyah khususnya dalam bidang Tafsir, Hadis, Fikih dan masalah-masalah

sosial keagamaan lainnya, baik dalam bentuk buku, artikel, rubrik, makalah, baik

untuk dipublikasikan maupun untuk dipersentasikan dalam berbagai seminar regional

dan Nasional bahkan Internasional, serta dimuat dalam berbagai surat kabar dan

jurnal ilmiah seperti harian umum serambi Indonesia, Aceh Expres, Mimbar Hukum

(Jakarta), Jurnal Ar-Raniry, Media syariah, Subtansiah, dan lain-lain.

Buchari M disamping sebagai dosen hadis di IAIN Imam Bonjol Padang ia

juga banyak membuat karya-karya ilmiyah dan mengisi seminar regional maupun

nasional, dan ia juga mengajar hadis di Universitas Malaysia, dan diantara karya-

karyanya adalah Kaidah Keshahihan Matan Hadis, Metode Pemahaman Hadis

(Kajian Hermeneutik), dan lain-lain.

Page 26: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

26

Kehadiran pengkaji Hadis di Indonesia dalam peta pemikiran

terhadap hadis Nabi SAW seolah-olah merupakan jawaban atas krisis

metodologi hadis Nabi SAW. Dalam sejumlah karya penelitiannya,

mereka menekankan aspek-aspek metodologi disamping aspek-aspek

lainnya, baik berkaitan dengan metodologi ke-ṣaḥīḥ-an sanad dan

matan hadis maupun berkaitan dengan metodologi pemahaman hadis

Nabi. Penekanan pada aspek-aspek tersebut sekaligus mendasari dan

menopang usaha pembaharuan pemikiran terhadap hadis Nabi.

Menurut asumsi penulis, meningkatnya pengaruh intelegensia

muslim (ahli hadis di Indonesia), baik secara intelektual, sosial dan

politik, menghadirkan wawasan-wawasan baru dalam hal ilmu hadis.

Perlu adanya penelitian tentang hal ini, salah satunya dengan

cara memetakan dan menganalisis lewat perspektif genealogi.49

Oleh

karena itu, penulis ingin meneliti dan mengkaji lebih dalam pemikiran

dari ahli hadis ini dengan judul ―Perkembangan Studi Hadis di

Indonesia: Pemetaan dan Analisis Genealogi‖.

B. Permasalahan

Pada pembahasan ini penulis membagi dalam tiga pembahasan

yang bertujuan untuk melihat permasalahan yang timbul dari penelitian

ini, kemudian diambil salah satu permasalahan yang telah diuraikan,

dan mencari penyelesaiannya, adapun pembahasannya sebagai berikut:

1. Identifikasi Masalah

Permasalahan yang akan diselesaikan dalam disertasi ini

adalah terdapat anggapan bahwa metodologi pemahaman hadis

yang dikembangkan oleh pengkaji hadis di Indonesia ini

tergolong kepada pembaharuan pemikiran dalam ilmu hadis.

Hal ini menginsipirasi penulis untuk mengkaji pemetaan dan

analisis genealogi dari perkembangan metodologi hadis di

Indonesia. Beberapa problem yang terdapat dalam disertasi

49

Genealogi adalah studi mengenai evolusi dan jaringan dari sekelompok

orang sepanjang beberapa generasi. Konsep genealogi ini berguna untuk

memerhatikan gerak perkembangan diakronis dan rantai intelektual antar-generasi

dari pemikiran ulama hadis di Indonesia mengenai metodologi pemahaman hadis.

Lihat Yudi Latif, Intelegensia Musilm dan Kuasa Genealogi Intelegensia Muslim

Indonesia Abad ke-20 (Bandung: Mizan Pustaka, 2005), 7, dan juga penjelasan bahwa

genealogi berkaitan dengan silsilah dan kerabat. Lihat Robert J. Parkin,Genealogy and

Category: An Operational View, The Journal of Ehess, No. 139 (1996), 87,

http://www.jstor.org/stable/25156776, (Accessed April 25, 2013).

Page 27: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

27

sangat kompleks, adapun permasalahan yang teridentifikasi

dalam tema ini adalah:

a. Genealogi perkembangan hadis di Indonesia.

b. Pemahaman hadis menurut ahli hadis serta kontribusinya

bagi perkembangan dan pembaharuan ilmu hadis di

Indonesia.

c. Perbedaan antara metode pemahaman hadis yang dibuat

oleh ahli hadis di Indonesia dengan ulama hadis yang

lainnya.

d. Pemetaan metode pemahaman hadis di Indonesia.

e. Kontribusi baru yang diberikan oleh ahli hadis di Indonesia

dalam ilmu hadis.

f. Perkembangan ilmu hadis di Indonesia

2. Pembatasan Masalah

Dalam pembatasan masalah hanya diambil dua

permasalahan yaitu pemetaan dan analisis genealogi metodologi

pemahaman hadis di Indonesia, dan perkembangan studi hadis

di Indonesia.

Karya ini juga dibatasi oleh referensi yang digunakan

dalam penelitian ini. Adapun referensi utama yang digunakan

yaitu Studi Kritis Hadis Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual

Asbāb al-Wurūd yang ditulis oleh Said Agil Munawwar, Telaah

Ma‟ani al-Hadis yang ditulis oleh M. Syuhudi Ismail,

Rethinking Hadith Critical Methods yang ditulis oleh

Kamaruddin Amin,dan Kritik Hadis oleh Ali Mustafa Ya‘qub.

Dalam penelitian ini tidak dikaji secara keseluruhan dari

perkembangan studi hadis tetapi penulis lebih menekankan

kepada mengkaji dan meneliti tentang perkembangan dalam

segi Metodologi Pemahaman Hadis di Indonesia.

Dalam penelitian ini tidak akan menjelaskan masing-

masing tokoh secara khusus, sebab dianggap bahwa kajian

seperti itu telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelum

penulis. Tetapi, gagasan-gagasan dari setiap tokoh yang

terhimpun dalam karya-karya mereka yang menjadi kajian

penulis untuk dilihat sejauh mana signifikansi dari pembaharuan

pemikiran, khususnya yang berkaitan dengan ide

pengembangan dan pembaharuan dari metodologi pemahaman

hadis. Sehingga dengan kajian seperti itu diperoleh gambaran

Page 28: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

28

tentang pemikiran pemahaman hadis di Indonesia jika

dihubungkan dengan pemikiran studi hadis yang berkembang

sebelumnya, apakah bersifat produktif, introduksi, dekonstruksi,

atau bahkan reduksi. Pemikiran yang dimaksud dalam

penelitian ini dibatasi hanya pada pemikiran metodologi dalam

memahami hadis dan pengembangan cabang kajian studi hadis,

tidak akan membahas isi atau materi ilmu hadis itu sendiri.

Karya-karya yang dijadikan fokus kajian, sebagaimana

yang telah dikemukakan di atas, sehingga hanya meneliti tokoh

hadis yang karyanya bersifat melakukan pembaharuan dalam

studi hadis, yaitu M. Syuhudi Ismail, Said Agil Munawar, Ali

Mustafa Ya‘qub, Kamarudin Amin, dan Muhammad Lutfi

Fathullah.

Adapun alasan penulis memilih para pengkaji hadis ini

adalah, di samping karya-karya mereka membahas tentang

metodologi pemahaman hadis Nabi SAW, karya-karya yang

mereka tulis juga digunakan di beberapa negara dan

mengandung unsur pembaharuan dalam kajian hadis.

Sedangkan karya-karya lain yang masih dalam kajian

hadis hanya akan dijadikan sebagai bahan kajian yang bersifat

sekunder.

3. Perumusan Masalah

Dalam merumuskan masalah ini lebih memberi

perhatian kepada konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi

metode pemahaman hadis oleh pengkaji hadis di Indonesia. Hal

yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah Perkembangan

dan kontribusi yang dilakukan oleh pengkaji hadis di Indonesia

jika dipetakan dan dianalisis lewat perspektif Genealogi.

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Dalam bidang ilmu hadis penulis telah membaca beberapa

karya tulis mengenai metodologi pemahaman hadis. Adapun

perpustakaan yang telah diselidiki di antaranya perpustakaan

Pascasarjana, perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam pembahasan ini, penulis tidak menemukan adanya penelitian

atau karya tulis mengenai pembahasan yang penulis teliti, kecuali ada

penelitian yang fokus kepada pemikiran Syuhudi Ismail dalam hadis

saja.

Page 29: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

29

Secara tematik belum ditemukan pembahasan maupun

penelitian yang secara khusus membahas genealogi metode

pemahaman hadis di Indonesia. Namun demikian, bukan berarti

penelitian tentang hadis dan seputar permasalahan yang mengitarinya

belum pernah dilakukan. Sebelumnya sudah ada beberapa tulisan, buku

maupun penelitian yang berkaitan dengan hadis, baik dari sisi

pandangan, pemahaman dan lain sebagainya.

Adapun perdebatan akademik dalam masalah ini yaitu menurut

Daniel Djuned dalam bukunya ―Paradigma Baru Studi Hadis”, bahwa

Fiqh al-Ḥadīth merupakan ilmu hadis yang sangat jarang dibahas dan

Karya-karya modern di bidang Ulūm al-Ḥadīth, sebut saja misalnya

Uṣūl al-Ḥadīth ‗Ajjaj al-Khatib dan Mabahīth fī Ulūm al-Hadīth

Shubhi al-Ṣalih, isinya hanya mengenai bahasan tentang ilmu sanad,

sementara yang berhubungan dengan pemahamannya hanya sebatas

disebutkan nama ilmunya saja. Sentakan dan hentakan ke arah fiqh al-

Ḥadīth ini justru muncul dari tokoh-tokoh yang bukan spesialis Ulūm

al-Ḥadīth, seperti Muḥammad al-Ghazalī dan Yusuf al-Qarḍawī.

Sedangkan di Indonesia terdapat perkembangan yang sangat signifikan,

tidak hanya dalam bahasan tentang ilmu sanad akan tetapi lebih kepada

rekonstruksi pemahaman hadis itu sendiri.50

Menurut R. Michael Feener dalam karyanya yang berjudul

―Indonesian Movements for the Creation of a 'National Madhhab‖

bahwa selama dekade pertengahan abad kedua puluh, sarjana Muslim

Indonesia berpartisipasi dalam gerakan untuk menciptakan

pembaharuan. Begitu juga perkembangan dalam ilmu hadis,

perkembangan belum pernah terjadi sebelumnya, terjadi dalam konteks

modernitas dimana Indonesia sedang menghadapi tantangan oleh

pemikiran reformis Islam.51

Muhammad Dede Rodliyana dalam karyanya Pergeseran

Pemikiran „Ulūm al-Hadith dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran

„Ulūm al-Hadith di Indonesia, menjelaskan bahwa dalam catatan

sejarah perkembangannya, para ahli hadis, baik sejak masa sahabat

ketika dimulainya perkembangan periwayatan terhadap hadis maupun

50

Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Hadis , 3. 51

R. Michael Feener, Indonesian Movements for the Creation of a 'National

Madhhab', Journal ofIslamic Law and Society, Vol. 9, No. 1 (2002), 83,

http://www.jstor.org/stable/3399202 .(Accessed: March 16, 2012).

Page 30: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

30

di masa sekarang ini, telah menghasilkan pemikiran-pemikiran baru

seputar ilmu hadis.52

Ramli Abdul Wahid dalam karyanya berjudul Perkembangan

Kajian Hadis di Indonesia, menjelaskan bahwa kajian hadis di

Indonesia dapat dikatakan masih dalam permulaan. Hal ini tercermin

dari keadaan karya-karya ilmiah, keberadaan literatur hadis, jumlah

para sarjana dan pakar Hadis yang terdapat di tengah-tengah

masyarakat. Keterbatasan kajian Hadis di Indonesia juga tercermin

pada metode dan hasil penetapan hukum yang dilakukan oleh

organisasi-organisasi Islam dan lembaga-lembaga yang berwenang

memberikan fatwa.53

Khairul Rafiqi dalam karyanya yang berjudul Studi

Perkembangan Ilmu Hadis di Indonesia, menulis bahwa sulit kiranya

melacak perkembangan hadis di Indonesia dikarenakan sedikitnya

referensi yang ada. Berbeda dengan cabang ilmu yang lain seperti

tafsir, fikih, akidah, dan filsafat yang bukunya senantiasa memenuhi

perpustakaan-perpustakaan yang ada di Indonesia.54

Martin van Bruinessen dalam karyanya Kitab Kuning,

Pesantren, dan Tarekat, ia menjelaskan bahwa pengkajian atau karya-

karya yang berkaitan dengan hadis dan ilmu hadis di Indonesia masih

sangat jarang.55

Dalam teori sejarah pemikiran terjadi perdebatan, yaitu R.G.

Collingwood dalam bukunya yang berjudul ―The Idea of History”

bahwa pemikiran sejarah hanya melakukan kembali (re-enacment)

pikiran masa lalu itu.56

Teori ini menjelaskan bahwa setiap pemikiran

menjelaskan pemikiran yang telah lalu, secara tidak langsung

menjelaskan bahwa pemikiran ulama hadis di Indonesia yang

52

Muhammad Dede Rodliyana, ―Pergeseran Pemikiran ‗Ulum al-Hadis dan

Pengaruhnya Terhadap Pemikiran ‗Ulum al-Hadis di Indonesia‖ (Disertasi: UIN

Syarif Hidayatullah, 2003), 2. 53

Ramli Abdul Wahid, Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia, Accademy

of Islamic Studies University of Malaya Journal of al-Qur‟an and Hadith Vol 4

(2006), 63-78. http:/albayanjournal.com. (Accessed: Mei 11, 2013). 54

Khairul Rafiqi, Studi Perkembangan Ilmu Hadis di Indonesia, KMA

Journal of Ḥadīth, (2012), 2. http://kmamesir.org. (Accessed: Mei 11, 2013). 55

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung:

Mizan, 1995), 161. 56

R.G. Collingwood, The Idea of History (Oxford: Oxford University Press,

1956), 302-315.

Page 31: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

31

dituangkan dalam karyanya menjelaskan pemikiran ulama hadis yang

sebelum mereka.

Sedangkan Menurut Michel Faucault sejarah ide-ide adalah

analisa tentang kepermanenan yang terdapat dibalik perubahan-

perubahan yang nampak, analisa tentang formasi-formasi lamban yang

berasal dari begitu banyak kompleksitas, analisa tentang totalitas figur

yang secara gradual berkumpul dan tiba-tiba mengeras menjadi satu

titik jadi fokus karya.57

Adapun penelitian disertasi tentang masalah ini yaitu penelitian

disertasi Mujiyo yang berjudul Syarah hadis dalam tradisi keilmuan

Islam: genealogi dan metodologi, disertasi ini menyimpulkan bahwa

syarah hadis tumbuh dan berkembang bersama ilmu-ilmu keislaman

lainnya, terutama usul fiqh yang di antara pokok bahasannya adalah

kaidah-kaidah untuk memahami makna dan petunjuk al-Qur‘an dan

hadis.

Penelitian disertasi yang ditulis oleh Arifudin Ahmad yang

berjudul Pembaharuan Pemikiran tentang Hadis Nabi Muhammad

SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail),

penelitian ini hanya meneliti pemikiran dari Muhammad Syuhudi

Ismail yang bersifat membawa pembaharuan dalam ilmu hadis.

Penelitian disertasi yang ditulis oleh Muhammad Dede

Rodliyana yang berjudul Pergeseran Pemikiran „Ulum al-Ḥadīth dan

Pengaruhnya Terhadap Pemikiran „Ulum al-Ḥadīth di Indonesia,

penelitian ini lebih kepada pengkajian terhadap perkembangan ilmu

hadis di Indonesia.

Ardiansya dengan judul skripsinya Kajian Hadis Di Indonesia:

Profil Literatur Hadits Di Indonesia Tahun 1955-2000 M, penelitian ini

hanya meneliti literatur dari karya ahli hadis di Indonesia pada tahun

1955-2000 M.

Dari sekian aspek-aspek kajian ilmu hadis, fiqh al-ḥadīth

merupakan dimensi yang tak kalah pentingnya setelah ilmu dirayah dan

musṭalah al-ḥadīth. Hal ini karena fiqh al-ḥadīth, adalah kajian yang

mencoba menggali dan memahami ajaran yang terkandung dalam

hadis-hadis Nabi untuk dapat diamalkan. Apresiasi terhadap Islam tidak

hanya cukup dengan mengetahui adanya pesan-pesan Allah dan Rasul

serta memperagakan ketaatan semata, tetapi juga lebih jauh dari itu,

yakni kemampuan menangkap dan memahami pesan-pesan yang

57

Michel Faucault, Arkeologi Pengetahuan (Yogyakarta: IRCSoD, 2012),

249.

Page 32: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

32

terkandung di balik redaksi al-Qur‘an dan hadis-hadis Nabi.

Kemampuan inilah sebetulnya yang paling penting dalam mencuatkan

dan meneguhkan karakter agama yang moderat, tidak memberatkan dan

ṣaliḥ lī kullī zaman wa makan (selalu selaras dengan ruang dan waktu

manapun).

Hasil penelitian yang relevan dan buku-buku yang telah

diterbitkan sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, yang ada

kaitannya dengan penelitian ini menjadi rujukan dalam penulisan

disertasi ini, buku-buku di atas belum memuat substansi tentang

perkembangan metodologi pemahaman hadis di Nusantara ini, terutama

yang bermuatan pemetaan dan analisis metodologi pemahaman hadis

lewat perspektif genealogi. Untuk melihat bagaimana hubungan

perkembangan pemahaman hadis di Indonesia dengan ulama hadis

lainnya dilakukan dengan melihat genealogi, terjadinya dinamika

perkembangan pemahaman hadis caranya dengan memetakan dan

menganalisis dari buku-buku atau karya ulama hadis dengan beberapa

sumber sekunder untuk melihat hubungan dengan ulama hadis yang

lainnya. Disinilah signifikansi penelitian ini untuk dilanjutkan.

Penelitian ini hanya membahas beberapa ahli hadis di Indonesia

terutama ahli hadis yang banyak berkontribusi dalam hal

perkembangan kajian hadis di Indonesia, dan berkemungkinan juga

akan membahas ulama hadis pada masa awal perkembangan hadis

karena pembahasan ini dilakukan dengan melihat genealoginya.

Upaya untuk memahami kesinambungan dan perubahan-

perubahan yang berlangsung dalam gerak perkembangan ilmu hadis di

Indonesia merupakan suatu yang penting untuk dilakukan agar kita bisa

memahami kesinambungan dan perubahan-perubahan dalam

pembuatan metodologi kajian hadis oleh ahli hadis di Indonesia dan

pemikirannya terhadap hadis.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu ingin meneliti pemetaan dan analisis

studi hadis di Indonesia lewat perspektif geneologi. Penelitian ini juga

ingin melihat sejauh mana kontribusi pengkaji hadis dalam

perkembangan dan pergeseran ilmu hadis di Indonesia. Untuk

mendapatkan informasi yang bisa menjelaskan pemetaan pemikiran

pengkaji hadis di Indonesia dalam bidang ilmu hadis, apakah pemikiran

mereka itu memiliki corak pemahaman yang berbeda dari pemikiran-

pemikiran yang telah dikemukakan oleh para ahli sebelumnya di luar

Page 33: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

33

Indonesia, sehingga dapat dikesan bahwa karya ulama Indonesia dalam

bidang metodologi pemahaman hadis adalah orisinil dan baru atau bisa

hanya terjemah dan saduran dari pemikiran-pemikiran ulama di luar

Indonesia.

E. Manfaat Penelitian

Disertasi ini sangat bermanfaat khususnya dalam bidang hadis,

diantara manfaatnya yaitu:

1. Dapat melihat pemikiran ahli hadis di Indonesia mengenai ilmu

hadis.

2. Mengetahui bagaimana kontribusi ahli hadis dalam

perkembangan dan pembaharuan ilmu hadis di Indonesia

3. Mendeskripsikan metode-metode yang digunakan ahli hadis di

Indonesia.

4. Memetakan geneologi metodologi pemahaman hadis di

Indonesia

5. Menganalisis metodologi pemahaman hadis di Indonesia lewat

perspektif geneologi.

F. Metodologi Penelitian

Untuk menghasilkan kajian yang lebih utuh dan komprehensif,

akan dipilih pendekatan dan analisis tertentu seperti yang akan

dijelaskan pada bagian metodologi berikut ini.

1. Sumber Data

Untuk mendapatkan data dan fakta yang obyektif dalam

penelitian ini, penulis menggunakan data kepustakaan (library

research) murni, dalam arti semua bersumber kepada

kepustakaan seperti buku-buku, jurnal-jurnal, kitab-kitab klasik,

bahkan bacaan yang bermanfaat bagi penelitian ini. Di samping

itu, metode ini dipakai dengan dasar bahwa kajian yang

dilakukan penulis dengan study case (studi kasus) yaitu dengan

melakukan wawancara kepada tokoh-tokoh hadis yang diteliti.

Adapun sumber buku primer yang menjadi pegangan

penulis adalah Studi Kritis Hadis Pendekatan Sosio-Historis-

Kontekstual Asbāb al-Wurud yang ditulis oleh Said Agil

Munawwar, Telaah Ma‟ani al-Hadis yang ditulis oleh M.

Syuhudi Ismail, Kritik Hadis yang ditulis oleh Ali Mustafa

Ya‘qub, dan Rethinking Hadith Critical Methods yang ditulis

Page 34: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

34

oleh Kamarudin Amin. Sedangkan sumber buku sekundernya

adalah buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini.

Sesuai dengan tujuan penulisan ini, sebagai sumber-

sumber dalam penelitian ini, disamping buku-buku yang

disebutkan di atas, adalah kitab-kitab hadis yang sembilan,

Ṣahīh al-Bukhārī, Ṣahih al-Muslim, Sunan Abī Dāud, Sunan al-

Tirmidhī, Sunan al-Nasāī, Sunan Ibn Majah, Muwaṭṭa‟ Malik,

Musnad Aḥmad, dan Sunan al-Dārimī.

Dalam melihat adanya hubungan atau keterkaitan

dengan ulama hadis lainnya buku yang dipakai adalah al-Sayyīd

Muḥammad Jamāl al-Dīn al-Qasimī, Qawā‟id al-Taḥdīth min

Funūn Musṭalah al-Hadīth; Maḥmūd al-Ṭahan, Taisīr Musṭalah

al-Hadīth dan Uṣūl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānīd;

Muḥammad Abū Shuhbah, Difa‟ān al-Sunnah wa Radd Shubah

al-Musytasyriqīn wa al-Kutub al-Mu‟aṣirīn; Subhī al-Ṣalīh

„Ulūm al-Hadīth wa Musṭalaḥuhu; Muḥammad ‗Ajjaj al-

Khatīb, al-Sunnah Qabl al-Tadwīn, Abū Huráirah Rawīyah al-

Islām, dan Uṣūl al-Hadīth „Ulūmuhu wa Musṭalaḥuhu;

Muḥammad Musṭafá al-Azamī, Studies in Hadīth Meṭodology

and Literature dan Manhāj al-Naqd „inda al-Muḥadithīn;

Musṭafā al-Ṣibā‘īy, al-Sunnah wa Makānatuha fī al-Tasyrī‟ al-

Islamiyyah; Nūr al-Dīn ‗Itr, Manhāj al-Naqd fī „Ulūm al-

Hadīth, al-Jamī‟ al-Ṣaḥīḥ lī Imām al-Turmudzī wa al-

Muwazanah bainahu wa baina al-Ṣaḥiḥain dan al-Madkhal ila

„Ulūm al-Hadīth.

Sebagai dasar rujukan untuk mengetahui maksud untuk

kata-kata tertentu dari hadis Rasulullah digunakan buku , antara

lain, Lisān al-„Arab, susunan Ibn Manẓur al-Anṣarī (1232-1311

M). Sedangkan untuk mengetahui syarah klasik didapat dari

kitab-kitab syarah, seperti al-Kawakib al-Durarī fī Sharḥ al-

Bukhārī, karya Shams al-Dīn Muhammad ibn Yusūf ibn ‗Alī al-

Karminī (w. 786 H); Fatḥ al-Barī bī Sharḥ Ṣahīh al-Bukhārī,

karya Abū al-Faḍl Aḥmad ibn ‗Alī ibn Muḥammad ibn

Muḥammad ibn Ḥajar al-‗Asqalanī (w. 852 H); Umdat al-Qārī,

karya Badr al-Dīn Muḥammad ibn al-‗Ainī al-Hanafī (w. 855

H); Irsyād al-Sārī ilā Ṣahīh al-Bukhārī, karya Shihāb al-Dīn

Aḥmad ibn Muḥammad al-Khatīb al-Miṣrī al-Shafi‘ī, populer

dengan nama al-Qaṣṭalanī (w. 922 H) untuk Ṣaḥīḥ al-Bukhārī,

al-Minhāj fī Sharh Muslim ibn al-Ḥajjāj, karya Abū Zakaria

Page 35: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

35

Maḥy al-Dīn Yaḥya ibn Sharaf al-Nawawī al-Shafi‘ī (631-676

M) untuk Ṣaḥīḥ Muslim; dan lain-lain yang menginformasikan

tentang interpretasi klasik yang dimaksud. Untuk mengetahui

kata-kata garīb dipergunakan buku al-Nihāyat fī Garīb al-

Ḥadīth, karya al-Zamakhsarī dan buku Garib al-Ḥadīth, karya

al-Harawī. Ini dimaksudkan agar pembahasan kata-kata dalam

hadis lebih lengkap dan mendalam.

Untuk memonitor asbāb wurud al-ḥadīth (sebab

kemunculan hadis) dipergunakan kitab-kitab, seperti al-Bayān

wa al-Ta‟rif fī Asbāb Wurūd al-Ḥadīth al-Sharif, karya Ibrāhīm

ibn Muḥammad ibn Kamal al-Dīn, populer dengan nama ibn

Hamzah al-Ḥusainī al-Dimasyqī (w. 1120 H) dan Asbāb Wurūd

al-Ḥadīth atau al-Luma‟ fī Asbāb Wurūd al-Ḥadīth, karya Jalāl

al-Dīn ‗Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr al-Suyūṭī (w. 911 H), dan

lain-lain.

Guna melacak hadis-hadis dipergunakan sebagai buku

al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfāzh al-Hadīth al-Nabawī, dan

tema-tema hadis dipergunakan sebagai pegangan buku Miftāh

Kunūz al-Sunnah, masing-masing karya A.J. Weinsinck dan

Muhammad Fu‘ād ‗Abd al-Bāqī.

2. Metode Pendekatan dan Analisis

Untuk menentukan corak pemikiran pengkaji hadis di

Indonesia dan mengetahui tentang cara berpikir, berperilaku,

dan cara memandang M. Syuhudi Ismail, Said Agil Munawar,

Kamaruddin Amin, Ali Mustafa Ya‘qub terhadap suatu kasus,

penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutik58

. Dengan

pendekatan ini, sosok dan corak pemikiran mereka dapat

diketahui dengan jelas. Pendekatan hermeneutik ini dapat

berperan menguak cara berpikir ahli hadis di Indonesia secara

rinci pada beberapa pemikirannya yang dinilai mengandung

58

Hermeneutika dipandang sebagai suatu teori pengalaman yang

sesungguhnya, sebagai suatu usaha filsafati untuk mempertanggungjawabkan

pemahaman, dan sebagai suatu proses ontologi di dalam manusia. Gadamer

merencanakan untuk memahami pemahaman yang komprehensif. Ia berpendapat

bahwa tugas paling fundamental dari hermeneutika tidaklah mengembangkan suatu

prosedur pemahaman, tetapi meneliti ―apa yang selalu terjadi‖ manakalah dipahami.

Hermeneutika adalah penelitian tentang semua pengalaman pemahaman. Gadamer

merumuskan pemahaman sebagai suatu masalah ontologism. W. Poespoprodjo,

Hermeneutika (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 94.

Page 36: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

36

unsur pembaharuan. Kajian itu juga dilengkapi dengan

pendekatan sosio-historis yang ditekankan pada latar belakang

kehidupan yang dapat mempengaruhi pemikiran mereka dan

historico-critical method59

(metode kritik sejarah) yang

ditekankan pada penemuan fakta-fakta objektif dan nilai-nilai

yang terdapat dalam pemikiran ulama hadis di Indonesia.

Untuk melihat hubungan dan pengaruh pemikiran ulama

hadis di Indonesia dengan ulama hadis yang lainnya, penulis

juga menggunakan pendekatan sinkronis dan diakronis.

Penelitian ini akan menempatkan keadaan-keadaan sinkronis

(perubahan pada saat-saat tertentu) dalam kerangka waktu yang

diakronis (lama-sinambung).60

Studi atas momen-momen sinkronis akan bisa

memperlihatkan kondisi-kondisi historis dari sebuah bangunan

sosial, studi atas waktu diakronis akan bisa mengungkapkan

jaringan jejak-jejak dan kenangan-kenangan dari sebuah sejarah

yang berlangsung lebih panjang.

Dalam penelitian ini tidak akan menjelaskan atau

menganalisis individu atau tokoh secara khusus, dengan tujuan

untuk lebih memfokuskan pada gagasan dari setiap individu itu

yang tertuang dalam karyanya. Sebab, sebagaimana metode

yang digunakan Daniel Brown dalam Rethinking Tradition in

Modern Islamic Thought, untuk melihat suatu sejarah gagasan

pemikiran tidak mesti menganalisis individunya.

59

Historico-critical method (metode kritik sejarah) merupakan sebuah

pendekatan kesejarahan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta

objektif secara utuh dan mencari nilai-nilai (value) tertentu yang terkandung di

dalamnya. Montgomery Watt, Islamic Fondamentalism and Modernity (London:

Routledge, 1988), 86. 60

Penekanan Saussurean dan Foucaldian mengenai pentingnya mempelajari

momen-momen yang bersifat sinkronis, dalam penelitian ini akan diimbangi dengan

memberikan perhatian kepada sebuah proses diakronis yang berlangsung dalam

jangka waktu yang lama. Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, 8. Dalam

kasus hukum Michaela Haasse menjelaskan bahwa model suatu hukum dapat

diperluas dengan model dari suatu kasus khusus ideal, dan perluasan model suatu

hukum dapat dilihat dengan cara pendekatan sinkronis dan diakronis. Lihat Michael

Haasse, Differences between Synchronic and Idealized Diachronic Theory-Elements:

A Reply to Marti Kuokkanenand Timo Tuomivaara, Journal for General Philosophy

of Science, Vol. 28, No. 2 (1997), 359-366. http://www.jstor.org/stable/25171097

(Accessed April 27, 2013).

Page 37: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

37

3. Langkah-langkah penelitian

Berdasarkan asumsi awal tentang upaya memetakan dan

menganalisis metodologi pemahaman hadis di Indonesia lewat

perspektif genealogi, maka ditemukanlah masalah inti yang

akan menjadi objek kajian. Bertolak dari permasalahan tersebut,

penulis membuat langkah-langkah sebagai berikut:

Langkah pertama, menjelaskan tentang pengertian studi

hadis serta perkembangan hadis di Indonesia.

Langkah kedua, mendiskripsikan biografi dari ulama

ahli hadis di Indonesia, dengan cara menjelaskan riwayat

pendidikan, karya-karyanya serta menjelaskan tentang

lingkungan yang mempengaruhi pemikiran mereka.

Langkah ketiga, memetakan metodologi pemahaman

hadis di Indonesia lewat perspektif genealogi.

Dalam memetakan metodologi pemahaman hadis yang

dipakai oleh ulama hadis di Indonesia, terlebih dahulu penulis

melihat sejarah perkembangan hadis dari awal hingga ke masa

modern saat ini, kemudian melihat biografi dari ulama hadis

tersebut dan melihat siapa guru-guru atau silsilah dari ulama

hadis itu, kemudian melihat karya mereka dalam mengutip

suatu buku atau karya dari ulama hadis yang lainnya.

Langkah kelima, mengadakan studi analitis kritis

terhadap metodologi pemahaman hadis di Indonesia lewat

perspektif genealogi.

Dalam menganalisis pemahaman ahli hadis di Indonesia

ini penulis lebih menekankan kepada mencari orisinalitas dari

karya ahli hadis di Indonesia, apakah ahli hadis ini membuat

suatu karya baru, saduran dari pemikiran atau perluasan dari

karya-karya ulama hadis lainnya.

Langkah-langkah penulis dalam menganalisis karya-

karya ahli hadis yang dipilih sebagai sumber penelitian adalah

menggali dan menganalisa dari beberapa factor yang

mempengaruhi pemikiran mereka dan dari sisi manhaj yang

digunakan dari setiap karya yang dikaji, dan mengkaji tema-

tema khusus yang menjadi titik perbedaan dari masing-masing

karya tersebut. Sehingga dengan hal itu penulis bisa memetakan

tema-tema yang menjadi arah pergeseran dari pemikiran

pemahaman hadis dari awal pembukuannya sampai pada

pemikiran yang berkembang di Indonesia.

Page 38: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

38

Langkah keenam, mengemukakan kesimpulan dari

seluruh bahasan sebelumnya dan sekaligus menjawab

permasalahan pokok yang dikemukakan di atas. Disinilah akan

terjawab mengenai masalah, bagaimana pemetaan serta analisis

metodologi pemahaman hadis di Indonesia lewat perspektif

genealogi.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematikan penulisan karya ini terdiri dari enam bab

yang terdiri dari:

BAB I Pendahuluan yang berisi latar belakang, Permasalahan,

Penelitian Terdahulu yang Relevan, Tujuan Penelitian, Manfaat

Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II tentang Kajian Hadis Pada Masa Modern yang

menjelaskan tentang Paradigma Perkembangan Studi Hadis, Perbedaan

Metodologi Kajian Hadis: Sarjana Barat dan Sarjana Timur, Kajian

Hadis dilihat dari beberapa Literatur Keilmuan, dan Konsep Genealogi

dan Pemetaan Studi Hadis.

BAB III tentang Dinamika Pemikiran Pengkaji Hadis di

Indonesia Abad XXI, menjelaskan tentang Awal Perkembangan Studi

Hadis di Indonesia, Kriteria Studi Hadis Masa Modern di Indonesia,

dan Perkembangan Metodologi Pemahaman Hadis pada Abad XXI di

Indonesia.

BAB IV tentang Dinamika Kajian Hadis Masa Modern di

Indonesia, menjelaskan tentang Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Perkembangan Studi Hadis di Indonesia, Pemetaan Secara Sinkronis

dan Diakronis Perkembangan Studi Hadis di Indonesia, dan

Rekonstruksi Metodologi Pemahaman Hadis di Indonesia.

BAB V tentang Genealogi Perkembangan Studi Hadis Di

Indonesia yang menjelaskan tentang Sinkronisasi antara Pengkaji Hadis

di Indonesia dengan Ulama Hadis Lainnya, Keontetikan Karya

Pengkaji Hadis di Indonesia, Signifikansi Perkembangan Kajian Hadis

di Indonesia, dan Pemikiran Pengkaji Hadis di Indonesia.

BAB VI. Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran.

Page 39: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

39

BAB II

KAJIAN HADIS PADA MASA MODERN

Pada bab ini penulis ingin menjelaskan tentang paradigma

kajian hadis, dan juga menjelaskan tentang perdebatan akademik serta

bagaimana perbedaan metodologi pengkajian hadis antara sarjana Barat

dan sarjana Timur.

Dalam bab ini juga dijelaskan tentang kajian hadis yang dilihat

dari beberapa literatur keilmuan, serta analisis kajian hadis pada masa

modern.

A. Paradigma Kajian Hadis

Pada dasarnya, hampir semua kajian keislaman sentral yang ada

saat ini, embrionya telah ada pada masa Nabi Muhammad SAW. Hanya

saja bentuknya masih sangat sederhana dan tidak tersusun secara

sistematis seperti masa sekarang ini. Begitu pula halnya dengan hadis

sebagai suatu cabang ilmu. Dalam sudut pandang ini secara praktis

Ilmu Hadis sesungguhnya sudah dikenal semenjak Nabi masih hidup.

Tentu saja cakupan kajiannya masih sangat terbatas, karena semua

kesulitan yang dihadapi para sahabat dengan mudah dapat berpulang

langsung kepada Nabi untuk dilakukan klarifikasinya.

Kajian terhadap hadis-hadis Nabi, tidak hanya terbatas pada

kajian ilmu riwayah, yakni ilmu yang mempelajari tentang periwayatan

hadis atau ilmu dirayah, yakni berupa kaedah-kaedah yang bertujuan

untuk mengetahui apakah sebuah hadis dapat diterima sebagai riwayat

yang bersumber dari Nabi (maqbūl) atau tidak (mardūd).61

Tetapi

secara lebih luas meliputi berbagai aspek-aspek kajian lainnya, seperti:

aspek kesejarahan, aspek pemahaman, aspek literatur-literatur, para

tokoh, dan kajian Barat terhadap hadis.62

61

Meskipun demikian, kajian ilmu dirayah dan riwayah hadis lebih populer

dibanding dengan aspek-aspek kajian hadis lainnya. Ini terlihat dari banyaknya karya-

karya tentang ilmu dirayah dan riwayah hadis yang muncul sejak awal pertumbuhan

dan perkembangan ilmu hadis itu sendiri. Muhammad ‗Ajjaj al-Khatib, Uṣul al-

Ḥadīth: Ulumuhu wa Musṭalahuhu (Beirut: Dār al-Fikri , 1989), 7-8. 62

Hal ini wajar, karena kajian ilmu dirayah dan riwayah hadis sangat

mendesak dan mendasar dalam menyiapkan hadis-hadis Nabi yang dapat dijadikan

sebagai sumber ajaran agama. Di samping itu, ilmu dirayah dan riwayah hadis

tumbuh dan berkembang secara simultan dengan periwayatan hadis itu sendiri. Dan

tiba pada masa kodifikasi hadis, ilmu dirayah dan riwayah semakin menempati posisi

29

Page 40: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

40

Setelah berlalu beberapa generasi, sebagian hadis-hadis Nabi

mulai tampak sulit dipahami (mushkil), baik karena kata-kata yang ada

dalam redaksi hadis itu sulit dipahami karena asing atau juga karena

sulit dipahami ketika berada dalam konteks redaksi tertentu (gharib)63

maupun karena dipandang bertentangan satu sama lainnya

(mukhtalif).64

Pada abad modern saat ini, hadis-hadis tidak hanya

dipandang bertentangan satu sama lainnya, tetapi juga dipandang

bertentangan dengan logika dan pengetahuan modern.

Hadis-hadis ini dan juga beberapa hadis lain, adalah kontekstual

dan komunikatif pada zamannya. Tetapi setelah begitu jauh berlalu

jarak antara masa Nabi dengan dunia modern sekarang ini membuat

sebagian hadis-hadis tersebut terasa tidak lagi komunikatif dengan

realitas zaman kekinian. Hal ini wajar karena hadis lebih banyak

sebagai penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur‘an

dalam merespons persoalan dan pertanyaan para sahabat Nabi. Dengan

demikian ia merupakan interpretasi Nabi SAW yang dimaksudkan

untuk menjadi pedoman bagi para sahabat dalam mengamalkan ayat-

ayat al-Qur‘an.

Berangkat dari kenyataan tersebut, maka menguatkan kembali

Fiqh al-Ḥadīth dengan berbagai metode dan pendekatan untuk

memahami kembali hadis-hadis Nabi dalam dunia modern dirasa cukup

mendesak. Pemahaman kembali terhadap hadis-hadis Nabi ini

dimaksudkan dalam rangka mempertahankan dan membela hadis-hadis

selama hadis-hadis tersebut secara ilmu hadis dapat dikatakan dapat

diterima validitasnya sebagai sesuatu yang bersumber dari Rasulullah

yang sangat penting bagi para pengkodifikasi. Muhammad Muhammad Abu Shuhbah,

Kitab Ṣaḥīḥ Yang Enam, Terjemahan Maulana Hasanuddin, Judul Asli: Fī Rihabi al-

Sunnah al-Kutub al-Ṣiḥaḥ al-Sittah (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1991), 47-48. 63

Gharib menurut bahasa adalah orang yang menyendiri, mengasingkan diri,

atau orang yang jauh dari sanak keluarganya. Menurut istilah muḥaddithin, yang

dimaksud dengan hadis gharīb adalah hadis yang rawinya menyendiri dengannya baik

menyendiri karena jauh dari seorang imam yang telah disepakati hadisnya maupun

menyendiri karena jauh dari rawi lain, yang bukan imam sekalipun. Lihat Nūruddīn

‗Itr, Manhaj an-Naqd Fī„Ulūm al-Ḥadīth, terj. Mujiyo (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 1994), 186. 64

Hadis Mukhtalif adalah hadis-hadis yang lahirnya bertentangan dengan

kaidah-kaidah yang baku sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan

dengan naṣ shara‟ yang lain. Nūruddīn ‗Itr, Manhaj an-Naqd Fī Ulūm al-Ḥadīth, terj.

Mujiyo (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), 114.

Page 41: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

41

(maqbūl).65

Pemahaman juga bertujuan tidak hanya sebatas

mengkomunikatifkan dengan realitas zaman, tetapi juga

mengembangkan makna-makna sejauh yang dapat dijangkau oleh

redaksi hadis.

Karena itu, memanfaatkan berbagai teori dari berbagai disiplin

ilmu merupakan langkah positif dan maju dalam memahami kembali

hadis-hadis Nabi dalam dunia modern. Perkembangan ilmu-ilmu sosial,

seperti sosiologi, antropologi, psikologi, sejarah dan filsafat sangat

membantu dalam memahami kembali hadis-hadis Nabi ini.

Akan tetapi, selama abad ke-20, kedudukan sunah terancam

dengan berbagai cara, ketika para pemikir Muslim mencari basis kuat

bagi kebangkitan kembali Islam. Masalah sunah telah menjadi sisi

paling penting dalam krisis Muslim modern seperti krisis otoritas

keagamaan, yang menduduki tempat sentral di dalam wacana

keagamaan muslim.

Namun semua ini berubah pada masa modern, ketika tekanan

untuk mereformasi, mereformulasi, dan mengenalkan kembali hukum

Islam muncul dan membuat studi hadis relevan kembali. Setelah

pertengahan abad kesembilan belas, pada prakteknya mazhab-mazhab

klasik digantikan oleh peraturan hukum sekuler yang diilhami Barat,

dan kebanyakan masyarakat Muslim ditantang oleh gerakan seperti

hadis salafiyah. Akibat tumbangnya dominasi mazhab-mazhab hukum

klasik, terbukalah ruang bagi pengkajian kembali sumber-sumber

hukum Islam dan kedudukan sunnah. Sejak terbebasnya masyarakat

Muslim dari dominasi kolonial setelah tahun 1940-an, gerakan untuk

memperkenalkan kembali hukum Islam dalam bentuk tertentu telah

memunculkan urgensi praktis untuk mempertanyakan sumber-sumber

syari‘ah, dan metode untuk menghidupkan kembali syari‘ah.66

Sebagian gagasan Islam klasik tentang autoritas keagamaan

dalam berbagai bidang telah mulai mendapat tantangan sejak

pertengahan abad ke-19. Tantangan ini langsung dan terutama

dihadapkan pada lembaga-lembaga dan etika-etika sosial Islam. Jelas

65

Al-Qalb menurut bahasa berarti memalingkan sesuatu dari jalurnya.

Menurut istilah, hadis maqlub adalah hadis yang rawinya menggantikan suatu bagian

darinya dengan yang lain, baik dalam sanad atau matan, dan bila karena lupa atau

sengaja. Nūruddīn ‗Itr, Manhāj an-Naqd Fī Ulūm al-Ḥadīth, terj. Mujiyo (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 1994), 237. 66

Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),

25.

Page 42: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

42

sekali bahwa tantangan ini bukan berangkat dari anggapan bahwa

lembaga-lembaga dan etika sosial Islam tersebut salah atau tidak

rasionalisme,67

tetapi adalah kenyataan bahwa sistem sosial yang ada

perlu di-modifisir dan disesuaikan. Pada masa lalu sistem sosial ini

betul-betul rasional dan bekerja sempurna. Persoalannya adalah bahwa

kaum muslim harus menghadapi perkembangan situasi.68

Kajian sarjana muslim modern cenderung kepada pengkajian

persoalan kritik teks yang pada akhirnya akan meragukan beberapa

catatan tentang hadis. Di antara mereka adalah M. Rashid Riḍa,

Maḥmoud Abū Rayyah, Aḥmad Amīn, dan Ismā‘īl Aḥmad Aḍam.69

Para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan terhadap

gagasan Islam klasik tentang otoritas keagamaan. Pergolakan di dunia

Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber

67

Rasionalisme ialah faham yang mengedepankan logika. Istilah ini dipakai

untuk beberapa pengertian: (a). Faham yang berpandangan bahwa segala yang ada

mempunyai sebab keberadaannya. Dalam arti, bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi di

alam ini melainkan pasti ada alasan penciptaannya secara rasional. (b). Faham yang

berpandangan bahwa pengetahuan berasal dari prinsip-prinsip logika. Mirip seperti

metode eksperimen yang mengatakan bahwa semua yang ada di benak atau pikiran,

adalah lahir dari perasaan dan eksperimen. (c). Faham yang mengatakan bahwa

keberadaan akal merupakan syarat untuk melakukan eksperimen. (d). Kepercayaan

pada akal dan kemampuannya untuk menemukan kebenaran. Sebabnya menurut kaum

rasionalis –bahwa undang-undang logika bersesuaian dengan undang-undang yang

menghukum masalah-masalah eksternal. Dan bahwa segala yang ada adalah masuk

akal dan segala yang masuk akal ada. (e). Rasionalisme menurut sebagian ‗ulama

agama ialah faham yang mengatakan bahwa kepercayaan imani sesuai dengan

hukum-hukum akal. Secara umum, rasionalisme berpandangan bahwa semua yang

ada harus dikembalikan kepada prinsip-prinsip logika, seperti mazhab Descartes.

Lihat Jamil Syaliba, Al-Mu‟jām al-Falsafi (Beirut: Dār al Kitab al Lubnāni, 1973),

cet. I, Juz II, 90-91. 68

Tantangan terhadap sebagian gagasan Islam klasik tentu saja menimbulkan

pergolakan pemikiran yang bermuara pada pengujian kembali sumber-sumber klasik.

Sunnah Nabi—praktek normatif yang dicontohkan oleh Rasulullah—merupakan

bagian yang paling penting dari pengujian ini, sebab ia merupakan simbol

kewenangan Nabi saw sebagai sebuah sumber kewenangan keagamaan setelah al-

Qur‘an, dan merupakan sumber kesinambungan dengan masa lalu. Karenanya,

diskusi-diskusi tentang sunah dari sarjana-sarjana muslim tak dapat lagi terhindarkan

dan akhirnya meluas. Tidak hanya oleh pakar-pakar di bidangnya (muḥadithīn) tapi

juga melibatkan sarjana-sarjana di bidang lain semisal teolog dan filosof. Lihat Fazlur

Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984), 313. 69

Membahas kritik matan, tidak dapat menerima hadis jika hadis-hadis

tersebut tidak dapat diterima secara rasional maupun teologis atau jika hadis-hadis itu

bertentangan dengan hadis.

Page 43: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

43

klasik hukum Islam karena orang Muslim telah berjuang untuk

memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan kembali norma-norma

sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi yang berubah.70

Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah

masalah hakekat, status, dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif

Nabi Muhammad SAW.). karena status Nabi Muhammad sebagai

utusan Allah, perkataan dan perbuatannya diterima oleh sebagian besar

Muslim sebagai sebuah sumber hukum kedua setelah al-Qur‘an. Oleh

karena itu, imitatio Muhammadi menjadi dasar bagi hukum Islam.71

Itulah penjelasan pembahasannya yang dibahas oleh banyak

kaum orientalis dan beberapa sarjana dan kritikus Muslim modern yang

menurutnya muḥadithīn masa awal telah memberikan tekanan terhadap

isnad dan saat melakukan kritik hadis, dan bahwa mereka telah

mengabaikan kritik atas muatan hadis itu sendiri, tidak dapat diterima

dan keliru, dan sesungguhnya para muḥadithīn sudah melakukan

pengritikan baik dari segi sanad maupun matannya.

Dalam pemahaman kontekstual hadis di Indonesia, mengusung

term dan konsep sosial dan politik. Untuk memahami sebuah teks pada

masa kontemporer, khususnya di Indonesia tidak hanya bisa digunakan

pendekatan hermeneutik saja, akan tetapi juga menggunakan beberapa

pendekatan yang memungkinkan untuk pemahaman teks sehingga

sesuai dengan perkembangan zaman.72

Hadis Nabi Muhammad SAW bukanlah suatu perkembangan

yang telat, akan tetapi hadis berkembang dengan skala yang besar

sehingga hadis memerlukan banyak sekali pendekatan untuk dipahami

sehingga tercapai pemahaman yang diinginkan sesuai dengan masa

modern pada saat sekarang ini.73

Lahirnya syarah kontemporer juga bisa dikarenakan adanya

kemunduran dalam keinginan memahami suatu hadis sesuai kebutuhan

70

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern

(Bandung: Mizan, 1996), 15. 71

Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon

Answers (Colorado: Westview Press, Inc., 1994), 45. 72

Mark R. Woodward, Textual Exegesis as Social Commentary: Religious,

Social, and Political Meaning of Indonesian Translation of Arabic Hadith Texts, The

Journal of Asian Studies, Vol.52, No.3 (1993), 566. Association for Asian Studies.

http://www.jstor.org/stable/2058854. (Accesed 27/01/2014). 73

Ahmad Hasan, The Sunnah-its Early Concept and Development, Journal

Islamic Studies, Vol.7. No. 1, 50. Islamic Research Institute, International Islamic

University, Islamabad.http://www.jstor.org/stable/20832904. (Accessed 27/01/2014).

Page 44: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

44

masyarakat. Pemahaman terhadap hadis terus berkembang sampai

kemudian bermunculan beberapa metode, misalkan metode

hermeneutik, yang di asumsikan juga turut mewarnai beragamnya

metode pensyarahan, dipandang cukup memberikan solusi pembacaan

yang cukup sesuai dengan problem masyarakat.

Kehadiran metode hermeneutik merupakan angin segar dalam

pensyarahan hadis. Masalah yang berkembang sekarang terlalu banyak

dan membuat untuk menyegerakan penjabaran dan pembahasan dengan

landasan yang ada. Metode hermeneutik dan dalam bingkai tematik

agaknya mendesak dilakukan saat itu, seperti merespon kepemimpinan

perempuan dalam ranah publik. Kehadiran hermeneutik juga tidak

terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa

dalam wacana filsafat dan keilmuan lain.74

Pengkaji hadis di Indonesia juga berusaha untuk merekonstruksi

metode pemahaman hadis sehingga hadis Nabi Muhammad SAW dapat

diterima pada masa sekarang khususnya oleh masyarakat Indonesia. Di

antara pengkaji hadis yang mencoba merekonstruksi metode

pemahaman hadis, yaitu: dari tamatan Timur Tengah yaitu Said Agil al-

Munawar, Ali Mustafa Ya‘qub, Daud Rasyid Sitorus dan Lutfi

Fathullah; dari tamatan Barat yaitu, Kamarudin Amin; dari Indonesia

yaitu Muhammad Syuhudi Ismail, Daniel Djuned, dan Buchari M.

Pengkaji hadis di Indonesia tersebut,75

menurut asumsi penulis

mereka lebih kepada pengembangan terhadap pemahaman hadis atau

studi hadis itu sendiri, yang sesuai kenyataan belum banyak ditulis. Hal

ini senada dengan pernyataan R. Michael Feener dalam karyanya

menjelaskan bahwa selama dekade pertengahan abad kedua puluh,

sarjana Muslim Indonesia berpartisipasi dalam gerakan untuk

menciptakan pembaharuan. Begitu juga perkembangan dalam ilmu

74 Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian dan

kajian mendalam untuk mengetahui mana yang dapat diterima dan

mana yang ditolak, maka mutlak diperlukan adanya kaidah-kaidah dan

patokan sebagai acuan melakukan studi kritik. Berkenaan dengan hal

ini, sebenarnya kaum muslimin telah memiliki metodologi yang

komprehensif, sebuah teori kritik yang tiada duanya. Lihat Salahuddīn

ibn Aḥmad al-Adabī, Metodologi Kritik Matan Hadis (Jakarta: Gaya

Media Pratama, 2004), 4. 75

Alasan kenapa mereka disebut dengan pengkaji hadis karena mereka

banyak membuat karya tulis mengenai hadis, dan mereka sangat berkompeten dalam

hadis sesuai dengan pengakuan dari akademik dan masyarakat.

Page 45: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

45

hadis. Perkembangan belum pernah terjadi sebelumnya, terjadi dalam

konteks modernitas dimana Indonesia sedang menghadapi tantangan

oleh pemikiran reformis Islam.76

Muhammad Dede Rodliyana dalam karyanya Pergeseran

Pemikiran „Ulūm al-Ḥadīth dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran

„Ulūm al-Ḥadīth di Indonesia, mengatakan bahwa dalam catatan

sejarah perkembangannya, para ahli hadis, baik sejak masa sahabat

ketika dimulainya perkembangan periwayatan terhadap hadis maupun

di masa sekarang ini, telah menghasilkan pemikiran-pemikiran baru

seputar ilmu hadis.77

Kitab-kitab hadis yang telah ditulis hingga sekarang merupakan

hasil pemahaman hadis secara normatif, ditulis oleh para ulama ahli

hadis guna menyelesaikan problem pemahaman yang dihadapi oleh

sebagian umat Islam pada zamannya. Terlepas dari segala

kekurangannya, kitab-kitab tersebut merupakan karya ilmiah yang

secara metodologis telah berkembang memenuhi tuntutan zamannya.78

Wajar apabila para ulama kontemporer merasa perlu mengembangkan

lagi metodologi pemahaman hadis guna menjawab berbagai tuntutan

kontemporer.

Setelah Rasulullah wafat, upaya pemahaman hadis sangat

diperlukan dan proses pemahaman tersebut berkembang terus hingga

sekarang. Pemahaman hadis, seperti dalam syarah-syarah terhadap

kitab hadis yang sembilan, khususnya, banyak yang terpaku kepada

gramatika bahasa dan konstekstual-historis. Belakangan ada yang

memahaminya secara filosofis.79

Contohnya dalam sebuah riwayat

bahwa Rasulullah SAW melarang wanita sebagai pemimpin.80

Banyak

76

R. Michael Feener, Indonesian Movements for the Creation of a 'National

Madhhab' Journal of Islamic Law and Society, Vol. 9, No. 1 (2002), 83,

http://www.jstor.org/stable/3399202. (Accessed: March 16, 2012). 77

Muhammad Dede Rodliyana,―Pergeseran Pemikiran ‗Ulūm al-Ḥadīth dan

Pengaruhnya Terhadap Pemikiran ‗Ulūm al-Ḥadīth di Indonesia‖(Tesis: UIN Syarif

Hidayatullah, 2003), 2. 78

Mujiyo, ―Syarah Hadis dalam Tradisi Keilmuan Islam: Genealogi dan

Metodologi‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), 41. 79

Buchari M, Metode Pemahaman Hadis: Sebuah Kajian Hermeneutik

(Jakarta: Nuansa Madani, 1999), 8-9. 80

Dalam riwayatnya yang lengkap dijelaskan bahwa:

Usman ibn al-Haisam menyampaikan (riwayat) kepada kami, bahwa ‗Auf

menyampaikan (riwayat) kepada kami, (riwayat itu) dari al-Ḥasan, (riwayat

itu) dari Abū Bakrah, (dia) berkata: ―Allah memberikan kepadaku manfaat

dengan ungkapan yang saya dengan ungkapan yang saya dengar sebelumnya

Page 46: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

46

ulama secara teoritis, melarang perempuan menjadi pemimpin

berdasarkan hadis di atas larangan ini, menurut penulis, berasal dari

metode pemahaman yang bersifat tekstual, dengan tidak melihat

substansi variable kontekstual-historis.81

Bila dilihat realitas pada masa Rasulullah sampai akhir parohan

kedua abad ke-20, apalagi dengan adanya prinsip egalitarian dimana

perempuan menuntut kemitrasejajaran dengan laki-laki maka pesan

hadis tersebut sulit dan bahkan tidak bisa direalisasikan. Implikasinya

Islam akan ditinggalkan karena tidak mampu memberi jawaban

terhadap problema zaman. Dengan demikian, prinsip Islam sebagai

raḥmat li al-ālamīn akan diragukan apabila pemahaman terhadap hadis

tersebut tidak baik dan benar.82

Dari segi metodologi telah terjadi pergeseran yang cukup

signifikan di antara para ahli hadis. Hal ini disebabkan oleh situasi dan

kondisi lahirnya pemikiran terhadap karya yang ada. Perkembangan

penyusunan kitab ‗Ulūm al-Ḥadīth memiliki siginifikansi perbedaan

yang cukup kuat. Artinya, dalam setiap periode memiliki karakteristik

tertentu yang masing-masing memiliki maksud dan tujuan yang tertentu

pula. Sebelum periode Ibn Ṣalah, manhaj penyusunan seperti itu

didasari rasa prihatin akan kondisi yang terjadi pada zamannya dan

kemunduran dalam perlakuan ilmiah terhadap periwayatan hadis. Juga,

dimaksudkan untuk mengoreksi kecendrungan tersebut. Oleh sebab itu,

dalam manhaj penyusunannya dimulai dengan gambaran yang berupa

memberikan rangsangan pada pembacanya untuk kembali

memperhatikan dan mempelajari hadis.83

dari Rasulullah SAW. Pada perang Jamal ketika saya hampir bertemu

dengan pasukan unta dan berperang dengan mereka. (Abū Bakrah) berkata:

―Ketika sampai berita kepada Rasulullah SAW bahwa penduduk Persia

menjadikan anak perempuan Kisra menjadi Ratu, (Rasulullah) bersabda:

―Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk

memimpin) urusan mereka kepada perempuan.‖

Abū ‗Abdullāh Muḥammad ibn Ismā‘il al-Bukhāri, al-Jamī‟ al-Ṣaḥīḥ al-

Mukhtaṣar min Umūr Rasulullah SAW wa Sunanih wa Ayyāmih (Beirut: Dār al-Fikr,

t.t), Juz IV, 228; Abū ‗Abdullāh Ahmad ibn Hanbal, Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal

(Beirut: al-Maktab al-Islami, 1979), Jilid V, 38. 81

Buchari M, Metode Pemahaman Hadis: Sebuah Kajian Hermeneutik,10. 82

Buchari M, Metode Pemahaman Hadis: Sebuah Kajian Hermeneutik,10. 83

Hal tersebut sangat didukung pula dengan kondisi mereka yang masih

dekat dengan tahun-tahun ketika korelasi besar riwayat dikumpulkan, dan mereka

tetap menjadi rekan dalam karya-karya yang berisi pelengkap atau pengoreksi atas

koleksi-koleksi ini. Lihat Muhammad Dede Rodliyana, ―Pergeseran Pemikiran ‗Ulum

Page 47: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

47

Namun perlu disadari bahwa tradisi kenabian jauh lebih

kompleks dibanding penuturan sebuah hadis. Karena dalam sebuah teks

(within text) terdapat sekian banyak variable serta gagasan yang

tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar pembaca lebih

mendekati kebenaran mengenai gagasan yang hendak disajikan

Rasulullah SAW. Dikatakan demikian, karena hadis hanyalah sebagian

personifikasi Rasulullah dan sahabatnya, sehingga jika hadis ditarik dan

dipisahkan dari asumsi-asumsi sosial sangat mungkin terjadi distorsi

informasi atau bahkan salah paham. Jadi, tanpa memahami motif dan

tujuan dibalik penyampaian sebuah hadis, suasana sosio-historis-

psikologis, dan audien yang dihadapi oleh Rasulullah, maka sangat

mungkin pembaca akan salah paham ketika membaca sebuah hadis.

Apalagi, ketika wacana yang bersifat spontan dan dialogis dituliskan

dalam teks maka sangat potensial akan melahirkan salah paham

dikalangan pembaca.84

Analisis pada tataran komparasi historis belum dapat dikatakan

pemahaman hadis secara luas dan menyeluruh. Jika seorang pengamal

hadis hanya terkurung pada analisis historis ini, maka setiap ada

perbedaan lafal atau makna sekecil apapun pada sejumlah hadis

langsung saja melakukan tarjih untuk penyelesaiannya. Ketika ada dua

hadis misalnya yang sedikit saja berbeda maka pertanyaan yang

dimunculkan, mana hadis yang lebih kuat sanadnya. Dalam hal ini

terkadang juga terlihat sikap pemakai hadis hanya berpegang kepada

tertib urut martabat kitab-kitab hadis yang bersifat umum (jumlatan),

bukan bersifat hadis perhadis (tafṣilan).85

Menurut Daniel Djuned dalam karyanya ia menjelaskan bahwa

segala hal yang berhubungan dengan upaya rekonstruksi kaedah-

kaedah Fiqh al-Ḥadīth sesungguhnya bagi seorang analis ilmu hadis

atau pengamal hadis tidak perlu melakukan sebuah ijtihad yang rumit

untuk merumuskan kaedah-kaedah baru. Semuanya sudah ada dalam

khazanah masa lalu. Cuma saja kaedah-kaedah dimaksud terberai

dalam kitab-kitab fikih dan Uṣūl al-Fiqh, kitab-kitab hadis, kitab-kitab

syarah hadis dan kitab-kitab tafsir, tidak tersusun secara sistematis

dalam sebuah kitab khusus. Karena itu, ketika umat Islam zaman

al-Ḥadīth dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran ‗Ulum al-Ḥadīth di Indonesia‖ (Tesis:

UIN Jakarta, 2003), 102-103. 84

Buchari M, Metode Pemahaman Hadis: Sebuah Kajian Hermeneutik,14. 85

Daniel Djuned, Paradigam Baru Studi Ilmu Hadis: Rekonstruksi Fiqh al-

Hadis (Banda Aceh: Citra Karya, 2002), 21.

Page 48: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

48

modern ini hendak kembali kepada hadis, kaedah-kaedah dimaksud

kurang diperhatikan.86

Upaya sistematisasi kaedah-kaedah pemahaman

hadis ini dirasa sangat mendesak. Para ahli hadis khususnya di

Indonesia mencoba merintis jalan ke arah sistematisasi keilmuan di

bidang ilmu hadis yang secara fakta belum banyak ditemukan dan

dibuat oleh ahli hadis lainnya, baik oleh ahli hadis di Timur Tengah

ataupun di Barat sekalipun.

Penelitian terhadap hadis sangat diperlukan, karena hadis

sampai kepada umat Islam melalui jalur dan jalan periwayatan yang

panjang. Sehingga wajar apabila terdapat kesalahan-kesalahan terhadap

pemahaman hadis Nabi SAW tersebut. Hadis tidak bertambah

jumlahnya setelah wafatnya Rasulullah SAW sedangkan permasalahan

yang dihadapi oleh umat Islam terus berkembang sehubungan dengan

perkembangan zaman. Oleh karena itu, di dalam memahami hadis

diperlukan metode pemahaman yang tepat melalui pendekatan yang

komprehensif, baik tekstual maupun kontekstual dengan berbagai

bentuk dan kaedah-kaedahnya.87

Dan kemungkinan pemakaian

metodologi baru dalam memahami hadis pada kondisi permasalahan

masyarakat Indonesia yang komplek sangatlah mungkin terjadi.

Dengan melihat keadaan yang melatarbelakangi munculnya

suatu hadis, maka terkadang sebuah hadis bisa dipahami secara

tekstual maupun kontekstual, atau dipahami secara historis maupun

normative. Oleh karena itu, Fazlurrahman menyebutkan hadis Nabi

sebagai sunah yang hidup. Formalisasi sunah atau verbalisasi sunah,

dan oleh karenanya harus bersifat dinamis. Hadis Nabi harus

86

Hadis sebagai sebuah ucapan dan teks sesungguhnya memiliki sekian

banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar

kita lebih bisa mendekati kebenaran mengenai gagasan yang hendak disampaikan

oleh Rasul. Tanpa memahami motif di balik penyampaian sebuah hadis, suasana-

psikologis, dan sasaran ucapan Nabi, maka mungkin sekali kita akan salah paham

dalam membacanya. Menyadari bahwa ucapan dan pengucapnya, suasana-psikologis

dan sasaran ucapan saling bertautan, maka dalam setiap pemahaman dan penafsiran

yang dilakukan, ketiga hal ini sangat berperan sekali. Sebuah idealisme kembali kepada al-Qur‘an dan hadis yang tidak dibarengi

dengan penguasaan kaedah-kaedah dimaksud telah melahirkan fakta kontra produktif

yang menunjukkan umat sendiri sebagai yang telah disebutkan di atas. Daniel Djuned,

Paradigam Baru Studi Ilmu Hadis: Rekonstruksi Fiqh al-Hadis (Banda Aceh: Citra

Karya, 2002), 22. 87

Yunahar Ilyas dan M. Mas‘udi, Pengembangan Pemikiran Terhadap

Hadis (Yogyakarta: LPPI, 1996), 3-4.

Page 49: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

49

ditafsirkan secara situasional dan diadaptasikan ke dalam situasi

dewasa ini.88

Dalam Islam dan kehidupan kaum muslim, Nabi memiliki

banyak fungsi: sebagai Rasul, panglima perang, suami, sahabat dan

lain-lain. Dengan demikian, hadis-hadis tersebut tidak dapat dilepaskan

kaitannya dengan fungsi-fungsi itu. Menurut Maḥmud Shaltut,

mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi dengan mengkaitkannya pada

fungsi beliau tatkala melakukan hal-hal itu sangat besar manfaatnya.89

Hadis sebagai sebuah pesan-pesan keagamaan disampaikan

dalam sebuah bahasa yang tentunya juga bersifat keagamaan. Sebagai

sebuah bahasa keagamaan tentu sedikit tidaknya berbeda dengan

bahasa ilmiah atau bahasa umum. Salah satu ciri yang paling menonjol

dalam bahasa keagamaan adalah seringnya pemakaian bahasa

metaforis. Hal ini agaknya tak dapat dihindari karena untuk

membahasakan dan mengekspresikan tentang Tuhan dan objek yang

abstrak, manusia tak bisa tidak mesti menggunakan ungkapan yang

familiar dengan dunia indrawi, dengan bahasa kiasan dan simbol-

simbol. Bahasa metaforis memiliki kekuatan yang bisa

mempertemukan antara ikatan emosional dan pemahaman kognitif

sehingga seseorang dimungkinkan untuk mampu melihat dan

merasakan sesuatu yang berada jauh di belakang ucapan itu sendiri.

Bahasa metaforis ini tampaknya cukup efektif menghancurkan

kesombongan masyarakat Jahiliah.90

Bahasa metaforis atau majaz dalam bahasa Arab dapat

diungkapkan sebagai kata yang dipakai bukan pada makna yang

diperuntukkan baginya (bukan makna aslinya) karena adanya hubungan

(‗alaqah) diikuti dengan tanda-tanda yang mencegah penggunaan

makna asli tersebut.91

Jadi pengalihan makna hakiki kepada majazi

dilakukan karena adanya ‗alaqah (korelasi) dan qarinah (tanda-tanda)

yang menghalangi pemakaian makna asli (hakiki) tersebut.

Bertolak dari kenyataan di atas, kiranya sangat mendesak upaya

mencari format baru untuk studi dan pengembangan metoda

pembelajaran ilmu yang bernilai strategis ini. Dengan itu, semangat

88

Fazlurrahman, Membuka Pintu Ijtihad (Bandung: Pustaka, 1984), 38. 89

Maḥmūd Shaltut, Al-Islām „Aqidah wa Shāri‟ah (Kairo: Dār al-Qalam,

1996), 513. 90

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian

Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 82. 91

Aḥmad Ḥashimi, Jawāhir al-Balaghah (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), 290.

Page 50: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

50

kembali kepada al-Qur‘an dan hadis yang tumbuh dan berkembang

dapat diimbangi dengan penguasaan kerangka keilmuan dan metode

pemahaman kedua sumber ajaran agama tersebut. Tanpa keseimbangan

ini, semangat yang bermuatan positif sebagai yang dimaksudkan di

atas, sesuai dengan sejumlah kasus di lapangan, akan melahirkan kontra

produktif terhadap pesan-pesan ruhaniah al-Qur‘an dan hadis

tersebut.92

Sejumlah kasus khilafiyah dalam masyarakat Islam, terutama

dalam konteks kekinian di Indonesia lebih disebabkan oleh keminiman

analisis filosofis terhadap ilmu hadis dan hadis itu sendiri dalam sebuah

kerangka keilmuan yang jelas dan sistematis. Kenyataan lain, keminian

ilmu dan kekakuan tekstual dalam pemaknaan hadis, gerakan yang

berupaya memurnikan ajaran Islam, kadangkala tidak tepat dikatakan

―pemurnian‖, melainkan telah terjebak ke dalam ―pengikisan‖‖

sebagian ajaran Islam itu sendiri. Akibatnya, apa yang dihasilkan

gerakan kembali kepada al-Qur‘an dan hadis dalam memahami agama

tidak lebih dari pada ijtihad para ulama yang sudah ada.

B. Perbedaan Metodologi Kajian Hadis: Sarjana Barat dan

Sarjana Timur

Diskursus terhadap hadis, nampaknya selalu menarik perhatian

banyak orang, baik kalangan muslim maupun non muslim. Terbukti

hingga sekarang, kajian-kajian terhadap hadis baik yang menyangkut

kritik terhadap otentisitasnya, maupun metodologi pemahamannya

terus berkembang.

Ada perbedaan antara antara kajian sarjana Barat dengan sarjana

Timur dalam metodologi pemahaman hadis, yaitu:

1. Kajian Hadis di Timur Tengah

Merujuk kepada kitab syarah dari al-Kutub al-Sittah

(kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, al-Jāmi‟ al-Ṣaḥīḥ, Sunan Abī Dāud,

Sunan al-Tirmidhī, Sunan al-Nasā‟ī, dan Sunan Ibn Mājah)

dapat disimpulkan bahwa kecenderungan ulama dalam

memahami hadis Nabi SAW adalah dengan menggunakan

empat metode:

1) Metode tahlilī (analitis)

Tahlilī berasal dari bahasa Arab تحهال -حهم –حهم yang

berarti mengurai. Dalam bukunya Sejarah Ulum dan al-Qur‟an,

92

Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis: Rekonstruksi Fiqh al-

Hadis (Banda Aceh: Citra Karya, 2002), 11.

Page 51: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

51

M. Quraish Shihab mengartikan metode tafsir tahlilī yaitu

sebuah metode penafsiran dengan cara menyoroti ayat-ayat al-

Qur‘an dengan memaparkan segala makna dan segala aspek

yang terkandung di dalamnya sesuai dengan urutan bacaan yang

terdapat dalam al-Qur‘an mushaf ‗Uthmānī. 93

Adapun yang dimaksud dengan metode tahlilī (analitis)

dalam memahami hadis ialah memahami hadis-hadis Rasulullah

SAW dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di

dalam hadis-hadis yang dipahami serta menerangkan makna-

makna yang tercakup di dalam hadis tersebut sesuai dengan

keahlian dan kecenderungan pensyarah.94

2) Metode Ijmālī (global)

Metode ijmālī maksudnya adalah memahami hadis

secara ringkas, tapi merepsentasikan makna literal hadis dengan

bahasa yang popular, mudah dimengerti dan enak dibaca

dengan sistematika penulisannya menurut susunan hadis dalam

kitab.95

Aplikasi metode ini di antaranya dapat dijumpai pada

kitab Sunan al-Nasā‟ī bi Sharh al-Suyūṭī Hasiyat al-Sindī.

93

Muhammad Quraish Shihab, Sejarah Ulūm dan al-Qur‟an (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1999), 172. 94

Pada dasarnya cara kerja penafsiran al-Qur‘an yang menggunakan metode

tahlilī juga ditemukan dalam metode tahlilī untuk memahami hadis. Langkah-langkah

kerja metode ini dapat diketahui dari kitab-kitab syarah yang menggunakan metode

ini di antaranya Fath al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī karangan al-Asqalānī dan

kitab Irshad al-Sarī li Sharh Ṣaḥīḥ al-Bukhārī karangan al-Qasṭalanī. dengan

menganalisa kitab syarah ini secara umum, penulis mengetahui bahwa langkah yang

ditempuh pengarangnya dalam memahami hadis di antaranya adalah menuliskan

hadis yang akan dijelaskan; memahami hadis kata demi kata, kalimat demi kalimat,

hadis demi hadis. Maksudnya adalah memahami hadis dengan mengambil makna

secara mendetail, dalam arti kata seorang peneliti harus memahami maknanya satu

demi satu, baik berasal dari kata, kalimat maupun beberapa hadis; menjelaskan asbāb

al-wurūd (latar belakang munculnya) hadis jika ada; mengungkapkan pemahaman-

pemahaman yang pernah diberikan Nabi SAW, sahabat dan ulama sesudah itu;

Menjelaskan munasabah (hubungan antara satu hadis dengan hadis lainnya);

Memberikan syarahan/pemahaman terhadap hadis menurut versi pensyarah. Namun,

pada umumnya syarahan ini tidak berasal dari pribadi pensyarah sendiri tapi juga

merujuk kepada pendapat ulama-ulama lainnya. Buchari M. Metode Pemahaman

Hadis sebuah Kajian Hermeneutika (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), 26. Dan Abd al-

Hayy al-Farmawi, al-Bidayah Fī al-Tafsīr al-Mauḍu‟ī: Dirasah Manhajiyah

Mauḍu‟īyah (Keiro: Maktabah Jumhuriyah), 23-37. 95

Buchari M. Metode Pemahaman Hadis sebuah Kajian Hermeneutika

(Jakarta: Nuansa Madani, 1999). 36-37, Dan Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah Fī

Page 52: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

52

Metode ini memiliki ciri bahwa pensyarah langsung

menjelaskan hadis dari awal hingga akhir tanpa perbandingan

dan penetapan judul. Hadis dijelaskan dengan bahasa yang

singkat, padat dan ringkas, sehingga membaca syarah dengan

metode ini seolah-oleh membaca teks hadis karena metode

ijmaliy tidak memberikan cukup ruang yang luas bagi orang-

orang yang mensyarah hadis untuk memasukkan interpretasinya

lebih jauh dan dalam.

3) Metode Muqaran (komparatif)

Memahami hadis dengan metode muqaran (komparatif)

maksudnya adalah memahami hadis (mensyarah) dengan cara

membandingkannya dengan hadis yang memiliki redaksi yang

sama atau mirip dalam kasus yang sama dan membandingkan

berbagai pendapat ulama dalam mensyarah hadis.96

Ṣaḥīḥ al-

Muslim bi Sharh al-Nawāwī adalah salah satu kitab yang

menggunakan metode ini.

Memahami hadis dengan menggunakan metode ini

mempunyai cakupan yang luas, tidak hanya membandingkan

hadis dengan hadis melainkan juga membandingkan pendapat

para pensyarah. Hal tersebut juga memiliki ruang lingkup

masing-masing. Ada yang berhubungan dengan kajian redaksi

dan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang

dikandungnya serta mencakup perbandingan antara kandungan

makna dari masing-masing hadis yang diperbandingkan. Di

samping itu, juga dibahas perbedaan kasus yang dibicarakan

oleh hadis yang diperbandingkan.

Aspek yang kedua meliputi perbandingan pendapat para

pensyarah yang juga memiliki ruang lingkup yang sangat luas

karena uraiannya membicarakan berbagai aspek, baik

menyangkut kandungan makna hadis maupun korelasi antara

hadis dengan hadis.

al-Tafsīr al-Mauḍu‟ī: Dirasah Manhajiyah Mauḍu‟īyah (Keiro: Maktabah

Jumhuriyah), 38. 96

Buchari M. Metode Pemahaman Hadis sebuah Kajian Hermeneutika

(Jakarta: Nuansa Madani, 1999). 43, Dan Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah Fī al-

Tafsīr al-Mauḍu‟ī: Dirasah Manhajiyah Mauḍu‟īyah (Keiro: Maktabah Jumhuriyah),

39.

Page 53: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

53

4) Metode Mauḍū‟ī (tematis)

Memahami hadis, pada dasarnya diawali dengan

pendekatan lughawi sesuai dengan kaedah kebahasaan. Artinya

terlebih dahulu hadis-hadis tersebut harus dipahami dengan

makna lahiriahnya supaya lebih mudah ditangkap. Akan tetapi

pemahaman ini sering tidak tepat, karena kesimpulan yang

ditarik cenderung berbeda dengan pemahaman hadis dan

terkadang bertentangan. Oleh sebab itu, dibutuhkan adanya

pendekatan pemahaman yang komprehensif terhadap hadis

Nabi SAW, sehingga tidak ditemukan lagi pertentangan dan

kerancuan pemahaman. Pemahaman secara parsial, namun

menyeluruh dengan menghimpun hadis-hadis yang berbicara

tentang satu tema. Pemahaman seperti ini dikenal dengan

pemahaman tematis-korelatif.

Pemahaman hadis secara tematis-korelatif ini

merupakan padanan dari istilah tafsir mauḍū‟ī dalam kajian

tafsir. Yang dimaksud dengan pemahaman tematis-korelatif

adalah metode pemahaman terhadap hadis-hadis Rasulullah

SAW, dimana hadis-hadis yang terkait dalam satu tema atau

menyangkut suatu masalah tertentu dikaji dan dipahami dengan

memperhatikan keterkaitan makna antara yang satu dengan

lainnya sehingga dengan demikian akan di dapat pemahaman

yang komprehensif.97

Metode ini memuat berbagai aspek yang terkait

dengannya seperti asbāb al-wurūd, kosa kata dan dalil-dalil

yang mendukung. Dengan menggunakan metode tematis ini

usaha untuk memahami hadis dan menjelaskannya akan terlihat

lebih rinci dan tuntas karena yang menjadi ciri utama dari

metode ini adalah menonjolkan tema atau judul serta topik

pembahasan.

Keempat metode ini pada dasarnya digunakan dalam

memahami hadis Nabi SAW. Kitab syarah yang ada pada

umumnya memiliki keistimewaan dan ciri-ciri tersendiri yang

97

Edi Safri, Al-Imam al-Syafi‟ī: Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif

(Padang: IAIN IB Press, 1999), 111. Dan Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah Fī al-

Tafsīr al-Mauḍu‟ī: Dirasah Manhajiyah Mauḍu‟īyah (Keiro: Maktabah Jumhuriyah),

39.

Page 54: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

54

menggambarkan kecenderungan dan metode yang digunakan

dalam memahami hadis Nabi SAW tersebut.98

Menurut Daniel Djuned dalam bukunya ―Paradigma

Baru Studi Hadis”, ia menyatakan bahwa Fiqh al-Ḥadīth

merupakan ilmu hadis yang sangat jarang dibahas dan karya-

karya modern di bidang Ulūm al-Ḥadīth, sebut saja misalnya

Uṣūl al-Ḥadīth ‗Ajjaj al-Khatib dan Mabahīth fī Ulūm al-

Ḥadīth Subhi al-Ṣalih, isinya hanya mengenai bahasan tentang

ilmu sanad, sementara yang berhubungan dengan

pemahamannya hanya sebatas disebutkan nama ilmunya saja.

Sentakan dan hentakan ke arah fiqh al-ḥadīth ini justru muncul

dari tokoh-tokoh yang bukan spesialis ulūm al-ḥadīth, seperti

Muḥammad al-Ghazalī dan Yusūf al-Qaraḍawī.99

Sebagai seorang pemerhati dan juga termasuk salah

seorang ahli hadis, Yusūf al-Qaraḍāwī turut menawarkan cara

untuk memahami hadis selain yang telah dipaparkan di atas.

Menurutnya, untuk memahami hadis dengan baik adalah dengan

cara.100

1) Memahami sunnah dengan bimbingan al-Qur‘an

2) Mengimpun hadis dalam satu tema

3) Mencoba mengkompromikan atau men-tarjih hadis-hadis

mukhtalif

4) Memahami hadis dengan bantuan sebab munculnya dan

tujuan (maqashid-nya)

5) Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan

yang tetap

6) Membedakan hakikat dan majazi

7) Membedakan antara yang nyata dan yang ghaib

8) Memastikan kandungan lafaz.

Langkah-langkah dalam memahami hadis yang

diterapkan oleh Yusuf al-Qaraḍawī ini juga dipakai oleh ulama

lain seperti Muhammad al-Gazalī yang beliau tuangkan dalam

98

Rajā‘ Musṭafa Ḥazīz, I‟lām al-Muḥadithīn wa Manāhajihim fī Qurun al-

Thānī wa al-Thālithah al-Hijrī (Keiro: t.t., t.th.), 1-25. 99

Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Hadis, 3. 100

Yusuf al-Qaraḍawī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW (Terj. Judul

Asli: Kaifa Nata‘amalu ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyah, Penterjemah: Muhammad al-

Baqir) (Bandung: Karisma, 1994), Cet. Ke-3. 92-195

Page 55: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

55

bukunya as-Sunnah al-Nabāwiyah Abinan Ahl al-Fiqh wa Ahl

al-Hadīth.

Ada pun pendekatan lain yang tak kalah pentingnya

dalam memahami hadis terutama hadis-hadis aḥkam (hadis-

hadis yang berkaitan dengan hukum syari‘at) adalah pendekatan

kaidah uṣul, yaitu memahami hadis-hadis Rasulullah SAW

dengan memperhatikan dan mempedomani ketentuan atau

kaidah-kaidah uṣul terkait yang telah dirumuskan oleh para

ulama. Hal ini perlu mendapat perhatian karena untuk

memahami maksud suatu hadis atau untuk dapat meng-istinbaṭ-

kan hukum-hukum yang dikandungnya dengan baik, erat

kaitannya dengan kajian ilmu uṣul.101

Pendekatan dengan

memperhatikan kaidah uṣul ini telah dipraktekkan oleh Imam

al-Shafi‘ī dalam menyelesaikan permasalahan pemahaman

hadis-hadis mukhtalif.

Usaha memahami hadis Nabi SAW ternyata

menghembuskan angin segar di kalangan ulama, karena mereka

laksana mendapatkan ilham dan sekaligus telah membuka

wacana pemikiran bagi intelektual muslim hingga abad ini.

Berbagai upaya dan ijtihad dilakukan untuk memahami hadis

dengan baik dan menghasilkan pemahaman yang benar. Semua

usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjaga

keorisinilan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam dan

panduan dalam kehidupan.

Teori yang digunakan oleh kelompok tekstual di Timur

Tengah adalah teori tekstual-legalistik-normatif. Teori ini

menekankan pada aspek gramatika bahasa. Argumen yang

dijadikan dasar adalah meskipun hadis diyakini sebagai sabda

Nabi SAW, namun karena tertuang dalam bahasa Arab, maka

cara yang paling tepat untuk memahami hadis adalah dengan

merujuk kepada struktur kebahasaan Arab itu sendiri. Struktur

kebahasan setidaknya melibatkan dua aspek, yaitu aspek logika

bahasa dan aspek tata bahasa (grammar). Dalam tradisi

pemahaman hadis, teori ini merupakan akibat dari pengaruh

101

Edi Safri, Al-Imam al-Syafi‟ī: Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif

(Padang: IAIN IB Press, 1999), 98

Page 56: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

56

yang kuat dalam sejarah pemikiran ilmu bahasa yang

melahirkan dua mazhab, yaitu mazhab Kufah dan Basrah.102

Pada permulaan abad XIV H, para ulama hadis mulai

bangkit membahas ilmu-ilmu hadis dan mengaitkannya dengan

perkembangan pengetahuan modern sebagai akibat persentuhan

antara dunia Islam dengan dunia Barat.103

Perlunya kajian ulang

terhadap proses studi hadis, tanpa perlu menghilangkan

otensitas spritualitas oleh perubahan kehidupan masyarakat

modern dalam era teknologi dan informasi yang begitu cepat.

Ulama yang tergolong tanggap akan masalah ini, antara lain al-

Qasimī, Maḥmūd al-Ṭahhān, Abū Shuhbah, Subḥi al-Ṣalīh,

Muḥammad ‗Ajjaj al-Khatīb, M.M. Azamī, Musṭafá al-Ṣibā‘ī,

Nūr al-Dīn ‗Itr, dan Naṣiruddīn al-Albanī.

Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam

merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang

dihadapi umat Islam pada masanya.104

Kemunduran progressif

kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam,

setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam

di kalangan warga Arab dipinggiran Imperium itu, yang

102

Mazhab Kufah lebih menekankan pada tata bahasa Arab yang memiliki

akar dan karakter yang khas sehingga kalau menemukan beberapa kata dan kalimat

yang sulit dalam hadis, maka pemahamannya harus ditelurusi pada tradisi bahasa

Arab klasik sebagaimana orang Arab dahulu memahaminya. Adapun mazhab Basrah

yang ditekankan adalah logika universal sebagaimana yang diajarkan filsafat Yunani

(Aristoteles), bukannya tata bahasa Arab yang bersifat lokal-partikular. Alasannya,

hadis sebagai sumber ajaran Islam ditujukan untuk semua umat manusia tentunya

memiliki logika universal yang melewati batas dan karakter lokal. Komaruddin

Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:

Paramadina, 1996), 210. 103

Pertemuan umat Islam yang dalam kemundurannya dengan Barat yang

maju mengakibatkan timbulnya pemikiran untuk meningkatkan kembali kehidupan

umat Islam. Disisi lain, timbul pula masalah di kalangan umat Islam dengan

munculnya ―intelektual baru‖ yang sering disebut ―cendekiawan sekular‖ yang lebih

berorientasi pada hal-hal yang bersifat keduniawian. Azyumardi Azra, Esei-Esei

Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), 53. 104

Dalam sejarah Islam, periode modern dimulai sejak pembukaan abad ke-

19, yang ditandai dengan mulai masuknya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

modern ke dunia Islam. Kontak dengan dunia Barat pun selanjutnya membawa ide-

ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan

sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-

pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru itu.

Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 2.

Page 57: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

57

terpenting diantaranya adalah gerakan Wahhabi, sebuah gerakan

reformis puritanis. Gerakan ini merupakan sarana yang

menyiapkan jembatan kearah pembaharuan Islam abad ke-20

yang lebih bersifat intelektual.105

Dalam pemahaman hadis

Nabi, pendekatan filosofis atau prinsip maslahah, telah banyak

ditempuh oleh para ulama kontemporer, seperti Yusūf

Qaraḍawī, Muḥammad al-Ghazalī, dan lain-lain.106

Pendekatan filosofis dapat memberikan perspektif baru

tentang semangat teks secara keseluruhan yang pada gilirannya

akan memberikan pemahaman tentang maksud atau tujuan

(madlul/hadaf) yang terkandung dalam sebuah hadis. Bahwa

disana disebutkan media (wasilah) sebagai wadah bagi

terwujudnya tujuan adalah hal yang wajar. Pemahaman hadis

dengan pendekatan filosofis dilakukan dengan cara menarik

tujuan atau maksud sebuah ucapan Rasul.

2. Kajian Hadis di Barat

Hadis Nabi, atau yang sering juga disebut sebagai

sunnah Nabi, ternyata tidak hanya menarik perhatian umat

Islam dan para sarjana muslim untuk mempelajari dan

mengkajinya. Sejumlah sarjana Barat (non-muslim) juga terlihat

105

Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),

25. 106 Pendekatan filosofis ini, bukanlah hal baru dalam wacana Islam. Uṣul al-

Fiqh sebagai metode memahami kitab suci dan khazanah Islam yang ditulis dalam

bahasa Arab, bisa disebut sebagai kajian filosofis. Sebab di dalam Uṣul al-Fiqh

terdapat pembahasan Qiyas (analogi) yang cara kerjanya lebih luas dan sistematik dari

metode logika yang ditawarkan Aristoteles, misalnya. Di samping itu, terdapat pula

kaidah-kaidah syari`ah yang mencoba menyingkap tujuan dan hikmah di balik

segenap aturan formal. Kaidah-kaidah yang menyingkap tujuan dan hikmah syari‘ah

ini disebut dengan prinsip maṣlaḥah. Dalam kajian Uṣūl al-Fiqh, kajian tentang pendekatan filosofis telah banyak

ditempuh oleh ulama, antara lain Imam al-Shāṭibī melalui karyanya ―al-Muwāfaqāt fī

Uṣūl al-Sharī‟ah‖ atau yang dilakukan oleh Syekh ‗Alī Aḥmad al-Jurjawī melalui

karyanya ―Hikmah Al-Tashrī‟ wa Falsafatuhu‖. Di dalam buku-buku tersebut,

pengarangnya berusaha mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran

agama Islam, seperti hikmah dalam perintah tentang shalat, puasa, haji, dan

sebagainya. Ajaran agama dalam mengajarkan agar shalat berjamaah, tujuannya

antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya hidup secara berdampingan dengan

orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya, agar seseorang dapat merasakan

lapar dan menimbulkan rasa iba kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan, dan

berbagai contoh lainnya. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 31.

Page 58: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

58

memiliki perhatian serius terhadap masalah ini. Mereka banyak

mengkaji hadis Nabi, terutama menyangkut soal otentisitasnya.107

Ada tiga peradaban yang mempunyai peranan penting

terhadap pembentukan tradisi keilmuan dan pemikiran politik

Barat: Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani dan Islam. Masing-

masing peradaban ini memberikan sumbangan yang khas.

Arnold Toynbee berpendapat bahwa peradaban Barat

dewasa ini lahir dari puing-puing kehancuran peradaban

Yunani-Romawi. Peradaban Barat merupakan kelahiran

kembali peradaban Yunani-Romawi ―With disintegration, kata

Toynbee, comees rebirth”. Apa yang disebut ‗dunia Barat‘

dewasa ini merupakan sempalan dari Imperium Romawi

Bizantium yang terbelah menjadi dua: Bizantium Barat

(Western Byzantium) dan Bizantium Timur (Eastern

Byzantium),atau Konstatinopel.108

Barat berhutang budi kepada peradaban Yunani-

Romawi, sebagaimana kedua peradaban terakhir berhutang budi

pada peradaban-peradaban kuno Mesopotamia, Mesir, India,

Kreta, dan Persia. Barat berhutang budi kepada Yunani-Romawi

hampir dalam semua aspek peradaban dan tradisi keilmuan-nya:

seni, sains, filsafat, etika, politik, kedokteran, matematika dan

lain-lain. Pandangan hidup Barat (western way of life) dewasa

ini, pada satu sisi, bisa dilihat sebagai kelanjutan pandangan

hidup orang-orang Yunani; cita-cita kebebasan, optimisme,

107

Sarjana Barat sudah lama tertarik dengan kajian hadis dan penulisan teks

hadis, terutama terhadap isu keontetikan dan originalitas. Pendekatan yang digunakan

oleh sarjana Barat ini terhadap hadis adalah fokus terhadap matan (teks) dari materi

hadis, dan juga mereka juga fokus terhadap sanad (perawi hadis), pendekatan ini

mereka sebut dengan studi analisis sanad (isnad-analytical study). Lihat Halit Ozkan,

The Common Link and Its Relation The Madar, Journal Islamic Law and Society,

Vol.11, No.1 (2004), 42. http://www.jstor.org/stable/3399380. (Accessed:

27/01/2014). 108

Ada kekuatan sejarah yang memungkinkan terjadinya ‗kelahiran kembali‘

sebuah peradaban, yaitu terdapatnya minoritas kreatif dalam puing-puing suatu

peradaban yang mampu merespons secara positif terhadap tantangan lingkungan.

Semakin canggih kemampuan minoritas kreatif itu merespons tantangan, semakin

canggih pula bentuk peradaban yang dilahirkan kembali itu. Asumsi teoritis inilah

yang oleh Toynbee dinamakan teori tantangan-Response (Challenge-response

theory). Lihat Arnold Toynbee, Civilization on Trial (London, New York, and

Toronto: Oxford University Press, 1949), 5.

Page 59: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

59

sekulerisme, pengagungan terhadap jasmani dan akal serta

pengkultusan pada individualisme. Tradisi keagamaan Barat

saat ini juga memantulkan secara transparan tradisi keagamaan

Yunani Kuno yang memandang agama sepenuhnya bersifat

duniawi, praktis, mengabdi pada kepentingan manusia (bukan

Tuhan).109

Jika dilihat historinya tidak ada keterangan jelas, kapan

dan siapa yang sebenarnya orang Barat yang pertama kali

mempelajari Islam. Para pakar berbeda pendapat, ada yang

mengatakan bahwa hal itu terjadi pada waktu perang Mu‘tah (8

H) kemudian perang Tabuk (9 H), di mana terjadi kontak

pertama kali antara orang-orang Romawi dengan orang-orang

Muslim. Sementara pakar yang lain berpendapat bahwa hal itu

terjadi ketika peperangan antara kaum Muslimin dan Nashrani

di Andalus (Spanyol), terutama setelah Rasa Alphonse VI

menguasai Toledo pada tahun 488 H/1085 M.110

Namun suatu hal yang perlu dicatat, bahwa orang-orang

seperti Jerbert de Oraliac (938-1003 M), Adelard of Bath (1070-

1135 M), Pierre Le Venerable (1094-1156 M), Gerard de

Gremona (1114-1187 M), Leonardo Fibonacci (1170-1241 M)

dan lain-lain pernah tinggal di Andalus, dan mempelajari Islam

di kota-kota seperti Toledo, Cordova, Sevilla, dan lain-lain.

Sepulang dari Andalus mereka menyebarkan ilmunya ke daratan

Eropa.111

Gugatan orientalis terhadap hadis bermula pada

pertengahan abad ke- 19 M., yaitu pada tatkala hampir seluruh

bagian dunia Islam telah masuk dalam cengkeraman

109 Tradisi keilmuan Yunani-Romawi telah memberikan kepada Barat

metode-metode eksperimental dan spekulatif yang peranannya sangat fundamental

dalam pengembangan pengetahuan. Melalui karya-karya para sarjana dan filosof

Yunani-Romawi, Barat mengenal Empirisme dan Rasionalisme. Yunani yang

mengajarkan kepada Barat agar menempatkan akal di atas segalanya, akal sebagai

sumber kebenaran dan lain-lain. Lihat Edward Manshal and Philiph Lee Ralph, World

Civilization from Ancient to Contemporary (New York: Norton a co., 1964), 242. 110

Ada juga yang berpendapat bahwa hal itu terjadi ketika orang-orang Barat

merasa terdesak oleh ekspansi Islam, terutama setelah jatuhnya Istanbul pada tahun

857 H ke tangan kaum Muslimin di mana kemudian mereka masuk ke Wina. Orang-

orang Barat merasa perlu untuk membendung ekspansi ini, sekaligus untuk

mempertahankan eksistensi kaum Nashrani. Lihat Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 7. 111

Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 7.

Page 60: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

60

kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Pertanyaan tentang

autentisitas, originalitas, authorship, asal muasal, keakuratan

serta kebenaran hadis muncul, dan menjadi isu pokok dalam

studi Islam, khususnya yang menyangkut hukum Islam.

Pertanyaan ini muncul dari sarjana Barat dan juga sarjana

Muslim. Abu Rayyah, misalnya berpendapat bahwa hadis Nabi

telah rusak atau dengan kata lain hadis Nabi telah telah hilang

karena riwayah bi al-ma‟nā (periwayatan secara makna, bukan

lafal).112

Syamsuddin Arif menjelaskan bahwa orang yang

pertama kali mempersoalkan status hadis dalam Islam adalah

Alois Sprenger. Hal tersebut didasarkan kepada ungkapan

beliau dalam pendahuluan bukunya yang berjudul ―Die Sunna‟

Das Leben und die Lehre des Mohammad‖ ia telah mengklaim

bahwa hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita

bohong tapi menarik). Ia juga menyatakan keragu-raguannya

terhadap keakuratan hadis sebagai sumber sejarah. Klaimnya

tersebut juga diikuti oleh rekan satu misinya William Muir,

orientalis asal Inggris yang juga mengkaji biografi Nabi

Muhammad SAW dan sejarah perkembangan Islam. 113

Kajian Islam yang dilakukan oleh orang-orang Barat

pada mulanya hanya ditujukan kepada materi-materi ke-Islaman

secara umum, termasuk bidang sastera dan sejarah. Baru pada

masa-masa belakangan, mereka mengarahkan kajiannya secara

khusus kepada bidang hadis Nabawi.

Pada abad XIX dan XX, para sarjana Barat, seperti

Goldziher, Schacht, dan Juynboll mulai meragukan validitas

teori kritik hadis yang digunakan oleh para sarjana muslim dan

sekaligus mempertanyakan otentisitas hadis Nabi yang terdapat

dalam kitab-kitab hadis kanonis.114

Sebagai kelanjutannya,

112

Mahmud Abu Rayyah, Aḍwa „alā As-Sunnah Al-Muhammadiyah (Kairo,

t.tp., 1958), 55. 113

Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema

Insani, 2008), 28. 114 Josep Schacht misalnya merumuskan teori common link

untuk meneliti asal usul dan otentisitas hadis Nabi. Dan masa

berikutnya teori ini dikembangkan oleh Juynboll, salah seorang sarjana

Barat yang juga memiliki perhatian besar terhadap hadis Nabi. Tokoh

ini bahkan telah lebih dari dua puluh tahun melakukan penelitian atas

Page 61: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

61

mereka mulai merumuskan teori teori baru yang diharapkan

akan betul-betul mampu menyeleksi dan memisahkan hadis-

hadis palsu dari yang ṣaḥīḥ. Di antaranya mereka menggunakan

metode common link dalam kajian hadis.

Konsep common link dan implikasi metodologisnya

digunakan secara sistematis dalam kesarjanaan hadis Muslim, ia

secara ekstensif telah digunakan sebagai sebuah alat penelitian

yang sangat kuat dalam kesarjanaan hadis Barat, meskipun

beberapa sarjana Barat menolaknya. Namun demikian, common

link telah ditafsirkan secara berbeda. Perbedaannya terletak

bukan hanya pada bagaimana menentukan common link tetapi

juga pada apakah common link dianggap sebagai originator

(pemrakarsa atau pembuat) dari sebuah hadis tertentu. Yang

cukup menarik, dengan menggunakan teori common link,

sejumlah sarjana Barat akhir-akhir ini berhasil memberi

penanggalan sejumlah hadis lebih awal dari yang dilakukan oleh

Schacht, kampiun dari konsep ini, sementara sarjana Barat yang

lain memberi penanggalan lebih belakangan. Sementara itu,

penggunaan sejumlah sarjana Barat atas konsep the argumentum

berbagai hadis Nabi dengan menggunakan teori common link, Juynboll

sampai pada kesimpulan bahwa sejumlah hadis Nabi yang terdapat

dalam kitab kitab kanonis tebukti tidak memiliki klaim kesejarahan. Ini

berarti bahwa hadis hadis tersebut adalah palsu (tidak benar benar

berasal dari Nabi). Meskipun teori dan metode Schacht telah banyak mendapatkan kritikan

dan sanggahan, namun teori tersebut tetap diadopsi dan dikembangkan oleh Gauthier

Juynboll. Menurut Juynbll, hadis-hadis yang dimuat dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukharī

atau Ṣaḥīḥ Muslim sekalipun belum tentu berarti hadis itu otentik dan punya landasan

sejarah yang pasti, karena metode kritik hadis yang digunakan sarjana Muslim

memiliki banyak kelemahan dan belum mampu untuk membuktikan kemurnian dan

keaslian sebuah hadis. Atas dasar itu, Juynboll menawarkan metode kritik hadis

common link sebagai ganti dari metode kritik hadis para sarjana Muslim. Metode

common link ternyata tidak hanya bermaksud untuk merevisi metode kritik

konvensional para ahli hadis, tetapi juga menolak seluruh asumsi dasar yang menjadi

pijakan bagi metode itu. Sebagaimana diketahui metode kritik hadis konvensional

berpijak pada kualitas periwayat, maka metode common link tidak hanya berpijak

pada kualitas periwayat namun berpijak pula pada kuantitas periwayatnya. Lihat Ali

Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara,

2007), 2.

Page 62: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

62

e silentio terbukti ―berbahaya‖ atau tidak akurat, khususnya

mengenai penelitian masa awal Islam.115

Dalam pemahaman hadis, ahli hadis di Timur Tengah

biasanya menggunakan pendekatan tekstual dalam memahami

hadis, berbeda halnya dengan pendekatan yang digunakan oleh

pengkaji di Barat yang kecenderungannya lebih kepada

kontekstual.

Sebenarnya, ulama-ulama salaf terdahulu, telah

membentuk suatu metodologi sebagai upaya mendialogkan al-

Qur‘an dan hadis dengan konteks mereka. Namun, ketika

dibawa kepada konteks yang berbeda, metodologi itu tidak

115

G.H.A. Juynboll bukanlah orang pertama yang membicarakan fenomena

common link dalam periwayatan hadis. Ia mengakui dirinya sebagai pengembang dan

bukan penemu dari teori tersebut. Dalam beberapa tulisannya, ia selalu merujuk

kepada Schacht seraya menyetakan bahwa dialah pembuat istilah common link dan

yang pertama kali memperkenalkannya dalam The Origins. Meski demikian, Schacht

ternyata gagal mengamati frekuensi fenomena tersebut dan kurang memberikan

perhatian dan elaborasi yang cukup memadai.

Sejak awal, fenomena common link ini sudah dikenal oleh para ahli hadis di

kalangan Islam. Al-Tirmidhi dalam koleksi Hadisnya menyebut hadis-hadis, yang

menunjukan adanya seorang periwayat tertentu. Si a misalnya, sebagai common link

dalam isnad-nya, dengan ―hadis-hadis si A‖. Istilah tekhnis yang dipakai al-Tirmidhi

untuk menggambarkan gejala seperti itu adalah imadar (poros). Hadis-hadis itu

membentuk sebagian besar hadis gharib, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang

periwayat tunggal pada ṭabaqah (tingkatan) isnad tertentu. Akan tetapi, kelihatannya

para ahli hadis dikalangan Islam tidak menyadari sepenuhnya implikasi dari gejala

tersebut terhadap problem penanggalan hadis.

Schacht mengatakan bahwa teori common link dapat dipakai untuk

memberikan penanggalan terhadap hadis-hadis dan doktrin-doktrin para ahli fikih.

Penjelasan mengenai kepalsuan isnad bagian atas seharusnya mengubah sikap

penerimaan yang tidak kritis terhadap keaslian isnad. Selain itu, ada kemungkinan

bahwa nama common link hanya digunakan oleh orang lain yang tidak dikenal, dan

dengan demikian kemunculannya hanya sebatas sebagai terminus a quo, khususnya

pada periode tabiin. Lebih jauh mengatakan bahwa penomena semacam ini juga

terjadi pada hadis-hadis yang terkait dengan sejarah.

Robson menilai teori ini sebagai sumbangan yang sangat bernilai terhadap

studi perkembangan hadis karena metode itu tidak hanya memberikan penanggalan

terhadap hadis yang disandarkan kepada nabi, tetapi juga menjelaskan nilai jalur

isnad secara pasti bahwa bagian isnad yang timbul belakangan adalah otentik,

sementara isnad bagian awal yang kembali kepada Nabi adalah palsu. Oleh karena

itu, tidak mengherankan jika Juynboll ingin mengembangkan dan menerapkan teori

ini dalam skala lebih luas. Lihat Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Metode Kritik

Hadis (Jakarta: Mizan Publika, 2009), 477.

Page 63: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

63

mampu lagi mendialogkan keduanya sebagaimana kebutuhan

konteks yang baru. Untuk menjadikan keduanya terus berbicara,

maka dibutuhkan metodologi baru yang bisa mengakomodasi

perkembangan zaman sehingga keduanya menjadi elastis dan

fleksibel. Dan hermeneutik, sebagai kajian interpretasi teks yang

berasal dari Barat, mengundang perhatian dikalangan para

pemikir Islam untuk menjadikannya sebagai kajian terhadap al-

Qur‘an dan hadis.116

Dalam segala permasalahan hadis, pengamat dari

kalangan Muslim selama ini memang hanya dapat memasuki

pada bagaimana caranya mengidentifikasi yang ṣaḥīḥ dari yang

ḍaif atau ḥasan. Sedangkan minat Barat justru mengkaji hadis

satu persatu dengan mengidentifikasi tanggal lahir dan kematian

para rij l al-ḥadīth (transmittor) yang ada. Dengan demikian,

antara keduanya memang terdapat perbedaan pendekatan yang

amat jauh. Namun, upaya pengamat Barat sebagaimana

dilakukan Goldziher dan Schacht merupakan sumbangan

berharga, paling minimal mengundang suara kritis dan tajam

seperti apa yang dikatakan A‘zami, meskipun tidak sedikit pula

yang hanya sekedar sampai pada nada reaktif

116

Dari definisi yang telah penulis kemukakan, dapatlah ditarik sebuah

pengertian bahwa hermeneutik adalah suatu ilmu yang mencoba menggambarkan

bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat

dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan

kata lain, hermeneutik merupakan teori pengoperasian pamahaman dalam

hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah teks. Dalam hal ini ada 3 unsur/

pilar utama hermeneutik, yaitu: (1) Penggagas, (author) komunikator atau subjek

yang menyampaikan apa yang ada dalam benaknya dan hendak disampaikan kepada

audiens melalui bahasa; 2) Teks (text), bahasa yang menjadi alat penyampaian, yang

menjadi tanda bagi maksud ujaran tersebut; 3) Pembaca (reader), atau audiens yang

menjadi sasaran pengujaran komunikator.

Namun dalam kajian hermeneutik, bukan hanya gramatika bahasa yang

ditekankan, pendekatan historis, sosiologis dan antropologis juga harus dikedepankan.

Dengan begitu, untuk mengetahui pesan-pesan yang ada dalam teks, harus ketahui

latar belakang sosial budaya dimana dalam dalam situasi apa sebuah teks itu muncul.

Lihat Yunahar Ilyas dan M. Mas‘udi, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis

(Yogyakarta: LPPI, 1996), 3-4, dan Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum Al-Qur‟an:

Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2009), 179.

Page 64: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

64

Perbedaan antara pendekatan sarjana hadis muslim dan

hadis barat adalah perbedaan fundamental pendekatan tradisi

Islam secara keseluruhan.117

3. Kajian Hadis di Indonesia

Melacak perkembangan pemikiran di Indonesia, tidak

akan terlepas dari perkembangan hubungan antara Muslim di

kepulauan Nusantara itu dengan pusat pendidikan Islam yang

ada di Timur Tengah, khususnya pada abad ke-17 dan ke-18

merupakan masa yang paling dinamis dalam sejarah sosio-

intelektual kaum muslim.118

Di Nusantara, upaya revitalisasi ajaran Nabi SAW yang

terkandung di dalam hadis sudah berlangsung sejak paruh kedua

abad ke-17, seiring dengan masuknya gagasan pembaharuan

yang menekankan pada al-Qur‘an dan hadis sebagai ajaran

Islam.119

Para ulama mengkaji hadis dari inspirasi dan wawasan

mengenai cara memimpin masyarakat muslim menuju

rekonstruksi sosial moral. Meskipun demikian, sampai masa

awal abad XX kajian hadis di Indonesia masih kurang

populer.120

Selain itu Howard M. Federspiel juga menyimpulkan

hal yang sama, bahwa di Indonesia hadis masih sebagai bagian

dari kajian fikih, bukan kajian hadis tersendiri.121

117

Para sarjana Barat tidak terkesan dengan kecanggihan metode-metode

untuk menentukan keaslian hadis berdasarkan sanad. Mereka cenderung

menginginkan untuk kembali kepada matan atau muatan dari sebuah hadis. Karena

mereka memiliki alasan untuk meragukan adanya hadis yang tidak berasal dari Nabi

karena hadis itu membicarakan persoalan-persoalan setelah masa kewafatan Nabi. Hal

ini didukung oleh fakta bahwa sebagian kaum muslim belakangan berusaha untuk

menemukan dukungan bagi kelompok atau ajaran mereka dengan menyandarkan

pandangan mereka kepada Muhammad. 118

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994), 15. 119

Penjelasan secara mendetail pada bab selanjutnya yang menjelaskan awal

perkembangan studi hadis di Indonesia. Pada bab ini penulis hanya menekankan pada

penjelasan perbedaan kajian hadis di Indonesia dengan Timur Tengah dan Barat. 120

Agung Danarto, Kajian Hadis di Indonesia Tahun 1900-1945 (Telaah

terhadap Pemikiran Beberapa Ulama tentang Hadis),(Yogyakarta: IAIN Sunan

Kalijaga, 2000), 8. Dan Muhajirin, ―Transmisi Hadis di Nusantara‖(Disertasi: UIN

Syarif Hidayatullah, 2009), 101. 121

Howard M. Federspiel, The Usage of Traditions of the Prophet in

Contemporary Indonesia (Arizona State University, 1993), 2.

Page 65: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

65

Beberapa karya tentang hadis pada abad ke-17 sampai

dengan ke-18 diantaranya yaitu Bustan al-Ṣalatin, Ṣiratal-

Mustaqīm ditulis oleh Nuruddin al-Raniri; Sharah Latīf „alā

Arbā‟īn Ḥadīth lī Imam Al-Nawawī, dan Al-Mawā‟iz al-Badi‟ah

ditulis oleh Abd al-Ra‘uf al-Sinkili; Sabīl al-Muhtadīn lī

Tafaquh fī Amriddīn ditulis oleh Syeikh Arsyad al-Banjari;

Naṣiḥah al-Muslīm wa Tazkirah al-Mukminīn fī Faḍa‟īl al-

Jihād fī Sabīlillāh wa Karimah al-Mujahidīn fī Sabīlillāh ditulis

oleh Abdul Samad al-Palimbani; Tanqih al-Qaul al-Ḥadīth

Sharah Lubāb al-Ḥadīth, al-Dūrur al-Bahiyyaj fī Sharah al-

Khaṣāiṣ al-Nabawiyyah ditulis oleh Nawawi al-Bantani; Tanqi

al-Qaul, Sharaḥ Lubāb al-Ḥadīth, Naṣāih al-Ibād ditulis oleh

Mahfudz al-Tirmasi; Al-Qawa‟id al Asasiyyah li Ahl al-Sunnah

wa al Jama‟ah ditulis oleh Ahmad Masduki Mahfuzh; al Hadith

dan Aqidah Ahl al-Sunnah wal Jama‟ah ditulis oleh Syeikh Haji

Muhammad al-Khalidi; Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah fī

Hadīth al Mautā wa Ashrath al-Sa‟ah wa Bayan Mafhūm al-

Sunnah wa al Bid‟āh ditulis oleh KH. Muhammad Hasyim

Asy‘ari; Ḥashiyah al-Nafahat „alā Sharḥ al-Waraqat lil Maḥallī

ditulis oleh Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Jika dilihat dari beberapa karya hadis pada abad ke-17

sampai dengan ke-18 terdapat sekitar 16 tokoh hadis yang

membuat karya tentang hadis, dan karya tokoh-tokoh ini lebih

cenderung kepada penelitian sanad hadis dan kumpulan-

kumpulan hadis saja. Pada abad ke-17 kecenderungan pada

masa itu di Indonesia adalah banyaknya ajaran-ajaran tarekat

dan tasawuf sehingga umat Islam ingin mengamalkan ajaran

Islam dengan merujuk kepada al-Qur‘an dan sunnah, dan juga

ulama terus berusaha mengklasifikasikan antara hadis yang

ṣaḥīḥ dengan hadis yang palsu, sehingga banyak ulama hadis

membuat karya tentang sanad hadis dan kumpulan-kumpulan

hadis.122

122

Karakteristik dari karya-karya hadis di Indonesia lebih banyak bersifat

pengantar dari pada pembahasan, apalagi yang bersifat analisa. Hal tersebut dapat

ditunjukkan dengan sedikitnya informasi ketika menjelaskan hal-hal pokok yang

berkaitan dengan hadis. Kecenderungan untuk mengkaji kajian sejarah lebih dominan

daripada kajian hadis yang sesungguhnya, sehingga sekalipun masuk pada kategori

karya dengan karakteristik pembahasan, kajian sejarah masih dominan daripada

kajian hadis.

Page 66: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

66

Adapun karya hadis pada abad ke-19 sampai dengan ke-

20 diantaranya yaitu Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis,

Problematika Hadis Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam,

Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 2002 Mutiara Hadis,

Koleksi Hadis-Hadis Hukum ditulis oleh Hasbi Ash-Shiddieqy;

Ilmu Musṭalah Hadis ditulis oleh Mahmud Yunus; Ikhtisar

Musthalahul Hadis, Hadis-Hadis tentang Peradilan Agama

ditulis oleh Fatchurrahman; Himpunan Hadis Pilihan (Hadis

Shahih al-Bukhari) ditulis oleh Husen Bahreisy; 123 Hadis

Pembina Iman dan Akhlak ditulis oleh Mustagfiri Asror;

Keutamaan Budi dalam Islam: Ihya Sunatullah wa Rasulih

ditulis oleh Fachruddin HS; Terjemahan Nail al-Authar ditulis

oleh Mu‘amal Hamidy; Tarjamah Bulug al-Maram ibn Hajar

al-Asqalani ditulis oleh A. Hassan; Hadis Arbain al-Nawawiyah

ditulis oleh Umar Hasyim; Mutiara al-Qur‟an dan Hadis ditulis

oleh AA. Masyhuri; Terjemahan Hadis Shahih Muslim ditulis

oleh HA Razak; Himpunan 405 Intisari Hadis (Tarjamah

Jamius Shagr) ditulis oleh Mahfulli Sahli; Butir-Butir

Pendidikan dalam Hadis ditulis oleh Muhammad Thalib; al-

Qur‟an dan al-Hadis untuk Madrasah Aliyah / PGA ditulis

Muslich Marzuki; Ilmu Hadis ditulis oleh Utang Ranuwijaya.

Pada abad ke-20 ini, karya hadis lebih didominasi

tentang ilmu hadis dan kumpulan-kumpulan hadis, karya

tentang ilmu hadis pada abad ke-20 ini bertujuan untuk

membuat buku pelajaran hadis untuk sekolah dan perguruan

tinggi. Kurangnya karya tentang ilmu hadis sebagai

pembelajaran di Sekolah Tinggi Agama Islam di Indonesia

membuat para tokoh hadis pada abad ke-20 membuat karya

tentang ilmu hadis dan kumpulan-kumpulan hadis, sehingga

pelajar dan mahasiswa mengerti tentang ilmu hadis.123

Karya hadis pada abad ke-21 ini seperti Studi Kritis

Hadis Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual Asbāb al-Wurud

ditulis oleh Said Agil Munawwar; Telaah Ma‟ani al-Hadis

123

Pengaruh manhaj modern disebabkan adanya kesamaan dalam bentuk

tujuan pembukuan, yaitu sebagai dasar acuan untuk pembelajaran materi hadis, tetapi

dari segi materi berbeda. Materi dari periode modern minimal sebagai buku bersifat

pembahasan, bahkan banyak yang bersifat analisis, sedangkan di Indonesia lebih

dominan pengantar dan bahkan mereduksi bagian-bagian kajian hadis itu sendiri.

Muhammad Dede Rodliyana, ―Pergeseran Pemikiran ‗Ulum Hadith‖, 135.

Page 67: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

67

ditulis oleh Muhammad Syuhudi Ismail; Kritik Hadis ditulis

oleh Ali Mustafa Ya‘qub; Pahala dan Keutamaan Haji, Pribadi

Rasulullah saw: Telaah Kitab Taudhih al-Dala‟il fi Tarjamat

Hadis al-Syama‟il ditulis oleh Lutfi Fathullah; Rethinking

Hadith Critical Methods ditulis oleh Kamarudin Amin; al-

Sunnah fi Indonesia : Baina Ansariha wa Khusumiha ditulis

oleh Daud Rasyid Sitorus; Memahami Hadis Nabi: Metode dan

Pendekatannya ditulis oleh Nizar Ali; Rekonstruksi Metodologi

Pemahaman Hadis, dalam wacana studi hadis kontemporer

ditulis oleh Suryadi; Telaah Matan Hadis (Sebuah Tawaran

Metodologis Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis)

ditulis oleh Muhammad Zuhri; Kaidah Keshahihan Matn al-

Ḥadis dan Metodologi Pemahaman Hadis (Suatu Kajian

Hermeneutik) ditulis oleh Buchari M; Paradigma Baru Ilmu

Hadis dan Rekonstruksi Fiqh al-Hadis ditulis oleh Daniel

Djuned; Pemikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu

Hadis ditulis oleh Abdul Majid Khon; dan lain-lain.

Berbeda dengan pada masa sekarang bahwa terdapat

perkembangan yang cukup signifikan dalam studi hadis. Jika

kita melihat literatur hadis di Indonesia pada saat ini, ada

beberapa pengkaji hadis yang sudah mulai memahami hadis

dengan beberapa metode dan pendekatan seperti Said Agil

Munawar yang memahami hadis dengan pendekatan sosio-

historis-kontekstual, dan Buchari M memahami hadis dengan

menggunakan pendekatan hermeneutik dan banyak lagi yang

lainnya pengkaji hadis di Indonesia yang menerapkan beberapa

metode dan pendekatan dalam memahami hadis.

Dalam permasalahan perkembangan pemahaman hadis

di Indonesia, Muhammad Syuhudi Ismail juga pernah menulis

diantaranya Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis

dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Metodologi

Penelitian Hadis Nabi, Hadits Nabi menurut pembela,

pengingkar dan pemalsunya, Ikhtisar Mushthalah Hadits, Hadis

Nabi yang tekstual dan kontekstual : telaah ma‟ani al hadis

tentang ajaran Islam yang universal,temporal dan lokal.

M. Syuhudi Ismail adalah seorang ulama dan intelektual

yang cukup besar pengaruhnya di Indonesia di bidang hadis dan

Ulumul Hadis. Salah satu pemikirannya yaitu tentang metode

pemahaman terhadap matan hadis dalam bukunya yang berjudul

Page 68: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

68

Hadis Nabi yang tekstual dan kontekstual : telaah ma‟ani al

hadis tentang ajaran Islam yang universal,temporal dan local.

Menurut beliau bahwa ada matan hadis yang harus dipahami

secara tekstual, kontekstual dan ada pula yang harus dipahami

secara tekstual dan kontekstual sekaligus. Ini menunjukan

bahwa kandungan hadis Nabi itu ada yang bersifat universal,

temporal dan lokal.

Seperti yang dicontohkan oleh Muhammad Syuhudi

Ismail dalam memahami hadis yang melarang tentang ―bedah

plastik‖. Hadisnya adalah:

ػ لال نؼ هللا اناشاث انستشاث ػ اب يسؼد سض هللا

انتصاث انتفهجاث نهحس انغشاث خهك هللا يان ال أنؼ ي

)سا انبخاس( نؼت سسل هللا صه هللا ػه سهى ف كتاب هللا

Artinya: Dari Ibnu Mas‟ud r.a. katanya: Allah telah melaknat

orang-orang yang memakai tahi lalat palsu dalam bentuk tato,

orang yang mencukur alisnya, dan meratakan gigi dengan kikir

untuk mempercantik diri dengan mengubah apa yang telah

dijadikan Allah. (Kata Ibnu Mas‟ud)), “Saya tidak punya

(alasan) untuk tidak melaknat orang yang dilaknat Rasulullah

saw sebagaimana termaktub dalam al-Qur‟an. (HR. al-

Bukharī).124

Menurut Syuhudi Ismail, bedah plastik atau operasi

plastik yang dilakukan hanya untuk tujuan kecantikan termasuk

perbuatan yang dilaknat oleh Nabi Muhammad SAW, tetapi jika

hal tersebut dimaksudkan untuk pengobatan atau

menghindarkan diri dari sesuatu yang membahayakan, maka

hukumnya boleh. Sejalan dengan Syuhudi, Muhammad Yusuf

al-Qaraḍawī membolehkan operasi terhadap bagian tubuh

karena mengalami gangguan fungsional, baik karena bawaan

lahir maupun akibat kecelakaan, seperti bibir sumbing (operasi

plastik konstruksi). Adapun operasi plastik pada bagian tubuh

yang tak mengalami gangguan fungsional, hanya bentuknya

124

Al-Bukharī, al-Jamī‟ al-Ṣaḥīḥ, Juz IV, 43.

Page 69: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

69

kurang sempurna atau ingin diperindah, seperti hidung pesek

dimancungkan (operasi plastik estetika), hukumnya haram.125

Menurut Syuhudi Ismail, kita memang harus hati-hati

dalam menetapkan illat suatu hukum, dan untuk memahami

hadis di atas, kita harus mengetahui dengan baik sebab-sebab

terjadinya hadis tersebut dan latar belakang penetapan hukum

yang dikehendaki oleh Nabi SAW. Illat keharaman pembuatan

tahi lalat palsu dan sebagainya untuk kepentingan kecentikan

adalah karena perbuatan itu telah mengubah apa yang telah

ditetapkan (dijadikan) oleh Allah. Harum-haruman, perhiasan,

dan atau semir rambut sama sekali tidak mengubah jasad

manusia. Karena itu, hal tersebut tidak dapat dianalogikan

dengan operasi plastik untuk maksud kecantikan.126

Dalam hal ini, Muhammad Syuhudi Ismail cenderung

tekstual, bersikap sangat hati-hati, tetapi tegas dalam memahami

hadis tentang bedah plastik.

Ali Mustafa Ya‘qub lebih mengedepankan kritik sanad,

untuk mengetahui apakah suatu hadis bisa diterima, dan

sebaliknya harus ditolak. Ini terlihat dari caranya dalam

mengkritik sebuah ungkapan, yang oleh orang banyak dikatakan

sebagai hadis. Dan ini terlihat dari karya-karyanya seperti

Hadis-Hadis Bermasalah, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik

dalam Ilmu Hadis, Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum

Islam, Islam Masa Kini.

Seperti Ali Mustafa Ya‘qub mencontohkan dalam

penelitian terhadap hadis ―Siapa yang mengenali dirinya, ia

mengenali Tuhannya‖. Menurut Syaikh Muhyi al-Din

125

Muhammad Yusuf al-Qarāḍawī, Halal dan Haram dalam Islam

(Surabaya: Bina Ilmu, 1996), 118-119. Kata Abdul Hamid Qudah, operasi estetika

mengandung faktor tidak mensyukuri nikmat Allah yang nyata-nyata berfungsi baik.

Padahal, yang ditekankan di dalam Islam adalah usaha mencari sebab kesembuhan

dari penyakit yang menimpa dengan cara-cara yang dibenarkan syara‘. Lihat Abd al-

Hamid Qudah, Abhās fī al-Adwā wa al-Ṭibb al-Wiqā‟ī (Mekah: Rabitah al-‗Alam al-

Islāmī, 1987), 12. 126

Syuhudi tidak mengingkari orang yang telah menjadi cantik karena

operasi plastik itu makan bertambah besar rasa percaya diri dan ketenangannya.

Tetapi dia mempertanyakan akibat buruk yang ditanggung oleh yang bersangkutan.

Nabi SAW menegaskan bahwa pemanfaatan anggota tubuh termasuk salah satu hal

yang perlu dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Muhammad Syuhudi

Ismail, ―Bedah Plastik‖, Pedoman Rakyat, Ujungpandang, 4 Desember 1988 M.

Page 70: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

70

mengatakan bahwa hadis ini meskipun tidak ṣaḥīḥ dari segi

riwayat, namun bagi kami hadis itu ṣaḥīḥ berdasarkan metode

kashf. Berbeda dengan Ali Mustafa Ya‘qub menjelaskan bahwa

tidak dibenarkan menggunakan metode kashf untuk

membuktikan otentisitas hadis. Apabila metode kashf ini

dibenarkan, maka semua orang dapat mengklaim dirinya

memiliki metode ini, dan pada gilirannya hadis-hadis palsu

dapat berubah menjadi hadis ṣaḥīḥ.127

Buchari M, menulis tentang Metode Pemahaman Hadis

(Sebuah Kajian Hermeneutik), dan Kaidah Keshahihan Matan

Hadis. Dalam karyanya Buchari M, menggunakan metode

hermeneutik dalam memahami sebuah hadis, dan ia

mencontohkan beberapa hadis yang bisa digunakan metode

hermeneutik dalam memahami hadis tersebut.128

Sedangkan

Daniel Djuned, menulis tentang Paradigma Baru Studi Ilmu

Hadis dan Rekonstruksi Fiqh al-Hadis, di dalam karyanya

Daniel Djuned memberikan sebuah solusi terhadap pemahaman

hadis, ia mencoba merekonstruksi metode pemahaman hadis

agar hadis mudah diterima oleh masyarakat Indonesia

khususnya.129

Menurut asumsi penulis, di Indonesia terdapat

perkembangan dan pergeseran yang sangat signifikan, tidak

hanya dalam bahasan tentang ilmu sanad akan tetapi lebih

kepada konstruksi, dekonstruksi dan rekonstruksi pemahaman

hadis itu sendiri.

127

Ali Mustafa Ya‘qub, Hadis-Hadis Bermasalah (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2007), 79. 128

Jika kita melihat karya Buchari M ia menulis tentang perlunya metode

hermeneutik dalam memahami hadis, Menurut Buchari, hermeneutik dapat digunakan

dalam tatanan mafhūm al-naṣ (pemahaman teks), bukan dalam mengukur

keontentikan naṣ. 129

Daniel Djuned dalam karyanya Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis, di

dalam bukunya ia menjelaskan bagaimana caranya memahami hadis yang benar.

Beberapa pendekatan yang digunakan oleh Daniel Djuned dalam memahami hadis

adalah dengan menggunakan pendekatan geografis, sosio-kultural, antropologis, dan

sebagainya. Dalam penggunaan pendekatan geografis ia mencontohkan tentang hadis

dilarangnya wanita bepergian selama tiga hari kecuali didampingi oleh mahram-nya.

Ia menjelaskan bahwa berdasarkan latar belakang kondisi alam dapat dipahami bahwa

larangan bepergian bagi wanita tanpa mahram di atas bersifat kondisional. Mahram

menjadi persyaratan jika kondisi tidak aman. Dalam kondisi aman seperti keadaan

dunia hari ini, mahram dimaksud bukan hal yang mengikat.

Page 71: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

71

C. Kajian Hadis dilihat dari Beberapa Literatur Keilmuan

1. Historiografi

Secara semantik kata ―historiografi‖ merupakan

gabungan dari dua kata, yaitu histori yang berarti sejarah dan

grafi yang berarti deskripsi atau penulisan.130

Historiografi awal Islam pada hakikatnya merupakan

historiografi Arab yang berkembang dalam periode sejak Islam

pertama kali disampaikan Nabi Muhammad saw sampai abad

ke-3 H. Perkembangan historiografi awal Islam tidak bisa

dipisahkan dari perkembangan ajaran Islam maupun komunitas

Muslim itu sendiri.131

Perkembangan historiografi awal Islam tidak bisa

dipisahkan dari perkembangan ajaran Islam maupun komunitas

Muslim itu sendiri. Seperti kita ketahui, ketika Nabi masih

hidup berbagai masalah yang muncul di kalangan kaum Muslim

dapat dipecahkan dengan otoritas al-Qur‘an atau Nabi

Muhammad SAW sendiri. Tetapi segera setelah Rasulullah

wafat, ketika kaum Muslim menghadapi persoalan-persoalan

baru dan tidak dapat menemukan bimbingan eksplisit dari al-

Qur‘an, atau ketika terdapat perbedaan penafsiran ayat al-

Qur‘an di kalangan Muslimin, maka otoritas terbaik adalah

perbuatan dan perkataan Nabi, yakni hadis (sunnah). Kemudian,

selama para sahabat masih hidup, mereka dapat merujuk

langsung kepada hadis Nabi, karena mereka menyaksikan

langsung kehidupan beliau. Tetapi ketika semakin banyak

sahabat yang wafat, sejalan dengan kian banyaknya masalah

yang muncul dalam masyarakat Islam yang terus berkembang,

kaum Muslim semakin merasakan perlunya mengumpulkan

informasi tentang Nabi. Begitulah, usaha mengumpulkan dan

130

History berasal dari kata benda Yunani ―istoria‖ yang berarti ilmu. Akan

tetapi dalam perkembangan zaman, kata latin yang sama artinya, yakni ―scientia‖

lebih sering digunakan untuk menyebutkan pemaparan sistematis non-kronologis

mengenai gejala alam, sedangkan kata ―istoria‖ diperuntukkan bagi pemaparan

mengenai gejala-gejala, terutama hal ihwal manusia, dalam urutan kronologis.

Sekarang ―history‖ menurut defenisi yang paling umum berarti ―masa lampau umat

manusia. Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 1. 131

Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2002), 19.

Page 72: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

72

menyusun hadis secara tertulis terus menemukan

momentumnya.132

Kreativitas manusia sepanjang sejarah meliputi banyak

kegiatan, diantaranya dalam organisasi sosial dan ekonomi,

ilmu pengetahuan dan teknologi, dan proses simbolis.133

Ketika

pertama kali hendak mempelajari ilmu-ilmu hadis yang kini

begitu luas dan beragam, tindakan pertama yang harus

dilakukan adalah menentukan dimana titik tolak atau langkah

awal kajian ilmu tersebut. Tanpa ini, para pengkaji akan sangat

sulit menangkap apa yang sesungguhnya ilmu hadis tersebut.

Dalam hubungan ini, yang pertama ditentukan adalah bahwa

kajian ini berada dalam kapling sejarah, karena yang dipelajari

adalah data-data historis yang berkaitan dengan Rasulullah saw

dan para periwayat hadis.134

132

Literatur hadis, dengan demikian, sangat krusial apakah sebagai sumber

pokok kedua ajaran Islam maupun sebagai tambang informasi bagi historiografi awal

Islam. Hadis mempunyai peran amat penting dalam penulisan sejarah Islam di masa

awal. Tulisan ini mencoba mengungkapkan peranan dan pengaruh hadis terhadap

perkembangan historiografi awal Islam. Kita juga mencoba meninjau secara singkat

bentuk dan metode historiografi awal Islam. Azyumardi Azra, Historiografi Islam

Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 20. 133

Proses simbolis yaitu kegiatan manusia dalam menciptakan makna yang

menunjuk pada realitas yang lain daripada pengalaman sehari-hari, proses simbolis

meliputi bidang-bidang agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mitos, dan bahasa. Lihat

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), 3. 134

Hadis maupun sejarah menempati posisi yang istimewa dalam jantung

kesadaran komunitas muslim. Hadis merupakan rekaman terhadap ucapan, tindakan,

persetujuan, dan ihwal Nabi SAW yang masih terus menjadi rujukan umat Islam

sampai kini. Sementara sejarah Islam merupakan rekaman terhadap seluruh aspek

kehidupan Nabi SAW, sahabat, dan umat Islam di masa lampau yang seringkali

dijadikan contoh teladan dalam kehidupan umat Islam dari dahulu hingga kini.

Dengan demikian, hadis dan sejarah Islam bukanlah data-data kesejarahan yang mati

atau hanya merupakan bagian dari masa silam, tetapi lebih dari itu keduanya

merupakan fenomena yang terus hidup dalam jantung kesdaran komunitas muslim.

Karenanya, tadwin hadis dan histogriografi Islam merupakan persoalan klasik yang

senantiasa aktual dibicarakan.

Hadis dan sejarah Islam pada dasarnya merupakan dua cabang disiplin ilmu

yang mempunyai keterkaitan erat. Lebih jauh, kajian sejarah Islam pada awalnya

merupakan cabang dari studi hadis. Sehingga hampir dapat dipastikan jika

historiografi Islam yang lebih awal banyak dipengaruhi oleh studi hadis.

Ketika kata hadis hendak diberi batasan maknanya, maka satu hal yang

langsung tergambar atau terlintas dalam pikiran adalah bahwa adanya sosok

Muhammad Rasulullah SAW yang membimbing umat dengan ucapan, perbuatan atau

Page 73: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

73

Rasulullah SAW dalam segenap kondisi dan

kapasitasnya tergambar sebagai seorang guru atau pendidik,

pendakwah dan pembimbing manusia ke jalan yang diridhai

Allah SWT dapat pula tergambar Rasulullah SAW dalam

kedudukannya sebagai Nabi, seorang pemimpin, panglima

perang, sebagai manusia biasa, sebagai seorang suami, dan

sebagai orang Arab dengan segenap atribut budaya dan

sosialnya. Secara umum, dapat digambarkan adanya Rasulullah

SAW yang ummi penyampai dan pensyarah al-Qur‘an sebagai

pelaku sejarah yang dikitari oleh para sahabat sebagai pengikut

dan sasaran risalahnya. Semua hal yang berhubungan dengan

Rasulullah ini, baik berkaitan dengan misi kerasulannya atau

tidak, menjadi kekayaan memorial para sahabat dalam kapasitas

mereka sebagai teman, sebagai murid, sebagai prajurit, dan

sebagainya; dan fakta inilah kemudian dikristalkan ke dalam

batasan makna hadis oleh ulama ahli hadis.135

Rasulullah pada kata hadis akan menggiring pengkaji

kepada pertanyaan bagaimana proses hadis-hadis tersebut

terekam dari Rasulullah SAW dan tersampaikan dengan baik

dari generasi awal abad pertama hijriah kepada generasi

selanjutnya di abad kedua dan seterusnya. Bagaimana hadis-

hadis tersebut kemudian tersusun rapi dalam kitab-kitab hadis

pada abad kedua, tiga dan keempat. Bagaimana pula

perkembangan selanjutnya di abad ke lima dan seterusnya. Apa

batasan makna hadis pada masa awal pentadwinan hadis

dimaksud serta bagaimana upaya para ulama menilai,

mengkritik atau memilih dan memilah antara ribuan hadis yang

bukan hanya bersumber dari Rasulullah SAW melainkan juga

dari sahabat dan tabi‘in. bagaimana mereka memilah yang tidak

ṣaḥīḥ dan yang ṣaḥīḥ. Ketika mereka hendak memilah yang

ṣaḥīḥ dan yang tidak ṣaḥīḥ. Ketika mereka hendak melihat

keabsahan sebuah riwayat, apa pula yang menjadi sasaran

pertama dan utama dalam kajiannya. Bagaimanapula mereka

sikap beliau lima belas abad yang lalu. Ini bermakna bahwa kata hadis lepas dari

makna etimologisnya sangat erat hubungannya dengan Rasulullah SAW. Lihat

Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2011), 6-7. 135

Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis, 19.

Page 74: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

74

merumuskan berbagai macam dan bentuk istilah teknis untuk

kepentingan sistematisasi keilmuan dan sebagainya.

Menjawab pertanyaan di atas, dalam bagian ini pokok-

pokok bahasan keilmuan di dekati lewat pendekatan kronologi

historis sejak hadis itu keluar dari sumber pertamanya

Rasulullah hingga mengalir (dalam proses riwayat) dan

menggenangi waduk-waduk besar (kitab-kitab hadis) di abad

kedua, ketiga dan keempat. Tema-tema pokok yang perlu

mendapat uraian dalam analisis historis ini adalah penulisan

hadis zaman Rasulullah SAW dan zaman sahabat.136

Kondisi

sosio politis abad pertama, riwayat hadis dan berbagai hal;

kedua sistematisasi ilmu hadis dan kristalisasi istilah-istilah

teknis dalam analisis ilmu hadis, ilmu dalam makna substantif

dan dalam makna sistematis, perumusan makna hadis, ilmu

hadis riwayah dan ilmu hadis dirayah, berbagai aspek yang

berhubungan dengan kritik sanad dan kritik matan, dan berbagai

aspek yang berhubungan dengan takhrīj al-Ḥadīth.

Selanjutnya, dalam analisis historis terutama pada proses

kritik matan sesungguhnya perhatian ahli hadis pada muatan

makna hadis sudah pernah dilakukan. Ketika sebuah hadis

misalnya dinyatakan shaz, disitu sudah berlangsung sebuah

proses komparatif yang diakibatkan oleh adanya sejumlah

matan dalam kasus yang sama bertentangan (dan tidak dapat

dikompromikan) maknanya. Namun dalam hal ini,

penyelesaiannya masih lebih terkurung pada analisis historis.

Karena penyelesaiannya dilakukan dengan membandingkan

kualitas sanad dalam pendekatan tarjih. Sanad yang lebih kuat

dinyatakan rajah dan matannya mahfuz sementara yang lain.

Karena bertentangan dengan sanad yang lebih kuat dinyatakan

136

Analisis historis yang puncaknya proses kritik sanad dan matan

mengantar kepada kita puluh ribu hadis yang ṣaḥīḥ atau minimal ḥasan. Persoalan

selanjutnya, bagaimana khazanah hadis ini dipahami untuk dapat diamalkan atau

dijadikan pegangan hidup. Hadis-hadis yang dinyatakan telah memenuhi kriteria

ṣaḥīḥ atau dalam pengertian lebih luas maqbul sebagai hasil analisis historis ulama

ahli hadis di atas, tidak seluruhnya berhubungan dengan agama atau dengan risalah

atau tidak semua hadis yang ada bersumber dari Rasulullah SAW setelah menjadi

rasul. Ketika hadis hendak dijadikan sumber ajaran, hal-hal yang berhubungan dengan

cakupan mana hadis ini perlu ada perumusan khusus. Lihat Daniel Djuned,

Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis, 19.

Page 75: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

75

shaz. Hadis shaz ini merupakan hadis yang marjuh, ḍa‟if dan

ghair maḥfuzin serta ghair ma‟mul bih.

Analisis pada tatanan komparasi historis ini belum dapat

dikatakan pemahaman hadis secara luas dan menyeluruh. Jika

seorang pengamal hadis hanya terkurung pada analisis historis

ini, maka setiap ada perbedaan lafal atau makna sekecil apapun

pada sejumlah hadis langsung saja melakukan tarjih utuk

penyelesaiannya.137

Kajian mendalam terhadap sirah Nabawiyah menjadi

bagian yang sangat penting. Sebab, pemahaman terhadap sirah

Nabawiyah akan memberikan perspektif yang lebih luas tentang

ruang dan waktu munculnya sebuah hadis. Kalau pendapat ini

diterima maka mereka yang mendalami sejarah Rasulullah

sudah tentu akan memiliki pemahaman berbeda dari yang tidak

mempelajarinya ketika sama-sama memahami sebuah hadis.138

2. Linguistik

Kemampuan manusia untuk berpikir, demikian juga

merasakan, merupakan perkembangan awal dalam memberikan

makna yang lebih berarti terhadap manfaat bahasa yang

dimilikinya. Berbeda dengan makhluk hidup yang lain, manusia

memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menjelaskan suatu

benda dengan sesuatu yang lain.139

137

Ketika ada dua hadis misalnya yang sedikit saja berbeda maka pertanyaan

yang dimunculkan, mana hadis yang lebih kuat sanadnya. Dalam hal ini terkadang

juga terlihat sikap pemakai hadis yang hanya berpegang kepada tertib urut martabat

kitab-kitab hadis yang bersifat umum, bukan bersifat hadis per hadis. Daniel Djuned,

Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis, 20-21 138

Perkembangan literatur Islam mencapai puncaknya pada abad ketiga

hijriyah. Berbagai karya literatur Islam merupakan sumber informasi penting tentang

sejarah Islam. Hadis yang dipahami sebagai suatu laporan atau informasi tentang

nilai-nilai keberagaman yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW merupakan

salah satu bagian penting yang dapat menunjukkan sejarah perkembangan literatur

Islam. Periwayatan hadis yang sudah berjalan sejak masa Nabi sampai dibukukan

secara resmi pada abad ketiga merupakan kumpulan informasi yang secara sinergis

dapat dibuktikan originalitasnya malalui isnad. Lihat Fazlur Rahman, Islam

(Bandung: Pustaka, 1984), 68. Dan juga M. Dede Rodliyana, Hegemoni Fiqh

Terhadap Penulisan Kitab Hadis, Journal Qur‟an dan Hadith Studies Vol I, No.I,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 119. 139

Nyoman Kutha Ratna, Estetika Sastra dan Budaya (Yogyakarta: Pustaka

Belajar, 2007), 38.

Page 76: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

76

Para ahli baik psikolog, antropolog, filsuf maupun

teolog telah banyak yang mengkaji asal usul bahasa. Secara

umum pendapat mereka dapat dikelompokkan menjadi tiga

teori, yaitu teologis, naturalis dan konvesionalis.140

1) Pendukung aliran Teologis mengatakan bahwa manusia bisa

berbahasa karena anugerah Allah pada mulanya Allah

mengajarkannya kepada Adam, nenek moyang seluruh

manusia.

2) Teori Naturalis beranggapan bahwa kemampuan manusia

berbahasa merupakan bawaan alam, sebagaimana

kemampuan melihat, mendengar maupun berjalan.

3) Teori Konvensionalis, beranggapan bahwa bahasa pada

awalnya muncul sebagai produk sosial. Ia merupakan hasil

konvensi yang disepakati dan kemudian dilestarikan oleh

masyarakatnya.

Manusia menjadi makhluk yang paling sempurna,

karena eksistensinya dimuka bumi ini dibuktikan dengan

pengoptimalan akal yang dianugerahkan kepada manusia,141

yang mampu menampung sekaligus memberikan solusi bagi

keberlangsungan kehidupan manusia itu sendiri.

Kemampuan untuk mempergunakan bahasa adalah satu

sifat khusus bagi manusia. 142

Tanpa bahasa tertulis, tidak ada

kemajuan dan juga dalam perkembangan bahasa telah

memungkinkan bertambahnya pengetahuan secara cepat serta

bercabangnya dalam bidang-bidang khusus yang bermacam-

macam, dengan tercapainya keuntungan-keuntungan besar,

terjadi pula problem-problem baru.

Bahasa memang sarana utama bagi kehidupan

bermasyarakat dan alat untuk saling memahami antar sesama

140

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: sebuah kajian

Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 29-31. 141

Pemerolehan bahasa atau akuisi bahasa adalah proses yang berlangsung di

dalam otak seorang anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa

ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language

learning). Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Putra, 2003),

167. 142

Bahasa adalah system simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi

(dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbiter dan konvensional, yang dipakai

sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan

pikiran. Lihat Wahyu Wibowo, Manajemen Bahasa (Jakarta: Gramedia, 2001), 3.

Page 77: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

77

anggotanya, dan lebih jauh lagi untuk mengatur urusan-urusan

administrasi, politik, pendidikan, juga aspek-aspek kehidupan

lainnya.143

Bahasa sangat erat kaitannya dengan pengalaman

manusia, lebih daripada yang bisa diakui. Seperti halnya hadis

yang tidak terlepas dari bahasa, karena Rasulullah SAW dalam

menyampaikan hadis dengan bahasa yaitu bahasa Arab.144

Ahmad al-Iskandari menjelaskan bahwa bahasa Arab

adalah salah satu bahasa Samiyah yang merupakan bahasa

bangsa Arab purbakala. Selanjutnya al-Iskandarī membagi

bangsa Arab secara garis besar menjadi tiga bagian:145

1) Arab Purbakala (Baidah), yakni bangsa-bangsa Arab yang

telah punah, karenanya informasi akurat tentang bangsa ini

sangat terbatas, seperti dari al-Qur‘an atau Hadis Nabi SAW

di antara suku yang popular dari bangsa Arab kelompok ini

adalah seperti kaum „Aād, Thamud, Jadis, Ṭosm, „Imliq,

„Abdu Dlahm.

2) Arab ‗Aribah, yaitu bangsa Arab keturunan Qaṭan tinggal di

sepanjang sisi sungai Eufrat lalu pindah ke daerah Yaman.

Diantara kabilah yang popular adalah Kahlan dan Himyar.

3) Arab Musta‟ribah, yakni bangsa-bangsa Arab keturunan

Isma‘il yang dikenal dengan bani Adnan. Diantara kabilah

yang terkenal adalah Rabi‟ah, Muḍar, dan Iyad.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

bahasa Arab sudah sangat tua dan para sejarawan sepakat

bahwa Nabi Ismail adalah moyang bangsa Arab modern.

143

Hubungan antara bahasa dan masyarakat sangat erat. Bahasa adalah salah

satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain

seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya. Lihat Abdul Chaer,

Sosiolinguistik: Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), 3. 144

Bahasa Arab adalah salah satu bahasa Samiyah, yang dimaksud dengan

bahasa Smiṭ adalah bahasa yang digunakan oleh anak keturunan Sam ibn Nuh as.

Yang tinggal di antara dua sungai (Tigris dan Eufrat) dan semenanjung Arab

termasuk wilayah syam. Adapun kelompok bahasa Smiṭ yang popular adalah Arab,

Suryani, Finiqi, Ibrani, Asyuri, Babili, dan Habasyah. Namun yang hingga kini masih

lestari adalah bahasa Arab, Habasyah, Ibrani dan Suryani. Lihat Jurji Zaidan, Tarikh

Adab al-Lughah al-Arabiyah, Juz 1 (Beirut: Dar a-Fikr, 1996), 26. 145

Aḥmad al-Iskandarī dan Musṭafa ‗Ananī, al-Waṣit fi al-Adab al-Arabī wa

Tarīkhihi (Mesir: Dar al-Ma‘arif, 1916), 5.

Page 78: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

78

Dalam perkembangan selanjutnya, bangsa Arab

akhirnya berkelompok menjadi dua kelompok besar, yaitu Arab

Selatan (Qahṭan) dan Arab Utara (Adnan). Kedua kelompok

bangsa ini sering terjadi perselisihan, hingga pada akhirnya

bangsa Arab Utara berhasil mendominasi kelompok selatan.146

Sejak itu bahasa Arab kelompok utara menjadi bahasa bagi

seluruh penduduk jazirah Arab. Sedang sebelumnya, kedua

kelompok Arab tersebut mempunyai bahasa sendiri. Bahasa

Arab Selatan ini lebih dekat ke bahasa Suryani, sedang

hurufnya lebih dekat ke bahasa Punisia.147

Sebagaimana dikenal umum, bahwa bangsa Arab sejak

dahulu kala memiliki tradisi klasik yakni berhaji tiap tahun. Dan

sejak suku Quraish menjadi penjaga Mekah, maka dengan

sendirinya suku Quraish dominan dikalangan bangsa-bangsa

Arab lainnya. Kemudian, setelah Islam datang, secara otomatis

agama ini menghilangkan kata-kata atau kalimat-kalimat Arab

yang tidak Islami, terutama yang berkaitan dengan adat-istiadat

Jahiliyah, seperti kata mirba‟, nashiṭah, fuḍul, dan sejenisnya.

Sebaliknya Islam mengokohkan penggunaan kata-kata baru

yang ada hubungan dengan ajaran Islam seperti kata mu‘min,

munafiq, shalat, zakat, dan sebagainya.148

D. Konsep Genealogi dan Pemetaan Studi Hadis

Setiap disiplin ilmu tumbuh berkembang melalui tahap-tahap

tertentu dan secara historis dapat ditelusuri genealoginya, yaitu asal-

146

Abdal-Ghafar Ḥamid Hilāl, Aṭwarul Lughah al-Arabiyah, 157. 147

Bahkan menurut Ghafar, ketika menegaskan bahasa kedua kelompok itu

berbeda, mengutip perkataan Abī Amr ibn ‗Alā: ―antara kedua bahasa Arab tersebut

tidak ada hubungan, karena bahasa Arab Selatan bukan bahasa Arab kita‖. Namun

meskipun berbeda tetapi asalnya sama, yang menyebabkan berbeda, karena kabilah

pengguna bahasa Arab tersebut hijrah ke wilayah selatan lalu tinggal di lingkungan

yang berbeda dengan lingkungan Arab Utara. Lihat Abd al-Ghafar Ḥamid Ḥilāl,

Aṭwarul Lughah al-Arabiyah, 157, dan juga Hamka, Sejarah Umat Islam (Jakarta:

Pustaka Nasional, 2005), 76-77. 148

Di Arab, bagi anak muda yang ingin belajar bahasa Arab asli, ia harus

tinggal di luar kota di kampung-kampung atau gurun-gurun untuk bergabung dengan

masyarakat Badui yang budayanya masih asli Arab, belum tersentuh budaya lain.

Lihat Jalāluddīn al-Suyuṭi, Kitābul Iqtirakh fī „Ilmī „Uṣulin Nakhwi (Dā‘irah al-

Ma‘ārif al-Uthmāniyah, t.th), 14-20.

Page 79: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

79

usulnya dan jaringan keilmuannya, terutama dengan disiplin ilmu-ilmu

yang berada dalam rumputan keilmuan yang sama.149

Rosenthal telah membagi isi karya historiografi sebagai berikut:

(a) Genealogi (nasab); (b) biografi; (c) geografi dan kosmografi; (d)

astrologi; (e) filsafat; (f) Ilmu sosial dan politik; dan (g) penggunaan

dokumen, prasasti, dan koin. Pembagian itu juga disetujui oleh Muin

Umar.150

Istilah genealogi merupakan ungkapan bahasa yang mempunyai

makna asal muasal sesuatu. Jika kata genealogi disandingkan dengan

kata manusia, maka yang dimaksud adalah garis keturunan manusia di

dalam hubungan keluarga sedarah. Karenanya yang dimaksud dengan

genealogi pemikiran seseorang adalah mencari benang merah

orisinalitas pemikiran seseorang dalam mengembangkan sumber Islam

beserta metodologinya.151

Pemikiran seseorang mempunyai karakter yang berbeda beda

dipengaruhi oleh beberapa pengetahuan dan kondisi empiris yang

dialami.152

Menurut Michael Faucault bahwa kemunculan periode-

periode panjang sejarah ini bukan berarti ―kembali ke filsuf-filsuf

sejarah, kembali pada masa-masa keemasan dunia, atau kembali pada

149

Istilah ―sejarah‖ dari kata Arab ―shajarah” yang berarti ―pohon‖.

Pengembalian istilah ini agaknya berkaitan dengan kenyataan, bahwa ―sejarah‖-

setidaknya dalam pandangan orang pertama yang menggunakan kata ini- menyangkut

tentang, antara lain, shajarat al-nasāb, pohon genealogis, yang dalam masa sekarang

agaknya bisa disebut ―sejarah keluarga‖ (family history). Atau boleh jadi juga karena

kata kerja shajarah juga punya arti ―to happen‖, ―to develop‖. Namun selanjutnya,

―sejarah‖ dipahami mempunyai makna yang sama dengan ―tarīkh‖ (Arab),

―istoria”(Yunani), ―history” atau ―geschichte” (Jerman), yang secara sederhana

berarti ―kejadian-kejadian menyangkut manusia pada masa silam‖. Lihat Azyumardi

Azra, Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 72. 150

Historical Narative adalah salah satu referensi dari referensi sistem dari

sesuatu yang dapat dibaca dan direkonstruksi struktur dan genealogi maknanya

mengenai pengaruh kebudayaan. Lihat Franz Rosenthal, A History of Muslim

Historiography (Leiden: E.J Brill, 1968), 245. Dan Claudia Lenz, Genealogy and

Archeology: Analyzing Generational Positioning in Historical Narratives, Journal of

Comparative Family Studies, 2001, 324. http://proquest.org.(Accessed: 3/10/2014). 151 Abdul Fatah Idris, Hadis-hadis Prediktif dan Teknis (Studi

Pemikiran Fazlur Rahman) (Semarang: Putaka Rizki Putra, 2012), 249. 152 Abdul Fatah Idris, Hadis-hadis Prediktif dan Teknis (Studi

Pemikiran Fazlur Rahman) (Semarang: Putaka Rizki Putra, 2012), 249.

Page 80: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

80

catatan-catatan tentang timbul tenggelamnya berbagai peradaban.‖153

Secara umum, sejarah ide-ide bersentuhan dengan wilayah

diskursus sejauh dia merupakan domain yang memuat dua nilai; elemen

apa pun yang ditempatkan disitu bisa dikenali sebagai ―yang lama‖ atau

―yang baru‖; tradisional atau original; berkaitan dengan tipe rata-rata

atau tipe yang lain dari biasanya. Oleh sebab itu, kita bisa membedakan

dua kategori formulasi: pertama, yang memiliki nilai lebih dan jarang,

muncul pada kali pertama dan tidak memiliki antesenden yang sama,

menjadi model bagi yang lain dan berdasarkan kenyataan ini bisa

dipandang sebagai proses penciptaan; dan yang kedua, formulasi-

formulasi yang bersifat biasa-biasa saja, terdapat dalam keseharian kita,

dan terhujam kokoh dalam rutinitas, tidak bertanggung jawab atas

dirinya sendiri dan diturunkan dari apa yang telah dikatakan, bahkan

kadang kala berdasarkan kata per kata.154

Sejarah ide-ide dapat memberikan semacam status kepada

kedua kelompok ini; dan dia tidak menggiring kedua kelompok tersebut

ke dalam ranah analisis yang sama; dalam mendeskripsikan kelompok

pertama, sejarah ide-ide menjelaskan penemuan, perubahan,

153 Kesan itu hanyalah efek metodologis dari perkembangan

rangkaian-rangkaian persitiwa sejarah. Sebaliknya, dalam sejarah ide,

pemikiran dan sains mutasi yang sama malah memberikan dampak

berbeda, yaitu mencerai-beraikan rangkaian-rangkaian yang dibentuk

oleh kemajuan kesadaran (consciusness). Dia lebih memusatkan

perhatian pada masalah-masalah proses pertemuan dan kulminasi antar

ide, pemikiran dan sains serta telah melihat ketidakmungkinan

terciptanya satu totalitas utuh. Dia cenderung mencari kekhasan yang

ada pada masing-masing rangkaian yang mungkin bisa disejajarkan,

diurutkan atau disilangkan dengan rangkaian lain tanpa mereduksinya

menjadi sebuah skema linear. Oleh sebab itu, dengan adanya kronologi

rasio yang berkesinambungan dan asal-usulnya tidak mungkin dilacak

dengan pasti, maka muncullah skala-skala yang jelas, bisa dibedakan

dengan yang lain dan tidak bisa direduksi menjadi keajegan tunggal.

Sejarah apa pun mesti memiliki kekhasan masing-masing dan tidak bisa

direduksi menjadi bentuk umum kesadaran yang selalu mendapatkan

sesuatu, bergerak maju dan akan selalu diingat. Lihat Michel Faucault,

Arkeologi Pengetahuan (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 25-26. 154

Michel Faucault, Arkeologi Pengetahuan (Jogjakarta:

IRCiSoD, 2012), 253-254.

Page 81: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

81

transformasi; dia memperlihatkan bagaimana kebenaran melepaskan

diri dari kesalahan, bagaimana kesadaran bangun dari tidur panjangnya,

bagaimana bentuk-bentuk baru mulai bersemi untuk kemudian

menghasilkan kerangka pandang seperti yang kita kenal saat ini; yang

menjadi tugas para sejarawan adalah menemukan kembali berdasarkan

titik-titik yang diisolasi ini, retakan-retakan suksesif, garis kontinyu

evolusi. Sedangkan kelompok kedua mengedepankan sejarah sebagai

sebuah keberlimpahan dan muatan penuh, sebagai akumulasi pelan-

pelan masa lalu, proses pengendapan diam-diam dari apa yang telah

dikatakan; di dalam kelompok kedua ini, pernyataan-pernyataan harus

ditangani berdasarkan muatan dan sesuai dengan anggapan umum

terhadap pernyataan itu sendiri; dengan sendirinya, keunikan proses

kemunculan pernyataan-pernyataan harus ditangani berdasarkan

muatan dan sesuai dengan anggapan umum terhadap pernyataan itu

sendiri; dengan sendirinya, keunikan proses kemunculan pernyataan

tersebut menjadi ternetralisir; arti penting identitas pengarang, waktu

dan tempat kehadirannya juga terabaikan; sebaliknya yang harus diukur

dan dihitung adalah ekstensinya, yaitu ekstensi perulangannya dalam

waktu dan ruang, jaringan-jaringan yang dilalui ketika berdifusi,

kelompok-kelompok tempat mereka beredar; horizon umum yang

mereka ciptakan dalam pemikiran manusia, batasan-batasan yang

mereka cangkokan ke dalam pemikiran tersebut; dan ketika

menentukan periode-periode tertentu, bagaimana mereka bisa

membedakan diri dari yang lain; dengan begitu orang kemudian

mendeskripsikan seluruh figur yang terlibat. Ada tiga konsep yang diterapkan oleh Michel Faucault dalam

penelitian sejarah ide,155

yaitu:

1) Susunan pertama-tama mengandung bentuk suksesi.

Susunan rangkaian penyampaian (apakah dalam susunan

penalaran inferensi, implikasi suksesif dan demonstratif;

susunan deskriptif, skema generalisasi atau spesifikasi progresif

di mana mereka menjadi subjek, distribusi spasial yang mereka

cakup; atau susunan penjelasan-penjelasan deskriptif dan cara

peristiwa-peristiwa ditempatkan ke dalam suksesi linear

pernyataan-pernyataan).

155 Michel Faucault, Arkeologi Pengetahuan (Jogjakarta:

IRCiSoD, 2012), 108-111.

Page 82: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

82

2) Konfigurasi wilayah penyampaian juga melibatkan bentuk-

bentuk koeksistensi.

Ini berarti memerlukan satu wilayah kehadiran (untuk

memahami seluruh pernyataan yang telah diformulasikan dan

memasukkannya ke dalam sebuah diskursus, dianggap benar,

melibatkan deskripsi jernih, penalaran yang lurus atau

pengandaian-pengandaian tertentu; kita juga memperhatikan

pernyataan-pernyataan yang dikritisi, diperdebatkan dan dinilai

sebagaimana juga terhadap pernyataan-pernyataan yang

ditolak); di wilayah kehadiran ini, relasi-relasi yang terjadi

dapat berasal dari susunan-susunan verifikasi eksperimental,

validasi logika, pengulangan, justifikasi berdasarkan tradisi atau

otoritas, komentar, penyelidikan makna-makna tersembunyi,

analisa kesalahan; relasi-relasi ini bisa dalam bentuk eksplisit

(kadang-kadang diformulasikan dalam bentuk pernyataan-

pernyataan khusus; seperti referensi-referensi, diskusi-diskusi

kritis dan sebagainya) atau implisit dan terdapat dalam

pernyataan-pernyataan biasa. 3) Menentukan prosedur-prosedur intervensi yang mungkin

diterapkan pada pernyataan-pernyataan.

Prosedur ini tidak sama untuk setiap formasi diskursif, prosedur

dipakai (untuk menyisihkan formasi-formasi yang tidak

dikehendaki), relasi-relasi yang menghubungkannya dengan

kesatuan yang memungkinkannya mendapat kekhasan masing-

masing.

Deskripsi arkeologis tentang perubahan, apapun bentuk kritik

teoritis yang dilakukan orang terhadap sejarah tradisional ide-ide, dia

tidak akan meletakkan fenomena temporal suksesi dan rentetan

peristiwa sebagai tema utamanya, menganalisanya berdasarkan skema

evolusi, dan kemudian mendeskripsikan penyebaran historis diskursus-

diskursus. Arkeologi ketika menangani sejarah hanya ingin

menyegarkannya (to freeze). Di satu sisi, dengan mendeskripsikan

formasi-formasi diskursif, dia tidak terlalu mengindahkan relasi-relasi

temporal yang termanifestasi di dalam formasi-formasi tersebut; dia

hanya mencari aturan-aturan general yang valid, dengan cara

mendeskripsikan, dan di tiap titik waktu: tidaklah arkeologi melekatkan

sosok sinkronis yang telah terciutkan ke dalam perkembangan yang

Page 83: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

83

barangkali akan memperlambat lajunya perkembangan itu sendiri dan

tidak dapat diketahui.156

Dalam konteks studi sejarah, pengukuran terhadap pengaruh

sendiri pada dasarnya merupakan proses yang bersifat subjektif.

Walaupun begitu, Louis Gottschalk telah mengajukan konsiderasi-

konsiderasi yang dapat menegaskan bahwa suatu tokoh, benda, dan

peristiwa sejarah memberikan pengaruh atau kontribusi terhadap yang

lain:157

1) Jika A mempunyai pengaruh terhadap B, maka A tentunya

merupakan anteseden (hal yang mendahului) atau minimal

bersamaan dengan waktunya dengan B.

2) Kemiripan pikiran atau perilaku B dengan A mungkin pula

merupakan indikasi mengenai adanya pengaruh, namun secara

intrinsik dalam dirinya sendiri tidak cukup untuk membuktikan hal

itu.158

3) Pengakuan B mengenai pengaruh A, mungkin pula membantu

dalam menegaskan pengaruh, tetapi pengaruh itu mungkin saja

dapat bekerja secara efektif meski tidak diketahui dan karenanya

juga tidak diakui.159

4) Karena semua bentuk pengujian tersebut, kecuali ujian waktu, tidak

bersifat memastikan, padahal waktu hanya memberikan kepastian

apabila dapat dibuktikan adanya suatu anakronisme dalam urutan

156 Michel Faucault, Arkeologi Pengetahuan (Jogjakarta:

IRCiSoD, 2012), 296. 157

Dalam konteks penelitian sejarah, defenisi pengaruh (influence) sendiri

yaitu suatu bentuk efek yang bersifat teguh dan membentuk terhadap pemikiran dan

tingkah laku manusia, baik secara perorangan ataupun kolektif. Louis Gottschalk,

Understanding History: A Premier of Historical Method (New York: Alfred A.

Knopf, 1964), 249-250. Dan juga Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan

Historiografi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 18-19. 158

Begitupun ketidakmiripan bukan merupakan bukti tentang tidak adanya

pengaruh, karena pengaruh itu mungkin merupakan suatu protes atau reaksi nyata

yang menghasilkan seperangkat gagasan atau perilaku yang tidak dapat diterangkan

dengan cara lain. Lihat Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 18. 159

Di lain pihak, suatu pengaruh mungkin diakui secara tulus, namun dalam

kenyataannya lebih merupakan imajinasi daripada realitas, misalnya apabila

pengarang memperlihatkan preferensi dan kesetiaan sastra atau seni, atau apabila

pengarang mempergunakan kutipan untuk memperoleh efek retoris. Lihat Saifuddin,

Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), 18.

Page 84: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

84

sebab akibat, maka bukti yang paling baik bahwa B dipengaruhi

oleh A adalah mengeliminasi sebab akibat lain yang muncul pada

pikiran dan tindakan B.

Penulis juga mengkaji para pengkaji hadis pada permulaan

pengkajian hadis di Indonesia yaitu pada abad XIIV. Penelitian ini

dilakukan untuk melihat pengaruh ahli hadis sebelumnya terhadap

pengkaji hadis pada abad XXI ini untuk menentukan adanya pengaruh

pengkaji hadis pada abad ini.

Langkah pertama yang penulis tempuh adalah mendiskripsikan

biografi dari ulama ahli hadis di Indonesia, dengan cara menjelaskan

riwayat pendidikan, karya-karyanya serta menjelaskan tentang

lingkungan yang mempengaruhi pemikiran mereka. Kemudian

memetakan metodologi pemahaman mereka lewat perspektif genealogi.

Dalam memetakan metodologi pemahaman hadis yang dipakai

oleh ulama hadis di Indonesia, terlebih dahulu penulis melihat sejarah

perkembangan hadis dari awal hingga ke masa modern saat ini,

kemudian melihat biografi dari ulama hadis tersebut dan melihat siapa

guru-guru atau silsilah dari ulama hadis itu, kemudian melihat karya

mereka dalam mengutip suatu buku atau karya dari ulama hadis yang

lainnya.

Langkah selanjutnya mengadakan studi analitis kritis terhadap

metodologi pemahaman hadis di Indonesia lewat perspektif genealogi.

Dalam menganalisis pemahaman ahli hadis di Indonesia ini penulis

lebih menekankan kepada mencari orisinalitas dari karya ahli hadis di

Indonesia, apakah ahli hadis ini membuat suatu karya baru, saduran

dari pemikiran atau perluasan dari karya-karya ulama hadis lainnya.

Langkah-langkah penulis dalam menganalisis karya-karya ahli

hadis yang dipilih sebagai sumber penelitian adalah menggali dan

menganalisa dari beberapa factor yang mempengaruhi pemikiran

mereka dan dari sisi manhaj yang digunakan dari setiap karya yang

dikaji, dan mengkaji tema-tema khusus yang menjadi titik perbedaan

dari masing-masing karya tersebut. Sehingga dengan hal itu penulis

bisa memetakan tema-tema yang menjadi arah pergeseran dari

pemikiran pemahaman hadis dari awal pembukuannya sampai pada

pemikiran yang berkembang di Indonesia.

Kemudian mengemukakan kesimpulan dari seluruh bahasan

sebelumnya dan sekaligus menjawab permasalahan pokok yang

dikemukakan di atas. Di sinilah akan terjawab mengenai masalah,

Page 85: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

85

bagaimana pemetaan serta analisis metodologi pemahaman hadis di

Indonesia lewat perspektif genealogi.

Dengan penelitian seperti ini maka dapat dilihat keorisinalitas

pemikiran dari pengkaji hadis di Indonesia pada masa sekarang, karena

sesuai dengan pendapat Faucault setiap pemikiran itu mempunyai

pemikiran yang baru atau terdapat ide baru di dalamnya.160

160

Menurut Michel Faucault sejarah ide-ide adalah analisa tentang

kepermanenan yang terdapat dibalik perubahan-perubahan yang nampak, analisa

tentang formasi-formasi lamban yang berasal dari begitu banyak kompleksitas,

analisa tentang totalitas figur yang secara gradual berkumpul dan tiba-tiba mengeras

menjadi satu titik jadi fokus karya. Michel Faucault, Arkeologi Pengetahuan

(Yogyakarta: IRCSoD, 2012), 249.

Page 86: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

86

BAB III

DINAMIKA PEMIKIRAN PENGKAJI HADIS

DI INDONESIA ABAD XXI

Pada bab ini, dijelaskan tentang awal perkembangan studi hadis

di Indonesia dan kriteria metodologi pemahaman hadis di Indonesia.

Dalam bab ini juga dijelaskan tentang para pengkaji hadis pada masa

sekarang di Indonesia.

D. Awal Perkembangan Studi Hadis di Indonesia

Penyebaran Islam merupakan salah satu proses yang sangat

penting dalam sejarah Indonesia. Tampaknya, para pedagang muslim

sudah ada di sebagian wilayah Indonesia selama beberapa abad

sebelum Islam menjadi agama yang mapan dalam masyarakat lokal.161

Dari kajian-kajian yang berhasil ditelusuri, terutama tentang

perkembangan studi hadis di Indonesia pada abad XVII-XVIII,

memberikan gambaran bahwa hadis pada masa itu belum berkembang

menjadi disiplin tersendiri, Karena kajian hadis baru pada dataran

praktis, belum tersusun secara teoritis.162

Menurut Azyumardi Azra, para perintis gerakan pembaharuan

Islam di Nusantara pada abad ke-XVII di antaranya, Nuruddīn al-

Raniri,163

Abd al-Ra‘uf al-Sinkili,164

dan Muhammad Yusuf al-

161

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi

Ilmu Semesta, 2005), 27. 162

Berbeda dengan penulisan hadis di dunia Islam pada masa awal,

penulisan kitab-kitab hadis di Indonesia tidak ditemukan yang bersanad. Meski

penulis yakin bahwa beberapa pengkaji hadis Indonesia mempunyai dan menjaga

sanad hadis-hadis yang musalsal, namun belum dapat ditemukan dalam bentuk buku.

Mayoritas penulis hadis di Indonesia hanya berbentuk tematis, masih sedikit sekali

yang menulisnya dalam bentuk kritik hadis. 163

Nama lengkapnya adalah Nur al-Dīn Muhammad ibn Alī ibn Hasanji al-

Ḥamid (al-Humayd) al-Syafi‘ī al-Aydarusi al-Raniri dilahirkan di Ranir (Modern:

Randir), sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat. Lepas dari tempat kelahirannya,

al-Raniri secara umum dianggap lebih sebagai seorang alim Melayu-Indonesia

daripada India atau Arab. Tahun kelahirannya tidak diketahui. Tetapi kemungkinan

besar menjelang akhir abad ke-16. Dikatakan, ibunya adalah seorang melayu, tetapi

ayahnya berasal dari keluarga imigran Haḍrami yang mempunyai tradisi panjang

berpindah ke Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Al-Raniri adalah penulis produktif dan terpelajar. Menurut berbagai sumber,

dia menulis tidak kurang dari 29 karya. Tetapi, tidak semuanya ditulis semasa

kariernya tujuh tahun di Aceh. Misalnya salah satu karyanya yang paling banyak

ditelaah membicarakan tentang tasawuf, fikih, hadis, sejarah, dan perbandingan

Page 87: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

87

Maqassari.165

Ketiga ulama ini termasuk ulama yang berperan dalam

mengembangkan kajian hadis.

Penyebaran Islam diduga sudah mulai menyentuh wilayah

Nusantara sejak abad ke-13 M, maka kenyataan di atas cukup

memprihatinkan. Sebab hal ini akan menimbulkan persepsi kurang baik

bagi sejarah intelektual Islam di Indonesia. Padahal, dalam sejarahnya,

dinamika intelektual umat Islam sebelum abad ke-19 M memiliki

intensitas yang cukup tinggi.166

Khusus mengenai hadis,167

wilayah ini tampaknya tidak

mencatat perkembangan yang cukup signifikan. Berbeda dengan

agama. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 2004), 201-206. 164

Nama lengkapnya adalah ‗Abd al-Ra‘uf ibn ‗Alī al-Jawi al-Fansuri al-

Sinkili, sebagaimana terlihat dari namanya, adalah seorang Melayu dari Fansur, Sinkil

(modern: Singkel), di wilayah pantai Barat-Laut Aceh. Dia dilahirkan sekitar

1024/1615 M.

Sepanjang kariernya di Aceh, al-Sinkili mendapat perlindungan dari para

Sultanah. Dia menulis sekitar 22 karya yang membahas tentang fiqih, tafsir, hadis,

dan tasawuf. Untuk hadis al-Sinkili mengambil bahan dari buku-buku standar dari

Sharh Ṣaḥīḥ Muslim karya al-Nawāwi dan karya yang lainnya. Dengan sumber-

sumber ini, al-Sinkili menjelaskan hubungan dan koneksi intelektualnya dengan

jaringan ulama. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII &XVIII (Bandung: Mizan, 2004), 241-246. 165

Nama lengkapnya adalah Muhammad Yusuf ibn ‗Abd Allāh Abū al-

Mahasin al-Taj al-Khalwati al-Maqassari, juga dikenal di Sulawesi sebagai ―Tuanta

Salamaka ri Gowa‖ (Guru Kami yang Agung dari Gowa), menurut sejarah Gowa,

dilahirkan pada 1036/1627 M.

Al-Maqassari adalah ulama yang luar biasa. Dalam kaitannya dengan karier

dan ajaran-ajarannya al-Maqassari tak pelak lagi merupakan salah seorang mujadid

terpenting dalam sejarah Islam di Nusantara. Al-Maqassari menulis karya-karyanya

dalam bahasa Arab yang sempurna, persinggahannya yang lama di Timur Tengah

memungkinkannya menulis dalam bahasa itu. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama

Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &XVIII (Bandung: Mizan,

2004), 260-263. 166

Ada banyak teori mengenai awal mula kedatangan Islam di wilayah ini.

Namun menurut Azyumardi Azra, teori yang menyebut abad 13 sebagai permulaan

kedatangan Islam lebih dapat dipertanggungjawabkan. Lihat Azyumardi

Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII

&XVIII (Bandung: Mizan, 2004), 14. 167

Hadis dan Sunnah bukan sesuatu yang baru bagi umat Islam. Tema hadis

dan sunnah mempunyai makna dan penamaan yang sama yaitu tradisi kenabian. Akan

tetapi jika dipahami secara lebih mendalam tema ini akan menunjukkan bahwa makna

antara hadis dan sunnah tidaklah indentik. Sunnah bermakna jalan, praktek, aksi, atau

kegiatan kehidupan. Tema sunnah berimplikasi terhadap praktek yang biasa dilakukan

Page 88: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

88

disiplin-disiplin lain seperti tasawuf, fikih, tafsir, dan filsafat. Namun

tidak berarti hadis tidak berkembang sama sekali, karena kajian hadis

pada saat itu baru bersifat antologi yakni berupa kumpulan-kumpulan

dari berbagai tema yang berkaitan dengan kajian fikih, jadi masih

tercampur dengan disiplin lain.

Upaya penelusuran sejarah perkembangan kajian hadis di

Indonesia belum dilakukan secara sistematis. Hal ini bisa diduga

disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kenyataan bahwa kajian hadis

intens kajian di keislaman yang lain, seperti al-Qur‘an, fikih, akhlak

dan sebagainya. Kedua, kajian hadis bisa dikatakan berkembang sangat

lambat, terutama bila dilihat dari kenyataan bahwa para ulama

Nusantara telah menulis di bidang hadis sejak abad ke-17. Namun

demikian, seperti terlihat kemudian, tulisan-tulisan tersebut tidak

dikembangkan lebih jauh. Kajian hadis setelah itu mengalami

kemandekan hampir satu setengah abad lamanya. Untuk itulah,

perhatian para pengamat terhadap kajian hadis Indonesia masih sangat

kurang. Kalaupun ada pengamat yang menaruh perhatian, perhatiannya

masih parsial dan tidak komprehensif.

Di samping itu, menurut Roolvink, literatur Indonesia sejak

masa awal dapat diklasifikasikan menjadi lima, pertama, cerita-cerita

yang di ambil dari al-Qur‘an (Kuranic‟s tales) atau cerita tentang Nabi

dan person lain yang namanya disebut dalam al-Qur‘an. Contoh karya

ini seperti Hikayat Anbiyā‟, Hikayat Yusuf, dan sebagainya. Kedua,

cerita khusus tentang Nabi Muhammad SAW. Ketiga cerita tentang

orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi (sahabat atau lainnya).

Keempat, cerita tentang pahlawan-pahlawan (dalam dunia) Islam yang

terkenal, seperti Iskandar Zulkarnain, dan sebagainya. Kelima, karya-

karya yang berkaitan dengan masalah teologi. Bidang ini, menurut

Roolvink, umumnya berkaitan dengan pengetahuan yang disebut tiga

pilar Islam yaitu, ilmu kalam, ilmu fikih, dan ilmu tasawuf.168

Bentuk

hadis sebagai disiplin tersendiri yang utuh hampir tidak dijumpai dalam

kategori ini.

sehari-hari, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan yang tidak baik, dilakukan

sendiri maupun secara kelompok. Lihat Ahmad Hasan, The Sunnah-Its Early Concept

and Development, Journal Islamic Studies, Vol. 7, No.1, (1968), 47. Published by

Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad.

http://www.jstor.org/stable/20832904. (Accessed: 27/01/2014). 168

Roolvink, R., Encyclopedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, t.th.), 1230-

1235.

Page 89: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

89

Sejak pertengahan abad ke-19, banyak sekali anak-anak muda

dari Jawa yang tinggal menetap beberapa tahun di Makkah dan

Madinah untuk memperdalam pengetahuan mereka. Bahkan banyak di

antara mereka menjadi ulama yang terkenal dan mengajar di Makkah

atau di Madinah. Karena para ulama dari Jawa ini akhirnya turut aktif

dalam alam intelektualisme dan spritiualisme Islam yang berpusat di

Makkah, mereka juga mempengaruhi perubahan watak Islam di

Nusantara. Dan dengan makin kuatnya keterlibatan mereka dalam

kehidupan intelektual dan spritual Timur Tengah, Islam di Nusantara,

dan semakin jelas di Jawa, makin kehilangan sifat-sifatnya yang lokal

dan titik beratnya pada aspek tarekat semakin berkurang.169

Pada akhir abad ke-19 tersebut terdapat beberapa ulama

kelahiran Jawa yang diakui kebesarannya di Timur Tengah. Mereka

menjadi pengajar tetap di Masjid al-Haram di Makkah, seperti Syeikh

Nawawi (dari Banten) dan Syeikh Mahfudz (dari Tremas).170

Ada beberapa literatur tentang perkembangan hadis pada abad

ke-19 sampai dengan abad ke-20 di Indonesia ini,171

yaitu:

169

Bertambahnya pengetahuan serta pengalaman mereka dalam hal

perbedaan praktek-praktek ritual dan doktrin, menyebabkan watak keislaman yang

lebih toleran, tapi juga lebih seirama dengan watak Islam di Timur Tengah. Ini tidak

berarti bahwa Islam di Jawa sama sekali terlepas dari watak lokal. Namun dapat

disimpulkan bahwa Islam tradisional di Jawa menjadi lebih kuat terikat dengan

pikiran Islam tradisional yang telah mapan dan paling banyak pengikutnya di dunia.

Dengan kata lain, ketradisionalan mereka tidaklah karena terlalu banyaknya elemen-

elemen non-Islam (baik yang berasal dari kepercayaan animisme dan Hindu Budisme)

sebagaimana yang dikemukakan oleh Geertz. Tapi karena keterikatan mereka

terhadap aliran ulama Islam tradisional di seluruh dunia. Muhammad Dede

Rodliyana, ―Pergeseran Pemikiran ‗Ulum al-Hadith dan Pengaruhnya Terhadap

Pemikiran ‗Ulum al-Hadith di Indonesia‖ (Tesis: UIN Syarif Hidayatullah, 2003),

114-115. Dan Geertz, The Religion of Java (New York: The Free Press of Glencoe,

1960), 177. 170

Satu hal yang cukup menarik dari perkembangan ini ialah, bahwa para

pelajar dari berbagai daerah di Nusantara yang melanjutkan pelajaran di Mekah

biasanya baru dapat menyempurnakan pelajaran mereka setelah memperoleh

bimbingan terakhir dari ulama kenamaan kelahiran Jawa ini. Hal ini menyumbang

kepada proses hegemonitas kitab-kitab yang dipakai di pesantren-pesantren,

khususnya di Jawa, yang berimbas pada proses hegemonitas faham keagamaan dan

kehidupan kultural. Bahkan pengaruh Syeikh Mahfudz sangat kuat dalam

perkembangan pendidikan ulama Indonesia selanjutnya untuk mengkaji Hadis. Lihat

Muhammad Dede Rodliyana, ―Pergeseran Pemikiran ‗Ulum al-Hadith‖, 116. 171

Karya di atas merupakan perkembangan mutakhir yang terkait dengan

pendidikan formal, gerakan dakwah dan ketaatan beragama dikalangan umat Islam.

Karya-karya tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan materi bagi pendidikan

Page 90: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

90

1. IZ Abidin, Musthalah Hadis: Dirayah dan Riwayah, Bandung:

Setia Karya, 1984

2. M. Anwar, Ilmu Musthalah Hadis, Surabaya: al-Ikhlas, 1981.

3. AQ. Hasan,172

Ilmu Musthalah Hadis, Bandung: Diponegoro,

1983.

4. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy,173

Pokok-Pokok Ilmu DIrayah Hadis,

Jakarta: Bulan Bintang, 1981.

tinggi Islam, seperti IAIN, madrasah dan pesantren. Selain karya itu digunakan pula

oleh para da‘i sebagai sumber pengajaran dalam rangka merevitalisasi dan

menguatkan peran Islam dalam keyakinan dan perilaku masyarakat di Indonesia.

Begitu pula, karya-karya tersebut digunakan pula sebagai bahan bacaan di keluarga

muslim atau kelompok kecil masyarakat yang ingin meningkatkan pemahaman

mereka tentang keyakinan dan praktek Islam. Sebagaimana telah dikemukakan

sebelumnya, menurut Federspiel, literature hadis sampai akhir 1980-an terlihat masih

dalam proses pembentukan, dimana berbagai karya baru terus bermunculan yang

genrenya belum terbentuk secara utuh.

Karya-karya ini diambil dari beberapa penelitian sebelumnya, seperti

penelitian Disertasi Muhammad Dede Rodliyana dengan judul Pergeseran Pemikiran

„Ulūm al-Hadith dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran „Ulūm al-Hadith di

Indonesia; Ramli Abdul Wahid dalam karyanya berjudul Perkembangan Kajian

Hadis di Indonesia; Khairul Rafiqi dalam karyanya yang berjudul Studi

Perkembangan Ilmu Hadis di Indonesia; dan Ardiansya dengan judul Kajian Hadis

Di Indonesia: Profil Literatur Hadits Di Indonesia Tahun 1955-2000 M. 172

Nama lengkapnya adalah Abdul Qadir Hasan. Ia adalah anak lelaki tertua

dari pendiri Persis Ahmad Hasan. Ia adalah penerus dari Ahmad Hasan di Bangil,

pernah belajar ke Mesir. Lihat Daud Rasyid Harun, Juhud „Ulama (Jakarta: Pustazet,

1988), 67. 173

Mempunyai nama lengkap Prof Dr. Tubagus Muhammad Hasby Ash-

Shiddiqie. Ia lahir di Lho‘ Semawe, Aceh pada tanggal 10 Maret 1904. Masa

kelahiran dan pertumbuhannya bersamaan dengan tumbuhnya gerakan pembaharuan

pemikiran di Jawa yang meniupkan semangat kebangsaan Indonesia serta anti-koloni.

Sementara di Aceh, peperangan dengan Belanda kian berkecamuk. Proses bimbingan

ilmiahnya dimulai di bawah pengajaran sang ayah yang juga memiliki pesantren.

Banyak mendapat bimbingan dari ulama Muhammad ibn Sallim al-Khalili. Pada

tahun 1927, ia melanjutkan studinya di al-Irsyad Surabaya. Pada tahun 1928, ia

dipercaya untuk memimpin al-Irsyad di Lho‘Semawe. Pada tahun 1930, ia menjadi

Kepala Sekolah di Krung Mane, mengajar di HIS dan Mulo Muhammadiyah, Ketua

Yong Islamieten Bond di Aceh Utara. Tahun 1940-1942, menjadi Direktur Darul

Mualim Muhammadiyah Kotaraja, membuka Akademi Bahasa Arab. Pada zaman

pendudukan Jepang Ash-Shiddiqie menjadi anggota Konstituante dan tahun 1968

menjadi utusan Collagium Islam Internasional di Lahore, Pakistan. Karirnya di bidang

pendidikan antara lain Dekan Fakultas Syari‘ah al-Raniri Aceh, Dekan pada Fakultas

Syari‘ah di Universitas Sultan Agung Semarang, menjadi Guru Besar dan Dekan

Fakultas Syari‘ah IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta dan Rektor Universitas al-Irsyad

Solo. Pada tahun 1963-1968, ia pernah menjadi Wakil Ketua Lembaga Penerjemahan

Page 91: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

91

5. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Problematika Hadis Sebagai Dasar

Pembinaan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1964.

6. TM. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,

Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

7. Barmawie Umarie, Status Hadis Sebagai Dasar Tasyri‟,

Salatiga: Siti Sjamsiyah, 1965.

8. Mahmud Yunus dan H. Ahmad Aziz, Ilmu Musthalah Hadis,

Jakarta: Djaja Murni, 1972.

9. Fatchurrahman,174

Ikhtisar Musthalahul Hadis, Bandung: al-

Ma‘arif, 1981.

10. Husen Bahreisy, Himpunan Hadis Pilihan: Hadis Shahih

Bukhari, Surabaya: al-Ikhlas, 1980.

11. Mustaghfiri Asror, 123 Hadis Pembina Iman dan Akhlaq,

Semarang: Wicaksana, 1984.

12. Salim Bahresy, Tarjamah Riyadhus Shalihin, Bandung: al-

Ma‘arif, 1985.

13. Fachruddin HS, Terjemah Hadis Shahih Muslim, Jakarta: Bulan

Bintang, 1978.

14. M. Fudloli, Keutamaan Budi dalam Islam: Ihya Sunatullah wa

Rasulih, Surabaya: al-Ikhlas, t.t.

15. Fatchurrahman, Hadis-Hadis tentang Peradilan Agama,

Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

16. AN Firdaus, Jalan ke Surga: 325 Hadis Qudsi Pilihan, Jakarta:

Yayasan al-Amin, 1984.

dan Penafsiran al-Qur‘an Departemen Agama, Ketua Lembaga Fikih Islam Indonesia

(LEFISI), anggota Majelis Ifta‘ wa Tarjih DPP al-Irsyad. Pada tanggal 22 Maret 1975

ia mendapat gelar Honoris Causa dalam ilmu syari‘at dari Universitas Islam

Bandung.

Hasby wafat pada tanggal 9 Desember 1975 dalam usia 71 tahun di Jakarta.

Aktivitas Hasby dalam menulis telah dimulai sejak tahun 1930-an. tulisan yang

pertama diterbitkan berupa sebuah booklet yang berjudul ―Penoetoep Moeloet‖ dan

terakhir adalah Pedoman Haji pada tahun 1975. Seluruh karya tulisannya berjumlah

73 judul buku, terdiri dari 6 tafsir, 8 hadis, 36 fiqh, 5 tauhid/kalam, 17 tahun umum

dan lebih dari 49 artikel dibaca kaum muslimin penduduk wilayah Asean yang

berbahasa Melayu. Biografi Hasbi dapat dibaca di Ensiklopedi Islam (Jakarta:

Departemen Agama, 1993), Vol II, 767-771; Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru

Van Hoeve, 1993), Vol.II, 94-96; Daud Rasyid Harun, Juhud „Ulama (Jakarta:

Pustazet, 1988), 183-184. 174

Drs. Fatchur Rahman alumnus Fakultas Syari‘ah IAIN Jogjakarta

kemudian menjadi staf pengajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Jogjakarta mengajar Ilmu

Musṭalah al-Ḥadīth.

Page 92: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

92

17. Mu‘amal Hamidy, Imron AM dan Umar Fanary, Terjemahan

Nail al-Authar, Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Surabaya: Bina

Ilmu, 1985.

18. Hamidy, Shahih al-Bukhari, Jakarta: Wijaya, 1983.

19. A. Hassan, Tarjamah Bulug al-Maram ibn Hajar al-Asqalani,

Bandung: Diponegoro, 1984.

20. Umar Hasyim, Hadis Arbain al-Nawawiyah, Surabaya: Bina

Ilmu, 1984.

21. AYQ Koho, Himpunan Hadis-Hadis Lemah dan Palsu,

Surabaya: Bina Ilmu, 1979.

22. AA. Masyhuri, Mutiara Qur‟an dan Hadis, Surabaya: al-Ikhlas,

1980

23. MA Rathoni, Shahih Bukhari, Surabaya: al-Asriyah, 1981.

24. HA Razak dan H. Rais Lathief, Terjemahan Hadis Shahih

Muslim, Jakarta: 1981.

25. M. Rofiq, Sistim Sanad, Bandung: al-Ma‘arif, 1980.

26. Mahfulli Sahli, Himpunan 405 Intisari Hadis, (Tarjamah

Jamius Shagir Oleh Jalaludin al-Suyuthi), Surabaya: al-Ikhlas,

1978.

27. Muslich Shabir, 400 Hadis Pilihan tentang Akidah, Syari‟ah

dan Akhlak, Bandung: al-Ma‘arif, 1986.

28. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadis, Jakarta: Bulan

Bintang, 1978.

29. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum,

Bandung: al-Ma‘arf, 1981.

30. Muhammad Sjarief Sukandy, Tarjamah Bulug al-Maram: Fiqh

Berdasarkan Hadis, Bandung: al-Ma‘arif, 1984.

31. Abdul Mujid Tamim, Terjemah Hadis Arba‟in al-Nawawi,

Surabaya: Sinar Wijaya, 1984.

32. M. Thalib, Butir-Butir Pendidikan dalam Hadis, Surabaya: al-

Ikhlas, t.t.

33. M. Aloi Usman, A. Dahlan dan MD. Dahlan, Hadis Qudsi: Pola

Pembinaan Akhlak Muslim, Bandung: Diponegoro, 1975.

34. Muhammad Zuhri, Koleksi Hadis Qudsi, Jakarta: Yulia Karya,

t.t.

35. Dja‘far Amir, Bidang Studi al-Qur‟an dan al-Hadis untuk

Madrasah Ibtidayah, Yogyakarta: Kota Kembang, 1982.

36. Dja‘far Amir, Al-Qur‟an dan al-Hadis untuk Madrasah

Tsanawiyah, Solo: Siti Syamsiyah, 1978.

Page 93: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

93

37. Muslich Marzuki, Al-Qur‟an dan al-Hadis untuk Madrasah

Aliyah/PGA, Semarang: Thaha Putra, 1980.

38. Utang Ranuwijaya,175

Ilmu Hadis, Jakarta: Gaya Media Pratama,

1996.

Karakteristik dari karya-karya hadis di Indonesia lebih banyak

bersifat pengantar dari pada pembahasan, apalagi yang bersifat analisa.

Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan sedikitnya informasi ketika

menjelaskan hal-hal pokok yang berkaitan dengan hadis.

Kecenderungan untuk mengkaji kajian sejarah lebih dominan daripada

kajian hadis yang sesungguhnya, sehingga sekalipun masuk pada

kategori karya dengan karakteristik pembahasan, kajian sejarah masih

dominan daripada kajian hadis.176

Berbeda dengan model-model kajian di atas, tulisan ini

mencoba untuk menelaah perkembangan kajian hadis di Indonesia

sejak awal perkembangan hadis sampai sekarang. Telaah dimulai

dengan melihat karakteristik kajian masa awal abad XX dimana kajian

masih bersifat individual. Kemudiaan pada abad XXI dimulailah

rekonstruksi ilmu hadis dalam bidang pemahaman hadis atau fiqh al-

hadith.177

175

Ia lahir di Majalengka pada tanggal 19 Mei 1958. Menyelesaikan

Pendidikan dasarnya di SDN Nagara Kembang pada tahun 1970, PGA PUI 4 tahun

pada tahun 1976, PGA PUI 6 tahun pada tahun 1978/1979. Selain itu ia mengikuti

pendidikan di Pesantren Riad Ulum Cikijing Majalengka. Kemudian menyelesaikan

Sarjana Muda Fakultas Syari‘ah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung pada tahun

1982, Sarjana Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syari‘ah IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta pada tahun 1984, program S2 pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tahun 1992 dan program S3 pada Fakultas Pascasarjana

IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1998 dengan judul disertasi Hadits-

Hadits pada Kitab al-Azhar Hamka (Analisis Sanad Hadis pada Ayat-Ayat Hukum

Bidang Perkawinan). Pekerjaannya sebagai staf pengajar di STAIN Serang, Fakultas

Tarbiyah Sekolah Tinggi Wasilatul Falah Rangkasbitung dan IAIMAN Pandeglang.

Lihat daftar riwayat hidup penulis di akhir bukunya. 176

Pengaruh manhaj modern disebabkan adanya kesamaan dalam bentuk

tujuan pembukuan, yaitu sebagai dasar acuan untuk pembelajaran materi hadis, tetapi

dari segi materi berbeda. Materi dari periode modern minimal sebagai buku bersifat

pembahasan, bahkan banyak yang bersifat analisis, sedangkan di Indonesia lebih

dominan pengantar dan bahkan mereduksi bagian-bagian kajian hadis itu sendiri.

Muhammad Dede Rodliyana, ―Pergeseran Pemikiran ‗Ulum Hadith‖, 135. 177

Seiring dengan terjadinya modernisasi dalam pemikiran Islam, sejak awal

abad ke-20 Masehi berkembang paham-paham yang menggugat eksistensi hadis Nabi,

baik sebagiannya maupun keseluruhannya. Dengan demikian sejak saat itu sikap umat

Page 94: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

94

Para pengkaji hadis pada abad XXI ini diantaranya adalah

Muhammad Syuhudi Ismail, Said Agil al-Munawar, Ali Musthafa

Ya‘qub, Lutfi Fathullah, Kamarudin Amin, Daniel Djuned, Edi Safri,

Buchari M, Daud Rasyid Sitorus, Nizar Ali, dan lain-lain.

Seluruh karya yang ditulis oleh pemerhati hadis di Indonesia,

dari awal sampai sekarang, baik yang bersifat utuh maupun yang

berupa makalah-makalah yang sudah diterbitkan dan terjemahan-

terjemahan, dapat dilihat secara jelas corak pemikiran mereka.

E. Kriteria Kajian Hadis Masa Modern di Indonesia

Mengenai periwayatan hadis, karya tertua yang masih tersimpan

adalah kitab al-Risalah karya al-Shafi‘ī (w. 204 H), diikuti oleh al-

Muhadīth al-Faṣīl Baina al-Rāwī wa al-Wā‟ī karya al-Ramahurmuzi

(w. 360 H), Ma‟rifat „Ulūm al-Ḥadīth dan al-Madkhal ilā Ma‟rifah al-

Iklīl karya al-Hakim al-Naisaburī (w. 405 H), al-Kifāyah fī „Ilm al-

Riwāyah karya al-Khatib al-Baghdadī (w. 463 H), al-Ilmā‟ ilā Ma‟rifah

Uṣūl al-Riwāyah wa Taqyīd al-Samā‟ karya al-Qaḍi ‗Iyaḍ (w. 544 H).

Setelah itu, Ibnu al-Ṣalah (w.643 H) menulis buku „Ulūm al-Ḥadīth,

dengan menambahkan hasil penelitiannya tentang materi-materi yang

dikumpulkan oleh para pendahulunya. Sarjana lain yang telah menulis

buku-buku tentang ‗ulūm al-ḥadīth adalah al-Nawawī (w. 676 H), Ibnu

Hajar al-Asqalanī (w.852 H), Ibnu Kathir (w. 774 H), al-Suyuṭī (w. 911

H), dan lain-lain.

Para ahli hadis awal sampai abad ketiga hijriah tidak secara

eksplisit mendefinisikan hadis-hadis yang dianggap ṣaḥīḥ. Mereka

hanya menetapkan kriteria-kriteria informasi yang diperoleh, misalnya:

(1) Periwayatan hadis tidak dapat diterima, kecuali kalau diriwayatkan

oleh orang-orang yang thiqah; (2) Riwayat orang-orang yang sering

berdusta, mengikuti hawa nafsunya, dan tidak memahami secara benar

apa yang diriwayatkan adalah tertolak; (3) harus diperhatikan tingkah

laku personal dan ibadah orang-orang yang meriwayatkan hadis; (4)

Islam terhadap hadis dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama kaum

tradisionalis, yang menerima hadis sesuai dengan konsep ulama salaf yang ortodoks,

yaitu menjadikan hadis sebagai sumber ajaran Islam dan memahaminya dengan

pendekatan normatif. Kelompok kedua kaum modernis, yang menerima hadis dengan

prinsip modern yang dinamis dengan menitikberatkan kepada pemahaman

kontekstual dengan pendekatan historis, sehingga cenderung menolak hadis. Lihat

M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2000), 41-50.dan Daniel Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern

(Bandung: Mizan, 2000), 54-55.

Page 95: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

95

apabila mereka terbiasa berkelakuan tidak terpuji dan tidak melakukan

shalat secara teratur, maka riwayatnya harus ditolak; (5) Riwayat

orang-orang yang tidak dikenal piawai dalam ilmu-ilmu hadis tidak

dapat diterima; dan (6) Riwayat orang-orang yang kesaksiannya

ditolak, maka riwayatnya pun tidak diterima. Kriteria-kriteria ini

berhubungan dengan kualitas dan karakter perawi yang menentukan

diterima dan ditolaknya riwayat mereka. Namun demikian, kriteria ini

belum mencakup secara keseluruhan syarat sanad autentik yang

ditetapkan kemudian, apalagi kriteria mengenai ke-ṣaḥīḥ-an matn.

Kriteria ini hanya berdasar pada penyandaran terhadap isnad.178

Sebuah hadis hanya dapat dianggap autentik apabila memiliki

isnad yang dapat ditelusuri lewat jalur yang tidak terputus sampai

kepada Nabi. Akan tetapi terdapat sejumlah persyaratan untuk validitas

seorang perawi.

Untuk kepentingan kritik hadis dalam hal sanad dan matan

yang telah meluas seperti yang telah dijelaskan, maka kaedah-kaedah

sebagai dasar kritik pun disusun sedemikian rupa dan cermat. Tiga

syarat berkenaan dengan sanad dan dua syarat berkenaan dengan

matan. Yang berkaitan dengan sanad, selain semua rawi-rawinya harus

bersambung (ittiṣal al-sanad), rawi-rawi tersebut juga harus memiliki

integritas kepribadian (adil), kapasitas intelektual (ḍabiṭ), keharusan

tidak adanya kejanggalan (shaz) dan cacat (illat). Sedangkan yang

berkaitan dengan matan, adalah keharusan tidak adanya kejanggalan

(shaz) dan cacat (illat). Kelima kaedah ini akhirnya menjadi kriteria

sebuah hadis ṣaḥīḥ, yakni hadis yang dianggap valid dan orisinil

sebagai ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi.

Rawi-rawi yang bersambung, artinya bahwa masing-masing

rawi-rawi tersebut menerima hadis dari rawi yang terdekat sebelumnya

dan keadaan ini terus berlangsung demikian sampai kepada rawi yang

pertama yang menerima hadis dari Rasul. Kebersambungan (muttaṣil)

sanad ini menjadi indikasi bahwa riwayat yang sampai kepada kita

dapat dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi, sebaliknya

keterputusan sanad mengakibatkan riwayat yang disampaikan tertolak.

178

Bagi sebagian sarjana, tidak ada bukti yang pasti apakah para ahli hadis

abad pertama dan kedua benar-benar mengadopsi kriteria tersebut, belum lagi kriteria-

kriteria yang ditetapkan oleh uṣūl al-ḥadīth klasik. Oleh karena itu, perlu dilakukan

penelitian kritis terhadap riwayat-riwayat mereka. Kamaruddin Amin, Menguji

Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Mizan Publika, 2009), 15-16. Dan

al-Razi, Kitāb al-Jarḥ wa al-Ta‟dīl (Beirut: t.t, 1952), 27-30.

Page 96: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

96

Sementara integritas kepribadian (‗adil) bagi seorang rawi harus

tercermin dalam kemantapan agamanya, bersih dari perbuatan fasik dan

kerendahan muru‟ah (etika). Karena itu ‗adil mengandung unsur-unsur:

beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama Islam, serta

memelihara muru‟ah.179

Sedangkan kapasitas intelektual (ḍabiṭ) adalah

kemampuan mengambil pesan-pesan secara pasti melalui proses

pendengaran dan kemampuan untuk menghafal secara kontinyu hingga

pesan-pesan tersebut disampaikan kepada orang lain.180

Adapun shaz

adalah kejanggalan dalam bentuk bertentangannya sebuah riwayat yang

disampaikan rawi yang thiqah (rawi yang adil dan ḍabiṭ) dengan para

rawi yang lebih thiqah, baik pada sanad maupun pada matan.

Sedangkan ‗illat adalah cacat dalam bentuk: (1) sanad yang tampak

muttaṣil dan marfū‟ ternyata muttaṣil dan mawquf, atau mursal. (2)

terjadinya percampuran hadis dengan bagian hadis lainnya, (3)

kesalahan dalam menyebutkan nama rawi.

Tentu saja, semua kriteria ini disusun dengan logika yang

jelas. Artinya semua persyaratan itu didasari atas argumen-argumen

yang relevan dengan maksud dan tujuan kritik sanad dan matan.

Argumen-argumen ini pada dasarnya adalah bersifat historis di

samping juga bersifat normatif. Meskipun argumen-argumen tersebut

berbeda-beda, tetapi semua argumen saling berkait dan saling

memperkuat. Dari sini dapat simpulkan bahwa kritik hadis tidak hanya

dalam dimensi keilmuan semata, tetapi juga dalam koridor ajaran dan

keyakinan. Karenanya dapat dipahami, bila acuan-acuan kritik hadis

menjadi sangat cermat dan rumit. Sebab hal ini membawa beban

psikologis dalam kaitan tanggung jawab yang bersifat transendental.

Semua persyaratan ini, baik yang menyangkut dengan sanad

maupun matan sangat ketat sekali. Itu sebabnya pada setiap persyaratan

tersebut dilakukan sejumlah pengujian dan analisis. Kriteria sanad

bersambung misalnya, kritik dilakukan dengan telaah atas sejarah hidup

masing-masing rawi dan lambang-lambang periwayatan yang

menghubung antara satu rawi dengan rawi lain. Telaah tersebut

dimaksudkan untuk mengetahui apakah kebersambungan sanad hanya

sebatas kesezamanan (mu‟āsharah) atau pertemuan dalam kapasitas

guru dan murid (liqa‟). Kualitas pribadi (‗adil) dilakukakan dengan

mengamati popularitas keutamaan rawi atau integritas kepribadian yang

179

Nuruddin Itr, mauḍū‟at, 79-80. 180

Muhammad Luqman Al-Salafi, Ihtimām al-Mahaddithūn bi Naqdi al-

Hadīth, Sanadan wa Matanan (Riyadh:t.t., 1987), 179.

Page 97: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

97

bersangkutan di kalangan ulama hadis, menyeleksi penilaian dari para

kritikus hadis, dan penerapan kaedah-kaedah jarh dan ta‟dil. Sementara

menyangkut dengan kapasitas intelektual sebagai periwayat hadis

(ḍabiṭ), dilakukan penilaian berdasar kesaksian para ulama, dan

menyesuaikan riwayat rawi dengan rawi yang ḍabiṭ. Kecermatan yang

cukup tinggi dalam melakukan kritik sanad dan matan, tampaknya

tidak dikenal dalam ilmu sejarah. Syuhudi, mengutip Louis Gottschalk,

menyatakan bahwa dalam ilmu sejarah kualitas para saksi hanya

bersifat umum, tidak dirinci sedemikian ketat. Misalnya ketentuan

menyatakan, kesaksian pengamat dan pelapor yang terdidik atau

berpengalaman lebih unggul dari pada yang tidak terdidik atau yang

tidak berpengalaman.181

Demikian pula lafal-lafal yang beragam dan

cukup rumit yang dikemukakan oleh ulama hadis untuk memberi

kualifikasi atas integritas kepribadian dan kapasitas intelektual rawi-

rawi, tampaknya hanya ada dalam ilmu hadis, tidak dikenal dalam ilmu

sejarah.

Pengujian terhadap para pelapor hadis atau rawi yang telah

dilakukan sejak awal telah melahirkan cabang ilmu hadis tersendiri

yang disebut dengan al-Jarḥ wa al-Ta‟dīl. Yakni persyaratan bagi

seorang rawi dalam kaitan diterima atau tidaknya hadis yang

diriwayatkan. Al-jarh sendiri mengandung pengertian yang berkaitan

dengan cacat-cacat seorang perawi yang menyebabkan hadisnya

ditolak. Sedangkan al-ta‟dīl berkaitan dengan adalat al-rawī yang

karena itu hadisnya dapat diterima. Berkaitan dengan jarh wa ta‟dil ini,

seperti yang dikatakan Afif Muhammad, tampaknya sudah selesai

dilakukan dalam pengertian bahwa kredibilitas para rawi telah

dibukukan secara baik oleh para kritikus hadis.182

Pernyataan ini dapat

saja diterima mengingat banyaknya karya-karya tulis di bidang ini yang

muncul dari yang sederhana sampai dengan yang paling lengkap. Tentu

saja kita berhutang budi pada kritikus-kritikus yang telah melahirkan

karya semisal Mizan al-I‟tidal, Tahzib al-Tahzib, dan Tahzib al-Kamal,

karena melalui kitab semacam ini kita dapat melacak kredibilias para

perawi hadis.

Berkaitan dengan kritik sanad dan matan, sebagian orang

menyatakan bahwa kritik sanad mendapat prioritas dari ulama-ulama

181 Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta:

Bulan Bintang, 1994), 205. 182 Afif Muhammad, Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas

Hadis Nabi SAW, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5, 28. Maret-Juni 1992.

Page 98: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

98

hadis. Muhammad Afif misalnya, menyatakan bahwa meskipun kritik

matan telah dirintis sejak awal oleh para sahabat generasi pertama,

tampaknya belum dilanjutkan secara sungguh-sungguh. Selama ini,

kriteria ṣaḥīḥ-nya sebuah hadis, masih ditentukan oleh ke-ṣaḥīḥ-an

sanad-nya. al-Bukhari sendiri, memaksudkan ṣaḥīḥ di situ adalah ṣaḥīḥ

sanad-nya. Ini terlihat dengan jelas bila kita memperhatikan

keseluruhan judul yang diberikan pada kitab ṣaḥīḥ-nya, yakni Al-Jamī‟

al-Ṣaḥīḥ al-Musnad al-Mukhtashar min „Umur Rasulillah SAW wa

Sunanih wa Ayyamih. Dalam judul tersebut tertera secara jelas kalimat

al-Jamī‟ al- Ṣaḥīḥ al-Musnad (himpunan hadis yang ṣaḥīḥ

sanadnya).183

Agaknya memang sulit dihindari kesan prioritas kiritik

pada sanad ketimbang matan, meskipun pada kenyataannya

kesungguhan ulama hadis dalam meneliti matan tak dapat diragukan.

Hal ini disebabkan karena sanad hadis merupakan keharusan pertama

dalam kritik hadis, sebab sanad yang tidak dapat dipertahankan

validitasnya matannya tak dapat dinyatakan dari Rasul. Karenanya para

ulama hadis terdahulu tampaknya telah terserap waktu dan energinya

oleh studi atas sanad hadis.

Kenyataan di atas memang mengundang persoalan.

Pernyataan-pernyataan yang sangat miring tentang ini terutama

dimajukan oleh para orientalis. Ignaz Golziher misalnya, menyatakan

bahwa kaum muslim hanya mengandalkan penelitian sanad semata,

tampa memperhatikan matan hadis. Kualitas hadis hanya ditentukan

oleh kualitas sanad. Pernyataan yang lebih tajam lagi adalah bahwa

ulama-ulama hadis tak segan-segan memasukan suatu kalimat di dalam

matan hadis.184

Tetapi, meskipun pernyataan-pernyataan Ignaz

Golziher sama sekali tak mempunyai alasan yang kuat, namun

menggugah para ulama hadis untuk melakukan kajian yang lebih dalam

dan intensif terhadap kritik sanad dan matan hadis.

Mungkin sekali terdapat banyak hadis yang dari segi sanad-

nya ṣaḥīḥ, tetapi tampak bertengan dengan al-Qur‘an. Karena itu orang-

orang seperti Ahmad Amin dan Abu Rayyah menolaknya. Tetapi, jelas

sekali bahwa mereka sangat tergesa-gesa mengambil kesimpulan

hingga membuat pernyataan yang keliru. Berbeda dengan Muhammad

al-Ghazalī, meskipun dalam sebuah karyanya mempersoalkan banyak

hadis yang dipandangnya bertentangan dengan al-Qur‘an dan secara

183

Afif Muhammad, Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas

Hadis Nabi SAW, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5, 29. (1992). 184 Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,1995), 15.

Page 99: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

99

sengit mengecam orang yang memahami dan mengamalkannya secara

tekstual, ia mencoba mencari alternatif lain dalam memahaminya.

Pengujian matan hadis atas al-Qur‘an menjadi tolak ukur pengujian ke-

ṣaḥīḥ-an suatu hadis.

Tetapi, studi atas matan hadis memang tidak mudah dilakukan

sebab sebagian kandungan matan hadis berkaitan dengan keyakinan,

hal-hal ghaib, dan petunjuk-petunjuk kegiatan keagamaan yang bersifat

ta‟abbudi. Di sisi lain, juga pengujian atas matan hadis diperlukan

dengan pendekatan rasio, sejarah, dan prinsip-prinsip pokok ajaran

Islam. Dari sini penulis melihat bahwa studi kritis atas matan hadis

sebetulnya lebih bersifat relatif dan subjektif. Artinya, ketika sebuah

matan hadis dihadapkan dengan al-Qur‘an misalnya, sebagian orang

dapat saja mengatakan bertentangan dengan logika atau al-Qur‘an,

tetapi sebagian yang lain tidak menganggap bertentangan dengan

logika atau al-Qur‘an. Sebab penilaian bertentangan atau tidaknya

dengan rasio atau al-Qur‘an sangat terkait dengan pendekatan

pemahaman dan konsep teologisnya.

Secara garis besar, ada dua tipologi pemahaman ulama atas

hadis: Pertama, pemahaman atas hadis Nabi tanpa mempedulikan

proses sejarah yang melahirkannya a history. Tipologi ini dapat disebut

tekstualis. Kedua, pemahaman kritis dengan mempertimbangkan asal-

usul (asbāb al-wurūd) hadis. Tentu saja di sini mereka memahami

hadis secara kontekstual.

Pemahaman hadis tekstual dan kontekstual tidaklah dalam

dikotomi hitam putih yang dapat diletakkan dalam strata. Tetapi, kedua

pemahaman ini bersifat relatif dan kondisional. Artinya, pada hadis-

hadis tertentu, salah satu tipe pendekatan merupakan satu keharusan.

Karena itu, menurut Syuhudi Ismail, ada hadis-hadis Nabi yang tekstual

dan yang kontekstual. Menurutnya, pemahaman hadis secara tekstual

ini dilakukan bila hadis bersangkutan setelah dihubungkan dengan segi-

segi yang berkaitan dengannya, seperti asbāb al-wurūd hadis, tetap

menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis

tersebut. Sedangkan pemahaman kontekstual terhadap hadis-hadis Nabi

dilakukan bila hadis-hadis dimaksud terasa tidak komunikatif lagi

dengan zaman.

Tetapi kemudian, tampaknya, pemahaman tekstual lebih

mendominasi atas hadis-hadis Nabi. Padahal sebetulnya di luar bidang

ibadah, hadis pada umumnya lebih banyak bersifat kondisional.

Pemahaman kontekstual atas hadis Nabi mungkin sekali tenggelam

Page 100: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

100

dalam pelukan Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang lebih suka memakai

hadis secara tekstual. Pemahaman secara tekstual ini, seperti yang

dijelaskan Amin Abdullah, memang diperlukan oleh Ahlus Sunnah wal

Jama‟ah demi mempertahankan ekuilibrium kekuatan ajaran yang telah

diterima.185

Pengaruh Ahlus Sunnah wal Jama‟ah yang begitu kuat dan

mengkristal menyebabkan para kaum muslim lebih suka menerima apa

adanya, seperti yang tertulis dalam kutub al-sittah. Karena itu

penjelasan-penjelasan (sharah) atas literatur-literatur hadis lebih

banyak didominasi oleh pemahaman-pemahaman tekstualis.

Jelas sekali terlihat keseganan para ulama dalam

pengembangan pemikiran terhadap hadis Nabi. Tetapi, tidak demikian

halnya dengan al-Qur‘an. Pengembangan pemikiran terhadap al-Qur‘an

tampaknya cukup intens dilakukan sehingga melahirkan banyak tafsir-

tafsir yang cukup beragam. Tidak demikian halnya dengan hadis.

Karya-karya yang memuat penjelasan-penjelasan hadis tampaknya

tidak terlalu intens dimunculkan, apalagi dengan corak yang berbeda

satu dengan yang lain.

Pemahaman kontekstual terhadap sebahagian hadis Nabi

merupakan sebuah tuntutan keharusan–karena pemahaman tekstual

tidak selamanya mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-

persoalan yang muncul belakangan, bahkan menjadi komunikatif lagi

dengan ruang dan waktu di mana kita berada. Sebagai contoh hadis

yang menyatakan: Tidaklah seorang perempuan bepergian kecuali

bersama Mahram‖, demikian pula tentang siwak: ―Siwak itu

membersihkan mulut dan menjadikan Allah ridha‖. Karena penjelasan-

penjelasan atas hadis yang semisal ini dilakukan dengan pemahaman

tekstual, maka sebagian sarjana-sarjana muslim lantas menyerang hadis

yang tanpak kontradiktif dan tidak komunikatif dengan zaman–

meskipun ulama hadis menyatakan bahwa hadis tersebut dilihat dari

kaedah-kaedah ilmu hadis yang demikian ketat, validitasnya diakui dan

maqbūl (ṣaḥīḥ). Ketika menanggapi hadis tentang penciptaan

perempuan dari tulang rusuk, kaum feminis muslim seperti Rifat

Hasan, cenderung menolak hadis ini, baik dari segi sanad maupun

matan-nya. Dari segi sanad ia mengatakan ḍa‟īf karena beberapa orang

rawinya dinilainya tidak dapat dipercaya. Tetapi mayoritas ulama

berdasarkan kaedah-kaedah ke-ṣaḥīḥ-an hadis menyatakan hadis ini

185

Yunahar Ilyas, Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis (Yogyakarta:

LPPI Universtas Muhammadiyah Yogyakarta, 1996), 209.

Page 101: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

101

berprediket ṣaḥīḥ. Sedangkan dari segi matan ia menyatakan bahwa

hadis ini mengandung elemen-elemen misoginis.186

Hadis pada umumnya adalah penafsiran kontekstual dan

situasional atas ayat-ayat al-Qur‘an dalam merespons pertanyaan atau

masalah yang dihadapi sahabat. Karena itu tampaknya ia bersifat

temporal dan kontekstual. Dengan semakin jauh terpisahnya hadis dari

situasi sosial yang melahirkannya, maka sebagian hadis Nabi secara

literal terasa tidak komunikatif lagi dengan realitas kehidupan sosial

saat ini. Dengan demikian, studi kritis atas hadis Nabi pada sisi

pemahaman atas hadis merupakan satu keharusan. Karena itu upaya

atau pengkajian terhadap konteks-konteks hadis merupakan aspek yang

sangat penting dalam menangkap makna hadis yang akan diamalkan.

Sayangnya, menurut Afif Muhammad,187

pendekatan kontekstual atas

hadis Nabi SAW, belum begitu memperoleh perhatian.

Ketika memahami hadis secara kontekstual, banyak sekali

pertimbangan yang dilakukan. Sebab hadis sebagai sebuah ucapan dan

teks sesungguhnya memiliki sekian banyak variabel serta gagasan yang

tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar kita lebih bisa

mendekati kebenaran mengenai gagasan yang hendak disampaikan oleh

Rasul. Tanpa memahami motiv di balik penyampain sebuah hadis,

suasana-psikologis, dan sasaran ucapan Nabi, maka mungkin sekali kita

akan salah paham dalam membacanya. Menyadari bahwa ucapan dan

pengucapnya, suasana-psikologis dan sasaran ucapan saling bertautan,

maka dalam setiap pemahaman dan penafsiran yang dilakukan, ketiga

hal ini sangat berperan sekali.

Dengan demikian, ketika melakukan pemahaman kontekstual

atas hadis sebenarnya seorang penafsir atau pembaca memposisikan

sebuah teks (baca: hadis) ke dalam sebuah jaringan wacana. Ibarat

sebuah gunung es, sebuah teks adalah fenomen kecil dari puncak

gunung yang tanpak di permukaan. Oleh karena itu, tanpa mengetahui

latar belakang sosial budaya dari mana dan dalam situasi apa sebuah

teks muncul, maka sulit mengangkap makna pesan dari sebuah teks.188

186

Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur‟an Klasik dan

Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), 69-70. 187

Afif Muhammad, Kritik Matan: Menuju Pendekatan Kontekstual Atas

Hadis Nabi Saw, dalam Jurnal al-Hikmah, No. 5, 25. (1992). 188 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian

Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996). 214.

Page 102: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

102

Tiba di sini, maka kajian mendalam terhadap sirah

Nabawiyah menjadi bagian yang sangat penting. Sebab, pemahaman

terhadap sirah Nabawiyah akan memberikan perspektif yang lebih luas

tetang ruang dan waktu munculnya sebuah hadis. Kalau pendapat ini

diterima maka mereka yang mendalami sejarah Rasulullah sudah tentu

akan memiliki pemahaman berbeda dari yang tidak mempelajarinya

ketika sama-sama memahami sebuah hadis.

Akan tetapi, untuk mendapatkan pemahaman konteks-konteks

hadis dengan tepat, maka tak pelak lagi upaya penghimpunan sebanyak

mungkin hadis yang berada dalam satu pembicaraan. Ini dimaksudkan

untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dari konteks-konteks hadis

itu. Karena hadis-hadis pada dasarnya saling terkait satu sama lain,

bahkan seperti al-Quran ―yufassiru ba‟ḍuha ba‟ḍan‖ (satu sama lain

saling menafsirkan). Teknik ini tidaklah sulit untuk dilakukan, sebab

kitab-kitab hadis telah memiliki sistematika yang baik.

Secara epistimologis, hadis dipandang oleh mayoritas umat

Islam sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur‘an. Sebab ia

merupakan bayan (penjelas) terhadap ayat-ayat al-Qur‘an yang masih

mujmal (global), ‗am (umum) dan mutlaq (tanpa batasan). Bahkan

secara mandiri hadis dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu

hukum yang belum ditetapkan oleh al-Qur‘an.189

Namun untuk memahami maksud suatu hadis secara baik

terkadang relatif tidak mudah, khususnya jika kita menjumpai hadis-

hadis yang tampak saling bertentangan. Terhadap hal yang demikian,

biasanya para ulama hadits menempuh metode tarjīh (pengunggulan)

atau nasakh-mansukh (pembatalan) dan atau metode al-Jam‟u

(mengkompromikan) atau tawaqquf (mendiamkan) untuk tidak

mengamalkan hadis sampai ditemukan adanya keterangan, hadis

manakah yang bisa diamalkan. Sikap men-tawaquf-kan atau

mendiamkan hadis ini, masih bisa diberikan solusi dengan cara

memberikan takwil atau interpretasi secara rasional terhadap hadis

tersebut.190

189

Wahbah Zuhaili, al-Qur‟an al-Karim wa Bunyatuhu at-Tasyri‟iyyah wa

Khadhariyyah (Beirut:Dar al-Fikr, 1993), 48. 190

Orang yang pertama kali berbicara mengenai ilmu Ta‟wīl al-Ḥadīth

adalah Imam al-Shafi‘ī (w. 204 H), beliau menyusun kitab Mukhtalif al-Ḥadīth. Lihat

Muhammad Abū Zahwu, al-Ḥadīth wa al-Muḥaddithun (Mesir:Syirkah Misyriyyah,

t.th.), 471.

Page 103: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

103

Secara metodologis upaya memahami hadis dilakukan dengan

tiga tahap, yaitu penentuan problem pemahaman hadis yang

diselesaikan, penentuan pendekatan yang relevan bagi solusi problem

yang bersangkutan beserta teknik aplikasinya, dan pengambilan

kesimpulan dengan mengungkap petunjuk dan pelajaran dari hadis

yang bersangkutan. Sebagai penyempurna langkah-langkah tersebut

dapat dilakukan perumusan petunjuk hadis secara kontekstual untuk

menjawab persoalan yang muncul pada kurun waktu yang

bersangkutan atau sebagai langkah antisipasi bagi persoalan yang

mungkin akan muncul pada masa yang akan datang.191

Perbedaan antara setting budaya yang melingkupi kehidupan

orang yang akan memahami hadis dengan setting budaya yang

melingkupi kehidupan Rasulullah SAW, maka semakin besar problem

pemahaman yang dihadapinya. Dengan demikian, sebenarnya

pemahaman hadis selalu dapat menyelesaikan problem-problem

pemahaman yang dihadapi umat pada setiap masa. Dari sisi lain, ketika

aplikasi nilai-nilai agama menuntut pembaharuan metodologis sejalan

dengan perkembangan persoalan dunia yang semakin kompleks, maka

pembaharuan metodologi pemahaman hadis pun harus dilakukan

dengan berpijak pada kaidah-kaidah ijtihad yang relatif mapan.192

191

Problem-problem pemahaman hadis terdapat dalam sanad dan matan.

Probem-problem pemahaman hadis pada sanad meliputi persoalan para periwayat di

dalamnya, yaitu identitasnya dan karakteristiknya. Sedangkan problem-problem

pemahaman hadis pada matan hadis meliputi asal-usul lafal-lafal hadis dan makna

leksikalnya, struktur kalimat dan makna gramatikalnya, serta petunjuk tekstual dan

kontekstual.

Penyelesaian setiap problem pemahaman memerlukan sejumlah pendekatan

yang relevan dan teknik benar. Pendekatan-pendekatan dalam menyelesaikan

problem pemahaman sanad dan para periwayatnya adalah dengan ilmu rijal al-ḥadīth.

Pendekatan-pendekatan dalam membahas asal-usul lafal-lafal hadis dan

menyelesaikan problem pemahaman makna leksikal adalah dengan ilmu ṣarf, syair-

syair dan kata-kata mutiara Arab Jahiliah, kamus-kamus bahasa Arab dan

ensiklopedia Arab klasik, keterangan para sahabat dan para periwayat hadis, serta

keterangan ahli di bidangnya. Pendekatan-pendekatan dalam menyelesaikan problem

pemahaman struktur kalimat dan makna gramatikalnya adalah ilmu nahw dan ilmu

balaghah. Pendekatan-pendekatan dalam menyelesaikan problem pemahaman

petunjuk hadis adalah al-Qawā‟id al-Uṣuliyyah, maqasid al-shari‟ah, dan al-qawa‟id

al-fiqhiyyah. Lihat Mujiyo, ―Syarah Hadis dalam Tradisi Keilmuan Islam: Genealogi

dan Metodologi‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), 249. 192

Wacana kontemporer kajian hadis dan ilmu hadis cenderung

menggunakan pendekatan historis sebagai akibat dari pengaruh pemikiran sejumlah

orientalis. Ketika Fazlurrahman kagum dengan dengan Ignaz Goldziher yang

Page 104: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

104

Hasil ijtihad tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan

sosiokultural tempat ia tinggal, faktor politik yang dia dukung, latar

belakang bacaan, mazhab dan kecendrungan pemikiran yang ia anut,

serta lingkungan pendidikan.193

Penyebarluasan sunah disertai pemahaman yang benar

merupakan suatu kewajiban, baik secara moral, rasional, maupun

sosial, guna menciptakan iklim keterbukaan dan mengembalikan setiap

permasalahan yang diperselisihkan dalam masyarakat kepada

sumbernya, yaitu sunnah Rasulullah SAW.194

Dari sekian aspek-aspek kajian ilmu hadis, fiqh al-ḥadītḥ

merupakan dimensi yang tak kalah pentingnya setelah ilmu dirayah dan

musṭalah ḥadītḥ. Hal ini karena fiqh al-ḥadītḥ, adalah kajian yang

mencoba menggali dan memahami ajaran yang terkandung dalam

hadis-hadis Nabi untuk dapat diamalkan. Apresiasi terhadap Islam tidak

hanya cukup dengan mengetahui adanya pesan-pesan Allah dan Rasul

serta memperagakan ketaatan semata, tetapi juga lebih jauh dari itu,

yakni kemampuan menangkap dan memahami pesan-pesan yang

dinilainya sebagai seorang ahli yang pertama sekali berpandangan tajam mengenai

evolusi hadis, maka penghargaannya itu disambut baik oleh Daniel W. Brown dan

menjadikannya penasaran besar hingga ia melakukan penelitian ke pusat-pusat

pemikiran hadis kontemporer, yaitu Mesir dan India, hingga menghasilkan buku yang

menghebohkan, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought. Pemikiran

Fazlurrahman tersebut juga cukup berpengaruh kepada pemikiran sejumlah pakar

Islam kontemporer di Indonesia. Lihat Mujiyo, ―Syarah Hadis dalam Tradisi

Keilmuan Islam: Genealogi dan Metodologi‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2010), 25, dan lihat juga Fazlurrahman, Membuka Pintu Ijtihad, Terjemah

Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 1995), 5. 193

Dengan demikian, pokok ini bersifat relatif, artinya tidak mengikat semua

orang. Penafsiran mujtahid di Mesir terhadap suatu ayat tentu akan berbeda dengan

mujtahid di Baghdad. Hukum tertentu yang berlaku di Indonesia akan berbeda dengan

di Malaysia, padahal keduanya sama-sama mengacu pada suatu ayat atau hadis. Lihat

Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam: Biografi Intelektual 17

Tokoh (Jakarta: Grasindo, 2003), 2. 194

Pemahaman atau terjemah terhadap kontekstual hadis dengan

menggunakan tema dan konsep dari sosial, politik, dan diskursus agama di Indonesia.

Etnograpi merupakan salah satu pendekatan untuk memahami teks hadis pada zaman

kontemporer di Indonesia, dan penggunaan pendekatan hermeneutik tidaklah cukup

untuk memahami teks hadis. Menggunakan pendekatan-pendekatan ini dapat

menangkap pesan-pesan yang bersifat sosial dan politik di Indonesia. Lihat Mark R.

Woodward, Textual Exegesis as Social Commentary: Religious, Social, and Political

Meaning of Indonesian Translation of Arabic Hadith Texts, The Journal of Asian

Studies, Vol. 52, No.3 (1993), 569. http://www.jstor.org/stable/2058854. (Accessed:

27/01/2014)

Page 105: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

105

terkandung di balik redaksi al-Qur‘an dan hadis-hadis Nabi.

Kemampuan inilah sebetulnya yang paling penting dalam mencuatkan

dan meneguhkan karakter agama yang moderat, tidak memberatkan dan

ṣalih lī kullī zaman wa makan (selalu selaras dengan ruang dan waktu

manapun).

Terdapat dua kegiatan pokok dalam menafsirkan dan

memahami teks, yaitu memahami dan menjelaskan. Kedua langkah

tersebut mesti berjalan seirama. Artinya seorang mufasir dan pensyarah

harus memiliki keahlian dalam memahami teks yang menjadi objek

kajiannya, sekaligus memiliki keahlian dalam menjelaskan apa yang

telah dipahaminya. Apabila kedua keahlian tersebut tidak seirama,

maka ia tidak dapat menafsirkan atau mensyarah dengan baik.195

Orang yang tidak bisa memahami teks dengan benar, ia tidak

akan bisa menafsirkan atau mensyarahnya dengan benar, meskipun ia

orang pandai dan kritis dalam hal lain. Demikian juga, orang yang

mampu memahami teks dengan benar, tapi tidak mampu menjelaskan

apa yang telah dipahaminya itu dengan benar, maka penafsiran atau

syarahnya tidak akan membuahkan pemahaman yang benar. Hal ini

menunjukkan bahwa obyektifitas dalam menafsirkan dan mensyarah

teks terletak pada pemahaman teks dengan benar dan menjelaskan

sesuai dengan pemahaman tersebut. Pemahaman seorang mufasir dan

menyampaikan sebagaimana mestinya, tidak menyimpang, tidak

menguranginya, dan tidak pula melebihinya.

Oleh karena itu, seorang ahli hadis tidak boleh mengungkap

maksud Rasulullah SAW di balik sabda-sabdanya secara spekulatif,

melainkan harus berdasarkan analisa yang seksama dengan

memperhatikan berbagai indikasi yang menunjukkannya.196

195

Persoalan yang mendasar dalam analisis semantik adalah sejauh manakah

seorang mufasir atau pensyarah dapat memahami maksud pengarang teks

(narasumber), makna teks yang terucapkan, dan informasi obyektif dari kalimat yang

terucap itu. Dalam tradisi studi hadis, Rasulullah SAW diyakini sebagai sosok yang

sempurna dan selalu benar. Untuk mengetahui apa yang dimaksudkan dari sabda-

sabdanya diperlukan penggunaan ilmu penunjang dan studi teks. Lalu pemahaman

yang ditopang oleh ilmu-ilmu penunjang yang memadai dinilai sebagai sebuah

kebenaran, meskipun bersifat nisbi. Lihat Mujiyo, ―Syarah Hadis dalam Tradisi

Keilmuan: Genealogi dan Metodologi‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2010),

35. 196

Ilmu ma‟ani merupakan media bagi para pensyarah hadis untuk

memahami suatu teks hingga menembus maksud dibalik teks tersebut. Kaidah-kaidah

dalam ilmu ma‟ani dirumuskan berdasarkan karakter bahasa Arab dari narasumber

yang disepakati sebagai pihak yang memiliki otoritas kebahasaan, yaitu Allah,

Page 106: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

106

Pemahaman hadis yang ideal adalah mensyarah hadis dengan

berpijak pada kaidah-kaidah yang dirumuskan dan digunakan para

ulama terdahulu dan memadukannya dengan kaidah-kaidah baru yang

mendukung atau yang memperbaiki fungsinya. Maksudnya landasan

syarah yang kuat dan mekanismenya yang akurat tetap dipedomani

dengan mengakomodasi beberapa pendekatan kontemporer yang

mendukung.

Uraian di atas menunjukkan bahwa prinsip metode pemahaman

hadis berpijak kepada landasan dan mekanisme warisan ulama

terdahulu, sedangkan pendekatan yang digunakan serta sistematika

pembahasan dapat menyesuaikan dengan tuntutan kemajuan

metodologis yang berkembang.

Ada banyak peneliti hadis di Indonesia pada masa sekarang,

yang mencoba merekonstruksi metodologi pemahaman hadis agar hadis

dapat dipahami dan diamalkan pada masa sekarang, diantaranya adalah

Studi Kritis Hadis Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual Asbāb al-

Wurūd yang ditulis oleh Said Agil Munawwar, Telaah Ma‟ani al-Hadis

yang ditulis oleh M. Syuhudi Ismail, Rethinking Hadith Critical

Methods yang ditulis oleh Kamaruddin Amin,dan Kritik Hadis oleh Ali

Mustafa Ya‘qub, dan lain-lain.

Pada awal perkembangan hadis di Indonesia, penelitian yang

dilakukan hanya sebatas penelitian sanad saja. Sedangkan pada abad

XIX sampai dengan abad XX, penelitian hadis lebih mengacu kepada

pembahasan ilmu hadis, dan ini terlihat dari beberapa karya yang

terdapat pada masa itu. Dan pada abad XXI pengkajian hadis lebih

mengacu kepada metodologi pemahaman hadis.197

Rasulullah SAW, dan para penyair Jahiliah yang terkenal keahliannya. Adapun

mekanisme pengambilan informasi atau petunjuk teks yang ditempuh para ahli hadis

adalah melalui uṣul al-fiqh. Mujiyo, ―Syarah Hadis dalam Tradisi Keilmuan:

Genealogi dan Metodologi‖, 36. 197

Karya-karya hadis di Indonesia dimulai dari karya Muhammad Mahfudz

ibn ‗Abdullah al-Tirmasi, yaitu manhaj Zawi al-Nadar berupa syarah terhadap karya

Jalāluddīn al-Suyuṭi, Manzumah „Ilm al-„Athar. Kemudian karya-karya yang

dijadikan rujukan standar untuk perkuliahan hadis di lingkungan IAIN di Indonesia,

yaitu karya Mahmud Yunus, Ilmu Musṭalah al-Ḥadīth; karya Hasby Ash-Shiddieqi,

Sejarah dan Pengantar Ulum al-Hadith, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis; karya

Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalah al-Hadits; karya Utang Ranuwijaya dan

Munzier Suparta, Ilmu Hadits; karya A. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits; karya

Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits; karya Endang Soetari, Ilmu Hadis; dan

karya-karya lainnya yang bersifat pengembangan terhadap pemikiran dari cabang-

cabang ilmu hadis.

Page 107: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

107

Pada tataran ajaran Islam inilah muncul pemikiran modern

dalam Islam. Pemikiran modern muncul sebagai akibat adanya

penafsiran baru atas ayat al-Qur‘an dan hadis Nabi SAW yang coba

disesuaikan dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh

kemajuan yang dibawa bangsa Barat. Semua pemikir modern

berasumsi bahwa kalau Islam ingin survive dan berhadapan dengan

perkembangan modern, ia harus mengalami redefenisi, rekonstruksi,

dan reaktualisasi.

Di samping itu, dalam diskursus ilmu hadis juga dikenal bahwa

hadis itu ada yang memiliki asbāb al-wurud khusus, ada pula yang

tidak.198

Untuk kategori pertama, yakni hadis-hadis yang memiliki

sebab khusus kita dapat menggunakan perangkat ilmu yang disebut

asbāb al- wurud dalam memahami maknanya. Persoalannya adalah

bagaimana jika suatu hadis tidak memiliki asbāb al-wurud secara

khusus. Disinilah pemikiran Said Agil tentang relevansi asbāb al-

wurud, yakni adanya kemungkinan melakukan analisis pemahaman

hadis (fiqh al-ḥadīth) dengan pendekatan historis, sosiologis,

antropologis, bahkan mungkin juga pendekatan psikologis.

Aplikasi pemahaman hadis dengan pendekatan historis-

sosiologis-antropologis adalah seperti hadis berikut:

حذثا كع حذثا االعش ع صم أب األصذ ع بكش انجزسي ع أش لال

كا ف بت سجم ي األصاس فجاء انب صهى هللا عه صهى حتى لف فأخز

يثم رنك يا ارا بعضادة انباب فمال األئت ي لشش نى عهكى حك نكى

اصتشحا سحا ارا حكا عذنا ارا عاذا فا ف نى فعم رنك يى

199. فعه نعت هللا انالئكت اناس أجع

Artinya: “Waqi‟ telah menceritakan kepada kami, A‟masy telah

menceritakan kepada kami dari Sahal Abī al-Asad dari

Bukair al-Jazarī dari Anas berkata: kami berada di rumah

salah seorang Anshar, lalu Nabi SAW datang kemudian

berdiri membelakangi pintu lalu bersabda: “Pemimpin itu

dari suku Quraish. Dan mereka mempunyai hak atas kamu

sekalian dan kamu juga mempunyai hak atas mereka.

Dalam beberapa hal mereka dituntut untuk berlaku santun,

198

Ibnu Hamzah al-Husaini ad-Dimashqi, al-Bayan wa at-Ta‟rif fi Asbābī

Wurudi al-Ḥadīth al-sharif, Jilid 1 (Beirut:Dar ast-Tsaqafahal-Islamiyyah,t.th.), 32. 199

Ahmad ibn Hanbal Abū Abdillāh asy-Syaibānī, Musnad Imam Ahmad ibn

Hanbal (Keiro: Mu‘assasah Qurtubah, tth) Jilid 3, 183.

Page 108: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

108

maka mereka berlaku santun. Jika mereka berjanji, mereka

tepati. Kalau ada dari kalangan mereka yang tidak berlaku

demikian, maka orang itu akan memperoleh laknat dari

Allah, malaikat dan umat manusia seluruhnya”.

Ibnu Hajar al-‗Asqālanī telah membahas hadis-hadis tersebut

secara panjang lebar. Dikatakan bahwa tidak ada seorang ulama pun

kecuali dari kalangan Mu‘tazilah dan Khawarij yang membolehkan

jabatan kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku

Quraish. Dalam sejarah memang telah ada para penguasa yang

menyebut diri mereka sebagai khalifah, padahal mereka bukanlah dari

suku quraish. Menurut pandangan ulama, sebutan khalifah tersebut

tidak dapat diartikan sebagai kepala negara (al-imamah al-„uzma).200

Menurut al-Qurṭubī, kepala negara disyaratkan harus dari suku

Quraish. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraish tinggal

satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala negara.201

Pemahaman secara tekstual terhadap hadis di atas dan semakna

dengannya dalam sejarah telah menjadi pendapat umum ulama, dan

karenanya telah menjadi pegangan para penguasa dan umat Islam

selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut

dikemukakan oleh Nabi SAW dalam kapasitas beliau sebagai

Rasulullah dan berlaku secara universal.

Apabila kandungan hadis di atas dihubungkan dengan fungsi

Nabi SAW, maka dapatlah dikatakan bahwa pada saat hadis itu

dinyatakan, Nabi SAW berada dalam fungsinya sebagai kepala negara

atau pemimpin masyarakat. Indikasi (qarinah) antara lain adalah

ketetapan yang bersifat primordial, yakni sangat mengutamakan orang

suku Quraish. Hal ini tidak sejalan dengan petunjuk al-Qur‘an,

misalnya yang menyatakan bahwa orang yang paling utama di hadapan

Allah SWT adalah orang yang paling bertaqwa.202

Jadi hadis ini

dikemukakan Nabi SAW sebagai ajaran yang bersifat temporal.

Pemahaman hadis seperti ini lebih kontekstual, akomodatif dan

dinilai lebih komunikatif dengan perkembangan zaman. Karena

memahami hadis Rasulullah SAW dengan pendekatan sosiologis,

200

Aḥmad ibn ‗Alī ibn Hajar al-Asqalanī, Fath al-Bārī bi Sharh Ṣaḥīḥ al-

Bukhārī (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz VI, 526-536 201

Aḥmad ibn ‗Alī ibn Hajar al-Asqalanī, Fath al-Bārī bi Sharh Ṣaḥīḥ al-

Bukhārī (Beirut: Dar al-Fikr, tth), 118 202

Al-Qur‘ān surat al-Hujurat ayat 13

Page 109: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

109

antropologis dan psikologis terkesan lebih lentur dan elastis. Akan

tetapi sudah barang tentu dengan tujuan tetap mempertahankan ruh,

semangat, dan nilai yang terkandung di dalam hadis tersebut. Seluruh

ijtihad para ulama ini adalah dengan satu tujuan yaitu untuk menjaga

keorisinilan hadis terutama dari sudut pemahamannya dan agar tujuan

syari‘at (maqāshid al-shari‟ah) sebagai rahmatan lil „ālamin dapat

dicapai.

Oleh sebab itu kebenaran pemahaman dengan cara atau

pendekatan di atas masih bersifat nisbi dan masih memiliki ruang untuk

diperselisihkan dan didiskusikan lebih lanjut.

Pendekatan pemahaman hadis kontekstual seperti ini

sebenarnya sudah lama diterapkan oleh Imam al-Shafi‘ī dalam

menjelaskan hadis-hadis mukhtalīf.203

Menurutnya faktor penyebab

timbulnya penilaian suatu hadis bertentangan dengan lainnya adalah

karena tidak mengetahui asbāb al-wurūd suatu hadis, atau dengan kata

lain karena tidak memperhatikan konteksnya.204

Dengan demikian jelaslah bahwa memahami hadis dengan

memperhatikan konteksnya tidak saja dapat mengantarkan penemuan

maksud hadis yang lebih representif melainkan juga menemukan

pengompromian atau penyelesaian hadis yang dinilai kontradiksi

sehingga hadis dapat dipahami sesuai dengan perkembangan zaman.

Dengan pendekatan-pendekatan historis, sosiologis, dan

antropologis, diharapkan akan mampu memberikan pemahaman hadis

yang relative lebih tepat, apresiatif dan okomodatif terhadap perubahan

dan perkembangan zaman. Sehingga dalam memahami suatu hadis kita

203

Hadis mukhtalīf adalah dua buah hadis yang saling bertentangan pada

makna lahiriahnya. Maka untuk menyelesaikan keduanya dikompromikan atau

ditarjīh. Lihat Jalal al-Din Abdurrahman ibn abi Bakar al-Suyūthī, Tadrib al-Rāwī fī

Sharh Taqrib al-Nawāwī (Madinah: Maktabah Ilmiah, 1972), cet ke-2. jilid II, 196

Mengenai hadis mukhtalīf, al-Shafi‘ī tidak memberikan defenisi yang tegas.

Dalam bukunya al-‗Umm, dapat diketahui ada beberapa cara yang digunakan Imam

al-Shafi‘ī dalam menyelesaikan hadis mukhtalif ini sebagai mana yang disimpulkan

oleh Edi Safri yaitu: 1) penyelesaian dalam bentuk kompromi yang mencakup

penyelesaian berdasarkan pendekatan kaedah uṣul, penyelesaian berdasarkan

pendekatan pemahaman kontekstual, penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif,

penyelesaian berdasarkan takwīl. 2) Penyelesaian dalam bentuk nasakh. 3)

Penyelesaian dalam bentuk tarjīh. 4) Penyelesaian dalam masalah tanawu‟ al-ibadah.

Lihat Edi Safri, Mukhtalif, 97. 204

Edi Safri, Al-Imam al-Syafi‟ī: Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif

(Padang: IAIN IB Press, 1999), 104.

Page 110: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

110

tidak hanya terpaku pada zahirnya teks hadis, melainkan harus

memperhatikan konteks sosio-kultural waktu itu.

Dengan demikian, hadis-hadis Nabi SAW. sebagai mitra al-

Qur‘an secara teologis juga diharapkan dapat memberi inspirasi untuk

membantu menyelesaikan problem-problem yang muncul dalam

masyarakat kontemporer sekarang.205

Yang dimaksud dengan pendekatan historis dalam hal ini adalah

suatu upaya memahami hadis dengan cara mempertimbangkan kondisi

historis-empiris pada saat hadis itu di sampaikan Nabi SAW. Dengan

kata lain, pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan

dengan cara mengaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat dalam

hadis dengan determinasi-determinasi sosial dan situasi historis cultural

yang mengitarinya. Pendekatan model ini sebenarnya sudah dirintis

oleh para ulama hadis sejak dulu, yaitu dengan munculnya ilmu asbāb

al-wurud yaitu suatu ilmu yang menerangkan sebab-sebab mengapa

Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkanya.206

Ilmu yang berbicara mengenai peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-

pertanyaan yang terjadi pada hadis disampaikan oleh Nabi SAW.207

Persoalannya adalah mengapa kita perlu mengetahui asbāb al-

wurud, tidak lain karena asbāb al-wurud dapat dijadikan sebagai pisau

bedah untuk menganalisis, menentukan takhṣīṣ (pengkhususan) dari

yang ‗am, membatasi yang mutlak, merinci yang global dan

menentukan ada tidaknya naskh (pembatasan hukum), menjelaskan

‗illat (alasan) ditetapkanya hukum dan membantu menjelaskan hadis

yang mushkil (sulit dipahami).208

Pendekatan historis menekankan pada pertanyaan mengapa

Nabi SAW bersabda demikian, dan bagaimana kondisi historis-sosio-

205

Sejarah mencatat bahwa pada zaman Nabi sampai zaman khulafā‟ al-

Rashidīn dan Bani Umayyah belum terlihat secara jelas adanya kalangan yang

menolak sunah atau hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Barulah pada awal

masa Bani Abbasīah (750-1258M) muncul sekelompok kecil orang yang berpaham

inkar al-sunnah. Lihat: Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar

dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995),14. 206

M. Hasbi ash-Shidiqie, Sejarah Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang,

1993), 163-164. 207

Defenisi tersebut merupakan analogi dari defenisi Asbāb al-Nuzūl al-

Qur‟an. Lihat al-Suyuṭī, Lubāb al-Nuqul dalam Hashiah Tafsir al-Jalalain

(Semarang: Maktabah Usaha Keluarga,t.th.), 5. 208

Untuk melihat contoh-contohnya, silahkan baca Jalaluddīn al-Suyuṭī, al-

Luma‟ fī Asbāb al-Ḥadīth (Beirut: Dār al-Fikr t.th.), 5.

Page 111: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

111

kultural masyarakat dan bahkan politik pada masa itu, serta mengamati

proses terjadinya. Adapun pendekatan sosiologi,209 menyoroti dari

sudut posisi manusia yang membawanya kepada prilaku itu. Sedangkan

antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku itu pada

tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat manusia.210

Kontribusi pendekatan antropologis adalah ingin membuat uraian yang

meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia

dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan waktu dan ruang.211

Kalaupun kita mencoba menggambarkanya dengan pendekatan

historis, sosiologis dan antropologis secara sintetik, maka hadis yang

juga merupakan fenomena keagamaan dan yang berakumulasi pada

perilaku manusia dapat didekati dengan menggunakan ketiga model

pendekatan tersebut, sesuai konteks masing-masing.

Dengan pendekatan historis, sosiologis dan antropologis

diharapkan akan memperoleh suatu pemahaman baru yang relatif lebih

apresiasif terhadap perubahan masyarakat (social change) yang

merupakan implikasi dari adanya perkembangan dan kemajuan sains

teknologi. Sudah barang tentu hal ini merupakan suatu ―ijtihad‖ yang

bersifat buatan manusia yang bisa benar dan bisa salah. Kalaupun

benar, kebenarannya tetap relatif dan nisbi serta masih debatable (dapat

diperdebatkan), namun jika keliru, kita tetap akan dapat satu pahala.

Dengan demikian, peran seorang ahli hadis sekadar

mengungkap makna dan petunjuk hadis yang di syarah, membiarkan

hadis membimbingnya kepada suatu petunjuk dan tidak

mengganggunya dengan berbagai prakonsepsi, bukan menentukan arah

makna dan petunjuknya. Dengan demikian ia akan bisa mensyarah

dengan obyektif.212

Sedangkan dalam perspektif kajian semantik Barat

209

Sosiologi di defenisikan sebagai ―the sythesizing and generalizing science

of man in all his social relationships. The focus of attention upon social relationship

make sociology a distinctive field‖ Keterangan selanjutnya baca. Arnold W. Green,

sociology an Analysis of Life in Modern Society (New York: Toroto 1960), 1-5.

Menurut Friediche seorang sosiolog naturalisme, Nabi dari suatu agama

sesungguhnya seseorang yang mengkritik dunia sosialnya dan mendengungkan

kebutuhan perubahan (reformasi) untuk mencegah malapetaka di masa mendatang.

Lihat Margaret M. Polama, Sosiologi Kontemporer (Yogyakarta: CV Rajawali

t.th.),13. 210

Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama:

Sebuah Pengantar (Yogyakarta:Tiara Wacana, 1991),1. 211

S. Menno, Antopologi Perkotaan (Jakarta:CV,Rajawali, 1992), 10-11. 212

Muhammad Shahrur dalam karyanya al-Kitab wa al-Qur‟an menyatakan

bahwa ia mensyaratkan bagi obyektifitas penelitian al-Qur‘an dengan melakukan

Page 112: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

112

penafsiran teks, termasuk pemahaman hadis di dalamnya, merupakan

seni pemaknaan terhadapnya. Sedangkan teks yang ditafsirkan telah

berada dalam zona otonom, bukan lagi dalam kekuasaan pengarangnya.

Oleh karena itu, seorang pensyarah memiliki otoritas penuh terhadap

makna dan petunjuk yang ia peroleh dari hadis yang dipahami. Ia tidak

perlu merasa terikat oleh pemahaman pada masa silam, termasuk

pemahaman pada saat teks hadis itu lahir, ia berhak memaknainya

dengan segala potensinya secara netral.213

F. Perkembangan Metodologi Pemahaman Hadis pada Abad XXI

di Indonesia.

Diskursus terhadap hadis, nampaknya selalu menarik perhatian

banyak orang, baik di negara Indonesia maupun di negara lainnya; baik

kalangan muslim maupun non-muslim. Terbukti hingga sekarang,

kajian-kajian terhadap hadis baik yang menyangkut kritik terhadap

otentisitasnya maupun metodologi pemahaman terus berkembang.214

Ada banyak pengkaji hadis di Indonesia pada abad XXI, akan

tetapi penelitian yang dilakukan kebanyakan mengenai tema dan studi

pemikiran terhadap ahli hadis di dunia. Hanya beberapa yang mencoba

membuat karya tentang rekonstruksi metodologi pemahaman hadis

Nabi SAW. Di antaranya adalah Muhammad Syuhudi Ismail, Said Agil

Al-Munawar, Ali Musthafa Ya‘qub, dan Kamarudin Amin. Para

pengkaji hadis ini mewakili dari tamatan Timur Tengah, Indonesia, dan

tamatan Barat. Hal inilah yang menyebabkan penulis ingin meneliti

tentang pemikiran mereka lebih dalam lagi.

Adapun alasan penulis memilih para pengkaji hadis ini adalah,

di samping karya-karya mereka membahas tentang metodologi

pemahaman hadis Nabi SAW, karya-karya yang mereka tulis juga

studi teks tanpa mengikutsertakan sentimen apapun. Lihat Muhammad Shahrur, al-

Kitab wa al-Qur‟an (Kairo: Sina, 1992), 30. 213

James Risser, Hermeneutic and The Voice of The Other (State University

of New York Press, 1997), 164; dan Richard E. Palmer, Hermeneutics (Evanton:

Northwester University Press, 1969), 5. 214

Di Kashmir pada abad sekarang, pemikiran ahli hadis mereka juga banyak

dipengaruhi oleh sosial-historis kontemporer disana, sehingga perkembangan

pemikiran dan kajian hadis juga berkembang disana. Lihat Bashir Ahmad Khan, The

Ahl-i-Ḥadīth: A Socio-Religious Reform Movemet in Kaṣmir, Journal The Muslim

World, (2000), 133. Published by University of Kashmir Department of History

Srinagar, Kashmir. http://www.proquest.org. (Accessed: 03/02/2014).

Page 113: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

113

digunakan di beberapa negara dan mengandung unsur pembaharuan

dalam kajian hadis.

5. Muhammad Syuhudi Ismail

Muhammad Syuhudi Ismail adalah seorang yang cukup

produktif menulis, sehingga dapat dikenal oleh berbagai

kalangan, khususnya kalangan mahasiswa IAIN, bahkan secara

khusus M. Syuhudi Ismail telah mengasah insan akademik

terutama di kalangan IAIN Alauddin Ujungpandang. Karya

monumentalnya yang terbesar adalah bukuyang diangkat dari

disertasinya yang berjudul Kaidah Keshahihan Sanad Hadis

(Telaah Kritis dengan Pendekatan Ilmu Sejarah). Menurut

Nasaruddin Umar, buku Syuhudi Ismail itu ditemuinya di

hampir semua perpustakaan besar di Kanada, Amerika Serikat,

Eropa, dan Jepang.215

Dalam permasalahan perkembangan pemahaman hadis

di Indonesia, Muhammad Syuhudi Ismail juga pernah menulis

diantaranya Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis

dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Metodologi

Penelitian Hadis Nabi, Hadits Nabi menurut pembela,

pengingkar dan pemalsunya, Ikhtisar Mushthalah Hadits, Hadis

Nabi yang tekstual dan kontekstual: telaah ma‟ani al-hadis

tentang ajaran Islam yang universal, temporal dan lokal.216

215

Arifudin Ahmad, ―Pembaharuan Pemikiran Tentang Hadis Nabi

Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail)‖

(Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2000), 8. 216

Muhammad Syuhudi Ismail lahir di Rowo Kangkung, Lumajang Jawa

Timur pada 23 April 1943. Putra dari pasangan H. Ismail dan Sufiyatun. Syuhudi

Ismail sebagai kader PSII dan seorang intelektual muslim merupakan sosok ilmuan

murni yang penuh percaya diri. Meskipun kalangan ilmuan dan pejabat terkadang

berkomentar sinis terhadap pemikirannya. Pada prinsipnya beliau dapat menerima di

kalangan masyarakat, baik di kalangan partisipan atau intelektual. M. Syuhudi Ismail

menghembuskan nafas terakhir pada hari ahad tanggal 19 November 1995 di rumah

sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Beliau dikebumikan di kuburan Islam, Botoala,

Ujung Pandang pada hari senin.

Setelah meraih gelar Doktor di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun

1987, beliau kembali ke Ujungpandang sebagai Dosen tetap pada Fakultas Syari‘ah

IAIN Alauddin dan Dosen luar biasa di berbagai Perguruan Tinggi Islam di

Ujungpandang. Selain itu menjadi Dosen di Institut Agama Islam Latifah

Mubarakiyah Surlaya Tasik Malaya Jawa Barat tahun 1988-1990, Direktur Forum

Studi Agama Islam (FSAI) IAIN Alauddin tahun 1989-1995, ketua umum Ikatan

Alumni (IKA) IAIN Ujungpandang pada tahun 1986 sampai beliau wafat. Lihat M.

Page 114: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

114

Muhammad Syuhudi Ismail memiliki ilmu yang luas

dan dalam, antara lain dinilai tatkala mengemukakan pikiran-

pikirannya yang tajam, sebagai ahli hadis yang berhasil

menjabarkan hadis Nabi SAW secara teks dan argumentatif. Hal

ini didukung oleh banyaknya buku-buku yang beliau baca

diantaranya buku-buku sosiologi dan kemampuannya

menguasai dalil-dalil khusunya hadis Nabi SAW.217

Beliau juga seorang ulama dan intelektual yang cukup

besar pengaruhnya di Indonesia di bidang hadis dan Ulūm al-

Ḥadīth. Salah satu pemikirannya yaitu tentang metode

pemahaman terhadap matan hadis dalam bukunya yang berjudul

Hadis nabi yang tekstual dan kontekstual : telaah ma‟ani al

hadis tentang ajaran Islam yang universal, temporal dan lokal.

Menurut beliau bahwa ada matan hadis yang harus dipahami

secara tekstual, kontekstual dan ada pula yang harus dipahami

secara tekstual dan kontekstual sekaligus. Ini menunjukan

bahwa kandungan hadis Nabi itu ada yang bersifat universal,

temporal dan lokal.

Muhammad Syuhudi Ismail menghasilkan 164 judul

karya ilmiah, yang terbagi dalam beberapa macam, di antaranya

yaitu:

1) Pengantar Ilmu Hadis (1987)

2) Kaedah Keshahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan

Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (1988)

3) Cara Praktis Mencari Hadis (1991)

4) Sunnah Menurut para Pembelanya dan Upaya Pelestarian

Sunnah oleh para Pembelanya (1991).

5) Sunnah Menurut para Pengingkarnya dan Upaya

Pelestarian Sunnah oleh Para Pembelanya (1991).

6) Metodologi Penelitian Hadis (1992).

7) Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani

al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal,

dan Lokal (1994).

8) Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya

(1995).

Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah) (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 249. 217

M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan

Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah) (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 249.

Page 115: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

115

Sebagai seorang yang produktif, M. Syuhudi Ismail

telah banyak menghasilkan karya-karya yang berguna bagi

kebutuhan pendidikan.

Pemikiran beliau di dalam bidang hadis dalam masalah

sanad hadis, ia menyatakan bahwa kaedah-kaedah minor ke-

ṣaḥīḥ-an sanad hadis, sanad bersambung adalah muttaṣil atau

mawṣul yaitu hadis yang bersambung sanadnya baik

persambungan itu sampai kepada Nabi (marfu) maupun hanya

sampai kepada sahabat saja (mauquf).218

Unsur-Unsur terhindar dari shuzuz dan ‗illat menurut M.

Syuhudi Ismail dapat terpenuhi apabila unsur sanadnya

bersambung atau unsur periwayat bersifat ḍabiṭ benar-benar

terpenuhi. Dengan adanya unsur terhindar dari shuzuz dan ‗illat

dalam konteks defenisi hadis ṣaḥīḥ bersifat metodologis dan

penekanan akan keberadaan unsur-unsur bersambung ataupun

periwayat bersifat ḍabit (tam al-ḍabiṭ), namun secara konkrit

beliau memasukkan unsur terhindar dari shuzuz dan ‗illat

sebagai bagian unsur minor periwayat yang bersifat ḍabit bagi

ke-ṣaḥīḥ-an sanad dan hadis.219

Menurut M. Syuhudi Ismail bahwa ternyata ada matan

hadis Nabi yang kandungan petunjuknya harus dipahami secara

218

Para ulama hadis telah menciptakan ilmu kaedah ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis

yang merupakan syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu hadis yang

mempunyai kualitas ṣaḥīḥ. Kaedah ke- ṣaḥīḥ -an sanad hadis dibagi menjadi dua yaitu

yang bersifat umum (kaedah mayor) dan kaedah yang bersifat khusus (kaedah minor).

Unsur-unsur kaedah mayor ke-ṣaḥīḥ-an hadis terdiri dari; sanad bersambung, seluruh

periwayat dalam sanad bersifat adil, seluruh periwayat dalam sanad bersifat ḍabit,

sanad hadis itu terhindar dari shuzuz, dan sanad hadis itu terhindari dari ‗illat.

Nuruddin Itr, Ulūm al-Ḥadīth (Bandung: Rosda Karya, 1994), 99 dan 125. dan juga

M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, 249. 219

Secara implisit M. Syuhudi Ismail juga menyebutkan sebagai bagian

unsur minor sanad bersambung, yakni mahfuz bagi sanad yang terhindar dari shuzuz

dan bukan mu‟all sanad yang terhindar dari ‗illat. Jadi unsur-unsur kaedah minor

adalah: a) untuk sanad bersambung adalah; muttaṣil (mawṣul), marfu‟, mahfuzh, dan

bukan mu‟all (bukan hadis yang ber-‟illat); b) untuk periwayat bersifat adil adalah:

beragama Islam, mukalaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru‟ah;

c) untuk periwayat bersifat ḍabiṭ dan atau tam al-ḍabit adalah hafal dengan baik hadis

yang diriwayatkan, mampu dengan baik menyampaikan hadis yang dihafalkan

kepada orang lain, terhindar dari shuzuz, dan terhindar dari ‗illat. M. Syuhudi Ismail,

Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, 133.

Page 116: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

116

tekstual saja dan karenanya, tidak diperlukan pemahaman

secara kontekstual, untuk matan hadis tertentu lainnya,

kandungan petunjuknya diperlukan pemahaman secara

kontekstual.220

Dalam pada itu, ada pula matan hadis yang dapat

dipahami secara tekstual dan secara kontekstual sekaligus.

Dengan memahami hadis Nabi secara tekstual dan kontekstual,

maka menjadi jelaslah bahwa dalam Islam, ada ajaran yang

bersifat universal, temporal, dan lokal.

Dalam melakukan pilihan pemahaman yang dinilai

tepat, diperlukan kegiatan pencarian qarinah atau indikasi-

indikasi yang relevan dengan matan hadis yang bersangkutan

dilihat dari segi-segi yang berhubungan dengannya. Untuk

menetapkan suatu qarinah, diperlukan kegiatan ijtihad dan

kegiatan pencarian qarinah itu barulah dilakukan setelah

diketahui secara jelas bahwa sanad hadis yang bersangkutan

berkualitas ṣaḥīḥ, atau minimal ḥasan.

Dengan kemungkinan adanya pemahaman secara

kontekstual, maka suatu hadis yang sanadnya ṣaḥīḥ ataupun

ḥasan tidak dapat serta merta matannya dinyatakan sebagai

berkualitas ḍa‟if (lemah) ataupun mauḍū‟ (palsu) dengan alasan

karena teks matan hadis yang bersangkutan tampak tidak sesuai

dengan kaidah ke-ṣaḥīḥ-an matan yang digunakan. Terhadap

hadis yang sanadnya shahih ataupun hasan, diperlukan upaya

pemahaman yang sungguh-sungguh, sehingga terhindar

penilaian terhadap suatu hadis yang sebenarnya berkualitas

ṣaḥīḥ ataupun ḥasan dinyatakan sebagai berkualitas ḍa‟if.221

Beberapa pemikiran yang dikemukakan oleh Syuhudi

Ismail, baik berkaitan dengan kaidah ke-ṣaḥīḥ-an sanad dan

matan hadis maupun berkaitan dengan metodologi pemahaman

hadis memberikan indikasi bahwa wacana hadis Nabi sebagai

220

Syuhudi Ismail terhadap hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan akidah,

ibadah, dan hukum atau yang bersifat qaṭ‟ī (pasti) adalah cenderung tekstual dan

bersikap ketat atas kualitas hadis-hadisnya. Sedangkan dalam masalah-masalah sosial

politik dan sosial kemasyarakatan atau yang bersifat ẓannī (tidak pasti), maka ia

cenderung kontekstual dan bersikap longgar atas kualitas hadis-hadisnya. 221

M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah

Ma‟ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta:

Bulan Bintang, 1994), 89-90.

Page 117: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

117

suatu ilmu yang berdiri sendiri mengalami perkembangan

pemikiran.222

Pada sisi lain, implikasi pemikiran yang dikemukakan

oleh Syuhudi Ismail sangat erat kaitannya dengan pembumian

hadis Nabi dalam mengantisipasi perkembangan zaman,

terutama dalam hubungannya dengan dakwah dan penerapan

ajaran Islam. Di samping itu, implikasi pemikiran tersebut dapat

membuktikan keutamaan Nabi SAW. Dalam mempraktekkan

ajaran agama Allah di muka bumi.223

Menurut Syuhudi Ismail, ada beberapa faktor yang

menjadikan penelitian hadis berkedudukan sangat penting,

yakni (1) hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam; (2)

tidaklah seluruh hadis tertulis pada zaman Nabi; (3) telah timbul

berbagai pemalsuan hadis; (4) proses penghimpunan hadis yang

memakan waktu lama; (5) jumlah kitab hadis yang banyak

dengan metode penyusunan yang beragama; dan (6) telah

terjadi periwayatan hadis secara makna.224

6. Said Agil Husin al-Munawar

Said Agil Husin al-Munawar adalah ulama intelektual

yang banyak memiliki keahlian sehingga aktivitasnya pun

menjadi sangat beragam, sosok yang dibutuhkan banyak orang,

enak diajak berbicara dan suara merdu. Dia lahir di Kampung

13 Ulu Palembang pada tanggal 26 Januari 1954. Ayahnya

bernama Habib Husin ibn Agil ibn Ahmad al-Munawar adalah

seorang tokoh Habib yang dihormati di Palembang.225

222

Indikator rasional yang dimaksud itu, antara lain (1) kaidah ke-ṣaḥīḥ-an

sanad hadis terbukti secara ilmiah, sebagaimana kritik sejarah; (2) kaidah ke-ṣaḥīḥ-an

matan hadis dapat diterapkan secara sistematis dengan memungkinkan beberapa

pendekatan, selain pendekatan bahasa; (3) pemahaman hadis Nabi yang tekstual dan

kontekstual dengan penerapan disiplin ilmu pengetahuan dan pendekatan yang sesuai

dengan materi hadis yang bersangkutan. Lihat Arifudin Ahmad, ―Pembaharuan

Pemikiran Tentang Hadis Nabi Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran

Muhammad Syuhudi Ismail)‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2000), 65. 223

Arifudin Ahmad, ―Pembaharuan Pemikiran Tentang Hadis Nabi

Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail)‖

(Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2000), 66. 224

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian, 7-21. 225

http://www.merdeka.com. http://www.alkisah.com dan Said Agil al-

Munawar, Peranan al-Qawaid al-Fiqhiyah dalam Instinbath Hukum Islam dan

Page 118: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

118

Prof Dr. H. Said Agil Husin al-Munawwar, MA adalah

seorang pengajar lulusan Fakultas Syari‘ah di Universitas

Ummu al-Quro di Makkah Arab Saudi, dan ia bekerja sebagai

dosen pada beberapa perguruan tinggi sebelum menjadi

menteri, terutamanya perguruan tinggi Islam seperti Institut

Agama Islam Negeri di beberapa tempat di Indonesia. Selain itu

Said Agil al-Munawwar juga pernah menjadi dosen Pendidikan

Kader Ulama (PKU) Majelis Ulama Indonesia pusat pada tahun

1990 hingga tahun 1998.226

Selama di Arab Saudi, Said Agil bukan hanya menuntut

ilmu di bangku kuliah, ia menyadari benar bahwa di luar

kampus masih sangat banyak sumber ilmu. Maka ia pun tidak

menyia-nyiakan itu, dengan belajar kepada para tokoh ulama

yang ada di sana. Tokoh-tokoh seperti Abdul Qadir ibn Ahmad

Assegaf, Sayyid Muhammad ibn Alwi al-Maliki, Syaikh Yasin

al-Fadani, merupakan guru fiqih dan hadis dari Said Agil al-

Munawar.227

Meski sibuk dengan berbagai aktivitas, Said Agil masih

menunjukkan kelebihannya yang lain, menghasilkan karya-

karya tulis yang berbobot. Bahkan ia tergolong penulis yang

produktif, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun makalah

seminar. Di antara buku-buku yang pernah dihasilkannya adalah

i‟jāz al-Qur‟an dan Metodologi Tafsir, Uṣul al-Fiqh, Sejarah

dan Suatu Pengantar; Ilmu Takhrij Hadis, Sejarah dan Suatu

Aplikasinya terhadap Masalah-Masalah Kontemporer (Jakarta: IAIN Syarif

Hidayatullah, 2001), 5. 226

http://www.merdeka.com. http://www.alkisah.com dan Said Agil al-

Munawar, Peranan al-Qawaid al-Fiqhiyah dalam Instinbath Hukum Islam dan

Aplikasinya terhadap Masalah-Masalah Kontemporer (Jakarta: IAIN Syarif

Hidayatullah, 2001), 5. 227

Hubungannya dengan para tokoh ulama tersebut sangat dekat dan banyak

kisah dengan mereka yang selalu dikenangnya. Dengan syaikh Yasin, sampai

setengah bulan sebelum wafatnya, ia masih sempat bertemu dengannya. Syaikh Yasin

di kala itu di antaranya mengatakan demikian, ―Agil, kaki saya ini sudah bengkak-

bengkak.‖ Saat itu kondisi kesehatan Syaikh Yasin memang sudah sangat lemah.

Dalam kesempatan itu Syaikh Yasin memberikan macam-macam wasiat macam-

macam kepadanya. Di antaranya, pesannya untuk terus mengembangkan ilmu dan

ijazah yang diberikannya, dimana saja ia berada. Secara khusus Syaikh Yasin

menekankan untuk terus mengembangkan ilmu hadis. Di Majelisnya Said Agil

mengikuti Pengajian yang diantaranya membaca kutub al-sittah. Lihat

http://www.merdeka.com. http://www.alkisah.com.

Page 119: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

119

Pengantar; Perkembangan Hukum Islam Mazhab Shafi‘i; Studi

Qaul Qadīm dan Qaul Jadīd; Dimensi-Dimensi Kehidupan

dalam Perspektif Islam.

Karya-Karya ilmiah di bangku kuliahnya adalah Naql

al-Dam wa Atharuhu fī al-Sharī‟ah al-Islāmiyah (Skripsi S1,

1975), al-Khamru wa Ḍararuhu fī al-Mujtamā‟ al-Insāni

(Skripsi S1 di Universitas Islam Madinah, 1979), Al-Nadb wa

al-Karahah (Tesis S2, Universitas Ummul Qura‘ Mekkah,

1983), dan Tahqīq Kitab Hawi al-Kabir li al-Mawardi

(Disertasi doktor, Universitas Ummul Qura Makkah, 1987).

Selain menulis buku, artikel, dan makalah seminar, ia pun telah

banyak membuat karya-karya tentang hadis.

Adapun karya-karya ilmiah Said Agil yang lainnya

yaitu:

1. Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-

Kontekstual (2001)

2. Ilmu Takhrij Hadis

3. Asbāb Wurud al-Hadis: Suatu Tinjauan Sosiologis, Historis,

dan Antropologis (1998).

4. I‟Jaz al-Qur‟an dan Metodologi Tafsir (1993).

5. Ushul Fiqh, Sejarah dan Suatu Pengantar

6. Ilmu Takhrij Hadis, Sejarah dan Suatu Pengantar

7. Perkembangan Hukum Islam Mazhab Syafi‟i, Studi

Perbandungan Qaul Qadim dan Qaul Jadid. (Penelitian

Individual IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta).

8. Dimensi-Dimensi Kehidupan dalam Perspektif Islam

(2001).

9. Naqlu al-Dam wa Atsaruhu fi al-Syari‟ah al-Islamiyah

(1977).

10. Al-Khamru wa Adraruhu fi al-Mujtama‟i al-Insani (1979)

11. Al-Nadbu wa al-Karahah (1983)

12. Tahqiq Kitab al-Hawi al-Kabir Karya al-Mawardi (1987)

13. Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Jurnal al-Fatah, 1989)

14. Asbab al-Wurud terjemah Karya al-Suyuthi, Pengembangan

terhadap al-Sunnah

15. Kodifikasi al-Qur‟an: Suatu Tinjauan Aspek Historis (1994)

16. Membangun Metodologi Ushul Fiqh (Telaah Konsep al-

Nadb dan al-Karahah dalam Istinbath Hukum Islam).

Page 120: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

120

17. Konsep Maslahat dalam Hukum Islam Suatu Tinjauan

sebagai Sumber Hukum (Jurnal, 1998)

18. Sejarah Perkembangan Pemikiran Hukum Islam (Jurnal,

1998).

19. Fiqh Hubungan Antar Agama.

20. Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Islam (1985)

21. Al-Qur‟an Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki

22. Fungsi-Fungsi Ulama (2000)

23. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial

24. Pengamalan Tasawuf di Era Modern (2000)

25. Fiqh Haji

26. Islam dan Interaksi Sosial (Jurnal, 2000)

27. Aktualisasi Nilai-Nilai Qur‟ani dalam Sistim Pendidikan

Nasional.

28. Al-Qawa‟id al-Fiqhiyah, Mafhumuha wa Tathawwuruha wa

Dauruha fi Instinbath al-Ahkam al-Syari‟ah (Jurnal al-

Jami‘ah, 2000).

29. Dimensi-Dimensi Kehidupan dalam Perspektif Islam

30. Al-Qawa‟id Fiqhiyyah dalam Perspektif Hukum Islam

(Jurnal al-Jami‘ah, 1998)

31. Pemberdayaan Umat Menuju Masyarakat Madani (Jurnal

Ilmiah Economic Resources, 2000).

32. Fiqh Siyasah dalam Konteks Perubahan Menuju

Masyarakat Madani (Jurnal Ilmu Sosial Keagamaan, 1999).

33. Pedoman Menuju Haji Mabrur (Terjemah Karya Syekh

Hasan Ayyub).

34. Asbāb Wurud dalam Perspektif Ilmu Hadis (1998).

Menurut Said Agil, untuk mengetahui asbāb al-wurud

mutlak diperlukan, agar terhindar dari kesalahpahaman

(misunderstanding) dalam menangkap maksud hadis.

Sedangkan untuk hadis-hadis yang tidak mempunyai asbāb al-

wurud khusus sebagai alternatifnya, kita mungkin dapat

menggunakan pendekatan historis, sosiologis, antropologis atau

pendekatan psikologis sebagai pisau analisis dalam memahami

hadis. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa Nabi SAW

tidak mungkin berbicara dalam kondisi yang vakum historis dan

hampa kultural. Sebuah gagasan pemikiran, ide, termasuk sabda

Page 121: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

121

Nabi SAW. Selalu based on historical facts. Ia pasti terkait

dengan problem histori-kultural waktu itu.228

Dengan pendekatan-pendekatan historis, sosiologis dan

antropologis semacam itu, diharapkan akan mampu

memberikan pemahaman hadis yang relatif lebih tepat,

apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan dan

perkembangan zaman. Sehingga dalam memahami suatu hadis

kita tidak hanya terpaku pada zahirnya teks hadis, melainkan

harus memperhatikan konteks sosio-kultural waktu itu.

Dengan demikian, hadis-hadis Nabi SAW sebagai mitra

al-Qur‘an, secara teologis juga diharapkan dapat memberikan

inspirasi untuk membantu menyelesaikan problem-problem

yang muncul dalam masyarakat kontemporer sekarang. Karena

bagaimanapun tampaknya kita sepakat bahwa pembaharuan

pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaran Islam harus mengacu

kepada teks-teks yang menjadi landasan ajaran Islam itu sendiri,

yakni al-Qur‘an dan Hadis.229

Said Agil al-Munawwar mencoba untuk memberikan

tawaran baru bagaimana cara melakukan pemahaman hadis

dengan pendekatan-pendekatan tersebut, disertai dengan contoh

masing-masing. Hadis-hadis yang ia kutip dalam karyanya

adalah hadis yang dianggap ṣaḥīḥ oleh para ulama hadis, yaitu

hadis imam al-Bukhari dan Muslim.

7. Ali Mustafa Ya‘qub

Ali Mustafa Ya‘qub lahir pada tanggal 2 Maret tahun

1952 di desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang,

Jawa Tengah. Ali hidup dalam lingkungan keluarga yang taat

beragama dan berkecukupan. Masa kecil Ali tiap hari sehabis

belajar di Sekolah Dasar di desa tempat kelahirannya, ia

228

Said Agil Husin al-Munawar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-

Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 6. 229

Sejarah mencatat bahwa pada zaman Nabi sampai zaman al-Khulafa‟ al-

Rashidin dan Bani Umayah belum terlihat secara jelas adanya kalangan yang menolak

sunnah atau hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Barulah pada awal masa

Bani Abbasiah muncul sekelompok kecil orang yang berpaham Inkar al-Sunnah.

Lihat Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya

(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 14. Dan Said Agil Husin al-Munawar, Studi Kritis

Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2001), 26.

Page 122: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

122

habiskan untuk menemani kawan yang menggembala kerbau di

lereng-lereng bukit pesisir Utara Jawa Tengah.

Ayahnya bernama Ya‘qub, seorang mubaligh terkemuka

pada zamannya dan imam di masjid-masjid Jawa Tengah,

misalnya menegakkan amar ma‘ruf dan memberantas

kemungkaran. Sejak matahari terbit sampai terbenam ayahnya

melakukan rutinitas belajar dan mengajar. Mayoritas penduduk

di lingkungan rumahnya sebagian besar adalah orang yang

belum mengerti agama secara mendalam. Akhirnya ayah dan

kakeknya mendirikan sebuah pondok pesantren yang para

santrinya adalah penduduk sekitar. Ayah beliau mengajar tanpa

pamrih dan hanya mengharap ridha Allah SWT.230

Pada pertengahan tahun 1976 atas beasiswa penuh dari

pemerintah Arab Saudi, Ali Musthafa Ya‘qub mencari ilmu di

Fakultas Syari‘ah Universitas Islam Imam Muhammad ibn

Sa‘ud, Riyaḍ Saudi Arabia, sampai tamat dengan ijazah Licanse

(Lc) tahun 1980. Masih di kota yang sama ia melanjutkan studi

di Universitas King Sa‘ud Departemen Studi Islam jurusan

Tafsir Hadis sampai tamat dengan ijazah master tahun 1985.

Dipilihnya Fakultas Syari‘ah dan Departemen Tafsir dan Hadis

oleh Ali Musthafa Ya‘qub bukanlah suatu kebetulan, tetapi

karena dalam pandangannya kedua ilmu ini (Syari‘ah dan

Hadis) sangat diperlukan masyarakat. 231

Dalam perkembangan intelektual Ali Mustafa Ya‘qub,

ada ketiga orang gurunya yang sangat berpengaruh dalam

hidupnya, yaitu Syamsuri Badawi,232

Idris Kamali,233

dan

Muḥammad Musṭafa al-A‘zami.234

230

Ali Mustafa Ya‘qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1997), 240. Dan Ali Mustafa Ya‘qub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-

Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 105. 231

Ali Mustafa Ya‘qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1997), 240. Dan Ali Mustafa Ya‘qub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-

Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 105. 232

Syamsuri Badawi adalah guru hadis dan Uṣul al-Fiqh Ali Mustafa

Ya‘qub di Pesantren Tebuireng Jombang, dari beliaulah Ali Mustafa Ya‘qub banyak

belajar sikap tawadu‘, ikhlas, dan semangat mendalami studi hadis. Dari beliau pula

Ali Mustafa Ya‘qub memperoleh sanad hadis-hadis ṣaḥīḥ al-Bukhari dan Ṣaḥīḥ

Muslim dengan cara Ijazah yang bersambung kepada Nabi SAW melalui jalur

Hasyim Asy‘ari. Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004),

21.

Page 123: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

123

Sekarang Ali Mustafa Ya‘qub tercatat sebagai guru

besar hadis pada Institut Ilmu al-Qur‘an (IIQ) Jakarta, pengasuh

(Khadim Ma‘had) pesantren Darus Sunnah, Imam Besar Masjid

Istiqlal sejak 2005, anggota Lajnah Pen-taṣḥīḥ al-Qur‘an

DEPAG RI, anggota Dewan Syari‘ah Majlis al-Zikra, anggota

Dewan Syari‘ah Bank Bukopin Syari‘ah, pengasuh rubrik tanya

jawab majalah Amanah, Buletin Nabawi, pemateri hadis masjid

Sunda Kelapa dan sebagainya.235

Berdasarkan spesifikasi keilmuan, Ali Mustafa Ya‘qub

adalah seorang pakar hadis, tetapi karya yang telah beliau

hasilkan tidak hanya terbatas pada kajian hadis saja, tetapi pada

kajian keilmuan lainnya juga, seperti Aqidah, Fikih, Dakwah

dan Tafsir.

Dalam bidang kajian hadis, karya tulis Ali Mustafa

Ya‘qub meliputi:

1) Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis

(1991);

2) Kritik Hadis (1995);

3) Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam (1999);

4) MM A‟zami Pembela Eksistensi Hadis (2002);

5) Hadis-Hadis Bermasalah (2003);

6) Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003);

7) Memahami Hakikat Hukum Islam (1986);

8) Nasihat Nabi Kepada Pembaca dan Penghafal al-Qur‟an

(1990);

9) Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (1994);

10) Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat (1418 H)

233

Ali Mustafa Ya‘qub belajar ilmu-ilmu alat (bahasa Arab), hadis, dan tafsir

pada gurunya Idris Kamali. Dengan kemampuan bahasa Arab yang baiklah Ali

Mustafa Ya‘qub kemudian bisa menelaah literatur-literatur berbahasa Arab. Ali

Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 23. 234

Muhammad Musṭafa al-A‘zami, guru besar ilmu hadis Universitas King

Sa‘ud Riyaḍ, Arab Saudi adalah salah satu ulama pengkaji hadis dalam pergulatan

pemikiran kontemporer yang banyak mengkritisi pemikiran tentang hadis orientalis.

Sumbangan penting A‘zami adalah disertasinya di Universitas Cambridge, Inggris

yang berjudul Studies in Early Hadith Literature (1996). Dan Muḥammad Musṭafa al-

A‘zami merupakan guru hadis Ali Mustafa Ya‘qub di Universitas King Sa‘ud Riyad.

Lihat Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 25. 235

Ali Mustafa Ya‘qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2000), 240.

Page 124: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

124

11) Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (1997)

12) Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam (1999);

13) Kerukunan Umat dalam Perpspektif al-Qur‟an dan Hadis

(2000);

14) Islam Masa Kini (2001);

15) Kemusyrikan Menurut Mazhab Syafi‟i (2001);

16) Aqidah Imam Empat Abu Hanifah, Malik, Syafi‟i, dan

Ahmad (2001);

17) Fatwa-Fatwa Kontemporer (2002);

18) Pengajian Ramadhan Kiai Duladi (2003);

19) Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003);

20) Nikah Beda Agama dalam Perspektif al-Qur‟an dan Hadis

(2005);

21) Imam Perempuan (2006);

22) Haji Pengabdi Setan (2006);

23) Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007);

24) Toleransi Antar Umat Beragama (2008)

25) Kiblat Menurut al-Qur‟an Hadis, Kritik atas Fatwa MUI

No.5/2010 (2011)

26) Ramadhan bersama Ali Mustafa Yaqub (2011)

27) Isbat Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah Menurut al-Qur‟an

dan Sunnah (2013);

28) Cara Benar Memahami Hadis (2014);

29) Setan Berkalung Surban (2014).

Dari sekian banyak karya tulis Ali Mustafa Ya‘qub,

yang menjadi karya monumentalnya dan sekaligus menjadi

masterpiece-nya adalah buku kriteria Halal Haram untuk

Pangan, Obat dan Kosmetika dalam Perspektif al-Qur‘an dan

Hadis (2009). Buku ini diangkat dari disertasi Ali Mustafa

Ya‘qub untuk memperoleh gelar Doktor dalam hukum Islam

dari Universitas Nizamia, Hyderabad India dengan judul asli

Ma‟ayir al-Ḥalal wa al-Ḥaram fī al-Aṭ‟imah wa al-Ashribah wa

al-Adwiyah wa al-Musṭadarāt al-Tajmilah „Alā Daw al-Kitāb

wa al-Sunnah”. Buku yang dicetak dalam dua bahasa (Arab dan

Indonesia) ini diberi pengantar oleh Wahbah al-Zuhaili pakar

Fikih dan Uṣul al-Fiqh paling populer saat ini.236

236

Ali Mustafa Ya‘qub, Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat dan

Kosmetika dalam Perspektif al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009),

vii.

Page 125: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

125

Dalam buku ini dan buku-buku Ali Mustafa Ya‘qub

lainnya, tampak dengan jelas kalau beliau adalah seorang ahli

hadis.237

Ali Mustafa Ya‘qub dalam karyanya berjudul Kritik

Hadis menjelaskan bahwa untuk menyebut apa yang bersumber

dari Nabi Muhammad SAW ada dua istilah yang berkembang di

kalangan masyarakat Islam, yaitu hadis dan sunah. Dua istilah

ini terkadang dianggap kurang defenitif sehingga perlu

dipertegas lagi menjadi hadis Nabi atau Hadis Nabawi, dan

Sunnah Nabi atau Sunnah Rasul. Di luar itu, masih ada istilah

lain, yaitu khabar (berita), dan athar (peninggalan). Namun

kedua istilah ini tidak berkembang.238

Ali Mustafa Ya‘qub memiliki pandangan bahwa pada

dasarnya hadis harus dipahami secara tekstual. Namun apabila

pemahaman tekstual ini dinilai tidak mungkin dilakukan, maka

pemahaman kontekstual boleh digunakan.239

237

Men-takhrīj hadis adalah salah satu aktivitasnya yang paling menonjol.

Langkah-langkah ―takhrīj‖ yang ia tempuh merujuk kepada kitab Uṣul al-Takhrīj wa

Dirasah al-Asanid karya Maḥmud al-Ṭahan. Dalam kajiannya Ali Mustafa Ya‘qub

mengkombinasikan antara kritik sanad dan kritik matan dengan menggunakan kaedah

umum takhrij al-hadīth sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Ṭahan dan ulama-

ulama lainnya.

Dalam memberikan penilaian terhadap kualitas sebuah hadis (ṣaḥīḥ, ḥasan,

atau ḍa‟if), Ali Mustafa Ya‘qub menukil pendapat-pendapat ulama terdahulu seperti

al-Tirmidhi, Ibn Hibban, al-Baihaqi, Ibn al-Jauzi, dan pendapat ulama mutaakhirin

seperti al-Dzahabi, al-Zaila‘i al-Haythami, Ibn Ḥajar, al-Sakhawi, al-Suyuṭi, dan al-

Munawi. Ia juga mengutip pendapat ulama kontemporer seperti al-Albani, Aḥmad

Shakir, dan lainnya.

Ali Mustafa Ya‘qub juga sering melakukan ijtihad mandiri dalam

menentukan kualitas suatu hadis dengan mengkomparasikan pendapat-pendapat

ulama jarh dan ta‟dīl tersebut. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara ulama jarh

wa ta‘dil mengenai kualitas seorang rawi, maka ia mengkomparasikan antara ulama

mutashaddidūn, mutawassitūn, dan mutasahilīn. 238

Ali Musthafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 32. 239

Ali Musthafa Ya‘qub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2006), 152. Sementara itu, tokoh-tokoh mazhab lain berpendapat adanya kebutuhan

akan langkah penafsiran antara tradisi dan penerapan hukumnya. Imam Shafi‘ī (204

H) misalnya, walaupun ia cenderung tekstualis, akan tetapi dia masih mentolerir

dinamika penakwilan terhadap hadis-hadis yang memang berpotensi pada pemaknaan

yang lebih dari satu. Selain itu, dua corak pemikiran al-Shafi‘ī, Qaul Qadīm ketika ia

tinggal di Baghdad dan Qaul Jadīd ketika ia tinggal di Mesir menunjukkan bahwa ia

sangat memperhartikan konteks secara serius. Adapun Abu Hanifah (150 H) lebih

dikenal sebagai tokoh madrasah ahl Ra‟y (aliran Rasional) walaupun ia juga seorang

Page 126: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

126

Walaupun terlihat ada perbedaan tentang posibilitas

pemahaman kontekstual antara Ali Mustafa Ya‘qub dan tokoh-

tokoh hadis kontemporer lain, namun mereka memiliki

pandangan yang sama tentang beberapa tema hadis-hadis yang

harus dipahami secara tekstual.240

Dalam pandangan Ali Mustafa Ya‘qub, pemahaman

secara kontekstual tidak bisa dinafikan sebagai sebuah aktifitas

berfikir (ijtihad) yang bersifat ―human construction‖. Adapun

dalam melakukan aktifitas itu ia tetap dituntut untuk menempuh

metode yang disebut sebagai aḥsan turūq al-tafsīr terlebih

dahulu sebelum melakukan penafsiran kontekstual, yaitu tafsir

al-Qur‟an bi al-Qur‟an, kemudian tafsir al-Qur‟an bi al-

Sunnah. Ia mengingatkan bahwa tanpa memakai metode seperti

itu dikhawatirkan merupakan tindakan mendikte Allah, karena

hal itu tidak lebih dari sekedar pendapat pribadi.241

Dalam menyikapi pemahaman kontekstual, Ali Mustafa

Ya‘qub memiliki rumusan yang cukup sistematis. Menurutnya,

apabila sebuah hadis tidak dapat dipahami secara tekstual, maka

harus dipahami secara kontekstual, yaitu dipahami dengan

melihat aspek-aspek di luar lafaz (teks) itu sendiri, yang

ahli hadis, sehingga mazhab Hanafi seperti diutarakan Muhammad al-Ghazali lebih

dekat dengan rasa keadilan dan protokol tentang hak asasi manusia. Berdasarkan

karakteristik setiap tokoh tersebut, Faruq Abu Zaid menyebut kelompok pertama

sebagai al-muhafizun, sedang kelompok kedua sebagai al-mujaddidun. Adapun pada

masa kontemporer ini, tradisi pemahaman tekstual dilanjutkan oleh Salafi. Lihat

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, 33; Muhammad

Jamāl al-Dīn al-Qasimī, Qawaid al-Taḥdīth min Funun Musṭalah al-Ḥadīth (Beirut:

Dar al-Kutub Ilmiyyah, t.t.), 305; Muhyi al-Dīn ibn Sharf al-Nawāwī, al-Majmu‟

(Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 139; Muḥammad Musṭafa al-A‘zami, Hadis Nabawi dan

Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah Ali Mustafa Ya‘qub (Jakarta: Pustaka Firdaus,

1994), 425; dan Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis Nabi saw antara

Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung: Mizan, 1998), 32. 240

Tema-tema hadis tersebut dalam hal ini, yaitu perkara ghaib (al-Umur al-

Ghaibiyyah) dan Ibadah Murni (al-Ibadah al-Mahdah). Muḥammad Jamāl al-Dīn al-

Qasimi, Qawa‟id al-Taḥdith min Funun Musṭalah al-Ḥadīth (Beirut: Dar al-Kutub al-

Ilmiyah, t.t), 269; dan Ali Mustafa Ya‘qub, Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2006), 21. 241

Ali Mustafa Ya‘qub, Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006),

22.

Page 127: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

127

meliputi sebab-sebab turunnya hadis,242

lokal dan temporal,243

kausalitas kalimat,244

dan sosio kultural.245

8. Kamaruddin Amin

Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A. adalah

doctor dengan predikat Summa Cumlaude dalam bidang studi

Islam di Rheinischen Friedrich Wilhelms Universitaet Bonn,

Jerman. Aktif menulis sebagai pemakalah seminar maupun

menulis bagi jurnal Nasional dan Internasional. Kamaruddin

Amin menjabat sebagai pembantu rektor di bidang kerjasama

UIN Alauddin Makasar.246

242

Secara sederhana, asbāb al-wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab

yang melatar-belakangi turunnya hadis. Menurut Jalāl al-Dīn al-Suyuṭi (911 H),

asbāb al-wurud berarti sesuatu yang menjadi ṭarīq (jalan) untuk menentukan maksud

suatu hadis yang bersifat umum dan khusus, mutlaq atau muqayyad, dan untuk

menentukan ada atau tidaknya naskh dalam hadis itu. Sebab-sebab yang melatar-

belakangi munculnya hadis itu sendiri dapat berupa pertanyaan sahabat, peristiwa,

maupun keputusan Nabi terhadap persoalan yang terjadi antar sahabat. Ibnu Hamzah

al-Husaini, Asbab al-Wurud; Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-

Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 27. 243

Pada dasarnya, pemahaman model ini hanya bertujuan untuk melihat

tempat dimana hadis itu disabdakan, sehingga penerapannya tepat. Misalnya hadis

yang disabdakan untuk masyarakat Madinah, bila dipahami secara tekstual belum

tentu tepat untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia. Karenanya, kondisi seperti

ini menuntut adanya pemahaman secara kontekstual, sehingga makna hadis itu

menjadi tepat, kendati diterapkan pada wilayah berbeda. 244

Dalam memberi perintah atau larangan, Nabi SAW terkadang

menggunakan ungkapan-ungkapan yang maksudnya tidak dipahami secara konkrit

oleh setiap sahabat. Dari sekian banyak hadis, ada yang tidak dapat dipahami kecuali

melalui pendekatan kontekstual, yaitu pemahaman terhadap kausalitas kalimat. 245

Ali Mustafa Ya‘qub, Haji Pengabdi Syetan (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2006), 152. 246

Bagi Kamaruddin Amin yang lahir di keluarga besar 16 bersaudara yang

pernah menjadi kandidat rektor nomor urut 3 di UIN Alauddin Makasar mengaku

kalau, ibunya adalah seorang motivator yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan

yang ia raih hingga hari ini. Berkat bimbingan ibu, sejak kecil pria kelahiran Bontang

5 Januari 1969 ini selalu menjadi yang terbaik di sekolahnya. Prestasi akademiknya

selalu diraihnya dengan baik sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD)

hingga meraih gelar Doktor (S3) di Rheinischen Friedrich Wilhems Universitaet

Bonn, Germany.

Kini lulusan terbaik program magister Universitate te Leiden Belanda ini

menjabat sebagai Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam. Kamaruddin Amin menyenangi

semua pekerjaan yang dilakoninya, tidak pernah membeda-bedakan dalam memilih

teman. http://pendis.kemenag.go.id. (Accesed: 10/3/2014).

Page 128: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

128

Beliau lahir di Bontang 5 Januari 1969 saat ini menjadi

dosen, SEKDIRJEN Kemenag RI, Komisi Hubungan

Internasional MUI Sulawesi Selatan dan Project Manager of the

Development Bank. Ia menguasai bahasa Arab, Inggris, Jerman,

dan Belanda.247

Studi Kamaruddin Amin berbeda dari kebanyakan studi

terdahulu yang ditulis sarjana Muslim tentang isu periwayatan

hadis. Studi-studi itu utamanya bertujuan menjustifikasi

metode-metode yang digunakan para sarjana Muslim terdahulu,

mempertahankannya dari kritik para sarjana Barat, dan menolak

metode-metode dan kesimpulan-kesimpulan mereka.

Sebaliknya, Kamaruddin Amin mendekati isu itu dengan

banyak skeptisisme bahkan terhadap metode-metode tradisional

dan modern dari para sarjana Muslim sekalipun. Studinya juga

berseberangan dengan beberapa studi Barat tentang topik yang

menolak mentah-mentah metode-metode kritik hadis para

sarjana muslim sebagai naif dan tidak bisa dipercaya tanpa

menelaah dan mengujinya secara mendalam.248

Karya-karyanya adalah:

1) Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Hikmah

Mizan 2009.

2) Isnad Cum Matan Analysis. In Search of New Methodology,

Pustaka Mapan Jakarta 2009.

3) Rethinking Hadith Critical Methods, Pustaka Mapan Jakarta

2009.

4) The Reliability of Hadith Transmission. A Reexamination

of Hadith Critical Method. Journal Islamic Law and

Society, EJ. Brill: Leiden, Boston, 2004.

5) Isnad an the Historicity of Hadith, Pustaka Mapan Jakarta

2009.

6) Nasiruddin al-Albani on Muslim Shahih: A Critical Study

on His Method. Journal Islamic Law anad Society, EJ. Brill:

Leiden, Boston, 2004.

7) Non Muslim (Western) Scholars Approach to Hadith: An

Analytical Study on the Theory of Common Link. Al-

247

http://pendis.kemenag.go.id. (Accesed: 10/3/2014). 248

Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis

(Jakarta: Mizan Publika, 2009), vi.

Page 129: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

129

Jamiah Journal of Islamic Studies, Sunan Kalijaga State

Institute of Islamic Studies, Yogyakarta, 2002.

8) The Origins of Islamic Jurispudence (Harald Motzki). A

review article. Al-Jamiah Journal of Islamic Studies, Sunan

Kalijaga State Institute of Islamic Studies, 2003.

9) The Reliability of The Traditional Science of Hadith: A

Critical Reconsideration. Al-Jamiah Journal of Islamic

Studies, 2005.

10) The Origins of the System of Isnad in The Science of Hadith

Criticism, Uswa Journal of Islamic Studies, Fakultas Adab

IAIN Alauddin Makasar, 1999.

11) The Application of Juynboll‘s Recent Method of Isnad

Analysis to Hadith Literature. A Critical Study, Jurnal

Penelitian UNHAS, 2009.

12) Islam and the West. Their Mutual Relations as Reflected in

the Fatwa Literature. An Analysis of Jad al-Haq‘s Fatwa in

Terms of Slauhtering in Islam. Jurnal Penelitian UNHAS,

2009.

13) Quo Vadis Studi Hadis dalam Kesarjanaan Barat, Jurnal

Penelitian UNHAS, 2010.

14) Simbol Periwayatan dalam Kutub a-Sitta. Sebuah Studi

Kritis Empiris atas Implikasi Teori Ilmu Hadis, Jurnal

Penelitian UNHAS, 2010.

15) The ‗adala of the Companion of the Prophet. A Pseudo-

Problem. Journal of Islamic Civilization and Culture,

Malaysia 2010.

16) Sibawayhi wa-Arauhu al-Nahwiyya fīKitabihi “al-Kitab”

(Skripsi S1). Makasar 1994.

17) The Authenticity of Hadith. A Reconsideration of the

Reliability Hadith Transmision. (Thesis). Leiden 1998.

18) The Reliability of Hadith Transmission. A Reexamination of

Hadith Critical Methods. (Disertasi). Bonn 2005.

19) Muslim Western Scholarship of Hadith and Western Scholar

Reaction. A Study on Fuat Sezgin‟s Approach to Hadith

Scholarship. Al-Jami‘ah 2009.

20) Naqshabandiyya Sufi Order and its Implementation in The

Netherlands. A paper presented for a seminar in Islamic

Studies at the University of Leiden. 1996.

Page 130: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

130

21) Slaughtering Animal According to Islamic Law: A Study on

the Fatwa of Jad al-Haq. A paper presented in front of

graduate students of Islamic studies at the University of

Leiden. 1997.

22) Initiation in den islamische Mystik. A paper presented for a

seminar in Malailogi, Universitat zu Koln, Germany.

23) Menyoal Originalitas Hadis. A paper presented in a seminar

conducted by Himpunan Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis

(Tafsir Hadis Student Association), Faculty of Ushuluddin

(Theology) Alaudin State Institute Makassar, Indonesia.

1999.

24) Pandangan Barat terhadap Otoritas Hadis, A Paper

Presented in front of lecturers of the Faculty of Literature

(Adab). 1999.

25) The Sufistik Thought of Yusuf al-Makassari. A paper

presented for a seminar in Malailogi, Universitat zu Koln,

Germany.

26) Metodologi Ulumul Hadis, Islam Versus Barat. A Paper

presented in a seminar conducted by IAIN Alauddin

Makasar, 1999.

27) Perkembangan dan Pendekatan Studi Hadis di Barat.

Workshop nasional dosen Ulumul Hadis PTAI Yogyakarta.

28) Quo Vadis Hadith Studies? In Search of a New Methdology.

Seminar International Qou vadis Islamic Studies di

Makasar.

29) Menyoal Metodologi Ulumul Hadis. Workshop nasional

dosen ulumul hadis PTAI, di Makasar.

30) Menyorot Kesarjanaan Hadis Barat. Workshop nasional

dosen ulumul hadis PTAI, di Yogyakarta.

31) Hadis dan Sunna dalam perspektif Barat. Workshop

nasional dosen ulumul hadis PTAI, di Jakarta.

Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis

menurut Kamaruddin Amin adalah persoalan otentisitas dan

reliabilitas metodologi otentifikasi hadis. Keraguan sebagian

sarjana Muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua

setelah al-Qur‘an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi

mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka

atas keakuratan metodologi yang digunakan bermasalah, maka

semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari

Page 131: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

131

kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil

tersebut bisa menjadi collapse.249

Metode yang digunakan oleh para sarjana Muslim klasik

untuk menyandarkan sebuah hadis kepada Nabi tidak mendapat

tantangan signifikan dari sarjana Muslim modern. Memang

terdapat sejumlah sarjana modern yang mencoba menunjukkan

resistensinya terhadap Ulūm al-Ḥadīth, tetapi mereka gagal

mendapatkan simpati mayoritas sarjana muslim.

Di antara karakteristik pendekatan isnad cum matn

analisis adalah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan

pada komentar ulama tentang perawi tersebut, komentar ulama

tentangnya menjadi sekunder. Kualitas perawi primarly

ditentukan terutama oleh matn atau teks dari perawi tersebut.250

Kondisi kesarjanaan di abad 21 dewasa ini, dimana para

sarjana pendahulu kita telah mewariskan karya-karya

masterpiece yang sangat berharga, telah mengedit karya-karya

masa lalu, memungkinkan kita untuk merekonstruksi sejarah

Nabi, sahabat tabiin dan generasi setelahnya, mengetahui

sumber berita yang sesungguhnya. Kondisi kita dewasa ini jauh

lebih bagus daripada kondisi al-Bukharī yang harus mencari dan

mengumpulkan kepingan informasi tentang Nabi dari suatu

tempat ke tempat yang lain. Al-Bukharī telah meninggalkan

mutiara koleksi informasi.

Menurut Kamaruddin Amin, metode analisis isnad cum

matn yang mempelajari secara serius varian-varian isnad dan

teks yang berbeda dan juga hubungan-hubungannya, telah

terbukti sebagai sebuah alat penelitian efektif untuk

merekonstruksi sejarah yang memungkinkan kita untuk

membedakan dalam beberapa kasus antara riwayat yang

249

Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya

Pencarian Metodologi Alternatif, 1. 250

Sejauh penelitian terhadap transmisi hadis, secara tradisi terdapat dua

kasus, yang pertama transmisi hadis dilaporkan secara lengkap atau yang disebut

dengan muttaṣīl, dan laporan hadis yang tidak lengkap yang disebut dengan mursal.

Lihat Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya Pencarian

Metodologi Alternatif, 6. Dan juga Mohammad Sa‘id Mitwally Ibrahim al-Rahawan,

Detecting Textial Additions of Reliable Hadith Transmitters, Journal Islamic Studies,

Vol. 49, No.3 (2010), 319. Published by Islamic Research Institute, International

Islamic University, Islamabad. http://www.jstor.org/stable/41480177. (Accessed:

27/01/2014).

Page 132: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

132

sesungguhnya dan yang palsu. Dengan kata lain, dalam meneliti

transmisi ilmu pada masa awal Islam, analisis matan, yang

membandingkan varian-varian teks, tampaknya sama

pentingnya dengan analisis isnad, fokus sarjana Muslim dan

beberapa sarjana Barat. Analisis isnad saja tampaknya tidak

cukup, karena ia dapat membawa kita kepada penyandaran

dengan salah sebuah riwayat kepada perawi tertentu.251

Pemberian penanggalan adalah sebuah tugas berat yang

harus dilaksanakan. Di samping itu, ia juga merupakan isu

kontroversial. Hasil atau kesimpulan yang dicapai dapat

meyakinkan sejumlah sarjana, tetapi yang lain tidak. Metode

yang digunakan oleh sarjana adalah faktor yang menentukan

yang mendikte atau mendorong arah dan hasil sebuah

penelitian. Studi ini yang telah memberi penanggalan sebuah

hadis menurut pendekatan Muslim dan non-Muslim telah

menunjukkan fakta ini.252

Demikianlah penjelasan dan uraian tentang biografi, karya, dan

pemikiran hadis dari empat orang pengkaji hadis di Indonesia, seperti

Muhammad Syuhudi Ismail dapat memanfaatkan berbagai teori dari

berbagai disiplin pengetahuan, termasuk sosiologi, antropologi,

psikologi, dan sejarah dalam memahami hadis; begitu juga dengan Said

Agil Husin al-Munawar yang menggunakan pendekatan kontekstual

Asbāb al-Wurud; Ali Mustafa Yaqub yang melakukan kritik sanad dan

juga memahami hadis dengan pendekatan geografis, sosial, dan

psikologis;253

Kamaruddin Amin menggunakan metode isnad cum matn

dalam menentukan keontetikan hadis; dan semua ini diasumsikan

251

Kasus hadis Sa‘id ibn Mina dan Sa‘id al-Maqburi, yang secara salah telah

disandarkan kepada Sa‘id ibn Musayyāb oleh Musṭafā Muḥammad Azami, misalnya,

adalah sebuah contoh. Demikian juga, informasi yang termuat dalam literatur biografi

telah terbukti berkali-kali bermanfaat dan tepercaya. Penilaian kita pada perawi

tertentu, yang didasarkan pada analisis komparatif atas varian teks dan isnad, sering

berkesusaian dengan literatur biografis. Tetapi ini tidak berarti bahwa ketepercayaan

seorang perawi hanya dapat ditentukan secara pasti oleh para kritikus hadis klasik.

Lihat Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta:

Mizan Publika, 2009), 481-482. 252

Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis

(Jakarta: Mizan Publika, 2009), 482. 253

Penjabaran yang lengkap dapat dilihat dalam buku Kritik Hadis dan Cara

Benar Memahami Hadis dan karya-karya lain dari Ali Mustafa Ya‘qub.

Page 133: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

133

mengandung unsur pembaharuan dalam pemikiran mereka tentang

hadis.

Page 134: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

134

BAB IV

DINAMIKA KAJIAN HADIS MASA MODERN DI INDONESIA

Dalam bab ini, dijelaskan empat faktor yang mempengaruhi

perkembangan pemikiran seseorang, serta dijelaskan tentang pemetaan

secara sinkronis dan diakronis perkembangan studi hadis di Indonesia,

dan juga rekonstruksi metodologi pemahaman hadis di Indonesia yang

dilakukan dan ditulis oleh pengkaji hadis di Indonesia pada masa

sekarang.

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Studi

Hadis di Indonesia.

Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan

memiliki nuansa berbeda antara satu daerah dengan daerah lain,

sehingga banyak bermunculan pemikiran–pemikiran yang dianggap

sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang

diperlukan. Karenanya banyak teori yang dikemukakan para pemikir

yang bermuara pada munculnya berbagai pemikiran.254

Hasil pemikiran tidak dapat dilepaskan dari pengaruh

lingkungan sosiokultural tempat ia tinggal, faktor politik yang dia

dukung, latar belakang bacaan, mazhab dan kecendrungan pemikiran

yang ia anut, serta lingkungan pendidikan.255

254

Perkembangan (Development) adalah bertambahnya kemampuan (skill)

dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan

dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Perkembangan menyangkut

adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem

organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi

fungsinya. Termasuk perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil

interaksi dengan lingkungan.

Perkembangan disini diartikan sebagai perubahan yang dialami oleh individu

atau organisme menuju tingkat kedewasaannya (matury) yang berlangsung secara

sistematis, progresif, dan berkesinambungan baik fisik maupun psikis. Oleh karena

itu, semua orang yang mendapat tugas untuk mengawasi anak harus mengerti

persoalan anak yang sedang tumbuh dan berkembang. Contohnya yaitu sikap

perasaan dan emosi, minat, cita-cita dan kepribadian seseorang. Lihat T.G.R. Bower,

Human Development (USA: W.H. Freeman and Company, 1979), 3. 255

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang dapat

dikelompokkan dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal

ini biasanya merupakan faktor genetis atau bawaan. Faktor genetis maksudnya adalah

faktor yang berupa bawaan sejak lahir dan merupakan pengaruh keturunan dari salah

Page 135: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

135

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan

pemikiran studi hadis di Indonesia, yaitu:

5. Hereditas

Gen yang terdapat di dalam nukleus dari telur yang

dibuahi pada masa embrio mempunyai sifat tersendiri pada tiap

individu. Manifestasi hasil perbedaan antara gen ini dikenal

sebagai hereditas. DNA yang membentuk gen mempunyai

peranan penting dalam transmisi sifat-sifat herediter. Timbulnya

kelainan familial, kelainan khusus tertentu, tipe tertentu dari

dwarfism adalah akibat transmisi gen yang abnormal. Haruslah

diingat bahwa beberapa anak bertubuh kecil karena konstitusi

genetiknya dan bukan karena gangguan endoktrin atau gizi.

Peranan genetik pada sifat perkembangan mental masih

merupakan hal yang diperdebatkan. Memang hereditas tidak

dapat disangsikan lagi mempunyai peranan yang besar tapi

pengaruh lingkungan terhadap organisme tersebut tidak dapat

diabaikan. Pada saat sekarang para ahli psikologi anak

berpendapat bahwa hereditas lebih banyak mempengaruhi

inteligensi dibandingkan dengan lingkungan. Sifat-sifat

emosionil seperti perasaan takut, kemauan dan temperamen

lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan dibandingkan dengan

hereditas.

a) Jenis kelamin. Pada umur tertentu pria dan perempuan

sangat berbeda dalam ukuran besar, kecepatan tumbuh,

proporsi jasmani dan lain-lainnya sehingga memerlukan

ukuran-ukuran normal tersendiri. Perempuan menjadi

dewasa lebih dini, yaitu mulai adolesensi pada umur 10

tahun, sedangkan pria mulai pada umur 12 tahun.

b) Ras atau bangsa. Oleh beberapa ahli antropologi disebutkan

bahwa ras kuning mempunyai hereditas lebih pendek

satu sifat yang dimiliki salah satu dari kedua orang tuanya atau bisa jadi gabungan

atau kombinasi dari sifat kedua orang-tuanya. Oleh karena itu, sering kita mendengar

istilah ―buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya‖. Sedangkan faktor eksternal adalah

faktor yang berasal dari luar orang tersebut. Faktor eksternal ini biasanya merupakan

pengaruh yang berasal dari lingkungan seseorang mulai dari lingkungan terkecilnya,

yakni keluarga, teman, tetangga, sampai dengan pengaruh dari berbagai media

audiovisual seperti TV dan VCD, atau media cetak seperti koran, majalah, dan lain

sebagainya. Lihat Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral

Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri

(Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 19.

Page 136: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

136

dibandingkan dengan ras kulit putih. Perbedaan antar

bangsa tampak juga bila kita bandingkan orang Skandinavia

yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang Itali.

c) Keluarga. Tidak jarang dijumpai dalam suatu keluarga

terdapat anggota keluarga yang pendek sedangkan anggota

keluarga lainnya tinggi.

d) Umur. Kecepatan tumbuh yang paling besar ditemukan pada

masa fetus, masa bayi dan masa adolesensi.

Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,

Rasulullah juga menjelaskan bahwa setiap orang yang hendak

menikah untuk memilih calon istrinya dengan cermat, karena

keturunan sangat mempengaruhi sifat dan perilaku seseorang.

Kecermatan ini diperlukan untuk menjaga keselamatan keluarga

dan keturunan yang dihasilkannya. Keluarga merupakan fondasi

yang menentukan kualitas masyarakat atau bangsa. Apabila

keluarga-keluarga yang membangun sebuah bangsa itu baik

maka keturunan mereka pun akan menjadi generasi yang baik.

Dengan begitu, kebaikan akan menyebar ke seluruh masyarakat.

Baik dan buruk suatu masyarakat atau bangsa ditentukan oleh

baik-buruk unit-unit terkecil yang membangunnya, yaitu

keluarga.256

Seperti halnya Muhammad Syuhudi Ismail yang berasal

dari keluarga yang taat beragama, ia merupakan putera kedua

dari pasangan H. Ismail dan Sufiyatun, keduanya adalah

saudagar yang taat beragama. Ayahnya berasal dari suku

Madura, yakni H. Ismail ibn Mustin ibn Soemohardjo, wafat

tahun 1994 M., sedangkan ibunya berasal dari suku Jawa, yakni

Sufiyatun binti M. Ja‘far, wafat 1993 M. Dengan demikian,

Syuhudi Ismail lahir dari ―pendalungan” (kawin campur) antara

suku Madura dan Jawa. Itu berarti bahwa ia memiliki

karakeristik sebagai orang Madura dan sebagai orang Jawa.257

Said Agil Husin al-Munawwar, Ayahnya bernama Habib

Husin bin Agil bin Ahmad al-Munawar adalah seorang tokoh

Habib yang dihormati di Palembang. Sedangkan ibunya

Syarifah Sundus binti Muhammad al-Munawar. Ibu said Agil

Husin Munawar adalah ibu rumah tangga yang salihah dan

256

Zaghlul Raghin al-Najjar, Buku Pintar Sains dalam Hadis Mengerti

Mukjizat Ilmiah Sabda Rasulullah (Jakarta: zaman, 2013), 240. 257

Arifudin Ahmad, ―Perkembangan Pemikiran Hadis‖ , 27-28.

Page 137: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

137

bijaksana, sehingga bisa mengantarkan sang anak seperti Said

Agil Husin al-Munawar menjadi seorang Hafiz, Qari‘, pakar

Fikih dan Uṣul al-Fiqh serta pengajar Pascasarjana di berbagai

perguruan tinggi.258

Begitu juga dengan Ali Mustafa Ya‘qub, Ayahnya

bernama Ya‘qub, seorang mubaligh terkemuka pada zamannya

dan imam di masjid-masjid Jawa Tengah. Ayah beliau mengajar

tanpa pamrih dan hanya mengharap ridha Allah swt, berjiwa

besar dan bersahaja namun tegas dalam membela agama Allah

swt, sedangkan Ibunya bernama Zulaikha, seorang ustazah dan

ibu rumah tangga yang ikut membantu perjuangan suaminya.259

Anak memiliki warisan sifat-sifat bawaan yang berasal

dari kedua orang tuanya, seperti halnya Said Agil Husin

Munawar dan Ali Mustafa Ya‘qub. Hereditas adalah proses

penurunan sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu, dari satu generasi

kegenerasi lain dengan perantaraan sel benih. Pada dasarnya

yang diturunkan itu adalah struktur tubuh, jadi apa yang

diturunkan orang tua kepada anak-anaknya berdasar perpaduan

gen-gen yang pada umumnya hanya mencakup sifat atau ciri-

ciri sifat orang tua yang diperoleh dari lingkungan atau hasil

belajar dari lingkungan.260

Genom manusia adalah satu set lengkap gen, yang

terletak pada 23 pasang kromosom, dan menentukan keadaan

biologis seseorang. Pada tahun 2000 sebagian besar genom

manusia telah berhasil diuraikan, dalam arti manusia telah dapat

memetakannya; gen-gen ini dapat kita ketahui letaknya dalam

untaian DNA namun peta genesis ini memungkinkan kita lebih

mudah memahami kepribadian dengan mengetahui instruksi

biologis dari masing-masing gen. Studi baru yang mempelajari

258

http://www.merdeka.com. http://www.alkisah.com dan Said Agil al-

Munawar, Peranan al-Qawaid al-Fiqhiyah dalam Instinbath Hukum Islam dan

Aplikasinya terhadap Masalah-Masalah Kontemporer (Jakarta: IAIN Syarif

Hidayatullah, 2001), 5. 259

Ali Mustafa Ya‘qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1997), 240. Dan Ali Mustafa Ya‘qub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-

Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 105. 260

Uyoh Sadulloh, Pedagogik (Bandung: Cipta Utama, 2007), 2.

Page 138: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

138

bagaimana gen-gen manusia mempengaruhi perilaku disebut

genom perilaku.261

Faktor-faktor genetis sangat berkontribusi terhadap

kepribadian dan perbedaan antar individu. Kemajuan ilmu

pengetahuan membuka kemungkinan bagi para psikolog

kepribadian untuk lebih mengembangkan pendapat yang masih

umum ini dan membahas pola-pola khusus dari pengaruh yang

ada secara lebih mendalam. Salah satu cara untuk mencapai hal

ini adalah mengidentifikasi suatu kualitas kepribadian secara

spesifik yang dipandang memiliki dasar biologis. Kualitas-

kualitas seperti ini sering kali mengacu pada aspek yang disebut

dengan temperamen, yaitu suatu istilah yang merujuk pada

dasar kecendrungan emosional dan perilaku biologis dan terlihat

nyata pada masa kanak-kanak awal.262

6. Lingkungan

Salah satu cara biologi dapat mempengaruhi kepribadian

adalah dengan mempengaruhi lingkungan tempat kita hidup.

Pengaruh biologis dapat menyebabkan kita mengubah situasi-

situasi tertentu, dan situasi ini mungkin juga dapat

mempengaruhi kepribadian kita.263

Pengaruh lingkungan terbesar dalam perkembangan

psikologis adalah reaksi dari orang-orang disekitar kita. Rasa

identitas seseorang sangat tergantung pada bagaimana ia

diperlakukan; jika orang tua, guru, dan teman-teman kita

menyukai kita dan memberikan harapan pada kita, kita akan

lebih mungkin memiliki citra diri yang positif. Sayangnya,

begitu juga dengan kebalikannya; karakteristik fisik diri yang

261

Howard S. Friedman, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern

(Jakarta: Erlangga, 2008), 176. 262

Suatu karakteristik temperamen yang telah dipelajari dengan cara ini

adalah rasa takut dan perilaku terhambat sebagai reaksi terhadap lingkungan baru,

seperti lingkungan yang terdapat orang asing di dalamnya. Temuan-temuan yang ada

menunjukkan bahwa manusia berbeda dalam hal fungsi sistem otak pada bagian

depan dan pada sistem libik yang terlibat dalam respons rasa takut, dan pada

kecendrungan seseorang untuk mengalami rasa takut dan mengalami hambatan dalam

berperilaku dan berpikir. Lihat Daniel Cervone, Kepribadian Teori dan Penelitian

(Jakarta: Salemba Humanika, 2011), 19. 263

Howard S. Friedman, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern

(Jakarta: Erlangga, 2008), 202.

Page 139: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

139

diinginkan terkadang dapat menyebabkan munculnya reaksi

yang tidak menyenangkan, dan konsekuensinya, seseorang akan

lebih mungkin memiliki citra diri yang negatif.264

Sejak faktor-faktor genetis berkontribusi pada

perkembangan otak, tipe analisis ini membuka kesempatan pada

para psikolog kepribadian untuk memahami kaitan dari gen

terhadap sistem biologis hingga akhirnya pada perilaku melalui

suatu cara yang akurat. Suatu hal yang menarik dari pekerjaan

ini adalah bahwa pekerjaan ini juga menunjukkan adanya suatu

peran bagi lingkungan dalam perkembangan perilaku. Terdapat

beberapa bukti bahwa anak-anak yang secara temperamen

pemalu dan menjalani hidup di penitipan anak di mana mereka

harus berinteraksi dengan sejumlah anak lain setiap hari,

cenderung akan berubah menjadi tidak pemalu apabila

dibandingkan dengan anak-anak yang diasuh sepenuhnya di

rumah.265

Empat pengkaji hadis yang diteliti mempunyai

lingkungan yang mendukung perkembangan pemikiran mereka

tentang hadis, seperti Said Agil Husin al-Munawar, Ali Mustafa

Ya‘qub, Muhammad Syuhudi Ismail, dan Kamaruddin Amin

hidup dalam lingkungan pesantren.

Muhammad Syuhudi Ismail, pada usia 12 tahun (1955),

menamatkan Sekolah Rakyat Negeri (SRN) di Sidorejo,

Jatiroto, Lumajang Jawa Timur. Sejak kecil, Muhammad

Syuhudi Ismail di samping sekolah di SRN pada pagi hari, pada

sore hari ia ―ngaji‖ pada ayahnya (H. Ismail) dan selanjutnya

belajar agama pada seorang Kiai, yakni kiai Mansur yang

sengaja didatangkan ayahnya dari salah satu pesantren di

Jember, Jawa Timur.266

Mayoritas psikolog berorientasi biologis meyakini

bahwa lingkungan memainkan peran penting dalam

264

Howard S. Friedman, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern

(Jakarta: Erlangga, 2008), 204. 265

Daniel Cervone, Kepribadian Teori dan Penelitian (Jakarta: Salemba

Humanika, 2011), 19-20. 266

Kiai Mansur adalah salah satu seorang kader PSSI. Namun, karena

keluasan ilmu yang dimilikinya, menurut pandangan keluarga H. Ismail, maka ia

ditugaskan menjadi kiai atau guru agama di Rowo Kangkung, khususnya di madrasah

yang didirikan oleh H. Ismail. Lihat Arifudin Ahmad, ―Perkembangan Pemikiran

Hadis‖, 28, dan Muhammad Syuhudi Ismail, ―Pidato Pengukuhan.‖, i.

Page 140: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

140

perkembangan kepribadian kita. Jika kita tidak tumbuh dalam

suatu lingkungan sosial dengan orang lain, kita bahkan tidak

akan menjadi seseorang dalam hal dimana istilah ―seseorang‖

tersebut dipahami secara umum. Konsep mengenai diri, tujuan

hidup, dan nilai-nilai menjadi petunjuk kita dalam berkembang

di dunia sosial. Beberapa penentu dari lingkungan membuat

orang-orang terlihat mirip satu sama lain, sekaligus

berkontribusi terhadap perbedaan individual dan keunikan

individual. Penentu-penentu dari lingkungan yang telah terbukti

penting dalam penelitian mengenai perkembangan kepribadian

ini meliputi budaya, keluarga dan teman sebaya.

a) Budaya

Salah satu hal terpenting di antara penentu

lingkungan terhadap kepribadian adalah pengalaman-

pengalaman individual sebagai suatu hasil dari keanggotaan

mereka pada suatu kultur tertentu. Setiap kultur memiliki

pola institusionalisasi dan sanksi tertentu mengenai perilaku

yang dipelajari, ritual-ritual, dan kepercayaan-kepercayaan

tertentu. Praktek-praktek kebudayaan ini yang pada

gilirannya sering kali merefleksikan kepercayaan religius

dan filosofi yang mendalam, memberikan jawaban bagi

pertanyaan-pertanyaan penting mengenai sifat alamiah

seseorang, peran seseorang dalam suatu komunitas, dan nilai

serta prinsip-prinsip yang paling penting dalam kehidupan.

Sebagai hasilnya, para anggota dari suatu budaya tertentu

dapat berbagi karakteristik kepribadian yang ada. Hal yang

menarik adalah bahwa seseorang sering kali tidak

menyadari kecendrungan-kecendrungan kultural yang

mereka miliki bersama, karena mereka hanya sekedar

menerima kecendrungan-kecendrungan kultural ini.267

267

Meskipun demikian banyak bukti yang mengindikasikan bahwa orang-

orang pada bagian dunia luar mengalami nilai-nilai kebudayaan yang berbeda.

Budaya Asia terlihat lebih menghargai kontribusi seseorang terhadap komunitas

mereka dibandingkan individualise dan pencapaian personal.

Pada kenyataannya, bahkan dalam dunia Barat, kepercayaan kultural

mengenai peran individual di lingkungan telah telah berubah sepanjang sejarah. Ide

bahwa para individu saling bersaing dalam suatu pasar ekonomi untuk meningkatkan

posisi mereka dalam kehidupan adalah suatu nilai dari kelompok sosial Barat

kontemporer, namun hal tersebut tidak lagi terlihat nyata dalam kelompok sosial yang

Page 141: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

141

Budaya dapat memberikan suatu pengaruh pada

kepribadian dan pemikiran seseorang secara terselubung

budaya dimana kita tinggal menentukan kebutuhan kita dan

makna yang kita rasakan dalam pemuasan terhadap

kebutuhan-kebutuhan tersebut, pengalaman-pengalaman

kita terhadap emosi yang berbeda dan bagaimana kita

mengekspresikan apa yang ia rasakan, hubungan kita

dengan orang lain dengan diri kita sendiri, dan apa saja yang

kita lihat sebagai suatu kesehatan dan sakit.

b) Keluarga

Keluarga merupakan ―sekolah pertama‖ tempat

anak-anak mendapatkan pendidikan mengenai nilai-nilai

pribadi, perilaku dan pembentukan pemikirannya.

Sementara, masyarakat atau lingkungan sosial di sekitar

keluarga akan meningkatkan, mempertebal, dan

meneguhkan nilai-nilai kebaikan yang telah ditumbuhkan

dalam keluarga. Sama halnya, keluarga juga bisa menjadi

faktor pendukung maupun faktor penghancur nilai-nilai

pribadi, perilaku, dan kebaikan sosial.268

Lingkungan keluarga, tempat seorang anak tumbuh

dan berkembang akan sangat berpengaruh terhadap

kepribadian seorang anak. Terutama dari cari para orang tua

mendidik dan membesarkan anaknya. Sejak lama peran

sebagai orang tua sering kali tanpa dibarengi pemahaman

mendalam tentang kepribadian. Akibatnya, mayoritas orang

tua hanya bisa mencari kambing hitam-bahwa si anaklah

yang sebenarnya tidak beres-ketika terjadi hal-hal negatif

mengenai perilaku keseharian anaknya. Seorang anak

memiliki perilaku yang demikian sesungguhnya karena

meniru cara berpikir dan perbuatan yang demikian

sama sejak abad pertengahan. Lihat Daniel Cervone, Kepribadian Teori dan

Penelitian (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), 21-24. 268

Di tengah keluarga, yang merupakan madrasah kehidupan, seorang anak

dapat mempelajari adat dan perilaku yang buruk. Dari keluarga pula ia menerima

berbagai pelajaran mengenai kelembutan, cinta, kasih sayang, egoisme, kekerasan,

benci, dan dendam. Di dalam sekolah pertama itu terus belajar merasakan indahnya

hidup berinteraksi dan berafliasi dengan anggota keluarga dan masyarakat sekitarnya.

Zaghlul Raghin al-Najjar, Buku Pintar Sains dalam Hadis Mengerti Mukjizat Ilmiah

Sabda Rasulullah (Jakarta: zaman, 2013), 240.

Page 142: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

142

sesungguhnya karena meniru cara berpikir dan perbuatan

yang sengaja atau memerintahkan anak-anaknya.269

Kamaruddin Amin yang lahir di keluarga besar 16

bersaudara yang pernah menjadi kandidat rektor nomor urut

3 di UIN Alauddin Makasar mengaku kalau, ibunya adalah

seorang motivator yang sangat berpengaruh dalam

keberhasilan yang ia raih hingga hari ini. Berkat bimbingan

ibu, sejak kecil pria kelahiran Bontang 5 Januari 1969 ini

selalu menjadi yang terbaik di sekolahnya. Prestasi

akademiknya selalu diraihnya dengan baik sejak masih

duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hingga meraih gelar

Doktor (S3) di Rheinischen Friedrich Wilhems Universitaet

Bonn, Germany.270

Di luar kesamaan yang ditentukan oleh faktor-faktor

lingkungan seperti keanggotaan pada budaya atau kelas

sosial yang sama, faktor-faktor lingkungan mendorong

munculnya variasi dalam fungsi kepribadian dari anggota

suatu budaya atau kelas tertentu. Salah satu faktor

lingkungan yang paling penting adalah pengaruh keluarga.

Orang tua dapat bersikap hangat dan mencintai atau kasar

dan menolak, sangat protektif dan posesif atau peka

terhadap kebutuhan sang anak untuk memiliki kebebasan

dan otonomi. Setiap pola perilaku orang tua mempengaruhi

perkembangan kepribadian dari sang anak. Para orangtua

mempengaruhi perilaku anak mereka melalui setidaknya

tiga cara utama:271

(1) Melalui perilaku mereka sendiri, orang tua

memunculkan situasi yang memicu munculnya perilaku

tertentu pada anak.

(2) Orang tua bertindak sebagai model peran untuk

identifikasi

269

Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral Intelektual,

Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri (Jakarta: Bumi

Aksara, 2008), 20. 270

http://pendis.kemenag.go.id. (Accesed: 10/3/2014). 271

Pada awalnya, kita mungkin berpikir bahwa praktik-praktik dalam

keluarga merupakan suatu pengaruh yang membuat para anggota keluarga menjadi

mirip satu sama lain.

Page 143: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

143

(3) Orang tua memberikan hadiah atau penghargaan untuk

perilaku tertentu.

c) Teman Sebaya

Pengalaman anak dengan teman sebaya adalah hal

yang penting bagi perkembangan kepribadian dan pemikiran

seseorang. Oleh karena itu, psikolog memandang pengaruh

teman sebaya sebagai hal yang lebih penting bagi

perkembangan kepribadian dibandingkan dengan

pengalaman keluarga.

Kelompok teman sebaya melakukan sosialisasi

peraturan-peraturan perilaku yang baru terhadap individu.

Pengalaman ini dapat mempengaruhi ini dapat

mempengaruhi kepribadian secara signifikan.272

7. Politik dan Mazhab

Faktor politik dan mazhab juga termasuk faktor yang

bisa mempengaruhi pemikiran seseorang. Organisasi mengacu

pada sifat dasar struktur mental untuk mengeksplorasi dan

memahami dunia. Pikiran dalam perspektif piaget bersifat

terstruktur dan terorganir, meningkat kompleksitasnya dan

terintegrasi.

Seperti halnya Muhammad Syuhudi Ismail, Beliau

sebagai kader PSII dan seorang intelektual muslim merupakan

sosok ilmuan murni yang penuh percaya diri. Meskipun

kalangan ilmuan dan pejabat terkadang berkomentar sinis

terhadap pemikirannya. Pada prinsipnya beliau dapat menerima

di kalangan masyarakat, baik di kalangan partisipan atau

intelektual. Pemikirannya juga dipengaruhi oleh ayahnya H.

Ismail merupakan pengikut Masyumi, setelah Masyumi pecah,

ia bergabung dengan Nahdatul Ulama (NU).273

Jadi Pemikiran

Muhammad Syuhudi Ismail banyak dipengaruhi oleh mazhab

Syafi‘ī.

272

Sebagai contoh, anak-anak yang mengalami pertemanan dengan kualitas

yang tidak bagus yang benyak melibatkan pertengkaran dan konflik cenderung

mengembangkan perilaku yang tidak mudah setuju dan peran yang antagonis. Lihat

Daniel Cervone, Kepribadian Teori dan Penelitian, 25. 273

M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan

Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah) (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), 249.

Page 144: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

144

Meskipun pada perilaku tertentu berkembang sebagai

suatu hasil dari keanggotaan dalam suatu budaya, beberapa pola

perilaku yang lain dapat berkembang sebagai suatu hasil dari

keanggotaan dalam suatu kelas sosial tertentu dalam budaya

tersebut. Banyak aspek dari kepribadian seorang individu hanya

dapat dipahami dengan mengacu kepada kelompok tempat

orang tersebut berada. Kelompok sosial seseorang baik kelas

bawah ataupun kelas atas, kelas pekerja atau profesional

memiliki tingkat kepentingan masing-masing. Faktor kelas

sosial dalam menentukan status dari peran individu, peran yang

mereka munculkan, tugas-tugas yang mereka emban, dan hak-

hak istimewa yang mereka nikmati. Faktor-faktor ini

mempengaruhi bagaimana peran individu memandang diri

mereka dan bagaimana mereka memandang anggota dan kelas

sosial lain sebagaimana mereka mencari uang dan

menghabiskannya. Penelitian mengindikasikan bahwa status

sosioekonomi mempengaruhi perkembangan kognitif dan

emosional seorang individu.274

Tingkat berfikir yang paling sederhana adalah skema,

skema merujuk kepada potensi yang ada dalam diri manusia

untuk melakukan sesuatu dengan cara tertentu.275

Perubahan

yang tergantung pada pengalaman. Perubahan-perubahan ini

100% merupakan hasil dari pengalaman hidup. Beberapa

pengaruh ini bersifat buruk (penelantaran, malnutrisi,

kekerasan, dan sejenisnya), mereka dapat menciptakan

persoalan-persoalan yang tidak pernah ada habisnya.276

274

Seperti faktor kultural, faktor kelas sosial ini mempengaruhi kapasitas

seseorang dan kecendrungannya, serta membentuk cara orang mendefenisikan situasi-

situasi tertentu dan bagaimana merespon situasi yang mereka hadapi. Lihat Daniel

Cervone, Kepribadian Teori dan Penelitian, 24. 275

Contohnya, sewaktu dilahirkan, bayi telah dilengkapkan dengan beberapa

pantulan yang dikenali sebagai skema seperti gerakan menghisap, memandang,

mencapai, merasa, memegang, serta menggerakkan tangan dan kaki. Bagi gerakan

memegang, kandungan skemanya adalah memegang benda yang tidak menyakitkan.

Oleh sebab itu, bayi juga akan cenderung memegang benda-benda yang tidak

menyakitkan seperti contohnya, jari ibu. Skema yang ada pada bayi akan menentukan

bagaimana bayi bertindak dengan sekitarnya. 276

Eric Jensen, Memperkaya Otak: Memaksimalkan Potensi Setiap

Pembelajar (Jakarta: Macanan Jaya Cemerlang, 2008), 90.

Page 145: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

145

8. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang

terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu

yang normatif, akan memberikan warna kehidupan sosial anak

di dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan

datang. Pendidikan dalam arti luas harus diartikan bahwa

perkembangan anak dipengaruhi oleh kehidupan keluarga,

masyarakat, dan kelembagaan. Penanaman norma perilaku yang

benar secara sengaja diberikan kepada peserta didik yang

belajar di kelembagaan pendidikan (sekolah).

Menurut Murphy seperti dikutip oleh Sumadi

Suryabrata, proses belajar terjadi karena adanya interaksi antara

organisme yang dasarnya bersifat individual dengan lingkungan

khusus tertentu. Sebagai hasil daripada interaksi ini maka

terbentuklah koneksi antara kebutuhan-kebutuhan dan respon-

respon, antara tegangan dengan tingkah laku yang mengubah

tegangan tersebut. Koneksi-koneksi antara kondisi-kondisi

jaringan dalam dan bentuk-bentuk tingkah laku tertentu itu

terbentuk oleh dua macam proses, yaitu kanalisasi dan

pensyaratan.277

Kepada peserta didik bukan saja dikenalkan kepada

norma-norma lingkungan dekat, tetapi dikenalkan kepada

norma kehidupan bangsa (nasional) dan norma kehidupan

antarbangsa. Etika pergaulan membentuk perilaku kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.

Kemampuan berpikir banyak mempengaruhi banyak hal,

seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan

277

Istilah kanalisasi ini ditiru oleh Murphy dan Janet, namun mengenai isi

pengertian tersebut ditambahnya atau diperluasnya sendiri. Isi pengertian kanalisasi,

mirip dengan pengertian catheix pada psikoanalisis; kecuali itu juga ada miripnya

dengan pengertian fiksasi. Kanalisasi adalah proses yang memberi jalan tersalurnya

motif atau konsentrasi energi dalam tingkah laku. Seperti ahli-ahli lain Murphy

berpendapat bahwa di dalam individu terdapat pada daerah tertentu (terjadi semacam

konsentrasi energi) yang berfungsi sebagai semacam reservoir energi. Energi tersebut

terbagi ke daerah-daerah lain melewati saluran-saluran (kanal). Organisme yang telah

mengalami kanalisasi energinya telah didistribusikan ke seluruh daerah di dalam

dirinya sehingga dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Lihat Sumadi Suryabrata,

Psikologi Kepribadian (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), 356.

Page 146: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

146

berbahasa. Anak yang berkemampuan intelektual tinggi akan

berkemampuan berbahasa secara baik. Oleh karena itu

kemampuan intelektual tinggi, kemampuan berbahasa baik, dan

pengendalian emosional secara seimbang sangat menentukan

keberhasilan dalam perkembangan sosial anak.

Sikap saling pengertian dan kemampuan memahami

orang lain merupakan modal utama dalam kehidupan sosial dan

hal ini akan dengan mudah dicapai oleh remaja yang

berkemampuan intelektual tinggi.

Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh

orang tua dalam keluarga, terutama dalam hal pengetahuan dan

berbagai macam keterampilan. Oleh karena itu, anak dikirim ke

sekolah. Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan anak

selama diserahkan kepadanya. Karena itu sebagai sumbangan

sekolah sebagai lembaga pendidikan diantaranya sebagai

berikut:

1) Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan-

kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang

baik.

2) Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam

masyarakat yang sukar dan tidak dapat diberikan di rumah.

3) Sekolah melatih anak-anak memperoleh kecakapan-

kecakapan seperti membaca, menulis, berhitung,

menggambar serta ilmu-ilmu lain yang sifatnya

mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.

4) Sekolah diberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika,

membenarkan benar atau salah dan sebagainya.

Setiap anak yang lebih pandai menunjukkan kreativitas

yang lebih besar daripada anak yang kurang pandai. Mereka

mempunyai lebih banyak gagasan baru untuk menangani

suasana sosial dan mampu merumuskan lebih banyak

penyelesaian bagi konflik tersebut.

Jika dilihat pendidikan yang dilalui oleh pengkaji hadis

di Indonesia, sangat mendukung pembaharuan pemikiran

mereka tentang hadis, di antaranya Muhammad Syuhudi Ismail,

setelah menamatkan pendidikan dasar, Syuhudi Ismail

meneruskan pendidikan ke Pedidikan Guru Agama Negeri

(PGAN) 4 tahun di Malang (tamat 1959). Setelah

menyelesaikan pendidikannya di PGAN, Syuhudi Ismail

Page 147: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

147

diminta oleh ayahnya menjadi guru di Madrasah Rowo

Kangkung. Akan tetapi, dengan tekad yang bulat, Syuhudi

Ismail bersikeras untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang

lebih tinggi yakni pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) di

Yogyakarta. Pada tahun 1983 M, Syuhudi Ismail mendapat

kesempatan mengikuti Program Studi S2 di IAIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, tamat 1985 M., dan meraih gelar doktor

dalam bidang kajian Islam, konsentrasi Ilmu Hadis (Program

Studi S3) tahun 1987 (doktor terbaik) dengan Disertasi yang

berjudul ―Kaedah Keshahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah). Disertasi itu berhasil

membuktikan bahwa kaidah keshahihan sanad hadis atau kritik

ekstrem yang dipakai oleh mayoritas (jumhur) ulama hadis

untuk meneliti ṣaḥīḥ dan tidak ṣaḥīḥ-nya suatu sanad hadis

memiliki tingkat akurasi yang tinggi. 278

Ali Mustafa Ya‘qub, pada pertengahan tahun 1976 atas

beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi, Ali Mustafa

Ya‘qub mencari ilmu di Fakultas Syari‘ah Universitas Islam

Imam Muhammad ibn Sa‘ud, Riyaḍ Saudi Arabia, sampai tamat

dengan ijazah Licanse (Lc) tahun 1980. Masih di kota yang

sama ia melanjutkan studi di Universitas King Sa‘ud

Departemen Studi Islam jurusan Tafsir Hadis sampai tamat

dengan ijazah master tahun 1985. Dipilihnya Fakultas Syari‘ah

dan Departemen Tafsir dan Hadis oleh Ali Mustafa Ya‘qub

bukanlah suatu kebetulan, tetapi karena dalam pandangannya

kedua ilmu ini (Syari‘ah dan Hadis) sangat diperlukan

masyarakat.279

Ali Mustafa Ya‘qub belajar ilmu-ilmu alat (bahasa

Arab), hadis, dan tafsir pada gurunya Idris Kamali. Dengan

kemampuan bahasa Arab yang baiklah Ali Mustafa Ya‘qub

kemudian bisa menelaah literatur-literatur berbahasa Arab.280

Begitu juga dengan Said Agil al-Munawwar, selama di

Arab Saudi, Said Agil bukan hanya menuntut ilmu di bangku

kuliah, ia menyadari benar bahwa di luar kampus masih sangat

278

Arifudin Ahmad, ―Perkembangan Pemikiran Hadis‖ , 29-30. 279

Ali Mustafa Ya‘qub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1997), 240. Dan Ali Mustafa Ya‘qub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-

Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 105. 280

Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 23.

Page 148: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

148

banyak sumber ilmu. Maka ia pun tidak menyia-nyiakan itu,

dengan belajar kepada para tokoh ulama yang ada di sana.

Tokoh-tokoh seperti Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Sayyid

Muhammad ibn Alwi al-Maliki, Syaikh Yasin al-Fadani, adalah

sebagian di antara sumber-sumber ilmu yang sempat ia hirup

ilmunya.281

Kamaruddin Amin merupakan lulusan terbaik program

magister Universitate te Leiden Belanda, dan mengambil

program Doktor di Rheinischen Friedrich Wilhems Universitaet

Bonn, Germany. Membuat pemikirannya, khususnya dalam

pemikiran hadisnya berbeda dengan pemikiran pengkaji hadis di

Indonesia lainnya.

Itulah empat faktor yang mempengaruhi perkembangan

pemikiran dari pengkaji hadis di Indonesia, keempat faktor tersebut

yang paling dominan dalam mempengaruhi perkembangan pemikiran

hadis dari pengkaji hadis di Indonesia adalah faktor lingkungan dan

pendidikan, mereka cenderung mendapatkan pelajaran hadis di

sekolah-sekolah dan dari guru-guru yang sangat kompeten dalam

bidang hadis, sehingga pemikiran hadis mereka menjadi berkembang.

E. Pemetaan Secara Sinkronis dan Diakronis Perkembangan

Studi Hadis di Indonesia.

Untuk melihat hubungan dan pengaruh pemikiran ulama hadis

di Indonesia dengan ulama hadis yang lainnya, penulis menggunakan

pendekatan sinkronis dan diakronis. Penelitian ini akan menempatkan

keadaan-keadaan sinkronis (perubahan pada saat-saat tertentu) dalam

kerangka waktu yang diakronis (lama-sinambung).282

281

Hubungannya dengan para tokoh ulama tersebut sangat dekat dan banyak

kisah dengan mereka yang selalu dikenangnya. Dengan syaikh Yasin, sampai

setengah bulan sebelum wafatnya, ia masih sempat bertemu dengannya. Syaikh Yasin

di kala itu di antaranya mengatakan demikian, ―Agil, kaki saya ini sudah bengkak-

bengkak.‖ Saat itu kondisi kesehatan Syaikh Yasin memang sudah sangat lemah.

Dalam kesempatan itu Syaikh Yasin memberikan macam-macam wasiat macam-

macam kepadanya. Di antaranya, pesannya untuk terus mengembangkan ilmu dan

ijazah yang diberikannya, dimana saja ia berada. Secara khusus Syaikh Yasin

menekankan untuk terus mengembangkan ilmu hadis. Di Majelisnya Said Agil

mengikuti Pengajian yang diantaranya membaca kutubal-sittah. Lihat

http://www.merdeka.com. http://www.alkisah.com. 282

Penekanan Saussurean dan Foucaldian mengenai pentingnya mempelajari

momen-momen yang bersifat sinkronis, dalam penelitian ini akan diimbangi dengan

Page 149: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

149

Jika dilihat dari sejarah awal perkembangan hadis memberikan

gambaran bahwa hadis pada masa itu belum berkembang menjadi

disiplin ilmu tersendiri,283

Karena kajian hadis baru pada dataran

praktis, belum tersusun secara teoritis. Ini dapat dilihat dari beberapa

karya dari al-Raniry, al-Sinkili, dan lain-lain. Karya mereka lebih

condong kepada penelitian sanad.284

Beberapa karya tentang hadis pada abad ke-17 sampai dengan

ke-18 di antaranya yaitu Bustan al-Ṣalatin, Ṣiratal- Mustaqīm ditulis

oleh Nuruddin al-Raniri; Sharah Latīf „alā Arbā‟īn Ḥadīth lī Imam Al-

Nawawī, dan Al-Mawā‟iz al-Badi‟ah ditulis oleh Abd al-Ra‘uf al-

Sinkili; Sabīl al-Muhtadīn lī Tafaquh fī Amriddīn ditulis oleh Syeikh

Arsyad al-Banjari; Naṣiḥah al-Muslīm wa Tazkirah al-Mukminīn fī

Faḍa‟īl al-Jihād fī Sabīlillāh wa Karimah al-Mujahidīn fī Sabīlillāh

ditulis oleh Abdul Samad al-Palimbani; Tanqih al-Qaul al-Ḥadīth

Sharah Lubāb al-Ḥadīth, al-Dūrur al-Bahiyyaj fī Sharah al-Khaṣāiṣ al-

Nabawiyyah ditulis oleh Nawawi al-Bantani; Tanqi al-Qaul, Sharaḥ

Lubāb al-Ḥadīth, Naṣāih al-Ibād ditulis oleh Mahfudz al-Tirmasi; Al-

Qawa‟id al Asasiyyah li Ahl al-Sunnah wa al Jama‟ah ditulis oleh

Ahmad Masduki Mahfuzh; al Hadith dan Aqidah Ahl al-Sunnah wal

Jama‟ah ditulis oleh Syeikh Haji Muhammad al-Khalidi; Risalah Ahl

memberikan perhatian kepada sebuah proses diakronis yang berlangsung dalam

jangka waktu yang lama. Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, 8. Dalam

kasus hukum Michaela Haasse menjelaskan bahwa model suatu hukum dapat

diperluas dengan model dari suatu kasus khusus ideal, dan perluasan model suatu

hukum dapat dilihat dengan cara pendekatan sinkronis dan diakronis. Lihat Michaela

Haasse, Differences between Synchronic and Idealized Diachronic Theory-Elements:

A Reply to Martti Kuokkanen and Timo Tuomivaara, Journal for General Philosophy

of Science, Vol. 28, No. 2 (1997), 359-366. http://www.jstor.org/stable/25171097

(Accessed April 27, 2013). 283

Inti dari kebanyakan permasalahan tentang hadis adalah tentang

otentisitasnya. Isu ini sudah berkembang semenjak periode klasik, dan kemudian

berkembang secara intens yang dilakukan oleh sarjana Barat semenjak abad terakhir

ini. Lihat Wael B. Halaq, The Authenticity of Prophetic Hadith: A Pseudo-Problem,

Journal Studia Islamica, No.89 (1999), 75. http://www.jstor.org/stable/1596086.

(Accessed: 20/04/2014). 284

Isnad bukanlah sesuatu yang asing bagi orang Arab, sanad sudah

digunakan oleh orang Arab pada periode pra-Islam, dimana terdapat beberapa literatur

yang menjelaskan transmisinya. Dalam hadis sanad digunakan sebagai dokumentasi

dari sunnah yang kembali kepada sumber sunnah tersebut. Lihat Jamila Shaukat, The

Isnad in Hadith Literature, Journal Islamic Studies, Vol.24, No.4 (1985), 445.

Published by Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad.

http://www.jstor.org/stable/20839742.(Accessed: 27/01/2014).

Page 150: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

150

al-Sunnah wa al-Jama‟ah fī Hadīth al Mautā wa Ashrath al-Sa‟ah wa

Bayan Mafhūm al-Sunnah wa al Bid‟āh ditulis oleh KH. Muhammad

Hasyim Asy‘ari; Ḥashiyah al-Nafahat „alā Sharḥ al-Waraqat lil

Maḥallī ditulis oleh Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Jika

dilihat dari beberapa karya hadis pada abad ke-17 sampai dengan ke-18

terdapat sekitar 16 tokoh hadis yang membuat karya tentang hadis, dan

karya tokoh-tokoh ini lebih cenderung kepada penelitian sanad hadis

dan kumpulan-kumpulan hadis saja.

Adapun karya hadis pada abad ke-19 sampai dengan ke-20 di

antaranya yaitu Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Problematika Hadis

Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam, Sejarah dan Pengantar Ilmu

Hadis, 2002 Mutiara Hadis, Koleksi Hadis-Hadis Hukum ditulis oleh

Hasbi Ash-Shiddieqy; Ilmu Musṭalah Hadis ditulis oleh Mahmud

Yunus; Ikhtisar Musthalahul Hadis, Hadis-Hadis tentang Peradilan

Agama ditulis oleh Fatchurrahman; Himpunan Hadis Pilihan (Hadis

Shahih al-Bukhari) ditulis oleh Husen Bahreisy; 123 Hadis Pembina

Iman dan Akhlak ditulis oleh Mustagfiri Asror; Keutamaan Budi dalam

Islam: Ihya Sunatullah wa Rasulih ditulis oleh Fachruddin HS;

Terjemahan Nail al-Authar ditulis oleh Mu‘amal Hamidy; Tarjamah

Bulug al-Maram ibn Hajar al-Asqalani ditulis oleh A. Hassan; Hadis

Arbain al-Nawawiyah ditulis oleh Umar Hasyim; Mutiara al-Qur‟an

dan Hadis ditulis oleh AA. Masyhuri; Terjemahan Hadis Shahih

Muslim ditulis oleh HA Razak; Himpunan 405 Intisari Hadis

(Tarjamah Jamius Shagr) ditulis oleh Mahfulli Sahli; Butir-Butir

Pendidikan dalam Hadis ditulis oleh Muhammad Thalib; al-Qur‟an

dan al-Hadis untuk Madrasah Aliyah / PGA ditulis Muslich Marzuki;

Ilmu Hadis ditulis oleh Utang Ranuwijaya. Pada abad ke-20 ini, karya

hadis lebih didominasi tentang ilmu hadis dan kumpulan-kumpulan

hadis, karya tentang ilmu hadis pada abad ke-20 ini bertujuan untuk

membuat buku pelajaran hadis untuk sekolah dan perguruan tinggi.

Karya hadis pada abad ke-21 ini seperti Studi Kritis Hadis

Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual Asbāb al-Wurud ditulis oleh

Said Agil Munawwar; Telaah Ma‟ani al-Hadis ditulis oleh Muhammad

Syuhudi Ismail; Kritik Hadis ditulis oleh Ali Mustafa Ya‘qub; Pahala

dan Keutamaan Haji, Pribadi Rasulullah saw: Telaah Kitab Taudhih

al-Dala‟il fi Tarjamat Hadis al-Syama‟il ditulis oleh Lutfi Fathullah;

Rethinking Hadith Critical Methods ditulis oleh Kamarudin Amin; al-

Sunnah fi Indonesia : Baina Ansariha wa Khusumiha ditulis oleh Daud

Rasyid Sitorus; Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatannya

Page 151: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

151

ditulis oleh Nizar Ali; Rekonstruksi Metodologi Pemahaman Hadis,

dalam wacana studi hadis kontemporer ditulis oleh Suryadi; Telaah

Matan Hadis (Sebuah Tawaran Metodologis Hadis Nabi: Telaah

Historis dan Metodologis) ditulis oleh Muhammad Zuhri; Kaidah

Keshahihan Matn al-Ḥadis dan Metodologi Pemahaman Hadis (Suatu

Kajian Hermeneutik) ditulis oleh Buchari M; Paradigma Baru Ilmu

Hadis dan Rekonstruksi Fiqh al-Hadis ditulis oleh Daniel Djuned;

Pemikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis ditulis oleh

Abdul Majid Khon; dan lain-lain.

Karya-karya ini diambil dari beberapa penelitian sebelumnya,

seperti penelitian disertasi Muhammad Dede Rodliyana dengan judul

Pergeseran Pemikiran „Ulūm al-Hadith dan Pengaruhnya Terhadap

Pemikiran „Ulūm al-Hadith di Indonesia; Ramli Abdul Wahid dalam

karyanya berjudul Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia; Khairul

Rafiqi dalam karyanya yang berjudul Studi Perkembangan Ilmu Hadis

di Indonesia; dan Ardiansya dengan judul Kajian Hadis Di Indonesia:

Profil Literatur Hadits Di Indonesia Tahun 1955-2000 M.

Karya di atas merupakan perkembangan mutakhir yang terkait

dengan pendidikan formal, gerakan dakwah dan ketaatan beragama

dikalangan umat Islam. Karya-karya tersebut ditujukan untuk

memenuhi kebutuhan materi bagi pendidikan tinggi Islam, seperti

IAIN, madrasah dan pesantren. Selain karya itu digunakan pula oleh

para da‘i sebagai sumber pengajaran dalam rangka merevitalisasi dan

menguatkan peran Islam dalam keyakinan dan perilaku masyarakat di

Indonesia. Begitu pula, karya-karya tersebut digunakan pula sebagai

bahan bacaan di keluarga muslim atau kelompok kecil masyarakat yang

ingin meningkatkan pemahaman mereka tentang keyakinan dan praktek

Islam. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, menurut Howard

M. Federspiel, literature hadis sampai akhir 1980-an terlihat masih

dalam proses pembentukan, berbagai karya baru terus bermunculan

yang genre-nya belum terbentuk secara utuh.

Dari uraian di atas dapat dilihat adanya pergeseran dan

perkembangan kajian hadis, pada abad XVII-XVIII penelitian hadis

lebih condong kepada penelitian sanad, dan pada abad XIX-XX studi

hadis lebih banyak kepada penulisan tentang Ilmu Hadis dan

penghimpunan hadis-hadis. Sedangkan pada masa sekarang penelitian

hadis lebih banyak tentang kajian metodologi pemahaman hadis.

Di antara faktor penyebab terjadinya pergeseran perkembangan

hadis di Indonesia adalah dikarenakan pengetahuan selalu berkembang

Page 152: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

152

dan heterogenitas kelompok masyarakat selalu terjadi, maka penerapan

ajaran Islam yang kontekstual menuntut penggunaan pendekatan yang

sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan masyarakat. Jadi, di satu

segi perlu dilaksanakan kegiatan ijtihad, dan di segi yang lain, para

mujtahid memikul tanggung jawab untuk memahami dan

memanfaatkan berbagai teori dari berbagai disiplin pengetahuan. Hal

tersebut didukung oleh disiplin ilmu yang dimiliki oleh pengkaji hadis

di Indonesia pada saat ini, sehingga karya hadis di Indonesia terus

berkembang.

Jika dilihat sinkronisasi dan diakronisasi Muhammad Syuhudi

Ismail, Said Agil Husin al-Munawwar, Ali Mustafa Ya‘qub, dan

Kamaruddin Amin dengan pengkaji hadis sebelumnya di Indonesia, ini

dapat dilihat siapa guru mereka dalam ilmu hadis dan kepada siapa

mereka merujuk dalam membuat karya tentang hadis.

Muhammad Syuhudi Ismail dalam bukunya Hadis Nabi yang

Islam yang Temporal dan Lokal banyak merujuk kepada ulama Timur

Tengah, di antaranya Aḥmad ibn Alī Ibn Hajar al-Asqālanī,

Muḥammad Musṭafa al-Azami, Abū Muḥammad Abdullāh ibn Muslim

ibn Qutaibah, Aḥmad Muḥammad Shakir, dan ulama hadis yang

lainnya. Sedangkan rujukan karya Indonesia Muhammad Syuhudi

Ismail merujuk kepada T.M. Hasbi Ash-Shiddieqie dan Harun

Nasution.285

Berpegang pada prinsip genetika yang menegaskan sebuah

asumsi bahwa ―segala sesuatu berkembang dari yang lebih elementer

menuju yang lebih sempurna‖. Demikian pula halnya pemikiran

Syuhudi, ia tidak lahir begitu saja, tetapi merupakan kesinambungan

285

Dalam karyanya Muhammad Syuhudi Ismail merujuk kepada Harun

Nasution dalam memahami hadis tentang keimanan pezina, pencuri, dan peminum

khamar. Harun Nasution menjelaskan bahwa sebagian golongan Khawarij

berpendapat bahwa zina adalah dosa besar dan menyebabkan pelakunya keluar dari

mukmin dan karenanya, dia menjadi kafir. Golongan Murji‟ah berpendapat bahwa

perbuatan maksiat ataupun dosa besar tidak menyebabkan seorang mukmin menjadi

kafir. Bagi mereka, keimanan didasarkan oleh pengakuan bahwa tidak ada tuhan

kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Masalah dosa besar yang

telah dilakukan ditunda penyelesaiannya oleh Allah pada hari perhitungan kelak.

Menurut golongan Muktazilah, orang yang berdosa besar telah keluar dari status

mukmin, namun tidak menjadi kafir,, orang tersebut dinyatakan sebagai fasik.

Selengkapnya lihat dalam karya Harun Nasution, Teologi Islam diterbitkan di Jakarta

pada tahun 1972.

Page 153: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

153

dan pengembangan (continuity and change) dari dan terhadap

pemikiran ilmu-ilmu hadis klasik.

Jika ditelaah secara seksama, maka pemikiran Syuhudi Ismail di

bidang hadis banyak diwarnai oleh para pemikir. Baik pemikir klasik

maupun kontemporer. Hal itu dapat dimaklumi sebab permasalahan di

bidang hadis beragam, antara lain berkaitan dengan metodologi ke-

ṣaḥīḥ-an sanad, ke-ṣaḥīḥ-an matan, dan metodologi pemahaman hadis

Nabi SAW.286

Pengaruh Harun Nasution terhadap pemikiran Syuhudi Ismail

antara lain dilihat dari sikap rasional, kritis, dan obyektif yang

ditekankan Harun dalam penelitian keagamaan. Secara kontekstual,

maka secara praktis ia terpengaruh oleh pemikiran M. Quraish Shihab.

Secara metodologis, Shihab menekankan pemahaman keagamaan,

termasuk untuk hadis Nabi, secara sistematis dengan pendekatan

tematik. Hanya saja, Quraish Shihab banyak menerapkan pendekatan

tematik untuk penafsiran al-Qur‘an, sementara Syuhudi menerapkannya

untuk pemahaman hadis Nabi.287

Said Agil Husin al-Munawwar dalam bukunya yang berjudul

Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, juga

banyak merujuk kepada ulama hadis di Timur Tengah, diantaranya

Yusūf al-Qarāḍawī, Jalāluddīn al-Suyuṭi, Muhyiddīn Abū Zakariya ibn

Sharaf al-Nawāwī, Muḥammad Alī al-Ṣabunī, Ibnu Ḥajar al-Asqalānī,

dan ulama lainnya. Sedangkan rujukan karya Indonesia adalah

Muhammad Hasbi ash-Shiddieqi, Taufik Abdullah, dan S. Menno.

Dalam merumuskan pengertian asbāb al-wurūd, Said Agil

Husin al-Munawwar mengutip pendapat Hasbi ash-Shiddieqie,288

sedangkan ia mengutip pendapat Taufik Abdullah dan S. Menno ketika

menjelaskan tentang pendekatan sosiologi dan antropologi dalam

memahami hadis.289

286

Arifudin Ahmad, ―Perkembangan Pemikiran Hadis‖, 51. 287

Penerapan pendekatan tematik terhadap al-Qur‘an yang dilakukan oleh

Quraish Shihab, terutama dalam bukunya yang berjudul Membumikan al-Qur‘an dan

Wawasan al-Qur‘an masing-masing diterbitkan oleh Mizan Bandung. 288

Hasbi ash-Shiddiqie mendefinisikan asbāb al-wurūd yaitu ilmu yang

menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi

SAW menuturkannya. Lihat Hasbi Ash-Shiddiqie, Sejarah Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan

Bintang, 1995), 163-164. 289

Adapun pendekatan sosiologi menyoroti dari sudut posisi manusia yang

membawanya kepada perilaku itu. Sedangkan antropologi memperhatikan

terbentuknya pola-pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan

Page 154: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

154

Salah satu gen pemikiran hadis Said Agil Husin al-Munawar

dalam hadis adalah ia pernah berguru kepada Syeikh Yasin al-Fadani.

Dengan syaikh Yasin, sampai setengah bulan sebelum wafatnya, Said

Agil Husin al-Munawar masih sempat bertemu dengannya, secara

khusus Syaikh Yasin menekankan kepada Said Agil Husin al-Munawar

untuk terus mengembangkan ilmu hadis. Di Majelisnya Said Agil

mengikuti Pengajian yang diantaranya membaca kutub al-sittah.290

Ali Mustafa Ya‘qub dalam bukunya Kritik Hadis, juga banyak

merujuk kepada ulama Timur Tengah dan Barat, diantaranya adalah

Muḥammad Musṭafa Azami, Aḥmad Amīn, Ibnu Hajar al-Asqālanī,

dan lain-lain. Dan ia tidak merujuk kepada karya-karya Indonesia

kecuali karya Abdurrahman Wahid tentang Sumbangan MM Azami

terhadap Penyelidikan Hadis.

Dalam perkembangan intelektual Ali Mushafa Ya‘qub, ada dua

orang gurunya (di Indonesia) yang sangat berpengaruh dalam hidupnya,

yaitu Syamsuri Badawi,291

dan Idris Kamali.292

Kamaruddin Amin dalam bukunya Menguji Kembali

Keakuratan Metode Kritik Hadis, juga banyak mengutip karya Ulama

Timur Tengah dan Barat, diantaranya Naṣiruddīn al-Albani, Musṭafa

al-Siba‘ī, D.W. Brown, Ahmad Hasan, Ibnu Hajar al-Asqālanī, G.H.A.

Juynboll, Harald Motzki, dan lain-lain. Sedangkan rujukan terhadap

karya Indonesia yaitu Muhammad Syuhudi Ismail tentang Kaedah

Keshahihan Sanad Hadis, dan karya Fuad Jabali tentang The

Companions of The Prophet. A Study of Geographical Distribution

and Political Alignment.

masyarakat manusia. Kontribusi pendekatan antropologis adalah ingin membuat

uraian yang meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia

dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan waktu dan ruang. Lihat Taufik Abdullah,

Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991),

1; dan S. Menno, Antropologi Perkotaan (Jakarta: Rajawali, 1992), 10-11. 290

http://www.merdeka.com (Accessed: 21 April 2014). http://www.alkisah.

com.(Accessed: 21 April 2014). 291

Syamsuri Badawi adalah guru hadis dan Uṣul al-Fiqh Ali Musthafa

Ya‘qub di Pesantren Tebuireng Jombang, dari beliaulah Ali Musthafa Ya‘qub banyak

belajar sikap tawadu‘, ikhlas, dan semangat mendalami studi hadis. Dari beliau pula

pula Ali Mustafa Ya‘qub memperoleh sanad hadis-hadis ṣaḥīḥ al-Bukhari dan ṣaḥīḥ

Muslim dengan cara ijazah yang bersambung kepada Nabi SAW melalui jalur Hasyim

Asy‘ari. 292

Ali Mustafa Ya‘qub belajar ilmu-ilmu alat (bahasa Arab), hadis, dan tafsir

pada gurunya Idris Kamali. Dengan kemampuan bahasa Arab yang baiklah Ali

Mustafa Ya‘qub kemudian bisa menelaah literatur-literatur berbahasa Arab.

Page 155: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

155

Jika dilihat dari empat pengkaji hadis di atas, tidak terdapat

sinkronisasi yang signifikan antara pengkaji hadis tersebut dengan

pengkaji hadis di Indonesia (baik pengkaji hadis pada abad sebelumnya

maupun pada masa sekarang), karena mereka lebih banyak mengutip

dan berguru kepada ulama Timur Tengah dan Barat.

Hal ini diperkuat dengan melihat uraian di atas bahwa

perbedaan pengkajian antara abad XVII, XVIII, XIX, XX dan pada

abad sekarang sangat jauh berbeda, karena pada abad sebelumnya

pengkajian hadis lebih banyak kepada pengkajian sanad dan ilmu hadis,

sedangkan pada abad sekarang lebih kepada pengkajian metodologi

pemahaman hadis, khususnya empat pengkaji hadis yang diteliti.

F. Rekonstruksi Metodologi Pemahaman Hadis di Indonesia

Pemahaman literal terhadap teks keagamaan (al-Qur‘an dan

Hadis Nabi SAW) tidak jarang memunculkan problem atau keganjilan-

keganjilan pemikiran dalam menangkap pesan, apalagi ketika

pemahaman tersebut dihadapkan kepada kenyataan sosial, hakikat

ilmiah, sains dan teknologi, atau keagamaan itu sendiri. Sebaliknya,

tidak sedikit pemahaman kontekstual juga mengalami hal yang sama,

terlalu bebas dan kadang terlepas jauh dari teks yang sesungguhnya.

Karena pemahaman hadis Nabi SAW menjadi sesuatu yang unik,

kompleks, memerlukan kejelian dan ketelitian, serta terkadang

membutuhkan perangkat keilmuan multidisiplin yang relevan.

Para ahli di dalam memahami hadis Rasul telah merumuskan

beberapa metode yang mereka gunakan,293

di antaranya sebagaimana

dikemukakan oleh Buchari M. adalah yang dimaksud dengan metode

pemahaman hadis tradisionalis adalah memahami hadis dengan

pendekatan tekstual dan kontekstual-historis.294

Dari pengertian ini, ada

293

Ada beberapa arti yang digunakan dalam memahami makna ―metode‖, di

antaranya; 1) cara yang teratur dan terpikir dengan baik untuk mencapai maksud

(dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); 2) cara kerja yang bersistem untuk

memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.

Istilah metode dalam penelitian ini adalah sebagai cara-cara yang tersusun dengan

baik dan tepat untuk memperoleh hasil sesuai dengan yang telah ditentukan sebagai

hasil penelitian.Yang dimaksud dengan metode pemahaman hadis adalah suatu cara

yang teratur dan bersistem dalam memahami sebuah hadis Nabi SAW. Buchari M,

Metode Pemahaman Hadis, 26. 294

Jika dilihat dari terjemah dan pemahaman hadis dalam pemakaiannya

didapatkan bagaimana sejarah tradisi keagamaan yang ada pada waktu dan tempat

tersebut. Lihat Barbara D. Metcalf, Living Hadith in the Tablighi Jama‘at, The

Page 156: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

156

dua pendekatan yang digunakan yaitu tekstual dan kontekstual,295

atau

dengan kata lain, memahami maksud yang dikandung hadis dengan

memperhatikan dan mengkaji sesuai konteksnya. Sedangkan yang

dimaksud dengan metode pemahaman hadis modernis adalah

memahami hadis-hadis Rasulullah dengan pendekatan ilmiah dan

logika-deduktif (filosofis).296

Buchari M di dalam bukunya tersebut

memberikan contoh, dengan hadis tentang meminum air yang telah

dihinggapi lalat.297

Journal of Asian Studies, Vol. 52, No.3 (1993), 605. http://www.jstor.org/

stable/2058855. (Accessed: 20/04/2014). dan Buchari M, Metode Pemahaman Hadis,

26. 295

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teks berarti naskah yang berupa:

1) Kata-kata asli dari pengarang; 2) Kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau

alasan; 3) Bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato dan

sebagainya. Yang dimaksud dengan pemahaman dengan pendekatan tekstual adalah

pemahaman hadis berdasarkan apa yang tertulis dalam teks (memahami hadis

berdasarkan makna lahiriah dari lafal hadis). Adapun cara pemahaman seperti ini

merupakan cara yang paling sederhana dan mudah dipahami serta belum

membutuhkan interpretasi lain dalam memahami teks. Sedangkan istilah ―konteks‖

mengandung arti: 1) Bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau

menambah kejelasan makna; 2) Situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian.

Sedangkan yang dimaksud dengan pemahaman hadis dengan pendekatan kontekstual

adalah memahami hadis-hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan mengkaji

keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang melatarbelakangi munculnya hadis-

hadis tersebut. Lihat Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi'iy: Metode Penyelesaian Hadis-

hadis Mukhtalif (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 1999), 103. (Tim Penyusun

Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (selanjutnya disebut: Tim

Penyusun), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 916. 296

Yang dimaksud dengan pendekatan ilmiah ialah pemahaman hadis-hadis

dengan memakai istilah ilmiah yang terdapat dalam hadis dan mengekplorasi berbagai

ilmu dan pandangan filosofis yang dikandungnya. Sedangkan, yang dimaksud dengan

pendekatan filosofis adalah memahami hadis-hadis Rasulullah dengan membangun

proposisi universal berdasarkan logika. Buchari M, Metode Pemahaman Hadis, 52. 297

Adapun hadis yang dimaksud adalah:

ثا بت حذ ثا لت اػم حذ إس ب ػتبت جؼفشػ ن يسهى ب ى ب ي ت ذ ػ ػب ب ن ح ي

ك ب صس شة أب ػ ش هللا سض ػ هللا صه هللا سسل أ سهى ػه لغ إرا لال

باب س أحذكى إاء ف انز فهغ نطشح ثى كه أحذ ف فإ ف شفاء جاح .داء اخش

Artinya: “Qutaibat menceritakan kepada kami, Ismā‟īl Ibn Ja‟far menceritakan

kepada kami, (riwayat itu) dari „Utbat Ibn Muslim Maulā Bani Tamīm,

(riwayat itu) dari „Ubaid Ibn Hunain Maulā Bani Zuraiq, dari Abū

Hurairah RA. Bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila seekor lalat

jatuh ke dalam bejana kalian, maka benamkanlah semuanya kemudian

Page 157: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

157

Pada dasarnya kegiatan memahami hadis berangkat dari

pemahaman penulisnya terhadap hadis-hadis yang akan dipahami,

sehingga persoalan utama pemahaman adalah bagaimana

mengungkapkan pemahamannya itu dengan sebaik-baiknya agar bisa

dimengerti pembacanya dan melahirkan pemahaman yang sama.

Sehubungan dengan itu, tahap-tahap yang ia lakukan semata-mata

untuk membimbing para pembaca mengetahui problem-problem

pemahaman hadis dan langkah-langkah penyelesaiannya. Kemudian

pembaca yang memiliki dasar pengetahuan yang relevan dengan

langkah-langkah tersebut akan dapat mengikuti langkah-langkah

penyelesaian problem pemahaman terhadap hadis yang bersangkutan

dengan mudah hingga pada akhirnya ia dapat memahaminya sesuai

dengan petunjuk pembahasannya.298

buang lalat tersebut, karena sesungguhnya pada salah satu sayapnya

terdapat obat dan pada yang lainnya terdapat penyakit”.

Menurut hasil penelitian, hadis ini ṣahīh sanad-nya dan tidak ada terdapat

cacat, namun kalangan ilmuan kedokteran mengingkari hadis tersebut. Menurut para

ahli medis lalat bertempat dalam kotoran bercampur dengan virus penyakit. Lalat

memakan dan membawa virus-virus dengan kakinya. Apabila lalat bertengger pada

makanan atau jatuh dalam minuman, ia akan menyebarkan ke dalamnya bakteri dan

kotoran yang dibawanya, maka makanan itu terjangkit wabah penyakit sehingga tidak

baik untuk dikonsumsi.

Menurut mereka, hadis tidak sampai di situ saja, bahkan mengesankan

penambahan bakteri dengan menyuruh membenamkan kedua sayapnya dalam

makanan atau minuman kemudian mengkonsumsi makanan atau minuman tersebut.

Lebih lanjut menurut mereka bagaimana mungkin hal ini mendatangkan kesehatan.

Bukankah hal ini sama saja dengan ungkapan: ―Di dalam sampah yang dibuang dalam

tong sampah terdapat obat dan penyakit‖. Maka mana mungkin hadis ini ṣahīh

maknanya, dan tidak mungkin Rasulullah SAW mengatakannya. Kalau Rasulullah

mengatakannya, pastilah terdapat kesalahan atau termasuk pendapat yang tidak

ma‟ṣum. Para dokter menegaskan bahwa tentara yang besar dihancurkan oleh lalat,

dan ia menularkan virus mikroba yang dibawa dan dicampakkannya ke makanan dan

minuman mereka. Begitu juga pendapat para ahli yang menyebutkan bahwa lalat

adalah faktor penyebab yang mendatangkan penyakit bagi manusia. Berdasarkan hal

itu, mereka menolak hadis di atas sebagai hadis yang benar-benar datang dari

Rasulullah SAW. Buchari M, Metode Pemahaman Hadis, 53-54. 298

Pemahaman dan Keotentikan hadis merupakan isu yang sangat komplek.

Ignaz Goldziher merupakan salah satu orang yang membuat karya yang sangat

penting terhadap produksi kritik hadis pada abad ke-19, ia berasumsi bahwa sedikit

sekali hadis yang original yang betul-betul berasal dari Nabi Muhammad SAW.

Kemudian sarjana Barat lain yang menolak hadis sebagai materi yang bisa diterima

adalah A.H. John Wansbrough, Patricia Crone, dan Michael Cook. Lihat Kamaruddin

Amin, Nasiruddin al-Albani on Muslim‘s Shahih: A Critical Study of His Method,

Page 158: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

158

Dalam pentas akademik kontemporer tafsir dan pemahaman

hadis tidak bisa menghindari pertemuannya dengan hermeneutik

dengan berbagai teorinya. Pertemuan tersebut hendaknya tidak

dipandang sebagai pertemuan yang merugikan, melainkan pertemuan

yang menguntungkan, dalam arti para ulama hadis dapat menerima dan

menyaring teori hermeneutik hingga keduanya bersinergi menghasilkan

tafsir dan pemahaman hadis yang akurat, rinci, dan kontekstual.

Pemahaman hadis yang ideal adalah mensyarah hadis dengan berpijak

pada kaidah-kaidah baru yang mendukung atau yang memperbaiki

fungsinya. Maksudnya landasan pemahaman yang kuat dan

mekanismenya yang akurat tetap dipedomani dengan mengakomodasi

beberapa pendekatan kontemporer yang mendukung.299

Para ulama tidak puas dengan pendekatan gramatika-tekstual

saja. Mereka mencoba memahami hadis dengan pendekatan historis-

kontekstual, yakni untuk memahami ucapan Nabi, misalnya, hendaknya

juga dipahami gaya bahasa yang digunakan, konteks sosial dan

psikologis ketika Nabi Muhammad bersabda serta kepada siapa ucapan

itu dialamatkan. Seorang yang tidak mengetahui latar belakang sosial-

budaya darimana dan dalam situasi apa sebuah hadis disabdakan, maka

pesan dari sebuah hadis sulit ditangkap. Ketika hadis diterjemahkan

secara literer dan dilepaskan dari konteksnya, sangat mungkin

pemahaman yang muncul jauh dari yang dikehendaki oleh

pembicaranya (Nabi). Pemahaman kontekstual ini lebih diperlukan lagi

ketika seseorang akan menentukan sebuah formula hukum, pemahaman

yang demikian ini dikenal dengan teori historis-kontekstual dalam

memahami hadis.300

Sebagian modernis Muslim mencoba mengkaji hadis dengan

pendekatan historis yang berprinsip bahwa kebenaran hanyalah sesuatu

Journal Islamic Law and Society, Vol. 11, No.2, 151. http://www.jstor.org/stable/

3399302. (Accessed: 27/01/2014). 299

Terdapat sejumlah perbedaan yang prinsipil antara kajian semantik Islam

dan semantik Barat dalam menginterpretasikan teks-teks kitab suci. Kajian semantik

Islam terhadap teks-teks kitab suci dibatasi oleh norma-norma agama; berangkat

dengan landasan iman dan bertujuan untuk memahami teks-teks suci dengan sebenar-

benarnya secara detail guna memperoleh petunjuknya hingga tuntas yang pada

gilirannya dapat memperkuat iman. Lihat Ṣalah al-Dīn ibn Aḥmad al-Aḍabi, Manhāj

Naqd al-Matan „inda „Ulamā al-Ḥadīth al-Nabawi (Beirut: Dār al-Afaq al-Jadīdah,

t.t), 329-343. 300

Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil)

(Yogyakarta: Teras, 2008),10.

Page 159: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

159

yang rasional dan empiris, sehingga penjelasan Rasulullah SAW

mengenai berbagai pemahaman dan pengamalan ajaran Islam hanyalah

satu alternatif, bukan satu-satunya pemahaman dan pengamalan yang

benar. Oleh karena itu, pendekatan ini menghasilkan teori bahwa hadis

tidak harus diterima secara verbal, melainkan hanya hadis-hadis yang

telah menjadi sunnah yang hidup di tengah-tengah masyarakat Muslim.

Objektifitas kajian dalam pendekatan ini diukur dengan fakta sejarah

yang empiris, yakni sejauh mana masyarakat Muslim mengamalkan

hadis yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam pendekatan historis

tidak perlu syarah untuk memahami hadis, melainkan cukup dengan

memperhatikan pemahaman dan pengamalannya di tengah-tengah

masyarakat muslim. Sebagian di antara mereka mengkritisi kitab-kitab

syarah hadis dengan beranggapan bahwa karya ulama klasik yang

menekankan pendekatan bahasa dan uṣūl al-fiqh itu masih banyak

kekurangan dan kelemahannya sehingga tidak layak dinilai sebagai

hasil pemahaman yang final dengan kebenaran hakiki. Oleh karena itu,

mereka menawarkan pendekatan hermeneutik yang bernuansa historis

dan filosofis sebagai pendekatan alternatif agar pemahaman hadis

menjadi dinamis dan hadis menjadi aktual.301

Dalam beberapa kasus pemahaman hadis para ulama Indonesia

mencoba menerapkan metodologi pemahaman hadis, agar hadis bisa

dipahami secara benar oleh masyarakat, diantaranya:

1. Hadis perempuan dilarang bepergian kecuali didampingi

mahramnya.302

Berdasarkan latar belakang kondisi alam di tanah Arab

umumnya merupakan tanah gersang dan banyak padang pasir yang

sepi dari kehidupan. Pada masa awal Islam moral masyarakatnya

belum seluruhnya terbina dengan baik, masih banyak manusia yang

301

Dalam ajaran Islam akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak

dipakai, bukan dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri.

Pemakaian akal dalam Islam diperintahkan oleh al-Qur‘an sendiri. Bukanlah tidak ada

dasarnya kalau ada penulis-penulis, baik dikalangan Islam sendiri maupun dikalangan

bukan Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional. Ada pula penulis-

penulis yang menyebut rasionalisme Islam.Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam

Islam (Jakarta: UI Press, 1986), 101. 302

Lafal hadisnya sebagai berikut:

مال تسافر المرأة ثالثا اال مع ذي محر Artinya: Perempuan jangan bepergian selama tiga hari kecuali didampingi

mahramnya. Lihat. Al-Bukhari, Ṣaḥīḥ al-Bukharī, 369.

Page 160: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

160

melakukan pencurian, perampokan, penodongan, pelecehan atau

pemerkosaan dan perbuatan mesum lainnya. Dalam kondisi ini

dapat dipahami bahwa larangan bepergian bagi perempuan tanpa

mahram di atas bersifat kondisional.

Menurut Said Agil Husin al-Munawar, hadis tersebut tidak

mempunyai asbāb al-wurūd khusus. Sementara, jika kita melihat

kondisi historis dan sosiologis masyarakat saat itu, sangat mungkin

larangan itu dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran Nabi SAW

akan keselamatan perempuan, jika dia bepergian jauh tanpa disertai

suami atau mahram. Mengingat pada masa itu, ketika seseorang

bepergian, ia biasa menggunakan kendaraan onta, bighal, maupun

keledai dalam perjalanannya. Mereka sering kali harus mengarungi

padang pasir yang sangat luas, daerah-daerah yang jauh dari

manusia. Di samping itu, sistem nilai yang berlaku pada saat itu,

perempuan dianggap tabu atau kurang etis jika pergi jauh sendirian.

Dalam kondisi seperti itu tentunya seorang perempuan yang

bepergian tanpa disertai suami ataupun mahramnya dikhawatirkan

keselamatan dirinya, atau minimal nama baiknya akan tercemar.303

Dengan demikian, disini perlu reinterpretasi baru mengenai

konsep mahram. Mahram tidak lagi harus dipahami sebagai person

akan tetapi sistem keamanan yang menjamin keselamatan bagi

kaum perempuan itu. Pemahaman semacam ini tampaknya akan

lebih kontekstual, apresiatif dan akomodatif terhadap perubahan

dan perkembangan zaman. Sehingga kita tidak hanya terpaku dan

terjebak oleh bunyi teks hadis yang kadang cenderung bersifat

kultural, temporal dan lokal.304

Senada dengan itu, dalam memahami hadis di atas Daniel

Djuned menggunakan pendekatan geografis, dimana daerah di Arab

sangat berbeda dengan daerah di Indonesia, mahram menjadi

303

Jika kondisi masyarakat sekarang sudah berubah, di mana jarak yang

sudah jauh sudah tidak lagi menjadi masalah, ditambah dengan sistem keamanan yang

menjamin keselamatan perempuan dalam bepergian, maka sah-sah saja perempuan

pergi sendirian untuk menuntut ilmu, menunaikan haji, bekerja dan lain sebagainya.

Lihat Said Agil Husin Munawwar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-

Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 30. 304

Pemahaman yang mempertimbangkan konteks historis, sosiologis dan

antropologis cenderung lebih lentur dan elastis. Namun kemudian hal ini, tidak berarti

kita harus kehilangan nilai yang terkandung dalam hadis tersebut. Said Agil Husin

Munawwar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 31.

Page 161: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

161

persyaratan jika kondisi tidak aman, dalam kondisi aman seperti

keadaan Indonesia hari ini, mahram dimaksud bukan hal yang

mengikat. Jika di tempat tertentu di zaman modern sekarang ini

juga tidak aman maka hukumnya seperti masa lalu.305

Persoalan mahram bagi perempuan ini mencuat kembali di

zaman modern karena akan banyak perempuan yang harus tetap

tinggal selamanya di suatu tempat, karena tidak boleh bepergian

tanpa mahram, dengan memahami hadis dengan menggunakan

pendekatan geografis maka hadis di atas dapat dipahami secara

benar oleh umat Islam.306

Di atas merupakan salah satu kasus dari beberapa kasus

yang membutuhkan pendekatan yang tepat untuk memahaminya,

agar substansi dari hadis Nabi Muhammad SAW dapat dipahami

oleh umat Islam.307

Uraian di atas menunjukkan bahwa prinsip

metode pemahaman hadis berpijak kepada landasan dan mekanisme

warisan ulama terdahulu, sedangkan pendekatan yang digunakan

serta sistematika pembahasan dapat menyesuaikan dengan tuntutan

kemajuan metodologis yang berkembang.

2. Hadis tentang Kepemimpinan Perempuan.308

Hadis tentang kepemimpinan perempuan, memberikan

isyarat bahwa perempuan tidak berhak menjabat sebagai kepala

negara, pemimpin masyarakat, termasuk hakim atau berbagai

305

Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis, 140 -141. 306

Hukum diungkapkan hanya melalui hadis dan karenanya tidak perlu

untuk sebuah genre terpisah yurisprudensi (fiqh). Kemudian menunjukkan

meningkatnya kesadaran perlunya hadis sebagai bukti dalam diskusi hukum. Lihat

Robert Gleave, Between Ḥadīth and Fiqh: The "Canonical" Imāmī Collections of

Akhbār, BRILL Journal of Islamic Law and Society, Vol. 8, No. 3 (2001), 350,

http://www.jstor.org/stable/3399449.(Accessed: March 14, 2012). 307

Begitu juga kasus terhadap kekerasan yang berkedok agama, Muhammad

Khalid Mas‘ud menjelaskan bahwa banyak hadis yang menerangkan tentang

kekerasan, dimana hadis tersebut haruslah dipahami secara baik dengan metodologi

yang baik pula. Muhammad Khalid Mas‘ud, Hadith and Violence, Istituto per

l‟Oriente Journal of Hadith in Modern Islam 21 (2002), 5, http://www.jstor.org/

stable/25817809 .(Accessed March 16, 2012). 308

Teks hadisnya adalah:

لو نا أيشى ايشأةن فهح Artinya: Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan urusannya

(untuk memimpin) mereka kepada perempuan. al-Bukhari, Jilid IV, hadis No. 4163,

1610.

Page 162: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

162

jabatan yang setingkat. Demikianlah pendapat yang diikuti jumhur

ulama.309

Menurut Said Agil Husin Munawwar, jika dilihat dari asbāb

al-wurūd-nya, ternyata hadis tersebut diucapkan Nabi sewaktu

beliau mendengar laporan mengenai suksesi kepemimpinan

perempuan di negeri Persia pada abad ke tahun 9 H.310

Pada waktu

itu, derajat perempuan di mata masyarakat masih dipandang minor.

Perempuan tidak dipercaya untuk mengurus masalah publik lebih-

lebih masalah kenegaraan, dikarenakan pada saat itu perempuan

masih tertutup sehingga wawasan dan pengetahuannya juga relatif

masih kurang dibanding laki-laki.311

Menurut Muhammad Syuhudi Ismail, dalam kondisi sosio-

historis, Nabi sebagai orang yang memiliki kearifan menyatakan

bahwa bangsa yang menyerahkan kepemimpinannya kepada

perempuan yang tidak akan sukses. Sebab bagaimana mungkin

akan sukses, jika pemimpinnya saja adalah seorang yang tidak

dihargai oleh masyarakatnya. Padahal salah satu syarat ideal

seorang pemimpin adalah kewibawaan, disamping mempunyai

leadership yang memadai. Sementara perempuan saat itu dipandang

tidak mempunyai leadership dan kewibawaan untuk menjadi

pemimpin masyarakat.312

309

Karena menurut mereka berdasarkan hadis tersebut, persyaratan khalifah

(pemimpin) antara lain ―al-Zukurah‖ yakni sifat laki-laki. Al-Khattabī misalnya,

berpendapat bahwa perempuan tidak sah menjadi khalifah. Demikian pula al-

Syaukani dalam memahami hadis ini, beliau berpendapat bahwa perempuan tidak

termasuk ahli dalam kepemimpinan, sehingga ia tidak boleh menjadi kepala negara.

Lihat Aḥmad ibn Alī ibn Hajar al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukharī

(Beirut: Dār al-Fikr, t.th), 128. Dan Muḥammad ibn Alī ibn Muḥammad al-Shaukanī,

Nail al-Auṭor (Kairo: Musṭafa Babī al-Halabī, t.th), 298. 310

Menurut tradisi yang berlaku di Persia sebelum itu, yang diangkat sebagai

kepala negara adalah seorang laki-laki. Sedangkan pada tahun 9 H, yang terjadi justru

menyalahi tradisi biasanya, yakni mengangkat kepala negara seorang perempuan.

Perempuan tersebut bernama Buwaran binti Shairawaihi ibn Kisra ibn Barwaiz. Dia

diangkat menjadi ratu Persia karena saudara laki-lakinya terbunuh sewaktu

melakukan perebutan kekuasaan. Lihat Aḥmad ibn Alī ibn Ḥajar al-Asqalanī, Fatḥ al-

Barī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukharī (Beirut: Dār al-Fikr, t.th), 128. 311

Said Agil Husin Munawwar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-

Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 36. 312

Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan yang

Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 65.

Page 163: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

163

Oleh sebab itu, jika kondisi historis sosiologis antropologis

masyarakat berubah, di mana perempuan telah memiliki

kemampuan memimpin yang baik, dan masyarakat pun telah dapat

menghargai perempuan dengan baik dan menerimanya sebagai

pemimpin, maka boleh saja perempuan menjadi pemimpin, apalagi

menjadi hakim, dan lain sebagainya. Pandangan yang melarang

perempuan –hanya karena melihat aspek keperempuannya- untuk

menjadi pemimpin dalam wacana feminisme jelas mencerminkan

pandangan yang sangat bias patriarki dan karenanya perlu

direkonstruksi, bahkan di dekonstruksi sama sekali.313

Dalam sejarah, penghargaan masyarakat kepada kaum

perempuan makin meningkat dan akhirnya dalam banyak hal, kaum

perempuan diberi kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki.314

Al-Qur‘an sendiri memberi peluang sama kepada kaum perempuan

dan kaum laki-laki untuk melakukan berbagai amal kebajikan.

Dalam keadaan perempuan telah memiliki kewibawaan dan

kemampuan untuk memimpin, serta masyarakat bersedia

menerimanya sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya

perempuan dipilih dan diangkat sebagai pemimpin. Dengan

demikian, hadis di atas harus dipahami secara kontekstual sebab

kandungan petunjuknya bersifat temporal.315

Berkaitan dengan hadis tentang larangan kepemimpinan

perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa kapasitas Nabi SAW

saat menyampaikan hadis tersebut bukan dalam kapasitas sebagai

Nabi SAW atau Rasul yang pembicaraannya pasti mengandung

kebenaran dan dibimbing wahyu, tetapi harus dipahami bahwa

pendapat Nabi SAW yang demikian itu disabdakan dalam kapasitas

313

Said Agil Husin Munawwar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-

Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 37; dan Saskia Elenora

Wieringa, Islamization in Indonesia: Women Activists‘ Discourses, Journal Sign,

Vol. 32, No.1, (2006), 1. Published by The University of Chicago Press.

http://www.jstor.org/stable/10.1086/505274. (Accessed: 20/04/2014). 314

Tidak hanya dalam masalah kepemimpinan, dalam masalah hadis pun

perempuan banyak dilibatkan, seperti halnya dalam meriwayatkan hadis, ada ratusan

perawi perempuan yang terlibat dalam transmisi hadis. Lihat Asma Sayeed, Women

and Hadith Transmission Two Case Studies From Mamluk Damascus, Journal Studia

Islamica, No. 95 (2002), 71. http://www.jstor.org/stable/1596142. (Accessed:

20/04/2014). 315

Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan yang

Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 66-67.

Page 164: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

164

beliau sebagai manusia biasa (pribadi) yang mengungkap realitas

sosial keberadaan masyarakat (bayan al-waqi‘) pada saat hadis

tersebut disabdakan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan

terjadinya konflik sosial berkepanjangan yang terjadi di kemudian

hari andai pemimpin itu diserahkan pada perempuan yang secara

sosiologis tidak mendapat legitimasi dari masyarakat.

3. Hadis tentang diharamkannya bedah plastik.316

Menurut Syuhudi Ismail, bedah plastik atau operasi plastik

yang dilakukan hanya untuk tujuan kecantikan termasuk perbuatan

yang dilaknat oleh Nabi Muhammad SAW, tetapi jika hal tersebut

dimaksudkan untuk pengobatan atau menghindarkan diri dari

sesuatu yang membahayakan, maka hukumnya boleh. Sejalan

dengan Syuhudi, Muhammad Yusuf al-Qaraḍawī membolehkan

operasi terhadap bagian tubuh karena mengalami gangguan

fungsional, baik karena bawaan lahir maupun akibat kecelakaan,

seperti bibir sumbing (operasi plastik konstruksi). Adapun operasi

plastik pada bagian tubuh yang tak mengalami gangguan

fungsional, hanya bentuknya kurang sempurna atau ingin

diperindah, seperti hidung pesek dimancungkan (operasi plastik

estetika), hukumnya haram.317

Sementara Umar Syihab berpendapat bahwa mempercantik

diri, termasuk operasi plastik dibolehkan di dalam Islam asal

316 Hadisnya adalah:

ػ اب يسؼد سض هللا ػ لال نؼ هللا اناشاث انستشاث انتصاث

انغشاث خهك هللا يان ال أنؼ ي نؼت سسل هللا صه هللا ػه سهى انتفهجاث نهحس

)سا انبخاس( ف كتاب هللاArtinya: Dari Ibnu Mas‟ud r.a. katanya: Allah telah melaknat orang-orang

yang memakai tahi lalat palsu dalam bentuk tato, orang yang mencukur alisnya, dan

meratakan gigi dengan kikir untuk mempercantik diri dengan mengubah apa yang

telah dijadikan Allah. (Kata Ibnu Mas‟ud)), “Saya tidak punya (alasan) untuk tidak

melaknat orang yang dilaknat Rasulullah saw sebagaimana termaktub dalam al-

Qur‟an. Lihat Al-Bukharī, al-Jamī‟ al-Ṣaḥīḥ, Juz IV, 43. 317

Muhammad Yusuf al-Qarāḍawī, Halal dan Haram dalam Islam

(Surabaya: Bina Ilmu, 1996), 118-119. Kata Abdul Hamid Qudah, operasi estetika

mengandung faktor tidak mensyukuri nikmat Allah yang nyata-nyata berfungsi baik.

Padahal, yang ditekankan di dalam Islam adalah usaha mencari sebab kesembuhan

dari penyakit yang menimpa dengan cara-cara yang dibenarkan syara‘. Lihat Abd al-

Hamid Qudah, Abhās fī al-Adwā wa al-Ṭibb al-Wiqā‟ī (Mekah: Rabitah al-‗Alam al-

Islāmī, 1987), 12.

Page 165: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

165

dengan niat untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan ketenangan

jiwa. Illat hukum operasi plastik adalah kekhawatiran mengarah

kepada perbuatan zina. Bukankah Nabi SAW menganjurkan

memakai harum-haruman dan membolehkan menyemir rambut.

Bukankah seseorang yang ditimpa musibah (takdir), luka bakar

melakukan operasi plastik untuk mempercantik dirinya kembali

agar tumbuh rasa percara diri dan ketenangan jiwa. Karena itu,

tegas Umar Syihab, mempercantik diri atau operasi plastik tidak

dilarang dalam Islam, asal dengan niat untuk menimbulkan rasa

percara diri dan ketenangan jiwa.318

Dalam hal ini, Umar Syihab

memahami hadis riwayat Ibnu Mas‘ud di atas cenderung

kontekstual, yakni dikaitkan dengan kondisi masyarakat pada masa

itu dan illat hukum yang mengitarinya.

Sementara Nurcholish Madjid berpendapat, jika seseorang

hendak bedah plastik untuk menemukan kepercayaan diri, maka

bedah plastik yang dijalaninya dapat dibenarkan dalam Islam. Yang

tidak dibenarkan adalah bila seseorang yang telah menjalani bedah

plastik dan cantik atau gagah dari semula, kemudian menjadi

congkak, sombong, dan membenci orang jelek dari dia. Jadi, bedah

plastik itu dibenarkan atau diharamkan tergantung dari niatnya

saja.319

Menurut Syuhudi Ismail, kita memang harus hati-hati dalam

menetapkan illat suatu hukum, dan untuk memahami hadis di atas,

kita harus mengetahui dengan baik sebab-sebab terjadinya hadis

tersebut dan latar belakang penetapan hukum yang dikehendaki

oleh Nabi SAW. Illat keharaman pembuatan tahi lalat palsu dan

sebagainya untuk kepentingan kecentikan adalah karena perbuatan

itu telah mengubah apa yang telah ditetapkan (dijadikan) oleh

Allah. Harum-haruman, perhiasan, dan atau semir rambut sama

sekali tidak mengubah jasad manusia. Karena itu, hal tersebut tidak

dapat dianalogikan dengan operasi plastik untuk maksud

kecantikan.320

Dalam hal ini, Muhammad Syuhudi Ismail

318 Umar Syihab, ―Mempercantik Diri dibolehkan dalam Islam‖, Harian

Pedoman Rakyat, Ujungpandang, 30 November 1988. 319

Nurcholish Madjid, ―Bedah Plastik dapat dibenarkan dalam Hukum

Islam‖, Harian Pedoman Rakyat, Ujungpandang, 12 Januari 1989. 320

Syuhudi tidak mengingkari orang yang telah menjadi cantik karena

operasi plastik itu makin bertambah besar rasa percaya diri dan ketenangannya. Tetapi

dia mempertanyakan akibat buruk yang ditanggung oleh yang bersangkutan. Nabi

SAW menegaskan bahwa pemanfaatan anggota tubuh termasuk salah satu hal yang

Page 166: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

166

cenderung tekstual, bersikap sangat hati-hati, tetapi tegas dalam

memahami hadis tentang bedah plastik.

4. Hadis yang berkenaan dengan budaya Arab.321

Hadis yang berkenaan dengan budaya Arab salah satunya

tentang memakai surban. Menurut Ali Mustafa Ya‘qub surban ini

menjadi simbol pakaian ulama di beberapa daerah, maka ini

termasuk dalam kategori al-„adah muhakkamah (tradisi dapat

dijadikan sebagai hukum). Karenanya, para ulama yang berada di

daerah-daerah tersebut dianjurkan untuk mengenakan surban.

Adapun apabila surban tersebut dijadikan sebagai ajaran agama

yang wajib diikuti oleh setiap muslim, maka tidak ada seorang pun

ulama yang mengatakan demikian.322

Senada dengan gurunya Samahah al-Syaikh Abd al-Aziz ibn

Abdullah ibn Baz mengatakan bahwa memakai surban bukan

bagian dari ibadah. Pakaian ini dikenakan oleh Nabi SAW karena

merupakan pakaian adat kaumnya. Tidak ada satupun dalil yang

ṣaḥīḥ mengenai keutamaan surban, kendati Nabi SAW

mengenakannya. Sebaiknya orang memakai pakaian yang biasa

dipakai oleh penduduk negerinya, selama itu tidak diharamkan.323

Ali Mustafa Ya‘qub juga berpendapat bahwa mengenakan

surban terkadang diharamkan. Hal ini terjadi ketika seseorang

memakai surban seorang diri dan berbeda dari pakaian penduduk

sekitarnya. Karena kondisi ini dikategorikan sebagai pakaian

shuhrah (popularitas) karena ada dalil yang melarangnya.

Rasulullah SAW bersabda:

perlu dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Muhammad Syuhudi Ismail,

―Bedah Plastik‖, Pedoman Rakyat, Ujungpandang, 4 Desember 1988 M. 321

Seperti hadis memakai surban:

فشق يا با ب انششك انعائى عهى انمالش Artinya: Perbedaan antara kita dari kaum musyrikin adalah kain surban

(yang dikenakan) di atas kopiah. Lihat Sunan Abu Daud, IV/1748; Sunan al-

Tirmidhi, IV/218

Hadis yang lainnya:

سكعتا بعايت خش ي صبع سكعت بغش عايتArtinya: Dua rakaat dengan memakai surban lebih baik daripada tujuh

puluh rakaat dengan tidak memakai surban. 322

Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2014), 104-105. 323

Fatawa al-Lajnah al-Da‟imah Majmu‟ah li lajnah al-Daimah li al-

Buhuth al-Ilmiyah wa al-Ifta, dihimpun oleh Ahmad ibn Abd al-Razzaq al-Dawisy,

XXIV/42.

Page 167: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

167

― Siapa yang mengenakan pakaian popularitas di dunia, maka

Allah akan memakaikannya kepadanya pakaian kehinaan pada hari

kiamat, lalu menyalakan api neraka di dalamnya”. (HR. Ibn

Majah).324

Pakaian popularitas (thaub shuhrah) adalah pakaian yang

dikenakan untuk tujuan agar mudah dikenal (popularitas) di

hadapan orang lain, baik kualitasnya bagus untuk menyombongkan

diri dengan gemerlap harta, maupun kualitasnya rendah untuk

memperlihatkan kezuhudannya dan riya. Maka tidak diragukan

bahwa pakaian orang banyak dikategorikan sebagai popularitas

yang dilarang.325

Demikianlah pemahaman yang sesuai dengan kondisi di

Indonesia pada masa sekarang, pemahaman terhadap permasalahan di

Indonesia harus sesuai dengan konteks kemodernan dan globalisasi.326

Dalam permasalahan hadis (khususnya di Indonesia), hadis

yang secara sanad bernilai ṣaḥīḥ, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan

sains atau logika nalar manusia, ternyata para ulama berbeda pendapat

yang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama memandang bahwa hadis tersebut tetap berkualitas

Ṣaḥīḥ, hanya saja manusia yang belum bisa menemukan rahasianya,

serta akal manusia belum dapat sampai atau menjangkaunya. Sedang

kelompok kedua memandang bahwa hadis-hadis tersebut tidak ṣaḥīḥ,

sebab ada illat yang mencacatkannya dan ada pula kejanggalan

artinya.327

Dalam kasusnya kita contohkan terhadap hadis tentang siksa

kubur. Suatu peristiwa yang tidak dapat dihindari oleh manusia setelah

kematian. Setelah menjalani kehidupan di dunia, manusia akan

meninggal dan memasuki alam baru yang dikenal dengan alam kubur

(barzakh). Semua manusia tidak dapat mengetahui kejadian di alam

kubur. Namun, yang jelas bahwa setelah mati dan diistirahatkan di

324

Sunan ibn Majah, II/1192 no. 3607. 325

Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2014), 104-105. 326

Ronald A. Lukens-Bull, Two Sides of the Same Coin: Modernity and

Tradition in Islamic Education in Indonesia, Journal Anthropology dan Education

Quarterly, Vol. 32, No.3 (2001), 353. http://www.jstor.org/stable/3195992.

(Accessed: 20/04/2014). 327

Hasbi ash-Shiddiqie, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jakarta: Bulan

Bintang, 1976), 128.

Page 168: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

168

pemakaman (kuburan), manusia akan didatangi oleh malaikat

mengajukan beberapa pertanyaan. Apabila dia mukmin lagi muṣlih,

maka dia akan mudah menjawab dan memperoleh kebahagiaan dan

kenikmatan di alam kubur. Namun apabila dia kafir atau zalim, maka

dia sulit menjawab dan akan menerima siksa yang pedih. Hal ini telah

disebut dalam hadis Nabi SAW yang menyinggung persoalan siksa

kubur yang banyak ditemukan dalam kitab-kitab hadis, khususnya

dalam kitab Ṣaḥīḥain (Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim). 328

Meskipun siksa kubur memiliki landasan yang kuat dari hadis

Nabi SAW, akan tetapi masih terdapat orang dari kelompok

materialisme (naturalis) yang menilai hadis tersebut mushkil dari sisi

logika dan nalar manusia. Menurutnya, orang yang mati sama seperti

bangkai lain, tenang tak bergerak serta tidak memiliki rasa dan

perasaan. Bagaimana mungkin bangkai seperti itu dapat menerima

siksaan? Bagaimana mungkin bangkai dapat tanya jawab duduk

bersama dengan malaikat? Apabila bangkai itu dari orang kafir, dia

tidak bisa menjawab, kemudian malaikat memukul dengan martil besi

sehingga tulang remuk, serta apabila dia mukmin, lalu dia akan

menerima kenikmatan dan kenyamanan, maka mengapa ketika mayit

itu ditengok berkali-kali, tetap dalam keadaan utuh seperti patung kaku

328

Demikianlah pandangan dari kalangan materialisme yang menentang

pendapat adanya siksa kubur, padahal hadis Nabi SAW sangat jelas

menginformasikan hal itu seperti diriwayatkan oleh Imam al-Bukharī berikut ini:

حدثني عون بن أبي جحيفة حدثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى حدثنا شعبة قال عن أبيه عن البراء بن عازب عن أبي أيوب رضي اهلل عنهم قال خرج النبي ص م

وقد وجبت الشمس فسمع صوتا يهود تعذ ب فى قبورهاMuḥammad ibn al-Muthanna menceritakan kepada kami (berkata) Yahyā

menceritakan kepada kami (berkata) Syu‘bah menceritakan kepada kami

(yang) berkata: ―Aun bin Abī Juhaifah menceritakan kepada saya (yang

bersumber) dari Abū Ayyub ra berkata: ―Nabi keluar (rumah) pada saat

matahari terbenam, kemudian beliau mendengar suara, lalu beliau bersabda:

―(suara itu dari) seorang Yahudi yang disiksa di kuburnya.‖

Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang tidak berta‘awuz dari siksa

kubur dari siksa kubur dalam shalat, maka shalatnya tidak sah. Lihat Abū Abdillāh

bin Ismā‘īl al-Bukhārī, Ṣahīh al-Bukhārī ( Beirut: Dār ibn Kathir) Kitab al-Janaiz,

Bab al-Ta‘awudz ‗an ‗Azab al-Qabr, Hadis Nomor 1309, Juz I, 463. Dan Abdullāh

ibn Alī al-Najdī al-Qasimī, Mushkilāt al-Ahādīth al-Nabawiyyah wa Bayānuhā

(Lebanon: Dār al-Qalam, 1985), 11; dan Musṭafa al-Sibā‘ī, al-Sunnah al-Nabawiyyah

wa Makanatuha fī al-Tasyrī‟ al-Islāmī (Beirut: al-Maktab al-Islamī, 1976), 285.

Page 169: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

169

yang tidak merasakan apapun? Bahkan proses berikutnya dapat

dimakan ular dan cacing sehingga rusak dan tidak berbekas. Mengapa

agama Islam sebagai agama akal dapat bertentangan dengan akal, dunia

nyata, intuisi.

Dalam diskursus pemikiran filsafat naturalis, kematian

dipandang sebagai proses perjalanan akhir dari kehidupan. Dengan

mengandalkan rasio dan indera manusia, kematian merupakan wujud

dari yang tidak berwujud (being of nothingness), artinya wujud mati itu

merupakan hakikat yang sebenarnya dari ketidakwujudan (ketiadaan).

Oleh sebab itu, ―mati‖ bersifat tidak eksis, ada, dapat dirasakan, dan ia

merupakan ada yang sebenarnya. Eksistensi manusia dapat dinikmati

karena adanya ―jiwa dan raga‖ dalam diri manusia yang memiliki

potensi merasakan dalam kehidupan. Hal ini tidak dapat ditemukan jika

―jiwa dan raga‖ manusia yang sebenarnya sudah tidak ada karena dia

sudah mati, tidak eksis. Eksistensi orang yang sudah mati dari

perspektif being-nya tidak diakui, karena apa yang melekat dalam

―sesuatu yang disebut mati‖, menjadi sebab mengapa orang mati tidak

eksis. Bertolak dari pemikiran filsafat naturalis ini, mereka menolak

ajaran ―kehidupan setelah mati‖.

Kedua kelompok tersebut masing-masing mempunyai

argumentasi. Kelompok pertama menghargai kerja para ulama

terdahulu dalam menentukan kriteria hadis ṣaḥīḥ, sehingga standar

penilaian hadis terebut dapat diterima secara ilmiah. Sebagai

konsekuensinya, jika sanad-nya ṣaḥīḥ, maka dapat dipastikan bahwa

hadis itu berasal dari Nabi SAW dan diakui kebenaran isinya, meski

kandungan isinya tidak sejalan dengan nalar. Sedangkan kelompok

kedua lebih menekankan bahwa kebenaran sebuah hadis harus sesuai

dengan kenyataan dan logika atau nalar manusia. Mereka beranggapan

bahwa tidak mungkin sesuatu yang salah diyakini datang dari Nabi

SAW, sehingga kebenaran sanad meskipn telah memenuhi standar

ilmiah harus dikesampingkan karena didapati kejanggalan kandungan

isinya dalam hubungannya dengan muara hadis, yakni Nabi

Muhammad SAW.329

Perlu dikemukakan bahwa kekeliruan yang dari Nabi SAW

hanya dapat terjadi dalam masalah keduniaan saja sebagaimana yang

pernah terjadi dalam kasus-kasus tertentu. Sedangkan dalam masalah

keagamaan tidak mungkin untuk dinilai benar dan salahnya. Dengan

329

Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil)

(Yogyakarta: Teras, 2008), 4.

Page 170: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

170

perkataan yang lain bahwa dalam masalah agama Nabi SAW pasti

benarnya, karena beliau dibimbing oleh wahyu.330

Sedangkan kaitannya dengan syarat tidak janggal dan illat yang

mencacatkannya juga masih berlaku, akan tetapi terbatas pada

hubungannya dengan ketentuan al-Qur‘an yang jelas (qaṭ‟ī) dan hadis

mutawatir dalam masalah-masalah keagamaan.

Memang harus diakui dalam menghadapi materi hadis-hadis

Nabi SAW tidaklah semudah yang diduga banyak orang, sebab dalam

hal ini diperlukan perangkat yang tidak sedikit, karena selain yang

diteliti itu berasal dari Nabi SAW dalam kedudukannya sebagai

manusia, beliau juga mendapatkan wahyu sebagai Nabi dan Rasul.

Di samping itu juga harus diperhatikan situasi dan kondisi

kejadiannya. Sering Nabi SAW mengeluarkan sabdanya dengan

memperhatikan keadaan yang beliau hadapi. Beliau menemukan hal

yang sangat berpadanan dengan keadaan orang yang beliau hadapi itu.

Kepada seorang yang menanyakan tentang perbuatan terbaik dan

disukai Tuhan, Nabi menjawab sesuai dengan keadaan pada waktu dan

siapa yang bertanya.331

Kenyataan seperti itu dijumpai sangat banyak dalam hadis Nabi

SAW. Untuk itu, kelengkapan ilmu bantu yang berkaitan dengan hal itu

mutlak diperlukan dalam rangka mengetahui dan memahami hadis

330

Al-Qur‘an surat Al-Najm ayat 3-4

يا طك ػ 3 ٱن ح ح إال [٤-٣]سسة انـحـى, 4إ

Artinya:

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur‘an) menurut kemauan hawa

nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan

(kepadanya). 331

Jawaban yang dapat direkam atas pertanyaan yang sama tersebut adalah:

1) Amal yang paling baik adalah shalat tepat pada waktunya, 2) Amal yang paling

baik dan disukai Allah adalah membaca al-Qur‘an sepanjang waktu, 3) Amal yang

paling utama adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, 4) Amal yang paling utama

adalah menahan diri dari mengganggu dan menyakiti manusia, 5) Amal yang paling

baik adalah memberikan makanan kepada fakir miskin dan memberikan salam kepada

siapa saja.

Hadis-hadis tersebut tidak dapat hanya dipahami secara harfiah-literal-

atomistik, namun dapat dipahami latar belakang sejarahnya, bagaimana dan dalam

situasi apa Nabi SAW mengucapkan sabda hadis tersebut. Selain itu juga harus

dipahami apakah ketentuan yang pernah disabdakan oleh Nabi tersebut berlaku umum

atau merupakan ketentuan khusus dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain dan di

tempat lain. Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil)

(Yogyakarta: Teras, 2008), 6.

Page 171: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

171

tersebut secara tepat. Untuk dapat memahami hadis dengan tepat,

kelengkapan-kelengkapan sebagaimana disusun oleh ulama hadis dapat

dijadikan pedoman, seperti metode pemahaman hadis yang

dikemukakan oleh Yusuf al-Qaraḍāwī.332

Pengujian redaksi (matan) hadis sebenarnya sudah dilakukan

sejak awal sekali, bahkan dari kalangan sahabat sudah terlihat

pengujian-pengujian yang mereka lakukan. Dari beberapa kasus yang

dicermati, terlihat bahwa pengujian hadis yang dilakukan sahabat

adalah dengan al-Qur‘an serta hadis-hadis yang lebih kuat dan masyhur

yang terkadang diperkuat dengan argumen rasional dalam bentuk

analogi. Pengujian hadis dengan al-Qur‘an ini, bahkan pernah

dilakukan oleh Aisyah terhadap hadis yang sedang disampaikan oleh

Rasulullah sendiri. Rasulullah SAW bersabda: ―Barang siapa yang dihisab pasti akan

diazab‖. Aisyah menyela: ―Bukankan Allah telah berfirman: ―Mereka

(orang beriman) akan dihisab dengan hisab yang sangat mudah (al-

Insyiqaq: 8).‖ Rasul lalu bersabda kembali: ―Itu hanya sepintas, tetapi

orang yang dihisab secara ketat, pasti akan sengsara.333

Ṣalahuddīn Ibnu Aḥmad al-Aḍabi, mencatat beberapa orang

sahabat yang melakukan kritik terhadap hadis yang diriwayatkan oleh

sahabat lain. Mereka antara lain adalah Siti Aisyah, Umar bin Khatāb,

Alī ibn Abī Ṭalib, Abdullāh ibn Mas‘ūd, dan Abdullāh ibn ‗Abbas.

Tetapi, di antara sekian sahabat yang melakukan pengujian terhadap

hadis ini, yang paling intens adalah Siti Aisyah.334

Di kalangan para ulama hadis, ditemukan dua kecendrungan

pemahaman terhadap kandungan hadis. Kedua kecendrungan tersebut

terpresentasi dalam dua kelompok yang cukup dominan di kalangan

umat Islam, yakni retriction of traditionalist dan modernist

332

Metode pemahaman hadis menurut Yusuf al-Qaraḍawi, yaitu: Memahami

sunnah dengan bimbingan al-Qur‘an, Menghimpun hadis dalam satu tema, mencoba

mengkompromikan atau men-tarjih hadis-hadis mukhtalif, Memahami hadis dengan

bantuan sebab munculnya dan tujuan (maqaṣid-nya), Membedakan antara sarana yang

berubah-ubah dan tujuan yang tetap, Membedakan hakikat dan majazi, Membedakan

antara yang nyata dan yang ghaib, Memastikan kandungan lafaz. Lihat Yusuf al-

Qaraḍawī, Kaifa Nata‟amal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah (Kairo: Dār al-Shuruq,

2006), 111. 333

Muhammad Fuād ‗Abd al-Bāqī, Al-Lu‟lu‟ wa al-Marjān (Beirut: Dār al-

Fikrī, t.t), 299. 334

Ṣalahuddīn ibn Aḥmad al-Aḍabi, Metodologi Kritik Matan Hadis (terj.

H.M.Qadirun Nur) (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004) 85

Page 172: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

172

scripturalim. Pemahaman kelompok pertama hanya membatasi diri

pada tradisi yang diperolehnya dari ulama klasik tanpa

mempertimbangkan realitas sosial. Sedangkan pemahaman kelompok

modernist scripturalism tidak membatasi pada tradisi tersebut, tetapi

mempertimbangkan konteks dan realitas sosial yang berada di luar teks.

Produk pemahaman hadis yang dihasilkan dari kedua kelompok

tersebut mencerminkan dua tipologi pemahaman, yakni pemahaman

tekstual/literal, dan pemahaman konstekstual.335

Teori pemahaman hadis yang dipresentasikan oleh kelompok

modernist scripturalism adalah historis kontekstual.336

Teori ini

mencoba memahami hadis dengan bergerak dari wilayah gramatika-

tekstual ke wilayah kontekstual. Penguasaan gramatika dan gaya

bahasa Arab sangat diperlukan dalam memahami hadis. Tanpa kedua

aspek tersebut, pemahaman akan kehilangan peta dan arah. Persoalan

yang muncul kemudian adalah, meskipun hadis yang datang dari Nabi

adalah berbentuk pesan dalam bahasa Arab, namun bahasa Arab yang

dijadikan wahananya sampai tingkat tertentu dapat dimasukkan ke

dalam kategori budaya yang di dalamnya terkandung sifat relatif, dan

juga mengandung sistem tanda bahasa yang bersifat arbitrer

(kesepakatan sosial). Konsekuensinya, makna yang dikandung hadis

tidak semuanya terungkap dan tidak bisa dipahami secara tuntas oleh

pembacanya, meskipun pembacanya ahli dalam ilmu bahasa. Dalam

hadis mudah dijumpai kata ataupun kalimat yang menimbulkan multi

makna, karena dari segi bahasa memang memungkinkan. Multi makna

yang bersifat semantikal ini diperkuat oleh perbedaan tingkat akademis,

335

Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual yang

Kontekstual: (Telah Ma‘ani al-Hadis yang Universal, Temporal, dan Lokal) (Jakarta:

Bulan Bintang, 1994), 17. 336

Para ulama tidak puas dengan pendekatan gramatika-tekstual saja.

Mereka mencoba memahami hadis dengan pendekatan historis-kontekstual, yakni

untuk memahami ucapan Nabi, misalnya, hendaknya juga dipahami gaya bahasa yang

digunakan, konteks sosial dan psikologis ketika Nabi Muhammad bersabda serta

kepada siapa ucapan itu dialamatkan. Seorang yang tidak mengetahui latar belakang

sosial-budaya darimana dan dalam situasi apa sebuah hadis disabdakan, maka pesan

dari sebuah hadis sulit ditangkap. Ketika hadis diterjemahkan secara literer dan

dilepaskan dari konteksnya, sangat mungkin pemahaman yang muncul jauh dari yang

dikehendaki oleh pembicaranya (Nabi). Pemahaman kontekstual ini lebih diperlukan

lagi ketika seseorang akan menentukan sebuah formula hukum. pemahaman yang

demikian ini dikenal dengan teori historis-kontekstual dalam memahami hadis. Nizar

Ali, Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil) (Yogyakarta: Teras,

2008), 10.

Page 173: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

173

psikologis, dan kepentingan politik pencari makna hadis, sehingga kita

menyaksikan munculnya berbagai mazhab atau aliran pemikiran dalam

Islam, baik dalam bidang hukum, teologi, filsafat, tasawuf maupun

politik. Berbagai isu yang diperselisihkan oleh para ulama tidak

mungkin diselesaikan dengan cara penyeragaman makna hadis karena

hadis membuka diri untuk ditafsirkan.337

Pada zaman dahulu, sebagian ulama sudah merasa puas dengan

menyatakan wa Allah a‟lam (Allah yang mengetahui maksud-Nya).

Akan tetapi, tatkala problem sosial dan ilmu pengetahuan semakin

kompleks seperti sekarang ini, maka literalisme seringkali tidak

memuaskan pemikiran banyak pihak. Bahkan pada gilirannya

berpotensi untuk memunculkan sikap keraguan dari sebagian orang

terhadap otentisitas hadis Nabi SAW, karena isinya secara literal

bertentangan dengan sains, logika, atau nalar manusia. Padahal hadis

tersebut diriwayatkan oleh para imam hadis yang diakui kredibilitasnya

dalam periwayatan hadis.

Manakala menghadapi pertentangan antara bunyi hadis secara

literal dengan sains atau berlawanan dengan akal, maka langkah yang

terbaik adalah:338

Pertama, Mendiagnosa hadis Nabi SAW dari aspek sanad dan

matn dengan menggunakan kaedah ke-ṣaḥīḥ-an hadis melalui kritik

eksternal (al-naqd al-kharīj) dan kritik internal (al-naqd al-dakhīl).

Diagnosis ini penting untuk menetapkan otentisitas dan validitas

sebuah hadis itu benar-benar bersumber dari sabda Nabi SAW, ataukah

berita tersebut datang dari penuturan sahabat tentang perbuatan Nabi

SAW.

Kedua, Setelah hasil diagnosa diketahui bahwa hadis tersebut

otentik dan valid berasal dari Nabi SAW serta berkualitas ṣaḥīḥ, maka

selanjutnya dilakukan analisis dengan melihat teks dan konteks di luar

teks yang meliputi latar belakang munculnya, tujuan Nabi SAW

menyabdakan, siapa yang diajak bicara dan bagaimana keadaannya,

setting sosial, bahasa yang digunakan, dalam konteks apa disabdakan.

Namun apabila dijumpai hadis tersebut otentik dan valid berasal dari

sahabat yang telah diakui keadilannya, serta berisi informasi terhadap

perbuatan yang dilakukan Nabi SAW (sunnah fi‟liyyah), maka langkah

337

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian

Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 165. 338

Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil),

(Yogyakarta: Teras, 2008), 132-134.

Page 174: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

174

berikutnya menganalisis rasionalisasi dari isi kabar dan kemungkinan-

kemungkinan yang dapat diakibatkannnya.

Ketiga, membedah substansi materi hadis mushkil yang

bertentangan dengan sains atau akal tersebut apakah disampaikan nabi

SAW untuk memberi informasi ilmu pengetahuan, ataukah hanya

sekedar menjelaskan kenyataan yang berkembang sesuai dengan

suasana pada saat itu, ataukah Nabi SAW hanya bermaksud

memberikan warning, peringatan yang dapat dijadikan i‟tibar,

pelajaran bagi umatnya.

Keempat, memilah dimensi makna kebahasaan yang digunakan

dalam hadis Nabi SAW apakah menggunakan pola sebenarnya (haqiqi)

atau kiasan (majazi).

Kelima, mempertimbangkan kedudukan Nabi SAW saat

menyabdakan hadis apakah dibimbing wahyu atau hanya memberikan

informasi keadaan yang sesuai dengan suasana masyarakat pada waktu

itu, dengan mencermati tema pembicaraan dalam hadis, seperti tema

eskatologis dan alam ghaib, yang hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa

bimbingan wahyu.

Keenam, mengelompokkan hadis Nabi SAW ke dalam beberapa

kategori: 1) hadis yang berisi ajaran pokok agama seperti akidah dan

ibadah; 2) hadis yang berisi ajaran bersifat ijtihad Nabi SAW sebagai

pemimpin seperti kepala negara, komandan peperangan, dan urusan

kemasyarakatan; 3) hadis yang bersifat tindakan keseharian sebagai

uswah hasanah (suri tauladan yang baik) seperti etika berpakaian, etika

tidur, etika pergaulan, dan sebagainya. Pengelompokkan ini

dimaksudkan untuk menempatkan hadis pada porsinya agar diperoleh

gambaran urgensi dan signifikansinya dalam kehidupan.

Ketujuh, Menggunakan landasan ayat-ayat al-Qur‘an dan hadis

lain yang relevan serta pendapat ulama yang relevan untuk memperkuat

bahan analisis terhadap pemahaman yang akan dilakukan.

Demikianlah metodologi pemahaman hadis Nabi yang

seharusnya dilakukan, agar mendapatkan pemahaman yang benar dan

sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Nabi Muhammad SAW.

Secara garis besar dalam memahami hadis Nabi sesuai dan selaras

dengan tujuan Nabi menyampaikan suatu hadis tersebut.

Page 175: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

175

BAB V

GENEALOGI PERKEMBANGAN

STUDI HADIS DI INDONESIA

Dalam bab ini dibahas tentang sinkronisasi antara pengkaji

hadis di Indonesia dengan pengkaji hadis dan ulama hadis lainnya,

kemudian dijelaskan tentang keotentikan dan signifikansi

perkembangan kajian hadis di Indonesia, dan terakhir dijelaskan

pemikiran hadis pengkaji hadis di Indonesia.

E. Sinkronisasi antara Pengkaji Hadis di Indonesia dengan

Pengkaji Hadis Lainnya.

Pada pembahasan terdahulu dijelaskan tentang sinkronisasi

antar pengkaji hadis di Indonesia, pada sub bab ini dijelaskan tentang

sinkronisasi pengkaji hadis di Indonesia dengan pengkaji hadis di

Timur Tengah dan di Barat.

1. Muhammad Syuhudi Ismail.

Berdasarkan uraian terdahulu, diketahui bahwa Syuhudi

Ismail tidak memiliki pengalaman luar negeri kecuali ketika ia

menunaikan ibadah haji (1993 M). Hal ini menunjukkan bahwa

sumber-sumber pemikiran Syuhudi Ismail, pada umumnya

diperoleh dari hasil telaah berbagai buku, baik yang berkaitan

langsung dengan ilmu-ilmu hadis maupun yang tidak langsung.

Syuhudi Ismail bertemu dengan berbagai ilmuan, baik alumnus

Barat maupun Timur Tengah, seperti Harun Nasution dan M.

Quraish Shihab.339

Genealogi Pemikiran Hadis M. Syuhudi Ismail.

339

Arifudin Ahmad, ―Pembaharuan Pemikiran tentang Hadis Nabi

Muhammad SAW di Indonesia‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2003), 50.

Quraish Shihab Harun Nasution

Said Agil Husin al-

Munawwar

M. Syuhudi Ismail

Hasbi Ash-Shiddieqie Kiai Mansur Dr. Madjidi

Page 176: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

176

Jika dilihat ranji di atas, Syuhudi Ismail tidak memiliki

pengalaman dan mempunyai guru dari luar negeri. Guru Muhammad

Syuhudi Ismail yaitu Kiai Mansur dan Dr. Madjidi berasal dari

Lumajang Jawa Timur, mereka adalah guru yang mengajarkan

berbagai disiplin ilmu pengetahuan, termasuk ilmu hadis kepada

Syuhudi Ismail; sedangkan Harun Nasution,340

Quraish Shihab,341

dan Said Agil Husin al-Munawar merupakan gurunya ketika ia

kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang sudah menjadi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).342

Salah satu kekuatan Syuhudi Ismail dalam hal metodologi

adalah kemampuannya menanggapi kritik sesuai dengan pendekatan

yang digunakan oleh mereka yang dikritiknya secara sistematis dan

obyektif. Namun Syuhudi Ismail tidak mengemukakan secara

340

Dalam karyanya Muhammad Syuhudi Ismail merujuk kepada Harun

Nasution dalam memahami hadis tentang keimanan pezina, pencuri, dan peminum

khamar. Harun Nasution menjelaskan bahwa sebagian golongan Khawarij

berpendapat bahwa zina adalah dosa besar dan menyebabkan pelakunya keluar dari

mukmin dan karenanya, dia menjadi kafir. Golongan Murji‟ah berpendapat bahwa

perbuatan maksiat ataupun dosa besar tidak menyebabkan seorang mukmin menjadi

kafir. Bagi mereka, keimanan didasarkan oleh pengakuan bahwa tidak ada tuhan

kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Masalah dosa besar yang

telah dilakukan ditunda penyelesaiannya oleh Allah pada hari perhitungan kelak.

Menurut golongan Muktazilah, orang yang berdosa besar telah keluar dari status

mukmin, namun tidak menjadi kafir,, orang tersebut dinyatakan sebagai fasik.

Selengkapnya lihat dalam karya Harun Nasution, Teologi Islam diterbitkan di Jakarta

pada tahun 1972.

Pengaruh Harun Nasution terhadap pemikiran Syuhudi Ismail antara lain

dilihat dari sikap rasional, kritis, dan obyektif yang ditekankan Harun dalam

penelitian keagamaan. 341

Secara kontekstual, maka secara praktis ia terpengaruh oleh pemikiran M.

Quraish Shihab. Secara metodologis, Quraish Shihab menekankan pemahaman

keagamaan, termasuk untuk hadis Nabi, secara sistematis dengan pendekatan tematik.

Hanya saja, Quraish Shihab banyak menerapkan pendekatan tematik untuk penafsiran

al-Qur‘an, sementara Syuhudi menerapkannya untuk pemahaman hadis Nabi.

Penerapan pendekatan tematik terhadap al-Qur‘an yang dilakukan oleh Quraish

Shihab, terutama dalam bukunya yang berjudul Membumikan al-Qur‘an dan

Wawasan al-Qur‘an masing-masing diterbitkan oleh Mizan Bandung. 342

Said Agil Husin al-Munawar merupakan guru dan dosen Syuhudi Ismail

ketika kuliah, Syuhudi Ismail banyak menerima masukan tentang ilmu hadis dan

metodologi kajian hadis dari gurunya Said Agil al-Munawar. Ini nampak ketika

melihat pemahaman hadis Syuhudi Ismail yang cenderung menggunakan pendekatan

kontektsual asbāb al-wurud. Seperti penjelasan hadis dalam bukunya Hadis Nabi

yang Tekstual dan Kontekstual.

Page 177: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

177

teoritis konsep kritik sejarah terhadap hadis Nabi, sebagaimana

dilakukan oleh Fazlur Rahman terhadap metodologi pembaharuan

hukum Islam. Di samping itu, Syuhudi juga tidak mengajukan bukti-

bukti kongkrit berdasarkan hasil penelitian terhadap sumber-sumber

primer (klasik), kecuali hanya bersifat umum, sebagaimana yang

dilakukan oleh Azami. Dalam hal ini, Syuhudi Ismail tampaknya

tidak memiliki data historis tentang proses terbentuknya transmisi

hadis yang cukup, tetapi ia memiliki pengetahuan tentang metode

kritik sejarah.

Selain yang disebutkan di atas, secara tidak langsung

pengembangan pemikiran Syuhudi juga didasarkan pada pemikiran

klasik, seperti Imam al-Shafi‘ī (w. 204 H) dalam hal metodologi

penyelesaian hadis-hadis yang tampak bertentangan dan kritik atas

para pengingkar hadis Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam,

dan Ibnu al-Salah (w. 643 H) dan al-Nawawi (w. 676 H) dalam hal

kaidah keshahihan sanad hadis.343

Hal ini menunjukkan bahwa

Syuhudi tetap menjaga kesinambungan dan pengembangan hadis

Nabi.

Perkembangan pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail juga

tidak terlepas dari bacaan dan telaah terhadap buku-buku Timur

Tengah dan Barat, ini dapat dilihat dari kutipan beliau terhadap

pengkaji hadis di Timur Tengah tentang pemahaman hadis, yaitu

Abū Ṭayib Muḥammad Shams al-Ḥaqq al-‗Aẓim, „Aun al-Ma‟būd

Sharḥ Sunan Abī Dāud (1399 H); Ṣalah al-Dīn ibn Aḥmad al-

Aḍabī, Manhāj Naqd al-Matn (1430 H); Aḥmad ibn ‗Alī Ibnu Ḥajar

al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukharī;344

al-Sayid al-

343

Arifudin Ahmad, Pembaharuan Pemikiran tentang Hadis Nabi

Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail) (

Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000), 60-62. 344

Muhammad Syuhudi Ismail banyak mengutip dari pemikiran Ibnu Hajar

al-Asqalani dan al-Qurtubī, seperti dalam memahami hadis kepala Negara dari Suku

Quraish, bahwa Ibnu Hajar al-Asqalanī menjelaskan bahwa tidak ada seorang ulama

pun, kecuali dari kalangan Mu‘tazilah dan Khawarij, yang membolehkan jabatan

kepala negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku Quraish. Dalam

sejarah memang telah ada para penguasa yang menyebut diri mereka sebagai khalifah,

padahal mereka bukanlah dari suku Quraish. Menurut pandangan ulama, demikian

kata Ibnu Hajar, sebutan khalifah tersebut tidak dapat diartikan sebagai kepala negara

(al-imamah al-„uzma). Lihat Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual

dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), 39, dan Aḥmad ibn ‗Alī Ibnu Ḥajar

al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukharī (ttp: Dār al-Fikr wa Maktabah al-

Salafiah, t.th.), Juz. VI, 526-536. Fransesco Gabrieli, Arabic Historiography. Journal

Page 178: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

178

Sharīf Ibrāhīm ibn Muḥammad ibn Ḥamzah al-Ḥusainī, al-Bayān

wa al-Ta‟rīf fi Asbāb al-Wurūd al-Ḥadīth al-Sharīf; Abū

Muḥammad Abd Allāh ibn Muslim ibn Qutaibah, Ta‟wīl Mukhtalaf

al-Ḥadīth; Zain al-Dīn Abū Farj ‗Abd al-Raḥmān ibn Rajab, Jamī‟

al-„Ulūm wa al-Ḥikām fī Sharḥ Khamsina Hadīth min Jawāmī‟ al-

Kalīm; Zain al-Dīn ibn ‗Abd al-Raḥman ibn Ḥusain al-‗Iraqī, al-

Taqyīd wa al-Iḍah Sharḥ Muqaddimah ibn al-Ṣalaḥ; ‗Alwī ‗Abbas

al-Malikī dan Ḥayy Sulaimān al-Nūrī, Ibānah al-Aḥkam Sharḥ

Bulūgh al-Marām; Shiḥāb al-Dīn ibn Aḥmad ibn Aḥmad ibn Idrīs

al-Qarafī, Sharḥ Tanqīh al-Fuṣūl; Muḥammad ibn Ismā‘īl al-

Ṣan‘ānī, Subūl al-Salām Sharḥ Bulūgh al-Marām;345

Jalāl al-Dīn

‗Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr al-Suyuṭī, Tadrīb al-Rawī fī Sharḥ

Taqrīb al-Nawāwī dan Tanwīr al-Ḥawalik Sharḥ Muwaṭṭa‟ Malik;

dan Muḥammad ibn Idrīs al-Syafi‘ī, Kitab Ikhtillāf al-Ḥadīth;

Islamic Studies, Vol. 18. (1979). 81-95 http://jstor.org/stable/20847098. (Accessed:

20/04/2014).

Al-Qurṭubī (w. 671 H) menjelaskan, kepala negara disyaratkan harus dari

suku Quraish. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraish tinggal satu

orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala negara.

Dari pemahaman kedua ulama hadis di atas berbeda dengan pemahaman

Syuhudi Ismail terhadap hadis tersebut, ia berpendapat bahwa apabila kandungan

hadis-hadis di atas dihubungkan dengan fungsi Nabi, maka dapatlah dinyatakan

bahwa pada saat hadis-hadis itu dinyatakan, Nabi berada dalam fungsinya sebagai

kepala negara atau pemimpim masyarakat, yang menjadi indikasi (qarinah) antara

lain adalah ketetapan yang bersifat primordial, yakni sangat mengutamakan orang

suku Quraish. Hal itu tidak sejalan dengan petunjuk al-Qur‘an yang menyatakan

bahwa yang paling utama dihadirat Allah adalah yang paling bertakwa.

Mengutamakan suku Quraish memang bukan ajaran dasar dari agama Islam yang

dibawa oleh Nabi; hadis itu dikemukakan sebagai ajaran yang bersifat temporal. lihat

Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta:

Bulan Bintang, 2009), 40-45. 345

Syuhudi Ismail mengutip al-Sayid al-Sharīf Ibrāhīm ibn Muḥammad ibn

Ḥamzah al-Ḥusainī dalam menjelaskan asbāb al-wurūd, seperti menjelaskan tentang

hadis mandi pada hari jum‘at, dan hadis yang lainnya. Dan Syuhudi Ismail juga

mengutip pemikiran Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Ṣan‘ānī salah satunya tentang mandi

pada hari jum‘at menyatakan bahwa hukum mandi pada hari jum‘at adalah wajib, ia

memahami hadis ini secara tekstual, berbeda dengan pemahaman Syuhudi Ismail

yang memahami hadis tersebut dengan kontekstual. Lihat al-Sayid al-Sharīf Ibrāhīm

ibn Muḥammad ibn Ḥamzah al-Ḥusainī, al-Bayān wa al-Ta‟rīf fi Asbāb al-Wurūd al-

Ḥadīth al-Sharīf, 85-88, dan Muḥammad ibn Ismā‘īl al-Ṣan‘ānī, Subūl al-Salām

Sharḥ Bulūgh al-Marām, Juz I, 87-88. Dan juga Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis

Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), 58-59.

Page 179: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

179

Aḥmad Muḥammad Shakir, Sharḥ alfiyah al-Suyuṭī fī Ilm al-

Ḥadīth.

Berdasarkan beberapa pemahaman beliau tentang hadis,

kecenderungan pemahaman Syuhudi Ismail terhadap hadis-hadis

Nabi yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan hukum atau yang

bersifat qaṭ‟ī (pasti) adalah cenderung tekstual dan bersikap ketat

atas kualitas hadis-hadisnya. Sedangkan dalam masalah-masalah

sosial politik dan sosial kemasyarakatan atau yang bersifat ẓannī

(tidak pasti), maka ia cenderung kontekstual dan bersikap longgar

atas kualitas hadis-hadisnya.

Muhammad Syuhudi Ismail mengutip pemikiran hadis

Muhammad ibn Idris al-Shafi‘ī, Muhammad Musṭafa Azami,

Muhammad Abd al-‗Aziz al-Khuli, Shihab al-Dīn ibn Aḥmad ibn

Idris al-Qarafi, ketika menjelaskan tentang hadis yang nampak

saling bertentangan.

Cara yang ditempuh Muhammad Syuhudi Ismail dalam

menyelesaikan hadis-hadis yang nampak bertentangan dengan al-

Qur‘an dan hadis lainnya berbeda dengan cara atau metode yang

dipakai oleh ulama hadis di Timur Tengah, akan tetapi walaupun

cara-cara penyelesaian ulama berbeda-beda, namun hasil

penyelesaiannya sama. Dinyatakan demikian karena selain ulama

pada umumnya lebih mengutamakan cara al-jam‟u (al-taufiq atau

al-talfiq), sepanjang cara itu dapat diterapkan, juga penyelesaian

yang diberi istilah yang berbeda, ternyata hasilnya banyak yang

menunjukkan kesamaan.

Dengan demikian, Muhammad Syuhudi Ismail juga

terpengaruh dengan gagasan-gagasan yang dikemukakan yang

dikemukakan oleh Abduh. Hal ini dapat dilihat pada kecenderungan

Syuhudi terhadap pemahaman hadis Nabi yang tidak terikat pada

pemahaman hadis Nabi yang tidak terikat pada pemahaman tekstual

semata, tetapi untuk hadis-hadis yang kedudukannya bersifat tidak

pasti (ẓannī), baik dari segi wurūd-nya ataupun dari dilalah-nya

cenderung kontekstual.

Jika mencermati karya-karyanya, Muhammad Syuhudi

Ismail juga merujuk kepada karya-karya penulis Barat, seperti

Louis Goottschalk, Understanding History: A Primer of Historical

Method (1956); Carter V. Good and Douglas E. Scate, Methods of

Research Educational, Psychological, Sosiological; Bernard

Norling, Toward a Better Understanding of History (1960); Phillip

Page 180: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

180

K. Hitti, History of the Arabs (1974);346

dan W. Montgomery Watt,

Muhammad Prophet and Statesman (1969).

Jika ditelaah secara seksama, maka pemikiran M. Syuhudi

Ismail di bidang hadis banyak diwarnai oleh para pemikir, baik

pemikir klasik maupun kontemporer. Hal itu dapat dimaklumi

sebab permasalahan di bidang hadis beragam, antara lain berkaitan

dengan metodologi ke-ṣaḥīḥ-an sanad, ke-ṣaḥīḥ-an matn, dan

metodologi pemahaman hadis Nabi SAW. Demikian pula sumber-

sumber pemikiran Syuhudi ada yang secara langsung diterimanya

dari sang pemikir, ada yang melalui karya-karya sang pemikir, dan

ada yang melalui karya orang lain tentang pemikiran seseorang,

terutama pemikir klasik.

Jika dilihat dari pemikiran sarjana Timur Tengah dan

sarjana Barat tentang hadis, ada perbedaan baik dari segi penelitian

sanad hadis maupun dalam kajian pemahaman hadis. Muhammad

Syuhudi Ismail dalam memahami hadis lebih kontekstual sesuai

dengan konteks-sosio-historis Indonesia.

2. Said Agil Husin al-Munawar.

Selama di Arab Saudi, Said Agil bukan hanya menuntut

ilmu di bangku kuliah, ia menyadari benar bahwa di luar kampus

masih sangat banyak sumber ilmu. Maka ia pun tidak menyia-

nyiakan itu, dengan belajar kepada para tokoh ulama yang ada di

sana.

Ini terlihat adanya sinkronisasi antara Said Agil Husin al-

Munawar dengan gurunya di Timur Tengah dan Indonesia yang

mempengaruhi perkembangan pemikiran hadis Said Agil Husin al-

Munawar.

346

Muhammad Syuhudi Ismail mengutip Philip K. Hitti dengan W.

Montgomery Watt, dalam hal sejarah Rasulullah. Di dalam bukunya menjelaskan

bahwa Nabi Muhammad SAW berperan dalam banyak fungsi, antara lain sebagai

Rasulullah SAW, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, dan

pribadi. Sehingga, hadis yang merupakan sesuatu yang berasal dari Nabi mengandung

petunjuk yang pemahaman dan penerapannya perlu dikaitkan juga dengan peran Nabi

tatkala hadis itu terjadi. Lihat Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual

dan Kontekstual (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), 4.

Page 181: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

181

Genealogi Pemikiran Hadis Said Agil Husin al-Munawwar.347

347

Said Agil Husin al-Munawar, wawancara pribadi, pada tanggal 1

Oktober 2014.

Abū al-Ḥamd

Abd al-Qadīr Abd al-Waḥab Ibrāhīm

Abū Sulaiman

Said Agil Husin

al-Munawar

Aḥmad Aḥmad

Ibrahīm al-Khadrawi

Maḥmud Abdul

Dā‘īm

Aḥmad Fahmi

Abū Sunnah

Yasin al-Shazilī

Abd al-Azīz Amir Ḥabib Salīm al-Khirīj

Syeikh Muhammad

Yasin Isa al-Fadani

Syeikh Sayid Muḥammad

Alawī al-Malikī

Syeikh Zakaria Bila Syeikh Ḥamid al-Kaf

Kiai H. Dahlan

Hasan Kediri

Syeikh Mukhtaruddin

Palembang

Syeikh Yasin Barhimin

Kiai H. Muhammad

Siraj Abdullah Umar

Kiai Daman Huri

Syeikh Ismā‘īl ibn

Zein al-Yamani Syeikh Aḥmad

Jābir al-Yamanī

Syeikh Abd al-Karim

Banjar

Kiai Muhammad

Tohir Banten

Page 182: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

182

Guru-guru Said Agil al-Munawar berasal dari Mekah,

Madinah, Mesir, Yaman, dan juga Indonesia, adapun guru yang

sangat mempengaruhi terhadap perkembangan pemikiran Said Agil

Husin al-Munawar adalah Prof. Dr. Aḥmad Aḥmad Ibrahīm al-

Khadrawī, yang merupakan guru sekaligus pembimbing tesis dan

disertasi Said Agil Husin al-Munawar.348

Adapun gen pemikiran hadis Said Agil Husin al-Munawar

yaitu dari gurunya di Timur Tengah diantaranya Abd al-Qadīr ibn

Aḥmad Assegaf, Sayyid Muḥammad ibn Alwī al-Malikī, Prof. Dr.

Maḥmūd Abd al-Dā‘īm, Aḥmad Faḥmī Abū Sunnah, Prof. Dr.

Aḥmad Faḥmī Abū Sunnah, Prof. Dr. Yasin al-Shazilī, Prof. Dr.

Abd al-Azīz Amir, Prof. Dr. Abū al-Ḥamd, Prof. Dr. Abd al-

Waḥab Ibrahīm Abū Sulaiman, Syeikh Ismā‘īl ibn Zein al-Yamanī,

Syeikh Aḥmad Jabir al-Yamanī, yang merupakan guru hadis beliau

ketika kuliah di Umm al-Qurrā.349

Said Agil Husin al-Munawar

mendapatkan ijazah dari guru-guru yang pernah mengajarkannya di

Timur Tengah.

Adapun gen pemikiran hadis Said Agil Husin al-Munawar

dari gurunya yang berasal dari Indonesia adalah yaitu Syeikh

Muhammad Isa Yasin al-Fadani, Kiai H. Dahlan Hasan Kediri,

Syeikh Mukhtaruddin Palembang, Syeikh Yasin Barhimin, Kiai

Daman Huri, dan Kiai Muhammad Tohir Banten. Ini adalah guru-

guru Said Agil Husin al-Munawar yang berasal dari Indonesia yang

348

Said Agil Husin al-Munawar, wawancara pribadi, pada tanggal 1

Oktober 2014. 349

Menurut Said Agil Husin al-Munawar bahwa pemikiran yang

komprehensif ia dapat dari berbagai guru di Timur Tengah, anggapan orang bahwa

orang Timur Tengah mempunyai pemikiran yang radikal dan cenderung tekstual di

dalam memahami teks agama adalah salah, justru guru-gurunya di Timur Tengah

mempunyai pemikiran yang sangat kontekstualis dalam memahami teks al-Qur‘an

dan hadis Nabi SAW. Ini nampak dari pemikiran hadis Said Agil Husin al-Munawar

ketika memahami beberapa hadis, seperti hadis tentang mahram, wanita menjadi

pemimpin, pemimpin dari Quraish, dan hadis yang lainnya yang sangat kontekstual

dalam memahami hadis Nabi. Said Agil Husin al-Munawar, wawancara pribadi,

pada tanggal 1 Oktober 2014.

Keterkaitan pemahaman ini dapat dilihat pada penjelasan pada bab

selajutnya, yang akan menjelaskan perbedaan dan persamaan Said Agil Husin al-

Munawar dengan guru-gurunya dalam memahami hadis Nabi Muhammad SAW.

Page 183: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

183

tinggal dan menetap di Mekah. Guru-gurunya tersebut mengajari

berbagai disiplin ilmu pengetahuan termasuk mengajari hadis.350

Perkembangan pemikiran hadis Said Agil Husin al-

Munawar juga tidak terlepas dari bacaan dan telaah buku, seperti

dalam memahami hadis ia mengutip kepada ulama-ulama Timur

Tengah diantaranya, Muḥyiddīn abū Zakariyya ibn Sharaf al-

Nawāwī, Ṣaḥīḥ al-Muslim Sharḥ al-Nawāwī; Yusūf al-Qaraḍawī,

Kaifa Nata‟ammalū ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah; Aḥmad ibn

Alī ibn Ḥajar al-‗Asqalanī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukharī;

Muḥammad ibn Alī ibn Muḥammad al-Shaukanī, Nail al-Auṭār;

Jalal al-Dīn al-Suyuṭī, al-Luma‟ fī Asbāb al-Hadīth,351

dan lain-lain.

Said Agil Husin al-Munawar dalam mengutip Imam al-

Nawāwī, Imam Abū Hanifah, Imam Malik, al-Auzā‘ī, dan Imam al-

Shafi‘ī dalam menjelaskan tentang beberapa hadis, diantaranya

adalah hadis yang menjelaskan tentang larangan wanita bepergian

sendirian. Imam al-Nawāwī menjelaskan bahwa suatu larangan bagi

wanita yang bepergian yang bersifat sunnah atau mubah, tanpa

disertai mahram atau suaminya. Sedangkan untuk bepergian yang

sifatnya wajib, seperti menunaikan ibadah haji, pada ulama berbeda

pendapat. Menurut Imam Abū Hanifah dan didukung oleh

mayoritas ulama hadis, adalah wajib hukumnya wanita yang mau

haji, harus disertai mahram atau suaminya. Namun menurut Imam

Malik, al-Auza‘ī, dan al-Shafi‘ī, tidak wajib. Mereka mensyaratkan

keamanan saja. Keamanan itu bisa diperoleh dengan mahram atau

suami atau wanita-wanita lain yang terpercaya (thiqat).352

Dalam pemahaman tentang mahram, Said Agil Husin al-

Munawar berbeda pendapat dengan beberapa ulama di atas, ia

menjelaskan bahwa jika pemikiran itu dikembangkan, maka konsep

350

Said Agil Husin al-Munawar, wawancara pribadi, pada tanggal 1

Oktober 2014. 351

Said Agil Husin al-Munawar mengutip pendapat Jalal al-Dīn al-Suyuṭī

dalam menjelaskan tentang penjelasan asbāb al-wurūd hadis. Al-Suyuṭī menjelaskan

bahwa asbāb al-wurūd dapat dijadikan sebagai pisau bedah untuk menganalisis,

menentukan takhsīs (pengkhususan) dari yang ‗am, membatasi yang mutlak,

memerinci yang global dan menentukan ada tidaknya naskh (pembatalan hukum),

menjelaskan ‗illat (alasan) ditetapkannya hukum dan membantu menjelaskan hadis

yang mushkil (sulit dipahami). Lihat Jalal al-Dīn al-Suyuṭī, al-Luma‟ fī Asbāb al-

Hadīth (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), 11-17. 352

Muḥyiddīn Abū Zakariyya ibn Sharaf al-Nawāwī, Ṣaḥīḥ al-Muslim Sharḥ

al-Nawāwī (Beirut: Dar al-Kitab, t.th.), 104-105.

Page 184: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

184

―mahram‖ yang tadinya bersifat personal, dapat digantikan dengan

sistem keamanan yang menjamin keselamatan dan keamanan

wanita itu.353

Demikianlah pemikiran Said Agil Husin al-Munawar dalam

memahami suatu hadis yang berbeda dengan pemikiran ulama hadis

lainnya. dan jika dicermati dalam bukunya yang berjudul Studi

Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, ia

banyak mengutip karya Imam al-Suyuṭī dalam menjelaskan asbāb

al-wurud hadis, akan tetapi dalam memahami hadis ia terlebih

dahulu memaparkan pendapat beberapa ulama dalam menjelaskan

suatu tema hadis kemudian ia menjelaskan pendapatnya dengan

menggunakan pendekatan yang berbeda.

Said Agil al-Munawar juga mengutip secara langsung karya

Barat, diantaranya Arnold W. Green, Sociology an Analisys of Life

in Modern Society; dan Daniel L. Pals, Seven Theory of Religion.

Said Agil Husin al-Munawwar mengutip pendapat dari

Arnold W. Green dalam menjelaskan tentang penggunaan

pendekatan sosiologi dan antropologi. Arnold W. Green

menjelaskan bahwa pendekatan sosiologi menyoroti dari sudut

posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu. 354

Sedangkan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola

perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan

masyarakat manusia. Kontribusi pendekatan antropologis adalah

ingin membuat uraian yang meyakinkan tentang apa sesungguhnya

yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam

kaitan waktu dan ruang. Said Agil Husin al-Munawar mencoba

menerapakn beberapa pendekatan tersebut dalam memahami hadis. Said Agil Husin al-Munawar menegaskan bahwa perlunya

pemahaman hadis dengan pendekatan historis, sosiologis dan

antropologis untuk menemukan pemahaman hadis yang relatif lebih

tepat, dinamis, akomodatif dan apresiasif terhadap perubahan serta

perkembangan zaman, sekaligus pendekatan tersebut sebagai pisau

analisis dalam memahami hadis-hadis yang tidak memiliki asbāb

al-wurūd secara khusus.

353

Said Agil Husin al-Munawar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio

Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 29-30. 354

Arnold W. Green, Sociology an Analisys of Life in Modern Society (New

York: Toroto, 1960), 1-5.

Page 185: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

185

Namun demikian, bukan berarti pendekatan-pendekatan

tersebut tanpa kelemahan. Ia mempunyai kelemahan-kelemahan,

antara lain adanya kesan mencocok-cocokkan hadis dengan kondisi

perubahan masyarakat dan kondisi zaman, sehingga kita kadang

bisa terjebak pada pemahaman yang terlalu dipaksakan. Untuk itu,

diperlukan kecematan dalam penggunaan pendekatan tersebut. Dan

pada akhirnya, bagaimanapun upaya semacam itu merupakan

human construction yang kebenarannya tetap relatif, nisbi dan

masih bisa diperdebatkan.355

3. Ali Mustafa Ya‘qub.

Muhammad Mustafa al-A‘zami, guru besar ilmu hadis

Universitas King Sa‘ud Riyaḍ, Arab Saudi adalah salah satu ulama

pengkaji hadis dalam pergulatan pemikiran kontemporer yang

banyak mengkritisi pemikiran tentang hadis orientalis. Sumbangan

penting A‘zami adalah disertasinya di Universitas Cambridge,

Inggris yang berjudul Studies in Early Hadith Literature (1996).

Dan Muḥammad Musṭafā al-A‘zamī merupakan salah satu guru

hadis Ali Mustafa Ya‘qub di Universitas King Sa‘ud Riyaḍ.356

Genealogi Pemikiran Ali Mustafa Ya‘qub.357

355

Said Agil Husin al-Munawar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio

Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 39. 356

Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 25. 357

Ali Mustafa Ya‘qub, Wawancara Pribadi, pada tanggal 1 Oktober 2014.

Syamsuri Badawi Idris Kamali

M. M. Azami

Ali Mustafa Ya‘qub

Abdul Aziz ibn Baz

Kiai H. Sobari

Muhammad Abdul

Fattah al-Bayanuni

Muhammad Jameel Abd al-Rahman

al-Khumayis

Page 186: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

186

Ali Mustafa Ya‘qub sangat akrab dengan hadis, dan gen

hadisnya sudah lama ia dapatkan ketika sekolah dulu. Ali Mustafa

Ya‘qub memperoleh sanad hadis-hadis ṣaḥīḥ al-Bukhari dan Ṣaḥīḥ

Muslim dengan cara Ijazah yang bersambung kepada Nabi SAW

melalui jalur Hasyim Asy‘ari. Ijazah ini di dapatkan dari gurunya

Syamsuri Badawi. Metodologi dan manhaj dalam kajian hadis ia

dapatkan dari gurunya yang bernama Kiai H. Sobari.358

Dalam permasalahan sosial, Ali Mustafa Ya‘qub lebih

banyak dipengaruhi oleh Muhammad Jameel, ini terlihat dalam

karya Muhammad Jameel yang diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia dengan judul Bimbingan Islam untuk Pribadi dan

Masyarakat.

Ali Mustafa Ya‘qub pemikiran hadisnya lebih banyak

dipengaruhi oleh Muḥammad Musṭafa al-A‘zamī, ini bisa dilihat

dalam beberapa karya Ali Mustafa Ya‘qub, seperti Kritik Hadis,

dan karya yang lainnya.

Ali Mustafa Ya‘qub sama dengan pendapat Musṭafa Azami

dalam beberapa hal, seperti pandangannya terhadap orientalisme

dan tentang ingkar sunnah. Menurut Muhammad Musṭafa Azami

bahwa Ignaz Goldziher hanya sampai pada kesimpulan bahwa apa

yang disebut hadis diragukan otentisitasnya sebagai sabda Nabi

SAW, maka Josep Schacht sampai pada kesimpulan bahwa tidak

ada satupun hadis yang otentik dari Nabi SAW, khususnya hadis-

hadis yang berkaitan dengan masalah hukum.359

Perkembangan pemikiran hadis Ali Mustafa Ya‘qub juga

tidak terlepas dari bacaan dan telaah buku, seperti dalam

memahami hadis ia mengutip kepada ulama-ulama Timur Tengah

diantaranya adalah Ibnu Ḥajar al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī; Abd al-

Qahīr al-Baghdādī, al-Farq baina al-Firāq; Ibn Qutaibah al-

Dainurī, Ta‟wīl Mukhtalāf al-Ḥadīth; Muhammad al-Ghazalī, al-

Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīth; Nūr al-

Dīn ‗Itr, Manhāj al-Naqd fi Ulūm al-Ḥadīth; Muḥammad ibn Alī

al-Shaukanī, Fatḥ al-Qadīr; Ṣubhī al-Ṣalīḥ, Mabahīth fī „Ulūm al-

358

Ali Mustafa Ya‘qub, Wawancara Pribadi, pada tanggal 1 Oktober 2014. 359

Muhammad Musṭafa Azami, Studies in Early Hadith Literature

(Indianapolis: American Trust Publication, 1968), xvii.

Page 187: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

187

Ḥadīth; Musṭafa al-Siba‘ī, al-Sunnah wa Makanatuha fī al-Tasyrī‟

al-Islāmī; Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī, Tadrīb al-Rāwī;360

dan lain-lain.

Ali Mustafa Ya‘qub mengutip pendapat Ibnu Hajar al-

Asqalanī dalam menjelaskan beberapa hadis, diantaranya

menjelaskan tentang hadis Nabi disambut dengan qasidah ṭala‟ al-

Badru, Ibnu Hajar al-Asqalanī menjelaskan bahwa ketika Nabi

SAW datang ke Madinah dari Makkah, warga Madinah keluar dari

rumah, mereka memadati jalan-jalan, dan di atas rumah-rumah.

Sedangkan anak-anak dan para pembantu berteriak-teriak,

―Muhammad Rasulullah sudah datang, Allahu Akbar‖. Itulah

sambutan untuk Nabi SAW ketika beliau hijrah di Madinah.361

Sedangkan kutipan beliau terhadap karya Barat yaitu Joseph

Schacht, An Introduction to Islamic Law dan The Origins of

Muhammadan Jurisprudence. Schacht menjelaskan bahwa bagian

terbesar dari sanad hadis adalah palsu. Semua orang mengetahui

bahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat

sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada

paruh kedua dari abad ketiga hijrah.362

Pendapat Schacht sangat

bertentangan dengan pendapat Ali Mustafa Ya‘qub tentang

keotentikan hadis. Ini dapat dilihat dari beberapa bukunya,

diantaranya adalah buku Kritik Hadis.

4. Kamaruddin Amin.

Studi Kamaruddin Amin berbeda dari kebanyakan studi

terdahulu yang ditulis sarjana Muslim tentang isu periwayatan

hadis. Studi-studi itu utamanya bertujuan menjustifikasi metode-

metode yang digunakan para sarjana Muslim terdahulu,

mempertahankannya dari kritik para sarjana Barat, dan menolak

360

Ali Mustafa Ya‘qub mengutip pemikiran al-Suyuṭī dalam hal

menjelaskan tentang pemalsuan hadis. Al-Suyuṭī menjelaskan bahwa situasi yang

sudah dinilai sarat dengan kemaksiatan dan kemungkaran mendorong sementara

orang untuk membuat hadis-hadis palsu yang tujuannya mengajak orang-orang untuk

mendekatkan diri kepada Allah dan meninggalkan maksiat. Biasanya para pemalsu

hadis dengan motivasi ini adalah oknum-oknum orang tasawuf. Lihat Jalāl al-Dīn al-

Suyuṭī, Tadrīb al-Rāwī (Keiro: Dar al-Kutub al-Hadithah, 1966), 283. 361

Ibnu Ḥajar al-Asqalanī, Fatḥ al-Bārī (Keiro: Maktabah al-Kulliyat al-

Azhariyah, 1978), 120. 362

Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 9.

Dan Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurspredence (Oxford: Clarendon

Press, 1975), 163.

Page 188: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

188

metode-metode dan kesimpulan-kesimpulan mereka. Sebaliknya,

Kamaruddin Amin mendekati isu itu dengan banyak skeptisisme

bahkan terhadap metode-metode tradisional dan modern dari para

sarjana Muslim sekalipun. Studinya juga berseberangan dengan

beberapa studi Barat tentang topik yang menolak mentah-mentah

metode-metode kritik hadis para sarjana muslim sebagai naif dan

tidak bisa dipercaya tanpa menelaah dan mengujinya secara

mendalam.363

Genealogi Pemikiran Kamaruddin Amin

Guru-guru yang mempengaruhi pemikiran Kamaruddin

Amin lebih banyak berasal dari Belanda dan Jerman, salah satunya

adalah Harald Motzki yang merupakan guru besar hadis di

Universitas Nijmegen Belanda, yang sangat banyak mempengaruhi

pemikirannya sehingga ia bisa menggunakan suatu pendekatan

isnad cum matn dalam kajian hadis.364

Sedangkan pelajaran hadis

363

Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis

(Jakarta: Mizan Publika, 2009), vi. 364

Untuk lebih jelasnya, penjelasan lebih mendetail pada sub bab selanjutnya

yang menjelaskan metode isnad cum matn yang dipakai oleh Kamaruddin Amin.

Harald Motzki G. Schoeler Said Agil Husin al-

Munawwar

Kamaruddin Amin

H. Berg

B.J. Dikken

A Gorke J.H. Kramers

U. Mitter

M. Muranyi

I Schneider J. Wellhausen

S. Wild

Page 189: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

189

dan ilmu hadis ia dapatkan dari gurunya Said Agil Husin al-

Munawar ketika ia kuliah di Indonesia.

Gen pemikiran dari guru-gurunya yang lain yaitu B. J.

Dikken, I. Schneider, J.H. Kramers, A. Gorke, J. Wellhausen,

Umitter, G. Schoeler,365

dan lain-lain.

Pemikiran Kamaruddin Amin juga dipengaruhi oleh bacaan-

bacaan karya hadis dari Timur Tengah seperti, Badr al-Dīn Abū

Muḥammad Maḥmūd ibn Aḥmad al-‗Ainī, „Umdat al-Qarī Sharḥ

Ṣaḥīḥ al-Bukharī; M. M. Azami, Studies in Hadith Methodology

and Literature; Ahmad Umar Hasyim, Qawa‟id Uṣūl al-Ḥadīth;

Ibnu Hajar al-Asqalanī, Nuzhah al-Naẓar, Sharḥ Nukhbah al-Fikar,

dan Hadī al-Sarī; Abdullāh ibn Muslim ibn Qutaibah, Ta‟wīl

Mukhtalīf al-Ḥadīth; Ibnu Rajab, Sharh „Ilāl al-Tirmīdhi; Nūr al-

Dīn Itr, Manhāj al-Naqd fī Ulūm al-Ḥadīth; Abū Zakariya Muḥy al-

Dīn ibn Sharaf al-Nawāwī, Ṣaḥīḥ Muslim bī Sharḥ al-Nawāwī; al-

Qasṭalānī, Irsyād al-Sharī li Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukharī; Musṭafa al-

Siba‘ī, al-Sunnah wa Makanatuha fī Tashrī‟ al-Islāmī; Jalāl al-Dīn

Abd al-Raḥmān ibn Abī Bakr al-Suyuṭī, Tadrīb al-Rawī fī Sharḥ

Taqrīb al-Nawāwī, dan Tanwīr al-Hawilik Sharḥ Muwaṭṭa al-Imām

Malik; al-Ṭahawī, Sharḥ Mushkīl al-Athar; Muḥammad ibn Abd al-

Bāqī al-Zurqanī, Sharḥ „alā Muwaṭṭa al-Imām Malik; dan lain-lain.

Kamaruddin Amin merupakan alumni dari Rheinischen

Friedrich Wlhems Universitaet Bonn, Germany, sehingga guru dan

kutipan dari karyanya kebanyakan dari tokoh Barat, di antaranya

yaitu:

1) N. Abbort, Studies in Arabic Literary Papyri;

2) J.M.S. Baljon, Pakistani Views of Hadith;

3) H. Berg, The Development of Exegesis in Early Islam; Review

of G. Schoeler und Authentie der Muslimischen Uberlieferung

uber das Leben Mohammeds;

4) D.W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought;

5) J.A.C. Brown, Criticism of The Proto-Hadith Canon: al-

Daraqutni‟s Adjusment of the Ṣaḥīḥain;

6) L. Caetani, Annali dell‟ Islam;

7) N. Calder, Studies in Early Musliim Jurisprudence;

365

Kamaruddin Amin mempelajari penanggalan atas dasar analisis sanad dan

matan dari G. Schoeler. Ini terlihat di dalam karyanya yang berjudul Menguji Kembali

Keakuratan Metode Kritik Hadis.

Page 190: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

190

8) M. Cook, Early Muslim Dogma, A Source Critical Study; The

Opponent of the Writing of Tradition in Early Islam;

Eschatology and the Dating of Traditions;

9) Crone P, Hagarism. The Making of The Islamic World;

10) E. Dickinson, The Development of Early Sunnite Hadith

Criticism: The Taqdima of Ibn Abi Hatim al-Razi;

11) B.J. Dikken, Muhammad, teh Jews and the Cristians: A. Short

Survey of the Position of the Jews and the Christians in Arabia

in Early Islam According to Muslim Tradition;

12) Y. Dutton, The Origins of Islamic Law;

13) J. Van Ess, Zwischenn Hadith und Theologie;

14) W. Graham, Divine Word and Prophetic Word in Early Islam:

A Reconsideration of the Sources, with Special References to

the Divine Saying or hadtih Qudsi;

15) J.H. Kramers, Une Tradition a Tendence Manichenne, La

Ymangeuse de verdure;

16) G. Schoeler, Charakter und Authentie de muslimischen

Uberlieferung uber das Leben Mohammeds;

17) H. Motzki, Al-Radd „ala radd- Zur Methodik der hadith

Analyse; Hadith Origin and Development;366

dan lain-lain.

366

Teori-teori Harald Motzki berangkat dari sanggahan beliau terhadap

interpretasi Juynboll yang menilai Common Link (CL) sebagai pemalsu hadis. Karena

menurut Motzki tidak selalu Common Link tersebut dapat dikatakan sebagai pemalsu

hadis selama belum ditemukan data sejarah yang yang menunjukkan beliau sebagai

pemalsu hadis. Oleh karena itu menurut Motzki Common Link tersebut lebih relevan

dikatakan sebagai penghimpun hadis yang pertama, yang berperan sebagai perekam

dan meriwayatkannya ke dalam kelas-kelas reguler, dan dari kelas-kelas itulah sebuah

sistem belajar yang terlembaga dan berkembang.

Menurut Juynboll, ketika Common Link mengutip satu jalur riwayat hadis

saja maka itu berarti bahwa beliau hanya meriwayatkan versi hadis yang mereka

terima saja, dan tidak menutup kemungkinan mereka mengetahui adanya versi

riwayat yang lain. sementara alasan yang kedua adalah bahwa Common Link hanya

mungkin saja hanya meriwayatkan satu versi jalur yang dianggapnya paling

terpercaya. Selanjutnya alasan ketiga ialah bahwa mungkin Common Link menambah

informan yang paling cocok apabila mereka informan yang sebenarnya.

Berangkat dari beberapa argumentasi tersebut, maka muncullah teori-teori

Harald Motzki tentang jalur tunggal (Single Strand), yaitu sebagai berikut:

a. Jalur tunggal tidak mesti berarti hanya satu jalur periwayatan

b. Jalur tunggal berarti bahwa Common Link ketika meriwayatkan hadis dari

koleksinya hanya menyebutkan satu jalur riwayat, yakni versi yang aling

diketahui dan dinilai paling otoritatif.

Page 191: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

191

Kamaruddin Amin merupakan salah satu pengkaji hadis

yang merupakan sarjana alumni Barat, dan bisa jadi ia adalah satu-

satunya pengkaji hadis Indonesia yang kuliah di Barat. Sehingga

guru dan kutipan dalam bukunya kebanyakan dari Barat. Dari

pengamatan penulis, pemikiran hadis Kamaruddin Amin banyak

dipengaruhi oleh Harald Motzki dan G. Schoeler.

Harald Motzki adalah Guru Besar Hadis di Belanda, ia

menggunakan metode isnad cum matn dalam menganalisis hadis,

dan yang mendukungnya adalah Gregor Schoeler. Menurut Gregor

Schoeler common link tidak harus dipahami sebagai pemalsu hadis.

Hal tersebut dapat dibuktikan pada hadis tentang al-ifk, yang

memiliki common link al-Zuhri (w.124) dan benar-benar

informannya (gurunya) adalah ‗Urwah ibn al-Zubair (w.94) dan dia

tidak memalsukan hadis.367

Perbedaan metode yang dipakai oleh Kamaruddin Amin

dengan Harald Motzki dalam menggunakan metode isnad cum

matn, adalah ketika menganalisis hadis tentang Ṣaum, Kamaruddin

Amin analisisnya lebih akurat dan jelas dibandingkan dengan

Harald Motzki. Penanggalan hadis-hadis dengan metode isnad cum

matn yang menelaah baik jalur-jalur periwayatan maupun teks-teks

matan hadis. Dalam metode ini sanad-sanad dari versi-versi tersebut

diperiksa dengan membandingkan teks-teks dari versi-versi itu pada

level-level periwayatannya yang berbeda. Dia mengkaji secara

sistematik 163 versi hadis tentang puasa yang ditemukan dalam 39

sumber. Dia secara cermat membandingkan varian-varian teks yang

c. Mungkin ada versi lain yang tidak sempat terkumpul atau menghilang karena

Common Link tidak sempat menerima atau menyampaikannya, atau karena

versi tersebut tidak diketahui di masa dan tempat Common Link.

Teori-teori Motzki di atas kemudian mendapat tanggapan dan respon yang

beragam, baik yang menolak maupun mendukung. Adapun diantara orang yang

menolak teori Motzki tersebut adalah Irene Schneider, karena menurutnya mustahil

pesan nabi yang orisinal telah diriwayatkan oleh Common Link sejak awal, sebab

praktik semacam itu tidak ditemukan pada masa awal-awal Islam. Oleh karena itu,

Irene Schneider berpendapat bahwa Motzki telah gagal mengakui bahwa Common

Link telah memalsukan hadis bersama satu atau beberapa jalur riwayat. Lihat

Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta:

Mizan Publika, 2009), 85. 367

H. Motzki, Al-Radd „ala radd- Zur Methodik der hadith Analyse; Hadith

Origin and Development, 1-36. Dan lihat penjelasan dari G. Schoeler, Charakter und

Authentie de muslimischen Uberlieferung uber das Leben Mohammeds (Berlin, 1996).

Page 192: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

192

dimiliki oleh satu bundel sanad, merekonstruksi elemen-elemen

tekstual yang dimiliki bersama dan mencatat perbedaan-perbedaan

dari versi-versi tersebut. Dengan menggunakan metode ini dapat

ditunjukkan bahwa kesamaan umum dan perbedaan versi teks-tek

tersebut dapat diberikan pada perawi-perawi tertentu dan kemudian

diberi penanggalan. Hasil penelaahan hadis tentang puasa dengan

metode ini mengidentifikasi dua cabang periwayatan yang versinya

berbeda-beda dalam cakupan tekstualnya. Kedua cabang itu

kembali kepada sahabat Abu Hurairah (w.58 H) yang dapat

dianggap sebagai perawi dari kedua versi hadis tentang puasa

tersebut.

Meskipun kritik matan mendapat perhatian sejumlah ulama

Muslim, tetapi kritik sanad-lah yang telah mendapat perhatian

utama. Kualitas periwayatan secara esensial ditentukan oleh

kualitas para perawi. Kualitas mereka kebanyakan dinilai atas dasar

penilaian para kritikus klasik, meskipun riwayat seorang perawi

harus dibandingkan dengan riwayat perawi lain.

F. Keontetikan Karya Pengkaji Hadis di Indonesia.

Sejalan dengan perjalanan waktu, umat manusia menghadapi

berbagai permasalahan yang harus disikapi dan dijalankan dengan baik.

Bagi umat Islam, permasalahan yang timbul kapan dan dimanapun

harus dikembalikan kepada pegangan hidup mereka yang telah

ditetapkan yaitu al-Qur‘an dan Hadis Nabi. Pada satu sisi, al-Qur‘an

maupun hadis dianggap pedoman yang siap kapan saja untuk dijadikan

rujukan terhadap semua permasalahan yang dihadapi. Namun, dalam

tataran prakteknya, tidak semudah mengemukakannya dalam teori

semata. Banyak ayat-ayat al-Qur‘an maupun hadis yang mempunyai

makna ganda, yang disebabkan tingginya nilai sastra yang dimiliki oleh

kedua teks tersebut. Sehingga perlu usaha yang mendalam dan serius

untuk menggali dalil-dalil tersebut agar menjadi pedoman praktis untuk

dilaksanakan dengan mudah dan meyakinkan kebenarannya.

Para ulama, tidak pernah berhenti berkarya untuk menghasilkan

suatu pedoman hidup yang bersifat praktis bagi masyarakat yang

mempunyai tingkatan intelektual yang varian dalam berbagai

lingkungan kehidupan mereka. Di antara mereka telah berusaha

menghimpun kedua teks normatif tersebut ke dalam format-format

tertentu, yang mereka anggap mudah untuk dibuka dan dipedomani

oleh segala generasi dari waktu ke waktu. Dalam tataran metodologis,

Page 193: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

193

mereka juga telah memperkenalkan dan tidak lupa mempraktekkannya

sehingga pemahaman yang dilakukan oleh umat Islam sekarang ini

mempunyai sumber dan sandaran dalam pemahamannya. Berbagai

inovasi yang telah dipelopori tersebut menjadi modal yang cukup

memadai bagi pengembangan pemahaman dan penggalian makna

kedua teks tersebut di masa sekarang dan akan datang.368

Dalam bidang hadis juga tidak kurang frekuensinya, para ulama

hadis ternyata telah berusaha menafsirkan makna hadis-hadis yang

telah dibukukan oleh ulama sebelumnya. Upaya ulama pensyarah

tersebut menjadi inspirasi para ulama hadis yang datang pada masa

setelah mereka untuk menghasilkan buah karya dalam bidang

pemahaman makna hadis yang beragam pula. Salah satu metode yang

sebelumnya populer dalam penafsiran al-Qur‘an dan pemahaman hadis

yaitu metode mauḍu‟ī, pada masa-masa selanjutnya mulai pula dicoba

terapkan beberapa metode dalam memahami al-Qur‘an dan hadis Nabi.

Sekalipun kendala yang dihadapi cukup berarti, namun upaya tersebut

membuahkan hasil berupa karya-karya yang menjadi pedoman bagi

penyelesaian berbagai persoalan yang dihadapi. Upaya-upaya ilmiah

dalam segi pemahaman teks hadis ini tentunya akan terus berkembang

sesuai dengan perkembangan sekaligus kompliksnya problema yang

dihadapi dalam kehidupan umat Islam.

Hal ini dapat dilihat dari pemikiran dari pengkaji hadis di

Indonesia, seperti pemikiran Syuhudi Ismail tentang masalah-masalah

kontemporer. Yang dimaksud dengan beberapa pemikiran Syuhudi

Ismail tentang masalah-masalah kontemporer adalah pandangannya

terhadap masalah-masalah yang berkembang dalam masyarakat pada

368

Kitab al-Qur‘an maupun kitab-kitab yang memuat hadis Nabi, menjadi

bukti nyata keseriusan para ulama masa awal melestarikan kedua teks pedoman umat

di mana dan kapanpun. Para ulama setelahnya menyambut dengan hangat pula

dengan cara melakukan pemahaman-pemahaman yang mendalam, di samping

menutupi aspek-aspek yang mungkin masih perlu dikaji lebih lanjut. Pemahaman

terhadap teks-teks al-Qur‘an melahirkan berbagai bentuk dan corak penafsiran sesuai

dengan latar belakang keilmuan serta lingkungan tempat mereka hidup. Karya-karya

besar mereka menjadi pedoman bagi umat Islam sekarang, baik bagi mereka yang

hanya menjadikan tafsir sebagai pedoman dalam mengamalkan berbagai praktek

ibadah, maupun bagi mereka yang mengembangkan penafsiran ke arah yang lebih

beragam lagi. Lihat Abdul Wahid, Hadis Nabi dan Problematika Masa Kini

(Yogyakarta: AK Group, 2007), 2; Cristhoper Melchert, The Development of Early

Sunnite Hadith Criticism. The Taqdima of Ibn Aabi Hatim al-Razi (240/854-

327/938). Journal Islamic Law.(2003), 249-251. http://www.jstor.org/stable/3399254.

(Accessed: 20/04/2014).

Page 194: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

194

masanya berdasarkan pemahamannya terhadap hadis Nabi, di samping

dalil-dalil lain. Beberapa pemikiran tersebut, antara lain hadis tentang

misogino, bedah plastik, sewa rahim, euthanasia dan masalah-masalah

lainnya.369

Said Agil Husin al-Munawar menyatakan bahwa dalam metode

pemahaman hadis semua hadis dipahami secara sama, tanpa

membedakan struktur dari sebuah hadis, riwayat bi al-lafaz atau bi al-

ma‟nā, bidang isi hadis yang muṭlaq dan muqayyad, yang menyangkut

akidah, ibadah dan muamalah. Dengan kata lain mayoritas umat Islam

memahami hadis dengan pendekatan tekstual dan baru sebagian kecil

mereka yang mengembangkannya melalui pendekatan kontekstual, baik

konteks historis maupun konteks antropologis yang merupakan sebuah

kemungkinan. Kemungkinan pendekatan baru nampaknya menghadapi

problema-problema yang perlu pemecahan yang bijaksana.370

369

Pemahaman beliau terhadap masalah lain yaitu, pemahaman terhadap

hadis yang menjelaskan sunnah hasanah. Arti hadisnya yaitu:

Rasulullah SAW bersabda: ―Siapa menciptakan tradisi yang baik menurut

ajaran Islam, maka ia pasti mendapatkan pahalanya dan pahala bagi orang

yang mengikuti sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun pahala dari

mereka yang mengikutinya; dan siapa yang menciptakan tradisi yang jelek

menurut ajaran Islam, maka iapun pasti mendapatkan dosanya dan dosa

bagi orang yang mengikuti sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun dosa

dari mereka yang mengikutinya. (HR. Muslim).

Al-Nawāwī (w. 676 H) menjelaskan bahwa hadis di atas menunjukkan posisi

orang yang memulai atau menciptakan tradisi baru. Yakni, jika tradisi itu baik, maka

ia akan mendapatkan pahalanya beserta pahala tambahan dari orang yang

mengikutinya; dan jika tradisi itu jelek, maka ia akan mendapatkan dosanya beserta

dosa yang mengikutinya. Di samping itu, hadis itu merupakan takhṣīṣ (pengkhususan)

bagi hadis Nabi tentang perbuatan yang baru dinilai sebagai perbuatan bid‘ah yang

merupakan kesesatan. Lihat al-Nawawi, Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim, Juz. VII, 104.

Menurut Syuhudi Ismail, apabila masyarakat mampu menciptakan berbagai

sunnah hasanah, maka hal itu berarti bahwa masyarakat mampu menciptakan budaya

yang baik dan selanjutnya menjadi salah satu penggerak dan pendorong bagi

kehidupan generasi berikutnya. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa keberhasilan

mengembangkan kreasi-kreasi baru dalam berbagai bentuk sunnah hasanah

merupakan pertanda dapat diredam seminimal mungkin munculnya sikap hidup

individualistis dalam masyarakat. Lihat Muhammad Syuhudi Ismail, Sumber Daya

Manusia dalam Pembangunan menurut Perspektif Islam (Ujungpandang: Badan

Pengurus Pusat KKN IAIN Alauddin Ujungpandang, 1992), 6-7. 370

Dapat juga dilakukan pemahaman dengan menggunakan rasio walaupun

tidak begitu dominan seperti pada periode-periode setelah sahabat. Standar yang harus

diperhatikan adalah dengan memperhatikan ‗illat-nya itu sendiri, apakah ia manṣuṣah

Page 195: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

195

Berbeda dengan Kamaruddin Amin, dalam bukunya ia

menggunakan metode isnad cum matn dalam meneliti hadis, yaitu

dengan meneliti dan mengidentifikasi siapa yang mungkin menjadi

perawi asal dari hadis yang sedang diteliti dan versi mana dan apa yang

menjadi teks aslinya. Setelah mengklasifikasi dan mengidentifikasi

siapa yang meriwayatkan hadis yang sedang diteliti ini dari perawi

mana, memulai penelitian dari klaim perawi-perawi termuda, yakni

para penghimpun (mukharīj). Setelah dianalisis dan membandingkan

klaim para penghimpun telah menerima hadis tersebut dari masing-

masing informannya. Demikian pula, klaim informan-informan ini

telah menyampaikan hadis dari sumbernya masing-masing

dibandingkan antara satu dengan yang lainnya. Prosedur ini diterapkan

dari perawi pertama sampai terakhir.371

yang bersifat ta‟ābudī atau mustanbaṭah yang ta‟āqqulī yang dapat dikembangkan

penafsirannya. Sebagai contoh ada sejumlah hadis yang memerlukan metode

pemahaman secara rasional, antara lain ialah hadis yang memerintahkan wudhu‘

kembali apabila makan sesuatu yang disentuh api; wudhu‘ bagi mereka yang

membawa jenazah; mencuci tangan kepada mereka yang bangun dari tidur, dan lain-

lain. Begitulah gambaran dari langkah-langkah yang diambil oleh para sahabat sekitar

pemahaman mereka terhadap hadis, tarjih mereka lakukan dengan proses yang begitu

dekat. Lihat Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan

Hakiki (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 109-113; Susan Spectorsky, Hadith and Fiqh.

The Journal Islamic Law and Society, Vol. 8 (2001). 299-302.

http://www.jstor.org/stable/3399447. (Accessed: 20/04/2014). 371

Dalam permasalahan ini, Kamaruddin Amin mencontohkan dengan

penelitian terhadap hadis Ṣaum, hadisnya adalah:

Dari Nabi SAW. Meriwayatkannya dari Tuhan-mu, ia berkata: untuk setiap

perbuatan dan kafarahnya, dan puasa (dimaksudkan) untuk-Ku dan Aku

akan membalasnya. Dan sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa

lebih harum daripada wewangian.

Dengan menerapkan metode isnad cum matn untuk merekonstruksi sejarah

periwayatan yang dikaji, sampai pada kesimpulan bahwa hadis-hadis tersebut sudah

beredar pada paruh pertama abad pertama hijriah. Adalah sahabat Nabi, Abu Hurairah

(w. 58/59 H), yang menyebarkan hadis tersebut. Kesimpulan ini bertentangan secara

fundamental dengan asumsi sebagian besar sarjana non muslim Barat yang

menganggap hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi sebagai hasil pemalsuan

paruh pertama abad kedua hijriah dan selanjutnya. Berbeda dari asumsi ini, terdapat

banyak alasan dan justifikasi untuk menyandarkan hadis yang sedang diteliti ini

kepada Abū Hurairah. Analisis perbandingan terhadap varian teks hadis-hadis yang

disandarkan kepada Abū Hurairah oleh murid-muridnya dan perawi-perawinya

mengungkap bahwa dari 18 murid dan perawi dari Abū Hurairah, yang dilaporkan

meriwayatkan hadis-hadis tersebut darinya secara pasti atau benar-benar menerima

Page 196: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

196

Menurut Kamaruddin Amin, wacana mengenai otentisitas,

validitas dan reliabilitas metodologi otentifikasi hadis adalah hal yang

paling fundamental dalam kajian hadis. Keraguan sebagian sarjana

Muslim atas peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-

Qur‘an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas

otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan

metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis.

Apabila metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka

semua hasil yang dicapai dari metode tersebut tidak steril dari

kemungkinan-kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil

tersebut bisa menjadi collapse (Roboh).372

Jika dilihat metodologi kajian hadis yang dipakai oleh sarjana

Timur Tengah, seperti yang dipakai oleh Ibnu Hajar al-‗Asqālanī telah

membahas hadis-hadis tentang pemimpin berasal dari Quraish secara

panjang lebar.373

Dikatakan bahwa tidak ada seorang ulama pun kecuali

dan meriwayatkan hadis tersebut darinya. Hadis-hadis mereka memiliki kekhasan

masing-masing, yang membedakannya dari yang lain. Kekhasannya yang substantif

menegaskan indepedensinya masing-masing.

Dengan metode isnad cum matn, tidak ada hadis lain yang dapat dijadikan

penguat terhadap hadis Abū Hurairah. Itu berarti bahwa hadis Abū Hurairah tidak

dapat dengan yakin disandarkan kepada Nabi, karena klaim Abū Hurairah telah

mendengar hadis tersebut dari Nabi tidak dapat dicek. Mungkin benar, mungkin juga

tidak. Jadi, kalau istilah hadis ‖mutawatir” diartikan sebagai hadis yang diriwayatkan

secara masif dalam setiap generasi setelah Nabi sampai penghimpun hadis, hadis yang

sedang dikaji ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai mutawatir. Akan tetapi hanya

dapat dipastikan bahwa hadis-hadis tersebut adalah hadis Abū Hurairah. Lihat

Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta:

Mizan, 2009), 459-460. 372

Kamaruddin Amin, ―Book Review The Origins of Islamic Jurisprudence

Meccan Fiqh before the Classical School‖, Al-Jami‟ah: Journal of Islamic Studies,

(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003), 23. 373

Hadisnya adalah:

حذثا كع حذثا االعش ع صم أب األصذ ع بكش انجزسي ع أش لال كا ف بت

سجم ي األصاس فجاء انب صهى هللا عه صهى حتى لف فأخز بعضادة انباب فمال األئت

ارا ي لشش نى عهكى حك نكى يثم رنك يا ارا اصتشحا سحا ارا حكا عذنا

. عاذا فا ف نى فعم رنك يى فعه نعت هللا انالئكت اناس أجعArtinya: “Waqi‟ telah menceritakan kepada kami, A‟mash telah menceritakan kepada

kami dari Sahal Abī al-Asad dari Bukair al-Jazarī dari Anas berkata:

kami berada di rumah salah seorang Anṣar, lalu Nabi SAW datang

kemudian berdiri membelakangi pintu lalu bersabda: “Pemimpin itu

dari suku Quraish. Dan mereka mempunyai hak atas kamu sekalian dan

kamu juga mempunyai hak atas mereka. Dalam beberapa hal mereka

Page 197: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

197

dari kalangan Mu‘tazilah dan Khawarij yang membolehkan jabatan

kepala Negara diduduki oleh orang yang tidak berasal dari suku

Quraish. Dalam sejarah memang telah ada para penguasa yang

menyebut diri mereka sebagai khalifah, padahal mereka bukanlah dari

suku quraish. Menurut pandangan ulama, sebutan khalifah tersebut

tidak dapat diartikan sebagai kepala Negara (al-imamah al-„uzhma).374

Menurut al-Qurṭubī, kepala Negara disyaratkan harus dari suku

Quraish. Sekiranya pada suatu saat orang yang bersuku Quraish tinggal

satu orang saja, maka dialah yang berhak menjadi kepala Negara.375

Pemahaman secara tekstual terhadap hadis di atas dan semakna

dengannya dalam sejarah telah menjadi pendapat umum ulama, dan

karenanya telah menjadi pegangan para penguasa dan umat Islam

selama berabad-abad. Mereka memandang bahwa hadis-hadis tersebut

dikemukakan oleh Nabi SAW dalam kapasitas beliau sebagai

Rasulullah dan berlaku secara universal.

Hadis ini sebenarnya tidak mushkil apabila dipahami dengan

menggunakan pendekatan bahasa dan sosiologi. Yang dimaksud

dengan pendekatan bahasa adalah memahami hadis dengan melihat

struktur bahasa yang terdapat dalam hads dan makna semantik –

dalalah-nya. Adapun pendekatan sosiologi dalam pemahaman hadis

tersebut adalah memahami hadis Nabi ini dengan memperhatikan dan

menguak realitas dan setting sosial pada saat hadis tersebut disabdakan

oleh Nabi SAW serta keterkaitannya dengan pendapat yang

berkembang seputar pemahaman teks hadis.

Hadis-hadis Nabi SAW tentang kepemimpinan Quraisy dilihat

dari kritik sanad dan matan adalah shahih. Apabila dilihat dari struktur

bahasa yang digunakan, maka bentuk dari hadis tersebut adalah hadis

dituntut untuk berlaku santun, maka mereka berlaku santun. Jika

mereka berjanji, mereka tepati. Kalau ada dari kalangan mereka yang

tidak berlaku demikian, maka orang itu akan memperoleh laknat dari

Allah, malaikat dan umat manusia seluruhnya”.

Lihat Ahmad ibn Hanbal Abū Abdillāh asy-Syaibānī, Musnad Imam Aḥmad

ibn Ḥanbal (Keiro: Mu‘assasah Qurtubah, tth) Jilid 3, 183. 374

Ahmad ibn ‗Alī ibn Hajar al-Asqalanī, Fath al-Bārī bi Sharh Ṣaḥīḥ al-

Bukhārī (Beirut: Dar al-Fikr, tth), Juz VI, 526-536; Basheer M. Nafi, A Teacher of

Ibn ‗Abd al-Wahhab: Muhammad Hayat al-Sindi and the Revival of Ahab al-Hadith‘s

Methodology. Journal Islamic Law and Society, Vol. 13 (2006)

http://www.jstor.org/stable/40377907. (Accessed: 20/04/2014). 375

Ahmad ibn ‗Alī ibn Hajar al-Asqalanī, Fath al-Bārī bi Sharh Ṣaḥīḥ al-

Bukhārī (Beirut: Dar al-Fikr, tth), 118

Page 198: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

198

ikhbar (informatif) dan tidak ada satupun hadis yang berbentuk

perintah. Bentuk ikhbar, meski mengandung pengertian tuntutan secara

pasti sepanjang tidak dibarengi dengan qarinah atau isyarat yang

menunjukkan penegasan. Hadis-hadis yang ada tentang hal itu tidak

disertasi qarinah apapun. Dengan demikian hadis-hadis tersebut

menunjukkah perintah sunnah (sesuatu yang apabila dikerjakan

mendapat pahala), bukan perintah wajib. Informasi ini menunjukkan

bahwa sebaiknya kepala negara itu dipilih dari kaum Quraish, sebab

secara sosiologis, mereka adalah kaum berpengaruh, berwibawa dan

cakap sehingga memiliki kualifikasi untuk menduduki jabatan khalifah

pada waktu itu.376

Apabila kandungan hadis di atas dihubungkan dengan fungsi

Nabi SAW, maka dapatlah dikatakan bahwa pada saat hadis itu

dinyatakan, Nabi SAW berada dalam fungsinya sebagai kepala Negara

atau pemimpin masyarakat. Yang menjadi indikasi (qarinah) antara

lain adalah ketetapan yang bersifat primordial, yakni sangat

mengutamakan orang suku Quraish. Hal ini tidak sejalan dengan

petunjuk al-Qur‘an, misalnya yang menyatakan bahwa orang yang

paling utama di hadapan Allah SWT adalah orang yang paling

bertaqwa.377

Jadi hadis ini dikemukakan Nabi SAW sebagai ajaran

yang bersifat temporal.

Yusuf al-Qaraḍāwī turut menawarkan cara untuk memahami

hadis selain yang telah dipaparkan di atas. Menurutnya, untuk

memahami hadis dengan baik adalah dengan cara.378

9) Memahami sunnah dengan bimbingan al-Qur‘an

10) Mengimpun hadis dalam satu tema

376

Makna dalalah tersebut juga didukung dengan materi hadis lain yang

secara sosiologis, tidak menyuarakan unsur sektarian-primordial, yakni hadis yang

menyatakan bahwa keharusan orang-orang mukmin taat kepada pemimpin walaupun

pemimpin tersebut dari budak Habsyi. Realitas empiris yang terjadi pada kehidupan

politik, Rasulullah SAW pernah mengangkat Abdullah ibn Rawahah, Zaid ibn

Harithah, dan Usamah ibn Zaid menjadi amir, padahal mereka bukan keturunan

Quraish. Ini berarti Rasulullah SAW pernah mengangkat orang non Quraish menjadi

amir. Oleh karena itu, tindakan Rasulullah mengangkat orang selain Quraish menjadi

pemimpin menjadi dalil bahwa wewenang memerintah tidak terbatas pada kalangan

Quraish. Nizar Ali, Hadis Versus Sains (Yogyakarta: Teras, 2008), 94-95. 377

al-Qur‘ân surat al-Hujurat ayat 13 378

Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW (Bandung:

Karisma, 1994). 92-195.

Page 199: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

199

11) Mencoba mengkompromikan atau men-tarjīḥ hadis-hadis

mukhtalīf

12) Memahami hadis dengan bantuan sebab munculnya dan tujuan

(maqaṣid-nya)

13) Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang

tetap

14) Membedakan hakikat dan majazi

15) Membedakan antara yang nyata dan yang ghaib

16) Memastikan kandungan lafaz.

Langkah-langkah dalam memahami hadis yang diterapkan oleh

Yusuf al-Qaraḍawī ini juga dipakai oleh ulama lain seperti Muhammad

al-Ghazalī yang beliau tuangkan dalam bukunya Studi Kritis atas Hadis

Nabi SAW; Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Judul asli:

as-Sunnah al-Nabāwiyah Abinan Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīth,

penterjemah: Muhammad al-Baqir).

Ada pun pendekatan lain yang tak kalah pentingnya dalam

memahami hadis terutama hadis-hadis aḥkam (hadis-hadis yang

berkaitan dengan hukum syari‘at) adalah pendekatan kaidah uṣul, yaitu

memahami hadis-hadis Rasulullah SAW dengan memperhatikan dan

mempedomani ketentuan atau kaidah-kaidah uṣul terkait yang telah

dirumuskan oleh para ulama. Hal ini perlu mendapat perhatian karena

untuk memahami maksud suatu hadis atau untuk dapat meng-istinbaṭ-

kan hukum-hukum yang dikandungnya dengan baik, erat kaitannya

dengan kajian ilmu uṣul.379

Pendekatan dengan memperhatikan kaidah

uṣul ini telah dipraktekkan oleh Imam al-Shafi‘ī dalam menyelesaikan

permasalahan pemahaman hadis-hadis mukhtalif.

Usaha memahami hadis Nabi SAW ternyata menghembuskan

angin segar di kalangan ulama, karena mereka laksana mendapatkan

ilham dan sekaligus telah membuka wacana pemikiran bagi intelektual

muslim hingga abad ini. Berbagai upaya dan ijtihad dilakukan untuk

memahami hadis dengan baik dan menghasilkan pemahaman yang

benar. Semua usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjaga

keorisinilan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam dan panduan

dalam kehidupan.

Jika dilihat metodologi sarjana Barat, seperti Josep Schacht,

Juynboll, Ignaz Golziher, Harald Motzki, dan lain-lain, dalam kajian

hadis, mereka lebih banyak melakukan penelitian terhadap keotentikan

379

Edi Safri, Al-Imam al-Syafi‟ī: Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif

(Padang: IAIN IB Press, 1999), 98.

Page 200: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

200

hadis. Seperti cara kerja teori common link, metode rekonstruksi dan

analisis sanad, setelah diketahui secara umum bahwa setiap hadis

terdiri dari dua bagian. Di bagian pertama terdapat rangkaian (silsilah)

nama-nama periwayat dari otoritas yang paling tua, yang dalam

berbagai koleksi hadis mewujud dalam pribadi Nabi SAW. yang

mengarah kepada para periwayat yang termuda, yaitu para penghimpun

Hadis, seperti al-Bukharī (w. 256 H/870 M), Muslim (w. 261 H/ 875

M), Abū Dāud (w.275 H/889 M). At-Tirmidhi (w.279 H/892 M), al-

Nasa‘ī (w. 303 H/915 M), Ibnu Majah (w. 273 H/887 M). Rangkaian

yang berisi sejumlah nama periwayat yang menjembatani masa antara

Nabi dan para penghimpun hadis ini disebut dengan sanad. Dalam

berbagai hadis, jalur sanad tersebut rata-rata berisi lima, enam, atau

tujuh nama periwayat, tetapi dalam kitab al-Muwatha‟ Malik (w.179

H/795 M). Misalnya, jalur itu hanya terdiri dari tiga nama. Sementara

bagian kedua, yang berisi susunan kata aktual tentang apa yang

dianggap pernah dikatakan atau dilakukan oleh Nabi disebut matan

(teks hadis).

Matan hadis itu dapat dinyatakan otentik jika rangkaian para

periwayat dalam isnad memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam

metode kritik hadis. Oleh karena itu, tidak salah bila dikatakan bahwa

dalam meneliti laporan atau hadis, para ulama hadis lebih menekankan

penelitian isnad daripada matan. Jika isnad sebuah hadis terdiri dari

orang-orang yang dapat dipercaya maka hadis itu dinyatakan ṣaḥīḥ, dan

sebaliknya, jika isnad hadis terdiri dari orang-orang yang tidak dapat

dipercaya maka hadis itu tidak dapat diterima. Dalam sejarah

periwayatan hadis memang telah terjadi pemalsuan sejumlah hadis.

Akan tetapi hadis-hadis yang dianggap lemah dan palsu itu telah

dipisahkan dari yang otentik oleh para ahli dengan menggunakan

metode kritik isnad. Oleh karena itu, hadis Nabi secara keseluruhan

sudah berhasil dihimpun dalam koleksi hadis pada abad III H/IV M.

Dengan demikian proses penyeleksian antara hadis otentik dan hadis

lemah maupun hadis palsu. Menurut para ahli hadis sudah dianggap

final.

Dari berbagai tulisan Juynboll mengenai hadis, khususnya yang

menggunakan teori Common Link dan metode analisis sanad, penulis

dapat menyimpulkan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk

Page 201: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

201

menerapkan metode tersebut secara rinci. Langkah-langkah itu

adalah:380

1) Menentukan hadis yang akan diteliti

2) Menelususri hadis dalam berbagai koleksi Hadis

3) Menghimpun seluruh sanad hadis

4) Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur sanad dalam satu

bundel sanad.

5) Mendeteksi Common Link, periwayat yang bertanggung jawab

atas penyebaran hadis

Dalam kasus hadis yang merendahkan martabat perempuan,

Juynboll juga menerapkan analisis matan. Secara umum, langkah-

langkah metode analisis matan yang diajukan olehnya adalah:381

1) Mencari matan yang sejalan.

2) Mengidentifikasi Common Link yang terdapat pada matan yang

sejalan.

3) Menentukan Common Link yang tertua.

4) Menentukan bagian teks yang sama dalam semua hadis yang

sejalan.

Sedangkan hadis menurut Harald Motzki adalah sebuah teks

yang memuat Informasi Nabi Muhammad SAW dan sahabat-

sahabatnya, yang memiliki jalur transmisi (periwayatan) dari mereka.

Keaslian teks-teks ini menjadi isu perdebatan yang utama pada

keilmuan Islam sekarang. Terutama setelah adanya teori Projecting

Back oleh Schaht yang menyatakan bahwa isnad atau mata rantai sanad

adalah buatan para ulama abad ke-2 H untuk menguatkan legitimasi

hukum-hukum yang ada pada saat itu dengan menyandarkan pada

tokoh-tokoh sebelumnya hingga pada Nabi SAW.

380

G.H.A. Juynboll, Some Notes on Islam‟s First Fuqaha‟ Distilled from

Early Hadith Literature” dalam G.H.A. Juynboll, Studies on the Origins and Use of

Islamic Hadith (Great Britain: Variorum, 1996), 1-27. Dan Muslim Tradition; Studies

in Chronology Provenance and Authorship of Early Hadith (Cambridge: Cambridge

University, 1983), 1-32; G.H.A. Juynboll, Hadith in Modern Islam by Roberto

Tottoli: Claudio Lo Jacono. The Journal Islamic Law and Society, Vol.11 (2004).

http://www.jstor.org/stable/3399385. (Accessed: 20/04/2014). 381

G.H.A. Juynboll, Some Notes on Islam‟s First Fuqaha‟ Distilled from

Early Hadith Literature” dalam G.H.A. Juynboll, Studies on the Origins and Use of

Islamic Hadith (Great Britain: Variorum, 1996), 1-27. Dan Muslim Tradition; Studies

in Chronology Provenance and Authorship of Early Hadith (Cambridge: Cambridge

University, 1983), 1-32.

Page 202: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

202

Walaupun pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran Schaht,

akan tetapi dalam hal ini, Motzki tidak setuju dengan pendapat Schaht.

Oleh karena itu, beliau meneliti sebuah Musannaf (sebuah kitab hadis

dengan corak fikih) sebagai jawaban atas otensitas hadis yang memang

benar-benar berasal dari abad pertama Hijriah atau berasal dari Nabi

Muhammad SAW.

Dalam melakukan penelitian ini, beliau menggunakan teori

dating, yaitu menentukan asal-muasal terhadap sumber sejarah yang

merupakan salah satu substansi sejarah. Beliau berasumsi, ketika data

sejarah, yakni kitab Musannaf al-Ṣan‟anī terbukti sebagai dokumentasi

sejarah pada abad pertama Hijriah yang otentik, maka apa yang ada di

dalamnya merupakan rekaman berabagai persoalan hukum Islam

(hadis-hadis) yang secara tidak langsung diakui otensitasnya.

Adapun untuk melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang

terdapat di dalam Musannaf tersebut, beliau menggunakan metode

Isnad cum Matn Analys, yaitu dengan menganalisa sanad dan matan

hadis dengan menggunakan pendekatan Traditional-Historical. Metode

ini bekerja dengan cara menarik sumber-sumber awal dari kompilasi

yang ada, yang tidak terpelihara sebagai karya yang terpisah dan

memfokuskan diri pada meteri-materi tertentu daripada hadis-hadis

yang terkumpul pada topik-topik tertentu.382

Oleh karena kitab tersebut terdiri dari 11 Juz dengan jumlah

hadis mencapai 21.033 hadis, beliau memfokuskan diri dengan

menggunakan metode sampling. Yaitu dengan mengangkat beberapa

bagian yang penting (hadis) yang dianggap mewakili secara

keseluruhan. Dalam hal ini beliau meneliti 21 % hadis dari keseluruhan

hadis yang ada di kitab tersebut, yaitu sekitar 3810 hadis.383

Hadis-hadis tersebut mempunyai beberapa rawi yang menjadi

fokus penelitian sanad yang merupakan sumber utama untuk

mengetahui keaslian hadis tersebut bersambung pada Nabi SAW. Ada

tiga perawi yang merupakan guru-guru paling berpengaruh bagi al-

Ṣan‘anī yang menjadi fokus penelitian sanad motzki, yaitu Ma‘mar, Ibn

Juraij dan Sufyan ats Tsauri.

382 Harald Motzki, The Origin of Islamic Jurispudence : Meccan Fiqh before

The Classical Schools (Leiden: Boston Koln, 2002), 58-59, dan ―The Musannaf

Abdul Razaq al Shan‘aniy : a Source of Authentic Ahadith of First Century‖, Journal

of Near Estern Studies, Vol. 50, 1. 383

Harald Motzki, The Origin of Islamic Jurispudence : Meccan Fiqh before

The Classical Schools (Leiden: Boston Koln, 2002), 58-59,

Page 203: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

203

Dari hasil penelitian tersebut, beliau mengungkapkan bahwa

dari segi materi hadis, al-Ṣan‘anī memiliki keunikan tersendiri. Dan

hampir tidak mungkin seorang pemalsu dapat memberikan sumber

yang begitu bervariasi. Belum lagi jika penelitian ini difokuskan pada

asal perawi dan karakter teks yang diriwayatkan.

Beliau melanjutkan, faktor lainnya adalah gaya penyajian al

Ṣan‘aniy yang terkadang secara jujur mengakui ketidakpastian sebuah

riwayat. Suatu hal yang tidak mungkin ditemui pada orang-orang yang

melakukan pemalsuan. Oleh karena itu, pada Musannaf ini jelas bahwa

sebuah hadis itu memang sudah ada sejak abad pertama hijriah dan

bersambung pada Nabi SAW. serta diriwayatkan oleh para sahabat,

hingga otensitasnya terjaga sampai pada masa kodifikasi.

Adapun kelebihan dari hasil penelitian beliau adalah beliau

mampu menjelaskan secara logis tentang otensitas hadis yang

didasarkan pada data sejarah. Selain itu, beliau juga menggunakan

literatur-literatur hadis yang sering digunakan oleh umat Islam. Dan

kekurangannya adalah kurangnya interpretasi sejarah karena beliau

hanya terfokus pada otensitas hadis. Selain itu, beliau juga hanya

terpaku pada kajian kitab Musannaf al-Ṣan‟anī yang tidak bisa

digeneralisir pada kitab-kitab hadis lainnya, karena setiap kitab hadis

memiliki ciri khas tersendiri.

Pada penjelasan di atas menampakkan keotentikan karya

pengkaji hadis Indonesia yang berbeda dengan kajian ulama lain di

Timur Tengah dan kajian sarjana Barat. Pengkaji hadis Indonesia

memakai metodologi kajian hadis yang lebih ilmiah, logika-deduktif,

dan konteks-sosio-psikologis.

G. Signifikansi Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia.

Dalam sub bab ini dijelaskan tentang signifikansi pergeseran

studi hadis di Indonesia, dalam hal ini dilihat dari karya-karya pengkaji

hadis di Indonesia, di antaranya Muhammad Syuhudi Ismail, Said Agil

Husin al-Munawar, Ali Mustafa Ya‘qub, Kamaruddin Amin, dan

pengkaji hadis Indonesia lainnya.

1. Signifikansi Pergeseran Kajian Hadis

Seiring dengan perjalanan sejarahnya, studi hadis telah

mengalami perkembangan tanpa henti yang terus secara sinergis-

akumulatif menemukan momentumnya. Adapun di antara

perkembangan yang terjadi dalam studi hadis adalah dari segi

manhāj dan dari segi pengembangan cabang kajian hadis.

Page 204: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

204

Pergeseran yang terjadi dalam manhāj adalah terlihatnya

perubahan sistematika penyusunan literatur hadis dari satu tokoh ke

tokoh lain di Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dari unsur

kepentingan serta kondisi yang mempengaruhinya. Sedangkan

pergeseran dalam mengembangkan studi hadis tidak terlepas dari

cara pandang tokoh terhadap kaidah-kaidah yang diberlakukan

untuk menjadi tolak ukur penelitian hadis.

Di samping itu, menurut Roolvink, literatur Indonesia sejak

masa awal dapat diklasifikasikan menjadi lima, pertama, cerita-

cerita yang di ambil dari al-Qur‘an (Kuranic‟s tales) atau cerita

tentang Nabi dan person lain yang namanya disebut dalam Al-

Qur‘an. Contoh karya ini seperti Hikayat Anbiya‟, Hikayat Yusuf,

dan sebagainya. kedua, cerita khusus tentang Nabi Muhammad

SAW. ketiga, cerita tentang orang-orang yang hidup sezaman

dengan Nabi (sahabat atau lainnya). Keempat, cerita tentang

pahlawan-pahlawan (dalam dunia) Islam yang terkenal, seperti

Iskandar Zulkarnain, dan sebagainya. Kelima, karya-karya yang

berkaitan dengan masalah teologi. Bidang ini, menurut Roolvink,

umumnya berkaitan dengan pengetahuan yang disebut tiga pilar

Islam yaitu, ilmu kalam, ilmu fikih, dan ilmu tasawuf. Bentuk hadis

sebagai disiplin tersendiri yang utuh hampir tidak dijumpai dalam

kategori ini.384

Jika dilihat pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail dalam hal

metodologi pemahaman keagamaan, ada kesamaan antara Syuhudi

Ismail dengan Fazlur Rahman, yakni keduanya menekankan aspek

kesejarahan suatu hadis (asbāb wurūd al-ḥadīth). Hanya saja, tidak

ditemukan dalam karya-karya Syuhudi Ismail yang secara eksplisit

dan mengutip langsung metode kritik sejarah (historico-critical

method) yang dikemukakan oleh Fazlurrahman.

Salah satu kekuatan Syuhudi Ismail dalam hal metodologi

adalah kemampuannya menanggapi kritik sesuai dengan

pendekatan yang digunakan oleh mereka yang dikritiknya secara

sistematis dan obyektif. Namun, Syuhudi Ismail tidak

mengemukakan secara teoritis konsep kritik sejarah terhadap hadis

Nabi, sebagaimana dilakukan oleh Fazlur Rahman terhadap

384

R. Roolvink, ―Indonesian Literature‖ dalam Encyclopedia of Islam

(Leiden: E. J. Brill, t.th.), 1230-1235; Howard Federspiel, ―Hadith‖ Literature in

Twentieth Century Indonesia. Journal Oriente Moderno, (2002).

http://www.jstor.org/stable/25817815. (Accessed: 14/05/2014).

Page 205: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

205

metodologi pembaharuan hukum Islam. Di samping itu, Syuhudi

Ismail juga tidak mengajukan bukti-bukti konkrit berdasarkan hasil

penelitian terhadap sumber-sumber primer (klasik), kecuali hanya

bersifat umum, sebagaimana dilakukan oleh Azami. Dalam hal ini,

Syuhudi Ismail tampaknya tidak memiliki data historis tentang

proses terbentuknya transmisi hadis yang cukup ketika ia memiliki

pengetahuan tentang metode kritik sejarah.385

Kandungan inovatif pemikiran Syuhudi Ismail, antara lain

pembuktian terhadap kaidah ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis sebagai

metode ilmiah,386

merumuskan langkah-langkah sistematis tentang

385

Selain yang disebutkan di atas, secara tidak langsung, pengembangan

pemikiran Syuhudi Ismail juga didasarkan pada pemikiran ulama klasik, seperti imam

al-Shafi‘ī (204 H) dalam hal metodologi penyelesaian hadis-hadis yang tampak

bertentangan dan kritik atas para pengingkar hadis Nabi sebagai salah satu sumber

ajaran Islam, dan Ibnu Ṣalah (643 H) dan al-Nawāwī (676 H) dalam hal kaidah ke-

ṣaḥīḥ-an sanad hadis. Hal ini menunjukkan bahwa Syuhudi Ismail tetap menjaga

kesinambungan dan pengembangan hadis Nabi. Lihat Arifudin Ahmad,

―Pembaharuan Pemikiran Tentang Hadis Nabi Muhammad SAW di Indonesia (Studi

atas Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail)‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah,

2000), 61; John O. Voll, ‗Abdallah ibn Salim al-Basri and 18th Century Hadith

Scholarship. Journal Die Welt des Islams, Vol. 42 (2002).

http://www.jstor.org/stable/1571419. (accessed: 20/04/2014). 386

Syuhudi Ismail menanggapi pendapat mayoritas ulama hadis bahwa

seluruh sahabat Nabi bersifat adil. Menurutnya, argumen-argumen yang mendasari

pandangan tersebut tidak kuat. Walaupun demikian, hasil penelaahan Syuhudi

menunjukkan bahwa sahabat Nabi pada umumnya bersifat adil kecuali mereka yang

terbukti telah berperilaku menyalahi sifat adil. Pandangan tersebut sekaligus menepis

pandangan kalangan ulama yang bersifat subyektif terhadap sahabat Nabi dan sikap

apriori sebagian umat Islam dan para orientalis yang berpendapat bahwa salah satu

kelemahan kaidah ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis terletak pada pandangan bahwa seluruh

sahabat Nabi bersifat adil. Pandangan ini, jika diuji kritik sejarah, bersifat subyektif

dan karenanya tidak memenuhi kriteria metode ilmiah.

Dalam menguraikan keadilan sahabat Nabi, Syuhudi Ismail bersifat obyektif

dan argumentatif, tidak hanya mengemukakan kelemahan dalil-dalil naqli yang

dikemukakan oleh kalangan ulama, tetapi juga konsisten dengan kaidah ke-ṣaḥīḥ-an

sanad hadis yang telah dirumuskannya. Berdasarkan fakta sejarah, terdapat sahabat

Nabi yang tidak memenuhi kriteria keadilan, misalnya al-Walīd ibn Uqbah. Di sisi

lain, kriteria ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis tidak hanya terletak pada keadilan periwayat,

tetapi juga pada ke-ḍabiṭ-an periwayat. Dalam hal ini, Syuhudi menempatkan

kedudukan sahabat Nabi (sebagai saksi primer) tidak berbeda dengan periwayat yang

lain. Lihat Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta:

Bulan Bintang, 1992), 123; dan Arifudin Ahmad, ―Pembaharuan Pemikiran Tentang

Hadis Nabi Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran Muhammad

Syuhudi Ismail)‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2000), 62.

Page 206: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

206

penelitian hadis Nabi,387

pemahaman hadis Nabi secara tekstual dan

kontekstual,388

dan perkembangan pemikiran hadis yang rasional.389

Implikasi pemikiran yang dikemukakan oleh Syuhudi Ismail

di atas sangat erat kaitannya dengan pembumian hadis Nabi dalam

mengantisipasi perkembangan zaman. Terutama dalam

hubungannya dengan dakwah dan penerapan ajaran Islam.

Signifikansi perkembangan pemikiran juga dapat dilihat dari

pemikiran hadis Said Agil Husin al-Munawar, ia berbeda

387

Salah satu aspek yang berbeda antara jumhur ulama dan hasil penelaahan

Syuhudi Ismail adalah pengorganisasian unsur-unsur kaidah mayor dan minor kaidah

ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis. Menurut jumhur ulama, kaidah mayor keshahihan sanad

hadis ada lima, yakni (1) sanad bersambung; (2) periwayat bersifat adil; (3) periwayat

bersifat ḍabit; (4) terhindar dari shuzuz, dan (5) terhindar dari ‗illat. Sementara

Syuhudi Ismail merampingkan kaidah mayor ke-ṣaḥīḥ-an hadis menjadi tiga, yakni

(1) sanad bersambung; (2) periwayat bersifat adil; dan (3) periwayat bersifat ḍabit

atau ḍabit plus, sedangkan terhindar dari shuzuz dan illat merupakan bagian dari

unsur kaidah minor ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis. Terhindar dari shuzuz dan illat

merupakan unsur kaidah mayor ke-ṣaḥīḥ-an matan hadis. Lihat Syuhudi Ismail,

Kaedah Keshahihan sanad, 134; dan Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 124. 388

Keberadaan hadis Nabi yang mengandung petunjuk secara tekstual dan

kontekstual tersebut, pada dasarnya tidak terlepas dari kebijakan Nabi di bidang

dakwah dalam rangka penerapan tahapan-tahapan ajaran Islam. Di samping itu,

kebijaksanaan Nabi itu mengandung implikasi pemikiran tentang pentingnya peranan

berbagai disiplin pengetahuan, termasuk ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi,

antropologi, psikologi, dan sejarah.

Pendapat Syuhudi Ismail tersebut memberi ruang yang luas terhadap

penerapan hadis Nabi yang oleh sebagian kalangan menganggap bahwa hadis Nabi

tidak dapat diterapkan. Bahkan bertentangan dengan kondisi dan situasi sekarang, era

modernisasi dan globalisasi. Pendapat Syuhudi Ismail yang demikian itu dapat pula

dipahami sebagai upaya pembumian hadis Nabi sebagai salah satu sumber pokok

ajaran Islam. Lihat Muhammad Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan

Kontekstual: Telaah Ma‟ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal,

Temporal, dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 90-91. 389

Beberapa pemikiran yang dikemukakan oleh Syuhudi Ismail, baik

berkaitan dengan kaidah ke-ṣaḥīḥ-an sanad dan matan hadis maupun berkaitan

dengan metodologi pemahaman hadis Nabi SAW memberikan indikasi bahwa wacana

hadis Nabi SAW sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri mengalami perkembangan

pemikiran yang rasional.

Indikator rasional yang dimaksud itu, antara lain (1) kaidah ke-ṣaḥīḥ-an

sanad hadis terbukti secara ilmiah, sebagaimana kritik sejarah: (2) kaidah ke-ṣaḥīḥ-an

matan hadis dapat diterapkan secara sistematis dengan memungkinkan beberapa

pendekatan, selain pendekatan bahasa: (3) pemahaman hadis Nabi yang tekstual dan

kontekstual dengan penerapan disiplin ilmu pengetahun dan pendekatan yang sesuai

dengan materi hadis yang bersangkutan.

Page 207: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

207

pemahaman dengan ulama lainnya dalam memahami hadis yang

kontradiksi dengan al-Qur‘an, menurutnya Abū Hanifah terhitung

paling banyak melakukan seleksi terhadap hadis-hadis tersebut

sebagaimana telah dikemukakan di dalam kitabnya yang berjudul

―al-„Alīm wa al-Muta‟allīm”, sehingga ia dituduh menolak hadis

dan mendustakannya. Berbeda dengan Imam Syafi‘ī yang

menghukumkan riwayat tersebut munqaṭi‟ah dari seseorang yang

tidak dikenal dan oleh karena itu tidak diterima. Yang demikian ini

terlihat dalam karyanya al-Risalah dan Ikhtilāf al-Ḥadīth yang

berada di Hashiah al-Umm.390

Inovatif pemikiran Kamaruddin Amin adalah ketika

meneliti hadis tentang Ṣaum, berbeda dengan penelitian hadis

ulama hadis lainnya, seperti Musṭafa Muḥammad Azami telah

membahas hadis tersebut. Akan tetapi, Azami hanya

mengumpulkan bagan isnad-nya dan menarik kesimpuan dari bagan

tersebut bahwa sistem isnad bermula sejak masa awal Islam dan

bahwa periwayatan hadis tersebut begitu luas sehingga pemalsuan

dalam skala besar dapat dinafikan sebagai penjelasan terhadap

perkembangan dan asal-muasalnya. Namun metode Azami adalah

murni penyandaran. Dia sepenuhnya mengabaikan teks hadis dan

dengan demikian dia membuat kesan bahwa teks-teks hadis tersebut

kurang lebih sama. Padahal teks-teks tersebut tidak sama.391

Perbedaan metode kajian hadis nampak berbeda dengan

metode yang dipakai oleh sarjana Barat lainnya, ketika

menganalisis hadis tentang Ṣaum, Kamaruddin Amin analisisnya

lebih akurat dan jelas dibandingkan dengan Harald Motzki.

Penanggalan hadis-hadis dengan metode isnad cum matn yang

menelaah baik jalur-jalur periwayatan maupun teks-teks matan

hadis. Dalam metode ini sanad-sanad dari versi-versi tersebut

diperiksa dengan membandingkan teks-teks dari versi-versi itu pada

level-level periwayatannya yang berbeda. Dia mengkaji secara

sistematik 163 versi hadis tentang puasa yang ditemukan dalam 39

390

Dalam memahami hadis yang kontradiktif dengan al-Qur‘an, Said Agil

Husin al-Munawar memahaminya dengan menggunakan kaedah al-ibrah bi khushusi

al-sabāb la bi „umumī al-lafaz. Lihat Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur‟an

Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 115-117. 391

Kamaruddin Amin menyebutkan bahwa sikap Musṭafa Muhammad

Azami yang mengabaikan teks-teks hadis menyebabkan ia membuat sejumlah

kekeliruan dalam menyandarkan hadis kepada perawinya. Lihat Kamaruddin Amin,

Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Mizan, 2009), 413.

Page 208: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

208

sumber. Dia secara cermat membandingkan varian-varian teks yang

dimiliki oleh satu bundel sanad, merekonstruksi elemen-elemen

tekstual yang dimiliki bersama dan mencatat perbedaan-perbedaan

dari versi-versi tersebut. Dengan menggunakan metode ini dapat

ditunjukkan bahwa kesamaan umum dan perbedaan versi teks-tek

tersebut dapat diberikan pada perawi-perawi tertentu dan kemudian

diberi penanggalan. Hasil penelaahan hadis tentang puasa dengan

metode ini mengidentifikasi dua cabang periwayatan yang versinya

berbeda-beda dalam cakupan tekstualnya. Kedua cabang itu

kembali kepada sahabat Abu Hurairah (w.58 H) yang dapat

dianggap sebagai perawi dari kedua versi hadis tentang puasa

tersebut.

Menurut analisis kombinasi sanad dan matan, hadis tersebut

dengan demikian dapat diberi penanggalan satu abad lebih awal

daripada dengan metode Juynboll yang hanya memfokuskan pada

sanad-sanad. Juga menjadi jelas bahwa pertanyaan apakah Abu

Hurairah sungguh-sungguh mendengar hadis tentang puasa atau

bagian-bagiannya dari Nabi tidak dapat dibuktikan dengan metode

isnad cum matn. Benar, ada beberapa varian hadis ini yang konon

diriwayatkan juga leh para sahabat lainnya, tetapi versi-versi

tersebut tidak dapat dibuktikan terpercaya dengan menggunakan

metode ini. Itu juga berarti bahwa hadis ini tidak dapat dibuktikan

telah diriwayatkan secara mutawātir. Dalam hal ini, hasil

pendekatan isnad cum matn berbeda dari evaluasi yang diberikan

oleh metode-metode kritik hadis Islam.

Dalam metodologi kajian hadis, berbeda dari Schacht dan

Juynboll, Motzki cenderung menganggap common link yang

terdapat jalur periwatan hadis bukan sebagai pemalsu hadis,

sebagaimana dianggap Schact dan Juynboll, tetapi sebagai

penghimpun hadis pertama secara sistematis, yang meriwayatkan

hadis dalam kelas-kelas murid, yang kemudian berkembang

menjadi sebuah sistem belajar yang terlembaga.392

Penentangan

terhadap sejumlah asumsi Schacht dan Goldziher tentang hadis

dapat ditemukan dalam karya-karya M. Siba‘i, N. Abbott, M. M.

Azami dan F. Sezgin. Mereka berpendapat bahwa praktik penulisan

hadis-hadis Nabi telah dimulai sejak masa awal secara

392

Harald Motzki, The Musannaf of Abd al-Razzaq al-San‘ani as a Source of

Authentic Ahadith of the First Century A.H, Journal of Near Eastern Studies, 50

(1991), 1-21.

Page 209: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

209

berkesinambungan. Menurut mereka, para sahabat Nabi

menyimpan rekaman hadis tertulis, dan sebagian besar hadis ini

diriwayatkan dalam bentuk tertulis, dan sebagian besar hadis-hadis

ini diriwayatkan dalam bentuk tertulis sampai masa ketika hadis-

hadis ini dihimpun dalam kitab-kitab hadis resmi pada abad ke-3.393

Motzki dan Schoeler telah menunjukkan apa yang dimungkiri oleh

Schacht dan Juynboll, bahwa sejumlah hadis dapat ditelusuri

sampai pada abad pertama hijriah. Namun demikian, apakah hadis-

hadis tersebut dapat disandarkan kepada Nabi, mereka belum bisa

membuktikannya.394

Kenyataan bahwa terdapat sejumlah hadis palsu, di samping

yang autentik, tidak hanya disadari sejak mula oleh sarjana Barat.

Bahkan, sarjana Muslim pun telah menyadarinya pada akhir abad

pertama hijriah, atau bahkan sebelumnya. Telah diasumsikan bahwa

korpus hadis, yang berkembang pada abad pertama hijriah, adalah

kumpulan dari hadis palsu dan hadis ṣaḥīḥ. Sebagai respons,

kalangan sarjana Muslim awal membuat sebuah metode atau cara

mengevaluasi hadis untuk membedakan antara hadis ṣaḥīḥ dan

hadis palsu.395

Namun demikian, metode para kritikus hadis bukan sama

sekali tanpa kritik. Keberatan terhadap efektifitas dan keakuratan

dalam menentukan autentisitas hadis datang dari sarjana Muslim

dan non-Muslim. Menurut Ibnu Khaldun (w. 808 H), ketika para

ahli hadis meneliti berita-berita atau riwayat-riwayat, mereka

mendasarkan penilaiannya hanya pada pembawa berita tersebut.

Apabila pembawa berita itu dapat dipercaya, maka informasi yang

disampaikan otomatis dianggap autentik. Oleh karena itu, menurut

ibnu Khaldun, penelitian hadis yang dilakukan oleh para muhadīth

hanya terbatas pada penelitian sanad. Hal serupa dinyatakan oleh

penulis Mesir Ahmad Amin (w. 1373 H) bahwa penelitian yang

393

Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, 4. 394

Untuk hadis-hadis yang diberi penanggalan pada abad pertama lihat Haral

Motzki, The Prophet and the Cat: On Dating Malik‘s Muwatta and Legal Traditions,

JSAI 22 (1998), 18-83. 395

Kitab awal yang paling terkenal adalah al-Risālah oleh Al-Shafi‘ī (204).

Setelah itu adalah al-Muḥadīth al-Faṣil baina al-Rāwī wa al-Wa‟ī karta al-

Ramahurmuzi (w. 360 H), Ma‟rifah „Ulūm al-Ḥadīth karya al-Ḥakim al-Naisaburī (w.

405H), al-Kifāyah fī Qawānin al-Riwāyah dan al-Jāmi‟ li Adab al-Rāwī wa Akhlak

al-Sami‟ keduanya karya al-Khatib al-Baghdadi (w. 463), ‗Ulūm al-Ḥadīth karya Ibnu

al-Ṣalah (w. 643 H)

Page 210: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

210

dilakukan para ahli hadis lebih memfokuskan pada sanad

dibandingkan matan.396

Abu Rayyah lebih jauh mengatakan bahwa

para ahli hadis hanya memerhatikan aspek kesinambungan jalur

periwayatan dan karakter para perawi, dan sepenuhnya

mengabaikan esensi kandungan hadis, dan bahkan mereka gagal

menangkap bukti-bukti sejarah.397

Pendapat Ibnu Khaldun, Aḥmad

Amin dan Abū Rayyah ini dibantah oleh Musṭafa al-Siba‘ī,

Muḥammad Abū Shuhbah dan Nūr al-Dīn ‗Itr. Mereka berpendapat

bahwa ulama hadis sama sekali tidak mengabaikan matan. Hal ini

dapat dilihat dari kriteria-kriteria hadis ṣaḥīḥ yang mereka buat.

Salah satu kriterianya mengatakan bahwa sebuah hadis hanya dapat

dianggap ṣaḥīḥ apabila sanad dan matannya tidah shaz (janggal)

dan bebas dari cacat atau illat (hal-hal yang dapat merusak ke-

ṣaḥīḥ-an hadis).398

Kontroversi ini mengingatkan kita akan kenyataan bahwa

isu tentang ketepercayaan dan historisitas hadis masih jauh dari titik

akhir penelitian. Di kalangan kesarjanaan Barat, sejumlah metode

penanggalan hadis telah dikembangkan dalam dua dekade terakhir:

1) Analisis sanad untuk singel traditions (hadis-hadis yang

memiliki jalur periwayatan tunggal) yang dikembangkan oleh

Juynboll; dan 2) Analisis matan hadis, yakni menelusuri dan

membandingkan keragaman teks hadis tertentu dan meneliti

korelasi antara varian matan tersebut dengan jalur periwayatannya

(sanad). Pendekatan ini dikembangkan oleh van Ess, Motzki dan G.

Schoeler.399

Dalam penelitian ini, semua metode ini akan dikaji

secara kritis lalu konfrontasikan dengan metode para muhadīth.

Dari penjelasan di atas menampakkan bahwa adanya

perbedaan antara metodologi yang digunakan oleh sarjana di Barat

dan di Timur Tengah dengan sarjana hadis di Indonesia. Ini

menunjukkan adanya perkembangan yang cukup signifikan

metodologi kajian hadis di Indonesia.

Dalam Islam gerakan pembaharuan terjadi bukan

disebabkan karena pertentangan antara kaum agama dan ilmuan

396

Ahmad Amin, Fajr al-Islām, 217-218. 397

Maḥmud Abū Rayyah, Aḍwā‟ alā al-Sunnah al-Muḥammadiyyah, 4-6. 398

Nūr al-Dīn Itr, al-Madkhal ilā „Ulūm al-Ḥadīth, 15-17; al-Siba‘ī, al-

Sunnah wa Makanatuha, 296-303. 399

Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis,

6-7.

Page 211: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

211

sebagaimana di Barat, melainkan karena adanya kesadaran di

kalangan para tokoh pembaru akan keterbelakangan umat Islam

dari dunia Barat.400

2. Signifikansi Perkembangan Metode Pemahaman Hadis

Dari segi manhāj telah terjadi pergeseran yang cukup

signifikan di antara para pengkaji hadis. Hal ini disebabkan oleh

situasi dan kondisi lahirnya pemikiran terhadap karya yang ada.

Perkembangan penyusunan karya tentang studi hadis memiliki

signifikansi perbedaan yang cukup kuat. Artinya, dalam setiap

periode memiliki karakteristik tertentu yang masing-masing

memiliki maksud dan tujuan yang tertentu pula.

Pada reaktualisasi ajaran al-Qur‘an dan hadis dalam

kehidupan umat beragama, penyesuaian pemahaman ajaran Islam

dengan tuntutan kehidupan kontemporer dengan cara menakwilkan

atau memberikan interpretasi yang sesuai dengan perkembangan

ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat. Dengan demikian,

ajaran Islam akan selalu sesuai dan relevan di segala tempat dan

zaman.401

Berbeda dengan penulisan hadis di dunia Islam pada masa

awal, penulisan kitab-kitab hadis di Indonesia tidak ditemukan yang

bersanad. Meski penulis yakin bahwa beberapa ulama Indonesia

mempunyai dan menjaga sanad hadis-hadis yang musalsal, namun

belum dapat ditemukan dalam bentuk buku. Mayoritas penulis

hadis di Indonesia hanya berbentuk tematis, masih sedikit sekali

yang menulisnya dalam bentuk kritik hadis.

Setelah tahun 2000 mulai bermunculan kitab-kitab hadis

yang tidak sekadar menghimpun, akan tetapi mulai mengkritik.

Selain bentuk menghimpun dengan tema yang sama, buku bentuk

400

Menurut Yusūf al-Qaraḍawī, al-Tajdīd atau Modernisasi dalam agama

diartikan memperbarui pemahaman agama, iman, dan amal, kembali seperti semula

yang dilakukan Nabi SAW, para sahabat, dan para pengikutnya. Lihat Yusūf al-

Qaraḍawī, Kaifa Nata „amal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyah, 42; dan Abdul Majid

Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta: Prenada

Media Group, 2011), 175; Ronald A. Lukens-Bull, Two Sides of the Same Coin:

Modernity in Islamic Education in Indonesia. Journal Anthropology and Education

Quarterly, Vol. 32 (2011). http://www.jstor.org/stable/ 3195992. (Accessed:

20/04/2014). 401

Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan Ilmu

Hadis (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), 177.

Page 212: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

212

lain seperti syarah, nyaris tidak ditemukan kecuali apa yang

dituliskan oleh KH. Muhajir yang menulis kitab Miṣbah al-Ẓalam fī

Bulugh al-Maram yang ditulis dalam bahasa Arab juga.

Upaya penelusuran sejarah perkembangan kajian hadis di

Indonesia belum dilakukan secara sistematis. Hal ini bisa diduga

disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kenyataan bahwa kajian

hadis intens kajian di keislaman yang lain, seperti al-Qur‘an, fikih,

akhlak dan sebagainya. Kedua, kajian hadis bisa dikatakan

berkembang sangat lambat, terutama bila dilihat dari kenyataan

bahwa para ulama Nusantara telah menulis di bidang hadis sejak

abad ke-17. Namun demikian, seperti terlihat kemudian, tulisan-

tulisan tersebut tidak dikembangkan lebih jauh. Kajian hadis setelah

itu mengalami kemandekan hampir satu setengah abad lamanya.

Untuk itulah, perhatian para pengamat terhadap kajian hadis

Indonesia masih sangat kurang. Kalaupun ada pengamat yang

menaruh perhatian, perhatiannya masih parsial dan tidak

komprehensif.

Dalam permasalahan perkembangan pemahaman hadis di

Indonesia, Muhammad Syuhudi Ismail juga pernah menulis

diantaranya Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan

Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Metodologi Penelitian

Hadis Nabi, Hadits Nabi menurut pembela, pengingkar dan

pemalsunya, Ikhtisar Mushthalah Hadits, Hadis Nabi yang tekstual

dan kontekstual : telaah ma‟ani al hadis tentang ajaran Islam yang

universal,temporal dan lokal.

M. Syuhudi Ismail adalah seorang ulama dan intelektual

yang cukup besar pengaruhnya di Indonesia di bidang hadis dan

Ilmu Hadis. Salah satu pemikirannya yaitu tentang metode

pemahaman terhadap matan hadis dalam bukunya yang berjudul

Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma‟ani al

Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal .

Menurut beliau bahwa ada matan hadis yang harus dipahami secara

tekstual, kontekstual dan ada pula yang harus dipahami secara

tekstual dan kontekstual sekaligus. Ini menunjukan bahwa

kandungan hadis Nabi itu ada yang bersifat universal, temporal dan

lokal.

Ali Mustafa Yaqub lebih mengedepankan kritik sanad,

untuk mengetahui apakah suatu hadis bisa diterima, dan sebaliknya

harus ditolak. Ini terlihat dari caranya dalam mengkritik sebuah

Page 213: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

213

ungkapan, yang oleh orang banyak dikatakan sebagai hadis. Dan ini

terlihat dari karya-karyanya seperti Hadis-Hadis Bermasalah, Imam

al-Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, Peran Ilmu

Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam, Islam Masa Kini.

Said Agil al-Munawwar juga menulis tentang Study Kritis

Hadis Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual Asbabul Wurud,

dalam buku ini beliau menjelaskan tentang bagaimana hadis itu

dipahami dengan memakai pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual.

Asbāb al-wurūd mempunyai peranan yang sangat penting dalam

rangka memahami suatu hadis. Sebab biasanya hadis yang

disampaikan oleh Nabi bersifat kasuistik, kultural, bahkan

temporal. Oleh karenanya, memperhatikan konteks historisitas

munculnya hadis sangat penting, karena paling tidak akan dapat

menghindarkan kesalahpahaman dalam menangkap maksud suatu

hadis.402

Said Agil al-Munawar juga menjelaskan bahwa penelitian

terhadap hadis karena hadis sampai kepada umat melalui jalan

periwayatan yang panjang dan kemungkinan-kemungkinan lain

yang dapat merusak keaslian hadis tersebut. Setelah wafatnya

Rasulullah SAW hadis tidak akan bertambah jumlahnya, sedangkan

permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam terus berkembang

seiring dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, di dalam

memahami hadis diperlukan metode pemahaman yang tepat melalui

pendekatan yang komprehensif, baik tekstual maupun kontekstual

dengan berbagai bentuknya dan kaedah al-ibrāh bi khususi al-

sabāb la bi „umumi al-lafaz perlu mendapat perhatian dengan

beberapa catatan yang ada kaitannya dengan asbāb al-wurūd al-

ḥadīth.403

Buchari M, menulis tentang Metode Pemahaman Hadis

(Sebuah Kajian Hermeneutik), dan Kaidah Keshahihan Matan

Hadis. Dalam karyanya Buchari M, menggunakan metode

hermeneutik dalam memahami sebuah hadis, dan ia mencontohkan

402

Pemahaman hadis yang mengabaikan peranan asbāb al-wurūd akan

cenderung bersifat kaku, literalis-skriptualis, bahkan kadang kurang akomodatif

terhadap perkembangan zaman. Said Agil Husin al-Munawar, Studi Kritis Hadis Nabi

Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, 13. 403

Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan

Hakiki (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 115-117.

Page 214: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

214

beberapa hadis yang bisa digunakan metode hermeneutik dalam

memahami hadis tersebut.

Adapun langkah-langkah metodologis kajian hermeneutik

menurut Buchari M. dalam rangka memahami hadis sebagai

berikut:404

1) Penentuan tema hadis yang akan dipahami

2) Penghimpunan hadis-hadis tentang tema yang dipilih

3) Penentuan orisinalitas hadis yang dijadikan sampel

4) Pemahaman makna hadis dengan meneliti:

a. Komposisi tata bahasa hadis dan bentuk pengungkapannya

b. Korelasi konteks kemunculan hadis secara sosio historis

psikologis.

5) Pengambilan spirit atau pandangan hidup yang terkandung

dalam keseluruhan hadis

Namun dalam kajian hermeneutik, bukan hanya gramatika

bahasa yang ditekankan, pendekatan historis, sosiologis dan

antropologis juga harus dikedepankan. Dengan begitu, untuk

mengetahui pesan-pesan yang ada dalam teks, harus ketahui latar

belakang sosial budaya dimana dalam dalam situasi apa sebuah teks

itu muncul.

1) Pendekatan Historis

Pendekatan ini dilakukan sebagai usaha dalam

mempertimbangkan kondisi historis pada saat hadis

dimunculkan (asbāb al-wurud). Dengan mengetahui kejadian

yang mengitari, mengapa Nabi bersabda serta bagaimana

suasana dan kondisi sosio-kultural masyarakat termasuk di

dalamnya persoalan politik.405

2) Pendekatan Sosiologis dan Antropologis

Pendekatan sosiologis menyoroti sudut posisi manusia yang

membawanya kepada perilaku itu. Sedangkan pendekatan

antropologis adalah analisa yang dilakukan dengan

memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku dalam sebuah

tatanan nilai yang dipegang dalam kehidupan manusia.

Kontribusi pendekatan ini bertujuan menyajikan uraian yang

menyakinkan tentang apa yang sesungguhnya terjadi dengan

404

Buchari M. Metode Pemahaman Hadis sebuah Kajian Hermeneutika

(Jakarta: Nuansa Madani, 1999). 104-105 405

Kurdi, Hermeneutika Alqur‟an & Hadis (Yogyakarta: eLSAQ Press,

2010), 374-375.

Page 215: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

215

manusia dalam berbagai situasi hidup dalam hubungannya

dengan ruang dan waktu. Dengan begitu dapatlah diperoleh

gambaran yang utuh dalam pemahaman yang benar terhadap

hadis.406

Sedangkan Daniel Djuned, menulis tentang Paradigma

Baru Studi Ilmu Hadis dan Rekonstruksi Fiqh al-Hadis, di dalam

karyanya Daniel Djuned memberikan sebuah solusi terhadap

pemahaman hadis, ia mencoba merekonstruksi metode pemahaman

hadis agar hadis mudah diterima oleh masyarakat Indonesia

khususnya.

Pengembangan yang dimaksud tidak bersifat mengubah

struktur keseluruhan yang sudah baku di bidang studi hadis.

Karena, struktur seperti disebutkan di atas, ternyata bermanfaat

dalam memperoleh hujah hadis yang diperlukan bagi meneladani

praktek keagamaan yang dicontohkan oleh Rasul SAW. Di samping

itu, karena prestasi dalam bidang yang dimaksud sudah diuji oleh

zaman dalam masa ratusan tahun dan berlaku hingga sekarang,

selain juga belum ada penelitian lain yang telah berhasil

menggugurkannya. Arah pengembangan yang dimaksudkan dalam

konteks sistem yang padu di sini mencakup dua hal, yaitu:

a. Pencantuman sub sharḥ al-ḥadīth dan fiqh al-ḥadīth dalam

setiap penelitian hadis dengan analisis yang memanfaatkan

pendekatan ilmu-ilmu lain sebagai penunjang kebermaknaan

persoalan, tetapi yang sejalan dengan pokok masalah yang

diteliti, dan

b. Masih dalam konteks di atas, dapat meminjak model bentuk

penelitian lain, tetapi yang relevan dan masih merupakan

lanjutan dari penelitian hadis itu sendiri.

Mengenai yang pertama, yaitu pencantuman sub sharḥ al-

ḥadīth dan fiqh al-ḥadīth dalam penelitian hadis dengan analisis

yang memanfaatkan pendekatan ilmu-ilmu lain sebagai penunjang

kebermaknaan persoalan, namun yang sejalan dengan pokok

masalah yang diteliti. Konsep itu diperlukan mengingat adanya

fakta di sekitar perlunya penjelasan hadis (sharḥ al-ḥadīth) dan

406

Duderija, Adis. Toward Methodology of Understanding the Nature and

Scope of the Concept of Sunnah. Journal Arab Law Quarterly, Vol. 21 (2007), 269-

280. http://www.jstor.org/stable/27650590. (Accessed: 20/04/2014); Kurdi,

Hermeneutika Alqur‟an & Hadis (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), 375.

Page 216: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

216

pemahaman hadis. Pembaca informasi teks tidaklah otomatis jelas

dengan teks yang dibacanya, hal ini termasuk dalam pembacaan

teks hadis. Untuk mengatasi hal yang dimaksud diperlukan cara

menjelaskan suatu teks agar dipahami dengan jelas oleh

penerimanya.407

Banyak penjelasan atau syarah yang dapat dibuat berkaitan

dengan hadis, sejalan dengan beberapa cara untuk menerangkan

fakta, yaitu:

a. Menjelaskan berdasarkan bagiannya atau faktornya. Yang

dimaksud dengan penjelasan ini adalah, cara menjelaskan pada

waktu kita menganalisis sesuatu berdasarkan unsur-unsur pokok

suatu kenyataan serta hubungan pastinya antara masing-

masingnya.408

b. Menjelaskan berdasarkan keadaan dan kondisi. Menjelaskan

dengan ini adalah cara menerangkan sesuatu berdasarkan

hubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan keadaan di

luar dirinya, untuk mengetahui bagaimana suatu fakta partikuler

melahirkan dan bergantung terhadap faktor lain dalam susunan

yang lebih besar dan bagaimana suatu fakta tidak akan muncul

kecuali dalam keadaan tertentu.409

c. Menjelaskan berdasarkan hubungan antara dua fakta yang

bersamaan, kita dapat juga menjumpai hubungan dua buah fakta

atau lebih dalam waktu yang berurutan, antara fakta yang tetap

terjadi lebih dahulu, dan diikuti oleh fakta lainnya pada waktu

yang lebih kemudian.410

407

Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Jakarta: Prenada

Media, 2003), 235. 408

Menerangkan bagian (arkan) Islam yang lima, seperti yang disebut dalam

hadis yang di-takhrīj oleh al-Bukharī dan Muslim melalui riwayat Ibn ‗Umar

misalnya, akan lebih mudah dengan melakukan penjelasan dari jenis penjelasan yang

pertama ini. Lihat Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Jakarta:

Prenada Media, 2003), 237. 409

Jika penjelasan versi pertama bersifat menjelaskan hubungan sesuatu

dengan sesuatu yang masih dalam lingkup dirinya, maka penjelasan versi kedua ini

adalah menjelaskan bagaimana hubungan sesuatu dengan sesuatu yang diluar lingkup

dirinya. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Jakarta: Prenada

Media, 2003), 237. 410

Misalnya, hadis tentang suruhan memperhatikan lima perkara sebelum

datangnya lima perkara, yang di-takhrij oleh al-Baihaqī, berkaitan dengan maksud ini.

Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Jakarta: Prenada Media,

2003), 238;

Page 217: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

217

d. Menjelaskan berdasarkan fungsinya, yaitu cara menjelaskan

suatu fakta bagaimana sesuatu itu mempunyai kedudukan

terhadap fakta atau peristiwa lain. Dalam konteks ini, yang

berbeda dengan sebelumnya, yang penting adalah bagaimana

suatu fakta tertentu itu memegang peranan bagi fakta lainnya.411

Pengkaji hadis di Indonesia dalam memahami hadis sudah

diperluas dengan landasan pengetahuan asbāb al-wurūd dan

pengetahuan fakta atau data-data historis di sekitar kejadian.

Pemahaman hadis juga memerlukan pendekatan keilmuan.

Seperti dimaklumi, bahwa hadis itu dituturkan ke tengah-tengah

kehidupan adalah bermula dari bahasa lisan. Sebagai tuturan lisan,

hadis telah mengalami proses psikohistoris pada masa turunnya dari

Nabi SAW. Oleh karena itu, beberapa konglomerasi yang tak lain

dari pemaduan dari unsur-unsur dapat ditawarkan disini sebagai

opsi berkaitan dengan konsep yang keempat ini, diantaranya: 412

Pertama, pemahaman terhadap hadis dapat menggunakan

pendekatan psiko-historis. Pendekatan psiko-historis ini

dimanfaatkan, mengingat hadis yang tak lain dari suatu yang

berasal dari bahasa ujaran, dalam memahaminya memerlukan

kelengkapan. Munculnya tradisi lisan, melainkan memperkaya;

kedua, pemahaman terhadap hadis dapat menggunakan

pendekatan historis-fenomenologis. Suatu teks hadis tidak akan

lepas dari segi peristiwa kesejarahan ketika ia direkam di samping

juga kondisi di mana sahabat mengartikulasikan teks itu dalam

bentuk tuturan yang akhirnya menjadi bahan tertulis seperti yang

ada sekarang. Karena itu, pendekatan dimaksud sangat diperlukan

guna dapatnya memahami hadis secara utuh dekat dengan konteks

ketika hadis itu diperoleh dari penyampainya, yakni sahabat yang

meriwayatkan hadis dalam kondisi seperti yang dikehendaki

demikian oleh penyampainya pada masa hadis tersebut

disampaikan;

411

Jadi, cara ini digunakan untuk menangkan misalnya, benda-benda hidup

dan fakta-fakta yang terkait dengannya. Umpamanya: suatu hadis yang di-takhrij oleh

Muslim, yang diriwayatkan oleh Abī Umar ibn al-Khattab mengenai Rukun Islam,

akan menunjang maksud penjelasan apabila aktivitas menjelaskannya dilakukan

dengan menggunakan cara penjelasan nomor yang keempat di atas. Erfan Soebahar,

Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Jakarta: Prenada Media, 2003), 238. 412

Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Jakarta: Prenada

Media, 2003), 243-244, dan Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama:

Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 106.

Page 218: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

218

ketiga, pemahaman terhadap hadis dapat juga menggunakan

pendekatan sosio-historis. Keadaan sosial kemasyarakatan dan

tempat serta waktu terjadinya, memungkinkan utuhnya gambaran

pemaknaan hadis yang disampaikan, sekiranya dipadukan secara

harmoni dalam suatu pembahasan. Oleh karena itu, pendekatan ini

dapat dimanfaatkan sehingga diperoleh hal-hal yang bermanfaat

secara optimal dari hadis yang disampaikan.

H. Pemikiran Pengkaji Hadis di Indonesia

Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail di dalam bidang hadis

dalam masalah sanad hadis, ia menyatakan bahwa kaedah-kaedah

minor ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis, sanad bersambung adalah muttaṣil atau

mawṣul yaitu hadis yang bersambung sanadnya baik persambungan itu

sampai kepada Nabi (marfū‟) maupun hanya sampai kepada sahabat

saja (mauqūf).413

Unsur-Unsur terhindar dari shuzuz dan ‗illat menurut M.

Syuhudi Ismail dapat terpenuhi apabila unsur sanadnya bersambung

atau unsur periwayat bersifat ḍabiṭ benar-benar terpenuhi. Dengan

adanya unsur terhindar dari shuzuz dan ‗illat dalam konteks defenisi

hadis ṣaḥīḥ bersifat metodologis dan penekanan akan keberadaan

unsur-unsur bersambung ataupun periwayat bersifat ḍabit (tam al-

ḍabiṭ), namun secara kongkrit beliau memasukkan unsur terhindar dari

shuzuz dan ‗illat sebagai bagian unsur minor periwayat yang bersifat

ḍabit bagi ke-ṣaḥīḥ-an sanad dan hadis.414

413

Para ulama hadis telah menciptakan ilmu kaedah ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis

yang merupakan syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu hadis yang

mempunyai kualitas ṣaḥīḥ. Kaedah ke- ṣaḥīḥ -an sanad hadis dibagi menjadi dua yaitu

yang bersifat umum (kaedah mayor) dan kaedah yang bersifat khusus (kaedah minor).

Unsur-unsur kaedah mayor ke-ṣaḥīḥ-an hadis terdiri dari; sanad bersambung, seluruh

periwayat dalam sanad bersifat adil, seluruh periwayat dalam sanad bersifat ḍabit,

sanad hadis itu terhindar dari shuzuz, dan sanad hadis itu terhindari dari ‗illat.

Nuruddin Itr, Ulūm al-Ḥadīth (Bandung: Rosda Karya, 1994), 99 dan 125. dan juga

M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, 249. 414

Secara implisit M. Syuhudi Ismail juga menyebutkan sebagai bagian

unsur minor sanad bersambung, yakni mahfuz bagi sanad yang terhindar dari shuzuz

dan bukan mu‟all sanad yang terhindar dari ‗illat. Jadi unsur-unsur kaedah minor

adalah: a) untuk sanad bersambung adalah; muttaṣil (mawṣul), marfu‟, mahfuzh, dan

bukan mu‟all (bukan hadis yang ber-‟illat); b) untuk periwayat bersifat adil adalah:

beragama Islam, mukalaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru‟ah;

c) untuk periwayat bersifat ḍabiṭ dan atau tam al-ḍabiṭ adalah hafal dengan baik hadis

yang diriwayatkan, mampu dengan baik menyampaikan hadis yang dihafalkan

Page 219: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

219

Dalam penelitian hadis (naqd al-ḥadīth) klasik, model

penelitian diarahkan kepada dua segi: sanad dan matan, yang dikenal

dengan ke-ṣaḥīḥ-an hadis. Dalam penelitian sanad, model yang

ditempuh adalah dengan melakukan langkah-langkah berikut ini.

Pertama, melakukan i‘tibar. Gunanya untuk mengetahui keadaan sanad

hadis seluruhnya dilihat dari ada atau tidak adanya pendukung

(corroboration) berupa periwayat yang berstatus mutabi‟ atau shaḥid.

Kedua, meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya. Dalam

langkah ini yang lazim dilakukan adalah (1) sejumlah kriteria ke-ṣaḥīḥ-

an sanad hadis dijadikan patokan untuk menilai kualitas pribadi (‗adil)

dan kapasitas intelektual (ḍabit) periwayat yang diteliti; (2) disusul

sekilas tentang al-jarh wa al-ta‟dīl yang pada dasarnya mengeritik

celaan dan pujian terhadap periwayat hadis yang hadisnya sedang

diteliti, yang di dalam studi hadis dibahas di bawah studi „ilm al-jarh

wa al-ta‟dīl; (3) Giliran lanjut adalah persambungan sanad baik

lambang-lambang metode periwayatan maupun hubungan periwayat

dengan metode periwayatannya; (4) disusul dengan meneliti shuzuz dan

illah: mengetahui shuzuz, di antaranya dengan membanding-

bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang topik

pembahasannya sama atau memiliki segi kesamaan. Ketiga,

menyimpulkan hasil penelitian sanad, yakni menarik kesimpulan

(natijah) dari pembahasan di atas, disertasi argumen-argumen yang

jelas: sebelum atau sesudah natijah itu.415

Selanjutnya, dalam penelitian segi matan, langkah-langkahnya

meliputi pentahapan berikut ini. Pertama, meneliti matan dengan

melihat kualitas sanad-nya. Beberapa hal yang dapat dijadikan

pegangan pada tahap ini, adalah (1) melakukan penelitian matan

sesudah meneliti sanad, (2) kualitas matan tidak selalu sejalan dengan

kualitas sanad-nya, dan (3) acuan yang tetap dijadikan pegangan disini

adalah kaidah ke-ṣaḥīḥ-an matan, yakni matan hadis yang diteliti itu

terhindari dari shuzuz (kejanggalan) dan ‗illah (cacat). Itu berarti bahwa

untuk meneliti matan, maka kedua unsur tersebut harus menjadi acuan

utama. 416

kepada orang lain, terhindar dari shuzuz, dan terhindar dari ‗illat. M. Syuhudi Ismail,

Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, 133. 415

Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah (Jakarta: Prenada

Media, 2003), 231-232. 416

Suatu matan hadis baru dinyatakan maqbul, yaitu diterima karena

berkualitas Ṣaḥīḥ, apabila: (1) tidak bertentangan dengan akal yang sehat; (2) tidak

Page 220: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

220

Menurut M. Syuhudi Ismail bahwa ternyata ada matan hadis

Nabi yang kandungan petunjuknya harus dipahami secara tekstual saja

dan karenanya, tidak diperlukan pemahaman secara kontekstual. Untuk

matan hadis tertentu lainnya, kandungan petunjukanya diperlukan

pemahaman secara kontekstual. Dalam pada itu, ada pula matan hadis

yang dapat dipahami secara tekstual dan secara kontekstual sekaligus.

Dengan memahami hadis Nabi secara tekstual dan kontekstual, maka

menjadi jelaslah bahwa dalam Islam, ada ajaran yang bersifat universal,

temporal, dan lokal.

Dalam melakukan pilihan pemahaman yang dinilai tepat,

diperlukan kegiatan pencarian qarinah-qarinah atau indikasi-indikasi

yang relevan dengan matan hadis yang bersangkutan dilihat dari segi-

segi yang berhubungan dengannya. Untuk menetapkan suatu qarinah,

diperlukan kegiatan ijtihad dan kegiatan pencarian qarinah itu barulah

dilakukan setelah diketahui secara jelas bahwa sanad hadis yang

bersangkutan berkualitas ṣaḥīḥ, atau minimal ḥasan.

Dengan kemungkinan adanya pemahaman secara kontekstual,

maka suatu hadis yang sanadnya ṣaḥīḥ ataupun ḥasan tidak dapat serta

merta matannya dinyatakan sebagai berkualitas ḍa‟īf (lemah) ataupun

mauḍū‟ (palsu) dengan alasan karena teks matan hadis yang

bersangkutan tampak tidak sesuai dengan kaidah ke-ṣaḥīḥ-an matan

yang digunakan. Terhadap hadis yang sanadnya ṣaḥīḥ ataupun hasan,

diperlukan upaya pemahaman yang sungguh-sungguh, sehingga

bertentangan dengan hukum al-Qur‘an yang telah muḥkam; (3) tidak bertentangan

dengan hadis mutawatir; (4) tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi

kesepakatan ulama salaf masa lalu; (5) tidak bertentangan dengan dalil yang telah

pasti (qaṭ‟ī): (6) tidak bertentangan dengan hadis ahad yang berkualitas ke-ṣaḥīḥ-

annya yang lebih kuat. Kedua, meneliti susunan lafal matan yang semakna. Ketiga,

meneliti kandungan matan, meliputi: (1) membandingkan kandungan matan yang

tidak sejalan atau tampak bertentangan. Untuk itu, ada beberapa jenis kitab yang

dapat membantu, seperti: (a) kitab-kitab syarah hadis dan tafsir al-Qur‘an, (b) kitab-

kitab yang membahas gharīb al-ḥadīth, asbāb wurūd al-ḥadīth, mukhtalīf al-ḥadīth,

fiqh al-ḥadīth, dan musṭalah al-ḥadīth, (c) kitab uṣul al-fiqh dan fiqh, (d) kitab-kitab

sejarah Nabi SAW pada khususnya dan sejarah Islam pada umumnya, dan (e) kitab-

kitab Ilmu Kalam. Keempat, menyimpulkan hasil penelitian matan. Setelah langkah-

langkah yang dikemukakan di atas, maka langkah terakhir yang dilakukan oleh

peneliti adalah menyimpulkan hasil penelitian matan hadis, yang berkisar pada dua

macam kesimpulan saja, yakni: ṣaḥīḥ atau sebaliknya ḍa‟īf. Dengan demikian,

kesimpulan penelitian hadis yang berkenaan dengan matan itu hanya akan berkisar

pada salah satu dari pilihan dua pilihan itu. Erfan Soebahar, Menguak Fakta

Keabsahan al-Sunnah (Jakarta: Prenada Media, 2003), 233-234.

Page 221: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

221

terhindar penilaian terhadap suatu hadis yang sebenarnya berkualitas

ṣaḥīḥ ataupun ḥasan dinyatakan sebagai berkualitas ḍa‟if.417

Dalam pemahaman hadis, diantaranya Muhammad Syuhudi

Ismail menjelaskan tentang hadis dunia itu penjaranya bagi orang

beriman, hadisnya yaitu:

انؤي جت انكافش )سا يضهى(انذا صج Artinya: Dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surganya orang

kafir (HR. Muslim).418

Menurut Muhammad Syuhudi Ismail, teks hadis tersebut dapat

dipahami sebagai berbentuk tamthil dan dapat pula dipahami sebagai

bukan berbentuk tamthil. Kedua pemahaman itu dapat saling

melengkapi. Secara tekstual, hadis tersebut menjelaskan bahwa dunia

ini adalah penjara bagi orang yang beriman. Karenanya, selama hidup

di dunia orang yang beriman harus selalu dalam penderitaan.

Kebahagiaan hidup barulah dirasakan oleh orang yang beriman tatkala

telah berada dalam surga, yakni di akhirat kelak. Bagi orang kafir,

hidup di dunia ini adalah surga. Di akhirat, orang kafir berada dalam

neraka.419

Ada kalangan ulama yang menyatakan bahwa kualitas matan

hadis tersebut lemah bahkan palsu. Alasan yang diajukan ialah bahwa

kandungan matan hadis itu bertentangan dengan petunjuk umum agama

Islam yang mendorong para pemeluknya untuk bekerja keras untuk

kebaikan hidup dunia, di samping untuk kebaikan hidup akhirat.

Penilaian yang demikian itu wajar timbul karena pemahaman yang

digunakan adalah pemahaman secara tekstual. Padahal, matan hadis

tersebut sangat dimungkinkan untuk dipahami secara kontekstual.

Pemahaman yang lebih tepat terhadap petunjuk hadis di atas

adalah pemahaman secara kontekstual, yakni bahwa kata penjara dalam

hadis itu memberi petunjuk adanya perintah berupa kewajiban dan

417

M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah

Ma‟ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta:

Bulan Bintang, 1994), 89-90. 418

Ṣaḥīḥ al-Bukharī, Juz I, 265; Ṣaḥīḥ Muslim, Juz II, 983-984. 419

M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah

Ma‟ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta:

Bulan Bintang, 1994), 16-17; Barbara D. Metcalf, Living Hadith in the Tablighi

Jama‘at. The Journal of Asian Stuies, Vol. 52 (1993), 584.

http://www.jstor.org/stable/ 2058855. (Accessed: 20/04/2014).

Page 222: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

222

anjuran, di samping adanya larangan berupa hukum haram dan hukum

makruh. Bagi orang yang beriman, kegiatan hidup di dunia ini tidak

bebas tanpa batas. Ibarat penghuni penjara, maka dia dibatasi hidupnya

oleh berbagai perintah dan larangan. Bagi orang kafir, dunia adalah

surga sebab dalam menempuh hidup, dia bebas dari perintah dan

larangan tersebut.420

Beberapa pemikiran yang dikemukakan oleh Syuhudi Ismail,

baik berkaitan dengan kaidah ke-Ṣaḥīḥ-an sanad dan matan hadis

maupun berkaitan dengan metodologi pemahaman hadis memberikan

indikasi bahwa wacana hadis Nabi sebagai suatu ilmu yang berdiri

sendiri mengalami perkembangan pemikiran yang rasional.421

Pada sisi lain, implikasi pemikiran yang dikemukakan oleh

Syuhudi Ismail sangat erat kaitannya dengan pembumian hadis Nabi

dalam mengantisipasi perkembangan zaman, terutama dalam

hubungannya dengan dakwah dan penerapan ajaran Islam. Di samping

itu, implikasi pemikiran tersebut dapat membuktikan keutamaan Nabi

SAW dalam mempraktekkan ajaran agama Allah di muka bumi.422

Menurut Said Agil, untuk mengetahui asbāb al-wurūd mutlak

diperlukan, agar terhindar dari kesalahpahaman (mis-understanding)

dalam menangkap maksud hadis. Sedangkan untuk hadis-hadis yang

tidak mempunyai asbāb al-wurūd khusus sebagai alternatifnya, kita

mungkin dapat menggunakan pendekatan historis, sosiologis,

antropologis atau pendekatan psikologis sebagai pisau analisis dalam

memahami hadis. Hal ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa Nabi

SAW tidak mungkin berbicara dalam kondisi yang vakum historis dan

420

Dari pemahaman secara kontekstual terhadap hadis-hadis yang berbentuk

tamthil sebagaimana telah dikutip di atas dapatlah disimpulkan bahwa ajaran Islam

yang dikemukakannya bersifat universal. Lihat M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang

Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma‟ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang

Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 18. 421

Indikator rasional yang dimaksud itu, antara lain (1) kaidah ke-ṣaḥīḥ-an

sanad hadis terbukti secara ilmiah, sebagaimana kritik sejarah; (2) kaidah ke-ṣaḥīḥ-an

matan hadis dapat diterapkan secara sistematis dengan memungkinkan beberapa

pendekatan, selain pendekatan bahasa; (3) pemahaman hadis Nabi yang tekstual dan

kontekstual dengan penerapan disiplin ilmu pengetahuan dan pendekatan yang sesuai

dengan materi hadis yang bersangkutan. Lihat Arifudin Ahmad, ―Pembaharuan

Pemikiran Tentang Hadis Nabi Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran

Muhammad Syuhudi Ismail)‖ (Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2000), 65. 422

Arifudin Ahmad, ―Pembaharuan Pemikiran Tentang Hadis Nabi

Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran Muhammad Syuhudi Ismail)‖

(Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2000), 66.

Page 223: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

223

hampa kultural. Sebuah gagasan pemikiran, ide, termasuk sabda Nabi

SAW. selalu based on historical facts. Ia pasti terkait dengan problem

histori-kultural waktu itu.423

Salah satunya, Said Agil Husin al-Munawar mencontohkan

kepada hadis sebagai berikut:

با ف انشء ي خش ا هلل تؼان يالئكت ف األسض طك ػه أنست ب أدو

)سا انحاكى( أشش.

Artinya: Sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat di bumi,

yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai kebaikan dan

keburukan seseorang. (HR. Hakim)

Dalam memahami hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa

kesulitan, maka mereka bertanya: Ya Rasul, bagaimana hal itu dapat

terjadi, maka Nabi SAW menjelaskan lewat sabdanya yang lain,

sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik. Suatu

ketika Nabi SAW bertemu dengan rombongan yang membawa jenazah.

Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap jenazah tersebut,

seraya berkata: ―Jenazah itu baik‖. Mendengar pujian tersebut, maka

Nabi berkata: ―Jenazah itu baik‖. Mendengar pujian tersebut, maka

Nabi berkata: ―wajabat‖ (pasti masuk surga) tiga kali. Kemudian Nabi

SAW bertemu lagi dengan rombongan yang membawa jenazah lain.

Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata: ―Dia itu orang

jahat‖. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi berkata: ―wajabat‖.

Ketika mendengar komentar Nabi SAW yang demikian, maka

para sahabat bertanya: ―Ya Rasul, mengapa terhadap jenazah pertama

engkau ikut memuji, sedangkan terhadap jenazah kedua engkau ikut

mencelanya. Engkau katakan kepada kedua jenazah tersebut: ―wajabat‖

sampai tiga kali. Nabi menjawab: Ya benar. Lalu Nabi berkata Abu

Bakar, wahai Abu Bakar sesungguhnya Allah SWT memiliki para

malaikat di bumi. Melalui mulut merekalah, malaikat akan menyatakan

tentang kebaikan dan keburukan seseorang. (HR. Al-Ḥākim dan al-

Baihaqī).

Dengan demikian, yang dimaksud dengan para malaikat Allah

di bumi yang menceritakan tentang kebaikan keburukan seseorang

adalah para sahabat atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah

ini baik dan jenazah itu jahat.

423

Said Agil Husin al-Munawar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-

Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 6.

Page 224: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

224

Itulah salah satu contoh asbāb al-wurūd dalam memahami

hadis, sehingga dengan pendekatan-pendekatan historis, sosiologis dan

antropologis semacam itu, diharapkan akan mampu memberikan

pemahaman hadis yang relatif lebih tepat, apresiatif dan akomodatif

terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Sehingga dalam

memahami suatu hadis kita tidak hanya terpaku pada zhahirnya teks

hadis, melainkan harus memperhatikan konteks sosio-kultural waktu

itu.

Dengan demikian, hadis-hadis Nabi SAW sebagai mitra al-

Qur‘an, secara teologis juga diharapkan dapat memberikan inspirasi

untuk membantu menyelesaikan problem-problem yang muncul dalam

masyarakat kontemporer sekarang. Karena bagaimanapun tampaknya

kita sepakat bahwa pembaharuan pemikiran Islam atau reaktualisasi

ajaran Islam harus mengacu kepada teks-teks yang menjadi landasan

ajaran Islam itu sendiri, yakni al-Qur‘an dan Hadis.424

Di dalam buku Said Agil, ia mencoba untuk memberikan

tawaran baru bagaimana cara melakukan pemahaman hadis dengan

pendekatan-pendekatan tersebut, disertai dengan contoh masing-

masing. Hadis-hadis yang ia kutip dalam karyanya adalah hadis yang

dianggap ṣaḥīḥ oleh para ulama hadis, yaitu hadis imam al-Bukharī dan

Muslim.425

424

Sejarah mencatat bahwa pada zaman Nabi sampai zaman al-Khulafā‟ al-

Rashidīn dan Bani Umayah belum terlihat secara jelas adanya kalangan yang menolak

sunah atau hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Barulah pada awal masa

Bani Abbasiah muncul sekelompok kecil orang yang berpaham Inkar al-Sunnah.

Lihat Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya

(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 14. Dan Said Agil Husin al-Munawar, Studi Kritis

Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2001), 26. 425

Sebagai ilustrasi, di sini dapat diberikan beberapa contoh mengenai fungsi

asbāb al-wurūd hadis, yaitu untuk menentukan adanya takhṣiṣ terhadap suatu hadis

yang ‗am, misalnya hadis yang berbunyi:

―Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari orang yang shalat

sambil berdiri” (HR. Aḥmad).

Pengertian ―shalat‖ dalam hadis tersebut masih bersifat umum. Artinya dapat

berarti shalat fardhu dan sunat. Jika ditelusuri melalui asbāb al-wurūd-nya, maka

akan dapat dipahami bahwa yang dimaksud ―shalat‖ dalam hadis itu adalah shalat

sunnat, bukan shalat fardhu. Ini lah yang dimaksud dengan takhṣiṣ, yaitu menentukan

kekhususan suatu hadis yang bersifat umum, dengan memperhatikan konteks asbāb

al-wurūd.

Page 225: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

225

Ali Mustafa Ya‘qub dalam karyanya berjudul Kritik Hadis

menjelaskan bahwa untuk menyebut apa yang bersumber dari Nabi

Muhammad SAW ada dua istilah yang berkembang di kalangan

masyarakat Islam, yaitu hadis dan sunnah. Dua istilah ini terkadang

dianggap kurang defenitif sehingga perlu dipertegas lagi menjadi hadis

Nabi atau Hadis Nabawi, dan Sunnah Nabi atau Sunnah Rasul. Di luar

itu, masih ada istilah lain, yaitu khabar (berita), dan athar

(peninggalan). Namun kedua istilah ini tidak berkembang.426

Ali Mustafa Ya‘qub memiliki pandangan bahwa pada dasarnya

hadis harus dipahami secara tekstual. Namun apabila pemahaman

tekstual ini dinilai tidak mungkin dilakukan, maka pemahaman

kontekstual boleh digunakan.427

Walaupun terlihat ada perbedaan

Asbāb al-wurūd hadis tersebut adalah bahwa ketika itu di Madinah dan

penduduknya sedang terjangkit suatu wabah penyakit. Maka kebanyakan para sahabat

lalu melakukan shalat sunnah sambil duduk. Pada waktu itu, Nabi kebetulan datang

dan tahu bahwa mereka suka melakukan shalat sunnat tersebut sambil duduk. Maka

Nabi kemudian bersabda: ‖Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari

orang yang shalat dengan berdiri”. Mendengar pernyataan Nabi tersebut, akhirnya

para sahabat yang tidak sakit memilih shalat sunnat sambil berdiri.

Dari penjelasan asbāb al-wurūd tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan ―shalat‖ dalam hadis itu adalah shalat sunnat. Pengertiannya

adalah bahwa bagi orang yang sesungguhnya mampu melakukan shalat sunat sambil

berdiri, namun ia memilih shalat sunnat sambil duduk, maka ia akan mendapatkan

pahala separuh dari orang yang shalat sunnat dengan berdiri.

Dengan demikian, apabila seseorang memang tidak mampu melakukan

shalat sambil berdiri, baik shalat fardhu atau shalat sunnat, lalu ia memilih shalat

dengan duduk, maka ia tidak termasuk orang yang disebut-sebut dalam hadis tersebut.

Maka pahala orang itu tetap penuh bukan separuh, sebab ia termasuk golongan orang

yang memang boleh melakukan rukhṣah atau keringan syari‘at. Lihat Said Agil Husin

al-Munawar, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historuis-Kontekstual

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 14-15. 426

Ali Mustafa Ya‘qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 32. 427

Ali Mustafa Ya‘qub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2006), 152. Sementara itu, tokoh-tokoh mazhab lain berpendapat adanya kebutuhan

akan langkah penafsiran antara tradisi dan penerapan hukumnya. Imam al-Shafi‘ī

(204 H) misalnya, walaupun ia cenderung tekstualis, akan tetapi dia masih mentolerir

dinamika penakwilan terhadap hadis-hadis yang memang berpotensi pada pemaknaan

yang lebih dari satu. Selain itu, dua corak pemikiran al-Shafi‘ī, Qaul Qadim ketika ia

tinggal di Baghdad dan Qaul Jadīd ketika ia tinggal di Mesir menunjukkan bahwaia

sangat memperhartikan konteks secara serius. Adapun Abū Hanifah (150 H) lebih

dikenal sebagai tokoh madrasah ahl Ra‟y (aliran Rasional) walaupun ia juga seorang

ahli hadis, sehingga mazhab Hanafi seperti diutarakan Muḥammad al-Ghazalī lebih

dekat dengan rada keadilan dan protokol tentang hak asasi manusia. Berdasarkan

karakteristik setiap tokoh tersebut, Farūq Abū Zaid menyebut kelompok pertama

Page 226: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

226

tentang posibilitas pemahaman kontekstual antara Ali Mustafa Ya‘qub

dan tokoh-tokoh hadis kontemporer lain, namun mereka memiliki

pandangan yang sama tentang beberapa tema hadis-hadis yang harus

dipahami secara tekstual.428

Dalam pandangan Ali Mustafa Ya‘qub, pemahaman secara

kontekstual tidak bisa dinafikan sebagai sebuah aktifitas berfikir

(ijtihad) yang bersifat ―human construction‖. Adapun dalam melakukan

aktifitas itu ia tetap dituntut untuk menempuh metode yang disebut

sebagai aḥsan turūq al-tafsīr terlebih dahulu sebelum melakukan

penafsiran kontekstual, yaitu tafsir al-Qur‟an bi al-Qur‟an, kemudian

tafsir al-Qur‟an bi al-Sunnah. Ia mengingatkan bahwa tanpa memakai

metode seperti itu dikhawatirkan merupakan tindakan mendikte Allah,

karena hal itu tidak lebih dari sekedar pendapat pribadi.429

Dalam menyikapi pemahaman kontekstual, Ali Mustafa Ya‘qub

memiliki rumusan yang cukup sistematis. Menurutnya, apabila sebuah

hadis tidak dapat dipahami secara tekstual, maka harus dipahami secara

kontekstual, yaitu dipahami dengan melihat aspek-aspek di luar lafaz

(teks) itu sendiri, yang meliputi sebab-sebab turunnya hadis,430

lokal

dan temporal,431

kausalitas kalimat,432

dan sosio kultural.433

sebagai al-muḥafiẓun, sedang kelompok kedua sebagai al-mujaddidūn. Adapun pada

masa kontemporer ini, tradisi pemahaman tekstual dilanjutkan oleh Salafi. Lihat

Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, 33; Muhammad

Jamāl al-Dīn al-Qasimi, Qawāid al-Taḥdīth min Funūn Musṭalah al-Ḥadīth (Beirut:

Dār al-Kutub Ilmiyyah, t.t.), 305; Muhyi al-Dīn ibn Sharf al-Nawāwī, al-Majmū‟

(Beirut: Dār al-Fikr, 1996), 139; Muḥammad Musṭafa al-A‘zami, Hadis Nabawi dan

Sejarah Kodifikasinya, Penerjemah Ali Mustafa Ya‘qub (Jakarta: Pustaka Firdaus,

1994), 425; dan Muhammad al-Ghazalī, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW antara

Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung: Mizan, 1998), 32. 428

Tema-tema hadis tersebut dalam hal ini, yaitu perkara ghaib (al-Umur al-

Ghaibiyyah) dan Ibadah Murni (al-ibādah al-maḥḍah). Muḥammad Jamāl al-Dīn al-

Qasimi, Qawa‟id al-Taḥdīth min Funun Musṭalah al-Ḥadīth (Beirut: Dar al-Kutub al-

Ilmiyah, t.t), 269; dan Ali Mustafa Ya‘qub, Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2006), 21. 429

Ali Mustafa Ya‘qub, Islam Masa Kini (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006),

22. 430

Secara sederhana, asbāb al-wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab

yang melatar-belakangi turunnya hadis. Menurut Jalāl al-Dīn al-Suyuṭi (911 H),

asbāb al-wurūd berarti sesuatu yang menjadi ṭarīq (jalan) untuk menentukan maksud

suatu hadis yang bersifat umum dan khusus, muṭlaq atau muqayyad, dan untuk

menentukan ada atau tidaknya naskh dalam hadis itu. Sebab-sebab yang melatar-

belakangi munculnya hadis itu sendiri dapat berupa pertanyaan sahabat, peristiwa,

maupun keputusan Nabi terhadap persoalan yang terjadi antar sahabat. Ibnu Hamzah

Page 227: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

227

Studi Kamaruddin Amin berbeda dari kebanyakan studi

terdahulu yang ditulis sarjana Muslim tentang isu periwayatan hadis.

Studi-studi itu utamanya bertujuan menjustifikasi metode-metode yang

digunakan para sarjana Muslim terdahulu, mempertahankannya dari

kritik para sarjana Barat, dan menolak metode-metode dan kesimpulan-

kesimpulan mereka. Sebaliknya, Kamaruddin Amin mendekati isu itu

dengan banyak skeptisisme bahkan terhadap metode-metode tradisional

dan modern dari para sarjana Muslim sekalipun. Studinya juga

berseberangan dengan beberapa studi Barat tentang topik yang menolak

mentah-mentah metode-metode kritik hadis para sarjana muslim

sebagai naif dan tidak bisa dipercaya tanpa menelaah dan mengujinya

secara mendalam.434

Wacana yang paling fundamental dalam kajian hadis menurut

Kamaruddin Amin adalah persoalan otentisitas dan reliabilitas

metodologi otentifikasi hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas

peran hadis sebagai sumber otoritas kedua setelah al-Qur‘an, tidak

sepenuhnya berkaitan dengan resistensi mereka atas otoritas sunnah,

tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan metodologi yang

digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai dari metode

tersebut tidak steril dari kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah

bahkan hasil tersebut bisa menjadi collapse.435

Kamaruddin Amin tidak mengunggulkan metode Barat (method

of dating a particular hadith) atas metode kritik hadis (takhrīj al-

al-Husaini, Asbāb al-Wurūd; Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-

Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 27. 431

Pada dasarnya, pemahaman model ini hanya bertujuan untuk melihat

tempat dimana hadis itu disabdakan, sehingga penerapannya tepat. Misalnya hadis

yang disabdakan untuk masyarakat Madinah, bila dipahami secara tekstual belum

tentu tepat untuk diterapkan pada masyarakat Indonesia. Karenanya, kondisi seperti

ini menuntut adanya pemahaman secara kontekstual, sehingga makna hadis itu

menjadi tepat, kendati diterapkan pada wilayah berbeda. 432

Dalam memberi perintah atau larangan, Nabi SAW terkadang

menggunakan ungkapan-ungkapan yang maksudnya tidak dipahami secara konkrit

oleh setiap sahabat. Dari sekian banyak hadis, ada yang tidak dapat dipahami kecuali

melalui pendekatan kontekstual, yaitu pemahaman terhadap kausalitas kalimat. 433

Ali Mustafa Ya‘qub, Haji Pengabdi Syetan (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2006), 152. 434

Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis

(Jakarta: Mizan Publika, 2009), vi. 435

Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya

Pencarian Metodologi Alternatif, 1.

Page 228: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

228

hadīth) atau sebaliknya. Kedua metode tersebut memiliki kelebihan

masing masing yang perlu disinergikan untuk mencapai kesimpulan

tentang historisitas penyandaran hadis kepada Nabi, sahabat atau

tabi‘in. Oleh karena itu, penulis dengan penuh rendah hati ingin

menyarankan kepada Institusi perguan tinggi yang menjadikan hadis

sebagai salah satu substansi kajiannya, terutama program pascasarjana,

agar membuka diri demi pengembangan mutu akademis kedepan.

Bagaimanapun juga, metode kritik hadis baik yang dikembangkan di

dunia Islam maupun di Barat adalah hasil dari sebuah kerja intelektual

yang serius. Membiarkannya berlalu tak terakses di dunia Islam adalah

sebuah kelalaian akademis yang sangat disayangkan.436

Metode yang digunakan oleh para sarjana Muslim klasik untuk

menyandarkan sebuah hadis kepada Nabi tidak mendapat tantangan

signifikan dari sarjana Muslim modern. Memang terdapat sejumlah

sarjana modern yang mencoba menunjukkan resistensinya terhadap

Ulūm al-Hadīth, tetapi mereka gagal mendapatkan simpati mayoritas

sarjana muslim.

Kamaruddin Amin menjelaskan bahwa Informasi tentang nabi

yang terekam dalam buku-buku hadis laksana pecahan-pecahan kaca

yang harus direkonstruksi supaya dapat memantulkan berita-berita

akurat tentang nabi. Meskipun hadis-hadis tersebut telah diseleksi oleh

para kolektornya (misalnya al-Bukharī, Muslim, Tirmidhi, Ibn Majah,

Abū Dāud, Nasā‘ī dan lain-lain). Namun, kenyataan bahwa para

kolektor ini hidup pada abad ke tiga hijriah (dua ratus tahun lebih

setelah Nabi wafat), pertanyaan epistimologis muncul: sejauh mana

tingkat akurasi metodologi para kolektor ini dalam menyeleksi hadis-

hadisnya? Apakah metodologi mereka sama dengan metodologi yang

populer kita kenal dengan Ulūm al-Hadīth?

Al-Bukharī yang dikenal sebagai the man of hadith, misalnya,

tidak pernah menjelaskan metodologinya secara detail. Ulūm al-Hadīth

yang menurut mayoritas sarjana Islam sangat akurat menyimpan

sejumlah pertanyaan-pertanyaan epistimilogis yang tidak terjawab

secara empiris. Ulum al-hadis diterima dan dianggap sesuatu yang

taken for granted.

Kecenderungan sebagian diantara kita adalah menolak atau

menerima sebuah hadis tanpa meneliti historisitasnya. Apabila sebuah

hadis disebutkan dalam ṣaḥīḥ al-Bukhari atau Muslim, apalagi kalau

436

Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya

Pencarian Metodologi Alternatif, 1-10

Page 229: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

229

keduanya menyebutkannya, lebih-lebih lagi kalau disebutkan dalam

kutub al-sittah maka tidak diragukan lagi hadis tersebut menurut

mayoritas sarjana Islam, ṣaḥīḥ, sehingga analisis historis terhadapnya

tak lagi penting. Benarkah sikap seperti itu? Terdapatnya sebuah hadis

dalam sejumlah kitab-kitab hadis bukanlah jaminan akan

historisitasnya, karena boleh jadi hadis tersebut diriwayatkan secara

massive pada generasi tertentu (paroh kedua abad kedua dan seterusnya

sampai ke masa mukhārīj), tapi pada generasi sebelumnya (paroh

pertama abad kedua dan sebelumnya sampai masa Nabi) diriwayatkan

secara ahad (single strand). Singkatnya, semua hadis yang terekam

dalam kitab hadis harus tunduk pada kritik sejarah. Secara umum

literatur hadis kita memiliki karakter sebagai berikut: Nabi--satu

sahabat--satu tabi‘in--satu fulan-satu fulan--sejumlah perawi sampai ke

mukharīj (collector).

Terdapat sejumlah inkonsistensi metode kritik hadis. Ada gap

yang cukup menganga antara teori dan fakta, antara teori ilmu hadis

dengan keadaan objektif literatur hadis. Kalau teori ilmu hadis di

aplikasikan secara ketat, bisa jadi kualitas literatur hadis menurun

secara sangat signifikan. Contoh sederhana, teori ilmu hadis

mengajarkan kepada kita bahwa riwayat seorang mudallis tidak bisa

dijadikan hujjah apabila ia tidak berterus terang atau ia tidak

menyatakan secara tegas sumber informannya, misalnya dengan

mengatakan ‟an atau sejenisnya, kecuali kalau riwayat tersebut

dikuatkan oleh riwayat perawi lain yang thiqah. Mari kita menguji teori

ini secara praktis dalam literatur hadis dengan mengambil contoh kasus

Abū Zubair. Abū Zubair, seorang Tabiin yang di klaim oleh mayoritas

kritikus hadis sebagai mudallis.437

Dengan berpedoman pada teori

tersebut di atas maka semua hadis yang diriwayatkannya secara tidak

langsung (misalnya dengan menggunakan kata-kata ‟an dan sejenisnya)

tidak bisa dijadikan hujjah (dalil yang kuat), kecuali kalau ada hadis

lain yang menguatkannya. Dalam kitab-kitab hadis, kutub al-sittah,

misalnya, ditemukan ratusan hadis yang diriwatkan oleh Abū Zubair,

dimana dia tidak menjelaskan cara penerimaannya apakah langsung

dari informannya atau tidak. Dalam kutub al-sittah, Abū al-Zubair

meriwayatkan 360 hadis dari sahabat Jabīr ibn Abdullāh saja,438

belum

437

Al-Razi, al-Jarh wa al-tadīl, vol. 8. 75; Ibn Hajar, Tahdhib al-Tahdhib,

vol. 9, 441; 438

Kamaruddin Amin, ―The Reliability of Hadith Transmission, A

Reexamination of Hadith Critical Methods‖ (Disertasi: Bonn 2005), 1-20.

Page 230: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

230

termasuk hadis yang diriwayatkan Abū al-Zubair dari Sahabat lain.

Jumlah tersebut akan bertambah lagi apabila diteliti riwayat Abū al-

Zubair dalam kitab kitab hadis yang lain. Dari 360 hadis tersebut,

Muslim merekam 194, Abū Dāwud 83, Tirmidhi 52, al-Nasā‘ī 141 dan

Ibn Majah 78 hadis. Sebenarnya, jalur Abū Zubair – Jabir dalam kutub

al-sittah sebanyak 548, tapi beberapa diantaranya hadis yang berulang.

Dari 194 hadis riwayat Abū al-Zubair yang terdapat dalam Ṣaḥīḥ

Muslim, 125 diantaranya Abū Zubair menggunakan kata-kata „an dan

sejenisnya, hanya 69 hadis dimana ia menggunakan kata kata

haddathana dan sejenisnya. Menurut teori ilmu hadis, riwayat seperti

ini tidak bisa di jadikan hujjah. Kalau demikian halnya maka menurut

ilmu hadis, kita harus menolak ratusan hadis yang terdapat dalam kitab

hadis termasuk dalam Ṣaḥīḥ al-Bukharī dan Muslim.

Kasus yang sama juga terjadi pada perawi Hasan al-Basri. Oleh

mayoritas kritikus hadis, Hasan al-Basri dianggap sebagai mudallis.439

Meskipun ada juga yang memujinya sebagai fāqih dan muru‟ah, tapi ia

tetap diklaim telah melakukan tadlis.440

Terlepas dari apa yang

disampaikan oleh para kritikus hadis tentang tokoh ini, kemunculannya

sebagai perawi hadis yang begitu sering dalam kitab hadis

menjadikannya sebagai tokoh yang terlalu penting untuk diabaikan.

Dalam kutub al-sittah saja Ḥasan al-Basri meriwayatkan tidak kurang

dari 281 hadis. 43 hadis diantaranya terdapat dalam Ṣaḥīḥ al-Bukharī

dan Muslim (the most highly appreciated hadith collections). 31 hadis

terdapat dalam Ṣaḥīḥ al-Bukharī dan 12 terdapat dalam Ṣaḥīḥ Muslim.

441 Dari 31 hadis yang terdapat dalam Ṣaḥīḥ al-Bukharī, hanya

delapan kali Hasan al-Basari mengatakan haddathana dan sejenisnya,

yang oleh para kritikus hadis dianggap mendengarnya secara langsung

dari informantnya. Dalam 17 hadis, Hasan al-Basri ber ‟an‟ana, yang

oleh para kritikus hadis dianggap tidak menerimanya secara langsung.

Selebihnya, hadis Hasan al-Basri dalam Ṣaḥīḥ al-Bukharī adalah

mursal. Dalam Ṣaḥīḥ Muslim hanya dua kali Hasan al-Basri

mengatakan haddathana dari 12 hadis yang diriwayatkannya.

Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari data data ini? Dengan

439

Ibn Hajar al-Asqalanī memasukkannya dalam kelompok mudallis. Lihat

Ibn Hajar, Tabaqat al-mudallisin (Kairo, 1322), 8, 14. 440

Al-Mizzi, Tahdhib al-kamal, vol. 6, 109, 125; Ibn Sa‘d, Tabaqat, vol. 7,

161, 157. 441 Kamaruddin Amin, ―The Reliability of Hadith Transmission. A

Reexamination of Hadith Critical Methods‖ (Disertasi: Bonn 2005), 1-20.

Page 231: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

231

menerapkan teori ilmu hadis pada kasus Hasan al-Basri, maka 17 hadis

dalam al-Bukhari dan delapan hadis dalam Ṣaḥīḥ Muslim harus ditolak,

atau paling tidak kehujjahannya harus di ‖gantung‖ sampai ada hadis

lain yang thiqah yang dapat menguatkannya.

Di antara karakteristik pendekatan isnad cum matn analisis

adalah kualitas seorang perawi tidak hanya didasarkan pada komentar

ulama tentang perawi tersebut, komentar ulama tentangnya menjadi

sekunder. Kualitas perawi primarly ditentukan terutama oleh matn atau

teks dari perawi tersebut.442

Kondisi kesarjanaan di abad 21 dewasa ini, dimana para sarjana

pendahulu kita telah mewariskan karya-karya masterpiece yang sangat

berharga, telah mengedit karya-karya masa lalu, memungkinkan kita

untuk merekonstruksi sejarah nabi, sahabat tabiin dan generasi

setelahnya, mengetahui sumber berita yang sesungguhnya. Kondisi kita

dewasa ini jauh lebih bagus daripada kondisi al-Bukharī yang harus

mencari dan mengumpulkan kepingan informasi tentang Nabi dari

suatu tempat ketempat yang lain. Al-Bukharī telah meninggalkan

mutiara koleksi informasi.

Menurut Kamaruddin Amin, metode analisis isnad cum matn

yang mempelajari secara serius varian-varian isnad dan teks yang

berbeda dan juga hubungan-hubungannya, telah terbukti sebagai

sebuah alat penelitian efektif untuk merekonstruksi sejarah yang

memungkinkan kita untuk membedakan dalam beberapa kasus antara

riwayat yang sesungguhnya dan yang palsu. Dengan kata lain, dalam

meneliti transmisi ilmu pada masa awal Islam, analisis matan, yang

membandingkan varian-varian teks, tampaknya sama pentingnya

dengan analisis isnad, fokus sarjana Muslim dan beberapa sarjana

Barat. Analisis isnad saja tampaknya tidak cukup, karena ia dapat

442

Sejauh penelitian terhadap transmisi hadis, secara tradisi terdapat dua

kasus, yang pertama transmisi hadis dilaporkan secara lengkap atau yang disebut

dengan muttaṣil, dan laporan hadis yang tidak lengkap yang disebut dengan mursal.

Lihat Kamaruddin Amin, Problematika Ulumul Hadis, Sebuah Upaya Pencarian

Metodologi Alternatif, 6. Dan juga Moḥammad Sa‘id Mitwally Ibrāhīm al-Rahawan,

Detecting Textial Additions of Reliable Ḥadīth Transmitters, Journal Islamic Studies,

Vol. 49, No.3 (2010), 319. Published by Islamic Research Institute, International

Islamic University, Islamabad. http://www.jstor.org/stable/41480177. (Accessed:

27/01/2014).

Page 232: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

232

membawa kita kepada penyandaran dengan salah sebuah riwayat

kepada perawi tertentu.443

Demikianlah pemikiran pengkaji hadis di Indonesia, khususnya

Muhammad Syuhudi Ismail, Said Agil Husin al-Munawar, Ali Mustafa

Ya‘qub, dan Kamaruddin Amin yang pemikiran mereka berbeda

dengan pengkaji hadis lainnya, dan pemikiran mereka mengandung

unsur pembaharuan.

443

Kasus hadis Sa‘id ibn Mina dan Sa‘id al-Maqburī, yang secara salah telah

disandarkan kepada Sa‘id ibn Musayyāb oleh Musṭafā Muḥammad Azami, misalnya,

adalah sebuah contoh. Demikian juga, informasi yang termuat dalam literatur biografi

telah terbukti berkali-kali bermanfaat dan tepercaya. Penilaian kita pada perawi

tertentu, yang didasarkan pada analisis komparatif atas varian teks dan isnad, sering

berkesusaian dengan literatur biografis. Tetapi ini tidak berarti bahwa ketepercayaan

seorang perawi hanya dapat ditentukan secara pasti oleh para kritikus hadis klasik.

Lihat Rahardjo, M. Dawam. Perceptions of Culture in the Islamic Movement An

Indonesian Perspektive. Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 7 (1992),

248-273. http://www.jstor.org/stable/41056852. (Accessed: 20/04/2014). Kamaruddin

Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Mizan Publika,

2009), 481-482

Page 233: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

233

BAB VI

PENUTUP

C. Kesimpulan Kajian hadis yang berawal dari kajian sanad hadis, ulūm al-

ḥadīth, hingga metodologi pemahaman hadis menunjukkan adanya

pergeseran kajian hadis serta perkembangan pemahaman hadis dengan

pendekatan ilmiah, logika-deduktif, dan korelasi konteks sosio-historis-

psikologis di Indonesia. Dan hasil ijtihad para pengkaji hadis di

Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan

sosiokultural tempat ia tinggal, faktor politik yang dia dukung, latar

belakang bacaan, mazhab dan kecendrungan pemikiran yang ia anut,

serta lingkungan pendidikan.

Dari segi manhāj telah terjadi pergeseran yang cukup signifikan

di antara para pengkaji hadis. Hal ini disebabkan oleh situasi dan

kondisi lahirnya pemikiran terhadap karya yang ada. Perkembangan

penyusunan karya tentang studi hadis memiliki signifikansi perbedaan

yang cukup kuat. Artinya, dalam setiap periode memiliki karakteristik

tertentu yang masing-masing memiliki maksud dan tujuan yang tertentu

pula.

Pada awal perkembangan hadis di Indonesia kecenderungan

penelitiannya adalah penelitian sanad hadis dan kumpulan-kumpulan

hadis, kemudian penulisan karya hadis berkembang pada abad ke-19

sampai dengan abad ke-20 yaitu penelitiannya lebih banyak tentang

pembahasan ilmu hadis, karena tujuan penulisan hadis pada waktu itu

adalah untuk pendidikan hadis di perguruan tinggi dan di madrasah-

madrasah di Indonesia, sehingga penulisan hadis lebih banyak

mengenai ilmu hadis. Pada masa sekarang perkembangan hadis lebih

signifikan, hal ini terlihat dari beberapa karya tentang hadis yang ditulis

oleh pengkaji hadis di Indonesia, seperti Muhammad Syuhudi Ismail,

Said Agil Husin al-Munawar, Ali Mustafa Ya‘qub, dan Kamaruddin

Amin.

Di kalangan para ulama hadis, ditemukan dua kecenderungan

pemahaman terhadap kandungan hadis. Kedua kecenderungan tersebut

terpresentasi dalam dua kelompok yang cukup dominan di kalangan

umat Islam, yakni kelompok pertama hanya membatasi diri pada tradisi

Page 234: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

234

yang diperolehnya dari ulama klasik tanpa mempertimbangkan realitas

sosial. Sedangkan pemahaman kelompok kedua tidak membatasi pada

tradisi tersebut, tetapi mempertimbangkan konteks dan realitas sosial

yang berada di luar teks. Produk pemahaman hadis yang dihasilkan dari

kedua kelompok tersebut mencerminkan dua tipologi pemahaman,

yakni pemahaman tekstual/literal, dan pemahaman konstekstual.

Pengkaji hadis di Indonesia berusaha untuk merekonstruksi

metodologi kajian hadis sehingga hadis Nabi Muhammad SAW dapat

diterima pada masa sekarang khususnya oleh masyarakat Indonesia.

Seperti pemakaian pendekatan ilmiah, hermeneutik, sosiologi,

antropologi, dan juga metode isnad cum matn dalam penelitian hadis,

menunjukkan adanya perkembangan dan pergeseran kajian hadis di

Indonesia pada masa sekarang.

Demikianlah penjelasan dan uraian tentang biografi, karya,

genealogi dan pemikiran hadis dari empat orang pengkaji hadis di

Indonesia, yang mengandung unsur pembaharuan dalam pemikiran

mereka tentang hadis.

D. Saran

Pengkajian hadis di Indonesia diharapkan akan menemukan

momentumnya dengan ditunjang oleh metodologi pembelajaran yang

baik dan benar. Metode pemahaman hadis yang dipakai oleh ulama

terdahulu mempunyai kekurangan yaitu belum bisa menjawab

permasalahan kekinian, hadis tidak hanya dipahami dengan pendekatan

tekstual dan kontekstual saja, akan tetapi hadis harus dipahami dari

berbagai dimensi. Di samping itu juga harus diperhatikan situasi dan

kondisi kejadiannya, sering Nabi SAW mengeluarkan sabdanya dengan

memperhatikan keadaan yang Nabi hadapi. Nabi SAW menemukan hal

yang sangat berpadanan dengan keadaan orang yang beliau hadapi itu.

Kepada seorang yang menanyakan tentang perbuatan terbaik dan

disukai Tuhan, Nabi menjawab sesuai dengan keadaan pada waktu dan

siapa yang bertanya, sehingga hadis tidak hanya dipahami berupa

memakai baju gamis pendek dan janggut yang lebat akan tetapi

memahami substansi hadis yang menjadikan kita mempunyai akal yang

cerdas, hati yang lebih tulus, akhlak yang lebih bersih, fitrah yang lebih

sehat dan perilaku yang lebih bijaksana.

Penulis menyadari bahwa di balik celah-celah tulisan ini pasti

ditemukan kesalahan dan kekeliruan, maka penulis sangat

Page 235: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

235

mengharapkan sumbangan dari para pembaca, baik berupa kritik atau

saran yang konstruktif. Hal ini dimaksudkan demi kesempurnaan

penelitian ini di masa mendatang.

Page 236: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

236

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku:

‗Abd Al-Bāqī, Muhammad Fuād. Al-Lu‟lu‟ wa al-Marjān. Beirut: Dār

al-Fikri, t.t.

Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim. Metodologi Penelitian Agama:

Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.

Abū Zahwu, Muhammad. al-Ḥadīth wa al-Muḥaddithun. Mesir:

Syirkah Misyriyyah, t.th.

Abū Shuhbah, Muḥammad Muḥammad. Kitab Ṣaḥīḥ Yang Enam,

Terjemahan Maulana, 1991.

Al-Adhabi, Salahuddin Ibn Ahmad. Metodologi Kritik Matan Hadis

(terj. H.M.QadirunNur). Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.

_________. Manhāj Naqd al-Matan „inda „Ulamā al-Ḥadīth al-

Nabawi. Beirut: Dār al-Afaq al-Jadīdah, t.t.

Ahmad, Arifudin. ―Pembaharuan Pemikiran Tentang Hadis Nabi

Muhammad SAW di Indonesia (Studi atas Pemikiran Muhammad

Syuhudi Ismail)‖. Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah, 2000.

Ali, Nizar. Hadis Versus Sains (Memahami Hadis-hadis Musykil).

Yogyakarta: Teras, 2008.

Arkoun, Mohammed. Rethinking Islam: Common Questions,

Uncommon Answers. Colorado: Westview Press, Inc., 1994.

Al-Asqalanī, Aḥmad ibn Alī ibn Hajar. Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-

Bukharī. Beirut: Dār al-Fikr, t.th.

Al-A‘zami, Muḥammad Musṭafa. Hadis Nabawi dan Sejarah

Kodifikasinya, Penerjemah Ali Musthafa Ya‘qub. Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1994.

Page 237: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

237

Azra, Azyumardi. Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam.

Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.

__________. Historiografi Islam Kontemporer. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2002.

__________. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan, 1994.

Azami, M.M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2000.

Bower, T.G.R. Human Development. USA: W.H. Freeman and

Company, 1979.

Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern.

Bandung: Mizan, 1996.

Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat.

Bandung: Mizan, 1995.

Al-Bukhārī, Abū Abdillāh bin Ismā‘īl. Ṣahīh al-Bukhārī. Beirut: Dār

ibn Katsir.

__________. Abū ‗Abdullāh Muhammad ibn Ismā‘il. al-Jami‟ al-Ṣaḥíḥ

al-Mukhtaṣar min Umur Rasulullah SAW wa Sunanih wa

Ayyamih. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Cervone, Daniel. Kepribadian Teori dan Penelitian. Jakarta: Salemba

Humanika, 2011.

Chaer, Abdul. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Putra,

2003.

_________. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta,

1995.

Collingwood, R.G. The Idea of History. Oxford: Oxford University

Press, 1956.

Page 238: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

238

Danarto, Agung. Kajian Hadis di Indonesia Tahun 1900-1945 (Telaah

terhadap Pemikiran Beberapa Ulama tentang Hadis).

Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000.

Djuned, Daniel. Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis. Aceh: Citra Karya,

2002.

Fathullah, Ahmad Lutfi. Pahala dan Keutamaan Haji, Umrah, Ziarah

dalam Hadis-Hadis Rasulullah SAW. Jakarta: al-Mughni Press,

2006.

___________. Membaca Pesan-Pesan Nabi dalam Pantun Betawi.

Jakarta: Mughni Press, 2008.

Fazlurrahman. Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyuddin.

Bandung: Pustaka, 1984.

Federspiel, Howard M. The Usage of Traditions of the Prophet in

Contemporary Indonesia. Arizona State University, 1993.

Friedman, Howard S. Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern.

Jakarta: Erlangga, 2008.

Geertz. The Religion of Java. New York: The Free Press of Glencoe,

1960.

Al-Ghazali, Muhammad. Studi Kritik atas Hadis Nabi SAW. Antara

Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Judul Asli: Al-Sunnat al-

Nabawiyyat; Baina Ahl al-Fiqh wa al-Hadîth, Penerjemah:

Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1993.

Gottschalk, Louis. Understanding History: A Premier of Historical

Method. New York: Alfred A. Knopf, 1964.

Green, Arnold W. Sociology an Analysis of Life in Modern Society.

New York: Toroto 1960.

Page 239: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

239

Al-Jurjanī, Al-Sayyīd al-Ṣarīf ‗Alī ibn Muḥammad ibn Alī al-Sayyīd

al-Zain Abū al-Ḥasan al-Ḥusainī al-Ḥanafī. al-Ta‟rīfāt. Mesir:

Musṭafá al-Bābī al-Halabī wa Shurakahu, 1938.

Hamka. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Pustaka Nasional, 2005.

Harun, Daud Rasyid. Juhud „Ulama. Jakarta: Pustazet, 1988.

Hasyimi, Ahmad. Jawahir al-Balaghah. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian

Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996.

Al-Husaini, Ibnu Hamzah ad-Dimashqi. al-Bayan wa at-Ta‟rif fi

Asbābī Wurudi al-Ḥadīth al-sharif, Jilid 1. Beirut: Dar al-

Thaqafah al-Islamiyyah, t.th.

__________. Asbab al-Wurud; Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan

Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Ibn Hanbal, Abū ‗Abdullāh Ahmad. Musnad Aḥmad ibn Hanbal.

Beirut: al-Maktab al-Islami, 1979.

Idris, Abdul Fatah. Hadis Hadis Prediktif dan Teknis (Studi Pemikiran

Fazlur Rahman). Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012.

Ilyas, Yunahar dan M. Mas‘udi. Pengembangan Pemikiran Terhadap

Hadis. Yogyakarta: LPPI, 1996.

Al-Iskandari, Ahmad dan Musthafa ‗Anani. al-Washit fi Adab al-Arabi

wa Tarikhihi. Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1916.

Ismail, Muhammad Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan

Kontekstual: Telaah Ma‟ānī al-Hadith tentang Ajaran Islam yang

Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

__________. Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan

Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Page 240: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

240

__________. Sumber Daya Manusia dalam Pembangunan menurut

Perspektif Islam. Ujungpandang: Badan Pengurus Pusat KKN

IAIN Alauddin Ujungpandang, 1992.

‗Itr, Nūr al-Dīn. Manhāj al-Naqd fī „Ulūm al-Hadīth. Damsyiq: Dar al-

Fikr, 1979.

Jensen, Eric. Memperkaya Otak: Memaksimalkan Potensi Setiap

Pembelajar. Jakarta: Macanan Jaya Cemerlang, 2008.

Al-Khatib, Muḥammad ‗Ajjaj. Ushūl al-Hadīth „Ulūmuhu wa

Musṭalaḥuhu. Beirut: Dār al-Fikr, 1989. Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern dalam Sunnah Pendekatan

Ilmu Hadis. Jakarta: Prenada Media Group, 2011.

Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana,

2006.

_________. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Jogja,

2003.

Lubis, Akhyar Yusuf. Epistemologi Fundasional Isu-Isu Teori

Pengetahuan, Filsafat Ilmu Pengetahuan, dan Metodologi.

Bogor: Akademia, 2009

M.C, Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi

Ilmu Semesta, 2005.

Maḥmūd, Abd al-Ḥalīm. al-Sunnah fī Makānatihā wa fī Tarīkhinā.

Keiro: Dar al-Kutub al-Arabī, 1967.

M, Buchari. Metode Pemahaman Hadis (Sebuah Kajian Hermeneutik).

Jakarta: Nuansa Madani, 1999.

Masrur, Ali. Teori Common Link G.H.A. Juynboll. Yogyakarta: LKiS

Pelangi Aksara, 2007.

Menno, S. Antopologi Perkotaan. Jakarta: Rajawali, 1992.

Page 241: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

241

Metcalf, Barbara D. Living Hadith in the Tablighi Jama‘at, The Journal

of Asian Studies, Vol. 52, No.3 (1993), 605.

http://www.jstor.org/stable/2058855. (Accessed: 20/04/2014).

Al-Miṣrī, Jamāl al-Dīn Muḥammad Ibn Mukarram Ibn Manẓūr al-

Afriqī. Lisān al-„Arab. Beirut: Dār Fikr, 1990.

Al-Mubarakfurī, Abū Alī Muḥammad ‗Abd al-Raḥmān ibn Abd al-

Raḥīm. Muqaddimah Tuḥfat al-Ahwādhi. Beirut: Dar al-fikr,

1979.

Muhajirin. Transmisi Hadis di Nusantara. Jakarta: UIN Syarif

Hidayatullah, 2009.

Mujiyo. ―Syarah Hadis dalam Tradisi Keilmuan Islam: Genealogi dan

Metodologi‖. Disertasi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Al-Munawar, Said Agil, Peranan al-Qawaid al-Fiqhiyah dalam

Instinbath Hukum Islam dan Aplikasinya terhadap Masalah-

Masalah Kontemporer. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2001.

___________. Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-

Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

___________. al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.

Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

Al-Najjar, Zaghlul Raghin. Buku Pintar Sains dalam Hadis Mengerti

Mukjizat Ilmiah Sabda Rasulullah. Jakarta: zaman, 2013.

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,

1975.

__________.Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia, 1972.

__________.Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press, 1986.

Page 242: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

242

Al-Nawāwī, Muhyi al-Dīn ibn Sharf. al-Majmu‟. Beirut: Dar al-Fikr,

1996.

Itr, Nuruddin. Ulūm al-Ḥadīth. Bandung: Rosda Karya, 1994.

Piaget, Jean. Strukturalisme, penerjemah Hermoyo, judul asli ―Le

Structuralisme‖. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995

Poespoprodjo, W. Hermeneutika. Bandung: PustakaSetia, 2004.

Polama, Margaret M. Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: Rajawali,

t.th.

Al-Qaraḍawi, Yusūf. Kaifa Nata‟amal ma‟a al-Sunnah al-Nabawiyyah.

Kairo: Dār al-Shuruq, 2006.

______________. al-Khaṣāiṣ al-„Ammah lil Islam. Keiro: Dar al-

Ma‘rifah, t.t.

Al-Qasimī, Muhammad Jamal al-Dīn. Qawaid al-Taḥdith min Funun

Musṭalah al-Ḥadīth. Beirut: Dār al-Kutub Ilmiyyah, t.t.

Al-Qasimī, Abdullāh ibn Alī al-Najdī. Mushkilāt al-Ahādīth al-

Nabawiyyah wa Bayānuhā. Lebanon: Dār al-Qalam, 1985.

R, Roolvink. Encyclopedia of Islam. Leiden: E. J. Brill, t.th.

Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: Pustaka, 1984.

Ratna, Nyoman Kutha. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta:

Pustaka Belajar, 2007.

Rodliyana, Muhammad Dede. ―Pergeseran Pemikiran ‗Ulum al-Hadith

dan Pengaruhnya Terhadap Pemikiran ‗Ulum al-Hadith di

Indonesia‖. Tesis: UIN Syarif Hidayatullah, 2003.

Rosenthal, Franz. A History of Muslim Historiography. Leiden: E.J

Brill, 1968.

Page 243: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

243

Sadulloh, Uyoh. Pedagogik. Bandung: Cipta Utama, 2007.

Safri, Edi. al-Imam al-Shafi‟ī; Metode PenyelesaianHadis-Hadis

Mukhtalif. Padang: IAIN IB Press, 1999.

Saefuddin, Didin. Pemikiran Modern dan Postmodern Islam: Biografi

Intelektual 17 Tokoh. Jakarta: Grasindo, 2003.

Saifuddin. Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Shaliba, Jamil. Al-Mu‟jam al-Falsafi. Beirut: Dār al-Kitab al-Lubnānī,

1973.

Al-Shiddiqi, Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta: Bulan

Bintang, 1976.

___________. Sejarah Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Al-Sibā‘ī, Musthafa. al-Sunnah al-Nabawiyyah wa Makanatuha fī al-

Tasyri‟ al-Islāmī. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1976.

Sjarkawi. Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral Intelektual,

Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati

Diri. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Soebahar, Erfan, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah. Jakarta:

Prenada Media, 2003.

Suryabrata, Sumadi. Psikologi Kepribadian. Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 1998.

Al-Suyuṭi, Jalaluddin. Kitabal-Iqtirakh fī „Ilmi „Uṣulin Nakhwi. Da‘irah

al-Ma‘arif al-Utsmaniyah, t.th.

__________. Lubāb an-Nuqul dalam Hasyiah Tafsir al-Jalalain.

Semarang: Maktabah Usaha Keluarga,t.th.

Page 244: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

244

Syaltut, Mahmud. Al-Islam „Aqidah wa Syari‟ah. Kairo: Dār al-Qalam,

1996.

Al-Shaukanī. Muḥammad ibn Alī ibn Muḥammad. Nail al-Auṭor.Kairo:

Musṭafa Babī al-Halabī, t.th.

Ṭahan, Maḥmud. Taisir Musṭalah al-Ḥadīth. Keiro: Dār al-Fikr, t.th.

Wahid, Abdul. Hadis Nabi dan Problematika Masa Kini. Yogyakarta:

AK Group.

Watt, Montgomery. Islamic Fondamentalism and Modernity. London:

Routledge, 1988.

Wibowo,Wahyu. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia, 2001.

Ya‘qub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1997.

__________. Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur‟an dan Hadis.

Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

__________. Kritik Hadis .Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.

__________. Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat dan

Kosmetika dalam Perspektif al-Qur‟an dan Hadis. Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2009.

__________. Haji Pengabdi Setan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006

__________. Islam Masa Kini. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006.

Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Zaidan, Jurji. Tarikh Adabil Lughah al-Arabiyah. Beirut: Dār a-Fikr,

1996.

Zuhaili, Wahbah. al-Qur‟an al-Karim wa Bunyatuhu at-Tasyri‟iyyah

wa Khadhariyyah. Beirut:Dar al-Fikr, 1993.

Page 245: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

245

Jurnal-Jurnal

Amin, Kamaruddin. Nasiruddin al-Albani on Muslim‘s Ṣahih: A

Critical Study of His Method, Journal Islamic Law and Society,

Vol. 11, No.2, 151. http://www.jstor.org/stable/3399302.

(Accessed: 27/01/2014).

Anwar, Syamsul. Fatwa, Purification and Dynamization: A Study of

Tarjih in Muhammadiyah. Journal Islamic Law and Society, Vol.

12 (2005). http://www.jstor.org/stable/3399291. (Accessed:

20/04/2014).

Baljon, J.M.S. Pakistani Views of Hadith. Journal Die Welt des Islams,

Vol 5, (2008). http://www.jstor.org/stable/1570195. (Accessed:

20/04/2014).

Blackburn, Susan. Indonesian Women and Political Islam. Journal of

Southeast Asian Studies, Vol 39 (2008).

http://www.jstor.org/stable.20071871. (Accessed: 20/04/2014).

Brown, Jonathan A. C. How We Know Early Hadith Critics Did Matn

Criticism and Why It‘s so Hard to Find. Journal Islamic Law and

Society, Vol. 15 (2008). http://www.jstor.org/stable/40377959.

(Accessed: 20/04/2014).

Duderija, Adis. Toward Methodology of Understanding the Nature and

Scope of the Concept of Sunnah. Journal Arab Law Quarterly,

Vol. 21 (2007). http://www.jstor.org/stable/27650590. (Accessed:

20/04/2014).

Federspiel, Howard. ―Hadith‖ Literature in Twentieth Century

Indonesia. Journal Oriente Moderno, (2002).

http://www.jstor.org/stable/25817815. (Accessed: 14/05/2014).

Feener, R. Michael.Indonesian Movements for the Creation of a

'National Madhhab'. Journal ofIslamic Law and Society, Vol. 9,

No. 1 (2002), 83-115,http://www.jstor.org/stable/3399202

.(Accessed: March 16, 2012).

Page 246: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

246

Gabrieli, Fransesco. Arabic Historiography. Journal Islamic Studies,

Vol. 18. (1979). http://jstor.org/stable/20847098. (Accessed:

20/04/2014).

Gleave, Robert. Between Ḥadīth and Fiqh: The "Canonical" Imāmī

Collections of Akhbār. Journal of Islamic Law and Society, Vol.

8, No. 3 (2001), 350-382, http://www.jstor.org/stable/3399449.

(Accessed: March 14, 2012).

Haasse, Michaela. Differences between Synchronic and Idealized

Diachronic Theory-Elements: A Reply to MarttiKuokkanen and

TimoTuomivaara, Journal for General Philosophy of Science,

Vol. 28, No. 2 (1997), pp. 359-366.

http://www.jstor.org/stable/25171097 (Accessed April 27, 2013).

Halaq, Wael B. The Authenticity of Prophetic Hadith: A Pseudo-

Problem, Journal Studia Islamica, No.89 (1999), 75.

http://www.jstor.org/stable/1596086. (Accessed: 20/04/2014).

Hasan, Ahmad. The Sunnah-Its Early Concept and Development,

Journal Islamic Studies, Vol. 7, No.1, (1968), 47. Published by

Islamic Research Institute, International Islamic University,

Islamabad. http://www.jstor.org/stable/20832904. (Accessed:

27/01/2014).

Juynboll, G.H.A. Hadith in Modern Islam by Roberto Tottoli: Claudio

Lo Jacono. The Journal Islamic Law and Society, Vol.11 (2004).

http://www.jstor.org/stable/3399385. (Accessed: 20/04/2014).

Khan, Bashir Ahmad. The Ahl-i-Hadith: A Socio-Religious Reform

Movemet in Kashir, Journal The Muslim World, (2000), 133.

Published by University of Kashmir Department of History

Srinagar, Kashmir. http://www.proquest.org. (Accessed:

03/02/2014).

Hasan, Ahmad. The Sunnah-its Early Concept and Development,

Journal Islamic Studies, Vol.7. No. 1, 50. Islamic Research

Page 247: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

247

Institute, International Islamic University, Islamabad.

http://www.jstor.org/stable/20832904. (Accessed 27/01/2014).

Lenz, Claudia. Genealogy and Archeology: Analyzing Generational

Positioning in Historical Narratives, Journal of Comparative

Family Studies, 2001, http://proquest.org.(Accesed: 3/10/2014).

Lukens-Bull, Ronald A. Two Sides of the Same Coin: Modernity and

Tradition in Islamic Education in Indonesia, Journal

Anthropology dan Education Quarterly, Vol. 32, No.3 (2001),

353. http://www.jstor.org/stable/3195992. (Accessed:

20/04/2014).

Mas‘ud, Muhammad Khalid, “Hadith and Violence‖, Istituto per

l‟OrienteJournal of Hadith in Modern Islam 21 (2002), 5-18,

http://www.jstor.org/stable/25817809, (Accessed March 16,

2012).

Melchert, Cristhoper. The Development of Early Sunnite Hadith

Criticism. The Taqdima of Ibn Aabi Hatim al-Razi (240/854-

327/938). http://www.jstor.org/stable/3399254. (Accessed:

20/04/2014).

Metcalf, Barbara D. Living Hadith in the Tablighi Jama‘at. The Journal

of Asian Stuies, Vol. 52 (1993). http://www.jstor.org/stable/

2058855. (Accessed: 20/04/2014).

Nafi, Basheer M. A Teacher of Ibn ‗Abd al-Wahhab: Muhammad

Hayat al-Sindi and the Revival of Ahab al-Hadith‘s

Methodology. Journal Islamic Law and Society, Vol. 13 (2006)

http://www.jstor.org/stable/40377907. (Accessed: 20/04/2014).

Ozkan, Halit. The Common Link and Its Relation The Madar, Journal

Islamic Law and Society, Vol.11, No.1 (2004), 42.

http://www.jstor.org/stable/3399380. (Accessed: 27/01/2014).

Parkin, Robert J. Genealogy and Category: An Operational View, The

Journal of Ehess, No. 139 (1996), 87-108,

http://www.jstor.org/stable/25156776, (Accessed April 25, 2013).

Page 248: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

248

Rafiqi, Khairul. Studi Perkembangan Ilmu Hadis di Indonesia, KMA

Journal of Hadith, (2012). http://kmamesir.org. (Accessed: Mei

11, 2013).

Rahardjo, M. Dawam. Perceptions of Culture in the Islamic Movement

An Indonesian Perspektive. Journal of Social Issues in Southeast

Asia, Vol. 7 (1992). http://www.jstor.org/stable/41056852.

(Accessed: 20/04/2014).

Al-Rahawan, Mohammad Sa‘id Mitwally Ibrahim. Detecting Textial

Additions of Reliable Hadith Transmitters, Journal Islamic

Studies, Vol. 49, No.3 (2010), 319. Published by Islamic

Research Institute, International Islamic University, Islamabad.

http://www.jstor.org/stable/41480177. (Accessed: 27/01/2014).

Rodliyana, Muhammad Dede. Hegemoni Fiqh Terhadap Penulisan

Kitab Hadith. Journal Qur‟an dan Hadith Studies Vol I, No.I,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Sayeed, Asma. Women and Hadith Transmission Two Case Studies

From Mamluk Damascus, Journal Studia Ismlamica, No. 95

(2002), 71. http://www.jstor.org/stable/1596142. (Accessed:

20/04/2014).

Shaukat, Jamila. The Isnad in Hadith Literature, Journal Islamic

Studies, Vol.24, No.4 (1985), 445. Published by Islamic Research

Institute, International Islamic University, Islamabad.

http://www.jstor.org/stable/20839742. (Accessed: 27/01/2014).

Spectorsky, Susan. Hadith and Fiqh. The Journal Islamic Law and

Society, Vol. 8 (2001). http://www.jstor.org/stable/3399447.

(Accessed: 20/04/2014).

Voll, John O. ‗Abdallah ibn Salim al-Basri and 18th Century Hadith

Scholarship. Journal Die Welt des Islams, Vol. 42 (2002).

http://www.jstor.org/stable/1571419. (accessed: 20/04/2014).

Page 249: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

249

Wahid, Ramli Abdul. Perkembangan Kajian Hadis di Indonesia.

Accademy of Islamic Studies University of Malaya Journal of al-

Qur‟an and Hadith, Vol 4 (2006), 63-78.

http://www.albayanjournal.com. (Accessed: Mei 11, 2013).

Wieringa, Saskia Elenora. Islamization in Indonesia: Women Activists‘

Discourses, Journal Sign, Vol. 32, No.1, (2006), 1. Published by

The University of Chicago Press.

http://www.jstor.org/stable/10.1086/505274. (Accessed:

20/04/2014).

Woodward, Mark R. Textual Exegesis as Social Commentary:

Religious, Social, and Political Meanings of Indonesian

Translations of Arabic Hadith Texts. The Journal of Asian

Studies, Vol. 52, No. 3 (1993), 565-583,

http://www.jstor.org/stable/2058854. (Accessed March 16, 2012).

Zaman, Muhammad Qasim. Maghazi and the Muhaddithun:

Reconsidering the Treatment of ―Historical‖ Materials in Early

Collection of Hadith. Journal of Middle East Studies, Vol. 28,

No.1 (1996), http://www.jstor.org/stable/176112. (Accessed:

20/04/2014).

Page 250: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

250

GLOSARIUM

Asbāb al-Wurūd : Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW

menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi SAW

menuturkannya.

Baṭīl (Hadis) : Hadis yang tidak ada sumbernya sama sekali.

Bayan : Penjelasan fungsi hadis terhadap al-Qur‘an sebagai

mubayyin yang sekurang-kurangnya memilki tiga

fungsi; yaitu bayan taqrīr atau ta‟kīd, bayan tafsīr

atau tafṣil dan bayan tashrī‟.

Ḍabiṭ : Perawi yang kuat hafalannya terhadap apa yang

telah didengarnya, kemudian mampu

menyampaikan atau mereporduksi hafalan tersebut

kepada orang lain kapan saja jika diperlukan

Ḍa’īf : Hadis yang hilang syarat-syaratnya, atau salah satu

syaratnya dari hadits ṣaḥīḥ atau hasan.

Development : Bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur

dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola

yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari

proses pematangan. Perkembangan menyangkut

adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh,

jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang

berkembang sedemikian rupa sehingga masing-

masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk

perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku

sebagai hasil interaksi dengan lingkungan.

Dirayah : Sama artinya dengan ilmu Musṭalah al-Ḥadīth, ilmu

Uṣūl al-Fiqh dan Ulūm al-Ḥadīth yaitu suatu ilmu

pengethuan atau kaidah-kaidah untuk mengetahui

maqbūl dan mardūd suatu hadis.

Page 251: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

251

Gharīb : menurut bahasa adalah orang yang menyendiri,

mengasingkan diri, atau orang yang jauh dari sanak

keluarganya. Menurut istilah muḥaddithin, yang

dimaksud dengan hadis gharib adalah hadis yang

rawinya menyendiri dengannya baik menyendiri

karena jauh dari seorang imam yang telah disepakati

hadisnya maupun menyendiri karena jauh dari rawi

lain, yang bukan imam sekalipun.

Hadis : Apa saja yang disandarkan kepada Nabi Muhammad

SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, dan

ketetapannya.

Ḥadīth mukhtalif : Ḥadīth ṣaḥīḥ atau Ḥadīth ḥasan yang secara lahiriyahnya

tampak saling bertentangan dengan Ḥadīth ṣaḥīḥ atau

Ḥadīth ḥasan lainnya. Namun, makna yang sebenarnya

atau maksud yang dituju oleh Ḥadīth tersebut tidaklah

bertentangan karena satu dengan yang lainnya dapat

dikompromikan atau dicari jalan penyelesaiannya dalam

bentuk nasakh atau tarjīh.

Hermeneutik : Sebuah ilmu dan seni membangun makna melalui

interpretasi rasional dan imajinatif dari bahan baku

berupa teks.

Historical Narative: Salah satu referensi dari referensi sistem dari

sesuatu yang dapat dibaca dan direkonstruksi

struktur dan genealogi maknanya mengenai

pengaruh kebudayaan.

Ijazah : Salah satu cara periwayatan dan penerimaan hadis,

dengan cara seorang guru memberikan izin kepada

muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab

daripadanya

’Illat : Suatu cacat dalam hadis, yang berakibat hadis

tersebut ditolak, seperti menyebut muttaṣil terhadap

hadis yang sebenarnya munqaṭī‟

Jarh : Cacat para perawi yang disebabkan oleh sesuatu

yang merusak nilai keadilan dan ke-ḍabiṭ-annya.

Page 252: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

252

Ilmu al-jarh artinya ialah ilmu yang membahas

tentang kecacatan para perawi

Liqa’ : Pertemuan seorang guru atau perawi hadits dengan

murid atau penerimanya, ketika meriwayatkan suatu

hadits. bukti kejadian terjadinya pertemuan ini

merupakan syarat yang diajukan oleh Bukhari untuk

menilai hadis itu bersambung atau tidak

Ma’mūl bih : Hadis ṣaḥīḥ yang dapat diamalkan

Maqbūl : Hadis yang dapat diterima kehujjahannya, yakni

hadis yang memenuhi syarat-syarat ṣaḥīḥ.

Maqlub : Hadis yang tertukar datanya, baik pada redaksi

matan maupun nama sanad-nya

Matan : Lafaz-lafaz hadis yang meliputi perkataan,

perbuatan dan taqrīr serta hal ihwal yang

disandarkan kepada Rasul SAW

Mauḍū’ : Hadis palsu

Mayor : Kaidah ke-ṣaḥīḥ-an sanad hadis yang lima, sesuai

dengan yang dipakai oleh ulama ahli hadis

Muhaddīth : Gelar untuk ulama yang menguasai hadis baik dari

sudut ilmu riwayah maupun dirayah-nya

Mukhtalīf : Hadis-hadis yang semula tampak bertentangan

al-Ḥadīth tetapi kemudian dapat dikompromikan.

Modernist : Tipe pola gerakan yang menamakan dirinya

scripturalism kelompok modern.

Rasionalisme : Faham yang mengedepankan logika. Istilah ini

dipakai untuk beberapa pengertian: (a). Faham yang

berpandangan bahwa segala yang ada mempunyai

sebab keberadaannya. Dalam arti, bahwa tidak ada

sesuatu yang terjadi di alam ini melainkan pasti ada

Page 253: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

253

alasan penciptaannya secara rasional. Rasionalisme

menurut sebagian ‗ulama agama ialah faham yang

mengatakan bahwa kepercayaan imani sesuai

dengan hukum-hukum akal.

Rawi : Orang yang meriwayatkan, menyampaikan atau

memberitakan hadis.

Riwayah : Ilmu pengethuan yang mencakup segala yang

disandarkan kepada Rasul SAW, baik berupa

perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau

Restriction of : Pola pemikiran keagamaan tradisional yang

traditionalist sempit. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh

tradisi ulama masa lampau, dimana hasil pemikiran

ulama terdahulu dijadikan acuan dan sekaligus

referensi bagi setiap persoalan kemasyarakatan yang

muncul pada saat sekarang. Pola pemikiran yang

demikian ini biasanya diikuti oleh komunitas

masyarakat tradisional yang membanggakan tradisi,

seperti kelompok pengikut pola bermazhab dalam

keagamaan.

Sanad : Sandaran hadis, yang menghubungkan antara perawi

kepada sumber hadis

Shuzuz : Kejanggalan pada hadis karena matan-nya

bertentangan dengan hadis ṣaḥīḥ yang kualitasnya

lebih tinggi

Takhrīj : petunjuk tentang tempat atau letak hadis pada

sumber aslinya, dengan menyebutkan sanad-nya,

kemudian dijelaskan kualitas hadis tersebut

manakala diperlukan

Page 254: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

254

INDEKS

A

Abū Ṣuhbah, 8, 9 Al-Bukharī, 14, 60, 125, 159 Ali Mustafa Ya‘qub, 7, 8, 12, 14,

15, 18, 24, 26, 35, 51, 58, 61, 62, 91, 99, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 127, 131, 133, 141, 142, 145, 146, 149, 161, 181, 182, 183, 184, 200, 223

Al-Nawawī, 56, 143 Al-Suyuṭī, 179, 183 Aribah, 69 Arifudin Ahmad, 22, 106, 110,

130, 134, 141, 147, 171, 173, 202, 220

Asbāb al-Wurūd, 18, 99, 174, 175, 225

Athar, 99, 186 Azyumardi Azra, 8, 47, 56, 63,

64, 71, 78, 79

B

Baidah, 69 Buchari M., 2, 14, 35, 43, 150,

211

D

Daniel Djuned, 3, 8, 13, 14, 15, 16, 19, 20, 35, 39, 41, 45, 59, 62, 65, 66, 67, 86, 145, 155, 212

Daniel W. Brown, 34, 96, 120, 223

K

Daud Rasyid Sitorus, 8, 14, 35, 58, 86, 145

Diakronis, 29, 143 Dirayah, 2, 57, 82, 99, 144,

162

E

Edi Safri, 2, 10, 45, 46, 86, 102, 151, 196

Fiqh al-Ḥadīth, 19, 31, 39, 45

G

Genealogi, 16, 17, 19, 29, 36, 70, 71, 96, 98, 171, 177, 181, 184

H

Harun Nasution, 32, 48, 147, 154, 171, 172

Hasbi ash-Shiddiqie, 148, 162 Hereditas, 129, 131 Hermeneutik, 6, 7, 10, 11, 15,

16, 37, 38, 41, 47, 59, 62, 68, 94, 145, 168, 211, 215

Historiografi, 62, 63, 64, 65, 71, 75

I

Ibn al-Athir, 4 Ibn Hajar al-Asqalanī, 228

J

Jarh, 227 Juynboll, 52, 53, 54, 123, 149,

187, 196, 197, 198, 205, 207

N

Page 255: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

255

Kamaruddin Amin, 15, 18, 26, 54, 87, 99, 121, 122, 124, 125, 126, 127, 133, 136, 142, 146, 149, 152, 184, 185, 186, 187, 188, 191, 192, 193, 200, 204, 206, 208

Khairul Rafiqi, 21, 82, 145 Komaruddin Hidayat, 6, 7, 41,

47, 68, 94, 168, 215 Kontemporer, 63, 64, 71, 93,

104, 111, 118, 131

L

Louis Gottschalk, 75, 89 Lutfi Fathullah, 8, 14, 18, 35, 58,

86, 145

M

Maḥmūd al-Ṭahhān, 48 Manhāj, 8, 9, 25, 32, 153, 173,

183, 185 Matan, 5, 16, 35, 58, 62, 90, 94,

122, 145, 153, 166, 197, 211 Muḥadīth, 206 Muḥammad ‗Ajjaj al-Khatib, 11 Muḥammad al-Ghazalī, 20, 45,

48, 223 Muhammad Dede Rodliyana,

14, 20, 22, 36, 38, 58, 81, 82, 86, 145

Mujiyo, 22, 31, 32, 36, 96, 98 Mukhtalīf, 185 Mushkīl, 186 Musṭafa al-Sibā‘ī, 2, 163

Syuhudi Ismail, 3, 6, 8, 12, 13, 15, 18, 19, 22, 24, 26, 35, 58,

Naṣiruddīn al-Albanī, 9, 48 Nizar Ali, 4, 7, 58, 86, 145,

153, 164, 165, 167, 168, 195

Nūr al-Dīn ‗Itr, 8, 9, 25, 48, 183, 207

O

Orientalis, 52

Q

Quraish Shihab, 42, 147, 148, 171, 172

R

R. Michael Feener, 14, 20, 35, 36

Ramli Abdul Wahid, 20, 21, 82, 145

Rasionalisme, 33, 50 Rekonstruksi, 15, 29, 39, 41,

58, 62, 145, 150, 212 Riwayah, 82

S

Said Agil Husin al-Munawar, 13, 111, 114, 115, 126, 131, 133, 148, 154, 172, 177, 178, 179, 180, 181, 185, 191, 200, 204, 210, 211, 220

Sanad, 59, 66, 84, 85, 106, 107, 108, 109, 138, 141, 149, 209, 216

Subḥi al-Ṣalīh, 9, 48

Page 256: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

256

59, 60, 61, 86, 89, 92, 99, 103, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 115, 126, 130, 133, 134, 137, 138, 140, 145, 146, 147, 149, 157, 158, 159, 160, 167, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 190, 191, 200, 201, 202, 203, 209, 210, 215, 216, 218, 219, 220, 222

T

Tahlilī, 42

U

Uṣūl al-Fiqh, 39, 48 Uṣūl al-Ḥadīth, 11, 19, 45, 185

W

Wahbah al-Zuhaili, 118 Wahhab, 194 Y

Yudi Latif, 16, 27, 143

Page 257: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

257

BIODATA PENULIS

Nama : Hasep Saputra

TTL : Tanjung Pauh Mudik, Kab.

Kerinci, 01 Oktober 1985

No Hp/Telp : 085272430949

Alamat : Desa Pancuran Tiga Kec. Keliling

Danau Kab. Kerinci

Email : [email protected]

Ayah : H. Magek Abas.

Ibu : Ertini, S.Pd.

Isteri : Roza Eva, SKM.

Anak : Qowiyya Lathifa Qamra.

Pendidikan:

1. SDN No.137/III Tanjung Pauh Mudik, tahun 1998.

2. MTsN Model Sungai Penuh, tahun 2001.

3. MAN 1 Sungai Penuh, tahun 2004.

4. S1. Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis IAIN Imam Bonjol

Padang, tahun 2008.

5. S2. Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, tahun 2010.

Pengalaman Organisasi :

1. Anggota Bidang Kaderisasi UKM KSI Ulul al-Bab IAIN Imam

Bonjol Padang tahun 2004-2005.

2. Sekretaris Umum Forum Kajian Riyadh al-Shalihin Fakultas

Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang tahun 2005-2006

3. Ketua Kerohanian Ikatan Mahasiswa Kerinci-Padang tahun 2005-

2006

4. Sekretaris Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ushuluddin

IAIN Imam Bonjol Padang tahun 2007-2008

5. Anggota Bidang Jaringan Komunikasi Nasional Pusat Studi Islam

Mahasiswa Kerinci-Padang tahun 2007-2008.

6. Anggota Bidang Intelektual Forum Mahasiswa Ushuluddin

Nasional tahun 2006-2008.

Page 258: PERKEMBANGAN STUDI HADIS DI INDONESIA: PEMETAAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41397/1/HASEP... · dalam meningkatkan kualitas tulisan ... dengan pengkaji hadis

258