perjumpaan budaya sabu dengan budaya sumba (studi ......kambaniru menganut agama kristen, yang...

43
56 BAB III PELESTARIAN BUDAYA SABU DAN PERUBAHAN AKULTURASI (Di Kelurahan Kambaniru dan Kecamatan Umalalu) Dalam bab ini, akan dibahas mengenai hasil penelitian yang dimulai dengan pembahasan deskripsi umum daerah penelitian yakni Kelurahan Kambaniru dan Kecamatan Umalulu, perjumpaan orang Sabu dan budayanya dengan orang Sumba, serta proses akulturasi yang terjadi dalam penerimaan unsur-unsur budaya Sumba dalam budaya Sabu di kelurahan Kambaniru dan Kecamatan Umalulu Kabupaten Sumba Timur. A. SELAYANG PANDANG KOMUNITAS ORANG SABU 1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Sumba Timur – Kelurahan Kambaniru dan Kecamatan Umalulu Gambar 1. Peta Pulau Sumba

Upload: others

Post on 06-Dec-2020

15 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

56

BAB III

PELESTARIAN BUDAYA SABU DAN PERUBAHAN AKULTURASI

(Di Kelurahan Kambaniru dan Kecamatan Umalalu)

Dalam bab ini, akan dibahas mengenai hasil penelitian yang dimulai dengan

pembahasan deskripsi umum daerah penelitian yakni Kelurahan Kambaniru dan Kecamatan

Umalulu, perjumpaan orang Sabu dan budayanya dengan orang Sumba, serta proses

akulturasi yang terjadi dalam penerimaan unsur-unsur budaya Sumba dalam budaya Sabu di

kelurahan Kambaniru dan Kecamatan Umalulu Kabupaten Sumba Timur.

A. SELAYANG PANDANG KOMUNITAS ORANG SABU

1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Sumba Timur – Kelurahan

Kambaniru dan Kecamatan Umalulu

Gambar 1. Peta Pulau Sumba

Page 2: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

57

Kabupaten Sumba Timur merupakan salah satu kabupaten dari keempat kabupaten

di Pulau Sumba, propinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayah kabupaten ini menempati

bagian timur dari Pulau Sumba. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Sumba, sebelah

timur dengan Laut Sabu, sebelah selatan dengan Samudra Hindia, dan sebelah barat

dengan kabupaten Sumba Barat. Kondisi topografi Sumba Timur secara umum datar (di

daerah pesisir), landai sampai bergelombang (wilayah dataran rendah <100 meter) dan

berbukit (pegunungan). Daerah dengan ketinggian di atas 1000 m hanya sedikit di

wilayah perbukitan dan gunung. Lahan pertanian terutama di dataran pantai utara, yang

memiliki cukup air di permukaan maupun sungai-sungai besar. Setidaknya terdapat 88

Sungai dan mata air yang tidak kering di musim kemarau. Kabupaten ini beriklim tropis

dengan musim hujan yang relatif pendek dan musim kemarau yang panjang (delapan

bulan). Musim hujan biasanya terjadi di bulan Desember sampai Maret untuk daerah

pesisir dan November sampai April di daerah pedalaman. Jumlah curah hujan dalam

setahun 1.860 milimeter, sehingga daerah ini termasuk daerah beriklim kering. Meskipun

keadaan tanahnya kurang subur, lebih dari separuh penduduk kabupaten Sumba Timur

ini adalah petani. Selain itu ada juga yang bekerja sebagai peternak, pegawai, buruh,

nelayan, wiraswasta dan lain-lain.

a. Kelurahan Kambaniru 1

1) Luas dan Batas Wilayah

Adapun Keluharan Kambaniru merupakan salah satu kelurahan yang

berada di Kecamatan Kambera, yang terletak di Kabupaten Sumba Timur

Provinsi Nusa Tenggara Timur. Luas wilayah kelurahan Kambaniru adalah 16

Km2 yang terdiri dari 8 RW dan 30 RT dengan batas wilayah sebagai berikut :

1 Renstra Kelurahan Kambaniru Tahun 2013, hal. 3

Page 3: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

58

Sebelah Timur berbatasan dengan Muara sungai Kambaniru dan kelurahan

Mauhau

Sebelah Barat berbatasan dengan kelurahan Prailiu

Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Sumba

Sebelah Selatan berbatasan dengan kelurahan Wangga.

2) Kondisi Demografi Kelurahan Kambaniru

Jumlah penduduk kelurahan Kambaniru adalah sebanyak 6.552 jiwa

terdiri dari :

Laki-laki : 3. 306 jiwa

Perempuan : 3. 216 jiwa

Jumlah Kepala Keluarga : 1. 535 KK

Adapun data ini dapat berubah (tidak tetap), mengingat terjadinya

pertambahan jumlah penduduk karena kelahiran atau pendatang baru dan

menetap serta adanya pengurangan jumlah penduduk yang disebabkan oleh

karena kematian dan penduduk yang keluar daerah dengan alasan lain seperti

sekolah, kuliah, atau mencari pekerjaan di luar daerah Sumba. Kondisi wilayah

Kelurahan Kambaniru terdiri dari sebagian hanya ditumbuhi oleh pohon kelapa

dan lontar, sebagian wilayahnya terdapat hamparan persawahan irigasi yang

setiap tahun menghijau. Kelurahan Kambaniru memiliki sungai dengan panjang

± 1500M. Wilayah kelurahan Kambaniru beriklim panas terutama pada bulan

Agustus – Oktober.

Tingkat pendidikan penduduk di kelurahan Kambaniru dapat dikatakan

cukup baik. Hal ini nampak dari data tingkat pendidikan yakni sekitar 5 %

penduduk yang tidak pernah sekolah; 10 % penduduk tidak tamat SD; 18%

Page 4: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

59

penduduk tamat SD; 20 % tamat SLTP; 33 % jumlah penduduk telah tamat

SLTA; dan 14% penduduk yang telah tamat perguruan tinggi.

Berdasarkan kondisi wilayah dan tingkat pendidikan tersebut, turut

mempengaruhi mata pencaharian penduduk yang bervariasi. Sebagian penduduk

memiliki mata pencaharian sebagai petani, peternak, nelayan, buruh, tukang,

montir dan penganguran tak kentara (kebanyakan pemuda). Sedangkan bagi

mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi seperti SMA dan

Perguruan Tinggi, memiliki pekerjaan yang bersifat organisasi seperti di bagian

LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Pegawai Negeri Sipil (Guru, pegawai

kantor, perawat, bidan), pegawai swasta, berdagang dan lain sebagainya.

Dari segi kepercayaan dan keagamaan, secara keseluruhan penduduk

Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba

(GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen Katholik. Adapun

dalam wilayah kelurahan Kambaniru terdapat beberapa suku yang mendiaminya

yakni suku Sabu, Sumba, Rote, Jawa, Flores, Timor, dan lain-lain. Dan sebagian

besar wilayah Kambaniru didiami oleh masyarakat suku Sabu.

b. Kecamatan Umalulu 2

1) Letak Geografis Kecamatan Umalulu

Kecamatan Umalulu terletak di Pulau Sumba bagian Barat Laut

Kabupaten Sumba Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur. Luas kecamatan

Umalulu 307, 9 Km² atau 30.790 hektar dengan letak yang umumnya di

sepanjang pantai utara berbukit dan curah hujan yang sangat rendah dan tidak

merata tiap tahun, dimana musim penghujan relatif pendek bila dibanding

2 Umalulu dalam Angka 2013, hal.2-3

Page 5: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

60

musim kemarau. Menurut PP No. 46 Tahun 1992 kecamatan Umalulu

berbatasan dengan :

Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Sawu

Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Paberiwai dan Kahaungu Eti

Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Rindi

Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Pandawai

2) Kondisi Demografi Kecamatan Umalulu

Kecamatan Umalulu mempunyai wilayah administrasi yang terdiri dari 9

Desa dan 1 Kelurahan, 26 Dusun, 53 rukun tetangga, 3449 rumah tangga.

Berdasarkan data sensus Desember 2012, jumlah penduduk kecamatan Umalulu

sebanyak 16.734 jiwa, dengan jumlah rumah tangga sebanyak 3.488 yang terdiri

dari 8.567 orang laki-laki dan perempuan berjumlah 7.982 jiwa. Topografi

wilayah kecamatan Umalulu sebagian besar merupakan daerah pantai dengan

curah hujan yang rendah dan tidak merata tiap tahun. Ketinggian masing-masing

desa/kelurahan dari permukaan laut berada di antara 3–340 m.

Adapun tingkat pendidikan penduduk di Umalulu yang belum bisa

dikatakan baik. Hal ini dilihat dari data tingkat pendidikan yang menyatakan

bahwa sekitar 30% dari jumlah penduduk yang tidak bersekolah atau tidak

menyelesaikan pendidikannya di tingkat Sekolah Dasar (SD); 20% penduduk

menyelesaikan pendidikannya hingga ke tingkat SD; 15% untuk tingkat SLTP

dan 25 % tingkat SLTA; 10% untuk tingkat perguruan tinggi, baik tingkat D3,

S1,dan lain sebagainya.

Berdasarkan tingkat pendidikan penduduk yang rendah, membawa

pengaruh terhadap mata pencaharian penduduk. Sebagian besar penduduk

memiliki mata pencaharian sebagai petani, dan lainnya menjadi peternak,

Page 6: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

61

nelayan, pedagang, industri kerajinan, guru, perawat, pegawai negeri dan

pegawai swasta. Dari segi kepercayaan dan keagamaan, sebagian besar dari

penduduk Umalulu menganut agama Kristen Protestan, dan ada juga penduduk

yang masih menganut kepercayaan Marapu, dan agama lain seperti agama Islam

dan Hindu.

2. Sejarah Perjumpaan Komunitas Orang Sabu di Kambaniru dan Umalulu3

Orang Sabu adalah pendatang terbesar yang sifatnya imigrasi ke daerah Sumba.

Kedatangan mereka di Sumba dilakukan secara bertahap sejak dahulu kala yakni pada

masa para leluhur hingga proses migrasi pada saat ini. Kebanyakan mereka datang dan

langsung menempati daerah-daerah pesisir laut dan di daerah khusus yang telah

ditetapkan oleh pemerintah NTT dan kolonial Belanda seperti di kelurahan Kambaniru

dan Umalulu. Demikianlah sejarah kedatangan orang Sabu pertama kali di Sumba,

dimulai dari kisah legenda sejarah masyarakat Sumba dan Sabu, keterlibatan dengan

pihak ketiga (yakni Belanda dan misi penyebaran agama Kristen) dan migrasi orang

Sabu ke daerah Sumba hingga saat ini.

a. Hubungan Emosional antara Suku Sumba dan Sabu

Hubungan antara leluhur dari kedua Suku Bangsa (Sumba dan Sabu)

Legenda menuturkan bahwa nenek moyang orang Sabu terdahulu berdiam

di Tanjung Sasar pada sebuah kampung yang bernama “Paraingu Hawu” (negeri

Sabu). Tuturan silsilah yang beredar di suku Sumba maupun di Sabu mengatakan

bahwa para leluhurnya bersaudara kandung. Leluhur suku Sabu bernama Hawu

Meha (Laki-laki) dan leluhur suku Sumba bernama Humba Meha (Perempuan).

Humba Meha kawin dengan Umbu Harandipa Wolu Mandoku.4 Meskipun

3 Hasil wawancara dengan Pdt. Pala Hambarandi, S. Si., Teol pada tanggal Sabtu, 12 Oktober 2013

4 Bnd. F. D. Wellem Injil dan Marapu, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004 ), h.126-127

Page 7: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

62

Humba Meha menetap di Sumba, Hawu Meha tetap menjalin hubungan

persaudaran dengan Humba Meha. Hawu Meha memberikan sebuah panggilan

manis bagi saudaranya di Sumba dengan sebutan ‘Do Wa’ (artinya orang yang

tinggal di bagian barat – bira wa : barat). Panggilan ini pun menjadi panggilan

yang lazim digunakan kepada orang sabu yang berada di Sumba hingga pada

masa kini. 5

Hubungan Marga (Kabihu atau Udu)

Marga-marga (Kabihu) di Sumba dan marga-marga (udu-udu) di Sabu

mempunyai hubungan persaudaraan karena berasal dari leluhur yang sama dan

hanya istilah/nama saja yang berbeda, misalnya : Luku Walu (Sumba) = Do Na

Luru (Sabu); Watupelitu (Sumba) = Do Na Taga (Sabu); Anamburung (Sumba) =

Do Na Horo (Sabu); Mbaradita (Sumba) = Do Ke Koro (Sabu); Nipa (Sumba) =

Do Na Hipa (Sabu); Matalui (Sumba) = Do Na Mata (Sabu), dan lain-lain

sebagainya.

Hubungan Kawin Mawin

Kawin mawin telah terjadi di antara orang Sabu dan orang Sumba sejak

zaman dahulu kala hingga saat ini, antara lain :

1) Umbu Jara Watu (bangsawan Sabu) kawin dengan Rambu Mai Nggadi (anak

dari Umbu Tarubu Huru Nggaba / bangsawan Lukumara).

2) Umbu Kaho Manu dengan Rambu Bangu Kahi (putri bangsawan Ruku

Maru).

3) Umbu Jami Riwu (bangsawan Sabu) kawin dengan Rambu Paji Jera

maramba hawu (Putri bangsawan Mangili )

5 Wawancara dengan Bpk. D. D. Hebi pada tanggal Selasa 15 Oktober 2013

Page 8: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

63

4) Umbu Ngg. Haumara (putra bangsawan Watupelit - Melolo) kawin dengan

putri bangsawan sabu Melolo (Do Na Taga - saudari dari Ama Nai Jawa

(Raja Sabu) dan Ama Dima Talo).

5) Umbu Njanja Taranau (bangsawan Mangili) kawin dengan Rambu Kado

Buki (bangsawan Mesara - Sabu).

6) Perkawinan antara putra Sabu dengan putri Rende

7) Perkawinan antara anak Raja Mangili dan Melolo menikah dengan anak Raja

Seba (Sawu)

b. Transmigran dari Pulau Sabu (Rai Hawu)

Perpindahan penduduk dari Pulau Sabu telah terjadi sejak zaman dulu hingga

sekarang, baik secara mandiri maupun atas prakarsa pemerintah.

1. Transmigran Mandiri6

Perpindahan secara madiri telah terjadi dari zaman dahulu yaitu dalam

kelompok-kelompok misalnya marga Hawu – Horikundu, Kanatang-Dukuwatu,

Haloi-Anajawa, Kabundung – Kanjonga Luku. Selain itu pada tahun 1848 terjadi

juga perpindahan orang Sabu ke Sumba. Mereka itu berpindah dalam suatu

kelompok yang besar degan membawa serta istri dan anak-anaknya. Mereka

berdiam di Kadumbul, pantai utara, bagian timur Sumba. Mereka berpindah atas

inisiatif sendiri untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Mereka itu hidup

berintegrasi dengan masyarakat Sumba.7

2. Transmigran oleh Pemerintah Hindia – Belanda

a) Atas usul Raja Seba Ama Nia Jawa

6 Wawancara dengan Bpk. Makana pada tanggal Senin 14 Oktober 2013

7 Bnd. F. D. Wellem, Injil dan Marapu, h. 127

Page 9: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

64

Raja Seba mengusulkan kepada Residen Izaac Esser pada tahun 1862

untuk memindahkan 400 orang Sabu ke Kadumbul dengan maksud untuk

memberi kesempatan memperoleh lapangan kerja dan mendapatkan kehidupan

yang lebih baik dan juga untuk mengekang gerak-gerik orang Ende yang

merugikan penduduk Sumba.8

b) Atas inisiatif pemerintah Hindia Belanda

Pemerintah Hindia Belanda mentransmigrasikan sejumlah orang Sabu ke

Sumba pada akhir abad ke-19. Mereka itu ditempatkan di Melolo (wilayah

Kerajaan Melolo) dan di Kambaniru (wilayah kerajaan Kambera).

c) Atas Inisiatif Pemerintah NTT

Pemerintah NTT memindahkan penduduk dari Sabu ke Sumba.

Perpindahan ini terjadi pada masa bapak Gubernur El Tari. Mereka yang

dipindahkan itu pada tahun 1977 ditempatkan di Petawang sebanyak 33

keluarga. Adapun perpindahan itu bermotif ekonomi demi memperoleh

kehidupan yang lebih baik.

Adapun latar belakang perpindahan orang Sabu ke sumba bervariasi.

Perpindahan bermotif ekonomi (perdagangan), karena di Sumba terdapat banyak

pohon lontar, bermotif politis yakni menyangkut keamanan dan untuk memadamkan

peperangan yang terjadi dan untuk mencegah perdagangan budak yang dilakukan oleh

orang-orang Ende.9 Perpindahan orang Sabu juga bermotif agama yakni penyebaran

agama Kristen. Demikianlah sejarah keberadaan orang Sabu di Sumba Timur yang

secara langsung berjumpa dan berinteraksi dengan masyarakat Sumba hingga saat ini.

8 Bnd. Oe. H. Kapita, Sumba dalam Jangkauan Jaman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), h. 27.

9 Kapita dalam bukunya ‘Sumba dalam Jangkauan Jaman’ menuturkan bahwa perpindahan sejumlah

besar orang Sabu ke Sumba juga terkait dengan persoalan perang Mbatakapidu (Juli-Agustus 1874) antara Ama

Kuji Bire (Saudara ) dengan Umbu Ndai Litiata Tanahomba (Raja Mbatakapidu).

Page 10: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

65

B. BUDAYA DAN ADAT ISTIADAT SABU

Sebuah ungkapan populer dalam Bahasa Indonesia ”Di mana bumi dipijak, di situ

langit dijunjung”. Artinya dimana kita berada dan menetap maka kebiasaan setempat

harus kita ikuti atau perhatikan. Hal ini kelihatannya tidak berlaku secara penuh bagi

komunitas orang Sabu yang bermigrasi dan berdomisili di Kambaniru dan Umalulu. Akan

tetapi karena budaya itu bersifat dinamis maka ia mengalami perubahan sesuai dengan

perkembangan zaman dan pengaruh perjumpaan dengan orang Sumba. Di sini akan

diuraikan mengenai beberapa unsur budaya Sabu yang tetap dilaksanakan oleh orang Sabu

di Kambaniru dan Umalulu, sebagai berikut:

1) Sistem peralatan dan perlengkapan :

a) Pakaian Adat Orang Sabu :10

1. Pakaian adat laki-laki sabu terdiri dari ikat kepala, kemeja berlengan panjang

berwarna putih polos. Tubuh bagian bawah ditutupi oleh sarung tenun dan

sehelai kain tenun berukuran kecil diselempangkan di bagian bahu.

2. Pakaian adat perempuan sabu : biasanya mengenakan baju kebaya pendek dan

bagian bawahnya mengenakan kain tenun dua kali lilitan dan tanpa asesories.

3. Pakaian adat perkawinan sabu :

Pakaian pengantin laki-laki terdiri dari selendang yang digunakan pada

bahu pria, destar pengikat kepala sebagai lambang kebesaran/kehormatan,

kalung mutisalak yaitu sebagai mas kawin dengan liontin gong, sepasang

gelang emas, ikat pinggang/sabuk yang memiliki 2 kantong pengganti

dompet/tas, Habas/perhiasan leher terbuat dari emas

Pakaian pengantin perempuan terdiri dari sarung wanita yang diikat

bersusun dua pada pinggul dan sedada, pending (ikat pinggang terbuat dari

10

Wawancara dengan Ibu M. V. Lobo pada Jumat, 11 Oktober 2013

Page 11: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

66

emas), gelang emas dan gading, muti salak/kalung dan liontin dari emas,

mahkota kepala wanita dan tusuk konde berbentuk uang koin / uang emas

pada zaman dahulu, anting/giwang emas, sanggul wanita berbentuk bulat

diatas/puncak kepala wanita

Gambar 2. Pakaian Adat Perkawinan Sabu

b) Seni Bangunan (Rumah dan Kubur) 11

Rumah orang Sabu asli berbentuk panggung (kelaga), seperti perahu yang

dibalik yakni mempunyai anjungan dan buritan. Adapun letak dan bentuk rumah

sabu disesuaikan letak pulau Sabu yang ditandai selalu mengarah ke Utara (‘Bodae)

atau selatan (‘Bollou). Orang Sabu mencari tempat yang tidak jauh dari sungai,

pinggiran laut. Rumah dapat dibangun di atas kuburan, karena dalam kehidupan

orang Sabu, kuburan selalu berada di bawah kolong rumah kelaga. Bahan bangunan

rumah Sabu biasanya diambil dari pohon lontar dan kelapa. Akan tetapi pada masa

sekarang ini, rumah asli sabu hanya tinggal beberapa buah saja, karena kebanyakan

orang Sabu sudah membangun rumah yang terbuat dari semen dan seng. Sedangkan

uburan terletak di depan atau samping rumah dan telah berbentuk rumah seperti

kuburan orang Sumba. Berdasarkan aturan pemerintah, maka kuburan orang Sabu

juga bertempat di tempat pekuburan umum yang telah disediakan di daerah Sumba.

11

Wawancara dengan Bpk W. Lobo pada tanggal Kamis 10 Oktober 2013

Page 12: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

67

Gambar 3. Rumah Asli Sabu di Kambaniru dan Umalulu

2) Sistem mata pencaharian12

Masyarakat Sabu dikenal sebagai masyarakat agraris dan nelayan. Tetapi seiring

dengan perkembangan zaman, orang Sabu tidak hanya memiliki satu pekerjaan untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tetapi orang Sabu terkenal memiliki karakter

sebagai orng yang rajin dan tekun dalam bekerja sehingga orang Sabu selalu

merangkap beberapa pekerjaan harian diantaranya mengerjakan sawah tadah hujan,

berkebun (sayur, bawang, pepaya, ubi, kacang tanah, kacang hijau, jagung dan lain-

lain), memelihara lontar dan kelapa, memelihara ternak (sapi, babi, kuda, kambing,

ayam), nelayan, membuat garam, menenun, berdagang (hasil tenun, tuak/due/nira, gula

sabu dan gula lempeng, hasil kebun), dan juga bekerja sebagai pegawai swasta,

pegawai negeri, pendeta, guru injil, tentara, polisi dan lain sebagainya. Semuanya tidak

dikerjakan secara terpisah, karena orang Sabu membagi waktu dan juga dalam

kehidupan mereka terdapat pembagian tugas.

Dalam melakukan pekerjaan, orang Sabu juga bekerja sama dengan orang Sumba

dan suku lainnya. Kesemua hal yang dikerjakan orang Sabu tidak hanya untuk

12

Wawancara dengan Bpk Y.H.R pada tanggal Kamis 09 Oktober 2013

Page 13: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

68

memenuhi kebutuhan jasmani, tetapi merupakan bagian dari tanggung jawab untuk

memelihara kehidupan sosial dan keagamaan.

Gambar 4. Beberapa mata Pencaharian Orang Sabu (Non-Pegawai)

3) Sistem kemasyarakatan

Dalam kehidupan sosial orang Sabu, dimulai dari keluarga batih terdiri dari ayah,

ibu dan anak-anak. Keluarga batih kemudian membentuk keluarga besar (huwue kaba

gatti) dan menempati sebuah rumah adat (Amu Kepue) yang dihuni oleh seluruh

anggota keluarga dari garis keturunan nenek (Heidau Appu).

a. Sistem Kekerabataan13

Dalam masyarakat Sabu terpelihara hubungan kekeluargaan yang sangat kuat,

yang mana dibangun atas dasar kombinasi antara garis keturunan ayah (patrilineal)

yaitu udu dan garis ibu (matrilineal) yaitu hubi. Adapun garis Udu ini terikat pada

satu wilayah (rai) sebaliknya garis hubi berlaku lintas wilayah. Udu menunjukkan

kepada rumpun keluarga (marga) dan hubi menunjukkan derajat/status/ kedudukan

13

Wawancara dengan Bpk. S.L. pada tanggal Jumat 11 Oktober 2013; bnd Robert Riwu Kaho, Orang

Sabu dan Budayanya, h. 58-63

Page 14: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

69

sosial seseorang. Dalam sebuah udu terdapat berbagai hubi. Udu adalah persekutuan

orang-orang yang seketurunan karena berasal dari leluhur/nenek moyang yang satu.

Masing-masing udu secara turun temurun tinggal menetap dalam suatu wilayah atau

tanah yang disebut rai udu. Selanjutnya, udu itu akan berkembang banyak dan dapat

terbagi lagi dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil yakni kerogo. Tetapi ada

juga udu yang tidak terbagi dalam kerogo. Contohnya dalam udu do nataga terdiri

dari kerogo Najingi, Naliru, Napuluji, Napuliru, Najohina.

Sedangkan garis ibu atau hubi berperan dalam urusan siklus hidup seseorang,

pernikahan dan kematian. Dengan adanya hubi, maka orang-orang yang sebelumnya

‘terpisah’ disebabkan mereka menjadi anggota dari udu tertentu yang berbeda, dapat

kembali berkumpul menjadi satu kelompok yang lebih besar yaitu hubi. Berdasarkan

hubi, kaum perempuan Sabu terbagi atas dua kelompok yakni tergolong Hubi Ae dan

hubi Iki. Hubi juga berkaitan erat dengan pemakaian sarung bagi kaum perempuan

Sabu. Setiap perempuan Sabu harus memakai sarung yang sesuai dengan jenis/motif

yang berlaku bagi hubinya pada waktu acara pernikahan atau kematian. Demikianlah

orang sabu memiliki kewargaan rangkap yaitu sebagai warga/udu/kerogo dan

sekaligus sebagai warga hubi/wini. Contohnya dalam satu udu Do Nalodo, terdiri

dari beberapa orang dengan hubi yang berbeda-beda seperti Hubi Iki atau Hubi Ae.

b. Persatuan adat menurut tempat

Setiap udu hidup berdampingan dengan udu-udu lainnya dalam Rai

(kampung). Dalam setiap rai terdapat beberapa udu dan setiap udu terdiri dari

beberapa kerogo. Contoh dalam satu Rai terdapat berbagai marga atau udu dan

Page 15: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

70

kerogo seperti Udu Do Nataga, Udu Do Nahoro (kerogo Nakahu, Napuhaga,

Napawa), Udu Namata (kerogo Napupenu, Nagalode dan lain-lain).14

c. Sistem Pemerintahan 15

Sistem pemerintahan asli dalam masyarakat Sabu adalah sistem pemerintahan

yang bercorak religius. Dalam sistem pemerintahan ini tidak ada pemisahan antara

urusan agama dengan urusan bukan agama, antara urusan kerohanian dengan urusan

kejasmanian, atau urusan sakral dengan urusan keduniawian. Pucuk pimpinannya

adalah Mone Ama (imam). Tugas Mone Ama ialah menyangkut urusan keagamaan

dan pemerintahan, serta menjaga kesejahteraan hidup masyarakat, kerukunan,

bertugas menegakkan adat-istiadat dalam masyarakat.

d. Adat Istiadat

1) Adat perkawinan 16

Tahapan dalam proses menuju perkawinan adat Sabu sebagai berikut :

Tahap pertama terdiri dari musyawarah keluarga untuk memutuskan waktu

perkenalan dan peminangan (Oro Li), siapa juru bicaranya atau Mone Li17

dan

persiapan pelaksanaan kenoto hingga Hegutu Ka’do.

Tahap kedua : Oro Li (perkenalan). Tahap ini bertujuan untuk menyampaikan

isi hati dari sang pria terhadap gadis sabu dan keluarganya. Bingkisan yang

dibawa keluarga lelaki berisi sirih-pinang (muda dan kering), tembakau dan

kapur sirih yang dibungkus dengan selimut Sabu. Jika dalam hubungan antara

laki-laki dan perempuan telah melakukan pelanggaran adat seperti hamil

sebelum menikah, maka akan dibahas juga mengenai upacara pembersihan

14

Wawancara dengan Bpk. Mapana, pada Selasa, 08 Oktober 2013 15

Robert Riwu Kaho, Orang Sabu dan Budayanya, (Yogyakarta : Jogja Global Media, 2005), h. 63-64 16

Wawancara dengan Bpk Mahari pada tanggal Sabtu, 12 Oktober 2013 17

Mone Li atau juga disebut Mone pedai li atau mone uba (si pembicara) adalah seorang yang sudah

berumah tangga, memahami adat perkawinan Sabu, pandai menutur silsilah, menguasai tata krama, mahir

berbicara bahasa Sabu yang halus, dan mengenal keluarga perempuan.

Page 16: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

71

yang disebut dengan lonye kelaga18

(pembersihan rumah), yang dilaksanakan

sebelum proses masuk minta.

Masuk minta dan lamaran (ma ami). Biasanya tahap ini dilakukan bersamaan

dengan proses lonye kelaga. Pada tahap ini, keluarga menyatakan permintaan

secara langsung kepada pihak perempuan untuk dapat memberikan anak

perempuan menjadi isteri dari anak laki-laki mereka. Keluarga laki-laki akan

membawa siri pinang, sarung sabu, kebaya dan cincin.19

Pada tahap ini, kedua

belah pihak akan kembali membicarakan mengenai persiapan pelaksanaan

kenoto (pemaho kenoto) yakni waktu pelaksanaan kenoto dan juga mengenai

ihi kenoto dan bada welli yakni pembawaan pihak laki-laki dalam pelaksanaan

upacara adat Kenoto serta pelaksanaan hegutu kado (membawa perempuan

keluar dari rumah dan memberikan ucapan terima kasih kepada ibu dari anak

perempuan).

Gambar 5. Masuk Minta

18

Biasanya, pihak laki-laki diharuskan membawa seekor babi dan sekarung beras sebagai lambang

permintaan maaf pada pihak keluarga dan untuk membersihkan rumah atau nama baik keluarga perempuan yang

telah menangung aib dari penyimpangan yang telah dilakukan. 19

Kalau pihak laki-laki berasal dari suku Sumba, biasanya mereka juga akan membawa seekor kuda dan

sebuah mamuli mas sebagai lambang identitas diri. Hal ini telah diberitahukan terlebih dahulu pada tahap oro lii.

Page 17: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

72

Kenoto. Dalam bahasa sabu, istilah upacara perkawinan adat ini disebut

dengan istilah “Kenoto”. Sebelum pelaksanaan adat kenoto, dalam keluarga

laki-laki akan mengadakan pertemuan keluarga untuk mempersiapkan bahan

atau isi dari kenoto. Pertemuan ini disebut dengan istilah ihi kenoto (Sambung

Tangan). Keluarga lelaki akan mengundang dan keluarga besar (udu dan hubi)

dan para kerabat untuk memberi informasi bahwa anak laki-laki dari keluarga

akan meminang perempuan dan mengharapkan agar para undangan (baik yang

merupakan keluarga maupun kenalan) dapat mengambil bagian dalam

pelakasanaan adat kenoto yakni memberi bantuan (berupa tenaga dan

materi/uang) dalam melengkapi isi dari kenoto yang akan dibawa kepada

keluarga perempuan. Adapun benda atau barang bawaan yang dijadikan

sebagai ihi kenoto sesuai ketentuan pada waktu oro li ialah : (a) sirih pinang

dilengkapi kapur, dan tembakau seadanya. Sirih pinang itu bersyarat: (1) Sirih

yang masih bertangkai secukupnya, (2) Pinang muda dengan tangkainya

secukupnya, (3) Pinang kering; (4) Sarung dan Selimut Sabu;20

(5) Bada

Welli.21

Dalam upacara adat kenoto ini, ada beberapa orang yang memiliki

peranan penting seperti Pili dida/unu Deo (sesuai artinya orang pertama dan

utama yang mengambil atau mengangkat isi bungkusan/kenoto). Biasanya pili

dida itu adalah saudara laki-laki ibu si gadis atau yang paling berhak atas diri

20

Syarat ini tidak berlaku umum, dan hanya dikenakan kepada pasangan yang terlanjur melakukan hal

yang tidak dibolehkan, yakni bahwa mereka sudah hidup berdampingan sebagai layaknya suami istri sebelum

menikah sah. Karena kesalahan itulah maka sebagi sanksi, pihak pria dikenakan syarat membawa sarung dan

selimut sabu sebagai penutup malu pihak wanita. Sarung atau selimut juga diberikan kepada saudara kandung

laki-laki atau perempuan (kakak) dari mempelai perempuan yang telah didahului dalam urusan pernikahan,

sebagai lambang permintaan ijin untuk menikah lebih dahulu dari saudaranya. 21

Bada Weli adalah sejumlah binatang yang diserahkan sebagai ungkapan perasaan dan ikatan bathin

dari pihak lelaki. Besar atau jumlahnya sesuai belis kenoto yang berlaku pada waktu ibu atau neneknya dahulu.

Belis itu sudah termasuk dengan satu ekor untuk pili dida (saudara laki-laki ibu si gadis). Jumlah itu pantang

dilebihkan atau dikurangi dari belis ibu atau neneknya, karena sesuai kepercayaan orang sabu perempuan yang

meminta belis melebihi ibu atau neneknya akan ditimpa musibah atau malapetaka berupa penyakit yang dahsyat

yaitu badanya akan luka-luka sampai seluruh tubuhnnya hancur berantakkan (ta habba ta wugu )

Page 18: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

73

ibu si gadis; Benni Ha’u Kenoto (yang memangku kenoto), biasanya yang

dipilih adalah do ana ina yang artinya seorang ibu yang masih bertalian erat

hubungan darah/keluarga dengan ibu si gadis. Do ana ina mengandung arti

kalau ibu si gadis telah meninggal dunia, maka ibu itulah salah satunya yang

berhak memandikan mayat ibu si gadis. Selain itu, peran gereja dan

pemerintah juga sangat penting. Dari pihak gereja, akan memimpin pada awal

dan mengakhiri pelaksanaan adat kenoto dengan doa bersama-sama.

Sedangkan pihak pemerintahan akan turut mengambil peran dalam pencatatan

nikah adat yang telah berlangsung atas kedua mempelai. Surat nikah adat akan

dibacakan dan ditandatangani didepan umum oleh kedua mempelai, kedua juru

bicara dan pihak pemerintah yang hadir (lurah atau camat).

Gambar 6. Kenoto

Memboyong Isteri ke Rumah Suami (Aggo-lere-kelao-Ana Mobenni). Setelah

dinyatakan sah, maka tiba saatnya mempelai perempuan akan dibawa ke

rumah laki-laki. Orang tua perempuan akan menabur kacang hijau kepada

pasangan suami isteri dan bersama-sama mengantar ke rumah suami (lere

Page 19: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

74

kelao). Ketika rombongan yang membawa perempuan telah sampai di depan

rumah, keluarga laki-laki akan melakukan penyambutan dengan melempar

kacang tanah dan orang tua laki-laki akan menyambut dan memangku kedua

mempelai sambil dilaksanakan upacara pe’jore donahu nga ke’bui atau acara

salngg menyuapkan makanan berupa gula sabu bercampur kacang hijau.

Setelah itu, barulah kedua mempelai dipersilahkan untuk memasuki rumah dan

diadakan makan bersama bagi semua yang hadir mengikuti acara tersebut.

Hengutu Kado. Acara ini dilakukan 3 hari setelah perkawinan. Pada siang hari

suami isteri yang baru akan mengunjungi rumah orang tua sang isteri.

Tujuannya adalah (1). Untuk mengucap terima kasih kepada orang tua karena

urusan perkawinannya sudah selesai dengan baik, (2). Untuk permohonan

pamit dari sang isteri kepada orang tua dan kerabatnya. Isteri akan membawa

sirih – pinang dan amplop (berisi uang untuk ibunya) yang dimasukkan ke

dalam sarungnya, sedangkan suaminya akan mengendong seekor ayam jantan

merah. Isteri akan menuangkan isi dalam sarungnya ke pangkuan ibunya dan

suaminya akan menyerahkan bawaannya kepada ayah mertuanya.

2) Adat kematian22

Orang Sabu memahami meninggal (made) sebagai peristiwa kembali

kepada Deo Ama untuk hidup bersama dengan para leluhur di alam gaib (Juli

Haha). Kematian dalam pandangan orang Sabu di bedakan menjadi dua

berdasarkan penyebab terjadinya : (a) Made Netta (mati manis) yaitu meninggal

secara wajar seperti menderita penyakit dan (b) Made harro (mati asin) yaitu

meninggal secara tiba-tiba dan mendadak. Kematian ini terdiri dari made rekka

(bunuh diri) dan made rekka karena kecelakaan, disambar petir, tenggelam, dan

22

Wawancara dengan Bpk W.Lobo pada hari Jumat 11 Oktober 2013

Page 20: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

75

lain-lain. Adapun upacara kematian dan pemakaman itu dilaksanakan sesuai

dengan kepercayaan dari almarhum dan keluarga. Bagi orang Sabu yang

menganut kepercayaan Jingitiu, kedua jenis kematian ini menyebabkan adanya

perbedaan upacara pelaksanaannya, dan penetapan upacara tergantung kepada

hasil musyawarah keluarga dan juga perekenomian keluarga yang bersangkutan.

Akan tetapi karena orang Sabu di Kambaniru dan Umalulu telah menganut agama

Kristen, sehingga tidak ada lagi perbedaan dalam upacara kematian dan

penguburan bagi kedua jenis kematian tersebut. Adapun upacara kematian

dilaksanakan sesuai dengan iman Kristen dan tata ibadah gereja yang melayani

berupa ibadah penghiburan selama 3 hari yang diadakan pada malam hari dan

ibadah pemakaman pada waktu siang menjelang sore hari.23

Ketika orang Sabu meningal, keluarga besar akan berkumpul di amu kepue.

Jenasah dimandikan dengan cara dilap dengan air oleh anggota keluarga dan

marga. Jika laki-laki dimandikan oleh saudara kandung laki-laki atau oleh warga

lelaki dalam dara amu-nya yang se-hubi dengan dia; jika perempuan oleh saudara

kandung perempuan atau anak perempuannya atau warga perempuan dalam

rumahnya yang se-hubi dengannya. Pakaian yang digunakan oleh si mati, jika

yang meninggal adalah seorang laki-laki, akan memakai selimut dan kemeja

putih, digunakan dengan ikat pinggang dan destar pengikat kepala dan tanpa

hiasan. Jika perempuan, maka akan dipakaikan sarung yang dililit pada pinggang

bersama kebaya. Tentunya jenis kain selimut dan sarung tersebut disesuaikan

dengan marga atau hubi dari si mati. Kemudian jenasah akan dibaringkan di atas

sebuah tempat tidur beralaskan sebuah tikar, dengan kepala diarahkan ke utara

(arah laut). Kemudian pada bagian atas tubuh jenasah diselimuti dengan kain

23

Wawancara dengan Bpk. Pdt. Y. Djara pada hari Rabu, 16 Oktober 2013

Page 21: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

76

(laki-laki) atau sarung (perempuan), disesuaikan dengan hubi dari si mati. Pada

bagian atas (atap) tempat pembaringan jenasah akan diikat kain (selimut Sabu

atau kain panjang) sebagai ‘tenda’ yang melambangkan layar perahu bagi si mati

yang akan berlayar ke Juli - Haha.

Setiap orang yang meninggal tidak langsung dikebumikan, tetapi akan

disemayamkan (lingo) selama 2 - 3 hari di ammu kepue. Kecuali bagi anak bayi

yang baru lahir, maka ia akan segera dikuburkan pada pagi harinya. Selama

jenasah disemanyamkan, kaum keluarga dan anggota marga (udu/hubi) serta

kerabat, akan datang melayat dan berkumpul di rumah duka. Mereka akan

membawakan selimut (laki-laki) atau sarung (perempuan) atau hewan dan beras

(babi atau kambing) bagi si mati. Adapun yang membawa hewan dan berasal

adalah anggota keluarga terdekat seperti saudara laki-laki, paman, atau suami dari

saudara perempuan dari yang meninggal. Pada masa kini, orang yang berasal dari

suku lain pun akan datang melayat, biasanya mereka membawa uang atau bahan

makanan sebagai sumbangan bagi keluarga duka. Sepanjang siang dan malam

akan terdengar ratapan duka (Huhu Kebie) berisi nyanyian dalam bahasa Sabu

yang menuturkan silsilah keluarga dari si mati. Orang yang melakukan Huhu

Kebie adalah seorang ibu yang tubuhnya akan dibungkus atau ditutupi dengan

kain atau selimut dari bagian kepalanya.

Pada saat peristiwa kematian ini, keluarga harus mempersiapkan dan

menyediakan sirih pinang (Kenana kela awo dan tembakau) dan dibagikan

kepada setiap orang yang datang melayat. Bagi orang Sabu yang telah beragama

Kristen akan dilaksanakan ibadah penghiburan pada malam hari selama 3 malam

berturut-turut sebelum pelaksanaan upacara penguburan. Pada malam lingo

kedua, keluarga besar akan mengadakan pertemuan musyawarah keluarga

Page 22: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

77

(p’owu), yakni untuk membahas dan menentukan waktu dan acara penguburan,

persiapan kebutuhan terkait dengan peti jenasah dan letak dan bentuk kuburan

(ta’go rai dare), serta pelaksanaan acara puru ked’di. Pada malam lingo terakhir

sebelum jenasah dikuburkan, biasanya tepat jam 12 malam, keluarga besar akan

memasukkan jenasah dalam peti yang telah disiapkan. Dalam peti tersebut telah

berisi selimut atau sarung, sirih pinang, tembakau dan pakaian dari si mati.

Upacara pemakaman orang Sabu dilakukan pada siang menjelang sore hari

(jam 3 petang). Letak kubur orang Sabu yang masih menganut kepercayaan

Jingitiu biasanya berada di bawah balai-balai rumah, berbentuk bulat telur dan

jenasah ditaruh dalam posisi duduk bagi. Sedangkan bagi yang telah beragama

Kristen, letak kubur berada di depan atau samping rumah, atau pada masa kini

berdasarkan aturan pemerintah, maka orang Sabu dikuburkan di tempat

pemakaman umum. Bentuk lubang kubur yang dibuat ialah segi panjang dan

ukurannya disesuaikan dengan ukuran peti jenasah. Upacara pemakaman

dilaksanakan sesuai dengan tata cara ibadah pemakaman Gereja dari si mati.

Setelah pelaksanaan pemakaman, pada malam harinya akan diadakan acara

Keleku (ucapan syukur) dimana keluarga bersama kerabat akan kembali

berkumpul di rumah duka, untuk bersama-sama mensyukuri peristiwa kematian

dan upacara penguburan yang telah selesai dilaksanakan serta mendoakan

keluarga yang berduka untuk dapat menjalani kehidupan dengan baik.

Baik peristiwa made netta maupun made harro, bila yang meninggal adalah

sang suami, maka diadakan upacara puru atau ke’ddi bagi isteri yang ditinggal

mati. Upacara ini dimaksudkan ialah membawa pulang kembali isteri dari si mati

ke pangkuan keluarga / marganya. Acara ke’ddi biasanya dilakukan pada malam

hari setelah jenasah suaminya dikuburkan. Tetapi pada masa sekarang ini, acara

Page 23: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

78

ini dilakukan sebelum jenasah dikuburkan, di depan rumah dan dilihat oleh semua

orang yang mengikuti acara penguburan jenasah.

Ritual lainnya terkait dengan upacara kematian adat Sabu yang biasa

dilakukan di Sumba ialah Ru’Ketu. Hal ini dilakukan bagi setiap orang Sabu yang

meninggal di luar pulau sabu, maka rambut dan pakaian serta foto dari orang

yang telah meninggal akan dibawa ke Sabu. Tujuannya ialah untuk memberitahu

keluarga yang di Sabu mengenai peristiwa kematian dan simbol kembalinya si

mati ke Sabu.

Gambar 7. Kematian

e. He’ngedo 24

Cium hidung (disebut cium idung atau hengedo) merupakan budaya orang Sabu

yang biasanya diberikan kepada orang-orang istimewa. Cium hidung ini dilakukan

sebagai salah satu bentuk salam perkenalan, persahabatan, maupun sebagai salah

satu bentuk ungkapan kasih, penerimaan dan penghormatan dalam sebuah ikatan

kekeluargaan dan kekerabatan di dalam kehidupan sosial dan budaya

kemasyarakatan. Ciuman ini dilakukan dengan tidak mengenal umur, gender, profesi

bahkan status sosial. Dalam keseharian masyarakat NTT, cium hidung menjadi tanda

24

Wawancara dengan Bpk. D. D. Hebi pada Selasa, 15 Oktober 2013

Page 24: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

79

perdamaian. Konflik yang sehebat apa pun akan berakhir dengan sendirinya setelah

berciuman hidung.

Gambar 8. Cium Sabu saat Kenoto

f. Budaya Lontar 25

Dalam kehidupan orang Sabu, pohon lontar dipahami sebagai pohon

kehidupan. Keyakinan ini disebabakan karena pada saat musim kemarau yang

waktunya sangat panjang, nira dari lontar mengandung banyak vitamin menjadi

minuman yang memberikan banyak manfaat bagi orang Sabu. Adapun makanan

pokok orang sabu bukanlah jagung atau beras tetapi nira (lontar) dan Gula Sabu (air

nira yang dimasak menjadi gula berbentuk cair), dan juga merupakan makanan dari

ternak piaraan orang Sabu. Tidak ada satupun dari bagian-bagian pohon lontar yang

tidak bermanfaat bagi oarang masyarakat Sabu, mulai dari akar (Amo), batang (La),

pelepah (Appa), daun (Rau), mayang (Hubi), buah (Wue).

Mayang Lontar yang menghasilkan air nira adalah bagian terpenting dalam

mencukupi kebutuhan pangan orang Sabu. Air nira yang pertama dikumpulkan, akan

menjadi makanan pokok bagi keluarga, baik diminum secara langsung atau bisa

25

Pohon Siwalan (Lontar) merupakan pohon palma (Palmae dan Arecaceae) yang kokoh dan kuat.

Berbatang tunggal dengan ketinggian mencapai 15-30 cm dan diameter batang sekitar 60 cm. Daunnya besar-

besar mengumpul dibagian ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Setiap helai daunnya serupa kipas

dengan diameter mencapai 150 cm. Tangkai daun mencapai panjang 100 cm. Buah Lontar (Siwalan)

bergerombol dalam tandan dengan jumlah sekitar 20-an butir. Buahnya bulat dengan diameter antara 7-20 cm

dengan kulit berwarna hitam kecoklatan. Setiap butirnya mempunyai 3-7 butir daging buah yang berwarna

kecoklatan dan tertutupi tempurung yang tebal dan keras.

Page 25: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

80

dimasak menjadi gula sehingga bisa bertahan dalam tempo waktu yang lama. Gula

sabu merupakan salah menjadi kebutuhan pokok bagi orang Sabu, karena bisa

menjadi pengganti nasi. Dengan mengkonsumsi gula sabu dan air, seseorang dapat

bertahan, tidak mengkonsumsi nasi selama sehari. Selain itu, juga dipercaya bahwa

dapat mengurangi penyakit maag. Sehingga sangat dianjurkan bagi penderita maag

untuk mengkonsumsi gula sabu terlebih dahulu sebelum sarapan pagi hari.

Selain nira, daun lontar pun sangat berguna dalam kehidupan orang Sabu.

Daun lontar yang berbentuk kipas besar dan utuh dipakai untuk berbagai keperluan

yakni menjadi anyaman untuk menampung air, nira (haik), makan ternak, dipakai

untuk membuat alat musik tradisional dan keranjang anyaman penyimpanan

makanan seperti tempat makan (Pai), tempat menaruh pakaian atau sirih pinang

(Beka), sebagai bakul (Hope), tempat menyimpan benih dan persediaan makanan

dalam jumlah lebih dari seratus kilo disebut (Hoka). Selain itu, daun lontar juga bisa

digunakan untuk penutup atas rumah seperti seng. Batang lontar (La) adalah bahan

pokok kebutuhan papan bagi orang sabu. Batang lontar bisa dimanfaatkan untuk

bahan utama pembangunan sebuah rumah mulai dari tiang, lantai maupun kap

rumah, sementara dinding rumah dapat juga menggunakan daun lontar yang telah

dirangkai dan diikat secara rapi (Ru hibi hiu). Tangkai pohon lontar yang kokoh

dapat digunakan untuk pagar tanaman dan tongkat. Sementara batangnya dapat

dipakai sebagai tiang penyangga dan balokan rumah. Buah lontar dapat dimakan

isinya yang masih muda, sedangkan buah lontar yang telah tua dijadikan makanan

hewan piaraan orang Sabu. Demikianlah pohon lontar menjadi begitu penting dan

bermanfaatnya bagi kehidupan orang Sabu sehingga telah masuk menjadi budaya

mereka.

Page 26: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

81

Gambar 9. Hasil Lontar

g. Sirih Pinang (Kenana Kela)

Sirih pinang merupakan makanan yang memiliki peranan penting dalam

kehidupan orang Sabu. Sirih pinang ini dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari

dan juga disertai kebiasaan menghisap tembakau (bukan dibakar seperti rokok).

Tidak hanya sebatas persoalan konsumsi sehari-hari, tetapi sirih pinang merupakan

salah satu unsur dari barang bawaan pada saat prosesi upacara perkawinan adat.

Dalam upacara kematian, sirih pinang diwajibkan harus ada baik untuk disuguhkan

kepada pelayat ataupun kepada si mati.

Gambar 10. Sirih Pinang

Page 27: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

82

4) Bahasa

Orang Sabu biasanya berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asli Sabu yang

memiliki beberapa dialek, antara lain dialek Raijua, Mesara, Timu, dan Seba. Selain itu

orang Sabu juga menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan suku

lain seperti orang Sumba dan lain-lain. Akan tetapi untuk masa sekarang ini,

kebanyakan orang Sabu di perantauan tidak lagi menggunakan bahasa Sabu di rumah

dan dalam pergaulan sehari-hari. Orang Sabu di Sumba pun telah mahir dalam

menggunakan bahasa Sumba dalam pergaulan sehari-hari. 26

5) Kesenian

Kesenian yang paling menonjol adalah seni tari dan tenun ikat.

a. Tenun Ikat 27

Tenun ikat mereka yang terkenal adalah Hii Hawu (sarung sabu) dan Higi

Huri (selimut). Tenun Sabu yang terkenal adalah motif flora dan fauna serta motif

geometris. Motif tenunannya adalah pohon kelapa, kelopak bunga dan lain

sebagainya. Warna yang dipakai adalah coklat kemerahan atau biru.

Gambar 11. Kain Tenun Sabu

26

Wawancara dengan Bpk. M.L.D pada tanggal Kamis 17 Oktober 2013 27

Wawancara dengan Ibu Nape (salah seorang penenun kain Sabu) pada tanggal Jumat 11 Oktober 2013

Page 28: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

83

b. Seni tari 28

Tarian Sabu yang terkenal antara lain pe’doa dan ledo hau.

1) Tarian Pe’ doa

Tarian Pe’doa dilakukan oleh pria dan wanita sambil bergandengan tangan

di atas bahu, berderet melingkar, menggerakkan kaki searah jarum jam,

dihentakkan sesuai irama tertentu menurut nyanyian mone pe’jo, diiringi oleh

suara hentakan kaki yang yang telah diikat dengan pedue pada pergelangan kaki

para penari. Tarian ini melambangkan kebersamaan, persekutuan dan kegotong

royongan. Tarian ini biasanya dilakukan pada malam hari, pada bulan-bulan

tertentu yakni bulan da’ba, ‘bangaliwu dan a’a (Mei, Juni dan Juli).

2) Tarian Ledo Hawu

Tarian Ledo Hau adalah tarian yang dilakukan berpasangan pria dan wanita

diiringi gong dan tambur serta giring-giring pada kaki pria.

Gambar 12. Tarian Sabu

6) Sistem religi dan kehidupan kerohanian29

28

Wawancara Bpk Mapana pada tanggal Rabu 09 Oktober 2013 29

Wawancara dengan Bpk Pdt. Y. Djara pada hari Rabu, 16 Oktober 2013; bnd. Robert Riwu Kaho,

Orang Sabu dan Budayanya, h. 76-125

Page 29: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

84

Sebelum menganut agama Kristen, orang Sabu menganut kepercayaan tradisional

yang disebut Jingitiu. Kini masyarakat Sabu di Sumba telah menganut agama Kristen

Protestan. Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari dan adat istiadat, masih

dipengaruhi oleh norma dan nilai kepercayaan asli tersebut, seperti berikut ini:

a) Kepercayaan pada satu zat Ilahi yang disapa dengan “Deo Ama”, suatu oknum Ilahi

yang Maha Tinggi. Deo Ama juga disapa dengan sebutan “Deo Woro Deo Pennji”

(Tuhan pencipta semesta) atau “Deo Mone Ae” (Tuhan Maha Kuasa/ Maha Agung).

b) Segala ciptaan terdiri dari dua unsur esensial yang berpasang-pasangan. Orang Sabu

membedakan antara dua unsur esensial itu atas jenis kelamin laki-laki dan

perempuan, berbeda tetapi setara dan saling melengkapi.

c) Sebagai ciptaan Deo Ama, manusia merupakan bagian dari alam raya, harus selalu

menjaga hubungan atau relasi yang baik dengan penciptanya, disebut dengan

“Meringgi” atau dingin yang mendatangkan damai sentosa, mengerru (hijau/

kesuburan) dan merede (kelimpahan).

d) Untuk menjaga relasi yang harmonis antara manusia, alam dan Tuhan maka dalam

tatanan kehidupan diatur juga tentang ritual-ritual keagamaan, hubungan

kekerabatan dan hukum adat (uku rai).

e) Kepercayaan terhadap arwah leluhur. Orang sabu percaya bahwa kematian sebagai

kesempatan dimana seseorang bertemu dengan leluhurnya yang sudah

mendahuluinya di dunia gaib yaitu di Juli – Haba. Setelah dikuburkan, arwah orang

mati dipercayai akan berlayar dengan perahu yang dinakhodai oleh Ama Piga Laga

menuju ke Juli – Haba, dipercayai berada di Tanjung Sasar di pantai utara pulau

Sumba. Orang Sabu juga mempercayai bahwa antara keluarga yang sudah

meninggal dengan yang masih hidup tetap memiliki hubungan yang terjalin erat.

Page 30: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

85

Karena itu, orang Sabu akan menggunakan nama para orang tua/leluhur yang sudah

meninggal pada anak atau cucunya yang baru lahir sebagai bentuk penghormatan.

f) Tentang Wango atau iblis. Orang Sabu mempercayai wango adalah roh jahat yang

senantiasa ber-gentayangan serta melayang-melayang di udara yang sewaktu-waktu

menggoda manusia berbuat jahat dan kotor.

g) Jimat berbentuk benda-benda dan juga berupa kata-kata (Lii Pana) baik untuk

menyembuhkan dan menjaga diri serta membahayakan orang lain.

Berdasarkan pemaparan unsur-unsur budaya Sabu di Kambaniru dan Umalulu, dapat

dikatakan bahwa meskipun orang Sabu tidak berada di pulau Sabu, tetapi warisan budaya

leluhur tetap dipertahankan dan dilaksanakan di Sumba. Nampak juga bahwa dalam

pelaksanaan adat istiadat budaya Sabu terdapat pengaruh agama Kristen tetapi nilai dan

norma dari kepercayaan asli tetap mempengaruhi kehidupan orang Sabu di Kambaniru dan

umalulu. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan lokasi tempat tinggal dan perjumpaan

dengan budaya asing (budaya Sumba) tidak serta merta dapat mengubah budaya orang

Sabu. Identitas budaya Sabu dipertahankan sebagai sebuah jati diri untuk membedakan

komunitas mereka dengan masyarakat Sumba dan budayanya.

C. PROSES AKULTURASI

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam kehidupan komunitas

orang Sabu di Kelurahan Kambaniru dan Kecamatan Umalulu, ditemukan bahwa

perjumpaan dan interaksi sosial telah terjadi antara orang Sabu dengan masyarakat

Sumba sejak zaman dahulu kala hingga saat ini. Sebagaimana yang telah dipaparkan

terlebih dahulu mengenai perjumpaan dan kontak orang Sabu dengan orang Sumba

terjadi melalui berbagai hal seperti melalui hubungan nenek moyang, pengaruh penjajah,

hubungan kekerabatan dan kawin – mawin para raja dan keturunannya hingga pada masa

Page 31: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

86

kini terjadi melalui hubungan pergaulan sehari-hari, dalam persekutuan di gereja,

hubungan perkawinan campuran, hubungan kerja sama dalam mata pencaharian, bahasa,

dalam ranah pendidikan dan lain sebagainya.30

Melalui perjumpaan dan interaksi yang

terjadi secara langsung dan terus menerus sejak zaman dahulu hingga saat ini, tanpa

disadari membawa pengaruh terhadap budaya Sabu yang menyebabkan terjadinya

perubahan dalam budaya Sabu dengan Sumba.

Hal ini sepadan dengan apa yang dinyatakan oleh Spradley bahwa perubahan sosial

budaya yang dialami oleh setiap kelompok masyarakat terjadi akibat adanya reaksi setiap

orang dalam merespons berbagai interaksi dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik

maupun lingkungan sosial. Setiap respon yang diberikan akan melahirkan konsekuensi

dalam kehidupan selanjutnya, baik positif maupun negatif.31

Adapun perubahan yang

terjadi dalam komunitas orang Sabu dan budayanya di Kambaniru dan Umalulu

disebabkan oleh komunikasi dan interaksi yang terjadi selama perjumpaan orang Sabu

dengan orang Sumba berlangsung. Perubahan yang terjadi tidak hanya menyangkut

perubahan lingkungan fisik seperti mengenai tempat pemukiman komunitas orang Sabu

yang tidak lagi hanya terdapat pada daerah pesisir pantai dan berbentuk kampung (rai

udu) tetapi pada sekarang karena fakor pekerjaan dan perkawinan, beberapa orang Sabu

telah keluar dari kampung (rai udu) dan menetap di daerah kota dan pegunungan serta

hidup berdampingan dengan orang Sumba. Perubahan sosial budaya yang terjadi dalam

komunitas orang Sabu juga menyangkut perubahan dalam pelaksanaan adat istiadat

budaya Sabu.32

Adapun fenomena perubahan dalam unsur budaya Sabu yang disebabkan

karena perjumpaan dan interaksi antara orang Sabub dengan orang Sumba dan

budayanya inilah yang disebut dengan istilah Akulturasi.

30

Wawancara dengan Bpk. Makana pada tanggal Senin 14 Oktober 2013 31

James P. Spradley, Metode Etnografi (penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth), (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1997), h. 120-121 32

Wawancara dengan Bpk. Mapana, pada Selasa 8 Oktober 2013

Page 32: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

87

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Harsono mengenai defenisi akulturasi oleh Gilin

dan Gilin, sebagai “proses di mana masyarakat–masyarakat yang berbeda–beda

kebudayaannya mengalami perubahan oleh kontak yang lama dan langsung, tetapi

dengan tidak sampai kepada percampuran yang komplit dan bulat dari kedua kebudayaan

itu.” Selanjutnya, Koentjaraningrat menyatakan bahwa proses akulturasi itu timbul bila

suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan yang tertentu tentu dihadapkan

dengan unsur–unsur kebudayaan asing itu dengan lambat laun diterima dan diolah ke

dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan

sendiri.33

Maka dapat dipahami bahwa akulturasi budaya Sabu dapat terjadi ketika adanya

kontak antar budaya Sabu dengan budaya Sumba secara intensif dalam waktu yang lama,

dimana melalui interaksi tersebut menimbulkan adanya perubahan dalam budaya Sabu

atau budaya Sumba. Adapun kontak dan interaksi antara orang Sabu dengan orang

Sumba digambarkan dalam penjelasan oleh bpk Makana : 34

Pada awalnya orang Sabu berlum dapat dan mengerti mengenai bahasa

Sumba. Sehingga mengalami kesulitan dalam interaksi. Untuk dapat

berinteraksi, maka mereka menggunakan isyarat dan simbol berupa barang

atau gambar dalam menjelaskan maksud dan tujuan pembicaraan. Karena

orang Sabu adalah pendatang, maka harus berupaya untuk mempelajari

bahasa Sumba sedikit demi sedikit dalam setiap perjumpaan yang terjadi baik

di laut, ladang dan pasar (barter hasil ladang dan laut). Hal ini berlaku juga

bagi para raja, mereka saling mempelajari bahasa untuk menolong dalam

menjalani hubungan. Lama kelamaan dari proses belajar bahasa, akhirnya

orang Sabu pun dapat memahami dan melakukan interaksi yang baik dengan

orang Sumba. Demikian juga dengan orang Sumba, karena desakan

kebutuhan ekonomi (seperti barter jagung dengan ikan) maka mempelajari

bahasa Sabu. Tidak hanya itu, orang Sabu dan orang Sumba pada masa kini

telah menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini

mempermudah proses interaksi di antara kami, baik dalam hubungan sosial,

pekerjaan dan pelayanan di gereja.

33

Harsono, op. cit., h. 187 34

Wawancara dengan Bpk. M.L.D

Page 33: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

88

Adapun kontak antar budaya Sabu dengan budaya Sumba ini berlangsung baik

antar individu dari masing-masing budaya maupun dalam lingkup antar kelompok

budaya Sabu dengan budaya Sumba. Hal ini sepadan dengan yang dijelaskan oleh

Harsono mengenai bentuk-bentuk kontak kebudayaan yang menimbulkan proses

akulturasi.35

Bentuk-bentuk kontak tersebut dapat terjadi antara setiap anggota dari dua

kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat di Sumba, baik dalam hubungan

persahabatan dan kekerabatan yang terlalin antara para raja Sabu dengan raja Sumba,

atau pengabar Injil (orang Sabu) dengan masyarakat Sumba, yang mana dapat

diklasifikasikan dalam hubungan persahabatan ataupun dalam persoalan perang yang

terjadi antara orang Sabu dengan orang Sumba. Selain dalam bidang pemerintah, sosial

dan keagamaan, kontak antara orang Sabu dengan orang Sumba pun terjadi dalam bidang

pekerjaan dan bidang ekonomi.

Dalam kontak yang terjalin antara orang Sabu dengan orang Sumba, tanpa disadari

terjadinya proses adaptasi yang mana lambat laun menimbulkan adanya penerimaan dan

pengadopsian unsur-unsur budaya Sumba menjadi bagian dalam budaya Sabu seperti

dalam penggunaan bahasa. Dengan penerimaan unsur-unsur budaya Sumba dalam

komunitas orang Sabu itulah menyebabkan terjadinya perubahan dalam budaya Sabu di

Kambaniru dan Umalalu. Adapun unsur-unsur budaya Sumba yang masuk dalam budaya

Sabu, tentunya membawa perubahaan dalam budaya Sabu itu sendiri. Perubahan inilah

yang disebut dengan perubahan akulturatif. Perubahan akulturatif yang dimaksud ialah

perubahan yang terjadi dalam budaya Sabu karena pengaruh unsur budaya Sumba yang

diadopsi menjadi bagian dalam budaya Sabu, namun hal itu tidak menyebabkan

hilangnya unsur budaya Sabu asli. Contohnya dalam penggunaan bahasa Sumba oleh

35

Harsono, op. cit., h.188-189

Page 34: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

89

orang Sabu. Di mana dalam hubungan antar orang Sabu tetap menggunakan bahasa

Sabu. Sehingga mereka tidak meninggalkan budaya asli.

Adapun interaksi sosial yang terjalin dalam masyarakat Sumba dengan komunitas

orang Sabu merupakan awal pijakan terjadinya sebuah proses akulturasi budaya Sabu di

Sumba Timur khususnya di kelurahan Kambaniru dan Umalulu. Dalam perjumpaan dan

kontak antara dua budaya yang berbeda tersebut, mendorong individu dari masing-

masing kelompok budaya tersebut beradaptasi satu dengan yang lain. Tentunya sebagai

pendatang, orang Sabu akan berupaya untuk melakukan penyesuaian dengan masyarakat

Sumba, sehingga maksud dan tujuan kehadirannya di pulau Sumba dapat diterima dan ia

boleh mencapainya.

Orang Sabu memiliki sifat dan sikap yang mudah bergaul, serta kecapakan lokal

seperti dalam budaya lontar, nelayan dan mengelolah makanan, sikap suka menolong

serta jasa/bantuan mereka terhadap orang Sumba. Hal ini mendukung mereka untuk

dapat diterima dengan baik dan menjalin hubungan dengan masyarakat Sumba.

Penerimaan tersebut tidak hanya sebatas dalam menjalin pergaulan dan hubungan sosial

tetapi nampak juga ketika orang Sabu mendapat kepercayaan dalam menyelesaikan

persoalan yang terjadi di Sumba. Salah satu bukti dari penerimaan orang Sabu itu dengan

adanya hibah sebagai hadiah atas jasa dan bantuan mereka dalam menolong orang

Sumba. Dalam sejarah orang Sabu dan Sumba terdapat perjanjian Raja Sumba yang

menghibahkan tanah sepanjang pesisir pantai di Sumba Timur menjadi milik orang Sabu.

Meskipun perjanjian secara lisan, akan tetapi tetap diberlakukan hingga saat ini oleh

masyarakat Sumba.36

Demikianlah orang Sabu pun mendapatkan perlakuan yang

istimewa oleh masyarakat Sumba ketimbang suku lain yang berada di Sumba. Inilah

36

Wawancara dengan Bpk Pdt. Elias Rawambani, S. Th

Page 35: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

90

yang dikatakan dengan potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi yang

mempermudah berlangsungnya proses akulturasi.

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Bakker bahwa proses akulturasi akan

berlangsung jika empat syarat yang terdiri syarat persenyawaan, syarat keseragaman,

fungsi dan syarat seleksi.37

Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua unsur budaya asing

yang dapat diterima dan diolah menjadi bagian dalam kebudayaan sendiri. Tidak semua

unsur budaya Sumba yang dapat dengan mudah diserap dan diterima oleh orang Sabu.

Meskipun telah terjadi perjumpaan dan interaksi yang cukup lama dengan orang Sumba,

sebagaimana yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, bahwa orang Sabu di

Kambaniru dan Umalulu tetap menjaga dan memelihara identitas budaya asli mereka.

Perubahan akulturasi yang terjadi dalam komunitas orang Sabu hanya terdapat pada

beberapa unsur budaya Sabu saja, yang disebabkan dengan proses adaptasi dengan

lingkungan dan budaya masyarakat Sumba.

Dalam proses akulturasi budaya Sabu di Sumba, nampak adanya unsur budaya

Sumba yang sulit diterima dan diganti ialah terkait dengan sistem ajaran, falsafah, norma

dan nilai dari kepercayaan asli Marapu yang berbeda dengan kepercayaan orang Sabu,

sehingga unsur ini tidak diterima atau diadopsi dalam kehidupan orang Sabu di Sumba

Timur. Hal ini nampak dalam penjelasan oleh bapak Y.H.R. yang menyatakan bahwa :38

Orang Sabu yang di Kambaniru dan Umalulu telah beragama Kristen. Meskipun

demikian kami tetap memegang nilai-nilai budaya Sabu. Sehingga ketika kami

bergaul dengan orang Sumba, kami tetap tidak terpengaruh dengan kepercayaan

Marapu. Karena itu bertentangan dengan kepercayaan dan budaya kami.

Contohnya, orang Sumba mempercayai Marapu sebagai pencipta dan ketika

melakukan ritual upacara kematian, seperti persembahan hewan yang dipotong,

papanggu (ata) yang ikut mati bagi golongan maramba, dan lain sebagainya. Hal

itu tidak berlaku dalam budaya kami.

37

J. W. M. Bakker. SJ., Filsafat Kebudayaan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2014), h. 116 38

Wawancara dengan Bpk. Y.H.R.

Page 36: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

91

Penjelasan tambahan dari bapak Mahari yang menuturkan mengenai adat

perkawinan Sumba seperti :39

Dalam adat istiadat perkawinan Sumba terdapat istilah adat hilir (silih/ sikap

menghindar) antara ayah mertua dengan anak mantu dan ipar lelaki dari suami.

Sedangkan dalam adat perkawinan budaya Sabu, hal itu tidak berlaku dalam

budaya Sabu. Hal lainnya ialah sistem perkawinan adat Sumba yakni mengenai

penetapan makna belis putus tidak sesuai dengan pemahaman makna belis atau

mas kawin dalam perkawinan adat Sabu. Ketika terjadi perkawinan campur,

seorang lelaki Sumba menikah dengan perempuan Sabu, hal ini tidak terjadi dalam

keluarga Sabu. Artinya, hubungan anak mantu (Sumba) dengan mertua (Sabu)

terjalin seperti biasa, hilir tidak berlaku dalam keluarga Sabu. Makna belis putus

juga tidak berlaku dalam kalangan komunitas orang Sabu, karena dalam

perkawinan itu dilaksanakan adat Kenoto.

Nampaklah bahwa dalam beberapa unsur budaya Sabu yang memegang peranan

penting seperti yang digambarkan di atas, tidak mengalami perubahan akulturasi.

Adapun dalam proses adaptasi, hanya terdapat beberapa unsur budaya Sumba yang dapat

diserap oleh orang Sabu dan menjadi bagian dalam kehidupan sehari-harinya.

Pengadopsian beberapa unsur itu terjadi dalam rentang waktu yang lama dan melalui

berbagai peristiwa dan adat istiadat masyarakat Sumba. Adapun penerimaan unsur

budaya Sumba itu tidak secara langsung menjadi bagian budaya, tetapi unsur tersebut

masih mengalami seleksi dan pengolahan. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh

Bakker mengenai syarat-syarat penerimaan unsur budaya asing, demikianlah yang terjadi

dalam budaya Sabu. Hanya unsur budaya Sumba yang memiliki keseragaman budaya,

nilai tambah dan berperan sangat penting dalam kebutuhan orang Sabu, unsur-unsur

budaya itulah yang dengan mudah dapat diterima dan dijadikan bagian dari budaya Sabu.

Penerimaan unsur itu dimulai dari seorang atau sejumlah individu yang kemudian

menyebar menjadi bagian dari sub kebudayaan keluarga, kelompok sehingga lama

kelamaan mendapat dukungan oleh semua anggota masyarakat. Contohnya, gula Sabu

39

Wawancara dengan Bpk Mahari

Page 37: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

92

dinikmati oleh sebagian orang Sumba, kemudian disebarkan bahkan dijual dan

dikonsumsi sebagai minuman dan obat bagi masyarakat Sumba.

Selain bahasa, unsur-unsur budaya Sumba yang mudah diterima dalam orang Sabu

ialah terkait dengan peralatan dan perlengkapan kehidupan di Sumba seperti penggunaan

kuda sebagai sarana transportasi. Selain itu, pemakaian sarung Sumba sebagai pakaian

dalam pekerjaan atau adat istiadat, sarung atau selimut Sumba yang menjadi barang

bawaan saat upacara kematian. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Sabu juga meniru

cara pemakian sarung perempuan Sumba. Pemakaian sarung Sabu tidak lagi dilipat dua

kali dan dililit pada pinggang tetapi cukup dililitkan pada bagian pinggang.40

Adapun

berikut ini adalah beberapa wujud akulturasi yang terjadi dalam komunitas orang Sabu di

Kambaniru dan Umalulu yakni :

1. Bahasa

Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan

bahasa Sumba dan bahasa Sabu dalam pergaulan sehari-hari antara komunitas Sabu

dan masyarakat Sumba. Penggunaan bahasa Sabu tidak hanya dalam hal pergaulan

tetapi juga dalam pemberian nama tempat atau kota di daerah Sumba Timur dengan

menggunakan bahasa Sumba diantaranya seperti nama kota Umalulu yang sering

disebut dengan Melolo (bahasa Sabu), Kali Uda, Rae Kiha, Rame Nyiu, Rame Due,

dan beberapa daerah lainnya. Adapun penamaan ini memiliki makna yang disesuaikan

dengan keberadaan daerah atau tempat tersebut. Selain itu pemberian nama panggilan

Sabu atau Sumba pada lelaki (ama atau umbu) dan perempuan (ina atau rambu) tidak

hanya diberikan sesuai suku budaya nya sendiri, tetapi seorang lelaki Sumba dapat

dipanggil ama dalam pergaulan sehari-hari, demikian juga dengan perempuan.

2. Organisasi Sosial Kemasyarakatan

40

Wawancara dengan Bpk. D. D. H

Page 38: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

93

Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan, misalnya dalam hal

kepemimpinan nampak dari peran orang Sabu yang penting dalam sistem pemerintahan

dan pelayanan GKS. Dahulunya di Sumba, pucuk pemerintahan dipimpin oleh kaum

maramba Sumba. Namun pada masa kini, orang Sabu pun memiliki kesempatan untuk

memangku jabatan dan peran penting dalam bidang pemerintahan dan gereja. Contohnya,

dalam bidang gereja di wilayah Sumba, banyak orang Sabu menjadi pendeta, vikaris, guru

injil yang bekerja sama dengan orang Sumba. Dalam bidang pemerintahan daerah, orang

Sabu juga memangku jabatan tinggi dan bekerja sama dengan orang Sumba seperti wakil

bupati, kepala kantor, anggota DPRD, dokter, camat dan lain sebagainya.

3. Sistem Perkawinan

Ada beberapa hal terkait dengan wujud akulturasi budaya Sabu di Sumba, seperti

acara adat ihi kenoto (sambung tangan) yang ditiru dan dipraktekkan oleh masyarakat

Sumba yakni dalam istilah acara ‘kumpul tangan’. Dalam acara ini, pihak lelaki akan

mengundang keluarga besar dan kerabat untuk dapat bersama-sama menangung dan

mempersiapkan mas kawin atau belis yang akan dihantar ke rumah pihak perempuan.

Selain itu, pada tahapan masuk minta dalam perkawinan campur antara perempuan Sabu

dan lelaki Sumba, terdapat pelaksanaan pengungkapan identitas Sumba dalam hantaran

lamaran berupa seekor kuda dan sebuah mamuli mas, atau pemberian sarung Sumba

sebagai sambutan dan hadiah kepada mempelai pengantin sebagai anggota keluarga yang

baru.

4. Adat Kematian

Wujud akulturasi yang nampak dalam adat kematian Sabu ialah berupa perubahan

yang terjadi terkait dengan pembawaan kain sumba oleh orang Sabu yang melayat. Selain

itu letak dan bentuk kubur tidak hanya ditimbuni tanah dan diletakkan di bawah rumah,

Page 39: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

94

tapi di depan atau samping rumah dan berbentuk seperti yang dilakukan oleh orang

Sumba.

5. Peralatan Hidup dan Teknologi

Wujud akulturasi dari peralatan hidup dan teknologi dalam kehidupan orang Sabu di

Sumba ialah seperti dalam pemakaian haik (tempat penyimpanan air, nira). Pada masa

sekarang ini sudah tidak lagi digunakan, diganti dengan penggunaan botol bekas atau

tempat penampungan air lainnya. Selain itu, atap rumah yang sudah tidak lagi

menggunakan daun lontar diganti dengan alang, seperti yang dilakukan oleh orang Sumba.

Contoh lainnya ialah seni bangunan rumah orang Sabu di Sumba. Pada masa sekarang

ini, makna letak dan bangunan rumah sudah tidak diperhatikan lagi. Yang dahulunya

menggambarkan letak pulau Sabu dan atapnya seperti perahu terbalik. Tetapi sekarang

letak rumah seperti letak rumah Sumba yakni menghadap ke jalan. Selain itu, rumah orang

Sabu dibangun tidak dalam bentuk rumah kelaga yang terbuat dari bahan pohon lontar.

Tetapi beberapa rumah terbuat dari semen dan seng mengikuti pola bangunan masa kini,

dan ada juga yang membangun rumah seperti model bangunan rumah Sumba yang

memakai menara pada bagian atap. Wujud akulturasi lainnya ialah pada bentuk kubur dari

orang Sabu di Sumba juga mengalami perubahan. Kuburan asli orang Sabu biasanya

cukup ditimbun dengan tanah dan diletakkan di bawah rumah sehingga tersembunyi.

Tetapi di Sumba, kuburan orang Sabu telah terbuat dari bahan batu dan semen dan

diletakkan di depan atau samping rumah, sebagaimana bentuk kubur dalam budaya

Sumba.

6. Kesenian

Wujud akulturasi dalam bidang kesenian terlihat dari seni tenun dan seni tari . Dalam

seni tenun, motif tenunan telah dikreasikan sesuai tuntutan pemesanan, contohnya gambar

mamuli dan kuda pada sarung Sabu. Sarung Sabu juga tidak hanya digunakan oleh orang

Page 40: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

95

Sabu, tetapi juga dipakai oleh orang Sumba. Cara berpakaian orang Sabu telah mengalami

perubahan dan akulturasi seperti penggunaan kain selimut atau sarung Sumba oleh orang

Sabu. Selain itu cara pemaikaan sarung lebih mengikuti tata cara pemakaian sarung

Sumba.

Wujud akulturasi dalam seni tari ialah pada jenis tarian pe’doa tidak dilakukan terkait

dengan upacara Jingitiu dan dipentaskan pada malam hari, tetapi di Sumba, tarian ini

dipentaskan oleh orang Sabu pada saat siang hari seperti dalam memeriahkan acara HUT

RI, acara di gereja atau pertemuan khusus menyambut tamu dan lain sebagainya.

7. Wujud akulturasi dalam pemukiman orang Sabu. Perkampungan asli orang Sabu (rai)

yang terdiri dari kumpulan udu/kerogo tidak lagi berlaku. Perkampungan orang Sabu

tidak hanya terdapat di daerah yang dekat muara sungai atau pingir laut, tetapi orang Sabu

pun telah menetap di daerah pegunungan Sumba Timur. Hal ini juga dipengaruhi oleh

keadaan geografis Sumba, mata pencaharian, dan hubungan perkawinan. Karena itu

dalam perkampungan orang Sabu telah hidup berdampingan dengan orang Sumba.

8. Wujud Akulturasi dalam sistem mata pencaharian. Orang Sabu terkenal sebagai nelayan

yang unggul, dan penyadap nira lontar (due). Ketika berada di Sumba, mata

pencahariannya pun berubah sesuai dengan keadaan geografis di Pulau Sumba dan

pengaruh agama Kristen. Dalam hal bertani, orang Sabu pun belajar dan mengadopsi cara

bercocok tanam di sawah tadah hujan sebagaimana yang dilakukan oleh orang Sumba.

Dari uraian pembahasan hasil penelitian mengenai proses akulturasi budaya Sabu yang

terjadi di Sumba Timur khususnya di Kelurahan Kambaniru dan Umalulu menunjukkan

bahwa dalam perjumpaan budaya Sabu dengan budaya Sumba, orang Sabu tetap memelihara

budaya aslinya dan juga mengalami perubahaan akulturatif yang disebabkan adanya unsur

budaya Sumba yang diterima dan diolah menjadi bagian budaya Sabu. Hal ini sesuai dengan

pemaparan yang disampaikan oleh Berry bahwa ada dua dimensi yang mendasari proses

Page 41: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

96

akulturasi yakni terkait dengan pemeliharan warisan indentitas budaya asli dan pemeliharaan

hubungan atau kontak dengan kelompok budaya lain. Selanjutnya berdasarkan dua dimensi

tersebut, maka proses akulturasi tersebut dapat terwujud dalam empat strategi berupa

integrasi, separasi, asimilasi, and marginalisasi.41

Dalam proses akulturasi budaya Sabu dengan budaya Sumba, strategi integrasi

terwujud ketika orang Sabu tetap memelihara budaya aslinya selama ia menjalin interaksi dan

hubungan sosial dengan masyarakat Sumba dalam kehidupan sehari-harinya. Contohnya,

dalam bidang mata pencaharian sebagai bertani, orang Sabu bekerja sebagai petani dengan

menyesuaikan dan mempelajari serta mengadopsi cara bercocok tanam pada di sawah tadah

hujan. Lainnya ialah dalam penggunaan bahasa Sumba dalam pergaulan sehari-hari. Strategi

separasi terjadi ketika komunitas Sabu hanya memiliki fokus untuk menghidupi nilai-nilai

budaya aslinya dan sekaligus mencoba menghindari berinteraksi dengan yang lain. Hal ini

nampak dengan adanya komunitas Sabu di Kambaniru dan Umalulu, yang mana masih

terdapat orang-orang Sabu tertentu yang menutup diri dalam pergaulan dengan orang Sumba.

Sehingga lebih memilih untuk berinteraksi dengan sesama orang Sabu dari pada dengan

masyarakat Sumba. Strategi asimilasi terjadi manakala orang Sabu tidak lagi

mempertahankan identitas budayanya dan kemudian membangun hubungan dan interaksi

dengan budaya Sumba dalam kehidupan sehari-hari. Di sini orang Sabu tersebut telah

beradaptasi dan membuka dirinya untuk menerima unsur-unsur budaya Sumba menjadi

bagian kehidupannya, bahkan ia dapat meninggalkan budaya aslinya. Hal ini terjadi bagi

orang Sabu yang telah menetap bukan lagi di pesisir pantai atau pada perkampungan orang

Sabu tetapi karena faktor pekerjaan, ia telah menetap di daerah kota atau daerah pelosok di

dataran pegunungan seperti Tabundung, Tanara, sehingga hidup berdampingan dan

41

Colleen Ward and Arzu Rana-Deuba, Acculturation and Adaptation Revisited. Journal of Cross-

Cultural Psychology, Western Washington University, Vol. 30, No. 4, July, 1999, 422-442 diunduh dari

http://www.uk.sagepub.com/thomas2e/study/articles/section3/Article68.pdf

Page 42: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

97

berinteraksi secara langsung dan terus menerus dengan masyarakat Sumba. Perjumpaan dan

interaksi yang berlangsung secara intensif dalam waktu yang lama, menghasilkan pengaruh

terhadap dialek, bahasa, cara berpakaian, dan mata pencaharian yang mana telah mengikuti

budaya Sumba. Strategi marginalisasi terjadi ketika adanya kemungkinan orang Sabu untuk

memelihara budaya aslinya sementara ia membuka ruang untuk berinteraksi dengan orang

Sumba hanya dalam beberapa unsur budaya dan adat istiadat. Contohnya ketika orang Sabu

di Kambaniru yang menjalin hubungan dan interaksi dengan orang Sumba dalam bidang

pekerjaan seperti di pasar, kantor, gereja.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjumpaan orang Sabu dengan orang Sumba

dapat menjadi pendorong terjadinya proses akulturasi budaya Sabu. Proses akulturasi itu pun

berjalan dengan baik, yang mana terjadinya strategi integrasi antara beberapa unsur

kebudayaan Sumba dengan unsur kebudayaan Sabu. Adapun beberapa akibat akulturasi

dalam komunitas orang Sabu seperti berikut :

Substitusi. Contohnya ialah perubahan pemakaian sarung atau kain Sumba serta cara

penggunaannya oleh orang Sabu. Hal ini terjadi disebabkan karena penyesuaian dengan

budaya dan masyarakat Sumba, dan cara pemakaian sarung Sabu seperti cara berpakaian

orang Sumba dianggap lebih mudah dan sederhana.

Sinkretisme. Contohnya ialah nampak dalam cara membangun rumah dan kubur. Tidak

lagi seperti kebiasaan lama dimana letak rumah sesuai dengan letak pulau Sabu dan letak

kubur berada di bawah rumah. Pada masa kini, orang Sabu membangun rumah

disesuaikan dengan keadaan geografis di Sumba bahkan mengikuti cara orang Sumba

membangun rumah dan kuburan.

Addition. Penambahan gambar mamuli dan kuda sebagai simbol identitas suku Sumba

pada motif sarung Sabu. Contoh lain ialah dalam sistem perkawinan yang mana terjadi

antara lelaki Sumba dengan perempuan Sabu. Pada tahap masuk minta, biasanya

Page 43: Perjumpaan Budaya Sabu dengan Budaya Sumba (Studi ......Kambaniru menganut agama Kristen, yang terdiri dari Gereja Kristen Sumba (GKS), Gereja Kemah Injil, Bethel, Pentakosta, Kristen

98

dilakukan acara penyataan identitas suku Sumba dengan pemberian sebuah mamuli mas

dan seekor kuda sebagai hantaran lamaran pihak lelaki kepada perempuan Sabu.

Originasi. Contohnya, dalam pembuatan rumah, tidak lagi menggunakan bahan dari

pohon lontar tetapi atap rumah dapat menggunakan rumput alang, daun kelapa dan seng

sedangkan bagian lainnya menggunakan pohon kelapa, balok dan lain sebagainya yang

disesuaikan dengan keadaan alam di daerah Sumba, dan kemampuan ekonomi dari

pemilik rumah tersebut.

Demikianlah pembahasan hasil penelitian mengenai perjumpaan budaya Sabu

dengan budaya Sumba yang menunjukkan adanya unsur budaya Sabu yang lebih dominan

dilestarikan dan juga adanya perubahan beberapa unsur budaya Sabu akibat proses

akulturasi budaya Sabu yang terjadi di Kelurahan Kambaniru dan Umalulu.