perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

168
i PERJANJIAN PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA ALAS KEDATON ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN DENGAN DESA PAKRAMAN KUKUH I GUSTI AGUNG EKA ADHIKA PRANATA PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

Upload: truongnhu

Post on 01-Jan-2017

298 views

Category:

Documents


19 download

TRANSCRIPT

Page 1: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

i

i

PERJANJIAN PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA ALAS KEDATON

ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN DENGAN DESA PAKRAMAN KUKUH

I GUSTI AGUNG EKA ADHIKA PRANATA

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015

Page 2: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

ii

ii

PERJANJIAN PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA ALAS KEDATON

ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN DENGAN DESA PAKRAMAN KUKUH

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana

I GUSTI AGUNG EKA ADHIKA PRANATA

NIM. 1292462003

PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2015

Page 3: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

iii

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL : 17 JUNI 2015

KOMISI PEMBIMBING

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Prof.Dr.I Wayan Windia, S.H.M.Si Dr. I Ketut Sudantra, S.H.,M.H NIP 19551127 198610 1 001 NIP 19601003 198503 1 003

MENGETAHUI :

Ketua Program Magister Kenotariatan Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr. Desak Putu Dewi Kasih, S.H.,M.Hum Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19640402 198911 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001

Page 4: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

iv

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 5 Juni 2015

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana

Nomor : 1703/UN14.4/HK/2015 Tanggal 4 Juni 2015

Ketua : Prof. Dr. I Wayan Windia, SH.,M.Si Anggota : 1. Dr. I Ketut Sudantra, SH.,MH 2. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum 3. Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH., M.Hum 4. Dr. Ni Nyoman Sukerti, SH., MH

Page 5: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

v

v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : I GUSTI AGUNG EKA ADHIKA PRANATA

NIM. : 1292462003

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Tesis : Perjanjian Pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton

Antara Pemerintah Kabupaten Tabanan Dengan Desa

Pakraman Kukuh

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila

dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia

menerima sanksi sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Tabanan, 14 Juni 2015

Yang membuat pernyataan,

(I Gusti Agung Eka Adhika Pranata)

Page 6: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

vi

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena

berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun

judul tesis ini adalah “PERJANJIAN PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA

ALAS KEDATON ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN

DENGAN DESA PAKRAMAN KUKUH ”. Dalam penulisan tesis ini, penulis

menyadari masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu besar harapan penulis

semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar

Magister Kenotariatan pada Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana

Universitas Udayana.

Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari

para pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini, penulis ingin

mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing pertama

penulis, yaitu Prof. Dr. I Wayan Windia, SH.,M.Si dan pembimbing kedua Bapak

Dr. I Ketut Sudantra, SH.,MH yang telah sabar memberikan dukungan, bimbingan

dan juga saran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika,

Sp.PD., KEMD, Rektor Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan

untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas

Udayana. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K),

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, dan kepada Dr. Desak Putu

Page 7: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

vii

vii

Dewi Kasih, S.H., M.Hum., Ketua Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Udayana atas kesempatan dan bimbingan yang diberikan kepada

penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi

Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Terima kasih juga penulis tujukan

kepada Bapak/Ibu Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Udayana yang telah memberikan tambahan ilmu kepada penulis,

kepada Bapak/Ibu staff administrasi Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Udayana yang turut membantu saya dalam proses administrasi tesis

ini.

Terima kasih dan puja puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Ida Bhatara Bhetari Leluhur ring Pemerajan

Ageng Jero Alit Kukuh, Ida Bhatara Shri Sirarya Sentong, Ida Bhatara Pura

Dalem Khayangan Kedaton, Sesuwunan Ida Bhatara sejebagan jagat Kukuh,

Sesuwunan Ratu Niang Sakti, Ratu Nyoman Pengadangan sareng rencang-

rencang Ida Bhatara, yang selalu memberikan tuntunan dan bimbingan secara

Niskala sehingga dapat terselesaikan tesis ini dengan baik. Keluarga besar Jero

Alit Kukuh tercinta, Ayah Ir I Gusti Alit Purnata, Ibu Ir Ni Made Ayu Wikarmini,

adik tersayang I Gusti Ayu Dwityani Adhi Pratiwi, S.S, kepada Paman Drs. I

Gusti Made Purnayasa, S.H.,M.Si, Dr. Drs. I Gusti Ketut Purnaya.S.H.,M.Si, Bibi

tersayang Dra Ni Made Wahyuni, I Gusti Ayu Sarini, S.H, kakak sepupu I Gusti

Ngurah Agung Kusumayasa Diputra S.H, I Gusti Bagus Dwi Putra Aryantho,

ST.ME, I Gusti Ngurah Agung Ramabayu Permana.S.E, I Gusti Ngurah Agung

Aditya Permana.S.H, I Gusti Ngurah Agung Try Parameswara Prawira.S.H, Ni

Page 8: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

viii

viii

Wayan Legi Sugiati Saputri.S.H, Putu Bagianingsih. S.Pd, Keponakanku kembar

tiga I Gusti Ngurah Agung Aswangga Devananda Kusuma, I Gusti Agung Ayu

Devira Dwarahita Kusuma, I Gusti Agung Ayu Devina Dvarahita Kusuma, I

Gusti Ngurah Agung Satya Ananta Paramesta, dan tidak lupa yang tercinta Anak

Agung Diah Prabandari atas segala doa, ketulusan, keikhlasan dan kasih sayang

dan semangat untuk menyelesaikan kewajiban tugas akhir tesis ini dengan lancar.

Kepada seluruh keluarga besar Agung Studio terimakasih atas dukungan serta

semua nasehat yang diberikan akan selalu menjadi motivasi.

Terimakasih kepada teman-teman tercinta Agung Putra Wiryawan, Sisilia

Prabandari, Ida Ayu Widyari, Adi Sumiarta, Oka Yoga Bharata, Wahyu Resta,

Prapta Jaya, Alim Prabowo, Icha, Novita Indah Pandansari, Indah Desi Pratiwi,

Willy Pramana, Pratama Wijaya, Agung Andika Darmawan, Ayusta Indra, Vello,

Bayu Bumi, Yus Sudibya, serta teman-teman seperjuangan Angkatan V Mandiri

Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu memberikan

semangat dan dorongan dalam penulisan tesis ini. Serta semua pihak yang

namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung dalam

proses pembuatan tesis ini.

Akhirnya semoga tesis ini tidak hanya dapat memberikan sumbangan

pikiran bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada

khususnya, tetapi juga bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Tabanan, 14 Juni 2015

Penulis

Page 9: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

ix

ix

ABSTRAK

PERJANJIAN PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA ALAS KEDATON

ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN DENGAN DESA PAKRAMAN KUKUH

Penelitian tentang Perjanjian Pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton Antara Pemerintah Kabupaten Tabanan Dengan Desa Pakraman Kukuh, bertujuan untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang dibahas yakni apakah perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian? Apakah perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum?. Sesudah melakukan penelitian dengan fokus penelitian normatif, menjadikan bahan hukum sebagai kajian kemudian di analisis berdasarkan teori perjanian dan teori tujuan hukum, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan atas permasalahan di atas sebagai berikut. Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini merupakan penelitian normatif yang berangkat dari ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam perjanjian. Sumber bahan hukum penelitian ini diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dan ditunjang oleh data empiris yang diperoleh di lapangan. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk memberikan gambaran atau memaparkan keadaan yang sebenarnya di dalam masyarakat, dalam hal ini di Desa Pakraman Kukuh Marga, Kabupaten Tabanan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakrman Kukuh telah memenuhi asas kepastian hukum, namun belum memenuhi asas keadilan dan asas manfaat demi tercapainya keseimbangan dan menguntungkan kedua belah pihak. Kata kunci : Desa Pakraman, Perjanjian, Pengelolaan, Objek Wisata.

Page 10: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

x

x

ABSTRACT MANAGEMENT AGREEMENT

OF ALAS KEDATON TOURISM OBJECT ATTRACTION BETWEEN TABANAN REGENCY’S GOVERNMENT WITH

PAKRAMAN KUKUH VILLAGE

Research regarding Management Agreement of Alas Kedaton Tourism Object Attraction Between Tabanan Regency’s Government With Pakraman Kukuh Village has its aim to find out the answers toward problem which is being discussed whether the agreement between Government of Tabanan Regency with Pakramna Kukuh Village has fulfilled the agreement’s condition? Does the agreement between Government of Tabanan Regency with Pakraman Kukuh Village fulfill the principle of fairness, benefit, and law’s certainty? After doing the research focusing on normative research, using law’s material as the discussion, then analyzing based on theory of agreement and theory of law’s aim, there are several conclusions on the problems that can be uttered such as follows Type of research in writing this thesis is normative research that comes from imbalance between rights and obligations of each parties in agreement. Source of this research law is obtained from primary and secondary law’s material as well as supported by empirical data obtained in the field. This research’s characteristic is descriptive which means to give picture or elaborate the actual situation within the society, in this case at Desa Pakraman Kukuh, Marga, Tabanan Regency. The research’s outcome shows that the agreement between Tabanan Regency Government with Pakraman Kukuh Village have qualified the agreement’s condition which is appropriate with the provision Article 1320 of the Civil Code and the Law Number 50 of 2007 on How The Implementation of Regional Cooperation. However, that particular agreement has qualified the principle of law’s certainty, but has not fulfilled the principle of fairness and benefits in order to achieve balance and benefit both parties Keywords : Desa Pakraman, Agremeent, Management, Tourism Object

Page 11: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

xi

xi

RINGKASAN

Tesis ini menganalisis mengenai Perjanjian Penyelenggaraan Dan Pengelolaan Kepariwisataan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton Antara Pemerintah Kabupaten Tabanan Dengan Desa Pakraman Kukuh. Pada Bab I, menguraikan mengenai latar belakang masalah dilakukannya perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, dimana dijelaskan adanya “Pakrimik Krama” (perbincangan di masyarakat), bahwa terjadi ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban yang terdapat di dalam isi perjanjian yang belum memenuhi asas keadilan. Perjanjian yang di buat pada Tahun 2012 hingga saat ini belum pernah membantu bahkan ikut memelihara fasilitas Objek Wisata Alas Kedaton terlebih bagi Pura Dalem Khayangan Kedaton sebagai timbal balik atas pembagian hasil yang telah diterima Pemerintah Kabupaten Tabanan yang bersumber dari tiket masuk dan karcis parkir. Pada Bab II, membahas mengenai gambaran umum tentang Objek Wisata Alas Kedaton yaitu mengenai letak geografis, sejarah, potensi, dan pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dilihat dari management pengelolaan dan hasil pengelolaan. Pada Bab III, merupakan pembahasan permasalahan yang pertama, yaitu membahas mengenai perjanjian yang dibuat antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh dilihat dari perspektif syarat perjanjian, bentuk perjanjian, dan keabsahan perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dilihat dari aturan yang berlaku. Pada bab IV, merupakan hasil penelitian di lapangan dan pembahasan untuk permasalahan kedua. Dalam pembahasan ini menjelaskan mengenai perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dalam perspektif tujuan hukum yang terdiri dari perspektif kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan dan di tambah mengenai perspektif Hukum Adat Bali. Pada bab V, sebagai bab penutup yang menguraikan mengenai kesimpulan dan saran. Dalam kesimpulan pertama menerangkan bahwa perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian yang mengacu pada dasar hukum Pasal 1320 KUHPerdata dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Kesimpulan kedua menerangkan bahwa Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi asas kepastian hukum, namun belum memenuhi asas keadilan dan kemanfaatan. Sebagai saran dari penulis hendaknya perlu dikaji kembali mengenai poin-poin dari perjanjian agar dapat memberikan manfaat dan memberi keuntungan bagi kedua belah pihak.

Page 12: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

xii

xii

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM.................................................................................... i

PERSYARATAN GELAR ........................................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI .......................................... iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ......................................................... v

UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... vi

ABSTRAK ................................................................................................ ix

ABSTRACT .............................................................................................. xi

RINGKASAN ............................................................................................ xii

DAFTAR ISI ............................................................................................. xiii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 8

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 9

1.3.1 Tujuan Umum ............................................................ 9

1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................ 9

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 10

1.4.1 Manfaat Teoritis ......................................................... 10

1.4.2 Manfaat Praktis........................................................... 10

1.5 Landasan Teoritis ................................................................. 10

1.5.1 Teori Perjanjian ........................................................... 11

1.5.2 Teori Tujuan Hukum ................................................... 15

1.5.3 Konsep Perjanjian ........................................................ 20

Page 13: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

xiii

xiii

1.5.4 Konsep Pengelolaan .................................................... 21

1.5.5 Konsep Objek Wisata .................................................. 22

1.5.6 Konsep Desa Pakraman ............................................... 23

1.6 Metode Penelitian................................................................. 24

1.6.1 Jenis Penelitian ............................................................ 24

1.6.2 Jenis Pendekatan .......................................................... 25

1.6.3. Sumber Bahan Hukum ................................................ 26

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................ 27

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum .................................... 28

BAB II Gambaran Umum Tentang Objek Wisata Alas Kedaton

2.1 Tinjauan tentang Objek Wisata Alas Kedaton ........................ 30

2.1.1 Letak dan Geografis .................................................... 30

2.1.2 Sejarah ........................................................................ 33

2.1.3 Potensi......................................................................... 39

2.2 Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton ............................... 43

2.2.1 Pengelola Objek Wisata Alas Kedaton ......................... 43

2.2.2 Management Pengelolaan ............................................ 50

2.2.3 Hasil Pengelolaan ........................................................ 52

BAB III Keabsahan Perjanjian Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton

3.1 Pengertian, Syarat-syarat dan Bentuk Perjanjian ................... 56

3.2 Bentuk Perjanjian Objek Wisata Alas Kedaton ...................... 84

3.3 Keabsahan Perjanjian Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton 90

Page 14: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

xiv

xiv

BAB IV Perjanjian Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dalam

Perspektif Tujuan Hukum

4.1 Tujuan Hukum ..................................................................... 104

4.1.1 Hukum Barat .............................................................. 104

4.1.2 Hukum Adat Bali ....................................................... 107

4.2 Tinjauan Terhadap Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton 111

4.2.1 Perspektif Kepastian Hukum ...................................... 111

4.2.2 Perspektif Kemanfaatan ............................................. 119

4.2.3Perspektif Keadilan ..................................................... 125

4.2.4 Perspektif Hukum Adat Bali ....................................... 132

BAB V Penutup

5.1 Kesimpulan ........................................................................... 141

5.2 Saran ..................................................................................... 142

DAFTAR BACAAN

Page 15: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

xv

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Daftar Informan

Lampiran 2 : Perjanjian Kerjasama Pemerintah Kabupaten Tabanan

dengan Desa Pakrama Kukuh Kecamatan Marga

Lampiran 3 : Awig-awig Desa Pakraman Kukuh, Marga, Tabanan

Lampiran 4 : Data kunjungan dan pendapatan DTW Alas Kedaton

Lampiran 5 : Koran Bisnis Bali, Tanggal 6 Januari 2015, dengan judul

”Alas Kedaton Minim Sentuhan”

Page 16: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sesuai dengan ketentuan Peraturan Derah Propinsi Bali (Perda) Nomor 3

Tahun 2001, Desa Pakraman memiliki pengertian kesatuan masyarakat hukum

adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama

pergaulan hidup masyarakat umat Hindu, secara turun temurun dalam kaitan

khayangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta

kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Pasal 1 ayat (4)

Perda Nomor 3 Tahun 2001). Ketentuan mengenai pengertian desa pakraman

tersebut tentang wilayah dan harta kekayaan yang berhak di urus sendiri oleh desa

pakraman, maka sesungguhnya tidak ada yang dapat menginterfensi dan mengatur

apa yang menjadi hak dari desa pakraman yang bersangkutan. Dalam kaitannya

dengan tesis ini maka Desa Pakraman Kukuh menjadi tempat penelitian, terutama

Objek Wisata Alas Kedaton dimana objek wisata ini merupakan harta kekayaan

yang dimiliki oleh Desa Pakraman Kukuh, ini sesuai dengan pengertian Desa

Pakraman yang terdapat di dalam ketentuan Perda Nomor 3 Tahun 2001.

Latar belakang di lakukannya penelitian ini bermula dari dilakukannya

perjanjian berupa kerjasama Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa

Pakraman Kukuh Kecamatan Marga, Nomor 15 Tahun 2012 tentang

penyelenggaraan pengelolaan kepariwisataan daya tarik wisata alas kedaton.

Penelitian ini diambil mengingat penulis telah melakukan penelitian pendahuluan

Page 17: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

2

di lokasi yang menemukan adanya perbincangan dari masyarakat (pakrimik

krama) mengenai manfaat dari dibuatnya perjanjian pengelolaan Objek Wisata

Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman

Kukuh. Dari isi perjanjian yang dilakukan tersebut terdapat kesenjangan antara

hak dan kewajiban terutama hak dan kewajiban Pemerintah Kabupaten Tabanan

selaku pihak pertama, yang tidak menyertakan di dalam isi perjanjian tersebut

untuk ikut berkewajiban memelihara, membangun dan menjaga Objek Wisata

Alas Kedaton, ini sebagai timbal balik hak dan kewajiban karena Pemerintah

Kabupaten Tabanan ikut mendapatkan pembagian hasil dari pengelolaan Objek

Wisata Alas Kedaton. Bila dilihat mengenai perjanjian yang dilakukan Pemda

dengan Desa Pakraman Kukuh mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas

Kedaton, belum pernah sebelumnya terjadi perjanjian kerjasama seperti ini,

kerjasama ini baru dilangsungkan pada masa pemerintahan Bupati Tabanan Eka

Wiryastuti.

Mengenai perjanjian yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten

Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh sesungguhnya kita harus mengetahui

terlebih dahulu status dari Masyarakat Hukum Adat atau Desa Pakraman apakah

termasuk subyek hukum. Masyarakat hukum adat di Propinsi Bali dikenal dengan

sebutan desa pakraman atau desa adat, Negara Kesatuan Republik Indonesia

mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adatyang terdapat di

Negara Indonesia.

Page 18: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

3

Pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat dapat kita lihat dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya

disebut UUPA, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah, dan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003. Ketentuan

Pasal 18 B angka 2 Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 menjelaskan

bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

diatur dalam undang-undang”. Negara Republik Indonesia menghormati

kedudukan derah-daerah istimewa dan segala peraturan Negara yang mengenai

daerah itu akan mengingati hak-hak dan asal-usul daerah tersebut. Ditambahkan

kemudian dalam ketentuan Pasal 28 huruf I ayat (3) UUD 1945 yaitu : ”Identitas

budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan

zaman dan peradaban”. Pengakuan dan penghormatan tersebut tidak hanya

terhadap identitas budaya, tetapi juga terhadap eksistensinya sebagai subyek

hukum.

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia menyatakan

bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh

Negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmran rakyat”. Ketentuan

ini bersifat imperatif, yaitu mengandung perintah kepada Negara agar bumi, air

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang diletakan dalam

Page 19: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

4

penguasaan Negara itu dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran bagi

seluruh rakyat Indonesia. Tujuan dari penguasaan oleh Negara atas bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah untuk mewujudkan sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.1 Walaupun Negara mengakui keberadaan

masyarakat hukum adat tersebut namun belum ada peraturan yang menyebutkan

bahwa masyarakat hukum adat adalah subyek hukum. Belum ada undang-undang

dan aturan lainnya yang secara tegas menyebutkan masyarakat hukum adat atau

desa pakraman sebagai subyek hukum yang dapat melakukansegala perbuatan

hukum sampai saat ini, terutama dalam kaitannya dengan perjanjian yang

dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh.

Apabila dilihat dalam kaitannya dengan studi yang membahas tentang

perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten

Tabanan dan Desa Pakraman Kukuh, ada kecenderungan cara pandang penguasa

dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Tabanan sebagai aktor dominan dalam

mengatur ketentuan pengelolaan objek wisata, khususnya mengenai pembagian

hasil pengelolaan objek wisata.Dikatakan aktor dominan karena peran masyarakat

pedesaan (desa pakraman) dalam hal ini Desa Pakraman Kukuh belum terlihat

mengakomodasi pendapat masyarakat secara mendalam dalam mengambil

keputusan kerjasama tersebut. Perjanjian yang berlaku antara pemerintah

Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh selaku pemilik aset objek

wisata masih diperlukan kajian lebih mendalam guna memberi dampak positif

dalam pengelolaan objek wisata selanjutnya yang dilakukan oleh masyarakat.

1Urip Santoso, 2010, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Prenada

Media Group, Jakarta, hal.36.

Page 20: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

5

Dilihat dari persoalan itu dan dikaitkan dengan judul penelitian yang

membahas mengenai perjanjian pengelolaan objek wisata antara desa pakraman

dengan pemerintah kabupaten, maka penelitian ini sangatlah penting dan relevan

dilakukan. Mengingat yang menjadi inti dari penelitian ini yaitu tentang seluk

beluk perjanjiannya, maka sangat diperlukan sekali mengetahui apakah perjanjian

yang dilakukan telah memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum dan manfaat,

terlebih mengenai hal pengelolaan suatu objek wisata. Perjanjian pengelolaan

yang dilakukan Desa Pakraman Kukuh dengan Pemerintah Kabupaten Tabanan di

Objek Wisata Alas Kedaton, sama sekali tidak ada terlibat peran pihak ketiga

dalam hal ini notaris selaku pejabat umum untuk mengesahkan suatu perjanjian

terutama dari segi kepastian hukum yang bersifat benar-benar mengikat para

pihak. Semestinya dengan dilakukannya suatu kerjasama berupa perjanjin, apalagi

melibatkan pemerintah daerah dengan desa pakraman yang didalamnya

melibatkan masyarakat, sudah seharusnya menggunakan jasa notaris. Langkah

melibatkan notaris dalam sebuah perjanjian, agar ada kepastian hukum yang

dipahami masyarakat dan pihak lainnya serta mengetahui antara hak dan

kewajiban yang mesti dilakukan para pihak, sehingga apa yang menjadi isi

perjanjian baik itu hak dan kewajibannya dapat dijalankan dengan baik dan

memiliki kedudukan yang sama tanpa menguntungkan satu pihak saja.

Sesuai dengan perjanjian yang dilakukan Desa Pakraman Kukuh Marga

dengan Pemerintah Kabupaten Tabanan, dilihat secara sosiologis masih

ditemukan adanya perbedaan kenyataan yang relatif masih perlu diselaraskan

menuju unsur keadilan. Operasional mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas

Page 21: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

6

Kedaton keseluruhannya dilakukan oleh pihak desa adat, baik pembangunan

sarana dan prasarana objek maupun dalam penanganan kegiatan sehari-hari,

namun hasil dari pengelolaan objek tersebut akhirnya dibagi dengan Pemerintah

Kabupaten Tabanan sesuai dengan yang ada dalam perjanjian, ini yang

menyebabkan terjadinya rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat.

Setelah ditelusuri judul-judul tesis yang ada di Indonesia khususnya pada

lingkungan Universitas Udayana ditemukan beberapa judul tesis maupun laporan

penelitian yang menyangkut tentang pengelolaan objek wisata. Adapun judul-

judulnya adalah sebagai berikut :

a. Tesis yang berjudul “Peningkatan Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton,

Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan”, oleh Luh Putu

Haryani, Universitas Udayana, Tahun 2000. Penulisan ini dilakukan

berdasarkan jenis penulisan Empiris, dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kelemahan dan kekuatan pengelolaan objek wisata Alas

Kedaton?

2. Bagaimanakah peluang dan ancaman pengelolaan objek wisata Alas

Kedaton?

b. Laporan Penelitian yang berjudul “Pola Hubungan Antara Pemerintah

Kabupaten Gianyar Dengan Desa Pakraman Padangtegal Dalam

Mengelola Objek Wisata Wenara Wana (Monkey Forest)”, oleh tim

peneliti yaitu Prof.Dr. Wayan P. Windia, SH.M.Si, A.A.Gede Oka Parwata,

SH.,M.Si, I Ketut Wirta Grihadi, SH.MH, I Ketut Sudantra, SH.,MH, dan

Wayan Koti Cantika, SH, Universitas Udayana, Tahun 2011. Penelitian ini

Page 22: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

7

adalah proyek yang didanai oleh Nuffic IDN 223, Tahun anggaran 2011, Surat

perjanjian pelaksanaan penelitian nomor : 08/Research/NPT-Nuffic-FL-

Unud/II/2011, tanggal 4 Februari 2011. Penulisan ini dilakukan berdasarkan

jenis penulisan empiris, dengan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk dan sifat hubungan antara Pemerintah Kabupaten

dengan Desa Pakraman Padangtegal dalam pengelolaan objek wisata

Wanara Wana?

2. Bagaimanakah perimbangan partisipasi dan kontribusi antara Desa

Pakraman Padangtegal dengan Pemerintah Kabupaten Gianyar dalam

mengelola objek wisata Wanara Wana?

c. Tesis yang berjudul“Pemenuhan Hak-Hak Tradisional Kesatuan

Masyarakat Hukum Adat (Studi Kasus Pengelolaan Objek Wisata Tanah

Lot)”, oleh I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra, Universitas Udayana,

Tahun 2012. Penulisan ini dilakukan berdasarkan jenis penulisan Empiris,

dengan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah Desa Pakraman Beraban mempunyai wewenang dalam mengelola

objek wisata Tanah Lot?

2. Apakah perjanjian kerjasama pengelolaan objek wisata Tanah Lot

mencerminkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945?

3. Bagaimanakah implementasi pemenuhan dan penghormatan hak-hak

tradisional Desa Pakraman Beraban dalam pengelolaan objek wisata

Tanah Lot?

Page 23: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

8

d. Desertasi yang berjudul “Eksistensi Desa Pakraman Dalam Pengelolaan

Obyek Wisata Di Bali”, oleh I Wayan Arka, Universitas Brawijaya Malang,

Tahun 2014. Penulisan ini dilakukan berdasarkan jenis penulisan Normatif,

dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Mengapa Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA) di Bali diterima

sebagai subyek hukum perjanjian oleh Pemerintah Daerah?

2. Apakah perjanjian dan izin yang digunakan sebagai dasar mengatur

pengelolaan obyek wisata sudah sesuai dengan norma pengaturan

pengelolaan obyek wisata?

Tesis, Desertasi dan laporan penelitian yang diuraikan di atas berbeda

dengan penulisan tesis ini, khusus yang menyangkut mengenai pengelolaan objek

wisata yang telahdilakukan oleh penulis-penulis sebelumnya, cakupan dan

pembahasannya berbeda sehingga karya ilmiah ini adalah asli dan dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan masih sangat relevan untuk penelitian

lebih lanjut. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti,

membahas serta mengangkatnya menjadi sebuah karya tulis/tesis yang berjudul

“Perjanjian Pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton Antara

Pemerintah Kabupaten Tabanan Dengan Desa Pakraman Kukuh”

1.2.Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini dirumuskan

sebagai berikut :

Page 24: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

9

1. Apakah perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa

Pakraman Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian?

2. Apakah perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa

Pakraman Kukuh telah memenuhi asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian

hukum?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat

umum dan tujuan yang bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

1.3.1Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan

menganalisis mengenai perjanjian penyelenggaraan pengelolaan daya tarik wisata

Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman

Kukuh.

1.3.2Tujuan Khusus

Disamping tujuan umum tersebut diatas, penelitian ini secara khusus

diharapkan mampu :

1. Untuk mempelajari, memahami dan menganalisis apakah perjanjian antara

Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah

memenuhi syarat perjanjian.

Page 25: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

10

2. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis apakah perjanjian antara

Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah

memenuhi asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

1.4.Manfaat Penelitian

1.4.1Manfaat Teoritis

Hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran

untuk menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip dan asas-asas yang berkaitan

dengan hubungan hukum terhadap tata cara perjanjian atau kontrak yang

dilakukan desa adat dengan pemerintah. Dengan demikian pembahasan ini akan

sangat bermanfaat dalam pengembangan hukum kepariwisataan.

1.4.2Manfaat Praktis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi atau sumbangan

pemikiran untuk membantu dan memberi masukan sertatambahan pengetahuan

dalam hal perjanjian atau kontrak bagi penulis, notaris dan masyarakatkhususnya.

Penelitian ini juga diharapkan menjadi acuan bagi desa Pakraman untuk

mengetahui bentuk perjanjian dalam mengelola objek wisata.

1.5. Landasan Teoritis

Guna memperjelas di dalam memberikan suatu gambaran mengenai

pembahasan tesis ini, maka dalam penulisan akan menggunakan teori dan konsep

hukum sebagai berikut :

Page 26: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

11

1.5.1 Teori Perjanjian

Teori yang dikemukakan oleh Van Dunne mendefinisikan bahwa

perjanjian adalah “Suatu hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata

sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.2Burgerlijk Wetboek (BW) yang

kemudian diterjemahkan oleh R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio menjadi

KUHPerdata bahwa mengenai hukum perjanjian di Indonesia diatur dalam Buku

III tentang perikatan, dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum

kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-

orang atau pihak tertentu.3Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan pengertian

perjanjian sebagai berikut, “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Abdulkadir Muhammad mendifinisikan bahwa Perjanjian adalah suatu

persetujuan dengan dua orang, atau lebih saling mengikatkan diri untuk

melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.4 Sebelum para pihak

mengikatkan diri untuk membuat suatu perjanjian, maka terlebih dahulu para

pihak menyetujui syarat-syarat yang akan dituangkan di dalam suatu perjanjian.

Sucitthra Vasu, mengemukakan “The purpose of detting down the terms of

contract are; firstly, it stipulates the rights and obligations of the parties.

2 Salim HS, 2010, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,

Sinar Grafika, Jakrata, hal.25. 3R. Subekti dan R Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata terjemahan Burgerlijk Wetboek, Cet.28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 323.

4Abdulkadir Muhamad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni Bandung, Bandung, hal.6.

Page 27: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

12

Secondly,in the event of a dispute between parties, it enables the court to decide

which is the defaulting party so that dispute can be resolved”.5

Para pihak dalam membuat suatu kontrak atau perjanjian juga harus

mentaati isi kontrak atau perjanjian yang telah disepakatinya, terutama bagi

debitur sebagai pihak yang berutang ke pihak lain, selain itu batas waktu

pemenuhan kewajiban juga harus diperhatikan sebagaimana pendapat R.Subekti

menyatakan bahwa :“The debtor has done something what is in contravention of

the contract, it is obvious that he is in default. Also when in the contract is fixed a

time limit for carrying out the duty and the debtor has elapsed this time limit, it is

clear that the debtor is in default.”6(Debitur yang telah melakukan tindakan yang

berlawanan dengan kontrak itu dinyatakan menyalahi kontrak. Begitu pula apabila

dalam konrak ditentukan batas waktu pemenuhan kewajiban, akan tetapi debitur

tidak mengindahkan limit waktu itu, itu jelas debitur dinyatakan bersalah).

Keberadaan suatu perjanjian tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat

mengenai sahnya suatu perjanjian. perjanjian seperti yang tercantum dalam Pasal

1320 KUH Perdata, antara lain sebagai berikut :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Mengenai syarat pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan

yang diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Kesepakatan tersebut

meliputi kedua belah pihak yang membuat perjanjian dan setuju mengenai hal-

5Sucitthra Vasu, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books,

Singapore, hal.1. 6R. Soebekti, 1982, Law In Indonesia, Centre For Strategic And

International, And Studies, Third edition, Jakarta, hal.55. (Selanjutnya disebut R.Soebekti I).

Page 28: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

13

hal pokok dalam kontrak. Kesepakatan tersebut dapat berupa suatu rangkaian

perkataan yang mengandung janji atau kesanggupan yang diucapkan atau

ditulis.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

Mengenai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum adalah setiap

orang yang sudah dewasa dan tidak mengalami gangguan fikiran. Menurut

KUHPerdata yang dimaksud dengan dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,

dan 19 tahun bagi wanita.

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu merupakan objek perjanjan tersebut. Objek

perjanjian ini diatur dalam Pasal 1332 dan 1333 KUHPerdata, Pasal 1332

KUH Perdata merumuskan : hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan

saja dapat menjadi pokok suatu perjanian. Pasal 1333 KUHPerdata

merumuskan : “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu

barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan

bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian hari dapat

ditentukan atau dihitung”.Substansi pasal tersebut di atas memberikan

pedoman bahwa dalam membuat perjanjian harus dipenuhi hal atau objek

tertentu.Hal ini dimaksudkan agar sifat dan luasnya kewajiban para pihak

(prestasi) dapat dilaksanakan oleh para pihak.Pada hal-hal tertentu tidak harus

dalam arti gramatikal dan sempit untuk hal dan objek tertentu tersebut sekadar

ditentukan jenis, sedangkan mengenai jumlah dapat ditentukan kemudian

Page 29: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

14

hari.7Dalam suatu perjanjian harus ada obyek yang jelas yang

diperjanjikan.Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif.

Prestasi terdiri atas :

1) Memberikan sesuatu,

2) Berbuat sesuatu,dan

3) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata)

4. Suatu sebab yang halal

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak

(causa yang halal).Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan clausa

yang terlarang.Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan

undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka

suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang

membuatnya. Suatu Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang

berjanji kepadaorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal.8

7Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas

dalam Kontrak Komersial, Kencana Predana Media Group, Jakarta, hal.192. 8R. Soebekti, 2001, Hukum Perjanjian, cetakan 18, Intermasa, Jakarta,

hal.1. (Selanjutnya disebut R. Soebekti II).

Page 30: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

15

1.5.2 Teori Tujuan Hukum

Teori Tujuan Hukum yang digunakan oleh penulis adalah teori tujuan

hukum yang merupakan ajaran Gustav Radbruch9. Dimana teori tujuan hukum

mempunyai 3 hal yang ingin dicapai :

1. Kepastian Hukum

Kepastian berasal dari kata pasti, yang artinya tentu; sudah tetap; tidak

boleh tidak; suatu hal yang sudah tentu.10 Kepastian hukum memiliki arti

”perangkat hukum suatu Negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap

warga Negara”.11

Kepastian Hukum adalah dasar dalam Negara hukum yang mengutamakan

landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap

kebijakan penyelenggaraan Negara. Menururt pendapat Soehino dalam bukunya

yang berjudul Ilmu Negara. Kepastian hukum berkaitan dengan supremasi hukum,

karena hukumlah yang berdaulat. Dalam bukunya tersebut Soehino juga mengutip

pendapat Krabe yang mengatakan, ”bahwa hukumlah memiliki kedaulatan

tertinggi. Kekuasaan bukan kedudukan atau pangkat dan jabatan seorang

pemimpin melainkan kekuasaan itu dari hukum, karena hukumlah yang

memberikan pengakuan hak maupun wewenang.”12

9https://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-

tujuan-hukum-menurut-gustav-radburch/,diakses pada tanggal 15 November 2014.

10W.J.S Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, hal.847.

11Anton M. Moelino, dkk., 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1028.

12Soehino, 1998, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, hal.156.

Page 31: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

16

Pendapat lainnya mengenai kepastian hukum dapat ditemukan dalam buku

M.Yahya Harahap yng berjudul Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan

KUHP, yang menyatakan bahwa kepastian hukum dibutuhkan didalam

masyarakat demi tercapainya ketertiban dan keadilan. ”Ketidakpastian hukum

akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat dan setiap anggota

masyarakat akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri.”13

sudikno Mertokusumo mengartikan ”kepastian hukum merupakan perlindungan

yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa sesorang

akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.”14

Menurut Peter Mahmud Marzuki berkaitan dengan pengertian kepastian

hukum dikemukakaan sebagai berikut:

Pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lain untuk kasus serupa yang telah diputus.15

Menurut Gustav Radbruch seperti yang dikutip Theo Huijbers, yang

menyatakan bahwa pengertian hukum dibedakan menjadi tiga aspek yang

13M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan

KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, hal.76. 14Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar,

Liberty, Yogyakarta, hal.145. 15Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada

Media Group, Jakarta, hal.158.

Page 32: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

17

diperlukan untuk mendapatkan pengertian hukum yang memadai. Aspek-aspek

tersebut antara lain:

Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.16

Jika mengkaitkan teori ini dengan apa yang dikaji oleh penulis maka

penulis berpendapat, bahwa teori kepastian hukum membantu penulis untuk lebih

menekankan akan kepastian hukum. Kepastian hukum ini berguna untuk melihat

apakah dari dibuatnya perjanjian yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tabanan

dengan Desa Pakraman Kukuh mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton

sudah memenuhi syarat untuk dibuatnya suatu perjanjian.

2. Kemanfaatan Hukum

Kemanfaatan hukum juga merupakan salah satu dari tujuan hukum yang

dikatakan oleh Gustav Radburch. Teori kemanfaatan hukum sendiri, memiliki

beberapa pendapat dari para ahli yang menguatkan pendapat Gustav Radbruch

tersebut. Salah satu pakar yang mengutarakan mengenai teori kemanfaatan hukum

adalah Jeremi Bentham, dalam buku Soni Keraf dijelaskan bahwa ”dasar yang

paling objektif dalam menilai baik buruknya kebijakan itu berlaku adalah dengan

16Theo Hujibers, 2007, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah , Kanisus,

Cetakan Keempat belas, Yogyakarta, hal. 163.

Page 33: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

18

melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau

hasil yang berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait”.17

Kemanfaatan hukum dirasakan perlu dalam kehidupan bermasyarakat, hal

itu disebabkan dalam berlakunya hukum yang mengatur suatu masyarakat harus

memberikan manfaat kepada masyarakat itu sendiri. Kemanfaatan hukum dalam

hal ini dikaitkan dengan apakah manfaat yang dapat dirasakan masyarakat Desa

Pakraman Kukuh dalam hal dilakukannya perjanjian pengelolaan Objek Wisata

Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman

Kukuh.

3. Keadilan Hukum

Berbicara mengenai teori keadilan maka tidak akan pernah bisa dilepaskan

dengan apa yang telah di kemukakan oleh John Rawls. Rawls mengemukakan

teori keadilan dalam bukunya yang berjudul ”A Theory of Justice”. Teori Rawls

itu sendiri mempunyai dasar atas dua prinsip yaitu Equal Right dan juga

Economic Equality.

Equal Right dikatakan harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu different principles bekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain prinsip perbedaan akan bekerja jika basic right tidak ada yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan secara ekonomi akan valid jika tidak merampas hak dasar manusia.

17Soni Keraf, 1998, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Kanisius,

Yogyakarta, hal.93-94.

Page 34: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

19

Hans Kelsen juga mengemukakan pendapatnya dalam Buku Teori Umum tentang

Hukum dan Negara, pendapat tersebut menjelaskan bahwa keadilan, ”dalam arti

legalitas, adalah suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari suatu

tatanan hukum positif, melainkan dengan penerapannya.”18

Menurut Andre Ata Ujan, dalam membangun teori keadilan ini diharapkan

mampu menjamin distribusi yang adil antara hak dan kewajiban dalam suatu

masyarakat yang teratur. ”Kondisi ini dapat dicapai atau dirumuskan apabila ada

kondisi awal yang menjamin berlangsungnya suatu proses yang fair yang disebut

”posisi asli”, yaitu yang ditandai oleh prinsip kebebasan, rasionalitas dan

kesamaan.19

Keadilan dapat terwujud apabila menegakkan enam prinsip menurut

Beauchamp dan Bowie, yaitu diberikan :

a) Kepada setiap orang bagian yang sama; b) Kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan individualnya; c) Kepada setiap orang sesuai dengan haknya; d) Kepada setiap orang sesuai dengan usaha individualnya; e) Kepada setiap orang sesuai dengan kontribusinya; dan f) Kepada setiap orang sesuai dengan jasanya (merit)20

Aristoteles juga berpendapat mengenai keadilan. Bagi Aristoteles sendiri,

keadilan adalah kebijakan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia.

Aristoteles menyatakan : ”Justice consists in treating equals equally dan unequals

18Hans Kelsen, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara,

terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, hal.17. 19Andre Ata Ujan, 2005, Keadilan dan Demokrasi, telaah Filsafat Politik

John Rawls, Kanisius Cetakan Ke 5, Yogyakarta, hal.25-26. 20L.J Van Kan dan J.H Beekhuis, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia

Indonesia, Jakarta, hal.95.

Page 35: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

20

unequally, in proporation to their inequality”.21 Ketiga tujuan hukum yang telah

dijelaskan tersebut di atas tidaklah dapat dilaksanakan secara bersamaan, hal itu

karena seringnya terjadi benturan antara satu dengan yang lainnya. Ketiga tujuan

hukum dilaksanakan dengan menggunakan ”asas prioritas”, mana yang dianggap

dan dirasakan lebih dominan untuk dilakukan maka itulah yang diprioritaskan,

karena ”dalam kenyataannya sering sekali antara kepastian hukum terjadi

benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum,

antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan”.Namun dari ketiga tujuan

hukum tersebut di atas, keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama

dari pada kepastian dan kemanfaatan.

1.5.3Konsep Perjanjian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan

tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujian itu.22Perjanjian

sebagaimana didefinisikan oleh ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi

”Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Perjanjian dengan demikian

mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak atau melaksanakan

kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu. Perjanjian memberikan kepastian

21Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas

Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal.36. 22Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Ikthasar Indonesia

Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hal.458.

Page 36: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

21

bagi penyelesaian sengketa, dan perjanjian ditujukan untuk memperjelas

hubungan hukum.

Jadi dapat disimpulkan bahwa, perjanjian akan dapat dilaksanakan apabila

ada dua pihak atau lebih saling sepakat untuk mengikatkan dirinya. Perjanjian

dapat dibagi menjadi dua, baik itu dalam bentuk lisan maupun tulisan yang isi dari

perjanjian tersebut masing-masing diatur berdasarkan kesepakatan dari para pihak

yang membuat perjanjian.

1.5.4 Konsep Pengelolaan

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa pengelolaan berarti

penyelenggaraan. Pengelolaan merupakan terjemahan dari kata ”management”,

terbawa oleh derasnya arus penambahan kata pungut kedalam Bahasa Indonesia,

istilah Inggris tersebut lalu di Indonesiakan menjadi ”manajemen” atau

”menejemen”.

Selanjutnya ada beberapa pengertian manajemen (pengelolaan) sebagai

berikut :

1. Manajemen adalah unsur yang bertugas mengadakan pengendalian

agar semua sumber dana dan daya yang dimiliki organisasi dapat

dimanfaatkan sebagai daya guna dan berhasil guna diarahkan untuk

mencapai tujuan.

2. Manajemen adalah seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian,

pengarahan, pengkoordinasian dan mengkontrol manusia dan sumber

daya alam untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Page 37: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

22

3. Manajemen dapat dirumuskan sebagai penyelesaian suatu pekerjaan

dengan usaha orang lain.

4. Manajemen adalah suatu proses yang meliputi perencanaan,

pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan yang setiap bidang

mempergunakan ilmu pengetahuan dan seni secara teratur untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.23Jadipengelolaan pada

dasarnya adalah pengendalian dan pemanfaatan semua sumber daya

yang menurut suatu perencanaan diperlukan untuk atau penyelesaian

suatu tujuan kerja tertentu. Pengelolaan sama dengan manajemen yaitu

penggerakan, pengorganisasian dan pengarahan usaha manusia untuk

memanfaatkan secara efektif material dan fasilitas untuk mencapai

suatu tujuan.

1.5.5 Konsep Objek Wisata

Berbeda dengan objek wisata pada umumnya khusus untuk objek wisata

yang berada di Bali, sangat berbeda dengan objek wisata lainnya di Indonesia,

karena objek wisata di Bali lebih menekankan pada pariwisata budaya. Pariwisata

budaya yang dimaksud merupakan peninggalan yang bersifat arkeologis atau

pusaka budaya, dikatakan demkian karena pusaka budaya tersebut masih

difungsikan sampai saat ini di Bali terutama sebagai media pemujaan atau benda

23Sugionomuslimin, 2010 “Konsep Pengelolaan (Manajemen)”, (Cited

2014 mei. 3), available from : URL http :// sugionomuslimin.wordpress.com/2010/1/05/konsep-pengelolaan-manajemen.

Page 38: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

23

yang dianggap keramat, sehingga sering ditempatkan dalam area bangunan suci

(Pura).24

Berdasarkan SK.MENPARPOSTEL N0: KM.98/PW.102/MPPT-87, objek

wisata adalah semua tempat atau keadaan alam yang memiliki sumber daya wisata

yang dibangun dan dikembangkan sehingga mempunyai daya tarik dan

diusahakan sebagai tempat yang dikunjungi wisatawan. Umumnya di beberapa

daerah atau negara, untuk memasuki suatu objek wisata para wisatawan

diwajibkan untuk membayar biaya masuk atau karcis masuk yang merupakan

biaya retribusi untuk pengembangan dan peningkatan kualitas objek wisata

tersebut. Beberapa objek wisata ada yang dikelola oleh pemerintah dan adapula

yang dikelola oleh pihak swasta. objek wisata yang dikelola oleh pihak swasta

dapat berupa objek wisata alami maupun buatan.Jadi objek wisata adalah segala

sesuatu yang ada di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang-

orang mau datang berkunjung ke tempat tersebut.

1.5.6 Konsep Desa Pakraman

Istilah pakraman berasal dari kata karaman di masa Bali kuno, pengertian

daripada desa pakraman dapat dilihat pada Peraturan Daerah Propinsi Bali (Perda)

No.3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Desa pakraman adalah kesatuan

masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi

dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun

dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah

24I Wayan Ardika, 2007, Pusaka Budaya dan Pariwisata, Pustaka Larasan,

Denpasar, hal.51.

Page 39: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

24

tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya

sendiri, (Pasal 1 ayat (4) Perda No.3 Tahun 2001)25.

Syarat-syarat adanya desa pakraman adalah yang pertama memiliki Tiga

Parahyangan (Pura) yaitu: Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Bale Agung. Syarat

kedua adalah memiliki setra (kuburan yang dilengkapi dengan Pura Prajapati).

Syarat yang ketiga adalah beranggotakan lebih dari tiga banjar, jadi Desa

Pakraman dapat disimpulkan adalah suatu wilayah yang dihuni sejumlah

penduduk yang sudah diikat atau disatukan jiwa dan raga dalam suatu tradisi,

tingkah laku yang diyakini bersama di Pulau Bali.

1.6. Metode Penelitian

Dalam penulisan tesis ini penulis mempergunakan cara atau metode

sebagai berikut :

1.6.1Jenis penelitian

Penelitian hukum dapat dibedakan antara penelitian hukum normatif

dengan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Pada penelitian hukum normatif

yang dieteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup

bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Pada penelitian hukum sosioligis atau

empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian

dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan, atau terhadap

masyarakat.26

25Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia &

Universitas Udayana, 2006, Bali Bangkit Kembali, hal.41.

Page 40: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

25

Penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencakup penelitian terhadap

asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf

sinkronisasi vertikal and horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah

hukum.27Penelitian di dalam penyusunan tesis ini menggunakan jenis penelitian

normatif, yaitu menggunakan teknik interpretasi, yang artinya menganalisis

bahan-bahan hukum yang telah terkumpul berupa penggunaan jenis-jenis

penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis,

teleologis, kontektual, dan lain-lain.Sesuai dengan penelitian normatif di atas yang

menjadi permasalahan sesungguhnya adalah terjadi kesenjangan dan tidak

sejajarnya posisi para pihak dalam hal ini perjanjian penyelenggaraan dan

pengelolaan kepariwisatan daya tarik wisata Alas Kedaton, antara Pemerintah

Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh terutama mengenai isi dari

perjanjian tersebut yang didalamnya terdapat klausul eksonerasi, yaitu klausul-

klausul yang menguntungkan salah satu pihak saja.

1.6.2Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis

pendekatan yakni:

a) Pendekatan kasus (the case approach) b) Pendekatan perundang-undangan (the statue approach) c)Pendekatan fakta (the fact approach) d) Pendekatan analisis konsep hukum (analytical &conceptual approach)

26Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit

Universitas Indonesia, Jakarta, hal.52. 27Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif

Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.14.

Page 41: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

26

e) Pendekata frasa (words & phrase approach) f) Pendekatan sejarah (historical approach) g) Pendekatan perbandingan (comparative approach)28

Dalam penelitian ini digunakan jenis pendekatan fakta (the fact approach)

dan pendekatan perundang-undangan (the statue approach).

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Bahan Hukum Primer, dapat berupa kaedah dasar (Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Peraturan Perundang-undangan, hukum

yang tidak tertulis seperti hukum adat. 29

Dalam penelitian ini mengguanakan bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder.

a) Bahan hukum primer terdiri dari atas asas dan kaidah hukum, yang terdiri dari :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

3. Undang-Undang RI No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007

Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah

6. Peraturan Daerah Propinsi Bali (Perda) No.3 Tahun 2001 Tentang

Desa Pakraman

7. Awig-Awig Desa Pakraman Kukuh

28 Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas

Udayana, 2013, Denpasar, hal.54. 29Ronny Hanitijo, 1983, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet I, Ghalia

Indonesia, Jakarta, hal.24.

Page 42: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

27

Menurut Stephen Elias, Primary Sources adalah:

”The law found in primary sources can take many different forms.

They includes cases, statutes, administrative regulation, local ordinances,

state and federal constitutions, and more”.30

b) Bahan Hukum Sekunder, bahan hukum sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini terdiri dari literatur-literatur, buku-buku, makalah, dan jurnal

yang ditulis para ahli dan dokumen, (seperti tercantum dalam daftar pustaka).

Menurut Robert Watt : ”All of the other materials in the library are use

basically to assist the researcher in understanding the law, and this group we

call secondary materials”. 31 Artinya kurang lebih, semua bahan dalam

perpustakaan yang digunakan pada dasarnya untuk membantu peneliti

memahami hukum dan kelompok, bahan ini disebut bahan sekunder.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan beberapa teknik untuk mengumpulkan data,

yaitu :

1. Teknik Studi Dokumen atau bahan pustaka

Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap

penelitian hukum, dalam studi bahan pustaka ini terlebih dahulu ditentukan

30Stephen Elias, 2009, Legal Research How to find & Understand the law,

Free Legal Update at Nolo.com, USA, hal.23. 31Robet Watt, 2001, Concise Legal Research, The Pederation Press,

Leichhardt, NSW, hal.1.

Page 43: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

28

jenis penelitian apakah normatif atau empiris kemudian ditentukan data-data

hukum yang akan digunakan apakah data primer, sekunder atau tersier ataukah

semuanya.

2. Teknik Wawancara (interview)

Wawancara adalah proses tanya-jawab dalam penelitian yang berlangsung

secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan

secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Menurut

James E Mauch dan Jack W Brich mengatakan “interview are inefficient way

to collect large scale suvey information although they may be used to

supplement or to ascertain validity and reliability of such

data”32.Diterjemahkan kurang lebih, wawancara adalah cara yang tidak

efisien untuk mengumpulkan data dalam sekala besar walaupun mungkin

berguna untuk melengkapi atau memastikan validitas dan reliabilitas data

tersebut.Adapun pihak-pihak yang akan diwawancarai dalam penelitian ini

adalah pengelola dari Objek Wisata Alas Kedaton yaitu Bendesa Adat Kukuh

Marga, dan Manager dari Objek Wisata Alas Kedaton.

1.6.5Teknik Analisis Bahan Hukum

Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat

digunakan berbagai teknik analsisis seperti deskripsi, interpretasi, konstruksi,

evaluasi, argumentasi, atau sistematisasi. Untuk menganalisis bahan hukum

32James E. Mauch dan Jack W.Brich, 1983, Guide To The Successful

Thesis And Dessertation Conception To Publication : A Hand Book For Student And Faculty, Marcel Dekker Inc, New York, hal 76.

Page 44: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

29

tersebut digunakan teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran

dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis,

kontektual, dan lain-lain.

Page 45: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

30

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG OBJEK WISATA ALAS KEDATON

2.1 Tinjauan tentang Objek Wisata Alas Kedaton

2.1.1 Letak dan Geografis

Melihat gambaran secara umum, maka Propinsi Bali merupakan propinsi

yang sangat kuat unsur agama dan budayanya, ini terbukti dari tingginya

kunjungan wisatawan ke Bali, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan

domestik yang ingin melihat lebih dekat budaya Bali dan kearifan lokalnya.

Devisa yang merupakan sumbangan Bali yang masuk ke kas negara, menjadikan

Bali tetap berada pada posisi teratas sebagai sumber pendapatan dibandingkan

daerah-daerah lainnya di Indonesia. Beberapa laporan mengemukakan, hingga

pada semester pertama tahun 2012 lalu, tercatat jumlah kunjungan wisatawan

mancanegara (wisman) ke Bali mencapai 1,42 juta orang lebih. Australia masih

merupakan kontributor utama kunjungan wisman ke Bali atau 34,33 persen,

disusul wisatawan Cina di tempat kedua (11,44 %), kemudian Malaysia dan

Jepang ditempat ketiga dan empat dengan sumbangan masing-masing 7,55 persen

dan 6,78 persen.33

Membahas mengenai objek pariwisata yang ada di Kabupaten Tabanan,

maka kita harus mengetahui secara umum tentang letak secara geografis dari

Kabupaten ini. Tabanan merupakan salah satu dari sembilan kabupaten/kota di

wilayah Provinsi Bali yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor. 69

Tahun 1958 tentang Pembentukan Derah-derah Tingkat I Bali, NTB dan NTT.

33 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan, 2012,

Potret Tabanan Serasi Tahun 2012, hal.67.

Page 46: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

31

Secara geografis posisi Kabupaten Tabanan berada di tengah Pulau Bali terletak

diantara 080-14’30”- 080 30’07” LS dan 1140 54’52”- 1150 12’57”BT. Luas

wilayah Kabupaten Tabanan adalah 839,33 km2 atau 83.933 hektar atau sekitar

14,89% dari luas daratan Provinsi Bali atau merupakan kabupaten terluas ke-4

setelah Kabupaten Buleleng, Jembrana dan Karangasem.34 Topografi Kabupaten

Tabanan dapat digambarkan dengan adanya dataran tinggi di bagian utara dan

dataran rendah di bagian selatannya. Kabupaten Tabanan bagian utara merupakan

daerah pegunungan dengan ketinggian tertinggi berada pada puncak Gunung

Batukaru yaitu setinggi 2.276 meter dari permukaan laut.35

Pada bagian selatan Kabupaten Tabanan merupakan daerah pantai yang

berupa dataran rendah. Diantara objek wisata di Bali, 12 objek berada di

Kabupaten Tabanan yaitu : objek wisata Ulun Danu Beratan, Bedugul, Kebun

Raya Eka Karya Bedugul, Taman Pujaan Bangsa (TPB) Margarana, Alas

Kedaton, Tanah Lot, Museum Subak, Yeh Panes Penatahan, Puri Anyar

Kerambitan, Puri Agung Kerambitan, Objek Wisata Jatiluwih dan PT Taman

Kupu-Kupu Lestari. Salah satu objek wisata yang ada di Kabupaten Tabanan yang

merupakan objek wisata alam dan budaya yang cukup unik adalah Objek Wisata

Alas Kedaton.

Gambaran umum mengenai Objek Wisata Alas Kedaton bila dilihat

mengenai letaknya terdapat di Kabupaten Tabanan, tepatnya di Desa Kukuh

Kecamatan Marga. Objek Wisata Alas Kedaton memiliki pura yang disebut

34 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan, 2013,

Profil Tabanan Serasi Tahun 2013, hal. 1. 35 Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabanan, 2013, Tabanan Dalam Angka

2013, hal. 4.

Page 47: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

32

dengan Pura Dalem Khayangan Kedaton, dimana lokasi pura menjadi satu dengan

kawasan objek wisata. Pura Dalem Khayangan Kedaton adalah salah satu pura

penting dan menarik perhatian di antara ribuan pura yang tersebar di seluruh Bali.

Pura ini terletak di sebelah selatan Banjar Menalun Desa Kukuh, pada posisi

astonomis 80 20’ 49” Bujur Timur dan 80 31’ 73” Lintang Selatan dan pada

ketinggian sekitar 170 m diatas permukaan air laut.36

Lokasi Objek Wisata Alas Kedaton termasuk wilayah Banjar Dinas

Lodalang Desa Kukuh dan berada tepat diperbatasan dengan wilayah kelurahan

Banjar Anyar Kecamatan Kediri. Jarak Objek Wisata Alas Kedaton dari ibukota

Provinsi Bali adalah 20 Km, sedangkan bila ditempuh dari kota Tabanan hanya

berjarak 5 Km. Luas Objek Wisata Alas Kedaton kurang lebih 12 Ha dengan

batas-batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Persawahan termasuk Banjar Menalun Desa Kukuh

Sebelah Timur : Tukad Yeh Sungi

Sebelah Selatan : Lingkungan Pemenang, Kelurahan Banjar Anyar

Sebelah Barat : Jalan raya menghubungkan Kecamatan Kediri dan Marga

Disamping itu letak Objek Wisata Alas Kedaton berdekatan dengan Objek

Wisata Tanah Lot yang sudah terkenal ke mancanegara terutama dengan adanya

keunikan berupa pura di tengah laut. Letak yang berdekatan ini memberikan

keuntungan bagi travel biro untuk menjadikan paket wisata yang dapat dijual

kepada wisatawan, hal tersebut memeberikan keuntungan tersendiri bagi

36I Made Sutaba, 2004, Pura Dalem Kayangan Kedaton, Denpasar, Hal.11.

Page 48: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

33

penduduk setempat akibat dari kedatangan wisatawan ke Objek Wisata Alas

Kedaton.

2.1.2 Sejarah

Pembahasan mengenai sejarah, penulis dalam hal ini akan menguraikan

mengenai jejak dan bukti-bukti mengenai kapan Pura Dalem Khayangan Kedaton

mulai ada. Berdasarkan buku yang berjudul Pura Dalem Khayangan Kedaton,

yang tulis oleh I Made Sutaba, ternyata Pura Dalem Khayangan Kedaton adalah

sebuah pura kuno, terbukti dari sejumlah peninggalan arkeologis yang terdapat di

dalamnya, yang sampai sekarang masih berfungsi sakral bagi masyarakat

setempat. Antara peninggalan arkeologi itu, ada yang berasal dari jaman pra

Hindu atau jaman prasejarah, yaitu dari masa berkembangnya tradisi megalitik di

Indonesia termasuk di Bali pada masa perundagian, atau pada akhir jaman pra

Hindu, kira-kira pada permulaan atau setelah tarih Masehi, sekitar 2000 tahun

yang silam.37 Pada saat itu masyarakat megalitik di Indonesia telah mendirikan

bangunan-bangunan megalitik yang dibuat dari batu-batu besar dan kecil yang

berfungsi sebagai media pemujaan, terutama pemujaan kepada arwah nenek

moyang yang dianggap mempunyai kekuatan magis, pemujaan pada kekuatan

alam adikodrati dan kepada kekuatan pemberi kesuburan agar masyarakat selalu

diberi keselamatan dan kesejahteraan.

Adapun bentuk-bentuk megalitik yang terdapat di Pura Dalem Khayangan

Kedaton, adalah beberapa buah menhir berukuran kecil, dibuat dari batu andesit

37 Ibid, hal 19

Page 49: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

34

yang tidak diubah bentuknya atau yang tidak dikerjakan sama sekali. Menhir itu

didirikan diatas bangunan-bangunan terbuka, baik yang terdapat dijeroan maupun

di jaba tengah, berdasarkan nama-nama bangunan tempat menhir itu, ternyata ada

yang berciri khas Bali, seperti Pelinggih Ancangan, Pelinggih Pengawal dan lain-

lainnya yang sekaligus menyatakan fungsinya sebagai penjaga yang mempunyai

kekuatan magis yang dapat menolak segala kekuatan jahat yang mungkin dapat

menggangu kesucian pura dan sekaligus memberikan perlindungan dan

kesejahteraan kepada masyarakat setempat. Selain menhir yang disebutkan tadi,

ada juga menhir yang didirikan di atas bangunan-bangunan terbuka, seperti

menhir yang diletakan di lantai meru bertumpang tiga yang memiliki fungsi yang

sama dengan menhir lainnya seperti yang telah disebutkan diatas. Bentuk

megalitik lainnya adalah, susunan batu andesit yang di tata dengan baik di atas

bangunan yang disebut dengan Pelinggih Pemuput.

Selain menhir dan susunan batu andesit, di Pura Dalem Khayangan

Kedaton ditemukan juga tiga buah arca megalitik atau arca nenek moyang yang

sangat penting. Dari ketiga buah arca tersebut yang sangat menarik perhatian

adalah semua arca memiliki ciri yang sama, yaitu dalam sikap berjongkok di atas

sebuah lapik, kedua tangannya menyilang dan ditumpangkan di atas kedua

lututnya. Dua diantara ketiga arca itu ditempatkan di dalam sebuah ceruk di

tembok meru yang disebut Dalem Khayangan, masing-masing di dalam ceruk

kanan dan kiri. Arca megalitik yang pertama (yang disebelah kanan) agak rusak,

tetapi masih dapat diketahui ciri-cirinya, antara lain matanya bulat dengan

genitalia (phalus) dalam keadaan berdiri secara mencolok di antar kedua kakinya.

Page 50: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

35

Dengan demikian maka dapat dipastikan, bahwa arca ini adalah arca seorang

tokoh laki-laki. Adapun arca yang kedua (sebelah kiri) telah mengalami kerusakan

pada bagian muka dan mata, tetapi hidungnya masih dalam keadaan baik.

Genitalianya juga tidak jelas, tetapi dapat diduga sebagai arca seorang tokoh

wanita, yang menjadi pasangan dari arca yang pertama tadi. Menurut keterangan

dari masyarakat, kedua arca ini disebut sebagai arca Panji, yang selalu dimintai

keselamatan bagi binatang peliharaan, seperti babi, jika ada yang terkena

penyakit.

Kedua arca megalitik tersebut di atas dapat dianggap sebagai lambang

nenek moyang yang mempunyai kekuatan magis yang dapat menolak marabahaya

dan dapat memberikan perlindungan, kesejahteraan dan kemakmuran kepada

masyarakat. Penampilan arca ini sangatlah menakutkan, ini terbukti dari matanya

yang bulat dan memperlihatkan genitalia secara mencolok, hal tersebut berarti

pertanda betapa besarnya kekuatan magis yang dimilikinya di balik kesederhanaan

bentuk lahiriahnya. Sebagai karya seni yang berkembang pada masa tradisi

megalitik yang meluas di Indonesia, memang tidak mementingkan keindahan,

melainkan dalam bentuknya yang sederhana lebih banyak memperlihatkan

kekuatan magisnya. Dengan demikian maka penempatannya di dalam ceruk di

tembok sebuah meru yang sakral, adalah sangat tepat dalam fungsinya sebagai

penolak kekuatan jahat yang dapat merusak kesucian pura, terutama meru.

Bukti-bukti sejarah lain yang terdapat di Pura Dalem Khayangan Kedaton,

berasal dari jaman sejarah setelah Agama Hindu menyebar keseluruh Bali. Secara

singkat sumber mengenai munculnya nama Alas Kedaton menurut warga sekitar

Page 51: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

36

berasal dari Puri Carang Sari, yang menyebutkan bahwa pada waktu Sire Dalem

turun dari majapahit diiringi oleh Arya Sentong menuju ke Nusa Penida untuk

membuat tempat semedi Puncak Mundi. Saat itu Nusa Penida diperintah oleh I

Bendesa, atas kerelaan I Bendesa maka Sire Dalem diberi kesempatan untuk

mendirikan Puri di Munduk Bias dengan gelar Ida Ratu Ngurah Sakti. Pada saat

Sire Dalem memerintah disana beliau ingin melanjutkan perjalanan metirta yatra

dengan mendirikan tapa yoga semadi di Bali, yang diiringi oleh Arya Sentong dan

I Bendesa. Salah satu tempat yang disinggahinya adalah Pura Dalem Khayangan

Kedaton, ditempat ini beliau meninggalkan arca berupa Lingga, Arca Siwa dan

Arca Ganesa, ketiga peninggalan arkeologi ini sampai sekarang masih tersimpan

dan berada di lokasi Pura Dalem Khayangan Kedaton. Nama Alas Kedaton yang

dikenal sekarang sebagai objek wisata mempunyai arti sebagai berikut yaitu alas

yang berarti hutan, dan kedaton berasal dari kata kedatuan yang artinya tempat

datu atau raja. Dengan demikian, Alas Kedaton dapat diartikan sebagai hutan,

tempat bersemayamnya atau bersemadinya para raja. Salah satu raja yang

menjadikan Pura Dalem Khayangan Kedaton sebagai tempat bersemedi adalah

Sire Dalem yang lebih dikenal dengan nama Ida Ratu Ngurah Sakti.

Adapun peninggalan arkeologi yang terdapat di Pura Dalem Khayangan

Kedaton adalah sebuah lingga-semu yang terbuat dari batu, disimpan di dalam

meru Dalem Khayangan, yang mempunyai bagian bawah berbentuk segi empat,

dan bagian atas berbentuk silindris. Lingga-semu ini kadang-kadang dianggap

sebagai batu patok, yang dipasang pada tempat-tempat tertentu di sebuah

bangunan suci atau pura sebagai tanda batas kesucian bangunan tersebut.

Page 52: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

37

Keyakinan sesuai dengan Agama Hindu, lingga-semu atau lingga yang lengkap,

adalah perlambang dari Dewa Siwa sebagai dewa pencipta dan perusak segala isi

dunia. Di dalam meru yang disebut dengan Dalem Khyangan Kedaton terdapat

sebuah arca Ganesa, bertangan empat duduk di atas bantalan teratai dan dua ekor

ular naga. Tangan kanan memegang tasbih dan taring yang patah, sehingga

Ganesa disebut juga Ekadanta, artinya mempunyai sebuah taring, sedangkan

tangan kiri memegang kapak dan ujung belalainnya.

Menurut Agama Hindu, Ganesa adalah putra Dewa Siwa yang dianggap

sebagai lambang ilmu pengetahuan dan dapat menolak segala marabahaya.

Sebagai dewa penolak bahaya, Ganesa seringkali diletakan di tempat-tempat yang

dianggap berbahaya antara lain yaitu di tepi jurang yang terjal atau di tepi sungai

yang besar, di perempatan jalan raya dan di hutan belantara, seperti di Pura Dalem

Khayangan Kedaton. Selain arca Ganesa, di dalam meru Dalem Kedaton juga

terdapat arca Durga Mahisasuramardhini, berdiri di atas seekor lembu, buah

dadanya gepeng dan memakai penutup dada. Di samping itu, memakai kancut

yang panjang dan bertangan delapan. Tangan kanan dari atas ke bawah,

memegang camara (penghalau lalat), cara (panah), pisau besar dan memegang

ekor lembu. Tangan kiri dari atas kebawah, membawa kadga (pedang), dhanu

(busur), tricula dan gada.

Pada arca Ganesa tersebut di atas, posisi arca Ganesa duduk di atas dua

ekor naga, ini adalah salahsatu bukti arkeologis yang sangat penting, karena

merupakan bukti otentik mengenai waktu pembangunan Pura Dalem Khayangan

Kedaton yang berbentuk lambang-lambang candrasengkala Gana (6) Naga (8)

Page 53: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

38

Dwi (2) Tunggal (1), yang berarti tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.38 Bukti ini

menjadi kuat, karena di dukung oleh langgam arca Ganesa dan Durga

Mahisasuramardhini yang berasal dari abad 14 Masehi. Dengan bukti-bukti ini

maka dapat dikatakan, bahwa Pura Dalem Khayangan Kedaton didirikan sekitar

tahun 1364 Masehi hingga sekarang (2014), pura ini telah mencapai usia sekitar

640 tahun. Perkiraan ini hampiir tidak berbeda dengan sumber-sumber tradisional

yang dapat diperoleh di lapangan, walaupun perkiraan ini cukup kuat tetapi masih

ada bukti-bukti arkeologis yaitu bentuk-bentuk megalitik seperti telah dipaparkan

di atas, yang berkembang kira-kira 2000 tahun silam, kiranya patut sebagai bahan

pertimbangkan dalam menetapkan masa pembangunan pura ini. Bukti-bukti ini

memang tidak berupa tulisan, tetapi memberikan petunjuk, bahwa Pura Dalem

Khayangan Kedaton mungkin telah dibangun kira-kira 2000 tahun yang lalu, yang

semula hanya hanya berbentuk media pemujaan megalitik yang sangat sederhana

seperti menhir, arca nenek moyang, tetapi mengandung makna religius-magis atau

simbolis-magis sebagai kesatuan dari kekuatan-kekuatan magis, kesucian dan

kesakralan menurut sistem religi yang dianut oleh masyarakat pada waktu itu.

Sistem kepercayaan masyarakat megalitik ternyata sangat mendominasi

kehidupan masyarakat daerah Bali, seperti masyarakat di sekitar pura ini, maka

sistem kepercayaan itu dilambangkan dalam bentuk megalitik, seperti menhir,

susunan batu andesit dan arca megalitik, yang dapat bertahan hingga datangnya

pengaruh Agama Hindu, bahkan sampai saat ini. Proses persentuhan sosial budaya

ini, tentu melalui suatu perjalanan sejarah yang panjang, sehingga akhirnya unsur-

38Ibid., hal.32.

Page 54: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

39

unsur budaya lokal Bali menjadi satu dengan unsur budaya baru yang datang dari

luar. Dengan memanfaatkan unsur budaya lokal, seperti yang tampak dalam

sistem religi, kemudian Agama Hindu mengembangkan bentuk pemujaan

megalitik itu menjadi sebuah pura, yang sampai saat ini dikenal dengan sebutan

Pura Alas Kedaton atau Pura Dalem Khayangan Kedaton.

2.1.3 Potensi

Sebagai living monument dan living culture, Pura Dalem Khayangan

Kedaton berfungsi sebagai media pemujaan yang sakral bagi masyarakat Desa

Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, yang terdiri atas 12 (dua belas)

banjar. Masyarakat Desa Kukuh secara turun-temurun berkewajiban dan

bertanggungjawab atas kelestarian pura ini, yaitu melaksanakan pemeliharaan

semua bangunan-bangunan pura dan lingkungan di sekitarnya, agar tetap

terpelihara dengan lingkungan yang nyaman dan ramah. Pelestarian hutan

disekitar pura sebagai kesatuan ekosistem, sejak dahulu telah menjadi urusan desa

dan telah diatur dalam awig-awig desa adat, seperti ketentuan penebangan

pepohonan, agar hutan ini dapat menjadi penyangga pura agar tetap lestari

sepanjang masa.

Di sisi lain pelestarian nilai-nilai religius, juga dilakukan oleh masyarakat

desa dengan melaksanakan upacara keagamaan secara teratur dan berkala pada

hari-hari tertentu menurut pedoman Agama Hindu yang berlaku setempat, agar

masyarakat selalu dalam keadaan selamat dan sejahtera. Adapun upacara-upacara

tersebut dilaksanakan sesuai dengan hitungan hari menurut Agama Hindu yaitu

Page 55: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

40

pada hari kajeng kliwon, purnama dan tilem, yang tidak melibatkan masyarakat,

melainkan cukup dikerjakan oleh pemangku pura saja, karena upacara ini sangat

sederhana tetapi harus dilaksanakan, untuk memelihara kesakralan pura dan

keselamatan masyarakat. Upacara yang lebih besar dan melibatkan semua anggota

masyarakat Desa Kukuh, disebut upacara piodalan yang dilaksanakan setiap enam

bulan sekali (210 hari) menurut perhitungan kalender Bali, yaitu pada hari

anggara kasih wuku medangsia (Lihat lampiran 3 hal 27).

Piodalan ini sangat menarik perhatian, karena selain merupakan upacara

yang penting, ternyata juga memperlihatkan keunikan-keunikan yang tidak pernah

ditemukan di pura-pura lainnya di Bali. Adapun keunikan yang perlu disaksikan

antaralain, upacara piodalan dilaksanakan sekitar tengah hari atau siang hari dan

harus selesai sebelum matahari terbenam atau sebelum malam tiba, karena tidak

diperkenankan menggunakan api, lampu atau membakar dupa. Selain itu dalam

upacara piodalan tidak boleh memakai segehan, kwangen, penjor dan tabuh rah

(sabung ayam), tetapi untuk kelengkapan upacara hanya boleh digunakan ceniga

dari daun pisang mas, padahal di tempat lainnya di Bali dibuat dari janur. Hal unik

lainnya adalah upacara piodalan ini tidak dilakukan oleh seorang pendeta, seperti

lazimnya pada piodalan di pura-pura lainnya di Bali, tetapi cukup dilakukan oleh

pemangku pura. Keunikan-keunikan diatas adalah kenyataan yang penting dan

sangat menarik untuk disaksikan, karena dalam kesakralan dan kesucian upacara

piodalan itu terpendam pola tingkah laku keagamaan masyarakat Desa Kukuh

khususnya, seakan-akan menjadi sebuah misteri kehidupan masa silam

leluhurnya.

Page 56: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

41

Keunikan-keunikan di atas barangkali mempunyai landasan fikiran yang

sangat mendalam, terlebih lagi tidak diperkenankan menggunakan api dalam

upacara piodalan, barangkali merupakan suatu pernyataan padamnya segala hawa

nafsu duniawi manusia dan telah sampai pada tingkatan kesempurnan hidup.

Dengan demikian, masyarakat yang datang untuk bersembahyang memohon

keselamatan dan kesejahteraan kepada dewa-dewa di Pura Dalem Khayangan

Kedaton, sudah bersih dari godaan dan ikatan hawa nafsunya sendiri, sehingga

konsentrasi fikirannya tidak terganggu lagi. Tidak diperlukannya pendeta dalam

upacara piodalan hendaknya jangan ditafsirkan negatif, melainkan harus dicari

latar belakangnya yang mungkin berasal dari masa tradisi megalitik yang ternyata

masih bertahan dan berlanjut di Desa Kukuh. Dalam organisasi sosial masyarakat

megalitik di Indonesia pada umumnya dan di daerah Bali khususnya, telah

terbentuk kelompok-kelompok sosial fungsional berdasarkan fungsi sosialnya

dalam masyarakat. Di antara kelompok sosial tersebut, kelompok rohaniawan

yang berkewajiban dan bertanggungjawab atas upacara-upacara keagamaan yang

harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Agama Hindu, agar masyarakat

terhindar dari berbagai bencana yang setiap saat dapat terjadi.

Pemangku Pura Dalem Khayangan Kedaton dalam hal ini, dapat

dikelompokan sebagai kelompok sosial fungsional berdasarkan fungsinya sehari-

hari, yaitu sebagai kelompok rohaniawan. Hal ini berarti, bahwa masyarakat Desa

Kukuh masih melanjutkan tradisi yang sudah tua, hal semacam ini sampai

sekarang masih berlaku di desa-desa Bali kuno yang terletak di bagian

pegunungan Bali.

Page 57: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

42

Setelah pengembangan yang dilakukan Desa Adat Kukuh yang dipimpin

langsung oleh bendesa adatnya, Objek Wisata Alas Kedaton mengalami banyak

perubahan, dari sisi infrastruktur dan fasilitas semua disediakan demi membuat

tata ruang objek wisata menjadi lebih baik dan menarik. Luas kawasan Alas

Kedaton yang mencapai 12 Ha dipergunakan untuk parkir yaitu seluas 1,1 Ha,

komplek perdagangan kurang lebih 3 Ha dan sisanya merupakan kawasan hutan.

Adapun fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh Objek Wisata Alas Kedaton adalah

sebagai berikut :

1. Tempat parkir yang beraspal dan mampu menampung bus-bus wisata dengan

ukuran besar

2. Kios cendramata berjumlah 202 buah

3. Toilet umum berjumlah 3 unit

4. Rumah makan 2 buah

5. Balai peristirahatan 8 buah

6. Wantilan dan pertamanan 1 unit

Kawasan hutan yang rindang dan lebat yang terdapat pada Objek Wisata

Alas Kedaton, merupakan tempat hidup beberapa satwa liar yang dari jaman

dahulu telah ada di hutan ini. Kera dan Kalong merupakan satwa liar sekaligus

primadona daya tarik wisata Alas Kedaton, selain keberadaan satwa liar sebagai

habitat hidup alami mereka, pihak penegelola juga melengkapi dan menyediakan

jalan-jalan setapak dari beton sehingga memeberikan rasa nyamanbagi

pengunjung untuk menelusuri lebih dalam suasana hutan Alas Kedaton.

Page 58: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

43

2.2 Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton

2.2.1 Pengelola Objek Wisata Alas Kedaton

Indik Desa Pakraman Kukuh Marga puniki kebagi antuk pitu dusun lan

roras banjar adat, antuk jumlah krama Desa Pakraman Kukuh kirang langkung

wenten limang tali diri sane paling akeh mekarye ring carik lan sane tiyosan

wenten ring tukang, pegawai, lan buruh. Bila diterjemahkan dalam Bahasa

Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa Desa Pakraman Kukuh

merupakan desa yang terbagi atas 7 (Tujuh) dusun dan 12 (Dua belas) banjar adat,

penduduk dari Desa Pakraman Kukuh berjumlah sekitar 5000 (Lima ribu) orang

yang sebagian besar warganya menggeluti pertanian dan sisanya menggeluti

sektor lain seperti pertukangan, pegawai atau buruh. Keterangan tersebut didapat

dari hasil wawancara dengan Bendesa Adat Kukuh I Gede Subawa pada tanggal

26 januari 2015. Desa yang berjarak tidak terlalu jauh dari pusat kota Tabanan ini

memiliki potensi alam yang selalu dijaga kelestariannya, salah satunya yang

dikenal luas adalah Objek Wisata Alas Kedaton, yang hingga kini masih tetap

terjaga kelestariannya.

Desa Kukuh merupakan desa di Tabanan yang dikenal dengan situasi

kemasyarakatannya yang kondusif, bebas dari berbagai konflik adat yang

belakangan marak terjadi di beberapa desa di lumbung beras ini. Hal tersebut

tidak terlepas dari komitmen bersama dari seluruh warga untuk menegakan ajaran

Hindu Tri Hita Karana dan kepiawaian mengelola konflik oleh tokoh-tokoh

masyarakat. Mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton sesungguhnya

merupakan wewenang dari desa adat yang bersangkutan, dalam hal ini Desa

Page 59: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

44

Pakraman Kukuh Marga. Pengelola dapat dikatakan sama dengan pemilik, yang

artinya desa adat memiliki hak dan wewenang untuk mengatur objek wisata

tersebut agar mampu memberi manfaat dan dampak positif bagi masyarakat

sekitar.Peranan desa pakraman dalam pengelolaan objek wisata merupakan hak

tradisional dan kewajiban dari desa pakraman. Desa Pakraman Kukuh memiliki

kewenangan yakni kekuasaan yang didasarkan atas hukum yang menjadi indikator

bagi keabsahan perbuatan hukum dari Desa Pakraman Kukuh dalam pengelolaan

Objek Wisata Alas Kedaton. Selain berpegang teguh menggunakan konsep Tri

Hita Karana, dalam pembahasan ini akan dijelaskan pula apa yang menjadi dasar

aturan atau undang-undang yang secara yuridis mengatur mengenai pengelolaan

sebuah objek wisata di Bali.

Dalam melakukan aktivitasnya, Desa Pakraman Kukuh selalu

berlandaskan pada filosofi Tri Hita Karana yakni tiga penyebab kebahagiaan

yang terdiri dari parahyangan, pawongan, dan palemahan. Tri Hita Karana

mengajarkan bahwa adanya hubungan yang harmonis antara manusia dengan

Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), antara manusia dengan wilayah

tempat pemukiman dan alam sekitarnya, serta manusia dengan sesamanya, akan

memungkinkan mereka untuk menikmati kesejahteraan dan kebahagiaan yang

dimaksud moksha dan jagatdhita.39 Keterlibatan Desa Pakraman Kukuh dalam

pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton merupakan implementasi dari filosofi Tri

Hita Karana. Dilihat dari sudut pandang parahyangan, keikutsertaan desa

39 I Wayan Surpha, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Pustaka

Bali Post, Denpasar, hal.17.

Page 60: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

45

pakraman dalam pengelolaan objek wisata merupakan upaya dalam menjaga

kesucian pura yaitu, Pura Dalem Khayangan Kedaton.

Dalam konteks pawongan, pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton

memeberikan gambaran mengenai interaksi antara krama desa dengan pemerintah

daerah (Pemerintah Kabupaten Tabanan) dan wisatawan dalam suatu hubungan

yang harmonis. Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton memerlukan kerjasama

secara internal dari desa pakraman dan kerjasama secara eksternal antara desa

pakraman dengan pihak lainnya.

Sedangkan bila dilihat dari filosofi palemahan, menginginkan adanya

sinergi antara hubungan manusia dengan lingkungan. I Made Suasthawa

Dharmayuda berpendapat “pemberdayaan terhadap desa pakraman dalam

pelestarian lingkungan hidup perlu terus diupayakan melalui pengeluaran

perangkat hukum seperti Perda dan Undang-undang yang berfungsi sebagai

pengakuan, penguatan dan sekaligus pembinaan terhadap desa pakraman”.40

Keterlibatan desa pakraman dalam pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton

memberikan peluang bagi krama desa untuk melestarikan tata ruang di lingkungan

objek wisata tersebut.

Landasan filosofi Tri Hira Karana ini menjadi asas dan tujuan dalam

penyelenggaraan pariwisata budaya. Dilihat dari ketentuan Pasal 2 Peraturan

Daerah Popinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata

Budaya disebutkan “Penyelenggara Pariwisata Budaya dilaksanakan berdasarkan

asas manfaat usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, percaya pada diri

40 I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat

Hukum Adat di Propinsi Bali, Upada Sastra. Denpasar, hal.39.

Page 61: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

46

sendiri dan perikehidupan keseimbangan, keserasian serta keselarasan yang

berpedoman pada falsafah Tri Hita Karana”. Clifford Geertz says that “Thre force

of a religion in supporting social values rests, then, on the ability of its sysmbols

to formulate a world in which those values, as well as the force opposing their

realization, are fundamental ingredients.”41 Kekuatan agama ini menjadi sandaran

dalam pelaksanaan nilai-nilai sosial yang dilakukan oleh desa Pakraman.

Keterlibatan Desa Pakraman Kukuh dalm pengelolaan Objek Wisata Alas

Kedaton didasarkan pada landasan yuridis yang kuat. Berdasarkan teori

kewenangan yang dikemukakan oleh sosiolog Max Weber, maka kewenangan

yang dimiliki Desa Pakraman Kukuh dalam pengelolaan Alas Kedaton berbentuk

kewenangan tradisional yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok berdasarkan

ketentuan-ketentuan tradisional yakni awig-awig Desa Pakraman Kukuh dan

kewenangan rasional atau legal yaitu kewenangan yang didasarkan pada sistem

hukum yang berlaku di masyarakat yakni peraturan perundang-undangan dan

peraturan kebijakan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang.

Kewenangan Desa Pakraman Kukuh dalam pengelolaan Objek Wisata

Alas Kedaton lahir dari kewenangan atribusi yang bersumber dan diperintahkan

oleh Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan yang bersumber dari konstitusi

ini menjadi landasan yuridis yang kuat bagi Desa Pakraman Kukuh dalam

pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton. Hal ini dapat dilihat dari kedudukan

UUD 1945 sebagai konstitusi atau hukum dasar suatu negara dan ada tiga

kedudukan dari konstitusi suatu negara, yakni:

41 Clifford Geertz, 1973, The Interpretation of Cultures, Basic Books,

London, hal.131.

Page 62: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

47

1. Pertama, dilihat dari posisi “konstitusi” sebagai :hukum dasar” (basic law), mengandung norma-norma dasar yang mengarahkan bagaimana pemerintah mendapatkan kewenangan mengorganisasikan penyelenggaraan kekuasaan negara. Dalam kedudukan sebagai basic law, “konstitusi” dapat dijadikan instrument yang efektif mencegah timbulnya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Konsekuensi yuridisnya dari pengakuan “konstitusi” sebagai “hukum dasar” dapat mengarahkan dan menjiwai produk hukum yang berorientasi tidak saja pada kepastian hukum (legal certainty), tetapi juga produk hukum yang memenuhi keadilan bagai semua orang (justice for all).

2. Kedua, segi hirarki peraturan perundang-undangan, “konstitusi” sebagai “hukum tertinggi” kedudukannya “kuat”, artinya produk hukum lainnya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, dan kalau bertentangan harus dibatalkan.

3. Ketiga, konstitusi sebagai dokumen hukum dan politik (politico-legal document) menempati kedudukan “istimewa”, selain substansi atau materi muatannya memuat norma hukum dasar, juga berisi piagam kelahiran suatu negara baru (a brith certificate), inspirasi merealisasi cita-cita negara (staatside) dan cita-cita hukum (rechtside), karena itu norma konstitusi juga mengandalkan norma-norma lainnya.42

Dalam tingkatan undang-undang, dasar yuridis pengelolaan objek wisata

oleh desa pakraman diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dimana setiap orang dan/atau masyarakat di

dalam dan di sekitar destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas menjadi

pekerja/buruh; konsinyasi; dan/atau pengelolaan. Penjelasan Pasal 5 huruf e

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan “masyarakat setempat” adalah masyarakat yang

bertempat tinggal di dalam wilayah destinasi pariwisata dan di prioritaskan untuk

mendapatkan manfaat dari penyelenggaraan kegiatan pariwisata di tempat

tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, krama Desa Pakraman Kukuhsebagai

42 I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi Problematika

Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945 Edisi Revisi, Setara Press, Malang, hal.38-40.

Page 63: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

48

masyarakat setempat memiliki hak prioritas untuk mengelola Objek Wisata Alas

Kedaton.

Keterlibatan Desa Pakraman Kukuh dalam mengelola Objek Wisata Alas

Kedaton juga didasarkan pada tugas dan wewenang desa pakraman sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 5c Peraturan Daerah Popinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001

tentang Desa Pakraman yang menyebutkan bahwa “Desa Pakraman mempunyai

tugas dalam mengatur pengelolaan harta kekayaan desa” dan Pasal 5d yakni

“bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang

terutama di bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan”.

Dalam Pasal 6 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001

tentang Desa Pakraman menentukan bahwa, desa pakraman mempunyai

wewenang sebagai berikut:

a. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat;

b. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana;

c. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman. Ditambahkan lagi mengenai ketentuan yang mengatur bahwa desa

pakraman mempunyai wewenang untuk mengelola objek wisata terdapat di dalam

ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali

Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya menyebutkan “Pengusahaan

objek dan daya tarik wisata dapat dilakukan oleh lembaga adat, badan usaha atau

perorangan”. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan “Lembaga Adat, badan usaha

atau perorangan sebagaimana dimaksud ayat (1) dalam melakukan kegiatan

Page 64: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

49

usahanya berdasarkan izin yang berwenang”. Pasal ini menjadi dasar yuridis bagi

keterlibatan Desa Pakraman Kukuh sebagai pihak dalam pengelolaan Objek

Wisata Alas Kedaton.

Keterlibatan Desa Pakraman Kukuh dalam pengelolaan Objek Wisata Alas

Kedaton merupakan pemerdayaan terhadap desa pakraman itu sendiri.

Berdasarkan Pasal 13 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001

tentang Desa Pakraman disebutkan bahwa:

(1) Pemberdayaan dan pelestarian desa pakraman diarahkan kepada hal-hal berikut: a. pembangunan krama sesuai dengan budaya Bali; b. terwujudnya pelestarian kebudayaan di desa pakraman; c. tercapainya kebudayaan daerah Bali di desa yang mampu menyaring

secara selektif nilai-nilai budaya asing; d. terciptanya suasana yang dapat mendorong peningkatan peran dan

fungsi desa pakraman dalam upaya: 1) meningkatkan harkat dan martabat serta jati diri;

2)berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pembangunan di segala bidang;

(2) Dalam melakukan pemberdayaan dan pelestarian desa pakraman sebagaimana dimaksud ayat (1), harus mendorong terciptanya:

a. sikap demokratis, adil dan obyektif di kalangan prajuru dan krama desa pakraman masing-masing.

b. pelestarian adat dan budaya Bali dengan tidak menutup pengaruh nilai budaya lain yang positif.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka nampak bahwa desa

pakraman mempunyai kewenangan dalam menentukan setiap keputusan

pembangunan yang ada di wilayahnya, khususnya dalam pembangunan

pariwisata. Dengan adanya ketentuan tersebut, ini menjadi bukti bahwa desa

pakraman mempunyai kekuatan secara yuridis untuk ikut dan dapat mengelola

objek wisata setempat demi dapat mengembangkan potensi wisata yang ada, agar

dapat dipergunakan demi mensejahterakan masyarakat sekitar sebagai warga lokal

Page 65: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

50

dan penduduk asli desa pakraman tersebut, dalam hal ini demi kesejahteraan

penduduk Desa Pakraman Kukuh Marga Kabupaten Tabanan.

2.2.2 Management Pengelolaan

Management pengelolaan yang terdapat pada Objek Wisata Alas Kedaton

telah mengalami perubahandari kepemimpinan bendesa adat kukuh pada masa

kepemimpinan I Gusti Ngurah Putra, berlanjut ke masa kepemimpinan I Gusti

Made Purnayasa, dan kini 2014 dilanjutkan oleh I Gede Subawa. Menurut

wawancara yang dilakukan kepada I Gusti Made Purnayasa selaku mantan

Bendesa Adat Kukuh pada tanggal 20 januari 2015, pada masa kepemimpinannya,

secara umum sesungguhnya pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dilakukan

dengan cara tradisional yaitu Desa Pakraman Kukuh yang secara langsung

mengatur dan mengelola Objek Wisata Alas Kedaton tanpa ada perjanjian kepada

pihak manapun dalam hal pengelolaan. Pada perkembangannya, baru pada saat

kepemimpinan Bendesa Adat Kukuh I Gede Subawa dan Bupati Tabanan Ni Putu

Eka Wiryastuti selaku Pimpinan Daerah terjadi perubahan terhadap pengelolaan

Objek Wisata Alas Kedaton. Perubahan tersebut ditandai dengan di buatnya

perjanjian kerjasama Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman

Kukuh Kecamatan Marga Nomor: 15 Tahun 2012, Nomor: 01/XII/DAK/2012

tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Kepariwisataan Daya Tarik Wisata

Alas Kedaton.

Page 66: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

51

Mengenai pengelolaan yang dilakukan di Objek Wisata Alas Kedaton,

ditunjuk seorang manajer yang dimana tugas dan fungsi manajer sebagaipemantau

perkembangan sekaligus sebagai pengambil keputusan yang nantinya diharapkan

dapat meningkatkan jumlah kunjungan bahkan pemasukan yang lebih baik bagi

perkembangan Objek Wisata Alas Kedaton. Wawancara yang dilakukan pada

tanggal 28 desember tahun 2014, menurut manajer Objek Wisata Alas Kedaton

yaitu I Gusti Bagus Suryawan, kunjungan wisatawan ke Alas Kedaton mulai

mengalami peningkatan, terutama ketika musim libur panjang. Selama musim

liburan, kunjungan bisa mencapai 1000 (seribu) orang per hari, sedangkan dalam

kondisi normal jumlah wisatawan yang berkunjung sekitar 300 (tiga ratus) orang

per hari. Mengenai jumlah kunjungan wisatawan baik asing maupun

domestiksesuai data terakhir yang didapat pada tahun 2014, total jumlah

kunjungan mencapai angka 114.269 orang. (Lihat lampiran 4)

Keterangan lain yang diberikan oleh manajer Alas Kedaton, selain Objek

Wisata Alas Kedaton merupakan aset Desa Adat Kukuh yang sistem

pengelolaannya langsung dibawah desa adat, masyarakat Desa Kukuh juga di ajak

ikut berpartisispasi atau terlibat langsung kedalam pengelolaan objek wisata ini,

adapun pengelolaan yang dilakukan antara lain:

a. Pengelolaan Terhadap Sumber Daya Alam (SDA). Pengelolaan terhadap

SDA dilakukan langsung oleh masyarakat setempat, mulai dari merawat

kera, lingkungan, dan pura. Proses pengelolaan SDA pada struktur

organisasi telah dibagi sesuai dengan keahliannya masing-masing, bagi

petugas yang merawat kera, cakupan tugasnya meliputi memberi makan

Page 67: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

52

kera dan menjaga kera agar tidak mengganggu pengunjung, sedangkan

pada area pura dikelola oleh seorang pemangku (orang suci).

b. Pengelolaan Terhadap Sumber Daya Manusia (SDM). Pihak manajemen

Objek Wisata Alas Kedaton membagi sistem pengelolaan SDM menjadi

dua bagian yaitu, pengelolaan terhadap karyawan yang bekerja di Objek

Wisata Alas Kedaton dan para pedagang yang berjualan di wilayah Objek

Wisata Alas Kedaton. Dalam pengelolaan terhadap karyawan yang bekerja

di Objek Wisata Alas Kedaton, setiap tiga tahun sekali dilakukan

pergantian karyawan diantara 12 banjar yang ada di Desa Kukuh, hal ini

dilakukan agar masing-masing banjar mendapat pemerataan tugas dan juga

ikut merasakan dampak positif dari keberadaan objek wisata. Sedangkan

pengelolaan terhadap para pedagang yang terdiri dari 202 art shop

diberlakukan sistem pembagian jadwal setiap tiga kali sehari untuk

mengatur wisatawan, para pedagang ini harus mengikuti peraturan yang

telah ditetapkan oleh pihak manajemen Objek Wisata Alas Kedaton.

2.2.3 Hasil Pengelolaan

Mengenai hasil pengelolaan yang dilakukan oleh pihak manajemen Objek

Wisata Alas Kedaton, dalam hal ini akan dijelaskan kemana saja hasil pengelolaan

tersebut di serahkan, baik itu kepada pemerintah maupun ke desa adat. Sesuai

dengan perjanjian kerjasama yang dibuat antara Pemerintah Kabupaten Tabanan

dengan Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Nomor: 15 Tahun 2012,

Nomor: 01/XII/DAK/2012 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan

Page 68: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

53

Kepariwisataan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton, hasil pengelolaan Objek Wisata

Alas Kedaton di bagi dua, yaitu kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan

dan kepada Desa Pakraman Kukuh yang dalam hal ini sebagai pemilik dari Objek

Wsata Alas Kedaton. Penerimaan pendapatan dari penyelenggaraan dan

pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton bersumber dari penjualan tiket

masuk dan penjualan karcis parkir (terdapat di dalam ketentuan Pasal 12 tentang

pendapatan). Menurut perjanjian yang telah di buat pada tahun 2012 tersebut

pembagian hasil ini melibatkan dua pihak, Ni Putu Eka Wiryastuti Bupati

Tabanan dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Kabupaten

Tabanan selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA. Selanjutnya I Gede Subawa

Bendesa Pakraman Kukuh dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama

masyarakat Desa Pakraman Kukuh selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.

Sesuai dengan apa yang tercantum di dalam perjanjian tersebut, mengenai

pembagian hasil terdapat di dalam Pasal 14, dimana kedua belah pihak telah

sepakat untuk membagi hasil pengelolaan tersebut kepada Pemerintah Kabupaten

Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh. Ketentuan mengenai perhitungan yang

bersumber dari hasil penerimaan pendapatan tiket sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 12 sebesar 20% (dua puluh persen) kepada PIHAK PERTAMA dan

80% kepada PIHAK KEDUA. Sedangkan hasil penerimaan pendapatan dari

karcis sebesar 65% (enam puluh lima persen) kepada PIHAK PERTAMA dan

sebesar 35% (tiga puluh lima persen) kepada PIHAK KEDUA.

Terlepas dari hasil pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton yang

dilakukan oleh pihak manajemen dan Desa Pakraman Kukuh yang bersumber dari

Page 69: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

54

penjualan tiket masuk dan penjualan karcis parkir, maka ada pula hasil berupa

prestasi yang patut kita banggakan. Pihak pengelola Objek Wistaa Alas Kedaton

yaitu Desa Pakraman Kukuh yang di dukung manajemen, merupakan pihak yang

secara konsisten untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan hutan Alas

Kedaton, ini terbukti dari beberapa prestasi berupa penghargaan yang telah di raih

dari tahun ke tahun yang membuktikan bahwa Alas Kedaton merupakan objek

wisata yang termasuk dalam kategori penyelamat lingkungan.

Wawancara yang dilakukan kembali pada tanggal 2 Februari 2015 kepada

Manajer Objek Wisata Alas Kedaton I Gusti Bagus Suryawan tentang prestasi

ataupun penghargaan yang sempat diraih Objek Wisata Alas Kedaton mengaku

bahwa, hanya beberapa penghargaan saja yang berhasil di simpan maupun di data.

Adapun beberapa prestasi dan penghargaan yang diberikan kepada Objek Wisata

Alas Kedaton dapat dijelaskan menggunakan tabel sebagai berikut:

No Tahun Prestasi Pihak yang Memberikan Penghargaan

1 1992 Juara I Lomba Penataan Objek Wisata Alam Se-Bali

Dewan Pimpinan Daerah Perhimpunan Objek Wisata Indonesia Tingkat I Bali

2 1997 Pemenang III (3) Lomba Pokdarwis

Kantor Wilayah Departemen Wisata dan Telekomunikasi Provinsi Bali

3 2005 Mendapatkan Penghargaan Tri Hita Karana Tourism Award

Green Paradise Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation

4 2006 Juara Harapan I Lomba Pokdarwis Gubernur Provinsi Bali

5 2006 Mendapatkan Penghargaan Tri Hita Karana Tourism Award

Green Paradise Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation

6 2007 Mendapatkan Penghargaan Tri Hita Karana Tourism Award

Green Paradise Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation

7 2008 Mendapatkan Penghargaan Tri Hita Karana Tourism Award

Green Paradise Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation

Page 70: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

55

8 2011 Mendapat Penghargaan Tri

Hita Karana Tourism Award Gold Medal

Green Paradise Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation

9 2014

Juara Harapan I Lomba Kelompok/ Perorangan/

Swasta dalam rangka Lomba Pengelolaan Lingkungan

Hidup Provinsi Bali

Pemerintah Provinsi Bali

10 2014

Mendapatkan penghargaan sebagai nominator penerima

Penghargaan Kalpataru Kategori Penyelamat

Lingkungan

Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia

Page 71: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

56

BAB III

KEABSAHAN PERJANJIAN PENGELOLAAN

OBJEK WISATA ALAS KEDATON

3.1 Pengertian, Syarat-syarat dan Bentuk Perjanjian

Pengertian perjanjian pada dasarnya dapat kita ketahui dari pendapat para

ahli hukum atau aturan yang berlaku. Mengenai peraturan perundang-undangan

yang memberikan pengertian mengenai perjanjian terdapat di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Ketentuan mengenai perjanjian

tersebut di atur didalam buku III BW yang berjudul ”Perihal Perikatan”, Perikatan

(verbintenis) memiliki pengertian yaitu suatu hubungan hukum (mengenai

kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk

menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini

diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Buku III mengatur mengenai hubungan hukum

antara orang dengan orang (hak perorangan), yang terdiri atas 18 bab dan 631

pasal, dimulai dari Pasal 1233 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1864

KUHPerdata.

Ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah

suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih. Perjanjian yang dibuat secara tertulis disebut dengan istilah

kontrak, Ahmadi Miru dalam bukunya yang berjudul hukum kontrak dan

perancangan kontrak menyebutkan bahwa, hukum kontrak merupakan bagian dari

hukum perikatan, perikatan bersumber dari perjanian dan undang-undang,

perikatan yang bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-

Page 72: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

57

undang saja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya,

perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi

dua, yaitu perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum.43

Dapat dijelaskan sesungguhnya perjanjian merupakan bagian dari hukum

kontrak dan hukum perikatan. Bahkan sebagian ahli hukum menempatkan hukum

kontrak sebagai bagian dari perjanjian karena kontrak sendiri ditempatkan sebagai

perjanjian tertulis, namun para ahli hukum tidak ingin membedakan kedua hukum

tersebut antara hukum kontrak dan hukum perjanjian sehingga kedua istilah

tersebut digunakan dengan makna yang sama. Pembagian antara hukum kontrak

dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam BW karena dalam BW hanya dikenal

perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undang-undang.

Menurut Salim H.S. definisi perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313

sesuai dengan yang dijelaskan di atas adalah:

1. Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian

2. Tidak tampak asas konsensualisme, dan

3. Bersifat dualisme.44

Dikatakan pengertian tentang perjanjian tersebut tidak jelas karena hanya

disebutkan mengenai perbuatan saja, sedangkan mengenai perbuatan cakupannya

terlalu luas, jadi hendaknya disebutkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu

pihak atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.

43 Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT

Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.1. 44 Salim, H.S., 2010, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan

Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.73.

Page 73: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

58

Hal senada mengenai rumusan Pasal 1313 BW dikatakan tidak jelas juga

di setujui oleh Setiawan, menurut Setiawan rumusan Pasal 1313 BW selain tidak

jelas menurutnya juga tidak lengkap dan sangat luas. Tidak lengkap karena hanya

menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan digunakannya

perkataan ”perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan

hukum. Sehubungan dengan itu, menurut Setiawan perlu kiranya diadakan

perbaikan mengenai definisi tersebut, ialah:

a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang

bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;

b. Menambahkan perkataan ”atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal

1313BW;

c. Sehingga perumusannya menjadi,”perjanjian adalah perbuatan hukum, di

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih”.45

Demikian halnya menurut Suryodiningrat, bahwa definisi Pasal 1313 BW

ditentang beberapa pihak dengan argumentasi sebagai berikut:

a. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian

pula tidak ada sangkut pautnya dengan setiap sumber perikatan, sebab

apabila penafsiran dilakukan secara luas, stiap janji adalah persetujuan.;

b. Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan

akibat hukum tanpa dimaksudkan (perbuatan yang menimbulkan kerugian

sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum);

45 Setiawan, 1987, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta,

hal.49.

Page 74: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

59

c. Definisi Pasal 1313BW hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral),

satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak

berprestasi (schenking atau hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi

dua pihak, dimana para pihak saling berprestasi;

d. Pasal 1313 BW hanya mengenai persetujuan obligatoir (melahirkan hak

dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis

lainnya (perjanjian liberatoir/membebaskan; perjanjian di lapangan hukum

keluarga; perjanjian kebendaan; perjanjian pembuktian).46

Terhadap definisi Pasal 1313 BW ini Purwahid Patrik menyatakan

beberapa kelemahan, yaitu:

a. Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini

dapat disimak dari rumusan ”satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata ”mengikatkan”

merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,

tidak dari kedua pihak. Sedangkan maksud perjanjian itu para pihak

saling mengikatkan diri, sehingga tampak kekurangannya yang

seharusnya ditambah dengan rumusan ”saling mengikatkan diri”;

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan, termasuk

perbuatan mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan

perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Hal ini menunjukan

makna ”perbuatan” itu luas dan menimbulkan akibat hukum;

46 R.M. Suryodiningrat, 1985, Asas-asas Hukum Perikatan, Tarsito,

Bandung, hal.72.

Page 75: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

60

c. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 BW mempunyai ruang

lingkup di dalam hukum harta kekayaan (vermogensrecht).47

Menurut Niewenhuis, perjanjian obligatoir (yang menciptakan perikatan)

merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri mengatur

hubungan-hubungan hukum di antara mereka.48 Menurut Polak, suatu persetujuan

tidak lain suatu perjanjian (afspraak) yang mengakibatkan hak dan kewajiban.49

Arthur S. Hartkamp dan Marianne M.M Tillema berpendapat bahwa

kontrak merupakan spesies dari genus perbuatan hukum. Secara umum kontrak

didefinisikan sebagai berikut:

”A contract is a juridical act, established-in compliance with possible formalities, required by the law – by the corresponding and mutually interdependent expressions of intent of two or more parties, directed at the creation of juridical effectfor the benefit of one of the parties and to the account of the other party, or of benefit and to the account of both parties”

Menurut E Allan Farnsworth memberikan pengertian kontrak yaitu:

The word contract is used in different senses in American Law. Sometimesit is used, as it is used in common speech, simply to refer to a writing containing terms on which the parties have agreed. But often the term contract is used in a more technical sense to mean a promise, or a set of promise, that the law will enforce or at least recognize in some way.50

Menurut Aseer C. Hartkamps memberikian definisi perjanjian:

Perjanjian adalah suatu perbuatan/tindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang (pihak) atau lebih, di mana tercapainya sepakat tersebut

47 Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju,

Bandung, hal.45-46. 48 J.H. Niewenhuis, 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (terjemahan

Djasadin Saragih), Surabaya, hal.1. 49 Mashudi & Mohammad Chidir Ali, 1995, Bab-bab Hukum Perikatan,

Mandar Maju, Bandung, hal. 56. 50 E. Allan Farnsworth, 1999, United States Contract Law, Jurish

Publishing, United States Of America, hal.1.

Page 76: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

61

tergantung dari para pihak yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban pihak yang lain atau timbal balik dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.51

Menurut Subekti perjanjian didefinisikan sebagai suatu peristiwa dimana

seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal.52 Subekti juga menambahkan bahwa dia memiliki

pendapat mengenai istilah kontrak, menurutnya istilah kontrak mempunyai

pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang

tertulis.53Sedangkan menurut sarjana lain, Pothier tidak memberikan pembedaan

antara kontrak dan perjanjian, namun membedakan pengertian contract dengan

convention (pacte). Disebut convention (pacte) yaitu perjanjian di mana dua orang

atau lebih menciptakan, menghapuskan, (opheffen), atau mengubah (wijzegen)

perikatan. Sedangkan contract adalah perjanjian yang mengharapkan

terlaksananya perikatan.54

Peter Mahmud Marzuki memberikan argumentasi kritis mengenai

penggunan istilah kontrak atau perjanjian dengan melakukan perbandingan

terhadap pengertian kontrak atau perjanjian dalam sistemAnglo-American.

Sistematika Buku III tentang Verbintenissenrecht (Hukum Perikatan) mengatur

mengenai overeenkomst yang kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia

berarti perjanjian. Istilah kontrak merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris

contract. Di dalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada

51 Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.3.

52 Ricardo Simanjuntak, 2006, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, PT. Gramedia, Jakarta, hal.23.

53 Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Intermesa, Jakarta, hal.1. 54 Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan, 1978, Hukum

Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya, hal.84.

Page 77: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

62

Buku III BW Indonesia tentang Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa

perjanjian memang berkaitan dengan masalah harta kekayaan (Vermogen).

Perjanjian pengertian ini mirip dengan contract pada konsep Anglo-American

yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di dalam pola pikir Anglo-American,

perjanjian yang bahasa Belandanya overeenkomst dalam bahasa Inggris disebut

agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup

hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang

berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak berkaitan

dengan bisnis hanya disebut agreement.55

Pengertian kontrak atau perjanjian yang dikemukakkan para ahli tersebut

melengkapi kekurangan definisi Pasal 1313 BW. Dari definisi tersebut maka dapat

didefinisikan secara lengkap pengertian tentang kontrak atau perjanjian adalah

perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih dan di dalamnya akan

menimbulkan akibat hukum kepentingan bagi pihak yang satu dan beban

kewajiban bagi pihak lainnya.

Syarat-syarat suatu perjanjian diatur di dalam KUHPerdata yaitu dalam

Pasal 1320 KUHPerdata yang mencakup empat syarat fundamental yang harus

dipenuhi agar perjanjian/kontrak dapat dinyatakan sah, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

2. Kecakapan untuk membuat perjanjian ;

3. Suatu hal tertentu;

55Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-batas Kebebasan Berkontrak,

Yuridika, Volume 18 No. 3, hal.195-196.

Page 78: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

63

4. Suatu sebab yang halal;

Keempat unsur tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang

berkembang digolongkan ke dalam unsur subyektif dan unsur obyektif. Untuk

unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak

yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian. Unsur

obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang

diperjanjiakan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk

dilaksanakan haruslah tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Apabila

didalam membuat perjanjian tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat

unsur tersebut maka dapat menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian

tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan maupun

batal demi hukum.

1). Kesepakatan (Toesteming/Izin) Kedua Belah Pihak

Syarat pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus

para pihak. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu

orang atau lebih dengan pihak lainnya.

Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu:

a. Bahasa yang sempurna dan tertulis;

b. Bahasa yang sempurna secara lisan;

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena

dalam kenyataanya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa

yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya; bahasa yang

tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

Page 79: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

64

e. Diam atau bisu, tetapi asal dapat diterima oleh pihak lawan.56

Dalam perjanjian biasanya para pihak memilih menggunakan bahasa yang

sempurna secara tertulis dan lisan, dengan tujuan adalah untuk memberikan

kepastian hukum bagi kedua belah pihak dan sebagai alat pembuktian yang

sempurna apabila dikemudian hari timbul sengketa. Jika syarat kesepakatan

kehendak ini tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian akan mengakibatkan

perjanjian/kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sepakat ditandai dengan adanya

penawaran dan penerimaan dari para pihak, kesepakatan ditandai dengan cara

tertulis, lisan, diam-diam, dan dengan simbol-simbol tertentu. Kesepakatan

merupakan inti dari perjanjian yang tidak mengandung unsur cacat kehendak,

yaitu kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), penipuan (bedrog), dan

penyalahgunaan keadaan (unde influence).

2). Kecakapan Untuk Membuat Perjanjian

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan

perbuatan hukum. Suatu perbuatan dikatakan perbuatan hukum adalah apabila

perbuatan tersebut menimbulkan akibat hukum. Para pihak yang mengadakan

perjanjian haruslah orang-orang yang memenuhi syarat dan cakap melakukan

perbuatan hukum sebagaimana telah ditentukan dalam undang-undang.

Dalam Pasal 1330 KUHPerdata ditentukan bahwa tidak cakap untuk membuat

suatu perjanjian adalah:

1. Orang-orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

56 Salim H.S., op.cit., hal.33.

Page 80: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

65

3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-

undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah

melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Dalam Pasal 330 KUHPerdata menentukan bahwa belum dewasa adalah

mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih

dahulu telah kawin. Dalam ketentuan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dalam

Pasal 7 ditentukan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 (sembilan belas tahun) dan pihak wanita sudah mencapai umur

16 (enam belas tahun). Sedangkan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris (UUJN) dalam Pasal 39 ayat (1) menentukan bahwa

penghadap harus memenuhi unsur syarat paling sedikit berumur 18 (delapan belas

tahun) atau telah menikah, dan cakap melakukan perbuatan hukum.

Orang yang termasuk tidak cakap menurut UUJN yaitu:

a) Anak di bawah umur

b) Anak di bawah pengampuan (curatele)

c) Wanita kawin dengan perkecualian wanita yang menjalankan usaha sendiri,

tetapi hanya untuk usahanya

d) Semua orang yang dilarang undang-undang melakukan perjanjian tertentu.

Dalam ketentuan perundang-undangan tersebut di atas memnerikan batasan

dewasa seseorang adalah berbeda-beda, namun dapat dirangkum bahwa seseorang

dapat dikatakan dewasa secara hukum adalah minimal berumur 18 (delapan belas

tahun) atau telah menikah dan menurut undang-undang dinyatakan cakap untuk

melakukan perbuatan hukum.

Page 81: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

66

3). Suatu Hal Tertentu

Suatu hal tertentu dapat diartikan adalah suatu maksud yang dituju oleh para

pihak. Hal tertentu menyangkut objek dari perjanjian tersebut, baik berupa barang

ataupun jasa yang dapat dinilai dengan uang. Sesuai dengan ketentual Pasal 1332

KUHPerdata yaitu: ”Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat

menjadi pokok perjanjian”

Objek dari perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa

yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini

terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas:

a) Memberikan sesuatu

b) Berbuat sesuatu

c) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata).

4). Suatu Sebab Yang Halal

Suatu sebab yang halal adalah sebab yang dibenarkan oleh undang-undang,

ketertiban umum, kebiasaan, kepatutan, dan kesusilaan. Suatu perjanjian tanpa

sebab, atau dibuat karena sebab palsu, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1335

KUHPerdata adalah termasuk kedalam sebab yang halal.Pengertian sebab yang

halal diatur dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata, dalam

Pasal 1335 KUHPerdata tersebut menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab,

atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah

mempunyai kekuatan. Ketentuan KUHPerdata tidak memberkan pengertian atau

definisi dari sebab yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam

ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sebab

yang halal adalah bukan tanpa sebab, bukan sebab yang palsu, dan bukan sebab

Page 82: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

67

yang terlarang. Suatu sebab (tujuan) yang halal dalam perjanjian adalah

menyangkut isi atau substansi dari suatu perjanjian tersebut yang tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Dalam Pasal 1336 KUHPerdata menyatakan lebih lanjut bahwa:

”Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang,

atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian

adalah sah”.

Dari rumusan Pasal 1336 KUHPerdata tersebut tidak mempersoalkan apa

yang menjadi dasar dibuatnya suatu perjanjian, dalam undang-undang hanya

memperhatikan mengenai prestasi yang disebutkan dalam perjanjian tersebut.

Prestasi yang diperjanjikan antara kedua belah pihak tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang atau hukum, sehingga pelaksanaannya dapat dipaksakan

oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Dalam Pasal 1337 KUHPerdata

menentukan suatu sebab yang terlarang yaitu suatu sebab adalah terlarang apabila

dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau

ketertiban umum. Namun dalam ketentuan undang-undang tersebut tidak

memberikan batasan mengenai makna dari sebab yang terlarang dan yang tidak

terlarang. Undang-undang hanya melihat pada apa yang tercantum dalam

perjanjian, apa yang merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak.

Tanpa adanya prestasi yang ditentukan dalam perjanjian, maka perjanjian tersebut

tidak mungkin dan tidak akan pernah ada di antara para pihak.

Syarat sahnya suatu perjanjian, syarat yang pertama dan kedua disebut

sebagai syarat subjektif, karena menyangkut para pihak yang mengadakan

perjanjian. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut

Page 83: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

68

mengenai objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi

maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Salah satu pihak dapat mengajukan

pembatalan terhadap perjanjian yang disepakati kepada pengadilan. Apabila syarat

ketiga dan syarat keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum,

perjanjian yang telah dibuat dan disepakati tersebut dianggap tidak ada.

Selain dalam Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya suatu perjanjian di

luar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata yang terdiri dari:

1) Syarat itikad baik;

2) Syarat sesuai dengan kebiasaan;

3) Syarat sesuai dengan kepatutan;

4) Syarat sesuai dengan kepentingan umum.

Konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari

syarat-syarat sahnya suatu perjanjian tersebut bervariasi mengikuti syarat mana

yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut adalah sebagai berikut:

1) Batal demi hukum (nietig,null and voil), misalnya dalam hal dilanggarnya syarat objektif dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat objektif tersebut adalah:

a) Perihal tertentu, dan b) Kausa yang legal. 2) Dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable), misalnya dalam hal tidak

terpenuhi syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat subjektif tersebut adalah:

a) Kesepakatan kehenadak, dan b) Kecakapan berbuat. 3) Kontrak tidak dapat dilaksanakan (unenforceable), kontrak yang tidak

dapat dilaksanakan adalah kontrak yang tidak begitu saja batal tetapi tidak dapat dilaksanakan, melainkan masih mempunyai status hukum tertentu. Bedanya dengan kontrak yang batal (demi hukum) adalah bahwa kontrak yang tidak dapat dilaksanakan masih mungkin dokonversi menjadi kontrak yang sah. Sedangkan bedanya dengan kontrak yan dapat dibatalkan (voidable) adalah bahwa dalam kontrak yang dapat dibatalkan, kontrak tersebut sudah sah, mengikat dan dapat dilaksankan sampai dengan dibatalkan kontrak tersebut, sementara kontrak yang tidak dapat

Page 84: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

69

dilaksanakan belum mempunyai kekuatan hukum sebelum dikonversi menjadi kontrak yang sah.

4) Sanksi Administratif, ada juga kontrak yang apabila tidak terpenuhi hanya mengakibatkan dikenakan sanksi administratif saja terhadap salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam kontrak tersebut.57

Untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan diperlukan asas

hukum, karena asas hukum ini memberikan pengarahan terhadap prilaku manusia

di dalam masyarakat. Sebagaimana dikatakan Van Apeldoorn bahwa asas hukum

adalah asas yang melandasi peraturan hukum positif yang khusus atau yang

melandasi pranata-pranata hukum tertentu, atau melandasi suatu bidang hukum

tertentu.58

Sebagian besar dari peraturan hukum mengenai perjanjian bersumber dan

mempunyai dasar pada asas-asas hukum, menurut Herlien Budiono, bahwa asas-

asas hukum sebagai norma-norma penguji yang fundamental adalah pokok-pokok

pikiran yang melandasi sistem hukum yang nyata berfungsi sebagai hukum

positif.59Asas-asas hukum menghubungkan antara nilai-nilai, pokok pikiran,

moral dan susila pada satu pihak dengan hukum positif pada pihak lain. Asas

hukum secara umum menunjuk pada dasar pemikiran, ideology, dari ketentuan

hukum. Asas-asas hukum mempunyai fungsi menjaga dan mewujudnyatakan

standar nilai atau tolak ukur yang melandasi norma-norma baik yang tercakup

dalam hukum positif maupun praktek hukum.

Fungsi asas perjanjian adalah:

1. Memberikan keterjalinan dari peraturan-peraturan hukum;

57 Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.34-35

58 Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hal.82.

59 Herlien Budiono, op.cit., hal.28.

Page 85: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

70

2. Memecahkan masalah baru dan membuka bidang hukum baru; 3. Menyustifikasi prinsip-prinsip etikal yang merupakan substansi aturan

hukum; dan 4. Mengkaji ulang ajaran hukum yang ada sehingga dapat memunculkan

solusi baru.60

Asas-asas hukum merupakan dasar/pokok karena bersifat fundamental,

dan yang dikenal di dalam hukum kontrak klasik ada 4 (empat) asas-asas yaitu :

Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Konsensualisme, Asas Kekuatan Mengikat

(Asas Pacta Sunt Servanda) dan Asas Itikad Baik.

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral

di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan

hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan

kontraktual para pihak. Asas ini dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang

secara embrional lahir dalam zaman Yunani kuno, dilanjutkan oleh kaum

Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman Renaissance (dan semakin

ditumbuhkan pada zaman Aufklarung) melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de

Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau. Perkembangan ini mencapai

puncaknya setelah periode Revolusi Perancis. Sebagai asas yang bersifat universal

yang bersumber dari paham hukum, asas kebebasan berkontrak (freedom of

contract) muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang

mengagungkan laissez faire atau persaingan bebas.

Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari

kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi

60 Herlien Budiono, op.cit., hal.29.

Page 86: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

71

semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu. Perkembangan ini

seiring dengan penyusunan BW di negeri Belanda, dan semangat liberalisme ini

juga dipengaruhi semboyan Revolusi Perancis ”liberte, egalite et fraternite”

(kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Menurut paham individualisme setiap

orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu didalam

hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak.

Menurut asas kebebasan berkontrak seseorang pada umumnya mempunyai

pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian di dalam asas ini terkandung suatu

pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian,

bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian. Bebas tentang apa yang

diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian diantaranya :

a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak.

b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian.

c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian.

d. Bebas menentukan bentuk perjanjian dan,

e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.61

Kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338

(1) KUH Perdata tidaklah berdiri dalam kesendiriannya, namun berada dalam satu

sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait. Dalam praktik dewasa

ini, asas kebebasan berkontrak kurang dipahami secara utuh, sehingga banyak

memunculkan (kesan) pola hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan berat

61Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal.4.

Page 87: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

72

sebelah. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam

kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, tetapi dalam

kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang

seimbang.62Menurut Suhardi, kebebasan dan kesamaan yang terdapat dalam tertib

hukum abad XIX yang jiwanya individualis tidak memberi garansi untuk realisasi

hakikat zat maupun eksistensi manusia sebagai bagian dari rakyat terbanyak.63

2. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.

Pasal ini menentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya

kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang

menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi

cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan

persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum

Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal asas konsensualisme, tetapi yang

dikenal adalah perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian ini adalah suatu

perjanjian yang dibuat dan dilaksankan secara nyata (kontan dalam hukum Adat).

Sedangkan yang disebut perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah

ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta di

bawah tangan). Hukum Romawi mengenal istilah contractus verbis literis dan

contractus innominat, yang artinya bahwa terjadi perjanjian apabila memenuhi

62A.G. Guest. Konrad Zweight dan Hein Kotz, 2003, Itikad baik

Kebebasan Berkontrak, FH UI : Pascasarjana, hal. 1-2. 63Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit, Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 43-44

Page 88: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

73

bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH

Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

3. Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda)

Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal dalam hukum gereja, di

dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada

kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung

makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak merupakan

perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan, namun dalam

perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti

sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.

Asas pacta sunt servanda atau yang disebut juga dengan asas kepastian

hukum adalah asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt

servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati

substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah

undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi

kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan

dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : ”perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang.”

4. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum

perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)

KUH Perdata, bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sementara

itu, Arrest H.R di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad

baik dalam tahap praperjanjian bahkan kesesatan ditempatkan dibawah asas itikad

Page 89: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

74

baik tersebut sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para

pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus

yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih

lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat

kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon

pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan

dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani

kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam

menutup kontrak yang berkaitan dengan itikad baik.64

Untuk melengkapi pembahasan mengenai syarat-syarat perjanjian disini

juga dijelaskan mengenai unsusr-unsur dan sumber perjanjian. Adapun unsur-

unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian dapat dikemukakan sebagai

berikut.65

1. Adanya kaidah hukum

Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam,

yakni tertulis dan tidak tertulis.Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah

kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan,

traktat, dan yurispudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis

adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam

masyarakat, seperti : jual beli lepas, jual beli tahunan dan lain sebagainya.

Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.

64J.M van Dunne dan Van der Burght, 1988, Perbuatan Melawan Hukum,Dewan Kerja sama Ilmu hukum Belanda dengan Indonesia, Proyek hukum Perdata, Ujung Pandang hal.15.

65Salim H.S, 2003, Hukum Perjanjian dan Teknik Penyusunan Perjanjian, Sinar Grafika, Jakarta, hal.4.

Page 90: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

75

2. Subjek hukum

Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson

diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.Dalam hal ini yang menjadi

subjek hukum dalam hukum perjanjian adalah kreditur dan debitur.Kreditur

adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

3. Adanya prestasi

Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur.

Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut yaitu

memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu.

4. Kata sepakat

Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya

perjanjian seperti tersebut diatas, salah satunya adalah kata sepakat.

5. Akibat hukum

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan

akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.Perjanjian

dapat dilakukan baik secara tertulis maupun dengan secara lisan.Bahkan tidak

jarang terdapat perjanjian yang dilakukan secara diam-diam.

Menurut R.Subekti memberikan definisi tentang perjanjian, yakni “suatu

peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu

berjanji untuk melaksanakan hal tertentu. “Para ahli dibidang perjanjian tidak ada

kesatuan pandangan tentang pembagian perjanjian. Berikut pembagian perjanjian

berdasarkan sumber hukumnya dan namanya.

Page 91: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

76

1. Perjanjian menurut sumber hukumnya66

Sudikno Mertokusumo menggolongkan perjanjian dari sumber

hukumnya. Ia membagi jenis perjanjian menjadi lima macam yakni :

a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya

perkawinan;

b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan

dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;

c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;

d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan

bewijsovereenkomst;

e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan

publieckrechtelijke overseenkomst.

2. Perjanjian menurut namanya

Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di

dalam Pasal 1319 KUH Perdata. Di dalam Pasal 1319 KUH Perdata hanya

disebutkan dua macam perjanjian menurut namanya yakni nominaat (bernama)

dan innominaat (tidak bernama). Perjanjian nominaat adalah kontrak perjanjian

yang diatur di dalam KUH Perdata, misalnya : jual beli, tukar menukar, sewa

menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam

meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian dan lain-lain.

Sedangkan perjanjian innominaat adalah perjanjian yang timbul, tumbuh, dan

berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian ini belum dikenal dalam KUH

66Sudikno, Mertokusumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata,

Fakultas Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal. 11.

Page 92: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

77

Perdata, jadi yang termasuk dalam perjanjian ini adalah leasing,franchise, joint

venture, production sharing, kontrak rahim, kontrak karya, keagenan dan lain-

lain.67

Mengenai bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, antara

lain yaitu perjanjian yang tertulis dan perjanjian yang tidak tertulis (lisan).

Menurut Salim H.S. ada tiga bentuk perjanjian tertulis, yaitu:

1) Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak

yang bersangkutan saja. Perjanjian ini hanya mengikat pihak yang

membuat perjanjian saja.

2) Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para

pihak. Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-mata

hanya untuk melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak.

3) Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk

akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan

di muka pejabat yang berwenang untuk itu, seperti notaris, camat,

PPAT, dan lain-lain.68

Sementara itu menurut I Ketut Artadi, mengenai bentuk-bentuk perjanjian

dapat di bagi menjadi empat yaitu:

(1) Bentuk perjanjian biasa.

(2) Bentuk perjanjian baku.

(3) Bentuk perjanjian tersamar (kuasi perjanjian).

67Salim H.S, 2003, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.28. 68 SalimH.S, 2010, op.cit., hal.43.

Page 93: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

78

(4) Bentuk perjanjian simulasi.69

Perjanjian biasa, adalah perjanjian yang sepenuhnya tunduk kepada

ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undangbagi mereka yang membuatnya”.

Para pihak dalam membuat perjanjian mempunyai kedudukan yang sama dan atas

kehendak bebas membuat perjanjian, dan apa yang dikehendaki secara sama dan

secara terang diketahui oleh kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian jual-beli,

perjanjian sewa menyewa dll.

Perjanjian baku, adalah perjanjian yang klausul-klausulnya telah

ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak. Perjanjian baku lebih tepat

disebut kontrak baku, sebab dibuat secara tertulis, disiapkan seragam untuk

banyak orang, lazimnya untuk satu objek perjanjian dan satu prestasi.70 Pihak

yang menyiapkan kontrak baku, berada di pihak yang kuat, menyiapkan format

dan isi kontrak terlebih dahulu, dan pihak lain tinggal menyetujui atas prestasi

yang ditawarkan tersebut.

Karena yang merancang format dan isi kontrak adalah pihak yang lebih

kuat kedudukannya, dapat dipastikan pihak tersebut akan mencantumkan klausul

eksonerasi dalam perjanjian tersebut, yaitu klausul-klausul yang menguntungkan

baginya, meringankan bahkan menghapus beban-beban kewajibannya yang

seharusnya menjadi bebannya.71

69 I Ketut Artadi & I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010,

Implementasi Ketentuan-KetentuanHukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal.36.

70 I Ketut Artadi, op.cit.,hal.37. 71 I Ketut Artadi, loc.cit.

Page 94: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

79

Klausul eksonerasi adalah sebagai klausul tambahan atas unsur esenselia,

di mana pihak yang kuat dapat menghindar untuk memenuhi kewajiban atau

menghindar dari kemungkinan kerugian yang harus dipikulnya, menghindar

membayar ganti rugi yang terjadi akibat ingkar janji perbuatan melanggar hukum.

Penerapan klausul-klausul eksonerasi tertentu yang dilakukan oleh pihak yang

kuat terhadap pihak yang lemah mengakibatkan pihak yang lemah sangat

dirugikan; biasa dikenal dengan istilah Penyalahgunaan Keadaan (Undue

Influence).

Klausul eksonerasi tidaklah sepenuhnya dilarang, karena klausul

eksonerasi juga berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (Pasal 1320 ayat (1)

KUHPerdata), yang dilarang klausul eksonerasi yang tergolong perbuatan

penyalahgunan keadaan. Hal ini dapat diketahui dari peristiwa dibuatnya

perjanjian. Klausul eksonerasi tidak saja dapat dijumpai dalam perjanjian baku

atau perjanjian yang memuat klausul baku, dimana salah satu pihak yang

kedudukan ekonomi atau psychologinya lebih kuat dibanding dengan pihak lain,

dan mempergunakan kekuatannya untuk menekan dan merugikan pihak lain.

Dalam praktik kedudukan tidak seimbanng ini lebih banyak dipengaruhi

oleh faktor ekonomi, di mana pihak yang ekonominya lebih kuat mempergunakan

kekuatanya itu untuk menekan pihak yang ekonominya lemah. Sehingga

perjanjian yang dibuat menjadi lebih menguntungkan yang ekonominya lebih

kuat, hal ini banyak terjadi pada perjanjian-perjanjian baku. Sedangkan

ketidakseimbangan psychologis antara para pihak dimungkinkan untuk menekan

pihak lain, ini baiasanya terjadi dalam perjanjian biasa, misalnya antara dokter

Page 95: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

80

engan pasiennya, antara pengacara dengan kliennya dan antara atasan dengan

bawahannya.

Pembuatan perjanjian dengan mencantumkan klausul baku yang dilarang

oleh Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen berbunyi:

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian apabila:

a.Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b.Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

barang yang dibeli konsumen; c.Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

uang yang dibayar atas barang dan / atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

a.Menyatakan pembebanan kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupuntidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara anggsuran.

b. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.

c. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

d. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

e. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara anggsuran.

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau pengungkapannya yang sulit dimengerti.

(3) Setiap klausul yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan-ketentuan dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausul baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.

Page 96: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

81

Klausul eksonerasi yang dilarang dalam perjanjian sekali lagi hanyalah

klausul eksonerasi yang tergolong kepada perbuatan penyalahgunan keadaan

(undue influence). Artinya sepanjang para pihak yang membuat perjanjian itu

mempunyai kedudukan ekonomi dan psychologi yang seimbang, tidak terdapat

indikasi bahwa pihak yang satu dapat menekan pihak yang lain, maka sejauh

perjanjian itu memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai ketentuan Pasal 1320

KUHPerdata, maka perjanjian tersebut tetap sah. Klausul baku sebagimana

didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

berbunyi:

”Klausul baku adalah aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah

dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku

usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen / atau perjanjian yang

mengikat dan wajib dipenuhi konsumen”.

Dalam praktik, klausul baku seperti di atas banyak dituangkan dalam

perjanjian kredit bank. Dengan disahkannya undang-undang ini, berarti bahwa

bank tidak lagi dapat secara sepihak menuangkan klausul baku yang dilarang oleh

undang-undang, dalam perjanjian kredit yang formal dan isinya sudah ditetapkan

dan dipersiapkan sebelumnya. Namun, masih dimungkinkan mencantumkan

klausul tersebut dalam perjanjian kredit bank yang dibuat di notaris. Alasan

bahwa klausul itu masih dapat dituangkan dalam perjanjian kredit bank yang

dibuat oleh notaris. Oleh karena perjanjian kredit itu tidak dipersiapkan dan

ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak bank, akan tetapi dibuat

Page 97: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

82

memenuhi ketentuan syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam

Pasal 1320 KUHPerdata.

Perjanjian tersamar (perjanjian kuasi), atau kuasi kontrak (omplied

contract, quasi contract) adalah suatu perjanjian di mana karena sifat peristiwanya

para pihak dianggap patut mengetahui oleh hukum bahwa mereka sudah terikat

kepada suatu perjanjian. Bentuk perjanjian tersamar ini secara tidak langsung di

atur di dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi: ”Suatu perjanjian tidak saja

mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, akan tetapi

untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan dan

kebiasaan atau undang-undang”.

Perjanjian tersamar ini banyak terjadi pada pelayanan umum, misalnya

rumah sakit, taman hiburan, rumah makan dll. Bila diberi contoh, misalnya ada

pasien kecelakaan berat, diantar masuk ke ruang gawat darurat, dan dokter

langsung memberikan pertolongan untuk menyelamatkan nyawa pasien, (karena

sifat peristiwa, sesuai kebiasaan dan kepatutan) para pihak itu (dokter dan

keluarga pasien) dianggap mengetahui oleh hukum bahwa mereka sudah terikat

kepada suatu perjanjian (yaitu dokter harus sungguh-sungguh memberikan

pertolongan tanpa menunggu kesepakatan pasien, dan pasien yang ditolong juga

wajib membayar jasa dokter walaupun tidak terdapat kesepakatan yang jelas).

Seseorang masuk ke rumah makan, dihidangkan makanan, dan membayar sesuai

tarif, tanpa ada kesepakatan sebelumnya atau tanpa tawar menawar sesudahnya

(para pihak sesuai kebiasaan dan kepatutan) dan oleh hukum dianggap

mengetahui bahwa mereka terikat hak dan kewajiban.

Page 98: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

83

Sedangkan mengenai bentuk perjanjian yang terakhir adalah perjanjian

simulasi. Perjanjian simulasi dikenal ada dua, yaitu perjanjian simulasi absulut

dan perjanjian simulasi relative.72Perjanjian simulasi absulut memiliki pengertian

apabila para pihak membuat perjanjian yang terhadap pihak luar menimbulkan

kesan yang berbeda dengan perjanjian yang oleh para pihak yang secara diam-

diam mengingkarinya. Contoh si A membeli tanah dari si B, namun si A

kemudian membuat perjanjian yang isinya pengakuan bahwa tanah itu sebetulnya

milik si C (orang asing). Jadi si B dalam perjanjian sebelumnya memberi kesan

kepada pihak ketiga seakan-akan tanah itu miliknya, kemudian secara diam-diam

ia mengingkarinya dengan membuat perjanjian yang berisi pernyataan dengan si

C (orang asing) bahwa sebetulnya tanah itu milik si C.

Sedangkan perjanjian simulasi relative, yaitu apabila para pihak

mengkehendaki akibat hukumnya, tetapi memakai bentuk hukum lain. Contoh,

para pihak bermaksud untuk menghibahkan, tetapi memakai bentuk perjanjian

jual beli. Perjanjian simulasi terutama perjanjian simulasi absolute tergolong

kepada perjanjian yang causanya tidak halal, yaitu perjanjian dibuat karena sebab

yang palsu (Pasal 1335 KUHPerdata), dimana para pihak membuat perjanjian

dengan maksud menyembunyikan tujuan sebenarnya, sehingga perjanjian yang

demikian batal demi hukum. Perjanjian simulasi sepanjang tidak dibatalkan oleh

pengadilan mempunyai kekuatan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal

1873 KUHPerdata yang berbunyi: ”Perstujuan-persetujuan lebih lanjut yang

dibuat dalam suatu akta tersendiri, yang bertentangan dengan akta asli, hanya

memberikan bukti antara para pihak yang turut serta ahli warisnya atau orang

72 I Ketut Artadi, op.cit., hal.42.

Page 99: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

84

yang mendapat hak dari padanya, tetapi tidak berlaku terhadap orang-orang pihak

ketiga”.

3.2 Bentuk Perjanjian Objek Wisata Alas Kedaton

Perjanjian kerjasama Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa

Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Nomor: 15 Tahun 2012/Nomor:

01/XII/DAK/2012 Tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Kepariwisataan

Daya Tarik Wisata Alas Kedaton, dibuat pada hari senin tanggal 3 Desember

Tahun 2012 bertempat di Kantor Bupati Tabanan dan ditandatangani oleh Ni

Putu Eka Wiryastuti Bupati Tabanan, dalam hal ini bertindak untuk dan atas

nama Pemerintah Kabupaten Tabanan selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA

dan I Gede Subawa Bendesa Pakraman Kukuh, dalam hal ini bertindak untuk

dan atas nama masyarakat Desa Pakraman Kukuh, selanjutnya disebut PIHAK

KEDUA. Mengenai perjanjian yang di buat antara Pemerintah Kabupaten

Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, sesungguhnya mengacu pada

ketentuan peraturan pemerintah, dalam hal ini mengacu kepada Pasal 1320

KUHPerdata dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun

2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.

Dalam ketentuan umum perlu dijelaskan yang dimaksud dengan kerja

sama daerah adalah kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur

dengan bupati/wali kota atau antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota

yang lain, dan atau gubernur, bupati/ wali kota dengan pihak ke tiga, yang di

buat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Sedangkan

menegenai pihak ke tiga adalah Departemen/Lembaga Pemerintah Non

Page 100: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

85

Departemen atau sebutan lain, perusahaan swasta yang berbadan hukum, Badan

Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi Yayasan, dan

lembaga di dalam negeri lainnya yang berbadan hukum.Desa pakraman sesuai

dengan penjelasan tersebut masuk ke dalam kategori pihak ke tiga. Tentang

kerja sama daerah, pemerintah harus mengacu pada prinsip kerja sama yang

terdapat dalam ketentuan Pasal 2, yaitu terdiri dari:

a. efisiensi; b. efektivitas; c. sinergi; d. saling menguntungkan e. kesepakatan bersama f. itikad baik g. mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia; h. persamaan kedudukan; i. transparansi; j. keadilan; dan k. kepastian hukum.

Mengenai subjek kerjasama, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang

Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, maka

yang menjadi subjek perjanjian adalah, gubernur, bupati, wali kota dan pihak

ketiga, mengenai subjek kerjasama pihak ketiga ini, desa pakraman masuk ke

dalam bagian tersebut. Sedangkan untuk bentuk dari kerja sama tersebut dalam

Pasal 5 dijelaskan, mengenai bentuk kerja sama daerah dituangkan dalam bentuk

perjanjian kerja sama. Mengenai bentuk perjanjian dari Objek Wisata Alas

Kedaton, sesuai dengan apa yang telah dijelaskan mengenai mekanisme perjanjian

yang disebutkan di atas, pihak Pemerintah Kabupaten Tabanan pada dasarnya

telah memenuhi seluruh ketentuan yang telah di sebutkan oleh Undang-Undang

Nomor 50 Tahun 2007, ini terbukti dari bentuk perjanjian kerja sama yang telah di

Page 101: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

86

buat sudah memenuhi ketentuan seperti yang di haruskan oleh undang-undang.

Dari perjanjian kerja sama tersebut sudah memenuhi ketentuan sesuai dengan

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2007 yang menyebutkan, mengenai

perjanjian kerja sama paling sedikit memuat subjek kerja sama, objek kerja sama,

ruang lingkup kerja sama, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu kerja

sama, pengakhiran kerja sama, keadaan memaksa, dan penyelesaian perselisihan.

Pembahasan tentang bentuk perjanjian Objek Wisata Alas Kedaton, di sini

akan di gunakan bentuk-bentuk perjanjian yang di kemukakan oleh I Ketut Artadi.

Sesuai dengan judul buku yang berjudul Implementasi Ketentuan-Ketentuan

Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak yang menyebutkan bahwa

bentuk-bentuk perjanjian dapat dibagi menjadi empat yaitu, bentuk perjanjian

biasa, bentuk perjanjian baku, bentuk perjanjian tersamar (kuasi perjanjian) dan

bentuk perjanjian simulasi.

Dapat dijelaskan bahwa bentuk perjanjian yang di buat oleh Pemerintah

Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Nomor: 15

Tahun 2012/ Nomor: 01/XII/DAK/2012 tentang Penyelenggaraan Daya Tarik

Wisata Alas Kedaton, sesuai dengan bentuk-bentuk perjanjian menurut I Ketut

Artadi tersebut termasuk kedalam bentuk perjanjian baku. Dikatakan perjanjian

baku karena didalam perjanjian tersebut telah dibuat dengan bentuk berupa

perjanjian kerja sama, yang mengacu kepada ketentuan Undang-Undang Nomor

50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Meskipun

perjanjian tersebut merupakan perjanjian baku yang segala aturan mengenai tata

cara pembuatannya telah mengacu pada peraturan perundang-undangan tetap

Page 102: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

87

harus di junjung mengenai asas keadilan, persamaan kedudukan dan saling

menguntungkan.

Sesuai dengan pengertian perjanjian baku yang disampaikan oleh I Ketut

Artadi, dimana perjanjian baku adalah perjanjian yang klausul-klausulnya telah

ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak. Melihat isi dari perjanjian kerja

sama antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuhdan

sesuai dengan pengertian perjanjian baku, maka ada kemungkinan dalam hal ini

Pemerintah Kabupaten Tabanan merancang format dan isi perjanjian kerja sama

tersebut untuk menambahkan klausul eksonerasi. Klausul eksonerasi memiliki

pengertian menambahkan klausul-klausul yang menguntungkan, meringankan

bahkan menghapus beban-beban kewajiban yang seharusnya menjadi beban

pihak yang membuat perjanjian (Pemda Tabanan). Dari pengertian mengenai

klausul eksonerasi tersebut dan melihat kewajiban antara dua belah pihak yaitu

PIHAK PERTAMA (Pemerintah Kabupaten Tabanan) dan PIHAK KEDUA

(Desa Pakraman Kukuh), ditemukan adanya ketidakseimbangan dalam

pemenuhan kewajiban antara kedua belah pihak. Bila dianalisa sesuai dengan

pengertian klausul eksonerasi tersebut, ditemukan klausul yang mengarah pada

keuntungan satu pihak saja, ini dapat dilihat pada Pasal 8 mengenai kewajiban

PIHAK PERTAMA yang hanya terdiri dari dua point saja. Di dalam penjelasan

Pasal 8 mengenai PIHAK PERTAMA tersebut kewajiban PIHAK PERTAMA

hanya sebatas mengkoordinasikan pembinaan penyelenggaraan dan pengelolaan

Daya Tarik Wisata Alas Kedaton dan melakukan pengawasan dan pengendalian

dalam rangka pengembangan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton untuk mencegah

berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.

Page 103: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

88

Beda halnya jika dilihat mengenai kewajiban PIHAK KEDUA yang terdapat

dalam Pasal 9 perjanjian kerja sama tersebut. PIHAK KEDUA yaitu Desa

Pakraman Kukuh dalam penjelasan pasal tersebut terdapat lima point penting

yang harus wajib dilakukan antara lain yaitu melakukan tugas oprasional

penyelenggaraan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton, memberikan informasi yang

akurat dan bertanggung jawab tentang Daya Tarik Wisata Alas Kedaton,

memberikan pelayanan kepada setiap pengunjung secara profesional dan menjaga

sikap/prilaku sesuai aturan dan norma yang berlaku, melaporkan oprasional

pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton kepada PIHAK PERTAMA setiap

bulan, dan yang terakhir menyetor hasil pemungutan retribusi sesuai hasil

perhitungan pembagian yang disepakati setiap bulan paling lambat tanggal 10

bulan berikutnya kepada PIHAK PERTAMA melalui Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) yang terkait. Di dalam kewajiban masing-masing pihak antara

PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA terlihat ketidakseimbangan kewajiban,

dimana PIHAK PERTAMA hanya berkewajiban melakukan pembinaan semata

dan hanya bersifat formalitas, sedangkan kewajiban PIHAK KEDUA

berkewajiban untuk menyetorkan hasil pemungutan retribusi yang telah disepakati

sesuai perjanjian kerja sama tanpa adanya timbal balik berupa bantuan apapun

untuk membantu pemeliharaan Objek Wisata Alas Kedaton. Berdasarkan uraian

diatas bahwa dilihat dari bentuknya, perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah

Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi persyaratan

perjanjian.

Page 104: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

89

Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman

Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian. Mengenai syarat-syarat perjanjian yang

telah dijelaskan maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan

didukung Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Kerja Sama Daerah. Pasal 1320 KUHPerdata mencakup empat syarat fundamental

yang harus dipenuhi agar perjanjian dapat dinyatakan sah. Maka sesuai dengan

perjanjian yang dibuat antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa

Pakraman Kukuh bahwa, antara para pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri,

ini telah sesuai dengan syarat perjanjian pada bagian pertama. Mengenai

kecakapan untuk membuat perjanjian, para pihak telah memenuhi syarat yang

terdapat pada bagian kedua. Ini terbukti dari kedua belah pihak yang saling

bersepakat membuat perjanjian masing-masing antara Pemerintah Kabupaten

Tabanan (Ni Putu Eka Wiryastuti/Bupati Tabanan) dengan Desa Pakraman Kukuh

(I Gede Subawa/Bendesa Adat Kukuh) telah memenuhi syarat sebagai badan

hukum/subyek hukum. Untuk syarat ke tiga, yaitu mengenai suatu hal tertentu

dapat dijelaskan bahwa sesuai dengan isi perjanjian telah jelas yang menjadi

objek/prestasi adalah mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton. Prestasi

terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu (Pasal

1234 KUHPerdat). Sedangkan yang terakhir tentang suatu sebab yang halal, dapat

dijelaskan adalah sebab yang dibenarkan oleh undang-undang, ketertiban umum,

kebiasaan, kepatutan, dan kesusilaan. Jadi jika dilihat dari hal tersebut di atas

maka sesungguhnya perjanjian yang dibuat Pemerintah Kabupaten Tabanan

dengan Desa Pakraman Kukuh belum memenuhi kepatutan, ini dapat dilihat dari

Page 105: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

90

isi perjanjian mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak yang sesuai

analisa tidak seimbang.

3.3 Keabsahan Perjanjian Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton

Untuk mengetahui keabsahan sebuah perjanjian yang melibatkan desa

pakraman, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui apakah desa pakraman

termasuk sebagai subyek hukum. Dilihat dari pengertiannya istilah subyek hukum

berasal dari terjemahan bahasa Belanda rechtsubject atau subject of law (Inggris).

Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.

Abdul R. Saliman mengemukakan bahwa subyek hukum adalah suatu yang

menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban yang memiliki kewenangan

untuk bertindak.73Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa subyek hukum

adalah ”pendukung hak dan kewajiban. Pendukung hak dan kewajiban itu disebut

orang. Orang dalam arti hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Manusia

pribadi adalah subyek hukum dalam arti biologis, sebagai gejala alam, sebagai

mahluk budaya yang mempunyai akal, perasaan dan berkehendak. Badan hukum

adalah subyek hukum dalam arti yuridis, sebagai gejala dalam hidup

bermasyarakat, sebagai badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, mempunyai

hak dan kewajiban seperti manusia pribadi”.74

Ciri utama setiap subyek hukum adalah mempunyai hak dan kewajiban

dan adanya kecakapan hukum dan kewenangan hukum. Adapun jenis dari subyek

73 Abdul R. Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis, 2005, Hukum Bisnis

Untuk Perusahaan Teori & Contoh Kasus, Kencana Prenada Media Group, hal.11. 74 Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung, hal.27.

Page 106: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

91

hukum ada dua yaitu manusia atau orang (natuurlijke person) dan badan hukum

(rechtperson). Khusus mengenai badan hukum maka dapat disebutkan beberapa

ciri-ciri badan hukum yaitu:

(1) Suatu perkumpulan atau persekutuan manusia;

(2) Mempunyai tujuan tertentu;

(3) Mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang

menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut;

(4) Memiliki hak-hak dan kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan kewajiban-

kewajiban orang-orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut;

(5) Berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak

terikat pada orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajiban-

kewajibannya tetap ada meskipun orang-orang yang menjalankannya berganti.

(6) Mempunyai hak menggugat dan digugat.

Selanjutnya bila dilihat dari ketentuan perumusan Perda No.06 Tahun

1986 tentang Desa Adat yang kini telah diganti menjadi Perda No. 3 Tahun 2001

tentang Desa Pakraman, maka dapat dirumuskan beberapa unsur yang merupakan

ciri-ciri pokok dari desa pakraman, yakni:

1. Merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali;

2. Mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup sebagai suatu

masyarakat;

3. Masyarakat merupakan pemeluk Agama Hindu dan bersifat turun-temurun;

4. Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) sebagai salah satu pengikat/penanda;

5. Mempunyai wilayah tertentu;

6. Mempunyai harta kekayaan sendiri; dan

Page 107: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

92

7. Berhak mengurus harta kekayaan sendiri.

Mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Perda No. 3 Tahun 2001

yaitu pada Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2) menyebutkan bahwa, pada

ketentuan Pasal 9 ayat (1) harta kekayaan desa pakraman adalah kekayaan yang

telah ada maupun yang akan ada yang berupa harta bergerak dan tidak bergerak,

material dan immaterial, serta benda-benda yang bersifat religius magisyang

menjadi milik desa pakraman. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 9 ayat (2)

dijelaskan bahwa harta kekayaan desa pakraman berupa benda bergerak dan

benda tidak bergerak, ada yang berwujud (material) dan immaterial, serta ada

yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi serta benda-benda yang bersifat magis

religius pengelolaannya dilakukan oleh Prajuru Desa sesuai dengan awig-awig

desa pakraman masing-masing. Dari ketentuan tersebut di atas, tidak ada yang

menyebutkan secara tegas bahwa desa pakraman sebagai subyek hukum. Namun

dari ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Perda No.3 Tahun 2001 dapat

ditafsirkan bahwadesa pakraman adalah sebagai badan hukum, sesuai dengan

unsur-unsur yang merupakan ciri-ciri pokok desa pakraman sebagai karakteristik

kesubyekkan desa pakraman dalam menunjukan identitasnya bahwa desa

pakraman dalam melaksanakan hak pengurusan harta kekayaan desa pakraman,

baik benda bergerak dan benda tidak bergerak.75

Mengenai wewenang dari desa pakraman secara tegas dinyatakan dalam

Pasal 6 Perda No.3 Tahun 2001 yang menyebutkan:

75I Wayan Arka, 2014, “Eksistensi Desa Pakraman Dalam Pengelolaan

Obyek Wisata Di Bali” Disertasi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal.210.

Page 108: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

93

a. Desa pakraman memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa adat dan

agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan

toleransi antarkrama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan

setempat;

b. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan

yang ada diwilayahnya yang berkaitan dengan Tri Hita Karana;

c. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.

Sesuai dengan dasar hukum yang telah dijelaskan di atas mengenai desa

pakraman sebagai subyek hukum di dalam perjanjian dan di kaitkan mengenai

syarat sahnya suatu perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata, maka ada

empat syarat sahnya suatu perjanjian, yakni adanya kata sepakat bagi mereka yang

mengikatkan dirinya, kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, harus

ada suatu hal tertentu, dan harus ada suatu sebab (causa) yang halal. Dikaitkan

dengan ketentuan tersebut maka secara yuridis desa pakraman telah memenuhi

syarat untuk dapat bertindak sebagai subyek hukum dalam melakukan perjanjian

kerjasama, dalam hal ini kerjasama perjanjian peengelolaan objek wisata Alas

Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh.

Selanjutnya, untuk menentukan atau menilai keabsahan sebuah kontrak

atau perjanjian, harus dikaji bagaimana hukum kontrak mengatur syarat-syarat

keabsahan kontrak. Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya empat syarat

sahnya suatu perjanjian, yakni adanya kata sepakat bagi mereka yang

mengikatkan dirinya, kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, harus

ada suatu hal tertentu, dan harus ada suatu sebab (causa) yang halal. Persyaratan

tersebut berkenaan baik mengenai subjek maupun objek perjanjian. Persyaratan

Page 109: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

94

pertama dan kedua berkenaan dengan subjek perjanjian, persyaratan yang ketiga

dan keempat berkenaan dengan objek perjanjian. Pembedaan kedua persyaratan

tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi hukumnya (nieteg, null and

void, void ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar, voidable) suatu

perjanjian. Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian yang sejak semula

sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Perjanjian

yang dapat dibatalkan adalah sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak

dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku.

Pakar hukum Indonesia pada umumnya berpendapat bahwa apabila

persyaratan subjektif perjanjian (kata sepakat dan kecakapan untuk melakukan

perikatan) tidak dipenuhi tidak mengakibatkan batalnya perjanjian, tetapi hanya

dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan. Apabila persyaratan yang

menyangkut objek perjanjian (suatu hal tertentu dan adanya causa hukum yang

halal) tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Kata sepakat di

dalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak

antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan

persetujuannya atau kesepakatannya (toestemming) jika ia memang menghendaki

apa yang disepakati.76Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan pengertian

sepakat sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende

wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan

akseptasi (acceptatie).77 Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa

76 J.Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Timbul dari

Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.164. 77 Mariam Darus Barulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni,

Bandung, hal.24.

Page 110: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

95

ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Kesesuaian kehendak antara dua

saja belum melahurkan perjanjian, karena kehendak tersebut harus dinyatakan,

harus nyata bagi pihak yang lain, dan harus dapat dimengerti oleh pihak lain.

Apabila pihak yang lain tersebut telah menyatakan menerima atau menyetujuinya,

maka timbulah kata sepakat.

Orang dapat mengatakan bahwa suatu pernyataan adalah suatu penawaran

apabila hal itu sampai pada orang yang diberikan penawaran, sedang pernyataan

itu sendiri haruslah diartikan sebagai suatu tanda yang dapat diketahui dan

dimengerti oleh lawan janjinya. Konsekwensinya, jika terjadi karena penawaran

itu diterima secara keliru, ada akseptasi yang menyimpang dari penawarannya

maka pada dasarnya tidak lahir perjanjian.78 J.Satrio menyebutkan ada beberapa

cara untuk mengemukakan kehendak tersebut, yakni secara tegas, tertulis, dengan

tanda, dan diam-diam.79 Suatu perjanjian dapat mengandung cacat kehendak atau

kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang di sebut di bawah ini,

yaitu adanya paksaan (dwang), adanya kesesatan atau kekeliruan (dwaling), dan

adanya penipuan (bedrog).

Mengenai hal-hal yang menyebabkan cacat kehendak di atas maka perlu

dijelaskan mengenai ketiga hal tersebut, yang pertama yaitu paksaan (dwang).

Menurut Pasal 1324 KUHPerdata paksaan terjadi apabila perbuatan itu

sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang berpikiran sehat dan

apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa

dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.

78J.Satrio, op.cit., hal.176. 79J.Satrio, op.cit, hal.183.

Page 111: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

96

Paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman dngan suatu yang diperbolehkan

hukum yang menimbulkan ketakutan sehingga ia membuat perjanjian. Disini

paksaan tersebut harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang

menerima paksaan.80

Cacat kehendak yang kedua yaitu kekeliruan atau kesesatan. Kekeliruan

terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari para yang

diperjanjikan atau tentang syarat yang penting dari barang yang menjadi objek

perjanjian atau mengenai orang dengan siapa perjanjian itu dilakukan. Kekhilafan

itu harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal

tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuan.81 Sedangkan yang ketiga

mengenai hal yang dapat menyebabkan cacat kehendak yaitu penipuan. Penipuan

terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-

keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihatuntuk

membujuk pihak lawannya memberikan persetujuannya, pihak yang menipu

bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya.82 Penipuan adalah

dengan sengaja mengajukan gambaran atau fakta yang salah untuk memasuki

hubungan kontrak. Oleh karena itu, pihak yang tidak bersalah harus bersandar

pada gambaran yang salah tadi dan secara finansial pihak yang merugikan pihak

lain itu wajib membayar ganti rugi.83

80 Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra

Aditya Bakti, Bandung, hal.65. 81 R.Subekti, 1984, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal.24. 82Ibid. 83 Salim H.S., 2003, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan

Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.27.

Page 112: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

97

Menurut doktrin dan yurisprudensi, ternyata perjanjian-perjanjian yang

mengandung cacat seperti itu tetap mengikat para pihak, hanya saja pihak yang

merasakan telah meberikan pernyataan yang mengandung cacat tersebut dapat

memintakan pembatalan perjanjian. Sehubungan dengan ini, Pasal 1321

KUHPerdata menyatakan bahwa jika di dalam suatu perjanjian terdapat

kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka di dalam perjanjian itu terdapat cacat

pada kesepakatan antar para pihak dan karenanya perjanjian itu dapat dibatalkan.

Syarat sahnya perjanjian yang kedua menurut Pasal 1320 KUHPerdata

adalah kecakapan untuk membuat perikatan (om eene verbintenis aan te gaan).

Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk

membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak

cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang tidak cakap

untuk membuat perjanjian, yakni: orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh

dibawah pengampuan dan orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan

oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-

undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.

Seseorang dikatakan belum dewasa menurut Pasal 330 KUHPerdata jika

belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang dikatakan dewasa jika telah berumur

21 tahun atau berumur kurang dari 21 tahun, tetapi telah menikah. Dalam

perkembangannya, berdasar atas Pasal 47 dan 50 Undang-Undang No.1 Tahun

1974 kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan

orang tua atau wali sampai umur 18 tahun. Selanjutnya Mahkamah Agung melalui

Putusan No. 447/Sip/1976 Tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa dengan

berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka batas seseorang berada di

Page 113: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

98

bawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun, bukan 21 tahun. Seseorang yang

telah dewasa dapat tidak cakap melakukan perjanjian jika, yang bersangkutan

diletakan di bawah pengampuan (curatele atau conservatorship). Seseorang dapat

diletakan dibawah pengampuan jika yang bersangkutan gila, dungu

(onnoozelheid), mata gelap (razernij), lemah akal (zwakheid van vermogens) atau

juga pemboros. Orang yang seperti itu tidak menggunakan akal sehatnya, dan oleh

karenanya dapat merugikan dirinya sendiri.

Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu (een

bepaald onderwerp). Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian

harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit apat ditentukan

jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu, dan harus mengenai

suatu hal tertentu berarti bahwa apa yang dioerjanjikan yakni hak dan kewajiban

kedua belah pihak. J. Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu

hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi perjanjian. Isi prestasi tersebut

harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.84 KUHPerdata

menentukan bahwa barang yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti

dapat dihitung atau ditentukan.

Syarat sahnya perjanjian yang keempata adalah adanya kausa hukum yang

halal. Kata kausa yang diterjemahkan dari kata oorzak (Belanda) atau causa

(Latin) bukan berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian,

tetapi mengacu kepada isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. Menurut Pasal 1335 jo

1337 KUHPerdata bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan

dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa dikatakan

84 J.Satrio, op.cit, hal.41.

Page 114: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

99

bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang

bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.

Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan

kesusilaan (goede zeden) bukanlah masalah yang mudah, karena istilah kesusilaan

tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan

daerah atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu

penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan

perkembangan zaman. J.Satrio mempermasalahkan, apakah kausa hanya tidak

boleh bertentangan dengan kesusilaan yang bersifat umum ataukah hanya dalam

lingkup yang terbatas. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat, pendapat yang satu

hanya mau menerima ”kesusilaan” dalam lapangan, yakni kalau ia merupakan

penerapan moral umum dalam kalangan terbatas atau dalam hubungan hukum

tertentu. Pendapat lain yang lain yakni pendapat yang lebih luas, yang mau

menerima ”kesusilaan” dalam kalangan yang terbatas, asal tidak bertentangan

dengan kesusilaan umum. Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang juga

apabila bertentangan dengan ketertiban umum. J.Satrio memaknai ketertiban

umum sebagai hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum,

keamanan negara, keresahan dalam masyarakat, dan karenanya dapat dikatakan

berkaitan masalah ketatanegaraan.

Pengaturan tentang klausul baku yang berkaitan dengan hubungan antara

produsen dan konsumen terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor. 8

Tahun 1999. Pasal 18 ayat (1) menentukan pelaku usaha dalam menawarkan

barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau

mencantumkan klausul baku di setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

Page 115: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

100

a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang

yang telah dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

uang yang dibayarkan atas barang dan/ atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumenkepada peraturan berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/ atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelakuusaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Dalam Pasal 18 ayat (2) kemudian ditentukan pula bahwa pelaku usaha

dilarang mencantum klausul bakuyang letak atau bentuknya sulit terlihat atau

tidak dapat dibaca secara jelas, atau pengungkapannya sulit dimengerti. Larangan

tersebut di atas oleh Pasal 18 ayat (3) dikaitkan dengan kausa hukum yang halal

dalam kontrak. Jika kontrak memuat klausul yang dilarang tersebut, maka

konsekuensinya, kontrak yang bersangkutan batal demi hukum. Hoge Raad

sesungguhnya telah memberikan ketentuan yang sangat baik mengenai syarat-

syarat itikad baik pada kontrak yang memperhitungkan keadaan yang ada

hubungannya dengan pelaksanaan kontrak. Dengan demikian, hakim dalam suatu

sengketa konkrit antara dua pihak yang mengadakan kontrak memiliki ukuran

Page 116: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

101

pengujian yang tajam, yang memenuhi hukum alam semua keadaan dari sengketa

itu.85

Pada dasarnya sepanjang tidak memenuhi persyaratan yang dimaksud

Pasal 1320 KUHPerdata, maka kontrak dengan klausul baku tetap sah, hal ini

menjawab jika perjanjian kerja sama yang di buat Pemerintah Kabupaten Tabanan

dengan Desa Pakraman Kukuh adalah perjanjian yang sah secara ketentuan

hukum. Namun sekarang dalam pembahasan mengenai keabsahan sebuah

perjanjian atau kontrak tidak dipermasalahkan sah atau tidaknya perjanjian dengan

klausul baku, tetapi apakah isi perjanjian itu ada yang memuat klausul yang

dilarang oleh undang-undang, secara umum mengerucut pada Undang-Undang

Perlindungan Konsumen. Demikian juga apakah isi kontrak memuat klausul yang

mengandung ketidakrasionalan dan ketidakpatutan, dalam hal ini dilihat dari

pemenuhan hak dan kewajiban yang di rasa tidak memenuhi dari sisi keadilan

dalam perjanjian kerja sama yang di buat Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan

Desa Pakraman Kukuh, tentang pengelolaan Objek Wisata Alas kedaton.

Semestinya dengan di buatnya perjanjian baku seperti ini Pihak

Pemerintah Kabupaten Tabanan seharusnya memberikan kejelasan atas

pemenuhan hak dan kewajiban di dalam isi perjanjian. Isi perjanjian tersebut

seharusnya menyertakan PIHAK PERTAMA untuk ikut membantu kelangsungan

perkembangan Objek Wisata Alas Kedaton sebagai timbal balik dari pembagian

hasil yang telah didapat. Dengan dibuatnya perjanjian tersebut diharapkan kedua

belah pihak sama-sama merasakan dampak positif dari di buatnya perjanjian,

85 Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak,

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal.249.

Page 117: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

102

bukannya malah menguntungkan satu pihak saja. Namun pada kenyataanya dari

isi perjanjian, PIHAK PERTAMA justru tidak mencantumkan bahkkan

menghilangkan atau menghapuskan apa yang seharusnya menjadi kewajiban

PIHAK PERTAMA, yang dalam hal ini PIHAK PERTAMA seharusnya

berkewajiban untuk ikut berperan aktif dalam menjaga maupun membantu secara

finansial atau bantuan untuk memperbaiki infrastruktr seperti jalan bahkan

pelestarian hutan dan Pura di dalamnya (Pura Dalem Khayangan Kedaton)

Jadi dapat ditarik kesimpulan mengenai syarat-syarat perjanjian yang telah

dijelaskan dalam pembahasan diatas, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1320

KUHPerdata yang mencakup empat syarat fundamental yang harus dipenuhi agar

perjanjian dapat dinyatakan sah maka sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara

Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh bahwa, antara

para pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri, ini telah sesuai dengan syarat

perjanjian pada bagian pertama. Mengenai kecakapan untuk membuat perjanjian,

para pihak telah memenuhi syarat yang terdapat pada bagian kedua. Ini terbukti

dari kedua belah pihak yang saling bersepakat membuat perjanjian masing-masing

antara Pemerintah Kabupaten Tabanan (Ni Putu Eka Wiryastuti/Bupati Tabanan)

dengan Desa Pakraman Kukuh (I Gede Subawa/Bendesa Adat Kukuh) telah

memenuhi syarat sebagai badan hukum/subyek hukum. Untuk syarat ke tiga, yaitu

mengenai suatu hal tertentu dapat dijelaskan bahwa sesuai dengan isi perjanjian

telah jelas yang menjadi objek/prestasi adalah mengenai pengelolaan Objek

Wisata Alas Kedaton. Prestasi terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu

dan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). Sedangkan yang terakhir

Page 118: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

103

tentang suatu sebab yang halal, dapat dijelaskan adalah sebab yang dibenarkan

oleh undang-undang, ketertiban umum, kebiasaan, kepatutan, dan kesusilaan.

Page 119: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

104

BAB IV

PERJANJIAN PENGELOLAAN OBJEK WISATA ALAS KEDATON

DALAM PERSPEKTIF TUJUAN HUKUM

4.1 Tujuan Hukum

4.1.1 Hukum Barat

Mengenai tujuan hukum pada dasarnya sangat mustahil untuk dapat kita

bahas secara memadai satu-persatu. Namun demikian di antara begitu banyak

teori tentang tujuan hukum, maka paling tidak ada beberapa teori yang dapat di

golongkan sebagai grand theory tentang apa yang menjadi tujuan hukum. Achmad

Ali di dalam bukunya yang berjudul Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan

Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang

(Legisprudence), membagi grand theory tentang tujuan hukum ke dalam tiga teori

besar yaitu, teori barat yang di bagi menjadi teori klasik dan modern, teori timur

dan teori hukum islam. Dari ketiga teori besar yang di kemukakan oleh Achmad

Ali tersebut dalam hal ini dibatasi hanya membahas mengenai teori tujuan hukum

barat. Grand Western Theory dibagi menjadi dua bagian yaitu:

A. Teori Klasik, di bagi menjadi 3 (tiga) a.Teori Etis b.Teori Utilistis c.Teori Legalistik

B. Teori Modern, di bagi menjadi 2 (dua) a.Teori Prioritas Baku b.Teori Prioritas Kasuistik86

86 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori

Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kharisma Putra Utama, Jakarta, hal.213.

Page 120: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

105

Berbicara tentang tujuan hukum, Achmad Ali mengklasifikasikan ke

dalam dua kelompok teori yaitu sebagai berikut:

1. Ajaran Konvensional (Teori Klasik), adalah dinilai sebagai ajaran yang

ekstrem, karena menganggap tujuan hukum hanya semata-mata satu tujuan

saja. Misalnya ajaran etis menyatakan bahwa pada asasnya tujuan hukum

adalah semata-mata untuk menciptakan keadilan. Ajaran utilistis

menyatakan bahwa pada asanya tujuan hukum adalah semata-mata untuk

menciptakan kemanfatan atau kebahagiaan masyarakat. Ajaran normatif-

dogmatif (Teori Legalistik), menyatakan bahwa pada asanya tujuan hukum

adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.

2. Ajaran Modern, dibagi menjadi dua tujuan hukum yaitu ajaran prioritas

baku dan ajaran prioritas kasuistis. Dapat dijelaskan kedua ajaran tersebut

sebagai berikut:

a. Ajaran Prioritas Baku, menurut Gustav Radbruch tujuan hukum itu adalah,

keadilan kemanfaatan, dan kepastian hukum.Dari tujuan hukum yang diajarkan

oleh Gustav Radbruch tersebut disadari secara khusus, masing-masing bidang

hukum mempunyai tujuan yang spesifik. Sebagai contoh, Hukum Pidana tentunya

mempunyai tujuan spesifik jika dibandingkan dengan Hukum Privat; demikian

juga Hukum Formal (Hukum Prosedur) mempunyai tujuan spesifik jika

dibandingkan dengan dengan Hukum Materiil, demikian pula bidang-bidang

hukum lain. Bagi Radbruch ketiga ide dasar hukum itu merupakan tujuan hukum

secara bersama-sama, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Namun

selanjutnya timbul pertanyaan apakah hal itu tidak menimbulkan masalah di

Page 121: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

106

dalam praktik? seperti kita ketahui, di dalam kenyataannya sering kali antara

kepastian hukum dengan keadilan, terjadi benturan atau ketegangan; atau benturan

antara kepastian hukum dengan kemanfaatan, atau ketegangan antara keadilan dan

kemanfaatan. Radbruch menyadari hal tersebut. Sebagai misal, dalam kasus-kasus

hukum tertentu, kalau hakim menghendaki keputusannya adil (menurut persepsi

keadilan yang dianut oleh hakim tersebut tentunya), bagi si penggugat atau

tergugat, bagi terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi

masyarakat luas. Sebaliknya, jika kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, maka

perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa dikorbankan.

Radbruch mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas prioritas, di mana

prioritas pertama adalah keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah

kepastian hukum. Kemanfaatan dan kepastian hukum tidak boleh bertentangan

dengan keadilan, demikian juga kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan

kemanfaatan.

b. Ajaran Prioritas Kasuistis, menurut Achmad Ali, ada kalanya dalam suatu

kasus keadilan yang lebih di prioritaskan ketimbang kemanfaatan dan kepastian

hukum, tetapi adakalanya tidak mesti demikian. Mungkin untuk kasus-kasus lain

justru kemanfaatan yang diprioritaskan ketimbang keadilan dan kepastian,

mungkin juga dalam kasus lain justru kepastian yang lebih diprioritaskan

ketimbang keadilan dan kemanfaatan.Jadi kesimpulannya di dalam ajaran

Prioritas Kasuistik untuk memecahkan suatu masalah perlu di pandang secara

proposional sesuai dengan kasus yang dihadapi dan ingin dipecahkan.

Page 122: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

107

Dilihat dari sejarah ajaran prioritas kasuistik, pada mulanya ajaran

prioritas baku dari Gustav Radbruch dirasakan jauh lebih maju dan arif,

dibandingkan ajaran ekstrem, yaitu ajaran etis, utilistis, dan dogmatik-legalistik.

Namun dalam perkembangannya karena semakin kompleksnya kehidupan

manusia di era modern ini, maka pilihan prioritas yang sudah dibakukan,

terkadang memunculkan pertentangan antara kebutuhan hukum dalam kasus-

kasus tertentu. Adakalanya dalam suatu kasus, keadilan yang lebih tepat

diprioritaskan daripada kemanfaatan dan kepastian hukum, tetapi dalam kasus lain

justru terasa lebih tepat jika kemanfaatan lebih diprioritaskan daripada keadilan

dan kepastian hukum, dan mungkin lagi dalam kasus lainnya justru kepastian

hukum yang lebih tepat diprioritaskan ketimbang keadilan dan kemanfaatan.

Konsep inilah yang oleh dunia praktik hukum dianggap paling relevan untuk

menjawab masalah-masalah hukum dewasa ini.

Secara umum, Teori Tujuan Hukum Barat lebih berorientasi pada tujuan

hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Sedangkan Teori

Tujuan Hukum Timur lebih berorientasi pada tujuan hukum, bahwa kepastian

hukum bukan kemanfaatan, dan bukan keadilan yang menjadi tujuan hukum,

melainkan kedamaian (peace). Tujuan Hukum Islam selain kedamaian juga

keseimbangan, kesejahteraan dan kemanfaatan serta ketertiban.

4.1.2 Hukum Adat Bali

Berbicara mengenai hukum adat Bali maka tidak akan pernah bisa terlepas

dari Agaman Hindu, bisa dikatakan yang menjadi jiwa dari hukum adat Bali

Page 123: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

108

adalah Agama Hindu. Dari penjelasan mengenai teori tujuan hukum diatas,

hukum adat Bali juga memiliki tujuan bila dilihat dari perspektif Agama Hindu.

Membahas hukum adat Bali, maka paling tidak ada tiga hal pokok yang harus

dipakai sebagai tumpuan untuk memahami eksistensi hukum adat Bali secara

lebih mendasar. Ketiga pokok hal tersebut adalah, upaya umum masyarakat untuk

berusaha menegakan keseimbangan hubungan antara warga masyarakat itu

sendiri. Upaya menegakan keseimbangan hubungan warga masyarakat dengan

kelompok masyarakat, dan keseimbangan hubungan masyarakat secara

keseluruhan dengan alam ke-Tuhanan.

Pokok pangkal titik tolak kehidupan kelompok masyarakat adat di Bali

yang berdasar kepada ketiga hal di atas, adalah merupakan penuangan dari

falsafah Agama Hindu yang disebut Tri Hita Karana. Falsafah ini sudah begitu

mendalam mewarnai kehidupan atau pola hidup masyarakat Bali. Falsafah Agama

Hindu inilah yang dapat dipakai sebagai tujuan dari hukum adat Bali, sekaligus

sebagai acuan dalam pembahasan mengenai perjanjian pengelolaan Objek Wisata

Alas Kedaton dalam perspektif tujuan hukum. Dalam hal ini melihat tujuan

hukum adat Bali dari sisi Agama Hindu. I Ketut Artadi, dalam bukunya yang

berjudul Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya mengatakan bahwa, dari

falsafah Agama Hindu yang disebut Tri Hita Karana tersebut terdapat tiga point

penting yaitu, hubungan antarwarga, hubungan warga dengan kelompok

masyarakat dan hubungan dengan alam ke-Tuhanan.87

87 I Ketut Artadi, 2003, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya,

Pustaka Bali Post, Denpasar, hal.3.

Page 124: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

109

Tri Hita Karana berasal dari kata ”Tri” yang artinya tiga, ”Hita” yang

artinya kebahagiaan, dan ”Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri

Hita Karana adalah tiga penyebab terciptanya kebahagiaan. Konsep Tri Hita

Karana tercermin dalam tata kehidupan masyarakat Hindu yang meliputi

Parahyangan, yaitu berupa unit tempat suci (Pura) tertentu yang mencerminkan

tentang Ketuhanan. Pawaongan, berupa unit dalam organisasi masyarakat adat

sebagai perwujudan unsur antara sesama manusia. Palemahan, yaitu berupa unit

atau wilayah tertentu sebagai perwujudan unsur alam semesta atau lingkungan.

Konsep kosmologi Tri Hita Karana merupakan falsafah tangguh yang memiliki

konsep yang sangat unik dilihat dari keragaman budaya dan lingkungan, ditengah

hantaman globalisasi. Pada dasarnya hakekat ajaran Tri Hita Karana menekankan

tiga hubungan kehidupan dengan manusia di dunia ini. Setiap hubungan memiliki

pedoman hidup menghargai sesama aspek sekitarnya. Ketiga hal tersebut meliputi

hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia

dengan Tuhan.

Hakekat mendasar Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab

kesejahteraan itu, bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan

Tuhan, manusia dengan alam sekitarnya, dan manusia dengan sesamanya. Dengan

menerapkan falsafah itu tersebut, diharapkan dapat menggantikan pandangan

hidup modern yang lebih mengedepankan individualisme dan materialisme.

Membudayakan Tri Hita Karana dalam kehidupan keseharian kita akan dapat

menghapus pandangan yang mendorong terjadinya pertikaian dan gejolak.

Page 125: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

110

Dilihat dari permasalahan tentang perjanjian pengelolaan Objek Wisata

Alas Kedaton, maka harus dilihat melalui sudut pandang Sekala dan Niskala.

Secara Sekala atau dunia nyata dapat kita lihat telah terjadi suatu kesepakatan

antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh untuk

membuat perjanjian, sedangkan pada kenyataannya secara Niskala belum ada

perhatian Pemerintah Kabupaten Tabanan untuk membantu baik berupa dana

maupun perbaikan infrastruktur terutama pada bangunan pura yang terdapat di

dalam hutan Alas Kedaton, Pura Dalem Khayangan Kedaton.

Dengan membahas mengenai Tri Hita Karana sebagai tujuan atau dasar

dari hukum adat Bali, maka sesungguhnya jika dikaitkan dengan perjanjian yang

di buat oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, maka

nilai-nilai Agama Hindu tersebut harus digunakan sebagai acuan dalam membuat

perjanjian. Apalagi yang menjadi obyek perjanjian adalah Objek Wisata Alas

Kedaton dimana dalam objek tersebut terdapat pura yang sangat sakral yaitu Pura

Dalem Khayangan Kedaton maka konsep-konsep Tri Hita Karana ini harus dan

mutlak di implementasikan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban antara

masing-masing pihak. Mengkritisi mengenai hak dan kewajiban yang terdapat

dalam isi perjanjian, maka PIHAK PERTAMA yaitu Pemerintah Kabupaten

Tabanan hendaknya ikut menjaga dan memelihara lingkungan berupa hutan di

Objek Wisata Alas Kedaton. Ini sejalan dan berkaitan dengan apa yang

menjaditujuan dari Tri Hita Karana itu sendiri, dari ketiga point penting tentang

Tri Hita Karana tersebut yang paling tepat menggambarkan akan kondisi atau

keadaan dalam permasalahan tentang hak dan kewajiban PIHAK PERTAMA

Page 126: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

111

dalam perjanjian adalah Palemahan, dimana manusia diharapkan dapat ikut

memelihara dan menjaga alam agar dapat berjalan seiring dan harmonis.

Seharusnya Pemda Tabanan dapat memberi kontribusi lebih, mengingat didalam

Objek Wisata Alas Kedaton terdapat bangunan suci yang seharusnya pihak pemda

ikut menjaga bahkan membantu kelangsungan pemeliharaan Pura Dalem

Khayangan Kedaton.

4.2 Tinjauan Terhadap Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton

4.2.1 Perspektif Kepastian Hukum

Dilihat dari perspektif kepastian hukum tentang perjanjian kerja sama yang

dibuat Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, sebaiknya

terlebih dahulu kita membahas mengenai badan hukum sebagai subyek hukum.

Perlu diketahui bahwa di dalam perjanjian harus jelas mengenai setatus dari pihak

yang membuat perjanjian, apakah pihak tersebut bersetatus badan hukum atau

tidak. Karena yang menjadi pembahasan adalah dilihat dari perspektif kepastian

hukum dan kepastian hukum merupakan bagian dari tujuan hukum, maka

hendaknya kita harus mengetahui pengertian dari badan hukum itu sendiri.

Badan hukum sebagai subyek hukum di dalam hukum berarti badan

hukum adalah orang (badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan) yang

ditetapkan oleh hukum sebagai subyek di dalam hukum, artinya badan hukum

dapat melalukan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana halnya dengan

manusia (memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan

perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka hakim). Dengan

Page 127: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

112

demikian badan hukum tersebut singkatnya diperlakukan sepenuhnya sebagai

layaknya seorang manusia.

Dengan demikian, menurut teori badan hukum, ciri-ciri yang harus

dipenuhi oleh suatu badan hukum untuk dapat disebut subyek hukum, yaitu: (a)

perkumpulan orang; (b) dapat melakukan perbuatan hukum dalam hubungan-

hubungan hukum; (c) mempunyai harta kekayaan sendiri; (d) mempunyai

pengurus; (e) mempunyai hak dan kewajiban; (f) mempunyai hak untuk

menggugat dan digugat. Berdasarkan batasan-batasan dan unsur-unsur badan

hukum, maka setiap perkumpulan sebagai satu kesatuan yang memenuhi ciri

demikian adalah badan hukum. Hukum memeberi kemungkinan, dengan

memenuhi syarat-syarat tertentu, bahwa suatu perkumpulan atau badan lain

dianggap sebagai orang, yang merupakan pembawa hak sebagai subyek hukum

oleh karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang, begitu pula dapat

dipertanggung-gugatkan. Badan hukum ini akan bertindak dengan perantara

orang, akan tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya

melainkan untuk dan atas pertanggung-gugat badan hukum. Sehingga asumsi dari

definisi dan batasan-batasan diatas secara substansi tidak jauh berbeda dengan

batasan-batasan yang terdapat dalam Perda No. 3 Tahun 2001.

Penguatan pengakuan desa pekraman untuk melakukan perbuatan-

perbuatan hukum secara konstitusional juga disebutkan di dalam Pasal 18B ayat

(2) jo Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945 (setelah perubahan).

Page 128: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

113

Pasal 18B ayat (2):

”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”

Pasal 28I ayat (3):

”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban”.

Disamping itu juga bentuk penghormatan desa pakraman oleh Negara

adalah pemanfaatan tanah adat sebagai pemukiman yang dikenal dengan tanah

karang desa adalah terkait dengan ketentuan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB), dimana tanah karang desa dijadikan pula sebagai obyek PBB. Dalam perda

No. 3 Tahun 2001 ada ketentuan yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (6) yang

menyatakan bahwa ”tanah desa pakraman dan tanah milik desa pakraman bebas

dari pajak bumi dan bangunan”. Namun ketentuan ini dicabut dengan Perda No. 3

Tahun 2003, sehingga dengan demikian tanah adat dalam bentuk tanah desa dapat

dikenakan PBB. Keadaan ini tampaknya berlebihan karena dengan ketentuan itu

berarti tanah adat memikul dua beban yaitu beban dari desa pakraman sendiri

dalam bentuk kewajiban ayahan desa dan beban dari pemerintah berupa pajak.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1994 merupakan perubahan atas UU No.

12 Tahun 1985 tentan Pajak Bumi dan Bangunan Pasal 3 (1) menentukan: Objek

Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang :

a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah,

Page 129: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

114

sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan

untuk memperoleh keuntungan. b. digunakan untuk kuburan, peninggalan

purbakala, atau yang sejenis dengan itu; c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka

alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh

desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; d. Digunakan oleh

perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. E.

Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan

oleh Menteri Keuangan.

Ketentuan undang-undang tersebut kiranya dapat ditafsirkan bahwa tanah-

tanah adat dalam segala bentuknya adalah tanah yang tidak disediakan untuk

kepentingan umum sehingga dapat dikenakan pajak, sehingga tanah-tanah seperti

itu juga dalam penguasaan desa pakraman, merupakan harta kekayaan yang

dimiliki oleh masyarakat hukum adat, baik harta bergerak dan harta tidak

bergerak, harta yang berwujud maupun harta yang tidak berwujud, di samping

masyarakat hukum adat (Desa Adat) memiliki hak-hak untuk mengatur

masyarakatnya maupun melakukan perbuatan-perbuatan hukum.

Dalam melihat kepastian hukum lebih luas lagi maka perlu dijelaskan

menganai pengertian hukum. Banyak sarjana mengungkapkan mengenai

pengertian hukum. Beberapa pengertian hukum menurut para sarjana adalah88 :

E.Utrecht, dalam bukunya yang ”berjudul Pengantar dalam Hukum Indonesia”

mengemukakakan hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata

tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat

88 Yulies Tiena Masriani, 2008, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta, hal.6-7.

Page 130: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

115

yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat

menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.

Immanuel Kant, dalam bukunya ”Inleiding tot de Rechtswetsnschap”

mengartikan hukum sebagai keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak

bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari

orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan. Sedangkan J.Van

Apeldorn, dalam bukunya ”Inleiding tot de studie van het Nedelandse recht”,

mengemukakan bahwa tidak mungkin memberikan definisi kepada hukum karena

begitu luas yang diaturnya. Hanya pada tujuan hukum mengatur pergaulan hidup

secara damai. Dari uraian para sarjana mengenai pengertian hukum, maka dapat

disimpulkan bahwa hukum adalah suatu aturan atau norma yang mengatur tingkah

laku masyarakat dalam pergaulan hidup. Mengenai tujuan hukum, menurut

Apeldorn, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai.89

Mengenai tujuan hukum, terdapat beberapa teori90, yaitu:

1. Teori Etis, yang berpendapat bahwa tujuan hukum semata-mata

untuk mewujudkan keadilan. Mengenai keadilan, Aristoteles

mengajarkan dua macam keadilan, yaitu keadilan distributif dan

keadilan komutatif. Keadilan ditibutif ialah keadilan yang

memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Sedangkan

keadilan Komutatif adalah keadilan yang memberikan jatah kepada

89 L.J Van Apeldorn, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita,

Jakarta, hal.10. 90Dudu Duswara Machmudin, 2003, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah

Sketsa, Refika Aditama, Bandung, hal.24-28.

Page 131: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

116

setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa

perseorangan.

2. Teori Utilitas, menurut Bentham bahwa hukum bertujuan untuk

mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya

guna (efektif). Adagiumnya yang terkenal adalah The greatest

happines for the greatest number artinya, kebahagiaan yang

terbesar untuk jumlah yang terbanyak. Ajaran Bentham disebut

juga sebagai eudaemonisme atau utilitarisme.

3. Teori Pengayoman, mengemukakan tujuan hukum adalah untuk

mengayomi manusia, baik secara aktif maupun secara pasif. Secara

aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi

kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung

secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah

mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang

dan penyalahgunaan hak. Usaha mewujudkan pengayoman tersebut

termasuk di dalamnya adalah:

a. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan;

b. Mewujudkan kedamaian sejati;

c. Mewujudkan keadilan;

d. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Mengenai daya ikat hukum dalam masyarakat, berdasarkan pendapat

Gustav Radbruch yang mengembangkan pemikiran Geldingstheorie

Page 132: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

117

mengemukakakn bahwa berlakunya hukum secara sempurna harus memenuhi tiga

nilai dasar, meliputi91 :

1. Juridical doctrine, nilai kepastian hukum, dimana kekuatan mengikatnya di dasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi.

2. Sociological doctrine, nilai sosiologis, artinya aturan hukum mengikat karena di akui dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan) atau dapat dipaksakan sekalipun masyarakat menolaknya (teori paksaan).

3. Philosophical doctrine, nilai filosofis, artinya aturan hukum mengikat karena sesuai dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang tertinggi.

Sesungguhnya kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya dapat

dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif

adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara jelas dan logis. Jelas

dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam

artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak

berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan

dari ketidak pastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau

distorsi norma.92Secara sosiohistoris, masalah kepasian hukum muncul bersamaan

dengan sistem produksi ekonomikapitalis. Dikaitkan dengan hukum modern orang

mungkin tidak akan melihat kepastian hukum sebagai bagian dari permasalahan,

tetapi apabila orang membandingkan antara hukum modern sebagai bagian dari

orde sosial baru dengan orde sosial yang lama, maka akan jelas sekali dimensi

kepastian hukum disitu.

91Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

hal.19. 92http://yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/,dikses pada

tanggal 17 Januari 2015

Page 133: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

118

Dari penjelasan mengenai kepastian hukum di atas, bila di kaji kedalam

permasalahan tentang kepastian hukum dari perjanjian kerja sama pengelolaan

Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan Dengan Desa

Pakraman Kukuh, maka secara keseluruhan yang disebut dengan kepastian hukum

di dalam perjanjian kerja sama tersebut adalah mengenai tata cara pembuatan

perjanjian, dalam hal ini bentuk perjanjian yang di buat Pemerintah Kabupaten

Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh. Bentuk dari perjanjian kerja sama

tersebut merupakan bentuk perjanjian yang bersifat baku. Dikatakan baku karena

perjanjian ini klausul-klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu

pihak. Pihak yang merancang perjanjian tersebut adalah PIHAK PERTAMA

dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Tabanan yang telah membuat dan merancang

klausul-klausul dalam perjanjian. Lebih jelasnya yang digunakan Pemertintah

Kabupaten Tabanan dalam membuat perjanjian, berpedoman pada tata cara

pembuatan kerjasama yang di atur dalam Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama

Daerah. Di dalam ketentuan tersebut telah di atur mengenai apa saja yang harus di

sertakan dalam perjanjian kerja sama, paling sedikit di dalam perjanjian kerja

sama memuat subjek kerja sama, objek kerja sama, ruang lingkup kerja sama, hak

dan kewajiban para pihak, jangka waktu kerja sama, pengakhiran kerja sama,

keadaan memaksa, dan penyelesaian perselisihan. Jadi dapat disimpulkan bila

dilihat dari perspektif kepastian hukum terhadap pengelolaan Objek Wisata Alas

Kedaton, maka dapat dikatakan perjanjian yang di prakarsai oleh Pemerintah

Kabupeten Tabanan ini telah memenuhi ketentuan mengenai tata cara pembuatan

Page 134: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

119

kerja sama dalam bentuk perjanjian yang mengacu pada Peraturan Pemerintah

Nomor. 50 Tahun 2007.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten

Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh sudah memberikan jaminan kepastian

hukum. Dikatakan sudah memberikan jaminan kepastian hukum karena para

pihak yang membuat perjanjian kerjasama telah sesuai dengan ketentuan ataupun

tata cara dalam pembuatan perjanjian kerjasama yang mengacu pada Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara

Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.

4.2.2 Perspektif Kemanfaatan

Sesuai dengan Teori Hukum Barat mengenai tujuan hukum yang

dijelaskan sebelumnya, mengenai kemanfaatan kiranya perlu diketahui mengenai

siapa tokoh atau pakar di balik aliran utilistis yaitu tujuan hukum semata-mata

untuk mewujudkan kemanfaatan. Pada umumnya para penganut aliran utilistis

menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan

atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga

masyarakat. Penanganannya didasarkan pada filsafat sosial bahwa setiap warga

masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu alatnya.93 Dari

sekian banyak pakar-pakar penganut aliran utilistis ada beberapa nama pakar yang

dikenal, yaitu Jeremy Bentham yang terkenal dengan the father of legal

utilitarianism. Selain Bentham juga dikenal James Mill dan John Suart Mill, tetapi

93 Achmad Ali, op.cit, hal.272.

Page 135: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

120

Jeremy Bentham-lah yang merupakan pakar yang paling radikal di antara pakar

utilistis.

Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang filsuf, ekonom, dan reformer

hukum, yang memiliki kemampuan untuk menenun dari benang ’prinsip

kegunaan’ (utilitas) menjadi permadani doktrin etika dan ilmu hukum yang luas,

dan yang dikenal sebagai ’utilitarianism’ atau mazhab utilistis, yang

mengupayakan jawaban terhadap pertanyaan: ”Apa yang harus dilakukan

seseorang?” jawaban Bentham adalah bahwa, ia harus bertindak untuk

menghasilkan ’konsekuensi-konsekuensi terbaik yang memungkinkan’.Prinsip

utility dikemukakan oleh Bentham dalam karya monumentalnya yang berjudul

Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Di dalam karyanya itu,

Bentham mendifinisikan itu sebagai sifat dalam sembarang benda yang

dengannya, benda tersebut cenderung menghasilkan kesenangan, kebaikan atau

kebahagiaan, atau untuk mencegah terjadinya kerusakan, penderitaan atau

kejahatan serta ketidakbahagiaan pada pihak yang kepentingannya

dipertimbangkan. Menurut Bentham alam telah menempatkan manusia di bawah

pengaturan dua penguasa yang berdaulat, yaitu penderitaan dan kegembiraan.

Keduanya menunjukan apa yang harus kita lakukan dan menentukan apa yang

akan kita lakukan. Fakta bahwa kita menginginkan kesenangan dan berharap

untuk menghindari penderitaan, digunakan oleh Bentham untuk membuat

keputusan, bahwa kita harus mengejar kesenangan.

Jeremy Bentham kemudian terkenal dengan motonya, bahwa tujuan

hukum adalah untuk mewujudkan the greatest happines of the greatest

Page 136: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

121

number(kebahagiaan yang terbesar, untuk terbanyak orang). Menurut Bentham

adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu

kebahagiaan mayoritas rakyat. Doktrin utilistis dari Bentham, pada asanya dapat

disimpulkan ke dalam tiga hal, sebagaimana dikemukakan Curzon berikut ini94:

a. The principle of utility subjects everything to these two forces: i) Utility is the property or tendency of an object to produce benefit,

good, or happines or to prevens mischief, pain, or evil; ii) The utility principle allows us to approve of anaction according to its

tendency to promote oppes happines. b. Pleasure maybe equated with good, pain, with evil. c. A thing is said to promote the interest, or to be for the interest, of an

individual when it tends to add to the sum total of his pleasure: or, what comes to the something, to diminish the sum total of his pains.

Pada dasarnya teori yang dikemukakan Bentham ini menganjurkan the

greatest happines principle (prinsip kebahagiaan yang semaksimal mungkin).

Tegas nya menurut teori ini, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang

mencoba memperbesar kebahagaiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan, atau

masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada

rakyat pada umumnya, agar ketidakbahagiaan diusahakan sesedikit mungkin

dirasakan oleh rakyat pada umumnya. Kebahagiaan berarti kesenangan atau

ketiadaan kesengsaraan, ketidakbahagiaan berarti kesengsaraan dan ketiadaan

kesenangan. Setiap orang dianggap sama sederajatnya oleh utilistis teori. Menurut

Jeremy Bentham ”Setiap orang dihitung sebagai satu dan tidak ada seorang pun

yang dihitung sebagai lebih dari satu”.95

94 Achmad Ali, op.cit., hal.274. 95 Achmad Ali, op.cit., hal.275.

Page 137: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

122

Dikaji dari perspektif kemanfatan, dalam hal ini mengenai perjanjian yang

di buat Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh tentang

pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, tentu saja harus memberikan manfaat.

Di dalam membuat perjanjian kedua belah pihak memiliki posisi yang sama dan

sejajar. Diharapkan di dalam menyepakati sebuah perjanjian tentunya dapat

memberikan manfaat yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Dilihat

dari isi perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman

Kukuh yang sampai saat ini sudah hampir tiga tahun berjalan, belum dirasakan

manfaat dari dilakukannya perjanjian kerjasama tersebut. Wawancara yang

dilakukan penulis pada tanggal 3 Maret 2015 kepada Bapak I Nyoman Sudarma

selaku Kepala Dinas Pendapatan Daerah dan Pasedahan Agung Kabupaten

Tabanan, beliau mengatakan ”Memang tiang mengakui bahwa kami belum

makasimal dalam membantu perkembangan Objek Wisata Alas Kedaton karena

keterbatasan APBD”. Dijelaskan juga agar perkembangan dan pembangunan

Objek Wisata Alas Kedaton dapat berjalan dengan baik maka disarankan untuk

mengajukan proposal kepada Pemerintah Kabupaten Tabanan.

Seperti yang sudah di jelaskan di dalam pembahasan sebelumnya bahwa

yang menjadi permasalahan sesungguhnya di masyarakat kukuh adalah tidak

adanya manfaat dan timbal balik yang nyata dari di buatnya perjanjian. Hal ini

mengacu kepada perbincangan hangat yang terjadi di masyarakat kukuh (pakrimik

krama) tentang apa manfaat yang bisa dirasakan secara langsung dari di buatnya

perjanjian kerja sama tersebut. Wawancara yang dilakukan penulis pada tanggal

18 Januari 2015 kepada Manajer Operasional Objek Wisata Alas Kedaton, I Gusti

Page 138: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

123

Bagus Suryawan mengakui bahwa sampai saat ini pihak pengelola Objek Wisata

Alas Kedaton belum pernah mendapatkan bantuan apapun dari Pemerintah

Kabupaten Tabanan sebagai kontribusi dari menerima hasil penyelenggaraan dan

pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton. Sebagai bukti dari pengakuan

pihak pengelola tersebut mengenai kurangnya perhatian yang diberikan

Pemerintah Kabupaten Tabanan kepada pihak pengelola dalam hal ini untuk

pelestarian dan pemeliharaan objek wisata, ini terbukti dari berita yang dimuat di

koran harian Bisnis Bali pada hari selasa tanggal 6 januari 2015 halaman 8 yang

berjudul ”Alas Kedaton Minim Sentuhan”.

Berita tersebut menjelaskan mengenai minimnya perhatian dan bantuan

Pemerintah Kabupaten Tabanan terhadap fasilitas yang ada di Objek Wisata Alas

Kedaton, sehingga menyebabkan banyak fasilitas yang rusak. Beberapa fasilitas

yang mengalami kerusakan cukup serius sehingga diharapkan pihak Pemerintah

Kabupaten Tabanan dapat memberikanberupa dana bantuan perbaikan, yaitu

beberapa bagian yang terdapat pada Nista Mandala Pura Dalem Khayangan

Kedaton dan jalan setapak menuju hutan. Pihak pengelola sudah berusaha untuk

memperjuangkan agar mendapat bantuan dana, namun sampai saat ini pada

kenyataannya belum ada tanggapan serius dari Pemerintah Kabupaten Tabanan.

Melalui pihak pengelola dan atas nama Desa Pakraman Kukuh sudah berulang

kali membicarakan masalah tersebut kepada Kepala Desa Kukuh agar dapat

difasilitasi untuk mendapatkan bantuan.

Menyikapi banyaknya sarana yang mengalami kerusakan, akhirnya pihak

pengelola mengambil jalan untuk memperbaiki bagian-bagian yang rusak tersebut

Page 139: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

124

dengan bantuan dana swadaya masyarakat. Dari penjelasan isi berita tersebut juga

dijelaskan tiap bulan Objek Wisata Alas Kedaton menyetor kepada Pemerintah

Kabupaten Tabanan sebesar 20 persen yang di ambil dari retribusi penjualan tiket

masuk. Mengenai besarnya jumlah setoran tersebut, telah dijelaskan dalam isi

perjanjian yang di buat Pemerintah Kabupaten Tabanandengan Desa Pakraman

Kukuh. Mengacu dari perbincanagan masyarakat Kukuh (pakrimik krama) dan

melalui berita koran tersebut, maka dapat diberikan sebuah gambaran bahwa

kemanfaatan perjanjian yang dibuat belum memenuhi apa yang menjadi tujuan

hukum. Seperti yang telah dijelaskan bahwa tujuan hukum mencakup tiga hal

yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Mengenai pembahasan

tentang kemanfaatan sebagai bagian dari tujuan hukum, perjanjian yang di buat

Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh tentang kerja

sama pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, belum menunjukan manfaat yang

nyata bagi pengembangan bahkan perbaikan sarana dan prasarana Objek Wisata

Alas Kedaton.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten

Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh belum memberi kemanfaatan bagi

masyarakat Kukuh. Dikatakan belum memberi manfaat karena semenjak

dilangsungkannya perjanjian tersebut pada Tahun 2012 sampai saat ini belum

pernah sekalipun Pemerintah Kabupaten Tabanan memberikan bantuan baik

berupa dana maupun berupa partisipasi dalam membantu perbaikan infrastruktur

Objek Wisata Alas Kedaton, terlebih perbaikan untuk Pura Dalem Khayangan

Kedaton yang terdapat di dalam hutan Alas Kedaton.

Page 140: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

125

4.2.3 Perspektif Keadilan

Mengenai perspektif keadilan bila dilihat dari tujuan hukum yang di

jelaskan oleh Gustav Radbruch, sesungguhnya dari ketiga tujuan hukum yang

dikemukakan tersebut, keadilan harus menjadi hal yang utama. Wawancara yang

dilakukan penulis kepada Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Kabupaten Tabanan yang di wakili oleh Kepala Bidang Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan Bapak I Wayan Loter pada tanggal 9

Maret 2015 mengatakan bahwa, ”Porsi pembagian hasil dalam perjanjian yang

bersumber dari tiket masuk 20 % untuk pihak pertama, 80 % untuk pihak ke dua

dan dari karcis parkir sebesar 65 % untuk pihak pertama, 35 % untuk pihak ke

dua, menurut saya tidak jelas kenapa masing-masing pihak tersebut mendapatkan

bagian atau porsi seperti itu dan cenderung menjadi tidak transparan sehingga adil

tidaknya belum tergambar, sedangkan untuk dasar hukum sudah cukup”. Dalam

kaitannya dengan pembahasan mengenai perjanjian kerja sama yang di buat antara

Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakramana Kukuh, tentang

pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, maka terlebih dahulu kita harus

mengetahui apa makna dari keadilan tersebut.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia (KBBI), keadilan adalah suatu hal yang

tidak berat sebelah atau tidak memihak serta tidak sewenang-wenang. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata adil berasal dari kata adil, adil

mempunyai arti yaitu kejujuran, kelurusan, dan keikhlasan yang tidak berat

Page 141: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

126

sebelah.96 Dari pengertian mengenai makna adil tersebut, maka akan digunakan

sebagai acuan di dalam pembahasan tentang perjanjian kerja sama yang di buat

Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh. Mengenai adil

atau tidaknya perjanjian maka kita harus memperhatikan dan mencermati

mengenai beberapa klausul penting yang terdapat dalam isi perjanjian. Bila

diperhatikan di dalam isi perjanjian tersebut dan dilihat tentang reaksi atau

pendapat dari masyarakat Desa Pakraman Kukuh, khususnya dalam hal ini dari

pihak pengelola Objek Wisata Alas Kedaton, maka sesungguhnya perlu adanya

perubahan yang harus dilakukan demi tercapainya suatu keadilan.

Menurut isi dari perjanjian yang memuat beberapa hak dan kewajiban

tersebut, kembali dijelaskan bahwa ada ketidakseimbangan antara hak dan

kewajiban yang tercantum di dalam perjanjian kerja sama pengelolaan Objek

Wisata Alas Kedaton. Bila dicermati dalam ketentuan hak dan kewajiban masing-

masing pihak, dalam hal ini mengenai kewajiban para pihak, terdapat klausul-

klausul yang cenderung menguntungkan bahkan secara sewenang-wenang

menghapuskan apa yang seharusnya menjadi kewajiban pihak tersebut. Bupati

Tabanan dalam hal ini bertindak atas nama Pemerintah Kabupaten Tabanan

selanjutnya sebagai PIHAK PERTAMA di dalam ketentuan mengenai hak dan

kewajiban sesuai dengan isi perjanjian, ditemukan klausul yang sama sekali tidak

menyertakan untuk berkewajiban membantu bahkan ikut memelihara

kelangsungan Objek Wisata Alas Kedaton, terutama memelihara bangunan suci

berupa pura, yang disebut Pura Dalem Khayangan Kedaton, ini merupakan timbal

96 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1999, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal.7.

Page 142: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

127

balik atas apa yang diterima PIHAK PERTAMA sebagai kewajiban yang

seharusnya di cantumkan dalam klausul tentang kewajiban para pihak terutama

kewajiban PIHAK PERTAMA.

Mengenai isi dalam perjanjian tersebut hanya di cantumkan yang menjadi

kewajiban PIHAK PERTAMA hanya sebatas mengkoordinasikan pembinaan

penyelenggaraan dan pengelolaan daya tarik wisata Alas Kedaton serta melakukan

pengawasan dan pengendalian dalam rangka pengembangan daya tarik wisata

Alas Kedaton untuk mencegah berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.

Mengenai isi dari kewajiban PIHAK PERTAMA dalam perjanjian tersebut hanya

terdiri dari dua bagian saja. Sesuai dengan kewajiban PIHAK PERTAMA yang

telah disebutkan tadi sangat bertolak belakang dengan apa yang menjadi

kewajiban dari PIHAK KEDUA yaitu Bendesa Adat Kukuh, yang bertindak untuk

dan atas nama masyarakat Desa Pakraman Kukuh. Kewajiban PIHAK KEDUA

terdiri dari lima point penting yang intinya adalah PIHAK KEDUA harus

menyetorkan hasil pemungutan retribusi sesuai hasil perhitungan pembagian yang

disepakati setiap bulan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya kepada PIHAK

PERTAMA melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait.

Dilihat dari ketentuan mengenai kewajiban yang dijelaskan di atas, sudah

dapat dipastikan adanya ketidakseimbangan antara kewajiban masing-masing

pihak, hal tersebut terkesan menguntungkan salah satu pihak yaitu PIHAK

PERTAMA. Kembali melihat pengertian mengenai keadilan yang dijelaskan oleh

Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang menyebutkan bahwa keadilan adalah suatu

hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak serta tidak sewenang-wenang,

Page 143: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

128

maka dapat disimpulkan bahwa, mengenai perjanjian kerja sama yang di buat oleh

Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh tentang

pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, belum menunjukan keadilan dan

memberi manfaat atas di buatnya perjanjian tersebut. Justru sebaliknya tujuan

yang hendak dicapai dengan membuat suatu perjanjian kerja sama seharusnya

dapat memberikan manfaat bahkan menguntungkan kedua belah pihak dengan

menjunjung tinggi asas keadilan.

Sesungguhnya secara umum keadilan merupakan bagian dari nilai sosial yang

memiliki makna sangat luas, bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dengan

hukum sebagai salah satu tata nilai sosial. Suatu kejahatan yang dilakuakan adalah

suatu kesalahan, namun apabila hal tersebut bukan merupakan keserakahan tidak

bisa disebut menimbulkan ketidakadilan. Sebaliknya suatu tindakan yang bukan

merupakan kejahatan dapat menimbulkan ketidakadilan. Ukuran mengenai

keadilan sebenarnya menjangkau wilayah yang ideal atau berada dalam wilayah

cita, dikarenakan berbicara masalah keadilan, berarti sudah dalam wilayah makna

yang masuk dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam

sampai hakikat yang paling dalam, bahkan Kelsen menekankan pada pengetahuan

perihal sesuatu yang baik.97

Sangat sulit memang bila menentukan makna adil dan tidak adil, karena

keadilan itu sendiri sesuatu yang abstrak, subjektif dan bagaimanapun juga

keadilan menyangkut nilai etis yang dianut masing-masing individu. Mengenai

keadilan jelas bahwa keadilan masuk ke dalam kajian ilmu filsafat, banyak filsafat

97 W. Friedman, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, PT. Rajawali Press,

Jakarta, hal.118.

Page 144: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

129

yang mengharapkan inspirasi bagi pengetahuan keadilan dan kesemua itu

termasuk filsafat-filsafat yang sangat berbeda dalam ruang dan waktu. Keadilan

merupakan salah satu contoh materi yang menjadi objek filsafat. Dalam kajian

filsafat, keadilan telah menjadi pokok pembicaran serius sejak awal munculnya

filsafat yunani. Pembicaraan filsafat memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang

bersifat etik, filosopis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak orang yang

berfikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuatan dan

kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu

saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia.

Keadilan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan hukum itu

sendiri, disamping kepastian hukum dan kemanfaatan. Dari banyaknya

permasalahan yang hendak di hadapi Negara, makna mengenai keadilan dapat

dijadikan sebuah perenungan bahwa terminologi keadilan yang sejatinya ada

dalam kajian filsafat, apakah dapat di jadikan sebagai bagian utama dalam

pencapaian tujuan hukum, mengingat konsep keadilan yang bersifat abstrak

sehingga diperlukan pemahaman dalam filsafat ilmu hukum yang akan

menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis sehingga dapat membangun

hukum yang sebenarnya.

Mengutip beberapa definisi mengenai keadilan (justice) yang terdapat

dalam buku yang ditulis oleh Achmad Ali yang berjudul Menguak Teori Hukum

dan Teori Peradilan, maka ada beberapa definisi tentang keadilan. Dari sekian

Page 145: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

130

banyak definisi keadilan yang dikemukakan oleh para pakar salah satunya

dikemukakan oleh Curzon, yaitu sebagai berikut98:

a. Justice is a politcal virtue, by the rules of it, the state is regulated and these rules the criterion of what is right (Aristoteles)

b. The virtue which results in each person receiving his due. (Justinianus) c. The idea of justice supposes two things; a rule of conduct and sentiment

which sanctions the rule. The first must be supposed common to all mankind and intended for their good; the sentiment is a desire that punishment maybe suffered by those who infringe the rule. (Mill)

d. Justice has always weighted the scales solely in favour of the weak and persecuted. A justice decision is a decision based on grounds which appeal to a desinterested person. (Eugen Ehrlich)

e. Who or whatever renderts to every man his due, that person or thing is just an attitude, an institution, a law, a relationship, in which every man is given his due is just. (Brunner)

f. Justice requires that freedom, equality, and security be accorded to human beings to the greaterst extent consistent with the common good. (Bodenheimer)

g. Justice is the correct application of a law as apposed to arbitratines. (Rose)

h. Justice among men involves an impartial and fearles act of choosing solution for a dispute within a legal order, having regard to the human rights which that order protects. (Wortley)

Dapat dijelaskan mengenai masing-masing definisi tersebut diatas adalah

sebagai berikut:

a. Keadilan adalah sebuah kebaikan politik, dengan peraturan-peraturannya, Negara diatur dan peraturan-peraturan ini adalah tolak ukur/norma yang benar. (Aristoteles)

b. Kebaikan yang dihasilkan dalam tiap orang menerima haknya. (Justinianus)

c. Gagasan keadilan mengharuskan dua hal yaitu; sebuah peraturan tingkah laku dan perasaan yang menyetujui peraturan. Hal yang pertama seharusnya lumrah/umum bagi umat manusia dan dimaksudkan untuk kebaikan mereka. Perasaan adalah keinginan dimana hukuman mungkin dialami oleh mereka yang melanggar peraturan. (Mill)

d. Keadilan selalu membebani sekala semata-mata dalam kebaikan hati orang-orang yang lemah dan teraniaya. Keputusan keadilan adalah sebuah

98 Achmad Ali, op.cit, hal.217.

Page 146: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

131

keputusan berdasarkan pada pekerjaan berat yang menarik bagi seseorang yang tidak memihak/netral. (Eugen Ehrlich)

e. Siapapun atau apapun yang menyumbangkan haknya pada setiap manusia, orang itu atau benda itu adalah sebuah prilaku, institusi, hukum, hubungan, dimana setiap manusia diberikan haknya disebut adil. (Brunner)

f. Keadilan memerlukan kebebasan, persamaan dan keamanan yang disetujui bagi umat manusia terhadap tingkat yang hebat sesuai dengan barang yang lumrah. (Bodenheimer)

g. Keadilan adalah penerapan hukum yang tepat yang pantas terhadap arbitrasi. (Rose)

h. Keadilan diantara orang-orang yang terlibat dalam tindakan tidak memihak dan tidak takut memilih solusi untuk sebuah perselisihan di dalam urutan yang legal, memiliki sikap hormat terhadap hak-hak manusia yang dimana pesan itu dilindungi. (Wortley)

Dari berbagai macam definisi dan ungkapan tentang kata ’keadilan’, yang

dikemukakan oleh berbagai kalangan di atas, bukan hanya dari kalangan pakar

hukum dan penegak hukum saja, melainkan juga dari kalangan sastrawan,

penyair, penulis dan lainnya. Dapat dijelaskan definisi dan ungkapan di atas

menggambarkan bahwa, sangat tampak beraneka ragamnya pemahaman tentang

makna keadilan, ada yang mengkaitkan keadilan dengan peraturan politik negara,

sehingga ukuran tentang apa yang menjadi hak atau bukan, senantiasa didasarkan

pada ukuran yang telah ditentukan oleh negara. Ada juga yang memandang

keadilan dalam wujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus-menerus, untuk

memberikan apa yang menjadi hak bagi setiap orang, ada juga yang melihat

keadilan sebagai pembenaran bagi pelaksanan hukum, yang diperlawankan

dengan kesewenang-wenangan.

Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman

Kukuh, sesuai dengan analisis hukum yaitu menggunakan teori tujuan hukum

yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, belum memenuhi rasa keadilan. Ini

Page 147: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

132

terbukti dari perbedaan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang tercantum

di dalam perjanjian yang menunjukan adanya ketimpangan yang cenderung

menguntungkan salah satu pihak. Sesuai dengan analisis yang dilakukan,

perjanjian tersebut lebih menguntungkan pihak pertama yaitu Pemerintah

Kabupaten Tabanan sebagai pihak yang merancang dan membuat isi dari

perjanjian tersebut.Dari Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian antara

Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, bila dikaitkan

dengan tujuan hukum telah memenuhi asas kepastian hukum, namun belum

memenuhi asas keadilan dan kemanfaatan.

4.2.4 Perspektif Hukum Adat Bali

Melihat perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dari perspektif

Hukum Adat Bali, maka tidak akan bisa dilepaskan dari desa adatnya. Terlebih

dahulu perlu untuk diketahui bersama bahwa di Bali ada dua desa, yaitu ”desa

dinas” (kelurahan) dan ”desa adat” yang sampai saat ini tetap berjalan sesuai

dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. Secara umum bila mengacu pada

ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka menurut

undang-undang ini Pasal 1, ”Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut

dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum

yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa

masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati

dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan

Page 148: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

133

pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia. (Pasal 1 ayat 2)

Mengenai desa pakraman yang khusus hanya ada di Bali, maka sangat

diperlukan memiliki landasan hukum yang kuat. Pemerintah Daerah Provinsi Bali

telah menetapkan pengertian mengenai ”desa pakraman” yang tercantum di dalam

ketentuan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, yang

menyebutkan bahwa ”desa pakraman” adalah ”kesatuan masyarakat hukum adat

di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan

hidup masyarakat secara turun-temurun dalam ikatan Kayangan Tiga, mempunyai

wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah

tangganya sendiri”(Pasal 1 huruf e).

Pengertian mengenai desa dinas, desa adat dan desa pakraman yang telah

dijelaskan diatas, menimbulkan permasalahan pemahaman tentang pengertian

”desa”. Ditemukan adanya pemahaman yang membuat kita bertanya-tanya,

apakah yang dimaksud ”desa” dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

adalah ”desa adat/desa pakraman” ataukah ”desa dinas”, sampai sekarang belum

jelas. Apakah dengan adanya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun

2001 tentang Desa Pakraman, berarti menghilangkan fungsi yang dijalankan oleh

”desa dinas”, juga belum jelas. Tetapi yang jelas, kedua desa tersebut (”desa

dinas” dan ”desa adat/pakraman”), sampai sekarang tetap berjalan sesuai

swadharma masing-masing, di tengah-tengah silang pendapat, yang terlontar

lewat berbagai seminar dan diskusi tentang format desa di Bali. setelah

Page 149: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

134

berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.99 Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999 tersebut kini telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 tentang Desa, sebagai penyempurnaan atas dasar hukum untuk pembahasan

mengenai desa.

Membahas mengenai Hukum Adat Bali, maka membahas tentang

masyarakat atau penduduknya. Masyarakat hukum adat Bali secara umum

merupakan penganut Agama Hindu, dan dalam kehidupan kesehariannya diatur

berdasarkan hukum adat Bali. Hukum adat Bali adalah hukum yang tumbuh

dalam lingkungan masyarakat hukum adat Bali yang berlandaskan pada ajaran

Agama Hindu dan tumbuh berkembang mengikuti kebiasaan serta rasa kepatutan

dalam masyarakat hukum adat Bali itu sendiri. Oleh karenanya dalam masyarakat

hukum adat Bali, antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat

dipisahkannya antara adat dan agama di dalam masyarakat hukum adat Bali,

disebabkan karena adat itu sendiri bersumber dari ajaran agama. Dalam ajaran

Agama Hindu sebagaimana yang dianut oleh masyarakat hukum adat Bali,

pelaksanaan agama dapat dijalankan melalui tiga kerangka dasar Agama Hindu

yang terdiri dari Tatwa atau Filsafat, Susila, dan Upacara. Perlu dijelaskan

mengenai pengertian dari tiga kerangka dasar ajaran Agama Hindu tersebut

adalah:

1. Tatwa (Filsafat), sebenarnya Agama Hindu mempunyai kerangka dasar

kebenaran yang sangat kokoh karena masuk akan dan konseptual. Konsep

pencarian kebenaran yang hakiki di dalam Hindu diuraikan di dalam

99 Wayan. P Windia, 2008, Bali Mawacara Kesatuan Awig-awig, Hukum

dan Pemerintahan di Bali, Udayana University Press, Denpasar, hal.3.

Page 150: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

135

ajaran filsafat yang disebut Tattwa. Tattwa dalam Agama Hindu dapat

diserap sepenuhnya oleh fikiran manusia melalui beberapa cara dan

pendekatan yang disebut Pramana. Ada tiga cara penyerapan pokok yang

disebut Tri Pramana. Tri Pramana ini menyebabkan akal budi dan

pengertian manusia dapat menerima kebenaran hakiki dalam Tattwa,

sehingga berkembang menjadi keyakinan dan kepercayaan. Kepercayaan

dan keyakinan dalam Hindu disebut dengan Sradha. Dalam Hindu, Sradha

disarikan menjadi lima esensi yang disebut Panca Sradha. Berbekal Panca

Sradha yang diserap menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan hidup

seorang Hindu menuju ke satu tujuan yang pasti yaitu ke arah

kesempurnaan lahir dan batin yaitu Jagadhita dan Moksa.

2. Susila (Etika), susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua

setelah filsafat (Tattwa). Susila memegang peranan penting bagi tata

kehidupan manusia sehari-hari. Realitas hidup bagi seseorang dalam

berkomunikasi dengan lingkungannya akan menentukan sampai di mana

kadar budi pekerti yang bersangkutan. Seseorang akan mendapatkan

simpati dari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu

mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik

yang memegang teguh sendi-sendi kesusilaan. Kata susila terdiri dari dua

suku kata ”su” dan ”sila”. ”Su” berarti baik, indah, harmonis dan ”Sila”

berarti prilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku yang baik

terpancar sebagai cermin obyektif dalam mengadakan hubungan dengan

lingkungannya. Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu

Page 151: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

136

adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis

antara sesama manusia dengan semesta (lingkungan) yang berlandaskan

atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang. Pola hubungan

tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (ia adalah engkau)

mengandung makna bahwa hidup segala mahluk sama, menolong orang

lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain

berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar

tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih

kebendaan.

3. Upacara (Yadnya), adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan

ikhlas karena getaran jiwa/ rohani dalam kehidupan ini berdasarkan

dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada (Weda). Yadnya juga

dapat diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi, berbuat baik

(kebijakan), pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus

ikhlas) berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan

hidup bersama dan kemahamuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Di

dalam Yadnya terkandung nilai-nilai rasa tulus ikhlas, kesucian serta rasa

bakti memuja dan menghormati Ida Sang Hyang Widhi, Dewa, Bhatara,

Leluhur, Negara, Bangsa dan kemanusiaan. Di dalam pelaksanaannya

disesuaikan dengan kemampuan masing-masing menurut tempat (desa),

waktu (kala), dan keadaan (patra) sebagai sumber ilmu pengetahuan suci

dan kebenaran yang abadi.

Page 152: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

137

Ketiga hal inilah yang digunakan sebagai pedoman masyarakat Hindu Bali

sebagai norma yang mengatur kehidupan bersama di dalam masyarakat. Etika,

susila dan upacara yang dicerminkan dalam kehidupan sehari-hari mencerminkan

rasa kepatutan dan keseimbangan (harmoni) dalam kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu asas hukum yang melingkupi atau yang mendasari hukum adat

Bali adalah kepatutan dan keseimbangan.Adanya asas kepatutan dan

keseimbangan ini, sebagai pedoman untuk dapat mengukur apakah tindakan dan

perbuatan itu sesuai dengan norma yang berlaku ataukah telah terjadi pelanggaran.

Dalam hal ini maka harus dapat dibedakan antara mana yang disebut ’patut’ dan

apa yang disebut dengan ’boleh’. Segala sesuatu yang boleh dilakukan belum

tentu merupakan perbuatan yang patut dilakukan. Sedangkan pada asas

keseimbangan (harmoni), pada dasarnya seluruh perbuatan manusia diharapkan

tidak menggangu keseimbangan didalam kehidupan masyarakat. Pada perbuatan

ataupun keadaan yang menggangu keseimbangan, maka perlu dilakukan

pemulihan keseimbangan yang berupa tindakan-tindakan yang mencerminkan

mengembalikan keseimbangan yang terjadi oleh perbuatan atau keadaan tersebut.

Pada gangguan keseimbangan yang tidak diketahui atau tidak dapat ditimpakan

pertanggungjawabanatas kejadian tersebut, maka adalah menjadi tanggungjawab

persekutuan (kesatuan masyarakat hukum adat) untuk bertanggungjawab atas

pengembalian keseimbangan yang harus dilakukan.

Walaupun di dalam kenyataanya dikatakan antara adat dan agama tidak

dapat dipisahkan, namun antara adat dan agama masih dapat dibedakan. Agama

(dalam hal ini Agama Hindu yang dianut oleh masyarakat hukum adat Bali)

Page 153: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

138

adalah berasal dari ketentuang-ketentuan ajaran dari para maharesi dan kitab suci

Weda sebagai wahyu dari Ida Sang Hyang Wihi Wasa. Sedangkan adat adalah

berasal dari kebiasaan dalam masyarakat yang dapat mengikuti situasi, kondisi,

dan tempat pada saat itu.

Dilihat dari perspektif Hukum Adat Bali, untuk membahas perjanjian

pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan

dengan Desa Pakraman Kukuh, maka seperti yang telah di bahas sebelumnya

dalam ajaran Agama Hindu dikenal dengan tiga kerangka dasar Agama

Hindu.Dari ketiga kerangka dasar tersebut, terutama dalam hukum adat Bali

meliputi asas kepatutan dan keseimbangan. Dalam pembahasan mengenai

permasalahan kerja sama perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton

antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, dari

perspektif hukum adat Bali dan dilihat sesuai dengan asas kepatutan dan

keseimbangan, maka pembahasan ini mengarah pada keseimbangan.

Keseimbangan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah, mengenai

kurangnya perhatian dari PIHAK PERTAMA dalam hal ini Pemerintah

Kabupaten Tabanan dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban yang tercantum

dalam isi perjanjian.

Ketidakseimbangan ini bisa dikatakan sebagai sebuah pelanggaran atas

apa yang diyakini oleh masyarakat hukum adat yaitu masyarakat Desa Pakraman

Kukuh dalam mengelola Objek Wisata Alas Kedaton yang merupakan milik dari

Desa Adat Kukuh. Sudah sebagai suatu keharusan bahkan kewajiban PIHAK

PERTAMA, sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk dapat melakukan

Page 154: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

139

kerja sama yang di dasari atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.Mengenai

kewajiban yang disertakan dalam isi perjanjian seharusnya tidak melukai hati

masyarakat kukuh yang pada kenyataanya PIHAK PERTAMA ikut mendapatkan

hasil dari pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, namun tidak ada

tanggungjawab untuk ikut memelihara dan membantu kelangsungan

pembangunan infrastruktur dan pemeliharaan pura sebagai timbal balik dari

mendapat bagian berupa pembagian hasil pengelolaan Objek Wisata Alas

Kedaton.

Untuk memenuhi agar terciptanya suatu keseimbangan dari dibuatnya

perjanjian tersebut, maka apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing

pihak harus berada dalam posisi sejajar dan saling menguntungkan, bukan malah

sebaliknya. Jadi dapat di ambil sebuah kesimpulan secara umum bahwa perjanjian

kerja sama yang di buat antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dan Desa

Pakraman Kukuh dalam perspektif hukum adat Bali harus dilihat melalui sudut

pandang Sekala dan Niskala. Secara Sekala atau dunia nyata dapat kita lihat telah

terjadi suatu kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa

Pakraman Kukuh untuk membuat perjanjian, sedangkan pada kenyataannya secara

Niskala belum ada perhatian Pemerintah Kabupaten Tabanan untuk membantu

baik berupa dana maupun perbaikan infrastruktur terutama pada bangunan pura

yang terdapat di dalam hutan Alas Kedaton, Pura Dalem Khayangan Kedaton.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai tujuan hukum yang

dikemukakkan Gustav radbruch bahwa, keadilan harus berada dalam posisi utama

Page 155: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

140

atau pertama di dalam menentukan suatu tujuan dari hukum. Keadilan tersebut di

dalamnya juga mencakup mengenai keseimbangan, dalam hal ini terutama

mengenai pembuatan suatu perjanjian dan dikaitkan mengenai perjanjian

kerjasama pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, maka harus di dasarkan pada

keadilan dan keseimbangan untuk secara bersama-sama kedua pihak yang

membuat perjanjian tersebut mendapatkan manfaat dari apa yang telah di buat dan

yang terpenting bermanfaat bagi masyarakat secara umum.

Page 156: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

141

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian mengenai perjanjian penyelenggaraan dan pengelolaan

daya tarik wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan

Desa Pakraman Kukuh di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut

1. Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman

Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian sebagaimana di atur dalam Pasal

1320 KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2007 tentang

Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Pasal 1320 KUHPerdata

mencakup empat syarat fundamental yang harus dipenuhi agar perjanjian

dapat dinyatakan sah yaitu sepakat untuk mengikatkan diri, kecakapan

untuk membuat perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.

2. Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman

Kukuh telah memenuhi asas kepastian hukum, namun belum memenuhi

asas keadilan dan kemanfaatan. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

a. Perjanjian dikatakan sudah memberikan jaminan kepastian hukum

karena para pihak yang membuat perjanjian kerjasama telah sesuai

dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan tata cara dalam

pembuatan perjanjian kerjasama yang mengacu pada Peraturan

Page 157: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

142

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata

Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.

b. Perjanjian dikatakan belum memenuhi rasa keadilan karena dari

pembagian hasil pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton terutama

dari hasil penerimaan pendapatan karcis, pihak kedua yaitu Desa

Pakraman Kukuh selaku pemilik dari Objek Wisata Alas Kedaton

hanya mendapat pembagian hasil pengelolaan sebesar 35 %.

Sedangkan sisanya sebesar 65 % diterima Pemerintah Kabupaten

Tabanan selaku pihak pertama.

c. Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa

Pakraman Kukuh tidak memberi kemanfaatan bagi masyarakat Kukuh

secara Sekala maupun Niskala. Dikatakan tidak memberi manfaat

karena semenjak dilaksanakannya perjanjian tersebut pada Tahun 2012

sampai saat ini belum pernah sekalipun Pemerintah Kabupaten

Tabanan memberikan bantuan baik berupa dana maupun berupa

partisipasi dalam membantu perbaikan infrastruktur Objek Wisata Alas

Kedaton. Terlebih perbaikan untuk Pura Dalem Khayangan Kedaton

sebagai timbal balik atas pembagian hasil yang diterima dari

pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton.

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat direkomendasikan sehubungan dengan

pembahasan ini maka dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu kepada:

Page 158: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

143

1. Pemerintah Kabupaten Tabanan

Hendaknya perjanjian kerjasama pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton

antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh

diperlukan adanya evaluasi atau peninjauan ulang atas poin-poin perjanjian

untuk kesempurnaan isi dari perjanjian tersebut. Selanjutnya kewajiban yang

ditanggung Pemerintah Kabupaten Tabanan tidak sebatas apa yang tertuang

dalam perjanjian yang ada, tetapi lebih sebagai penguasa yang mengayomi

wilayah Tabanan dengan mengalokasikan anggaran untuk Objek Wisata Alas

Kedaton lewat APBD.

2. Desa Pakraman Kukuh

Saran kepada Desa Pakraman Kukuh, hendaknya diperlukan adanya

pembicaraan yang lebih matang atas isi perjanjian dari dua belah pihak antara

Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh agar tumbuh

rasa saling percaya, adil dan memberi manfaat atas pelaksanaan dari perjanjian

tersebut. Untuk kedepan agar pihak pengelola Objek Wisata Alas Kedaton

lebih berhati-hati dalam menyetujui sebuah perjanjian sehingga diharapkan apa

yang menjadi kesepakatan memiliki manfaat dan memberi keuntungan bagi

kedua belah pihak, Pemerintah Kabupaten Tabanan dan Desa Pakraman

Kukuh.

Page 159: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

144

DAFTAR BACAAN

1. BUKU

Muhammad, Abdulkadir, 1982, Hukum Perikatan, Alumni Bandung, Bandung.

Muhammad, Abdulkadir, 1993, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor.

-----------------, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Jurisprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kharisma Putra Utama, Jakarta.

Anonim, Bali Bangkit Kembali, 2006, Kerjasama Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia & Universitas Udayana.

Apeldorn, L.J Van, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.

Ardika, I Wayan, 2007, Pusaka Budaya Dan Pariwisata, Pustaka Larasan, Denpasar.

Artadi, I Ketut, 2003, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali Post, Denpasar.

Artadi, I Ketut, dan Nyoman Rai Asmara Putra, I Dewa, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan, 2012, Potret Tabanan Serasi Tahun 2012.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan, 2013, Profil Tabanan Serasi Tahun 2013.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabanan, 2013, Tabanan Dalam Angka 2013.

Badrulzaman, Mariam Darius, 2001, Kompolasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

---------------------------------------, 1991, Perjanjian Kredit, Citra Aditya Bakti, Bandung

-------------------------------------, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung

Budiono, Herlin, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Page 160: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

145

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia & Universitas Udayana, 2006, Bali Bangkit Kembali, Denpasar.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Ikthisar Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.

E Mauch, James & W Brich, Jack, 1983, Guide To The Successful Thesis And Desertation Conception To Publication, Marcel Dekker Inc, New York.

Elias, Stephen, 2009, Legal Research How to find & Understand the law, Free Legal Update at Nolo.com, USA

Farnsworth, E. Allan, 1999, United States Contract Law, Jurish Publishing, United States Of America.

Friedman, W, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, PT. Rajawali Press, Jakarta.

Fuady, Munir, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung.

Gede Atmadja, I Dewa, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945 Edisi Revisi, Setara Press, Malang.

Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture, Basic Books, London.

H.S, Salim, 2003,Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.

--------------, 2003, Hukum Perjanjian dan Teknik Penyusunan Perjanjian, Sinar Grafika, Jakarta.

--------------, 2010, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.

Hanitijo, Ronny, 1983, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet I, Ghalia Indonesia, Jakarta

Harahap, M. Yahya, 2006, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta

Hernoko, Agus Yudha, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta

Huijbers, Theo, 2007, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Cetakan Keempat belas, Yogyakarta.

Page 161: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

146

Isnaeni, Moch, 2007 , Kontrak sebagai Bingkai Kegiatan Bisnis, Workshop Teknik Perancangan & Review Kontrak-Kontrak Bisnis, Law Firm Prihandono &Partners, Surabaya-Bina Uf Coference, Surabaya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta.

Kamus Besar Ikthisar Indonesia Edisi Ketiga, 2005, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta.

Kan, L.J Van dan Beekhuis, J.H, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta

Kelsen, Hans, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung

Keraf, Soni, 1998, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta

Khairandy, Ridwan, 2004, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

Kusumohamidjojo, Budiono, 1998, Dasar-Dasar Merancang Kontrak, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,

M. Moelino, dkk, Anton, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta

Machmudin, Dudu Duswara, 2003, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung.

Marzuki, Peter Mahmud, 2003, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Jakarta

---------------------------------, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Mashudi & Chidir Ali, Muhammad, 1995, Bab-bab Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung.

Masriani, Yulies Tiena, 2008, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

-------------------------------, 1999, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta

Page 162: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

147

Miru,Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Niewenhius, J.H., 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Terjemahan Djasadin Saragih), Surabaya.

Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung.

Poerwadarminta, W.J.S., 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.

Prawirohamidjojo, Soetojo & Pohan, Marthalena, 1978, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya.

Rahardjo, Satjipto, 1996, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

----------, 1984, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.

---------------, 2001, Hukum Perjanjian, Cetakan 18, Intermasa, Jakarta.

Saliman, Abdul R., Hermansyah, Ahmad Jalis, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori & Contoh Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Santoso, Urip, 2010, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media Group, Jakarta.

Satrio.J, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Ynag Timbul dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta.

Simanjuntak, Ricardo, 2006, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, PT. Gramedia, Jakarta.

Soebekti, R, 1982, Law In Indonesia, Centre For Strategic And International, And Studies, third edition, Jakarta.

Soebekti, R. dan Tjitrosudibio, R. 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan Burgerlijk Wetboek, Cet.28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Soehino, 1998, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Page 163: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

148

Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta

Suasthawa Dharmayuda, I Made, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar.

Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.

Surpha, I Wayan, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Bali Post, Denpasar.

Suryodiningrat, R.M, 1985, Asas-asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung.

Sutaba, I Made, 2004, Pura Dalem Kayangan Kedaton.

Termorshuizen, Marianne, 2002, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Tim Redaksi Bali Post, 2006, Mengenal Pura Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat, Pustaka Bali Post, Denpasar.

Tutik, Titik Triwulan, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.

Ujan, Andre Ata, 2005, Keadilan dan Demokrasi, telaah Filsafat Politik John Rawls, Kanisius Cetakan Ke 5, Yogyakarta

Utrecht, E, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.

Van Dunne, J.M dan Der Burght, Van, 1988, Perbuatan Melawan Hukum,Dewan Kerja sama Ilmu hukum Belanda dengan Indonesia, Proyek hukum Perdata, Ujung Pandang

Van Kan L.J dan Beekhius J.H, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Vasu, Sucitthra, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books, SingaporeWatt, Robet, 2001, Concise Legal Research, The Pederation Press, Leichhardt, NSW.

Watt, Robert, 2001, Concise Legal Research, The Pederation Press, Leichhardt.

Windia, Wayan P, 2008, Bali Mawacara Kesatuan Awig-Awig, Hukum dan Pemerintahan di Bali, Udayana University Press, Denpasar.

Yudha Hernoko, Agus, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Predana Media Group, Jakarta.

Page 164: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

149

Zweight, A.G. Guest. Konrad &Kotz, Hein, 2003, Itikad baik kebebasan berkontrak, FH UI :Pascasarjana.

2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Peraturan Daerah Propinsi Bali (Perda) No.3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata

Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Undang-Undang RI No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.

Awig-Awig Desa Pakraman Kukuh.

3. TESIS

Kartika Jaya Seputra, I Gusti Agung Ketut, 2012,”Pemenuhan Hak-Hak Tradisional Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (Studi Kasus Pengelolaan Obyek Wisata Tanah Lot)”, Tesis Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.

Haryani, Luh Putu, 2000, ”Peningkatan Pengelolaan Obyek Wisata Alas Kedaton,

Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan”, Tesis Program Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.

4. DESERTASI Arka, I Wayan, 2014, ”Eksistensi Desa Pakraman Dalam Pengelolaan Obyek

Wisata Di Bali”, Desertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

Page 165: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

150

5. LAPORAN PENELITIAN Windia, Wayan P, A.A.Gede Oka Parwata, I Ketut Wirta Griadhi, I Ketut

Sudantra, Wayan Koti Cantika, 2011 ”Pola Hubungan Antara Pemerintah Kabupaten Gianyar Dengan Desa Pakraman Padang Tegal Dalam Mengelola Obyek Wisata Wenara Wana (Monkey Forest)”, Laporan Penelitian dar Proyek Nuffic, Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. INTERNET Omer Law, 2011, “Artikel Politik Hukum : Tujuan Hukum Menurut Gustav

Radbruch”, (Cited 2014 Nov 15), available from : https://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-tujuan-hukum-menurut-gustav-radbruch/

Sugionomuslimin, 2010, “Konsep Pengelolaan (Manajemen)”, (Cited 2014

Mei.3), available from: URL http :// sugionomuslimin.wordpress.com/2010/1/05/konsep-pengelolaan-manajemen.

Yancearizona, 2008, “Apa Itu Kepastian Hukum”, (Cited 2015 Januari 17),

available from: http//yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/.

Page 166: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

151

LAMPIRAN

Page 167: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

152

LAMPIRAN 1

DAFTAR INFORMAN

1) Nama : I Gede Subawa

Tempat/tanggal lahir : Kukuh, 1959

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : Sekolah Menengah Atas

Jabatan : Bendesa Desa Pakraman Kukuh

Agama : Hindu

Alamat/domisili : Br. Munggal, Desa Kukuh Marga Tabanan

2) Nama :Drs. I Gusti Made Purnayasa.,SH.,M.Si

Tempat/tanggal lahir : Kukuh, 30 April 1945

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : Strata 2

Jabatan : Mantan Bendesa Desa Pakraman Kukuh

Agama : Hindu

Alamat/domisili : Jero Alit Kukuh Marga Tabanan

3) Nama : I Gusti Bagus Suryawan

Tempat/tanggal lahir : Kukuh, 6 November 1964

Jenis Kelamin : Laki-laki

Page 168: perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara

153

Pendidikan : Sekolah Menengah Atas

Jabatan : Manager Objek Wisata Alas Kedaton

Agama : Hindu

Alamat/domisili : Br. Tengah Desa Kukuh Marga Tabanan

4) Nama : Drs. I Nyoman Sudarma., M.Si

Tempat/tanggal lahir : Belayu/31 Desember 1956

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : Strata 2 Ilmu Administrasi

Jabatan : Kepala Dinas Pendapatan Derah dan Pasedahan

Agung Kabupaten Tabanan

Agama : Hindu

Alamat/domisili : Br. Peken Desa Peken Belayu, Marga, Tabanan.

5) Nama : Drs. I Wayan Loter., M.Si

Tempat/tanggal lahir : Tabanan, 2 Juli 1960

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pendidikan : Strata 2 Ekonomi

Jabatan : Kepala Bidang Ekonomi BAPPEDA Tabanan

Agama : Hindu

Alamat/domisili :Desa Selanbawak, Marga, Tabanan