perjanjian pengelolaan daya tarik wisata alas kedaton antara
TRANSCRIPT
i
i
PERJANJIAN PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA ALAS KEDATON
ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN DENGAN DESA PAKRAMAN KUKUH
I GUSTI AGUNG EKA ADHIKA PRANATA
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2015
ii
ii
PERJANJIAN PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA ALAS KEDATON
ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN DENGAN DESA PAKRAMAN KUKUH
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GUSTI AGUNG EKA ADHIKA PRANATA
NIM. 1292462003
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2015
iii
iii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL : 17 JUNI 2015
KOMISI PEMBIMBING
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
Prof.Dr.I Wayan Windia, S.H.M.Si Dr. I Ketut Sudantra, S.H.,M.H NIP 19551127 198610 1 001 NIP 19601003 198503 1 003
MENGETAHUI :
Ketua Program Magister Kenotariatan Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana
Dr. Desak Putu Dewi Kasih, S.H.,M.Hum Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19640402 198911 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001
iv
iv
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 5 Juni 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor : 1703/UN14.4/HK/2015 Tanggal 4 Juni 2015
Ketua : Prof. Dr. I Wayan Windia, SH.,M.Si Anggota : 1. Dr. I Ketut Sudantra, SH.,MH 2. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum 3. Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH., M.Hum 4. Dr. Ni Nyoman Sukerti, SH., MH
v
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : I GUSTI AGUNG EKA ADHIKA PRANATA
NIM. : 1292462003
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : Perjanjian Pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton
Antara Pemerintah Kabupaten Tabanan Dengan Desa
Pakraman Kukuh
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Tabanan, 14 Juni 2015
Yang membuat pernyataan,
(I Gusti Agung Eka Adhika Pranata)
vi
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun
judul tesis ini adalah “PERJANJIAN PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA
ALAS KEDATON ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN
DENGAN DESA PAKRAMAN KUKUH ”. Dalam penulisan tesis ini, penulis
menyadari masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu besar harapan penulis
semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar
Magister Kenotariatan pada Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari
para pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini, penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pembimbing pertama
penulis, yaitu Prof. Dr. I Wayan Windia, SH.,M.Si dan pembimbing kedua Bapak
Dr. I Ketut Sudantra, SH.,MH yang telah sabar memberikan dukungan, bimbingan
dan juga saran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika,
Sp.PD., KEMD, Rektor Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan
untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Terima kasih juga kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K),
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, dan kepada Dr. Desak Putu
vii
vii
Dewi Kasih, S.H., M.Hum., Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Udayana atas kesempatan dan bimbingan yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Terima kasih juga penulis tujukan
kepada Bapak/Ibu Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Udayana yang telah memberikan tambahan ilmu kepada penulis,
kepada Bapak/Ibu staff administrasi Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Udayana yang turut membantu saya dalam proses administrasi tesis
ini.
Terima kasih dan puja puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Ida Bhatara Bhetari Leluhur ring Pemerajan
Ageng Jero Alit Kukuh, Ida Bhatara Shri Sirarya Sentong, Ida Bhatara Pura
Dalem Khayangan Kedaton, Sesuwunan Ida Bhatara sejebagan jagat Kukuh,
Sesuwunan Ratu Niang Sakti, Ratu Nyoman Pengadangan sareng rencang-
rencang Ida Bhatara, yang selalu memberikan tuntunan dan bimbingan secara
Niskala sehingga dapat terselesaikan tesis ini dengan baik. Keluarga besar Jero
Alit Kukuh tercinta, Ayah Ir I Gusti Alit Purnata, Ibu Ir Ni Made Ayu Wikarmini,
adik tersayang I Gusti Ayu Dwityani Adhi Pratiwi, S.S, kepada Paman Drs. I
Gusti Made Purnayasa, S.H.,M.Si, Dr. Drs. I Gusti Ketut Purnaya.S.H.,M.Si, Bibi
tersayang Dra Ni Made Wahyuni, I Gusti Ayu Sarini, S.H, kakak sepupu I Gusti
Ngurah Agung Kusumayasa Diputra S.H, I Gusti Bagus Dwi Putra Aryantho,
ST.ME, I Gusti Ngurah Agung Ramabayu Permana.S.E, I Gusti Ngurah Agung
Aditya Permana.S.H, I Gusti Ngurah Agung Try Parameswara Prawira.S.H, Ni
viii
viii
Wayan Legi Sugiati Saputri.S.H, Putu Bagianingsih. S.Pd, Keponakanku kembar
tiga I Gusti Ngurah Agung Aswangga Devananda Kusuma, I Gusti Agung Ayu
Devira Dwarahita Kusuma, I Gusti Agung Ayu Devina Dvarahita Kusuma, I
Gusti Ngurah Agung Satya Ananta Paramesta, dan tidak lupa yang tercinta Anak
Agung Diah Prabandari atas segala doa, ketulusan, keikhlasan dan kasih sayang
dan semangat untuk menyelesaikan kewajiban tugas akhir tesis ini dengan lancar.
Kepada seluruh keluarga besar Agung Studio terimakasih atas dukungan serta
semua nasehat yang diberikan akan selalu menjadi motivasi.
Terimakasih kepada teman-teman tercinta Agung Putra Wiryawan, Sisilia
Prabandari, Ida Ayu Widyari, Adi Sumiarta, Oka Yoga Bharata, Wahyu Resta,
Prapta Jaya, Alim Prabowo, Icha, Novita Indah Pandansari, Indah Desi Pratiwi,
Willy Pramana, Pratama Wijaya, Agung Andika Darmawan, Ayusta Indra, Vello,
Bayu Bumi, Yus Sudibya, serta teman-teman seperjuangan Angkatan V Mandiri
Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu memberikan
semangat dan dorongan dalam penulisan tesis ini. Serta semua pihak yang
namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung dalam
proses pembuatan tesis ini.
Akhirnya semoga tesis ini tidak hanya dapat memberikan sumbangan
pikiran bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada
khususnya, tetapi juga bermanfaat bagi yang membutuhkannya.
Tabanan, 14 Juni 2015
Penulis
ix
ix
ABSTRAK
PERJANJIAN PENGELOLAAN DAYA TARIK WISATA ALAS KEDATON
ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN TABANAN DENGAN DESA PAKRAMAN KUKUH
Penelitian tentang Perjanjian Pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton Antara Pemerintah Kabupaten Tabanan Dengan Desa Pakraman Kukuh, bertujuan untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang dibahas yakni apakah perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian? Apakah perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum?. Sesudah melakukan penelitian dengan fokus penelitian normatif, menjadikan bahan hukum sebagai kajian kemudian di analisis berdasarkan teori perjanian dan teori tujuan hukum, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan atas permasalahan di atas sebagai berikut. Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini merupakan penelitian normatif yang berangkat dari ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam perjanjian. Sumber bahan hukum penelitian ini diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dan ditunjang oleh data empiris yang diperoleh di lapangan. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu untuk memberikan gambaran atau memaparkan keadaan yang sebenarnya di dalam masyarakat, dalam hal ini di Desa Pakraman Kukuh Marga, Kabupaten Tabanan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakrman Kukuh telah memenuhi asas kepastian hukum, namun belum memenuhi asas keadilan dan asas manfaat demi tercapainya keseimbangan dan menguntungkan kedua belah pihak. Kata kunci : Desa Pakraman, Perjanjian, Pengelolaan, Objek Wisata.
x
x
ABSTRACT MANAGEMENT AGREEMENT
OF ALAS KEDATON TOURISM OBJECT ATTRACTION BETWEEN TABANAN REGENCY’S GOVERNMENT WITH
PAKRAMAN KUKUH VILLAGE
Research regarding Management Agreement of Alas Kedaton Tourism Object Attraction Between Tabanan Regency’s Government With Pakraman Kukuh Village has its aim to find out the answers toward problem which is being discussed whether the agreement between Government of Tabanan Regency with Pakramna Kukuh Village has fulfilled the agreement’s condition? Does the agreement between Government of Tabanan Regency with Pakraman Kukuh Village fulfill the principle of fairness, benefit, and law’s certainty? After doing the research focusing on normative research, using law’s material as the discussion, then analyzing based on theory of agreement and theory of law’s aim, there are several conclusions on the problems that can be uttered such as follows Type of research in writing this thesis is normative research that comes from imbalance between rights and obligations of each parties in agreement. Source of this research law is obtained from primary and secondary law’s material as well as supported by empirical data obtained in the field. This research’s characteristic is descriptive which means to give picture or elaborate the actual situation within the society, in this case at Desa Pakraman Kukuh, Marga, Tabanan Regency. The research’s outcome shows that the agreement between Tabanan Regency Government with Pakraman Kukuh Village have qualified the agreement’s condition which is appropriate with the provision Article 1320 of the Civil Code and the Law Number 50 of 2007 on How The Implementation of Regional Cooperation. However, that particular agreement has qualified the principle of law’s certainty, but has not fulfilled the principle of fairness and benefits in order to achieve balance and benefit both parties Keywords : Desa Pakraman, Agremeent, Management, Tourism Object
xi
xi
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis mengenai Perjanjian Penyelenggaraan Dan Pengelolaan Kepariwisataan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton Antara Pemerintah Kabupaten Tabanan Dengan Desa Pakraman Kukuh. Pada Bab I, menguraikan mengenai latar belakang masalah dilakukannya perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, dimana dijelaskan adanya “Pakrimik Krama” (perbincangan di masyarakat), bahwa terjadi ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban yang terdapat di dalam isi perjanjian yang belum memenuhi asas keadilan. Perjanjian yang di buat pada Tahun 2012 hingga saat ini belum pernah membantu bahkan ikut memelihara fasilitas Objek Wisata Alas Kedaton terlebih bagi Pura Dalem Khayangan Kedaton sebagai timbal balik atas pembagian hasil yang telah diterima Pemerintah Kabupaten Tabanan yang bersumber dari tiket masuk dan karcis parkir. Pada Bab II, membahas mengenai gambaran umum tentang Objek Wisata Alas Kedaton yaitu mengenai letak geografis, sejarah, potensi, dan pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dilihat dari management pengelolaan dan hasil pengelolaan. Pada Bab III, merupakan pembahasan permasalahan yang pertama, yaitu membahas mengenai perjanjian yang dibuat antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh dilihat dari perspektif syarat perjanjian, bentuk perjanjian, dan keabsahan perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dilihat dari aturan yang berlaku. Pada bab IV, merupakan hasil penelitian di lapangan dan pembahasan untuk permasalahan kedua. Dalam pembahasan ini menjelaskan mengenai perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dalam perspektif tujuan hukum yang terdiri dari perspektif kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan dan di tambah mengenai perspektif Hukum Adat Bali. Pada bab V, sebagai bab penutup yang menguraikan mengenai kesimpulan dan saran. Dalam kesimpulan pertama menerangkan bahwa perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian yang mengacu pada dasar hukum Pasal 1320 KUHPerdata dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Kesimpulan kedua menerangkan bahwa Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi asas kepastian hukum, namun belum memenuhi asas keadilan dan kemanfaatan. Sebagai saran dari penulis hendaknya perlu dikaji kembali mengenai poin-poin dari perjanjian agar dapat memberikan manfaat dan memberi keuntungan bagi kedua belah pihak.
xii
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM.................................................................................... i
PERSYARATAN GELAR ........................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI .......................................... iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ......................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................ ix
ABSTRACT .............................................................................................. xi
RINGKASAN ............................................................................................ xii
DAFTAR ISI ............................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 8
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 9
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................ 9
1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................ 9
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 10
1.4.1 Manfaat Teoritis ......................................................... 10
1.4.2 Manfaat Praktis........................................................... 10
1.5 Landasan Teoritis ................................................................. 10
1.5.1 Teori Perjanjian ........................................................... 11
1.5.2 Teori Tujuan Hukum ................................................... 15
1.5.3 Konsep Perjanjian ........................................................ 20
xiii
xiii
1.5.4 Konsep Pengelolaan .................................................... 21
1.5.5 Konsep Objek Wisata .................................................. 22
1.5.6 Konsep Desa Pakraman ............................................... 23
1.6 Metode Penelitian................................................................. 24
1.6.1 Jenis Penelitian ............................................................ 24
1.6.2 Jenis Pendekatan .......................................................... 25
1.6.3. Sumber Bahan Hukum ................................................ 26
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................ 27
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum .................................... 28
BAB II Gambaran Umum Tentang Objek Wisata Alas Kedaton
2.1 Tinjauan tentang Objek Wisata Alas Kedaton ........................ 30
2.1.1 Letak dan Geografis .................................................... 30
2.1.2 Sejarah ........................................................................ 33
2.1.3 Potensi......................................................................... 39
2.2 Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton ............................... 43
2.2.1 Pengelola Objek Wisata Alas Kedaton ......................... 43
2.2.2 Management Pengelolaan ............................................ 50
2.2.3 Hasil Pengelolaan ........................................................ 52
BAB III Keabsahan Perjanjian Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton
3.1 Pengertian, Syarat-syarat dan Bentuk Perjanjian ................... 56
3.2 Bentuk Perjanjian Objek Wisata Alas Kedaton ...................... 84
3.3 Keabsahan Perjanjian Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton 90
xiv
xiv
BAB IV Perjanjian Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dalam
Perspektif Tujuan Hukum
4.1 Tujuan Hukum ..................................................................... 104
4.1.1 Hukum Barat .............................................................. 104
4.1.2 Hukum Adat Bali ....................................................... 107
4.2 Tinjauan Terhadap Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton 111
4.2.1 Perspektif Kepastian Hukum ...................................... 111
4.2.2 Perspektif Kemanfaatan ............................................. 119
4.2.3Perspektif Keadilan ..................................................... 125
4.2.4 Perspektif Hukum Adat Bali ....................................... 132
BAB V Penutup
5.1 Kesimpulan ........................................................................... 141
5.2 Saran ..................................................................................... 142
DAFTAR BACAAN
xv
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Daftar Informan
Lampiran 2 : Perjanjian Kerjasama Pemerintah Kabupaten Tabanan
dengan Desa Pakrama Kukuh Kecamatan Marga
Lampiran 3 : Awig-awig Desa Pakraman Kukuh, Marga, Tabanan
Lampiran 4 : Data kunjungan dan pendapatan DTW Alas Kedaton
Lampiran 5 : Koran Bisnis Bali, Tanggal 6 Januari 2015, dengan judul
”Alas Kedaton Minim Sentuhan”
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan ketentuan Peraturan Derah Propinsi Bali (Perda) Nomor 3
Tahun 2001, Desa Pakraman memiliki pengertian kesatuan masyarakat hukum
adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup masyarakat umat Hindu, secara turun temurun dalam kaitan
khayangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Pasal 1 ayat (4)
Perda Nomor 3 Tahun 2001). Ketentuan mengenai pengertian desa pakraman
tersebut tentang wilayah dan harta kekayaan yang berhak di urus sendiri oleh desa
pakraman, maka sesungguhnya tidak ada yang dapat menginterfensi dan mengatur
apa yang menjadi hak dari desa pakraman yang bersangkutan. Dalam kaitannya
dengan tesis ini maka Desa Pakraman Kukuh menjadi tempat penelitian, terutama
Objek Wisata Alas Kedaton dimana objek wisata ini merupakan harta kekayaan
yang dimiliki oleh Desa Pakraman Kukuh, ini sesuai dengan pengertian Desa
Pakraman yang terdapat di dalam ketentuan Perda Nomor 3 Tahun 2001.
Latar belakang di lakukannya penelitian ini bermula dari dilakukannya
perjanjian berupa kerjasama Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa
Pakraman Kukuh Kecamatan Marga, Nomor 15 Tahun 2012 tentang
penyelenggaraan pengelolaan kepariwisataan daya tarik wisata alas kedaton.
Penelitian ini diambil mengingat penulis telah melakukan penelitian pendahuluan
2
di lokasi yang menemukan adanya perbincangan dari masyarakat (pakrimik
krama) mengenai manfaat dari dibuatnya perjanjian pengelolaan Objek Wisata
Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman
Kukuh. Dari isi perjanjian yang dilakukan tersebut terdapat kesenjangan antara
hak dan kewajiban terutama hak dan kewajiban Pemerintah Kabupaten Tabanan
selaku pihak pertama, yang tidak menyertakan di dalam isi perjanjian tersebut
untuk ikut berkewajiban memelihara, membangun dan menjaga Objek Wisata
Alas Kedaton, ini sebagai timbal balik hak dan kewajiban karena Pemerintah
Kabupaten Tabanan ikut mendapatkan pembagian hasil dari pengelolaan Objek
Wisata Alas Kedaton. Bila dilihat mengenai perjanjian yang dilakukan Pemda
dengan Desa Pakraman Kukuh mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas
Kedaton, belum pernah sebelumnya terjadi perjanjian kerjasama seperti ini,
kerjasama ini baru dilangsungkan pada masa pemerintahan Bupati Tabanan Eka
Wiryastuti.
Mengenai perjanjian yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten
Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh sesungguhnya kita harus mengetahui
terlebih dahulu status dari Masyarakat Hukum Adat atau Desa Pakraman apakah
termasuk subyek hukum. Masyarakat hukum adat di Propinsi Bali dikenal dengan
sebutan desa pakraman atau desa adat, Negara Kesatuan Republik Indonesia
mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adatyang terdapat di
Negara Indonesia.
3
Pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat dapat kita lihat dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya
disebut UUPA, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, dan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003. Ketentuan
Pasal 18 B angka 2 Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 menjelaskan
bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang”. Negara Republik Indonesia menghormati
kedudukan derah-daerah istimewa dan segala peraturan Negara yang mengenai
daerah itu akan mengingati hak-hak dan asal-usul daerah tersebut. Ditambahkan
kemudian dalam ketentuan Pasal 28 huruf I ayat (3) UUD 1945 yaitu : ”Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban”. Pengakuan dan penghormatan tersebut tidak hanya
terhadap identitas budaya, tetapi juga terhadap eksistensinya sebagai subyek
hukum.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia menyatakan
bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh
Negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmran rakyat”. Ketentuan
ini bersifat imperatif, yaitu mengandung perintah kepada Negara agar bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang diletakan dalam
4
penguasaan Negara itu dipergunakan untuk mewujudkan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia. Tujuan dari penguasaan oleh Negara atas bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah untuk mewujudkan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.1 Walaupun Negara mengakui keberadaan
masyarakat hukum adat tersebut namun belum ada peraturan yang menyebutkan
bahwa masyarakat hukum adat adalah subyek hukum. Belum ada undang-undang
dan aturan lainnya yang secara tegas menyebutkan masyarakat hukum adat atau
desa pakraman sebagai subyek hukum yang dapat melakukansegala perbuatan
hukum sampai saat ini, terutama dalam kaitannya dengan perjanjian yang
dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh.
Apabila dilihat dalam kaitannya dengan studi yang membahas tentang
perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten
Tabanan dan Desa Pakraman Kukuh, ada kecenderungan cara pandang penguasa
dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Tabanan sebagai aktor dominan dalam
mengatur ketentuan pengelolaan objek wisata, khususnya mengenai pembagian
hasil pengelolaan objek wisata.Dikatakan aktor dominan karena peran masyarakat
pedesaan (desa pakraman) dalam hal ini Desa Pakraman Kukuh belum terlihat
mengakomodasi pendapat masyarakat secara mendalam dalam mengambil
keputusan kerjasama tersebut. Perjanjian yang berlaku antara pemerintah
Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh selaku pemilik aset objek
wisata masih diperlukan kajian lebih mendalam guna memberi dampak positif
dalam pengelolaan objek wisata selanjutnya yang dilakukan oleh masyarakat.
1Urip Santoso, 2010, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Prenada
Media Group, Jakarta, hal.36.
5
Dilihat dari persoalan itu dan dikaitkan dengan judul penelitian yang
membahas mengenai perjanjian pengelolaan objek wisata antara desa pakraman
dengan pemerintah kabupaten, maka penelitian ini sangatlah penting dan relevan
dilakukan. Mengingat yang menjadi inti dari penelitian ini yaitu tentang seluk
beluk perjanjiannya, maka sangat diperlukan sekali mengetahui apakah perjanjian
yang dilakukan telah memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum dan manfaat,
terlebih mengenai hal pengelolaan suatu objek wisata. Perjanjian pengelolaan
yang dilakukan Desa Pakraman Kukuh dengan Pemerintah Kabupaten Tabanan di
Objek Wisata Alas Kedaton, sama sekali tidak ada terlibat peran pihak ketiga
dalam hal ini notaris selaku pejabat umum untuk mengesahkan suatu perjanjian
terutama dari segi kepastian hukum yang bersifat benar-benar mengikat para
pihak. Semestinya dengan dilakukannya suatu kerjasama berupa perjanjin, apalagi
melibatkan pemerintah daerah dengan desa pakraman yang didalamnya
melibatkan masyarakat, sudah seharusnya menggunakan jasa notaris. Langkah
melibatkan notaris dalam sebuah perjanjian, agar ada kepastian hukum yang
dipahami masyarakat dan pihak lainnya serta mengetahui antara hak dan
kewajiban yang mesti dilakukan para pihak, sehingga apa yang menjadi isi
perjanjian baik itu hak dan kewajibannya dapat dijalankan dengan baik dan
memiliki kedudukan yang sama tanpa menguntungkan satu pihak saja.
Sesuai dengan perjanjian yang dilakukan Desa Pakraman Kukuh Marga
dengan Pemerintah Kabupaten Tabanan, dilihat secara sosiologis masih
ditemukan adanya perbedaan kenyataan yang relatif masih perlu diselaraskan
menuju unsur keadilan. Operasional mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas
6
Kedaton keseluruhannya dilakukan oleh pihak desa adat, baik pembangunan
sarana dan prasarana objek maupun dalam penanganan kegiatan sehari-hari,
namun hasil dari pengelolaan objek tersebut akhirnya dibagi dengan Pemerintah
Kabupaten Tabanan sesuai dengan yang ada dalam perjanjian, ini yang
menyebabkan terjadinya rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat.
Setelah ditelusuri judul-judul tesis yang ada di Indonesia khususnya pada
lingkungan Universitas Udayana ditemukan beberapa judul tesis maupun laporan
penelitian yang menyangkut tentang pengelolaan objek wisata. Adapun judul-
judulnya adalah sebagai berikut :
a. Tesis yang berjudul “Peningkatan Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton,
Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan”, oleh Luh Putu
Haryani, Universitas Udayana, Tahun 2000. Penulisan ini dilakukan
berdasarkan jenis penulisan Empiris, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kelemahan dan kekuatan pengelolaan objek wisata Alas
Kedaton?
2. Bagaimanakah peluang dan ancaman pengelolaan objek wisata Alas
Kedaton?
b. Laporan Penelitian yang berjudul “Pola Hubungan Antara Pemerintah
Kabupaten Gianyar Dengan Desa Pakraman Padangtegal Dalam
Mengelola Objek Wisata Wenara Wana (Monkey Forest)”, oleh tim
peneliti yaitu Prof.Dr. Wayan P. Windia, SH.M.Si, A.A.Gede Oka Parwata,
SH.,M.Si, I Ketut Wirta Grihadi, SH.MH, I Ketut Sudantra, SH.,MH, dan
Wayan Koti Cantika, SH, Universitas Udayana, Tahun 2011. Penelitian ini
7
adalah proyek yang didanai oleh Nuffic IDN 223, Tahun anggaran 2011, Surat
perjanjian pelaksanaan penelitian nomor : 08/Research/NPT-Nuffic-FL-
Unud/II/2011, tanggal 4 Februari 2011. Penulisan ini dilakukan berdasarkan
jenis penulisan empiris, dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah bentuk dan sifat hubungan antara Pemerintah Kabupaten
dengan Desa Pakraman Padangtegal dalam pengelolaan objek wisata
Wanara Wana?
2. Bagaimanakah perimbangan partisipasi dan kontribusi antara Desa
Pakraman Padangtegal dengan Pemerintah Kabupaten Gianyar dalam
mengelola objek wisata Wanara Wana?
c. Tesis yang berjudul“Pemenuhan Hak-Hak Tradisional Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat (Studi Kasus Pengelolaan Objek Wisata Tanah
Lot)”, oleh I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra, Universitas Udayana,
Tahun 2012. Penulisan ini dilakukan berdasarkan jenis penulisan Empiris,
dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah Desa Pakraman Beraban mempunyai wewenang dalam mengelola
objek wisata Tanah Lot?
2. Apakah perjanjian kerjasama pengelolaan objek wisata Tanah Lot
mencerminkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945?
3. Bagaimanakah implementasi pemenuhan dan penghormatan hak-hak
tradisional Desa Pakraman Beraban dalam pengelolaan objek wisata
Tanah Lot?
8
d. Desertasi yang berjudul “Eksistensi Desa Pakraman Dalam Pengelolaan
Obyek Wisata Di Bali”, oleh I Wayan Arka, Universitas Brawijaya Malang,
Tahun 2014. Penulisan ini dilakukan berdasarkan jenis penulisan Normatif,
dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Mengapa Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (KMHA) di Bali diterima
sebagai subyek hukum perjanjian oleh Pemerintah Daerah?
2. Apakah perjanjian dan izin yang digunakan sebagai dasar mengatur
pengelolaan obyek wisata sudah sesuai dengan norma pengaturan
pengelolaan obyek wisata?
Tesis, Desertasi dan laporan penelitian yang diuraikan di atas berbeda
dengan penulisan tesis ini, khusus yang menyangkut mengenai pengelolaan objek
wisata yang telahdilakukan oleh penulis-penulis sebelumnya, cakupan dan
pembahasannya berbeda sehingga karya ilmiah ini adalah asli dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan masih sangat relevan untuk penelitian
lebih lanjut. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti,
membahas serta mengangkatnya menjadi sebuah karya tulis/tesis yang berjudul
“Perjanjian Pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton Antara
Pemerintah Kabupaten Tabanan Dengan Desa Pakraman Kukuh”
1.2.Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini dirumuskan
sebagai berikut :
9
1. Apakah perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa
Pakraman Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian?
2. Apakah perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa
Pakraman Kukuh telah memenuhi asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum?
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat
umum dan tujuan yang bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis mengenai perjanjian penyelenggaraan pengelolaan daya tarik wisata
Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman
Kukuh.
1.3.2Tujuan Khusus
Disamping tujuan umum tersebut diatas, penelitian ini secara khusus
diharapkan mampu :
1. Untuk mempelajari, memahami dan menganalisis apakah perjanjian antara
Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah
memenuhi syarat perjanjian.
10
2. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis apakah perjanjian antara
Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah
memenuhi asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1Manfaat Teoritis
Hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran
untuk menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip dan asas-asas yang berkaitan
dengan hubungan hukum terhadap tata cara perjanjian atau kontrak yang
dilakukan desa adat dengan pemerintah. Dengan demikian pembahasan ini akan
sangat bermanfaat dalam pengembangan hukum kepariwisataan.
1.4.2Manfaat Praktis
Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi atau sumbangan
pemikiran untuk membantu dan memberi masukan sertatambahan pengetahuan
dalam hal perjanjian atau kontrak bagi penulis, notaris dan masyarakatkhususnya.
Penelitian ini juga diharapkan menjadi acuan bagi desa Pakraman untuk
mengetahui bentuk perjanjian dalam mengelola objek wisata.
1.5. Landasan Teoritis
Guna memperjelas di dalam memberikan suatu gambaran mengenai
pembahasan tesis ini, maka dalam penulisan akan menggunakan teori dan konsep
hukum sebagai berikut :
11
1.5.1 Teori Perjanjian
Teori yang dikemukakan oleh Van Dunne mendefinisikan bahwa
perjanjian adalah “Suatu hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.2Burgerlijk Wetboek (BW) yang
kemudian diterjemahkan oleh R. Subekti, dan R. Tjitrosudibio menjadi
KUHPerdata bahwa mengenai hukum perjanjian di Indonesia diatur dalam Buku
III tentang perikatan, dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum
kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-
orang atau pihak tertentu.3Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan pengertian
perjanjian sebagai berikut, “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Abdulkadir Muhammad mendifinisikan bahwa Perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan dua orang, atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.4 Sebelum para pihak
mengikatkan diri untuk membuat suatu perjanjian, maka terlebih dahulu para
pihak menyetujui syarat-syarat yang akan dituangkan di dalam suatu perjanjian.
Sucitthra Vasu, mengemukakan “The purpose of detting down the terms of
contract are; firstly, it stipulates the rights and obligations of the parties.
2 Salim HS, 2010, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,
Sinar Grafika, Jakrata, hal.25. 3R. Subekti dan R Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata terjemahan Burgerlijk Wetboek, Cet.28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 323.
4Abdulkadir Muhamad, 1982, Hukum Perikatan, Alumni Bandung, Bandung, hal.6.
12
Secondly,in the event of a dispute between parties, it enables the court to decide
which is the defaulting party so that dispute can be resolved”.5
Para pihak dalam membuat suatu kontrak atau perjanjian juga harus
mentaati isi kontrak atau perjanjian yang telah disepakatinya, terutama bagi
debitur sebagai pihak yang berutang ke pihak lain, selain itu batas waktu
pemenuhan kewajiban juga harus diperhatikan sebagaimana pendapat R.Subekti
menyatakan bahwa :“The debtor has done something what is in contravention of
the contract, it is obvious that he is in default. Also when in the contract is fixed a
time limit for carrying out the duty and the debtor has elapsed this time limit, it is
clear that the debtor is in default.”6(Debitur yang telah melakukan tindakan yang
berlawanan dengan kontrak itu dinyatakan menyalahi kontrak. Begitu pula apabila
dalam konrak ditentukan batas waktu pemenuhan kewajiban, akan tetapi debitur
tidak mengindahkan limit waktu itu, itu jelas debitur dinyatakan bersalah).
Keberadaan suatu perjanjian tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat
mengenai sahnya suatu perjanjian. perjanjian seperti yang tercantum dalam Pasal
1320 KUH Perdata, antara lain sebagai berikut :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Mengenai syarat pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan
yang diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Kesepakatan tersebut
meliputi kedua belah pihak yang membuat perjanjian dan setuju mengenai hal-
5Sucitthra Vasu, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books,
Singapore, hal.1. 6R. Soebekti, 1982, Law In Indonesia, Centre For Strategic And
International, And Studies, Third edition, Jakarta, hal.55. (Selanjutnya disebut R.Soebekti I).
13
hal pokok dalam kontrak. Kesepakatan tersebut dapat berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Mengenai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum adalah setiap
orang yang sudah dewasa dan tidak mengalami gangguan fikiran. Menurut
KUHPerdata yang dimaksud dengan dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,
dan 19 tahun bagi wanita.
3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu merupakan objek perjanjan tersebut. Objek
perjanjian ini diatur dalam Pasal 1332 dan 1333 KUHPerdata, Pasal 1332
KUH Perdata merumuskan : hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan
saja dapat menjadi pokok suatu perjanian. Pasal 1333 KUHPerdata
merumuskan : “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu
barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan
bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian hari dapat
ditentukan atau dihitung”.Substansi pasal tersebut di atas memberikan
pedoman bahwa dalam membuat perjanjian harus dipenuhi hal atau objek
tertentu.Hal ini dimaksudkan agar sifat dan luasnya kewajiban para pihak
(prestasi) dapat dilaksanakan oleh para pihak.Pada hal-hal tertentu tidak harus
dalam arti gramatikal dan sempit untuk hal dan objek tertentu tersebut sekadar
ditentukan jenis, sedangkan mengenai jumlah dapat ditentukan kemudian
14
hari.7Dalam suatu perjanjian harus ada obyek yang jelas yang
diperjanjikan.Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif.
Prestasi terdiri atas :
1) Memberikan sesuatu,
2) Berbuat sesuatu,dan
3) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata)
4. Suatu sebab yang halal
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak
(causa yang halal).Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan clausa
yang terlarang.Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka
suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang
membuatnya. Suatu Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepadaorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.8
7Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas
dalam Kontrak Komersial, Kencana Predana Media Group, Jakarta, hal.192. 8R. Soebekti, 2001, Hukum Perjanjian, cetakan 18, Intermasa, Jakarta,
hal.1. (Selanjutnya disebut R. Soebekti II).
15
1.5.2 Teori Tujuan Hukum
Teori Tujuan Hukum yang digunakan oleh penulis adalah teori tujuan
hukum yang merupakan ajaran Gustav Radbruch9. Dimana teori tujuan hukum
mempunyai 3 hal yang ingin dicapai :
1. Kepastian Hukum
Kepastian berasal dari kata pasti, yang artinya tentu; sudah tetap; tidak
boleh tidak; suatu hal yang sudah tentu.10 Kepastian hukum memiliki arti
”perangkat hukum suatu Negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap
warga Negara”.11
Kepastian Hukum adalah dasar dalam Negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggaraan Negara. Menururt pendapat Soehino dalam bukunya
yang berjudul Ilmu Negara. Kepastian hukum berkaitan dengan supremasi hukum,
karena hukumlah yang berdaulat. Dalam bukunya tersebut Soehino juga mengutip
pendapat Krabe yang mengatakan, ”bahwa hukumlah memiliki kedaulatan
tertinggi. Kekuasaan bukan kedudukan atau pangkat dan jabatan seorang
pemimpin melainkan kekuasaan itu dari hukum, karena hukumlah yang
memberikan pengakuan hak maupun wewenang.”12
9https://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-
tujuan-hukum-menurut-gustav-radburch/,diakses pada tanggal 15 November 2014.
10W.J.S Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, hal.847.
11Anton M. Moelino, dkk., 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1028.
12Soehino, 1998, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, hal.156.
16
Pendapat lainnya mengenai kepastian hukum dapat ditemukan dalam buku
M.Yahya Harahap yng berjudul Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan
KUHP, yang menyatakan bahwa kepastian hukum dibutuhkan didalam
masyarakat demi tercapainya ketertiban dan keadilan. ”Ketidakpastian hukum
akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat dan setiap anggota
masyarakat akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri.”13
sudikno Mertokusumo mengartikan ”kepastian hukum merupakan perlindungan
yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa sesorang
akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.”14
Menurut Peter Mahmud Marzuki berkaitan dengan pengertian kepastian
hukum dikemukakaan sebagai berikut:
Pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lain untuk kasus serupa yang telah diputus.15
Menurut Gustav Radbruch seperti yang dikutip Theo Huijbers, yang
menyatakan bahwa pengertian hukum dibedakan menjadi tiga aspek yang
13M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan
KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, hal.76. 14Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, hal.145. 15Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, hal.158.
17
diperlukan untuk mendapatkan pengertian hukum yang memadai. Aspek-aspek
tersebut antara lain:
Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.16
Jika mengkaitkan teori ini dengan apa yang dikaji oleh penulis maka
penulis berpendapat, bahwa teori kepastian hukum membantu penulis untuk lebih
menekankan akan kepastian hukum. Kepastian hukum ini berguna untuk melihat
apakah dari dibuatnya perjanjian yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Tabanan
dengan Desa Pakraman Kukuh mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton
sudah memenuhi syarat untuk dibuatnya suatu perjanjian.
2. Kemanfaatan Hukum
Kemanfaatan hukum juga merupakan salah satu dari tujuan hukum yang
dikatakan oleh Gustav Radburch. Teori kemanfaatan hukum sendiri, memiliki
beberapa pendapat dari para ahli yang menguatkan pendapat Gustav Radbruch
tersebut. Salah satu pakar yang mengutarakan mengenai teori kemanfaatan hukum
adalah Jeremi Bentham, dalam buku Soni Keraf dijelaskan bahwa ”dasar yang
paling objektif dalam menilai baik buruknya kebijakan itu berlaku adalah dengan
16Theo Hujibers, 2007, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah , Kanisus,
Cetakan Keempat belas, Yogyakarta, hal. 163.
18
melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau
hasil yang berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait”.17
Kemanfaatan hukum dirasakan perlu dalam kehidupan bermasyarakat, hal
itu disebabkan dalam berlakunya hukum yang mengatur suatu masyarakat harus
memberikan manfaat kepada masyarakat itu sendiri. Kemanfaatan hukum dalam
hal ini dikaitkan dengan apakah manfaat yang dapat dirasakan masyarakat Desa
Pakraman Kukuh dalam hal dilakukannya perjanjian pengelolaan Objek Wisata
Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman
Kukuh.
3. Keadilan Hukum
Berbicara mengenai teori keadilan maka tidak akan pernah bisa dilepaskan
dengan apa yang telah di kemukakan oleh John Rawls. Rawls mengemukakan
teori keadilan dalam bukunya yang berjudul ”A Theory of Justice”. Teori Rawls
itu sendiri mempunyai dasar atas dua prinsip yaitu Equal Right dan juga
Economic Equality.
Equal Right dikatakan harus diatur dalam tataran leksikal, yaitu different principles bekerja jika prinsip pertama bekerja atau dengan kata lain prinsip perbedaan akan bekerja jika basic right tidak ada yang dicabut (tidak ada pelanggaran HAM) dan meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Dalam prinsip Rawls ini ditekankan harus ada pemenuhan hak dasar sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat dijalankan dengan kata lain ketidaksetaraan secara ekonomi akan valid jika tidak merampas hak dasar manusia.
17Soni Keraf, 1998, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Kanisius,
Yogyakarta, hal.93-94.
19
Hans Kelsen juga mengemukakan pendapatnya dalam Buku Teori Umum tentang
Hukum dan Negara, pendapat tersebut menjelaskan bahwa keadilan, ”dalam arti
legalitas, adalah suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari suatu
tatanan hukum positif, melainkan dengan penerapannya.”18
Menurut Andre Ata Ujan, dalam membangun teori keadilan ini diharapkan
mampu menjamin distribusi yang adil antara hak dan kewajiban dalam suatu
masyarakat yang teratur. ”Kondisi ini dapat dicapai atau dirumuskan apabila ada
kondisi awal yang menjamin berlangsungnya suatu proses yang fair yang disebut
”posisi asli”, yaitu yang ditandai oleh prinsip kebebasan, rasionalitas dan
kesamaan.19
Keadilan dapat terwujud apabila menegakkan enam prinsip menurut
Beauchamp dan Bowie, yaitu diberikan :
a) Kepada setiap orang bagian yang sama; b) Kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan individualnya; c) Kepada setiap orang sesuai dengan haknya; d) Kepada setiap orang sesuai dengan usaha individualnya; e) Kepada setiap orang sesuai dengan kontribusinya; dan f) Kepada setiap orang sesuai dengan jasanya (merit)20
Aristoteles juga berpendapat mengenai keadilan. Bagi Aristoteles sendiri,
keadilan adalah kebijakan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia.
Aristoteles menyatakan : ”Justice consists in treating equals equally dan unequals
18Hans Kelsen, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara,
terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung, hal.17. 19Andre Ata Ujan, 2005, Keadilan dan Demokrasi, telaah Filsafat Politik
John Rawls, Kanisius Cetakan Ke 5, Yogyakarta, hal.25-26. 20L.J Van Kan dan J.H Beekhuis, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal.95.
20
unequally, in proporation to their inequality”.21 Ketiga tujuan hukum yang telah
dijelaskan tersebut di atas tidaklah dapat dilaksanakan secara bersamaan, hal itu
karena seringnya terjadi benturan antara satu dengan yang lainnya. Ketiga tujuan
hukum dilaksanakan dengan menggunakan ”asas prioritas”, mana yang dianggap
dan dirasakan lebih dominan untuk dilakukan maka itulah yang diprioritaskan,
karena ”dalam kenyataannya sering sekali antara kepastian hukum terjadi
benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum,
antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan”.Namun dari ketiga tujuan
hukum tersebut di atas, keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama
dari pada kepastian dan kemanfaatan.
1.5.3Konsep Perjanjian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah persetujuan
tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing
bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujian itu.22Perjanjian
sebagaimana didefinisikan oleh ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi
”Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Perjanjian dengan demikian
mengikat para pihak secara hukum, untuk mendapatkan hak atau melaksanakan
kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian itu. Perjanjian memberikan kepastian
21Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas
Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal.36. 22Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Ikthasar Indonesia
Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hal.458.
21
bagi penyelesaian sengketa, dan perjanjian ditujukan untuk memperjelas
hubungan hukum.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, perjanjian akan dapat dilaksanakan apabila
ada dua pihak atau lebih saling sepakat untuk mengikatkan dirinya. Perjanjian
dapat dibagi menjadi dua, baik itu dalam bentuk lisan maupun tulisan yang isi dari
perjanjian tersebut masing-masing diatur berdasarkan kesepakatan dari para pihak
yang membuat perjanjian.
1.5.4 Konsep Pengelolaan
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa pengelolaan berarti
penyelenggaraan. Pengelolaan merupakan terjemahan dari kata ”management”,
terbawa oleh derasnya arus penambahan kata pungut kedalam Bahasa Indonesia,
istilah Inggris tersebut lalu di Indonesiakan menjadi ”manajemen” atau
”menejemen”.
Selanjutnya ada beberapa pengertian manajemen (pengelolaan) sebagai
berikut :
1. Manajemen adalah unsur yang bertugas mengadakan pengendalian
agar semua sumber dana dan daya yang dimiliki organisasi dapat
dimanfaatkan sebagai daya guna dan berhasil guna diarahkan untuk
mencapai tujuan.
2. Manajemen adalah seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengkoordinasian dan mengkontrol manusia dan sumber
daya alam untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
22
3. Manajemen dapat dirumuskan sebagai penyelesaian suatu pekerjaan
dengan usaha orang lain.
4. Manajemen adalah suatu proses yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan yang setiap bidang
mempergunakan ilmu pengetahuan dan seni secara teratur untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.23Jadipengelolaan pada
dasarnya adalah pengendalian dan pemanfaatan semua sumber daya
yang menurut suatu perencanaan diperlukan untuk atau penyelesaian
suatu tujuan kerja tertentu. Pengelolaan sama dengan manajemen yaitu
penggerakan, pengorganisasian dan pengarahan usaha manusia untuk
memanfaatkan secara efektif material dan fasilitas untuk mencapai
suatu tujuan.
1.5.5 Konsep Objek Wisata
Berbeda dengan objek wisata pada umumnya khusus untuk objek wisata
yang berada di Bali, sangat berbeda dengan objek wisata lainnya di Indonesia,
karena objek wisata di Bali lebih menekankan pada pariwisata budaya. Pariwisata
budaya yang dimaksud merupakan peninggalan yang bersifat arkeologis atau
pusaka budaya, dikatakan demkian karena pusaka budaya tersebut masih
difungsikan sampai saat ini di Bali terutama sebagai media pemujaan atau benda
23Sugionomuslimin, 2010 “Konsep Pengelolaan (Manajemen)”, (Cited
2014 mei. 3), available from : URL http :// sugionomuslimin.wordpress.com/2010/1/05/konsep-pengelolaan-manajemen.
23
yang dianggap keramat, sehingga sering ditempatkan dalam area bangunan suci
(Pura).24
Berdasarkan SK.MENPARPOSTEL N0: KM.98/PW.102/MPPT-87, objek
wisata adalah semua tempat atau keadaan alam yang memiliki sumber daya wisata
yang dibangun dan dikembangkan sehingga mempunyai daya tarik dan
diusahakan sebagai tempat yang dikunjungi wisatawan. Umumnya di beberapa
daerah atau negara, untuk memasuki suatu objek wisata para wisatawan
diwajibkan untuk membayar biaya masuk atau karcis masuk yang merupakan
biaya retribusi untuk pengembangan dan peningkatan kualitas objek wisata
tersebut. Beberapa objek wisata ada yang dikelola oleh pemerintah dan adapula
yang dikelola oleh pihak swasta. objek wisata yang dikelola oleh pihak swasta
dapat berupa objek wisata alami maupun buatan.Jadi objek wisata adalah segala
sesuatu yang ada di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang-
orang mau datang berkunjung ke tempat tersebut.
1.5.6 Konsep Desa Pakraman
Istilah pakraman berasal dari kata karaman di masa Bali kuno, pengertian
daripada desa pakraman dapat dilihat pada Peraturan Daerah Propinsi Bali (Perda)
No.3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman. Desa pakraman adalah kesatuan
masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi
dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun
dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah
24I Wayan Ardika, 2007, Pusaka Budaya dan Pariwisata, Pustaka Larasan,
Denpasar, hal.51.
24
tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya
sendiri, (Pasal 1 ayat (4) Perda No.3 Tahun 2001)25.
Syarat-syarat adanya desa pakraman adalah yang pertama memiliki Tiga
Parahyangan (Pura) yaitu: Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Bale Agung. Syarat
kedua adalah memiliki setra (kuburan yang dilengkapi dengan Pura Prajapati).
Syarat yang ketiga adalah beranggotakan lebih dari tiga banjar, jadi Desa
Pakraman dapat disimpulkan adalah suatu wilayah yang dihuni sejumlah
penduduk yang sudah diikat atau disatukan jiwa dan raga dalam suatu tradisi,
tingkah laku yang diyakini bersama di Pulau Bali.
1.6. Metode Penelitian
Dalam penulisan tesis ini penulis mempergunakan cara atau metode
sebagai berikut :
1.6.1Jenis penelitian
Penelitian hukum dapat dibedakan antara penelitian hukum normatif
dengan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Pada penelitian hukum normatif
yang dieteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup
bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Pada penelitian hukum sosioligis atau
empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian
dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan, atau terhadap
masyarakat.26
25Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia &
Universitas Udayana, 2006, Bali Bangkit Kembali, hal.41.
25
Penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencakup penelitian terhadap
asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf
sinkronisasi vertikal and horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah
hukum.27Penelitian di dalam penyusunan tesis ini menggunakan jenis penelitian
normatif, yaitu menggunakan teknik interpretasi, yang artinya menganalisis
bahan-bahan hukum yang telah terkumpul berupa penggunaan jenis-jenis
penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis,
teleologis, kontektual, dan lain-lain.Sesuai dengan penelitian normatif di atas yang
menjadi permasalahan sesungguhnya adalah terjadi kesenjangan dan tidak
sejajarnya posisi para pihak dalam hal ini perjanjian penyelenggaraan dan
pengelolaan kepariwisatan daya tarik wisata Alas Kedaton, antara Pemerintah
Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh terutama mengenai isi dari
perjanjian tersebut yang didalamnya terdapat klausul eksonerasi, yaitu klausul-
klausul yang menguntungkan salah satu pihak saja.
1.6.2Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis
pendekatan yakni:
a) Pendekatan kasus (the case approach) b) Pendekatan perundang-undangan (the statue approach) c)Pendekatan fakta (the fact approach) d) Pendekatan analisis konsep hukum (analytical &conceptual approach)
26Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta, hal.52. 27Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.14.
26
e) Pendekata frasa (words & phrase approach) f) Pendekatan sejarah (historical approach) g) Pendekatan perbandingan (comparative approach)28
Dalam penelitian ini digunakan jenis pendekatan fakta (the fact approach)
dan pendekatan perundang-undangan (the statue approach).
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Bahan Hukum Primer, dapat berupa kaedah dasar (Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Peraturan Perundang-undangan, hukum
yang tidak tertulis seperti hukum adat. 29
Dalam penelitian ini mengguanakan bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder.
a) Bahan hukum primer terdiri dari atas asas dan kaidah hukum, yang terdiri dari :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
3. Undang-Undang RI No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah
6. Peraturan Daerah Propinsi Bali (Perda) No.3 Tahun 2001 Tentang
Desa Pakraman
7. Awig-Awig Desa Pakraman Kukuh
28 Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas
Udayana, 2013, Denpasar, hal.54. 29Ronny Hanitijo, 1983, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet I, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal.24.
27
Menurut Stephen Elias, Primary Sources adalah:
”The law found in primary sources can take many different forms.
They includes cases, statutes, administrative regulation, local ordinances,
state and federal constitutions, and more”.30
b) Bahan Hukum Sekunder, bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari literatur-literatur, buku-buku, makalah, dan jurnal
yang ditulis para ahli dan dokumen, (seperti tercantum dalam daftar pustaka).
Menurut Robert Watt : ”All of the other materials in the library are use
basically to assist the researcher in understanding the law, and this group we
call secondary materials”. 31 Artinya kurang lebih, semua bahan dalam
perpustakaan yang digunakan pada dasarnya untuk membantu peneliti
memahami hukum dan kelompok, bahan ini disebut bahan sekunder.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik untuk mengumpulkan data,
yaitu :
1. Teknik Studi Dokumen atau bahan pustaka
Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap
penelitian hukum, dalam studi bahan pustaka ini terlebih dahulu ditentukan
30Stephen Elias, 2009, Legal Research How to find & Understand the law,
Free Legal Update at Nolo.com, USA, hal.23. 31Robet Watt, 2001, Concise Legal Research, The Pederation Press,
Leichhardt, NSW, hal.1.
28
jenis penelitian apakah normatif atau empiris kemudian ditentukan data-data
hukum yang akan digunakan apakah data primer, sekunder atau tersier ataukah
semuanya.
2. Teknik Wawancara (interview)
Wawancara adalah proses tanya-jawab dalam penelitian yang berlangsung
secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan
secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Menurut
James E Mauch dan Jack W Brich mengatakan “interview are inefficient way
to collect large scale suvey information although they may be used to
supplement or to ascertain validity and reliability of such
data”32.Diterjemahkan kurang lebih, wawancara adalah cara yang tidak
efisien untuk mengumpulkan data dalam sekala besar walaupun mungkin
berguna untuk melengkapi atau memastikan validitas dan reliabilitas data
tersebut.Adapun pihak-pihak yang akan diwawancarai dalam penelitian ini
adalah pengelola dari Objek Wisata Alas Kedaton yaitu Bendesa Adat Kukuh
Marga, dan Manager dari Objek Wisata Alas Kedaton.
1.6.5Teknik Analisis Bahan Hukum
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat
digunakan berbagai teknik analsisis seperti deskripsi, interpretasi, konstruksi,
evaluasi, argumentasi, atau sistematisasi. Untuk menganalisis bahan hukum
32James E. Mauch dan Jack W.Brich, 1983, Guide To The Successful
Thesis And Dessertation Conception To Publication : A Hand Book For Student And Faculty, Marcel Dekker Inc, New York, hal 76.
29
tersebut digunakan teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran
dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis,
kontektual, dan lain-lain.
30
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG OBJEK WISATA ALAS KEDATON
2.1 Tinjauan tentang Objek Wisata Alas Kedaton
2.1.1 Letak dan Geografis
Melihat gambaran secara umum, maka Propinsi Bali merupakan propinsi
yang sangat kuat unsur agama dan budayanya, ini terbukti dari tingginya
kunjungan wisatawan ke Bali, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan
domestik yang ingin melihat lebih dekat budaya Bali dan kearifan lokalnya.
Devisa yang merupakan sumbangan Bali yang masuk ke kas negara, menjadikan
Bali tetap berada pada posisi teratas sebagai sumber pendapatan dibandingkan
daerah-daerah lainnya di Indonesia. Beberapa laporan mengemukakan, hingga
pada semester pertama tahun 2012 lalu, tercatat jumlah kunjungan wisatawan
mancanegara (wisman) ke Bali mencapai 1,42 juta orang lebih. Australia masih
merupakan kontributor utama kunjungan wisman ke Bali atau 34,33 persen,
disusul wisatawan Cina di tempat kedua (11,44 %), kemudian Malaysia dan
Jepang ditempat ketiga dan empat dengan sumbangan masing-masing 7,55 persen
dan 6,78 persen.33
Membahas mengenai objek pariwisata yang ada di Kabupaten Tabanan,
maka kita harus mengetahui secara umum tentang letak secara geografis dari
Kabupaten ini. Tabanan merupakan salah satu dari sembilan kabupaten/kota di
wilayah Provinsi Bali yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor. 69
Tahun 1958 tentang Pembentukan Derah-derah Tingkat I Bali, NTB dan NTT.
33 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan, 2012,
Potret Tabanan Serasi Tahun 2012, hal.67.
31
Secara geografis posisi Kabupaten Tabanan berada di tengah Pulau Bali terletak
diantara 080-14’30”- 080 30’07” LS dan 1140 54’52”- 1150 12’57”BT. Luas
wilayah Kabupaten Tabanan adalah 839,33 km2 atau 83.933 hektar atau sekitar
14,89% dari luas daratan Provinsi Bali atau merupakan kabupaten terluas ke-4
setelah Kabupaten Buleleng, Jembrana dan Karangasem.34 Topografi Kabupaten
Tabanan dapat digambarkan dengan adanya dataran tinggi di bagian utara dan
dataran rendah di bagian selatannya. Kabupaten Tabanan bagian utara merupakan
daerah pegunungan dengan ketinggian tertinggi berada pada puncak Gunung
Batukaru yaitu setinggi 2.276 meter dari permukaan laut.35
Pada bagian selatan Kabupaten Tabanan merupakan daerah pantai yang
berupa dataran rendah. Diantara objek wisata di Bali, 12 objek berada di
Kabupaten Tabanan yaitu : objek wisata Ulun Danu Beratan, Bedugul, Kebun
Raya Eka Karya Bedugul, Taman Pujaan Bangsa (TPB) Margarana, Alas
Kedaton, Tanah Lot, Museum Subak, Yeh Panes Penatahan, Puri Anyar
Kerambitan, Puri Agung Kerambitan, Objek Wisata Jatiluwih dan PT Taman
Kupu-Kupu Lestari. Salah satu objek wisata yang ada di Kabupaten Tabanan yang
merupakan objek wisata alam dan budaya yang cukup unik adalah Objek Wisata
Alas Kedaton.
Gambaran umum mengenai Objek Wisata Alas Kedaton bila dilihat
mengenai letaknya terdapat di Kabupaten Tabanan, tepatnya di Desa Kukuh
Kecamatan Marga. Objek Wisata Alas Kedaton memiliki pura yang disebut
34 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan, 2013,
Profil Tabanan Serasi Tahun 2013, hal. 1. 35 Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabanan, 2013, Tabanan Dalam Angka
2013, hal. 4.
32
dengan Pura Dalem Khayangan Kedaton, dimana lokasi pura menjadi satu dengan
kawasan objek wisata. Pura Dalem Khayangan Kedaton adalah salah satu pura
penting dan menarik perhatian di antara ribuan pura yang tersebar di seluruh Bali.
Pura ini terletak di sebelah selatan Banjar Menalun Desa Kukuh, pada posisi
astonomis 80 20’ 49” Bujur Timur dan 80 31’ 73” Lintang Selatan dan pada
ketinggian sekitar 170 m diatas permukaan air laut.36
Lokasi Objek Wisata Alas Kedaton termasuk wilayah Banjar Dinas
Lodalang Desa Kukuh dan berada tepat diperbatasan dengan wilayah kelurahan
Banjar Anyar Kecamatan Kediri. Jarak Objek Wisata Alas Kedaton dari ibukota
Provinsi Bali adalah 20 Km, sedangkan bila ditempuh dari kota Tabanan hanya
berjarak 5 Km. Luas Objek Wisata Alas Kedaton kurang lebih 12 Ha dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Persawahan termasuk Banjar Menalun Desa Kukuh
Sebelah Timur : Tukad Yeh Sungi
Sebelah Selatan : Lingkungan Pemenang, Kelurahan Banjar Anyar
Sebelah Barat : Jalan raya menghubungkan Kecamatan Kediri dan Marga
Disamping itu letak Objek Wisata Alas Kedaton berdekatan dengan Objek
Wisata Tanah Lot yang sudah terkenal ke mancanegara terutama dengan adanya
keunikan berupa pura di tengah laut. Letak yang berdekatan ini memberikan
keuntungan bagi travel biro untuk menjadikan paket wisata yang dapat dijual
kepada wisatawan, hal tersebut memeberikan keuntungan tersendiri bagi
36I Made Sutaba, 2004, Pura Dalem Kayangan Kedaton, Denpasar, Hal.11.
33
penduduk setempat akibat dari kedatangan wisatawan ke Objek Wisata Alas
Kedaton.
2.1.2 Sejarah
Pembahasan mengenai sejarah, penulis dalam hal ini akan menguraikan
mengenai jejak dan bukti-bukti mengenai kapan Pura Dalem Khayangan Kedaton
mulai ada. Berdasarkan buku yang berjudul Pura Dalem Khayangan Kedaton,
yang tulis oleh I Made Sutaba, ternyata Pura Dalem Khayangan Kedaton adalah
sebuah pura kuno, terbukti dari sejumlah peninggalan arkeologis yang terdapat di
dalamnya, yang sampai sekarang masih berfungsi sakral bagi masyarakat
setempat. Antara peninggalan arkeologi itu, ada yang berasal dari jaman pra
Hindu atau jaman prasejarah, yaitu dari masa berkembangnya tradisi megalitik di
Indonesia termasuk di Bali pada masa perundagian, atau pada akhir jaman pra
Hindu, kira-kira pada permulaan atau setelah tarih Masehi, sekitar 2000 tahun
yang silam.37 Pada saat itu masyarakat megalitik di Indonesia telah mendirikan
bangunan-bangunan megalitik yang dibuat dari batu-batu besar dan kecil yang
berfungsi sebagai media pemujaan, terutama pemujaan kepada arwah nenek
moyang yang dianggap mempunyai kekuatan magis, pemujaan pada kekuatan
alam adikodrati dan kepada kekuatan pemberi kesuburan agar masyarakat selalu
diberi keselamatan dan kesejahteraan.
Adapun bentuk-bentuk megalitik yang terdapat di Pura Dalem Khayangan
Kedaton, adalah beberapa buah menhir berukuran kecil, dibuat dari batu andesit
37 Ibid, hal 19
34
yang tidak diubah bentuknya atau yang tidak dikerjakan sama sekali. Menhir itu
didirikan diatas bangunan-bangunan terbuka, baik yang terdapat dijeroan maupun
di jaba tengah, berdasarkan nama-nama bangunan tempat menhir itu, ternyata ada
yang berciri khas Bali, seperti Pelinggih Ancangan, Pelinggih Pengawal dan lain-
lainnya yang sekaligus menyatakan fungsinya sebagai penjaga yang mempunyai
kekuatan magis yang dapat menolak segala kekuatan jahat yang mungkin dapat
menggangu kesucian pura dan sekaligus memberikan perlindungan dan
kesejahteraan kepada masyarakat setempat. Selain menhir yang disebutkan tadi,
ada juga menhir yang didirikan di atas bangunan-bangunan terbuka, seperti
menhir yang diletakan di lantai meru bertumpang tiga yang memiliki fungsi yang
sama dengan menhir lainnya seperti yang telah disebutkan diatas. Bentuk
megalitik lainnya adalah, susunan batu andesit yang di tata dengan baik di atas
bangunan yang disebut dengan Pelinggih Pemuput.
Selain menhir dan susunan batu andesit, di Pura Dalem Khayangan
Kedaton ditemukan juga tiga buah arca megalitik atau arca nenek moyang yang
sangat penting. Dari ketiga buah arca tersebut yang sangat menarik perhatian
adalah semua arca memiliki ciri yang sama, yaitu dalam sikap berjongkok di atas
sebuah lapik, kedua tangannya menyilang dan ditumpangkan di atas kedua
lututnya. Dua diantara ketiga arca itu ditempatkan di dalam sebuah ceruk di
tembok meru yang disebut Dalem Khayangan, masing-masing di dalam ceruk
kanan dan kiri. Arca megalitik yang pertama (yang disebelah kanan) agak rusak,
tetapi masih dapat diketahui ciri-cirinya, antara lain matanya bulat dengan
genitalia (phalus) dalam keadaan berdiri secara mencolok di antar kedua kakinya.
35
Dengan demikian maka dapat dipastikan, bahwa arca ini adalah arca seorang
tokoh laki-laki. Adapun arca yang kedua (sebelah kiri) telah mengalami kerusakan
pada bagian muka dan mata, tetapi hidungnya masih dalam keadaan baik.
Genitalianya juga tidak jelas, tetapi dapat diduga sebagai arca seorang tokoh
wanita, yang menjadi pasangan dari arca yang pertama tadi. Menurut keterangan
dari masyarakat, kedua arca ini disebut sebagai arca Panji, yang selalu dimintai
keselamatan bagi binatang peliharaan, seperti babi, jika ada yang terkena
penyakit.
Kedua arca megalitik tersebut di atas dapat dianggap sebagai lambang
nenek moyang yang mempunyai kekuatan magis yang dapat menolak marabahaya
dan dapat memberikan perlindungan, kesejahteraan dan kemakmuran kepada
masyarakat. Penampilan arca ini sangatlah menakutkan, ini terbukti dari matanya
yang bulat dan memperlihatkan genitalia secara mencolok, hal tersebut berarti
pertanda betapa besarnya kekuatan magis yang dimilikinya di balik kesederhanaan
bentuk lahiriahnya. Sebagai karya seni yang berkembang pada masa tradisi
megalitik yang meluas di Indonesia, memang tidak mementingkan keindahan,
melainkan dalam bentuknya yang sederhana lebih banyak memperlihatkan
kekuatan magisnya. Dengan demikian maka penempatannya di dalam ceruk di
tembok sebuah meru yang sakral, adalah sangat tepat dalam fungsinya sebagai
penolak kekuatan jahat yang dapat merusak kesucian pura, terutama meru.
Bukti-bukti sejarah lain yang terdapat di Pura Dalem Khayangan Kedaton,
berasal dari jaman sejarah setelah Agama Hindu menyebar keseluruh Bali. Secara
singkat sumber mengenai munculnya nama Alas Kedaton menurut warga sekitar
36
berasal dari Puri Carang Sari, yang menyebutkan bahwa pada waktu Sire Dalem
turun dari majapahit diiringi oleh Arya Sentong menuju ke Nusa Penida untuk
membuat tempat semedi Puncak Mundi. Saat itu Nusa Penida diperintah oleh I
Bendesa, atas kerelaan I Bendesa maka Sire Dalem diberi kesempatan untuk
mendirikan Puri di Munduk Bias dengan gelar Ida Ratu Ngurah Sakti. Pada saat
Sire Dalem memerintah disana beliau ingin melanjutkan perjalanan metirta yatra
dengan mendirikan tapa yoga semadi di Bali, yang diiringi oleh Arya Sentong dan
I Bendesa. Salah satu tempat yang disinggahinya adalah Pura Dalem Khayangan
Kedaton, ditempat ini beliau meninggalkan arca berupa Lingga, Arca Siwa dan
Arca Ganesa, ketiga peninggalan arkeologi ini sampai sekarang masih tersimpan
dan berada di lokasi Pura Dalem Khayangan Kedaton. Nama Alas Kedaton yang
dikenal sekarang sebagai objek wisata mempunyai arti sebagai berikut yaitu alas
yang berarti hutan, dan kedaton berasal dari kata kedatuan yang artinya tempat
datu atau raja. Dengan demikian, Alas Kedaton dapat diartikan sebagai hutan,
tempat bersemayamnya atau bersemadinya para raja. Salah satu raja yang
menjadikan Pura Dalem Khayangan Kedaton sebagai tempat bersemedi adalah
Sire Dalem yang lebih dikenal dengan nama Ida Ratu Ngurah Sakti.
Adapun peninggalan arkeologi yang terdapat di Pura Dalem Khayangan
Kedaton adalah sebuah lingga-semu yang terbuat dari batu, disimpan di dalam
meru Dalem Khayangan, yang mempunyai bagian bawah berbentuk segi empat,
dan bagian atas berbentuk silindris. Lingga-semu ini kadang-kadang dianggap
sebagai batu patok, yang dipasang pada tempat-tempat tertentu di sebuah
bangunan suci atau pura sebagai tanda batas kesucian bangunan tersebut.
37
Keyakinan sesuai dengan Agama Hindu, lingga-semu atau lingga yang lengkap,
adalah perlambang dari Dewa Siwa sebagai dewa pencipta dan perusak segala isi
dunia. Di dalam meru yang disebut dengan Dalem Khyangan Kedaton terdapat
sebuah arca Ganesa, bertangan empat duduk di atas bantalan teratai dan dua ekor
ular naga. Tangan kanan memegang tasbih dan taring yang patah, sehingga
Ganesa disebut juga Ekadanta, artinya mempunyai sebuah taring, sedangkan
tangan kiri memegang kapak dan ujung belalainnya.
Menurut Agama Hindu, Ganesa adalah putra Dewa Siwa yang dianggap
sebagai lambang ilmu pengetahuan dan dapat menolak segala marabahaya.
Sebagai dewa penolak bahaya, Ganesa seringkali diletakan di tempat-tempat yang
dianggap berbahaya antara lain yaitu di tepi jurang yang terjal atau di tepi sungai
yang besar, di perempatan jalan raya dan di hutan belantara, seperti di Pura Dalem
Khayangan Kedaton. Selain arca Ganesa, di dalam meru Dalem Kedaton juga
terdapat arca Durga Mahisasuramardhini, berdiri di atas seekor lembu, buah
dadanya gepeng dan memakai penutup dada. Di samping itu, memakai kancut
yang panjang dan bertangan delapan. Tangan kanan dari atas ke bawah,
memegang camara (penghalau lalat), cara (panah), pisau besar dan memegang
ekor lembu. Tangan kiri dari atas kebawah, membawa kadga (pedang), dhanu
(busur), tricula dan gada.
Pada arca Ganesa tersebut di atas, posisi arca Ganesa duduk di atas dua
ekor naga, ini adalah salahsatu bukti arkeologis yang sangat penting, karena
merupakan bukti otentik mengenai waktu pembangunan Pura Dalem Khayangan
Kedaton yang berbentuk lambang-lambang candrasengkala Gana (6) Naga (8)
38
Dwi (2) Tunggal (1), yang berarti tahun 1286 Saka atau 1364 Masehi.38 Bukti ini
menjadi kuat, karena di dukung oleh langgam arca Ganesa dan Durga
Mahisasuramardhini yang berasal dari abad 14 Masehi. Dengan bukti-bukti ini
maka dapat dikatakan, bahwa Pura Dalem Khayangan Kedaton didirikan sekitar
tahun 1364 Masehi hingga sekarang (2014), pura ini telah mencapai usia sekitar
640 tahun. Perkiraan ini hampiir tidak berbeda dengan sumber-sumber tradisional
yang dapat diperoleh di lapangan, walaupun perkiraan ini cukup kuat tetapi masih
ada bukti-bukti arkeologis yaitu bentuk-bentuk megalitik seperti telah dipaparkan
di atas, yang berkembang kira-kira 2000 tahun silam, kiranya patut sebagai bahan
pertimbangkan dalam menetapkan masa pembangunan pura ini. Bukti-bukti ini
memang tidak berupa tulisan, tetapi memberikan petunjuk, bahwa Pura Dalem
Khayangan Kedaton mungkin telah dibangun kira-kira 2000 tahun yang lalu, yang
semula hanya hanya berbentuk media pemujaan megalitik yang sangat sederhana
seperti menhir, arca nenek moyang, tetapi mengandung makna religius-magis atau
simbolis-magis sebagai kesatuan dari kekuatan-kekuatan magis, kesucian dan
kesakralan menurut sistem religi yang dianut oleh masyarakat pada waktu itu.
Sistem kepercayaan masyarakat megalitik ternyata sangat mendominasi
kehidupan masyarakat daerah Bali, seperti masyarakat di sekitar pura ini, maka
sistem kepercayaan itu dilambangkan dalam bentuk megalitik, seperti menhir,
susunan batu andesit dan arca megalitik, yang dapat bertahan hingga datangnya
pengaruh Agama Hindu, bahkan sampai saat ini. Proses persentuhan sosial budaya
ini, tentu melalui suatu perjalanan sejarah yang panjang, sehingga akhirnya unsur-
38Ibid., hal.32.
39
unsur budaya lokal Bali menjadi satu dengan unsur budaya baru yang datang dari
luar. Dengan memanfaatkan unsur budaya lokal, seperti yang tampak dalam
sistem religi, kemudian Agama Hindu mengembangkan bentuk pemujaan
megalitik itu menjadi sebuah pura, yang sampai saat ini dikenal dengan sebutan
Pura Alas Kedaton atau Pura Dalem Khayangan Kedaton.
2.1.3 Potensi
Sebagai living monument dan living culture, Pura Dalem Khayangan
Kedaton berfungsi sebagai media pemujaan yang sakral bagi masyarakat Desa
Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, yang terdiri atas 12 (dua belas)
banjar. Masyarakat Desa Kukuh secara turun-temurun berkewajiban dan
bertanggungjawab atas kelestarian pura ini, yaitu melaksanakan pemeliharaan
semua bangunan-bangunan pura dan lingkungan di sekitarnya, agar tetap
terpelihara dengan lingkungan yang nyaman dan ramah. Pelestarian hutan
disekitar pura sebagai kesatuan ekosistem, sejak dahulu telah menjadi urusan desa
dan telah diatur dalam awig-awig desa adat, seperti ketentuan penebangan
pepohonan, agar hutan ini dapat menjadi penyangga pura agar tetap lestari
sepanjang masa.
Di sisi lain pelestarian nilai-nilai religius, juga dilakukan oleh masyarakat
desa dengan melaksanakan upacara keagamaan secara teratur dan berkala pada
hari-hari tertentu menurut pedoman Agama Hindu yang berlaku setempat, agar
masyarakat selalu dalam keadaan selamat dan sejahtera. Adapun upacara-upacara
tersebut dilaksanakan sesuai dengan hitungan hari menurut Agama Hindu yaitu
40
pada hari kajeng kliwon, purnama dan tilem, yang tidak melibatkan masyarakat,
melainkan cukup dikerjakan oleh pemangku pura saja, karena upacara ini sangat
sederhana tetapi harus dilaksanakan, untuk memelihara kesakralan pura dan
keselamatan masyarakat. Upacara yang lebih besar dan melibatkan semua anggota
masyarakat Desa Kukuh, disebut upacara piodalan yang dilaksanakan setiap enam
bulan sekali (210 hari) menurut perhitungan kalender Bali, yaitu pada hari
anggara kasih wuku medangsia (Lihat lampiran 3 hal 27).
Piodalan ini sangat menarik perhatian, karena selain merupakan upacara
yang penting, ternyata juga memperlihatkan keunikan-keunikan yang tidak pernah
ditemukan di pura-pura lainnya di Bali. Adapun keunikan yang perlu disaksikan
antaralain, upacara piodalan dilaksanakan sekitar tengah hari atau siang hari dan
harus selesai sebelum matahari terbenam atau sebelum malam tiba, karena tidak
diperkenankan menggunakan api, lampu atau membakar dupa. Selain itu dalam
upacara piodalan tidak boleh memakai segehan, kwangen, penjor dan tabuh rah
(sabung ayam), tetapi untuk kelengkapan upacara hanya boleh digunakan ceniga
dari daun pisang mas, padahal di tempat lainnya di Bali dibuat dari janur. Hal unik
lainnya adalah upacara piodalan ini tidak dilakukan oleh seorang pendeta, seperti
lazimnya pada piodalan di pura-pura lainnya di Bali, tetapi cukup dilakukan oleh
pemangku pura. Keunikan-keunikan diatas adalah kenyataan yang penting dan
sangat menarik untuk disaksikan, karena dalam kesakralan dan kesucian upacara
piodalan itu terpendam pola tingkah laku keagamaan masyarakat Desa Kukuh
khususnya, seakan-akan menjadi sebuah misteri kehidupan masa silam
leluhurnya.
41
Keunikan-keunikan di atas barangkali mempunyai landasan fikiran yang
sangat mendalam, terlebih lagi tidak diperkenankan menggunakan api dalam
upacara piodalan, barangkali merupakan suatu pernyataan padamnya segala hawa
nafsu duniawi manusia dan telah sampai pada tingkatan kesempurnan hidup.
Dengan demikian, masyarakat yang datang untuk bersembahyang memohon
keselamatan dan kesejahteraan kepada dewa-dewa di Pura Dalem Khayangan
Kedaton, sudah bersih dari godaan dan ikatan hawa nafsunya sendiri, sehingga
konsentrasi fikirannya tidak terganggu lagi. Tidak diperlukannya pendeta dalam
upacara piodalan hendaknya jangan ditafsirkan negatif, melainkan harus dicari
latar belakangnya yang mungkin berasal dari masa tradisi megalitik yang ternyata
masih bertahan dan berlanjut di Desa Kukuh. Dalam organisasi sosial masyarakat
megalitik di Indonesia pada umumnya dan di daerah Bali khususnya, telah
terbentuk kelompok-kelompok sosial fungsional berdasarkan fungsi sosialnya
dalam masyarakat. Di antara kelompok sosial tersebut, kelompok rohaniawan
yang berkewajiban dan bertanggungjawab atas upacara-upacara keagamaan yang
harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Agama Hindu, agar masyarakat
terhindar dari berbagai bencana yang setiap saat dapat terjadi.
Pemangku Pura Dalem Khayangan Kedaton dalam hal ini, dapat
dikelompokan sebagai kelompok sosial fungsional berdasarkan fungsinya sehari-
hari, yaitu sebagai kelompok rohaniawan. Hal ini berarti, bahwa masyarakat Desa
Kukuh masih melanjutkan tradisi yang sudah tua, hal semacam ini sampai
sekarang masih berlaku di desa-desa Bali kuno yang terletak di bagian
pegunungan Bali.
42
Setelah pengembangan yang dilakukan Desa Adat Kukuh yang dipimpin
langsung oleh bendesa adatnya, Objek Wisata Alas Kedaton mengalami banyak
perubahan, dari sisi infrastruktur dan fasilitas semua disediakan demi membuat
tata ruang objek wisata menjadi lebih baik dan menarik. Luas kawasan Alas
Kedaton yang mencapai 12 Ha dipergunakan untuk parkir yaitu seluas 1,1 Ha,
komplek perdagangan kurang lebih 3 Ha dan sisanya merupakan kawasan hutan.
Adapun fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh Objek Wisata Alas Kedaton adalah
sebagai berikut :
1. Tempat parkir yang beraspal dan mampu menampung bus-bus wisata dengan
ukuran besar
2. Kios cendramata berjumlah 202 buah
3. Toilet umum berjumlah 3 unit
4. Rumah makan 2 buah
5. Balai peristirahatan 8 buah
6. Wantilan dan pertamanan 1 unit
Kawasan hutan yang rindang dan lebat yang terdapat pada Objek Wisata
Alas Kedaton, merupakan tempat hidup beberapa satwa liar yang dari jaman
dahulu telah ada di hutan ini. Kera dan Kalong merupakan satwa liar sekaligus
primadona daya tarik wisata Alas Kedaton, selain keberadaan satwa liar sebagai
habitat hidup alami mereka, pihak penegelola juga melengkapi dan menyediakan
jalan-jalan setapak dari beton sehingga memeberikan rasa nyamanbagi
pengunjung untuk menelusuri lebih dalam suasana hutan Alas Kedaton.
43
2.2 Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton
2.2.1 Pengelola Objek Wisata Alas Kedaton
Indik Desa Pakraman Kukuh Marga puniki kebagi antuk pitu dusun lan
roras banjar adat, antuk jumlah krama Desa Pakraman Kukuh kirang langkung
wenten limang tali diri sane paling akeh mekarye ring carik lan sane tiyosan
wenten ring tukang, pegawai, lan buruh. Bila diterjemahkan dalam Bahasa
Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa Desa Pakraman Kukuh
merupakan desa yang terbagi atas 7 (Tujuh) dusun dan 12 (Dua belas) banjar adat,
penduduk dari Desa Pakraman Kukuh berjumlah sekitar 5000 (Lima ribu) orang
yang sebagian besar warganya menggeluti pertanian dan sisanya menggeluti
sektor lain seperti pertukangan, pegawai atau buruh. Keterangan tersebut didapat
dari hasil wawancara dengan Bendesa Adat Kukuh I Gede Subawa pada tanggal
26 januari 2015. Desa yang berjarak tidak terlalu jauh dari pusat kota Tabanan ini
memiliki potensi alam yang selalu dijaga kelestariannya, salah satunya yang
dikenal luas adalah Objek Wisata Alas Kedaton, yang hingga kini masih tetap
terjaga kelestariannya.
Desa Kukuh merupakan desa di Tabanan yang dikenal dengan situasi
kemasyarakatannya yang kondusif, bebas dari berbagai konflik adat yang
belakangan marak terjadi di beberapa desa di lumbung beras ini. Hal tersebut
tidak terlepas dari komitmen bersama dari seluruh warga untuk menegakan ajaran
Hindu Tri Hita Karana dan kepiawaian mengelola konflik oleh tokoh-tokoh
masyarakat. Mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton sesungguhnya
merupakan wewenang dari desa adat yang bersangkutan, dalam hal ini Desa
44
Pakraman Kukuh Marga. Pengelola dapat dikatakan sama dengan pemilik, yang
artinya desa adat memiliki hak dan wewenang untuk mengatur objek wisata
tersebut agar mampu memberi manfaat dan dampak positif bagi masyarakat
sekitar.Peranan desa pakraman dalam pengelolaan objek wisata merupakan hak
tradisional dan kewajiban dari desa pakraman. Desa Pakraman Kukuh memiliki
kewenangan yakni kekuasaan yang didasarkan atas hukum yang menjadi indikator
bagi keabsahan perbuatan hukum dari Desa Pakraman Kukuh dalam pengelolaan
Objek Wisata Alas Kedaton. Selain berpegang teguh menggunakan konsep Tri
Hita Karana, dalam pembahasan ini akan dijelaskan pula apa yang menjadi dasar
aturan atau undang-undang yang secara yuridis mengatur mengenai pengelolaan
sebuah objek wisata di Bali.
Dalam melakukan aktivitasnya, Desa Pakraman Kukuh selalu
berlandaskan pada filosofi Tri Hita Karana yakni tiga penyebab kebahagiaan
yang terdiri dari parahyangan, pawongan, dan palemahan. Tri Hita Karana
mengajarkan bahwa adanya hubungan yang harmonis antara manusia dengan
Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), antara manusia dengan wilayah
tempat pemukiman dan alam sekitarnya, serta manusia dengan sesamanya, akan
memungkinkan mereka untuk menikmati kesejahteraan dan kebahagiaan yang
dimaksud moksha dan jagatdhita.39 Keterlibatan Desa Pakraman Kukuh dalam
pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton merupakan implementasi dari filosofi Tri
Hita Karana. Dilihat dari sudut pandang parahyangan, keikutsertaan desa
39 I Wayan Surpha, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Pustaka
Bali Post, Denpasar, hal.17.
45
pakraman dalam pengelolaan objek wisata merupakan upaya dalam menjaga
kesucian pura yaitu, Pura Dalem Khayangan Kedaton.
Dalam konteks pawongan, pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton
memeberikan gambaran mengenai interaksi antara krama desa dengan pemerintah
daerah (Pemerintah Kabupaten Tabanan) dan wisatawan dalam suatu hubungan
yang harmonis. Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton memerlukan kerjasama
secara internal dari desa pakraman dan kerjasama secara eksternal antara desa
pakraman dengan pihak lainnya.
Sedangkan bila dilihat dari filosofi palemahan, menginginkan adanya
sinergi antara hubungan manusia dengan lingkungan. I Made Suasthawa
Dharmayuda berpendapat “pemberdayaan terhadap desa pakraman dalam
pelestarian lingkungan hidup perlu terus diupayakan melalui pengeluaran
perangkat hukum seperti Perda dan Undang-undang yang berfungsi sebagai
pengakuan, penguatan dan sekaligus pembinaan terhadap desa pakraman”.40
Keterlibatan desa pakraman dalam pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton
memberikan peluang bagi krama desa untuk melestarikan tata ruang di lingkungan
objek wisata tersebut.
Landasan filosofi Tri Hira Karana ini menjadi asas dan tujuan dalam
penyelenggaraan pariwisata budaya. Dilihat dari ketentuan Pasal 2 Peraturan
Daerah Popinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata
Budaya disebutkan “Penyelenggara Pariwisata Budaya dilaksanakan berdasarkan
asas manfaat usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, percaya pada diri
40 I Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat di Propinsi Bali, Upada Sastra. Denpasar, hal.39.
46
sendiri dan perikehidupan keseimbangan, keserasian serta keselarasan yang
berpedoman pada falsafah Tri Hita Karana”. Clifford Geertz says that “Thre force
of a religion in supporting social values rests, then, on the ability of its sysmbols
to formulate a world in which those values, as well as the force opposing their
realization, are fundamental ingredients.”41 Kekuatan agama ini menjadi sandaran
dalam pelaksanaan nilai-nilai sosial yang dilakukan oleh desa Pakraman.
Keterlibatan Desa Pakraman Kukuh dalm pengelolaan Objek Wisata Alas
Kedaton didasarkan pada landasan yuridis yang kuat. Berdasarkan teori
kewenangan yang dikemukakan oleh sosiolog Max Weber, maka kewenangan
yang dimiliki Desa Pakraman Kukuh dalam pengelolaan Alas Kedaton berbentuk
kewenangan tradisional yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok berdasarkan
ketentuan-ketentuan tradisional yakni awig-awig Desa Pakraman Kukuh dan
kewenangan rasional atau legal yaitu kewenangan yang didasarkan pada sistem
hukum yang berlaku di masyarakat yakni peraturan perundang-undangan dan
peraturan kebijakan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang.
Kewenangan Desa Pakraman Kukuh dalam pengelolaan Objek Wisata
Alas Kedaton lahir dari kewenangan atribusi yang bersumber dan diperintahkan
oleh Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan yang bersumber dari konstitusi
ini menjadi landasan yuridis yang kuat bagi Desa Pakraman Kukuh dalam
pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton. Hal ini dapat dilihat dari kedudukan
UUD 1945 sebagai konstitusi atau hukum dasar suatu negara dan ada tiga
kedudukan dari konstitusi suatu negara, yakni:
41 Clifford Geertz, 1973, The Interpretation of Cultures, Basic Books,
London, hal.131.
47
1. Pertama, dilihat dari posisi “konstitusi” sebagai :hukum dasar” (basic law), mengandung norma-norma dasar yang mengarahkan bagaimana pemerintah mendapatkan kewenangan mengorganisasikan penyelenggaraan kekuasaan negara. Dalam kedudukan sebagai basic law, “konstitusi” dapat dijadikan instrument yang efektif mencegah timbulnya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Konsekuensi yuridisnya dari pengakuan “konstitusi” sebagai “hukum dasar” dapat mengarahkan dan menjiwai produk hukum yang berorientasi tidak saja pada kepastian hukum (legal certainty), tetapi juga produk hukum yang memenuhi keadilan bagai semua orang (justice for all).
2. Kedua, segi hirarki peraturan perundang-undangan, “konstitusi” sebagai “hukum tertinggi” kedudukannya “kuat”, artinya produk hukum lainnya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, dan kalau bertentangan harus dibatalkan.
3. Ketiga, konstitusi sebagai dokumen hukum dan politik (politico-legal document) menempati kedudukan “istimewa”, selain substansi atau materi muatannya memuat norma hukum dasar, juga berisi piagam kelahiran suatu negara baru (a brith certificate), inspirasi merealisasi cita-cita negara (staatside) dan cita-cita hukum (rechtside), karena itu norma konstitusi juga mengandalkan norma-norma lainnya.42
Dalam tingkatan undang-undang, dasar yuridis pengelolaan objek wisata
oleh desa pakraman diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dimana setiap orang dan/atau masyarakat di
dalam dan di sekitar destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas menjadi
pekerja/buruh; konsinyasi; dan/atau pengelolaan. Penjelasan Pasal 5 huruf e
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “masyarakat setempat” adalah masyarakat yang
bertempat tinggal di dalam wilayah destinasi pariwisata dan di prioritaskan untuk
mendapatkan manfaat dari penyelenggaraan kegiatan pariwisata di tempat
tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, krama Desa Pakraman Kukuhsebagai
42 I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi Problematika
Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945 Edisi Revisi, Setara Press, Malang, hal.38-40.
48
masyarakat setempat memiliki hak prioritas untuk mengelola Objek Wisata Alas
Kedaton.
Keterlibatan Desa Pakraman Kukuh dalam mengelola Objek Wisata Alas
Kedaton juga didasarkan pada tugas dan wewenang desa pakraman sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 5c Peraturan Daerah Popinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman yang menyebutkan bahwa “Desa Pakraman mempunyai
tugas dalam mengatur pengelolaan harta kekayaan desa” dan Pasal 5d yakni
“bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang
terutama di bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan”.
Dalam Pasal 6 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman menentukan bahwa, desa pakraman mempunyai
wewenang sebagai berikut:
a. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antar krama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan setempat;
b. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana;
c. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman. Ditambahkan lagi mengenai ketentuan yang mengatur bahwa desa
pakraman mempunyai wewenang untuk mengelola objek wisata terdapat di dalam
ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali
Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya menyebutkan “Pengusahaan
objek dan daya tarik wisata dapat dilakukan oleh lembaga adat, badan usaha atau
perorangan”. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan “Lembaga Adat, badan usaha
atau perorangan sebagaimana dimaksud ayat (1) dalam melakukan kegiatan
49
usahanya berdasarkan izin yang berwenang”. Pasal ini menjadi dasar yuridis bagi
keterlibatan Desa Pakraman Kukuh sebagai pihak dalam pengelolaan Objek
Wisata Alas Kedaton.
Keterlibatan Desa Pakraman Kukuh dalam pengelolaan Objek Wisata Alas
Kedaton merupakan pemerdayaan terhadap desa pakraman itu sendiri.
Berdasarkan Pasal 13 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman disebutkan bahwa:
(1) Pemberdayaan dan pelestarian desa pakraman diarahkan kepada hal-hal berikut: a. pembangunan krama sesuai dengan budaya Bali; b. terwujudnya pelestarian kebudayaan di desa pakraman; c. tercapainya kebudayaan daerah Bali di desa yang mampu menyaring
secara selektif nilai-nilai budaya asing; d. terciptanya suasana yang dapat mendorong peningkatan peran dan
fungsi desa pakraman dalam upaya: 1) meningkatkan harkat dan martabat serta jati diri;
2)berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pembangunan di segala bidang;
(2) Dalam melakukan pemberdayaan dan pelestarian desa pakraman sebagaimana dimaksud ayat (1), harus mendorong terciptanya:
a. sikap demokratis, adil dan obyektif di kalangan prajuru dan krama desa pakraman masing-masing.
b. pelestarian adat dan budaya Bali dengan tidak menutup pengaruh nilai budaya lain yang positif.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka nampak bahwa desa
pakraman mempunyai kewenangan dalam menentukan setiap keputusan
pembangunan yang ada di wilayahnya, khususnya dalam pembangunan
pariwisata. Dengan adanya ketentuan tersebut, ini menjadi bukti bahwa desa
pakraman mempunyai kekuatan secara yuridis untuk ikut dan dapat mengelola
objek wisata setempat demi dapat mengembangkan potensi wisata yang ada, agar
dapat dipergunakan demi mensejahterakan masyarakat sekitar sebagai warga lokal
50
dan penduduk asli desa pakraman tersebut, dalam hal ini demi kesejahteraan
penduduk Desa Pakraman Kukuh Marga Kabupaten Tabanan.
2.2.2 Management Pengelolaan
Management pengelolaan yang terdapat pada Objek Wisata Alas Kedaton
telah mengalami perubahandari kepemimpinan bendesa adat kukuh pada masa
kepemimpinan I Gusti Ngurah Putra, berlanjut ke masa kepemimpinan I Gusti
Made Purnayasa, dan kini 2014 dilanjutkan oleh I Gede Subawa. Menurut
wawancara yang dilakukan kepada I Gusti Made Purnayasa selaku mantan
Bendesa Adat Kukuh pada tanggal 20 januari 2015, pada masa kepemimpinannya,
secara umum sesungguhnya pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dilakukan
dengan cara tradisional yaitu Desa Pakraman Kukuh yang secara langsung
mengatur dan mengelola Objek Wisata Alas Kedaton tanpa ada perjanjian kepada
pihak manapun dalam hal pengelolaan. Pada perkembangannya, baru pada saat
kepemimpinan Bendesa Adat Kukuh I Gede Subawa dan Bupati Tabanan Ni Putu
Eka Wiryastuti selaku Pimpinan Daerah terjadi perubahan terhadap pengelolaan
Objek Wisata Alas Kedaton. Perubahan tersebut ditandai dengan di buatnya
perjanjian kerjasama Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman
Kukuh Kecamatan Marga Nomor: 15 Tahun 2012, Nomor: 01/XII/DAK/2012
tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Kepariwisataan Daya Tarik Wisata
Alas Kedaton.
51
Mengenai pengelolaan yang dilakukan di Objek Wisata Alas Kedaton,
ditunjuk seorang manajer yang dimana tugas dan fungsi manajer sebagaipemantau
perkembangan sekaligus sebagai pengambil keputusan yang nantinya diharapkan
dapat meningkatkan jumlah kunjungan bahkan pemasukan yang lebih baik bagi
perkembangan Objek Wisata Alas Kedaton. Wawancara yang dilakukan pada
tanggal 28 desember tahun 2014, menurut manajer Objek Wisata Alas Kedaton
yaitu I Gusti Bagus Suryawan, kunjungan wisatawan ke Alas Kedaton mulai
mengalami peningkatan, terutama ketika musim libur panjang. Selama musim
liburan, kunjungan bisa mencapai 1000 (seribu) orang per hari, sedangkan dalam
kondisi normal jumlah wisatawan yang berkunjung sekitar 300 (tiga ratus) orang
per hari. Mengenai jumlah kunjungan wisatawan baik asing maupun
domestiksesuai data terakhir yang didapat pada tahun 2014, total jumlah
kunjungan mencapai angka 114.269 orang. (Lihat lampiran 4)
Keterangan lain yang diberikan oleh manajer Alas Kedaton, selain Objek
Wisata Alas Kedaton merupakan aset Desa Adat Kukuh yang sistem
pengelolaannya langsung dibawah desa adat, masyarakat Desa Kukuh juga di ajak
ikut berpartisispasi atau terlibat langsung kedalam pengelolaan objek wisata ini,
adapun pengelolaan yang dilakukan antara lain:
a. Pengelolaan Terhadap Sumber Daya Alam (SDA). Pengelolaan terhadap
SDA dilakukan langsung oleh masyarakat setempat, mulai dari merawat
kera, lingkungan, dan pura. Proses pengelolaan SDA pada struktur
organisasi telah dibagi sesuai dengan keahliannya masing-masing, bagi
petugas yang merawat kera, cakupan tugasnya meliputi memberi makan
52
kera dan menjaga kera agar tidak mengganggu pengunjung, sedangkan
pada area pura dikelola oleh seorang pemangku (orang suci).
b. Pengelolaan Terhadap Sumber Daya Manusia (SDM). Pihak manajemen
Objek Wisata Alas Kedaton membagi sistem pengelolaan SDM menjadi
dua bagian yaitu, pengelolaan terhadap karyawan yang bekerja di Objek
Wisata Alas Kedaton dan para pedagang yang berjualan di wilayah Objek
Wisata Alas Kedaton. Dalam pengelolaan terhadap karyawan yang bekerja
di Objek Wisata Alas Kedaton, setiap tiga tahun sekali dilakukan
pergantian karyawan diantara 12 banjar yang ada di Desa Kukuh, hal ini
dilakukan agar masing-masing banjar mendapat pemerataan tugas dan juga
ikut merasakan dampak positif dari keberadaan objek wisata. Sedangkan
pengelolaan terhadap para pedagang yang terdiri dari 202 art shop
diberlakukan sistem pembagian jadwal setiap tiga kali sehari untuk
mengatur wisatawan, para pedagang ini harus mengikuti peraturan yang
telah ditetapkan oleh pihak manajemen Objek Wisata Alas Kedaton.
2.2.3 Hasil Pengelolaan
Mengenai hasil pengelolaan yang dilakukan oleh pihak manajemen Objek
Wisata Alas Kedaton, dalam hal ini akan dijelaskan kemana saja hasil pengelolaan
tersebut di serahkan, baik itu kepada pemerintah maupun ke desa adat. Sesuai
dengan perjanjian kerjasama yang dibuat antara Pemerintah Kabupaten Tabanan
dengan Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Nomor: 15 Tahun 2012,
Nomor: 01/XII/DAK/2012 tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan
53
Kepariwisataan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton, hasil pengelolaan Objek Wisata
Alas Kedaton di bagi dua, yaitu kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan
dan kepada Desa Pakraman Kukuh yang dalam hal ini sebagai pemilik dari Objek
Wsata Alas Kedaton. Penerimaan pendapatan dari penyelenggaraan dan
pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton bersumber dari penjualan tiket
masuk dan penjualan karcis parkir (terdapat di dalam ketentuan Pasal 12 tentang
pendapatan). Menurut perjanjian yang telah di buat pada tahun 2012 tersebut
pembagian hasil ini melibatkan dua pihak, Ni Putu Eka Wiryastuti Bupati
Tabanan dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Kabupaten
Tabanan selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA. Selanjutnya I Gede Subawa
Bendesa Pakraman Kukuh dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama
masyarakat Desa Pakraman Kukuh selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.
Sesuai dengan apa yang tercantum di dalam perjanjian tersebut, mengenai
pembagian hasil terdapat di dalam Pasal 14, dimana kedua belah pihak telah
sepakat untuk membagi hasil pengelolaan tersebut kepada Pemerintah Kabupaten
Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh. Ketentuan mengenai perhitungan yang
bersumber dari hasil penerimaan pendapatan tiket sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 12 sebesar 20% (dua puluh persen) kepada PIHAK PERTAMA dan
80% kepada PIHAK KEDUA. Sedangkan hasil penerimaan pendapatan dari
karcis sebesar 65% (enam puluh lima persen) kepada PIHAK PERTAMA dan
sebesar 35% (tiga puluh lima persen) kepada PIHAK KEDUA.
Terlepas dari hasil pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton yang
dilakukan oleh pihak manajemen dan Desa Pakraman Kukuh yang bersumber dari
54
penjualan tiket masuk dan penjualan karcis parkir, maka ada pula hasil berupa
prestasi yang patut kita banggakan. Pihak pengelola Objek Wistaa Alas Kedaton
yaitu Desa Pakraman Kukuh yang di dukung manajemen, merupakan pihak yang
secara konsisten untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan hutan Alas
Kedaton, ini terbukti dari beberapa prestasi berupa penghargaan yang telah di raih
dari tahun ke tahun yang membuktikan bahwa Alas Kedaton merupakan objek
wisata yang termasuk dalam kategori penyelamat lingkungan.
Wawancara yang dilakukan kembali pada tanggal 2 Februari 2015 kepada
Manajer Objek Wisata Alas Kedaton I Gusti Bagus Suryawan tentang prestasi
ataupun penghargaan yang sempat diraih Objek Wisata Alas Kedaton mengaku
bahwa, hanya beberapa penghargaan saja yang berhasil di simpan maupun di data.
Adapun beberapa prestasi dan penghargaan yang diberikan kepada Objek Wisata
Alas Kedaton dapat dijelaskan menggunakan tabel sebagai berikut:
No Tahun Prestasi Pihak yang Memberikan Penghargaan
1 1992 Juara I Lomba Penataan Objek Wisata Alam Se-Bali
Dewan Pimpinan Daerah Perhimpunan Objek Wisata Indonesia Tingkat I Bali
2 1997 Pemenang III (3) Lomba Pokdarwis
Kantor Wilayah Departemen Wisata dan Telekomunikasi Provinsi Bali
3 2005 Mendapatkan Penghargaan Tri Hita Karana Tourism Award
Green Paradise Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation
4 2006 Juara Harapan I Lomba Pokdarwis Gubernur Provinsi Bali
5 2006 Mendapatkan Penghargaan Tri Hita Karana Tourism Award
Green Paradise Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation
6 2007 Mendapatkan Penghargaan Tri Hita Karana Tourism Award
Green Paradise Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation
7 2008 Mendapatkan Penghargaan Tri Hita Karana Tourism Award
Green Paradise Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation
55
8 2011 Mendapat Penghargaan Tri
Hita Karana Tourism Award Gold Medal
Green Paradise Tri Hita Karana Tourism Award & Accreditation
9 2014
Juara Harapan I Lomba Kelompok/ Perorangan/
Swasta dalam rangka Lomba Pengelolaan Lingkungan
Hidup Provinsi Bali
Pemerintah Provinsi Bali
10 2014
Mendapatkan penghargaan sebagai nominator penerima
Penghargaan Kalpataru Kategori Penyelamat
Lingkungan
Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia
56
BAB III
KEABSAHAN PERJANJIAN PENGELOLAAN
OBJEK WISATA ALAS KEDATON
3.1 Pengertian, Syarat-syarat dan Bentuk Perjanjian
Pengertian perjanjian pada dasarnya dapat kita ketahui dari pendapat para
ahli hukum atau aturan yang berlaku. Mengenai peraturan perundang-undangan
yang memberikan pengertian mengenai perjanjian terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Ketentuan mengenai perjanjian
tersebut di atur didalam buku III BW yang berjudul ”Perihal Perikatan”, Perikatan
(verbintenis) memiliki pengertian yaitu suatu hubungan hukum (mengenai
kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk
menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini
diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Buku III mengatur mengenai hubungan hukum
antara orang dengan orang (hak perorangan), yang terdiri atas 18 bab dan 631
pasal, dimulai dari Pasal 1233 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1864
KUHPerdata.
Ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah
suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Perjanjian yang dibuat secara tertulis disebut dengan istilah
kontrak, Ahmadi Miru dalam bukunya yang berjudul hukum kontrak dan
perancangan kontrak menyebutkan bahwa, hukum kontrak merupakan bagian dari
hukum perikatan, perikatan bersumber dari perjanian dan undang-undang,
perikatan yang bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-
57
undang saja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya,
perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi
dua, yaitu perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum.43
Dapat dijelaskan sesungguhnya perjanjian merupakan bagian dari hukum
kontrak dan hukum perikatan. Bahkan sebagian ahli hukum menempatkan hukum
kontrak sebagai bagian dari perjanjian karena kontrak sendiri ditempatkan sebagai
perjanjian tertulis, namun para ahli hukum tidak ingin membedakan kedua hukum
tersebut antara hukum kontrak dan hukum perjanjian sehingga kedua istilah
tersebut digunakan dengan makna yang sama. Pembagian antara hukum kontrak
dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam BW karena dalam BW hanya dikenal
perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undang-undang.
Menurut Salim H.S. definisi perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313
sesuai dengan yang dijelaskan di atas adalah:
1. Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian
2. Tidak tampak asas konsensualisme, dan
3. Bersifat dualisme.44
Dikatakan pengertian tentang perjanjian tersebut tidak jelas karena hanya
disebutkan mengenai perbuatan saja, sedangkan mengenai perbuatan cakupannya
terlalu luas, jadi hendaknya disebutkan perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu
pihak atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.
43 Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.1. 44 Salim, H.S., 2010, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan
Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.73.
58
Hal senada mengenai rumusan Pasal 1313 BW dikatakan tidak jelas juga
di setujui oleh Setiawan, menurut Setiawan rumusan Pasal 1313 BW selain tidak
jelas menurutnya juga tidak lengkap dan sangat luas. Tidak lengkap karena hanya
menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan digunakannya
perkataan ”perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan
hukum. Sehubungan dengan itu, menurut Setiawan perlu kiranya diadakan
perbaikan mengenai definisi tersebut, ialah:
a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang
bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;
b. Menambahkan perkataan ”atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal
1313BW;
c. Sehingga perumusannya menjadi,”perjanjian adalah perbuatan hukum, di
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih”.45
Demikian halnya menurut Suryodiningrat, bahwa definisi Pasal 1313 BW
ditentang beberapa pihak dengan argumentasi sebagai berikut:
a. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian
pula tidak ada sangkut pautnya dengan setiap sumber perikatan, sebab
apabila penafsiran dilakukan secara luas, stiap janji adalah persetujuan.;
b. Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan
akibat hukum tanpa dimaksudkan (perbuatan yang menimbulkan kerugian
sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum);
45 Setiawan, 1987, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta,
hal.49.
59
c. Definisi Pasal 1313BW hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral),
satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak
berprestasi (schenking atau hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi
dua pihak, dimana para pihak saling berprestasi;
d. Pasal 1313 BW hanya mengenai persetujuan obligatoir (melahirkan hak
dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis
lainnya (perjanjian liberatoir/membebaskan; perjanjian di lapangan hukum
keluarga; perjanjian kebendaan; perjanjian pembuktian).46
Terhadap definisi Pasal 1313 BW ini Purwahid Patrik menyatakan
beberapa kelemahan, yaitu:
a. Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini
dapat disimak dari rumusan ”satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata ”mengikatkan”
merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja,
tidak dari kedua pihak. Sedangkan maksud perjanjian itu para pihak
saling mengikatkan diri, sehingga tampak kekurangannya yang
seharusnya ditambah dengan rumusan ”saling mengikatkan diri”;
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan, termasuk
perbuatan mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan
perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Hal ini menunjukan
makna ”perbuatan” itu luas dan menimbulkan akibat hukum;
46 R.M. Suryodiningrat, 1985, Asas-asas Hukum Perikatan, Tarsito,
Bandung, hal.72.
60
c. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 BW mempunyai ruang
lingkup di dalam hukum harta kekayaan (vermogensrecht).47
Menurut Niewenhuis, perjanjian obligatoir (yang menciptakan perikatan)
merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri mengatur
hubungan-hubungan hukum di antara mereka.48 Menurut Polak, suatu persetujuan
tidak lain suatu perjanjian (afspraak) yang mengakibatkan hak dan kewajiban.49
Arthur S. Hartkamp dan Marianne M.M Tillema berpendapat bahwa
kontrak merupakan spesies dari genus perbuatan hukum. Secara umum kontrak
didefinisikan sebagai berikut:
”A contract is a juridical act, established-in compliance with possible formalities, required by the law – by the corresponding and mutually interdependent expressions of intent of two or more parties, directed at the creation of juridical effectfor the benefit of one of the parties and to the account of the other party, or of benefit and to the account of both parties”
Menurut E Allan Farnsworth memberikan pengertian kontrak yaitu:
The word contract is used in different senses in American Law. Sometimesit is used, as it is used in common speech, simply to refer to a writing containing terms on which the parties have agreed. But often the term contract is used in a more technical sense to mean a promise, or a set of promise, that the law will enforce or at least recognize in some way.50
Menurut Aseer C. Hartkamps memberikian definisi perjanjian:
Perjanjian adalah suatu perbuatan/tindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya kata sepakat yang merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang (pihak) atau lebih, di mana tercapainya sepakat tersebut
47 Purwahid Patrik, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju,
Bandung, hal.45-46. 48 J.H. Niewenhuis, 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (terjemahan
Djasadin Saragih), Surabaya, hal.1. 49 Mashudi & Mohammad Chidir Ali, 1995, Bab-bab Hukum Perikatan,
Mandar Maju, Bandung, hal. 56. 50 E. Allan Farnsworth, 1999, United States Contract Law, Jurish
Publishing, United States Of America, hal.1.
61
tergantung dari para pihak yang menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban pihak yang lain atau timbal balik dengan mengindahkan ketentuan perundang-undangan.51
Menurut Subekti perjanjian didefinisikan sebagai suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.52 Subekti juga menambahkan bahwa dia memiliki
pendapat mengenai istilah kontrak, menurutnya istilah kontrak mempunyai
pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang
tertulis.53Sedangkan menurut sarjana lain, Pothier tidak memberikan pembedaan
antara kontrak dan perjanjian, namun membedakan pengertian contract dengan
convention (pacte). Disebut convention (pacte) yaitu perjanjian di mana dua orang
atau lebih menciptakan, menghapuskan, (opheffen), atau mengubah (wijzegen)
perikatan. Sedangkan contract adalah perjanjian yang mengharapkan
terlaksananya perikatan.54
Peter Mahmud Marzuki memberikan argumentasi kritis mengenai
penggunan istilah kontrak atau perjanjian dengan melakukan perbandingan
terhadap pengertian kontrak atau perjanjian dalam sistemAnglo-American.
Sistematika Buku III tentang Verbintenissenrecht (Hukum Perikatan) mengatur
mengenai overeenkomst yang kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
berarti perjanjian. Istilah kontrak merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris
contract. Di dalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada
51 Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.3.
52 Ricardo Simanjuntak, 2006, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, PT. Gramedia, Jakarta, hal.23.
53 Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Intermesa, Jakarta, hal.1. 54 Soetojo Prawirohamidjojo & Marthalena Pohan, 1978, Hukum
Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya, hal.84.
62
Buku III BW Indonesia tentang Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa
perjanjian memang berkaitan dengan masalah harta kekayaan (Vermogen).
Perjanjian pengertian ini mirip dengan contract pada konsep Anglo-American
yang selalu berkaitan dengan bisnis. Di dalam pola pikir Anglo-American,
perjanjian yang bahasa Belandanya overeenkomst dalam bahasa Inggris disebut
agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup
hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang
berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak berkaitan
dengan bisnis hanya disebut agreement.55
Pengertian kontrak atau perjanjian yang dikemukakkan para ahli tersebut
melengkapi kekurangan definisi Pasal 1313 BW. Dari definisi tersebut maka dapat
didefinisikan secara lengkap pengertian tentang kontrak atau perjanjian adalah
perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih dan di dalamnya akan
menimbulkan akibat hukum kepentingan bagi pihak yang satu dan beban
kewajiban bagi pihak lainnya.
Syarat-syarat suatu perjanjian diatur di dalam KUHPerdata yaitu dalam
Pasal 1320 KUHPerdata yang mencakup empat syarat fundamental yang harus
dipenuhi agar perjanjian/kontrak dapat dinyatakan sah, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian ;
3. Suatu hal tertentu;
55Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-batas Kebebasan Berkontrak,
Yuridika, Volume 18 No. 3, hal.195-196.
63
4. Suatu sebab yang halal;
Keempat unsur tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang
berkembang digolongkan ke dalam unsur subyektif dan unsur obyektif. Untuk
unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak
yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian. Unsur
obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang
diperjanjiakan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk
dilaksanakan haruslah tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Apabila
didalam membuat perjanjian tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat
unsur tersebut maka dapat menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian
tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan maupun
batal demi hukum.
1). Kesepakatan (Toesteming/Izin) Kedua Belah Pihak
Syarat pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus
para pihak. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu
orang atau lebih dengan pihak lainnya.
Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu:
a. Bahasa yang sempurna dan tertulis;
b. Bahasa yang sempurna secara lisan;
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena
dalam kenyataanya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa
yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya; bahasa yang
tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
64
e. Diam atau bisu, tetapi asal dapat diterima oleh pihak lawan.56
Dalam perjanjian biasanya para pihak memilih menggunakan bahasa yang
sempurna secara tertulis dan lisan, dengan tujuan adalah untuk memberikan
kepastian hukum bagi kedua belah pihak dan sebagai alat pembuktian yang
sempurna apabila dikemudian hari timbul sengketa. Jika syarat kesepakatan
kehendak ini tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian akan mengakibatkan
perjanjian/kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sepakat ditandai dengan adanya
penawaran dan penerimaan dari para pihak, kesepakatan ditandai dengan cara
tertulis, lisan, diam-diam, dan dengan simbol-simbol tertentu. Kesepakatan
merupakan inti dari perjanjian yang tidak mengandung unsur cacat kehendak,
yaitu kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), penipuan (bedrog), dan
penyalahgunaan keadaan (unde influence).
2). Kecakapan Untuk Membuat Perjanjian
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Suatu perbuatan dikatakan perbuatan hukum adalah apabila
perbuatan tersebut menimbulkan akibat hukum. Para pihak yang mengadakan
perjanjian haruslah orang-orang yang memenuhi syarat dan cakap melakukan
perbuatan hukum sebagaimana telah ditentukan dalam undang-undang.
Dalam Pasal 1330 KUHPerdata ditentukan bahwa tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian adalah:
1. Orang-orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
56 Salim H.S., op.cit., hal.33.
65
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-
undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Dalam Pasal 330 KUHPerdata menentukan bahwa belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih
dahulu telah kawin. Dalam ketentuan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dalam
Pasal 7 ditentukan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas tahun) dan pihak wanita sudah mencapai umur
16 (enam belas tahun). Sedangkan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (UUJN) dalam Pasal 39 ayat (1) menentukan bahwa
penghadap harus memenuhi unsur syarat paling sedikit berumur 18 (delapan belas
tahun) atau telah menikah, dan cakap melakukan perbuatan hukum.
Orang yang termasuk tidak cakap menurut UUJN yaitu:
a) Anak di bawah umur
b) Anak di bawah pengampuan (curatele)
c) Wanita kawin dengan perkecualian wanita yang menjalankan usaha sendiri,
tetapi hanya untuk usahanya
d) Semua orang yang dilarang undang-undang melakukan perjanjian tertentu.
Dalam ketentuan perundang-undangan tersebut di atas memnerikan batasan
dewasa seseorang adalah berbeda-beda, namun dapat dirangkum bahwa seseorang
dapat dikatakan dewasa secara hukum adalah minimal berumur 18 (delapan belas
tahun) atau telah menikah dan menurut undang-undang dinyatakan cakap untuk
melakukan perbuatan hukum.
66
3). Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu dapat diartikan adalah suatu maksud yang dituju oleh para
pihak. Hal tertentu menyangkut objek dari perjanjian tersebut, baik berupa barang
ataupun jasa yang dapat dinilai dengan uang. Sesuai dengan ketentual Pasal 1332
KUHPerdata yaitu: ”Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat
menjadi pokok perjanjian”
Objek dari perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa
yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini
terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas:
a) Memberikan sesuatu
b) Berbuat sesuatu
c) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata).
4). Suatu Sebab Yang Halal
Suatu sebab yang halal adalah sebab yang dibenarkan oleh undang-undang,
ketertiban umum, kebiasaan, kepatutan, dan kesusilaan. Suatu perjanjian tanpa
sebab, atau dibuat karena sebab palsu, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1335
KUHPerdata adalah termasuk kedalam sebab yang halal.Pengertian sebab yang
halal diatur dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata, dalam
Pasal 1335 KUHPerdata tersebut menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab,
atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah
mempunyai kekuatan. Ketentuan KUHPerdata tidak memberkan pengertian atau
definisi dari sebab yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam
ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sebab
yang halal adalah bukan tanpa sebab, bukan sebab yang palsu, dan bukan sebab
67
yang terlarang. Suatu sebab (tujuan) yang halal dalam perjanjian adalah
menyangkut isi atau substansi dari suatu perjanjian tersebut yang tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Dalam Pasal 1336 KUHPerdata menyatakan lebih lanjut bahwa:
”Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang,
atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian
adalah sah”.
Dari rumusan Pasal 1336 KUHPerdata tersebut tidak mempersoalkan apa
yang menjadi dasar dibuatnya suatu perjanjian, dalam undang-undang hanya
memperhatikan mengenai prestasi yang disebutkan dalam perjanjian tersebut.
Prestasi yang diperjanjikan antara kedua belah pihak tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang atau hukum, sehingga pelaksanaannya dapat dipaksakan
oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Dalam Pasal 1337 KUHPerdata
menentukan suatu sebab yang terlarang yaitu suatu sebab adalah terlarang apabila
dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum. Namun dalam ketentuan undang-undang tersebut tidak
memberikan batasan mengenai makna dari sebab yang terlarang dan yang tidak
terlarang. Undang-undang hanya melihat pada apa yang tercantum dalam
perjanjian, apa yang merupakan prestasi yang harus dilakukan oleh para pihak.
Tanpa adanya prestasi yang ditentukan dalam perjanjian, maka perjanjian tersebut
tidak mungkin dan tidak akan pernah ada di antara para pihak.
Syarat sahnya suatu perjanjian, syarat yang pertama dan kedua disebut
sebagai syarat subjektif, karena menyangkut para pihak yang mengadakan
perjanjian. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut
68
mengenai objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi
maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Salah satu pihak dapat mengajukan
pembatalan terhadap perjanjian yang disepakati kepada pengadilan. Apabila syarat
ketiga dan syarat keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum,
perjanjian yang telah dibuat dan disepakati tersebut dianggap tidak ada.
Selain dalam Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sahnya suatu perjanjian di
luar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata yang terdiri dari:
1) Syarat itikad baik;
2) Syarat sesuai dengan kebiasaan;
3) Syarat sesuai dengan kepatutan;
4) Syarat sesuai dengan kepentingan umum.
Konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari
syarat-syarat sahnya suatu perjanjian tersebut bervariasi mengikuti syarat mana
yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1) Batal demi hukum (nietig,null and voil), misalnya dalam hal dilanggarnya syarat objektif dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat objektif tersebut adalah:
a) Perihal tertentu, dan b) Kausa yang legal. 2) Dapat dibatalkan (vernietigbaar, voidable), misalnya dalam hal tidak
terpenuhi syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Syarat subjektif tersebut adalah:
a) Kesepakatan kehenadak, dan b) Kecakapan berbuat. 3) Kontrak tidak dapat dilaksanakan (unenforceable), kontrak yang tidak
dapat dilaksanakan adalah kontrak yang tidak begitu saja batal tetapi tidak dapat dilaksanakan, melainkan masih mempunyai status hukum tertentu. Bedanya dengan kontrak yang batal (demi hukum) adalah bahwa kontrak yang tidak dapat dilaksanakan masih mungkin dokonversi menjadi kontrak yang sah. Sedangkan bedanya dengan kontrak yan dapat dibatalkan (voidable) adalah bahwa dalam kontrak yang dapat dibatalkan, kontrak tersebut sudah sah, mengikat dan dapat dilaksankan sampai dengan dibatalkan kontrak tersebut, sementara kontrak yang tidak dapat
69
dilaksanakan belum mempunyai kekuatan hukum sebelum dikonversi menjadi kontrak yang sah.
4) Sanksi Administratif, ada juga kontrak yang apabila tidak terpenuhi hanya mengakibatkan dikenakan sanksi administratif saja terhadap salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam kontrak tersebut.57
Untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan diperlukan asas
hukum, karena asas hukum ini memberikan pengarahan terhadap prilaku manusia
di dalam masyarakat. Sebagaimana dikatakan Van Apeldoorn bahwa asas hukum
adalah asas yang melandasi peraturan hukum positif yang khusus atau yang
melandasi pranata-pranata hukum tertentu, atau melandasi suatu bidang hukum
tertentu.58
Sebagian besar dari peraturan hukum mengenai perjanjian bersumber dan
mempunyai dasar pada asas-asas hukum, menurut Herlien Budiono, bahwa asas-
asas hukum sebagai norma-norma penguji yang fundamental adalah pokok-pokok
pikiran yang melandasi sistem hukum yang nyata berfungsi sebagai hukum
positif.59Asas-asas hukum menghubungkan antara nilai-nilai, pokok pikiran,
moral dan susila pada satu pihak dengan hukum positif pada pihak lain. Asas
hukum secara umum menunjuk pada dasar pemikiran, ideology, dari ketentuan
hukum. Asas-asas hukum mempunyai fungsi menjaga dan mewujudnyatakan
standar nilai atau tolak ukur yang melandasi norma-norma baik yang tercakup
dalam hukum positif maupun praktek hukum.
Fungsi asas perjanjian adalah:
1. Memberikan keterjalinan dari peraturan-peraturan hukum;
57 Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.34-35
58 Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hal.82.
59 Herlien Budiono, op.cit., hal.28.
70
2. Memecahkan masalah baru dan membuka bidang hukum baru; 3. Menyustifikasi prinsip-prinsip etikal yang merupakan substansi aturan
hukum; dan 4. Mengkaji ulang ajaran hukum yang ada sehingga dapat memunculkan
solusi baru.60
Asas-asas hukum merupakan dasar/pokok karena bersifat fundamental,
dan yang dikenal di dalam hukum kontrak klasik ada 4 (empat) asas-asas yaitu :
Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Konsensualisme, Asas Kekuatan Mengikat
(Asas Pacta Sunt Servanda) dan Asas Itikad Baik.
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral
di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan
hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan
kontraktual para pihak. Asas ini dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang
secara embrional lahir dalam zaman Yunani kuno, dilanjutkan oleh kaum
Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman Renaissance (dan semakin
ditumbuhkan pada zaman Aufklarung) melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de
Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau. Perkembangan ini mencapai
puncaknya setelah periode Revolusi Perancis. Sebagai asas yang bersifat universal
yang bersumber dari paham hukum, asas kebebasan berkontrak (freedom of
contract) muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang
mengagungkan laissez faire atau persaingan bebas.
Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari
kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi
60 Herlien Budiono, op.cit., hal.29.
71
semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu. Perkembangan ini
seiring dengan penyusunan BW di negeri Belanda, dan semangat liberalisme ini
juga dipengaruhi semboyan Revolusi Perancis ”liberte, egalite et fraternite”
(kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Menurut paham individualisme setiap
orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu didalam
hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak.
Menurut asas kebebasan berkontrak seseorang pada umumnya mempunyai
pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian di dalam asas ini terkandung suatu
pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian,
bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian. Bebas tentang apa yang
diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian diantaranya :
a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak.
b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian.
c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian.
d. Bebas menentukan bentuk perjanjian dan,
e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.61
Kebebasan berkontrak sebagaimana tersimpul dari ketentuan Pasal 1338
(1) KUH Perdata tidaklah berdiri dalam kesendiriannya, namun berada dalam satu
sistem yang utuh dan padu dengan ketentuan lain terkait. Dalam praktik dewasa
ini, asas kebebasan berkontrak kurang dipahami secara utuh, sehingga banyak
memunculkan (kesan) pola hubungan kontraktual yang tidak seimbang dan berat
61Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal.4.
72
sebelah. Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam
kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, tetapi dalam
kenyataannya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang
seimbang.62Menurut Suhardi, kebebasan dan kesamaan yang terdapat dalam tertib
hukum abad XIX yang jiwanya individualis tidak memberi garansi untuk realisasi
hakikat zat maupun eksistensi manusia sebagai bagian dari rakyat terbanyak.63
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.
Pasal ini menentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang
menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi
cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum
Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal asas konsensualisme, tetapi yang
dikenal adalah perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian ini adalah suatu
perjanjian yang dibuat dan dilaksankan secara nyata (kontan dalam hukum Adat).
Sedangkan yang disebut perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah
ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta di
bawah tangan). Hukum Romawi mengenal istilah contractus verbis literis dan
contractus innominat, yang artinya bahwa terjadi perjanjian apabila memenuhi
62A.G. Guest. Konrad Zweight dan Hein Kotz, 2003, Itikad baik
Kebebasan Berkontrak, FH UI : Pascasarjana, hal. 1-2. 63Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 43-44
73
bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH
Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3. Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda)
Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal dalam hukum gereja, di
dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada
kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung
makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak merupakan
perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan, namun dalam
perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti
sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.
Asas pacta sunt servanda atau yang disebut juga dengan asas kepastian
hukum adalah asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : ”perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang.”
4. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum
perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUH Perdata, bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sementara
itu, Arrest H.R di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap itikad
baik dalam tahap praperjanjian bahkan kesesatan ditempatkan dibawah asas itikad
74
baik tersebut sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para
pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus
yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih
lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat
kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon
pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan
dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani
kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam
menutup kontrak yang berkaitan dengan itikad baik.64
Untuk melengkapi pembahasan mengenai syarat-syarat perjanjian disini
juga dijelaskan mengenai unsusr-unsur dan sumber perjanjian. Adapun unsur-
unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian dapat dikemukakan sebagai
berikut.65
1. Adanya kaidah hukum
Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam,
yakni tertulis dan tidak tertulis.Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah
kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan,
traktat, dan yurispudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis
adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam
masyarakat, seperti : jual beli lepas, jual beli tahunan dan lain sebagainya.
Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.
64J.M van Dunne dan Van der Burght, 1988, Perbuatan Melawan Hukum,Dewan Kerja sama Ilmu hukum Belanda dengan Indonesia, Proyek hukum Perdata, Ujung Pandang hal.15.
65Salim H.S, 2003, Hukum Perjanjian dan Teknik Penyusunan Perjanjian, Sinar Grafika, Jakarta, hal.4.
75
2. Subjek hukum
Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson
diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.Dalam hal ini yang menjadi
subjek hukum dalam hukum perjanjian adalah kreditur dan debitur.Kreditur
adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.
3. Adanya prestasi
Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur.
Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut yaitu
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu.
4. Kata sepakat
Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya
perjanjian seperti tersebut diatas, salah satunya adalah kata sepakat.
5. Akibat hukum
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan
akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.Perjanjian
dapat dilakukan baik secara tertulis maupun dengan secara lisan.Bahkan tidak
jarang terdapat perjanjian yang dilakukan secara diam-diam.
Menurut R.Subekti memberikan definisi tentang perjanjian, yakni “suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu
berjanji untuk melaksanakan hal tertentu. “Para ahli dibidang perjanjian tidak ada
kesatuan pandangan tentang pembagian perjanjian. Berikut pembagian perjanjian
berdasarkan sumber hukumnya dan namanya.
76
1. Perjanjian menurut sumber hukumnya66
Sudikno Mertokusumo menggolongkan perjanjian dari sumber
hukumnya. Ia membagi jenis perjanjian menjadi lima macam yakni :
a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya
perkawinan;
b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan
dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik;
c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;
d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan
bewijsovereenkomst;
e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan
publieckrechtelijke overseenkomst.
2. Perjanjian menurut namanya
Penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di
dalam Pasal 1319 KUH Perdata. Di dalam Pasal 1319 KUH Perdata hanya
disebutkan dua macam perjanjian menurut namanya yakni nominaat (bernama)
dan innominaat (tidak bernama). Perjanjian nominaat adalah kontrak perjanjian
yang diatur di dalam KUH Perdata, misalnya : jual beli, tukar menukar, sewa
menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam
meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian dan lain-lain.
Sedangkan perjanjian innominaat adalah perjanjian yang timbul, tumbuh, dan
berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian ini belum dikenal dalam KUH
66Sudikno, Mertokusumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata,
Fakultas Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hal. 11.
77
Perdata, jadi yang termasuk dalam perjanjian ini adalah leasing,franchise, joint
venture, production sharing, kontrak rahim, kontrak karya, keagenan dan lain-
lain.67
Mengenai bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, antara
lain yaitu perjanjian yang tertulis dan perjanjian yang tidak tertulis (lisan).
Menurut Salim H.S. ada tiga bentuk perjanjian tertulis, yaitu:
1) Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak
yang bersangkutan saja. Perjanjian ini hanya mengikat pihak yang
membuat perjanjian saja.
2) Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisir tanda tangan para
pihak. Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-mata
hanya untuk melegalisir kebenaran tanda tangan para pihak.
3) Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk
akta notariel. Akta notariel adalah akta yang dibuat di hadapan dan
di muka pejabat yang berwenang untuk itu, seperti notaris, camat,
PPAT, dan lain-lain.68
Sementara itu menurut I Ketut Artadi, mengenai bentuk-bentuk perjanjian
dapat di bagi menjadi empat yaitu:
(1) Bentuk perjanjian biasa.
(2) Bentuk perjanjian baku.
(3) Bentuk perjanjian tersamar (kuasi perjanjian).
67Salim H.S, 2003, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.28. 68 SalimH.S, 2010, op.cit., hal.43.
78
(4) Bentuk perjanjian simulasi.69
Perjanjian biasa, adalah perjanjian yang sepenuhnya tunduk kepada
ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undangbagi mereka yang membuatnya”.
Para pihak dalam membuat perjanjian mempunyai kedudukan yang sama dan atas
kehendak bebas membuat perjanjian, dan apa yang dikehendaki secara sama dan
secara terang diketahui oleh kedua belah pihak. Misalnya, perjanjian jual-beli,
perjanjian sewa menyewa dll.
Perjanjian baku, adalah perjanjian yang klausul-klausulnya telah
ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak. Perjanjian baku lebih tepat
disebut kontrak baku, sebab dibuat secara tertulis, disiapkan seragam untuk
banyak orang, lazimnya untuk satu objek perjanjian dan satu prestasi.70 Pihak
yang menyiapkan kontrak baku, berada di pihak yang kuat, menyiapkan format
dan isi kontrak terlebih dahulu, dan pihak lain tinggal menyetujui atas prestasi
yang ditawarkan tersebut.
Karena yang merancang format dan isi kontrak adalah pihak yang lebih
kuat kedudukannya, dapat dipastikan pihak tersebut akan mencantumkan klausul
eksonerasi dalam perjanjian tersebut, yaitu klausul-klausul yang menguntungkan
baginya, meringankan bahkan menghapus beban-beban kewajibannya yang
seharusnya menjadi bebannya.71
69 I Ketut Artadi & I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010,
Implementasi Ketentuan-KetentuanHukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal.36.
70 I Ketut Artadi, op.cit.,hal.37. 71 I Ketut Artadi, loc.cit.
79
Klausul eksonerasi adalah sebagai klausul tambahan atas unsur esenselia,
di mana pihak yang kuat dapat menghindar untuk memenuhi kewajiban atau
menghindar dari kemungkinan kerugian yang harus dipikulnya, menghindar
membayar ganti rugi yang terjadi akibat ingkar janji perbuatan melanggar hukum.
Penerapan klausul-klausul eksonerasi tertentu yang dilakukan oleh pihak yang
kuat terhadap pihak yang lemah mengakibatkan pihak yang lemah sangat
dirugikan; biasa dikenal dengan istilah Penyalahgunaan Keadaan (Undue
Influence).
Klausul eksonerasi tidaklah sepenuhnya dilarang, karena klausul
eksonerasi juga berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (Pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata), yang dilarang klausul eksonerasi yang tergolong perbuatan
penyalahgunan keadaan. Hal ini dapat diketahui dari peristiwa dibuatnya
perjanjian. Klausul eksonerasi tidak saja dapat dijumpai dalam perjanjian baku
atau perjanjian yang memuat klausul baku, dimana salah satu pihak yang
kedudukan ekonomi atau psychologinya lebih kuat dibanding dengan pihak lain,
dan mempergunakan kekuatannya untuk menekan dan merugikan pihak lain.
Dalam praktik kedudukan tidak seimbanng ini lebih banyak dipengaruhi
oleh faktor ekonomi, di mana pihak yang ekonominya lebih kuat mempergunakan
kekuatanya itu untuk menekan pihak yang ekonominya lemah. Sehingga
perjanjian yang dibuat menjadi lebih menguntungkan yang ekonominya lebih
kuat, hal ini banyak terjadi pada perjanjian-perjanjian baku. Sedangkan
ketidakseimbangan psychologis antara para pihak dimungkinkan untuk menekan
pihak lain, ini baiasanya terjadi dalam perjanjian biasa, misalnya antara dokter
80
engan pasiennya, antara pengacara dengan kliennya dan antara atasan dengan
bawahannya.
Pembuatan perjanjian dengan mencantumkan klausul baku yang dilarang
oleh Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen berbunyi:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian apabila:
a.Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b.Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen; c.Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayar atas barang dan / atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
a.Menyatakan pembebanan kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupuntidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara anggsuran.
b. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
c. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
d. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
e. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara anggsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau pengungkapannya yang sulit dimengerti.
(3) Setiap klausul yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan-ketentuan dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausul baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.
81
Klausul eksonerasi yang dilarang dalam perjanjian sekali lagi hanyalah
klausul eksonerasi yang tergolong kepada perbuatan penyalahgunan keadaan
(undue influence). Artinya sepanjang para pihak yang membuat perjanjian itu
mempunyai kedudukan ekonomi dan psychologi yang seimbang, tidak terdapat
indikasi bahwa pihak yang satu dapat menekan pihak yang lain, maka sejauh
perjanjian itu memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata, maka perjanjian tersebut tetap sah. Klausul baku sebagimana
didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
berbunyi:
”Klausul baku adalah aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen / atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi konsumen”.
Dalam praktik, klausul baku seperti di atas banyak dituangkan dalam
perjanjian kredit bank. Dengan disahkannya undang-undang ini, berarti bahwa
bank tidak lagi dapat secara sepihak menuangkan klausul baku yang dilarang oleh
undang-undang, dalam perjanjian kredit yang formal dan isinya sudah ditetapkan
dan dipersiapkan sebelumnya. Namun, masih dimungkinkan mencantumkan
klausul tersebut dalam perjanjian kredit bank yang dibuat di notaris. Alasan
bahwa klausul itu masih dapat dituangkan dalam perjanjian kredit bank yang
dibuat oleh notaris. Oleh karena perjanjian kredit itu tidak dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak bank, akan tetapi dibuat
82
memenuhi ketentuan syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata.
Perjanjian tersamar (perjanjian kuasi), atau kuasi kontrak (omplied
contract, quasi contract) adalah suatu perjanjian di mana karena sifat peristiwanya
para pihak dianggap patut mengetahui oleh hukum bahwa mereka sudah terikat
kepada suatu perjanjian. Bentuk perjanjian tersamar ini secara tidak langsung di
atur di dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang berbunyi: ”Suatu perjanjian tidak saja
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, akan tetapi
untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan dan
kebiasaan atau undang-undang”.
Perjanjian tersamar ini banyak terjadi pada pelayanan umum, misalnya
rumah sakit, taman hiburan, rumah makan dll. Bila diberi contoh, misalnya ada
pasien kecelakaan berat, diantar masuk ke ruang gawat darurat, dan dokter
langsung memberikan pertolongan untuk menyelamatkan nyawa pasien, (karena
sifat peristiwa, sesuai kebiasaan dan kepatutan) para pihak itu (dokter dan
keluarga pasien) dianggap mengetahui oleh hukum bahwa mereka sudah terikat
kepada suatu perjanjian (yaitu dokter harus sungguh-sungguh memberikan
pertolongan tanpa menunggu kesepakatan pasien, dan pasien yang ditolong juga
wajib membayar jasa dokter walaupun tidak terdapat kesepakatan yang jelas).
Seseorang masuk ke rumah makan, dihidangkan makanan, dan membayar sesuai
tarif, tanpa ada kesepakatan sebelumnya atau tanpa tawar menawar sesudahnya
(para pihak sesuai kebiasaan dan kepatutan) dan oleh hukum dianggap
mengetahui bahwa mereka terikat hak dan kewajiban.
83
Sedangkan mengenai bentuk perjanjian yang terakhir adalah perjanjian
simulasi. Perjanjian simulasi dikenal ada dua, yaitu perjanjian simulasi absulut
dan perjanjian simulasi relative.72Perjanjian simulasi absulut memiliki pengertian
apabila para pihak membuat perjanjian yang terhadap pihak luar menimbulkan
kesan yang berbeda dengan perjanjian yang oleh para pihak yang secara diam-
diam mengingkarinya. Contoh si A membeli tanah dari si B, namun si A
kemudian membuat perjanjian yang isinya pengakuan bahwa tanah itu sebetulnya
milik si C (orang asing). Jadi si B dalam perjanjian sebelumnya memberi kesan
kepada pihak ketiga seakan-akan tanah itu miliknya, kemudian secara diam-diam
ia mengingkarinya dengan membuat perjanjian yang berisi pernyataan dengan si
C (orang asing) bahwa sebetulnya tanah itu milik si C.
Sedangkan perjanjian simulasi relative, yaitu apabila para pihak
mengkehendaki akibat hukumnya, tetapi memakai bentuk hukum lain. Contoh,
para pihak bermaksud untuk menghibahkan, tetapi memakai bentuk perjanjian
jual beli. Perjanjian simulasi terutama perjanjian simulasi absolute tergolong
kepada perjanjian yang causanya tidak halal, yaitu perjanjian dibuat karena sebab
yang palsu (Pasal 1335 KUHPerdata), dimana para pihak membuat perjanjian
dengan maksud menyembunyikan tujuan sebenarnya, sehingga perjanjian yang
demikian batal demi hukum. Perjanjian simulasi sepanjang tidak dibatalkan oleh
pengadilan mempunyai kekuatan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1873 KUHPerdata yang berbunyi: ”Perstujuan-persetujuan lebih lanjut yang
dibuat dalam suatu akta tersendiri, yang bertentangan dengan akta asli, hanya
memberikan bukti antara para pihak yang turut serta ahli warisnya atau orang
72 I Ketut Artadi, op.cit., hal.42.
84
yang mendapat hak dari padanya, tetapi tidak berlaku terhadap orang-orang pihak
ketiga”.
3.2 Bentuk Perjanjian Objek Wisata Alas Kedaton
Perjanjian kerjasama Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa
Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Nomor: 15 Tahun 2012/Nomor:
01/XII/DAK/2012 Tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Kepariwisataan
Daya Tarik Wisata Alas Kedaton, dibuat pada hari senin tanggal 3 Desember
Tahun 2012 bertempat di Kantor Bupati Tabanan dan ditandatangani oleh Ni
Putu Eka Wiryastuti Bupati Tabanan, dalam hal ini bertindak untuk dan atas
nama Pemerintah Kabupaten Tabanan selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA
dan I Gede Subawa Bendesa Pakraman Kukuh, dalam hal ini bertindak untuk
dan atas nama masyarakat Desa Pakraman Kukuh, selanjutnya disebut PIHAK
KEDUA. Mengenai perjanjian yang di buat antara Pemerintah Kabupaten
Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, sesungguhnya mengacu pada
ketentuan peraturan pemerintah, dalam hal ini mengacu kepada Pasal 1320
KUHPerdata dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun
2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.
Dalam ketentuan umum perlu dijelaskan yang dimaksud dengan kerja
sama daerah adalah kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur
dengan bupati/wali kota atau antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota
yang lain, dan atau gubernur, bupati/ wali kota dengan pihak ke tiga, yang di
buat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Sedangkan
menegenai pihak ke tiga adalah Departemen/Lembaga Pemerintah Non
85
Departemen atau sebutan lain, perusahaan swasta yang berbadan hukum, Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi Yayasan, dan
lembaga di dalam negeri lainnya yang berbadan hukum.Desa pakraman sesuai
dengan penjelasan tersebut masuk ke dalam kategori pihak ke tiga. Tentang
kerja sama daerah, pemerintah harus mengacu pada prinsip kerja sama yang
terdapat dalam ketentuan Pasal 2, yaitu terdiri dari:
a. efisiensi; b. efektivitas; c. sinergi; d. saling menguntungkan e. kesepakatan bersama f. itikad baik g. mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia; h. persamaan kedudukan; i. transparansi; j. keadilan; dan k. kepastian hukum.
Mengenai subjek kerjasama, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, maka
yang menjadi subjek perjanjian adalah, gubernur, bupati, wali kota dan pihak
ketiga, mengenai subjek kerjasama pihak ketiga ini, desa pakraman masuk ke
dalam bagian tersebut. Sedangkan untuk bentuk dari kerja sama tersebut dalam
Pasal 5 dijelaskan, mengenai bentuk kerja sama daerah dituangkan dalam bentuk
perjanjian kerja sama. Mengenai bentuk perjanjian dari Objek Wisata Alas
Kedaton, sesuai dengan apa yang telah dijelaskan mengenai mekanisme perjanjian
yang disebutkan di atas, pihak Pemerintah Kabupaten Tabanan pada dasarnya
telah memenuhi seluruh ketentuan yang telah di sebutkan oleh Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2007, ini terbukti dari bentuk perjanjian kerja sama yang telah di
86
buat sudah memenuhi ketentuan seperti yang di haruskan oleh undang-undang.
Dari perjanjian kerja sama tersebut sudah memenuhi ketentuan sesuai dengan
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2007 yang menyebutkan, mengenai
perjanjian kerja sama paling sedikit memuat subjek kerja sama, objek kerja sama,
ruang lingkup kerja sama, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu kerja
sama, pengakhiran kerja sama, keadaan memaksa, dan penyelesaian perselisihan.
Pembahasan tentang bentuk perjanjian Objek Wisata Alas Kedaton, di sini
akan di gunakan bentuk-bentuk perjanjian yang di kemukakan oleh I Ketut Artadi.
Sesuai dengan judul buku yang berjudul Implementasi Ketentuan-Ketentuan
Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak yang menyebutkan bahwa
bentuk-bentuk perjanjian dapat dibagi menjadi empat yaitu, bentuk perjanjian
biasa, bentuk perjanjian baku, bentuk perjanjian tersamar (kuasi perjanjian) dan
bentuk perjanjian simulasi.
Dapat dijelaskan bahwa bentuk perjanjian yang di buat oleh Pemerintah
Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh Kecamatan Marga Nomor: 15
Tahun 2012/ Nomor: 01/XII/DAK/2012 tentang Penyelenggaraan Daya Tarik
Wisata Alas Kedaton, sesuai dengan bentuk-bentuk perjanjian menurut I Ketut
Artadi tersebut termasuk kedalam bentuk perjanjian baku. Dikatakan perjanjian
baku karena didalam perjanjian tersebut telah dibuat dengan bentuk berupa
perjanjian kerja sama, yang mengacu kepada ketentuan Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Meskipun
perjanjian tersebut merupakan perjanjian baku yang segala aturan mengenai tata
cara pembuatannya telah mengacu pada peraturan perundang-undangan tetap
87
harus di junjung mengenai asas keadilan, persamaan kedudukan dan saling
menguntungkan.
Sesuai dengan pengertian perjanjian baku yang disampaikan oleh I Ketut
Artadi, dimana perjanjian baku adalah perjanjian yang klausul-klausulnya telah
ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak. Melihat isi dari perjanjian kerja
sama antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuhdan
sesuai dengan pengertian perjanjian baku, maka ada kemungkinan dalam hal ini
Pemerintah Kabupaten Tabanan merancang format dan isi perjanjian kerja sama
tersebut untuk menambahkan klausul eksonerasi. Klausul eksonerasi memiliki
pengertian menambahkan klausul-klausul yang menguntungkan, meringankan
bahkan menghapus beban-beban kewajiban yang seharusnya menjadi beban
pihak yang membuat perjanjian (Pemda Tabanan). Dari pengertian mengenai
klausul eksonerasi tersebut dan melihat kewajiban antara dua belah pihak yaitu
PIHAK PERTAMA (Pemerintah Kabupaten Tabanan) dan PIHAK KEDUA
(Desa Pakraman Kukuh), ditemukan adanya ketidakseimbangan dalam
pemenuhan kewajiban antara kedua belah pihak. Bila dianalisa sesuai dengan
pengertian klausul eksonerasi tersebut, ditemukan klausul yang mengarah pada
keuntungan satu pihak saja, ini dapat dilihat pada Pasal 8 mengenai kewajiban
PIHAK PERTAMA yang hanya terdiri dari dua point saja. Di dalam penjelasan
Pasal 8 mengenai PIHAK PERTAMA tersebut kewajiban PIHAK PERTAMA
hanya sebatas mengkoordinasikan pembinaan penyelenggaraan dan pengelolaan
Daya Tarik Wisata Alas Kedaton dan melakukan pengawasan dan pengendalian
dalam rangka pengembangan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton untuk mencegah
berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.
88
Beda halnya jika dilihat mengenai kewajiban PIHAK KEDUA yang terdapat
dalam Pasal 9 perjanjian kerja sama tersebut. PIHAK KEDUA yaitu Desa
Pakraman Kukuh dalam penjelasan pasal tersebut terdapat lima point penting
yang harus wajib dilakukan antara lain yaitu melakukan tugas oprasional
penyelenggaraan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton, memberikan informasi yang
akurat dan bertanggung jawab tentang Daya Tarik Wisata Alas Kedaton,
memberikan pelayanan kepada setiap pengunjung secara profesional dan menjaga
sikap/prilaku sesuai aturan dan norma yang berlaku, melaporkan oprasional
pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton kepada PIHAK PERTAMA setiap
bulan, dan yang terakhir menyetor hasil pemungutan retribusi sesuai hasil
perhitungan pembagian yang disepakati setiap bulan paling lambat tanggal 10
bulan berikutnya kepada PIHAK PERTAMA melalui Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) yang terkait. Di dalam kewajiban masing-masing pihak antara
PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA terlihat ketidakseimbangan kewajiban,
dimana PIHAK PERTAMA hanya berkewajiban melakukan pembinaan semata
dan hanya bersifat formalitas, sedangkan kewajiban PIHAK KEDUA
berkewajiban untuk menyetorkan hasil pemungutan retribusi yang telah disepakati
sesuai perjanjian kerja sama tanpa adanya timbal balik berupa bantuan apapun
untuk membantu pemeliharaan Objek Wisata Alas Kedaton. Berdasarkan uraian
diatas bahwa dilihat dari bentuknya, perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah
Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh telah memenuhi persyaratan
perjanjian.
89
Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman
Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian. Mengenai syarat-syarat perjanjian yang
telah dijelaskan maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan
didukung Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Kerja Sama Daerah. Pasal 1320 KUHPerdata mencakup empat syarat fundamental
yang harus dipenuhi agar perjanjian dapat dinyatakan sah. Maka sesuai dengan
perjanjian yang dibuat antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa
Pakraman Kukuh bahwa, antara para pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri,
ini telah sesuai dengan syarat perjanjian pada bagian pertama. Mengenai
kecakapan untuk membuat perjanjian, para pihak telah memenuhi syarat yang
terdapat pada bagian kedua. Ini terbukti dari kedua belah pihak yang saling
bersepakat membuat perjanjian masing-masing antara Pemerintah Kabupaten
Tabanan (Ni Putu Eka Wiryastuti/Bupati Tabanan) dengan Desa Pakraman Kukuh
(I Gede Subawa/Bendesa Adat Kukuh) telah memenuhi syarat sebagai badan
hukum/subyek hukum. Untuk syarat ke tiga, yaitu mengenai suatu hal tertentu
dapat dijelaskan bahwa sesuai dengan isi perjanjian telah jelas yang menjadi
objek/prestasi adalah mengenai pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton. Prestasi
terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu (Pasal
1234 KUHPerdat). Sedangkan yang terakhir tentang suatu sebab yang halal, dapat
dijelaskan adalah sebab yang dibenarkan oleh undang-undang, ketertiban umum,
kebiasaan, kepatutan, dan kesusilaan. Jadi jika dilihat dari hal tersebut di atas
maka sesungguhnya perjanjian yang dibuat Pemerintah Kabupaten Tabanan
dengan Desa Pakraman Kukuh belum memenuhi kepatutan, ini dapat dilihat dari
90
isi perjanjian mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak yang sesuai
analisa tidak seimbang.
3.3 Keabsahan Perjanjian Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton
Untuk mengetahui keabsahan sebuah perjanjian yang melibatkan desa
pakraman, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui apakah desa pakraman
termasuk sebagai subyek hukum. Dilihat dari pengertiannya istilah subyek hukum
berasal dari terjemahan bahasa Belanda rechtsubject atau subject of law (Inggris).
Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Abdul R. Saliman mengemukakan bahwa subyek hukum adalah suatu yang
menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban yang memiliki kewenangan
untuk bertindak.73Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa subyek hukum
adalah ”pendukung hak dan kewajiban. Pendukung hak dan kewajiban itu disebut
orang. Orang dalam arti hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Manusia
pribadi adalah subyek hukum dalam arti biologis, sebagai gejala alam, sebagai
mahluk budaya yang mempunyai akal, perasaan dan berkehendak. Badan hukum
adalah subyek hukum dalam arti yuridis, sebagai gejala dalam hidup
bermasyarakat, sebagai badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, mempunyai
hak dan kewajiban seperti manusia pribadi”.74
Ciri utama setiap subyek hukum adalah mempunyai hak dan kewajiban
dan adanya kecakapan hukum dan kewenangan hukum. Adapun jenis dari subyek
73 Abdul R. Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis, 2005, Hukum Bisnis
Untuk Perusahaan Teori & Contoh Kasus, Kencana Prenada Media Group, hal.11. 74 Abdulkadir Muhammad, 1993, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal.27.
91
hukum ada dua yaitu manusia atau orang (natuurlijke person) dan badan hukum
(rechtperson). Khusus mengenai badan hukum maka dapat disebutkan beberapa
ciri-ciri badan hukum yaitu:
(1) Suatu perkumpulan atau persekutuan manusia;
(2) Mempunyai tujuan tertentu;
(3) Mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang
menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut;
(4) Memiliki hak-hak dan kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan kewajiban-
kewajiban orang-orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut;
(5) Berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak
terikat pada orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajiban-
kewajibannya tetap ada meskipun orang-orang yang menjalankannya berganti.
(6) Mempunyai hak menggugat dan digugat.
Selanjutnya bila dilihat dari ketentuan perumusan Perda No.06 Tahun
1986 tentang Desa Adat yang kini telah diganti menjadi Perda No. 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman, maka dapat dirumuskan beberapa unsur yang merupakan
ciri-ciri pokok dari desa pakraman, yakni:
1. Merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali;
2. Mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup sebagai suatu
masyarakat;
3. Masyarakat merupakan pemeluk Agama Hindu dan bersifat turun-temurun;
4. Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) sebagai salah satu pengikat/penanda;
5. Mempunyai wilayah tertentu;
6. Mempunyai harta kekayaan sendiri; dan
92
7. Berhak mengurus harta kekayaan sendiri.
Mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Perda No. 3 Tahun 2001
yaitu pada Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (2) menyebutkan bahwa, pada
ketentuan Pasal 9 ayat (1) harta kekayaan desa pakraman adalah kekayaan yang
telah ada maupun yang akan ada yang berupa harta bergerak dan tidak bergerak,
material dan immaterial, serta benda-benda yang bersifat religius magisyang
menjadi milik desa pakraman. Selanjutnya pada ketentuan Pasal 9 ayat (2)
dijelaskan bahwa harta kekayaan desa pakraman berupa benda bergerak dan
benda tidak bergerak, ada yang berwujud (material) dan immaterial, serta ada
yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi serta benda-benda yang bersifat magis
religius pengelolaannya dilakukan oleh Prajuru Desa sesuai dengan awig-awig
desa pakraman masing-masing. Dari ketentuan tersebut di atas, tidak ada yang
menyebutkan secara tegas bahwa desa pakraman sebagai subyek hukum. Namun
dari ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Perda No.3 Tahun 2001 dapat
ditafsirkan bahwadesa pakraman adalah sebagai badan hukum, sesuai dengan
unsur-unsur yang merupakan ciri-ciri pokok desa pakraman sebagai karakteristik
kesubyekkan desa pakraman dalam menunjukan identitasnya bahwa desa
pakraman dalam melaksanakan hak pengurusan harta kekayaan desa pakraman,
baik benda bergerak dan benda tidak bergerak.75
Mengenai wewenang dari desa pakraman secara tegas dinyatakan dalam
Pasal 6 Perda No.3 Tahun 2001 yang menyebutkan:
75I Wayan Arka, 2014, “Eksistensi Desa Pakraman Dalam Pengelolaan
Obyek Wisata Di Bali” Disertasi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal.210.
93
a. Desa pakraman memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa adat dan
agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan
toleransi antarkrama desa sesuai dengan awig-awig dan adat kebiasaan
setempat;
b. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan
yang ada diwilayahnya yang berkaitan dengan Tri Hita Karana;
c. Melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar desa pakraman.
Sesuai dengan dasar hukum yang telah dijelaskan di atas mengenai desa
pakraman sebagai subyek hukum di dalam perjanjian dan di kaitkan mengenai
syarat sahnya suatu perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata, maka ada
empat syarat sahnya suatu perjanjian, yakni adanya kata sepakat bagi mereka yang
mengikatkan dirinya, kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, harus
ada suatu hal tertentu, dan harus ada suatu sebab (causa) yang halal. Dikaitkan
dengan ketentuan tersebut maka secara yuridis desa pakraman telah memenuhi
syarat untuk dapat bertindak sebagai subyek hukum dalam melakukan perjanjian
kerjasama, dalam hal ini kerjasama perjanjian peengelolaan objek wisata Alas
Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh.
Selanjutnya, untuk menentukan atau menilai keabsahan sebuah kontrak
atau perjanjian, harus dikaji bagaimana hukum kontrak mengatur syarat-syarat
keabsahan kontrak. Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya empat syarat
sahnya suatu perjanjian, yakni adanya kata sepakat bagi mereka yang
mengikatkan dirinya, kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, harus
ada suatu hal tertentu, dan harus ada suatu sebab (causa) yang halal. Persyaratan
tersebut berkenaan baik mengenai subjek maupun objek perjanjian. Persyaratan
94
pertama dan kedua berkenaan dengan subjek perjanjian, persyaratan yang ketiga
dan keempat berkenaan dengan objek perjanjian. Pembedaan kedua persyaratan
tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi hukumnya (nieteg, null and
void, void ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar, voidable) suatu
perjanjian. Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian yang sejak semula
sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Perjanjian
yang dapat dibatalkan adalah sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak
dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku.
Pakar hukum Indonesia pada umumnya berpendapat bahwa apabila
persyaratan subjektif perjanjian (kata sepakat dan kecakapan untuk melakukan
perikatan) tidak dipenuhi tidak mengakibatkan batalnya perjanjian, tetapi hanya
dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan. Apabila persyaratan yang
menyangkut objek perjanjian (suatu hal tertentu dan adanya causa hukum yang
halal) tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Kata sepakat di
dalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak
antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan
persetujuannya atau kesepakatannya (toestemming) jika ia memang menghendaki
apa yang disepakati.76Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan pengertian
sepakat sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende
wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan
akseptasi (acceptatie).77 Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa
76 J.Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Timbul dari
Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.164. 77 Mariam Darus Barulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni,
Bandung, hal.24.
95
ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Kesesuaian kehendak antara dua
saja belum melahurkan perjanjian, karena kehendak tersebut harus dinyatakan,
harus nyata bagi pihak yang lain, dan harus dapat dimengerti oleh pihak lain.
Apabila pihak yang lain tersebut telah menyatakan menerima atau menyetujuinya,
maka timbulah kata sepakat.
Orang dapat mengatakan bahwa suatu pernyataan adalah suatu penawaran
apabila hal itu sampai pada orang yang diberikan penawaran, sedang pernyataan
itu sendiri haruslah diartikan sebagai suatu tanda yang dapat diketahui dan
dimengerti oleh lawan janjinya. Konsekwensinya, jika terjadi karena penawaran
itu diterima secara keliru, ada akseptasi yang menyimpang dari penawarannya
maka pada dasarnya tidak lahir perjanjian.78 J.Satrio menyebutkan ada beberapa
cara untuk mengemukakan kehendak tersebut, yakni secara tegas, tertulis, dengan
tanda, dan diam-diam.79 Suatu perjanjian dapat mengandung cacat kehendak atau
kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang di sebut di bawah ini,
yaitu adanya paksaan (dwang), adanya kesesatan atau kekeliruan (dwaling), dan
adanya penipuan (bedrog).
Mengenai hal-hal yang menyebabkan cacat kehendak di atas maka perlu
dijelaskan mengenai ketiga hal tersebut, yang pertama yaitu paksaan (dwang).
Menurut Pasal 1324 KUHPerdata paksaan terjadi apabila perbuatan itu
sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang berpikiran sehat dan
apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa
dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.
78J.Satrio, op.cit., hal.176. 79J.Satrio, op.cit, hal.183.
96
Paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman dngan suatu yang diperbolehkan
hukum yang menimbulkan ketakutan sehingga ia membuat perjanjian. Disini
paksaan tersebut harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi yang
menerima paksaan.80
Cacat kehendak yang kedua yaitu kekeliruan atau kesesatan. Kekeliruan
terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari para yang
diperjanjikan atau tentang syarat yang penting dari barang yang menjadi objek
perjanjian atau mengenai orang dengan siapa perjanjian itu dilakukan. Kekhilafan
itu harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal
tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuan.81 Sedangkan yang ketiga
mengenai hal yang dapat menyebabkan cacat kehendak yaitu penipuan. Penipuan
terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-
keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihatuntuk
membujuk pihak lawannya memberikan persetujuannya, pihak yang menipu
bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya.82 Penipuan adalah
dengan sengaja mengajukan gambaran atau fakta yang salah untuk memasuki
hubungan kontrak. Oleh karena itu, pihak yang tidak bersalah harus bersandar
pada gambaran yang salah tadi dan secara finansial pihak yang merugikan pihak
lain itu wajib membayar ganti rugi.83
80 Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal.65. 81 R.Subekti, 1984, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal.24. 82Ibid. 83 Salim H.S., 2003, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan
Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.27.
97
Menurut doktrin dan yurisprudensi, ternyata perjanjian-perjanjian yang
mengandung cacat seperti itu tetap mengikat para pihak, hanya saja pihak yang
merasakan telah meberikan pernyataan yang mengandung cacat tersebut dapat
memintakan pembatalan perjanjian. Sehubungan dengan ini, Pasal 1321
KUHPerdata menyatakan bahwa jika di dalam suatu perjanjian terdapat
kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka di dalam perjanjian itu terdapat cacat
pada kesepakatan antar para pihak dan karenanya perjanjian itu dapat dibatalkan.
Syarat sahnya perjanjian yang kedua menurut Pasal 1320 KUHPerdata
adalah kecakapan untuk membuat perikatan (om eene verbintenis aan te gaan).
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak
cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang tidak cakap
untuk membuat perjanjian, yakni: orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh
dibawah pengampuan dan orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan
oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-
undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.
Seseorang dikatakan belum dewasa menurut Pasal 330 KUHPerdata jika
belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang dikatakan dewasa jika telah berumur
21 tahun atau berumur kurang dari 21 tahun, tetapi telah menikah. Dalam
perkembangannya, berdasar atas Pasal 47 dan 50 Undang-Undang No.1 Tahun
1974 kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan
orang tua atau wali sampai umur 18 tahun. Selanjutnya Mahkamah Agung melalui
Putusan No. 447/Sip/1976 Tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa dengan
berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka batas seseorang berada di
98
bawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun, bukan 21 tahun. Seseorang yang
telah dewasa dapat tidak cakap melakukan perjanjian jika, yang bersangkutan
diletakan di bawah pengampuan (curatele atau conservatorship). Seseorang dapat
diletakan dibawah pengampuan jika yang bersangkutan gila, dungu
(onnoozelheid), mata gelap (razernij), lemah akal (zwakheid van vermogens) atau
juga pemboros. Orang yang seperti itu tidak menggunakan akal sehatnya, dan oleh
karenanya dapat merugikan dirinya sendiri.
Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu (een
bepaald onderwerp). Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian
harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit apat ditentukan
jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu, dan harus mengenai
suatu hal tertentu berarti bahwa apa yang dioerjanjikan yakni hak dan kewajiban
kedua belah pihak. J. Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu
hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi perjanjian. Isi prestasi tersebut
harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.84 KUHPerdata
menentukan bahwa barang yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti
dapat dihitung atau ditentukan.
Syarat sahnya perjanjian yang keempata adalah adanya kausa hukum yang
halal. Kata kausa yang diterjemahkan dari kata oorzak (Belanda) atau causa
(Latin) bukan berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian,
tetapi mengacu kepada isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. Menurut Pasal 1335 jo
1337 KUHPerdata bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa dikatakan
84 J.Satrio, op.cit, hal.41.
99
bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang
bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan
kesusilaan (goede zeden) bukanlah masalah yang mudah, karena istilah kesusilaan
tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan
daerah atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu
penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan
perkembangan zaman. J.Satrio mempermasalahkan, apakah kausa hanya tidak
boleh bertentangan dengan kesusilaan yang bersifat umum ataukah hanya dalam
lingkup yang terbatas. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat, pendapat yang satu
hanya mau menerima ”kesusilaan” dalam lapangan, yakni kalau ia merupakan
penerapan moral umum dalam kalangan terbatas atau dalam hubungan hukum
tertentu. Pendapat lain yang lain yakni pendapat yang lebih luas, yang mau
menerima ”kesusilaan” dalam kalangan yang terbatas, asal tidak bertentangan
dengan kesusilaan umum. Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang juga
apabila bertentangan dengan ketertiban umum. J.Satrio memaknai ketertiban
umum sebagai hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum,
keamanan negara, keresahan dalam masyarakat, dan karenanya dapat dikatakan
berkaitan masalah ketatanegaraan.
Pengaturan tentang klausul baku yang berkaitan dengan hubungan antara
produsen dan konsumen terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor. 8
Tahun 1999. Pasal 18 ayat (1) menentukan pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau
mencantumkan klausul baku di setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
100
a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang telah dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/ atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumenkepada peraturan berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/ atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelakuusaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Dalam Pasal 18 ayat (2) kemudian ditentukan pula bahwa pelaku usaha
dilarang mencantum klausul bakuyang letak atau bentuknya sulit terlihat atau
tidak dapat dibaca secara jelas, atau pengungkapannya sulit dimengerti. Larangan
tersebut di atas oleh Pasal 18 ayat (3) dikaitkan dengan kausa hukum yang halal
dalam kontrak. Jika kontrak memuat klausul yang dilarang tersebut, maka
konsekuensinya, kontrak yang bersangkutan batal demi hukum. Hoge Raad
sesungguhnya telah memberikan ketentuan yang sangat baik mengenai syarat-
syarat itikad baik pada kontrak yang memperhitungkan keadaan yang ada
hubungannya dengan pelaksanaan kontrak. Dengan demikian, hakim dalam suatu
sengketa konkrit antara dua pihak yang mengadakan kontrak memiliki ukuran
101
pengujian yang tajam, yang memenuhi hukum alam semua keadaan dari sengketa
itu.85
Pada dasarnya sepanjang tidak memenuhi persyaratan yang dimaksud
Pasal 1320 KUHPerdata, maka kontrak dengan klausul baku tetap sah, hal ini
menjawab jika perjanjian kerja sama yang di buat Pemerintah Kabupaten Tabanan
dengan Desa Pakraman Kukuh adalah perjanjian yang sah secara ketentuan
hukum. Namun sekarang dalam pembahasan mengenai keabsahan sebuah
perjanjian atau kontrak tidak dipermasalahkan sah atau tidaknya perjanjian dengan
klausul baku, tetapi apakah isi perjanjian itu ada yang memuat klausul yang
dilarang oleh undang-undang, secara umum mengerucut pada Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Demikian juga apakah isi kontrak memuat klausul yang
mengandung ketidakrasionalan dan ketidakpatutan, dalam hal ini dilihat dari
pemenuhan hak dan kewajiban yang di rasa tidak memenuhi dari sisi keadilan
dalam perjanjian kerja sama yang di buat Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan
Desa Pakraman Kukuh, tentang pengelolaan Objek Wisata Alas kedaton.
Semestinya dengan di buatnya perjanjian baku seperti ini Pihak
Pemerintah Kabupaten Tabanan seharusnya memberikan kejelasan atas
pemenuhan hak dan kewajiban di dalam isi perjanjian. Isi perjanjian tersebut
seharusnya menyertakan PIHAK PERTAMA untuk ikut membantu kelangsungan
perkembangan Objek Wisata Alas Kedaton sebagai timbal balik dari pembagian
hasil yang telah didapat. Dengan dibuatnya perjanjian tersebut diharapkan kedua
belah pihak sama-sama merasakan dampak positif dari di buatnya perjanjian,
85 Ridwan Khairandy, 2004, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak,
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal.249.
102
bukannya malah menguntungkan satu pihak saja. Namun pada kenyataanya dari
isi perjanjian, PIHAK PERTAMA justru tidak mencantumkan bahkkan
menghilangkan atau menghapuskan apa yang seharusnya menjadi kewajiban
PIHAK PERTAMA, yang dalam hal ini PIHAK PERTAMA seharusnya
berkewajiban untuk ikut berperan aktif dalam menjaga maupun membantu secara
finansial atau bantuan untuk memperbaiki infrastruktr seperti jalan bahkan
pelestarian hutan dan Pura di dalamnya (Pura Dalem Khayangan Kedaton)
Jadi dapat ditarik kesimpulan mengenai syarat-syarat perjanjian yang telah
dijelaskan dalam pembahasan diatas, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata yang mencakup empat syarat fundamental yang harus dipenuhi agar
perjanjian dapat dinyatakan sah maka sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara
Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh bahwa, antara
para pihak telah sepakat untuk mengikatkan diri, ini telah sesuai dengan syarat
perjanjian pada bagian pertama. Mengenai kecakapan untuk membuat perjanjian,
para pihak telah memenuhi syarat yang terdapat pada bagian kedua. Ini terbukti
dari kedua belah pihak yang saling bersepakat membuat perjanjian masing-masing
antara Pemerintah Kabupaten Tabanan (Ni Putu Eka Wiryastuti/Bupati Tabanan)
dengan Desa Pakraman Kukuh (I Gede Subawa/Bendesa Adat Kukuh) telah
memenuhi syarat sebagai badan hukum/subyek hukum. Untuk syarat ke tiga, yaitu
mengenai suatu hal tertentu dapat dijelaskan bahwa sesuai dengan isi perjanjian
telah jelas yang menjadi objek/prestasi adalah mengenai pengelolaan Objek
Wisata Alas Kedaton. Prestasi terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu
dan tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata). Sedangkan yang terakhir
103
tentang suatu sebab yang halal, dapat dijelaskan adalah sebab yang dibenarkan
oleh undang-undang, ketertiban umum, kebiasaan, kepatutan, dan kesusilaan.
104
BAB IV
PERJANJIAN PENGELOLAAN OBJEK WISATA ALAS KEDATON
DALAM PERSPEKTIF TUJUAN HUKUM
4.1 Tujuan Hukum
4.1.1 Hukum Barat
Mengenai tujuan hukum pada dasarnya sangat mustahil untuk dapat kita
bahas secara memadai satu-persatu. Namun demikian di antara begitu banyak
teori tentang tujuan hukum, maka paling tidak ada beberapa teori yang dapat di
golongkan sebagai grand theory tentang apa yang menjadi tujuan hukum. Achmad
Ali di dalam bukunya yang berjudul Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan
Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), membagi grand theory tentang tujuan hukum ke dalam tiga teori
besar yaitu, teori barat yang di bagi menjadi teori klasik dan modern, teori timur
dan teori hukum islam. Dari ketiga teori besar yang di kemukakan oleh Achmad
Ali tersebut dalam hal ini dibatasi hanya membahas mengenai teori tujuan hukum
barat. Grand Western Theory dibagi menjadi dua bagian yaitu:
A. Teori Klasik, di bagi menjadi 3 (tiga) a.Teori Etis b.Teori Utilistis c.Teori Legalistik
B. Teori Modern, di bagi menjadi 2 (dua) a.Teori Prioritas Baku b.Teori Prioritas Kasuistik86
86 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kharisma Putra Utama, Jakarta, hal.213.
105
Berbicara tentang tujuan hukum, Achmad Ali mengklasifikasikan ke
dalam dua kelompok teori yaitu sebagai berikut:
1. Ajaran Konvensional (Teori Klasik), adalah dinilai sebagai ajaran yang
ekstrem, karena menganggap tujuan hukum hanya semata-mata satu tujuan
saja. Misalnya ajaran etis menyatakan bahwa pada asasnya tujuan hukum
adalah semata-mata untuk menciptakan keadilan. Ajaran utilistis
menyatakan bahwa pada asanya tujuan hukum adalah semata-mata untuk
menciptakan kemanfatan atau kebahagiaan masyarakat. Ajaran normatif-
dogmatif (Teori Legalistik), menyatakan bahwa pada asanya tujuan hukum
adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.
2. Ajaran Modern, dibagi menjadi dua tujuan hukum yaitu ajaran prioritas
baku dan ajaran prioritas kasuistis. Dapat dijelaskan kedua ajaran tersebut
sebagai berikut:
a. Ajaran Prioritas Baku, menurut Gustav Radbruch tujuan hukum itu adalah,
keadilan kemanfaatan, dan kepastian hukum.Dari tujuan hukum yang diajarkan
oleh Gustav Radbruch tersebut disadari secara khusus, masing-masing bidang
hukum mempunyai tujuan yang spesifik. Sebagai contoh, Hukum Pidana tentunya
mempunyai tujuan spesifik jika dibandingkan dengan Hukum Privat; demikian
juga Hukum Formal (Hukum Prosedur) mempunyai tujuan spesifik jika
dibandingkan dengan dengan Hukum Materiil, demikian pula bidang-bidang
hukum lain. Bagi Radbruch ketiga ide dasar hukum itu merupakan tujuan hukum
secara bersama-sama, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Namun
selanjutnya timbul pertanyaan apakah hal itu tidak menimbulkan masalah di
106
dalam praktik? seperti kita ketahui, di dalam kenyataannya sering kali antara
kepastian hukum dengan keadilan, terjadi benturan atau ketegangan; atau benturan
antara kepastian hukum dengan kemanfaatan, atau ketegangan antara keadilan dan
kemanfaatan. Radbruch menyadari hal tersebut. Sebagai misal, dalam kasus-kasus
hukum tertentu, kalau hakim menghendaki keputusannya adil (menurut persepsi
keadilan yang dianut oleh hakim tersebut tentunya), bagi si penggugat atau
tergugat, bagi terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi
masyarakat luas. Sebaliknya, jika kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, maka
perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa dikorbankan.
Radbruch mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas prioritas, di mana
prioritas pertama adalah keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah
kepastian hukum. Kemanfaatan dan kepastian hukum tidak boleh bertentangan
dengan keadilan, demikian juga kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan
kemanfaatan.
b. Ajaran Prioritas Kasuistis, menurut Achmad Ali, ada kalanya dalam suatu
kasus keadilan yang lebih di prioritaskan ketimbang kemanfaatan dan kepastian
hukum, tetapi adakalanya tidak mesti demikian. Mungkin untuk kasus-kasus lain
justru kemanfaatan yang diprioritaskan ketimbang keadilan dan kepastian,
mungkin juga dalam kasus lain justru kepastian yang lebih diprioritaskan
ketimbang keadilan dan kemanfaatan.Jadi kesimpulannya di dalam ajaran
Prioritas Kasuistik untuk memecahkan suatu masalah perlu di pandang secara
proposional sesuai dengan kasus yang dihadapi dan ingin dipecahkan.
107
Dilihat dari sejarah ajaran prioritas kasuistik, pada mulanya ajaran
prioritas baku dari Gustav Radbruch dirasakan jauh lebih maju dan arif,
dibandingkan ajaran ekstrem, yaitu ajaran etis, utilistis, dan dogmatik-legalistik.
Namun dalam perkembangannya karena semakin kompleksnya kehidupan
manusia di era modern ini, maka pilihan prioritas yang sudah dibakukan,
terkadang memunculkan pertentangan antara kebutuhan hukum dalam kasus-
kasus tertentu. Adakalanya dalam suatu kasus, keadilan yang lebih tepat
diprioritaskan daripada kemanfaatan dan kepastian hukum, tetapi dalam kasus lain
justru terasa lebih tepat jika kemanfaatan lebih diprioritaskan daripada keadilan
dan kepastian hukum, dan mungkin lagi dalam kasus lainnya justru kepastian
hukum yang lebih tepat diprioritaskan ketimbang keadilan dan kemanfaatan.
Konsep inilah yang oleh dunia praktik hukum dianggap paling relevan untuk
menjawab masalah-masalah hukum dewasa ini.
Secara umum, Teori Tujuan Hukum Barat lebih berorientasi pada tujuan
hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Sedangkan Teori
Tujuan Hukum Timur lebih berorientasi pada tujuan hukum, bahwa kepastian
hukum bukan kemanfaatan, dan bukan keadilan yang menjadi tujuan hukum,
melainkan kedamaian (peace). Tujuan Hukum Islam selain kedamaian juga
keseimbangan, kesejahteraan dan kemanfaatan serta ketertiban.
4.1.2 Hukum Adat Bali
Berbicara mengenai hukum adat Bali maka tidak akan pernah bisa terlepas
dari Agaman Hindu, bisa dikatakan yang menjadi jiwa dari hukum adat Bali
108
adalah Agama Hindu. Dari penjelasan mengenai teori tujuan hukum diatas,
hukum adat Bali juga memiliki tujuan bila dilihat dari perspektif Agama Hindu.
Membahas hukum adat Bali, maka paling tidak ada tiga hal pokok yang harus
dipakai sebagai tumpuan untuk memahami eksistensi hukum adat Bali secara
lebih mendasar. Ketiga pokok hal tersebut adalah, upaya umum masyarakat untuk
berusaha menegakan keseimbangan hubungan antara warga masyarakat itu
sendiri. Upaya menegakan keseimbangan hubungan warga masyarakat dengan
kelompok masyarakat, dan keseimbangan hubungan masyarakat secara
keseluruhan dengan alam ke-Tuhanan.
Pokok pangkal titik tolak kehidupan kelompok masyarakat adat di Bali
yang berdasar kepada ketiga hal di atas, adalah merupakan penuangan dari
falsafah Agama Hindu yang disebut Tri Hita Karana. Falsafah ini sudah begitu
mendalam mewarnai kehidupan atau pola hidup masyarakat Bali. Falsafah Agama
Hindu inilah yang dapat dipakai sebagai tujuan dari hukum adat Bali, sekaligus
sebagai acuan dalam pembahasan mengenai perjanjian pengelolaan Objek Wisata
Alas Kedaton dalam perspektif tujuan hukum. Dalam hal ini melihat tujuan
hukum adat Bali dari sisi Agama Hindu. I Ketut Artadi, dalam bukunya yang
berjudul Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya mengatakan bahwa, dari
falsafah Agama Hindu yang disebut Tri Hita Karana tersebut terdapat tiga point
penting yaitu, hubungan antarwarga, hubungan warga dengan kelompok
masyarakat dan hubungan dengan alam ke-Tuhanan.87
87 I Ketut Artadi, 2003, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya,
Pustaka Bali Post, Denpasar, hal.3.
109
Tri Hita Karana berasal dari kata ”Tri” yang artinya tiga, ”Hita” yang
artinya kebahagiaan, dan ”Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri
Hita Karana adalah tiga penyebab terciptanya kebahagiaan. Konsep Tri Hita
Karana tercermin dalam tata kehidupan masyarakat Hindu yang meliputi
Parahyangan, yaitu berupa unit tempat suci (Pura) tertentu yang mencerminkan
tentang Ketuhanan. Pawaongan, berupa unit dalam organisasi masyarakat adat
sebagai perwujudan unsur antara sesama manusia. Palemahan, yaitu berupa unit
atau wilayah tertentu sebagai perwujudan unsur alam semesta atau lingkungan.
Konsep kosmologi Tri Hita Karana merupakan falsafah tangguh yang memiliki
konsep yang sangat unik dilihat dari keragaman budaya dan lingkungan, ditengah
hantaman globalisasi. Pada dasarnya hakekat ajaran Tri Hita Karana menekankan
tiga hubungan kehidupan dengan manusia di dunia ini. Setiap hubungan memiliki
pedoman hidup menghargai sesama aspek sekitarnya. Ketiga hal tersebut meliputi
hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia
dengan Tuhan.
Hakekat mendasar Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab
kesejahteraan itu, bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan
Tuhan, manusia dengan alam sekitarnya, dan manusia dengan sesamanya. Dengan
menerapkan falsafah itu tersebut, diharapkan dapat menggantikan pandangan
hidup modern yang lebih mengedepankan individualisme dan materialisme.
Membudayakan Tri Hita Karana dalam kehidupan keseharian kita akan dapat
menghapus pandangan yang mendorong terjadinya pertikaian dan gejolak.
110
Dilihat dari permasalahan tentang perjanjian pengelolaan Objek Wisata
Alas Kedaton, maka harus dilihat melalui sudut pandang Sekala dan Niskala.
Secara Sekala atau dunia nyata dapat kita lihat telah terjadi suatu kesepakatan
antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh untuk
membuat perjanjian, sedangkan pada kenyataannya secara Niskala belum ada
perhatian Pemerintah Kabupaten Tabanan untuk membantu baik berupa dana
maupun perbaikan infrastruktur terutama pada bangunan pura yang terdapat di
dalam hutan Alas Kedaton, Pura Dalem Khayangan Kedaton.
Dengan membahas mengenai Tri Hita Karana sebagai tujuan atau dasar
dari hukum adat Bali, maka sesungguhnya jika dikaitkan dengan perjanjian yang
di buat oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, maka
nilai-nilai Agama Hindu tersebut harus digunakan sebagai acuan dalam membuat
perjanjian. Apalagi yang menjadi obyek perjanjian adalah Objek Wisata Alas
Kedaton dimana dalam objek tersebut terdapat pura yang sangat sakral yaitu Pura
Dalem Khayangan Kedaton maka konsep-konsep Tri Hita Karana ini harus dan
mutlak di implementasikan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban antara
masing-masing pihak. Mengkritisi mengenai hak dan kewajiban yang terdapat
dalam isi perjanjian, maka PIHAK PERTAMA yaitu Pemerintah Kabupaten
Tabanan hendaknya ikut menjaga dan memelihara lingkungan berupa hutan di
Objek Wisata Alas Kedaton. Ini sejalan dan berkaitan dengan apa yang
menjaditujuan dari Tri Hita Karana itu sendiri, dari ketiga point penting tentang
Tri Hita Karana tersebut yang paling tepat menggambarkan akan kondisi atau
keadaan dalam permasalahan tentang hak dan kewajiban PIHAK PERTAMA
111
dalam perjanjian adalah Palemahan, dimana manusia diharapkan dapat ikut
memelihara dan menjaga alam agar dapat berjalan seiring dan harmonis.
Seharusnya Pemda Tabanan dapat memberi kontribusi lebih, mengingat didalam
Objek Wisata Alas Kedaton terdapat bangunan suci yang seharusnya pihak pemda
ikut menjaga bahkan membantu kelangsungan pemeliharaan Pura Dalem
Khayangan Kedaton.
4.2 Tinjauan Terhadap Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton
4.2.1 Perspektif Kepastian Hukum
Dilihat dari perspektif kepastian hukum tentang perjanjian kerja sama yang
dibuat Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, sebaiknya
terlebih dahulu kita membahas mengenai badan hukum sebagai subyek hukum.
Perlu diketahui bahwa di dalam perjanjian harus jelas mengenai setatus dari pihak
yang membuat perjanjian, apakah pihak tersebut bersetatus badan hukum atau
tidak. Karena yang menjadi pembahasan adalah dilihat dari perspektif kepastian
hukum dan kepastian hukum merupakan bagian dari tujuan hukum, maka
hendaknya kita harus mengetahui pengertian dari badan hukum itu sendiri.
Badan hukum sebagai subyek hukum di dalam hukum berarti badan
hukum adalah orang (badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan) yang
ditetapkan oleh hukum sebagai subyek di dalam hukum, artinya badan hukum
dapat melalukan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana halnya dengan
manusia (memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan
perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka hakim). Dengan
112
demikian badan hukum tersebut singkatnya diperlakukan sepenuhnya sebagai
layaknya seorang manusia.
Dengan demikian, menurut teori badan hukum, ciri-ciri yang harus
dipenuhi oleh suatu badan hukum untuk dapat disebut subyek hukum, yaitu: (a)
perkumpulan orang; (b) dapat melakukan perbuatan hukum dalam hubungan-
hubungan hukum; (c) mempunyai harta kekayaan sendiri; (d) mempunyai
pengurus; (e) mempunyai hak dan kewajiban; (f) mempunyai hak untuk
menggugat dan digugat. Berdasarkan batasan-batasan dan unsur-unsur badan
hukum, maka setiap perkumpulan sebagai satu kesatuan yang memenuhi ciri
demikian adalah badan hukum. Hukum memeberi kemungkinan, dengan
memenuhi syarat-syarat tertentu, bahwa suatu perkumpulan atau badan lain
dianggap sebagai orang, yang merupakan pembawa hak sebagai subyek hukum
oleh karenanya dapat menjalankan hak-hak seperti orang, begitu pula dapat
dipertanggung-gugatkan. Badan hukum ini akan bertindak dengan perantara
orang, akan tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya
melainkan untuk dan atas pertanggung-gugat badan hukum. Sehingga asumsi dari
definisi dan batasan-batasan diatas secara substansi tidak jauh berbeda dengan
batasan-batasan yang terdapat dalam Perda No. 3 Tahun 2001.
Penguatan pengakuan desa pekraman untuk melakukan perbuatan-
perbuatan hukum secara konstitusional juga disebutkan di dalam Pasal 18B ayat
(2) jo Pasal 28I ayat (3) UUD NRI 1945 (setelah perubahan).
113
Pasal 18B ayat (2):
”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”
Pasal 28I ayat (3):
”Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban”.
Disamping itu juga bentuk penghormatan desa pakraman oleh Negara
adalah pemanfaatan tanah adat sebagai pemukiman yang dikenal dengan tanah
karang desa adalah terkait dengan ketentuan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), dimana tanah karang desa dijadikan pula sebagai obyek PBB. Dalam perda
No. 3 Tahun 2001 ada ketentuan yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (6) yang
menyatakan bahwa ”tanah desa pakraman dan tanah milik desa pakraman bebas
dari pajak bumi dan bangunan”. Namun ketentuan ini dicabut dengan Perda No. 3
Tahun 2003, sehingga dengan demikian tanah adat dalam bentuk tanah desa dapat
dikenakan PBB. Keadaan ini tampaknya berlebihan karena dengan ketentuan itu
berarti tanah adat memikul dua beban yaitu beban dari desa pakraman sendiri
dalam bentuk kewajiban ayahan desa dan beban dari pemerintah berupa pajak.
Undang-Undang No. 12 Tahun 1994 merupakan perubahan atas UU No.
12 Tahun 1985 tentan Pajak Bumi dan Bangunan Pasal 3 (1) menentukan: Objek
Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang :
a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah,
114
sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan. b. digunakan untuk kuburan, peninggalan
purbakala, atau yang sejenis dengan itu; c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka
alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh
desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; d. Digunakan oleh
perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. E.
Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan
oleh Menteri Keuangan.
Ketentuan undang-undang tersebut kiranya dapat ditafsirkan bahwa tanah-
tanah adat dalam segala bentuknya adalah tanah yang tidak disediakan untuk
kepentingan umum sehingga dapat dikenakan pajak, sehingga tanah-tanah seperti
itu juga dalam penguasaan desa pakraman, merupakan harta kekayaan yang
dimiliki oleh masyarakat hukum adat, baik harta bergerak dan harta tidak
bergerak, harta yang berwujud maupun harta yang tidak berwujud, di samping
masyarakat hukum adat (Desa Adat) memiliki hak-hak untuk mengatur
masyarakatnya maupun melakukan perbuatan-perbuatan hukum.
Dalam melihat kepastian hukum lebih luas lagi maka perlu dijelaskan
menganai pengertian hukum. Banyak sarjana mengungkapkan mengenai
pengertian hukum. Beberapa pengertian hukum menurut para sarjana adalah88 :
E.Utrecht, dalam bukunya yang ”berjudul Pengantar dalam Hukum Indonesia”
mengemukakakan hukum adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata
tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat
88 Yulies Tiena Masriani, 2008, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, hal.6-7.
115
yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat
menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu.
Immanuel Kant, dalam bukunya ”Inleiding tot de Rechtswetsnschap”
mengartikan hukum sebagai keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak
bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari
orang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan. Sedangkan J.Van
Apeldorn, dalam bukunya ”Inleiding tot de studie van het Nedelandse recht”,
mengemukakan bahwa tidak mungkin memberikan definisi kepada hukum karena
begitu luas yang diaturnya. Hanya pada tujuan hukum mengatur pergaulan hidup
secara damai. Dari uraian para sarjana mengenai pengertian hukum, maka dapat
disimpulkan bahwa hukum adalah suatu aturan atau norma yang mengatur tingkah
laku masyarakat dalam pergaulan hidup. Mengenai tujuan hukum, menurut
Apeldorn, tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai.89
Mengenai tujuan hukum, terdapat beberapa teori90, yaitu:
1. Teori Etis, yang berpendapat bahwa tujuan hukum semata-mata
untuk mewujudkan keadilan. Mengenai keadilan, Aristoteles
mengajarkan dua macam keadilan, yaitu keadilan distributif dan
keadilan komutatif. Keadilan ditibutif ialah keadilan yang
memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Sedangkan
keadilan Komutatif adalah keadilan yang memberikan jatah kepada
89 L.J Van Apeldorn, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita,
Jakarta, hal.10. 90Dudu Duswara Machmudin, 2003, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah
Sketsa, Refika Aditama, Bandung, hal.24-28.
116
setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa
perseorangan.
2. Teori Utilitas, menurut Bentham bahwa hukum bertujuan untuk
mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya
guna (efektif). Adagiumnya yang terkenal adalah The greatest
happines for the greatest number artinya, kebahagiaan yang
terbesar untuk jumlah yang terbanyak. Ajaran Bentham disebut
juga sebagai eudaemonisme atau utilitarisme.
3. Teori Pengayoman, mengemukakan tujuan hukum adalah untuk
mengayomi manusia, baik secara aktif maupun secara pasif. Secara
aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi
kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung
secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah
mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang
dan penyalahgunaan hak. Usaha mewujudkan pengayoman tersebut
termasuk di dalamnya adalah:
a. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan;
b. Mewujudkan kedamaian sejati;
c. Mewujudkan keadilan;
d. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Mengenai daya ikat hukum dalam masyarakat, berdasarkan pendapat
Gustav Radbruch yang mengembangkan pemikiran Geldingstheorie
117
mengemukakakn bahwa berlakunya hukum secara sempurna harus memenuhi tiga
nilai dasar, meliputi91 :
1. Juridical doctrine, nilai kepastian hukum, dimana kekuatan mengikatnya di dasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi.
2. Sociological doctrine, nilai sosiologis, artinya aturan hukum mengikat karena di akui dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan) atau dapat dipaksakan sekalipun masyarakat menolaknya (teori paksaan).
3. Philosophical doctrine, nilai filosofis, artinya aturan hukum mengikat karena sesuai dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang tertinggi.
Sesungguhnya kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya dapat
dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normatif
adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara jelas dan logis. Jelas
dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam
artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak
berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan
dari ketidak pastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau
distorsi norma.92Secara sosiohistoris, masalah kepasian hukum muncul bersamaan
dengan sistem produksi ekonomikapitalis. Dikaitkan dengan hukum modern orang
mungkin tidak akan melihat kepastian hukum sebagai bagian dari permasalahan,
tetapi apabila orang membandingkan antara hukum modern sebagai bagian dari
orde sosial baru dengan orde sosial yang lama, maka akan jelas sekali dimensi
kepastian hukum disitu.
91Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal.19. 92http://yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/,dikses pada
tanggal 17 Januari 2015
118
Dari penjelasan mengenai kepastian hukum di atas, bila di kaji kedalam
permasalahan tentang kepastian hukum dari perjanjian kerja sama pengelolaan
Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan Dengan Desa
Pakraman Kukuh, maka secara keseluruhan yang disebut dengan kepastian hukum
di dalam perjanjian kerja sama tersebut adalah mengenai tata cara pembuatan
perjanjian, dalam hal ini bentuk perjanjian yang di buat Pemerintah Kabupaten
Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh. Bentuk dari perjanjian kerja sama
tersebut merupakan bentuk perjanjian yang bersifat baku. Dikatakan baku karena
perjanjian ini klausul-klausulnya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu
pihak. Pihak yang merancang perjanjian tersebut adalah PIHAK PERTAMA
dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Tabanan yang telah membuat dan merancang
klausul-klausul dalam perjanjian. Lebih jelasnya yang digunakan Pemertintah
Kabupaten Tabanan dalam membuat perjanjian, berpedoman pada tata cara
pembuatan kerjasama yang di atur dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama
Daerah. Di dalam ketentuan tersebut telah di atur mengenai apa saja yang harus di
sertakan dalam perjanjian kerja sama, paling sedikit di dalam perjanjian kerja
sama memuat subjek kerja sama, objek kerja sama, ruang lingkup kerja sama, hak
dan kewajiban para pihak, jangka waktu kerja sama, pengakhiran kerja sama,
keadaan memaksa, dan penyelesaian perselisihan. Jadi dapat disimpulkan bila
dilihat dari perspektif kepastian hukum terhadap pengelolaan Objek Wisata Alas
Kedaton, maka dapat dikatakan perjanjian yang di prakarsai oleh Pemerintah
Kabupeten Tabanan ini telah memenuhi ketentuan mengenai tata cara pembuatan
119
kerja sama dalam bentuk perjanjian yang mengacu pada Peraturan Pemerintah
Nomor. 50 Tahun 2007.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten
Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh sudah memberikan jaminan kepastian
hukum. Dikatakan sudah memberikan jaminan kepastian hukum karena para
pihak yang membuat perjanjian kerjasama telah sesuai dengan ketentuan ataupun
tata cara dalam pembuatan perjanjian kerjasama yang mengacu pada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.
4.2.2 Perspektif Kemanfaatan
Sesuai dengan Teori Hukum Barat mengenai tujuan hukum yang
dijelaskan sebelumnya, mengenai kemanfaatan kiranya perlu diketahui mengenai
siapa tokoh atau pakar di balik aliran utilistis yaitu tujuan hukum semata-mata
untuk mewujudkan kemanfaatan. Pada umumnya para penganut aliran utilistis
menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan
atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga
masyarakat. Penanganannya didasarkan pada filsafat sosial bahwa setiap warga
masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu alatnya.93 Dari
sekian banyak pakar-pakar penganut aliran utilistis ada beberapa nama pakar yang
dikenal, yaitu Jeremy Bentham yang terkenal dengan the father of legal
utilitarianism. Selain Bentham juga dikenal James Mill dan John Suart Mill, tetapi
93 Achmad Ali, op.cit, hal.272.
120
Jeremy Bentham-lah yang merupakan pakar yang paling radikal di antara pakar
utilistis.
Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang filsuf, ekonom, dan reformer
hukum, yang memiliki kemampuan untuk menenun dari benang ’prinsip
kegunaan’ (utilitas) menjadi permadani doktrin etika dan ilmu hukum yang luas,
dan yang dikenal sebagai ’utilitarianism’ atau mazhab utilistis, yang
mengupayakan jawaban terhadap pertanyaan: ”Apa yang harus dilakukan
seseorang?” jawaban Bentham adalah bahwa, ia harus bertindak untuk
menghasilkan ’konsekuensi-konsekuensi terbaik yang memungkinkan’.Prinsip
utility dikemukakan oleh Bentham dalam karya monumentalnya yang berjudul
Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Di dalam karyanya itu,
Bentham mendifinisikan itu sebagai sifat dalam sembarang benda yang
dengannya, benda tersebut cenderung menghasilkan kesenangan, kebaikan atau
kebahagiaan, atau untuk mencegah terjadinya kerusakan, penderitaan atau
kejahatan serta ketidakbahagiaan pada pihak yang kepentingannya
dipertimbangkan. Menurut Bentham alam telah menempatkan manusia di bawah
pengaturan dua penguasa yang berdaulat, yaitu penderitaan dan kegembiraan.
Keduanya menunjukan apa yang harus kita lakukan dan menentukan apa yang
akan kita lakukan. Fakta bahwa kita menginginkan kesenangan dan berharap
untuk menghindari penderitaan, digunakan oleh Bentham untuk membuat
keputusan, bahwa kita harus mengejar kesenangan.
Jeremy Bentham kemudian terkenal dengan motonya, bahwa tujuan
hukum adalah untuk mewujudkan the greatest happines of the greatest
121
number(kebahagiaan yang terbesar, untuk terbanyak orang). Menurut Bentham
adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu
kebahagiaan mayoritas rakyat. Doktrin utilistis dari Bentham, pada asanya dapat
disimpulkan ke dalam tiga hal, sebagaimana dikemukakan Curzon berikut ini94:
a. The principle of utility subjects everything to these two forces: i) Utility is the property or tendency of an object to produce benefit,
good, or happines or to prevens mischief, pain, or evil; ii) The utility principle allows us to approve of anaction according to its
tendency to promote oppes happines. b. Pleasure maybe equated with good, pain, with evil. c. A thing is said to promote the interest, or to be for the interest, of an
individual when it tends to add to the sum total of his pleasure: or, what comes to the something, to diminish the sum total of his pains.
Pada dasarnya teori yang dikemukakan Bentham ini menganjurkan the
greatest happines principle (prinsip kebahagiaan yang semaksimal mungkin).
Tegas nya menurut teori ini, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang
mencoba memperbesar kebahagaiaan dan memperkecil ketidakbahagiaan, atau
masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada
rakyat pada umumnya, agar ketidakbahagiaan diusahakan sesedikit mungkin
dirasakan oleh rakyat pada umumnya. Kebahagiaan berarti kesenangan atau
ketiadaan kesengsaraan, ketidakbahagiaan berarti kesengsaraan dan ketiadaan
kesenangan. Setiap orang dianggap sama sederajatnya oleh utilistis teori. Menurut
Jeremy Bentham ”Setiap orang dihitung sebagai satu dan tidak ada seorang pun
yang dihitung sebagai lebih dari satu”.95
94 Achmad Ali, op.cit., hal.274. 95 Achmad Ali, op.cit., hal.275.
122
Dikaji dari perspektif kemanfatan, dalam hal ini mengenai perjanjian yang
di buat Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh tentang
pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, tentu saja harus memberikan manfaat.
Di dalam membuat perjanjian kedua belah pihak memiliki posisi yang sama dan
sejajar. Diharapkan di dalam menyepakati sebuah perjanjian tentunya dapat
memberikan manfaat yang sama-sama menguntungkan kedua belah pihak. Dilihat
dari isi perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman
Kukuh yang sampai saat ini sudah hampir tiga tahun berjalan, belum dirasakan
manfaat dari dilakukannya perjanjian kerjasama tersebut. Wawancara yang
dilakukan penulis pada tanggal 3 Maret 2015 kepada Bapak I Nyoman Sudarma
selaku Kepala Dinas Pendapatan Daerah dan Pasedahan Agung Kabupaten
Tabanan, beliau mengatakan ”Memang tiang mengakui bahwa kami belum
makasimal dalam membantu perkembangan Objek Wisata Alas Kedaton karena
keterbatasan APBD”. Dijelaskan juga agar perkembangan dan pembangunan
Objek Wisata Alas Kedaton dapat berjalan dengan baik maka disarankan untuk
mengajukan proposal kepada Pemerintah Kabupaten Tabanan.
Seperti yang sudah di jelaskan di dalam pembahasan sebelumnya bahwa
yang menjadi permasalahan sesungguhnya di masyarakat kukuh adalah tidak
adanya manfaat dan timbal balik yang nyata dari di buatnya perjanjian. Hal ini
mengacu kepada perbincangan hangat yang terjadi di masyarakat kukuh (pakrimik
krama) tentang apa manfaat yang bisa dirasakan secara langsung dari di buatnya
perjanjian kerja sama tersebut. Wawancara yang dilakukan penulis pada tanggal
18 Januari 2015 kepada Manajer Operasional Objek Wisata Alas Kedaton, I Gusti
123
Bagus Suryawan mengakui bahwa sampai saat ini pihak pengelola Objek Wisata
Alas Kedaton belum pernah mendapatkan bantuan apapun dari Pemerintah
Kabupaten Tabanan sebagai kontribusi dari menerima hasil penyelenggaraan dan
pengelolaan Daya Tarik Wisata Alas Kedaton. Sebagai bukti dari pengakuan
pihak pengelola tersebut mengenai kurangnya perhatian yang diberikan
Pemerintah Kabupaten Tabanan kepada pihak pengelola dalam hal ini untuk
pelestarian dan pemeliharaan objek wisata, ini terbukti dari berita yang dimuat di
koran harian Bisnis Bali pada hari selasa tanggal 6 januari 2015 halaman 8 yang
berjudul ”Alas Kedaton Minim Sentuhan”.
Berita tersebut menjelaskan mengenai minimnya perhatian dan bantuan
Pemerintah Kabupaten Tabanan terhadap fasilitas yang ada di Objek Wisata Alas
Kedaton, sehingga menyebabkan banyak fasilitas yang rusak. Beberapa fasilitas
yang mengalami kerusakan cukup serius sehingga diharapkan pihak Pemerintah
Kabupaten Tabanan dapat memberikanberupa dana bantuan perbaikan, yaitu
beberapa bagian yang terdapat pada Nista Mandala Pura Dalem Khayangan
Kedaton dan jalan setapak menuju hutan. Pihak pengelola sudah berusaha untuk
memperjuangkan agar mendapat bantuan dana, namun sampai saat ini pada
kenyataannya belum ada tanggapan serius dari Pemerintah Kabupaten Tabanan.
Melalui pihak pengelola dan atas nama Desa Pakraman Kukuh sudah berulang
kali membicarakan masalah tersebut kepada Kepala Desa Kukuh agar dapat
difasilitasi untuk mendapatkan bantuan.
Menyikapi banyaknya sarana yang mengalami kerusakan, akhirnya pihak
pengelola mengambil jalan untuk memperbaiki bagian-bagian yang rusak tersebut
124
dengan bantuan dana swadaya masyarakat. Dari penjelasan isi berita tersebut juga
dijelaskan tiap bulan Objek Wisata Alas Kedaton menyetor kepada Pemerintah
Kabupaten Tabanan sebesar 20 persen yang di ambil dari retribusi penjualan tiket
masuk. Mengenai besarnya jumlah setoran tersebut, telah dijelaskan dalam isi
perjanjian yang di buat Pemerintah Kabupaten Tabanandengan Desa Pakraman
Kukuh. Mengacu dari perbincanagan masyarakat Kukuh (pakrimik krama) dan
melalui berita koran tersebut, maka dapat diberikan sebuah gambaran bahwa
kemanfaatan perjanjian yang dibuat belum memenuhi apa yang menjadi tujuan
hukum. Seperti yang telah dijelaskan bahwa tujuan hukum mencakup tiga hal
yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Mengenai pembahasan
tentang kemanfaatan sebagai bagian dari tujuan hukum, perjanjian yang di buat
Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh tentang kerja
sama pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, belum menunjukan manfaat yang
nyata bagi pengembangan bahkan perbaikan sarana dan prasarana Objek Wisata
Alas Kedaton.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten
Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh belum memberi kemanfaatan bagi
masyarakat Kukuh. Dikatakan belum memberi manfaat karena semenjak
dilangsungkannya perjanjian tersebut pada Tahun 2012 sampai saat ini belum
pernah sekalipun Pemerintah Kabupaten Tabanan memberikan bantuan baik
berupa dana maupun berupa partisipasi dalam membantu perbaikan infrastruktur
Objek Wisata Alas Kedaton, terlebih perbaikan untuk Pura Dalem Khayangan
Kedaton yang terdapat di dalam hutan Alas Kedaton.
125
4.2.3 Perspektif Keadilan
Mengenai perspektif keadilan bila dilihat dari tujuan hukum yang di
jelaskan oleh Gustav Radbruch, sesungguhnya dari ketiga tujuan hukum yang
dikemukakan tersebut, keadilan harus menjadi hal yang utama. Wawancara yang
dilakukan penulis kepada Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Tabanan yang di wakili oleh Kepala Bidang Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan Bapak I Wayan Loter pada tanggal 9
Maret 2015 mengatakan bahwa, ”Porsi pembagian hasil dalam perjanjian yang
bersumber dari tiket masuk 20 % untuk pihak pertama, 80 % untuk pihak ke dua
dan dari karcis parkir sebesar 65 % untuk pihak pertama, 35 % untuk pihak ke
dua, menurut saya tidak jelas kenapa masing-masing pihak tersebut mendapatkan
bagian atau porsi seperti itu dan cenderung menjadi tidak transparan sehingga adil
tidaknya belum tergambar, sedangkan untuk dasar hukum sudah cukup”. Dalam
kaitannya dengan pembahasan mengenai perjanjian kerja sama yang di buat antara
Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakramana Kukuh, tentang
pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, maka terlebih dahulu kita harus
mengetahui apa makna dari keadilan tersebut.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia (KBBI), keadilan adalah suatu hal yang
tidak berat sebelah atau tidak memihak serta tidak sewenang-wenang. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata adil berasal dari kata adil, adil
mempunyai arti yaitu kejujuran, kelurusan, dan keikhlasan yang tidak berat
126
sebelah.96 Dari pengertian mengenai makna adil tersebut, maka akan digunakan
sebagai acuan di dalam pembahasan tentang perjanjian kerja sama yang di buat
Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh. Mengenai adil
atau tidaknya perjanjian maka kita harus memperhatikan dan mencermati
mengenai beberapa klausul penting yang terdapat dalam isi perjanjian. Bila
diperhatikan di dalam isi perjanjian tersebut dan dilihat tentang reaksi atau
pendapat dari masyarakat Desa Pakraman Kukuh, khususnya dalam hal ini dari
pihak pengelola Objek Wisata Alas Kedaton, maka sesungguhnya perlu adanya
perubahan yang harus dilakukan demi tercapainya suatu keadilan.
Menurut isi dari perjanjian yang memuat beberapa hak dan kewajiban
tersebut, kembali dijelaskan bahwa ada ketidakseimbangan antara hak dan
kewajiban yang tercantum di dalam perjanjian kerja sama pengelolaan Objek
Wisata Alas Kedaton. Bila dicermati dalam ketentuan hak dan kewajiban masing-
masing pihak, dalam hal ini mengenai kewajiban para pihak, terdapat klausul-
klausul yang cenderung menguntungkan bahkan secara sewenang-wenang
menghapuskan apa yang seharusnya menjadi kewajiban pihak tersebut. Bupati
Tabanan dalam hal ini bertindak atas nama Pemerintah Kabupaten Tabanan
selanjutnya sebagai PIHAK PERTAMA di dalam ketentuan mengenai hak dan
kewajiban sesuai dengan isi perjanjian, ditemukan klausul yang sama sekali tidak
menyertakan untuk berkewajiban membantu bahkan ikut memelihara
kelangsungan Objek Wisata Alas Kedaton, terutama memelihara bangunan suci
berupa pura, yang disebut Pura Dalem Khayangan Kedaton, ini merupakan timbal
96 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1999, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal.7.
127
balik atas apa yang diterima PIHAK PERTAMA sebagai kewajiban yang
seharusnya di cantumkan dalam klausul tentang kewajiban para pihak terutama
kewajiban PIHAK PERTAMA.
Mengenai isi dalam perjanjian tersebut hanya di cantumkan yang menjadi
kewajiban PIHAK PERTAMA hanya sebatas mengkoordinasikan pembinaan
penyelenggaraan dan pengelolaan daya tarik wisata Alas Kedaton serta melakukan
pengawasan dan pengendalian dalam rangka pengembangan daya tarik wisata
Alas Kedaton untuk mencegah berbagai dampak negatif bagi masyarakat luas.
Mengenai isi dari kewajiban PIHAK PERTAMA dalam perjanjian tersebut hanya
terdiri dari dua bagian saja. Sesuai dengan kewajiban PIHAK PERTAMA yang
telah disebutkan tadi sangat bertolak belakang dengan apa yang menjadi
kewajiban dari PIHAK KEDUA yaitu Bendesa Adat Kukuh, yang bertindak untuk
dan atas nama masyarakat Desa Pakraman Kukuh. Kewajiban PIHAK KEDUA
terdiri dari lima point penting yang intinya adalah PIHAK KEDUA harus
menyetorkan hasil pemungutan retribusi sesuai hasil perhitungan pembagian yang
disepakati setiap bulan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya kepada PIHAK
PERTAMA melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait.
Dilihat dari ketentuan mengenai kewajiban yang dijelaskan di atas, sudah
dapat dipastikan adanya ketidakseimbangan antara kewajiban masing-masing
pihak, hal tersebut terkesan menguntungkan salah satu pihak yaitu PIHAK
PERTAMA. Kembali melihat pengertian mengenai keadilan yang dijelaskan oleh
Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang menyebutkan bahwa keadilan adalah suatu
hal yang tidak berat sebelah atau tidak memihak serta tidak sewenang-wenang,
128
maka dapat disimpulkan bahwa, mengenai perjanjian kerja sama yang di buat oleh
Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh tentang
pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, belum menunjukan keadilan dan
memberi manfaat atas di buatnya perjanjian tersebut. Justru sebaliknya tujuan
yang hendak dicapai dengan membuat suatu perjanjian kerja sama seharusnya
dapat memberikan manfaat bahkan menguntungkan kedua belah pihak dengan
menjunjung tinggi asas keadilan.
Sesungguhnya secara umum keadilan merupakan bagian dari nilai sosial yang
memiliki makna sangat luas, bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dengan
hukum sebagai salah satu tata nilai sosial. Suatu kejahatan yang dilakuakan adalah
suatu kesalahan, namun apabila hal tersebut bukan merupakan keserakahan tidak
bisa disebut menimbulkan ketidakadilan. Sebaliknya suatu tindakan yang bukan
merupakan kejahatan dapat menimbulkan ketidakadilan. Ukuran mengenai
keadilan sebenarnya menjangkau wilayah yang ideal atau berada dalam wilayah
cita, dikarenakan berbicara masalah keadilan, berarti sudah dalam wilayah makna
yang masuk dalam tataran filosofis yang perlu perenungan secara mendalam
sampai hakikat yang paling dalam, bahkan Kelsen menekankan pada pengetahuan
perihal sesuatu yang baik.97
Sangat sulit memang bila menentukan makna adil dan tidak adil, karena
keadilan itu sendiri sesuatu yang abstrak, subjektif dan bagaimanapun juga
keadilan menyangkut nilai etis yang dianut masing-masing individu. Mengenai
keadilan jelas bahwa keadilan masuk ke dalam kajian ilmu filsafat, banyak filsafat
97 W. Friedman, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, PT. Rajawali Press,
Jakarta, hal.118.
129
yang mengharapkan inspirasi bagi pengetahuan keadilan dan kesemua itu
termasuk filsafat-filsafat yang sangat berbeda dalam ruang dan waktu. Keadilan
merupakan salah satu contoh materi yang menjadi objek filsafat. Dalam kajian
filsafat, keadilan telah menjadi pokok pembicaran serius sejak awal munculnya
filsafat yunani. Pembicaraan filsafat memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang
bersifat etik, filosopis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak orang yang
berfikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuatan dan
kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu
saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia.
Keadilan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tujuan hukum itu
sendiri, disamping kepastian hukum dan kemanfaatan. Dari banyaknya
permasalahan yang hendak di hadapi Negara, makna mengenai keadilan dapat
dijadikan sebuah perenungan bahwa terminologi keadilan yang sejatinya ada
dalam kajian filsafat, apakah dapat di jadikan sebagai bagian utama dalam
pencapaian tujuan hukum, mengingat konsep keadilan yang bersifat abstrak
sehingga diperlukan pemahaman dalam filsafat ilmu hukum yang akan
menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis sehingga dapat membangun
hukum yang sebenarnya.
Mengutip beberapa definisi mengenai keadilan (justice) yang terdapat
dalam buku yang ditulis oleh Achmad Ali yang berjudul Menguak Teori Hukum
dan Teori Peradilan, maka ada beberapa definisi tentang keadilan. Dari sekian
130
banyak definisi keadilan yang dikemukakan oleh para pakar salah satunya
dikemukakan oleh Curzon, yaitu sebagai berikut98:
a. Justice is a politcal virtue, by the rules of it, the state is regulated and these rules the criterion of what is right (Aristoteles)
b. The virtue which results in each person receiving his due. (Justinianus) c. The idea of justice supposes two things; a rule of conduct and sentiment
which sanctions the rule. The first must be supposed common to all mankind and intended for their good; the sentiment is a desire that punishment maybe suffered by those who infringe the rule. (Mill)
d. Justice has always weighted the scales solely in favour of the weak and persecuted. A justice decision is a decision based on grounds which appeal to a desinterested person. (Eugen Ehrlich)
e. Who or whatever renderts to every man his due, that person or thing is just an attitude, an institution, a law, a relationship, in which every man is given his due is just. (Brunner)
f. Justice requires that freedom, equality, and security be accorded to human beings to the greaterst extent consistent with the common good. (Bodenheimer)
g. Justice is the correct application of a law as apposed to arbitratines. (Rose)
h. Justice among men involves an impartial and fearles act of choosing solution for a dispute within a legal order, having regard to the human rights which that order protects. (Wortley)
Dapat dijelaskan mengenai masing-masing definisi tersebut diatas adalah
sebagai berikut:
a. Keadilan adalah sebuah kebaikan politik, dengan peraturan-peraturannya, Negara diatur dan peraturan-peraturan ini adalah tolak ukur/norma yang benar. (Aristoteles)
b. Kebaikan yang dihasilkan dalam tiap orang menerima haknya. (Justinianus)
c. Gagasan keadilan mengharuskan dua hal yaitu; sebuah peraturan tingkah laku dan perasaan yang menyetujui peraturan. Hal yang pertama seharusnya lumrah/umum bagi umat manusia dan dimaksudkan untuk kebaikan mereka. Perasaan adalah keinginan dimana hukuman mungkin dialami oleh mereka yang melanggar peraturan. (Mill)
d. Keadilan selalu membebani sekala semata-mata dalam kebaikan hati orang-orang yang lemah dan teraniaya. Keputusan keadilan adalah sebuah
98 Achmad Ali, op.cit, hal.217.
131
keputusan berdasarkan pada pekerjaan berat yang menarik bagi seseorang yang tidak memihak/netral. (Eugen Ehrlich)
e. Siapapun atau apapun yang menyumbangkan haknya pada setiap manusia, orang itu atau benda itu adalah sebuah prilaku, institusi, hukum, hubungan, dimana setiap manusia diberikan haknya disebut adil. (Brunner)
f. Keadilan memerlukan kebebasan, persamaan dan keamanan yang disetujui bagi umat manusia terhadap tingkat yang hebat sesuai dengan barang yang lumrah. (Bodenheimer)
g. Keadilan adalah penerapan hukum yang tepat yang pantas terhadap arbitrasi. (Rose)
h. Keadilan diantara orang-orang yang terlibat dalam tindakan tidak memihak dan tidak takut memilih solusi untuk sebuah perselisihan di dalam urutan yang legal, memiliki sikap hormat terhadap hak-hak manusia yang dimana pesan itu dilindungi. (Wortley)
Dari berbagai macam definisi dan ungkapan tentang kata ’keadilan’, yang
dikemukakan oleh berbagai kalangan di atas, bukan hanya dari kalangan pakar
hukum dan penegak hukum saja, melainkan juga dari kalangan sastrawan,
penyair, penulis dan lainnya. Dapat dijelaskan definisi dan ungkapan di atas
menggambarkan bahwa, sangat tampak beraneka ragamnya pemahaman tentang
makna keadilan, ada yang mengkaitkan keadilan dengan peraturan politik negara,
sehingga ukuran tentang apa yang menjadi hak atau bukan, senantiasa didasarkan
pada ukuran yang telah ditentukan oleh negara. Ada juga yang memandang
keadilan dalam wujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus-menerus, untuk
memberikan apa yang menjadi hak bagi setiap orang, ada juga yang melihat
keadilan sebagai pembenaran bagi pelaksanan hukum, yang diperlawankan
dengan kesewenang-wenangan.
Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman
Kukuh, sesuai dengan analisis hukum yaitu menggunakan teori tujuan hukum
yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, belum memenuhi rasa keadilan. Ini
132
terbukti dari perbedaan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang tercantum
di dalam perjanjian yang menunjukan adanya ketimpangan yang cenderung
menguntungkan salah satu pihak. Sesuai dengan analisis yang dilakukan,
perjanjian tersebut lebih menguntungkan pihak pertama yaitu Pemerintah
Kabupaten Tabanan sebagai pihak yang merancang dan membuat isi dari
perjanjian tersebut.Dari Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian antara
Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, bila dikaitkan
dengan tujuan hukum telah memenuhi asas kepastian hukum, namun belum
memenuhi asas keadilan dan kemanfaatan.
4.2.4 Perspektif Hukum Adat Bali
Melihat perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton dari perspektif
Hukum Adat Bali, maka tidak akan bisa dilepaskan dari desa adatnya. Terlebih
dahulu perlu untuk diketahui bersama bahwa di Bali ada dua desa, yaitu ”desa
dinas” (kelurahan) dan ”desa adat” yang sampai saat ini tetap berjalan sesuai
dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. Secara umum bila mengacu pada
ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka menurut
undang-undang ini Pasal 1, ”Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan
133
pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. (Pasal 1 ayat 2)
Mengenai desa pakraman yang khusus hanya ada di Bali, maka sangat
diperlukan memiliki landasan hukum yang kuat. Pemerintah Daerah Provinsi Bali
telah menetapkan pengertian mengenai ”desa pakraman” yang tercantum di dalam
ketentuan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, yang
menyebutkan bahwa ”desa pakraman” adalah ”kesatuan masyarakat hukum adat
di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan
hidup masyarakat secara turun-temurun dalam ikatan Kayangan Tiga, mempunyai
wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah
tangganya sendiri”(Pasal 1 huruf e).
Pengertian mengenai desa dinas, desa adat dan desa pakraman yang telah
dijelaskan diatas, menimbulkan permasalahan pemahaman tentang pengertian
”desa”. Ditemukan adanya pemahaman yang membuat kita bertanya-tanya,
apakah yang dimaksud ”desa” dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
adalah ”desa adat/desa pakraman” ataukah ”desa dinas”, sampai sekarang belum
jelas. Apakah dengan adanya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001 tentang Desa Pakraman, berarti menghilangkan fungsi yang dijalankan oleh
”desa dinas”, juga belum jelas. Tetapi yang jelas, kedua desa tersebut (”desa
dinas” dan ”desa adat/pakraman”), sampai sekarang tetap berjalan sesuai
swadharma masing-masing, di tengah-tengah silang pendapat, yang terlontar
lewat berbagai seminar dan diskusi tentang format desa di Bali. setelah
134
berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.99 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tersebut kini telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa, sebagai penyempurnaan atas dasar hukum untuk pembahasan
mengenai desa.
Membahas mengenai Hukum Adat Bali, maka membahas tentang
masyarakat atau penduduknya. Masyarakat hukum adat Bali secara umum
merupakan penganut Agama Hindu, dan dalam kehidupan kesehariannya diatur
berdasarkan hukum adat Bali. Hukum adat Bali adalah hukum yang tumbuh
dalam lingkungan masyarakat hukum adat Bali yang berlandaskan pada ajaran
Agama Hindu dan tumbuh berkembang mengikuti kebiasaan serta rasa kepatutan
dalam masyarakat hukum adat Bali itu sendiri. Oleh karenanya dalam masyarakat
hukum adat Bali, antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat
dipisahkannya antara adat dan agama di dalam masyarakat hukum adat Bali,
disebabkan karena adat itu sendiri bersumber dari ajaran agama. Dalam ajaran
Agama Hindu sebagaimana yang dianut oleh masyarakat hukum adat Bali,
pelaksanaan agama dapat dijalankan melalui tiga kerangka dasar Agama Hindu
yang terdiri dari Tatwa atau Filsafat, Susila, dan Upacara. Perlu dijelaskan
mengenai pengertian dari tiga kerangka dasar ajaran Agama Hindu tersebut
adalah:
1. Tatwa (Filsafat), sebenarnya Agama Hindu mempunyai kerangka dasar
kebenaran yang sangat kokoh karena masuk akan dan konseptual. Konsep
pencarian kebenaran yang hakiki di dalam Hindu diuraikan di dalam
99 Wayan. P Windia, 2008, Bali Mawacara Kesatuan Awig-awig, Hukum
dan Pemerintahan di Bali, Udayana University Press, Denpasar, hal.3.
135
ajaran filsafat yang disebut Tattwa. Tattwa dalam Agama Hindu dapat
diserap sepenuhnya oleh fikiran manusia melalui beberapa cara dan
pendekatan yang disebut Pramana. Ada tiga cara penyerapan pokok yang
disebut Tri Pramana. Tri Pramana ini menyebabkan akal budi dan
pengertian manusia dapat menerima kebenaran hakiki dalam Tattwa,
sehingga berkembang menjadi keyakinan dan kepercayaan. Kepercayaan
dan keyakinan dalam Hindu disebut dengan Sradha. Dalam Hindu, Sradha
disarikan menjadi lima esensi yang disebut Panca Sradha. Berbekal Panca
Sradha yang diserap menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan hidup
seorang Hindu menuju ke satu tujuan yang pasti yaitu ke arah
kesempurnaan lahir dan batin yaitu Jagadhita dan Moksa.
2. Susila (Etika), susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua
setelah filsafat (Tattwa). Susila memegang peranan penting bagi tata
kehidupan manusia sehari-hari. Realitas hidup bagi seseorang dalam
berkomunikasi dengan lingkungannya akan menentukan sampai di mana
kadar budi pekerti yang bersangkutan. Seseorang akan mendapatkan
simpati dari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu
mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik
yang memegang teguh sendi-sendi kesusilaan. Kata susila terdiri dari dua
suku kata ”su” dan ”sila”. ”Su” berarti baik, indah, harmonis dan ”Sila”
berarti prilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku yang baik
terpancar sebagai cermin obyektif dalam mengadakan hubungan dengan
lingkungannya. Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu
136
adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis
antara sesama manusia dengan semesta (lingkungan) yang berlandaskan
atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang. Pola hubungan
tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (ia adalah engkau)
mengandung makna bahwa hidup segala mahluk sama, menolong orang
lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain
berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar
tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih
kebendaan.
3. Upacara (Yadnya), adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan
ikhlas karena getaran jiwa/ rohani dalam kehidupan ini berdasarkan
dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada (Weda). Yadnya juga
dapat diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi, berbuat baik
(kebijakan), pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus
ikhlas) berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan
hidup bersama dan kemahamuliaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Di
dalam Yadnya terkandung nilai-nilai rasa tulus ikhlas, kesucian serta rasa
bakti memuja dan menghormati Ida Sang Hyang Widhi, Dewa, Bhatara,
Leluhur, Negara, Bangsa dan kemanusiaan. Di dalam pelaksanaannya
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing menurut tempat (desa),
waktu (kala), dan keadaan (patra) sebagai sumber ilmu pengetahuan suci
dan kebenaran yang abadi.
137
Ketiga hal inilah yang digunakan sebagai pedoman masyarakat Hindu Bali
sebagai norma yang mengatur kehidupan bersama di dalam masyarakat. Etika,
susila dan upacara yang dicerminkan dalam kehidupan sehari-hari mencerminkan
rasa kepatutan dan keseimbangan (harmoni) dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu asas hukum yang melingkupi atau yang mendasari hukum adat
Bali adalah kepatutan dan keseimbangan.Adanya asas kepatutan dan
keseimbangan ini, sebagai pedoman untuk dapat mengukur apakah tindakan dan
perbuatan itu sesuai dengan norma yang berlaku ataukah telah terjadi pelanggaran.
Dalam hal ini maka harus dapat dibedakan antara mana yang disebut ’patut’ dan
apa yang disebut dengan ’boleh’. Segala sesuatu yang boleh dilakukan belum
tentu merupakan perbuatan yang patut dilakukan. Sedangkan pada asas
keseimbangan (harmoni), pada dasarnya seluruh perbuatan manusia diharapkan
tidak menggangu keseimbangan didalam kehidupan masyarakat. Pada perbuatan
ataupun keadaan yang menggangu keseimbangan, maka perlu dilakukan
pemulihan keseimbangan yang berupa tindakan-tindakan yang mencerminkan
mengembalikan keseimbangan yang terjadi oleh perbuatan atau keadaan tersebut.
Pada gangguan keseimbangan yang tidak diketahui atau tidak dapat ditimpakan
pertanggungjawabanatas kejadian tersebut, maka adalah menjadi tanggungjawab
persekutuan (kesatuan masyarakat hukum adat) untuk bertanggungjawab atas
pengembalian keseimbangan yang harus dilakukan.
Walaupun di dalam kenyataanya dikatakan antara adat dan agama tidak
dapat dipisahkan, namun antara adat dan agama masih dapat dibedakan. Agama
(dalam hal ini Agama Hindu yang dianut oleh masyarakat hukum adat Bali)
138
adalah berasal dari ketentuang-ketentuan ajaran dari para maharesi dan kitab suci
Weda sebagai wahyu dari Ida Sang Hyang Wihi Wasa. Sedangkan adat adalah
berasal dari kebiasaan dalam masyarakat yang dapat mengikuti situasi, kondisi,
dan tempat pada saat itu.
Dilihat dari perspektif Hukum Adat Bali, untuk membahas perjanjian
pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan
dengan Desa Pakraman Kukuh, maka seperti yang telah di bahas sebelumnya
dalam ajaran Agama Hindu dikenal dengan tiga kerangka dasar Agama
Hindu.Dari ketiga kerangka dasar tersebut, terutama dalam hukum adat Bali
meliputi asas kepatutan dan keseimbangan. Dalam pembahasan mengenai
permasalahan kerja sama perjanjian pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton
antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh, dari
perspektif hukum adat Bali dan dilihat sesuai dengan asas kepatutan dan
keseimbangan, maka pembahasan ini mengarah pada keseimbangan.
Keseimbangan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah, mengenai
kurangnya perhatian dari PIHAK PERTAMA dalam hal ini Pemerintah
Kabupaten Tabanan dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban yang tercantum
dalam isi perjanjian.
Ketidakseimbangan ini bisa dikatakan sebagai sebuah pelanggaran atas
apa yang diyakini oleh masyarakat hukum adat yaitu masyarakat Desa Pakraman
Kukuh dalam mengelola Objek Wisata Alas Kedaton yang merupakan milik dari
Desa Adat Kukuh. Sudah sebagai suatu keharusan bahkan kewajiban PIHAK
PERTAMA, sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk dapat melakukan
139
kerja sama yang di dasari atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.Mengenai
kewajiban yang disertakan dalam isi perjanjian seharusnya tidak melukai hati
masyarakat kukuh yang pada kenyataanya PIHAK PERTAMA ikut mendapatkan
hasil dari pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, namun tidak ada
tanggungjawab untuk ikut memelihara dan membantu kelangsungan
pembangunan infrastruktur dan pemeliharaan pura sebagai timbal balik dari
mendapat bagian berupa pembagian hasil pengelolaan Objek Wisata Alas
Kedaton.
Untuk memenuhi agar terciptanya suatu keseimbangan dari dibuatnya
perjanjian tersebut, maka apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing
pihak harus berada dalam posisi sejajar dan saling menguntungkan, bukan malah
sebaliknya. Jadi dapat di ambil sebuah kesimpulan secara umum bahwa perjanjian
kerja sama yang di buat antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dan Desa
Pakraman Kukuh dalam perspektif hukum adat Bali harus dilihat melalui sudut
pandang Sekala dan Niskala. Secara Sekala atau dunia nyata dapat kita lihat telah
terjadi suatu kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa
Pakraman Kukuh untuk membuat perjanjian, sedangkan pada kenyataannya secara
Niskala belum ada perhatian Pemerintah Kabupaten Tabanan untuk membantu
baik berupa dana maupun perbaikan infrastruktur terutama pada bangunan pura
yang terdapat di dalam hutan Alas Kedaton, Pura Dalem Khayangan Kedaton.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai tujuan hukum yang
dikemukakkan Gustav radbruch bahwa, keadilan harus berada dalam posisi utama
140
atau pertama di dalam menentukan suatu tujuan dari hukum. Keadilan tersebut di
dalamnya juga mencakup mengenai keseimbangan, dalam hal ini terutama
mengenai pembuatan suatu perjanjian dan dikaitkan mengenai perjanjian
kerjasama pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton, maka harus di dasarkan pada
keadilan dan keseimbangan untuk secara bersama-sama kedua pihak yang
membuat perjanjian tersebut mendapatkan manfaat dari apa yang telah di buat dan
yang terpenting bermanfaat bagi masyarakat secara umum.
141
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian mengenai perjanjian penyelenggaraan dan pengelolaan
daya tarik wisata Alas Kedaton antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan
Desa Pakraman Kukuh di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut
1. Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman
Kukuh telah memenuhi syarat perjanjian sebagaimana di atur dalam Pasal
1320 KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2007 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Pasal 1320 KUHPerdata
mencakup empat syarat fundamental yang harus dipenuhi agar perjanjian
dapat dinyatakan sah yaitu sepakat untuk mengikatkan diri, kecakapan
untuk membuat perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
2. Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman
Kukuh telah memenuhi asas kepastian hukum, namun belum memenuhi
asas keadilan dan kemanfaatan. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a. Perjanjian dikatakan sudah memberikan jaminan kepastian hukum
karena para pihak yang membuat perjanjian kerjasama telah sesuai
dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dan tata cara dalam
pembuatan perjanjian kerjasama yang mengacu pada Peraturan
142
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata
Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.
b. Perjanjian dikatakan belum memenuhi rasa keadilan karena dari
pembagian hasil pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton terutama
dari hasil penerimaan pendapatan karcis, pihak kedua yaitu Desa
Pakraman Kukuh selaku pemilik dari Objek Wisata Alas Kedaton
hanya mendapat pembagian hasil pengelolaan sebesar 35 %.
Sedangkan sisanya sebesar 65 % diterima Pemerintah Kabupaten
Tabanan selaku pihak pertama.
c. Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa
Pakraman Kukuh tidak memberi kemanfaatan bagi masyarakat Kukuh
secara Sekala maupun Niskala. Dikatakan tidak memberi manfaat
karena semenjak dilaksanakannya perjanjian tersebut pada Tahun 2012
sampai saat ini belum pernah sekalipun Pemerintah Kabupaten
Tabanan memberikan bantuan baik berupa dana maupun berupa
partisipasi dalam membantu perbaikan infrastruktur Objek Wisata Alas
Kedaton. Terlebih perbaikan untuk Pura Dalem Khayangan Kedaton
sebagai timbal balik atas pembagian hasil yang diterima dari
pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton.
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat direkomendasikan sehubungan dengan
pembahasan ini maka dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu kepada:
143
1. Pemerintah Kabupaten Tabanan
Hendaknya perjanjian kerjasama pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton
antara Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh
diperlukan adanya evaluasi atau peninjauan ulang atas poin-poin perjanjian
untuk kesempurnaan isi dari perjanjian tersebut. Selanjutnya kewajiban yang
ditanggung Pemerintah Kabupaten Tabanan tidak sebatas apa yang tertuang
dalam perjanjian yang ada, tetapi lebih sebagai penguasa yang mengayomi
wilayah Tabanan dengan mengalokasikan anggaran untuk Objek Wisata Alas
Kedaton lewat APBD.
2. Desa Pakraman Kukuh
Saran kepada Desa Pakraman Kukuh, hendaknya diperlukan adanya
pembicaraan yang lebih matang atas isi perjanjian dari dua belah pihak antara
Pemerintah Kabupaten Tabanan dengan Desa Pakraman Kukuh agar tumbuh
rasa saling percaya, adil dan memberi manfaat atas pelaksanaan dari perjanjian
tersebut. Untuk kedepan agar pihak pengelola Objek Wisata Alas Kedaton
lebih berhati-hati dalam menyetujui sebuah perjanjian sehingga diharapkan apa
yang menjadi kesepakatan memiliki manfaat dan memberi keuntungan bagi
kedua belah pihak, Pemerintah Kabupaten Tabanan dan Desa Pakraman
Kukuh.
144
DAFTAR BACAAN
1. BUKU
Muhammad, Abdulkadir, 1982, Hukum Perikatan, Alumni Bandung, Bandung.
Muhammad, Abdulkadir, 1993, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor.
-----------------, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Jurisprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kharisma Putra Utama, Jakarta.
Anonim, Bali Bangkit Kembali, 2006, Kerjasama Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia & Universitas Udayana.
Apeldorn, L.J Van, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.
Ardika, I Wayan, 2007, Pusaka Budaya Dan Pariwisata, Pustaka Larasan, Denpasar.
Artadi, I Ketut, 2003, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali Post, Denpasar.
Artadi, I Ketut, dan Nyoman Rai Asmara Putra, I Dewa, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan, 2012, Potret Tabanan Serasi Tahun 2012.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tabanan, 2013, Profil Tabanan Serasi Tahun 2013.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tabanan, 2013, Tabanan Dalam Angka 2013.
Badrulzaman, Mariam Darius, 2001, Kompolasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
---------------------------------------, 1991, Perjanjian Kredit, Citra Aditya Bakti, Bandung
-------------------------------------, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung
Budiono, Herlin, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
145
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia & Universitas Udayana, 2006, Bali Bangkit Kembali, Denpasar.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Ikthisar Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.
E Mauch, James & W Brich, Jack, 1983, Guide To The Successful Thesis And Desertation Conception To Publication, Marcel Dekker Inc, New York.
Elias, Stephen, 2009, Legal Research How to find & Understand the law, Free Legal Update at Nolo.com, USA
Farnsworth, E. Allan, 1999, United States Contract Law, Jurish Publishing, United States Of America.
Friedman, W, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, PT. Rajawali Press, Jakarta.
Fuady, Munir, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Gede Atmadja, I Dewa, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945 Edisi Revisi, Setara Press, Malang.
Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture, Basic Books, London.
H.S, Salim, 2003,Hukum Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.
--------------, 2003, Hukum Perjanjian dan Teknik Penyusunan Perjanjian, Sinar Grafika, Jakarta.
--------------, 2010, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.
Hanitijo, Ronny, 1983, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet I, Ghalia Indonesia, Jakarta
Harahap, M. Yahya, 2006, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta
Hernoko, Agus Yudha, 2008, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Laksbang Mediatama, Yogyakarta
Huijbers, Theo, 2007, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Cetakan Keempat belas, Yogyakarta.
146
Isnaeni, Moch, 2007 , Kontrak sebagai Bingkai Kegiatan Bisnis, Workshop Teknik Perancangan & Review Kontrak-Kontrak Bisnis, Law Firm Prihandono &Partners, Surabaya-Bina Uf Coference, Surabaya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1994, Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta.
Kamus Besar Ikthisar Indonesia Edisi Ketiga, 2005, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta.
Kan, L.J Van dan Beekhuis, J.H, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta
Kelsen, Hans, 2011, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung
Keraf, Soni, 1998, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta
Khairandy, Ridwan, 2004, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Kusumohamidjojo, Budiono, 1998, Dasar-Dasar Merancang Kontrak, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,
M. Moelino, dkk, Anton, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
Machmudin, Dudu Duswara, 2003, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud, 2003, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Jakarta
---------------------------------, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Mashudi & Chidir Ali, Muhammad, 1995, Bab-bab Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung.
Masriani, Yulies Tiena, 2008, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
-------------------------------, 1999, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta
147
Miru,Ahmadi, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Niewenhius, J.H., 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan, (Terjemahan Djasadin Saragih), Surabaya.
Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung.
Poerwadarminta, W.J.S., 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta.
Prawirohamidjojo, Soetojo & Pohan, Marthalena, 1978, Hukum Perikatan, Bina Ilmu, Surabaya.
Rahardjo, Satjipto, 1996, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
----------, 1984, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.
---------------, 2001, Hukum Perjanjian, Cetakan 18, Intermasa, Jakarta.
Saliman, Abdul R., Hermansyah, Ahmad Jalis, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori & Contoh Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Santoso, Urip, 2010, Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media Group, Jakarta.
Satrio.J, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Ynag Timbul dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Jakarta.
Simanjuntak, Ricardo, 2006, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, PT. Gramedia, Jakarta.
Soebekti, R, 1982, Law In Indonesia, Centre For Strategic And International, And Studies, third edition, Jakarta.
Soebekti, R. dan Tjitrosudibio, R. 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan Burgerlijk Wetboek, Cet.28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Soehino, 1998, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
148
Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta
Suasthawa Dharmayuda, I Made, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar.
Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.
Surpha, I Wayan, 2002, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Bali Post, Denpasar.
Suryodiningrat, R.M, 1985, Asas-asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung.
Sutaba, I Made, 2004, Pura Dalem Kayangan Kedaton.
Termorshuizen, Marianne, 2002, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Tim Redaksi Bali Post, 2006, Mengenal Pura Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat, Pustaka Bali Post, Denpasar.
Tutik, Titik Triwulan, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
Ujan, Andre Ata, 2005, Keadilan dan Demokrasi, telaah Filsafat Politik John Rawls, Kanisius Cetakan Ke 5, Yogyakarta
Utrecht, E, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.
Van Dunne, J.M dan Der Burght, Van, 1988, Perbuatan Melawan Hukum,Dewan Kerja sama Ilmu hukum Belanda dengan Indonesia, Proyek hukum Perdata, Ujung Pandang
Van Kan L.J dan Beekhius J.H, 1990, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Vasu, Sucitthra, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books, SingaporeWatt, Robet, 2001, Concise Legal Research, The Pederation Press, Leichhardt, NSW.
Watt, Robert, 2001, Concise Legal Research, The Pederation Press, Leichhardt.
Windia, Wayan P, 2008, Bali Mawacara Kesatuan Awig-Awig, Hukum dan Pemerintahan di Bali, Udayana University Press, Denpasar.
Yudha Hernoko, Agus, 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Predana Media Group, Jakarta.
149
Zweight, A.G. Guest. Konrad &Kotz, Hein, 2003, Itikad baik kebebasan berkontrak, FH UI :Pascasarjana.
2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Peraturan Daerah Propinsi Bali (Perda) No.3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Tata
Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Undang-Undang RI No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.
Awig-Awig Desa Pakraman Kukuh.
3. TESIS
Kartika Jaya Seputra, I Gusti Agung Ketut, 2012,”Pemenuhan Hak-Hak Tradisional Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (Studi Kasus Pengelolaan Obyek Wisata Tanah Lot)”, Tesis Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
Haryani, Luh Putu, 2000, ”Peningkatan Pengelolaan Obyek Wisata Alas Kedaton,
Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan”, Tesis Program Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.
4. DESERTASI Arka, I Wayan, 2014, ”Eksistensi Desa Pakraman Dalam Pengelolaan Obyek
Wisata Di Bali”, Desertasi Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
150
5. LAPORAN PENELITIAN Windia, Wayan P, A.A.Gede Oka Parwata, I Ketut Wirta Griadhi, I Ketut
Sudantra, Wayan Koti Cantika, 2011 ”Pola Hubungan Antara Pemerintah Kabupaten Gianyar Dengan Desa Pakraman Padang Tegal Dalam Mengelola Obyek Wisata Wenara Wana (Monkey Forest)”, Laporan Penelitian dar Proyek Nuffic, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
3. INTERNET Omer Law, 2011, “Artikel Politik Hukum : Tujuan Hukum Menurut Gustav
Radbruch”, (Cited 2014 Nov 15), available from : https://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-tujuan-hukum-menurut-gustav-radbruch/
Sugionomuslimin, 2010, “Konsep Pengelolaan (Manajemen)”, (Cited 2014
Mei.3), available from: URL http :// sugionomuslimin.wordpress.com/2010/1/05/konsep-pengelolaan-manajemen.
Yancearizona, 2008, “Apa Itu Kepastian Hukum”, (Cited 2015 Januari 17),
available from: http//yancearizona.net/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/.
151
LAMPIRAN
152
LAMPIRAN 1
DAFTAR INFORMAN
1) Nama : I Gede Subawa
Tempat/tanggal lahir : Kukuh, 1959
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : Sekolah Menengah Atas
Jabatan : Bendesa Desa Pakraman Kukuh
Agama : Hindu
Alamat/domisili : Br. Munggal, Desa Kukuh Marga Tabanan
2) Nama :Drs. I Gusti Made Purnayasa.,SH.,M.Si
Tempat/tanggal lahir : Kukuh, 30 April 1945
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : Strata 2
Jabatan : Mantan Bendesa Desa Pakraman Kukuh
Agama : Hindu
Alamat/domisili : Jero Alit Kukuh Marga Tabanan
3) Nama : I Gusti Bagus Suryawan
Tempat/tanggal lahir : Kukuh, 6 November 1964
Jenis Kelamin : Laki-laki
153
Pendidikan : Sekolah Menengah Atas
Jabatan : Manager Objek Wisata Alas Kedaton
Agama : Hindu
Alamat/domisili : Br. Tengah Desa Kukuh Marga Tabanan
4) Nama : Drs. I Nyoman Sudarma., M.Si
Tempat/tanggal lahir : Belayu/31 Desember 1956
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : Strata 2 Ilmu Administrasi
Jabatan : Kepala Dinas Pendapatan Derah dan Pasedahan
Agung Kabupaten Tabanan
Agama : Hindu
Alamat/domisili : Br. Peken Desa Peken Belayu, Marga, Tabanan.
5) Nama : Drs. I Wayan Loter., M.Si
Tempat/tanggal lahir : Tabanan, 2 Juli 1960
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : Strata 2 Ekonomi
Jabatan : Kepala Bidang Ekonomi BAPPEDA Tabanan
Agama : Hindu
Alamat/domisili :Desa Selanbawak, Marga, Tabanan