bentuk pengelolaan tn alas purwo

31
1 MENCARI BENTUK PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL MODEL SEBUAH TINJAUAN REFLEKTIF PRAKTEK PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DI INDONESIA 1) Oleh Ir. Hartono, M.Sc 2) 1) Sebuah Kerangka Pemikiran dipresentasikan pada acara Workshop Sistem Pengelolaan Kawasan Konservasi dengan tema “Mengembangkan Kemandirian TN Alas Purwo Melalui Pengelolaan Berbasis Ekosistem, Hotel Ketapang Indah, 24 April 2008 2) Kepala Balai Taman Nasional Alas Purwo

Upload: viqarchu

Post on 26-Nov-2015

142 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Bentuk Pengelolaan TN Alas Purwo

TRANSCRIPT

  • 1

    MENCARI BENTUK

    PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL MODEL SEBUAH TINJAUAN REFLEKTIF PRAKTEK PENGELOLAAN

    TAMAN NASIONAL DI INDONESIA 1)

    Oleh

    Ir. Hartono, M.Sc 2)

    1) Sebuah Kerangka Pemikiran dipresentasikan pada acara Workshop Sistem Pengelolaan Kawasan Konservasi dengan tema Mengembangkan Kemandirian TN Alas Purwo Melalui Pengelolaan Berbasis Ekosistem,

    Hotel Ketapang Indah, 24 April 2008

    2) Kepala Balai Taman Nasional Alas Purwo

  • 2

    I. PENDAHULUAN

    Baik di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 maupun di dalam

    Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, hutan konservasi atau biasa

    disebut sebagai kawasan konservasi didifinisikan sebagai kawasan hutan

    dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun perairan, yang

    mempunyai fungsi pokok untuk pengawetan keanekaragaman hayati

    (flora dan fauna) serta ekosistemnya. Selanjutnya di dalam Undang-

    undang Nomor 41 Tahun 1990 tentang Kehutanan, kawasan konservasi

    dibagi menjadi 3 kategori, yaitu : Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan

    Kelesatrian Alam (KPA), dan Taman Buru (TB).

    Dalam sistem peraturan perundangan di Indonesia, taman nasional adalah

    salah satu bentuk kawasan pelestarian alam, disamping 2 bentuk KPA

    lainnya, yaitu Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Hutan Raya

    (TAHURA). Taman nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian

    alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, dan

    dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

    menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

    Dalam Rencana Strategis Departemen Kehutanan 2005-2009, salah satu

    target yang hendak dicapai adalah terwujudnya 20 Taman Nasional Model

    sebagai Taman Nasional Mandiri. Selanjutnya, berdasarkan Surat

    Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

    (PHKA) Nomor : SK.69/IV-Set/HO/2006 tanggal 3 Mei 2006 tentang

    Penunjukan 20 Taman Nasional sebagai Taman Nasional Model, Taman

    Nasional Alas Purwo telah ditetapkan sebagai salah satu dari 20 Taman

    Nasional Model dimaksud. Meskipun penetapan taman nasional model

    tersebut (konon) telah dilakukan melalui pertimbangan-pertimbangan

    tertentu, namun sampai dengan saat ini belum ada pedoman/arahan lebih

    lanjut tentang apa dan bagaimana taman nasional model harus dikelola

    (tujuan spesifiknya, apa yang menjadi fokus pengelolaan, bagaimana

  • 3

    mengelola, serta kriteria dan indikator keberhasilan pengelolaannya). Oleh

    karena itu, di dalam paper ini akan diuraikan prinsip-prinsip pengelolaan

    taman nasional, termasuk kriteria dan indikator yang diusulkan untuk

    dipakai dalam menilai kinerja pengelolaan, serta implikasi kemungkinan

    adopsinya di dalam pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP)

    sebagai taman nasional model.

  • 4

    II. KAWASAN KONSERVASI DAN PROTECTED AREAS

    Untuk mengawali diskusi yang lebih mendalam tentang bagaimana upaya

    mewujudkan pengelolaan suatu Taman Nasional Model, terlebih dahulu

    perlu dipaparkan asal usul konservasi serta perkembangannya sampai

    dengan tipe-tipe kawasan konservasi serta tujuan pengelolaan masing-

    masing kawasan.

    A. Asal Usul Konservasi

    Terminologi conservation atau konservasi pada awalnya berasal dari

    praktek pengelolaan di dunia kehutanan, yaitu sejak mulai

    diperkenalkannya prinsip kelestarian hasil (sustained yield principle)

    oleh para foresters Jerman dan Swiss pada abad ke 19 dalam

    melakukan pemanenan hutan (Grove, 1992). Konservasi berasal dari

    kata to conserve yang berarti memperlakukan sesuatu untuk tujuan

    pemanfaatan dalam jangka panjang sesuai sesuai dengan slogan

    Giffort Pinchot (dianggap bapak Kehutanan Amerika) yang populer

    pada waktu itu, yaitu the greatest good for the greatest number for

    the longest time. Secara sederhana, aplikasi dari prinsip tersebut

    adalah agar hutan dapat memberikan manfaat secara lestari maka

    pemanenan kayu pada suatu kawasan hutan tidak boleh melebihi riap

    yang tumbuh selama jangka waktu tertentu pada hutan tersebut,

    sebagaimana diajarkan oleh Dietrich Brandis dan Berthold

    Ribbenthrop. Menurut Barton (2001), prinsip ini dilandasi oleh filsafat

    utilitarian yang sekaligus dapat dianggap sebagai tonggak pertama

    lahirnya filsafat utilitarian conservation. Bagi penganut faham

    utilitarian seperti Giffort Pinchot, sesuatu baru dianggap penting

    apabila mempunyai nilai kegunaan (utility) sehingga dapat dinilai

    harganya. Saat itu, hutan dianggap berguna semata-mata hanya

    karena hutan dapat menghasilkan kayu yang mempunyai nilai

  • 5

    ekonomi di pasar. Penganut faham ini selanjutnya disebut para

    conservationist.

    Seiring dengan semakin berkembangnya pemahaman manusia

    tentang fungsi dan manfaat hutan, faham konservasi utilitarian

    tersebut juga mengalami perkembangan. Hutan ternyata bukan

    sekadar kumpulan pohon yang tumbuh pada kawasan tertentu, tetapi

    merupakan asosiasi tumbuhan dan hewan serta elemen-elemen

    abiotik pada suatu kawasan yang didominasi oleh pohon-pohonan dan

    terbentuk berdasarkan interaksi faktor biotis dan abiotis sehingga

    membentuk ekosistem yang khas. Menilai manfaat hutan hanya

    berdasarkan jenis/komoditas yang mempunyai nilai kegunaannya saja

    akan membawa konsekuensi kepunahan pada jenis-jenis tertentu

    yang tidak/belum diketahui manfaatnya (Grove, 1997). Selain itu, saat

    itu juga mulai berkembang filsafat konservasi yang bersumber dari

    kesadaran moral manusia (romantic transcendental conservation),

    bahwa sebagai khalifattul fil ardh, manusia diwajibkan Tuhan untuk

    berbuat adil bagi seluruh makhluk hidup di muka bumi. Sejak saat itu,

    timbul kesadaran untuk menyisihkan beberapa kawasan hutan untuk

    keperluan ilmu pengetahuan, pendidikan, keindahan, dan rekreasi.

    Penganut faham ini selanjutnya disebut para preservationist.

    Perkembangan filsafat konservasi tersebut selanjutnya juga diikuti

    dengan aplikasinya di dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Di

    banyak negara, kawasan hutan mulai ditata dan dikelola guna

    mengakomodasikan 2 prinsip konservasi tersebut. Kawasan hutan

    lindung dan hutan produksi dikelola berdasarkan kaidah-kaidah

    konservasionis, sedangkan kawasan-kawasan hutan tertentu di luar

    kawasan hutan lindung dan produksi dikelola berdasarkan kaidah

    preservasionis. Bagi kaum preservasionis, perlindungan kawasan

    sebagai suatu entitas jauh lebih penting daripada perlindungan jenis

  • 6

    secara individual. Mulai saat itu terdapat banyak kawasan hutan yang

    dikelola sebagai cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional,

    monumen alam dsb.

    Di dalam perkembangannya, terminologi utilitarian conservation dan

    romantic transcendental conservation/preservation semakin melebur

    dan hilang, sementara terminologi conservation semakin populer dan

    dapat digunakan untuk mewakili keduanya. Saat ini, terminologi

    konservasi bisa digunakan untuk merujuk aktivitas maupun kawasan.

    Konservasi yang merujuk pada aktivitas merupakan metamorfosa dari

    penganut faham utilitarian conservation, seperti : sustained yield

    timber production, water conservation, soil conservation, genetic

    conservation, species conservation dll), sedangkan konservasi yang

    merujuk pada kawasan mewakili paham para preservationonist, dalam

    bentuk : nature reserves, wildlife sanctuary, national park, nature

    monument dll

    B. Kesamaan dan Perbedaan Kawasan Konservasi dan Protected

    Areas

    Dalam konvensi konservasi global, kawasan konservasi sebagaimana

    dimaksud dalam peraturan perundangan di Indonesia lazim disebut

    protected area. Dalam tulisan ini, untuk selanjutnya penulis sengaja

    tetap menggunakan terminologi aslinya, yaitu protected area untuk

    menghindari salah pengertian (yang terjadi akibat penterjemahan)

    dengan pengertian di dalam sistem pengelolaan hutan di Indonesia,

    yaitu kawasan lindung yang apabila dibahasa-inggriskan secara

    letterlijk berarti protected area. Padahal, pengertian kawasan lindung

    di dalam sistem pengelolaan hutan di Indonesia mengacu kepada

    kawasan (termasuk hutan) yang dikelola sedemikian rupa untuk

    keperluan perlindungan erosi dan pengaturan tata air.

  • 7

    Terdapat kemiripan, namun juga ada beberapa perbedaan tentang

    definisi dan pengertian antara apa yang dimaksud kawasan konservasi

    di Indonesia dengan apa yang disepakati secara global tentang

    protected area. Secara umum persamaan tersebut terletak kepada

    tujuan utama dalam pengelolaan, yaitu untuk melindungi dan

    mengawetkan (to protect and preserve) keanekaragaman hayati,

    Sedangkan perbedaannya, kawasan konservasi di Indonesia

    memberikan kelonggaran untuk mengintroduksi flora dan fauna yang

    bukan asli (exotic species) di dalam pengelolaannya, yaitu pada

    kawasan tahura, serta pemanfaatan fauna secara lestari pada

    kawasan taman buru.

    Banyak kawasan yang sebelumnya telah dideklarasikan sebagai

    kawasan konservasi, tetapi tidak semuanya memenuhi syarat untuk

    dimasukkan sebagai protected area. Menurut IUCN, protected area

    didefinisikan sebagai :

    An area of land and/or sea especially dedicated to the protection and maintenance of biological diversity, and of natural and

    associated cultural resources, and managed through legal or other

    effective means (IUCN, 1994)

    Berdasarkan definisi terebut, IUCN telah membuat pengklasifikasian

    protected area berdasarkan tujuan pengelolaannya ke dalam kategori-

    kategori sebagai berikut :

    Tabel 1. : Kategori Protected Area dan Tujuan Pengelolaannya menurut IUCN

    Kategori Nama Diskripsi

    Ia Strict Nature Reserve Protected area managed mainly for science

    Ib Wilderness Protected area managed mainly for wilderness protection

    II National Park Protected area managed mainly for ecosystem protection and

    tourism

  • 8

    III Natural Monument Protected area managed mainly for conservation of specific natural features

    IV Habitat/Species Management Area

    Protected area managed mainly

    for conservation through

    management intervention

    V Protected Landscape/Seascape

    Protected area managed mainly

    for landscape/seascape

    conservation and recreation

    VI Managed Resources Protected Area

    Protected area managed mainly for sustainable use of natural

    ecosystems

    Menurut Dudley dan Phillips (2006) pendifinisian dan pengkategorian

    protected areas dimaksudkan untuk memberikan basis pengertian

    yang sama tentang apa yang dimaksud dengan protected area.

    Dengan demikian pengelolaan masing-masing kategori protected area

    tersebut dapat dilaksanakan secara konsisten guna mencapai tujuan

    yang jangka panjang yang telah disepakati dan dipahami, melalui

    kaidah-kaidah pengelolaan yang ditetapkan IUCN beserta seluruh

    anggotanya.

    Melalui pendifinisian dan pengkategorian tersebut, terbukti kawasan-

    kawasan yang sebelumnya diberi label national park ternyata tidak

    memenuhi syarat untuk disebut sebagai protected area, karena

    berdasarkan survey yang dilakukan, kawasan-kawasan tersebut

    sebenarnya hanya : kebun raya, taman wisata alam, taman safari, old

    growth forest, ancient forest dsb.

    Sebagaimana diuraikan sebelumnya, tidak seluruh kawasan konservasi

    di Indonesia otomatis bisa dikategorikan sebagai protected area.

    Berdasarkan pengklasifikasian/pengakategorian protected area versi

    IUCN tersebut, maka kawasan konservasi di Indonesia dapat

    disejajarkan dengan protected area sebagai berikut :

  • 9

    Tabel 2 : Penyetaraan Klasifikasi Kawasan Konservasi di Indonesia dengan Kategori Protected Area versi IUCN

    Fungsi/ Jenis

    Definisi Kategori Versi IUCN

    Kawasan Suaka Alam

    (KSA)

    Cagar Alam (CA)

    Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik daratan maupun perairan, yang berfungsi sebagai kawasan

    pengawetan kenekaragaman flora dan fauna serta

    ekosistemnya serta sebagai wilayah penyangga

    kehidupan

    Kawasan suaka alam yang karena

    keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan

    ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung

    secara alami.

    Protected Areas Category Ia

    Fungsi/ Jenis

    Definisi Kategori Versi IUCN

    Suaka Marga-

    satwa (SM)

    Kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa

    keanekaragaman dan keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan

    hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

    Protected Areas Category IV

    Kawasan

    Pelestarian

    Alam (KPA)

    Taman Nasional (TN)

    Taman Wisata

    Alam (TWA)

    Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik daratan

    maupun perairan, yang mempunyai fungsi

    perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengewetan kenekaragaman flora dan fauna, serta

    pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati

    dan ekosistemnya.

    Kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola

    melalui sistem zonasi, dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,

    ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, serta pariwisata dan rekreasi

    Protected Areas Category II

    Kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.

    Bukan termasuk Protected Areas

  • 10

    Taman Hutan Raya

    (TAHURA)

    Kawasan pelestarian alam untuk

    tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis

    asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,

    pendidikan, penunjang budidaya,

    pariwisata, dan rekreasi.

    Bukan

    termasuk Protected Areas

    Taman buru

    (TB)

    Kawasan hutan yang ditetapkan

    sebagai tempat wisata buru atau

    tempat diselenggarakan perburuan secara teratur.

    Bukan

    termasuk

    Protected Areas

    C. Implikasi Dalam Pengelolaan Taman Nasional

    Berdasarkan pengkategorian protected areas versi IUCN tersebut,

    maka kawasan konservasi di Indonesia dengan label Taman Nasional

    sebenarnya perlu ditinjau ulang, paling tidak untuk kepentingan

    pemaduserasian upaya konservasi keaneka ragaman hayati dalam

    tataran global. Apabila dilakukan penelaahan lebih lanjut, seluruh

    taman nasional di Indonesia memang memenuhi syarat untuk disebut

    sebagai protected area.

    Namun demikian harus dipahami bahwa tidak semua taman nasional

    di Indonesia sesuai dengan definisi National Park sebagaimana

    dimaksud protected area kategori II IUCN. Penelaahan lebih lanjut

    terhadap features fisik kawasan dan tujuan pengelolaannya, sangat

    dimungkinkan taman nasional yang ada di Indonesia dimasukkan ke

    dalam kategori-kategori protected area yang berbeda, mulai dari Ib,

    II, III, IV, atau bahkan V. Hal ini bisa dirunut sejarah

    pembentukannya, mayoritas taman nasional di Indonesia sebelumnya

    sudah berstatus suaka alam atau suaka margasatwa.

  • 11

    Peninjauan ulang dimaksudkan untuk lebih memfokuskan tujuan

    pengelolaan yang mencerminkan ciri-ciri (features) utama kawasan

    serta aktivitas manusia yang telah berlangsung selama ini. Dengan

    demikian penetapan tujuan dan implementasi pengelolaannya dapat

    dilakukan secara lebih optimal. Lebih penting lagi, melalui peninjauan

    ulang tersebut diharapkan agar para penentu kebijakan dapat berpikir

    dengan lebih jernih dan selektif dalam menentukan arah dan

    kebijakan pengelolaan taman nasional ke depan, termasuk memahami

    dengan benar apa yang : wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram

    dilakukan dalam pengelolaan taman nasional.

    Masih belum banyak, bahkan mereka yang sejak pertama kali sampai

    pensiun bekerja di lingkungan PPA/PHKA, yang belum memahami dan

    menyadari bahwa mengubah tujuan pengelolaan, serta implementasi

    pengelolaannya dapat mengubah kategori dan status kawasannya

    sendiri. Taman nasional yang lebih mengedepankan aspek

    pemanfaatan (wisata, pendidikan, kultural, sampai dengan

    pemanfaatan sumberdaya lestari) dan melupakan aspek perlindungan

    biodiversity dapat dengan mudah terpeleset menjadi sekedar taman

    wisata alam atau hutan lindung plus.

    Bisa jadi, ketidakjelasan kebijakan pengelolaan taman nasional yang

    terjadi selama ini sebagai ekses dari seringnya para pejabat

    melakukan studi banding pengelolaan taman nasional ke luar negeri,

    dimana obyek studi banding yang dikunjungi sebenarnya bukan

    termasuk ke dalam the true national park sebagaimana dimaksudkan

    di dalam kategori II IUCN. Salah banding inilah yang dapat

    menimbulkan impresi yang keliru tentang bagaimana taman nasional

    harus dikelola. Lebih gawat lagi, apabila impresi yang keliru tersebut

    kemudian dituangkan dalam bentuk kebijakan pengembangan taman

    nasional di Indonesia.

  • 12

    III. PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL

    Sebagaimana dipaparkan di atas, taman nasional merupakan salah satu

    bentuk protected area yang ditetapkan untuk tujuan perlindungan

    ekosistem dan pengembangan wisata. Karena taman nasional merupakan

    salah satu bentuk protected area, maka selain perlindungan ekosistem

    dan pemanfaatannya, satu hal yang harus dipegang dan senantiasa

    diingat sebagai misi pokok oleh pengelola taman nasional adalah

    peengelolaan biodiversity (keaneka ragaman hayati) dan ekosistemnya.

    Di dalam upaya pengelolaan taman nasional, hal pertama yang harus

    diketahui dan dipertimbangkan adalah : sejauh mana aktivitas manusia,

    baik disengaja maupun tidak, baik yang sudah dan sedang terjadi pada

    saat ini maupun yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, dapat

    menimbulkan dampak terhadap atribut-atribut biodiversity yang

    dicerminkan di dalam key features biodiversity (Tucker, 2005). Oleh

    karena itu, agar pengelola taman nasional dapat mengelola taman

    nasional dengan baik dan benar, paling tidak harus harus memahami 4

    hal, yaitu : a) apa yang harus dikelola; b) apa tujuan pengelolaan; c)

    bagaimana mengelola secara efektif dan efisien; dan d) apa kriteria dan

    indikator kinerja pengelolaan.

    D. Apa yang Dikelola

    Alasan utama penetapan suatu kawasan menjadi Taman Nasional

    pasti karena faktor biodiversity dan ekosistemnya, disamping faktor-

    faktor alamiah dan keunikan lainnya. Alasan lain yang juga sering

    dipertimbangkan adalah karena kawasan tersebut mempunyai peran

    penting dalam perlindungan DAS, pengawetan tanah, perlindungan

    pantai, serta perlindungan terhadap masyarakat asli (indigenous

    people) yang hidup didalamnya.

  • 13

    Mengingat alasan utama penetapan suatu kawasan menjadi sebuah

    Taman Nasional adalah fakor keanekaragaman hayati dan

    ekosistemnya, maka hal pertama yang harus dilakukan dalam

    mengelola kawasan taman nasional adalah melakukan asesmen

    terhadap status biodiversity kawasan yang bersangkutan. Asesmen ini

    meliputi kegiatan inventarisasi flora-fauna secara menyeluruh untuk

    mengetahui : tipe ekosistem, formasi, jenis, kelimpahan, kelangkaan,

    kerentanan, asosiasi, serta atribut-atribut biodiversity lainnya. Pada

    saat yang sama juga perlu dilakukan asesmen terhadap kondisi edafis,

    geologis, fisiografis, dan klimatologis untuk mengetahui interaksi

    antara faktor-faktor biotis dan abiotis.

    Key features biodiversity yang merupakan gambaran penting

    biodiversity dari suatu kawasan dapat diperoleh melalui asesmen

    interaksi manusia (terutama yang bersifat ancaman) terhadap

    kawasan tersebut. Dengan demikian, di dalam melakukan asesmen

    features sosio-ekonomi dan kultural masyarakat di dalam dan di

    sekitar kawasan juga perlu dilakukan analisa yang cukup mendalam.

    Pentingnya mendapatkan gambaran key feature biodiversity dalam

    pengelolaan taman nasional dapat diibaratkan membuat sketsa dalam

    memproduksi sebuah lukisan. Semakin jelas sketsa semakin mudah

    menafsirkan bentuk obyek yang akan dilukis. Sketsa yang kabur dan

    ruwet akan menimbulkan multi-interpretasi dan kekeliruan yang fatal

    di dalam meneruskan pembuatan lukisan. Apalagi kalau pembuat

    sketsa dan pelukis adalah 2 orang yang berbeda. Jendela bisa

    ditafsirkan pintu, kamar mandi bisa ditafsirkan sebagai kamar tidur

    dan seterusnya, yang terjadi kemudian bukan sebuah gambar rumah,

    tetapi gambar puing rumah.

  • 14

    Key features biodiversity inilah yang merupakan base line bagi

    pengelola kawasan taman nasional dalam menyusun rencana

    pengelolaan dan melakukan pengelolaan ke depan. Tanpa mengetahui

    dan memahami key features biodiversity, pengelolaan taman nasional

    tidak akan pernah mencapai tujuan pengelolaan atau bahkan dapat

    mengarah kepada kerusakan yang tak terpulihkan (irreversible

    damages).

    E. Tujuan Pengelolaan

    Secara umum tujuan pengelolaan taman nasional adalah untuk

    menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta untuk

    memberikan kesempatan kepada publik untuk melakukan aktivitas

    rekreasi, wisata, penelitian, pendidikan, dan kegiatan-kegiatan lain

    yang bersifat spiritual dan inspirasional. Dalam konteks pengelolaan

    pada level unit pengelolaan, pengelola taman nasional harus berani

    membuat target-target yang spesifik yang harus dicapai dalam kurun

    waktu tertentu.

    Target-target yang harus dicapai mencakup hal-hal yang terkait

    dengan upaya perlindungan keanekaragaman hayati, pengembangan

    wisata alam, serta tujuan lain yang sesuai fungsi taman nasional.

    Dengan tujuan dan target pengelolaan yang jelas, pengelola

    diharuskan menemukan cara dengan mengerahkan semua

    sumberdaya, baik yang sudah tersedia maupun yang masih bersifat

    potensi, untuk mencapai target tersebut. Upaya pengelola taman

    nasional untuk mencapai tujuan dan target-target tersebut perlu

    dituangkan ke dalam management plan.

    F. Bagaimana Mengelola Taman Nasional

    Mengelola taman nasional tidak jauh berbeda dengan mengelola apa

    saja, termasuk mengelola hutan produksi atau mengelola kebun

  • 15

    sekalipun. Prinsip atau kaidah dasar pengelolaan adalah bagaimana

    mengalokasikan dan memobilisir sumberdaya untuk mencapai tujuan

    yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Yang membedakan

    adalah tentang apa yang dikelola dan tujuan pengelolaan.

    Key features biodiversity dan tujuan pengelolaan merupakan 2 hal

    yang harus selalu harus dipegang dan selalu diingat pengelola taman

    nasional di dalam menyusun management plan taman nasional dan

    mengoperasionalkannya sebagaimana gambar berikut :

    Gambar 1 : Skematis Alur Pengelolaan Taman Nasional

    Sumber : Hockings,M. (2000)

    Dalam upaya pengelolaan taman nasional direkomendasikan untuk

    menggunakan pendekatan management by objective (MBO) yang

    berorientasi kepada hasil, dimana penekanan lebih difokuskan kepada

  • 16

    pencapaian output dan outcome (Thomas and Middleton, 2003). MBO

    lebih bersifat proaktif daripada reaktif, dan pendekatan manajemen ini

    telah banyak digunakan oleh berbagai institusi yang selama ini

    menangani pengelolaan protected area di banyak negara. Kelebihan

    dari MBO diantaranya adalah :

    1. Formulasi tujuan yang jelas dan tegas;

    2. Memungkinkan action plans yang realistis dengan selalu

    mempertimbangkan kendala dalam mencapai tujuan;

    3. Memungkinkan dilakukan monitoring dan pengukuran kinerja

    secara sistematis;

    4. Memungkinkan dilakukan corrective actions untuk mencapai

    hasil yang direncanakan.

    Banyak referens yang bersifat guidelines maupun lesson learned yang

    bisa digunakan sebagai acuan di dalam mengelola taman nasional

    berdasarkan pendekatan MBO. Namun demikian harus diingat tidak

    ada formula manajemen yang bersifat generik dan bisa langsung

    diaplikasikan pada semua taman nasional. Yang bisa dipelajari adalah

    identifikasi elemen-elemennya, formulasi langkah-langkahnya, serta

    proses implementasinya.

    Satu catatan penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam

    melaksanakan monitoring pengelolaan taman nasional. Monitoring

    tidak cukup hanya dilakukan terhadap kemajuan aktivitas pengelolaan

    dalam mencapai target yang telah ditetapkan dalam management

    plan, monitoring juga harus selalu dilakukan terhadap key features

    biodiversity untuk mengetahui dampak dari aktivitas pengelolaan.

    Sejauh ini, aktivitas dalam bentuk monitoring dan asesmen key

    features biodiversity ini jarang sekali atau hampir tidak pernah

    dilakukan oleh para pengelola taman nasional.

  • 17

    D. Kriteria dan Indikator Kinerja Pengelolaan Taman Nasional

    Di berbagai forum rapat kerja dan seminar sering didiskusikan

    bagaimana menilai kinerja pengelolaan taman nasional. Menurut

    catatan penulis, Ditjen PHKA sudah pernah melakukan studi tentang

    penyusunan kriteria dan indikator untuk mengukur kinerja

    pengelolaan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya. Belum

    tuntas mendiskusikan dan menetapkan kriteria dan indikator kinerja

    pengelolaan, Ditjen PHKA justru memunculkan diskursus untuk

    menyusun kriteria dan indikator kinerja para Kepala Balai sebagai

    pimpinan unit kerja pengelola kawasan konservasi. Seolah-oleh

    menilai kinerja Kepala Balai jauh lebih penting daripada menilai kinerja

    pengelolaan kawasan. Diskursus ini dapat menimbulkan tafsir miring

    bahwa Ditjen PHKA akan mengambil oper peran Pusat Pendidikan dan

    Pelatihan (Pusdiklat) dan Biro Kepegawaian. Institusi yang gemar

    melakukan segala sesuatu yang bukan tugas pokok dan fungsinya

    sering disebut institusi super yang doing everything but its main

    tasks.

    Untuk dipahami, kinerja pengelolaan kawasan konservasi merupakan

    resultante dari : potensi kawasan, arahan dan kebijakan, fasilitasi dan

    supervisi, mobilisasi sumberdaya yang ada, kepemimpinan unit

    pengelola, sampai dengan faktor eksternal yang berada di luar kontrol

    pengelola kawasan. Pencapaian kinerja pengelolaan kawasan secara

    okuler dapat dilihat dengan mudah melalui pengamatan lapangan.

    Tetapi apakah hasil pengamatan okuler tersebut dapat langsung

    digunakan sebagai indikator kinerja pengelola kawasan ? atau lebih

    sempit lagi kinerja Kepala Balai ? Sederhananya dapat dilihat pada

    gambar berikut :

  • 18

    Gambar 2 : Skematis kinerja pengelolaan Kawasan Konservasi

    Oleh karena itu, langkah pertama untuk melakukan penilaian kinerja

    pengelolaan taman nasional adalah menentukan komponen apa saja

    yang akan dinilai. Selanjutnya perlu disepakati tentang kriteria dan

    indikator penilaian, dan yang terakhir adalah kesepakatan tentang

    siapa yang menilai dan periodisitas penilaian.

    Mengingat menilai kinerja pengelolaan hanya berdasarkan outcome

    bisa menimbulkan bias, maka komponen yang dinilai harus utuh dan

    menyeluruh : mulai dari status potensi, perencanaan, sumberdaya,

    proses, output, sampai dengan outcomenya. Kriteria yang dipilih

    untuk setiap komponen merupakan features kunci dari komponen

    dimaksud. Indikator penilaian bisa debatable, tetapi untuk

    penyederhanaan bisa disusun suatu indikator yang dapat

    menggambarkan upaya-upaya yang telah dilakukan, misalnya mulai

    dari : sedang dipikirkan, sudah direncanakan, sedang dilaksanakan,

    sampai dengan hasil yang telah dicapai.

    Gambar 3 : Skematis Penilaian Kinerja dan Komponen-komponen yang

    Dinilai

  • 19

    Sebagaimana penyusunan management plan, sebenarnya IUCN sudah

    banyak menerbitkan guidelines maupun best practices tentang

    management effectiveness pada protected areas. Beberapa

    metodologi yang bisa digunakan, diantaranya adalah :

    Tabel 3 : Beberapa metodologi yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja pengelolaan kawasan konservasi

    No Metodologi Organisasi

    Pengguna Penggunaan

    1.

    RAPPAM Rapid Asessment and

    Prioritization of Protected

    Areas Management

    WWF

    Prioritasi dan pengalokasian sumberdaya

    Public support

    2

    METT (Management Effectiveness Tracking

    Tool)

    World

    Bank/WWF Allliance

    Adaptive

    Management

    3

    MES of Finland

    Finland

    Adaptive

  • 20

    (Management

    Effectivness Study of Finland

    Management

    4

    KRITIN KAKO (Kriteria dan Indikator

    Pengelolaan Kawasan

    Konservasi)

    TNAP

    Prioritasi dan pengalokasian

    sumberdaya

    Adaptive Management

    Penilaian kinerja pengelolaan dimaksudkan untuk mengetahui sejauh

    mana progress pengelolaan taman nasional sudah dilakukan

    dibandingkan dengan tujuan jangka panjang pengelolaan taman

    nasional. Penilaian kinerja pengelolaan sama sekali bukan

    dimaksudkan untuk menilai kinerja Kepala Balai (meskipun hasilnya

    juga dapat digunakan untuk tujuan dimaksud). Output dari penilaian

    kinerja dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan,

    diantaranya :

    I. Pada level unit kerja pengelolaan : penyesuaian implementasi

    pengelolaan, perbaikan sistem perencanaan, dan sebagai

    informasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi

    penggunaan sumberdaya, serta bahan untuk menyusun

    akuntabilitas

    II. Pada level nasional : untuk mengevaluasi kebijakan, informasi

    pengalokasian sumberdaya (sdm, dana, sarpras dll), menyusun

    guidelines, melaksanakan supervisi dll

    III. Untuk donor dan NGOs : sebagai informasi awal untuk get

    involved pada fokus-fokus kegiatan tertentu dan area tertentu.

    Untuk mendapatkan penilaian yang obyektif, penilaian kinerja

    sebaiknya dilakukan oleh pihak independen. Penilaian kinerja

    pengelolaan tidak bisa dilakukan oleh Tim Internal karena akan

    menimbulkan bias yang disebabkan oleh kendala psikologis. Penilaian

    juga tidak dapat dilakukan oleh Tim dari Ditjen PHKA Pusat karena

  • 21

    banyak hal yang menyangkut kinerja pengelolaan juga sangat

    dipengaruhi oleh arahan, kualitas kebijakan, dan berbagai bentuk

    fasilitasi dari Pusat.

  • 22

    IV. TAMAN NASIONAL MODEL

    Pemaparan pengertian umum tentang kawasan konservasi, protected

    area, dan pengelolaan taman nasional telah mengantarkan pada bagian

    pokok dari paper ini, yaitu tentang implementasi taman nasional model.

    Beberapa issue yang perlu didiskusikan lebih lanjut diantaranya adalah :

    pengertian taman nasional model, kaitan antara taman nasional model

    dan taman nasional mandiri, serta upaya yang akan ditempuh Taman

    Nasional Alas Purwo sebagai Taman Nasional Model.

    A. KONSEP MODEL

    Ide untuk menetapkan taman nasional model sebenarnya berawal dari

    ketidak jelasan arah pengelolaan taman nasional di Indonesia. Dalam

    rapat pembahasan anggaran dan seminar sering dipertanyakan :

    seandainya seluruh kebutuhan anggaran taman nasional selalu

    dipenuhi, pada akhir masa pembangunan akan menjadi seperti apa

    taman nasional tersebut ? Pertanyaan sederhana dari otoritas

    anggaran tersebut seringkali tidak bisa dijawab oleh para pengelola

    taman nasional.

    Pada saat yang sama keinginan untuk menambah jumlah taman

    nasional juga semakin besar, sehingga dalam kurun waktu kurang dari

    40 tahun, Indonesia telah mempunyai 50 taman nasional, yang terdiri

    dari 8 Balai Besar Taman Nasional dan 42 Balai Taman Nasional.

    Sementara masih banyak lagi kawasan-kawasan yang sedang atau

    akan diusulkan menjadi taman nasional. Penambahan anggaran

    sampai dengan 3 kali lipat terbukti tidak memberikan pengaruh yang

    signifikan terhadap progres pembangunan taman nasional, hanya

    karena organisasinya yang terus membengkak.

  • 23

    Semakin banyaknya taman nasional yang dibentuk, ternyata tidak

    otomatis diikuti dengan kemajuan/progress yang signifikan di dalam

    pengelolaan kawasan konservasi di tingkat nasional. Pada tingkat unit

    pengelolaan, taman nasional masih dikelola seperti biasanya (as

    usual), atau maksimum beberapa taman nasional melakukan

    pembangunan sarana-prasarana secara besar-besaran yang, banyak

    diantarany, out of context dari tujuan pengelolaannya. Dengan latar

    belakang seperti itulah selanjutnya dipertimbangkan untuk

    membentuk Taman Nasional Model. Melalui pembentukan taman

    nasional model tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran

    yang lebih konkrit tentang bagaimana seharusnya taman nasional

    dikelola, sehingga sumberdaya yang sangat terbatas dapat lebih

    difokuskan untuk menjadikan Taman Nasional Model sebagai the true

    national park. Oleh karena itu Ditjen PHKA menetapkan beberapa

    taman nasional sebagai Taman Nasional Model dengan harapan agar

    nantinya dapat direplikasi dan digunakan sebagai referensi di dalam

    pengelolaan taman nasional lainnya.

    Pada awalnya, pemilihan taman nasional sebagai Taman Nasional

    Model didasarkan kepada features utama kawasan dan tujuan

    pengelolaan, yaitu Taman Nasional yang mempunyai potensi wisata

    tinggi, Taman Nasional yang mempunyai keanekaragaman hayati

    tinggi, serta Taman Nasional yang sudah lama mempunyai interaksi

    positif dengan masyarakat di sekitarnya. Setelah Taman Nasional

    Model ditetapkan melalui Keputusan Dirjen, selanjutnya tidak ada

    arahan dan pedoman lebih lanjut untuk operasionalisasinya. Masing-

    masing pengelola Taman Nasional Model dibebaskan untuk

    menterjemahkan keputusan Dirjen tersebut sesuai dengan selera

    masing-masing. Tanpa pedoman, tanpa kriteria dan indikator, tanpa,

    supevisi, tanpa monitoring, dan penilaian kinerja. Sementara waktu

    yang tersisa kurang dari 2 tahun, tanpa harus menunggu sampai

  • 24

    dengan tahun 2009, satu hal yang sudah pasti : salah satu target

    Renstra Dephut telah gagal untuk direalisasikan.

    B. KEMUNGKINAN MENGELOLA TAMAN NASIONAL SECARA

    MANDIRI

    Ada tafsir informal yang berkembang, bahwa Taman Nasional Model

    adalah taman nasional yang dikelola sedemikian rupa sehingga pada

    suatu saat dapat dikelola secara mandiri. Istilah mandiri dapat

    merujuk kepada 4 hal, yaitu : pertama, dari aspek

    kapasitas/kapabilitas pengelola; kedua, dari aspek kemampuan

    finasial/pendanaan; ketiga, dari aspek pengambilan keputusan; ke

    empat, dari ketiga aspek sebelumnya.

    Pengembangan taman nasional mandiri ditinaju dari aspek kapasitas/

    kapabilitas dan kemampuan finansial sebenarnya berlawanan dengan

    kecenderungan mainstream global dalam pengelolaan protected area,

    yaitu kolaborasi. Semakin meningkatnya public awareness dalam

    masalah konservasi, dan semakin banyaknya lembaga swadaya

    masyarakat yang bergiat dalam masalah konservasi merupakan

    peluang yang harus dimanfaatkan dan disinergikan para pengelola

    taman nasional untuk mendukung dan mempercepat pencapaian

    tujuan pengelolaan. Pengelola kawasan taman nasional tidak harus

    tahu dan mengerjakan segalanya. Yang diperlukan dari pengelola

    taman nasional adalah menyusun framework pengelolaan beserta

    prioritasinya sehingga memungkinkan tersedianya slot-slot aktivitas

    yang dapat dilakukan secara kolaboratif.

    Menurut ketentuan perundangan yang berlaku, pengelolaan kawasan

    konservasi (kecuali TAHURA) merupakan wewenang dan tanggung

    jawab pemerintah Pusat. Konsekuensinya, seluruh kawasan konservasi

    dikelola oleh instantusi Pusat (BKSDA dan Taman Nasional). Aturan

    yang lain, instansi pemerintah, kecuali yang berstatus BUMN, dilarang

  • 25

    untuk menjual barang dan jasa yang dihasilkan. Ada sedikit

    kelonggaran, bagi instansi pemerintah yang berstatus BHMN (semisal

    Perguruan Tinggi) dan Badan Layanan Umum/BLU (misalnya, Rumah

    Sakit, Pengelola Dana Bergulir dll) dapat mengenerate income dari

    jasa yang dihasilkan. Apakah Taman Nasional kelak akan dapat

    dikelola dengan status BLU merupakan suatu kajian tersendiri.

    Pemberian status otonom yang memungkinkan pengelola taman

    nasional dapat membuat keputusan sendiri, dalam banyak hal, sudah

    berlaku cukup lama.

    Pengembangan taman nasional menuju ke arah taman nasional

    mandiri perlu ditelaah secara mendalam, terutama berkaitan dengan

    batasan dan ruang lingkup kemandirian, payung hukumnya, strategi

    dan langkah implementasinya, sampai dengan kriteria dan indikator

    penilaiannya. Memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada

    para pengelola taman nasional untuk melakukan trial dan error tanpa

    rambu-rambu yang jelas bukan hanya membahayakan, tetapi

    merupakan suatu bentuk kebijakan yang tidak bertanggungjawab.

    C. UPAYA YANG DITEMPUH BALAI TAMAN NASIONAL ALAS

    PURWO

    Penetapan Balai Taman Nasional Alas Purwo sebagai salah satu taman

    nasional model di satu sisi memberikan kebanggaan tersendiri bagi

    seluruh pengelola TNAP dan masyarakat Banyuwangi, di sisi yang lain

    status tersebut juga merupakan beban tersendiri mengingat pengelola

    kesulitan menterjemahkan status tersebut ke dalam kegiatan yang

    konkrit. Diantara ketidakjelasan tersebut, beberapa kegiatan strategis

    yang lebih bersifat antisipatif yang sedang dan akan dilakukan Balai

    TNAP adalah sebagai berikut :

    a. Mengembangkan kapasitas sumberdaya manusia

  • 26

    Seperti apapun konsep dan implementasi taman nasional

    nantinya, pasti memerlukan sumberdaya manusia yang

    qualified. Untuk itu Balai TNAP bersama dengan Fahutan UGM

    telah melakukan kerjasama dalam menyiapkan sdm yang

    dibutuhkan, mulai dari tingkat analis, supervisor, sampai

    dengan tingkat pelaksana. Kerjasama juga mencakup penelitian

    terhadap beberapa aspek pengelolaan yang dianggap

    mendesak guna peningkatan kualitas pengelolaan.

    b. Review ulang status biodiversity

    Sampai dengan saat ini status biodiversity dalam kawasan

    Taman Nasional Alas Purwo belum pernah diketahui dengan

    pasti. Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) BTN Alas

    Purwo disusun berdasarkan data seadanya, sehingga kurang

    representatif untuk digunakan sebagai basis pengelolaan

    selanjutnya. Key features biodiversity belum pernah

    didefinisikan, demikian juga monitoring dan asesmen

    biodiversity baru dilakukan secara sporadis dan belum

    dilakukan secara periodik dan sistematis.

    c. Evaluasi management effectiveness

    Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, penilaian kinerja

    pengelolaan dimaksudkan untuk mengatahui sejauh mana

    pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo sudah dilakukan.

    Untuk itu diperlukan kriteria dan indikator yang nantinya akan

    digunakan sebagai instrumen penilaian. Melalui penilaian

    tersebut diharapkan Balai TNAP dapat segera melakukan

    konsolidasi ke dalam guna mempercepat pencapaian tujuan

    pengelolaan

    d. Mereview dan memperbaiki Management Plan

  • 27

    Disamping belum didukung dengan data yang komprehensif,

    dokumen-dokumen perencanaan Balai TNAP (RPTN dan RKL)

    sudah out of date, terutama berkaitan dengan diserahkannya

    kawasan Taman Wisata Alam Ijen kepada BKSDA Jatim dan

    ditetapkannya zonasi TNAP oleh Dirjen PHKA pada bulan

    Pebruari tahun 2007 yang lalu. Perbaikan management plan

    akan difokuskan kepada proses penyusunan yang lebih

    partisipatif serta substansi yang lebih berkualitas. Peningkatan

    kualitas substansi dilakukan melalui pemenuhan data dasar

    yang lebih representatif dan benar-benar mencerminkan key

    features biodiversity kawasan, tujuan dan target-target

    pengelolaan yang lebih jelas, pentahapan, sampai dengan opsi-

    opsi kegiatan yang lebih realistis.

    e. Meningkatkan efektivitas pengelolaan

    Pengelolaan TNAP tidak berangkat dari nol. Capaian

    sebelumnya merupakan modal dasar yang sangat berharga

    untuk melangkah ke depan. Untuk itu Balai TNAP telah

    melakukan pengelolaan kawasan berbasis resort

    (LOWASBASROT) yang dilengkapi dengan sistem monitoringnya

    secara computerized (SILOKA Sistem Informasi Pengelolaan

    Kawasan). Ide awal dilaksanakannya Lowasbasrot dan Siloka di

    TNAP sebenarnya terbatas untuk meningkatkan intensitas

    pengamanan hutan. Dalam perkembangannya Lowasbasrot dan

    SILOKA juga dapat digunakan untuk melakukan monitoring dan

    berbagai keperluan pengelolaan kawasan. Implementasi dari

    Lowasbasrot dan SILOKA akan terus dikembangkan dan

    disempurnakan untuk mendorong terwujudnya efektivitas

    pengelolaan dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan TNAP.

  • 28

    V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

    Berdasarkan paparan yang telah disampaikan di atas, penulis dapat

    menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :

    1. Perlu segera dilakukan peninjauan ulang status kawasan konservasi

    di Indonesia, agar definisi, pengertian, dan atribut-atribut

    pengelolaan yang dilakukan dapat kompatibel dengan pengelolaan

    protected areas secara global.

    2. Label taman nasional di Indonesia sebaiknya ditinjau ulang, agar

    pengelolaan masing-masing kawasan dapat dilakukan secara lebih

    optimal. Apabila perubahan nomenklatur agak sulit dilakukan,

    karena alasan yuridis, taman nasional yang ada perlu dibuat

    kategori-kategori khusus

    3. Perlu segera disusun dan ditetapkan kriteria dan indikator

    pengelolaan kawasan konservasi, khususnya taman nasional.

    Selanjutnya perlu segera dilakukan penilaian kinerja pengelolaan

    kawasan konservasi pada masing-masing taman nasional.

    4. Belum ada pedoman yang jelas tentang apa dan bagaimana yang

    dimaksud Taman Nasional Model, sehingga implementasinya di

    lapangan tidak berjalan sebagaimana ide awalnya.

    5. Pengelolaan taman nasional menuju Taman Nasional Mandiri hanya

    dapat dilakukan apabila payung hukum ke arah tersebut sudah

    dibuat. Selain itu juga diperlukan konsep yang jelas dalam bentuk

    arahan dan pedoman tentang bagaimana mengelola taman nasional

    menuju Taman Nasional Mandiri.

    Dari paparan yang sudah disampaikan, penulis juga dapat mengajukan

    beberapa rekomendasi kepada Ditjen PHKA Pusat sebagai berikut :

  • 29

    1. Agar segera menyusun dan menetapkan kriteria dan indikator

    pengelolaan kawasan konservasi, serta melaksanakan penilaian

    kinerja pengelolaan taman nasional.

    2. Agar dapat lebih memfokuskan pelaksanaan tupoksinya untuk

    melakukan kegiatan yang bersifat regulatif (penyusunan peraturan

    Menteri & Dirjen); fasiltatif (penyusunan guidelines, training,

    bimbingan pengelolaan dll), serta supervisi (monitoring dan

    evaluasi, pengawasan dll)

    3. Agar Ditjen PHKA bersama dengan Perguruan Tinggi beserta pihak-

    pihak terkait (Departemen Keuangan, Menpan, LSM dll) dapat

    melakukan kajian yang mendalam tentang kemungkinan

    dibentuknya status BLU bagi Taman Nasional

  • 30

    VI. PENUTUP

    Mengingat semakin carut marutnya pengelolaan hutan produksi yang ada,

    keberadaan kawasan konservasi bisa dianggap sebagai benteng terakhir

    bagi keberadaan hutan tropis di Indonesia. Kawasan konservasi bukanlah

    suatu kawasan yang harus dikeloala secara eksklusif sebagai pulau yang

    terpisah dari lingkungan di sekitarnya, tetapi kawasan konservasi juga

    tidak boleh dibuka selebar-lebarnya sebagaimana kawasan hutan pada

    umumnya. Peningkatan intensitas pengelolaan kawasan konservasi dapat

    menjadi salah satu jawabannya.

    Mengelola sesuatu pasti membawa konsekuensi timbulnya biaya dan

    tenaga. Agar pengorbanan sumberdaya yang sangat terbatas tersebut

    tidak sia-sia, perlu segera dilakukan konsolidasi pengelolaan kawasan

    konservasi di Indonesia. Konsolidasi tidak saja harus dilakukan pada level

    unit pengelolaan, tetapi juga pada level pembuat kebijakan. Melalui

    konsolidasi tersebut diharapkan pengelolaan kawasan konservasi ke

    depan, utamanya kawasan Taman Nasional dapat dilakukan secara lebih

    terfokus, sistematis, tepat guna, dan tepat sasaran.

  • 31

    DAFTAR PUSTAKA Barton, Gregory A. (2001). Empire Forestry and the Origin of

    Environmentalism, Cambridge. University Press

    Dudley, N., and Phillips, A. (2006). Forest and Forest Protected Areas. Guidance on the Use of the IUCN Protected Area Management Categories.

    Best Practice Protected Area Guideline Series No.12, World Commission on Protected Areas (WCPA). IUCN.

    Grove,R.H. (1992). Origin of Western Environmentalism. Sientific American

    267 (1) 22-27.

    Grove, R.H. (1997). Ecology, Climate and Empire : Colonialism and Global Environmental History 1400-1940. Cambridge. Whitehorse Press.

    Hockings, M., Stuton,S., and Dudley,N. (2000). Evaluating Effectiveness. A

    Framework for Asessing the Management of Protected Areas. World Commission on Protected Areas (WCPA). IUCN.

    IUCN (1994). Guidelines for Protected Area Management Categories. IUCN

    and The World Conservation Monitoring Centre, Gland, Switzerland and Cambridge. UK.

    Thomas, L., and Middleton, J. (2003). Guidelines for Management Planning of Protected Area. World Commission on Protected Areas

    (WCPA). IUCN. Tucker,G. et al (2005). Guidelines Biodiversity Asessment and Monitoring

    for Protected Areas. KMTNC. Kathmandu, Nepal. UNEP-WCMC.