bentuk pengelolaan tn alas purwo
DESCRIPTION
Bentuk Pengelolaan TN Alas PurwoTRANSCRIPT
-
1
MENCARI BENTUK
PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL MODEL SEBUAH TINJAUAN REFLEKTIF PRAKTEK PENGELOLAAN
TAMAN NASIONAL DI INDONESIA 1)
Oleh
Ir. Hartono, M.Sc 2)
1) Sebuah Kerangka Pemikiran dipresentasikan pada acara Workshop Sistem Pengelolaan Kawasan Konservasi dengan tema Mengembangkan Kemandirian TN Alas Purwo Melalui Pengelolaan Berbasis Ekosistem,
Hotel Ketapang Indah, 24 April 2008
2) Kepala Balai Taman Nasional Alas Purwo
-
2
I. PENDAHULUAN
Baik di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 maupun di dalam
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, hutan konservasi atau biasa
disebut sebagai kawasan konservasi didifinisikan sebagai kawasan hutan
dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun perairan, yang
mempunyai fungsi pokok untuk pengawetan keanekaragaman hayati
(flora dan fauna) serta ekosistemnya. Selanjutnya di dalam Undang-
undang Nomor 41 Tahun 1990 tentang Kehutanan, kawasan konservasi
dibagi menjadi 3 kategori, yaitu : Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan
Kelesatrian Alam (KPA), dan Taman Buru (TB).
Dalam sistem peraturan perundangan di Indonesia, taman nasional adalah
salah satu bentuk kawasan pelestarian alam, disamping 2 bentuk KPA
lainnya, yaitu Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Hutan Raya
(TAHURA). Taman nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian
alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, dan
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
Dalam Rencana Strategis Departemen Kehutanan 2005-2009, salah satu
target yang hendak dicapai adalah terwujudnya 20 Taman Nasional Model
sebagai Taman Nasional Mandiri. Selanjutnya, berdasarkan Surat
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(PHKA) Nomor : SK.69/IV-Set/HO/2006 tanggal 3 Mei 2006 tentang
Penunjukan 20 Taman Nasional sebagai Taman Nasional Model, Taman
Nasional Alas Purwo telah ditetapkan sebagai salah satu dari 20 Taman
Nasional Model dimaksud. Meskipun penetapan taman nasional model
tersebut (konon) telah dilakukan melalui pertimbangan-pertimbangan
tertentu, namun sampai dengan saat ini belum ada pedoman/arahan lebih
lanjut tentang apa dan bagaimana taman nasional model harus dikelola
(tujuan spesifiknya, apa yang menjadi fokus pengelolaan, bagaimana
-
3
mengelola, serta kriteria dan indikator keberhasilan pengelolaannya). Oleh
karena itu, di dalam paper ini akan diuraikan prinsip-prinsip pengelolaan
taman nasional, termasuk kriteria dan indikator yang diusulkan untuk
dipakai dalam menilai kinerja pengelolaan, serta implikasi kemungkinan
adopsinya di dalam pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo (TNAP)
sebagai taman nasional model.
-
4
II. KAWASAN KONSERVASI DAN PROTECTED AREAS
Untuk mengawali diskusi yang lebih mendalam tentang bagaimana upaya
mewujudkan pengelolaan suatu Taman Nasional Model, terlebih dahulu
perlu dipaparkan asal usul konservasi serta perkembangannya sampai
dengan tipe-tipe kawasan konservasi serta tujuan pengelolaan masing-
masing kawasan.
A. Asal Usul Konservasi
Terminologi conservation atau konservasi pada awalnya berasal dari
praktek pengelolaan di dunia kehutanan, yaitu sejak mulai
diperkenalkannya prinsip kelestarian hasil (sustained yield principle)
oleh para foresters Jerman dan Swiss pada abad ke 19 dalam
melakukan pemanenan hutan (Grove, 1992). Konservasi berasal dari
kata to conserve yang berarti memperlakukan sesuatu untuk tujuan
pemanfaatan dalam jangka panjang sesuai sesuai dengan slogan
Giffort Pinchot (dianggap bapak Kehutanan Amerika) yang populer
pada waktu itu, yaitu the greatest good for the greatest number for
the longest time. Secara sederhana, aplikasi dari prinsip tersebut
adalah agar hutan dapat memberikan manfaat secara lestari maka
pemanenan kayu pada suatu kawasan hutan tidak boleh melebihi riap
yang tumbuh selama jangka waktu tertentu pada hutan tersebut,
sebagaimana diajarkan oleh Dietrich Brandis dan Berthold
Ribbenthrop. Menurut Barton (2001), prinsip ini dilandasi oleh filsafat
utilitarian yang sekaligus dapat dianggap sebagai tonggak pertama
lahirnya filsafat utilitarian conservation. Bagi penganut faham
utilitarian seperti Giffort Pinchot, sesuatu baru dianggap penting
apabila mempunyai nilai kegunaan (utility) sehingga dapat dinilai
harganya. Saat itu, hutan dianggap berguna semata-mata hanya
karena hutan dapat menghasilkan kayu yang mempunyai nilai
-
5
ekonomi di pasar. Penganut faham ini selanjutnya disebut para
conservationist.
Seiring dengan semakin berkembangnya pemahaman manusia
tentang fungsi dan manfaat hutan, faham konservasi utilitarian
tersebut juga mengalami perkembangan. Hutan ternyata bukan
sekadar kumpulan pohon yang tumbuh pada kawasan tertentu, tetapi
merupakan asosiasi tumbuhan dan hewan serta elemen-elemen
abiotik pada suatu kawasan yang didominasi oleh pohon-pohonan dan
terbentuk berdasarkan interaksi faktor biotis dan abiotis sehingga
membentuk ekosistem yang khas. Menilai manfaat hutan hanya
berdasarkan jenis/komoditas yang mempunyai nilai kegunaannya saja
akan membawa konsekuensi kepunahan pada jenis-jenis tertentu
yang tidak/belum diketahui manfaatnya (Grove, 1997). Selain itu, saat
itu juga mulai berkembang filsafat konservasi yang bersumber dari
kesadaran moral manusia (romantic transcendental conservation),
bahwa sebagai khalifattul fil ardh, manusia diwajibkan Tuhan untuk
berbuat adil bagi seluruh makhluk hidup di muka bumi. Sejak saat itu,
timbul kesadaran untuk menyisihkan beberapa kawasan hutan untuk
keperluan ilmu pengetahuan, pendidikan, keindahan, dan rekreasi.
Penganut faham ini selanjutnya disebut para preservationist.
Perkembangan filsafat konservasi tersebut selanjutnya juga diikuti
dengan aplikasinya di dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Di
banyak negara, kawasan hutan mulai ditata dan dikelola guna
mengakomodasikan 2 prinsip konservasi tersebut. Kawasan hutan
lindung dan hutan produksi dikelola berdasarkan kaidah-kaidah
konservasionis, sedangkan kawasan-kawasan hutan tertentu di luar
kawasan hutan lindung dan produksi dikelola berdasarkan kaidah
preservasionis. Bagi kaum preservasionis, perlindungan kawasan
sebagai suatu entitas jauh lebih penting daripada perlindungan jenis
-
6
secara individual. Mulai saat itu terdapat banyak kawasan hutan yang
dikelola sebagai cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional,
monumen alam dsb.
Di dalam perkembangannya, terminologi utilitarian conservation dan
romantic transcendental conservation/preservation semakin melebur
dan hilang, sementara terminologi conservation semakin populer dan
dapat digunakan untuk mewakili keduanya. Saat ini, terminologi
konservasi bisa digunakan untuk merujuk aktivitas maupun kawasan.
Konservasi yang merujuk pada aktivitas merupakan metamorfosa dari
penganut faham utilitarian conservation, seperti : sustained yield
timber production, water conservation, soil conservation, genetic
conservation, species conservation dll), sedangkan konservasi yang
merujuk pada kawasan mewakili paham para preservationonist, dalam
bentuk : nature reserves, wildlife sanctuary, national park, nature
monument dll
B. Kesamaan dan Perbedaan Kawasan Konservasi dan Protected
Areas
Dalam konvensi konservasi global, kawasan konservasi sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundangan di Indonesia lazim disebut
protected area. Dalam tulisan ini, untuk selanjutnya penulis sengaja
tetap menggunakan terminologi aslinya, yaitu protected area untuk
menghindari salah pengertian (yang terjadi akibat penterjemahan)
dengan pengertian di dalam sistem pengelolaan hutan di Indonesia,
yaitu kawasan lindung yang apabila dibahasa-inggriskan secara
letterlijk berarti protected area. Padahal, pengertian kawasan lindung
di dalam sistem pengelolaan hutan di Indonesia mengacu kepada
kawasan (termasuk hutan) yang dikelola sedemikian rupa untuk
keperluan perlindungan erosi dan pengaturan tata air.
-
7
Terdapat kemiripan, namun juga ada beberapa perbedaan tentang
definisi dan pengertian antara apa yang dimaksud kawasan konservasi
di Indonesia dengan apa yang disepakati secara global tentang
protected area. Secara umum persamaan tersebut terletak kepada
tujuan utama dalam pengelolaan, yaitu untuk melindungi dan
mengawetkan (to protect and preserve) keanekaragaman hayati,
Sedangkan perbedaannya, kawasan konservasi di Indonesia
memberikan kelonggaran untuk mengintroduksi flora dan fauna yang
bukan asli (exotic species) di dalam pengelolaannya, yaitu pada
kawasan tahura, serta pemanfaatan fauna secara lestari pada
kawasan taman buru.
Banyak kawasan yang sebelumnya telah dideklarasikan sebagai
kawasan konservasi, tetapi tidak semuanya memenuhi syarat untuk
dimasukkan sebagai protected area. Menurut IUCN, protected area
didefinisikan sebagai :
An area of land and/or sea especially dedicated to the protection and maintenance of biological diversity, and of natural and
associated cultural resources, and managed through legal or other
effective means (IUCN, 1994)
Berdasarkan definisi terebut, IUCN telah membuat pengklasifikasian
protected area berdasarkan tujuan pengelolaannya ke dalam kategori-
kategori sebagai berikut :
Tabel 1. : Kategori Protected Area dan Tujuan Pengelolaannya menurut IUCN
Kategori Nama Diskripsi
Ia Strict Nature Reserve Protected area managed mainly for science
Ib Wilderness Protected area managed mainly for wilderness protection
II National Park Protected area managed mainly for ecosystem protection and
tourism
-
8
III Natural Monument Protected area managed mainly for conservation of specific natural features
IV Habitat/Species Management Area
Protected area managed mainly
for conservation through
management intervention
V Protected Landscape/Seascape
Protected area managed mainly
for landscape/seascape
conservation and recreation
VI Managed Resources Protected Area
Protected area managed mainly for sustainable use of natural
ecosystems
Menurut Dudley dan Phillips (2006) pendifinisian dan pengkategorian
protected areas dimaksudkan untuk memberikan basis pengertian
yang sama tentang apa yang dimaksud dengan protected area.
Dengan demikian pengelolaan masing-masing kategori protected area
tersebut dapat dilaksanakan secara konsisten guna mencapai tujuan
yang jangka panjang yang telah disepakati dan dipahami, melalui
kaidah-kaidah pengelolaan yang ditetapkan IUCN beserta seluruh
anggotanya.
Melalui pendifinisian dan pengkategorian tersebut, terbukti kawasan-
kawasan yang sebelumnya diberi label national park ternyata tidak
memenuhi syarat untuk disebut sebagai protected area, karena
berdasarkan survey yang dilakukan, kawasan-kawasan tersebut
sebenarnya hanya : kebun raya, taman wisata alam, taman safari, old
growth forest, ancient forest dsb.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, tidak seluruh kawasan konservasi
di Indonesia otomatis bisa dikategorikan sebagai protected area.
Berdasarkan pengklasifikasian/pengakategorian protected area versi
IUCN tersebut, maka kawasan konservasi di Indonesia dapat
disejajarkan dengan protected area sebagai berikut :
-
9
Tabel 2 : Penyetaraan Klasifikasi Kawasan Konservasi di Indonesia dengan Kategori Protected Area versi IUCN
Fungsi/ Jenis
Definisi Kategori Versi IUCN
Kawasan Suaka Alam
(KSA)
Cagar Alam (CA)
Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik daratan maupun perairan, yang berfungsi sebagai kawasan
pengawetan kenekaragaman flora dan fauna serta
ekosistemnya serta sebagai wilayah penyangga
kehidupan
Kawasan suaka alam yang karena
keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan
ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung
secara alami.
Protected Areas Category Ia
Fungsi/ Jenis
Definisi Kategori Versi IUCN
Suaka Marga-
satwa (SM)
Kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa
keanekaragaman dan keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan
hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Protected Areas Category IV
Kawasan
Pelestarian
Alam (KPA)
Taman Nasional (TN)
Taman Wisata
Alam (TWA)
Kawasan dengan ciri khas tertentu, baik daratan
maupun perairan, yang mempunyai fungsi
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengewetan kenekaragaman flora dan fauna, serta
pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati
dan ekosistemnya.
Kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola
melalui sistem zonasi, dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, serta pariwisata dan rekreasi
Protected Areas Category II
Kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Bukan termasuk Protected Areas
-
10
Taman Hutan Raya
(TAHURA)
Kawasan pelestarian alam untuk
tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis
asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, penunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi.
Bukan
termasuk Protected Areas
Taman buru
(TB)
Kawasan hutan yang ditetapkan
sebagai tempat wisata buru atau
tempat diselenggarakan perburuan secara teratur.
Bukan
termasuk
Protected Areas
C. Implikasi Dalam Pengelolaan Taman Nasional
Berdasarkan pengkategorian protected areas versi IUCN tersebut,
maka kawasan konservasi di Indonesia dengan label Taman Nasional
sebenarnya perlu ditinjau ulang, paling tidak untuk kepentingan
pemaduserasian upaya konservasi keaneka ragaman hayati dalam
tataran global. Apabila dilakukan penelaahan lebih lanjut, seluruh
taman nasional di Indonesia memang memenuhi syarat untuk disebut
sebagai protected area.
Namun demikian harus dipahami bahwa tidak semua taman nasional
di Indonesia sesuai dengan definisi National Park sebagaimana
dimaksud protected area kategori II IUCN. Penelaahan lebih lanjut
terhadap features fisik kawasan dan tujuan pengelolaannya, sangat
dimungkinkan taman nasional yang ada di Indonesia dimasukkan ke
dalam kategori-kategori protected area yang berbeda, mulai dari Ib,
II, III, IV, atau bahkan V. Hal ini bisa dirunut sejarah
pembentukannya, mayoritas taman nasional di Indonesia sebelumnya
sudah berstatus suaka alam atau suaka margasatwa.
-
11
Peninjauan ulang dimaksudkan untuk lebih memfokuskan tujuan
pengelolaan yang mencerminkan ciri-ciri (features) utama kawasan
serta aktivitas manusia yang telah berlangsung selama ini. Dengan
demikian penetapan tujuan dan implementasi pengelolaannya dapat
dilakukan secara lebih optimal. Lebih penting lagi, melalui peninjauan
ulang tersebut diharapkan agar para penentu kebijakan dapat berpikir
dengan lebih jernih dan selektif dalam menentukan arah dan
kebijakan pengelolaan taman nasional ke depan, termasuk memahami
dengan benar apa yang : wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram
dilakukan dalam pengelolaan taman nasional.
Masih belum banyak, bahkan mereka yang sejak pertama kali sampai
pensiun bekerja di lingkungan PPA/PHKA, yang belum memahami dan
menyadari bahwa mengubah tujuan pengelolaan, serta implementasi
pengelolaannya dapat mengubah kategori dan status kawasannya
sendiri. Taman nasional yang lebih mengedepankan aspek
pemanfaatan (wisata, pendidikan, kultural, sampai dengan
pemanfaatan sumberdaya lestari) dan melupakan aspek perlindungan
biodiversity dapat dengan mudah terpeleset menjadi sekedar taman
wisata alam atau hutan lindung plus.
Bisa jadi, ketidakjelasan kebijakan pengelolaan taman nasional yang
terjadi selama ini sebagai ekses dari seringnya para pejabat
melakukan studi banding pengelolaan taman nasional ke luar negeri,
dimana obyek studi banding yang dikunjungi sebenarnya bukan
termasuk ke dalam the true national park sebagaimana dimaksudkan
di dalam kategori II IUCN. Salah banding inilah yang dapat
menimbulkan impresi yang keliru tentang bagaimana taman nasional
harus dikelola. Lebih gawat lagi, apabila impresi yang keliru tersebut
kemudian dituangkan dalam bentuk kebijakan pengembangan taman
nasional di Indonesia.
-
12
III. PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL
Sebagaimana dipaparkan di atas, taman nasional merupakan salah satu
bentuk protected area yang ditetapkan untuk tujuan perlindungan
ekosistem dan pengembangan wisata. Karena taman nasional merupakan
salah satu bentuk protected area, maka selain perlindungan ekosistem
dan pemanfaatannya, satu hal yang harus dipegang dan senantiasa
diingat sebagai misi pokok oleh pengelola taman nasional adalah
peengelolaan biodiversity (keaneka ragaman hayati) dan ekosistemnya.
Di dalam upaya pengelolaan taman nasional, hal pertama yang harus
diketahui dan dipertimbangkan adalah : sejauh mana aktivitas manusia,
baik disengaja maupun tidak, baik yang sudah dan sedang terjadi pada
saat ini maupun yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, dapat
menimbulkan dampak terhadap atribut-atribut biodiversity yang
dicerminkan di dalam key features biodiversity (Tucker, 2005). Oleh
karena itu, agar pengelola taman nasional dapat mengelola taman
nasional dengan baik dan benar, paling tidak harus harus memahami 4
hal, yaitu : a) apa yang harus dikelola; b) apa tujuan pengelolaan; c)
bagaimana mengelola secara efektif dan efisien; dan d) apa kriteria dan
indikator kinerja pengelolaan.
D. Apa yang Dikelola
Alasan utama penetapan suatu kawasan menjadi Taman Nasional
pasti karena faktor biodiversity dan ekosistemnya, disamping faktor-
faktor alamiah dan keunikan lainnya. Alasan lain yang juga sering
dipertimbangkan adalah karena kawasan tersebut mempunyai peran
penting dalam perlindungan DAS, pengawetan tanah, perlindungan
pantai, serta perlindungan terhadap masyarakat asli (indigenous
people) yang hidup didalamnya.
-
13
Mengingat alasan utama penetapan suatu kawasan menjadi sebuah
Taman Nasional adalah fakor keanekaragaman hayati dan
ekosistemnya, maka hal pertama yang harus dilakukan dalam
mengelola kawasan taman nasional adalah melakukan asesmen
terhadap status biodiversity kawasan yang bersangkutan. Asesmen ini
meliputi kegiatan inventarisasi flora-fauna secara menyeluruh untuk
mengetahui : tipe ekosistem, formasi, jenis, kelimpahan, kelangkaan,
kerentanan, asosiasi, serta atribut-atribut biodiversity lainnya. Pada
saat yang sama juga perlu dilakukan asesmen terhadap kondisi edafis,
geologis, fisiografis, dan klimatologis untuk mengetahui interaksi
antara faktor-faktor biotis dan abiotis.
Key features biodiversity yang merupakan gambaran penting
biodiversity dari suatu kawasan dapat diperoleh melalui asesmen
interaksi manusia (terutama yang bersifat ancaman) terhadap
kawasan tersebut. Dengan demikian, di dalam melakukan asesmen
features sosio-ekonomi dan kultural masyarakat di dalam dan di
sekitar kawasan juga perlu dilakukan analisa yang cukup mendalam.
Pentingnya mendapatkan gambaran key feature biodiversity dalam
pengelolaan taman nasional dapat diibaratkan membuat sketsa dalam
memproduksi sebuah lukisan. Semakin jelas sketsa semakin mudah
menafsirkan bentuk obyek yang akan dilukis. Sketsa yang kabur dan
ruwet akan menimbulkan multi-interpretasi dan kekeliruan yang fatal
di dalam meneruskan pembuatan lukisan. Apalagi kalau pembuat
sketsa dan pelukis adalah 2 orang yang berbeda. Jendela bisa
ditafsirkan pintu, kamar mandi bisa ditafsirkan sebagai kamar tidur
dan seterusnya, yang terjadi kemudian bukan sebuah gambar rumah,
tetapi gambar puing rumah.
-
14
Key features biodiversity inilah yang merupakan base line bagi
pengelola kawasan taman nasional dalam menyusun rencana
pengelolaan dan melakukan pengelolaan ke depan. Tanpa mengetahui
dan memahami key features biodiversity, pengelolaan taman nasional
tidak akan pernah mencapai tujuan pengelolaan atau bahkan dapat
mengarah kepada kerusakan yang tak terpulihkan (irreversible
damages).
E. Tujuan Pengelolaan
Secara umum tujuan pengelolaan taman nasional adalah untuk
menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta untuk
memberikan kesempatan kepada publik untuk melakukan aktivitas
rekreasi, wisata, penelitian, pendidikan, dan kegiatan-kegiatan lain
yang bersifat spiritual dan inspirasional. Dalam konteks pengelolaan
pada level unit pengelolaan, pengelola taman nasional harus berani
membuat target-target yang spesifik yang harus dicapai dalam kurun
waktu tertentu.
Target-target yang harus dicapai mencakup hal-hal yang terkait
dengan upaya perlindungan keanekaragaman hayati, pengembangan
wisata alam, serta tujuan lain yang sesuai fungsi taman nasional.
Dengan tujuan dan target pengelolaan yang jelas, pengelola
diharuskan menemukan cara dengan mengerahkan semua
sumberdaya, baik yang sudah tersedia maupun yang masih bersifat
potensi, untuk mencapai target tersebut. Upaya pengelola taman
nasional untuk mencapai tujuan dan target-target tersebut perlu
dituangkan ke dalam management plan.
F. Bagaimana Mengelola Taman Nasional
Mengelola taman nasional tidak jauh berbeda dengan mengelola apa
saja, termasuk mengelola hutan produksi atau mengelola kebun
-
15
sekalipun. Prinsip atau kaidah dasar pengelolaan adalah bagaimana
mengalokasikan dan memobilisir sumberdaya untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Yang membedakan
adalah tentang apa yang dikelola dan tujuan pengelolaan.
Key features biodiversity dan tujuan pengelolaan merupakan 2 hal
yang harus selalu harus dipegang dan selalu diingat pengelola taman
nasional di dalam menyusun management plan taman nasional dan
mengoperasionalkannya sebagaimana gambar berikut :
Gambar 1 : Skematis Alur Pengelolaan Taman Nasional
Sumber : Hockings,M. (2000)
Dalam upaya pengelolaan taman nasional direkomendasikan untuk
menggunakan pendekatan management by objective (MBO) yang
berorientasi kepada hasil, dimana penekanan lebih difokuskan kepada
-
16
pencapaian output dan outcome (Thomas and Middleton, 2003). MBO
lebih bersifat proaktif daripada reaktif, dan pendekatan manajemen ini
telah banyak digunakan oleh berbagai institusi yang selama ini
menangani pengelolaan protected area di banyak negara. Kelebihan
dari MBO diantaranya adalah :
1. Formulasi tujuan yang jelas dan tegas;
2. Memungkinkan action plans yang realistis dengan selalu
mempertimbangkan kendala dalam mencapai tujuan;
3. Memungkinkan dilakukan monitoring dan pengukuran kinerja
secara sistematis;
4. Memungkinkan dilakukan corrective actions untuk mencapai
hasil yang direncanakan.
Banyak referens yang bersifat guidelines maupun lesson learned yang
bisa digunakan sebagai acuan di dalam mengelola taman nasional
berdasarkan pendekatan MBO. Namun demikian harus diingat tidak
ada formula manajemen yang bersifat generik dan bisa langsung
diaplikasikan pada semua taman nasional. Yang bisa dipelajari adalah
identifikasi elemen-elemennya, formulasi langkah-langkahnya, serta
proses implementasinya.
Satu catatan penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam
melaksanakan monitoring pengelolaan taman nasional. Monitoring
tidak cukup hanya dilakukan terhadap kemajuan aktivitas pengelolaan
dalam mencapai target yang telah ditetapkan dalam management
plan, monitoring juga harus selalu dilakukan terhadap key features
biodiversity untuk mengetahui dampak dari aktivitas pengelolaan.
Sejauh ini, aktivitas dalam bentuk monitoring dan asesmen key
features biodiversity ini jarang sekali atau hampir tidak pernah
dilakukan oleh para pengelola taman nasional.
-
17
D. Kriteria dan Indikator Kinerja Pengelolaan Taman Nasional
Di berbagai forum rapat kerja dan seminar sering didiskusikan
bagaimana menilai kinerja pengelolaan taman nasional. Menurut
catatan penulis, Ditjen PHKA sudah pernah melakukan studi tentang
penyusunan kriteria dan indikator untuk mengukur kinerja
pengelolaan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya. Belum
tuntas mendiskusikan dan menetapkan kriteria dan indikator kinerja
pengelolaan, Ditjen PHKA justru memunculkan diskursus untuk
menyusun kriteria dan indikator kinerja para Kepala Balai sebagai
pimpinan unit kerja pengelola kawasan konservasi. Seolah-oleh
menilai kinerja Kepala Balai jauh lebih penting daripada menilai kinerja
pengelolaan kawasan. Diskursus ini dapat menimbulkan tafsir miring
bahwa Ditjen PHKA akan mengambil oper peran Pusat Pendidikan dan
Pelatihan (Pusdiklat) dan Biro Kepegawaian. Institusi yang gemar
melakukan segala sesuatu yang bukan tugas pokok dan fungsinya
sering disebut institusi super yang doing everything but its main
tasks.
Untuk dipahami, kinerja pengelolaan kawasan konservasi merupakan
resultante dari : potensi kawasan, arahan dan kebijakan, fasilitasi dan
supervisi, mobilisasi sumberdaya yang ada, kepemimpinan unit
pengelola, sampai dengan faktor eksternal yang berada di luar kontrol
pengelola kawasan. Pencapaian kinerja pengelolaan kawasan secara
okuler dapat dilihat dengan mudah melalui pengamatan lapangan.
Tetapi apakah hasil pengamatan okuler tersebut dapat langsung
digunakan sebagai indikator kinerja pengelola kawasan ? atau lebih
sempit lagi kinerja Kepala Balai ? Sederhananya dapat dilihat pada
gambar berikut :
-
18
Gambar 2 : Skematis kinerja pengelolaan Kawasan Konservasi
Oleh karena itu, langkah pertama untuk melakukan penilaian kinerja
pengelolaan taman nasional adalah menentukan komponen apa saja
yang akan dinilai. Selanjutnya perlu disepakati tentang kriteria dan
indikator penilaian, dan yang terakhir adalah kesepakatan tentang
siapa yang menilai dan periodisitas penilaian.
Mengingat menilai kinerja pengelolaan hanya berdasarkan outcome
bisa menimbulkan bias, maka komponen yang dinilai harus utuh dan
menyeluruh : mulai dari status potensi, perencanaan, sumberdaya,
proses, output, sampai dengan outcomenya. Kriteria yang dipilih
untuk setiap komponen merupakan features kunci dari komponen
dimaksud. Indikator penilaian bisa debatable, tetapi untuk
penyederhanaan bisa disusun suatu indikator yang dapat
menggambarkan upaya-upaya yang telah dilakukan, misalnya mulai
dari : sedang dipikirkan, sudah direncanakan, sedang dilaksanakan,
sampai dengan hasil yang telah dicapai.
Gambar 3 : Skematis Penilaian Kinerja dan Komponen-komponen yang
Dinilai
-
19
Sebagaimana penyusunan management plan, sebenarnya IUCN sudah
banyak menerbitkan guidelines maupun best practices tentang
management effectiveness pada protected areas. Beberapa
metodologi yang bisa digunakan, diantaranya adalah :
Tabel 3 : Beberapa metodologi yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja pengelolaan kawasan konservasi
No Metodologi Organisasi
Pengguna Penggunaan
1.
RAPPAM Rapid Asessment and
Prioritization of Protected
Areas Management
WWF
Prioritasi dan pengalokasian sumberdaya
Public support
2
METT (Management Effectiveness Tracking
Tool)
World
Bank/WWF Allliance
Adaptive
Management
3
MES of Finland
Finland
Adaptive
-
20
(Management
Effectivness Study of Finland
Management
4
KRITIN KAKO (Kriteria dan Indikator
Pengelolaan Kawasan
Konservasi)
TNAP
Prioritasi dan pengalokasian
sumberdaya
Adaptive Management
Penilaian kinerja pengelolaan dimaksudkan untuk mengetahui sejauh
mana progress pengelolaan taman nasional sudah dilakukan
dibandingkan dengan tujuan jangka panjang pengelolaan taman
nasional. Penilaian kinerja pengelolaan sama sekali bukan
dimaksudkan untuk menilai kinerja Kepala Balai (meskipun hasilnya
juga dapat digunakan untuk tujuan dimaksud). Output dari penilaian
kinerja dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan,
diantaranya :
I. Pada level unit kerja pengelolaan : penyesuaian implementasi
pengelolaan, perbaikan sistem perencanaan, dan sebagai
informasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
penggunaan sumberdaya, serta bahan untuk menyusun
akuntabilitas
II. Pada level nasional : untuk mengevaluasi kebijakan, informasi
pengalokasian sumberdaya (sdm, dana, sarpras dll), menyusun
guidelines, melaksanakan supervisi dll
III. Untuk donor dan NGOs : sebagai informasi awal untuk get
involved pada fokus-fokus kegiatan tertentu dan area tertentu.
Untuk mendapatkan penilaian yang obyektif, penilaian kinerja
sebaiknya dilakukan oleh pihak independen. Penilaian kinerja
pengelolaan tidak bisa dilakukan oleh Tim Internal karena akan
menimbulkan bias yang disebabkan oleh kendala psikologis. Penilaian
juga tidak dapat dilakukan oleh Tim dari Ditjen PHKA Pusat karena
-
21
banyak hal yang menyangkut kinerja pengelolaan juga sangat
dipengaruhi oleh arahan, kualitas kebijakan, dan berbagai bentuk
fasilitasi dari Pusat.
-
22
IV. TAMAN NASIONAL MODEL
Pemaparan pengertian umum tentang kawasan konservasi, protected
area, dan pengelolaan taman nasional telah mengantarkan pada bagian
pokok dari paper ini, yaitu tentang implementasi taman nasional model.
Beberapa issue yang perlu didiskusikan lebih lanjut diantaranya adalah :
pengertian taman nasional model, kaitan antara taman nasional model
dan taman nasional mandiri, serta upaya yang akan ditempuh Taman
Nasional Alas Purwo sebagai Taman Nasional Model.
A. KONSEP MODEL
Ide untuk menetapkan taman nasional model sebenarnya berawal dari
ketidak jelasan arah pengelolaan taman nasional di Indonesia. Dalam
rapat pembahasan anggaran dan seminar sering dipertanyakan :
seandainya seluruh kebutuhan anggaran taman nasional selalu
dipenuhi, pada akhir masa pembangunan akan menjadi seperti apa
taman nasional tersebut ? Pertanyaan sederhana dari otoritas
anggaran tersebut seringkali tidak bisa dijawab oleh para pengelola
taman nasional.
Pada saat yang sama keinginan untuk menambah jumlah taman
nasional juga semakin besar, sehingga dalam kurun waktu kurang dari
40 tahun, Indonesia telah mempunyai 50 taman nasional, yang terdiri
dari 8 Balai Besar Taman Nasional dan 42 Balai Taman Nasional.
Sementara masih banyak lagi kawasan-kawasan yang sedang atau
akan diusulkan menjadi taman nasional. Penambahan anggaran
sampai dengan 3 kali lipat terbukti tidak memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap progres pembangunan taman nasional, hanya
karena organisasinya yang terus membengkak.
-
23
Semakin banyaknya taman nasional yang dibentuk, ternyata tidak
otomatis diikuti dengan kemajuan/progress yang signifikan di dalam
pengelolaan kawasan konservasi di tingkat nasional. Pada tingkat unit
pengelolaan, taman nasional masih dikelola seperti biasanya (as
usual), atau maksimum beberapa taman nasional melakukan
pembangunan sarana-prasarana secara besar-besaran yang, banyak
diantarany, out of context dari tujuan pengelolaannya. Dengan latar
belakang seperti itulah selanjutnya dipertimbangkan untuk
membentuk Taman Nasional Model. Melalui pembentukan taman
nasional model tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran
yang lebih konkrit tentang bagaimana seharusnya taman nasional
dikelola, sehingga sumberdaya yang sangat terbatas dapat lebih
difokuskan untuk menjadikan Taman Nasional Model sebagai the true
national park. Oleh karena itu Ditjen PHKA menetapkan beberapa
taman nasional sebagai Taman Nasional Model dengan harapan agar
nantinya dapat direplikasi dan digunakan sebagai referensi di dalam
pengelolaan taman nasional lainnya.
Pada awalnya, pemilihan taman nasional sebagai Taman Nasional
Model didasarkan kepada features utama kawasan dan tujuan
pengelolaan, yaitu Taman Nasional yang mempunyai potensi wisata
tinggi, Taman Nasional yang mempunyai keanekaragaman hayati
tinggi, serta Taman Nasional yang sudah lama mempunyai interaksi
positif dengan masyarakat di sekitarnya. Setelah Taman Nasional
Model ditetapkan melalui Keputusan Dirjen, selanjutnya tidak ada
arahan dan pedoman lebih lanjut untuk operasionalisasinya. Masing-
masing pengelola Taman Nasional Model dibebaskan untuk
menterjemahkan keputusan Dirjen tersebut sesuai dengan selera
masing-masing. Tanpa pedoman, tanpa kriteria dan indikator, tanpa,
supevisi, tanpa monitoring, dan penilaian kinerja. Sementara waktu
yang tersisa kurang dari 2 tahun, tanpa harus menunggu sampai
-
24
dengan tahun 2009, satu hal yang sudah pasti : salah satu target
Renstra Dephut telah gagal untuk direalisasikan.
B. KEMUNGKINAN MENGELOLA TAMAN NASIONAL SECARA
MANDIRI
Ada tafsir informal yang berkembang, bahwa Taman Nasional Model
adalah taman nasional yang dikelola sedemikian rupa sehingga pada
suatu saat dapat dikelola secara mandiri. Istilah mandiri dapat
merujuk kepada 4 hal, yaitu : pertama, dari aspek
kapasitas/kapabilitas pengelola; kedua, dari aspek kemampuan
finasial/pendanaan; ketiga, dari aspek pengambilan keputusan; ke
empat, dari ketiga aspek sebelumnya.
Pengembangan taman nasional mandiri ditinaju dari aspek kapasitas/
kapabilitas dan kemampuan finansial sebenarnya berlawanan dengan
kecenderungan mainstream global dalam pengelolaan protected area,
yaitu kolaborasi. Semakin meningkatnya public awareness dalam
masalah konservasi, dan semakin banyaknya lembaga swadaya
masyarakat yang bergiat dalam masalah konservasi merupakan
peluang yang harus dimanfaatkan dan disinergikan para pengelola
taman nasional untuk mendukung dan mempercepat pencapaian
tujuan pengelolaan. Pengelola kawasan taman nasional tidak harus
tahu dan mengerjakan segalanya. Yang diperlukan dari pengelola
taman nasional adalah menyusun framework pengelolaan beserta
prioritasinya sehingga memungkinkan tersedianya slot-slot aktivitas
yang dapat dilakukan secara kolaboratif.
Menurut ketentuan perundangan yang berlaku, pengelolaan kawasan
konservasi (kecuali TAHURA) merupakan wewenang dan tanggung
jawab pemerintah Pusat. Konsekuensinya, seluruh kawasan konservasi
dikelola oleh instantusi Pusat (BKSDA dan Taman Nasional). Aturan
yang lain, instansi pemerintah, kecuali yang berstatus BUMN, dilarang
-
25
untuk menjual barang dan jasa yang dihasilkan. Ada sedikit
kelonggaran, bagi instansi pemerintah yang berstatus BHMN (semisal
Perguruan Tinggi) dan Badan Layanan Umum/BLU (misalnya, Rumah
Sakit, Pengelola Dana Bergulir dll) dapat mengenerate income dari
jasa yang dihasilkan. Apakah Taman Nasional kelak akan dapat
dikelola dengan status BLU merupakan suatu kajian tersendiri.
Pemberian status otonom yang memungkinkan pengelola taman
nasional dapat membuat keputusan sendiri, dalam banyak hal, sudah
berlaku cukup lama.
Pengembangan taman nasional menuju ke arah taman nasional
mandiri perlu ditelaah secara mendalam, terutama berkaitan dengan
batasan dan ruang lingkup kemandirian, payung hukumnya, strategi
dan langkah implementasinya, sampai dengan kriteria dan indikator
penilaiannya. Memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada
para pengelola taman nasional untuk melakukan trial dan error tanpa
rambu-rambu yang jelas bukan hanya membahayakan, tetapi
merupakan suatu bentuk kebijakan yang tidak bertanggungjawab.
C. UPAYA YANG DITEMPUH BALAI TAMAN NASIONAL ALAS
PURWO
Penetapan Balai Taman Nasional Alas Purwo sebagai salah satu taman
nasional model di satu sisi memberikan kebanggaan tersendiri bagi
seluruh pengelola TNAP dan masyarakat Banyuwangi, di sisi yang lain
status tersebut juga merupakan beban tersendiri mengingat pengelola
kesulitan menterjemahkan status tersebut ke dalam kegiatan yang
konkrit. Diantara ketidakjelasan tersebut, beberapa kegiatan strategis
yang lebih bersifat antisipatif yang sedang dan akan dilakukan Balai
TNAP adalah sebagai berikut :
a. Mengembangkan kapasitas sumberdaya manusia
-
26
Seperti apapun konsep dan implementasi taman nasional
nantinya, pasti memerlukan sumberdaya manusia yang
qualified. Untuk itu Balai TNAP bersama dengan Fahutan UGM
telah melakukan kerjasama dalam menyiapkan sdm yang
dibutuhkan, mulai dari tingkat analis, supervisor, sampai
dengan tingkat pelaksana. Kerjasama juga mencakup penelitian
terhadap beberapa aspek pengelolaan yang dianggap
mendesak guna peningkatan kualitas pengelolaan.
b. Review ulang status biodiversity
Sampai dengan saat ini status biodiversity dalam kawasan
Taman Nasional Alas Purwo belum pernah diketahui dengan
pasti. Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) BTN Alas
Purwo disusun berdasarkan data seadanya, sehingga kurang
representatif untuk digunakan sebagai basis pengelolaan
selanjutnya. Key features biodiversity belum pernah
didefinisikan, demikian juga monitoring dan asesmen
biodiversity baru dilakukan secara sporadis dan belum
dilakukan secara periodik dan sistematis.
c. Evaluasi management effectiveness
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, penilaian kinerja
pengelolaan dimaksudkan untuk mengatahui sejauh mana
pengelolaan Taman Nasional Alas Purwo sudah dilakukan.
Untuk itu diperlukan kriteria dan indikator yang nantinya akan
digunakan sebagai instrumen penilaian. Melalui penilaian
tersebut diharapkan Balai TNAP dapat segera melakukan
konsolidasi ke dalam guna mempercepat pencapaian tujuan
pengelolaan
d. Mereview dan memperbaiki Management Plan
-
27
Disamping belum didukung dengan data yang komprehensif,
dokumen-dokumen perencanaan Balai TNAP (RPTN dan RKL)
sudah out of date, terutama berkaitan dengan diserahkannya
kawasan Taman Wisata Alam Ijen kepada BKSDA Jatim dan
ditetapkannya zonasi TNAP oleh Dirjen PHKA pada bulan
Pebruari tahun 2007 yang lalu. Perbaikan management plan
akan difokuskan kepada proses penyusunan yang lebih
partisipatif serta substansi yang lebih berkualitas. Peningkatan
kualitas substansi dilakukan melalui pemenuhan data dasar
yang lebih representatif dan benar-benar mencerminkan key
features biodiversity kawasan, tujuan dan target-target
pengelolaan yang lebih jelas, pentahapan, sampai dengan opsi-
opsi kegiatan yang lebih realistis.
e. Meningkatkan efektivitas pengelolaan
Pengelolaan TNAP tidak berangkat dari nol. Capaian
sebelumnya merupakan modal dasar yang sangat berharga
untuk melangkah ke depan. Untuk itu Balai TNAP telah
melakukan pengelolaan kawasan berbasis resort
(LOWASBASROT) yang dilengkapi dengan sistem monitoringnya
secara computerized (SILOKA Sistem Informasi Pengelolaan
Kawasan). Ide awal dilaksanakannya Lowasbasrot dan Siloka di
TNAP sebenarnya terbatas untuk meningkatkan intensitas
pengamanan hutan. Dalam perkembangannya Lowasbasrot dan
SILOKA juga dapat digunakan untuk melakukan monitoring dan
berbagai keperluan pengelolaan kawasan. Implementasi dari
Lowasbasrot dan SILOKA akan terus dikembangkan dan
disempurnakan untuk mendorong terwujudnya efektivitas
pengelolaan dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan TNAP.
-
28
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan paparan yang telah disampaikan di atas, penulis dapat
menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Perlu segera dilakukan peninjauan ulang status kawasan konservasi
di Indonesia, agar definisi, pengertian, dan atribut-atribut
pengelolaan yang dilakukan dapat kompatibel dengan pengelolaan
protected areas secara global.
2. Label taman nasional di Indonesia sebaiknya ditinjau ulang, agar
pengelolaan masing-masing kawasan dapat dilakukan secara lebih
optimal. Apabila perubahan nomenklatur agak sulit dilakukan,
karena alasan yuridis, taman nasional yang ada perlu dibuat
kategori-kategori khusus
3. Perlu segera disusun dan ditetapkan kriteria dan indikator
pengelolaan kawasan konservasi, khususnya taman nasional.
Selanjutnya perlu segera dilakukan penilaian kinerja pengelolaan
kawasan konservasi pada masing-masing taman nasional.
4. Belum ada pedoman yang jelas tentang apa dan bagaimana yang
dimaksud Taman Nasional Model, sehingga implementasinya di
lapangan tidak berjalan sebagaimana ide awalnya.
5. Pengelolaan taman nasional menuju Taman Nasional Mandiri hanya
dapat dilakukan apabila payung hukum ke arah tersebut sudah
dibuat. Selain itu juga diperlukan konsep yang jelas dalam bentuk
arahan dan pedoman tentang bagaimana mengelola taman nasional
menuju Taman Nasional Mandiri.
Dari paparan yang sudah disampaikan, penulis juga dapat mengajukan
beberapa rekomendasi kepada Ditjen PHKA Pusat sebagai berikut :
-
29
1. Agar segera menyusun dan menetapkan kriteria dan indikator
pengelolaan kawasan konservasi, serta melaksanakan penilaian
kinerja pengelolaan taman nasional.
2. Agar dapat lebih memfokuskan pelaksanaan tupoksinya untuk
melakukan kegiatan yang bersifat regulatif (penyusunan peraturan
Menteri & Dirjen); fasiltatif (penyusunan guidelines, training,
bimbingan pengelolaan dll), serta supervisi (monitoring dan
evaluasi, pengawasan dll)
3. Agar Ditjen PHKA bersama dengan Perguruan Tinggi beserta pihak-
pihak terkait (Departemen Keuangan, Menpan, LSM dll) dapat
melakukan kajian yang mendalam tentang kemungkinan
dibentuknya status BLU bagi Taman Nasional
-
30
VI. PENUTUP
Mengingat semakin carut marutnya pengelolaan hutan produksi yang ada,
keberadaan kawasan konservasi bisa dianggap sebagai benteng terakhir
bagi keberadaan hutan tropis di Indonesia. Kawasan konservasi bukanlah
suatu kawasan yang harus dikeloala secara eksklusif sebagai pulau yang
terpisah dari lingkungan di sekitarnya, tetapi kawasan konservasi juga
tidak boleh dibuka selebar-lebarnya sebagaimana kawasan hutan pada
umumnya. Peningkatan intensitas pengelolaan kawasan konservasi dapat
menjadi salah satu jawabannya.
Mengelola sesuatu pasti membawa konsekuensi timbulnya biaya dan
tenaga. Agar pengorbanan sumberdaya yang sangat terbatas tersebut
tidak sia-sia, perlu segera dilakukan konsolidasi pengelolaan kawasan
konservasi di Indonesia. Konsolidasi tidak saja harus dilakukan pada level
unit pengelolaan, tetapi juga pada level pembuat kebijakan. Melalui
konsolidasi tersebut diharapkan pengelolaan kawasan konservasi ke
depan, utamanya kawasan Taman Nasional dapat dilakukan secara lebih
terfokus, sistematis, tepat guna, dan tepat sasaran.
-
31
DAFTAR PUSTAKA Barton, Gregory A. (2001). Empire Forestry and the Origin of
Environmentalism, Cambridge. University Press
Dudley, N., and Phillips, A. (2006). Forest and Forest Protected Areas. Guidance on the Use of the IUCN Protected Area Management Categories.
Best Practice Protected Area Guideline Series No.12, World Commission on Protected Areas (WCPA). IUCN.
Grove,R.H. (1992). Origin of Western Environmentalism. Sientific American
267 (1) 22-27.
Grove, R.H. (1997). Ecology, Climate and Empire : Colonialism and Global Environmental History 1400-1940. Cambridge. Whitehorse Press.
Hockings, M., Stuton,S., and Dudley,N. (2000). Evaluating Effectiveness. A
Framework for Asessing the Management of Protected Areas. World Commission on Protected Areas (WCPA). IUCN.
IUCN (1994). Guidelines for Protected Area Management Categories. IUCN
and The World Conservation Monitoring Centre, Gland, Switzerland and Cambridge. UK.
Thomas, L., and Middleton, J. (2003). Guidelines for Management Planning of Protected Area. World Commission on Protected Areas
(WCPA). IUCN. Tucker,G. et al (2005). Guidelines Biodiversity Asessment and Monitoring
for Protected Areas. KMTNC. Kathmandu, Nepal. UNEP-WCMC.