peringkat arus investasi indonesia dalam …
TRANSCRIPT
Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 2 (2018): 275-298
ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol48.no2.1664
PERINGKAT ARUS INVESTASI INDONESIA DALAM KERANGKA
ASEAN-CHINA FREE TRADE AGREEMENT (PERBANDINGAN
DENGAN SINGAPURA, MALAYSIA, THAILAND, DAN VIETNAM)
DITINJAU DARI PRINSIP FAIR AND EQUITABLE TREATMENT
Resha Roshana Putri*, An-An Chandrawulan**, Prita Amalia***,
* Peneliti Pusat Studi Hukum Perdagangan Internasional Universitas Padjadjaran, ** Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, *** Dosen Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran Korespondensi: [email protected]
Naskah dikirim: 26 April 2018
Naskah diterima untuk diterbitkan: 3 Juni 2018
Abstract
In the investment sector in ASEAN-China Free Trade Agreement, all host
countries are obligated to give the protections and legal certainty for
investors in fair and equitable treatment principle. The investment relation
in ACFTA is not only talking about the relation between Indonesia and
China, but also how Indonesia shall compete with another ASEAN member
states. Authors use juridical normative research method with literature
studies. This research shows that Indonesia has not completely implemented
the fair and equitable treatment for Chinese investors. There are the needs
for changes in giving the protections for investors, specially in law and
administration sides. The aim of giving this principle is to increase the
investment flows between Indonesia and China.
Keyword: Free Trade Agreement, ACFTA, Fair and Equitable Treatment
Principle
Abstrak
Dalam investasi ASEAN-China Free Trade Agreement, para host country
diwajibkan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para
investor, yang salah satunya diberikan dalam kerangka prinsip fair and
equitable treatment. Hubungan investasi dalam kerangka ACFTA tidak
hanya berbicara mengenai hubungan antara Indonesia dan Cina, namun
juga kompetisi Indonesia dengan negara anggota ASEAN lainnya. Metode
penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode yuridis normatif
dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia
belum sepenuhnya mengimplementasikan prinsip fair and equitable
treatment. Masih diperlukannya pembenahan dalam hal memberikan
perlindungan di bidang hukum dan administrasi di Indonesia, yang salah
satu tujuannya adalah meningkatkan arus investasi antara Indonesia dan
Cina.
Kata Kunci: Free Trade Agreement, ACFTA, prinsip fair and equitable
treatment
276 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
I. PENDAHULUAN
Diplomasi ekonomi telah menjadi salah satu prioritas politik luar negeri
Indonesia, khususnya pada masa pemerintahan Joko Widodo.1 Politik luar
negeri diharapkan memiliki porsi 90% untuk aspek ekonomi dan 10% sisanya
untuk aspek politik. Adanya keharusan untuk meningkatkan diplomasi
ekonomi bertujuan untuk memperluas akses pasar luar negeri dan
meningkatkan volume ekspor Indonesia. Pasar dan volume ekspor yang
berkembang inilah yang akan berhulu pada tujuan mulia, yaitu mendorong
perekonomian dalam negeri dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Diplomasi ekonomi yang berlandaskan pada upaya mensejahterakan rakyat
telah menjadi hal substansial bagi negara-negara di dunia. Salah satu cara
untuk dapat mewujudkannya adalah dengan meningkatkan diplomasi
perdagangan. Perdagangan internasional merupakan variabel penting dalam
perekonomian dunia, terlebih lagi ketika lahirnya konsep liberalisasi
perdagangan yang secara sederhana melibatkan beberapa negara dalam
kerangka kerja sama.2
Keberadaan Association South East Asia Nation (ASEAN) merupakan
simbol kekuatan politik dan ekonomi pada wilayah Asia Tenggara, terutama
posisinya dalam tataran internasional.3 Kehadiran dan eksistensi ASEAN telah
diakui oleh negara-negara lain di dunia, khususnya dalam bidang ekonomi dan
perdagangan. Dalam perkembangannya, salah satu cita-cita mulia di bidang
ekonomi adalah mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada
tahun 2015 dengan tujuan menjadikan ASEAN sebagai sebuah kawasan yang
stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi.4
Hubungan ekonomi yang di dalamnya mencakup perdagangan dan
investasi ASEAN tentunya tidak hanya berputar antar negara-negara anggota
ASEAN, melainkan adanya kebutuhan untuk melakukan kerja sama dengan
negara ataupun komunitas lainnya. Hal ini agar berbagai peluang kerjasama
dapat dimanfaatkan oleh para pelaku usaha ASEAN untuk bersaing secara
internasional, disamping itu ASEAN harus dapat menjadi pasar yang menarik
bagi investasi asing. Salah satu instrumen untuk mewujudkan cita-cita ini
adalah dengan Free Trade Agreement (FTA) atau perjanjian perdagangan
bebas yang mengikat ASEAN dengan mitra-mitranya, seperti Cina, Korea,
Jepang, India, dan Selandia Baru.5 FTA akan memungkinkan ASEAN dapat
melakukan kerja sama internasional melalui perjanjian bilateral, terutama
dalam bidang ekonomi internasional.
Cina merupakan satu dari beberapa mitra ASEAN yang menunjukkan
perkembangan perekonomian yang paling pesat. Perkembangan ini tidak hanya
dirasakan oleh ASEAN, namun juga telah diakui oleh dunia, bahkan Amerika
Serikat. Kemajuan ini digerakkan oleh Cina pasca reformasi Deng Xio Ping,
dimana produk-produk buatan Cina berhasil menjangkau pasar-pasar di
1 Adriana Elisabeth, Road Map Kebijakan Luar Negeri Indonesia (2015-2020):
Mewujudkan Diplomasi Ekonomi Inklusif, Berbasis Lingkungan dan Berkelanjutan,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2015, hlm. 6. 2 Ibid, hlm. 26. 3 Siow Yue Chia, “The ASEAN Economic Community: Progress, Challanges, and
Prospect”, ADBI Working Paper, No. 440, 2013, hlm. 4. 4 Ibid. 5 Ibid, hlm. 6.
Peringkat Arus Investasi, Resha Roshana Putri, An-An Chandrawulan, Prita Amalia 277
berbagai belahan dunia. Salah satu faktor besarnya jangkauan perekonomian
dan pasar Cina terletak pada jumlah penduduk Cina yang besar, yang didukung
oleh adanya teknologi yang serba maju dan infrastruktur yang mampu
menunjang negeri tirai bambu ini. Produk-produk yang dihasilkan Cina secara
mayoritas memiliki kualitas yang dapat disaingkan dengan produk-produk
lainnya, dengan harga yang lebih terjangkau.
Lahirnya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) ditandai
dengan adanya usulan dari Zhu Rongji, mantan Perdana Menteri Cina dalam
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-6 di tahun 2000.6 Hubungan
mitra antara ASEAN dan Cina merupakan hubungan yang paling penting dan
menguntungkan bagi Cina. ASEAN merupakan komunitas yang dipilih Cina
karena dianggap dapat menjadi pasar yang besar bagi kegiatan ekspor Cina dan
menjadi pemasok kebutuhan industri-industri milik Cina. ACFTA dimulai pada
tahun 2001 dalam ASEAN-China Summit di Bandar Seri Begawan, Brunei
Darussalam. Terdapat 13 fokus kerja sama yang mengikat ASEAN dan Cina
dalam ACFTA, yang salah satunya adalah investasi asing.7 Pertemuan ini
ditindaklanjuti dengan pertemuan antar Menteri Ekonomi dalam ASEAN-China
Summit tahun 2002 di Phnom Phen, Vietnam. Pertemuan ini menyepakati
Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation (CEC), yang
didalamnya juga terdapat kesepakatan FTA.
Dalam hal menyikapi ACFTA, sebagai salah satu anggota ASEAN,
Indonesia tentu diharapkan mampu mempersiapkan dirinya untuk menghadapi
ACFTA. Salah satu bentuk keseriusan pemerintah Indonesia dalam menyambut
baik ACFTA dapat ditemukan dalam Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun
2004 sebagai tanda bahwa Indonesia telah meratifikasi ACFTA, tepatnya pada
tanggal 15 Juni 2004. Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004
menyebutkan bahwa:
“Mengesahkan framework Agreement on Comprehensive Economic
Coperation between the Assocation of South East Asian Nations and the
People’s Republic of Cina (Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama
Ekonomi menyeluruh antara Negara-negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa
Asia Tenggara dan republic rakyat Cina), yang telah ditanda tangani
Pemerintah Republik Indonesia di Phnom penh, Kamboja, apada tanggal 4
November 2002, sebagai hasil perundingan antara para wakil Negara-negara
Anggota Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara dan Pemerintah Republik
Rakyat Cina”.
Keputusan Presiden ini dapat dikatakan sebagai tanda awal bahwa
Indonesia telah siap dalam menghadapi ACFTA. Salah satu konsekuensi logis
ketika Indonesia telah memutuskan untuk meratifikasi perjanjian tersebut
adalah lahirnya kewajiban bagi Indoesia untuk menerapkan ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam ACFTA.
Sayangnya, jika dibandingkan dengan anggota ASEAN lainnya seperti
Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam, arus penanaman modal asing
Cina ke Indonesia masih terbilang rendah. ASEAN Integration Report 2015
6 Simon Chesterman, From Community to Compliance? The Evolution of
Monitoring Obligations in ASEAN, Cambridge: Cambridge University Press, 2015, hlm.
20. 7 Proyek kerja sama dalam kerangka ACFTA dapat dilihat di
http://asean.org/?static_post=asean-China-free-trade-area-2
278 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
menyatakan bahwa salah satu alasan mitra ASEAN enggan untuk menanamkan
modalnya ke suatu negara adalah kurangnya perlindungan investasi yang
tertuang dalam prinsip fair and equitable treatment.8 Hal ini seringkali
disangkut pautkan dengan adanya hambatan berinvestasi yang diberlakukan
dalam suatu negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
jumlah FDI Restriction yang terbilang banyak dibandingkan negara anggota
ASEAN lainnya, seperti regulasi, pajak, sumber daya manusia, infrastruktur,
dan lainnya.
Table 1. FDI Regulatory Restrictiveness Index
Sumber: ASEAN Integration Report 2015.
Adanya hambatan yang berbeda-beda di tiap-tiap anggota ASEAN
menunjukkan hasil arus investasi yang berbeda-beda pula pasca adanya
ACFTA
Table 2. FDI Restrictions and FDI Inflows
Dalam tabel tersebut, dapat dilihat bahwa laju investasi asing di
Indonesia masih menduduki posisi terbawah setelah Filipina, dibandingkan
negara anggota ASEAN lainnya, seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, dan
Singapura. Fakta ini selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Badan Kordinasi
8 The ASEAN Secretariat Jakarta, ASEAN Integration Report 2015, 2015, hlm. 38-
40.
ASEAN Member States Index
Cambodia 0,049
Indonesia 0,324
Laos 0,265
Malaysia 0,212
Myanmar 0,356
Philippines 0,425
Singapore 0,047
Thailand 0,291
Vietnam 0,214
Peringkat Arus Investasi, Resha Roshana Putri, An-An Chandrawulan, Prita Amalia 279
Penanaman Modal (BKPM), bahwa presentase investasi Cina ke Indonesia
pasca ACFTA tidak menunjukkan adanya peningkatan, dari yang semula rata-
rata 0,006%, sekarang juga tetap di angka 0,006%. Bahkan, total investasi
asing Jepang dan Amerika Serikat ke Indonesia masih terhitung lebih besar
dibandingkan investasi asing Cina ke Indonesia.
Berbeda dengan Indonesia, banyak negara anggota ASEAN lainnya
justru mampu memanfaatkan ACFTA untuk meningkatkan laju investasi asing
di negaranya, seperti Thailand dan Vietnam.9 Sebagai negara berkembang,
Thailand dan Vietnam mampu untuk memanfaatkan ACFTA dalam hal
investasi di negaranya. Data yang dilansir oleh Asean-China Free Trade Area
Business Portal, pada tahun 2016 Thailand berhasil mengembangkan bisnis
ventura di bidang perdagangan dan manufaktur untuk semakin menarik para
investor Cina masuk untuk menanamkan modalnya di Thailand.10
Selain Thailand dan Vietnam, Singapura yang merupakan salah satu
negara maju di ASEAN dengan jumlah penduduk kurang dari jumlah
penduduk Indonesia juga mampu memanfaatkan ACFTA untuk perekonomian
negara. Menurut data dari International Enterprise Singapore,11 Singapura
merupakan negara investor yang paling penting bagi Cina. Dalam hal ini,
Singapura mengalahkan posisi Indonesia sebagai negara investasi dengan Cina
di Asia, yang disusul oleh Hongkong dan Bangkok. Pada tahun 2015,
hubungan penanaman modal antara Singapura dan Cina pasca ACFTA berhasil
meraup keuntungan sebesar US$5,8 milyar dengan lebih dari 700 proyek.12
Undang-Undang Penanaman Modal Asing memiliki beberapa prinsip
atau asas di dalamnya, seperti asas keterbukaan, asas kepastian hukum, dan
asas perlakuan yang sama. Ketiga asas ini merupakan refleksi dari penerapan
prinsip perlindungan investor (fair and equitable treatment).13 Prinsip fair and
equitable treatment pada hakikatnya berbicara mengenai kewajiban host
country untuk memberikan jaminan transparansi, stabilitas, dan legitimate
expectations kepada para investor. Asas keterbukaan berbicara mengenai
pemberian transparansi penanaman modal kepada masyarakat dan investor itu
sendiri. Asas kepastian hukum berbicara mengenai bagaimana investor merasa
dilindungi dengan hukum penanaman modal suatu negara. Asas perlakuan
yang sama berarti adanya tindakan non-diskriminasi terhadap investor dalam
negeri dan investor asing dalam suatu negara. Pemberian perlindungan bagi
para investor akan memupuk minat investor asing untuk menanamkan
modalnya di Indonesia. Sebaliknya, ketiadaan perlindungan bagi investor akan
membuat investor asing enggan untuk meningkatkan investasinya. Untuk itu
diperlukan kepastian hukum dan perlindungan bagi seluruh pihak baik
9 Donghyun Park, Innwon Park, dan Gemmar Esther, “Prospects of an ASEAN–
People’s Republic of China Free Trade Area: A Qualitative and Quantitative Analysis”,
ADB Working Paper, No. 130, 2008, hlm. 10. 10 Xinhua Net, Thai Investors Urged to Launch Ventures in ASEAN Community,
http://www.asean-cn.org/index.php?m=content&c=index&a=show&catid=210&id=793
[04/10/2017] 11 Narendra Aggrawal, Singapore is Cina’s Largest Investors,
https://www.iesingapore.gov.sg/Media-Centre/News/2015/11/S-pore-is-Cina-s-largest-
investor [04/10/2017] 12 Ibid. 13 Miguel Solanes, Revisiting Privatization, Foreign Investment, and International
Arbitration, America: ECLAC, 2007, hlm. 72.
280 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
masyarakat dan negara maupun investor asing agar manfaatnya bisa dirasakan
oleh semuanya.
Tidak terimplementasinya prinsip fair and equitable treatment ini akan
mempengaruhi iklim investasi yang tidak baik antara investor dengan host
country. Hal ini disebabkan karena prinsip ini merupakan standar minimum
sekaligus sebagai standar hukum yang harus diimplementasikan oleh negara
penerima modal. Terlebih lagi ketika prinsip ini diaplikasikan dalam Free
Trade Agreement yang merupakan perjanjian yang memberikan liberalisasi
investasi kepada ngeara-negara yang terikat di dalamnya, maka tentu investor
akan terus mencari tempat penanaman modal yang dapat memberikan keadilan
dan keamanan bagi dirinya.
Regulasi penanaman modal asing diatur dalam beberapa peraturan,
yang salah satunya dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal. Regulasi dan kepastian hukum merupakan hal
yang sangat urgen bagi para Investor karena sebaik apapun pasar dan bahan
baku namun apabila tidak diimbangi oleh regulasi pemerintah yang bersifat
mendukung maka dapat dipastikan para Investor akan enggan
menginvestasikan modalnya.14 Salah satu alasan Singapura menduduki
peringkat pertama negara anggota ASEAN yang mendapatkan arus investasi
asing terbesar dari Cina memiliki regulasi yang menyediakan kualitas
transparansi penanaman modal asing sebagai salah satu bentuk perlindungan
terhadap investor asing.15
Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa implementasi dari ACFTA
sejatinya akan membawa dampak positif bagi investasi di Indonesia.
Sayangnya, beberapa faktor menunjukkan bahwa Indonesia belum mampu
untuk memanfaatkan ACFTA untuk meningkatkan perekonomian negara di
bidang investasi. Sayangnya hal ini justru tidak dijumpai di negara-negara
ASEAN lainnya, seperti Singapura dan Malaysia sebagai bagian dari negara
maju di ASEAN dan bahkan Thailand dan Vietnam sebagai negara
berkembang di ASEAN. Secara sederhana, faktor-faktor yang membuat
Indonesia kalah saing dengan negara ASEAN lainnya yaitu prinsip fair and
equitable treatment yang merupakan standar utama dalam hukum investasi
internasional. Oleh karena itulah di dalam tulisan akan membahas mengenai
penerapan prinsip fair and equitable treatment dalam kerangka ACFTA.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan
pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya,16
sedangkan penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan
terhadap peraturan-peraturan tertulis maupun bahanbahan hukum lain. Oleh
karena itu, sesuai dengan sifatnya, data-data yang digunakan dalam penlitian
ini lebih didominasi oleh data-data sekunder yang memaparkan secara jelas dan
menyeluruh tentang penanaman modal asing di Indonesia sebagai akibat dari
14 Ibid. 15 Ibid. 16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1984, hlm. 43.
Peringkat Arus Investasi, Resha Roshana Putri, An-An Chandrawulan, Prita Amalia 281
adanya free trade agreemet menurut hukum ekonomi internasional. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan
yuridis normatif. Adapun yang dimaksud dengan penelitian yuridis normatif
adalah penelitian hukum kepustakaan. Data yang digunakan merupakan data
sekunder yang dipakai dalam penelitian yang memiliki perhatian khusus
terhadap ilmu hukum ekonomi internasional.17
III. PEMBAHASAN
A. Prinsip Fair and Equitable Treatment dalam ASEAN
Penanaman modal atau investasi merupakan salah satu bidang yang ikut
diliberalisasikan pada Masyarakat Ekonomi ASEAN yang bertujuan
mengintegrasikan aliran penanaman modal diantara negara anggota ASEAN,
karena ada hubungan yang positif dan sinergis antara integrasi kawasan dan
penanaman modal langsung yang dapat meningkatkan investasi.18 Dalam
rangka liberalisasi di bidang penanaman modal atau investasi inilah negara-
negara anggota ASEAN menyepakati Persetujuan Penanaman Modal
Menyeluruh ASEAN (ASEAN Comprehensive Investment Agreement atau
ACIA) yang ditandatangani di Cha-Am (Thailand) pada tanggal 26 Februari
2009. ACIA sendiri merupakan revisi dan gabungan dari 2 (dua) buah
perjanjian penanaman modal yang telah disepakati ASEAN sebelumnya yaitu
Persetujuan Kerangka Kerja tentang Kawasan Penanaman Modal ASEAN
(Framework Agreement on the ASEAN Investment Area atau AIA Agreement)
Tahun 1998 dan Persetujuan ASEAN untuk Peningkatan dan Perlindungan
Investasi (ASEAN Agreement for the Promotion and Protection of Investment)
Tahun 1987 yang dikenal sebagai ASEAN Investment Guarantee Agreemments
(ASEAN IGA).19
Dalam rangka liberalisasi penanaman modal tersebut, Persetujuan
ACIA akan melakukan tindakan-tindakan yaitu memperluas non diskriminasi,
termasuk National Treatment dan Most Favoured Nation bagi investor
ASEAN; mengurangi dan apabila dimungkinkan menghapus
hambatanhambatan investasi disektor prioritas integrasi yang mencakup barang
dan; mengurangi dan apabila dimungkinkan menghapus kebijakan pembatasan
investasi dan hambatan-hambatan lainnya termasuk persyaratan performa
investasi
Prinsip fair and equitable treatment telah diatur dalam Pasal 11 pada
bagian Treatment of Investment dalam ACIA. Pasal 11 ayat (2) menyebutkan
bahwa:
“For greater certainty:
(a) fair and equitable treatment requires each Member State not to
deny justice in any legal or administrative proceedings in accordance with
the principle of due process; and
17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2003, hlm. 23. 18 Jullen Chaisse dan Sufian Juson, The ASEAN Comprehensive Investment Agreement:
The Regionalisation of Laws and Policy of Foreign Investment, United Kingdom: Edward
Elgar, 2016, hlm. 216. 19 Ibid, hlm. 217.
282 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
(b) full protection and security requires each Member State to take
such measures as may be reasonably necessary to ensure the protection
and security of the covered investments.”
Sama seperti penjelasan prinsip fair and equitable dalam perjanjian
internasional lainnya bahwa penerapan prinsip tersebut didasari dengan adanya
pemahaman bahwa host country tidak diperkenankan untuk membuat
keputusan hanya berdasarkan kepentinganya sendiri dengan dadlil melindungi
kepentingan nasionalnya.20 ACIA menjabarkan bahwa prinsip ini termasuk ke
dalam prinsip perlindungan investor yang telah disetujui oleh seluruh anggota
ASEAN. Penerapan prinsip ini salah satunya difokuskan agar host countryi
tidak menghalangi jalan penegakkan hukum dan kemudahan administrasi yang
selaras dengan prinsip due process of law. Investor ASEAN dalam hal ini
memiliki hak untuk mewakili dirinya di depan hukum dan hak untuk menuntut.
Negara-negara anggota ASEAN harus mengambil langkah dan keputusan serta
pertimbangan yang matang untuk dapat memberikan perlindungan dan jaminan
investasi asing, khususnya pada keadaan yang genting dan mendesak.21
Terdapat kecenderungan bahwa negara-negara anggota ASEAN tidak
mencampuradukkan prinsip-prinsip dasar perlindungan investor kepada para
investornya, seperti halnya pada prinsip fair and equitable treatment. Hal ini
disebabkan karena adanya keyakinan yang begitu dalam bahwa apabila
investor dan host country memiliki sengketa di antara keduanya,
makakeduanya akan cenderung menyelesaikan permasalahannya di hadapan
hakim arbitrase.22 Pada akhirnya, yang disepakati adalah bahwa neagra-negara
anggota ASEAN diperbolehkan untuk memberikan perlindungan kepada
investor tanpa menggunakan secara rigid istilah prinsip fair and equitable
treatment dalam hukum nasionalnya. Hal ini dapat kita temukan di Indonesia
dimana Indonesia menggunakan kata “administrasi oleh pemerintah” dalam
Undang-Undangnya untuk memberikan jaminan jalannya administrasi dalam
bidang investasi.
B. Implementasi Prinsip Fair and Equitable Treatment dalam ACFTA di
Indonesia
Indonesia dan Cina telah berhasil menjalin hubugan ekonomi dalam hal
perdagangan dan investasi sejak tahun 1953. Pada mulanya, keuntungan kedua
belah pihak pasca kerja sama telah berhasil meraup keuntungan hingga US$
7,4 juta dan terus meningkat di tiap tahunnya.23 Cina menjadi rekan dagang
terbesar kedua di Indonesia pada tahun 1965 dengan berhasil meningkatkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Peningkatan ini juga dirasakan di bidang
investasi, dimana pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri, terdapat
20 Michael J. Moser, Dispute Resolution in China, USA: Arbitration Law, 2012, hlm.
178. 21 Ibid. 22 Ibid. 23 A. Booth, “China’s Economic Relations with Indonesia: Threats and Opportunities”,
Journal of Current Southeast Asia Affairs, Vol. 30,No.2, 2011, hlm. 143.
Peringkat Arus Investasi, Resha Roshana Putri, An-An Chandrawulan, Prita Amalia 283
800 investot Cina yang menanamkan modalnya di Indonesia, setar dengan dua
kali lipat investasi Indonesia ke Cina.24
Pada faktanya, Cina merupakan tujuan utama ekspor Indonesia ke
dalam pasar internasional. Volume perdagangan bilateral Indonesia dan Cina
pada awal tahun 2008 mampu menembus angka US$25,01 miliar. Hal ini tidak
sepenuhnya menjadi kabar menggembirakan bagi Indonesia. Di saat yang
bersamaan, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan sebesar US$210
juta. Angka yang cukup signifikan tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya
masih terdapat kelemahan daya saing yang melekat dalam tubuh Indonesia
untuk dapat bersaing dengan negara-negara lainnya sehingga melahirkan angka
defisit yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara lainnya, khususnya
negara-negara anggota ASEAN. Cina merupakan kontributor bagi total
investasi asing (foreign direct investment) di Indonesia sebesar 0,5%.25
TABEL 3.1.
Hasil penelitian Pricewaterhouse Coopers mensinyalir bahwa belum
tercapainya target peningkatan arus masuknya modal asing di Indonesia,
mencerminkan masih kurangnya kepercayaan investor untuk menanamkan
modalnya di Indonesia.26 Penyebabnya antara lain ketidak pastian
memberlakukan undang-undang atau peraturan lainnya yang tidak memberikan
kepastian hukum bagi para investor yang ingin menanamkan modalnya di
Indonesia. Kepastian hukum yang sangat lemah dalam menciptakan iklim
investasi menyebabkan para investor, yang dalam hal ini adalah investor Cina
menjadi enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Kepastian hukum disini merupakan salah satu bentuk implikasi dari
adanya prinsip fair and equitable treatment yang mengedepankan prinsip
perlindungan dan jaminan bagi para investor untuk menanamkan modalnya di
dalam suatu negara. Faktor perlindungan dan kepastian hukum, konsistensi
perundang-undangan, maupun kebijakan industri dan infrastruktur di Indonesia
tergolong paling banyak disoroti. Banyak investor asing menilai bahwa
investasi di Indonesia sulit dijamin keamanan serta perlindungan hukumnya
dikarenakan kepastian hukumnya yang dinilai tidak stabil dan konsisten
melindungi para investor. Hasil survei Bank Dunia terhadap 155 negara
24 Ibid. 25 Masahiro Kawai, “East Asian Economic Regionalism: Progress and Challenges,
Journal of Asian Economic, Vol. 16, Issue 1, 2005, hlm. 40. 26 UNCTAD, UNCTAD Compedium of Investmen Law: Indonesia, 2007, hlm.1-17.
284 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
menunjukkan bahwa iklim investasi di Indonesia dinilai sebagai salah satu
yang terburuk. investasi yang dimaksudkan mencakup kepastian hukum,
stabilitas ekonomi makro, sistem dan ketersediaan infrastruktur.27
Contoh mengenai tidak adanya kepastian hukum di Indonesia misalnya
banyak Peraturan Daerah (perda) seperti retribusi yang dikenakan kepada
investor yang menanamkan modalnya di daerah.28 Padahal dalam kontrak yang
ditandatangani oleh pemerintah pusat dan investor, pungutan tersebut sudah
termasuk di dalamnya. Hal itu menyebabkan banyak terjadi pungutan
berganda. Ini banyak ditemukan dalam kontrak-kontrak energi seperti kontrak
migas dan kontrak karya pertambangan. Adanya peraturan daerah yang
dikaitkan dengan retribusi, dirasakan menghambat investasi, yang berdampak
pada menurunnya investasi baru di sektor migas maupun pertambangan umum.
Minimnya kepastian hukum dan transparansi yang merupakan salah satu
elemen dari prinsip fair and equitable treatment inilah yang membuat laju
investasi Cina-Indonesia dikatakan lebih rendah dibandingkan Cina dengan
negara anggota ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Singapura,
bahkan Vietnam. Persoalan daya saing tersebut dikhawatirkan akan
membebani iklim investasi di Indonesia, terutama PMDN. Bila kondisi ini
dibiarkan berlarut-larut akan menjadi disinsentif bagi para pengusaha domestik
dalam upaya memerkuat investasi. Studi yang dilakukan oleh IFC
(International Finance Corporation) bekerja sama dengan World Bank,
misalnya, menunjukkan prestasi yang kurang menggembirakan soal iklim
investasi ini. Terdapat beberapa variabel yang dinilai oleh IFC masih
bermasalah dan menjadi kendala investasi, seperti: memulai bisnis, perizinan,
ketenagakerjaan, pengajuan kredit, perlindungan investor, dan pembayaran
pajak.
Perlindungan akan iklim investasi ini selaras dengan apa yang telah
diatur dalam ACFTA tentang Investasi yang mana Pasal 7 ayat (1)
menyebutkan bahwa:
“Each Party shall accord to investments of investors of another Party
fair and equitable treatment and full protection and security”
Adapun dinyatakan bahwa tidak diberikannya kedua prinsip ini sebagai
prinsip dasar perlindungan dalam berinvestasi akan berarti pada adanya
pelanggaran terhadap keseluruhan norma dan ketentuan yang terkandung di
dalam ACFTA.29 Jika hal ini diselaraskan denan UU Penanaman Modal, maka
sejatinya Pasal 4 telah mengatur lebih lanjut hak-hak apa saja yang seharusnya
didapatkan oleh penanam modal, tak terkecuali penanam modal asing.
Penanam modal berhak untuk mendapatkan kepastian hukum, perlindungan,
hak pelayanan, informasi yang terbuka, serta fasilitas kemudahan untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Segala bentuk kemudahan ini tidak
diartikan untuk memberikan akses yang terlalu luas bagi investor untuk
menanamkan modal, namun untuk memberikan jaminan dan kepercayaan bagi
investor dalam menjalankan usahanya di Indonesia.
Berbagai pihak menilai bahwa perlu adanya pembaharuan di bidang
hukum investasi yang harus disesuaikan pula dengan implementasi di
27 Ibid. 28 Koesrianti, “Legal Certainty as a Fundamental Principle of Private Foreign
Investment Agreements in Indonesia Toward AEC”, Airlangga Journal of Law, 2014, hlm. 15. 29 Pasal 7 ayat (3) ACFTA tentang Investasi.
Peringkat Arus Investasi, Resha Roshana Putri, An-An Chandrawulan, Prita Amalia 285
lapangan. Pertama, pemerintah pusat bertanggung jawab untuk
menyederhanakan regulasi yang menjadi ruang lingkupnya, seperti perpajakan,
jaminan kepada investor, ketenagakerjaan, dan penutupan usaha. Pada level ini,
kinerja yang sudah dicapai oleh negara-negara tetangga, seperti Thailand dan
Malaysia bisa menjadi benchmark dalam memberikan perlindungan terhadap
investor. Kedua, bagi pemerintah daerah diperlukan langkah serius untuk
menekan munculnya perda-perda yang anti investasi.30
Hal ini juga harus diselaraskan dengan adanya transparansi di bidang
investasi yang secara tidak langsung akan memberikan keadilan bagi para
investor Cina yang menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan mewujudkan
beberapa hal tersebut, maka Indonesia akan memiliki peluang untuk dapat
berkompetisi dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya dalam rangka
ASEAN Economic Community (AEC) dalam kerangka investasi ACFTA.
Adapun sekarang kelemahan-kelemahan di Indonesia dalam
mengimplementasikan prinsip fair and equitable treatment dibandingkan
dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya, yaitu:31
NO NEGARA PERINGKAT
DI ASEAN
KOMODITAS
DENGAN CINA
KELEBIHAN KEKURANGAN
1 Indonesia 7 Infrastrukutr,
Trasnportasi,
Ketenagalistrikan
1. Tenaga Kerja
murah
2. Banyaknya
program-
program
investasi yang
ditawarkan
1. Banyaknya
peraturan pusat
dan peraturan
daerah yang
tumpang tindih
2. Minimnya
transparansi
dalam investasi
3. Tidak
efektifnya
pembuatan
AMDAL untuk
lingkungan
4. Tidak
efektifnya
Badan Arbitrase
Nasional
(BANI) untuk
sengketa
investasi
5. Birokrasi
investasi yang
berbelit-belit
2 Singapura 1 Infrastruktur,
Transportasi,
Jasa, Property,
Lingkungan,
Ketenagalistrikan
1. Adanya
kepastian
hukum dan
transparansi di
bidang
investasi
2. Wajib
membuat
laporan
keuangan dan
memberikan
ke pihak-pihak
-
30 Ibid. 31 ASEAN Integration Report, 2015
286 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
terkait.
3. Kualitas
pertahanan
lingkungan
yang baik
4. Tenaga Kerja
atau Sumber
Daya Manusia
yang baik
5. Adanya
Singapore
International
Arbitration
Center (SIAC)
untuk
sengketa
investasi
3 Malaysia 4 Infrastruktur,
Keamanan,
Property,
Transportasi,
Energi,
Pembangunan
Jangka Panjang
1. Adanya
aturan-aturan
dalam bidang
investasi yang
jelas dan
memberikan
kepastian
hukum
2. Perlindungan
HAKI yang
efektif
3. Investasi
disesuaikan
dengan
program
Pemerintah
Malaysia
1. Transparansi
untuk
Pemerintah dan
warga negara
Malaysia
2. Kurang
berjalannya
kewajiban
membuat
Laporan
Keuangan
dalam investasi
asing
4 Thailand 5 Tenaga Kerja,
Asuransi, Listrik,
Transportasi,
Keamanan
1. Efektifnya
birokrasi investasi
Thailand melalui
Board of
Investment (BOI)
2. Efektifnya Bank
Lokal Thailand
dalam mengawasi
batas kepemilikan
saham dalam PMA
3. Adanya kepastian
hukum yang
berlaku dan
transparansi
4. Pengawasan
terhadap
persaingan usaha
tidak sehat dalam
PMA
1. Insentif untuk
Investor
2. Keadaan
politik di
Thaland yang
mempengaruhi
arus investasi
asing
3. Pengangguran
di Thailand
4. Kurang
berjalannya
badan
administrasi di
Thailand
5 Vietnam 3 Transportasi,
Pembangunan
Jangka Panjang,
Infrastruktur
1. Adanya Doi
Moi Policy
yang
memberikan
kepastian
hukum bagi
investasi di
Vietnam
2. Kepastian
hukum
investasi
Vietnam yang
1. Kurang
gencarnya
Pemerintah
Vietnam dalam
mempromosika
n PMA di
Vietnam
2. Transparansi
untuk Investor
3. Infrastruktur
kurang
memadai
Peringkat Arus Investasi, Resha Roshana Putri, An-An Chandrawulan, Prita Amalia 287
diselaraskan
dengan WTO
Agreement
3. Investasi yang
disesuaikan
dengan Master
Plan Vietnam
4. Transparansi
bagi
Pemerintah,
dan warga
negara
Vietnam
C. Implementasi Prinsip Fair and Equitable Treatment dalam ACFTA di
ASEAN
Potensi sebagai Free Trade Agreement terbesar di dunia secara populasi
dan terbesar ketiga di dunia secara ekonomi tersebut membuat berbagai negara-
negara di dunia sepakat untuk bekerja sama.32 ACFTA merupakan kesepakatan
antara negara-negara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan
kawasan perdagangan bebas dengan menghapus atau mengurangi hambatan
perdagangan baik tarif maupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa,
peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama
ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China.
Prinsip fair and equitable treatment terdapat dalam Pasal IV ASEAN
Treaty for the Promotion and Protection of Investment tahun 1987 dan juga
pada perjanjian investasi ASEAN yang baru yaitu pada Pasal 11 ASEAN
Comprehensive Investment Agreement (ACIA) tahun 2009 yang berbunyi:
Article 11
Treatment of Investment
1. Each Member State shall accord to covered investments of investors of
any other Member State, fair and equitable treatment and full
protection and security.
2. For greater certainty:
(a) fair and equitable treatment requires each Member State not to
deny justice in any legal or administrative proceedings in
accordance with the principle of due process; and
(b) full protection and security requires each Member State to take
such measures as may be reasonably necessary to ensure the
protection and security of the covered investments.
Adapun adanya ketentuan prinsip fair and equitable treatment yang
diakui sebagai standar minimal dan kewajiban bagi para host state, maka dalam
hal ini negara-negara anggota ASEAN memiliki standarnya dalam memberikan
perlindungan investasi yang adil dan sama bagi tiap-tiap investor, yaitu:
1. Implementasi Prinsip Fair and Equitable Treatment dalam
ACFTA di Singapura
32 The Brooker Group Inc, Foreign Direct Investment: Performance and Attraction: A
Case of Thailand, Thailand: BOI, 2016, hlm.5.
288 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
Singapura merupakan salah satu negara maju yang merupakan
negara anggota ASEAN yang memiliki peringkat pertama dalam World
Bank Doing Business.33 Singapura telah berhasil dalam hal menarik
minat investor untuk menanamkan modalnya sejak adanya kebijakan
keterbukaan investasi di negaranya. Berdasarkan data yang dilansir oleh
UNCTAD 2016 World Investment Report, Singapura berhasil menduduki
peringkat ke-7 host country yang paling banyak ditanamkan modalnya di
dunia.34
Tabel 3.2. Peringkat Singapura dalam FDI
Kebijakan Singapura terhadap foreign direct investment menggunakan
pendekatan kebijakan yang digunakan oleh negara-negara maju. Tidak ada
pemisahan kebijakan dan perlakuan yang membeda-bedakan investor asing
dengan investor dalam negeri. Hal ini juga mengarah pada tidak ada perlakuan
yang berbeda-beda yang diberikan kepada PMA dan PMDN di Singapura.
Prioritas pembangunan ekonomi Singapura meningkat secara berkala melalui
beberapa periode waktu.35 Dalam situs resminya, Economic Development
Board sebagai salah satu statutory board milik pemerintah Singapura,
mengklasifikasi sejarah tahapan pembangunan Singapura dalam beberapa
periode sejak tahun 1960an hingga tahun 2000an, yaitu periode tahun 1960an;
1970an; 1980an; 1990an; dan periode 2000an. 36
Kontrak atau perjanjian investasi di Singapura didasari oleh Pasal 37
Konstitusi Singapura yang mendorong Pemerintah Singapura untuk
mengikatkan dirinya pada kontrak. Investasi asing yang tergolong ke dalam
elemen bisnis ini harus pertama kali didaftarkan di dalam Business Registration
Act (BRA) dengan tetap mengimplementasikan daftar negative list mengenai
jenis-jenis usaha yang dapat ditanamkan modalnya oleh para investor asing.
Singapura lalu mewajibkan para investor untuk mendaftarkan kembali jenis
usaha yang akan ditanamkan modalnya melalui Accounting and Corporate
Regulatory Authority (ACRA).37 Investasi asing merupakan kunci utama bagi
Singapura untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Singapura
merupakan salah satu negara yang mengedepankan prinsip fair and equitable
33 Ibid. 34 L. Hsu, Inward FDI in Singapore and Its Policy Context, America: Columbia
University Press, 2012, hlm. 10 35 Ibid. 36 Ibid. 37 Ibid.
Peringkat Arus Investasi, Resha Roshana Putri, An-An Chandrawulan, Prita Amalia 289
treatment yang dituangkan dalam Pasal 3 ayat (1) ARC Regional Investment
Treaty.
Seluruh investor asing di Singapura diberikan kebebasan untuk
menguasai kepemilikan 100% bisnisnya untuk direpatriasi, kecuali beberapa
bidang usaha yang menyangkut keamanan nasional Singapura, seperti
telekomunikasi, radio, media, jasa keuangan, hukum, dan bisnis-bisnis
lainnya.38 Bidang-bidang usaha yang dimiliki oleh Pemerintah wajib dimiliki
sahamnya sebesar 20% oleh Pemerintah untuk tetap dapat mencampuri urusan
investasinya dengan Pemerintah. Tidak hanya pengawasan, pemerintah
memberikan jaminan berupa kepastian hukum di sektor-sektor sensitif, seperti
ketenagakerjaan dan perpajakan. Pemerintah juga memberikan transparansi
mengenai jalannya usaha investasi kepada para investor agar para investor
tetap memiliki keyakinan bahwa Singapura merupakan host country yang layak
untuk ditanamkan modalnya.39
Semua perusahaan Singapura harus menyusun laporan keuangan wajib
sesuai dengan Standar Pelaporan Keuangan Singapura (SFRS) dimana laporan
keuangan ini dapat dijadikan transparansi bagi para investor untuk melihat
perkembangan investasinya di Singapura. Selain itu, Singapura juga
menawarkan tarif pajak dasar perusahaan yang rendah sebesar 17 persen,
disertai dengan pembebasan pajak yang cukup besar untuk UKM dan insentif
pajak untuk industri tertentu.
Adanya kebijakan-kebijakan yang memberikan kepastian hukum dan
perlindungan bagi para investor (prinsip fair and equitable treatment) dengan
tetap melindungi kepentingan nasional itulah yang membuat investor Cina
selalu menanamkan modalnya di Singapura, terlebih lagi pasca ACFTA. Cina
menganggap bahwa Singapura akan dapat menjadi host country yang dapat
memberikan implikasi positif terhadap investor dalam jangka panjang, ditandai
dengan adanya pemberian insentif dan jaminan kepastian hukum dan kepastian
dalam berusaha. Singapura dianggap dapat menjadi jembatan antara Cina dan
ASEAN dalam melaksanakan hubungan ekonominya.40
Gambar 3.1.
38 Elliot Formal dan Agniezka W, The Foreign Dimension of Singapore’s Economic
Growth, Bergen: NHH, 2013, hlm.84. 39 Ibid. 40 Elliot Formal, op.cit.
290 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
2. Implementasi Prinsip Fair and Equitable Treatment dalam
ACFTA di Malaysia
Pemerintah Malaysia memanfaatkan investasi asing sebagai faktor
pendukung pertumuhan ekonomi, namun tetap dilengkapi dengan batasan-
batasan di beberapa sektor. Seiring dengan perkembangannya, pemerintah
Malaysia membuat beberapa regulasi yang menghapuskan hambatan tersebut
dalam rangka melakukan liberalisasi terhadap ekonomi nasionalnya.41 Salah
satunya ditandai dengan dihapuskannya Foreign Investment Committee (FIC)
pada tahun 2009 yang membuka peluang bagi perusahaan asing untuk
menanamkan saham, melakukan merger terhadap perusahaan, dan mengambil
alih kepemilikan perusahaan lokal.
Malaysia mengeluarkan Malaysian Act 397 tentang Malaysia Investment
Development Authority 1965 yang mengatur mengenai tahap-tahap
administratif yang harus dilalui oleh investor yang akan menanamkan
modalnya di Malaysia. Pada tahun 2011 pemerintah Malaysia semakin gencar
melakukan liberalisasi terhadap penanaman modal asingnya dengan
mengizinkan investor untuk memiliki kepemilikan sebesar 100% di beberapa
bidang, seperti kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan jasa. Beberapa bidang
masih dibatasi demi kepentingan nasional Malaysia, seperti telekomunikasi,
jasa keuangan, dan transportasi.42
Prinsip kepastian hukum dan prinsip transparansi yang merupakan bagian
dari prinsip fair and equitable treatment di Malaysia ditekankan dan
diaplikasikan melalui The 2013 National Policy on the Development and
Implementation of Regulations. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah Malaysia dalam rangka melahirkan sebuah
pemerintahan yang baik khususnya dalam bidang perekonomian di Malaysia.43
Beberapa peraturan di bawahnya juga menunjukkan adanya jaminan
kepastian hukum dan perlindungan bagi para investor, seperti Securities
Industry Act 2003, Securities Commission Act 2003, Futures Industry Act
2003, dan Securities Industry Act 2003. Perlindungan ini diberikan dengan
beberapa kategori kekhususan. Berkenaan dengan tindak pidana korupsi,
Malaysia telah memasukkannya ke dalam Security Commission Act dimana
perusahaan lokal dan asing dapat bekerja sama untuk melacak adanya aroma-
aroma korupsi dan langsung dapat melaporkannya dengan mengedepankan
asas good faith. Hal ini bukan hanya menjadi keistimewaan investasi asing di
Malaysia, namun juga sebagai kewajiban bagi seluruh pelaku usaha di
Malaysia.44
Hubungan investasi antara Malaysia dan Cina pasca ACFTA lebih
menunjukkan adanya aplikasi dari prinsip reciprocity. Keduanya memiliki
keuntungan dan daya pikat masing-masing sehingga saling melakukan
investasi. Salah satunya di sektor usaha eceran, Parkson Reitail Group yang
dimiliki oleh Malaysia mendapatkan modal dari Cina di tahun 2010 dimana
41 Sussangkam, Yung Chul Park, dan Sun Jin Kan, FDI Policy in Asia, London:
Routledge, 2011, hlm. 51. 42 Zulkefly Abdul, dkk, “The Quality of Institutions and Foreign Direct Investment
(FDI) in Malaysia”, Asian Journal Acoounting and Governance, Vol.3, 2012, hlm. 63. 43 Ibid. 44 Ibid.
Peringkat Arus Investasi, Resha Roshana Putri, An-An Chandrawulan, Prita Amalia 291
Cina memberikan 300 juta yuan untuk mengembangkan bisnis tersebut.45
Perkembangan investasi Cina-Malaysia terus mengalami peningkatan
dikarenakan adanya kondisi pasar yang baik dan kepastian hukum yang
ditawarkan oleh kedua belah pihak.
3. Implementasi Prinsip Fair and Equitable Treatment dalam
ACFTA di Thailand
Thailand memiliki The Thailand Board of Investment (BOI) yang turut
mempromosikan investasi di Thailand dan membuat beberapa produk
kebijakan yang signifikan di dalamnya. Produk-produk kebijakan tersebut
dibuat hingga tahun 2021 dan bertujuan untuk melakukan restrukturisasi
terhadap perekonomian Thailand yang difokuskan melalui investasi.
Berdasarkan Investment Promotion Act 2520, investor asing di Thailand akan
diberikan kompensasi berupa insentif pajak di beberapa sektor. Insentif ini
akan diberikan oleh BOI bagi investor yang bidang usahanya akan membawa
keuntungan bagi Thailand. Investor diwajibkan untuk membuat izin dalam
melakukan investasi, namun tahap awal melakukan usaha cukup dengan
melakukan beberapa tindakan, seperti membeli barang, berbisnis, dan lain
sebagainya. Hal ini diatur lebih lanjut di dalam Foreign Workers Act 2551.46
Demi melindungi kepentingan nasionalnya, Thailand juga menerapkan
beberapa batasan kepad ainvestor asing, yang diramu dalam beberapa produk
peraturan, seperti Nationality Act, Immigration Act, Foreign Business Act,
Land Code, Alien Employment Act, dan lain sebagainya. Thailand juga
membatasi investasi di beberapa industri khusus, seperti bank komersil,
perusahaan asuransi, perikanan, penerbangan, transportasi, pariwisata, dan
beberapa bidang lainnya yang diatur lebih lanjut dalam regulasi Thailand.47
Berdasarkan The Financial Institutions Business Act, Bank lokal
Thailand diberikan mandat untuk dapat menarik batas kepemilikan dari bank
lokal dari 25% hingga 49%. Bank diwajibkan untuk melakukan kordinasi
dengan Menteri Keuangan Thailand untuk melacak adanya kepemilikan asing
yang berjumlah lebih dari 49% dan yang direkomendasikan oleh Bank Pusat.48
Pada tahun 2008, Thailand berdasarkan The 2008 Life Insurance Act
menerapkan 25% asuransi bagi perusahaan asing dan direktor asing yang akan
menanamkan usahanya di Thailand. Asuransi ini akan diberikan saat pihak
asing yang dalam hal ini adalah investor asing mendaftarkan usahanya ke
Departemen Pengembangan Bisnis dalam Menteri Perdagangan setelah
mendapatkan lisensi usahanya.
Kebijakan investasi asing yang baru saat ini difokuskan pada adanya
investasi yang dapat membantu pengembangan daya saing nasional dengan
45 Mahani Zainal Abidin dan Nor Izzatina Aziz, Assesment of ACFTA after
Implementation, diakses dalam
http://www.isis.org.my/attachments/1123_MZA_NI_Malaysia_RSIS22_22May2012.pdf 23
Januari 2018. 46 Sutana Thanyakkan, The Determinants Of FDI And FPI In Thailand: A Gravity
Model Analysys, USA: Lincolm University Press, 2008, hlm. 8. 47 Ibid. 48 S. Tambunlertchai, Foreign Direct Investment and Export Performance in Thailand,
Thailand: Wesleyan University Press, 2009, hlm.10.
292 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
meningkatkan bagian research and development di Thailand.49 Aktivitas
investasi yang dijalankan di Thailand juga harus yang bersfat ramah
lingkungan, ramah energi, dan menggunakan energi alternatif dalam
pelaksanaannya. Investasi yang dilakukan di bagian selatan Thailand untuk
mengembangkan ekonomi lokal di Thailand. Keseluruhan hal tersebut
dilakukan untuk dapat merespon adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN yang
bertujuan untuk meningkatkan daya saing Thailand dibandingkan dengan
negara anggota ASEAN lainnya, termasuk Indonesia.
Thailand juga terus memfokuskan diri pada adanya perlindungan bagi
para investor dengan menerapkan The Thailand Trade Competition Act yang
merupakan turunan dari the Price Fixing and Anti-Monopoly Act 1979 untuk
menindaklanjuti adanya tindak pidana persaingan usaha tidak sehat yang
terjadi saat pelaku usaha menjalankan bisnisnya. Peraturan ini tidak hanya
diimplementasikan bagi investor lokal di Thailand, namun juga bagi investor
asing, yang mana implementasinya diawasi oleh Menteri Perdagangan dan
Departemen Perdagangan Internal.50
Tabel 3.3
Berbagai peningkatan dan progresivitas yang ditunjukkan oleh Thailand
inilah yang membuat Cina dan Thailand akan terus berupaya untuk
meningkatkan hubungan ekonominya dalam bidang investasi. Pasca ACFTA,
keduanya berupaya untuk membuat perjanjian yang mengikat keduanya untuk
menghindarkan diri dari adanya konflik atau resiko eksternal yang dapat saja
terjadi.51 Kerja sama antara Cina dan Thailand difokuskan dalam bidang
transportasi darat dan laut, seperti pembuatan jalan alternatif diatas sungai
Mekong dan pembuatan kereta api cepat yang menghubungkan beberapa
daerah di Thailand.52
49 Ibid. 50 Ibid. 51 Orathip Praisakuldecha, “The Economic Strategic Cooperation between China-
Thailand under the ASEAN China Free Trade Area: In Case of the Situation between China-
Thailand and the Opportunities of Thailand after ACFTA Completed”, IOSR Journal of
Business and Management, Vo.19, Issue. 5, 2017, hlm. 52. 52 Shen Hongfang, “The Economic Relations between China and Thailand under the
Context of CAFTA: An Assessment”, Chinese Studies Scientific Research, Vol. 2, No. 1, hlm.
60.
Peringkat Arus Investasi, Resha Roshana Putri, An-An Chandrawulan, Prita Amalia 293
4. Implementasi Prinsip Fair and Equitable Treatment dalam
ACFTA di Vietnam
Vietnam gencar melakukan perbaikan terhadap kebijakan investasi
asingnya sejak tahun 2014, namun tetap mempertahankan beberapa hambatan
investasi untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Beberapa kebijakan yang
melatarbelakangi investasi asing di Vietnam antara lain adalah 2005 Law on
Investment, kebijakan daerah, beberapa kebijakan yang merupakan harmonisasi
dari aksesi perjanjian WTO, dan kebijakan limitasi investasi asing dalam hal
merger dan akuisisi dari perusahaan domestik atau lokal.53 Vietnam membagi
bidang usaha investasinya ke dalam 3 sektor, yaitu sektor yang dilarang untuk
ditanamkan modalnya oleh investor dalam negeri maupun investor asing,
sektor yang boleh ditanamkan modalnya dengan syarat-syarat tertentu, dan
sektor yang boleh ditanamkan modalnya dengan syarat tertentu hanya untuk
investor asing.
Kategori sekaligus batasan yang dimuat dalam kebijakan investasi
Vietnam merupakan salah satu bentuk harmonisasi hukum Vietnam dengan
ketentuan dalam WTO. Vietnam telah mengaksesi perjanjian WTO pada tahun
2007 dan menjalankan komitmennya untuk melakukan liberalisasi terhadap
investasi di negaranya.54 Investor asing yang ingin menanamkan modalnya di
Vietnam wajib untuk mendaftarkan usahanya secara formal untuk
mendapatkan sertifikasi berusaha yang akan dikaitkan dengan kepentingan
nasional Vietnam. Ketentuan administratif bagaimana investor dapat
mendapatkan sertifikasi ini lebih lanjut secara komprehensif diaturdalam 2005
Law on Investment.
Evaluasi yang dimaksudkan dalam gambar tersebut adalah akan
dilakukan apabila investasi yang didaftarkan di Vietnam tidak sesuai atau
kurang sesuai dengan kepentingan nasional Vietnam saat itu. Vietnam memang
menerapkan kebijakan terbuka untuk investasi asing dalam rangka menarik
minat para investor, namun di sisi lain tetap berupaya untuk menjaga keutuhan
nasionalnya. Biasanya, bidang usaha investasi yang didaftarkan juga
disesuaikan dengan Master Plan yang dibuat oleh Menteri Perindustrian
Vietnam yang telah membuat 15 master plan di tingkat pusat dan 11 master
plan di tingkat daerah.55
2005 Law of Investment juga mengatur prinsip perlindungan bagi para
investor asing, termasuk di dalamnya prinsip fair and equitable treatemnt.
Tujuan dari dimasukkannya prinsip perlindungan tersebut adalah untuk
melindungi kepentingan investor dengan memberikan kepastian hukum dan
transparansi terhadap investor.56 Pasal 4 dari Law on Investment menyebutkan
bahwa tiap-tiap investor asing harus diberikan perlakuan yang sama dengan
53 UNCTAD, Investment Policy Review in Vietnam, New York: United Nations, 2008,
hlm.3. 54 Ibid, hlm. 4. 55 Steve Chan, Foreign Direct Investment in a Changing Global Political Economy,
London: Macmillan Press Ltd, 1995, hlm. 64. 56 Julien Chaisse, Tomoko Ishikawa, dan Sufian Jusoh, Asia's Changing International
Investment Regime: Sustainability, Regionalization, and Arbitration, Singapore: Spinger, 2007,
hlm. 153.
294 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
prinsip equal treatment di semua sektor-sektor ekonomi. Hal ini tentunya
selaras dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) ACFTA tentang Investasi.
Pasal 22 dan 23 Konstitusi Vietnam mengatur bahwa negara melindungi
modal dan kepemilikan tanah dari adanya bisnis.57 Tanah dan kepemilikannya
hanya dapat dinasionalisasi jika dengan disertai alasan keamanan dan
kepentingan nasional, yang mana harus disertai pula dengan kompensasi.
Prinsip perlindungan ini penting diterapkan karena untuk menarik minat
investor asing, menerapkan administrasi investasi yang lebih baik, dan
menentukan arah kebijakan strategis untuk investasi asing di Vietnam.58
UNCTAD telah merinci beberapa kebijakan investasi di Vietnam yang lebih
progresif dalam menarik minat investor asing, yaitu:
1. Administrasi
Investasi asing di Vietnam lebih diawasi dan
mendapatkan peran yang begitu banyak dari Departments of
Planning and Investment dan Boards of Management. Vietnam
menerapkan asas desentralisasi di wilayahnya, sehingga
terdapat pembagian urusan investasi antara pemerintah pusat
dan daerah dengan menerapkan asas precedent dari tiap-tiap
bidang usaha investasi yang baru didaftarkan. Vietnam juga
merinci betul batasan-batasan berinvestasi yang secara
transparan diberikan dan diinformasikan kepada investor
sebelum memulai usahanya di Vietnam. Batasan untuk
melakukan investasi asing di Vietnam adalah 50 tahun sesuai
dengan Law on Investment.59
2. Kebijakan (Doi Moi 2 Policy)
Prinsip dasar berusaha di Vietnam yang selalu
dikedepankan adalah memberikan kebebasan untuk
mengidentifikasi bisnis apa yang akan ditanamkan modalnya
oleh investor asing.60 Pemerintah memberikan fleksibelitas bagi
para investor untuk memutuskan sesuatu dalam hal berinvestasi
di Vietnam.61 Vietnam tetap mengedepankan kepentingan
nasional melalui hukum dan regulasi tertentu, seperti halnya
kebijakan mengenai buruh, lingkunan, kesehatan, dan
keamanan yang harus diaplikasikan juga bagi investor asing
tanpa terkecuali. Terdapat kebijakan yang sangat sederhana
untuk memberikan sertifikasi usaha bagi investor asing di
Vietnam agar memudahkan mereka untuk menjalankan usaha
di koridor hukum yang berlaku.
Investasi asing Cina ke Vietnam telah dimulai sejak tahun 1991 dan
mulai berkembang pasca adanya ACFTA. Vietnam telah mampu menunjukkan
daya saing dan indeks kompetitifnya melawan negara angota ASEAN lainnya.
57 Ibid. 58 Ibid, hlm. 36. 59 Hoang Mai Pham, FDI and Development in Vietnam: Policy Implications, Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 2004,hlm. 53. 60 Vincent Edwards dan Anh Phan, Managers and Management in Vietnam: 25 Years of
Economic Renovation (doi Moi), London: Routledge, 2013, hlm. 56. 61 Ibid, hlm. 40.
Peringkat Arus Investasi, Resha Roshana Putri, An-An Chandrawulan, Prita Amalia 295
Contohnya, investasi asing Cina-Vietnam telah mengalami peningkatan sejak
tahun 2012 yang semula meraup keuntungan sebesar US$312 juta dan sekarang
telah meraup US$1,8 milyar di tahun 2016 (peningkatan sebesar 7,7%).62
Lebih dari 80% investasi asing di Vietnam dikuasi oleh Cina, khususnya di
bidang konstruksi dan pembangunan. Kontrak kerja yang mengikat keduanya
18,4% berupa Build-Operate-Transfer (BOT) dan Build-Transfer *BT) dan
15% berupa joint ventures dan kontrak bisnis pada umumnya. Salah satu hasil
dari investasi dapat dilihatd ari adanya pembangunan Vinh Tan 1 Power Plant
sebagai investasi terbesar dari Cina yang terletak di Provinsi Lao Cai.63
IV. Kesimpulan
Investasi memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan
ekonomi suatu negara. Perjanjian investasi dapat dimuat dalam berbagai
keranga produk kontrak dan perjanjian, salah satunya ASEAN-China Free
Trade Agreement yang mengatur hubungan perdagangan internasional dan
investasi antara negara anggota ASEAN dengan Cina. Tujuan dari ACFTA
salah satunya adalah berkenaan dengan upaya peningkatan arus investasi antara
negara anggota ASEAN dan Cina. Dalam menjalankan hubungan ini, tentunya
dibutuhkan pula penerapan prinsip reciprocity (timbal balik), dimana kedua
negara harus berupaya memberikan treatment yang sama sehingga keduanya
dapat diuntungkan dengan investasi yang sedang dijalankan. Salah satu standar
minimun dalam memberikan treatment yang diakui oleh berbagai perjanjian
investasi dan ACFTA adalah fair and equitable treatment principle. Prinsip ini
berbicara mengenai mengapa dan bagaimana perlakuan yang adil dan seimban
harus diberikan oleh host country kepada Investornya. Prinsip ini juga
merupakan salah satu alasan mengapa Investor akan merasa tertarik untuk
menanamkan modalnya di suatu negara sehingga dapat meningkatkan arus
investasi.
Dalam konteks Indonesia, dibandingkan dengan negara anggota ASEAN
lainnya, maka penerapan prinsip fair and equitable treatment antara Indonesia
dan Cina belum sepenuhnya dilakukan. Indonesia masih memiliki beberapa
permasalahan dalam hal pemberian kepastian hukum dan kemudahan birokrasi
dan/atau administrasi kepada para Investor Cina yang menanamkan modalnya
di Indonesia. Hal ini digambarkan oleh banyaknya peraturan pusat dan daerah
yang tumpah tindih, alur birokrasi yang berbelit-belit, dan lain sebagainya. Bila
dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, Thailand, bahkan Vietnam,
peringkat Indonesia cenderung menurun karena keempat negara tersebut kini
semakin progresif dalam memberikan perlindungan dan perlakuan yang adil
dan seimbang kepada para Investor. Adapun pemberian atau implementasi dari
prinsip fair and equitable treatment ini bukan berarti suatu host country terlalu
62 KPMG, Investing in Vietnam, 2008, hlm. 28. 63 Ibid.
296 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
berpihak kepada para Investor, namun juga untuk tetap melindungi
kepentingan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Adriana Elisabeth, Road Map Kebijakan Luar Negeri Indonesia (2015-2020):
Mewujudkan Diplomasi Ekonomi Inklusif, Berbasis Lingkungan dan
Berkelanjutan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2015.
Elliot Formal dan Agniezka W, The Foreign Dimension of Singapore’s
Economic Growth, Bergen: NHH, 2013.
Hoang Mai Pham, FDI and Development in Vietnam: Policy Implications,
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2004.
Julien Chaisse, Tomoko Ishikawa, dan Sufian Jusoh, Asia's Changing
International Investment Regime: Sustainability, Regionalization, and
Arbitration, Singapore: Spinger, 2007.
Jullen Chaisse dan Sufian Juson, The ASEAN Comprehensive Investment
Agreement: The Regionalisation of Laws and Policy of Foreign
Investment, United Kingdom: Edward Elgar, 2016.
Koesrianti, “Legal Certainty as a Fundamental Principle of Private Foreign
Investment Agreements in Indonesia Toward AEC”, Airlangga Journal
of Law, 2014.
Michael J. Moser, Dispute Resolution in China, USA: Arbitration Law, 2012.
Miguel Solanes, Revisiting Privatization, Foreign Investment, and
International Arbitration, America: ECLAC, 2007.
S. Tambunlertchai, Foreign Direct Investment and Export Performance in
Thailand, Thailand: Wesleyan University Press, 2009.
Simon Chesterman, From Community to Compliance? The Evolution of
Monitoring Obligations in ASEAN, Cambridge: Cambridge University
Press, 2015.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2003.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1984.
Steve Chan, Foreign Direct Investment in a Changing Global Political
Economy, London: Macmillan Press Ltd, 1995.
Sussangkam, Yung Chul Park, dan Sun Jin Kan, FDI Policy in Asia, London:
Routledge, 2011.
Sutana Thanyakkan, The Determinants Of FDI And FPI In Thailand: A Gravity
Model Analysys, USA: Lincolm University Press, 2008.
The ASEAN Secretariat Jakarta, ASEAN Integration Report 2015, 2015.
Peringkat Arus Investasi, Resha Roshana Putri, An-An Chandrawulan, Prita Amalia 297
The Brooker Group Inc, Foreign Direct Investment: Performance and
Attraction: A Case of Thailand, Thailand: BOI, 2016.
UNCTAD, Investment Policy Review in Vietnam, New York: United Nations,
2008.
UNCTAD, UNCTAD Compedium of Investmen Law: Indonesia, 2007.
Vincent Edwards dan Anh Phan, Managers and Management in Vietnam: 25
Years of Economic Renovation (doi Moi), London: Routledge, 2013.
2. Jurnal
A. Booth, “China’s Economic Relations with Indonesia: Threats and
Opportunities”, Journal of Current Southeast Asia Affairs, Vol. 30,No.2,
2011.
Donghyun Park, Innwon Park, dan Gemmar Esther, “Prospects of an ASEAN–
People’s Republic of China Free Trade Area: A Qualitative and
Quantitative Analysis”, ADB Working Paper, No. 130, 2008.
Koesrianti, “Legal Certainty as a Fundamental Principle of Private Foreign
Investment Agreements in Indonesia Toward AEC”, Airlangga Journal
of Law, 2014.
Masahiro Kawai, “East Asian Economic Regionalism: Progress and
Challenges, Journal of Asian Economic, Vol. 16, Issue 1, 2005.
Orathip Praisakuldecha, “The Economic Strategic Cooperation between China-
Thailand under the ASEAN China Free Trade Area: In Case of the
Situation between China-Thailand and the Opportunities of Thailand
after ACFTA Completed”, IOSR Journal of Business and Management,
Vo.19, Issue. 5, 2017.
Shen Hongfang, “The Economic Relations between China and Thailand under
the Context of CAFTA: An Assessment”, Chinese Studies Scientific
Research, Vol. 2, No. 1.
Siow Yue Chia, “The ASEAN Economic Community: Progress, Challanges,
and Prospect”, ADBI Working Paper, No. 440, 2013.
Zulkefly Abdul, dkk, “The Quality of Institutions and Foreign Direct
Investment (FDI) in Malaysia”, Asian Journal Acoounting and
Governance, Vol.3, 2012.
3. Lain-Lain
Koesrianti, “Legal Certainty as a Fundamental Principle of Private Foreign
Investment Agreements in Indonesia Toward AEC”, Airlangga Journal
of Law, 2014.Mahani Zainal Abidin dan Nor Izzatina Aziz, Assesment of
ACFTA after Implementation, diakses dalam
http://www.isis.org.my/attachments/1123_MZA_NI_Malaysia_RSIS22_
22May2012.pdf 23 Januari 2018.
298 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.2 April-Juni 2018
Narendra Aggrawal, Singapore is Cina’s Largest Investors,
https://www.iesingapore.gov.sg/Media-Centre/News/2015/11/S-pore-is-
Cina-s-largest-investor [04/10/2017]
Proyek kerja sama dalam kerangka ACFTA dapat dilihat di
http://asean.org/?static_post=asean-China-free-trade-area-2
Xinhua Net, Thai Investors Urged to Launch Ventures in ASEAN Community,
http://www.asean-
cn.org/index.php?m=content&c=index&a=show&catid=210&id=793
[04/10/2017]