perbedaan sensation seeking pada pendaki ......di indonesia, kegiatan mendaki gunung baru dikenal...
TRANSCRIPT
-
PERBEDAAN SENSATION SEEKING PADA PENDAKI GUNUNG
DITINJAU DARI JENIS KELAMIN
OLEH
MAHENDRA CATUR BAGAS PRAKOSO
802012110
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari PersyaratanUntuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
-
PERBEDAAN SENSATION SEEKING PENDAKI GUNUNG
DITINJAU DARI JENIS KELAMIN
Mahendra Catur Bagas Prakoso
Heru Astikasari S. Murti
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
-
i
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan sensation seeking pendaki gunung
ditinjau dari jenis kelamin. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Subjek
penelitian berjumlah 80 orang yang dibagi menjadi dua yaitu 40 pendaki laki-laki dan 40
pendaki perempuan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive
sampling. Data penelitian diambil menggunakan skala sensation seeking terdiri dari 53
item dimana terdapat 17 item gugur dan terdapat36 item yang dinyatakan lolos seleksi
daya diskriminasi item dengan koefisien alpha cronbachnya 0,942. Berdasarkan uji
perbedaan menggunakan uji t diperoleh nilai t = 3,414 (p
-
ii
Abstract
The purpose of the research is to know about differences of sensation seeking
mountaineers judging from gender. The type of research is quantitative research. The
research subjects are 80 mountaineers that divided to 2 groups, 40 male and 40 female.
Sampling technique used is purposive sampling. Data research is taken with sensation
seeking scale, which is consisted of 53 items where 17 items fall and 36 items that got
away of from item discrimination power with alpha cronbach’s coefficient is 0,942.
According to difference we got t = 3,414 (p
-
1
PENDAHULUAN
Keinginan manusia untuk mendaki gunung sudah muncul pada abad 19, ketika di
Swiss mulai mendaki gunung-gunung untuk mencapai puncaknya. Edward Whymper,
seorang berkebangsaan Inggris, adalah orang pertama yang berhasil mencapai puncak
gunung Matterhorn dengan ketinggian 4474 m di Swiss pada tahun 1865. Dalam sejarah
dunia, pendakian gunung tertinggi pertama kalinya terjadi dengan pencapaian puncak
everest di Nepal dengan ketinggian 8848 m oleh Sir Edmund Hillary, pendaki gunung
asal New Zealand dan Tenzing Norgey, seorang sherpa (pemandu atau porter di
pegunungan Himalaya) asal Tibet pada tahun 1953 (Catros, 2007)
Di Indonesia, kegiatan mendaki gunung baru dikenal tahun 1964 ketika pendaki
Indonesia dan Jepang melakukan suatu ekspedisi gabungan dan berhasil mencapai puncak
Soekarno di pegunungan Jayawijaya, Irian Jaya (sekarang Papua). Mereka adalah
Soedarto dan Soegirin dari Indonesia, serta Fred Atabe dari Jepang. Pada tahun yang
sama, perkumpulan-perkumpulan pendaki gunung mulai lahir, dimulai dengan berdirinya
perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung WANADRI di Bandung dan
Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) di Jakarta, diikuti kemudian
oleh perkumpulan-perkumpulan lainnya di berbagai kota di Indonesia. Pendakian gunung
merupakan kegiatan yang biasa dilakukan secara pribadi maupun kelompok. Para pendaki
biasanya mempunyai motivasi tertentu, bisa karena hobi, tertarik akan pesona gunung,
ingin berpetualang, dan lain-lain menurut Yitno (dalam Sadewa, 2012)
Hadayani (dalam Sadewa, 2012) mengatakan, berkegiatan di alam terbuka
sebenarnya mengembangkan karakter bagi pelakunya, paling tidak rasa kecintaanya
terhadap tanah air akan bertambah seperti melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok
negeri dan mengenal bagian-bagian terdalam dari negeri ini akan menjadikan kecintaan
orang terhadap tanah airnya meningkat. Hubungan persaudaraan yang terjalin, tanpa
-
2
membedakan ras, agama dan antar golongan adalah bagian terpenting dalam berkegiatan
di alam terbuka. Seperti yang diungkapkan oleh Zuckerman (dalam Sadewa, 2012),
kegiatan pecinta alam yang beresiko selalu diidentikan dengan dimensi risk taking
(mereka yang berani menghadapi tantangan).
Para peneliti mengkaji beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa
seseorang memiliki motivasi mendaki gunung dari subskala motivasi, faktor-faktor
tersebut antara lain: penyelamatan diri (escape), persaingan (competition), kontrol
(control), self efficacy, sensation seeking, dan sosialisasi (socializing) (Ackerman & Hill,
2007)
Zuckerman dalam hasil penelitiannya (dalam Perti & Govern, 2004) menuliskan
bahwa individu yang mempunyai level sensation seeking yang lebih tinggi dari
kenyataannya lebih memilih situasi yang mempunyai resiko lebih besar dibandingkan
dengan individu yang mempunyai tingkat sensation seeking rendah, situasi yang berisiko
tersebut termasuk didalamnya pemilihan olah raga, pekerjaan dan hobi atau kesenangan
yang berisiko, misalnya mendaki gunung, memanjat tebing, terbang layang, paracuting,
terjun payung dan berbagai jenis perilaku berisiko lainnya.
Pendakian gunung banyak dilakukan oleh orang-orang dengan tipikal dan karakter
yang berbeda-beda, baik itu pria maupun wanita. Zuckerman (dalam Grisnawati, 2006)
sensation seeking berkaitan dengan kondisi biologis pada individu, dimana kondisi
biologis mendorong kebutuhan individu untuk memperoleh sensasi dan variasi dalam
hidupnya. Dasar biologis dihubungkan dengan kuatnya refleksi terhadap stimulus dan
menguatnya respon terhadap stimulus tersebut. Hal ini terjadi diiringi tingginya hormon
seks (testosteron, esterogen, dan esterodial) dan adanya enzim yang merangsang hadirnya
kemampuan arousal (kemampuan pada seseorang untuk menyelesaikan sebuah aktivitas)
(Grisnawati, 2006).
-
3
Pendapat Zuckerman 1994 (dalam Amanta, 2009) mengenai kepribadian
seseorang khususnya sensation seeking, dimana kecenderungan genetik dan lingkungan
sosial berperan terhadap individu yang menajdi pencari sensasi (sensation seekers) atau
pengambil resiko. Berdasarkan sudut pandang biologis, Eysenck (dalam schultz &
Schultz, 2005), menyatakan bahwa 58% dari trait sensation seeking disumbangkan oleh
faktor genetik.
Penelitian yang dilakukan oleh Stojan Burnik, Snežana Jug, Tanja Kajtna (2008).
Dari 33 pendaki gunung yang berpartisipasi dalam penelitian tersebut, terdapat 15 laki-
laki dan 18 perempuan. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pendaki gunung laki-laki
dan perempuan di Slovenia memiliki sensation seeking yang sama atau tidak memiliki
perbedaan yang signifikan. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Windi (2014) di
SMAN Malang. Hasil penelitian ini adalah terdapat perbedaan sensation seeking yang
signifikan pada remaja laki-laki dan perempuan di SMAN Malang. Sensation seeking
laki-laki lebih tinggi yang signifikan dibandingkan dengan perempuan. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian Zuckerman (dalam Jonathan, 2004) mengenai adanya
perbedaan sensation seeking yang ditinjau pada jenis kelamin. Zuckerman,
Buchsbaum, dan Murphy (dalam Elizabeth dkk,2008) mengatakan sensation seeking
ada hubungannya dengan tingkat testosteron, esterogen dan estradial antara laki–laki
dan perempuan. Brizendine (dalam Rahmawaty, 2013) menyatakan hormon testosteron
dan progesteron diduga mampu mempengaruhi peningkatan agresifitas sehingga laki-
laki cenderung stabil ketika beraktivitas, sedangkan hormon estrogen diduga
mempengaruhi psikis dan perasaan perempua. Tujuan penelitian ini adalah ingin
mengetahui apakah ada perbedaan signifikan sensation seeking pada pendaki gunung
ditinjau dari jenis kelamin.
-
4
Sensation seeking
Menurut Zuckerman (dalam Joireman, Anderson & Strathman, 2003), Sensation
seeking adalah sebuah kepribadian yang ditandai dengan pencarian suatu yang bervariasi,
baru, kompleks serta perasaan dan pengalaman-pengalaman yang mendebarkan dan
keinginan untuk mengambil bahaya-bahaya fisik dan sosial demi untuk pengalaman-
pengalaman yang mendebarkan tersebut. Sedangkan Halonen dan Santrock (1999)
menuliskan bahwa Sensation seeking adalah bentuk kepribadian yang ditandai dengan
perilaku yang dimotivasi oleh kebutuhan pada suatu yang berbeda, baru dan sensasi
pengalaman yang lengkap. Seseorang yang memiliki sensation seeking yang tinggi
cenderung untuk lebih termotivasi untuk terlibat dalam perilaku yang berbahaya,
pekerjaan yang memiliki risiko berbahaya yang tinggi (misalnya pemadam kebakaran,
pilot) dan jenis-janis olahraga yang lebih ekstrem (Halonen & Santrock, 1999)
Sensation seeking adalah kecenderungan untuk mencari aktifitas yang
mendebarkan dan menarik, untuk mencari risiko dan untuk menghindar dari kejenuhan
atau kebosanan (Larsen & Buss, 2005). Teori ini berkembang dari penelitian mengenai
sensory deprivation (kehilangan sensoris, rangsangan minimal dari organ-organ perasaan
yang mengalami eliminasi eksperimental, yaitu semua atau sebagian besar dari stimuli
atau rangsangan sengaja dihilangkan yang dilakukan oleh Hebb pada tahun 1955 (dalam
Larsen & Buss, 2005). Dalam penelitiannya ini ia menemukan bahwa seseorang dalam
lingkungan yang tidak memberikan rangsangan sensoris termotivasi untuk memperoleh
masukan sensoris apapun meskipun hal itu termasuk masukan atau input yang diterima
seperti kebosanan, Hebb mengatakan bahwa setiap orang selalu termotivasi untuk
mencari suatu ketegangan dan rangsangan.
Tidak lama setelah penelitian Hebb mengenai sensory deprivation, Zuckerman
dan Habber pada tahun 1965 (dalam Larsen & Buss, 2005) mengungkapkan bahwa tidak
-
5
semua orang merasakan suatu tekanan yang sama jika berada dalam kondisi tidak adanya
stimulus sensoris. Zuckerman percaya bahwa setiap orang memiliki kebutuhan utama
yang tinggi pada sensasi karena mereka kurang dapat menerima atau memaklumi suatu
kekurangan atau kehilangan (deprivation). Zuckerman menyebut hal tersebut sebagai
sensation seeker karena pencarian yang terus menerus terhadap suatu rangsangan, tidak
hanya dalam penelitian sensory deprivation saja tetapi dalam keseharian di sepanjang
kehidupan.
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa Sensation seeking merupakan suatu bentuk
kepribadian yang cenderung untuk melakukan aktifitas yang mendebarkan dan menarik,
untuk mencari risiko dan untuk menghindar dari kejenuhan atau kebosanan hal ini
ditandai dari perilaku yang lebih termotivasi untuk terlibat dalam perilaku yang
berbahaya, pekerjaan yang memiliki risiko berbahaya yang tinggi misalnya pemadam
kebakaran, pilot) dan jenis-jenis olahraga yang lebih ekstrem (misalnya panjat tebing,
mendaki gunung, terbang layang, dan lain-lain).
Dimensi-dimensi Sensation Seeking
Adapun dimensi-dimensi dari sensation seeking menurut Zuckerman (Larsen &
Buss, 2005) adalah:
a. Pencarian getaran jiwa dan petualangan (thrill and adventure seeking)
Berhubungan dengan keinginan-keinginan untuk mengerjakan aktivitas-aktivitas
yang mengandung risiko bahaya fisik seperti mengikuti jenis-jenis olahraga berisiko
tinggi termasuk juga keinginan untuk melakukan kegiatan atau olah raga yang
menghasilkan suatu perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman yang tidak biasa
meskipun hal tersebut mengandung risiko yang membahayakan. Contohnya olahraga ski
-
6
air, panjat tebing, mendaki gunung, terjun payung, terbang layang dan mengikuti balapan
motor atau mobil.
b. Pencarian pengalaman (experience seeking)
Berhubungan dengan kebutuhan pada hal-hal baru dan menarik dan hal tersebut
berhubungan dengan semua jenis aktivitas yang mengandung risiko, menikmati
pengalaman-pengalaman yang baru, melakukan perjalanan di tempat-tempat yang baru
dan menarik, mendengarkan musik-musik yang tidak biasa, sering mencoba-coba dengan
obat-obatan terlarang (drugs) atau menjalani gaya hidup yang tidak seperti orang pada
umumnya.
c. Ketidakmampuan / ketidakmauan menghambat dorongan (disinhibition)
Berhubungan dengan keinginan-keinginan untuk melakukan perilaku-perilaku
yang mengandung risiko sosial maupun kesehatan, misalnya minum-minuman keras dan
perilaku seksual yang berbahaya (unprotected sex).
d. Kerentanan terhadap Rasa Bosan (Boredom Susceptibility)
Berhubungan dengan perasaan yang tidak toleran pada keadaan atau aktivitas
yang sama terus menerus, sesuatu yang mudah ditebak, dan segala sesuatu yang tidak
pernah berubah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Sensation seeking
Zuckerman, 1994 (dalam Petri & Govern, 2004) menjelaskan hal-hal yang
mempengaruhi sensation seeking, antara lain:
a. Usia
Puncak level sensation seeking lebih tinggi pada usia remaja akhir atau pada usia
20an tahun, dan cenderung menurun seiring dengan bertambahnya usia.
b. Jenis kelamin
-
7
Individu yang berjenis kelamin laki-laki cenderung mempunyai tingkat sensation
seeking yang lebih tinggi dibandingkan pada individu yang berjenis kelamin perempuan.
Hormon testosteron berperan dalam hal ini.
c. Risk Behavior (perilaku berisiko)
Perilaku berisiko selalu dihubungkan dengan tingkat sensation seeking, individu
yang mempunyai tingkat sensation seeking yang lebih tinggi cenderung selalu
menempatkan diri pada situasi yang lebih berisiko dibandingkan dengan individu yang
mempunyai tingkat sensation seeking yang lebih rendah, hal ini mempengaruhipilihan
olahraga yang diminati juga pilihan pekerjaan yang “tidak biasa” (mengandung risiko).
d. Interaksi Sosial
Individu yang mempunyai tingkat sensation seeking yang tinggi cenderung
melihat interaksi sosial sebagai pengalaman yang positif dan lebih menunjukkan reaksi
emosinya pada situasi sosial dibandingkan pada individu yang mempunyai tingkat
sensation seeking rendah, situasi sosial sering membuat mereka merasa tertekan.
Jenis Kelamin
Menurut Hurlock (dalam Windi, 2014) ciri - ciri yang mendasar pada laki-laki dan
perempuan secara fisik perempuan dan laki-laki berbeda dalam beberapa segi. Perempuan
memiliki kemampuan untuk mengandung dan melahirkan anak, memiliki tulang pinggul
yang lebih besar dan kadar kandungan lemak yang lebih tinggi daripada laki-laki. Laki-
laki memiliki tubuh yang lebih kekar dan dada yang bidang, tenaga yang kuat dan otot-
otot yang lebih menonjol. Anak perempuan lebih dulu berkembang tetapi setelah
menginjak masa remaja, laju pertumbuhan fisik tidak sebesar laki-laki.
Perbedaan Sensation Seeking ditinjau dari Jenis Kelamin
-
8
Brizendine (dalam Rahmawaty, 2013) menyatakan hormon testosteron dan
progesteron diduga mampu mempengaruhi peningkatan agresifitas sehingga laki-laki
cenderung stabil ketika beraktivitas, sedangkan hormon estrogen diduga mempengaruhi
psikis dan perasaan perempuan pada kondisi tertentu. Kondisi-kondisi tertentu ini akan
berpengaruh secara psikis terhadap perilaku perempuan dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi maupun dalam menghadapi situasi sosial tertentu.
Dari pernyataan diatas nampak bahwa sensation seeking sangat dipengaruhi oleh
keadaan biologis dari individu. Didukung Zuckerman (dalam Grisnawati, 2006) sensation
seeking berkaitan dengan kondisi biologi pada individu, dimana kondisi biologis
mendorong kebutuhan individu untuk memperoleh sensasi dan variasi dalam hidupnya.
Dasar biologis ini akan dihubungkan dengan kuatnya refleksi terhadap stimulus dan
menguatnya respon terhadap stimulus tersebut. Hal ini terjadi diiringi tingginya hormon
seks (testosteron, esterogen, dan esterodial) dan adanya enzim yang merangsang hadirnya
kemampuan arousal (kemampuan pada seseorang untuk menyelesaikan sebuah aktivitas)
(Grisnawati, 2006). Hal ini lah yang sering diduga menjadi salah satu penyebab mengapa
laki-laki cenderung lebih sensation seeking daripada wanita. Karena laki-laki dalam hal
biologis memiliki hormon seks (testosteron,esterogen, dan esterodial) yang membuat
sensation seeking meningkat.
Selain faktor biologis terdapat pula faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat
sensation seeking. Antara lain adalah modelling. Modelling dapat mempengaruhi tipe dan
tingkatan stimuli yang dicari oleh individu. Zuckerman 1994 (dalam Amanta, 2009)
menyatakan bahwa tipe kepribadian pencari sensasi didapat melalui sosialisasi. Hasil
pembelajaran sosial (social learning) merupakan faktor yang juga mempengaruhi dan
‘mengajarkan’ individu untuk menyukai sensasi dan perilaku mencari sensasi tertentu.
Faktor lingkungan dan pembelajaran sosial ini kemudian diprediksi sebagai 40%
-
9
kemungkinan seseorang untuk terstimulus dalam memiliki trait sensation seeking dan
kebutuhan pencarian sensasi lainnya. Observasi dan imitasi pada orangtua, teman, dan
significant others memungkinkan seseorang untuk mempelajari perilaku yang cenderung
mencari sensasi, baik secara tinggi maupun rendah.
Hipotesis : Ada perbedaan signifikan sensation seeking antara pendaki gunung
laki-laki dengan pendaki gunung perempuan.
-
10
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif.
Variabel-variabel yang akan dilibatkan dalam penelitian ini adalah:
a. Variabel terikat (Y) : Sensation Seeking
b. Variabel bebas (X) : Jenis Kelamin
Subjek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah para pendaki gunung lebih dari satu kali dan
akan memulai pendakiannya dari pos pendakian Kalibaru, Raung dalam rentang waktu
tanggal 1-3 Juni 2016. Berdasarkan populasi pendaki gunung merbabu di jalur pendakian
Raung setiap bulannya, penulis mengambil sampel dalam penelitian ini berjumlah 80
orang. Dengan teknik yang digunakan adalah purposive sampling yaitu pengambilan
sampel yang didasarkan pada kriteria tertentu (Sugiyono, 2010).
Karakteristik subjek meliputi:
1. Individu (laki-laki dan perempuan) yang mempunyai hobi atau profesi atau berolah
raga mendaki gunung (meliputi kegiatan berjalan (walking) dan hiking, backpacking
serta memanjat (climbing) di Gunung Raung.
2. Sudah pernah mendaki gunung lebih dari satu kali
Alat Ukur Penelitian
Teknik Pengumpulan data adalah dengan menggunakan skala Sensation Seeking)
yang disusun oleh Zuckerman yang dimodifikasi oleh Widya (2009). Dengan berdasarkan
aspek-aspek sensation seeking yaitu: Thrill and adventure seeking, Experience seeking,
Disinhibition dan Boredom Susceptibility. Skala sensation seeking menggunakan 4 poin
-
11
skala likert, dimana 1 menunjukkan sangat tidak sesuai dan 4 menunjukkan sangat sesuai
2 menunjukkan tidak sesuai dan 3 menunjukkan sesuai.
Selanjutnya alat ukur yang digunakan diuji kembali dengan uji daya diskriminasi
item dan reliabilitas menggunakan bantuan SPSS.22 for Windows dengan standar
validitas.
Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas Skala Sensation
Seeking yang terdiri dari 53 item, pada pengujian pertama terdapat 13 item yang gugur
dan setelah melakukan pengujian ulang dengan menngeluarkan item yang gugur
didapatkan 3, kemudian dilakukan lagi pengujian ulang dengan menhilangkan item yang
gugur dan mendapatkan 1 item. Sehingga telah ditemukan sebanyak 36 item yang valid.
Daya diskriminasi item dengan koefisien korelasi item totalnya bergerak antara (0,920-
0,942). Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan
teknik koefisien Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha pada Skala
Sensation Seeking sebesar 0,920 pada pengujian yang pertama dan 0,939 pada pengujian
yang kedua dan kemudian sebesar 0,942 pada pengujian yang ke tiga. Hal ini
menunjukkan bahwa skala sensation seeking tergolong reliable.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji t (Independent Sample
t test) dengan bantuan SPSS. 22 for Windows.
-
12
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisis Deskriptif
Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan standar
deviasi sebagai hasil pengukuran skala sensation seeking pada pendaki gunung laki-laki
dan perempuan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1
Tabel Statistik Deskriptif
Kategori Skor Sensation Seeking Laki-laki dan Perempuan
Interval Kategori Laki-laki % Perempuan %
122,4≤x≤144 Sangat Tinggi - 0% - 0%
100,8≤x
-
13
sedang, sebanyak 21 (52,5%) pendaki gunung laki-laki tergolong memiliki skor
sensation seeking pada kategori rendah dan 6 (15%) pendaki gunung laki-laki tergolong
memiliki skor sensation seeking pada kategori sangat rendah. Dalam hal ini sensation
seeking pendaki gunung laki-laki tergolong rendah.
Kemudian dari data tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 1 (2,5%) pendaki
gunung perempuan tergolong memiliki skor sensation seeking pada kategori tinggi,
sebanyak 4 (10%) pendaki gunung perempuan tergolong memiliki skor sensation seeking
pada kategori sedang, sebanyak 18 (45%) pendaki gunung perempuan tergolong
memiliki skor sensation seeking pada kategori rendah dan 17 (42,5%) pendaki gunung
perempuan tergolong memiliki skor sensation seeking pada kategori sangat rendah.
Dalam hal ini sensation seeking pendaki gunung perempuan tergolong rendah.
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Dalam
skala sensation seeking pada kelompok laki-laki diperoleh nilai K-S-Z sebesar 0,061
dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,200 (p>0,05). Sedangkan sensation
seeking pada kelompok perempuan memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,096 dengan
probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,200 (p>0,05). Dengan demikian kedua jenis
kelompok berdistribusi normal. Uji homogenitas dari sampel motivasi pada kelompok
laki-laki dan motivasi pada kelompok perempuan menunjukkan bahwa nilai koefisien
Levene Statistic sebesar 0,287. Dengan signifikansi sebesar 0,593 (p>0,05) sehingga dapat
dikatakan bahwa varians yang dimiliki bersifat homogen.
Uji beda dari perhitungan uji-t, dapat dilihat pada tabel berikut:
-
14
Tabel 2
Tabel Hasil Uji-t Sensation Seeking Pada Pendaki Gunung Laki-laki dan
Perempuan
Independent Samples TestLevene's Testfor Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t DfSig. (2-tailed)
MeanDifference
Std. ErrorDifference
95%Confidence
Interval of theDifference
Lower UpperSensationseeking
Equalvariancesassumed
,287 ,593 3,414 78 ,001 11,700 3,427 4,878 18,522
Equalvariances notassumed
3,414 77,428 ,001 11,700 3,427 4,877 18,523
Hasil perhitungan uji beda (uji-t), diperoleh nilai t-hitung adalah sebesar 3,414
dengan signifikansi = 0,001 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
sensation seeking antara laki-laki dan perempuan.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisa data penelitian mengenai perbedaan sensation seeking
pada pendaki gunung laki-laki dan perempuan menggunakan program SPSS versi 22,
diperoleh t hitung 3,414 dengan signifikasi 0,001 < 0,05. Berdasarkan hasil rata-rata
sensation seeking pendaki gunung laki-laki memiliki rata-rata 73,55 lebih tinggi daripada
rata-rata pendaki gunung perempuan yaitu 61,85. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan sensation seeking pada pendaki gunung laki-laki dan
perempuan. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang dibuat oleh peneliti.
-
15
Adapun faktor yang mempengaruhi perbedaan Sensation seeking laki-laki dengan
perempuan antara lain adalah modeling .Modelling dapat mempengaruhi tipe dan
tingkatan stimuli yang dicari oleh individu. Zuckerman 1994 (Amanta 2009) menyatakan
bahwa tipe kepribadian pencari sensasi didapat melalui sosialisasi. Hasil pembelajaran
sosial (social learning) merupakan faktor yang juga mempengaruhi dan ‘mengajarkan’
individu untuk menyukai sensasi dan perilaku mencari sensasi tertentu. Faktor
lingkungan dan pembelajaran sosial ini kemudian diprediksi sebagai 40% kemungkinan
seseorang untuk terstimulus dalam memiliki trait sensation seeking dan kebutuhan
pencarian sensasi lainnya. Observasi dan imitasi pada orangtua, teman, dan significant
others memungkinkan seseorang untuk mempelajari perilaku yang cenderung mencari
sensasi, baik secara tinggi maupun rendah. Menurut Darling 1999 (dalam Amanta,2009)
jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orang tua mengambil tindakan pada anak
dalam pengasuhannya. Umumnya orang tua akan bersikap lebih ketat pada anak
perempuan dan memberi kebebasan lebih pada anak laki-laki. Namun tanggung jawab
yang besar diberikan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.
Hal ini berkaitan dengan remaja laki-laki lebih memperoleh kesempatan untuk
mempunyai kemandirian dan untuk bertualang, lebih menuntut untuk memajukan inisiatif
originalitas dibanding dengan perempuan (Hurlock, 2000). Dimana biasanya remaja laki-
laki lebih bisa memperoleh kesempatan untuk melakukan segala aktivitas bahkan
aktivitas yang mengandung risiko bahaya fisik dengan mandiri dibandingkan dengan
perempuan yang cenderung diberikan batasan-batasan tertentu ketika ingin melakukan
aktivitas apalagi aktivitas yang mengandung risiko bahasa fisik. Windi (2014) Remaja
laki–laki lebih dominan dalam mencari sensasi melalui aktivitas tertentu yang bertujuan
untuk mendapatkan pengalaman baru melalui pikiran dan sensasi melalui aktivitas
mengandung resiko tinggi, musik atau aktivitas yang menolak kebiasaan umum. Salah
-
16
satunya, banyak dari remaja laki–laki lebih menyukai kegiatan mendaki gunung atau
kegiatan-kegiatan yang mengandung risiko lainnya. Mereka melakukan aktivitas-
aktivitas ini dengan berbagai cara seperti mendaki gunung, backpacking, dll. Sedangkan
banyak dari remaja perempuan lebih suka melakukan kegiatan yang tidak mengandung
risiko yang tinggi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas tentang perbedaan sensation
seeking pada pendaki gunung laki-laki dan perempuan , maka dapat disimpulkan :
1. Bahwa ada perbedaan sensation seeking pada pendaki gunung laki-laki dan
perempuan.
2. Sebagian besar pendaki gunung laki-laki berada di kategori sedang dan rendah
sedangkan pendaki gunung wanita sebagian besar berada di kategori sangat rendah.
SARAN
Setelah penulis melakukan penelitian dan pengamatan langsung dilapangan serta
melihat hasil penelitian yang ada, maka berikut ini beberapa saran yang penulis ajukan:
1. Bagi subjek penelitian
Bagi subjek penelitian diharapkan dapat menyeimbangkan sensation seeking yang
dimilikinya dengan kemampuan (skill) yang dimilki oleh setiap individu.
2. Bagi penelitian selanjutanya
Bagi penelitian selanjutanya diharapkan dapat melakukan penelitian serupa dengan
menambahkan variabel-variabel yang bekaitan dengan topik penelitian seperti usia,
perilaku beresiko, interaksi sosial.dimana perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
mengenai tipe sensation seeking. Minimnya penelitian mengenai sensation seeking
di Indonesia membatasi peneliti dalam mendapatkan tinjauan kepustakaan. Apabila
-
17
penelitian mengenai sensation seeking bertambah, maka bertambah pula literatur
atau bahan bagi yang membutuhkan untuk kepentingan penelitian lainnya.
-
18
DAFTAR PUSTAKA
Ackerman, A., Gomez, E., & Hill, E. (2007). An exploration a sel efficacy as a motivationfor rock climbing and its impact on frequency of climbs [Halaman Internet].Journal online. Diunduh melalui www.treesearch.fs.fd.us/pubs/13894
Amanta (2009). Hubungan sensation seeking dengan prestasi akademik mahasiswafakultas psikologi Universitass Islam Negeri Jakarta [Halaman Internet]. Journalonline. Diunduh melaluihttp://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28223/1/FACHDI%20AMANTA-PSI.pdf
Catros. (2007). Naik-Naik Ke Puncak Gunung. Diunduh melaluihttp://catros.wordpress.com/2007/05/16/naik-naik-ke-puncak-gunung/
Daulay, Harmona (2007). Perempuan dalam kemelut gender. USU Press
Elizabeth, C, Jennifer, W, Laurece,S, Dustin A, Marie, B, Sandra, G.(2008). AgeDifferences in Sensation Seeking and Impulsivity as Indexed by Behaviorand Self-Report: Evidence for a Dual Systems Model. Journal developmentPsychology, 44 (6) :1764 – 1778.
Grisnawati, Yuliana. (2006). Hubungan antara psychological capital dan sensationseeking dengan minta berwirausaha SMK YPM 3 TAMAN SIDOARJO.Skripsi : tidak diterbitkan. Surabaya : Fakultas Psikologi Institut AgamaIslam Negeri Sunan Ampel
Halonen, J. S., & Santrock, J. W. (1999). Psychology context application 3rd Edition.USA: MC Graw Hill College
Joireman, J., Anderson, J., & Strathman, A. (2003). The aggression paradox:Understanding links among aggression, sensation seeking, and the considerationof future consequences.Journal of Personality and Social Psychology,84, 1287–1302. Diunduh melaluihttps://www.researchgate.net/publication/10718844_The_Aggression_Paradox_Understanding_Links_Among_Aggression_Sensation_Seeking_and_the_Consideration_of_Future_Consequences.pdf
Jonathan.W.R.(2004). A Review Of Behavioral And Biological Correlates OfSensation Seeking. Journal of research in personality. 38 : 256 - 279.
Larsen, J. R., & Buss, D. (2005). Personality psychology demans of knowledge abouthuman nature 2nd Edition. USA: Hill International
Padan, W.H. (2009). Pengaruh sensation seeking dan self efficacy terhadap motivasimendaki gunung pada para pendaki gunung. Skripsi Fakultas PsikologiUniversitas Kristen Satya Wacana.
Petri, H.L., & Govern, J.M. (2004). Motivation, theory, research and aplication 5nd
Edition. USA: Wadsword
-
19
Rahmawaty.P. (2013). Penyesuaian Diri Laki – Laki dan Perempuan denganMengendalikan Variable Sense Of Humor. Journal Online Psikologi, 01 (02) :464 - 479.
Sadewa (2012). Kematangan emosi pada pendaki gunung ditinjau dari jenis kelamin[Halaman Internet]. Journal online. Diunduh melaluihttps://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjArpK8jvLNAhUJJpQKHbkBCBQQFggaMAA&url=http%3A%2F%2Frepository.wima.ac.id%2F1720%2F7%2FBab%25201.pdf&usg=AFQjCNG1jEqMciDFE1sEnh-fzi8B6KZoCg&sig2=fCW9F8OGIogP_z2cJJP_bw.
Stojan Burnik, Snežana Jug, Tanja Kajtna (2008). Sensation seeking in slovenian femaleand male mountain climbers. Journal online. Diunduh melaluihttp://gymnica.upol.cz/pdfs/gym/2008/03/02.pdf
Washington State Magazine (2012). Sensation Seeking Scale Form V. Diunduh melaluihttp://www.age-ility.org.au/files/SSS.pdf
Windi (2014). Perbedaan sensation seeking antar remaja laki-laki dan perempuan diSMAN Malang. Journal online. Diunduh melalui http://psikologi.ub.ac.id/wp-content/uploads/2014/09/Jurnal-Psikologi-Nadia-Windi-UB.pdf