perbedaan sensation seeking pada pendaki ......di indonesia, kegiatan mendaki gunung baru dikenal...

29
PERBEDAAN SENSATION SEEKING PADA PENDAKI GUNUNG DITINJAU DARI JENIS KELAMIN OLEH MAHENDRA CATUR BAGAS PRAKOSO 802012110 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016

Upload: others

Post on 20-Oct-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PERBEDAAN SENSATION SEEKING PADA PENDAKI GUNUNG

    DITINJAU DARI JENIS KELAMIN

    OLEH

    MAHENDRA CATUR BAGAS PRAKOSO

    802012110

    TUGAS AKHIR

    Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari PersyaratanUntuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

    Program Studi Psikologi

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2016

  • PERBEDAAN SENSATION SEEKING PENDAKI GUNUNG

    DITINJAU DARI JENIS KELAMIN

    Mahendra Catur Bagas Prakoso

    Heru Astikasari S. Murti

    Program Studi Psikologi

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2016

  • i

    Abstrak

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan sensation seeking pendaki gunung

    ditinjau dari jenis kelamin. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Subjek

    penelitian berjumlah 80 orang yang dibagi menjadi dua yaitu 40 pendaki laki-laki dan 40

    pendaki perempuan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive

    sampling. Data penelitian diambil menggunakan skala sensation seeking terdiri dari 53

    item dimana terdapat 17 item gugur dan terdapat36 item yang dinyatakan lolos seleksi

    daya diskriminasi item dengan koefisien alpha cronbachnya 0,942. Berdasarkan uji

    perbedaan menggunakan uji t diperoleh nilai t = 3,414 (p

  • ii

    Abstract

    The purpose of the research is to know about differences of sensation seeking

    mountaineers judging from gender. The type of research is quantitative research. The

    research subjects are 80 mountaineers that divided to 2 groups, 40 male and 40 female.

    Sampling technique used is purposive sampling. Data research is taken with sensation

    seeking scale, which is consisted of 53 items where 17 items fall and 36 items that got

    away of from item discrimination power with alpha cronbach’s coefficient is 0,942.

    According to difference we got t = 3,414 (p

  • 1

    PENDAHULUAN

    Keinginan manusia untuk mendaki gunung sudah muncul pada abad 19, ketika di

    Swiss mulai mendaki gunung-gunung untuk mencapai puncaknya. Edward Whymper,

    seorang berkebangsaan Inggris, adalah orang pertama yang berhasil mencapai puncak

    gunung Matterhorn dengan ketinggian 4474 m di Swiss pada tahun 1865. Dalam sejarah

    dunia, pendakian gunung tertinggi pertama kalinya terjadi dengan pencapaian puncak

    everest di Nepal dengan ketinggian 8848 m oleh Sir Edmund Hillary, pendaki gunung

    asal New Zealand dan Tenzing Norgey, seorang sherpa (pemandu atau porter di

    pegunungan Himalaya) asal Tibet pada tahun 1953 (Catros, 2007)

    Di Indonesia, kegiatan mendaki gunung baru dikenal tahun 1964 ketika pendaki

    Indonesia dan Jepang melakukan suatu ekspedisi gabungan dan berhasil mencapai puncak

    Soekarno di pegunungan Jayawijaya, Irian Jaya (sekarang Papua). Mereka adalah

    Soedarto dan Soegirin dari Indonesia, serta Fred Atabe dari Jepang. Pada tahun yang

    sama, perkumpulan-perkumpulan pendaki gunung mulai lahir, dimulai dengan berdirinya

    perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung WANADRI di Bandung dan

    Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) di Jakarta, diikuti kemudian

    oleh perkumpulan-perkumpulan lainnya di berbagai kota di Indonesia. Pendakian gunung

    merupakan kegiatan yang biasa dilakukan secara pribadi maupun kelompok. Para pendaki

    biasanya mempunyai motivasi tertentu, bisa karena hobi, tertarik akan pesona gunung,

    ingin berpetualang, dan lain-lain menurut Yitno (dalam Sadewa, 2012)

    Hadayani (dalam Sadewa, 2012) mengatakan, berkegiatan di alam terbuka

    sebenarnya mengembangkan karakter bagi pelakunya, paling tidak rasa kecintaanya

    terhadap tanah air akan bertambah seperti melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok

    negeri dan mengenal bagian-bagian terdalam dari negeri ini akan menjadikan kecintaan

    orang terhadap tanah airnya meningkat. Hubungan persaudaraan yang terjalin, tanpa

  • 2

    membedakan ras, agama dan antar golongan adalah bagian terpenting dalam berkegiatan

    di alam terbuka. Seperti yang diungkapkan oleh Zuckerman (dalam Sadewa, 2012),

    kegiatan pecinta alam yang beresiko selalu diidentikan dengan dimensi risk taking

    (mereka yang berani menghadapi tantangan).

    Para peneliti mengkaji beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa

    seseorang memiliki motivasi mendaki gunung dari subskala motivasi, faktor-faktor

    tersebut antara lain: penyelamatan diri (escape), persaingan (competition), kontrol

    (control), self efficacy, sensation seeking, dan sosialisasi (socializing) (Ackerman & Hill,

    2007)

    Zuckerman dalam hasil penelitiannya (dalam Perti & Govern, 2004) menuliskan

    bahwa individu yang mempunyai level sensation seeking yang lebih tinggi dari

    kenyataannya lebih memilih situasi yang mempunyai resiko lebih besar dibandingkan

    dengan individu yang mempunyai tingkat sensation seeking rendah, situasi yang berisiko

    tersebut termasuk didalamnya pemilihan olah raga, pekerjaan dan hobi atau kesenangan

    yang berisiko, misalnya mendaki gunung, memanjat tebing, terbang layang, paracuting,

    terjun payung dan berbagai jenis perilaku berisiko lainnya.

    Pendakian gunung banyak dilakukan oleh orang-orang dengan tipikal dan karakter

    yang berbeda-beda, baik itu pria maupun wanita. Zuckerman (dalam Grisnawati, 2006)

    sensation seeking berkaitan dengan kondisi biologis pada individu, dimana kondisi

    biologis mendorong kebutuhan individu untuk memperoleh sensasi dan variasi dalam

    hidupnya. Dasar biologis dihubungkan dengan kuatnya refleksi terhadap stimulus dan

    menguatnya respon terhadap stimulus tersebut. Hal ini terjadi diiringi tingginya hormon

    seks (testosteron, esterogen, dan esterodial) dan adanya enzim yang merangsang hadirnya

    kemampuan arousal (kemampuan pada seseorang untuk menyelesaikan sebuah aktivitas)

    (Grisnawati, 2006).

  • 3

    Pendapat Zuckerman 1994 (dalam Amanta, 2009) mengenai kepribadian

    seseorang khususnya sensation seeking, dimana kecenderungan genetik dan lingkungan

    sosial berperan terhadap individu yang menajdi pencari sensasi (sensation seekers) atau

    pengambil resiko. Berdasarkan sudut pandang biologis, Eysenck (dalam schultz &

    Schultz, 2005), menyatakan bahwa 58% dari trait sensation seeking disumbangkan oleh

    faktor genetik.

    Penelitian yang dilakukan oleh Stojan Burnik, Snežana Jug, Tanja Kajtna (2008).

    Dari 33 pendaki gunung yang berpartisipasi dalam penelitian tersebut, terdapat 15 laki-

    laki dan 18 perempuan. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pendaki gunung laki-laki

    dan perempuan di Slovenia memiliki sensation seeking yang sama atau tidak memiliki

    perbedaan yang signifikan. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Windi (2014) di

    SMAN Malang. Hasil penelitian ini adalah terdapat perbedaan sensation seeking yang

    signifikan pada remaja laki-laki dan perempuan di SMAN Malang. Sensation seeking

    laki-laki lebih tinggi yang signifikan dibandingkan dengan perempuan. Hasil penelitian

    ini sejalan dengan penelitian Zuckerman (dalam Jonathan, 2004) mengenai adanya

    perbedaan sensation seeking yang ditinjau pada jenis kelamin. Zuckerman,

    Buchsbaum, dan Murphy (dalam Elizabeth dkk,2008) mengatakan sensation seeking

    ada hubungannya dengan tingkat testosteron, esterogen dan estradial antara laki–laki

    dan perempuan. Brizendine (dalam Rahmawaty, 2013) menyatakan hormon testosteron

    dan progesteron diduga mampu mempengaruhi peningkatan agresifitas sehingga laki-

    laki cenderung stabil ketika beraktivitas, sedangkan hormon estrogen diduga

    mempengaruhi psikis dan perasaan perempua. Tujuan penelitian ini adalah ingin

    mengetahui apakah ada perbedaan signifikan sensation seeking pada pendaki gunung

    ditinjau dari jenis kelamin.

  • 4

    Sensation seeking

    Menurut Zuckerman (dalam Joireman, Anderson & Strathman, 2003), Sensation

    seeking adalah sebuah kepribadian yang ditandai dengan pencarian suatu yang bervariasi,

    baru, kompleks serta perasaan dan pengalaman-pengalaman yang mendebarkan dan

    keinginan untuk mengambil bahaya-bahaya fisik dan sosial demi untuk pengalaman-

    pengalaman yang mendebarkan tersebut. Sedangkan Halonen dan Santrock (1999)

    menuliskan bahwa Sensation seeking adalah bentuk kepribadian yang ditandai dengan

    perilaku yang dimotivasi oleh kebutuhan pada suatu yang berbeda, baru dan sensasi

    pengalaman yang lengkap. Seseorang yang memiliki sensation seeking yang tinggi

    cenderung untuk lebih termotivasi untuk terlibat dalam perilaku yang berbahaya,

    pekerjaan yang memiliki risiko berbahaya yang tinggi (misalnya pemadam kebakaran,

    pilot) dan jenis-janis olahraga yang lebih ekstrem (Halonen & Santrock, 1999)

    Sensation seeking adalah kecenderungan untuk mencari aktifitas yang

    mendebarkan dan menarik, untuk mencari risiko dan untuk menghindar dari kejenuhan

    atau kebosanan (Larsen & Buss, 2005). Teori ini berkembang dari penelitian mengenai

    sensory deprivation (kehilangan sensoris, rangsangan minimal dari organ-organ perasaan

    yang mengalami eliminasi eksperimental, yaitu semua atau sebagian besar dari stimuli

    atau rangsangan sengaja dihilangkan yang dilakukan oleh Hebb pada tahun 1955 (dalam

    Larsen & Buss, 2005). Dalam penelitiannya ini ia menemukan bahwa seseorang dalam

    lingkungan yang tidak memberikan rangsangan sensoris termotivasi untuk memperoleh

    masukan sensoris apapun meskipun hal itu termasuk masukan atau input yang diterima

    seperti kebosanan, Hebb mengatakan bahwa setiap orang selalu termotivasi untuk

    mencari suatu ketegangan dan rangsangan.

    Tidak lama setelah penelitian Hebb mengenai sensory deprivation, Zuckerman

    dan Habber pada tahun 1965 (dalam Larsen & Buss, 2005) mengungkapkan bahwa tidak

  • 5

    semua orang merasakan suatu tekanan yang sama jika berada dalam kondisi tidak adanya

    stimulus sensoris. Zuckerman percaya bahwa setiap orang memiliki kebutuhan utama

    yang tinggi pada sensasi karena mereka kurang dapat menerima atau memaklumi suatu

    kekurangan atau kehilangan (deprivation). Zuckerman menyebut hal tersebut sebagai

    sensation seeker karena pencarian yang terus menerus terhadap suatu rangsangan, tidak

    hanya dalam penelitian sensory deprivation saja tetapi dalam keseharian di sepanjang

    kehidupan.

    Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa Sensation seeking merupakan suatu bentuk

    kepribadian yang cenderung untuk melakukan aktifitas yang mendebarkan dan menarik,

    untuk mencari risiko dan untuk menghindar dari kejenuhan atau kebosanan hal ini

    ditandai dari perilaku yang lebih termotivasi untuk terlibat dalam perilaku yang

    berbahaya, pekerjaan yang memiliki risiko berbahaya yang tinggi misalnya pemadam

    kebakaran, pilot) dan jenis-jenis olahraga yang lebih ekstrem (misalnya panjat tebing,

    mendaki gunung, terbang layang, dan lain-lain).

    Dimensi-dimensi Sensation Seeking

    Adapun dimensi-dimensi dari sensation seeking menurut Zuckerman (Larsen &

    Buss, 2005) adalah:

    a. Pencarian getaran jiwa dan petualangan (thrill and adventure seeking)

    Berhubungan dengan keinginan-keinginan untuk mengerjakan aktivitas-aktivitas

    yang mengandung risiko bahaya fisik seperti mengikuti jenis-jenis olahraga berisiko

    tinggi termasuk juga keinginan untuk melakukan kegiatan atau olah raga yang

    menghasilkan suatu perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman yang tidak biasa

    meskipun hal tersebut mengandung risiko yang membahayakan. Contohnya olahraga ski

  • 6

    air, panjat tebing, mendaki gunung, terjun payung, terbang layang dan mengikuti balapan

    motor atau mobil.

    b. Pencarian pengalaman (experience seeking)

    Berhubungan dengan kebutuhan pada hal-hal baru dan menarik dan hal tersebut

    berhubungan dengan semua jenis aktivitas yang mengandung risiko, menikmati

    pengalaman-pengalaman yang baru, melakukan perjalanan di tempat-tempat yang baru

    dan menarik, mendengarkan musik-musik yang tidak biasa, sering mencoba-coba dengan

    obat-obatan terlarang (drugs) atau menjalani gaya hidup yang tidak seperti orang pada

    umumnya.

    c. Ketidakmampuan / ketidakmauan menghambat dorongan (disinhibition)

    Berhubungan dengan keinginan-keinginan untuk melakukan perilaku-perilaku

    yang mengandung risiko sosial maupun kesehatan, misalnya minum-minuman keras dan

    perilaku seksual yang berbahaya (unprotected sex).

    d. Kerentanan terhadap Rasa Bosan (Boredom Susceptibility)

    Berhubungan dengan perasaan yang tidak toleran pada keadaan atau aktivitas

    yang sama terus menerus, sesuatu yang mudah ditebak, dan segala sesuatu yang tidak

    pernah berubah.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi Sensation seeking

    Zuckerman, 1994 (dalam Petri & Govern, 2004) menjelaskan hal-hal yang

    mempengaruhi sensation seeking, antara lain:

    a. Usia

    Puncak level sensation seeking lebih tinggi pada usia remaja akhir atau pada usia

    20an tahun, dan cenderung menurun seiring dengan bertambahnya usia.

    b. Jenis kelamin

  • 7

    Individu yang berjenis kelamin laki-laki cenderung mempunyai tingkat sensation

    seeking yang lebih tinggi dibandingkan pada individu yang berjenis kelamin perempuan.

    Hormon testosteron berperan dalam hal ini.

    c. Risk Behavior (perilaku berisiko)

    Perilaku berisiko selalu dihubungkan dengan tingkat sensation seeking, individu

    yang mempunyai tingkat sensation seeking yang lebih tinggi cenderung selalu

    menempatkan diri pada situasi yang lebih berisiko dibandingkan dengan individu yang

    mempunyai tingkat sensation seeking yang lebih rendah, hal ini mempengaruhipilihan

    olahraga yang diminati juga pilihan pekerjaan yang “tidak biasa” (mengandung risiko).

    d. Interaksi Sosial

    Individu yang mempunyai tingkat sensation seeking yang tinggi cenderung

    melihat interaksi sosial sebagai pengalaman yang positif dan lebih menunjukkan reaksi

    emosinya pada situasi sosial dibandingkan pada individu yang mempunyai tingkat

    sensation seeking rendah, situasi sosial sering membuat mereka merasa tertekan.

    Jenis Kelamin

    Menurut Hurlock (dalam Windi, 2014) ciri - ciri yang mendasar pada laki-laki dan

    perempuan secara fisik perempuan dan laki-laki berbeda dalam beberapa segi. Perempuan

    memiliki kemampuan untuk mengandung dan melahirkan anak, memiliki tulang pinggul

    yang lebih besar dan kadar kandungan lemak yang lebih tinggi daripada laki-laki. Laki-

    laki memiliki tubuh yang lebih kekar dan dada yang bidang, tenaga yang kuat dan otot-

    otot yang lebih menonjol. Anak perempuan lebih dulu berkembang tetapi setelah

    menginjak masa remaja, laju pertumbuhan fisik tidak sebesar laki-laki.

    Perbedaan Sensation Seeking ditinjau dari Jenis Kelamin

  • 8

    Brizendine (dalam Rahmawaty, 2013) menyatakan hormon testosteron dan

    progesteron diduga mampu mempengaruhi peningkatan agresifitas sehingga laki-laki

    cenderung stabil ketika beraktivitas, sedangkan hormon estrogen diduga mempengaruhi

    psikis dan perasaan perempuan pada kondisi tertentu. Kondisi-kondisi tertentu ini akan

    berpengaruh secara psikis terhadap perilaku perempuan dalam menyelesaikan

    permasalahan yang dihadapi maupun dalam menghadapi situasi sosial tertentu.

    Dari pernyataan diatas nampak bahwa sensation seeking sangat dipengaruhi oleh

    keadaan biologis dari individu. Didukung Zuckerman (dalam Grisnawati, 2006) sensation

    seeking berkaitan dengan kondisi biologi pada individu, dimana kondisi biologis

    mendorong kebutuhan individu untuk memperoleh sensasi dan variasi dalam hidupnya.

    Dasar biologis ini akan dihubungkan dengan kuatnya refleksi terhadap stimulus dan

    menguatnya respon terhadap stimulus tersebut. Hal ini terjadi diiringi tingginya hormon

    seks (testosteron, esterogen, dan esterodial) dan adanya enzim yang merangsang hadirnya

    kemampuan arousal (kemampuan pada seseorang untuk menyelesaikan sebuah aktivitas)

    (Grisnawati, 2006). Hal ini lah yang sering diduga menjadi salah satu penyebab mengapa

    laki-laki cenderung lebih sensation seeking daripada wanita. Karena laki-laki dalam hal

    biologis memiliki hormon seks (testosteron,esterogen, dan esterodial) yang membuat

    sensation seeking meningkat.

    Selain faktor biologis terdapat pula faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat

    sensation seeking. Antara lain adalah modelling. Modelling dapat mempengaruhi tipe dan

    tingkatan stimuli yang dicari oleh individu. Zuckerman 1994 (dalam Amanta, 2009)

    menyatakan bahwa tipe kepribadian pencari sensasi didapat melalui sosialisasi. Hasil

    pembelajaran sosial (social learning) merupakan faktor yang juga mempengaruhi dan

    ‘mengajarkan’ individu untuk menyukai sensasi dan perilaku mencari sensasi tertentu.

    Faktor lingkungan dan pembelajaran sosial ini kemudian diprediksi sebagai 40%

  • 9

    kemungkinan seseorang untuk terstimulus dalam memiliki trait sensation seeking dan

    kebutuhan pencarian sensasi lainnya. Observasi dan imitasi pada orangtua, teman, dan

    significant others memungkinkan seseorang untuk mempelajari perilaku yang cenderung

    mencari sensasi, baik secara tinggi maupun rendah.

    Hipotesis : Ada perbedaan signifikan sensation seeking antara pendaki gunung

    laki-laki dengan pendaki gunung perempuan.

  • 10

    METODE PENELITIAN

    Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif.

    Variabel-variabel yang akan dilibatkan dalam penelitian ini adalah:

    a. Variabel terikat (Y) : Sensation Seeking

    b. Variabel bebas (X) : Jenis Kelamin

    Subjek Penelitian

    Populasi dalam penelitian ini adalah para pendaki gunung lebih dari satu kali dan

    akan memulai pendakiannya dari pos pendakian Kalibaru, Raung dalam rentang waktu

    tanggal 1-3 Juni 2016. Berdasarkan populasi pendaki gunung merbabu di jalur pendakian

    Raung setiap bulannya, penulis mengambil sampel dalam penelitian ini berjumlah 80

    orang. Dengan teknik yang digunakan adalah purposive sampling yaitu pengambilan

    sampel yang didasarkan pada kriteria tertentu (Sugiyono, 2010).

    Karakteristik subjek meliputi:

    1. Individu (laki-laki dan perempuan) yang mempunyai hobi atau profesi atau berolah

    raga mendaki gunung (meliputi kegiatan berjalan (walking) dan hiking, backpacking

    serta memanjat (climbing) di Gunung Raung.

    2. Sudah pernah mendaki gunung lebih dari satu kali

    Alat Ukur Penelitian

    Teknik Pengumpulan data adalah dengan menggunakan skala Sensation Seeking)

    yang disusun oleh Zuckerman yang dimodifikasi oleh Widya (2009). Dengan berdasarkan

    aspek-aspek sensation seeking yaitu: Thrill and adventure seeking, Experience seeking,

    Disinhibition dan Boredom Susceptibility. Skala sensation seeking menggunakan 4 poin

  • 11

    skala likert, dimana 1 menunjukkan sangat tidak sesuai dan 4 menunjukkan sangat sesuai

    2 menunjukkan tidak sesuai dan 3 menunjukkan sesuai.

    Selanjutnya alat ukur yang digunakan diuji kembali dengan uji daya diskriminasi

    item dan reliabilitas menggunakan bantuan SPSS.22 for Windows dengan standar

    validitas.

    Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas Skala Sensation

    Seeking yang terdiri dari 53 item, pada pengujian pertama terdapat 13 item yang gugur

    dan setelah melakukan pengujian ulang dengan menngeluarkan item yang gugur

    didapatkan 3, kemudian dilakukan lagi pengujian ulang dengan menhilangkan item yang

    gugur dan mendapatkan 1 item. Sehingga telah ditemukan sebanyak 36 item yang valid.

    Daya diskriminasi item dengan koefisien korelasi item totalnya bergerak antara (0,920-

    0,942). Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan

    teknik koefisien Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan koefisien Alpha pada Skala

    Sensation Seeking sebesar 0,920 pada pengujian yang pertama dan 0,939 pada pengujian

    yang kedua dan kemudian sebesar 0,942 pada pengujian yang ke tiga. Hal ini

    menunjukkan bahwa skala sensation seeking tergolong reliable.

    Teknik Analisis Data

    Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji t (Independent Sample

    t test) dengan bantuan SPSS. 22 for Windows.

  • 12

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil Analisis Deskriptif

    Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan standar

    deviasi sebagai hasil pengukuran skala sensation seeking pada pendaki gunung laki-laki

    dan perempuan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

    Tabel 1

    Tabel Statistik Deskriptif

    Kategori Skor Sensation Seeking Laki-laki dan Perempuan

    Interval Kategori Laki-laki % Perempuan %

    122,4≤x≤144 Sangat Tinggi - 0% - 0%

    100,8≤x

  • 13

    sedang, sebanyak 21 (52,5%) pendaki gunung laki-laki tergolong memiliki skor

    sensation seeking pada kategori rendah dan 6 (15%) pendaki gunung laki-laki tergolong

    memiliki skor sensation seeking pada kategori sangat rendah. Dalam hal ini sensation

    seeking pendaki gunung laki-laki tergolong rendah.

    Kemudian dari data tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 1 (2,5%) pendaki

    gunung perempuan tergolong memiliki skor sensation seeking pada kategori tinggi,

    sebanyak 4 (10%) pendaki gunung perempuan tergolong memiliki skor sensation seeking

    pada kategori sedang, sebanyak 18 (45%) pendaki gunung perempuan tergolong

    memiliki skor sensation seeking pada kategori rendah dan 17 (42,5%) pendaki gunung

    perempuan tergolong memiliki skor sensation seeking pada kategori sangat rendah.

    Dalam hal ini sensation seeking pendaki gunung perempuan tergolong rendah.

    Uji Asumsi

    Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas. Dalam

    skala sensation seeking pada kelompok laki-laki diperoleh nilai K-S-Z sebesar 0,061

    dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,200 (p>0,05). Sedangkan sensation

    seeking pada kelompok perempuan memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,096 dengan

    probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,200 (p>0,05). Dengan demikian kedua jenis

    kelompok berdistribusi normal. Uji homogenitas dari sampel motivasi pada kelompok

    laki-laki dan motivasi pada kelompok perempuan menunjukkan bahwa nilai koefisien

    Levene Statistic sebesar 0,287. Dengan signifikansi sebesar 0,593 (p>0,05) sehingga dapat

    dikatakan bahwa varians yang dimiliki bersifat homogen.

    Uji beda dari perhitungan uji-t, dapat dilihat pada tabel berikut:

  • 14

    Tabel 2

    Tabel Hasil Uji-t Sensation Seeking Pada Pendaki Gunung Laki-laki dan

    Perempuan

    Independent Samples TestLevene's Testfor Equality of

    Variances t-test for Equality of Means

    F Sig. t DfSig. (2-tailed)

    MeanDifference

    Std. ErrorDifference

    95%Confidence

    Interval of theDifference

    Lower UpperSensationseeking

    Equalvariancesassumed

    ,287 ,593 3,414 78 ,001 11,700 3,427 4,878 18,522

    Equalvariances notassumed

    3,414 77,428 ,001 11,700 3,427 4,877 18,523

    Hasil perhitungan uji beda (uji-t), diperoleh nilai t-hitung adalah sebesar 3,414

    dengan signifikansi = 0,001 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

    sensation seeking antara laki-laki dan perempuan.

    PEMBAHASAN

    Berdasarkan hasil analisa data penelitian mengenai perbedaan sensation seeking

    pada pendaki gunung laki-laki dan perempuan menggunakan program SPSS versi 22,

    diperoleh t hitung 3,414 dengan signifikasi 0,001 < 0,05. Berdasarkan hasil rata-rata

    sensation seeking pendaki gunung laki-laki memiliki rata-rata 73,55 lebih tinggi daripada

    rata-rata pendaki gunung perempuan yaitu 61,85. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan

    bahwa terdapat perbedaan sensation seeking pada pendaki gunung laki-laki dan

    perempuan. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang dibuat oleh peneliti.

  • 15

    Adapun faktor yang mempengaruhi perbedaan Sensation seeking laki-laki dengan

    perempuan antara lain adalah modeling .Modelling dapat mempengaruhi tipe dan

    tingkatan stimuli yang dicari oleh individu. Zuckerman 1994 (Amanta 2009) menyatakan

    bahwa tipe kepribadian pencari sensasi didapat melalui sosialisasi. Hasil pembelajaran

    sosial (social learning) merupakan faktor yang juga mempengaruhi dan ‘mengajarkan’

    individu untuk menyukai sensasi dan perilaku mencari sensasi tertentu. Faktor

    lingkungan dan pembelajaran sosial ini kemudian diprediksi sebagai 40% kemungkinan

    seseorang untuk terstimulus dalam memiliki trait sensation seeking dan kebutuhan

    pencarian sensasi lainnya. Observasi dan imitasi pada orangtua, teman, dan significant

    others memungkinkan seseorang untuk mempelajari perilaku yang cenderung mencari

    sensasi, baik secara tinggi maupun rendah. Menurut Darling 1999 (dalam Amanta,2009)

    jenis kelamin anak mempengaruhi bagaimana orang tua mengambil tindakan pada anak

    dalam pengasuhannya. Umumnya orang tua akan bersikap lebih ketat pada anak

    perempuan dan memberi kebebasan lebih pada anak laki-laki. Namun tanggung jawab

    yang besar diberikan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

    Hal ini berkaitan dengan remaja laki-laki lebih memperoleh kesempatan untuk

    mempunyai kemandirian dan untuk bertualang, lebih menuntut untuk memajukan inisiatif

    originalitas dibanding dengan perempuan (Hurlock, 2000). Dimana biasanya remaja laki-

    laki lebih bisa memperoleh kesempatan untuk melakukan segala aktivitas bahkan

    aktivitas yang mengandung risiko bahaya fisik dengan mandiri dibandingkan dengan

    perempuan yang cenderung diberikan batasan-batasan tertentu ketika ingin melakukan

    aktivitas apalagi aktivitas yang mengandung risiko bahasa fisik. Windi (2014) Remaja

    laki–laki lebih dominan dalam mencari sensasi melalui aktivitas tertentu yang bertujuan

    untuk mendapatkan pengalaman baru melalui pikiran dan sensasi melalui aktivitas

    mengandung resiko tinggi, musik atau aktivitas yang menolak kebiasaan umum. Salah

  • 16

    satunya, banyak dari remaja laki–laki lebih menyukai kegiatan mendaki gunung atau

    kegiatan-kegiatan yang mengandung risiko lainnya. Mereka melakukan aktivitas-

    aktivitas ini dengan berbagai cara seperti mendaki gunung, backpacking, dll. Sedangkan

    banyak dari remaja perempuan lebih suka melakukan kegiatan yang tidak mengandung

    risiko yang tinggi.

    KESIMPULAN

    Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas tentang perbedaan sensation

    seeking pada pendaki gunung laki-laki dan perempuan , maka dapat disimpulkan :

    1. Bahwa ada perbedaan sensation seeking pada pendaki gunung laki-laki dan

    perempuan.

    2. Sebagian besar pendaki gunung laki-laki berada di kategori sedang dan rendah

    sedangkan pendaki gunung wanita sebagian besar berada di kategori sangat rendah.

    SARAN

    Setelah penulis melakukan penelitian dan pengamatan langsung dilapangan serta

    melihat hasil penelitian yang ada, maka berikut ini beberapa saran yang penulis ajukan:

    1. Bagi subjek penelitian

    Bagi subjek penelitian diharapkan dapat menyeimbangkan sensation seeking yang

    dimilikinya dengan kemampuan (skill) yang dimilki oleh setiap individu.

    2. Bagi penelitian selanjutanya

    Bagi penelitian selanjutanya diharapkan dapat melakukan penelitian serupa dengan

    menambahkan variabel-variabel yang bekaitan dengan topik penelitian seperti usia,

    perilaku beresiko, interaksi sosial.dimana perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

    mengenai tipe sensation seeking. Minimnya penelitian mengenai sensation seeking

    di Indonesia membatasi peneliti dalam mendapatkan tinjauan kepustakaan. Apabila

  • 17

    penelitian mengenai sensation seeking bertambah, maka bertambah pula literatur

    atau bahan bagi yang membutuhkan untuk kepentingan penelitian lainnya.

  • 18

    DAFTAR PUSTAKA

    Ackerman, A., Gomez, E., & Hill, E. (2007). An exploration a sel efficacy as a motivationfor rock climbing and its impact on frequency of climbs [Halaman Internet].Journal online. Diunduh melalui www.treesearch.fs.fd.us/pubs/13894

    Amanta (2009). Hubungan sensation seeking dengan prestasi akademik mahasiswafakultas psikologi Universitass Islam Negeri Jakarta [Halaman Internet]. Journalonline. Diunduh melaluihttp://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28223/1/FACHDI%20AMANTA-PSI.pdf

    Catros. (2007). Naik-Naik Ke Puncak Gunung. Diunduh melaluihttp://catros.wordpress.com/2007/05/16/naik-naik-ke-puncak-gunung/

    Daulay, Harmona (2007). Perempuan dalam kemelut gender. USU Press

    Elizabeth, C, Jennifer, W, Laurece,S, Dustin A, Marie, B, Sandra, G.(2008). AgeDifferences in Sensation Seeking and Impulsivity as Indexed by Behaviorand Self-Report: Evidence for a Dual Systems Model. Journal developmentPsychology, 44 (6) :1764 – 1778.

    Grisnawati, Yuliana. (2006). Hubungan antara psychological capital dan sensationseeking dengan minta berwirausaha SMK YPM 3 TAMAN SIDOARJO.Skripsi : tidak diterbitkan. Surabaya : Fakultas Psikologi Institut AgamaIslam Negeri Sunan Ampel

    Halonen, J. S., & Santrock, J. W. (1999). Psychology context application 3rd Edition.USA: MC Graw Hill College

    Joireman, J., Anderson, J., & Strathman, A. (2003). The aggression paradox:Understanding links among aggression, sensation seeking, and the considerationof future consequences.Journal of Personality and Social Psychology,84, 1287–1302. Diunduh melaluihttps://www.researchgate.net/publication/10718844_The_Aggression_Paradox_Understanding_Links_Among_Aggression_Sensation_Seeking_and_the_Consideration_of_Future_Consequences.pdf

    Jonathan.W.R.(2004). A Review Of Behavioral And Biological Correlates OfSensation Seeking. Journal of research in personality. 38 : 256 - 279.

    Larsen, J. R., & Buss, D. (2005). Personality psychology demans of knowledge abouthuman nature 2nd Edition. USA: Hill International

    Padan, W.H. (2009). Pengaruh sensation seeking dan self efficacy terhadap motivasimendaki gunung pada para pendaki gunung. Skripsi Fakultas PsikologiUniversitas Kristen Satya Wacana.

    Petri, H.L., & Govern, J.M. (2004). Motivation, theory, research and aplication 5nd

    Edition. USA: Wadsword

  • 19

    Rahmawaty.P. (2013). Penyesuaian Diri Laki – Laki dan Perempuan denganMengendalikan Variable Sense Of Humor. Journal Online Psikologi, 01 (02) :464 - 479.

    Sadewa (2012). Kematangan emosi pada pendaki gunung ditinjau dari jenis kelamin[Halaman Internet]. Journal online. Diunduh melaluihttps://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjArpK8jvLNAhUJJpQKHbkBCBQQFggaMAA&url=http%3A%2F%2Frepository.wima.ac.id%2F1720%2F7%2FBab%25201.pdf&usg=AFQjCNG1jEqMciDFE1sEnh-fzi8B6KZoCg&sig2=fCW9F8OGIogP_z2cJJP_bw.

    Stojan Burnik, Snežana Jug, Tanja Kajtna (2008). Sensation seeking in slovenian femaleand male mountain climbers. Journal online. Diunduh melaluihttp://gymnica.upol.cz/pdfs/gym/2008/03/02.pdf

    Washington State Magazine (2012). Sensation Seeking Scale Form V. Diunduh melaluihttp://www.age-ility.org.au/files/SSS.pdf

    Windi (2014). Perbedaan sensation seeking antar remaja laki-laki dan perempuan diSMAN Malang. Journal online. Diunduh melalui http://psikologi.ub.ac.id/wp-content/uploads/2014/09/Jurnal-Psikologi-Nadia-Windi-UB.pdf