perbandingan kadar malondialdehid di paru dan darah tikus akibat paparan debu batubara akut dan...
DESCRIPTION
malondialdehidTRANSCRIPT
EFEK PEMBERIAN EKSTRAK DAUN SAMBILOTO (Andrographis paniculata) PADA HITUNG JUMLAH LIMFOSIT
MENCIT (Pus musculus)
Usulan PenelitianDiajukan guna menyusun Karya Tulis Ilmiah untuk memenuhi
sebagian syarat memperoleh derajat Sarjana KedokteranFakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat
Diajukan OlehAditya Rizky Arief Rahman
I1A009073
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURATFAKULTAS KEDOKTERAN
BANJARBARU
Desember, 2011
Usulan penelitian/KTI 1 oleh M. Ikhya’ Ulumuddin iniTelah dipertahankan di depan dewan pengujiPada tanggal 3 Mei 2011
Dewan pengujiKetua (Pembimbing Utama)
dr. Nia Kania, Sp. PA
Anggota (Pembimbing Pendamping)
dr. Eka Yudha Rahman, Sp. U
Anggota
dr. Ika Kustiyah O., Sp. PA
Anggota
Drs. Eko Suhartono, M. Si
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR LAMPIRAN iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penelitian 4
D. Manfaat Penelitian 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Debu Batubara dan Gangguan akibat Paparan Debu Batubara 5
B. Senyawa Oksigen Reaktif dan Stres Oksidatif 6
C. Debu Batubara dan Stres Oksidatif 8
D. Proses Pembentukan Malondialdehid sebagai Hasil Peroksidasi Lipid 9
BAB III LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori 13
B. Hipotesis 15
BAB IV METODE PENELITIAN
iii
A. Rancangan Penelitian 17
B. Bahan dan Alat Penelitian 18
C. Variabel Penelitian 18
D. Definisi Operasional 19
E. Prosedur Penelitian 20
F. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data 23
G. Cara Analisis Data 23
H. Waktu dan Tempat Penelitian 24
I. Biaya Penelitian 25
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
iv
Gambar Halaman
2.1. Tiga fase reaksi berantai peroksidasi lipid .................................... 11
3.1. Kerangka berpikir perbandingan kadar MDA di paru dan darah tikus akibat paparan debu batubara akut dan subakut …............... 15
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Jumlah replikasi minimal untuk setiap kelompok perlakuan
2. Rancangan tabel hasil pengukuran kadar MDA
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Batubara adalah zat organik yang dibentuk selama bertahun-tahun melalui
perubahan kimiawi yang melibatkan tekanan dan panas pada fosil tanaman (1).
Sumber daya batubara ditemukan hampir di setiap negara di dunia. Selama ini
Kalimantan Selatan (Kalsel) sangat identik dengan batubara. Sebagai provinsi
kedua penghasil batubara terbesar di Indonesia tentulah Kalsel bertumpu pada
sektor batubara sebagai pendukung utama perekonomiannya. Luas pertambangan
batubara di Kalsel mencapai 930.292,37 hektar atau 24,79 persen dari luas
provinsi yang hanya 3.753.052 hektar. Keberadaan tambang batubara menyebar di
seluruh kabupaten meliputi Banjar, Tanah Laut, Kotabaru, Tanah Bumbu, Hulu
Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, Tapin, dan Tabalong
(2).
Aktivitas batubara di Kalsel terjadi di daerah tambang terbuka maupun jalur
transportasi pengangkutan batubara menuju pelabuhan. Di Kalsel, transportasi
batubara menggunakan jalan negara yang merupakan fasilitas umum. Debu
batubara yang disebarkan melalui jalur transportasi batubara akan memberikan
dampak yang luas bagi masyarakat (3). Penelitian Schins dan Borm (1999)
menyatakan bahwa penumpukan debu batubara akan mengaktivasi fagositosis
makrofag sehingga menghasilkan reactive oxygen species atau senyawa oksigen
reaktif (SOR) dan memicu kerusakan oksidatif jaringan (4).
1
2
Inhalasi debu batubara dapat menyebabkan beberapa penyakit paru,
termasuk coal worker pneumoconiosis (CWP), bronkitis kronik, kehilangan fungsi
paru, emfisema, dan progressive massive fibrosis (PMF). Patogenesis penyakit
yang diakibatkan paparan debu batubara terjadi sebagai akibat adanya
pembentukan oksidan (5,6,7,8). Pada penelitian Armutcu et al. (2007)
menyatakan bahwa paparan debu batubara mengaktivasi makrofag alveolar dan
besi bioavailabel mengalami reaksi fenton dan pembentukan ion ferril. Reaksi itu
mengakibatkan stres oksidatif serta memicu inflamasi dan fibrosis paru (8).
Radikal bebas bersifat sangat reaktif dan cenderung bereaksi dengan
molekul lain untuk mencari pasangan elektronnya menjadi bentuk yang lebih
stabil. Kontos (2001), Droge (2002), dan Romieu (2008) menyatakan bahwa
radikal bebas dapat bereaksi dengan berbagai molekul, terutama lipid membran,
protein dan DNA sehingga dapat merubah struktur dan fungsinya, serta pada
akhirnya menyebabkan kematian sel (9,10,11).
Pengukuran radikal bebas secara langsung sangat sulit dilakukan karena
radikal bebas tidak menetap lama, mempunyai waktu paruh yang pendek, dan
menghilang dalam hitungan detik. Berbagai substansi biologis dikembangkan
sebagai petanda biologis (biomarker) stres oksidatif. Kadiiska et al. (2005)
melakukan penelitian pada tikus yang dipapar CCl4 dan dibuktikan dapat
menginduksi terbentuknya kerusakan jaringan akibat radikal bebas. Kerusakan
jaringan tersebut dapat dilihat dari produk hasil peroksidasi lipid, protein, dan
DNA yang diukur dari sampel plasma darah dan dinilai hubungannya dengan
dosis dan waktu. Berbagai substansi yang diteliti meliputi lipid hidroperoksida,
3
thiobarbituric acid reactive substance (TBARs), malondialdehid (MDA),
isoprostan, protein karbonil, 8-hydroxy-2-deoxyguanosine (8-OhdG), leukocyte
DNA-MDA adduct, dan DNA strand break (12,13). Cherubini et al. (2005)
menyatakan bahwa MDA banyak didapatkan di darah dan merupakan produk
utama hasil reaksi radikal bebas dengan fosfolipid, diproduksi secara konstan
sesuai proporsi peroksidasi lipid yang terjadi sehingga merupakan indikator yang
baik untuk melihat kecepatan peroksidasi lipid in vivo (14,15).
Di Kalsel, pekerja tambang batubara dan masyarakat di sekitar area
pertambangan dan jalur transportasi batubara menempatkan dirinya pada paparan
debu batubara. Paparan tersebut dapat memicu kerusakan jaringan. Salah satu
mekanismenya adalah peroksidasi lipid yang terjadi akibat stres oksidatif yang
ditimbulkan oleh inhalasi debu batubara. Penelitian ilmiah yang berhubungan
dengan paparan debu batubara dan MDA sebagai biomarker peroksidasi lipid
masih jarang dilakukan, khususnya tentang kadar MDA di paru dan darah tikus
akibat paparan debu batubara akut dan subakut. Oleh karena itu, penelitian ini
perlu dilakukan untuk mempelajari kadar MDA sebagai biomarker peroksidasi
lipid akibat paparan debu batubara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, rumusan masalah yang
dapat diambil adalah bagaimanakah perbandingan kadar malondialdehid di paru
dan darah tikus akibat paparan debu batubara akut dan subakut?
4
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini untuk mengetahui kadar malondialdehid di
paru dan darah tikus akibat paparan debu batubara akut dan subakut.
Tujuan khusus dari penelitian ini untuk:
1. mengukur dan menganalisa kadar malondialdehid di paru dan darah tikus
akibat paparan debu batubara baik akut maupun subakut, dan
2. mengukur dan menganalisa kadar malondialdehid pada paparan akut dan
subakut debu batubara baik di paru maupun di darah tikus.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang mekanisme
kerusakan jaringan akibat paparan debu batubara akut dan subakut melalui
pengukuran kadar malondialdehid di paru dan darah tikus. Selain itu, penelitian
dapat menjadi bukti tentang adanya perbedaan yang bermakna pada
perkembangan kerusakan jaringan tikus akibat paparan akut dan subakut debu
batubara melalui pengukuran kadar malondialdehid. Adanya pengetahuan tersebut
dapat menjadi salah satu dasar untuk mempelajari hubungan faktor risiko paparan
debu batubara terhadap kejadian suatu penyakit akibat paparan debu batubara
dengan cara memberikan perlakuan faktor risiko paparan debu batubara tersebut
terhadap subjek penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini sangat diharapkan dapat
memberikan suatu pertimbangan dalam menentukan langkah meredam penyakit
akibat paparan debu batubara bagi pekerja tambang dan masyarakat di sekitar area
pertambangan dan jalur transportasi batubara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Debu Batubara dan Gangguan akibat Paparan Debu Batubara
Batubara adalah sisa tumbuhan dari zaman prasejarah yang berubah bentuk
yang awalnya berakumulasi di rawa dan lahan gambut. Batubara terbentuk di
bawah tekanan dan panas terhadap fosil tanaman sehingga terjadi perubahan
kimiawi dan fisik yang mengeluarkan oksigen dan menyimpan hidrokarbon (1).
Komposisi dari batubara terdiri dari debu (ash), fixed carbon, silika, sulfur,
ferrum (Fe), mangan (Mn), fosfor (P), dan sulfit (H2S) (16).
Debu batubara terdiri dari partikel-partikel yang dapat terhisap oleh paru
(4). Partikel debu batubara yang dihantarkan melalui udara akan melewati rongga
hidung menuju alveoli. Saluran nafas akan merespon masuknya debu tersebut
melalui berbagai mekanisme reflek untuk melindungi jalan nafas, meliputi batuk,
bersin, dan pengeluaran lendir. Bila terjadi pemaparan oleh debu batubara dalam
waktu yang cukup lama dengan jumlah yang signifikan, maka partikel debu
batubara akan tertahan di paru, dan saluran nafas yang resisten akan mengalami
peningkatan aktivitas sel imun serta mengakibatkan terjadinya inflamasi (17,18).
Seiring peningkatan produksi batubara, maka terjadi penurunan taraf
kesehatan, serta terjadi peningkatan kasus beberapa penyakit seperti penyakit
paru, penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit
paru hitam, hipertensi dan gangguan ginjal. Semua dampak tersebut akibat
paparan debu batubara sehingga mempengaruhi kondisi kesehatan (5,6,7).
5
6
Inhalasi debu batubara akan menghasilkan SOR, secara tidak langsung
melalui aktivasi sel inflamasi seperti makrofag dan leukosit polimorfonuklear, dan
secara langsung oleh debu batubara itu sendiri. Selain itu, paparan debu batubara
akan memicu pembentukan H2O2 dan meningkatkan akivitas katalase akibat
paparan debu batubara sehingga kadar SOR semakin meningkat (19).
B. Senyawa Oksigen Reaktif dan Stres Oksidatif
Di dalam dunia kedokteran, istilah SOR sering dikacaukan dengan radikal
bebas maupun oksidan. Tidak semua SOR merupakan radikal bebas, karena ada
juga yang bukan radikal. SOR yang tergolong radikal bebas meliputi radikal
superoksida (●O2), radikal hidroksil (●OH), radikal peroksil (ROO●), dan
alkoksil (RO●). Sedangkan SOR yang bukan radikal bebas di antaranya oksigen
singlet (1O2), hidrogen peroksida (H2O2), dan asam hipoklorit (HOCL) (15,20).
Istilah radikal bebas dalam ilmu kimia adalah atom atau molekul yang
mempunyai satu atau lebih elektron tak berpasangan pada orbital terluarnya,
sedangkan oksidan adalah atom atau molekul yang dapat menarik elektron. Oleh
karena radikal bebas juga mempunyai sifat sebagai penarik elektron, maka radikal
bebas juga bersifat sebagai oksidan (15,20). SOR yang berbentuk radikal bersifat
sangat reaktif dan tidak stabil sehingga mudah bereaksi dengan molekul-molekul
yang lain. Reaktivitas yang tinggi menyebabkan radikal bebas memiliki
kecenderungan untuk menarik elektron dan mengubah suatu molekul menjadi
radikal yang baru (20,21,22). Sedangkan SOR yang berbentuk bukan radikal
mempunyai reaktivitas yang lebih rendah daripada yang berbentuk radikal. Hal ini
bukan berarti SOR yang bukan radikal tidak berbahaya, karena senyawa ini justru
7
juga dapat memicu pembentukan radikal bebas yang baru. Oleh karena itu, baik
radikal bebas maupun bukan radikal bebas dapat menjadi ancaman kesehatan bagi
manusia terutama orang yang tidak memiliki sistem perlindungan diri (20).
Berbagai proses metabolisme normal dalam tubuh dapat menghasilkan
radikal bebas dalam jumlah kecil sebagai produk antara. Di dalam sel hidup,
radikal bebas terbentuk pada membran plasma dan organel-organel seperti
mitokondria, peroksisom, retikulum endoplasmik, dan sitosol; melalui reaksi-
reaksi enzimatik fisiologis yang berlangsung dalam proses metabolisme (15,23).
Proses fagositosis oleh sel-sel fagositik termasuk netrofil, monosit, makrofag, dan
eosinofil, juga menghasilkan radikal bebas (24).
Stres oksidatif terjadi jika terdapat peningkatan pembentukan radikal bebas,
menurunnya sistem penetralan, dan pembuangan radikal bebas. Hal tersebut
terjadi baik berupa penurunan antioksidan berat molekul rendah di jaringan
maupun gangguan aktivitas pertahanan antioksidan enzimatik (15,20). Stres
oksidatif menyebabkan kerusakan pada protein, lipid, karbohidrat, dan asam
nukleat. Oleh karena itu, enzim, protein struktural, membran, gugus gula, DNA,
dan RNA sangat rentan mengalami kerusakan oksidatif (25).
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau
reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu
menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara terbentuknya radikal.
Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi
dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya,
kerusakan sel akan dihambat (23).
8
C. Debu Batubara dan Stres Oksidatif
Parameter kerusakan oksidatif yang berkaitan dengan fungsi paru akan
mengalami perubahan selama inhalasi debu batubara. Jaringan paru yang
dipaparkan batubara intratrakea akan memicu peningkatan TBARs dan protein
karbonil. Paparan debu batubara pada manusia berkaitan dengan pembentukan
SOR, antioxidant upregulation, induksi faktor inflamasi, dan peroksidasi lipid
(26). Selain itu, gas CO, CO2, CH3 di lingkungan tambang batubara dapat
menyebabkan cedera tambahan yang akan memicu stres oksidatif (19).
Kapasitas oksidatif debu batubara utamanya disebabkan kandungan logam
transisi, meliputi Fe, Cr, Mn, Co, Ni, Cu, Zn, dan Si. Sebagian besar logam
tersebut dapat mengkatalisis reaksi oksidatif untuk menghasilkan SOR, dengan
cara bereaksi dengan H2O2 dan membentuk radikal hidroksil (15).
Penelitian Ghio et al. menemukan bahwa besi yang terkandung dalam
batubara dapat meningkatkan respon inflamasi dan produksi SOR (4,27). Dua
mekanisme pemaparan mineral terhadap pembentukkan SOR, yaitu:
1. Pembentukan SOR secara langsung
Keberadaan metal pada permukaan fibra asbestosa dapat memicu
pembentukan radikal hidroksil. Hydroxyproline diketahui merupakan penanda
dari fibrosis, SOR berhubungan dengan berbagai macam penyakit. Pembentukan
tipe reaksi Fenton dari radikal hidroksil berhubungan dengan komposisi logam
dari debu batubara. Debu batubara dan crystaline silica memiliki kandungan
radikal hidroksil 8 kali lipat lebih tinggi dibanding dengan kuarsa. Debu batubara
memiliki radikal yang stabil dan dapat menghasilkan SOR dalam cairan biologis,
9
serta sebagian besar mengakibatkan kerusakan oksidatif secara langsung melalui
mekanisme non-seluler (4,8).
2. Pembentukan SOR secara tidak langsung
Pembentukan radikal secara tidak langsung di paru, dikontrol oleh makrofag
alveolar. Makrofag alveolar terinkubasi bersama dengan debu mineral
menghasilkan radikal oksigen dalam jumlah yang berlebihan. Berdasarkan
penelitian terhadap hewan coba, hewan yang terpapar berbagai macam mineral
termasuk debu batubara mengakibatkan makrofag alveolar menjadi sumber utama
SOR (4,8).
Partikel-partikel yang diendapkan di alveoli akan dibersihkan dalam
beberapa hari sampai beberapa bulan melalui fagositosis makrofag alveolar yang
selanjutnya meningkatkan pelepasan H2O2 dan ●O2-. Akhirnya, partikel-partikel
tersebut dibersihkan dari paru oleh sistem mukosiliar atau dibawa ke dalam ruang
interstitial, kemudian berdifusi ke dalam limfonodus regional atau darah. Luasnya
cedera akibat paparan debu batubara juga terkait dengan lama partikel berada pada
ruang interstitial. Partikel pada permukaan alveoli yang tidak dibersihkan oleh
makrofag alveolar juga akan ditranspor dengan cepat melintasi epitel menuju
ruang interstitial dan berdifusi ke dalam limfonodus regional atau darah (28).
D. Proses Pembentukan Malondialdehid sebagai Hasil Peroksidasi
Lipid
Dampak negatif stres oksidatif terhadap membran terjadi akibat dari
serangan-serangan radikal terutama radikal hidroksil yang menyerang komponen
penting penyusun membran sel yang dapat menimbulkan reaksi rantai yang
10
dikenal dengan nama peroksidasi lipid. Akibatnya adalah terputusnya rantai asam
lemak menjadi berbagai senyawa yang bersifat toksik terhadap sel (23).
Asam lemak tak jenuh jamak atau Polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang
banyak terdapat pada membran sel menjadi target utama oksidan, karena sangat
rentan terhadap terjadinya autokatalisis peroksidasi. Pada kondisi temperatur
fisiologis abstraksi ion H selama fase propagasi jauh lebih siap pada bentuk PUFA
daripada bentuk monosaturated lipids. Hal ini diakibatkan terlepasnya ikatan yang
menggunakan energi rendah sebesar ~10 kcal/mol dibanding bentuk
monosaturated lipids. Adanya ikatan ganda pada jembatan metilen (-CH2-) PUFA
membuat lemah ikatan C-H pada atom karbon dan memfasilitasi lepasnya atom
hidrogen (29).
Senyawa oksigen reaktif yang bereaksi dengan makromolekul sel dapat
merusak sel melalui proses peroksidasi lipid, oksidasi DNA dan protein.
Peroksidasi lipid ini mengakibatkan gangguan pada fluiditas dan permiabilitas
membran, kerusakan membran sel dan organel, kerusakan sitoskeleton, hambatan
pada metabolisme sel, dan gangguan transpor ion. Kerusakan mitokondria juga
dapat terjadi menyebabkan produksi SOR bertambah (30,31).
Peroksidasi lipid merupakan suatu rangkaian reaksi yang terjadi dalam 3
fase. Diawali dengan fase inisiasi, dimana terjadi abstraksi ion H dari ikatan C-H
lipid dengan paparan oksidan dan terbentuk carbon centred lipid radical.
Kemudian diikuti dengan fase propagasi yang merupakan bagian yang kompleks,
dimana radikal lipid dengan cepat mengalami penggabungan dengan O2 dan
terbentuk radikal peroksi. Reaksi kedua pada fase ini membuat peningkatan
11
jumlah yang dramatis sehubungan dengan adanya abstraksi ion H dari lipid oleh
radikal peroksi membentuk lipid hidroperoksidase. Penggabungan O2 dengan lipid
radikal yang baru terbentuk menambah jumlah peroksidasi membran lipid.
Akhirnya rangkaian peroksidasi lipid berakhir dengan satu atau lebih reaksi
terminasi (29). Rangkaian reaksi peroksidasi lipid dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1. Tiga
fase reaksi berantai peroksidasi lipid (29)
Berbagai produk terbentuk selama fase propagasi dan teminasi sesuai
struktur kimia prekusor lipid. Hasil dari radikal asam lemak lebih stabil dengan
terbentuknya diene terkonjugasi, kemudian diikuti terbentuknya produk yang
lebih stabil seperti hidroperoksida, alkohol, aldehid dan alkane. Banyak dari
12
produk ini ditemukan dalam cairan tubuh. Kelompok karbonil yang terbentuk
pada proses peroksidasi lipid berupa n-alkenals (propanal, butanal, pentanal,
heksanal dll), 2 alkenal (akrolein, pentenal, heksenal dll), 2-4 alkadienals
(heptadienal, oktadienal, dekadienal), 4 hidroksi 2,5-undekadienal, 5 hidroksi
oktanal, 4-hidroksi-2 alkenals (HNE), dan MDA. Komponen utama ditemukan
dalam sampel biologis pada berbagai kompartemen cairan tubuh adalah MDA dan
HNE (29).
Produk utama hasil oksidasi PUFA dan yang paling sering digunakan
sebagai indikator peroksidasi lipid adalah MDA. MDA juga digunakan secara luas
sebagai petanda biologik stres oksidatif, sensitif, dan bisa digunakan pada
penelitian dalam jumlah besar. MDA relatif konstan terhadap proporsi peroksidasi
lipid, oleh karena itu merupakan indikator yang tepat untuk mengetahui kecepatan
proses peroksidasi lipid in vivo (15).
BAB III
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
Debu batubara yang dihantarkan melalui udara dapat masuk ke dalam
rongga pernapasan menuju alveoli. Paparan debu batubara yang terjadi dalam
waktu cukup lama dengan jumlah yang signifikan dapat terdeposit di alveoli. Hal
ini akan memicu aktivasi makrofag alveolar dan reaksi-reaksi kimia di tubuh
(17,18). Kemudian peristiwa tersebut akan memicu pembentukan SOR melalui
mekanisme tidak langsung atau secara selular oleh makrofag alveolar dan melalui
mekanisme langsung atau secara non-selular oleh debu batubara itu sendiri (4).
Makrofag yang teraktivasi akan melakukan proses fagositosis terhadap
partikel debu batubara. Fagositosis makrofag ini akan memproduksi SOR yang
mengakibatkan kerusakan sel epitel saluran nafas dan jaringan mesenkim, serta
mengakibatkan penumpukan matriks ekstraseluler. Akhirnya, partikel tersebut
dibersihkan dari paru oleh sistem mukosiliar atau dibawa ke dalam ruang
interstitial, kemudian berdifusi ke dalam darah (28).
Senyawa oksigen reaktif dapat dihasilkan secara langsung oleh debu
batubara. Kapasitas oksidatif debu batubara utamanya disebabkan oleh kandungan
logam transisi, meliputi Fe, Cu, Cr, Mn, Co, Ni, Zn, dan Si. Beberapa metal
tersebut dapat mengkatalisis reaksi oksidatif untuk menghasilkan SOR (15).
Partikel yang tidak dibersihkan makrofag alveolar akan ditranspor sistem
mukosiliar menuju ruang interstitial, kemudian berdifusi ke dalam darah (28).
13
SOR ↑
Peroksidasi lipid ↑
MDA paru dan darah
Keterangan : = induksi/ menyebabkan = yang diukur = perlakuan = intervensi
Mekanisme tidak langsung
Mekanisme langsung
Terdeposit di alveoli
Tikus normal Debu batubara
Berdifusi ke dalam darah
Subakut
Akut
14
Senyawa oksigen reaktif akan merusak sel dengan cara bereaksi dengan
makromolekuler sel melalui proses peroksidasi lipid sehingga proses peroksidasi
lipid ini mengakibatkan gangguan pada fluiditas dan permeabilitas membran,
kerusakan membran sel dan organel, hambatan pada metabolisme sel, dan
gangguan transpor ion (30,31). MDA merupakan produk utama peroksidasi lipid
dan yang paling sering digunakan sebagai indikator peroksidasi lipid (15,20,23).
Landasan teori di atas ditunjukkan dalam kerangka berpikir perbandingan
kadar MDA di paru dan darah tikus akibat paparan debu batubara akut dan
subakut pada gambar 3.1.
Gambar 3.1. Kerangka berpikir perbandingan kadar MDA di paru dan darah tikus akibat paparan debu batubara akut dan subakut
15
B. Hipotesis
Hipotesis yang dapat diambil dari landasan teori di atas adalah sebagai
berikut:
1. kadar malondialdehid di paru lebih tinggi dibandingkan dengan darah tikus
akibat paparan debu batubara baik akut maupun subakut, dan
2. kadar malondialdehid pada paparan subakut lebih tinggi dibandingkan dengan
paparan akut debu batubara baik di paru maupun di darah tikus.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan post-test only
with control group design untuk mengetahui mekanisme paparan debu batubara
dalam memicu peroksidasi lipid melalui pengukuran kadar MDA di paru dan
darah. Berdasarkan penelitian Altin et al. (2004) didapatkan kadar tertinggi debu
batubara di lokasi pertambangan batubara adalah 12,3 mg/m3 sehingga pada
penelitian ini digunakan kadar 6,25 mg/m3, 12,5 mg/m3, dan 25 mg/m3 dengan
lama paparan 1 jam/hari selama 14 hari dan 28 hari (8,32). Debu batubara yang
digunakan berukuran ≤10 µm (33,34). Subjek penelitian ini adalah tikus galur
Wistar (Rattus norvegicus) dengan sampel penelitian bronchoalveolar lavage
fluid (BALF) dan darah. Jumlah kelompok perlakuan pada penelitian ini sebanyak
tujuh kelompok, dengan jumlah minimal subjek penelitian untuk setiap kelompok
adalah 5 ekor (lampiran 1), terdiri atas:
Kelompok 1: Tikus Kontrol
Kelompok 2: Tikus dipapar debu batubara 6,25 mg/m3 1 jam/hari selama 14 hari
Kelompok 3: Tikus dipapar debu batubara 12,5 mg/m3 1 jam/hari selama 14 hari
Kelompok 4: Tikus dipapar debu batubara 25 mg/m3 1 jam/hari selama 14 hari
Kelompok 5: Tikus dipapar debu batubara 6,25 mg/m3 1 jam/hari selama 28 hari
Kelompok 6: Tikus dipapar debu batubara 12,5 mg/m3 1 jam/hari selama 28 hari
Kelompok 7: Tikus dipapar debu batubara 25 mg/m3 1 jam/hari selama 28 hari
16
17
B. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah BALF dan darah tikus,
partikel batubara berukuran ≤10 µm, sodium pentotal, garam fisiologis, phospate
buffer saline, Trichloroacetic acid (TCA), HCl, dan Na-thiobarbiturat.
2. Alat penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah ball mill, ring mill, Raymond
mill, MicroSieve (BioDesign, USA), coal dust exposure seri NKBS-1-2010-0,5,
lap pembersih, disposable syringe, jarum, alas pembedahan, pinset, gunting,
sonde dengan ujung wing needle, label, tabung reaksi, rak tabung reaksi,
mikrosentrifugasi, vortex, glass wool, waterbath, mikropipet dan tip mikropipet,
spektrofotometer, kandang hewan, tempat minum, masker, dan sarung tangan.
C. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah kadar debu batubara 6,25 mg/m3,
12,5 mg/m3, dan 25 mg/m3, serta durasi paparan 14 dan 28 hari.
2. Variabel terikat
Variable terikat pada penelitian ini adalah kadar MDA di paru dan darah
tikus.
3. Variabel pengganggu
a. Subjek penelitian
1) keadaan umum tikus, dikendalikan dengan memastikan tikus dalam keadaan
sehat sebelum penelitian dilakukan.
18
2) faktor fisik dan psikologis tikus, dikendalikan dengan memberikan perlakuan
yang sama pada semua subjek penelitian.
3) umur, dikendalikan dengan memilih tikus dengan umur 3 bulan.
4) berat badan, dikendalikan dengan memilih tikus dengan berat badan yang
seragam, yaitu 200-250 gram.
5) jenis kelamin, dikendalikan dengan memilih tikus jantan.
b. Alat penelitian
Variabel laboratorium berupa standarisasi alat dilakukan dengan melakukan
pengkaliberasian alat sebelum melakukan penelitian.
c. Aspek lainnya
1) cara dan ketelitian pengukuran, variabel ini dikendalikan dengan
menggunakan bahan dan metode pengukuran yang distandardisasi untuk
seluruh pemeriksaan.
2) suhu ruangan, dikendalikan dengan menempatkan subjek penelitian di
ruangan yang sama pada setiap kelompok perlakuan.
D. Definisi Operasional
1. Kadar MDA adalah kadar MDA setelah dipapar debu batubara yang diukur
dengan menggunakan spektrofotometri dengan satuan ng/ml.
2. Debu batubara adalah material batubara yang berupa partikel dan berasal dari
hancuran batubara dan memiliki ukuran ≤10 µm yang bersifat respirable.
3. Paparan debu batubara akut adalah durasi perlakuan yang diberikan pada
tikus dengan cara memaparkan debu batubara selama 14 hari.
19
4. Paparan debu batubara subakut adalah durasi perlakuan yang diberikan pada
tikus dengan cara memaparkan debu batubara selama 28 hari.
5. Tikus dalam penelitian adalah tikus galur Wistar yang termasuk spesies
Rattus norvegicus. Tikus ini berwarna putih dan sering digunakan untuk
penelitian in vivo.
E. Prosedur Penelitian
1. Persiapan hewan uji dan pembagian kelompok
Tikus sebanyak minimal 35 ekor diperoleh dari Bidang Layanan Pra Klinik
Penelitian dan Pengembangan Hewan Percobaan Laboratorium Penelitian dan
Pengujian Terpadu Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Selanjutnya tikus
tersebut dipisahkan secara acak ke dalam 7 kelompok dan masing-masing
kelompok dimasukkan ke dalam kandang untuk adaptasi selama 1 minggu. Setiap
kandang berisi 5 ekor tikus.
Dalam masa adaptasi tikus mendapat makanan dan minuman secara ad
libitum. Aklimatisasi dalam hal ini diperlukan agar tikus tidak mengalami stres
sewaktu dipapar debu batubara.
2. Pembuatan debu batubara
Batubara diperoleh dari Carsurin Coal Laboratories, Banjarmasin. Sebelum
pemaparan akan dilakukan pembuatan debu batubara dari bongkahan batubara.
Pembuatan debu batubara dilakukan dengan menghancurkan bongkahan batubara
menggunakan alat pulverizer yang terdiri atas ball mill, ring mill, dan Raymond
mill di Carsurin Coal Laboratories sehingga ukuran debu batubara ≤70 µm. Debu
20
batubara disaring lagi dengan menggunakan alat MicroSieve (BioDesign, USA)
sehingga didapatkan debu batubara ukuran ≤10 µm.
3. Pemaparan debu batubara terhadap tikus
Pemaparan debu batubara menggunakan alat coal dust exposure seri NKBS-
1-2010-0,5 dengan volume 0,5 m3. Prinsip alat tersebut adalah menyediakan
lingkungan ambien yang mengandung debu batubara yang akan masuk ke saluran
nafas hewan coba. Aliran udara pada blower di alat tersebut adalah 1,5-2
liter/menit. Kecepatan ini disesuaikan dengan kecepatan aliran udara di
lingkungan batubara.
Sebelum alat digunakan, alat wajib dibersihkan terlebih dahulu, kemudian
stop kontak alat dicolokkan pada sumber listrik. Debu batubara yang telah
ditimbang sesuai dengan berat untuk penelitian kemudian dimasukkan bersamaan
dengan tikus lalu pintu ditutup rapat dengan selotip. Tekanan oksigen diatur agar
tikus merasa nyaman dan tidak kekurangan oksigen. Kecepatan blower lalu diatur
sesuai dengan kecepatan yang diinginkan kemudian dibiarkan selama 1 jam agar
terjadi sirkulasi debu batubara yang terus-menerus. Blower dimatikan setelah 1
jam pemaparan, kemudian tikus dikeluarkan dan alat dibersihkan.
4. Pengambilan sampel pada tikus
Tikus dianestesi dengan menggunakan sodium pentotal secara inhalasi.
Tikus diletakkan terlentang dengan perut menghadap ke atas, keempat kaki
difiksasi dengan jarum pada alas pembedahan. Dengan pinset dan gunting
dilakukan pembukaan rongga perut membujur dari bawah ke atas sampai tulang
21
dada. Kemudian irisan dilanjutkan seperti huruf “V” untuk membuka rongga
dada. Lipat irisan tulang dada ke atas agar jantung dapat terlihat jelas.
Pengambilan darah tikus diambil dengan melakukan pembukaan rongga
thorax kemudian pengambilan darah diambil di jantung sebanyak 3-4 ml dengan
menggunakan spuit injeksi dan dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian
diukur kadar MDA.
Pengukuran MDA di paru menggunakan sampel BALF. Tujuan
menggunakan BALF untuk mengambil sampel yang terletak di alveoli. Prosedur
ini dilakukan dengan cara memasukkan cairan salin ke ujung bronkoskop dan
dibiarkan selama 1 menit, kemudian disedot kembali untuk mendapatkan material
yang cukup dari alveoli. Tindakan ini dapat diulang beberapa kali sampai didapat
jumlah sampel yang diperlukan. Pada penelitian ini, sampel yang diperlukan
sebanyak 3-4 ml. Sampel yang didapat diukur kadar MDA.
5. Pengukuran kadar malondialdehid di paru
Metode pengukuran menggunakan metode yang dikembangkan di
Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. BALF
sebanyak 3-4 ml disentrifus 1000 rpm selama 15 menit. BALF dibagi dua sebagai
cairan uji dan cairan kontrol. Pada cairan uji dan kontrol ditambahkan TCA 100
µL dan divortex kemudian ditambahkan HCl 250 µL lalu divortex kembali.
Kemudian dilakukan sentrifus 500 rpm 10 menit, diambil supernatan kemudian
disaring dengan glass wool. Na-thiobarbiturat ditambahkan pada cairan uji
sebanyak 100 µL. Pada cairan uji dan kontrol dilakukan vortex, panaskan dalam
waterbath 100oC selama 20 menit, angkat dan diamkan pada suhu ruang. Baca
22
absorbansinya pada panjang gelombang 529 nm. Pada penelitian ini digunakan
kurva standar MDA untuk mengukur kadar MDA pada tikus. Kurva standar
dibuat berdasarkan pengukuran absorbansi MDA standar dengan beberapa variasi
kadar pada panjang gelombang 529 nm.
6. Pengukuran kadar malondialdehid di darah
Metode pengukuran menggunakan metode yang dikembangkan di
Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Darah
sebanyak 3-4 ml disentrifus 1000 rpm selama 15 menit. Serum darah dibagi dua
sebagai serum uji dan cairan kontrol. Pada serum uji dan kontrol ditambahkan
TCA 100 µL dan divortex kemudian ditambahkan HCl 250 µL lalu divortex
kembali. Kemudian dilakukan sentrifus 500 rpm 10 menit, diambil supernatan
kemudian disaring dengan glass wool. Na-thiobarbiturat ditambahkan pada cairan
uji sebanyak 100 µL. Pada serum uji dan kontrol dilakukan vortex, panaskan
dalam waterbath 100oC selama 20 menit, angkat dan diamkan pada suhu ruang.
Baca absorbansinya pada panjang gelombang 529 nm. Pada penelitian ini
digunakan kurva standar MDA untuk mengukur kadar MDA pada tikus. Kurva
standar dibuat berdasarkan pengukuran absorbansi MDA standar dengan beberapa
variasi kadar pada panjang gelombang 529 nm.
F. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
Data dikumpulkan dengan cara mengukur kadar MDA di paru dan darah
dengan menggunakan spektrofotometer, lalu dimasukkan ke dalam tabel menurut
urutan pengukuran dan ditabulasikan untuk ketujuh kelompok perlakuan,
kemudian di hitung rataan dari tiap hasil yang didapat (Lampiran 2).
23
G. Cara Analisis Data
Seluruh analisis data akan diolah dengan komputerisasi. Data akan disajikan
dalam bentuk tabel dan diperjelas dengan bentuk grafik. Untuk mengetahui data
penelitian memiliki distribusi normal dan homogen maka dilakukan uji normalitas
dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk dan uji homogenitas dengan
menggunakan uji Levene. Data kadar MDA pada sampel diuji dengan analysis of
variance (ANOVA) dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Apabila data
tidak terdistribusi normal atau tidak homogen, maka dilakukan transformasi data
agar distribusi data normal. Jika tetap tidak terdistribusi normal atau varian tidak
sama, maka alternatif yang dipilih uji Kruskal-Wallis. Jika terdapat perbedaan
bermakna, maka dilanjutkan dengan uji Post-hoc untuk mengetahui kelompok
yang terdapat perbedaan bermakna.
H. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang dan Laboratorium Kimia/Biokimia
Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru pada bulan
Maret-Agustus 2011 dengan rincian kegiatan sebagai berikut:
24
Tabel 4.1. Jadwal penelitian perbandingan kadar malondialdehid di paru dan darah tikus akibat paparan debu batubara akut dan subakut
KegiatanWaktu pelaksanaan penelitian
Maret 2011
April 2011
Mei 2011
Juni 2011
Juli2011
Agustus 2011
Pengumpulan dan persiapan referensiPenyusunan proposalKonsultasiSeminar KTI IPerbaikan proposalPenelitian di laboratoriumPengolahan dan analisis dataPenyusunan laporanSeminar KTI IIPerbaikan dan laporan akhir
I. Biaya Penelitian
Penelitian ini direncanakan memerlukan dana sebagai berikut
batubara Rp 100.000,-
spuit 5 cc Rp 35.000,-
tikus 35 ekor @ Rp. 20.000,- Rp 700.000,-
pakan hewan coba Rp 76.000,-
pemeriksaan MDA Rp 2.625.000,-
penggandaan dan penjilidan 5 exp @ Rp. 10.000,- Rp 50.000,-
Jumlah Rp 3.586.000,-
DAFTAR PUSTAKA
1. World Coal Institute. Coal-power for progress. London: WCI, 2005.
2. Anonymous. Jangan kemaruk menguras bumi. Banjarmasin Post 2006; (online), (http://klipingtambang.blogspot.com/2006_10_01_archive.html, diakses 11 April 2011).
3. Anonymous. Debu tambang Kalsel lewati ambang batas. Banjarmasin Post 2008; (online), (http://klipingtambang.blogspot.com/2008_09_01_archive. html, diakses 11 April 2011).
4. Schins RPF, Borm PJA. Mechanisms and mediators in coal dust induced toxicity: a review. Ann occup Hyg 1999; 43: 7-33.
5. Pinho RA, Silveira PCL, Piazza M, et al. Regular physical exercises decrease the oxidant pulmonary stress in rats after acute exposure to mineral coal. Rev Bras Med Esporte 2006; 12: 71-76.
6. Vallyathan V, Goins M, Lapp LN, et al. Changes in bronchoalveolar lavage indices associated with radiographic classification in coal miners. Am J Respir Crit Care Med 2000; 162: 958–965.
7. Huang C, Li J, Zhang Q, et al. Role of bioavailable iron in coal dust-induced activation of activator protein-1 and nuclear factor of activated t cells: difference between Pennsylvania and Utah coal dusts. Am J Respir Cell Mol Biol 2002; 27(5): 568–574.
8. Armutcu F, Gun BD, Altin R, et al. Examination of lung toxicity, oxidant/ antioxidant status and effect of erdosteine in rats kept in coal mine ambience. Envirnmental Toxicology and Pharmacology 2007; 24:106-113.
9. Kontos HA. Oxygen radicals in cerebral ischemia: The 2001 willis lecture. Stroke 2001; 3: 2712–2716.
10. Droge W. Free radical in the physiological control of cell function. Physiol Rev 2002; 82:47–95.
11. Romieu I, Castro-Giner F, Kunzli N, et al. Air pollution, oxidative stress and dietary supplementation: a review. Eur Respir J 2008; 31: 179–196.
12. Kadiiska MB, Gladen BC, Bairrd DD, et al. Biomarkers oxidative stress study II : are oxidation products of lipids, proteins, and DNA markers of CCl4
poisoning?. Free Radical Biology and Medicine 2005; 38 (6): 698-710.
13. Dalle-Donne I, Rossi R, Colombo R, et al. Biomarker of oxidative damaged in human disease. Clinical Chemistry 2006; 52: 601–623.
14. Cherubini A, Ruggiero C, Polidori MC, et al. Potensial marker of oxidative stress in stroke. Free Radical Biology and Medicine 2005; 39: 841–852.
15. Halliwell B, Gutteridge JMC. Free radical in biology and medicine. Oxford: Oxford University Press, 1999.
16. Tamka, Alde. Ledakan debu batubara. USU: Teknik Pertambangan, 2009.
17. Palmer KT, McNeill-Love R, Poole JR, et al. Inflammatory responses to the occupational inhalation of metal fume. Eur Respir J 2006; 27: 366–373.
18. Hamidi. Penelitian kaitan pajanan debu dengan kejadian gangguan pernafasan. Jakarta : Universitas Indonesia, 2001.
19. Nadif R, Mintz M, Jedlicka A, et al. Association of CAT polymorphisms with catalase activity and exposure to environmental oxidative stimuli. Free Radical Research 2005; 39: 1345-1350.
20. Suhartono E, Fachir H, Setiawan B. Kapita selekta biokimia: stres oksidatif dasar dan penyakit. Bajarmasin: Pustaka Banua, 2007.
21. Defeng W, Cederbaum AI. Alcohol, oxidative stress, and free radical damage. Alcohol Research & Health 2003; 27: 277-284.
22. Sen S, Chakraborty R, Sridhar C, et al. Free radicals, antioxidants, diseases and phytomedicines: current status and future prospect. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research 2010; 3: 91-100.
23. Winarsi H. Antioksidan alami dan radikal bebas. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
24. Hays AM, Srinivasan D, Witten ML, et al. Arsenic and cigarette smoke synergistically increase DNA oxidation in the lung. Toxicol Pathol 2006; 34: 396-404.
25. Pryor WA, Houk KN, Foote CS, et al. Free radical biology and medicine: it’s a gas, man!. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 2006; 291: 491–511.
26. Yunanto A, Setiawan B, Suhartono E. Kapita selekta biokimia: peran radikal bebas pada intoksikasi dan patobiologi penyakit. Banjarmasin: Pustaka Banua, 2009.
27. Dai j, Xie C, Churg A. Iron loading makes a nonfibrogenic model air pollutant particle fibrogenic in rat tracheal explants. Am J Respir Cell Mol Biol 2002; 26: 685–693.
28. Suhartono E, Setiawan B. Kapita selekta biokimia: mekanisme oksidatif dan patobiologi tuberkulosis paru. Banjarmasin: Pustaka Banua, 2010.
29. Burcham PC. Genotoxic lipid peroxidation products : their DNA damaging properties and role in formation of endogenous DNA adducts. Mutagenesis 1998; 13: 287–305.
30. Warner DS, Sheng H, Batinic-Haberle I. Oxidants, antioxidants and the ischemic brain. The journal of experimental biology 2004; 207: 3221-3231.
31. Weigand MA, Laipple A, Plaschke K, et al. Concentration changes of malondialdehyde across the cerebral vascular bed and shedding of L- selectin during carotid endarterectomy. Stroke 1999; 301: 306-11.
32. Altin R, Armutcu F, Kart L, et al. Antioxidant response at early stages and low grades of simple coal worker’s pneumoconiosis diagnosed by high resolution computed tomography. Int J Hyg Environ Health 2004; 207: 1-8.
33. Muller U, Riediker M, Wick P, et al. Oxidative stress inflammation response after nanoparticle exposure: difference between human lung cell monocultures and an advanced three-dimentional model of the human epithelial airways. Journal of The Royal Society Interface 2010; 7: 27-40.
34. Fishwick D. Pneumoconiosis. Medicine 2008; 36: 258-260.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Jumlah replikasi minimal untuk setiap kelompok perlakuan
Jumlah replikasi untuk setiap kelompok ditentukan dengan menggunakan
rumus Federer:
(t - 1) (n - 1) ≥ 15
(7 - 1) (n - 1) ≥ 15
6n-6 ≥ 15
6n ≥ 21
n ≥ 3,5 ≈ 4
Keterangan:t = jumlah kelompokn = jumlah pengulangan
Untuk mengantisipasi risiko kematian pada subjek penelitian, maka jumlah
tikus ditambah dengan perhitungan menggunakan metode drop-out rate yaitu:
20% x 4 = 0,8 ≈ 1 ekor.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka jumlah minimal replikasi untuk
setiap kelompok adalah 5 ekor tikus. Jadi, jumlah sampel secara keseluruhan
kelompok adalah 35 ekor.
Lampiran 2. Rancangan tabel hasil pengukuran kadar MDA
1. Tabel kadar MDA di paru
PerlakuanKadar MDA pada tikus ke-
Total Rataan1 2 3 4 5
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
Kelompok 5
Kelompok 6
Kelompok 7
2. Tabel kadar MDA di darah
PerlakuanKadar MDA pada tikus ke-
Total Rataan1 2 3 4 5
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
Kelompok 5
Kelompok 6
Kelompok 7
Keterangan:Kelompok 1: Tikus kontrol
Kelompok 2: Tikus dipapar debu batubara 6,25 mg/m3 1 jam/hari selama 14 hari
Kelompok 3: Tikus dipapar debu batubara 12,5 mg/m3 1 jam/hari selama 14 hari
Kelompok 4: Tikus dipapar debu batubara 25 mg/m3 1 jam/hari selama 14 hari
Kelompok 5: Tikus dipapar debu batubara 6,25 mg/m3 1 jam/hari selama 28 hari
Kelompok 6: Tikus dipapar debu batubara 12,5 mg/m3 1 jam/hari selama 28 hari
Kelompok 7: Tikus dipapar debu batubara 25 mg/m3 1 jam/hari selama 28 hari