perbandingan infeksi endoparasit pada feses sapi …

51
PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF DAN SEMI INTENSIF DI DESA KLUMPANG KEBUN, KECAMATAN HAMPARAN PERAK SUMATERA UTARA SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains DINI THAHIRA 140805011 PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Upload: others

Post on 06-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI

YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF DAN SEMI INTENSIF

DI DESA KLUMPANG KEBUN, KECAMATAN HAMPARAN

PERAK SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana

Sains

DINI THAHIRA

140805011

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 2: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 3: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

ii

PERNYATAAN ORISINALITAS

PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI

YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF DAN SEMI INTENSIF

DI DESA KLUMPANG KEBUN, KECAMATAN HAMPARAN

PERAK SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa

kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Agustus 2018

Dini Thahira

140805011

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 4: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

iii

PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI

YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF DAN SEMI INTENSIF

DI DESA KLUMPANG KEBUN, KECAMATAN HAMPARAN

PERAK SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Metode pemeliharaan berpengaruh terhadap infeksi parasit yang menyerang

sapi ternak. Penelitian tentang perbandingan infeksi endoparasit pada feses sapi yang

dipelihara secara intensif dan semi intensif di Desa Klumpang Kebun, Kecamatan

Hamparan Perak Sumatera Utara, telah dilakukan pada bulan Maret hingga April

2018. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui jenis, perbandingan, prevalensi

dan intensitas endoparasit. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses

dari masing-masing 20 ekor sapi pada sistem pemeliharaan secara intensif dan semi

intensif. Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Parasitologi, Balai

Veteriner Medan dengan metode sedimentasi glass beads. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pada sapi yang dipelihara secara intensif ditemukan parasit

Paramphistomum sp. dengan prevalensi 32,5% (Commonly) serta intensitas serangan

7,2 (sedang); Fasciola sp. dengan prevalensi 10% (Often) serta intensitas serangan 1

(ringan); Dicrocoelium sp. dengan prevalensi 2,5% (Occasionally) serta intensitas

serangan 1 (ringan); dan Buxtonella sp. dengan prevalensi 22,5% (Often) serta

intensitas serangan 4 (ringan). Prevalensi pada feses sapi yang dipelihara secara semi

intensif yaitu Paramphistomum sp. dengan prevalensi 45% (Commonly) serta

intensitas serangan 12 (sedang); Fasciola sp. dengan prevalensi 22,5% (Often) serta

intensitas serangan 3,1 (ringan); dan Buxtonella sp. dengan prevalensi 35%

(Commonly) serta intensitas serangan 18,6 (sedang). Sapi yang dipelihara secara

intensif memiliki resiko serangan parasit lebih besar dibandingkan secara semi

intensif.

Kata kunci: Feses, intensif, sapi, sedimentasi, semi intensif.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 5: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

iv

COMPARISON OF ENDOPARASITE INFECTION IN CATTLES

WHICH MAINTAINED WITH INTENSIVE AND SEMI

INTENSIVE METHOD IN KLUMPANG KEBUN VILLAGE,

DISTRICT OF HAMPARAN PERAK, NORTH SUMATRA

ABSTRACT

A different method of maintenance system will affect the parasitic infection

that attacked cattles. Research on the comparison of endoparasite infection in cattles

which maintained with intensive and semi intensive method in Klumpang Kebun

village, District of Hamparan Perak, North Sumatra, has been conducted from

March until April 2018. The purpose of this study were to determine the types,

comparison, the prevalence and intensity of endoparasite. The sample used in this

study were feces from each of 20 cattles maintained with intensive and semi itensif

method. Examination of samples carried out in the laboratory of Parasitology, Balai

Veteriner Medan with glass beads sedimentation method. The results showed that in

cattles maintained with intensive method found 4 species of parasites i.e.

Paramphistomum sp. with a prevalence value of 32,5% (Commonly) and intensity

value of 7,2 (moderate); Fasciolasp. with a prevalence value of 10% (Often) and

intensity of 1 (mild); Dicrocoelium sp. with a prevalence value of 2,5%

(Occasionally) and intensity value of 1 (mild); Buxtonellasp. with a prevalence value

of 22,5% (Often) and intensity value of 4 (mild). In cattles maintained with semi

intensive method found 3 species of parasites i.e. Paramphistomum sp. with a

prevalence value of 45% (Commonly) and intensity value of 12 (moderate); Fasciola

sp. with a prevalence value of 22,5% (Often) and intensity value of 3,1 (mild); and

Buxtonella sp. with a prevalence value of 35% (Commonly) and intensity value of

18,6 (moderate).Cattles maintained with intensive method tend to have parasitic

attacks risk greater than semi intensive.

Key word: Cattle, feces, intensive, sedimentation, semi intensive

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 6: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

v

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia

dan hidayat-Nya sehingga akhirnya dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang

berjudul Perbandingan Infeksi Endoparasit Pada Feses Sapi Yang Dipelihara

Secara Intensif Dan Semi Intensif Di Desa Klumpang Kebun, Kecamatan

Hamparan Perak Sumatera Utara. Skripsi ini disusun dan dibuat sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr.

Masitta Tanjung, M.Si. selaku Dosen Pembimbing dan juga dalam berbagai hal tak

hanya dalam hal dukungan, dorongan, bimbingan, arahan, motivasi, semangat, dan

waktu hingga penyempurnaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Ucapan terima

kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drs. Nursal, M.Si dan Ibu Dr. Kaniwa Berliani,

M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan masukkan dan arahan demi

menyempurnakan skripsi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Saleha

Hannum, M.Si selaku ketua Departemen Biologi dan kepada Bapak Riyanto Sinaga,

S.Si, M.Si selaku sekretaris Departemen Biologi. Penulis ucapkan terima kasih

kepada Bapak T. Alief Aththorick, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang

telah banyak memberikan nasehat dan bimbingan kepada penulis dalam menjalani

perkuliahan.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak drh. Sintong HMT

Hutasohit, M.Si selaku kepala Balai Veteriner Medan dan Ibu drh. Nensy Marnana

Hutagaol selaku Kepala Seksi Pelayanan Teknis Balai Veteriner Medan yang telah

memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian. Penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada Ibu drh. Eskayanti, Ibu Hermintha, S.Pt dan Ibu Samaritha, S.Pt

selaku Staf Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan yang telah membantu

penulis dalam penelitian. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak peternak

Wardi yang telah memberikan izin untuk penelitian dilahan pertaniannya.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang tersayang

Ayahanda dan Ibunda yang tercinta Agus Sardi dan Yusnani atas segala doa

,dukungan, semangat, materi, motivasi, nasihat serta kasih sayangyang selalu ada

untuk penulis. Terima kasih juga kepada Om dan Tante yang tersayang Edi Zainal,

Evi Iriani, Ridwan Tanjung, Efrizal, Laila Oktavia, dan Safitri serta adik tersayang

saya Refika Zehan, M.Rafli Sardi, Maysarah Pritima dan Tasya Fadhilla yang

memberikan dukungan, motivasi dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat Fidha Meidiah

Situmorang, Filzah Perdana Kusuma, Suci Heriani, Titi Dwi Hardianti, Putri Maura

Rangkuti, Sri Susanti, Evi Karmila Naibaho, Kurnia Pratiwi, Sella Nancy, Aries

Hardiansyah, Rendra Syahputra Tanjung, Irfan A, Randi Aritonang, Bagus

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 7: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

vi

Prioprakoso, teman-teman Tercyduk, teman-teman Buabueb, teman-teman Genom

14, dan teman-teman Fisiologi Hewan Rahma, Winda, Utika, Aries, Rendra, kak

Priya, kak Ruth, kak Dilla, kak Siti Aisyah Putri Ayu, Fitri, Elvi, Dwi. Terima kasih

juga kepada adik asuh stambuk 2016 Cindy, Silvia, Ilmal, Febri, Cege, Edi Cina,

rika, wardah, herwina, gilang, yang memberikan semangat dalam menyelesaikan

skripsi ini dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima

kasih atas bantuannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi yang disajikan ini masih terdapat

kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun

guna kesempurnaan penulisan skripsi ini. Demikianlah skripsi ini, semoga dapat

memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Agustus 2018

Dini Thahira

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 8: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

vii

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ii

ABSTRAK iii

ABSTRACT iv

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN X

BAB 1. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Manfaat Penelitian 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1 Klasifikasi Sapi (Bos sp.) 3

2.2 Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong 3

2.3 Penyakit Pada Ternak Sapi 5

2.4 Jenis-Jenis Endoparasit Pada Hewan Ruminansia 7

2.4.1 Cacing Kelas Trematoda (Cacing Hisap/ Gepeng) 7

2.4.2 Cacing Kelas Nematoda (Cacing Giling) 7

2.4.3 Cacing Kelas Cestoda (Cacing Pita) 8

2.4.4 Protozoa 8

2.5 Pencegahan infeksi Cacing Parasit 9

BAB 3. METODE PENELITIAN 10

3.1 Waktu Dan Tempat 10

3.2 Metode Penelitian 10

3.2.1 Pengambilan Sampel 10

3.2.2 Pemeriksaan Sampel 11

3.3 Identifikasi 12

3.4 Analisis Data 12

Bab 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 14

4.1 Jenis Endoparasit Pada Feses Sapi 14

4.2 Karakteristik Telur Cacing Paramphistomum sp. 15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 9: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

viii

4.3 Karakteristik Telur Cacing Fasciola sp. 16

4.4 Karakteristik Telur Cacing Dicrocoelium sp. 17

4.5 Karakteristik Telur Cacing Buxtonella sp. 18

4.6 Jumlah Dan Perbandingan Tingkat Infeksi Endoparasit 20

4.7 Prevalensi Infeksi Endoparasit 21

4.8 Intensitas Serangan Endoparasit 23

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 24

5.1 Kesimpulan 24

5.2 Saran 24

DAFTAR PUSTAKA 25

LAMPIRAN 30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 10: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

ix

DAFTAR TABEL

Nomor

Tabel

Judul Halaman

3.1 Nilai Kategori Intensitas 13

3.2 Nilai Kategori Prevalensi 13

4.1 Jenis Endoparasit Pada Feses Yang Dipelihara

Secara Intensif dan Semi Intensif

14

4.6 Jumlah Dan Perbandingan Tingkat Infeksi

Endoparasit

20

4.7 Prevalensi Infeksi Endoparasit Pada Feses Sapi

Yang Dipelihara Secara Intensif Dan Semi

Intensif

22

4.8 Intensitas Serangan Endoparasit 23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 11: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Gambar

Judul Halaman

3.2.1 Metode Pemeliharaan 11

4.2 Karakteristik Telur Cacing Paramphistomum sp. 15

4.3 Karakteristik Telur Cacing Fasciola sp. 16

4.4 Karakteristik Telur Cacing Dicrocoelium sp. 18

4.5 Karakteristik Telur Cacing Buxtonella sp. 19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 12: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Lampiran

Judul Halaman

1. Kegiatan kerja 33

2. Bagan Kerja Pemeriksaan Feses Sapi 34

3.

Data Jumlah Telur Cacing Parasit Yang Dipelihara

Secara Intensif Di Desa Klumpang Kebun Kecamatan

Hamparan Perak

35

4.

Data Jumlah Telur Cacing Parasit Yang Dipelihara

Secara Semi Intensif Di Desa Klumpang Kebun

Kecamatan Hamparan Perak

36

5. Hasil Penelitian Berdasarkan Balai Veteriner Medan 37

6. Hasil Penelitian Berdasarkan Balai Veteriner Medan 41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 13: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hewan ternak yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat yaitu sapi

(Bos sp) dan kerbau (Bubalus sp). Produktivitas ternak sapi dan kerbau berupa

daging selama 20 tahun terakhir rata-rata 6,70%. Pertumbuhan produksi daging ini

masih jauh dari angka harapan yaitu 7,10%. Produksi daging mengalami penurunan

disebabkan oleh cacing parasit saluran pencernaan. Berdasarkan survei di beberapa

pasar hewan di Indonesia menunjukkan bahwa 90% hewan ternak sapi dan kerbau

mengidap penyakit cacingan yaitu cacing hati (Fasciola hepatica), cacing gelang

(Neoascaris vitulorum) dan cacing lambung (Haemonchus contortus). Penyebab

kecacingan dapat terjadi karena konsumsi hijauan yang masih berembun dan

tercemar vektor pembawa cacing (Nofyan et al., 2010).

Aspek pemeliharaan sapi harus mendapat perhatian agar angka kelahirannya

dapat ditingkatkan, sedangkan angka kematiannya ditekan serendah mungkin.

Pengendalian terhadap penyakit infeksius seperti parasit sering diabaikan karena

pada umumnya tidak menimbulkan bahaya dan sebagian besar bersifat subklinik

(Subronto, 2007). Pemeliharaan ternak besar khususnya sapi oleh peternak rakyat

dikategorikan dalam 3 cara metode pemeliharaan yaitu pemeliharaan intensif ternak

dikandangkan, pemeliharaan semi-intensif ternak dikandangkan dan dilepas, serta

pemeliharaan ekstensif ternak dilepas sama sekali (Sensus Pertanian, 2015).

Peternak sapi di Desa Klumpang Kebun menggunakan metode pemeliharaan

secara intensif dan semi intensif. Masyarakat tersebut biasanya lebih dominan

memelihara sapi peranakan ongole (po). Sapi-sapi tersebut dipelihara untuk

memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Klumpang, tanpa memperhatikan kondisi

kandang, pakan, serta penyakit pada sapi-sapi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari

bentuk tubuh sapi yang kurus, serta kecil sehingga diperkirakan sapi-sapi tersebut

terjangkit penyakit.

Kerugian ekonomi secara global pada ternak sapi diperkirakan mencapai 36

milyar rupiah per tahun. Kerugian ini dapat berupa kematian, penurunan berat badan,

kehilangan karkas, kerusakan hati, kehilangan tenaga kerja, penurunan produksi susu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 14: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

2

10-20%, dan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan (Charlier et al., 2008).

Untuk mengatasi kerugian pada peternak sapi maka di perlukan informasi jenis

endoparasit yang menginfeksi sapi pada Desa Klumpang Kebun.

1.2 Permasalahan

Peternakan sapi di desa Klumpang Kebun, Kecamatan Hamparan Perak

Sumatera Utara menggunakan metode pemeliharaan secara intensif dan semi

intensif. Sapi yang dipelihara secara intensif diberikan pakan berupa rumput dan

konsentrat. Metode secara semi intensif makanan sapi diperoleh dari lingkungan

bebas seperti padang rumput sekitar areal peternakan. Kedua metode pemeliharaan

tersebut diduga terdapat perbedaan infeksi endoparasit pada sapi, oleh sebab itu

diperlukan informasi mengenai jenis endoparasit yang diharapkan informasi ini dapat

mengurai kerugian ekonomi peternakan sapi di Desa Klumpang Kebun.

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini yaitu :

a. Mengetahui jenis-jenis endoparasit pada feses sapi yang dipelihara secara intensif

dan semi intensif.

b. Mengetahui perbandingan infeksi jumlah telur cacing yang ditemukan.

c. Mengetahui prevalensi endoparasit yang menginfeksi sapi yang dipelihara secara

intensif dan semi intensif.

d. Mengetahui intensitas serangan endoparasit yang menginfeksi sapi yang

dipelihara secara intensif dan semi intensif.

1.4 Manfaat

Manfaat penelitian ini yaitu :

a. Memberi informasi kepada Dinas Peternakan Sumatera Utara mengenai jenis

endoparasit yang menginfeksi hewan ternak sapi yang dipelihara secara intensif

dan secara semi intensif di Desa Klumpang Kebun.

b. Memberi informasi kepada masyarakat bahaya yang ditimbulkan oleh infeksi

endoparasit terhadap ternak sapi yang dapat merugikan peternak.

c. Memberi informasi untuk mengatasi kerugian pada peternak sapi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 15: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioekologi Sapi (Bos sp.)

Sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut: Phylum: Chordata,

Subphylum: Vertebrata, Class: Mamalia, Sub class: Theria, Infra class: Eutheria,

Ordo: Artiodactyla, Sub ordo: Ruminantia, Infra ordo: Pecora, Famili: Bovidae,

Genus: Bos (cattle), Group: Taurinae Spesies: Bos taurus (sapi Eropa), Bos indicus

(sapi India/sapi zebu), Bossondaicus (banteng/sapi Bali) (Blakely and Bade, 1992).

Jenis sapi di Indonesia yang dijadikan sumber daging yaitu sapi bali, sapi

ongole, sapi po (peranakan ongole) dan sapi madura, selain itu, sapi aceh banyak

diekspor ke Malaysia (Penang). Populasi sapi potong penyebarannya dianggap

merata masing-masing antara lain: sapi bali, sapi po, madura dan brahman (Supriyo,

2010). Pada Desa Klumpang Kebun, peternak sapi kebanyakan memilih sapi po

untuk dipelihara.

Sapi po merupakan salah satu sapi lokal yang banyak dibudidayakan di

Indonesia dengan populasi terbesar di Pulau Jawa (Astuti 2004). Total populasi sapi

po di Jawa Tengah sebesar 51,93% (Sumadi 2009). Sapi ini disukai oleh peternak,

tidak menemui banyak kesulitan dalam kinerja reproduksinya dan memiliki tingkat

kebuntingan yang lebih mudah dibandingkan dengan sapi keturunan sub tropis

(Subiharta et al., 2013).

Ciri-ciri sapi po berwarna putih dengan warna hitam di beberapa bagian tubuh,

bergelambir dan berpunuk. Daya adaptasinya baik, bertanduk pendek dan hampir

tidak terlihat. Jenis ini telah disilangkan dapat tercapai apabila jumlah pemberian

bahan kering pakan pada sapi dara yaitu 3% dari berat badan (Supriyo, 2010).

2.2 Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong

Peternak sapi di Indonesia kurang memperhatikan masalah penyakit parasitik.

Mereka masih menggunakan sistem semi intensif dengan membiarkan sapi mencari

makan sendiri (sistem gembala) bahkan ada juga yang sama sekali tidak

dikandangkan (sistem tradisional). Pemeliharaan sapi dengan kedua sistem ini dapat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 16: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

4

meningkatkan peluang besar bagi cacing untuk berkembang biak (Harminda, 2011).

Penyakit parasitik yang paling serius pada ternak sapi yaitu paramphistomiasis.

Paramphistomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Paramphistomum

sp. yang merupakan salah satu cacing dalam kelas trematoda dari famili

Paramphistomidae (Mage et al., 2002).

Paramphistomum sp. disebut juga sebagai cacing hisap karena pada saat

menempel, cacing ini menghisap makanan berupa jaringan atau cairan tubuh

hospesnya (Subronto dan Tjahajati, 2001). Infeksi Paramphistomum sp. dalam

jumlah sedikit tidak menimbulkan gejala klinis pada ternak, tetapi pada infeksi yang

berat dapat menimbulkan gastroenteritis dan menyebabkan kematian cukup tinggi,

terutama pada ternak muda (Melaku dan Addis, 2012).

Sapi potong yang sehat dengan pertumbuhan yang baik, maka pemeliharaan

dan perawatan harus dilakukan sebaik-baiknya. Keberhasilan tahap pemeliharaan

sebelumnya merupakan pangkal pemeliharaan berikutnya. Jadi usaha pemeliharaan

pada umumnya selalu disesuaikan dengan fase hidup sapi yang bersangkutan, mulai

dari pedet, sapi muda sampai sapi dewasa (finishing). Sudarmono dan Sugeng (2008)

mengatakan sistem pemeliharaan sapi potong dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:

a. Pemeliharaan ekstensif

Pada daerah seperti di luar Pulau Jawa lahannya masih cukup luas dan tidak

dapat dipakai sebagai usaha pertanian, serta sangat cocok sebagai padang

pengembalaan sapi yang dipelihara secara ekstensif. Sapi-sapi tersebut dilepaskan di

padang pengembalaan dan digembalakan sepanjang hari, mulai pagi hari sampai sore

hari. Selanjutnya, sapi digiring ke kandang dengan kondisi kandang tidak memiliki

atap, di dalam kandang sapi tersebut tidak diberi pakan tambahan lagi (Sudarmono

dan Sugeng, 2008).

Sistem ekstensif biasanya aktivitas perkawinan, pembesaran, pertumbuhan

dan penggemukan ternak sapi dilakukan oleh satu orang yang sama di padang

penggembalaan yang sama (Parakkasi, 1999). Daerah yang luas padang rumputnya,

tandus dan iklimnya tidak memungkinkan untuk pertanian, maka dapat dilakukan

usaha peternakan secara ekstensif. Sepanjang hari sapi digembalakan dan malam hari

dikumpulkan di tempat tertentu yang diberi pagar, biasanya disebut kandang terbuka

(Sosroamidjojo, 1991).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 17: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

5

b. Pemeliharaan Semi Intensif

Pemeliharaan semi intensif yaitu sapi-sapi diikat dan ditempatkan di kebun

atau di perkarangan sekitar rumah yang memiliki rumput yang tumbuh subur. Pada

sore harinya sapi-sapi dimasukan ke dalam kandang sederhana yang dibuat dari

bahan bambu, kayu, atau genteng atau rumbia dan sebagainya, yang lantainya dari

tanah yang dipadatkan. Kandang sapi setiap hari harus dibersihkan. Sapi-sapi

dimandikan setiap hari sekali atau minimal seminggu sekali. Pakan tambahan yang

diberikan diletakkan di tempat khusus dengan ukuran 0,5 x 1,2 x 0,6 m atau ember

plastik dan sebagainya (Sudarmono dan Sugeng, 2008).

c. Pemeliharaan Intensif

Pemeliharaan secara intensif yaitu sapi-sapi memperoleh perlakuan yang

lebih teratur atau rutin dalam hal pemberian pakan, pembersihan kandang,

memandikan sapi, menimbang, serta mengendalikan penyakit dan sebagainya

(Sudarmono dan Sugeng, 2008). Sugeng (2007) mengemukakan bahwa pada

umumnya sapi-sapi yang dipelihara secara intensif hampir sepanjang hari berada di

dalam kandang. Sapi tersebut diberi pakan sebanyak dan sebaik mungkin sehingga

cepat menjadi gemuk dan kotorannya cepat bisa terkumpul dalam jumlah yang lebih

banyak untuk digunakan sebagai pupuk.

2.3 Penyakit Pada Ternak Sapi

Penyakit pada ternak secara umum terbagi dua yaitu, penyakit infeksius dan

penyakit non infeksius. Penyakit infeksius adalah penyakit yang disebabkan oleh

agen-agen infeksi. Agen-agen infeksi penyebab penyakit tersebut antara lain virus,

bakteri dan parasit. Penyakit non infeksius adalah penyakit yang disebabkan selain

agen infeksi misalnya akibat defisiensi nutrisi, defisiensi vitamin, defisiensi mineral,

keracunan dan pakan (Triakoso, 2009).

Penyakit pada ternak sapi yang cukup merugikan yaitu penyakit parasit.

Parasit pada ternak dapat berupa parasit hewan seperti cacing, kutu, selain parasit

hewan, jamur dan bakteri juga sering menginfeksi sapi (Nofyan et al., 2010). Infeksi

parasit cacing masih menjadi faktor yang sering mengganggu kesehatan sapi dan

menyebabkan kerugian ekonomi yang besar terutama pada peternakan rakyat, karena

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 18: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

6

didukung oleh penerapan sistem pemeliharaan dan kebersihan lingkungan yang

buruk (McManus dan Dalton, 2006).

Cacing dari genus nematoda yang paling sering menginfeksi ruminansia

terutama sapi, domba dan kambing yaitu Haemonchus sp.. Telur ini di temukan

biasanya pada abomasum ruminansia dan memiliki jangkauan yang luas terutama di

daerah tropis (Levine 1994, Pfukenyi dan Mukaratirwa, 2013). Cacing ini dapat

memberikan kerugian ekonomis dan material yang besar bagi industri agrikultur.

Siklus hidup nematoda pada ruminansia bersifat langsung tanpa membutuhkan

hospes intermediet sehingga intensitas nematoda pada sapi cukup tinggi (Bowman

and Georgi, 2009).

Jenis penyakit parasitik yang umum dijumpai pada ruminansia khususnya

sapi yaitu fasciolosis dan nematodosis. Jenis nematodosis antara lain cacing

Haemonchus contortus, Toxocara vitulorum, Oesophagostomum sp., Bunostomum

sp. dan Trichostrongylus sp. (Silva et al., 2014). Hestiningsih (2004) mengemukakan

bahwa dari hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa infeksi telur cacing

tertinggi yaitu Haemonchus contortus yang banyak ditemukan pada sampel feses dari

TPA Jatibarang. Roeber et al. (2013) mengemukakan bahwa intensitas cacing yang

paling tinggi ditemukan pada domba, sapi dan ruminansia kecil lain yaitu

Haemonchus sp. Pada sapi dewasa jumlah telur cacing per gram (eggs per gram, epg)

feses rata-rata sebesar 657 epg, sedangkan pada sapi anakan sebanyak 1080 epg.

Nilai tersebut tergolong infeksi sedang dan hanya perlu perawatan rutin dengan

anthelmintik (Thienpont et al., 1995).

Penyakit pada sapi berbeda dengan penyakit ternak yang disebabkan oleh

virus dan bakteri, karena kerugian ekonomi yang disebabkan oleh virus dan bakteri

dapat diketahui dengan mudah melalui kematian ternak. Kerugian utama akibat

penyakit parasit yaitu kekurusan, terlambatnya pertumbuhan, turunnya daya tahan

tubuh terhadap penyakit lain dan gangguan metabolisme (Sudardjat, 1991).

Parasit gastrointestinal menyebabkan penurunan produksi ternak secara luas

dan sering diabaikan, sehingga dapat menyebabkan kerugian pada hewan muda.

Parasit ini terdiri dari protozoa seperti Coccidia, merupakan kelompok cacing dari

kelas nematoda, cestoda, dan trematoda (Guilloteau, 2009).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 19: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

7

Helminthiasis gastrointestinal merupakan masalah besar bagi peternakan di

Indonesia. Kasus infestasi cacing Toxocara vitulorum dan cacing genus Fasciola

banyak menyerang sapi pada peternakan rakyat (Sarwono dan Arianto, 2001). Hal ini

menyebabkan menurunkan bobot hidup hingga mencapai sekitar 30% dan kematian

ternak mencapai 17% terutama pada ternak muda (Beriajaya dan Stevenson, 1986).

Pengetahuan penyakit-penyakit pada ternak akan sangat membantu

mengetahui perbedaan-perbedaan gejala klinis dan perubahan-perubahan patologi

yang terjadi pada ternak. Pengetahuan tersebut akan sangat membantu untuk

menggali informasi sejarah penyakit secara eksploratif dan efektif, mengamati

dengan baik perubahan fisik, postur, fisiologis serta melakukan pemeriksaan fisik

dengan baik dan benar sehingga dapat diperoleh informasi yang cukup guna

menegakkan diagnosis (Triakoso, 2009).

2.4 Jenis-Jenis Endoparasit Pada Hewan Ruminansia

2.4.1 Cacing Kelas Trematoda (Cacing Hisap/ Gepeng)

Jeffrey Dan Leach (1983) mengemukakan bahwa kelas Trematoda termasuk

dalam filum Plathyhelminthes memiliki ciri-ciri yaitu : badan tidak bersegmen,

umumnya hermaprodit, reproduksi ovipar (berbiak dalam larva), infeksi terutama

oleh stadium larva yang masuk lewat mulut sampai usus. Semua organ dikelilingi

oleh sel-sel parenkim, badan tak berongga dan mempunyai mulut penghisap atau

sucker.

Soulsby (1968) mengemukakan bahwa umumnya sifat parasit pada hewan

vertebrata, permukaan tubuh terdapat epidermis bersilia dan tubuh dilapisi oleh

kutikula. Yang termasuk ke dalam cacing ini genus Fasciola (cacing hati) yang

berwarna merah muda ke kuning-kuningan sampai abu-abu ke hijau-hijauan, cacing

Paramphistomum sp. (cacing parang) dan Genus Schistosoma (menyerang sistem

peredaran darah) (Jasin, 1984).

2.4.2 Cacing Kelas Nematoda (Cacing Giling)

Kelas Nematoda termasuk kedalam filum Nemathelminthes dengan ciri-ciri

yaitu: tubuh tidak bersegmen, memiliki bentuk silindris, mempunyai rongga tubuh

mulai dari mulut sampai dengan anus, umumnya terpisah dan reproduksi secara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 20: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

8

ovipar. Infeksi terutama disebabkan karna termakannya telur/ larva dalam kista

(Jeffrey Dan Leach, 1983).

Beberapa contoh cacing yang termasuk ke dalam kelas Nematoda yang sering

menginfeksi hewan ternak seperti sapi atau kerbau jenisnya yaitu: Ascaris vitulorum

(cacing gelang), Oesophagustomum sp (cacing bungkul), Bunostomum sp (cacing

kait), Haemunchus sp. (cacing lambung), Trichostrongylus sp.(cacing rambut),

Beberapa cacing yang sering ditemukan pada unggas diantaranya: Ascaridia galli

(cacing gelang besar), Heteraxis galinarrum (cacing gelang kecil), Cappilaria sp

(cacing rambut), Amidostomum anserus (cacing perut) dan Syngamus trachea

(cacing trachea) (Suwandi, 2001).

2.4.3 Cacing Kelas Cestoda (Cacing Pita)

Kelas Cestoda cacing ini mempunyai ciri-ciri tubuh bersegmen, mempunyai

scolex leher, proglotida (telur berembryo), hermaprodit, reproduksi ovipar dan

kadang-kadang berbiak dalam bentuk larva, infeksi umumnya oleh larva dalam kista

(Suwandi, 2001).

Arifin Dan Soedarmono (1982) mengemukakan bahwa cacing dari kelas

cestoda yang biasanya hidup dalam usus kecil sapi dan kerbau: jenisnya yaitu

Moniezia sp. dan Taenia sp. kedua jenis cacing parasit dari kelas cestoda ini yang

sering ditemukan didalam usus kecil hewan ruminansia.

2.4.4 Protozoa

Protozoa merupakan mikroorganisme yang sebagian besar bersel satu dengan

ciri-ciri khusus: memiliki bentuk yang bermacam-macam (berukuran 0,0002-0,003

mm), memiliki inti yang bergerak-gerak dengan flagella, pseudopodia, silia/ bergerak

sendiri, ada yang hidup bebas, komensalisme, mutualistis dan parasit, berkembang

biak secara asexual dan beberapa konyugasi (JASIN, 1984).

Beberapa golongan filum protozoa yang penting dan biasanya menyerang

tractus digestivus hewan ruminansia contohnya seperti sapi dan kerbau adalah

golongan Coccidia (saluran pencernaan), Trypanosoma (menyerang sel darah

merah), Babesiosis, Anaplasmosis, Theileriosis (menyerang sel darah merah) dan

Trichomonas (menyerang sistem perkemihan) (Suwandi, 2001).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 21: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

9

2.5 Pencegahan infeksi Cacing Parasit

Manajemen pencegahan dan pengendalian penyakit pada ternak sapi

merupakan salah satu upaya mendukung program swasembada daging sapi 2014.

Pencegahan penyakit dilakukan dengan memperhatikan perkandangan yang baik

misalnya ventilasi kandang, lantai kandang, juga kontak dengan sapi lain yang

sedang sakit. Sanitasi merupakan usaha pencegahan penyakit dengan cara

menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan

perpindahan dari penyakit tersebut (Astiti et al., 2010). Perbaikan manajemen

kesehatan hewan langsung mempengaruhi kesehatan reproduksi dan reproduktivitas

ternak. Status reproduksi dan produktivitas merupakan mata rantai yang tidak

terpisahkan pada pengembangbiakan (breeding) sapi potong (Putro, 2004).

Levine (1990) mengemukakan bahwa parasitisme pada sapi dapat dilakukan

dengan cara:

a. Memisahkan hewan-hewan muda dari yang dewasa sedini mungkin. Hewan yang

lebih tua merupakan sumber infeksi bagi hewan muda.

b.Menghindari air dari padang rumput. Larva parasit mampu hidup lebih lama pada

padang rumput yang lembab.

c. Memberi makan sapi ditempat yang kering bila memungkinkan, penularan parasit

minimum pada tempat yang kering.

Ada dua aspek utama pencegahan yaitu aspek hygiene perorangan dan

sanitasi lingkungan. Personal hygiene lebih fokus dalam beberapa perilaku individu

untuk mengupaya memutus rantai penularan. Sanitasi lingkungan lebih fokus

terhadap pencegahan yang terletak dalam hal rekayasa lingkungan dalam mengisolir

sumber infeksi. Pada dasarnya obat untuk cacingan (anthelmintik) yaitu obat yang

bekerja secara lokal yang berfungsi untuk membasmi cacing yang berada di saluran

pencernaan. Suatu antelmintik yang ideal sebaiknya aman dan mudah digunakan,

serta dapat diberikan secara oral dengan baik dalam dosis tunggal maupun dosis

terbagi.

Obat cacing yang umum dikenal antara lain mebendazol dan albendazol.

Kedua obat ini digunakan untuk mengatasi terapi terhadap cacing gelang, cacing

cambuk, dan cacing tambang (Anorital, 2014). Dosis yang biasanya digunakan yaitu

sesuai dengan ringan atau beratnya sapi tersebut terjangkit penyakit parasitik.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 22: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

10

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu Dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2018 hingga bulan April 2018 di Desa

Klumpang Kebun, Kec. Hamparan Perak, Sumatera Utara. Analisis dilakukan di

Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Medan, Sumatera Utara.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu feses sapi. Pengambilan

sampel dilakukan pada bulan Maret 2018 di Desa Klumpang yang diambil secara

acak/ Random Sampling. Rumus untuk menentukan jumlah sampel yaitu dengan

menggunakan rumus Slovin (Inriani, 2015).:

n = N

N d2 + 1

Keterangan, n = Besaran Sampel

N = Populasi

d = Tingkat kepercayaan/ketetapan yang diinginkan (0,1)

Jika populasi ternak sapi yang ada di Desa Klumpang sebanyak 80 Ekor dengan

metode pemeliharaan secara intensif dan semi intensif, dan nilai presisi sebesar 0,1%

maka didapatkan jumlah sampel yaitu :

n = N

N d2 + 1

n = 80

80.0,12+1

n = 80

2

= 40 Ekor Sapi (Dari kedua metode pemeliharaan)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 23: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

11

Sampel yang diambil 40 feses dari kedua metode pemeliharaan yaitu secara

intensif dan semi intensif, dengan cara mengambil kotoran sapi yang masih segar lalu

feses diambil dengan menggunakan spatula kemudian di masukkan ke dalam sample

cup, sample cup yang berisi feses dimasukkan ke dalam coolbox, kemudian sampel

diberi label Sp1 pada sampel feses satu dan seterusnya. Sampel dibawa ke

Laboratorium Parasitologi Balai Veteriner Medan Sumatera Utara. Gambar 3.2.1

merupakan metode pemeliharaan dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

.

Gambar 3.2.1 Areal sapi dengan pemelihara secara intensif

Gambar 3.2.1 Areal sapi dengan pemeliharaan secara

semi intensif

3.2.2 Pemeriksaan Sampel

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode sedimentasi Glass

Beads. Cara pemeriksaannya yaitu sampel feses diambil 1 gram lalu dimasukkan ke

dalam tabung centrifuge A ukuran 50 ml, ditambahkan 10 ml air kran, dikocok

sampai homogeny. Sampel yang telah homogen dimasukkan ke dalam tabung

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 24: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

12

centrifuge (tabung B) yang telah diisi dengan butir kaca. Sampel dimasukkan melalui

saringan wire mesh, sisa sampel yang ada pada tabung A dibilas dengan air,

kemudian air bilasan dimasukkan ke dalam tabung B sampai suspensi sebatas leher

tabung. Setelah itu, selama lima menit sampai terjadi suspense, setelah 5 menit

diletakkan tabung B ke dalam rotator dan putar lima kali pada kecepatan 10 detik per

rotasi. Setelah diputar dibuang supernatant dengan aspirator, ditambahkan lagi air

sebanyak 50 ml, diaduk dan didiamkan selama 5 menit. Kemudian dimasukkan

kembali ke dalam rotator, diputar sebanyak lima putaran, dituang supernatan,

diamkan 5 menit untuk di sedimentasi. Setelah 5 menit dibuang supernatan dan

ditinggalkan kurang lebih 2 ml dari endapan, diletakkan seluruh endapan di atas

mikroskop. Perlakukan yang sama dilakukam terhadap semua sampel feses pada

peternakan di Desa Klumpang Kebun, Kecamatan Hamparan Perak Sumatera Utara

(Taira, 1985).

3.3 Identifikasi

Identifikasi jenis telur cacing parasit dilakukan di Laboratorium Parasitologi

Balai Veteriner Medan dengan menggunakan buku identifikasi Atlas Parasitologi

Oleh Soulsby (1968). Soulsby (1968) mengemukakan bahwa setiap jenis telur cacing

parasit diidentifikasi dengan pengamatan langsung pada gelas objektif yang berisi

sampel secara zig-zag dimulai dari sudut kiri sampai dengan sudut kanan dan

dilanjutkan ke bagian bawah dari gelas objektif.

3.4 Analisis Data

Data hasil penelitian yang diperoleh yaitu berupa data jenis dan jumlah individu

yang ditemukan dan dianalisis secara deskriptif. Perhitungan prevalensi dan

intensitas untuk setiap jenis yang ditemukan. Untuk menghitung prevalensi dan

intensitas dilakukan dengan menggunakan rumus perhitungan. Bush et al. (1997)

mengemukakan bahwa rumus dari prevalensi dan intensitas yaitu:

Prevalensi = Jumlah sampel yang terserang infeksi parasit

x 100%

Jumlah sampel yang diperiksa

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 25: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

13

Intensitas = Jumlah parasit yang ditemukan

Jumlah sampel yang terinfeksi parasit

Untuk melihat kategori infeksi berdasarkan prevalensi dapat dilihat pada Tabel

3.1 di bawah ini :

Tabel 3.1 Nilai kategori prevalensi

No. Kategori Infestasi Rentang Nilai (%)

1. Almost never <0,01

2. Very rarely <0,1-0,01

3. Rarely <1-0,1

4. Occasional 1-9

5. Often 10-29

6. Commonly 30-49

7. Frequently 50-69

8. Usually 70-89

9 Almost always 90-98

10. Always 99-100

(Williams dan Williams, 1996)

Untuk melihat kategori infeksi berdasarkan intensitas dapat dilihat pada Tabel

3.2 di bawah ini:

Tabel 3.2 Nilai kategori intensitas

No. Nilai Kategori

1. <1 Parasit sangat ringan

2. 1-5 Parasit ringan

3. 6-50 Parasit sedang

4. 51-100 Parasit berat

5. >100 Parasit sangat berat

6. >1000 Super infeksi parasit

(Williams dan Williams, 1996)

Keterangan:

Almost never : Parasit hampir tidak pernah menginfeksi (<0,01%)

Very rarely : Parasit sangat jarang menginfeksi (<0,1-0,01%)

Rarely : Parasit jarang menginfeksi (<1-0,1%)

Occasionally : Parasit kadang-kadang menginfeksi (1-9%)

Often : Parasit sering menginfeksi (10-29%)

Commonly : Parasit biasa menginfeksi (30-49%)

Frequently : Parasit sering kali menginfeksi (50-69%) Usually : Parasit biasanya menginfeksi (70-89%)

Almost always : Parasit hampir selalu menginfeksi (90-98%)

Always : Parasit selalu menginfeksi (99-100%)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 26: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

14

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai jenis dan

perbandingan infeksi endoparasit pada feses sapi yang dipelihara secara intensif dan

semi intensif di desa Klumpang Kebun Kecamatan Hamparan Perak Sumatera Utara

didapatkan hasil sebagai berikut :

4.1 Jenis Endoparasit Pada Feses Sapi

Dari hasil pemeriksaan laboratorium yang telah dilakukan secara mikroskopis,

ditemukan tiga jenis cacing parasit yang menginfeksi sapi di desa Klumpang Kebun

Kecamatan Hamparan Perak Sumatera Utara, dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Jenis Endoparasit Pada Feses Yang Dipelihara Secara Intensif dan Semi

Intensif di desa Klumpang Kebun Kecamatan Hamparan Perak Sumatera

Utara

Jenis Parasit Filum Intensif Semi Intensif

Fasciola sp. Trematoda √ √

Paramphistomum sp. Trematoda √ √

Dicrocoelium sp. Trematoda √ -

Buxtonella sp. Ciliophora √ √

Jumlah 4 3

Keterangan : (√): ada, (-): tidak ada

Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pada hewan ternak sapi yang dipelihara

secara intensif dan semi intensif ditemukan 3 jenis cacing yang menginfeksi sapi

yaitu, dari Filum Platyhelminthes, Kelas Trematoda, Ordo Digenea, dengan Family

Fasciolidae, Paramphistomatidae, dan Dicrocoeliidae, dan 1 jenis protozoa yaitu,

Buxtonella sp. dari Filum Ciliophora, Kelas Ciliata, Ordo Vestibuliferida Family

Balantidiidae.

Pada Tabel 4.1 terlihat bahwa lebih banyak jenis telur cacing parasit yang

menginfeksi hewan ternak yang dipelihara secara intensif dibandingkan hewan

ternak yang dipelihara secara semi intensif, hal ini kemungkinan disebabkan oleh

faktor memperoleh makanan maupun lingkungan. Pada pemeliharaan secara intensif

makanan berupa hijauan atau rerumputan yang diberikan oleh peternak diperoleh

dari beberapa lokasi/lahan pertanian, sehingga kemungkinan jenis parasit yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 27: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

15

terdapat pada hijauan tersebut juga memiliki jenis yang berbeda-beda. Sedangkan

pada pemeliharaan secara semi intensif sapi digembala pada lokasi/lahan pertanian

yang itu-itu saja, sehingga parasit yang menginfeksinya sama. Anas (2012)

mengemukakan bahwa pemberian hijauan pada ternak sapi oleh peternak, yang mana

hijauan tersebut telah tercemar oleh larva cacing yang belum menetas melalui

perantara yaitu siput air.

Lingkungan yang baik untuk berkembangnya telur dan larva cacing yaitu

pada tempat yang lembab. Kondisi tersebut memberi peluang yang tinggi terhadap

ternak akan terinfeksi oleh parasit (Agoes, 2009).

4.2 Karakteristik Telur Cacing Paramphistomum sp.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi Balai

Veteriner Medan ditemukan telur cacing parasit yang masing-masing memiliki

karakteristik tersendiri jenis telur cacing yang menginfeksi dari golongan Trematoda

yaitu Fasciola sp., Paramphistomum sp., Dicrocoelium sp., dan Protozoa yaitu

Buxtonella sp.. Morfologi dari telur Paramphistomum sp. terdapat pada feses sapi

yang dipelihara secara intensif dan semi intensif dapat dilihat pada Gambar 4.2 :

Gambar 4.2 Telur Paramphistomum sp.

(A) Telur Paramphistomum sp. yang terdapat pada feses sapi (Bos sp.)

di Desa Klumpang Kebun Kecamatan Hamparan Perak Sumatera Utara

dengan perbesaran 40x10. (B) Telur Paramphistomum sp. dengan

perbesaran 40x10 (Lukesova, 2009) (1. Operculum, 2. Blastomer).

Berdasarkan Gambar 4.2 terlihat telur Paramphistomum sp. yang

dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Pada Gambar A Paramphistomum sp.

memiliki ciri-ciri bentuk oval, terdapat dinding telur yang tebal, dan transparan,

terdapat blastomer memenuhi telur, dan terlihat operculum, memiliki ukuran panjang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 28: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

16

± 3 mm dan lebar 0,8 mm. Pada Gambar B juga memiliki bentuk oval, terdapat

dinding telur transparan dan berlapis dua, terdapat blastomer memenuhi telur, dan

operculum, memiliki panjang 8 mm dan lebar 4 mm.

Paramphistomum sp. adalah cacing daun, dengan ujung anterior cacing daun

ini memiliki sebuah mulut, tetapi tanpa basil hisap. Secara umum bentuk tubuh

cacing ini ditutupi oleh papilla, tidak sama dengan bentuk daun yang khas dari

cacing daun lainnya, kebanyakan tubuhnya bulat dan lebih mirip buah pir, dengan

lubang di puncaknya (Subronto, 2004).

Cacing ini berotot dan bertubuh tebal, menyerupai bentuk kerucut, dengan

satu penghisap mengelilingi mulut dan yang lainnya pada usus posterior tubuh.

Sebagian besar cacing ini terdapat pada ruminansia dan mempunyai panjang sekitar

10-12 mm dan lebar 2-4 mm (Levine, 1994). Cacing ini biasanya terdapat pada

saluran pencernaan, dimana ternak tersebut mengkonsumsi hijauan atau rerumputan

yang terdapat metaserkaria, metaserkaria masuk ke dalam saluran pencernaan, di

usus halus akan berkembang menjadi cacing muda dan dapat menimbulkan

kerusakan pada mukosa usus karena gigitan sebelumnya, cacing dewasa kemudian

bertelur kira-kira 75 butir telur/ekor/hari (Horak, 1967). Siklus hidup dari parasit

cacing ini bergantung pada lingkungan yang cocok, terutama kelembapan yang tinggi

dan temperatur yang memadai ±27°C (suhu ruang), sehingga Paramphistomum sp.

sangat sering menginfeksi hewan ternak yang mengkonsumsi hijauan dan sangat

mudah berkembangbiak.

4.3 Karakteristik Telur Cacing Fasciola sp.

Bentuk dan morfologi dari telur Fasciola sp. yang terdapat pada feses sapi

yang dipelihara secara intensif dan semi intensif di Desa Klumpang kebun

Kecamatan Hamparan Perak Sumatera utara dapat dilihat pada Gambar 4.3 :

3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 29: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

17

Gambar 4.3 Telur Fasciola sp.

(A) Telur Fasciola sp. yang terdapat pada feses sapi (Bos sp.) di Desa

Klumpang Kebun Kecamatan Hamparan Perak Sumatera Utara dengan

perbesaran 40x10. (B) Telur Fasciola sp. dengan perbesaran 40x10

(Purwanta et al, 2009) (1. Dinding telur, 2. Blastomer, 3.Operculum).

Pada Gambar 4.3, terlihat telur Fasciola sp. yang dibandingkan dengan

penelitian sebelumnya. Pada Gambar A Fasciola sp. telur Fasciola sp. memiliki ciri-

ciri yaitu memiliki bentuk oval, dinding telur yang transparan dan tebal, memiliki

blastomer memenuhi telur, dan tidak terlihat operculum, memiliki ukuran panjang ±

3 mm dan lebar 1,8 mm . Pada Gambar B memiliki karakteristik yang hampir sama,

tetapi memiliki ukuran panjang dan lebar yang berbeda yaitu dengan panjang 5,7 mm

dan lebar 2,5 mm. Gambar A kurang jelas tebal tipisnya dinding telur yang

dikarenakan adanya kotoran disekeliling telur. Ciri-ciri tersebut sama halnya dengan

yang dijelaskan oleh Kaiser (2012) bahwa morfologi cacing Fasciola sp. berwarna

coklat abu-abu dengan bentuk seperti daun, pipih, melebar dan lebih melebar ke

anterior dan berakhir dengan tonjolan. Ukuran tubuh cacing dewasa dapat mencapai

panjang 30 mm dan lebarnya 13 mm. Mempunyai batil isap mulut (oral sucker) dan

batil isap perut (ventral sucker) yang besarnya hampir sama. Cacing jenis ini tidak

mempunyai anus dan alat ekskresinya berupa sel api.

Cacing jenis ini biasanya terdapat pada hati hewan ternak, sementara telur

cacing ditemukan pada feses, hal ini di ketahui bahwa cacing yang terdapat dihati

ternak merupakan cacing yang sudah berkembang menjadi cacing dewasa, sementara

telur yang ditemukan di feses ternak adalah cacing yang belum menetas. Dimana kita

ketahui bahwa siklus hidup Fasciola sp. bersifat tidak langsung dan memerlukan

siput air tawar sebagai inang antara (Kusumamihardja, 1992). Telur yang menetas

menjadi mirasidium dapat berkembang pada suhu 22-260C dalam kurung waktu 9

hari, tetapi dalam kondisi suhu rendah (diatas 100C) penetasan telur akan menjadi

lebih lama (Soulsby, 1986; Dunn, 1994; Mitchell, 2007).

4.4 Karakteristik Telur Cacing Dicrocoelium sp.

Bentuk dan morfologi dari telur Dicrocoelium sp. yang terdapat pada feses

sapi yang dipelihara secara intensif dan semi intensif di Desa Klumpang kebun

Kecamatan Hamparan Perak Sumatera utara dapat dilihat pada Gambar 4.4 :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 30: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

18

Gambar 4.4 Telur Dicrocoelium sp.

(A) Telur Dicrocoelium sp. (hasil penelitian) yang terdapat pada feses

sapi (Bos sp.) di Desa Klumpang Kebun Kecamatan Hamparan Perak

Sumatera Utara dengan perbesaran 40x10. (B) Telur Dicrocoelium sp.

(Cengiz et al., 2010) (1. Operculum, 2. Blastomer, 3. Dinding telur).

Pada Gambar 4.4 diatas merupakan gambar dari telur Dicrocoelium sp. yang

dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Pada Gambar A telur Dicrocoelium sp.

memiliki ciri-ciri yaitu memiliki bentuk oval, dengan dinding telur yang transparan

dan tebal, memiliki blastomer, dan panjang ± 1,5 mm dan lebar 0,5 mm. Pada

Gambar B bentuk dinding telur terlihat jelas, yaitu memiliki dua lapis dinding telur

yang tebal dan transparan, memiliki blastomer, operculum dan panjang 4 mm dan

lebar 2,5 mm.

Telur Dicrocoelium sp. jika menyerang hewan ternak, maka ternak tersebut

akan terjangkit penyakit Dicrocoeliasis. disebabkan oleh cacing trematoda dari genus

Dicrocoelium, yang disebut lancet cacing hati. Parasit bersirkulasi di antara berbagai

herbivora dan kadang-kadang pada manusia dengan siput teresterial dan semut yang

bermain sebagai inang perantara biologis (Manga et al., 2001). Cacing Lancet ini

memiliki siklus hidup tidak langsung dengan dua hospes perantara yaitu siput dan

semut. Kedua hospes perantara ini adalah salah satu siklus hidup yang paling

mencolok di antara cacing parasit lainnya (Bizhani et al., 2017).

4.5 Karakteristik Telur Cacing Buxtonella sp.

Bentuk dan morfologi dari Buxtonella sp. yang terdapat pada feses sapi yang

dipelihara secara intensif dan semi intensif di Desa Klumpang kebun Kecamatan

Hamparan Perak Sumatera utara dapat dilihat pada Gambar 4.5 :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 31: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

19

Gambar 4.5 Ookista Buxtonella sp.

(A) Telur Buxtonella sp. (hasil penelitian) yang terdapat pada feses

sapi (Bos sp.) di Desa Klumpang Kebun Kecamatan Hamparan Perak

Sumatera Utara dengan perbesaran 40x10. (B) Telur Buxtonella sp.

pada literatur (adhikari et al., 20103) (N. macronukleus, n.

micronukleus).

Berdasarkan Tabel 4.5 diatas merupakan gambar dari ookista Buxtonella sp.

yang dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, yang memiliki ciri-ciri yang sama

yaitu memiliki bentuk bulat, terdapat dinding yang transparan dan tebal, terdapat

macronukleus dan micronukleus. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh

Tomczuk et al. (2005) mengemukakan bahwa karakter yang menonjol dari ciliata ini

yaitu memiliki ciri-ciri oval/bulat, ukuran panjang dari ciliata ini 80-100 mm, hingga

60-80 mm lebarnya

Protozoa Buxtonella sp. diklasifikasikan dalam kingdom : Protozoa, Filum:

Ciliophora, Kelas: Kinetofragminophorea, Ordo: Trichostomatorida, Family:

Pycnotrichidae, Genus: Buxtonella (Taylor et al., 2007). Buxtonella sp. biasanya

terdapat pada usus besar (kolon) dari ternak. Parasit dari filum Ciliophora ini,

berkembang dengan mengembangkan silianya untuk bergerak.

Penelitian mengenai Buxtonella sp. atau Buxtonella sulcata saat ini masih

dalam perdebatan oleh para peneliti, dikarenakan Buxtonella sulcata memiliki

morfologi yang hampir sama dengan Balantidium coli, yang apabila terserang oleh

ciliata ini akan terjangkit penyakit diare.

Ganai et al. (2013) mengemukakan bahwa morfologi dan perilaku pada

Buxtonella sulcata dan Balantidium coli memiliki ciri yang berbeda, ternyata

Buxtonella sulcata lebih sering terinfeksi pada hewan ternak sapi sedangkan

Balantidium coli pada hewan ternak babi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 32: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

20

4.6 Jumlah Dan Perbandingan Tingkat Infeksi Endoparasit

Jumlah dan perbandingan tingkat infeksi endoparasit parasit yang dipelihara

secara intensif dan semi intensif dapat dilihat pada Tabel 4.6 di bawah ini:

Tabel 4.6 Jumlah Dan Perbandingan Tingkat Infeksi Endoparasit Yang Dipelihara

Secara Intensif Dan Semi Intensif Di Desa Klumpang Kebun Kecamatan

Hamparan Perak Sumatera Utara

No.

Intensif Semi Intensif

Jenis Parasit Jumlah

Telur

Tingkat

Infeksi Jenis Parasit

Jumlah

Telur

Tingkat

Infeksi

1. Paramphistomum sp. 3 Ringan Paramphistomum sp. 25 Ringan

Buxtonella sp. 1 Ringan Buxtonella sp. 7 Ringan

Fasciola sp. 1

2. Fasciola sp. 1 Ringan Paramphistomum sp. 27 Ringan

Buxtonella sp. 1 Ringan Buxtonella sp. 5 Ringan

3. Paramphistomum sp. 6 Ringan Paramphistomum sp., 12 Ringan

Buxtonella sp. 8 Ringan

Fasciola sp. 2 Ringan

4. - - - Fasciola sp. 3 Ringan

Paramphistomum sp. 65 Ringan

5. Dicrocoelium sp. 1 Ringan Paramphistomum sp. 1 Ringan

Paramphistomum sp. 22 Ringan Buxtonella sp. 7 Ringan

6. Paramphistomum sp. 3 Ringan Paramphistomum sp. 11 Ringan

Buxtonella sp. 10 Ringan

7. Paramphistomum sp. 12 Ringan Paramphistomum sp. 25 Ringan

Fasciola sp. 1 Ringan Buxtonella sp. 74 Ringan

Buxtonella sp. 1 Ringan Ringan

8. - - - Fasciola sp. 4 Ringan

Paramphistomum sp. 2 Ringan

9. Paramphistomum sp. 4 Ringan Paramphistomum sp. 11 Ringan

Buxtonella sp. 13 Ringan Fasciola sp. 3 Ringan

Buxtonella sp. 27 Ringan

10. Paramphistomum sp. 3 Ringan Paramphistomum sp. 22 Ringan

Buxtonella sp. 2 Ringan Fasciola sp. 4 Ringan

Buxtonella sp. 24 Ringan

11. Paramphistomum sp. 3 Ringan Paramphistomum sp. 1 Ringan

Buxtonella sp. 7 Ringan

12 Paramphistomum sp. 15 Ringan Paramphistomum sp. 4 Ringan

Buxtonella sp. 2 Ringan Fasciola sp. 1 Ringan

13. Paramphistomum sp. 7 Ringan Paramphistomum sp. 3 Ringan

Fasciola sp. 1 Ringan Buxtonella sp. 1 Ringan

14. Paramphistomum sp. 3 Ringan Buxtonella sp.

34 Ringan

15. Buxtonella sp. 5 Ringan Buxtonella sp. 29 Ringan

16. Paramphistomum sp. 9 Ringan Paramphistomum sp. 11 Ringan

Fasciola sp. 1 Ringan Buxtonella sp. 4 Ringan

Buxtonella sp. 4 Ringan

17. - - - Paramphistomum sp. 5 Ringan

Fasciola sp. 3 Ringan

18. - - - Paramphistomum sp. 8 Ringan

Fasciola sp. 7 Ringan

Buxtonella sp. 22 Ringan

19. - - - Paramphistomum sp. 3 Ringan

Buxtonella sp. 9 Ringan

20. Paramphistomum sp. 4 Ringan Paramphistomum sp. 2 Ringan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 33: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

21

Pada Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa tingkat infeksi keseluruhan sapi yang

dipelihara secara intensif dan semi intensif tergolong ringan, bahkan pada beberapa

ekor sapi tidak ditemukan telur cacing parasit (negatif) yaitu pada sapi dengan kode

SP 4, SP 8, SP 17, SP 34 dan SP 35. Pada sapi yang dipelihara secara intensif

ditemukan 3 jenis telur cacing yaitu Paramphistomum sp., Fasciola sp. dan

Dicrocoelium sp. yang memiliki jumlah yang berbeda-beda, tetapi masih dalam

kategori golongan infeksi ringan, sedangkan pada sapi yang dipelihara secara semi

intensif ditemukan 2 jenis telur cacing yaitu Paramphistomum sp. dan Fasciola

sp.yang memiliki jumlah yang berbeda-beda, tetapi masih dalam kategori golongan

infeksi ringan. Berdasarkan keterangan standar infeksi dapat dibedakan yaitu infeksi

ringan jumlah telur 1-499 butir/gram, infeksi sedang jika jumlah telur 500-5000

butir/gram dan infeksi berat jika telur yang dihasilkan lebih dari 5000 butir/gram

feses ternak (Thienpont et al., 1995).

Berdasarkan jumlah dan jenis telur cacing yang ditemukan tersebut dapat

dilihat bahwa sapi yang dipelihara secara intensif dan semi intensif keduanya sama-

sama terinfeksi oleh parasit. Sapi yang dipelihara secara intensif dan semi intensif

keduanya sama-sama memakan rerumputan, dimana kita ketahui penyebaran parasit

yang paling besar yaitu melalui rerumputan yang segar pada padang rumput yang

terinfeksi larva cacing.

Hijauan segar yang diberikan menjadi salah satu faktor penyebab tingginya

infestasi cacing saluran pencernaan pada sapi akibat pencemaran larva pada hijauan.

Subronto dan Tjahajati (2001) mengemukakan bahwa kebanyakan jenis parasit

gastrointestinal masuk ke dalam tubuh hospes definitif melalui mulut dari pakan

yang tercemar larva. Meminimalisir penularan penyakit parasitik dilakukan dengan

mengatur pemotongan rumput yang akan diberikan pada ternak sapi, pemotongan

rumput dilakukan ketika matahari telah terbit dengan asumsi kista cacing yang

menempel pada rumput telah mati terkena sinar matahari, dan pemilihan lokasi

mencari rumput yang tidak tergenang air (Rozi, 2015).

4.7 Prevalensi Infeksi Endoparasit

Prevalensi infeksi endoparasit pada feses sapi yang dipelihara secara intensif dan

semi intensif dapat dilihat pada Tabel 4.7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 34: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

22

Tabel 4.7 Prevalensi Infeksi Endoparasit Pada Feses Sapi Yang Dipelihara Secara

Intensif Dan Semi Intensif di Desa Klumpang Kebun Kecamatan

Hamparan Perak Sumatera Utara

No. Jenis Parasit

Metode Pemeliharaan

Intensif Semi Intensif

Prevalensi Katerogi Prevalensi Kategori

1. Paramphistomum sp. 32,5 % Commonly 45 % Commonly

2. Fasciola sp. 10 % Often 22,5 % Often

3. Dicrocoelium sp. 2,5 % Occasionally - -

4. Buxtonella sp. 22,5 % Often 35 % Commonly

Berdasarkan Tabel 4.7 dapat dilihat prevalensi parasit pada feses sapi yang

dipelihara secara intensif yaitu Paramphistomum sp. 32,5% dengan kategori

Commonly, Fasciola sp. 10% dengan kategori Often, Dicrocoelium sp. 2,5% dengan

kategori Occasionally dan Buxtonella sp. 22,5% dengan kategori Often. Selanjutnya

prevalensi pada feses sapi yang dipelihara secara semi intensif yaitu

Paramphistomum sp. 45% dengan kategori Commonly, Fasciola sp. 22,5% dengan

kategori Often dan Buxtonella sp. 35% dengan kategori Commonly. Perbedaan

tingkat prevalensi telur cacing pada feses sapi yang dipelihara secara intensif dan

semi intensif ini kemungkinan disebabkan oleh sistem pemeliharaan, pakan dan juga

lingkungan. Soulsby (1982) mengemukakan bahwa perbedaan prevalensi yang

didapatkan, mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : faktor umur,

manajemen pemeliharaan, sanitasi kandang, dan pakan.

Pola beternak atau sistem pemeliharaan (ekstensif dan intensif) dapat

mempengaruhi terinfeksinya ternak oleh cacing. Prevalensi yang tertinggi yakni

Paramphistomum sp. (45%) dengan kategori Commonly, sedangkan prevalensi yang

terendah yakni Dicrocoelium sp. (2,5%) dengan kategori Occasionally.

Paramphistomum sp. merupakan spesies trematoda yang umum ditemukan di

Indonesia, hal ini sesuai dengan pendapat Boray (1969) yang mengemukakan bahwa

siklus hidup dari parasit cacing bergantung pada lingkungan yang cocok, terutama

kelembapan yang tinggi dan temperatur yang memadai (± 270C), kondisi tersebut

diperlukan untuk berkembangannya feses mirasidium sampai metaserkaria dari

Paramphistomum sp., sedangkan pada Dicrocoelium sp. suhu optimum untuk

perkembangan 300C sehingga memungkinkan sedikit telur yang dapat bertahan hidup

karena lingkungannya tidak sesuai untuk pertumbuhan Dicrocoelium sp.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 35: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

23

4.8 Intensitas Serangan Endoparasit

Nilai intensitas serangan endoparasit pada sapi yang dipelihara secara intensif

dan semi intensif dapat dilihat pada Tabel 4.8 di bawah ini:

Tabel 4.8 Intensitas Serangan Endoparasit Pada Sapi Yang Dipelihara Secara Intensif

Dan Semi Intensif Di Desa Klumpang Kebun Kecamatan Hamparan Perak

Sumatera Utara

Jenis Parasit

Metode Pemeliharaan

Intensif Semi Intensif

Intensitas Keterangan Intensitas Keterangan

Paramphistomum sp. 7,2 Parasit sedang 12 Parasit sedang

Fasciola sp. 1 Parasit ringan 3,1 Parasit ringan

Dicrocoelium sp. 1 Parasit ringan - -

Buxtonella sp. 4 Parasit ringan 18,6 Parasit sedang

Berdasarkan Tabel 4.5 dilihat bahwa intensitas serangan endoparasit pada

feses sapi yang pemeliharaan secara intensif dan semi inensif menunjukkan nilai

intensitas serangan yang berbeda. Intensitas tertinggi terdapat pada parasit

Buxtonella sp. dengan nilai 18,6 dengan keterangan (parasit sedang), dan intensitas

serangan terendah terdapat pada parasit Fasciola sp., dan Dicrocoelium sp. dengan

nilai satu dengan keterangan (parasit ringan).

Pada Tabel 4.5 juga dapat dilihat bahwa pada metode pemeliharaan secara

semi intensif tidak ditemukan parasit Dicrocoelium sp., hal ini disebabkan karena

tingkat ketahanan tubuh inang berpengaruh terhadap infeksi parasit. Nicolas (1989)

mengemukakan bahwa suatu jenis hewan apabila daya tahan tubuhnya tidak stabil

maka akan mempengaruhi ketahanannya terhadap infeksi parasit. Soulsby (1982)

mengemukakan bahwa pada umumnya infeksi cacing parasit dapat terjadi secara

kronis yang diakibatkan oleh lemahnya daya tahan tubuh/pertahanan alamiah dan

kemampuan cacing parasitik untuk bertahan dari pertahanan spesifik inang defenitif,

semakin lemah ketahanan tubuhnya maka inang dedfenitif akan semakin besar

kemungkinan untuk terinfeksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dan

ketahanan hidup larva di padang rumput diantaranya kondisi iklim, curah hujan, dan

kelembapan. Ditinjau dari kondisi iklim di Kabupaten Deli Serdang yang beriklim

tropis dengan suhu rata-rata 270C dengan suhu tertinggi 32

0C dan suhu terendah

240C. Dengan kelembapan 83% dan curah hujan tertinggi 248 mm (BPS, 2016).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 36: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

24

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

a. Jenis cacing parasit yang ditemukan pada feses sapi yang dipelihara secara

intensif berjumlah empat jenis yaitu : Paramphistomum sp., Fasciola sp.,

Dicrocoelium sp. dan Buxtonella sp., sedangkan pada sapi yang dipelihara secara

semi intensif berjumlah tiga jenis yaitu : Paramphistomum sp., Fasciola sp. dan

Buxtonella sp.

b. Tingkat infeksi tertinggi terdapat pada sapi yang dipelihara secara intensif dengan

banyak jenis parasit yang ditemukan dan pemeliharaan secara semi intensif

dengan banyak jumlah parasit yang menyerang sapi, walaupun dari kedua metode

pemeliharaan keduanya memiliki tingkat terinfeksi ringan.

c. Prevalensi tertinggi pada sapi yang dipelihara secara intensif antara lain

Paramphistomum sp. 32,5% dengan kategori Commonly, Fasciola sp. 10%

dengan kategori Often, Dicrocoelium sp. 2,5% dengan kategori Occasionally dan

Buxtonella sp. 22,5% dengan kategori Often. Selanjutnya prevalensi pada feses

sapi yang dipelihara secara semi intensif yaitu Paramphistomum sp. 45% dengan

kategori Commonly, Fasciola sp. 22,5% dengan kategori Often dan Buxtonella

sp. 35% dengan kategori Commonly.

d. Intensitas serangan tertinggi terdapat pada Buxtonella sp. dengan nilai 18,6

dengan keterangan (parasit sedang), dan intensitas serangan terendah terdapat

pada parasit Fasciola sp., dan Dicrocoelium sp. dengan nilai satu dengan

keterangan (parasit ringan).

5.2 Saran

Dalam proses pemeliharaan sapi, bukan hanya metode pemeliharaan saja

yang perlu diperhatikan, melainkan pemberian rutin obat cacing (Anthelmintik)

untuk infeksi telur cacing dan pemberian rutin obat (Oxytetracycline) untuk infeksi

parasit protozoa setiap 6 bulan sekali agar mendapatkan hasil yang maksimal.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 37: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

25

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Z, 2002. Penggemukan sapi potong. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka.

Alfiani Y, 2016. Ascaris lumbricoides.Universitas Muhammadiyah Semarang.

Semarang .

Anorital, 2014. Kajian Penyakit Kecacingan Hymenolepis nana. Jakarta. Pusat

Biomedis Dan Teknologi Dasar Kesehatan Balitbangkes, Kemenkes RI.

Anas K, 2012. Cacing Fasciola hepatica. (studi kasus) Blogspot.com/2012/cacing

hati fasciola - hepatica. Diakses tanggal 9 Maret 2013.

Andriyanti V, 2015. Kejadian Nematodiasis Gastrointestinal Pada Pedet Sapi Bali Di

Kec. Marioriwawo, Kab. Soppeng. [Skripsi]. Makasar. Universitas

Hasanuddin.

Arifin C, Soedarmono, 1982. Parasit Temak Dan Cara Penanggulangannya.

Pt.Penebar Swadaya. Jakarta.

Astiti LS, Muzani A dan Panjaitan TS, 2010. Petunjuk Praktis Manajemen

Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Pada Ternaksapi. Balai Penelitian

Dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan

Teknologi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Nusa Tenggara

Barat.

Astuti M, 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya genetik sapi Peranakan Ongole

(PO). Wartazoa. 14:98-106.

Beriajaya P, Stevenson, 1986. The EffectofAnthelmintic TreatmentonThe Weight

Gain Of Village Sheep. Proc. 3 .

Bizhani N, Abdol MS, Mohmmad BR, Jean DC, Mostafa R, Mohammad FK,

Niloofar P, Faezeh N, Gholamreza M, 2017. Dicrocoelium Egg Identified in

an Ancient Cemetery in Kiasar Archeological Site, Northern Iran, Dated

Back 247 BC–224 AD. Journal Iran J Public Health, 46(6): 792-795.

Blakely J, DH Bade, 1992. Pengantar Ilmu Peternakan. Penerjemah: B.Srigandono.

Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Boray JC, 1969. Studies on intestinal Paramphistomosis in sheep due to

Paramphistomum ichikawai Fukui 1922. Vet. Med. Review. 4 (5):290˗308.

Bowman DD, Georgi JR, 2009. Georgi’s Parasitology for Veterinarians. United

Kingdom: Elsevier Health Sciences.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli Serdang, 2016. Letak Geografis, Iklim

Curah Hujan Dan Kelembapan. Deli Serdang.

[BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2010. Budidaya Sapi Potong. BPTP

Kalimantan Selatan.

Budiharta S, 2002. Kapita selekta epidemiologi veteriner. Yogyakarta (ID): Bagian

Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas

Gadjah Mada.

Cengiz ZT, Yilmaz H, Dulger AC, Cicek M, 2010. Human infection with

Dicrocoelium dendriticum in Turkey. Annals of Saudi Medicine. 30 (2): 159–

61.

Charlier J, Meulemeester DL, Claerebout E, Williams D, Vercruysse J, 2008.

Qualitative and Quantitative Evaluation of Coprological and Serological

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 38: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

26

Techniques for The Diagnosis of Fascioliasis In Cattle. Vet. Parasitol. 153:

44- 51.

Cheng TC, 1973. General Parasitology. Florida. Academic Press, Inc.

Clark CH, GK Kiesel, CH Goby, 1962. Measurement of blood loss caused by

Haemonchus contortus Infection in 177 Sheep. Am. J. Vet. Res. 96

(23):977˗980.

Darmono, 1983. Parasit cacing Paramphistomum sp. pada ternak ruminansia dan

akibat infestasinya. Balai Penelitian Hewan Ternak. Bogor.

[Ditjennak] Direktur Jenderal Peternakan, 2012. Data Produksi Daging Sapi di

Indonesia tahun 2007-2010. http://www.deptan.go.id/infeksekutif/nak

/isidt5thnnak.php. [5 juni 2014].

Emmanuel DGV, Madsen KL, Churchill TA, Dunn SM, Ametaj BN, 2007. Acidosis

and Lipopolysaccharide from Escherichia coli B:055 Cause

Hyperpermeability of Rumen and Colon Tissues. J Dairy Sci. 90(12):5552-

7.

Flisser A, Rodriguez-Canul R, Willingham AL, 2006. Control of The Taeniosis/

Cysticercosis Complex: Future Developments. Vet Parasitol 139(4): 283-

292.

Gandahusada S,1998. Parasitologi Kedokteran. FK UI. Jakarta.

Ganai A, Parveen S, Kaur D, Katoch R, Yadav A, Godara R, Ahamed I, 2013.

Incidence of Buxtonella sulcata in bovines in R.S. Pura, Jammu. J Parasit

Dis. 1-2.

Guilloteau P, Zabielskf R, Blum Jw, 2009. Gastrointestinal Tract And Digestion In

The Young Ruminant Ontogenesis, Adaptations, Consequences And

Manipulation. University Of Bern Switzerland.

Handoko J, 2008. Buku Dinass Kesehatan Ternak. Suska Press. Pekanbaru.

Harminda D, 2011. Infestasi Parasit Cacing Neoascaris Vitulorum Pada Ternak Sapi

PesisirDi Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang. [Skripsi]. Sumatera Barat:

FakultasPeternakan, Universitas Andalas.

Hestiningsih R, 2004. Perbandingan Bakteri Kontaminan Pada LalatChrysomyia

megacephala dan Musca domestica di TPA Piyungan Bantul Yogyakarta.

[Tesis]. Yogyakarta.

Horak IG, 1967. Host parasite relationships of Paramphistomum microbothrium in

experimentally infested ruminants with particular reference to sheep.

Onderstepoort J. Vet. Res. 34:451˗540.

Inriani N, 2005. Identifikasi Cacing Nematode Pada Saluran Pencernaan Babi Di

Makasar. [Skripsi]. Makasar : Universitas Hasanuddin. Program Studi

Kedoteran Hewan.

Irianto K, 2009. Panduan Praktikum : Parasitologi Dasar. Yrama Widya . Bandung :

iii:136 hlm.

Jasin M, 1984. Sistematika Hewan Invertebrata Dan Vertebrata. Cetakan Ke 1.

Penerbit Sinar Wijaya. Surabaya. Hal 25 :29.

Jeffrey Hc, Rm Leach, 1983. Atlas Helminthologi Dan Protozoologi Kedokteran

(Terjemahan) . Edisi Ke 2 . Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta .

Levine ND, 1978. Parasitologi Veteriner. Gatut Ashadi, penerjemah; Wardiarto,

editor. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Text

Book of Veterinary Parasitology.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 39: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

27

Levine ND, 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.

Levine ND, 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press (diterjemahkan oleh Ashadi G).

Mage C, Bourgne C, Toullieu JM, Rondelaud D, Dreyfuss G, 2002. Fasciola

Hepatica and Paramphistomum Daubneyi: Changes in Prevalences of

Natural Infections in Cattle and in Lymnaea Truncatula From Central

Franceover The Past 12 Years. VetRes. 33: 439–447.

Manga-González MY, Gonzalez-Lanza C, Cabanas E, Campo R, 2001.

Contributions to and review of dicrocoeliosis, with special reference to the

intermediate hosts of Dicrocoelium dendriticum. Parasitology. 123 S91–S114.

Martindah E., Widjajanti S., Estuningsih S.E., dan Suhardono, 2005. Meningkatkan

Kesadaran dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Fasciolosis Sebagai Penyakit

Infeksius.Wartazoa. Vol.15.

McManus DP, JP Dalton, 2006. Vaccines Against The Zoonotic Trematodes

Schistosom Japonicum, Fasciola Hepatica And Fasciola Gigantica.

Parasitol. 133(S2): 543 – 562.

Melaku S, Addis M, 2012. Prevalence and Intensity of Paramphistomum in

Ruminants Slaughtered at Debre Zeit Industrial Abattoir, Ethiopia. Glob

Vet. (8)3: 315-319.

Mohammed, N, 2008. Fasciola hepatica. http://www.nenad mohamed.com.htm.

Nezar MR, 2014. Jenis Cacing Pada Feses Sapi Di TPA Jatibarang Dan KTT

Sidomulyo Desa Nongkosawit Semarang. [Skripsi]. Semarang: Fakultas

Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.

Njoku TRF, Nwoko BEB, 2009. Prevalance of paramphistomiasis among sheep

slaughtered in some selected abattoirs in imo state, Nigeria. Science World

Journal. (4): 4.

Noble E.R., Noble G.A, 1989. Parasitologi, Biologi Parasit Hewan. Edisi 5. Gajah

Mada University Press.

Nofyan E, Mustaka K, Indah R, 2010. Identitas Jenis Telur Cacing Parasit Usus Pada

Ternak Sapi (Bos Sp) Dan Kerbau (Bubalus Sp) Di Rumah Potong Hewan

Palembang. Jurnal Penelitian Sains. 10:06-11.

Oie, 2005. Taenia Infectif http://www.cfsph.iastate.edu/ Factsheets/pdf/taenia.pdf,

diunduh tanggal 10 November2012.

Parakkasi A, 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas

Indonesia Press. Jakarta.

Pfukenyi DM, Mukaratirwa S, 2013. A Review of The Epidemiology and Control of

Gastrointestinal Nematode Infections in Cattle in Zimbabwe. Onderstepoort J

Veterin Res. 80:1-12.

Prasad KN, Prasad A, Verma A, Singh AK, 2008. Human Cysticercosis and

Indianscenario: a review. J Biosci 33 (4): 571- 582.

Purwanta., Ismaya N.R.P., Burhan, 2006. Penyakit Cacing Hati (Fascioliasis) pada

Sapi Bali di perusahaan daerah Rumah Potong Hewan (RPH) kota Makassar.

Jurnal Agrisistem.

Purwanta, Nuraeni, Hutauruk JD, Setiawaty S, 2009. Identifikasi Cacing

SaluranPencernaan (Gastrointestinal) Pada Sapi Bali Melalui Pemeriksaan

Tinja Di Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. 5(1): 10-21.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 40: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

28

Putro PP, 2004. Pencegahan Pengendalian Dan Pemberantasan Penyakit Hewan

Menular Strategis Dalam Pengembangan Usaha Sapi Potong. Yogyakarta:

Fakultas Kesehatan Hewan Universitas Gadjah Mada. Lokakarya Nasional

Sapi Potong 2014.

Rampengan L, 2005. Askariasis Dalam Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 3.

Jakarta: ECC Halaman: 217-223.

Roeber F, Jex AR, Gasser RB, 2013. Impact of Gastrointestinal Nematodes of Sheep,

and The Role of Advanced Moleculer Tools For Exploring Epidemiology and

Drug Resistance-An Australian Perspective.J Parasite & Vect. 153(6): 1-13.

Rozi F, Handoko J, Febriyanti R, 2015. Infestasi Cacing Hati (Fasciola sp.) Dan

Cacing Lambung (Paramphistomum sp.) Pada Sapi Bali Dewasa Di

Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru. JSV 33(1).

Santosa U, 2000. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Sarwono B, HH Arianto, 2001. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Penebar

Swadaya. Jakarta.

Sayuti L, 2007. Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola sp.) Pada Sapi Bali

DiKabupaten Karangasem, Bali. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran

Hewan.Institut Pertanian Bogor.

Silva MRL, Amarante MRV, Bresciani KDS, Amarante AFT, 2014. Host-Specificity

and Morphometrics of Female Haemonchus Contortus, H. Placei and H.

Similis (Nematoda: Trichostrongylidae) in Cattle and Sheep From Shared

Pastures in São Paulo State Brazil. J Helminthol. (4):1-5.

Sosroamidjojo MS, 1991. Ternak Potong dan Kerja.Cet.11. CV Yasa Guna. Jakarta.

Soulsby EJL, 1968. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals.

Sixth Edition of Mőnnig’s Veterinary Henminthology and Entomology. Lea

&Febiger Philadelphia. Philadelphia. Pages. 189-191.

Soulsby EJL, 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals.

Philadelphia: Lea and Febiger.

Stevenson, Beriajaya P, 1986. Reduced Productivity On Small Ruminants In

Indonesia As A Result Of Gastrointestinal Nematode Infections . Proc.5th .Int

.Conf.Lvstk.Dis .Trop . 28-30

Subiharta, Sudrajad P, Y A, 2013. Karakter Fenotip Sapi Betina Peranakan Ongole

Kebumen. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner.

Subronto, Tjahajati I, 2001. Ilmu penyakit ternak II. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Subronto ,2004. Ilmu Penyakit Ternak . Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Subronto, 2007. Ilmu Penyakit Ternak II (revisi). Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, Cetakan ke-3.

Sudardjat S, 1991. Epidemiologi Penyakit Hewan. Jilid 1. Direktorat Bina

KesehatanHewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.

Sudarmono AS, Sugeng BY, 2008. Sapi Potong + Pemeliharaan, Perbaikan Produksi,

Prospek Bisnis, Analisis Penggemukan. Niaga Swadaya. Semarang.

Sumadi, Hartati, Hartatik T, 2009. Identifikasi Karakteristik Genetik Sapi Peranakan

Ongole di Peternakan Rakyat. Buletin Peternakan 33(2): 64- 73.

Supardi I, 2002. Mikrobiologi Dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Penerbit

Erlangga.Jakarta.

Susanto, 2009. Parasitologi Kedokteran. FK UI. Jakarta.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 41: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

29

Sutanto, Inge, Is Suhariah I, Pudji K S, Saleha S, 2008. Parasitologi Kedokteran,

Edisi Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Suwandi, 2001. Mengenal Berbagai Penyakit Parasitik Pada Ternak. Balai Penelitian

Ternak, PO BOX221 Bogor 16002.

Taira N, 1985. Siering Tecnique With The Glass Beads Layer For Detection and

Quantitation of Fasciola Eggs in Cattle Feases. Java Archive. 18(4):27.

Tampubolon M, 2004. Protozoologi. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan;

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi; Pusat Studi Ilmu Hayati, Institut

Pertanian Bogor.

Tantri N, Tri Rima Setyawati, Siti Khotimah, 2013. Prevalensi dan IntensitasTelur

Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan(RPH) Kota

Pontianak Kalimantan Barat. Jurnal Protobiont. Vol 2 (2):102 – 106.

Taylor M.A, R.L. Coop, R.L Wall, 2007. Veterinary Parasitology. 3rd

ed.

Thienpont, Rochette F, Vanparijs OFJ, 1995. Diagnosting Helminthiasis Through

Coprological Examination. Belgium. Jannsen Pharmaeutica.

Triakoso N, 2009. Aspek Klinik dan Penularan Pada Pengendalian Penyakit Ternak.

Surabaya. Balai Departemen Klinik Veteriner FKH Universitas Airlangga.

Ulfa, R. 2017. Pengaruh sistem pemeliharaan ternak intensif dan semi intensif

terhadap prevalensi nematode gastrointestinal pada kambing. [Skripsi].

Medan. Universitas Sumatera Utara.

WHO [online]. Intestinal Worm, 2012. [cited2013 May 1];[6 screens]. Available

from:URL:http://www.who.int/intestinal_worms/en/index.html.

Widjajanti S, 2004. Fasciolosis pada manusia: mungkinkah terjadi di Indonesia. Bul

Ilmu Peter Indones 14(2): 65-72.

Widoyono, 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &

Pemberantasannya. Penerbit Erlangga.

Wijayanti, Devi R, 2013. Kinerja Reproduksi Induk Sapi Peranakan Ongole dan

Persilangan Simmental dengan Peranakan Ongole di Kecamatan Bantul

Kabupaten Bantul. Skripsi Sarjana Peternakan Universitas Gadjah Mada.

Yogyakarta.

Williams, E. H., Jr. and L. Bunkley-Williams. 1996. Parasites of offshore big game

fishes of Puerto Rico and the western Atlantic. Puerto Rico Department of

Natural and Environmental Resources, San Juan, PR, and the University of

Puerto Rico, Mayaguez, PR, 382 pp.

Williamson G, WJA Payne, 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.

Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Willingham AL III, Engels D, 2006. Control of Taenia Solium Cysticercosis /

Taeniosis. Adv. Parasitol 61:509-566.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 42: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

30

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kegiatan Kerja

Proses Pengambilan Feses Rak Tabung Dan Tabung Reaksi

Batang Pengaduk Dan Pengerjaan Sampel

Saringan Wire Mesh

Penyedotan Dengan Aspirator Centrifuge Sampel

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 43: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

31

Lampiran 2. Bagan Kerja Pemeriksaan Feses Sapi

Dimasukkan kedalam sampel cup

Diberi label pada masing-masing sampel cup

Dimasukkan kedalam coolbox

Diambil 1 gram dan dimasukkan kedalam tabung centrifuge A

Ditambahkan 10 ml air kran

Dikocok sampai homogen

Dimasukkan sampel kedalam tabung yang telah diisi dengan

butir kaca melalui saringan wire mesh

Dimasukkan sisa sampel pada tabung pertama ke tabung

centrifuge B sampai batas leher tabung

Ditunggu selama 5 menit

Diputar dengan rotator sebanyak 5 putaran

Dibuang supernatan dengan aspirator

Ditambahkan kembali air kran sebanyak 50 ml kedalam

tabung centrifuge B

Diputar kembali dengan rotator sebanyak 5 kali

Didiamkan selama 5 menit sampai terjadi sedimentasi

Dibuang supernatan dengan aspirator

Ditinggalkan kurang lebih 2 ml endapan pada tabung

Diletakkan diatas objek glass

Diamati dibawah mikroskop dan di identifikasi dengan buku

Feses Sapi

Feses Dalam Sampel Cup

Tabung Centrifuge B

Endapan

Hasil

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 44: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

32

Lampiran 3. Data Jumlah Telur Cacing Parasit Yang Dipelihara Secara

Intensif Di Desa Klumpang Kebun Kecamatan Hamparan Perak

Kode

sampel

Jumlah Telur Cacing Parasit Yang Dipelihara Secara Intensif

Fasciola sp. Paramphistomum sp. Dicrocoelium sp. Buxtonella sp.

S1 - 3 - 1

S2 1 - - 1

S3 - 6 - -

S4 - - - -

S5 - 22 1 -

S6 - 3 - -

S7 1 12 - -

S8 - - - -

S9 - 4 - 13

S10 - 3 - 2

S11 - 3 - 7

S12 - 15 - 2

S13 - 7 - -

S14 - 3 - -

S15 - - - 5

S16 1 9 - 4

S17 - - - -

S18 - - - -

S19 - - - -

S20 - 4 - -

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 45: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

33

Lampiran 4. Data Jumlah Telur Cacing Parasit Yang Dipelihara Secara Semi

Intensif Di Desa Klumpang Kebun Kecamatan Hamparan Perak

Kode

Sampel

Jumlah Telur Cacing Parasit Yang Dipelihara Secara Semi

Intensif

Fasciola sp. Paramphistomum sp. Buxtonella sp.

S1 1 25 74

S2 - 27 5

S3 2 12 8

S4 3 65 -

S5 - 1 7

S6 - 11 10

S7 - 3 7

S8 4 2 -

S9 3 11 27

S10 4 22 24

S11 - 1 -

S12 1 4 -

S13 - 3 1

S14 - - 34

S15 - - 29

S16 - 11 4

S17 3 5 22

S18 7 8 -

S19 - 3 9

S20 - 2 -

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 46: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

34

Lampiran 5. Perhitungan Nilai Prevalensi dan Intensitas

A. Prevalensi

i. Paramphistomum sp.

- Intensif

Jumlah hewan yang terserang parasit

Prevalensi = X 100%

Jumlah sampel yang diamati

=

x 100%

= 32,5 %

- Semi Intensif

Jumlah hewan yang terserang parasit

Prevalensi = X 100%

Jumlah sampel yang diamati

=

x 100%

= 45%

ii. Fasciola sp.

- Intensif

Jumlah hewan yang terserang parasit

Prevalensi = X 100%

Jumlah sampel yang diamati

=

x 100%

= 10%

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 47: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

35

- Semi Intensif

Jumlah hewan yang terserang parasit

Prevalensi = X 100%

Jumlah sampel yang terinfeksi

=

x 100%

= 22,5 %

iii. Dicrocoelium sp.

- Intensif

Jumlah hewan yang terserang parasit

Prevalensi = X 100%

Jumlah sampel yang diamati

=

x 100%

= 2,5%

iv. Buxtonella sp.

- Intensif

Jumlah hewan yang terserang parasit

Prevalensi = X 100%

Jumlah sampel yang diamati

=

x 100%

= 22,5%

- Semi Intensif

Jumlah hewan yang terserang parasit

Prevalensi = X 100%

Jumlah sampel yang terinfeksi

=

x 100%

= 35 %

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 48: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

36

B. Intensitas

i. Paramphistomum sp.

- Intensif

Jumlah parasit yang menginfeksi

Intensitas =

Jumlah sampel yang terinfeksi

=

= 7,23

- Semi intensif

Jumlah parasit yang menginfeksi

Intensitas =

Jumlah sampel yang terinfeksi

=

= 12

ii. Fasciola sp.

- Intensif

Jumlah parasit yang menginfeksi

Intensitas =

Jumlah sampel yang terinfeksi

=

= 1

- Semi intensif

Jumlah parasit yang menginfeksi

Intensitas =

Jumlah sampel yang terinfeksi

=

= 3,1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 49: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

37

iii. Dicrocoelium sp.

- Intensif

Jumlah parasit yang menginfeksi

Intensitas =

Jumlah sampel yang terinfeksi

=

= 1

iv. Buxtonella sp.

- Intensif

Jumlah parasit yang menginfeksi

Intensitas =

Jumlah sampel yang terinfeksi

=

= 4

- Semi intensif

Jumlah parasit yang menginfeksi

Intensitas =

Jumlah sampel yang terinfeksi

=

= 18,6

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 50: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

38

Lampiran 6. Hasil Penelitian Berdasarkan Balai Veteriner Medan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 51: PERBANDINGAN INFEKSI ENDOPARASIT PADA FESES SAPI …

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA